Cara Baru Membaca Cuaca

Page 1



CARA BARU

MEMBACA

CUACA Prediksi Pola Curah Hujan untuk Penyesuaian Pola Tanam dan Pengurangan Risiko Bencana


CARA BARU MEMBACA CUACA Prediksi Pola Curah Hujan untuk Penyesuaian Pola Tanam dan Pengurangan Risiko Bencana @ 2018 hak cipta pada World Neighbors Diterbitkan sebagai publikasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana untuk masyarakat luas Cetakan Pertama: Juli 2018 Tim Penyusun: Pengarah Penulis Editor Desain dan Tata Letak

: Edward Wright dan Putra Suardika : Farida Budi Utami dan Riza Irfani : Putra Suardika dan Manu Drestha : Mateu Djumhari dan Bambang Mulyono

WORLD NEIGHBORS Jalan Letda I Dewa Rai Hadnyana, Perumahan Taman Asri Blok B No 2, Batubulan, Sukawati, Gianyar, Bali 80582 Telepone: 0360 - 299055 Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Kalau mengutip tulisan atau sebagian tulisan ini, harap menyebutkan buku ini sebagai sumbernya. Dokumentasi ini dimungkinkan terwujud atas dukungan rakyat Amerika melalui Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID). Isi dari dokumentasi ini menjadi tanggung jawab World Neighbors dan tidak mencerminkan pandangan USAID atau Pemerintah Amerika Serikat.


KATA

PENGANTAR Perubahan iklim yang terjadi belakangan ini telah berdampak terhadap pola curah hujan di dunia dan Indonesia pada umumnya. Curah hujan yang berlebihan terutama pada tahun 2010/2011 dan El Nino pada tahun 2015/2016, cukup dirasakan pengaruhnya terhadap sektor pertanian, kebencanaan, infrastruktur dan lainnya di Nusa Tenggara.

Pada sisi lain, hujan yang berlebihan telah menimbulkan bencana alam. Misalnya, banjir yang merendam Kota Bima pada Desember 2016, banjir bandang di Kecamatan Sambelia Kabupaten Lombok Timur pada tahun 2017, banjir di Kecamatan Dompu Kabupaten Dompu pada tahun 2018 telah menghanyutkan lahan-lahan pertanian, merusak rumah dan berbagai fasilitas umum lainnya. Begitu juga bencana longsor telah terjadi di berbagai tempat yang menyebabkan fasilitas jembatan, jalan, dan infrastruktur lainnya rusak, serta membutuhkan biaya besar untuk memperbaikinya. Di negara beriklim tropis seperti Indonesia, terlebih lagi wilayah Nusa Tenggara, cuaca berubah lebih dinamis. Cara-cara tradisional dari masyarakat untuk membaca cuaca kapan hujan turun dan tanaman apa yang cocok tidak lagi memadai untuk memaksimalkan hasil panen. Dibutuhkan cara baru, dengan menggunakan teknologi untuk mengolah data dan menghasilkan prediksi pola curah hujan yang akurat. Berdasarkan kondisi itu, World Neighbors (WN) dengan dukungan keuangan dari USAID mengembangkan program “Pengurangan Risiko Bencana di Nusa Tenggara�. Salah satu kegiatan yaitu mengembangkan pemodelan prediksi curah hujan, pola tanam dan kebencanaan iklim bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan dukungan dana dari United States Agency for International Development (USAID). Pemodelan untuk jangka waktu 5 tahun (2018-2022) dilakukan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) di Kabupaten Dompu, Lombok Tengah, Lombok Barat dan Lombok Timur, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kabupaten Nagekeo.

3 KATA PENGANTAR

Sistem pertanian di wilayah Nusa Tenggara sangat tergantung pada curah hujan karena sebagian besar petani mengolah lahan kering. Hujan kurang, menimbulkan gagal tanam dan gagal panen terutama tanaman padi ladang, jagung dan kacang-kacangan. Kesulitan petani menghadapi cuaca yang semakin sulit diprediksi, menjadikan petani mengalami kerugian yang besar, bahkan berdampak pada kondisi rawan pangan.


CARA BARU MEMBACA CUACA

4

Keluaran dari pemodelan ini adalah peta prediksi pola curah hujan, peta prediksi masa tanam padi dan palawija, peta prediksi kebencanaan iklim, peta prediksi hama dan penyakit tanaman pangan, dan peta prediksi sebaran malaria dan demam berdarah. Pemodelan prediksi yang dikembangkan periode tahun 2018 – 2022 bersifat prediksi dasarian. Dalam melaksanakan program di lapangan, WN bekerja sama dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) lokal, Forum PRB1 (Pengurangan Risiko Bencana), BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), Dinas Pertanian, Dinas Lingkungan Hidup, dan lain-lain. Berbagai tantangan dan kendala dihadapi. Mengubah kebiasaan petani dalam membaca cuaca bukanlah perkara mudah. Namun, WN bersama mitra lokal dan pemerintah daerah dengan tekun mensosialisasikan peta prediksi pola curah hujan itu dan melakukan ujicoba adaptasi pola tanam. Dalam perjalanannya, semakin banyak petani yang mengadopsinya. Pemerintah Daerah pun sangat antusias dan berkomitmen mengalokasikan anggaran untuk pemodelan prediksi pola curah hujan ini dalam bentuk aplikasi digital yang mudah diakses oleh masyarakat umum melalui internet. Buku “Cara Baru Membaca Cuaca� ini merupakan rekaman proses bagaimana WN bersama mitra-mitra membangun kepercayaan masyarakat dan pemerintah dalam menerapkan program ini. Buku ini juga memuat analisis manfaat dan dampak yang dirasakan oleh masyarakat terhadap adanya prediksi curah hujan, pola tanam dan kebencanaan iklim. Dengan terbitnya buku ini diharapkan dapat memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang upayaupaya adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat terutama petani di wilayah Nusa Tenggara dalam menghadapi perubahan iklim Selanjutnya, WN menyampaikan terima kasih kepada para pihak yang telah memberikan pemikiran dan berbagai gagasan dalam penerapan prediksi pola curah hujan di lapangan. Semoga buku ini dapat memberikan inspirasi dalam membangun ketangguhan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim. Salam Hormat, Edward Wright Southeast Asia Regional Director World Neighbors 1. Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) adalah suatu lembaga koordinasi para pihak pemangku kepentingan, baik pemerintah, swasta, akademisi, LSM, maupun individu yang mempunyai perhatian dan kepedulian yang sama terhadap agenda pengurangan resiko bencana. Sesuai UU No. 24 tahun 2007, FPRB dapat dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten. WN dan lembaga mitra turut serta sebagai inisiator pembentukan FPRB di kabupaten dimana WN bekerja.


DAFTAR

ISI

3 KATA PENGANTAR 7 KEBINGUNGAN PETANI MEMBACA CUACA 11 MODEL PREDIKSI POLA CURAH HUJAN, METODE FAST FOURIER TRANSFORM 19 BERAWAL DARI KEYAKINAN, PETANI ADOPSI PCH 27 KERUGIAN BERKURANG, KESIAPSIAGAAN MENINGKAT 41 KEBIJAKAN BERBASIS DATA, PELUANG KONTRIBUSI PCH 45 GAGASAN CERDAS UNTUK DIKOMUNIKASIKAN, PELUANG DAN TANTANGAN KEBERLANJUTAN PCH


6

CARA BARU MEMBACA CUACA


KEBINGUNGAN PETANI

Gagal tanam dan gagal panen akibat kekeringan atau banjir adalah persoalan yang sering dikeluhkan petani dewasa ini. Tradisi membaca cuaca yang telah mengakar dalam budaya masyarakat Nusa Tenggara, sudah tidak mempan lagi. Walaupun kadang waktu tanam sesuai dengan kenyataan, tetapi tradisi itu tidak mampu memperkirakan berapa lama musim hujan akan berlangsung dan berapa tinggi intensitas curah hujan. Karena itulah, butuh cara baru untuk memprediksi pola curah hujan. Cara yang dapat memperkirakan kapan hujan pertama datang, berapa lama waktu hujan akan berlangsung, dan berapa intensitasnya. Cara Baru inilah yang disosialisasikan oleh World Neighbors kepada masyarakat, pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan di 5 kabupaten di Nusa Tenggara.

7 KEBINGUNGAN PETANI MEMBACA CUACA

MEMBACA CUACA


CARA BARU MEMBACA CUACA

8

“Saya datang dari Jawa, ikut program transmigrasi tahun 1997. Di Jawa, kalau laron (anai-anai) banyak beterbangan pada malam hari, itu tandanya musim hujan segera tiba. Tapi di sini, laron ternyata tidak ada. Jadi saya ikut saja petani di sini, orang ramai tanam jagung, saya ikut tanam. Tapi sepuluh tahun terakhir ini, saya sering gagal tanam juga gagal panen. Hujan tiba-tiba berhenti, bahkan pernah hujan hanya 2 bulan. Kerugian mencapai 7 juta rupiah (USD 500) untuk sekali tanam”, keluh Badriah, petani dari Desa Songgajah, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu. Lain lagi cerita Ibu Imas, petani di Desa Sugian, Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur. “Sejak saya lahir tahun 1985 dan menurut cerita orang tua dulu, Desa Sugian ini tidak pernah banjir! Namun sejak tahun 2006, hampir setiap 2 tahun kampung ini mengalami banjir, kalau hujan deras sekali. Bahkan tahun 2014 terjadi banjir bandang. Banyak ternak mati, tanaman hancur dan rumah serta peralatan dapur rusak. Heran saya, mengapa bisa ada banjir?”. Keluhan petani tesebut menggambarkan betapa cuaca sudah tidak menentu lagi. Petani menjadi bingung menentukan kapan waktu tanam. “Gelombang laut sudah tinggi, hutan juga sudah terbakar, tetapi hujan belum juga turun. Kalau sudah begitu, ya yang penting saya tanam saja! Kalau akhirnya gagal, ya sudah”, ungkap Alamudin, petani Desa Dara Kunci, Kabupaten Lombok Timur. Kiri: Bencana banjir di wilayah Dompu

Kanan: Tanaman pangan yang mengalami gagal panen karena kurang hujan di Dompu


Persoalan yang dihadapi petani padi bahkan lebih kompleks. “Selain kualitas gabah turun, produktivitas juga turun. Serangan hama penyakit menyebabkan petani padi banyak yang gagal panen. Padahal untuk modal usaha, biasanya saya pinjam uang. Bayangkan, setiap kali gagal panen atau gagal tanam, saya rugi 9 juta rupiah lebih (USD 630.47)� cerita Sahnam, petani padi di Desa Buwun Mas, Kabupaten Lombok Barat.

Dalam menghadapi perubahan iklim, faktor ramalan cuaca sangat penting. Ramalan cuaca di Indonesia disediakan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Ramalan ini berlaku untuk tiga bulan ke depan. Namun, distribusi ramalan cuaca dari BMKG sering terlambat dan informasi tidak sampai ke petani. Apalagi ramalan cuaca ini berlaku umum untuk satu wilayah kabupaten atau kecamatan, dan tidak dirinci untuk setiap desa. “Dengan rentang ramalan bulanan ini dan berlaku untuk satu wilayah yang cukup luas, sulit bagi petani untuk memutuskan apakah harus menanam atau tidak�, tekan Manu Drestha, Program Associate World Neighbors. Di negara beriklim tropis seperti Indonesia, cuaca berubah lebih dinamis. Sehingga cara-cara petani membaca cuaca selama ini tidak bisa lagi diandalkan. Karena itu butuh cara baru, dengan menggunakan teknologi satelit dan perangkat komputer untuk mengolah data dan menghasilkan prediksi pola curah hujan yang lebih akurat. Latar belakang itulah yang mendorong World Neighbors bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB), Program Studi Meteorologi, untuk mengembangkan model prediksi pola curah hujan di Nusa Tenggara.

9 KEBINGUNGAN PETANI MEMBACA CUACA

Kegalauan petani menghadapi cuaca yang kian sulit diprediksi ini, menjadikan petani di Nusa Tenggara (terutama petani yang mengandalkan usaha tani pada lahan kering) mengalami kerugian yang sangat besar. Bahkan di beberapa tempat mengalami rawan pangan. Marselinus Mau, Koordinator Yayasan Mitra Tani Mandiri Flores menceritakan bahwa tahun 2014, di Nagekeo mengalami kekeringan yang parah. Petani mencoba menanam tiga kali, namun tetap gagal terus, sehingga petani beramai-ramai pergi ke gunung mencari ubi hutan.


10 CARA BARU MEMBACA CUACA


MODEL PREDIKSI

METODE FAST FOURIER TRANSFORM2

Prediksi Pola Curah Hujan (PCH), dengan metode Fast Fourier Transform yang dikembangkan oleh WN kerja sama dengan ITB menghasilkan tiga hal, yaitu: Prediksi Pola Curah Hujan, Prediksi Pola Tanam di Lahan Kering, dan Potensi Bencana Terkait Iklim (banjir, longsor, persebaran hama, dan kekeringan). Metode ini mampu memproyeksi musim dan cuaca dengan ketelitian hingga 90%. Ada dua model yang telah dikembangkan, yaitu Model PCH Bulanan dan PCH Dasarian. Model Dasarian disajikan lebih detil per sepuluh hari, dan merupakan perbaikan dari model PCH Bulanan.

2. Fast Fourier Transform adalah metode tranformasi yang mengubah sinyal dari domain waktu ke domain frekuensi dengan perhitungan algoritma secara cepat dan efisien. Sejak tahun 1986, metode ini merupakan salah satu metode baku dalam analisa data.

MODEL PREDIKSI POLA CURAH HUJAN METODE FAST FOURIER TRANSFORM

POLA CURAH HUJAN

11


CARA BARU MEMBACA CUACA

Cuaca didefinisikan sebagai keadaan atmosfer bumi secara keseluruhan pada suatu saat. Dengan demikian keadaan cuaca sangat dipengaruhi oleh parameter suhu, tekanan udara, angin, kelembaban dan hujan, di suatu tempat atau wilayah tertentu selama kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, tahun). Kondisi cuaca telah memberitahu kita kapan terjadi hujan, berapa suhu udara, berapa kelembaban udara, kecepatan angin dan lain sebagainya. Memperkirakan “perubahan cuaca� untuk jangka waktu lebih dari beberapa hari relatif sangat sulit karena sifat ketidakpastiannya yang tinggi. Apalagi topografi wilayah Indonesia yang berbukit-bukit yang menyebabkan suhu, tekanan, angin dan kelembaban bergerak sangat dinamis dan sulit ditebak. Karena sifat ketidakpastian dari cuaca tersebut, berbagai pihak mengembangkan model-model prakiraan cuaca baik untuk kepentingan perhubungan, kelautan, pertanian, kebencanaan dan lain-lain.

12

Manu Drestha (Program Associate World Neighbors) “Prediksi curah hujan dasarian sangat tepat untuk sektor pertanian, karena petani dapat menentukan waktu mulai tanam dengan lebih mudah. Kelebihan lain adalah satuan luas prediksi yang disediakan lebih detil, setiap 5 km2, sehingga perbedaan informasi curah hujan di setiap kampung/dusun akan terlihat�.

ITB bersama WN mengembangkan pemodelan prediksi curah hujan untuk kepentingan pertanian dan kebencanaan. Model Prediksi Pola Curah Hujan ini sudah berupa software yang dihasilkan dari penelitian sebelumnya. Model ini menggunakan metode Fast Fourier Transform yang mampu memproyeksi musim dan iklim dalam ketelitian hingga 90% sebagaimana telah teruji. Prediksi curah hujan dibuat berdasarkan serial data curah hujan selama > 10 tahun ke belakang dari semua stasiun penakar hujan di kabupaten yang dianalisis. Data curah hujan didapatkan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Selain itu, juga menggunakan data peta topografi, peta lahan pertanian dan jenis tanaman yang ditanam, dari Dinas Pertanian setempat; data curah hujan dari citra satelit; serta data dari masyarakat tentang kalender musim, kalender tanam dan kecenderungan curah hujan paling kurang 2 tahun terakhir serta tanaman apa yang tumbuh dengan baik pada 2 tahun tersebut. Semua data ini dianalisis dengan teliti, termasuk analisis terhadap anomali yang terjadi. Akurasi hasil prediksi sangat dipengaruhi ketersediaan dan ketepatan data-data tersebut. Pemodelan proyeksi curah hujan ini sedikit berbeda dengan pemodelan yang dikembangkan oleh BMKG. Pemodelan BMKG mencerminkan informasi prakiraan curah hujan dalam satuan wilayah yang cukup luas, biasanya untuk 1 kecamatan, kabupaten atau pulau. Pemodelan BMKG juga memberikan informasi prospek cuaca dalam kurun waktu


3 hari, 1 minggu dan 3 bulan ke depan. Menurut pengalaman petani, pemodelan ini kurang disukai karena satuan luas informasi prakiraan cuaca begitu luas, sehingga informasinya kurang tepat untuk sektor pertanian. Sedangkan pemodelan yang dikembangkan ITB bersama WN dapat memberikan data prediksi curah hujan bulanan untuk kurun waktu 5 tahun ke depan dan dalam satuan luas yang lebih kecil. Dengan satuan waktu yang cukup panjang ini, petani dapat menentukan kapan dan berapa kali musim tanam pada tahun ini dan tahun depannya. Saat ini pemodelan pola curah hujan sudah dibuat prediksi dasarian. Dalam versi digital juga sudah dikembangkan informasi prospek hujan 3 hari ke depan dengan interval setiap 3 jam.

Dari analisis itu kemudian menghasilkan data prediksi yang selanjutnya diproses lagi hingga menghasilkan: 1) Prediksi Pola Curah Hujan (PCH), 2) Prediksi Pola Tanam di Lahan Kering. 3) Gambaran Potensi Bencana Terkait Iklim (banjir, longsor, persebaran hama, dan kekeringan). Prediksi yang dihasilkan berlaku untuk 5 tahun. Ada dua model PCH yang dihasilkan, yaitu PCH bulanan (2015 – 2019) dan PCH per dasarian (2018 – 2022). PCH dasarian merupakan pembaharuan dari PCH bulanan.

Kendala Dalam Pengumpulan Data Selain BMKG, data juga didapatkan dari Dinas Pertanian Kabupaten dan Dinas Pekerjaan Umum (PU) Provinsi berdasarkan data dari stasiun penakar curah hujan di setiap kecamatan. Tetapi sayangnya tidak semua kecamatan memiliki alat penakar curah hujan. Padahal ketersediaan curah hujan mempengaruhi keakuratan hasil pemodelan PCH. Karena itu, jumlah alat dan sebaran penakar hujan di setiap kabupaten menjadi faktor penting terhadap tingkat akurasi data hasil PCH.

MODEL PREDIKSI POLA CURAH HUJAN METODE FAST FOURIER TRANSFORM

Untuk menghasilkan data proyeksi yang baik, model ini memerlukan 3 langkah analisis, yaitu Analisis Proyeksi Langsung, Analisis Anomali dan Analisis Sifat Periodik. Ketiganya digunakan untuk mengoreksi hasil proyeksi satu sama lain sehingga dihasilkan data proyeksi yang stabil dan lebih akurat.

13


CARA BARU MEMBACA CUACA

Model PCH Bulanan Data curah hujan bulanan digunakan untuk prediksi masa tanam tanaman pangan di lahan kering dan prediksi bencana (banjir dan kekeringan). Tanaman pangan di lahan kering cocok ditanam dengan curah hujan rata-rata 120 mm/bulan. Sedangkan banjir dapat terjadi di lokasi dengan curah hujan 600 mm/bulan atau lebih. Lahan siap tanam palawija Lahan belum siap tanam palawija

14

Prediksi curah hujan September 2016 di Kabupaten Dompu.

Prediksi masa tanam palawija September 2016 di Kabupaten Dompu.

Model PCH Dasarian

Potensi banjir pada September 2016 di Kabupaten Dompu.

Model ini dikembangkan agar kepastian waktu kapan musim hujan tiba dan berapa lama hujan atau kemarau akan berlangsung, semakin tinggi. Model prediksi dasarian ini berlaku untuk setiap 10 hari sehingga dalam satu bulan akan ada 3 dasarian yaitu dasarian 1 (tanggal 1-10), dasarian 2 (tanggal 11 – 20) dan dasarian 3 (tanggal 21 – akhir bulan). Dengan model dasarian ini, petani dan para pihak terkait lebih mudah dalam melakukan persiapan, jadwal usaha tani ataupun jadwal kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana.


Prediksi Curah Hujan, Prediksi Musim Tanam Padi Sawah dan Prediksi Musim Tanam Palawija di Kabupaten Lombok Barat, Dasarian 1, Bulan Januari Tahun 2018

Prediksi Curah Hujan, Prediksi Musim Tanam Padi Sawah dan Prediksi Musim Tanam Palawija di Kabupaten Lombok Barat, Dasarian 2, Bulan Januari Tahun 2018 Dasarian 2 Prediksi Curah Hujan

Dasarian 1 Prediksi Curah Hujan

15 MODEL PREDIKSI POLA CURAH HUJAN METODE FAST FOURIER TRANSFORM

Dasarian 2 Prediksi Musim Tanam Padi Sawah

Dasarian 1 Prediksi Musim Tanam Padi Sawah

Ladang siap tanam

Ladang tidak siap tanam

Ladang siap tanam

Ladang tidak siap tanam

Sawah siap tanam

Sawah tidak siap tanam

Sawah siap tanam

Sawah tidak siap tanam

Dasarian 2 Prediksi Musim Tanam Palawija

Dasarian 1 Prediksi Musim Tanam Palawija

Ladang siap tanam

Ladang tidak siap tanam

Ladang siap tanam

Ladang tidak siap tanam

Sawah siap tanam

Sawah tidak siap tanam

Sawah siap tanam

Sawah tidak siap tanam


CARA BARU MEMBACA CUACA

Prediksi Curah Hujan, Prediksi Musim Tanam Padi Sawah dan Prediksi Musim Tanam Palawija di Kabupaten Lombok Barat, Dasarian 3, Bulan Januari Tahun 2018

Akurasi data PCH yang dihasilkan tahun 20152019 menunjukkan bahwa pada dua tahun pertama, relatif tinggi sementara tahun ketiga akurasi mulai menurun.

Dasarian 3 Prediksi Curah Hujan

16

Dasarian 3 Prediksi Musim Tanam Padi Sawah

Definisi: • Tepat : 12 bulan sesuai antara PCH dan realita di lapangan • Kurang Tepat : hanya 6-11 bulan yang sesuai antara PCH dengan realita di lapangan • Tidak Tepat : hanya 1-5 bulan yang sesuai antara PCH dan realita di lapangan Ladang siap tanam

Ladang tidak siap tanam

Sawah siap tanam

Sawah tidak siap tanam

Dasarian 3 Prediksi Musim Tanam Palawija

Akurasi Hasil PCH Akan Meningkat, Jika Ada Pembaruan Data Curah Hujan Untuk meningkatkan akurasi, membutuhkan pembaruan data curah hujan yang berlaku dua tahun sebelumnya. Untuk PCH tahun 20152019 perlu diupdate pada tahun 2017 sehingga perlu input data curah hujan harian yang baru pada tahun 2015 dan 2016.

Ladang siap tanam

Ladang tidak siap tanam

Sawah siap tanam

Sawah tidak siap tanam


Durasi periode kering: 6 bulan, 2 dasarian

1 2 3 4

Gambar 2 Peta Prediksi Kekeringan tahun 2018 menyatakan bahwa daerah sekitar Sekotong Tengah berpotensi terjadi kekeringan pada bulan Mei Dasarian I sampai Desember Dasarian I. Gambar 3 Peta Prediksi Sebaran Hama tahun 2018 menyatakan bahwa daerah Sekotong Tengah dan sekitarnya, daerah Kediri dan sekitarnya berpotensi terjadi serangan hama tanaman pangan pada bulan April Dasarian II, Juni Dasarian III dan Oktober Dasarian II. Gambar 4 Peta Prediksi Sebaran Demam Berdarah (DB) dan Malaria tahun 2018 menyatakan bahwa daerah Jembatan Kembar dan sekitarnya, Lingsar dan sekitarnya berpotensi timbulnya wabah DB dan Malaria pada bulan Januari Dasarian III, Februari Dasarian I dan II, Maret Dasarian II dan III, April Dasarian I, Mei Dasarian II dan III, dan Juni Dasarian I.

MODEL PREDIKSI POLA CURAH HUJAN METODE FAST FOURIER TRANSFORM

Gambar 1 Peta Prediksi Banjir tahun 2018 menyatakan bahwa daerah Kebun Ayu dan sekitarnya, Gunung Sari dan sekitarnya berpotensi terjadi banjir pada bulan Januari Dasarain I dan II, April Dasarian III, Mei Dasarian I, Desember Dasarian II dan III.

17


18 CARA BARU MEMBACA CUACA


BERAWAL DARI KEYAKINAN

Tiga tahun setelah WN mensosialisasikan Model PCH, jumlah petani yang telah mengadopsi PCH adalah 5.439 orang atau 63% dari jumlah petani yang memperoleh informasi PCH. Alasan mengadopsi Model PCH ini karena selama dua kali musim tanam tahun 2015/2016 dan 2016/2017, prediksinya tepat. Mereka yang pertama kali mengadopsi PCH adalah para petani pionir yang berani mencoba hal-hal baru dan sudah terlibat dalam program sebelumnya, juga para petani muda. Mereka ini yakin dengan PCH, karena menganggap bahwa PCH sangat masuk akal. Apalagi mereka juga mendapatkan informasi kapan waktu tanam yang tepat untuk tanam padi ladang atau sawah tadah hujan, serta dimana dan kapan terjadi potensi bencana banjir, longsor, hama penyakit tanaman dan penyakit manusia (demam berdarah dan malaria).

BERAWAL DARI KEYAKINAN, PETANI ADOPSI PCH

PETANI ADOPSI PCH

19


CARA BARU MEMBACA CUACA

20

Setelah Model PCH 2015 – 2019 dikeluarkan, WN bersama dengan mitranya melakukan sosialisasi. Pertama-tama, melakukan audiensi kepada para pengambil kebijakan, yaitu Bupati, Sekretaris Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan dinas-dinas terkait termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Kemudian menyelenggarakan lokakarya, yang menghadirkan semua pemangku kepentingan termasuk kalangan akademisi, lembaga swadaya mayarakat, juga perwakilan dari para petani. Langkah selanjutnya adalah melakukan sosialisasi di tingkat desa, tingkat dusun dan tingkat kelompok. Ketika ada petani atau kelompok berminat untuk menerapkan PCH, dilanjutkan dengan pendampingan langsung di lapangan. Pendampingan di sini, tidak hanya untuk memastikan kapan petani tanam dan jenis tanaman apa yang cocok, tetapi juga pendampingan teknis pengolahan lahan dan pemeliharaan tanamannya.


Tiga tahun setelah sosialisasi, dari 8.635 orang petani yang mendapatkan informasi PCH, yang mengadopsi PCH sebanyak 5.439 orang atau sebesar 63%. Paling tinggi terdapat di Kabupaten Lombok Timur dan paling rendah di Kabupaten Dompu. Tahun pertama setelah sosialisasi, petani yang mengadopsi PCH hanya 59%. Tahun kedua meningkat menjadi 75% dan pada tahun ketiga menurun menjadi 65%. Peningkatan pada tahun kedua terjadi karena jumlah petani yang percaya dengan PCH semakin bertambah. Sedangkan penurunan adopsi PCH pada tahun ketiga terjadi karena jumlah desa yang mendapat sosialisasi PCH bertambah dan kebanyakan petani di desa yang baru, belum percaya dengan PCH. Banyak tantangan yang dihadapi oleh mitra WN saat pertama kali mensosialisasikan PCH. Hal ini terjadi karena PCH adalah hal baru, yang berbeda dengan tradisi petani selama ini. Bahkan saat pertama kali promosi, banyak yang tidak percaya. Namun, selalu ada petani yang mau mencoba. “Ketika saya ikut lokakarya dengan Bappeda, dan mendengar presentasi Pak Armi dari ITB, saya langsung yakin dan ingin mencoba”, ungkap Kalam, petani dari Desa Sugian, Kabupaten Lombok Timur.

Dianggap ‘Melawan Adat”, PCH Tidak Digunakan untuk Padi Di Desa Pagomogo, Kabupaten Nagekeo, petani tidak mau menerapkan PCH untuk tanaman padi. Ini terjadi karena waktu memulai bertanam padi ditentukan oleh Ketua Adat. Masyarakat tidak berani melawan adat, karena takut mendapatkan sanksi atau malapetaka. Hanya segelintir orang yang berani ‘melawan adat’. Salah satunya adalah Yakobus Kama. “Saya berani tanam padi lebih awal mengikuti PCH. Karena kalau ikut adat, saya sering gagal panen. Hujan sudah berhenti, padi belum berisi”, ungkap Bapak Yakobus Kama yang juga menjadi anggota dari Lembaga Pemangku Adat (LPA) Desa Pagomogo.

21 BERAWAL DARI KEYAKINAN, PETANI ADOPSI PCH

Kiri: Warga Desa Montong Sapah mempelajari PCH Kanan: Pendamping Lapangan dari BD melakukan sosialisasi PCH di Desa Aik Bual


CARA BARU MEMBACA CUACA

22

Gunawan (Ketua Gapoktan Desa Buwun Mas) “Awalnya, hanya 2 orang saja yang mau adopsi, tetapi saya terus sosialisasikan, hingga akhirnya ada 22 orang mau menanam jagung sesuai PCH. Tahun berikutnya yang ikut bertambah jadi 40 orang, dan sekarang petani yang berminat terhadap informasi PCH semakin banyak”

Salah satu contoh lahan di Desa Songgajah, Dompu yang tidak menerapkan PCH. Hanya ditanami jagung, begitu panen lahan menganggur. Padahal di lahan lain, petani masih bisa menanam kacangkacangan atau ubi karena memanfaatkan informasi PCH.

Lain lagi cerita dari Desa Buwun Mas, Kabupaten Lombok Barat. Desa ini sebenarnya bukan dampingan dari Pusat Studi Pembangunan Nusa Tenggara Barat atau PSP-NTB (LSM mitra WN). Mendengar informasi tentang PCH, Gunawan (Ketua Gabungan Kelompok Tani Desa Buwun Mas), meminta Ahmad Suwadi (Koordinator Program PSP-NTB), untuk melakukan sosialisasi PCH di kelompok mereka. Dari penerapan PCH tersebut, mereka berhasil panen jagung 12 ton per Ha (yang tidak mengikuti PCH hanya dapat hasil panen rata-rata 6-7 ton per Ha). Pada sisi lain, Sahnam salah seorang petani di Desa Buwun Mas, yang saat itu tidak mau terlibat dan tetap menanam padi di sawah menyesal, padinya rusak diterjang banjir. Melihat bukti itu, maka pada tahun 2017, petani yang mengadopsi PCH pun bertambah menjadi 40 orang. Kasus lain dijumpai di Desa Pagomogo, Kabupaten Nagekeo, Flores. Menurut pengakuan Marselinus Mau, Koordinator YMTM Flores, pada tahap awal mereka masih belum yakin akan ketepatan informasi PCH. Seperti yang diakuinya; “Kita ini kok seperti Tuhan Allah saja...bisa pastikan kapan turun hujan!” Karena itu, YMTM hanya meminta beberapa petani saja untuk ujicoba tanam jagung pada bulan September 2015. Padahal menurut perkiraan petani, saat itu belum waktunya tanam. Ternyata terbukti, hasil panen jagung memuaskan, begitupun jagung yang ditanam pada bulan Desember 2015. Sehingga pada tahun 2015 itu, beberapa petani bisa panen jagung dua kali. Dengan hasil seperti itu, petani yang lain beramai-ramai ikut menerapkan informasi PCH pada musim tanam tahun 2016/2017.


Petani yang tidak menerapkan PCH, umumnya setelah panen tanaman pangan, membiarkan lahan mereka menganggur.

H. Safrudin

“Saya bandingkan, awal musim hujan dari prediksi PCH ini sama dengan waktu tumbuhnya pucuk pohon asam. Hanya yang berbeda, dalam PCH kita bisa tahu kapan hujan akan berhenti dan berapa intensitas curah hujan”.

Sejak dapat membuktikan PCH, Safrudin selalu mengontak nomer telepon genggam Pak Amir, Pendamping Lapangan dari Lembaga Studi Pengkajian Lingkungan (LESPEL) sebelum menanam. Bahkan kadangkadang dia sengaja melakukannya di depan anggota kelompoknya, agar mereka mendengar sendiri penjelasan dari Pak Amir. “Kami menjuluki Pak Amir sebagai Pawang Hujan, karena posisinya sebagai penerjemah PCH untuk kami” kata Safrudin sambil tertawa. Keyakinan Safrudin terhadap PCH tidak main-main. Di tengah-tengah invasi jagung besar-besaran di Dompu3, dia tetap bertani dengan cara diversifikasi jenis tanaman sesuai prediksi PCH. “Jagung sekarang memang menjadi musuh hutan di Dompu. Warga beramai-ramai membuka hutan untuk bertanam jagung. Tetapi saya tidak mau ikutikutan, toh hasil yang saya peroleh juga sudah cukup tinggi” demikian tukas Safrudin. 3. Pertanian jagung meningkat secara besar-besaran di NTB dan khususnya Kabupaten Dompu. Provinsi NTB menjadi salah satu pusat program produksi jagung Pemerintah Indonesia, selain Gorontalo dan Sulawesi Selatan.

Lahan milik H. Safrudin yang menanam beragam jenis tanaman dalam satu lahan. Panen bisa bergantian, dan tidak ada lahan menganggur.

23 BERAWAL DARI KEYAKINAN, PETANI ADOPSI PCH

(Petani Desa Keramabura)

Pengalaman berbeda dialami oleh H. Safrudin, petani Desa Keramabura yang menggunakan tanda-tanda alam, yaitu munculnya pucuk pohon asam untuk menentukan kapan musim tanam tiba. “Dulu kami menggunakan pohon asam sebagai indikator datangnya musim hujan. Jika sudah muncul pucuk-pucuk daun, itu tandanya musim hujan akan segera datang. Untuk memprediksi musim tanam telah usai kami biasa mengamati pohon kapuk. Jika kapuk mulai kering, maka itu pertanda jangan menanam lagi” demikian cerita Safrudin.


CARA BARU MEMBACA CUACA

Hamparan kebun jagung yang mengadopsi PCH di Desa Keramabura

24 Tercatat di 26 desa dampingan mitra WN, ada 123 orang petani pionir, 20 orang di antaranya perempuan, yang pertama kali mengadopsi PCH. Mereka pada umumnya adalah petani muda, petani yang sangat potensial sebagai pintu masuk program PCH. Karena kaum muda senang dengan tantangan dan ingin mencoba hal-hal baru. Salah satu petani muda yang sangat antusias itu adalah Alimudin, dari Desa Buwun Mas. “Saya yakin sekali dengan PCH ini, terbukti dan masuk akal karena pakai teknologi baru! Kami sudah tidak bisa lagi menggunakan Urige4. Apalagi nanti kalau pakai aplikasi di HP Android! Informasi PCH akan bisa cepat kami terima�.

4. Di Bali disebut Wariga, di Jawa Tengah disebut Primbon atau Pranoto Mongso (khusus pertanian), di Lombok disebut Urige. Ini adalah ilmu tradisional yang menguraikan hari-hari baik dan hari jelek jika akan memulai/melakukan suatu pekerjaan (termasuk bertani). Dilihat berdasarkan waktu (jam), hari (siklus harian, 3 harian, 5 harian), wuku (siklus mingguan), bulan, peredaran matahari,bulan dan bintang serta tanda-tanda alam.

Pentingnya Perempuan sebagai Pionir PCH Pemodelan Prediksi PCH yang telah berjalan, masih belum secara signifkan menumbuhkan pionir PCH dari kaum perempuan. Hal ini nampak dari jenis tanaman yang dikembangkan, yang masih didominasi oleh jenis tanaman yang bernilai ekonomi tinggi, yang seringkali bias laki-laki. Padahal kaum perempuan memiliki pertimbangan yang lain dalam memilih jenis tanaman. Mungkin kaum perempuan akan lebih memilih jenis tanaman untuk bumbu dapur atau untuk kebutuhan pangan sehari-hari. Karena itu, di masa depan perlu lebih intensif menumbuhkan pionir dari kaum perempuan dalam pendekatan program.


Pionir Pengadopsi PCH 1 2

25

3

1). Yakobus Kama, petani pionir asal Desa Pogomogo, Nagekeo. 2). H. Zainaro di bengkel miliknya, tempat dia mensosialisasikan PCH kepada masyarakat Desa Keramabura, Dompu. 3). Amaq Atun di depan kebun jagung PCH-nya 6). Munir, petani pionir yang juga merangkap di Desa Dara Kunci, Lombok Timur. sebagai ketua KMPB Desa Dara Kunci, 4). Siti Hanah di depan lahan PCH-nya di Desa Lombok Timur Aik Bual, Lombok Tengah 7). H. Ahmad, petani pionir yang mengadopsi 5). Kalam, petani pionir dari Desa Sugian, PCH di Lombok Barat Lombok Timur, yang berhasil kembangkan tanaman jagung lokal dengan teknologi olah lubang

5

6

7

BERAWAL DARI KEYAKINAN, PETANI ADOPSI PCH

4



KERUGIAN BERKURANG

Banyak manfaat telah petani dapatkan dari hasil penerapan PCH. Di 5 kabupaten, produksi jagung meningkat hingga 77%, menjadi rata-rata 3.477 kg per Ha. Jumlah kecukupan pangan bertambah menjadi hampir 12 bulan (11,8 bulan). Jumlah KK yang memiliki kecukupan pangan lebih dari 10 bulan sebanyak 3.053 KK dengan jumlah penerima manfaat kecukupan pangan 11.398 orang. Hal itu terjadi karena peningkatan jumlah petani dan luas lahan tanaman pangan lokal dari tahun ke tahun. Saat ini, sebanyak 3.328 KK menanam tanaman pangan lokal dengan total luasan lahan 839 Ha. Dampaknya, pendapatan rata-rata petani di 5 kabupaten pun meningkat 49%, dari yang semula Rp 17.931.020 (USD 1,280) menjadi Rp 26.167.786 (USD 1,870) per tahun per KK. Model PCH juga telah dapat mendorong pemerintah desa dan KMPB untuk melakukan normalisasi sungai dan kesiapsiagaan sebelum bencana terjadi. Bahkan BPBD di 5 kabupaten merasakan bahwa Model PCH membuat kegiatan pencegahan dan kesiapsiagaan, menjadi lebih terarah dan terjadwal dengan baik.

27 KERUGIAN BERKURANG, KESIAPSIAGAAN MENINGKAT

KESIAPSIAGAAN MENINGKAT


CARA BARU MEMBACA CUACA

Produksi Tanaman Pangan Meningkat, Kerugian pun Berkurang Padi dan jagung adalah tanaman pangan utama yang biasa dikembangkan oleh petani di 5 kabupaten lokasi program WN, yang didominasi oleh lahan kering. Namun, sejak iklim berubah, petani bingung untuk menentukan kapan musim hujan akan tiba. Kalaupun berhasil menanam, curah hujan rendah sehingga tanaman kekeringan. Bisa juga curah hujan sangat tinggi hingga lahan petani mengalami kebanjiran.

28

Kebun Jagung PCH di Desa Sugian-Lombok Timur, musim tanam 2016/2017

Situasi seperti itulah yang menyebabkan petani sering gagal panen. Kalaupun panen, hasil yang didapatkan hanya dapat memenuhi kebutuhan pangan selama 7-8 bulan. Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan pangan, para petani menjual ternak atau menjadi buruh tani untuk mendapatkan uang tunai guna membeli beras. Kaum ibu, terpaksa harus memutar otak. “Kalau padi atau jagung habis, dan tak ada ternak atau ayam yang dapat kami jual, kami pinjam uang ke koperasi harian. Pinjam 100 ribu dan harus kembali 200 ribu dalam satu bulan�, cerita Maria Bupu, petani Desa Pagomogo, Kabupaten Nagekeo. Kondisi ini mulai berubah setelah mereka menerapkan PCH. Dengan mengetahui pola curah hujan, para petani bisa menentukan jenis tanaman yang akan ditanam, bahkan memutuskan untuk tidak menanam. Keputusan tidak menanam dilakukan oleh Kalam beserta dengan 8 orang petani lain di Desa Sugian, Kabupaten Lombok Timur, pada musim tanam 2015. “Setelah mendapatkan informasi PCH bahwa di desa ini curah hujan rendah, maka kami putuskan tidak menanam. Betul juga prediksinya, banyak petani di sini gagal panen. Karena tidak menanam, saya tidak jadi rugi 7 juta rupiah (USD 490)�, kenang Kalam. Sejak PCH mulai disosialisasikan tahun 2015, telah terjadi peningkatan jumlah petani maupun luas lahan tanaman pangan lokal5, dari tahun ke tahun. Para petani semakin sadar akan pentingnya menanam tanaman pangan lokal sebagai cadangan pangan keluarga. Sehingga jumlah kecukupan pangan di 5 kabupaten di Nusa Tenggara pun meningkat dari semula 8,5 bulan (baseline tahun 2014) menjadi hampir 12 bulan (11,8 bulan). Jumlah KK di 5 5. Tanaman pangan lokal adalah jenis-jenis tanaman pangan yang sudah tumbuh di daerah tersebut sejak dahulu dan sudah biasa dimanfaatkan untuk pangan oleh masyarakat sekitarnya. Lihat halaman 29 tentang jenis tanaman pangan lokal.


kabupaten yang kecukupan pangannya lebih dari 10 bulan sebanyak 3.053 KK dengan jumlah penerima manfaat kecukupan pangan 11.398 orang. Ini terjadi karena jumlah petani yang mengembangkan tanaman pangan lokal dari tahun ke tahun bertambah menjadi 3.328 KK.

29

Mengembalikan Nilai Pangan Lokal yang Terabaikan Jewawut, shorgum, wijen, jali dan berbagai jenis umbi-umbian adalah jenis tanaman lokal yang biasa tumbuh di lahan kering. Namun, jenis tanaman ini sudah lama terabaikan, petani hanya menanamnya di pinggir kebun saja. Tetapi setelah mendapatkan informasi PCH tentang rendahnya intensitas curah hujan, petani mulai menyadari pentingnya tanaman-tanaman tersebut sebagai cadangan pangan. Karena hanya jenis tanaman lokal inilah yang bisa bertahan dan berkembang dengan baik pada musim kemarau panjang. Selain itu, tanaman pangan lokal mempunyai kandungan nutrisi yang berimbang, dan baik untuk ibu menyusui dan diet gula. “Saya tanam wijen 4 are. Dari benih sebanyak 1 kg, saya dapat panen 100 kg. Harga jual wijen 18 ribu rupiah per kg (USD 1.26), bahkan pada musim tertentu, bisa mencapai 40 ribu rupiah per kg (USD 2.8)”, pengakuan Sunaryo dari Desa Montong Sapah, Kabupaten Lombok Tengah. Cerita ini mirip dengan pengalaman Benediktus Loy, dari Desa Nagerawe, Kabupaten Nagekeo: “Wijen sudah ada sejak dulu, hanya memang tanam sedikit saja. Dulu belum ada harganya, sekarang bisa mencapai Rp 45.000/ kg (USD 3.15)”. Yakobus Kama, dari Desa Pagomogo memilih jali sebagai cadangan pangan: “Jali saya tanam di sela-sela tanaman lain, sebagai tanaman pangan yang biasa digunakan ibu-ibu yang menyusui, agar air susunya banyak. Jadi ini bukan tanaman yang baru buat kami. Namun memang selama ini tidak kami tanam banyak.”

KERUGIAN BERKURANG, KESIAPSIAGAAN MENINGKAT

Sepanjang periode tanam 2015-2018 terjadi peningkatan jumlah petani yang menanam tanaman pangan lokal. Luas lahan tanaman pangan lokal juga semakin bertambah.


CARA BARU MEMBACA CUACA

30

Pendapatan Meningkat Berkat Menerapkan PCH Jagung adalah sumber utama pendapatan petani jangka pendek di 5 kabupaten lokasi program WN, di luar tanaman tahunan seperti jambu mente, kemiri dan asam. Bahkan di Kabupaten Dompu, jagung menjadi komoditi andalan hampir semua petani, mengingat produksi jagung adalah prioritas pembangunan pemerintah daerah. Setelah mengadopsi PCH dan menerapkan teknologi pertanian konservasi (pembuatan lubang tanam yang diisi pupuk organik), terjadi peningkatan produksi jagung di 5 kabupaten lokasi program WN dari tahun ke tahun. Tahun 2017, rata-rata produktivitas jagung mencapai 3.447 kg per Ha (meningkat 77% dari produktivitas jagung tahun 2014). Paling tinggi terdapat di Kabupaten Lombok Tengah, yaitu 6.412 kg per Ha, dan paling rendah di Kabupaten Nagekeo sebanyak 1.156 kg per Ha.


Klara Sada, anggota Kelompok Wanita Tani Maju Terus, Desa Nagerawe merupakan salah satu petani wanita yang sudah sejak awal program konsisten menerapkan cara bertani sesuai PCH. “Saat awal pengenalan PCH, kami masih alami gagal panen. Karena, kami belum mengerti betul apa itu PCH. Namun setelah itu, baru saya rasakan manfaatnya. Setiap musim kemarau sesuai PCH saya bertanam sayur dan membuat pupuk bokashi, supaya air hujan tersimpan dalam tanah”.

Atas: Klara Sada, membuat pupuk bokashi untuk keperluan tanaman di kebunnya. Tengah: Petani mengembangkan tanaman sayuran di Desa Buwun Mas, Lombok Barat. Bawah: Menanam wijen dalam jumlah besar di Desa Nagerawe, Nagekeo.

Selain aktif di Kelompok Wanita Tani (KWT), Klara juga turut terlibat dalam pengelolaan UBSP. Adanya unit usaha penunjang pertanian ini menurut Klara sangat berkaitan dengan PCH. Karena seringkali peluang menanam justru tiba saat petani tidak memiliki modal. Sehingga pinjaman dari UBSP dapat menjadi alternatif sumber modal petani untuk segera menanam di musim yang tepat dengan jenis tanaman yang tepat. Sebagai dampak dari berbagai perubahan tersebut, pendapatan petani dampingan mitra WN di 5 kabupaten pun meningkat. Dari yang sebelumnya (tahun 2014) ratarata pendapatan setiap KK dalam satu tahun sebesar 17.931.020 rupiah (USD 1,280) menjadi 26.167.786 rupiah (USD 1,869), atau meningkat 49%.

31 KERUGIAN BERKURANG, KESIAPSIAGAAN MENINGKAT

Klara terlihat sudah mahir membuat pupuk bokashi. “Saya akan tetap membuat dan menggunakan pupuk bokashi. Tanah di sini tergolong kurus, sehingga harus dibantu dengan pupuk bokashi. Sudah sekitar dua atau tiga tahun ini kami selalu menggunakan bokashi, khususnya untuk tanaman sayursayuran, dan hasilnya memuaskan”.


CARA BARU MEMBACA CUACA

32

Peningkatan pendapatan tersebut juga diperoleh dari berkembangnya usaha penanaman jenis tanaman baru, yang disesuaikan dengan informasi intensitas curah hujan, yang bernilai ekonomi tinggi. Tanaman itu adalah tomat, cabe, kacang hijau, ubi cilembu, dan wijen. Beberapa petani, memiliki tambahan pendapatan juga dari adanya Usaha Bersama Simpan Pinjam (UBSP). Potensi peningkatan pendapatan di masa depan akan semakin bertambah dengan semakin cerdasnya petani memilih jenis tanaman. Di Desa Buwun Mas, Lombok Barat misalnya para petani mencoba bertanam semangka. Sampurna, adalah salah satu petani muda yang mengembangkan semangka. “Semangka cocok kalau curah hujan rendah. Jadi saya coba tanam semangka 6 petak. Saya perkirakan dengan modal 4 juta, 4 bulan lagi bisa menghasilkan 15 juta-an. Saya sengaja tidak tanam jagung. Lihat itu jagung sebelah, kerdil karena kurang air�, demikian cerita Sampurna, sambil menunjuk lahan jagung di sebelah kebun semangkanya. Di Desa Songgajah, Kabupaten Dompu, Masnin memilih bertanam tembakau. “Saya tanam tembakau, karena tahan panas. Apalagi sudah ada perusahaan, yaitu PT Tanjung Kenanga, yang siap membeli dan siap juga melatih sejak pembibitan sampai panen. Sebelumnya saya tanam cabe, tapi kalau terlalu panas, cabe akan layu, Karena itu, saya bersama dengan teman-teman satu kelompok coba tanam tembakau. Tembakau juga aman dari ternak. Saya berharap, bibit sebanyak 12.000 pohon ini nanti akan menghasilkan pemasukan bersih 20 juta rupiah (USD 1,401)�.


Kesiapsiagaan Menghadapi Bencana Sambelia adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, yang sebenarnya tidak memiliki sejarah banjir. Banjir baru pertama terjadi tahun 2006, dan sejak itu, wilayah ini rutin menjadi langganan banjir.

Dara Kunci, Sugian, dan Madayin adalah desa yang tingkat risiko bencana banjir paling tinggi di Kecamatan Sambelia. Karena itulah, tiga desa ini dipilih sebagai lokasi program yang dilaksanakan oleh Lembaga Pengembangan Sumber Daya Mitra (LPDSM) yang bekerja sama dengan World Neighbors.

Kiri: Simulasi Bencana Gempa Desa Lasi, Dompu Kanan: Mitigasi bencana dilakukan dengan menanam pohon di Desa Kuripan Selatan, Lombok Barat.

Salah satu strategi untuk mewujudkan masyarakat tangguh bencana dan perubahan iklim adalah pembentukan Kelompok Masyarakat Penanggulangan Bencana (KMPB). Salah satu peran KMPB adalah mensosialisasikan hasil prediksi pola curah hujan. Sosialisasi bahwa pada bulan Desember 2016, dan Januari-Maret 2017 diprediksikan akan terjadi hujan lebat, yang berpotensi terjadi banjir.

33 KERUGIAN BERKURANG, KESIAPSIAGAAN MENINGKAT

Apabila turun hujan 3-5 hari secara berturut-turut, Pemerintah Desa hanya menghimbau masyarakat untuk waspada terhadap bencana yang akan terjadi. Ketika terjadi banjir, masyarakat sangat panik. Seperti yang diceritakan oleh Ibu Imas, warga Desa Sugian saat kejadian banjir tahun 2006: “Saat itu ada suara gemuruh dari atas bukit malam hari. Bingung! Ternyata banjir bandang! Tidak pernah selama saya tinggal di kampung ini ada banjir. Kami berlari-lari ke bukit-bukit sambil gendong orang-orang tua dan anak-anak. Semua barang kami tinggal. Habis semua barang yang di rumah, ternak juga mati!�. Banjir kemudian melanda Desa Sugian tahun 2012, 2014, dan 2017; hingga masyarakat menyebutnya sebagai banjir 2 tahunan.


CARA BARU MEMBACA CUACA

34

Berdasarkan PCH itulah, KMPB di 3 desa itu membuat jadwal kesiapsiagaan dan rencana kontinjensi ketika terjadi banjir. Bersama pemerintah desa dan warga, sejak Desember 2016 sampai Februari 2017, KMPB mempersiapkan alat peringatan dini, alat evakuasi, mengontrol jalur evakuasi dan titik aman untuk berkumpul. Mereka juga meminta warga untuk mempersiapkan barang berharga dan mengungsikan orang tua, anak-anak serta ternak ke tempat aman. Banjir terjadi tanggal 7 Februari 2017 di Desa Sugian dan 11 Februari 2017 di Desa Dara Kunci dan Madayin. Bencana banjir kali ini begitu dahsyat dibandingkan banjir pada tahun sebelumnya, debit air tidak bisa dibendung sehingga tanggul-tanggul jebol dan jembatan penghubung ke tiga desa ini terputus. Akibatnya jalan antar dusun dalam desa terisolir, sawah dan ladang tergerus hanyut terbawa air dan berubah menjadi lahan bebatuan, jalan-jalan berubah menjadi aliran sungai, pepohonan tumbang, bangunan dan rumah-rumah roboh/rusak, hingga aliran listrik padam selama 5 hari. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, ketika mendengar suara gemuruh, orang yang berjaga membunyikan alat peringatan dini dengan menggunakan telepon, pengeras suara di masjid dan musholla, serta ‘tongkek’ (alat pemukul tradisional yang terbuat dari bambu). Mendengar peringatan itu, sambil membawa barang berharga yang telah disiapkan, warga bergegas lari mengikuti jalur evakuasi ke tempat-tempat aman. Tidak lagi panik seperti peristiwa sebelumnya. Masyarakat benar-benar lebih siap siaga dalam menghadapi banjir 2017, sehingga ternak dan barang berharga dapat diamankan. Kesiapsiagaan KMPB Desa Cendi Manik, Kabupaten Lombok Barat Desa Cendi Manik, adalah satu desa di Kabupaten Lombok Barat yang rawan banjir rob. Padahal di sepanjang pantai, banyak kegiatan ekonomi masyarakat. Ada yang menambang batu untuk mendapatkan emas, ada pula yang mengusahakan tambak ikan dan kepiting. KMPB Cendi Manik yang diketuai oleh Halil Munawar, menyatakan: “Ketika ada informasi PCH bahwa Desember 2016 sampai Februari 2107 akan terjadi hujan lebat, saya bersama anggota KMPB melakukan persiapan. Menyusun rencana kontinjensi, termasuk menganjurkan penambang untuk mengambil batu sebanyak-banyaknya untuk stok selama 3 bulan. Juga meminta nelayan untuk tidak menabur benih ikan menjelang musim hujan�. Dan ternyata memang prediksi itu terbukti, Februari 2017 terjadi banjir rob.


Mitigasi Bencana Banjir di Desa Dara Kunci, Sugian dan Songgajah Desa Songgajah, Kabupaten Dompu adalah desa yang termasuk daerah rawan banjir, mengingat letak desa ini berada di dataran rendah yang dikelilingi oleh bukit-bukit yang kini sudah gundul. Ketika terjadi banjir, sungai yang melalui desa ini akan cepat meluap dan mengenai lahan dan pemukiman di sekitarnya. Ini terjadi karena sungai penuh dengan material dan kayu-kayu.

(Petani Desa Songgajah) “Dengan PCH kita bisa tahu kapan banjir akan datang, sehingga kita bisa gotong royong membersihkan sungai 2 kali sebelum musim hujan tiba. Sebelumnya, ada korban ternak dan tanaman rusak di sekitar aliran sungai karena air meluap dari sungai, tetapi kini tidak ada korban lagi�.

Pembuatan bronjong untuk mencegah banjir di Desa Dara Kunci. KMPB dan Pemdes bersinergi untuk mitigasi bencana

Demikian pula yang terjadi di Desa Dara Kunci dan Sugian. Dua desa ini berhasil melakukan normalisasi sungai di desa mereka. Dara Kunci berhasil mengalokasikan anggaran dari dana desa sebesar 180 juta rupiah (USD 12,609) untuk pengerukan sungai, pembuatan tanggul dan pembuatan bronjong sepanjang 300 meter, sedangkan di Sugian mendapatkan anggaran dari Pemda untuk normalisasi sungai sepanjang 300 meter.

35 KERUGIAN BERKURANG, KESIAPSIAGAAN MENINGKAT

Ibu Badriah

Dulu sebelum mendapatkan informasi PCH, warga Songgajah akan bergotong royong membersihkan sungai setelah terjadi banjir. Tetapi kini, warga yang dimotori oleh KMPB mengantisipasinya dengan membersihkan sungai sebelum musim hujan tiba.


CARA BARU MEMBACA CUACA

36

Perencanaan BPBD Lebih Terarah Drs. Imran M. Hasan (Kepala Pelaksana BPBD Dompu) “Atas dasar PCH kita bisa membuat perencanaan program pengurangan risiko bencana dengan lebih tepat guna. Apalagi kalau selain aplikasi curah hujan, juga ada aplikasi potensi bencana. Lengkap sudah!”.

Semua BPBD, baik di Kabupaten Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, Dompu maupun Nagekeo menyatakan sikap tegas bahwa PCH ini sangat besar manfaatnya. Manfaat itu antara lain bisa memastikan daerah-daerah mana yang memiliki potensi bencana, baik kekeringan maupun banjir sebagai acuan untuk pembuatan perencanaan dengan jadwal yang lebih pasti. “Kalau PCH ini akan dibuat dalam bentuk aplikasi di HP Android, saya akan alokasikan anggaran khusus untuk itu!”, begitu sikap tegas Drs. Imran M. Hasan, Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Dompu. Pernyataan tegas akan pentingnya Model PCH ini juga disampaikan oleh BPBD dari 4 kabupaten yang lain. Demikian pula halnya dengan Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB), menyatakan akan kebutuhan mereka mendapatkan informasi model PCH secara rutin. Drs. H. Lalu Wirakarma, M.M Ketua FPRB Kabupaten Lombok Tengah: “Terus terang, sebelum ada WN dan BD yang perkenalkan PCH, kami tidak tahu harus melakukan apa. PCH ini membuat kami sibuk mengkaji desa-desa untuk dijadikan Desa Tangguh6, sekaligus hasil kajian kami gunakan untuk mendorong pemerintah kabupaten membeli aplikasi PCH”, demikian menurut Wirakarma.

Lalu Muhammad Guntur Gagarin (Kasie Pencegahan dan Kesiapsiagaan, BPBD Lombok Barat) “Dengan adanya PCH ini dan keberadaan FPRB, menjadikan pekerjaan penanganan bencana banjir tahun lalu menjadi lebih cepat. Tidak ada lagi sekatsekat di antara dinas. Perencanaan menjadi lebih terarah dan koordinasi lebih cepat”.

Pernyataan Ketua Forum Pengurangan Risiko Bencana (FPRB) Lombok Tengah diamini pula oleh Kepala Pelaksana BPBD Lombok Tengah, Drs. H. Muhammad. Beliau menyatakan BPBD merupakan salah satu pihak yang merespons positif presentasi tentang PCH. Menurut Muhammad, di Lombok Tengah berlaku hukum linier dependent: “Jika terjadi kekeringan yang panjang dan luas, maka akan diikuti juga dengan meningkatnya potensi banjir. Oleh karena itu mitigasi bencana di sini sangat membutuhkan data PCH”. Kabid Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Lombok Tengah, H. Lendek Jayadi, SE, MM, yang juga merangkap anggota di FPRB Lombok Tengah, mendukung kolaborasi FPRB dan BPBD, untuk pengadaan aplikasi PCH. “Namun sebenarnya PCH merupakan kepentingan banyak instansi, tidak hanya BPBD dan FPRB saja. Dinas Pertanian dan Dinas Lingkungan Hidup juga membutuhkannya.”

6. Desa Tangguh Bencana (Destana) adalah desa yang memiliki kemampuan mandiri untuk beradaptasi dan menghadapi ancaman bencana, serta memulihkan diri dengan segera dari dampak bencana yang merugikan.


PCH menjadi Amunisi Baru dalam Pendampingan Prediksi Pola Curah Hujan, bagi mitra WN adalah pendekatan model baru, yang berbeda dengan pendekatan selama ini. Disebut baru, karena ada unsur penerapan sebuah hasil penelitian menggunakan teknologi tinggi yang hanya dikuasai oleh ahli-ahli tertentu saja. Berbeda dengan model-model pemberdayaan masyarakat (yang selama ini menjadi ‘trade mark’ WN dan mitranya), yang menekankan warga masyarakat dampingan sebagai pengkaji kondisi lingkungannya dan menggunakan potensi lokal yang ada sebagai jalan keluar dari permasalahan yang dihadapi masyarakat. Marselinus Mau

“Kami dulu coba dengan satu – dua petani yang sudah dekat dengan kita. Dan ternyata prediksi PCH tepat, sehingga kami bisa yakin. Baru tahun 2016 kami mulai sosialisasi dengan skala yang besar”.

Prestasi luar biasa yang diraih YMTM dalam program sebelumnya: pengembangan wanatani dan distribusi lahan komunal melalui pendekatan tokoh-tokoh adat pemilik lahan dan pemerintah desa, belum cukup untuk menimbulkan kepercayaan diri di awal sosialisasi PCH. Mereka lebih memilih melakukan pendekatan personal dengan beberapa tokoh kunci yang sudah memiliki hubungan baik dengan YMTM untuk mencoba menerapkan PCH di lahan mereka. Strategi YMTM ini cukup positif. Meskipun terkesan lambat di awal, namun dampak program ini didengar oleh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Nagekeo. Apalagi dengan posisi strategis Marselinus Mau yang terpilih menjadi Ketua FPRB Kabupaten Nagekeo sejak tahun 2015.

Model PCH terus disebarluaskan oleh YMTM Flores kepada masyarakat Nagekeo

Salah satu dampak dari aktivitas YMTM dalam menyebarluaskan model PCH ini antara lain dikenalnya YMTM sebagai lembaga pelopor PCH. Sehingga para

37 KERUGIAN BERKURANG, KESIAPSIAGAAN MENINGKAT

(Koordinator YMTM Flores)

Model PCH ini menjadi tantangan yang menarik bagi WN dan lembagalembaga mitranya. Bagaimana cara menggabungkan unsur pemberdayaan masyarakat yang bottom up, dengan PCH hasil analisa ahli yang cenderung top-down? Bagaimana meyakinkan masyarakat dampingan dengan kearifan lokalnya yang tradisional, dengan PCH yang merupakan produk dari luar? Dan yang jauh lebih penting adalah bagaimana seorang staf atau Petugas Lapangan meyakinkan dirinya sendiri bahwa PCH bisa menggantikan atau bersanding dengan sistem prediksi musim tanam yang dianut masyarakat?


CARA BARU MEMBACA CUACA

38

pemangku kepentingan, akan langsung merekomendasikan YMTM sebagai lembaga yang memiliki keahlian khusus dalam PCH. Ini menguntungkan langkah YMTM di masa depan, sebagai leading agency dalam pemodelan PCH di Kabupaten Nagekeo. Bagi Lembaga Studi Pengkajian Lingkungan (LESPEL), LPSDM, Berugak Dese (BD) dan PSP-NTB, jalan advokasi masih membutuhkan energi hingga dapat menumbuhkan komitmen Pemda. Namun pengalaman lapangan menjadi modal dasar untuk mempercepat proses advokasi. Yang menarik, LESPEL berhasil meletakkan dasar akan kebutuhan PCH ini bagi petani. Status ‘Pawang Hujan’ melekat pada sebagian Pendamping Lapangan, sejak mereka memperkenalkan PCH. Status ini dihadiahkan oleh warga, sebagai kekaguman warga atas keakuratan prediksi PCH. Amir Hamzah, salah seorang staf LESPEL (atau biasa dipanggil Pak Emo oleh masyarakat), menyatakan bahwa mensosialisasikan PCH bukan hal yang mudah. Ada kepercayaan masyarakat di Dompu bahwa urusan hujan bukan merupakan urusan manusia, tetapi urusan Tuhan. Artinya, orang yang mendorong untuk mempercayai PCH seakan-akan berperilaku mendahului kehendak-Nya. “Saya justru akan membalikkan pernyataan itu, dengan menyampaikan bahwa Tuhan justru memerintahkan dalam Al-Quran, agar manusia membaca (Iqro) tanda-tanda dari-Nya. Sedangkan membaca itu bisa diarahkan kepada membaca hal-hal yang tersurat maupun yang tersirat. Alhamdulilah dengan penjelasan ini, warga mulai bisa menerima”, demikian kesaksian Pak Amir. Apalagi ternyata beberapa kali PCH terbukti, sehingga Pak Amir mulai dianggap sebagai ‘pawang hujan’ oleh warga dampingannya.

Atas: Amir Hamzah, Staf LESPEL Dompu Bawah: Direktur LESPEL Dompu dan Regional Director WN melakukan kunjungan lapangan

Pengakuan masyarakat akan keakuratan PCH merupakan hal yang positif. Namun ahli PCH dari ITB, DR. Armi Susandi, MT, menegaskan bahwa idealnya data untuk prediksi PCH yang berlaku 5 tahun harus di up-date setiap 2,5 tahun; karena akurasi PCH akan berkurang setelah 2,5 tahun. Tetapi untuk kepentingan penganggaran dan kepraktisan dalam pelaksanaan suplai data, update bisa dibuat setiap 2 tahun sekali. Jika up-date data tidak dilakukan


rutin, akan berakibat pada menurunnya akurasi PCH. Jika ini terjadi, tidak terbayangkan apa dampaknya bagi tingkat kepercayaan warga masyarakat/ petani terhadap para Pendamping Lapangan, ketika data PCH tidak akurat. Pada saat ini, lembaga mitra WN memiliki amunisi baru yang membuat mereka merasa dibutuhkan oleh masyarakat. Status sebagai perantara untuk menerjemahkan PCH kepada masyarakat, membuat mereka sangat percaya diri dalam memotivasi masyarakat pada satu sisi, dan mendesak pemerintah daerah pada sisi lain. Pengakuan para pihak yang berkepentingan terhadap lembaga mitra dan WN sebagai ahli PCH dalam kasus ini, menjadi semacam amunisi yang ampuh dalam bargaining position lembaga untuk meyakinkan para pihak terhadap pentingnya program ini.

Adim, Kepala Desa Montong Sapah

PCH juga menjadi amunisi bagi Kepala Desa Montong Sapah: Adim, untuk merevitalisasi peran KMPB di desanya. Kepala Desa ini merasa bahwa PCH merupakan metode lain yang lebih bisa dipelajari masyarakat umum, dibandingkan dengan sistem kalender sasak atau urige, yang membutuhkan keahlian membaca bintang. Peran Kades Montong Sapah diakui oleh Staf Berugak Dese (LSM mitra WN), Abdillah. “Orang-orang seperti Pak Adim, sangat dibutuhkan bagi desa-desa wilayah kerja kami di bagian Selatan, termasuk Montong Sapah ini. Tokoh yang memiliki wewenang, mendukung program, dan aktif mendorong warganya untuk memanfaatkan program ini. Secara umum desa-desa di wilayah Utara lebih cepat menerima PCH dibandingkan di bagian Selatan. Karena, wilayah Utara Kabupaten Lombok Tengah sudah lebih dahulu bersentuhan dengan programprogram LSM. Baru tahun 2017 masyarakat di wilayah Selatan mulai percaya dengan PCH”.

39 KERUGIAN BERKURANG, KESIAPSIAGAAN MENINGKAT

LPSDM (lembaga mitra WN), mengungkapkan bahwa PCH ini menjelma menjadi ‘warisan’ berharga, baik bagi lembaganya maupun masyarakat dampingannya. Menurut M. Azri Imaduddin, Supervisor Program LPSDM, “Jujur saja, model ini (PCH) sangat membanggakan, karena kita bisa mewariskan hal yang berharga dan bermanfaat bagi petani untuk jangka panjang”. LPSDM optimis, PCH akan terus dimanfaatkan oleh masyarakat, karena manfaatnya sangat berkaitan dengan dunia pertanian atau mata pencaharian masyarakat, maupun mitigasi bencana. Sebuah isu yang sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat.


40 CARA BARU MEMBACA CUACA


KEBIJAKAN BERBASIS DATA

Prediksi Pola Curah Hujan yang telah diterapkan di desa-desa dampingan mitra WN telah berhasil mendorong komitmen pemerintah daerah di 5 kabupaten lokasi program WN untuk mengadopsi PCH dalam perencanaan pembangunan daerah. Sebuah peluang bagi daerah untuk menyusun kebijakan berbasis data. Pemerintah Kabupaten dan Dinas atau OPD terkait di 5 kabupaten berkomitmen akan menganggarkan pembelian dan penerapan aplikasi PCH ke dalam sistem Android untuk perencanaan tahun anggaran 2019. Bahkan Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Nagekeo telah memasukkan aplikasi PCH dalam Rencana Kerja Dinas tahun 2019.

41 KEBIJAKAN BERBASIIS DATA, PELUANG KONTRIBUSI PCH

PELUANG KONTRIBUSI PCH


CARA BARU MEMBACA CUACA

42

Kosmas D. Lana SH. MSi, Pjs Bupati Nagekeo

Kosmas D. Lana SH. MSi (Pjs Bupati Nagekeo) “Aplikasi PCH ini akan dapat menjawab kerinduan saya terhadap penggunaan teknologi dalam merumuskan kebijakan dan mengelola pemerintah”

Drs. Imran M. Hasan (Kepala Pelaksana BPBD Dompu) ”Saya akan alokasikan anggaran pengadaan aplikasi PCH khusus untuk potensi bencana. PCH ini penting karena akan memudahkan kami dalam membuat perencanaan dan kesiapsiagaan.”

Prediksi Pola Curah Hujan (PCH) yang dikembangkan oleh WN, telah dapat menumbuhkan komitmen Pemerintah Daerah di 5 kabupaten. Lima kabupaten itu, yakni Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Barat, Dompu, dan Nagekeo telah menyatakan ‘kebutuhan’ mereka akan PCH. “Kami telah mengambil keputusan untuk memasukkan pengadaan aplikasi PCH ke dalam perencanaan tahun 2019, sehingga tahun depan sudah bisa mulai”, tekan Kosmas D. Lana SH. MSi, sebagai Pejabat Sementara (Pjs) Bupati Nagekeo ketika ditanya perihal penerapan PCH. Pernyataan lain yang menegaskan komitmen Pemerintah Kabupaten Nagekeo adalah dari Oliva Monika Mogi, Sekretaris Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan: “Kami telah memasukkan kegiatan pengadaan dan penerapan aplikasi PCH ke dalam Rencana Kerja Dinas Pertanian Tahun 2019”. Pernyataan itu dipertegas oleh Agustinus Fernandes, SE (Kepala Bappeda Nagekeo): “Aplikasi PCH akan menjadi titik masuk bagi pemerintah kabupaten untuk menerapkan sistem digital dalam proses perencanaan dan penganggaran daerah. Bahkan bisa menjadi alat monitoring untuk menilai kinerja pegawai dinas. Karena bisa dilihat langsung oleh masyarakat realisasi dari rencana program mereka”. Pernyataan serupa datang dari Drs. Imran M. Hasan, Kepala Pelaksana BPBD Dompu: ”Saya akan alokasikan anggaran pengadaan aplikasi PCH khusus untuk potensi bencana. PCH ini penting karena akan memudahkan kami dalam membuat perencanaan dan kesiapsiagaan”. Minat serupa juga datang dari Yuliadin S.Sos, Ketua DPRD Kabupaten Dompu yang menyatakan kesiapannya untuk menerima anggaran yang diajukan oleh pemerintah dan dinas terkait, perihal penerapan PCH. Komitmen yang sama untuk menerapkan PCH dalam perencanaan juga disampaikan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Dompu H. Agus Buhari, yang akan memastikan Bupati Dompu, untuk menerapkan PCH. Mitra WN melalui Forum PRB, juga telah berhasil mendorong dinasdinas terkait dan DPRD untuk menerapkan PCH. Nurul Ilham, dari Dinas Perumahan Rakyat, Kabupaten Lombok Timur (yang juga anggota FPRB) menyatakan: “Dengan menggunakan data PCH, saat rapat koordinasi dengan Dinas Perumahan Provinsi, kami bisa memberikan kepastian jadwal, kapan pembangunan rumah layak huni bagi KK


Yuliadin S.Sos (Ketua DPRD Kabupaten Dompu) “Saya siap untuk perjuangkan Anggaran PCH!”

miskin. Ini diapresiasi oleh Dinas Provinsi NTB”. Bahkan FPRB Lombok Barat berhasil mendapatkan anggaran dari dana aspirasi DPRD Lombok Barat sebesar 100 juta rupiah (USD 7,000) untuk melakukan kajian risiko di 12 desa.

Faktor lain yang mempengaruhi keberhasilan advokasi adalah kesaksian petani yang telah merasakan manfaat PCH dalam berbagai kegiatan seperti audiensi, hearing dan lokakarya. Kesaksian petani ini penting untuk dapat meyakinkan para pemangku kepentingan terutama pemerintah. Tentu komitmen pemerintah daerah ini harus terus dikawal, agar komitmen ini berujung pada terealisasinya pengadaan dan penerapan PCH ke dalam sistem perencanaan dan pembangunan daerah.

Staff BPBD melakukan sosialisasi PCH di Desa Beringin Jaya, Dompu

43 KEBIJAKAN BERBASIIS DATA, PELUANG KONTRIBUSI PCH

Tumbuhnya komitmen pemerintah daerah ini menunjukkan bahwa kegiatan advokasi yang dilakukan oleh mitra WN dalam ‘memasarkan’ PCH telah berhasil. Walaupun belum ada kepastian terhadap pendayagunaan PCH, tetapi komitmen awal untuk mengalokasikan anggaran adalah salah satu wujud keberhasilan itu. Faktor yang paling berpengaruh adalah munculnya “kebutuhan”, seperti yang diungkapkan Pjs Bupati Nagekeo, “Kegiatan ini, sesungguhnya membantu Pemda, karena selama ini kita hanya mengandalkan sistem pengetahuan tradisional yang sudah tidak mampu melihat anomali cuaca. Tradisi itu baik tapi belum tentu benar, sementara PCH yang ditawarkan ini, menurut saya baik dan benar, karena menggunakan teknologi yang berdasarkan keilmuan”.


44 CARA BARU MEMBACA CUACA


PELUANG DAN TANTANGAN KEBERLANJUTAN PCH

Banyak cerita sukses yang berhasil diraih oleh mitra-mitra WN dengan penerapan pemodelan prediksi pola curah hujan di Nusa Tenggara. Tujuan untuk dapat mengurangi risiko bencana, baik itu risiko gagal tanam, gagal panen termasuk risiko banjir dengan adanya model PCH ini telah dapat berkontribusi positif. Namun, agar penerapan model PCH ini dapat berjalan berkelanjutan, masih membutuhkan upaya perbaikan dan penguatan. Upaya itu antara lain bagaimana memadukan model PCH dengan tradisi dan nilai adat istiadat, bagaimana membelajarkan antar-petani agar sebaran informasi PCH dapat diperluas, bagaimana bekerja sama dengan pihak terkait untuk pembaruan data secara reguler guna peningkatan akurasi data PCH, dan bagaimana mendorong pemerintah daerah untuk menerapkan dan mendayagunakan PCH dalam sistem perencanaan dan pemantauan program pembangunan daerah.

45 GAGASAN CERDAS UNTUK DIKOMUNIKASIKAN, PELUANG DAN TANTANGAN KEBERLANJUTAN PCH

GAGASAN CERDAS UNTUK DIKOMUNIKASIKAN


CARA BARU MEMBACA CUACA

46

Pengalaman sosialisasi dan penerapan PCH di Nusa Tenggara, telah menunjukkan keberhasilan dari proses pembelajaran, termasuk bagaimana muncul beberapa pionir yang telah yakin dan mengajak petani-petani lain untuk menerapkan PCH. Mereka menggunakan metode memberi contoh di demplot-demplot milik mereka, karena ini cara yang paling efektif untuk mempengaruhi pilihan petani. Apalagi jika mengingat peran dan potensi para petani muda yang pro-teknologi tinggi, seperti pemanfaatan gadget sebagai sumber informasi PCH. Advokasi yang dilakukan juga telah menunjukkan lampu hijau, dimana para pemangku kepentingan, termasuk pucuk pimpinan daerah seperti Pjs Bupati Nagekeo dan Bupati Dompu mendukung agar OPD mengalokasikan anggaran untuk dukungan penerapan PCH di wilayahnya. Forum PRB bahkan terlibat aktif mendorong proses ini, seperti yang ditunjukkan FPRB Nagekeo, Lombok Tengah, Lombok Barat, Lombok Timur dan Dompu. Namun di balik itu semua, masih dibutuhkan kerja keras untuk perubahan yang menyeluruh dan langgeng. Lembaga-lembaga mitra dan WN perlu merancang sebaik-baiknya proses ini. Padahal, sudah bukan rahasia lagi bahwa sebuah program atau proyek biasanya merupakan pertarungan tarik-menarik kepentingan antara proses dan pencapaian indikator program/proyek, antara angka-angka statistik dengan cerita jujur masyarakat. Metode komunikasi yang digunakan lembaga-lembaga mitra WN dalam mensosialisasikan PCH masih didominasi oleh komunikasi tatap muka. Cara ini ditempuh, karena memang masyarakat petani di desa-desa dampingan PCH masih menggunakan pola komunikasi tatap muka sebagai forum pembelajaran mereka. Hal ini disebabkan oleh usia rata-rata petani yang tergolong para petani senior, yang tidak terlalu terpengaruh oleh perkembangan informasi dan teknologi. Hal ini berdampak pada media-media pembelajaran yang dikembangkan oleh lembaga-lembaga mitra WN, yang masih mengandalkan mediamedia cetak dan tulisan (termasuk tulis tangan) yang dikombinasikan dengan ceramah dan praktek lapangan oleh Pendamping Lapangan. Dalam perjalanan program, PCH mengalami perubahan tenggat waktu untuk menjamin akurasinya. Awalnya model PCH bersifat bulanan, kemudian berubah menjadi setiap sepuluh harian (dasarian). Berbagai cara dilakukan agar informasi PCH dapat cepat diterima warga. Amir Hamzah, ‘pawang hujan’ dari LESPEL, membuat catatan tulisan tangan pribadi di bukunya, untuk mengingatkan data terbaru PCH yang harus disampaikan kepada masyarakat.


Lain lagi dengan cara yang digunakan oleh YMTM dan PSP-NTB, mereka mengkonversi peta curah hujan ke dalam bentuk tabel kalender musim, yang dengan mudah diperbanyak dengan cara di-print. Tabel curah hujan ini dinilai efektif jika dibandingkan peta warna-warni, karena ternyata bagi petani yang buta warna akan sangat sulit membacanya.

Untuk mensiasati keterbatasan ini, gagasan mendorong proses pembelajaran antar-petani (peer to peer) termasuk metode kunjungan silang antar-desa atau kelompok, menjadi sangat penting. Memaksimalkan fungsi media pembelajaran yang bervariasi, bisa juga menjadi solusi alternatif. Strategi komunikasi juga menjadi hal yang penting untuk dirancang, dengan mempertimbangkan konteks kearifan lokal dan sistem informasi dan komunikasi yang bervariasi di masyarakat. Misalnya masyarakat diajak untuk melakukan ujicoba, membandingkan antara tradisi mereka dalam membaca cuaca dengan PCH. Merefleksikan bersama, apa perbedaan dan kesamaan antara tradisi dengan cara PCH. Sedangkan untuk kasus di Kabupaten Nagekeo, dimana petani masih terikat dengan aturan adat tentang musim tanam padi, YMTM perlu melibatkan para tokoh adat yang memiliki wewenang khusus mengatur musim tanam, untuk secara bersama-sama mengkaji integrasi PCH ke dalam kepentingan adat setempat. Jangan sampai muncul kesan antara cara adat dan PCH saling berhadap-hadapan. Advokasi kebijakan pemerintah, termasuk pemerintah desa, telah mulai menampakkan hasilnya. Misalnya di Desa Dara Kunci dan Sugian, KMPB dan Pemdes di Lombok Timur telah bersinergi untuk mitigasi bencana banjir dengan program-program pembuatan tanggul dan pemasangan bronjong. Pada tingkat daerah, instansi pemerintah seperti BPBD, Dinas Pertanian dan Forum PRB bersinergi dengan mitramitra WN (LPSDM, PSP, LESPEL, YMTM, BD) untuk mengkaji potensi PCH bagi mitigasi bencana di daerah mereka. Peluang ini sangat besar

47 KEBINGUNGAN PETANI MEMBACA CUACA

Berdasarkan diskusi bersama masyarakat, memang sebagian petani belum sepenuhnya paham cara membaca peta curah hujan yang ada. Petani masih membutuhkan bantuan Pendamping Lapangan untuk menerjemahkan informasi-informasi yang lebih detail dari peta PCH. Sehingga memang pola komunikasi tatap muka masih harus dilakukan oleh lembaga mitra WN. Namun masalahnya, Pendamping Lapangan dalam program ini tidak tinggal di desa, karena setiap PL bertanggung jawab atas lebih dari satu desa, sehingga mereka harus berpindahpindah dari satu desa ke desa lainnya.


CARA BARU MEMBACA CUACA

48

bagi Pemerintah Daerah Lombok Timur, mengingat FPRB telah berhasil mendorong Pemda mengintegrasikan isu perubahan iklim dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah. Salah satu yang harus diperhatikan dalam advokasi kebijakan pemerintah daerah yang dilakukan oleh FPRB adalah perlu adanya orang yang mengerti advokasi, memahami kebutuhan masyarakat, mempunyai pengaruh dan kedekatan dengan pejabat pemerintah daerah. Menemukan dan menempatkan orang-orang ini dalam kepengurusan FPRB, terutama Ketua akan menjadi strategi penting untuk keberhasilan advokasi. Hal ini ditegaskan pula oleh Program Associate WN, Sasmita Ibarna: �Kita pernah punya pengalaman kurang baik, ketika sebuah forum para pihak dipimpin oleh orang yang tidak tepat sehingga proses advokasi tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Dan jika ini terjadi, dibutuhkan energi besar untuk melakukan koreksi�. Peran WN adalah mengawal pemerintah daerah untuk memastikan alokasi anggaran untuk pengembangan aplikasi PCH dan pembaruannya dimasa mendatang. Dan yang lebih penting lagi adalah memastikan pemerintah daerah menggunakan data dan informasi PCH dalam pembangunan daerah, melatih staf pemerintah terutama penyuluh lapangan dalam hal teknik penggunaan peta PCH agar mereka mampu menyebarluaskan informasi PCH dengan benar kepada kelompok tani dan masyarakat. Artinya, peran WN dan lembaga mitranya tidak bisa berakhir begitu saja meskipun nanti pemodelan PCH diambilalih oleh Pemerintah Daerah.

Umbi-umbian dan biji-bijian, adalah tanaman lokal yang mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim. Tanaman ini wajib dikembangkan di daerah lahan kering di Nusa Tenggara.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.