EXPEDISI E D I S I I I I O KTO B E R 2 0 1 5
MEMBANGUN
B U D AYA
KRITIS
Pembahasan UU Partai Mahasiswa: Lamban!
surat pembaca Jaringan wifi susah, mahasiswa resah
dirasakan mahasiswa terkait jaringan YSU ini. Sehingga kegiatan belajar mahasiswa tidak menuai kendala.
Akhir-akhir ini koneksi wifi di kampus sering mengalami gangguan. Keadaan seperti itu sudah berlangsung beberapa minggu terakhir ini. Ini sangat berbeda dengan dulu ketika saya masih Maba. Jaringan YSU bisa terjangkau dari sudut mana saja. Namun akhir-akhir ini saya harus mencari tempat-tempat strategis untuk mencari jaringan YSU dengan kualitas yang bagus. Bahkan di dalam ruang kelas pun, jaringan wifi kadang tidak terjangkau. Saya jadi kesulitan ketika mau mencari referensi materi kuliah. Ini tentunya sangat mengganggu kenyamanan mahasiswa, terlebih lagi di era yang serba digital ini banyak kebutuhan kuliah yang membutuhkan koneksi internet. Saya berharap pihak kampus segera merespons keresahan yang
Feri Fidianto Pendidikan Mekatronika 2014
Omong Kosong Birokrat Di Fakultas Ilmu Keolahragaan, banyak mahasiswa yang gelagapan mengikuti perkuliahan. Selain kuliah, kami disibukkan dengan latihan untuk menunjung prestasi yang digeluti. Meninggalkan kuliah merupakan hal yang wajar di kampus ini. Sekadar untuk membela nama universitas atau Negara. Tetapi yang jadi permasalahan yaitu perlakuan tidak adil bagi setiap mahasiswa. Mata kuliah yang kami tinggalkan tidak mendapatkan pengecualian dari beberapa dosen. Banyak dari kami yang akhirnya mengulang mata kuliah yang ditinggalkan.
editorial Tidak Siap dengan Rema Kamis 15 O ktober 2 015 l alu, Undang-Undang Partai Mahasiswa (UU Parma) disahkan. Undang-Undang Dasar Republik Mahasiswa (UUD Rema) sebagai konstitusi tertinggi keg iata n O rganis asi M ahas iswa (Ormawa), mengamanahkan Pemilwa menggunakan sistem kepartaian, yang mana calon yang akan mengisi l egisl atif d an e ksek utif d iu sung oleh partai. Tujuan utama peralihan sistem ini adalah sebagai pendidikan politik. Soe Hok Gie, dalam Catatan Seorang Demostran, menulis bahwa politik seperti halnya lumpur: kotor. Namun, jika tak mungkin untuk menghidar, maka terjunlah. Saat itulah kita digodok dan ditempa. Tentu saja, mahasiswa dan politik sulit untuk dipisahkan, karena kodrat mahasiswa adalah m engawal d an m elawan. M elihat k ondisi m ayoritas mahasiswa UNY yang apatis, minim kajian sosial, dan terpisah dengan masyarakat, maka pergantian sistem menjadi Rema adalah tepat. Namun komitmen komponen legislatif untuk menghasilkan instrumen penguat sistem Rema, masih minim. Partisipasi d alam b entuk keh adira n s idang
embahasan dihadiri sedikit anggota p DPM dan DPF, bahkan sebagian pengurus lebih mementingkan agenda lain. Padahal, UU Parma yang baru saja disahkan memaksa mahasiswa yang ingin maju ke Pemilwa untuk membentuk Partai Mahasiswa. Waktu yang ada mungkin cukup untuk membentuk Parma, namun sekadar syarat administratif. Bukankah sistem Rema adalah lahan belajar politik dan Parma dibuat untuk kaderisasi? Bukan s yarat administratif belaka. Imbas dari ini adalah Pemilwa p ada p ert engaha n D esember terancam pelaksanaannya. Belum lagi masa jabatan eksekutif, legislatif, dan yudikatif kepengurusan Rema 2015 tidak sesuai dengan amanah UUD Rema, yakni 11 bulan. Bisa p ula Pemilwa b erl angsung p ada pertengahan Desember dengan segala macam keruwetannya yang, belum ditangani! Keluarn ya F BS d ari Rema pasca-OSPEK dan FIP yang belum m engg unakan s istem kep artaia n adalah perkara serius, dan sampai saat ini belum dimusyawarahkan bersama. Redaksi
2
Janji dari para birokrat hanya omong kosong. Mereka menjanjikan akan memberikan pengecualian apabila dipanggil Negara untuk mengikuti Pelatnas. ”Kalian fokus Pelatnas saja, masalah kuliah nanti saya bantu melobi”. Kami semua berharap dapat mendapatkan jalan keluar dari problematika ini, sehingga kita bisa membela atas nama Negara tanpa memperlama proses studi. Wandi Prasetyo Pendidikan Kepelatihan Olahraga 2013
Dosen Lupakan Kewajiban Di Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK), banyak dosen merangkap mengajar di beberapa tingkatan yang berbeda seperti S1, S2, bahkan S3. Namun, ketika salah satu dosen mengajar di S2 atau S3, S1-nya kerap kali dilupakan. Menurut pengalaman saya, beberapa dosen lebih mengutamakan pengabdian di luar atau di tingkatan atas kami (S1). Dari semester kemarin pun, seorang dosen hanya mengajar 3-4 kali. Sisanya hanya memberikan materi kuliah yang sangat sedikit. Tetapi di akhir semester ketika penilaian, dosen itu memberikan penilaian yang sangat subjektif dan tidak bisa objektif karena di antara temanteman saya ada yang kurang atau lebih pintar pada bidang tersebut namun semua nilai itu dipukul rata. Saya menginginkan agar dosen dapat total dan fokus pada bidang masing-masing sehingga tidak ada yang terlalaikan atau dilupakan. Arvan Fetura Pendidikan Jasmani dan Keolahragaan 2013
sempil + “Saya diundang tiga kali, sekali molor, dua kali dibatalkan.” - “Teman saya nembak cewek tiga kali, ditolak semua!”
Pimpinan Proyek Triyo Handoko | Sekretaris Indra Ristianto | Bendahara Fara Famular | Redaktur Pelaksana Putra Ramadan | Redaktur Ade Luqman, Andhika Widyawan, Ghozali Saputra,Indra Ristianto, Putra Ramadan, Triyo Handoko | Reporter Ahmad, Bayu, Khusnul, Putra | Redaktur Foto Ayuningtyas Rachmasari | Artistik Ade Luqman, Andhika Widyawan, Dinda Sekar | Produksi Devi Ellok | Iklan Ahmad Wijayanto, Fajar Azizi, Ghozali Saputra | Tim Polling Andi Vangeran, Ervina Nur, Khusnul Khitam, Urlik Hufum | Sirkulasi Bayu Hendrawati| Alamat Gedung Student Center Lt. 2 Karangmalang Yogyakarta 55281 | Email lpm_ekspresi@ yahoo.com | Web Ekspresionline.com | Redaksi menerima artikel, opini dan surat pembaca. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah isi.
edisi Iii | OKTOBER 2015
sentra
UU Partai Mahasiswa Molor Keterlambatan pengesahan Undang-Undang Partai Mahasiswa dapat berdampak pada jalannya Pemilwa, termasuk terganggunya perancangan Undang-Undang Pemilwa.
U
ndang-Undang Partai Mahasiswa (UU Parma) yang ditargetkan rampung awal Juli, belum disahkan hingga awal Oktober. Titik temu waktu pembahasan menjadi penyebab molornya UU Parma ini. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Dewan Perwakilan Fakultas (DPF), dan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa (BEM Rema) adalah komponen yang membahas dan mengesahkan UU Parma. “Tiga komponen itu salah satunya presiden (BEM Rema.red). Dibanding DPM atau DPF yang kolektif dan bisa diwakilkan, presiden itu harus datang langsung,” kata Rizky Romadhon, Wakil Ketua DPM Rema. Ia menerangkan bahwa mayoritas anggota DPM Rema adalah mahasiswa angkatan 2012 sehingga selama kurun waktu pertengahan tahun kepengurusan banyak yang menjalani Kuliah Kerja Lapangan (KKL). Hal ini yang menyebabkan pembahasan UU Parma molor. Ia juga menambahkan, “Mayoritas anggota DPF sendiri adalah angkatan 2013 sehingga sibuk kuliah.” Rizky menyadari partisipasi anggota DPM Rema, dari 21 hanya lima orang yang sering aktif. “Apakah dalam musyawarah lima orang bisa mewakili 21 orang tersebut?” Selain itu, Thoriq Abdunnasir, Wakil I MPM, menilai DPF kurang total dalam pembahasan undangundang karena lebih mementingkan tanggung jawab di fakultas. Namun, DPM Rema sendiri tidak memiliki ketentuan jumlah perwakilan DPM dan DPF untuk membahas sebuah undangundang bersama Presiden BEM Rema. Hal ini menurut Ibnu Nugraha, Presiden Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan (KOMAP) UGM, adalah hal yang janggal. “Lantas bagaimana kelegalan proses, pemberhentian dan hasil pembahasan, jika rambu-rambunya tidak jelas.” DPM Rema dalam menggodok undang-undang selalu berpegang pada konsep mayoritas keterwakilan. “Yang jelas diusahakan semuanya bisa hadir untuk pembahasan dan pengesahan. Syarat jumlah minimal
OKTOBER 2015 | edisi iii
untuk sidang memang tidak ditentukan, karena syarat itu hanya untuk sidang akhir tahun.” kata Rizky. Terhadap hal ini, Ibnu mempertanyakan bukankah sedari awal jumlah DPM dan DPF adalah tetap dan bisa dihitung, sehingga bisa dirumuskan minimal berapa jumlah peserta sidang pembahasan agar sah. “Tentunya dengan instrumen peraturan seperti ini akan jelas dan terang,” imbuhnya. Hal ini juga diamini Rohmat Munasikin Ketua DPF, menurutnya peraturan persidangan tersebut bagaimana untuk menertibkan dan mendisiplinkan sidang pembahasan undang-undang.
menjadi representasi keadaan fakultas. Akan disayangkan bila sudah disahkan namun tidak bisa diimplementasikan di fakultas, karena dianggap tidak sesuai dengan fakultas. “Sehingga dalam pembahasan undang-undang, fungsi DPF haruslah optimal agar mampu mengakomodasi setiap fakultas,” tambahnya. Sejalan dengan hal ini, Mela Melinda, ketua DPM FBS, berharap DPM Rema satu langkah lebih depan dalam mengesahkan UU Parma, untuk kemudian membahas UU Pemilwa. Mengingat pertengahan Desember akan Ahmad | Expedisi
Minim Koordinasi Koordinasi tiga komponen sidang pembahasan juga menjadi permasalahan, hal ini diakui Rohmat. “Waktu itu DPF lupa diundang untuk membahas UU Parma,” katanya. Akhirnya sidang dibatalkan karena tidak ada perwakilan DPF. Hal ini juga dialami Harris Fadhillah, Presiden BEM Rema, “Saya diundang tiga kali sidang pembahasan UU Parma, sekali molor dan dua kali dibatalkan,“ katanya. Kemudian Harris meminta agar internal DPM Rema dikuatkan terlebih dahulu sebelum melaksanakan sidang pembahasan dan pengesahan UU Parma. Rohmat pun menyampaikan penundaan sidang pembahasan undangundang membuat anggota DPF menjadi jenuh. Rohmat menyadari fungsi DPF adalah corong suara fakultas dalam pembahasan undang-undang. “Permasalahannya, keterbatasan waktu untuk menghadiri rapat, karena orangnya sudah punya tempat di fakultas,” katanya. Padahal keanggotaan DPF seharusnya tidak rangkap jabatan, namun karena tidak ada yang mengisi maka terpaksa diisi oleh yang sudah memiliki jabatan. “Karena susah mencari yang bisa mengisi DPF selain yang sudah bergabung Ormawa,“ tambahnya. Hal ini disayangkan Thoriq, minimnya jumlah DPF dalam pembahasan UU Parma meninggalkan pertanyaan apakah itu
Senin (5/10) Haris Fadillah menjelaskan kronogis undangan pembahasan UU Parma.
3
sentra diadakan Pemilwa yang melingkupi pemilihan Presiden-Wakil Presiden BEM Rema, DPM Rema, DPF, ketua BEM fakultas, anggota DPMF, dan ketua Hima. Yang mana Pemilwa ini mengunakan sistem kepartaian. Di mana calon-calon yang diajukan untuk mengisi pos-pos eksekutif dan legislatif baik di tingkat universitas dan fakultas diusung oleh partai mahasiswa. Semua itu dijelaskan dalam UUD Rema.
Ahmad | Expedisi
Parma Sebagai Wadah Kaderisasi “Partai adalah instansi yang tidak bisa dibentuk atau dirancang sekali waktu,” kata Kukuh Prasetyo, ketua DPM FMIPA. Tidak kunjung diselesaikannya UU Parma akan menjadi permasalahan serius, melihat Pemilwa yang semakin dekat. Ibnu Nugroho menjelaskan bahwa partai mahasiswa hendaknya menjadi institusi kaderisasi dan bukan hanya menjadi syarat administrasi untuk maju ke Pemilwa. “UGM sendiri masih seperti itu, dan keterlaluan jika datang hanya ketika Pemilwa saja,” katanya.
Ibnu menambahkan bahwa partai harus memiliki dasar ideologi, visi-misi dan program yang jelas, memperbanyak kajian dan diskusi terhadap permasalahanpermasalahan sosial akan meningkatakan kualitas kader. Partai harus mendidik kader untuk siap menjalankan amanah dan menelurkan kebijakan atau program yang memajukan. Hal tersebut juga diamini Thoriq, sehingga pembentukan partai memang perlu waktu yang tidak singkat. Agus Setiawan, ketua BEM FBS, meyakini tidaklah mudah membuat partai. “Karena tingkatnya universitas sehingga perlu lobi politik untuk merangkul fakultas-fakultas lain untuk bergabung,” katanya. Sehingga jika dilihat dalam sisa waktu ini sistem Pemilwa kepartaian agak sulit diimplementasikan dengan baik.
oleh DPM Fakultas, bahkan di berbagai fakultas peraturan pemilwa sudah siap disahkan. “DPM FT sendiri sudah siap. Kami tinggal menunggu UU dari DPM Rema,” kata Rohmat Munasikin yang juga anggota DPM FT. Selain FT, FIP pun sudah menyelesaikan peraturan Pemilwa. “Di sana (DPM Rema.red), kalau belum jadi pun tidak masalah, di sini sudah jadi kok.” terang Alvian, Ketua DPM FIP. Jika FT dan FIP sudah menyelesaikan peraturan Pemilwa, FMIPA masih menunggu UU Pemilwa dari DPM Rema, untuk kemudian diturunkan dalam peraturan fakultas dengan berbagai penyesuaian. Menanggapi hal tersebut, Ibnu Nugraha mengatakan, “Kita tahu sistem Rema adalah hierarki, top-down, artinya dari atas diturunkan ke bawah. Akan aneh kalau atas belum apa-apa tapi yang di bawah sudah selesai, Belum 100% Diterapkan kelegalannya seperti apa.” Sistem kepartaian untuk Pemilwa Terkait KPU dengan sistem tahun ini belum secara tegas diterapkan kepartian, Mela juga mengingatkan karena masih memberi toleransi untuk bahwa KPU harus dibekali terlebih dahulu karena menurutnya akan mudah tersulut gesekan. Ibnu Nugraha berpendapat dalam pemilihan, komponen KPU harus independen dan netral. Namun Marilah kita melepas jaket, atribut, dan ia menyayangkan pembentukan KPU sebelum pengesahan UU kepentingan-kepentigan kelompok, Parma, karena ditakutkan ada menurunkan ego masing-masing. peraturan yang tumpang tindih. “Seharusnya UU Pemilwa sudah jadi baru kemudian membentuk KPU,” tambahnya. Menurut Thoriq, jika Pemilwa harus calon independen nonpartai. Menurut ditunda karena molornya undang-undang Rizky, hal tersebut karena masih dalam maka tidak masalah, karena itu adalah masa transisi. Tahun ini Pemilwa FIP konsekuensi logis, daripada menjalankan belum menggunakan sistem partai. “UU dengan setengah matang. “Pada intinya peraturan kepartaian Parma sudah jadi pun, FIP belum bisa menerapkannya. Kami ingin lihat dan menjelang pemilwa harus jelas, saya evaluasi dulu, sudah baik atau belum, harap teman-teman di universitas segera tapi FIP sendiri tetap konsisten ikut merapatkan barisan,” terang Zakiyudi, Rema,” terang Alvian, ketua DPM Ketua BEM FE. Ia menambahkan, FIP. Thoriq menganggap hal ini sangat DPM Rema dan Presiden BEM Rema ganjil. “Ketika sudah menyepakati harus bahu-membahu dan tidak saling ikut Rema maka UUD Rema adalah menuntut. “Karena ini membahas UU konstitusi tertinggi, dan UUD Rema Kepartaian, marilah kita melepas jaket, mengatur Pemilwa dengan kepartaian.” atribut, dan kepentingan-kepentingan Hal ini menurutnya membingungkan. kelompok, menurunkan ego masingAkan sangat aneh dalam Pemilwa bila masing, untuk memperkuat sisitem ada fakultas yang tidak menerapkan kaderisasi,” ujar Kukuh, ketua DPM kepartaian, namun dalam sebuah partai FMIPA. ada anggota dari fakultas yang tidak Triyo Handoko Ahmad, Khusnul, Putra menerapkan kepartaian. Hampir semua fakultas sudah membuka pendaftaran Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pembukaan ini dilakukan
“
“
Minggu (4/10) Kukuh Prasetyo, Ketua DPM FMIPA.
4
edisi IiI | OKTOBER 2015
polling
Sistem Kepartaian Minim Persiapan
B
ukan tanpa alasan, tidak adanya peraturan dasar Keluarga Mahasiswa (KM) sebagai permasalahan administratif dan sebagai pendidikan politik kepada mahasiswa, adalah alasan kuat perubahan KM menjadi Republik Mahasiswa (Rema). Hal ini menuntut kesiapan instrumeninstrumen primer dan sekunder untuk menjalankan sistem Rema. Salah satunya Undang-Undang Partai Mahasiswa (UU Parma) dan Undang-Undang Pemilwa (UU Pemilwa). UU tersebut sangat vital untuk menjalankan sistem Rema. Namun, UU tersebut belum juga selesai dibahas hingga pertengahan Oktober, padahal Pemilwa dilaksanakan pada Desember nanti. Titik temu waktu pembahasan menjadi penyebab molornya UU Parma ini. Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), Dewan Per wakilan Fakutas (DPF), dan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Republik Mahasiswa ( BEM Rema) adalah komponen yang membahas dan mengesahkan UU Parma. Untuk itu LPM EKSPRESI melalui buletin EXPEDISI melakukan polling guna mengetahui t a n g g a p a n mahasiswa dari seluruh fakultas di UNY. Metode pengambilan
sampel yang digunakan adalah accidental, yaitu pembagian angket secara langsung kepada responden. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah menggunakan angket dengan masing-masing enam pertanyaan dan enam pernyataan. Banyaknya sampel ditentukan menggunakan rumus slovin dengan sampling error 5%, memperoleh sampel sebanyak 394 mahasiswa untuk mewakili dari 24.973 mahasiswa UNY. Angket selanjutnya disebar merata ke suluruh fakultas di UNY. Berdasarkan angket yang disebar tersebut menunjukkan hanya 7,9% responden yang mengetahui tentang UU Parma. Sedangkan 91,2% responden tidak mengetahui, dan sisanya 0,9 tidak menjawab. Mengenai pernyataan keterlambatan pengesahan UU Parma
memengaruhi Pemilwa, terdapat 32,2% responden menjawab sangat setuju dan 61,5% responden menjawab setuju. Sebaliknya, 4,7% responden menjawab tidak setuju, adapun 0,9% responden menjawab sangat tidak setuju dan sisanya 0,7% tidak menjawab. Ditinjau dari tahu atau tidaknya tentang peraturan perundangan BEM Rema, terdapat 17% responden menjawab tahu, sedangkan 82,6% responden menjawab tidak tahu, dan 0,4% tidak menjawab. Terkait tahu tidaknya sistem Pemilwa Rema, terdapat 23% responden menjawab tahu, sedangkan 76,3% responden menjawab tidak tahu. Adapun sisanya 0,7% responden tidak menjawab. Mengenai pernyataan kesiapan mahasiswa tentang sistem Rema, terdapat 21,8% responden menjawab sangat belum siap, dan 65,0% menjawab belum siap. Sebal iknya 1 0 , 1 % responden menyatakan siap dan 2,5% responden menyatakan sangat siap. Adapun 0.6% responden tidak menjawab. Tim Polling
Andhika | Expedisi
OKTOBER 2015 | edisi iiI
5
persepsi
Kepalsuan dan Kebuntuan
M
araknya pemberitaan media massa tentang ijazah palsu akhir-akhir ini menghiasi ka r u t - m a r u t p e n y e l e n g g a r a a n pendidikan. Logika pemerintah dalam menindaklanjuti laporan pun mudah ditebak. Yakni menyalahkan mahasiswa yang “membeli” ijazah palsu tersebut. Mari kita tanyakan kembali konstruksi baku pada nilai sosial-fungsional yang melekat pada ijazah. Penggunaan ijazah sebagai tuntutan saat pendaftaran lowongan kerja mungkin adalah deretan paling populer saat ini. Kebutuhan masyarakat akan bukti otentik “pernah berkuliah” termanifestasikan ke dalam ijazah. Inilah yang dilirik oleh penjual ijazah palsu. Akan tetapi, jangan hanya salahkan si penjual, karena ia tergerak atas dasar peluang keuntungan, jiwa ekonomis alamiah manusia. Kita sendiri sama-sama terjerembab ke dalam perspektif yang sungguh keji, tidak pernah membahas kondisi-kondisi yang menyebabkan
penjual dan pembeli (ijazah palsu.red) ini bertransaksi. Pembeli, mengalami tekanan kondisi hidup yang distorsinya tak kunjung reda. Melamar kerja tanpa membawa ijazah, berarti ia akan diterima di posisi rendahan. Sedangkan hidup harus terus berlanjut (baca: kebutuhan pangan, sandang, papan). Belum lagi tekanan sosial yang akan ia pikul jika hanya bekerja kasaran dan berderet hal lainnya. Si penjual lain lagi, ia hanya tergerak kepada logika ekonomistik dengan slogan “Anda Butuh, Kami Sediakan”. Si penjual ini bukan orang bodoh. Ia mampu melihat peluang dan membuatkan jalan pintas bagi pembeli yang sedang berhadapan dengan jalan buntu seperti disebutkan sebelumnya. Logika Naif Pemerintah Berdalih bahwa mahasiswa (pembeli ijazah.red) tersebut adalah orang yang pragmatis dan malas berproses. Namun pertanyaannya adalah, apakah jalan buntu yang dihadapi para pembeli ijazah ini mereka yang ciptakan sendiri? Berbicara pendidikan tanpa berbicara aspek politik-ekonomikebudayaan, memiliki satu ujung yang sama, analisis yang hambar nan positivistik. Dilanggarnya UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003 Pasal 69 Ayat 1 bukanlah titik hulu persoalan ijazah palsu. Penggunaan dalil hukum untuk mendakwa hanyalah eksekusi akhir setelah didapatkan evaluasi kebijakan secara komprehensif. Perihal seperti ini semestinya diberlakukan asas Prima Causa dengan pemahaman yang kritis. Menindaklanjuti tersangka pemalsuan ijazah memang harus dilakukan, namun ada yang harus ditindaklanjuti secara lebih jauh dan integratif lagi. Yakni kondisi-kondisi di mana seseorang ternyata mengalami jalan buntu dalam kehidupannya. Sedangkan landasan konstitusi kita menjamin seluruh warga negara bisa hidup dengan layak (baca: manusiawi). Freire (1986) memaparkan bahwa kondisi kesadaran naif merupakan kondisi kesadaran di mana manusia adalah sumber masalah yang harus
dibenahi dan cenderung menyalahkan si korban. Maka, jangan heran ketika isu ijazah palsu memasuki ruang publik. Konstruksi wacana yang mendominasi adalah man power development, yakni seputar pelanggaran hukum, etika yang harus diperbaiki, kemalasan belajar dan harus ada motivasi. Kesadaran naif ini meyakini bahwa kondisi struktur dan sistem merupakan pemberian (takdir) Tuhan yang sudah baik dan benar. Maka manusianyalah yang perlu dibenahi. Haluan Pembangunan dan Pengembangan Pendidikan Medio tahun 2013 beberapa portal berita online dan cetak Indonesia merilis data tentang kegemilangan Finlandia dalam membangun dan mengembangkan dunia pendidikannya, walaupun berkalikali berganti pemerintah dan partai penguasa. Bagaimana bisa mereka menerapkannya sedangkan kita tidak? Pertama, terhapusnya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dari sistem pemerintahan kita, menyebabkan negara kehilangan visinya. GBHN ditetapkan sebagai rel berjalannya negara sehingga ia digunakan sebagai acuan tata kelola kebijakan yang diambil hingga tahuntahun yang akan datang. Terhapusnya GBHN dan digantikan dengan Rencana Pembangunan Jangka Pendek-MenengahPanjang merupakan salah satu kebijakan paling fatal yang pernah dibuat negeri ini. Belum lagi pembangunan tersebut sangat terfokus pada pembangunan industri pada jangkauan menengah-hilir. Kedua, menetapkan pendidikan sebagai salah satu sektor industri jasa, akan segera menghapuskan secara perlahan peran negara dalam membangun pendidikan yang ideal bagi kehidupan bangsa. Patut kita pertanyakan, ke manakah aliran distribusi ekonomi pemerintah yang menjamin kecerdasan dan kelayakan hidup bangsa dan seluruh warganya? Ketiga, sebagai bumbu pamungkas, bahwa Finlandia menerapkan konsep pendidikan Ki Hadjar Dewantara dengan sistem among dan Tri Pusat Pendidikannya: keluarga, sekolah, dan masyarakat. Mirza Ahmad Mahasiswa Teknologi Pendidikan 2011
Repro. Ade
6
edisi IIi | OKTOBER 2015
persepsi
Balada Warga Wismor Mengingat fungsi Wismor memang sangat penting bagi masyarakat luar maupun dalam Wismor sendiri. Misal, peran wismor bagi seluruh mahasiswa FIK yang tinggal di sana, seperti mahasiswa Bidikmisi. Wismor juga membantu para mahasiswa yang menempatinya karena dekat dengan lapangan olahraga ketika praktik kuliah sedang berlangsung. Sementara itu, bagi masyarakat luar, Wismor juga sangat penting sebab digunakan sebagai tempat persinggahan atau beristirahatnya para peserta lomba dari luar—UNY bahkan DI Yogyakarta—yang sedang mengikuti perlombaan di UNY. Oleh karena itu, jika memang nantinya Wismor akan dibongkar dan digantikan oleh SHC, sebaiknya perlu ada tindakan antisipatif untuk mahasiswa yang bertempat tinggal di Wismor. Selain itu, sebelum nantinya benar-benar akan dibongkar, pertimbangkan pula peran penting Wismor sebagai tempat tinggal mahasiswa dibandingkan dengan SHC. Ade Lukman Hakim
An
isi
ed isi
SP AC
E
IK
LA
N LA
ed
xp
IK
xp
|E
E
|E
ika
SP AC
ika
dh
OKTOBER 2015 | edisi iIi
dh
An
SHC ini memang memiliki fungsi yang hampir sama dengan Klinik Olaharaga atau Laboraturiumnya Fakultas Ilmu Keolahragaa. Lalu apa bedanya SHC dengan Klinik FIK yang sudah ada di samping Fakultas Ilmu Keolahragaan dan masih baik keadaaanya. Efektivitas SHC juga masih diragukan, mengingat apakah dapat difungsikan dengan baik sesuai tujuan dan dapat diakses oleh mahasiswa, atau malah hanya akan mangkrak? Dana besar pembangunan SHC juga perlu diperhatikan. Hal itu berkaitan dengan seberapa besarkah urgensi pembangunan SHC untuk mahasiswa—khususnya FIK—karena hanya akan percuma jika ternyata pembangunan SHC tidak terlalu mendesak. Kehadiran SHC ini memang bisa dibilang merugikan banyak pihak, diantaranya pihak Wismor sendiri yang menjadi korban dibongkarnya Wismor untuk digantikan bangunan baru. Selain itu peran SHC akan tumpang tindih dengan Klinik FIK. Selanjutnya, yang patut dipertanyakan adalah Klinik FIK akan masih terus berlanjut dengan memindahkan semua fasilitasnya ke SHC atau bangunan Klinik FIK ini benarbenar digantikan oleh yang lainnya. Paling penting tentu saja nasib mahasiswa yang bertempat tinggal di Wismor. Kabar pembangunan SHC dengan membongkar Wismor juga mencuatkan pertanyan baru. Yakni apakah nantinya akan dibangun Wismor baru sebagai ganti yang lama.
N
W
isma Olahraga (Wismor) merupakan sebuah fasilitas yang juga tempat tinggal bagi mahasiswa Fakultas Ilmu Keolahragaan UNY. Sampai saat ini, Wismor juga masih menjadi tempat persinggahan mahasiswa sekaligus membantu aktivitas dalam kegiatan perkuliahan. Banyak pula kegiatan kemahasiswaan berpusat Wismor, seperti sekre BEM FIK dan Ormawa-ormawa FIK lain. Wismor memang kabarnya akan segera digusur dan digantikan oleh Sport Health Center (SHC). SHC sendiri adalah bagian dari kerja sama dengan Islamic Development Bank (IDB) yang bertujuan untuk memberikan bantuan dana pinjaman kepada UNY. Bantuan tersebut dialokasikan untuk menambah fasilitas mahasiswa berupa konstruksi bangunan baru dan infrastruktur pendukung, sebagai program pengembangan kurikulum, pengembangan staf, bantuan riset, dan unit implementasi proyek. Namun dari yang katanya akan dibangun 14 gedung baru di 7 fakultas, rektorat dan program pasca sarjana UNY, hingga sekarang baru 1 gedung yang baru dibangun, yaitu di Fakultas Bahasa dan Seni berupa Laboraturium Seni Musik dan Tari. Sebagai produk IDB, SHC sekarangsekarang ini menjadi perbincangan di kalangan petinggi dan seluruh mahasiswa FIK. Kabar hangat tersebut terfokus pada Wismor sebagai salah satu yang menjadi korban dari proses pembangunan IDB. Wismor yang nanti akan digantikan sebagai SHC itu memang fungsinya masih belum dilihat dan diterawang secara pasti. Karena pada dasarnya
7
tepi
Hari Sudah Gelap, Kelas Masih Benderang Malam sudah mengintip di balik pintu senja. Namun, aktivitas perkuliahan di Fakultas Ekonomi masih belum usai, malah ada yang baru dimulai.
S
ore itu matahari mulai mengemasi sinarnya, tanda petang sudah menjemput untuk mengantarkannya pulang pada malam. Seiring dengan itu, aktivitas-aktivitas “berat” pun sudah mulai berganti menjadi aktivitas yang ringan. Terlihat kelompok-kelompok mahasiswa di sekitar Student Center juga Fakultas Bahasa dan Seni membentuk forum-forum diskusi. Bukan lagi duduk sepaneng di dalam kelas. Melainkan di atas rumputlah mereka asyik berdiskusi sambil sesekali tertawa dan bercanda. Namun, p emandangan m enjadi berbeda jika kita tengok di Fakultas Ekonomi (FE). Gedung utama FE yang menghadap ke utara itu ternyata masih terisi oleh mahasiswa-mahasiswa yang baru memulai atau sedang melakukan kegiatan p erkuliahan. M ahasiswa program studi Akuntansi misalnya, petang itu (8/11) mereka masih ada kelas Akuntansi Keuangan Lanjutan II sampai pukul 19.20. Dua mahasiswi bernama Clara dan Intan mengaku bahwa kuliah sampai malam membuat mereka tidak teliti dalam mengerjakan soal hitungan. “Enggak fokus, capek, waktu dikasih soal jadi enggak teliti. Jadi ingin cepat-cepat selesai terus pulang,” keluh Clara dan Intan sambil membuka jari-jarinya
meperlihatkan gerakan menghitung. Sudah hampir pukul 18.00, azan dikumandangkan. Hari sudah gelap dan lampu-lampu dinyalakan. Begitu pun dalam gedung FE nan elegan itu. Lampu sengaja dinyalakan karena memang sedang digunakan untuk aktivitas perkuliahan. “Maaf ya, Mas, menunggu lama,” ucapnya spontan begitu muncul dari koridor di sebelah kami duduk. Dosen Akuntansi Keuangan Lanjutan II, Patriani Wahyu Dewantii, S.E., M.Acc., yang mengajar pada petang itu terlihat begitu lelah ketika menyambut kami. Baju batik warna biru dan merah yang ia kenakan sudah tampak kusut. Wajahnya pun sudah nampak lelah. Begitu obrolan kami mengalir, ia bercerita tentang jadwal kuliah malam yang membuatnya kesulitan untuk menyampaikan materi. “Karena mahasiswanya sudah enggak fokus, ketika saya mengajar sampai ke mahasiswanya juga sulit,” ungkap Patriani penuh penekanan pada kata sulit. “Walaupun mahasiswa saya tidak mengeluh langsung pada saya, tapi dari ekspresi mereka, saya sebagai dosen tahu kalau mereka sudah lelah dan jenuh. Makanya saya tidak mau memaksakan satu bab penuh untuk satu pertemuan,” terangnya.
Senin (5/10) Dekan FE, Dr. Sugiharsono, M. Si., saat diwawancarai di ruangannya.
8
Selain itu, dosen perempuan yang sudah berkeluarga ini merasa keberatan dan serba salah dengan adanya jadwal kuliah malam. “Kalau boleh memilih, ya enggak mau kuliah malam, Mas. Ketika dihadapkan pada jam terakhir, diharapkan jangan mata kuliah yang berat seperti hitungan. Di sini juga ada dosen sepuh, dan enggak mungkin kan diberikan jadwal malam. Jadi serba salah, banyak pertimbangan juga saya kira,” tutur Patriani sambil menaruh tangannya di dada. Dosen muda yang dulu pernah menjadi praktisi di BNI Multifinance dan Ge Lighting Indonesia itu, mengaku tidak begitu mengetahui alasan pasti mengenai jadwal kuliah malam yang diterapkan di FE. Ia memohon agar alasan yang diungkapkannya dikonfirmasi lagi. “Mohon alasan yang saya dengar ini dikonfirmasi ya, Mas. Karena saya tidak mendengar langsung dari pihak yang berwenang. Setahu saya karena FE membuka kelas PKS (Program Kelanjutan Studi.red) dan kelas unggulan. Kelasnya bertambah dan gedung kita terbatas, ya mau enggak mau harus ada kelas malam,” jelas Patriani. Sementara itu, Dekan FE, Dr. Sugiharsono, M. Si., dari ruang kerjanya menjelaskan sebab-sebab FE menerapkan
Ghoza | Expedisi
edisi IIi | OKTOBER 2015
tepi jadwal kuliah malam yang salah satunya mahasiswa berorganisasi dan kegiatan telah diungkapkan Patriani. “Karena ekstra lainnya. “Kukira kalau yang tahun ini gedung sebelah masjid ikut organisasi pasti terganggu banget. sudah harus dirobohkan, ditambah Rapat-rapat juga biasanya malam kan. ditiadakannya gedung merah untuk Tapi jujur kalau aku terganggu masalah kemahasiswaan itu, jadi kekurangan istirahat saja,” kata Clara. “Apalagi aku lebih dari 10 ruang. Hal ini menyebabkan juga ikut les, dan kalau ada kuliah malam kita terpaksa kuliah sampai malam. terpaksa harus bolos les,” tambah Intan, Sementara ada tambahan lagi untuk kelas berkeluh. unggulan, tiga program studi. Makanya Seorang mahasiswi FE yang tidak harus segera membangun gedung baru,” mau disebutkan namanyamempunyai ungkap Sugiharsono panjang lembar pendapat yang sama. Ia menyatakan sambil menunjuk arah gedung-gedung tidak setuju dengan adanya jadwal kuliah yang ia sebut. malam. “Tidak setuju. Selain Begitu ditanya mahasiswanya mengapa ada yang lelah, penambahan kelas “Walaupun mahasiswa saya tidak d o s e n p u n unggulan sementara mengajarnya ruangan semakin mengeluh langsung pada saya, terbatas, Sugiharsono tidak optimal,” saya sebagai dosen tahu kalau menjawab bahwa katanya ketika mereka sudah lelah dan jenuh” kelas unggulan itu ditemui di sudah diprogram Student Center sejak lama. “Kita lantai 3. Selain sudah memprogramkan bahwa tahun mahasiswi FE, Mutia dan Risa, mahasiswi 2015 harus membuka kelas unggulan FBS dan FIS, juga sependapat. Menurut untuk selain Pendidikan Akuntansi. mereka jadwal kuliah malam jadi tidak Tahun 2015 ini sudah target dibuka.” efektif lagi karena mahasiswa banyak Menindaklanjuti hal itu, Sugiharsono yang sudah lelah. “Tidak efektif. Apalagi mengatakan bahwa dengan kuliah banyak teman-temanku dari FE yang malamlah kegiatan perkuliahan tidak mengeluh soal jam kuliah malam itu. terbengkalai. “Ya, bisa diatasi. Kurang Kasihan.” ruang, tapi bisa diatasi dengan kuliah Di sisi lain, dosen psikologi FIP, sampai 19.20,” paparnya. Dr. Rita Eka Izzaty, M.Si., mengatakan Di ruangan yang barang-barangnya bahwa belajar di dalam kelas idealnya tertata rapi itu, Sugiharsono beranggapan dua sampai tiga pelajaran, atau 6 SKS bahwa kuliah malam tidak akan memberi saja. Jika berlebihan, yang terjadi pada dampak yang berarti terhadap mahasiswa. mahasiswa adalah kelelahan. Selain itu, Menurutnya, kuliah malam itu lebih enak karena suasananya tenang. “Saya kira itu bukan masalah, di luar negeri biasa. Di luar Jogja pun banyak yang kuliah malam. Sebenarnya kalau dinikmati, kuliah malam itu malah enak kok. Lebih tenang,” sambil tertawa Sugiharsono mengungkapkan pendapatnya. Sementara itu, Clara dan Intan mengaku kuliah malam yang harus mereka jalani itu tidak efektif. Dari raut wajah mereka jelas terlihat ketidaksetujuan terhadap kebijakan kuliah malam. Ketika ditemui, dua mahasiswi ini menceritakan semua keluh kesahnya. “Enggak setuju. Pulang malam capek, kuliah dari pagi. Apalagi yang PKS transfer dari D3 ke S1 itu, yang pernah ikut kelas malam sama kita, dia 12 SKS penuh. Dari setengah delapan pagi sampai setengah delapan malam!” kata mereka menggebu-gebu. Belum lagi sore sampai malam adalah jadwal untuk
“
“
OKTOBER 2015 | edisi iIi
secara psikologis, unsur jiwa ternyata cukup berdampak pada peserta didik, terutama mahasiswi. “Jadi kalau kognitifnya sudah berpikir yang tidaktidak. Kemudian muncul rasa khawatir yang berlebihan. Akhirnya mahasiswi tersebut jadi tidak konsentrasi. Kalau kita melihat dari unsur jiwa itu saja, sudah sangat mengganggu,” jelas Rita. Tidak hanya itu, Rita juga menyarankan agar hal ini sebaiknya dikomunikasikan dua arah. “Kalau harus menerapkan kuliah sampai malam, harus tahu dulu subjek didiknya seperti apa. Kan tidak sematamata mengeluarkan kebijakan itu hanya dari satu arah saja, tetapi dari subjek didik juga. Artinya ketika ada kebijakan seperti itu harus ada komunikasi dua arah,” tambahnya. Membenarkan hal di atas, Clara dan Intan mengatakan bahwa tidak ada sosialisasi terlebih dahulu terkait jadwal kuliah malam. “Belum sama sekali. Di sistem KRS kita enggak tahu jadwalnya hari apa, jam berapa, apalagi ruang kuliahnya, membingungkan. Tapi kalau dari awal kita sudah dikasih tahu semuanya dengan jelas gitu kan enak, kita tinggal menyesuaikan saja,” ungkap mereka. Sementara itu, Sugiharsono menjelaskan bahwa sosialisasi kepada mahasiswa otomatis melalui jadwal. “Kalau ke mahasiswanya otomatis. Melalui jadwalnya itu,” jelasnya. Ghozali Saputra Bayu, Vathir
Repro. Andhika
9
resensi
Hikayat Orang Kampung
M
itos tidak pernah benar-benar hilang oleh tawaran modernitas. Kenyataannya, mitos tetap ada di mana-mana. Manusia-manusia urban sekalipun, belum sepenuhnya terlepas dari yang namanya mitos. Tengok saja pada kota-kota besar yang menghindari pemakaian angka 4 dan 13 di gedunggedung mewah. Melalui kumpulan cerpen Anak-Anak Masa Lalu, Damhuri Muhammad mengajak kita merefleksikan pelbagai perspektif kampung, seperti tradisi, legenda, dan mitos itu sendiri. Payung tematik kumcer—yang terpilih menduduki 10 besar Kusala Literary Award 2015—ini adalah kenangan tentang kampung halaman dan masa lalu. Dalam epilognya, Damhuri menuturkan kampung lebih banyak menyisakan derita dan nestapa ketimbang keriangan, apalagi kerinduan yang menyala-nyala. Namun demikian, terhadap kenangan-kenangan yang telah memfosil di kepalanya itu, Damhuri
Ahmad | Expedisi
meneroka dan “memberi mereka nyawa” (hal.119) hingga menjadi hidangan cerita yang enak dan empuk untuk dibaca. Mitos tentang ilmu hitam yang tak lepas dari dunia kampung, dapat kita temui dalam cerpen Tembiluk. Kisahnya tentang seorang tuan yang mampu hidup abadi, akan tetapi menerima kemalangan dalam sebuah ritual. Narasi tentang mitos juga dapat kita cerna pada cerpen lain. Simaklah Badar Besi yang memuat kisah orang-orang yang amat percaya pada batu yang membuat badan kebal. Cerpen ini menyuguhkan keadaan di mana dulu dan sekarang, kita tetap dengan sebegitunya memercayai sifat keramat pada bendabenda. Sementara itu, dalam cerpen AnakAnak Masa Lalu—yang juga menjadi judul buku ini—kita mendapati praktik mistik oleh seorang kontraktor. Ketika kepala bocah-bocah kampung setempat disembelih, untuk tumbal di balik kokohnya pembangunan sebuah jembatan. Cerpen satiris ini sekaligus mempertanyakan bahwa, tidakkah kita selalu menggembargemborkan pembangunan fisik dalam setiap kata modernitas? Padahal pembangungan fisik itu justru seringkali mengorbankan rakyat. Adapun melalui cerpen Luka Kecil di Jari Kelingking, Damhuri memandang sebuah tragedi besar dari sudut pandang yang acapkali tak dihiraukan banyak orang. Bahwa nasib lain selalu terjadi di balik tragedi besar. Berkisah tentang seorang ibu yang ditinggal Wi, anak semata wayangnya, lantaran menjadi buronan pascatragedi 1965. Si ibu harus membiasakan diri menerima pesan-pesan rahasia
yang dibawa oleh para penyamar suruhan Wi. Hanya melalui para penyamar itulah si ibu dapat mengetahui kabar Wi. Sambil setia menunggu para pembawa pesan yang kadang menyamar sebagai pedagang barang pecah belah maupun pekerjaan lain, si ibu senantiasa berharap kepulangan Wi lebih cepat dari ajalnya. Di cerpen Banun, kita diperlihatkan pada sebuah getir wanita tua yang dipergunjingkan lantaran prinsipnya sebagai petani. Orang-orang kampung menjulukinya “Banun kikir”. Anakanaknya memprotes tabiat kikirnya yang menakjubkan. Hingga akhirnya, kepada anak-anaknya, ia menyingkap ajaran mendiang suaminya. Ia menjelaskan kata tani sebagai penyempitan dari “tahani”, yang dalam terjemahan bahasa masa kini berarti “menahan diri” (hal. 26). Menahan diri dari keharusan membeli segala sesuatu selama kebutuhannya dapat dipenuhi dengan bercocok tanam. Di masa kini, tinjaulah iklan–iklan modernitas yang mengarahkan kita pada laku konsumtif. Maka keteguhan Banun itu adalah anitesis konsumerisme. Tak melulu mengangkat cerita kampung yang bersusila, dalam cerpen Rumah Amplop, Damhuri menyetir kita pada keamoralan orang kampung. Tentang seorang pegawai negeri sipil yang haus harta. Menerima suap dari mereka yang ingin memenangkan proyek adalah hal biasa. Karena itulah si “aku” menamai rumahnya sebagai “rumah amplop” karena hampir tiap hari selalu ada amplop yang diterima ayahnya. Kumcer ini akan lebih mengena jika kita lebih dahulu membaca epilognya. Sebab, di epilog inilah kita dipertemukan dengan latar belakang atau basis sekaligus konteks kemunculan setiap cerpennya. Pada akhirnya, tanpa bermaksud membenarkan Judul : Anak-Anak Masa Lalu atau menyalahkan, Pengarang : Damhuri Muhammad Damhuri memilih Penerbit : Marjin Kiri Tahun Terbit : 2015 untuk lebih melihat Tebal : 121 Halaman ke j e r n i h a n d a r i hal-hal berbau “kampungan”. Putra Ramadan
10
edisi IIi | OKTOBER 2015
wacana
Rekonsiliasi Nasional Gerakan 1 Oktober
A
kronim Gestok (Gerakan Satu Oktober) diperkenalkan oleh Bung Karno karena peristiwa yang memilukan tersebut berlangsung setelah tengah malam. Pandangan masyarakat Indonesia tentang Gerakan 1 Oktober terbelah menjadi dua kelompok, pro dan kontra. Pada dasarnya posisi kedua kelompok ini masih belum berubah dari posisi mereka ketika peristiwa Gerakan 1 Oktober 1965. Dilansir Kompas 30 September 2015, telah ada pernyataan publik dari Jaksa Agung bahwa kasuskasus pelanggaran HAM masa lalu akan diselesaikan melalui rekonsiliasi. Kesimpangsiuran informasi yang ada dan belum berkembangnya rencana pemerintah dapat dikatakan karena tidak adanya pemahaman tentang konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu, khususnya yang akan diselesaikan dengan jalan rekonsiliasi. Idealnya, semua pelanggaran HAM berat diselesaikan dengan pengadilan. Hanya pelanggaran HAM berat masa lalu yang tidak dapat diselesaikan dengan pengadilan—karena tak memenuhi syarat—yang dapat diselesaikan dengan re ko n s i l i a s i . M a n d a t Repro. Andhika untuk penyelesaian dengan rekonsilisasi ini dinyatakan dalam pasal 47a Bab X Ketentuan Penutup UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. UU tersebut menyatakan, penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU ini disahkan tidak menutup kemungkinan dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. UU ini juga menyatakan pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Karenanya, pelanggaran HAM berat termasuk tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang spesifik. Disebutkan 10 bentuk kejahatan kemanusiaan, yaitu pembunuhan, pemusnahan atau genosida, perbudakan, OKTOBER 2015 | edisi iIi
pengusiran atau pemindahan penduduk, perampasan kemerdekaan/ kebebasan fisik lain, penganiayaan, pemerkosaan, perbudakan seksual, penyiksaan terhadap kelompok—berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender). Selanjutnya adalah penghilangan seseorang secara paksa, kejahatan apartheid, dan perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh
maupun mental. Berbeda dengan tujuan proses pengadilan untuk membuktikan seorang bersalah atau tidak. Rekonsiliasi lebih berimbang sebagai upaya pembuktian suatu kesalahan dengan perhatian yang perlu diberikan kepada korban agar tidak terulang kembalinya peristiwa serupa pada generasi-generasi berikutnya. Akhirnya, rekonsiliasi bertujuan untuk memulihkan harkat dan martabat manusia dalam masyarakat baru Indonesia yang telah berdamai dengan masa lalunya. Rekonsiliasi punya 4 elemen penting jika ingin mencapai tujuan tersebut. Yaitu keadilan, pencarian kebenaran, reformasi kelembagaan, dan reparasi.
Keadilan, perdamaian, dan demokrasi bukan merupakan sasaran yang eksklusif terpisah satu sama lain, tapi merupakan imperatif yang saling memperkuat dan memerlukan perencanaan strategis, satuan rencana, dan penahapan yang cermat. Elemen pencarian kebenaran jadi penting sebagai wujud dari hak korban atas kebenaran. Reparasi merupakan proyek pemerintah yang dapat menyatakan pengakuan kepada mereka yang hakhak dasarnya telah dilanggar, meliputi pengakuan atas pelanggaran hak korban, pengakuan atas tanggung jawab negara, dan pengakuan terhadap cedera yang diderita korban sebagai bentuk tindak kekerasan. Jelas bahwa rekonsiliasi bukanlah konsep yang mementingkan salah satu kelompok yang terlibat dalam tindak kekerasan. Rekonsiliasi bukan untuk siapa salah dan benar. Juga bukan untuk menjustifikasi tuntutan salah satu pihak terhadap pihak lain. Ini adalah upaya penyelesaian konflik yang selalu berpihak pada kepentingan bangsa. Rekonsiliasi memiliki lingkup bangsa dan jika kita ingat tragedi 1965 merupakan puncak perebutan kekuasaan politik terbesar, yaitu Presiden Soekarno, PKI, dan TNI AD. Kita harus melawan lupa terhadap memori institusional 3 kekuatan politik tersebut untuk membuka jalan bagi rekonsiliasi nasional tragedi 1965. Tidak boleh kita lupakan proses politik yag memuncak pada tragedi 1965 merupakan proses sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelum 1 Oktober 1965. Terhadap perspektif korban eksPKI dan keluarganya bahwa banyak di antara mereka telah menjadi korban— baik korban jiwa maupun dirampasnya hak-hak dasar mereka sebagai warga negara tanpa hak membela diri dan hak pengadilan. Apabila memang terjadi, mengapa hal itu tidak dicatat dalam sejarah sebagai kepahitan yang pernah dialami dan diakui sebagai kenyataan. Indra Ristianto
11
eksprespedia
Gastronomi Molekuler Kian Populer
12
disamakan. Hal inilah yang membuat gastronomi molekuler memiliki kekhasan tersendiri jika dibandingkan dengan gaya memasak lainnya. Andhika Widyawan Dikutip dari berbagai sumber
LA
N
LA
IK
IK E
LA IK E SP AC
E
IK L
N
AN
SP AC
E
SP AC SP AC
SP AC
E
IK L
AN
SP AC
E
IK
LA
N
belum tentu menjamin kandungan nutrisi dalam makanan. Sebab, setelah diolah makanan akan tetap utuh, begitu juga dengan jaminan kesehatannya. Karena itulah teknologi ini muncul. Harapannya teknologi gastronomi molekuler dapat menjadikan para koki lebih mampu mengembangkan dan mengeksplorasi inovasi-inovasi baru secara lebih luas. Sehingga mampu menghasilkan kuliner yang lebih variatif dan unik layaknya karya seni. Harapan lain tentunya mampu mendongkrak minat dan kepuasan konsumen akan hasil kuliner yang enak, lezat, dan sehat. Gastronomi molekuler sendiri sangat unik, karena merupakan perpaduan ilmu pengetahuan yang kemudian menghasilkan produk yang dapat dikatakan sebagai karya seni. Ia menyajikan perubahan bentuk yang cukup signifikan pada hasil akhir, untuk kemudian disajikan dengan sangat indah. Tentu dua teknik pengolahan makanan ini dikatakan berbeda dan tidak dapat
N
A
dakah dari kalian yang telah mengetahui apa itu gastronomi molekuler? Adalah teknik seni memasak yang kini semakin marak diperbincangkan di kalangan pencinta kuliner. Tidak mau ketinggalan dengan perkembangan teknologi dari cabang lain, teknologi dalam dunia kuliner ternyata juga mengalami perkembangan yang cukup pesat. Dengan gastronomi molekuler ini, koki dituntut tidak hanya ahli memasak, tetapi harus memiliki pengetahuan lebih mengenai perubahan molekul bahan-bahan makanan yang akan dia olah nantinya. Bagaimana tidak, dalam prosesnya, teknik dalam gastronomi molekuler sangat dipengaruhi oleh proses kolaborasi dari unsur fisika dan kimia dalam proses memasaknya. Munculnya perkembangan teknologi di bidang kuliner berupa gastronomi molekuler, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor semakin pesatnya perkembangan teknologi global. Faktor lainnya adalah, para koki modern yang beranggapan bahwa cara memasak tradisional dirasa
edisi IIi | OKTOBER 2015
Dok Istimewa