Material Teaching Of PMH After Mid

Page 1

HUBUNGAN SEBAB AKIBAT DALAM PERBUATAN MELANGGAR HUKUM1 A.HUBUNGAN

SEBAB

AKIBAT

(THE

DARLING

OF

ACADEMIC

MIND)  Hubungan sebab akibat dalam beberapa bahasa, antara lain: 1. Bahasa Jerman

: Verursachung

2. Bahasa Spanyol

: Causalidad

3. Bahasa Perancis

: Causalite

4. Bahasa Belanda

: Oorzakelijk Verband atau Causaliteit

 Masalah dalam

hubungan

hukum

sebab

tentang

akibat

perbuatan

ini

menjadi

melanggar

isu

hukum,

sentral karena

fungsinya adalah untuk menentukan apakah seorang tergugat harus bertanggungjawab secara hukum atas tindakannya yang menyebabkan kerugian terhadap orang lain.  Hubungan sebab akibat, merupakan faktor yang mengkaitkan antara kerugian seseorang dengan perbuatan orang lain. Masalah

utama

dalam

hubungan

sebab

akibat

ini

adalah

seberapa jauh kita masih menganggap hubungan sebab akibat sebagai hal yang masih dapat diterima oleh hukum. Dengan kata lain, kapankah dapat dikatakan bahwa suatu kerugian adalah “FAKTA” (the fact), atau “KEMUNGKINAN” (proximate) dan kapan pula dianggap “TERLALU JAUH” (too remote).  Menurut HLA. Hart tahap pertama dalam dispute mengenai kasus-kasus

perbuatan

melanggar

hukum,

adalah

menginterpretasikan hukum tentang fakta apakah yang mesti 1

Dyah Ochtorina Susanti, SH., MHum. 2012. Material Teaching After Mid Semester: Perbuatan Malanggar Hukum “Hubungan Sebab Akibat”. Law Faculty of Jember University-Jember East Java.

1


diketengahkan

untuk

menunjukkan

bahwa

fakta

tersebut

mempunyai kaitannya dengan kerugian.  Metode

yang

disarankan

untuk

menyelesaikan

masalah

tersebut adalah sebagai berikut: 1. Jika

perbuatan

melanggar

hukum

tersebut

mempunyai

hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi. 2. Jika

perbuatan

yang

melanggar

hukum

tersebut

tidak

perlu mempunyai hubungan sebab akibat dengan kerugian yang terjadi. 3. Jika

perbuatan

tetapi

mesti

tergugat

mempunyai

tidak

perlu

hubungan

ada

sebab

kesalahan,

akibat

dengan

kerugian yang terjadi.

B.HUBUNGAN SEBAB AKIBAT YANG FAKTUAL  Hubungan sebab akibat secara faktual (Causation in fact) hanyalah merupakan masalah “fakta” atau apa yang secara faktual telah terjadi. Setiap penyebab yang menyebabkan timbulnya

kerugian

dapat

merupakan

penyebab

secara

faktual, asalkan kerugian (hasilnya) tidak akan pernah terjadi tanpa ada penyebabnya. Dalam

hukum

akibat

jenis

tentang ini

perbuatan

sering

disebut

melanggar dengan

hukum, hukum

sebab

mengenai

“but for” atau “sine qua non”. Von Buri adalah salah satu ahli hukum Eropa Kontinental yang sangat mendukung ajaran ini.  Tes

“but

for”

biasanya

digunakan

terhadap

penyebab

faktual. Tes tersebut akan membatasi tanggungjawab dari tergugat, hanya jika kejadian tersebut tidak akan pernah terjadi jika penyebabnya tidak pernah dilakukan. Beberapa ilustrasi berikut ini menunjukkan bahwa si tergugat tidak

2


pernah dapat dimintakan tanggungjawabnya jika diterapkan tes “but for”,antara lain: 1. Jika sapi liar lepas dari kandangnya, dan jatuh ke dalam sebuah lubang dimana pagar semestinya dibuat, maka kegagalan membuat pagar tersebut bukan merupakan penyebab

dari

jatuhnya

sapi

liar

tersebut,

karena

walaupun ada pagar pembatas, pagar tersebut tidak akan dapat menahan sapi liar itu.  Terhadap kasus-kasus penyebab ganda (Concurrent Cause), yakni dari

keadaan 1

dimana

(satu)

penyebab

faktor,

maka

kejadian

tersebut

diterapkan

tes

lebih

“Faktor

Substansial” (substansial Faktor Test), yang menyatakan bahwa: “Pihak tergugat tidak perlu menjadi faktor satu-satunya yang menyebabkan timbulnya kerugian.”  Kasus-kasus

penyebab

ganda

ini

sering

disebut

juga

sebagai: 1. Distinct Harms 2. Successive Injuries 3. Innocent Cause 4. Contributory Negligence 5. Incapably-devided harm  PERHATIKAN CONTOH KASUS DALAM TEORI-TEORI KASUS PENYEBAB GANDA BERIKUT INI: 1. Teori Distinct Harm Jika A ditembak mati oleh B dan C secara bersamaan, tetapi

independent,

karenanya,

tetapi

dan

terdapat

diketahui luka

di

A

tidak

tangannya

mati yang

disebabkan oleh tembakan B dan luka di kakinya akibat tembakan C, maka secara praktis dan logis, B hanya

3


bertanggungjawab

terhadap

tangan

A,

dan

C

bertanggungjawab atas kaki A. 2. Teori Succesive Injuries Jika

A

menabrak

B

dengan

mobilnya

dan

meretakkan

tulang jempol kaki B, kemudian meninggalkannya begitu saja

di

jalan,

mematahkan

lalu

kaki

bertanggungjawab

C

B.

datang Maka

terhadap

menabrak dalam

B

dari

B

lagi

hal

dan

ini,

kerugian,

A

tetapi

tidak termasuk terhadap kakinya yang patah itu. 3. Teori Divisible Harm Jika A memiliki 3 ekor anjing herder, B mempunyai 2 ekor

anjing

tersebut kambing herder

herder,

masuk punya

mana

ke C,

memberi

ganti

ladang

C

sementara

yang

penyelesaiannya

kemudian

membunuh adalah

terhadap

dan tidak

anjing

membunuh ada

kambing

A 6

semua

herder 10

bukti

yang

anjing

mana,

bertanggungjawab

ekor

kambing,

ekor maka untuk

sementara

B

untuk 4 ekor domba. 4. Teori Innocent Cause A mederita penyakit asam urat akut di pangkal siku lengannya,

sehingga

lengannya

hanya

berfungsi

70%,

tetapi kemudian dia ditabrak dengan otopet oleh B yang menyebabkan lagi,

maka

tangannya B

hanya

sama

sekali

tidak

bertanggungjawab

berfungsi

atas

70%

atas

lengannya A, sementara yang 30% dianggap disebabkan oleh Innocent Cause. 5. Teori Contributory Negligence Jika A karena kecerobohannya telah melukai tangan B, sementara dokter

B,

karena

sehingga

kelalaiannya

dalam

sepersekian

tidak detik

menghubungi tangannya

4


tidak

berfungsi

sama

sekali,

maka

A

tidak

bertanggungjawab terhadap tidak berfungsinya tangan B yang disebabkan kelalaian B sendiri. Dalam kasus ini, kesalahan B sendiri ikut mengkontribusi terhadap tidak berfungsinya tangan tersebut. 6. Teori Incapably-Devided Harm Jika becak A dan becak B bertubrukkan dan salah satu dari becak tersebut terlempar sehingga mengenai C yang sedang berjalan kaki dan akibatnya C meninggal dunia, maka yang bertanggungjawab seluruhnya atas kematian C adalah A dan B.  Dalam sistem hukum Belanda, Hoge Raad, disana telah lama berpendapat terdapat

dalam

lebih

berkontribusi

kasus-kasus

dari

1

PMH

(satu)

sehingga

bahwa

penyebab

menimbulkan

seandainya

yang

sama-sama

kerugian,

maka

penyelesaiannya adalah sebagai berikut: 1. Setiap

pelaku

harus

bertanggungjawab

secara

keseluruhan. 2. Terhadap

tanggungjawab

ketentuan bahwa sesuai

antar

masing-masing

besarnya

kontribusi

pelaku

diberlakukan

harus menanggung beban masing-masing

terhadap

kerugian tersebut.

C.HUBUNGAN SEBAB AKIBAT YANG DIKIRA-KIRA (PROXIMATE CAUSE)  Secara historis,kata “Proximate Cause” berasal pada masa Lord

Chancellor

Injure

non

Bacon

Remota

di

Cause,

Inggris, Sed

dngan

Proxima,

ucapan

berupa

Spectatur,

yang

artinya bahwa dalam hukum, penyebab yang dekat dilihat, bukan penyebab yang jauh. 5


 Ajaran

Proximate

Cause,

mempunyai

hubungan

yang

erat

dengan masalah “kewajiban” (duty) seseorang karena keduaduanya

mencoba

mencari

jawaban

atas

pertanyaan

apakah

tindakan tergugat termasuk dalam ruang lingkup tugasnya yang

melindungi

pihak

korban

dari

kerugian

yang

didritanya. Akan tetapi, dalam ilmu hukum secara tradisi, kedua masalah tersebut diberlakukan secara terpisah, di mana

masalah

kewajiban

berusaha

untuk

menjelaskan

hubungan antara korban dengan pelaku, sementara Proximate Cause

berusaha

untuk

menjelaskan

hubungan

antara

perbuatan dengan akibat dari perbuatan tersebut.  Yang paling lazim dilakukan untuk mengukkur ada tidaknya Proximate Cause dalam kaitannya dengan “tempat kejadian” adalah dengan menggunakan teori berupa

“Zona Kejadian”

(Inside The Zone). Dalam hal iniseseorang diasumsi bahwa dia

dapat

berbahaya,

mengantisipasi yaitu

tempat

bahwa yang

seseorang

biasanya

dalam

memang

zona

terancam

bahaya dari tindakan perbuatan melanggar hukum oleh pihk pelaku. adanya

Misalnya: bahaya

seseorang

dari

tidak

seseorang

pada

dapat

mengantisipasi

tempat

dengan

jarak

tertentu yang biasanya tidak akan mendapat bahaya yang ditimbulkan oleh pihak pelaku perbuatan melanggar hukum.  Disamping Teori Inside The Zone, masih banyak teori-teori lain

yang

digunakan

untuk

menentukan

apakah

ada

unsur

Proximate Cause tersebut dalam suatu peristiwa. Adapun teori-teori tersebut adalah sebagai berikut: 1. The Nearest Cause 2. The Last Human Wrongdoer 3. Cause and Condition 4. The Substansial Factor 5. Justly Attachable Cause

6


6. System of Rules  Beberapa contoh penggunaan teori tersebut diatas; 1. The Nearest Cause (sebab terdekat) Dalam

kata

Proximate

“kedekatan”,

maka

Cause

elemen

ada

terkandung

Proximate

Cause

makna hanya

ditujukan kepada kejadian yang mempunyai akibat yang dianggap

“dekat”

dengan

perbuatan

si

pelaku

dalam

dimensi waktu dan ruang. Misalnya: dalam hal dimana seseorang pelaku menyalakan api

dan

akhirnya

karenanya,

dalam

rumah hal

pihak

ini

api

korban itu

terbakar

sendiri

yang

merupakan sebab “terdekat”, bukan perbuatan si pelaku dalam menyulut api tersebut. 2. The Last Human Wrongdoer (perbuatan manusia terakhir) Dalam teori ini, tanggungjawab hukum mesti diletakkan pada pelaku yang terakhir dan mengesampingkan semua perbuatan

sebelumnya.

Teori

kelemahan,

sehingga

banyak

ini

banyak

mengandung

menimbulkan

kritikan,

antara lain: a. Bila

juga

terakhir yang tidak

yang

bahwa

si

meng-kontribusi

menimbulkan significant

menimbulkan faktor

terjadi

risiko

intervensi

kerugian atau yang

pelaku

perbuatan

terhadap

tersebut,

kejadian sebenarnya

setidak-tidaknya besar

unsur

atau

lain

tidak

mungkin yang

ada

tidak

dikontrolnya. b. Kelemahan yang lain dari teori ini adalah karena faktor yang lebih dahulu terjadi mungkin juga mesti bertanggungjawab jika dia mempunyai kewajiban untuk melindungi

korban

terhadap

tindakan

dari

pihak

pelaku kemudian.

7


3. Teori Cause and Condition Menurut

teori

ini,

seseorang

akan

bertanggungjawab

erhadap kerugian yang disebabkan oleh perbuatannya jika perbuatannya itu merupakan “penyebab yang aktifâ€? (Acive Cause) terhadap kerugian tersebut. ďƒ˜ Setidaknya ada 6 faktor yang harus dipertimbangkan dalam hal menetapkan tentang ada atau tidaknya elemen Proximate Cause ini, yaitu: 1. Kerugian

adalah

terlalu

jauh

(too

remote)

dari

kelalaian. 2. Kerugian diluar profesi dari kelalaian pihak pelaku. 3. Adalah

terlalu

luar

biasa

bahwa

kelalaian

tersebut

menimbulkan kerugian bagi orang lain. 4. Membenarkan adanya pemberian ganti rugi akan merupakan beban yang sangat tidak reasonable atas pihak pelaku. 5. Membenarkan

adanya

menimbulkan

pemberian

kemungkinan

ganti

timbulnya

rugi claim

akan yang

berlebihan. 6. Adalah

tidak

masuk

akal

jika

dibenarkan

adanya

pemberian ganti rugi tersebut. ďƒ˜ Dalam hubungan dengan terjadinya kerugian sebagai akibat dari tindakan beberapa orang, secara garis besar ada 2 teori yang digunakan sebagai tolok ukurnya, yaitu: 1. Teori Khusus Teori

khusus

theorie,

ini

yang

siapa/apa mendatangkan

disebut

mengajarkan

penyebab kerugian

juga bahwa

terjadinya adalah

individualiserende untuk

menentukan

perbuatan

dengan

jalan

yang melihat

kepada keadaan yang nyata (konkrit). Teori khusus ini terbagi lagi menjadi 3 sub teori, yaitu:

8


a. Sub teori

pengaruh besar

(Van de meest

werkzame

factor theorie) Teori ini mengajarkan bahwa faktor yang mempunyai pengaruh itulah

terbesar

terhadap

penyebabnya.Sub

kerugian

teori

ini

tersebut,

dianut

oleh

Birmeyer. b. Sub teori faktor terkuat secara kualitatif. Teori

ini

mengajarkan

bahwa

faktor

yang

secara

kualitatif sangat penting untuk timbulnya kerugian, itulah

yang

harus

bertanggungjawab.Sub

teori

ini

dianut antara lain oleh Kohler. c. Sub teori keseimbangan nilai. Teori ini mengajarkan bahwa untuk menentukan syarat yang

menjadi

dengan

sebab

jalan

dari

suatu

mendahulukan

kerugian

syarat-syarat

adalah positif

(syarat yang menyebabkan akibat) dari syarat yang negatif

(yakni

syarat

yang

mencegah

terjadinya

akibat). 2. Teori

Umum

(Generalisrende

Theorie/Adaequate

Theorie/Adaequate Veroorzaking) Menurut

teori

mengkontribusikan seimbang

ini,

faktor

terhadap

(adaequate)

yang

suatu

dengan

harus

dianggap

kerugian

haruslah

akibat

yang

terjadi.

Penganut teori ini antara lain adalah: Von Kris, Von Buri dan Rumelin

9


D. INTERVENSI PENYEBAB LAIN  Teori tentang “penyebab intervensi” (intervening cause) pada

prinsipnya

mengajarkan

bahwa

jika

penyebab/perbuatan/kekuatan paksa secara reasonable oleh si pelaku dapat dibayangkan akan terjadi, maka si pelaku tersebut

mesti

bertanggungjawab,

karena

kerugian

yang

terbit adalah masih dalam ruang lingkup “penyebab kirakira”.

Sebaliknya

“reasonable tersebut

dalam

kasus-kasus

forseeability”, dianggap

(superseeding),

maka

sebagai

karena

itu

tanpa

penyebab

intervensi

“penyebab

perbuatan

si

unsur

pengganti” pelaku

bukan

merupakan Proximate Cause terhadap kerugian yang timbul.  Penyebab tetapi

intervensi dapat

juga

dapat

berupa

berupa

tindakan

bencana

alam.

manusia, Beberapa

kemungkinan yuridis yang mungkin timbul dalam kasus yang menyangkut

dengan

penyebab

intervensi

adalah

sebagai

berikut: 1. Ada

atau

berpengaruh

tidaknya

penyebab

terhadap

besarnya

intervensi

tidak

tanggungjawab

pelaku

perbuatan melanggar hukum. 2. Penyebab

intervensi

dapat

mengurangi

tanggungjawab

membebaskan

tanggungjawab

dari pelaku PMH. 3. Penyebab

intervensi

dapat

dari pelaku PMH  Penyebab

yang

dapat

dianggap

intervensi

antara

lain

adalah sebagai berikut: 1. Bencana alam (act of God) 2. Tindakan pihak ketiga 3. Tindakan oleh hewan

10


ďƒ˜ Penyebab

yang

tidak

dapat

dianggap

sebagai

penyebab

intervensi antara lain: 1. Tindakan

oleh

termasuk

korban ke

sendiri. dalam

Penyebab

seperti

doktrin

ini

kelalaian

kontribusi/komparatif. 2. Kondisi

korban

sebelum

kejadian

yang

ikut

mengkontribusi terhadap kerugian. 3. Jika

korban

tidak

berbuat

sesuatu

untuk

mencegah

terjadinya kerugian.

11


TANGGUNGJAWAB MUTLAK (STRICT LIABILITY) ATAS TERJADINYA PERBUATAN MELANGGAR HUKUM2 A. PENGERTIAN  Yang dimaksudkan dengan tanggungjawab mutlak adalah suatu tanggungjawab hukum yang dibebankan kepada pelaku PMH tanpa melihat

apakah

yang

bersangkutan

dalam

melakukan

perbuatannya itu mempunyai unsur perbuatan kesalahan ataupun tidak, dalam hal ini pelaku dapat dimintakan tanggungjawab secara hukum, meskipun dalam melakukan perbuatannya itu dia tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak pula mengandung unsur kelalaian, kekuranghati-hatian, atau ketidakpatutan.  Dalam

ilmu

hukum,

suatu

tanggungjawab

mutlak

sering

diperuntukkan tidak terhadap fakta-fakta biasa dan normal, tetapi diterapkan terhadap fakta-fakta sebagai berikut: 1. Terhadap

benda-benda

atau

aktivitas

yang

luar

biasa

(extraordinary). 2. Terhadap eksistensi benda atau aktivitas yang merupakan pengecualian (exceptional) dari hal yang biasa. 3. Terhadap eksistensi benda atau aktivitas yang abnormal.  Di samping hal-hal diatas, faktor-faktor berikut ini juga sangat dominan untuk menentukan apakah suatu tanggungjawab mutlak

dapat

diberlakukan.

Adapun

faktor-faktor

tersebut

adalah: 1. Tempat dimana hal tersebut terjadi. 2. Kebiasaan-kebiasaan masyarakat. 3. Kesanggupan secara alami. 4. Penerimaannya untuk suatu tujuan tertentu. 2

Dyah Ochtorina Susanti, SH., MHum. 2009. Material Teaching After Mid Semester: Perbuatan Melanggar Hukum “Tanggungjawab Mutlak”. Law Faculty Of Jember University-Jember East Java.

12


B. HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN TANGGUNGJAWAB MUTLAK Pada

perkembangannya,

tangggungjawab

mutlak

diberlakukan

terhadap hal-hal sebagai berikut ini:

1.Tanggungjawab

Mutlak

karena

Hewan

Piaraan

Pada

Umumnya. Tanggungjawab mutlak karena hewan piaraan terbagi menjadi 2, yaitu: a. Tanggungjawab mutlak karena hewan yang menerobos. Terhadap

hewan

orang

lain,

alas

bahwa

jika

suatu

yang

pikir

menerobos dari

hewan

harta

hukum

karena

benda

tradisional

kesalahan

milik adalah

hewan

itu

sendiri, tanpa kehendak dan pengetahuan dari pemiliknya merusak

milik

orang

lain,

maka

pemilik

hewan

tersebut

harus dihukum. Hal tersebut disebabkan hukum menganggap (fiksi hukum) bahwa pemilik hewan tersebut juga melakukan penerobosan bersama hewan miliknya tersebut. Kaidah menjaga

menyatakan

hewan-hewannya

melakukan orang

hukum

kesalahan

lain.

Di

bahwa

seseorang

harus

hewan

tersebut

tidak

agar

yang

kacamata

menimbulkan hukum,

kerugian

terhadap

tanggungjawab

seorang

pemilik hewan yang menerobos adalah serupa dengan apabila yang menerobos adalah pemiliknya. b. Tanggungjawab mutlak karena hewan yang tidak menerobos. Terhadap tidak

kerusakan

menerobos

yang

tanah

ditimbulkan

orang

lain,

oleh dalam

hewan

yang

kasus-kasus

tertentu layak dimintakan tanggungjawab terhadap pemilik hewan

tersebut.

Misalnya

tanggungjawab

mutlak

untuk

kerusakan/kerugian yang dilakukan oleh hewan berbahaya. Terkait dengan hal ini yang ditekankan adalah “hewan yang berbahaya�, karenanya hukum harus menjelaskan jenis-

13


jenis

binatang

sehingga

mana

saja

penjaganya

yang

dianggap

diharuskan

berbahaya,

untuk

memikul

tanggungjawab secara mutlak. Secara umum dapat dikatakan bahwa setiap hewan tentu mempunyai sesuatu resiko yang tidak normal (abnormal risk) terhadap masyarakat di mana hewan

tersebut

terlibat

dalam

melibatkan resiko

dijaga.

aktivitas

orang

tersebut.

kemungkinan

Oleh

lain

yang

untuk

Tindakan

terkena

sebab

itu,

mengandung

kemungkinan

melibatkan

resiko

penjaga

merupakan

hewan

resiko

dan

dikenai

orang

lain

alasan

oleh untuk

pembenar

untuk diberlakukannya tanggungjawab mutlak atas penjaga hewan.

2. Tanggungjawab Mutlak Dalam Hubungan Dengan Api. Tanggungjawab kasus-kasus dalam

mutlak

kebakaran,

sejarah

hukum.

juga dan

layak

hal

Pada

ini

dibebankan telah

terhadap

lama

perkembangannya,

dikenal hukum

menempatkan tanggungjawab yang lebih besar kepada pemilik tempat

asalnya

api,

berdasarkan

pertimbangan

bahwa

api

mempunyai aktivitas yang berkarakter berbahaya.

3. Tanggungjawab Mutlak Tentang Benda dan Aktivitas Yang Berbahaya. Tanggungjawab mutlak terhadap kondisi dan aktivitas yang berbahaya secara abnormal merupakan doktrin yang terbilang baru,

yang

di

negara-negara

Common

Law,

merupakan

pengembangan dari kasus di Inggris (leading case), yaitu Rylands Vs. Flecher (1868). Pada Kasus ini, pihak pelaku PMH yaitu pemilik suatu pabrik di Lancashire , membangun tempat simpanan air diatas tanah mereka. Air keluar dari tempat simpanannya dan mengalir membanjiri melalui suatu

14


tempat,

selanjutnya

sampai

ke

suatu

tambang

yang

tidak

begitu jauh dari tempat milik korban. Pekerjaan

pembangunan

tempat

penampungan

air

tersebut

dikerjakan oleh kontraktor lepas (independent contractor), di

mana

dikenai

di

dalam

kewajiban

kasus

ini,

memberikan

pemilik

ganti

penyimpanan

rugi

kepada

air

pemilik

tanah yang tanahnya digenangi air. Di Amerika, dalam Restatement kedua tentang PMH, memakai istilah

“aktivitas

berbahaya

yang

tidak

normal�

(abnormality dangerous activities) dan kemudian memperinci 6 (enam) faktor yang mesti dipertimbangkan, yaitu: 1. Adanya resiko besar dari bahaya terhadap orang, tanah dan ternak orang lain; 2. Adanya

kemungkinan

bahwa

bahaya

yang

mengancam

itu

besar; 3. Ketidaksanggupan

meniadakan

resiko

walaupun

dilakukan

dengan kahati-hatian yang masuk akal (reasonable care); 4. Aktivitas tersebut tidak biasanya dilakukan; 5. Tidak

layaknya

pelaksanaan

aktivitas

di

tempat

yang

bersangkutan; 6. Manfaat

aktivitas

tersebut

terhadap

masyarakat

lebih

kecil dari bahaya yang ada. Keenam faktor tersebut berusaha memasukkan pemikiranpemikiran sebagai berikut: 1. Pembangunan

yang

tidak

alami

dan

luar

biasa

(extraordinary) 2. Keseriusan dari sifat yang berbahaya yang mengancam; 3. Aktivitas tersebut tidak biasanya dilakukan.

15


4.Tanggungjawab Mutlak Karena Energi Nuklir, Roket dan Pesawat Terbang. Penerbangan kegiatan

pada

yang

mulanya

sangat

dipandang

berbahaya,

karena

sebagai merupakan

kegiatan yang riskan dan sangat layak dibebankan tanggungjawab terhadap

mutlak

tubuh

untuk

atau

setiap

benda

diatas

kerusakan tanah

yang

tertimpa pesawat terbang. Restatement I (satu) di Amerika

Serikat

penerbangan

tentang

dianggap

PMH,

tidak

menentukan

aman,

bahwa

sehingga

perlu

dibebankan tanggungjawab mutlak. Selanjutnya, dalam hubungan dengan tanggungjawab mutlak

berhubungan

dengan

nuklir

adalah

jelas

mereka yang memproduksi, mengepak, untuk pengiriman bahan yang

nuklir, tidak

terlibat

normal,

dalam

dalam

aktivitas

arti

bahwa

berbahaya

terdapatnya

kesadaran akan timbulnya bahaya yang serius (dalam kenyataannya bahkan merupakan bencana), dan umumnya kegiatan

tersebut

tidak

dilaksanakan

oleh

banyak

orang, maka tanggungjawab mutlak wajar dibebankan kepada

pihak

yang

menimbulkan

kerugian

terhadap

orang lain.

5. Tanggungjawab Mutlak dari Majikan Penerapan

prinsip

terhadap

majikan

pekerja,

yang

tanggungjawab

untuk

umumnya

memberikan dilakukan

mutlak

ganti

dengan

juga

rugi

dilakukan

kepada

berlandaskan

para

kepada

teori asuransi sosial. Kemungkinan perolehan gantirugi oleh pekerja

yang

dirugikan,

terbatas

pada

kasus-kasus

dimana 16


majikan case)

telah

gagal

terhadap

majikan

melaksanakan

hal-hal

dinatasi

kehati-hatiannya

tertentu.

pula

oleh

Selanjutnya,

“trinitas�

(proper

tanggungjawab

penolakan

perolehan

ganti rugi versi common law, yaitu: 1.

Kontribusi kelalaian.

2.

Asumsi Resiko.

3.

Hukum teman sejawat (Fellow Servant Rule)

6. Tanggungjawab Produk Tanpa Kesalahan Tanggungjawab Serikat

secara

sejajar

(concurring

produk

luas

(product

terjadi

liability)

dengan

opinion)

dalam

menuruti kasus

di

Amerika

pendapat

tahun

1944,

yang yaitu

kasus Escola Vs. Coca Cola Bottling Co (1944). Pada kasus ini seorang

pelayan

wanita

pada

sebuah

kedai

menggugat

pihak

pengisi botol terhadap kerugiannya, karena meledaknya botol, yang

dibeli

oleh

pekerja

tersebut.

Pengadilan

memenangkan

gugatan pelayan wanita tersebut atas dasar bahwa pihak pengisi botl telah melakukan kelalaian.

7. Asuransi Mobil Tanpa Melihat Kesalahan Di

Amerika

Serikat,

terjadi

perkembangan

di

mana

pada

tahun 1972, Konferensi Nasional dari para komisioner tentang penyeragaman setengah

hukum

resmi

Undang-Undang

negara-negara

dari

tentang

beberapa ganti

bagian negara

rugi

(sebuah

badan

bagian),

terhadap

yang

menyetujui

kecelakaan

mobil

yang seragam (Uniform Motor Vehicle Accident Reparation Act), Undang-Undang perkembangan

yang

seragam

legislatif

dimasa

ini

berpengaruh

yang

akan

datang.

terhadap Tema-tema

pokok dalam undang-undang yang uniform ini, antara lain: 1. Ganti

rugi

diakibatkan

terbatas oleh

terhadap

kecelakaan

kerugian

lalu

lintas

ekonomi mobil

yang tetap

17


diberikan,

bahkan

(kelalaian

jika

kontribusi).

pengemudi

dalam

Pembayaran

dalam

keadaan bentuk

lalai

no

fault

benefits dijamin oelh asuransi wajib. 2. Pihak korban berhak atas ganti rugi. 3. Semua biaya perawatan obat ditanggung. 4. Terhadap hilangnya pendapatan karena kecelakaan yang tidak melebihi US.$ 200 (dua ratus dolar AS) 1 minggu, dan harus dikurangi sumber

dengan

lain.

benefit-benefit

Pengurangan

ini

lain

yang

termasuk

diterima

dari

pendapatan

dari

pekerjaan ganti, benefit dari jaminan sosial, ganti rugi pekerja (workmen’s compensation), dan tabungan-tabungan dari pajak pendapatan. 5. Pembayaran tanpa kesalahan (no-fault payments) dari asuransi tidak diberikan kepada pihak korban, yang secara sengaja melukai dirinya sendiri, dan terhadap pencuri mobil yang luka ketika menggunakan mobil curian tersebut. 6. Tidak

diperlukan

perubahan

(dengan

legislasi)

yang

dapat

mempengaruhi tanggungjawab terhadap pengendara mobil, yang untuk menghindari kewajiban hukumnya masuk dalam asuransi yang

tidak

mensyaratkan

tanggungjawab korbannya,

pengemudi

pengendara

kesalahan

yang mobil

dengan tunduk

tersebut, sengaja pada

atau melukai

tanggungjawab

perbuatan melawan hukum yang penuh (dengan semua batasan yang

normal)

terhadap

hilangnya

pendapatan

korban

yang

terjadi lebih dari 6 (enam) bulan setelah tanggal berlakunya kecelakaan. 7. Biasanya, korban yang lukanya kecil tidak berhak memperoleh ganti rugi terhadap kerugiannya berupa “sakit dan derita� (pain and suffering)

18


8.PENERAPAN INDONESIA Secara

“TANGGUNGJAWAB�

umum,

pasal

1365

DALAM

BW

masih

TATA

HUKUM

mensyaratkan

unsur

kesalahan (kesengajaan atau kelalaian), tetapi pengakuan ke arah diterimanya doktrin tanggungjawab mutlak ini juga terus berkembang

dan

semakin

luas.

Baik

secara

umum,

dengan

perluasan pengertian kesalahan setelah tahun 1919 di negeri Belanda maupun secara khusus lewat berbagai perundang-undangan khusus

di

melawan dalam

Indonesia.

hukum Pasal

tanggungjawab

dengan

Selain unsur

dari

prinsip

kesalahan

1365

BW,

Indonesia

tanpa

kesalahan

umum

seperti

juga

perbuatan

yang

terdapat

mengenal

semacam

(tanggungjawab

mutlak)

dalam

arti yang terbatas, sebagaimana yang terlihat dalam pasal 1367 BW,

pasal

1368

BW,

yakni

dengan

model-model

tanggungjawab

sebagai berikut: 1. Tanggungjawab guru terhadap tindakan muridnya. 2. Vis Maior, yakni tanggungjawab orang tua terhadap perbuatan anaknya. 3. Tanggungjawab

kepala

tukang/mandor

terhadap

para

tukang

dibawah pengawasannya. 4. Tanggungjawab

majikan

atas

perbuatan

yang

dilakukan

oleh

buruh atau tanggungjawab atas kerugian yang disebabkan oleh binatang miliknya/piarannya. 5. Res

Ruinosa,

yakni

tanggungjawab

pemilik

gedung

atas

robohnya gedung tersebut. Pesatnya memperluas

perkembangan

cakrawala

hukum

penerimaan

bisnis

doktrin

asuransi

tanggungjawab

telah tanpa

kesalahan ini. Ada pengakuan langsung terhadap tanggupjawab mutlak secara an sich, tetapi lebih banyak lagi lewat doktrin penyangga, seperti pengakuan doktrin pembuktian terbalik dalam legislasi di Indonesia. Dapat kita lihat dalam hukum kontrak, bahwa

dalam

kontrak

jual

beli,

maka

kewajiban

menanggung

adalah dari pihak penjual (Ps. 1491 BW), juga dalam praktik 19


ditafsirkan

secara

liberal,

sehingga

merupakan

semacam

tanggungjawab mutlak, dalam hal ini tanggungjawab produk yang dibebankan kepada penjual. Hal

ini

konsumen

diperkuat lewat

lagi

dengan

Undang-Undang

pengakuan

terhadap

Perlindungan

Konsumen

hak-hak Nomor

8

Tahun 1999, Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 yang lebih dikenal dengan

sebutan

undang-undang

anti

Monopoli

dan

Persaingan

Curang, Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan sebagainya. Jika

kita

melihat

dalam

hukum

adat,

maka

kita

akan

menemukan bahwa doktrin hukum adat tentang perbuatan melanggar hukum

yang

perlindungan mempersoalkan

sangat

berorientasi

sosial

dari

adanya

hukum.

unsur

kepada

korban

dan

fungsi

hukum

adat

tidak

Dimana

kesalahan

dari

pelakunya,

juga

menjadi dasar yang kokoh terhadap doktrin tanggungjawab tanpa kesalahan di Indonesia ini. Teori hukum adat dan kebiasaan pada prinsipnya menerapkan tanggungjawab mutlak yaitu dengan menerapkan “Teori Kantong Tebal” (deep pocket theory) artinya yang

harus

membayar, majikan,

bertanggungjawab

yaitu

pihak

produsen,

yang

adalah uangnya

pengendara

mobil

yang

paling

mungkin

lebih

banyak,

misalnya

yang

menabrak

pejalan

kaki, dll.

***** IF YOU WANT TO BE SUCCES, DON’T EVER SAY “I CAN’T” *****

20


21


22


23


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.