Majalah Dikbud - Desember 2012

Page 1



Pesan Menteri

Nilai Budaya untuk Membangun Peradaban

M

embangun kesadaran terhadap kekayaan budaya yang kita miliki harus kita mulai. Ini penting karena, karena kini telah terjadi pergeseran paradigma pembangunan, dari Pembangunan Ekonomi Berbasis Sumberdaya kepada Pembangunan Kesejahteraan Berbasis Peradaban. Jika sebelumnya mengandalkan pada kekayaan alam, kini bergeser pada kekayaan peradaban, dimana ukuran sumber daya manusia beradab adalah pada pengetahuan dan keterampilan serta karakter kuat. Inilah yang disiapkan dalam pengembangan Kurikulum 2013, menjadikan nilai budaya untuk modal membangun peradaban bangsa. Oleh sebab itu, sebagai anak bangsa, kita tentu sadar bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang melimpah. Tentu ini patut disyukuri. Namun, mensyukuri saja tidaklah cukup. Harus ada upaya bagaimana melestarikan segenap wujud dan ekspresi budaya yang ada. Berkaitan dengan upaya pelestarian budaya, Kemdikbud setidaknya memiliki empat tugas. Pertama, melakukan konservasi warisan nenek moyang, baik yang sudah ditemukan maupun yang masih tersimpan. Konservasi perlu dilakukan sebagai usaha pelestarian, agar budaya tersebut tidak hilang.

Kedua, melakukan adopsi dan adaptasi terhadap budaya-budaya lain atau budaya-budaya baru sebagai usaha memperbanyak kebudayaan. Ketiga, menjadikan kebudayaan sebagai alat diplomasi kultural, karena kebudayaan dipercaya mampu membangun masyarakat dunia yang damai dan harmonis, dan keempat, mewujudkan kebudayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Melalui empat tugas itulah, menanamkan nilai kebudayaan dalam proses pendidikan, menjadi kewajiban, sehingga nilai budaya yang ada dan dimiliki bangsa ini dapat untuk membangun peradaban. Penanaman nilai kebudayaan dilakukan melalui pendidikan karakter yang telah diterapkan secara berjenjang pada semua satuan pendidikan, mulai tahun pelajaran 2011/2012 ini, dan dalam kurikulum pendidikan baru yang direncanakan diterapkan pada awal tahun pelajaran 2013 mendatang, juga menekankan pada cakupan seni dan budaya. Dalam Kurikulum 2013 yang sejak akhir November lalu memasuki uji publik, selalu tercantum usulan adanya pelajaran seni dan budaya. Kita ingin membangun masa depan peserta didik yang berbudaya dan memiliki jiwa seni, sehingga pembelajaran pada peserta didik selalu memperhatikan nilai-nilai tersebut.

Ini dilakukan agar budaya sekolah, yang di dalamnya terdapat unsur kejujuran, kesetiakawanan, kebersihan, keilmuan, nasionalisme, ketuhanan, dan lain sebagainya, dapat ditanamkan sejak dini pada peserta didik. Dengan memasukkan seni dan budaya dalam proses pendidikan, kita berharap kecintaan peserta didik terhadap nilai budaya sendiri, tumbuh dan berkembang dan tercipta ketahanan budaya, sehingga kelak ketika dewasa, mereka akan memiliki karakter ke-Indonesiaan yang tidak mudah terpengaruh oleh budaya asing. Disadari, dominasi peradaban besar terhadap peradaban kecil yang terjadi pada saat ini dapat mengancam peradaban bangsa Indonesia. Masuknya pengaruh budaya luar seperti budaya K-Pop adalah salah satu contohnya. Dominasi peradaban ini, jika tidak diantisipasi mulai saat ini, cepat atau lambat akan mengikis peradaban yang ada di negeri ini. Itu sebabnya, sudah tepat kiranya langkah kita dalam memberi bekal seni dan budaya kepada peserta didik yang di antaranya melalui pendidikan berbasis karakter. Harapannya, selain memiliki ketahanan budaya, peserta didik juga mampu menumbuhkembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga mampu menghadapi arus globalisasi di masa mendatang. Semoga! (*)

No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 1


Daftar Isi

No. 06 Tahun III November 2012

Hal. 1 PESAN MENTERI Hal. 2 DAFTAR ISI Hal. 3 DARI REDAKSI FOTO: Dok. PIH

Penyelenggaraan pertemuan menterimenteri kebudayaan Asia dan Eropa (Asia Europe Meeting Culture Ministers’ Meeting/ASEM-CMM) diharapkan berdampak positif pada pengelolaan dan pemeliharaan warisan budaya.

10

Hal.

Padukan Pendidikan Karakter dengan Kebudayaan Hal. 4 Menjawab Tantangan Globalisasi Kompetensi SDM Kebudayaan sebagai Kunci

Sosialisasi Pendidikan Karakter Melalui Kesenian Tradisional

FOTO: Dok. PIH

8

Hal.

ASEM-CMM Tingkatkan Kualitas Pengelolaan Warisan Budaya

Hal. 14

22

Hal.

Menjadikan Museum sebagai Kebutuhan Masyarakat

Museum berperan menggambarkan wisata atau potensi suatu daerah, bahkan jika dianalisis lebih dalam, turis mancanegara cenderung mengunjungi museum daripada pusat-pusat perbelanjaan.

2 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

Cagar Budaya dan Museum sebagai Wahana Edukasi Publik Hal. 19 Revitalisasi Desa Adat sebagai Konservasi Budaya Hal. 28


Dari Redaksi

Pelindung: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh, Wakil Menteri Bidang Pendidikan, Musliar Kasim, Wakil Menteri Bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti Penasihat: Sekretaris Jenderal, Ainun Na’im Pengarah: Sukemi Penanggung Jawab: Ibnu Hamad Pemimpin Redaksi: Hawignyo Dewan Redaksi: Setiono, Eka Nugrahini Redaktur Pelaksana: Dian Srinursih, Taufik Dahlan, Jusman Sihombing Staf Redaksi: Arifah, Ratih Anbarini, Aline Rogeleonick, Desliana Maulipaksi, Gloria Gracia, Nur Widianto Desain & Artistik: Susilo Widji P, Yus Pajarudin Fotografer: Arif Budiman, Ridwan Maulana Sekretaris Redaksi: Emi Salpiati, Dina Ayu Mirta, Tri Susilawati, Mohtarom Alamat Redaksi: Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gedung C Lantai 4, Jalan Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta Telp. (021) 5711144 Pes. 2413, (021) 5701088 Laman: www.kemdikbud.go.id

Keterangan Sampul:

Seorang anak belajar memainkan gamelan.

Memadukan Program Kebudayaan dengan Pendidikan

K

ita sudah bertekad, Indonesia pada tahun 2045 dipimpin oleh generasi yang berkarakter cerdas, berakhlak mulia, dan cinta Tanah Air. Ketiga karakter pokok inilah yang kita harapkan akan membawa Indonesia dalam kesejahteraan, kemakmuran, dan kedamaian. Untuk mewujudkan harapan itu, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, diantaranya memosisikan pendidikan di garda depan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) telah melakukan berbagai langkah dan mempersiapkan program yang segera di­jalankan. Salah satunya adalah mema­dukan program-program kebudayaan dengan pendidikan supaya lebih serasi, misalnya dalam kurikulum baru yang dalam waktu dekat dilaksanakan secara bertahap. Sebagaimana disampaikan Pelaksana Tugas Direktur Jenderal (Plt. Dirjen) Kebudayaan, Kacung Marijan, bahwa dalam kurikulum baru itu akan dipadukan antara pendidikan karakter dengan pendekatan kebudayaan dan nilai-nilai sejarah. Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud, Gatot Ghautama, menambahkan bahwa fungsi kebudayaan harus diperkuat untuk meningkatkan pendidikan karakter bangsa, serta memperkuat diplomasi budaya di dunia internasional. Terdapat keterkaitan erat antara pendidikan dan kebudayaan. Sebagaimana kita ketahui bahwa kebudayaan adalah suatu gagasan yang berisi tentang pengetahuan, norma, nilai, dan perilaku dari hasil karya manusia. Hasil karya manusia dalam bentuk kebudayaan inilah yang berfungsi sebagai pedoman untuk kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hasil interaksi sistemik dari budaya keagamaan, budaya kebangsaan, budaya kesukuan, budaya tempatan, serta budaya global, yang terkait satu sama lain membentuk suatu sistem kebudayaan, guna menuju kearah kemajuan peradaban bangsa. Atas dasar inilah tercetus visi Kemdikbud, yaitu ’Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan dan Kebudayaan untuk Membentuk Insan Indonesia yang Cerdas dan Berkarakter Kuat.’ Pembaca budiman, pada edisi 6 ini, kami juga mengetengahkan liputan sosialisasi pendidikan karakter. Sekadar mengingatkan, Kemdikbud sedang menyelenggarakan sosialisasi dan kampanye media untuk pembangunan karakter bangsa dengan mengambil tema besar “Indonesia Berkarakter: Indonesia, Aku Bangga!”. Masih banyak artikel lainnya, yang tentu saja sayang jika dilewatkan. Selamat membaca. (*)

si k a ed

R

Desain Sampul: Susilo Widji P Foto: Dok. PIH

Majalah DIKBUD

Edisi No. 06 Tahun III Desember 2012

No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 3


Padukan Pendidikan Karakter dengan Kebudayaan Membangun karakter bangsa untuk mempersiapkan generasi penerus merupakan sebuah upaya mendesak yang harus dimulai dari sekarang. Kita berharap, kelak setiap warga negara memiliki nilai peradaban adiluhung yang mengakar dalam kehidupan seharihari. Menyadari hal itu, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melakukan berbagai langkah, di antaranya merevitalisasi warisan budaya dan peran museum. Dalam kurikulum baru, juga dipadukan antara pendidikan karakter dengan pendekatan kebudayaan dan nilai-nilai sejarah.

4 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

K

ementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Kebudayaan tengah fokus pada tiga prioritas penting dalam pengembangan pembangunan kebudayaan di Indonesia. Pertama, penekanan penting pada aspek nilai-nilai karakter bangsa. Kedua, pelestarian budaya Indonesia, dan ketiga, melakukan diplomasi budaya. Ketiga strategi ini dilakukan agar cita-cita bangsa yang ingin menjadi adidaya kebudayaan dapat terwujud. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Kebudayaan, Kacung Marijan, mengatakan bahwa untuk mencapai hal tersebut, maka hal pertama yang harus dilakukan adalah dengan mengubah pola pikir. Kebudayaan tidak bisa lagi dijadikan sebagai pelengkap pembangunan. Sebaliknya, kebudayaan harus ditempatkan sebagai mind streaming, sehingga kebudayan menjadi kekuatan

penting dalam menentukan arah pembangunan. “Apa yang terjadi belakangan, misalnya kenakalan remaja, kerusuhan di sejumlah daerah, dan lain-lain, mengingatkan kembali akan pentingnya budaya,� ujar Kacung saat ditemui di sela-sela kegiatan peringatan Hari Nusantara di Lombok, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Minggu (16/12). Hal lain yang menjadi fokus Ditjen Kebudayaan adalah upaya pelestarian budaya Indonesia. Pelestarian ini mengandung pengertian perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan kebudayaan. Langkah itu sebagai tindak lanjut pengintegrasian pendidikan dan kebudayaan yang memiliki konsekuensi, bahwa fungsi kebudayaan harus diperkuat untuk meningkatkan pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan. Bahkan


keterkaitan erat antara pendidikan dan kebudayaan dibahas dalam satu bab dalam Undang-undang Dasar 1945.

FOTO: Dok. PIH

Ia menuturkan, perlindungan atau konservasi salah satunya dilakukan dengan mendaftarkan budaya Indonesia, termasuk bekerja sama dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk melindungi bahasa-bahasa daerah yang hampir punah. Sementara untuk pengembangan atau modernisasi kebudayaan dilakukan dengan memberikan sentuhan-sentuhan teknologi, termasuk berinteraksi dengan kebudayaan lain. Menurut Kacung, bangsa Indonesia sebenarnya memiliki sejarah dalam berinteraksi dengan kebudayaankebudayaan lain. Beberapa kebudayaan yang Indonesia miliki merupakan interaksi yang sangat baik antara kekuatan kebudayaan lokal dengan kekuatan kebudayaan asing. “Kita ambil contoh wayang yang datang dari India. Ketika masuk ke Indonesia, para budayawan kita mampu menegosiasikan dan mendialogkan dengan konten lokal, sehingga cerita wayang di Indonesia berbeda dengan cerita dari negara asalnya. Ke depan kita ingin memiliki jati diri kebudayaan tanpa tertinggal dan kehilangan interaksi dengan kebudayaan asing,” jelasnya. Lebih jauh Kacung mengatakan, pemanfaatan budaya dilakukan tidak hanya pada faktor ekonomi tetapi pada berbagai segi kehidupan masyarakat. Misalnya melalui budaya, masyarakat setempat melakukan penyelamatan lingkungan dengan menanam pohon seperti yang pemerintah Kabupaten Sampang yang menggalakkan penanaman pohon bakau di sepanjang pesisir pantai wilayah tersebut. “Jadi bukan hanya manfaat ekonomi, tetapi manfaatmanfaat lain yang mengikutinya,” ujar Kacung. Prioritas lain yang menjadi fokus Ditjen Kebudayaan adalah melakukan diplomasi budaya. Menurutnya, jika

Indonesia ingin menjadi adidaya kebudayaan, maka tentu hal ini harus diperkenalkan kepada komunitas internasional. “Supaya komunitas internasional ini mengetahui, memahami, dan menghargai, akhirnya dari sanalah tercipta interaksi yang lebih baik,” tuturnya. Serangkaian hal direncanakan dilakukan untuk mewujudkan strategi tersebut. Misalnya dengan membangun rumah-rumah kebudayaan di luar negeri, termasuk dibuatnya Indonesian Corner di negara-negara asing. Tentu hal ini memerlukan kerja sama dengan Kementerian Luar Negeri yang memiliki perwakilan Indonesia di negara-negara tersebut. Inilah juga yang menjadi alasan mengapa kebudayaan tidak dapat berdiri sendiri, tanpa berinteraksi dengan pihak lain.

Kebutuhan Bangsa Sekretaris Ditjen Kebudayaan Kemdikbud, Gatot Ghautama, mengatakan, pengintegrasian pendidikan dan kebudayaan memang diharapkan mampu menjawab kebutuhan bangsa ini di masa mendatang. “Dua hal tersebut harus saling mengisi dan terkait, karena yang disebut kebudayaan adalah suatu gagasan yang isinya tentang pengetahuan, norma, nilai, kebajikan, keindahan, perdamaian dsb yang diajarkan dari generasi ke generasi,” katanya, di Jakarta (20/11). Selain itu, kebudayaan Indonesia merupakan hasil dari interaksi sistemik dari budaya keagamaan, budaya kebangsaan, budaya kesukuan, budaya tempatan, serta budaya global, yang terkait satu sama lain membentuk suatu sistem kebudayaan, guna menuju kearah kemajuan peradaban bangsa. Atas dasar inilah tercetus visi Kemdikbud, yaitu “Terselenggaranya Layanan Prima Pendidikan untuk Membentuk Insan Indonesia yang Cerdas dan Berkarakter Kuat.” Sebagaimana juga digaungkan sejak terjadinya integrasi pendidikan dan

kebudayaan pada 20 Oktober 2011, tersusun fokus komponen pilar pembangunan kebudayaan yang meliputi pembangunan jati diri dan karakter bangsa, pelestarian warisan budaya (benda dan tak benda), pengembangan karya/inovasi dan diplomasi budaya, kelembangaan dan SDM kebudayaan, dan sarana dan prasarana budaya. Fungsi kebudayaan yang berada di Kemdikbud adalah kebudayaan yang bersifat hulu, yaitu banyak mengupas mengenai penggalian, dan pengembangan nilai-nilai termasuk manfaatnya untuk pendidikan. Sementara yang ada di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) adalah kebudayaan hilir yang pemanfaatannya menghasilkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Misalnya Kemenparekraf memanfaatkan seni pertunjukan dan produksi film komersil, sementara Kemdikbud yang melakukan pembinaan seperti penulisan skenario yang beretika sesuai dengan norma dan nilai-nilai ke-Indonesiaan. Seiring dengan pengembangan kurikulum, ada kemajuan yang sangat signifikan ketika pendidikan tentang seni, budaya, budi pekerti, maupun sejarah disisipkan secara tematik ke dalam berbagai mata pelajaran di sekolah. Namun demikian, Gatot berkeyakinan, pendidikan budaya terutama yang berkaitan dengan pendidikan karakter bangsa pun dapat diajarkan secara tidak langsung, yaitu melalui pendidikan olahraga yang mengajarkan nilai-nilai kebersamaan dan sportivitas. Tidak hanya kurikulum dalam pendidikan formal yang dikembangkan, terhitung mulai 2013 Kemdikbud turut mendukung dan mengarahkan pendidikan kebudayaan jalur nonformal, yaitu salah satunya melalui program revitalisasi taman budaya, desa adat, dan komunitas budaya. Taman budaya didirikan sebagai laboratorium atau “bengkel” untuk mengelola seni tradisional dari seluruh pelosok nusantara supaya No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 5


layak sekaligus merupakan etalase seni di daerah masing-masing. Walaupun saat ini posisinya sebagai unit pelaksana teknis daerah (UPTD), tetapi pusat tetap menaruh perhatian untuk pengembangannya. “Kami berupaya mengembalikan fungsi taman budaya. Jadi, bukan hanya sebagai tempat yang disewakan untuk pesta perkawinan, tetapi lebih kepada pengembangan budaya,” kata Gatot. Sementara itu, untuk revitalisasi desa adat lebih pada revitalisasi pengetahuan yang terkandung dalam adat tertentu. Misalnya, pengetahuan tradisional membuat rumah atau ataupun pengetahuan berladang yang saat ini sudah makin ditinggalkan oleh masyarakat. Pembinaannya dilakukan melalui peran dan program yang ada di Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi. Untuk revitalisasi desa adat ini, pada 2013 mendatang Kemdikbud akan memberi bantuan kepada sekitar 500 komunitas budaya. Komunitas budaya yang dimaksud di sini adalah kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki dan telah mengembangkan kebudayaan tertentu, bisa dalam aspek kesenian, ritual, dan lain-lain, seperti dalam konteks lingkungan. Misalnya masyarakat yang memiliki mekanisme tertentu dalam melakukan konservasi lingkungan yang unik dan berbeda dengan yang lain.

Peran Museum Berbicara mengenai bidang kebudayaan, tentunya tidak terlepas dari pentingnya sejarah yang membentuk kepribadian bangsa saat ini. Semua yang ada sekarang tidak terlepas dari sejarah masa lalu. Kemdikbud yang kita kenal sekarang ini pun telah melalui beragam perjalanan sejarah pada masa pembentukannya. Gatot menuturkan, berbicara sejarah tentu tidak hanya mengenai sejarah politik Indonesia, tetapi jauh lebih luas dari itu, yaitu sejarah kebudayaan Indonesia yang antara lain sejarah mengenai kepercayaan, terbentuknya kelompok masyarakat tentang pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian, dan teknologi. Oleh karenanya, Kemdikbud terus menggalakkan

usaha penulisan sejarah kebudayaan Indonesia, termasuk sejarah lokal di berbagai daerah melalui kegiatan di UPT Kebudayaan di berbagai provinsi. Untuk pendidikan pada masyarakat, museum memegang peran penting ini mengingat dalam museum dapat ditemui mengenai sejarah, budaya, tradisi, kesenian, seni rupa, dan lain sebagainya. Namun demikian, Gatot tidak menafikan bahwa museum yang ada di Indonesia memang masih jauh dari kesan menarik untuk dikunjungi. Narasi benda budaya yang ditulis kurang lengkap dan penempatan ruang pajang yang kurang menarik, merupakan salah satu faktor yang menjadikan museum tidak dikunjungi oleh masyarakat. Untuk itulah, Kemdikbud sedang melakukan gerakan cinta museum

Kepercayaan terhadap Tuhan YME adalah suatu realitas di Indonesia yang praktiknya masih banyak dilakukan, bahkan oleh orang yang sudah beragama. Misalnya adanya kepercayaan Jawa Kejawen, perayaan satu Suro, ritual pemujaan untuk roh nenek moyang oleh beberapa kelompok masyarakat, dan lain sebagainya. “Kepercayaan itu bukan agama. Ini adalah tradisi yang sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang bangsa Indonesia sebelum ada agama,” ungkap Gatot. Tugas Kementerian di sini adalah membina supaya praktik kepercayaan tidak mengalami bentrokan dengan fundamentalis agama.

6 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

Anak-anak sedang memberi warna pada selembar kain dalam kegiatan belajar membatik di Museum Nasional. Menumbuhkan kecintaan pada budaya Indonesia.


sejak 2010 silam, dan saat ini telah menginaugurasikan 66 duta museum dari seluruh Indonesia. “Duta-duta inilah yang akan menjadi corong Pemerintah untuk memasyarakatkan museum,” ujarnya. Hal senada disampaikan Kacung, bahwa Kemdikbud terus melakukan modernisasi museum-museum di Indonesia, termasuk juga membangun museum baru. Menurutnya, museum yang direncanakan akan dibangun di Bogor, Jawa Barat tersebut adalah Museum Presiden. Museum itu dibangun sebagai bentuk penghormatan kepada para pemimpin bangsa ini. Selain itu, pihaknya juga akan melakukan pengembangan terhadap situs Trowulan di Mojokerto, Jawa Timur untuk mengungkap peninggalan-peninggalan sejarah pada masa kerajaan Majapahit.

FOTO: Dok. Museum Nasional

“Saya tidak ingin sekadar master plan, tetapi sekaligus dengan maket besarnya, sehingga kita tahu seperti apa rekontruksi yang kita inginkan,” tutur Kacung. Untuk mewujudkan hal ini, pihaknya akan melibatkan para arkeolog dan arsitek terkemuka sehingga diharapkan melalui rekonstruksi ini, masyarakat dapat melihat adaptasi kerajaan Majapahit di masa lalu. Pihaknya juga bekerja sama dengan pemerintah Provinsi Jawa Timur yang memiliki komitmen yang sama. Tidak terbatas pada kawasan tersebut, Ditjen Kebudayaan juga memiliki rencana melakukan revitalisasi pada kawasan lain, misalnya untuk kerajaan Sriwijaya yang saat ini dikelola dalam Taman Purbakala Kerajaan Sriwijaya. Revitalisasi terhadap situs-situs bersejarah penting untuk dilakukan agar dalam hal sejarah masa lalu, masyarakat dan pelajar tidak hanya disuguhi dalam bentuk narasinarasi. Perlu ada wujud visual untuk menjelaskan sejarah masa lalu itu kepada masyarakat . Tidak hanya itu, untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM) kebudayaan, Kemdikbud juga tengah mengindentifikasi berbagai profesi

SDM kebudayaan dan menyusun rincian kompetensinya. Dalam hal ini, Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan tengah menformulasikan kemungkinan pentingnya sertifikasi, karena banyak dari profesi SDM kebudayaan yang mempunyai tanggung jawab publik. Kacung mengatakan, Kemdikbud menjalankan program kebudayaan dengan rumus tiga plus satu. Pertama, melakukan konservasi kebudayaan, misalnya dengan melakukan pendaftaran aset-aset budaya dan perlindungan terhadap kebudayaan yang hampir punah. Kedua, pengembangan kebudayaan, misalnya dengan re-design produk budaya yang sudah ada. Ketiga, pemanfaatan produk budaya. Dan yang keempat atau plus satu adalah melakukan diplomasi budaya. Ia menjelaskan, dalam pembangunan bangsa ada tiga hal utama yang menjadi pokok. Tiga hal yang dimaksud adalah market, state, dan culture. “Budaya inilah yang diharapkan mampu menjadi fondasi dan basis bagi pembangunan karakter bangsa. Di sinilah budaya diharapkan menjadi penengah bagi dua kutub antara pasar dan negara,” jelasnya. Untuk membangun budaya Indonesia di masa depan diperlukan tiga ranah utama, yaitu ranah ide, ranah perilaku, dan ranah produk budaya. “Ketiga ranah budaya itulah yang harus dirumuskan dengan benar sehingga diharapkan di masa depan Indonesia mampu menjadi ‘Adidaya Kebudayaan’,” tandasnya. Lebih lanjut, menyadari betapa kompleks pembangunan kebudayaan Indonesia, Gatot berharap agar setiap komponen bangsa bahu-membahu dan saling mendukung segala usaha pengembangan dan pelestarian kebudayaan, sehingga hasilnya dapat dinikmati oleh generasi Indonesia mendatang. “Diharapkan dengan pengetahuan dan strategi yang tepat, kita dapat melakukan pencepatan pembangunan kebudayaan Indonesia, termasuk pembangunan manusia berbudaya,” harap Gatot.

Kurikulum Baru Salah satu hal yang segera dilakukan Kemdikbud adalah memadukan program-program kebudayaan dengan pendidikan supaya lebih serasi. “Contoh terdekat adalah kurikulum,” kata Kacung. Dalam kurikulum baru itu akan dipadukan antara pendidikan karakter dengan pendekatan kebudayaan, begitu juga dengan nilainilai sejarah. Dengan kurikulum baru ini, peserta didik akan mendapatkan mata pelajaran seni dan budaya. Lewat penambahan mata pelajaran ini, peserta didik tidak hanya mengerti tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga memahami betul etika dan estetika yang ada pada nilai-nilai budaya. Kemdikbud tentu perlu menyediakan informasi-informasi pokok mengenai kesenian dan kebudayaan. Misalnya dalam mendata kesenian Indonesia, tidak hanya dalam bentuk tulisan, tetapi juga harus divisualisasi dengan video atau semacamnya. Maka, peranan teknologi informasi dalam pembelajaran sangat diperlukan, termasuk untuk kebudayaan. Diharapkan saat menjelaskan tentang kebudayaan Indonesia, guru dapat menjelaskannya hanya dengan klik dan klik pada perangkat TIK. “Misalnya saat menjelaskan tari Saman, ketika diklik ada tulisan tentang sejarahnya, kemudian klik lagi akan muncul video yang memperlihatkan tari Saman, sehingga tahu seperti apa tarian asal Aceh tersebut,” tambah Kacung. Untuk memberikan pemahaman yang tepat dan komprehensif, Kemdikbud juga menerbitkan buku yang memuat revisi tentang sejarah Indonesia. Buku tersebut diterbitkan dalam beberapa jilid. Tahun depan, juga akan diterbitkan buku tentang sejarah Islam di Indonesia. Diharapkan para pendidik maupun masyarakat memiliki referensi dan pemahaman yang baik tentang seni dan kebudayaan Indonesia. (Arifah, Ratih, Desliana) No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 7


ASEM-CMM Tingkatkan Kualitas Pengelolaan Warisan Budaya Penyelenggaraan pertemuan menteri-menteri kebudayaan Asia dan Eropa (Asia Europe Meeting Culture Ministers’ Meeting/ASEM-CMM) diharapkan berdampak positif pada pengelolaan dan pemeliharaan warisan budaya negara-negara peserta, terutama negara sedang berkembang. Indonesia sepakat menjalin kerja sama dengan beberapa negera Eropa agar pengelolaan warisan budaya lebih terarah dan efektif.

S

ejumlah negara Asia dan Eropa berkomitmen untuk mengelola warisan budaya dan bekerja sama guna memelihara warisan budaya tersebut. Demikian hasil pertemuan menteri-menteri kebudayaan Asia dan Eropa ke-5 (Asia Europe Meeting Culture Ministers’ Meeting/ASEM-CMM), di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 17-20 September 2012. Pertemuan yang mengambil tema Managing Heritage Cities for A Sustainable Future (Mengelola Kota Sejarah Demi Masa Depan Berkelanjutan) itu dikuti 140 delegasi terdiri atas para menteri kebudayaan, wakil menteri, duta besar dan pejabat senior dari negaranegara Asia dan Eropa. ASEM-CMM ke-5 tersebut merupakan kelanjutan dari pertemuan menteri kebudayaan ASEM-CMM ke-4 di Poznan, Polandia pada 2010. Pertemuan itu juga merupakan forum diskusi untuk memecahkan berbagai masalah warisan budaya

8 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

serta mengidentifikasi pemanfaatan dari lanskap kota bersejarah (historic urban landscape) dengan manajemen berkelanjutan. Pada acara penutupan ASEM-CMM ke-5, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti, mengatakan bahwa pemerintah Indonesia akan menjalin kerja sama dengan tiga negara Eropa, yaitu Estonia, Prancis, dan Switzerland, dalam hal pengelolaan warisan budaya antar negara. Kerja sama ini memberi kesempatan Indonesia untuk menggelar pameran budaya di museum yang berada di ketiga negara Eropa tersebut. Benda-benda yang akan mendapat kesempatan untuk dipamerkan adalah benda-benda yang telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya Indonesia. “Mereka sangat menyarankan untuk memamerkan wayang, batik, dan angklung untuk Indonesia,” kata Wiendu. Selain itu, juga akan dilakukan pertukaran pengetahuan bidang manajemen warisan budaya. Perancis akan mengirimkan ahliahli manajemen permuseuman ke Indonesia untuk melakukan bimbingan teknis. Wiendu menjelaskan, pertukaran pemuda pelestari budaya juga termasuk dalam implementasi kerja sama tersebut. “Kita akan mengirimkan pegawai kita untuk mengambil master bidang manajemen permuseuman,” ujarnya. Sementera itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Mohammad Nuh, menyatakan bahwa konservasi warisan budaya menjadi

fokus perhatian pada ASEM-CMM tersebut. Bentuk konservasi yang akan dilakukan berupa konservasi secara fisik, konservasi secara nilai, dan konservasi berdampak kesejahteraan. Pada tataran konservasi berdampak kesejahteraan, Mendikbud mengatakan prinsip ekonomi kreatif menjadi faktor dominan. “Jadi, konservasi itu harus ada dampak kesejahteraan untuk rakyat,” jelasnya. Wiendu menambahkan, jumlah kota yang termasuk memiliki warisan budaya akan diperbanyak dengan rencana program pendampingan mengarah ke ekonomi kreatif. Misalnya kawasan Kota Gede dan Sawah Lunto sebagai kota yang memiliki warisan budaya. “Kota Gede dan Sawah Lunto kan termasuk kota warisan budaya. Tapi tidak semua dibuat kota budaya,” tuturnya. Keberadaan dampak kesejahteraan tidak dapat memengaruhi keputusan pelestarian suatu warisan budaya. “Ada atau tidak ekonomi kreatif di kota itu, konservasi tetap harus dilestarikan,” katanya.

Kota Warisan Budaya Mendikbud juga menyatakan sangat penting mengelola kota warisan budaya untuk masa depan yang berkelanjutan. Bukan hanya karena keindahan atau kemegahan kota warisan budaya yang patut menjadi kebanggaan generasi yang akan datang, melainkan juga yang terpenting dalah untuk menanamkan pemahaman tentang kondisi yang dapat membuat peradaban puncak. Masa depan yang berkelanjutan


FOTO: Dok. PIH

adalah lebih dari masa depan warisan budaya itu sendiri. Melestarikan peradaban dan dalam banyak hal lainnya berguna untuk menghidupkan kembali peradaban yang telah hilang atau memperbaiki peradaban yang terdegradasi. “Kita perlu mengambil pelajaran dari kesuksesan nenek moyang kita melalui warisan-warisan mereka,” katanya. Ia menyebutkan, jumlah penduduk di Asia dan Eropa sebanyak empat miliar dan merupakan 60 persen dari populasi penduduk dunia. Forum ini merupakan media terbaik untuk mempromosikan peradaban konvergensi dalam skala luas karena meliputi Asia dan Eropa, serta mewakili keragaman peradaban yang paling tua dan paling besar. Terdapat empat subtema dalam pertemuan ini. Pertama, memperkuat pemerintahan yang baik tentang kota bersejarah. Kedua, melestarikan lansekap bersejarah urban dalam merespon tantangan bencana. Ketiga, kota bersejarah sebagai pencipta ekonomi kreatif. “Bukan sekadar untuk dilindungi, tetapi bagaimana mengaitkannya dengan sektor ekonomi,” kata Mendikbud. Adapun subtema keempat adalah promosi kota bersejarah untuk membangun saling pengertian antar budaya. Wakil Menteri Kebudayaan Polandia, Monika Smolen, mengatakan bahwa

warisan budaya bukan hanya menjelaskan identitas suatu bangsa namun juga merupakan sumber pengembangan ekonomi kreatif yang merupakan sumber keuangan bagi pemerintah dan memberikan pekerjaan bagi masyarakat. “Warisan budaya merupakan sumber identitas masyarakat kita, dan sekarang warisan budaya juga merupakan faktor penting dalam pembangunan sosial dan ekonomi,” ujar Smolen. Duta Besar Nicos Panayi yang mewakili Uni Eropa mengatakan, kerja sama pengembangan kota budaya di kawasan Asia dan Eropa akan bermanfaat pada usaha menumbuhkan saling pengertian masyarakat dua benua. “Kita bisa memperdalam saling pengertian yang bisa membantu meningkatkan dialog antar agama atau kepercayaan antara masyarakat Eropa dan Asia,”ujar Panayi.

Model Keberhasilan Selain diajak mengunjungi beberapa situs kebudayaan, para delagasi ASEM-CMM mendapat jamuan makan malam di Ballroom Hotel Hyatt Regency, Yogyakarta, Senin (17/9). Jamuan itu dihadiri oleh para wakil menteri dan pejabat senior dari negara-negara anggota Asia Europe Meeting serta perwakilan dari

UNESCO, European Union dan ASEF (Asia Europe Foundation). Suasana kebudayaan Yogyakarta sangat kental mewarnai jamuan makan malam ASEM-CMM tahun ini. Hal ini ditandai dengan permainan gamelan Jawa sepanjang acara. Tari Sanding Kala, dan Gebyar Batik turut meramaikan sebagai suguhan acara. Yogyakarta dipilih sebagai tuan rumah berdasarkan fakta sejarah yang menyebutkan bahwa Yogyakarta pernah menjadi Ibukota Indonesia dan memiliki kekayaan budaya dan sejarah. Kota ini memiliki beragam situs yang telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak benda dan tak benda seperti Candi Borobudur, Prambanan dan Situs Manusia Jawa di Sangiran, serta Batik. Dan hal utama dalam hubungan Yogyakarta dengan tema dan tujuan pertemuan ASEM-CMM ini adalah Yogyakarta telah menjadi sebuah success story/model keberhasilan pengelolaan beragam situs dan bangunan bersejarah dari terpaan ancaman dinamika kegiatan ekonomi maupun bencana alam. Pada akhir acara, para delegasi kebudayaan dari negara-negara Asia, dan Eropa diberikan buah tangan khas Yogyakarta yaitu wayang kulit. (Arifah, Ratih, Gloria) No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 9


Sosialisasi Pendidikan Karakter Melalui Kesenian Tradisional

Sebagai bangsa yang kaya akan nilai dan produk budaya, Indonesia memiliki media tradisional yang beraneka ragam. Media tradisional tersebut bisa digunakan sebagai media sosialisasi kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), khususnya mengenai pendidikan karakter. 10 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

D

engan demikian, fungsi pendidikan dan kebudayaan dapat berjalan serasi untuk mencerdaskan bangsa. Tahun 2012 ini, Kemdikbud memilih beberapa media tradisional untuk menyosialisasikan kebijakannya, seperti pergelaran wayang orang, permainan tradisional, ataupun kesenian daerah lainnya. Selain menghibur, media tradisional tersebut lebih informatif karena bahasa yang digunakannya lebih sederhana sehingga pesan yang disampaikan gampang dicerna oleh masyarakat.

Pemilihan terhadap pergelaran wayang orang sebagai media sosialisasi kebijakan ini atas beberapa pertimbangan. Sebagai media komunikasi tradisional, pergelaran wayang orang misalnya, bisa dimanfaatkan untuk menyampaikan beberapa kebijakan kementerian secara persuasif. Juga memiliki sifat menghibur dan ditonton banyak orang dari berbagai kalangan. Selain itu, pergelaran wayang orang merupakan bagian dari upaya untuk menyuburkan dan mempertahankan keberadaan kesenian tradisional.


karakter yang positif. karena itu Mendikbud mengajak masyarakat untuk turut serta dalam pendidikan karakter, dengan keteladanan dan menciptakan karakter positif mulai dari lingkungan keluarga.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh sangat mendukung kegiatan kebudayaan sebagai hiburan, yang juga sebagai upaya mestarikan kebudayaan Indonesia. Pada acara yang mengambil tema “Pendidikan Karakter dan Pengembangan Kurikulum” itu, Mendikbud juga menjelaskan tentang pentingnya pendidikan karakter kepada masyarakat yang hadir dalam kesempatan tersebut.

Indonesia Berkarakter

Melalui pergelaran itu diharapkan juga dapat mewujudkan kesadaran untuk mempertahankan dan melestarikan kekayaan seni dan budaya masyarakat Indonesia.

Masih berkisar tentang sosialisasi pendidikan karakter, Kemdikbud juga menyelenggarakan sosialisasi dan kampanye media untuk program Pembangunan Karakter Bangsa tersebut mengambil tema besar, yaitu “Indonesia Berkarakter: Indonesia, Aku Bangga!” Dalam konteks sosialisasi dan kampanye media saat ini, nilai-nilai karakter bangsa dalam kehidupan keseharian dikemas dalam berbagai bentuk media seperti advertorial,

Mendikbud mengatakan, seseorang yang tidak memiliki karakter ibarat hewan-hewan dalam sebuah pertunjukan sirkus. Singa yang harusnya berkarakter garang, dalam sirkus karakternya tidak seperti yang seharusnya, yaitu menjadi jinak. “Demikian juga anak-anak muda yang harusnya kreatif dan dinamis, jika tidak mendapat pendidikan yang benar, bisa menjadi anak muda yang lemah,” ujarnya. Pemilihan tema tersebut sangat relevan dengan topik yang sedang dibicarakan oleh berbagai media maupun pemangku kepentingan pendidikan, yaitu tentang pendidikan karakter dan pengembangan kurikulum. Terkait dengan pendidikan karakter, Karakter yang sangat penting dimiliki anak didik, dan juga masyarakat Indonesia adalah kejujuran. “Dari karakter jujur ini, akan tumbuh karakter-karakter positif yang lain,” ujar Mendikbud. Oleh karena itu, pendidikan yang sedang dikembangkan di Indonesia tidak hanya bertujuan menjadikan peserta didik pintar secara intelektual, namun juga memiliki

buletin, iklan layanan masyarakat, CD, pemutaran film dokumenter, dan jingle iklan Indonesia Berkarakter. Salah satu bentuk sosialisasinya adalah dengan diskusi dan pemutaran film-film yang terkait dengan pembentukan karakter bangsa. Diskusi dan pemutaran film diselenggarakan di sejumlah kota, diantaranya Palembang, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Palangkaraya, Makassar, Denpasar, Bali, dan Jayapura. Film-film yang diputar adalah film dokumenter mengenai warisan dunia (world heritage) yang dimiliki Indonesia, seperti Subak, Batik, Wayang, Prambanan, Keris, Sangiran, dan Noken. Sebagai penerima pengakuan warisan dunia terbaru, Noken adalah budaya asli Papua dalam bidang kerajinan tas yang merupakan hasil dari daya cipta, daya rasa, dan daya karsa atas dasar kemahiran manusia. Para perajin Noken mengasah kemampuan dalam membuat Noken dan kerajinan tangan lainnya bersama masyarakat

FOTO: Dok. PIH

FOTO: Dok. PIH

Pergelaran wayang orang di Alunalun selatan Keraton Yogyakarta, Sabtu (1/12) malam lalu, ditonton ribuan orang. Pergelaran yang dibawakan Sanggar Kesenian Tresno Budoyo yang dipimpin Yati Pesek itu membawakan lakon Kresna Duta. Cerita ini berkisah tentang Kresna sebagai duta keluarga Pandawa yang datang ke Astina, membahas perdamaian antara Pandawa dan Kurawa.

Sekelompok anak bermain gasing. Salah satu bukti, permainan tradisional masih disukai dan lestari.

No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 11


FOTO: Yus PIH

Pertunjukan teater dalam Festival Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) 2012 di Mataram, NTB. Menumbuhkan kepercayaan diri, sportivitas, dan keberanian.

adat Papua dari masa ke masa. Di setiap wilayah Papua, Nokennya pun memiliki ciri tersendiri. Di samping pembuatan produk yang bertemakan Indonesia Berkarakter, dilakukan kampanye program tersebut ke lima provinsi di luar Jakarta, seperti Palangkaraya, Jayapura, Palembang, Makassar, dan Bali. Kampanye tersebut melibatkan para remaja, siswa SMP dan SMA, serta guru-guru pendamping. Upaya diseminasi dilakukan pula dalam bentuk talkshow di beberapa stasiun televisi dan radio. Dari talkshow tersebut terlihat hasrat masyarakat membangkitkan kembali nilai-nilai kearifan lokal untuk menguatkan karakter bangsa.

12 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

Wamendikbud Bidang Kebudayaan, Wiendu Nuryanti, melalui Direktur Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya, Diah Harianti di Jakarta, pada Sabtu (1/12), mengatakan bahwa keberadaan Ditjen Kebudayaan di bawah Kemdikbud menjadi momen penting untuk mendorong kebangkitan karakter bangsa, khususnya bagi generasi muda sebagai pilar utama pembangunan. Generasi muda Indonesia diharapkan bersemangat meningkatkan kerja sama antar semua golongan dan mewujudkan Indonesia Berkarakter, Indonesia Beretika, dan Indonesia Berestetika. Sementara itu pada kesempatan yang bebeda, dalam pembukaan Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional

(FLS2N) di Balai Sarbini, Jakarta, Kamis (8/11), Direktur Jenderal Pendidikan Dasar (Dirjen Dikdas) Kemdikbud, Suyanto, mengatakan, bahwa pendidikan karakter dapat tersosialisasi dengan baik melalui kegiatan kesenian seperti musik. Misalnya melalui lirik bertemakan pendidikan, nilai-nilai seperti kejujuran, saling menghormati, dan kedisiplinan, mudah terinternalisasi kepada para pendengarnya. Dalam sambutannya, Suyanto menyatakan bahwa kegiatan positif yang berlangsung secara berkelanjutan seperti pergelaran musik FLS2N ini diharapkan mampu menyiapkan dan menyambut Bangkitnya Generasi Emas Indonesia menyongsong 100 Tahun Indonesia


Merdeka tahun 2045 sebagai generasi yang berkepribadian Pancasila, menyayangi sesama, dan taat pada ajaran Tuhan Yang Maha Kuasa. Demikian pula dengan penyelenggaraan Festival Permainan Tradisional yang berlangsung di Yogyakarta, 16-19 November 2012 lalu dinilai efektif untuk menyosialisasikan kebijakan Kemdikbud. Penyelenggaraan festival ini berada di bawah Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemdikbud.

Ditemui saat rekaman talkshow di studio MetroTV, Rabu (7/11), Gendro mengatakan, salah satu tujuan Festival Permainan Tradisional ini adalah untuk melestarikan nilainilai luhur warisan budaya Indonesia yang terkandung dalam pengetahuan tradisional dan mengekspresikan budaya tradisional, sehingga dapat memperkuat karakter dan jati diri bangsa, terutama generasi muda. Peserta festival terdiri dari guru, peserta didik (siswa SD dan SMP), perajin permainan tradisional, praktisi, dan komunitas permainan tradisional. Pelaksanaan festival yang banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai kalangan ini juga diharapkan dapat

membuat orang tua mau memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dalam berekspresi dengan memainkan permainan tradisional. Selain itu, dengan mengundang guru-guru dari berbagai daerah, diharapkan guruguru juga turut memperkenalkan beragam permainan tradisional kepada peserta didiknya sekembalinya ke daerah asal. Metode mengajar untuk pendidikan karakter pun bisa dilakukan dengan menggunakan permainan tradisional, mulai dari membuatnya, hingga memainkannya. Demikian berbagai upaya penerapan pendidikan karakter yang dilakukan Kemdikbud dengan menggunakan media tradisional. Tentunya Kemdikbud juga terus melakukan upaya-upaya lainnya dengan memanfaat media cetak, elektronik, maupun internet dan lain sebagainya sehingga berbagai kebijakan dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. (Arifah, Desliana, Nur W)

FOTO: Yus PIH

Terkait dengan pendidikan karakter melalui permainan tradisional, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME dan Tradisi, Gendro Nurhadi, mengatakan ada unsurunsur positif dalam permainan tradisional, misalnya kebersamaan, kepemimpinan, sikap menerima kekalahan, dan tenggang rasa.

Keberadaan permainan tradisional memang saat ini telah tersisih oleh perkembangan teknologi, sehingga banyak anak-anak yang lebih suka bermain gadget.

Pameran hasil kreativitas peserta didik dalam Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional.

No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 13


Menjawab Tantangan Globalisasi

Kompetensi SDM Sebagai Kunci Oleh: Shabri Aliaman Kepala Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

P

embangunan manusia pada dasarnya adalah pembangunan akhlak, watak, dan perilaku budaya yang mendukung kemajuan bangsa. Untuk itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) sangat diperlukan dalam membangun bangsa, termasuk pengembangan SDM di bidang kebudayaan. Pengembangan SDM Kebudayaan memiliki tujuan strategis, yaitu ketersediaan peningkatan kapasitas dan profesionalisme SDM Kebudayaan, peningkatan kapasitas pengelolaan sumber daya budaya, dan pengembangan kemitraan antara pemerintah pusat dan daerah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengelola SDM Kebudayaan melalui Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan di bawah Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan (BPSDMPK-PMP). Sesuai dengan yang tertuang pada Permendikbud Nomor 1 Tahun 2012, Pusat Pengembangan SDM Kebudayaan mempunyai tugas dan fungsi melaksanakan penyusunan bahan kebijakan teknis dan pengembangan SDM Kebudayaan, termasuk menyusun kebijakan tentang pengembangan SDM dan menyusun program-program

14 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

pengembangan SDM. Namun yang terpenting adalah program koordinasi pelaksanaan peningkatan kompetensi dan fasilitasi pelaksanaan peningkatan kompetensi dan sertifikasi SDM Kebudayaan. SDM Kebudayaan adalah setiap orang yang bekerja di sektor kebudayaan, baik PNS maupun non PNS. Terdapat 52 unit kerja bidang Kebudayaan, terdiri dari 11 unit utama, 14 Balai Pelestarian Cagar Budaya, 11 Balai Pelestarian Nilai Budaya, 6 museum-museum khusus, dan 10 Balai Arkeologi. Hasil rekapitulasi jumlah SDM dari ke-52 unit kerja tersebut tercatat lebih dari 6.100 SDM Kebudayaan yang terdiri dari 63 persen PNS dan 37 persen aparat sipil negara tidak tetap (data per 3 Desember 2012).

Pelatihan Berbasis Kompetensi Keberagaman aspek budaya membutuhkan SDM yang kompeten, terutama di era globalisasi yang mengharuskan setiap tenaga kerja melaksanakan pekerjaannya secara konsisten dan efisien sesuai dengan standar kerja yang telah ditetapkan. Setelah ragam profesi terpetakan, Pusat akan segera melakukan peningkatan kompetensi SDM, salah satunya dengan melakukan Pelatihan Berbasis Kompetensi.

Terdapat sekitar 136 ragam profesi SDM Kebudayan, diantaranya profesi: arkeolog, kurator, konservator, pemandu, pamong budaya, peneliti, registrator, juru pelihara, peneliti, dosen ilmu budaya, dan lain sebagainya.

Mengacu pada Kepmendiknas RI Nomor 045/U/2002, bahwa yang dimaksud dengan kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggungjawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas di bidang pekerjaan tertentu. Dalam hal ini, kompetensi di bidang kebudayaan adalah seperangkat pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang menyangkut dengan pengetahuan, sikap dan keterampilan, khususnya disektor kebudayaan.

Saat ini, Pusat juga tengah mengkaji apakah SDM bahasa masuk dalam kategori SDM Kebudayaan karena bahasa merupakan salah satu aspek kebudayaan terutama menyangkut kesastraan dan tradisi lisan.

Sebelumnya pada saat masih bergabung di Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, pola peningkatan kompetensi lebih mengacu pada bagaimana menjadi tenaga terampil kebudayaan dalam


hal daya tarik wisata. Tapi sekarang ini, di Kemdikbud menjadi lebih fokus pada bagaimana kekayaan dan keragaman budaya itu menjadi bagian yang sangat penting dalam hal pembangunan karakter bangsa, selain kepentingan pada tempat mereka bekerja. Misalnya juru pelihara yang tugasnya memelihara cagar budaya. Untuk itulah sangat penting dilakukan pelatihan berbasis kompetensi, yang sebelumnya perlu didahului dengan identifikasi kebutuhan pelatihan, pemilihan bentuk dan jenis pelatihan, penyusunan silabus pelatihan, pnyusunan modul pelatihan, maupun penyusunan metodologi pembelajaran. Selain itu perlu juga disediakan dan dibina tenaga fasilitator/instruktur yang berkualitas, menyusun persyaratan peserta pelatihan, dan juga menyediakan fasilitas pelatihan.

kegiatan dengan UPT PPPPTK Seni dan Budaya. Meskipun demikian, Pusat tidak berkecimpung dalam pemenuhan kuantitas guru tapi lebih memperlihatkan kualitas sesuai dengan tugas dan fungsi Pusat, yaitu peningkatan kompetensi. Namun demikian, substansi bidang kebudayaan itu tidak hanya pada ilmu sosial saja, tetapi juga menargetkan guru-guru IPA dan Matematika untuk mengikuti pelatihan. Apalagi dalam kurikulum 2013 yang sedang disusun. topik-topik pembelajaran di sekolah akan berdasarkan tema tertentu yang dikaitkan dengan kebudayaan terutama yang terkait dengan nilai budaya dan kearifan lokal.

Dasarnya adalah kebudayaan itu erat kaitannya dengan pembentukan karakter. Oleh karena itu, ada materi kebudayaan yang bisa diintegrasi untuk disisipkan. Selanjutnya Pusat akan membuat pedoman penilaian kinerja bagi SDM Kebudayaan. Penilaian disini bukan berarti menilai peserta didik itu lulus atau tidak lulus, berhasil atau tidak berhasil. Tetapi yang terpenting dengan penilaian ini adalah akan terpetakan kompetensi yang dimiliki oleh SDM Kebudayaan. Jika sudah terpetakan, maka Pusat dapat mengetahui pelatihan berbasis kompetensi apa yang akan diberikan kepada mereka.

Langkah awalnya adalah melakukan training of trainers (TOT) dimana para pelatih (trainer) itu yang akan menyebarkan ilmunya ke SDM Kebudayaan di daerah. Para pelatih tersebut bisa saja berasal dari perguruan tinggi, UPT Kebudayaan, ataupun Widyaiswara. Ini atas dasar pengembangan ilmu tidak hanya mencakup ilmu mengetahuan menurut bidangnya, tapi juga harus ada unsur edukasi. Pengembangan harus membuat orang dari suatu kondisi ke kondisi yang lebih bagus. Pasti di dalamnya terdapat proses edukasi yang dedaktif metodik.

Oleh karena itu dalam implementasinya, akan ada integrasi

FOTO: Dok. PIH

Selain itu, untuk peningkatan kompetensi, Pusat juga bisa melakukan berbagai kerja sama dengan pemerintah daerah untuk pengembangan pelatihan SDM Kebudayaan di daerah atau unit pelaksana teknis lainnya di seluruh Indonesia. Kedepannya, pada 2013, akan diselenggarakan peningkatan kompetensi bidang Kebudayaan khususnya bagi guru mata pelajaran, guru kesenian, sejarah, antropologi, dan lain sebagainya dalam lingkup satuan pendidikan. Guru tari sedang mengajarkan gerakan tari Bali. Kompetensi guru menentukan kualitas peserta didik.

No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 15


pengetahuan, dan keterampilan. Aspek-aspek inilah yang didapat melalui pemahaman kebudayaan. Dengan dikawalnya pengetahuan oleh etika dan estetika, diharapkan akan lahir manusia Indonesia yang berpengetahuan dan beradab. Benang merahnya adalah aspek tersebut yang harus kita perhatikan dalam memanusiakan manusia. Pendidikan itu sendiri adalah proses pendewasaan. Belajar dari keberhasilan Jepang yang mengawinkan ilmu dengan kebudayaannya. Pengembangan ilmunya sangat memperhatikan kearifan lokal. Di Indonesia, pernah mengalami masa ketika mata pelajaran hanya ditujukan pada pencerdasan otak. Padahal pencedasan otak perlu diimbangi dengan etika dan estetika. Mereka yang dicerdaskan otaknya semata melahirkan manusia-manusia mesin. Sementara dengan etika dan estetika, akan membentuk manusia berbudaya yang bermanfaat bagi kehidupan masyarakat dan lingkungannya.

FOTO: Dok. PIH

Kemdikbud saat ini sedang menyusun kurikulum baru dengan mamasukkan mata pelajaran Seni dan Budaya sebagai salah satu mata pelajaran wajib. Tidak hanya itu, aspek-aspek kebudayaan juga akan disisipkan dan mewarnai mata pelajaran lainnya.

Seorang bocah sedang belajar mendalang dengan memainkan gunungan wayang. Menanamkan kecintaan terhadap seni tradisional sejak dini.

Manusia Berbudaya Berbicara mengenai pelestarian kebudayaan, yang sangat utama adalah SDM-nya, atau man behind the gun. Dalam hal ini tentunya melalui SDM Kebudayaan yang kompeten akan terjadi keberlangsungan pelestarian kebudayaan yang baik dan menjadi bagian penting untuk dunia pendidikan, terutama dalam Desember 2012 2012 16 DikbuD • No. 06 Tahun III • November

peneguhan jati diri dan karakter bangsa, bermartabat dan berbudaya. Manusia yang berbudaya adalah manusia yang berpengetahuan, memiliki keterampilan, dan memiliki sikap dan tingkah laku terpuji. Katakanlah untuk membentuk manusia yang berpengetahuan dan bermartabat perlu diiringi dengan pengembangan etika, estetika,

Memang membutuhkan waktu lama untuk membentuk generasi berbudaya. Setidaknya 35 tahun baru terlihat bentuk generasi yang kita cetak mulai saat ini. Tentu kita tidak boleh menunda lagi persoalan pendidikan dan kebudayaan. Dengan memulai dari sekarang, kedepannya generasi penerus dapat lebih berkarakter. Baik berkarakter di lingkungan sekolah maupun di dalam rumah tangga dan masyarakat. Itulah generasi yang kita didam-idamkan. (Ditulis ulang oleh Arifah dari wawancara di Jakarta, 5 Desember 2012)


Auliana Muharini:

Arkeologi untuk Memahami Kearifan Lokal Masa Lalu M

emahami masa lalu memberi pelajaran kepada manusia agar bijak dalam menyikapi masa kini dan masa depan. Namun, memahami nilai dan kearifan lokal masa lalu sebuah bangsa memerlukan ilmu tersendiri. Salah satu ilmu itu adalah arkeologi. Ilmu ini beriringan dengan ilmu-ilmu lainnya, sehingga hasil penelitian menjadi komprehensif dan dapat dijadikan rujukan mengenal asal usul suatu kebudayaan. Berikut penuturan seorang arkeolog muda, Auliana Muharini, yang saat ini bekerja sebagai staf pada Pusat Arkeologi Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), kepada wartawan Majalah Dikbud, Arifah: Arkeologi termasuk bidang ilmu yang jarang diminati, mengapa Anda tertarik mempelajarinya? Pada awalnya, saya merasa hal yang luar biasa ketika mengunjungi candi-candi di Jawa, seperti Candi Borobudur dan Prambanan. Candicandi Buddha dan Hindu dari masa kerajaan Mataram Kuno yang pembangunannya tentu membutuhkan waktu yang lama serta menggunakan teknologi yang lebih sederhana dibanding saat ini, namun tetap tidak mengurangi nilai sakral dari agama yang diwakilinya. Saya melihat masih banyak candi yang tersisa hingga saat ini walau mungkin hanya berupa reruntuhan

saja. Hal ini sekaligus menjadi bukti betapa hebatnya nenek moyang kita pada masa lalu. Kemegahan dan keanggunan candi-candi itu membuat saya penasaran dengan ada cerita apa di balik mahakarya itu. Kemudian saya memutuskan untuk mempelajari lebih dalam dengan mengambil kuliah S1 Jurusan Arkeologi, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Lalu, apa yang didapat dari bangku kuliah? Saya akhirnya menyadari, bahwa arkeologi juga menjangkau semua bidang ilmu, seperti ilmu arsitektur, sejarah, bahasa dan sastra, geologi, dan banyak lagi. Ilmu-ilmu itulah yang pada akhirnya akan mendukung perkembangan ilmu arkeologi itu sendiri. Hasil penelitian pun menjadi lebih komprehensif dan tingkat reliabilitasnya tinggi karena dapat dilihat dari berbagai sisi. Jadi, sebagai arkeolog, kami tidak hanya menguasai satu ilmu, tapi juga harus menguasai ilmu-ilmu lainnya. Penelitian apa yang saat ini Anda lakukan? Saat ini saya beserta tim dari Pusat Arkeologi Nasional sedang melakukan penelitan bangunan-bangunan keagamaan di wilayah di Trowulan, Jawa Timur. Pada tahun 2012 ini, saya juga telah melakukan penelitian mengenai hari jadi Kota Jombang, penelitian peradaban Hindu-Budha di kabupaten Blora, dan interaksi masyarakat terhadap Makam-makam

Kesultanan Palembang. Tahun lalu, saya melakukan penelitian ragam hias di candi-candi di daerah Prambanan dan sekitarnya. Apa arti penting penemuanpenemuan arkeologi? Salah satu paradigma arkeologi adalah untuk merekonstruksi kehidupan nenek moyang kita di masa lampau. Para leluhur kita ternyata telah mampu menciptakan suatu tatanan kehidupan yang cukup kompleks, yang banyak diwujudkan dalam bentuk fisik (artefak) maupun non-fisik (sistem budaya). Banyak di antaranya yang masih bisa dilihat hingga saat ini. Di sinilah arkeologi turut memberikan peranan, dimana banyak tinggalan-tinggalan masa lampau berhasil diungkap kembali melalui berbagai penelitian arkeologi yang telah dilakukan. Siapa tokoh-tokoh arkeologi yang Anda segani? Banyak. Beberapa di antaranya yang dari dalam negeri adalah Bapak Poerbatjaraka, Bapak R. Soekmono, dan Bapak Boechari. Sedang yang dari luar negeri, J.L.A. Brandes, Peter Belwood, dan Th. Pigeaud. Tertarik melakukan penelitian dengan tim internasional? Ingin sekali. Jika memang ada kesempatan untuk melakukan penelitian dengan para peneliti luar, tentu saja bersedia. Tapi tentunya No. No. 06 06 Tahun Tahun III III • November Desember 2012 •

DikbuD 17


FOTO: Auliana

Aktivitas para arkeolog pada saat ekskavasi lokasi penemuan benda purbakala. Masih banyak peninggalan sejarah yang belum tergali.

harus melalui peraturan dan prosedur yang berlaku di lembaga saya bekerja. Menurut Anda, apa yang harus dikembangkan lagi oleh Pusat Arkeologi Nasional? Pertama, saya berharap ada pengembangan sarana dan prasarana yang lengkap yang dapat menunjang kegiatan penelitian arkeologi. Kemudian kedua, peningkatan pembinaan sumber daya manusia, baik bagi para peneliti maupun nonpeneliti agar bisa saling mendukung dan memperlancar kegiatan penelitian ke depannya. Ketiga, lebih ditingkatkan lagi publikasi penelitian agar masyarakat dapat menerima informasi baru dan merasakan manfaatnya. Suka duka menjadi arkeolog? Sukanya saya bisa mengunjungi berbagai tempat di Indonesia, bahkan hingga yang terpencil sekalipun.

18 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

Mendapatkan perspektif baru mengenai budaya yang berkembang di suatu wilayah. Saya juga bisa bertemu dengan tokoh-tokoh penting yang mungkin di luar kepentingan arkeologi hal itu tidak bisa dilakukan. Dan tentunya mendapatkan tambahan pengetahuan ilmu baru. Dukanya ternyata juga banyak, terutama penelitian di musim hujan. Penelitian saya dan tim yang terakhir di Trowulan adalah di lahan terbuka, hampir tiap hari akan turun hujan dengan intensitas yang tinggi, ditambah petir yang menurut warga memang sangat berbahaya. Jadilah kami sempat tiarap dan kabur tiap kali ada petir. Atau ketika kotak ekskavasi kami harus digusur karena si pemilik lahan akan menanaminya dengan pohon sengon. Akhirnya kami pun mesti berpindah ke kotak ekskavasi lain.

Di Blora, kami ekskavasi di dalam hutan jati yang letaknya cukup jauh dari permukiman penduduk. Beberapa hari kami mesti berjalan kaki menuju ke lokasi sebelum akhirnya kami ikut numpang motor para tenaga lokal di sana. Meski demikian, hal-hal itulah yang membuat penelitian arkeologi itu sangat menarik dan mungkin bisa dibilang penuh tantangan. Benarbenar merupakan suatu pengalaman yang sangat berkesan. Apa harapan Anda terhadap generasi muda di Indonesia? Saya berharap generasi muda mau mengenal dan menyintai budaya bangsa sendiri, salah satunya melalui arkeologi yang kaya akan nilai-nilai. Agar juga tidak melakukan kegiatan vandalisme yang bersifat merusak tinggalan-tinggalan arkeologi yang ada pada saat ini. (*)


Cagar Budaya dan Museum sebagai Wahana Edukasi Publik Oleh: Surya Helmi Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

S

esuatu yang dihasilkan manusia di masa lampau berupa warisan budaya bersifat kebendaan, mengandung nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan, dapat dikatakan cagar budaya. Setidaknya, inilah definisi cagar budaya menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Yang termasuk cagar budaya, antara lain: Benda Cagar Budaya, Bangunan, Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan atau di air. Tapi perlu diingat, tidak semua benda berumur 50 tahun disebut cagar budaya jika tidak memenuhi persyaratan-persyaratan tersebut. Istana Pagaruyung, misalnya, tidak dapat disebutkan cagar budaya tetapi lebih tepat sebagai bangunan budaya. Hal ini dikarenakan tidak terdapatnya dokumen yang menuliskan keberadaan Kerajaan Minangkabau. Memang ada cerita turun temurun dalam bentuk bahasa lisan “Tambo”, namun bahasa tutur ini tidak kuat disebut sebagai bukti sejarah. Bahkan, menurut pakar, Tambo 80 persennya berupa dongeng yang akurasinya berbeda dengan dokumen tertulis. Beda halnya dengan Kerajaan

Sriwijaya yang memang sudah terbukti keberadaannya melalui berbagai prasasti yang ditemukan di berbagai tempat. Mengingat pentingnya cagar budaya ini, Undang-undang pun mengamanatkan untuk senantiasa melestarikan dan mengelola cagar budaya dengan tepat melalui berbagai upaya perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan dalam memajukaan kebudayaan nasional, dan tentunya sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) memberikan wewenang pengelolaan cagar budaya kepada setiap unit pelaksana teknis (UPT) pusat di daerah, seperti Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, dan lain sebagainya.

Sesuatu yang dihasilkan manusia di masa lampau berupa warisan budaya bersifat kebendaan, mengandung nilai sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/ atau kebudayaan melalui proses penetapan, dapat dikatakan cagar budaya.

Indonesia memiliki banyak sekali cagar budaya yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Ada yang sudah diusulkan kepada UNESCO sebagai warisan dunia, di antaranya Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan yang baru-baru ini diakui adalah lansekap budaya Subak di Bali dan Noken Papua. Namun disayangkan, jumlah yang diakui tersebut sangatlah tidak sebanding dengan No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 19


FOTO: Singgih, PIH

Pengunjung mengamati kereta kencana. Membiasakan mengunjungi tempat-tempat bersejarah dapat menambah kekaguman terhadap nenek moyang.

jumlah cagar budaya di Indonesia. Padahal keuntungan yang didapat dari terdaftarnya sebagai warisan budaya adalah terpublikasikannya cagar budaya Indonesia dan turut sertanya masyarakat global untuk memeliharanya. Konsep pengelolaan cagar budaya diarahkan pada pemeliharaan, perlindungan, dan pemanfaatan cagar budaya. Misalnya, masyarakat dapat memperoleh manfaat ekonomi dan sosial dari suatu pemugaran candi di sekitar tempat tinggalnya. Juga, tentunya sektor pariwisata juga akan ikut berkembang. Pengalaman membuktikan, dulu ketika masa awal pemugaran Borobudur, belum

20 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

terfikirkan oleh masyarakat sekitar akan arti penting pemanfaatan ekonomi. Tetapi dengan berjalannya waktu, muncul paradigma baru ketika masyarakat sadar akan kemanfaatan keberadaan candi sebesar-besarnya. Disini kemudian roda perekonomian berputar. Dengan paradigma ini, baik pemerintah pusat maupun daerah berkewajiban melakukan pemeliharaan cagar budaya di daerahnya masing-masing dan didukung dengan penganggaran yang jelas. Disisi lain, masyarakat pun berkewajiban untuk mendukung pemeliharaan terhadap cagar budaya yang memberikan keuntungan baik

keuntungan sosial maupun material. Namun demikian, kendala yang terjadi adalah belum adanya peraturan pemerintah (PP) turunan dari Undang-undang Cagar Budaya. Jadi operasional di lapangan agak tersendat, walaupun PP lama belum ditarik. Keterbatasan jumlah tim ahli cagar budaya bersertifikat, baik tingkat daerah maupun nasional, menjadi kendala lain dalam upaya registrasi cagar budaya. Padahal tim ahli inilah yang sangat dibutuhkan untuk memberikan rekomendasi dan menverifikasikan cagar budaya yang diajukan perorangan atau daerah untuk diregistrasi. Tentu tidak ada yang berharap kehilangan


hanya karena sikap kurang peduli terhadapnya, karena kehilangan cagar budaya berarti kehilangan identitas diri.

Memasyarakatkan Museum Sebagai langkah pelestarian cagar budaya dan pemasyaratan museum, Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemdikbud terus berupaya menjalankan tugas dan fungsinya, mulai dari melaksanakan perumusan, koordinasi, dan pelaksanaan kebijakan, serta memfasilitasi penerapan standar teknis di bidang pelestarian cagar budaya dan permuseuman. Termasuk menjalankan salah satu fungsi yang sangat vital, yaitu pengelolaan register nasional dan eksplorasi cagar budaya di air. Direktorat ini, melalui UPT di daerah, juga terus memasyarakatkan dan memperkenalkan museum terhadap masyarakat usia dini, diantaranya ke sekolah-sekolah dasar di daerah. Pemaknaan integrasi pendidikan dan kebudayaan inilah yang berperan penting dalam menggeser makna museum dari hanya sebagai pelengkap menjadi media pembelajaran kearifan lokal. Beasiswa S-2 pun disediakan bagi mereka yang berminat melanjutkan pendidikan di jurusan museum.

pengetahuannya, dari tidak tahu menjadi tahu. Hal ini mengingat setiap benda cagar budaya di museum menyiratkan kearifan lokal bangsa Indonesia. Apalagi saat ini museum menjadi ikon kebudayaan. Pemerintah terus menggalakkan dan memasyarakatkan museum yang belum dijadikan prioritas oleh masyarakat. Mulai 2010 dicanangkan tahun kunjungan museum. Bantuan untuk merevitalisasi museum, baik museum milik pemerintah maupun swasta, terus dialirkan. Namun, tentunya banyak permasalahan yang menyertai upaya tersebut, mulai dari manajemen museum, tata letak benda, sampai pemberian label (caption) yang kerap kali kurang bercerita. Untuk itu, pembinaan di seluruh museum pemerintah di Indonesia pun terus dilakukan, seperti melakukan berbagai pelatihan, lokakarya (workshop), bimbingan, penyuluhan tata pameran, bagaimana menata pameran dengan baik, penulisan label dengan baik, dan lain sebagainya.

Bentuk upaya lain dalam memasyarakatkan museum adalah membangun beberapa museum di daerah. Museum Maritim di Pulau Belitung misalnya, sekarang sedang dibangun. Penunjukan Belitung sebagai tempat Museum Maritim ini berdasarkan fakta banyak ditemukan kapal karam di sekitar Belitung. Di masa lalu, perairan Belitung menjadi jalur pelayaran internasional. Museum Perang Dunia II juga akan dibangun di Pulau Morotai, mengingat pada PD II Jenderal McArthur mempunyai kamp di sana. Pulau ini memiliki tujuh landasan pesawat perang peninggalan PD II. Kemudian, di Sumatera Barat juga akan didirikan Museum Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang menandakan sejarah politik Indonesia terukir di tempat itu. Segala upaya tersebut tidak lain untuk membangun karakter bangsa yang berbudaya. Kita berharap, generasi mendatang tidak kehilangan akar budaya adiluhung warisan nenek moyang. Semoga. (Ditulis ulang oleh Arifah dari wawancara di Jakarta, 20 November 2012)

Idealnya, museum adalah sebagai pusat ilmu pengetahuan dan edukasi publik. Masyarakat yang berkunjung ke museum diharapkan bertambah

FOTO: Arifah PIH

Selain itu, Direktorat banyak melakukan gebrakan dalam memasyarakatkan museum, mulai dari pameran Museum Nusantara di JCC Jakarta, penganugerahan duta museum, talkshow di televisi bersama Slamet Raharjo, dan pameran museum di puast perbelanjaan. Upaya jemput bola seperti itu diharapkan dapat menimbulkan ketertarikan masyarakat untuk mengunjungi museum. Setidaknya, masyarakat melirik pameran tersebut sebagai awal yang sangat baik untuk kemudian menimbulkan niat untuk berkunjung ke museum.

Sampai saat ini Ogoh Ogoh, yang diselenggarakan sehari sebelum Nyepi, masih tetap abadi sebagai tradisi masyarakat Bali. Tradisi yang menarik wisatawan. No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 21


Menjadikan Museum sebagai Kebutuhan Masyarakat Oleh: Intan Mardiana Kepala Museum Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

M

useum adalah lembaga tetap, nirlaba, terbuka untuk umum, melayani kebutuhan masyarakat dengan cara mengumpulkan, memelihara, meneliti, mengomunikasikan, dan memamerkan benda peninggalan tak benda (tangible) maupun tak benda (intangible) untuk tujuan studi, edukasi, dan kesenangan. Demikian pengertian museum yang diberikan International Council of Museums (ICOM) atau Dewan Internasional Museum. Pengertian ICOM tentang museum itu diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.19 Tahun 1995, yang menyebutkan bahwa museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. Dari PP tersebut, digambarkan bahwa museum berperan dalam mengumpulkan informasi tentang warisan budaya dan warisan alam dimana museum tersebut berada, menyimpan dan memelihara koleksi untuk kepentingan masyarakat dan perkembangannya, melakukan penelitian dan menyebarluaskan hasil penelitian kepada masyarakat, serta mengomunikasikan koleksi benda dan tak benda melalui berbagai pameran dan aktivitas lain. Khususnya perannya dalam bidang pendidikan, museum dapat dijadikan sebagan tempat peserta didik menyelenggarakan aktivitas budaya dan sosial, sarana belajar nonformal,

22 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

dan sebaliknya, sekolah dapat berperan mendukung secara aktif untuk “menghidupkan� kembali peran museum. Atau idealnya, museum memiliki peran strategis untuk mencerdaskan bangsa, kepribadian bangsa, ketahanan nasional, dan wawasan Nusantara. Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau lebih dikenal saat ini dengan Museum Nasional, didirikan pada 24 April 1778 oleh Belanda sebagai bentuk kecintaannya terhadap pengetahuan dan kebudayaan Indonesia. Sejak tahun 1871, Museum Nasional menjadi lebih dikenal dengan Museum Gajah karena diletakkannya patung perunggu berbentuk gajah hadiah dari Raja Thailand, Raja Chulalongkorn. Sejak 28 Mei 1979, nama resmi museum ini ditetapkan sebagai Museum Nasional. Pemerintah Indonesia pun terus berupaya mendirikan museum-museum tingkat provinsi. Jika dilihat dari sejarahnya, museum pada zaman sebelum kemerdekaan yang didirikan oleh pemerintah kolonial bertujuan untuk kepentingan ilmu pengetahuan yang menunjang politik kolonial. Ini dilakukan penjajah dalam usahanya tidak hanya untuk mempertahankan wilayah jajahan melalui aspek kebudayaan, tetapi juga memang dasar kecintaan mereka terhadap kebudayaan Indonesia. Jumlah koleksi cukup banyak dan disajikan dengan konsep tata pameran di Eropa. Koleksikoleksinya pun saat itu dibagi ke museum di Amsterdam dan Leiden. Sementara itu, setelah kemerdekaan,


FOTO: Dok. Museum Nasional

Sekelompok pengunjung Museum Nasional, di Jakarta, mengamati sebuah benda peninggalan sejarah. Jumlah kunjungan ke museum diharapkan terus meningkat.

museum kemudian bertujuan untuk kepentingan pelestarian warisan budaya dalam rangka pembinaan dan pengembangan kebudayaan bangsa, dan sebagai sarana pendidikan nonformal. Jumlah koleksi yang terbatas dan dipamerkan untuk kepentingan bangsa dalam rangka penanaman rasa kebangsaan, kecintaan dan jati diri bangsa. Museum dijadikan tempat pembelajaran nonformal bagi masyarakat, karenanya koleksi yang dipamerkan harus otentik, informasinya benar, dan hasil penelitiannya pun harus benar. Visi Museum Nasional adalah “Terwujudnya Museum Nasional sebagai pusat informasi budaya dan pariwisata yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan peradaban dan kebanggaan terhadap kebudayaan national, serta memperkokoh persatuan dan persahabatan antar bangsa.”

Revitalisasi Museum Gerakan Nasional Cinta Museum telah digulirkan sejak 2009 seiring dengan Tahun Kunjung Museum 2010-2014 (visit museum year). Gerakan ini untuk memperkokoh fungsi museum sebagai media universal dalam pelestarian warisan budaya, wahana pembelajaran masyarakat, dan objek wisata yang edukatif. Program ini didukung dengan berbagai kegiatan di museum di seluruh Indonesia, yang tentunya bertujuan memperbesar jumlah pengunjung serta meningkatkan apresiasi dan kepedulian masyarakat terhada warisan budaya bangsa. Museum pun harus terus berbenah diri menjadi lebih semarak dan “hidup” dalam pengelolaannya.Saat ini, di Indonesia terdapat 283 museum yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun sangat disayangkan keberadaannya secara umum

belum mampu memenuhi keinginan masyarakat secara optimal. Menilik situasi demikian, pemerintah terus melakukan berbagai upaya untuk mengoptimalkan fungsi museum bagi masyarakat. Salah satu yang dilakukan adalah revitalisasi museum sebagai upaya meningkatkan kualitas museum dalam melayani masyarakat dan menjadikan museum sebagai “kebutuhan” untuk dikunjungi. Nantinya, selain sebagai ruang pamer, museum-museum di Indonesia juga dapat menjadi sarana edukasi dan rekreasi berkualitas yang diapresiasi dan mampu menginspirasi masyarakatan untuk melestariakn dan mengembangkan nilai-nilai budaya. Selain itu, dengan revitalisasi ini diharapkan dapat menjadikan museum sebagai pranata sosial yang mampu membangkitkan kebanggaan setiap warga negara sehingga dapat memperkukuh jati diri bangsa. No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 23


Setidaknya ada enam aspek revitalisasi museum, yaitu fisik, manajemen, program, jejaring, kebijakan, dan pencitraan. Pertama, tampilan fisik museum dibuat menjadi lebih menarik, misalnya dengan melakukan penataan interior (renovasi ruang pameran tetap, penataan ruang penyimpanan koleksi (storage), laboratorium, ruang pengenalan, dan bengkel kerja preparasi), penataan eksterior (penataan taman, pembuatan papan nama museum, penanda, kalender acara), dan rehabilitasi fisik (fasilitas penunjang dan perluasan bangunan museum). Kedua, aspek manajemen dengan meningkat profesionalisme dalam pengelolaan museum dan pelayanan pengunjung. Oleh karena itu, perlu dilakukan manajemen koleksi, sumber daya manusia (SDM), keuangan, dan layanan pengunjung. Ketiga, aspek pengembangan program-program yang inovatif dan kreatif sehingga tidak membosankan para pengunjung. Program yang dibuat pun bervariasi, mulai dari mengirim para tenaga guide untuk memperdalam pengetahuannya ke lembaga-lembaga terkait seperti geologi, arkeologi dan sebagainya, kuis dan perlombaan bagi pengunjung anak-anak, ataupun “pojok anak” dimana anak dapat terjun langsung membersihkan keramik-keramik kuno dan belajar bagaimana memproteksinya.

sehingga yang berkecimpung mengelola museum adalah orangorang yang memang mempunyai kompetensi di bidang permuseuman dan manajemen. Aspek keenam adalah pentingnya meningkatkan pencitraan museum. Hal ini dilatarbelakangi perlunya perbaikan citra museum di mata masyarakat. Misalnya dengan mengadakan Corporate Social Responsibility (CSR) atau kerja sama dengan pihak swasta melalui Visit Museum Campaign. Pencitraan juga penting untuk menumbuhkan kebanggaan masyarakat untuk cinta Indonesia. Misalnya dengan memulainya dengan hal yang sederhana, seperti menjaga citra kebersihan museum.

Kemajuan Daerah Pemangku kepentingan di daerah seharusnya memahami arti penting museum, bahwa museum merupakan “jendela” suatu daerah untuk menarik kuantitas kunjungan wisata, baik bagi turis domestik maupun mancanegara. Museum berperan menggambarkan wisata atau potensi suatu daerah. Bahkan jika dianalisis lebih dalam, turis mancanegara cenderung mengunjungi museum daripada pusatpusat perbelanjaan. Namun demikian, meningkatnya jumlah kunjungan pun harus diimbangi dengan peningkatan

kapasitas dan kualitas SDM-nya, misalnya dengan melengkapi SDM museum seperti kurator, konsevator, preparator, maupun SDM yang bertugas sebagai edukator. Tentunya juga dengan memperhatikan enam aspek revitalisasi tersebut. Perlu juga disadari bahwa koleksikoleksi yang ada di museum tingkat provinsi/kabupaten menunjukkan kekayaan budaya dan gambaran kehidupan masing-masing daerah. Dengan berkunjung ke museum, masyarakat dapat terinspirasi untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaannya. Kiranya kita semua mempunyai satu visi yang sama untuk memperkuat jaringan dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah. Museum Nasional sendiri terus melakukan kerja sama dengan Asosiasi Museum Indonesia (AMI), melakukan bimbingan teknis dan workshop yang melibatkan SDM museum dari seluruh provinsi, pameran bersama antar provinsi, pameran internasional di luar negeri, dan kegiatan kerja sama lainnya. Museum adalah tempat belajar, mengenal peradaban. Mari datang ke museum dan menjadi bangga sebagai orang Indonesia yang mempunyai kebudayaan yang sangat kaya. (Ditulis ulang oleh Arifah dari wawancara di Jakarta, 5 Desember 2012)

Kelima, menetapkan kebijakan pengelolaan museum, bagaimana standarnya apalagi saat otonomi daerah dimana museum-museum di tingkat provinsi/kabupaten/kota sudah menjadi tanggung jawab daerah. Termasuk harus ditetapkan kebijakan yang berkaitan dengan SDM-nya,

24 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

FOTO: Dok. Museum Nasional

Keempat adalah penguatan jejaring dengan berbagai komunitas maupun museum lainnya. Hubungan kemitraan dalam pengelolaan museum menjadi suatu tuntutan di masa depan, karena tanpa bermitra dengan pihak lain, keberadaan museum terhambat perkembangannya.

Tampak depan Museum Nasional dari masa ke masa.


Peran Strategis Sekolah dalam Pengembangan Budaya Oleh: Ibnu Hamad Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

A

pabila bicara pengembangan dan pelestarian budaya, pada umumnya ingatan kita langsung tertuju kepada mereka yang disebut budayawan, seniman, sastrawan, penyair, pujangga, dan sejenisnya. Dari mereka yang masih hidup hingga yang telah tiada sejak berabad silam. Pada saat membicarakannya, kita juga selalu menyinggung beragam warisan budaya, mulai dari situs, candi, prasasti, serat, kakawihan, taritarian, hingga upacara adat berbagai etnis dan subetnis. Termasuk juga beragam kearifan lokalnya. Dua hal di atas memang seperti satu mata uang dengan dua sisinya. Sebagai karya manusia, kebudayaan memiliki banyak pelaku sekaligus memberikan warisan untuk generasi berikutnya. Tiada henti sepanjang zaman. Untuk sekarang, cobalah alihkan sejenak perhatian ke sekolah sebagai wahana pengembangan budaya. Niscaya kita akan mendapati kenyataan yang menakjubkan. Betapa tidak, dari segi jumlah saja sekolah memiliki potensi yang luar biasa. Maklumlah di Indonesia terdapat lebih dari 148.000 SD/sederajat, 36.000 SMP/sederajat, dan lebih dari

20.000 SMA/SMK/sederajat. Jangan lupa, di setiap jenjang sekolah itu bermacam budaya Nusantara, dari yang tradisional hingga yang modern, diperkenalkan, diajarkan, dan untuk beberapa dilakukan. Enam uraian singkat berikut kiranya memperjelas peran strategis sekolah dalam mengembangkan budaya nasional kita. Pertama, untuk hal yang paling dasar, sekolah menjadi media yang sangat ampuh untuk memperkenalkan aneka budaya, mulai dari nama, bentuk, jenis, asal daerah, hingga para tokohnya. Bahkan kerapkali di sekolah diperkenalkan pula warisan budaya dunia dari manca negara. Lebih dari itu, dalam memperkenalkan aneka budaya tersebut dilengkapi pula dengan deskripsi seperlunya sesuai tingkatan sekolah dan atau kelasnya. Makin tinggi sekolah dan kelasnya, makin banyak jenis budaya yang diperkenalkan dan makin lengkap uraiannya sejalan dengan perkembangan kognitif para murid di masing-masing kelas dan sekolah sejak SD, SMP hingga SMA. Kedua, setiap awal tahun ajaran sekolah selalu menerima murid baru. Puluhan juta murid baru masuk SD, No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 25


SMP, maupun SMA. Hal ini berarti saban tahun terjadi proses pewarisan ragam budaya bangsa kepada jutaan putera-puteri Indonesia melalui sekolah. Padahal proses ini telah berlangsung selama puluhan tahun, dan terus berlanjut hingga dekadedekade berikutnya. Pengenalan ragam budaya ini juga terjadi pada setiap kenaikan kelas karena pada dasarnya materi pelajaran, termasuk jenis-jenis budaya, berbeda untuk setiap kelas. Alhasil, akumulasi pengetahuan budaya para murid tejadi terjadi kenaikan kelas sejak SD hingga SMA.

pasti dipakai media pembelajaran mulai dari buku, alat peraga, hingga multi media. Untuk keperluan ini, tentu saja sudah diproduksi jutaan eksemplar media pembelajaran yang melibatkan puluhan hingga ratusan pengarang dan penerbit.

Oleh karena pada dasarnya seluruh murid di Indonesia memiliki standar kurikulum yang sama untuk masing-masing kelas dan tingkatan, maka secara langsung ataupun tak langsung, penghayatan tersebut memberi ruang terjadinya empati budaya antar generasi, antar suku bangsa, dan antar kawasan dari Merauke hingga Sabang, dari Nusa Tenggara Timur sampai Kalimantan Utara, dari pulau Miangas hingga pulau Rotte.

Tampaklah di sini sekolah telah dan terus mendorong proses pelipatgandaan (amplified) pengembangan dan pelestarian budaya dengan menyertakan banyak pihak di dalamnya.

Keempat, dalam rangka memperkenalkan aneka budaya itu,

Kelima, tak perlu menunggu jadi budayawan, seniman, ataupun sastrawan, terutama guru-guru kelas di SD, dengan sendirinya menjadi agen budaya. Sebagai bagian dari pelaksanaan tugasnya, para guru ini mengajari murid-muridnya mengenai aneka budaya Nusantara dan Dunia. Karuan pula guru-guru kesenian di

FOTO: Dok. PIH

Ketiga, bersamaan dengan memperkenalkan nama, bentuk, jenis, asal daerah, dan karakteristik setiap budaya disertakan pula penjelasan makna, nilai, dan ajaran yang terkandung di dalamnya.

Akibatnya, para murid bukan sekadar mampu menyebutkan aneka budaya, melainkan pula bisa menghayati aspek-aspek estetik, etis, dan pragmatis masing-masing budaya sesuai kelas dan tingkatan sekolahnya.

Seorang pendidik melatih anak-anak TK memainkan gamelan. Melestarikan sekaligus mengembangkan seni tradisional sejak dini.

26 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012


SMP dan SMA. Mereka sudah tentu lebih mendalam lagi memberikan pelajaran seni-budayanya. Keenam, di sekolah para murid juga diajak dan didorong untuk mempraktikkan budaya Nusantara, paling tidak budaya daerah dimana mereka bersekolah. Menyanyikan bersama lagu-lagu daerah, disamping Indonesia Raya dan lagu-lagu perjuangan lainnya, merupakan praktik kebudayaan nasional kita. Demikian pula dalam hal pemakaian atribut budaya daerah. Di banyak sekolah, selalu ada sejumlah murid yang berminat untuk mempraktikkan tari-tarian daerah. Lebih jauh lagi, ada murid yang bersemangat mengikuti beragam lomba dan atau festival kebudayaan, semisal lomba lagu dan tari, di sekolahnya, antar antar sekolah, antar kecamatan, kabupaten, provinsi, hingga tingkat nasional, bahkan antar negara, regional sampai global. Dan sekolah senantiasa memfasilitasnya.

Kita sudah melihat peran strategis sekolah dalam mengenalkan, mengembangkan, dan melestarikan budaya nasional. Bahkan mungkin para pembaca sudah merasakan sendiri, seperti juga saya, pertamatama mengenal jenis-jenis dan tokoh kebudayaan adalah di sekolah. Malahan ada yang memulainya di Taman Kanak-Kanak. Bukankah jika ada peringatan hari-hari besar nasional seperti HUT Kemerdekaan RI, Hari Kartini, anak-anak Indonesia mulai diperkenalkan dengan budaya bangsa kita. Karena itu sudah sepatutnya kita melindungi sekolah sebagai preparad pengembangan kebudayaan nasional. Ada sejumlah cara yang bisa ditempuh, di antaranya: pertama, kita beri penghargaan para guru sebagai garda terdepan dalam menjelaskan kebudayaan nasional kepada muridmuridnya. Sekurang-kurangnya kita mengucapkan terima kasih atas kinerja mereka yang telah ada selama ini.

FOTO: Dok. PIH

Melindungi Sekolah

Peserta didik mengenakan baju kebaya tradisional dalam sebuah karnaval. Sebuah upaya menanamkan budaya pada generasi muda.

Kedua, kita ajak para pengarang dan penerbit untuk terus meningkatkan kreativitasnya dalam memproduksi media pembelajaran kebudayaan. Bersamaan dengan ini kita awasi dan tak segan mengingatkan mereka jika memasukkan unsur-unsur negatif seperti pornografi, kekerasan, prasangka buruk antar etnis, dan lain sejenisnya kedalam media pembelajaran yang dibuatnya. Ketiga, kita lindungi sekolah dari pihak-pihak tertentu yang

memaksakan kehendaknya untuk memasukkan nilai budaya yang merusak moral para murid, baik yang terang-terangan maupun secara tertutup. Tanpa mengurangi tingkat kepercayaan kepada mereka, pihak sekolah sebaiknya mendapat pendampingan secara terus menerus oleh berbagai pihak yang menaruh perhatian pada pelestarian dan pengembangan budaya bangsa Indonesia serta penginternalisasian nilai-nilai yang ada didalamnya. (*)

No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 27


Revitalisasi Desa Adat sebagai Konservasi Budaya Selain mengembangkan kurikulum, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengarahkan pendidikan kebudayaan jalur nonformal melalui program revitalisasi desa adat. Langkah revitalisasi ini lebih mengacu pada revitalisai pengetahuan yang terkandung dalam adat tertentu, misalnya pengetahuan membuat rumah khas di suatu daerah. Dengan cara demikian diharapkan akan terjadi transformasi pengetahuan dari generasi ke generasi berikutnya, sehingga eksistensi kebudayaan tetap terjaga.

K

ementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) berencana merevitalisasi dua perkampungan adat di Kabupaten Sumba Barat Daya dan Wae Rebo di Kabupaten Ngada, Pulau Flores, di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Revitalisasi ini bertujuan agar keaslian budaya tetap dipelihara dan dipertahankan sebagai aset cagar budaya bangsa. Untuk sementara, baru ada dua perkampungan adat tersebut yang teridentifikasi untuk direvitalisasi. “Kalau ada informasi lain, bisa dinformasikan kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk ditindaklanjuti,” kata Direktur Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gendro Nurhaji, Kamis (11/10), di Jakarta. Ia menuturkan, sebenarnya banyak perkampungan adat di provinsi kepulauan yang berbatasan dengan Australia dan Timor Leste itu, tetapi sejauh ini belum teridentifikasi. “Kita harapkan ke depan masih ada perkampungan-perkampungan adat di kabupaten lain di NTT yang bisa direvitalisasi,” katanya. Bukan hanya di NTT, diperkirakan banyak desa adat di lain daerah yang juga perlu direvitalisasi. Di Bali misalnya. Seperti disebutkan I Wayan Nika dalam buku Peranan Desa Adat dalam Menunjang Pariwisata Budaya Era Globalisasi, bahwa desa adat Bali, yang secara

28 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

tradisional dikenal oleh masyarakat Bali dengan Desa Pakraman atau Desa Dresta, merupakan salah satu dari sedikit desa adat yang masih lestari keberdaannya di Bumi Pertiwi ini. Desa adat di Bali selama ini memegang peranan yang sangat penting dalam menata dan membina kehidupan masyarakat desa adat maupun dalam proses pembangunan. Desa adat Bali memiliki sejarah sangat tua dan sudah disebutkan dalam beberapa prasasti Bali Kuno seperti prasasti Bwahan (Saka 947) di bawah raja Sri Dharmawangsa Wardhana, prasasti Bebetin (Saka 896), prasasti Sembiran bertahun Saka 987 (Oka, 1999: 2). Pada masa Bali Kuno tersebut masyarakat hidup dalam satu ikatan kesatuan yang disebut wanua, yakni satu wilayah dengan luas tertentu yang merupakan satu kesatuan hukum di bawah pimpinan Sanat, Tuha-tuha dan Tulaga yang berarti kelompok. Sebagai organisasi pemerintahan, desa adat merupakan desa otonom asli, mengendalikan roda pemerintahan sendiri di dalam palemahan (wilayah)-nya yang tetap hidup dan kedudukannya diakui di dalam Negara Republik Indonesia, sebagai perwujudan budaya bangsa yang perlu diayomi dan dilestarikan. Masyarakat Bali yang tradisional dan penghidupannya yang bersifat agraris tampak sebagai satu kesatuan yang utuh, kepentingan bersama lebih diutamakan dibandingkan kepentingan kelompok dan individu sebagai warga masyarakat. Warga


masyarakat satu dengan yang lainnya terikat berdasarkan ikatan solidaritas mekanis dan dalam masyarakat demikian, dunia kehidupan masih menyatu. Jika terjadi suatu perselisihan antar warga, masyarakat berusaha menyelesaikannya secara musyawarah mufakat (konsensus) berdasarkan pada asas kepatutan melalui lembaga sangkepan. Penyelesaian perselisihan secara musyawarah mufakat dalam forum sangkepan tersebut berfungsi untuk mengembalikan masyarakat ke dalam suasana kehidupan yang rukun dan damai (harmonis).

agraris dan globalisasi tersebut telah mengubah masyarakat homogen menjadi masyarakat majemuk (plural) yang di dalamnya terdapat suasana kehidupan yang hetrogen.

Dalam desa adat berkembang seni budaya, kehidupan masyarakat yang sejahtera, pengamalan ajaran agama dalam prilaku dan aktivitas ritual agama yang senantiasa akan menarik wisatawan sepanjang masa. Disamping itu desa adat berperanan pula dalam pengembangan kawasan wisata, mengawasi penyalah gunaan simbol-simbol keagamaan dan juga berperanan dalam mencegah pendatang liar yang masuk ke Bali, utamanya di wilayah palemahan desa adat di Bali.

Di Bali, proses globalisasi telah dirasakan jauh sebelum masyarakat Indonesia lainnya mengalami hal tersebut. Salah satu penyebab terjadinya proses globalisasi lebih awal di daerah ini adalah karena perkembangan pariwisata yang telah berlangsung sejak lama.

Dampak Globalisasi Hanya saja, suasana kehidupan harmonis pada masyarakat tradisional kini tampaknya telah berubah karena pengaruh modernisasi, industrialisasi, dan lebih-lebih lagi setelah masyarakat mengalami proses globalisasi. Kehidupan non

Suasana demikian, mencerminkan diferensiasi dalam berbagai bidang antara lain dalam pekerjaan, profesi, pendidikan dan kepentingan. Kemajemukan masyarakat dapat juga dilihat dari tumbuhnya berbagai kelompok dan hubungan sosial baru yang timbul sebagai tuntutan kehidupan dunia modern. Kelompok-kelompok sosial baru tersebut umumnya menganut nilai dan norma serta kebiasaan yang berbeda dengan nilai, norma, serta kebiasaan masyarakat tradisional.

FOTO: Arifah PIH

Desa adat Bali mempunyai peranan yang strategis dalam pengembangan pariwisata budaya. Semua orang memaklumi bahwa daya tarik Bali terhadap wisatawan, tidaklah semata karena keindahan alamnya, lebih dari pada itu adalah budayanya yang dijiwai oleh agama Hindu. Dengan memantapkan peranan, fungsi,dan wewenang desa adat, maka sesungguhnya semua aspek budaya yang didukung oleh masyarakat Bali akan menjadi daya tarik

kepariwisataan yang bila dipelihara dan dikembangkan dengan baik akan menjamin kalangsungan kehidupan pariwisata (sustainable tourism) di daerah ini.

Salah satu sudut Desa Adat Sulahan, Bali, tampak asri. Kebersihan menjadi nilai penting dalam kehidupan masyarakat. No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 29


Solidaritas mekanis yang semula menjadi daya pengikat dalam masyarakat digantikan oleh ikatan solidaritas organis yang lebih menonjolkan ikatan dalam kelompok dan kepentingan kelompok masing-masing lebih diutamakan dibandingkan masyarakat secara keseluruhan. Orientasi nilai warga masyarakat dalam pergaulan antar sesamapun tampak mengalami pergeseran, dari nilai kebersamaan ke nilai individual dan komersial. Situasi demikian memberi peluang untuk timbulnya persaingan dan konflik. Proses globalisasi telah membuka masyarakat Bali, termasuk masyarakat pedesaan, ke dalam pergaulan luas pada pergaulan dunia. Hal ini ternyata telah menimbulkan banyak tantangan bagi masyarakat adat, termasuk lembaga-lembaga adatnya terutama dalam menjalankan fungsinya. Tantangan yang dihadapi tersebut antara lain telah terjadinya perubahan nilai orientasi warga masyarakat dalam bersikap dan bertindak, keefektifan awig-awig sebagai alat kontrol sosial berkurang, keputusan-keputusan yang diambil dalam penyelesaian konflik di masyarakat yang dahulu umumnya ditaati kini tidak jarang diabaikan karena dipandang tidak memuaskan. Penggunaan tanah dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah penggunaan tanah yang dahulu jarang menimbulkan konflik, sekarang tanah menjadi sumber konflik di masyarakat.

FOTO: Yus PIH

Kelompok-kelompok tersebut juga mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dan sering kali juga bertentangan. Masyarakat tidak lagi digambarkan sebagai suatu kesatuan yang utuh, melainkan terdiri dari bagian-bagian dan justru bagianbagian inilah yang lebih menonjol dari masyarakat secara keseluruhan.

Sebelum pergaulan luas seperti dewasa ini, pergaulan sesama warga berlangsung dalam hubungan yang akrab dan personal atas dasar nilai kebersamaan, hal tersebut tercermin dalam berbagai aspek kehidupan. Warga masyarakat mempunyai

30 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

Alang (bangunan lumbung padi) di perkampungan Desa Adat Sade, NTB. Menjaga tradisi ditengah arus modernisasi.

orientasi nilai dan kepentingan yang sama. Kebersamaan mereka diungkapkan dengan menggunakan istilah “kita” yang menunjukkan adanya kesatuan dan tidak ada lagi yang lainnya di dalam masyarakat itu.

Faktor Agama Kehidupan keagamaan di Bali diperkirakan merupakan faktor tersebar dalam kelanggengan kebudayaan di sana. Menurut pemuka adat Desa Adat Sulahan Bangli, Wayan Tapa, pada dasarnya pelaksanaan kegiatan keagamaan mengharuskan penganutnya melakukan tata aturan tertentu sehingga ibadahnya menjadi lengkap. Ketika melakukan ibadah, penganut agama Hindu harus melakukan aturan “wiraga” (tari-tarian) dan “wirahma” (nyanyian kidung suci). Oleh karenanya, kebudayaan berkembang seiring dengan ritual keagamaan. “Agama mengajarkan

seni yang memiliki makna filosofis dan bernuansa mendidik. Setiap ada upacara keagamaan, setiap warga desa melakoni tugasnya masing-masing sehingga regenerasi kebudayaan juga terus terjaga,” jelasnya ketika ditemui di Sulahan, Selasa (4/12). Di Bali umumnya orang tua berperan sebagai “krama banjar” dan anakanak muda sebagai “truna truni”. Di sinilah tonggaknya supaya kegiatan keagamaan tidak terputus, khususnya di Desa Adat Sulahan mempunyai satu bajar dan ikatan kayangan tiga [pura]. Kegiatan yang dilakukan di Banjar yaitu pelaksanaan kegiatan keagamaan yang bertujuan untuk mendidik warga tentang tata susila, berekonomi, dan bermasyarakat. Semua komponen saling bahu membahu melakukan berbagai kegiatan yang telah dijadwalkan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab kepada Tuhan.


“Agama sudah kadung melekat. Jika disuruh diluar agama, tidak berani. Banyak karma, karena itu harus kembali ke kebaikan. Di pura jika ada orang tua duduk, anak-anak tidak berani melawan atau berisik,” ujar Wayan Tapa. Selain itu, kegiatan keagamaan yang ada di masyarakat diadopsi untuk dijadikan ekstra kurikuler di sekolah. Misalnya di sekolah diselenggarakan ekstra kurikuler atau muatan lokal seperti Tari Rejang, Tari Baris, Kidung Suci, keterampilan membuat alat upacara adat seperti canang, banten, dan lain sebagainya. “Jadi, pendidikanlah yang beradaptasi dengan lingkungan dimana tarian dan kidung menjadi hal terpenting dalam beribadah,” papar Wayan Tapa yang juga sebagai pendidik di SMA Kintamani.

sering diberitakan akhir-akhir ini,” harap Wayan Tapa. Pada tempat terpisah, Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya di Kabupaten Badung (wilayah kerja Bali, NTB, dan NTT), I Made Purna, pun membenarkan bahwa roh dari desa adat yang ada di Bali adalah agama dan kebudayaan. Itulah yang membentuk karakter dan jati diri orang Bali. Semua desa adat bersifat otonom yang berarti mereka dapat mengurus dirinya sendiri dengan sumber pendapatan dari masyarakat sendiri dan dari pemeliharaan pura. Kalaupun ada bantuan dari Pemerintah Pusat atau Daerah, menurut I Made Purna, tidaklah mengurangi kualitas kegiatan keagamaan mengingat keotonomian tersebut. Unsur yang terkadung

dari bantuan pemerintah cenderung kepada peningkatan pembinaan kebudayaan Bali dan kepentingan pemerintah untuk mengurus kebutuhan desa melalui peran banjar. Bantuan yang diberikan selama ini dalam bentuk uang tunai, perbaikan sarana prasarana keagamaan, alat transportasi, maupun alat kesenian yang penggunaannya diatur oleh serikat pura sesuai dengan tujuan pembinaan kebudayaan.

Persahabatan dan Ekonomi Adat istiadat dan agama di Desa Adat Sade, Nusa Tenggara Barat (NTB), dapat dijalankan secara harmonis oleh seluruh lapisan masyarakat. Di desa berpenduduk 713 orang dengan 212 kepala keluarga itu adat istiadatnya terus berkembang, bahkan semakin menguat seiring zaman.

Sisi positif lainnya dari nilai-nilai kebudayaan yang diterapkan seharihari adalah toleransi tinggi dan saling menghormati dalam masyarakat walaupun terdapat perbedaan kasta. “Bahkan sejak saya lahir 60 tahun lalu, di Desa Sulahan ini tidak pernah terjadi tawuran karena kami sangat menghargai adat. Alangkah baiknya jika kita di seluruh Indonesia menjadikan desa adat sebagai gudang pendidikan dan saling menghormati satu sama lain, sehingga tidak ada lagi tawuran antar warga seperti yang

FOTO: Arifah PIH

Berkembangnya kebudayaan di Desa Adat Sulahan pun cenderung terus berjalan lancar dengan atau tanpa bantuan dana dari pemerintah. Kesadaran warga desa untuk mengabdi kepada Sang Hyang Widi menjadikan dana bukanlah hal utama dalam melakukan ibadah. “Kami bahu membahu untuk melaksanakan ibadah. Justru yang ditakutkan jika ada subsidi malah yang keluar adalah sifat dasar manusia dan niat yang tidak murni lagi untuk beribadah,” ungkapnya. Namun demikian, ia mengakui memang ada subsidi pemerintah daerah untuk lebih menggiatkan kegiatan yang melibatkan semua warga desa, seperti Pesraman yang dijadwalkan setiap liburan sekolah.

Masyarakat Bali berdoa dalam rangkaian Upacara Nyepi. Menjaga kelestarian budaya. No. 06 Tahun III • Desember 2012 •

DikbuD 31


“Seluruh penduduk beragama Islam,” kata Kepala Desa Adat Sade, Nusa Tenggara Barat (NTB), Kurdap Slake, kepada Dikbud.

Dalam tradisi ritual itu mengandung makna-makna filosofis yang sangat dalam yang dapat dijadikan teladan dan tuntunan hidup yang sangat baik kepada pribadi atau secara kolektivitas masyarakat. Bahkan, jika digali lebih dalam, terdapat maknamakna filosofis yang dikaitkan dengan perilaku mereka dalam hubungannya dengan Tuhan dan sesama. “Jadi, ada semacam dikotomi dalam adat dan agama. Agama tidak sebagai halangan untuk memajukan kebudayaan,” ujar Kurdap. Ia menambahkan, komunitas Suku Sasak sudah mendapat pengaruh Islam sejak abad 17, namun demikian masyarakat juga terus terus melaksanakan adat dan budaya. Agama mengatur tentang hal-hal yang besifat akidah, jual beli, hubungan dengan Tuhan, sedangkan hubungan dengan manusia lebih mengacu pada aturan adat. Faktor yang menyebabkan Desa Adat Sade terus berkembang dan bahkan menjadi tujuan wisata adalah terus terlestarikannya bangunanbangunan fisik peninggalan leluhur, seperti tempat tinggal (bale gunung rate), bangunan beruga, dan jejinji termasuk bangunan lumbung padi (alang) sebagai tempat untuk menyimpan persediaan pangan.

32 DikbuD • No. 06 Tahun III • Desember 2012

FOTO: Yus PIH

Ia mengatakan, hakikatnya pengertian desa adat adalah sekumpulan dari masyarakat adat yang masih menyintai adat dan tradisi peninggalan leluhurnya. Pada prinsipnya, antara adat istiadat dan agama ada semacam pemisah. Adat istiadat menyangkut lebih kepada hal-hal yang bersifat tradisi, mengatur tentang etika, etika sopan santun, perilaku yang baik, tata krama, upacara kematian, kelahiran, pernikahan, khitanan, dan lain sebagainya yang mengatur hubungan bermasyarakat. Sedangkan, agama lebih pada keyakinan adanya Tuhan YME. Bale Gunung Rate (Tempat tinggal) di Desa Adat Sade, NTB, beratap jerami dan berdinding anyaman bambu.

Faktor lainnya adalah penyuluhan yang berkesinambungan kepada para generasi muda setiap dua bulan sekali. Usaha tersebut dilakukan untuk memberikan ingatan, agar mereka [gererasi muda] bersedia mencontoh perilaku tetua-tetua dahulu. “Mereka sudah sangat menyintai adatnya walaupun tingkat pendidikan mereka sudah tinggi,” jelas Kurdap, yang juga sebagai guru Sejarah di SMP 7 Pujut, Lombok Tengah, NTB. Kedepannya, akan didirikan museum mini (bale bule) tempat memamerkan tentang sejarah hidup dan kehidupan masyarakat Sade. Rencana ini diharapkan mendapat dukungan dari masyarakat dan pemerintah pusat maupun daerah berupa bantuan material dan nonmaterial seperti penyuluhan tentang pelestarian kebudayaan. Pelestarian adat istiadat di Desa Adat Sade menurut Kurdap membawa manfaat persahabatan dan ekonomi. Desa banyak didatangi tamu domestik maupun mancanegara untuk belajar dan berbagi pengalaman mengenai kehidupan adat istiadat. “Disinilah kami jadi banyak saudara dan sahabat karena hampir tiap hari

kami menerima tamu,” ujar Kurdap. Bahkan, Desa Sade kerap menerima kunjungan anak-anak sekolah dari berbagai wilayah NTB untuk belajar tata krama yang baik. “Sepertinya mereka merasakan kerinduan akan nilai-nilai adat di tengah berkembangnya budaya Barat,” tambahnya. Kedatangan tamu tersebut turut memutar roda perekonomian setempat, karena banyak transaksi jual beli kerajinan tangan, hasil pertanian, dan lain sebagainya. Bahkan, banyak juga hasil kerajinan tangan dari desa sekitar yang dititipkan untuk dijual di Desa Adat Sade. Jadi, secara tidak langsung potensi ekonomi ini juga dapat dirasakan oleh masyarakat desa-desa sekitar. “Jika banyak pihak dapat merasakan manfaat dari pelestarian adat dan kebudayaan, saya yakin banyak desa adat di seluruh Nusantara dapat berkembang, bahkan sejalan dengan perkembangan teknologi. Bagaimanapun, dalam nilai-nilai adat terpendam nilai-nilai kesejatian diri manusia itu sendiri yang memberi manfaat lebih,” kata Kurdap, mantap. (Arifah)




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.