Papir

Page 1

1


Papir Dikelola oleh: Dusone Disponsori oleh: Zaafarani Hijab & Accessories, Insomniakronika Diproduksi oleh: Monotext Email redaksi: halamanbelakang@yahoo.com 2016

2


allief zamroni billah DI GUNUNG Sangat dalam aku menyimpan Mimpi putih bebatuan Yang diperebutkan Mimpi itu dalam sekali Di bawah bebatuan, dalam goa Di aliran mata air, abadi Berharap tak pernah dicuri Oleh besi besi rongsokan Di sana tersimpan cinta Yang kan kuperjuangkan dengan nyawa Di sana akan menjadi nisan Kuburan para tiran Mungkin juga harapan 2013

3


HILANG TERANG Tenggelam dalam cahaya Lebih memilukan bagi pengembara Ketimbang lelap dalam gelap Merasa tak perlu lagi mencari Rumangsa tlah berjumpa Terhijab terang cahaya Hitam jalanan mengikat bumi Pengantar bibir menuju hati Berpacu bersama roda ; Berdzikirlah Sebut nama-nama Biarkan menjadi pusaran cahaya Berpendar menangkap gelap 2013

4


RISAU Justru semakin terngiang tanya di telinga Mampukah air ini padamkan api Sedang penggembala telah kehilangan cinta Lalu jawab apakah yang mampu lunaskan tanya Ketika satu persatu mulai tanggal Baju kebesaran, jubah kesayangan : Pergi Ke mana lagi mencari Mutiara yang telah rembang : Hilang Laut tlah kehilangan gairah Diam tak hendak berombak Bumi sunyi tak berpenghuni Hanya kau : Hakikat sunyi 2013

5


“robot manusia� Crayon di kertas hvs

Magdala zaafarani al raziq

6


Thomas more MENDEKATI SURGA1) “Kau masih saja melakukannya. Itu sama saja dengan bunuh diri pelanpelan”. “Aku menikmati penderitaan ini. Dan aku yakin ini bisa membawaku mendekati surga”. “Surga? Bukankah itu malah akan lebih mendekatkanmu ke neraka?”. “Entahlah. Aku pun tak tahu apa bedanya surga dan neraka. Semua tak lebih hanya omong kosong belaka. Iming-iming yang belum tentu ada benarnya”. “Hush! Jangan omong begitu. Nanti kualat kamu”. “Kualat? Apa salahku?”. “Yang kamu omongkan tadi”. “Apa yang kuomongkan tadi itu salah? Memang kau pernah melihat surga? Melihat neraka? Tidak ‘kan? Tidak pernah sekalipun. Kau hanya pernah mendengarnya saja”. “Menurutku, orang-orang lebih suka mementingkan simbol-simbol, tandatanda, yang semuanya belum tentu benar”. “Kok kamu bicara begitu?”. “Mereka melakukan ibadah dan kebaikan dengan pamrih iming-iming mendapatkan surga. Seharusnya mereka melakukannya dengan tulus, dengan kesadaran sepenuhnya”. “Lalu harus bagaimana?”. “Seharusnya mereka melakukannya tanpa tujuan apa-apa. Mereka melakukannya hanya karena mereka merasa harus melakukannya. Kalau mereka merasa tidak perlu dan tidak harus melakukannya, mereka berhak untuk tidak melakukan apa-apa. Begitu saja”. “Ah, susah bicara denganmu. Sudahlah, terserah kamu!”. Senja ini masih seperti yang dulu. Matahari masih menebarkan warnawarna jingganya ke seluruh muka bumi. Ombak pantai ini pun masih saja menyapu dan membawa kembali sampah dan kotoran yang dibuang orang-orang di sekitar pantai ini. Tidak berubah. Tidak ada yang berubah. Padahal sudah sepuluh tahun aku tinggalkan pantai ini, tapi keadaannya masih saja tetap seperti dulu. Stagnan. Masih sama. Aku masih sendirian di sini. Dengan segala pikiran juga pertanyaanpertanyaan yang selalu ada di sepanjang usiaku, di pikiran dan hatiku. Aku tak pernah bertanya kepada orang lain, sebab aku yakin-pasti aku tak akan pernah 7


mendapatkan jawaban yang bisa meyakinkan aku tentang semua pertanyaanpertanyaanku. “Tuhan, siapa Kau sebenarnya? Dimanakah Kau berada?”. Pertanyaan-pertanyaan seperti itulah yang selalu terngiang di kepalaku. Teringat bagaimana Ibrahim bertanya kepada gunung, kepada matahari, kepada bulan atau kepada bintang untuk mencari siapa sebenarnya Tuhan. Apakah gunung-matahari-bulan-bintang itu sendiri? Atau patung dan berhalaberhala yang dipahat Azhar –bapaknya- yang harus ia sebut sebagai Tuhan dan ia sembah? Pencarian Ibrahim tak pernah berhenti, sampai suatu ketika ia dapat menemukan kebenaran sejati tentang apa yang dicarinya. Seperti Ibrahim, aku juga memilih untuk mencari sendiri kebenaran yang kuyakini. Aku tidak ingin mendapatkannya secara kebetulan, karena keturunan, warisan atau pemberian. Aku ingin mendapatkannya menurut caraku sendiri. Seekor gagak berkaok-kaok. Kata orang, itu pertanda akan ada yang mati hari ini. Entah siapa. Sudah lama aku tidak lagi mempercayai hal-hal seperti ini. “Bagaimana caramu untuk bertemu dengan Tuhanmu?”. “Sembahyang. Juga berdoa”. “Kau?”. “Tidak mesti!”. “Lho, kok?”. “Kadang aku bertemu denganNya pada saat aku sedang sendiri. Nyepi. Tapi, pernah juga aku bertemu denganNya ketika aku sedang bersama-sama dengan banyak orang. Ia datang sesukaNya. Menurut caraNya sendiri”. “Aku tidak pernah tahu kapan dan dalam rupa apa Ia datang. Aku pernah menjumpaiNya dalam Rumi, Chopin atau Picasso. Aku juga pernah menjumpaiNya dalam paras bayiku”. “Jangan tanya bagaimana aku bisa mengenaliNya!”. “Saat kau memandangku, aku yakin : Tuhan sedang memandangku. Saat Tuhan memandangku, aku tahu : aku sedang memandang diriku sendiri”. 2) “Kau tidak sembahyang?” “Kalau bisa bertemu denganNya dengan cara lain, masih perlukah sembahyang, ke masjid, pura atau gereja?” “Ah!”.

8


Matahari mulai tenggelam di sebelah barat. Tapi semburat warna jingganya masih tersisa di langit. Kapal nelayan, rumah-rumah reot tempat mereka tinggal, beberapa anak kecil bermain-main dan berenang di laut, yang airnya berwarna hitam pekat. Kotor. Ombak kecil menyapu pantai, menghapus jejak-jejak kaki di pasir, menghapus kenangan dan peristiwa. Maafkan aku, hidupku tak tertahankan lagi3). Bunyi pesan singkat yang baru saja kuterima darimu tadi. Aku tidak tahu apa maksudmu. Kau memang sering mengirim pesan yang kadang tidak bisa kumengerti apa artinya. Esoknya kuterima kabar, tubuhmu ditemukan sudah menjadi mayat di bathtub hotel tempatmu mengasingkan diri. Menurut dokter, kau mati karena terlalu banyak mengkonsumsi pil tidur dan wiski. Ah, mungkin ini cara yang kaupilih untuk mendekati surga. Selamat jalan, dan semoga kau bahagia dengan pilihanmu.[] [2006-2015] 1)

“Mendekati Surga” judul lagu dari Koil. Puisi ke [sepuluh] dalam “Chapter One” Muhammad Tri Muda’i. 3) Pesan terakhir yang ditemukan ketika Dalida (penyanyi asal Perancis) ditemukan meninggal. 2)

9


“pelangi”

Crayon di kertas hvs

Magdala zaafarani al raziq

10


Abimanyu hadi sukoro PUISI TERAKHIR UNTUKMU Akhirnya tiba Waktu dimana kau yang pernah kucinta dengan tulus Menemuinya Akhirnya tiba Saat dimana belati itu terangkat Dari Hati Yang tertancap Dengan dalam Maaf Selamat Jakarta, 5 Maret 2016

11


BERJUTA PECAHAN Langkah ini Mengantarkan fragmentasi Kenangan. Menjadi bukti, cinta yang suci Bukan hanya padamu Yang telah membeku Pada masa lalu Tapi pada rindu Yang pernah dibuat pilu Bunga yang merupa Tujuh Bertaburlah semua Berjatuh Pada maaf yang tak pernah lagi dapat terucap Namun syukur terpanjat Karena Tuhan memberi kekuatan yang luar biasa Untuk mencinta Cileungsi, 6 Juni 2015

12


KEPADA PENGUASA HITAM Teramat ingin Dengan merdu Kudendangkan Tepat didepan telingamu Merdunya Suara Adzan Tangerang, 18 April 2016

13


SENTUHAN KECIL DI PAGI HARI Bahkan dalam ketiak baju batik ini terdapat aroma kasih dan sayang ibuku yang sering kali terlupa dan tak terganti Jakarta, 27 Juli 2016

14


15


HALAMAN INI SENGAJA DIKOSONGKAN

16


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.