Segala
rasa syukur tercurah kepada Allah SWT, Tuhan seluruh umat manusia, pun sholawat serta salam selalu terkhusus kepada Nabi Muhammad SAW. Berkat kuasa Allah SWT majalah Edukasi edisi LIV akhirnya sampai di tangan para pembaca. Berbagai rintangan tidak luput mengahampiri setiap proses yang kami lalui. Namun, semuanya terbayar lunas ketika kami melihat dengan jelas majalah ini dapat dinikmati para pembaca.
Mendedikasikan diri menjadi Kru LPM Edukasi, kami bekerjasama merampungkan amanah dari seluruh mahasiswa FITK UIN Walisongo, dengan menerbitkan Majalah. Majalah yang terbit di penghujung 2018 ini mengangkat pendidikan penghayat kepercayaan sebagai titik fokus kami.
Ada beberapa kelompok masyarakat di Indonesia yang masih mempertahankan kepercayaan warisan para leluhur, biasa disebut sebagai Penghayat Kepercayaan. Di akhir tahun 2017, ada 187 kelompok penghayat kepercayaan yang terdaftar di pemeritah. Dan Jawa Tengah menyumbang 53 kelompok yang menyebar di wilayahnya.
Sejarah mencatat, pada tahun 2015 SMK N 7 Semarang pernah melarang salah satu siswanya naik kelas sebab nilai pendidikan agamanya kosong. Diketahui hal tersebut terjadi karena siswi yang bersangkutan enggan mengikuti ujian praktek yang tidak sesuai dengan apa yang diyakiniya; agama leluhur.
Berbagai mediasi pun dilakukan, hingga keluarlah Undang-Undang nomor 27 tahun 2016 yang mengatur tentang penghayat kepercayaan berhak mendapatkan pendidikan tentang kepercayaannya di sekolah. Begitulah dalam laporan utama majalah ini, kami ingin mengulas lebih dalam implementasi yang ada di dunia pendidikan menanggapi UU tersebut.
Kemudian dalam laporan utama berikutnya, kami menampilkan cara pandang salah satu penghayat kepercayaan di Indonesia menanggapi pendidikan. Berkumpul dalam satu wilayah, Sedulur Sikep atau yang dikenal dengan Samin, hidup di bersama desa Baturejo, Kabupaten Pati, kelompok penghayat tersebut yang menjadi tujuan kami.
Beralih ke Artikel, kami menampilkan sedikit sejarah tentang bagaimana pendidikan agama mampu masuk kedalam kurikulum pendidikan,. Hingga diikuti oleh pendidikan penghayat di btahun 2016. Menjabarkan alasan-alasan mengapa pendidikan pengahayat harus masuk ke dalam kurikulum pendidikan.
Demikianlah majalah edisi LIV kami hadirkan sebagai bahan bacaan terkhusus bagi mahasiswa FITK UIN Walisongo. Kami menyadari bahwa banyak kesalahan yang ada dalam majalah ini. Kritik dan saran sangat kami butuhkan demi menciptakan majalah yang lebih baik lagi. Semoga majalah ini mampu membuka wawasan para pembaca dalam menyadari kesetaraan pendidikan bagi semua masyarakat Indonesia. Beragama ataupun berkepercayaan, kita semua sama. Terima Kasih.
Wassalamu’alaikum wr.wb.
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 3
Assalamu’alaikum
wr.wb.
DARI KAMI SALAM PERS MAHASISWA! IZIN TERBIT SK Dekan No.IN/D-3/HK.005/1021/1992 PELINDUNG Dekan FITK UIN Walisongo Semarang PEMBIMBING Dr. Abdul Wahib M.Ag., Prof. Dr. Fatah Syukur, M.Ag., Dr. Syamsul Ma’arif, M.Ag. Ubaidillah Achmad M.Ag., M. Rikza Chamami, M.SI. PENANGGUNG JAWAB (Pimpinan Umum) M. Khoirull Umam GH PEMIMPIN REDAKSI Nila Rustiyani SEKERTARIS REDAKSI Nafilatun N. TATA LETAK Ahmad Aam, Fatimatur R. @ Ulfi Ramadhani REDAKTUR PELAKSANA Riska Muyasaroh, Siti Sa’adah, Putri Sonia, M. Fahrurozy, Baihaqi Annizar, Khoirun Nisa’, Khafidatul Hasanah, Siti Arikha Mauliya, M. Khoirul Umam G. H, Fatkhiya Mubarokah. ALAMAT REDAKSI Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM) Lantai 2 Kampus II FITK UIN Walisongo Jl. Prof. Hamka KM. 01 Ngaliyan Semarang 50158 | TELEPON 024 7601296 | SUREL eduonline9@gmail.com | WEBSITE www. lpmedukasi.com | FACEBOOK LPM Edukasi | TWITTER @LPM_edukasi
SISTEM PERKULIAHAN SEPERTI PENJARA
Penjadwalan mata kuliah seringkali membuat mahasiswa kebingungan setiap pergantian semester, hal itu disebabkan kurang ketatnya aturan dan konsistensi dari birokrasi.
Mungkin
itulah kalimat yang sesuai untuk menggambarkan bagaimana seharusnya seorang mahasiswa berpikir dan melangkah. Dengan memiliki mimpi yang tanpa batas dan tidak terpenjara oleh suatu sistem yang menjerat serta menumpulkan pikiran. Namun kenyataan yang terjadi saat ini, hal yang dipikirkan mahasiswa, terutama mahasiswa di wilayah UIN Walisongo hanyalah soal mendapatkan nilai setinggi-tingginya dan bisa lulus secepat mungkin. Seolah kedua hal tersebut mampu menjamin segalanya, mulai dari pekerjaan, rumah hingga pasangan.
Asumsi yang seperti itu menjadikan tolok ukur bahwa mahasiswa yang cerdas adalah mereka yang mendapatkan nilai tinggi. Alhasil sindrom nilai tinggi pun mulai menyerang diri mahasiswa UIN Walisongo saat ini. Segala cara pun dilakukan demi menyandang gelar mahasiswa cerdas nan berprestasi, mulai dari berangkat tepat waktu, rajin kuliah, hingga duduk di bangku paling depan. Tak jauh beda dengan makan di warung pojok kampus: pesan makanan, makanan datang, makan, kenyang, bayar, lalu pulang. Sesederhana itu.
Kampus bukan lagi menjadi tempat pergulatan ilmiah bagi para pemikir muda. Bukan lagi menjadi sumur yang jernih untuk menimba ilmu pengetahuan yang luas. Kampus hanya berusaha meneguhkan kepatuhan sebagai suatu kebajikan, hingga tidak banyak yang berani menentang sebab belum siap disebut pembangkang.
Hal seperti itu mampu menjadikan mental mahasiswa ciut dan enggang mengutarakan
penolakan. Meskipun pada dasarnya hakikat sebuah ilmu pengetahuan bukanlah sebuah doktrin yang harus selalu dipercaya, diyakini dan dihafalkan, melainkan landasan untuk mengembangkan watak intelektual dan kepekaan terhadap problematika sosial.
Namun, semua kembali pada tujuan mahasiswa kuliah saat ini. Sekadar mendapat gelar sarjana lalu mendapat pekerjaan ataukah demi hal yang tidak jauh berbeda dengan itu: kuliah terus menerus hingga mendapat gelar tertinggi dalam dunia pendidikan. Semuanya sah-sah saja, tapi hidup akan terasa membosankan dan monoton.
Saya sadar bahwa mahasiswa sebenarnya memilki pola pikir imajinatif, yang membuat watak mereka cenderung bebas dan aktif dalam menanggapi berbagai macam masalah. Akan tetapi, demi memuluskan tujuan mulia tersebut dapat terjadi jika perkuliahan tidak hanya sekadar mendengarkan tausiah dari dosen dan kemudian mengamini segala sesuatu yang disampaikan. Sebab sesungguhnya tidak ada kebenaran yang mutlak dari segala ilmu pengetahuan yang disampaikan.
Kemudian demi menumbuhkan kembali pemikiran-pemikiran besar yang pernah disumbangkan mahasiswa, mulai sekarang kembalilah berpikir kritis dan menyadari tugas mahasiswa sebenarnya, yaitu mengawal perubahan bukan hanya tidur dan makan. [E]
*) mahasiswa PAI, UIN Walisongo
EDUKASI4 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018 SURAT PEMBACA
angkatan 2016.
Oleh : Iqbal El Asykuri*
PAHIT GETIR SISWA PENGHAYAT KEPERCAYAAN
DITERBITKAN OLEH:
LPM EDUKASI UIN WALISONGO SEMARANG
Sekertariat: PKM lt II FITK UIN Walisongo Semarang
lpmedukasi
PERMOHONAN MAAF DARI KAMI REDAKSI LPM EDUKASI KARENA TERBIT TERLAMBAT SURAT PEMBACA
Selama beberapa tahun terakhir ini kami sering terlambat dalam menerbitkan produk-produk cetak LPM EDUKASI. Kami tak ingin melakukan pembelaan, tapi keadaan kami yang serba terbatas ini adalah hambatan yang nyata. Keterbatasan ini salah duanya adalah kemampuan dan keanggotaan yang semakin berkurang. Ini sebenarnya sungguh alasan yang kurang memadai. Padahal kami telah didukung oleh mahasiswa FITK dengan pendanaan, Oleh karena itu, kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena kami berlarut-larut dalam kelalaian. Kami akan terus berusaha. Kami akan terus menghadirkan bacaan-bacaan alternatif mahasiswa. Semoga kami dimaafkan. Salam.
Redaksi menerima kiriman untuk rubrik surat pembaca berupa pertanyaan, keluhan, dan gagasan seputar kampus UIN Walisongo, sekitar Semarang, atau nasional. Surat yang dikirim dilengkapi dengan identitas diri ke surel: eduonline9@ gmail.com, atau bisa datang langsung ke sekertariat LPM EDUKASI di PKM Kampus II UIN Walisongo Semarang.
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 5
Penulis: Tim Redaksi LPM EDUKASI UIN WALISONGO
Gambar Sampul Depan dan Belakang: Maria Ulfa Perancang Sampul dan Penata Letak Isi: Ahmad Aam
www.lpmedukasi.com I eduonline9@gmail.com I IG:
DAFTAR ISI
Dari Kami - 01 Surat Pembaca - 02 Daftar Isi - 04 Edusket - 05
FOKUS Upaya Menyamakan Hak Bagi Penghayat Kepercayaan- 06 KOLOM Agama- 08 Program Reforma Agraria Jokowi Sejati Atau Palsu? - 50
MUKADIMAH - 10 LAPORAN UTAMA
Jalan Panjang Penghayat Kepercayaan Beroleh Pendidikan Agama di Sekolah -12 Menelusuri Masyarakat Samin di Baturejo-24 WAWANCARA Akhirnya Perjuangan Kami Membuahkan Hasil20 INFOGRAFIS - 22
ARTIKEL Mendialogkan Agama-Agama - 28 Pendidikan yang Menciptakan Masalah- 44 SEMARANGAN Mereka yang Tersingkir dari Terminal- 32 KAJIAN ISLAM Berpancasila Bukan Berkhilafah - 36 LAPORAN KAMPUS Akreditasi Sempat Terpuruk, FITK Mulai Berbenah - 39 LENSA Variasi AnakAnak-49 SUARA MAHASISWA Pers Mahasiswa Bisa Apa? - 52 BUDAYA Memosisikan Ziarah Secara Proporsional - 54 PUJANGGA Malak Hifni Nasif: Wahai Perempuan, Janganlah Kau Merasa Rendah (1888-1918) - 57
SASTRA Lelaki Biru - 60 Puisi-Puisi Terjemahan - 74 DIORAMA - 64 NUSANTARA Berebut Suara dari Pesohor Layar Kaca - 72 SILUET Gen Z, Kenali Generasi Masa Depan - 75
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 7 EDUSKET ANISA
Upaya Menyamakan Hak Pendidikan Bagi Penghayat Kepercayaan
Di Indonesia Penghayat kepercayaan sempat tidak mendapatkan haknya sebagai warga. Begitu pula di lembaga pendidikan nasional.
Dilegalkannya lembaga pendidikan bernuansa agama pada tahun 1951 semakin mengukuhkan eksistensi pendidikan agama. Terbitnya UndangUndang nomor 4 tahun 1950 serta Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Menteri Agama tanggal 16 Juli 1951 menjamin dilegalkannya pendidikan agama masuk dalam lembaga pendidikan formal, yaitu pendidikan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Buddha.
Sampai pada tahun 2004, ketika Indonesia dipimpin KH. Abdurrahman Wahid, agama Konghucu disahkan menjadi agama resmi. Kurikulum pendidikan pun menambahkan pendidikan agama Konghucu, kedudukannya setara dengan kelima agama sebelumnya.
Namun sayangnya dengan adanya peresmian keenam agama tersebut membuat para penganut aliran kepercayaan yang tersebar di seluruh negeri terasingkan. Ketidakadilan bagi mereka terpampang nyata. Sudah tidak mendapatkan
kebebasan beribadah sesuai dengan kepercayaan yang diyakini, mereka pun harus terdiskriminasi di lembaga pendidikan. Bahkan mereka harus menerima konsekuensi. Misalnya nilai tidak keluar yang menyebabkan tidak naik kelas, seperti kasus yang terjadi di salah satu sekolah di wilayah Kotamadya Semarang.
Jika pendidikan adalah hak semua manusia Indonesia, namun mengapa pendidikan kepercayaan tidak diperbolehkan menjadi bagian dari kurikulum pendidikan?
Padahal jelas dalam pasal 28 UUD disebutkan bahwa “Setiap anak didik wajib memperoleh pelajaran agama sesuai agamanya dan oleh pengajar yang seagama pula”. Sepenggal kalimat tersebut mengisyaratkan bahwa setiap manusia Indonesia yang bersekolah wajib untuk mendapatkan pelajaran agama sesuai dengan apa yang dianutnya.
Konsep Pendidikan Keagamaan
Baru pada tahun 2016, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Anies Baswedan, menerbitkan Permendikbud nomor 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan. Di mana para penghayat kepercayaan berhak mendapatkan hak yang sama dengan penganut agama lainnya.
Dalam Permendikbud
tersebut dijelaskan bahwa peserta didik penghayat kepercayaan berhak mendapatkan layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Mereka pun berhak mendapatkan pendidik yang sesuai dengan kepercayaan yang mereka yakini.
Diterbitkannya peraturan tersebut merupakan langkah tepat pemerintah untuk memberikan hak yang sama terhadap warga negaranya. Untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan ketetapan MPRS No XXII/MPRS 1966, di mana pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah mulai dari sekolah dasar hingga universitas negeri. Pun selaras dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 55 tahun 20017 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Kegamaan.
Terkadang, yang menjadi masalah adalah ketika pemerintah sudah bagus mengonsepnya, pelaksanaan di lapangan tidak sesuai dengan konsep yang ada. Atau bahkan di lapangan tidak bisa menerjemahkan peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Itu adalah hal yang sangat fatal dilakukan.
Oleh sebab itu, kinerja antarelemen pendidikan sangat diperlukan untuk mewujudkan pendidikan yang dicita-citakan oleh negara Indonesia, mulai dari Mendikbud, Disdikpora, sekolah, pendidik hingga peserta didik. [E]
EDUKASI8 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018 FOKUS
LAPORAN UTAMA: Negara telah bertindak tidak adil pada para penghayat kepercayaan sejak pertama kali indonesia dibentuk. Ketidakadilan itu adalah dengan tidak mengakui adanya penghayat kepercayaan sebagai salah satu agama yang berhak untuk diikuti. Hal ini berdampak ke berbagai lini dalam kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan. Di dunia pendidikan tidak ada pengetahuan yang menjelaskan mengenai penghayat kepercayaan. Begitu pula tidak disediakan pendidikan agama bagi siswa yang menganut aliran penghayat kepercayaan. Diterbitkannya Permendikbud nomor 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan menjadi harapan baik. Berangkat dari ini, kami menelusuri lembaga pendidikan yang sudah menyediakan pendidikan agama bagi siswa penghayat kepercayaan.
Selain laporan utama kami juga memperkaya bahasan tentang penghayat kepercayaan di lembaga pendidikan dengan jenis tulisan lain.
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 9
AGAMA
Dalam
ingatanku, semasa sekolah dasar, aku menghafal nama-nama negara beserta sedikit identitas tentangnya, seperti teman-teman sebaya yang lain, di buku yang kubeli dari bazar buku murah yang biasanya digelar di teras sekolah. Kegiatan menghafal ini bukan kewajiban sekolah, melainkan inisiatif diri sendiri. Alasannya cukup sederhana: sebagai modal untuk memenangkan permainan menyebut namanama negara, atau yang tak bisa dipungkiri untuk pamer pada orang lain—seringkali orang dewasa. Sebab melalui hafalan ini kuanggap—dan mungkin juga anggapan teman yang lain—sebagai tolok ukur kecerdasan kami, para anak kecil.
Dari membaca—yang kemudian menghafal—nama-nama negara dan sekelumit identitasnya, aku mulai tahu Amerika, Brazil, dan negara-negara yang lain. Termasuk negara tempatku tinggal: Indonesia. Bagian negara Indonesia adalah yang paling sering kubaca. Aku jadi tahu sekelumit tentang Indonesia dari buku yang kumiliki. Jakarta adalah ibukota negara. Lagu wajibnya, Indonesia Raya, diciptakan oleh WR Supratman. Mata uang Indonesia adalah rupiah. Bentuk pemerintahannya republik. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi. Dan agama yang ada di Indonesia berjumlah enam, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Pada bagian yang terakhir, di buku lain, aku bukan hanya bertemu dengan teks, melainkan juga gambar pendukung. Islam ditampilkan dengan orang memakai kopiah dan sarung, di sisinya ada masjid. Kristen dan katolik dengan pendeta atau pastor dan di sisinya ada gereja. Buddha dan Hindu dengan vihara dan pura. Begitu pula Konghucu, ada laki-laki memakai pakaian khas China dan kelenteng sebagai latar belakangnya. Hingga kini, aku masih mengingat semua itu dengan baik.
Suatu ketika, seorang tetangga meninggal di desaku. Ini bukan kematian yang biasa terjadi. Aku mendengar banyak rumor.
Katanya, ia tidak beragama Islam seperti kebanyakan orang di desa. Tentu saja juga bukan Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, maupun Konghucu. Katanya, cara salatnya berbeda. Oleh karena itu, tetangga itu disemayamkan di kebun miliknya jauh dari pemakaman umum desa. Aku tidak tahu alasan pasti. Namun katanya, itu karena kepercayaannya yang berbeda.
Saat itu aku tak begitu peduli. Tidak juga menanyakan dengan akurat dan detail. Namun, aku tahu satu hal; selain enam agama yang telah kuhafalkan ternyata ada kepercayaan atau agama lain di Indonesia, tepatnya di desaku. Karena ketidakacuhan, pengetahuan ini terkubur bertahun-tahun. Hingga kemudian bangkit kembali dari kubur ingatan tatkala aku berkuliah di Semarang.
Saat menjadi mahasiswa, selain bekal pengetahuan tentang enam agama, aku bertemu dengan penganut agama lain; kuketahui kemudian disebut sebagai aliran penghayat kepercayaan. Perjumpaan ini membuatku mengingat dan merombak kembali apa yang sudah kupercayai sebagai pengetahuan final di masa kecil; ada banyak sekali agama di Indonesia. Peristiwa tetangga meninggal bertahun-tahun lalu terhubung kembali. Saat sedang marak demo anti semen di Gunung Kendeng Rembang dan Pati, salah satu organisasi kampus mengundang seorang pembicara bernama Gunretno. Di forum inilah aku bertemu dengannya (orang yang kemudian kuketahui biasa dikenal dengan sedulur sikep). Gunretno merupakan keturunan Samin Surosentiko. Dan ia mengamalkan ajaran-ajaran kakek buyutnya.
EDUKASI10 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
KOLOM
DOK. INTERNET
Aku melihatnya dari jauh; sekilas aku memahami Gunretno—dan sedulur sikepnya— melalui pakaian yang dikenakan. Cara pandang itu bentukan dari buku-buku yang telah kubaca sewaktu kecil: agama dilihat dari atribusinya. Ia memakai baju dan celana serba hitam beserta ikat kepala berupa blangkon atau mungkin sejenisnya. Aku hanya tahu pakaian yang dikenakan, tidak tahu tempat ibadah bahkan, tentu saja, cara beribadahnya.
Dari pertemuan inilah, aku bertanya-tanya: mengapa sejak kecil aku tak diberi tahu tentang ajaran ini? Mengapa negara, melalui teksteks buku ajarnya, hanya menyebutkan enam agama? Apakah kepercayaan itu dianggap bukan agama? Ataukah, mungkin dianggap sebagai kepercayaan yang sesat? Pikiranku berputar-putar menanyakan ini. Bukankah seharusnya negara tidak membatasi identitas, namun seyogianya menampung segala identitas? Tidak kutemukan jawabnya.
Setelah kucari-cari, sejarah ternyata telah mencatat adanya diskriminasi terhadap aliran kepercayaan di Indonesia. Dan, akibat yang ditimbulkan tidak sepele. Aku membayangkan ada orang yang terpaksa menyembunyikan identitasnya. Ia harus mengisi kolom KTP yang dimilikinya dengan agama lain. Bahkan, ketika meninggal, ia bisa saja tidak disemayamkan dengan cara yang diyakininya. Dan, ketika diketahui ia beraliran penghayat kepercayaan, ia mungkin dijauhi. Ia mungkin dianggap sesat.
Sementara di sekolah, seorang siswa harus rela—atau mungkin kata yang tepat ‘terpaksa’—mengikuti pelajaran agama lain. Ia juga mungkin menyembunyikan identitasnya itu. Ia tak ingin teman-temannya tahu. Karena bila diketahui, ia mungkin akan dijauhi— karena tidak ada pengetahuan tentang aliran kepercayaan di masyarakat luas.
Mereka mungkin bernasib seperti tetanggaku yang telah meninggal bertahun-tahun lalu. Diasingkan dan dijauhkan dari sejenisnya, dari mayatmayat yang lain.
Aku memang tidak tahu bagaimana rasanya—karena kebetulan memeluk agama yang diakui oleh negara. Namun sepertinya aku sedikit bisa memahaminya.
Aku tahu bagaimana rasanya harus menyembunyikan kesukaanku akan buku sebab menurut pendapat kebanyakan orang, seseorang yang hobi membaca buku cupu dan kuper. Meski tidak sama, aku sedikit tahu tentang menyembunyikan sesuatu yang merupakan bagian dari identitas kita. Apa yang kualami memang lebih ringan daripada yang dialami para penganut aliran kepercayaan. Mereka butuh waktu empat dekade untuk diakui oleh negara. Semua ini terjadi karena negara telah bertindak tidak adil terhadap aliran penghayat kepercayaan.
Hari ini, secercah harapan sedikit terbuka: negara mulai mengakui aliran penghayat kepercayaan. Negara mulai membolehkan kolom agama di KTP diisi dengan aliran penghayat. Negara mulai menyediakan pendidikan agama di lembaga pendidikan bagi aliran penghayat meski dengan keadaan terbatas. Namun, sebenarnya tidak cukup berhenti sampai di sini. Negara harus mulai menjelaskan kepada seluruh masyarakat terkait aliran penghayat kepercayaan. Bahwa ia tidak sesat. Bahwa orang-orang memiliki hak untuk menganutnya. Dan, negara harus segera merombak buku-buku pengetahuan tentang agama yang ada di Indonesia. Sebab itu tanggung jawab negara. [E]
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 11
Ahmad Aam adalah mahasiswa semester akhir UIN Walisongo
DOK. PRIBADI
MUKADIMAH
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah Negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali,” - Pasal 28E ayat (1) UndangUndang Dasar Tahun 1945.
Pada mulanya aliran penghayat (kepercayaan) tidak memperoleh hak yang sama dengan agama-agama mayoritas (Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu) di Indonesia. Dikarenakan mereka harus mengosongkan status pada kolom isian agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP). Kekosongan status tersebut mempersulit mereka untuk mengakses
berbagai hak administratif sebagai penduduk. Misalnya pencatatan perkawinan, pembuatan akta kelahiran, pemakaman jenazah, hingga anak-anak yang sedang dan akan menempuh pendidikan.
Padahal sudah jelas tertera dalam pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Tetapi faktanya para penghayat kepercayaan sampai saat ini belum merasakan sepenuhnya ‘kemerdekaan’ itu. Terlebih masyarakat terus memelihara stigma negatif kehadiran mereka yang dianggap berbeda. Padahal kehidupan beragama tak sesederhana kolom agama di KTP. Sampai pada akhirnya Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 97/ PPUL-XIV/2016 menyatakan bahwa status penghayat kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di Kartu Keluarga dan Kartu Tanda Penduduk Elektronik.
Dengan dicantumkannya
status penghayat tersebut juga berimbas pada dunia pendidikan. Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 27 tahun 2016 tentang layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam Permendikbud tersebut siswa penghayat dibolehkan mengikuti mata pelajaran agama sesuai dengan kepercayaannya dan tidak wajib mengikuti pelajaran agama yang ditentukan pihak sekolah. Disebutkan pula jika di sekolah tidak terdapat guru yang kompeten untuk mengampu pelajaran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, pihak sekolah harus mendatangkan pengajar dari organisasi penghayat setempat atau yang ditunjuk.
Regulasi tersebut adalah buah dari perjuangan yang begitu getol dilakukan oleh para penghayat kepercayaan. Pasalnya, selama ini peserta didik yang menganut kepercayaan terpaksa menerima mata pelajaran agama yang tidak sesuai dengan keyakinannya. Pemerintah mencatat, ada
EDUKASI12 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
...
2037 penghayat kepercayaan yang kini sedang belajar, mulai tingkat Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) hingga perguruan tinggi (www.voaindonesia.com 10/04/2018).
Mengawal perubahan bukan hal yang mudah bagi guru maupun siswa penghayat, banyak kendala yang dihadapi dalam usaha memaksimalkan implementasi regulasi terhadap pendidikan kepercayaan. Utamanya adalah sulit membuka kelas di sekolah-sekolah. Selain itu, guru belum tersedia secara menyeluruh dan belum terverifikasi. Belum lagi, ada beberapa orang tua siswa yang tidak bersedia menerima keberadaan siswa penghayat di sekolah. Mereka tidak berkenan agama yang dianut disejajarkan dengan aliran kepercayaan.
Memandang hal tersebut, pemerintah perlu memberikan pemahaman kepada masyarakat dan mengontrol implementasi dari regulasi terkait secara penuh sebab menyinggung perihal yang cukup sensitif. Pemerintah pun butuh mengatasi tindakan diskriminasi yang seringkali dialami oleh penganut agama di luar agama mayoritas, terutama dalam pengakuan dan pemenuhan hak-hak sipil mereka. [E]
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 13
EDUKASI14 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018 LAPORAN UTAMA Jalan Panjang Penghayat Kepercayaan Beroleh Pendidikan Agama di Sekolah Oleh: Nila Rustiyani, Kru LPM EDUKASI angkatan 2016 Fotografer: G. Hidayat, Kru LPM EDUKASI angkatan 2015
Perjuangan para penghayat kepercayaan untuk beroleh hak yang sama di sektor pendidikan tidaklah mudah. Perlu waktu bertahun-tahun untuk mewujudkan itu. Sebelumnya para penganut kepercayaan terpaksa harus mengikuti pelajaran agama lain. Atau bahkan harus menyembunyikan jati diri mereka.
Suara bel berbunyi di SD N 01 Candigaron, Sumowono Kabupaten Semarang. Para siswa kemudian berhamburan keluar. Kala itu Intan Selviana, siswa kelas 6 SD dan teman-temannya berhenti ketika melihat Surani-guru SD- berdiri di depan perpustakaan. Bergantian mereka mencium tangan Surani. Hingga sampai giliran Intan, Surani kemudian memintanya untuk masuk ke perpustakaan.
Di dalam perpustakaan, kami telah menunggu kedatangan mereka. Mereka masuk dengan senyum yang mengembang dan duduk
tepat di depan kami.
Intan adalah seorang anak yang terlahir dari keluarga yang menganut kepercayaan Sapta Darma. Sebagai tempat lahir, desa Candigaron memang terkenal dengan banyaknya agama dan kepercayaan yang berkembang, salah satunya adalah aliran kepercayaan Sapta Darma.
Terletak di wilayah dusun Bodean, desa Candigaron, SD N 01 Candigaron memang menerima siswa dengan latar belakang agama yang berbeda-beda. Pertama kali mendaftar, pihak sekolah tidak mengetahui bahwa Intan adalah seorang penghayat kepercayaan,
karena di biodatanya hanya tercantum kolom agama, bukan kepercayaan. Alhasil, demi mengisi biodata pendaftaran, agama Katolik menjadi pilihan.
Selama hampir enam tahun, Intan pun mengikuti kelas pendidikan agama Katolik. Hal tersebut ia lakukan agar nilai di kolom agamanya tidak kosong. Namun, seperti mendapat air di tengah padang pasir, disahkannya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) nomor 27 tahun 2016 memberikan semangat baru bagi Intan dan kawan-kawannya yang senasib dengannya.
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 15 LAPORAN UTAMA
Di tahun ajaran baru 2017/2018, Intan mulai merasakan pendidikan kepercayaan yang dianutnya. Surani adalah guru yang ditugaskan untuk mengajarkan pendidikan kepercayaan bagi Intan dan siswa penghayat kepercayaan Sapta Darma lain.
Ruangan yang REDAKSI EDUKASI tempati saat ini adalah ruangan yang digunakan Surani dan para murid-muridnya belajar. Menurutnya perpustakaan adalah tempat yang paling cocok untuk melakukan kegiatan belajar mengajar, mengingat sekolah belum menyiapkan ruang khusus bagi mereka yang memeluk agama minoritas. ”Sebab siswa penghayat juga tidak terlalu banyak, jadi ya di perpustakaan, lebih nyaman,” jelas Surani diiringi senyuman.
Pun di tempat ini, praktik Sujud sebagai bentuk beribadah kepada Allah Hyang Maha Kuasa dilakukan. Duduk bersimpuh layaknya wanita Jawa yang anggun, Intan mulai mempraktikkan cara sujudnya kepada kami. Kedua tangannya bersedekap dan matanya terpejam. Perlahan-lahan dahinya menyentuh lantai dengan posisi kedua kaki dan tangan yang masih sama.
Setelah beberapa saat, Surani menyuruh Intan untuk menghentikan sujudnya. Tidak butuh waktu lama, Surani kembali membuat kami terpukau dengan Intan. Gadis sekecil itu mampu dengan lancar menjelaskan tujuh tuntutan di kepercayaannya atau biasa disebut Wewerah Tujuh dengan bahasa Indonesia maupun bahasa
Jawa.
Tidak heran jika Surani selalu memuji Intan atas kecerdasan yang dimiliki. Hal tersebut pun menunjukkan meskipun selama lima tahun Intan belajar agama Katolik, di rumah, orang tuanya selalu menanamkan kepercayaan Sapta Darma dalam hati putrinya.
Sugeng, Kepala Sekolah SD 01 Candigaron mengakui pihaknya belum tahu kalau siswanya ada yang penghayat kepercayaan.
Namun, saat Permendikbud nomor 27 tahun 2016 resmi disahkan, pihak Majelis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa Indonesia (MLKI) ada yang datang ke sini untuk melakukan sosialisasi. “Dengan adanya sosialisasi tersebut kami baru tahu jika ada murid kami yang berkepercayaan Sapta Darma,” katanya.
Karena belum tahu itu, ia menjelaskan yang dilayani oleh sekolah hanyalah agama yang sudah diresmikan oleh negara. Baru pada tahun 2017, pelayanan pendidikan agama terhadap penghayat kepercayaan diberikan.
Dalam perjalanannya, menurut Sugeng, tidak ada masalah yang berarti. Sebab sejak sosialisasi tersebut, pihak MLKI langsung merekomendasikan penyuluh atau guru bagi siswa pengahayat kepercayaan Sapta Darma di sekolah ini. “Bu Surani ini yang ditugaskan menjadi guru bagi siswa penghayat kepercayaan Sapta Darma di SD 01 Candigaron,” jelasnya sambil menoleh ke arah Surani yang duduk di
EDUKASI16 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
sampingnya.
Tidak seperti Intan Selviana, Arif Pradana, penganut kepercayaan Sapta Darma lain sewaktu masih berseragam sekolah SD dan SMP belum ada Permendikbud yang mengatur perihal penganut kepercayaan. “Selama sembilan tahun saya mengikuti pendidikan agama Buddha,” katanya. Dengan ini, ia mengaku harus mengingkari hati nuraninya saat mengikuti pelajaran.
Arif, sapaan akrabnya menceritakan pertama kali mengikuti pendidikan agama Buddha hatinya merasa tidak nyaman karena Buddha bukanlah kepercayaan yang diajarkan orang tuanya sejak ia lahir, namun demi nilai ia rela mengikuti pelajaran tersebut. Hingga tahun ajaran baru 2017/2018, SMK N 1 Jambu menjadi pilihannya melanjutkan pendidikan setelah SMP.
Saat mendaftar, dengan percaya diri Arif menulis di biodatanya bahwa ia berkepercayan Sapta Darma. Guru yang menyeleksinya pun bingung, namun Arif hanya tersenyum. Saat ditanya, Arif dengan santai menjawab,”Ya, saya penghayat kepercayaan,” kata pria dusun Candi desa Candigaron ini. Tentu saja hal ini membuat gurunya geleng-geleng, namun tetap melanjutkan proses seleksi.
Saat dinyatakan lulus seleksi dan diterima, ada beberapa guru yang terheran dengan kepercayaan yang dianut Arif. Akan tetapi, Arif
masih dengan sikap tenang dan tak acuh. Selama menjalani pendidikan di sekolahnya, tidak ada teman yang menjauhinya. Semua temannya menganggap ia sama. Begitu pula ia, mendapatkan layanan pendidikan sama dengan teman lainnya.
Dengan diterbitkannya peraturan tersebut kali ini Arif sudah bisa menerima layanan pendidikan agama yang dipercayanya. Oleh karena itu ia berharap apa yang dirasakannya saat ini mampu dirasakan juga oleh semua siswa penghayat kepercayaan lain.
Menurut data yang dihimpun redaksi, pada tahun 2017 tercatat 5017 siswa maupun mahasiswa penghayat kepercayaan tersebar di seluruh negeri. Mulai dari; 73 siswa TK/ PAUD, 1860 siswa SD/MI, 1265 siswa SMP, 1007 SMA/
SMK, dan 65 mahasiswa yang tersebar di seluruh Indonesia.
Jalan Panjang Perjuangan
Pelaksanaan dari Permendikbud nomor 27 tahun 2016 yang dirasakan Intan dan Arif saat ini bukanlah hal yang mudah untuk didapatkan. Tertuang dalam Pedoman Implementasi Layanan Pendidikan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan, menyatakan bahwa sebelum adanya Permendikbud nomor 27 tahun 2016, sikap sekolah kepada siswa penghayat kepercayaan berbeda-beda.
Seperti Sekolah Dasar Negeri di Bandung dan Surabaya, SMP N dan SMA N di Bandung, SMA N di Cilacap, SMA N Jakarta Barat, dan sekolah di Kabupaten Toba Samosir
AKRAB: salah satu siswa, Intan, ketika diwawancara oleh REDAKSI EDUKASI di ruang perpustakaan.
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 17
LAPORAN UTAMA
Provinsi Sumatera Utara. Sekolah-sekolah tersebut memilih bermusyawarah dengan orang tua siswa dan menulis surat pernyataan bahwa siswa tersebut benar-benar penghayat kepercayaan.
Bersamaan dengan ditandatanganinya surat pernyataan tersebut, kepala sekolah bekerjasama dengan MLKI. Ditugaskanlah guru dengan kualifikasi sesuai dengan ketentuan dan persyaratan serta memiliki pengetahuan khusus tentang ajaran kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Kepala sekolah melakukan supervisi dan menuliskan hasil belajar pada laporan hasil belajar sesuai dengan latar belakang kepercayaan peserta didik.
Namun hal yang berbeda ditunjukkan oleh salah satu SMP N di Karanganyar, Surakarta. Pihak sekolah menolak memberikan layanan pendidikan kepercayaan kepada siswanya. Alhasil, membuat orang tua siswa tersebut naik pitam.
Ia mengeluhkan kejadian tersebut kepada Menteri Pendidikan Nasional. Dikirimlah surat dengan tembusan ke Ketua MPR RI, Ketua DPR RI, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Menteri Dalam Negeri, KOMNAS HAM, Gubenur Jateng, Dirjen Nilai Budaya Seni dan Film, Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Direktur Fasilitasi Organisasi Politik dan Kemasyarakatan, Bupati Karanganyar, dan Kepala Dinas DIKPORA Kabupaten Karanganyar.
Menteri Pendidikan dan
KHUSYUK: salah satu siswa ketika mempraktikan cara beribadah penghayat dianutnya di rumahnya.
Kebudayaan menugaskan untuk mendikusikan layanan pendidikan Penghayat melalui tambahan pasal pada Permendikbud Nomor 77 tahun 2013 tentang Pembinaan Lembaga Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Lembaga Adat.
Pada tanggal 22 Juli 2016, selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Anies Baswedan menetapkan peraturan nomor 27 tahun 2016 yang mengatur tentang layanan pendidikan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa pada Satuan Pendidikan. Di mana dalam pasal 2 ayat 1 peserta didik memenuhi pendidikan agama melalui Pendidikan Kepercayaan dengan mengikuti ketentuan peraturan perundangundangan yang mengatur tentang kurikulum.
Peraturan tersebut pun tidak langsung dijalankan
oleh seluruh sekolah di Indonesia. Namun perlu adanya sosialisasi. dan selam itu pula Permendikbud 27/2016 dalam masa uji coba.
Masih dalam suasana uji coba yang baru diterapkan di Bandung dan Yogyakarta, masalah lain pun hadir. Diskriminasi terhadap siswa penghayat kepercayaan terjadi di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 7 Kotamadya Semarang.
Namanya Zulfa Nur Rohman. Di akhir tahun ajaran 2014/2015, Zulfa dinyatakan tidak naik ke kelas XII, sebab nilai di kolom agamanya kosong. Ketidakadilan yang diterima Zulfa pun sampai hingga telinga orang nomor satu di Indonesia, Joko Widodo. Agar masalah cepat terselesaikan, pihak MLKI pun langsung turun tangan.
Ditemui di kediamannya, Suwahyo, pengurus
EDUKASI18 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018 LAPORAN UTAMA
penghayat kepercayaan yang
MLKI yang ditugaskan mendampingi Zulfa menjelaskan, diskriminasi yang dialami Zulfa terjadi karena ia tidak mau mengikuti ujian praktik pendidikan salah satu agama. Zulfa bersikeras agama-agama yang ada di kurikulum sekolahnya bukanlah kepercayaan yang dianutnya. ”Akhirnya ia tidak dapat naik kelas gara-gara nilai agamanya kosong,” katanya.
Kemudian, menyikapi permasalahan mengejutkan tersebut, bersama para pengurus MLKI lainnya, Suwahyo mulai gencar melakukan mediasi dengan sekolah dan pemerintah agar Zulfa mampu melanjutkan pendidikannya.
Hingga pada tanggal 31 Agustus 2016, Zulfa berangkat sekolah dan masuk di kelas XII. Bahkan pihak sekolah pun mengirimkan surat ke Dinas
Pendidikan Kota Semarang perihal permohonan guru kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Hal tersebut dibarengi oleh penetapan kurikulum pendidikan penghayat yang disusun oleh MLKI.
Pada hari Jumat, 8 September 2016, pertemuan yang dihadiri oleh Dinas Pendidikan, perwakilan SMK N 7 Semarang, dan pihak MLKI adalah agenda laporan persiapan penyusunan kurikulum penghayat kepercayan terhadap Tuhan Yang Maha Esa oleh MLKI.
Setelah pertemuan tersebut, pada hari Senin, 3 Oktober 2016 Kepala Sekolah SMK N 7 Semarang menerima surat tugas dari MLKI kepada Dinas Pendidikan Kota, nomor : 01/10/2016 yang menugaskan Sumarwanto bersama Suwahyo dan Adiyono untuk mengajar materi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada Zulfa Nur Rahman.
Dimulai pada hari Rabu, 5 Oktober 2016 Zulfa mulai belajar tentang pendidikan kepercayaan yang dianutnya dan dibimbing oleh penyuluh yang telah ditentukan. Hal ini tidak terlepas dari Surat Kepala Dinas nomor 4516/6960, tanggal 13 September 2016 perihal pelayanan pendidikan bagi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Keputusan tersebut mengacu pada Permendikbud nomor 27 tahun 2016, di mana sekolah diberikan kebebasan untuk bekerja sama dengan Organisasi Penghayat
Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa untuk memberikan pelayanan pendidikan kepercayaan.
“Sejak saat itu, siswa penghayat dapat bebas mendapatkan pendidikan penghayat kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa tanpa adanya dikriminasi”, tegas Suwahyo di akhir perbincangan.
Catatan Masalah
Dua tahun telah berlalu, Permendikbud 27/2016 sudah nyata dilakukan. Semakin banyak peserta didik terang-terangan menyatakan bahwa dirinya adalah penghayat kepercayaan. Namun, ada beberapa hal yang luput dari perhatian pemerintah dan dianggap lazim hingga terus dilestarikan.
Sebagai sekolah yang telah menyediakan guru pendidikan kepercayaan, saat pertama kali Permendikbud 27/2016 diuji coba, SD N 01 Candigaron tidak merasa terbebani. Mengutip dari apa yang disampaikan Sugeng selaku Kepala Sekolah, pihak MLKI dengan gerak cepatnya mengadakan sosialisasi ke sekolah yang dipimpinnya.
Pihak sekolah pada awalnya tidak mengetahui, jika di sekolahnya ada siswa yang penghayat kepercayaan. Namun, saat MLKI datang dan menjelaskan perihal Permendikbud 27/2016, diketahuilah bahwa Intan Selviana dan 11 siswa lainnya yang tersebar dari kelas 1 sampai kelas 6, merupakan penghayat kepercayaan aliran Sapta Darma.
Oleh sebab itu, dengan
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 19 LAPORAN UTAMA
adanya kerjasama antara sekolah dengan MLKI memudahkan pemenuhan kebutuhan yang dibutuhkan Intan dan teman-temannya sebagai penghayat kepercayaan. Mulai dari; ditugaskannya Surani sebagai guru penghayat kepercayaan aliran Sapta Darma, perlengkapan ibadah yang dibutuhkan, hingga pemilihan perpustakaan sebagai tempat belajar mengajar saat pelajaran pendidikan kepercayaan dimulai.
Namun, hingga tahun 2018 penggunaan perpustakaan sebagai tempat belajar mengajar oleh Surani kepada para siswanya di SD N 01 Candigaron masih berlangsung. Hal semacam itu memang sangat lazim terjadi di Indonesia, meskipun guru dan para siswanya merasa nyaman mengadakan kegiatan belajar mengajar di perpustakaan, pada dasarnya perpustkaan bukanlah tempat untuk
belajar mengajar.
Oleh sebab itu, penggunaan perpustakaan bukanlah untuk kegiatan belajar mengajar, sekadar untuk membaca dan mencari buku. Namun, pihak sekolah SD N 1 Candigaron belum bisa mengusahakan pengadaan ruang kelas khusus bagi mereka yang beragama atau berkepercayaan yang hanya 1 sampai 4 siswa setiap kelas. “Sekolah hanya memanfaatkan ruangan yang ada, jadi memang tidak ada ruangan khusus,” jelas Sugeng, kepala sekolah di ruang kerjanya.
Begitupun yang dirasakan oleh Arif Pradana di SMK N 1 Jambu, dirinya tidak mendapatkan perlakuan khusus jika pelajaran pendidikan kepercayaan dimulai. Ruang perpustakaan juga menjadi tempat ternyamannya dalam belajar pendidikan kepercayaan
dengan didampingi guru penghayatnya.
Namun, tatapan yang ditujukan beberapa gurunya di awal ia masuk sekolah, membuatnya tidak nyaman. “Pada awal mendaftar, memang ada beberapa,”tutur Arif sambil tertawa di ruang tamu rumahnya.
Ia pun berharap agar gurunya tidak lagi kaget jika menemukan kasus yang sama dengan yang dialaminya di kemudian hari. Karena pada dasarnya penghayat kepercayaan bukanlah manusia yang berbeda dengan manusia beragama Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu. “Kami semua manusia yang sama dan layak mendapatkan hak yang sama,” harapnya. [E]
EDUKASI20 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018 LAPORAN UTAMA
BACA MAJALAH EDUKASI!
BACAAN ALTERNATIF MAHASISWA
AWANCARAW
Suwahyo, Pengurus MLKI Semarang:
Akhirnya Perjuangan Kami Membuahkan Hasil
Permendikbud nomor 27 tahun 2016, menjadi rekam jejak disahkannya pendidikan penghayat kepercayaan. Selama ini pendidikan keagamaan dan budi luhur bagi para penghayat mengalami banyak sandungan. Bukannya memperoleh pendidikan kepercayaan yang dianut, justru mereka diharuskan belajar pendidikan agama lain. Di balik kisah pilu itulah, mereka ingin mendapat pengakuan dari pemerintah, bahkan mereka sudah merancang jauh ke depan terkait kurikulum di tingkat perguruan tinggi. Oleh sebab itu tim redaksi Majalah Edukasi mencoba memutar kembali kisah yang dialami para penghayat kepercayaan dalam dunia pendidikan. Baik kisah sebelum dan sesudah disahkannya Permendikbud nomor 27 tahun 2016, bersama Suwahyo, pengurus MLKI bidang Pendidikan wilayah Kotamadya Semarang.
Seberapa pentingnya Pendidikan Kepercayaan bagi siswa penghayat kepercayaan?
Sama pentingnya dengan Pendidikan agama yang sejak dulu diperbolehkan masuk ke sekolah, seperti pendidikan agama Islam, pendidikan agama Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Seperti yang telah disahkan dalam Undang-Undang, bahwa setiap warga negaranya berhak mendapatkan pendidikan sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing. Apa salahnya menjadi penghayat kepercayaan dan mendapat pendidikan sesuai dengan kepercayaan yang dianut? Kan seharusnya sah-sah saja tho. Kan notabenenya kita sama-sama warga negara Indonesia, hanya berbeda agama dan kepercayaan. Namun, tetap pada dasarnya kita menyembah kepada Tuhan yang Maha Esa.
Sebelum Permendikbud nomor 27 tahun 2016 disahkan, pelajaran pendidikan agama apa yang diterima para siswa penghayat kepercayaan?
Beda-beda, ada yang ikut pelajaran agama Islam, agama Kristen, dan agama Buddha. Banyak juga yang tidak mau mengakui bahwa dirinya penghayat kepercayaan, karena ada beberapa aliran penghayat kepercayaan yang tidak
EDUKASI22 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
“
Semua hal yang kami lakukan bertujuan agar para penghayat kepercayaan mendapatkan persamaan hak dalam pendidikan Suwahyo
bergabung dengan MLKI. Namun, menyoal agama yang diikuti siswa penghayat di sekolah, ya memang bermacam-macam. Ada yang Islam, ada yang Kristen, ada yang Buddha, dan lainnya, semua tergantung apa yang mereka pilih. Lalu, setelah Permendikbud 27/2016 resmi dilaksanakan, bagaimana tanggapan pihak MLKI?
Kami sangat bahagia. Akhirnya perjuangan kami membuahkan hasil. Akhirnya para penghayat kepercayaan yang masih sekolah, mendapatkan pendidikan tentang kepercayaannya. Namun, ada juga yang masih mengikuti pelajaran pendidikan agama. Mereka hanya sekadar belajar, namun tidak mempraktikannya di rumah, karena hati mereka masih sebagai penghayat kepercayaan.
Disahkannya Permendikbud 27/2016 tidak terlepas dari kerja keras MLKI. Apa yang dilakukan MLKI hingga Permendikbud tersebut resmi disahkan?
Pada tahun 2015 salah satu siswa di SMK Negeri 7 Kota Semarang sempat tidak naik kelas gara-gara nilai agamanya
kosong. Waktu pembagian rapor semester genap kelas sebelas, ia dinyatakan tidak naik ke kelas dua belas. Hal tersebut mendapat banyak kecaman dari berbagai pihak. Kami selaku MLKI menemui pihak sekolah untuk mengadakan musyawarah. Musyawarah yang dihadiri oleh pihak MLKI, SMKN 7 Semarang, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan lainnya, kami sampaikan kurikulum penghayat kepercayaan yang telah kami siapkan sebelumnya. Kurikulum itu untuk SD hingga SMA.
Setelah itu, hal apa yang sekarang sedang disiapkan MLKI?
Setelah sukses di tingkat SD hingga SMA, kami sedang merencanakan kurikulum pendidikan penghayat untuk perguruan tinggi. Bekerjasama dengan salah satu universitas di Semarang, kami sedang mempelajari hal apa saja yang perlu kami siapkan untuk mampu menjadi salah satu mata kuliah di perguruan tinggi. Semua hal yang kami lakukan bertujuan agar para penghayat kepercayaan mendapatkan persamaan hak dalam pendidikan. [E]
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 23
Menelusuri Masyarakat Samin di Baturejo
Oleh : Nila Rustiyani, Kru LPM EDUKASI angkatan 2016
Desa Baturejo terletak di bagian tengah Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Jaraknya kurang lebih 26 kilometer dari alun-alun pusat kota Pati. Berbatasan langsung dengan Kabupaten Kudus, desa Baturejo memiliki luas wilayah 946,50 Ha dengan tingkat kemiringan 8% dan berada pada 120-150 meter di atas permukaan laut.
Desa ini tercatat memiliki 4 dukuh; Dukuh Ronggo, Dukuh Bombong, Dukuh Bacem, dan Dukuh Mulyoharjo. Sebanyak 6.157 jiwa meninggali wilayah tersebut, dengan klasifikasi 3.120 laki-laki dan 3.037 perempuan. Bukan hanya itu, desa Baturejo juga
terkenal akan kearifan budaya yng dimilikinya.
Di desa yang dikelilingi pegunungan Kendeng ini, ada sebagian warganya yang masih mempertahankan kepercayaan leluhur. Mereka adalah masyarakat Samin. Masyarakat Samin adalah kelompok aliran kepercayaan yang menganut ajaran Agama Adam. Wong Samin— sekarang ini lebih dikenal dengan sebutan Sedulur Sikep, sudah ada sejak tahun 1890.
Sejarah mencatat pada awalnya agama Adam ini diperkenalkan oleh Samin Surosentiko, seorang putra dari Raden Surowijaya yang masih bertalian darah dengan Kyai Keti di
Rajegwesi dan Pangeran Kusumoningayu di daerah kabupaten Sumoroto.
Wisnu Purnomo dalam artikelnya yang berjudul “Wong Samin” menuliskan, Samin Suresentiko lahir pada tahun 1859 di desa Ploso Kedhiren, Randublatung, Kabupaten Blora dengan nama Raden Kohar. Nama Samin yang ia bawa hingga meninggal adalah nama samaran yang dipakainya agar terlihat merakyat. Dengan nama itu pula ia mulai menghimpun kekuatan rakyat untuk bersama-sama melawan kolonial Belanda dengan cara yang berbeda.
Pada tahun 1890 ia mulai mengembangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora.
EDUKASI26 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018 LAPORAN UTAMA
Ki Samin mengajarkan bahwa Sedulur Sikep –pengikutnya– dilarang untuk mengganggu dan mengambil milik orang. Mereka harus sabar dan jangan sombong. Menerima sumbangan dalam bentuk uang pun dilarang. Semua ajaran yang diperkenalkan oleh Ki Samin dikenal sebagai ajaran Saminisme. Dengan ajaran Saminisme yang sederhana, banyak masyarakat sekitar Klopoduwur yang kemudian tertarik dan mulai mengikutinya.
Tertulis dalam buku karya Mukodi dan Afid Burhanuddin yang berjudul Pendidikan Samin Surosentiko, pemerintah Belanda pada saat itu tidak merasa terancam akan kehadiran kelompok tersebut. Namun, pada tahun 1907 diedentifikasi ada lebih dari 5000 orang yang menjadi pengikut Samin Surosentiko yang tersebar di wilayah Jawa Timur. Hal tersebut membuat kolonial Belanda khawatir.
Pada tanggal 17 Desember 1907, Samin Surosentiko ditangkap bersama delapan pengikutnya. Mereka dibuang ke Digul, Irian Jaya dan dipindahkan ke Sawahlunto, Padang, Sumatera Barat. Hingga di tahun 1914 Samin Surosentiko ditemukan meninggal di tempat
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 27
pembuangannya, Sawahlunto.
Wongsorejo, salah satu Sedulur Sikep, di tahun 1908 mulai menyebarkan ajaran Saminisme di distrik Jawa, Madiun. Di sinilah masyarakat Madiun dihasut untuk tidak membayar pajak kepada pemerintah Belanda. Atas apa yang dilakukannya, Wongsorejo pun dibuang ke luar Jawa seperti yang pernah terjadi dengan pendahulunya.
Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko bersama salah satu pengikutnya, Engkrak, mengajarkan ajaran Saminisme di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Saminisme ke Kajen Pati. Ajaran Saminisme pun mulai menyebar ke seluruh wilayah Jawa. Hingga pada tahun 1914 di saat Belanda menaikkan pajak, Sedulur Sikep di daerah Purwodadi sudah tidak lagi menghormati para Pamong Desa dan Polisi, mereka pun menolak untuk membayar pajak. Begitupun di daerah Balerejo, Madiun, desa Larangan, Pati, dan desa Tapelan, Bojonegoro.
Sedulur Sikep di
Baturejo
Melalui perkawinan, ajaran Saminisme semakin berkembang pesat. Diawali pada tahun 1911 ajaran Saminisme mulai masuk di wilayah Pati. Namun, tidak ada yang tahu pasti bagaimana dan kapan ajaran Saminisme mampu masuk
dan berkembang di wilayah desa Baturejo, Pati.
Berpapasan dengan Sedulur Sikep di wilayah desa Baturejo bukanlah hal yang sukar ditemui. Terhitung data mencatat pada tahun 2016, ada lebih dari 350 Kepala Keluarga (KK) yang terdaftar sebagai sedulur sikep di wilayah tersebut. Suhardi, selaku sekretaris desa Baturejo, menuturkan bahwa para Sedulur Sikep hidup secara berkelompok dan dengan populasi terbanyak ada di dukuh Bombong, Baturejo, Pati.
Mendatangi dukuh Bombong memang seperti memasuki kawasan Jawa tempo dulu. Banyak rumahrumah yang berdinding bambu dan kayu jati dengan gaya bangunan rumah Joglo, khas Jawa. Namun, kawasan ini bukan kawasan yang sepi aktivitas, banyak motor yang berlalu lalang membawa hasil bumi, seperti padi dan jagung.
Sebagian besar
masyarakat dukuh Bombong memang menggantungkan hidupnya kepada hasil pertanian. Diketahui, berdasarkan data yang diperoleh dari sekretaris desa Baturejo, pada tahun 2016 ada 302 KK Sedulur Sikep yang memenuhi dukuh tersebut. Dengan rincian 446 orang laki-laki dan 577 orang perempuan.
Di temui di kediamannya, Maryati, wanita berumur sekitar 45 tahun tersebut merupakan salah seorang Sedulur Sikep yang selama ini hidup di dukuh Bombong. Ia menuturkan bahwa kelompoknya –Sedulur Sikep– sangat menggantungkan hidupnya dengan alam. Mereka bercocok tanam, baik menggarap miliknya sendiri ataupun milik orang lain. Hal tersebut membuktikan bahwa mereka hidup rukun dengan masyarakat lainnya, walaupun berbeda kepercayaan. [E]
EDUKASI28 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
Mendialogkan Agama-Agama
Oleh : Ahmad Aam*
Sebelum diterbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 27 Tahun 2016, siswa aliran penghayat kepercayaan yang sekolah di lembaga pendidikan formal diberlakukan dengan tidak adil. Mereka harus menerima, ketika mata pelajaran pendidikan agama, diikutkan dengan agama lain. Atau tidak mengikuti pendidikan agama sama sekali. Terkadang, ada sekolah yang membebaskan; ingin mengikuti kelas agama atau tidak. Ada juga yang memaksa untuk mengikuti pendidikan agama yang bukan agama mereka.
Pada mulanya, terbit Undang-Undang Pokok Pendidikan Nomor 4 tahun 1950 dan UndangUndang pendidikan nomor 12 tahun 1954 pasal 20 tentang pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri. Sedangkan dalam sekolah swasta, diatur pada pasal 9 dalam intruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan No. 17678/ Kab, tanggal 16 Juli 1951 (pendidikan), N.K.I/9180 tanggal 16 Juli 1951 (Agama).
Saat peraturan itu diterbitkan—kepemimpinan Presiden Soekarno, pendidikan agama di sekolah tidak diwajibkan dan tidak menjadi penentu kenaikan kelas. Pun jam pelajarannya sangat sedikit.
Kebijakan tersebut kemudian berubah, sewaktu kepemimpinan Soeharto, ada kebijakan untuk mewajibkan seluruh sekolah dasar dan universitas diajarkan pelajaran agama. Melalui ketetapan MPRS No XXII/ MPRS 1966, menetapkan bahwa pendidikan agama menjadi mata pelajaran di sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri. Kebijakan tersebut terus berlanjut hingga era reformasi.
Diberlakukannya kurikulum tersebut, menyebabkan orang-orang aliran kepercayaan yang tersebar di seluruh negeri, dilematis, karena kurikulum tersebut hanya menyediakan pendidikan agama mayoritas saja. Di satu sisi, mereka
membutuhkan pendidikan, di sisi yang lain, mereka harus menerima, ketika mempelajari agama yang bukan agama mereka. Meskipun semua hal ada manfaatnya, tapi dengan ketidakinginannya secara sukarela untuk mempelajari agama lain menyebabkan, ada rasa keberatan terhadap ketentuan tersebut. Hal inilah yang kemudian mengakibatkan ada tindakan diskriminatif terhadap para penganut aliran kepercayaan yang belajar di lembaga pendidikan formal.
Permasalahannya adalah mengapa pendidikan di Indonesia hanya menyediakan kurikulum enam agama saja—saat KH. Abdurrahman Wahid menjadi presiden ditambah dengan agama Konghucu?
EDUKASI30 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
•ARTIKEL•
•ARTIKEL•
Padahal negara yang sangat beragam ini pasti juga memiliki beragam agama. Dalam hal ini, agama menurut Berger yang dikutip oleh Bryan S. Turner dalam Relasi Agama dan Teori Sosial Kontemporer menjelaskan:
Agama adalah daya upaya manusia yang dengannyalah yang sakral dibentuk. Atau dengan kata lain, agama adalah kosmisasi hal-hal sakral. Yang sakral di sini diartikan sebagai kualitas kekuatan yang misterius dan menggetarkan, yang bukanmanusia namun berhubungan dengannya, yang dia yakini ada dan terdapat dalam obyek-obyek tertentu pengalamannya... kosmos sakral dihadapi manusia sebagai realitas yang begitu kuat melebihi kemampuannya. Akan tetapi kekuatan ini mengalamatkan diri pada manusia dan manusia menempatkan dirinya di dalam tatanan yang penuh makna. (Berger, 1969).
Jika memandang definisi tersebut, berarti aliran
penghayat juga bisa masuk dalam kriteria agama. Maka aliran penghayat juga harus dimasukkan dalam kurikulum pendidikan agama yang dirumuskan oleh pemerintah. Apalagi jelas tertera dalam Pasal 28 E ayat 1 UUD 1945 berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran”.
Selain itu, dalam Undangundang No 20 tahun 2003 Bab V Pasal 12 ayat 1 tentang peserta didik, juga disebutkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (a) mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
Pendidikan Bagi Aliran Penghayat
Angin segar didapatkan aliran penghayat, ketika,
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk memasukkan aliran kepercayaan di kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP). Keputusan tersebut menjadikan aliran kepercayaan memperoleh hak yang sama dengan agama lain. Keputusan ini merupakan kesepakatan dari tiga Kementrian: Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Agama dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan di tahun 2016.
Dengan ditekennya keputusan tersebut berimbas juga dengan dunia pendidikan di bawah naungan Kemendikbud. Kemendikbud menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 27 tahun 2016 tentang Layanan Pendidikan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa Pada Satuan Pendidikan. Selain itu, pemerintah juga sudah menerbitkan pedoman implementasi dan panduan dalam pelayanan pendidikan bagi aliran penghayat. Adanya aturan tersebut menjadi angin segar bagi aliran penghayat yang belajar di lembaga pendidikan formal.
Namun, peraturan tersebut juga perlu ada pengawasan dan peninjauan lapangan dari pemerintah. Apakah benar-benar sudah diterapkan oleh lembaga terkait atau belum. Karena, kadang, secara konsep sudah dibuat tapi di lapangan masih belum diterapkan konsep tersebut, atau sudah diterapkan, tapi lembaga pendidikan terkait tidak melaksanakan ketentuan
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 31
DOK. INTERNET
yang sudah dirumuskan oleh pemerintah. Jika terjadi hal tersebut, pemerintah harus punya keputusan yang tegas terhadap lembaga terkait.
Ketika sudah diterapkan, perlu juga pengawasan, apakah lembaga terkait sudah benar-benar menyediakan layanan untuk aliran penghayat. Di mulai dari guru hingga sarana prasarana pembelajaran. Dalam hal ini, Majalis Luhur Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa juga harus melaksanakan fungsinya dalam pengawasan, monitoring, dan evaluasi dalam layanan pendidikan kepercayaan.
Selain itu, pemerintah dan penyelenggara pendidikan juga punya kewajiban dalam memberikan pemahaman kepada penganut agama lain. Bahwa aliran penghayat juga sama dengan agama yang lain di Indonesia. Karena tak jarang, ada stigma negatif yang terjadi terhadap orang-orang penganut aliran penghayat.
Untuk itu perlu ada sinergi dalam ekosistem pendidikan, baik pemerintah, pendidik, peserta didik, sarana dan prasarana dan orang tua peserta didik. Ketika ada sinergi dari elemenelemen tersebut, cita-cita mewujudkan pendidikan agama yang sesuai dengan masing-masing agama peserta didik, tentu bukan hanya omong kosong belaka.
Dialog Agama
Setelah Permendikbud tersebut diterbitkan, sebenarnya masih ada problematika yang harus
diselesaikan oleh pemerintah. Problematika tersebut adalah problematika dasar dalam penyediaan pendidikan agama di pendidikan formal— sebelum maupun sesudah aliran penghayat diatur, yang harus segera diselesaikan.
Menurut Davit Setyawan dalam tulisannya berjudul Implementasi Pendidikan Agama di Sekolah dan Solusinya, ada empat problematika dasar terkait penyediaan layanan pendidikan agama di lembaga pendidikan. Permasalahan pertama adalah soal teologis, yang menyebabkan pelajaran agama dalam pendidikan hanya sebagai sebuah misi dakwah. Yang kedua adalah
soal politis, yang hanya menyediakan pendidikan agama bagi yang diakui oleh pemerintah saja. Meskipun sudah diatasi oleh pemerintah dengan Permendikbud tersebut, namun, soal politis ini juga mengakibatkan materi yang disediakan hanya aliran agama mayoritas saja. Akibatnya, aliran agama yang minoritas tidak memperoleh haknya secara utuh.
Soal ketiga adalah soal administratif-paedogogis, persoalan pendidikan agama yang tidak diajarkan oleh pendidik atau guru agama. Permasalahan ini tidak sekadar ketersediaan guru saja, akan tetapi, lagi-lagi juga menyangkut aliran agama yang minoritas tidak mendapatkan pelajaran agama yang sesuai dengan keyakinannya. Karena pemerintah hanya menyediakan guru agama yang aliran mayoritas saja.
Persoalan yang keempat adalah, soal kurikuler, di mana masalah pendidikan agama yang tidak atau kurang memberikan pengenalan atau perspektif terhadap agama lain, hal ini yang sedikit banyak menimbulkan sikap intoleransi terhadap sesama pemeluk agama. Karena tidak ada dialog di antara agama-agama yang ada di Indonesia. Tidak hanya agama secara umum saja, tapi juga mengenai aliran-aliran yang ada di dalamnya. Permasalahan ini tidak jarang menimbulkan pandangan negatif atau tindakan diskriminatif terhadap agama dan aliran agama yang berbeda. Terlebih yang minoritas di dalam agama.
EDUKASI32 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
•ARTIKEL•
Pemerintah dan
penyelenggara pendidikan juga punya kewajiban dalam memberikan pemahaman kepada penganut agama lain bahwa aliran penghayat juga sama dengan agama yang lain.
Maka, seharusnya, pemerintah harus bisa menyelesaikan problematika dasar yang ditemui di dalam penyediaan pendidikan agama di pendidikan formal tersebut. Hemat penulis, keempat permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan tiga cara. Cara pertama adalah pemerintah menyusun kurikulum sesuai dengan agama dan aliranalirannya. Meskipun cara ini akan sangat sulit dilakukan, karena beragamnya agama dan aliran agama yang ada di Indonesia.
Dalam hal ini, peraturan ini harusnya menjadi cikal bakal pendidikan nasional untuk lebih ramah terhadap agama dan aliran agama minoritas yang ada di Indonesia. Bahkan, terhadap wacana berbeda-beda yang dimilki oleh per masingmasing agama. Jalan ini bisa diwujudkan dengan cara mendialogkan agama-agama yang ada. Jadi, pendidikan agama tidak hanya sebatas pengetahuan, ritualistik dan misi dakwah saja, tapi
juga menyediakan dialog antar agama. Agar tindakan intoleransi dan diskriminatif terhadap agama dan aliran agama minoritas tidak terjadi.
Cara yang kedua adalah pemerintah memberikan otonomi terhadap lembaga pendidikan terkait penyelenggaraan pendidikan agama. Ketika sudah ada otonomi, penyelenggara pendidikan kemudian menganalisis kebutuhan pendidikan agama terhadap peserta didiknya. Setelah diketahui kebutuhannya, penyelenggara pendidikan kemudian memberikan layanan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Hal ini akan meminimalisir bias mayoritas yang terjadi ketika pendidikan agama dimasukkan dalam kurikulum pendidikan.
Sedangkan cara ketiga adalah dengan meniadakan pendidikan agama di lembaga pendidikan formal. Meskipun hal ini akan berbenturan dengan peraturan negara dan cukup berisiko karena pasti mendapatkan penolakan
terhadap penganutnya. Akan tetapi, dengan tidak adanya pendidikan agama, akan memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menjalankan dan mempelajari agama yang dianutnya. Di sini peran orang tua dan lingkungan sekitarnya sangat dibutuhkan untuk memberikan pengetahuan dan ritual keagamaan. Sementara itu, fungsi lembaga pendidikan adalah cukup menyediakan ruang dialogis antar agama-agama dalam kesehariannya.
Ketiga cara tersebut menjadi tawaran penulis untuk menyelesaikan problematika dasar terkait pelayanan pendidikan agama yang terjadi di lembaga pendidikan formal selama ini. Lepas dari problematika pendidikan agama tersebut, lembaga pendidikan harus kembali ke dasar; menjadi alat pembebasan bagi manusia. [E]
•ARTIKEL•
Mereka yang
Tersingkir dari Terminal
Sumirah merupakan perempuan kelahiran Wonosobo, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Di Kota Semarang ia hanya mengadu nasib. Bersama suaminya, ia berharap bisa mengubah hidupnya ke taraf yang lebih baik. Berbagai cara pun ia tempuh, sampai Sumirah sadar bahwa berdagang adalah pekerjaan yang paling tepat.
Dibantu suami, ia membuka usaha di Terminal Terboyo. Hal itu sudah dilakukan sejak tahun 1992 dan berlangsung
hingga sekarang. Saking lamanya sampai-sampai Sumirah menetap dan bisa membangun rumah sederhana di kawasan belakang terminal. Tiga dari keempat anaknya juga lahir di rumah tersebut.
Kini Sumirah dan keluarga terpaksa harus gigit jari. Area tempatnya berjualan telah ditutup sejak awal bulan September 2018 lalu oleh pihak Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Semarang. Semua pedagang disuruh pindah
karena nantinya setelah direnovasi, terminal ini akan beralih fungsi menjadi terminal angkutan barang— tidak lagi menjadi terminal penumpang.
Namun, perempuan paruh baya ini memilih bertahan dan menolak direlokasi. Hari-hari Sumirah masih diisi dengan menjajakan dagangannya, sembari berharap akan ada pembeli yang mampir ke lapaknya. “Ya saya tetap berjualan intinya karena saya memang nggak mau pindah,”
EDUKASI34 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
SEMARANGAN Oleh: Baihaqi Annizar, Kru LPM EDUKASI angkatan 2013 Fotografer: G. Hidayat, Kru LPM EDUKASI angkatan 2015 Sumirah (50) termenung menunggu dagangannya pada Minggu (2/9) siang. Dulu, saat terik seperti ini ia sibuk melayani pembeli. Tapi kini sudah tidak lagi semenjak tempatnya berjualan telah beralih fungsi.
tegasnya saat diwawancarai di warung sebelah pojok terminal.
Usminah (45) punya cerita yang tak jauh berbeda. Perempuan yang seharihari menjual makanan dan minuman ini merasa belum siap jika harus pindah dari tempatnya mengais rezeki. Katanya, dia sudah kadung nyaman. “Saya sudah biasa nyari nafkah di sini, terus tiba-tiba digusur gak boleh jualan, rasanya ya sakit, ya bingung mau nyari makan ke mana lagi,” keluhnya.
Kisah seperti Sumirah
dan Usminah dialami ratusan pedagang lainnya di Terminal Terboyo. Sebanyak 216 pedagang yang sudah puluhan tahun menggantungkan nasibnya di sana, kini kondisinya semakin tidak jelas. Hal tersebut dilakukan seiring dengan rencana renovasi Terminal Terboyo oleh Pemkot Semarang. Alokasi dana yang dianggarkan untuk merombak terminal itu sebesar 50 miliar rupiah.
Alih fungsi terminal
Pasca tahap renovasi nanti, Terminal Terboyo tak lagi difungsikan seperti sebelumnya. Ini mengingat adanya keputusan alih status terminal, dari yang mulanya tipe A (terminal penumpang antarkota) menjadi tipe C (terminal peti kemas dan barang). Sebelumnya, Kota Semarang memiliki dua terminal tipe A; Terboyo dan Mangkang, untuk Penggaron merupakan terminal tipe B. Kepala Dishub Kota Semarang, M. Khadik
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 35 SEMARANGAN
SEMARANGAN
SEMARANGAN
mengemukakan, per tanggal 1 September 2018, bus Antarkota Antar Provinsi (AKAP) akan dialihkan sepenuhnya ke Terminal Mangkang, sementara bus Antarkota Dalam Provinsi (AKDP) dialihkan ke Terminal Penggaron. Selain itu, ada angkutan kota termasuk Bus Rapid Transit (BRT) dialihkan ke Pasar Banjardowo yang lokasinya setelah Terminal Terboyo jika dari arah kota. Menurut Hendrar Prihadi selaku Walikota Semarang, alih fungsi terminal dilakukan karena problem pembiayaan. Katanya, jika Terminal Terboyo tetap menjadi terminal tipe A, maka pengelolanya bukan pemerintah kota, melainkan langsung dari pemerintah pusat. Padahal kondisi terminal yang berlokasi di pinggir pantai utara Jawa tersebut kian miris karena terdampak rob dan banjir. Sehingga, kata Hendi Pemkot bisa jelas menganggarkan untuk perbaikan.
Di samping itu, lokasi terminal yang memiliki luas 22 hektar itu cukup jauh dari jalan utama, membuat bus kadang enggan menaikkan dan menurunkan penumpang di dalam terminal. Kondisi ini juga berpengaruh terhadap meruaknya percaloan di sekitar terminal yang sudah dibangun sejak tahun 1985 tersebut.
Walakin, tak sedikit pihak yang menyayangkan penutupan terminal terbesar di Jawa Tengah itu. Pasalnya ada hal-hal terkait yang belum diselesaikan, seperti bagaimana nasib sopir bus dan para pedagang ke depan. Apalagi banyak yang merasa bahwa sosialisasinya
kurang maksimal.
Kepala Bidang (Kabid) Perparkiran dan Pengendalian Ketertiban (Daltib) Dishub Kota Semarang, Danang menyayangkan adanya pihak-pihak yang masih kaget terhadap kebijakan ini. Padahal, katanya, sosialisasi telah dilakukan sejak awal tahun 2018. “Bahkan sebenarnya wacana tentang renovasi dan alih fungsi Terminal Terboyo sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu,” paparnya di sela-sela tugas menertibkan bus yang masih beroperasi di area terminal, Minggu (2/9).
Kendati sudah ada terminal lain yang menjadi ganti tempat transit, para sopir bus tetap saja tak terima. Bentuk protes dilakukan dengan tetap menaikkan dan menurunkan
penumpang di jalan Kaligawe depan terminal. Bahkan, pada dua hari pasca ditutup, masih ada beberapa bus yang memasuki area Terminal Terboyo, (2/3). Jauh hari sebelumnya, (16/1) ratusan sopir dan kondektur bus melakukan aksi dengan memarkir bus-bus di tepi jalan sepanjang depan terminal.
Relokasi tak jelas
Tak seperti sopir bus yang sudah mendapat kejelasan terkait tempat relokasi, pedagang sempat mengalami tarik ulur. Walikota Semarang menuturkan, terkait relokasi pedagang, pihaknya telah berkoordinasi dengan Dishub dan Dinas
EDUKASI36 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
SEMARANGAN
Perdagangan setempat. Dan setelah proses panjang akhirnya diputuskan bahwa pedagang Terminal Terboyo akan direlokasi ke Pasar Banjardowo yang terletak di Kecamatan Genuk, Kota Semarang. Diakuinya, semula ada wacana untuk memindahkan para pedagang ke Terminal Mangkang, mengingat seluruh bus AKAP dialihkan ke sana. Namun ternyata Kementerian Perhubungan selaku pengelola Terminal Mangkang tidak mengizinkan. “Kalau dulu ada wacana ke Terminal Mangkang, perlu kami sampaikan keputusannya Terminal Mangkang tidak berkenan menerima karena ini sudah kewenangan pemerintah pusat,” ujar Hendi seperdi dilansir di situs semarang.solopos.com.
Meskipun begitu, rencana relokasi ke Pasar Banjardowo juga menuai protes dari para pedagang. Ketua Peguyuban Pedagang dan Jasa (PPJ) Unit Terminal Terboyo, Mustofa mengatakan, Pasar Banjardowo itu bukan pilihan relokasi yang tepat. Selain karena tempatnya yang tidak strategis, pasar itu juga sangat sepi pembeli. “Di sana itu biasanya tidak ada pengunjung. Sebutannya saja ‘pasar mati’,” keluhnya. Karena itu, dari 216 pedagang, 120 di antaranya memilih untuk tetap tinggal di terminal. Sebagian dari sisanya bersedia pindah ke Pasar Banjardowo.
Sebelumnya, para pedagang bersama PPJ Unit Terminal Terboyo pernah melakukan audiensi dan mengadukan nasib mereka ke Pj Sekda dan DPRD
Kota Semarang, Rabu (5/9). Mereka yang tidak mau direlokasi ke Pasar Banjardowo, kemudian dijanjikan dibuatkan lapak sementara di jalan masuk arah terminal. Pembangunan lapak baru dimulai pada 17 September 2018.
Sayangnya, setelah dilakukan pengukuran di sepanjang jalan masuk terminal, ada kabar bahwa lokasinya kurang representatif sebab banyak kendaraan besar keluar masuk. Mustofa menuturkan, karena kondisi tersebut, ada sebagian pedagang berubah pikiran sebagaimana rencana semula; terpaksa pindah ke Pasar Banjardowo meskipun sepi pengunjung.
Joko Abdul Hafid, sekretaris PPJ menyatakan bahwa sampai tanggal 19 Oktober 2018, pedagang yang masih bertahan di terminal ada 78. Itu terdiri dari 26 pemilik kios besar dan 52 pemilik kios kecil. Sejumlah itu nantinya akan pindah ke lapak sementara yang masih dalam proses pembangunan.
Joko berharap, kejadian semacam ini tidak terulang lagi, baik di sini maupun di tempat lain. Para pedagang sebenarnya tak masalah jika ada kebijakan renovasi dan alih status terminal, tapi sebelumnya selesaikan dulu hal-hal yang terkait.
“Seharusnya (terminal) jangan ditutup dulu.
Carikan tempat yang layak untuk pedagang. Jadi kan tidak menyengsarakan nasib rakyat kecil,” pungkasnya. [E]
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 37
BERPANCASILA, BUKAN BERKHILAFAH
Akhir - akhir
ini gerakan-gerakan anti pancasila kembali bermunculan, yang terbaru yakni ujung dari kasus viralnya video pembakaran bendera yang diduga milik Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) oleh Barisan Serbaguna (Banser) di Hari Santri Nasional (HSN). Berdasarkan laporan yang dilansir tirto.id (23/10/2018), Gerakan Pemuda (GP) Ansor menegaskan bahwa yang dibakar adalah bendera dari HTI, ormas yang sudah dilarang aktivitasnya di Indonesia.
Melihat fenomena di atas, kita tahu sendiri bahwa HTI telah resmi dilarang di Indonesia. Karena gerakangerakan mereka yang ingin meruntuhkan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Selain itu, HTI juga menginginkan sebuah sistem pemerintahan Islam di Indonesia atau yang mereka sebut dengan sistem Khilafah. Padahal sejatinya, prinsip Pancasila sudah sejalan dengan
ajaran Islam, bahkan pada masa peresmiannya telah disepakati oleh tokoh-tokoh Islam tanah air kala itu.
Khilafah, Utopis Belaka
Indonesia sebagai bangsa yang majemuk, dari segi agama, budaya, suku dan bahasa, telah bertekad untuk hidup bersama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang menghargai kebhinekaan. Demikian pula bangsabangsa lain. Kenyataan ini tak bisa dimungkiri. Sebuah pilihan yang harus dihormati.
Menurut Dr. Muchlis M. Hanafi dalam artikelnya yang berjudul Mengapa Pancasila; Bukan Khilafah? menyebutkan bahwa sebuah kepemimpinan politik tunggal (khilafah) bagi seluruh wilayah dunia muslim, seperti masa lalu, dalam konteks kekinian adalah sebuah utopia. Realitas kaum muslim di berbagai kawasan telah mengadopsi konsep negara dengan wilayah geografis dan pengalaman sejarah yang berbeda. Oleh
karenanya, berbagai upaya untuk membangkitkan kembali sistem khilafah setelah runtuhnya Ottoman tahun 1924 selalu menemui kegagalan.
Keberadaan sebuah kepemimpinan yang mencerminkan persatuan dan menjamin kemaslhatan umat Islam sesuai nilainilai profetik (a la minhaj al Nubuwwah) kita sadari sangatlah penting. Konsep imamah dan khilafah dalam Islam, seperti kata al-Mawardi, seorang pakar politik islam klasik, berfungsi sebagai “hiratuddin wa siyaratuddunya” (memelihara gama dan mengatur dunia). Tetapi dalam rinciannya, Islam tidak menetapkan nama dan bentuk pemerintahan tertentu. Jadi nama khalifah bukanlah sesuatu yang sakral dalam agama. Melainkan, yang terpenting ialah hakikat dan tujuannya untuk menjamin keberlangsungan agama dan kemaslahatan umatnya.
Esensi Sistem Negara
Dalam problematika suatu
EDUKASI38 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018 KAJIAN ISLAM
Oleh: Muhammad Fakhrur Riza*
sistem negara, tentunya yang terpenting ialah esensi dari suatu sistem negara tersebut, agar mampu mewujudkan cita-cita bangsanya. Cendikiawan Muslim terkemuka, Syafi’i Ma’arif dalam bukunya yang berjudul Studi Tentang peraturan Dalam Konstituante; Islam dan Masalah Kenegaraan (Jakarta: LP3ES, 1996) menyatakan, citra umat Islam di masa awal-awal adalah berjaya dalam bidang politik, yang semula terinspirasi dari kesuksesan Nabi Muhammad Saw di Madinah.
Prinsip-prinsip negara yang dirangkum oleh Syafi’i Ma’arif dalam bukunya tersebut diantaranya. Pertama, prinsip kepemimpinan (QS. Ali Imran/3: 118). Kedua, prinsip musyawarah (QS. Ali Imran/3: 159). Ketiga, prinsip rajutan tali persaudaraan dan persatuan di antara sesama makhluk Tuhan (QS. Ali Imran/3: 103). Keempat, prinsip persamaan (QS. AnNisa’/4: 1). Kelima, prinsip membela yang lemah dan miskin serta menjaganya (QS. al-Maidah/5; 2). Keenam, prinsip membela dan menjaga wilayah (negara) tempat tinggal (QS. at-Taubah/9: 38).
Berdasarkan prinsip tersebut sudah jelas bahwa esensi sebuah aturan negara adalah kemaslahatan umatnya. Jika kita kembali pada konteks ke-Indonesiaan dengan beragamnya ras, suku, budaya, dan agama, tentu Pancasila sudah sangat relevan dan tidak menyimpang dalam prinsip
kenegaraan yang ada. Karena sejatinya, aturan negara dibentuk sesuai kondisi geografis dan sejarah bangsa sendiri.
Pancasila; Pilihan Rasional
Dalam buku HTI; Gagal Paham khilafah yang ditulis oleh Ma’mun Rasyid menyebutkan, dari perjalanan Islam, tidak ada argumentasi yang dapat kita jadikan pegangan bahwa
benang merah dalam konteks toleransi umat beragama.
Dua alasan sederhana untuk kita menerima Pancasila sebagai ideologi negara, yaitu sejalan dengan nilai-nilai dan ajaran Islam, dan Pancasila sejauh ini mampu menjamin kebaikan konstitusional bagi keseluruhan rakyat Indonesia. Sebagai penganut agama Islam, kita dapat membandingkannya dan menyatukan nilai-nilai ajaran Islam, namun kita tidak bisa menyamakannya.
Karena keluhuran Pancasila tak seluhur dan kesucian agama itu sendiri.
Pancasila adalah pegangan primer dan agama-agama adalah seperangkat aturan dan ajaran ilahiyah.
agama itu dalam keasliannya mengajarkan suatu sistem sosio-politik tertentu dan bersifat eksklusif, termasuk demokrasi dan khilafah. agama-agama mengajarkan dan menganjurkan ajaran yang bersifat inklusif dan komprehensif. Melalui pandangan inilah, dengan visi memperjuangkan universal dan kebaikan tertinggi maka Pancasila sebagai ideologi yang kita anut di negara ini, merupakan pilihan rasional dari seluruh masyarakat dan bukan monopoli agama tertentu. Dalam perjalanan Negara Indonesia, Pancasila mampu dan dapat menjadi
Di mana prinsipnya, Pancasila memuat nilai-nilai dasar kemanusiaan, yang mempunyai rajutan erat dengan human dignity (martabat manusia). Human dignity adalah fondasi kuat semua nilai moral dasar ideologi Pancasila. Atas dasar itu pula, Pancasila sudah menjadi keputusan final dan tidak dapat diubah. Karena sesuai dengan cita-cita dan kondisi bangsa Indonesia.[E]
*) Mahasiswa semester akhir. Pernah menjabat sebagai Pimpinan Umum (PU) LPM EDUKASI Periode 2017
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 39
Akreditasi Sempat Terpuruk, FITK Mulai Berbenah
Beberapa akreditasi jurusan di FITK UIN Walisongo sempat terpuruk. Penyebab satunya adalah kurangnya kelengkapan dokumen. Dari situ, FITK kemudian mulai berbenah.
Oleh : SITI SAADAH | Fotografer: G. HIDAYAT
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 41 LAPORAN KAMPUS
.............................................................................................................................. ..............................................................................................................................
NurWachid, namanya. Ia merupakan mahasiswa jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) UIN Walisongo Semarang. Saat ini Wachid kuliah semester akhir. Hari-harinya diisi dengan menggarap skripsi. Namun, satu yang ia khawatirkan, soal akreditasi jurusannya. Dari pertama ia masuk, sampai sekarang masih menyandang akreditasi B. Ia sangat berharap saat lulus kelak akreditasi jurusannya sudah lebih baik.
Selaras dengan Wachid, Nanda Pambudi juga berharap agar akreditasi jurusannya bisa berubah dari yang tadinya B menjadi A. Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) tersebut merasa bahwa akreditasi penting. Sebab, katanya, kualitas akreditasi dapat berpengaruh saat nanti mendaftar kuliah lagi atau ketika melamar pekerjaan.
Berdasarkan data yang dirilis Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), beberapa akreditasi jurusan di
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) sempat terpuruk. Pada tahun 2013, akreditasi jurusan PAI dan Pendidikan Bahasa Arab (PBA) turun dari A menjadi B. Sedangkan jurusan lainnya rata-rata stagnan berakreditasi B.
Baik buruknya akreditasi berbanding lurus dengan jumlah peminat pada jurusan tersebut. Sesuai data penerimaan mahasiswa baru pada tahun 2018, jumlah peserta Ujian Masuk Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (UMPTKIN) terbanyak memilih jurusan Perbankan Islam. Padahal di tahuntahun sebelumnya PAI selalu menjadi jurusan terfavorit di UIN Walisongo.
Selain itu, rendahnya akreditasi jurusan secara tidak langsung juga berpengaruh pada akreditasi universitas. Menurut Raharjo selaku Dekan FITK, jika akreditasi jurusan rata-rata masih rendah maka mustahil akreditasi universitas menjadi A. Apalagi, imbuh Raharjo, perguruan tinggi Islam
yang akreditasinya di bawah A seperti halnya UIN Walisongo, belum memiliki izin untuk menyelenggerakan Pendidikan Profesi Guru (PPG) secara mandiri. Padahal, bagi mahasiswa lulusan FITK yang notabene merupakan fakultas berbasis keguruan, program PPG ini sangat penting untuk menunjang kelangsungan mengajarnya.
“Untuk kegiatan PPG, UIN Walisongo masih menjadi sub-rayon, sehingga belum bisa melaksanakan PPG secara mandiri. Hanya UIN Jakarta, UIN Malang, dan UIN Yogyakarta yang bisa, karena kampus tersebut sudah berakreditasi A,” jelas pimpinan tertingi di FITK, Selasa (6/3/2018) ketika ditemui di kantornya.
Gagal Pertahankan
Menurunnya akreditasi beberapa jurusan di FITK menjadi keprihatinan bagi berbagai pihak. Wakil Dekan III FITK Bidang Akademik, Fatah Syukur menyatakan, penurunan akreditasi bukanlah hal yang dapat dihindari. Fatah beralasan, standar akreditasi yang semakin meningkat membuat jurusan kewalahan dalam mempersiapkan akreditasi.
“Standar dulu kan beda dengan sekarang. Nilai akreditasi A dulu dengan nilai A sekarang berbeda,” jelas Fatah saat diwawancarai di ruangannya pada Kamis (8/3/2018).
Terkait turunnya akreditasi ini, yang paling
EDUKASI42 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018 LAPORAN KAMPUS
miris sebenarnya adalah jurusan PAI. Sebagai jurusan tertua di UIN Walisongo yang selalu berakreditasi A, pada tahun 2013 lalu akreditasi jurusan PAI sempat merosot menjadi B. Pemangku kebijakan sempat berdalih bahwa penurunan tersebut merupakan sesuatu yang lumrah.
Ketua Jurusan (Kajur) PAI, Mustopa menuturkan, penurunan akreditas tersebut tidak semata karena kinerja dari jurusan buruk. “Di saat yang sama, jurusan PBA dulu juga sedang
melaksanakan akreditasi. Sehingga mungkin karena kesibukan di fakultas itulah yang membuat kinerja di setiap jurusan menurun,” duganya.
Saat dikonfirmasi lebih lanjut, Dekan FITK Raharjo menyatakan bahwa dirinya kurang tahu secara jelas terkait alasan menurunnya akreditasi. Ia mengaku saat akreditasi turun dirinya belum menjabat sebagai Dekan. Ia hanya melanjutkan kepemimpinan yang sebelumnya dipegang oleh
Rendahnya akreditasi juga terjadi di jurusan Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD). Apalagi PIAUD ini merupakan jurusan yang baru dibuka pada tahun 2014 lalu.
Saat dikonfirmasi di kantornya, Mursid selaku Kajur PIAUD bercerita, banyak yang harus dibenahi di jurusannya. “Ada beberapa masalah yang muncul, di antaranya kantor jurusan yang berpindahpindah, keberlangsungan dana yang tak menentu hingga harus mengadakan iuran pribadi bagi dosen, belum lagi ketua jurusan yang merangkap jabatan,” imbuhnya. Dekan FITK Raharjo menyatakan, akreditasi PIAUD masih rendah karena jurusan tersebut memang belum memiliki lulusan. Lulusan, katanya, merupakan salah satu aspek penting yang menentukan nilai akreditasi.
Sesuai Peraturan Menteri Riset dan Teknologi Pendidikan Tinggi (Permenristekdikti) Nomor 32 tahun 2016 disebutkan, terdapat tujuh standar yang dinilai pada saat akreditasi. Ketujuh standar tersebut meliputi visi, misi, dan tujuan; tata pamong kepemimpinan; mahasiswa dan alumni; sumber daya manusia meliputi Dosen dan Karyawan; kurikulum pembelajaran dan suasana akademik; pembiayaan, sarana dan prasarana serta sistem informasi; penelitian pelayanan/pengabdian
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 43 LAPORAN KAMPUS
Darmuin. Hasil Akreditasi Jurusan di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) Tahun 2018 NO JURUSAN PERINGKAT PENDIDIKAN GURU DAN MADRASAH IBTIDAIYAH (PGMI) MANA JEMEN PENDIDIKAN ISL AM (MPI) B A 1. 2. MASA BERL AKU 2016-2021 2016-2021 PENDIDIKAN ISL AM ANAK USIA DINI (PIAUD) PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS (PBI) PENDIDIKAN AGAMA ISL AM (PAI) PENDIDIKAN BAHASA ARAB (PBA) B A A A 3. 4. 5. 6. 2018-2023 2017-2022 2018-2023 2018-2023
kepada masyarakat dan kerjasama
Berbenah
Saat ini, kondisi akreditasi jurusan di FITK sudah mulai membaik. Beberapa jurusan telah berbenah memperbaiki akreditasinya. Jurusan PAI salah satunya. Sejak bulan Juni 2018, pihak jurusan telah mengembalikan muruahnya sebagai jurusan yang tak hanya matang secara umum tetapi juga secara kualitas. Terbukti sesuai SK BAN-PT, PAI resmi berakreditasi A. Mustopa menegaskan, pembenahan akreditasi jurusan tidak lepas dari dukungan dari berbagai pihak, termasuk pihak fakultas dan universitas. Pihaknya bekerja sama untuk memenuhi setiap komponen penilaian agar mampu mengembalikan akreditasi seperti semula.
Selain itu, kata Mustopa, jurusan juga mencoba bercermin dari kesalahankesalahan sebelumnya yang kurang memperhatikan pemenuhan setiap komponen.
“Komponen satu yang lain itu saling terhubung. Misal saja komponen visi dan misi terkait dengan kurikum. Jika kurikulumnya tidak mencerminkan visi misi maka keduanya tidak memenuhi standar penilaian,” bebernya.
Berkenaan dengan itu, Dekan FITK menjelaskan bahwa fakultas telah meminta bantuan dari Lembaga Penjamin Mutu (LPM) dalam proses penilaian akreditasi. LPM akan menilai secara internal setiap komponen sebelum mendaftarkan akreditasi kepada BAN-PT.
Mukhaya selaku ketua LPM UIN Walisongo
menyatakan, peran LPM dalam hal ini ialah sebagai lembaga yang membantu jurusan dalam melengkapi dan mengevaluasi standar yang sudah ditentukan oleh BAN-PT. Ia juga menambahkan, jurusan harus mampu meningkatkan kualitas pelayanan, karena setiap tahunnya standar akreditasi akan semakin meningkat.
Menurut data yang dirilis oleh BAN-PT, beberapa jurusan di FITK satu persatu sudah mulai membaik.
Terhitung mulai tahun
2017 akreditasi jurusan PBI keluar dengan nilai A, disusul jurusan PAI dan PBA pada tahun 2018. Jurusan Manajemen Pendidikan Islam (MPI) bahkan sudah lebih dulu berakreditasi A. Terbaru, akreditasi jurusan
PIAUD keluar dengan nilai B setelah sebelumnya C. [E]
EDUKASI44 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018 LAPORAN KAMPUS
PENDIDIKAN YANG MENCIPTAKAN MASALAH
Oleh: Wahyu Agung Prasetyo*
Orang
akan mendapatkan pekerjaan yang layak dan menjadi sukses setelah bersekolah setinggi-tingginya. Mengapa demikian? Apa karena sistem dan kualitas pendidikan yang bagus, guru atau dosen yang professional, siswa atau mahasiswa yang rajin belajar mengerjakan tugas dan lulus tepat waktu? Bukan itu semua. Yang membuat orang mendapatkan pekerjaan yang layak dan menjadi sukses setelah bersekolah setinggi-tingginya adalah kepercayaan orang-orang terhadap hal itu.
Mari membaca hasil beberapa hasil riset untuk mendapatkan pandangan lain terhadap anggapan kalau ‘pendidikan menjamin kesuksesan’. Mulai dari sebuah portal pencari kerja JobsDB.com yang mecatat lebih dari 66 ribu sarjana baru di Indonesia tidak berhasil masuk perusahaan dan berpotensi menjadi pengangguran. Sedangkan jumlah sarjana baru setiap tahun mencapai sekitar 250
ribu.
Sulitnya sarjana baru memperoleh pekerjaan terlihat dari meningkatnya angka pengangguran terdidik Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pada 2013 ada 8,36 persen (619.288 orang) pengangguran yang merupakan alumni perguruan tinggi di Indonesia. Lalu, pada Agustus 2014, meningkat menjadi 9,5 persen (688.660 orang). Dari data itu, pengangguran paling tinggi merupakan lulusan universitas bergelar S-1 yang mencapai 495.143 orang.
Kemudian, hasil studi Willis Towers Watson tentang Talent Management and Rewards menyebutkan, sejak tahun 2014, delapan dari sepuluh perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi yang siap pakai. Walaupun angka pertumbuhan lulusan perguruan tinggi di Indonesia setiap tahun bertambah, angka permintaan perusahaan terhadap tenaga kerja selalu lebih rendah.
Kita bisa tak mempercayai
data-data itu maupun membantahnya dengan pandangan lain yang lebih benar. Tapi satu hal yang jelas, ketika ‘pendidikan tak menjamin kesuksesan’ apa yang bisa dan apa yang mau kita lakukan?
Apakah dengan meningkatkan kualitas pendidikan, dosen, dan mahasiswanya? Mengubah kurikulum pendidikan tinggi, menciptakan jurusanjurusan baru yang lebih relevan dengan kondisi zaman? Ya, semua itu mungkin dilakukan. Tapi, solusi-solusi yang seperti itu seakan-akan mengarahkan pada pengembangan institusi pendidikan, bukan esensi pendidikan.
Sejak Sekolah Dasar arti ‘pendidikan’ yang biasanya dijelaskan adalah cara untuk menjadikan orang yang sebelumnya ‘tidak bisa’ menjadi ‘bisa’. Nah, ketika dikaitkan dengan solusisolusi sebelumnya, maka ada satu pandangan lain yang perlu dicermati. Semakin berkembangnya institusi pendidikan tidak membuat orang-orang menjadi ‘bisa’.
EDUKASI46 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
•ARTIKEL•
Tapi membuat orang-orang bergantung kepada institusi pendidkan untuk menjadi ‘bisa’.
Jadi, dapat sedikit disimpulkan (kesimpulan ini bisa dibantah juga), ketika orang-orang percaya kalau ‘pendidikan menjamin kesuksesan’ itu merupakan ketidakmampuan orangorang untuk melepas ketergantungan pada institusi pendidikan.
Ketidakmampuan orangorang itu tidak datang begitu saja, tapi diciptakan, dirawat, dan dikembangkan supaya orang-orang selalu bergantung pada institusi pendidikan. Kaum terdidik seperti mahasiswa, sarjana, dosen, professor, guru besar, terus menerus menjual ilmu pengetahuan.
Menjadi membingungkan ketika melihat orang-orang terdidik itu menjual ilmu pengetahuan lalu orangorang membayarnya dengan biaya yang beragam sesuai kemampuan ekonominya. Padahal, di zaman ini, di era milenial ini, ilmu pengetahuan tersebar, berserakan, dan hampir tak
terbendung di dunia yang biasa kita sebut internet.
Orang-orang membayar mulai dari kisaran satu juta sampai puluhan juta untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, belajar dan mempraktikkannya. Di sisi lain, ilmu pengetahuan, cara belajar dan praktiknya bisa diunduh di internet dengan gratis lewat wi-fi atau beli paket data internet 50.000 rupiah per bulan. Jadi, masihkah kita mau bergantung pada institusi pendidikan?
Mungkin pandangan ini terlalu sederhana, atau di sisi lain pandangan ini tak mengakomodir tentang pendidikan kedokteran, sains, arsitektur, teknologi informasi, dan pendidikan lain. Yang membutuhkan fasilitas tertentu, yang perlu uang lebih.
Tentu di dalam tulisan ini tak menjawab semua itu. Tulisan ini hanya berupaya untuk memperjelas permasalahan dan mencoba memberi sudut pandang lain. Yang jelas, sudut pandang lain ini bukanlah penolakan secara total kepada pendidikan
yang serba membutuhkan uang. Pendidikan tetap memerlukan uang. Tapi pendidikan tak boleh membuat orang-orang bergantung pada institusi pendidikan, sehingga menjaga dan merawat pandangan ‘kalau mau sukses ya harus sekolah yang tinggi’. Karena hal itu tidak sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
Ketika pendidikan itu menjadikan orang yang sebelumnya ‘tidak bisa’ menjadi ‘bisa’. Maka pendidikan harus menjadikan orang-orang bisa terdidik, tanpa bergantung pada institusi pendidikan. Orang-orang terdidik perlu bijak. Sebelum menawarkan pendidikan, mereka harus menjelaskan bahwa menjadi terdidik itu bisa tanpa perlu sekolah yang tinggi. Serta menjelaskan, bahwa ‘pendidikan tinggi tak menjamin kesuksesan’.
MelihatMasalah Pendidikan Lebih Jelas
Menjadi orang terdidik yang bijak, tentu tak cukup
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 47
DOK. INTERNET
dengan menjelaskan gagasan pendidikan secara konsep maupun permasalahan di permukaan saja. Ia harus berangkat dari permasalahan nyata. Mulai dari masalahmasalah sistem pendidikan sampai ke penerapannya. Dengan dasar permasalahan itu, orang terdidik mempunyai bekal yang relevan dan kuat untuk gagasan-gagasannya.
Dari sistem pendidikan di Indonesia, ada beberapa masalah yang perlu diperhatikan lebih. Mulai dari sekolah dasar yang sistem selalu berubahubah. Dalam kurun waktu 1947-2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan 11 kali pergantian kurikulum pendidikan nasional.
Kurikulum 1947, dengan Rencana Pelajaran Dirinci Dalam Rencana Pelajaran Terurai. Berjalan selama 17 tahun lalu mengalami perubahan pada tahun 1964, yang disebut Rencana Pendidikan Dasar. Itu pun hanya terlaksana selama 4 tahun.
Selanjutnya, tahun 1968 dengan Kurikulum Sekolah Dasar, kemudian diubah menjadi Kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan di tahun 1974. Setahun kemudian, tahun 1975, kurikulum dikembalikan ke Kurikulum Sekolah Dasar. Lalu, tahun 1984, diubah menjadi Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (K-CBSA).
CBSA yang berjalan selama 10 tahun diubah menjadi Kurikulum 1994.
Di tahun 2004, Kurikulum CBSA mengalami perubahan yang cukup signifikan menjadi Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kemudian disempurnakan pada 2006 dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTPS). Yang terakhir, di tahun 2013 pemerintah menerapkan kurikulum baru, Kurikulum 2013 (K-13). Perubahan dan pergantian kurikulum ini begitu cepat, tapi bagaimana penerapannya dan apa hasilnya?
Selain tidak menjamin kesuksesan, pendidikan di Indonesia juga tidak menjamin terdidiknya anak-anak penerus generasi bangsa. Dalam penelitian Dompet Dhuafa University tentang pandangan masyarakat terhadap program pendidikan, 86 persen masyarakat menilai pendidikan di Indonesia belum mampu memberikan dampak positif terhadap budi pekerti. Hanya 14
persen masyarakat yang menyatakan sudah puas. Dari penelitian itu, ada 449 responden dari 8 provinsi yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Barat, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan.
Bahkan, perilaku korupsi pun dipengaruhi oleh faktor pendidikan. Ada 34 persen responden yang menyatakan, perilaku korupsi dipengaruhi oleh faktor pendidikan, sedangkan 66 persen menyatakan sebaliknya. Lalu semua menjadi jelas, apakah kurikulum di Indonesia bisa meningkatkan kualitas pendidikan? Sebanyak 58 persen responden menilai kurikulum bisa meningkatkan kualitas pendidikan sedangkan 42 persen mengatakan kurikulum tidak meningkatkan pendidikan Indonesia.
Melihat Masalah Pendidikan Lebih Dekat
Untuk memperjelas permasalahan ini, kita perlu melihat lebih dekat. Di era milenial ini memang ada ketidaksesuaian polapola belajar mengajar dengan perkembangan jaman. Sebuah portal online nextschool.org menyampaikan masalahmasalah pendidikan yang perlu kita rubah. Dalam durasi 5 menit 57 detik, nextschool.org menyuguhkan konten yang menarik melalui medium videografis di Youtube.
EDUKASI48 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
•ARTIKEL•
Dalam kurun waktu 1947-2013, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan 11 kali pergantian kurikulum pendidikan nasional
Secara garis besar pendidikan hampir tak bisa mengikuti perubahan zaman. Pendidikan saat ini merancang anak-anak untuk menjadi pekerja-pekerja pabrik. Ada beberapa masalah yang disajikan. Pertama, industrial age value, anak-anak dididik dengan setumpuk tugas dan kehidupan mereka diatur dengan lonceng. Sepanjang hari, siswa tidak melakukan apapun selain mengikuti petunjuk. “Duduk, ambil bukumu, buka halaman 40, selesaikan soall nomor tiga, berhenti bicara,” itulah yang dikatakan guru-guru. Di sekolah, anak-anak dihargai untuk melakukan apa yang disuruh gurunya.
Pola-pola seperti itu, sesuai dengan polapola pekerja pabrik. Keberhasilan pekerja pabrik bergantung pada instruksi dan melakukan persis apa yang diperintahkan. Lalu muncullah pertanyaan, di zaman ini, apa yang bisa anak-anak capai hanya dengan mengikuti petunjuk? Padahal di jaman ini, di era milenial ini, orangorang harus kreatif untuk mengkomunikasikan ide-ide mereka, serta berkolaborasi dengan orang lain. Dengan pola-pola “menyuruh”, apakah anak-anak bisa kreatif?
Masalah kedua, lack of autonomy. Di sekolah, anakanak kurang mempunyai otonomi/kebebasan dan kontrol diri. Setiap menit kehidupan anak-anak di sekolah secara ketat dikontrol oleh sistem. Padahal di
zaman ini, kamu yang melakukan sesuatu, maka kamu yang menentukan waktumu. Otonomi sangat penting bagi anak-anak, karena itu bisa memotivasi untuk terus belajar. Sehingga anak-anak menjadi tidak bosan dan mencegah mereka putus sekolah.
Yang ketiga adalah inauthentic learning. Pembelajaran di sekolah yang tidak autentik disebabkan oleh ketergantungannya pada hafalan. Pola hafalan seakan-akan membuat anak itu harus mengetahui apa yang ia pelajari tapi minim pemahaman. Kemudian, dalam beberapa bulan banyaknya pengetahuan anak-anak diukur melalui ujian.
Kenapa itu disebut tidak otentik? Karena, kita sendiri tahu, sebagian besar pengetahuan itu akan hilang sehari setelah ujian. Karena yang diukur hanyalah jumlah pengetahuan, hanya itu yang dihargai. Bukan pemahaman maupun kedalaman akan pengetahuan itu. Berjam-jam, berhari-hari mendapatkan banyak pengetahuan untuk segera dilupakan, bukankah itu sia-sia?
Selanjutnya masalah ke empat, no room for passion Ada satu kesamaan pelajaran, dengan cara yang sama dan waktu yang sama. Tapi, bukankah ini tidak sesuai kodrat manusia? Bukankah masing-masing dari kita itu unik? Kita berbeda dengan cara kita sendiri, kita punya passion dan ketertarikan yang berbeda, dan kita punya tujuan sendiri-
•ARTIKEL•
sendiri. Masalahaya, di sekolah kurang memenuhi ruang-ruang untuk mengembangkan minat, dan jarang ada pertanyaan seperti, apa keahlianmu? Apa yang ingin kamu lakukan?
Apa keahlianmu sudah sesuai dengan kebutuhan?
Beberapa orang yang dikatakan gagal dari sistem pendidikan bukan karena mereka tidak berbakat, tapi karena bakat mereka tidak bisa diukur oleh sistem pendidikan. Mungkin lebih tepatnya, sistem pendidikan tak peduli dengan bakatbakat di luar standar yang sudah ditentukan oleh sistem. Sistem pendidikan kita tidak memiliki ukuran dan pengakuan terhadap berapa banyak bakat dan potensi setiap orang. Ketiadaan ukuran dan pengakuan ini disebabkan oleh masalah kelima, how we learn. Ada anggapan bahwa jika kita sedikit terlambat belajar (dengan satu cara yang sudah ditentukan sistem), maka kita sudah gagal. Padahal, kita hanya butuh waktu lebih dan cara belajar lain untuk mengejar ketertinggalan.
Masalah keenam adalah lecturing. Kita mendapatkan pelajaran dengan waktu lima jam lebih dalam sehari. Ini bermasalah. Sal Khan dari Khan Academy menyebut ini “pengalaman fundamental yang tidak manusiawi”. Anak-anak hanya diam mendengarkan tanpa diperbolehkan untuk berinteraksi satu sama lain. dampaknya, ada anak yang bosan dengan pelajaran, ada yang bingung dan tidak
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 49
paham.
Padahal, anak-anak bisa lebih kreatif untuk berinteraksi dan memanfaatkan internet untuk mengakses hampir seluruh informasi. Sudah jelas bahwa teknologi memungkinkan siapa saja untuk belajar apapun yang mereka mau. Hanya karena takut kehilangan kontrol, sistem ini belum berjalan secara luas. System pendidikan dengan pola-pola pekerja pabrik ini memang tak sesuai dengan perkembangan jaman. Jika kita ingin menyiapkan anak-anak supaya menghadapi masa depan yang terus berubah, maka kita perlu mengubah sistem pendidikan secara menyeluruh.
Menyelesaikan Masalah Pendidikan Mulai dari Kritik
Memang tak sedikit dan tak sederhana jika kita membahas masalah-masalah pendidikan. Apalagi mencari solusi dan menyelesaikan masalahmasahnya. Namun, paling tidak dengan terus memperjelas masalah pendidikan, kita bisa terus semakin resah bahwa apa yang kita bayangkan, yang kita lakukan, dan yang kita dapatkan, di dunia pendidikan terkadang sangatlah sia-sia.
Dan lagi-lagi, memperjelas permasalahan juga baik sebagai bekal untuk menyelesaikan permaalahan. Misal ketika seorang siswa mendapatkan ancaman oleh gurunya karena mengkritik sistem pendidikan di sekolah. Siswa punya alasan yang kuat bahwa yang apa dilakukannya itu adalah bukanlah untuk menjelek-jelekkan sekolahnya. Tapi kritik adalah satu hal yang baik untuk mengevaluasi penerapan sistem pendidikan serta satu upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah pendidikan.
Setap anak, setiap siswa juga mahasiswa, perlu didorong untuk berani menyampaikan pendapat, termasuk kritik. Mereka perlu memahami juga bahwa semua itu menyampaikan pendapat adalah Hak Asasi Manusia yang dilindungi oleh UndangUndang.
Di jaman yang serba berubah dengan cepat ini, tak ada alasan lagi untuk tidak membuka ruang kritik. Supaya kita bisa lebih kreatif untuk belajar, melakukan penelitian dan bisa bermanfaat bagi masyarakat. Yang mana ruang kritik ini memotivasi setiap orang supaya memiliki kemauan kuat untuk menyelesaikan permasalahan dari dasar masalah yang nyata. [E]
EDUKASI50 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
•ARTIKEL•
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 51 LENSA Fotografer: G. Hidayat | Variasi Anak-Anak
PROGRAM REFORMA AGRARIA JOKOWI SEJATI ATAU PALSU?
Reforma
Agraria sempat menjadi komoditas janji kampanye yang pernah dilontarkan Jokowi dalam Pilpres tahun 2014 silam, progam itu ia kemas dalam balutan nawacitanya. Dalam salah satu dari Sembilan poin nawacitanya disebutkan bahwa dengan Program “Indonesia Sejahera” Pemerintah akan mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 hektar yang terimplementasi dalam proyek Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dan Reforma Agraria Perhutanan Sosial (RAPS). Setelah kurang lebih berjalan empat tahun pemerintahan Jokowi, sudah sampai manakah efektifitas kebijakan ini? Dan apakah program yang diklaim reforma agraria ini sudah berjalan di trek yang benar?
Berdasarkan fakta lapangan konflik reforma agraria dari tahun ke tahun semakin meningkat. Data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menunjukkan medio 20162017 terjadi lonjakan 50% konflik agraria. Jika dianalogikan selama sehari hampir terjadi dua konflik agraria di berbagai wilayah Indonesia. Artinya secara eksplisit progam kerja Jokowi
tidak mengurangi ketimpangan aset sumber – sumber agraria. Dus tidak mengurangi penderitaan rakyat. Shobuddin dalam bukunya Perspektif Agraria Kritis Telaah Teori, Kebijakan dan Kajian Empiris mengatakan bahwa reforma agraria sejati mensyaratkan dua hal. Pertama, adanya transfer aktual yakni sejauh mana manfaat kebijakan reforma agraria secara ekonomi dan politik dapat menyasar kelompok yang dituju (petani gurem/tunakisma- masyarakat fakir tanah). Kedua, distribusi tanah menuntut transfer neto menyasar lintas kelas sosial, misal lapisan negara, korporasi, desa hingga komunitas atau lapisan sosial atas ke lapisan sosial bawah.
Kalau diperhatikan dengan seksama kebijakan reforma agraria Jokowi hampir mirip revolusi hijaunya Soeharto. Para pakar menyebut ini dengan istilah by pass approach atau semacam jalan pintas, konsep ini memiliki ciri –ciri diantaranya mengandalkan bantuan asing, hutang, dan investasi dari luar negeri serta bertumpu pada yang besar (betting on the strong).
EDUKASI52 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
KOLOM
(Gunawan Wiradi; 2009). Maka akibatnya sekali lagi kriminalisasi petani hingga land grabbing tidak kunjung berhenti bahkan cenderung naik dari tahun ke tahun. Apalagi kalau kita tinjau cara kerja sustaianable develpomentalism (paradigma pembangunan negara) mensyaratkan akumulasi kapital yang bertumpu pada tanah dan sumber daya alam.
Reforma Agraria Jokowi Jauh dari Semangat UUPA ‘60
Dahulu pemerintah dengan panduan UUPA tahun 1960 yang mengusung semangat sosialisme ala Indonesia, kemandirian, anti asing dan anti rekonsentrasi sumber agraria pernah menjalankan land reform meskipun berhenti di tengah jalan akibat gejolak politik tahun 56-66. Sayangnya selepas orde baru berkuasa hingga masa reformasi nyaris gaung reforma agraria sejati tak lagi muncul.
Dalam konteks reforma agraria Jokowi di belakangnya tidak lepas dari campur
tangan Bank Dunia. Dilansir dari riset Dianto Bachriadi bahwa dibalik terbitnya Intruksi Presiden (Inpres) RI. NO 2 Tahun 2018 tentang Percepatan Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap di seluruh wilayah Indonesia tidak terlepas dari proyek hutang 200 Juta dollar AS. Pendaftaran sertifikasi tanah yang diklaim sebagai progam reforma agraria ini tujuan besarnya jelas sebagaimana terungkap dalam dokumen CPF (Counter Partnership Framework For Indonesia) yakni terciptanya pasar tanah efektif dan siap alih (transferable) sehingga mendongkrak sektor swasta melalui kelancaran investasi asing.
Alih –alih melindungi alat produksi kaum tani pemerintah berkolaborasi dengan Bank Dunia melegalkan tanah dijadikan komoditas melaui program sertifikasi tanah yang mempunyai semangat akumulatif-kapitislitik. Akhirnya mengutip salah satu pakar agraria Gunawan Wiradi, bahwa lebih baik menyebut kebijakan pemerintah hari ini sebagai kebijakan agraria daripada reforma agraria karena sudah jauh melenceng dari substansi reforma agraria itu sendiri. [E]
Fathan Zainur Rosyid adalah aktivis FNKSDA Semarang dan konsen di bidang advokasi lingkungan.
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 53
DOK. INTERNET DOK. PRIBADI
PERS MAHASISWA BISA APA?
Amanat: Untuk
Mahasiswa dengan
Penalaran dan Taqwa, Edukasi: Jurnalis Peduli Peradaban, Justisia: Melintas Batas
Melanggar Etika, Idea: Frekuensi: Missi
Barangkali
dari sekian ribu Mahasiswa di UIN Walisongo yang tahu maksud dari lead di atas hanya mahasiswa yang terlibat dalam internal lembaga pers masing-masing. Sekedar informasi saja, lead di atas merupakan tagline atau slogan dari Lembaga Pers Mahasiswa (seterusnya disebut LPM) yang ada di kampus tercinta. Terdengar keren memang, tapi aku seperti Soe Hok Gie sebagai manusia yang tidak percaya pada slogan.
Sebagai nahasiswa yang bukan aktivis LPM, Aku tidak tahu banyak tentang lembaga satu ini; selain yang aku baca dari “beritaberita viral” kalian yang tendensius, tidak solutif, bahkan jauh dari subtansi mewakili suara mahasiswa. Boleh kalian menyebut itu sebagai eigenrichting, tapi orang yang baca pun akan paham dan bisa menebak: apa maksud dan ke mana framing di balik tulisan yang kalian tulis tersebut.
Aku mengutarakan itu bukan tanpa alasan. Kalian tahu, aku salah satu mahasiswa yang mendonasikan sekian persen
UKT untuk karya yang harus kalian hasilkan, bayarnya tiap semester lagi. Wajar saja jika Aku menaruh harapan dan timbal-balik kalian. Selain itu, ada banyak hal yang sangat mengecewakan dari LPM. Aku akan menceritakannya dengan senang hati, biar kalian tidak langsung main hajar dan naik pitam! Setelah baca tulisan ini.
Tendensius, Idiosinkrasi dan Anti Kritik
Tantangan terberat seorang jurnalis justru kebebasan pers itu sendiri. Kebebasan akan cendrung untuk disalahgunakan, salah satunya adalah membuat tulisan yang tendensius. Soal tendensi LPM, satu bukti jelas terlihat ketika ada momen orentasi Mahasiswa baru (baca: PBAK). Ironis, selama 3 kali aku mengalami pelaksanaan PBAK, selama itu pula narasi dan framing yang kalian hadirkan selalu sama: “kepentingan Organisasi Ekstra Kampus”.
Sekalipun maksudnya ingin mengkritisi panitia PBAK toh ujungnya kalian akan bahas itu juga. Sah-sah saja, kalian menyajikan itu. Tetapi kalau framing yang demikian berulang-ulang setiap tahunnya, meminjam penggalan puisinya Rendra, orang akan bertanya “Maksud baik saudara untuk siapa?” dan “Saudara berdiri di pihak yang mana?”
Terlepas ada desas-desus bahwa pemberitaan LPM sebagai pertarungan dan representasi dari kepentingan
Organisasi Ekstra Kampus. Aku tak ada masalah, selama kalian tetap menyajikan tulisan yang berimbang, independen dan tak melakukan apa yang disebut Naom Chomsky sebagai Manufacturing Concent menjadi Manufacturing Content. Bukankah Lafran Pane, Mahbub Djunaidi, Bung Karno hingga Hasan Al Banna adalah para pendekar pena yang senantiasa menyuarakan kebenaran.
Ada lagi yang ingin aku soroti dari LPM. Lembaga ini terlihat begitu eksklusif dan mirip tirani. Mahasiswa umum hanya tahu, kalau tugas LPM buat liputan dan cetak produk jurnalistik. Sayangnya, ada ribuan mahasiswa yang tak pernah tahu dan bisa menikmati masterpiece kalian. Bila kalian tak mampu mendistribusikannya kepada setiap Mahasiswa, setidaknya per satu kelas di tiap jurusan bisa dapat satu majalah atau buletin. Jika kalian masih tak sanggup –dengan alasan dana, Patut dicurigai! Beruntung tak ada lembaga mahasiswa anti
EDUKASI54 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018 SUARA MAHASISWA
rasuah di sini.
Wajar saja akhir-akhir ini mahasiswa kehilangan gairah kritisisme. Benar, LPM sering mewartakan kritik terhadap birokrasi kampus dan lembaga mahasiswa lain. Hanya saja, kritik itu berkutat di lingkungan “Elite Mahasiswa”. Makanya, aku tak heran, setiap ada demo ya, mahasiswanya merekamereka saja.
Lebih parah lagi, mahasiswa tidak akan pernah tahu jika ada LPM yang tak pernah menghasilkan produk jurnalistik selama periode kepengurusan. Sialnya, Mahasiswa hanya diam dan tidak acuh, karena mereka anggap itu hal yang lumrah.
Toh, ada atau tidaknya majalah dan buletin juga tak berpengaruh terhadap IP mereka. Kalau sudah begini, –sempurna sudah liar paradox yang kalian lakukan,- bukan?
Sudah bukan rahasia
lagi jika LPM menjadi lembaga yang paling sering melontarkan kritik pada lembaga intra lainnya, macam, DEMA dan SEMA. Aku sangat setuju! Asal kalian benar mewakili suara mahasiswa, bukan karena sebatas kelompok kalian yang tidak terima dengan kebijakan ini-itu atau tidak terima soal bagian dana. Sebagai kumpulan orang yang punya nalar intelektual tingkat dewa, kalian pasti tahu makna peribahasa “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”.
Satu lagi yang terpenting, jangan sampai LPM jadi lembaga tirani. Karena suka mengkritik, tapi lalai merefleksikan diri. Bahaya lagi kalau sampai lembaga pers anti kritik. Aku sarankan sering-sering buat jejak pendapat secara terbuka mengenai kinerja LPM. Kalau kalian pernah baca bukunya Albert Camus dalam The Rebel (1956) ada pembacaan Albert pada sosok Marquis de Sade yang
getol melakukan self reflection di setiap karya tulisanya. Bagi Sade, “ada kejahatan moral yang dilakukan oleh seseorang lewat tulisan”.
Jujur, aku sangat menaruh apresiasi dan merasa berhutang budi kepada orang-orang yang aktif di LPM. Aku percaya, di luar kekurangan yang aku sampaikan di atas, kalian masih memiliki integritas dan dedikasi tinggi terhadap suara mahasiswa lewat jalur pers. Apa yang aku tulis ini sebagai bentuk kepedulian dan perhatianku kepada seluruh LPM di UIN Walisongo.
Akhirnya, dengan meminjam kalimat dari Pramoedya melalui Nyai Ontosoroh (dalam Anak Semua Bangsa) Aku katakan: Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. [E]
Dedy Aprilianto, mahasiswa pendidikan Bahasa Inggris 2015.
SUARA MAHASISWA
Redaksi menerima kiriman untuk rubrik suara mahasiswa berupa artikel dengan tema seputar dunia mahasiswa. Surat yang dikirim dilengkapi dengan identitas diri ke surel: eduonline9@gmail.com, atau bisa datang langsung ke sekertariat LPM EDUKASI di PKM Kampus II UIN Walisongo Semarang.
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 55
SUARA MAHASISWA DOK.
PRIBADI
Memosisikan Ziarah Secara
Proporsional
Oleh: M. Haris Fauzi
Ziarah seringkali tidak menampakkan satu entitas saja, ia akan multi pemaknaan tergantung dari mana dan dengan apa kita melihatnya. Ziarah sebagai budaya masyarakat terbangun dari nilai- nilai yang ada di realitas sosial. Mereka menziarahi tokoh yang berpengaruh dan dinilai memiliki keberkahan, walaupun sudah tiada. Tradisi ziarah-menziarahi sering mengundang polemik tersendiri, ada mereka yang mendukung dan ada pula yang bersikukuh menolak dengan alasan menyekutukan Tuhan mereka.
Dalam pandangan mereka yang mengiyakan, menziarahi makam tokoh tertentu bisa menarik keberkahan karena mereka adalah orang yang pernah menjadi tempat kemurahan Tuhan sehingga menziarahi
makam mereka sama halnya mendatangi sumber kemurahan-Nya. Hal tersebut juga senada dengan pendapat Ibnu Sina yang berkata bahwa tokoh-tokoh suci bisa memberi kebaikan dan menolak keburukan walaupun mereka sudah tiada. Orang yang masih hidup dan memiliki hati yang bersih memiliki koneksi dengan mereka yang telah tiada. Jika seorang yang telah lalu dan termasuk dalam golongan jiwa yang suci sebelum meninggalkan tubuhnya, maka ia akan tetap menetap selamanya di alam ruh dalam keadaan penuh kebahagiaan bersama akal dan rasa. Ia memberikan pengaruh di dunia sama halnya pengaruh yang dipancarkan oleh akal langit. Keberagaman pengaruh dan kesaktian para wali yang mengiringi sosok yang menjadi daya pikat peziarah. Beragam narasi
makin melangit nan ajaib sering dituturkan dari mulut ke mulut dan menembus beragam generasi. Seringkali cerita kesaktian mereka sukar dibuktikan, namun ada saja pembenaran agar orang mempercayai dengan apa yang disampaikan. Para wali mendapat kemurahan dari Tuhan mereka bukan dari banyaknya ibadah mereka namun dari hati yang dermawan. Mereka menolong kesusahan manusia, dan memandang rendah dunia. Kisah mereka condong ke mitos dan jauh dari realitas.
Ziarah dari Masa Islam
Hingga Masuk ke
Nusantara
Ada sebuah hadis yang sering dikutip dan diperselisihkan oleh para pakar. Hadis ini berasal dari Sulaiman Ibn Buraidah dari ayahnya bahwa Rasulullah
EDUKASI56 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
DOK. INTERNET
Budaya
SAW bersabda: Dulu aku melarang kepada kamu melakukan ziarah kubur, maka ziarahlah kamu karena ziarah kubur itu mengingatkan kepada kematian. (Lihat: Al-Hazimi, Kitab al-I’tibar, hlm. 132.)
Dua riwayat hadis Nabi yang berbeda waktu dan saling bertolak belakang, yang satu melarang dan yang lain memperbolehkan. Lantas bagaimana kita memahami konteksnya? Menjernihkan pikiran dari berbagai kecenderungan merupakan langkah awal untuk bisa secara jelas teks keagamaan, karena segala sesuatu yang datang dari Rasulullah menyangkut pembicaraan kepada umatnya memiliki dampak hukum yang harus dilakukan, ada yang sebatas diperbolehkan ataupun dilarang sama sekali. Nabi memerintahkan kepada umatnya untuk selalu dalam koridor agama mereka dan hukum yang mereka tetapkan atasnya. Harus diketahui bersama bahwa tidak ada pertentangan dalam hadis Nabi kepada umatnya. Jikalau terdapat hadisnya yang diarahkan kepada mereka berbeda dengan hadis yang pernah dinyatakan sebelumnya, sebenarnya termasuk bagian dari makna yang dikatakan sebelumnya. Ada makna lain yang harus dimaknai ulang dalam teks hadis Nabi tersebut.
Ada beberapa langkah untuk memahami pertentangan hadis, bisa dengan metode kompromi, nasakh mansukh maupun tarjih. Para ulama memiliki urutan yang berbeda dalam menyelesaikan kesan kontradiksi antara dua kelompok hadis Nabi yang berbeda isinya. Dalam teks hadis Nabi tentang ziarah, ada dua redaksi hadis yang
diriwayatkan berbeda periode waktu. Redaksi awal mengindikasikan tindakan ziarah merupakan tindakan yang dilarang oleh agama mengingat pada saat tersebut para sahabat Nabi belum memiliki dasar teologi yang kuat dalam memisahkan tindakan secara proporsional. Mereka baru saja memisahkan diri dari paham menyekutukan Allah dan menyembah berhala. Kemudian selang beberapa lama muncul redaksi yang terakhir yang memperbolehkan sahabat Nabi untuk ziarah. Karena dinilai keimanan yang dimiliki para sahabat kian kokoh dan mempunyai potensi untuk memisahkan mana yang boleh dan tidak. Oleh karenanya, hukum ziarah kubur pun diperbolehkan setelah sebelumnya dilarang.
Bertahap dalam menetapkan hukum memiliki dampak yang signifikan dalam berdakwah. Masyarakat tidak terlalu frontal menolak hal yang baru mereka kenal, namun lambat laun perilaku amoral kian ditinggalkan tanpa terasa, tak terkecuali dalam pensyariatan larangan dan anjuran berziarah. Kita bisa menerapkan strategi
seperti itu dalam berbagai lini kehidupan semisal dalam melarang pemabuk kelas berat, mulai dengan mengurangi seteguk demi seteguk minuman keras yang mereka minum sampai perilaku tersebut hilang secara suka rela tanpa terasa, tak terkecuali dalam hal ziarah. Kita ubah sedikit demi sedikit perilaku destruktif dalam diri. Pelarangan dan pembolehan ziarah koheren dengan kondisi keagamaan masyarakat.
Diperbolehkan teruntuk mereka yang memahami alasan logis diperbolehkan sesuatu dan melarang bagi mereka yang masih gagal paham terhadap praktik ziarah. Begitulah wajah Islam, harus fleksibel dan konsisten dalam beragama.
Ziarah dalam koridor memunculkan beragam perilaku positif dalam diri. Kita sebagai manusia bisa mendoakan dalam kebaikan mereka yang telah mendahului bertemu Allah. Hal tersebut juga memiliki pengaruh dilipatgandakan pahala mereka yang telah mendoakan. Ziarah dengan rasio melahirkan sikap positif untuk selalu termotivasi melakukan yang terbaik saat itu juga,
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 57
DOK. INTERNET
karena cepat atau lambat kita juga akan menyusul mereka menemui Tuhan. Ziarah ke makam para tokoh membangkitkan semangat diri untuk bisa berbuat lebih dari mereka, menyadari bahwa yang kita nikmati sekarang adalah buat jasa dari jerih payah mereka. Ziarah ke orang tua melahirkan rasa terimakasih dan penghargaan hidup atas didikan yang telah diberikan, tak terkecuali juga Nabi Muhammad kepada orang tuanya.
Ada riwayat lain dari Imam Muslim, beliau meriwayatkan dari Abu Hurairah, berkata: Rasulullah mengunjungi kubur ibundanya lalu menangis dan membuat menangis orang-orang di sekelilingnya, lalu bersabda: aku meminta izin kepada Tuhanku Azza Wa Jalla untuk memintakan ampunan kepadanya ibundanya tetapi tidak diizinkan dan aku meminta izin untuk menziarahi kuburannya lalu diizinkan, oleh sebab itu berziarahlah kamu ke kubur, karena sesungguhnya ia mengingatkan kepada kematian. (Lihat: Shahih Muslim, Shahih Muslim, Vol. III, hlm. 65.)
Terkadang ziarah memiliki makna lain yang tersirat dan baru dimengerti setelahnya, semisal ketika Gus Dur yang pernah menziarahi makam Kiai Mahfud, tokoh Angkatan Umat Islam dari pesantren Simolangu Kebumen yang tertembak di Gunung Srandil yang ikut membela perjuangan melawan penjajahan Belanda namun dituduh memberontak. Gus Dur meluruskan banyak jasa yang telah dilakukan Kiai Mahfud dalam membela tanah air Indonesia.
Gus Dur selalu memiliki cara unik dalam berdakwah, namun seringkali masyarakat tidak mengerti
apa yang sebenarnya dilakukan, bahkan ditolak mentah karena dianggap keluar dari rel yang ada. Pernah suatu ketika, Gus Dur menziarahi makam yang dikenal sebagai basis jujukan kelompok abangan di daerah Kroya Jawa Tengah. Tentu saja disana mereka tidak membacakan kalimat thayyibah, namun tradisi tersendiri di luar nilai keislaman. Apakah Gus Dur tidak mengetahui hal ini itu, mengapa harus menziarahi makam itu. Ternyata ada makna lain mengapa Gus Dur menziarahi makam tersebut. Pelan tapi pasti, mereka yang berziarah setelah itu merubah ritual mereka tanpa ada pemaksaan dan perlawanan.
Berbeda dengan makam para pemberontak negara, sebut saja Kahar Muzakkar yang meninggal dekat dari sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, pada tanggal 3 Februari 1965. Pemakamannya tidak terdengar karena pihak militer merahasiakan pemakamannya. Pendukung dan keluarganya tidak memiliki akses untuk mengantarkan tokohnya ke pemakaman tokoh mereka. Tak hanya makam Kahar Muzakkar yang disembunyikan, ada pula makam Soumokil pemimpin Republik Maluku Selatan dan Kartosuwiryo pemimpin Negara Islam Indonesia yang disembunyikan pasca kemerdekaan Indonesia sampai saat ini.
Makam musuh negara tidak diketahui oleh masyarakat karena memiliki potensi menghidupkan kembali semangat perlawanan. Apalagi masyarakat Indonesia yang memiliki tradisi ziarah karena bagi mereka ziarah dapat menyemai bibit-bibit perlawanan. Itulah alasan
konkret mengapa beberapa makam yang dianggap sebagai musuh negara tidak diketahui jelas letaknya. Ada anggapan bahwa makam tersebut diketahui, kemudian dikeramatkan, lalu lahir pemberontakan lagi. Mengaburkan informasi sebuah makam, dirasa sebagai langkah untuk menghilangkan pengaruh orang yang dimakamkan tersebut dari sejarah Indonesia
Jika ingin mengerti tentang hari ini, kita harus mencari kemarin. Jika ingin mengetahui secara menyeluruh jati diri kebangsaan dan kultural kita, kita harus menziarahi tradisi. Mereka yang terpenjara masa lalu itu laksana kambing yang terikat di pojok ruangan. Mereka tidak berkembang, mereka menunggu tuannya lalu diajak berkeliling dan tidak bisa kemana-mana. Bangsa ibaratnya kambing tadi ia menjadi wujud yang luar biasa dengan tidak memenjarakan masa lalunya, bukan pula mereka yang sering membanggakan masa lalunya.
Ziarah itu netral, dia menjadi buruk karena memiliki pretensi yang destruktif terhadap struktur sosial. Namun juga bisa berwajah berseri dan menyenangkan bagi mereka yang meneladani sikap dan tutur kata etis tokoh yang telah tiada bagi sesama manusia. Ziarahlah dengan rasio bukan dengan emosi agar tidak baperan dan kolot terhadap sejarah. Mereka yang telah mendahului secara hakikat tidak memiliki potensi dan pengaruh yang signifkan bagi kalian, mereka menjadi hidup karena kalianlah yang menghidupkan semangat mereka dalam diri. [E]
EDUKASI58 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
Malak Hifni Nasif: Wahai Perempuan, Janganlah Kau Merasa Rendah (1888-1918M) DOK. INTERNET Oleh: Dzurwatul Muna*
Pujangga
Mesir
di saat Malak lahir adalah sebuah ladang mengakarnya konstruksi budaya dan masyarakat yang patriarki, yaitu suatu konstruksi yang menjunjung tinggi dominasi laki-laki dalam kehidupan. Perempuan menjadi anggota masyarakat kelas dua yang dipaksa menerima segala dominasi laki-laki meski itu begitu merugikan. Sehingga menjadi kaum yang tersubordinasi, bahkan di dalam rumahnya sendiri. Fenomena ini menjadi pemandangan sehari-hari baik di lingkungan keluarga maupun ruang-ruang publik. Perempuan saat itu tidak memiliki kemerdekaan untuk menjalankan kehidupannya. Mereka tidak merdeka menentukan nasibnya sendiri, tidak berkesempatan mendapatkan pendidikan yang layak dan berkarir sesuai dengan minat dan keahliannya. Namun hal itu tidak terjadi pada semua perempuan di Mesir. Beberapa gelintir perempuan ditakdirkan lahir dalam lingkungan keluarga yang menyadari bahwa putrinya bukan hanya seorang perempuan, melainkan juga manusia yang memiliki hak yang sama dengan manusia yang lain. Salah satunya adalah Malak Hifni Nasif.
Malak adalah putri dari Hifni Nasif Bik, seorang penyair, politisi dan akademisi yang menjadi salah satu inisiator berdirinya Al Jaami’ah Al Mishriyyah (sekarang Cairo University). Ditakdirkan lahir dalam keluarga terpelajar di masanya menjadi salah satu faktor pendukung pencapaian Malak sebagai perempuan yang beruntung dapat mengenyam pendidikan formal. Sebuah kesempatan bagi perempuan mesir di masa itu untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini kemudian menjadi kesempatan bagi Malak untuk ikut serta memperjuangkan hak kaumnya di negaranya, menyerukan kesetaraan hak-hak kemanusiaan, termasuk kesetaraan gender. Atas peran dan kiprahnya dalam kampanye kesetaraan di tengah-tengah konstruksi budaya patriarki mesir yang mengakar ini, malak kemudian diklaim oleh para aktivis feminis Mesir sebagai pelopor gerakan feminisme pertama di Mesir pada awal abad ke-20.
EDUKASI60 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
Selain dikenal sebagai pionir gerakan feminisme di Mesir, Malak juga seorang orator, penulis dan penyair. Keahlian orasi yang dimilikinya ini menjadi modal kuat baginya untuk terus memberi pengaruh bagi kebangkitan perempuan di Mesir. Esainya tentang perempuan terkumpul dalam buku yang berjudul Nisaiyyat. Dalam esai-esai itulah gagasan-gagasan feminisme Malak diabadikan. May Ziyadah (1886-1941M) menuliskan dalam catatannya setelah ia bertemu dengan Malak bahwa Malak Hifni Nasif adalah sosok perempuan muslimah, mishriyyah (perempuan Mesir), kritikus, reformis dan juga penyair.
Latar belakang pendidikan dan pengalaman perjuangan emansipasinya ini berpengaruh pada kepenyairan dan kesusasteraannya. Gagasan-gagasan kesetaraan tegas tertuang dalam puisipuisnya. Salah satu puisinya yang sangat kental mengeksplorasi isu gender berjudul
Ya Hadzihi La Ta’dzuli yang artinya “Wahai Perempuan, Janganlah Kau Merasa Rendah”. Puisi karangan Malak ini terdiri dari 60 (enam puluh) bait berbahasa Arab yang berisi tentang keresahan penyair pada realita yang dialami perempuan-perempuan di sekitarnya. Melalui puisi ini penyair ingin menyampaikan pesan kepada para perempuan muslimah mesir khususnya dan dunia pada umumnya agar berusaha melepaskan diri dari belenggu patriarki dengan memulai dari kesadaran diri bahwa perempuan dapat menentukan nasibnya sendiri dengan segala kelebihan yang dimilikinya. Melalui puisi ini pula penyair ingin menyampaikan pada masyarakat luas bahwa budaya patriarki yang berlebihan sudah tidak relevan lagi diterapkan di masa kini.
Dalam puisi itu Malak mengatakan: Kemuliaan seorang gadis berada di rumahnya, bukan di laboratorium atau kantor
Sebuah kalimat yang tegas dan lugas tersirat sebuah kritik kepada masyarakatnya. Perempuan dianggap sempurna bila mau tinggal di rumahnya menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Laboratorium dan belakang meja kantor bukan tempatnya. Penyair ingin mengatakan bahwa masyarakat di saat itu meyakini bahwa hanya laki-laki yang boleh berada pada sektor-sektor tersebut.
Selain itu, malak juga dengan tegas mngkritik sistem yang dibangun oleh
Pujangga
“
MALAK HIFNI NASIF
masyarakat tentang adat berpakaian bagi perempuan di Mesir masa itu.
Kau tak perlu berkecil hati, tak perlu tunduk pada kata-kata itu
Jangan mau diperintah menyapu jalanan dengan pakaian landungmu
Masyarakat mesir konservatif membangun stigma bahwa perempuan muslimah yang baik adalah mereka yang berpakaian berwarna gelap, longgar hingga menyapu tanah. Bagi Malak dan para aktifis gerakan feminisme, konstruksi stigma ini membatasi gerak ekspresi dan kreasi perempuan. Mereka seharusnya tetap mendapatkan hak untuk berpakaian sesuka mereka asalkan masih dalam batasbatas syar’i (bagi muslimah).
Sekali lagi, kalimat-kalimat pemantik semangat kebangkitan kaum perempuan ini tak berhenti pada satu puisi saja, melainkan abadi dalam goresan-goresan tinta perlawanannya yang lain dan menggema melalui pidato-pidatonya ke seantero negeri. Berkat keberaniannya memecah stigma perempuan yang terbangun dalam masyarakatnya, lahir pada generasi-generasi selanjutnya namanama pejuang perempuan Arab seperti Nawal Saadawi, May Ziyadah, dan Ahlam Mustaghanimi. Kebangkitan perempuan arab di masa kini dan kebebasan mereka berkarya hingga mengisi ruang-ruang strategis di dalam kehidupannya tak terlepas dari jasa seorang penyair pionir gerakan feminisme di Mesir, Malak Hifni Nasif. [E]
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 61
*)Redaktur dan co founder sastraarab.com
Kemuliaan seorang gadis berada di rumahnya, bukan di laboratorium atau kantor.
LELAKI BIRU
Saat
mataku terbiasa dengan asap dari rokok dan cerutu yang mengepul seperti racun, aku melihat seorang dengan pakaian kemeja biru dan celana yang merambat seperti sulur hidup, menutupi mata kakinya yang terlihat berwarna gading.
Tapi sekarang sinar matahari mulai terpancar. Sesuatu yang berwarna jingga ditemukan didalam celah-celah jendela, terlihat pertama kali oleh mataku yang kebingungan seolah ia mengubah kemerahan menjanjikan kemerah-mudaan.
Matanya yang membuat nafasku berhenti, dan membuat jantungku berdegup cepat. Warna biru terlihat. Meski melalui kumpulan asap dengan kemeja yang panjang dan rangkaian kesombongan. Aku melihat maya matanya berwarna biru terang layaknya lautan. Biru yang sangat terang. Biru yang bisa direnangi selamanya.
Dari seberang ruangan ini aku memperhatikan, sepertinya dia tengah menjadi pembicara pada sebuah acara. Cekatan tangannya menuliskan kalimat-kalimat pendek pada papan tulis sambil komat-kamit berbicara. Kata-kata yang terangkai pada papan tulis berwarna biru, artinya spidolnya bertinta biru. Biru.
“ Eh lagi lihat apa kau, serius banget” tepukan pundak Vira membuatku njumbul, kaget.
“ Lihat pemandangan itu di sana, adem, Vir“ kepala Vira longak-longok mencari pemandangan adem yang kukatakan.
“ Mana si? “
“ Itu loh Vir, pembicara acara diseberang ruangan itu loh. Masa ga kelihatan”
“ Weleh, yang pake baju biru itu? Jadi selera kau om-om, by the way baik banget tuh pak dosen.”
“Loh, kau kenal dia?”
“Yelah, bapaknya itu ngajar aku pas semester 5.”
“Oh rupanya beliau dosen kampus sini , ku kira datang dari mana gitu. Kelihatan cakap sekali menjelaskan materinya”
“Iya si bapaknya itu pinter banget kalo soal memotivasi, baik juga loh ngasih nilainya, kemarin aja aku dapat B+ tapi kasihan kayaknya beliau sakit deh.”
“ Sakit? ” aku mengernyit mendengar pernyataan Vira, sakit yang bagaimana?
“Hem, kanker. Nggak tahulah aku stadium
berapa, pokoknya beliau pernah izin tidak mengajar 4 kali gitu karena kemoterapi.”
Prang… seperti ada bunyi piring dibanting dalam kepalaku karena mendengar penjelasan Vira. Aku kaget sekali, antara percaya atau tidak.
“Parah, Vir? duh kasihan banget, sejak kapan juga itu kankernya?”
“ Eh eh eh, kenapa kau kepo heh sama pak dosen biru?”
“Pak dosen biru? Namanya biru?
“Bukan, hanya saja bapaknya itu selalu saja pakai baju biru macam tak ada baju lain saja.”
Sebelum sempat kusahuti perkataan Vira ruangan di seberang tempat dia mengisi acara tadi tiba-tiba ramai dan pintunya terbuka. Ternyata acaranya sudah selesai, yang keluar dari ruangan itu seluruhnya adalah laki-laki dan hanya dia yang biru. Pelan dia berjalan sambil menenteng tas punggung yang lagi-lagi, biru.
Dia lewat di depanku yang tengah terbengong memperhatikannya. Aku melihat wajahnya, aku perhatikan dengan sangat perawakan tubuhnya dari atas sampai bawah. Bagaimana model rambutnnya, cara berjalannya, caranya memakai baju yang dimasukan, Ya Tuhan, itu memang dia.
Hari itu adalah pembagian rapor terakhir sebelum ujian nasional sekolah menengah pertama, aku senang sekali karena mendapat nilai bagus. Aku sudah memiliki rencana untuk melanjutkan sekolah di luar kota supaya hidup mandiri. Aku akan menunjukan raporku kepada ayah dan ibu, aku yakin pasti mereka setuju. Dengan sangat gembira aku berjalan pulang ke rumah, di sepanjang jalan aku senyum-senyum sendiri sambil memikirkan kata-kata yang akan disampaikan kepada ayah dan ibu.
“Yah, Bu aku pulang” aku berteriak memanggil ayah dan ibu tapi tidak ada yang menyahut.
“Halo.. Ayah? Yah dimana, Yah aku mau ngasih lihat raporku” aku mencari kekamar-kamar tetap tidak ada orang, ke mana sih mereka. Kudengar bunyi gelas dibanting, aku langsung berlari ke dapur dan kutemukan ibu sedang jongkok sambil menangis sesenggukan.
“Loh ibu kenapa nangis, ada apa, ayah mana bu?” bukannya menjawab tangis ibu malah
EDUKASI62 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018 Cerpen
***
semakin keras, meraung-raung, aku bingung sekaligus takut.
“Bu, ada apa sebenarnya, ayah mana bu?”
“Udah enggk ada lagi ayah. Risa, mulai sekarang ga usah cari ayah.”
“Ada apa sih, bu? Jelasin ke Risa, ayah kenapa?”
“Ayahmu punya keluarga baru. Ayahmu sudah pergi dan tidak akan pulang lagi kerumah ini.”
Sejak saat itu aku tidak pernah lagi melihat ayah, ayah tidak bisa dihubungi dan tidak bisa aku temukan di manapun meski sudah kucari ke mana-mana. Sampai enam tahun kemudian, ketika kuliahku sudah memasuki tahun ketiga, aku seperti menemukan lagi sosok yang sungguh aku hampir lupa.
Aku selalu percaya bahwasanya setiap manusia, sebebas apapun, selalu punya batas. Bahkan langit dan laut yang sepertinya tak berujung pun. Setidaknya bagi indera penglihatan kita, seperti ada sekat yang membatasi. Setiap saat dia bisa saja terlalu luas untukmu sendiri atau justru terlalu sesak hingga membuatmu tak bisa bernafas.
Kupikir aku tengah berada di batas itu. Pada titik terjauh lingkaranku. Dimana meski kucoba bergerak, melangkah , yang kulakukan tak ubahnya hanyalah apa yang dilakukan jarum detik pada jam dinding: berputar, di sekeliling garis terluar lingkaran itu. Aku telah sampai pada batas itu.
Duduk di hadapannya, membiarkan deru napas reda dan tetes keringat membasahi wajah bercampur air mata. Enam tahun, menjadi masa tersulit yang pernah ada.
Lelaki itu mengernyit saat aku mengulurkan kedua telapak tangan, pada masing-masingnya kutaruh foto keluarga lusuh yang sudah pudar. Dia membelalak, menyambar tanganku dan mengamati tanpa berkedip.
“Ayah..” mengucapkan kata itu seperti dibenturkan ke lantai yang lembab dan dingin. Pandangannya lalu beralih kemataku. Terperangah, tak pernah kumelihat sorot luka yang begitu parah.
“Ya Tuhan.. Risa,” Hanya itu yang bisa dia ucapkan, setelah enam tahun berjalan tanpa ada komunikasi.
“Aku seharusnya bisa melupakan. Tapi bagaimana? Otakku berisi penuh tanya dan kenang yang sedikitpun tak bisa aku menghapusnya”. Jelas kulihat gurat wajah lelaki di depanku; sedang merutuki situasi yang membuatnya seperti tercecik sampai tak bisa bersuara.
Aku merasakan abenak lelaki ini dipenuhi suara deru satu linimasa yang telah berlalu.
Berdiri dari duduknya; kedua tangannya meremas tepat di jahitan samping celana. Kini, hampir sekujur tubuhnya dilembabkan keringat dingin. Ia menarik napas dalam-dalam, menahannya di dada lalu menghembuskannya.
“Aku heran mengapa Tuhan tidak membiarkanku sekali ini saja berpeluh rahasia.”
“Kau sudah berpeluh rahasia selama enam tahun! Melarikan diri dengan pura-pura sibuk bermain bersama seekor kucing yang bahkan aku belum sempat bertanya bagaimana bisa kau melakukan itu.” Aku membelalakan mata, memandangnya dengan tajam, menunggunya membalas.
Lelaki itu hampir tak bisa menjawab, kecuali sebaris kalimat yang lirih diucapkan.
“Bukankah tak berlebihan jika aku ingin menikmati luka sendirian?”
“Apa? Menikmati luka sendirian? Kalau kau terluka lalu apa yang ada padaku selama ini! Rasa hormatku habis sudah padamu, aku, aku hidup sendirian. Kau tahu, karena perbuatanmu pada masa itu kau membuat keluargaku hancur berantakan, kau membuat ibuku mati menenggak racun. Dan selama itu, aku mencari
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 63 Cerpen
***
SELF POTRAIT-ERNST LUDWIG KIRCHNER, 1931
penghidupanku sendiri.”
“Ma.. mati? Ibumu gantung diri? Ya Tuhan, maafkan ayah, ayah tidak pernah berpikir sejauh itu.”
“Kau menyebut dirimu siapa tadi? Ayah? Perlu kau tahu ayahku sudah mati enam tahun yang lalu. Dan kau, hanyalah seonggok penyesalan yang sama sekali tidak ada harganya. Ah, aku sudah terlalu banyak berbicara. Mungkin aku sudah waktunya undur diri, maaf sudah mengganggu waktu istirahat Anda.”
Diseberang ruangan, biru itu, mata itu. Melahapnya, terlihat berlalu dan tak pernah melihatnya dan tak pernah ingin, dan itu sudah pasti. Hanya saja dia akan menjadi lelaki yang paling biru, tebal dalam kenangan, bebal dalam ingatan dan kebal dari segala kemungkinan.
Banyak sekali hal di dunia ini yang tak berjalan sesuai kehendak dan rencanamu. Terlalu banyak malah. Ekspektasi adalah alat pembunuh paling kejam, kalau kau belum tahu. Dan dia telah membuatku mati berulang kali. Termasuk kali ini.[E]
Ardyon Steville, penikmat sastra. Beberapa tulisan cerpennnya sudah diterbitkan dalam berbagai antologi bersama. Ia merupakan mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris tahun 2016.
EDUKASI64 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
Dialog Ragam Problema (Diorama) akan memeberikan solusi permasalahan kehidupan Anda. Rurik ini diasuh oleh Dr. Abdul Wahib, M.Ag., Pakar Prikologi agama UIN Walisongo Semarang . Kirim pertanyaan Anda seputar pencarian jati diri, akademik, keluarga atau apapun ke surel eduonline@gmail.com
Mimpi yang Berulang
Assalamu’alaikum Bapak Abdul Wahib..
Perkenalkan nama saya Saroh, mahasiswa semester tua. Begini pak, setiap malam ketika saya tidur ada sesuatu yang aneh terjadi dalam mimpi saya. Beberapa kali saya bermimpi bertemu dengan orang yang sama. Hanya satu orang itu saja yang selalu hadir dalam mimpi saya. Ini tidak hanya sekali atau dua kali, namun berulang kali. Hingga saya jadi heran dan bingung karenanya. Lha menurut psikologi, hal tersebut dapat terjadi karena apa? Mohon pencerahannya pak. Wassalamu’alaikum.
Saroh Jawaban untuk Saroh
Wa’alaikumussalam Saroh...
Kalo menurut teori psikologi mimpi itu ada 2 kemungkinan,yaitu mimpi masa lalu yang teraktualisasi dalam mimpi, dan mimpi itu gambaran dari sesuatu yang sedang terjadi. Bisa jadi karena sesuatu yang aktual. Kalo dalam agama Islam, mimpi juga bisa dikatakan sebagai gambaran masa depan. tapi yang paling mungkin mimpi tersebut dapat terjadi karena keinginan yang terepresi, sebuah keinginan yang tidak mungkin terjadi di alam nyata. Maka itu muncul dalam alam mimpi.
Diorama
DOK. INTERNET
Saling Diam dengan Teman Sekamar
Pak Abdul Wahib yang saya hormati.. Hidup saya di Ngaliyan sudah hampir tiga tahun. Selama itu saya memilki teman akrab. Tapi, karena sebuah hal yang saya tidak tahu, tiba-tiba teman saya tersebut selalu diam ketika bertemu dengan saya. Saya tidak tahu mengapa dia bersikap
Assalamu’alaikum Pak. Sebelumnya saya adalah siswi lulusan SMA di satu kota. Saya pun berasal dari jurusan Bahasa. Bahasa Indonesia, Jawa, Inggris, Jepang, dan Prancis menjadi makanan sehari-hari saya. Hingga saya dinyatakan lulus SMA, bahasa yang menurut saya paling susah adalah Bahasa Arab. Berbekal rasa penasaran yang menyelimuti diri saya, saat mendaftar kuliah, jurusan Bahasa Arab menjadi
seperti itu. Hal itu sangat mengganggu saya. Apalagi kami satu kamar, rasanya tidak nyaman ketika di dalam kamar hanya ada kami berdua. Menurut Bapak, apa yang seharusnya saya lakukan? Saya bosan jika harus saling diam seperti ini. Uut’z
Dibuat simple saja. Sampaikan permasalahannya mengapa tidak ada komunikasi yang terbuka diantara 2 manusia tersebut. Sesungguhnya permasalahan dimulai dari situ. Kalo ada permasalahan kenapa tidak dikatakan? Ini disebabkan karena komunikasi yang tertutup diantara keduanya. Jadi, perbanyaklah berkomunikasi, jangan terlalu tertutup.
Salah Jurusan
pilihan saya. Bertahun-tahun saya jalani hidup di lingkungan orang-orang yang pandai berbahasa Arab. Hingga saya merasa menyerah dan ingin pindah jurusan. Orang tua menyarankan agar saya tidak usah pindah jurusan karena sudah semester tua. Saya sangat bingung pak. Mohon masukannya.
ZN
Satu hal yang harus diketahui, apakah setelah pindah jurusan semua masalah akan terselesaikan? Kalo kita tetap di jurusan awal, kita sudah enggak repot-repot ngurusi pindah, nggak usah repot-repot kenal sama orang baru. Lalu, keinginan pindah jurusan sah-sah saja karena kan dijamin Undangundang. Tapi perlu dipertimbangkan apakah pilihan tersebut akan menjadi solusi atau malah menimbulkan masalah baru. Jadi kalkulasi
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 67
DOK. INTERNET
saja lah, apakah tetap menahan diri sampai selesai atau kemudian menuruti keinginan untuk pindah dan juga dengan banyak resiko. Itu tentu tidak menyelesaikna masalah, tentu akan menimbulkan masalah baru. Contohnya kehilangan banyak SKS.
Terlalu Nikmat Jadi Mahasiswa
Yang terhormat Bapak Abdul Wahib Siang Pak, saya mahasiswa yang masih sayang dengan almamater ini (haha :ketawa). Bisa dikatakan saya sudah waktunya lulus tapi belum juga mau lulus. Saya merasa hidup jadi mahasiswa masih terlalu nyaman. Saya masih ingin berkelana menikmati masa muda ini. Namun, ketika saya kembali ke kampung halaman, orang tua selalu membisikkan pertanyaan: “kapan lulus?” dan “kapan nikah?”. Rasanya saya ingin berteriak dan berkata: “saya masih mau kuliah”. Jadi, singkat saja, seharusnya saya harus bagaimana, jika hati masih ingin menikmati kenikmatan jadi mahasiswa dan jalan-jalan, namun orang tua selalu memaksa untuk cepat-cepat lulus? Mohon jawabannya Pak, biar saya tercerahkan. Terima kasih. Cebong_002
Siang juga..
Waktu awal-awal masuk kuliah sudah punya target mau lulus semester berapa atau tidak?
Tuhan tidak bermain dadu. Main dadu kan dikocok, awalnya punya prediksi bakal keluar empat, eh malah keluarnya enam. Tuhan tidak main seperti itu. Tuhan yang bisa kun fayakun saja diperhitungkan dengan cermat. Bahasanya itu takdir, cuma biasanya orang-orang menganggap takdir sebagai keputusan ilahi yang mutlak. Kenapa tidak menganggap itu sebagai tentang planning, time schedule. Kita yang hanya makhluknya seharusnya lebih memiliki planning yang benar-benar matang. Lha Tuhan saja punya planning, masak makhluknya mau senaknya sendiri nggak punya planning? Sudah sesmester sembilan kok masih jalan-jalan itu sudah bukan zamannya. Sangat wajar jika di semester segitu orang tua bertanya tentang kapan lulus. Sejak sesmester enam saja orang tua akan bertanya terus tentang kelulusan..Lha sampai semester sembilan kok belum lulus-lulus, itu akan menjadi complicated, karena apa? Ya kalo orang tuanya berduit nggak maasalah, lha kalo dia anak pertama dan punya banyak adik yang juga butuh pendidikan? Itu akan menjadi problem. Jika kita sejak awal sudah memiliki planning semua akan berjalan sesuai rencana. Tapi kalo masih pengen tetap eksis di kota ya silakan. Tapi tetap harus menyelesaikan tugas utama dulu, lulus. [E]
EDUKASI68 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
DOK. INTERNET
Tentang Pak Tua
Malang yang Kesepian
Usai membaca buku ini, saya teringat Sapi, Babi, Perang, dan Tukang Sihir anggitan Marvin Harris, yang juga diterbitkan Marjin Kiri. Buku itu membincang soal misteri, hal yang kerap kali kita abaikan—juga seperti belantara Amazon yang misterius, yang begitu fasih dikenal oleh orang-orang Indian Shuar, tapi tidak oleh para kolonialis—sekumpulan pemukim baru, manusia modern— yang berbondong-bondong datang dengan lidah menjulur dan liur menetes. Sekumpulan manusia yang mendamba emas dan hal-hal eksotik di sana. Mereka menggilas pepohonan, padang rumput, rawa-rawa untuk dijadikan perkebunan, tambang emas, atau pemukiman baru. Satwa-satwa dijerat untuk sekadar dikuliti, atau dijual hidup-hidup untuk peliharaan di kebun-kebun binatang dunia Barat yang putih. Mereka pun juga pernah melakukan hal yang sama pada beberapa orang yang hitam, berabad-abad yang lalu.
Adalah Luis Sepulveda, orang tua yang memandu kita melalui Un vejo que leia historias de amor, Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta, untuk mengetahui seberapa jauh manusia bisa merusak, menumbuhkan kemalangan bagi siapa saja yang bahkan tak tahu apa-apa. Bagi saya, novel ini mempertontonkan kolonialisme sebagai asal-muasal seluruh rentetan kemalangan manusia sekarang.
Novel yang mengambil waktu ketika kolonialis baru saja berdatangan dan Amazon masih tak serusak sekarang, Sepulveda berkisah tentang Antonio Jose Bolivar Proano, si pak tua yang mengalami tiga kemalangan yang membuatnya sepi sendiri. Pertama, ia kehilangan istrinya, Dolores Encarnacion del Santisimo Sacramento Estupinan Otavalo, di tahun kedua tatkala tinggal di sebuah bukaan pemukiman baru bernama El Idilio. Kepergian mereka dari San Luis, kampung halamannya, tak lepas dari bacotan para tetangga nista. Di pemukiman baru itu, Dolores mati disergap malaria. Seperti pemukim baru yang
lain, Antonio Bolivar dan istrinya sungguh kesulitan untuk bertahan hidup, dan kematian Dolores membikin tambah runyam keadaan Antonio Bolivar.
Antonio Bolivar menanam dendam kesumat pada neraka hijau bernama Amazon itu. Namun, hidup mesti terus berjalan. Orang-orang Indian Shuar membantu para pemukim baru untuk bertahan hidup—mengajari cara berburu, memberitahu cara mengenali buah yang dapat dimakan, membangun gubuk tahan banjir, dan sebagainya. Dendam kesumat Antonio berubah jadi asap yang sirna berkat air hujan. Ia memutuskan belajar cara hidup orang Indian Shuar, yang bebas dan mengerti alam. Akhirnya ia menjadi seperti mereka, namun bukan bagian dari mereka.
Lalu, ia bertemu Nushino. Seorang Indian Shuar lain dari pedalaman Amazon yang misteri. Mereka bersahabat. Berburu bersama, dan menukar buruan dengan secukupnya keperluan pada para pemukim El Idilio. Sampai suatu ketika Antonio Bolivar kehilangan Nushino, yang mati ditembak orang-orang kulit putih. Kehilangan itu tambah menyakitkan sebab ia diusir selamanya dari perkemahan Indian Shuar. Begitulah kemalangan kedua menimpanya.
Antonio Bolivar yang malang dan kesepian tinggal sendiri di sepetak gubuk di El Idilio. Di sana, menjalani masa tua sendirian, ia membaca dan mengenal kisah-kisah cinta yang jauh dari novel-novel yang didapatnya dari dokter gigi Rubicundo. Baginya, membaca adalah sebuah penemuan mutakhir. Lebih dari itu, membaca adalah obat dari masa tua yang mengerikan, sebuah masa yang penuh dengan sepi dan sendiri. Kalau novel wajib diambil amanatnya, kita dapat memperolehnya dari sini. Ia pun memutuskan menggemari membaca kisah cinta. Bukan yang penuh bahagia, namun penuh penderitaan luar biasa. Ia pak tua yang menggemari kemalangan, rupanya.
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 69 RESENSI BUKU
Judul
Tua yang
Agustinus
Seturut usianya yang makin tua, Amazon yang lebih tua dari mesin-mesin besar yang menjarahnya pun makin rusak. Seturut penjarahan itu pula, hak hidup makhluk lain makin terusik. Novel ini menceritakan pula kebiadaban manusia melalui kolonialisme yang dilakukannya pada alam; itu membuat para penduduk asli dan satwa tertekan dan memutuskan masuk ke belantara Amazon paling dalam. Hal yang dianggap orang kulit putih sebagai ‘kemajuan peradaban’ membuat hutan jadi gundul, dan hewan menjadi susut jumlahnya dan lebih buas perangainya.
Kebuasan itu memakan korban. Seorang kulit putih, dengan hasil buruan tiga lembar kulit anak macan kumbang, mati mengenaskan oleh ibu mereka. Walikota gendut yang amat bodoh menuding Indian Shuar, namun Antonio Bolivar membuat kebodohannya ditonton pemukim El Idilio. Di sini, tampak jelas bagaimana kepongahan khas orang terpelajar.
Saya dibuat tersenyum senang oleh yang mulia walikota terpelajar. Walikota itu memerintahkan perburuan yang dipimpinnya sendiri, dan tampaklah lebih jelas kepongahan dan kebodohannya yang amat sangat. Mulai dari mengenakan bot karet di tanah yang lumpur, sampai memberondong semak-semak. Di hadapan orang-orang yang dipimpinnya—termasuk si pak tua— wibawanya benar-benar dihantam jadi setipis kulit lunpia berkualitas paling buruk. Karena merasa tertekan dan bakal habis sehabis-habisnya, ia memerintahkan pak tua sendirian guna memburu si macan kumbang betina.
Novel ini seakan-akan mentertawakan gagasan kemajuan kita selama ini. Kita, yang silau akan pencapaian orang Barat, pun dibuat meringis. Dengan segala derita lingkungan yang lambat laun manusia derita, sambil memandangi resor mewah pinggir teluk yang disakralkan suku setempat, di mana keduanya saling menjaga dan bergantung, kita berujar: hei, lihat apa yang kita bangun, cantik, bukan?
(Kalau sudah begitu, sesungguhnya kita hanya tidak sadar oleh majunya orang-orang yang kita anggap tak berpendidikan itu, yang primitif, dan arogan. Siapa, sih, yang bebal lagi pandir: kita atau mereka?)
Antonio Bolivar mengiyakan yang mulia walikota terpelajar. Kemalangan ketiga akhirnya datang. Ia berhasil membunuh macan kumbang betina itu, salah satu anak asuh alam, seperti dirinya. Dengan penuh kesedihan dan menangis, ia mendorong tubuh macan itu ke sungai.
Setelah menyumpahi seluruh manusia yang menjarah Amazon, pak tua itu menuju gubuknya, merengkuh novelnovel cintanya. Sepi sendiri, tak acuh pada kebiadaban umat manusia. [E]
EDUKASI70 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
Pak
Membaca Kisah Cinta Penulis Luis Sepulveda Penerjemah Ronny
Penerbit Marjin Kiri Tahun terbit 2017 Jumlah halaman 133 halaman ISBN 978-979-1260-71-8 Peresensi A. Prayoga DOK. INTERNET
Memaknai
Kembali “Tuhan”
“Tuhan yang menciptakan kita semua, percayalah padaNya. Tuhan yang kau ciptakan, kembaran si Tuhan itu. Musnahkanlah”.
Peekay
Sebenarnya
film ini bukanlah film baru. Film ini rilis pada tahun 2014 silam, kala itu aku masih kelas tiga SMA kira-kira, sweat seventeen umurku kalau orang-orang bilang. Namun, seperti halnya buku, film lama adalah film baru bagi yang baru menontonya. Aku baru mendapatkannya November lalu. Ya, mungkin karena film ini terlarang di Indonesia, makanya ia tidak nangkring di bioskop Indonesia karena kontroversinya. Akhirnya kudapatkan film ini dari seorang teman. Tapi, bagiku film ini tidak begitu kontroversial. Justru mendidik kita sebagai umat penganut suatu agama, asal mau mengunyah terlebih dahulu tidak asal telan. Begitu.
Kisah Bermula
Seorang alien (Amir Khan) datang ke Bumi. Ia tak berwujud menyeramkan macam film alien garapan Hollywood (Amerika). Justru si alien berwujud manusia dan berwajah rupawan. Setibanya di Bumi. Ia begitu takjub melihat Bumi. Sampai akhirnya perhatianya terpaku pada seorang lelaki tua yang berjalan menyandang radio.
Bahagia bisa menemukan makhluk hidup bumi, si alien berlari dengan gaya yang aneh untuk mendekati lelaki itu. Namun nahas, lelaki itu justru menjambret kalungnya (sebenarnya semacam remote untuk alat komunikasi dengan kapal angkasa). Si alien begitu sedih remotenya hilang. Tanpa remote itu ia tak akan bisa
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 71
DOK. INTERNET
memanggil kapal angkasanya.
Dari kejadian itu akhirnya kisah bermula. Melalui proses pencarian remote-nya, Alur cerita akan mengantarkan si alien percaya kepada Tuhan. Tuhan yang sebenarnya sebagai pencipta. Ya, film ini memang berisi kritik sosial terhadap sikap manusia beragama dan bertuhan. Dari sini pula nama Peekay (PK) disematkan pada si alien. Mencari Bagwan (Tuhan)
Setelah remotenya dicuri, PK merasa sedih karena tanpa remote itu ia tak akan dapat pulang ke planetnya. Ia pun akhirnya bertanya kepada setiap orang yang ditemuinya, di mana ia dapat menemukan remote-nya. “Hanya Tuhan yang bisa membantumu” begitu mereka menjawab. Sejak saat itu, PK memutuskan untuk mencari Tuhan untuk membantunya mendapatkan kembali remotenya.
Sayangnya, untuk menemukan Tuhan, bukan perkara mudah bagi PK. Banyak manusia yang menyembah Tuhan, tapi dengan cara berbeda-beda. Rumah yang dibuatkan untuk Tuhan pun berbeda. Terpaksa PK mengikuti berbagai kegiatan keagaman yang kata orang menuntunya pada Tuhan.
Dari situ ia dan kita dapat mempelajari dari satu Tuhan yang kita percaya, ternyata banyak jalan untuk bertemu dengan-Nya, dan caranya itu berbeda-beda. Ada Tuhan yang menyukai air kelapa, ada yang menyukai susu dan lain sebagainya. Padahal dari ugorampe yang disiapkan untuk pemujaan sebenarnya akan lebih berguna jika diberikan kepada manusia yang membutuhkan.
Dalam sebuah ritus ia menguyur sebongkah batu dipercaya sebagai perwujudan Tuhan di dunia dengan susu. Ia berpikir susu pasti akan lebih berguna jika diberikan kepada anak-anak yang membutuhkan. anak yang hidup dalam kemiskinan semisal. Jangankan susu, makanan saja kekurangan. Ia berpikir jika susu diberikan kepada anak-anak apakah Tuhan akan marah. Ia mengira Tuhan tidak akan marah, karena Tuhan yang dipercaya manusia adalah Tuhan yang Maha Penyayang. Tak mungkin Tuhan akan marah gegara alasan sepele semacam susu. Apalagi susu itu untuk anak-anak. Tuhan tidak akan selabil itu.
Dari sekian upacara agama, ia pun tak bertemu jua dengan Tuhan. Ia
EDUKASI72 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018 RESENSI FILM
Judul Film: PK (Peekay) Penulis: Rajkumar Hirani Dan Abhijat Joshi Sutradara: Rajkumar Hirani Pemain: Amir Khan, Anuskha Sharma, Saurabh Shukla Genre: Drama, Komedi Rilis: 19 Desember 2014 Durasi: 2 Jam, 32 Menit, 8 Detik Peresensi: Yayat Hidayat DOK. INTERNET
frustasi. Akhirnya ia berinisiatif membuat selebaran orang hilang untuk mencari Tuhan. Ia menuliskan “Hilang” dalam bahasa inggris dan bahasa lain yang tak ku mengerti artinya dalam selebaran kertas, tentu ada gambar Tuhan di dalamnya. Tak lupa ia menambahkan contak person “Hubungi PK”. Ia berpikir barangkali ada orang yang menemukan Tuhan dan berbaik hati memberitahunya.
Padahal, Tuhan yang dipercaya manusia ada dalam kepercayaan dan keimanan. Tak akan Dia mewujudkan diri dalam manusia. Sehingga dapat dikatakan pekerjaan PK sia-sia. Di sinalah salah satu kelucuan dalam film ini. Namanya juga alien. Ia belum mengerti keimanan manusia.
Namun, dari situ kita perlu belajar kepada PK tentang konsep ikhtiar. Manusia perlu terus berjuang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Meski kelihatanya itu tak mungkin terjadi. Tuhan kita tahu dan tidak tidur untuk melihat apa yang manusia usahakan. Pun akhirnya Tuhan akan memberikan jalan kepada manusia. Jalan itu digambarkan dalam film ini saat PK bertemu dengan Jaggu (diperankan Anuskha Sharma) yang ahirnya akan menuntunya kepada Tapashwi Maharaj (diperankan Shaurabh Shukla), pemuka agama yang membawa remotnya. ia mendapatkan remote itu dari si pencuri, tapi mengatakan pada jemaatnya jika itu serpihan gendang Dewa Shiwa yang diberikan kepadanya. Inilah gambaran kasih Tuhan. Ia akan menilai seberapa sungguh-sungguh kita dalam berikhtiar atau berusaha.
Tuhan Pencipta atau Dicipta?
Hal yang salah dalam perilaku beragama adalah adanya penciptaan Tuhan oleh para oknum pemuka agama. Merekalah pemegang otoritas kebenaran dalam agama. Semua yang dikatakan seolah-olah semua benar adanya. Merekalah yang sebenarnya
perusak agama itu sendiri. Merong-rong kesucian agama dari dalam. Musuh dalam selimut memang.
Dalam film ini para oknum pemuka agama semacam itu digambarkan dalam wujud Tapashwi Maharaj. Ia menjadikan ketakutan jemaat akan murka-Nya menjadi ladang bisnis, ”Bisnis ketakutan” PK mnyebutnya. Tapashwi mengatasnamakan Tuhan dalam setiap perbuatanya. Tapashwi memerintahkan menyumbang kepada tempat beribadah atan nama membangun rumah Tuhan. Padahal sebenarnya akal-akalannya untuk mendapatkan keuntungan semata.
Kepongahan manusia nampak pula dalam film ini. Manusia merasa mampu membela Tuhan. Ini tergambar dalam sikap Tapashwi. Melalui narasi-narasi pembelaan dan pembenaran terhadap apa yang dipercaya, manusia mengaku berjuang untuk membela Tuhan. Selemah itukah Tuhan yang menciptakan kita semua, bukan, maksudku Tuhan yang menciptakan alam semesta. Kenapa kita melemahkan Tuhan yang kita percaya sebagai dzat yang Maha Kuasa dengan tindakan semacam itu. Kalaupun Tuhan mau tanpa kita bela, pastilah Tuhan bisa membela diri-Nya sendiri. Mencipta alam semesta yang tak tak kita ketehui luasanya saja mampu, apalagi bagi-Nya menumpas butiran atom semacam manusia.
Gus Dur dalam bukunya Tuhan Tak Perlu Dibela sudah menegaskan jika manusia itu lemah di mata Tuhan. Jika banyak yang berkata “Mari bela Tuhan kita” itu hanya anggapan mereka saja dapat membela Tuhan. Kebohongan yang nyata aku kira. Tuhan itu Maha Kuasa, Maha Mampu, Maha segalanya, sedangkan manusia itu sebaliknya. Tuhan akan tetap ada tanpa manusia, sebaliknya tanpa kehendak Tuhan manusia itu tak akan ada. Jadi, kita perlu mengambil pelajaran, jangan kita lemahkan kekuasaan Tuhan dengan sikap kita. Begitu kira-kira.
PK juga memberi nasihat kepada para oknum pemuka agama yang salah jalan, dengan memberi nasihat kepada Tapashwi. Menurut PK ada dua Tuhan. Pertama, Tuhan yang mencipta alam semesta, nasihat PK untuk mengimani Tuhan yang pertama ini. Adapun yang kedua, Tuhan yang diciptakan orang semacam Tapashwi, nasihatnya ialah untuk memusnahkanya.
Dan untukmu, Tuhan mana yang kau imani?[E]
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 73
BEREBUT SUARA MELALUI PESOHOR DARI LAYAR KACA
Oleh: G. Hidayat*
“Riuh pemilu legislatif memanas, berhias kaum selebritas. Parpol-parpol turun gunung, mengajak pesohor ganti panggung. Tidak terlalu penting keahlian, popularitas menjadi faktor yang diutamakan. Apa ini tanda partai semakin terbuka? Atau sekedar jalan pintas belaka?” -Najwa Shihab, Mata Najwa-
Begitulah prolog
yang disampaikan Nana— sapaan Najwa Shihab—saat membuka acara talkshow mingguan, Mata Najwa, kala itu. Sebuah talkshow yang kerap kali mengangkat isu-isu politik di negeri ini. Selain tayang di televisi swasta, acara ini juga diunggah ke Youtube. Video yang diunggah ke channel Youtube-nya pada tanggal 19 Juli 2018 itu, mengangkat tema “ Mendadak Caleg”. sudah kebiasaan talkshow Mata Najwa mengundang orang-orang besar sesuai tema yang diangkat. Lalu pada kesempatan tema tadi, Nana mengundang para artis yang mendaftarkan diri sebagai calon legislatif (caleg), yang nantinya akan berlaga di Pemilan Umum (pemilu) 2019.
Sudah menjadi agenda rutin lima tahunan, Indonesia akan menggelar hajatan besar bangsa pada tahun 2019. Bangsa kita, Bangsa Indonesia, sebagai salah satu penganut paham
demokrasi tentu akan melakuakan pemilihan terhadap para legislator (wakil rakyat) dan juga memilih presiden sebagai pihak eksekutif di pemilu 2019 nanti.
Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 memang masih lama akan digelar. Tepatnya akan digelar pada 17 April 2019, bersamaan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres). Sebagaimana dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tanun 2018, tentunya hajat besar negeri ini akan diikuti oleh para peserta pemilu, yakni partai politik yang sudah memenuhi syarat (pasal 1 ayat 20). Sebagaimana dilansir dari tirto.id, Pemilihan legislatif kali ini akan diikuti oleh 14 partai politik (parpol).
Partai Politik Perlu Strategi Baru
Pileg kali ini berbeda dengan tahun sebelumnya, yakni pileg 2014. Jika pileg sebelumnya untuk
menetukan kursi yang akan diduduki oleh masingmasing fraksi memakai metode BPP (Bilangan Pembagi Pemilih), maka pemilu kali ini dalam menghitung suara akan menggunakan teknik Sainte Lague. Sebuah teknik yang memungkinkan fraksi akan memiliki banyak kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), jika mereka memiliki suara paling banyak diantara fraksi lain.
Dengan danya perubahan model penghitungan kursi semacam itu, maka akan perlu strategi baru untuk mengusaai parlemen, salah satunya dengan jalan menjadikan artis sebagai pendulang suara. Sehingga, mereka para caleg artis diharapkan mampu melakukan manuver agar parpol yang ditumpanginya berhasil memenangkan suara rakyat. Hal ini sangat masuk akal karena mereka yang berkecimpung di dunia keartisan memiliki popularitas dibanding dengan caleg yang bukan
EDUKASI74 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
NUSANTARA
artis. Dengan demikian pemilih akan dimudahkan dengan mengenal dan memilih caleg artis. Saya kira, merekrut artis untuk dijadikan kader partai untuk kemudian diusung sebagai calon anggota DPR merupakan salah satu strategi partai untuk memenangkan pemilu. Tak Hanya Butuh Tenar, Rakyat Butuh Yang Benar
Menurut Tribunnews. com, Terhitung 71 artis— sebutan harian para pesohor atau selebritas—yang mendaftarkan diri sebagai calon legislatif (caleg) yang akan bertarung di gelanggang pemilu 2019. Mereka siap bertarung untuk bisa menempatkan pantatnya di panggung yang baru, kursi panas parlemen di Senayan. Fenomena ini mengalami peningkatan dari pemilu periode sebelumya, yakni pemilu 2014.
Memang, mendaftarkan diri sebagai legislator atau wakil rakyat adalah hak dari setiap warga NKRI. Pun syaratnya sangat mudah, asal bukan seorang mantan narapidana narkoba, kejahatanan seksual terhadap anak dan korupsi saja. Namun, seyogianya unuk mewakili penduduk Indonesia yang mencapai 265 juta jiwa harusnya bukan asal-asalan daftar.
Perlu adanya kualifikasi sebelum mereka menentukan kebijakan bagi rakyat banyak. Bukan hanya mementingkan kebijakan bagi rakyat tertentu—penguhasaha dan lain-lain pun juga termasuk rakyat kan—tentu ini harus diperhatikan dengan betul. Jangan sampai jabatan Dewan Perwakilan Rakyat
berubah menjadi dewan perampok rakyat meskipun akronimnya sama-sama “DPR”, tapi memiliki arti yang sangat jauh berbeda.
Mereka para caleg artis yang ingin berlaga sudah seharusnya sudah memahami semua aturan dan cara main di Senayan. Jangan sampai mereka sudah terjun, tetapi tidak membawa peralatan terjun payung. Sehingga dapat dipastikan jika mereka akan jatuh pada lubang yang sama, yakni agenda KKN. Kalian bisa melihat di tayangan Nana, jika dari sekian artis yang diundang ternyata banyak yang belum mempelajari Undangundang Tindak Pidana Korupsi. Ini seharusnya tidak terjadi. Seharusnya mereka yang akan maju berlaga mempersiapkan diri terlebih dahulu, minimal tahu aturan main. Begitu. Trauma dan Hilangnya Kepercayaan Warga
Dari sekian nama artis yang telah terdaftar, mereka mungkin sudah dikenal luas oleh masyarakat. Namun, pileg bukan hanya sekedar soal ketenaran, melainkan hal yang lebih subtansial lagi. Mereka yang terpilih seharusnya benar-benar mampu menjadi dewan perwakilan rakyat, yang membela kepentingan rakyat kebanyakan. Bukanya orangorang yang memanfaatkan keadaan, aji mumpung berkuasa sehingga berlaku seenak jidatnya serta memperkaya diri sendiri.
Memang terkesan kasar, bukan maksud menghina ataupun bagaimana. Tetapi, memang sangat susah untuk menggambarkan keadaan sekarang ini, banyak
NUSANTARA
oknum dari anggota DPR yang melakukan tindak pidana korupsi. Mereka inilah para bajingan yang menjadikan sebuah instansi yang terhormat menjadi tercoreng dan tidak dipercaya. Akhirnya kita bisa melihat sendiri, keterpercayaan masyarakat terhadap wakilnya sangat sedikit. Sehingga jangan menyalahkan jika banyak yang apatis terhadap pemilu, ya garagara kepercayaan yang mereka ingkari. Rasanya itu semacam ditinggalkan waktu lagi sayangsayangnya.
Kita semua bisa melihat kasus baru-baru ini dimana 41 anggota DPRD Kota Malang melakaukan tindak pidana korupsi. dn hanya menyisakan 4 orang yang tidak— atau mungkin belum— terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. Jika kita melihat kasus semacam ini, bagaimana kita sebagai rakyat bisa mempercayai wakilnya diatas sana. Ironis memang, wakil yang seharusnya memperjuangkan suara rakyak, eh malah berbondong-bondong menilep uang rakyat secara berjamaah. Kalau jamaah salat mah enak pahalanya 27 derajat, nah, kalau maling duit rakyat semoga pula berlipat-lipat, dosanya. Aamiin.
Ya, memang tidak semuanya DPR semacam itu, tapi tetap saja kita sebagai masyarakat awam pesimis dan suuzan terhadap mereka. Semoga kepercayaan yang akan kami berikan di pemilu 2019 tidak mereka ingkari lagi. Semoga saja. [E]
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 75
Puisi
PUISI- PUISI TERJEMAHAN
DITERJEMAHKAN OLEH AA. PRAYOGA
INGATAN, Emily Bronte
Dingin di bumi, lima belas Desember yang liar Dari bukit-bukit coklat, meleleh bersemi–Keyakinan adalah kunci ingatan Setelah tahun-tahun perubahan dan penderitaan!
Cinta manis pemuda, maaf, jika aku melupakanmu, Saat arus dunia menanggungku sepanjang: Hasrat lain dan harapan menimpa, Harapan yang samar tapi kau tidak bisa salah.
SEMUA HAL SEKARANG DITEMUKAN, Henry D. Thoreau
Semua hal sekarang ditemukan Di atas tanah dunia, Jiwa-jiwa dan elemen, Punya turunannya,
Malam dan siang, tahun ke tahun, Rendah dan tinggi, jauh dan dekat, Semua itu adalah kita, Semua itu adalah penyesalan,
Oh dewa-dewi pantai, Yang tetap abadi, Kulihat kau di tanjung jauh, Meregang kedua tangan;
Kudengar sore yang manis Dari tanah pijakanmu; Jangan curangi aku dengan waktu, Bawa aku ke tempatmu
A. A. PRAYOGA, mulai berlatih menerjemahkan berbagai tulisan dari bahasa Inggris. Saat ini, ia merupakan mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris (FITK) UIN Walisongo Semarang angkatan 2017.
EDUKASI76 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
THE SCREAM-EDWARD MUNCH
DOK. PRIBADI
Siluet
GEN Z, Kenali Generasi Masa Depan
Oleh: Ulfatul Qoyyimah*
Gen Z lahir dari 1995 sampai 2012. Dengan jumah 72,8 juta orang, mereka akan membuat kehadiran mereka diketahui dengan berbagai cara dan masyarakat perlu memahami perbedaan mereka dengan generasi lainnya.
Dalam esai berjudul
“The Problem of Generation,” sosiolog Mannheim mengenalkan teorinya tentang generasi. Menurutnya, manusiamanusia di dunia ini akan saling memengaruhi dan
membentuk karakter yang sama karena melewati masa sosio-sejarah yang sama. (Dilansir dari Tirto.id)
Klasifikasi generasi berdasarkan tahun kelahiran dilakukan oleh para pakar dan peneliti. David Stillman dan Jonah Stillman menamai kaum Tradisionalist bagi seseorang yang lahir sebelum 1946. Selanjutnya nama Baby Boormer disematkan untuk kelahiran 1946 sampai 1964, Generasi X lahir pada 1965-1979, Milenial antara 1980-1994 dan Gen Z lahir dari 1995 sampai 2012.
Jika Generasi Z yang pertama lahir pada tahun 1995, itu artinya saat ini usia tertua Gen Z adalah 21 tahun. Generasi Z
mulai tumbuh dewasa, mulai terlibat dalam pesta demokrasi, kebanyakan telah menyelesaikan pendidikan strata I, menerima estafet kepemimpinan di posisiposisi strategis. Meraka mulai berpengaruh terhadap perkembangan sosial, ekonomi dan poolitik Negara.
Potensi Gen Z
Maka dari itu peneliti ayah dan anak, David dan Jonah merumuskan beberapa sifat utama untuk mengenali potensi Gen Z. Pertama, generasi ini merupakan klan pertama yang terlahir dengan keadaan dunia maya dan dunia nyata saling tumpang tindih. Segala aspek fisik (manusia dan tempat) memunyai equivalen digital.
EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018EDUKASI 77
Gen Z hidup di dunia dimana kemajuan teknologi berkembang dengan pesat, penghalang antara fisik dan digital sudah dihilangkan, biasa disebut digital. Kalau generasi sebelumsebelumnya membutuhkan peta untuk menempuh jarak jauh yang belum diketahui, maka Gen Z hanya cukup menggunakan GPS. Kalkulasi waktu tempuh sudah bisa diketahui dengan akurat disertai alat transportasi yang hendak digunakan.
Gen Z kini jauh lebih mudah mengekspos sesuatu yang membuatnya berbeda dengan orang pada umumnya. Generasi itu telah masuk dunia hiperkustomisasi, sifat Gen Z yang selalu berusaha keras mengidentifikasi dan melakukan penyesuaian identitas diri mereka sendiri agar dikenal dunia.
Gen Z dinilai mampu mengostumisasi segala sesuatu yang menimbulkan ekspektasi bahwa perilaku dan keinginan mereka sudah sangat akrab untuk dipahami.
Label Do It Yourself (DIY) disematkan pula untuk Gen Z. Sifat kemandirian Gen Z sangat berbenturan dengan generasi Milenial yang sangat memerjuangkan kerja kolektif. Gen Z melihat segala sesuatu dengan lensa dapat melakukan segalanya sendiri. Dengan memanfaatkan teknologi dan berbagai macam aplikasi, misalnya Youtube.
Julius Yugo atlet lempar lembing dari Kenya berhasil menyabet kejuaraan tingkat dunia. Yugo semakin menaikkan makna melakukan sesuatu sendiri dengan keberhasilannya belajar mandiri dari youtube
hingga menjadi juara.
Sifat lain dari Gen Z yang sangat kentara, mereka takut melewatkan sesuatu. Berpikir secara realistis, ekonomis dan selalu terpacu untuk menang.
Bagaimana Gen Z di Indonesia? Lagi-lagi pendidikanlah tempat berpulang untuk mengolah potensi mereka. Kata H.L Mencken pendidikan merupakan wilayah yang selalu mengadakan penyelesaian yang jitu, rapi, sederhana – dan selalu keliru.
[E]
*) sarjana lulusan Pendidikan Agama Islam UIN Walisongo Semarang pada 2018. Sempat menjabat sebagai Pimpinan Umum LPM EDUKASI pada 2016
EDUKASI78 EDISI LIV/TH.XXV/DESEMBER 2018
DOK. INTERNET