Edisi 27/Th. 15/XII/2018
Sel e, Medsos, & Narsisisme
“Bersikaplah realistis melakukan hal yang tidak mungkin, karena jika tidak, kita akan mengalami hal yang tak terpikirkan.” Murray Bookchin
Kalam-Q
Tim Re dak si Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh Salam Pers Mahasiswa! Salam hangat bagi kita semua. Atas berkat dan rahmat Tuhan, kami dapat menyajikan buletin Quantum yang dapat menjadi bacaan menarik dan bergizi. Pada edisi ini, buletin Quantum menyajikan tema yang tak asing di telinga: Swafoto. Bahkan swafoto tak hanya akrab di telinga, tetapi juga akrab dalam perilaku keseharian. Mulai dari remaja hingga orang tua, begitu pula mahasiswa yang pada saat sekarang menggandrungi swafoto. Fenomena swafoto tentu tak lepas dari citra tubuh, khususnya wajah. Meski bukan perilaku yang identik dengan narsisme, swafoto atau selfie memiliki keterkaitan dengannya. Fenomena selfie yang pada dekade ini bermunculan di manamana telah menarik perhatian tim redaksi untuk membahasnya pada buletin Quantum edisi XXVII dengan tema: Fenomena Swafoto di kalangan mahasiswa. Pada edisi ini, rubrik sajian akan mengulas tentang bagaimana psikologi memandang perilaku swafoto yang erat berkaitan dengan narsisme dan bagaimana perspektif sosial terhadap swafoto dan narsisme. Kemudian rubrik opini akan membahas tentang bagaimana keterkaitan antara swafoto dan narsisisme. Pada rubrik sorot akan membahas kebijakan keamanan yang ada di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo. Selebihnya adalah cerita pendek dan puisi. Dengan penuh rasa syukur, kami mempersembahkan buletin Quantum edisi XXVII kepada pembaca. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan memberikan kontribusi dalam penggarapan buletin ini. Karena kami menyadari bahwa tak ada yang sempurna dalam diri manusia dan ciptaannya, kami menyadari bahwa ada kekurangan dalam usaha untuk menyajikan bacaan yang baik. Kami memohon kritik dan saran dari para pembaca demi penggarapan yang lebih baik. Semarang, November 2018 Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Pelindung: Dekan FITK UIN Walisongo dan Wakil Dekan III. Pembimbing: Dr. Abdul Wahib, M.Ag., Dr. Syamsul Ma’arif, M. Ag., M. Rikza Chamami, M. S.I. Penanggung Jawab: M. Khoirul Umam G.H. Pemimpin Redaksi: Nila Rustiyani Sekretaris Redaksi: Nafilatun Nafi’ah Redaktur Pelaksana: A. A. Prayoga, Ahmad Amirudin, Siti Arikha Mauliya, Moh. Khoirul Anam, Ahmad Nurul Ulil Muttaqin, Asifatun Hidayah, Diah Novi Karisma, Ela Agustina, Nurul Afrida Izza, Iftahfia Nur Iftahani, Asmahan Aji Rahmania, Zamrud Naura Orchida, Burhan, Fatimatur Rohmah, Khafidatul Hasanah, Nur Wahidzatun Nafisah, Fitri Ulya Dewi
Sekretariat: PKM Lantai II FITK Kampus II UIN Walisongo, Jl. Prof. Dr. Hamka Km 1, Ngaliyan, Semarang | eduonline9@gmail.com | lpmedukasi.com | @lpmedukasi | @LPM_Edukasi | LPM Edukasi | 085225804744 Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
1
Menu-Q
Sajian
6
Swafoto Berlebih Bisa Picu Gangguan Narsistik
25
Sorot
Parkir Berbayar Demi Keamanan Kampus
2
Abstraksi | 4 Waspadai Selfie Berlebih! Bincang | 10 Gunakan Medsos dengan Bijak Opini | 11 Mengurangi Selfie Berlebih Sajian | 13 Aku Berselfie, Maka Aku Ada Bincang | 18 Selfie adalah Trend Swara | 19 Mengendalikan Pengguna TikTok Kolom | 21 Nyetatus Potret | 23 Kehidupan di Pasar Karangayu
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
Teropong
36
Di Teras Ben Pinter, Semua Orang Belajar Pandai
Pendidikan Nasional | 28 Zonasi Sekolah, Rapor Merah Kemendikbud Sosok | 31 Bahagia adalah Bercengkrama dengan Warga Resensi Buku | 32 Belajar Mengupayakan Cinta dari Fromm Resensi Film | 34 Patriots Day; Bom, Boston, dan Heroisme Qishoh | 38 Lampu Teras Sajak | 40 Tempatku Pulang & Selimut dan Puisi
Karikatur
Perupa: Burhan Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
3
Abstraksi
T
Waspadai Selfie Berlebih!
idak ada satu orang pun yang asing dengan selfie. Ketika mendengar kata selfie, maka yang terlintas dalam pikiran adalah foto-foto dengan beragam pose dan wajah yang berbeda pula. Selfie atau padanan katanya yaitu swafoto telah menjadi tren yang tak lepas dari kehidupan masyarakat modern. Swafoto telah menjadi kebiasaan, suatu kegiatan yang pasti dilakukan saban hari. Hampir setiap orang yang memiliki smartphone pasti pernah melakukannya. Entah karena telah menjadi kebiasaan yang dianggap menyenangkan atau hanya iseng belaka. Jika melihat yang ada pada media sosial seperti WhatsApp, Instagram, dan Facebook, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa pernah melakukan swafoto. Seluruh kalangan pernah melakukan swafoto tak terkecuali mahasiswa. Di lingkungan mahasiswa, swafoto telah menjadi sesuatu yang ‘harus’ dilakukan. Lebih-lebih ketika sedang berada di sebuah pagelaran atau acara. Pada waktu-waktu saat permulaan hingga akhir acara tidak lepas dari swafoto. Biasanya, ketika swafoto itu diunggah, mereka membubuhkan sedikit caption agar lebih menarik. Bahkan pada saat tidak sedang mengikuti pagelaran atau acara apa pun, banyak juga dari kalangan mahasiswa yang rajin berswafoto. Hal ini dapat ditemui di taman-taman kampus, kantin, dan bahkan di kelas ketika sedang berlangsung perkuliahan. Dapat dikatakan bahwa swafoto juga telah menjadi kebiasaan di kalangan mahasiswa. 4
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
Swafoto tak bisa dilepaskan dari keseharian mahasiswa. Di lingkungan kampus, banyak dari mahasiswa kerap merapikan pakaiannya agar ketika berswafoto, akan didapat hasil yang memuaskan. Swafoto seolah-olah menjadi suatu kegiatan untuk memenuhi suatu hasrat yang ada pada diri mahasiswa. Begitu juga dengan mengunggahnya, merupakan suatu jalan yang ditempuh untuk itu. Ada kesenangan dan kebahagiaan ketika mendapat swafoto yang memuaskan. Dan ada kebahagiaan lebih ketika banyak sekali likes yang didapat. Kesenangan dan kebahagiaan itu pun tak lepas dari apa yang bisa dikatakan sebagai suatu kecintaan terhadap diri sendiri. Yang lazim dikatakan dengan narsisisme. Dalam esainya yang berjudul ‘On Narcissism’, Freud menuliskan dan mencoba meletakkan dasar bagi teori Narsisisme. Freud menuliskan bahwa mereka yang memiliki narsisisme tidak ada bedanya dengan megalomania dan orang-orang yang mengidap hypokondria dan paraphrenia. Orang yang mengidap narsisisme beranggapan bahwa dirinya adalah segalanya. Ia cinta pada dirinya melebihi cintanya pada dunia luar. Dalam kasus yang lebih parah, mereka yang mengidap narsisme akan menuntut pengakuan dari lingkungan, yang jika tak direngkuhnya akan mengantarnya pada penyakit jiwa. Meski tak identik dengan narsisisme, dalam kegiatan swafoto memiliki indikasi bahwa ada kecenderungan narsistik. Lebih-lebih ketika swafoto dilakukan dengan frekuensi
yang tidak lazim. Seperti yang bisa ditemui di sebuah akun Instagram. Dilansir dari Mirror, @junaidahmedx dapat mengunggah sekitar 200 foto per hari dan menghabiskan waktu tiga jam untuk memilahnya. Tentu hal ini bukanlah sesuatu yang baik. Pada mereka yang berswafoto dengan frekuensi tinggi, ada ke-aku-an dalam diri mereka. Ada sebuah rasa cinta yang besar terhadap diri sendiri. Melalui swafoto, mereka ingin mengatakan bahwa: inilah aku! Aku senang dengan diriku. Ada suatu anggapan yang muncul, bahwa mereka ingin diakui. Mereka yang memilliki kecenderungan narsisisme dalam
swafoto-nya menginginkan panggung bagi diri sendiri di tengah lingkungannya. Hal ini tentu tidaklah baik. Jika dalam proses mencari pengakuan itu tak didapat, akan timbul gejolak yang meresahkan. Baik bagi dirinya sendiri maupun lingkungan. Dan nampaknya, banyak dari kalangan mahasiswa mulai terjangkit fenomena ini: swafoto dengan kecenderungan narsisisme. Sebagai kalangan masyarakat terdidik, mahasiswa harus waspada dan menjaga diri dari fenomena ini. Apakah mereka ingin mati mengagumi bayangan sendiri seperti Narcissus? [Q]
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
5
Swafoto Berlebih Bisa Picu Gangguan Narsistik Perilaku swafoto telah dilakukan oleh berbagai elemen, baik anak-anak, remaja maupun orang tua. Masalahnya, terkadang ada yang melakukan swafoto melebihi kadar normal.
A
tik Musmirotul Izah (20) terlihat sedang mengunggah foto dirinya di media sosial WhatsApp, Senin (15/9). Dalam unggahannya, tampak ia mengenakan hijab berwarna merah marun dan sedang berpose tersenyum ke arah kamera. Swafoto dan media sosial, tak bisa dipungkiri adalah dua hal yang berkaitan erat. Atik-- sapaan akrab Atik Musmirotul Izah-- adalah salah satu mahasiswi jurusan Pendidikan Agama Islam di IAIN Kudus, yang gemar bermain keduanya (swafoto kemudian diungah ke medsos-red). Diakuinya, dalam sehari, ia bisa berswafoto hingga sepuluh kali. Atik menuturkan bahwa dengan swafoto dirinya dapat bebas berekspresi. Meskipun begitu, saat ini Atik mengaku mulai mengurangi kebiasaan tersebut karena sudah bosan. Bahkan pernah direspon 6
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
negatif oleh orang-orang sekitarnya. Mereka berkomentar: apa-apa selfie, sedikit-sedikit selfie. Namun Atik membalas santai dan memilih tak ambil pusing dengan komentar orang-orang. Selain Atik, Edi –nama samaran- juga melakukan hal yang sama. Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab yang tak mau disebutkan namanya ini mengaku berswafoto 3 kali sehari. Laki-laki berperawakan kecil ini berswafoto karena, menurutnya, ia memiliki wajah yang tampan. Respon yang didapatkan Edi pun beragam. Ada yang diam dan bahkan menegurnya. “Pernah ditegur orang dan aku tidak peduli,” ujarnya ketika diwawancarai tim redaksi melalui WhatsApp. Menilik Asal Usul hingga Dampak Psikis Swafoto Mengambil foto diri sendiri, menurut
Sajian
Dok. Pixabay
Wikipedia, sebenarnya sudah dilakukan sejak munculnya kamera boks Kodak Brownie pada tahun 1900. Metode ini biasanya dilakukan melalui cermin. Salah satu remaja yang diketahui mengambil fotonya sendiri melalui cermin adalah Putri kekaisaran Rusia, Anastasia Nikolaevna. Anastasia diketahui mengirim foto kepada temannya pada tahun 1914 lalu. Perkembangan dunia digital melaju pesat. Dari kamera boks Kodak Brownie hingga kamera smartphone dengan resolusi yang semakin jernih. Dari hasil foto yang hanya berwarna hitam putih hingga hasil foto dengan filter-filter kamera yang unik dan beragam. Dengan adanya fitur yang beragam tersebut, Ummy Izzatunida, mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di UIN Walisongo ini jadi hobi melakukan swafoto. “Sejak saya punya handphone bagus dan filter-filter kamera, saya jadi hobi swafoto,” ucapnya. Sejak dinobatkan oleh Kamus Oxford menjadi Word of the Year pada 2013 lalu, kata bahasa Inggris ‘selfie’ yang memiliki terjemahan swafoto kian populer sampai sekarang. Bahkan banyak kalangan khususnya anak muda berlomba-lomba melakukan swafoto dengan pose atau latar yang sedemikian rupa. Kemudian diunggah diberbagai media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan WhatsApp. Dilansir dari Tempo 30 Maret 2014, sebanyak 1 juta swafoto diambil setiap harinya. Jumlah ini tentu saja semakin meningkat seiring perkembangan jaman. Nida--sapaan akrab Ummy Izzatunnida ketika di kampus-- tadi misalnya, dalam sehari dapat menghasilkan hingga 40 swafoto. Ia kemudian memilih satu yang paling baik untuk diunggah di media sosial. Sisanya menjadi koleksi pribadi dan tidak ada yang dihapus. Ia juga menjelaskan bahwa dengan swafoto dia merasakan kebahagiaan tersendiri saat melihat berbagai ekspresi diri. Perempuan kelahiran Kudus ini mengaku pula bahwa perilakunya yang satu ini mungkin bisa
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
7
memicu komentar negatif orang-orang disekitarnya. “Mungkin dilihat orang jijik ya, tapi swafoto itu memberikan kebahagian tersendiri karena tadi, bisa liat ekspresi diri kita,” tandasnya. Dilansir dari CNN Indonesia, swafoto yang sudah masuk pada tahap gangguan (kejiwaan) manakala perilaku tersebut telah mengganggu kehidupan sehari-hari. Pendidikan terganggu, setiap kehidupan terganggu, sehingga seseorang tidak lagi nafsu melakukan sesuatu dan hanya nafsu memfoto dirinya. “Swafoto yang berlebihan bisa mengarah pada gangguan kejiwaan yang kita sering sebut narsisisme,” kata Roslina Verauli, psikolog anak, remaja, dan keluarga, seperti dilansir dari CNN Indonesia (7/1). Narsisisme adalah sebutan yang mengacu dari tokoh bernama Narcissus dalam mitologi Yunani. Narcissus merupakan putra dari Dewa Sungai yang memiliki wajah sangat rupawan sehingga membuat siapapun jatuh cinta padanya. Narcissus yang menyadari hal tersebut lalu berubah jadi angkuh dan sombong. Ketika Narcissus sedang berjalan dihutan, Ia merasa haus dan ingin sekali minum. Akhirnya Ia menemukan kolam ditengah hutan yang airnya begitu bening. Semua pemandangan yang ada disekitar kolam terbayang dengan jernih dari kolam. Saat Narcissus membungkuk untuk minum, Ia melihat bayangan wajahnya sendiri. Pada saat itu Ia langsung jatuh cinta pada dirinya sendiri dengan tidak beranjak dari tepi kolam. Tanpa makan dan minum, Narcissus terus memandangi bayangannya hingga ajal datang menjemputnya. Swafoto Menurut Kacamata Psikolog Tak terelakkan lagi, anak muda jaman sekarang tak bisa lepas dari swafoto. Sebagian besar aktivitas mereka selalu diwarnai dengan swafoto yang diambil dengan berbagai alasan. Jelas fenomena swafoto sendiri adalah dampak dari sifat narsistik. Dalam artikel penelitian berjudul Swafoto Narsistik dan Harga Diri Remaja Muhammad Arief Najib, dkk memaparkan narsistik sebagai sifat di mana seseorang memperhatikan diri sendiri secara 8
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
“
Swafoto yang berlebihan bisa mengarah pada gangguan kejiwaan yang kita sering sebut narsisisme. Roslina Verauli berlebihan, memiliki kepercayaan diri berlebih, merasa lebih unggul dari orang lain, haus akan pengakuan dirinya terhadap orang lain. Swafoto sebenarnya adalah perilaku yang lumrah dilakukan, tergantung dari intensitas, tujuan membuat, apa yang diswafotokan, serta keetisan terkait budaya setempat. Hal ini senada dengan yang dipaparkan oleh Putri Marlenny, yang akrab disapa Ciput. Namun, menurutnya, mengambil swafoto sebanyak 30-50 kali sehari digolongkan telah melebihi kadar normal. Terlalu sering swafoto menyebabkan sesorang tidak memperhatikan lingkungan sekitar. Ketika seseorang terlalu fokus swafoto, Ia bisa lupa berinteraksi dengan sekitar. “Lagi ngobrol sama teman, malah asyik swafoto. Lagi ada di lokasi kecelakaan malah sibuk swafoto, ini yang membuat interaksi dengan sesama makin kurang,” tandas koordinator Rumah Duta Revolusi Mental (RDRM) Semarang, ketika ditemui oleh tim Redaksi pada (10/9). Swafoto dengan intensitas tingkat tinggi seperti ini berdampak buruk bagi pelaku swafoto dan
Sajian
Dok. Pixabay
juga sekitar. Ciput yang juga merupakan dosen Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Walisongo Semarang menerangkan dampak paling buruk dari swafoto adalah seseorang bisa mendapatkan label negatif dari masyarakat atas swafoto yang diunggahnya. Ia juga menjadi egois dengan tidak peka terhadap kondisi sekitar. Tanpa disadari perilaku swafoto kini menjelma menjadi kebiasaan yang berlebihan bagi beberapa orang. Namun, orang-orang tersebut justru tidak sadar bahwa dirinya telah kecanduan swafoto. Perempuan berbalut atasan pink dan celana batik tersebut menerangkan bahwa sangat jarang orang yang candu sadar bahwa dirinya candu. Ia berbagi tips agar seseorang lebih tegas pada dirinya sendiri dalam rangka mengurangi kebiasaan swafoto yang berlebih. “Biasanya swafoto 30 kali, saya kurangi jadi 25. Jangan jujak saya kurangi jadi 5. Pelan-pelan tapi pasti. Kalau berhasil nanti saya hadiahi diri saya makan bakso misalnya. Ya, hal-hal seperti itu,” jelasnya. Layaknya dua sisi mata uang, swafoto
juga memilik dampak positif. Swafoto dapat menjadi sarana untuk mengedukasi masyarakat apabila digunakan dengan tepat. Misalnya swafoto ketika sedang memasak yang kemudian diunggah disertai keterangan resep suatu masakan, maka swafoto memberikan dampak positif untuk berbagi informasi pada pengguna media sosial yang lain. Psikolog berusia 33 tahun tersebut juga mengatakan bahwa jangan sampai perkembangan perangkat dan aplikas-aplikasi digital selalu dinilai dengan negatif, yang sebenarnya juga mempunyai sisi positif. Lagi, Ciput menegaskan bahwa tidak ada yang salah dari swafoto asal segala aspek yang berkaitan sesuai dengan intensitas dan budaya setempat. Waktu yang dihabiskan hanya untuk swafoto jelas tidak bisa diputar kembali, maka kita harus pintar beretika dengan dunia digital dan mengatur waktu. Ada individu lain yang butuh untuk berinteraksi dengan kita. [Q] Oleh: Nurul Afrida Izza
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
9
Bincang Dewi Salma Zuhara
Gunakan Medsos dengan Bijak
S
aat ini, masyarakat gemar bersosialisasi di media sosial. Khususnya Instagram, media sosial ini digunakan untuk mengunggah foto sekaligus mengomentarinya. Berikut adalah hasil wawancara tim redaksi dengan salah satu pengguna Instagram-- yang sekaligus digunakan sebagai media bekerja, Dewi Salma Zuhara:
Kapan mulai memanfaatkan Instagram sebagai media pekerjaan? Aku memulainya dengan mengulas makeup yang aku pakai sejak setahun lalu. Berselang, banyak online shop yang meminta meng-endorse produknya. Mereka senang dengan ulasanku karena objektif dan banyak dari pemirsa memahaminya. Berapa banyak foto yang Anda unggah dalam satu hari? Hanya sekali untuk satu online shop. Hal itu agar tidak tertumpuk dengan foto yang lain. Bagaimana tanggapan warganet terhadap kegiatan Anda di Instagram? Respon mereka beragam. Ada yang memberikan dukungan, ada pula yang mencaci. Aku hanya menanggapi halhal positif yang mereka sampaikan padaku. Dan tidak mau menanggapi yang sebaliknya. Bagaimana keuntungan dan kerugian yang didapat dalam menggunakan Instagram sebagai media pekerjaan? Keuntungan yang aku dapat yaitu mendapat barang-barang yang belum 10
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
pernah aku coba seperti kosmetik dan pakaian dari berbagai merek dan tanpa membayar. Dan aku tidak merasakan kerugian apapun. Dok. Pribadi
Apa akun media sosial yang Anda miliki dan seberapa sering? Aku memiliki Instagram, Twitter, WhatsApp, dan Snapchat. Sering menggunakan Instagram, Twitter dan WhatsApp karena berkaitan langsung dengan keseharian yang kulakukan.
Adakah pesan untuk pengguna media sosial supaya dapat m e m b e r i k a n keuntungan d a l a m menggunakan media sosial dan kebal terhadap komentar negatif? G u n a k a n media sosial dengan bijak. Jangan gunakan untuk mencaci hingga membuat fake account. Itu sungguh buruk. Dan tidak usah menghiraukan komentar negatif yang ditujukan kepada kita. Yakin bahwa kita dapat berprestasi. Terakhir, berhati-hati dalam menggunakannya supaya bermanfaat bagi lingkungan. [Q] Oleh: Siti Mauliya
Arikha
pini
Mengurangi Selfie yang Berlebihan
K
emajuan teknologi semakin pesat di era kini, hal tersebut mendorong masyarakat untuk terus mengikuti kemajuan teknologi tersebut. Seiring berkembangnya zaman, semakin berkembang pula alat-alat teknologi dalam kehidupan masyarakat. Kehadiran smartphone seperti iPad, Android dan iPhone membawa fenomena baru pada remaja yaitu selfie. Selfie adalah sebuah fenomena di mana seseorang memotret diri sendiri dengan menampilkan wajah maupun seluruh tubuh. Foto selfie juga berkaitan dengan self-image. Contohnya, ketika menulis status, orang akan lebih tertarik untuk lihat selfie nya. Dan ketika banyak yang like maka akan membuat senang. Selain itu fenomena itu terjadi karena pada dasarnya manusia lebih suka mencoba identitas baru. Orang yang gemar ber-selfie dia akan mempunyai banyak pose. Namun dari beberapa pose yang diambil, hanya selfie terbaik yang akan diunggah ke media sosial. Tren selfie di Indonesia sendiri muncul sekitar tahun 2013. Tren yang berkembang ini karena adanya fitur kamera depan pada ponsel yang memudahkan pengguna untuk selfie. Generasi Y dan Z merupakan generasi pertama yang tumbuh bersama perkembangan teknologi. Bagi mereka selfie dan diunggah di jejaring media sosial
merupakan hal yang lumrah. Namun, selfie bisa menyebabkan beberapa gangguan, seperti apa yang disampaikan oleh Profesor di Massachuttes Institute of Technology, Sherry Turkle, dalam tulisanya di New York Times. Sherry mengatakan gangguan yang terjadi pada selfie yaitu, pertama narsis yaitu orang yang menderita kecenderungan narsisisme memiliki masalah lebih besar daripada selfie. Keinginan mereka yang cenderung ingin memamerkan foto dan semua kegiatan yang menjadi konsumsi publik. Kedua, kecanduan, orang yang terbiasa selfie, kebiasaan tersebut menjadi candu. Ketiga histrionic, merupakan gangguan kepribadian di mana penderitanya ingin menjadi pusat perhatian. Misalnya mengubah bentuk wajah dengan operasi plastic hanya untuk mendapat pengakuan dari orang lain. Keempat eksibisionis atau kecenderungan untuk memamerkan bagian tubuh tertentu kepada orang lain. Selfie dan Narsisisme Selfie yang berlebihan bisa menyebabkan perilaku narsisisme. Narsisisme adalah mencintai dirinya secara berlebih. Istilah narsistik ini pertama kali digunakan dalam psikologi oleh Sigmund Freud dengan mengambil dari tokoh dalam mitos Yunani, Narcissus, seorang pemuda yang senang memuji diri sendiri. Salah satu versi mitos Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
11
pini
Dok. Pixabay
Pengidap narsis juga menganggap dirinya unik dan istimewa, mereka kurang sensitif terhadap lingkungan sekitar dan tidak mau menerima kritikan orang lain.
itu menyebutkan, Narcissus tidak mudah dirayu, dan bahkan suka menolak cinta perempuan. Suatu ketika dia dikutuk, sehingga jatuh cinta kepada bayangannya sendiri Dari mitos tersebut Narsisisme diartikan kecintaan terhadap diri sendiri yang berlebih. Saat ini Narsisisme sudah menjadi budaya yang berkembang di era digital, di mana individu menonjolkan kecintaan terhadap diri sendiri yang berlebihan dan berkembang secara terus menerus tanpa henti. Narsisisme muncul karena adanya dorongan dari diri individu serta dorongan dari lingkungan sekitar. Narsis juga timbul akibat dari pujian dan penghormatan dari individu lain. Menurut Mitchell JJ dalam bukunya ‘The Natural Limitations of Youth’, mengatakan ada lima kemunculan narsis pada individu ciri-ciri orang yang terkena gangguan Narsisisme, yaitu: pertama, adanya kecenderungan mengharapkan perlakuan khusus. Kedua, kurang bisa berempati sama orang lain. ketiga, sulit memberikan kasih sayang. Keempat, belum punya kontrol moral yang kuat. Kelima, kurang rasional. Kelima aspek inilah yang paling kuat memicu narsisisme yang berefek gawat. 12
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
Selfie dan Media Sosial Menurut Syahbana (2014:43) ada dampak positif dan negatif dari melakukan selfie yang diunggah ke media sosial. Dampak positif yang pertama, dapat membuat hidup lebih bersemangat dan mempengaruhi penikmatnya. Kedua, memberi energi positif kepada orang lain. Ketiga, dapat meningkatkan kepercayaan diri, baik pada pelaku selfie maupun pada orang yang melihatnya. Sedangkan dampak negatifnya adalah pertama mengganggu orang lain. Kedua, menimbulkan fitnah dan ejekan terhadap diri sendiri. Ketiga, mempengaruhi aksi pornografi di media sosial. Keempat, obsesi operasi plastik. Kelima, dapat mengundang kejahatan. Keenam, dapat merugikan orang lain, maksudnya jika seseorang mengunggah ke media sosial foto pribadinya dan foto tersebut kini berkembang menjadi picture exchange affair. Untuk meminimalisir dampak negatif selfie tersebut dapat dilakukan beberapa pendekatan. Pendakatan pertama adalah pendakatan terhadap diri sendiri. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan mencoba menahan diri dari mengunggah foto selfi di media sosial secara berlebih, dengan menguranginya sedikit demi sedikit. Selain itu, adalah dengan cara mengendalikan diri sendiri terhadap perilaku narsis dengan cara memanfaatkan waktu dengan hal-hal yang baik. Selanjutnya, pendekatan kedua adalah pendekatan sosial. Jadi antara individu, teman terdekat, orang tua menjadi agen sosialisasi akan bahayanya selfi yang berlebihan. Hal tersebut akan membuat gaya hidup sehat, maksudnya tetap menggunakan media sosial tapi dengan wajar dan seperlunya. [Q] Oleh: Diah Novi Karisma
Sajian
Dok. Pixabay
Aku Berselfie, maka Aku Ada Mengedipkan satu mata dan mengangkat dua jari menghadap kamera sambil tersenyum, “cekrek”. Inilah revolusi di mana seseorang ingin diakui orang lain. Disebut dengan self-portrait atau familiar disingkat menjadi selfie, trend remaja sekarang ini.
N
amanya Ocha Dhea, salah seorang mahasiswa UIN Walisongo yang gemar melakukan selfie. Jika moodnya masih baik sekitar puluhan kali atau lebih jepretan, dapat diabadikan melalui kamera ponsel miliknya. Tetapi jika moodnya kurang baik mungkin hanya sekali dua kali saja dia memotret bentuk wajahnya dengan gontiganti gaya. Katanya yang mempengaruhi
mood-nya adalah penampilan wajahnya saat itu. “Kalau lagi cantik ya bisa berkali-kali,” ujarnya. Tetapi wanita kelahiran Purwodadi 1998 ini mengaku tidak suka mengunggah hasil selfienya ke media sosial. “Saya suka selfie, tapi bukan untuk konsumsi publik, jadi saya jarang mengunggahnya,” katanya. Berbeda dengan Ocha—panggilan akrab Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
13
ay Do k. P ixab 14
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
Ocha Dhea, Alif Hidayah, setiap hari tak ketinggalan mengunggah pose wajahnya di status WhatsApp, mulai dari kebosananya saat dosen tidak hadir, padahal dirinya sudah bersusah payah bangun pagi. Atau pose selfie bersama sarapan pagi yang disantapnya menjelang azan zuhur. Hampir setiap hari secara otomatis dia melakukannya seperti sudah menjadi rutinitas. “Ya, beginilah mahasiswa zaman sekarang, saya yakin semua mahasiswa terutama mahasiswi pasti menyukai hal yang namanya selfie. Apapun akan diunggah seperti saat mereka di PHP (Pemberi Harapan Palsu-red) dosen karena tidak masuk kelas, saat sedang presentasi dan aktivitas lainnya,” kata Alif, panggilan akrabnya. Meskipun, terkadang Alif, dikomentari tidak enak dari beberapa kawannya. Ceritanya, ada yang hanya menegur, atau bahkan membisukan status WhatsApp miliknya. Tetapi rutinitas itu sudah mendarah dan sulit untuk ditinggalkan. Dia tetap menyukai selfie dan selalu mengunggahnya di media sosial. Dengan alasan ingin berbagi dengan kawan-kawannya tentang aktivitas yang sedang dilakukan. Salah satu yang merasa risih saat foto selfie di unggah ke media sosial adalah Nur Hidayati. Mahasiswi semester lima, jurusan Ilmu Politik di Universitas Negeri Semarang (UNNES) ini berpendapat tentang seseorang yang selalu mengunggah foto semua kegiatannya ke media sosial adalah tindakan yang tidak berguna. “Mahasiswa sekarang ini hobinya pamer gigi saja,
Sajian dengan foto yang memamerkan kecantikan palsu lewat kamera yang super jahanam itu mereka merasa bangga dan paling cantik. Tapi sayang cantik luarnya saja bukan otaknya,” tandasnya. Lain halnya dengan Lena Anggraini, perempuan calon perawat ini beranggapan bahwa selfie dan mengunggahnya melalui media sosial terkadang juga penting. “Perlu dong mengunggah beberapa hasil selfie, dari unggahan itu saya bisa tahu kabar atau aktivitas teman dan sanak kerabat saya, tak ketinggalan stalking mantan,” ucapnya dengan senyum yang mengembang di bibirnya. Hampir sama dengan Ocha, Nor Hidayah juga menyukai selfie, katanya itu merupakan bentuk mengekspresikan diri. Tetapi wanita dengan kerudung merah ini mengaku tidak suka mengunggah hasil selfienya. “Saya suka selfie-selfie sendiri atau pas bareng sama teman-teman, tapi ya nggak suka ngunggah ke media sosial sih. Kalau ditanya alasannya kenapa, yang memang nggak suka aja, simple kan,” jawabnya sembari memamerkan lesung pipitnya. Selain menyukai selfie, perempuan kelahiran Genuk, Semarang ini bercerita paling hobi melihat status WhatsApp temantemanya, salah satu pengisi kebosanan.
“
Selfie apapun boleh asal tidak melanggar hukum dan melanggar etika. Nukman Lutfi
Selain itu, dia juga memanfaatkan media sosial dengan melihat-lihat potret dunia dan segala keunikannya. Sama halnya beberapa kawan di atas, Berlianthy Oktaf Lydia Purnama, mahasiswi Universitas PGRI Semarang (UPGRIS), tidak terlalu menyukai selfie dalam skala yang tinggi. “Sekali dua kali aja cukuplah buat selfie,” katanya. Meskipun tidak menyukai selfie yang terlalu berlebihan, wanita berkacamata ini mengakui bahwa setiap momen itu tidak akan kembali, maka butuh diabadikan, salah satunya melalui selfie. Selain untuk mengabadikan momen, hasil selfie-nya seringkali diunggah ke akun Instagram miliknya. Akan tetapi, dia mengaku tidak menyukai selfie yang terusmenerus dan membahayakan. “Jadilah pecinta selfie dan pengguna media sosial yang bijak,” sarannya. Lu’lu’il Maskun, pria dengan perawakan gagah tinggi besar sempat menceritakan banyak hal tentang foto dan selfie. Bermula dari hobinya yang suka memfoto objek pemandangan sampai potret wajah beberapa kawan. Luil menyukai selfie tetapi dia mengaku tidak terlalu sering meringis di depan kamera dengan pose yang bergantiganti gaya. “Dalam sehari mungkin aku selfie tidak sampai lima kali”. Memilih satu yang paling bagus dari hasil selfie-nya, seketika itu juga Luil mengunggah hasil selfinya ke media sosial pribadinya. Dia juga selalu menjadi pemirsa setia yang menonton ‘story’ kawan-kawannya di WhatsApp. Tetapi juga memilah bahkan beberapa kawannya diblokir karena menurutnya terlalu boros dan mengunggah sesuatu yang menurutnya tidak penting. Terlepas dari itu Lu’lu’il Maskun, juga berbagi pengalaman tentang fenomena selfie yang sekarang ini tidak tahu tempat. “Di mana saja ya digunakan untuk selfie,” katanya. Dia melanjutkan, “bahkan tidak lagi memperhatikan apakah selfie di tempat umum mengganggu lingkungan sekitarnya atau tidak”. Menurutnya, kesadaran dalam ajang menunjukkan diri sendiri itu diberikan batasan. Memilih tempat yang layak dan Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
15
Sajian tetap berlaku sopan. “Justru pemandangan adalah objek yang lebih indah selain melulu menampilkan potret diri sendiri”. Muhammad Triandar Lidzinillah, akrab disapa Rian adalah teman Luil. Dia lelaki yang tidak suka selfie apalagi mengunggah foto ke media sosial. Sangat jarang berhadapan dengan kamera kecuali tuntutan pekerjaan yang mengharuskan deteksi wajah. Dia mengaku melakukan selfie jika dalam situasi terdesak saja misalnya dipaksa teman untuk foto bersama. Pada tanggal 16-23 Oktober 2018 tim redaksi Quantum menyebar kuesioner kepada mahasiswa di kota Semarang, yang berisi beberapa pertanyaan tentang fenomena selfie. Dari 69 responden yang mengisi kuisioner, 98,6% mengaku menyukai dan pernah melakukan selfie sedangkan 1,4% tidak pernah. Dalam sehari, 4 orang melakukan selfie satu kali. 5 orang melakukan selfie 2 kali. 1 orang melakukan selfie 3 kali. Sedangkan yang lainya tidak menentu. Kemudian yang lebih dari 3 kali yaitu, seorang yang melakukan selfie 4 kali dalam sehari berjumlah 1 orang. 5 kali berjumlah 3 orang, 7 kali berjumlah 1 orang, 8 kali berjumlah 1 orang. Kemudian 58% tidak mengunggahnya melalui media sosial. Sisanya 42% mengaku mengunggah hasil selfienya. Adapun media sosial yang digunakan, paling diminati adalah WhatsApp dengan prosentase pengguna 62,3% setara dengan 43 orang dari 69 orang yang aktif menggunakannya, Instagram 50,7%, Facebook 17,4%, Twitter 4,3%, Line 1,4%. Sementara yang keberatan saat seorang mengunggah selfie ke media sosial, 10,1% memilih ada pihak yang terganggu. 39,1% lainnya menjawab tidak ada yang terganggu. Dan 50,7% menjawab tidak tahu. Alasan mengapa seorang melakukan selfie kebanyakan menjawab untuk mengapresiasi terhadap diri sendiri dengan mengabadikan momen melalui selfie. Sebagian karena iseng dan untuk bersenang-senang saja mengisi waktu luang atau saat bersama teman. Ada pula yang memperlihatkan paras cantiknya dengan demikian menjadi lebih percaya 16
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
diri. Sebagian yang lain ingin membagikan kegiatan yang diikutinya saat itu kepada orang lain. Tanggapan Pengamat Media Sosial Nukman Luthfi, pengamat media sosial mengatakan bahwa Mengunggah foto selfie merupakan hal yang wajar. “Asalkan tidak mengandung unsur pornografi dan tidak melanggar hukum,” jelasnya ketika diwawancarai redaksi via WhatsApp, Sabtu, 22 Oktober 2018. Kemunculan selfie sebenarnya didasari oleh sosial media, tetapi perlu dipahami bersama bahwa selfie adalah Proses bermedia sosial. Dari tingkat memamerkan potret wajah diri sendiri (mengekspresikan diri) secara berlebihan, tetapi suatu ketika seseorang akan sadar bahwa ada konten yang lebih menarik dari potret wajah diri sendiri. “Misalnya kita sering melihat seseorang yang suka memfoto wajahnya saja, lama kelamaan seorang itu akan sadar bahwa ada pemandangan yang lebih indah dari dirinya,” begitu pemisalan lelaki kelahiran 24 September itu. Nukman menyarankan untuk menggunakan media sosial dengan sebaikbaiknya, dengan cara menyaringnya. Selain itu, Nukman juga mengatakan bahwa tidak ada polusi visual pada media sosial karena dapat dipilah-pilah gambar mana yang akan dilihat, dan ada pilihan lain untuk tidak melihat gambar itu seperti kita block atau hide saja. Paham konten di media sosial harus seimbang, apapun mengenai kita, ilmu, interaksi sosial. Jangan sampai selfie mendominasi konten di media sosial, maksimal 30%. Ketika ditanyakan soal selfie yang perlu difilter. Pengamat media ini menyarankan untuk tidak selfie ditempat terlarang dan di tempat berbahaya meskipun tidak terlarang. “Selfie apapun boleh asal tidak melanggar hukum dan melanggar etika,” tegasnya. [Q] Oleh: Ela Agustina
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
17
Bincang
Probowati: Selfie adalah Trend
P
erilaku selfie di kalangan mahasiswa saat ini sudah menjadi trend. Kapanpun dan di manpun berada mahasiswa melakukan selfie. selfie menjadi sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari keseharian mahasiswa. Dari fenomena ini, kemudian tim redaksi mewawancarai Probowati Sastronegoro M.Si, seorang Psikolog RS Elisabeth. Berikut wawancara tim redaksi dengan Ibu Probowati: Bagaimana pendapat anda terkait selfi dikalangan remaja/mahasiswa saat ini? Memang, selfie sekarang ini sedang menjadi trend dikalangan remaja, dan kita tidak bisa membendung arus itu. Tidak hanya terjadi dikalangan remaja saja, bahkan, semua orang tuapun yang hobi berfoto untuk mengabadikan kenangannya, saya rasa hal ini masih dalam tahapan yang wajar. Karena disadari atau tidak, selfie sebagai mode pasti lama-lama juga akan hilang trend tersebut. Apalagi, sekarang ini sudah didukung oleh sarana yang memadahi, seperti hp dengan fitur kamera yang semakin hari semakin canggih. Namun, hal itu akan berbahaya manakala digunakan ditempat yang tidak tepat. Misal ditempat yang berbahaya. Apakah selfi dapat dikategorikan sebagai pelaku narsis? Selfie tidak dikategorikan perilaku narsis. Karena selfie hanya sekedar mode yang didukung oleh sarana yang memadahi. Kita tidak bisa menegakkan diagnosa selfie sebagai narsis. Karena narsis itu perihal memuja dirinya dengan amat sangat. Tapi kalau selfie menurut saya trend saja. Sesuatu yang biasa dan tidak meresahkan. Hanya saja, tempat yang digunakan harusnya tidak membahayakan. Adakah dampak psikologis yang ditimbulkan dari selfi? Dampak dari selfie adalah kecanduan. Nah kecanduan di sini tidak mengarah pada hal yang negatif. Maksudnya, ingin melakukannya selfie berkali-kali dengan 18
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
Dok. Pribadi
catatan masih dalam tahapan yang wajar. Lagi-lagi selfie itu sebagai mode. Semisal orang yang menyukai selfie dan melakukan selfie di tempat yang tidak wajar, seperti selfie di atas gunung misal, hal ini bukan termasuk perilaku narsis, karena narsis tidak sekedar itu. Karena narsis itu mengarah pada pemyimpangan sedangkan selfie itu masih pada tahap kewajaran. Jika negatif bagaimana cara mengatasinya? Hal itu yang harus disikapi, menggunakan hp dengan bijaksana itu perlu. Orang yang selfie harusnya di tempat yang tidak berbahaya dan tidak mengundang privasi seseorang. Misal selfie di rumah sakit yang menyangkut privasi pasien yang sedang sakit. Hal ini merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan. Jadi berhati-hatilah saat selfie. [Q] Oleh: Ela Agustina
Swara
Mengendalikan Pengguna TikTok
P
ada hari selasa 3 juli 2018, Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) melakukan pemblokiran terhadap delapan sistem penamaan dominan atau Domain Name System (DNS) TikTok. Pemblokiran ini didasari oleh hasil pemantauan tim AIS Kemkominfo, yang berasal dari laporan kementriaan PPA, KPAI dan laporan masyarakat. Pemblokiraan ini bersifat sementara, yang akan berakhir sampai ada perbaikan dan pembersihan konten-konten ilegal dari pihak TikTok. Ada sejumlah alasan yang membuat Kemkominfo memblokir TikTok. Menkominfo Rudiantara mengungkapkan salah satu alasan pemblokiran dikarenakan banyaknya konten negatif di platform tersebut. Pelanggaran konten yang ditemukan antara lain pornografi, asusila, pelecehan agama dan lain-lain. Hal inilah yang menjadi dasar sebagian besar masyarakat menjadi kontra akan kehadiran aplikasi tersebut. Dengan banyaknya masyarakat yang kontra akan hadirnya aplikasi TikTok, memperkuat keputusan Kemkominfo untuk memblokir aplikasi tersebut. Aplikasi TikTok merupakan aplikasi yang berasal dari Tiongkok. Diciptakan oleh Zhang Yawing, lulusan software engineer dari Universitas Nankai. Dia mendirikan perusahaannya pada bulan Maret 2012.
Lewat perusahaan inilah Zhang Yawing mengembangkan aplikasi TikTok, hingga kemudian menjadi tren di media sosial saat ini. Di Indonesia sendiri, TikTok muncul pada bulan September 2017. Pada awalnya, TikTok masih menggunakan bahasa Mandarin. Tetapi sekarang, aplikasi tersebut sudah tersedia dengan bahasa Inggris. Sehingga bisa dinikmati oleh pengguna ponsel di manapun dan oleh siapapun. Dengan tingginya pengguna internet di Indonesia, Viv Gong, kepala pemasaran TikTok, mengatakan bahwa Indonesia merupakan sasaran yang empuk untuk pemasaran TikTok. Kehadiran aplikasi TikTok juga mendapat hujatan dari negeri asalnya sendiri yang dilansir dari South China Morning Post (SCMP). Mereka menemukan ratusan anakanak Hongkong yang berusia sembilan tahun telah mengungkap identitasnya di aplikasi ini. “Saya pikir apikasi ini sangat buruk dalam melindungi privasi dan keamanan pengguna anak dibandingkan platform utama lain,” ungkap konsul Federasi Teknologi Eric Fan Kin-man setelah menguji aplikasi ini kepada SCMP, akhir Mei lalu. Sedangkan di Indonesia kita tidak lagi asing dengan nama Bowo. Seorang anak yang baru berusia 13 tahun yang terkenal melalui aplikasi TikTok, menggelar acara meet & greet dengan penggemarnya. Sayangnya setelah Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
19
20
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
Dok. Google
membayar mahal, banyak penggemar yang merasa kecewa melihat keaslian Bowo dari dunia nyata dibandingkan dunia maya. Dengan adanya fenomena seperti ini, psikolog dan pendiri Personal Growth, Ratih Ibrahim ikut angkat bicara. Dia secara tegas mengatakan ini adalah sebuah hal yang tak masuk akal dilakukan anak-anak hingga remaja. Yang jadi pertanyaan adalah di mana peran orang tua, sehingga anak yang baru berusia 13 tahun, yang seharusnya fokus utuk belajar dan bermain, mampu menciptakan fenomena dan problematika seperti itu. Dengan kehadirannya, secara tidak langsung TikTok menjadikan generasi saat ini generasi yang suka ‘bergoyang’. Mungkin kalau sekadar bergoyang tidak masalah, akan tetapi ketika kita lihat di Instagram ataupun YouTube, kita akan menemukan video durasi pendek dengan goyangangoyangan yang tidak etis bahkan bisa dikatakan sangat keterlaluan, karena busana serta gerakanya yang tidak masuk diakal. Selain itu banyak sekali yang membuat masyarakat terusik dengan adanya aplikasi ini. Aplikasi ini dapat menimbulkan efek pornografi, tindakan asusila, bahkan yang lebih parah berpotensi ajang penistaan agama. Banyak sekali kejadian yang entah itu disengaja ataupun tidak. Tapi yang pasti itu membuat diriya dan orang lain rugi. Salah satunya dengan merekam dirinya dengan cara berpakaian yang kurang pantas. Begitu banyaknya sisi negatif yang timbul karena aplikasi TikTok, membuat sebagian orang membencinya. Bahkan ada yang sampai mengatakan bahwa aplikasi ini adalah aplikasi goblok, aplikasi yang membodohkan, tidak mendidik. Seiring perkembangannya, TikTok tidak membawa dampak positif bagi penggunanya. Pemerintah telah mengambil keputusan yang tepat untuk memblokir aplikasi TikTok. Meskipun kemudian dibuka kembali namun dengan disertai seleksi pengguna. Dengan dibukanya kembali TikTok yang kini sudah dilengkapi batas usia pengguna, harapannya pemerintah bisa memilih dan memilah setiap aplikasi yang ingin
masuk ke dalam Indonesia. Harus melalui pemeriksaan terlebih dahulu. Agar tidak terjadi akibat yang tidak diinginkan seperti halnya aplikasi TikTok yang sudah terjadi. Selain pemerintah, peran orang tua juga sangat diperlukan. Orang tua harus terus memantau perkembangan anaknya. Karena orang tua mempunyai ikatan tersendiri dibanding orang lain. Setiap perkembangan anak seharusnya tak pernah lepas dari pantaunnya. Bahkan pergaulan sekecil apapun yang dapat membentuk karakter setip anak harus tetap diamati. Karena Itulah salah satu faktor yang akan mempengaruhi pemikiran serta karaktek seorang anak dalam tumbuh dan berkembang. Akan tetapi ada pengaruh yang lebih penting, selain peran pemerintah dan orang tua, yaitu: kesadaran diri sendiri adalah faktor utama yang akan membentuk perkembangan diri seorang anak. Dalam penentuan pergaulan, anak selalu mempunyi kebebasan dalam menentukan pergaulannya. Seiring perkembangan zaman, teknologi dan ilmu pengetahuan juga sangat mempengaruhi pola pikir mereka. Jadi penggunaan teknologi harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Karena di sisi lain, remaja adalah calon penerus bangsa. Mana mungkin bangsa ini akan maju jika banyak di antaranya lebih menyukai hal-hal yang tidak berguna. [Q] Oleh: Moh. Khoirul Anam
Kolom
Nyetatus
B
erdasarkan kolom yang diterbitkan di kompas.com yang mengungkapkan pola pemakaian media sosial (medsos) orang Indonesia, terungkap bahwa orang Indonesia menghabiskan waktu 23 menit sehari untuk mengakses medsos. Kemudian dari laporan berjudul “Essential Insight Into Internet, Social Media, Mobile and E-Commerce Use Around The World” yang diterbitkan pada tanggal 30 Januari 2018 dari total populasi orang Indonesia sebanyak 265,4 juta jiwa pengguna aktif medsos mencapai 130 juta dengan persentase 49 persen. Aplikasi yang paling banyak diunduh adalah perusahaan media sosial di bawah Mark Zuckerberg, mendominasi di tiga teratas. Secara berurutan dari posisi pertama adalah Whatsapp, Facebook dan Instagram, sedangkan Line yang baru- baru ini gencar dipakai anak muda merupakan produk buatan Korea Selatan menempati urutan setelahnya. Melalui apikasi tersebut, kita bisa menghubungi orang di belahan lain. Selain itu, kita juga bisa membuat ‘story’, misalnya
pada aplikasi WhatsApp, Instagram dan Facebook. Ketiga media tersebut memasang inovasi berupa ‘story’ di fitur aplikasinya. Walaupun ketiganya mempunyai perbedaan yang tidak begitu jauh. Fitur berupa ‘story’ ini membuat candu untuk melakukan aktivitas nyetatus. Namun, nyetatus yang dimaksud bukan status yang ada di KTP, bukan pula status kamu jomblo atau udah punya pacar. Atau cuman sekadar teman biasa. Aktivitas nyetatus pun tak bisa lepas dari kegiatan sehari-hari. Di mulai dari bangun pagi, pasang status. Sedang ibadah; baca Al-qur’an dibuat status, baca buku lalu difoto; buat status. Lagi jalan sama pasangan; di café, buat status. Nyetatus menjadi kebutuhan yang tidak bisa ditinggalkan bagi setiap orang. Sebetulnya, apa tujuan orang membuat status di beberapa media sosial? Pasti akan muncul banyak dugaan, apakah ingin diakui keberadaannya? Dianggap sebagai orang yang kekinian? Apakah ingin mempengaruhi orang lain? Atau hanya ingin membuat isu? Atau bahkan ingin dianggap orang lain kalau kita selalu punya kesibukan? Banyak sekali pertanyaan di kepala kita. Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
21
Kolom
Dok. Pixabay
Beribu dugaan tadi pasti akan ditemukan jawaban yang berbeda-beda. Setiap orang masing-masing pasti memiliki alasan mendasar ketika membuat status. Salah satunya tentang kepuasan batin. Yups, berbicara tentang kepuasan, mungkin ini sedikit berhubungan dengan teori hierarki kebutuhan Maslow yang membicarakan tentang kebutuhan akan penghargaan. Kebutuhan ini berhubungan erat dengan kebutuhan akan harga diri. Kebutuhan akan status, ketenaran, reputasi, perhatian, apresiasi, martabat dan dominasi. Berangkat dari kebutuhan inilah yang menjadikan manusia saat ini enggan jauh- jauh dari medsos. Tak mau jauh dari smartphone. Kecanduan yang semakin merajalela, membuat sebagian orang gagap untuk melakukan hubungan sosial secara fisik. Kebutuhan ketenaran dan reputasi, juga bisa jadi alasan. Setiap kali aktivitas seseorang 22
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
menurut pribadi dapat mengangkat ketenarannya, pasti akan diunggah dan dijadikan ‘story’ entah di media manapun. Contohnya saja, pelaku adalah seseorang yang memiliki kedudukan sebagai pejabat pemerintahan. Ia sengaja mengunggah segala aktivitasnya dengan masyarakat, agar orang lain yang melihat unggahan dalam story tersebut secara tidak langsung terbius untuk memberikan simpati dan empati kepada pejabat tersebut. Sebagai pengguna dan pembaca yang baik sejak dalam pikiran, jarene. Kita tentu mempunyai pandangan masing- masing. Namun, yang pasti, kita harus tetap mampu memelihara kewarasan dan berpikir jernih. Dengan bekal itu, sebagai konsumen media sosial, kita akan lebih bijak di tengah kepungan arus digitalisasi yang ada. [Q] Oleh: Fatimatur Rohmah
Potret
Menunggu
Bolang-baling di Atas Kepala
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
23
Kehidupan Pasar Karangayu
R Simbah Kretek
Pengamen
abu (28/11) pukul 15.00 WIB di Pasar Karangayu, orangorang berlalu lalang. Suasana panas terik dan jalanan becek karena hujan baru saja berhenti turun, tak menyurutkan untuk melakukan transaksi jual beli. Pasar Karangayu adalah pasar yang terletak di barat kota Semarang. Pasar ini juga merupakan salah satu pasar tradisional yang masih ada di tengah-tengah pembangunan pasar modern yang semakin masif. Beberapa bulan yang lalu Presiden Joko Widodo sempat mengunjunginya. Kami mengambil potret bagaimana orang-orang mencari uang untuk sesuap nasi. Bukan hal mudah bagi mereka golongan menengah ke bawah untuk mendapatkan rupiah, butuh perjuangan yang berat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasar Karangayu menjadi saksi bagaimana orang-orang menunggu, menawarkan, dan bertransaksi kepada pembeli. Kami kemudian terkesima dengan seorang nenek tua yang sedang menikmati sebatang kretek di sudut pasar. Nenek tersebut begitu menikmati hisapannya. [Q]
Teks dan foto-foto: Geha & Zamrud
Lelap
24
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
Sorot
Dok. Edu/GH
Parkir Berbayar Demi Keamanan Kampus Terhitung mulai hari Senin, 08 Oktober 2018, Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang menerapkan parkir berbayar. Peraturan ini didasarkan pada Keputusan Rektor Nomor 134 Tahun 2018.
P
arkir berbayar dikenakan kepada siapa saja yang memasuki kampus tanpa terkecuali, baik civitas akademika maupun masyarakat umum. Kendaraan yang masuk area kampus UIN Walisongo tanpa kartu parkir akan dikenai tarif parkir berbayar. Tarif kendaran roda dua adalah Rp. 1.000, sedangkan tarif kendaraan roda empat yaitu Rp 3.000. Tujuan utama adanya pemberlakuan kebijakan baru ini adalah demi keamanan kampus. Sebelum berlakunya sistem parkir berbayar tersebut. Berbagai sistem diberlakukan untuk memperketat keamanan kampus.
Pada Rabu, 13 September 2017 diberlakukan sistem kartu parkir. Sistem ini mendapatkan dukungan penuh dari pihak birokrasi. Dilansir dari lpminvest.com, Kampus I mendapatkan 350 kartu, kampus II 550 kartu dan penghuni wilayah paling banyak yakni kampus 3 mendapatkan 1250 kartu. Ada dua jenis warna, yaitu merah jambu dan putih, Setiap kendaraan yang masuk akan mendapatkan kartu tersebut. Resikonya jika kartu itu hilang, warga kampus harus mampu menunjukan surat- surat penting kendaraan. Meskipun terdapat kartu parkir, mahasiswa maupun dosen tidak akan Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
25
“Banyak yang keluar-masuk kampus kita, dan itu bukan hanya dari orang UIN. Untuk umum tetap harus membayar parkir, entah itu dia parkir atau tidak.” Mahin Arnanto dikenai biaya sepeserpun untuk parkir di kampus. Kemudian, pada bulan Mei 2018 diberlakukan sistem pengecekan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) kepada setiap pemilik kendaraan. Peraturan ini tercantum dalam surat edaran Kepala Biro Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan (AUPK) dengan nomor surat B-1785/Un.10.0/B.1/ HM.00.1/5/2018. Isi dari surat tersebut salah satunya menyatakan bahwa bagi pengguna jalan dan/atau parkir yang akan keluar kampus akan diberlakukan dua hal. Pertama, diwajibkan menunjukan ID Card bagi dosen/ pegawai UIN Walisongo Semarang. Kedua, Menunjukan STNK bagi mahasiswa atau masyarakat umum. Pengecekan STNK merupakan salah satu cara yang diterapkan untuk memperketat keamanan di UIN Walisongo setelah beberapa waktu sebelumnya kasus pencurian motor makin marak. Sambil menunggu selesainya pembangunan barrier gate di area kampus, pengecekan STNK terus dilakukan. Awalnya sistem ini memang berjalan dengan lancar, namun ada beberapa masalah di sana. Sistem ini membuat antrian yang begitu lama, disebabkan minimnya pegawai keamanan. Akhirnya, sistem ini dirasa kurang efektif dan hanya berjalan satu bulan. Seiring berjalannya waktu, banyaknya kasus kehilangan kendaraan membuat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) UIN Walisongo mengadakan survei terkait 26
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
maraknya kasus pencurian motor. Survei dilakukan sejak 11 Mei 2018 Pukul 15.00 WIB hingga pada hari Rabu, 16 Mei 2018 pukul 19.00 WIB. Survei tersebut mendapatkan responden sejumlah 1.055 mahasiswa/i secara umum. Menurut survei, didapatkan 50,2 % responden dari keseluruhan jumlah menilai bahwa kondisi kemanan di UIN Walisongo tidak aman. Sedangkan 85,9% responden mengaku “Tidak” mendapat fasilitas memadai dan jaminan keamanan sepeda motor. Terhitung ada 6 kasus pencurian motor yang terjadi sejak Maret hingga Mei 2018. Sedangkan total data pencurian yang masuk sejak bulan Agustus 2017 hingga Mei 2018 adalah 9 kasus. Dema UIN Walisongo juga berusaha menampung aspirasi mahasiswa terkait keamanan kampus. Saran- saran tersebut di antaranya adalah barrier gate harus secepatnya dipasang untuk meminimalisir adanya pihak luar yang masuk ke dalam kampus tanpa kepentingan yang berkaitan dengan kampus. Selain itu, harus ada pengadaan CCTV yang maksimal dan penguatan elemen keamanan kampus. Pada bulan maret 2018 pemberlakuan barrier gate mulai diterapkan di kampus 1. Dilansir dari amanat.id, Imam Taufiq, Wakil Rektor II bidang Administrasi Umum, Perencanaan dan Keuangan mengatakan bahwa penerapan ini sebagai perbaikan sistem keamanan kendaraan. Sedangkan pemilihan kampus 1 sebagai uji coba
Sorot karena lingkungannya lebih kecil dan lebih mudah penerapannya, juga untuk melihat keefektivitasan pengguna barrier gate. Kemudian pada bulan Mei 2018, menyusul kampus 2 dan 3 mulai dipasang barrier gate. Baru pada awal Juli, barrier gate tersebut diberlakukan, tapi tidak berbayar, sampai pada 08 Oktober 2018, ada penarikan tarif, sesuai dengan Keputusan Rektor Nomor 134 tahun 2018. Parkir Berbayar K e b i j a k a n parkir berbayar mendapatkan kritikan dan keluhan dari beberapa mahasiswa. Seperti yang dikeluhkan oleh Sugiyanto, m a h a s i s w a Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) semester 1. “UKT sudah mahal, tapi malah masih dimintai uang parkir. Bagi yang tidak parkir juga, seperti ojek online, dia harus membayar uang parkir padahal dia tidak parkir,” keluhnya. Tidak hanya Yayan-panggilan akrab Sugiyanto, Ahmad Amin Arif mahasiswa semester 3 jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) juga mengeluhkan hal yang sama. “Dengan adanya barrier gate, memang keamanan terjaga. Akan tetapi yang dipertanyakan adalah apakah ini memang untuk keamanan, atau juga untuk mencari uang?” tuturnya. Berbeda dengan Yayan dan Arif yang tahu kebijakan pakir berbayar, Alfi, salah satu mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi tidak mengetahui adanya aturan parkir berbayar di UIN Walisongo. Saat ditemui redaksi ketika mengantre keluar
gerbang kampus dua, ia mengatakan jika tidak pernah ada sosialisasi dari akademik mengenai pemberlakuan aturan tersebut. “Saya tidak tahu aturan itu, saya belum dapat sosialisasi,” tegasnya. Kepala Sub Bagian Rumah Tangga (Kabag RT) UIN Walisongo Mahin Arnanto mendukung kebijakan parkir berbayar. Meski ia juga mengakui bahwa di awal sistem ini diberlakukan, masih terdapat kesalahan pada mesin kartu parkir. “Memang awalnya ada trial and error dalam mesinnya, akan tetapi parkir berbayar ini sebuah kebijakan yang baik, sehingga peraturan ini jangkanya untuk selamanya,” tuturnya. Ia juga mengatakan bahwa kebijakan ini efektif karena kampus tidak memiliki banyak tenaga keamanan dan tempat parkir yang memadai. “Semenjak diberlakukannya barrier gate dan parkir berbayar, tidak ada lagi kasus kehilangan kendaraan motor. Dulu, dalam seminggu bisa beberapa kali,” tambahnya. Mahin Arnanto menutup pembicaraannya dengan menegaskan kembali bahwa target utama sistem parkir berbayar ini adalah keamanan. “Banyak yang keluar-masuk kampus kita, dan itu bukan hanya dari orang UIN. Untuk umum tetap harus membayar parkir, entah itu dia parkir atau tidak,” pungkasnya. [Q] Oleh: Iftahfia Nur Iftahani & Asmahan Aji Rahmania Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
27
Pendidikan Nasional
Zonasi Sekolah, Rapor Merah Kemendikbud Problematika dari buntut kebijakan zonasi sekolah muncul karena kekurangsiapan pemerintah maupun pihak yang menjalankan. Untuk itu kebijakan yang berlandaskan Permendikbud nomor 14 tahun 2018 ini harus dikaji ulang secara komprehensif.
T
ahun 2018 ini, Mendikbud mengeluarkan kebijakan baru, atau ramai disebut zonasi sekolah. Kebijakan ini berlandaskan Permendikbud nomor 14 tahun 2018 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Seperti yang telah dikutip dari Detik news (25/06) bahwa Mendikbud mengatakan, berkaitan dengan PPDB tahun 2018, (PPDB) sudah mulai benahi sejak tahun kemarin (2017), yaitu tentang sistem perubahan rayonisasi menjadi sistem zonasi. PPDB 2018 mewajibkan sekolah menerima calon peserta didik yang berdomisili pada radius zona terdekat dari sekolah paling sedikit 90 persen dari total jumlah peserta didik yang diterima. Kemudian 5 persen digunakan untuk jalur prestasi dan 5 persen lagi untuk anak pindahan atau terjadi bencana alam atau sosial. Peraturan ini ditujukan untuk sekolah di tingkat Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Namun untuk jenjang Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) diberikan keluasan tersendiri dalam melaksanakan PPDB, hal tersebut dibahas pasal 13 ayat 2 dan 3. Bahwa SMK dikecualikan dalam pengimplementasian sistem zonasi. Sekolah berhak melakukan seleksi bakat dan minat sesuai bidang yang ditetapkan di sekolah masing-masing. Menurut Muhadjir, zonasi sekolah diberlakukan untuk memeratakan akses 28
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
dan mutu pendidikan. Selain itu untuk juga untuk mendekatkan peserta didik dengan rumahnya. Kemudian, untuk menghapus kastanisasi sekolah favorit dan non favorit. Kegaduhan PPDB 2018 Namun, pada pelaksanaannya peraturan yang diteken Muhadjir pada Mei 2018 tersebut menuai kontroversi dari berbagai kalangan. Selain itu, kebijakan ini tetap direalisasikan meski dirasa kurang matang. Seperti yang dikatakan oleh Muhadjir, masih ada yang belum bisa menafsirkan peraturan secara tepat dan ada juga kondisi daerah yang belum memungkinkan untuk diterapkan sistem zonasi secara penuh. Alih-alih ingin mendeklarasikan strategi untuk memeratakan akses dan mutu pendidikan nasional, sistem ini malah menuai kegaduhan. Seperti yang disampaikan oleh Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Heru Purnomo, Pada bab III tentang tata cara PPDB bagian enam di pasal 19 berbunyi, Pemprov wajib menerima dan membebaskan biaya pendidikan bagi peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu yang berdomisili dalam satu wilayah deeaerah provinsi, paling sedikit 20% dari jumlah keseluruhan peserta didik yang diterima. Dibuktikan dengan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM). Sontak dari pasal tersebut mencuat kasus miskinisasi atau pemalsuan SKTM di Jawa
Barat dan Jawa Tengah. Dari pemahaman pasal di atas, Heru menjelaskan, masalah SKTM tidak ada sangkut pautnya dengan proses penerimaan siswa baru. Dengan demikian, penerimaan dengan jalur SKTM sebagaimana terjadi tidak berlandaskan payung hukum. Selain itu zonasi sekolah juga membuat peserta didik melakukan cara-cara yang tidak terpuji untuk masuk sekolah yang diidam-idamkan. Seperti pindah domisili lalu menumpang Kartu Keluarga (KK) saudara. Hal itu terjadi karena pada pasal 16 hanya menyebutkan bahwa domisili calon peserta didik berdasarkan alamat KK yang diterbitkan paling lambat enam bulan sebelum pelaksanaan PPDB. Tanpa menjelaskan alasan migrasi. Peraturan ini juga berimbas pada guru yang mengajar di sekolah jauh dari pemukiman. Sekolah tersebut sepi peminat sehingga guru tidak dapat memenuhi beban mengajar 24 sks. Dari hal tersebut mereka tidak mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. Untuk permasalahan yang satu ini memang dapat dijawab dengan pencanangan rotasi guru. Namun hal ini tetap menjadi momok tersendiri untuk guru karena dalam proses rotasi guru juga memerlukan waktu. Tidak menutup kemungkinan hal yang ditakutkan di atas akan terjadi juga. Tidak sampai di situ, peraturan tersebut juga merugikan sebagian peserta didik
Dok. Google
yang ingin alih jenjang, misalnya saat ingin mendaftar di sekolah A namun sekolah tersebut menolak karena ada peserta didik lain dengan jarak yang lebih dekat. Kemudian mencari alternatif mendaftar di sekolah lain dengan jarak yang lebih jauh dari domisilnya, tentu saja persentase terterimanya akan lebih sedikit. Hal yang menjadi ironi, terdapat sekolah yang terbukti melakukan praktik pungutan liar (pungli). Mengutip tempo.com, salah satu SMA Negeri di Medan melakukan pungli dengan meminta sejumlah 10 juta kepada peserta didik yang diterima dari luar sistem zonasi sekolah (ilegal-red). Selain itu, beberapa orang beranggapan bahwa kebijakan ini mencerabut Hak Asasi Manusia (HAM). Dengan kebijakan ini peserta didik yang ingin alih jenjang kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di sekolah yang diidamidamkan. Di daerah tertentu misalnya seperti di Blora dan daerah lainnya, jumlah sekolah tidak sebanding dengan jumlah peserta didik yang alih jenjang. Tentu hal ini menyulitkan mereka untuk mencari sekolah. Mengkaji Ulang Setelah menggelontorkan Full day school (FDS) dan lima hari sekolah yang terkesan sentralistik, yakni hanya melihat wajah pendidikan dari kota besar seperti Jakarta atau Jawa saja, Muhadjir terkesan jatuh di Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
29
lubang yang sama. Di kota besar seperti Jakarta atau Jawa, orang tua bekerja seharian penuh, FDS semacam menjadi jurus jitu untuk mengatasi permasalah tersebut. Namun, dengan keadaan geografis, infrastruktur dan sarana transportasi, ekonomi, sosial, dan budaya Indonesia yang berbeda, FDS tidak tepat jika diimplementasikan secara nasional. Pun dengan zonasi sekolah dengan tuaian kedaduhan yang ditimbulkan. Selain FDS, zonasi sekolah menambah (lagi) rapor merah Kemendikbud. Kebijakan ini harus dikaji ulang secara komprehensif. Zonasi sekolah memang diselenggarakan 100 persen secara nasional. Namun, terlihat inkonsistensi dalam penerapan kebijakan ini. Muhadjir sendiri mengatakan bahwa, ada beberapa daerah yang belum siap menerapkannya. Seperti Kepulauan Riau, Maluku, NTT, pelaksanaannya menjadi tanggung jawab dinas pendidikan setempat. Selain itu, dinas pendidikan juga lah yang harus memetakan jika terdapat peserta didik yang kesulitan atau belum mendapatkan sekolah. FSGI menekankan beberapa hal yang harus segera dibenahi. Pertama, pemerintah harus melaksanakan pemetaan yang utuh, valid, dan komprehensif. Kedua, FSGI Juga mengkritisi terkait penerapan 100 persen secara nasional sistem zonasi sekolah. Pelaksanaan zonasi sekolah harus dilaksanakan secara bertahap dan melalui proses evaluasi. Ketiga, perlu adanya perbaikan pasal-pasal karet, seperti pasal 19 ayat 2 dan 3 yang menyebutkan SKTM. Bahwa pasal tersebut tidak ada kaitannya dengan jalur PPDB. Kemudian pasal 16 ayat 2 tentang terkait domisili calon peserta didik yang didasarkan pada alamat KK. Pasal tersebut harus dapat mengukur secara jelas alasan migrasi dari suatu daerah ke daerah untuk menekan angka migrasi dengan alasan ingin memperoleh peluang bersekolah di sekolah favorit calon peserta didik. Kemudian Wawan Kuswandi dalam Geotimes berpendapat, jika cita-cita zonasi sekolah untuk menghapus kastanisasi sekolah favorit dan non favorit, tugas pemerintah ialah membuat agar sekolah 30
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
“
Jika cita-cita zonasi sekolah untuk menghapus kastanisasi sekolah favorit dan non favorit, tugas pemerintah ialah membuat agar sekolah memiliki daya tarik yang sama rata dan sama rasa. Wawan Kuswandi memiliki daya tarik yang sama rata dan sama rasa. Hal tersebut akan menekan terjadi penumpukan di salah satu sekolah. Secara konseptual, pada bab II pasal 2 PPDB 2018 bertujuan untuk menjamin penerimaan peserta didik baru berjalan secara objektif, transparan, akuntabel, nondiskriminatif, dan berkeadilan dalam rangka mendorong peningkatan akses layanan pendidikan. Zonasi sekolah juga diharapkan mampu memutus ketimpangan kualitas pendidikan yang jamak terjadi di tanah air kita. Haluan tersebut harus dielaborasi dan diimplemntasikan sebagai mana mestinya agar tidak ada yang dirugikan oleh kebijakan ini. Bangsa kita mengemban misi yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945, “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Menukil dari misi tersebut, setiap warga negara Indonesia berhak dan berkesempatan memperoleh pendidikan. [Q] Oleh: Fitri Ulya Dewi
Sosok
Ani: Bahagia adalah Bercengkerama dengan Warga
A
ni, begitu orang-orang sering memanggilnya. Sosok wanita cantik, yang sudah tidak asing lagi bagi warga desa Bejalaen. Wanita kelahiran Semarang, 10 Agustus 1963 yang mengabdikan dirinya pada desa Bejalen. Wanita dengan nama lengkap Ani Kusuma Ningsih adalah anak pertama dari enam bersaudara. Ia mengenyam pendidikan dasar di Sekolah Dasar (SD) Negeri 1 Ambarawa. Kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Ambarawwa, serta menamatkan pendidikan menengah atas di Sekolah Menengah Ekonomi Atas. Dilahirkan di keluarga petani yang sederhana, Ani dididik untuk mandiri. Sebagai satu-satunya anak perempuan dari enam bersaudara, Ani tentu memiliki tanggung jawab besar dalam membantu sang ibu mengurus pekerjaan rumah serta mengayomi adik-adiknya. Inilah yang membuatnya menjadi sosok yang tangguh dan sabar. Tidak hanya itu, setelah menikah dan mengandung anak pertamanya, ia masih harus merawat sang mertua yang mengidap penyakit stroke. Ia melayani dengan sabar dan telaten. Sang mertua yang hanya bisa berbaring di atas kasur. Lalu saat ia telah memiliki 2 orang anak, ia mulai aktif di kegiatan-kegiatan Pembinaan Kesejahteraan Keluaraga (PKK). Beliau juga ikut mensukseskan Proyek Peningkatan Peran
Dok. Pribadi
Wanita Sehat Sejahtera (P2WSS) di Bejalen. Kini di usianya yang tidak muda lagi, ia masih aktif bekerja di perangkat desa yakni sebagai Kepala Seksi (KaSi) Kesejahteraan Rakyat. Bahakan ia telah mengabdikan dirinya di desa Bejalen selama 22 tahun. Ibu dari 3 orang anak ini bukanlah orang yang gila jabatan atau pun gila harta. Ketiga orang anaknya sudah cukup mapan untuk membiayai kehidupan kedua orang tuanya. Akan tetapi, kebaikan hati serta rasa sosial yang ia miliki membuatnya tetap bekerja di usianya sekarang. Baginya, bertemu dengan warga dan bercengkrama dengan mereka lebih membuatnya bahagia dibandingkan harus berdiam diri di rumah. “Selagi saya bisa bantu, kenapa tidak? Daripada di rumah hanya berhadapan dengan benda, lebih baik saya bercengkerama dengan warga.” Begitu jelasnya. Meski terkadang ia menghadapi masalah, ia tetap sabar dan berusaha menyelesaikannya. Baginya, masalah pasti datang silih berganti pada siapapun itu. Tidak laki-laki atau perempuan pasti menghadapi masalah, kita hanya perlu bersabar dalam menghadapinya. [Q] Oleh: Nur Wahidzatun Nafisah Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
31
Resensi Buku
Belajar Mengupayakan Cinta dari Fromm Jika kau mencintai dirimu, kau akan mencintai orang lain seperti kau mencintai dirimu sendiri. Selama kau mencintai orang lain kurang dari mencintai dirimu, kau tak akan benar-benar berhasil mencintai dirimu sendiri, tapi jika kau mencintai semua sama, termasuk dirimu, kau akan mencintai mereka sebagai satu sosok dan sosok itu adalah Tuhan dan manusia. Dengan demikian, dia adalah orang yang hebat dan bijak yang mencintai dirinya dan mencintai sesamanya dengan setara. Meister Eckhart dikutip Erich Fromm dalam Seni Mencintai.
K
utipan panjang tersebut seperti mewakili seluruh yang dibahas Fromm dalam bukunya, ‘The Art of Loving’, yang diterjemahkan oleh Aquarina Kharisma Sari dengan judul Seni Mencintai. Karena bagaimanapun juga mencintai diri hanya bisa ditumbuhkan oleh diri kita sendiri. Sama ketika dalam pembahasan awal Fromm bertanya dengan menggunakan dua premis. Apakah cinta itu datang karena sengaja dihadirkan; bisa dipelajari atau cinta datang sendiri; tidak bisa diupayakan? Jika menggunakan premis pertama (cinta datang karena dihadirkan), pasti tak jarang orang-orang akan menganggap hal tersebut adalah sesuatu yang tidak mungkin. Karena kebanyakan orang menganggap cinta itu datang dengan sendirinya; tidak bisa diupayakan. Cinta itu adalah anugrah Tuhan yang tidak bisa direkayasa manusia. Atas pandangan tersebut, maka tak heran, manusia akan lebih bahagia kalau dia bisa dicintai. Manusia kemudian bertindak menjadi orang pasif yang menunggu datangnya cinta. Dampaknya, orang-orang kemudian berusaha memperbaiki diri untuk bisa dicintai. Perilaku itu menyebabkan cinta menjadi semacam alat jual beli. Bahwa ketika memperbaiki diri berarti akan mendapatkan yang baik sesuai dengan apa yang dilakukan. Perilaku seperti inilah yang dianggap Fromm sebagai gejala atau karakteristik utama dari budaya kontemporer yang membuat cinta itu sama halnya dengan pertukaran barang. 32
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
Dok. Google
Keadaan itu disebut Formm sebagai keadaan jatuh cinta (fall in love) bukan dengan keadaan permanen mencinta (being in love) atau yang lebih tepat dengan “berada” dalam cinta (standing in love). Dalam bukunya ini, Fromm menganggap bahwa cinta itu merupakan sesuatu yang bisa dihadirkan dan dipelajari, layaknya kesenian atau keterampilan yang lain. Hal tersebut sama dengan seniman lukis,penulis, koki, tukang kayu; merupakan sesuatu yang bisa dipelajari. Cinta dan Eksistensi Manusia Membincangkan teori cinta haruslah diawali dengan teori tentang manusia, tentang eksistensi manusia. Menurut Fromm, yang esensial dari eksistensi manusia adalah kemunculannya dari kerajaan hewan, kemudian melampaui alam—meskipun sebenarnya tidak meninggalkannya; bagian dari alam, dan sekali terpisah darinya, tidak bisa kembali; sekali terusir dari surga. Manusia hanya dapat mengembangkan nalar yang dimilikinya. Nalar itu adalah anugrah. Melalui nalar, manusia memiliki kesadaran akan dirinya, sesamanya, masa lalunya dan kemungkinan-kemungkinan masa depannya. Sampai pada akhirnya manusia menyadari akan keterpisahan dan kesendiriannya. Pengalaman terpisah memunculkan kecemasan. Dengan keterpisahan itu manusia menjadi tak berdaya. Parahnya lagi, keterpisahan itu menimbulkan
rasa malu dan bersalah. Maka, manusia membutuhkan sesuatu yang dapat mengatasi keterpisahannya dan meninggalkan penjara kesendirian. Menurut Fromm, ada caracara yang ditempuh oleh manusia untuk mengatasi keterpisahan manusia. Cara yang pertama adalah didapatkan dalam berbagai kondisi orgiastik. Kondisi orgiastic ini bisa didapatkan dalam bentuk kondisi trans melalui oto-induksi, atau dengan bantuan obat-obatan. Dalam penyatuan melalui orgiastik ini memiliki tiga karakteristik: intens, bahkan keras; berlangsung dalam kepribadian total, pikiran dan tubuh; fana dan berkala. Sedangkan kebalikannya dari cara yang pertama adalah melalui penyesuian dengan kelompok. Dengan cara ini, manusia kemudian merasa kalau tidak terpisah dan sendirian. Penyelarasan atau penyesuaian ini terkadang menimbulkan keinginan sedikit perbedaan pada individu. Padahal kenyataannya tidak ada yang beda. Kemudian muncul dalam masyarakat industrial paling maju, keinginan untuk setara. Parahnya dalam masyarakat kapitalis modern, kesetaraan diartikan dengan berbeda, setara diartikan dengan kesamaan. kesetaraan diartikan sebagai kesetaraan robotik atau Fromm menyebut kesetaraan manusia yang kehilangan individualitasnya. Cara yang ketiga adalah melalui kegiatan mencipta. Dengan mencipta, akan ada penyatuan antara orang yang sedang berkreasi dengan peralatan yang mewakili dunia di luar dirinya. Namun mencipta ini hanya berlaku untuk kerja yang direncanakan oleh dirinya sendiri bukan orang lain. Bukan apa yang dilakukan dalam kerja proses modern seorang pegawai atau seorang pekerja mesin di pabrik. Bagi Fromm, kerja yang dilakukan itu tidak ada kualitas menyatu dengan pekerjaan. Hal itu malahan menimbulkan keterasingan terhadap dirinya sendiri. Namun ketiga cara yang digunakan itu memiliki kelemahan: penyatuan dalam bentuk orgiastik bersifat sementara, penyatuan dalam penyelarasan hanyalah kesatuan semu, sedangkan penyatuan dalam mencipta atau kerja produktif; tidaklah interpersonal. Ketiga cara tersebut hanya
jawaban sebagian dari persoalan eksistensi. Jawaban yang lebih lengkap adalah dengan cinta. Dalam cinta, ada bentuk cinta yang dewasa dan tak dewasa. Cinta yang tak dewasa disebut Fromm dengan penyatuan simbiotik. Dalam penyatuan simbiotik, ada saling ketergantungan (baca; membutuhkan) di antara keduanya. Jadi, dua tubuh terpisah tetapi ada bentuk ikatan secara psikologis. Ada dua bentuk dalam penyatuan simbiotik. Bentuk yang pertama adalah pasif atau masokisme. Sedangkan yang kedua adalah aktif atau sadisme. Baik individu masokistik dan sadistik adalah individu yang saling membutuhkan satu sama lain. Individu masokistik membutuhkan orang lain untuk dijadikan bergantung, sedangkan sadistik membutuhkan orang lain untuk tunduk terhadapnya. Penyatuan simbiotik ini adalah penyatuan tanpa keutuhan diri. Dari sinilah, kemudian kita memahami, bahwa cinta itu bukan hanya penyatuan simbiotik, tapi melampaui itu. Cinta adalah tentang melebur di antara keduanya, masokistik dan sadistik. Jadi dalam cinta yang dewasa, ada rasa saling memberi, bukan hanya ingin menerima saja. Dalam cinta dewasa bukan keinginan untuk dicintai saja, tetapi keberanian untuk mencintai. Lalu bagaimana cara mencintai? Fromm menjelaskan ada dua bagian yang harus dilakukan. Pertama adalah menguasai teori, kedua adalah penguasaan penerapan. Selain dua hal tersebut, Fromm menambahi dengan faktor ketiga; penguasaan seni adalah satu hal yang utama. Terakhir, saya ingatkan, ketika pembaca membayangkan akan mendapatkan kiat kiat untuk menaklukan pujaan hati dengan membaca buku ini, saya sarankan untuk mengurungkan niatnya. Karena tidak akan menemukan hal itu sama sekali. [Q] Judul asli: The Art of Loving Judul terjemahan: Seni Mencintai Penulis: Erich Fromm Penerbit: Basabasi, Yogyakarta Cetakan: PertamWa, Januari 2018 Tebal: 192 Halaman; 14x20 cm Peresensi: Ahmadaam Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
33
Resensi Film
P
eristiwa terorisme di Boston pada 15 April 2013 menimbulkan luka bagi warga Amerika dan juga dunia. Patriots Day mengambil kisah nyata dari tragedi bom yang terjadi ketika diadakan sebuah ajang olahraga maraton. Sang sutradara, Peter Berg, kembali menjadikan Mark Wahlberg sebagai aktor dalam filmnya. Sebelumnya, mereka pernah bekerja sama dalam film Lone Surviver dan Deepwater Horizon. Patriots Day di awal filmnya memperkenalkan Sersan Tommy Saunders (Mark Wahlberg) yang sebenarnya adalah tokoh fiktif agar Peter Berg dapat merangkai jalan cerita yang apik. Tommy Saunders) juga hadir sebagai ikon “pahlawan” dalam tragedi tersebut. Kemudian ditampilkan pula aktivitas beberapa tokoh yang nantinya
Dok. Google 34
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
Dok. Google
Patriots Day; Bom, Boston, dan Heroisme
menjadi korban pengeboman, mulai dari pasangan muda Patrick Downes (Christopher O’Sea) dan Jessica Kensky (Rachel Brosnahan) hingga ayah dan anaknya, Steve Wolfenden dan Leo. Hingga pada akhirnya, alur kisah film pengeboman ini dimulai. Pelaku bom adalah kakak-beradik yang bernama Dzhokhar dan Tamerlan Tsarnaev (Alex Wolff dan Themo Melikidze). Mereka bukanlah teroris yang berjenggot panjang dan lekat dengan aksen Arab. Tsarnaev bersaudara sama seperti warga asli negeri adidaya itu. Mereka berpakaian dengan gaya yang sama dengan remaja sekitar. Tak ada yang perlu dicurigai. Duo teroris ini merakit sendiri bom yang akan mereka ledakkan dalam lomba marathon tersebut. Mereka mempelajarinya
Dok. Google
Dok. Google
secara otodidak. Bagian yang menarik adalah mereka bukanlah fanatis agama atau aliran tertentu. Mereka juga mengonsumsi marijuana dan menyimpan banyak film biru. Dzhokhar yang masih remaja juga terkesan labil dan ia tak punya daya untuk melawan kakaknya, Tamerlan Tsarnaev. Setelah meledakkan bom di Boston, Tsarnaev bersaudara melanjutkan rencana untuk meledakkan bom selanjutnya di New York. Sementara itu, polisi dan FBI melakukan proses perburuan. Mereka menginvestigasi kasus ini dan meneliti seluruh CCTV di sekitar lokasi kejadian. Perburuan ini dilakukan agen-agen dengan cerdas meskipun sempat terjadi perdebatan antara agen khusus FBI (Kevin Bacon) dengan Komisaris Edward F. Davis (John Goodman) mengenai pengambilan langkah yang selanjutnya. Beberapa hari pasca pengeboman akhirnya mereka merilis foto yang diduga adalah tersangka pengeboman. Tamerlan Tsarnaev tewas di termpat persembunyian setelah ia mencuri mobil. Tamerlan ditembak oleh Sersan Jeffrey (J.K. Simmons) ketika melakukan perlawanan. Sementara itu, Dzhokhar berhasil meloloskan diri. Istri Tamerlan, Katherine Russel (Melissa Benoist) dan teman-teman Dzhokhar ditahan oleh FBI. Pada saat itu terjadi dialog yang menarik antara Katherine dengan tim yang menginterogasinya, meskipun Katherine
lebih banyak bungkam. Kota Boston akhirnya berhasil mengalahkan ‘kebencian’ dan itulah yang ingin disampaikan Patriots Day. Adanya bingkai foto asli dari tragedi tersebut menjadikan film ini cukup menyentuh. Patriots Day lebih menceritakan bagaimana seharusnya sebuah kota dan warga-warganya menghadapi permasalahan yang kompleks maupun untuk hal-hal kecil. Bagaimana seharusnya kebersamaan digenggam, tentu bukan karena terorisme saja. [Q]
Judul Patriots Day Durasi 133 menit Produser Closet to the Hole Productions, Bluegrass Films Tanggal rilis 13 Januari 2017 (Indonesia) Sutradara Peter Berg Aktor & Aktris Mark Wahlberg, Kevin Bacon, J.K. Simmons, John Goodman, Michelle Monaghan, Alex Wolff, Themo Melikidze, Christopher O’Shea, Rachel Brosnahan Peresensi Asmahan Aji Rahmania Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
35
Di Teras Ben Pinter, Semua Orang Belajar Pandai
Dok. Edu/Asifo
Teropong
Beragam genre buku berjajar rapi mulai dari novel, buku agama, sampai buku resep masakan bisa ditemukan di Ben Pinter. Siapa saja boleh datang, membaca, dan meminjam buku tanpa dipungut biaya.
H
awa panas dan aroma laut menemani perjalananku, hari itu lalu lintas Jepara cukup lengang sehingga motor yang kukendarai bisa bergerak dengan leluasa. Kali ini kepulanganku cukup lama. Kuperkirakan waktu dua bulan akan terlewati dengan kegiatan – yang itu-itu saja — menggeser-geser layar ponsel, makan, tidur, dan perihal sepele lainnya. Sebelum akhirnya aku menemukan tempat singgah untuk memberi asupan otak. Berawal dari ketidaksengajaan ketika menjelajah di dunia maya, lalu kucoba telusuri lebih lanjut dan memutuskan mendatangi langsung tempat itu. Tenyata, hanya berjarak sepuluh menit dari rumah. Nama tempat itu adalah “Ben Pinter”. Sebuah perpustakaan baru yang dibangun di atas lahan bekas showroom mebel. Lokasinya berada di pinggiran desa Banjaran Kecamatan Bangsri. Ben Pinter tidak sementereng British Library yang berada di London, Inggris dengan 170 juta buku di dalamnya. Ben Pinter hanya ruangan berukuran 5 x 32 meter persegi dengan kurang lebih 3000 buku berjajar rapi yang tidak bisa dibilang baru, bahkan kebanyakan koleksi didapatkan dari 36
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
hasil sokongan. Kata “Ben Pinter” berasal dari bahasa jawa yang apabila dibahasa Indonesiakan berarti “supaya pintar”. Sholikul Hadi, pemilik Ben Pinter ini menyadari pentingnya literasi menjadi salah satu alasan berdirinya Ben Pinter. Melihat perkembangan anak-anak di desanya, ia menganggap perlunya fasilitas pendukung agar wawasan masyarakat meningkat. Hal itu yang mendorongnya untuk mendirikan Ben Pinter. Pada awalnya, Sholikul yang merupakan lulusan Pendidikan Guru Agama (PGA) ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang S1. Tetapi karena masalah finansial, Sholikul terpaksa mengurungkan niat itu dan memilih merantau menjadi karyawan mebel. Seiring waktu, Sholikul kembali ke tanah kelahirannya dan memulai membangun usaha mebel secara mandiri. Halang rintang turut mengiringi berdirinya Ben Pinter. Bantuan buku yang diajukan kepada pemerintah justru memberikan syarat yang sulit. Ben pinter harus memiliki badan hukum terlebih dahulu dengan biaya yang tak murah. “Saya sudah mencoba mengajukan bantuan buku ke pemerintah
malah dipersulit mbak”. Terlebih perpustakaan daerah yang pernah datang ke Ben Pinter menawarkan bantuan buku ternyata tidak ada kelanjutannya. Beruntung ada beberapa penerbit yang masih mau memberikan bantuan buku untuk koleksi Ben Pinter. Selain Sholikul, pengelolaan Ben Pinter juga dibantu oleh Zainur yang bertugas mulai dari melayani pengunjung, mengarsip dan mengecek buku-buku, hingga mengirimkan pesan kepada peminjam yang tak kunjung mengembalikan buku padahal sudah jatuh tempo tanggal pengembalian. “Halah mbak, digaji seadanya saja saya sudah senang” begitu celetuknya. Zainur sudah merasa senang dapat mengabdikan dirinya dalam dunia literasi. Ia mulai menjaga perpustakaan setiap hari jam 08.00 sampai 16.00 WIB. Sejak berdiri dua tahun silam pada 2016 hingga sekarang, Ben Pinter sudah memiliki sekitar 2000 anggota. Mereka datang dari berbagai kalangan mulai dari siswa, mahasiswa, ibuibu, serta bapak-bapak. Ben Pinter memiliki beberapa kegiatan unik yang menjadi daya tarik tersendiri. Sholikul Hadi menjadikan Ben Pinter tak hanya perpustakaan semata, melainkan juga sebagai tempat belajar anak-anak atau biasa disebut les-lesan. Menurutnya, anak itu senangnya belajar sambil bermain. Ia juga menjadikan teras Ben Pinter sebagai tempat permainan tradisional. Melihat anakanak berlari tanpa beban, belajar dengan semangat, dan setiap hari berbondongbondong siap menggali wawasan adalah salah satu yang membuat Ben Pinter tetap eksis. “Saya lebih senang melihat anak mau membaca dan bermain, daripada lihat anak main gadget terus” begitu ungkapnya. Jika dalam sebuah pepatah diceritakan bahwa perpustakaan adalah tempat tersepi nomor dua setelah kuburan, namun Ben Pinter berbeda. Tempat ini justru memiliki ruang tersendiri di hati para pengunjungnya. Setiap hari banyak orang berlalu lalang
“
Saya lebih senang melihat anak mau membaca dan bermain, daripada lihat anak main gadget terus. Sholikul Hadi sekadar untuk meminjam buku, membaca buku, belajar, bahkan bermain-main di teras Ben Pinter. Selain itu, setiap bulan juga ada kunjungan dari SD/MI di sekitar Desa Banjaran. Mereka tampak larut dan menikmati kata-kata yang tertuang dalam buku sambil bermain-main. Sholikul Hadi layaknya tokoh Alia dalam cerita AS Laksana. Bahwa setiap pustakawan yang baik, ia tahu bahwa tanpa buku, sejarah, kebudayaan, dan pertukaran ide-ide tak akan punya jejak di muka bumi. Maka, Ben Pinter adalah salah satu perpustakaan yang memperjuangkan jejak intelektual di tengah masyarakat desa. [Q] Oleh: Asifatun Hidayah
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
37
Qishoh
Achmad Agung Prayoga
Lampu Teras
D
uduk bersama di meja makan, Tarim memulai percakapan. “Kemarin, kami baru saja bertengkar,” katanya. “Aku mengatainya soal cerobohnya ia.” Mengetahui percakapan ini tak akan jadi singkat, Danis menarik diri, menuju kulkas dan kembali dengan sekarton besar jus jeruk dan dua gelas kosong. Setelah meletakkannya, ia menuju jendela dan menekan dua saklar lampu di tepinya. Luar di teras dan dalam di tempat mereka bercakap. “Lebih baik kau cepat. Hujan lebat mungkin akan turun,” ucap Danis ketika menuangkan jus itu untuknya, dan ketika akan menuangkannya untuk Tarim: “Itu sudah dicuci?”
ia memang lupa mematikan setrika hingga semalaman. Aku memarahinya pada pagi hari itu juga. Ia mengatakan ‘Aku terlalu lelah semalam. Aku minta maaf,’ dan aku terus saja mengungkit soal itu sepanjang hari. Hari minggu yang sangat menyebalkan. Bahkan Rum tidak ingin menonton televisi bersamaku. Seharusnya aku tak begitu. Kemarahanku terlalu berlebihan”
“Tentu. Bahkan mengelapnya hingga tembus pandang.” Tarim membiarkan Danis melakukannya. Membiarkan guyonan itu terdengar seperti guntur di langit luar.
“Bagus jika kau sadar.” Danis baru menyadari lampu teras tak menyala. Toko tak akan buka hingga esok siang. Ia mengutuk. “Ia merajuk dan pergi dari rumah pada hari Senin pagi. Ia kembali pada sore hari tanpa berucap satu kata padaku. Mereka berdua tak bicara padaku hingga sekarang. Aku tak tahu harus apa.” Tangan kanannya meraih gelas dan menggeser-gesernya. “Kau hanya akan menggeser-gesernya?”
“Mau lanjut?” Danis melipat kedua tangannya di atas meja. Jemari kanannya mengetuk-ngetuk dengan irama yang hanya ada di kepala. Sepasang matanya mengamati sekeliling meja makan. “Aku berpikir betapa cerobohnya dia. Dan betapa bodoh dan anehnya diriku. Sungguh,
“Apa aku pernah cerita bahwa aku pernah sekali menahannya?” Danis mengangguk. Pernah suatu ketika ia berandai untuk mengganti lampu di atasnya dengan lampu gantung bercetak mangkuk. Itu tak cocok, jadi ia tak menggantinya. “Keberatan jika kuceritakan lagi?” Danis menggeleng.
38
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
ia ingin tidur seharian. Tidur yang panjang. “Namun ada kalanya kecemasan itu terlalu menggangguku.” “Bukankah selalu begitu?”
Dok. Google
Ia baru saja ingat jika di laci kamar ada sebohlam lampu pengganti, dan tak sabar untuk menggantinya. Sekarang ia mencari tangga lipat di pikirannya. “Pada pagi hari itu, 11 Agustus, kami pergi ke pantai. Hanya bertiga, jauh ke selatan dengan APV sewaan untuk dua hari. Kami sungguh menikmatinya pada setiap detik. Hingga saat aku menyadari, ketika ada jendela yang ia lupa menutupnya. Kau tahu apa yang kulakukan?” Sepanjang cerita ia mendengus sesekali. Dengan kedua tangan mengepal di atas meja. “Aku tersenyum dan berkata ‘Tak masalah’ dan kami tertawa bersama. Mereka tertawa bersamaku. Kami jarang melakukannya, kau tahu. Untuk satu waktu aku bisa menahannya!” Setelah dua kali mengosongkan gelas, tanpa berucap, Danis menuju toilet. Ia kembali dan menyesali keputusannya dengan cepat. “Barusan pergi ke mana?” “Jus ini membuatku ingin kencing.” Ia tak bisa mengingat tangga lipat itu. Kesempatannya hanya akan ada jika ia meminjam tangga lipat milik tetangga. Itu berarti esok hari. Danis tak ingin menunggu hingga esok hari. Karena setelah malam ini,
“Dengarkan!” Tarim menenggak habis jus-nya. Lalu mengisi lagi ketika lidahnya melanjutkan. Kedua tangannya ikut bercerita. “Kecemasan itu pernah membuatku rugi jutaan rupiah di BEI. Aku pernah berkali-kali mencuci tangan dan pisau ketika mengiris sebuah apel. Jari telunjuk kiriku teriris karenanya. Aku meminum enam belas gelas kopi agar aku yakin bahwa aku benar-benar terjaga untuk menonton Indiana Jones, memutar daun pintu yang terkunci berkali-kali, dan jika tak dihentikan aku pasti sedang mengunyah pasta gigi. Bahkan penisku tak bisa benarbenar berdiri ketika menghadapi tubuh telanjang istriku!” “Tahan di situ,” Danis mengangkat gelas dan minum. Jendela mulai basah oleh gerimis. Tarim meminum jus-nya perlahan. Ditahannya gelas cukup lama . “Sudah gerimis. Tak ingin pulang?” “Aku akan pulang setelah hujan selesai. Meski itu berarti esok hari. Aku ingin tak merasa cemas untuk semalam.” Danis mengehela napas. “Baik. Lanjutkan.” “Maaf. Seharusnya aku ke dokter.” “Tidak-tidak. Lanjutkan saja.” Tarim akan melanjutkan, lalu: “Tunggu. Bantu aku mengganti lampu teras.” 2019
Achmad Agung Prayoga, pengisi tetap di biskuatsusu.wordpress.com dan pernah menonton The Lobster.
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
39
Sajak
Ahmad Nurul Ulil Muttaqin
Tempatku Pulang Sejuknya alam desa itu Tak sedingin AC ruanganku Tak semewah nan indah kotaku Tak seperti tanah berlapis batu-batu Dok. Google
Asmahan Aji Rahmania
Selimut dan Puisi Aku kedinginan dan sembunyi di bawah selimut Diam-diam Mencumbui huruf-hurufmu
Tapi..... Di sanalah ku dilahirkan Di sanalah ku dibesarkan Dan di sanalah tempatku pulang. Keluargaku.. Tunggu aku 2018
Ternyata Semua diksi bermuara pada rindu Semua puisi adalah kau semuanya Selesai 2018 40
Edisi XXVII/Th. 15/XI/2018
Ahmad Nurul Ulil Muttaqin, lahir di Blora. Penikmat film-film India. Asmahan Aji Rahmania, sedang berusaha menyelesaikan studi Pendidikan Bahasa Inggris di UIN Walisongo. Aktif sebagai kru LPM Edukasi.
MUK TA MAR LPM EDU KASI KEXXV
Pemilihan Pemimpin Umum Periode 2017-2018
Kru LPM Edukasi Angkatan 2017
PU dan Pemred 2018-2019 Terpilih
Kaleidoskop
Pesan ini disampaikan oleh:
Pilih warnamu! Dan biarkan yang lain memilih sepertimu.