Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Bagian Satu : Sekolah Aman Belajar Nyaman
Sekolah Aman, Belajar Nyaman (Sebuah Pengantar)
Indonesia wilayah yang rawan terhadap bencana, terutama gempa bumi dan tsunami. Ini disebabkan oleh letak geografis Indonesia yang berada pada pertemuan empat lempeng bumi, yaitu Eurasia, India, Australia, dan Pasifik yang aktif bergerak dan berada di wilayah cincin gunung api. Kejadian gempa setiap tahun terjadi di hampir seluruh provinsi, beberapa di antaranya diikuti oleh tsunami yang parah seperti yang terjadi di Aceh pada tahun 2004 yang menelan korban jiwa tidak kurang dari 220.000 jiwa.
1
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Pemerintah Indonesia terus menerus mengupayakan pengurangan risiko bencana dan mengeluarkan kebijakan UU No 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dimana pengurangan risiko bencana termasuk di dalamnya. Di dunia pendidikan, penghuni sekolah yang terdiri dari siswa, guru dan penghuni sekolah lainnya termasuk komunitas yang rentan terhadap bencana, data BNPB menunjukkan 75% sekolah di Indonesia berada pada kawasan risiko sedang hingga tinggi terhadap gempa dan/atau tsunami.
Program rintisan Sekolah Aman, kerjasama World Bank dengan Kemendikbud diselenggarakan dengan
memberikan bantuan teknis kepada 6 Kota/Kabupaten yang tersebar di 3 Provinsi.
Pengurangan risiko bencana di sekolah menjadi bagian yang harus diupayakan dalam penanggulangan bencana. Guna menjamin hal tersebut, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mengeluarkan kebijakan berupa Perka BNPB No. 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. Menyambut kebijakan tersebut, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mulai mendorong perwujudan sekolah aman. Bekerjasama dengan World Bank dengan dana dari Basic Education Capacity Trust Fund (BEC-TF) danGlobal Facility for Disaster Reduction and Recovery(GFDRR), Kemendikbud memprakarsai program percontohan sekolah aman dengan memberikan bantuan teknis pada 6 Kota/Kabupaten yang tersebar di 3 Provinsi sebagai berikut. (1) Provinsi Jawa Barat, terdapat di Kota Bandung dan Kabupaten Bandung yang masing-masing terdiri dari 30 sekolah percontohan dengan dana GFDRR; (2) Provinsi Sumatera Barat, di Kota Padang dan Kabupaten Padang Pariaman yang masing-masing terdiri dari 30 sekolah percontohan dengan dana GFDRR; dan (3) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Timur masing–masing 30 sekolah percontohan dengan dana BEC-TF. Khusus untuk NTB pendampingan ditambah dengan isu hemat energi pada 2 lokasi sekolah yang belum terlayani Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pemilihan sekolah percontohan dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kota/Kabupaten setempat berdasarkan kepada kriteria sekolah dasar dan/atau SMP penerima dana alokasi khusus (DAK) rehabilitasi 2012. Bantuan teknis yang
2
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
diberikan berupa pendampingan (fasilitasi) dan advokasi (kampanye penyadaran) sekolah aman baik untuk komponen struktural maupun nonstruktural mengacu pada Perka BNPB No. 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. Untuk komponen struktural terutama menyangkut aspek struktur bangunan pada ruang kelas dan/atau perpustakaan mengacu pada standar dari PU yang tertuang pada Permen PU No. 45/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Gedung Negara. Sedangkan untuk hemat energi, ada dua sekolah percontohan di Lombok Barat dan Lombok Timur yang diberikan bantuan energi terbarukan berupa solar cell dan turbin angin dengan sistem hybrid, yaitu sistem yang memadukan 2 sumber energi, matahari dan angin. Untuk mendukung kegiatan belajar, setiap siswa diberikan bantuan lampu LED dengan daya 1 watt agar bisa dipakai untuk penerangan saat belajar di malam hari. Lampu LED ini dapat diisi-ulang dengan sumber energi listrik dari solar cell di sekolah Dengan bantuan teknis ini diharapkan: 1) DAK rehabilitasi 2012 dipakai untuk penguatan bangunan yang sesuai dengan standar aman terhadap gempa, 2) peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan komunitas sekolah dalam manajemen dan pengurangan risiko bencana, 3) praktik baik yang dihasilkan dapat dibagikan kepada parapihak terkait untuk diterapkan di sekolah lainnya.
3
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Indikator Sekolah Aman Indikator program penyelenggaraan sekolah aman ini dikembangkan dengan mengacu pada dua aspek, struktural dan nonstrukturaldalam Perka BNPB No. 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana.
Struktural Aspek
Indikator
Struktur Bangunan Menggunakan komponen struktur sloof, balok dan kolom Dimensi besi sesuai dengan standar Permen PU/45/PRT/2007 tentang Pedoman Teknis Bangunan Gedung Negara Terdapat ikatan antar komponen sesuai dengan ketentuan teknis PU Arsitektural Bahan dinding, lantai, atap, kusen, plafon sesuai dengan standar SNI Lantai tidak licin dan berlubang Pintu 2 daun dan terbuka keluar Saran Prasarana Tersedia air bersih untuk minum dan sanitasi, energi lsitrik dan/atau gas yang cukup serta memenuhi standar aman Tersedia air yang cukup untuk pemadaman kebakaran Tersedia alat pemadam kebakaran Tiang bendera, lemari dan papan nama diangkurkan Bahan berbahaya dan berracun disimpan di tempat aman dan diangkurkan Meja kokoh dan cukup untuk tempat berlindung Tata Ruang Terdapat garis sempadan Simetris Terdapat area untuk evakuasi Koridor cukup luas untuk evakuasi Tata ruang kelas tidak menghalangi evakuasi
4
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Nonstruktural Aspek
Indikator Kapasitas Mengenali jenis-jenis bencana potensial di lingkungan sekolah Pengetahuan, sikap dan keterampilan terhadap bencana Perencanaan Memiliki peta-peta hasil penilaian kondisi sekolah (struktural dan non struktural) Mempunyai rencana induk sekolah aman Mempunyai Rencana Pengembangan Jangka Menengah Sekolah (RPJMSA) Sekolah Aman Mempunyai DED rehabilitasi bangunan sekolah yang tahan gempa
N
Mempunyai RAB rehabilitasi sekolah aman Mempunyai Rencana Aksi Tahunan
Kebijakan Kebijakan yang dikembangkan menjamin kemanan sekolah
Memiliki prosedur operasional dan pemeliharaan bangunan Memiliki prosedur tetap evakuasi dan peringatan dini
Terdapat poster jalur evakuasi yang dipsang di tempat strategis Mobilisasi Sumber Daya Memiliki Komite Bencana dan Keselamatan Sekolah Melakukan kegiatan simulasi evakuasi secara rutin
Memiliki cadangan makanan dan minuman untuk kondisi darurat
Memiliki sarana dan prasarana untuk tanggap darurat seperti tandu dan P3K
5
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Tahapan Kegiatan Pengkajian/pemetaan Pengkajian atau pemetaan dilakukan dengan melibatkan komunitas sekolah yang terdiri atas kepala sekolah, guru, siswa, komite sekolah (orang tua siswa), aparat desa dan masyarakat di lingkungan sekolah. Pemetaan meliputi: 1) Pemetaan para pemangku kepentingan sekolah aman; 2) Pemetaan dan penilaian kondisi sekolah baik untuk aspek struktural dan nonstruktural mengacu pada PerkaBNPB No 4/2012 tentang Pedoman Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. Hasil pemetaan dikaji bersama di dalam lokakarya musyawarah komunitas sekolah/pleno dan disepakati bersama rencana tindak lanjut agar indikator-indikator yang belum tercapai dari hasil kajian bisa diatasi guna mewujudkan sekolah aman. Pada saat lokakarya juga disepakati pembentukan Komite Bencana dan Keselamatan Sekolah (KBKS), yang mempunyai peran dan tanggung jawab untuk mengorganisir keseluruhan kegiatan pengurangan risiko bencana di sekolah mulai tahap perencanaan, pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi. Dalam struktur KBKS dikembangkan kelompok kerja sesuai kebutuhan seperti Pokja Siaga Bencana Sekolah, Pokja Pembangunan dan Pemeliharaan, Pokja Kampanye Penyadaran dll.
Perencanaan dan Perancangan Dengan diorganisasikan oleh KBKS, berdasarkan kepada hasil lokakarya kajian disusun Rencana Pengembangan Jangka Menengah Sekolah Aman (RPJMSA) yang memuat: (1) Impian komunitas sekolah mengenai Sekolah Aman di masa yang akan datang, dituangkan dalam bentuk gambar (denah/site plan); (2) Program jangka menengah (3 atau 5 tahun) untuk mencapai impian sekolah aman, baik untuk komponen struktural maupun nonstruktural; (3) Rencana rehabilitasi bangunan yang belum memenuhi indikator struktural dengan dilengkapi DED dan RAB; dan (4) Rencana Aksi 1 tahun pertama.
6
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Pembangunan dan Pengembangan Pada tahapan ini KBKS mengorganisir pelaksanaan perencanaan terutama yang menyangkut rencana aksi 1 tahun pertama. Dalam tahapan ini diharapkan sudah terlaksana pembangunan (rehabilitasi) yang sesuai dengan DED sekolah aman yang dikembangkan pada tahap perencanaan; pengembangan prosedur tetap (protap) peringatan dini dan evakuasi yang dilampiri dengan peta evakuasi; pengembangan kapasitas; kampanye penyadaran untuk komunitas sekolah; serta simulasi peringatan dini dan evakuasi.
Operasional dan Pemeliharaan Tahap ini dilakukan untuk menjamin keberlanjutan perwujudan sekolah aman. Kegiatan yang bisa dilakukan adalah: penyusunan prosedur operasional dan pemeliharaan bangunan; monitoring dan evaluasi rutin; penyusunan rencana aksi simulasi rutin; memastikan peta jalur evakuasi ditempatkan pada lokasi strategis, memastikan tanda jalur evakuasi dipasang di tempat sesuai dengan peta jalur evakuasi; penggalangan sumberdaya luar dan kemitraan untuk mewujudkan RPJMSA; dan penyusunan kebijakankebijakan sekolah bagi keberlanjutan sekolah aman. (*)
7
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Mengapa harus sekolah aman? Sekolah Aman adalah sekolah atau madrasah yang menerapkan standar sarana, prasarana serta budaya yang mampu melindungi warga sekolah dan lingkungan di sekitarnya dari bahaya bencana.
Mengurangi gangguan terhadap kegiatan pendidikan, sehingga memberikan jaminan kesehatan, keselamatan, kelayakan termasuk bagi anak berkebutuhan khusus, kenyamanan dan keamanan di sekolah dan madrasah setiap saat; (1) Tempat belajar yang lebih aman memungkinkan identifikasi dan dukungan terhadap bantuan kemanusiaan lainnya untuk anak dalam situasi darurat sampai pemulihan pascabencana; (2) Dapat dijadikan pusat kegiatan masyarakat dan merupakan sarana sosial yang sangat penting dalam memerangi kemiskinan, buta huruf, dan gangguan kesehatan; (3) Dapat menjadi pusat kegiatan masyarakat dalam mengkoordinasi tanggap dan pemulihan setelah terjadi bencana; (4) Dapat menjadi rumah darurat untuk melindungi bukan saja populasi sekolah dan madrasah, tapi juga komunitas di mana sekolah itu berada.
(Sumber: Perka BNPB No. 4/2012)
8
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Apa dan Mengapa Sekolah Aman Pengalaman adalah guru terbaik! Begitu kata pepatah populer Dalam konteks kebencanaan, ternyata pepatah yang sama juga masih relevan. Ya, sejauh ini bencana gempa bumi misalnya, memang tak bisa diprediksi kapan akan datang. Cara terbaik yang bisa dilakukan adalah mengetahui sejarah kejadian bencana itu sendiri. Dengan begitu, kita bisa mengetahui lokasi-lokasi yang berpotensi bencana. Bila itu sudah diketahui, maka yang bisa dilakukan adalah mitigasi dan kesiapsiagaan. Dan, sejarah kebencanaan di Indonesia hampir bisa dipastikan selalu berdampak pada kerugian harta bahkan jiwa, serta kerusakan atau kehancuran infrastruktur termasuk bangunan sekolah. Karena itulah, setiap sekolah atau madrasah terutama yang berada pada zonasi ancaman gempa bumi sedang dan tinggi perlu melakukan mitigasi dan kewaspadaan terhadap bencana. Peristiwa terakhir gempa bumi di Padang, Sumatera Barat, telah menghancurkan sekolah dan madrasah serta jatuhnya korban anak didik. Mari kita tengok kembali rekaman perjalanan bencana di Indonesia. Catatan sejarah maupun rekaman alat menunjukkan bahwa bencana gempa bumi sudah sering terjadi di berbagai wilayah kepulauan Indonesia. Selain karena kejadian deformasi pada batas lempeng, pergerakan tektonik dari zona batas pada empat lempeng bumi menyebabkan pembentukan banyak patahan-patahan aktif baik di wilayah daratan maupun di dasar lautan. Batas lempeng dan patahan-patahan aktif ini menjadi sumber dari gempa-gempa tektonik yang dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Gempa bumi mempunyai potensi bencana dari deformasi tanah di sepanjang jalur patahan tanah; dan efek goncangan menyebar ke wilayah di sekelilingnya sampai radius beratus-ratus kilometer jauhnya tergantung dari besarnya kekuatan gempa. Di samping itu, getaran gempa juga dapat memicu terjadinya bencana ikutan berupa longsor dan amblasan tanah. Apabila sumber gempa bumi di bawah laut, maka pergerakannya dapat menyebabkan gelombang tsunami. Dengan karakteristik tersebut, dapat dipastikan gempa bumi dapat menghancurkan bangunan termasuk sekolah atau madrasah. Sadar akan tingginya potensi bencana tersebut, pemerintah telah merumuskan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana 2010-2014. Di sana turut diatur implementasi kesiapsiagaan bencana di sekolah atau madrasah. Hal ini penting, mengingat banyak sekolah dan madrasah berada di wilayah rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Ya, sekolah atau madrasah pada jam-jam pelajaran merupakan tempat berkumpulnya
9
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
anak didik yang tentunya mempunyai kerentanan tinggi. Apabila tidak dilakukan upaya pengurangan risiko bencana, maka sekolah atau madrasah menjadi tempat yang berisiko tinggi. Secara kuantitatif, sebanyak 75 persen sekolah di Indonesia berada pada risiko sedang hingga tinggi dari bencana. Data Kemendikbud menunjukkan, sampai akhir 2011 lalu sebanyak 194.844 ruang kelas rusak berat di SD/SDLB dan SMP/SMPLB. Tahun 2011 telah terealisasi rehabilitasi sebanyak 21.500 ruang kelas, sisanya sebanyak 173.344 ruang kelas rusak berat direhabilitasi pada tahun anggaran 2012. Sementara itu, data Kementerian Agama (Kemenag) menunjukkan saat ini terdapat 208.214 ruang kelas MI dan MTs. Dari jumlah tersebut, 13.247 ruang kelas rusak berat dan 51.036 ruang kelas rusak ringan. Menghadapi peningkatan ancaman bencana, terutama gempa bumi dalam kaitannya dengan perlindungan terhadap sarana prasarana pendidikan, Indonesia telah menetapkan penerapan sekolah dan madrasah aman dari bencana. Hal itu tertuang dalam Perka BNPB Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. Panduan ini mengintegrasikan kebijakan yang telah diterbitkan Kementerian/Lembaga terkait sekolah atau madrasah aman dari bencana. Kemudian, Kementerian Pekerjaan Umum (PU) telah menerbitkan Peta Hazard Gempa Bumi Indonesia 2010, SNI-03-1726-2002, dan Peraturan Menteri mengenai standar gedung dan bangunan. Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran Mendiknas Nomor 70a/MPN/SE/2010 yang ditujukan kepada gubernur, walikota, dan bupati di Indonesia yang berisi permohonan untuk memperhatikan penyelenggaraan penanggulangan bencana melalui pelaksanaan strategi pengarusutamaan pengurangan risiko bencana (PPRB) di sekolah, baik secara struktural dan nonstruktural. Di sisi lain, BNPB juga telah menerbitkan Panduan Teknis Rehabilitasi Sekolah Aman dengan Dana Alokasi Khusus Pendidikan. Mengacu kepada Perka BNPB Nomor 4 Tahun 2012, Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman Bencana difokuskan pada ancaman bencana gempa bumi dan tsunami. Alasannya, dua ancaman ini memiliki dampak pada keselamatan jiwa manusia dan kerusakan terhadap sarana dan prasarana yang tinggi. Sekolah aman meliputi aspek struktural dan nonstruktural. Kerangka kerja struktural terdiri atas keamanan lokasi, struktur bangunan, desain dan penataan kelas, dan dukungan sarana maupun prasarana. Adapun kerangka kerja nonstruktural meliputi peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan, kebijakan, perencanaan kesiapsiagaan, dan mobilitasi sumber daya.
10
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Bagian Dua : Komitmen Mewujudkan Sekolah Aman
Komitmen Mewujudkan Sekolah Aman Boleh jadi bencana seperti jelangkung. Dia datang tak ditundang, pulang tak diantar. Terlebih sebagai pertemuan empat lempeng bumi, Indonesia merupakan salah satu titik rawan dalam peta gempa bumi dunia. Kalau sudah begitu, mewaspadai untuk kemudian mengurangi risiko bencana merupakan sebuah keharusan.
11
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Kamis, 15 November 2012, sejatinya menjadi hari libur bagi Agustinus Untung dan Ali Syahid. Keduanya tentu bukan orang yang membutuhkan kesibukan baru. Agustinus merupakan Kepala Sekolah, sedangkan Ali Syahid, Ketua Komite Sekolah. Adalah kesadaran akan pentingnya pencegahan dan penanggulangan bencana yang menggerakkan langkah kaki keduanya untuk bergegas menuju SDN 1 Sembung di Dusun Sembung, Desa Sembung, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat. “Ini kan hari libur,” kata Ali menirukan ucapannya sendiri ketika mendapat telepon dari Agustinus. Setelah mendapat penjelasan bakal kedatangan tim monitoring Sekolah Aman dan Hemat Energi (SMAHE) Provinsi NTB dari Agustinus, Ali yang juga bertugas sebagai Sekretaris Desa (Sekdes) Sembung ini pun langsung memacu sepeda motornya menuju sekolah. “Kami sepakat bahwa sekolah aman itu penting,” Ali menambahkan. Baik Agustinus maupun Ali mengaku belum memahami betul konsep sekolah aman maupun hemat energi. Yang ada dalam benak keduanya adalah sebuah kenyataan bahwa sekolah mereka –dan Lombok pada umumnya– merupakan kawasan rawan. Agustinus masih ingat ketika enam tahun lalu terjadi gempa kecil di Lombok, gempa yang menghentak sekitar pukul 06.00 tersebut tak menimbulkan korban jiwa. Namun, Agustinus ingat betul kepanikan yang terjadi pagi itu. Semua seolah kebingungan harus melakukan apa dan bagaimana caranya. “Kami sadar bahwa Pulau Lombok itu sangat kecil bila dibandingkan dengan pulau-pulau lain di Indonesia. Karena ukurannya itu, maka rawan akan terjadinya bencana. Kita membutuhkan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Jangan sampai pengalaman enam tahun lalu terulang lagi. Saat itu, digoyang gempa sedikit saja, masyarakat kacau karena tidak siap menghadapi bencana. Tidak ada koordinasi sama sekali,” ujar Agustinus. Berbekal pengalaman buruk tersebut, Agustinus langsung menyambut sukacita rencana pembentukan program percontohan sekolah aman di Lombok Barat.
12
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Tidak lama setelah mengikuti sosialisasi program SMAHE bersama 40 kepala sekolah di Kabupaten Lombok Barat, Agustinus langsung menghubungi Ketua Komite Sekolah Ali Syahid. “Saya lapor kepada Ketua Komite, program SMAHE sangat perlu karena menyangkut apa yang harus kita lakukan sebelum adanya bencana,� Agustinus mengulang ucapan yang disampaikan kepada Ali Syahid. Tak hanya itu, pria kelahiran Yogyakarta yang hijrah ke Lombok menumpang truk tersebut juga langsung menyampaikan kepada koleganya di sekolah. Upacara bendera setiap Senin pagi juga menjadi kesempatan baik bagi Agustinus untuk menyampaikan hal ihwal kebencanaan kepada 408 muridnya. Mahasiswa program doktor Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Surabaya ini mencoba memperkenalkan konsep bencana dan kesiapsiagaan menghadapi bencana sejak dini. Harapannya, ketika mereka besar tak perlu kikuk menghadapi bencana. Intinya, semua waspada. Apa saja yang disampaikan kepada bocah-bocah belia itu? Agustinus tak lantas menjejalinya dengan aneka konsep atau detil-detil program. Dia hanya mengarahkan apa yang harus dilakukan. Ketika gempa terjadi saat murid-murid berada di kelas, Agustinus mengajari mereka untuk segera berlindung di bawah kolong meja atau segera bergegas keluar ruangan dengan memanfaatkan tas masing-masing sebagai pelindung kepala. Nah, Agustinus terus mengulangi pesan-pesan tersebut setiap upacara bendera. Agustinus beralasan, muridmurid sengaja diajak memahami kebencanaan pada dasarnya untuk keperluan mereka juga. “Murid perlu memahami untuk memudahkan koordinasi juga. Jangan sampai murid kalang kabut karena bingung apa yang harus dilakukan. Dalam pembentukan Komite Siaga Bencana juga kami melibatkan komponen lain sebanyakbanyaknya. Di sini kami, teman-teman guru, komite sekolah, dan unsur masyarakat. Kenapa? Karena kalau sekolah saja tidak mungkin karena jumlah murid di SDN 1 Sembung mencapai 408 orang, dengan 12 rombongan belajar. Bayangkan kalau hanya mengandalkan 11 PNS guru dan delapan guru PTT, tidak mungkin seluruhnya kita yang melaksanakan,� Agustinus beralasan.
13
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Sepenuh Hati Mendukung Sekolah Aman Bola mata Ketua Komite SDN 1 Sembung Ali Syahid nampak berbinar saat diminta memberikan tanggapan tentang sekolah aman. Pria paruh baya ini pun menegaskan dirinya, baik secara pribadi maupun Komite Sekolah, sangat mendukung konsep sekolah aman dan hemat energi. Terlebih Ali juga punya pengalaman pahit tentang kejamnya bencana yang datang tak kenal waktu. “Waktu itu sekitar pukul 06.00 pagi ketika kami tersentak goyangan gempa. Saking paniknya saya keluar lupa pakai celana. Saya baru sadar saat anak saya ketawa sambil mengingatkan saya,” ujarnya tersenyum mengingat pengalaman konyolnya enam tahun lalu. “Kami sepakat bahwa sekolah aman itu penting” Ali Syahid Ketua Komite Sekolah SDN 1 Sembung
Ali yang juga sekretaris desa ini tidak memungkiri sosialisasi kebencanaan masih sangat minim. Pun dengan sosialisasi SMAHE yang baru sekali dia ikuti. Namun begitu, keterbatasan sosialisasi tak menyurutkan tekadnya untuk sepenuh hati mendukung sekolah aman bagi warganya. Dia sadar betul bahwa mitigasi atau kesiapsiagaan bencana sangat penting bagi anak-anak. Meski usia belum bisa berbuat banyak, setidaknya bisa meringankan orang tua ketika bencana benar-benar datang. “Insya allah ke depan wali murid akan diajak sosialisasi kembali. Rasanya tidak mungkin masyarakat tidak mendukung program ini. Program ini sangat kami butuhkan. Termasuk menyangkut struktur bangunan. Saya akan menyampaikan kepada masyarakat yang akan bangun rumah agar memperhatikan bangunan yang tahan gempa. Kami bisa mengarah ke sana. Kalau sekolah, apapun yang dilakukan sekolah kami sharing dengan wali murid,” Ali menandaskan. Tak cukup sampai di situ, Ali juga menjadi penghubung yang baik bagi sekolah dengan masyarakat maupun lembaga dan tenaga dari instansi kesehatan. Menyangkut kesiapsiagaan misalnya, Ali langsung menghubungi puskesmas pembantu (Pustu) dan bidan desa. Ali pun mencoba memberikan pengertian betapa sekolah aman penting bagi semua warga.
14
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Untuk itu, diperlukan tenaga medis untuk mengantisipasi kemungkinan datangnya bencana. Kemitraan sekolah dan instansi kesehatan pun diujicobakan dalam sebuah simulasi di SDN 1 Sembung.
“Sekolah Aman itu penting bagi semua warga! Jadi sekolah harus membangun kemitraan dengan masyarakat dan
lembaga lain termasuk instansi kesehatan�
Upaya membangun sinergi juga dilakukan secara masif oleh Agustinus. Jabatan Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kecamatan Narmada menjadi keuntungan tersendiri bagi pria yang sukses meloloskan empat buku di Pusat Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ini. Sebanyak 781 guru, dari taman kanak-kanan (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA) menjadi target sosialisasi. Sudah beberapa bulan ini Agustinus menyampaikan pentingnya sekolah aman dalam setiap pertemuan PGRI. “Mengapa demikian, karena benar kan bahwa secara geografis sekolah kita berada dalam ancaman bencana. Letak Lombok sangat kecil, kemungkinan bencana ada, maka kita harus mengantisipasi kedatangan bencana. Responnya? Mereka mengatakan betul bahwa hal itu harus disikapi bersama, bahkan dengan masyarakat. Tidak hanya di sekolah, tapi harus menjadi gerakan bersama,� Agustinus penuh semangat. ***
15
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
BMKG Dukung Sekolah Aman Dukungan tak hanya datang dari komunitas sekolah. Hal serupa juga datang dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Meteorologi (Stamet) Selaparang, Nusa Tenggara Barat (NTB). Kantor mereka di kompleks Bandara Internasional Lombok (BIL), Jalan Mandalika, Praya, Kabupaten Lombok Tengah, dipastikan selalu terbuka untuk sekolah yang berniat konsultasi kebencanaan. Bagi BMKG, masyarakat memang harus paham mengenai ancaman bencana, dalam hal ini bencana yang bersumber dari cuaca ekstrem atau gempa bumi. Informasi dan kesiapsiagaan menjadi sangat penting karena Pulau Lombok merupakan daratan rawan gempa
Apa saja yang bisa dilakukan BMKG untuk mendukung sekolah aman? Kepala Seksi Observasi dan Informasi BMKG Stamet Selaparang Oktaviana Indriani memastikan pihaknya siap menyuplai kebutuhan informasi seputar cuaca, tinggi gelombang, tsunami, dan berita gempa bumi. Bentuk lainnya adalah penyiapan narasumber untuk kegiatan pelatihan dan simulasi mitigasi bencana di sekolah maupun instansi terkait lainnya. Bagi ibu muda yang biasa disapa Ana ini, informasi dan kesiapsiagaan menjadi sangat penting karena Pulau Lombok merupakan daratan rawan gempa. Daerah ini rawan gempa karena dilewati lempeng tektonik di utara dan selatan. Selain itu, ada gunung berapi Rinjani. “Program (SMAHE) ini bagus, bagus banget. Cuma sayangnya belum masuk kurikulum di sekolah, itu saja. Bencana-bencana terkait cuaca, iklim, dan gempa bumi itu kan sangat penting karena daerah ini rawan bencana. Melalui pelatihan atau simulasi itu misalnya kami dari BMKG bisa menyampaikan mengenai tsunami. Kan ada beberapa tuh yang harus dilakukan pada saat terjadi gempa dan setelah gempa. Tindakan-tindakan yang dilakukan pada saat gempa penting dikuasai anak-anak sekolah. Nah dalam simulasisimulasi itu, BMKG bisa terlibat dalam pembuatan skenario simulasi,� papar Ana.
16
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Sejauh ini, BMKG Stamet Selaparang sudah menjalin kerjasama mitigasi bencana dengan sejumlah pihak terkait. Sebut saja misalnya Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB, kesatuan teritorial TNI, dan beberapa lembaga lainnya. Memang, BMKG belum banyak berkiprah dalam dunia pendidikan. Dalam catatan Ana, pihaknya baru sekali terlibat dalam simulai kebencanaan di salah satu sekolah di Mataram. Untuk itu, pihaknya membuka pintu seluasluasnya kepada sekolah yang mengundang dalam menyelenggarakan simulasi atau pelatihan kebencanaan.
“Daftarkan nomor ponsel Anda kepada kami. Nomor tersebut kami masukkan ke dalam digital video broadcast. Selanjutnya, kami akan mengirimkan informasi peringatan dini terkait cuaca ekstrem, bahaya iklim, dan gempa bumi� Oktaviana Indriani BMKG Stamet Selaparang
Di sisi lain, BMKG juga getol menyampaikan informasi kebencanaan kepada khalayak melalui beragam media informasi. Beberapa di antaranya yang selama ini digunakan terdiri atas faximile, email, SMS info cuaca, dan website. Dari beragam pilihan tersebut, Ana menilai SMS info paling efektif untuk menyentuh langsung masyarakat. Alasannya sederhana saja, hampir setiap orang memiliki telepon seluler (Ponsel). Dengan begitu, informasi bisa segera tersampaikan. Dalam konteks sekolah aman, Ana berharap bisa segera mendapatkan contact person pemangku kepentingan yang kelak bakal mendapat peringatan dini melalui pesan singkat. “Intinya mereka mendaftarkan nomor ponsel kepada kami. Nomor tersebut kami masukkan ke dalam digital video broadcast (DVB). Selanjutnya, mereka akan mendapatkan informasi peringatan dini terkait cuaca ekstrem, bahaya iklim, dan gempa bumi yang kami kirimkan. Kami terus mendorong instansi pemerintah untuk mendaftarkan nomor kontaknya, dengan harapan mereka akan meneruskan kepada pegawainya manakala bencana datang. Kami juga membuka ruang kepada media massa untuk menyampaikan informasi kebencanaan tadi,� Ana menambahkan. ***
17
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Dukungan Pemerintah Daerah
Sebagai solusinya, sekolahsekolah penerima DAK pada 2013 mendatang lebih baik bila turut mendapatkan pendampingan“ Komarudin Sekretaris Disdikbud Lobar
Sambutan hangat terhadap program SMAHE mengalir deras dari satuan kerja perangkat daerah (SKPD), baik di Kabupaten Lombok Barat maupun Kabupaten Lombok Timur. Di Lombok Barat, Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Komarudin mengaku sangat mengapresiasi program sekolah aman. Intervensi program rehabilitasi bangunan sekolah melalui dana alokasi khusus (DAK) anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) ini diyakini mampu memberikan informasi kebencanaan yang dibutuhkan pemangku kepentingan di sekolah. Pihaknya memastikan untuk menerapkan penguatan struktur aman seperti halnya sekolah untuk DAK 2013. Dia tidak memungkiri pendampingan yang dilakukan World Bank melalui SMAHE sedikit terlambat masuk pada 2012 kemarin.“Seandainya mobilisasi yang dilakukan tim SMAHE dimulai dari awal tahap perencanaan sampai tahap pelaporan, maka sekolah aman akan benar-benar terwujud dengan baik�. Di Kabupaten Lombok Timur, Kepala BPBD juga menyambut positif program SMAHE. Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Lombok Timur Muhammad Supriadi menilai daerahnya memang sangat rawan bencana, khususnya banjir dan kekeringan. Sangat disayangkan pada saat penentuan nama sekolah lokasi program SMAHE tidak melibatkan BPBD untuk memberi masukan. Padahal, kata dia, BPBD memiliki daftar sekolah yang berpotensi atau rawan bencana di seluruh kecamatan di Lombok Timur. Di sisi lain, BPBD turut memberikan dukungan berupa data Analisis Risiko Bencana Kabupaten Lombok Timur, rencana aksi daerah Pengurangan Risiko Bencana Lombok Timur, Rencana Kontijensi Banjir Bandang Lombok Timur, dan SOP BPBD Kabupaten Lombok Timur. Data tersebut hasil kerjasama Pemerintah Kabupaten Lombok Timur dengan lembaga donor AusAid dan Konsepsi, sebuah lembaga advokasi lingkungan di NTB.
18
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Meski belum masuk pada tataran teknis, dukungan terhadap SMAHE juga datang dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Lombok Barat. Kepala Bidang Sosial Budaya ini mengaku siap mendukung penerapan sekolah aman dan hemat energi. Dia juga berjanji memfasilitasi koordinasi dengan bagian fisik Bappeda untuk masalah pengembangan struktur bangunan aman bencana di sekolah. “Di mana pun menyangkut bangunan publik, itu menjadi tanggung jawab PU. Kami hadir untuk itu. Adapun pimpronya dari Disdikpora” Robijono Prasetijanto Kepala Dinas PU Lobar
Dalam kesempatan terpisah, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lombok Barat Robijono Prasetijanto menjelaskan, sekolah aman merupakan satu konsep yang penting untuk membangun sebuah sekolah. Sekolah perlu aman karena di dalamnya menyangkut murid, anak-anak kita sendiri. Itu kriteria gedung publik yang harus diamankan. Keamanan bangunan itu bukan hanya dari struktur, ada juga utilitas maupun aman dari bahaya kebakaran. Sebagai lembaga teknis yang bertanggung jawab terhadap bangunan publik, Dinas PU memiliki tim asistensi yang siap menerima konsultasi dari pimpinan proyek pembangunan sekolah. “Tim teknis yang bertugas memberikan asistensi gambar dan lain-lain. Ada juga manajemen pengelolalaan bangunan. Dulu namanya PTP, pengelola teknis proyek. Ada lagi pendampingan dari pimpro atau PPK, tetapi di lapangan ada konsultan pengawas teknis yang ditunjuk pimpro. Kriteria bangunan aman dilakukan oleh konsultan perencana. Lalu tim asistensi melihat apakan besi ukuran ini perlu diganti atau tidak. Peran PU di situ”. Dalam penerapan sekolah aman, sambung dia, PU berperan untuk memberikan assesment keamanan dari aspek struktur maupun lingkungan sekolah. Artinya, bangunan publik yang aman juga harus melibatkan semua stake holders sesuai peran masing-masing. “Kontraktor harus membuat dengan baik. Dia kan sudah memiliki untung, jangan lagi ditambah keuntungannya. Dengan struktur yang baik, pagu keuntungannya ada. Jangan lagi ada upaya sogok-sogokan, dan lain-lain. Dengan demikian, PU menekankan pada bangunan yang aman, desain yang aman, menggunakan bahan yang aman, konstruksi harus benar-benar aman, dan lain-lain,” pungkas Robijono.
19
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
“Sekolah aman ini juga kan untuk putra putri mereka. Kita harus mendukung pelaksanaannya secara maksimal” Salmi Pengawas TK & SD Kecamatan Labuapi
Keinginan untuk menstransformasikan mengalaman sekolah aman juga datang dari Salmi, pengawas TK dan SD di Kecamatan Labuapi, Kabupaten Lombok Barat. “Kami sangat mendukung program ini karena di kecamatan ini belum ada. Jadi, kami sebagai pembina di kecamatan ini support kepada kepala sekolah untuk selalu melakukan inovasi dalam mengupayakan kenyamanan dan keamanan dalam pembelajaran,” ungkap Salmi saat meninjau simulasi bencana di SDN 2 Telagawaru yang jadi binaannya. Sepengetahuan Salmi, konsep sekolah aman memang baru dirintis di sekolah tersebut. Melihat manfaatnya bagi dunia pendidikan, Salmi berkeinginan agar program serupa ditularkan di sekolah lain. Terlebih Kecamatan Labuapi merupakan salah satu daerah rawan banjir di Lombok Barat. Bagi mantan kepala sekolah ini, keamanan dan kenyamanan siswa harus senantiasa terpenuhi di sekolah. ...
20
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Membaca Bencana, Merencanakan Masa Depan Ketua Yayasan Umat Sejahtera (Yusra) Muhammad Bowani Ibnu Jafar tak merasa bahwa SDIT Al-Kautsar yang kini beraset sekitar Rp 2 miliar adalah miliknya. Baginya, sekolah terpadu tersebut adalah milik bersama yang dititipkan kepada yayasan. Karena itu, masa depan sekolah juga milik bersama. Perencanaan dan prosesnya juga dilakukan bersama. “Kalau bicara ideal, mau 100 persen, kondisi sekolah aman itu lingkungannya harus lebih luas dari ini. Target kami ke depan adalah akan memperluas lokasi di sebelah timur masjid yang kini masih berupa sawah. Dengan perluasan itu, kami berharap bisa mengimplementasikan konsep sekolah aman secara utuh. Aman bukan hanya bagi warga sekolah seperti guru dan siswa, tapi bagi semua orang. Bahkan, bagi makhluk yang bukan manusia juga harus merasa aman. Burung-burung atau binatang melata tetap mau tinggal dan tidak terganggu berada di sekolah,� Awan menerangkan rencana jangka panjang yayasan yang dipimpinnya. Sejak menghuni daerah itu, Awan mengaku tidak pernah disapa banjir maupun rob. Padahal, 20 meter dari pagar belakang sekolah merupakan laut. Hutan mangrove dan tambak menjadi filter terbaik bagi kedatangan rob. Pernah memang beberapa tahun ke belakangan sempat disambangi rob. Itu pun tidak parah. Satu-satunya yang membuat dia khawatir adalah gempa yang kemudian diikuti gelombang tsunami. Gempa-gempa berskala kecil kerap- menghampiri halaman sekolah. Namun karena intensitasnya rendah, nyaris tak memberikan dampak apapun pada bangunan sekolah maupun suasana belajar. Duit DAK pun menjadi momentum untuk menjadikan sekolah aman yang diidamkannya. Penguatan struktur dan bangunan dilakukan untuk menekan potensi bahaya akibat bencana. Kini, dia tengah menyusun rencana induk untuk mengembangkan sekolah aman di kemudian hari. Seperti semua proses lainnya, penyusunan master plan pun dilakukan bersama. Semua untuk kemanfaatan bersama. 21
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
APBS SDN 1 Pemongkong untuk Kebencanaan Spanduk berbahan vinyl dengan latar putih hijau dan bangunan sekolah bergantung kurang sempurna di gerbang utama SDN 1 Pemongkong di Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat (NTB). Ada nama sekolah dan tiga baris guru berseragam Perlindungan Masyarakat (Linmas) alias Hansip di bagian utama spanduk sepanjang dua meter tersebut. Yang menarik dalam tulisan tersebut adalah sebaris kalimat yang ditulis menggunakan huruf besar berwarna hijau: BERBASIS SEKOLAH AMAN. “Kami memberanikan memasang spanduk itu. Kami punya tekad untuk menjadi sekolah aman,” kata Lalu Suhardi, Kepala SDN 1 Pemongkong, awal November 2012 lalu.
[Foto-2: Bangunan SDN 1 Pemongkong dan kepala sekolah]
“Kami memberanikan memasang spanduk itu, sekolah aman. Kami punya tekad untuk menjadi sekolah aman” Suhardi Kepala SDN 1 Pamongkong
Pernyataan Suhardi cukup beralasan. Sebagai warga asli, pria kelahiran Keruak pada 3 Juni 1965 ini mengaku tahu betul kondisi wilayahnya. Keruak merupakan sebuah kecamatan yang bertetangga dengan Jerowaru, tempat berdirinya sekolah yang dipimpin Suhardi. Pemongkong bisa ditempuh
22
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
dari jalan penghubung utama Mataram-Lombok Timur. Jalan lurus terbilang mulus sehingga mudah dilalui berbagai jenis kendaraan. Konon katanya, jalan lurus itulah yang menjadikan Lombok menjadi nama pulau. Dalam bahasa setempat, lombok berarti lurus. Apa yang dilakukan Suhardi untuk mendukung sekolah aman? Belum banyak. Alasannya sederhana, mereka belum mendapatkan pemahaman secara utuh mengenai konsep sekolah aman maupun hemat energi. Namun begitu, sekolah ini sudah berani membentuk KBKS sebagai salah satu instrumen kesiapsiagaan menghadapi bencana. Tim ini melibatkan seluruh guru dan staf sekolah. Adapun Komite Sekolah berperan sebagai penasihat. KBKS SDN 1 Pemongkong terdiri atas 20 guru dan staf pelaksana lain. Komite dipimpin guru olahraga. Suhardi beralasan, ketika terjadi bencana, semua guru harus bertanggung jawab. “Sementara ini kegiatan belum maksimal karena pengetahuan kita belum memadai. Perlu masukan, pengetahuan, dan informasi. Itu yang kita harapkan sebetulnya, bagaimana sekolah aman itu sebenarnya. Sekarang ini sebatas saya menyampaikan pada saat upacara atau pada saat sosialisasi dengan komite sekolah. Saya sendiri sebagai kepala sekolah belum memiliki pengetahuan yang luas tentang program ini,� Suhardi mengeluh. Sadar pentingnya kesiapsiagaan bagi sekolah yang dipimpinnya, Suhardi langsung mengalokasikan dana kebencanaan dalam anggaran pendapatan dan belanja sekolah (APBS) tahun berjalan. Pria yang menjadi guru SD sejak 20 tahun lalu ini tidak ragu untuk memasukkan mata anggaran pada September 2012. Artinya, bulan itu pula program SMAHE diperkenalkan di Lombok Timur.“Jumlahnya memang sedikit karena memang kemampuan kita terbatas. Yang penting, kami sudah mengalokasikannya. Ke depan, jumlahnya bisa berkembang sesuai kebutuhan. Mudah-mudahan pula dapat bantuan dari pemerintah untuk sekolah aman ini. Di samping aman dari bencana, kami berharap aman dari masalah-masalah yang ada di lingkungan sekolah dan masyarakat,� terang Suhardi. *** 23
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
“Kami akan coba kumpulkan kepala sekolah lain. Kami akan bersamasama mengidentifikasi potensi bencana dan merumuskan langkah apa yang harus dilakukan. Dengan dokumen yang sama, kami akan mudah
Suhardi lantas menunjukkan dokumen APBS yang tergantung pada salah satu dinding bangunan di ruang kerjanya. Siang itu ruang kepala sekolah tampak acakacakan. Selain lemari dan beberapa meja teronggok di sudut bangunan, buku-buku bacaan terserak di bawah papan informasi sekolah dan APBS seukuran lembaran triplek. “Kami sedang rehab,” ujar Suhardi sambil tersenyum seraya menunjuk ke salah satu papan informasi. Di sana tertera, sekolah yang berdiri pada 1 Januari 1977 tersebut memiliki volume APBS sebesar Rp 488 juta. Dari jumlah tersebut, Rp 168 juta di antaranya bersumber dari dana bantuan operasional sekolah (BOS). Jumlah besar tersebut sudah termasuk gaji guru maupun kebutuhan operasional lainnya. Nah, Suhardi menyisihkan Rp 1 juta per triwulan untuk kegiatan kebencanaan. Dengan demikian, dalam setahun tersedia Rp 4 juta untuk digunakan dalam kegiatan kebencanaan. Sampai pertengahan November dana tersebut belum digunakan. “Belum digunakan karena memang belum ada kegiatan yang berkaitan dengan kegiatan kesiapsiagaan bencana. Dalam gambaran kami, kegiatan itu bisa digunakan untuk keperluan sosialisasi, pertemuan teknis, maupun simulasi tanggap darurat bencana. Untuk kegiatan-kegiatan tersebut, kami membutuhkan arahan dari berbagai pihak yang terkait dengan kebencanaan ini,” ujar dia. Semangat menggebu mewujudkan sekolah aman, Suhardi bergerak cepat merumuskan prosedur operasi standar hingga rencana jangka panjang (master plan). Dia juga tak mau berjalan sendiri. Posisinya sebagai ketua Gugus 06 Kelompok Kerja Guru (KKG), memberikan keuntungan bagi Suhardi untuk mengajak koleganya di Jerowaru untuk bersama-sama merumuskan langkah menghadapi bencana di daerah mereka.
24
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Bagian Tiga : Struktur Sekolah Aman terhadap Gempa Bumi
Struktur Sekolah Aman terhadap Gempa Bumi Sekolah aman ditopang dua kekuatan utama, struktural dan nonstruktural. Aspek struktural menjadi sangat penting sebagai bagian dari pengurangan risiko bencana. Aspek ini meliputi keamanan lokasi, struktur bangunan, arsitektural, serta dukungan sarana maupun prasarana. Beberapa sekolah percontohan berhasil menunjukkan penguatan aspek struktural ini, terutama perkuatan atau retrofitting bangunan.
25
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Struktur Aman Sekolah Era Pelita II Tak salah bila Kepala SMP Negeri 1 Aikmel mengklaim sekolah yang dipimpinnya sebagai salah satu sekolah paling megah di Kabupaten Lombok Timur. Berdiri di atas lahan 10.645 meter persegi, sekolah ini memang sangat luas. Sejumlah bangunan tampak kokoh berdiri di sayap kiri sekolah. Dengan dominasi warna hijau hampir di seluruh permukaan gedung, sekolah ini menjadi sangat mudah dikenali oleh siapa saja yang melintas Jalan Pendidikan Nomor 62, Desa Aikmel, Kecamatan Aikmel, Kabupaten Lombok Timur, tersebut. Sayangnya, kemegahan itu seolah redup bila memperhatikan aspek keseimbangan tapak sekolah secara keseluruhan. Sekolah ini tampak asimetris, terlalu berat ke kiri. Lorong-lorong penghubung antarbangunan juga berkelok ke kanan dan ke kiri. Praktis menyulitkan evakuasi manakala bencana datang. Kondisi itulah yang mendorong Maksum Sang Kepala Sekolah untuk memutuskan membangun ruang kelas baru (RKB) menggunakan dana alokasi khusus (DAK) APBN 2012. Tiga RKB baru tersebut ditempatkan di sayap kanan sekolah. Dibanding bangunan lain, gedung anyar ini tampak lebih kokoh. Maksum pun menjamin jeroan bangunan lebih kuat dari enam unit bangunan warisan Pelita II Orde Baru yang menjadi cikal bakal sekolah. Alasannya, fasilitator SMAHE getol melakukan pendampingan kepada tukang maupun konsultan. “Kebetulan, konsultan pengawas bangunan punya pemahaman tentang konstruksi seolah aman. Jadi klop dengan fasilitator SMAHE,� ujar Maksum saat ditemui usai simulasi kebencanaan di sekolahnya pada pertengahan Januari 2013. Maksum makin menyadari pentingnya sekolah aman mengingat beberapa bulan lalu Pulau Lombok digoyang gempa berkekuatan 5,6 skala Richter pada 9 Agustus 2013. Kala itu, gempa berasal dari kedalaman 77 kilometer dari lokasi 9,27 Lintang Selatan dan 116,37 Bujur Timur, terletak di 61 kilometer tenggara Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat. Goyangan gempa tersebut terasa sekitar 45 detik. 26
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Penduduk Lingkungan Peresak Timur, Kelurahan Dasan Agung, panik berhamburan ke luar rumah. Nah, kepanikan juga menjalar ke SMPN 1 Aikmel. “Yang lucu sebenarnya adalah ketika guru berhamburan lebih dulu ketimbang murid. Guru yang seharusnya memberikan bimbingan kepada siswa malah panik. Bahkan, ada seorang guru yang jatuh sehingga harus ditolong siswa. Saya kira kondisi ini tidak akan terjadi bila pemahaman menghadapi bencana sudah tumbuh di kalangan guru maupun siswa. Di sinilah pentingnya sekolah aman diterapkan di sekolah,” ujar Maksum mengenang pengalamannya menghadapi gempa.
“Yang lucu sebenarnya adalah ketika guru berhamburan lebih dulu ketimbang murid. Guru yang seharusnya memberikan bimbingan kepada siswa malah panik” Maksum Kepala SMPN 1 Aikmel
Pengalaman lain yang menyadarkan Maksum akan pentingnya sekolah aman adalah ketika menyaksikan sejumlah siswanya bertabrakan di lorong. Ketika siswa mendengar bel panjang tanda berakhirnya pelajaran atau istirahat. Karena senangnya, sejumlah siswa berlari ke sanakemari. Akhirnya saling bertabrakan. Setelah ditelusuri, ternyata pemicunya sederhana; sekolah yang berdiri pada 1977 tersebut belum memiliki peta evakuasi. Wajar bila kemudian setiap orang berlari sesuai arah yang diinginkannya. Setelah lima bulan mendapatkan pendampingan dari fasilitator SMAHE, SMPN 1 Aikmel pun kini mempunyai peta evakuasi bencana sendiri. Peta ini memuat tanda-tanda tempat untuk berlindung, titik tidak aman, arah evakuasi, dan titik kumpul. Saat dikunjungi pada pertengahan Januari 2013 lalu, peta evakuasi tersebut tertempel di salah satu sayap dinding ruang tamu, tidak jauh dari ruang kepala sekolah. Maksum berharap dengan adanya peta tersebut, kasus tabrakan antarsiswa tidak terjadi lagi. Lalu, seperti apa bangunan aman milik SMPN 1 Aikmel di sayap kanan sekolah tersebut? Robiyanto Suryantoro, fasilitator SMAHE untuk SMPN 1 Aikmel, menunjukkan satu per satu komponen keamanan sekolah. Robiyanto yang pernah menjadi konsultan teknik bangunan sebelum menjadi fasilitator pemberdayaan masyarakat melalui PNPM tersebut menunjuk ke salah satu tiang penyangga bangunan. “Kolom ini sudah menggunakan besi sesuai standar PU,” ujarnya yakin. Dia juga memastikan ada pemasangan angkur ke bata;
27
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
sambungan pembesian kolom dan balok, balok ke sloof sudah tumpang tindih, ujung sengkang pun sudah dibengkokkan.
“Pojok segi empat pada tembok pilar bagian bawah ini harus dilekukkan untuk mengurangi ketajaman. Selain untuk menambah unsur estetika, cara ini akan dapat menghindari siswa dari cedera parah ketika terbentur pada bagian pilar bawah ini”, Robiyanto Suryantoro, Fasilitator Teknik SMAHE
Di bagian teras, Robiyanto menunjukkan ornamen yang berfungsi sebagai pondasi dan sekaligus penambah unsur estetika tersebut sudah dimodifikasi dari gambar teknik. Tujuannya, pojok segi empat pada tembok harus dilekukkan untuk mengurangi ketajaman. Dengan begitu, ketika ada siswa yang kebetulan terbentur pada bagian pilar bawah tersebut tidak akan mengalami cedera parah. Pengawas maupun kepala sekolah pun tidak keberatan dengan ide sarjana teknik Unram tersebut. “Saya sampaikan bahwa mengubah hal seperti itu tidak akan bermasalah. Tidak akan disalahkan pihak konsultan maupun Dinas (Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lombok Timur). Pengalaman saya di PNPM, perubahan itu kan dibolehkan. Syaratnya, perubahan dituangkan dalam berita acara. Nah, kebanyakan sekolah memang tidak mau repot membuat berita acara itu. Beruntung SMPN 1 Aikmel ini mau, makanya tidak sulit memberikan pengertian kepada mereka. Kebetulah saya juga mengenal dengan baik konsultan pengawasnya. Mereka mengerti dengan tujuan SMAHE. Akhirnya tidak ada masalah,” papar Robiyanto. Maksum pun puas dengan sentuhan teknis ala fasilitator SMAHE tersebut. Terlebih pihaknya juga mendapatkan pendampingan sosial untuk membangun kelembagaan kesiapsiagaan bencana. Dengan begitu, selain mendapatkan struktur bangunan yang aman bencana, SMPN 1 Aikmel juga lebih siap menghadapi bencana. Apalagi, Maksum punya rencana jangka panjang untuk sekolah yang dipimpinnya. Ke depan, bila berdiri di samping monumen bertuliskan Pelita II tidak jauh dari lapangan basket, maka seluruh wajah sekolah akan terlihat jelas. Sekolah pun bangga memasang spanduk di bagian depan. “SMP Negeri 1 Aikmel. Sekolah Aman dan Hemat Energi, Sekolah Aman dan Nyaman.” Demikian bunyi spanduk tersebut. ***
28
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Kelas Baru SD Swasta Pertama Jerowaru Tiga ruang kelas baru (RKB) SDIT Al-Kautsar tampak lebih kokoh dibanding bangunan lainnya di kompleks sekolah tersebut. RKB itulah yang didanai anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) melalui dana alokasi khusus (DAK) 2012. Ya, satu-satunya sekolah swasta di daerah ini memang salah satu sekolah percontohan SMAHE di Kabupaten Lombok Timur. Duit negara sebesar Rp 208 juta tersebut sedianya digunakan untuk merehabilitasi ruang kelas. Namun begitu, Ketua Yayasan Umat Sejahtera (Yusra) Muhammad Bowani Ibnu Jafar menilai sekolahnya lebih membutuhkan RKB. Seolah abai bakal kekurangan dana, pria yang akrab disapa Awan mantap menjadikan DAK tersebut untuk membangun RKB. Tak mau asal jadi, Awan pun terjun langsung mengawasi secara detil struktur maupun pemilihan material bangunan. Untuk mendapatkan kolom besi standar Kementerian Pekerjaan Umum yang sudah dilengkapi Standar Nasional Indonesia (SNI), Awan tak ragu berburu hingga ke Mataram. “Yang kami pahami, sekolah aman bukan semata aman secara fisik. Lebih dari itu, sekolah harus memberikan rasa aman secara psikologis. Kami mencoba mengondisikan agar anakanak merasa nyaman dan aman. Karena itu, sejak awal kami merintis sekolah ini memiliki motto ceria dan beriman. Dalam konteks aman dari bencana, kami berusaha keras mewujudkan fisik bangunan agar aman secara fisik sehingga memberikan rasa aman kepada murid-murid. Dari segi fisik bangunan kami menyiapkan konstruksi bangunan yang memudahkan evakuasi karena kami membaca berita di sanasini ada sekolah roboh, ada korban jiwa, dan lain-lain. Kami terinspirasi untuk membangun sekolah aman,� terang Awan pada suatu siang yang terik di bawah beruga sederhana beratapkan ilalang. Keyakinan akan pentingnya sekolah aman makin mantap ketika Awan bertemu tim fasilitator SMAHE awal September 2012 lalu. Merasa leluasa karena tidak harus terikat dengan birokrasi seperti halnya di sekolah negeri, Awan langsung 29
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
“Yang kami pahami, sekolah aman bukan semata aman secara fisik. Lebih dari itu, sekolah harus memberikan rasa aman secara psikologis” Muh. B. Ibnu Jafar Ketua Yusra
menginstruksikan manajemen sekolah untuk menerapkan prinsip-prinsip penguatan bangunan pada tiga RKB yang tengah digenjot dituntaskan. Dia mengecek betul hubungan antarelemen. Kini, dia pun merasa lebih nyaman meski masih belum menemukan cara menghimpun kekurangan dana nyaris Rp 100 juta. Sarjana Tarbiyah ini punya cukup alasan mengubah peruntukan dari rehabilitasi menjadi RKB. Bangunan lama masih layak pakai. Sayang bila kemudian harus dipermak tanpa menambah kapasitas ruangan. Di sisi lain, pihaknya sangat membutuhkan ruang kelas anyar. “Sebelum menerima dana ini kami ditanya, apakah siap menerima dana rehab ini? Karena kami butuh, ya kami menyatakan siap. Daripada kami harus membiayai 100 persen dari nol, kami menganggap DAK sebagai tambahan,” ungkap Awan. Usahanya tidak main-main. Tengok saja struktur pondasi bangunan yang menancap hingga 2 meter menghujam tanah. Tiang pancang ini terikat kuat dengan kolom balok. Rangka sengaja dibuat kuat untuk menjadi penopang bangunan secara keseluruhan. Dengan begitu, rehabilitasi pascabencana bisa lebih mudah dan murah. Kekokohan bangunan ini didukung dengan pemilihan bahan. Tata ruang pun dibuat lebih luas. Adapun pun pintu sengaja didesain memiliki dua daun pintu untuk memudahkan evakuasi. “Memang atas masukan dan saran dari tim SMAHE, tapi sejak awal memang sudah ada. Setelah SMAHE masuk, semakin bertambah pemahaman kami tentang apa sih sekolah aman itu dan bagaimana dari segi struktur dan sebagainya. Sebagai contoh, bangunan terakhir pada 2009 lalu masih memasang pintu ke dalam, walaupun pemahaman kami tentang sekolah aman itu sudah ada. Nah, setelah mendapat penjelasan dari tim SMAHE, kini menghadap ke luar. Waktu itu kami bertanya alasan pintu harus menghadap keluar. Setelah mengerti tujuannya, kami langsung mempraktikkan. Praktisnya, begitu evakuasi kita bisa langsung mendobraknya. Sementara bila masih menghadap ke dalam, tentu hal itu tidak bisa dilakukan,” papar Awan.
30
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Kawat Anyam SDN 1 Ombe Baru
“Alhamdulillah pihak sekolah mengerti dan bersedia menerapkan retrofitting dengan penggunaan kawat anyam� Anita Maisura Fasilitator Teknik
Bangunan sekolah warisan dekade terakhir Orde Lama ini tampak sudah kusam. Sebenarnya bangunan ini sudah berkali-kali mengalami rehabilitasi. Kondisi terakhir pertengahan 2012 lalu tampak bagian dinding yang rusak, retak di sana-sini. Interior tak lagi karuan. Langit-langit dari anyaman bambu tak lagi mampu menahan debu kiriman atap yang mulai bocor. Lima bulan kemudian, bangunan berubah drastis. Cat dan tembok yang mengelupas tak ada lagi. Rangka pun berganti menjadi baja ringan. Sementara dinding tampak lebih kinclong bebas dari retakan dan tembok yang mengelupas. Rehabilitasi melalui Dana Alokasi Khusus (DAK) APBN 2012 telah menyulap wajah sekolah yang berdiri 1960 tersebut. Namun, bukan itu yang menarik dari SDN 1 Ombe Baru di Desa Ombe Baru, Kecamatan Kediri, Kabupaten Lombok Barat itu. Ada yang terselip di dalam adukan semen tembok antara batu bata dan lapisan terluar yang ditutup cat. Di situlah ditanam kawat anyam sepanjang dinding. Kawat anyam itulah salah satu penanda penerapan retrofitting atau perkuatan bangunan di sekolah yang dihuni 249 murid tersebut. Di antara 30 sekolah percontohan program SMAHE, hanya Ombe Baru yang menerapkan teknik ini. “Menawarkan gagasan retrofitting di sekolah yang kondisi dindingnya rusak parah. Rusak dalam artian sebagian temboknya lapuk, retak, dan mengelupas di beberapa bagian. Kami menyampaikan kepada kepala sekolah bahwa untuk memperbaiki tembok tersebut tidak perlu diganti total, cukup diberikan perkuatan dengan cara memasang kawat anyam di bagian dalam tembok. Selain menghemat biaya dan waktu pengerjaan lebih cepat, teknik ini bisa lebih memperkuat tembok. Alhamdulillah pihak sekolah mengerti dan bersedia menerapkan retrofitting melalui penggunaan kawat anyam tersebut,� ujar Anita Maisura Mansur, fasilitator teknik yang mendampingi SDN 1 Ombe Baru, saat berkunjung ke sekolah tersebut pertengahan Januari 2013.
31
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
“Saya pernah diperintah memasang kawat anyam dan saya kaget. Saya berpikir apakah cara ini tahan lama tidak? Ternyata hasilnya luar biasa, sampai sekarang SD yang saya rehab itu tetap kokoh� Misrah Tukang Bangunan
Mendapat sambutan hangat kepala sekolah, ibu rumah tangga yang sebelumnya terlibat dalam program pemberdayaan PNPM Mandiri Perkotaan ini pun sumringah. Anita pun langsung menghampiri pekerja bangunan yang kebetulan sudah menjadi langganan pihak sekolah. Dia pun menyampaikan hal yang sama seperti disampaikan kepada kepala sekolah. Dan, inilah yang membuat dia cukup kaget. Dari sejumlah tukang bangunan yang ditemuinya selama mendampingi sekolah, tukang di SDN 1 Ombe Baru itulah yang mengaku pernah melakukan teknik retrofitting seperti yang diinginkannya. Misrah, nama tukang tersebut. Ditemui di rumahnya pertengahan Januari 2013 lalu, Misrah yang tinggal sekitar satu kilometer dari sekolah mengaku pernah melakukan teknik serupa pada 2001 lalu. Hanya pada saat itulah dia melakukan retrofit dengan memasang kawat anyam di salah satu SD di jantung Kota Mataram, tidak jauh dari pusat perbelanjaan Mataram Mall. Berikutnya, dia kembali bekerja layaknya tukang bangunan lainnya. Nah, penerapan retrofitting di SDN 1 Ombe Baru merupakan pengalaman keduanya sejak 11 tahun lalu. “Saya kerja atas dasar permintaan. Dulu, 11 tahun yang lalu saya pernah diperintah memasang kawat anyam dan saya kaget. Saya berpikir apakah cara ini tahan lama tidak. Ternyata hasilnya luar biasa, sampai sekarang SD yang saya rehab itu tetap kokoh. Belum pernah ada cerita retak apalagi jebol‌.â€?, Misrah, Tukang Bangunan. Apa yang dilakukan dengan kawat anyam itu? Setelah membersihkan seluruh bagian tembok yang menempel pada batu susunan batu bata, Misrah lantas memplesternya dengan campuran semen dan pasir. Setelah lapisan setebal 1 centimeter tersebut diratakan, Misrah lantas memasang anyaman kawat. Kawat dipasang menyeluruh di seluruh permukaan dinding. Bagian ujungnya diikatkan kepada kolom balok yang sudah dicor. Setelah itu, barulah adukan semen dan pasir berikutnya. Ketebalannya lebih kurang sama dengan lapisan sebelumnya. Dengan ditutup setebal masingmasing 1 centimeter di bagian dalam dan luar anyaman kawat, Misrah yakin tembok akan makin kokoh terhadap benturan benda keras maupun getaran di sekelilingnya.
32
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
“Kebetulan sekolah ini sudah memiliki kolom, jadi saya hanya tinggal mengaitkan kawat di setiap ujungnya. Kalau dinding yang belum ada kolomnya, maka harus dijahit menggunakan kawat. Anyaman di kiri dan kanan batu bata diikat menggunakan kawat juga. Dengan cara itu, tembok bisa berdiri tegak dan tentu saja kokoh,� papar Misrah penuh semangat. Misrah masih dalam kondisi kurang begitu fit saat pemasangan kawat anyam itu. Namun karena sudah terikat janji dengan pihak sekolah dan konsultan, pria berusia 42 tahun ini mengaku memaksakan bisa hadir di sekolah. Bagi pria yang sebelumnya pernah bekerja sebagai petugas keamanan tersebut keamanan bangunan sekolah penting agar anak-anak bisa nyaman belajar. Selain itu, Misrah juga ingin membuktikan bahwa penguatan bangunan bisa dilakukan tanpa harus merobohkan bangunan secara utuh. Teknik perkuatan seperti itu juga diyakini lebih penting dari sekadar penataan arsitektural berupa interior dan sekadar pengecatan. Anita yang siang itu mendampingi Misrah membenarkan pernyataan tukang bangunan tersebut. Sarjana teknik Universitas Mataram (Unram) ini menilai apa yang disampaikan Misrah merupakan salah satu bentuk kesadaran yang tumbuh di kalangan praktisi akan pentingnya bangunan sekolah aman. Di sisi lain, biaya yang dikeluarkan untuk melakukan retrofitting lebih rendah ketimbang membongkar dinding secara keseluruhan. Biaya tukang sedikit lebih mahal dibanding pekerja reguler. Tapi, jumlah itu sebanding dengan hasil maupun efisiensi waktu pengerjaan. “Biasanya tukang bangunan di sini mendapat bayaran Rp 70 ribu per hari. Sementara untuk petugas laden, sekitar Rp 35 ribu. Nah, biaya tukang yang menerapkan teknik retrofit sedikit lebih besar. Itu wajar,� kata Anita diiyakan Misrah. ***
33
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Lain Sekolah, Lain Penguatan Barangkali karena memang masing-masing sekolah memiliki kondisi berbeda dan tingkat penerimaan yang juga berbeda. Wajar bila kemudian sejumlah sekolah melakukan aktivitas berbeda untuk mewujudkan struktur sekolah aman dari bencana di tempat masing-masing. Dari 60 sekolah pilot, beberapa teknik perkuatan bangunan bisa dilihat dari beberapa sekolah. Di SDN 3 Montong Betok, Kecamatan Montong Gading, retrofitting dilakukan pada penyambungan kolom lama dengan baru. Fasilitator menyarankan penyambungan pembesian lama diganti menggunakan pembesian baru. Namun karena kondisi kolom yang lama sudah tidak layak, akhirnya semua kolom yang ada dibongkar untuk diperkuat kembali. Sambungan pembesian balok dengan gavel, kolom dengan balok, dan ujung atau puncak dari gavel semua dilakukan tumpang tindih. Semua plesteran dinding dikupas kemudian diplester ulang dengan campuran semen dan pasir dengan perbandingan 1:5. Bertetangga dengan SDN 1 Ombe Baru yang memasang kawat anyam, SDN 2 Ombe Baru menerapkan retrofit pada pembesian. Kolom-kolom yang kondisinya baik tetap digunakan. Beberapa besi yang berkarat diganti dan dicor kembali. Pada dinding partisi dilakukan penambahan kolom dan balok. Dengan demikian, struktur bangunan menjadi lebih kuat. Penambahan kolom juga dilakukan di SDN 8 Buwun Mas, Kecamatan Sekotong, yaitu dengan penambahan kolom praktis pada dinding pembatas ruangan yang tidak memiliki kolom struktur. Upaya lainnya adalah pengikatan kuda-kuda kayu pada struktur atap yang dijepit dengan besi dari ring balok di ruangan. Teknik serupa diterapkan di SDN 13 Buwun Mas. Sekolah lainnya, SDN 3 Mekarsari di Kecamatan Gunungsari, Kabupaten Lombok Barat, secara struktur bangunan sudah memiliki kolom, sloof, dan sudah memenuhi standar kekuatan PU. Akan tetapi, bagian atap, plafon, lantai, dan kusen pintu maupun jendela tidak memenuhi standar aman. 34
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Karena itu upaya perbaikan dilakukan pada bagian atap karena pada bagian tersebut terdapat banyak kayu yang tidak memenuhi syarat. Praktik serupa juga dilakukan di SDN 1 Selebung Ketangga, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Timur. Fokus penguatan pada sambungan besi pada struktur, di antaranya pada sambungan kolom ruangan dan teras, sambungan kolom dengan ring balok baru, baik itu yang dalam ruangan maupun teras. Ada juga sambungan balok gevel dengan ring balok. Selain itu, untuk pekerjaan penggantian dan pemasangan kusen baru juga menggunakan angkur pada setiap bidang sisi luar kusen. Di SDN 3 Selong, Kecamatan Selong, Kabupaten Lombok Timur, rata-rata tiap ruang kelas menggunakan dua daun pintu. Pada ruang kelas yang direhab, pembesian sudah memenuhi standar seperti yang terlihat pada ring balok dan gevel. Penyambungan besi kolom dengan ring balok dilakukan dengan cara membobol sekitar 50 cm pada kolom yang ada untuk selanjutnya disambungkan dengan besi ring balok dengan tujuan untuk perkuatan dan lebih mengikat.[!]
35
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Teknik Retrofitting Retrofitting boleh jadi masih belum begitu akrab di telinga warga sekolah percontohan SMAHE di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Timur. Sebagian pemangku kepentingan mengaku belum pernah mengetahui sama sekali mengenai teknik retrofitting atau perkuatan bangunan tersebut. Sebagian lagi pernah mendengar tapi belum pernah melakukan. Sebagian lainnya mengaku pernah melakukan tetapi belum tahu teknik yang digunakannya tersebut. Namun begitu, pada umumnya warga sekolah maupun masyarakat setuju bahwa perkuatan bangunan diperlukan untuk mengurasi risiko bencana. Nah, seperti apa teknik retrofitting itu? Semua itu akan terjawab dengan membaca tulisan Teddy Boen, pakar konsturksi nasional bangunan tahan gempa, dalam bukunya
Cara Memperbaiki Bangunan Sederhana yang Rusak Akibat Gempa Bumi. Menurut Teddy, retrofitting merupakan salah satu cabang ilmu konstruksi yang melingkupi perbaikan, restorasi, dan perkuatan bangunan yang rusak akibat gempa. Meski merujuk kepada bangunan rusak pascagempa, namun teknik serupa bisa diterapkan sebagai salah satu bentuk mitigasi menghadapi gempa. Artinya, retrofit bisa dilakukan sebelum gempa benar-benar datang. Teddy Boen memaparkan, strategi retrofitting terdiri atas peningkatan kekakuan dan atau kekuatan, peningkatan daktilitas, peningkatan energi dispasi, mengubah karakter gerakan tanah dengan menggunakan base isolation, dan mengubah bentuk peruntukan bangunan. Dalam beberapa kasus, banyak bangunan yang sebenarnya bisa diperbaiki malah dirobohkan. Hal ini terjadi karena tidak ada penilaian terlebih dahulu dari ahli konstruksi terhadap kekuatan sebuah bangunan. Analisis ahli ini bertujuan memastikan apakah suatu komponen rusak karena gaya geser, tekan, tarik, lentur, penjangkaran atau yang lainnya. Setelah itu, baru bisa ditentukan apakah banguna perlu diperkuat atau tidak. Bila biaya perkuatan malah lebih besar dari pada membangun kembali, maka tentu lebih baik dirobohkan. Namun, bila perkuatan jauh lebih hemat dari pada membangun kembali, maka tentu lebih baik dilakukan langkahlangkah retrofitting. Menurut pakar kegempaan Pusat Studi Bencana Universitas Andalas Dr. Fauzan, MSc. Eng., teknik retrofitting bisa menghemat 30-40 persen dibanding membangun gedung baru. Kekuatan struktur juga merupakan faktor yang mempengaruhi ketahanan bangunan terhadap gempa. Semua komponen bangunan sejak dari pondasi, kolom, balok, dinding, rangka atap dan atap harus tersambung menjadi satu kesatuan. Sehingga, bila digoncang gempa, bangunan akan bergetar sebagai satu kesatuan. [!]
36
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Misrah, Tukang Bangunan Pelaku Retrofitting Sudah lebih dari 20 tahun Misrah menekuni profesinya sebagai pekerja bangunan. Profesi ini akrab disapa dengan sebutan tukang. Sebutan tukang dinisbatkan untuk membedakan dengan laden yang berarti asisten tukang alias pekerja pembantu tukang. Selama rentang waktu itu, pria kelahiran 1967 ini mengaku punya pengalaman menarik saat melakukan rehabilitasi bangunan. Semula Misrah tak peduli dengan teknik yang digunakannya tersebut. Dia baru sadar ketika menemukan hasil besutannya tersebut ternyata lebih kuat meski tidak benar-benar baru. Teknik perkuatan ini dalam ilmu konstruksi dikenal sebagai retrofitting. Misrah masih ingat betul ketika pada 2001 lalu mengerjakan rehabilitasi salah satu SD di sebelah timur Mataram Mall, pusat perbelanjaan terkemuka di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat. Kala itu, Misrah diberitahu pemimpin proyek (Pimpro) ihwal teknik penggunaan kawat anyam untuk melapisi tembok. Setelah membersihkan plester rusak yang melekat pada susunan batu bata, Misrah diminta memplester kembali dengan ketebalan lebih kurang 1 centimeter. Setelah itu, dia diminta memasang kawat anyam di kedua bagian batu bata. Dua sisi kawat tersebut kemudian diikat menggunakan kawat. “Dengan begitu, bata yang lapuk itu bisa kuat kembali. Umpamanya dinding itu tidak punya besi, maka kawat diikatkan pada tiap sudut. Kita buatkan kolom praktis supaya ada penopangnya. Kita kasih ring di atasnya, kemudian dicor. Jadi betul-betul kuat. Sementara bila kayunya lapuk, kita ganti saja dengan yang baru,� kenang Misrah yang waktu itu sepat kaget mendapat perintah “aneh� tersebut. Misrah juga mendapat jurus lain untuk menguatkan pondasi. Bila pondasi sudah rapuh, maka kita gapit di kedua sampingnya. Dengan begitu, tidak perlu merobohkan tembok keseluruhan. Di antara apitan tersebut dibobol untuk kemudian dimasukkan besi yang sudah dianyam. Setelah itu, dicor. Setelah kering, barulah dipasang sloof. Teknik ini diyakini Misrah tepat untuk memperkuat bangunan sekolah-sekolah lama yang umumnya menggunakan material berupa pasir, bata, tepung bata, dan kapur. Jurus Perkuatan ala Misrah Bila pondasi yang biasanya berupa pasir,bata, tepung bata dan kapur sudah rapuh, kita gapit di kedua sampingnya, tak perlu merobohkan Nah,tembok kekagetan serupa dialami kembali ruang keseluruhan. Di antara apitanMisrah diboboilsaat lalumerehabilitasi dimasukkan besi kelasyang SDNsudah 1 Ombe Baru tidak jauh dari rumahnya. Kali ini, permintaan dianyam, baru dicor.Setelah kering baru dipasang sloof. datang dari fasilitator teknik SMAHE, Anita Maisura Mansur. Merasa
37
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
masih ingat betul dengan teknik yang digunakan 11 tahun silam, Misrah pun tanpa ragu mengiyakan. Dia pun mengaku rileks mengerjakan pemasangann kawat anyam. Padahal, saat itu kondisi badannya kurang begitu fit. Meski agak rumit, Misrah menilai pekerjaan itu lebih ringan. Beban pekerjaannya jauh lebih berkurang ketimbang harus membongkar kembali susunan batu bata untuk kemudian dipasang kembali. “Saya memang jarang mengerjakan seperti ini (retrofitting, pen.) karena pada dasarnya saya mengerjakan sesuatu sesuai order atau permintaan pemegang proyek. Proyek-proyek rehab khusus itu jarang. Tergantung pimpro saja. Kalau pimro minta demikian, ya kita lakukan. Menurut saya bisa lebih murah karena tidak semua dibeli, istilahnya tambal sulam tetapi kekuatan aman sekali,” ujarnya mantap. Misrah pun mengaku tidak mempelajari secara khusus. “Pelajaran” retrofitting itu didapatkan langsung dari pimpro rehabilitasi SD di Mataram itu. “Saya dulu kaget karena kok tidak merobohkan saja bangunan itu? Kata pimpronya, tidak usah karena ini lebih kuat. Padahal, waktu itu temboknya sudah berlubang. Melihat hasilnya, saya pun kaget bisa begitu kuat. Kalau kita bentur pakai palu saja sudah tidak apa-apa dia, kuat sekali. Bahkan, getarannya itu tidak begitu keras begitu. Aman sudah yang kita kerjakan itu,” ujarnya dengan logat Lombok yang khas. Pengalaman lain diperoleh Misrah saat akan merobohkan sebuah rumah dinas pejabat peninggalan Belanda di Tambora. Setelah roboh, Misrah menemukan bambu yang difungsikan sebagai kolom beton; sementara gelang beton terbuat dari kawat. Nah, gelang besi itulah yang habis dimakan karat, sementara bambu itu tetap utuh. Belajar dari situ, Misrah menerapkan teknik serupa di rumahnya. Sambil menunjuk ke kolom dan balok, Misrah memastikan bahwa seluruh rangka beton menggunakan bambu tua yang sudah dikeringkan. Sejauh ini Misrah tak pernah menemukan masalah dengan teknik coba-coba di rumahnya tersebut. Berbekal pengalaman membangun rumah sendiri, bekas satgas Departemen Sosial (kini Kementerian Sosial) tersebut pernah menerapkan di salah satu rumah. Teknik itu ternyata mengundang kepenasaran seorang insinyur pertanian. “Dia bertanya kuat tidak? Saya jawab kuat. Kalau kedalaman besi itu sekitar 3,5 senti per dinding. Kedalaman besi itu cukup dalam. Kalau tipis, bisa jebol itu. Karatan bisa memicu jebol langsung. Nah, bambu ini tidak akan berkarat. Belakangan saya tahu insinyur tadi menerapkannya saat membangun rumah. Hasilnya juga bagus, tidak ada masalah. Saya pun makin yakin teknik ini bisa digunakan,” kata Misrah lagi. Lebih jauh lagi, Misrah menyarankan para pemegang proyek untuk menerapkan teknik retrofitting untuk merehabilitasi bangunan sekolah.
38
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Upaya ini dianggapnya bisa mengurangi beban pemerintah untuk membiayai sektor pendidikan maupun pembangunan fisik lainnya. “Kalau memang ada, proyek seperti ini perlu dilakukan untuk mengurangi beban pemerintah. Misalnya anggaran Rp 1 M di RAB, itu bisa kurang. Biaya di RAB itu menurun sekali. Biaya kurang, kekuatan aman. Jadinya membantu pemerintah kan mengurangi beban,� tambahnya. Sebagai kompensasi atas penurunan biaya, Misrah menilai wajar bila upah tukang bangunan yang menerapkan teknik retrofitting lebih besar. Alasannya, selain membutuhkan keterampilan khusus, pengerjaannya bisa mengurangi durasi kerja. Namun demikian, kenaikan upah tetap lebih murah bila dibandingkan dengan pengerjaan konvensional. “Honor? Lebih besar harus. Jelas berbeda, jelas lebih mahal,� pungkas mantan petugas keamanan yang gagal jadi pegawai negeri karena Depsos keburu bubar tersebut.[!]
39
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Retrofitting di Mata Komunitas Sekolah Secara umum komunitas sekolah memberikan tanggapan positif terhadap teknik retrofitting yang dipresentasikan tim fasilitator SMAHE. Sejumlah anggota komunitas tampak antusias menyampaikan keinginannya merenovasi tempat tinggal mereka menggunakan teknik ini. Berikut ini adalah hasil petikannya. Muhammad Azhar (54 tahun)Guru SDN 3 Anjani Pada 1976 saya melihat bangunan zaman Belanda, yaitu gedung Sekolah Pendidikan Guru (SPG), dibangun pada 1936, yang saat itu akan diruntuhkan Pemda Lombok Timuruntuk dijadikan taman kota. Saya melihat tembok bangunan tersebut sangat kuat, terlihat seperti dilapisi besi yang sangat kokoh. Ketika melihat lebih dekat, saya terinspirasi untuk membangun tempat tinggal dengan tembok kokoh seperti itu. Saya sempat membangun rumah dengan mencoba teknik yang sama dengan yang dijelaskan oleh Pak Robi (Fasilitator Teknik) tadi. Akan tetapi, pada waktu itu belum ada kawat anyam yang dibutuhkan untuk teknik ini. Saya hanya membuat sendiri dengan melilitkan besi pada tembok, dikuatkan dengan paku setelah itu diplester. Hari ini saya mengetahui nama teknik ini dan mendapatkan pemahaman lebih banyak tentang teknik retrofitting ini. Halimatussadiah (37 tahun)Guru SDN 3 Anjani Saya sudah mengajar di SDN 3 Anjani selama 13 tahun. Saat ini saya mengajar di kelas 6 dan sangat berterima kasih bahwa hari ini pengetahuan saya tentang kebencanaan dan teknik rehabilitasi yang bisa menciptakan ruang belajar yang aman. Setelah mendapatkan penjelasan dari fasilitator teknik dan melihat gambar-gambar teknik retrofitting, saya ingin menerapkan teknik ini karena kebetulan rumah saya sedang direnovasi. Saya ingin memberi masukan kepada panitia pembangunan masjid di kampung saya untuk menerapkan teknik ini. Suparman (37 tahun)Guru SDN 3 Montong Betok Sabtu, 6 Oktober 2012, fasilitator teknik bersama fasilitator sosial melakukan advokasi dengan diskusi ringan di SDN 3 Montong Betok. Dalam diskusi tersebut, fasilitator memperlihatkan gambar-gambar teknik retrofitting. Salah satu tenaga pengajar, Suparman, menunjukkan ketertarikannya pada teknik retrofitting ini. Suparman mengungkapkan kemajuan proses belajar-mengajar yang nantinya akan terjadi jika bangunan sekolah SDN 3 Montong Betok direnovasi. Suparman juga mengungkapkan akan menerapkan teknik ini untuk renovasi rumahnya.
40
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Bagian Empat : Mewaspadai Bencana dan Melembagakan Sekolah Aman
Mewaspadai Bencana dan Melembagakan Sekolah Aman
Sekolah aman tidak bisa dipisahkan dari aspek nonstruktural di dalamnya. Kerangka kerja nonstruktural ini meliputi peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan, kebijakan, perencanaan kesiapsiagaan, dan mobilitas sumber daya. Pelembagaan kerangka kerja inilah yang kelak menentukan keberlanjutan penerapan sekolah aman.
41
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Pemahaman yang belum utuh mengenai kebencanaan tidak lantas membuat Muhammad Bowani Ibnu Jafar, Ketua Yayasan Umat Sejahtera (Yusra), abai terhadap program sekolah aman. Sebagai Ketua Yayasan, Awan langsung meminta kepala sekolah menggelar pertemuan dengan Komite Sekolah. Dia merasa perlu mengajak diskusi dengan segenap pemangku kepentingan sekolah di bawah naungan yayasan yang dipimpinnya. Salah satu agendanya adalah pembentukan KBKS. Langkah ini ditempuh untuk mengantisipasi sedini mungkin datangnya bencana. Awan percaya, dengan pemahaman bersama mengenai kebencanaan, maka akan diperoleh langkah antisipasi bersama pula.
“Murid diajak bersamasama melakukan kegiatan yang berhubungan dengan mitigasi atau kesiapsiagaan menghadapi bencana�
“Yang sederhana kita harapkan dari teman-teman komite (KBKS) di antaranya mampu mendeteksi suatu bencana dengan melihat struktur bangunan. Sekolah ini kalau dilihat dari jauh miring, kita periksa apakah pondasinya ada yang bergerak atau bagaimana. Kemampuankemampuan deteksi awal seperti itu kan sederhana. Insya Allah kalau kita punya kemampuan akan bisa, tapi memang butuh bimbingan. Lebih tinggi dari itu, tentunya kita berharap misalnya akan ada bencana gempa datang, kita sudah bisa mendeteksi,� Awan beralasan. Sadar akan hal itu, maka KBKS SDIT Al-Kautsar mencoba untuk tidak hanya melibatkan kalangan internal sekolah. Selain memasukkan unsur Komite Sekolah, KBKS juga mengajak sejumlah wali murid. Murid-murid juga dilibatkan secara aktif dalam proses pemberian pemahaman tentang konsep sekolah aman. Caranya, murid diajak untuk bersamasama melakukan kegiatan yang berhubungan dengan mitigasi atau kesiapsiagaan menghadapi bencana. Pada saat yang bersamaan, ekstrakurikuler tertentu mendapat penekanan khusus untuk memasukkan unsur kebencanaan dalam pelatihan mereka. Sebut saja misalnya Pramuka dan Usaha Kesehatan Sekolah (UKS). Dua ekstrakurikuler ini mendapat pelatihan mengenai pertolongan pertama pada kecelakaan. ***
42
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Bersama Menyusun Protap
“SOP sudah seharusnya dibuat sesuai dengan kekhasan wilayah kita.
Karena kalau gunakan SOP yang dibuat di tempat lain, belum tentu cocok untuk tempat kami di sini�
Upaya bersama membangun kemandirian juga diwujudkan dalam menyusun prosedur tetap (Protap) alias prosedur operasional standar atau SOP menghadapi bencana di SDIT Al-Kautsar. Karakteristik wilayah pun menjadi fokus perhatian tersendiri. Dengan kontur lahan bergelombang dan kemiringan sekitar 30 derajat, maka perlu tindakan khusus yang boleh jadi tidak bisa dipersamakana dengan sekolah lain. Ya, bila dicermati keseluruhan lahan seluas 14 are, sekolah ini terbagi ke dalam beberapa umpak. Bangunan baru sebanyak tiga ruangan terletak paling tepi sekaligus paling tinggi. Turun sedikit terdapat ruang kelas yang dibangun 2009 lalu. Adapun bangunan lainnya terletak pada umpak ketiga, sejajar dengan rumah tinggal sederhana Awan. Nah, terselip di antara ruang kelas dan rumah yang lebih mirip disebut rumah petak tersebut berdiri sebuah beruga alias gazebo berbahan kayu. Gazebo seluas 2x2 meter ini merupakan cikal bakal kompleks sekolah tersebut. Pada saat memulai kegiatan 1995 lalu, beruga tersebut merupakan ruang kelas sekaligus ruang pertemuan. Tak ada dinding maupun ruang penyekat sebagai penanda antarruang. Begitulah adanya beruga beratap ilalang berlantai bambu tersebut. Hanya ada papan tulis sederhana tergantung di salah satu tepi beruga yang berbatasan langsung dengan area sekolah. Atas dasar historis itu, Awan tak berencana meratakan bangunan sederhana tersebut dengan tanah. Bahkan, dia ingin menjadikan beruga tersebut semacam monumen pendirian yayasan. Untuk memeliharanya, pihak yayasan hanya perlu memperbaiki seperlunya. Material bangunan pun dibiarkan seperti kali pertama berdiri. “SOP sudah seharusnya dibuat sesuai dengan kekhasan wilayah kita. Karena kalau gunakan SOP yang dibuat di tempat lain, belum tentu cocok untuk tempat kami di sini. Namun demikian, kami sepakat untuk mengembangkan beberapa kegiatan umum yang berlaku secara menyeluruh di setiap sekolah. Kami menilai beberapa sekolah dengan karakteristik yang sama atau setidak-tidaknya mirip memang 43
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
bisa memiliki SOP yang mirip pula. Bedanya terletak pada kekhasan sekolah masing-masing seperti luas dan kontur, jumlah lantai bangunan, dan lain-lain,� terang Awan. Apa saja kekhasan sekolah di wilayah ini? Seperti Kabupaten Lombok Timur bagian selatan lainnya, daerah ini memang terbilang gersang. Sentra tembakau ini tampak lebih kering ketika musim kemarau. Lapisan aspal jalan utama yang menghubungkan ujung pulau dengan Kota Mataram ini memuai di beberapa titik. Bahkan, sebagian di antaranya retak. Pun dengan kawasan Jerowaru maupun Keruak, dua kecamatan di Lombok Timur. Terlebih SDIT Al-Kautsar berdiri persis di sisi kiri badan jalan dari arah ibu kota Nusa Tenggara Barat (NTB) tersebut. Wajar bila kemudian SDN 1 Pemongkong yang bertetangga dengan SDIT Al-Kautsar mengaku anggaran pembangunan jebol gara-gara harus menambah biaya ekstra pengadaan air untuk merehabilitasi sekolahnya. Tanggapan masyarakat terhadap bencana juga dianggapnya cepat, kalau tidak dibilang tergesa-gesa. Dalam kondisi ini, Awan melihat ada potensi kepanikan pada masyarakat. Kalau sudah begitu, maka akal sehat bisa serta-merta hilang. Dia mencontohkan, ketika bencana datang bukan tidak mungkin masing-masing orang tua datang dan mengambil satu per satu anak mereka dari sekolah. Dalam kondisi bencana, aksi tersebut bukan saja mengacaukan skenario tanggap darurat, melainkan juga berpotensi membahayakan keselamatan murid maupun warga sekolah pada umumnya. Dengan karakteristik tersebut, maka pihak sekolah berkeyakinan agar SOP juga turut memperhatikan aspek sosio-kultural tersebut. Dengan begitu, maka SOP masing-masing sekolah tidak bisa seragam. Titik kumpul juga menjadi salah satu isu penting dalam tanggap darurat KBKS. Lazim berkembang di kalangan masyarakat bahwa masjid merupakan tempat yang diyakini aman. Sejumlah fakta empiris menunjukkan sejumlah masjid tampak berdiri kokoh di tengah kawasan yang luluh lantak dihantam gempa. Untuk itu, Awan meyakini bahwa titik kumpul terbaik adalah lapangan terbuka. Nah, proses pemahaman kepada masyakarat itu pula yang dianggapnya
44
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
perlu dilakukan. Masyarakat perlu mendapatkan edukasi memadai mengenai kebencanaan. Letak titik kumpul dengan sendiri mempengaruhi tapak bangunan. Pembuatan gambar harus memperhatikan aspek aksesibilitas, dengan begitu proses evakuasi menjadi lebih mudah. Letak titik kumpul sangat mempengaruhi tapak bangunan. Karena itu, pembuatan gambar teknis bangunan sekolah harus memperhatikan aksesibilitas agar proses evakuasi menjadi lebih mudah.
Bencana memang datang tak diundang. Meski belum tahu kapan datangnya, SDIT Al-Kautsar percaya bahwa SOP tetap bermanfaat. Paling tidak SOP ini akan bermanfaat bagi petugas penanggulangan bencana. SOP akan memandu guru maupun warga sekolah untuk melakukan tindakan awal, tindak lanjut, dan seterusnya. “Tanpa ada SOP, bisa jadi kita berdebat untuk menangani orang. Ini yang harus dilakukan, oh tidak ini yang harus dilakukan. Tanpa SOP, si A bilang begini, si B bilang begitu. Tapi kalau ada standar, tentunya kita bisa mengacu pada standar yang ada,� tandas Awan. ***
45
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Semua Sekolah Miliki Protap Protap sebagai salah satu instrumen penting pada sekolah aman adalah keharusan. Sebagian besar sekolah percontohan SMAHE di Kabupaten Lombok Timur maupun Kabupaten Lombok Barat berhasil merumuskannya. Meski memiliki kekhasan masing-masing sekolah, terdapat beberapa kesamaan substansi dari setiap rangkaian kegiatan. Semua protap mencakup kegiatan sebelum terjadi bencana, saat terjadi bencana, dan setelah terjadi bencana. Sebagai contoh, berikut ini disajikan Protap Menghadapi Gempa Bumi dan Tsunami milik SDN 3 Anjani di Kabupaten Lombok Timur. Protap setebal 16 halaman milik SDN 3 Anjani ini dimulai dengan daftar istilah yang akan digunakan dalam dokumen tersebut hingga bagan detil pembagian peran yang dilakukan sejumlah pihak yang terkait dengan kegiatan tanggap darurat. Setiap fase kegiatan juga dilengkapi dengan indikator penilaian dan kegiatan. Pada fase sebelum terjadi bencana misalnya, Protap SDN 3 Anjani memuat lima indikator penilaian. Pertama, adanya kegiatan penguatan kapasitas tentang pengurangan risiko bencana. Kedua, Adanya kegiatan penilaian tingkat kerentanan bangunan sekolah. Ketiga, adanya kegiatan pembangunan atau rehabilitasi bangunan sekolah yang tahan terhadap gempa. Keempat, adanya sistem informasi peringatan dini dan evakuasi. Terakhir, adanya upaya perlindungan sarana dan prasarana di sekolah agar saat terjadi bencana tidak ada benda-benda yang jatuh, roboh, atau terbakar. Indikator ini diurai dengan enam kegiatan utama. Pertama, pengenalan dan analisis potensi bencana di sekitar sekolah. Kedua, kerjasama dengan pihak-pihak lain untuk penguatan kapasitas dan kesiapsiagaan menghadapi bencana serta mengembangkan sistem peringatan dini dan evakuasi. Pada tahap ini, sekolah bekerja sama dengan lingkungan setempat, media, BMKG, PMI, Puskesmas, dan Dinas Pemadaman Kebakaran untuk membangun sistem komunikasi dan koordinasi dalam hal peringatan dini, evakuasi, dan tanggap darurat. 46
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Ketiga, menentukan tempat aman dan tempat yang harus dihindari pada saat evakuasi. Tempat ini diperjelas dengan memilih tempat-tempat aman, seperti di bawah meja atau di bawah kusen pintu. Adapun tempat yang harus dihindari terdiri atas kaca jendela, perabotan yang tinggi dan berat yang dapat jatuh seperti tiang bendera, tiang listrik, poho. Selanjutnya, menentukan tempat aman dan jalur evakuasi dilakukan dengan masyarakat di satu kawasan tempat sekolah itu berada.
Keempat, simulasi secara rutin peringatan dini dan evakuasi menghadapi bencana. Bentuk kegiatannya berupa latihan untuk jatuh, berlindung di tempat yang menjadi “tempat aman� tadi, misalnya dengan langsung menempati posisi di bawah meja atau di bawah kusen sambil melindungi kepala dengan tas. Kemudian, latihan simulasi rutin sedikitnya tiap enam bulan. Rencana ini diinformasikan kepada orang tua siswa dan masyarakat agar mereka mengetahui apa yang harus dilakukan bila terjadi gempa. Kelima, mengamankan sarana dan prasarana sekolah agar saat bencana terjadi tidak jatuh atau tidak memicu kebakaran. Keenam, mempersiapkan sarana dan perlengkapan evakuasi dan tanggap darurat. Konkritnya berupa ketersediaan sarana evakuasi dan tanggap darurat, seperti radio jinjing dan batere, lampu senter dan batere, obat-obatan P3K, tissue, kain lap, selimut, makanan kering, air kemasan, dan pakaian. Kelengkapan tadi diperiksa secara rutin.
47
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Pada saat terjadi bencana, protap memuat tiga indikator keberhasilan. Pertama, terlaksananya proses evakuasi pada saat gempa bumi secara aman, lancar, dan tertib. Kedua, setiap warga sekolah dapat menyelamatkan diri saat terjadi gempa dan tsunami. Ketiga, Tim Siaga Bencana melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya. Protap ini ditempuh bila terjadi gempa bumi. Apa tandanya? Dokumen ini menyebutkan tiga ciri, gempa yang berlangsung terus menerus lebih dari 1 menit, getarannya sangat kuat hingga kita tidak bisa berdiri seimbang, dan atau getarannya merusak struktur bangunan. Adapun protap setelah gempa memuat empat indikator keberhasilan dan tiga kegiatan utama. Indikator itu meliputi: 1) Warga sekolah yang menjadi korban sudah ditangani dengan baik di puskesmas atau rumah sakit; 2) Warga sekolah dapat pulih dan melanjutkan kegiatan belajar mengajar secara normal kembali; 3) Bangunan dan lingkungan sekolah dapat difungsikan kembali untuk kegiatan belajar mengajar; 4) Adanya kegiatan untuk melakukan perkuatan bangunan sekolah yang hancur agar tahan terhadap gempa. Indikator itu ditempuh dengan melakukan tiga kegiatan. Pertama, melakukan tanggap darurat, berupa penanganan korban, pencarian orang yang belum diketemukan, pengamanan keadaan sekolah dan lingkungan, pembuatan laporan kondisi sarana dan prasarana yang masih tersisa, dan membuat posko pengungsian. Kedua, melakukan upaya pemulihan berupa mengurangi penderitaan, mengembalikan kondisi seperti semula menjadi lebih baik, dan menciptakan lingkungan sekolah yang aman masa depan. Ketiga, verifikasi data koordinasi tindak lanjut dengan pemerintah terkait untuk penanganan lebih lanjut. ***
48
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Modal IPA Pak Guru Salahudin Salahudin belum menjadi kepala sekolah saat membayangkan konsep sekolah yang dianggapnya aman bagi anak didik. Beberapa waktu lalu, pria kelahiran Dasan Lekong, Kabupaten Lombok Timurini berencana merenovasi gedung sekolah. Berbekal pengetahuan dari mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang dimilikinya, Salahudin melakukan uji coba menaikkan air sumur. Tujuannya, air yang mengalir deras bisa difungsikan menjadi pembangkit listrik yang dapat digunakan untuk penerangan warga sekitar. Sayang usahanya ini belum memberikan hasil. Kegagalan mengembangkan pembangkit listrik mikro memanfaatkan ketinggian sumur tidak lantas membuat Salahudin putus asa. Dia tetap memiliki cita-cita mampu menghasilkan listrik secara murah dari sumber energi yang ada di sekitar sekolah. Lama ide tersebut mengendap. Dan, kehadiran program SMAHE seolah menyiram kembali semangat yang sempat layu itu. Untuk menerapkan struktur bangunan aman, Salahudin merasa perlu untuk mencari sendiri tukang yang akan mengerjakan rehabilitasi yang dibiayai dana alokasi khusus (DAK) anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). “Program SMAHE cocok dengan apa yang telah kami lakukan, cuma belum terlembagakan. Kami berterima kasih mendapat pendampingan dalam pengorganisasian, peningkatan kapasitas kelembagaan komunitas sekolah, dan dinamika kelembagaan. Hingga bulan keempat ini kami sudah menentukan rencana tindak lanjut berupa pembentukan Tim Siaga Bencana Sekolah (TSBS), menyusun draft SOP, menyusun skenario simulasi, dan menyusun master plan,� kata Salahudin saat bertemu tim fasilitator SMAHE, pertengahan Desember 2012. ***
49
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Sekolah Aman dalam Ekstrakurikuler Malam belum lama tiba ketika air bah menerjang sejumlah desa di Kecamatan Sambelia dan Kecamatan Sembalun di Kabupaten Lombok Timur, NTB. Jembatan yang menghubungkan dua kecamatan tersebut putus dan hanyut digulung banjir bandang pada Rabu malam yang suram, 14 Maret 2012, sekitar pukul 20.00 Wita. Hujan deras disertai angin kencang memaksa sedikitnya 1.000 warga diungsikan. Rumah mereka terendam. Beruntung tak ada korban jiwa dalam kemarahan alam tersebut. Dalam catatan BPBD Provinsi NTB, banjir terparah terjadi di Desa Belanting, Kecamatan Sambelia. Di desa ini, sedikitnya 700 jiwa harus diungsikan, setelah pemukiman mereka diterjang air bah disertai batu yang berasal dari luapan Koko‟ (sungai) Putik yang membelah Kecamatan Sambelia. “Kepramukaan mengajarkan nilai gotong royong untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami bencana”
Luapan sungai yang berhulu di Danau Segara Anak, Gunung Rinjani, ini juga menyebabkan sedikitnya 200 warga harus dievakuasi dari Desa Sembalun Bumbung dan Sembalun Lawang, Kecamatan Sembalun. Banjir juga menerjang beberapa desa lain yang seluruhnya terletak di kaki Gunung Rinjani. Akibat banjir bandang, satu-satunya jembatan penghubung dua kecamatan terputus diterjang air bah, sehingga bantuan harus dikirim mengambil jalan memutar, melalui Kabupaten Lombok Tengah, Lombok Barat, Kota Mataram, dan Kabupaten Lombok Utara. Jalur ini membutuhkan waktu tempuh tidak kurang dari tujuh jam perjalanan. “Bantuan sementara untuk tanggap darurat berupa makanan instan, pakaian, selimut dan juga makanan untuk anak-anak dan balita. Bantuan datang dari berbagai kalangan. Tidak saja dari warga sekitar yang kebetulan selamat dan pemerintah daerah, bantuan serupa juga datang dari warga tetangga desa dan kecamatan,” kata Kepala BPBD NTB Husnuddin Ahchid seperti dikutip sejumlah media. Tidak banyak yang tahu di antara bantuan yang mengalir tersebut berasal dari sumbangan Kecamatan Pringgabaya,
50
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
salah satu tetangga dua kecamatan yang terputus tersebut. Yang menarik, bantuan ini digalang dari sejumlah murid SDN 4 Pringgabaya yang tergabung dalam Pramuka. Adalah Kak Salahudin yang berada di balik barisan korps baret coklat tersebut. Ya, selain menjadi Kepala Sekolah SDN 4 Pringgabaya, Salahudin adalah Pembina Pramuka. Sebagai aktivis kepanduan ulung, dia terpanggil untuk terjun membantu warga yang berkesusahan. Dia juga merasa perlu melibatkan Pramuka Penggalang yang dibina.
“Untuk memantapkan peran gerakan kepanduan, kami berencana memasukkan materi mitigasi bencana ke dalam menu latihan Pramuka. Dengan begitu, mereka bisa memerankan diri secara lebih optimal saat menghadapi bencana….”, Salahudin, Kepala Sekolah SDN 4 Pringgabaya dan Pembina Pramuka
“Kepramukaan mengajarkan nilai gotong royong untuk membantu individu atau kelompok yang mengalami bencana. Untuk itu, saya mengajak adik-adik Pramuka Penggalang untuk menghimpun bantuan. Bantuan tersebut kemudian disalurkan kepada korban banjir bandang di Kecamatan Sambelia dan Sembalun. Bantuan berasal penggalangan dana dari K3S dan sumbangan sukarela dari anggota Pramuka SDN 4 Pringgabaya pada saat latihan kepramukaan,” terang Salahudin. Kak Salahudin juga mantap untuk melibatkan anggota Pramuka sebagai salah satu pilar dalam membangun kesiapsiagaan bencana di sekolah. Hal ini cukup beralasan karena selama ini peran Pramuka di sekolah cukup signifikan. Kapasitas Pramuka juga tak perlu diragukan lagi. Materi kepramukaan yang ditekuni para pandu tersebut cukup untuk dijadikan bekal bagi mereka untuk menyelamatkan diri maupun komunitas sekolah manakala bencana datang. Upaya serupa juga dilakukan di SDN 1 Sembung, Kabupaten Lombok Barat. Ketua Tim Siaga Bencana Sekolah (TSBS) SDN 1 Sembung Lalu Suryadinata mengaku tengah menyusun semacam kurikulum latihan untuk memasukkan materi kebencanaan dalam materi kepramukaan. Guru olahraga ini optimistis Pramuka bisa memerankan diri dengan baik pada saat bencana datang. Dengan begitu, Pramuka bisa menjadi garda depan dalam upaya membangun sekolah aman bencana di sekolah. Kepada merekalah sekolah aman masa depan dititipkan. ***
51
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Pelembagaan Sekolah Aman “Apa yang kita lakukan sekarang ini adalah ikhtiar jangka panjang untuk menyadarkan anak-anak kita yang suatu saat akan menjadi besar, suatu saat akan menjadi masyarakat, agar lebih sadar pentingnya mengurangi risiko terhadap bencana”
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Provinsi NTB Lalu Syafi‟i yakin betul tidak ada tempat di dunia yang tidak rawan terhadap bencana. Untuk menanamkan konsep siap menghadapi bencana ini, maka perlu pembangunan kapasitas di semua level pemangku kepentingan. Metode penyadaran tidak bisa lagi hanya dengan menonton televisi, membaca koran, dan melalui penyuluhan-penyuluhan. Lebih dari itu, penyadaran harus dilakukan secara aplikatif melibatkan segenap pemangku kepentingan.
Lalu Syafi’i Kepala Dispora NTB
“Apa yang kita lakukan sekarang ini adalah ikhtiar jangka panjang untuk menyadarkan anak-anak kita yang suatu saat akan menjadi besar, suatu saat akan menjadi masyarakat, agar lebih sadar pentingnya mengurangi risiko terhadap bencana. Inilah upaya mendampingi mereka agar benar-benar tertanam dalam jiwa mereka. Melalui pendidikan ini, mereka diharapkan sadar terhadap bencana, melekat dalam hidup mereka,” papar Lalu saat ditemui di ruang kerjanya, pertengahan Januari 2013. Pembekalan melalui pengalaman-pengalaman kecil, Lalu menambahkan, sangat penting memberikan pemahaman kepada anak terhadap bencana. Proses ini berlangsung sepanjang tahun. Dengan cara begitu, anak-anak didik akan semakin memahami konsep-konsep kesiapsiagaan terhadap bencana itu. “Anak-anak kita suatu saat akan bersosialisasi, akan hidup bermasama masyarakat, atau bahkan pindah ke tempat lain. Karena itu, penyadaran terhadap-anak menjadi sangat penting. Dengan tanggap terhadap bencana ini, dia akan menjadi penyuluh kita. Dia akan menyebarkan informasi dengan cara-cara sendiri, bukan cara yang kita format, melainkan sesuai dengan kondisi setempat,” tambah dia. Dinas Dikpora juga berharap pengajar di sekolah memiliki wawasan tentang tanggap darurat bencana. Seperti halnya anak didik, guru juga menjalankan peran sebagai penyuluh. Setiap guru akan menyampaikan kepada muridnya sepanjang
52
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
tahun, juga tahun berikutnya. Pada saat bersamaan, guru biasanya menjadi tokoh masyarakat. Melalui ketokohannya, Lalu berharap agar guru bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat agar tidak pasrah kepada alam.
“NTB memiliki potensi gunung api. Selain gunung Tambora, gunung Rinjani juga aktif dan meletus beberapa kali dengan intensitas yang relatif kecil. Belum lagi banjir bandang menjadi ancaman dalam tiga tahun terakhir”
Maklum, selama ini Lalu menilai sebagaian masyarakat hanya bisa pasrah kepada alam, tak ada ikhtiar untuk bisa melakukan sesuatu untuk mempertahankan kehidupan. Ke depan, imbuh dia, masyarakat mempunyai peran stratgis untuk kehidupan masyarakat. “Kami dari pemerintah daerah tentu akan mengupayakan agar sekolah-sekolah yang belum mendapat pemahaman tentang sekolah aman akan bisa mendapatkan pemahaman itu. Mudah-mudahan bisa bekerja sama dengan Bank Dunia. Tentu dananya dari kita, pemerintah daerah. Tapi, pelatih atau konsultannya datang dari mereka. Itu ke depannya kita akan kaji,” jelas mantan kepala sekolah yang telah menulis 33 buku ini. Disinggung mengenai koordinasi parapihak yang berkepentingan dengan sekolah aman, Lalu berencana membuat sekretariat bersama. Pelembagaan formal ini akan dikuatkan melalui keputusan gubernur. Kelembagaan juga kita bangun sehingga hidup terus, mulai Provinsi maupun kabupaten. Dia berharap masih bisa bekerja sama dengan Bank Dunia untuk membangun sekolah aman di NTB. Seperti apa peran masing-masing, Lalu mengaku masih harus menunggu hasil monitoring dan evaluasi bersama. Hasil itulah yang akan menentukan langkah selanjutnya yang bisa diambil parapihak. Yang pasti, sambung dia, pemerintah daerah menyiapkan anggaran di satu sisi; Bank Dunia atau pihak lain yang terlibat berperan sebagai pendamping atau fasilitator program. Bagaimana dengan pengintegrasian kurikulum? Lalu setuju agar kekhasan NTB diakomodasi dalam kurikulum. “Bencana merupakan bagian dari masyarakat. Masyarakat yang tinggal di sekitar Rinjani akan memiliki kekhasan. Kalau dia hidup di laut, nilai-nilai yang ada dalam masyarakat kelautan itu yang akan menjadi karakter mereka. Itu bisa dijadikan pelajaran muatan lokal yang bermanfaat untuk muatan lokal kebencanaan. Itu disisipkan di situ. Ekstrakurikuler Pramuka juga bisa,” Lalu mengakhiri.[!]
53
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Pentingnya Muatan Lokal Kebencanaan Program SMAHE yang berlangsung selama lima bulan menginspirasi Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Lombok Timur untuk menerapkan program serupa di sekolah-sekolah di Lombok Timur. Adopsi dilakukan untuk beberapa aspek dalam penerapan sekolah aman, terutama menyangkut perkuatan bangunan dan pendampingan kelembagaan. Disdikpora juga berkeinginan memasukkan kebencanaan ke dalam kurikulum muatan lokal maupun pengintegrasian ke dalam beberapa mata pelajaran yang dianggap relevan.
“Disdikpora juga
berkeinginan memasukkan materi kebencanaan ke dalam kurikulum muatan lokal maupun pengintegrasian ke dalam beberapa mata pelajaran yang relevan�
“Sebenarnya dalam beberapa aspek kami sudah menerapkan prinsip sekolah aman. Penerapan itu makin kuat setelah Bank Dunia memberikan bantuan teknis melalui program SMAHE di Lombok Timur. Sebagai contoh, ketika kami membangun sekolah tentu sudah memperhatikan ketentuan material, pemilihan lokasi yang tepat, dan lain-lain. Kami juga memiliki konsultan perencana dan konsultan pengawas. Dengan masuknya, SMAHE maka hasilnya tambah kuat. Saat kami membangun, ada masukan-masukan dari mereka (fasilitator SMAHE, pen.), Alhamdulilah pekerjanya mengikuti, dan kami berterimakasih,� kata Syamsuhaidi Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Lombok Timur, di ruang kerjanya pertengahan Januari 2013. Syamsuhaidi berterima kasih karena melalui program SMAHE pihak sekolah mendapat masukan mengenai pembuatan jalur evakuasi, pemberian tanda aman maupun tidak aman di beberapa titik, titik kumpul evakuasi, dan lainlain. Anak didik juga mendapat panduan mengenai cara berlindung dari bahaya yang bisa muncul pada saat gempa. Ke depan, Syamsuhaidi berharap pengetahuan serupa bisa diperoleh seluruh sekolah di Lombok Timur. Alasannya, Lombok Timur merupakan salah satu daerah dengan potensi bencana cukup tinggi. Beberapa bencana di antaranya banjir dan tanah longsor Simbalun dan Sambelia. Potensi gempa juga tak kalah tinggi mengingat keberadaan Pulau Lombok di antara pertemuan lempeng samudera. 54
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Penataan kelembagaan yang diprakarsai SMAHE juga mendapat perhatian tersendiri Disdikpora. Pembentukan Komite Bencana dan Keselamatan Sekolah yang di dalamnya memuat Tim Siaga Bencana Sekolah (TSBS), tim operasional pemeliharaan bangunan, dan pengembang hemat energi juga benar-benar baru di sekolah. Sejauh ini pihaknya hanya memberikan pemahaman mengenai bencana kepada pemangku kepentingan pendidikan. Itu yang mendorong Disdikpora untuk membangun koordinasi lebih intensif dengan pemangku kepentingan kebencanaan lainnya.
“Setidaknya, ada materi pengetahuan mengenai jenis-jenis bencana, akibat
yang ditimbulkan, dan penyebab datangnya bencana, bisa diakomodasi dalam kurikulum lokal”
“Kami akan kumpulkan semua kepala sekolah. Jadi kita memberikan pengetahuan kepada mereka, khususnya kepala sekolah. Kami berharap kepala sekolah yang memberikan (pemahaman) kepada siwa-siswa bahwa kalau terjadi bencana A begini caranya, ke sini Anda lari, dan lain-lain. Kadang-kadang, memang ada sekolah yang sudah memiliki itu, tapi belum semua sekolah memiliki kesadaran tentang kesiapsiagaan bencana,” ujar Syamsuhaidi. Perlukah pengurangan risiko bencana masuk dalam kurikulum? Mendapat pertanyaan itu, Kadisdikpora pun langsung mengangguk. Kadar paling rendah, imbuh dia, ada materi pengetahuan mengenai jenis-jenis bencana, akibat yang ditimbulkan, dan penyebab datangnya bencana, bisa diakomodasi dalam kurikulum lokal. Dia mencontohkan, ketika tanah longsor, sebabnya mungkin karena kekurangan pohon. Kalau begitu, maka siswa secara tidak langsung mendapat penyadaran pentingnya menanam pohon. Pada saat yang sama, penjelasan itu secara tidak langsung berisi larangan menebang pohon. Pengetahuan tersebut harus disampaikan sedini mungkin kepada anak didik. Menurutnya, beberapa pengetahuan mengenai mitigasi bencana sebenarnya sudah masuk dalam pelajaran IPA maupun IPS. “Kalau saya, tentang bencana harusnya ada. Sekarang ini namanya bencana kita lihat di TV ada di mana-mana terjadi. Lebih khusus lagi, pengintegrasian kebencanaan juga harus memperhatikan kekhasan daerah.
55
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
“Secara umum saya yakini betul bahwa kalau pemahaman tentang bencana sudah kita tanamkan sejak anak SD, maka saya yakin mereka akan lakukan hal-hal yang positif untuk menghadapi bencana,” jelas Syamsuhaidi.
“….muatan lokal ini tidak harus sama.Kalau sekolah di pinggir pantai maka muatan lokal tentang pantai. Sekolah di lereng bukit, muatan lokalnya tanah longsor dan banjir” Syamsuhaidi Kepala Dispora Lotim
Mengenai pemenuhan aspek keamanan struktur bangunan sekolah, Syamsuhaidi mengaku terus memberikan pengawasan secara ketat. Selain mengoptimalkan peran konsultan perencana maupun pengawas, pihaknya juga bekerja sama dengan lembaga teknis yang bertanggung jawab terhadap bangunan pemerintah. Yakni, Kementerian Pekerjaan Umum dan lembaga serupa di setiap level pemerintahan. Syamsuhaidi menilai robohnya sekolah merupakan aib bagi Disdikpora. Untuk menghindarinya, pihaknya berkomitmen untuk menerapkan prinsip-prinsip sekolah aman dalam pembangunan unit baru maupun rehabilitasi. Memang, Disdikpora belum mengalokasikan anggaran secara khusus. Cuma saja, melihat besarnya alokasi dana pendidikan dalam APBD Kabupaten Lombok Timur yang mencapai 23 persen dari total belanja, maka pengalokasian khusus bukan sesuatu yang mustahil. Menutup pembicaraan pagi itu, Syamsuhaidi juga mengaku tertarik melakukan teknik retrofitting untuk rehabilitasi sekolah yang akan datang. Bila biasanya rehabilitasi lebih banyak dieksekusi menjadi bangunan baru, maka ke depan perkuatan bisa dilakukan dengan tetap memperhatikan keamanan bangunan. Dia setuju bila aspek struktur menjadi sangat penting ketimbang arsitektural untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada anak didik. “Tidak ada artinya keramiknya bagus, plafonnya bagus, gentengnya bagus, tapi struktur penunjang tiang-tiang kurang kuat. Makanya kami sangat berterimakasih pada sekolah aman ini karena memberikan perspektif baru dalam rehabilitasi bangunan sekolah. Kita tidak perlu membongkar kecuali benar-benar harus dihancurkan,” kata Syamsuhaidi. ***
56
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Bagian Lima : Simulasi, Pembiasaan Menghadapi Bencana
Simulasi, Pembiasaan Menghadapi Bencana
Bencana identik dengan kehancuran dan korban jiwa. Mitigasi bencana berupa pemahaman saja tentu tidak cukup, perlu proses pembiasaan secara aktif yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Nah, simulasi ini diharapkan mampu meningkatkan kewaspadaan menghadapi bencana itu sendiri.
57
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Sirine meraung panjang menandai awal simulasi protap peringatan dini dan evakuasi menghadapi bencana di SDN 2 Telagawaru, Jumat 18 Januari 2013 lalu. Suasana belajar pun seketika berhenti. Guru yang siang itu tengah berada di dalam kelas langsung meminta murid di kelas masing-masing untuk berlindung di bawah meja. Begitu serine berbunyi kali kedua, guru langsung meminta anak didiknya berlari tertib ke lapangan upacara. Bentuk sekolah yang lurus memanjang memudahkan evakuasi ini. Tiap kelas berkumpul di depan kelas masing-masing. “Simulasi melahirkan gagasan baru bagi sekolah untuk meningkatkan kapasitas mengelola bencana dengan lebih terpadu�
Kepanikan tergambar jelas pada raut sejumlah siswa. Beberapa di antaranya jatuh ketika berlari menuju lapangan. Sementara itu, beberapa siswa lainnya tertinggal di dalam kelas dengan kondisi tidak karuan. Ada di antara mereka yang jatuh tertimpa kursi dan terjepit meja yang terdorong temannya ketika berlari ke luar kelas. Mereka inilah yang berselang beberapa menit kemudian diselamatkan tim penolong Pramuka dan kader dokter cilik. Tiba di lapangan, korban-korban tersebut dilokalisasi terpisah dari kelompok siswa lain. TSBS dibantu kader-kader terlatih tersebut sibuk memberikan pertolongan. Mereka yang terluka langsung ditangani dengan cara dibalut setelah sebelumnya diobati. Adapun korban patah tulang langsung dipasang bidai untuk menghindari goncangan yang berakibat pada pergerakan tulang. Di sudut lain, sejumlah guru dengan telaten berupaya menghibur murid yang syok akibat gempa. Di tempat lain, kepanikan tampak dalam simulasi serupa di SDN 2 Kembang Kerang, Kabupaten Lombok Timur. Potret kepanikan begitu nyata di sekolah yang berdiri sejak 1976 tersebut. Tentu, ikut mewarnai simulasi adalah perilaku lucu dari guru maupun siswa. Sadar bahwa kegiatan yang dilakukannya hanya simulasi, sejumlah siswa pun tampak melakukannya sambil tertawa atau bahkan usil kepada sesama temannya. Ya, begitulah wajah simulasi saat terjadi gempa yang berlangsung pertengahan Desember 2012 lalu. Mencermati skenario yang dibuat tim fasilitator SMAHE Kabupaten Lombok Timur, simulasi itu memang sedapat mungkin melibatkan segenap komponen sekolah, baik guru, murid, maupun warga di sekitar sekolah. Di sana muncul 58
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
beberapa aktivitas yang diperankan TSBS, guru kelas yang sedang mengajar, guru olahraga, guru piket, guru agama, hingga penjaga sekolah.
Simulasi peringatan dini dan evakuasi menghadapi bencana harus melibatkan seluruh komunitas sekolah, warga masyarakat sekitar sekolah, dan para pemangku kepentingan lain seperti BMKG, Puskesmas, Kepala Desa, serta media massa.
Bagaimana dengan guru kelas? Dia mencoba menjadi orang pertama yang memberikan informasi kepada murid sekaligus memandunya keluar menggunakan jalur evakuasi. Pada saat bersamaan, guru juga berusaha menenangkan siswa agar tidak panik. Adapun guru olahraga berusaha memberikan pertolongan pertama pada korban yang luka ringan. Kemudian, bersama-sama dengan penjaga sekolah memadamkan api yang bisa memicu kebakaran. Ketika getaran gempa sudah reda, bersama-sama penjaga sekolah mencari siswa dan warga sekolah lainnya. Penjaga sekolah juga dikondisikan agar langsung mematikan listrik sebelum kemudian bersama-sama dengan guru olahraga membantu siswa yang membutuhkan pertolongan saat evakuasi. Empat jam kemudian, saat dinyatakan tidak terjadi gempa lagi, warga sekolah yang selamat turut melakukan penyelamatan kepada warga lain yang terkena musibah. Dari kejauhan terdengar peringatan dari Ketua TSBS berisi imbauan agar warga tetap tenang. TSBS segera melakukan koordinasi dengan kepala desa, kadus, pihak Puskesmas desa dan unsur-unsur yang dianggap memiliki peranan strategis dalam proses tanggap darurat. Itulah gambaran sekelumit peristiwa saat pertama kali simulasi peringatan dini dan evakuasi dilakukan di beberapa sekolah percontohan. Simulasi ternyata tak hanya bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan warga sekolah dalam melakukan proses evakuasi, simulasi melahirkan gagasan baru bagi sekolah untuk meningkatkan kapasitas mengelola bencana dengan lebih terpadu, termasuk gagasan untuk mengubah aspek struktur bangunan dan tata ruang yang lebih ramah terhadap kelancaran proses evakuasi. ***
59
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Pemaduan Simulasi dan Kegiatan Sekolah
“Dalam benak saya, lapangan upacara menjadi titik kumpul seluruh murid. Dari sana kami akan merumuskan ke mana jalur evakuasi yang tepat. Sekarang masih kami rumuskan” Agustinus Kepala SDN 1 Sembung
Liukan aneka dedaunan hijau seolah menyapa setiap tamu yang datang ke sekolah ini, SDN 1 Sembung, di Desa Sembung, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat. Memang ada banyak jenis tanaman di sekolah yang berdiri akhir 1961 ini. Dua pohon nangka berdiri kokoh di seberang kantor guru. Terselip menepi ke bagian pagar adalah pohon mangga. Pohon serupa juga terdapat di belakang bangunan baru perpustakaan di sayap kiri ruang guru tadi. Sementara itu, bunga bougenvil berdiri acak mengitari lapangan upacara seluas empat kali lapangan basket. “Dalam benak saya, lapangan upacara menjadi titik kumpul seluruh murid. Dari sana kami akan merumuskan ke mana jalur evakuasi yang tepat. Sekarang masih kami rumuskan,” kata Agustinus sambil menunjuk ke arah lapangan upacara. Dengan luas lahan 86,64 are atau setara dengan 1.033,55 meter persegi, SDN 1 Sembung memang leluasa menentukan titik kumpul. Apalagi, jarak antara bangunan dengan pusat lapangan upacara relatif jauh. Dari sejumlah bangunan tersebut, beberapa unit di antaranya masuk dalam kategori rawan ambruk. Kerawanan ini terutama nampak pada bangunan lama yang didirikan sebelum 1 Desember 1961, tanggal peresmian sekolah ini. Bangunan uzur ini tepat berada di depan gerbang masuk sekolah. Satu kelas di sayap kiri, dua kelas lain lainnya di sayap kanan lorong yang menghubungkan gerbang dengan lapangan upacara. Dari kantor guru, bangunan lama ini berada di sayap kanan. Adapun bangunan baru terletak di sayap kiri. Sampai pertengahan November 2012 lalu, perpustakaan dan ruang UKS memasuki tahap penataan interior. Perpustakaan berada di ujung sayap, kemudian diikuti ruang UKS. Berimpit di sayap kanan UKS adalah ruang kelas lama. Ruang tembok beratap seng ini memiliki sistem ventilasi berupa luang angin lebar yang ditutup menggunakan kawat. Sepintas lalu bangunan ini lebih mirip bangunan ¾ tembok. Melihat keseluruhan bangunan ini seperti melihat perjalanan fisik gedung dari waktu ke waktu. 60
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Bangunan seperti bertransformasi dari masa tua ke bentuk baru yang lebih aman terhadap bencana. Ruang UKS menjadi salah satu fokus perhatian utama Agustinus. Ruang UKS itulah yang sedianya difungsikan sebagai pusat koordinasi kebencanaan. Dengan ruang UKS memadai, kepala sekolah ini optimistis sekolah lebih siap menghadapi bencana. SDN 1 Sembung memang merencanakan sebuah simulai menghadapi bencana yang melibatkan sejumlah pihak. Kegiatan ini bakal dipadukan dengan peresmian perpustakaan baru yang sudah menerapkan teknik perkuatan atau retrofitting, serta kegiatan penyadaran lain. Rencananya, murid kelas 5-6 akan berperan sebagai tenaga pembantu evakuasi, kelas 3-4 berperan sebagai peserta, dan kelas 1-2 akan mengikuti lomba mewarnai gambar bertema kebencanaan. Komite Sekolah, orang tua, dan Puskesmas terdekat juga bakal dilibatkan. “Gambar yang berkaitan dengan bencana alam; misalnya gunung meletus atau gempa. Kalau perlu, kami akan melengkapinya dengan memberikan pertanyaan sederhana. Dari pertanyaan sederhana itu kan anak-anak bisa mengungkapkan apa yang mereka pahami tentang bencana,� kata Agustinus. Untuk mendukung kegiatan ini, sekolah ini juga telah memiliki kader inti. Mereka adalah 10 orang dari anggota PMR atau dokter kecil dan regu inti Pramuka. Para dokter cilik dan pandu ini akan tampil mengenakan seragam masing-masing. Kelompok inti ini akan mempraktikkan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), pemasangan tandu, proses evakuasi, dan lain-lain. Skenario simulasi juga sudah dilengkapi dengan peta evakuasi yang di dalamnya menyertakan tanda atau simbol-simbol terkait proses evakuasi. Titik kumpul yang disepakati dalam draf prosedur standar tanggap darurat milik SDN 1 Sembung, memang berpusat di lapangan upacara. Ini sangat memadai karena luas sehingga mampu menampung banyak orang. Jarak antara bangunan dan pohon dengan pusat lapangan juga relatif jauh. Dengan begitu, ketika bangunan atau pohon ambruk kemungkinan besar tidak akan sampai ke pusat lapangan.
61
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Mengubah Site Plan, Menganggarkan Pemeliharaan Maksum punya pengalaman unik ketika simulasi menghadapi bencana dihelat di sekolahnya awal Januari 2012 lalu. Kepala SMPN 1 Aikmel di Kabupaten Lombok Timur ini seakan tersadarkan bahwa bangunan di sekolahnya berdiri kurang beraturan. Akibatnya, ketika tanda bahaya dibunyikan, sejumlah anak berbenturan karena tidak bisa saling melihat teman yang ada di lorong yang berseberangan. Peristiwa tabrakan juga terjadi ketika siswa berhamburan mendengar bel tanda pulang dibunyikan.
“Kami berharap ke
depan, sesuai dengan site plan, bangunan akan dibuat mengelilingi lapangan�
Dari situ, rencana besar untuk mengubah site plan sekolah yang berdiri sejak 1977 pun muncul. Tujuannya jelas, memudahkan evakuasi manakala bencana datang sekaligus memudahkan pengawasan. “Site plan awal sekolah ini dari masa Repelita II, pada masa itu termasuk yang megah di zamannya. Dulu hanya terdapat enam lokal, kemudian ditambah enam lokal lagi. Sesuai dengan perkembangan jumlah siswa, kami membebaskan lahan di belakang, sebelah selatan dan sebelah timur yang di sana. Itulah yang menyebabkan tata letak sekolah kami seperti ini, acak. Kami berharap ke depan, sesuai dengan site plan, bangunan akan dibuat mengelilingi lapangan, berputar. Jadi, gedung-gedung ruang belajar akan dibangun keliling, di tengah kosong. Dengan demikian pemantauan anak-anak sehari-hari juga akan gampang. Bisa kelihatan semua. Kalau kami punya APBS selama empat tahun, barangkali tahun kedelapan bisa direalisasikan secara menyeluruh,� kata Maksum saat ditemui di sekolahnya pertengahan Januari 2013 lalu. Lima bulan terlibat dalam pendampingan SMAHE melalui DAK rehabilitasi gedung yang kemudian diubah menjadi ruang kelas baru (RKB), Maksum meneguhkan komitmennya untuk melanjutkan program SMAHE secara mandiri. Bagi kepala sekolah ini, SMAHE sangat bagus sehingga harus dipertahankan. Dia bertekad melanjutkan pelembagaan yang telah digagas SMAHE, dengan atau tidak adanya sokongan
62
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
dari Bank Dunia. Dia berjanji untuk mengalokasi dana dalam APBS secara bertahap setiap tahunnya. Pada tahap awal, SMPN 1 Aikmel mengalokasikan sebesar Rp 15 juta selama satu tahun. Duit itu akan digunakan untuk membiayai pertemuan dengan orang tua murid, pembuatan loronglorong evakuasi, dan diseminasi lainnya. Dana yang sama juga akan digunakan untuk pemeliharaan bangunan agar tingkat keamanannya terkontrol dengan baik. “Program SMAHE akan terus kami jalankan. Alhamdulillah orang tua mendukung. Tahun ini akan ada perhatian dari orang tua juga untuk mendukung sekolah aman. Sumbangan orang tua untuk yang mampu, tidak ditentukan jumlahnya,� ujar Maksum mantap.
“Jadi, aman itu tidak hanya di jalan, tetapi pada saat
tinggal di sekolah�
Di sisi lain, Maksum juga berencana memasukkan materi kesiapsiagaan bencana melalui ekstrakurikuler. Garda terdepan program ini adalah Pramuka dan PMR. Dua ekstrakurikuler ini dianggap relevan karena bergerak dalam aktivitas kesukarelaan di satu sisi dan keterampilan di bidang penanggulangan bencana. Pramuka terbiasa dengan aktivitas di alam terbuka, sementara PMR terampil dalam bidang medis praktis. Dengan begitu, anggota Pramuka dan PMR tidak akan kesulitan untuk merawat teman-temannya yang terluka ketika bencana datang. Saat ini, sejumlah anggota Pramuka dan PMR berhasil memerankan diri sebagai tutor sebaya yang memberikan pemahaman tentang kebencanaan.
63
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Karena Simulasi Itu Perlu Apakah simulasi itu penting? Tentu saja jawabannya penting. Simulasi adalah satu-satunya cara yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah, jika sistem nyata sulit diamati secara langsung. Boleh dibilang, simulasi merupakan model dari sebuah konstruksi realitas. Dalam konteks kebencanaan, Peraturan Kepala BNPB Nomor 4 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana mengatur simulasi sebagai salah satu indikator penilaian dalam kerangka kerja nonstruktural. Di sana diatur bahwa salah satu indikator dalam paramater pengetahuan, sikap, dan tindakan adalah keterampilan warga sekolah dan madrasah, dalam menerapkan rencana aksi sekolah dan madrasah aman. Nah, indikator ini diukur berdasarkan pada sejauhmana warga sekolah dan madrasah, menjalankan simulasi peringatan dini dan evakuasi. Masih dalam parameter kerangka kerja nonstruktural yang sama, Perka menekankan terlaksananya kegiatan simulasi secara berkala di sekolah dan madrasah dengan melibatkan masyarakat sekitar. Penilaiannya jelas, pelaksanaan simulasi harus dilakukan secara berkala.Mengapa harus berkala? Ya, karena membiasakan sebuah tindakan tidak bisa dilakukan simulasi satu atau dua kali saja, harus berkali-kali dan dilakukan secara berkala sehingga saat menghadapi bencana sudah secara spontan setiap orang berperan sesuai dengan sistem komando yang telah ditetapkan. Simulasi juga menjadi indikator penilaian pada parameter perencanaan kesiapsiagaan. Di sana diatur indikator tersedianya sistem peringatan dini yang dipahami seluruh warga sekolah dan madrasah. Nah, salah satu indikator ini diukur berdasarkan prosedur tetap (Protap) mengenai pelaksanaan sistem peringatan dini yang telah diuji dan diperbarui melalui kegiatan simulasi yang dilaksanakan secara berkala oleh sekolah dan madrasah. Artinya, simulasi dan protap atau prosedur tetap tidak dapat dipisahkan satu sama lain, protap menjadi panduan dalam menyelenggarakan simulasi dan protap dikembangkan dari hasil simulasi. Praktisnya, simulasi bisa diartikan sebagai metode pelatihan yang meragakan sesuatu dalam bentuk tiruan yang mirip dengan keadaan sesungguhnya. Bisa juga dimaknai sebagai penggambaran suatu sistem atau proses dengan peragaan atau pemeranan. Karena bentuknya aktivitas, maka simulasi sebagai metode pelatihan tentunya memerlukan panduan berupa protap atau SOP. (*)
64
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Bagian Enam : Energi Terbarukan untuk Kehidupan Lebih Baik
Energi Terbarukan untuk Kehidupan Lebih Baik
Pemulihan ketersediaan energi menjadi salah satu agenda strategis dalam penanggulangan bencana. Semakin cepat energi pulih, semakin cepat penanggulangan bencana bisa dilakukan. Di sinilah pentingnya pemanfaatan energi terbarukan. Apalagi, sebagai negara kepulauan, Indonesia kaya akan sumber daya energi terbarukan, angin, panas bumi, matahari, air, dan sebagainya.
65
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Nyala api tampak meliuk-liuk tersapu angin yang menyusup melalui celah daun pintu yang terbuka. Seorang perempuan tua tampak telentang berbalut sarung setengah dada sambil mengunyah daun sirih. Bibirnya tampak menyala merah ketika pendaran cahaya mengenainya. Di sudut lain tampak duduk bersila seorang lelaki tua. Tangannya sesekali menepuk nyamuk yang kebetulan melintas di depan matanya. Terdengar obrolan kecil menggunakan Bahasa Sasak. Setelah itu kembali terdiam. Sepasang renta ini getol menunggui sang cucu, Hernawati (10 tahun), yang asyik menyalin tulisan dari buku bacaan ke buku tulis. Hernawati yang duduk di bangku kelas empat SD Negeri Buwun Mas 8 ini tampak tak terganggu dengan obrolan kakek dan neneknya. Bocah yang bercita-cita menjadi guru ini pun tak terganggu dengan liukan cahaya lampu yang meredup setiap kali angin berembus. Sekitar 20 centimeter dari mukanya menyala sebuah lampu kecil yang tampak benderang di tengah pekatnya rumah panggung sederhana tersebut. Maklum, selain lampu belajar Hernawati tadi, rumah itu hanya bergantung kepada penerangan sebuah lampu minyak. Nyalanya bahkan tak menyentuh dinding bagian belakang yang terbuat dari anyaman bambu.
“Di tengah pekat malam, bisa terus belajar”
“Dia terus belajar sampai malam. Saya sudah tidur, dia masih belajar,” kata sang kakek merujuk pada kebiasaan baru Hernawati sejak menerima lampu menggunakan lampu berbasis teknologi light emitting diode (LED) melalui program SMAHE. Di sekolah percontohan lainnya, SDN Jeringo di Kabupaten Lombok Timur, lampu berdaya 1 watt ini mendapat julukan Si Ledi. “Hernawati memang dikenal pintar. Sampai kelas empat ini, dia sudah dua kali ranking satu. Dia belajarnya rajin, apalagi setelah ada lampu LED. Murid-murid lain pun begitu, ratarata pola belajarnya berubah dalam dua bulan terakhir,” terang Astar, Kepala SD Negeri Buwun Mas 8, yang malam itu ikut menyambangi sejumlah murid penerima bantuan lampu LED. Hernawati yang ditinggal ibunya merantau ke Saudi Arabia dalam beberapa tahun terakhir ini mengaku makin betah belajar. Berbekal penerangan lampu LED yang 66
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
memanfaatkan energi terbarukan dari sinar matahari dan angin tersebut, ia kini bisa membaca buku cerita maupun mengerjakan pekerjaan rumah (PR) pada malam hari. Sebelumnya, nyaris tak ada kegiatan lain sepulang mengaji dari surau kampung setiap malamnya. “Saya sangat senang sekarang punya lampu ini. Lebih terang dari lampu minyak,” ujar Hernawati malu-malu. Sang kakek pun manggut-manggut. Menurutnya, cucu kesayangannya tersebut biasanya belajar sekitar dua jam setiap harinya. Satu jam pada siang hari. Satu jam lagi pada malam sepulang mengaji sekitar pukul 20.00. Khusus malam Jumat, biasanya mengaji diliburkan. Libur mengaji pada malam Jumat ini seperti sudah menjadi tradisi atau setidak-tidaknya konvensi bahwa malam itu merupakan hari libur mengaji. Konvensi juga berlaku bagi kaum pria dewasa pada Jumat siang hari. Cuma saja, ini terkait pekerjaan. Para petani atau nelayan di Kampung Pangsing memilih meliburkan diri dari rutinitas mereka di ladang maupun di laut setiap Jumat. Alasannya beragam. Shahnun sendiri mengaku sengaja libur demi menghormati hari yang dikenal rajanya hari dalam Islam tersebut. “Nanti kalau tetap bekerja, masjid jadi kosong,” kata Shahnun mencoba memberi alasan. “Bisa membaca buku cerita maupun mengerjakan pekerjaan rumah (PR) pada malam hari”
Masih soal sambutan terhadap lampu hemat energi, sejumlah murid SD Negeri Buwun Mas 8 mengungkapkan hal sama dengan Hernawati. Ditemui Kamis malam 15 November 2012 lalu, sejumlah anak yang kebetulan libur mengaji tampak asyik membolak-balik buku bermodalkan lampu LED. Ada tiga anak yang berkumpul mengelilingi satu lampu LED. Tiga belia ini tidak sedang membaca. Mereka tampak asyik menggambar di atas buku gambar seukuran buku tulis. “Dia pernah juara gambar tingkat kecamatan,” kata Astar yang malam itu ikut berkeliling ke sejumlah rumah. Astar menunjuk kepada Sabirin (13 tahun), murid kelas enam di sekolah yang dipimpinnya. Malam itu, Sabirin berbagi cahaya LED bersama Bai Titi (12 tahun) dan Wiranto yang masih duduk di kelas tiga di sekolah yang sama. Dibanding dua temannya, gambar Sabirin memang tampak paling mencolok. Apalagi dibandingkan dengan Wiranto yang masih susah payah mengeja huruf. Sabirin mengaku makin
67
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
semangat belajar. Dia pun optimistis bakal meraih citacitanya menjadi tentara angkatan laut. Semangat yang sama diungkapkan Bai Titi yang bapaknya merantau di Malaysia. Hanya Wiranto yang masih slengean ogah mengungkapkan tanggapannya. Ekspresi senada juga diungkapkan Muliatul Aini (9 tahun), Rendi (10 tahun), Syaiful Azmi (12 tahun), Hasanul Bakiah (9 tahun), Hidayatul Laili (9 tahun), dan Gunawan (8 tahun). Pada umumnya mereka senang bisa belajar lebih tenang dengan penerangan LED. Beberapa di antara mereka menjawab polos dengan mengatakan bahwa biasanya tidak pernah belajar pada malam hari. Beberapa lainnya menjawab terkesan berlebihan dengan mengaku belajar tiga jam setiap malamnya. Muliatul Aini misalnya, mengaku belajar tiga jam setiap malam. Melihat usianya yang baru sembilan tahun tentu lama belajar tersebut terbilang luar biasa. “Punya lampu LED,
kami sekarang bisa belajar malam hari. Juga bisajadi lampusenter untuk berangkat dan pulang mengaji dan setelah tidak kami gunakan untuk belajar, bisa digunakan untuk
penerangan rumah”
Selain digunakan untuk belajar, lampu LED juga biasa difungsikan menjadi lampu senter ketika berangkat dan pulang ke surau tempat mengaji. Beberapa orang tua juga tampak malu-malu mengaku memanfaatkan lampu LED untuk penerangan rumah mereka setelah tidak lagi digunakan oleh anaknya. Kapan lampu itu digunakan? Setidaknya pada malam hari sebelum tidur dan pagi hari ketika bangun. Dengan kemampuan menyala hingga lima jam, lampu tersebut memberikan keuntungan lain. “Ya kami pakai saja buat di rumah. Mau tidur dimatikan. Nanti ketika bangun dinyalakan lagi. Lampu anak-anak ini juga membantu ketika genset di masjidmati. Kegiatan mengaji tetap berlangsung karena anak-anak membawa lampu sendiri,” kata Amaq Bakiah, orang tua Hasanal Bakiah yang sebelumnya pernah bekerja di Brunei Darussalam. Bakiah sendiri mengaku senang bisa belajar pada malam hari. Bocah kelas enam SD Buwun Mas 8 ini makin yakin citacitanya menjadi polisi bisa tercapai. Yang tidak kalah pentingnya, tidak ada lagi cerita rambut terbakar atau hidung mampet akibat jelaga yang timbul dari pembakaran lampu minyak. “Pokoknya saya senang,” ujarnya sumringah.
68
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Perasaan senang rupanya tak hanya milik 66 murid penerima lampu LED. Rasa yang sama ikut menular ke seluruh penghuni rumah, terurama para ibu yang selama ini dipusingkan harga dan kelangkaan minyak tanah. Dengan memanfaatkan sisa waktu belajar anak-anak mereka, setidaknya mereka bisa menghemat pengeluaran rutin. Angka penghematan makin signifikan manakala dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar listrik kepada pemilik genset.
“Tidak ada lagi cerita rambut terbakar atau hidung mampet akibat jelaga yang timbul dari pembakaran lampu minyak”
“Kami tak punya uang untuk membeli genset. Satu-satunya penerangan menggunakan lampu minyak. Di sini, harga minyak tanah Rp 14 ribu per liter. Kalau satu liter bisa digunakan untuk dua malam, berarti saya harus membeli 15 liter minyak tanah. Artinya, saya harus punya uang Rp 210 ribu setiap bulan. Padahal, kami hanya panen setahun sekali. Itu pun sebagian besar hasil panen dimakan sehari-hari,” terang Samiah (50 tahun), orang tua Rendi yang malam itu mendampingi anaknya membaca buku cerita binatang. Malam makin terasa sendu di Kampung Pangsing. Nyaris tak ada cahaya yang bisa tertangkap dari jarak dekat sekalipun. Semuanya gelap. Dari 280 kepala keluarga (KK) di dua blok kampung, hanya sebagian kecil yang memiliki genset. Itu pun bantuan dari pemerintah pusat beberapa tahun sebelumnya. Sialnya, kini genset-genset tersebut banyak yang mangkrak. Selain karena pemakaian, sebagian lain justru rusak karena jarang dipakai. Alasannya sederhana: tidak ada bahan bakar. Di blok yang di sana berdiri SD Negeri Buwun Mas 8 kini hanya tersisa tiga unit genset yang masih berfungsi dengan baik. “Saat bantuan turun, kampung kami menerima 50 unit genset. Blok ini menerima 19 unit, sisanya di blok sana di balik bukit ini. Kampung kami menerima paling banyak karena memang yang mengusulkan. Total bantuan sebenarnya 250 unit untuk enam kampung. Kampung Pangsing paling banyak,” kata Shahnun, Kepala Dusun Pangsing. ***
69
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Harapan Baru Generasi Pangsing
“Kami sangat berharap bisa menemukan tempat untuk membeli atau setidaktidaknya untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada lampu” “Tanpa perlu aba-aba, mereka menuju ke pojok
sebelah kiri dari arah pintu masuk. Di sana sudah terpasang seperangkat charger dan seonggok kabel untuk mengisi ulang lampu LED”
Pagi baru saja tiba ketika segerombol anak-anak berebut memasuki ruang perpustakaan SD Buwun Mas 8. Tanpa perlu aba-aba, mereka menuju ke pojok sebelah kiri dari arah pintu masuk. Di sana sudah terpasang seperangkat charger dan seonggok kabel untuk mengisi ulang lampu LED. Dari situ barulah mereka berhambur ke halaman sekolah sebelum kemudian masuk kelas. Selain bermain kejar-kejaran, sebagian di antara murid SD Buwun Mas 8 ini tampak menyapu halaman yang dipenuhi dedaunan lapuk. Aktivitas mengisi ulang baterai lampu LED merupakan rutinitas baru 66 murid SD Buwun Mas 8 sejak dua bulan terakhir. Keriangan tampak dalam raut wajah generasi baru Pangsing tersebut. Mereka senang karena dengan lampu LED tersebut bisa belajar pada malam hari. Bahkan dengan kemampuan menyala optimal hingga lima jam, mereka bisa memanfaatkannya untuk aktivitas lain. Kalau sudah begitu, menjadi tugas baru untuk mengisi ulang setiap pagi. Geliat kegiatan belajar ini yang kemudian memantik asa baru Shanhun maupun Astar. Dua orang ini jelas merasa paling bertanggung jawab atas pendidikan anak-anak di Kampung Pangsing. “Saya sangat berterima kasih atas perhatian pemerintah melalui program SMAHE ini. Bantuan ini sangat dirasakan murid-murid kami di sini. Manfaatnya terasa langsung. Saya sudah empat kali menginap di sekolah untuk melihat perkembangan belajar anak-anak. Hasilnya seperti Bapak juga saksikan. Ada peningkatan aktivitas belajar yang cukup signifikan dibanding sebelum menggunakan LED. Peningkatan juga bisa dilihat pengerjaan PR. Saya berkoordinasi dengan teman-teman guru untuk memberikan PR kepada anak-anak. Keesokan harinya kita cek. Hasilnya, Alhamdulillah kini lebih banyak anak mengerjakan PR,” kata Astar saat ditemui saat menginap di kantornya, Kamis malam, 15 November 2012. Astar memang terpaksa harus menginap di sekolah ketika melakukan monitoring. Maklum, kepala sekolah yang 70
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Lampu ini membawa
harapan baru bagi kami yang tak punya jaringan listrik PLN. Kami sangat berharap bisa menemukan tempat untuk membeli atau setidak-tidaknya untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada lampu
menjadi guru sejak 1986 tersebut tinggal jauh dari Pangsing. Meski masih satu desa dengan Pangsing, jaraknya lumayan jauh. Yang pasti, harus menyeberang laut. Sadar akan keterbatasan jarak itu, Astar pun mengaku terus mendorong orang tua murid untuk mendampingi anak-anak mereka belajar. Astar juga berpesan agar orang tua ikut menjaga lampu LED agar bisa dimanfaatkan lebih lama. Apalagi, sampai saat ini Astar belum mengetahui memperbaiki atau mengganti manakala lampu tersebut rusak. Sampai 15 November 2012 lalu misalnya, Astar mencatat adanya lima unit lampu yang rusak. Keluhan serupa juga diungkapkan Shahnan yang ditemui keesokan harinya. “Jelas kami sangat terbantu dengan adanya lampu LED ini. Boleh dibilang, lampu ini membawa harapan baru bagi kami di sini yang masih terisolasi jaringan listrik PLN maupun sinyal telepon genggam. Kami sangat berharap bisa menemukan tempat untuk membeli atau setidak-tidaknya untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada lampu. Saya berpendapat lampu ini tak hanya bermanfaat bagi anak-anak untuk belajar. Bila memungkinkan, kami berkeinginan memiliki untuk digunakan sebagai alat penerangan seharihari,� harap Shahnun. Harapan lain diungkapkan Astar. Sebagai pimpinan sekolah, Astar berharap bisa mendapatkan suplai energi terbarukan untuk keperluan administrasi sekolah. Salah satunya untuk menghidupkan satu unit komputer di kantornya. Sejak dibeli beberapa waktu lalu, komputer tersebut belum pernah digunakan. Pernah suatu ketika Astar mencoba menyalakan dengan memanfaatkan listrik yang dihasilkan solar cell dan turbin yang digunakan untuk program SMAHE. Bukannya menyala, malah kini lampu pijar yang biasanya memanfaatkan sumber energi tersebut sama sekali mati. “Mungkin daya yang dibutuhkan komputer lebih besar dari daya yang dihasilkan turbin dan matahari. Mudah-mudahan ke depan bisa diperbaiki,� Astar penuh harap. Astar maupun Shahnun berharap peningkatan prestasi belajar anak-anak Pangsing mampu memperbaiki kehidupan mereka di kemudian hari. Dengan begitu, ada mobilitas di tengah kehidupan lumbung TKI tersebut. Semoga. ***
71
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Si Ledi, Teman Setia Murid SDN 3 Jeringo
“Dibutuhkan peningkatan kapasitas bagi guru dalam TIK dan pemenuhan sarananya. Serta kapasitas untuk pemeliharaan perangkat solar cell, bahkan harus tersedia kemudahan untuk mendapatkan spare part jika terjadi kerusakan� Marnia Nes Team Leader Program SMAHE NTB
Neni, Yanti, dan Qori adalah tiga dari 108 siswa SDN 3 Jeringo yang terletak di Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur. Setiap hari mereka menempuh perjalanan satu jam berjalan kaki dari rumah ke sekolah yang teletak di puncak bukit hutan Jeringo, sekitar 10 kilometer di atas Pelabuhan Kayangan. Untuk mencapai sekolah, mereka harus melewati jalan tanah berbatu yang diapit oleh pohon pohon Jati di sebelah kiri dan tanah bebatuan di sebelah kanan. Pada musim kemarau daerah ini mengalami kekeringan yang parah, tanah gersang, dan tandus penuh batu besar dengan hamparan tanaman dan pepohonan berwarna coklat kering kerontang. Dengan lokasi yang masih sulit diakses, sekolah dan penduduk di wilayah ini belum terjangkau oleh jaringan listrik PLN. Kebutuhan energi untuk penerangan pada umumnya dipenuhi dengan menggunakan minyak tanah, sementara beberapa warga yang mampu menggunakan diesel. Neni, Qori, dan Yanti belajar dan mengaji pada malam hari menggunakan lampu templek yang ditempel di dinding atau ketomblok, lampu buatan sendiri dari botol yang diisi dengan minyak tanah dan menggunakan kain sebagai sumbunya. Sejak awal September 2012 mereka tidak lagi menggunakan lampu templek atau ketomblok untuk belajar. Program SMAHE yang diprakarsai Kemendikbud dan didukung oleh World Bank memberikan bantuan energi terbarukan berupa sel surya dan turbin angin dengan sistem hibrida untuk memenuhi kebutuhan energi disertai dengan pembagian lampu LED kecil berdaya 1 watt. Si Ledi, begitu Neni, Qori, dan Yanti menyebut lampu LED berdaya mini tersebut. Dengan mata berbinar, ketiga siswi tersebut menuturkan, sekarang Si Ledi menjadi teman setia mereka. Pada malam hari mereka menggunakan Si Ledi untuk belajar sekitar 2-3 jam, jauh lebih lama dibanding menggunakan lampu templek karena harus menghemat minyak tanah. "Lebih terang dan tidak menjadi hitam ke muka dan lubang hidung," begitu 72
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Neni menuturkan. "Kakak saya ikut belajar bareng," Qori menambahkan. Sedangkan Yanti dengan malu-malu mengatakan si LEDI juga berfungsi sebagai lampu penerang untuk pergi mengaji atau ke kamar mandi yang terletak di luar rumah, sebagai pengganti Jojong (sejenis obor).
“Semangat siswa SDN 3 Jeringo menunjukkan dinamika yang berbeda sejak adanya si LEDI, pertanyaannya sampai berapa lama lampu itu bertahan?
Siang hari, si LEDI mereka bawa ke sekolah untuk diisi ulang, dengan menggunakan energi dari sel surya di sekolah mereka. Pihak sekolah menyediakan tempat isi ulang yang bisa digunakan untuk 30 LED sekaligus. Biasanya isi ulang dilakukan sebelum mereka masuk kelas pada pagi hari dan diambil pada saat pulang sekolah sekitar pukul 12.00 siang. Menurut mereka terdapat tanda untuk mengetahui penuh tidaknya lampu mereka. "Kalau sudah penuh tandanya menyala berwarna hijau," Neni menuturkan. "Kalau kosong berwarna merah," Qori menimpali. Berdasarkan penuturan mereka solar cell tersebut digunakan juga untuk isi ulang handphone dan beberapa laptop yang dimiliki guru mereka. Semangat siswa SDN 3 Jeringo menunjukkan dinamika yang berbeda sejak adanya Si Ledi, pertanyaannya sampai berapa lama lampu itu bertahan? Tantangan ke depan adalah soal pemeliharaan yang harus dilakukan baik untuk perangkat solar cell maupun Si Ledi juga pemanfaatan energi listrik yang mereka miliki untuk kebutuhan sistem belajar mengajar yang lebih luas melalui penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). ***
73
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Rp 1 M untuk Sekolah Hemat Energi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi NTB Rosiady Sayuti mengaku bersyukur bisa menghadiri sosialisasi program SMAHE awal September 2012 lalu. Dengan begitu, dia mendapatkan pemahaman dengan baik mengena sekolah aman maupun pengembangan sekolah hemat energi di daerahnya. Dia pun berterimah kasih kepada Bank Dunia karena telah memilih NTB sebagai lokasi pemilihan sekolah percontohan. Terlebih bagi sekolah benar-benar berada di daerah terpencil yang belum tersentuh listrik. “Pemprov NTB berencana menindaklanjuti program sekolah hemat energi ini pada tahun anggaran 2013. Secara teknis, Pemprov akan menganggarkan pengadaan pembangkit listrik hibrida tersebut melalui mekanisme bantuan sosial�
“Kami dari pemerintah daerah senang dan berterima kasih kegiatan yang diinisiasi World Bank ini karena dapat menjangkau sekolah-sekolah yang relatif sulit untuk kita jangkau. Pastilah proses belajar mengajar di tempat tersebut tidak akan sama baik dengan sekolah-sekolah lain yang ada listrik. Meskipun seluruh desa sudah terjangkau listrik, namun NTB masih memiliki dusun-dusun yang belum menikmati listrik PLN. Data kami menunjukkkan angka elektrifikasi NTB baru sekitar 60 persen, artinya masih banyak daerah terpencil yang belum tersentuh listrik,� terang Rosiady saat ditemui di ruang kerjanya pertengahan Januari 2012. Rosiady mengaku sudah melihat secara langsung dampak pemasangan tenaga surya dan turbin angin di SDN 2 Puncak Jeringo. Juga telah melihat tanggapan dari anak-anak didik, guru, maupun orang tua. Dari berbagai tanggapan tersebut, Pemprov NTB berencana menindaklanjuti program sekolah hemat energi ini pada tahun anggaran 2013. Secara teknis, Pemprov akan menganggarkan pengadaan pembangkit listrik hibrida tersebut melalui mekanisme bantuan sosial. Alasannya, pengajuan pengadaan khusus sudah terlambat karena anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) NTB sudah disahkan. Dana yang disiapkan untuk replikasi program hemat energi tersebut berkisar Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Jumlah itu bergantung kepada jumlah sekolah.
74
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
“Bapak Gubernur sudah setuju untuk menduplikasi kegiatan ini di beberapa sekolah. Untuk sementara, replikasi program baru akan dilakukan di dua kabupaten lokasi SMAHE sekarang, yakni Lombok Barat dan Lombok Timur. Dengan dana tersebut, kami memperkirakan bisa membangun sekitar 4-10 sekolah. Kalau empat, berarti masing-masing dua sekolah di Lombok Barat dan Lombok Timur. Kalau 10, ya masing-masing lima sekolah. Pengadaan jelas diperuntukkan untuk sekolah yang belum memiliki aliran listrik PLN. Beberapa sekolah di pegunungan dan pulau terluar memang belum memiliki aliran listrik. Itu menjadi prioritas kami,� kata Rosiady. “Bapak Gubernur sudah setuju untuk menduplikasi kegiatan ini di beberapa sekolah. Untuk sementara, replikasi program baru akan dilakukan di dua kabupaten lokasi SMAHE sekarang, yakni Lombok Barat dan Lombok Timur� Rosiady Kepala Bappeda NTB
Pada saat bersamaan, terang Rosiady, NTB juga tengah giat menggali potensi energi terbarukan. Salah satunya eksplorasi energi panas bumi di Dompu dan Sembalun. Saat ini, pihaknya sudah mengantongi izin dari Menteri Kehutanan. Dalam waktu dekat bakal memasuki eksplorasi. Sementara itu, upaya elektrifikasi kalangan rumah tangga dilakukan dengan pengadaan listrik tenaga surya untuk beberapa titik yang belum memiliki listrik. Program yang digagas Kementerian Pembangunan Daerat Tertinggal ini sudah berlangsung selama beberapa tahun. Hasilnya, ribuan rumah di daerah terpencil sudah bisa menikmati listrik. Pihaknya berharap pasokan energi terbarukan tersebut mampu meningkatkan produktivitas sekolah maupun masyarakat. Bagi sekolah, elektrifikasi diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran maupun pemanfataan teknologi informasi untuk kepentingan administrasi pendidikan. Sementara bagi masyarakat, elektrifikasi diharapkan mampu memacu produktivitas ekonomi keluarga. Dengan begitu, listrik bukan hanya bermanfaat bagi penerangan, melainkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. ***
75
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Apa dan Bagaimana Sekolah Hemat Energi Mari kita memulai dengan sebuah pertanyaan, “Mengapa harus ada listrik di sekolah?” Pertanyaan sederhana ini bisa dijawab secara sederhana pula. Apa jadinya bila sekolah tanpa jaringan listrik. Idealnya memang begitu. Faktanya, sejumlah sekolah di Nusa Tenggara Barat (NTB) belum bisa menikmati jaringan listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN).
“Ketersediaan listrik juga bermanfaat untuk meningkatkan akses komunitas pendidikan di daerah terpencil atau tertinggal”
“Listrik dibutuhkan untuk keperluan operasional dasar sekolah, seperti penerangan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). Sebuah survei di Amerika Serikat menunjukkan, penerangan belajar yang baik meningkatkan prestasi siswa sebesar 14 persen,” papar Petra Wiyakti Bodrogini, ICT in Education Consultant World Bank, saat lokakarya fasilitator program SMAHE di Mataram, NTB, awal September 2012 lalu. Ketersediaan listrik juga bermanfaat untuk meningkatkan akses kepada komunitas pendidikan di daerah terpencil atau tertinggal. Listrik, sambung Petra, mampu menghubungkan antardaerah melalui bantuan teknologi informasi. Dengan adanya listrik terbarukan di sekolah, diyakini mampu meningkatkan kualitas pendidikan di daerah terpencil yang selama ini belum terjamah listrik negara. Di sisi lain, TIK juga menjadi sarana meningkatkan akses dan layanan pendidikan. Mengacu kepada Rencana Strategis Kementerian Pendidikan Nasional 2010 (kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan), TIK berfungsi memfasilitasi administrasi sekolah, pembelajaran siswa, pengembangan profesi guru, dan sistem manajemen informasi sekolah dan pendidikan. Dalam konteks SMAHE, sekolah percontohan mendapat instalasi listrik sebagai energi yang dapat diperbaharui dan pemakaian yang hemat energi untuk penerangan dan administrasi sekolah. Petra menjelaskan, dua sekolah percontohan mendapatkan paket dasar berupa instalasi energi terbarukan hybrid berupa solar dan angin, satu paket lampu saku untuk siswa, dan satu unit netbook yang sudah dilengkapi dengan perangkat lunak
76
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
program. Dua sekolah itu adalah SDN 2 Puncak Jeringo di Kabupaten Lombok Timur dan SDN 8 Buwun Mas di Kabupaten Lombok Barat. “Program ini menginginkan terwujudnya instalasi aman yang searah dengan pembangunan struktural sekolah aman dan penerangan yang lebih baik di sekolah maupun di rumah. Kami percaya pemanfaatan TIK akan meningkatkan efisiensi pengelolaan sekolah, khususnya untuk program rintisan sekolah aman di NTB. Pengumpulan data juga lebih mudah karena dilakukan secara elektronis dan online untuk seluruh sekolah rintisan,” terang Petra lagi.
“Penggunaan listrik dengan sistem hibrida memungkinkan daerah bencana dapat segera berkomunikasi dengan pihak luar. Ini penting agar daerah bencana tidak terisolasi” Cahyawan Catur Unram
Berbincang saat berkunjung ke SDN 8 Buwun Mas pertengahan November 2012 lalu, pakar energi terbarukan Universitas Negeri Mataram (Unram) Cahyawan Catur Edi Margana menjelaskan, salah satu manfaat yang terkuak pada penerapan sel surya dan turbin angin adalah kemampuan menyuplai daya lampu. Kemampuan ini sangat bermanfaat untuk belajar di rumah, pemenuhan energi laptop maupun charger telepon seluler. Di sisi lain, terjadinya bencana seperti gempa, banjir, tanah longsor, tsunami, dan lain-lain dapat menyebabkan kerusakan yang hebat pada infrastruktur maupun jaringan air, termasuk jaringan listrik PLN. “Penggunaan energi terbarukan seperti solar cell dan wind turbin ini mendukung ketahanan energi ketika terjadi bencana. Mengapa? Karena apabila terjadi bencana jaringan listrik PLN yang cakupannya luas memerlukan waktu yang lama memperbaikinya. Namun dengan penggunaan energi terbarukan ini, pemulihan kembali bisa lebih cepat.Penggunaan listrik dengan sistem hibrida seperti ini memungkinkan daerah bencana dapat segera berkomunikasi dengan pihak luar. Ini penting agar daerah bencana tidak terisolasi,” terang Catur yang juga konsultan energi untuk program SMAHE ini. Pria sederhana yang memboyong seabrek peralatan untuk mengukur potensi energi di Sekotong, Lombok Barat, ini memberikan penekanan pada kesiapan komunitas sekolah untuk menghadapi datangnya bencana. Kesatuan komponen struktur sekolah aman dan ketahanan energi, imbuh Catur, sangat vital untuk disinergikan dalam kegiatan SMAHE. 77
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Pemangku kepentingan perlu membangun paradigma mengenai pentingnya anak didik paham terhadap bencana. Di sisi lain, sekolah juga harus mampu memanfaatkan sumber energi alternatif yang berada di sekitar sekolah. “Lombok ini memiliki pasokan sinar matahari yang cukup sepanjang tahun. Karena itu, sangat cocok untuk dikembangkan energi matahari melalui solar cell. Tiupan angin juga sangat berlimpah hampir di semua titik Pulau Lombok. Nah, sistem hibrida yang digunakan di dua sekolah rintisan SMAHE ini memang sangat cocok dengan karakteristik wilayah. Apalagi, banyak sekolah di Lombok yang belum tersentuh jaringan listrik PLN. Di sinilah dituntut munculnya peran pemerintah daerah untuk mengembangkan energi alternatif secara optimal. Dua sekolah rintisan ini bisa dijadikan model untuk kemudian direplikasi di sekolah-sekolah lain yang membutuhkan pasokan energi,� papar Catur. [!]
78
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Bagian Tujuh : Pemberdayaan dan Pembelajaran, Pendekatan Utama SMAHE
Pemberdayaan dan Pembelajaran, Pendekatan Utama Program SMAHE Kapasitas dalam hal pengurangan risiko bencana adalah agenda utama dalam mitigasi bencana.Karena itulah, proses fasilitasi, advokasi dan penyadaran terhadap sekolah aman dan hemat energi yang diterapkan program SMAHE dilakukan melalui pendekatan pemberdayaan dan pembelajaran. Pendekatan seperti ini diyakini selain akan dapat mendorong percepatan proses penguatan kapasitas juga dapat lebih menjamin kemandirian dan keberlanjutan program.
79
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau nonalam maupun manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Begitulah definisi bencana menurut Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Nah, bagaimana fasilitator SMAHE membelajarkan perihal kebencanaan ini kepada siswa? Ternyata, murid-murid SD punya definisi beragam mengenai bencana atau sekolah aman.
“Senang bisa bertemu fasilitator di sekolah, karena diajari bernyanyi lagu Awas Ada Gempa� Anisa Aulia Fitri Kelas 4 SDN 1 Ombe Baru
Anisa Aulia Fitri (9 tahun) misalnya, langsung mengacu kepada gambar gunung meletus ketika ditanya mengenai apa yang dimaksud dengan bencana. Murid kelas IV SDN 1 Ombe Baru ini menjelaskan, ketika gunung meletus maka yang terjadi berikutnya adalah kebakaran. Bola api yang dikeluarkan akan memicu bencana alam yang mengakibatkan korban jatuh akibat bola api yang jatuh ke tengah permukiman warga. Contoh lain yang disebutkannya adalah gempa, banjir, tsunami, dan angin tornado. Bocah belia ini pun mengaku senang bisa bertemu fasilitator di sekolah, karena dia juga diajari bernyanyi tentang gempa. Dia pun hapal ketika diminta menyanyikan lagu Awas Ada Gempa tersebut. Anisa juga dengan lancar menjelaskan tindakan apa yang harus diambil ketika gempa. “Kalau ada
gempa berlari ke luar sambil menutup kepala menggunakan tas. Menjauhi yang bisa jatuh, seperti kaca, genting, tembok, pohon, tiang bendera, dan lain-lain,� ujarnya sumringah. Adapun Septi Marhamah dan Titi Muftiah di SDN 2 Telagawaru mengaku tidak begitu mengetahui tentang bencana. Ketika ditanya apa yang dimaksud dengan bencana, keduanya menjawab kompak yakni banjir yang menyergap sekolah mereka. Namun begitu, keduanya yang kebetulan siang itu berseragam Pramuka mengaku senang menjadi tim penolong saat simulasi gempa bumi di sekolahnya.
80
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Lalu, apa sebenarnya pengertian gempa bumi menurut murid SD? Siti Rohanah, kelas VI SDN 2 Keru melukiskannya dalam bentuk cerita singkat. Berikut petikannya, “Pada hari
Minggu saya per ke kebun bersama ibu dan ayah saya. Setelah saya datang di kebun tiba-tiba ada suara gempa. Setelah itu ibu dan ayah saya mendengar suara gempa. Ibu dan ayah saya langsung pulang. Setelah datang di rumah ibu dan ayah saya terkejut melihat rumahnya yang rusak.” Sementara Opan Satriawan, murid kelas 5 SDN 2 Keru, menjelaskan tentang tsunami dalam cerita singkat dengan judul Sunami yang Besar. “Beberapa tahun yang lalu di negara Indonesia terjadilah sunami. Semua rusak seperti rumah, pepohonan, dan yang lain-lain. Banyak orang berkorban jiwa karena orang-orang terpaksa dikuburkan bersama-sama. Semua hidup sengsara karena ada yang hilang hartanya, seperti uang, emas, dan yang lainnya. Semua orang terpaksa hilang hartanya, hilang hartanya gara-gara sunami. Dikumpulkan di desa karena hampir di kampung dan di desa mati karena sunami yang besar.”
“fasilitator membelajarkan siswa SD tanpa harus menggurui”
Pemahaman murid SD tentang gempa juga disampaikan melalui puisi Huliana, murid kelas VI SDN 2 Keru, dengan judul Gempa. “Gempa, Rumahmu di bawah tanah, Kau menghancuri rumah-rumah/ Gempa, Kau tidak dibarengi sama angin-angin/ Kau bisa dibandingkan sama gunung meletus/ Gempa, Kalau sudah hari kiamat tidak akan ada gempa lagi/ Gempa oh gempa.” Ekspresi juga disampaikan melalui gambar bertema kebencanaan. Ketika fasilitator meminta murid-murid untuk menulis contoh-contoh bencana pada selembar kertas meta plan, sejumlah murid menulis sebanyak-banyaknya contoh tentang bencana. Seperti gunung meletus, banjir, gempa bumi, tsunami, erosi, tanah longsor, angin puting beliung, dan lain-lain. Pengaruh pemberitaan media massa rupanya mempengaruhi terhadap pemahaman anak-anak. Hal ini tercermin dari contoh yang dikemukakan mereka. Sebut saja misalnya jatuhnya meteor, jatuhnya pesawat terbang, tenggelamnya kapal laut, kecelakaan lalu lintas, dan lain-lain. *** 81
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Bernyanyi Hingga Menulis Puisi, Metode Penyadaran Siswa
Kalau ada bencana, lindungi
kepala, kalau ada bencana, sembunyi di bawah meja, kalau ada bencana, jauhi kaca, kalau ada bencana, lari ke lapangan terbuka (Lirik Lagu)
Sadar perlu pendekatan khusus kepada anak-anak, kampanye penyadaran bencana juga dilakukan fasilitator SMAHE dengan berbagai cara. Untuk menyadarkan tentang pentingnya sekolah aman, murid diajak berkeliling di lingkungan sekolah. Selanjutnya, fasilitator mengajak anakanak menggambarkan lokasi sekolah mereka masing-masing. Gambar itulah yang kemudian digunakan fasilitator untuk mengenalkan titik-titik mana saja yang dianggap aman atau sebaliknya. “Lalu ke mana harus berlari kalau bencana datang,� celoteh beberapa murid. Fasilitator mencoba menjelaskan sejumlah lokasi yang sebenarnya tidak aman untuk berlindung. Sebut saja misalnya di bawah pohon atau di samping tembok. Cara lain, anak-anak diajak bernyanyi. “Kalau ada bencana, lindungi kepala, kalau ada bencana, sembunyi di bawah meja, kalau ada bencana, jauhi kaca, kalau ada bencana, lari ke lapangan terbuka.� Lirik lagu ini memberikan pemahaman pada anak tentang gempa dan langkah apa yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan diri masing-masing. Kampanye penyadaran bencana tidak hanya dilakukan dengan penggalian pemahaman siswa dan guru, tetapi juga menggunakan imajinasi siswa tentang kebencanaan melalui lomba pembuatan puisi, mengarang, membaca puisi, dan melukis dengan tema bencana. Kegiatan ini dilakukan di enam sekolah dampingan. Semangat anak-anak untuk mengikuti lomba sangat antusias. Hal ini dapat dilihat pada tingkat partisipasi siswa yang cukup tinggi terhadap kegiatan tersebut. Walaupun hadiah yang diberikan berupa peralatan sekolah, semangat anak- anak sangat menggembirakan. Perbedaan usia juga menjadi pertimbangan tersendiri. Murid kelas 1- 3 berpartisipasi dalam lomba menggambar bertemakan bencana alam. Sementara kelas 4-6 diminta mengarang dan membuat puisi mengenai bencana alam. Hasilnya, sejumlah puisi berisi keresahan muncul dari 82
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
murid-murid belia tersebut. Tengok saja misalnya puisi bertajuk Gempa karya Rositah, Kelas V SDN 2 Keru Kabupaten Lombok Barat. /Gempa kamu membuat rumah
roboh/ Gempa bumi kau datang kapun pun saja/ Siang maupun malam/ Pada saat malam hari engkau datang tibatiba/ Sehingga orang-orang terkena belahan kaca/ dan semua orang-orang terbangun. Sementara lukisan berjudul Bencana Alammilik Siti Husna, murid Kelas IV di sekolah yang sama, melukiskan banjir yang menghanyutkan warga. Di sisi lain, pohon tumbang dan di banyak tempat. Rumah warga juga terendam hingga hanya tampak setengah bangunan. SDN 1 Sembung di Kabupaten Lombok Barat lain lagi. Di sini, sekolah merangkaikan sosialisasi sekolah aman dengan acara peresmian gedung perpustakaan. “Dengan lomba menggambar, mengarang, dan membaca puisi, diharapkan dapat meningkatkan kreativitas siswa dan menumbuhkan kewaspadaan terhadap bahaya di sekitarnya.� Demikian tema rangkaian kegiatan tersebut. Tema ini sangat menarik sekaligus menimbulkan pertanyaan bagi tamu undangan, mengapa tema ini diangkat. Dalam sambutannya, kepala sekolah menjelaskan bahwa tema tersebut sengaja diambil untuk meningkatkan kewaspadaan warga sekolah bahwa bencana bagian dari sekolah. “Kita berada di daerah bencana, terutama gempa bumi. Bencana bisa terjadi kapan saja. Bagaimana kita bisa tanggap dengan bencana yang terjadi. Bencana tidak hanya kita hindari dengan hanya berdoa tapi bagaimana kita harus tanggap terhadap bencana tersebut,� tandas Agustinus Untung Wiyono, Kepala SDN 1 Sembung, saat memberikan sambutan. Agustinus menjelaskan, kegiatan ini sebagai sosialisasi terhadap program sekaligus bentuk penyadaran kepada masyarakat akan bahaya bencana. Kegiatan ini dihadiri unsur Kepala Cabang Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kecamatan Narmada, pengawas SD TK dan SD Kecamatan Narmada, Kepala Desa Sembung, wali murid, komite sekolah, dan segenap warga sekolah. ***
83
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Belajar dari Aktivitas Rabiah Arkanita bukan orang baru di dunia pemberdayaan masyarakat. Sejak 1993 lalu, sarjana Bahasa Inggris jebolan Universitas Mataram (Unram) ini sudah bergabung menjadi bagian dari program pemerintah Australia untuk Unram. Setelah itu, dia banyak berkecimpung dalam pengembangan masyarakat lokal di Nusa Tenggara Barat (NTB), masih bagian dari NZAid dan kemudian AusAid. Dengan kapasitasnya itu, perempuan yang akrab disapa Anita itu kerap bolak-balik ke Negeri Kanguru.
“Kami selalu ngobrol. Pendampingan saya lebih ke nonstruktural agar mereka benar-benar paham siapa melakukan apa ketika ada bencana, baik sebelum, saat, maupun setelah bencana” Rabiah Arkanita Fasilitator SMAHE
“Saya lahir di dunia NGO, berkembang di NGO juga. Saya memang berkecimpung di NGO tentang pemberdayaan masyarakat, pengembangan ekonomi lokal, hutan masyarakat, dan lan-lain. Saya juga concern pada pengembangan ekoturisme untuk masyarakat lokal di lereng Gunung Rinjani,” papar Anita ihwal keterlibatannya dalam dunia pemberdayaan masyarakat. Pengalaman itu pula yang menjadi bekal bagi Anita dalam memberikan fasilitasi SMAHE di Lombok Timur. Dia mencoba membangun komunikasi secara luwes dengan kepala sekolah, guru, komite sekolah, siswa, bahkan penjaga sekolah dan komite. Anita getol mengajak mereka mengobrol ihwal kebencanaan maupun pelembagaan. “Kami selalu ngobrol. Pendampingan tidak hanya kebencanaan, saya lebih ke nonstruktural agar mereka benar-benar paham siapa melakukan apa ketika ada bencana, baik sebelum, saat, maupun setelah bencana. Dengan berkomunikasi secara rutin dengan pihak sekolah, sejumlah sekolah berhasil membentuk Komite Bencana dan Keamanan Sekolah. Beberapa sekolah berhasil menyusun prosedur tetap kesiapsiagaan bencana,” ungkap Anita. Sadar tidak bisa semua sekolah tergarap optimal, Anita pun menetapkan prioritas kepada 10 sekolah dampingan. Sekolah-sekolah inilah yang diharapkan mampu melembagakan kebencanaan dengan baik. Penetapan prioritas juga tidak lepas dari keterbatasan waktu yang
84
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
tersedia. Dalam lima bulan masa pendampingan, sekolah disibukkan dengan kegiatan sertifikasi guru, ujian semester, masa libur sekolah, dan lain-lain. Itu yang membuat beberapa tahapan kegiatan terhambat. Ihwal sekolah yang kurang memberikan tanggapan, Anita menduga hal itu tidak lepas dari ketidakpahaman sejumlah pihak terhadap sekolah aman itu sendiri. Sejumlah sekolah melihat SMAHE sebagai kegiatan, bukan sebagai kebutuhan. Nah, 10 sekolah itulah yang diyakini Anita sudah memiliki pemahaman baik tentang pentingnya sekolah aman. Dari sekolah-sekolah ini pula Anita kerap menerima telepon konsultasi atau sekadar bertanya kapan mendapat kunjungan berikutnya. “Kadang ada yang telepon, „Ibu, kapan sekolah kami dikunjungi lagi?‟ Saya memang tidak bisa setiap hari datang ke sekolah. Dengan 15 sekolah yang harus ditangani, praktis setiap sekolah hanya mendapat sekali kunjungan dalam satu pekan. Walaupun begitu, saya sudah komitmen tidak menjadikan jarak tempuh sebagai kendala. Khusus bagi sekolah yang kurang respons, saya tetap berkomunikasi walaupun mereka tidak merespons,” ujar Anita. Bagi Anitia, perbedaan cara penerimaan program sudah lazim dalam setiap pemberdayaan masyarakat. Kasus itulah yang justru menjadikannya lebih banyak berkomunikasi dengan mereka. Dari situlah Anita mengaku mendapat banyak pelajaran hal. “Pernah di dampingan saya dulu, kelompok perempuan yang tidak bisa baca tulis yang semula enggan mendapat pendampingan, tapi akhirnya mereka bisa guiding. Mereka kita latih Bahasa Inggris. Kini, ibu-ibu buta huruf di Senaru, Lombok Utara, di kaki gunung Rinjani, berperan sebagai pemandu wisata,” kenangnya. “Saya memang menyukai dunia ini. Saya berprinsip learning through activity. Kita lebih enjoy belajar dari aktivitas. Termasuk di SMAHE ini, saya mendapatkan banyak hal. Saya terpanggil mengajak orang pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana,” pungkas Anita. *** 85
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Tak Ada Libur Bagi Fasilitator Sekolah boleh saja mengenal hari libur. Tapi tidak bagi Lilik Agustiyaningsih, insinyur pertanian yang menjadi fasilitator sosial pada program SMAHE di Kabupaten Lombok Barat. Saat sekolah libur, Lilik tak segan untuk datang ke rumah kepala sekolah atau guru sekolah dampingannya. Di sana dia berbincang tentang banyak hal seputar kebencanaan dan pentingnya pelembagaan sekolah aman.
“Saat sekolah libur, tak segan saya datang ke rumah kepala sekolah atau guru sekolah untuk berbincang seputar kondisi sekolah dan kebencanaan”
Lilik Agustiyaningsih fasilitator SMAHE
Hasilnya, dalam tiga bulan terakhir dia berhasil memberikan fasilitasi 13 sekolah dari 15 sekolah yang didampingi. “Saya mendampingi dengan berbagai upaya sehingga sekolah respons kita. Sekolah-sekolah rata-rata merespons SMAHE. Ada beberapa sekolah yang dikunjungi, dua yang nggak respons,” kata Lilik yang juga aktif dalam Koalisi Perempuan Indonesia untuk Keadilan dan Demokrasi dan Pendamping Anak yang Berhadapan dengan Hukum di Kabupaten Lombok Tengah. Bila jam sekolah dianggapnya tak cukup, Lilik tak segan meneruskannya di rumah kepala sekolah atau guru. Bahkan, Lilik tak segan-segan untuk menginap di rumah kepala sekolah. Pertengahan November 2012 lalu, Lilik bahkan ikut menginap di SDN 8 Buwun Mas yang belum tersentuh jaringan listrik PLN. Ibu satu anak ini keliling dari rumah ke rumah untuk melihat sejauh mana pemanfaatan lampu hemat energi yang diberikan kepada murid. “Kedekatan secara emosional penting bagi pemberdayaan. Tidak hanya bagi yang bersangkutan, tetapi juga sama keluarga. Sekarang kalau saya datang ke sekolah, anak-anak langsung mengerubuti. „Bu Lilik ke mana saja, kami kangen?‟ Saya pun menjelaskan bahwa sekolah yang harus didampingi ada 15 sekolah, jadi tidak bisa sering-sering berkunjung ke sekolah mereka,” ungkap guru Yayasan Ponpes Syabilurrasyad NW di Barabali, Kabupaten Lombok Tengah tersebut.
86
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Nah, meski tugasnya memfasilitasi aspek nonstruktural, Lilik tak segan-segan memberikan pendampingan struktural. Alasannya, fasilitator teknik tidak bisa serta merta datang ketika sekolah membutuhkan jawaban. Karena itu, Lilik inisiatif untuk ikut memberikan masukan mengenai aspekaspek teknik dalam pengembangan bangunan sekolah aman. Konsekuensinya, Lilik juga harus belajar lebih keras mengenai aspek-aspek struktural dalam sekolah aman. “Kami kan datang ke sekolah tidak selalu bersamaan. Jadi kalau ada pertanyaan teknis pada saat saya datang, ya saya coba jawab. Tentu sepengetahuan saya saja,� Lilik beralasan. Aktivis perempuan yang pernah mengenyam pelatihan gender budgeting dan legal drafting ini bersyukur sekolah akhirnya sadar pentingnya sekolah aman bagi masa depan peserta didik. Apalagi, sebagian besar komunitas sekolah baru mengenal konsep sekolah aman. Pada mulanya, pemahaman sekolah aman masih berkisar pada aman dari pencuri. “Pengalaman kebencanaan juga berpengaruh terhadap penerimaan terhadap program. Ini memang wajar karena pandangan kita memang dibentuk dari serangkaian pengalaman itu sendiri. Walaupun begitu, sudah jadi kewajiban sebagai fasilitator untuk menyadarkan mereka,� kata fasilitator yang baru bergabung setelah program berjalan selama dua bulan tersebut. ***
87
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Waspada Bersama, Berdaya Bersama “Untuk pendampingan lima bulan, apa yang sudah dicapai di Lombok Barat dan Lombok Timur terbilang menggembirakan,” ujar Made Ari Diatmika, Koordinator Provinsi untuk program SMAHE di NTB. Sejumlah fasilitator juga mengungkapkan hal yang sama. Bagi Ari, perubahan paradigma tidak bisa dilakukan secara serta merta. Berkaca pada program serupa yang dikembangkan di Sumatera Barat, advokasi dan fasilitasi di reruntuhan gempa berkekuatan 7,6 pada skala Richter pada 30 September 2009 tersebut menghabiskan waktu tidak kurang dari 18 bulan. Apalagi, program SMAHE ini baru masuk ketika rehabilitasi fisik sekolah sudah berlangsung. Ini berarti setiap sekolah sudah memiliki rancangan anggaran biaya (RAB), detail engineering design (DED), dan lain-lain. Pada aspek fisik, jelas tidak banyak yang bisa kita lakukan.
“Sejumlah sekolah percontohan sudah berani mengalokasikan dana untuk pengembangan kapasitas sekolahnya”
Dalam sengkarut keterlambatan itu, para fasilitator mengaku menaruh seabrek optimisme mewujudkan sekolah aman dan hemat energi di pulau yang dikenal dengan sebutan Seribu Masjid tersebut. Dalam beberapa kali monitoring bersama, Ari melihat tumbuhnya benih-benih kesadaran dari sejumlah pemangku kepentingan untuk mewujudkan sekolah aman. Dia mencontohkan, sejumlah sekolah percontohan sudah berani mengalokasikan dana untuk pengembangan kapasitas sekolahnya. Ada juga sekolah yang sudah memastikan bakal mengadopsi struktur sekolah aman dalam pengajuan rehabilitasi pada tahun berikutnya. Belum lagi kesadaran masyarakat untuk mengaplikasikan konsep bangunan aman di lingkungan mereka. Dengan begitu, meski program percontohan SMAHE ini belum berhasil dilaksanakan menyeluruh, kini telah tumbuh dalam benak komunitas sekolah bahwa risiko bencana bisa dikurangi. “Tidak kalah penting dari aspek struktural adalah aspek nonstruktural yang meliputi peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan, kebijakan, perencanaan kesiapsiagaan, dan mobilitasi sumber daya. Ini relevan dengan delapan nilai SMAHE seperti tertuang dalam Perka BNPB Nomor 4 tahun 88
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
2012. Perubahan cara pandang masyarakat terhadap kebencanaan sudah mengarah pada salah satu nilai SMAHE, yakni perubahan budaya. Penerapan sekolah dan madrasah aman memang ditujukan untuk menghasilkan perubahan budaya yang lebih aman dari bencana dan perubahan dari aman menjadi berketahanan dalam upaya mewujudkan masyarakat yang lebih tangguh,� tandas Ari.
“Tidak kalah pentingnya adalah aspek nonstruktural yang meliputi peningkatan pengetahuan, sikap, dan tindakan, kebijakan, perencanaan kesiapsiagaan, dan mobilitasi sumber daya�
Selain perubahan budaya, sambung Ari, konsep sekolah aman berorientasi pada pemberdayaan. Di sini, sekolah dan warga sekolah diharapkan terus meningkatkan kemampuan untuk menerapkan sekolah dan madrasah aman dari bencana. Dalam konteks ini, komunitas sekolah mendapat advokasi dan fasilitasi untuk memberdayakan diri secara bersama-sama. Orientasi pada akhirnya diharapkan memunculkan nilai ketiga, berupa kemandirian. Segenap pemangku kepentingan diharapkan mampu mengoptimalkan pendayagunaan sumber daya sekolah dan madrasah dan warga sekolah. Dengan berdaya dan mandiri, maka harapan akan hadirnya nilai keberlanjutan bisa diraih. Advokasi dan fasilitasi diharapkan mmapu menjamin keberlanjutan dengan terbentuknya pelembagaan aktivitas, termasuk aktivitas anak dalam upaya penerapan sekolah dan madrasah aman dari bencana dengan mengaktifkan lembaga yang sudah ada. Sebut saja misalnya Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), Komite Sekolah, Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), dan lain-lain. Ari dan tim fasilitator lainnya, memandang bahwa masyarakat harus difasilitasi untuk memberdayakan diri secara aktif. Masyarakat diajak terlibat secara aktif menemukan masalah sekaligus mencari penyelesaiannya. Masyarakat harus sadar bahwa mereka punya tanggung jawab sendiri atas masalah yang dihadapinya. Hanya dengan cara demikian akan terwujud kemandirian dan perubahan budaya secara nyata. Ari tidak mau masyarakat terjebak pada paradigma ketergantungan terhadap program atau pihak di luar entitas masyarakat itu sendiri. Nilai lain yang tak kalah penting adalah pendekatan berbasis hak. Hak-hak asasi manusia (HAM), termasuk hak-hak anak, merupakan pertimbangan utama dalam upaya penerapan sekolah dan madrasah aman. Penerapan juga senantiasa memperhatikan
89
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
kearifan lokal yang tumbuh di tengah masyarakat. Hal itu dilakukan dengan menggali dan mendayagunakan kearifan lokal yang mendukung upaya penerapan sekolah dan madrasah aman. Sekolah aman juga turut mengedepankan nilai inklusivitas. Sekolah harus memperhatikan kepentingan warga sekolah dan madrasah, terutama anak berkebutuhan khusus. Semua itu diharapkan bisa terbangun dengan tumbuhnya kemitraan di antara segenap pemangku kepentingan. Nilai kemitraan ini berupaya melibatkan pemangku kepentingan termasuk anak secara individu maupun dalam kelompok untuk bekerjasama dalam mencapai tujuan berdasarkan prinsip-prinsip sekolah aman.
“Hak anak untuk mendapatkan perlindungan menjadi pertimbangan utama dalam upaya penerapan sekolah dan madrasah aman� Ari Diatmika Koordinator Provinsi
Nilai-nilai itulah yang kemudian menjadi pegangan tim fasilitator. Pertama, membantu proses agar guru, komite sekolah, siswa, dan pemangku kepantingan mampu melakukan identifikasi masalah, merencanakan kegiatan, melakukan monitoring dan evaluasi dalam pembangunan sekolah aman. Kedua, memfasilitasi perencanaan jangka menengah sekolah aman agar proses rehabilitasi direplikasi untuk seluruh bangunan sekolah. Ketiga, membantu pihak sekolah untuk bekerjasama dengan berbagai pihak (masyarakat, pemerintah, dan swasta) dalam pencapaian target realisasi rencana jangka menengah untuk menuju sekolah aman. Keempat, memperkuat kapasitas guru, komite sekolah dan siswa dalam kampanye penyadaran dan replikasi. “Kami hadir di sana hanya dalam tempo lima bulan. Kami harus benar-benar memastikan bahwa setelah program selesai, sekolah dan komunitas sekolah mampu secara mandiri membangun keberlanjutan program. Mereka harus mewaspadai bencana secara bersama-sama sekaligus memberdayakan diri secara bersama-sama pula. Sejauh ini kami melihat proses ke arah sana sudah ada,� Ari mengakhiri. ***
90
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Monitoring dan Evaluasi Bersama Pemangku Kepentingan Dua hari di penghujung Januari 2013 menjadi momentum penting bagi program SMAHE di Nusa Tenggara Barat (NTB). Dalam dua hari itu, empat pemangku kepentingan sekolah aman di Kabupaten Lombok Timur (Lotim) dan Kabupaten Lombok Barat (Lobar) melakukan monitoring dan evaluasi (Monev) bersama pelaksanaan program SMAHE yang telah berlangsung sejak September 2012 lalu.
Mengamati sekolah secara langsung, baik aspek struktural maupun nonstruktural disertai dialog dengan pihak sekolah, mengacu pada format monitoring, termasuk melihat dokumen-dokumen yang telah dihasilkan selama program berjalan
Parapihak itu terdiri atas Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Dinas Pendidikan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), dan Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Keempat unsur lembaga pemerintah daerah tersebut melakukan monev bersama di empat sekolah, masing-masing dua sekolah di tiap kabupaten. Selama Monev, terlibat pulatim panitia pelaksana pembangunan (TPPP), kepala sekolah, ketua komite bencana dan keselamatan sekolah (KBKS), beberapa guru sekolah, termasuk team leader SMAHE, fasilitator teknik, dan fasilitator sosial di sekolah yang bersangkutan. Monev menggunakan indikator yang termuat dalam monkey survey SMAHE, yaitu format monitoring yang dikembangkan program. Monev ini dilakukan terhadap 4 sekolah, 2 sekolah di Lombok Timur (SDN 3 Montong Barat dan SMPN 1 Aikmel) dan 2 sekolah di Lombok Barat (SDN 2 Keru dan SDN 2 Telagawaru). Sebelum monitoring, tim terlebih dahulu mendapat pembekalan dan penjelasan singkat mengenai program dan tata cara pengisian format monev. Tim pun sepakat mengisi format sesuai dengan tupoksi masing-masing. DPU melihat aspek struktural, BPBD aspek nonstruktural, Bappeda berkaitan dengan perencanaan, dan Dinas Pendidikan berkaitan dengan penggunaan dana alokasi khusus (DAK) rehabilitasi sekolah yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).
91
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Hasil Monitoring di Kabupaten Lombok Timur SDN 3 Montong Betok Ketua TPPP SDN 3 Montong Betok Ali Usman menjelaskan, ruang gedung kelas 1, 2, dan 3 telah diperbaiki dengan standar sekolah aman bencana dan sesuai gambar. Kolom dan balok sudah menggunakan pembesian sesuai standar SNI. Pintu ruang membuka ke dalam dengan pertimbangan agar saat siswa berlarian tanpamelihat-lihat tidak akan menabrak pintu sehingga dikhawatirkan terjadi bencana kecil. Pihak Sekolah juga menyampaikan bahwa beberapa ruang belajar dan perpustakaan rusak berat; begitu juga dengan WC untuk siswa. Menjawab pertanyaan salah seorang staf Dinas Pendidikan tentang dampak program terhadap komunitas sekolah, Kepala SDN 3 Montong Betok Sudarman mengaku sangat terbantu dan mendapatkan pembelajaran mengenai sekolah aman. Berkat program tersebut, pihaknya kini mendapatkan pemahaman bagaimana menata struktur dan arsitektur bangunan tahan gempa. Komunitas sekolah juga memiliki pemahaman ihwal pengembangan kapasitas ketahanan dan kesiapsiagaan. “Sebelumnya kami dari komunitas sekolah buta dengan hal tersebut. Sekadar contoh kecil, sebelum adanya fasilitator teknik, kami buta membaca gambar teknis dan RAB yang dibuatkan oleh konsultan teknis. Kini, kami bisa ikut merencanakan sekolah kami sendiri,� kata Sudarman sumringah. Sekretaris BPBD Lotim Salman Al Farizi ikut memberikan komentar. Menurutnya, kondisi sekolah pada dasarnya sudah bisa dikategorikan aman walaupun pintu terbuka ke dalam. Jumlah murid pun terbilang ideal sehingga proses belajar mengajar berlangsung nyaman. Demikian pula dengan meja siswa dan guru cukup kuat untuk berlindung sementara. Jalur evakuasi juga aman dari penghalang. Tata ruang sudah cukup bagus mengingat ketersediaan lahan tidak memungkinkan penambahan ruang kelas. Untuk titik kumpul sudah cukup aman dan juga jalur evakuasi tidak ada hambatan. “Cuma perlu ditambahkan beberapa hal. Di antaranya pengadaan tempat sampah yang di dalamnya memiliki tiga bak untuk masing-masing sampah organik, plastik, dan kaca. Silakan sekolah berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup untuk memperoleh bantuan tempat sampah tersebut,� Salman menyarankan. Mengingat lokasi sekolah dekat dengan permukiman, Salman mengingatkan bahwa salah satu bahaya yang perlu diwaspadai adalah kebakaran. Untuk itu, perlu dipersiapkan dua unit kran lengkap dengan selang agar mudah menyemprotkan ke pusat api. Antisipasi juga dilakukan dengan menyediakan beberapa karung pasir, karung goni, dan ember. Dia memastikan siap
92
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
memobilisasi sumber daya yang dimiliki BPBD manakala sekolah akan melakukan simulasi maupun penanggulangan bencana itu sendiri. Tim lainnya, Kepala Sub Bidang AgpenBappeda Kabupaten Lotim Toni Satriya menilai sekolah aman sangat membantu pihak sekolah dalam pelaksanaan penggunaan DAK. Namun, dia mengaku kecewa karena perencanaan, pelaksanaan, dan perawatan rehab bangunan sekolah yang bersumber dari DAK ini dilakukan melalui pihak ketiga. Dia lebih menyarankan agar semua rehab dilakukan melalui swakelola pihak sekolah. “Biarlah pihak sekolah yang melaksanakan perencanaan, pelaksanaan, dan perawatan. Pihak Dikpora cukup berkoordinasi saja,” kata Toni. Pihak Dikpora Lotim pun mengaku siap bersinergi dengan pihak sekolah untuk pengelolaan mandiri tersebut. Ke depan, Dikpora akan terus berkolaborasi, bersinergi, dan bermitra dalam pengelolaan duit negara tersebut. Dia pun berjanji untuk menerapkan sekolah aman di setiap sekolah penerima DAK, baik SD, SMP maupun SMA.
Team leader SMAHE NTB Marnia Nes mengungkapkan pengembangan sekolah aman bisa dituangkan dalam RPJMSA, baik jangka pendek maupun jangka panjang lima tahunan. Dengan adanya RPJMSA, sambung Marnia, pihak-pihak terkait bisa mengetahui dari sisi mana akan difasilitasi. Dia juga menyarankan pihak sekolah membangun jejaring untuk mendukung pelaksanaan sekolah aman di masing-nasing sekolah.
SMPN 1 Aikmel Sebelum berkeliling, tim monev mendapat suguhan simulasi sederhana menghadapi gempa bumi. Usai menonton simulasi, Kepala SMPN 1 Aikmel Maksum mengajak tamunya berkeliling melihat kondisi ruang gedung dan tata ruang sekolah. Maksum menjelaskan, kondisi tata ruang sekolah yang belum aman dan beberapa ruangan juga rusak berat. Kondisi ini yang memicu kekhawatiran murid akan datangnya gempa ketika belajar mengajar tengah berlangsung. Namun, Maksum memastikan telah menerapkan struktur sekolah aman bencana untuk tiga ruang kelas baru (RKB) yang dibangun menggunakan dana rehabilitasi berat dari DAK 2012. “Ke depan, kami berencana menghilangkan beberapa ruang yang menghalangi jalur evakuasi. Saat ini kami sedang mencari dana karena tidak sedikit ruang yang harus dibangun baru,” kata Maksum. Penilaian senada datang dari Salman Al Farizi. Meski begitu, Salman menilai secara nonstruktural sekolah sudah memiliki kesiapsiagaan membangun sekolah aman. Hal ini tercermin dari simulasi yang dilakukan warga sekolah. Dia pun mengaku siap memfasilitasi pelatihan penanggulangan bencana. “Selanjutnya, silakan berkoordinasi dengan parapihak untuk bermitra, berkolaborasi dan bersinergi. Tidak kalah pentingnya, sekolah ini berada di wilayah permukiman yang memiliki kerawanan bencana sosial. Perlu juga
93
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
diantisipasi. Dokumen-dokumen yang dihasilkan sudah bagus, sekolah sudah memiliki tim siaga bencana sekolah, protap, dan jalur evakuasi,” kata Salman. Menanggapi kesemerawutan tata ruang sekolah yang dibangun 1977 tersebut, Zuhdi dari Dikpora berjanji untuk memfasilitasi sumber dana, melalui DAK rehabilitasi, RKB, pengembangan perpustakaan maupun dana infrastruktur. Dana terakhir ini bersumber dari dana pembangunan daerah tertinggal. “Lotim ini termasuk daerah tertinggal sehingga mendapatkan dana daerah tertinggal. Silakan pihak sekolah berkoordinasi lebih intensif,” kata Zuhdi. Menyangkut sekolah aman ini, Marnia Nes menguraikan delapan aspek struktur bangunan sesuai dengan Perka BNPB Nomor 4 Tahun 2012 dan komponen arsitektur sesuai standar SNI, juga komponen nonstruktur yang perlu dimiliki sekolah aman. Keberlanjutan penerapan sekolah aman secara struktur dan nonstruktur nanti bisa disampaikan pada saat lokakarya akhir pada pekan kedua Februari 2013. “Rencana-rencana jangka pendek dan panjang bisa disampaikan agar parapihak yang hadir di lokakarya akhir mengetahui peran-peran mereka. Di pusat juga sedang digodok rencana adanya sertifikasi sekolah aman. Sekolah percontohan ini beruntung sudah terlebih dahulu memenuhi standar tersebut. Tingkatkan koordinasi dengan parapihak,” kata Marnia. Ketua KBKS SMPN 1 Aikmel Rustam Effendi yang hadir dalam dialog tersebut mengaku berkeinginan memperluas jaringan untuk mendapatkan fasilitasi pengembangan penerapan sekolah aman. Dengan begitu, penerapan sekolah aman benar-benar bisa diwujudkan. Pun dengan Iklima, Olivia, dan Deva, tiga siswa SMON 1 Aikmel, berharap ada peningkatan kapasitas melalui pelatihan tentang manajemen bencana sehingga sekolah.
94
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Hasil Monitorong di Kabupaten Lombok Barat SDN 2 Keru Pekerjaan rehabilitasi di sekolah ini sudah selesai, sehingga pengisian format monitoring hanya bisa dilakukan setengahnya, karena tim monev tidak bisa melihat kondisi struktur bangunan dengan kasat mata. Namun, pendamping sekolah memberikan jaminan bahwa struktur sudah dirancang tahan gempa. Sekretaris Bappeda Kabupaten Lobar Rusditah menyampaikan minimnya APBD Kabupaten Lobar, sehingga sumber dana seperti DAK ini sangat dibutuhkan. Selain itu, pihaknya melakukan terobosan dengan menggaet dana corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan swasta yang peduli dunia pendidikan. Salah satunya CSR Astra Internasional untuk sekolah-sekolah di desa tertinggal. Dia berharap program sekolah aman bisa dikembangkan di Lobar. Kasubid Kesejahteraan Rakyat Bappeda Lobar Saiful Ahkam menambahkan, Bappeda memiliki peta daerah-daerah rawan bencana. Sehingga, ke depan bisa menjadi acuan untuk menentukan sekolah. Dia juga mengungkapkan, program kebencanaan sedang digodok dalam rencana pembangunan jangka menengah daerah (RPJMD) Lobar maupun Musrenbang 2013. Melalui Musrenbang ini, Saiful berharap sekolah aman bisa direncanakan di tingkat sekolah untuk kemudian dibawa ke Musrenbang Desa dulu sebelum ke tingkat yang lebih tinggi. Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Lobar Komarudin berjanji untuk menerapkan struktur sekolah aman pada sekolah penerima DAK 2013. Dia juga berharap mampu membangun sinergi dengan konsultan sekolah aman, mulai perencanaan gambar teknis dan RAB. Dengan begitu, penerapan struktur aman bencana bisa dilaksanakan secara utuh. Mengenai sebuah ruang kelas yang memerlukan rehabilitasi, Kasi Manajemen dan Kelembagaan Dinas Dikbud Kabupaten Lobar Suhaeni mempersilakan pihak sekolah berkoordinasi dengan Dinas Dikbud. Kasi Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Lobar Tohri menilai program sekolah aman sangat membantu pihak sekolah dalam pengurangan risiko bencana. Untuk memperkuat kesiapan itu, Tohri menyarankan simulasi digelar secara rutin, baik pada saat jam pelajaran maupun untuk semua kelas. Jalur evakuasi juga dianggapnya aman karena sudah memiliki penghalang. Menyangkut masa depan sekolah aman, Marnia Nes meminta sekolah menuangkannya dalam RPJMSA. Marnia juga memperkenalkan website: www.bantusekolahku.com sebagai media berbagi informasi sekolah aman di Indonesia. Seorang guru SDN 2 Keru mengaku bahwa pendampingan sekolah aman sangat bermanfaat. Pihaknya juga mendapatkan banyak pelajaran
95
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
pengembangan sekolah dan perbaikan jalan menuju sekolah ini. Sementara Said, pengawas sekolah, mendorong komite sekolah untuk berperan dalam pembangunan dan pengawasan sekolah aman.
SDN 2 Telagawaru Hambali dari DPU mengaku setelah berdiskusi dengan fasilitator teknik perihal retrofitting, dia sangat tertarik, “Teknik retrofitting bisa diterapkan dengan biaya yang lebih murah. DPU sebagai instansi teknis siap sebagai lembaga asistensi terkait dengan gambar dan RAB dalam kegiatan rehabilitasi atau pembangunan RKB,”. Tohri menyimpulkan sekolah telah memiliki tim siaga bencana dari beberapa unsur seperti guru, siswa, dan komite sekolah. Dia hanya memberikan masukan mengenai jalur evakuasi untuk ruang kelas lima dan enam. Alasannya, karena satu lorong pada saat keluar dari kelas, maka siswa berhamburan menuju titik kumpul di halaman. “Ini bisa menimbulkan bahaya tersendiri seperti jatuh dan patah tulang. Sebaiknya semua kelas di depannya langsung dibuatkan jalur evakuasi tanpa ada penghalang berupa taman. Kami di BPBD siap memfasilitasi jika ada kegiatan simulasi dan peningkatan kapasitas bagi komunitas sekolah dan masyarakat sekitar,” kata Tohri. Permintaan merutinkan simulasi juga datang dari Komarudin. Menurutnya, simulasi bisa dilakukan pada jam pelajaran olahraga atau ekstrakurikuler. Dan, biaya operasional sekolah (BOS) bisa digunakan untuk mendanai kegiatan-kegiatan tersebut. Di sisi lain, Rusditah mengajak pemangku kepentingan untuk mengintensifkan koordinasi. Dia menegaskan, program sekolah aman sebagai gerakan pengarusutamaan pengurangan risiko bencana perlu menjadi gerakan bersama. Ihwal insiden tabrakan antarsiswa, kepala SDN 2 Telagawaru Ruslan beralasan terdapat miskomunikasi skenario simulasi yang dilangsungkan siang itu. Seharusnya, sesuai protap didahului sirine satu kali kemudian siswa berlindung di bawah meja dan guru di bawah kusen pintu. Setelah susana agak tenang baru siswa berlari keluar kelas menuju titik kumpul. Mengenai jalur evakuasi, Ruslan berjanji untuk meninjaunya kembali. Dia juga berjanji mengalokasikan BOS pada RKS untuk mendukung penerapan sekolah aman. Marnia Nes mengingatkan simulasi harus berpedoman kepada protap yang telah disusun. Namun demikian, protap dapat dievaluasi untuk disesuikan dengan perkembangan atau kesepakatan baru. “Jadi, dokumen protap bukan barang jadi yang tidak bisa diubah,” kata Marnia seraya menambahkan informasi terbaru mengenai rencana sertifikasi sekolah aman dan keberadaan website sekolah aman.
96
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Rekomendasi Hasil Monitoring dan Evaluasi Tim pun berdiskusi untuk merumuskan rekomendasi mengenai masa depan sekolah aman di Lotim maupun Lobar. Muncullah enam poin rekomendasi hasil rumusan parapihak, sebagai berikut: (1) Meningkatkan kepedulian dan komitmen para pemangku kepentingan; (2) Membangun komunikasi lebih intensif dengan parapihak; (3) Mendorong adanya kebijakan yang baku tentang penerapan sekolah aman; (4) Ada tindak lanjut dari program ujicoba untuk mewujudkan sekolah siaga bencana; (5) Mengalokasikan dana kesiapsiagaan; (6) Melaksanakan rencana aksi KBKS, TSBS, dan RPJMSA. Kebersamaan monev pun menjadi salah satu potret koordinasi parapihak untuk mendukung penerapan sekolah aman dari bencana di sekolah. Kebersamaan ini menjadi momentum penting untuk mengembangkan ide besar sekolah aman di NTB.Melalui monev ini para pemangku kepentingan mengetahui masalah-masalah yang muncul dalam penerapan sekolah aman serta menemukan langkahlangkah strategis yang dapat ditempuh di kemudian hari. ***
97
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Sekolah Aman Tanggung Jawab Semua Sekolah dan madrasah aman tidak bisa berdiri sendiri. Penerapannya membutuhkan keterlibatan sejumlah pihak terkait. Ya, sejak dirumuskan hingga kelahirannya, ide sekolah aman memang buah kerjasama itu. Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 04 Tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana dirancang dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, terutama dari kementerian atau lembaga terkait dan lembaga-lembaga nonpemerintah kunci di tingkat nasional yang berkepentingan dengan sekolah/madrasah aman dari bencana. Secara teknis penyusunan pedoman ini melibatkan kelompok teknis melalui serangkaian konsultasi dan kordinasi dengan para pemangku kepentingan dari BNPB, Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (Kemenkokesra), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Kementerian Agama (Kemenag), Kementerian Kesehatan (Kemkes), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Keuangan (Kemkeu), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP-PA), Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
--TAMBAHAN FOTO--
98
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Kebersamaan juga terekam jelas dalam bagian 3.4 tentang peran pemangku kepentingan Perka Nomor 4 tersebut. Di sana dijelaskan, sekolah aman melibatkan peserta didik hingga media massa. Berikut petikan pembagian peran tersebut: 1. Peserta didik a) Peserta didik melembagakan aktivitas pengurangan risiko bencana. b) Peserta didik menjadi tutor sebaya bagi sekolah yang belum memenuhi standar sekolah aman. 2. Peran orang tua a) Membantu merumuskan program Sekolah/Madrasah Aman dengan Komite sekolah. b) Orang tua membantu menyebarluaskan penerapan sekolah/ madrasah aman. 3. Peran Pendidik dan Profesional Lainnya a) Meningkatkanpengetahuan dan keterampilan mengenai bahaya, kerentanan dan kapasitas sekolah/madrasah termasuk anak dalam upaya pengurangan risiko bencana. b) Melakukan usaha-usaha terencana guna mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik aktif dalam penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana secara nonstruktural. c) Bekerja sama dengan warga sekolahlainnya termasuk anak dalam upaya penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana secara struktural maupun nonstruktural. 4. Peran Komite Sekolah/Madrasah a) Membentuk forum orang tua dan guru dalam upaya penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana melalui pengenalan materi PRB kepada para peserta didik, pembuatan jalur evakuasi dan upaya-upaya untuk mewujudkan sekolah/madrasah yang lebih aman, sehat dan nyaman termasuk bagi anak berkebutuhan khusus. b) Komite Sekolah/Madrasah melakukan pemantauan, pemeriksaan kelayakan gedung, pemeliharaan dan perawatan gedung. 5. Peran Organisasi Nonpemerintah, Nasional, Internasional a) Membantu sekolah/madrasah dalam melakukan upaya pengurangan risiko bencana termasuk anak didik berkebutuhan khusus. b) Mendukung kemitraan dan membangun jejaring pengetahuan antar sekolah/madrasah. c) Mengembangkan dan menyediakan materi-materi pendidikan, pengurangan risiko bencana. d) Memberikan bantuan teknis penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana secara struktural maupun nonstruktural.
99
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
e)
Membantu pemerintah dan pemerintah daerah dalam penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana secara struktural maupun nonstruktural. 6. Peran Kementerian/Lembaga dan Pemerintah Daerah a) Melakukan kegiatan-kegiatan penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana sejalan dengan ketiga tema strategis, prinsip-prinsip, nilai-nilai dan kerangka kerja. b) Memperkuat mekanisme pemantauan, evaluasi dan pelaporan penerapan sekolah/madrasah aman dari bencana termasuk pemutakhiran data rehabilitasi sekolah, baik secara elektronik maupun manual. c) Menyediakan pedoman dan petunjuk teknis yang diperlukan oleh sekolah/madrasah dalam penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana secara struktural dan nonstruktural. d) Mendorong pembinaan berkelanjutan dengan mengintegrasikan penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencanakedalamrevisi SKB 4 Menteri mengenai Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah. e) Memastikan perencanaan penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana sebagai bagian dari rencana penanggulangan bencana. 7. Peran Media Massa a) Media massa melakukan sosialisasi dan advokasi penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari bencana kepada masyarakat luas. b) Media massa berperan sebagai alat kontrol dalam penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari bencana.
(Sumber: Perka BNPB Nomor 4 tahun 2012 tentang Pedoman Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana)
100
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Bagian Delapan : Masa Depan Sekolah Aman
Masa Depan Sekolah Aman (Tantangan Keberlanjutan) Nasib sekolah berada di tangan mereka, para pemangku kepentingan. Mereka pula yang berhak menentukan masa depan sekolah mereka. Beruntung, mereka kini menyadari bahwa sekolah aman memang menjadi tanggung jawab bersama. Komitmen mewujudkan sekolah aman bencana hidup di tengah-tengah mereka, sekolah hingga pemerintah daerah.
101
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Kamis, 19 Juli 2012, menjadi tonggak penting bagi dunia pendidikan di Nusa Tenggara Barat (NTB). Pada hari itulah 15 pemangku kepentingan sekolah lokal dan nasional membubuhkan tanda tangan untuk menegaskan komitmen mereka dalam mendorong penerapan sekolah dan madrasah aman dari bencana. “DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, KAMI YANG BERTANDATANGAN DI BAWAH INI BERKOMITMEN UNTUK MENDORONG PENERAPAN SEKOLAH/MADRASAH AMAN DARI BENCANA DI NTB DEMI KESELAMATAN DAN KEPENTINGAN TERBAIK ANAK BANGSA.� Begitu bunyi pernyataan bersama yang diteken di Mataram, NTB, tersebut. Tidak kurang dari Wakil Menteri Pendidikan Kemendikbud Prof. Dr. Musliar Kasim dan Gubernur NTB Dr. TGH. M. Zainul Majdi ikut menandatangani piagam tersebut. Mengukuhkan komitmen tersebut, pencanangan juga dipadukan dengan lokakarya yang digelar di salah satu hotel terkemuka di Senggigi, Kabupaten Lombok Barat. Lokakarya diikuti 76 peserta dari kementerian dan lembaga terkait, seperti BNPB, Seknas Sekolah Aman, Perkumpulan Kerlip, Pemprov NTB, Pemkab dan Pemkot di NTB, Kantor Wilayah Kemenag NTB, dan Kantor Kemenag kabupaten dan kota seNTB. Hadir juga perwakilan World Bank (BEC-TF dan GFDRR), Pemerintah Belanda, Uni Eropa, AusAid, perguruan tinggi, Forum PRB NTB, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perwakilan anak perempuan dan laki-laki (OSIS dan Forum Anak), perwakilan sekolah penyangga Dikmen, perwakilan komite sekolah penerima DAK, perwakilan madrasah penerima dana rehab, perwakilan jurnalis, dan perwakilan dunia usaha. Perwakilan Perkumpulan Kerlip sekaligus Sekretaris Jenderal (Sekjen) Sekretariat Nasional (Seknas) Sekolah Aman Zamzam Muzaki menjelaskan, lokakarya bertujuan meningkatkan pemahaman tentang penerapan sekolah aman melalui penjelasan tentang pedoman penerapan sekolah dan madrasah aman dari bencana. Pada saat yang sama juga berbagi ide dan praktik terutama dalam implementasinya, khususnya untuk penerapan retrofitting di sekolah-sekolah
102
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
yang telah siap melakukan rehabilitasi. Tujuan lainnya adalah meningkatkan kesadaran dalam penerapan praktikpraktik baik untuk konstruksi bangunan sederhana di sekolah. “Hasil yang diharapkan dari lokakarya itu yakni terdiseminasinya informasi mengenai pentingnya penerapan sekolah aman untuk mengurangi risiko bencana melalui mekanisme yang ada. Rencana aksi penerapan sekolah dan madrasah aman program percontohan, mengacu pada pedoman penerapan sekolah dan madrasah aman melalui mekanisme pendanaan yang bersumber dari DAK Pendidikan, Dana Rehabilitasi Nasional Sekolah (APBN), dan anggaran pemerintah daerah (APBD). Juga diharapkan komitmen Pemda dalam penerapan sekolah aman, kesepakatan mengenai pemberian asistensi teknis penerapan pedoman sekolah aman di NTB, dan terjalinnya kerja sama lintas sektor terkait di NTB,� terang Zamzam seperti dikutip kantor berita Antara. Zamzam menjelaskan, Seknas Sekolah Aman merupakan lembaga yang mengawal dan mendorong kebijakan serta implementasi sekolah aman di seluruh Indonesia. Seknas merupakan wahana untuk mewujudkan sekolah dan madrasah aman dari bencana, baik dalam hal struktural maupun nonstruktural dan terintegrasi dengan praktikpraktik baik pendidikan ramah anak yang sudah dilaksanakan di Indonesia. ***
103
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Mengawal Kebijakan, Mendukung Anggaran Gayung pun bersambut. Tak sekadar goresan tanda tangan, Gubernur NTB TGH M. Zainul Majdi memastikan bakal mendukung penuh program sekolah aman yang digagas Kemendikbud dan didukung Bank Dunia tersebut. “Kami siapkan APBD untuk itu, karena akan sangat baik bagi anakanak sekolah jika ada sekolah aman dari bencana,” kata Zainul usai membuka lokakarya pencanangan dan penerapan sekolah aman bencana di Senggigi, Kabupaten Lombok Barat. “Tentu, pemerintah daerah juga berkontribusi. Penyiapan gedung sekolah aman bencana dipadukan dengan program rehabilitasi gedung sekolah di berbagai daerah di Indonesia, termasuk di NTB. Saat rehabilitasi sekolah yang rusak, maka dimasukkan syarat-syarat sekolah aman, seperti memiliki titik kumpul dan ruang evakuasi, serta ruang belajar yang aman,” Zainul menambahkan.
“Kami siapkan APBD untuk itu, karena akan sangat baik bagi anak-anak sekolah jika ada sekolah aman dari bencana” TGH M. Zainul Majdi Gubernur NTB
Gubernur NTB periode 2008-2013 yang juga mantan Komisi VIII dan X DPR itu mengapresiasi Kemendikbud dan pihak lainnya yang mencanangkan penerapan sekolah aman di wilayah NTB. Bagi dia, provinsi yang dipimpinnya layak mendapatkan dukungan pendirian sekolah aman karena memiliki potensi kebencanaan, meskipun tingkat risiko bencana dikategori sedang. Dia memastikan upaya pemerintah daerah cukup signifikan untuk hal itu. Semua itu demi kenyamanan anak-anak sekolah. Disinggung mengenai alasan mendukung program yang digagas Bank Dunia tersebut, Gubernur menjelaskan, pihaknya mendukung karena secara obyektif NTB memang berada di daerah yang rentan terhadap bencana. Tentu upaya-upaya yang dapat meningkatkan kesiapsiagaan bencana baik di sektor pendidikan, sektor perumahan dan sektor-sektor yang lain itu harus didukung oleh pemerintah provinsi. Kaitannya dengan inisiatif untuk hemat energi, karena memang NTB adalah wilayah yang terbatas dengan populasi yang terus meningkat. Kondisi ini membutuhkan cara-cara inovatif dalam memanfaatkan sumber daya. “Kami dari pemerintah provinsi ingin agar program ini menjadi 104
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
program yang diadopsi seluruh pemerintah daerah di Provinsi NTB. Jadi, tidak hanya di sebagian sekolah. Ke depan, ini diharapkan bisa menjadi model konstruksi sekolah di seluruh penjuru NTB, sehingga anak-anak NTB bisa belajar dengan nyaman, aman, dan memenuhi persyaratan-persyaratan yang diperlukan,� harap TGB, sapaan populer TGH Zainal. Salah satu lulusan terbaik Universitas Al-Azhar di Kairo, Mesir ini, lantas menguraikan dua bentuk dukungan yang diberikan pemerintah provinsi untuk masa depan sekolah aman. Pertama, dukungan regulasi dengan asistensi dari beberapa pihak. Setidaknya melalui Peraturan Gubernur (Pergub) terkait dengan sekolah aman. Isinya berkisar kualifikasi atau persyaratan-persyaratan yang diperlukan. Kedua, kebijakan anggaran. Keberpihakan anggaran ini diberikan untuk pengembangan konstruksi sekolah-sekolah aman bencana di seluruh wilayah NTB. “Sebenarnya kedua dukungan itu sudah dimulai sejak beberapa waktu lalu. Namun, pendekatannya berbeda. Dengan inisiatif ini, maka dukungan itu akan kita tingkatkan pada masa yang akan datang,� tandas Gubernur. ***
105
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Forum PRB untuk Penguatan Sekolah Aman
“BPBD juga bersedia melakukan verifikasi dan pengesahan prosedur operasi standar atau SOP peringatan dini dan evakuasi di sekolah” Muridin Kepala BPBD Lobar
Konsep sekolah aman dari bencana lahir melalui Peraturan Kepala (Perka) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Nomor 4 tahun 2012 tentang Penerapan Sekolah/Madrasah Aman dari Bencana. Lalu, seperti apa peran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) untuk mewujudkan sekolah aman itu? Ditemui terpisah di kantornya pertengahan Januari 2013 lalu, Kepala BPBD Kabupaten Lombok Barat Muridin dan Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Lombok Timur Muhammad Supriyadi menjelasan ihwal peran yang bisa diambil BPBD di daerah masing-masing. “Tugas kita sebenarnya di sini hanya sebagai pengawas atau memantau pelaksanaan sekolah aman itu. Tetapi, di sini saya melihat kebijakan ini, khususnya di Kabupaten Lombok Timur, masih terputus pada masalah koordinasi. Seharusnya, memang sesuai dengan UU Nomor 24 tentang Penanggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana, BPBD melaksanakan tiga fungsi sekaligus; yakni, komando, koordinasi, dan pelaksana. Untuk kegiatan ini yang paling dominan adalah fungsi koordinasi. Tapi kegiatan ini barangkali leading sector untuk kegiatan adalah Kemendikbud,” kata Supriyadi. Pentingnya sekolah aman dari bencana, sambung Supriyadi, memang sudah menjadi kewajiban semua kalangan. Selain Kemendikbud, juga harus melibatkan Kemenag, KemenPU untuk teknis bangunan, dan BNPB. Di samping itu, BPBD yang masuk dalam ranah pemerintah daerah memerankan diri sebagai lembaga koordinasi dan memberikan kajiant sekolah aman. Kajian diberikan untuk identifikasi kerawanan bencana, peta evakuasi, dan lain-lain terkait dengan penanggulangan bencana. Dari aspek regulasi, Supriyadi menjelaskan, Kabupaten Lombok Timur sudah melengkapi diri dengan peraturan daerah (Perda) hingga rencana aksi daerah (RAD) maupun rencana kontijensi. BPBD Lombok Timur juga memprakarsai 106
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
pembentukan Forum Pengurangan Risiko Bencana Daerah yang di dalamnya melibatkan segenap pemangku kepentingan, termasuk lembaga pendidikan. Dalam Perda Nomor 3 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Daerah, lembaga pendidikan diatur melalui Bab V mengenai Peran Lembaga Usaha, Lembaga Pendidikan, Organisasi Kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Media Massa, Lembaga Internasional, dan Lembaga Asing Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Pada pasal 18, lembaga pendidikan menginisiasi integrasi pengurangan risiko bencana ke dalam kegiatan formal, nonformal, dan informal yang dikoordinasikan dengan dinas terkait. Pada ayat sebelumnya, lembaga pendidikan juga berperan serta dalam penanggulangan bencana dengan mengembangkan nilai-nilai budaya, menumbuhkan semangat solidaritas sosial, kedermawanan, dan kearifan lokal. Meski Kabupaten Lombok Barat juga memiliki Perda serupa, di pengaturan secara rinci sebagaimana tertuang dalam Perda Lombok Timur. “Dalam Perda memang belum diatur. Pengaturan lebih rinci akan dilakukan melalui Peraturan Bupati. Tetapi, pada intinya kami memberikan dukungan penuh untuk mewujudkan sekolah aman di sekolah. Kami siap memberikan pendampingan maupun kajian terhadap aspek-aspek pengurangan risiko bencana dalam mewujudkan sekolah aman,�. Lebih jauh Supriyadi menjelaskan, Forum PRB Lombok Timur melibatkan unsur pemerintah daerah, lembaga pendidikan, organisasi masyarakat, unsur dunia usaha, dan pemuda. Forum tersebut bertugas memberikan advokasi kepada masyarakat terkait risiko pengurangan bencana. Di samping itu juga mengakomodasi kegiatankegiatan yang ada di masyarakat yang berjalan sendirisendiri dan tidak pernah berorientasi pada pengurangan risiko bencana. Alasannya, selama ini masyakarat baru bergerak saat terjadi bencana dan setelah terjadinya bencana. Kegiatan pengurangan risiko bencana jarang sekali dilakukan. Padahal, paradigma penanggulangan bencana tidak lagi responsif, melainkan preventif.
107
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
BPBD pun mencoba menempuh sejumlah jalan untuk penguatan kapasitas masyarakat. Salah satunya penyebarluasan informasi melalui media, baik elektronik maupun cetak, termasuk media tradisional. Belum lama ini pihaknya melakukan sosialisasi melalui pementasan wayang kulit tentang kegiatan pengurangan risiko bencana. Hasilnya, masyarakat pun mendapatkan informasi mengenai kebencanaan sekaligus mendapat hiburan.
. “Nanti kita akan secara bersama-sama menentukan sekolah mana yang kira-kira paling layak untuk mendapatkan bantuan teknis� Muhammad Supriyadi Kabid BPBD Lotim
“Terkait program sekolah aman, sesuai Perka tentang Sekolah Aman, BPBD lebih banyak melakukan monitoring kegiatan. Namun, monitoring itu harus ada pemberitahuan dari dinas terkait, misalnya Disdikpora. Nanti kita akan secara besama-sama menentukan sekolah mana yang kirakira paling layak untuk mendapatkan bantuan teknis untuk penerapan sekolah aman itu. Ini yang ingin kami bangun ke depan,� kata pria yang sebelumnya pernah menangani sejumlah proyek di Disdikpora tersebut. Bagi lulusan magister pendidikan ini, sekolah aman perlu dikembangkan di seluruh sekolah yang masuk dalam kategori rawan bencana. Terlebih BPBD juga memiliki sumber daya dengan latar belakang pendidikan teknik, terutama bidang rehabilitasi dan rekonstruksi. Supriyadi sendiri lebih fokus di bidang pencegahan dan kesiapsiagaan. Tentu, asistensi hal teknis ada di Dinas PU yang memiliki otoritas di bidang struktur bangunan aman. Nah, sinergi antara Disdikpora-BPBD-PU itulah yang diharapkan mampu mengoptimalkan penerapan sekolah aman. Koordinasi itu sebenarnya sudah pernah digagas selama bergulirnya program SMAHE.
108
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
PRB Sebagai Keperluan Sekolah (Belajar dari Pengalaman Konsepsi)
Pengurangan risiko bencana (PRB) bukan saja penting menjadi mainstream bagi masyarakat, melainkan penting dikembangkan di sekolah. Nah, SMAHE yang di dalamnya berisi penerapan sekolah aman dari bencana dinilai sebagai salah satu upaya pelembagaan PRB di kalangan pendidikan. Direktur Konsorsium untuk Studi dan Pengembangan Partisipasi (Konsepsi) Rahmat Sabani berharap sekolah aman mampu menumbuhkan rasa memiliki pemangku kepentingan di sekolah sekaligus mampu merancang aksi partisipasi warga pendidikan dalam PRB. Konsepsi memiliki pengalaman pengembangan kapasitas masyarakat terhadap PRB di 10 desa di Kabupaten Lombok Timur, NTB. Ditemui di kantornya pertengahan Januari 2013 lalu, Rahmat pun bercerita lebih jauh mengenai pengalamannya. “Kami mencoba melakukan pemetaan terhadap Lombok yang katanya etalase bencana. Kan di Indonesia ini ada 11 jenis bancana. Nah, di Lombok ada 11 dari 14 bencana yang ada. Bencana pegunungan vulkanik sampai bencana sosial ada di situ. Karena potensi besar itu, maka upaya yang dilakukan adalah pengurangan risiko. Jadi, bekerjanya di depan, bukan setelah bencana itu. Nah itulah yang mulai kita gagas, kita bangun konsepnya bersama,� kata Rahmat dengan nada menggebu-gebu. Rahmat yang sehari-hari bertugas sebagai tenaga pengajar di Universitas Mataram (Unram) ini menjelaskan, PRB bekerja pada tiga matra kebencanaan, yakni risiko, kerentanan, dan kapasitas. Sementara objeknya terletak di tiga level, meliputi komunitas atau masyarakat, sekolah, dan pemerintah. “Sebenarnya bukan kami (yang menganalisis) karena Konsepsi hanya fasilitator. Masyarakat yang melakukan analisis terhadap kondisi mereka sendiri. Misalnya, saat mereka lakukan analisis terhadap kerentanan, ya mereka sendiri yang memetakan kondisi rentan mereka itu seperti apa, kapasitas yang mereka miliki itu seperti apa, baik secara
109
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
sumber daya maupun secara kelembagaannya, kemudian ancamannya seperti apa. Ancaman dari alam, dari manusianya sendiri ketemulah nanti salah satu produk dari itu adalah peta partisipatif tentang tata risiko. Nah, itu yang kita lakukan di sekolah dan pemerintah kemudian melahirkan dokumen peta partisipatif dan dokumen analisis risiko bencana (ARB). Di sekolah namanya rencana aksi sekolah. Di kabupaten namanya rencana aksi daerah (RAD). Jadi, ARB adalah salah satu dokumen yang harus dimiliki setiap kabupaten di Indonesia, di NTB baru ada di Lombok Timur saja. Karena kita menganggap kabupaten ini yang dibangun harus sistemnya,” papar Rahmat.
“Kunci sukses dari suatu proses transformasi pengetahuan dan teknologi adalah seberapa siap masyarakat menerima informasi dan teknologi. Pun dengan kebencanaan. Fasilitator harus memahami betul kapasitas masyarakat atau warga sekolah” Rahmat Sabani Direktur Konsepsi
Pada saat SMAHE digulirkan, Rahmat mengaku sudah menyampaikan pentingnya identifikasi dan pemetaan parapihak. Analisis parapihak itu penting karena PRB berbicara proses keberlanjutan. Parapihak itulah yang akan menentukan keberlanjutan. Nah, siapa di antara parapihak itu yang paling bisa kita justifikasi…, nah itu tidak boleh lahir dari masyarakat atau swasta. Tetapi ada pemerintah, ada masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, pengusaha. Dalam konteks membangun sekolah ada juga kontraktor. perguruan tinggi juga harus ada di situ. Rahmat berasumsi, perguruan tinggi merupakan candradimuka ilmu pengetahuan, di sana diharapkan bisa ada orang-orang teknologi dan ilmu pengetahuan berkenaan dengan kebencanaan. “Yang penting juga menurut saya adalah kepemilikan. Sekolah harus menganggap bahwa PRB merupakan keperluan mereka. Jadi, targetnya jangan diletakkan pada menyelesaikan masalah tetapi membangun dasar-dasar sistem sekolah aman. Ini yang penting. Ke depan, ini perlu diperkuat lagi, lembanganya bagaimana, masyarakat sekolah kapasitasnya seperti apa, sistemnya. Berarti kan di dalamnya ada banyak stake holders,” papar aktivis pemberdayaan yang menghabiskan lebih dari setengah usianya untuk memberikan pendampingan kepada masyarakat. ***
110
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Unram-World Bank untuk Sekolah Aman dan Hemat Energi
“Fokus kami sebenarnya pada diseminasi, bagaimana program ini diketahui oleh semua pihak terkait. Diharapkan nantinya muncul komitmen mereka untuk menikndaklanjutinya” Ir. Joko Priyono Msc. PhD LPPM Unram
Pendidikan merupakan hak setiap warga negara. Dengan begitu, pemerintah berkewajiban memberikan akses seluasluasnya kepada setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan berkualitas secara adil. Inilah salah satu poin penting Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyrakat Universitas Mataram (LPPM Unram) tentang program SMAHE di Nusa Tenggara Barat. Ditemui di kantornya pertengahan Januari 2013 lalu, salah seorang pimpinan LPPM Ir. Joko Priyono, M.Sc., Ph.D. berbicara mewakili pimpinan universitas ihwal kerjasama yang tengah dibangun antara Unram dengan Bank Dunia. Joko menegaskan, kalau di sini berhasil, perlu disebarluaskan ke daerah lain. Lebih jauh mengenai kerjasama itu, Joko menjelaskan, sesuai dengan term of reference(TOR), Unram akan berperan aktif dalam proses diseminasi informasi dan pendampingan kepada masyarakat. Tim Unram yang lama berjibaku dengan pemberdayaan masyarakat di NTB diyakini mampu memberikan penyempurnaan bagi program yang bergulir sejak September 2012 tersebut. Salah satunya menyangkut keberlanjutannya dan pendekatan sosial. “Kerjasama ini menyangkut bagaimana caranya ini dikomunikasikan kepada stake holders. Fokus kami sebenarnya pada diseminasi, bagaimana program ini diketahui oleh semua pihak terkait. Diharapkan nantinya muncul komitmen mereka untuk menikndaklanjutinya. Keberlanjutan sangat penting karena durasi program yang singkat, sementara kebutuhan masyarat tinggi. Target kami, dari diseminasi ini akan muncul komitmen dan aksi nyata dari masyarakat dan pemerintah daerah. Dalam skenario kami, Unram akan melibatkan siswa SMK untuk menjadi pendamping masyarakat,” Joko menegaskan.
111
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Dia menjelaskan, pendekatan sosial diperlukan karena setiap tempat memiliki karakteristik sendiri. Setiap transfer teknologi maupun informasi tidak bisa lepas dari adat setempat, budaya, termasuk aturan-aturan setempat. Kalau sudah begitu, masyarakat harus diajak bicara bahwa ini merupakan milik bersama. Ini sederhana tapi sulit karena melibatkan banyak pihak. Tanpa keberlanjutan, maka program-program pemberdayaan kerap menguap tanpa makna, semua berakhir seiring berakhirnya program. Karena itu, Unram secara kelembagaan berkeinginan terus menjalin kemitraan dengan Bank Dunia untuk mengembangkan kapasitas masyarakat, baik untuk pengurangan risiko bencana, energi terbarukan, maupun riset-riset lainnya. Perguruan tinggi, sambung dia, jangan sampai terjebak pada posisi sebagai menara gading ilmu pengetahuan. Karena itu, perlu dibangun kemitraan antara perguruan tinggi dengan multipihak. Dengan begitu, perguruan tinggi bisa mengimplementasikan perkembangan mutakhir ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Karena domain warga negara ada pada pemerintah, maka Unram juga meminta kemitraan turut melibatkan unsur pemerintah daerah. Dalam konteks NTB, maka Bappeda bisa menjadi katalisator untuk program sekolah aman dan hemat energi ini. Melalui Bappeda inilah program-program bisa didistribusikan sesuai lembaga teknis daerah yang relevan. “Perguruan tinggi itu memiliki norma Tri Dharma. Selain berperan sebagai penyelenggara pendidikan tinggi, perguruan tinggi merupakan lembaga penelitian dan lembaga pengabdian kepada masyarakat. Nah, melalui programprogram konkrit seperti SMAHE inilah tiga peran perguruan tinggi itu bisa dilaksanakan. Untuk itu, kemitraan strategis para pemangku kepentingan perlu dikembangkan untuk memelihara keberlanjutan program sekolah aman dan hemat energi ini,� ungkap Joko.[!]
112
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Program SMAHE: Siapa Mengkoordinasi Siapa? Koordinasi itu kata-kata yang mudah diucapkan, tetapi sulit dilaksanakan. Salah satu penghambatnya adalah egosektoral dan kultur komunikasi birokrasi yang hirarkis dan kaku. Egosektoral sering terjadi karena keengganan atau kesungkanan untuk masuk ke wilayah program lembaga/sektor lain, atau sebaliknya kesulitan untuk menerima secara terbuka peran pihak/sektor lain terhadap program yang kita jalankan. Tanpa disadari, alih-alih memberikan dukungan, yang terjadi malah saling unjuk kewenangan di antara lembaga/sektor yang terkait suatu isu program. Sedangkan faktor jabatan dan eselon cenderung mempersulit dan menghambat kecepatan komunikasi antarlembaga. Sudah menjadi cerita klasik mengenai hal ini bahwa sebuah surat dari lembaga lain tertahan di meja karena pejabat belum sempat membukanya, padahal surat tersebut dimaksudkan untuk mengundang/melibatkan staf. Kondisi ini tentunya merupakan tantangan berat yang akan dihadapi dalam menjalankan program SMAHE yang dijalankan oleh pihak nonpemerintah (LSM) sebagai bentuk partisipasi terhadap program yang merupakan kewajiban pihak pemerintah berdasarkan Perka BNPB No.4 tahun 2012, yang kemudian menjadi salah satu program sektor pendidikan. Artinya, program sekolah/madrasah aman merupakan komitmen nasional di wilayah penanggulangan bencana yang dikerjakan oleh sektor pendidikan. Jadi, siapa mengkoordinasi siapa dalam menjalankan program SMAHE di NTB? Marilah kita merujuk kepada UU 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang menyatakan bahwa sektor utama di Indonesia adalah BNPB/BPBD. Peran BNPB/BPBD dalam PB dibagi ke dalam 3: koordinasi, komando dan pelaksana program. Ketika program yang berada di wilayah PB dilaksanakan oleh pihak lain (LSM, sektor lain, perguruan tinggi, swasta), BNPB/BPBD berwenang sebagai lembaga koordinator PB untuk mengetahui, mengarahkan dan sekaligus memberikan dukungan terhadap program tersebut. Sebagai contoh dalam hal ini adalah program SMAHE yang merupakan kerjasama antara LSM dengan pemerintah daerah dengan dukungan donor, merupakan program yang semestinya berada di bawah koordinasi BNPB dan BPBD. Peran dan kewenangan dirasakan lebih jelas bila PB itu berupa program tanggap darurat dan BNPB/BPBD berperan sebagai komandan (memberi komando). Tapi peran dan program PB kan tidak melulu hanya saat penangananan bencana.
113
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Apakah BNPB/BPBD percaya diri untuk menjalankan peran demikian terhadap berbagai pelaku dan sektor lain? Pada sebuah lokakarya yang diselenggarakan BNPB di Kota Bandung pada awal bulan Desember 2012, peserta yang berasal dari BPBD berbagai daerah menyatakan bahwa masalah (koordinasi) adalah pengakuan dari pihak lain yang menganggap lembaga ini masih “seumur jagung� dibandingkan dengan Dinsos dan Kesbanglinmas, misalnya. Namun peserta lainnya menyatakan bahwa ini masalah BNPB/BPBD bersikap percaya diri dan memiliki kemampuan (kapasitas) untuk menjalankan peran tersebut. Alat vital yang harus dimiliki dan dikuasai BPBD adalah peta rawan bencana, rencana kontijensi, dan pengelolaan informasi kebencanaan yang memadai untuk bisa menjalankan peran sebagai koordinator PB. Program SMAHE di daerah misalnya, perlu didukung dengan data sekolah di lokasi dengan risiko bencana tinggi, selain berdasarkan prioritas juga berdasarkan kondisi kerusakan sekolah. Selain itu, pendampingan SMAHE di sekolah yang meliputi kampanye sekolah aman, simulasi evakuasi, dan pembentukan cikal bakal Tim Siaga Bencana, memerlukan rujukan dokumen rencana kontijensi daerah. Artinya, BPBD perlu memastikan bahwa Program SMAHE mendukung visi/misi dan programnya dalam program PB, dan sebaliknya pihak yang menjalankan Program SMAHE terbuka untuk mendapatkan arahan dan koordinasi dari pihak BPBD. Ada 3 ruang lingkup koordinasi yang harus dilakukan BNPB/BPBD apabila dilihat dari aktornya, yaitu koordinasi dengan sektor lainnya (lintas sektoral), koordinasi dengan pihak nonpemerintah (misalnya LSM yang memiliki program PB), dan dengan struktural yang lebih tinggi di atasnya. Kalau dilihat dari wilayah, koordinasi itu bisa pada lingkup daerah, nasional, dan juga internasional. Walau sebenarnya, kebencanaan adalah isu yang bisa dikatakan tidak memiliki batasan (bordeless)!! Ini membutuhkan suatu konsepsi yang sama di antara pemangku kepentingan, bahwa BNPB/BPBD merupakan koordinator program PB berdasarkan amanat undang-undang. Pihak BNPB/BPBD harus memahami perannya itu (dan percaya diri!), sebaliknya pihak program SMAHE menerima posisi bahwa programnya berada di dalam garis koordinasi pihak BNPB/BPBD. Sebab bila belum ada kesamaan pandangan itu, koordinasi akan terus sulit dilaksanakan karena secara tidak sadar tidak mau/mampu menjalankan peran koordinasi tersebut, atau muncul konflik karena terjadinya unjuk kewenangan dari berbagai sektoral. Hayo, BPBD dan Dinas Pendidikan, mari kita runtuhkan hambatan egosektoral untuk bisa bekerjasama dalam mewujudkan sekolah/madrasah aman! Tantangan ini masih besar, tapi paling tidak pengalaman Program SMAHE sudah bisa memberikan inspirasi bahwa kita bisa berkoordinasi dan bekerjasama dengan baik.(RD)
114
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Capaian Program SMAHE September 2012 – Februari 2013
Jumlah Sekolah Percontohan
Penerapan Komponen Struktural Bangunan Sekolah Percontohan 30 25 20 15 10 5 0
Pilar beton
Sloof beton
Bahan sesuai standar PU 29
Komponen pengikat antar struktur 23
Dimensi balok sesuai standar 25
Komponen teknis besi sesuai standar PU 27
Jumlah Sekolah Lobar
28
29
Jumlah Sekolah Lotim
29
29
28
25
29
28
Jumlah Sekolah Percontohan
Penerapan Arsitektural Bangunan Sekolah Percontohan 35 30 25 20 15 10 5 0 Kualitas materi plafon sesuai standar SNI
Kualitas dinding sesuai dengan standar SNI
Kualitas bahan atap sesuai dengan standar SNI
Kualitas bahan lantai sesuai dengan standar SNI
Lantai tidak licin
Jumlah Sekolah Lobar
27
27
26
29
30
30
Jumlah Sekolah Lotim
25
29
28
25
26
24
115
Kualitas materi Lantai tidak pintu berluban sesuai g standar SNI
Pintu dapat terbuka lebar
Daun pintu ada 2
Jendela menyatu secara lateral
27
30
2
23
29
28
4
18
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Sarana Prasarana Sekolah Percontohan 35 30 Jumlah Sekolah Piercontohan
25 20 15 10 5 0
Meja cukup Tata letak kokoh perabotan untuk menjamin memberi pergerakan perlindung lalu lintas an jika orang terjadi dengan bencana bebas
Lemari melekat pada dinding
Tiang bendera didirikan pada pondasi yang kuat
Fasilitas penyimpan an barang kimia
Tanda bahaya (alarm) kebakaran
Ketersedia an alat pemadam kebakaran
Jumlah Sekolah Lobar
0
21
28
30
1
0
0
Jumlah Sekolah Lotim
0
19
26
30
2
0
0
Komponen Utilitas Sekolah Percontohan Jumlah Sekolah Percontohan
35 30
25 20 15 10 5 0
Akses Saluran Akses Instalasi air terhadap pembuanga Pasokan gas memadai sesuai Akses Akses sesuai Ketersediaa saluran n limbah terhadap air terhadap air terhadap dengan n listrik pembuanga cair sesuai persyaratan minum dan persyaratan bersih pasokan gas keamanan n limbah dengan sanitasi dinas PU cair standar PU
Jumlah Sekolah Lobar
25
25
24
9
10
10
10
9
Jumlah Sekolah Lotim
30
30
30
29
0
0
3
3
116
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Komponen Tata Ruang Sekolah Percontohan
Jumlah Sekolah Percontohan
35 30 25 20 15 10 5 0 Koridor yang cukup untuk evakuasi cepat
Koridor evakuasi tersebut bebas dari segala penghalang
Jumlah Sekolah Lobar
24
Jumlah Sekolah Lotim
28
Area evakuasi
Area evakuasi bebas dari penghalang
Jalur evakuasi khusus bagi penyandang cacat
24
24
24
0
28
30
28
0
Capaian Aspek Perencanaan Percontohan Sekolah Aman – NTB2013 35 30
Jumlah Sekolah Percontohan
25 20
15 10 5 0 Peta-peta dan hasil-hasil belajar
Rencana induk untuk sekolah aman (RKS)
Program lima tahun untuk mencapai sekolah aman (RPJMSA)
Rehabilitasi DED terkait dengan bangunan aman terhadap bencana alam
Rehabilitasi RAB
KBKS membuat sebuah rencana aksi tahunan
Jumlah Sekolah Lobar
25
9
3
16
30
3
Jumlah Sekolah Lotim
23
10
15
27
30
15
117
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Capaian Aspek Kebijakan Percontohan Sekolah Aman NTB2013 30 25 20 15 10
Lobar Lotim
5 0
Kebijakan untuk menjamin keamanan sekolah yang berkelanjutan
SOP Perasional dan Pemeliharaan
SOP Peringatan Dini dan Evakuasi
Poster evakuasi terpampang di tempat strategis
Lobar
6
7
23
24
Lotim
13
19
21
25
Capaian Aspek Mobilisasi Sumber Daya Percotnohan Sekolah Aman NTB2013 30 25 20 15 10 5 0
Lobar Lotim Komite Bencana dan Keselamatan Sekolah
Simuasi Evakuasi secara rutin
Cadangan makanan dan minuman untuk kondisi darurat
Lobar
26
13
0
Lotim
27
12
0
118
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Perbandingan Data Dasar dan Data Akhr Kategori Sekolah Aman - Percontohan NTB Februari 2013 100%
97% 100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Baseline Data Akhir 3% 0%
0%
Tidak memenuhi Kategori
Kategori 1
0%
0% 0%
Kategori 2
Kategori 3
Data Akhir Capaian Komponen Non-struktural Percontohan Sekolah Aman - NTB 20% Poor (0 -4 indicators) Midle (5 - 9 indicators)
57% 33%
119
High (10 - 14 indicators)
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
Data Akhir Capaian Komponen Struktural Percontohan Sekolah Aman NTB
1% Poor (0-10 indicators)
32%
Midle (11-21 indicators) 67%
High (22-33 indicatros)
Perbandingan Data Dasar dan Data Akhir Indikator Komponen Struktural Sekolah Aman Percontohan NTB Februari 2013 80% 80%
67%
70% 60% 50%
30%
Baseline
32%
40%
Data Akhir
20%
20% 10%
1%
0%
0% Poor (0 - 10 indicators)
120
Midle (11 - 21 indicators)
High (22 - 33 indicators)
Bersama Mewujudkan Sekolah Aman
121