EXPEDISI E D I S I K H U S U S P E M I LW A U N Y 2 0 1 5
M E M B A N G U N
Jumat (11/12) Sumaryanto, Wakil Rektor III yang ditemui di ruangannya.
B U D AYA
K R I T I S
Rimba |Expedisi
sentra
Rektorat Intervensi Pemilwa Berdasarkan kesepakatan wakil rektor III se-DIY-Jateng, rektorat melarang penggunaan istilah "presiden" dalam Pemilwa UNY. Namun, draf kesepakatan tersebut belum diterima mahasiswa.
P
larangan p enggunaan i stilah e presiden dan wakil presiden dalam serangakaian proses Pemilihan M ahasiswa ( Pemilwa) U NY 2 015 berbuntut panjang. Sebab, pihak rektorat juga tidak menghendaki adanya sistem organisasi badan eksekutif mahasiswa (BEM) yang berbentuk republik serta partai mahasiswa (Parma). “Pemilwa yang dilakukan serentak pada Rabu 16 Desember berfungsi untuk memilih ketua, bukan presiden BEM,” ungkap Sumaryanto, wakil rektor III yang ditemui di ruangannya, Jumat (11/12). Sumaryanto mengatakan bahwa terdapat badan kerja sama perguruan tinggi negeri dan swasta desember 2015 | edisi khusus pemilwa
yang menyepakati tidak berlakunya sistem republik mahasiswa (Rema). “Sebulan yang lalu, para WR III PTS/ PTN di seluruh DIY-Jateng berkumpul di Universitas Negeri Semarang. Salah satu hasilnya menyepakati untuk tidak adanya sistem republik di perguruan tinggi.” Ketika ditanyai alasan, Sumaryanto mengaku muncul satu ketakutan apabila sistem Rema diberlakukan di perguruan tinggi. “Para WR III tidak ingin mahasiswa tidak hati-hati dan menjadi korban dari partai dan nonpartai yang ada di luar,” ungkapnya. Menurutnya, apabila sistem Rema dibiarkan terus
melenggang, ada indikasi mahasiswa ditunggangi kepentingan luar. “Ada indikasi mahasiswa sebagai kendaraan bagi organ ekstern maupun organ politik.” Menurutnya, keputusan kembali sistem keluarga mahasiswa (KM) adalah lebih baik. “Organisasi lembaga murni dari mahasiswa tidak boleh ada background tertentu, maka kami sebagai pimpinan bidang kemahasiswaan melakukan tindakan untuk mengembalikan sistem KM.” Masalah ini bermula ketika Rabu (2/12), KPU Rema UNY melalui akun Facebook resminya, mengumumkan pelarangan penggunaan kata presiden 1
Rimbawana |Expedisi
sentra dan wakil presiden. “Pemberitahuan kepada tim sukses untuk tidak menggunakan istilah presiden dan wakil presiden BEM Rema UNY dikarenakan persyaratan dari birokrasi.” Begitu bunyi pemberitahuan dari KPU Rema UNY. Calits Mumbahij Bahi, Ketua DPM Rema UNY 2015 menganggap hal yang sudah dilakukan rektorat adalah bentuk intervensi, “Ini intervensi, sangat intervensi,” katanya saat ditemui di sekretariat DPM Rema UNY, Jumat (11/12). Menurut Calits, pelarangan ini bukan semata-mata bahwa rektorat takut ada pihak luar yang masuk, “Ada ketakutan apabila sistem Rema digunakan kembali, akan tumbuh mahasiswa yang kritis terhadap birokrasi, itu asumsi dari forum Ketua DPM se-universitas.” Zakiyudin, Ketua BEM Fakultas Ekonomi (FE) 2015, yang juga salah satu kandidat Presiden Rema UNY 2016, saat diwawancarai pada Rabu (9/12), mengatakan belum banyak tahu akan masalah pelarangan ini. “Kalau itu saya kurang tahu, tapi yang jelas kedaulatan pemerintah (mahasiswa) tidak hanya soal nama ketua dan presiden.” Namun, dalam menanggapi info pelarangan istilah presiden dan partai, menurutnya harus melihat alasan birokrat terlebih dahulu. “Kita lihat dulu alasan birokrasi itu apa.” Harris Fadhillah, Presiden BEM Rema UNY 2015 mengungkapkan bahwa ia belum mendapatkan draf hasil kesepakatan WR III se-DIY-Jateng terkait pelarangan penggunaan istilah presiden, bentuk pemerintahan Rema, dan Parma. “Saya belum lihat, jadi itu masih simpang siur,” ungkapnya saat ditemui dalam acara Debat Calon
”
Rektorat memang punya tugas memastikan tertib sosial-politik-hukum dalam organisasi. Namun, bukan berarti eksperimen mahasiswa ditolak, dan mahasiswa diintervensi.
”
Presiden Rema UNY, Jumat (11/12) di Student Center. Selain itu, Harris mengungkapkan bahwa ia juga telah berkoordinasi dengan jaringan BEM di tingkat nasional, namun wacana
pelarangan tersebut belum menjadi bahasan umum di kampus lain. Harris mengatakan hanya Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Purwokerto, yang mengalami hal sama. “Disampaikan WR III agar menghapus diksi presiden, menteri, dan republik,” ujar Harris. Meski demikian, menurut Harris, BEM Unsoed tidak menerima begitu saja. Harris juga telah mengajak DPM Rema untuk membahas persoalan ini, namun pihak DPM juga belum mendapatkan dokumen yang menjadi dasar pelarangan. Hal serupa juga dialami oleh redaksi EKSPEDISI, yang hingga berita ini diturunkan, redaksi belum mendapatkan draf kesepakatan tersebut. Wujud kemalasan kampus Menanggapi soal pelarangan ini, dosen Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum (PKnH), Halili Hasan memberikan argumentasinya. “Justru, ini (republik mahasiswa, red.) tempat paling baik untuk memberikan antitesis parpol nasional,” ungkapnya saat ditemui di kantor jurusan PKnH, Jumat (11/12). Halili berpendapat konsep kepartaian yang bernaung dalam sistem Rema dapat menjadi antitesis terhadap dinamika partai politik (parpol) nasional. “Kalau saya mengatakan, mereka (parpol nasional, red.) lebih sebagai parasit demokrasi. Situasi ini terjadi, parpol tidak bisa menjadi tempat kaderisasi pemimpin bangsa. Dalam situasi seperti itu, partai mahasiswa mempunyai momentum untuk memberikan antitesis baru,” jelasnya. Mengenai alasan pihak rektorat yang khawatir bahwa mahasiswa akan ditunggangi kepentingan luar, Halili memaparkan, “Tinggal kita mau menjadi kampus yang progresif dan bekerja keras atau tidak, agar partai mahasiswa tidak dikontrol pihak luar.” Menurutnya, pihak luar tidak hanya masuk melalui Parma seperti yang dikhawatirkan rektorat. “Parpol bisa masuk melalui berbagai bentuk kegiatan semi akademis, di BEM pun mereka gampang menempatkan kader-kader.” Menurutnya, tanggung jawab bersama perlu dilakukan agar kampus tidak mudah dikontrol pihak luar.
“Idealnya, filter itu ada pada k ita. Duduk bersama dan membahas agar kampus ini harus steril,” u n g k a p ny a . Jumat (11/12) Harris Fadhillah, N a m u n , Presiden BEM Rema UNY 2015. Halili juga menambahkan apabila keadaan seperti itu tidak berjalan, “Rektorat kampus yang harus jalan. Namun kalau langsung ditolak jangan-jangan kampusnya malas, Jangan-jangan hanya wujud kemalasan kampus kita.” Afiliasi lebih jelas Halili mengkhawatirkan apabila sistem yang digunakan bukanlah kepartaian, “Saya khawatir sistemsistem di kampus seperti kaderisasi dan sistem akumulasi aspirasi, janganjangan dilakukan oleh organisasi yang sejatinya liar.” Ia juga menambahkan sistem kepartaian lebih menjamin kaderisasi yang ada. “Kalau tidak ada Parma, tidak punya lembaga pengaderan, kaderisasi tidak akan jelas," ungkapnya. “Tapi kalau ada Parma kita bisa kasih mereka (Parma, red.) dana. Kalau mereka main-main kita beri sanksi saja.” Ia menambahkan bentuk kepartaian membuat kampus menjadi lebih bisa mengontrol. “Dengan adanya Parma kita jadi lebih bisa mengontrol. Kalau tidak ada bentuk yang jelas, semua bisa bermain,” imbuhnya. Sementara itu, Calits berharap apa yang sudah diperjuangkan selama ini, melalui seluruh elemen mahasiswa UNY, bisa terus diperjuangkan. “Saya bukan yang membuat keputusan, saya mengajak mahasiswa untuk memperjuangkan apa yang sudah kita perjuangkan selama ini, semua elemen mahasiswa dan Ormawa menyatakan untuk mendukung dan melangsungkan sistem ini (Rema, red.).” Hal ini senada dengan yang diungkapkan Halili. “Rektorat memang punya tugas memastikan tertib sosial-politik-hukum dalam organisasi. Namun, bukan berarti eksperimen mahasiswa ditolak, dan mahasiswa diintervensi.” A.S. Rimbawana
Pimpinan Proyek Triyo Handoko | Sekretaris Indra Ristianto | Bendahara Fara Famular | Redaktur Pelaksana Putra Ramadan | Redaktur A.S. Rimbawana, Triyo Handoko | Reporter A.S. Rimbawana, Triyo Handoko | Redaktur Foto Ayuningtyas Rachmasari | Artistik Ade Luqman, Andhika Widyawan, Dinda Sekar | Produksi Devi Ellok | Iklan Ahmad Wijayanto, Fajar Azizi, Ghozali Saputra | Tim Polling Andi Vangeran, Ervina Nur, Khusnul Khitam | Sirkulasi Bayu Hendrawati| Alamat Gedung Student Center Lt. 2 Karangmalang Yogyakarta 55281 | Email lpm_ekspresi@yahoo.com | Web Ekspresionline.com | Redaksi menerima artikel, opini dan surat pembaca. Redaksi berhak mengedit tulisan tanpa mengubah isi.
2
edisi khusus pemilwa | desember 2015
wawancara khusus
Rektorat Takut Mahasiswa Menjadi Kritis
R
epublik mahasiswa bertujuan untuk meningkatkan partisipasi dalam berdemokrasi dan mencetak kader-kader kritis. Namun, rektorat, melalui WR III tidak menghendaki sistem Rema. Nomenklatur presiden mahasiswa dilarang dan sistem keluarga mahasiswa dianggap lebih baik. Untuk itulah, reporter EXPEDISI, Triyo Handoko, mewawancarai Calits Mumbahij Bahi, ketua DPM Rema UNY 2015, untuk mengetahui sikap organisasi mahasiswa dalam menghadapi intervensi rektorat. Berikut beberapa petikan wawancaranya. Bagaimana tanggapan Anda terkait pernyataan wakil rektor III yang menolak Rema karena rentan kepentingan politik praktis dan organ ekstra? Menurut saya, itu bukan alasan s e b e n a r ny a at a s p e l a ra n g a n nomenklatur republik mahasiswa, partai mahasiswa, dan presiden mahasiswa. Saya dan para ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas menganggap itu hanyalah alasan formalitas. Kami dalam membuat perundang-undangan sudah mengantisipasi ketakutan rektorat tersebut, seperti dalam UndangUndang Pemilwa yang melarang Parma
menerima dana dari partai politik. Sebetulnya pada awal tahun kepengurusan, DPM sudah mengomunikasikan sistem baru ini, dan wakil rektor III menerimanya asal sistemnya berjalan baik. Kemudian wakil rektor III merasa kecolongan akan hal tersebut, sehingga minta dikembalikan (ke KM). Saya melihatnya, rektorat merasa ketakutan ketika nanti dengan sistem ini mahasiswa menjadi kritis akan setiap kebijakan, baik dari kampus maupun pemerintah yang nantinya bisa didemo dengan masif. Ketakutan mereka adalah bangkitnya kedaulatan mahasiswa, itu kan membahayakan birokrat yang menjalankan kebijakan bila semena-mena. Bagaimana lembaga legislatif kampus, dari DPM fakultas sampai universitas menanggapi intervensi? Kami sudah mengumpulkan semua DPM Fakultas minus FIP. Kami menolak intervensi tersebut. Untuk nomenklatur repubilk mahasiswa dan presiden mahasiswa, kami memiliki rencana, jika memang ada naskah pelarangan nomenklatur dari badan kemahasiswaan perguruan tinggi, kami tidak mempermasalahkannya dan tetap mempertahankan sistem (Rema).
Dok. Istimewa
Calits Mumbahij Bahi, ketua DPM Rema UNY 2015,
Kedua calon presiden dan wakil presiden BEM juga sudah sepakat akan tetap mempertahankan sistem ini, pun dengan risiko terburuk yaitu tidak mendapat dana kegiatan. DPM sendiri sudah membentuk tim khusus untuk menyempurnakan sistem ini. Salah satu komponennya dari PKnH karena mereka mengerti soal seperti ini. Bisa dikatakan rektorat menggunakan dana sebagai strategi dan alat intervensi? Jelas, karena Pemilwa membutuhkan dana. Dan bersamaan dengan kemahasiswaan yang akan segera menutup proposal kegiatan. Kami terpaksa mengikuti rektorat terlebih dulu, supaya dana turun dan Pemilwa tetap berjalan, yang penting sistem tidak terganggu. Yang jelas ketika tahun depan rektorat mengintervensi dengan dana, maka kami siap menghadapi hal tersebut. Dengan propaganda bersama media lokal dan nasional, saya kira rektorat akan berpikir dua kali.
editorial
S
etelah 2011 lalu dibekukan, Pemilwa dengan sistem kepartaian kembali diselanggarakan oleh UNY pada tahun ini. Terhadap Pemilwa dengan sistem kepartaian, rektorat merasa ketakutan akan adanya kepentingan politik praktis dan masuknya organ ekstren ke kampus. Mungkin, rektorat menganggap mahasiswa adalah anak kecil yang belum sanggup berpikir hingga mudah terkena tipu muslihat politik praktis dan organ ekstren. Nomenklatur untuk republik mahasiswa (Rema) dan presiden mahasiswa dilarang. Konon, dasarnya adalah kesepakatan badan kerja sama Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta se-DIY-Jateng. Padahal,
desember 2015 | edisi khusus pemilwa
Asal Bapak Senang menurut pengakuan Ibnu Nugraha mahasiswa Ilmu Pemerintahan UGM, dan Wulan Pamungkas mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, rektorat di sana tidak melakukan pelarangan Rema dan istilah presiden mahasiswa. Di mana kedua kampus tersebut juga menggunakan sistem kepartaian dalam Pemilwanya. Ada hal yang juga penting selain permasalahan draf kesepakatan yang belum diverifikasi legalitasnya itu. Yakni mahasiswa yang begitu mudah diintervensi. Seperti anak kecil, mahasiswa-mahasiswa itu harus diintervensi agar tidak salah ambil jalan. Menengok pada 2 Desember lalu, mahasiswa yang diwakili oleh pimpinan organsasi mahasiswa, dalam rapat pimpinan bersama WR III, membiarkan
keputusan tersebut tanpa penolakan. Ironisnya, beberapa waktu sebelumnya, pada 28 Oktober laman resmi UNY mengiklankan acara kaderisasi organ ekstren Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ketakutan rekorat sangat berlebihan. Padahal, rektorat tidak bisa mengekang mahasiswa untuk tidak bergabung dengan organ ekstren, karena itu hak mahasiswa. Namun, jika intervensi masih saja terjadi, sebetulnya, rektorat yang terlalu mengintervensi atau malah mahasiswanya yang kelewat bergantung? Redaksi
3
PERSEPSI
T
Parma dan Pendidikan Politik yang diungkapkan Ibnu Nugraha, Presiden Korps Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UGM, bahwa Parma di UGM tidak memberikan pendidikan politik, dan datang hanya pada momentum Pemilwa? Melihat data KPU tahun 2014, dari 22.000 pemilik suara hanya 11.000 yang menggunakan hak suaranya. Itupun, terdapat 1.700 suara yang tidak sah dan selebihnya, 9.300 suara sah,. Maka budaya politik partisipatif harus digalakkan karena memang orientasi mahasiswa saat ini sudah bergeser. Kesadaran partisipatif sudah tidak dimiliki. Thoriq Abdunasir, Wakil I Majelis
Dinda |Expedisi
ak bisa dipungkiri lagi bahwa mahasiswa menjadi entitas tersendiri dalam tatanan masyarakat. Dalam sejarah dan memang sudah seharusnya, mahasiswa selalu memperjuangkan rakyat kecil. Walaupun kini ada tabir antara mahasiswa dan rakyat. Tabir itu bisa berupa sifat elitisme ataupun eksklusivisme. Jelas mahasiswa memiliki peran dan tanggung jawab ideologi sebagai pewaris perjuangan bangsa maupun tanggung jawab profesional. Mahasiswa dipersiapkan untuk menjadi ahli dalam bidang tertentu agar dapat berperan aktif dalam pembangunan. Mengutip Max Weber, politik adalah sarana perjuangan untuk memengaruhi pendistribusian kekuasaan. Berangkat dari realitas keadaan dan tangung jawab tersebut, mahasiswa perlu pendidikan politik. Meski perguruan tinggi bukan lembaga politik, namun kampus dapat berperan menjadi ladang pendidikan politik. Dinamika organisasi di dalam perguruan tinggi telah mencerminkan sebuah negara dengan berbagai suprastruktur dan infrastrukturnya. Esensi dari pendidikan politik adalah mengetahui hak dan kewajibannya sebagai subjek, serta bersikap kritis dan punya bobot dan orientasi dalam menghadapi keadaan dan kebijakan penguasa. Mahasiswa UNY butuh hal tersebut sebagai bekal dirinya menjadi pendidik untuk membersamai masyarakat, bukan politik praktis untuk mencapai kekuasaan. Nyatanya, sudah tiga bulan partai mahasiswa (Parma) berdiri, belum ada pencerdasan politik kepada mahasiswa. Sistem KM dilihat kurang dinamis sehingga atmosfer pendidikan politik menjadi membosankan. Lantas akankah sistem Rema menjadi ladang pendidikan politik yang tepat? Atau seperti
Permusyawaratan Mahasiswa (MPM), melihat hal ini lebih karena organisasi mahasiswa baik himpunan mahasiswa (Hima) maupun badan eksekutif mahasiswa (BEM), minim sekali melakukan kaderisasi. Sehingga, menurutnya, harus ada institusi legal untuk pencerdasan politik yaitu Parma. Namun, melihat perjalanan tiga bulan berdirinya, kelima Parma di UNY belumlah mencerdaskan mahasiswa. Terlihat sekali kerja-kerja kelima Parma jauh dari pendidikan politik. Yang dibutuhkan saat ini adalah budaya politik yang sehat dan sifatnya tidak indoktrinatif. Tujuannya agar tidak menyebabkan mahasiswa menjadi kaku, fanatik, dan sempit pandangan. Penanaman nilai perjuangan dalam cita-cita politik harus terbuka dengan proses dialogis dan dialektis. Jika melihat kelima Parma tersebut, semuanya di bawah organ eksteren. Bukankah menjijikkan sekali nilainya politik, partai, dan organ eksteren di mata mahasiswa luas? Itu adalah akibat Normalisasi Kehidupan Kampus dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/ BKK) dan dikeluarkannya Surat Keputusan (SK) Dirjen Dikti No. 2/Dikti/Kep/2002 yang mengatur pelarangan organ eksteren masuk ke kampus. Semenjak itu, dinamika kampus menjadi minim. Kebijakan pelarangan ini amat disayangkan karena yang memiliki iklim dialektika wacana dan pembacaan keadaan adalah organ eksteren. Pendidikan politik pun termasuk di dalamnya. Dengan adanya Parma, fungsi-fungsi organ eksteren dalam kaitannya dengan pendidikan politik dapat dijalankanya. Dan tentu subjek atau kader Parma tetap harus kritis pada setiap yang ditanamkan Parma dalam dirinya. Agar tak indoktrinatif dan menghasilkan pandangan sempit. Triyo Handoko
BU WID
warung penyetan
4
edisi khusus pemilwa | desember 2015