Koyak Moyak (Kota) Pendidikan

Page 1


Edisi Agustus-Desember 2017 Ilustrasi sampul: Yohakhim Ragil Anantya

Pendamping Sony Christian Sudarsono, S.S., M.A Pemimpin Umum Benediktus Fatubun Sekretaris Meylina Br Barus, Nabilla Maharani Bendahara Stefania Haban Pemimpin Redaksi Media Cetak Martinus Danang Pratama Wicaksana Redaktur Pelaksana Media Cetak Abdullah Azzam Staf Media Cetak Dyas Putri Winayu, Gabriella Anindita Kusumasputri Pemimpin Redaktur Media Online Atanasius Magnus Ayus Balistha Redaktur Pelaksana Media Online Dionisius Sandytama Oktavian Staf Media Online Christin Ayu Rizky, Yosaphat Made Dharma Suryanata, Tiwi Wira Pratika

Pemimpin Editor Ludgeryus Angger Prapaska Staf Editor Irene Lejap, Fika Rosario Labobar, Konsita Belarosa R. Naen Kepala Divisi Artistik Yohakhim Ragil Anantya Staf Artistik Julia Noor Abdillah, Ahmad Nur Wahyudin Kepala Divisi Litbang Fileksius Gulo Kepala PSDM Renata Winning Sekar Sari Kepala PDI Nerry Suhartono Kepala Divisi Jaringan Kerja Novita Anggarwati Staf Jaker Clarita Fransiska Simarmata, Yohanes Mariano Ba

Alamat: Gedung Student Center lt. 2 Kampus II Universitas Sanata Dharma, Tromol Pos 29 Yogyakarta 55002. Surel Redaksi lpm.natas@gmail.com. Media Online www.natasmedia.com


DAFTAR ISI SEKILAS ANGKA

FOKUS REDAKSI Hitam Putih Pendidikan di Yogyakarta

LAPORAN UTAMA Menuju Pendidikan Tinggi Antara Gelar dan Realita Kota Pendidikan Polemik Program Pendidikan

4 46

CATATAN SANG JURNALIS

8 49

JAS MERAH

10 52 -22

Seniman: Ganja dan Buah Pikiran Mengayuh Becak di Tanah Mataram

!NFO Pendidikan di Bawah Kolong Tangga

RESENSI 23 55Meninjau Landasan Kerja UKM Menyelami Setiap Sisi di Hati Gerak-Gerik BEM USD -30 60 Dua Escobar: Dua Manusia LIPUTAN KAMPUS

GAUNG SUMBANG Luas dalam Pergaulan, Kritis dalam Pemikiran

PERS KITA Gerakan Persma (Kembali) Mengarsip

OPINI Geliat Perekonomian Kota Pendidikan

TOKOH Mbah Topo: Buku dan Sempena Hati

32 61- SASTRA Cerpen : 70 Kepala Puisi : aku ingat sunyi dan luka 37 adakah jalan pulang 39 42 71

cinta tak rasa coklat Berkabar Angin Memeluk Daun

SI ICHIR

3


SEKILAS ANGKA

Sekilas Angka

4


SEKILAS ANGKA

5


SEKILAS ANGKA

6


SEKILAS ANGKA

P

engumpulan jajak pendapat ini dilakukan oleh Litbang UKPM natas secara online melalui Google Form. Kemudian angket jajak pendapat di broadcast (BC) kepada seluruh mahasiswa aktif USD. Dari hasil BC menunjukkan sebanyak 82 responden mahasiswa USD berhasil berpartisipasi untuk mengisi daftar kuesioner tersebut. Selanjutnya, hasil jajak pendapat ini tidak dimaksudkan untuk mewakili seluruh pendapat mahasiswa USD Yogyakarta. Berdasarakan jajak pendapat di atas, Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), baik di tingkat Program Studi (UKP), Fakultas (UKF) maupun Universitas, mendapat respon positif sebagai wadah yang mampu merealisasikan program kerjanya. Selain itu, sebanyak 92,2% responden mengetahui fungsi Unit Kegiatan tersebut. Tingkat pengetahuan responden tentang program kerja masing-masing tingkat unit sebesar 47%, sedangkan 38,6% menjawab tidak dan sebanyak 14,5% tidak tahu sama sekali. Dalam sisi pelaksanaan program kerja, sebanyak 54,4% menjawab program Unit Kegiatan Kemahasiswaan telah terealisasikan, sedangkan 17,1% menjawab belum

terealisasikan. Di sisi lain, ada 30,5% merespon tidak tahu-menahu mengenai realisasi program kerja yang dimaksud. Berbeda halnya dengan Unit Kegiatan Kemahasiswaan, organisasi kemahasiswaan (HMPS, HMJ, BEMF, DPMF, BEMU dan DPMU) justru mendapat respon yang terbalik. Hanya 48,8% responden yang menjawab tahu soal program kerja dari organisasi kemahasiswaan tersebut, sedangkan 31,7% menjawab tidak dan ada 19,5% yang tidak tahu sama sekali. Soal realisasi program, sebanyak 35,4% menjawab sudah terealisasikan, sedangkan 23,2 menjawab tidak terealisasikan. Ada 41,5% yang menjawab tidak tahu sama sekali tentang realisasi program kerja HMPS, HMJ, BEMF, DPMF, BEMU dan DPMU. Di samping itu, tingkat pengetahuan responden mengenai fungsi lembaga kemahasiswaan di atas cukup tinggi yakni mencapai angka 68,3%, sedangkan tingkat ketidaktahuan mencapai angka terendah 12,2% dan terdapat angka 15,9% tidak tahu sama sekali.

Litbang UKPM natas

7


fokus redaksi

Hitam Putih Pendidikan di Yogyakarta

S

tatus Yogyakarta sebagai kota pendidikan sudah disandang sejak dahulu bahkan menjadi rujukan dari semua pemuda di Indonesia. Bermula sejak didirikannya Taman Siswa oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai cikal bakal sekolah bumiputera di Indonesia sampai dengan berdirinya Universitas Gadjah Mada. Deretan nama-nama mentereng mulai dari Presiden Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta (Anies Baswedan), Gubernur Jawa Tengah (Ganjar Pranowo), dan lain-lain menjadi bukti bahwa mereka alumni lulusan dari Yogyakarta. Namun, gelar yang disandang Yogyakarta sebagai kota pendidikan kini dapat dilihat secara hitam putihnya. Banyak kejanggalan-kejanggalan yang menjadikan Yogyakarta kini harus merevisi kembali gelarnya sebagai kota pendidikan. Meskipun begitu, Yogyakarta masih menjadi tempat favorit bagi pemuda dari seluruh Indonesia untuk mengenyam pendidikan, baik sekolah menengah sampai perguruan tinggi. Peraturan Daerah Provinsi DIY Nomor 2 Tahun 2011 memberikan jaminan pendidikan selama dua belas tahun dengan bantuan dana serta sarana prasarana. Dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah DIY tersebut dapat dibuktikan bahwa pemerintah menjamin hak anak untuk bersekolah. Tidak berhenti pada peraturan itu

8

saja, melalui pemerintah pusat Presiden Jokowi mengeluarkan Kartu Indonesia Pintar sebagai jaminan pendidikan anak-anak Indonesia. Akan tetapi, menurut data dari Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY mencatat pada tahun 2017 terdapat ratusan murid putus sekolah. Bahkan tercatat masih banyak anak-anak yang merasa dicabut hak sekolahnya sehingga mereka tidak tuntas belajar selama dua belas tahun. Alasannya adalah karena beban ekonomi yang berat untuk membagi penghasilan antara pendidikan dengan kehidupan sehari-hari. Akibatnya mereka yang tidak tuntas belajar diharuskan untuk bekerja mencari uang daripada harus sekolah menghabiskan uang. Ti dak berhenti pada urusan tidak terselesaikannya jaminan pendidikan dua belas tahun, namun soal jaminan pendidikan untuk melanjutkan di perguruan tinggi. Uang Kuliah Tunggal (UKT) menjadi salah satu beban yang memberatkan karena terjadi kenaikan setiap tahunnya akibat pengaruh subsidi pemerintah dan inflasi. Beban UKT yang mahal ini menjadikan siswa yang baru lulus dari SMA atau SMK enggan untuk melanjutkan kuliah, meskipun masih ada keinginan untuk melanjutkan.


fokus redaksi Keinginan untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi membuat setiap pemuda Indonesia harus berpikir dua kali lipat. Memilih belajar sampai ke jenjang yang lebih tinggi atau bekerja untuk mencari penghasilan. Dari sekian banyak pemuda memilih untuk bekerja demi memenuhi kebutuhan “perut�.

min hak anak sekolah dan dibantu oleh pemerintah pusat dengan “kartu saktinya�, tetapi jaminan itu tetap tidak bisa diharapkan sepenuhnya. Hingga saat ini pun, dunia pendidikan telah menjadi tempat komersialisasi untuk mengeruk keuntungan besar apabila ingin mendapatkan hasil pendidikan yang maksimal.

Langkah untuk menanggulangi mahalnya biaya pendidikan, pihak dari perguruan tinggi selalu menyediakan beasiswa dan subsidi. Tujuannya adalah untuk meringankan beban biaya pendidikan terutama bagi masyarakat yang membutuhkan. Namun, langkah ini masih kurang terbukti hingga kini masih banyak pemuda Indonesia yang belum mampu mengenyam bangku k u l i a h karena minim ekonomi. Selain itu, pemuda Indonesia yang dapat menikmati bangku kuliah tidak ada setengahnya dari jumlah pelajar yang lulus SMA atau SMK.

Tidak hanya berhenti pada masalah putus sekolah karena biaya ekonomi yang tinggi di Yogyakarta. Namun, telah terjadi angka putus sekolah yang cukup tinggi bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Kasus putusnya sekolah bagi ABK masih belum ada perhatian khusus terutama mereka yang mengenyam pendidikan di sekolah inklusi. Ini menunjukkan ketidakseriusan pemerintah DIY dalam mendidik pemuda-pemuda, baik itu ABK maupun anak biasa.

Ilustrasi: Ahmad NW

Permasalahan pendidikan di Yogyakarta kini makin tidak karuan apalagi menyangkut biaya ekonomi yang terus meningkat. Meskipun pemerintah DIY memiliki peraturan untuk menja-

Di samping itu, masalah Perpres Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter. Pemerintah tidak mewajibkan sekolah untuk melaksanakan program lima hari tetapi sudah banyak sekolah-sekolah di Yogyakarta yang menerapkan program tersebut. Banyak keluhan terutama dari anak-anak usia SD yang terdampak dari progam ini karena beban pendidikan semakin berat apalagi untuk usia anak-anak. Kurikulum yang bergonta-ganti membuat pekerjaan para pengajar kian terbebani. Belum lagi jam sekolah yang dibuat semakin padat sehingga membuat guru berpikir dua kali lipat untuk memberikan pengajaran yang menarik bagi siswa-siswinya. Ketidakkonsistenan kurikulum yang dibuat oleh pemerintah membuat siswa pun kesulitan dalam beradaptasi dengan kurikulum-kurikulum yang baru. Pemerintah Yogyakarta kini harus meninjau ulang kembali semboyan yang mengatakan sebagai kota pendidikan. Kota pendidikan bukan berarti berisi sekolah-sekolah atau kampus-kampus top Indonesia saja. Tetapi yang perlu dijadikan tolak ukur sebagai kota pendidikan adalah terjaminnya pemuda untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Martinus Danang Pratama Wicaksana

9


laporan utama

Menuju Pendidikan Tinggi

S

iaran pers terkait hasil Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) 2017 diumumkan di gedung Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Jakarta, Juni lalu. Seperti yang tersiar pada laman Kemenristekdikti, seleksi yang digelar pada bulan April itu meloloskan 148.066 atau 14.36 persen dari 797.738 peserta ujian. Jumlah pendaftar, sebagaimana disebut dalam hasi rekapitulasi oleh panitia meningkat setiap tahunnya. Tahun 2015 jumlah pendaftar sebanyak 764.185, naik 15 persen dari tahun sebelumnya dan di tahun 2017 merupakan jumlah terbanyak sepanjang penyelenggaraannya. Yogyakarta yang dianggap sebagai kota pendidikan masih menjadi destinasi utama untuk melanjutkan studi. Data di situs SBMPTN 2016 menyebut jumlah pendaftar di UNY dan UGM telah mencapai 55 ribu pendaftar. Jumlah

10

itu hampir separuh total mahasiswa aktif di DIY pada tahun 2015. Melanjutkan Studi ke Perguruan Tinggi Reno (16) dalam sepekan harus menempuh perjalanan yang cukup melelahkan untuk sampai di Sekolah Menengah Atas (SMA) XI, tempatnya bersekolah. Saban pagi, ia harus bergegas menuju terminal Jombor, menunggu Trans-Jogja, melalui beberapa halte dan kemacetan di Yogyakarta. “Capek memang, tetapi mau bagaimana lagi, mau tidak mau harus dijalani,� ujarnya. Ketika ditanya mengenai apa yang akan dilakukan seusai sekolah menengah, remaja dengan rambut polem (poni lempar) ini—dengan sedikit tersipu—menjawab ingin melanjutkan studi ke Perguruan Tinggi (PT). Kemudian Reno bercerita tentang keinginannya meneruskan pen-


laporan utama Seperti yang terlihat dari iklan yang terpacak di brosur selebaran, bimbel menjamin peserta didiknya untuk lolos seleksi yang diiginkan. Salah satu bimbel bahkan menjamin uang garansi bila keinginan peserta didik tidak terpenuhi (tidak lulus). Direktorat Pembinaan Kursus dan Kepelatihan mencatat jumlah lembaga bimbel di wilayah Yogyakarta, per 2016, sebanyak 25 bimbel. Meningkat dari statistik di tahun sebelumnya. Sebagai catatan, bimbel yang tercantum di Direktorat di bawah Kemendikbud itu telah mempunyai izin usaha dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) dan melalui verifikasi langsung dari Kemendikbud. Seperti yang diungkapkan Disti, persaingan masuk ke Perguruan Tinggi semakin ketat. Informasi yang tercantum di laman SBMPTN, panitia mengunggah data peminat dan kuota yang tersedia untuk setiap program studi (prodi) di tahun penyelenggaraan sebelumnya. Semisal untuk masuk pada prodi Biologi di UGM, kuota yang disediakan sebanyak 80 kursi dengan jumlah pendaftar 1.839; satu kursi diperebutkan 22 orang. Siswa-siswa SMA (Kolese De Britto) tengah bercengkerama di sela-sela waktu senggang. Dok. Ayus

didikan tinggi seperti kakaknya yang sedang menempuh studi di sebuah PT di Malang. Di pihak lain, Disti (18) seorang pelajar di salah satu SMA swasta di Yogyakarta juga mempunyai keinginan untuk melanjutkan studi ke PT. Ia melihat dunia kampus sebagai tahap lanjutan setelah SMA. “Seperti naik tingkat,� imbuhnya. Disti yang sekarang duduk di kelas tiga sudah tidak mempunyai banyak waktu. Pada bulan Februari (2018) seleksi SNMPTN sudah akan dimulai dan beberapa bulan kemudian pun ujian SBMPTN digelar. Beruntung, katanya, sejak duduk di kelas XI perempuan berhijab ini mengambil kelas intensif di salah satu lembaga bimbingan belajar (bimbel) untuk bekal persiapan. Keberadaan bimbel memang untuk mengakomodasi keinginan pelajar seperti Disti.

Sayangnya, antusiasme itu tidak bisa dirasakan semua pelajar di sekolah menengah karena berbagai alasan. Doni misalnya, yang lulus sekolah menengah pada 2014 silam, dihadapkan pada pilihan antara kuliah atau bekerja. Rencana untuk kuliah kemudian ia coret karena pertimbangan ekonomi. “Karena tidak ada biaya sih, bapak sudah meninggal, supaya tidak merepotkan ibu saya harus cari uang sendiri,� paparnya. Kini setelah beberapa waktu bekerja dengan temannya, ia memutuskan untuk menjadi pengemudi ojek berbasis aplikasi. Tantangan Perguruan Tinggi Laporan tirto.id (26/5/2017) menyebutkan jika setiap tahun biaya kuliah di Yogyakarta selalu naik. Kenaikan itu misalnya, disebabkan laju inflasi dan kebijakan kampus selaku pembeban biaya. Di kampus negeri, sejak 2013 diberlakukan sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) sebagai sistem pembayaran baru. Dalam laporan tersebut, musabab UKT setiap tahun selalu naik dipengaruhi subsidi dari pemerintah yang berkurang dan laju inflasi terus

11


laporan utama naik. Masalah lain yang dinilai tidak pas terkait pengukuran kemampuan ekonomi mahasiswa yang tidak tepat sasaran. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ditahun 2016 mengganggarkan bantuan operasional kepada kampus negeri senilai 4,5 triliun namun yang terealisasi hanya sekitar 4,2 triliun. Pada 2 Mei 2016, sejumlah mahasiswa UGM mengadakan demonstrasi menuntut penolakan kenaikan UKT, bagi mereka, dalih pihak birokrat tidak bisa diterima karena tetap pihak kampus yang menentukan besaran biaya UKT. Hal serupa pun dialami oleh salah satu kampus swasta di Yogyakarta yang mengalami kenaikan setiap tahunnya. Mahasiswa angkatan 2017, sebut saja Toni (nama samaran) menyebut nilai UKT yang harus dibayarnya tiap semester sebesar 1,75 juta. Pembayaran yang belum termasuk biaya Sistem Kredit Semester (SKS) itu, naik dari jumlah yang dibebankan pada angkatan sebelumnya (2016) sebanyak 1,5 juta. Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional DIY 2017 mencatat, tingkat konsumsi mahasiswa juga meningkat tiap tahunnya. Pos pengeluaran terbesarnya adalah untuk konsumsi, seperti yang diungkapkan Ardhito Brihadi dari Pusat Studi Ekonomi dan Industri UPN Veteran dalam wawancara dengan tirto.id (26/5/2017). Ardhito menggarisbawahi banyaknya mahasiswa pendatang yang membawa gaya hidup urban ke Jogja, yang otomatis meningkatkan inflasi. Selain itu, ia menambahkan bila pola konsumsi itu terus meningkat maka akan melebarkan jarak antara mahasiswa dari golongan bawah dengan menengah ke atas. Imbasnya, ia mencontohkan, akan semakin berkurangnya sentra-sentra yang bisa diakses mahasiswa golongan bawah dan semakin marak bangunan seperti hotel, mal, cafe yang pangsa pasarnya semakin banyak. “Karena yang mampu mengakses pendidikan tinggi adalah mereka yang berasal dari golongan menengah,� imbuhnya. Skema pemberian Bidikmisi untuk mahasiswa digadang-gadang mampu mengatasi kesenjangan yang ada. Namun, dengan kuota yang ada sekarang, sebanyak 80.000 masih perlu peningkatan luar biasa terutama untuk menyiapkan bonus demografi pada 2025-2030. Lewat laman ristekdikti.go.id, ditekankan bahwa pendidikan

12

yang digunakan sebagai bekal untuk penduduk usia produktif harus memiliki karakteristik sehat, cerdas dan produktif. Salah satu sarana yang digunakan pelajar untuk mendapatkan informasi seputar Perguruan Tinggi adalah pameran kampus. Dalam beberapa tahun terakhir, banyak acara semacam itu digelar oleh para alumni maupun lembaga pendidikan. Semisal event Jogja Campus Expo (JC-Expo), yang bekerja sama dengan Kopertis (Kordinasi Perguruan Tinggi Swasta). Pameran yang digelar tersebut lebih banyak menjelaskan secara teknis seputar dunia kampus sebagai sarana pelajar. Roem Topatimasang, seorang pemerhati pendidikan, pernah menulis sebuah buku berjudul Sekolah itu Candu yang terbit tahun 1998. Risalah itu berisi pandangannya terhadap institusi pendidikan (termasuk Perguruan Tinggi), yang menurutnya, menyederhanakan makna pendidikan menjadi begitu pragmatis. Titik tekan Roem ada pada ijazah yang menjadi tolak ukur utama pada pencapaian pendidikan bisa membahayakan. Argumen dari Roem seperti mendapatkan pembuktian pada kejadian-kejadian mutakhir. Lewat pemberhentian Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dari jabatannya karena terindikasi menjual-belikan ijazah. Lewat investigasi tim khusus dari Kemenristek-Dikti dan internal kampus, Rektor UNJ dengan masa jabatan 2014-2017 itu turut membantu meloloskan lima disertasi yang terbukti hasil plagiarisme (Tempo. co 27/09/17). Kasus serupa yang baru-baru ini terjadi ialah pemakzulan Bupati Mimika karena memalsukan ijazah (detik.com 26/11/17) dan terungkapnya kebohongan mahasiswa bernama Dwi Hartanto (BBCIndonesia.com 10/10/17). Menanggapi peristiwa-peristiwa yang terjadi belakangan ini, seperti kasus di UNJ, Muhammad Nasir, Menristekdikti menegaskan kejadian seperti itu tidak boleh terjadi lagi. “Jangan sampai mendidik anak dengan cara yang tidak sesuai prosedur, ini harus dibersihkan,� pungkasnya, seperti yang dikutip dari cnnindonesia (26/09/2017). Abdullah Azzam


A

wal mula Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyandang predikat sebagai kota pendidikan tidak terlepas dari beberapa aspek. Salah satunya adalah kemunculan universitas tertua di Indonesia yang terdapat di Yogyakarta, Universitas Gadjah

laporan utama Tinggi Gadjah Mada (BPTGM), yang sekarang mejadi UGM. Langkah tersebut pun didukung oleh Gubernur DIY. “Sri Sultan Hamengkubuwono IX menyediakan tempat di Pagelaran Kraton sebagai tempat perkuliahan, lalu memberikan hibah berupa tanah di daerah Bulak Sumur,” imbuh Didik. Kegiatan tata boga siswi SLB B Pangudi Luhur, Kembangan Jakarta Barat.

Antara Gelar dan Realita Kota Pendidikan

Dok. Nuri

Mada (UGM). Hal tersebut dituturkan oleh Didik Wardaya selaku Kepala Bidang Pendidikan Luar Biasa dan Pendidikan Dasar (Kabid PLB dan Dikdas), di kantor Dinas Pendidikan Provinsi DIY, Jumat (13/10). Ia menjelaskan bahwa terjadi ketidakkondusifan pembelajaran di berbagai daerah pada awal masa kemerdekaan yang menyebabkan banyak perguruan tinggi dipindahkan ke DIY. Berkumpulnya para cendikiawan di DIY menjadi titik tumpu pendirian Yayasan Balai Perguruan

Ia beranggapan hal tersebut yang menjadi kiblat awal mula kota pendidikan. “Semenjak saat itulah mulai berdatangan para pemuda dari berbagai daerah yang ingin belajar di Yogyakarta,” tanggap Didik. Menurutnya, DIY sebagai Kota Pendidikan terus mengalami perkembangan hingga memunculkan perguruan tinggi maupun universitas yang lain. “Terus berkembang hingga saat ini ada 132 perguruan tinggi aktif dengan jumlah mahasiswa yang mecapai angka sekitar 400.000,” tambahnya. Di samping perkembangan

13


laporan utama perguruan tinggi, Kabid PLB dan Dikdas menjelaskan Sekolah Dasar (SD) hingga Sekolah Menengah Atas dan Kejuruan (SMA dan SMK) juga berkembang dan tersebar dengan baik di DIY. Berdasarkan data dari situs web resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pada September 2017 menunjukkan terdapat 1.672 sekolah di DIY. Sekolah-sekolah itu mencakup 1.022 SD, 312 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 288 SMA dan SMK, dan 50 Sekolah Luar Biasa (SLB). Selain itu, jumlah sekolah di DIY telah diimbangi dengan akreditasi yang cukup baik. “Sudah tidak ada sekolah di Yogyakarta yang belum mendapatkan akreditasi, kami pastikan semuanya sudah,” jelas Suhandi, Ketua Badan Akreditasi Provinsi DIY. Katanya pula, sekolah yang belum mendapatkan akreditasi hanya sekolah baru dan sekolah yang tidak beroperasi lagi. Sesuai dengan ketetapan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2011, DIY melaksanakan program wajib belajar selama dua belas tahun. Untuk menunjang program tersebut Pemerintah DIY memberikan beberapa jaminan pendidikan guna menjamin hak anak bersekolah. “Kita memberikan banyak jaminan diantaranya bantuan dana serta sarana prasarana,” tutur Didik. Lebih lanjut, Didik mengatakan bahwa bantuan dana yang diberikan oleh pemerintah beragam jenisnya, baik itu dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. “Dari pemerintah pusat sendiri sudah ada Biaya Operasional Sekolah (BOS),” katanya. Ia menambahkan dana BOS yang pemerintah berikan mencakup semua siswa, baik negeri maupun swasta. “Di sekolah negeri anak tidak perlu bayar uang sekolah, sedangkan

14

swasta mereka (siswa) tetap bayar karena guru swasta tidak digaji oleh pemerintah,” ujarnya lagi. Selanjutnya untuk menutupi kekurangan dana BOS yang diterima sekolah, Didik mengungkapkan pemerintah daerah menyediakan Bantuan Operasional Sekolah Daerah (BOSDA). “Alokasi dana BOSDA merata pada tiap siswa, sama halnya dengan BOS. Dana BOSDA yang diterima sekolah dapat digunakan untuk kebutuhan operasional aktual,” ucapnya. Selain dana BOS, Didik menjelaskan bahwa pemerintah pusat juga memberikan Kartu Indonesia Pintar (KIP). Dalam penuturannya, KIP merupakan program dari Bantuan Siswa Miskin (BSM) yang disempurnakan menjadi bagian dari Program Indonesia Pintar. Bantuan tersebut merupakan bantuan tunai pendidikan kepada anak pemilik Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). “KIP diberikan pada setiap anak usia sekolah, 9 hingga 21 tahun,” terangnya. Di sisi lain, Pemerintah Yogyakarta juga meyediakan bantuan tambahan daerah untuk meringankan beban pendidikan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya beasiswa prestasi dan program Kartu Cerdas. Beasiswa prestasi digunakan untuk membiayai siswa yang berprestasi di sekolah, sementara Kartu Cerdas diberikan kepada siswa miskin. “Kenapa kita namakan Kartu Cerdas karena semua anak berhak untuk cerdas meskipun ditunjukan pada siswa miskin, agar stigma yang muncul tidak memberatkan siswa,” jelas Didik. Angka Putus Sekolah Bantuan dana yang telah diberikan oleh pemerintah tidak lantas membuat semua siswa di DIY bersekolah dengan lancar. Data dari Badan


laporan utama Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) DIY pada 2017 menunjukkan terdapat 534 murid putus sekolah. Angka tersebut lebih kecil jika dibandingkan dengan penduduk di DIY yang belum pernah mengenyam bangku pendidikan dengan jumlah 76.997 orang.

anak usia sekolah. Ke depannya, ia mengharapkan semua orang yang berkepentingan dan memiliki pendidikan untuk merangkul anakanak bersekolah. “Pengertian pendidikan sangat penting untuk mengedukasi masyarakat supaya muncul kesadaran untuk bersekolah,” tuturnya.

Melihat data dari Bappeda masih terdapat 180.963 penduduk di DIY tidak menamatkan pendidikan di bangku SD dan 355.326 penduduk tidak tamat SMP. Sementara angka tertinggi putus sekolah terjadi pada jenjang menengah atas sekitar 701.576 penduduk tidak menamatkan pendidikan SMA. Didik beranggapan angka putus sekolah pertahun di DIY tidak terlalu tinggi. “Wajar malah kecil 534 siswa bahkan mungkin bisa mencapai dua ribuan kalau Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) ikut di dalamnya,” tutur Didik. Lanjutnya, masalah yang dihadapi pula adalah kemauan anak untuk bersekolah, “Kadang kala kita kesulitan mencari anak yang tidak bersekolah, ada memang tapi jika anak memang tidak mau bersekolah itu susahnya.”

Berbicara mengenai anak yang putus sekolah maupun tidak bersekolah di DIY, tidak terlepas dari faktor lingkungan serta sosial budaya di masyarakat. “Kita harus melihat siapakah mereka yang tidak bersekolah, kita juga harus memperhatikan lingkungan dan budaya sosial tempat si anak,” ujar Rohandi, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sanata Dharma (USD), Kamis (12/10). Ia beranggapan bahwa untuk mendapatkan akses pendidikan di DIY tidak sulit, lantaran sudah banyak sekolah yang tersedia dan bantuan dari pemerintah. “Sebetulnya sekolah negeri di DIY kan gratis, tidak perlu bayar hanya saja hambatan sosial ini yang perlu diperhatikan dan dipahami oleh masyarakat,” tambahnya.

Di samping itu, Didik meyakini siswa yang putus sekolah bukan karena masalah ekonomi pasalnya pemerintah telah memberikan bantuan dana, baik dari pusat maupun daerah. “Saya katakan kalau di DIY anak yang tidak bersekolah karena terkendala biaya itu kecil sekali,” pungkasnya. Lebih lanjut, ia menambahkan alasan anak yang tidak bersekolah. “Mereka tidak bersekolah antara lain memilih bekerja ataupun kemauan anak sendiri untuk tidak bersekolah karena sudah merasa malas berpikir.”

Ia memaparkan contoh dengan menganalogikan anak gelandangan yang tidak punya tempat tinggal tetap, sementara usia anak adalah usia untuk bersekolah. “Siapakah yang harus mengurus anak tersebut untuk bersekolah padahal mereka butuh makan dan membantu orang tuanya,” ujar Rohandi. Selebihnya, ia berharap kelompok-kelompok masyarakat memiliki kesadaran untuk membantu melalui pendekatan khusus yang baik. “Kondisi anak yang tidak bersekolah secara sosial dan budaya bahkan ekonomi harus dipahami untuk mencoba mengajak mereka bahwa ada sisi penting pendidikan dan bagaimana cara untuk mendampingi mereka,” jelasnya lagi.

Didik merasa persoalan angka putus sekolah tidak terlepas dari cara masyarakat memandang betapa pentingnya pendidikan bagi

15


Langkah Pemerintah Menghadapi permasalahan tersebut pemerintah memiliki program khusus supaya program wajib belajar dua belas tahun dapat terlaksana di Yogyakarta. “Evaluasinya dengan program retriever yang sekarang diganti dengan program Kartu Pintar untuk mengembalikan siswa yang putus sekolah dan dibiayai pemerintah hingga lulus nanti,� ucap Kabid PLB dan Dikdas. Selain dengan adanya program Kartu Pintar, pemerintah juga melaksanakan program Pendidikan Kesetaraan. Didik menerangkan bahwa pendidikan kesetaraan adalah pendidikan nonformal yang setara dengan sekolah formal tetapi tetap terkait dalam konsep lingkungan. Katanya, konsep tersebut untuk melatih orientasi kerja atau usaha mandiri. “Program Pendidikan Kesetaraan ditujukan bagi peserta didik tidak bersekolah maupun putus sekolah yang meliputi paket A hingga C yang setara dengan SD hingga SMA,� jelasnya

16

Salah satu kegiatan pendampingan pendidikan alternatif untuk mencegah angka putus sekolah di DIY Sumber: Sekolah Generasi Muda Boro

Murid Berkebutuhan Khusus Pada tahun 2014 Sri Sultan Hamengkubuwono X mendeklarasikan DIY sebagai daerah pendidikan inklusi. Dilansir dari situs web resmi Kemendikbud, Sri Sultan Hamengkubuwono X menyampaikan terdapat 9.096 ABK usia sekolah di DIY. Dari jumlah tersebut yang telah mengikuti pendidikan di SLB sekitar 4.782 siswa, sedangkan yang belajar di sekolah inklusi ada 2388 siswa. Sementara itu, 1.926 ABK usia sekolah belum bisa mengenyam pendidikan karena berbagai faktor. Beliau mengakui bahwa masih banyak hambatan bagi ABK dalam mengakses pendidikan, sedangkan ABK juga perlu mendapatkan hak belajar yang sama. Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta telah menunjuk beberapa SD untuk dijadikan sekolah inklusi, salah satunya ialah SD Negeri Gon-


laporan utama dolayu. Saat dijumpai di sekolah, Daniel selaku wali kelas lima mengaku sekolahnya telah ditunjuk untuk menjadi sekolah inklusi sejak tahun lalu. Ia juga menyebutkan bahwa nantinya semua SD yang ada di kota Yogyakarta akan menerapkan sekolah inklusi. “Kalau sekarang baru beberapa sekolah yang hanya ditunjuk tapi nantinya akan terus berkembang sedikit-sedikit karena juga perlu persiapan khusus,” ucapnya.

Di sisi lain, ABK yang bersekolah di inklusi pun memiliki kendala, baik dari segi fasilitas guru maupun sarana dan prasarana. Hal tersebut dibuktikan dengan banyak ABK yang tidak meneruskan pendidikannya di sekolah inklusi. “Banyak ABK yang bersekolah di inklusi pada akhirnya kembali lagi ke Sekolah Luar Biasa (SLB),” tutur Sarwi Asih selaku kepala SLB Negeri Pembina.

Dalam keterangannya, guru-guru SD Negeri Gondolayu telah diberi pembekalan dan persiapan khusus berupa penataran dan diklat sebelum menjadi sekolah inklusi. Selain itu, pemerintah Yogyakarta juga memberikan fasilitas berupa guru pendamping yang akan datang seminggu dua kali untuk ikut mendampingi ABK di kelas. Namun, saat disinggung mengenai guru pendamping, Daniel mengaku di sekolahnya belum mendapatkan jatah guru pendamping. “Guru tentu saja merasa kesulitan tapi kita sudah lapor ke dinas untuk mengajukan guru pendamping namun di dinas kekurangan tenaga pembelajaran yang khusus untuk inklusi sehingga di sini belum mendapat bantuan,” ungkapnya.

Ia merasa bahwa ABK yang bersekolah di inklusi kurang mendapat perhatian khusus karena perhatian guru yang terbagi oleh banyak murid. “Kalau di SLB Negeri Pembina satu guru hanya mengajar 5 sampai 8 murid saja, sehingga murid terlayani dengan baik,” jelas Sarwi. Selain hal tersebut, kendala yang dialami ABK adalah ujian sekolah pengganti Ujian Nasional (UN). “Karena ABK tidak mengikuti UN, sekolah tidak tahu pengganti ujian yang sesuai dengan kebutuhan ABK per individu,” tambahnya.

Selain belum mendapatkan guru pendamping, Daniel mengatakan SD Negeri Gondolayu juga belum mendapatkan fasilitas untuk pemenuhan sarana dan prasarana siswa berkebutuhan khusus seperti jalur kursi roda, guiding block atau jalur pemandu tuna netra. “Sekolah kita menerima semua anak walaupun fasilitas kita belum punya, karena fasilitas kita harus menunggu dari dinas, tidak bisa sekolah membangun fasilitas itu sendiri,” tuturnya. Meski belum ada guru pendamping dan fasilitas, ia menuturkan SD Negeri Gondolayu tetap menerima ABK.

Sarwi beranggapan bahwa SLB lebih efektif jika dibandingkan dengan sekolah inklusi. “Di SLB ABK benar-benar terlayani sesuai dengan kemampuannya, sementara di SD mereka harus mengikuti kurikulum umum yang pada akhirnya sisi ketrampilan yang seharusnya ABK kembangkan untuk kemandiriannya terhambat dan tertinggal,” imbuhnya. Menurut Didik, jumlah SLB di DIY belum memadahi mengingat di setiap kecamatan belum tentu mempunyai SLB. ABK yang ingin bersekolah di SLB harus menempuh jarak yang lumayan jauh. “Akses pendidikan ABK akan memadahi jika sekolah inklusi sudah berjalan seperti harapan, sehingga tidak perlu menambah jumlah SLB,” tuturnya. Dyas Putri Winayu

17


laporan utama

Sepulang sekolah, beberapa siswa SDN Gondolayu yang sedang bermain kelereng. Foto: Gabriella Anindita

Polemik

Program

Pendidikan 18


. a

k

m

n

P

ada 6 September 2017, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 mengenai Penguatan Pendidikan Karakter (PPK). Dalam pasal 1 tercantum, PPK adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olahraga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Salah satu pasal di dalamnya menjelaskan jika Perpres tersebut menggantikan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang hari sekolah. Sebelum Perpres PPK disahkan, hari sekolah dilaksanakan 8 jam dalam 1 hari atau 40 jam selama 5 hari dalam 1 minggu. Demikian, jam pulang anak berubah menjadi sekitar pukul 15.00. Ditemui pada Senin (9/10), Kepala Sie Kurikulum Pembinaan Sekolah Dasar Kota Yogyakarta, Aris Widodo, menyampaikan bahwa pencanangan program lima hari sekolah tidak lepas dari pro dan kontra berbagai pihak. Aris mengungkapkan banyak pihak yang salah tangkap bahwa lima hari sekolah sama seperti full day school. “Padahal konsepnya berbeda. Lima hari sekolah bukan berarti siswa harus berada di dalam kelas selama delapan jam berturut-turut,” jelasnya. Lebih lanjut, Aris menjelaskan bahwa lima hari sekolah yang merupakan bagian dari program PPK memiliki tiga unsur pokok dalam pelaksanaan pembelajaran yaitu intrakurikuler,

laporan utama kokurikuler, dan ekstrakurikuler. “Kegiatan intrakurikuler berfokus pada mata pelajaran atau bidang studi. Alokasi waktunya sekitar 5 sampai 6 jam. Untuk SD, kegiatan intrakurikuler berakhir pada pukul 13.00,” jelasnya Proses belajar mengajar dilanjutkan dengan kegiatan kokurikuler yang mengarah pada pembinaan life skills seperti memasak dan lain-lain. Lalu untuk kegiatan ekstrakurikuler dilakukan dengan tujuan meningkatkan minat dan bakat siswa seperti menari, olahraga, dan bermusik. Apabila ditotal, jam pulang anak hanya bertambah satu jam. Selain itu, Aris menambahkan bahwa orang tua siswa terlalu mengkhawatirkan hal-hal yang kurang penting. “Semua orang bicaranya emosi. Ketika anak-anak pulangnya sore, yang diributkan malah urusan makan. Padahal makan itu kan urusan orang tua. Seharusnya yang diperhatikan adalah kesenangan anak. Bagaimana guru memahami karakter otak kalau jam pelajaran dipanjangkan, otak akan lelah atau tidak?” ungkapnya. Apabila dilihat dari sudut pandang psikologi, jam belajar yang lebih panjang berpotensi menimbulkan kebosanan. Dosen Psikologi, Universitas Sanata Dharma (USD), Titik Kristiyani menyampaikan bahwa durasi konsentrasi anak mempunyai batasan. “Kalau guru tidak bisa meminimalkan materi, caranya adalah dengan membuat anak senang datang ke sekolah dan belajar,” tandasnya. Keputusan ini tidak mewajibkan seluruh sekolah untuk menerapkan program lima hari sekolah. Seperti yang tertera pada Perpres Nomor 87 tahun 2017, “Sekolah diberi kebebasan untuk menerapkan 5 hari sekolah atau 6 hari sekolah

19


laporan utama dalam seminggu dengan tambahan materi PPK.” Implementasi program PPK akan dilaksanakan secara bertahap. Pada tahun 2017, Kemendikbud menargetkan sebanyak 1.626 sekolah sebagai target rintisan PPK yang akan memberi dampak pada sekitar 9.830 sekolah di sekitarnya. Untuk jenjang SD, Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta telah menerbitkan surat edaran mengenai imbauan lima hari sekolah. Aris juga mengatakan bahwa salah satu tujuan lima hari sekolah yang ditetapkan di Yogyakarta sebagai pemanfaatan hari Sabtu untuk istirahat dan hari keluarga. “Jadi, mayoritas SD di Kota Yogyakarta telah menerapkan lima hari sekolah,” katanya. Menanggapi keputusan tersebut, Tania, siswi kelas 5 Sekolah Dasar Negeri (SDN) Gondolayu menuturkan justru lebih senang dengan sistem enam hari sekolah. Ia tak merasa keberatan jika harus masuk di hari Sabtu. “Lebih enak enam hari karena bisa datang ke sekolah terus bertemu teman-teman. Kalau libur jadi bingung di rumah mau ngapain,” ujarnya. Sofyan, Kepala SD Muhammadiyah Sapen, mengutarakan hal senada bahwa lima hari sekolah lebih ditujukan untuk guru. “Lima hari sekolah itu sejatinya bukan untuk anak, karena tidak ada dampak langsung yang dirasakan. Materi untuk anak tidak diubah, tetap pada struktur kurikulum. Anak-anak masih enjoy sekolah walaupun pulang sampai sore,” imbuhnya. Lebih lanjut, Sofyan mengatakan bahwa permasalahannya ada pada guru. Dilansir dari situs web resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), pelaksanaan hari sekolah bagi guru memiliki tujuan untuk melaksanakan beban kerja guru. Hal ini tercan-

20

tum pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2017 pasal 15 yang menjelaskan bahwa pemenuhan beban kerja guru bisa diperoleh dari ekuivalensi beban kerja tugas tambahan. Oleh karena itu, dalam program lima hari sekolah tugas guru mempersiapkan pembelajaran, media, analisis, dan evaluasi menjadi bertambah. Hal ini berdampak pada jam pulang guru yang menjadi lebih sore. “Otomatis beban guru juga bertambah,” kata Sofyan. Pada awal penggantian hari sekolah, guru harus melakukan perubahan sejak penyusunan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran, hingga penilaian pembelajaran. Salah satu guru di SDN Gondolayu, Daniel Jaka Antara, mengungkapkan jika enam hari sekolah lebih menguntungkan. “Saat 6 hari sekolah lebih enak, 1 hari hanya ada 1 subtema, jadi pelaksanaannya tinggal menyesuaikan. Sementara sekarang materi yang seharusnya ditujukan untuk hari Sabtu harus dipadatkan ke hari lainnya jadi secara tak langsung menambah pekerjaan guru,” jelasnya. Realitas di Lapangan Di samping penerapan lima hari sekolah, Pemerintah Kota Yogyakarta telah mengimbau setiap SD untuk mulai menerapkan kurikulum 2013. Pada kurikulum ini, PPK terimplementasi langsung pada setiap materi pembelajaran sehingga porsi untuk pendidikan karakter pun lebih besar yaitu 70% karakter dan 30% untuk pengetahuan. SDN Gondolayu adalah salah satu sekolah yang baru menerapkan kurikulum 2013 pada tahun ajaran 2017/2018 lalu. SDN Gondolayu menerapkan 2 kurikulum yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk kelas 6 dan


laporan utama kurikulum 2013 untuk kelas 1 sampai dengan 5. Pernyataan ini diungkapkan langsung oleh Daniel yang ditemui saat istirahat berlangsung. Menurut pengakuan Daniel, perbedaan kurikulum yang paling terasa ada pada cara mengajar. Selaku wali kelas, dengan sistem pengajaran tersebut ia masih merasa belum yakin pada kemampuan anak didiknya menyerap materi. Hal itu disebabkan, saat KTSP guru mendominasi kegiatan pembelajaran seperti menerangkan di depan, dan siswa mendengarkan tetapi kini guru dibiasakan berada di tengah anak. “Saya sebagai wali kelas masih sering merasa kurang percaya diri dengan kemampuan anak-anak. Nanti hasilnya seperti apa? Kalo kurikulum kemarin itu kan jelas, asal dapat nilai sepuluh itu berarti anaknya bisa. Kalo sekarang tidak bisa karena yang dinilai adalah proses,” ungkapnya. Pendalaman materi diakukan saat anak berdiskusi dan memecahkan masalah. Paham atau tidaknya anak dalam suatu materi bergantung dari diskusi yang dilakukan. Daniel tidak menampik bahwa inti dari kurikulum 2013 ini sudah bagus karena guru menjadi lebih mengenal karakter anak didiknya. Di pihak lain, Sofyan mengutarakan hal yang berbeda bahwa penilaian kurikulum 2013 jauh dengan KTSP. Sistem penilaian KTSP berbasis pada angka, sedangkan kurikulum 2013 lebih menekankan proses pembelajaran. Lebih lan-

jut, ia menjelaskan mengenai Kompetensi Inti Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) yang menggambarkan kompetensi anak secara lebih detail seperti Kompetensi Inti-1 (KI-1) untuk Kompetensi Inti sikap spiritual; (KI-2) untuk Kompetensi Inti sikap sosial; (KI-3) untuk Kompetensi Inti pengetahuan; dan (KI-4) untuk Kompetensi Inti keterampilan Walaupun beberapa mata pelajaran telah dikurangi dan sudah menerapkan sistem lima hari sekolah, Sofyan berpendapat bahwa kompetensi dasar untuk jenjang SD masih relatif berat. “Untuk KI-3 (pengetahuan) kapasitas muatannya masih terlalu ‘gemuk’, kompetensi dasarnya berat. Untuk anak SD yang paling pokok sebenarnya adalah pendidikan karakter,” tandasnya. Di samping itu, Sofyan menilai bahwa pencanangan PPK masih bias. “Sosialisasi pendidikan karakter

Kegiatan anak-anak SDN Gondolayu, Cokrodiningratan, Jetis, kota Yogyakarta saat jam istirahat. Foto: Ahmad NW

21


laporan utama sendiri belum detail di lima karakter inti yaitu religius, nasional, mandiri, gotong royong, dan integritas. Implementasinya belum ada panduan nasionalnya. Jadi masih sebatas pada kemampuan guru berkreativitas mengembangkan materi. Sementara kemampuan guru berbeda satu dengan yang lain. Bagi saya delapan belas pilar pendidikan karakter masih berasa di awangawang atau wacana belaka,” katanya. Dalam proses belajar mengajar, para guru diharapkan dapat memahami karakter setiap anak didiknya. Menurut Sukirdi, Kepala SDN Gondolayu, mengatakan guru yang berusia muda relatif lebih tidak sabar dalam menghadapi karakteristik anak. Sementara, diklat atau pelatihan guru memang sudah ada namun hanya dalam bidang pengetahuan. Kalaupun praktik, hanya sebatas antarguru dan bukan guru dengan murid. “Berubah dari mengajar-diajar ke belajar bersama itu sulit,” ujarnya. Ketika ditanya mengenai perkembangan sistem kurikulum untuk SD, Sofyan mengapresiasi kinerja pemerintah dalam mengatur pendidikan di negara Indonesia. Namun, ia mengeluhkan kurikulum baru yang terus direvisi sehingga membuat guru kewalahan dalam proses penyesuaian. “Setiap tahun kurikulum harus revisi. Jadi menurut saya, persiapan kurikulum ini belum matang,” katanya Di samping itu, penerapan kurikulum 2013 biasanya terganjal oleh pendistribusian buku yang belum merata. “Buku biasanya datang terlambat. Seperti di kelas 2 dan 5 ada revisi tapi buku edisi terbaru belum sampai. Jadi persiapan kurang matang. Untuk SD swasta seperti kami mungkin lebih fleksibel karena bisa menganti-

22

sipasi dengan menggunakan buku pendamping. Tapi untuk sekolah negeri agak susah,” jelas Sofyan. Hal ini dibenarkan oleh Daniel bahwa sudah hampir satu semester, buku pelajaran tak kunjung datang. “Kami sudah menghubungi pihak terkait namun alasan dari penerbit adalah karena masalah izin royalti,” ujarnya. Oleh karena itu, anak-anak masih memakai buku-buku lama yang kurang relevan dengan kurikulum 2013. “Sebagai contoh, pada awalnya pelajaran matematika dengan bidang lain itu digabung namun sekarang berdiri sendiri,” tambahnya. Proses pembelajaran pun menjadi dominan menggunakan LCD. “Sekarang anak tidak pake buku, hanya LCD. Cukup kesulitan sebenarnya untuk anak belajar karena baca itu tidak cukup sekali. Kemampuan anak berbeda. LCD hanya bisa sekilas sedangkan kalo digunakan untuk mencatat, waktu pembelajaran jadi habis,” kata Daniel. Lanjutnya pula, ketersediaan perangkat seperti LCD masih butuh penyesuaian. “Guru itu tugasnya minterke anak tapi kalau bukunya tidak ada kan jadi tidak maksimal.” Menurut Daniel, program pendidikan yang dicanangkan pemerintah makin lama makin berkembang. Hanya saja diperlukan banyak pelatihan dan kunjungan dari sekolah lain yang secara utuh menjalankan kurikulum 2013—untuk dijadikan sampel. “Kita kurang melakukan kunjungan dan dikunjungi sekolah-sekolah lain, oleh karena itu studi banding belum dapat dilaksanakan,” ungkapnya. Gabriella Anindita


liputan kampus

Meninjau Landasan Kerja UKM

U

nit Kegiatan Mahasiswa (UKM) merupakan organisasi kemahasiswaan yang dibentuk untuk mengembangkan diri sesuai dengan minat dan bakat. Demikian, UKM pun memiliki beberapa tujuan yang dapat menunjang perkembangan para mahasiswa ke arah peningkatan wawasan dan mutu. Hal itu dikatakan oleh Robertus In Nugroho Budisantoso, S.J, Wakil Rektor (WR) III Universitas Sanata Dharma (USD) yang ditemui pada Selasa (03/10) silam. Berkenaan dengan hal tersebut, dalam UU No. 12 Tahun 2012 pasal 77 tentang Organisasi Kemahasiswaan disebutkan bahwa UKM digunakan untuk mewadahi kegiatan dalam mengembangkan bakat, minat, dan potensi mahasiswa; mengembangkan kreativitas, kepekaan, daya kritis, keberanian, dan kepemimpinan serta rasa kebangsaan; memenuhi kepentingan dan kesejahteraan mahasiswa; serta mengembangkan tanggung jawab sosial melalui kegiatan pengabdian kepada masyarakat. Kegiatan mendaki gunung UKM Mapasadha Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dok. Mapasadha

23


liputan kampus In menjelaskan setiap organisasi kemahasiswaan memiliki fungsi bahwa mahasiswa menjadi pelaku yang dalam arti UKM dibentuk dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Sebagaimana yang tercantum pada Statuta USD tahun 2009 pasal 50 ayat 1 tentang Kemahasiswaan dan Alumni, “Organisasi kemahasiswaan universitas dibentuk dari, oleh, dan untuk mahasiswa dengan persetujuan dan pengesahan Rektor.” Selain itu, dalam Konstitusi Organisasi Kemahasiswaan (KOK) USD disebutkan UKM adalah organisasi kemahasiswaan formal yang menyelenggarakan kegiatan ekstrakurikuler meliputi wacana penalaran, keilmuan, bakat, dan minat yang berkedudukan di universitas. Setiap organisasi pun harus memiliki tujuan dalam melaksanakan kegiatan. Hal tersebut kembali dijelaskan oleh In bahwa setiap kegiatan organisasi harus jelas sesuai dengan visi dan misinya. “Segala kegiatan dalam UKM itu based on goal. Jangan setiap tahun membuat banyak kegiatan tapi tanpa tujuan, kegiatan itu harus ada tujuannya,” jelas pria berkacamata itu. Beliau juga mengungkapkan jika suatu UKM ingin berkembang maka dibutuhkan kegiatan yang berdasarkan pada tujuan bukan hanya sekadar aktivitas. “Misalnya tahun ini yang mau dituju oleh salah satu aktivitas UKM itu adalah digitalisasi. Tapi untuk digitalisasi berarti butuh kegiatan apa? Nah, itu kan beda-beda. Jika hanya mendasarkan pada aktivitas sebelumnya pasti tidak tercapai. Aktivitas harus berubah agar tujuan dapat tercapai,” jelas In. Menurut In, terdapat dua hal yang perlu diperhatian dalam sebuah UKM yaitu talent development dan organization development. “UKM

24

itu berbasis pada minat, bakat, dan talenta. Maka harus jelas proses pengembangan talentanya yang mungkin berdasarkan tujuan, sedangkan pengembangan organisasi berkaitan dengan regenerasi, penyusunan kegiatan, hingga pemeliharaan barang yang digunakan dalam pengorganisasian,” terangnya. Terlepas dari pengembangan talenta dan organisasi, In juga menjelaskan landasan secara umum yang terdapat di dalam Statuta USD tentang organisasi yang berfungsi untuk membantu pengembangan mahasiswa. “Supaya mahasiswa itu berkembang, kita harus bisa mendiagnosanya. Seperti dari segi organisasi dan talenta. Kita harus tahu talenta dia (mahasiswa) di mana agar kita bisa membantu,” tuturnya. Saat ditanya mengenai dasar bagi setiap UKM di USD, beliau menerangkan bahwa hal itu sudah terlampir di dalam KOK tentang landasan kerja. Menurutnya, isi dari KOK belum solid karena setiap UKM atau badan kepengurusan belum menyetujui sepenuhnya. “Misalnya, KOK itu sudah disetujui rektor tapi ada pihak dari UKM atau Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) dan yang lainnya tidak setuju, berarti harus diselesaikan masalahnya itu apa agar kampus dapat mendukung,” ucap In. Selanjutnya, ia menjelaskan dasar bagi setiap organisasi harus memiliki tujuan yang jelas. Dasar yang jelas dapat membantu pembuatan syarat khusus untuk mendirikan sebuah UKM dan tetap berlandaskan pada KOK. “Ada KOK, tapi itu belum solid bahkan belum valid. Mau dipake, lah, belum tanda tangan semuanya. Besok bagaimana caranya agar dasarnya harus jelas,” ujar In. Lanjutnya, ketika ada beberapa


liputan kampus mahasiswa yang tidak setuju maka akan sulit untuk mendapatkan dukungan dari kampus karena bisa dikatakan belum kompak. “Sesuai dengan yang terlampir di Statuta, dibuat dari, untuk, dan oleh mahasiswa sehingga tidak bisa diubah menjadi dari mahasiswa oleh WR III. Maka untuk mengetahui pengorganisasiannya seperti apa, harus ada rembukan-rembukan antara UKM dan pihak WR III.”

UKM Kopma menerangkan fungsi dari AD/ART dalam organisasi Kopma sebagai dasar untuk membuat aturan baru. “Misalkan kemarin di AD/ ART belum di-

Ilustrasi: Ahmad NW

Namun, In menyarankan kepada semua mahasiswa yang terlibat di dalam UKM agar ke depannya harus diatur secara substansi prinsip mahasiswa dalam mendukung perkembangan. “Jadi mahasiswa perlu menyadari bahwa rule of the game dalam arti peraturan dalam pengorganisasian itu penting untuk mendapatkan dukungan dari kampus seperti dana dan dukungan lainnya,” tuturnya. Merumuskan Tujuan dalam Landasan Kerja Landasan kerja yang digunakan tiap UKM di USD tidak semuanya serupa, akan tetapi fungsinya tidak jauh berbeda dalam pengorganisasian. Seperti UKM Koperasi Mahasiswa (Kopma) yang menggunakan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai landasan kerja. Aldo yang menjabat sebagai ketua

cantumkan bahwa syarat untuk menjadi anggota kopma itu harus seperti apa? Setelah kami lihat masih ada kelemahan-kelemahan, nah dari dasar itu kita bisa perbaiki lagi,” pungkasnya.

Ia juga menjelaskan bahwa pembuatan atau revisi landasan kerja melibatkan seluruh anggota UKM. Para anggota dapat memberikan pendapat yang nantinya akan dibahas secara bersama-sama. “Yang tidak sesuai dengan apa yang kita lakukan atau mengganggu kinerja akan dihapus. Kalo misalnya ada yang menghambat gerakan kita biasanya ditambahi,” jelas Aldo. Selain UKM Kopma, UKM Teater Seriboe Djendela (TSD) juga menggunakan AD/ART sebagai landasan kerja. Dionisius Bimana Wintang Pradipta yang akrab dipanggil Ciu, selaku Lurah TSD (ketua UKM) mengatakan landasan yang digunakan berfungsi untuk mengatur sistem kerja dalam kepanitiaan atau pementasan dan pemilihan pengurus. Tidak jauh berbeda dengan UKM TSD, Victor Wijaya, ketua UKM Mapasadha yang menggunakan Pedoman Umum dan Pedoman Khusus (PUPK), menjelaskan landasan

25


liputan kampus yang digunakan UKM Mapasadha berfungsi sebagai dasar untuk menjalankan organisasi. Berbeda dengan UKM Kopma dan TSD, Yuka, ketua UKM Korps Suka Rela (KSR), menjelaskan landasan kerja yang digunakan adalah Prosedur Tetap dan Pedoman Umum (PROTAP dan PU) tetapi tetap mengacu pada AD/ ART dari Palang Merah Indonesia (PMI) pusat. Menurutnya, AD/ART tersebut berfungsi sebagai acuan untuk mengukur pelaksanaan tugas KSR yang masih kurang atau sudah melampaui, dan sebagai pelindung serta tolak ukur keberhasilan KSR. “Semua tugas yang telah dijalankan tetap mengacu pada AD/ART, jadi kami tidak akan melampauinya,” tambahnya. Di sisi lain, UKM Paduan Suara Mahasiswa (PSM) Cantus Firmus hanya menggunakan Rencana Kegiatan dan Anggaran (RKA) untuk mengatur pengorganisasiannya. Menurut Bagas, RKA yang digunakan sudah sesuai dengan kegiatan yang dilakukan PSM. “Rencana kegiatan kita masukan ke dalam RKA, kemudian meminta persetujuan dari WR III,” kata ketua UKM PSM Cantus Firmus itu. Di samping itu, In mengatakan UKM yang saat ini tidak (belum) menggunakan landasan kerja bukan berarti tidak memilikinya. “Kalau tidak ada yang tertulis itu bukan berarti tidak berdasar. Dasarnya kembali ke sini (Statuta), hanya belum diwujudkan,” imbuhnya. Lebih lanjut, ia menjelaskan belum adanya landasan kerja bukan berarti organisasi itu tidak sah. UKM yang belum memiliki landasan kerja bisa saja disebabkan karena pengalaman atau proses masing-masing yang berbeda. “Seperti UKM yang sudah tua, berbeda dengan UKM yang baru be-

26

berapa tahun didirikan. Lamanya sebuah UKM juga menentukan solidnya sebuah organisasi,” tambah WR III itu. Namun, dalam wawancaranya dengan awak natas, ia sempat menyinggung jika landasan kerja itu penting dan harus dimiliki oleh setiap UKM. Di pihak lain, Shinta, anggota pengurus UKM Kopma, mengatakan hal yang sama bahwa setiap UKM seharusnya memiliki landasan kerja sebagai dasar. “Kalau kita tidak ada dasarnya, kita mau bawa UKM itu ke mana? Kan tidak ada dasarnya yang dapat diacu,” ucapnya. Selaras dengan peryataan tersebut, Ciu mengatakan ada atau tidaknya landasan kerja tergantung dari kebutuhan dan tujuan tiap UKM. Katanya pula, setidaknya setiap UKM memiliki pedoman lain yang dapat digunakan sebagai acuan dalam menjalankan organisasi. Senada dengan Ciu, Yuka mengatakan bahwa tidak bisa memaksakan suatu UKM untuk memiliki landasan kerja. Akan tetapi, terdapat aturan yang valid sebagai patokan dan acuan agar lebih mudah dipantau oleh pihak BEMU dan WR. “Kalau tidak punya landasan kerja ‘sayang’, kalau punya lebih baik,” tambah Yuka. In berharap agar ke depannya semua UKM di USD memiliki landasan kerja yang dapat menentukan tujuan dari masing-masing organisasi. Ia menambahkan setiap UKM harus menentukan hal yang hendak dicapai, jika sudah sepakat dengan tujuan tersebut diharapkan dapat memperlancar pengorganisasian. “Untuk mencapai tujuan itu bangunlah sebuah passion. Baik secara personal di dalam UKM ataupun organisasi,” tuturnya. Fika Rosario Labobar


liputan kampus

liputan kampus

Gerak-Gerik BEM USD “Organisasi itu tentang identitas, karakter, asal, dan budaya. Garis besar dalam dasar-dasar organisasi adalah dasar-dasar berorganisasi, planning dan peran budgeting dalam keorganisasian bagi mahasiswa,” kata Robertus In Nugroho Budisantoso, S.J, selaku Wakil Rektor III saat workshop Dasar-dasar Berorganisasi Bagi Mahasiswa, di ruang kelas Universitas Sanata Dharma (USD), pada Sabtu (04/11) silam.

B

erdasarkan data dari website resmi USD, disebutkan saat reformasi 1988 setiap perguruan tinggi di Indonesia diwajibkan untuk membentuk student government (pemerintahan mahasiswa). Hal ini disebabkan munculnya rasa ketertekanan lembaga kemahasiswaan oleh ketatnya biroksasi kampus. Berawal dari hal itu, maka mahasiswa menginginkan suatu sistem lembaga mahasiswa yang maju, dinamis dan lebih mandiri. Selanjutnya, dalam memajukan kecerdasan yang bukan hanya intelektual tetapi juga kecerdasan emosi. Maka terbentuklah organisasi kemahasiswaan yang harus terus diperbaharui, didukung penuh untuk menyampaikan aspirasi mahasiswa dan menjadi

perantara antara mahasiswa dan pengajar. Dalam laman tersebut juga dijelaskan struktur lembaga keorganisasian mahasiswa ditandai dengan perbaharuan Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK) menjadi Konstitusi Organisasi Kemahasiswaan (KOK). Dalam PUOK terdapat Senat Mahasiswa (Sema), sedangkan yang tercantum pada KOK berubah menjadi dua lembaga, yaitu Badan Perwakilan Mahasiswa Universitas (BPMU)—berfungsi sebagai badan aspiratif dan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU)—berfungsi sebagai lembaga operasional kemahasiswaan dan Badan Eksekutif Mahasiswa. Keduanya saling melengkapi demi kemajuan generasi bangsa yang lebih

27


liputan kampus memiliki daya saing dan dapat diandalkan di setiap segi kehidupan. Kinerja BEMU Salah satu tugas dari BEMU yaitu mengakomodasi dan mengoordinasi setiap kegiatan mahasiswa. Ditemui pada Rabu (23/10), Herman Yosef Cahyono selaku Presiden BEMU USD periode 2016/2017 menegaskan tugas dan fungsi BEMU adalah sebagai badan lembaga eksekutif yang mengoordinasi semua kegiatan mahasiswa dalam bidang kurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler kemahasiswaan. “Semua kegiatan mahasiswa yang dikoordinasi sebagai jembatan antara rektorat dan mahasiswa,” jelasnya. Ia mengemukakan bahwa sudah banyak program kerja yang dikerjakan oleh BEMU, salah satunya mengadakan kampanye dan aksi di Jogja City Mall. Kegiatan itu dilakukan untuk mendorong mahasiswa agar terlibat dalam kaderisasi. “Maksudnya dengan mahasiswa ikut terlibat dalam aksi itu bisa menumbuhkan jiwa kepemimpin dan diharapkan dapat menjadi kandidat presiden baru sesuai visi misi saya, rumah lahirnya para pemimpin,” ungkap Herman. Lanjutnya pula, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja sama dengan BEMU saat ini sedang menjalankan kaderisasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden BEMU periode 2017/2018 Di samping itu, Herman mengatakan sejauh ini program kerja yang telah diterapkan oleh BEMU sudah terlaksana dan belangsung cukup baik. “Beberapa program kerja yang awal hanya ada satu program. Namun, di pertengahan satu program kerja itu digabungkan agar pelaksanaanya lebih efisien dan efektif,” ujarnya. Ia melanjutkan program kerja yang belum terealisasi sampai

28

sekarang yaitu dari Menteri Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). ”Salah satunya ingin mengadakan panggung terbuka untuk teman-teman dari UKM tapi belum terlaksana karena teman-teman dari UKM masih sibuk,” ungkapnya lagi. Pada masa kepengurusan periode 2016/2017, BEMU memiliki badan kementerian baru yang sebelumnya belum tercantum di dalam bagan struktur kementrian yaitu Kementerian Advokasi. Herman mengatakan periode sebelumnya memang sudah ada Advokasi, namun belum dimasukkan ke dalam bagan kementerian yang tugasnya menampung segala bentuk aspirasi mahasiswa serta menjaga jaringan komunikasi antara mahasiswa dan BEMU. “Dalam periode saya ada Kementerian Advokasi, tugasnya lebih kepada mendengarkan aspirasi mahasiswa untuk dijadikan bahan evaluasi,” ujarnya. Lebih lanjut, ia mengatakan jika ingin memberikan kritik dan saran bisa melalui Kementerian Advokasi atau kotak surat yang berada di depan ruang BEMU. Berkenaan dengan program kerja yang diterapkan oleh BEMU, Raymond Mahesa Jaya, ketua PROCESS atau Himpunan Mahasiwa Program Studi (HMPS) Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) mengatakan bahwa BEMU sudah sangat baik dalam mewadahi aspirasi mahasiswa dan membangun komunikasi antarhimpunan program studi. ”Bisa dilihat dari adanya sosialisasi tidak hanya melalui media sosial, tetapi BEMU turun langsung ke lapangan dan mengajak HMPS untuk terlibat aktif,” tuturnya. Senada dengan pernyataan ketua PROCESS, anggota HMPS Sastra Indonesia (Sasindo), sebut saja Yuni (nama samaran) mengatakan bahwa kebijakan yang diterapkan oleh BEMU sudah cukup baik dalam mewadahi aspirasi mahasiswa, terutama


liputan kampus dengan adanya media sosial BEMU. Menurutnya, media sosial dapat memudahkan mahasiswa dalam memberikan aspirasi. Pendapat berbeda diutarakan oleh ketua BEMF Ekonomi, Petrus H. S. Saman mengatakan sejauh ini BEMU hanya sekadar menampung aspirasi mahasiswa tetapi belum terealisasi sepenuhnya. ”Sangat kami rasakan sekali dalam masalah ruangan yang sampai sekarang belum tercapai karena kami (BEM FE) membutuhkan ruangan untuk rapat,” ungkapnya. Victor Wijaya, selaku ketua UKM Mapasdha juga mengatakan bahwa sejauh ini kinerja BEMU masih belum terlihat secara menyeluruh dalam melakukan program kerja. ”Saya belum merasakan kehadiran BEMU untuk melakukan sesuatu. Seharusnya dalam melaksanakan sesuatu atau program kerja yang dilihat yaitu usaha, bukan hanya penilaian semata,” jelasnya. Baginya, BEMU lebih efektif jika turun ke lapangan dan berperan sebagai mahasiswa, bukan sebagai BEMU agar tidak terkesan ada rasa sengang di antara BEMU dan mahasiswa. Hal senada dikatakan oleh ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Farmasi (BEMF), Tosan Aji mengatakan program kerja yang dilakukan oleh BEMU hanya terasa di awal saja, tetapi semakin hari kurang terlihat kinerjanya dalam memberikan sosialisasi kepada mahasiswa. ”Mulai terlihat sekarang BEMU kurang turun ke lapangan walaupun awalnya terasa sekali kehadiran BEMU di tengah mahasiswa,” katanya. Tidak jauh berbeda dengan Tosan dan Victor, ketua HMPS Sastra Indonesia, Kabrina Rian mengatakan bahwa BEMU kurang memberikan sosialisasi terhadap para mahasiswa, terutama kepada

mahasiswa Prodi Sastra Indonesia. Selain itu, Gratianus Daeli, ketua BEMF Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), mengatakan ada beberapa miss-komunikasi serta koordinasi yang masih terasa kurang dilakukan oleh pihak BEMU. “Contohnya saja saat Latihan Kepemimpin Mahasiswa (LKM) yang bertabrakan dengan acara BEMU yaitu Pekan Kegiatan Mahasiswa sehingga anggota dari BEM FKIP tidak bisa berpartisipasi begitupun sebaliknya,” pungkasnya. Selaras dengan pernyataan tersebut, Petrus juga mengatakan bahwa sering terjadi miss-komunikasi dengan BEMU saat melakukan kunjungan secara mendadak. Simpang Siur Sosialisasi BEMU Fungsi Badan Eksekutif ialah memberikan sosialisasi guna menjembatani antara mahasiswa dan BEMU. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Herman bahwa sosialisasi difungsikan sebagai media dalam tujuan menyebarluaskan program kerja kepada mahasiswa. “Sosialisasi dilaksanakan dengan terjun langsung untuk membahas agenda-agenda BEMU serta menampung aspirasi dari para mahasiswa,“ terangnya. Terkait dengan hal tersebut, Raymod mengaku sosialisasi yang diberikan kepada HMPS telah membuktikan bahwa BEMU tidak bekerja hanya melalui media sosial saja, tetapi mengajak secara langsung untuk terlibat dalam segala kegiatan. Namun, Gratianus berpendapat sosialisasi yang dilaksanakan oleh BEMU akan lebih baik disesuaikan dengan kebutuhan para mahasiswa. “Saat ini mahasiswa mengalami apatis bisa dilihat dari keterlibatan mahasiswa dalam mengikuti kegiatan bahkan beberapa mahasiswa menganggap kegiatan yang diadakan oleh

29


liputan kampus

Rapat bersama anggota Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sanata Dharma. Sumber: BEM USD

BEMU kurang berfaedah,” tuturnya Dalam hal ini, Tosan justru menilai sosialisasi yang diberikan oleh BEMU hanya terlihat lewat online chat. “Harapan kami seharusnya BEMU bisa turun ke lapangan agar lebih intensif membaur dengan teman-teman USD,” tegasnya. Pandangan berbeda disuarakan oleh Victor. Ia mengutarakan bahwa BEMU harus memposisikan diri sebagai pihak yang netral antara Rektorat dan mahasiswa. “Dengan begitu, BEMU juga harus mencari tahu apa yang menjadi keresahan mahasiswa dan mencari solusinya bersama-sama agar semua masalah yang dialami oleh mahasiswa bisa teratasi,” jelasnya. Menanggapi perihal tersebut, Herman mengatakan hal ini membuat dilema karena beberapa mahasiswa terkadang tidak proaktif dalam kegiatan yang diselenggarakan oleh BEMU. “Sebenarnya ini menjadi pertimbangan, apakah

30

BEMU yang kurang memberikan sosialisasi atau mahasiswa yang kurang menyadari untuk mencari tahu kegiatan BEMU,” ujarnya. Katanya pula, periode mendatang akan dibentuk pembaruan sistem kerja guna menanggapi keresahan mahasiswa tentang kinerja dan kehadiran BEMU. Di samping itu, In menilai bahwa kinerja BEMU sudah berjalan cukup baik, namun masih ada beberapa program kerja yang belum tercapai. Melalui hasil tersebut BEMU diharapkan bisa belajar agar program kerja di periode berikutnya dapat terealisasi secara maksimal. “Semua pencapaian kinerja itu butuh rencana yang matang dan beberapa program kerja yang belum berjalan dengan baik akan dijadikan sebagai bahan pembelajaran, ‘Feeling to plan is planning to feel, Gagal merencanakan adalah merencanakan kegagalan’,” serunya. Irene Lejap



gaung sumbang

Luas dalam Pergaulan, Kritis dalam Pemikiran

N

In Nugroho Budisantoso

emo dat quod non habet. Ungkapan berbahasa Latin tersebut dapat diindonesiakan menjadi: “Seseorang tak mungkin memberikan sesuatu bila ia tak memilikinya.” Jika hal ini dihubungkan dengan seorang muda yang ingin menjadi guru—misalnya—ia pertama-tama perlu belajar aneka hal yang dibutuhkan demi hadirnya sosok karakter guru pada diri, dan cara hidupnya sebelum pada akhirnya menjalani profesi sebagai guru. Demikian juga jika seorang muda ingin menjadi peneliti ekonomi, kritikus sastra, ahli kejiwaan, programer game online, atau semacamnya, ia tidak mungkin hadir sebagai sosok yang diidamkannya itu tanpa pengetahuan dan keterampilan yang memadai dan teruji sebelumnya. Tulisan ini hendak meninjau secara ringkas “bagaimana proses menjadi sosok yang diidamkan” itu dalam perspektif Paradigma Pedagogi Ignasian, yang menjadi prinsip dasar penyelenggaraan pendidikan di Universitas Sanata Dharma (USD). Dengan judul “Luas dalam Pergaulan, Kritis dalam Pemikiran” dimaksudkan bahwa arena pendidikan orang muda di USD ditempuh melalui: (1) perjumpaan dengan berbagai situasi yang berkembang di tengah dunia dan (2) pengolahan diri yang menumbuhkan sensibilitas intelektual berbela rasa. Apa yang pada akhirnya dimiliki dan dibagikan oleh orang-orang muda yang melewati arena pendidikan di USD adalah kapabilitas etis atau kapasitas menghadirkan diri dengan pengetahuan, kemauan, dan kemampuan yang sambung dengan kontributif terhadap konteks yang ada. Tiga pokok gagasan dibahas dalam tinjauan ini, yaitu: (1) pengertian Paradigma Peda-

32

gogi Ignasian, (2) dunia yang terus berubah sebagai konteks pendidikan, dan (3) orang muda sebagai warga masyarakat yang berkapabilitas etis melalui pengenalan akan situasi aktual dan keputusan untuk mengeksplisitkan kehadiran yang berdaya ubah. Apa Itu Paradigma Pedagogi Ignasian? Paradigma Pedagogi Ignasian adalah prinsip dan wawasan pendidikan yang dijalankan di semua institusi pendidikan Yesuit di seluruh dunia dan yang bersumber dari pengalaman Santo Ignatius Loyola (1491 – 1556), seorang berkebangsaan Spanyol dengan latar belakang militer yang mengubah jalan hidupnya menjadi seorang yang mencari kesempurnaan diri melalui olah rohani. Ignatius mengumpulkan kawan-kawannya semasa studi di Paris menjadi satu kelompok sahabat yang berkomitmen untuk mengabdikan diri sebagai pribadi-pribadi merdeka yang memberi manfaat kepada masyarakat seturut arahan Paus, pemimpin Gereja Katolik. Di kemudian hari kelompok ini dikenal sebagai para Yesuit yang tergabung dalam Ordo Serikat Yesus, yang disahkan keberadaannya oleh Paus Paulus III pada 27 September 1540. Pengolahan rohani Ignatius dicatatnya sendiri dalam sebuah buku, yang diberi judul Latihan Rohani. Buku ini hingga sekarang dipergunakan sebagai panduan dalam proses pengolahan rohani selama menjalani retret 30 hari, baik oleh para Yesuit sendiri atau pribadi-pribadi lain dengan bimbingan seorang Yesuit. Pokok-pokok gagasan sebagai buah dari pergulatan spiritual Ignatius pada buku tersebut diterapkan pula dalam konteks pengelolaan dan pengembangan karyakarya para Yesuit, seperti: pendidikan, pelayanan


gaung sumbang paroki/kegerejaan, gerakan sosial, dan semacamnya. Terkait dengan ini, dalam lingkup karya pendidikan dikenal Paradigma Pedagogi Ignasian (biasanya disingkat PPI). Pokok-pokok gagasan

yang diungkap dalam PPI untuk pertama kalinya muncul dalam suatu dokumen Yesuit, yaitu Ratio Studiorum, yang terbit pada tahun 1599. Paradigma Pedagogi Ignasian dapat dimengerti sebagai suatu jalan belajar dan metode pengajaran dalam proses-proses pendidikan yang memperjumpakan realitas hidup di tengah dunia dengan pengalaman personal seseorang. Ada tiga komponen kunci pada PPI ini, yaitu: pengalaman, refleksi, dan tindakan. Pengalaman merupakan keterlibatan aktif seorang pembelajar yang dengan cipta, rasa, dan karsanya menjalankan aktivitas-aktivitas. Refleksi merupakan upaya seorang pembelajar untuk menemukan makna personal dari aktivitas-aktivitas yang dijalaninya. Adapun tindakan merupakan bentuk perbuatan berwawasan makna dan nilai yang diyakini dan dipilih oleh seorang pembelajar untuk dihidupi dan dikembangkan dalam kebebasan dan otonominya sebagai manusia. Tiga komponen kunci tersebut ditempuh dengan bertitik tolak dari suatu pengenalan akan konteks situasi yang aktual, dan dilengkapi dengan usaha mengevaluasi seluruh proses yang sudah dilalui demi munculnya suatu sikap baru dalam memasuki konteks yang sudah berubah. Gambar di samping memperlihatkan dinamika PPI. Dunia yang Terus Berubah Berbagai aktivitas pendidikan berada dalam konteks situasi yang khas. Konteks situasi itu tidak pernah statis melainkan berubah dari

waktu ke waktu atau dinamis, dan bersifat heterogen bila menyangkut kawasan satu dan kawasan-kawasan lainnya. Sebagai gambaran saja, dewasa ini—sejak ditemukan dan diterapkannya aneka bentuk piranti berbasis teknologi informasi pada kehidupan manusia—berbagai cara komunikasi dan kerja orang berbeda daripada yang terjadi pada masa-masa sebelumnya. Dalam tulisan di harian Kompas (18 Oktober 2017), Prof Rhenald Kasali bahkan memaparkan bahwa, oleh karena fenomena disruption yang diakibatkan oleh perkembangan teknologi, sejumlah jenis pekerjaan seperti penerjemah dan akuntan akan menghilang, serta aneka jenis pekerjaan yang sebelumnya tidak dikenal mulai bermunculan seperti barista, drone operator, social entrepreneur, big data analyst, game developer, dan cyber psychologist. Kondisi seperti ini tentu mempengaruhi bagaimana pendidikan direncanakan dan dijalankan. Kondisi dunia yang berubah dan dinamis tersebut oleh sejumlah ilmuwan (misalnya dalam Nandram dan Bindlish, 2017) dilukiskan sebagai terjadinya fenomena VUCA: volatility (perubahan-perubahan terjadi dalam tempo supercepat dan tak terduga), uncertainty (hal-hal yang sebelumnya pasti memberikan solusi tidak berfungsi lagi), complexity (kerumitan luar biasa dalam relasi antarindividu dan kelompok), dan ambiguity (adanya berbagai jalan dalam merumuskan makna). Berada dalam konteks VUCA, arena dan proses pendidikan yang setting, method, dan content-nya cenderung lamban berubah seperti tampak pada penataan ruangan kelas, usaha menyerap pengetahuan dengan cara menghafalkan, dan pengajaran yang berupa transfer isi buku ajar, memperoleh tantangan yang besar. Pesan dari gambaran situasi ini amat jelas, yaitu bahwa apa-apa yang secara tradisional dipandang baku dan tampak sulit diubah sudah saatnya ditata ulang dan ditempuh dengan cara yang baru, supaya arena dan proses pendidikan mampu menghadirkan relevansinya terkait dengan formasi manusia muda dalam membangun kemanusiawiannya di tengah tantangan zaman. Berada dalam situasi dunia yang sarat perubahan, USD dengan PPI-nya sesungguhnya menyediakan sarana fundamental untuk tersedianya arena dan proses pendidikan yang mampu mem-

33


gaung sumbang

Ilustrasi: Julia Noor

perjumpakan fenomena yang berlangsung di tengah dunia, termasuk disruption dan VUCA tersebut, dengan pengalaman personal seseorang yang belajar maupun yang mengajar. Kapabilitas untuk mengenal secara memadai konteks hidup manusia seperti itu dapat membangun karakter pembelajar maupun pengajar yang well-informed. Hanya seseorang dengan kecukupan pengetahuan dan informasi mengenai dunianya yang pada akhirnya sanggup menentukan sikap: di mana harus berdiri dan ke mana harus pergi. Dengan

34

lain kata, titik tolak proses pendidikan untuk “menjadi sosok yang diidamkan� adalah pertama-tama mengakui keberadaan masalah-masalah dan lalu memahaminya. Dalam terminologi Yesuit, hal itu diungkapkan dengan: kesanggupan untuk “memeluk dunia�. Orang Muda sebagai Warga Masyarakat yang Berkapabilitas Etis Kenyataan dunia yang terus berubah itu, entah secara langsung atau tidak langsung, turut


gaung sumbang membentuk mentalitas dan gaya hidup orang muda yang tengah belajar di USD. Perkembangan teknologi informasi dan maraknya penggunaan aneka platform social media—misalnya— teridentifikasi telah mempengaruhi cara mahasiswa dalam berkebiasaan dan membangun sikap. Sudah jamak diketahui bahwa kegiatan mencatat yang melibatkan psikomotorik dan konsentrasi cenderung ditinggalkan serta berganti dengan kegiatan memotret bahan ajar yang dijalankan secara sekejab. Kegemaran dalam membuat status di social media dengan pernyataan-pernyataan yang pendek dan spontan cenderung pula melemahkan nyali, gairah, dan ketahanan ketika orang diminta untuk menyusun suatu pemaparan gagasan yang lebih komprehensif dengan disiplin pemikiran yang ketat dan logika yang lurus. Bahkan, kebiasaan untuk nge-like suatu tampilan di social media, termasuk tampilan mengenai kegiatan kemanusiaan dan ajakan untuk terlibat di dalamnya, justru dapat mengaburkan pemahaman mengenai makna keterlibatan sosial itu sendiri; sebab, tindakan nge-like—yang tentu tidak sama dengan tindakan berada di lapangan—terlanjur dipandang sebagai keterlibatan yang nyata. Belum tumbuhnya habitus refleksi terhadap kebiasaan menggunakan instrumen-instrumen teknologi dalam menjalani proses belajar sesungguhnya berpotensi kontraproduktif. Jika sistem-sistem yang disediakan oleh teknologi masuk ke radar pemahaman seorang pembelajar sebagai sesuatu yang given atau bahkan natural, maka ia akan menerima semua yang terhubung dengan teknologi sebagai sesuatu yang total dan mutlak, atau tidak menimbulkan satu pun pertanyaan. Padahal sistem hanyalah satu model pengaturan hidup pada suatu masa tertentu, dan bukan sesuatu yang sifatnya alamiah. Bahkan, teknologi yang awalnya berada dalam kontrol penciptanya, yaitu manusia, dapat lalu cenderung memangsa penciptanya bila manusia tak pernah berkesempatan dan mahir dalam meninjau dan mempertimbangkan kebermaknaan dari pilihan aktivitas-aktivitas yang bersentuhan dengan teknologi. Maka, di sana momentum belajar dalam rangka membangun kemanusiawian dan membentuk diri yang memiliki otonomi susah terjadi. Yang terjadi malahan seorang muda pembelajar, yang sebetulnya terbuka untuk perkembangan manusiawi, menjadi terdikte untuk mengikuti cara teknologi beroperasi. Filsuf Martin Heidegger, melalui artikel “The Question Concerning

Technology” (1977), dalam hal ini mengingatkan bahwa pada teknologi terdapat modus “enframing” yang sanggup menjerat manusia untuk mempunyai setting pemikiran yang diambil secara total dari sudut dominasi teknologi dan bukannya dari sudut pandang manusia yang merdeka. Relasi antara orang muda yang sedang belajar di universitas dan teknologi yang cenderung lebih kuat daripada relasi antara orang muda itu dan orang-orang di sekitarnya—padahal mereka ini bagian dari warga masyarakat—memungkinkan terjadinya separasi antara mahasiswa dan komunitas hidup bersama di mana mahasiswa berada. Mengenai hal ini, pendidikan ala universitas Yesuit dengan PPInya justru mendorong agar mahasiswanya, alihalih memelihara separasi antara individu dan lingkungan hidupnya, lebih membangun proses pembelajaran yang sambung dengan suka-duka sesama melalui upaya mengenal konteks hidup dan memposisikan diri di dalam konteks itu. Hingga, di situ ia menemukan diri yang happy, open, dan transformative karena “memahami konteks”, “mempunyai relasi yang khas dengan konteks itu”, dan mampu mengekspisitkan kehadiran yang berdaya ubah sebagai sosok terdidik. Di situ sesungguhnya seorang pembelajar membangun kapabilitas etis, yaitu kapasitas manusiawi untuk berpengetahuan, berkemauan, dan berkemampuan secara memadai sebagai pribadi yang semakin utuh, bukan karena melepaskan diri dari persoalan, melainkan karena keputusannya dalam membangun relasi-relasi dengan lingkungan sekitarnya. Semuanya itu tidak mungkin ada dan berkembang pada diri seseorang bila yang bersangkutan hanya belajar dari buku (teks) dan sama sekali tidak berjumpa dengan peristiwa nyata (konteks). Maka, di situ, seorang pembelajar sejati “luas dalam pergaulan, kritis dalam pemikiran”. Berkenaan dengan itu, sebagai catatan akhir, Peter-Hans Kolvenbach, S.J. (1928 – 2016), dalam sebuah pidato di Santa Clara University, California, pada tahun 2000 sebagai Jenderal Ordo Serikat Yesus menyatakan bahwa perjumpaan dengan realitas memungkinkan seseorang mengalami pertumbuhan sebagai pribadi yang utuh (cerdas dan humanis), sosok-sosok yang memiliki “a well-educated solidarity”.

35


Rujukan:

“Tomorrow’s ‘whole person’ cannot be whole without an educated awareness of society and culture with which to contribute socially, generously, in the real world. Tomorrow’s whole person must have, in brief, a well-educated solidarity. We must therefore raise our Jesuit educational standard to ‘educate the whole person of solidarity for the real world.’ Solidarity is learned through ‘contact’ rather than through ‘concepts,’...”

Heidegger, M., 1977, “The Question Concerning Technology,” dalam M. Heidegger, Basic Writings, Edited by David Krell, New York: Harper and Row Jesuit Institute, 2014, Ignatian Pedagogy: An Abridged Version of the Document on Teaching and Learning in A Jesuit School, London: Jesuit Institute Kasali, R., 2017, “Inilah Pekerjaan Yang akan Hilang Akibat ‘Disruption’”, artikel dalam harian Kompas 18 Oktober 2017. Dapat diakses pada: http://ekonomi.kompas.com/ read/2017/10/18/060000426/inilah-pekerjaan-yang-akan-hilang-akibat-disruptionKolvenbach, P.-H., 2001, Universitas Yesuit dalam Terang Kharisma Ignasian, Seri Kajian Pendidikan Tinggi 1, Alih Bahasa dan Pengantar oleh M. Sastrapratedja, Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma __________, 2000, “The Service of Faith and the Promotion of Justice in American Jesuit Higher Education”, Pidato dalam Konferensi di Santa Clara University, California, bertajuk “Commitment to Justice in Jesuit Higher Education” pada Oktober 2000. Dapat diakses pada: https://www.scu.edu/ic/programs/ ignatian-tradition-offerings/stories/the-service-of-faith-and-the-promotion-of-justicein-american-jesuit-higher-education.html Nicolas, A., 2010, Tantangan Pendidikan Tinggi Jesuit Masa Sekarang, Seri Kajian Pendidikan Tinggi 6, Alih Bahasa: Francis Borgias Alip, Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma Sharda S. Nandram & Puneet K. Bindlish (eds.), 2017, Managing VUCA Through Integrative Self-Management: How to Cope with Volatility, Uncertainty, Complexity and Ambiguity in Organizational Behavior, Springer

36


pers kita

Gerakan Persma (Kembali) Mengarsip

J

acques Pangemanann adalah agen telik sandi pemerintahan kolonial di balik pembabatan gerakan nasionalisme di Hindia Belanda. Salah satu korbannya adalah Minke. Ia diasingkan, Medan Prijaji sebagai anak rohaninya diberedel dan dimiskinkan secara sistematis. Ambtenaar pemerintahan kolonial Hindia Belanda ini pula yang memaksa Minke menandatangani sebuah berkas berisikan persetujuan untuk tak mencampuri urusan politik dan organisasi, yang tak lain adalah Syarekat Islam. Capaian besar ini, tak lain buah dari ketekunan Pangemanann sebagai arsiparis: membaca kembali tulisan-tulisan Minke. Melalui politik kearsipan itulah, ia berhasil merumah-kacakan Minke. Di atas adalah cuplikan Rumah Kaca, buku keempat dari kuartet Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Pram berbicara tentang Minke sebagai subjek laten melalui politik kearsipan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dipilihnya Pangemanann sebagai tokoh penggerak cerita, Pram bermaksud memberi inspirasi yang menggugah ihwal dampak dahsyat dari kegiatan mengarsip.

Belanda. Arsip, bukan semata soal usaha menyimpan, tetapi juga penggunaannya untuk kepentingan ekonomi penjajah. Kegiatan mengarsip adalah aktivisme. Penting untuk dilakukan, berdampak besar dalam waktu, tetapi kerap diremehkan. Pada 19 September 2017, organisasi nirlaba yang bergerak dalam pengarsipan seni, Visual Art Inspired Learning Space (IVAA) mengadakan sebuah acara yang bertajuk “Festival Arsip: Kuasa Ingatan�. Agenda besar yang dibawa ialah menempatkan arsip sebagai garda depan dari politik ingatan. Festival Arsip menjadi katalisator betapa penting gerakan mengarsip. Kita, masyarakat biasa diajak (kembali) untuk turut terlibat memproduksi sumber pengetahuan. Berperan menjadi bagian dari dinamisator politik pengarsipan bangsa kita. Sebagai pengarsip personal atau komunitas serta organisasi tempat kita berada. Setelah pemaparan, alasan kegiatan aktivisme ini dirasa penting. Sudahkah pers mahasiswa, secara organisasi, mengarsipkan media massa yang saban bulan dan tahun diproduksi?

Sejarah membuktikan, penjajah melakukan permainan kepemilikan dominasi spasial di mana ada pihak dengan kapasitas lebih besar mengontrol arus informasi melalui arsip akan keluar sebagai pemenang. Abad 19, pemerintah Hindia Belanda membayar fotografer resmi untuk mendokumentasikan monumen dan artefak di Jawa—yang seakan-akan dilakukan guna mendukung riset arkeologis. Muhidin M. Dahlan dalam Pengarsipan Total menyebut penjajah menggunakan kamera sebagai alat propaganda nilai-nilai kolonial yang vital, guna menangkap praktik-praktik kolonial secara tercetak di Nusantara, dalam rangka membangun kekaisaran berbasis pengetahuan kearsipan dan tak terpisahkan dari rezim keamanan nasional.

Saya lalu mencari sumber bacaan untuk menemukan arsip organisasi pers mahasiswa (persma) mana saja yang mencatat atau menyimpan arsip mereka sendiri. Ada beberapa persma yang telah melakukan pengarsipan secara mandiri, ada juga yang belum.

Pangemanann dan juru foto itu dibayar untuk melakukan olah data bersumber arsip yang berguna mengamankan pemerintah Hindia

Dari pengalaman saya, persma-persma yang sudah sadar akan pentingnya mengarsip pun hanya sampai pada pembundelan bule-

Ada pula beberapa persma yang terbantu dengan penelitian skripsi seperti, Pabelan UMY Solo, Isola Pos UPI Bandung, Balairung UGM Yogyakarta, Kavling 10 Unbraw Malang. Tetapi, penelitian skripsi seperti itu kebanyakan mencangkup spasial daerah di mana beberapa persma berada. Jadi, tidak hanya berfokus pada satu persma dalam satu penelitian. Eh, skripsi itu sudah disimpan belum kawan-kawan persma?

37


Ilustrasi: Yohakhim Ragil

pers kita

tin atau majalah secara fisik. Belum merambah pada pemanfaatan teknologi digital mutakhir. Padahal, pemanfaatan teknologi digital adalah solusi untuk menambah ruang keterbacaan produk-produk persma yang dikeluhkan oleh pegiat persma—yang katanya masih “diproduksi-sendiri-dibaca-sendiri-dinilai-sendiri.” Muhidin M. Dahlan, kerani Warung Arsip berpendapat lain. Teknologi adalah nomor dua. Banyak orang punya teknologi tetapi tidak tergerak untuk melakukan kerja seminimal mungkin. Dalam sebuah diskusi, pria kelahiran Palu yang kerap dipanggil Gus Muh itu berkata, “Saya betul-betul memanfaatkan apa yang saya punyai, yaitu semangat untuk memanfaatkan teknologi. Kalau tidak punya teknologi, ya gunting. Dari situ, pendokumentasian bermula.” Bandung Mawardi, arsiparis dan kuncen Bilik Literasi Solo juga mengamini perihal pentingnya mengarsip. Tanpa arsip, katanya, ia tak punya bahan tulisan. Arsip baginya adalah labirin menuju masa silam yang menakjubkan. Mengarsip adalah kegiatan sepi yang harus berbekal passion dan kemauan. Tanpa dua hal itu, mengarsip bukan lagi aktivisme, tetapi tuntutan kerja belaka. Medio 2014, JJ. Rizal dalam Jokowi dan Perpustakaan, mengkritik cara berpikir pemerintah kita di level tertinggi. Saat itu, ketika Jokowi masih sebagai gubernur Jakarta, memutuskan akan memindah pegawainya yang tidak cekatan

38

untuk dibuang ke perpustakaan. Dunia kearsipan masih dipandang sebagai dunia yang sarat dengan kemalasan serta keterbelakangan. Cara berpikir ini sama dengan istilah “dimuseumkan” yang ramai digunakan pada 1970-an. Pantas kemudian dunia arsip kita tak mengikuti gerak zaman. Pusat dokumentasi yang dikelola oleh pemerintahan kita belum juga mengarsipkan dengan serius catatan-catatan blog, status Facebook, atau kicauan yang muncul di Twitter sebagaimana dilakukan Library of Congress (LOC) sejak tahun 2000. Gudang arsip digital LOC telah menampung data sebesar 167 terabita. Mereka, rezim tuna-sejarah yang berpikir ahistoris. Padahal, arsip adalah nyawa sebuah bangsa, lengkap dengan segerbong kisah-kisah kemenangan dan kekalahannya. Sebagai paradigma, arsip kemudian bisa jadi gerakan bersama yang memungkinkan berdiri dan kukuhnya sebuah bangsa. Gerakan kolektif ini bisa dimulai di persma. Persma perlu melakukan gerakan mengarsip (kembali). Membudayakan arti penting arsip lalu mulai mengumpulkan dan mendigitalkan arsip persma mereka sendiri. Gerakan yang menolak lupa dan manipulasi pada sejarah bisa saja dilakukan oleh tempat mereka berada: kampus. Arci Arfrian Divisi Litbang PPMI Yogyakarta


opini

Geliat Perekonomian Kota Pendidikan

J

ika Anda tidak asing dengan Kota Yogyakarta, maka tidak asing pula dengan kehidupan mahasiswa yang berlangsung di dalamnya. Mulai dari warung dengan harga terjangkau, hingga kafe yang menyajikan kopi seharga Rp 20.000 per cangkir—tersedia di sini. Mahasiswa yang mengenyam pendidikan di Yogyakarta pun terdiri atas banyak suku, ras, dan daerah asalnya masing-masing. Kehidupan perkuliahan merupakan sebuah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan di kota “istimewa� ini. Tidak bisa kita mungkiri, pendidikan telah memberikan warna pada Yogyakarta. Perencanaan Pembangunan Seiring waktu, keberadaan pelbagai perguruan tinggi menyertai perkembangan Kota Yogyakarta. Dinamika keseharian masyarakat juga tidak lepas dari pengaruh keberadaan perguruan tinggi yang terus berkembang, baik dalam hal jumlah maupun daya tampungnya. Peningkatan kapasitas dan pendirian perguruan tinggi baru, serta-merta akan membawa masuk puluhan ribu mahasiswa baru setiap tahunnya. Jumlah mahasiswa lama yang telah diwisuda

belum tentu sama, atau malah jauh lebih sedikit. Belum lagi jika para wisudawan yang memutuskan untuk menetap dan bekerja di Yogyakarta. Satu bibit masalah telah jatuh ke tanah dan tinggal menunggu waktu panennya. Kepadatan penduduk adalah salah satu masalah tersendiri bagi sejumlah metropolis di berbagai belahan dunia, dan kini akan menjadi masalah di Yogyakarta. Kepadatan penduduk menuntut Yogyakarta untuk benar-benar berbenah. Menurut saya, Yogyakarta jauh dari kata siap untuk hal ini. Saya melihat bahwa kota ini masih nyaman dengan predikat kota wisata dan membangun dengan visi demikian. Yogyakarta melihat dirinya sebagai tempat singgah bagi para pelancong yang siap datang dan pergi kapan saja. Kota ini tidak siap untuk arus masuk penduduk yang begitu besar. Apa buktinya? Jalanan yang kian padat menandakan semakin banyak pengguna kendaraan pribadi. Sejak tahun 2013, Kota Yogyakarta mengalami pertumbuhan jumlah sepeda motor rata-rata 4,79 persen per tahun. Hal tersebut bisa jadi disebabkan, penduduk Yogyakarta sedang mengalami perbaikan taraf hidup, tetapi

39


opini alasan apa yang mampu menjelaskan lebih baik dari mahasiswa yang membawa kendaraan pribadi? Bukti selanjutnya adalah pembangunan pusat perbelanjaan, restoran, dan kafe yang berlangsung kian pesat. Kontribusi sektor

Ilustrasi: Ahmad NW

40

perdagangan dan penyediaan akomodasi, makan, dan minum tumbuh di atas rata-rata Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY)—selama lima tahun belakangan. Apa yang mungkin terjadi? Perluasan pasar adalah jawaban yang menurut saya paling memungkinkan, walaupun tidak menutup kemungkinan terhadap jawaban lain. Dengan kata lain, masalah kepadatan bukan sebuah ancaman kosong. Yogyakarta menghadapi tantangan yang luar biasa besar dalam perencanaan pembangunan. Daerah yang relatif lebih sempit serta pertumbuhan penduduk kian pesat tidak hanya menuntut perencanaan yang hati-hati dan antisipatif, tetapi juga pembangunan gerak cepat dan sumber pendanaannya dapat diandalkan untuk menjamin keberlanjutan. Tantangan itu ditambah lagi dengan ketidakpastian ekonomi yang mungkin mengganggu jalannya pembangunan. Bank Indonesia dalam rilis Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional (KEKR) Provinsi DIY pada Agustus 2017, memperkirakan penerimaan pajak negara akan meleset dari target yang telah ditetapkan. Hal ini menyebabkan ketidakpastian angka Dana Alokasi Umum (DAU) yang mungkin diterima Kota Yogyakarta di tahun mendatang. Begitu juga dengan kesiapannya terhadap ancaman demografi tersebut.


opini Ekonomi Kampus-sentris Saya selalu dihantui rasa penasaran, apa mungkin kehadiran perguruan tinggi di Yogyakarta menyebar bibit pertumbuhan ekonomi, dan kemudian menghidupkan kegiatan perekonomian di daerah-daerah sekitar kampus? Saya mulai membayangkan bahwa perekonomian Kota Yogyakarta terdiri atas dua kutub, yaitu pariwisata dan pendidikan tinggi. Dinamika dari kedua jenis kegiatan tersebut merupakan corak khas kehidupan yang menghidupi Kota Yogyakarta. Meskipun terancam masalah, kondisi Yogyakarta kini seperti dua sisi mata uang. Kehadiran perguruan tinggi bukan cuma sekadar memberikan masalah, tetapi memberikan pula peluang pertumbuhan ekonomi yang luar biasa bila dapat diantisipasi dan dimanfaatkan dengan baik. Kita tidak dapat memungkiri hal tersebut. Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) secara bersama-sama menghidupkan kegiatan perekonomian setempat; dari Monjali hingga Gejayan; Samirono hingga Jalan Kaliurang. Pada kasus yang lebih ekstrem, kampus Universitas Islam Indonesia (UII) yang terletak di kaki Gunung Merapi berhasil menghidupkan perekonomian di daerah sekitar—yang menurut saya cukup terpencil. Betapa kuatnya pengaruh keberadaan perguruan tinggi pada kegiatan perekonomian di wilayah masyarakat. Dengan demikian, muncul satu paket kebutuhan hidup sehari-hari, mulai dari tempat tinggal, warung, kos-an, jasa penatu, hiburan, dan lain-lain. Kehadiran perguruan tinggi memang memunculkan peluang bisnis yang berdampak sangat besar. Peluang bisnis tidak hanya muncul dari kebutuhan hidup mahasiswa saja. Mari

kita tengok berbagai acara yang dilaksanakan oleh mahasiswa, seperti seminar, konser musik, lokakarya, dan lain-lain. Masing-masing acara memiliki skalanya sendiri, mulai dari acara yang bersifat lokal hingga internasional. Acaraacara tersebut pun membuka peluang bagi bisnis pendukung, seperti konveksi, percetakan, katering, dan persewaan tenda serta kursi. Belum lagi konsistensi pelaksanaan dan frekuensi yang cukup sering menciptakan sebuah peluang bisnis berkelanjutan. Hingga saat ini, saya masih belum menemukan pihak yang berhasil mengukur dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh keberadaan perguruan tinggi di Yogyakarta secara akurat, baik dampak langsung maupun tidak langsung. Akan tetapi, kita tahu persis bahwa perubahan yang dibawa serta bukan tidak kasat mata. Yogyakarta harus bergegas mempersiapkan diri dengan baik apabila ingin meraup manfaat, karena waktu tidak akan menunggu. Tidak ada yang pernah meramalkan bahwa Yogyakarta akan menjadi sebuah tempat seperti sekarang ini. Dampak ekonomi kehadiran perguruan tinggi di Yogyakarta ibarat sebuah terra incognita yang masih harus dijelajahi, ditelusuri, dan dipetakan. Semua usaha tersebut demi mempersiapkan Yogyakarta beserta seluruh lapisan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan di masa depan. Hingga saat itu tiba, Yogyakarta tidak boleh berhenti membangun dan tetap berpedoman pada falsafah lama, Memayu Hayuning Bawono, “membangun untuk mempercantik bumi yang sudah cantik.� Immanuel Satya Pekerti BPPM EQUILIBRIUM Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada

41


tokoh

Mbah Topo: Buku dan Sempena Hati

42


tokoh

Sutopo Lahir: Yogyakarta, 07 Juni 1947 Tinggal di Cokrokusuman JT II/816, Jetis, Yogyakarta

S

utopo adalah seorang tukang becak yang gemar membaca. Berbekal dari kegemaran membaca, ia mendesain becaknya menjadi sebuah perpustakaan mini. Sebelum menjadi seorang tukang becak, di tahun 1977, ia pernah menjadi tenaga kerja honorer sebagai petugas sipil di Kodim 0734/Yogyakarta (TNI AD). Kemudian pada 2003, beliau memutuskan menjadi seorang tukang becak—hingga sejak tahun 2012, ia mulai berpikir untuk mendesain becaknya menjadi sebuah perpustakaan.

Foto: Ahmad NW

Di sisi lain, Sutopo pernah menjuarai posisi ketiga dalam meningkatkan minat dan budaya baca masyarakat di Karnaval Literasi Jogja Istimewa. Ia juga pernah memperoleh sertifikat penghargaan pada Lomba Desain Angkutan Transportasi Tradisional Becak tahun 2017–yang diadakan Dinas Perhubungan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dalam wawancara dengan awak natas pada Sabtu (16/09), beliau mengungkapkan mengenai ide membuat perpustakaan becak guna meningkatkan minat membaca masyarakat.

43


tokoh Apa alasan Anda mendesain becak menjadi perpustakaan mini? Saya dari kecil suka membaca. Sejak 1965, saya pernah menjadi anggota perpustakaan yang ada di depan pasar Demangan, Gondokusuman, Kota Yogyakarta—tetapi tidak lama dibubarkan dengan alasan ada PKI. Dengan membaca kita memperoleh pengetahuan dan informasi, misalnya tentang kehidupan dan kesehatan. Lalu mengetahui mana kegiatan yang positif atau negatif di kehidupan sehari-hari. Manfaat-manfaat itulah yang membawa saya mendesain becak ini dengan buku-buku. Selain memperoleh manfaat pengetahuan dan informasi, buku-buku yang saya bawa bisa dibaca ketika menunggu penumpang karena lebih baik membaca daripada “bengong”. Bagaimana cara Anda mendesain perpustakaan becak? Awalnya saya buat pakai logam, tetapi setelah diuji coba ternyata berat. Setelah dipikir-pikir, akhirnya saya ganti dengan memakai kayu karena yang terpenting bukunya tetap ada di dalam becak. Apa kendala yang dihadapi setelah mendesain perpustakaan becak? Kendala pasti ada karena lebih terasa berat dengan mengangkut penumpang dan buku-buku. Setelah direnungkan, saya yakin dan percaya bahwa Tuhan pasti membantu sehingga setiap penumpang naik becak tidak terlalu berasa berat. Apa yarakat?

dampak

positif

bagi

mas-

Menurut saya dampak positifnya banyak bagi masyarakat. Misalnya tadi pagi ada pemu-

44

lung lewat lalu meminjam buku untuk dibaca. Kemudian kalau saya ke pasar, bakul-bakul yang sedang tidak ada pelanggan ikut meminjam dan membaca. Atau anak-anak yang setelah pulang sekolah saya panggil untuk membaca, lalu mereka membaca walaupun hanya cerita bergambar. Selain membawa dampak positif, apakah masyarakat ada yang merasa terganggu atau tidak setuju dengan ide Anda? Saya kira kalau tidak setuju itu tidak ada. Tetapi ada yang seperti menghina dengan mengatakan, “Ah ini jualan buku pak?” Mungkin bagi orang-orang melihat ini sebagai “keanehan” karena dalam becak terdapat banyak buku-buku. Tetapi saya tidak mau ambil pusing dan memasukkan ke dalam hati. Dari mana Anda mendapatkan bukubuku ini? Kebanyakan diberi oleh teman-teman alumni dan mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Ada juga beberapa yang saya beli. Sebenarnya ada 2 dus buku tetapi di becak ini hanya 1 dus yang jumlahnya kurang lebih 150 buku, sedangkan 1 dus lagi berada di rumah. Ada beberapa macam buku seperti pengetahuan, agama, kesehatan, dan masih banyak lagi. Bagaimana respon keluarga Anda mengenai ide membuat perpustakaan becak? Awalnya mereka tidak mendukung. Setelah saya muncul pertama kali di salah satu koran (Tribun Jogja) semakin banyak media yang ingin mewawancarai, hingga tidak lama setelah itu keluarga mendukung.


Sutopo yang tengah membaca sembari menunggu penunmpang. Foto: Ahmad NW

Apa kegiatan yang Anda lakukan selain menjadi tukang becak? Saya biasanya lari sore di sekitar SD Tarakanita. Saya juga suka berenang dan terkadang mendengarkan berbagai macam jenis musik. Sudah umur tujuh puluh tahun harus selalu gerak supaya sehat, jangan hanya diam di rumah. Menurut Anda, mengapa membaca masyarakat itu rendah?

minat

Karena adanya gawai masyarakat cenderung lebih senang memainkannya dibandingkan membaca, terutama pada anak-anak. Walaupun di sana ada aplikasi untuk membaca berita-berita, tetapi akan kurang efektif karena ilmunya tidak sebanyak yang ada dalam buku. Jika minat membaca masyarakat itu rendah—terutama pada anak-anak, lalu menurut Anda bagaimana cara meningkatkan minat membaca? Menurut saya dengan cara seperti ini (becak yang terdapat banyak buku) sudah lumayan bisa meningkatkan minat membaca anak. Contohnya ketika mereka lewat, saya sapa dan suruh membaca–lalu mereka memilih buku

anak-anak seperti cerita-cerita bergambar. Berapa penghasilan Anda dalam sehari ketika menjadi seorang tukang becak? Penghasilan saya itu minimal Rp 50.000,00—sedangkan maksimalnya tidak terbatas. Misalnya waktu itu saya pernah mendapatkan uang Rp 1.000.000,00 dalam jangka waktu 3 jam. Saya juga pernah mengantarkan orang tua dengan ongkos Rp 3.500,00 dengan rute yang jauh. Setelah itu beliau mendoakan saya supaya mendapatkan banyak penumpang. Lalu dalam perjalanan ke SD Tarakanita, saya mendapatkan penumpang dan dibayar dengan nominal Rp 50.000,00. Walaupun tidak menyangka akan mendapatkan rezeki seperti itu karena niat saya mengantarkan beliau sampai tujuan. Biasanya tukang becak yang lain akan menolak jika dengan ongkos yang kecil. Tuhan ingin menguji mana manusia yang ikhlas atau tidak. Saya juga tidak menentukan jarak berapa harus dibayar dengan harga berapa (seikhlasnya penumpang). Tiwi Wira Pratika

45


catatan sang jurnalis

Seniman:

Ganja

dan Buah Pikiran

R

ona jingga senja mengiringi lang-

gaku pikirannya menjadi lebih mudah ber-expresi

kahku menuju sebuah rumah di Desa Mejing, Ambarketawang, Gamping, Sleman, Senin (12/10) lalu. Hal ini terkait dengan seniman-seniman Yogyakarta yang dijebloskan ke dalam penjara atas kepemilikan ganja. Menurut data dari Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) Khusus Narkotika Kelas II A Yogyakarta, beberapa seniman Yogyakarta mengaku mengonsumsi ganja untuk memperoleh inspirasi. Salah satunya adalah seorang seniman perupa bernama Malaikat yang ditangkap di dalam studio, Menayu, Bantul, pada (12/12/12) silam. Ia men-

dengan mengonsumsi ganja (www.beritagar.id, 2 Februari 2017).

46

Sesampainya di depan pintu rumah, suara langkah kaki terdengar menampakkan sosok pria berperawakan besar yang mengenakan celana jeans panjang, dan kaos polo berwarna putih. Terlihat bekas luka seperti goresan yang cukup besar di pelipis kanannya. Pria itu langsung mempersilakan untuk masuk ke dalam rumah. Ia adalah Oscar Matanu, salah satu seniman yang bertempat tinggal di Yogyakarta. Memasuki rumah Oscar, terlihat dinding-dinding tembok yang dihiasi oleh lukisan-lu-


catatan sang jurnalis

Ilustrasi: Julia Noor

kisan hasil karyanya. Hal itu membuat suasana

“Ganja kan sebenarnya untuk kebutuhan pengo-

estetis yang menjadi ciri khas seorang seniman tampak begitu terasa. Setibanya di sebuah ruangan, Oscar mulai angkat bicara mengenai inspirasi, ganja dan seniman.

batan, bukan untuk mencari inspirasi,” tutur pria yang berusia 47 tahun ini.

Nyawa Sebuah Karya Proses penciptaan suatu karya seyogianya dilandaskan dengan sebuah inspirasi yang bernilai estetik. Oscar mengartikan inspirasi sebagai sebuah konsep yang melukiskan gagasan-gagasan dari seorang seniman. Konsep itulah yang dinilai Oscar sebagai penentu kualitas sebuah karya seni. Ia berpendapat tidak setuju penggunaan ganja demi memperoleh inspirasi.

Oscar menilai bahwa seniman yang menggunakan ganja untuk mendapatkan inspirasi merupakan sumber yang salah. “Inspirasi seharusnya muncul dari pemikiran dan ketenangan, bukan dari ganja. Inspirasi yang berasal dari ganja sebenarnya adalah hasil dari bimbingan setan,” terang Oscar. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa inspirasi akan muncul dari berkontemplasi, melihat lingkungan sekitar, dan membaca. Sedangkan hasil karya dari inspirasi yang muncul karena ganja dinilai tidak halal, sebab zat-zat “hina” ikut

47


catatan sang jurnalis berpartisipasi. Oscar menyatakan bahwa semua agama di Indonesia melarang mengonsumsi ganja untuk kepentingan pribadi. Ia memberi contoh pelarangan pengonsumsian ganja di agama Kristiani. “Kitab Injil menerangkan bahwa manusia harus menjauhkan diri dari hal yang mencemari jasmani dan rohani. Sedangkan ganja ini termasuk hal yang mencemari,” tutur seniman yang memiliki suara lembut ini. Inspirasi Pembunuh Raga Ganasnya tikaman ganja dan narkotika juga pernah dialami teman Oscar. Ia mengungkapkan pernah mengenal seorang seniman yang mengonsumsi ganja untuk memperoleh inspirasi. Namun, seniman itupun ditangkap oleh polisi atas kepemilikan ganja – Oscar tidak menyebutkan nama tersangka seniman itu. “Tubuh dari seniman itu menjadi rusak, omongannya celat dan gigi jadi ompong,” kata seniman yang hasil karyanya sering dipamerkan di Jogja Gallery. Menurutnya, seorang seniman akan kehilangan ilmu-ilmunya untuk membuat karya seni jika terlalu banyak menggunakan ganja. Selain mencari inspirasi, Oscar menilai bahwa banyak seniman terjerumus ganja dan narkotika dilatarbelakangi oleh lingkungan sosial. Ia mengumpamakan lingkungan sosial sebagai sebuah wadah dan para seniman sebagai air di dalamnya. “Jika air itu terkena noda sedikit saja, maka semuanya akan menjadi kotor,” katanya. Noda yang dimaksudkan Oscar adalah ganja. “Jadi jika seorang seniman terjerumus ke dalam dunia ganja, kemungkinan rekan-rekan senimannya juga akan terjerumus,” jelasnya lagi. Pandangan Mahasiswa Seni

48

Di pihak lain, dua orang mahasiswa dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta juga tidak setuju pengonsumsian ganja untuk memperoleh inspirasi. Monica Asta Mahardika mempunyai pernyataan yang sama dengan Oscar mengenai inspirasi yang berasal dari ganja. Ia berpendapat bahwa mencari inspirasi tidak perlu menggunakan ganja. “Kalau menurut saya, mencari inspirasi itu cukup peka terhadap lingkungan sekitar aja. Gak usah sampai memakai ganja,” ucap Monic saat diwawancarai di sebuah rumah makan Jalan MT. Haryono, Mantrijeron, Yogyakarta, Sabtu (10/10). Fransiskus Aditya Mahatma Putra memiliki alasan yang berbeda dari Monic dan Oscar mengenai ketidaksetujuaannya terkait inspirasi dari ganja. Laki-laki berbadan besar ini tidak setuju pengonsumsian ganja untuk memperoleh inspirasi karena hanya alasan hukum. “Ganja itu sebenarnya mirip kayak rokok. Kalau digunakan berlebihan memang dapat menjadi masalah, tapi jika digunakan secukupnya ya gak-papa,” seloroh pria yang kerap disapa Adit. “Tapi karena negara ini tidak memperbolehkan menggunakan ganja, kita harus tetap mematuhinya,” tambahnya. Negara Indonesia telah melarang penggunaan ganja demi kepentingan pribadi dan kolektif. Hal tersebut kembali ditegaskan oleh Oscar, bahwa ganja adalah barang yang wajib dijauhi. Ia menerangkan bahwa semua ilmu perlu diasah, bukan menggunakan alternatif yang salah seperti ganja. “Semua skill perlu dikembangkan dan menggunakan ganja hanya akan membunuh skill itu sendiri,” pungkas Oscar dengan nada tegas. Yosaphat Made Dharma


jas merah

Mengayuh Becak di Tanah Mataram Bermula dari kisah pasutri yang mengiringi revolusi becak. Hingga sebuah perjalanan menuju masa lalu tentang lahiriah kendaraan becak di Yogyakarta.

M

enurut Tim Hannigan dalam tulisannya yang berjudul Beguiled by Becak, diceritakan seorang misionaris asal Amerika Serikat, Jonathan Goble sedang berwisata di Kota Yokohama bersama istrinya, Eliza Week pada 1865. Sayangnya, sang istri memiliki nasib yang kurang beruntung—orang pada umumnya. Hal itu disebabkan karena kelumpuhan yang telah diderita sejak lama. Di sisi lain, Jonathan adalah seorang tokoh yang tangguh sekaligus visioner.

Tukang becak di trotoar pertokoan Malioboro. Foto: Ahmad NW

Ia ditemani oleh dua sahabat, Frank Pollay dan seorang pandai besi, Obadiah Wheeler. Bersamasama mereka membuat sebuah kendaraan roda dua dengan tuas cukup panjang yang terbuat dari kayu, agar bisa ditarik ke depan. Masyarakat Jepang menamainya Jinrikisha (人 jin = manusia, 力 riki = daya atau tenaga, 車 sha = kendaraan). Seiring waktu, eksistensi Jinrikisha cukup diakui kala itu. Orang-orang Jepang turut mengembangkan di negaranya, seperti yang dilakukan oleh Izumi Yosuke, Suzuki Tokujiro, dan Takayama Yosuke. Mereka menjadi tiga orang

49


jas merah pribumi Jepang yang pertama kali mendapatkan lisensi dari pemerintah, sebagai pengembang sah Jinrikisha. Beberapa tahun kemudiaan, jumlah Jinrikisha di Jepang semakin meningkat sekitar 40.000 buah—yang memenuhi jalanan ibu kota. Tidak berhenti sampai di situ, popularitas Jinrikisha turut diramaikan oleh orang-orang di daratan Cina, melintasi India, menyelimuti seluruh Asia Tenggara, bahkan sampai di Afrika Selatan. Hal ini diperkuat dengan catatan perjalanan seorang wartawan Jepang yang berjudul Pen to Camera ke berbagai wilayah di Indonesia. Di dalam catatan itu disebutkan, pada 1930, seorang penduduk Jepang bernama Seiko menetapkan diri untuk singgah dan membuka toko sepeda di Makassar. Dari situ ia berinovasi mengubah bentuk becak lama yang masih ditarik. Ada beberapa tahapan yang ia lakukan saat merombak bentuk becak tersebut. Pertama, ia menghapus tuas kayu yang berada di depan kendaraan dan mengganti dengan tambahan roda, pedal, serta kursi bagi si pengayuh. Dengan begitu pengendara becak tidak perlu menarik, melainkan hanya mengayuh layaknya mengendarai sepeda. Tidak lupa ia menambahkan atap dan rem tangan di belakang kursi penumpang. Jadilah sebuah terobosan becak yang masih digunakan hingga sekarang. Lahirnya Becak di Kota Pelajar Beranjak dari Jalan Mangkubumi menuju Malioboro yang selalu dipenuhi para pedestrian dari dalam maupun luar kota, pada Jumat (24/09). Terlihat sekelompok pemuda yang memainkan alat musik tradisional dengan begitu harmonis, hingga menghidupkan sisi romantis di sepanjang jalan Malioboro menuju Alun-alun

50

Becak menjadi salah satu moda transportasi tradisional yang masih aktif di Yogyakarta. Foto: Ahmad NW

Utara. Tidak jauh dari Malioboro tepatnya di sisi utara, sesosok lelaki kekar berwajah keriput sedang menikmati sepuntung rokok di atas becak yang sudah sangat berumur. Beliau bernama Suyatmo, seorang pengendara becak yang sudah mulai mengayuh sejak 1950. Sekalinya bercerita, ia mengeluhkan banyaknya becak motor (bentor) yang perlahan mengurangi pemasukan sebagai pengayuh becak konvensional. Cerita pun semakin jauh menyelami kisah Suyatmo yang mengubah atmosfer di sekitar tahun 80-an silam. Suyatmo mengaku sangat mengagumi kendaraan becak, karena zaman dahulu becak


jas merah Satu pengalaman yang tak mungkin hilang dalam benak Suyatmo, kala mengayuh becak yang berpenumpang mayat. “Mayatipun kula dandake nganggo kacamata ireng lan peci yen lanang, yen wedok kulo keki jilbab. Dadi wong-wong tetep wiruh yen kui penumpang urip asli (Mayatnya saya rias dengan mengenakan kacamata hitam dan peci untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan saya kenakan jilbab. Jadi orang-orang tetap akan mengira itu penumpang asli),” ucap Suyatmo. Ia juga menambahkan, dahulu masyarakat Yogyakarta sudah biasa menggunakan becak untuk membawa jenazah, karena kendaraan ambulans masih tergolong mahal untuk disewa. Kisah tadi pun ditutup oleh Suyatmo dengan senyum puas. Lalu ia pergi pamit untuk mengantarkan wisatawan mancanegara, yang waktu itu meminta berkeliling di daerah Kraton Yogyakarta.

digunakan sebagai transpotasi oleh kalangan priayi. “Nggih wayah semono kulo tansah umur wolung tahun, kepengen dadi supir becak amargi penumpangipun saking priyayi. Dadi ketok hebat yen iso nduwe becak (ya zaman itu saya masih berumur delapan tahun, ingin sekali jadi supir becak karena penumpangnya adalah para bangsawan. Jadi bisa terlihat hebat jika punya becak),” ceritanya sembari menghabiskan puntung rokok. Dari situ ia menetapkan jiwa untuk menjadi seorang tukang becak. Mimpi Suyatmo tadi pun menjadi kenyataan setelah sepuluh tahun, ketika becak sudah menjadi transportasi umum dalam kota.

Tidak jauh dari situ, terdapat balai Dinas Kearsipan dan Perpustakaan Kota Yogyakarta— yang menyimpan segudang peristiwa lampau berupa dokumentasi-dokumentasi autentik. Saat memasuki balai tersebut, spontan terdengar sambutan dari seorang lelaki tua berperawakan tinggi dan kurus. Ia kerap dipanggil Broto, seorang penjaga balai arsip yang telah bekerja sejak 1997. Ia mengambilkan sebuah arsip yang berjudul Peraturan Daerah Kotapradja mengenai sejarah becak di Yogyakarta. Di arsip itu tidak diceritakan secara jelas siapa orang pertama yang memperkenalkan becak di Yogyakarta, namun becak disebutkan mulai masuk di akhir tahun 1930-an. Kemudiaan pada 1940, becak ditetapkan sebagai kendaraan umum yang digunakan masyarakat Yogyakarta hingga sekarang. Atanasius Magnus

51


!nfo

Pendidikan di Bawah Kolong Tangga

M

useum Anak Kolong Tangga merupakan museum mainan anak pertama di Indonesia. Nama museum “Kolong Tangga” tercipta karena berlokasi tepat di bawah tangga Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Museum yang berdiri sejak 2 Februari 2008 ini telah memiliki lebih dari 18.000 objek mainan. Pendiri museum ini ialah Rudi Corens, seniman sekaligus pengajar asal Belgia yang sudah tiga puluh tahun terakhir tinggal di Indonesia. Dalam proses pendiriannya, museum ini memperoleh tempat secara gratis dari pihak TBY. “Tempat di bawah kolong tangga itu memang sudah kosong selama lima belas tahun dan hanya dijadikan gudang. Kami lalu membersihkan dan membayar sendiri semuanya, mulai dari instalasi listrik dan masih banyak lagi. Untuk dana yang dihabiskan sekitar 600 juta rupiah,” terang Rudi saat diwawancarai pada Senin (25/09). Meseum ini didirikan Rudi karena menyadari banyak anak-anak yang tidak peduli dengan kebudayaan. Baginya, kebudayaan merupakan gaya hidup. Ia telah melihat kebahagiaan dengan memainkan permainan sederhana, namun hal tersebut perlahan-lahan mulai hilang. “Saat ini anak-anak seperti tidak bisa lepas dari gadget. Nah, melalui mainan museum memberikan gambaran tentang kehidupan anak-anak dari masa lalu. Misalnya, kami bertanya apa saja yang mereka tahu tentang mainan tersebut, karena banyak

52

Rudi Corens Belgia, pendiri Museum Anak Kolong Tangga. Sumber: Tribun Jogja

anak-anak yang tidak mengetahui mainan-mainan tradisional. Dari mainan tersebut kita bisa belajar banyak hal,” jelasnya. Semenjak 4 Juli 2017, Museum Kolong Tangga ditutup oleh pihak TBY—dalam jangka waktu yang tidak bisa dipastikan. Gedung TBY yang akan direnovasi mengharuskan museum ini untuk segera pindah. “Saat itu kami hanya diberikan waktu empat hari untuk mengepak barang-barang dan memindahkannya ke gudang yang tentu saja tidak kami miliki sama sekali,” kata Rudi. Setelah gedung direnovasi, Rudi mengungkapkan bahwa Museum Kolong Tangga tak bisa lagi menghuni tempat yang sebelumnya. Hal itu disebabkan lokasi meseum akan dijadikan loket untuk pertunjukan Concert Hall. Museum Kolong Tangga untuk sementara waktu menem-


pati studio pribadi milik Rudi di Jalan Tirtodipuran No. 26, Mantrijeron, Kota Yogyakarta. Pendidikan Melalui Mainan Menurut Rudi, Museum Kolong Tangga merupakan museum yang unik di Indonesia. Museum ini tidak hanya memamerkan mainan, tetapi anak-anak juga bisa mendapatkan pendidikan alternatif. Dalam bentuk pengajarannya, museum ini tidak memulai dengan “menjelaskan” namun “bertanya” apa yang anak-anak tahu dan tidak tahu. “Kami menggunakan metode ini karena kami menyadari anak-anak memang meniru halhal yang dilakukan oleh orang tuanya, namun mereka sebenarnya juga mempunyai minat dan rasa penasaran. Hal inilah yang penting dan selalu kami kembangkan dalam setiap pengajaran,” urainya.

Museum Kolong Tangga memiliki satu agenda rutin yaitu workshop—yang membahas berbagai macam topik. “Saat ini ada lima belas relawan yang aktif menjadi workshop leader. Topik yang dibahas pun beragam, sehingga para workshop leader harus kreatif dalam memilih topik. Hingga saat ini, setidaknya ada tiga puluh anak yang datang mengikuti workshop setiap hari Sabtu,” ujar Rudi. Ia menambahkan, museum ini juga memiliki kelas yang mengajarkan tentang kehidupan sosial dalam membahas persoalan gender, buku, dan ragam hal lainnya. Banyak orang tua yang mengantarkan anaknya ke museum untuk belajar bersama. “Museum ini secara perlahan melibatkan orang tua, karena orang tua sendiri mempunyai peran penting dalam pertumbuhan dan perkembangan anak,” terang Rudi.

53


!nfo

Beberapa koleksi museum anak kolong tangga yang terpaksa harus ditumpuk dan disimpan sedemikian rupa agar terhindar dari debu.

Di samping itu, Rudi sangat menyayangkan keterlibatan orang Yogyakarta dalam perkembangan museum. “Agak aneh ya, orangorang dari luar Yogyakarta malah sering datang dan mengunjungi museum. Setiap Sabtu bahkan ada beberapa orang dari Bogor dan Bandung yang sering datang main ke museum. Tetapi orang-orang Yogyakarta malah banyak yang tidak mengetahui atau mengenal Museum Kolong Tangga,” katanya. Menolak Menyerah Sampai saat ini, Museum Kolong Tangga masih menanti gedung supaya bisa kembali beroperasi seperti dulu. Belasan ribu koleksi mainan terpaksa harus disimpan sedemikian rupa, agar terhindar dari debu. Rudi sendiri sedang berusaha mendapatkan gedung baru. “Saya

54

Foto: Christin Ayu Rizky

ini sampai disebut-sebut sebagai pengemis terbesar dari Indonesia. Saya tidak peduli karena jika saya tidak seperti itu, museum tidak akan bisa kembali dibuka,” ujarnya. Di sisi lain, Rudi mengatakan bahwa sangat berharap kepada Dewan Pendidikan. “Dewan Pendidikan sendiri sudah mempunyai ide untuk masa depan museum dan museum juga masih punya banyak proyek-proyek besar ke depannya. Museum ini ada untuk semua anak. Kami tidak melihat orang dari status atau latar belakang mereka seperti apa. ‘What matter and important is what you are and what you do’. Intinya Kolong Tangga tidak mati dan tidak akan menyerah. Museum tidak akan mati karena kami mempunyai alasan untuk tetap berjuang,” tegasnya dengan penuh harapan. Christin Ayu Rizky


resensi

Menyelami Setiap Sisi di Hati Judul : Cinta 4 Sisi Penulis : Indah Hanaco Desain Kover : Steffi Penata Isi : Lisa Fajar Riana Penerbit : Gramedia Widiasarana Indonesia Tahun Terbit : 2015 Cetakan : Ketiga Tebal Buku : 264 halaman ISBN : 978-602-251-896-9 Sumber: Penulis

K

isah percintaan masih menjadi magnet yang mampu menarik penulis untuk menggunakan ide tersebut sebagai tema sebuah tulisan. Pertemuan dua insan manusia yang saling jatuh cinta menjadi prolog indah pada cerita ini. Sang penulis, Indah Hanaco, menggambarkan tokoh-tokohnya sebagai sosok yang sempurna, ketampanan, kecantikan surgawi, kebaikan, dan keburukan duniawi. Pengisahan konflik demi konflik di antara tokoh dihadirkan dengan drama khas anak muda zaman sekarang yang sarat akan emosi dan tenaga. Konflik-konfik inilah yang menjadi petaka bagi sang tokoh utama, Violet—karena disebabkan oleh kekasihnya, Jeffry. Violet dan Jeffry memiliki konflik yang tidak kunjung terselesaikan. Jeffry yang mempunyai sifat buruk membuat Violet merasa tidak dianggap. sedang

“Jangan jelalatan! Ingat, kamu jalan dengan aku.” (Hlm. 8)

“Berhenti jelalatan. Apa hidup begitu membosankan tanpa harus melirik perempuan yang lewat di kanan dan kirimu?” (Hlm. 20) Sepasang kekasih lainnya, Quinn dan Eirene juga memiliki masalah di dalam hubungannya. Eirene yang memiliki stigma bahwa cinta pertama tidak mungkin dilupakan justru perlahan-lahan merusak hubungannya dengan Quinn. Sama seperti Violet, Quinn pun merasa tidak dianggap oleh wanita yang dicintainya. Eirene yang tidak lain adalah adik kelas Jeffry merasa tertarik oleh pesona cinta pertamanya, Jeffry. Sementara itu, Jeffry yang teperdaya oleh kecantikan Eirene tidak bisa melepaskan pandangannya. Violet dan Quinn menyadari tentang rasa ketertarikan yang terjadi pada pasangan mereka, lantas menyulut api cemburu. Tidak ada inisiatif dari Jeffry maupun Eirene untuk memperbaiki situasi yang terjadi,

55


resensi justru mereka semakin sering bertemu dan berkomunikasi. Sama-sama dilanda kecemburuan dan tidak dianggap, Violet dan Quinn memutuskan untuk membuat ide gila agar kekasih masing-masing dapat kembali kepemelukan. Namun, semakin sering mereka bertemu untuk membahas atau melaksanakan ide gila tersebut, benih-benih cinta justru muncul di antara Violet dan Quinn. Di tengah keruwetan yang terjadi di dalam cerita itu, Indah Hanaco menyelipkan ide-ide yang menjadi nilai utama untuk disampaikan kepada pembaca setianya, yaitu tentang kesetiaan, kejujuran, kepercayaan, keterbukaan, dan penghianatan dalam sebuah hubungan. Misalnya, ketika Violet yang tidak berani mengakui bahwa ia mencintai dan membutuhkan Quinn. Selain itu diceritakan, Jeffry yang tertangkap basah sedang menggoda gadis lain di saat Violet sudah memberi kepercayaan penuh dan memutuskan untuk memilih kekasihnya, Jeffry daripada laki-laki yang tulus mencintainya, Quinn. Di beberapa bagian, penulis juga menghadirkan tokoh Nindy sebagai rekan kerja Violet yang mendapat kekerasan fisik dan batin dari kekasihnya, Thomas. Di zaman sekarang, masih banyak terjadi kasus yang demikian, tetapi para korban juga masih banyak yang enggan untuk melaporkan kejadian tersebut kepada pihak berwajib. Alasan itu dilakukan karena merasa tidak tega atau masih cinta, dan lebih memilih untuk diam akan kekerasan yang telah dilakukan oleh pelaku. Bagian tersebut seolah ingin melawan dan melepaskan diri dari semua aturan yang selama ini mengikat manusia, khususnya bagi orang yang sudah memiliki pasangan. Tokoh Violet ingin melepaskan diri dari jeratan dunia percintaan dan melawan demi kehidupan yang jauh lebih baik. Meski penuh dengan kesedihan yang menyayat hati dan emosi serta menguras pikiran. Indah Hanaco juga ingin memberi tahu bahwa wanita layak untuk bahagia dalam semua aspek tanpa harus merasakan kekerasan fisik maupun batin terlebih dahulu, tetapi juga tahu cara untuk memerdekakan diri dari orang yang sudah menyakiti. Bagian ini juga mengingatkan kita agar lebih berhati-hati pada hati yang tidak “berhati�, karena jika tidak berhati-hati akan merasakan sakit hati.

56

Karakter tokoh yang digambarkan dalam novel ini begitu manis, misalnya Quinn dan Violet yang sering menghabiskan waktu bersama dengan jalan-jalan keluar atau hanya sekadar mengobrol berdua. Selain itu, ketika Quinn dan Violet saling bertukar data diri sehingga mengetahui apa kesukaan dan apa yang tidak disukai oleh kedua tokoh masing-masing. Kemudian, pada bagian ketika Quinn menyingkirkan sayuran yang tidak disukai Violet ke piringnya sendiri dan Violet juga melakukan hal yang sama. Tanpa disuruh dan tanpa aba-aba, mereka sudah tahu apa yang harus mereka lakukan saat makanan datang. Selama ini, Jeffry dan Violet hampir tidak pernah melakukan hal-hal manis tersebut. Sehingga apa yang sudah Violet dan Jeffry jalani selama ini terasa tidak bermakna. Novel ini juga dibalut dengan alur cerita yang rapi serta konflik yang sederhana. Namun, memiliki cara penyelesaian yang tidak sesederhana. Selain itu, penulis mampu membawa pembaca seolah hanyut dan dapat merasakan emosi Violet melalui diksi-diksi yang telah dipilihnya. Lagu-lagu era 90-an yang dihadirkan dalam novel pun menambah suasana romantis yang coba diciptakan sang penulis. Tak hanya itu, puisi-puisi indah yang dicantumkan pada setiap bab di novel ini menjadi pemanis bagi setiap orang yang membaca. Ada satu hal yang menyebabkan novel ini sedikit kurang sempurna, yaitu akhir jalan cerita yang dapat dengan mudah ditebak oleh pembaca, karena akhir ceritanya terasa biasa dan cenderung tidak ada bedanya dengan novel-novel percintaan lainnya. Padahal, pemilihan konflik dan cara penyelesaian memiliki konsep yang bagus. Secara keseluruhan novel Cinta 4 Sisi ini enak, bagus, dan layak untuk dibaca. Novel ini dapat direkomendasikan bagi pecinta novel yang ingin merasakan sensasi emosi yang mengasyikkan.

Aris Putri Kurniawati Mahasiswi Sastra Indonesia 2016


resensi

Sumber: Berkeley review

DUA ESCOBAR: DUA MANUSIA

Sumber: Berkeley review

57


resensi

Judul

: The Two Escobar.

Produser

: Jeff & Michael Zimbalist

Sutradara

: Jeff & Michael Zimbalist

Naskah

: Jeff & Michael Zimbalist

Sinematografi

: Jeff Zimbalist

Editor

: Jeff Zimbalist & Greg O’Toole

Original Score

: Ion Frujanic, diproduksi oleh All Rise Films (2010). Sumber: Berkeley review

D

alam sebuah sesi pengantar tentang film mereka, dua bersaudara Zimbalist: Jeff dan Michael, mengatakan filmnya bercerita mengenai Andres Escobar dan Pablo Escobar. Dua orang dengan nama belakang yang sama tetapi tidak memiliki hubungan darah. Hubungan keduanya terletak pada nasib dan hidup mereka yang ditentukan oleh situasi sosial-politik di Kolombia. Andres Escobar mati ditembak mafia setelah lima hari sebelumnya membuat gol bunuh diri. Setahun sebelum kejadian nahas itu, Pablo mati tertembak dalam sebuah operasi taktis polisi di pinggiran Medellin. Andres adalah pemain bola, sedangkan Pablo seorang bos kartel narkoba. Secara ganjil, sutradara yang sekalian merangkap produser, mengangkut tema dari dua bab yang tampaknya tidak cocok; sepak bola dan narkoba. Plot disusun lewat wawancara yang serupa kerja investigatif namun dalam lanskap kolase yang tidak wajar (gambar-gambar muncul dalam bentuk buram, kadang timbul bercak, dan kontras yang mencolok).

Sumber: imdb.com

58

Bila film bisa disederhanakan sebagai cerita dan cerita adalah tubuh, maka film dokumenter menawarkan kebanalan realitas sebagai sendi dan tulang. Jeff dan Michael menyiapkan puluhan narasumber untuk meniti ke jalan satu dan yang lain, dalam membentuk kesimpulan


resensi Sumber: Berkeley review

yang lebih utuh. Keluarga Andres, paman Pablo, mantan agen Drugs Enforcement Administration (DEA), pemain nasional Kolombia, anggota kartel dan lain sebagainya—mereka, selain disiapkan untuk menerangkan situasi juga membangun babak dramatis secara alamiah, sebagaimana lazimnya sebuah film. Testimoni yang menyaksikan dan mengalami peristiwa mencekam malah hadir sebagai peristiwa menyesakkan itu sendiri. Sosok Pablo Escobar harus terlebih dahulu diterangkan untuk menjelaskan situasi Kolombia dekade 90-an—karena Pablo adalah penanda waktu. Nyaris tidak ada pelanggar hukum yang memiliki kekuatan sedahsyat diri-nya (mengebom gedung Mahkamah Agung, membunuh menteri, sampai menawarkan diri untuk membayar hutang negara). Medio 70-an ketika heroin marak di kawasan Latin, tak ada satu pun bandar yang mempunyai ide untuk mengkapitalisasi keuntungan dengan menjualnya langsung ke jantung peradaban, Amerika Serikat, selain seorang Pablo Escobar. Tepatnya tahun 1979, dagangan Pablo masuk Miami, lalu; seperti ular, melata ke penjuru Paman Sam, ke Eropa, dan konon sampai memasok sepertiga heroin dunia. Narkotika secara sederhana menciptakan kantung-kantung kelompok untuk saling berebut uang dan kekuasaan. Karena uang dan kekuasaan merupakan ke-

kerasan jamak yang terjadi di sudut-sudut kota. Pada tahun-tahun awal heroin beredar di Miami, ada tiga ribu lebih kasus kematian yang terkait dengan narkotika (belum lagi di kawasan-kawasan ghetto medio 90-an). Amerika segera bertindak, yang paling fenomenal ialah pidato Reagan dan ibu negara, Nancy, di layar kaca yang menghimbau agar masyarakat menghindari obat-obatan, “To drugs.. just say no!� (a classic Reagan!). Lebih jauh, Amerika ingin menghukum sendiri Pablo Escobar, dengan menawarkan ekstradisi untuk kejahatan narkotik pada negara penghasil kopi itu. Pemerintah Kolombia menyambut hal itu dengan menyusun dan mengeluarkan produk hukum berupa undang-undang mengenai ekstradisi. Seorang bandar dalam skena obat bius Kolombia bernama Carlos Lehder dikirim ke Amerika Serikat (ekstradisi), proses pengadilan akhirnya memutuskan nasib-nya: hukuman seumur hidup dan 130 tahun penjara. Gabriel Garcia Marquez dalam buku News of Kidnapping menggambarkan suasana mencekam Kolombia ketika Pablo, lewat extraditables (ormas penentang ekstradisi), menculik tokoh-tokoh terkenal sebagai sandera dan menuntut agar pemerintah membatalkan undang-undang tentang ekstradisi. Lewat komunike yang dikeluarkan extraditables, Pablo mem-

59


resensi punyai slogan penolakan yang genial, “Lebih baik mati di Kolombia daripada membusuk di sel tahanan Amerika.” Pablito (Pablo kecil), nama karib Pablo, yang merasa dirinya sedang berjuang melawan kezaliman akhirnya benar-benar mengamalkan pasase “Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata.” Sederhananya, sebelum diserang lebih baik menyerang dahulu; kelompok sipil bersenjata dibawah komando kelompok kartelnya berfungsi sebagai pemburu polisi. Marquez, lewat literatur yang sama juga menggambarkan bagaimana kegilaan kelompok sipil ini. Mereka kadang bertaruh soal siapa yang bisa membunuh polisi lebih banyak. Di satu sisi, Polisi juga tidak segan untuk membantai kelompok sipil yang mereka curigai berhubungan dengan kelompok kartel. Aneh dan ajaibnya, dengan situasi dalam negeri yang tak karuan, sepak bola Kolombia malah berada dalam puncak pencapaian. Pada 1989, klub Atletico Nacional yang berbasis di Provinsi Medellin menjadi juara Copa Libertadores (kejuaraan klub tingkat kontinental) untuk pertama kalinya dalam sejarah nasional. Setahun setelahnya, tim Sangara (kesebelasan negara) lolos ke Piala Dunia 1990 di Italia. Sepak bola seperti tidak terdampak oleh perang pemerintah melawan kartel narkoba dan kartel lawan aparat. Andres Escobar masih 23 tahun ketika mengantarkan Atletico Nacional meraih sukses dan sedang memulai menapaki karir di tim nasional. Ia dan pemain segenerasinya boleh disebut sebagai oase Kolombia bagi dunia luar (berita internasional tentang Kolombia mengenai kekerasan dan obat bius). Pada titik ini Andres (dan kemungkinan juga kawan segenerasinya) melihat sepak bola bukan sekadar sepak bola, lebih dari itu. Pria waskita ini membayangkan, melalui sepak bola ia bisa mengubah Kolombia. Paling tidak ia bisa memberi contoh baik kepada masyarakatnya, dan berharap—atau berdoa supaya perubahan juga terjadi pada mereka. Ester, kakak Andres menggambarkan bila saudaranya itu orang yang baik dan tulus. Tepatnya orang yang baik, tulus, dan naif. Naif karena sepak bola Kolombia berjalan bersisihan dengan praktik kotor pencucian uang (legalize money) para gembong narkoba. Tiga

60

klub besar Kolombia secara de facto dimiliki para gembong, Atletico Nacional, tempat Andres bermain, dimiliki tokoh kita Pablo Escobar. Mantan Presiden Federasi Sepak bola Kolombia bahkan dengan kenes mengklaim jika sepak bola Kolombia bukan apa-apa (nothing) tanpa uang mereka (kelompok kartel). Sederhananya, Andres ada dalam posisi sulit untuk mengampanyekan sepak bola sebagai perubahan. Di saat yang sama, Presiden Emilio Gaviria sedang mengampanyekan apa yang disebut kelompok kartel sebagai “perbaikan citra Kolombia” di mata internasional. Pemerintah berharap banyak pada kesebelasan nasional yang sedang bagus-bagusnya. Terlalu banyak beban yang ditaruh di pundak Andres dan kolega. Piala Dunia 1994 berlangsung di Amerika Serikat pada bulan Juli. Kolombia ada di urutan lima peringkat FIFA berkat penampilan impresif sepanjang tahun. Tim ini memiliki banyak penggemar, Pele, orang Brasil sok tahu itu, memprediksi Kolombia akan jadi juara dunia. Sayang, negeri yang dibebaskan Simon Bolivar itu kalah di laga awal melawan Rumania. Semua orang terkejut. Kemudian, bramacorah yang entah dari mana mengirim surat ancaman untuk tim: sanak famili akan diculik atau dibunuh. Di laga penentu lawan Amerika, dibayangi ancaman, kejadian buruk yang akan terjadi bukanlah skenario terbayangkan. Andres membuat gol bunuh diri. Bola yang ia halau justru masuk ke gawang timnya. Lima hari berselang, ketika ia nekat keluar untuk menemui masyarakat-nya, Andres ditembak mati. Publik Kolombia terpukul, dua ribu orang mengiringi pemakamannya. Presiden Gaviria memberi pidato, “Kita di sini bersama keluarga Andres untuk berbagi kesedihan.” Angka umur Andres berhenti di 28 tahun sebelum ia menjawab tawaran dari AC Milan untuk bergabung. Sementara Pablo Escobar di umur 44 tahun akibat puluhan peluru menembus tubuhnya, beberapa detik sebelumnya, ketika pintu ruangan didobrak, ia mengakhiri telepon dengan putra kesayangannya, “Aku tutup dulu, karena sesuatu yang lucu sedang terjadi di sini.” Prhatama Lazuardy Tinggal di Surakarta


K

KEPALA

sastra

Achmad FH Fajar*

ali terakhir yang ia kenang ialah saat sebongkah parang mencocok batang lehernya sedemikian keras hingga berbunyi ‘trak’. Lalu seolah terimbas efek rotasi bumi, dunia yang ia lihat berputar-putar bagai gasing. Begitulah, antara kepala dan tubuhnya terpisah; masing-masing menempuh perjalanan sendirian. Dalam hening, sebelum indra perasanya mati, masih bisa ia rasakan angin meniupi kulit wajah dan menggoyang rambutnya. Ia tak paham mengapa justru sensasi itu yang datang. Kalau boleh memilih, ia ingin merasakan tangan istri dan anaknya. Ia ingin memegang tangan mereka meski sekadar sebentar. Sepersekian detik setelah kepalanya terlepas dari badan, ia masih bisa mengingat orang-orang yang berdiri di sekitar. Juga algojo, ia kenal baik sebagai tetangga sekampung. Ada empat orang lain. Seorang yang menawari penutup mata sebelum eksekusi. Dua orang yang selalu mengejeknya selama penjemputan. Dan seorang yang terakhir tak pernah ia jumpai sebelum penculikan. “Assalamualaikum ya dunia,” serunya lirih. Suara yang terputus sampai batang leher saja.

Waktu merayap lambat, bahkan untuk merasakan benturan antara batok tengkoraknya dengan tanah pun seolah berlangsung seabad. Ketika itu gerimis rintik-rintik. Mega mendung di atas, tanah yang suram di bawah. Selain angin, rinai hujan menampar sisa kesadaran. Kepalanya masih melayang-layang di udara semacam benda antigravitasi. Dalam kondisi seperti itu indra penciumannya semakin peka. Ia mampu mengidentifikasi banyak bau. Bau tanah basah. Bau-bau daun dan debog pisang. Bau-bauan serangga. Bau anyir darah. Bau keringat tubuh pembunuh.

Saat kepalanya menggelinding di atas permukaan tanah, tak seorangpun dari pembunuhnya menyadari bahwa ia masih mampu mendengar dengan jelas. Ia bisa mendengar tawa dan keluh kelelahan para pembunuh. Tidak hanya suara yang dekat, suara yang jauh seperti rengekan bayi, mungkin anaknya, tertangkap secara utuh di telinganya. Ia juga mampu mendengar suara hati seseorang, terlalu jelas seperti meletakkan kepala untuk menangkap detuk jantung. Lalu, tibalah masa itu. Seluruh kemampuan inderawinya perlahan mengendur. Sekendur nafas dan kesadaran otak. Dunia memburam dalam pandangan. Detik-detik terlewati begitu saja, meski lambat merayap. Ia kini tinggal kepala. Pemilik kepala itu bernama Samiun. Tapi peduli setan, tak seorang pun yang akan mengenang karena sebentar lagi ia menjadi hantu. *** Hantu itu berasal dari masa lampau. Ngalimin, namanya. Ngalimin adalah guru ngaji di surau kampungnya—tempat ia belajar agama sewaktu masih berusia bocah. Ngalimin punya kebiasaan selalu melempar pertanyaan di awal pengajaran. “Apa itu kafir?” tanya Ngalimin di suatu waktu. Yang kemudian segera dijawab murid-muridnya, “Mengingkari Allah dan Rasul.” Ngalimin segera beraksi. Dicomotnya ayat dari surah Quran dan beberapa kutipan hadis. Ngalimin percaya dakwahnya akan mengantarkan para murid kepada kebenaran kelak. Samiun, yang paling kecil di antara semua bocah kampung, mendengarkan ajaran Ngalimin dengan khusyuk. Ajaran itu meluncur lancar ke dalam kepalanya, meski kelak ia

61


sastra tahu bahwa mengetahui ialah awal kekafiran. Suara itu terus berdengung dan menabrak-nabrak batok kepalanya. *** Kepala Samiun telah berhenti menggelinding. Air hujan lumer, membasahi rambut dan membasuh sekujur wajah. Darah dari sisa batang leher terus menyembur dan bercampur dengan hujan yang luruh ke tanah.

“Sudahlah, mari kita bereskan sampah ini,” sela lelaki berkemeja putih sembari memungut kepala yang sudah tenang itu. Lelaki itu mengambilnya untuk kemudian dilemparkan ke lubang pembuangan. Dalam lubang itu tubuh dan kepala Samiun tak sendiri. Ada jasad-jasad tak bernyawa lainnya tergeletak di situ. Ketika rekan-rekannya tengah mencangkuli tanah untuk menutup kubur, si algojo tetap bergeming di tempat. Gerimis yang telah menjadi hujan lebat memukul-mukul tubuh lemasnya. Rekaman ingatan berputar ke awal ketika menjemput Samiun. Ia masih ingat dengan ekspresi wajah istri Samiun ketika membukakan pintu. Penuh tanya dan heran, itulah ekspresi istri Samiun yang ia ingat. Ia ingat semua detail hari itu, bahkan ia juga ingat dengan suara yang berasal dari radio.

Suasana di sekitar begitu tenang. Hanya ada gemercik hujan dan desir angin membelai dedaunan pohon pisang. Dunia begitu tenang hingga si algojo tak sadar sedang diawasi. Tangannya masih bergetar, nyata kini bahwa melayangkan parang ke batang tenggorokan cukup menguras tenaga. Tapi bukan beban itu yang lebih berat, kenyataanlah. Pikirannya kosong, sekosong Ilustrasi: Julia Noor kepala yang tergeletak di hadapannya. Matanya lurus menatap kepala Samiun *** meski kesadaran tak tersisa sedikit pun di sana. Ia melamun tak lama karena tangan si ce- Radio memberitakan rusuh di ibu kota. king, yang sedari tadi mengawasinya, menepuk Bukan rusuh biasa, tapi melibatkan penghilanpundaknya keras. gan nyawa. Dan nyawa yang dimaksud ialah milik pembesar negeri. “Merasa iba?” Samiun mendengarkan berita dengan “Tentulah. Ia kan sahabatnya,” jawab seksama tapi semakin keras ia memahami hasillelaki berkemeja putih menggantikan si algojo nya tetap nihil. Apa mungkin revolusi itu benar yang tetap bergeming. Tangan si algojo semakin terjadi? Apa juga membutuhkan sesaji untuk bergetar mendengar obrolan dua lelaki itu. Ia menuntaskan? Deretan tanya itu ia ajukan untuk berkenan melayangkan parang ke leher keduanya diri sendiri. karena sejak awal operasi ini pun ia sama sekali tak menaruh rasa simpatik sedikit pun terhadap Istrinya, Farida, yang mendengar gerunmereka. Tapi menuruti hasrat sama saja mengan- delan Samiun segera bertanya, “Ada apa?” Samitarkan kepalanya ke eksekusi selanjutnya. un menjawab dengan senyuman dan menggeleng pelan. Ia tak tega, selain karena tak yakin dengan “Hah, setelah semua ini kau masih men- kondisi, mengatakan kekhawatirannya kepada ganggapnya kawan? Memalukan.” Farida.

62


sastra Berita semakin rusuh, membuat kepala Samiun jadi kedutan. Samiun tengah bergelut dengan pengetahuannya. ***

Bahkan ketika pintu terbuka dan menampakkan wajah Farida dan ketika Farida melihat wajahnya yang pucat pasi dan bertanya dengan heran, “Anwar? Ada perlu apa?” Anwar masih saja membisu.

Pengetahuan “bung” itu membius Samiun. Suara tentang revolusi, kesetaraan, maupun kemakmuran yang dijanjikan semakin mendorong Samiun untuk bergabung. Jadilah ia salah seorang kader paling revolusioner di kampungnya.

Kebisuan tetap menaungi laku Anwar. Demi melihat kekagokan Anwar, salah seorang dari pengiring membuka pembicaraan, “Kami perlu dengan Samiun.” Wajah Anwar semakin pucat ketika Samiun keluar menemui mereka. Ia tak berani memandang mata kawannya itu.

Tahun-tahun itu ia habiskan dengan melakukan aksi. Siapapun yang bertentangan dengan revolusi “bung”, sudah dipastikan akan ia hadapi dengan protes. Siapapun itu, ia tak pilih-pilih. Dari pejabat plin-plan yang tak memihak kepentingan rakyat sampai dengan para kiai pemilik tanah wakaf pernah ia protes.

“Malam jahanam,” kutuk Anwar dalam hati. Ia tak tahu kelanjutan apa yang mesti ia bayar.

Tindakannya itu telah memantik api permusuhan. Banyak mata yang mengincar dirinya sebagai mangsa. Anwar, tetangga dan kawan ngajinya dulu, pernah menasehati untuk berhati-hati.

“Yang kau lakukan itu berbahaya, Un.”

“Aku tahu,” balas Samiun, “Tapi ini kewajibanku untuk ikut serta dalam revolusi.” Ia bergeming dan menganggap saran Anwar sebagai angin lalu. “Sampai cita-cita tercapai, hanya masalah waktu.” *** Waktu menyeret Anwar kepada keputusan yang sulit. Ia tak punya pilihan lain selain menuruti perintah. Karena jika tidak ia bisa jadi korban dengan tuduhan sebagai salah seorang komplotan. Tubuhnya terasa berat ketika perintah itu mengarah ke rumah itu. Sepanjang perjalanan ia diam, tak tahu harus berkata apa ketika berhadapan langsung dengan target. Empat orang yang menemaninya diam-diam memperhatikan, tapi Anwar sama sekali tak menyadari. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri. Rumah itu semakin dekat, tapi Anwar masih saja membisu. Ia masih membisu ketika memasuki pekarangan. Ia juga masih membisu ketika salah seorang rekannya mengetuk pintu.

*** Terbayar sudah semua firasat yang Samiun rasakan. Lengkap sudah; mulai dari mata yang senantiasa mengawasi gerak-geriknya, berita rusuh dari radio, sampai kedatangan kawan masa kecilnya yang dipenuhi kehampaan. Kini giliran ia menghadapinya dengan berani. Ia menenangkan Farida yang mulai menaruh curiga. Ia berkata, pertemuan itu untuk membicarakan agenda ke depan. Untuk melengkapi sandiwara, salah seorang pengiring bertubuh ceking menambahi dengan komentar asal. “Pembicaraan kami hanya sebentar. Setelah itu akan kami kembalikan suamimu.” Maka mulailah ia melakukan perjalanan. Perjalanan yang mungkin telah ia ramalkan. Ia sama sekali tak menyalahkan siapapun, keadaan, ataupun Anwar yang harus menjadi penjemput kematiannya. Karena ia tahu, semua itu bagian revolusi. Dan ia hanyalah sesaji. Ketika jarak dengan rumah kira-kira lima puluh meter, ia menengok ke belakang. Tapi entah kenapa bukan wajah istrinya yang menanti dengan was-was maupun gambaran rumahnya yang tampak. Melainkan wajah Ngalimin yang mendadak melintas pada pandangan. Entah kenapa, bayangan Ngalimin seolah semakin jelas dan memaki ia sebagai kafir. *** “Kafir,” ejek lelaki berkemeja putih. “Sebentar lagi kau akan bertemu dengan Tuhanmu.”

63


sastra Ingin rasanya Anwar merobek mulut empunya suara sumbang itu. Ia tahu betul bahwa Samiun tak seperti yang dituduhkan. Anwar mengenal Samiun sejak kecil, sejak mereka bersama-sama berguru kepada Ngalimin. Tapi Anwar tak sempat membela Samiun. Perutnya dibuat mual dengan pemandangan yang ia lihat. Puluhan, atau ratusan, orang, tua-muda, dikumpulkan di satu tempat malam itu hanya untuk dibantai. Meski mendung dan gelap menguasai, tapi cahaya remang-remang dari obor cukup jelas untuk Anwar melihat kehadiran kematian dalam berbagai cara. Orang-orang itu dibantai, orang-orang itu disatai. Ada yang menangis memohon ampun. Yang lain berteriak histeris. Lolongan, tangisan, dan tawa kegilaan melingkupi malam dan lembah yang sunyi itu. Beberapa kepala menggelinding begitu saja, tapi ada yang harus melewati berkali-kali bacokan sampai putus seutuhnya. Aroma anyir darah, bangkai bergelimpang. Anwar memalingkan wajah karena tak tahan melihat kesadisan dipertunjukkan. Ketakutan Anwar semakin berlipat ganda ketika melihat Samiun berdiri tenang tanpa gangguan. Air muka Samiun sama sekali tak menunjukkan kegentaran; takut pun tidak. Seolah-olah kematian ialah karib yang biasa ia jamu. Secara tak sadar kaki Anwar melangkah begitu saja, hendak mendekati sahabatnya. Tiba-tiba, langkah Anwar terhenti. Seorang lelaki, salah satu pengiring, menyodorkan parang kepadanya. Ia telah dipilih menjadi algojo bagi kematian Samiun. Pada parang, yang setiap sisinya berpendar kilat tajam, ia melihat wajah Samiun. *** Samiun digiring ke tengah gelanggang. Ia telah menerima jadwal ajalnya. Ia melangkah tegap dan menatap kematian penuh yakin. Ia menolak ditundukkan. Ia menolak penutup mata dari seorang lelaki yang tak pernah ia temui sebelumnya. Ia memutuskan akan menemui kematian dengan berdiri tegak dan mata terbuka. Keadaan berubah lengang. Tak sedikit pun suara penyiksaan terdengar di kuping; semuanya diputar pada mode bisu. Yang tersisa

64

sekadar dua orang yang menjamu nasib. Ia tatap wajah Anwar, tapi yang ditatap segera menunduk. Demi meneguhkan hakikat perjalanannya, ia menabahkan hati Anwar si algojo. “Jangan takut, aku takkan membencimu.” Tengkuk Anwar merinding mendengar ucapannya. Episode itu tiada pernah terbayangkan. “Katakanlah kepada istriku…” kata-kata itu lenyap menjadi misteri. Tak seorang pun mendengarnya. Hanya Anwar seorang yang menyimpan. Lalu tibalah saatnya. Ia mendongak ke atas. Dilihatnya mega mendung secara jelas. Tapi entah kenapa inderawinya menangkap adegan yang lain. Ia menangkapnya tanpa salah; getaran tangan Anwar yang menjalar sampai ujung parang, nafas Anwar yang memburu, detak jantung Anwar yang semakin bertambah kencang, kuda-kuda yang dimantapkan, angkatan pertama menuju ayunan, dan ketika… Angin semilir membawa rintik gerimis. Malam demikian membisu, hanya gerisik dedaunan kering tersapu musim. Mata Samiun membuka, padang mega mendung yang terkumpul tak jelas itu hadir pada pandangan. Sekelebat kilat cahaya yang terpantul dari pendar obor menari-nari menghujung ke arahnya. Kali terakhir yang ia kenang ialah saat sebongkah parang…TRAK!

Malam semakin kelam.

*Achmad FH Fajar merupakan anggota terakhir wangsa alien Planet Krypton. Terdampar di Bumi dan dibesarkan sepasang kekasih di Tuban, Jawa Timur. Berkenginan mengunjungi Caspiar, tempat terindah di Atlantis, dan Alaska untuk rencana terakhir mengekspansi bumi. Kini bermukim sementara di Jogja, bagian Bumi entah di mana, sebagai mahasiswa Prodi Sejarah USD.


sastra

aku ingat sunyi dan luka apakah kita akan selalu mengingat warna senja darah yang dulu dibantai musim kering pantai sore hari penuh burung camar yang pulang kelaparan sepanjang hari? aku ingat kakek bilang, burung-burung itu sedang menyanyikan lagu kematian. musim kering senja darah. tak ada lagi makanan ditemukan di tanah timur tempat setiap pagi mereka tujui bersama sanak saudaranya dan kroni-kroninya. senja merah itu akhirnya dikubur naga besar yang baru saja menelan gemuruh api dari mulut gunung setelah mengiringi suara kematian terakhir para burung camar di tebing nan terjal di ujung barat. kakek bilang, “sekarang tak ada sunyi yang lebih dalam selain ia yang menembus ingatan tak ada luka yang lebih perih selain ia yang sunyi di masa lalu� jogja, 2017

65


sastra

adakah jalan pulang ada suatu tempat di dalam hati kita tak akan pernah terisi secara tuntas di sana ada sebuah ruangan, ia datang pelan-pelan kita menunggu beberapa kemungkinan yang bakal datang. kita selalu tak merasa puas terus menunggu di ruang itu kemudian di tempat lain masih menunggu didefinisikan kelayakanya; terang ataukah gelap cinta ruang itu terus berubah mengikuti inci persoalan pikiran kita semakin menunggu oh hidup ini, apakah tentang yang dipikirkan atau dijalankan ruang-ruang khusus yang sudah kita ciptakan akan bermetamorfisis menjadi rumah yang tak sempat kita tinggali dalam satu musim penuh beberapa ruang harus dihancurkan untuk menghormati kata pengorbanan di mana kita akan selalu tahu betapa sakitnya memiliki kehilangan dan betapa sulitnya melepaskan milik dalam satu waktu yang sama di depan kekosongan jiwa dari sejarah yang sering tak diinginkan cinta didiagnosa pikiran untuk jiwa dipenjarahkan dalam hati. atas nama kenyamanan bersama tubuh pun dipenjara. Kompromi. kau tahu apa artinya itu? hanya pertimbangan mana yang lebih menguntungkan melupakan atau menyimpanya pada akhirnya tak ada ruang yang sungguh-sungguh terisi penuh di sana akan tiba waktunya lorong yang kian sepi dikunjung malam hari-hari yang terus ikut berlari dalam mesin, semua jenis mesin akan perlahan mengingatkan kita pulang masih ingatkah jalan yang kau pakai pergi ke dalam mataku? namun di tempat lain sampailah pula kita di suatu musim yang nyaris habis; apakah kita akan pulang kembali kepada cara kita masuk ke dalam mata kita masing-masing? Jogja 2017

66


sastra

cinta tak rasa coklat (disebabkan oleh Saut) cinta bukan lagi tahi kucing rasa coklat, sayangku tetaplah tahi kucing mana bisa jadi coklat ini kan bukan film hollywood ini kan bukan american dream mimpi penuh penipuan tentang cinta sebelum tidur tahi kucing tetaplah busuk meski sudah kau telan bergelas-gelas coklat sayangku, cinta memang candu seperti kata Saut, si datuk gimbal kau akan meminumnya terus menerus dan lupa sedang mabuk napsu birahi terus meneror kau meminumnya lagi terus lagi hingga lagi sampai membusa mulutmu sayangku, cinta itu tidak buta. justru menggelapkan matamu bisa berhari-hari hingga kau tak kuasa melihat lagi mana mesin listrik, pelita dan bola lampu kau memasang bola lampu di rumahmu dan di lorong-lorong senja darah kemudian menunggu malam penuh birahi pada mesin itu malam ratapan menggerogotimu dengan sarung pekat pantat periuk kau lari ke tiang listrik menabuh geram genderang perang maut sudah menyerang di buah dada ibu-ibu anak-anak ikut datang memainkan drum-band dengan panci-panci dapur karatan malam bulan biru, kucing hitam, anjing hitam makan daging di lorong senja darah

67


sastra

cinta sudah jadi pantat periuk kucing pun sudah mengumbar bau dimana-mana. tak ada lagi coklat cinta itu jadi seperti orang-orang Solor memasang bola lampu di rumah-rumah, di lorong-lorong di pinggir-pinggir pantai pelita-pelita dari kaleng susu indomilk mereka buang ke tempat sampah eureka! petugas PLN memgumumkan mesin listrik yang baru tiba-tiba rusak ooh, sayangku, siapkah kau merayakan cinta tak rasa coklat padaku bersama mesin yang tak napsu pada kaleng susu indomilk? masih maukah kau merayakan birahi pada cinta tak rasa coklat bersama listrik yang mendustai para ibu di rumah sakit? cinta tak lagi rasa coklat setelah ibu-ibu mati anak-anak tak lagi minum susu mesin listrik ikut mati. jogja, 2017

Frederikus Boli Lolan

68


sastra BERKABAR Aku berkabar pada bapak paus Sastra Indonesia bahwa kenangan itu memabukkan lebih membabukan dari beberapa cleguk ciu pada tiap seloki-seloki yang dituangkan pada sambung-ikat tali persahabatan. Mari, malam ini kita akan mabuk lagi menembus waktu yang lebih dalam Duduk bercengkrama melepas jubah lekra maupun manifesto kebudayaan yang kelam Memahami lebih dalam lagi lebih dari seorang petani yang mencangkul lebih dalam dari yang semestinya Lebih dalam-mendalam dari segala lapis tanah yang luka, gunung yang luka, pepohonan yang luka, langit yang luka, lahar yang menampung dendam semua menajam hingga dalam. Dalam dan terus mendalam bagaikan sejingkat jejak matahari yang terus mendalam dari segala tabiat manusia; pada cemas, sedih, pun gembira pada luka yang bukan milik kita Merasuk lebih dalam gelap–pekat yang kemudian merasuk dalam limpah cahaya yang membuta segalanya mendalam pada kenangan yang memababukkan! Aku berkabar pada bapak paus Sastra Indonesia bahwa seratus tahun yang mendalam serupa mimpi yang meninggalkan malam seperti jubah yang menghijau dan berlumut karena hujan, berparas muka sesendu wajah prajurit enam-lima pada darah yang berteriak pada pembunuhnya. Di sungai mana seratus tahun yang mendalam berlarung? Di antara riak menampak hanya bayangan Petruk yang mencari-cari kaki pelangi‌ Mencari-cari ibu Ketika megadah pada lereng Merapi, mengingatkan kabar pada kedua tangannya yang berlumur darah para teman-temannya, bukan hitam tapi merah seperti anggur bercampur cukak yang ditumpahkan pada kertas di meja kerja bumi manusia! Aku berkabar pada bapak paus Sastra Indonesia bahwa menjelang petang ketika kerajaan bayangan perlahan berkuasa, orang-orang yang cemas menemukan diri mereka terancam dan segera menyulut harapan. Api bermeretik-retik dan tiada terikat oleh masa yang menjangkar tentang bagaimana mengetahui alurnya di mana persoalaan duduknya tentang letak anarki, sosialis, atau konservatif pada pedar cahaya yang mengisahkan masa gemilang di tiap angkatannya. Menjelang petang, orang-orang beringsut, mengambil topi capingnya menuruni bukit, melewati makam, memetik bunga kamboja dan memberinya pada nisan yang tiada pernah berhenti menangis pada langit yang semburat merah meninggalkan dukanya pada kegelisahan-kegelisahan tanah air kami!

69


sastra Aku berkabar pada bapak paus Sastra Indonesia bahwa bangsa ini masih terdiam, masih mempercayai bahwa sang waktu menentukan nasibnya terduduk diam pada ketakutan yang tiada habisnya mendapatkan luka di sini agar kita bisa mengingat luka ini dan melupakan yang lain karena dunia hanya menerima luka Luka yang dibuat di masa lalu Yang perihnya menetap di hari ini Agar bisa bercakap dengan sesama kita! Aku berkabar pada bapak paus Sastra Indonesia bahwa biarkan taufan itu berlalu, ombak itu mereda biarkan mengering goresan luka dalam sejarah yang membangun dunia yang indah, luas, dan bercahaya dan memintamu singgah, berpatut, bercanda menghapus air mata dan membuang nestapa yang semoga indah di hatimu merambat pada perjalanan pulang Mereguk cinta dalam dekapan rindu-Nya.

ANGIN MEMELUK DAUN Di antara prahara dan kabut Aku adalah haru Ketika pada pagi ada pohon yang tumbuh di musim kemarau Lalu embun yang bersenandung merasa hujan Angin memeluk daun Supaya jangan lelah harapmu.

*Ricardhus Benny Pradipta, kelahiran 6 September 1993 di Pringsewu, Lampung. Mahasiswa Fakultas Sastra, Prodi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma. Karya-karyanya yang pernah terbit menjadi buku berjudul: Sayembara kepenulisan buku puisi Jakarta Poetry Prairie 2013, kumpulan cerpen Kepalakukotor (Sanata Dharma 2014), puisi-puisi Benny Pradipta Penyair dan Pramugarinya (Indie Book Corner 2014), kumpulan puisi dan cerpen Benny Pradipta KAMAR (Indie Book Corner 2015), SEHABIS TANGIS KECIL (Bebuku Publishing).

70


SI I C H I R Ahmad NW

71



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.