MAJALAH ANTARIKSA
EQUATORSPACE Edisi 1 | Desember 2016
4 DECADES OF INDONESIAN
SATELLITES
URGENSI PEMBANGUNAN
INARSSAT
KEANTARIKSAAN DAN PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
FILOSOFI PENGUASAAN
KETINGGIAN
TERABIT/S SATELLITE THE NEXT GENERATION HTS
40 TAHUN SATELIT KOMUNIKASI INDONESIA BERPERAN MENJAGA DAN MEMPERKOKOH KESATUAN DAN PERSATUAN NUSANTARA EQUATORSPACE.COM
0 picture by Kjpargeter/freepik
pengantar redaksi Pembaca Yth
URGENSI PEMBANGUNAN INARSSAT Dr. Ir. Muhamad Sadly, M. Eng
Bagaimana dan sejauh mana perkembangan keantariksaan Indonesia saat ini? Apakah Indonesia telah mampu mengoptimalkan penggunaan satelit dalam pemantauan cuaca dan bencana alam, dalam komunikasi baik secara mobile atau tidak mobile, dalam bernavigasi baik di darat, laut dan udara? Sejauh mana perlunya berbagai jenis satelit tersebut di Indonesia? Apa saja aplikasi dari berbagai jenis satelit tersebut dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara? Apa dan sejak kapan amanat peraturan perundang-undangan kita terkait keantariksaan? Dengan topik “4 Decades of Indonesian Satellites�, majalah EQUATORSPACE Edisi Pertama mengawali pembahasannya tentang berbagai aspek perkembangan satelit di Indonesia, dan juga perbandingannya terhadap negara-negara lain dan apa kebutuhan kedepannya. Majalah yang membahas beragam aspek keantariksaan ini terbit setiap bulan dan diharapkan dapat menyumbangkan beragam pengetahuan keantariksaan, khususnya pemanfaatan satelit bagi negara Indonesia.
KEANTARIKSAAN DAN LINGKUNGAN STRATEGIS Listyanto
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Harapan Tim Redaksi majalah EQUATORSPACE ini dapat bermanfaat bagi para praktisi, peneliti, pengambil keputusan, dosen, pengajar, mahasiswa, pelajar dan para penggemar ruang angkasa di Indonesia. EQUATORSPACE
REDAKSI
1
1
daftar isi
01 DES 2016 EQUATOR
SPACE
Urgensi Pembangunan InaRSSat, Keantariksaan & Perkembangan Lingkungan Strategis, 40 Tahun Satelit Komunikasi Indonesia ...........................................................................................
Filosofi Penguasaan Ketinggian, Setkomham 123 BT: Bola Panas atau Berkah ...................................................................................................
Terabit/s Satellite: The Next Generation HTS (High Throughput Satellite) ...........................................................................................
Satelit Pengamat Bumi: Urgensinya untuk Pemetaan ...................................................................................................
Indonesia Membangun HTS (High Throughput Satellite) Sendiri?, Kebutuhan Sistem HTS Nasional, mendukung Pita Lebar Tol Informasi Indonesia ...........................................................................................
Hukum Antariksa dan kerjasama internasional keantariksaan ...................................................................................................
EQUATORSPACE (ES) adalah majalah keantariksaan Indonesia untuk kalangan praktisi dan masyarakat yang ingin mendalami dan mengikuti perkembangan keantariksaan domestik dan global terkini. Artikel/ naskah atau foto yang dikirim ke majalah ES harus orisinal (asli). Penulis atau pengirim foto bertanggung jawab penuh atas orisinalitas naskah tulisannya atau orisinalitas foto yang dikirim ke Redaksi. Redaksi berhak menyunting artikel/ naskah dan memodifikasi/ membuang bagian-bagian tertentu dari foto bila diperlukan.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
2 2
EQUATOR SPACE SPACE MAGAZINE
INDONESIA
equatorspace
Arifin Nugroho Adviser Muhamad Sadly Adviser Dewayany S. Adviser Oni Bibin Bintoro Adviser Suhermanto General Managing Leader Agustan Deputy General Managing Leader MS. Sebayang General Managing Editor Listyanto Deputy General Managing Editor Tonda Priyanto Senior Executive Editor Jon K. Ginting Senior Executive Editor EDITORIAL BOARD Muhamad Sadly Applications Leader Bambang Tejasukmana Space Policy & Regulation Leader Surya Witoelar Technology Leader Eddy Setiawan Space Business Leader Listyanto Defence Leader Dewayany S. Specialist, Applications Heri Budi Wibowo Specialist, Technology Robertus Heru Specialist, Technology Lilis Mariani Specialist, Technology Kanaka Hidayat Specialist, Applications Muhardji Specialist, Applications Mulyadi Specialist, Space Policy & Regulation Jon K. Ginting Specialist, Defence Yudi Ardian Specialist, Defence Dani Indra Widjanarko Specialist, Technology Tonda Priyanto Specialist, Applications Anggoro K. Widiawan Specialist, Technology Suroso Yulianto Specialist, Space Policy & Regulation Suleman Tampubolon Specialist, Space Business Indri Prijatmodjo Specialist, Technology Sigit Jatiputro Specialist, Space Business Hexana Tri Sasongko Specialist, Space Policy & Regulation Meiditomo Specialist, Technology Abraham Auzan PR & SocMed Network Meuthia Djoharin Treasurer Laudita Cahyanti Executive Illustrator Email contact@equatorspace.com Website www.equatorspace.com Instagram EquatorSpace EQUATORSPACE.COM Facebook EquatorSpace
3 3
FOCUS
Dr. Ir. Muhamad Sadly M.Eng
01. Pendahuluan
“....sudah semakin nyata bahwa bukan sumberdaya alam (SDA), tetapi Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IpTek) yang akan merupakan kunci keberhasilan suatu negara untuk mengubah dirinya menjadi suatu negara-bangsa dengan ekonomi yang kuat dan bertumbuh....�. Itulah sepenggal sambutan yang disampaikan Bapak Prof. Dr. Ing. B.J. Habbie pada Perhimpunan bangsa-bangsa Asia tenggara, Pertemuan ketiga menterimenteri IpTek ASEAN, tanggal 24 April 1986 di Kuala Lumpur. Indonesia merupakan negara kepulauan yang berciri nusantara, dimana Indonesia menempati posisi yang sangat strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Itu merupakan komponen penting dalam penataan ruang dan pengelolaan wilayah. Bisa dibayangkan, Indonesia memiliki hamparan laut lebih luas dari daratannya. Dengen 2/3 dari total luas Indonesia, laut berfungsi sebagai ruang hidup dan ruang juang. Sejarah mencatat, negara negara yang sukses adalah mereka yang unggul dalam penguasaan samudra dan pengembangan geostrategi maritimnya. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Harus diakui, kita memiliki kunggulan komparatif yang tidak dimiliki bangsa lain. Indonesia dikenal sebagai Benua Maritim (maritime continent), dimana Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau yang dikelilingi lautan.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Menurut catatan Badan Informasi Geospasial (BIG), luas laut keseluruhan NKRI adalah 6.315.222 km2 dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia seteah Kanada, denga garis pantai sepanjang 99.093 km1, tak terbantahkan itu merupakan berkah bagi Indonesia (Gambar 1). Namun, sejauh ini masih begitu banyak SDA Indonesia yang belum terjamah dan terinventarisasi dengan lengkap. Secara spasial Indonesia masih dalam kondisi minim untuk mendapatkan gambaran terkini tentang kondisi sumberdaya alam seperti tingkat kerusakan alam akibat eksploitasi penambangan, tumpahan minyak, kerusakan terumbu karang dan pesisir, deforestasi, ataupun gagal panen. Ketersediaan informasi keruangan (spasial) secara cepat sangat diperlukan dalam perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam, seperti lahan, hutan maupun laut yang diarahkan untuk kesejahteraan rakyat. Informasi keruangan yang diperoleh cepat dan akurat sangat menentukan dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan yang terkait dengan bencana alam. Sumberdaya alam diyakini akan habis, terlebih bila pemanfaatannya secara berlebihan dan tidak terencana. Untuk itu, pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan sangat dibutuhkan.
4
4
FOCUS
Untuk melaksanakan hal ini diperlukan dukungan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IpTek) serta sumberdaya manusia yang terbaharukan Betapapun melimpahnya potensi SDA suatu negara, tapi tanpa dukungan IpTek dalam pengelolaan dan pemanfaatannya tentu tidak akan menjadikan negara tersebut dengan ekonomi yang kuat dan bertumbuh. Hal ini suda disampaikan dan diingatkan B.J. Habibie tiga puluh tahun lalu.
seperti pesawat (airborne) atau satelit (spaceborne). Teknologi penginderaan jauh memiliki kemampuan tinggi di dalam melakukan pengamatan/pemantauan obyekobyek yang berada dipermukaan bumi secara cepat, tepat, near real-time dengan wilayah cakupan (coverage area) yang sangat luas. Teknologi penginderaan jauh dibedakan 2 (dua) jenis berdasarkan tipe sensor nya, yaitu: sensor Optik (yang sangat bergantung dengan pantulan sinar matahari) dimana kendala utamanya adalah cuaca dan tutupan awan, serta jenis sensor Radar (Synthetic Aparture Radar/SAR) yang mampu menghasilkan citra satelit yang bebas awan.
Gambar 1: Peta NKRI (Benua Maritim Indonesia) Dengan pertumbuhan dunia dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang sangat cepat, tidak terbayangkan masalah-masalah yang akan muncul bagi Indonesia yang luas ini tanpa keberadaan satelit, khususnya satelit observasi pengindera bumi Indonesia yang sangat diperlukan oleh negara kita. Itu diperlukan dalam memantau, inventarisasi dan mengelola SDA secara berkelanjutan. Sampai saat ini, Indonesia masih sangat bergantung pada satelit pengindera bumi milik negara asing. Teknologi penginderaan jauh (remote sensing technology) merupakan suatu teknologi yang mampu mendeteksi suatu obyek dipermukaan bumi tanpa melakukan kontak langsung dengan obyek tersebut, tetapi melalui sensor yang dipasang di wahana
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Kemampuan ini tidak dimiliki oleh metode konvensional yang masih banyak dilakukan saat ini. Pemantauan obyek dipermukaan bumi, seperti: pertumbuhan padi, potensi hutan, deteksi kapal, pencegahan illegal fishing, illegal logging, pendayagunaan sumberdaya mineral, keselamatan transportasi laut, potensi sumberdaya laut dan pesisir, dan lain sebagainya dapat dilakukan dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh secara cermat dan detil. Untuk itu, sudah saatnya Indonesia mempunyai strategi khusus dalam merealiasikan satu sistem satelit pengindera bumi yang bisa dioperasikan sendiri, yang bisa memenuhi kebutuhan teknis dalam negeri, seperti resolusi temporal yang pendek, resolusi spasial yang detil, bebas dari kendala cuaca (Indonesia membutuhkan sistem sensor optik dan sensor radar), serta bisa berkonstelasi/gugusan dengan satelit lain di wilayah Asia.
5 5
FOCUS Selain itu, tantangan dari bencana (disaster) yang mungkin terjadi akibat letak NKRI di zona pertemuan lempeng tektonik dan jalur gunung api, juga membutuhkan informasi spasial dalam upaya pengurangan risiko bencana. Informasi spasial untuk wilayah yang luas dapat diperoleh secara efisien melalui data dari sistem satelit penginderaan jauh (remote sensing satellite). Selain itu, sistem satelit penginderaan jauh juga sangat berperan dalam membantu upaya pemantauan kedaulatan negara (Hankamneg).
02. Urgensi Pembangunan Satelit Penginderaan Jauh Indonesia (InaRSSat) Dan Pengembangan Aplikasinya Pada UUD 1945 (setelah amandemen ke-4) dijelaskan bentuk wilayah Indonesia adalah negara kepulauan yang berciri nusantara yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang (pasal 25A). Visi IpTek adalah pemerintah memajukan IpTek dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan ummat manusia (pasal 31 ayat 5). Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisien berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional (pasal 33 Ayat 4).
Gambar 2: Berbagai Satelit Remote Sensing diangkasa dari NASA USA (Ref.NASA USA) Hingga kini Indonesia hanya memanfaatkan data penginderaan jauh produk negara lain atau bisa dibilang Indonesia adalah pasar pengguna data inderaja dari negara maju (USA, Prancis, China, Jepang, dll). Mestinya kita sudah bosan bergantung kepada pihak lain, apalagi kita sudah punya Undangundang No 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, Inpres No 6 tahun 2012 tentang Penyediaan Citra Resolusi Tinggi dan Undang-Undang UU No.21 tahun 2013 tentang Keantariksaan yang merupakan payung hukum yang jitu untuk segera diimplementasikan.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Dengan menilik amanat UUD 1945 tersebut, maka dukungan IpTek menjadi sangat penting penting dan strategis dalam upaya mempercepat
dan mengelola seluruh potensi SDA yang berada di wilayah NRI secara berkelanjutan. Pemerintah dituntut untuk memajukan IpTek dalam upaya kemajuan dan menuju kemandirian bangsa. Besarnya kebutuhan infrastruktur satelit Indonesia bukan hanya menjadi peluang bagi industri satelit Indonesia, tetapi sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Di sektor telekomunikasi, saat ini sudah tercatat sekitar 30% dari kebutuhan infrastruktur satelit komunikasi di Indnesia dipenuhi oleh penyelenggara jasa satelit asing. Sementara itu dalam sektor non telekomunikasi,
6
6
FOCUS untuk memenuhi kebutuhan data-data citra satelit, Indonesia masih bergantung pada satelit remote sensing milik negara asing. Hasil studi BPPT (tahun 2013 dan 2014) terkait kebutuhan satelit inderaja nasional dan rekomendasi satelit nasional yang dibutuhkan melalui komunikasi dengan berbagai institusi nasional (LPK, LPNK dan universitas) diperoleh informasi yang menunjukkan bahwa anggaran yang dibelanjakan untuk kebutuhan pembelian data satelit untuk keperluan masing-masing institusi cukup mencengangkan. Belum lagi adanya overlap data yang yang dibeli oleh masing-masing institusi menyebabkan pemborosan (tidak efisien). Belum lagi data satelit tersebut tidak bisa mencakup semua wilayah Indonesia.
Terlihat bahwa sumberdaya pendukung pembangunan sistem satelit Inderaja nasional masih tersebar diberbagai institusi (K/L, Perguruan Tinggi, Industri/Swasta). Untuk itu diperlukan suatu koordinasi nasional. Salah satu upaya yang sedang dilakukan adalah dengan membentuk “Konsorsium Nasional Pembangunan Satelit Pengindera Bumi Indonesia yang dibuat dan dioperasikan sendiri oleh Bangsa Indonesia (Konsorsium Nasional InaRSSat)�. Pembangunan Konsorsium ini tujuan utamanya adalah: membangun suatu “Sinergi Nasional� antara seluruh komponen bangsa (Pengambil kebijakan, Penyedia Teknologi, dan Pengguna teknologi) dalam rangka mewujudkan terbangunnya InaRSSat yang operasional.
Gambar 3: Strategi Pembangunan InaRSSat2
Anggaran untuk membeli data tersebut ternyata sangat mahal, dan diperkirakan akumulasi dari anggaran dana kebutuhan data satelit tersebut bisa setara atau lebih mahal bila dipakai untuk membangun dan memiliki satelit sendiri. Dengan satelit sendiri banyak keuntungan yang bisa diperoleh. Pertama, bisa mencakup seluruh wilayah Indonesia. Kedua, kebutuhan data untuk pembangunan bisa dipenuhi dengan cepat dan efisien. Ketiga, efisiensi anggaran negara. Keempat, kemandirian bangsa.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Pada Gambar 3, ditunjukkan strategi Indonesia dalam pembangunan InaRSSat. Dengan memiliki satelit sendiri maka kita dapan mengontrol/mengendalikan sendiri satelit kita sesuai kebutuhan nasional. Kita melakukan operasi satelit secara mandiri, meningkatkan kepercayaan diri para insinyur satelit Indonesia dalam penguasaan teknologi antariksa, dan semua proses, mulai dari perencanaan, rancang bangun satelit InaRSSat, sampai kepada pemanfaatan data citra satelitnya
7 7
FOCUS
dalam berbagai sektor aplikasi untuk mempercepat Pembangunan Nasional. Dalam rangka merealisasikan pembangunan InaRSSat yang operasional, beberapa hal yang perlu dilaksanakan secepatnya, yaitu: (1). Konsorsium Nasional InaRSSat perlu segera di formalkan statusnya (baik melalui Peraturan Presiden ataupun peraturan yang sesuai dengan aturan negara). Hal ini perlu dilakukan, karena Konsorsium ini sangat penting dan agar dapat segera bekerja secara terukur dalam mempercepat proses rancang bangun InaRSSat; (2). Pelaksanaan implementasi UU No 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial,
Inpres No 6/2012 tentang Penyediaan Citra Resolusi Tinggi dan UU No.21/2013 tentang Keantariksaan yg merupakan payung hukum yang jitu. Akhirnya, dengan terwujudnya pembangunan satelit InaRSSat yang operasional karya anak bangsa, guna percepatan pembangunan Nasional dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. ยง Kalau bukan sekarang kita bangun InaRSSat.....kapan lagi
1 Badan Informasi Geospasial (BIG) 2014 2 M. Sadly, dkk, PTISDA 2013 Dr. Ir. Muhamad Sadly, M. Eng. Peneliti Ahli Utama Bidang Teknologi Penginderaan Jauh Pusat Teknologi Pengembangan Sumberdaya Wilayah (PTPSW), Kedeputian Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam (TPSA), BPP Teknologi
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
8 8
FOCUS
KEANTARIKSAAN DAN PERKEMBANGAN LINGKUNGAN STRATEGIS
Listyanto
Pendahuluan
T
elah 40 tahun sejak peluncuran satelit pertama milik RI, atau telah 53 tahun sejak pemerintahan Sukarno mencanangkan pendirian LAPAN dengan amanat diantaranya untuk menguasai dan mengembangkan teknologi keantariksaan dalam rangka memakmurkan dan “mensurvive-kan� masyarakat Indonesia. Namun capaian pada bidang itu sampai dengan saat ini, masih memerlukan kerja keras agar semakin mendekati amanat visioner yang telah dikumandangkan lebih dari lima dekade tersebut.
Sebagai pembanding, satu tahun sebelum amanat tersebut, India telah pula mendirikan lembaga yang sama (pendahulu ISRO), namun capaiannya sudah sangat jauh dibanding dengan capaian LAPAN saat ini. Dalam hal roket misalnya, India telah mampu membuat roket pendorong yang mampu menjalani rute jutaan kilometer, yaitu mengorbitkan satelit sampai dengan planet Mars. Sementara capaian roket LAPAN, masih sangat membutuhkan kerja keras dan cerdas untuk mengejar ketinggalan. Perkembangan Lingkungan Strategis Di tengah ketinggalan tersebut, ternyata perkembangan lingkungan strategis juga sangat mendorong kita untuk segera mewujudkan penguasaan dan pemanfaatan teknologi keantariksaan. Esensinya dari perkembangan lingkungan strategis itu muncul berbagai ancaman baik aktual maupun potensial, dari dalam maupun luar negeri. Ancaman aktual dari luar negeri misalnya adalah adanya berbagai pelanggaran wilayah beserta aktivitas illegal yang menyertainya, terorisme internasional,
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
9
9
FOCUS
serta ancaman kedaulatan wilayah yang terus tumbuh sebagaimana terlihat di Laut China Selatan. Ancaman aktual dari dalam negeri misalnya adalah bahaya separatisme serta berbagai bentuk bencana alam. Ancaman potensial dari luar negeri, tidak dapat dilihat hanya dari situasi kekinian, tetapi simaklah sejarahnya, yang ternyata bila kepentingan nasional mereka terganggu, maka terbukti mereka tidak segan untuk memaksakan kehendaknya dengan berbagai cara termasuk kekerasan militer. Dengan memperhatikan itu maka kita perlu terus menaruh kewaspadaan terhadap negara-negara yang bermanuver di kawasan samudera Pasifik maupun samudera Hindia. Sedangkan ancaman potensial dari dalam negeri adalah berupa radikalisme serta bencana sosial. Kondisi Postur Untuk mengahadapi perkembangan lingkungan strategis tersebut, diperlukan kondisi postur yang memadahi agar strategi yang telah dipilih dapat dieksekusi dengan baik. Lalu bagaimana perbandingan postur kita dengan postur dari kekuatan-kekuatan yang bermanuver di kawasan? Lagi lagi menggungah kita untuk bekerja keras dan cerdas. Kekuatan-kekuatan yang bermanuver, bila dilihat anatominya secara teknologi, maka mereka memiliki dimensi konvensioanl (kapal, pesawat, tank, maupun pasukan sebagaimana kita miliki), dimensi keantariksaan berupa gugus satelit beserta berbagai aplikasinya di perangkat konvensional tadi, termasuk untuk keperluan siber, dan dimensi berikutnya adalah dimensi nuklir, baik sebagai sumber tenaga maupun sebagai hulu ledak persenjataan.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Sementara postur kita secara esensi anatominya masih pada dimensi konvensional, belum masuk pada dimensi keantariksaan maupun nuklir. Padahal kekuatan konvensional yang sama akan menjadi sangat berbeda efektifitas dan efisiensinya bila yang satu dikombinasi dengan keantariksaan dan yang lainnya tidak. Belum lagi kalau kita juga bicara kekuatan nuklir, dimana bagi yang menguasainya menjadi memiliki daya hancur yang berlipat ganda. Keperluan mendesak Dari situasi di atas, agar amanat pertahanan negara dapat dilaksanakan dengan baik, maka hemat kami, paling tidak harus masuk pada dimensi kedua, yaitu dimensi keantariksaan. Terdapat beberapa hal yang sangat mendorong untuk tercapainya hal ini, yaitu pertama dari posisi dan konstelasi geografis NKRI, yang tidak mungkin mengandalkan konektifitas melalui metoda kebumian (terrestrial) saja. Kedua, perkembangan lingkungan strategis, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Untuk luar negeri, khususnya adalah di Laut China Selatan seperti dikemukakan di atas. Sedangkan untuk di dalam negeri adalah situasi yang semakin membutuhkan kewaspadaan aparat keamanan, seperti pada akhir-akhir ini. Ketiga, adalah justru masalah keperluan penghematan atau efisiensi penyelenggaraan pertahaan dan keamanan negara. Dengan pemanfaatan teknologi keantariksaan, hemat kami, justru akan semakin efisien. Memang pada awalnya untuk membangun infrastruktur keantraiksaan akan butuh investasi yang cukup besar.
10
10
FOCUS
Terkait besarnya investasi tersebut, sebenarnya masih dalam jangkauan rencana RPJMN 2015-2019, yang merencanakan anggaran pertahanan sampai dengan 2019 sebesar 1,5% dari PDB, sedangkan saat ini baru sekitar 0,8%. Sehingga masih mungkin untuk ditingkatkan hampir dua kali lipatnya, walaupun dapat dipastikan tidak akan butuh dana sebesar itu untuk memulai pembangunan infrastruktur keantariksaan yang kita perlukan. Persoalan Penggunaan uang negara untuk membangun infrastruktur keantariksaan, sebagaimana untuk kebutuhan lainnya, tentunya membutuhkan kajian yang mendalam dari berbagai aspek, yang dituangkan dalam berbagai dokumen yang akan menjadi pendukung penganggaran yang akuntable. Dalam administrasi penganggaran adanya dokumen-dokumen pendukung yang lengkap tadi akan menjadikan penganggarannya memenuhi kriteria kelayakan (readiness criteria). Bila kondisinya demikian, yaitu adanya kebutuhan mendasar dan terpenuhinya kriteria kelayakan, maka sebenarnya tidak ada alasan bagi DPR yang memegang hak budget untuk tidak segera menyetujui penganggarannya. Bila kriteria kelayakan tercapai, maka dalam eksekusinya nanti juga dapat diharapkan akan lancar, tidak perlu terjadi daya serap anggaran yang rendah seperti selama ini sering terjadi. Namun demikian perlu pula diingat bahwa adminisrasi keuangan adalah sebagain saja dari siklus penyelenggaraan pemerintahan.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Dengan demikian untuk mengukur prestasi dari lembaga-lembaga pemerintah, maka tidak akan cukup bila misalnya hanya dengan status opini BPK yang WTP. Assessment harus menyeluruh mulai dari analisa stratregis, konsepsi visioner, perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek, pelaksanaan, sampai output dan outcome di lapangan. Ada satu hal yang selama ini dianggap menjadi halangan yang cukup signifikan, yaitu keberadaan Missile Technology Control Regime (MTCR) 1987 yang dianggap membatasi pengembangan keantariksaan, khususnya pengembangan roket. Akan hal ini perlu diingat bahwa MTCR pada dasarnya tidak bersifat binding, bahkan terhadap negara yang ikut meratifikasi sekalipun, apalagi bagi RI yang bukan sebagai pihak yang ikut menandatangani atau meratifikasi. Sasaran utama dari MTCR adalah pencegahan pengembangan senjata pemusnah masal/ Weapon of Mass Destruction (WMD), nah tentunya kitapun tidak akan mengembangkan senjata yang demikian. Selain itu negara juga memilki kedaulatan untuk melakukan kegiatan apapun, yang tidak bertentangan dengan konstitusi, termasuk merahasiakannya bila diperlukan. Memang untuk teknologiteknologi yang sensitive, termasuk teknologi roket misalnya, tidak ada satu negarapun yang akan memberikan begitu saja kepada kita, maka dari itu dalam Undang-undang Industri Pertahanan, cara akuisisi teknolgi yang menentukan adalah melalui litbangyasa sendiri dalam sistem nasional, yang pelaksanaanya justru harus dirahasiakan. Dengan kata lain MTCR tidak seharusnya dijadikan alasan untuk tidak perform dalam akuisisi teknologi.
11 11
FOCUS
Rekomendasi Atas ketimpangan anatomis dan tuntutan lingkungan strategis tersebut di atas, maka pemerintah perlu segera mengejar ketertinggalan di bidang teknologi
pendirian LAPAN, dan pada tahun 2007 ditegaskan kembali melalui Undang-undang tentang keantariksaan. ยง Cibubur, 31 Oktober 2016
keantariksaan, kuasai dan manfatkan, terapkan diberbagai bidang kehidupan termasuk untuk kepentingan pertahanan negara. Ingat hal ini telah diamanatkan sejak pesan visioner pemerintahan Bung Karno 53 tahun yang lalu, melalui perpres tentang
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
12
12
FOCUS
40 TAHUN
SATELIT KOMUNIKASI INDONESIA BERPERAN MENJAGA DAN MEMPERKOKOH
KESATUAN & PERSATUAN NUSANTARA
Bambang Tejasukmana Leader Space Policy & Regulation
P ada
bagian ini akan disampaikan perkembangan pengoperasian satelit komunikasi dan informasi di Indonesia mulai dari pengoperasian Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa sampai dengan generasi terbaru satelit komunikasi yang dioperasikan atas nama negara Republik Indonesia.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
13
13
FOCUS
Dinamika perkembangan pengoperasian satelit komunikasi di negara kita sangat menarik untuk didalami. Dinamika perkembangan situasi yang paling banyak disimak pada bagian ini adalah dinamika yang terkait dengan slot orbit geostasioner Indonesia. Pengoperasian satelit Palapa sebagaimana pengoperasian satelit geostasioner lainnya, harus didahului dengan perjuangan untuk mendapatkan slot orbit dan spektrum frekwensi yang digunakan.
mampu mengoperasikan satelit komunikasi dan informasi geostasioner. Gambar 9.1 di atas, adalah informasi yang disampaikan perusahaan manufaktur satelit Boeing pada tahun 2012 tentang jumlah satelit yang mereka buat dan satelit buatan perusahaan pembuat satelit lain di dunia. Gambar 10.1 memperlihatkan betapa padatnya orbit geostasioner. Rebutan Slot Orbit Geostasioner Persaingan untuk mendapatkan slot orbit geostasioner bukan disebabkan terbatasnya
Gambar 9.1 Satelit buatan Boeing diantara ratusan satelit lain di orbit geostasioner (sumber:http://www.boeingimages.com/archive/ Commercial-Communications-Satellites-Orbit-2F3XC5KQCM9.html) Berkait dengan usaha untuk mendapatkan hak atas slot orbit tersebut, pada bagian ini akan disampaikan pula informasi tentang deklarasi Bogota yang merupakan langkah perjuangan negara-negara ekuator untuk mendapatkan hak berdaulat atas orbit geostasioner di atas wilayah negaranya. Hak untuk mendapatkan slot orbit dan spektrum frekwensi makin sulit diperoleh setelah lebih banyak negara baru yang
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
wilayah orbit geostasioner. Terbatasnya slot orbit lebih disebabkan oleh potensi terjadinya kondisi yang diistilahkan sebagai “harmfull interference” yaitu terjadinya interferensi yang saling menggangu antara signal satu satelit dengan satelit lainnya. Frekwensi yang digunakan untuk satelit komunikasi saat ini menggunakan lima teknologi dasar yang diatur dalam regulasi International Telecommunication Union (ITU) sebagai berikut :
a). C-band (4/6 GHz) “Fixed Satellite Service” (FSS) b). Ku-band (11/14 GHz) “Fixed Satellite Service” (FSS) c). Ka-band (20/30 GHz) bent pipe d). Ka-band (20/30 GHz) dengan “on board processing” e). L-band (1.5/1.6 GHz) “Mobile Satellite Service”(MSS) f). S-band (2/4 GHz)”Broadcasting Satellite Service”
14
14
FOCUS Setiap pita frekwensi yang di atur ITU di atas memiliki sifat dan kelebihan masingmasing. C-band digunakan pada satelit komunikasi generasi pertama. Komunikasi dengan pita frekwensi ini tidak terpengaruh oleh kondisi cuaca terutama hujan, sehingga bisa dipakai pada seluruh kondisi cuaca. Kekurangan C-band adalah keterbatasannya dalam melayani komunikasi data. Penggunaan untuk komunikasi suara atau faximile masih memungkinkan tetapi apabila mengirimkan gambar apalagi video dengan densitas tinggi maka transmisinya akan sangat lambat. Kekurangan tersebut disebabkan oleh lebar pita (bandwidth) Cband yang relatif sempit. Setelah satelit komunikasi makin banyak dioperasikan maka perusahaan telekomunikasi dunia mengembangkan sistem komunikasi dengan menggunakan frekwensi pada Ku-band dan Ka-band. Penggunaan Ku-band dan Ka-band memerlukan teknologi komunikasi yang mampu mengatasi tantangan dalam penggunaan frekwensi sangat tinggi. Frekwensi lebih tinggi bisa menyediakan lebar pita yang lebih tinggi yang kita kenal saat ini dengan istilah pita lebar (broadband). Kekurangan dari frekwensinya yang tinggi, transmisi pada Ku-band terlebih lagi Ka-band sangat terganggu oleh cuaca sehingga Ka-band tidak digunakan di wilayah yang curah hujannya sangat tinggi. Pita frekwensi lain yang digunakan untuk satelit komunikasi adalah pita frekwensi L-band yang khusus digunakan untuk komunikasi dengan stasiun bergerak serta pita frekwensi Sband yang digunakan untuk satelit penyiaran. Interferensi terjadi apabila satu wilayah menerima dua atau lebih pancaran signal transmisi pada frekwensi pembawa yang sama. Gangguan interferensi terjadi seperti berisiknya pesawat radio kita ketika menerima signal radio dari berbagai pemancar yang berbeda.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Kondisi yang sama bisa terjadi pada transmisi satelit kalau tidak diatur. Karena pentingnya pengaturan penggunaan frekwensi radio, negara-negara di dunia sepakat untuk mendirikan International Telecommunication Union (ITU). ITU berada dibawah naungan PBB. ITU dibangun untuk mengatur penggunaan frekwensi radio di seluruh dunia. Wakil pemerintah Indonesia di ITU adalah Kementerian Komunikasi dan informatika. Regulasi ITU menjadi acuan UU No. 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Setiap negara yang akan mengoperasikan satelit jenis apapun harus mendapatkan ijin penggunaan frekwensi dari ITU. Khusus untuk satelit komunikasi yang ditempatkan di orbit geostasioner, ITU mengatur pula ijin slot orbitnya. Gambar 9.1 memperlihatkan dengan jelas slot orbit geostasioner dan satelit komunikasi yang mengisinya. Bisa dilihat bahwa jarak setiap satelit umumnya dua derajat dan apabila kebutuhannya tinggi, jarak antar satelit tidak bisa lebih kecil dari satu derajat. Apabila beberapa satelit menempati satu slot orbit maka frekwensi pembawa yang digunakan tidak boleh saling tumpang tindih sehingga terjadi interferensi. Deklarasi Bogota Negara-negara maju terutama Amerika Serikat dan Rusia mampu menekan ITU untuk menjalankan prinsip “first in first serve�. Prinsip itu sangat liberal. Sudah pasti bahwa para pendaftar pertama adalah negara-negara yang telah maju teknologi keantariksaannya atau negara-negara yang mampu secara ekonomi membayar jasa untuk membangun dan mengoperasikan satelit telekomunikasi bagi negaranya. Negara-negara yang sedang berkembang dapat dipastikan tidak akan mampu bersaing dengan mereka. Sementara itu negara-negara di ekuator terancam tidak akan mendapatkan slot orbit karena orbit geostasioner dapat diisi oleh siapapun yang lebih dulu menguasainya. Kondisi tersebut mempersatukan negara-negara di garis ekuator untuk memperjuangkan kedaulatan atas orbit geostasioner yang berada di atas wilayah udara negara mereka.
15
15
FOCUS
Deklarasi Bogota ditandatangani oleh delegasi dari delapan negara yaitu Brasil, Colombia, Congo, Ecuador, Indonesia, Kenya, Uganda dan Zaire. Meskipun deklarasi ini tidak mendapat dukungan dari anggota lain PBB, deklarasi Bogota mampu menekan ITU sehingga pada tahun 1986 pada World Administrative Radio Conference(WARC) seluruh anggota ITU menyetujui untuk memberikan hak yang sama kepada seluruh dunia terhadap penggunaan slot orbit dan frekwensi. Forum WARC adalah forum pertemuan puncak pengaturan frekwensi dunia. Setiap negara anggota ITU hadir di forum ini untuk finalisasi perjuangan mereka untuk mendapatkan hak penggunaan frekwensi baik di darat, laut, udara maupun antariksa. Deklarasi Bogota tetap tercatat sebagai usaha dari negara ekuator untuk mendapatkan kedaulatan atas wilayah orbit geostasioner di atas negaranya.
Informasi penting tentang pembangunan Palapa A1 dan A2 atau Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD) Palapa saya temukan dari situs http://www.hmsoeharto.id/2015/07/197608-16-cabut-keris-presiden.html. Dari situs itu didapatkan informasi tentang peresmian pengoperasian satelit Palapa sebagai berikut:
SATELIT KOMUNIKASI INDONESIA Indonesia tercatat sebagai negara ketiga yang mengoperasikan satelit komunikasi. Pengoperasian satelit komunikasi adalah keputusan yang sangat cerdas dari para pemimpin negara waktu itu. Satelit komunikasi walaupun sangat mahal namun menjadi solusi terbaik untuk mempersatukan seluruh wilayah Benua Maritim Indonesia. Pada bagian ini disampaikan secara ringkas usaha yang dilakukan untuk membangun dan mengoperasikan satelit komunikasi dan informasi mulai dari satelit Palapa seri A sampai dengan satelit BRI-SAT yang telah diluncurkan tahun 2016 ini. Masingmasing satelit memiliki cerita unik yang menarik untuk disimak dan dipelajari.
Informasi lebih rinci tentang pembangunan SKSD Palapa saya peroleh dari dua makalah yang masing-masing ditulis oleh Pimpinan Proyek pembangunan SKSD Palapa tahun 1974-1977, Dr. A. Ph. Jiwatampu (http://spacejournal.ohio.edu/issue8/his_arn old1.html), dan tokoh wanita yang sangat dikenal, Dr. Marwah Daud Ibrahim (http://spacejournal.ohio.edu/issue8/his_mar wah1.html). Berdasar-kan kedua paper tersebut, terutama dari paparan rinci yang disampaikan di dalam paper Dr. Marwah Daud, penulis mencoba melakukan rekonstruksi perkembangan pembangunan satelit Palapa mulai dari perkenalan Indonesia dengan sistem satelit komunikasi internasional sampai dengan peresmian pengoperasian satelit Palapa oleh Presiden Soeharto, sebagai berikut: a). Pada tanggal 19 Agustus tahun 1964, Amerika Serikat berhasil meluncurkan Syncom 3, satelit komunikasi geostasioner pertama di dunia. Keberhasilan itu menjadi dasar untuk pendirian International Telecommunication Satellite Consortium (INTELSAT) pada tanggal
Satelit Palapa A1 dan A2 Saya mencoba menelusuri sumber informasi dari website lembaga resmi seperti Dirjen Postel, Arsip Nasional, LAPAN dan lain-lain tetapi informasi tentang pengembangan satelit Palapa tidak saya temukan.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
SENIN, 16 AGUSTUS 1976. Dalam rangka peringatan 31 tahun kemerdekaan RI, pagi ini Presiden Soeharto meresmikan penggunaan SKSD Palapa. Dalam acara peresmian yang berlangsung pada jam 08.45 pagi di Gedung DPR itu Kepala Negara mencabut sebilah keris dan kemudian menekan tombol elektronis yang terdapat pada gagang keris tersebut. Dengan demikian resmilah penggunaan SKSD Palapa. Selanjutnya Presiden melakukan pembicaraan telepon jarak jauh melalui SKSD Palapa dengan Gubernur Aceh, Muzakkir Walad, dan Gubernur Irian Jaya, Sutran.
16
16
FOCUS 20 Agustus 1964. INTELSAT adalah konsorsium dari 18 negara termasuk di dalamnya Amerika Serikat. b). Tanggal 6 April 1965, INTELSAT berhasil meluncurkan satelit Early Bird atau Intelsat I yang merupakan satelit komunikasi komersial pertama. Pada tanggal 28 Juni 1965 Early Bird resmi melayani siaran televisi dan komunikasi suara antara negara-negara Amerika Utara dengan negara-negara Eropa. Selanjutnya tahun 1967 INTELSAT berhasil meluncurkan Intelsat II F-2 dan II F-3 untuk melayani negara-negara di wilayah Samudera Pacifik. Tahun 1969 INTELSAT berhasil meluncurkan Intelsat III F-3 yang mencakup negara-negara di Samudera India. c). Tahun 1969 Indonesia masuk menjadi anggota INTELSAT dan membangun Stasiun bumi satelit telekomunikasi pertama di Jatiluhur. Kerjasama dengan INTELSAT menjadi pembuka pengalaman dan pengetahuan tentang komunikasi internasional dan pemanfaatan satelit untuk komunikasi jarak jauh. Penulis memprediksi inisiatif pembangunan SKSD dipicu oleh pengembangan komunikasi internasional melalui Intelsat. Apabila komunikasi dengan negara-negara yang sangat jauh di Amerika Utara dan Eropa dapat dilakukan dengan mudah melalui satelit maka komunikasi jarak jauh antar wilayah Indonesia akan bisa dilakukan apabila Indonesia mengoperasikan satelit komunikasi milik sendiri. Pada papernya Dr. Marwah Daud menyampaikan bahwa ide membangun SKSD yang disampaikan Presiden Soeharto didukung oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, para politikus dan para akademisi termasuk salah satunya Prof Iskandar Alisyahbana dari Institut teknologi Bandung. d). Tahun 1973 Presiden Soeharto menugaskan Direktorat jenderal Pos dan Telekomunikasi (Dirjen Postel) untuk meluncurkan dan mengoperasikan sistem komunikasi satelit domestik yang dapat mencakup seluruh wilayah kepulauan
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Indonesia antara dua atau dua tahun setengah kedepan. Berdasar pada penugasan tersebut Dirjen Postel membentuk team ahli untuk melakukan studi tentang kelayakan teknis, operasional dan ekonomi dari sistem satelit komunikasi domestik. Hasil dari studi tersebut menyatakan bahwa pengoperasian sistem satelit komunikasi domestik mendukung integrasi sistem telekomunikasi nasional dan akan sangat mendukung keberhasilan tujuan nasional Wawasan Nusantara (disarikan dari paper Dr. Marwah Daud). e). Pada tanggal 5 Juli 1974 ditanda tangani perjanjian kerjasama antara PERUMTEL dangan Hughes Aircraft untuk mendifinisikan sistem satelit komunikasi domestik Indonesia yang mencakup desain satelit dan stasiun bumi serta bantuan administrasi yang diperlukan. Setelah itu sebuah tim ditugaskan ke Amerika untuk mencari kemungkinan untuk mendapatkan pinjaman luar negeri. Pinjaman untuk pembiayaan proyek didapatkan dari Bank Ekspor-Impor Amerika dan sebuah konsorsium bank di Amerika Serikat. f). Setelah anggaran pembangunan Palapa dimasukan kedalam tahun fiskal 1975/1976, Tanggal 15 Februari 1975 ditandatangani perjanjian kontrak pembuatan dan peluncuran Satelit Palapa A1 dan A2 dan sistem stasiun buminya dengan Hughes Aircraft dan beberapa perusahaan lainnya. g). Peluncuran satelit Palapa dilaksanakan oleh NASA berdasarkan MOU antara pemerintah Indonesia dengan NASA. Asuransi satelit ditanggung oleh PT Asuransi Jasa Indonesia. Sementara pembangunan sarana dan prasarana dilaksanakan oleh kontraktor Indonesia. h). Mangemen proyek dipimpin oleh Dr. A. Ph. Djiwatampu dengan dibantu oleh dua deputi proyek Harjana Sutarja dan Muhaimin serta wakil Perumtel di California Saleh Bunaran. Total biaya proyek pembangunan SKSD Palapa adalah 1,4 Milyar US$ yang mencakup biaya pembuatan satelit, peluncuran dan pembangunan stasiun bumi sebesar 178,7 juta US$, sisanya yang lebih besar digunakan untuk membangun infrastruktur telekomunikasi di
17
17
FOCUS
seluruh provinsi. Perlu dicatat menurut Dr. A. Ph. Djiwatampu, GDP perkapita Indonesia saat itu hanya 100 US Dollar. i). Perjuangan penting lainnya dalam membangun SKSD Palapa adalah perjuangan untuk mendapatkan Slot Orbit. Untuk itu, Indonesia harus berkoordinasi dengan INTELSAT yang sudah mengoperasikan satelit di atas wilayah Indonesia. Setelah perjuangan yang keras dengan dibantu oleh delegasi negaranegara Asia dan delegasi negara berkembang lainnya, delegasi Indonesia di ITU berhasil mendapatkan slot orbit 83o BT untuk Palapa A1 dan 77o BT untuk Palapa A2. j). Palapa A1 berhasil diluncurkan dengan menggunakan roket Thor Delta 2914 pada pada tanggal 8 Juli 1976 jam 7.31 malam
waktu Florida. Nama Palapa diberikan oleh Presiden Soeharto sesaat setelah satelit berhasil di tempatkan pada orbitnya. Peresmian pengoperasiaannya dilakukan pada acara pidato presiden menyambut ulang tahun Republik Indonesia ke 31 di gedung DPR tanggal 16 Agustus 1976 sebagaimana disampaikan di atas. k). Palapa A1 dan A2 sukses dioperasikan dengan mulus tanpa catatan adanya kendala teknis. Palapa A1 dihentikan operasinya pada bulan Juni 1985 sementara Palapa A2 pada bulan Januari 1988. Setelah sukses dengan peluncuran dan pengoperasian satelit Palapa seri A, bisnis telekomunikasi Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat dan berada pada posisi dominan di ASEAN. ยง (bersambung pada ES Edisi 2)
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
18
18
Hal terpenting yang bisa kita lakukan adalah menginspirasi dan meningkatkan kemampuan pendidikan teknologi bagi generasi muda, untuk membawa kita kepada kemajuan antariksa.
Equator SPACE.com EQUATORSPACE.COM
equatorspace.com | technology satellites, rocketries, satellite bus, power systems, cameras, radar sensors, gyroscopes, antennas, engines, mux filters, attitude control, propellant
19
TECHNOLOGY
TERABIT/S
The Next Generation U
DANI INDRA mutlak diperlukan. Akhir-akhir ini, ntuk memenuhi kebutuhan akan satelit Ka-band mulai diperkenalkan data yang trafiknya terus meningkat WIDJANARKO oleh banyak operator satelit. secara signifikan, operator satelit Pemanfaatan Ka-band disamping harus selalu berusaha untuk karena alokasinya yang mencapai mencari cara baru untuk 2000 MHz (single polarisasi) juga meningkatkan kapasitas throughput karena perangkat terminal di sisi sambil berusaha menekan biaya per pelanggan akan semakin kecil bps. Keterbatasan utama dari sistem sehingga memudahkan pengiriman yang menggunakan frekuensi radio adalah ketersediaan spektrum frekuensi. dan ongkos instalasi perangkat remote (user) semakin murah. Saat ini, satelit di Indonesia kebanyakan masih menggunakan C-band, dan beberapa Alokasi sebesar 2000 MHz tersebut dalam diantaranya menggunakan Ku-band. Hal ini system HTS harus digunakan secara bersama karena karena karakteristik dari kedua untuk forward link dan return link. Dimana frekuensi tersebut lebih tahan terhadap kapasitas gateway tergantung dari alokasi cuaca, khususnya terhadap redaman hujan. spectrum untuk forward link. Misal 1500 dari 2000 MHz dialokasikan untuk forward link, Ketersediaan alokasi C-band dan Ku-band dan jika digunakan system dengan spectral spectrum saat ini sangatlah terbatas, efisiensi sebesar 2.5 bit/Hz, maka kapasitas mengingat masing-masing hanya Gateway adalah 1500 x 2 (polarisasi) x 2.5 = mempunyai 800 MHz dan 500 MHz untuk 7.5 Gbps. Sedangkan kapasitas dari system HTS single polarisasinya. Oleh karena itu untuk tergantung dari berapa jumlah Gateway yang menampung kebutuhan yang terus meningkat,
pencarian
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
alokasi
“baru�
20 20
TECHNOLOGY dapat diakomodir. Oleh karena itu untuk merancang system HTS dengan kapasitas sebesar 75 Gbps dibutuhkan paling tidak 10 Gateway. Untuk meningkatkan kapasitas pada generasi HTS yang akan datang (NG HTS), frekuensi Q/V (40 dan 50 GHz) berpeluang untuk digunakan sebagai feeder link, sehingga seluruh alokasi di Ka-band bisa digunakan untuk user link. Saat ini sudah ada satelit yang bekerja di 44 GHz dan beroperasi dengan baik. Hal ini membuktikan bahwa tingkat kesiapan teknologi di Q/V band sudah sangat baik dan siap diimplementasikan secara massif. Satelit-satelit Ka-band yang saat ini berada di orbit, rata-rata menyediakan layanan broadband untuk para pengguna Very Small Aperture (VSAT). Kapasitas dari satelitsatelit tersebut berkisar mulai dari 5 Gbps sampai 100 Gbps. Satelit-satelit HTS ini menggunakan Ka-band (20/30 GHz) untuk kedua linknya, user link dan feeder link atau gateway link. Beberapa dari sistem satelit ini mengoperasikan gateway dalam jumlah yang cukup besar, diantaranya bahkan sampai ada yang 20 gateway, tergantung pada kapasitas total sistem satelitnya. Kapasitas satelit HTS generasi berikutnya akan meningkat menjadi 200 Gbps bahkan sampai 400 Gbps. Konsekuensinya, jumlah gateway yang diperlukan secara signifikan akan meningkat, hingga 40 gateway atau bahkan lebih, jika untuk feeder linknya masih menggunakan Ka-band. Hal ini dikarenakan hanya ada 1,5 GHz tersedia untuk GSO (satelit geostasioner) FSS (Fixed Satellite Service), dimana hal in juga menimbulkan potensi kendala operasional dalam memilih lokasi dari gateway. Berdasarkan alokasi ITU, saat ini tersedia spektrum selebar lebih dari 3 GHz yang "bersih" atau total 6 GHz di rentang frekuensi 40/50 GHz (juga dikenal sebagai
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Q / V band) yang dapat digunakan untuk feeder link dari generasi HTS berikutnya. Oleh ITU band 37,5-42,5 GHz (Q-band) telah dialokasikan untuk Fixed Satellite Service (FSS) downlink dan 47,2-50,2 GHz (V-band) dialokasikan untuk uplink FSS secara coprimary. Ini akan mengurangi jumlah gateway secara drastis sampai dengan sepertiganya. Pemanfaatan frekuensi Q/V ini juga akan mengurangi jumlah hardware di satelit seperti High Power Amplifier (HPA), Low Noise Amplifier (LNA), Up/Down Converter, filter dan lain-lain, yang pada akhirnya akan menyebabkan harga (unit cost) sistem satelit juga akan turun. Kapasitas HTS generasi berikutnya membutuhkan peningkatan kapasitas yang signifikan. Sistem satelit akan diminta untuk beroperasi dengan spot beam yang lebih kecil lagi (tipikalnya antara 0,2 deg hingga 0,3 deg). Karena gain yang sangat tinggi, maka masing-masing user forward link hanya membutuhkan 10 W sampai 20 W saja untuk mendukung spektrum 3000 MHz. Bicara mengenai TRL (Teknologi Tingkat Kesiapan) dari komponen / subsistem seperti LNA, Up/Down Converter, HPA, dll di frekuensi 40/50 GHz band sudah berada di tingkat 7 atau 8, atau bahkan beberapa sudah TRL 9. Karakteristik propagasi dari band frekuensi Q / V sudah dikenal dengan baik. Secara umum, sistem di band Q / V akan memerlukan lebih banyak margin saat hujan dibandingkan sistem yang beroperasi di band yang lebih rendah. Jika teknik mitigasi hujan seperti gateway tambahan (diversity), akan meningkatkan availability dari sistem. Di Amerika Utara, hanya ada spektrum 1 GHz dialokasikan untuk GSO FSS secara primer. Namun, beberapa sistem satelit GSO FSS saat ini juga memanfaatkan 500 MHz alokasi NGSO (non-geostationary orbit) Band (18,819,3 GHz untuk downlink dan 28,6-29,1 GHz untuk uplink), secara sekunder. Oleh karena itu, dalam band NGSO, sistem satelit GSO
21
21
TECHNOLOGY harus mematikan uplink mereka dan downlink pemancar ketika potensi "in-line" interferensi antara NGSO dan GSO terjadi. Hal ini akan menimbulkan kendala operasional potensial terhadap sistem satelit GSO FSS selama gangguan "in-line" antara satelit NGSO dan GSO. Kapasitas HTS generasi berikutnya yang berkapasitas ~ 200 Gbps atau lebih jika akan direalisasikan, membutuhkan sekitar 24 gateway jika seluruh 1,5 GHz (atau 3 GHz dual pol) spektrum Ka-band akan digunakan untuk feeder link. Jika hanya 1,0 GHz spektrum yang digunakan untuk link feeder, sistem akan membutuhkan 35 gateway. Jumlah gateway akan berkurang sepertiganya, jika band Q / V digunakan untuk feeder link. Dibawah ini adalah grafik mengenai jumlah gateway versus alokasi frekuensi yang digunakan untuk feeder link.
Secara umum, sistem satelit yang beroperasi di band Q / V akan memerlukan lebih banyak margin saat hujan dibandingkan sistem satelit di Ka-band (20/30 GHz) dengan availability link yang sama. Namun, dengan gateway diversity tambahan, sistem ini dapat menyamai availability link sistem yang beroperasi di 20/30 GHz. Dengan adanya gateway tambahan, jumlah gateway di band Q / V masih jauh lebih kecil daripada sistem
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
yang feeder link-nya menggunakan Kaband. Pada ilustrasi diatas, sistem dengan kapasitas 200 Gbps membutuhkan 12 gateway Q / V band (bandingkan dengan akan membutuhkan sampai dengan 35 gateway Ka-band). Sebagai penutup dari tulisan ini, dapat disimpulkan bahwa dengan memanfaatkan Q / V-band spektrum untuk feeder link secara paralel dengan Ka-band untuk user link, maka akan: Mengurangi jumlah gateway dengan faktor ~ 3 Mengurangi biaya operasi gateway Mengurangi biaya koordinasi (karena jumlah gateway berkurang) Mengurangi subsistem/komponen penyusun payload satelit seperti LNA / DC, UC, DC, HPA, dll Meningkatkan pendapatan Menyediakan layanan broadband ke pengguna di mana saja dalam cakupan satelit Tidak ada kendala operasional Gateway bisa di mana saja dalam satelit bidang-of-view Tidak memerlukan penggunaan spektrum NGSO Tidak ada persyaratan isolasi spasial antara user spot beam dengan gateway spot beam Dengan melihat dari tingkat kesiapan teknologi, maka bisa dikatakan bahwa next generation HTS dengan kapasitas 400 Gbps atau bahkan Terabit/s akan segera terwujud. §
Dani Indra Widjanarko Ketua Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI)
22
22
Pengembangan
Bisnis Antariksa adalah
Sebuah Potensi Kekuatan Yang Akan Meningkatkan
Perekonomian dan
Kesejahteraan
Bangsa Indonesia
Equator SPACE.com EQUATORSPACE.COM
equatorspace.com | space business satellite industry, rocket industry, terminal industry, mapping service, mining, fisheries, security, video contents, satellite based city planning
23
SPACEBUSINESS Suleman Tampubolon Specialist Space Business
Pendahuluan Bila dihubungkan dengan semangat kebangsaan, pertanyaan ini bisa dianggap tidak pantas. Namun dalam kaitannya dengan perilaku alami operasi dan bisnis satelit, pertanyaan ini hal yang lumrah untuk didalami. Perilaku alami dari operasi dan bisnis satelit adalah perilaku global, dan tergantung cakupan yang bisa dilayani. Angkasa luar tidak berkorelasi langsung dengan letak geografis suatu negara; pengaturannya dilakukan bukan berbasis teritorial, namun berdasarkan kesepakatan dunia dalam prosedur hak pengelolaan slot orbit yang disusun dalam sidang ITU. EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
24 24
SPACEBUSINESS
lain, kepemilikan slot, maksimasi kapasitas, dan model layanan.
Bentuk Indonesia
Bentuk Indonesia yang bisa disebut seperti pisang atau sepatu dan terdiri dari pulaupulau menjadi tantangan tersediri dalam merancang HTS yang optimal. Selain itu, sebaran penduduk yang tidak merata juga menjadi salah satu faktor penting. Bentuk dan sebaran penduduk Indonesia tersebut merupakan batasan yang menyebabkan pengembangan HTS, hanya untuk mencakup Indonesia, menjadi kurang optimal. Dalam hal ini, HTS dimaksud adalah menggunakan Satelit Geo Stationer dengan spektrum Ka-Band. Merujuk kondisi tersebut, maka pertanyaan Indonedia membangun sendiri?, bukanlah mempertanyakan kemampuan Indonesia tetapi mengenai optimalisasi HTS. Mengingat bentuk Indonesia yang relatif kurang luas bila dibanding dengan kemampuan suatu HTS, maka opsi kerja sama perlu dipertimbangkan. Perlunya kerja sama dengan negara tetangga akan diuraikan lebih lanjut. Faktor yang perlu dipertimbangkan mengapa kerja sama diperlukan dalam pengembangan HTS antara
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Filing Ka-Band Indonesia Hingga saat ini Indonesia baru memiliki filing Ka-band yang sangat Junior. Bisa disebut Indonesia terlambat mengantisipasi kebutuhan akan spektrum. Disisi lain negara lain telah menguasai filing Ka-band pada slot orbit yang strategis untuk Indonesia, yaitu di antara slot 80oBT hingga 1600BT. Berdasarkan kondisi ini, maka pembangunan HTS memerlukan kerja sama dengan pemilik slot tersebut. Bentuk kerja sama dapat berupa penggunaan slot atau dapat kerja sama dalam membangun HTS bersama. Praktik ini jamak dalam operasi dan bisnis satelit. Optimalisasi Pengembangan HTS Memaksimalkan kapasitas HTS adalah dengan mengoptimalkan penggunaan spektrum secara berulang melalui spot beam berganda. Kapasitas HTS berbanding lurus dengan lebar frekuensi yang digunakan dan jumlah spot beam yang dikembangkan. Frekuensi tergantung karakteristik filing yang dimiliki, dalam hal Ka-band maksimum yang bisa digunakan sebesar 2.5 Ghz (Frekuensi uplink : 27 – 29.5 GHz, frekuensi downlink : 17.7 – 20.2 GH). Jumlah spot beam tergantung daerah yang akan dicakup, seperti disebutkan sebelumnya, bentuk dan sebaran penduduk Indonesia menjadi pembatas jumlah spot beam yang dimaksud. Bila diameter spot beam dirancang menyesuaikan dengan kepadatan demand,
25
25
SPACEBUSINESS
maka jumlah spot beam maksimum adalah sekitar 43 spotbeam. Bila per spot beam menggunakan 250 Mhz dengan Index modulasi 8 PSK, FEC ž, dan Roll faktor 0.3, maka total kapasitas yang dihasilkan maksimum sebesar 65 Gbps. Kapasitas ini relatif masih kecil dibanding dengan kapasitas HTS terbaru seperti Viasat-1 dengan 72 spot beam mempunyai kapasitas 140 Gbps dan Viasat-2 yang direncanakan meluncur tahun 2017 dengan perkiraan mempunyai kapasitas 350 Gbps.
diperkirakan akan memerlukan Investasi USD 468 Mio. Melalui perhitungan kasar, biaya dasar per Mbps per bulan untuk HTS/43/64 sebesar $ 55.58 sudah termasuk biaya operasi, sementara untuk HTS/72/140 menjadi USD 39,57. Investasi hanya meningkat 17%, tetapi bisa menurunkan biaya sebesar 27%. Jadi, untuk membangun HTS yang optimal memerlukan cakupan yang lebih luas.
Model Bisnis HTS Untuk peningkatan jumlah spot beam atau kapasitas maka perlu perluasan area cakupan ke negara-negara yang secara demand dan elevasi masih terlayani. Untuk itu perlu kerja sama dengan operator satelit lain atau operator layanan pada area atau negara yang akan dilayani.
Kepadatan demand Indonesia
Perbedaan biaya investasi HTS untuk cakupun Indonesia saja dengan jumlah 43 spot beam (HTS/43/65) dengan HTS dengan 72 spot beam (HTS/73/140) tidak terlalu besar. Perbedaannya terutama disebabkan oleh penambahan gateway dan jaringan fiber antar gateway untuk menyesuaikan luas cakupan, itu pun jika dianggap perlu. Bila HTS untuk 43 spot beam dengan jumlah gateway 11 node memerlukan investasi sekita USD 400 Mio, dengan penambahan jumlah spot beam
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Model layanan HTS, khususnya satelit GEO seperti Visat-1, Jupiter, KA-SAT dengan layanan langsung ke rumah pelanggan berbeda dengan layanan satelit konvensional seperti Telkom-1, Telkom2, Palapa D, dan yang lain. Pada layanan satelit konvensional layanan jasa transponder dan jasa penyediaan link atau Vsat umumnya terpisah. Penyedia layanan band width transponder (Mhz), yaitu operator satelit fokus menyediakan layanan band width ke operator Vsat, operator Vsat menyediakan band width link (Mbps) kepada operator telekomunikasi atau perusahaan pengguna (Enterprise).
26
26
SPACEBUSINESS
Operator domestik tersebut sangat diperlukan dalam penyediaan layanan, penanganan gangguan, dan pelaksanaan sistem penagihan. Penutup Untuk pengembangan satelit HTS perlu kerja sama dengan operator satelit lain agar diperoleh ketersediaan filing, optimalisasi biaya investasi, dan efisiensi biaya layanan. Model Bisnis Satelit Konvensional dan HTS
Layanan berbasis HTS yang diberikan ke pelanggan sudah berupa band width link (Mbps), bahkan bisa dalam bentuk layanan internet. Dengan model bisnis ini, maka layanan yang disediakan adalah dari ujung ke ujung. Oleh sebab itu, apabila layanan mencakup negara-negara lain sebagaimana diuraikan di atas, maka perlu menjalin kerja sama dengan operator domestik di setiap negara yang dilayani.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Selain untuk efisiensi, kerja sama dengan operator domestik pada cakupan yang dilayanani juga diperlukan untuk menjamin kualitas layanan sesuai dengan harapan pelanggan. Indonesia membangun sendiri HTS? Bisa, tetapi tidak diperoleh nilai bisnis yang optimal. ยง
27
27
SPACEBUSINESS
Ir. Eddy Setiawan, MSTAS Chairman Indonesia-ITU Concern Forum (IICF)
Abstrak Penyediaan telekomunikasi sebagai salah satu pilar prasarana strategis yang kuat sangat dibutuhkan oleh Indonesia untuk membangun kekuatan bangsa dalam era persaingan global dan peningkatan kesejahteraan bangsa menuju bangsa yang kuat dan modern. Tol informasi adalah sebuah konsep prasarana telekomunikasi yang berkapasitas besar, memiliki jaringan yang masif dan handal serta dapat mendukung segala kebutuhan kegiatan ekonomi-sosial masyarakat Indonesia. EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
28
28
SPACEBUSINESS
Indonesia Broadband Plan (IBP) merupakan sebuah program pokok nasional yang komprehensif guna mewujudkan tol informasi, yang fokus kepada rencana strategis penyediaan prasarana serta pemanfaatan telekomunikasi pita lebar (broadband) berbasis kepada teknologi serat optik. Sebagai sebuah tol informasi, kelengkapan jaringan pita lebar untuk bisa menjangkau segenap pelosok negeri membutuhkan keberadaan jaringan sistem komunikasi satelit pita lebar. Sistem komunikasi satelit kecepatan tinggi atau High Throughput Satellite (HTS) menjadi sebuah pilihan yang sangat menjanjikan untuk mendukung jaringan sistem komunikasi satelit pita lebar. Menjadi sebuah tantangan bagi bangsa Indonesia untuk mewujudkan jaringan HTS nasional mengingat dengan telah memiliki sejumlah slot orbit satelit, Indonesia masih tertinggal dari beberapa negara tetangga didalam penyediaan HTS. Dalam tulisan ini dibahas tentang IBP, Sistem komunikasi satelit nasional dan potensi pemanfaatannya. I. Latar Belakang Layanan pita lebar terasa semakin dibutuhkan dan memberikan manfaat yang lebih baik bagi peningkatan kegiatan ekonomi-sosial masyarakat sejak masuknya era telekomunikasi digital berbasis Protokol Internet (IP) di awal tahun 90-an. Dengan IP memungkinkan untuk memberikan bermacam jenis layanan a.l. suara, gambar/video dan data pada satu platform jaringan yang sama dan terintegrasi. Dimana berbagai layanan tersebut dapat dengan mudah dipertukarkan secara transparan, yang dalam perkembangannya dapat diakses melalui jaringan telpon genggam pintar (smart phone/device) disamping komputer PC. Pada tataran penyediaan layanan pita lebar selanjutnya, layanan OTT (over the top) pada awal tahun 2000-an menjadi model bisnis yang bertumpu kepada jaringan pita lebar
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
seperti halnya Facebook, Google, Instagram dan juga OTT Indonesia seperti halnya Gojek, dan Traveloka. Manfaat nyata OTT adalah mampu memberikan kemudahan mendapatkan layanan telekomunikasi dimanapun dan kapanpun, dengan kualitas baik, berstandar global dan biaya terjangkau. Konsep OTT banyak diadopsi juga untuk membanguan penyediaan layanan publik berbasis pita lebar yang umum disebut dengan e-government dengan pengembangannya menjadi e-health, e-KTP dan lain sebagainya yang kemudian menjadi basis tumbuhnya konsep antara lain smart city, smart village maupun smart campus. Pada tahapan strategis maka hal ini juga akan mendukung kelancaran perizinan berbagai sektor, membuka peluang usaha masyarakat yang lebih luas (e-commerce), meningkatkan akses pendidikan, kesehatan dan layanan kependudukan, menurunkan ekonomi biaya tinggi dan masih banyak lagi yang pada akhirnya berpotensi meningkatkan produktivitas nasional dan mampu bersaing seacara global. Tanpa adanya jaringan telekomunikasi pita lebar atau tol informasi maka sulit untuk dibayangkan hal tersebut dapat dilaksanakan. Namun permasalahan yang ada adalah masih adanya kesenjangan penyediaan jaringan pita lebar antara kota besar dan daerah pelosok sebagaimana gambar dibawah ini (187 kecamatan belum mendapatkan akses layanan pita lebar[1].
Gambar-1. Keterbatasan Akses Pita Lebar
29
29
SPACEBUSINESS
Kesenjangan ini dikarenakan sebagian besar penyelenggara jaringan telekomunikasi (operator) masih enggan memasuki daerahdaerah yang belum tinggi kebutuhannya. Sementara itu dengan adanya penetrasi 10% akses pita lebar akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi sekitar 1,38%, dan penetrasi 1% pita lebar tetap akan megurangi pengangguran 8,6%. II. Indonesia Broadband Plan (IBP) Guna menjawab permasalahan dan tentangan tersebut secara bertahap Pemerintah menargetkan jaringan telekomunikasi nasional berteknologi pita lebar baik di kota besar maupun di pelosokpelosok, dan pada tahun 2014 disahkan Indonesia Broadband Plan (IBP) oleh BAPPENAS. IBP pada intinya menargetkan pada akhir tahun 2019 kecepatan data end user di perkotaan minimal 20Mbps dan di pedesaan sebesar 10Mbps. Berbagai program dilakukan diantaranya proyek Palapa Ring guna menjangkau 57 ibukota Kabupaten dan Kota yang selama ini belum terjangkau pita lebar, sebagaimana gambar berikut [1].
Gambar-2. Proyek Palapa Ring Proyek Palapa Ring akan memberikan kapasitas 100 Gbps per lamda per fiber, atau setara dengan kapasitas 19,2 Tbps per link. Penggunaan jaringan kabel serat optik khususnya kabel laut memiliki potensi adanya kabel putus atau rusak, yang biasanya untuk restorasi (perbaikan)
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
memakan waktu sekitar 2 s/d 4 bulan. Oleh karenanya jaringan siskomsat diharapkan dapat menjadi backup jaringan Palapa Ring. Dengan teknologi siskomsat yang dioperasikan saat ini yaitu sekitar 1Gbps (24 transponder) s/d 20Gbps (24 transponder Cband, 12 Ku-band) nampaknya belum menjadi solusi yang tepat. III. High Throughput Satellite Jaringan sistem komunikasi satelit sebagaimana dijelaskan memiliki keunggulan untuk menyediakan layanan secara cepat tanpa tergantung kepada kondisi daratan. Dengan kebutuhan pita lebar teknologi satelit menggunakan multi beam dapat memberikan layanan dengan kecepatan 100Gbps dengan mempertahankan kemampuannya memberikan layanan backbone sampai dengan akses ke rumah-rumah. Teknologi satelit pita lebar sudah memungkinkan beroperasi diatas 15 tahun dengan sedikitnya transit meskipun adanya kelembaman perambatan sinyal yang cukup besar (540mdet - 800mdet) untuk sistem GSO serta redaman hujan yang tinggi untuk pita frekuensi Ku, Ka dan V, namun mengingat mayoritas layanan telekomunikasi adalah data dan non-real time maka satelit pita lebar sangat mampu mendukung hal ini. Berangkat dari hal tersebut, HTS (High Throughput Satellite) telah memberikan paradigma baru didalam pelayanan sistem komunikasi satelit di era pita lebar, dan HTS mampu mengimbangi jaringan serat optik bahkan melampaui dalam kasus menjangkau wilayah pedalaman maupun terpencil, baik dari kapasitas, kahandalan dan keterjangkauan. Sesuai dengan analisa kelayakan bisnis satelit, termasuk HTS yang diambil dari IPStar maka ada masa-masa dimana CAPEX+OPEX satelit lebih baik dari jaringan terrestrial kabel sebagaimana gambar berikut [4].
30
30
SPACEBUSINESSS
Berdasarkan hal tersebut HTS juga tunduk kepada Permen 21, namun tentunya apakah Hak Labuh berlaku untuk slot filling orbit satelit secara menyeluruh atau per spot beam. Sejauh ini belum ada kajian regulasi maupun kebijakan persatelitan nasional yang membahas khusus tentang HTS.
Gambar-3. Kelayakan Bisnis Satelit vs Kabel Secara umum HTS dicirikan dengan penggunaan teknik beberapa multi spot, reuse frequency, pita frekuensi Ka (17GHz dan 30GHz) dan V (40GHz) namun ada juga yang memakai pita Ku (11GHz dan 15GHz), daya pancar tinggi sekitar EIRP 75dBW, antena penerima dengan diameter kecil sekitar 80cm. Ada 2 jenis HTS, GSO (geosynchronous orbit pada ketinggian sekitar 36.000 km dari Bumi) dan NGSO (non GSO dengan ketinggian sekitar 4.000 – 5.000 km), dimana masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan [5].
Keberadaan HTS ditinjau dari aspek pertahanan bangsa memberikan beberapa keuntungan yaitu kedaulatan Republik Indonesia, menjaga kerahasiaan negara, bentuk kepedulian Negara dalam memberikan kemudahan layanan pita lebar kepada msayarakat disamping Palapa Ring. Pada aspek komersial yaitu meningkatkan efisiensi spektrum sampai dengan 3 atau 6 kali lipat yang berarti meningkatkan PNBP, biaya investasi yang lebih rendah, harga jual layanan yang lebih rendah sehingga meningkatkan jumlah pengguna termasuk mendukung Palapa Ring. Dalam gambar berikut yang diusulkan oleh O3B Network tentang contoh bagaimana sistem HTS O3B dapat mendukung Palapa Ring [3].
Beberapa satelit HTS asing yang telah beroperasi mencakup Indonesia adalah antara lain IPStar dan O3B Networks. Rencana TELKOM dan PSN akan meluncurkan satelit HTS nasional. IV. Regulasi dan Manfaat Regulasi persatelitan Indonesia khusus diatur dalam Peraturan Menkominfo no. 21 tahun 2014, PP nomor 53 tahun 2000 dan Unda Undang Telekomunikasi nomor 36 tahun 1999. Seacara umum Permen 21 lebih kepada mengatur mengenai tata kelola penyelenggaran jasa satelit telekomunikasi di Indonesia, bilamana ini jaringan satelit asing (menggunakan slot filling orbit non Indonesia) wajib mendapatkan Hak Labuh (Landing Right), yang kedua mengatur tata kelola notifikasi filing satelit berikut sanksi [2].
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Gambar-4. HTS Mendukung Palapa Ring Sesuai dengan gambar diatas HTS dapat menjadi solusi kebutuhan konektivitas kecepatan tinggi langsung dari beberapa lokasi IKK ke kota-kota besar seandainya jaringan serat optik mengalami gangguan (garis putih adalah STM-1 dan garis merah adalah DS-3) dengan kapasitas per spot beam sampai dengan 1,6Gbps, dimana dalam kasus ini menggunakan 3 spot beam.
31
31
SPACEBUSINESSS
V. Kesimpulan dan Saran Atas pembahasan singkat terkait HTS mendukung layanan pita lebar nasional yang dalam bentuk faktualnya adalah proyek Palapa Ring sebagai dasar pembangunan Tol Informasi Indonesia, bahwasannya Indonesia dengan sekitar 7 filling yang aktif beroperasi tidak mampu memberikan layanan setara HTS yang oleh karenanya dikeluarkan dari konteks IBP (Indonesia Broadband Plan). Suatu keniscayaan bahwa layanan HTS di Indonesia justru diisi oleh operatoroperator satelit asing. Sangat disarankan agar ketersediaan HTS menjadi kebijakan dan prioritas nasional antara lain tidak pemerintah tidak akan mengeluarkan ijin operasional jaringan sistem komunikasi satelit bilamana bukan standard HTS. Disamping itu penting kiranya IBP di tingkatkan menjadi IBP Plus (jaringan serat optik dan HTS) yang diharapkan memberikan layanan “truly-fully broadband” berikut program litbang nasional dan penguatan sumber daya manusia. Tanpa keterlibatan HTS didalam Tol Informasi Indonesia, maka layanan telekomunikasi pita lebar belum paripurna.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
VI. Referensi Permen Kominfo No.22 Thn. 2015: Renstra 2014-2019 Permen Kominfo No.21 Thn. 2014: Orbit satelit O3B Networks paper pada Seminar HTS2016, 23 Mei 2016, IICF IPStar paper pada Seminar HTS2016, 23 Mei 2016, IICF Regulation of Global Broadband Satellite Communications, September 2011, ITU VII. Bio Data Penulis Penulis berpengalaman lebih dari 20 tahun di industri telekomunikasi a.l. di TELKOM, PSN dan Thuraya, dalam bidang regulasi satelit FSS dan MSS serta sistem kabel laut dan sistem wireless 5G. Penulis adalah pendiri/Ketua Indonesia-ITU Concern Forum dan Konsultan Proyek Palapa Ring. Lulus S1 Elektro di Institut Sains dan Teknologi Nasional (ISTN) dan S2 Satcom Engineering di Ecole National Superieur de l’Aeronautique et de l’Espace (ENSAE)/ISEA Supaero Perancis. §
32 32
DEFENCE
DEPART
Perkembangan lingkungan strategis menuntut segera dikuasai dan diimplementasikannya teknologi keantariksaan dan berbagai penjalarannya dalam postur pertahanan negara
equatorspace.com | defence communication, navigation, surveillance, siber, weapon guide, remote sensing & control
EQUATORSPACE.COM
33
DEFENCE
FILOSOFI PENGUASAAN
KETINGGIAN SI VIS PACEM PARA BELLUM
Jon Keneddy Ginting, MMgtStud, qtc Specialist Defence Department of EquatorSpace
The supreme art of war is to subdue the enemy without fighting. (Sun Tzu) PENDAHULUAN
S
ecara asasi, manusia memahami “perang” sebagai sesuatu yang harus dimenangkan: at all costs, by any means. Di masa primitif, perang pada awalnya dapat dimenangkan dengan pengerahan sumber daya manusia dan direct weapons yang masif. Setelahnya, metode itu dipandang tidak lagi efisien, dan pihak-pihak yang berperang berusaha untuk berada selangkah di depan musuhnya. Caranya adalah dengan “mengetahui musuh terlebih dahulu”—dalam pengertian harfiah. Mereka yang berperang kemudian memanfaatkan anugerah alam untuk “mengetahui musuh” tersebut. Hutan rimba menyediakan banyak pohon tinggi yang dapat dimanfaatkan untuk mengintai pergerakan musuh, dan memberikan informasi kepada pihak kawan untuk
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
mempersiapkan diri. Berikutnya, pepohonan tinggi tidak hanya menjadi wahana pengintai alami, namun juga menjadi “wahana serang” ketika suku-suku atau kelompok yang berperang menyerang musuhnya dari ketinggian. Sampai dengan tahun 2010 ketika masih berdinas sebagai flight engineer helikopter TNI AU, saya beberapa kali mendarat di lapangan udara (airstrip) peninggalan tentara Jepang di Papua yang hingga kini masih digunakan sebagai lapangan udara pesawat-pesawat misionaris dan perintis. Yang unik dari lapangan-lapangan udara bekas Jepang itu tidak hanya lokasinya yang jauh di pedalaman, namun juga letaknya yang selalu di bawah gunung (atau setidaknya bukit). Masih tentang pengalaman di Papua, saya sering memanfaatkan waktu luang dengan
34
34
DEFENCE bermain tenis di lapangan tenis Rindam XVII/Cendrawasih Papua yang terletak di Ifar Gunung, tidak jauh dari Bandara Sentani. Di kompleks tersebut, terdapat peninggalan Jenderal Douglas MacArthur pada masa Perang Dunia II, ketika di tempat itu ia mendirikan General Headquarters Southwest Pacific Area dalam rangka mempersiapkan invasi ke Filipina, musim panas tahun 1944. Alasan MacArthur memilih tempat itu adalah bahwa ia “dapat melihat ke semua arah”, baik daratan maupun perairan.
memanjat pohon. Pengamatan dari pucuk pohon akan menghasilkan cakupan seluas beberapa puluh atau ratus meter (bergantung pada kepadatan objek sekitar dan kondisi cuaca: hujan, kabut, dan sebagainya), cukup untuk melihat musuh yang bergerak mendekat dan menyiapkan sergapan bagi mereka. Setelah pohon dianggap tidak cukup tinggi karena musuh mengambil rute lain yang tidak terlihat dari atas pohon, mereka berlari ke bukit, yang menghasilkan cakupan yang jauh lebih luas dan arah yang lebih bervariasi (seperti contoh MacArthur di atas).
DIMENSI VERTIKAL DALAM PERANG Disadari atau tidak, pemicu utama perkembangan teknologi perang atau sistem senjata pada dasarnya adalah persaingan dalam memanfaatkan dimensi vertikal. Meskipun tidak berarti bahwa dimensi horisontal dan lateral tidak mengalami kemajuan, namun kita dapat menyaksikan bahwa dimensi vertikal merupakan dimensi yang terus menerus berevolusi hingga kini. Parameter atau besaran fisik dimensidimensi yang saya maksud di sini adalah jarak (distance), dalam hal ini jarak ke atas atau yang kita kenal sebagai “ketinggian”. Saya hanya berbicara tentang jarak, karena saya melihat dari “jarak” inilah semuanya berawal: cakupan, efektifitas, biaya, dan lainlain yang pada gilirannya akan menghasilkan kesimpulan seberapa besar peluang suatu negara atau kelompok untuk memenangkan perang. Untuk mudah memahaminya, mari kembali pada contoh perang suku primitif di atas, di mana pemanfaatan dimensi vertikal awalnya dilakukan dengan cara yang amat sederhana:
Ketika bukit dipandang tidak cukup tinggi lagi, orang beralih ke gunung. Sampai dengan PD I, gunung adalah simbol penguasaan ketinggian. Hal ini mengingat bahwa meskipun pada akhir 1903 Wright bersaudara telah menciptakan pesawat terbang terkendali, tidak ada satu negarapun yang siap dengan moda udara sebagai peralatan tempur. Itulah sebabnya di Papua tentara Jepang membangun landasanlandasan pacu yang “melekat” dengan gunung, yaitu karena mereka memiliki penguasaan atas ketinggian yang dapat mencegah siapapun yang ingin menyerang pangkalan udara mereka1. Pada PD II, eksplorasi dimensi vertikal mencapai sebuah tahapan yang penting. Pihak-pihak yang berperang berusaha untuk meraih ketinggian untuk menghancurkan musuh mereka di bawah. Pada titik tertentu, eksplorasi dimensi vertikal yang sama kuatnya (Axis Powers atau “kekuatan poros” pimpinan Jerman di satu pihak dan Sekutu pimpinan Amerika di pihak lain sama-sama punya kekuatan udara yang tangguh) membuat pertempuran menjadi lateral.
1 Papua adalah contoh yang bagus karena kompleksitas dan intensitas PD II di Pasifik berpusat di sana. Papua diperebutkan oleh Jepang dan Sekutu dalam upaya mereka untuk saling menghancurkan kekuatan musuhnya, karena letak Papua yang berada di antara dua kawasan kepentingan: Australia (sasaran Jepang yang harus dipertahankan oleh Sekutu) dan Samudera Pasifik (yang merupakan rute armada Jepang dalam menjangkau Australia).
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
35
35
DEFENCE Artinya, palagan perang yang semula ada di darat dan laut berpindah sekian ribu kaki ke atas. Pada akhirnya, sejarah membuktikan bahwa melemahnya kekuatan udara Axis Powers membuat Sekutu berhasil menutup perang dengan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. PD II pun berakhir karena pemanfaatan dimensi vertikal. MENGAPA DIMENSI VERTIKAL PENTING? Penguasaan dimensi vertikal tidak berhenti setelah PD II usai. Pada era Perang Dingin (Cold War) yang tidak melibatkan kontak senjata terbuka sekalipun, persaingan di balik layar antara Blok Barat pimpinan Amerika Serikat dengan Blok Timur pimpinan Uni Sovyet tetap berorientasi pada penguasaan dimensi vertikal ini2. Dimulai ketika Uni Sovyet berhasil meluncurkan satelit Sputnik 1 pada 4 Oktober 1957, antariksa menjadi ajang perebutan pengaruh yang baru. Perlombaan antariksa (space race) bahkan menjadi bagian paling penting dalam persaingan budaya, teknologi, dan ideologi antara kedua negara adidaya tersebut. Serangkaian catatan sejarah itu adalah fakta meyakinkan bahwa penguasaan dimensi vertikal sudah menjadi visi luhur berbagai negara di dunia sejak lama. Ini karena penguasaan dimensi vertikal dipahami dengan baik oleh mereka yang berpikiran maju sebagai implementasi dari naluri bertahan hidup (sense of survival) umat manusia. Beberapa alasan mendasar dapat disebutkan sebagai berikut:
1. Kita akan mampu melihat semakin banyak. Mereka yang ada di bukit akan melihat lebih banyak daripada mereka yang berada di pucuk pohon. Yang di gunung melihat lebih banyak dibandingkan mereka yang di bukit, begitu seterusnya. The higher we are, the more we see. 2. Kita akan mendengar lebih banyak. Karakteristik atmosfer bumi yang kepadatan unsur-unsurnya semakin berkurang di ketinggian membuat gelombang suara dapat berpropagasi secara lebih mudah. Di atas bukit, ragam suara yang dapat kita dengar jauh lebih banyak daripada di permukaan yang lebih rendah, begitu seterusnya. The higher we are, the more we listen. 3. Kita dapat “menyerang” dengan lebih mudah. Dalam kondisi kita melihat dan mendengar lebih banyak, kita akan memiliki pemahaman akan lawan-lawan kita dengan lebih baik. Kita dapat melihat titik terkuat mereka, dan juga titik terlemahnya. Titik terkuat dapat kita hindari, titik terlemah dapat kita manfaatkan. Sun Tzu pernah mengatakan, “If you know the enemy and know yourself, you need not fear the results of a hundred battles.” Mereka yang berpikiran maju akan melihat dengan sejelas-jelasnya bahwa “ketinggian” adalah sebuah kekayaan, harta karun yang amat sangat pantas untuk diperjuangkan, dipertahankan, dan direbut kembali bila hilang. Dalam konteks perang atau militer, ketinggian tidak hanya sekedar wahana atau media bagi kekuatan militer (military force) seperti pesawat terbang, namun lebih jauh
2 Meskipun tidak berdampak pada perang langsung antara Amerika Serikat dan Uni Sovyet, Perang Dingin secara tidak langsung berakibat pada meningkatnya intensitas konflik kawasan yang memuncak menjadi beberapa perang atau krisis seperti Perang Korea (1950-1953), Perang Vietnam (1959-1975), Krisis Rudal Kuba (1962), dan Perang Yom Kippur (1973).
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
36
36
DEFENCE dari itu, bahwa ketinggian itu sendiri adalah sebuah kekuatan. Penguasaan ketinggian tidak hanya akan membawa sebuah negara memenangkan perang, namun juga membuat sebuah negara disegani—kalaupun tidak ditakuti—sehingga siapapun berpikir seribu kali untuk menantangnya berperang. ANTARIKSA UNTUK MEMPERTAHANKAN KEDAULATAN Berbicara panjang lebar tentang ketinggian, suka tidak suka kita akan sampai ke “antariksa”. Bila terkait pertahanan negara, maka antariksa itu sejatinya menjadi aset penting dan bagian dari kekuatan angkatan perang kita. Pertanyaannya sekarang “Seberapa jauh Indonesia memahami pentingnya penguasaan antariksa ini untuk mempertahankan kedaulatannya?” Indonesia dituntut untuk lebih adaptif dengan segala perkembangan pertahanan (Revolution in Military Affairs) di era sekarang dan yang akan datang. Ketika negara-negara di kawasan kita telah memiliki konsep pertahanan yang mengoptimalkan dimensi vertikal (baik secara mandiri maupun melalui aliansi dengan negaranegara maju), kita tidak bisa lagi berpikir sebatas 40 atau 50 ribu kaki di atas permukaan laut untuk memaknai “penguasaan atas ketinggian” ini. Gerakan ribuan tank, ratusan kapal atau pesawat tempur hanya akan menjadi sebuah “rombongan” ketika kita bahkan tidak bisa
mendengar dan melihat kawan kita sendiri, alih-alih mendengar dan melihat musuh kita. Sebaliknya, ketika musuh melalui penguasaan antariksanya “mengetahui apa yang kita pikirkan”, gerakan ribuan tank, kapal atau pesawat tadi hanya akan menjadi pemborosan sumber daya karena operasi militer itu “fail to accomplish the mission”. Lebih dari 8 juta km2 luas antariksa kita semestinya menjadi kekayaan bagi kita sendiri, bukan lahan “pesta” bagi orang lain karena ketiadaan visi kita untuk memanfaatkannya. Kita semestinya memiliki cukup ruang untuk “mendengar” dan “melihat” orang lain, sehingga pesawat, kapal atau tank kita benar-benar hanya digunakan untuk “memukul” saat serangan datang, bukan digerakkan secara sporadis karena kita “buta” dan “tuli”, dan akhirnya menjadi “paranoid” karena selalu merasa terancam, tapi tidak tahu kapan dan dari mana ancaman itu datang. Ketika kita punya mata dan telinga, tangan dan kaki kita dapat kita siapkan untuk mempertahankan diri ke arah yang tepat, pada waktu yang tepat pula. Karena kita siap, musuh kitapun akan “mundur” dengan kesadarannya sendiri. Di situlah kita dapat mengalahkan musuh kita tanpa harus berperang, sehingga masyarakat kita dapat hidup dalam kedamaian. Nyatalah bahwa kedamaian bagi masyarakat hanya dapat dihadirkan oleh mereka yang siap untuk berperang. § Si vis pacem para bellum.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
37
37
DEFENCE
SATKOMHAN 123 BT
BOLA PANAS
BERKAH Riwayat Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
A
tas kekosongan slot satelit pada orbit Geostationary 123 BT (Bujur Timur), Kementerian Komunikasi dan Informasi menawarkan kepada Kementerian Pertahanan untuk mengisi slot tersebut dengan satelit untuk kepentingan pertahanan. Tawaran inipun kemudian diterima oleh Kementerian Pertahanan karena memang sangat dibutuhkan dalam rangka lebih meningkatkan derajat kemandiriannya dalam bidang komunikasi. Paralel dengan itu, kepada Presiden, baik Kementerian Komunikasi maupun Kementerian Pertahanan, pada akhir tahun 2015, melaporkan situasi kekosongan tersebut serta nilai strategisnya, dan Presiden memutuskan untuk melakukan penyelamatan. Kekosongan slot orbit tersebut sesuai aturan ITU (International Telecommunication Union), tidak boleh lebih dari 3 tahun. Bila slot dibiarkan kosong selama 3 tahun atau lebih maka slot tersebut akan dialokasikan kepada negara lain yang membutuhkan.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
38
38
DEFENCE
Kabarnya negara yang membutuhkan slot tersebut sudah ngantri.
Prospek dan posisi pada penyelenggaraan pemerintahan.
Dengan demikian basis dari pengadaan satelit yang kemudian disebut Satkomhan tersebut ada dua, pertama adalah penyelamatan frekuensi dan slot orbit yang merupakan sumberdaya alam, yang kalau sempat lepas maka nyaris tidak mungkin kembali lagi. Kedua, adalah nilai guna dari satelit yang akan ditempatkan pada orbit tersebut, khususnya dalam rangka penyelenggaraan pertahanan negara. Atas kedua basis inilah Presiden kemudian memutuskan untuk mempertahankan kepemilikan frekuensi L band dan slot 123 BT tersebut.
Satkomhan dengan alokasi frekuensi L band dan posisi orbit geostationary akan berfungsi sebagai sarana komunikasi dua arah bergerak, sehingga dalam dunia persatelitan satelit yang demikian disebut Mobile Satelite Service (MSS). Jenis satelit komunikasi dua arah yang lain, adalah Fixed Satelite Service (FSS). Satkomhan sebagai MSS akan sangat berguna dalam meningkatkan keterhubungan komunikasi antar personil dan sarana angkut baik di darat, laut maupun udara di seluruh wilayah jangkauan satelit yang melebihi luasan wilayah yurisdiksi NKRI. Penyebab dari kemampuan
Perbedaan ukuran perangkat penerima MSS dan FSS (dikutip dari paparan Airbus Defence and Space 2016).
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
39 39
DEFENCE
mobilitas ini adalah karena ukuran antena pada pengguna bisa sangat kecil, sehingga perangkat yang dibawa bisa seukuran handphone saja. Sedangkan komunikasi yang berjenis FSS memerlukan dimensi antena yang besar sehingga kurang praktikal dimanfaatkan sebagai komunikasi bergerak, khususnya bagi personil atau wahana yang memiliki keterbatasan daya angkut, seperti pesawat tempur dan pesawat terbang tanpa awak. Dalam penyelenggaraan pertahanan negara keterhubungan komunikasi yang luas, setiap saat dan tahan cuaca, adalah sangat vital untuk efektifnya kekuatan yang di gelar. Misalkan ada dua gugus tugas yang berisikan sejumlah personil dan alutsista yang sama, bila satu gugus memiliki keterhubungan komunikasi yang lebih baik dari yang lainnya, terlebih bila yang satu masih menggunakan komunikasi kebumian (terestrial) dan yang lainnya telah menggunakan komunikasi mobile dengan satelit (keantariksaan/ extraterrestrial) maka dapat diyakini bahwa gugus yang kedua memiliki keunggulan komparatif yang sangat signifikan. Manfaat pada bidang-bidang lain non pertahanan, misal pada kepolisian, perhubungan, kelautan dan perikanan, juga akan setali tiga uang, yaitu bahwa akan mampu meningkatkan keterhubungan mobile yang signifikan yang pada akhirnya akan
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
meningkatkan pula kinerja secara keseluruhan. Bola panas atau berkah? Dalam perjalanannya, sebagaian ada yang mengatakan bahwa itu adalah bola panas, karena persoalan upaya penyelamatan yang waktunya sangat pendek, membutuhkan biaya besar dan harus membuat terobosanterobosan. Namun bagi penulis, dengan menyadari kebutuhan pada postur pertahanan negara, yang diantaranya membutuhkan adanya jaring komunikasi bergerak yang luas, handal dan aman, maka adanya slot orbit dan frekwensi yang memungkinkan dimilikinya sendiri sarana komunikasi yang demikian, adalah merupakan berkah. Lebih lanjut, Satkomhan akan dapat dijadikan sebagai titik tolak untuk mewujudkan postur TNI yang berkemampuan network centric warfare (NCW). Untuk mewujudkan kemampuan NCW selengkapnya tentu saja membutuhkan satelit-satelit lainnya, baik komunikasi fixed point dan berkemampuan data besar, satelit penginderaan jauh dan satelit untuk navigasi, yang kemudian diikuti dengan berbagai aplikasi yang memanfaatkan infratsrutur tersebut, misal untuk pengendalian UAV, remote sensor dan lain-lain. Perumusan kebutuhan NCW yang menyeluruh dalam postur pertahanan, akan mengefisienkan penggunaan sumber daya, karena dapat
40
40
DEFENCE
mengurangi kegiatan-kegiatan fisikal seperti patroli secara fisik, melancarkan koordinasi jarak jauh, menajamkan pengawasan jarak jauh, bernavigasi secara aman dan mandiri di berbagai wilayah remote dan lainlain. Bagi industri dalam negeri yang akan ikut berperan juga akan dapat melihat proyeksi jangka panjang, sehingga menjadi memiliki argumen yang kuat untuk berinvestasi jangka panjang, baik argumen untuk pemegang saham maupun untuk bank pemberi pinjaman. Demikian pula lembaga pendidikan, menjadi punya kepastian akan adanya pengguna hasil didiknya. Persoalan Sejak awal perencanaan pengadaannya satelit ini sudah mengandung permasalahan administratif, yaitu bahwa adanya kebutuhan dana yang sangat besar, namu belum sempat dianggarakan. Atas situasi itu maka Kementerian Pertahanan, dengan mengacu pada Undang-undang tentang Administrasi Pemerintahan, mengajukan permohonan diskresi kepada Presiden untuk adanya penganggaran tambahan (on-top) untuk keperluan pembiayaan satelit tersebut. Setelah diantaranya melalui rapat terbatas kabinet,
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Presiden mengambil keputusan bahwa slot dan frekuensi yang dimaksud, harus diselamatkan. Dengan keputusan itu berarti bahwa anggaran yang diperlukan juga harus didukung. Di sisi yang lain, bagi Kemhan maka harus secara sistemik memasukkan Satkomhan menjadi bagian dari postur pertahanan negara. Mekanismenya adalah melalui strategic defence review (SDR) yang lazim dilaksanakan dalam penyelenggaraan pertahanan negara. Dengan masuk keadalam postur, yang merupakan konsepsi visioner, selanjutnya dilakukan analisa kebutuhan dan strategi akuisisinya, dan secara berturut-turut diadop dalam RPJP, RPJM, dan RKA/KL. Rekomendasi Mengingat urgensi Satkomhan, yaitu untuk: sarana penyelamatan sumber daya alam satu-satunya berupa slot orbit satelit geostationary beserta alokasi frekwensi untuk komunikasi bergerak, media yang signifikan, tentu bukan satu-satunya, untuk penguasaan dan pemanfaatan teknologi keantarikasaan, baik melalui ofset yang secara sistematis telah disepakatkan dengan calon penyedia satelit, maupun melalui inspirasi yang timbul untuk pengembangan sendiri,
41
41
DEFENCE
Maka sangat diharapkan bahwa pemerintah terus berkomitmen memelihara keberlanjutan program Satkomhan di Kementerian Pertahanan, khususnya dengan mendukung penganggaran yang diperlukan dari tahun ke tahun sampai
tuntas. Disamping itu perbaikan anatomi postur pertahanan juga harus menjadi bagian konsepsi visioner, yang akan manjadi dasar dalam penyusunan rencana pembangunan jangka panjang, menengah dan pendek. ยง Cibubur, November 2016
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
42
42
Perkembangan dan
Penguasaan
Teknologi Satelit Menuntut Rancang-Bangun Aplikasi dalam
berbagai sektor untuk mendukung percepatan
Pembangunan Nasional
Equator SPACE.com equatorspace.com | applications VSAT Networks, satellite backhaul links, IP Over satellites,broadcasting (DTH), EQUATORSPACE.COM distance learning, multiple access, image processing
43
APPLICATIONS
Prof. Dewayany Sutrisno, PhD
“B
umi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat� merupakan amanah UUD 45 yang sudah selalu didengarkan dan seharusnya dipahami oleh semua generasi. Akan tetapi kekayaan alam ini akan mustahil dapat diolah untuk kepentingan bersama tanpa adanya data geospasial atau awam biasa menyebutnya peta. Kecerdasan spasial masyarakat Indonesia pun semakin teruji dengan pesatnya perkembangan iptek yang menyediakan informasi dalam genggaman. Terbukti dengan semakin maraknya digunakan oleh masyarakat google, waze, GPS dan berbagai aplikasi yang memberikan kemudahan gerak manusia dalam ruang bumi. Kesemua manfaat ini memang tidak lepas dari peran wahana satelit, baik itu satelit pengamat bumi atau biasa disebut satelit penginderaan jauh maupun satelit navigasi. Pemetaan ruang bumi yang menghasilkan informasi geospasial merupakan jawaban bagi setiap ruang gerak sosial ekonomi manusia di dalamnya. Kebijakan pembangunan pun membutuhkan informasi geospasial dalam semua proses perencanaan, monitoring, evaluasi hingga pengendaliannya.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Baik informasi geospasial dasar maupun informasi geospasial tematik memegang peranan penting dalam keseharian kehidupan manusia. Bagaimana dengan pemetaan wilayah nasional? Apakah proses pemetaan ini dapat berkelanjutan tanpa ada dukungan perkembangan teknologi satelit? Mari kita lihat seberapa besar sebenarnya kebutuhan nasional akan informasi geospasial tersebut berbasiskan wahana satelit tersebut. Pengadaan peta dasar atau peta topografi merupakan informasi geospasial dasar yang wajib dimiliki semua negara, termasuk Indonesia. Jumlah kebutuhannya sangat tergantung pada kedalaman informasi dan skala peta yang dibutuhkan. Berdasarkan PP No 8 Tahun 2013 tentang ketelitian peta untuk tata ruang, dapat dikatakan tingkat ketelitian peta yang diterjemahkan dalam skala sangatlah beragam mulai dari skala nasional dengan skala minimal 1:1.000.000, skala kepulauan 1:500.000, sekala provinsi dengan sekala minimal 1:250.000, skala kabupaten 1:50.000, skala kota 1:25.000, skala desa dan detil skala lainnya sesuai dengan kebutuhan. Dengan berbekalkan informasi skala dan sejalan dengan program Nawacita, presiden Republik Indonesia menghendaki berjalannya pembangunan Indonesia hendaknya dimulai dari pinggiran
44 44
APPLICATIONS dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan dengan menggunakan skala peta sekurangkurangnya 1:5000. Skala yang lebih detil dari itu tentu sangat dibutuhkan sesuai dengan luasan dan keragaman desa. Dengan melihat semua itu, ternyata jumlah lembar atau layer peta yang dibutuhkan tidak tanggung-tanggung. Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG) dalam paparannya pada FIT-ISI 2016 di Yogjakarta mengatakan bahwa jumlah peta dasar berdasarkan standard index nasional yang harus diselesaikan Indonesia sangatlah banyak jumlahnya. Untuk skala nasional dibutuhkan 37 lembar/layer peta, skala provinsi
Tabel 1 di bawah menjelaskan permasalahan pengadaan peta dasar yang akan dijadikan landasan pemetaan tematik yang masih menjadi pekerjaan rumah besar, terutama berangkat dari skala desa. Skala desa 1:1000 dan 1:2500 belum lagi tersedia, sementara ketersediaan skala desa minimal, yaitu skala 1:5000 baru mencapai 0,03 %. Jangankan skala desa, skala kota pun baru 24,12 % terpenuhi disusul dengan skala di bawahnya 1:10.000 yang baru terpenuhi 1,17 %. Oleh karena itu, tidak dapat dibayangkan keberhasilan pemenuhan hanya untuk pemetaan dasar tanpa adanya dukungan satelit pengamat bumi.
Tabel 1. Kebutuhan Pemetaan dasar nasional (Kardono, 2016)
dibutuhkan 309 lembar /layer peta, untuk skala kabupaten dibutuhkan 3899 lembar/layer peta, untuk skala kota dibutuhkan 13.020 lembar/layer peta, sedangkan untuk skala desa 1: 5000 dibutuhkan 370.014 lembar/layer peta dan 2.729.319 untuk skala desa 1:1000. Padahal pengadaan pemetaan berbagai skala tersebut berikut updatingnya tidaklah mudah. Skala nasional dan skala provinsi sudah selesai dilaksanakan meskipun updatingnya belum sepenuhnya terselesaikan.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Bayangkan saja kalau kebutuhan ketersediaan peta sebesar tersebut dilaksanakan dengan metode terrestrial yang konvensional maupun dengan menggunakan foto udara. Metode terrestrial sangat tergantung pada skala yang dibutuhkan, luas wilayah dan kondisi alam yang sukar dilaksanakan, dukungan sumberdaya manusia yang besar serta berbiaya tinggi. Foto udara yang dimasa lalu sangat diandalkan untuk pemetaan, sangat tergantung pada skala, luasan dan tinggi terbang yang tentunya berbiaya tinggi pula.
45 45
APPLICATIONS
merupakan alternative terbaik dalam memberikan detil informasi seperti yang dibutuhkan saat ini di tingkatan desa. Terlebih lagi apabila dikombinasikan citra resolusi tinggi lainya seperti Pleiades.
Belum lagi permasalahan iklim yang kerap menjadi penghambat pengadaan foto udara untuk pemetaan. Dalam hal ini wahana satelit pemantau bumi merupakan alternative yang terbaik. Wahana satelit memungkinkan untuk dapat melakukan pemetaan secara cepat, efektif, murah dan tepat sasaran. Keberagaman detil informasi dan skalapun dapat diperoleh dan disesuaikan berdasarkan kebutuhan. Untuk kebutuhan tersebut, sensor on board of satellite sangatlah berperan penting disamping kemampuan temporal satelit itu sendiri.
Selain itu, karena pemotretan udara dan/atau Lidar dapat memenuhi keseluruhan spesifikasi teknis, maka pemenuhan kebutuhan peta dasar skala besar dilakukan dengan teknologi pemotretan udara dan/atau Lidar sudah dilaksanakan oleh Badan Informasi Geospasial sejak 2012. Meskipun demikian, penggunaan citra satelit resolusi tinggi merupakan alternatif percepatan yang tetap diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pemetaan desa, terutama untuk pemetaan di wilayah desa-desa prioritas. Citra tegak resolusi tinggi (Inpres No 6 tahun 2012) menjadi sumber data utama yang dapat diandalkan untuk berbagai keperluan pemetaan skala detil, seperti pemetaan Desa, RDTR dan kepentingan lainnya.
Pemetaan dasar saat ini menggunakan data TerraSAR dan Citra satelit resolusi tinggi untuk memenuhi kecepatan dan keakuratan informasi dasar sesuai dengan kebutuhan. TerraSAR-X and TanDEM-X merupakan kombinasi resolusi tinggi, mencakup area yang cukup luas dan bebas dari pengaruh iklim. Kombinasi kedua satelit ini memiliki akurasi geometris yang akurat yang mungkin tidak dimiliki oleh sensor satelit lainnya. Kombinasi TerraSAR dengan citra optik resolusi tinggi seperti SPOT 6
Terra_SAR/Liidar/IfSAR
DEM
GIS Format
Plotting Fotogrametri
Geodatabase Foto Udara/ Citra Satelit Resolusi Tinggi
Toponimi
Planimetris
Peta Cetak
Survei GCP
Gambar 1. Proses pemetaan untuk menghasilkan informasi geospasial dasar (modifikasi Bakosurtanal, 2009)
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
46
46
APPLICATIONS
Uraian di atas merupakan kebutuhan akan satelit pengamat bumi untuk pemetaan dasar saja dan belum banyak mengulas kebutuhan satelit pengamat bumi untuk pemetaan tematik lainnya. Permasalahan ketahanan pangan, poros maritim, penataan ruang yang berkelanjutan, perubahan iklim, pertahanan keamanan dan permasalahan perbatasan merupakan isu nasional yang membutuhkan peta atau informasi spasial tematik sebagai input untuk solusinya, yang antara lain untuk Indonesia yang maha luas ini, hanya dapat dipenuhi melalui informasi yang diperoleh dari satelit pengamat bumi. Kementerian pertanian membutuhkan informasi satelit terkait dengan lahan baku sawah untuk mengukur luas panen, produksi, fase pertumbuhan, kebutuhan air, kebutuhan pupuk bahkan hingga asuransi pertanian yang selama ini belum terpikirkan. Sumber protein laut membutuhkan informasi satelit untuk mengetahui produksi, zonasi potensi ikan, infrastruktur perikanan laut hingga permasalahan illegal fishing (IUU fishing). Implementasi poros maritim membutuhkan
komitmen bersama untuk menjaga dan mengelola sumber daya laut, mendorong pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim dengan membangun tol laut, pelabuhan laut, logistik, dan industri perkapalan, serta pariwisata maritim serta membangun kekuatan pertahanan maritim yang tentunya hanya dapat dilaksanakan secara optimal dengan menggunakan informasi yang diperoleh dari satelit pengamat bumi. Penataan ruang membutuhkan berbagai informasi tematik yang antaranya dapat dipenuhi melalui satelit pengamat bumi. Perubahan iklim yang antaranya didukung keberlanjutan kawasan hutan untuk memitigasi gas-gas rumah kaca dapat diperoleh informasinya melalui satelit observasi bumi. Hingga pertahanan keamanan dan aktivitas kawasan perbatasan untuk pertahanan nasional antaranya dapat dipenuhi melalui satelit informasi bumi. Gambar 2 di bawah menjelaskan bagaimana data yang diperoleh dari satelit pengamat bumi dapat digunakan untuk pemetaan berbagai keperluan.
Gambar 2. Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk pertanian (Courtesy of pusfaja-lapan, 2014)
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
47
47
APPLICATIONS
Gambar 3. Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk perikanan (Purnomo, 2016)
Gambar 4. Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk pemetaan kehutanan (Irawadi, 2016: Agustan, 2016)
Gambar 5. Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk pemetaan batas wilayah (Kardono, 2016)
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
48
48
APPLICATIONS
Dengan demikian dapat dilihat urgensinya satelit pengamat bumi untuk keperluan pemetaan. Satelit operasional dengan penggunaan seperti ini sudah seharusnya dimiliki oleh Indonesia. Kesediaan citra satelit resolusi tinggi yang menjadi andalan pemetaan skala desa belum mampu memenuhi kebutuhan nasional terkait kendala teknis seperti awan dan lainnya serta kendala non teknis lainnya. Satelit eksperimen Lapan A3/Lisat yang membawa imager Multi spectral Scanner dalam misinya belum dapat dikaji pemanfaatannya lebih lanjut. Padahal keperluan pembangunan nasional Nawacita terkait “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara kesatuan� memerlukan program (a) peletakan dasar-dasar dimulainya desentralisasi asimetris terkait pengembangan kawasan perbatasan, pengembangan daerah tertinggal, pembangunan desa dan kawasan perdesaan, penguatan tata kelola pemerintah daerah dan peningkatan kualitas pemerintahan daerah, (b) penataan daerah otonom baru untuk kesejahteraan rakyat dan (c) pemerataan pembangunan antar wilayah terutama kawasan timur Indonesia dan pemerataan pembangunan antar wilayah terutama kawasan timur Indonesia (Kardono, 2016) memerlukan informasi geospasial yang cepat, tepat dan akurat yang antara lain dapat terpenuhi melalui kesediaan data penginderaan jauh yang salah satunya dapat dipenuhi melalui satelit pengamat bumi operasional. Oleh Karena itu, mau tidak mau, suka ataupun tidak, sudah selayaknya lah Indonesia menegakkan kemandirian teknologi satelit yang berdigdaya atas wilayahnya sendiri.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
Sehingga apa yang diamanatkan Undang Undang Dasar 45 dapat dengan mandiri dilaksanakan tanpa adanya campur tangan teknologi asing. REFERENSI: 1). Agustan. 2016. Satelit inderaja untuk Aplikasi Pertanian Di Indonesia. Di presentasikan pada workshop standing crops Bogor, 31 Agustus 2016 2). Bakosurtanal 2009. Peran Basis Data GeoSpasial (Peta) Dalam Penataan Ruang. Dipresentasikan pada penanda tanganan MOU Bakosurtanal dengan Pemda Sulawesi Tengah. Palu, 2009 3). Irawadi, Dedi. 2016. Availability of Remote Sensing Data for Forest Monitoring in Indonesia Progress and Implementation. Di presentasikan pada workshop standing crops Bogor, 31 Agustus 2016 4). Inpres No 6 tahun 2012 tentang Penyediaan, Penggunaan, Pengendalian Kualitas, Pengolahan Dan Distribusi Data Satelit Penginderaan Jauh Resolusi Tinggi 5). Kardono, Priyadi. 2016. Quo Vadis Kebijakan Satu Peta Di Badan Informasi Geospasial. Di presentasikan pada FIT ISI 2016 dan 3rd Conference on Geospatial Information Science and Engineering, Yoyakarta 27 Oktober 2016. 6). PP No 8 Tahun 2013 tentang ketelitian peta untuk tata ruang 7). Purnomo, A. 2015. Challenge and Opportunity on using Space data services for marine & fisheries development in Indonesia. Presented in UK-Indonesia workshop, July 2015 §
Prof. Dewayany Sutrisno, PhD Indonesian Society for Remote Sensing (ISRS/ MAPIN) Chairperson.
49
49
Antariksa adalah wilayah kepentingan yang hanya bisa dikuasai dengan mengoperasikan sebanyak mungkin satelit dan wahana antariksa lain yang berbendera Indonesia
Eddy Setiawan Specialist equatorspace.com | space policy & regulation geostationary orbits, spectrum planning, WRC, UB-COPUOS, ITU, ORM
EQUATORSPACE.COM
50 Equator SPACE.com
SPACEPOLICY&REGULATION
HUKUM ANTARIKSA INTERNASIONAL KEANTARIKSAAN
Bambang Tejasukmana Leader Space Policy & Regulation
K
etika Rusia mampu mengoperasikan satelit Sputnik tahun 1957, Amerika Serikat, Uni Sovyet, Inggris dan negara anggota lain yang berpengaruh di PBB mulai memperhatikan pentingnya pengaturan kegiatan keantariksaan, mereka sudah melihat potensi Antariksa untuk menjadi bagian penting dalam pengembangan alat utama sistem senjata. Mereka bersama merasakan ancaman yang sangat besar kalau sistem senjata ditempatkan di antariksa. Karena kesepahaman tersebut mereka bersepakat untuk melarang penggunaan senjata di antariksa dan menjadikan antariksa hanya untuk kegiatan untuk maksud damai. Tahun 1958, segera setelah Sputnik berhasil dioperasikan, Majelis Umum PBB membentuk komisi adhoc yang diberi nama Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (COPUOS). Komisi ini beranggotakan 18 negara. Komisi ini diberi tiga tugas utama yaitu pertama mengkaji aktivitas, sumber daya PBB, berbagai organisasi dan badan internasional yang berkait dengan kegiatan penggunaan antariksa untuk maksud damai, kedua memfasilitasi kerjasama internasional dalam kerangka PBB
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
51
51
SPACEPOLICY&REGULATION
untuk kegiatan penggunaan antariksa untuk maksud damai dan ketiga, mengkaji berbagai problem hukum yang bisa muncul dalam kegiatan keantariksaan. Tahun 1959, PBB meresmikan pembentukan COPUOS sebagai badan resmi PBB dengan resolusi Majelis Umum no 1472 (XIV). Saat itu COPUOS beranggotakan 24 negara. Sejak peresmian tersebut, COPUOS melaksanakan tugas sebagai ‘focal point’ yang diberi mandat untuk melaksanakan langkah berikut: (i) membahas “state-of-the art” dan perkembangan masa depan penggunaan antariksa untuk maksud damai, (ii) review kerja sama internasional dan mengkaji cara-cara yang praktis dan mungkin yang dapat mendorong kerja sama tersebut, (iii) mengkaji masalah-masalah hukum yang diperkirakan timbul dari penggunaan antariksa, (iv) mengorganisasikan pertukaran dan diseminasi informasi tentang kegiatan keantariksaan, dan (v) melakukan studistudi untuk pengembangan dan pemanfaatan kemajuan iptek antariksa serta kodifikasi hukum/perjanjian antariksa internasional. Dalam tugasnya itu, COPUOS memelihara hubungan baik dengan organisasiorganisasi pemerintah maupun bukan pemerintah yang bergiat dalam eksplorasi Antariksa, menyediakan media untuk saling tukar informasi berkait dengan kegiatan keantariksaan dan membantu untuk mengkaji langkah-langkah yang diperlukan untuk mempromosikan kerjasama internasional keantariksaan. COPUOS dibantu dua komisi yaitu Subkomite Ilmiah dan Teknik (Scientific and Technical Subcommittees) dan Subkomite Hukum (Legal Subcommittee). COPUOS melaksanakan pertemuan pertama kali tahun 1962 dan sejak saat itu pertemuan COPUOS dilaksanakan setiap tahun sampai
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
sekarang. Setiap tahunnya diadakan 3 kali sidang, yaitu satu kali untuk masing-masing Subcommittees dan satu kali untuk sidang Lengkap UNCOPUOS. Sidang lengkap menerima, meneliti dan mensyahkan laporan kedua sub komite, dan membahas masalah-masalah lain yang belum dibahas dalam kedua Subcommittees. Hasil sidang disampaikan kepada Sidang Majelis Umum PBB untuk diambil tindakan lebih lanjut. Pertemuan Scientific and Technical Subcommittees dan Legal Subcommittee biasanya dilaksanakan pada bulan Februari dan April. Hasil pertemuan kedua Subkomite menjadi bahan utama untuk pertemuan utama yang dinamakan Parent Meeting yang dilaksanakan bulan Juni di Wina. Saat ini COPUOS memiliki 77 negara anggota dan beberapa organisasi internasional keantariksaan sebagai observer tetap. Copuos termasuk komisi dengan anggota terbanyak di PBB. Indonesia diterima menjadi anggota UNOPUOS pada tahun 1973. Indonesia adalah anggota yang ke-37. Pelayanan kesekretariatan COPUOS dilaksanakan oleh United Nation Office for Outer Space Affair (UNOOSA). Indonesia selalu hadir pada pertemuaan COPUOS baik pada pertemuan kedua subcommitte maupun Pertemuan Utama. Delegasi Indonesia pada pertemuan Utama umumnya dipimpin oleh Duta Besar Republik Indonesia di Wina. UNOOSA pada awalnya merupakan sebuah unit ahli pada sekreteriat PBB yang ditugaskan melayani komisi adhoc COPUOS. Unit ini kemudian dipindahkan dibawah lingkup Department of Political and Security Council Affairs tahun 1962. Pada tahun 1993, unit ini dikembangkan menjadi Office for Outer Space Affairs dibawah Department for Political Affairs. Kantor UNOOSA ini dipindahkan dari New York, Amerika Serikat ke Wina, Austria dan melaksanakan kegiatannya di Wina sampai saat ini.
52
52
SPACEPOLICY&REGULATION
Hukum Antariksa Sesuai dengan mandatnya, COPUOS adalah forum PBB untuk pengembangan Perjanjian Internasional tentang Keantariksaan. Sampai tahun 2015 ini COPUOS telah menghasilkan lima Perjanjian Internasional keantariksaan dalam bentuk Traktat/Konvensi (perjanjian yang mengikat atau “hard law”), dan beberapa resolusi Majelis Umum lainnya yang berisi prinsip-prinsip dan pedoman (sebagai perjanjian yang tidak mengikat atau “soft law”). Perjanjian Internasional tersebut menjadi dasar pengaturan berbagai aktivitas yang berkait dengan Keantariksaan. Traktat pertama yang dihasilkan COPUOS adalah “Outer Space Treaty” atau lebih lengkapnya “Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies” Traktat ini menjadi induk atau magna charta dari hukum antariksa. Traktat ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB dalam resolusi Majelis Umum No. 2222 (XXI) tanggal 27 Januari 1967 dan mulai berlaku sejak tanggal 10 Oktober 1967. Traktat Antariksa ini diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No 16 tahun 2002 tentang Pengesahan Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, including the Moon and Other Celestial Bodies (Traktat Mengenai Prinsip-Prinsip Yang Mengatur Kegiatan Negara-Negara Dalam Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa Termasuk Bulan dan BendaBenda Langit lainnya, 1967). Setelah traktat tentang Antariksa ada tiga Perjanjian dan Konvensi yang telah diratifikasi oleh Indonesia dan menjadi acuan dalam Undang-Undang No 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan adalah sebagai berikut:
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
1.
2.
3.
Rescue Agreement atau lengkapnya Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space. Rescue Agreement diadopsi Majelis Umum PBB melalui resolusi 2345 (XXII), tanggal 22 April 1968 dan mulai berlaku sejak 3 Desember 1968. Perjanjian ini diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Keppres Rl No. 4 Tahun 1999 tentang Pengesahan Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space, 1968; Liability Convention atau lengkapnya Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects. Konvensi ini diadopsi Majelis Umum PBB melalui resolusi 2777 (XXVI) tanggal 29 Maret 1972 dan mulai berlaku tanggal 1 September 1972. Konvensi ini diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres RI No. 20 tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects, 1972. Registration Convention atau lengkapnya Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space. Konvensi ini diadopsi Majelis Umum PBB melalui resolusi 3235 (XXIX) tanggal 14 Januari 1975 dan mulai berlaku tanggal 15 September 1975. Konvensi ini diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres RI No. 5 tahun 1997 tentang Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space, 1975.
Satu Perjanjian Internasional yang dihasilkan oleh COPUOS lainnya, namun belum diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia adalah Moon Agreement atau lengkapnya Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies yang diadopsi Majelis Umum PBB melalui resolusi 34/68 tanggal 18 Desember 1979 dan mulai berlaku tanggal 11 Juli 1984.
53
53
SPACEPOLICY&REGULATION
Selain Traktat, Konvensi dan Perjanjian di atas, COPUOS menghasilkan pula prinsip hukum (Legal Principles) dan pedoman (guideline) yang penting mendasari kegiatan keantariksaan internasional yaitu: 3. The Declaration of Legal Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Uses of Outer Space Resolusi MU PBB, Nomor 1962 (XVIII) tanggal 13 Desember 1963; 4. The Principles Governing the Use by States of Artificial Earth Satellites for International Direct Television Broadcasting - Resolusi MU PBB, Nomor 37/92 tanggal 10 Desember 1982; 5. The Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Space Resolusi MU PBB, Nomor 41/65, 3 Desember 1986; 6. The Principles Relevant to the Use of Nuclear Power Sources in Outer Space Resolusi MU PBB, Nomor 47/68, 14 Desember 1992; 7. Declaration on International Cooperation in the Exploration and Use of Outer Space for the Benefit and in the Interest of All States, Taking into Particular Account the Needs of Developing Countries - Resolusi MU PBB, Nomor 53/122, Desember 1996; 8. Application of the concept of the launching state - Resolusi Majelis Umum PBB, Nomor 59/115, 10 Desember 2004; 9. Recommendations on enhancing the practice of States and international intergovernmental organizations in registering space objects - Resolusi Majelis Umum PBB, Nomor 62/101, 17 Desember 2007; 10. Space debris mitigation guidelines of the Committee on the Peaceful Uses of Outer Space - Annex, A/62/20 tahun 2007; 11. The Safety Framework for Nuclear Power Sources Applications in Outer Space - Doc. A/AC.105/934, tanggal 6 Maret 2009.
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
1.
2.
Recommendations on national legislation relevant to the peaceful exploration and use of outer space (A/RES/68/74) tanggal 11 Desember 2013; dan Transparency and confidence-building measures in outer space activities (A/RES/68/50) tanggal 5 Desember 2013.
Sesuai dengan sifatnya yang tidak mengikat. semua prinsip atau pedoman tersebut di atas juga banyak yang dijadikan acuan oleh negaranegara dalam melakukan kegiatan keantariksaan. Hukum tentang Antariksa yang disampaikan di atas dapat diperdalam dengan mempelajari buku dan makalah yang disusun oleh ahli hukum Udara dan Antariksa diantaranya adalah Prof. Dr Priyatna Abdurrasyid(Universitas Padjadjaran), Prof. Dr. Mieke Komar Kantaatmadja (Universitas Padjadjaran), Prof. Dr. I.B.R Supancana (Universitas Atmajaya). Undang-undang Keantariksaan Republik Indonesia Undang-undang No. 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudoyono tanggal 6 Agustus 2013. Undang-undang Keantariksaan mengatur halhal pokok kegiatan Keantariksaan di Indonesia antara lain: tujuan Keantariksaan nasional, pengaturan kelembagaan dan lain-lain yang secara lengkap diatur pada pasal enam sebagai berikut: a. Kegiatan Keantariksaan; b. Penyelenggaraan Keantariksaan; c. Pembinaan; d. Bandar Antariksa; e. Keamanan dan Keselamatan; f. Penanggulangan benda jatuh Antariksa serta pencarian dan pertolongan antariksawan; g. Pendaftaran; h. Kerja sama internasional; i. Tanggung jawab dan ganti rugi; j. Asuransi, penjaminan, dan fasilitas; k. Pelestarian lingkungan; l. Pendanaan;
54
54
SPACEPOLICY&REGULATION m. Peran serta masyarakat; dan n. Sanksi. Tujuan Undang-Undang Keantariksaan yang tertulis pada pasal 2 Undang-Undang no 21 tahun 2013 seperti berikut: a. mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing bangsa dan negara dalam Penyelenggaraan Keantariksaan; b. mengoptimalkan Penyelenggaraan Keantariksaan untuk kesejahteraan rakyat dan produktivitas bangsa; c. menjamin keberlanjutan Penyelenggaraan Keantariksaan untuk kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; d. memberikan landasan dan kepastian hukum dalam Penyelenggaraan Keantariksaan;
EQUATORSPACE.COM EQUATORSPACE.COM
e. f. g. h.
mewujudkan Keselamatan dan Keamanan Penyelenggaraan Keantariksaan; melindungi negara dan warga negaranya dari dampak negatif yang ditimbulkan dalam Penyelenggaraan Keantariksaan; mengoptimalkan penerapan perjanjian internasional Keantariksaan demi kepentingan nasional; dan mewujudkan Penyelenggaraan Keantariksaan yang menjadi komponen pendukung pertahanan dan integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan adanya undang-undang Keantariksaan No. 21 tahun 2013 maka kegiatan Keantariksaan Nasional telah mendapatkan jaminan dasar hukum. ยง
55
55
ASSI adalah asosiasi untuk melindungi kepentingan bisnis satelit Indonesia, terutama melalui regulasi yang memihak industri dalam negeri dan mengawalnya, mendorong perkembangan bisnis satelit di Indonesia, memberikan edukasi teknologi dan bisnis kepada masyarakat serta mendorong terciptanya potensipotensi nasional di bidang teknologi satelit dan antariksa.
Berdiri pada 28 September 1998 berdasarkan SK Menhub No. KM 63 tahun 1998 oleh lima perusahaan telekomunikasi yang mengoperasikan satelit yaitu PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Indosat Tbk, PT Satelindo yang kemudian merger dengan PT Indosat Tbk tahun 2004, PT Pasifik Satelit Nusantara dan PT Media Citra Indostar, asosiasi ini berdiri dengan nama Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI).
Sekretariat ASSI Jl. Cisanggarung No.2, Lt. 2 R.26 Bandung, Indonesia 40115. Email: admin@assi.or.id Phone: +62 22 4521 658 Fax: +62 22 4521 657 Contact Feti Fatimah: feti.fatimah@assi.or.id Nur Fiatin: nur.fiatin@assi.or.id
EQUATORSPACE.COM
Diperkaya dengan pengalaman-pengalaman di tahun-tahun pertama membuat ASSI dapat melangkah dengan pasti menuju Milenium baru. Walaupun banyak organisasi di bidang yang sama, ASSI merupakan organisasi yang unik dan berbeda, dengan TUJUAN sebagai berikut: 4. Menjadi suatu wadah yang dapat merangkum dan merumuskan kemajuan dan pemanfaatan teknologi satelit dan keantariksaan di Indonesia dan negara-negara lain yang membutuhkan. 5. Membina dan mengembangkan kegiatan yang bertujuan untuk dapat mendorong tumbuh dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi satelit dan keantariksaan bagi kemajuan masyarakat. 6. Mendorong dan membimbing terciptanya potensipotensi industri di bidang teknologi satelit dan keantariksaan. 7. Medorong pemanfaatan potensi sumber daya dan industri nasional sehingga dapat menumbuh kembangkan bidang persatelitan dan keantariksaan secara optimal.
56