INDEKS DARI REDAKSI
4
EDITORIAL
5
SURAT PEMBACA
6
PROFIL Rhoma Dwi
28
ALMAMATER UKT Penuh Bebani Mahasiswa
30
Majalah Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta
EKSPRESI ANALISIS UTAMA
8
fitriansyah | EKSPRESI
KOLOM Hujan Pelanggaran HAM 32 C’KLIK Seni Tradisi Kontemporer dari Lereng Merapi 35 APRESIASI Noam Chomsky
SKIZOFRENIA: PERJUANGAN MELAWAN STIGMA BERAGAM permasalahan terjadi di bidang kesehatan jiwa. Tenaga kesehatan sedikit yang mau menyeriusi pelayanan di bidang ini. Belum lagi keluarga dan lingkungan kerap menganggap penyandang disabilitas psikososial sebagai aib. Padahal penyakit ini bisa dialami oleh siapapun. Di Indonesia, kesehatan jiwa belumlah yang utama.
TELUSUR
41
52
WAWANCARA KHUSUS Fadly Rahman 54 RESENSI Gentayangan
PENDIDIKAN Ketjilbergerak
56 68
HIKMAH Pembangunan Kosmologis 70
KHUSNUL | EKSPRESI khusnul | EKSPRESI
MENYERET KELUAR KEBUN KARET
SUMBER penghidupan satu-satunya petani Sambirejo dirampas negara. Petani yang mencoba melawan dituduh sebagai PKI dan dipenjarakan. Rentan waktu 1965-1999 tidak ada gerakan masyarakat Sambirejo untuk memperjuangkan tanahnya. Mulai tahun 2000, masyarakat mulai sadar dan berjuang merebut tanahnya kembali.
Rancang Sampul: Ahmad Wijayanto Khusnul Khitam
Redaksi menerima surat pembaca menanggapi hal-hal menyangkut dunia kemahasiswaan, pendidikan, sosial, ekonomi, politik, agama, sains, tek nologi, olahraga, lingkungan, dan bu daya, ser ta tanggapan atas terbitan EKSPRESI sebelumnya. Tulisan mak simal 1000 kata, dikirimkan ke email redaksi@ekspresionline.com. Redaksi berhak mengubah tulisan sepanjang tidak mengubah isi dan makna.
LAPORAN KHUSUS
57 AZIZ | EKSPRESI Rimbawana | EKSPRESI
Meneroka Sejarah Zine Zine mewadahi budaya membikin media sendiri yang bersifat otonom dan in dependen. Bernapaskan politik, kadang juga lebih menonjolkan sisi artistik. Na mun, belakangan juga tergulung ombak digital. Bagaimana nasib zine kemudian? Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 3
DARI REDAKSI
M
enurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 oleh Kementerian Kesehatan, 17% pendu duk Indonesia menyandang disabilitas. Sekitar 6% atau sekitar 19 juta dari 250 juta jiwa hidup dengan gangguan mental atau disebut juga dengan disabi litas psikososial. Dalam laporan Human Right Watch dijelaskan bahwa disabilitas psikososial merupakan istilah yang lebih sering dirujuk untuk menggambarkan orang dengan masalah kesehatan jiwa seperti depresi, bipolar, skizofrenia, dan kata tonia. Namun, masyarakat seringkali menyebut orang disabilitas psikososi al dengan sebutan “orang gila”. Stigma terhadap orang dengan disabilitas sosial memang berkembang luas di masyara kat. Masyarakat memperlakukan orang dengan disabilitas psikososial seolah tidak memiliki martabat. Mereka di teriaki dengan sebutan orang gila dan dilempari batu. Disabilitas psikososial dianggap se bagai aib. Banyak keluarga yang akhirnya meninggalkan penyandang disabilitas psikososial di panti, yayasan, rumah sa kit jiwa selama bertahun-tahun. Bahkan menelantarkannya di jalanan, menjadi gelandangan psikotik. Tujuan tulisan-tulisan pada Analisis Utama, membongkar stigma-stigma terhadap disabilitas psikosial dengan memun culkan fakta-fakta yang menyebabkan seseorang mengalami gangguan jiwa serta mengkritisi perhatian pemerintah yang masih menyampingkan orang dengan disabilitas psikososial. Berlanjut ke rubrik Telusur, permasalahan yang diangkat berkaitan dengan persoalan agraria. Perampasan tanah mi lik warga Sambirejo Kabupaten Sragen yang dilakukan oleh PTPN IX semakin menambah panjang konflik agraria dan penderitaan kaum tani di Indonesia. Berawal dari perusahaan perkebunan negara (PPN) ingin memperluas area garapan di atas tanah Sambirejo. PPN bermaksud untuk menyewa tanah milik warga guna ditanami karet. Dikarenakan tanah men jadi satu-satunya sumber penghasilan warga, alhasil warga menolak menyewakan. Bersamaan dengan itu, pecah tragedi G30 S, 1965. Momen tum ini digunakan oleh PPN, berkerja sama dengan perangkat
desa, masyarakat yang tetap menolak untuk menyewakan tanahnya ditangkap dengan tuduhan sebagai PKI. Mereka dipenjarakan. Sejak saat itu, PPN mengambil alih lahan, me nanam pohon karet secara besar-besaran. Perubahan terjadi ketika era reformasi, 1998. Sejak itu masyarakat mulai melakukan perjuangan untuk merebut kembali tanah yang dulu dirampas oleh PTPN IX. Ketika Hak Guna Usaha (HGU) PTPN IX habis masa berlakunya pada 31 Desember 2006, maka sema kin menambah keyakinan warga untuk menggarap dan mengelola tanah terse but. Masyarakat membentuk perkum pulan yang diikuti oleh beberapa desa; Sambi, Jetis, Jambeyan, Musuk, Dawung dan Kadipiro. Perkumpulan itu mereka beri nama Forum Peduli Keadilan dan Kebenaran Sambirejo (FPKKS). Sampai saat ini, pergerakan masih berlangsung, mereka menanti janji Presiden Jokowi tentang reforma agraria. Zine, salah satu bentuk dari media alternatif dapat kita jadikan sebagai ba han untuk didedah. Jika diartikan secara konvensi umum, zine disebut sebagai me dia alternatif non profit yang diproduksi oleh perorangan atau sebuah lembaga dan diproduksi dengan cara cetak sederha na. Kebanyakan zine memang akhirnya diproduksi dengan mesin fotokopi konvensional. Penyeba rannya pun secara mandiri. Semakin kesini perkembangan zine menjadi sangat be ragam. Apalagi di tahun 1970 sudah ditemukannya mesin fotokopi menandai perubahan besar di dunia zine. Hal ter sebut membuat zine mampu digandakan secara cepat dan lebih mudah. Terlebih gerakan punk—yang lahir dari gerak an perlawanan dan pemberontakan pemuda kelas pekerja di Inggris dan Amerika—menggunakan media zine sebagai media propaganda, menjadikan zine semakin berkembang. Bagaimana sejarah singkat zine, perkembangannya, hingga cara pembuatannya coba kami ulik di rubrik Laporan Khusus. Tiga rubrik besar di atas kami rangkai dengan rubrikrubrik lainnya. Kami tampilkan sedemikian rupa. Tentu saja semuanya masih jauh dari kata sempurna. Namun demikian, itikad baik untuk mengantarkan majalah ini kepada pembaca sudah terlaksana. Selamat Membaca!x
PENERBIT: Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) EKSPRESI Universitas Negeri Yogyakarta IZIN TERBIT: SK Rektor No. 069/1992 20 April 1992 PELINDUNG: Prof. Dr. Sutrisna Wibawa, M.Pd. PENASIHAT: Dr. Sumaryanto, M.Kes. PEMBINA: Dr. Sigit Nugroho, S.Or., M.Or. PEMIMPIN UMUM: Khusnul Khitam SEKRETARIS: Hanum Tirtaningrum BENDAHARA: Meida Rahmawati PIMPINAN REDAKSI: Putra Ramadan REDAKTUR PELAKSANA MAJALAH: M.S. Fitriansyah REDAKTUR UTAMA: Fahrudin, Nisa Maulan (Nonaktif ), Umi Zuhriyah, Wachid As-shidiq (Nonaktif ) REDAKTUR DAN REPORTER: Ahmad, Andhika, Bayu, Danang, Fahrudin, Fitriansyah, Hanum, Imam, Khusnul, Putra, Rimbawana, Triyo, Vina REDAKTUR ARTISTIK: Andhika Widyawan REDAKTUR FOTO: Nazlan Syaputra (Nonaktif ) REDAKTUR PELAKSANA ONLINE: Danang Suryo REDAKTUR BAHASA: Ervina Fauzia PIMPINAN PSDM: A.S. Rimbawana LITBANG: Triyo Handoko P ERPUSTAKAAN: Imam Ghazaly DIKLAT & KADERISASI: Umi Zuhriyah DISKUSI: Wachid As-shidiq (Nonaktif ) PIMPINAN PERUSAHAAN: Bayu Hendrawati EVENT ORGANIZER: Reni Nuryyati (Nonaktif ) PRODUKSI: Heni Wulandari SIRKULASI: Indra Ristianto IKLAN: Agung Syahroni PIMPINAN JARINGAN KERJA: A hmad Wijayanto JARINGAN INTERNAL: Fahrudin JARINGAN EKSTERNAL: Yazra Mohammad NGO & GERAKAN: Singgih Norma (Nonaktif ) ALAMAT REDAKSI: Jalan Colombo No. 1 Gedung StudentCenter Lt. 2 Universitas Negeri Yogyakarta 55281 SUREL: redaksi@ekspresionline.com SITUS WEB: ekspresionline.com
4 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
EDITORIAL
Kawal Terus Kasus Korupsi E-KTP
S
atu sejarah—dalam citra negatif kembali dicatat di Indonesia. Kali ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lagi-lagi disibukan dengan kasus korupsi yang dilakukan oleh kaum elit. Tidak tanggung-tanggung, kasus yang sedang dihadapi ada lah megaproyek skandal terbesar di Indonesia. Diperkirakan se jumlah 37 anggota parlemen de ngan jabatan tinggi disebut men dapatkan suap senilai 2,3 triliun dari 5,9 triliun jumlah anggaran. Anggaran proyek yang dibagibagi secara sembunyi ini adalah proyek Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). Sebelumnya, kasus ini ra mai diperbincangkan pasca pe netapan tersangka kasus korupsi, Sugiharto, mantan Direktur Pe ngelola Informasi Administrasi Kependudukan Direktorat Jen deral Kependudukan dan Ca tatan Sipil Kementerian Dalam Negeri oleh KPK pada 22 April 2014. Menyusul nama lain, Irman, Mantan Direktur Jende ral Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri pada 30 September 2016. Keduanya kini telah divonis penjara karena melakukan penyalahgunaan kewenangan da lam proyek tersebut. Proyek e-KTP secara nasional dimulai pada tahun 2011 dan 2012. Kendati demikian, proyek e-KTP sejatinya telah dimulai sejak 2 tahun sebelumnya. Pada tahun 2009, Ke menterian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan uji coba e-KTP di enam wilayah, yakni Yogyakarta, Denpasar, Padang, Makasar, Cirebon, dan Jembrana. Namun, implementasi uji coba ini sempat menjumpai berbagai masalah. Hambatan dialami dalam hal teknis dan non teknis, seperti teknologi yang digunakan kerap bermasalah, data kependudukan yang tidak mutakhir, bahkan sempat menimbulkan dugaan korupsi. Tahun 2010 Kejaksaan Agung menetapkan empat tersang ka dalam Penyidikan Perkara Pengadaan Perangkat Keras, Perangkat Lunak, sistem dan blangko KTP pada Dirjen Ad ministrasi Kependudukan Departemen Dalam Negeri Tahun Anggaran 2009. Empat tersangka tersebut yaitu Ketua Panitia Pengadaan Barang Paket P. 11, Drs. Dwi Setyantono MM, Di rektur PT. Karsa Wira Utama, Suhardjijo, Direktur Utama PT. Inzaya Raya, Indra Wijaja, termasuk di dalamnya Irman, yang ketika itu menjabat sebagai Direktur Pendaftaran Penduduk Kemendagri. Namun, Penyidikan terhadap kasus tersebut sempat dihentikan, sebab bukti yang dirasa tidak cukup. Dari pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), program e-KTP memang telah bermasalah sedari awal. Ke hadirannya seakan mengabaikan program yang sebelumnya telah dijalankan sejak tahun 2003-2008, yaitu Sistem Infor masi Administrasi Kependudukan (SIAK).
Kendati demikian, proyek e-KTP tetap saja diberjalan. Masalah yang timbul tidak menjadi bahan pertimbangan yang matang hingga akhirnya tetap diadakannya e-KTP berskala nasional. Kritik yang muncul pun seakan diabaikan. Tid ak samp ai dis it u, dua tahun belakangan terkuak satu per satu tokoh yang terlibat. Yang paling membuat masyarakat In donesia terbelalak adalah muncul nama orang nomor satu di De wan Perwakilan Rakyat (DPR), Setya Novanto seb ag ai orang yang diduga ikut mengatur agar anggaran proyek e-KTP disetujui oleh anggota DPR. Novanto juga diduga mengondisikan pemenang lelang dalam proyek e-KTP ke pada pengusaha Andi Narogong. Pada Juli 2017 Novanto ditetap kan sebagai tersangka. Novanto bahk an ter angter anga n men yat ak an per ang denga n KPK. Ia menga juk an andhika | EKSPRESI prap er ad il an ke Penga dila n Negeri Jakarta Selatan dua bulan setelahnya. Hakim Cepi Iskandar menerima sebagian gugatan praperadilan yang di ajukan Novanto. Dalam putusannya, penetapan tersangka Novanto oleh KPK dianggap tidak sah. Menurut Cepi, pene tapan Novanto sebagai tersangka dilakukan diawal penyi dikan, seharusnya penetapan itu dilakukan di akhir tahap penyidikan suatu perkara. Cepi bahkan menganjurkan KPK harus menghentikan penyidikan terhadap Novanto. Hal tersebut tentu dirasa janggal. Ketika menilik UU No 30/2002 tentang KPK, sudah diatur secara khusus, misalnya ketika dalam proses penyelidikan, KPK sudah bisa mengum pulkan minimal dua alat bukti, maka bisa ditingkatkan ke penyidikan. Itu artinya, KPK bisa menetapkan siapa yang menjadi tersangka dalam sebuah kasus tindak pidana ko rupsi. Walaupun Novanto sempat lolos dari jeratan hukum, ia kembali ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 10 November 2017. Kasus ini adalah bukti bahwa sistem politik di Indonesia gagal menghasilkan elit politik yang bersih. Korupsi berjamaah dimana-mana, menjadi bukti betapa bobroknya mental para pejabat yang berkuasa atas nama rakyat. Dalam kondisi ini, etiskah rakyat masih mempercayai segala hal yang dilakukan oleh wakilnya di parlemen? Dengan kata lain, apakah proyekproyek usulan dari kaum elit ini murni untuk rakyat—yang diwakilinya? Sedang dalam kenyataannya, mereka justru menunjukkan “pengabdian untuk negeri dengan terjun ke politik” adalah sudah mati. Bolehlah rasanya mengutip katakata Gus Dur sebagai antisipasi dan teguran bagi Indonesia: “Negeri ini tidak akan hancur karena bencana atau berbeda. Indonesia akan hancur karena moral bejat dan perilaku ko rupsi.”x Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 5
SURAT PEMBACA
Yang berbahaya dan layak ditolak adalah rasisme yang dilembagakan menjadi kebijakan publik atau hukum. Ariel Heryanto Profesor di Monash University
Sampah Visual Penuhi Yogyakarta Sampah visual semakin mengkhawa tirkan. Tengok saja hampir seluruh su dut kota penuh dengan papan reklame iklan komersial, spanduk pejabat daerah, dan baliho. Sampah visual tersebut me mang digunakan untuk menarik konsu men agar membeli produknya. Namun, bagi orang yang ingin menikmati kota dan ruang publik, sampah visual cukup mengganggu. Sekadar contoh, saat masuk ke Kota Yogyakarta, hamparan pertama adalah tumpukan papan reklame. Ruang iklan dibuat tinggi menjulang seakan-akan mengukuhkan bahwa produk yang di iklankan di tempat itu menjadi layak beli dan diminati oleh masyarakat. Maka tak heran jika ada istilah “Jogja berhenti nya man”, karena ruang publik sebagai ruang ekspresi menjadi ruang kapitalis untuk menjajakan produk. Ket id akn yam ana n rua ng pub lik Yogyakarta juga tergambar dalam ruang visual yang melanggar aturan. Peraturan Daerah Kota Yogyakarta Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Reklame Pasal 9 ayat (3) huruf b menyebutkan bahwa reklame produk rokok dilarang diletakkan di jalan utama atau protokol. Akan tetapi, kita dengan mudah melihat iklan rokok membentang luas seperti di pertigaan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Iklan rokok yang berada di jalan Laksda Adisutjipto itu jelas melanggar aturan tentang penye lenggaraan reklame. Namun, pemerintah dan aparat berwenang tampaknya diam dalam menegakkan peraturan itu. Pemerintah daerah seakan kalah
6 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
dengan kuasa uang dan modal. Modal yang besar dari pemasang iklan komer sial telah menggoyahkan “keimanan” untuk menegakkan aturan dan estetika tata kota. Ruang publik sebagai milik bersama menjadi milik “tunggal” orang- orang yang mempunyai kuasa modal. Dalam proses menyuarakan kesadar an kritis, sampah visual perlu dibatasi. Ruang publik perlu dikembalikan pada fungsi sebagai ruang dinamis warga un tuk melakukan perjumpaan ide. Begitu kata Habermas dalam mendeskripsikan pentingnya ruang publik dalam proses mas yar ak at berp er ad aba n (bonn um commune). Ruang yang selama ini tergusur oleh sampah visual perlu penataan. Pemerin tah daerah Yogyakarta perlu membuat regulasi dan penegakkan aturan agar tak semua ruang publik dipakai untuk “ber iklan”. Pinggir jalan utama, misalnya, perlu mendapat perhatian. Pasalnya, saat pinggir jalan utama penuh dengan sampah visual, wajah kota yang anggun dan humanis akan sirna. Wajah kota se bagai titik simpul manusia berbudi dan berbudaya akan berubah menjadi per himpunan manusia tanpa arah, karena tak memiliki kesadaran kritis. Selain pemerintah daerah, peng usaha papan reklame dan iklan perlu menahan diri dari “kejahatan” bisnis. Pengusaha perlu mewujudkan cita bisnis yang menghargai kepentingan orang la in. Namun, bisnis itu perlu memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk me nikmati wilayahnya. Masyarakat berhak atas “napas” dan “rupa” kota yang asri dengan tanaman, pemandangan yang indah, dan ekspresi kegembiraan war ga. Bukan hanya disuguhi wajah cantik dalam memasarkan produk.
Komunitas beradab perlu terbangun dari sebuah kesadaran bahwa ruang pub lik menjadi milik bersama. Sampah visual yang kini telah memenuhi ruang publik perlu dibersihkan agar bumi tetap lestari. Mari bersikap dan melakukan tindakan untuk menyelamatkan bumi Yogyakarta dari sampah visual. Benni Setiawan Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta
Asian Para Games 2018 Termarginalkan Komitmen pemerintah Indonesia da lam melayani hak-hak difabel kembali diragukan. Kali ini ditunjukkan dengan ketidaksiapan pemerintah menjadi tuan rumah Asian Para Games 2018. Salah satu persoala n vit al yang munc ul ke permukaan adalah aksesibilitas infra struktur bangunan. Hal itu menunjuk kan bahwa pembanguna n selama ini masih memarginalkan kaum difabel. Pernyataan kesiapan yang sudah diluncurkan Kementerian Pemuda dan Olahraga nyatanya omong kosong belaka. Masih ditemukan hal-hal seperti ukuran elevator di wisma atlet tidak aksesibi litas untuk pengguna kursi roda, tidak adanya guiding block untuk tuna netra, belum dibangunnya rambatan ram, juga penyediaan 500-600 bus sebagai sarana transportasi yang hanya mampu memuat dua pengguna kursi roda. Bagi para atlet, Asian Para Games merupakan ajang pengembangan potensi bagi penyandang difabel. Bukan hanya untuk unjuk diri, tetapi secara tidak lang sung juga merupakan sebentuk upaya mengonstruksikan pemahaman yang selama ini keliru tentang disabilitas. Namun, berbagai ruang dan peluang tersebut terancam, sebab pembangunan sarana dan prasarana yang masih men diskriminasi kaum difabel. Sebetulnya, konteks pelayanan olah raga sebagai bagian dari hak difabel di Indonesia sudah ditegaskan dalam UU Nomor 8 tahun 2018 tentang Penyan dang Disabilitas, yaitu pada pasal 83 ayat (1). Di dalamnya disebutkan bah wa pemerintah dan pemerintah daerah wajib mengembangkan sistem keolahra gaan untuk penyandang disabilitas yang meliputi: keolahragaan pendidikan, ke olahragaan rekreasi, dan keolahragaan prestasi. Adapun kebijakan yang lebih
SURAT PEMBACA
mengerucut lagi tertera pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 30/ PRT/M/2006 tentang pedoman teknis fasilitas dan aksesibilitas pada bangunan gedung dan lingkungan. Dua kebijakan tersebut merupakan adaptasi dari Convention on The Right Persons with Disabilities (CRPD). Di dalamnya ditegaskan, semua kebijakan dan peraturan nasional serta programprogram dalam pembangunan nasional harus mengacu pada prinsip-prinsip, sa lah satunya aksesibilitas. Dengan begitu, semestinya pemerintah sudah melakukan banyak perubahan dalam segala bentuk pelayanan keolahragaan yang dapat di akses oleh difabel. Persoalan aksesibilitas pembangun an Asian Para Games adalah bagian ke cil dari setumpuk persoalan yang sarat adanya marginalisasi terhadap kelompok rentan. Dari fenomena ini, setidaknya ada dua catatan yang sering luput dan salah kaprah dari pemerintah dalam mengimplementasikan pembangunan yang inklusif. Pertama, ditegaskan dalam CRPD, pembangunan di Indonesia belum secara maksimal menerapkan pembangunan inklusif di segala sektor, salah satunya pada sektor olahraga. Pertimbangan tersebut menjadi tuntutan untuk me nerapkan sejumlah sarana dan prasarana yang sebelumnya harus dipahami oleh pemerintah khususnya tim pembangun an di Asian Para Games. Kedua, pentingnya rasionable ac cessibility di dalam proses menuju pem bangunan inklusif. Terkadang pemba ngunan inklusif ataupun desain universal sebatas dipahami sebagai penyediaan bangunan-bangunan yang merujuk pada standardisasi belaka. Rasionable acces sibility merupakan upaya penyesuaian sebuah konsep pembangunan agar sesu ai dengan spesifikasi kebutuhan difabel yang berbeda-beda. Poin ini sering terlepas dari seorang arsitek bangunan. Misalnya ketika mem buat sebuah rambatan ram untuk peng guna kursi roda, atau ketika menentukan tinggi rendahnya sebuah toilet. Sehingga perlu adanya partisipasi langsung dari difabel di dalam tim pembangunan Asian Para Games untuk mengidentifikasi apa saja yang dibutuhkan. Robandi Kontributor Solider.or.id.
Peraturan Pertanahan yang Rasialis Menarik untuk membicarakan dis kriminasi rasial pertanahan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Sebab seta hu saya, DIY ialah satu-satunya provinsi yang peraturan pertanahannya berten tangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Meski Instruksi Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 telah dikecam oleh banyak pihak, bahkan oleh Komnas HAM, pada kenyataannya peraturan tersebut masih dipertahankan. Sebenarnya sangat aneh jika per aturan bertendensi diskriminatif ter hadap warga negara Indonesia beretnik Tionghoa bisa terjadi di Yogyakarta. Sebab, lah irnya keraton Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari sejarah per sekutuan Pangeran Mangkubumi de ngan laskar Tionghoa dalam melawan pemerintah kolonial Belanda. Lagi pula, Yogyakarta pernah memiliki bupati ber etnik Tionghoa, yaitu Tan Jin Sing yang bergelar Kanjeng Raden Tumenggung Secadiningrat. Boleh dibilang, sejak lahir keraton Yogyakarta sudah memiliki hubungan mesra dengan etnik Tionghoa. Terdapat dua isu pokok dalam per aturan pertanahan DIY. Pertama, isu penguasaan atas tanah. Kebijakan ini didasarkan pada hak keistimewaan DIY. Namun, keistimewaan atas penguasa an tanah di DIY telah dibatalkan oleh Peraturan Daerah (Perda) DIY Nomor 3 Tahun 1984. Perda ini menyebutkan bahwa sejak bergabung dengan Republik Indonesia, segala peraturan pertanahan DIY akan mengacu pada UUPA. Isu kedua yaitu mengenai label non pribumi. Pemerintah Indonesia telah me ngeluarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. Dalam UU itu disebutkan bahwa tidak ada lagi pemisahan warga negara seba gai pribumi dan nonpribumi. Melihat fakta hukum di atas semestinya pera turan pertanahan yang diterbitkan pada 1975 tersebut gugur dengan sendirinya. Saya setuju dengan apa yang disam paikan oleh Geger Riyanto di majalah EKSPRESI 2016, bahwa negara seha rusnya melindungi hak-hak warganya. “Pemerintah DIY yang risau warganya kehilangan hak mereka atas lahan, seyo gianya pun paham bahwa yang mengan cam para warga bukanlah komunitas
etnik tertentu,” tulis Geger di halaman 29. Pendapat Geger ini sangat tepat sebab permasalahan utamanya bukanlah etnik, tetapi lebih pada modal dan kebijakan Pemerintah DIY tentang pengelolaan investasi. Terlebih, modal tidak hanya dimiliki oleh etnik Tionghoa. Para pemilik modal bisa berasal dari etnik mana saja. Ada orang Aceh yang kaya. Bisa pula orang Melayu, Batak, Karo, Minang, Bali, Sasak, Flores, Ku pang, Sumba, Maluku, atau Papua yang menjadi pemodal. Mereka bisa menjadi pemodal yang baik dan memberi ruang kepada warga Yogyakarta untuk ikut berkembang. Namun, mereka bisa juga menjadi pengusaha rakus seperti yang selama ini dituduhkan kepada pengusaha beretnik Tionghoa. Patut digarisbawahi, tidak semua warga Tionghoa adalah orang kaya. Ter masuk warga Tionghoa di Yogyakarta. Dengan peraturan bernuansa SARA ter sebut, warga Tionghoa di Yogyakarta te lah dilanggar haknya. Peraturan yang keluar pada tahun 1975 tersebut sesungguhnya tidak efek tif untuk melindungi warga Yogyakarta dari kehilangan akses atas tanah. Sebab, pemanfaatan tanah dengan status hak milik atau hak guna usaha yang diatur di Yogyakarta, hampir tidak ada bedanya. Pemerintah DIY memang dapat meng ambil alih tanah berstatus hak guna usaha dengan lebih mudah. Namun, tetap saja pemerintah DIY tidak bisa semena-mena menghentikan hak guna usaha tersebut. Jadi, nuansa utama dari peraturan ini lebih pada sikap rasialis Pemerintah DIY. Sudah selayaknya peraturan yang tidak bijak ini dicabut. Peraturan ini ter bukti tidak sesuai dengan UUPA dan UU Kewarganegaraan. Selain itu, kebijakan ini juga tidak efektif untuk mencapai tu juan melindungi warga DIY. Kebijakan ini justru menimbulkan permasalahan karena telah membedakan perlakuan ter hadap sebagian warga negara di mata hukum. Handoko Widagdo Penulis buku Anak Cino
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 7
ANALISIS
UTAMA
Skizofrenia: Perjuangan Melawan Stigma
Melawan stigma melalui pemberian edukasi kepada masyarakat merupakan kunci untuk mengatasi permasalahan kesehatan jiwa. Oleh Umi Zuhriyah
8 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
Adapun yang lebih populer sekarang ini ialah gejala positif dan negatif. Pada laporan yang diterbitkan oleh Human Right Watch dengan judul Hidup di Neraka (2016), penderita skizofrenia disebut dengan disabilitas psikososial. Istilah tersebut sering dirujuk untuk menggambarkan orang dengan masa lah kesehatan jiwa seperti depresi, bi polar disorder, katatonia, dan termasuk skizofrenia. Pada umumnya, orang dengan dis abilitas psikososial sering digambarkan dengan terlantar, kotor, dan tidak te rawat. Jadi teringat lirik lagu milik Ba kangkutaman dengan judul "Lelaki dan Hidupnya". Lagu yang terinspirasi dari penyandang disabilitas psikososial ter sebut menceritakan tentang gelandang an psikotik yang seringkali berjalan tak tentu arah. Ke mana ia berjalan hanya ia dan Tuhan yang tahu. Tak tahu kapan ia ma kan, tak tahu kapan ia tidur. Seakanakan ia punya kehidupan sendiri yang orang lain tak akan pernah tahu. Apa yang ada dibenaknya pun tak ada yang tahu. Penyandang disabilitas psikososial menyimpan sejuta cerita yang tidak akan pernah ada yang tahu.
Kesenjangan pada Kesehatan Jiwa
m
ad
|E
KS
PR
ES
I
Berb ic ar a men gen ai kes eh ata n jiwa bisa dikatakan bahwa pandangan masyarakat Indonesia mengenai kese hatan jiwa dan fisik masih mengalami kesenjangan. Secara analogi, saat seseo rang mengalami pilek, ia akan langsung mengobati dirinya. Setidaknya mengis tirahatkan tubuhnya. Lain apabila seseorang mengala mi depresi. Seseorang belum tentu tahu harus berbu at apa. Parahnya lagi, dirinya tidak Ah
P
ada 1797, terdokumentasikan kas us skiz of ren ia par an oi d yang dialami oleh James Tilly Matthews. Pedagang teh asal London tersebut dikirim ke Bethlem Psy chiatric Hospital untuk mendapatkan perawatan. Bisa dikatakan kasus tersebut merupakan kasus tertua yang terdoku mentasikan.Pada 1809, Philippe Pinel, psikiater asal Prancis menulis deskripsi atas sebuah penyakit kejiwaan. Tulisan yang disusunnya kini menjadi literatur awal keberadaan penyakit skizofrenia. Sebenarnya memang rumit menyu sun sejarah skizofrenia secara runut. Pada mulanya, Emil Kraepelin (1856- 1926), menyebut dengan istilah dementia praecox. Istilah tersebut berarti kemun duran fungsi intelektual (dementia) di usia dini (praecox) dengan ditandai de ngan daya pikir yang makin lama makin memburuk disertai gejala berupa delusi, waham, dan halusinasi. Barulah pada tahun 1908, Eugen Bleuler, psikiater asal Swiss, menggan ti istilah dementia praecox menjadi skizofrenia. Pemilihan istilah tersebut, menunjukkan adanya perpecahan antara pikiran, emosi, dan tingkah laku dengan gangguan pada penderita. Pada istilah yang dicetuskan oleh Bleuler pun tidak dibatasi pada usia dini saja. Bleluler mend eskripsikan gejala primer dan sekunder pada penderita skizofrenia. Ada empat hal yang bisa diamati pada gejala primer. Pertama, asosiasi yang longgar, maksudnya pende rita berbicara melantur. Kedua, autisme yaitu gejala yang menunjukkan kesulit an berinteraksi dan komunikasi. Ketiga, afek yang terganggu. Keempat, ambiva lensi, dimana menunjukkan perasaan yang berlawanan. Sedangkan halusinasi, waham, penarikan sosial, dan gerakan yang berkurang disebut gejala sekunder.
menyadari apabila mengalami depresi. Memang seringkali penyandang disabi litas psikososial membutuhkan orang lain untuk sembuh. Singkatnya, edukasi mengenai ke sehatan jiwa masih sangatlah kurang. Kurangnya edukasi juga berdampak pada maraknya stigma terhadap penyandang disabilitas psikososial. Hal tersebut sena da dengan yang diungkapkan oleh Bagus Utomo dari Komunitas Peduli Skizofre nia Indonesia (KPSI). Menurutnya pemahaman masyara kat, khususnya mengenai skizofrenia ma sih banyak yang salah. Bagus pun tidak menampik bahwa stigma pada masalah disabilitas psikososial yang paling berat terjadi pada skizofrenia. Oleh karenanya, KPSI tergerak untuk terus memberikan edukasi dan sosialisasi pada masyarakat. Perkara edukasi yang kurang meng akibatkan penyandang disabilitas psiko sosial masih dikaitkan dengan hal-hal mistik, seperti kerasukan jin. Penyan dang disabilitas psikososial pun kerap dianggap sebagai aib. Hal tersebut berpengaruh pada cara pengobatan yang ditempuh oleh keluar ga terhadap anggota keluarganya yang misalnya penyandang skizofrenia. Pen derita skizofrenia bukannya mendapat kan peng
Skizofrenia: Perjuangan Melawan Stigma
obatan secara medis, malah dibawa ke pengobatan nonmedis, paranormal atau pemuka agama. Parahnya lagi masih terjadi pemasungan pada penyandang disabilitas psikososial. Ditambah lagi penyebutan yang me rendahkan seperti orang gila, gelo, mau pun sinting masih menjadi suatu hal yang wajar kalangan masyarakat. Hal tersebut makin memperparah keadaan penyan dang disabilitas psikososial. Adanya Kon veksi Hak-Hak Penyandang Disabilitas pun tak dapat membantu penyandang disabilitas psikososial. Bahkan perlakuan diskriminatif kerap diterima penyandang disabilitas psikososial. Penyandang dis abilitas psikososial dianggap sudah tidak memiliki hak hidup.
Melawan Stigma
Padahal jika diurai penyebab kese hatan jiwa sangatlah kompleks. Bahkan perkara sakit hati bisa menjadi salah satu penyebabnya. Masih hangat diingatan kasus bunuh diri seorang pria asal Jakar ta Selatan yang disiarkan melalui media sosial pribadinya pada 17 Maret 2017. Diduga pria tersebut mengalami depresi karena sakit hati setelah ditinggalkan isterinya yang telah dinikahi selama 13 tahun. Tentu kasus tersebut tak dapat me wakili permasalahan kesehatan jiwa secara menyeluruh. Setiap orang yang mengalami permasalahan kesehatan jiwa memiliki sebab yang berbeda-beda. Pe nyebabnya pun kompleks. Namun, perlu digarisbawahi bahwa depresi dapat me micu gangguan jiwa berat skizofrenia. Pada teori kerentanan stres (stress vulnerability theory), seseorang men derita gangguan jiwa karena adanya ke rentanan dalam dirinya dan adanya stres (tekanan jiwa). Artinya, masalah kesehat an jiwa bisa menyerang siapapun dengan sebab yang kompleks. Bisa disebabkan perkara sosial, ekonomi maupun politik. Pun bisa menyerang laki-laki maupun perempuan. Entah muda maupun tua. Hasil salah satu survei yang dila kukan oleh Litbang LPM Ekspresi me nunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi dapat mempengaruhi kesehatan jiwa. Fakt anya ialah Yogya yang menjad i provinsi dengan ketimpangan ekonomi tertinggi di Indonesia pada tahun 2017― Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta menunjukkan indeks rasio gini sebesar 0,425―memiliki prevalensi gangguan
jiwa berat (psikosis/skizofrenia) yang tinggi juga. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, Yogya memiliki skor prevalensi 2,7 per mil. Jumlah terse but setara dengan Aceh yang merupakan bekas daerah konflik. Di sisi lain, Jogja merupakan dae rah dengan fasilitas yang terbilang cu kup memadai. “Kalau berbicara fasili tas di Jogja ini sudah cukup,” jelas dr Gregorius Anung Trihadi, MPH selaku Kepala Seksi Kesehatan Rujukan dan Ke sehatan Khusus Bidang Pelayanan Ke sehatan Dinas Kesehatan Yogyakarta, Selasa (12/9). Saat ditemui di kantornya, ia mengatakan bahwa orang dengan dis abilitas psikososial—khususnya orang dengan skizofrenia—butuh dijangkau secara langsung. Penjangkauan terse but perlu kerjasama dengan masyarakat. Beralih pada skala nasional, data Riskesdas 2013 menunjukkan penderita gangguan jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai 1,7 per 1000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Sedangkan pre valensi gangguan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi dan kecemasan meca pai 6% untuk usia 15 tahun ke atas atau sekitar 14 juta orang. Terbukti bahwa tidak sedikit penduduk Indonesia yang menga lami permasalahan ke sehatan jiwa. Di Indonesia, sebe narnya permasalahan kesehatan jiwa sudah dijamin pada Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2014. Misal nya, pada salah satu pasal 3, disebutkan bahwa upaya kese hatan jiwa betujuan untuk memberikan pe layanan kesehatan jiwa secara terintergrasi, kom prehensif, dan berkesinam bungan melalui upaya promo tif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Akan tet ap i kenyataan di
lapangan lain. Upaya promotif tidak ter laksana dengan baik. Nyatanya perkara stigma masih menjadi akar permasalahan pada penyadangan disabilitas psikoso sial. Salah satu peneliti yang fokus pada isu stigma, Patrick Corrigan, mengatakan bahwa stigma pada dasarnya menimbul kan masalah karena menghalangi cara pengobatan yang tepat. Adanya stigma dan diskriminasi yang terjadi pun meng akibatkan risiko bunuh diri yang cukup besar pada penyandang disabilitas psi kososial. Kami dari LPM Ekspresi mencoba mengurai beberapa perkara yang begi tu kompleks pada isu kesehatan jiwa. Namun, tulisan ini masih belum dapat membantu penyelesaian isu kesehatan jiwa secara keseluruhan. Saya akui, keku rangan masih ada di sana-sini. Setidak nya kami mencoba lebih dekat dengan isu kesehatan jiwa semata untuk mengu rangi stigma yang mungkin masih ada pada otak kami. Mari membantu para disabilitas psikososial dengan menyu dahi stigma ini.x
andhika | EKSPRESI
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 9
ANALISIS
UTAMA
Timpangnya Layanan Kesehatan Jiwa
Fitriansyah | EKSPRESI
Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grahasia, salah satu penyedia layanan kesehatan jiwa di Yogyakarta, Sabtu (16/12).
Pemerintah hingga saat ini belum bisa mewujudkan layanan kesehatan jiwa yang merata bagi sebagian penduduknya.
Oleh M.S. Fitriansyah
D
ata Kementerian Kesehatan tahun 2013 men unj uk an hampir sembilan puluh per sen penduduk Indonesia ke sulitan mengakses layanan kesehatan jiwa. Pemerintah hanya menyediakan 1,5 persen dari dana APBN untuk kesehatan jiwa. Padahal, menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 yang dila kukan Kementerian Kesehatan, dinyata kan bahwa 19 juta penduduk Indonesia mengalami disabilitas psikososial. PBB melalui Organisasi Kesehatan Dunia mencanangkan minimal lima persen alokasi dana untuk kesehatan jiwa dari dana kesehatan nasional. Selama ini, pemerintah Indonesia kurang memperhatikan isu kesehatan jiwa. Imbasnya, terjadi ketimpangan dalam memberikan pelayanan keseha tan jiwa. Hal tersebut diperkuat dengan laporan yang diterbitkan Human Right Watch berjudul Hidup di Neraka: Keke rasan terhadap Penyandang Disabilitas Psikososial di Indonesia. Laporan terse but mengungkapkan, Indonesia hanya memiliki 48 rumah sakit jiwa di 26 pro
10 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
vinsi dan lebih dari separuhnya berlokasi hanya di empat provinsi. Bahkan tujuh provinsi tidak memiliki rumah sakit jiwa. Padahal dalam Undang-Undang Keseha tan Jiwa Nomor 18 Tahun 2014 pasal 52 (b) tentang Fasilitas Layanan Kesehatan, pemerintah daerah wajib mendirikan minimal satu rumah sakit jiwa. Ketidaktersediaan rumah sakit jiwa di tujuh provinsi dibenarkan oleh Dr. Eka Viora, Direktur Mutu dan Akreditasi Pelayanan Kesehatan sekaligus Ketua Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa Indonesia, saat ditemui di ruangannya, Selasa (20/6). ”Jadi masih ada tujuh provinsi yang be lum memiliki rumah sakit jiwa, seperti Kepulauan Riau, Banten, Kalimantan Utara, Maluku Utara, Sulawesi Barat, Gorontalo, dan Papua Barat,” ungkapnya. “Tergantung pemerintah daerah nya nanti. Kalau pemdanya tidak pu nya uang, ya, tidak bisa bangun rumah sakit jiwa,” tutur perempuan yang juga pernah menjabat sebagai Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan tersebut. Eka melanjutkan bahwa semua
dana pembangunan infrastruktur seperti rumah sakit jiwa berasal dari daerah, ti dak ada dari pusat. “Semua tergantung proaktif daerah,” ungkapnya. Idealnya, di setiap provinsi harus memiliki satu rumah sakit jiwa. Na mun, hal ini menjadi pekerjaan rumah bersama karena tidak semua provinsi memiliki tingkat kesejahteraan yang sa ma. Pernyataan tersebut diungkapkan Putra Wiramuda, Peneliti Psikologi Klinis Universitas Gadjah Mada (UGM), saat ditemui di Gedung D Fakultas Psikologi UGM, Rabu (18/10). Menurut Putra, per hatian pemerintah terkait isu kesehatan jiwa sudah mulai ada, tetapi memang belum maksimal. “Seharusnya itu ditingkatkan, tapi ini memang pekerjaan rumah bersama karena, ya, enggak cuma pemerintah, masyarakat pun masih menganggap bahwa yang terpenting adalah keseha tan fisik bukan kesehatan jiwa.” Padahal dua hal tersebut, lanjutnya, sama pent ing dan bahkan sebagian besar masalah kesehatan fisik sebenarnya juga berasal dari kesehatan jiwa.
Skizofrenia: Perjuangan Melawan Stigma
RE
SI
Dr. Eka Viora, mengatakan secara rasio jumlah psikiatri untuk total penduduk i Indonesia dirasa masih sedikit, Selasa (20/06).
SP
Berdasarkan Riskesdas 2013, Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi salah satu provinsi dengan gangguan jiwa berat ter tinggi di Indonesia. Prevalensi gangguan jiwa Yogya sama dengan Aceh, yaitu 2,7 per mil. Kemudian Riskesdas DIY 2013 sendiri mencatat kabupaten dengan pro porsi penduduk pengidap gangguan jiwa berat yakni, Sleman (1,52), Gunung Kidul (2,05), Kota Yogyakarta (2,14), Bantul (4), dan Kulon Progo (4,67). Anung Trihadi, Kepala Seksi Ke sehatan Rujukan dan Kesehatan Khu sus Dinas Kesehatan (Dinkes) Daerah Istimewa Yogyakarta, menyangkal bah wa tingginya penderita gangguan jiwa di Yogya disebabkan oleh minimnya fasi litas. “Kita mempunyai cukup banyak rumah sakit yang ada dokter jiwanya,” kata Anung, Selasa (12/9). Anung me nambahkan, beberapa fasilitas rumah sakit swasta Yogya juga memiliki dokter jiwa. Selain itu, sebanyak 121 puskesmas di Yogya juga memberikan penangan an untuk kasus-kasus gangguan jiwa ringan atau gangguan jiwa yang sudah terkendali.
| EK
Yogya tertinggi
Yogya memiliki kurang lebih 30 psi kiater, 109 rumah sakit, dan tiga rumah sakit layanan inap untuk orang dengan skizofrenia, Anung menilai Dinkes DIY bisa menanganinya. Namun, Anung menganggap Yogya sering mendapat ki riman pasien dari luar daerah menjadi salah satu faktor tingginya angka pen derita gangguan jiwa di Yogya. ”Karena Yogya itu pusat rujukan,” ungkapnya. Menanggapi Yogya sebagai salah sa tu provinsi dengan penderita gangguan jiwa berat tertinggi di Indonesia, Puspa berpendapat bahwa kesadaran keseha tan jiwa masyarakat Yogya cukup tinggi. Itu didukung dengan tenaga profesional di puskesmas sehingga angka yang di dapatkan lebih tinggi dibanding daerah lain. “Sementara di daerah-daerah lain deteksinya belum maksimal, sehingga belum semua orang terdeteksi,” katanya. Pernyataan sama juga diungkapkan Putra, “Sebetulnya itu ironis, sih, tapi bi sa jadi karena di Yogya sering diadakan penelitian, survei dan perhitungan sta tistiknya baik, sehingga angka penderita gangguan jiwa di Yogya tinggi.” Lebih lanjut Putra mengumpamakan perma salahan kesehatan jiwa itu bak gunung es, bahwa yang terlihat di permukaan laut hanya sedikit. Sementara permasa lahan yang lebih besar berada di bagi an bawah gunung es tersebut. “Bisa jadi yang muncul dari data-data Riskesdas 2013 hanya data-data permukaan saja,” ungkap mahasiswa magister Fakultas Psikologi UGM tersebut.x
yah
Indonesia yang tersebar di berbagai pu lau, akan sangat sulit untuk meratakan distribusi tenaga kesehatan jiwa. Putra menganggap bahwa distribusi psikolog klinis yang tidak merata dise babkan oleh beberapa hal seperti mencari pekerjaan di kota-kota besar jauh lebih mudah dan terjamin. Menurutnya lagi, faktor lain ketimpangan distribusi psiko log klinis dikarenakan fakultas-fakultas psikologi masih terpusat di kota-kota besar. Untuk memperkecil masalah keter sediaan tenaga kesehatan jiwa, peme rintah sendiri telah berupaya memberi kan beasiswa. Eka menuturkan bahwa pemerintah mempunyai anggaran bagi mereka yang berminat menjadi tenaga kesehatan. “Kita punya namanya bea siswa Tubel (tugas belajar, red.) untuk menjadi spesialis, malah untuk menjadi subspesialis pun tersedia dananya,” kata Eka. Kendati demikian, menurutnya, pe minat beasiswa tersebut tidak banyak. “Banyak orang yang tidak mau jadi pski ater. Barangkali malu karena stigma dan juga gajinya tidak banyak. Beda kalau dia menjadi dokter kebidanan, dokter jan tung, kan, duitnya banyak,” ungkapnya.
rians
Menurut Eka, saat ini Indonesia memiliki sembilan ratus psikiater. Na mun, Eka menilai, secara rasio jumlah psikiater sekarang untuk total popula si penduduk Indonesia yang mencapai lebih dari 250 juta dirasa masih sedi kit. Jumlah psikolog klinis dan perawat jiwa juga masih kurang. Hingga saat ini Indonesia memiliki 451 psikolog klinis (0,15 per 100.000 penduduk) dan 6.500 perawat jiwa (2 per 100.000 penduduk). Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia menetapkan setidaknya standar jumlah tenaga medis 1:30 ribu per orang, atau 0,03 per 100.000 penduduk. Permasalahan kesehatan jiwa di Indonesia cukup kompleks. Hal terse but diungkap oleh Nabila Puspakesuma, Asisten Peneliti Center for Public Mental Health, Senin (2/10). Puspa menilai, te naga kesehatan Indonesia masih kurang. Jumlah pskiater, psikolog, dan perawat kesehatan jiwa memang terpenuhi. Jum lah yang tidak imbang tersebut, lanjut nya, membuat ada jarak yang besar an tara warga yang membutuhkan layanan dan yang mendapatkan layanan keseha tan jiwa. “Di negara-negara berkembang seperti Indonesia, treatment get-nya itu bisa 90 persen. Jadi hanya 10 persenan lah yang istilahnya bisa mengakses dan mendapatkan layanan kesehatan jiwa,” ungkap Puspa. Puspa juga menambahkan faktor lainnya, “Indonesia sangat luas secara geografis, sehingga penyebaran tenaga-tenaga ahli masih belum merata. Sebagian besar masih terkonsentrasi di pulau Jawa. Sementara di daerah-daerah yang jauh belum tersentuh.” Eka mem and ang bahw a perm a salahan yang memprihatinkan adalah distribusi psikiater. “Distribusi psikiater di Indonesia 64 persen di pulau Jawa. Sisanya 36 persen di luar pulau Jawa se perti di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua,” terang Eka. Ia melanjutkan, sebanyak 30 persen psikiater berdomisili di Jakarta. Jadi, psikiat er yang tinggal di Jakarta dan di luar Jawa jumlahnya hampir sama. Distribusi psikiater yang tidak me rata, menurut Eka, kembali pada pili han psikiater tersebut. “Sebenarnya itu hak mereka untuk tinggal, pemerintah juga tidak bisa memaksa untuk mereka pindah-pindah,” terangnya. Eka berang gapan bahwa dengan jumlah tenaga ke sehatan jiwa yang minim dan demografi
fit
Tenaga kesehatan jiwa belum rata
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 11
ANALISIS
UTAMA
Kegagalan Program Indonesia Bebas Pasung Program Indonesia Bebas Pasung kembali diperbarui hingga 2019. Namun, tidak ada perubahan signifikan pada sistemnya. Oleh Bayu Hendrawati
D
i Indonesia, pem er int ah resm i mel ar ang tind ak an pemasungan melalui Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15, tertanggal 11 November 1977 yang ditujukan kepada Gubernur Kepala Daerah Tingkat I seluruh Indone sia yang berisi imbauan kepada masyara kat untuk tidak melakukan pemasungan terhadap penderita gangguan jiwa dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menyerahkan perawatan penderita di Rumah Sakit Jiwa. Lebih dari itu, surat imbauan tersebut berisi instruksi untuk para Camat dan Kepala Desa agar secara aktif mengambil prakarsa dan langkahlangkah dalam penanggulangan pasien yang ada di daerah mereka. Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 G ayat (2) bahwa setiap orang berhak untuk bebas dari penyik saan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. Salah satu bentuk dari penyiksaan maupun perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat manusia, yaitu pe masungan. Menurut Human Rights Watch, seca ra definitif, pasung merupakan satu ben tuk pengekangan yang secara tradisional dipakai di Indonesia tanpa akses pada perawatan kesehatan jiwa dan layanan pendukung lain untuk membatasi orang yang dianggap atau mengalami disabi litas psikososial di dalam atau di luar rumah. Bentuk pemasungan atau pem belengguan biasanya berupa mengikat pergelangan kaki atau tangan dengan rantai maupun palang kayu atau peng urungan. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2013, sebanyak 14% rumah tang ga dengan anggota keluarga mengalami gangguan jiwa berat melakukan tindakan pasung dan 18 dari 14% tersebut terjadi di pedesaan.
12 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) menampakkan dua jenis gejala yang ber beda yakni gejala positif dan gejala nega tif. Tyas, Psikolog sekaligus Staf Bidang Kesehatan Jiwa Masyarakat mengatakan bahwa gejala negatif ditunjukkan me lalui sikap diam, tidak memperhatikan kebersihan tubuh, serta menarik diri dari pergaulan. Sedangkan untuk geja la positif ditunjukkan dengan perilaku mengamuk serta kecenderungan untuk merusak. Oleh sebab itu, ODGJ dengan gejala positif mendapatkan nilai buruk di masyarakat. Anggapan yang berkembang di masyarakat terkait perilaku negatif dari ODGJ menjadi salah satu faktor utama terjadinya pemasungan. “Alasan keluarga melakukan pema sungan karena pasien memiliki kecen derungan merusak dan dikhawatirkan berpotensi untuk mencelakakan diri sendiri,” terang Tyas. Ia juga menam bahkan bahwa pemasungan terjadi ka rena keluarga tidak mampu mengawasi selama 24 jam, sedangkan anggota kelu arga lain memiliki tanggung jawab yang harus dikerjakan. Menyikapi terkait sistem pengoba tan di rumah sakit yang juga diterapkan cara pengurungan dan kadang penge kangan alat gerak, Dr. Eka Viora, Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kejiwaan Indonesia (PDSKJI), menyatakan bahwa sistem yang diterapkan dalam rumah sakit jiwa bukanlah bentuk pemasung an. Namun, pihaknya akan memperba iki sistem pengekangan sementara yang selama ini diterapkan, “Tapi, sekarang kita akan memperbaikinya. Karena kita menga nggapnya itu juga melanggar HAM,” paparnya. Aspi Kristiati, salah satu staf bidang Kesehatan Jiwa Masyarakat Rumah Sakit Grhasia sekaligus anggota tim penyusun peraturan gubernur penanggulangan pa sung juga menyampaikan hal yang sama, bahwa segala bentuk pengekangan se
dok. istimewa
mentara merupakan salah satu bentuk pemasungan. Ia juga menyatakan bahwa Dinas Sosial juga memiliki panti sosial yang harus diperhatikan sistemnya, “Ja ngan sampai di panti sosial sebatas pe ngurungan dan pengawasan di dalam ru angan tanpa diberi kegiatan.” Bagi Aspi, pengurungan tanpa pemberian kegiatan kepada ODGJ yang berada di panti sosial maupun di pusat pengobatan merupakan salah satu bentuk pemasungan.
Program Indonesia Bebas Pasung
Imbauan tersebut tidak efektif untuk menekan tindak pemasungan, terbukti dari dikeluarkannya program Indonesia Bebas Pasung 2009 oleh pemerintah. Fokus dari program ini adalah mening katkan kepedulian masyarakat tentang kesehatan jiwa dan praktik pasung, me ngintegrasikan kesehatan jiwa ke dalam layanan kesehatan umum, menyediakan pengobatan kesehatan jiwa di Puskes mas, melatih petugas kesehatan untuk mengidentifikasi dan mendiagnosis kon disi dasar kesehatan jiwa, dan memben tuk sebuah tim terpadu, bernama Tim Penggerak Kesehatan Jiwa Masyarakat.
mia | EKSPRESI
Skizofrenia: Perjuangan Melawan Stigma
Aspi Kristiati, saat dimintai keterangan mengenai pemasungan, Jumat (9/3).
Tim tersebut bertugas menangani meka nisme koordinasi departemen kesehatan dan departemen lain di tingkat provin si hingga kabupaten untuk memantau dan memfasilitasi diakhirinya praktik pasung. Guna mens uks esk an prog ram Indonesia Bebas Pasung, diperlukan kerjasama dari banyak pihak utama nya Dinas Kesehatan dan Dinas Sosial setempat. Namun sayangnya program tersebut tidak memiliki sistem yang jelas, “Penanganan pasung itu diawali dengan kemenkes menggulirkan program menu ju Indonesia Bebas Pasung 2009. Kemu dian diperpanjang hingga tahun 2014, ternyata tanpa hasil karena kebijakan itu tidak sampai ke bawah,” ungkap Tyas. Segala rancangan metode serta pelak sanaan Program Indonesia Bebas Pasung diserahkan kepada pemerintah daerah, “Sistem tersebut berdasarkan inisiatif daerah. Inisiatif daerah kan tergantung kepala daerahnya. Gubernur melalui Di nas Kesehatan seharusnya membuat ke bijakan-kebijakan yang mengarah pada pasung,” tambah Tyas. Program Indonesia Bebas Pasung 2014 kemb al i menga lam i pemb ar u an menjadi Program Indonesia Bebas Pasung 2019 yang dikeluarkan tahun 2017. Tidak ada perbedaan secara signi fikan pada pembaruan program tersebut. Metode lanjutan dari program Indonesia Bebas Pasung tetap diserahkan kepada pemerintah daerah tanpa ada pakempakem yang jelas. Dr. Eka Viora, me ngatakan bahwa program bebas pasung tidak bisa dibatasi dengan tahun yang terpenting adalah mendekatkan akses masyarakat, “Karena bila pemahaman masyarakat sudah dibangun, nanti ti
dak akan ada pemasungan ulang pada korban,” tambahnya. Selain itu Eka ju ga menambahkan bahwa sistem yang dibangun sekarang adalah tidak akan melepaskan pasung sebelum puskesmas sudah siap dengan poliklinik kesehatan jiwa serta pengontrolan berkala kepada korban pasca lepas pasung. Pembaruan Program Indonesia Bebas Pasung meru pakan indikator dari kegagalan sebuah sistem, ”Pasung terjadi karena kegagalan sistem,” tutur Aspi. Aspi menambahkan bahwa sistem pelayanan harus dibenahi, mulai dari penanganan pasien gangguan jiwa hingga pemberian fasilitas kepada keluarga pasien. Pemulihan kesehatan jiwa umum nya dapat diupayakan dengan jalan promosi, prevensi, kurasi, rehabilitasi, sedangkan penanganan kesehatan jiwa sekarang ini hanya berhenti pada tahap kurasi, “Tahap rehabilitasi itu dimulai dari fase akut hingga fase maintenance,” jelas Aspi. Aspi memaparkan bahwa ke tika terjadi kasus pemasungan, tim pe nyusun peraturan gubernur penanggu langan pasung mengambil peran untuk melepaskan korban dengan penjaminan keamanan pasien dan masyarakat se kitar. Pasca pelepasan korban, berlan jut dengan program untuk memeriksa kondisi korban terkait perlu atau tidak nya untuk dirujuk ke rumah sakit jiwa. Korban dengan kondisi gangguan berat, akan dirujuk ke rumah sakit jiwa untuk mendapat penanganan lebih jauh. Selain diobati dan dirawat, di rumah sakit jiwa, pasien disiapkan untuk siap terjun ke tengah masyarakat. Menyiapkan kondisi mental ODGJ untuk dapat berbaur kembali ke masyara kat bukan perkara mudah, “Untuk mem
persiapkan korban pasca pemasungan untuk menjadi well being yang sulit,” tutur Aspi. Ia juga menambahkan bahwa stigma yang sudah terlanjur tertanam di masyarakat cukup menyulitkan pro ses ODGJ untuk beradaptasi kembali di lingkungannya. Tidak jarang, korban pemasungan yang sudah dirawat di rumah sakit jiwa dan telah dikembalikan ke keluarga, kem bali mengalami pemasungan. Pemasung an ulang terjadi karena kondisi pasien yang sudah baik ketika di rumah sakit, kembali turun ketika berada di rumah. Aspi membenarkan terkait adanya pe masungan ulang, ”Yang selama ini saya temui kasusnya, pemasungan ulang ter jadi karena pasien kembali mengamuk sedangkan keluarga tidak sanggup untuk mengawasi setiap saat.” AAA ODGJ pasca pemasungan, tidak bisa semata-mata dilepaskan begitu saja. Aspi menjelaskan bahwa penting bagi dinas sosial untuk mengambil bagian dalam pemantauan perkembangan kemam puan ODGJ pasca pemasungan untuk bersosialisasi. Korban pemasungan yang notabene adalah ODGJ membutuhkan pembinaan dalam kesehariannya. Peran Dinas Sosial berdas arkan Pasal 7 ayat (1) poin b UU 18 Tahun 2014 bahwa salah satu upaya menangani ODMK & ODGJ adalah menggunakan upaya promotif yang dimaksudkan un tuk menghilangkan stigma, diskrimina si, pelanggaran hak asasi ODGJ sebagai bagian dari masyarakat. Men ur ut Aspi, seb ag ai langk ah lanjutan untuk menghilangkan stigma, diskriminasi, serta pelanggaran HAM terhadap ODGJ pasca pemasungan, di butuhkan sebuah tempat persinggahan sementara, “Tim penyusun peraturan gubernur penanggulangan pasung sudah mengusulkan kepada Kementrian Sosial maupun Kementrian Kesehatan untuk pendirian Rumah Antara,” tutur Aspi. Rumah Antara tersebut berfungsi untuk memberikan pemahaman kepada keluar ga terkait kebutuhan pasien. Lebih dari itu, Rumah Antara tersebut berfungsi untuk menampung serta membina ODGJ untuk dapat kembali bermasyarakat. “Namun, Rumah Antara tersebut saat ini hanya sekadar dibuat, konsepnya belum dibuat,” tandas Aspi.x Laporan oleh Rimbawana dan Umi
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 13
ANALISIS
UTAMA
Problematika Skizofrenia Berhadapan dengan Hukum Undang-undang dan aksesibilitas pengadilan Indonesia tidak dapat mengakomodasi bagaimana proses hukum penyandang disabilitas psikososial semestinya berjalan. Oleh Khusnul Khitam
S
eptember lalu, YG dinilai men cemarkan nama baik orangorang kampung—salah satu desa di Wonosobo—dengan mengunggah status di akun facebook nya. Tidak ada yang tahu alasan YG mengunggah status bermuatan negatif kepada warga kampungnya itu. Dinilai status YG tidak benar, orang-orang desa sempat akan menuntut YG ke penga dilan. Sebelum tuntutan dilayangkan, semua pihak—orang-orang kampung dan keluarga YG—bermusyawarah dan akhirnya menempuh jalan damai. YG selamat dari tuntutan. Oleh karena perbuatan YG dinilai tidak wajar oleh keluarga, YG akhirnya diperiksakan ke salah satu rumah sakit jiwa di kota Magelang. Beberapa hari dirawat, pihak rumah sakit akhir nya mengonfirmasi bahwa YG meng idap dis ab il it as psikososial.
Khusnul| EKSPRESI
Hapsoro Restu Widodo, menurutnya kesehatan jiwa terdakwa pada saat melakukan tindak kejahatan berpengaruh pada putusan dipidana atau tidak.
14 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
Jika kasus YG ditarik dari segi hu kum, walaupun YG pada waktu itu ditun tut oleh orang-orang kampung, YG tidak bisa dipidana. Hal tersebut dibenarkan oleh Prof Dr. dr. Soewadi, MPH, Ph.D, Sp.KJ(K) seorang ahli Psikiatri Forensik, “Jadi mereka yang terganggu jiwanya (penyandang disabilitas psikososial) itu secara psikiatri tidak bisa dipidanakan,” ungkapnya Rabu (9/8). Hal tersebut ber dasarkan pada ketetapan dalam Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal ini menjadi landasan awal pe nyidik ketika menangani kasus kejaha tan dimana tersangka diduga mengalami disabilitas psikososial. Pasal 44 KUHP menyebutkan, tidak dapat dipidana ba rang siapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawab kan kepadanya, sebab kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akal. Namun, hal ini tidak bisa menjadi patokan. Kasus Rodrigo Gularte, mi salnya, pria asal Brasil terpidana mati atas kasus peredaran narkoba tahun 2015. Ia kedapatan menyembunyikan kokain dalam papan selancar pada 31 Juli 2014. Padahal Rodrigo diketahui mengidap disabilitas psikososial sejak tahun 1982. Nyatanya, perbuatannya dianggap bisa dipertanggungjawabkan oleh Majelis Hakim dan Rodrigo resmi dieksekusi oleh pemerintah Indonesia, Rabu (29/4/2015). Hapsoro Restu Widodo, S. H. Humas Pengadilan Negeri Yogyakarta mengata kan dalam semua kasus, dipidana atau tidaknya tergantung pada kesehatan ter dakwa saat melakukan kejahatan. “Kalau pada saat melakukan tindak pidana dia sehat (tidak sedang kambuh disabilitas psikososial), berarti dia bisa memper tanggungjawabkan. Nanti dipidana. Tapi
kalau pada saat melakukan tindak pidana dia tidak sehat, berarti pada saat itu dia ti dak bisa mempertanggungjawabkannya,” ungkapnya Jumat (13/10). Sedangkan untuk mengetahui tentang kesehatan terdakwa, Hapsoro menyatakan pihak nya cenderung meminta bantuan ahli untuk memberikan keterangan. “Untuk mengetahui tentang kesehatan jiwa ter dakwa bukan bidangnya majelis yang dipersidangan, maka majelis memerin tahkan kepada penuntut umum untuk memeriksakan terdakwa, entah dibawa ke rumah sakit jiwa atau diperiksakan ke dokter jiwa, nah itu nanti kita tunggu hasilnya.” Soewadi mengamini hal tersebut. Ia juga kerap diundang dalam suatu perkara menjadi saksi ahli di pengadilan. “Nah, pada saat penyelidik itu ragu-ragu, di selidiki tapi kok ini orangnya kelihatan nya tidak waras, katakanlah mengalami skizofrenia, lalu biasanya saya diundang, dipanggil dan menyatakan ini mengala mi disabilitas psikososial dengan surat keterangan atau kalau perlu dilakukan visum.” Ia menambahkan bahwa kendati saksi ahli telah memberikan keterangan, hakimlah yang sepenuhnya menentu kan apakah seseorang dapat dipidana atau tidak. Soewadi menyayangkan bahwa tidak semua sarjana hukum pernah mempela jari ilmu psikiatri forensik. Menurutnya, hal ini yang menjadikan seorang hakim dipersidangan—terkhusus menangani kasus disabilitas psikososial—memu tuskan dengan keyakinannya sendiri, bukan berdasarkan pengetahuan me ngenai disabilitas psikososial. “Hakim memutuskan dengan keyakinan hakim. Saya juga tidak tahu, tapi kadang-kadang keyakinan hakim itu bisa jadi masalah juga kan?” ucapnya. Soewadi menam
Skizofrenia: Perjuangan Melawan Stigma
bahkan, padahal psikiatri forensik sangat diperlukan dalam kehidupan bermasya rakat. Ia tidak hanya dapat menangani hukum pidana, hukum perdata bahkan hukum tata negara.
Aksesibilitas disabilitas psikososial di ranah hukum
Mohammad Syafi’ie, pen gaj ar Fakultas Hukum UII dan peneliti Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab), menceritakan problematika selama melakukan pendampingan ba gi penyandang disabilitas psikososial yang berhadapan dengan hukum. Pe nyandang disabilitas psikososial, menu rutnya, umumnya mengalami masalah dengan sarana dan prasarana peradilan. Ketika proses pengadilan, penyandang disabilitas psikososial dengan segala hambatan, kerap dihilangkan statusnya sebagai subjek hukum. Adanya peratu ran yang menyebutkan penyandang di sabilitas psikososial dibawah pengampu ketika terjadi tindak pidana, menjadikan keputusan pada saat proses peradilan cenderung tidak adil bagi penyandang disabilitas psikososial itu sendiri. Syafi’ie mencontohkan, pelaku tindak pidana yang berasal dari keluarga dekat terhadap penyandang disabilitas psikososial seba gai korban, kerap kali tidak dihukum ka rena pengaruh dari pengampu ini. “Nah itu yang sangat dilematis, membicarakan skizofrenia dalam konteks hukum, ba ik hukum pidana, publik, perdata, yang sifatnya perorangan dan kekeluargaan,” ungkapnya Rabu (23/8). Syafi’ie menambahkan, problemati ka penyandang disabilitas psikososial ti dak hanya sampai di situ. Penegak hukum umumnya berpijak pada norma-norma hukum yang melemahkan penyandang disabilitas psikososial. Ia menyayang kan, kesaksian penyandang disabilitas psikososial dalam peradilan juga sering dianggap lemah. “Misalkan, dia sebagai korban pemerkosaan. Kemudian hukum memproses pelakunya. Padahal skizofre nia problematis dalam konteks mengi ngat pelaku, juga memberi kesaksian. Nah, karena masalah itu, teman-teman skizofrenia memberi kesaksiannya be rubah-ubah, tidak runtut dan dianggap tidak benar. Nah itu memang sesuatu kendala yang luar biasa bagi teman-te man skizofrenia,” terang Syafi’ie. Saat dit an ya men gen ai kes aks i an penyandang disabilitas psikososial,
Hapsoro menanggapi hal tersebut. “Ha kim yang akan menilai. Sebenarnya apa kah keterangannya ini (kesaksian pe nyandang disabilitas psikososial) benar atau tidak. Artinya kalau sepuluh saksi menyatakan bahwa alat perekam ini war nanya hitam tapi terdakwa menyatakan ini warnanya putih, nah ini kan kita jadi ragu-ragu. Nanti hakimnya yang akan menilai dipersidangan,” ucapnya seraya menyentuh alat perekam sebagai contoh. Syafi’ie beranggapan hukum acara yang ada dalam KUHP yang diadopsi di pengadilan Indonesia tidak dapat menga komodasi bagaimana proses hukum bagi penyandang disabilitas psikososial se mestinya berjalan. Selalu mengguna kan KUHP untuk memproses hukum penyandang disabilitas psikososial itu tidak bisa, tegasnya. Menurutnya, jalan nya peradilan seharusnya sesuai dengan hambatan yang dialami, termasuk pe nyandang disabilitas psikososial. Argumen Syafi’ie bukan tanpa ala san, sel am a pend amp inga n Syafi’ie melihat sendiri hambatan-hambatan yang dialami penyandang disabilitas psikososial ketika berproses di penga dilan. Syafi’ie menyatakan bahwa proses hukum penyandang disabilitas psiko sosial seharusnya sama dengan ketika pen eg ak hukum mempros es hukum seorang anak. “Tidak bisa disamakan proses tindak pidana yang lain. Tapi ini butuh pendekatan cara yang berbe da, sama halnya ketika seorang polisi, hakim, jaksa akan memproses hukum seseorang anak”. Jadi, lanjutnya, harus ada laporan dulu soal situasi awalannya dan itu menjadi rujukan aparat, bagaima na akan memproses hukum penyandang gangguan jiwa ini.
norma hukum yang harus didapatkan difabel (termasuk disabilitas psikoso sial di dalamnya). Hukum acara dalam KUHAP, tidak dapat mengakomodasi bagaimana proses hukum bagi difabel mesti dijalankan. Menurut Syafi’ie dan Purwanti pendefinisian tentang sanksi adalah hal yang perlu diperbaiki dalam KUHP. Dalam norma-norma hukum HUHP dan KUHPdt, adanya peraturan yang menyebutkan difabel dibawah pe ngampu ketika terjadi tindak pidana juga perlu diperbaiki. Kedua, perlu ada profil assessment, yaitu penilaian terhadap penyandang di sabilitas psikososial yang bersangkutan dengan hukum. Penilaian ini akan men jadi acuan bagaimana penegak hukum akan memproses hukum penyandang di sabilitas psikososial. Diantaranya terkait bagaimana semestinya penegak hukum harus berinteraksi, kebutuhan penyan dang disabilitas psikososial ini. Ketiga, sarana prasarana dan inte raksi yang akses. Sarana prasarana fisik akses, layanan yang ramah dan akomo dasi yang layak mesti difasilitas di lemba ga peradilan. Keempat, penegak hukum yang mengerti difabilitas. Kelima, per lunya ada pendamping penyandang dis abilitas psikososial ketika dalam proses peradilan. Keenam, perlunya penerjemah yang juga memahami kondisi penyan dang disabilitas psikososial. Ketujuh, keberadaan ahli yang me mahami dan mengerti disabilitas sangat penting dalam proses hukum penyandang disabilitas psikososial. Kedelapan, putu san hakim terhadap kasus penyandang disabilitas psikososial sebagai korban saat berhadapan dengan hukum mesti memberi efek jera terhadap pelaku.x
Keharusan disabilitas psikososial diranah hukum
Prob lem at ik a pen yan dang disabilitas psikososial ini bahkan membuat Syafi’ie dan rekannya, Purwanti me nulis Pendampingan Difabel dan Sistem Hukum yang Tidak Ideal. Menurut mere ka ada beberapa poin yang perlu diperhatikan penegak huk um dalam men an gan i peradilan seseorang dengan dif ab el, term as uk dis ab il i tas psikososial di dalamnya. Pertama, hukum acara dan
dok. istimewa
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 15
ANALISIS
UTAMA
Pentingnya Memahami Skizofrenia
P
emahaman masyarakat yang kur ang tent ang skiz of ren ia menyebabkan berkembang nya stigm a. Jel as bahw a stigma dan pemahaman tentang ke sehatan jiwa dalam hal ini skizofrenia sangat berhubungan dengan masyara kat. Lantas, bagaimanakah stigma dan pemahaman masyarakat dapat berpe ngaruh terhadap orang dengan skizo frenia? Berikut wawancara report er LPM EKSPRESI, M.S Fitriansyah dan Hanum Tirtaningrum dengan Bagus Utomo selaku ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI), di kantor sekretariat KPSI yang berada di Jatinegara, Jakarta Timur, Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
Seberapa besar stigma mempengaruhi orang dengan skizofrenia?
Pengaruhnya sangat besar. Banyak orang dengan skizofrenia tidak mau ber obat karena stigma. Selain itu, skizofre nia masih dianggap berasal dari santet dan gangguan jin sehingga orang dengan skizofrenia tidak mau minum obat. Oleh karena itu, dengan berbagai cara kami meyakinkan orang dengan skizofrenia supaya mau minum obat. Setiap tahun, kami juga masih memperdebatkan ma salah penyembuhan dengan ditempatkan di pesantren akibat dari stigma skizo frenia yang dianggap dari gangguan jin. Padahal, di pesantren itu lingkungannya homogen sehingga malah menyulitkan untuk penyembuhan.
Upaya menghapus stigma tidak cukup dilakukan oleh satu atau dua orang, menurut Anda?
Cara kami di KPSI untuk menggugah kepedulian masyarakat terhadap gang guan jiwa jarang sekali menggunakan foto-foto orang dengan skizofrenia yang dipasung, berambut gimbal, telanjang, dan membawa sampah di jalan. Kami angkat saja sisi positifnya. Kami sampai kan kisah-kisah orang dengan skizofrenia yang tetap bisa bekerja, menikah, punya
16 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
anak, kuliah, dan berprestasi. Kalau tidak begitu, kita pasti akan terus terpuruk dan menganggap bahwa gangguan jiwa itu identik dengan kegagalan. Kita harus bisa menggerakkan orang lain juga untuk mencari figur-figur seperti itu. Jadi ka mi perjuangannya dengan cara tersebut, supaya stigma bisa kita hapus.
Siapa yang paling berkompeten dan berpengaruh untuk menghapus stigma sekaligus mengedukasi masyarakat?
Saya berharap yang utama dari la yanan kesehatan, karena kalau hanya mengandalkan kami, ada keterbatasan dana dan sumber manusia. Di sisi lain, untuk aspek ilmiahnya itu yang paham dokter, perawat jiwa, dan psikolog. Un tuk deteksi dini, dapat dilakukan di ling kungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan karena mereka punya jeja ring guru konseling yang bisa menjadi titik awal untuk deteksi dini. Kemudian menghubungkannya ke layanan keseha tan. Mereka inilah yang menjadi ujung tombak dalam kampanye promosi ke sehatan jiwa.
Menur ut Anda seberapa penting memberikan pemahaman dan edukasi kepada masyarakat mengenai skizofrenia? Penting sekali, kalau derajatnya satu sampai lima itu mungkin lima. Penyakit skizofrenia ini sangat berat, dapat me nimbulkan disabilitas dan dapat mem pengaruhi produktivitas satu keluarga. Selain itu, kalau masyarakat tidak dibe rikan edukasi, mereka tidak tahu bah wa penyakit ini bisa diobati, sehingga mereka tidak berobat dan tidak daftar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Akibatnya tidak ter gambar berapa sebenarnya biaya untuk menangani masalah gangguan jiwa dan berapa persen orang dengan gangguan jiwa yang sudah terdaftar BPJS. Di sisi lain, kelemahan di Indonesia perkara biaya pengobatan untuk mena ngani gangguan jiwa masih kurang. Kalau negara berinvestasi merawat semua pa
sien skizofrenia, memikirkan perumahan dan ruang pekerjaan, dibanding mene lantarkannya seperti sekarang ini, secara ekonomi saya yakin lebih menguntung kan dirawat. Maka dari itu, kalau pasien skizofrenia dirawat semua, keuntungan finansial untuk negara juga sangat be sar. Terlebih lagi skizofrenia menyerang orang dengan usia produktif. Oleh karena itu, edukasi tentang penyakit ini harus dilakukan terus-menerus dan mendekat kan pelayanannya ke puskesmas.
Bagaimana perkembangan pemahaman masyarakat mengenai skizofrenia?
Berkembang, ada kemajuan, tetapi konsep yang dipahami masyarakat ma sih banyak yang salah. Namun, kata-ka ta skizofrenia itu sendiri mulai dikenal oleh masyarakat. Tinggal tugas kita untuk melakukan sosialisasi lebih lanjut dan memberikan pemahaman yang tepat. Tumbuhnya grup-grup KPSI di luar Ja karta adalah tolok ukur yang paling terli hat. Dengan begitu, kampanye kesehatan jiwa yang terus-menerus dilakukan akan memberikan kesadaran yang semakin menyebar di masyarakat. Apabila kita lakukan kampanye terus-menerus dan dipraktikkan ke dalam bentuk-bentuk gerakan, pasti isu kesehatan jiwa ini akan menjadi perhatian. Harapan lainnya, ketika pemilihan kepala daerah pun kedepannya para ca lon-calon pemimpin daerah mulai terta rik dengan isu kesehatan jiwa. Contohnya bebas pasung di mana sekarang sudah banyak daerah yang menyatakan dae rahnya harus bebas dari pemasungan. Kemudian tolok ukur selanjutnya bisa dilihat dari liputan media massa. Terjadi suatu peningkatan selama tahun 2016, liputan media massa pada KPSI itu ada ratusan. Artinya, para jurnalis itu sudah tertarik dengan isu kesehatan jiwa.
Bagaimana upaya yang efektif untuk mem berikan pemahaman pada masyarakat? Salah satu yang efektif saat ini me lalui media sosial. Namun, untuk bisa
Skizofrenia: Perjuangan Melawan Stigma
memberikan pemahaman yang tepat, perlu juga dilakukan di dunia nyata kare na terdapat banyak hal yang tidak dapat dibahas melalui dunia maya. Sebenar nya bisa juga melakukan perkumpulan dengan keluarga pasien secara rutin di rumah sakit jiwa. Hal tersebut dilakukan karena berdasarkan pengalaman kami membicarakan masalah kesehatan jiwa langsung ke masyarakat umum itu berat sekali tantangan dan perlawanannya. Kalau dari pihak rumah sakit jiwa bisa secara rutin membuat itu. Selanjutnya mencari kader-kader dari caregiver atau dari pasien-pasien yang telah pulih un tuk menjadi penggerak pasien keseha tan jiwa. Mungkin saja bisa membuat kemajuan. Cara selanjutnya, kita menggandeng jurnalis baik media cetak maupun elek tronik. Jadi, beberapa tahun terakhir KP SI mengadakan pelatihan untuk jurnalis. Kami mengundang jurnalis kemudian memberikan materi kesehatan jiwa dan ada pula keluarga maupun pasien yang memberikan testimoninya. Hal tersebut dapat membuat pemahaman yang lebih baik karena mereka akan menulis tentang kesehatan jiwa yang sesuai dengan fakta ilmiah dan bukan dari asumsi-asumsi. Melalui jurnalis, satu tulisan dapat di akses oleh banyak orang sekaligus mem berikan perubahan tentang pemahaman masyarakat yang belum tepat.
ada upaya untuk pembebasan pasung dan bagaimana memandirikan mereka, itu tandanya kita harus memperjuang kannya. Sebab, ini merupakan hak dasar kita sebagai warga negara.
Apakah peran pemerintah dalam upaya memberikan pemahaman pada masyarakat sudah maksimal? Belum maksimal, tapi sebenarnya keterbukaan pemerintah terhadap hadir nya support group seperti KPSI sudah cukup baik. Namun, mereka memiliki banyak keterbatasan karena sulit da lam mengadvokasi. Hal tersebut kare na riset-riset tentang gangguan jiwa di Indonesia masih sedikit. Riset tentang gangguan jiwa yang sedikit ter sebut mengakibatkan su litnya menggambarkan urg ens i kes eh at an jiwa di Indonesia. Bag aim an a kita mau mey ak inkan pres id en bahwa isu kesehatan jiwa ini sangat penting kal au bel um ada analis is tent ang berapa biaya beban penyakit gangguan
jiwa per tahun. Kemudian berapakah yang bisa dihemat kalau bisa mengatasi penyakit gangguan jiwa ini. Hal tersebut harus ada proyeksinya yang bisa dilaku kan dengan studi-studi biaya. Di sisi lain, kalau yang memperju angkan hanya dari profesi dokter, pera wat, dan psikolog, kurang didengar oleh penentu kebijakan karena itu merupakan tugas dari profesi-profesi tersebut. Ber beda kalau yang bicara dari wakil kelu arga dan pasien kesehatan jiwa, mungkin itu lebih bisa didengar. Oleh karena itu, adanya support group untuk kesehatan jiwa menjadi sangat penting. x
Bagus Utomo, ketua Komunitas Peduli Skizofrenia Indonesia (KPSI) menjelaskan pentingnya memahami penyandang Skizofrenia.
fitriansyah | EKSPRESI
Pemahaman seperti apa yang ingin diupayakan KPSI untuk masyarakat?
Ya kita mengikuti filosofinya gerakan disabilitas. Indonesia saat ini sudah ada undang-undang disabilitas yang baru, bahwa program yang diberikan pemerin tah itu harus berbasis pada hak, bukan pada belas kasihan. Bahwa pemenuhan hak orang dengan disabilitas mental atau psikososial ini harus berdasarkan hak sebagai warga negara. Jadi, para penentu kebijakan khususnya para pemerintah di daerah harus berusaha memenuhinya tanpa kita harus meminta. Di sisi lain, kita sebagai konsu men kesehatan jiwa itu harus sadar haknya. Kalau layanan kesehatan masih susah diakses, belum ada ja minan sosial untuk orang dengan gangguan jiwa berat, belum ada pe nyediaan lapangan kerja untuk orang dengan disabilitas mental, belum ada perumahan yang layak supaya me reka tidak telantar di jalan, belum
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 17
ANALISIS
UTAMA
Pengidap Skizofrenia Dipenuhi Stigma Oleh Triyo Handoko
S
kizofrenia sebagai bagian dari jenis penyakit jiwa berat ke rap dipandang sebelah mata. Baik oleh masyarakat maupun oleh pemerintah. Pengetahuan yang salah akan skizofernia adalah penyebabnya. Pengetahuan yang salah tersebut me ngenai penyebab hingga pengobatan nya. Masih banyak yang menganggap penyebabnya adalah roh halus. Akhirnya, banyak juga yang mengobatinya dengan nonmedis, seperti paranormal. Padahal penyakit ini mengancam setiap orang. Data World Healthy Or ganization, menyebutkan bahwa 21 juta orang di dunia mengidap skizofrenia pa da tahun 2016. Sedangkan di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi gangguan jiwa berat, skizo frenia adalah 1,7 per 1.000 penduduk atau sekitar 400.000 orang. Pembaruan data yang hanya lima tahun sekali dan kurang akuntabel dari tiap daerah, menurut Tika Prasetiawati dokter kesehatan jiwa RSA UGM meru pakan bentuk pengabaian pemerintah terhadap pengidap skizofrenia. Padahal dari data tersebut memengaruhi arah pengambilan kebijakan. Lebih dari itu kesehatan jiwa masyarakat adalah aset dari suatu negara. Tanpa kesehatan jiwa yang memadai, tidak ada produktivitas dan sumber daya manusia yang berku alitas. Pengabaian pemerintah terhadap pengidap skizofrenia mengakibatkan masyarakat dipenuhi stigma terhadap pengidap skizofrenia. Dikucilkan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan pengaruh stigma terhadap pengidap ski zofrenia. Stigma ini yang mengakibatkan pengidap skizofrenia tidak ditangani de ngan baik oleh keluarga dan masyarakat sekitarnya. Dari penyebabnya yang sering di kaitkan dengan hal mistik. Kemudian cara penanganannya yang tidak tepat
18 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
dengan paling sering dipasung. Selan jutnya cara pengobatannya yang tidak sesuai, misalnya dibawa ke paranormal atau ke pemuka agama. Semua itu kare na stigma. Ketidaktahuan dan pengeta huan yang terbataslah yang melahirkan stigma dan melanggengkannya. Padahal pemerintah punya tanggung jawab untuk memberikan pengetahuan yang tepat. Sehubungan dengan latarbelakang ters eb ut, Litb ang LPM EKSPRESI Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengadakan jajak pendapat untuk me ngetahui pendapat masyarakat Yogya terkait skizofrenia. Yogya menjadi pro vinsi dengan pengidap skizofrenia ter tinggi di Indonesia setelah Aceh. Dari 3.606.111 jumlah penduduk Yogya per Oktober 2017, diambil sampel sejumlah 400 responden dengan rumus slovin dan 5%. Penentuan sampel menggunakan metode sampel acak sederhana. Penyeba ran sampel meliputi seluruh kabupaten dan kota di Yogya. Hasil jajak pendapat tersebut anta ra lain menyebutkan bahwa pengidap skizofrenia membahayakan bagi ma syarakat lingkungan sekitar, sejumlah 69,25% responden. Sedangkan, respon den yang lain menjawab tidak memba hayakan masyarakat lingkungan sekitar, sejumlah 30,75%.Dari pandangan umum yang menyebutkan pengidap skizofrenia membahayakan lingkungan sekitar ter sebut, secara tidak langsung membentuk pendapat umum bahwa penyakit skizo frenia adalah aib. Hasil jajak pendapat yang menganggap skizofrenia sebagai aib bagi keluarganya sejumlah 53,75%. Sedangkan responden yang mengang gap bahwa pengidap skizofrenia bukan aib bagi keluarganya sejumlah 42,5%. Sisanya sebesar 3,75% responden tidak menjawab. Ketika mayoritas responden berpen dapat pengidap skizofrenia membaha yakan masyarakat lingkungan sekitar.
Namun hasil yang menunjukkan sikap penolakan responden terhadap pema sungan pengidap skizofrenia menjadi suara mayoritas. Sebanyak 68,75% res ponden menilai tidak tepat jika mena ngani pengidap skizofrenia dilakukan dengan pemasungan. Sisanya sebanyak 31,25 responden menilai pemasungan adalah tindakan yang tepat. Salah sa tu responden di Playen Gunungkidul, Rubiyem (45), menjelaskan, “Ya, me mang kalau orang gila itu kan memba hayakan orang lain, tetapi kalau dipa sung juga tidak tepat juga. Kasihan kan, langkah yang tepat ya dibawa ke Rumah Sakit Jiwa,” jelasnya. Selaras dengan penolakan pema sungan terhadap pengidap skizofre nia, 82,5% responden menilai bahwa pemasungan adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Sedangkan 11,25% menjawab bahwa pemasungan terhadap pengidap skizofrenia tidak melanggar HAM. Sisanya sebesar 6,25% tidak mem berikan jawaban. Stigma selanjutnya yang menye lubungi pengidap skizofrenia adalah pengidap skizofrenia tidak dapat sembuh dan menjalani kehidupan yang normal. Hal ini terlihat dari hasil jajak pendapat. Bahwa 48% responden tidak menyetujui pernyataan dimana pengidap skizofrenia dapat sembuh dan bersosialisasi kembali. Kemudian 11,5% responden sangat tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Se dangkan 20,75% responden setuju bahwa pengidap skizofrenia dapat hidup nor mal dan bersosialisasi kembali. Sisanya 19,75% menyatakan sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Tidak hanya soal bersosialisasi di tengah masyarakat. Stigma terhadap pengidap skizofrenia juga dapat meng hambatnya dalam bekerja. Hal ini di sebabkan karena anggapan masyarakat bahwa pengidap skizofrenia tidak dapat bekerja layaknya orang normal.
Skizofrenia: Perjuangan Melawan Stigma
andhika | EKSPRESI
Data dari hasil jajak pendapat me nyebutkan bahwa, 49,5% responden tidak setuju dengan pernyataan jika pengid ap skiz of ren ia dap at bek erj a normal. Kemudian 10,25% responden sangat tidak setuju dengan penyataan tersebut. Sedangkan 30,5% responden setuju jika pengidap skizofrenia dapat bekerja normal. Sisanya sebesar 9,75% menyatakan sangat setuju dengan penya taan tersebut. Salah satu responden di Depok Sleman, Nur Cahyo (52) menjelas kan, “Orang yang sudah sembuh dari gila itu kan tidak seutuhnya sembuh, hanya emosinya saja yang bisa diredam. Kalau seperti itu mana bisa bersosialisasi apa lagi bekerja,” jelasnya. Terkait penyembuhan pengidap ski zofrenia, juga dipenuhi stigma. Hal ini karena pengetahuan yang terbatas dan keliru yang dimiliki masyarakat. Namun, pemerintah tidak serius mengubah atau meluruskan pengetahuan masyarakat. Gunungkidul menjadi contoh stigma dari pengetahuan yang keliru tetapi terus di percaya. Mitos akan pulong gantung di Gunungkidul mewarnai fenomena bunuh diri dengan angka yang tinggi. Data dari Inti Mata Jiwa (Imaji), or ganisasi yang bergerak dalam kesehatan jiwa dan upaya pencegahan bunuh diri di Gunungkidul menyebutkan bahwa per Agustus 2017 terjadi 25 kasus bunuh diri di Gunungkidul. Sebelumnya pada tahun 2016 sebanyak 30 kasus. Pada tahun 2015 sebanyak 31 kasus, dari semua kasus bu nuh diri menggunakan cara gantung diri. Sigit Wage Dhaksinarga, salah satu pegiat Imaji, menyebutkan bahwa dari penelitiannya penyebab angka bunuh diri di Gunungkidul tinggi karena penyakit yang menahun, lanjut usia, hidup seba tang kara, atau permasalahan ekonomi. Beberapa hal tersebut, menurut Sigit, dapat memantik depresi. Sehingga kese hatan jiwa sekaligus edukasinya menja di penting ditingkatkan di Gunungkidul untuk mengurangi angka bunuh diri dan meluruskan pengetahuan. Di Gunungkidul, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) Be rani Hidup. Sebuah lembaga dibawah naungan Bupati untuk mengatasi pulong gantung. Namun, Satgas tersebut dija lankan oleh Kepolisian Sektor (Polsek) tingkat kecamatan dan jajaran Kantor Kecamatan, yang bertugas hanya ketika ada laporan dari warga. Sebuah lang kah yang tidak efektif. Langkah tersebut
efektif bila Satgas tersebut rutin me lakukan pendidikan kesehatan jiwa pada masyarakat. Penyembuhan pengidap skizo frenia, karena pengetahuan yang ke liru ini juga menjadi kendala. Tika Prasetiawati mengatakan bahwa, “Pengidap skizofrenia hanya bisa disembuhkan dengan pengobatan medis, tidak bisa disembuhkan me lalui paranormal.” Namun, kenya taannya hasil jajak pendapat masih banyak yang meragukan pengobatan medis dan lebih memilih pengobatan non medis. Hasil dari jajak pendapat me nyebutkan bahwa 31,75% responden akan memilih pengobatan pengidap skizofrenia ke paranormal. Kemudi an 40,5% responden memilih meng obatkannya secara medis. Sedangkan 27,75% responden memilih meng obatkan ke pemuka agama. Dari hasil tersebut, kami menelu suri dengan memberikan penyataan: “Mengobatkan pengidap skizofrenia ke paranormal atau pemuka agama lebih berpotensi untuk sembuh.” Se banyak 20,25% responden sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Kemudian 31% responden setuju de ngan pernyataan tersebut. Selanjut nya 28,75% responden tidak setuju. Sisanya sebesar 20% responden sa ngat tidak setuju dengan pernyataan tersebut. Menyelesaikan permasalahan kesehatan jiwa tidak hanya bisa di lakukan dengan menyediakan sara na prasarana pengobatan. Menurut Tika, juga harus memberikan pen didikan kepada masyarakat tentang penyebab sampai pengobatan kese hatan jiwa. “Selain pengobatan kan juga penting langkah pencegahan,” lanjut Tika. Ada banyak cara menurut Tika untuk melakukan pendidikan kepada masyarakat. Misalnya bisa dimulai dengan melalui pendidikan formal lewat sekolah-sekolah. “Selama ini minim sekali kurikulum yang beri si kesehatan jiwa, yang banyak itu kesehatan jasmani,” tambah Tika.x
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 19
UTAMA
Ketimpangan Ekonomi Pengaruhi Kesehatan Jiwa
andhika | EKSPRESI
ANALISIS
Oleh Triyo Handoko
Y
ogyakarta menjadi provinsi dengan ketimpangan ekono mi tertinggi di Indonesia pada 2017. Data yang dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS) Yogyakarta menunjukan indeks rasio gini sebesar 0,425. Tak hanya timpang antara pen dapatan golongan masyarakat menengah atas dan menengah bawah, Yogya juga menjadi provinsi dengan masyarakat termiskin di pulau Jawa. Kemiskinan di Yogya pada 2017 se besar 13,1%. Akibat lain yang ditimbulkan kemiskinan adalah memicu terjadinya gangguan kesehatan jiwa. Begitu juga yang dikatakan Aspi Kristianti, tim pe nyusun Peraturan Gubernur Penanggu langan Pasung. “Orang miskin itu rentan gangguan jiwa, orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan yang hidup dalam lingkungan kumuh itu rentan gangguan jiwa,” ungkap Aspi. Data ketimpangan ekonomi yang ditempati Yogya dalam skala nasional berkelindan dengan data pengidap skizo frenia yang menempati peringkat kedua terbanyak di tingkat nasional. Menurut data Dinas Kesehatan Yogya, setiap 1.000 penduduk yang tinggal dalam jarak 2,7 mil terdapat dua sampai tiga orang peng idap skizofrenia. Hasil penyebaran angket yang di lakukan, menunjukkan 58% responden menyatakan bahwa penyebab utama gangguan kesehatan jiwa ada pada per masalahan ekonomi. Sedangkan sisanya, sebesar 20,2% responden menyebut per masalahan biologis. Kemudian 21,8% responden memilih permasalahan mistik yang menyebabkan gangguan kesehatan jiwa seseorang. Berkaitan dengan permasalahan ekonomi, sebanyak 55,25% responden sangat setuju apabila menyelesaikan per masalahan ekonomi secara langsung me nyelesaikan permasalahan kesehatan ji wa masyarakat. Sedangkan 27,25% setuju
20 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
usulan tersebut. Kemudian, 11,75% tidak setuju dan 5,75% sangat tidak setuju. Kesadaran lain yang belum dipahami adalah integrasi antara sarana prasarana kesehatan fisik dengan kesehatan jiwa. “Orang yang hidup di lingkungan ku muh, misalnya yang tidak ada fasilitas MCK rentan sekali kesehatan jiwanya,” tambah Aspi. Hasil lain dari penyebaran angket adalah tingginya kesadaran masyarakat Yogya terhadap pentingnya kesehatan jiwa. Sebanyak 43,75% responden sangat setuju dengan sama pentingnya antara kesehata jiwa dan kesehatan fisik. Se dangkan, 39,75% responden setuju de ngan usulan tersebut. Hanya 10,75% yang tidak setuju dan 5,75% responden yang sangat tidak setuju. Dari kesadaran yang tinggi akan pentingnya kesehatan jiwa, masyarakat Yogya paham bahwa kesehatan jiwa juga bagian dari tanggung jawab pemerintah. Sebanyak 91% responden merasa memi liki hak atas pelayanan kesehatan jiwa dari pemerintah. Kemudian, 7,8% merasa tidak memiliki hak tersebut. Sedangkan 1,2% tidak menjawab. Akan tetapi, sedikit sekali masya rakat yang mengetahui bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga menjamin kesehatan jiwa. BPJS Kesehatan sebagai program pemerintah untuk memenuhi tanggung jawabnya akan kesehatan masyarakat juga menjamin kesehatan jiwa, hal ini sesuai dalam Permenkes 59 tahun 2014. 80,5% responden tidak mengetahui hal tersebut. Sedangkan hanya 19,5% yang mengetahuinya. Bicara soal pelayanan kesehatan jiwa, sebanyak 26% responden tidak memberikan jawaban atas pertanyaan “Sudah maksimalkah pelayanan kese hatan jiwa oleh pemerintah?” Sedangkan 42,5% menyatakan sudah maksimal. Si sanya, 31,5% menjawab belum maksimal.
Menelusuri kembali tanggapan ma syarakat soal pelayanan pemerintah ter hadap kesehatan jiwa masyarakat de ngan sebuah pernyataan tertutup, yaitu, “Pemerintah tidak menangani dengan baik pengidap gangguan jiwa.” Seba nyak 34,75% responden sangat setuju dengan pernyataan tersebut. Sedangkan 38% responden setuju. Sisanya sebanyak 15% responden menjawab tidak setuju dan 12,25% sangat tidak setuju dengan penyataan tersebut. Berkaitan dengan sosialisasi ke sehatan jiwa dan jenis-jenis penyakit kesehatan jiwa dari pemerintah, hasil penyebaran angket menunjukan peme rintah tidak memberikan sosialisasi de ngan baik. 92,5% responden merasa tidak pernah ada sosialisasi dari pemerintah baik secara langsung maupun melalui berbagai kanal medium. Hanya 7,5% yang merasa ada sosialisasi dari peme rintah. Kemudian, berkaitan dengan je nis-jenis penyakit kesehatan jiwa, hanya 18% responden yang sudah mengetahui. Sisanya sebesar 82% responden belum mengetahui.x andhika | EKSPRESI
Skizofrenia: Perjuangan Melawan Stigma
Secercah Harapan bagi Pemulihan Pasien Gangguan Jiwa di Indonesia dok. istimewa
P
Oleh Diah Ayu Puspandari (Ketua Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan (PKP-MAK), FK UGM)
roses pemulihan yang lama dan sering kambuh, merupakan ki sah yang tidak terpisahkan dari pasien gangguan jiwa maupun keluarganya. Tidak jarang pula berujung pada tindakan keluarga mengisolasi atau memasung bahkan hingga mencari ber bagai pengobatan alternatif lainnya. Di sisi lain, informasi berlebihan yang dite rima masyarakat melalui iklan menjadi acuan pemilihan cara pengobatan. Se dangkan pengobatan alternatif itu tidak selamanya murah, bahkan ada keluarga yang berobat ke pengobat asing atau ta bib yang membuka praktik. Setelah di berikan berbagai macam resep herbal, pasien masih harus berurusan dengan beban biaya hingga jutaan rupiah. Harga yang fantastis dan jauh lebih mahal dari pengobatan medis. Hasil kajian Pusat Kebijakan Pem biayaan dan Manajemen Asuransi Kese hatan (PKP-MAK), Fakultas Kedokteran UGM tentang biaya pelayanan kesehatan pasien skizofrenia menyebutkan bahwa biaya pengobatan alternatif besarnya le bih dari dua kali biaya medis. Tentu saja hal tersebut menjadi bagian dari pengelu aran ekstra pasien dengan gangguan jiwa dan tak jarang mereka kembali lagi ke pengobatan medis ketika hal ini diyakini efektif untuk mengatasi kekambuhan. Besarnya tanggungan biaya peng obatan yang harus disediakan dalam jangka waktu panjang merupakan beban yang ditanggung sebuah keluarga pasien dengan gangguan jiwa. Kisah keluarga pedagang makanan kecil keliling yang ke sulitan meneruskan pengobatan karena ketidakmampuan finansial menjadi fakta bahwa biaya menjadi kendala akses ke pelayanan kesehatan. Pusat KPMAK tel ah mel ak uk an penghitungan perkiraan biaya pemulih an pasien skizofrenia yang mencapai 37 juta rupiah per tahun. Jika dihitung total biaya yang dibutuhkan untuk semua
pasien skizofrenia akan mencapai 1,6 triliun rupiah, sebuah jumlah yang ti dak sedikit. Ini pun belum menghitung biaya hilangnya produktivitas atau biaya sosial lainnya. Melihat jumlahnya saja membuat kita berpikir betapa beratnya jika ditanggung sendiri oleh keluarga. Ditambah fakta bahwa pasien skizofre nia kebanyakan dari kalangan ekonomi lemah dengan sebaran terbesar pada usia produktif. Akses memang tidak mudah diwu judkan. Misalnya tercermin dari ketidak mampuan keluarga membawa pasien ke layanan kesehatan karena ketiada an dana. Kondisi ini menjadi gambar an ketidakberhasilan sistem kesehatan memberikan keadilan akses bagi mere ka. Kebutuhan setiap daerah pun ber beda-beda tergantung dari kemampuan anggaran, karakteristik masyarakatnya, maupun ketersediaan fasilitas kesehatan nya. Pembuat kebijakan di tingkat pusat maupun daerah memiliki tugas untuk meminimalkan kesenjangan antardaerah tersebut. Kondisi ini berhasil memicu peme rintah Indonesia untuk segera mewujud kan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang bertujuan meningkatkan akses la yanan kesehatan dan sekaligus perlin dungan keuangan bagi masyarakatnya. Di awal 2014, JKN mulai digulirkan un tuk memberikan perlindungan keuangan bagi semua penduduk Indonesia ketika jatuh sakit. Sampai saat ini sudah 187 juta masyarakat yang menjadi peserta JKN atau sekitar 70% dari penduduk In donesia sesuai data BPJS per Desember 2017. Indonesia yang menganut sistem Jaminan Kesehatan Sosial mewajibkan semua warga negara terdaftar dalam sis tem JKN. Badan Pengelola Jaminan Ke sehatan menjadi badan yang diberikan mandat oleh pemerintah untuk men jalankan fungsi sebagai penyelenggaraan sistem jaminan kesehatan.
JKN merupakan asuransi kesehatan sosial yang memiliki manfaat untuk me lindungi masyarakat dari beban finansial kesehatan. Artinya, memindahkan risi ko keuangan perorangan menjadi risiko kolektif. Skema ini sangat menolong un tuk pelayanan kesehatan yang berjangka waktu lama. Selama ini paket layanan yang di berikan bagi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) cukup lengkap, mulai dari layanan di puskesmas, klinik, maupun dokter praktik. Jika tidak bisa ditangani di fasilitas primer pasien dengan ma salah kejiwaan akan dirujuk ke Rumah Sakit atau Rumah Sakit Jiwa. Di era JKN, pelayanan kesehatan tidak lagi terpusat di rumah sakit atau fasilitas kesehatan (faskes) tingkat lanjutan, tetapi pela yanan kesehatan harus dilakukan seca ra berjenjang sesuai dengan kebutuhan medisnya. Pasien-pasien di rumah sakit yang sudah stabil tetapi masih memerlu kan pengobatan dalam jangka panjang, bisa dikelola ditingkat fasilitas kesehatan primer seperti puskesmas, dokter kelu arga dan klinik. Kenyataan lain yang menjadi ham batan akses bagi orang dengan disabi litas psikososial adalah jarangnya pasien atau keluarganya mau berkunjung un tuk konsultasi dengan tenaga kesehatan. Peran ini bisa diambil oleh masyarakat di bawah binaan Pelayanan Kesehatan Primer. Kader kesehatan jiwa yang telah dilatih sangat membantu untuk meman tau wilayah kerjanya dan menemukan sebuah kasus. Selain pemerintah melalui sistem JKN, peran semua pihak termasuk ma syarakat dalam proses pemulihan disabi litas psikososial sangat penting, sehingga kekerabatan sangat berarti bagi mereka untuk menjadi bermakna dan memiliki harapan.x
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 21
ANALISIS
UTAMA
umi | EKSPRESI
Kunjungan Mismi pada salah satu pasien yang mengalami gangguan jiwa akibat gempa di Jogja 12 tahun silam.
Kepuasan Batin Merawat Disabilitas Psikososial
“Contohnya saat saya menyembuhkan pasien yang sudah sakit, 17 tahun lamanya dengan rambut yang gimbal hingga sekarang sudah normal dan stabil,” ungkapnya. Oleh Ervina Nur Fauzia
S
eorang pemuda bertubuh ting gi, dengan rambut lurus me nampakkan wajah polosnya. Ia adalah Rohmat Huda, sa lah satu pasien disabilitas psikososial yang sekarang tengah rawat jalan di Puskesmas Banguntapan II, Bantul, Yogyakarta. Berawal dari trauma akibat gempa bumi 27 Mei 2016 di Yogyakarta, Huda, sapaannya, mengalami goncangan psikis yang menyebabkan ia tidak da pat menahan emosi. Gejala yang dialami oleh Huda adalah meluapnya emosi dan sering berkeliling di sekitar rumahnya tanpa tujuan tertentu. Akan tetapi, kini keadaan Huda telah membaik. Ia sudah sanggup bekerja dan bersosialisasi dengan sekitarnya. Mismi ialah perawat yang telah menemukan dan menolong Huda dari gangguan psi kososial yang dialaminya. Berawal pada 2015, Mismi dimin ta oleh pihak Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia, Pakem, Sleman, Yogyakarta untuk mengirimkan tiga orang dengan disabilitas psikososial. Mereka diberi kan pemahaman mengenai skizofrenia. Mengapa bisa terkena skizofrenia, ba gaimana cara mengobati skizofrenia,
22 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
serta stigma yang ada terkait dengan ski zofrenia. Ilmu tersebut diberikan pada keluarga serta orang dengan disabilitas psikososial yang dikirimkan oleh puskes mas-puskesmas daerah ke RSJ Grhasia. Bermula dari kelas berbagi ilmu ter sebutlah, terbentuk Paguyuban Laras Jiwa. Paguyuban Laras Jiwa menjadi tempat berkumpulnya keluarga dan orang disabilitas psikososial yang ber tujuan untuk sekadar bertukar pikiran, pengalaman dan mengetahui keadaan pasien. Bermula dari paguyuban tersebut pula, Mismi terjun lebih dalam sebagai perawat pasien disabilitas psikososial. Awalnya, Mismi menerima tugas ini dengan terpaksa. “Wah, kok tega sama mbakyune,” katanya saat diberi tugas tambahan oleh rekan kerjanya yaitu merawat pasien disabilitas psikososial. “Rasanya ingin menangis, aku iki emoh,” lanjutnya kemudian dengan pasrah. Mismi sendiri mengaku tidak mampu apabila harus merawat pasien disabilitas psikososial. Namun, berkat dukungan dari orang disekitarnya, akhirnya ia mau menerima dan menjalani pekerjaan ini.
Sosok Mismi
Ayyumna Nur Mayapada, anak bung su Mismi, mengaku bahwa ibunya ada lah sosok yang cekatan, ulet, dan peduli kepada sesama. “Ibu itu kalau ada yang minta tolong langsung ditolongin wa laupun capek setelah bekerja,” terang Yumna, begitu panggilan akrabnya, saat ditemui di rumahnya pada Senin (7/9). Mengetahui pekerjaan ibunya sebagai perawat disabilitas psikososial, Yumna yang sedang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama mengaku sudah bi sa menerima apabila ibunya jarang ada di rumah dan lebih sering pergi untuk menengok pasien. Berbeda dengan Yumna, anak perta ma Mismi, Rheisnayu Cyntara mengaku awalnya sulit untuk menerima dan me mahami bahwa pekerjaan ibunya me nuntut untuk lebih sering peduli dengan orang lain dibandingkan dengan anaknya sendiri. “Waktu kecil saya suka sebal, dulu pernah marah karena ibu lebih milih peduli pasien daripada anaknya,” ungkapnya sembari tertawa mengingat kelakuannya di masa kecil. Kej ad ia n ters eb ut terj ad i ket ik a Cyntara masih duduk di bangku Sekolah
Skizofrenia: Perjuangan Melawan Stigma
sabilitas psikososial membuat pekerja an Mismi tidak terpaku pada jam kerja. Mismi merasa dirinya milik masyarakat sehingga jam berapa pun ia dibutuhkan oleh pasiennya, ia akan selalu siap sedia mendampingi. Keluarga yang tadinya be lum bisa menerima kesibukannya di luar jam kerja, lambat laun mulai memahami dan memaklumi bahwa Mismi memang dibutuhkan oleh pasien-pasiennya. Dalam menjalani hari-hari sebagai perawat disabilitas psikososial, tentu tidak selalu suka yang dirasakan oleh Mismi. Ia mengaku terdapat hal-hal yang membuat dirinya sedih dan berduka yaitu ketika mengetahui pasien yang dirawat nya kambuh kembali. “Sedih ketika pasi en sudah bagus, sudah bisa beraktivitas, sudah bersih dan normal, lalu kalau tidak dirawat pasti akan drop lagi, kambuh lagi,” jelas Mismi. Sudah bertahun-tahun Mismi berprofesi seperti ini membuat keluarganya mendukuWng apa yang ia lakukan, “Aku harap ibu terus bekerja seperti ini,” harap Cyntara.x Laporan oleh Bayu dan Umi
KSP
RES
I
Mismi, saat ditemui di Puskesmas Banguntapan 2.
i|E
terjadi. Oleh karena itu, peran keluarga sangat besar dalam proses penyembuhan pasien disabilitas psikososial. Ibu dari dua anak ini mengaku bah wa setelah ia menjadi perawat disabilitas psikososial, terdapat kepuasan yang ia dirasakan. Menangani pasien dari yang tadinya depresi, tidak tahu kebutuhan dirinya, hingga halusinasi dan berbicara sendiri menjadi seseorang yang lebih ber guna, mampu bekerja, dan bersosialisasi dengan keluarga dan masyarakat mem buat hati serta batin Mismi terpuaskan. Hal itu juga yang membuat Mismi mam pu menjalani hari-hari sebagai perawat disabilitas psikososial. Per aw at an yang dil ak uk an oleh Mismi saat merawat pasien rehabilitasi tidak hanya memberikan obat, tetapi juga pelatihan kerajinan sesuai minat pasien. Hal tersebut menurutnya bisa membantu agar pasien dapat mengontrol emosi dan melatih kecakapan berinteraksi. Selain itu, perawatan yang dilakukan adalah dengan cara melakukan pendekatan dan interaksi terhadap pasien. Seperti yang ia lakukan saat berkunjung ke rumah Huda. Keluarganya melaporkan kepada Mismi bahwa sudah beberapa hari ini Huda ti dak mau bekerja. Ketika dihampiri oleh Mismi, Huda lantas bercerita kisahnya saat ia melakukan rehabilitasi. “Saya hampir setahun hlo, Bu, di Magelang dan di Pakem,” terangnya pada Mismi. “Saya tidak tahu kenapa saya dibawa ke Magelang, waktu itu setelah gempa ter jadi saya trauma, adik saya meninggal di depan saya,” lanjutnya bercerita. “Iya, setelah itu kamu tidak nyambung kan diajak ngobrol?,” tanya Mismi kemudian. Huda yang masih mengalami trauma akibat gempa lantas diberi saran untuk tetap meminum obat agar penyakitnya tidak kembali kambuh. Selain bercerita mengenai kisahnya hingga akhirnya bisa menjadi pasien disabilitas psikososial, Huda juga berkeluh kesah mengenai ke resahannya. Salah satunya adalah obat yang dikonsumsinya dirasa mengganggu aktivitas sehari-hari karena membuat kantuk, sehingga ia tidak dapat bekerja. Dalam merawat pasiennya, Mismi terlihat begitu telaten dan sabar da lam berinteraksi. Keluwesan itu lah yang membuat Huda begitu nyaman mengobrol dan me nyampaikan keluh kesahnya kepada Mismi. Menjadi perawat di
um
Dasar. “Orang disabilitas psikososial kan tidak bisa diprediksi siang atau malam saat harus dibawa ke RSJ Grhasia, ja di dulu tidak bisa menerima.” Namun, lanjutnya, setelah dewasa ia mengaku lebih paham terkait pekerjaan Mismi. Di matanya, Mismi adalah sosok yang kepribadiannya cuek bila di rumah, te tapi bisa begitu perhatian saat bertemu dengan pasiennya. “Cara berkomunika sinya juga berbeda, kalau sama pasien kan harus disesuaikan, seperti mengajak bicara dengan anak kecil,” ungkapnya. Tah un 2011 menjad i awal mu la Mismi menjadi perawat disabilitas psikososial. Ia lantas diberi pelatihan oleh RSJ Grhasia. Mismi yang meng aku tidak suka mata kuliah mengenai kesehatan jiwa semasa kuliah ternyata masih terbawa hingga pelatihan di RSJ Grhasia, “Praktik saja ogah-ogahan,” te rangnya sembari tertawa. Mengemban tugas merawat orang dengan ganggu an psikologis di Paguyuban Laras Jiwa membuat Mismi semakin dalam terjun dengan orang-orang gangguan psikolo gis. Ketika ditanya mengenai awal mula menjadi perawat, Mismi menceritakan bahwa tadinya ia hanya seorang perawat biasa, khususnya menangani pasien TBC, tetapi kini ia menjadi salah satu perawat disabilitas psikososial. Seiring berjalannya waktu, Mismi menemukan titik dimana ia menjadi se mangat merawat orang dengan disabili tas psikososial, yaitu ketika ia bertemu dengan Ratni salah satu pasiennya di Puskesmas Banguntapan II. Berbeda de ngan Huda, sosok Ratni lebih pendiam ketika disambangi. Mismi menemukan sosok Ratni yang sudah mengalami gang guan psikososial selama bertahun-tahun. Namun, kini Ratni telah berubah men jadi kepribadian yang berbeda. Ratni kini sanggup bekerja memproduksi emping bersama ibunya. Tak hanya itu, ia kini juga mampu merawat anak dari kakak nya yang masih berusia balita. Hal ters eb utl ah yang memb ua t Mismi semangat dan yakin bahwa ia mampu menjalani profesi ini. Menu rutnya, keluarga menjadi faktor utama dalam penyembuhan pasien. Apabila keluarga kooperatif membantu pasien, maka peluang untuk sembuh dari penya kitnya akan lebih besar. Namun, lanjut nya, apabila keluarga tidak mendukung, potensi pasien untuk kembali seperti keadaan semula akan sangat mungkin
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 23
ANALISIS
UTAMA
Kisah Di Balik Sembuhnya Penyandang Skizofrenia
Penderita gangguan jiwa berat Skizofrenia sering diabaikan karena dianggap tidak bisa disembuhkan
Bayu | EKSPRESI
Oleh Umi Zuhriyah
Keseharian Sri dan Ratni saat membuat emping melinjo yang dilakukan pada siang hingga sore hari (29/8).
S
iang itu, tangan lihai dua pe rempuan sedang menumbuk melinjo yang telah disangrai. Cuaca panas ditambah berada di depan tungku selama berjam-jam tak menyurutkan semangat mereka. Tangan kedua perempuan itu terus menumbuk melinjo dengan konsisten. Dua per empua n ters ebut adal ah Sri dan Ratni. Mereka adalah sepasang ibu dan anak. Produksi emping melinjo menjadi pemasukan bagi perekonomian keluarga. “Kami sehar i hanya mengha silkan 2,5 kg emping,” jawab Sri dengan penuh antusias. Ratni bercerita panjang lebar mengenai proses produk si em pingnya. Berbeda dengan Ratni, anak Sri yang lebih banyak diam. Ratni adalah anak sulung Sri yang baru empat tahun lalu keluar dari Ru mah Sakit Jiwa (RSJ) Grhasia Pakem.
24 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
Ratni didiagnosis mengidap Skizofrenia. Sosok yang begitu pendiam itu memang pernah melewati masa sulit. Pada masa remaja, ia sudah harus memendam kei nginannya untuk melanjutkan sekolah menengah atas. Setelah lulus dari sekolah menengah pertama, ia diikutkan kursus menjahit selama satu tahun. Hingga ak hirnya membuka jasa jahit di rumahnya. Sri, sang ibu menjelaskan bahwa saat itu keuangan keluarga tidak mencukupi untuk melanjutkan sekolah bagi Ratni. Ditambah lagi, Ayah Ratni sedang jatuh sakit. Jika Ratni tak membantu banting tulang, maka Sri hanya seorang diri da lam memenuhi kebutuhan rumah tangga. Mau tak mau Ratni pun harus berkorban. Di sisi lain, adik-adik Ratni aktif mengikuti kegiatan karang taruna di de sa. Hal tersebut pun mengundang rasa iri dalam diri Ratni. Tekanan-tekanan
tersebutlah yang memicu Ratni mengala mi stres. Hingga akhirnya ia menderita skizofrenia selama belasan tahun. Ratni adalah penderita skizofrenia dengan gejala negatif. Ia hanya diam sa ja. Jarang tidur. Saat malam hari, sering duduk di bawah pohon pinggir sungai dekat rumahnya. Duduk seorang diri sampai jam dua malam. Sang ibu pun sampai harus menjemputnya karena merasa khawatir. “Tapi ya tidak mesti mau ikut pulang,” jelas Sri lebih lanjut, Selasa (29/8). Saat ditanya mengapa Ratni suka duduk di bawah pohon dekat rumahnya, ia mengaku bahwa di tempat tersebut dirinya merasa nyaman. Ia juga merasa bahwa ada seseorang yang terus meng ajaknya bercakap-cakap. Sebagai ibu, Sri memang terbilang cukup peka. Ia merasa aneh dengan anak nya yang sering diam dan melamun. Ia merasa anaknya sedang tidak baik-baik saja. Ia pun berusaha agar anaknya bi sa sembuh. Segala cara ditempuh. Ada orang yang menyarankan untuk diba wa ke dukun. Sri pun membawanya ke dukun. Sri membawa Ratni ke dukun sebanyak dua kali. “Ya gimana lagi nama nya juga usaha,” jawabnya menjelaskan keinginan pada waktu itu agar anaknya segera sembuh. Pada waktu itu, dukun memberikan air putih agar diminumkan pada Ratni. Usaha tersebut pun belum membu ahkan hasil yang diinginkan. Perempu an berusia 66 tahun itu pun tak putus semangat. Ia beralih pergi ke rumah salah satu kiai yang memiliki pondok pesantren di Bantul. Pondok pesantren dimana Ratni pernah mengaji. “Ya sama di tempat pak kiai dikasih air putih juga,” jawab Sri saat ditanya apa yang diberi kan kiai pada anak perempuannya. Saat itu, keadaan anaknya terlihat lebih baik. Bahkan Sri sempat beranggapan bahwa
Skizofrenia: Perjuangan Melawan Stigma
anaknya telah sembuh. Namun, ternyata tidak. Ratni masih tetap diam dan lebih senang duduk di pinggir sungai. Sampai lah suatu hari, tepatnya pada tahun 2013, ada mahasiswa dari jurusan keperawatan yang paham bahwa Ratni terkena gangguan jiwa. Mahasiswa itu pun berkoordinasi dengan puskesmas terdekat untuk melakukan evakuasi pa da Ratni. Ratni pun dibujuk ibunya agar mau dievakuasi ke RSJ Grhasia Pakem. “Dulu saya mau dievakuasi karena dibo hongi mau dibelikan soto,” jelas Ratni yang mengaku sangat menyukai soto (8/9). Mengingat semua itu, Ratni pun menertawakan dirinya sendiri.
buhnya lebih ringan. Akan tetapi, Ratni, perempuan de ngan usia 43 tahun itu, setiap hari tetap harus minum obat untuk mengontrol dirinya. Pertama kali keluar dari RSJ Grhasia ia harus minum obat sebanyak tiga kali sehari. Setelah beberapa bulan, ia hanya meminum obat dua kali dalam sehari. Semakin membaik kondisinya, ia hanya perlu meminum obat sehari sekali. Apa saja nama obatnya pun ia tak tahu. Yang paling ia tahu bahwa salah satu obatnya adalah obat tidur. Ia ber untung hanya diberi obat tidur untuk malam hari. Ada beberapa temannya yang siang hari pun harus minum obat tidur. Dengan minum obat tidur hanya
dimakannya, membuat penglihatannya membaik. Ia tidak mengerti apakah itu efek dari obat atau efek dari gangguan jiwa yang dideritanya. Walau begitu, Ratni tetap berusaha meminum obatnya dengan rutin. Keluar ga pun mendukung Ratni. Pernah suatu kali ibunya menyarankan untuk tidak meminum obatnya. Namun, adik-adik Ratni menegurnya. “Jangan seenaknya sendiri, yang teratur minum obatnya. Wong itu sudah resep dokter,” tutur Sri menirukan ucapan adik Ratni.
Bertahan
Hidup belasan tahun sebagai disa bilitas psikososial bukanlah hal mudah bagi Ratni. Ratni merasa diri Menangis di RSJ Bayu | EKSPRESI nya banyak kehilangan momen Ratni men ga tak an dalam kehidupannya. Bahkan ia bahw a dir in ya sel am a lupa dengan banyak hal yang ada mengalami gangguan jiwa di sekitarnya. Misalnya, saat ber tid ak pern ah men an gis. Saat ditempatkan di RSJ, temu dengan tetangganya. Ia tidak Ratni merasa dirinya di langsung ingat dengan namanya. buang. Namun, Sri rutin Sang ibu yang mengetahui hal ter menjenguk Ratni. Begitu sebut pun seringkali membantu pun dengan adik-adiknya. Ratni untuk mengenali tetangga- tetangganya. Selang beberapa minggu di RSJ Grhasia, tepatnya saat “Dulu anak Ratni sampai tidak dijenguk ibu dan adiknya, tahu kalau Ratni itu ibunya,” sam Ratni menangis. Pada saat bung Sri. Namun, setelah Ratni itu ia mulai sadar. Ia mulai semb uh, Sri memb er it ahuk an teringat dengan anak, ibu, bahwa Ratni adalah ibunya. Ia dan adik-adiknya di rumah. pun khawatir kalau cucunya akan Ditambah lagi melihat kon merasa malu mengetahui kondisi disi sekitar membuatnya se ibunya. Kekhawatiran Sri ternyata makin sadar dan berfikir. tidak terjadi. Sri pun sampai me nanyakan hal tersebut pada anak Kemudian ia menangis lagi. Ia sangat ingat bahwa bebe Ratni. Namun, anak laki-laki Ratni rapa hari setelah menangis yang waktu itu duduk di bangku sekolah menengah atas mengaku ia diperbolehkan pulang. tak malu. Ratni pun beberapa kali Dirawat selama satu bulan Ratni sedang menyangrai melinjo sebelum ditumbuk menjadi emping (29/8). di RSJ Grhasia adalah jalan diantar anaknya untuk kontrol di RSJ kesembuhan bagi Ratni. Grhasia. Mengetahui hal tersebut Sri pada malam hari saja, membuat Ratni Hal yang diingatnya saat masuk RSJ merasa lega. senang karena tetap bisa membuat em Ratni bersyukur bahwa sekarang Grhasia adalah suntikan yang diberikan ping pada siang hari. Sekarang ini, ia dirinya sudah sembuh. Bisa berkum padanya untuk mencegah agar tidak pul dengan keluarga. Mau tak mau ia mengalami menstruasi. Ia memahami hanya perlu minum dua obat setiap dua harus menerima bahwa dirinya pernah bahwa dalam kondisinya pada saat itu hari sekali. menderita gangguan jiwa. Ia mengaku memang tidak memungkinkan untuk Mengonsumsi obat selama kurang bahwa sekarang dirinya merasa lebih membersihkan darah menstruasi dari lebih empat tahun ini, tidak dimungkiri tubuhnya. Ia mengatakan bahwa jika bahwa ada rasa bosan dalam diri Ratni. senang. Saat ada orang lain yang meng dirinya menstruasi maka akan mere Ia pun pernah sengaja tidak minum obat ajak berbicara sudah bisa nyambung. potkan orang lain. karena rasa bosannya. Ia mengatakan Sudah nyaman bertemu orang lain. Ber bahwa tidak ada efek dalam tubuhnya Selama dua tahun ia tidak mengala beda saat pertama kali ia keluar dari RSJ mi menstruasi. Akibatnya, tubuh Ratni jika dirinya tidak meminum obat. “Soal Grhasia. “Kalau dulu saya rasanya enggak terasa lebih berat. “Alhamdulillah satu nya sekarang kan kondisinya sudah lebih mau ketemu orang lain, tidak nyaman,” tahun ini menstruasinya sudah lancar,” baik,” imbuhnya. Malahan dengan sema pungkasnya.x jelasnya lebih lanjut. Ia pun merasa tu kin berkurangnya kuantitas obat yang Laporan oleh Bayu dan Ervina Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 25
ANALISIS
UTAMA
Gangguan Jiwa Dekat dengan Kemiskinan
Ekonomi bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh pada kesehatan jiwa. Namun, kebanyakan para penyandang disabilitas psikososial merupakan warga miskin. Oleh Putra Ramadan
H
as il ris et kes eh ata n das ar (Riskesdas) Kementerian Kesehatan tahun 2013 me nunjukkan, prevalensi gang guan jiwa berat paling tinggi terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan DIY, sekitar 3 dari setiap 1.000 orang penduduk DIY mengala mi gangguan jiwa berat. Fakta ini erat kaitannya dengan kondisi kemiskinan yang terjadi di DIY. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, proporsi pendu duk miskin di DIY pada bulan September 2017 mencapai 13,03 persen. Angka ini paling tinggi se-Jawa. Selain itu, kondi si kemiskinan yang dialami penduduk miskin di DIY juga salah satu yang ter buruk di Jawa. Terkait hal tersebut, Anung Trihadi, kepala seksi kesehatan rujukan dan kese hatan khusus Dinkes DIY mengatakan, perlu kajian lebih lanjut untuk meme takan faktor ekonomi sebagai penentu gangguan jiwa. Anung menjelaskan, gangguan jiwa terjadi ketika seseorang tidak sanggup menyelesaikan masalah pribadinya yang kian menumpuk. “Oleh karena itu, secara individu faktor pemi cunya dan titik tekannya berbeda-be da, tetapi secara global banyak hal bisa menyebabkan ini (gangguan jiwa, red.), seperti ekonomi dan lingkungan,” kata nya kepada EKSPRESI di kantor Dinkes DIY, Senin 30 Oktober.
Gangguan jiwa dan kemiskinan
Berdasarkan data Dinkes DIY, ter dapat 2,7 dari 1000 orang mengala mi gangguan jiwa berat di Kabupaten Gunung Kidul. Di salah satu dusun di Desa Pacarejo, Kecamatan Semanu, Mujiran, penyandang disabilitas psiko sosial, tinggal bersama istri dan putrinya. Pria berusia 47 tahun tersebut semasa sekolah tergolong cerdas. Menurut pe
26 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
khusnul | EKSPRESI
nuturan istrinya, Rubiyanti, semasa sekolah menengah atas (SMA) Mujiran tak pernah berada di luar rangking tiga besar di kelasnya. Selepas lulus SMA, Mujiran men daftar ke akademi militer. Nahas, saat itu ia tidak diterima menjadi calon ten tara. Rubiyanti mengatakan, kegagalan Mujiran tersebut memberi tekanan men tal kepada sang suami. “Dia stres berat setelah gagal jadi ABRI,” kata Rubiyanti kepada EKSPRESI. Rubiyanti men gat ak an, kond is i Mujiran sempat membaik pada awal masa pernikahan mereka. Jika sedang membaik, Mujiran bisa dibiarkan meng asuh putrinya. “Yang penting dia diam,” kata Rubiyanti. Sampai sekarang, sang suami ma sih sering kambuh. Jika Mujiran sedang
kambuh, Rubiyanti lebih memilih diam dan mengikuti kemauannya.“Ibarat ge las, kalau sudah retak ya mesti hati-hati. Yang penting jangan bikin dia kecewa. Semuanya terserah dia, jangan dike kang,” tuturnya. Oleh kar en a kea daa n Mujiran, Rubiyanti menjadi tulang punggung keluarga dengan bekerja di sawah-sa wah milik orang lain. Ia mengatakan, penghasilannya tersebut hanya cukup untuk keperluan sehari-hari keluarganya, termasuk sang putri yang kini mengin jak kelas satu sekolah menengah atas. “Kalau musim panen bisa dapat 40-50 ribu perhari, kalau hari-hari begini (di luar musim panen, red.) ya 15-30 ribu.” Uang hasil pekerjaannya tersebut menurut Rubiyanti tidak cukup untuk biaya suaminya berobat. Ia mengata
Skizofrenia: Perjuangan Melawan Stigma
kan suaminya terakhir kali berobat pada 2012. Rubiyanti termasuk yang memer cayai kondisi kesehatan jiwa dipengaruhi roh jahat atau setan. Buntutnya, biasanya ia membawa Mujiran ke dukun atau kiai untuk mencari saran medis. “Kata orang pintar sudah tidak boleh berobat, sam pai habis harta benda pun tidak akan sembuh,” ujarnya. Ketika ditanyai keinginannya untuk mengobati Mujiran ke rumah sakit jiwa, ia mengatakan tidak berniat karena ke tiadaan uang. “Buat makan saja susah. Obat kan mahal. Sekali menebus bisa 500-an ribu, waktu itu lho. Sekarang sudah enggak, sekarang berdoa saja,” tuturnya. Selain Mujiran, EKSPRESI menda tangi kediaman Wasinah. Ia perempuan penyandang disabilitas psikososial. Le tak rumahnya tak jauh dari kediaman Mujiran. Di rumah Wasinah tinggal de ngan kedua orangtuanya. Selama berta hun-tahun, Wasinah tidak pernah keluar rumah. Berdasarkan penuturan Kasini, kakak Wasinah, kedua orangtuanya su dah berusia 80-an tahun. Kasini sedikit mengisahkan bagai mana sang adik mengalami gangguan jiwa. “Waktu itu tahun 1990-an, Wasinah baru lulus sekolah dasar. Dia kerja di kota Yogyakarta. Sepulang ke rumah dia ketakutan. Katanya habis diperko sa.” Wasinah sempat dibawa ke rumah sakit jiwa, tetapi karena kehabisan uang, pengobatan pun terputus. “Kami cuma orang desa, ya enggak kuat, akhirnya se karang begitu, enggak normal.” Wasinah sempat tiga kali dibawa ke rumah sakit Puri Nirmala pada tahun pertama ia sakit. “Padahal waktu itu Puri Nirmala mahal lho,” tutur Kasini. Kasini dan keluarga juga telah menjual banyak harta benda demi kesembuhan Wasinah. “Dulu itu tanah terjual tiga juta, terus juga jual ya sapi ya barang-barang. Po koknya biar bisa sembuh.” Setelah menghabiskan banyak uang dan Wasinah tak kunjung sembuh, Kasini dan keluarga memut uskan berh ent i mengobati Wasinah pada tahun keti ga. Selain faktor ekonomi, keputusan tersebut juga dipengaruhi kepercayaan terhadap kekuatan sakti. “Katanya yang memerkosa itu orang sakti, jadi dia bisa menutup ingatan Wasinah.” Kasini menjelaskan kekhawatiran nya terhadap Wasinah yang hanya dija ga oleh orangtuanya yang sangat sepuh.
“Saya sering was-was karena tinggal ber pisah dari sini. Wasinah suka mengamuk, pernah memukul Bapak sampai kepala nya bocor,” kata Kasini yang sudah ber keluarga dan memiliki dua anak. Orangtuanya memiliki ladang sempit yang ditanami padi. “Sekali panen dapat 4 karung,” ujarnya. Namun, menurut Kasini, hasil pertaniannya itu terkadang tidak cukup untuk kebutuhan sehari-hari. “Buat makan saja kadang pertengahan tahun sudah habis. Jadi tidak bisa men jual,” ujar anak kedua dari lima bersau dara ini. Sementara itu, kondisi serba keku rangan juga ditemui di keluarga Suli. Ia juga warga desa Pacarejo yang mengala mi disabilitas psikososial selama sepuluh tahun terakhir. Pria 30 tahun itu tinggal berdua bersama ayahnya, Wagiyo di se buah rumah hasil hibah dari pemerintah desa. Menurut Wagiyo, sakit yang dialami anaknya terjadi sejak ibu kandung Suli meninggal. Ketika itu Suli baru lulus sekolah menengah kejuruan dan sudah bekerja di sebuah pabrik di Tangerang. “Ibunya paling sayang sama dia. Waktu ibunya enggak ada dia jadi sakit,” ujar pria yang berprofesi sebagai petani ini. Wagiyo menuturkan, Suli hanya sekali dibawa ke rumah sakit jiwa. Ke tika itu ia sampai menjual sebidang ta nah seharga 15 juta rupiah untuk biaya pengobatan anaknya. Lagi-lagi kondisi ekonomi menyebabkan terputusnya la yanan medis bagi Suli. Sejak mengalami gangguan jiwa, selama bertahun tahun Suli tak pernah sekalipun keluar rumah. Ia hanya bersedia bertemu ayahnya. Suli sebenarnya pemuda yang teram pil. Ia pandai membuat peralatan rumah berbahan kayu, seperti meja, kursi, dan lemari. Dengan keterampilannya itu, Suli mengerjakan pesanan untuk memban tu keuangan ayahnya. “Hasil kerjanya bagus. Lebih bagus dari banyak orang,” aku Wagiyo.
Distribusi pendapatan terputus
Data BPS menunjukkan kesenjang an pendapatan antara si kaya dengan si miskin di DIY sebesar 0,43 atau lebih tinggi dari rasio nasional 0,39. Angka kemiskinan tertinggi di DIY terjadi di Gunung Kidul. Purwo Santoso, guru be sar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada menjelaskan distribusi pendapatan terjadi dengan ti
dak merata di Gunung Kidul. Hal tersebut menjadi ironi sebab terjadi peningkatan signifik an aktivitas pariwisata selama 2-3 terakhir di Gunung Kidul. Purwo mengatakan, peningkatan pa riwisata tersebut seharusnya memberi manfaat ekonomi bagi warga sekitar. Ia menyayangkan terputusnya masyara kat Gunung Kidul dengan industri pa riwisata yang terkonsentrasi di daerah selatan tersebut. Ia mengatakan, seha rusnya dinas pariwisata Gunung Kidul harus lebih banyak mengelola kegiatan pariwisata. “Selama ini hal tersebut lebih sering dipegang swasta, dan yang dilaku kan swasta itu untuk keuntungan dirinya bukan untuk pemerataan pendapatan,” katanya. Sejalan dengan Purwo, Kadir Ruslan, pemerhati masalah sosial-ekonomi dari BPS, mengatakan, angka rasio Gini yang relatif tinggi ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Seba gian besar penduduk miskin tinggal di perdesaan dan mengandalkan sektor pertanian, sementara dalam beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi DIY didominasi sektor konstruksi dan jasa. Selain itu, pertumbuhan ekono mi hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu, khususnya Kota Yogyakarta. “Kalau dibiarkan, ketimpangan ekonomi sangat berbahaya karena dapat memi cu timbulnya konflik sosial yang dipicu oleh melemahnya kohesi sosial di tengah masyarakat. Selain itu, ketimpangan eko nomi yang tinggi dapat memperlambat penurunan kemiskinan,” ujar Kadir. Kadir memandang distribusi penda patan hasil pariwisata Gunung Kidul ber hubungan dengan keterkaitan sektor di mana penduduk miskin bekerja dengan sektor pariwisata. “Kalau keterkaitan nya lemah, dampaknya juga lemah. Jika geliat sektor pariwisata mampu mendo rong permintaan barang dan jasa yang dihasilkan penduduk miskin, misalnya komoditas pertanian, dampaknya barang kali cukup signifikan terhadap penurun an kemiskinan,” tuturnya. Oleh karena itu, menurutnya fokus pengembangan sektor pariwisata sebaiknya untuk men ciptakan lapangan kerja baru dan me munculkan sumber-sumber pendapatan bagi masyarakat miskin.x Laporan oleh Khusnul
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 27
profil
Memahamkan Konsep Sejarah Melalui Film
Baginya, sejarah tak melulu harus diejawantahkan melalui tulisan. Semuanya harus menyesuaikan perkembangan zaman. Oleh Bayu Hendrawati
M
emasuki masa kuliah, ia mulai mengenal beberapa komunitas kampus. Ia sem pat mempunyai kelompok menulis. Selain menulis, kegiatan ke lompok yang terdiri dari beberapa ma hasiswa lintas universitas tersebut juga memiliki agenda berdiskusi. Diskusi yang diangkat bisa tentang tulisan anggota ataupun diskusi buku. Melalui kelom pok tersebut, ia mulai aktif menulis di berbagai media masa. Setelah menjadi dosen, kegemarannya berdiskusi tetap tumbuh. Ia turut serta sebagai anggota dalam kelompok diskusi mingguan di Universitas Gadjah Mada. Rhoma Dwi Aria Yuliantri ialah alumni dari tempatnya mengajar saat ini, Universitas Negeri Yogyakarta. Pada 2005, ia merampungkan pendidikannya di Program Studi Ilmu Sejarah. Dua ta hun berselang ia kembali lulus strata 1 (S1) dari Program Studi Pendidikan Se jarah. Setelah menyelesaikan program double degree S1 di universitas yang sama, Universitas Negeri Jakarta men jadi pilihan Rhoma untuk melanjutkan pendidikan S2. Kala itu, Program Studi Pendidikan Sejarah ia pilih sebagai tu juan. Hingga akhirnya, pada 2010 Rhoma dinyatakan lulus dan menyandang gelar Magister Pendidikan. Sejak saat itu ia mulai melaksanakan tugas sebagai do sen. Salah satu mata kuliah yang diam pu oleh Rhoma ialah Sejarah Indonesia Kontemporer. Dosen yang sempat menjadi kon tributor majalah Basis pada 2010-2011 tersebut mengaku sangat tertarik de ngan jurusan yang didalaminya. ”Saya dulu sempat diterima di Universitas Sanata Dharma Jurusan Pendidikan Matematika, tapi karena saya suka de ngan Pendidikan Sejarah akhirnya saya lepas,” ungkap Rhoma saat ditemui di
28 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
ruangannya. Kendati keputusannya un tuk melepaskan Jurusan Pendidikan Matematika di Universitas Sanata Dharma sempat tidak disetujui oleh kedua orangtuanya, Rhoma tetap bersi keras memilih Pendidikan Sejarah. ”Ala san orangtua saat itu, kan, Pendidikan Sejarah merupakan jurusan yang masih dianggap tidak jelas masa depannya.” Namun, rasa sukanya terhadap sejarah membuatnya tetap bertahan di jurusan tersebut hingga kelulusannya.
Rajin melakukan riset
Selain berdiskusi, Rhoma juga sering melakukan riset untuk menyalurkan ke gemarannya menulis. Selama mengajar kurang lebih tujuh tahun, Rhoma telah menyelesaikan tujuh riset, salah satunya adalah Dinamika Pendidikan Pada Masa Orde Baru, Kebijakan Daoed Joesoef dan Nugroho Notosusanto. “Tugas utama seorang dosen selain mengajar adalah melakukan riset,” tutur Rhoma. Baginya, riset penting sebagai media untuk dosen berkarya dan menajamkan kemampuan. Akan tetapi, menurutnya, alokasi waktu mengajar bagi dosen khususnya di UNY, dirasanya terlalu memberatkan. Itu membuat waktu dosen untuk mela kukan riset menjadi terbatas. “Karena terlalu banyak beban mata kuliah yang ditanggung, rasanya waktu untuk mela kukan riset menjadi minim,” terangnya. Menurutnya, lebih baik mengajar dengan jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) yang banyak tetapi mata kuliahnya se dikit. Apabila jumlah mata kuliah yang ditanggung seorang dosen lebih sedikit, pemahaman akan mata kuliah tersebut pun lebih mendalam. Kegemaran Rhoma melakukan ri set rupanya berusaha ia tularkan kepada mahasiswanya melalui tugas-tugas yang ia berikan. Sebisa mungkin ia memberi
kan tugas kepada mahasiswanya untuk melakukan analisis terhadap peristiwa sejarah. Tak berhenti di situ, ia menekan kan kepada mahasiswanya untuk men cari sumber berupa buku, tidak hanya internet. “Mungkin mereka sudah puas dengan memarafrasakan apa yang mere ka baca dari internet, tapi menurut saya itu bukan karya mereka,” ungkap Rhoma. Rhoma juga sebisa mungkin mem bangun wacana bagi mahasiswanya de ngan menerapkan buku bacaan wajib untuk mata kuliahnya. Baginya, salah satu kekuatan mahasiswa bidang huma niora adalah wacana yang kuat. “Saya lebih suka mahasiswa yang pergi ke luar ruangan untuk berdiskusi atau mengha diri seminar daripada hanya terkungkung di kelas,” ungkapnya.
Memunculkan gagasan baru
Tegas, itulah kesan pertama yang dituturkan oleh mahasiswanya mana kala ditanya terkait cara mengajar do sen yang menggarap buku Lekra Tak Membakar Buku bersama Muhidin M. Dahlan tersebut. Rhoma dikenal sebagai pengajar yang selektif dalam pemberian nilai. Jika mahasiswa Pendidikan Sejarah ditanya terkait tugas yang erat kaitan nya dengan Rhoma, ingatan mereka tak akan lepas dari tugas pembuatan film. Sebuah tugas yang paling mengesankan bagi mahasiswanya. Tugas yang biasanya identik dengan lembaran kertas yang dipenuhi belasan atau bahkan puluhan paragraf berubah menjadi wujud yang terbilang lebih me nyenangkan. Mahasiswa dibagi menjadi beberapa kelompok, untuk kemudian mengerjakan satu proyek dalam kurun waktu satu semester. Banyak yang harus dilakukan dan dipelajari untuk meram pungkan satu garapan film tersebut. Di mulai dari pemilihan tema hingga detail
profil
sederhana terkait kesesuaian properti de ngan pengaturan waktu yang digunakan. “Penulisan sejarah itu, kan, banyak bentuknya, mulai dari berwujud tulisan hingga media lainnya termasuk film,” jelas Rhoma tatkala ditanya mengenai latar belakang memberikan tugas pem buatan film. Ia menambahkan bahwa menyikapi perkembangan teknologi di era digital, penting untuk merepresen tasikan konsep sejarah dalam wujud selain tulisan. Menurutnya, kesalahan konsep pembelajaran di bangku seko lah yang terbatas pada hafalan buku paket semakin merekatkan hubungan sejarah dengan konsep hafalan. Tentu saja konsep tersebut tidak selaras dengan keadaan sekarang. Masa sekarang ini, menurut Rhoma, anak muda cenderung bosan dengan cara belajar sejarah yang terbatas pada membaca buku-buku te bal. Sehingga pandangan umum tentang sejarah adalah sebatas ilmu menghafal, mulai dari nama orang maupun nama tempat, semua serba dihafalkan. Pemahaman yang digarisbawahi oleh Rhoma adalah pemahaman atas latar be lakang suatu sejarah yang tentunya diser tai analisis kritis atas peristiwa tersebut. Baginya, dalam sebuah proses belajar penting untuk lebih dahulu memahami latar belakang suatu peristiwa. Tak ka lah penting adalah mengenali siapa saja tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, bagi Rhoma, perlu ada perubahan konsep pembelajaran yang lebih fleksibel. Dari ketidaksepakatannya terhadap
digma tersebut, maka muncul gagasan nya untuk menginterpretasikan sejarah dalam media selain tulisan. Bersama Sardiman, dosen di Prodi Pendidikan Sejarah, Rhoma mulai mematangkan gagasannya. Melihat ketertarikan anak muda terhadap film dengan segala genre, membuat ia beranggapan bahwa film le bih bisa masuk secara fleksibel ke dalam dunia anak muda. Ia meyakini bahwa de ngan memberikan tugas akhir semester berupa penggarapan film, mahasiswanya akan lebih memahami bidang keilmuan sejarah hingga tataran konsep terhadap terjadinya satu peristiwa sejarah. “Melalui penggarapan film, mahasis wa dituntut untuk membuat konsep dan jalan cerita atas suatu sejarah, mau tidak mau mahasiswa harus melakukan riset secara detail,” urainya seraya menatap sekejap layar laptop untuk menunjukkan hasil ujian mahasiswanya yang tengah dikoreksi. Dalam prosesnya, penggarap an film sejarah tersebut diusahakan un tuk dikerjakan secara profesional. Mulai dari riset data dan lokasi, properti yang akan digunakan, pembuatan storyboard, hingga pengambilan adegan. Tugas untuk mata kuliah Sejarah In donesia Kontemporer sebenarnya tidak terpaku pada film. ”Sebetulnya tidak ha rus film, tapi bagaimana lagi, kebanyakan lebih merasa tertarik untuk menggarap film dibandingkan produk yang lain,” ungkap Rhoma. Pertama kali tugas ini dicetuskan, salah satu kelompok sem pat menggarap teater. Namun, produk berupa pementasan tersebut hanya ter jadi sekali, selanjutnya berupa film dan
khusnul | EKSPRESI
Nama Rhoma Dwi Aria Yuliantri, M. Pd Tempat dan Tangal Lahir Kulon Progo, 4 Juli 1982 Alamat paRt. 8 Nitipuran, Kasihan, Bantul Yogyakarta (Email) r a Surel rhoma@uny.ac.id Pendidikan S1 Ilmu Sejarah UNY 2000 S1 Pendidikan Sejarah UNY 2005 S2 Pendidikan Sejarah UNJ 2007 S3 Ilmu Sejarah UGM 2015 Jabatan di UNY Dosen Pendidikan Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta
berlanjut hingga angkatan berikutnya. “Sebenarnya, kan, tidak harus film, ya, bisa dalam bentuk puisi, teater, ataupun produk yang lain”.
Sebuah apresiasi
Dalam salah satu acara pemutaran film garapan mahasiswa Pendidikan Sejarah yang di p u t ar di Museum Pendidikan Indonesia, banyak apresi asi bermunculan dari berbagai pihak. Bahkan universitas lain turut hadir dan meminta agar film-film tersebut diputar sebagai bahan diskusi. “Film garapan mahasiswa Pendidikan Sejarah UNY mulai dikenal dan banyak diapresiasi dan menjadi ikonik,” ungkap Rhoma de ngan bersemangat. Ia berpendapat bah wa Program Studi Pendidikan Sejarah UNY harus mempunyai bidangnya sen diri untuk menjadi ciri khas, misalnya film sejarah kecil. Rhoma mengakui bahwa secara tek nis, karya dari mahasiswa Pendidikan Sejarah memang tidak sebagus film karya mahasiswa seni. Namun, secara konten, film tersebut lebih unggul dan dapat dipertanggungjawabkan karena riset yang dilakukan diusahakan secara maksimal dan tidak sembarangan. Ba ginya, memahami sejarah pada tataran konsep akan lebih lama diingat daripa da mempelajari sejarah secara hafalan. “Penulisan sejarah itu ada banyak sekali modelnya, tidak berhenti pada tulisan berlembar-lembar tetapi juga bisa dalam bentuk yang lain, seni maupun film itu tadi,” pungkas Rhoma.x
Pengalaman Menghasilkan penelitian dengan judul “Inovasi Dalam Pembelajaran Sejarah Melalui Mendia Animasi” Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) di Universitas Goethe, Jerman dengan judul “Did Lekra Burn Books Rumour ar Fiktion?” Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) di FBS UNY dengan judul “Logika Hati Sastra Kiri Indonesia” dalam seminar Konfrensi Internasional Kesusatraan XXV Kerjasama Rumpun Satra FBS UNY, HISKI, UNY, dan HISKI Pusat Pemakalah Seminar Ilmiah (Oral Presentation) di UI dengan judul “The Grand Old Man Indonesia: Pers dan Nasionalisme” Menghasilkan karya buku berjudul "Pertanian di Kulon Progo dalam Cenkeraman Kolonial 1900-1930" (20013), “Sejarah Yogyakarta” (2015), LEKRA and Ensembels Tracing the Indonesia musical stage. "Heirs to World Culture: Being Indonesia 1950-1965", ed. Jennyfer Lindsay dan H.T. Maya Liem, KITLV: Leiden, 2012, (2012)
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 29
almamater
fitriansyah | EKSPRESI
Ruang Subag Keuangan kerap didatangi mahasiswa yang mengajukan penurunan UKT, Senin (12/02).
UKT Penuh Bebani Mahasiswa UKT penuh terus diprotes mahasiswa. Namun, birokrat tak bergeming. Oleh M.S. Fitriansyah
S
al ah seo rang mah as isw a Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang namanya tidak ingin disebutkan, mencerita kan tentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) penuh yang harus di bayarkan membe baninya. Menurutnya, pihak birokrat tidak memberikan keringanan apapun, padahal ia sedang menjalani tugas ak hir skripsi. Ia juga menyatakan bahwa banyak teman seangkatannya yang bernasib sama. Akhirnya ia pun harus pun tetap harus membayar UKT penuh untuk melanjutkan tugas akhir. "Teman saya yang orangtuanya meninggal tetap membayar UKT penuh," ungkapnya. Cerita sarupa juga diungkap oleh Annisa Candra, mahasiswa D3 Jurusan Administrasi Perkantoran. Annisa, be gitu ia akrab disapa, telah mengajukan penurunan UKT pada semester 3. “Aku pernah baca ketentuannya yang katanya UKT bisa turun kalau orang tuanya me ninggal atau pensiun,” ungkapnya saat
30 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
ditemui Jumat (9/2). Ia menambahkan bahwa saat mengajukan penurunan, po sisi orang tuanya sudah pensiun. Namun, UKT-nya tetap tidak turun kala itu. Memasuki tugas akhir ia tetap mem bayar UKT penuh. “Tetapi kemarin pas tugas akhir kok disuruh bayar penuh, keberatan banget aku,” tuturnya. Melalui Tata Usaha, Annisa disarankan untuk melampirkan surat pengajuan penurun an tersebut ke Wakil Rektor II. Kendati telah mengajukan penurunan untuk yang kedua kalinya, pengajuan penurunan UKT Annisa tetap belum ada hasil. Pa dahal, menurutnya, ia telah melampirkan SK pensiun orangtuanya sebagai salah satu persyaratan. “Ya, kita nggak tahu mbak, keputusan dari WR II begitu,” ungkap Annisa menirukan perkataan pihak keuangan rektorat. Kembali gagal menurunkan UKT, tak lantas membuat Annisa terima-te rima saja keputusan tersebut. Ia harus bolak-balik untuk mengurus keringanan pembayaran UKT. Annisa juga mengakui
bahwa hampir semua teman sejurusan nya mengalami hal yang sama. Ia pun kembali mengajukan penurunan UKT atas saran bagian keuangan rektorat un tuk yang ketiga kalinya. “Waktu tugas akhir itu UKT-ku turun 25%,” ungkap Annisa. Menurutnya penurunan 25% tersebut adalah kebijakan rektorat ba gi mahasiswa yang belum sidang skripsi, tetapi sedang mengerjakan tugas akhir. Sedangkan bagi mahasiswa yang sudah sidang skripsi diberi keringanan penu runan 50%. Menurut Annisa, UKT penuh sangat membebani mahasiswa yang tinggal me ngerjakan tugas akhir saja. “Ya, kita kan sudah nggak ada kegiatan di kampus, sudah nggak memakai gedung, listrik, dan sebagainya. Namun disuruh bayar penuh, kan nggak adil,” ujarnya. Seha rusnya, lanjut dia, kita sudah tidak di bebani hal-hal seperti itu. Annisa juga menyayangkan bahwa publikasi UNY tidak terlalu gencar, sehingga banyak mahasiswa yang tidak
almamater
keringanan 25% bagi yang sudah bebas mengetahui informasi tersebut. "Saya teori, 50% bagi yang sedang penelitian tahu informasi tersebut hanya dari pengumuman yang ditempel di papan skripsi, dan 75% untuk mahasiswa yang informasi rektorat, itu pun tidak semua sudah ujian dan sedang menjalankan mahasiswa melihatnya," bebernya. revisi lebih dari tanggal 31 Agustus. Na Nad a keb er ata n dengan UKT mun, Yohanes Bosco D.R Mawar, selaku penuh juga di u ng k a pk a n N u r m a , mahasiswa Jurusan D3 Administrasi Perkantoran. “Jadi ke beratan semisal harus bayar UKT penuh, ka rena tinggal mengurus skrips i,” ungk apn ya Minggu (11/2). Nurma mendapat kabar pem bayaran UKT tinggal bayar setengahnya saja bagi mahasiswa yang si dang skripsi dari kakak tingkatnya. Nurma yang ka la itu sud ah sidang skripsi mendapat pe nur una n UKT 50% dari total yang harus ia bayarkan. Adapun persyaratan yang harus ia lampirkan diantara nya surat pengajuan pe nurunan, slip gaji orang tua, fotokopi KTM, dan lembaran persetujuan tugas akhir. Berkas ter sebut, lanjutnya, dilim pahkan ke Subbag Tata Usaha dan Kearsipan. Kemudian pihak yang mengajukan menung gu konfirmasi dari Biro Keuangan. Mah as isw a yang t e rg ab u n g d al a m Aliansi UNY Bersatu pern ah menga juk an tunt ut an dal am aks i mereka Selasa (29/8) di halaman Rektorat. Informasi pembayaran UKT yang ditempel di kaca Subag Keuangan, Senin (12/02). Adapun tiga tuntutan ter sebut yaitu memberikan keringanan pembayaran UKT sebesar Kepala Departemen Kajian Riset dan 50% bagi mahasiswa semester tersebut Politik BEM KM UNY 2017 mengata dan khususnya bagi mereka yang telah kan bahwa tiga tuntutan tersebut ditolak seminar proposal skripsi diberikan ke birokrat dengan alasan yang tidak jelas. ringanan pembayaran UKT sebesar 75% Sebelumnya BEM KM UNY telah mengadakan audiensi dengan pihak dari UKT normal, pukul rata pembayaran birokrat di Aula SC lantai 3. Audien UKT sebesar 50% bagi mahasiswa se si terbuka tersebut turut dihadiri oleh mester tersebut, terakhir memberikan
Rektor Sutrisna Wibawa didampingi Wakil Rektor II Edi Purwanta, Wakil Rektor III Sumaryanto, serta jajaran dekan. Namun, belum ada keputusan yang disepakati pada audensi tersebut. Sementara itu , Wakil Rektor II men gat ak an bahw a jika UNY menyepakati usulan mahasiswa maka hal tersebut akan me langgar peraturan dikti. “Kalau yang sudah yu disum Januari-Februari dia nggak bayar. Kalau dia mas ih berp ros es men yel es aik an tug as akhir itu tetap bayar. Karena UKT itu mem beri pembiayaan yang sama dari semester sa tu hingga dia selesai,” terang saat ditemui di ruangannya Senin (5/2) dalam pertemuan yang singkat dengan reporter Ekspresi. Edi menambahkan bahwa UKT akan turun apabila ada krit er ia: orangtuanya mening gal, ekonomi bangkrut, dan pen op ang sak it. Seh ingg a, lanj utn ya, konsep UKT itu mem bay ar dal am sat ua n yang sam a. “Kar en a pembayaranUKT penuh itu punya dua motivasi. Selain dulu sudah terja di subsidi silang, moti vasi yang kedua supaya yang bersangkutan ce pat selesai,” ungkap Edi. Unt uk ket er ang an lebih lanjut, hingga tulisan ini selesai WR II masih sulit dimin tai keterangan terkait fitriansyah | EKSPRESI UKT pen uh. Beb er a pa kali reporter Ekspresi meminta waktu wawancara, tetapi Edi belum menanggapinya.x Laporan oleh Agung dan Fahrudin
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 31
kolom
Hujan Pelanggaran HAM di Papua Oleh Fransiska Manam
Pemerhati HAM dan Filmmaker Muda Papua dok. istimewa
P
apua dianeksasi sejak 1 Mei 1963 oleh Indonesia dengan kekuatan militeristik serta kepentingan im perialis di Papua Barat. Sejak itu pula perjuangan Papua dimulai dengan melawan negara Indonesia dan juga awal mula tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah Papua. Namun, Sebelum Papua dianeksasi tahun 1963, Peme rintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea). Setelah melakukan berbagai persiapan diser tai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan manifesto politik yang berisi; menentukan nama negara yaitu Papua Barat, menentukan lagu kebangsaan yaitu Hai Tanah ku Papua, menentukan bendera negara yaitu Bintang Kejora, dan Lambang Negara Papua Barat yaitu Burung Mambruk dengan semboyan “One People One Soul”. Tertanggal 26 Juli 1965, tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharisma tik gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun. Setelah itu, 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM. Lahirnya OPM di Kota Manokwari ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak (Manokwari) terhadap ba rak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya). Dimana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Sedangkan 1 Juli 1971, empat tahun sesudah pemberon takan OPM di daerah Kepala Burung Kota Manokwari dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit Resismen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD) di bawah Komando Sarwo Edhie Wibowo. “Proklamasi OPM” kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada 1 Juli 1971, di Desa Waris, Kabupaten Jayapura (yang saat ini kabupaten Keerom), dekat perbatasan Papua Nugini—yang dijuluki Markas Victoria.
Kasus Pelangaran HAM
Sejak tahun 1960-an hingga 2017 ini, pembunuhan ka rakter bahkan nyawa rakyat Papua terus terjadi. Kita bisa menyimak berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua tak satu pun diselesaikan oleh negara. Pada tahun 1962, Pemerintah Indonesia melakukan operasi militer ke Papua untuk merebut Papua dari tangan Belanda, hingga pada 1963 Papua dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM). Pemerintah Indonesia menempatkan TNI dalam jumlah besar
32 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
di seluruh tanah Papua dan dilakukan operasi besar-besaran. Imbasnya ribuan rakyat Papua tewas. Operasi militer yang dimaksud adalah Operasi Sadar (1965-1967), Operasi Bhratayuda (1967-1969), Operasi Wi bawa (19767-1969), Operasi Pamungkas (1969-1971), Operasi Militer di Kabupaten Jayawijaya (1977), Operasi Sapu Ber sih I dan II (1981), Operasi Galang I dan II (1982), Operasi Tumpas (1983-1984) Operasi Sapu Bersih (1985), dan Ope rasi Militer di Mapenduma (1996). Kemudian masih terus berlanjut hingga ada tiga kasus yang dinyatakan oleh negara sebagai kasus pelanggaran HAM berat di Papua. Seperti kasus Wasior berdarah pada tanggal 13 Juni 2001; aparat Brimob Polda Papua melakukan penyerbuan kepada warga di Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari. Tercatat empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang, dan 39 orang disiksa. Kasus berikutnya adalah kasus Wamena berdarah tahun 2003. Komnas HAM melaporkan kasus ini menyebabkan sembilan orang tewas, serta 38 orang luka berat. Selanjutnya kasus Paniai berdarah pada 8 desember 2014 yang mana aparat negara menembak mati lima orang siswa SMA. Setiap tahun pasti saja ada kasus pelanggaran HAM di tanah Papua. Kita bisa lihat saja Tragedi Biak Berdarah yang menewaskan rakyat Papua tahun 1989 tepat 6 juli silam. Ti dak ada kabar dari negara dalam penyelesaian kasus ini, belum lagi kematian Arnol C. Ap pada 26 April 1984, salah seorang seniman Papua yang juga mantan kurator Museum Uncen terbunuh dan sampai saat ini kasusnya tidak pernah diungkap. Di tahun 2017 ini ada kasus penembakan di Deiyai pada 1 Agustus yang telah menewaskan Yulianus Pigai dan melukai 16 orang lainnya. Dalam hal ini negara sendiri telah melanggar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 tahun 1998 tentang Hak Asasi Manusia. Negara selalu menstigma orang Papua dengan sebutan separatis, rambut gimbal, gerakan kriminal bersenjata dan sebagainya. Namun yang menjadi pertanyaan, salahkah jika rakyat Papua menentukan nasib mereka sendiri seperti ter cantum di dalam UUD 45, “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”. Tanpa disadari negara sedang menabur benih kejahatan dan pembantaian. Semua tindakan itu diingat sejak lama oleh rakyat Papua sampai dengan saat ini. perjuangan Papua masih terus berlanjut, sebab negaralah yang mengajarkan kami bagaimana berdemokrasi dengan baik dan bagaimana menjaga rasa nasionalisme kami terhadap perjuangan per gerakan bangsa Papua.x
EKSPRESIbuku
'
SENI TRADISI KONTEMPORER DARI LERENG MERAPI
D
esa Tutup Ngisor berjarak sangat dekat dengan Gunung Mera pi. Jalan berlubang, tanjakan, dan curam adalah cara menuju Pedepokan Cipta Budaya. Didirikan di tahun 1937 oleh Romo Yoso Soedarmo. Kini, Pedepokan Cipta Budaya telah diwaris kan ke generasi selanjutnya, Romo Sitras.
Padepokan Cipta Budaya menjadi sebuah tempat dimana seni tradisi mampu berkembang mengikuti perubahan zaman tanpa meninggalkan akar kebudayaan mereka sendiri. Kebanyakan dari mereka hidup dengan meng andalkan hasil bumi. Maka dari itu kedekatan dengan alam membawa corak seni mereka menjadi lebih sakral tapi modern. Bahkan ada beberapa seni tra disi yang dikolaborasikan dengan seni kontemporer. Foto oleh Ahmad Wijayanto Teks oleh M.S. Fitriansyah Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 35
T EL US UR
T ELU S U R
MENYERET KELUAR KEBUN
KARET T
Tiga masa model pemerintahan, tiga masa petani Sambirejo, Sragen berubah-ubah atas status tanah mereka. Pada 4 Januari 1964, melalui Reforma Agraria tanah pertanian menjadi milik mereka. Akhir tahun 1965, tanah mereka direbut militer. Hingga pada masa reformasi, kesadaran untuk merebut tanah itu mulai tumbuh.
Forum Peduli Keadilan dan Kebenaran Sambirejo (FPKKS), se buah wadah yang memperjuangkan kembalinya tanah mereka. Tak hanya tanah, penggusuran pedagang pasar dan permasalah an ketidakadilan di Sragen juga diperjuangkan. Berdiri setelah re formasi, FPKKS hingga 20 tahun reformasi tetap gigih berjuang.
Dari 600 Ha yang dicuri militer untuk PT. Perkebunan, kini 400 Ha sudah direbut kembali. Strategi perjuangan yang disusun se cara demokratis dengan tidak banyak menggunakan upaya liti gasi terbukti berhasil. Harapan untuk mendapat legalitas tanah yang sudah direbut dengan Surat Hak Milik menjadi tujuan perju angan selanjutnya. Strategi melalui selogan pemerintahan Jokowi dengan Reforma Agrarianya jadi jalan untuk harapan tersebut. TIM Telusur: Fahrudin (Koordinator), Khusnul Khitam, Triyo Handoko
ilustrasi oleh: ANDHIKA | EKSPRESI
TELUSUR
KHUSNUL | EKSPRESI
Tumpah Darah Tanah Sambirejo Setelah setahun diberikan hak milik oleh negara pada 4 Januari 1964, tanah itu digasak PT Perkebunan. Dibantu militer bersenjata, siapa yang berani melawan dituduh PKI. Oleh Triyo Handoko
R
umahnya dari Jalan Sragen-Balong masuk jalan dua tapak yang dibangun dari semen. Sekitar 500 meter dari halaman rumahnya adalah lahan yang secara hak milik belum dimilikinya. Namun, sudah dikelolanya secara sepihak sejak 2007. Namanya Sunarji, berbadan tegak, ting gi sekitar 168 cm. Berambut putih, berkumis putih, berjenggot lebat dan juga putih. Sudah sejak pecah reformasi mengorganisir petani Sambirejo untuk kembali mengambil hak atas tanah yang dirampas oleh negara sejak 1965. Pada 16 Juli, dua minggu setelah lebaran 2017, sore itu selepas maghrib ia pulang menghadiri haja tan pernikahan salah satu anak dari anggota Forum
42 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
Hadi dan Marni mengenang peristiwa ketika petani Sambirejo ditangkapi dan dituduh PKI.
Peduli Kebenaran dan Keadilan Sambirejo (FPKKS). Sebuah organisasi yang didirikan untuk merebut hak milik tanah petani Sambirejo yang kini dikelola PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) XI. Anggota FPKKS kini sekitar 700 orang yang tersebar di beberapa desa seperti desa Sukorejo, Jambeyan, Sambi, Sambirejo, dan Jetis. Sambirejo sebagai sebuah kecamatan di Sragen berbatasan dengan Karanganyar di sisi selatan dan Ngawi di sisi Timur. Persis dengan wilayah kerja PTPN XI yaitu di Karanganyar, Sukoharjo, Klaten, Sragen, dan Ngawi. Perusahaan berplat merah de ngan nama PT Perkebunan di era Sukarno, kemudian bertransformasi menjadi PTPN IX di era kekuasaan Suharto. Kini, PTPN tersebar ke seluruh Indonesia. Wilayah kerja PTPN kebanyakan menggunakan be kas lahan perkebunan Belanda yang dinasionalisasi setelah merdeka. Ada banyak jenis perkebunan yang dikelola PT PTPN XI, seperti kopi, teh, jagung hingga karet. Di Sambirejo, PTPN XI mengelola perkebunan karet. Tanah seluas 400an ha yang dikelola PTPN XI diawali dengan lumuran darah pembunuhan, pembuangan, dan api pembakaran perkampungan. Sunarji, ingatnya, masih kelas empat sekolah rakyat ketika peristiwa itu terjadi. Tak jauh berbeda dengan petani lain. Orang tuanya dan paman-paman nya juga menjadi korban. “Waktu itu di awal tahun
TELUSUR
1966, saya dengan teman-teman sambil memanjat pohon melihat orang ditembak di pinggir liang tanah yang sudah disiapkan,” ceritanya. Pelaku dari aksi semua kebiadaban itu adalah mi liter. “Di masa penjajahan Belanda tanah itu dijadikan perkebunan kopi dan tebu,” Sunarji mengawali cerita. Kemudian setelah Belanda bersama sekutu kalah di perang Pasifik, “Seperti sejarah pra kemerdekaan yang diajarkan sekolah, Jepang mengambil alih Indonesia termasuk tanah di Sambirejo ini,” lanjutnya dengan nada yang tenang tidak dibuat-buat. Oleh Jepang, bekas perkebunan kopi dan tebu tersebut diubah menjadi perkebunan serat nanas. “Berbeda loh nanas dengan serat nanas itu, serat nanas itu untuk bahan sandang waktu itu. Sejenis serat pandan,” jelasnya dengan sedikit tertawa. Ik lim politik yang tidak menentu, menurut Sunardi, karena perang dunia menjadikan perkebunan serat nanas mangkrak. Jepang disibukkan dengan urusan perang, lanjut pria yang suka membaca sejarah dan mengidolakan Pangeran Diponegoro dengan perang jawanya ini. Setelah Jepang kalah dan Indonesia menyata kan merdeka, kemerdekaan itu juga dirasakan petani Sambirejo. “Kenapa? Karena petani Sambirejo bisa bebas bertani di tanah bekas perkebunan tersebut, yang juga tanah nenek moyangnya,” ungkap Sunarji dengan antusias. Semenjak Indonesia merdeka, cerita Sunarji, sisa-sisa bekas serat nanas tersebut dibersihkan ke mudian dikelola oleh petani Sambirejo. Aneka ragam tanaman ditanam seperti palawija, jagung, kedelai, dan kacang. Tanaman untuk makanan pokok, seperti padi dan singkong hingga pepohonan yang bernilai jual tinggi, seperti pohon jati dan akasia. Semua itu jadi tumpuan hidup petani Sambirejo. Sebelum peristiwa genosida 1965, menurut Sunarji, sudah ada penawaran pembelian tanah da ri PT Perkebunan. “Petani, ya pada tidak mau, itu sumber penghidupan mereka jek,” cerita Sunarji dengan jengkel. Waktu itu PT Perkebunan bekerja sama dengan perangkat desa. Genosida 1965 yang dilakukan militer lah yang menjadi kesempatan biadab PT Perkebunan. Mem bumihanguskan segala bangunan yang berdiri dan tanaman yang tumbuh adalah cara PT Perkebunan dibantu militer, kemudian membangun perkebunan karet. “Lewat Surat Keterangan (SK) Kepala Inspeksi Agraria Daerah (KINAD) tertanggal 4 Januari 1964 tanah-tanah itu legal secara hukum milik petani,” lanjut Sunarji. “Sungguh kalau mengenang kebia daban itu kok ya negara tega-teganya, gak habis pikir saya,” keluh Sunarji dengan menundukkan kepala.
Pembantaian Anggota PKI Sambirejo
Sebelas orang anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) Sambirejo dibunuh. Mereka adalah Sastro Tarmin dari desa Sukoharjo. Dari desa Sambi dua orang, Karjono dan Wignya Sumarta. Karto Wiryo
dari desa Blimbing. Sastro Wiryo dari desa Sambi rejo. Empat orang dari desa Kadipiro, Parmo Maji, Harso Tomo, Hadi Suroto, Hadi Siswoyo, dan Wiryo. Satu orang dari desa Jambeyan yaitu Sukirman yang sekaligus paman dari Sunarji. Isteri Sukirman yang kakak perempuan Sunarji, dibuang ke Pulau Buru selama tiga tahun. “Jasa anggota PKI di Sambirejo dulu adalah mengorganisir petani agar tidak mau menyerahkan tanah garapan yang belum hak milik jatuh ke PT Perkebunan,” tutur Sunarji dengan khidmat. Tak hanya mengorganisir, anggota PKI juga mendorong agar tanah garapan petani Sambirejo segera diberikan hak milik secara hukum. “SK KINAD yang diperoleh itu kan upaya PKI.” Jika rumah Sunarji berada di timur Jalan Sragan- Balong, rumah Marni ada di barat Jalan Sragen- Balong. Rumah semi permanen yang menyampingi jalan dan menghadap ke utara tersebut tidak berubah sejak peristiwa genosida 1965. Pada 16 Juli 2017, aneka toples kue dan makanan ringan khas lebaran masih berjejer rapi di atas meja di ruang keluarga sekaligus ruang tamunya. Marni adalah saksi seka ligus korban genosida 1965. Usia Marni 73 tahun, namun paras kecantikan masa mudanya masih berbinar. Beruban hanya di pangkal rambut. Giginya masih rapi dan melingkar cincin di jari manis dan tengah tangan kanannya. Usianya baru 21 tahun ketika diseret ke penjara tanpa pengadilan hanya karena bersuami seorang anggota PKI. Suaminya, Hadi Suroto adalah bagian dari sebe las orang Sambirejo yang dibunuh militer. Prosesnya sama, tanpa melalui proses pengadilan. Musim hujan 1965, hari itu adalah Kamis 9 Desember. Pagi itu hujan deras. Matahari menam pakkan diri ketika hari sudah siang. Di rumah hanya dengan anaknya yang baru berumur lima tahun, sua minya, Hadi Surato, sudah dibawa militer seminggu yang lalu. Tak ada kabar. Tak ada harapan. Begitu juga hari itu baginya. Ditarik paksa dari rumah, dibawa mobil bukaan tertulis TNI AD. Marni sengaja tak melawan, menolak atau menangis. Pesan suaminya seperti itu. Hal itu menurut Marni untuk tidak mendapat tindak keke rasan dari militer. Namun sama saja, sesampai di kantor kecamatan, bersama para anggota dan sim patisan lain asal Sambirejo, diseret, dipukul, diten dang, dan dibentak-bentak tanpa satu hal pun yang Marni ketahui. “Konflik 30 September 1965 itu kan konfliknya TNI sendiri, jendral dan perwira yang dibunuh oleh sama-sama militer juga,” jelas Marni. “Lantas apa salah kami di sini hingga diperlakukan seperti bi natang,” keluh Marni. Hadi Suroto adalah seorang tukang jahit biasa. Marni mengenang suaminya yang berbudi luhur dengan gagasan kerakyatan, kesetara an dan persaudaraan yang bercita-cita keadilan dan kesejahteraan umum. Marni akan ikut bergabung dengan rapat-rapat Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 43
TELUSUR
"Kenapa negara sebegitunya melukai kami, mereka sendiri yang membikin perundang-undangan dan juga mereka sendiri yang melanggarnya,” Sunarji PKI atau Barisan Tani Indonesia (BTI), bersama su aminya jika tidak ada pekerjaan di rumah. Suaminya, kenang Marni, akan bergabung dengan kegiatan-ke giatan petani dalam BTI setelah mengerjakan peker jaannya. “Pak Hadi itu orang yang teguh memperju angkan tanah petani, walau dia bukan petani,” kata Marni dengan mata yang berkaca-kaca. Marni sejenak menengok foto hitam putih lusuh di dinding yang sama sejak 60 tahun itu. Foto itu foto Bung Karno. Tokoh yang diidolakan Hadi Suroto. “Kebetulan saja yang aktif dan giat membela rakyat di Sambirejo itu PKI, maka Pak Hadi bergabung de ngan PKI,” lanjut Marni setelah meneguk teh. Tak ada yang salah bergabung dengan PKI. “Saya tak menyesal bergabung dengan Gerwani,” tegas Marni dengan yakin. Selama diperiksa dengan tindakan kekerasan tiga hari, Marni selalu minum air parit pinggir sawah. Tak sudi baginya mengambil air minum yang sudah disediakan. Tak jelas bagaimana ia bisa bersalah dan ditahan tanpa tahu kapan kembali pulang. Anaknya, ia titipkan saudaranya. Selama dipenjara tak henti tindakan kekerasan menderanya. Dipekerjakan dari matahari bersinar sampai tenggelam, pernah ia la koni. “Mengerjakan saluran irigasi dan saya bagian angkat batu,” terangnya. Padahal jatah makannya sehari cuma sekali. “Ber sama sekitar seratusan perempuan yang dipenjara tanpa sebab,” ingat Marni. Hari-hari dipenjaranya tanpa keterangan kapan dilepaskan. Bulan bergan ti bulan dan tahun berganti tahun. Hingga hari itu, Jumat, 30 Juli 1971, sebuah surat berkepala “LAKSUS KOPKAMTIB TEAM PEMERIKSA DAERAH DJAWA TENGAH” membawanya pulang ke rumah. “Perih rasanya ditahan selama enam tahun dan terbukti tidak bersalah,” katanya. Dalam surat yang ditandatangani Mayor CPM Soemartono, membuk tikan dirinya tidak bersalah. Duka hidupnya bukan berarti berakhir. Sesampainya di rumah, Marni bi ngung akan menjalani hidupnya seperti apa. Tak ada yang berani bergaul dengan dirinya. Streotip bekas tahanan politik itu terus dialaminya hingga hari ini. Walau sudah sedikit dibanding masa Orde Baru. Kehidupannya dilalui begitu saja. Apapun asal halal ia lakoni waktu itu. Berjualan makanan diteras rumah. Sampai menerima pinangan seorang ber pangkat militer harus ia lakoni dengan ikhlas. Tak disebutkan siapa orang itu dan bekerja dalam bagian apa di militer. “Saya bertemu dengannya ya pas di penjara itu,” ujar Marni. Menjadi isteri kedua atau
44 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
keberapa Marni tak tahu, “Yang penting bisa makan dulu,” kenangnya. Suami keduanya kini sudah tiada. Bersama sebuah organisasi di Sragen yang fo kus soal pembelaan korban genosida 1965, Marni terus berharap. Kini organisasi tersebut berisi 30an orang korban. Sunarji adalah salah satu pegiat di dalamnya. “Tahun 2015 itu anggotanya 150an, tapi seiring tahun berganti dan usia korban yang sudah sepuh makin hari berkurang,” tutur Sunarji datar. Organisasi tersebut adalah ruang bersama me mupuk harapan para korban. Setiap Sabtu pahing ada pertemuan semacam arisan. Sunarji belajar dari sana. Semangatnya terus dipupuk, walau sudah 19 tahun berjuang. Tak ada kata mundur baginya.
Status Hukum Tanah Sambirejo
Semenjak digasak PT. Perkebunan—yang kemu dian menjadi PT. Perkebunan Negara XI—baru dike tahui bahwa secara hukum tanah petani Sambirejo baru beralih hak milik pada tahun 1982. Ditetap kan di Jakarta tertanggal 1 Juli 1982 oleh Daryono, Direktur Jendral Agraria Kementrian Dalam Negeri. Diketahui tanah yang disewagunakan oleh negara pada PT. Perkebunan Negara XI seluas 672,319 ha. Tanah seluas itu dimahar negara dengan nilai Rp840.000 yang harus lunas selama enam bulan. Selanjutnya uang sewa setiap tahun adalah Rp67.200. Berbeda dengan pengakuan PTPN XI selama ini dengan luas lahan 400an ha. Selanjutnya yang menambah geram Sunarji dan petani lain adalah status hukum selama 17 tahun setelah digasak PT. Perkebunan. “Siapa yang bisa menjelaskan status tanah selama itu? Apa penjelasan yang sesuai un tuk tindakan itu? Selain pencurian, tidak ada!” ujar Sunarji dengan nada tinggi. Tanah petani Sambirejo, bagi Sunarji, telah di curi secara brutal selama 17 tahun oleh negara. Baru kemudian ada kejelasan Hak Guna Usaha dari 1982 sampai 2006. “Itu sama saja dengan pencurian yang dilegalkan.” Setelah secara hukum diberikan hak miliknya kepada petani, mengapa kemudian diminta lagi dan dijadikan bagian dari aset negara melalui Kementrian BUMN dan Kementrian Keuangan, tanya Sunarji. Se mua proses pengambilalihan status hak milik tanah itu pun tidak jelas. Tidak ada keterbukaan alih-alih mendapat izin pemiliknya, yaitu petani Sambirejo. “Negara dibawah Suharto kok jadi kaya gitu ya, jadi musuh rakyat,” ungkap kebingungan Sunarji. Ber beda dengan negara dibawah Bung Karno, tambahnya. Sunarji juga mengidolakan Bung Karno sama seperti Hadi Suroto. Di teras rumah Sunarji terpapang poster Bung Karno seukuran 2x1 meter. “Undang-undang (UU) yang sesuai dengan Undang-undang Dasar (UUD) itu ya cuman UU Pokok Agraria, yang lain ya sesuai dengan Orde Baru,” celetus Sunarji. Kegeraman Sunarji dirasakannya kembali. Nega ra melakukan kesalahan serupa. Walau tidak dalam
TELUSUR
cengkraman Suharto, perjuangan untuk mengambil tanah milik petani Sambirejo sejak tahun 1998, men jadikan tanah tersebut sebagai sengketa. Permen Agraria 9/1999 menyebutkan bahwa tanah sengketa tidak bisa diproses penerbitan perizinannya. Dik et ah ui pada 14 Januari 2013 bers am a Konsosrsium Pembaharuan Agraria (KPA) dan LSM Elsam, petani Sambirejo mendatangi Kementrian BUMN. Kenyataan pahit itu adalah mengetahui PTPN mendapat izin HGU kembali. Pahitnya lagi, menurut Sunarji, izin tersebut dikeluarkan sejak 2010. “Ada beberapa petani Sambirejo masih meme gang SK KINAD, mereka berhasil mengamankan bukti kepemilikan tanah dari militer,” lanjut Sunarji. Suharto adalah contoh petani Sambirejo tersebut. Sehingga jelas proses tersebut cacat adminstrasi dan berarti membuktikan adanya sengketa tanah. “Tapi kenapa negara sebegitunya melukai kami, mereka sendiri yang membikin perundang-undangan dan juga mereka sendiri yang melanggarnya,” keluh Sunarji. Kini Sunarji berharap besar pada program re forma agraria Jokowi-JK. Bersama KPA, Sunarji dan pengurus FPKKS kerap diundang untuk menanggapi program tersebut. Misalnya 8-9 Juni 2017, Sunarji menjadi narasumber Lokakarya yang diadakan Kantor Staf Presiden (KSP) bidang Agraria, dengan tema khusnul | EKSPRESI
Surat perintah pembabasan Marni yang ditandatangani oleh Mayor CPM Soemartono.
“Percepatan Reforma Agraria” Sunarji dalam lokakarya tersebut berpesan bah wa pejuang reforma agraria harus dilibatkan dalam teknis redistribusi tanah objek agraria. “Bahkan saya waktu itu berpesan jangan sampai proses reforma agraria melahirkan konflik agraria baru karena keti dakadilan proses redistribusi,” ingat Sunarji. Usep Setiawan, Tenaga Ahli bidang Kajian dan Pengelolaan isu ekologi, sosial, dan budaya KSP yang juga Majelis Pakar KPA 2016-2020 memang menya yangkan berbagai konflik agraria yang melibatkan PTPN IX. Usep yang dihubungi via telpon menga takan, “Ada banyak konflik agraria dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi bahkan Jawa yang melibatkan PT Perkebunan.” Menurut Usep, proses penyelesaiannya sulit jika berurusan dengan perusahaan plat merah tersebut. Usep menjelaskan politik-hukumnya belum mendu kung kemenangan petani yang berkonflik. “Proses pelepasan tanah harus melewati Kementrian BUMN dan Keuangan karena bagian dari aset negara,” te rang Usep. Sehingga perlu ada trobosan politik-hukum yang orientasinya keadilan dan kesejahteraan rakyat. Perjuangan petani Sambirejo kini menunggu hasil. Proses adminstrasi untuk menjadikan tanah mereka sebagai bagian dari tanah objek agraria telah diurus oleh KPA Jawa Tengah. Sem ent ar a pros es me nunggu dan kemenangan itu di depan mata, aksi-aksi sepi hak pengelolaan tanah sudah dimulai sejak 2007 hingga kini. Kesejahteraan petani Sambirejo kian hari kian meningkat, de ngan bertani jagung di bekas ta nah yang ditanami pohon karet. “Aksi penanaman tersebut su dah kami lakukan pada 300an ha dan ini adalah bukti bahwa tanah tersebut memang sudah ditelantarkan PTPN IX,” tutup Sunarji Senin malam itu.x
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 45
TELUSUR
Beberapa bidang tanah yang sudah dikuasai warga. Sejumlah 303 ha, ditanami jangung, cabai, pohon jati dan tanaman lain.
Triyo | EKSPRESI
Merebut Tanah Kami
Perjuangan bertahun-tahun untuk reklaming tanah mengakibatkan banyak petani harus mendapatkan tindakan kriminalisasi. Mereka terpidana tanpa memenuhi persyaratannya.
Oleh Fahrudin
S
unarji har us merasak an hidup di penja ra selama 1,5 tahun di Kantor Kepolisian Daerah (Kapolda) Sragen pada tahun 2014. Ia merupakan ketua Forum Peduli Keadilan dan Kebenaran Sambirejo (FPKKS). Sunarji dituduh sebagai penghasut warga untuk melakukan perusak an fasilitas milik Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) IX. Akibatnya, ia di penjara ber sama Sarjimin dan Harto Suparno. Keduanya adalah anggota FPKKS, tetapi menur ut Sunarji keduanya hanyalah sebagai bumbu saja. “Saya dibawa ke Kapolda, dalam penahanan pun kami tidak di jadikan satu,” ujarnya saat ditemui di kediamannya, Minggu (16/7). Tahanan Kapolda, lan jut Sunarji, ada dua blok yaitu blok A dan B. Blok A untuk orang-orang kriminal, sementara blok B untuk orang-orang pengonsumsi narkoba. “Saya ditaruh di blok B dan dua teman lainnya di blok A,” bebernya. Selama di penjara, Sunarji mendapat intimidasi dari orang yang tidak pernah dikenalinya. Ia akan dibebaskan dari berbagai tuduhan, asalkan menan datangani surat pernyataan keluar dari kepenguru san tanah yang diper juangkan. Tidak hanya itu, ia ditawari untuk menghitung seluruh kebutuhan biaya
46 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
hidupnya selama satu bulan. “Jangan terlalu boros dan jangan terlalu irit, seperlunya saja. Nant inya akan digaji oleh PTPN IX,” terangnya lebih lanjut. Sunarji tidak mengingink an mendapat imba lan tanah dari hasil per juangannya. Satu-satunya harapa n tanah yang diperjua ngk an bisa dikelola dan digarap oleh warga yang ikut dalam perjuang annya. Sejau h ini ada 813 orang pemohon unt uk mendapatkan tanah. Tanah tersebut diperjuangkan mati-matian dari petani Sambirejo karena mer upak an tanah sat u nya-satunya yang mereka milik i. Dari hasil kelola tanah tersebut, kehidupan warga setempat menjadi tercukupi. Memulai perjuangan merebut tanah da ri PTPN IX pada tahun 1999, di 2002 tanah yang telah direbut 303 ha dan mulai dikelola oleh warga setempat. Upaya kriminalisasi dilakukan oleh PTPN IX terhadap warga Sambirejo yang berjuang merebut tanahnya sudah banyak, tetapi yang merasakan gan jaran penjara cuman tiga orang tadi. Bahkan warga Sambirejo di cap sebagai Partai Komunis Indonesia (PKI) dari pemer intah maupun pihak kepolisian. Dir umorkan ada indikasi banal tersebut membuat
TELUSUR
warga setempat sulit untuk mendapatkan pekerjaan. Pada 13 September lalu, tim Telusur menjumpai Purwanto, Koordinator Konsorsium Pembaharuan Agraria, Wilayah Jawa Tengah – Daerah Istimewah Yogyakarta (KPA Jateng–DIY) di salah satu hotel di Yogyakarta. Ia telah mengikuti dan mengadvoka si kasus tanah Sambirejo sejak konflik mencuat ke permuk aan. Tindakan-tindakan kriminal kepada warga sek itar dibenarkan pula olehnya. Menur ut nya, PTPN IX memanfaatkan aparat kepolisian dan preman untuk membuat warga tidak nyaman. “Ada tujuh orang petani baru sampai di lahan, kemudi an dituduh melakukan penebangan pohon karet,” ujarnya. Menur ut Purwanto tuduhan pihak PTPN IX itu dibuat-buat. Ia menambahkan bahwa banyak anggota FPKKS yang digembosi oleh PTPN IX. Menguasai lahan tanah dari PTPN IX sangat ber arti bagi warga Sambirejo. Pasalnya, lahan tersebut merupakan tanah milik nenek moyang mereka. Sejak 1945 sampai 1954 tanah telah dikelola oleh warga sek itar. Warga yang mengelola tanah tersebut ber dasarkan tenaga dan kekuatan yang mereka milik i. AAA Konf lik tan ah ant ar a pet an i Sambirejo de ngan PTPN IX bermula sejak tahun 1965. Ket ik a Perusahan Perkebunan Negara (PPN), sekarang dike nal Perseroan Terbatas Perkebunan Negara (PTPN) IX berencana memperluas wilayah perkebunannya hingga ke Sambirejo dengan cara menyewa tanah. Tanah yang disewa seharga Rp 2.500 per seperempat hektar dikontrak selama 25 tahun. Saat itu, banyak warga menolak untuk tanahnya di sewakan, kare na satu-satunya sumber penghidupan yang mereka milik i. Dalam cat ata n kron ol og is, konf lik tanah Sambirejo dengan PTPN IX menerangkan, semasa tar ik ulur antara disewak an dan tidak, per ist iwa Gerakan 30 September 1965 (G 30 S) pecah. Warga yang tidak memberik an tanahnya di cap sebagai anggota PKI. Ada yang diciduk hingga ditahan tanpa proses. Banyak warga yang menganggap tokohnya dieksekusi. “Ada sebelas orang dari satu kecamatan yang diambil,” kata Sunarji Peristiwa 65 tersebut mengakibatkan warga ke hilangan tanahnya. Rentang waktu 1965-1999 tidak ada gerakan masyarakat Sambirejo untuk memper juangkan tanahnya. “Zaman pemerintahan Suharto, siapa yang berani?” ujar Sunarji. Kehidupan warga Sambirejo sangat terpuruk. “Saat itu makan singkong saja susah,” lanjutnya. Setelahnya pekerjaan masya rakat ada yang menjadi bur uh di Jakarta, sebagian warga pencar i kayu di perkebunan PTPN IX yang kemudian di jual di pasar. Kayu yang diambil, jika ketahuan dari keamanan PTPN IX akan mendapat hukuman bekerja di tempat keamanan tanpa imbal an. “Ibu-ibu mengendong kay u dar i rumah ke pasar sejauh 3 kilometer. Setelah sampai di pasar, jika ada keamanan kebun melihat kay unya akan dirampas,
"Zaman pemerintah Suharto siapa yang berani?” Sunarji saya tidak tega melihat,” ungkap Sunarji. Pada tahun 1999 ter jadi pemecatan secara sepi hak terhadap 36 karyawan tanpa ada pesangon dar i PTPN IX. Kariyo Samin adalah salah satu karyawan PTPN IX yang mendapat kecelakaan kerja. Matanya terkena getah karet sampai mengakibatkan kebutaan. Dari PTPN IX sendir i tidak member ikan santunan. Semenjak reformasi bergulir, warga Sambirejo mulai memperjuangkan lahan tanah miliknya. Mulai tahun 2000, masyarakat mulai sadar hingga membuat perkumpulan yang disebut FPKKS. “Bagi kami selama kebenaran dan keadilan masih dijadikan permainan, kami akan tetap berjuang,” kata Sunarji. Demonstrasi pertama kali dilakukan pada 11 November 2000 di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sragen. Mereka mengadukan permasalahan penganiayaan kepolisian terhadap warga Sambirejo. Dicatatan kronologis, tanah konflik yang diper juangkan warga Sambirejo seluas 672,3190 hektar, namun menur ut penga kua n dar i pihak PTPN IX ada 446 ha. Hingga tahun 2017 ini tanah yang su dah dik ua sai oleh warga sebesar 303 ha. Lokasi konflik perebuta n tanah antara warga Sambirejo dan PTPN IX terletak di kebun Batujamus Afdeling, Kepo/Sambirejo. Berada di wilayah Desa Sambi, Jambeyan, Sukorejo, Jetis, Musuk, Kadipiro, dan Dawung, kecamatan Sambirejo. AAA Per jua nga n panjang FPKKS sudah memak an waktu selama 17 tahun. Sejak awal perjuangan ta hun 2000 sampai sekarang ini. Kasus tindak pidana yang dilaporkan PTPN IX kepada warga Sambirejo belum ada yang selesai diproses. Haryati Panca Putri, Direktur Lembaga Pengabdian Hukum Yekti Angudi Piadegin Hukum Indonesia (LPH YAPHI) membenar kan hal ini saat ditemui di kantornya, Selasa (31/10). Menurutnya unsur-unsur dalam proses pidana yang dialami masyarakat belum memenuhi persyaratan nya. “Ya, mereka dijadikan saksi. Setelah itu didiam kan sekian bulan. Selepas itu ditekan lagi,” jelasnya. “Periode 2017 awal, tepatnya bulan April, ada pemanggilan dari kepolisian,” kata Haryati. Di ta hun 2016, kasus pidana yang ditangani YAPHI ada 7 kasus, kemudian yang dilaporkan kepolisian dari PTPN IX sebanyak 10 orang. Unsur-unsur tindak pidana yang dilaporkan ber upa pencur ian rantingranting pohon karet dan penebangan pohon karet. Tindak pidana warga Sambirejo masih berjalan sampai sekarang. “Masih ada pemanggilan dan ka susnya masih tetap berjalan,” terangnya. Haryati menambahkan bahwa kasus yang dilaporkan belum Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 47
TELUSUR
memenuhi bukti kuat untuk diserahkan ke pengadil an umum. Warga yang dilaporkan masih berstatus terdakwa. Saksi-saksi yang dipanggil kepolisian tidak tahu-menahu tentang per istiwa yang dilaporkan. Ia mencontohkan Padmo, ketika dipanggil kepolisian menjadi saksi. “Pak Padmo di mana? Ya, di situ. Tau nggak kejadiannya? Ya, nggak mudeng,” ucapnya menir ukan. AAA Tanggal 30 Desember 2006, Hak Guna Usaha (HGU) PTPN IX telah selesai masa kont rak nya. Upaya-upaya yang dilakukan warga Sambirejo baik lisan maupun tulisa n sudah ditempuh agar HGU PTPN IX tidak diperpanjang. Sebelum itu, pada 2004 konflik tanah Sambirejo sudah masuk ke Pansus per tanahan DPR RI. Sunarji menuturkan yang hadir da lam pembahasan itu, Bupati Sragen Untung Wiyono, Ketua DPR Sragen H. Slamet Basuki, Komisi A DPRD Sragen Rus Utariyono, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Sragen Sole Anwar, BPN Kanwil Bernad Sitanggang, PTPN Jawa Tengah, BPN Pusat, dan Pansus Pertanahan Nyoman Gunawan. Warga Sambirejo har us mener ima kekecewaan terhadap perlakuan kantor pertanahan Sragen dan Kanwil BPN Semarang. Warga tidak mendapatkan informasi mengenai perpanjangan HGU PTPN IX. Sementara tanah masih dalam area konflik. Pada Januari 2013, warga Sambirejo bar u mengetahui setelah melakukan pertemuan antara warga, KPA, LSM Elsam dengan Kementrian BUMN. Dalam rilisan pers petani Sambirejo, perwakilan dari Kementerian BUMN mengatakan HGU PTPN IX telah diperpan jang sejak tahun 2010. Pada 29 April 2013, masyarakat Sambirejo mela kukan pertemuan di Kantor BPN Jawa tengah. Hasil pertemuan yang termuat di rilisan, mengungkapkan bahwa har us dibentuk satu tim yang memver ifikasi penguasaan tanah oleh warga terhadap HGU yang sudah habis kontraknya. Sampai pada 18 Maret 2014, masyarakat Sambirejo melakukan per temuan de ngan BPN Sragen dan Bupati Sragen untuk membawa konflik ini ke tingkat pusat. Warga mem ilik i bukt i, sak si, dan fakt a yang menunjukan tanah itu adalah haknya. Bukti ber u pa sert ifi k at tanah yang dikelua rk an dari Kepala Inspeksi Agraria Daerah (KINAD) 4 Januari 1964. Fakta bahwa tanah telah dikuasai oleh petani dan sudah dikelola. Saksinya ada warga yang masih hi dup, terdapat bekas per umahan dan sumur di timur Dukuh Mbayanan, Desa Jambeyan. Pada 1 Juli 2017, sekitar pukul 08.00 WIB, tim Telusur pergi ke lahan ditemani seorang warga petani bernama Supar Siswo Utomo. Ia mer upakan ketua Koordinatif Organisasi Tani Lokal (OTL) FPKKS. Ada sebelas OTL, terdapat di Desa Sukorejo, Jambeyan, Sambi, dan Jetis. Lahan yang kam i kunjungi berad a di Dukuh Bayanan, Desa Jambeyan. Perjalanan kami cukup
48 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
memakan waktu untuk sampai ke lahan. Jalannya rusak ket ik a hendak memasuk i area perkebunan warga. Tiba di sana petani sedang panen jagung. Ada sebagian yang lagi membersihkan lahannya. Luas tanah yang dikelola sekitar 80 ha. “Ini lahan yang sudah di kelola warga,” kata Supar. “Mereka mena nam jagung, kayu sengon, dan kayu jati, sebagian ditanami cabe,” lanjutnya. Dari Sragen ke Yogyakarta saat bertemu dengan Purwanto, dalam perbincangan kami, ia mengatakan bahwa per juangan masyarakat Sambirejo tinggal menunggu hasil BPN untuk menjadikan lahan kon flik menjadi tanah obyek agrar ia. “Proposal sudah dimasukan di internal BPN lewat kantor petanahan daerah Sambirejo sebagai obyek tanah reforma ag rar ia,” ujar Purwanto. Tanah reforma agrar ia merupakan salah satu upaya pemerintah untuk member ikan tanah kepa da masyarakat. Lewat agenda ini diharapkan dapat mengatasi ket impanga n kepemilika n lahan ser ta untuk meningkatkan produktifitas rakyat. Ada li ma kriter ia tanah menjadi obyek reforma agrar ia; pertama, tanah HGU habis dan sudah dikelola oleh masyarakat; kedua, tanah sudah terlantar; ketiga, tanah perhutani yang sudah dibebaskan; keempat, tanah negara; kelima, tanah bekas landreform. Lahan konflik Kecamatan Sambirejo diusulk an menjadi tanah reforma agrar ia berada pada kriter ia perta ma dan kedua. Perjuangan panjang masyarakat Sambirejo da lam merebut tanahnya mencapai titik penyelesai an. Pada 25-27 Oktober 2017, diadakan konferensi tenorial membahas tentang “Reforma Agraria dan Perhutani Sosial” di Hotel DS Luangsa, Kuningan, Jakarta Selatan. Hasil konferensi tersebut tanah konflik di daerah Sambirejo dijadikan skala prioritas reforma agrar ia pada tahun 2018. Perjuangan panjang warga Sambirejo yang ter gabung di dalam FPKKS dalam merebut tanah mi liknya melalui jalur politik dan hukum. Tapi warga Sambirejo lebih banyak menggunakan jalur politik. Sudah sekian banyak mereka melakukan demonstrasi di jalan semenjak konflik tanah pecah. “Jadi kalau lewat jalur hukum, seandainya kita ingin naik puncak gunung kita potong kompas. Ingin cepat tapi banyak gagalnya. Sedangkan ka lau lewat jalur politik, ibaratnya jalannya berkelok-kelok teta pi akan sampai tujuan,” tutup Sunarji.x
Sunarji, Ketua FPKKS mengaku pernah dipenjara 1,5 tahun karena dituduh sebagai penghasut warga untuk melakukan perusakan fasilitas milik (PTPN) IX. Minggu, (16/07/17).
|E khusnul
KS
PR
ES
I
TELUSUR
Senin, (17/07/2017), warga sedang memipil jagung hasil panen dari tanah yang didapat dari keikutsertaan sebagai anggota FPKKS.
khusnul | EKSPRESI
Kehidupan Kami Dirampas 1965: rumahnya dirobohkan, tanahnya dirampas, tanaman dirusak. Kehidupan masyarakat Sambirejo, semula petani bertanah menjadi buruh tani. Oleh Khusnul Khitam
P
ada 1965: suara gaduh pecah di kampung Bayanan Telukan, Sambirejo, Sragen. Pu luhan orang berseragam militer menyerbu kampung itu. Mereka menyebar, masuk ke setiap rumah. Kaum laki-laki oleh militer diseret keluar rumah. Ada yang mencoba melawan, yang di dapat justru kekerasan. Mereka dipukul, ditendang, diseret pergi di depan anak, istri, serta keluarganya. Di luar rumah mereka serentak dinaikkan ke dalam mobil. Entah akan dibawa ke mana suami-suami dan anak laki-laki—yang sudah cukup dewasa itu pergi. Di situlah pecah tangis dari istri, anak dan keluarga. Sesampainya di suatu tempat, semua orang di suruh turun dari mobil. Harto—kala itu berumur sekitar 26 tahun—baru tahu kalau ia dibawa ke salah satu tempat tahanan di Sragen. Ia di masukkan ke dalam ruangan beserta teman-temannya yang lain. Tidak ada yang dapat memastikan berapa jumlah orang yang diseret ke tempat tahanan itu. Suatu hari, Harto beserta tahanan yang lain dikumpulkan untuk diinterogasi. “Kamu PKI bukan?” tanya polisi. “Bukan, Pak,” jawab Harto dengan nada keta kutan ketika gilirannya ditanyai.
“Apa? BTI?” “Bukan, Pak.” “PR?” “Saya juga tidak tahu PR itu apa, Pak? “PR itu ya Pemuda Rakyat! Kamu Pemuda Rakyat bukan?” “Bukan, Pak.” Disela pertanyaan yang bertubi-tubi itu tak se gan-segan Harto sering kali dipukul. Ia juga sering ditendang. Kekerasan itu ia terima dari bergantian orang. “Allahuakbar! Allahuakbar!” teriak Harto diselasela pukulan yang bertubi-tubi sedang menimpanya. “Allahuakbar apa? Kamu itu PKI! Kamu tidak punya Tuhan!” ucap polisi yang menyiksanya. Di saat itu Harto cenderung pasrah. Hanya de ngan tangis ia berharap polisi setidaknya punya belas kasian dan tidak lagi memukulinya. Ia tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Semua tahanan diperlakukan sama kejamnya di sana. Pukul, tendang, dan ditanyatanya tentang keikutsertaan mereka terhadap orga nisasi tertentu. Harto bahkan tidak tahu organisasi seperti apa yang ditanyakan oleh orang-orang ini. Akan tetapi, di sana Harto tahu jika ada orang yang Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 49
TELUSUR
mengaku bahwa dirinya PKI maka tidak segan-segan akan dibunuh. Sementara, pada saat bersamaan, di kampung Bayanan Telukan kegaduhan kembali terjadi. Militer kembali datang ke kampung itu. Tidak seperti hari lalu, kali ini mereka datang berniat untuk mengosong kan kampung. Semua warga Bayanan Telukan diusir. Warga yang mayoritas tinggal perempuan, anak-anak dan jompo, itu otomatis panik. Tak ada suami, me reka harus mengambil keputusan yang besar. Tetap tinggal atau menuruti permintaan orang-orang itu untuk pergi meninggalkan kampung. Tak ada waktu panjang untuk berpikir bagi me reka. Mereka diharuskan pergi seketika itu juga. Bagi mereka yang menolak untuk pergi, maka tak segansegan, kekerasanlah yang akan mereka dapat. Saat itu Cikrak di rumah hanya bersama ibunya. Laki-laki yang belum lama dinikahinya, Partoyono, belum ada tanda-tanda akan dikembalikan. Partoyono masuk dalam orang-orang yang dibawa pergi oleh militer. Ia meninggalkan Cikrak yang sedang me ngandung sembilan bulan. Tanpa Partoyono, Cikrak benar-benar tidak tahu apa yang harus ia perbuat. Kalaupun ia memutus kan untuk pergi, ia tidak tahu harus ke mana. Di Sambirejo ia tidak punya saudara. Tanah dan rumah itu lah harta satu-satunya keluarga. Berat baginya jika harus ditinggalkan. Ia juga khawatir, bagaima na jika Partoyono kembali dan mendapati ia sudah tidak di rumah. Tentu suaminya itu akan mencarinya ke mana-mana. Tapi jika ia tidak juga pergi, ia takut terjadi apa-apa pada kandungannya. Kalut juga dirasakan oleh Ranti. Ia di rumah hanya bersama dengan kedua anaknya. Anak pertamanya, Waginem berumur 7 tahun dan terkecil, Tugimin baru berumur 3 tahun. Sama dengan Cikrak, suami Ranti—Sarman Harjo Sentono, juga dibawa pergi. Baik Cikrak, Ranti dan semua warga yang masih ada di kampung itu, pada akhirnya terpaksa mereka harus angkat kaki. Sebab, mereka—yang mayoritas ibu-ibu ini—diancam, jika mereka tidak pergi hari itu juga maka mereka akan ikut dibakar beserta rumahnya. Atau kalaupun tidak, mereka akan dibawa pergi ikut suami. Mereka bahkan tidak tahu apakah suami me reka masih hidup atau sudah mati. AAA Sepulang dari tahanan di Sragen, Sarman tidak bisa kembali ke kampungnya. Ia mendengar cerita, rumahnya sudah dirobohkan dan ditanami karet oleh Perusahaan Perkebunan Negara (PPN)—sekarang telah berubah menjadi PTPN IX. PTPN ini yang me rampas satu-satunya tanah miliknya. Berawal dari perusahaan perkebunan negara tersebut ingin mem perluas area garapan di Sambirejo. Ia meminta ma syarakat untuk menyewakan tanahnya untuk dikelola menjadi proyek perkebunan karet. Namun karena masyarakat hanya mempunyai tanah tersebut sebagai penghidupan, mereka menolak untuk menyewakan.
50 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
Bersamaan dengan itu, pecah tragedi G30 S, 1965. Momentum ini digunakan oleh PTPN IX, berkerja sama dengan perangkat desa, masyarakat yang tetap menolak untuk menyewakan tanahnya ditangkap dengan tuduhan sebagai PKI. Semua orang yang ‘diPKI-kan’ dimasukan ke dalam penjara. Sejak saat itu, PTPN IX mengambil alih lahan, menanam pohon karet secara besar-besaran. Sarman adalah orang yang menurut Tugimin, menjadi korban atas tuduhan sebagai anggota PKI yang dilakukan oleh pemerintah. “Padahal PKI apa? Bapak saya kan orang bodoh. PKI apa?” ucap Tugimin. Terbukti Sarman setelah tiga bulan ditahan di Sragen, akhirnya dibebaskan tanpa adanya putusan pengadilan yang menyatakan ia bersalah. Tak cuma Sarman, tahanan-tahanan yang lain juga akhirnya dibebaskan. “Bapak saya waktu pulang sangat kurus,” keluh Tugimin. Saya waktu itu sampai takut diajak pulang, saya sampai tidak mau, tambahnya. Kekerasan, ker ja paksa, dan makan yang tidak teratur, menurut Tugimin bisa jadi penyebabnya. “Bapak saya pendengarannya sudah tidak jelas. Enggak tahu, orang-orang yang dulunya jadi tapol emang kebanyakan udah nggak bisa dengar. Mung kin kena pukul telinganya atau apa, enggak tahu,” lanjutnya. Perampasan tanah satu-satunya milik Sarman— yang juga berdiri rumah satu-satunya tempat ting gal—membuat ia dan keluarga sudah tidak punya tempat untuk menetap. Perampasan itu pula yang membuat ia kehilangan pekerjaan dan penghasilan. Dulu, didekat rumahnya ia biasa menanami tanaman apa saja sesuka hatinya, jagung, singkong dan sebagai nya. Menurut cerita, setelah pengusiran warga, semua tanaman dirusak, tidak boleh diambil. Orang-orang juga tidak diperbolehkan mengambil barang apapun di rumahnya masing-masing. Untuk tempat tinggal, Sarman agak beruntung. Ayahnya mewarisi tanah dan langsung didirikan ru mah kecil-kecilan. Memanfaatkan apa saja yang ada di lingkungannya. Rumah didirikan dengan beratap rumput alang-alang dan berdinding bambu. Tugimin cerita, saat status ayah masih sebagai tahanan politik membuat orang-orang sedikit meng ambil jarak pada keluarganya. Orang-orang masih takut jika mereka bergaul dengan keluarga dari orang yang dianggap anggota PKI maka akan mendapat ke malangan dari pemerintah Soeharto yang memiliki kekuasaan waktu itu. Tugimin menceritakan penderitaan semasa ke cilnya. Pengusiran yang dilakukan oleh militer di kampungnya membuat keluarganya terpaksa pergi. Beruntung ada saudara yang mau menampungnya. Namun, ada juga saudara yang tidak berani mem beri bantuan. “Kami kalau ke saudara mau minta singkong itu dikasih. Tapi kalau mau menginap tidak diperboleh kan,” kata Tugimin. Hal itu dikarenakan saudaranya
TELUSUR
takut akan ‘di-PKI-kan’ jika membantu keluarganya. “Padahal waktu itu hujan lebat, tetap pulang,” tam bahnya. Tugimin kecil waktu itu digendong ibunya. Siti harus berjalan kaki 5 kilo meter untuk pulang ke rumah. Tidak hanya Tugimin yang dibawa, ia juga harus menggandeng Waginem. Jalan menu ju pulang, kala itu juga ada satu sungai yang harus mereka seberangi. AAA Lain cerita dengan keluarga Sarman, di rumah saudaranya, Cikrak melahirkan. Tanpa dibantu dukun, juga tanpa ditemani oleh sang suami. Bayi pertamanya perempuan. Ia diberi nama Suminah. Suami yang tak ada kabarnya memaksa ia harus kerja sendiri untuk mencukupi hidupnya dan anak. Suminah kecil baru bisa bertemu ayahnya— Partoyono—ketika berumur tiga tahun. Tanpa sa wah, Partoyono yang dulunya petani harus mencari kerja. Ia memutuskan untuk jadi buruh. Siapapun yang membutuhkan tenaganya, maka ia tak segansegan untuk berangkat membantu. Beralih profesi tidak hanya dialami Partoyono. Kehidupan masyarakat Sambirejo setelah tanahnya dirampas dari semula petani bertanah menjadi buruh tani. Kondisi perekonomian masyarakat Sambirejo saat itu terbilang sangat lemah. Mereka juga terpaksa sering merantau ke Jakarta jika di kampungnya tidak ada lagi yang membutuhkan tenaganya. Kemiskin an membuat masyarakat Sambirejo pada akhirnya hidup dengan seadanya. “Kulo dipakani srapah, jenggi, jagung,” (Saya dikasih makan kulit singkong, jenggi, jagung), ucap Suminah mengenang masa lalunya dengan berka ca-kaca. Suminah kecil terpaksa juga harus membantu perekonomian keluarga. Ia juga kadang ikut mem bantu ayahnya menjadi buruh dan pekerjaan lain. “Kulo nggih nyari godong jati didol sewu. Mboten isin kulo,” (Saya mencari daun jati, saya jual seribu. Sa ya tidak malu), ungkapnya. Tidak jarang upah atas ker janya juga sering dibayar ha nya dengan beras satu gelas. Cukup tidak cukup beras itu untuk dimakan bersama satu keluarganya. Suminah juga pernah merantau ke Jakarta untuk mendapatkan pereko nomian yang lebih baik.
"Padahal PKI apa? Bapak saya kan orang bodoh. PKI apa?” Tugimin
Setelah tanah dirampas oleh PTPN IX, dengan terpaksa keluarga Partoyono harus berpindah-pin dah tempat untuk ditinggalinya. Ini kelima kalinya ia pindah. Tahun 1992, Partoyono baru bisa mencicil tanah, ia gunakan untuk membangun rumah kecilkecilan. “Kulo nggih tumut bapak teng Jakarta dadi buruh ngge lunasi rumah. Merantau satu tahun,” (Saya ikut bapak ke Jakarta jadi buruh untuk melu nasi rumah. Merantau satu tahun), cerita Suminah. Reformasi, 1998: ketika Soeharto sudah tidak lagi berkuasa. Masyarakat Sambirejo melakukan per ubahan. Masyarakat mulai melakukan perjuangan untuk merebut tanah mereka yang dirampas oleh PTPN IX. Mereka melakukan penebangan perkebunan karet yang terlantar secara diam-diam. Perjuangan mulai berhasil, tanah sudah ada yang digarap oleh masyarakat. Tahun 2000, masyarakat membentuk perkum pulan yang diikuti oleh beberapa desa; Sambi, Jetis, Jambeyan, Musuk, Dawung dan Kadipiro. Perkum pulan itu mereka beri nama Forum Peduli Keadilan dan Kebenaran Sambirejo (FPKKS). Perkumpulan ini tercacat telah berhasil merebut tanah seluas 303 hektar. Tanah itu dibagikan kepada masyarakat yang dulu tanahnya dirampas oleh PTPN IX. Karena tanah ini, masyarakat yang mayoritas buruh kini sudah bisa bertani dilahannya sendiri. Mereka menanam jagung, kayu jati, cabe, dan lain sebagainya. “Alhamdulillah, Kulo bisa nggarap. Mboten uripe koyo mbiyen malih. (Alhamdulillah, saya bisa meng garap (sawah). Hidup susah tidak seperti dulu lagi),” ucap Suminah. Tanah yang Partoyono dapat sudah bisa menghasilkan tanaman jagung, singkong dan lainnya. Setiap sekali panen jagung, ia bisa dapat empat kuintal. Jagung itu ia jual dan bisa menghi dupi kesehariannya sekarang. Harto, karena tanah yang juga didapatkannya dari keikutsertaan dalam anggota FPKKS, ia sampai bisa menyekolahkan dua anaknya ke jenjang per kuliahan. Kini anaknya ada yang bekerja di rumah sakit sebagai dokter dan ada juga yang bekerja di Malaysia. “Penghasilan saya tidak kurang dari 25 juta sekali panen jagung. Itu belum singkongnya, kacang panjang, cabe,” ucapnya. Ketika masyarakat Sambirejo mendengar kabar bahwa Hak Guna Usaha (HGU) PTPN IX akan habis masa berlakunya pada tanggal 31 Desember 2006. Mereka semakin yakin akan berhasil merebut ta nahnya kembali untuk dikelola masyarakat. Mereka menanti janji Presiden Jokowi tentang reforma ag raria. Jokowi berjanji menempatkan reforma agraria sebagai agenda prioritas. Tanah seluas 9 juta hektar dijanjikan sebagai tanah obyek reforma agraria untuk memperluas akses kelola masyarakat. Upaya-upaya dilakukan oleh masyarakat agar HGU PTPN IX tidak diperpanjang oleh pemerintah. Mereka juga mengajukan proposal kepada Presiden Jokowi, “Semoga ini berhasil!” harap Tugimin.x
tri | yo EK SP RE SI
Selasa, (18/07/2017), Partoyono, pernah menjadi tahanan politik tahun 1965 karena dituduh ikut serta dalam PKI oleh pemerintah.
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 51
apresiasi
Noam Chomsky, Intelektual Pembangkang
DoK. ISTIMEWA
Anarkisme tidak hanya anti-kapitalis karena menentang eksploitasi manusia terhadap manusia, tapi anarkisme juga menentang dominasi manusia terhadap manusia. Ini menegaskan bahwa sosialisme harus bebas atau tidak sama sekali. Oleh Imam Ghazaly
K
aisar Alexander Agung me nangkap seorang bajak laut dan berkata kepadanya, “Hei, berani-beraninya kau meng ganggu keamanan di lautan!” Bajak laut membalas sang kaisar dengan perkataan, “Hei, berani-beraninya kau mengganggu keamanan di seluruh dunia!” Lalu bajak laut melanjutkan jawabannya, “Hanya karena menyerang dengan kapal kecil, aku disebut pencuri; sementara kau, me nyerbu dengan armada laut yang besar, disebut sebagai kaisar.” Kisah yang dituturkan Santo Agus tinus tersebut menurut Noam Chomsky menggambarkan Amerika Serikat (AS) dalam panggung terorisme Internasional. Pengibaratan kisah sang kaisar dan bajak laut itu tercantum dalam buku Pirates and Emperors untuk membandingkan apa yang dilakukan oleh AS—lebih te patnya Washington—terhadap banyak negara dan bangsa. Praktik “perang melawan teror” yang sering digaungkan AS merupakan wajah terorisme itu sendiri. Dalam beberapa karyanya, seri Real Story, Chomsky me nyebut AS terlibat pembantaian massal, perampokan sumber daya alam, keke
52 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
rasan seksual, pembunuhan anak-anak, dan menciptakan perang saudara di ber bagai negara. Lant ar an krit ikn ya yang taj am terhad ap kebijaka n luar neger i, pada masa presiden AS ke-37, Richard Nixon, Chomsky masuk daftar musuh yang ber bahaya bagi Gedung Put ih. Gagasan radikalnya sempat membuat Chomsky ditangkap dan diinterogasi. Hingga 1967, Chomsky bersama para demonstran dije bloskan ke dalam penjara karena terlibat dalam aksi tur un ke jalan menentang pemer intah AS. Selain sebagai linguis dan telah men cetuskan teori Tata Bahasa Generatif, profesor di Massachusetts International Technology ini juga telah menuliskan le bih dari tiga puluh buku bertema politik. Dalam banyak deretan tokoh terkemuka, nama Chomsky sering disebut dan dise jajarkan dalam urutan ke delapan setelah Marx, Lenin, Shakespeare, Aristoteles, Injil , Plato, dan Freud. Ia disebut-sebut sebagai intelektual paling penting dan berpengaruh pada abad modern—dan sampai saat ini masih hidup. AAA
Avram Noam Chomsky dilahirkan pada 7 Desember 1928 di Philadelphia, Pennsylvania, Amerika Serikat. Ayah Chomsky, William Zety Chomsky, adalah seorang sarjana Yahudi, ahli gramatika Ibrani, dan dikenal sebagai penulis buku Hebrew the Eternal Language, sebuah karya tentang bahasa Yahudi yang di terbitkan pada tahun 1958. Pada usia dua belas tahun, Chomsky kecil telah membaca salah satu karya berat ayah nya tentang bahasa Ibrani di abad ke-13. Dari ayahnya itulah Chomsky kecil me ngenal bahasa Yahudi, budaya Yahudi, dan tradisi kebebasan intelektual, yang kemudian hari melekat pada diri seorang Chomsky. Sedangkan ibunya, Elsie Simonofsky, adalah seorang aktivis kiri yang mewa risi Chomsky keseimbangan tanggung jawab seorang intelektual, sebagai pemi kir sekaligus aktivis. Suami dari kakak ibunya, paman Chomsky, yang mengajar kan perspektif intelektual pada Chomsky kecil dengan memperkenalkan pemikir an para tokoh. Dari pemikiran Sigmund Freud hingga berbagai aliran pemikiran komunis seperti Marxis, Stalinis, Trotkys, Leninis, dan lainnya.
apresiasi
Tulisan pertama Chomsky ialah edi torial jatuhnya Barcelona yang diterbit kan di koran sekolahnya. Pada usia dua belas tahun, ia menulis sejarah Perang Sipil Spanyol 1936. Contoh revolusi kaum anarkis tersebut yang membuat ia ter tarik pada ide-ide anarkisme.
Bagaimana Kekuasaan Bekerja
AS—begitu juga kebanyakan negara lainnya—menginginkan sebuah stabi litas yang berarti keamanan bagi kelas penguasa atas perusahaan-perusahaan raksasa yang hendak memiliki tenaga kerja murah dan sumber daya melimpah. Jika dapat dikuasai dengan jalan damai demokrasi, hal itu tidak akan menjadi masalah. Namun, jika tidak, hal terse but akan dianggap ancaman stabilitas dan harus segera dihancurkan, sebelum menjadi virus yang menyebar. Bagi Chomsky, AS tidak akan mem biarkan begitu saja sebuah negara dapat hidup secara mandiri, damai, dan sejah tera. Perencana kebijakan AS di bawah Menteri Luar Negeri, Dean Acheson, sejak dahulu memperingatkan “satu apel yang busuk bisa merusak apel-apel lainnya di dalam keranjang.” Tentu saja hal tersebut berbahaya. “Kebusukan” dalam kesuksesan pembangunan sosial dan ekonomi tidak bisa dibiarkan. “Apel busuk” tersebut harus segera dihancur kan, sebelum menyebarkan kebusukan ke apel-apel lainnya. Tidak peduli apakah sebuah negara itu penting atau tidak, mempunyai sum ber daya yang melimpah atau tidak, kenyataannya tidak ada negara yang benar-benar dapat bebas dari perlaku an intervensi AS. Justru negara lemah dan miskin yang seringkali mempunyai ancaman terhadap kekuasaan AS dan memp unyai kemungkina n pen yeb ar “apel busuk.” Misalnya negara Laos, yang bagi Chomsky merupakan negara paling mis kin di dunia. Setelah revolusi sosial skala kecil mulai berkembang, Washington melakukan pengeboman rahasia yang membunuh secara masif, menghabisi area permukiman, lalu mereka “cuci tangan” menyatakan AS yang tengah me merangi Vietnam Selatan, tidak terlibat. Begitu juga den gan Gren ad a, N ikar agua , dan El Salvador. Ketika benih-benih revolusi mulai muncul, Washi ngt on seg er a mengh anc urk an ancaman-ancaman tersebut dengan se
rangan mematikan. Bahkan, Indonesia tidak luput dari campur tangan negara adidaya. AS menyokong pemerintah Indonesia dalam melakukan pemban taian tahun 1965, penjajahan Timor Leste, dan perampokan sumber daya alam di Papua. Pemerintah AS tidak akan mem biarkan revolusi sosial di sebuah negara menjadi contoh bagi negara-negara lain nya. Ada satu alasan yang bagi Chomsky melatari itu semua. Semakin lemah dan semakin miskin sebuah negara, maka semakin berbahaya jika ia menjadi se buah contoh. Jika sebuah negara kecil seperti Grenada bisa memberikan kehi dupan yang lebih baik untuk rakyatnya, negara-negara lain dengan lebih banyak sumber daya akan bertanya: mengapa kita tidak bisa? Chomsky menyatakan teori “apel busuk” biasa dis eb ut seb ag ai teori domino. Di beberapa hal, AS mengakui apa yang dilakukannya, sebagai contoh ketika AS berencana menumbangkan demokrasi di Guatemala pada 1945. Pejabat Departemen Luar Negeri me nyatakan bahwa, “Guatemala telah men jadi ancaman stabilitas di Honduras dan El Salvador. Reforma agraria menjadi senjata propaganda yang sangat kuat: program sosial untuk membantu para pekerja dan petani memenangkan per juangan melawan kelas atas.” Chomsky paham betul, bagi AS, bu kanlah Uni Soviet yang menjadi ancam an. Mereka (AS) menciptakan “hantu komunisme” sebagai dalih invasi dan pe nguasaan ekonomi di berbagai negara. Setelah Uni Soviet runtuh, AS mencip takan “terorisme” untuk invasi militer dengan dalih keamanan sebagai upaya meluaskan dan melanggengkan keku asaan.
Sosialisme Libertarian
AS beserta lembaga pemerintah nya telah menciptakan perang di ber bagai belahan dunia. Negara tersebut merupakan contoh bentuk struktur represif dan fasis. Ia tidak hanya digunakan sebagai medium pemaksaan, tetapi juga sebagai struktur yang melanggengkan kekuasaan minoritas atas mayoritas. Oleh karena itu, setiap otoritas perlu ditantang, tegas Chomsky. Jika otoritas tidak dapat menjawab keberadaannya, otoritas tersebut harus dihancurkan.
Meskipun analisis Chomsky begitu gamb lang menj el ask an bag aim an a dunia bekerja, tetapi dari banyaknya permasalahan tersebut, ia tidak men jelaskan secara detail apa yang harus dilakukan untuk menghadapi masalah. Tentu, banyak dari pembaca Chomsky yang menanyakan hal tersebut: bagai mana membuat perubahan sosial? Chomsky sengaja menjauh dari per nyataan-pernyataan yang gamblang. Ia menganggap, sulit untuk menerka ben tuk organisasi seperti apa yang pantas sebagai alternatif dan pengganti sistem yang berkuasa saat ini. Baginya hanya pengalaman yang dapat menjadi jawaban terbaik atas pertanyaan tersebut. Ia menganjurkan sebuah prinsip umum sebagai landasan bentuk ma syarakat masa depan. Prinsip-prinsip itu muncul dari arus pemikiran dan tindakan yang biasa disebut anarkisme. Chomsky menyebutnya sosialisme liber tarian. Seperti yang diungkapkan Rudolf Rocker, seorang anarko-sindikalis, akar ‘sosialisme dengan kemerdekaan’ terse but keberadaannya dapat dilacak dari pemikiran terbaik pada masa Pencerahan dan Liberalisme Klasik. Akan tetapi, ide-ide anarkisme sering (sengaja) disalahpahami. Budaya intelek tual kebanyakan menganggap anarkisme sebagai kekacauan, ketidakteraturan, pe rusakan, pengeboman, dan banyak hal lainnya. Bagi Chomsky, ini merupakan salah satu peran intelektual negara yang sengaja mengaburkan makna sebenar nya dengan maksud melanggengkan kekuasaan. Anarkisme jauh dari anggapan-ang gapan tersebut. Ia justru memperjuang kan kehidupan yang lebih manusiawi. Chomsky sel al u menga mb il cont oh Revol usi Spanyol seb agai ‘anark is me dalam praktik’. Perjuangan revo lusi kaum anarkis pada 1936 tersebut bukan sebuah kebetulan. Ia—revolusi kaum anarkis—lahir dari pendidikan, organisasi, perjuangan, kekalahan, dan kadang kemenangan. Chomsky menekankan bahwa anar kisme itu luas dan membahas banyak hal. Ia menentang stuktur dan otoritas yang melahirkan penindasan oleh negara beserta aparatusnya. Mewujudkan ma syarakat yang anarkis, bagi Chomsky, adalah dengan cara belajar mencobanya; menciptakan masyarakat yang benar- benar adil dan merdeka.x Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 53
wawancara khusus
Fadly saat diwawancarai di perpustakaan Noong yang didirikannya (10/06).
Mengupas Sejarah Boga
S
egala hal yang berkaitan dengan boga masih dianggap sebatas penuntas nafsu atas makan, dahaga, ataupun prestis semata. Namun Fadly Rahman menemukan rasa lain yang tidak kalah nikmatnya dari suatu boga. Ia berusaha menguliti sejarah di balik bahan-bahan olahan boga dari wilayah asal makanan itu muncul. Suatu upaya dalam hal ku liner yang sampai saat ini belum begitu banyak mendapat perhatian. Fadly Rahman ialah dosen sejarah di Universitas Padjajaran. Ia menulis buku Rijsttafel: Budaya Kuliner Indonesia Masa Kolonial (1870-1942) (2011) dan Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016). Beberapa penghargaan pernah ia sabet, seperti Apresiasi Pertanian dari Departemen
54 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
Pertanian dan Cross Cultural Fertilization dari Nabil Society, atas kepeduliannya terhadap dunia boga tanah air. Di dapur belajar bernama Noong yang baru didi rikannya, Fadly menyambut Andhika Widyawan dan AS Rimbawana dari LPM EKSPRESI untuk wawancara khu sus ihwal “nikmat lain” dari makanan.
Mengapa Anda tertarik dengan sejarah makanan?
Berawal dari latar belakang keluarga saya. Ibu dan kakak saya bekerja di dunia pastry dan punya perhatian khusus pada bidang tersebut. Kebetulan almarhumah kakak saya dulu bekerja di majalah boga. Beliau pernah menyodori saya sebuah majalah makanan bertema sejarah, yaitu Rijsttafel. Saya ditantang apakah dapat mengeksplorasi makanan lebih jauh lagi.
RIMBAWANA | EKSPRESI
Ketertarikan muncul setelah saya men coba mengkajinya. Walaupun di dunia akademik sejarah sendiri banyak peno lakan keras, karena makanan dianggap kajian antropologi. Namun, ketika saya lihat ilmu sejarah di negara-negara maju seperti di benua Amerika dan Eropa, ter nyata sejarah makanan sudah menjadi disiplin ilmu yang sangat pesat.
Bagaim an a peran mak an an terh ad ap budaya?
Lebih dari sekadar urusan perut dan lidah. Makanan yang diolah, disajikan, dan dinikmati masyarakat berhubungan erat dengan aspek budaya dan identitas masyarakat. Itulah yang menyebabkan makanan di tiap wilayah memiliki ciri khas dan perbedaan masing-masing. Mulai dari penamaan, pengolahan, sampai penyajiannya.
Adakah standar khusus untuk membuat sebuah makanan menjadi khas di wilayah tertentu? Itu local genius atau kemampuan melokalkan sesuatu yang baru, bahkan asing, sehingga akhirnya menjadi bagian dari identitas kelokalan. Kemampuan
wawancara khusus
masyarakat tempo dulu melokalkan ma kanan-makanan pengaruh asing, seperti bistik dari beefstuck, atau perkedel da ri frikadel. Ini yang menunjukkan ke mampuan local genius untuk memati kan kosakata asing menjadi lidah lokal. Namun, terbalik dengan kecenderungan masyarakat kini yang kebarat-baratan, kejepang-jepangan, dan sebagainya. Kelatahan seperti ini yang membuat semakin tidak tumbuhnya local genius kita dalam menghadapi berbagai invasi kebudayaan asing.
Bagaimana proses akulturasi budaya makan pada masa itu?
Proses akulturasi itu tidak bisa lepas dari interaksi antarmasyarakat, termasuk juga dalam ruang-ruang paling intim, yaitu keluarga. Interaksi dalam keluarga, khususnya di dapur dan meja makan, bisa menciptakan local genius tersendiri. Masalahnya, keintiman di dapur dan meja makan menjadi kian berkurang seiring dengan semakin instannya masyarakat Indonesia untuk segera makan dan se kadar menikmati makan. Tidak ada lagi dialog atau percakapan intim di dapur. Akibatnya, masyarakat semakin rendah seni memasaknya di dapur, serta semakin jarang percakapan intim di meja makan. Semakin langka dialog ibu dan anaknya ketika memasak di dapur atau pertukaran resep masakan antartetangga. Artinya, masyarakat kita semakin ke mari menjadi semakin individualis.
Perlu membiasakan kembali makan ber sama yang kini sudah kian ditinggalkan?
Betul. Tradisi-tradisi makan bersama atau dinning table itu memang dimiliki setiap wilayah bangsa dan itu diperlukan sebagai wujud kebersamaan atau keguyuban.
Sebelum bersentuhan dengan pengaruh bangsa lain, bagaimana konsumsi hewani masyarakat kita?
Semula masyarakat lebih mengon sumsi makanan berbahan ikan sebagai pemenuhan asupan protein hewani. Se bagaimana para pelaut seperti Marco Polo, yang menyaksikan bahwa kawa san ini, khususnya Sumatera, merupa kan kawasan yang kaya akan potensi ikannya. Ada indikasi bahwa sebelum Portugis datang, masyarakat di kawasan Sumatera, khususnya teluk Malaka, sa ngat lekat dengan konsumsi ikan sebagai
kebutuhan protein hewani mereka, se lain terkadang juga mengonsumsi daging unggas. Dibuktikan juga dengan masih rendahnya budi daya ternak yang relatif baru berkembang ketika orang-orang Eropa datang dan bertambah popula sinya di Hindia Belanda.
Konsumsi ikan saat ini cukup rendah, bagaimana menurut Anda? Ini menarik sekaligus miris, se bagaimana penelitian yang ditemukan dalam buku Scienties and Netherlands Hindie. Bahwa saking kayanya potensi laut kita dalam menyediakan berbagai jenis ikan, membuat orang Indonesia menganggap makanan yang berbahan ikan itu biasa saja. Padahal para pene liti abad ke-19—20 menyebutkan bahwa perairan Nusantara sampai ke Australia merupakan kawasan yang memiliki po tensi ragam ikan yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Ketika muncul budi daya ternak di wila yah Nusantara, ikan dianggap menjadi makanan yang mengalami penurunan nilai. Ikan menjadi makanan nomor kesekian setelah daging-dagingan. Ini sebuah persepsi yang sangat ironis, ter balik, sekaligus menarik.
Apak ah bangs a Eropa mem en gar uh i perubahan budaya konsumsi masyarakat Hindia Belanda waktu itu?
Dalam kasus ini menurut saya, iya. Karena pada masa populasi orang Eropa semakin banyak, konsumsi terhadap da ging begitu tinggi. Inilah yang dipandang pribumi waktu itu, bahwa semua yang di konsumsi orang Eropa dinilai lebih tinggi ketimbang apa yang mereka konsumsi. Mungkin ini yang menyelinap dalam mental masyarakat Indonesia. Mereka menganggap bahwa daging derajatnya lebih tinggi daripada ikan.
Sejauh mana budaya mengonsumsi ikan kian ditinggalkan?
Sejak propaganda kuliner Eropa di Hindia Belanda pada masa awal abad ke-20. Kecenderungan itu sebetulnya sudah mulai tampak. Lalu konsumsi ikan menjadi turun citra atau nilainya dibandingkan dengan daging. Banyak yang menganggap bahwa mereka ba ru dapat dianggap modern kalau bisa menyesuaikan lidahnya dengan selera orang Eropa. Pandangan ini yang me munculkan keresahan di kalangan ahli
gizi pada masa kemerdekaan, bahkan sampai sekarang.
Pendapat Anda mengenai pembangunan yang merusak kelestarian lahan sumber pangan?
Ini yang berat. Persoalan boga secara spesifik berbicara tentang hubungan hulu dan hilir. Sedangkan yang menggejala di masyarakat, masalah perut dilihat di hilirnya saja. Kesadaran hulu-hilir ini yang kian menurun di masyarakat. Perlu upaya menanamkan pemahaman hubungan antara hulu dan hilir pangan dalam masyarakat, sehingga kesadaran hubungan hulu-hilir ini bisa dipraktik kan. Misalnya, dengan membudidayakan bahan pangan di pekarangan atau sekitar rumah agar tidak bergantung pada pasar. Pada fenomena cabai, jika masyarakat mau, sebenarnya secara swadaya bisa menanam di sekitar mereka. Sehingga praktik culas kartel atau pertengkulakan bisa diredam dengan adanya gerakan swadaya masyarakat.
Bagaimana fenomena petani sebagai penye dia sekaligus penyelamat sumber pangan yang justru kian tergusur?
Pemerintah, khususnya para peme gang kebijakan terkait pangan, sekali lagi tidak belajar dari sejarah. Profesi petani itu selalu diidentikkan dengan kemiskin an dan dianggap sebagai profesi yang rendah. Sebagai akibat stereotip atas budaya agraris sejak masa kolonial, di mana petani dikolonisasi oleh sebuah sistem pertengkulakan. Kemudian sis tem petani yang tidak memiliki lahan pertanian secara independen harus be kerja pada pemilik lahan. Ini menyebab kan citra petani menjadi rendah dalam konteks pangan nasional. Hal yang perlu diperhatikan sekarang adalah menjaga lahan pangan supaya tetap perawan dan tidak terkonversi menjadi lahan-lahan nonpangan.
Profesi petani kian terdesak, apakah me nandakan kondisi kuliner Indonesia kini mengalami dekadensi? Batasnya sangat tipis, tapi cenderung ke arah kemunduran. Banyak makanan tradisional mulai mengalami ketergusur an akibat makanan instan yang setiap hari kian gemar dikonsumsi. Sehingga tanpa disadari masyarakat lupa terha dap potensi pangan lokalnya yang sangat bervariasi. x
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 55
resensi
Tualang Bersama Sepatu Terkutuk
G
entayangan hadir dengan format novel “pilih sendiri jalan ceritamu”. Novel ini menggunakan sudut pan dang ked ua dalam penc erit aann ya. Pembaca otomatis menjadi tokoh utama dalam novel ini karena berkehendak memilih plot untuk melanjutkan jalan cerita atau meninggalkannya. Pembaca akan disuguhkan beberapa opsi di akhir cerita. Jalan cerita yang dipilih memi liki petualangannya masing-masing. Dengan adanya banyak plot di novel ini, pembaca diharapkan menulis catatan untuk alur yang dipilihnya agar tidak lepas fokus. Pada halaman terakhir buku ini juga disediakan ruang kosong untuk pembaca menuliskan jalan cerita yang ditempuhnya. Dengan kata lain, novel ini tidak bisa dibaca runtut pembaca jika tidak memilih jalan cerita yang tersedia. Ada bermacam-macam jalan cerita yang bebas dipilih dengan ber bagai versi akhir. Anda tidak akan puas membaca novel ini jika tidak mengikuti semua alur yang ada di dalamnya. Meng utip tulisan Gunawan Maryanto dalam lembar awal novel ini, “Kau tak bisa me milih selain bertualang dan berhati-hati agar tak tamat terlalu cepat, buku ini juga jebakan!” Gentayangan berkisah tentang se orang perempuan di akhir umur 20-an yang menginginkan pergi ke luar negeri untuk bertualang. Hidup memang tak selalu mendapatkan hal yang baik-baik. Ia ditimpa kegetiran dalam kisah hidup nya; bagaimana dia akhirnya mengerti bahwa dirinya tidak terlalu spesial sete lah bertemu banyak orang. Gagal masuk univers itas tetapi kakakn ya masuk universitas bergengsi, melamar beasis wa tetapi gagal, mencari pacar seorang ekspat yang didapatnya malah seorang filsuf gila buku cum Marxis tetapi selalu mengeksploitasi dirinya. Hidupnya selalu dilanda kebosa nan. Semua hal di sekitarnya dicercanya. Lalu muncul iblis. Iblis yang memujanya
56 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
sedemikian rupa dan berjanji membe rikan apa pun yang ia minta. Tawaran tersebut ia ambil. Ia memanggil iblis tersebut sebagai kekasih. Setelah bosan bercinta dan segala tetek bengeknya de ngan iblis, ia lantas meminta hal yang diinginkannya; petualangan. Ia bertawar dan melakukan kontrak dengan iblis ala Faust dan Mephistopheles. Esoknya iblis menghadiahinya sepatu merah—pemi liknya seorang penyihir perempuan yang sudah mati. Sepatu yang mengantarkan nya bergentayangan, berpetualangan kepada pembaca. Petualangan pertama: Ia menemu kan dirinya di taksi yang mengantarkan nya ke bandara John F. Kennedy dan meninggalkan kota New York. Merasa kebingungan, hal pertama yang dilaku kan adalah mengecek isi tasnya. Ditemu kannya paspor Indonesia dengan visa exchange visitor bersponsor Mirrodoor Cultural Council. Saat itu dia hendak menuju Berlin meski dirinya tak tahu mengapa ia akan pergi ke sana. Sesam painya di bandara, keluar dari taksi, ia menemukan dirinya hanya mengenakan satu sepatu merahnya. Mulai dari bagian ini, tepatnya di halaman 20, pembaca akan diberikan tiga pilihan: membatal kan perjalanan, melaporkan kehilangan sepatu kepada polisi, atau meneruskan perjalanan ke Berlin. Pilihan jalan cerita tersebut akan menentukan bagaimana pembaca mem bawa sang tokoh utama mengembara. Hasiln ya adalah berm ac am-macam cerita pendek yang saling berkaitan satu sama lain. Pembaca bisa mengemba ra di berbagai kota seperti New York, Amsterdam, atau Zagreb dengan berma cam konflik yang akan dihadapi: mencari cara bertahan hidup, menjadi lesbian, menikahi ustaz, bertemu kekasih imi gran, dan terkena dampak kebijakan tuan Donald Trump. Novel ini juga menceritakan do ngeng-don geng raky at ant arn eg ar a yang mungkin pembaca tahu seperti Malin Kundang Si Anak Durhaka, The
Danang | EKSPRESI
Oleh Danang Suryo
Gentayangan Pilih Sendiri Kisah Sepatu Merahmu Penulis: Intan Paramaditha Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Tebal: iv+490 Terbit: Oktober 2017
Wizard Of Oz, Rumpelstiltskin, dan Gnome dengan gaya kontemporer. Ada pula cerita lain tentang legenda sepatu merah yang merupakan hadiah dari Iblis Kekasih atau kisah gerombolan tikus yang memangsa sebuah desa. Gentayangan akhirn ya adal ah tentang kebebasan. Kebebasan dalam memilih hal apapun dalam hidup. Kebe basan menjadi perempuan, kebebasan menjadi manusia. Meski untuk men capai kebebasan tersebut dalam novel ini diperlukan kontrak dengan iblis dan mengenakan sepatu merah hadiahnya. Namun, dengan mengesampingkan ma salah kontrak dan sepatu ajaib itu, sejati nya manusia sendiri berhak bebas dalam menentukan hidupnya dengan segala konsekuensi yang akan diterimanya. Intan Paramaditha memunculkan hal tersebut dalam narasi-narasi pen deknya yang menjadi pilihan jalan cerita pembaca. Gentayangan bagai angin segar dalam kesusastraan Indonesia tahun ini dengan bentuk “pilih sendiri jalan ceritamu” meski gaya seperti itu tidak baru dan sudah lama dikenal da lam buku-buku cerita anak.x
L A P O RA N K H USUS
Meneroka Sejarah Zine
z
ine, ia tumbuh dari kultur masa Ekonomi yang bangkrut total, tetapi sekaligus lahir dari rahim-rahim kreatif negeri Paman Sam. Bermula dari fanzine, hingga akhirnya disebut zine. Belum ada yang tahu pasti bagaimana zine bisa menyebar ke seluruh penjuru dunia, tetapi paling tidak, keberadaan fotokopi ikut merevolusi benda tersebut. Dan sekarang, ketika dunia semakin ter-digital-kan, muncul pertanyaan serupa dengan mediamedia lain, akankah zine tumbang? Mungkin laporan kami belum purna, karena terhalang arti zine yang nyaris tidak terdefinisi. Namun, kami percaya, setidaknya ini menjadi laporan yang akan mengawali tentang tumbuh kembang zine di sudut negeri ini. Mari bikin zine!
L A PORAN K H U S U S
andhika | EKSPRESI
Oleh A. S. Rimbawana
B
ursa saham Wall Street runtuh pada Oktober 1929 dan men yeb abk an masa-masa yang kelam bagi ekonomi masyarakat dunia, tak terkecuali rakyat Amerika Serikat. Peristiwa ini dikenal sebagai periode Great Depression. Sedang di Indonesia dikenal dengan istilah Malaische atau zaman meleset. Waktu itu, di Amerika, pekerjaan sulit didapat serta ekonomi rakyat terganggu. Kejadian ini kemungkinan besar bukan hanya di Amerika, hampir di seluruh dunia merasakan hal serupa. Industri hiburan Amerika pun tak kalah tergang gunya. Sedang media belum berkembang seperti se karang, tak terkecuali barang cetak. Televisi masih belum ada, radio belum marak seperti dekade-dekade setelahnya. Bisbol, basket, dan hoki pun belum dike nal, rugbi baru mengawali kepopulerannya. Alhasil, hiburan rakyat hanya berpusat pada barang cetakan. Walakin, oplah media pun merosot tajam seiring dengan daya beli masyarakat yang menurun. Praktis, sebagai sumber hiburan adalah bacaan/barang cetak. Perpustakaan pun jadi penyaji hiburan yang cukup layak. Akan tetapi, buku-buku yang tersedia di per pustakaan tidak cukup memadai. Apalagi novel-novel jarang untuk para pembaca muda. Rakyat Amerika tengah kekurangan hiburan. Alhasil, anak-anak muda itu membuat terobosan baru di bawah cengkeraman masa depresi ekonomi, yakni membikin pulp. Pulp, sep erti dik utip Louis H. Gresh dan Robert Weinbergh dalam bukunya, The Science of Superheroes, mengatakan bahwa, “Pulp adalah fiksi yang berharga murah yang terbit dari sekitar 19001955. Harganya berkisar 5-50 sen, paling mahal satu picis.” Dari sini pula lahir istilah cerita roman picisan. Pulp bukan merujuk pada jenis atau isi cerita dari majalah-majalah arus utama, tetapi lebih kepada penggunaan jenis kertas agar dapat menekan biaya produksi dan harganya tetap terjaga. Pulp berkisah tentang fiksi ilmiah dan pahlawan super. Deretan pahlawan super Amerika yang kita kenal kini melalui layar lebar, seperti Batman, Superman, Spiderman, juga bermula di sini. Di samping mereka membuat pulp, kelompok penyuka fiksi ilmiah kemudian menerbitkan media
58 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
mereka sendiri yakni fanzine, berasal dari kata fans yang berarti penggemar dan maga-zine yang berarti media. Fanzine ini merupakan ajang bagi para peng gemar kisah-kisah fiksi ilmiah dalam berkomunikasi dan tukar gagasan antarindividu maupun antarko munitas. Bahkan pada 1928, setahun sebelum krisis eko nomi berkepanjangan tersebut melanda dunia, di Amerika, sebuah fanzine terbit berjudul Amazing Stories. Dari komunitas-komunitas penyuka fiksi ilmiah inilah, agaknya zine bermula. Stephen Duncombe, dalam bukunya, Notes From The Underground, mengatakan bahwa fanzine atau zine adalah majalah bersirkulasi kecil yang oleh pem buatnya dibuat, dicetak, dan didistribusikan sendiri. Dibentuk oleh sejarah panjang media alternatif di Amerika, zine sebagai sebuah bentuk media lahir di tahun 1930-an. Pada waktu itu para penggemar fiksi ilmiah melalui perkumpulan yang mereka dirikan mulai membuat media serta berkomunikasi antar komunitas sebagai cara untuk berbagi cerita-cerita fiksi ilmiah dan opini. Pemerian kata “alternative” di sini bukan tanpa sebab. Zine memang secara khusus menyuarakan apa yang tidak disuarakan oleh media-media besar (arus utama) pada waktu itu. Tema-tema menjadi lebih kreatif di tangan kreator muda ini. Akhirnya, kegemaran membuat media antarko munitas maupun antarpenggemar itu pun kian me rebak. Tak hanya di seputaran penyuka kisah-kisah fiksi ilmiah, akan tetapi juga merambah ke penyuka musik, film, sepak bola, dan sebagainya. Lantas, ke biasaan ini merambah pula pada individu-individu di luar komunitas tertentu. Boleh jadi, pembuatnya tidak dibatasi oleh siapa pun dan apa pun. Bisa anak remaja, ibu rumah tangga, bahkan kakek-nenek se kalipun jika memang aktivitas baca-tulis masih me mungkinkan.
Zine, apa itu?
Zine, media satu ini sebenarnya memang sedi kit sulit didefinisikan sifatnya yang tidak terhalang oleh bentuk fisik, melainkan etos kerja atau semangat membuat zine. Ekspresi, dalam hal ini mewawan carai beberapa orang. Salah satunya, seorang dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, menyebut kan bahwa zine itu ialah perkara etos kerja. “Zine itu etos,” terang FX. Widiyatmoko atau acap disapa
Me n e ro k a S e j a ra h Z in e
Koskow ini. Koskow menyebut zine itu sebagai etos karena zine itu bukan masalah tampilan secara materil, tapi dari semangat berkaryanya. Apakah seorang zinester – sebutan bagi para pembuat zine—membuat zine untuk berbagi informasi, berbagi pengetahuan, atau sekadar mencari keuntungan. Ditemui pada Senin (13/11), di kantin kampus ISI, Koskow berkisah pan jang tentang zine. Menurut Koskow, sejarah zine te rutama di Indonesia tidak terlalu jelas. Akan tetapi, ia berpendapat bahwa zine itu bisa dilacak sampai sekitar tahun 1980-an. “Zine itu lahir ketika musik punk sedang tenar di Indonesia.” Senada dengan Koskow, Mita, salah satu anggota kolektif Needle N’ Bitch berpendapat bahwa zine itu tergantung semangat yang menyertai media itu ketika dibuat. “Kalau zine itu menurut gue semangatnya ya, bukan terpatok pada bentuk fisiknya,” terang Mita. Sekali lagi, Mita juga menandaskan argumennya bah wa laiknya, zinester tak usah mencari keuntungan dari zine. Karena menurutnya, zine itu adalah cara ekspresi diri paling rendah, “Masak mau diokupasi sama kapital,” ucapnya terkekeh. Beruntung dalam penggarapan rubrik laporan khusus kali ini, setidaknya, ada dua kegiatan ten tang zine yang masing-masing diselenggarakan di Yogyakarta dan Surabaya. Di Yogyakarta, pertengahan Juni 2017 diselenggarakan pameran zine bertajuk “Zaman”, di LIR Art Space oleh dua anak muda, Doni Singo dan Rahma. Dua anak muda tersebut mela kukan kerja-kerja pengarsipan zine karena dirasa perlu dan penting. Doni, panggilan akrab Doni Singo, terkesan lebih moderat, ia memaknai zine sebagai sarana ekspresi diri. “Mungkin, orang-orang dulu sinis pada kita, tapi tak apa,” ucapnya. Bagi Doni, ia mantap dengan zine sebagai sarana mengekspresi kan diri, tidak hanya sekadar mengumumkan garis politik apa yang diyakini oleh pembuatnya.
Swakriya
Do it yourself (DIY) atau dalam bahasa Indonesia disebut swakriya adalah suatu metode membangun dan memodifikasi yang untuk melakukannya tak di perlukan keahlian khusus atau harus ahli. Siapa pun bisa melakukannya. Pada dasarnya, swakriya mendo rong manusia untuk lebih kreatif dalam kehidupan. Begitu pula dalam zine, ia mendorong agar tiap orang bisa dan mampu untuk menyuarakan masa
lah-masalah mereka sendiri. Terlepas apakah mereka mempunyai latar belakang bergelut di dunia media mau pun tidak, masyarakat kini seakan-akan telah dihinggapi konsumerisme yang menjadi-jadi. Dalam hal media misalnya, kita dipaksa untuk menerima gagasan yang telah disodorkan begitu saja oleh pemilik media. Kita seolah-olah tidak lagi punya daya untuk menahan hal itu. Padahal, ada seribu satu masalah yang kita hadapi dan zine setidaknya mem berikan kita wadah untuk menyuarakannya. Dalam dunia zine, jika ada salah seorang tidak bersepakat dengan zine yang diterbitkan, maka wajib kiranya ia membalas dengan zine pula. Metode yang baik pula untuk pengembangan literasi. Mahasiswi ISI Yogyakarta, Made Primaswari Wikandari turut memberikan aspek kajian akademis tentang zine. Skripsi mahasiswa angkatan 2007 itu mengungkapkan, “Pada dasarnya zine adalah sema cam self publishing, sebuah penerbitan media secara mandiri dan otonomis yang bisa dilakukan oleh se mua orang. Dalam hal ini, zine mencoba memberikan gagasan dan pemikiran baru tentang apa saja yang tidak diberikan oleh media massa arus utama. Hal ini makin dirasa mendesak apabila mengingat kita sekarang berada di tengah-tengah realitas maya, se olah-olah, atau simulakra. Akan tetapi, di tengah maraknya media sosial seperti sekarang, memang pembuatan zine yang masih mengandalkan hasil pelipatgandaan mesin fotokopi, bisa dibilang terlalu kuno. Atau, lebih ha lusnya, perlu menyesuaikan dengan zaman. Akan tetapi, tidak demikian menurut Mita, baginya zine berbasis fisik maupun persebaran melalui internet tergantung sasarannya siapa. “Balik lagi ke sasaran,” ujarnya. Menentukan tujuan atau sasaran pembaca memang penting. Hal itu berguna bagi zinester untuk merancang strategi apa yang pas dengan pembaca yang beragam. Kini, muncul pula berbagai web zine yang mengandalkan internet sebagai sumber daya persebarannya. Pada akhirnya, laporan ini tentu saja belum purna, masih ada lubang di sana-sini. Lubang-lubang yang barangkali tetap menganga sampai ada laporan-la poran berikutnya yang lebih memadai tentang zine di Yogyakarta, maupun di Indonesia. Selamat membaca dan mari buat zine! x
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 59
L A PORAN K H U S U S
Menelisik Khasanah Zine Yogyakarta Pertengahan Juni lalu, dua pemuda asal Wonosobo dan Solo mengadakan pameran zine di Yogyakarta. Ditengah maraknya berbagai media daring, ternyata zine masih eksis. Oleh A. S. Rimbawana
RIMBAWANA | EKSPRESI
D
ua pemuda yang dimaksud itu ialah Doni dan Rahma. Doni Singo, pria kelahiran Wonosobo. Awalnya, Doni, begitu ia acap disapa, menjalani masa sekolah meneng ah atas di lingkungan asrama di Wonosobo. Kare na tinggal di asrama itulah tidak banyak informasi yang berhasil tersalur padanya. Termasuk pilihan Doni Singo (ketiga dari kiri) berbicara pada saat jurusan kuliah. diskusi zine. Doni punya minat yang besar terhadap kese nian, terutama seni rupa. Ia melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi dan mengambil jurusan Teknik. “Yang ada gambar-gambarnya, ya fakultas teknik, itu yang saya tahu,” kata Doni. Doni sebenarnya ingin masuk di jurusan gambar, taruhlah Seni Rupa. Ka Kok asyik ya, kita rena ia hanya tahu jurusan Teknik, maka dipilihlah bisa bikin media sebuah kampus di Yogyakarta. kita sendiri yang Setelah sekian tahun, karena tidak betah, ia pindah sesuka kita. dan kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan mengambil jurusan Desain Komunikasi Visual (DKV). Doni masuk sebagai angkatan 2011. Di kam Rahma pus inilah awal mula ia berinteraksi dengan zine. Ia mengatakan bahwa awal ketertarikan dengan zine adalah pada 2015 lalu. Mulanya, Doni menganggap zine adalah medium yang pas bagi karyanya. Doni memang kerap bikin karya dan ia sering mencetak sendiri karyanya. Ber hubung ia tidak terlalu suka dengan pameran yang
"
60 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
harus digelar di galeri-galeri konvensional, maka dari itu ia akhirnya banting stir ke zine. Doni berpikir zine bisa menjadi medium yang tepat terhadap karya yang ia buat. Bermula dari ke tertarikan itu, kemudian ia mendalami dunia zine. Setahun setelahnya, ia mampu membuat pameran bertajuk “Indizc Zine Partic”, sebuah pameran zine yang digelar setelah beberapa tahun zine mati suri di Yogyakarta. Di tahun berikutnya, yakni 2017, Doni kembali menebalkan niatnya di dunia zine dengan membuat pameran bertajuk “Zaman”. Kali ini ia di temani oleh alumnus Universitas Brawijaya, Malang, bernama Rahma. Rahma Nur Azizah adalah perempuan kelahiran Solo yang juga merupakan rekan Doni di LIR Art Space. Waktu itu, ia tak mengetahui apa itu zine. Begitu tahu bahwa zine itu membuat media sendiri, Rahma langsung tertarik dan membuat zine-nya sen diri. “Kok asyik ya, kita bisa bikin media kita sendiri yang sesuka kita,” terang Rahma. Bermula dari pembicaraannya dengan Dito Yuwono, pemilik LIR Art Space, Rahma bisa mem bikin pameran zine. “Waktu itu, aku ditantang sama Dito, dia bilang gini, bagaimana kalau kamu buat acara zine saja, nanti konsep dari kamu,’” tiru Rahma. Tantangan itu pun diterima Rahma. Ia membuat pa meran zine tidak seperti yang sudah-sudah. Waktu itu, Rahma sama sekali belum mengenal skena zine Yogyakarta. Ia bisa dikatakan sebagai pemula dalam skena ini. Hingga akhirnya ia bertemu dengan Doni, pemuda yang pernah berupaya bikin acara zine di Yogyakarta, setahun sebelumnya. Pertemuan dengan Doni itu akhirnya merubah banyak pandangannya tentang zine. “Ada tuh, Doni Singo namanya, dia juga aktif di zine,” kenang Rahma mengingat pertemuan dengan Doni. Melihat zine ia anggap bisa lebih menjanjikan untuk sarana penyampaian karya, setahun kemudian ia bikin pameran zine bertajuk “Indizc Zine Partic” pada 2016 yang digelar di KantinS15. Bagi Doni, dalam acara itu sebenarnya lebih dimaksudkan untuk mengumpulkan para zinester di Yogyakarta. Diluar dugaan, acara itu melebihi ekspektasi Doni. Pengunjung membludak. Acara yang tak hanya pameran zine tersebut menampil
Me n e ro k a S e j a ra h Z in e
pu membuat periodisasi zine Yogyakarta. Mereka mengelompokkan zine menjadi tiga tahapan. Seperti inilah zine yang mereka temukan di Kota Gudeg. Periode pertama, dimulai pada 1985-1990an. Ini adalah periode di mana zine benar-benar aktif membantu perjuangan, misal dalam ranah musik dan sosial. Zine di masa ini bertugas sebagai pembangun komunitas serta sebagai media alternatif pergerakan. Ada yang menarik dari penemuan mereka. Doni mengaku, ia menemukan sebuah zine khusus untuk gay. Judul zine itu adalah Jaka. Jaka dibuat memang untuk khusus mereka yang berorientasi seksual gay. Selain itu, ada pula Terompet Rakyat, adalah salah satu zine beraroma bengal. Zine itu dibuat kolektif oleh Taring Padi yang bermarkas di gedung bekas kampus Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) atau sekarang kampus Institut Seni Indonesia (ISI). Kini, ASRI ber ubah menjadi Jogja Nasional Museum (JNM). Kemudian, periode kedua, 1999-2010, ini adalah masa ketika zine–sama dengan dunia aktivisme—telah berhasil merebut ruang dari hegemoni Orde Baru. Zine pada periode ini bersifat lebih bebas. Sesuai de ngan konteks zaman, zine pada waktu itu digunakan untuk merayakan kebebasan yang berbeda di masa sebelumnya. Pada periode ini, banyak zine musik bermunculan. Zine tentang film pun turut berkem bang pada periode ini. Selanjutnya adalah periode ketiga, jatuh pada 2011-saat ini. Zine berkembang jauh lebih pesat lagi. Zine kini menjadi sarana ber ekspresi secara visual. Berbagai genre pun muncul dan bertumbuh di periode ini. Mereka berdua pada akhirnya tetap berkeras hati untuk membuat sebuah direktori tentang zine di Yogyakarta. Akan tetapi, hal itu memang tidak bisa dilakukan dalam satu dua tahun karena perlu waktu untuk dapat membuat direktori serinci itu mengingat ada berbagai macam zine yang beredar di Yogyakarta. Dengan nada optimistis Doni me ngatakan, “Kalau kita arsipkan, kita bakal tahu, apa sih yang dipikirkan oleh masyarakat Yogyakarta.”x
Beberapa arsip yang dikumpulsimpan oleh Indisch Zine Party.
RIMBAWANA | EKSPRESI
kan penampilan panggung dan diskusi bertajuk zine dengan narasumber Indra Menus dan Tomi Wibisono. Acara zine itu cukup memberikan warna di tengah kekosongan Yogyakarta karena absennya acara zine sejak beberapa tahun terakhir. Terakhir kali, acara zine dibikin oleh kelompok kolektif yang digawangi Indra Menus, seorang yang aktif dalam skena musik Yogyakarta bertajuk “Jogja Zine Attak”. Walakin, se telah pameran itu berlangsung rutin pertahun, “Jogja Zine Attak” pun akhirnya mandeg. Entah persoalan macam yang apa menimpanya. Selepas itu, Indra pun mengatakan bahwa ia menyumbangkan seba gian besar zine koleksinya ke Radiobuku, salah satu lembaga swa-arsip di Yogyakarta. Selain “Jogja Zine Attak”, ada pula “Muak”, yang berhasil diselenggarakan di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) UGM. “Muak” telah berlangsung seba nyak dua kali, di 23-25 April 2012 dan 9-10 September 2014. Di antara dua acara zine tersebut, “Jogja Zine Attak” dan “Muak”, keduanya hampir sama, hanya memamerkan zine semata. Riset yang mereka adakan berlangsung lama dan melelahkan karena tidak setiap orang yang pernah membuat zine agar karyanya mau ditunjukkan dan diarsipkan. “Selain itu, mereka (zinester-Red.) kadang juga tidak ingat kapan mereka buat zine,” cerita Rahma. Mereka juga harus mengubek-ubek arsiparsip zine di Yogyakarta. Ada di yayasan Kunci Cultural Studies, dan Indonesion for Visual Art Archive (IVAA) yang terletak di kawasan Mergangsan Yogyakarta. Selain itu, mereka juga harus mengubek-ubek arsip-arsip zine di Radiobuku, salah satu lembaga arsip swakelola di Yogyakarta. Di Radiobuku inilah, Menus sumbangkan nyaris seluruh karya zinenya. “Akan tetapi, arsiparis Radiobuku, Safari Banggai, mengatakan bahwa zine belum jadi prioritas arsip mereka,” terang Rahma ketika ditemui di Saorsa Coffe, beberapa bulan lalu. Belum lagi pengarsipan zine ini upaya yang terus bergerak dan mereka tidak tahu akan selesai sampai kapan. Ringkas saja. Penelitian mereka tentang zine Yogyakarta memakan waktu kurang lebih satu bulan. Berm ul a dari pert a nyaan singkat, mere ka memberanikan diri mengarungi samudera zine Yogyakarta yang begitu ruwet, njlimet dan ribet. “Bagaima na mulanya kemuncul an zine di Yogyakarta dan perkembangannya hingga kini?” dengan pertanyaan mendasar itul ah lant as penj e lajahan mereka mulai. Dari hasil pengum pulan arsip zine itu, se tidaknya mereka mam
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 61
L A PORAN K H U S U S
Kabar Musik dari Bawah Tanah Zine musik memberikan kabar skena bawah tanah yang jarang terekspos media besar. Mengangkat nama band bawah tanah dikenal masyarakat. Oleh Danang Suryo
Y DAB Magazine Edisi Khusus Retrospektrum
Dok. Istimewa
usuf Farianto masih ingat betul kala men dapatkan zine musik pertamanya. Suatu hari di 2010, ketika menjelajah baris kabar di Facebook, Yusuf mendapati laman zine musik DAB Magazine memberikan pengumuman: edisi khusus sudah terbit. Yusuf lantas meminta sang Ayah menemaninya berangkat menuju VOX Distro, salah satu tempat penyedia DAB, yang terletak di Jalan MT. Haryono, Yogyakarta. Dengan Honda C-70 milik keluarga mereka melaju dari rumahnya yang terletak di Jalan Kaliurang KM 13. Perjalanan dari rumah hingga VOX Distro memakan waktu sekitar 30 menit. Sesampainya di VOX Distro, Yusuf bertemu dengan Dimas Widiarto, pemilik distro, mengobrol sedikit tentang musik dan mengambil rilisan zine terbaru itu: DAB edisi Decade of Escapade 2000 – 2009: Yogyakarta Retrospektrum. “Edisi itu isinya mengulas band indie, elektronik, dan pop yang ada di Jogja. Diceritakan juga tentang sejarahnya bagaimana,” kenang Yusuf ketika dite mui di Burjo Uswatun pada Minggu (15/10). Rilisan DAB tiap bulan selalu Yusuf nantikan dan tiap bu lan juga Yusuf harus menuju VOX Distro. Alasan Yusuf sederhana. Dia ingin mengetahui lebih banyak band dan skena musik di Yogyakarta. DAB terbilang zine musik yang berbeda dari biasanya. DAB mampu menjaga terbitannya secara berkala, sebuah pencapaian tersendiri karena biasa nya zine terbit sesuka pembuatnya. DAB telah terbit sebanyak 26 edisi sejak 2008, menjadi ulasan juga dokument asi skena independen pada band dan musik khususnya di Yogyakarta. “Aku tahu band indie di Yogya sejak SMP itu Jenny. Aku baca DAB untuk lebih tahu banyak lagi,” terang Yusuf. Jenny adalah band rok yang dibentuk pada tahun 2003, pada ta hun 2011 berubah nama menjadi FSTVLST. Selain itu, kontributor
62 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
yang menulis di DAB juga menjadi daya tariknya. “Banyak kontributor DAB itu dari personel band,”. Yusuf lantas berkenalan dengan humas DAB, Bangun Permadi. Permadi kala itu indekos di Jalan Nologaten, dari indekosnya Permadi mengatur sirkulasi DAB, pindah pula tempat Yusuf mendapatkan zine terse but, juga karena lebih dekat. DAB berganti nama menjadi EAR Magazine pada 2011. Dengan mengusung semangat nama se belumnya, EAR sempat menerbitkan zine sebanyak 3 edisi dan membentuk webzine earmagazine.com. Webzine adalah zine yang diwebsitekan. Websit EAR, selain menyediakan zine mereka dengan versi digi tal dari edisi awal hingga terakhir juga melanjutkan konten-konten EAR seperti resensi musik, reportase pertunjukan musik, dan berita seputar musik. Na mun, ketika laman web tersebut coba dibuka pada Oktober 2017, ternyata sudah tidak aktif. Data dari Wayback Machine Web Archive – perpustakaan la man web yang berisi lebih dari 306 miliar tangkapan web – menyebutkan bahwa earmagazine.com terakhir aktif pada April 2014.
Dari Zine merambah ke Webzine
Pertengahan tahun 1970an, kala itu subkultur punk sedang naik-naiknya. Musik bergenre punk di mainkan di mana-mana. Dikutip dari zinewiki.com, pada 1975, Legs McNeil dan kawan-kawannya di New York menerbitkan zine berjudul Punk. Punk mem bahas apa yang terjadi pada skena seni dan musik di New York. Komunitas punk menggunakan zine untuk mempromosikan musik dan skena mereka, dengan pengecualian, yang mendapat sedikit perhatian dari pers musik besar. Dua dekade kemudian, sekitar tahun 1990an, zine musik mulai bermunculan di Indonesia. Tri Aman, pengelola toko kaset JNM Art Shop, mengatakan, pada awal munculnya zine membahas tentang musik-musik bawah tanah. “Zine seperti surat kabar, memberikan pemberitahuan, komunitas punk begini, celtic punk begitu,” jelas Tri. Dalam tulisan Samack di Jurnal Ruang yang berjudul “Musik Bawah Tanah & Nyali Menantang Tirani”, gelombang pertama zine musik di Indonesia disebut-sebut dengan munculnya zine
Me n e ro k a S e j a ra h Z in e
mengganti ongkos cetak – , atau di titik distribusi zine tersebut. Jumlahnya yang sedikit dimaklumi para pembacanya. Tahun berlalu, genre musik bawah tanah yang ma suk ke Indonesia kian beragam, begitu pula bahasan genre zine musik, semakin bervariasi. Zine merambah ke banyak genre musik: black metal, eksperimental, rap, dubstep, hingga pop. Tri sempat meramaikan komunitas hip-hop dengan membuat zine Hip-Hop Hari Ini pada tahun 2013 yang membahas tentang hip-hop di Yogyakarta. Begitu pula Menus yang dulu pernah aktif menjadi bagian dari DAB. Perkembangan zaman yang cepat membuat zine cetak akhirnya juga makin berkurang atau bisa dika takan mulai meredup. “Sebenarnya masih ada tapi ha nya ke lingkaran komunitas,” ungkap Menus. Menus melanjutkan, meredup atau tidaknya zine cetak itu tergantung dilihat dari perspektif komunitas, “Kalau melihatnya dari kacamata orang di luar komunitas ya meredup, tapi sebaliknya, kalau di dalam, ya, masih ada, tapi terbatas. Dari dulu zine memang terbatas,” Dengan berkembangnya teknologi menggunakan internet, para pelaku zine memindahkan medium zine mereka menjadi webzine. Menurut Menus, alasannya adalah kecepatan informasi, “Aku melihatnya, untuk musik lebih ke kecepatan informasi dengan internet update-nya lebih cepat,” Di Indonesia banyak webzine yang masih aktif hingga kini seperti Deathrockstar, Wasted Rockers, dan jakartabeat.net. Melalui webzine, konten menjadi semakin variatif. Dalam webzine Wasted Rockers misal, pengunjung dapat langsung mengunduh extended-play atau mendengarkannya langsung secara streaming rilisan dari sebuah band atau melihat video mereka. x
"
Zine seperti surat kabar, memberikan pemberitahuan, komunitas punk begini, celtic punk begitu. Tri
Webzine Earmagazine.com. Tercatat di situs archive.org
Dok. Istimewa
Revogram dari Bandung, Mindblast dari Malang, Megaton dari Yogyakarta, dan Brainwashed dari Jakarta. Musik yang dibahas kala itu didominasi aliran hardcore dan punk. Di Yogyakarta pada tahun 1998 muncul zine Bajingan, buatan Woto Wibowo yang memuat skena punk, skinhead, dan Oi!. Hadirnya zine-zine tersebut mengangkat skena mereka, juga karena musik dengan aliran tersebut belum menda patkan publikasi yang luas. Susahnya mendapatkan akses informasi musik bawah tanah juga menjadi alasan menggunakan zine. “Dulu – tahun ‘90an – akses internet susah, orang yang tidak punya akses ke sana dapat info perkembangan skena dari zine,” jelas Indra Hermawan, inisiator pameran dan lokakarya Jogjakarta Zine Attack. Bagi yang memiliki akses internet, konten zine luar negeri diambil dan diterjemahkan bebas ke dalam bahasa Indonesia. “Kadang cuma nyadur dari internet lalu di terjemahin ke bahasa Indonesia,” lanjut Indra. Maximum Rock'N'Roll adalah zine musik dari Amerika yang mendedikasikan untuk membantu dan meliput dalam skena punk rok bawah tanah, konten nya sering diterjemahkan para pegiat zine Indonesia, zine itu masih aktif hingga kini. Zine lantas menjadi wadah komunikasi yang penting antar pembaca juga kepada berbagai komunitas musik. Pembaca bisa mengirimkan resensi album atau mengirimkan per tanyaan-pertanyaan kepada editor zine. “Bisa saling kontak dan berkenalan. Itu menjadi salah satu melting pointnya,” lanjut Menus, sapaan Indra. Tata letak dalam zine juga menggambarkan iden titas tersendiri pada komunitas musik yang bersang kutan. Menus menjelaskan, “Zine hardcore punk sendiri lebih raw mengetiknya, bebas, ada yang tulis tangan, ketik, cut and paste. Bentuknya amburadul. Kalau zine metal mendekati seperti majalah, rapi, menggunakan layout komputer, kalau difotokopi masih enak,” Zine musik bisa didapatkan ketika ada acara konser musik, dibagikan atau dijual – untuk
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 63
L A PORAN K H U S U S
Dari Kolektif Hingga Zine
Lesunya penjualan tidak membuat para musisi menyerah berkarya melalui medium rilisan fisik. Satu demi satu inovasi ditelurkan agar bisnis ini tetap berjalan.
Oleh Imam Ghazaly
N
eedle and Bitch (NnB) lahir dari rahim kolektif Institut-A (infohouse and com munity space) di Jakarta pada tahun 2008. Kolektif Institut-A melakukan gotong royong mengumpulkan pustaka yang fokus pada anarkisme dan anti-otoritarian. Dari mulai pamflet, terjemahan, buku, dan zine. Tidak berhen ti di situ, kolektif Institut-A juga mempelajari dan berusaha menerapkan tradisi anarkisme dalam ke hidupan sehari-hari. Reporter EKSPRESI, Imam Ghazaly, ber kesempatan wawancara dengan Mita, salah satu pegiat kolektif dan zine.
Mengapa berkecimpung dalam kolektif dan membuat zine?
Bermula di Jakarta pada kurun tahun 20082009. Kita ingin membuat wadah yang tidak hanya sekadar tempat nongkrong. Kita tinggal bersama, membuat sesuatu, dan ada perpustakaannya. Ti ap individu di situ punya gawean masing-masing. Bebas lu mau ngapain, tetapi tetap dengan prinsip yang kita sepakati bersama dan berusaha mene rapkan tradisi anarkisme. Misalkan seperti direct democrasy, nggak ada hirarki, atau semacamnya.
Sempat tinggal di kota mana saja?
Kami dua tahun di Jakarta, kemahalan, pindah ke Depok dua tahun. Sudah nggak kuat sama bia ya, terus juga kayaknya Jakarta terlalu kejam, ak hirnya kita pindah ke Jogja. Nah, kita mulai jalani lagi pelan-pelan, nama ‘Institut-A’ mulai hilang ka rena kita gencar membuat craft, teman-teman ter biasa nyebut ‘Needle and Bicth’.
Aktivitas apa saja yang dilakukan di Jogja?
Di Jogja kita fokus merapikan craft. Nah, kita mulai membuat segala macam program, seper ti workshop, kegiatan self defense, membuat zine, dan berjejaring dengan gerakan agraria di Jogja. Selama ini NnB fokus dua isu: seksualitas dan ru ang hidup.
Sejak kapan membuat zine?
Di Jakarta sejak tahun 2008, kita lebih banyak distribusi atau reproduksi ulang pamflet-pamflet yang beredar di kalangan teman-teman. Waktu di Jakarta zine yang pertama yaitu perkenalan ten tang anarkisme.
64 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
Lalu bikin zine Sister Be Strong. Zine kolektif kumpulan tulisan yang dikerjakan bersama, jadi kita minta kontribusi teman-teman untuk menulis. Waktu itu kita sedang banyak ngomongin kekeras an terhadap perempuan. Teman-teman yang punya pengalaman saling berbagi dan menguatkan. Tidak hanya bicara kekerasan terhadap perem puan, ada yang ngomongin jadi single father juga, ada yang ngomongin bahwa dia itu positif HIV– AIDS, ada yang ngomongin isu mentalnya juga. Intinya, teman-teman yang punya permasalahan tentang pilihan hidupnya, silakan ditulis. Kita juga membuat street event: street gigs; ada musik, ada pameran, penggalangan dana, lapak, Food Not Boms, dengan tema Kespro (baca: Kesehatan Reproduksi). Nah, kita me-launching zine Sister Be Strong di acara tersebut. Itu yang pertama dan ternyata responnya bagus, yang mau zine-nya ganti foto kopi aja dan kita sediakan link free-nya, karena semangatnya berbagi.
Zine apa saja yang telah dibuat?
Ada Sister Be Strong dua edisi, terus diterje mahkan dalam bahasa Inggris. Ada zine Kaplok Balik, Crafty Queer, lalu Datang Bulan. Semua zine selalu berkaitan dengan kegiatan yang kita lakukan. Seperti zine Crafty Queer, waktu itu kita ngomongin isu seksualitas tapi LGBT-Q (Lesbian, Gay, Biseksualitas, Trasgender, dan Queer) karena masyarakat masih jarang yang tahu. Zine Indonesia ada yang ngomongin queer tapi hanya sebagian, Cafty Queer spesifik membahas itu.
Bagaimana proses pembuatan zine tersebut?
Jadi kita membuat pertemuan tiap dua ming gu dengan tema yang berbeda-beda. Kita bikin se macam episodenya dan random. Kita ngomongin, sebenarnya queer itu apa sih? Kita ngomongin ten tang keberagaman seksualitas. Lalu kita ngobrol tentang identitas. Kita ngomongin tentang body image, pernah juga ngomongin agama dan kait annya dengan LGBT-Queer. Itu juga konsepnya nyampur, antara ngobrol sambil make something: ada workshop, kolase, stensil, dan macam-macam lah.
Lalu mengapa membuat zine Kaplok Balik dan mengi nisiasi kegiatan ‘pertahanan diri’?
Me n e ro k a S e j a ra h Z in e
Karena kamu nggak bisa berharap pada polisi, nggak bisa berharap pada pengadilan dan negara, bahkan sama keluarga. Harus dimulai dari diri kita sendiri. Kalau kita mau ngomongin pendekatan politik sa ma ideologis itu beda. Banyak contoh: orang-orang melihat banyaknya kekerasan seksual. “Oh, kamu harus lapor, tuntut negara, pakai undang-undang,” yang lebih parah lagi, “kamu harus mengubah cara berpakaian.” Ya tidak apa-apa, maksudku: aku meng hargai usaha teman-teman. Tapi kita realistis aja, kalau nunggu negara baik sama kita, kapan?
Kenapa media yang dipilih zine?
Ya karena itu yang paling masuk akal buat kita, lebih memungkinkan dan sesuai dengan keinginan kita. Apa yang kita obrolin, kita tulis sendiri, desa in sendiri, konten kita yang atur, dan kita rembuk bareng-bareng. Semua orang berkontribusi sesuai dengan keinginan dan kemampuan. Itu menye nangkan, karena kamu nggak perlu berada dalam pakem jurnalistik yang kaku dan membosankan. Berawal dari merasa tertantang. Aku senang nulis dan pengin tempel yang aku pikirin –tapi nggak punya keahlian digital maupun visual. Dulu di kampus pernah ikut Pers Mahasiswa. Mere ka mempunyai platform sendiri, aku pengin nulis yang aku mau dan aku suka. Ya sudah bikin sendiri. Di periode itu aku mulai banyak belajar sendiri, ca ri tahu soal anarkisme, dan gagasan Do It Yourself (DIY).
Bagaimana dengan gagasan DIY?
Ada zine Datang Bulan yang mengenalkan pembalut kain. Kita dulu pernah bikin eksperimen. Kita bikin Moon Cup, pembalut yang dimasukkan ke dalam vagina, itu ramah lingkungan. Kalau pem balut yang beredar sekarang kan jahat banget sam pahnya, kayak pampers: udah susah diurai tercam pur sama tahi dan darah. Moon Cup itu berhasil, tapi nggak populer di Indonesia karena isu kepera wanan nggak mungkin diterima di negara konser vatif kaya gini. Aku tertarik dengan gagasan dasar DIY. Manu sia hari ini benar-benar dikikis habis rasa percaya pada diri sendiri. Jadi seolah-olah, “lo nggak bisa ngelakuin apa-apa.” Kamu di dunia kerja aja, po koknya orang lain yang menutupi kebutuhanmu. Jadi kreativitas manusia sudah nggak ada.
Bagaimana metode pembuatan zine?
Zine itu benar-benar memerdekakan di rimu. Nggak ada atur an khu sus dan te tap saling menghargai. Ada yang manual, potongtempel, total digital, dan webzine. Bahkan soal temanya. Mau soal ero tika, terus ngomongin hal yang ti dak di ang gap umum, itu diterima dalam dunia per-zine-an.
Benar-benar tergantung pada minat masing-ma sing, seperti tidak ada batasan.
Bagaimana dengan Copyright atau hak cipta?
Setahuku selama ini tidak pernah ada zine yang pakai hak cipta. Kecuali hanya sekadar men cantumkan atau hanya izin aja. Zine itu rata-rata Copyleft; tanpa hak cipta. Seperti yang gue bilang, ada orang-orang yang tetap punya etika, dia punya kesadaran. Memang sudah kulturnya begitu, kalau pakai karya orang harus izin dulu. Pernah ada kejadian, gambar diproduksi massal dalam bentuk kaos di pasar –entah oleh si apa. Kalau teman-teman waktu itu nggak masalah. Kita malah seneng dibantu kampanye dan mem bantu orang cari duit. Yang penting nggak masuk mall, distro, atau korporat.
Apa bedanya media zine dengan yang bukan zine?
Sama-sama media informasi, tapi nilai dan spiritnya yang berbeda. Zine dibuat bukan untuk profite oriented, semangatnya empowering, berbagi pengetahuan, berbagi pengalaman, tidak eksploitatif, tidak mencari untung, dan distribusinya non-kapitalistik.
Apakah zine sebagai budaya tanding?
Sebenarnya bukan tanding sih –yang sifatnya kompetitif banget. Tapi aku melihatnya seperti jalan hidup yang sudah banyak ditinggalkan. Misal kaya pembalut, yang sebenarnya sudah ada. Tapi ini ada “kekuatan baru” yang datang dan tiba-tiba klaim bahwa “Ini gaya kita, yang paling benar, itu cara kuno, salah, jorok, dan tidak benar,” semacam itu lah. Tapi sebenarnya kan itu sudah ada sejak dulu, hanya saja di masyarakat kapitalis ini seakanakan semuanya harus sesuai standar kapitalistik. Kita melihatnya itu bukan sebagai budaya tanding, ka re na itu su dah ada bah kan le bih la ma. Mi sal ha ri ini yang la gi nge-hits bertanam, seolah-olah alternatif banget, padahal kan memang sejatinya dari dulu begitu.
Satu lagi, ada kritik buat zine saat ini Mita?
Sekarang ini semuanya mulai dikomodifikasi. Kaya zine-zine be la kang an yang mulai hits di kalangan indie, disponsorin perusahaan, produk apalah, dan ngejualnya tinggi seharga 35ribu sampai 50ribu. Itu berengsek banget. Educate Yourself, tanya sama diri sendiri. Jangan Cuma ngeliat ada sesuatu yang lagi hits, terus ikut, cenderung latah, tapi spiritnya hi- lang. Jangan sok-sokan indie, sok-sokan alternatif, sok-sokan zine. Da ri awal sudah jelas: semangat zine itu berbagi. x imam | EKSPRESI
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 65
L A PORAN K H U S U S
Terompet Rakyat, Zine Taring Padi “Anda pekerja seni, budayawan, mau bantu rakyat... gabunglah bersama kami, Lembaga Budaya Kerakyatan Taring Padi!” Oleh A.S. Rimbawana
K
alimat itu terpampang jelas pada halaman terakhir Terompet Rakyat, barang hasil ce takan Lembaga Budaya Kerakyatan (LBK) Taring Padi, yang berhasil terlacak pertama kali terbit pada Desember 1998. Taring Padi sebagai mana organisasi berhaluan politik lainnya, memerlu kan alatnya sendiri untuk bisa mengampanyekan isu atau keyakinan politik mereka. Selain itu, mereka juga bertujuan untuk mengedukasi rakyat agar memiliki pemahaman yang komprehensif tentang masalah yang sedang dihadapi ketika itu. Dulu, majalah, selebaran atau zine adalah cara yang cukup sangkil digunakan. Mungkin Taring Padi tidak menyebut Terompet Rakyat sebagai zine. Ma lahan mereka menyebut Terompet Rakyat sebagai album, yang secara definitif merupakan kumpulan gambar. Memang, Terompet Rakyat tidak hanya ber kutat pada tulisan, tapi hasil merupa mereka. Selain itu, untuk mendistribusikan wacana yang mereka yakini, di bagian depan zine itu juga mere ka bubuhkan kalimat: "Album ini bisa dicetak tidak terbatas dan dibagi gratis, mendiskusikan maupun menggandakan album ini dihalalkan." Artinya, tidak ada yang perlu risau akan hak cipta. Soalnya, kolektif ini tak ambil pusing soal hak cipta.
Mulai bertaring
Zine dipamerkan, ditukar, juga dijual oleh para pelaku skena zine.
RIMBAWANA | EKSPRESI
Terompet Rakyat yang kemudian kami artikan secara definitif sebagai zine adalah media terbitan se kaligus alat perjuangan Taring Padi. Sejak medio 1998 Taring Padi bermarkas di kompleks gedung Akademi Seni Rupa Indonesia, atau kompleks ISI lama yang terletak di Jalan Gampingan No. 1, Yogyakarta–se karang lebih dikenal sebagai Jogja National Museum (JNM). Taring Padi ini unik dari mulai perjalanan ter bentuknya. Puthut EA, pendiri situs Mojok.co, pernah menulis buku serangkaian reportase naratif Mena
66 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
nam Padi Di Langit. Buku itu membahas tiga perupa Yogyakarta, yakni Toni Volunteero, S. Teddy D., Bob “Sick” Yudita. Dalam salah satu penggalan bab-nya, ia berkisah tentang Taring Padi secara detail. Icul, salah seorang anggota LBK Taring Padi, dalam buku itu mengatakan bahwa sebetulnya su dah sejak 1997 terdapat perbincangan di kalangan pekerja seni untuk membentuk sebuah lembaga yang bisa berkontribusi di bidang sosial politik. Kala itu, aktivis buruh banyak berkumpul di Fakultas Filsafat UGM. "Nama-nama yang mulai getol membicarakan pembentukkan sebuah lembaga seni adalah Icul dan Toni dari ISI Gampingan, sementara itu dari UGM adalah Hamcut, Kiswondo dan Tuhan," tulis pria kelahiran Rembang itu. Mengenai nama Taring Padi, Puthut menulis ada beberapa penjelasan tentang hal ini. Menurut Toni, presiden Taring Padi–nama Taring Padi pada berasal dari kawannya, Dodi. Saat itu Dodi mengeluarkan celetukan bahwa nama kolektif mereka dinamakan Taring Padi. Taring Padi sendiri adalah sebutan un tuk ujung batang padi yang apabila terkena bagian tubuh akan terasa gatal. Hal itu tampaknya selaras dengan tujuan Taring Padi, yakni membuat "gatal" tubuh penguasa. Sejak awal, besar secara massa bu kanlah tujuan dari kolektif ini, kecil pun tak masalah, asalkan mampu membikin gatal penguasa. Saat itu kondisi perpolitikan di Indonesia me mang sedang panas. Soeharto yang baru saja turun dari kekuasaan masih melakukan bermacam lobi-lo bi politik. Selain itu, kekuasaan militer juga masih dominan. Maka sesuatu yang wajar apabila seluruh organ massa rakyat, entah seniman, mahasiswa, kelas pekerja, berhimpun menjadi satu untuk menggalang kekuatan demi runtuhnya sebuah rezim. Heidi Arbuckle, perempuan asal Negeri Kanguru serta salah satu orang yang terlibat pendirian Taring Padi, menulis buku tentang Taring Padi berjudul Taring Padi: Praktik Seni Radikal Indonesia, betah bersama dengan kelompok kolektif serta menjadi saksi berdirinya kolektif ini. Terompet Rakyat berisi seputar permasalahan yang kerap dihadapi rakyat Indonesia pada waktu itu. Isu-isu pertanian, serta perburuhan juga menjadi fokus dari terbitan Taring Padi ini. Selain itu, mereka juga merespons isu-isu tentang kebebasan berekspresi, demokrasi dan juga militerisme. Seperti halnya dalam edisi VIII yang terbit pada Juli 1999. Terompet Rakyat mengusung tema anti-militerisme pada waktu itu. Isu tentang HAM juga tak luput dari pembacaan mereka.x
Me n e ro k a S e j a ra h Z in e
Zine Sebagai Massa Media Oleh Pramilla Deva
(Pengamat Media Alternatif)
A
da satu masa ketika zine mengubah hidup saya. Zine menyelamatkan saya dari kemalasan, kebodohan, dan keterasing an. Terdengar seakan bertolak belakang dengan masyarakat, tetapi memang begitu adanya. Saya tidak akan mengenal wacana kritis, mempelajari politik, menceburkan diri dalam gerakan sosial, dan tidak akan berdiri di tempat saya sekarang berada jika bukan karena zine (masa ketika kata “radikal” memiliki makna yang positif dan tidak dikaitkan de ngan fanatisme atau bigotry—untuk itu, saya turut prihatin dengan pemaknaan “radikal” masa kini). Ini mungkin sulit dibayangkan generasi zaman sekarang. Namun, tetap harus dikisahkan, semata karena saya telah berhutang begitu banyak pada zine. Era 2000-an awal, internet tidak digunakan se masif sekarang; saluran aktualisasi diri, informasi, dagang, dan propaganda. Internet sudah hadir dalam kehidupan masyarakat Indonesia—utamanya anak muda—namun dengan penggunaan yang amat terba tas. Kelompok-kelompok masyarakat yang terliterasi dengan baik oleh internet benar-benar memaksimal kan fungsi internet sebagai medium berkomunikasi dan bertukar informasi. Teknologi yang ada dalam 2001: A Space Odyssey terasa sangat jauh. Kita bah kan masih baru saja menjadi pasar bagi benda berna ma ponsel. Pada masa itu, zine hadir sebagai media yang eksentrik sekaligus berdaya politis kuat. Persis ketika kita sudah mencapai titik jenuh kebosanan atas media, zine datang dan memberi pernyataan tegas bahwa kehadirannya adalah kontradiksi terhadap media berikut pola konsumsi masyarakat atasnya. Zine dibuat bukan agar disukai dan diterima, tetapi sebaliknya, membangun konfrontasi. Harga waktu untuk berkomunikasi tidaklah se murah saat ini, pun untuk memberi suatu argumen, kita tidak dapat mengandalkan hubungan apapun agar orang-orang akan ‘cek sendiri kalau tidak per caya’. Konfrontasi tersebut mesti dibangun melalui argumentasi yang panjang dan kontemplatif, bukan lewat kiriman-kiriman singkat, dangkal, dan mengej ek orang-orang tanpa sanggup menjelaskan dengan lugas suatu duduk perkara. Maka waktu yang dicu rahkan untuk membangun argumen pun lebih ba nyak dengan presentase waktu untuk berpikir yang lebih besar pula. Tidak heran apabila pada masa itu kita menemukan begitu banyak zine dengan cara menulis yang lebih tepat dibilang mencari musuh
ketimbang mencari teman. Kritik diberikan secara terang-terangan melampaui batas kesopanan, karena siapapun—pada akhirnya dapat menjadi diri sendi ri. Sesuatu yang amat berharga di tengah kepungan media massa yang homogen; yang mengontrol dan mendikte cara berpikir kita setiap hari. Sejak kelahirannya, zine membawa suara-suara dari pinggiran. Itu sebabnya kita akan sulit menemu kan zine dalam kultur populer, bahkan hingga saat ini. Mulai dari sesederhana kelompok kecil orang penyuka fiksi ilmiah, pemikir, dan penggerak antikapitalisme. Kemapanan dapat kita temukan berbi cara lewat zine. Zine akan selalu menempati porsi audiens paling kecil dari keseluruhan konsumsi me dia yang ada. Sebabnya adalah zine menentang pola konsumsi masyarakat terhadap media cetak besar (digambarkan sebagai “magazines”) yang diktatis dan tidak representatif terhadap aneka ragam ke butuhan individu. Maka terbentuklah budaya massa media sebagai tandingan media massa. Posisi individu-individu tak lagi menjadi objek doktrinasi media massal yang rentan dikooptasi kepentingan otoritas, melainkan subjek yang pu nya kuasa untuk merebut produksi dan distribusi informasi. Semangat “jadilah media” menghasilkan kuantitas dan kualitas media yang beragam sehingga dominasi informasi dapat direduksi. Inilah cita-cita luhur yang ingin dicapai massa media. Pertanyaan penting yang layak diajukan saat ini adalah masihkah zine relevan di era digital? Zine me miliki pekerjaan rumah yang berat ketika memasuki konvergensi media. Kebutuhan pemenuhan aktuali sasi diri dan berjejaring kini telah diakomodir oleh media digital. Media ini memungkinkan pertukaran informasi yang bersifat ‘real time’. Harga waktu yang semakin murah dan derasnya arus informasi pun berdampak pada pola komunikasi. Masyarakat cenderung bertukar informasi yang sing kat, padat, dan aktual. Kemudahan berkomunikasi menyebabkan jarak semakin pendek. Dunia semakin mengglobal. Individu-individu semakin terkoneksi. Persentuhan dan interaksi langsung tak lagi dianggap mendesak. Manusia semakin terpisah dari hakikat sosialnya dan digantikan oleh imaji-imaji akun-akun media sosial. Media massa berada pada ambang ke runtuhannya dan harus berubah wujud agar dapat bertahan. Seturut dengan itu, fungsi zine sebagai penyuara kegelisahan ikut menyusut. x
dok. istimewa
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 67
Dok. Istimewa
pendidikan
Menjadi Konkret Bersama Ketjilbergerak Oleh Aloysius Bram Anggota Ketjilbergerak
P
ern ahk an sej en ak kit a me renungkan bagaimana per adaban dunia kita akhirnya bisa sampai pada titik seperti ini? Apa yang mendorong manusia hing ga akhirnya mencapai titik peradaban sedemikian rupa? Bisa jadi, rasa ingin tahulah yang mendorong dan menuntun manusia menyusun peradaban ini. Hal tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Manusia pada dasarnya merupakan mak hluk pencari makna. Maka, kesempatan untuk mengembangkan pikiran dengan pengetahuan seharusnya disadari seba gai kesempatan tak ternilai. Kesempat an untuk mengalami proses pendidikan berarti kesempatan untuk mengalami proses melengkapi diri. Akan tetapi, hari ini makna tentang pendidikan dan segala prosesnya meng alami pereduksian. Paulo Freire meng istilahkan, pendidikan yang kita alami hari ini bak pendidikan bank. Peserta didik dianggap sebagai bejana kosong yang perlu diisi terus menerus. Pendidik memberikan pengetahuan berupa pema haman-pemahaman teoritik. Sementa ra peserta didik tidak diharuskan tahu,
68 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
apakah sejatinya sesuatu yang mereka terima itu dan untuk apa. Tentu, apalagi arahnya bila bukan demi mencetak sumber daya yang skill full? Sumber daya berupa tenaga kerja yang bisa menguasai berbagai kemam puan. Mereka diharuskan menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi khas ka pitalisme. Tiada kebebasan dalam pendi dikan bank tersebut. Kreativitas dan daya nalar dimatikan. Tak ayal, pendidikan bank adalah pendidikan mencerabut pe serta didik dari permasalahan konkret sehari-hari. Sarkasme tersebut terasa nyata dan konkret. Anak muda, terutama mereka yang berkesempatan mencecap pendi dikan, seperti tercerabut dari akarnya. Mereka tak kenal masyarakat dan ling kungan di mana mereka tinggal. Ke nyataan tersebut tidak mengherankan. Mengingat seringnya muncul perasaan kagok ketika mereka harus setara de ngan lingkungan masyarakat. Ironisnya, instansi pendidikan tidak memberikan banyak kesempatan untuk itu. Peserta didik perlu mencari siasat agar mereka terbekali kemampuan bermasyarakat.
Hal itulah yang selama ini coba untuk disiasati oleh salah satu gerak an anak muda, ketjilbergerak. Sepuluh tahun lalu, gerakan ini bergerak dalam bentuk media publikasi alternatif zine. Nama ketjilbergerak sendiri bermakna walaupun kecil tapi bila segala sesuatu dilakukan dengan spirit dan konsisten si, ia akan memiliki dampak signifikan. Relasi komunikasi dari zine yang ber sifat satu arah dirasa tidak membangun dan mentok. Minim terbangun dinami ka dan dialektika. Lantas, ketjilbergerak membuka diri dan menjelma menjadi sebuah forum diskusi yang membahas seni, filsafat, dan kajian budaya. Namun, kajian-kajian pun dirasa kurang bila ha nya menjadi milik mereka yang terlibat diskusi. Kebutuhan membagikan hasil di nam ik a dal am disk us i mend or ong ketjilbergerak menjadikan seni sebagai medium sekaligus bahasa. Seni dinilai cair dan karenanya, eksperimen-eksperi men atas berbagai isu berpotensi untuk direspons. Lewat seni rupa maupun per tunjukkan, wacana-wacana lintas disiplin diartikulasikan dengan cara yang nge
pendidikan
nomi. Mengapa perlu ngenomi? Pers Ketiga, Divisi Desain, yang bertugas pektif dan hal-hal yang dilakukan anak membuat segala desain ketjilbergerak, muda selalu menyegarkan, tetapi yang semisal poster, stiker, dan desain pro terjadi kerap tak terakomodasi. duk untuk merchandise. Keempat, Divisi Pada tataran inilah, anak muda ter Street Art, merekalah yang gemar mem libat secara aktif dalam memproduksi bikin mural di beberapa titik strategis acara. Posisi ketjilbergerak dengan te Yogyakarta sebagai bentuk kritik sosial. man-teman muda lain selalu setara. Se Divisi Street Art juga sering mengadakan hingga tidak berhenti sebagai penikmat lokakarya membuat grafiti atau mural di dan penonton saja. Di titik inilah kerja- beberapa kampung di Yogyakarta—bebe kerja kolaboratif sebagai metode khas rapa di antaranya adalah Ledhok Timoho, ketjilbergerak dibangun hingga sekarang. Ratmakan, Juminahan, dan Tegalgendu. Anak muda yang terlibat pun sangat be Kelima, Divisi Riset, yang meneliti ragam. Baik dari kalangan akademisi, beberapa kampung di Yogyakarta dalam seniman, subkultur, dan pemuda kam rangka membangun jaringan kampung pung, semua tumpleg bleg. Sehingga ke dan melaksanakan program Benih Bunyi. timbang komunitas, ketjilbergerak lebih Keenam, Divisi Musik, yang menulis dan mencipta lagu, membentuk ketjil cocok disebut sebagai wadah berkarya dan berkawan. Sel ai n wad ah berg er ak, ketjilbergerak memosisikan di ri sebagai ruang belajar yang cair bagi anak muda. Dengan metode seni, kerja-kerja pendidikan dan kebudayaan dilakukan secara ko laboratif dan independen. Tentu, dengan anak muda sebagai basis penggeraknya. Pengalaman yang berhubungan dengan permasa lahan konkret sangat ditekankan bagi semua yang terlibat. ketjil bergerak menjadi jalan untuk le bih mengenal diri sendiri, ling kungan, dan masyarakat berikut Dok. Istimewa peta permasalahannya. Melalui pros es pers ingg unga n den gan lingkungan secara konkret, anak muda bergerak record, dan mengelola grup musik virtual ketjilbergerak. Terakhir, dibiasakan meningkatkan kapasitasnya. Divisi Produksi, yang pekerjaannya ti Anak muda diajak menjadi bagian da dak jauh-jauh dari namanya: produk ri solusi dengan perspektif yang segar. si. Untuk melaksanakan kegiatannya, Dalam tubuh ketjilbergerak sendiri ketjilbergerak menghimpun dana yang memiliki beberapa divisi. Divisi tersebut dikelola Divisi Produksi, salah satunya diisi oleh kawan-kawan muda sesuai de lewat penjualan merchandise. ngan ketertarikan serta bidang mereka. Pertama, Divisi Pendidikan, yang menge Divisi-divisi tersebut dibentuk agar lola program rutin Kelas Melamun dan kawan-kawan muda dapat menyalur Ben Prigel. Divisi Pendidikan mengini kan hasrat dan energinya. ketjilberge rak percaya, setiap pribadi memiliki siasi berbagai kegiatan pendidikan yang kemampuan spesial dan khusus. Maka, berafiliasi dengan jaringan kampung pembentukan divisi tersebut juga demi ketjilbergerak. Kedua, Divisi Media, yang merawat situs www.ketjilbergerak.org. meningkatkan kapasitas dari kemampu Divisi ini mengelola akun jejaring sosial an yang dimiliki. Setiap divisi memiliki satu koordinator untuk berkomunikasi seperti Facebook, Twitter, Instagram, dengan manajer program ketjilberge YouTube dan Line; membuat rilisan me dia saat ketjilbergerak mengadakan aca rak. Manajer hanya akan mengarahkan. ra; meliput berbagai peristiwa anak muda Roda karya diserahkan kepada setiap kawan muda yang bergerak. Termasuk di Yogyakarta; dan mengurusi kerja sama dengan bagaimana cara menggerakkan dengan pihak-pihak lain bila ditunjuk roda tersebut. sebagai media partner.
Pendidikan, dalam hal ini, berada pada proses untuk berkarya itu sendiri. Inisiatif dirangsang untuk ditumbuhkan tanpa pengekangan, melainkan peng arahan pada cara-cara tertentu. Sejatinya seperti itulah pendidikan yang digagas oleh Freire. Pendidikan yang membebas kan adalah pendidikan yang menumbuh kan kesadaran kritis. Proses adalah hal yang harus dibayar untuk menumbuhkan kesadaran dan sikap tersebut. Ketjilbergerak sebagai sebuah ruang anak muda merasa wajib untuk bersamasama belajar dan mencoba merumuskan spiritualitas ala anak muda. Lantaran, anak muda kini krisis falsafah, krisis pembacaan hidup, krisis arah, krisis ala san, dan krisis tujuan. Anak-anak mu da mudah bingung dan reaktif karena tidak terbiasa menjadi luas. Ketjilbergerak, oleh kare nanya, tertarik dengan ekspe rimen spiritualisme ala anak muda. Spiritualisme yang tidak segmented, tidak kaku, sesu ai dengan zaman digital, dan mampu menjawab tantangan zaman. Spiritualitas anak muda yang sesuai zaman digital itu dipraktikkan di berbagai je jaring sosial. Bahasa jejaring sos ia l adal ah bah asa anak muda. Bagi ketjilbergerak, je jaring sosial adalah cara agar seirama dan sefrekuensi dengan kawan-kawan muda. Jejaring sosial ru panya membawa keuntungan tersendiri, selain dari meluasnya pengaruh. Setiap jejaring sosial memiliki ka rakteristik yang berbeda-beda satu sama lain. Oleh karena itu, pemanfaatan jeja ring sosial memungkinkan ketjilberge rak mendidik dengan bermacam media: teks, audio, foto, dan video. ketjilbergerak mengajak anak muda mengalami proses pendidikan yang tidak kaku. Bukan de ngan arahan kurikulum yang tertuang dalam silabus. Pendidikan ala ketjilbergerak adalah pendidikan yang tidak sekadar konsep tual. Pendidikan yang justru mencerabut mereka yang belajar dari lingkungannya. Pendidikan ketjilbergerak adalah pen didikan yang konkret dan kontributif. Ketjilbergerak menjadi kawan belajar yang cair, eksperimentalis, dan dengan cara seasyik mungkin. x
Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018 69
hikmah
Pembangunan Kosmologis Raja Gama Era
H
(Pegiat Zine)
ari ini lebih baik dari hari kemarin. Semangat men jalani hari ini adalah beberapa asupan energi po sitif yang sering kita lafalkan ketika bangun pagi. Seperti itulah harusnya wacana-wacana tentang pembangunan hari ini. Memberikan energi untuk menjadi manusia. Menjadi diri sendiri. Tidak terkekang sesuatu apa pun. Membangun secara kosmologis adalah serangkaian kerja multidisiplin, bukan sekadar tugas arsitek atau orang-orang di lapangan. Melainkan juga kerja-kerja setiap insan, bahkan sejak mereka di bangku sekolah. Institusi pendidikan arsitektur Indonesia hari ini seha rusnya menjadi awalan setelah institusi pendidikan dasar. Ia mempunyai tugas untuk membu ka cakrawala tentang Nusantara. Tidak sekadar tampilan dan fisik simbolisnya, melainkan juga as pek metafisik di balik selubung ba ngunan yang kita tradisionalkan. Setiap aspek tersebut seharusnya menjadi dasar dan dikenalkan le bih awal. Pend id ikan Barat mem ang harus dim ak an dan dik un yah pelan-pelan hingga intinya, teta pi fisiknya tak harus ala mereka. Konsistensi pemikiran tentang dua hal itulah yang seharusnya sudah seimbang sejak di bang ku perkuliahan. Sehingga ketika sudah terjun di lapangan hal-hal mendasar tentang segala aspek lo kal secara otomatis tampak dalam karya arsitektur yang nyaman dan berkarakter. Proses berarsitektur atau pem bangunan secara kosmologis me merlukan waktu yang relatif lama, trial and error, berulang-ulang. Seperti apa yang sedang kita lihat hari ini di wajah ibu kota, semangat berbenah meletup-letup, tetapi ki ta masih belum menemukan resep membangun yang sesuai. Akhirnya mencontek sana-sini yang kita anggap benar. Ya, kurang lebih begitu. Terkadang kita banyak membuang waktu. Membangun ini itu, mendapat kritik sana-sini. Membenahi lagi. Lima tahun, lalu berganti konsepsi lagi tergantung si apa yang memimpin dan kepentingan apa yang dibawanya. Sebetulnya jika disuruh berbicara tentang pembangun an kosmologis, saya bukanlah orang yang pertama harus berbicara. Namun, jika kita bicara tentang pembangunan kosmologis tak akan pernah lepas dari arsitektur yang kita anggap tradisional hari ini. Padahal jika melihat sejarah, kon sep tradisional adalah kristalisasi pemikiran dan proses pan jang leluhur kita. Proses trial and error ini sudah dilakukan
70 Ekspresi Edisi XXX Th XxV maret 2018
oleh leluhur kita berulang-ulang. Berbeda zaman. Sampai akhirnya lahir konsepsi ruang yang sangat tinggi, Suwung. Suwung atau kosong merupakan suatu pencapaian ter tinggi para pejalan sunyi yang menghabiskan dirinya di du nia. Seperti itulah konsepsi-konsepsi kosmologis yang telah dicapai oleh leluhur kita. Jika kita tinjau, alun-alun adalah pusat kekosongan kota di setiap Pulau Jawa, begitu pula joglo. Konsepsi pembangunan kosmologis dalam skala Yogya adalah garis imajiner yang tegak lurus Gunung Merapi – Keraton Yogya – Tugu – Pantai Parangtritis yang telah ada jauh se belum Napoleon Bonaparte dengan konsep Axe Historique- nya. Garis imajiner yang juga tegak lurus dari La Defense, Ar de Triomphe de L’Etoile, Champs Elysses, Obelisk Luxor, Arc de Tri omphe du Carrousel dan berakhir dengan Pyramide du Louvre. Pemb an guna n kosm ol og is adalah pembangunan dengan kon sepsi yang imajiner bukan tentang fisik dan visual semata. Bagaimana masyarakat Jawa melahirkan se buah rumah Joglo adalah simbol dari rahim ibu yang gelap, tempat ternyaman kita sebelum lahir ke dunia. Gelap karena ketika mata hari terbit kita harusnya banyak menghabiskan waktu di luar dan menyerap energi hangat bumi. Bukan melulu mengurung diri di dalam ruangan. Kegelapan ruang yang di tengahnya pun kosong. Konsep kosmologis merupakan konsep yang tak berwujud, tak bisa dirasakan secara langsung. Ia bisa saja menjadi ritual menyembelih ayam, memasang tumpang sari di atas soko guru, dan lain sebagainya. Bukan hanya tentang desain dan pelaksana, tetapi pemilik proyek, dalam hal ini rakyat, memiliki pe andhika | ekspresi ran yang sangat penting. Sebagai rakyat biasa, mudah saja bagi kita memahami konsep kosmologi. Sebab, di dalam alam bawah sadar kita masing-masing sebenarnya sudah tertanam tentang apa itu pembangunan kosmologis. Namun sayangnya sekarang kita banyak dijejali ilusi pembangunan, industri material, dan teknologi yang lebih banyak menjadikan malafungsi setiap organ tubuh kita. Selain menuntut ini itu kepada penentu kebijakan di kursi hangatnya itu, yang perlu kita lakukan adalah menyadari akan ilusi dunia hari ini. Kemudian mulai memperbaikinya, dimulai dari diri sendiri.x