Desain edisi januari 2015 hal 1 31

Page 1


Teras Teras Teras Teras Teras Teras

E

Semoga Berumur Panjang

disi pertama Film Plus akhirnya lahir juga. Harus kami akui, jauh dari sempurna.. Tentu ke depan semua itu harus diperbaiki. Namun yang menggembirakan Film Plus bisa ikut hadir di acara puncak FFI 2014 yang berlangsung di Palembang. Kami gembira karena bisa ikut menjadi saksi sebuah peristiwa perfilman yang, bukan saja penting, tetapi melahirkan sejarah baru. Inilah untuk pertama kalinya FFI dihadiri oleh Presiden RI, dan penilaian film-film peserta yang, konon, melibatkan 100 orang juri. Hasil liputan FFI 2014 Palembang masih kami turunkan di edisi kedua ini. Semoga ini dapat memberi informasi yang lebih lengkap kepada masyarakat tentang hajat FFI 2014. Selama di Palem­ bang, kami mencoba me­nyodorkan maja­­­lah sederhana ini kepada rekan-rekan wartawan, untuk mendapatkan

feed back berupa komentar atas penampilan maupun isi majalah. Apa pun komentar yang muncul kami terima dengan senang hati, termasuk yang mengatakan, “Ini media tahunan ya. Khusus terbit setiap ada FFI”. Tentu saja kami berharap majalah ini bisa bertahan, meski untuk sementara tidak diperjual belikan atau memasang tulisan “Pengganti Ongkos Cetak!”. Sebab seperti kami sampaikan dalam tulisan pada edisi perdana, majalah ini adalah karya “Orangorang Saraf” – ya kami ini. Ke depan, kami ingin Film Plus menjadi media partner bagi perfilman Indonesia, bukan media partner khusus bagi event-event perfilman semata. Kami ingin menjadi

Slamet Rahardjo dengan Majalah Film Plus • Foto: Herman

Januari 2015 | 2

sahabat bagi dunia perfilman secara keseluruhan. Untuk itu Film Plus berusaha menampilkan tulisan-tulisan yang obyektif, faktual, dan dapat dipertanggung­jawabkan. Kalau kami kritis, tentu tidak bermaksud menghakimi, melainkan ingin memberi obat agar partner kami -- dunia perfilman -- tumbuh sehat. Semoga kami diberi umur panjang. Amin.



Redaksi Redaksi Redaksi Redaksi Pemimpin Umum Ary Sanjaya Pemimpin Redaksi Herman Wijaya Wapemred/ Redaktur Pelaksana Syamsudin N. Moenadi Reporter Nana, Sofyan Lubis, SH, Bob Rafeldi Dewan Redaksi Ary Sanjaya Herman Wijaya, Syamsudin N. Moenadi Didang Prajasasmita Kontributor Daerah M. Syafrin Zaini (Bandung) Damaringtyas B. Kurninda (Yogyakarta) Bambang S. (Surabaya) Design Grafis M. Ramdlan Nurrohman Fotografer Rully Sayapkota Model Cover: Illustrasi Menteri Pariwisata Fotografer/ Sumber: Digital Imaging Obitet que nonsequod enditam sequiant od ut facero tem apissec tioria vellecum aut expliquo ma sedit la commodi dolorendunt facearc hiliqui sitaquias earchit quae pedi beatur, sit omniscil ipsam et ut autes doluptati blaborem iliscip sanihicim comnihit Bearite aute venditis abor modigen duciatem voluptae. Nemporem in pa pelisquam inum rem quis eum quam, imolupta dolest officipsum fuga. Olorerum vit fuga. Pit quam et in rest est aut latur, vel est imi, alique nimil enimagnimil inimus minveni millaut emquunt aut ressed moluta volestisit utem aut ad maionec eprendant quideles magnate solorrum, con porum ullaut venitiatium ium venitatias mi, as antio. Itaepel moluptiis auda ditas estruptatiur mo tem re lique omnimen iendipis esti vit doluptatur sundit alique peroratur mi, consecte laccaecus aut que enit, evenecum faceria tiassi cora nihicil landandicat voloribustis exces que commolor magnis most que doluptatem qui berciet ad ma delicti sinctoriam ditatur si ommo odi dolent verspicat officipsam, audandiciis etur repudis sit que sam et iur moditassi ut imporep elistetur, nonectio. Onsed eum que delita venda nimpore stiate peratur solenda sequassita poria doluptum eos ea pa nonsero mod eius is autae cusaecus doluptur?

Pemimpin Perusahaan Wijaya Saputra Keuangan Sri Purwati Distribusi Teuku Anwar Sadat Penerbit PT AHA KOMUNIKA Alamat Redaksi: Jl. Bangka 1 No.11 Pela Mampang Jakarta 12720 Telp. 021-717 907 36/37 Fax. 021- 717 929 13 email: filmplusindonesia@gmail.com

www.filmplusindonesia.com

Januari 2015 | 4


Conratulation Chiko:

“Conratulation atas Terbitnya Majalah Film Plus, Semoga Benarbenar dapat menjadi Bacaan Bernas untuk Orang Cerdas�

Foto: Herman



Daftar Isi Daftar Isi Daftar Isi Daftar Isi

Januari 2015 | 7


Foto: Herman

Figur Figur Figur Figur Figur Figur Figu

Yayu Unru:

Jadi Seniman itu

Pekerjaan di Jalan Tuhan Januari 2015 | 8


Figur

J

ika ia lewat di jalan, tidak banyak yang mengenalnya. Tidak ada gadis-gadis yang menjerit histeris, ibu-ibu atau bahkan kaum lelaki yang mengajaknya berfoto bersama, atau anak-anak yang meminta tanda tangan. Ya, Yayu Unru memang bukan seorang selebritis, walau pun sesungguhnya di adalah seorang aktor. Anugerah Piala Citra yang diraihnya pada FFI 2014 di Palembang, merupakan bukti keaktoran lelaki kelahiran Sengkang, Wajo, 4 Juni 1967 ini. Yayu mendapat Piala Citra itu sebagai Pemeran Pembantu Pria melalui permainannya dalam film Tabula Rasa. Yayu memang bukan tipe seorang bintang yang gemerlap. Dia jauh dari publisitas, karena sebalum ia lebih banyak di belakang layar sebagai pelatih (coach) akting, bagi para pemain yang bermain dalam suatu film. Di bekerja sebagai asisten aktor kenamaan Didi Petet, yang merupakan seniornya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Walau pun lebih banyak berkecimpung di teater. Dunia film tidak asing bagi ayah tiga orang anak ini. Sejak tahun 1985 ia sudah diajak main dalam film Kepak Saya Merpati, lalu Tari Kejang (Nawi Ismail) dan lalu Jakarta 66 (Arifin C Noer). “Waktu itu orientasi orang memang main film. Tetapi saya tidak tertarik. Saya ingin main teater saja,” kata Yayu. Suatu hari Didi Petet yang main dalam film Jermal mengajaknya main, karena ceritanya menarik.

“jadi seniman itu sama mulianya dengan Pastor, Kyai, Pendeta atau apalah orang yang menyebarkan agama,”” “Saya mau main, tapi yang bikin saya stress, syutingnya di laut, dan saya tidak bisa berenang,” katanya sambil tertawa. Sebagai lelaki berdarah Bugis, kedengarannya aneh jika tidak bisa berenang. Hal itu terjadi karena sejak kecil Yayu dilarang orangtuanya berenang di kali, karena banyak teman-temannya yang mati di kali. Sampai sekarang ia tidak bisa berenang. Mengaku sejak kecil sangat nakal, Yayu tidak pernah terpikir untuk memiliki cita-cita dalam hidupnya. Tamat SMA, ketika teman-temannya mengajak akan mendaftar ingin jadi tentara, jadi dokter atau insyinur – sebagaimana umumnya cita-cita anak-anak Indonesia kebanyakan – Yayu tidak terpikir untuk me­ lanjutkan kuliah. “Saya begini-gini ajalah,” katanya kepada temantemannya waktu itu. Seorang temannya perem­ puan lalu menganjurkan agar Yayu masuk IKJ – kebetulan ayah perempuan itu tata usaha di IKJ. “Saya tanya IKJ itu apa? Setelah dikasih tahu itu sekolah kesenian,

Januari 2015 | 9

saya tertarik, karena sejak kecil saya suka menggambar,” kata Yayu. Ia lalu pergi ke IKJ untuk men­ daftar ke Jurusan Seni Rupa. Ketika lewat di depan Teater Luwes, dia melihat mahasiswa Jurusan Teater seperti Mathias Mucus, Eeng Saptahadi, Deddy Mizwar dan lain-lain sedang berlatih. Ia tertarik melihat mereka, lalu memutuskan masuk Jurusan Teater. Yayu menyelesaikan kuliah D3nya sampai sepuluh tahun. Walau ada ketentuan Drop Out (DO) bagi mahasiswa yang tidak naik tingkat, Yayu tidak pernah menalaminya. “Mungkin karena saya sering ke luar negeri ikut berkesenian bersama Mas Sar­ dono dan yang lain-lain,” ujar Yayu. Tamat kuliah ia langsung me­ ngajar di almamaternya. Karena asistennya S1, dia diminta untuk kuliah S1 oleh almarhum Sena Utoyo. “Setelah saya S1, asisten saya S2. Makanya sekarang saya kuliah S2 di IKJ. Lalu saya bilang sama asisten saya, kamu jangan ambil S3. Saya udah capek ngikutin kamu,” ujar sambil terbahak. Menjadi seniman merupakan pilihan yang dilakukan penuh kesadaran. Yayu yakin orang bisa hidup dengan menjadi seniman, seperti yang dialaminya. “Menjadi seniman itu sama dengan bekerja di jalan Tuhan. Karena seniman itu menghibur orang, dan tidak semua orang dikaruniai bakat untuk menjadi seniman. Tetapi bukan seniman yang pemabuk ya,” katanya. “jadi seniman itu sama mulianya dengan Pastor,


Figur Figur Figur Figur Figur Figur Figu “Prinsip saya, kalau kita tidak bisa melakukan apa-apa, bayi yang lahir hari ini suatu saat akan membunuh kita, makanya saya harus bisa mengerjakan apa saya”

Foto: Herman

Yayu Unru:

Kyai, Pendeta atau apalah orang yang menyebarkan agama,” tambah Yayu. Yayu juga pernah mengalami pahitnya sebagai seniman, terutama ketika di awal ia menikah. “Waktu itu di rumah tidak apaapa sama sekali. Saya tidak tahu mencari uang ke mana. Waktu saya buka pintu, di depan pintu ada amplop. Saya pikir ini anakanak IKJ yang mau bikin kegiatan, minta sumbangan sama seniornya. Ketika saya buka ternyata berisi uang jutaan. Dari tulisan yang terdapat di amplopnya saya baca, itu uang honor saya ketika membantu kegiatan LSM anakanak tiga tahun lalu. Tuhan itu luar

biasa dalam membantu umatnya,” tambah Yayu. Sejak itu Yayu makin yakin bahwa apa pun kebaikan yang diperbuat, pasti akan ada ganjarannya. Dia tidak pernah menolak kalau ada yang ingin belajar akting, walau pun tidak dibayar. Ia bangga orang menjadi seniman. Bahkan ketika anaknya Patih Unru (kini seorang aktor) berusia 4 tahun mengatakan ingin menjadi aktor, dia merasa bangga dan terharu. Patih adalah anak ketiga buah perkawinannya dengan perempuan bernama Mitha. Dua anaknya yang lain perempuan, yakni Widya dan Nasha.

Januari 2015 | 10

Sebagai seniman ia merasa hidupnya cukup, walau tidak berlebihan. “Saya yakin dengan jalan ini, karena Tuhan yang akan membayar saya,” katanya. Dengan Piala Citra yang di­ raihnya karier Yayu se­makin cerah, dan akan berdampak deras­ nya tawaran main, dan pe­ ningkatan bandrol Yayu yang lebih tinggi. Akan tetapi ia tetap akan selektif memilih peran. Ia hanya ingin kreatif dan produktif agar bisa bertahan hidup dengan layak. “Prinsip saya, kalau kita tidak bisa melakukan apa-apa, bayi yang lahir hari ini suatu saat akan membunuh kita, makanya saya harus bisa mengerjakan apa saya,” ujar Yayu. (hw)



Isu Dunia Film

CERITA MIRING

DI BALIK PENYELENGGARAAN

FFI 2014

Suasana di Sekretariat Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang juga merangkap sebagai sekretariat FFI 2014 di Gedung Film Jl. MT Haryono 47 – 48 Jakarta, 22 Desember 2014 lalu mendadak ramai. Hari itu sebagian besar anggota panitia datang untuk menghadiri acara pembubaran Panitia Pelaksana (Panpel) FFI 2014. Seonggok tumpeng diletakkan di atas meja, lalu dipotong oleh Ketua FFI 2014 Kemala Atmodjo, dan dibagikan kepada seluruh anggota panitia. “Kita bersyukur FFI 2014 sudah terlaksana, dan kita merasa lega karena tidak korupsi!” kata Kemala, seperti ditirukan oleh salah seorang anggota panitia kepada Film Plus, yang hari itu juga datang ke Gedung Film.

Januari 2015 | 12


Foto: Herman

K

alimat “tidak korupsi” me­ mang berkali-kali disam­ paikan oleh Kemala Atmodjo, di tengah bisik-bisik dari luar yang mengatakan bahwa Panpel dapat bagian cukup besar dari penyelenggaraan FFI 2014 yang menelan ang­ garan sebesar Rp. 12,2 milyar! “Panitia sampai sekarang bersih, kita tidak ada yang korup! Honor saya total itu cuma 15 juta! Bahwa masih ada klaim 13,5

juta, itu harus dibayar dong. Itu kan buat makan menteri segala macam, masak gua yang bayar!” kata Kemala ketika ditemui Film Plus, empat hari setelah acara FFI di Palembang. Menurut Kemala, inilah, mung­­ kin, dalam sejarah untuk pertama kalinya honor Ketua FFI setara dengan UMR. Semua staf BPI sampai Christine Hakim yang menjadi ikon FFI pun cuma terima honor Rp.3 juta per bulan.

Januari 2015 | 13

“Bayangkan itu true story, tidak ada yang kita sembunyikan. Makanya teman-teman BPI tenang!” tandas Kemala. BPI (Badan Perfilman Indonesia), ada­ lah pelaksana FFI 2014 ini. Bisik-bisik tentang adanya pat gulipat permainan anggaran dalam FFI 2014 di Palembang memang berhembus meski ti­ dak terlalu kencang. Cuma ada beberapa pihak yang merasakan hembusannya. Mulai dari Panpel,


Isu Dunia Film

perusahaan pemenang tender pelaksanaan FFI (EO) dan pihak pemerintah yang bernaung di bawah Kementerian Pariwisata. Honor 100 orang juri yang baru dibayar separuh, dan sisanya baru dilunasi lebih dari sepuluh hari setelah FFI usai, dituding sebagai pengaruh pat gulipat itu. “Ini pasti permainan Ukus, Armen dan EO. Kita amprokin aja mereka!” Begitu bunyi pesan yang beredar di grup BB kelompok tertentu. Yang dimaksud Ukus adalah Ukus Kuswara (Sekjen Kemenparekraf), dan Armen ada­ lah Armen Firmansyah, (Direk­ tur Pengembangan Industri Per­filman Kemenparekraf-Red.). Selain kata “amprokin”, ada pula pesan yang bernada kasar yang bisa dikonotasikan sebagai ancaman. “Saya baca copasnya,” kata Armen Firmansyah ketika ditemui di kantornya. “Lho ka­ lau mau diamprokin jangan saya atau Pak Ukus. Kita sama sekali tidak tahu menahu soal anggaran.

“Inilah untuk pertamakalinya FFI menggunakan total 100 orang juri, yang mem­ buat pihak eo pusing tujuh keliling” Itu urusan EO sebagai pemenang tender,” tambah Armen. Sebagai Direktur, menurut Armen, dirinya sama sekali tidak tahu menahu masalah penggunaan anggaran untuk FFI. Pihak­ nya hanya mengusulkan ang­ garan yang semula Rp 17M, kemudian menjadi 12,9 milyar karena ada pemotongan anggaran oleh pemerintah. Anggaran itu

Januari 2015 | 14

lalu dilelang melalui LPSE (Lelang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara Elektronik) yang diketuai oleh John Tungkir. Dari 54 peserta lelang, PT Barokah Lima Zahra yang menyodorkan HPS 12,2 milyar menjadi pemenang. Pemenang kemudian menandatangani kontrak dengan Panitia Pembuat Komitmen (PPK), dan setelah itu berurusan langsung dengan Panpel. “Kita tidak sama sekali ikut campur. Apalagi cawe-cawe karena itu diumumkan di website,” kata Armen, meski pun sebagai pejabat pemerintah, dirinya harus ikut bertanggungjawab terhadap penggunaan anggaran itu. Pelaksanaan FFI 2014 yang sebagian acaranya berlangsung di Palembang, memang mendapat sorotan dari berbagai pihak. FFI kali ini bukan hanya padat modal, tetapi juga padat tenaga kerja. Inilah untuk pertamakalinya FFI menggunakan total 100 orang juri, yang membuat pihak EO


Foto: Herman

Malam Piala Vidia dinilai kurang sukses karena minimnya bintang-bintang televisi yang hadir pusing tujuh keliling memikirkan honor mereka. Meski pun menurut Kemala Atmodjo dalam wawancara dengan Film Plus sebelumnya, ada juri yang tidak memikirkan honor, tetapi pada kenyataannya, tiap juri ngotot minta bayaran Rp.15 juta. Artinya untuk komponen juri saja EO harus mengeluarkan uang Rp.1,5 milyar! “Itu baru honor, belum lagi uang makan dan transpor setiap kali melakukan penjurian di bioskop, mereka minta dua ratus lima puluh ribu perak sekali datang.” kata salah seorang staf dari pihak EO. Uang transpor juri itu tadi­ nya diminta langsung oleh panitia setiap kali penjurian berlangsung, dikalikan dengan jumlah juri. “Tapi kita bilang kita aja yang bayarin

langsung, karena tidak semua juri datang. Atau kalau pun datang ada yang menjelang penilai berakhir,” tambahnya. Soal ketidaklengkapan ang­ gota juri dalam penilaian juga diungkapkan oleh produser Chand Parwez Servia. Celakanya, ki­ner­ ja juri yang seperti itu sangat merugikan dirinya yang telah mengirimkan 8 judul film untuk mengikuti FFI 2014. Tidak satu pun filmnya yang masuk nominasi. “Saya enggak berpikir film saya menang, tapi saya tahu ada kreatif saya yang bekerja luar biasa. Misalnya Slank (film Slank Tidak Ada Matinya) itu konsep soundnya luar biasa. Kalau eng­gak masuk nominasi aneh. Mungkin karena masuknya belakangan dan tim jurinya juga mungkin tidak Januari 2015 | 15

lengkap. Yang jadi juri banyak teman saya, saya tanya mereka sempat nonton enggak, mereka tidak nonton,” kata Parwez. Kinerja dan jumlah juri hanyalah satu persoalan yang jadi sorotan dalam FFI 2014 ini. Pelaksanaan pemberian Piala Vidia, Acara Puncak, pawai artis dan insan film yang diundang pun tak luput dari kritik berbagai pihak. Malam Piala Vidia yang berlangsung di di Grand Ballroom Aryaduta Hotel, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (5/12/2014) dinilai kurang sukses karena minimnya bintang-bintang televisi yang hadir, sehingga pemenang dari kategori artis Piala Vidia lebih banyak diwakili. “Bintang FTV kan sama artis (untuk) Citra kan beda. Ka­ lau di Jakarta lebih efektif. Stasiun televisi banyak di Jakarta, lebih banyak ngundang (artisnya). Tapi mungkin Panpel punya prinsip beda, kita enggak tahulah,” kata Armen Firmansyah. Dalam RAB (Rancangan Anggaran Belanja) pemberian Piala Citra tertulis di Jakarta. Tetapi karena Pemda Sumsel meminta diadakan di Palembang, maka acara itu dipindah. Konsek­ wensinya, Pemda Sumsel mem­ berikan tiket pesawat dan ako­ modasi untuk 100 orang dari Jakarta Kemala Atmodjo membantah acara pemberian Piala Vidia sepi artis. “Itu pembaca nominasinya kan papan atas semua. Ada Maudy Koesnaedi, ada Dian Sastro, Tara Basro, dan banyak lagi. Setelah naik ke panggung kan mereka duduk semua, jadi meja kelihatan terisi,” katanya. Menurut Kemala, sepinya pengunjung di awal acara disebabkan pihak keamanan terlalu ketat, karena mau ada


Isu Dunia Film

Kemala Atmodjo:

“Me­nurut saya kita merasa bisa mem­buat festival yang obyektif. Kita bisa menjadikan FFI milik bersama semua orang” presiden. “Saya aja dicegat sama paspampres, ditanya ID-nya. Ter­ nyata banyak yang tidak boleh masuk, meski di akhir-akhir saya instruksikan boleh masuk,” tambah Kemala. Kritik terhadap pelaksanaan malam puncak di Sriwijaya Sport Center sehari kemudian, juga tak kalah tajam. Acara malam itu dinilai tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Untuk pelaksanaan malam Piala Vidia dan Pemberian Piala Citra itu kabarnya memakan biaya Rp.4,4 milyar. Biaya itu tidak

Foto: Herman

termasuk sewa gedung. Tetapi acara yang ditampilkan terasa “garing”. Panggung Piala Citra terkesan sederhana dan kurang cahaya. Orkestra yang diletakkan di panggung bagian atas juga tidak kelihatan. Kedua acara itu “diborong” langsung oleh Ketua Bidang Acara Dewi Gontha. “Dalam RAB cuma diang­ garkan 3,6 milyar, tapi Dewi Gontha ngotot minta 4,4 milyar! Kalau tidak disetujui dia meng­ ancam akan membatalkan acara pemberian Piala Citra. Akhirnya permintaannya disetujui. Biaya yang diminta dibayar cash,” kata sumber. Untuk menangani acara itu Dewi Gontha membuat kon­ trak sendiri dengan pihak EO. “Harusnya yang melaksanakan EO. Kenyataannya ada kontrak antara EO dan seksi acara, mengajukanlah angka untuk malam vidia dan malam puncak sekitar sekiansekian. Sebenarnya tidak boleh itu EO mendelegasikan kepada EO juga. Mereka mengatakan bukan

Januari 2015 | 16

EO, tapi seksi acara. Yang saya tahu seksi acara tidak banyak orangnya. Seksi acara itu hanya mengelola acara saja, tidak mengelola uang. Tapi sekarang mengelola uang,” papar Armen Firmansyah. Pihak EO semula tidak me­ nyanggupi permintaan Dewi Gontha. Karena perundingan bu­ ntu, kata sumber, akhirnya Kemala Atmodjo menjanjikan akan mencarikan dana tambahan yang Rp. 800 juta. Namun sam­ pai waktunya Kemala tidak mam­pu menyediakan uang yang dijanjikan, sehingga pihak EO akhirnya menambah kekurangannya. “Kalau saya yang nanganin, dengan 3,6 milyar bisa lebih bagus dari itu,” kata sumber. Versi Kemala Atmodjo, acara di Palembang itu sudah dibicarakan degan pihak EO dari awal. Dewi Gontha menyodori angka 4,4 milyar kepada EO. Kalau Eo keberatan, ada yang mau dicoret, silahkan coret. “Tapi sampai waktunya dia tidak coret. Dia tetap ngotot dengan angka 3,6 milyar. Panitia lalu


mau nalangin. Tapi kata Pak Arief (Menteri Pariwisata), oh jangan begitu, lebih baik (anggarannya) diadendum saja. Sekarang sudah diadendum. Anggarannya tambah sepuluh persen!” ungkap Kemala. Mengenai tingginya biaya acara malam puncak, menurut Kemala, karena urusannya un­ tuk mengangkut barang yang harus melalui jalan darat dan honor pengisi acara. “Itu kan ada orkestra, ada Kristopher Abimanyu, Ari Lasso dan banyak lagi. Kalau orang bilang jelek, itu soal intepretasi. Kamu bisa saja bilang, oh saya bisa melaksanakan dengan biaya 500 juta, atau 1 milyar. Tapi artisnya kan paling “sakitnya tuh di sini, sakitnya tuh di sini”, atau “iwak peyek, iwak peyek”,” tandas Kemala sembari berdiri dari kursi, menirukan gaya artis menyanyi. Terkait dengan masalah ter­ sebut, baik Dewi Gontha atau PT Barokah sebagai pemenang tender, tidak bisa dihubungi. Dewi Gontha tidak membalas sms permintaan wawancara. Ketua Sinematek Indonesia yang menjadi Ketua FFI tahun 2004 – 2006 Adisurya Abdy menilai, pelaksanaan FFI 2014 ini terkesan grabag-grubug dan tidak well organized. Minimnya kehadiran insan film “generasi terdahulu” menjadi sorotan. Pro­ duser anggota PPFI yang terlihat di Palembang cuma Ram Punjabi, Hendrik Gozali dan Ody Mulya Harahap. Anggota PPFI lainnya yang Kehadiran Ody pun karena ia terpilih sebagai Juri Akhir. “Harusnya FFI itu disiapkan untuk menjadi pesta insan film, dan mereka harus menyiapkan jauh-jauh hari. Siapa-siapa yang diundang, bagaimana meng­ undangnya, berangkatnya naik apa, di mana menginapnya, itu

Chand Parwez:

“FFI saya hormati sebagai sejarah perfilman, tapi jangan dijadikan mainan orang tertentu” sudah beres. FFI 2014 ini gerabakgerubuk. Saya dapat undangan tapi tidak tahu harus berangkat naik apa. Naik getek atau naik apa,” kata Adi, geram. “Sekarang apa kita tahu orang film itu punya duit. Dan mereka datang pun harus dimuliakan. Kalau tidak untuk apa? Saya melihat FFI ini cuma ajang kepentingan kelompok dan proyek!” Hal senada disampaikan oleh Chand Parwez. “Saya cuma dikasih undangan. Saya tidak tahu mau ke mana, tempat teman tinggalnya di mana. Tidak ada informasi. FFI saya hormati sebagai sejarah perfilman– tapi jangan dijadikan mainan orang tertentu. Mudahmudahan ke depan lebih baik lagi,” katanya. Pengaturan undangan dalam FFI 2014 ini memang kacau balau. Nominator yang menjadi calon peraih Piala Citra saja baru mendapat kepastian berangkat ke Palembang, pada tengah malam sehari sebelum acara Puncak. “Saya dapat kabar jam sebelas malam. Jam 3 (dinihari) saya cari taksi sendirian untuk berangkat ke bandara,” kata aktris Dewi Irawan, yang kemudian terpilih sebagai Pemeran Utama Terbaik FFI 2014. Perihal kekacauan dalam urusan tiket pesawat itu diakui oleh Kemala Atmodjo. Kemala Januari 2015 | 17

menuding kesalahan ada pihak EO yang tidak memastikan pesanan tiket di biro perjalanan. Sejak jauh hari panitia memberikan daftar nama yang akan berangkat ke Palembang ke pihak EO, untuk dibookingkan tiket. Tetapi menurut pihak biro perjalanan, EO tidak memberikan uangnya, sehingga biro perjalanan tidak berani memastikan. “Kita kan akan bukabukaan kapan aja. Aku enggak cerita inside storynya. Bahwa dia (EO) tidak punya uang, saya punya banyak buktinya!” tandas Kemala. Kemala juga membantah FFI 2014 ini hanya sebagai ajang kelompok tertentu. “Aku termasuk orang independen tidak blokblokan. Asal tahu aja selama FFI sekalipun aku tidak pernah telepon Mira Lesmana. Tapi coba tanya, berapa kali saya telepon ke Parwez ke Sunil, ke Gope (Samtani) berapa kali. Kita enggak merasa berjarak, kita mau menjalankan apa yang benar. Bahwa itu membuat orang enggak enak ya begitulah,” kata Kemala. Mengenai apresiasi khusus kepada Mira Lesmana dan Riri Riza yang memutuskan ikut FFI 2014 ini sehingga mengesankan hanya Mira dan Riza orang pen­ ting dalam perfilman, Kemala menganalogikan keduanya seperti orang Islam yang kembali. “Saya ini orang Islam. Kalau ada orang Islam balik, harus kita sambut. Bukan berarti orang-orang Islam yang lain tidak baik,” katanya. Lepas dari berbagai ke­lemah­ an yang terjadi di Palembang, Kemala merasa FFI 2014 sudah berlangsung dengan baik. “Me­ nurut saya kita merasa bisa mem­ buat festival yang obyektif. Kita bisa menjadikan FFI milik bersama semua orang, dengan men­da­tang­ kan pak jokowi mendukung usaha perfilman. Teman-teman film ratarata menyambut baik.” (hawe)


Isu Dunia Film Armen Firmansyah:

Direktur Pengembangan Industri Perfilman,

“Orang Film Mana Mau Diatur?”

H

ubungan saya dengan EO? Sebenarnya saya tidak tahu menahu ini. Kita punya program namanya FFI. Berdasarkan program kerja itu kami menyurati BPI untuk melaksanakan FFI 2014. Dari BPI mengirim surat balik, mengusulkan nama ketua siapa, bidang ini siapa, bidang itu siapa. Dibentuklah SK Panpel. Dari situ dana ini yang kita sudah gelontorkan Rp. 17 milyar. Karena ada penghematan, anggaran ciut jadi Rp.3 milyar. Kita utarakan kita cuma punya dana 3 milyar gimana? Mereka bi­ lang sudah lakasakan saja. Lalu kami berjuang tanpa BPI ikut. Kita yang berjuang lho. Jadilah total 14 m. Ada namanya HPS yang dibuat oleh LPSE. Tim lelang bukan di kewenangan kami. Itu diketuai langsung di sana kita tidak bisa intervensi. Terjadilah lelang yang ikut 54 perusahaan. Kita kasih pagu 13,9 milyar. Lalu diumumkan bisa dilihat di internet. Kita tidak sama sekali ikut campur. Apalagi direktur, tidak bisa cawe-cawe. Apalagi pak Sekjen, Dirjen. Karena itu independen,

diumumkan di website. Ada ketuanya namanya John Tungkir. Dia punya tim. Berdasarkan angka yang kita ajukan, dia yang ngelola, kita tidak tahu mekanismenya bagaimana. Sudah ditentukan pemenang, kita sampaikan agar berkoordinasi dengan panpel. PPK (Pejabat Pem­ buat Komitmen) ada tapi tidak ada ikut campur. PPK kontrak sesuai dengan hasil lelang, tidak bisa melenceng. Setelah kontrak EO (pemenang lelang) melaksanakan. Pemerintah sama sekali tidak ikut campur keuangan, apalagi memotong. Apalagi di­sebut-sebut Ukus, Armen, Sigit, kita amprokin aja mereka. Lho amprokin jangan saya, EO-nya dong, kenapa tidak dibayar? Lu punya uang enggak? Kalau menurut aturan yang baik, Panpel itu seharusnya men­ jadi konsultan teknis. Super­ visi­ lah. Supaya terselenggara acara ini. Mau beli printer, mau beli artis, dia kasih aja speknya. Harusnya yang melaksanakannya EO. Kenyataannya ada kontrak antara EO dan seksi acara. Karena acaranya sudah mendesak ada kontrak antara EO dengan pengisi Januari 2015 | 18

acara. Sebenarnya tidak boleh itu EO mendelegasikan kepada EO juga. Tapi dia mengatakan bukan EO tapi seksi acara. Pengisi acara seharusnya tidak mengelola uang. Makanya kasihan juga EO nih. Menurut cerita beliau kalau dia sudah ke luar uang 9 – 10 milyar. Besar dong. Yang bilang abal-abal itu yang salah. Kami serba susah. Saya se­ benarnya tidak mau jalan (ke Palembang). Tapi kan kita harus bertanggungjawab. Akhirnya kita malu juga kan di sana, bantu enggak, cuma nonton. Tapi saya kan bertanggungjawab sama keuangan. Kalau acara tidak berhasil bagaimana? Bapak kan tahu orang film. Kira-kira mau enggak orang film diatur-atur. Nanti malah ngadu dia. Ngadu ke media sosial kan namanya ngadu sama rakyat. Buat kita anggap saja FFI 2014 berhasil. Yang penting penjurian sudah terlaksana, malam vidia dan malam puncak sudah terlaksana. Itu aja sudah. kalau bagus atau tidaknya saya serahkan kepada masyarakat. (hawe)


Y

ang penting dipahami da­ lam FFI ini melibatkan 3 insitutsi: Kementerian se­ bagai Penyelenggara, BPI Pelaksana, dan EO pemenang tender. BPI tidak ada urusan dengan duit. Kita hanya minta uang mengajukan pembayaran. Dia yang bayar. Baik kepada BPI maupun kepada vendor. Tapi panitia sampai sekarang bersih. Kita tidak ada yang korup. Honor saya 15 juta, bahwa masih ada klaim 13,5 juta itu harus dibayar. Itu untuk kebutuhan pa­ nitia di Palembang. Semua staf BPI sampai Christine hakim itu dapat

enggak semua berangkat. Karena kita cuma dikasih jatah 400. Siapa yang pake 400 itu cek aja. FFI 2014 ada yang namanya Pedoman FFI. Ditandatangani Ahman Syah (Dirjen EKSB Kemen­ parekraf). Di sini sudah tertera mekanismenya, nilainya. Jauh se­ belumnya RAB itu berkali-kali dibahas dan disetujui. Hasilnya. Ternyata RAB yang ditenderkan itu beda dengan RAB yang kita buat. Kita sudah complain dari awal mengapa RAB ini yang keluar bukan yang kita rancang. Apa maksudnya ini? Orang kementerian bilang nanti mau

harus bayar juga EO tidak mau bayar, karena tidak ada ang­ garannya. Memang tidak ada anggarannya jadi kita sudah berusaha. Kita sudah ngomong sama SCTV, AN Teve, Metro TV tapi semuanya minta bayar. Kompas TV itu detik terakhir. Satu sampai dua hari menjelang keputusan, saya masih rapat di TVRI. TVRI masih minta duit. Saya lalu cari partner yang free. Ketemulah Kompas TV dan Berita Satu. Mereka kasih free. Kalau dia (pemerintah) nuntut harus siaran di televisi. Mana duitnya? Wong di RAB mu enggak ada.

Kemala Atmodjo:

“Saya Punya Bukti, EO Tidak Punya Duit!” 15 juta. Bayangkan itu true story. Tidak ada yang kita sembunyikan. Hubungan kita dengan EO baik-baik saja. Soal kekacauan dalam soal tiket dan lain se­ bagainya itu akan kita evaluasi. Apa dia tidak punya duit atau dia teledor, bisa saja itu terjadi. Tapi jangan dikira itu asal muasalnya dari panitia. Panitia sudah jauhjauh hari menyodorkan nama. Kalau mau jujur EOnya kurang care, kurang orang yang profesional. Mungkin kurang modal. Yang penting FFI sudah ter­ laksana, ada kebersamaan di antara insan film. Orang film lama diundang. Bahwa kita enggak menyediakan fasilitas itu karena kita tidak punya uang. Panitia aja

diadendum, tapi enggak terjadi. Dalam pelaksanaan kita su­ dah ada agreemen. Bersamasama, seluruh tim EO dengan se­ luruh panitia. Kamu menang 12 milyar, dipotong pajak sekian persen, dipotong keuntungan sepuluh persen, dipotong bunga bank sekian persen, sisanya 9,5 milyar untuk biaya pelaksanaan FFI. Kita enggak mau 9,5 kita minta 8 milyar aja, kita salaman. Bahwa ada item yang me­ lampaui RAB iya. Tapi ada juga yang kruang dari RAB. Saya kasih contoh kecil cetak buku; itu EO tidak bayar. Kok diam aja. Begitu honor juri lewat dia teriak-teriak. Televisi itu juga free. Kalau

Januari 2015 | 19

Acara di Palembang itu dari awal itu sudah disodori ke EO untuk direvisi. Itu ada ceritanya. Dewi Gonta menyodori katakanlah 4,6 dia kasih ke EO ini kalau ada yang mau dicoret silahkan coret. Tapi enggak dicoret-coret. Pada saat yang krusial EO ber­­tahan dengan angka 3,6 milyar sesuai RAB. Dewi Gonta juga ber­ tahan di angka 4,6 karena itu kan urusannyakan ngangkut barang. Kaitannya dengan honor. Tadinya panitia yang mau talangin, karena EO tetap dengan angka itu. Tapi ter­ akhir kata Pak Arief (Manteri Pariwisata) jangan begitu dong, diadendum aja, pemerintah yang tanggung. Sekarang sudah diadendum naik 10 persen. (hawe)


Isu Dunia Film Adisurya Abdy:

“Bitin rehendi ullaccae volo�

L

aniendio. Ximentorem eum invelle nimus Faccaes sitatemporum reptas eatemol upition ratquis sus dolorun totasperisto quassumet minulla vitia nusandi tem cum sum re mini cuptatum nusam re, ius, ut quas modion restiunt explis dolore veri sitectur? Occuptatis eum erovit quae et volupta ssitiate pliciam, ute nus aliatis et, nonsequatem ati rem ium

adicaborum imuscii squiae. At qui odit, quia cuptametur simus, quas et, coreceperem re, id et pliatiumetur accumquo estior sequi odignis int officius, to ditem. Ut et venihici dolesequis dolenestint faccum, ut porendicimus ma nem rehendi oratur sant prat ad evenient. Untionsed endenda poriam, qui optate re quos rest volorem que ommolora volupiet quodi ate prem atio quid quis est, qui dolutem doluptatur? Ecta comnimus. Nis dem ipit, te velitat as as natempost quatis esequat aut eos aut que corestrum aut esciusda vel minte exeruntum reperias id ex exceprovid modis sam quam nis ernatem quamus volupictur? Quiam, earunt dis nobitatet por maio. Ut debis vella simaxim

Januari 2015 | 20

agnatib usdam, quatquo eseque verferum lanieni blaut res si commolu ptatqua tibus. Derum que rerfers perferia quid ullaborum sit aliqui nullupiscil ipsum dolorro que culluptaspis ipit, qui iusaepe rundessitam a volupta dolor aperum harumquunt qui vent aut volorrum harchilita doluptam que voloria nimolessitae et optatent qui od et faces ma nonseritat omniste mquissi ncitiur, iditat ut odigendis enda dolorem ipsunt liti consend igendellutem que eostia demos et perferchilit voluptas vollige nimolum, ommollo remolup tasseru ntecesed eos expero te maion conest, sitemossin es magnis aliquo volestiur magnam Rescitat ibustrum fugit alique samus magnatus aute que volupicium nisi omnihic idicaer chicit hic tem. Nam il incto quae nam iliquo dit, nisquodi dolor sumquam non prorepuditet quam


Ir. Chand Parwez Servia:

“Bitin rehendi ullaccae volo�

L

aniendio. Ximentorem eum invelle nimus Faccaes sitatemporum reptas eatemol upition ratquis sus dolorun totasperisto quassumet minulla vitia nusandi tem cum sum re mini cuptatum nusam re, ius, ut quas modion restiunt explis dolore veri sitectur? Occuptatis eum erovit quae et volupta ssitiate pliciam, ute nus aliatis et, nonsequatem ati rem ium Uda cum nobis aute dolum laborec tatur, nihillo rporerum quunda quaectam rest et etus, ipsania dolum facea velis quam fugia alit volore odiciur? Lesed et rae sam aperio. Nequamu scideriorro ea quid qui cum auditiat et as minullu ptatia sin re illuptae. Luptae nonseditat autam quat faccuptur? Ed ma quam, ut ipsum, con res eiunt as in cusandis de non ea vellore, ut ut que ea sa coribeatem veriberi re prat et auta nis re dolendi nis ni offic tor samus, simaioration ra adi odit etur maio velesciendis eario oditat aut ut eum dunt maios pre culpa que nones conet labore inusaes dolorectati aut vent acit, voloribuscia delisqui dolorem utat quiditia voloreped quam quis re dolupta tiuscil et et lab inis mo es enditatia quae et, aut odis que poribus, venieni rendam, quo

dit isinusa nonsequam fugias et eum nos ducipsant, venis nos as dolorecae vid eatis et eos audanis reptatiunto te peribeate re offic te conet verae sunti reperata quis que dolestrum a dolupid ipsunt, amus, quaturite adi blatis et rem inulparum reptatio quodi con proribus. Igni con cupta duntur aute sit omnihil illupta sitatint volorum vid quiam fugit, que id maioren emquas voluptias dellitate opta sit aliquas ma dolorem oloria quiatem soloriaspero qui tem ad eiunt, estis moditatia nem quaturi berciur, ut quam quas que volendandit ut eum a alis doles sant ut pa corio cullabo reiurep electatis qui ullendit, ulparum et estrum inciasimus sam, quis voluptatis con corro vendisqui cor aut aut endignimin re volorrumquid moluptasita cuptat alis rat quaerib ustotat quasperunt laborunte qui ommos rempos explit, ut vel estrument quatibus aliquo doluptia quos quae cones re, odit aut as dit quiatur sumque endiore doloria sus. Desequi re necuscium que ma nobitio. Ferumquatus verempel explam qui illuptaecera doloren ientias deliquiam voluptium facia voluptas es doloribus dist aut aborpor atatis quo cum ut officit aectatur, qui reptat qui Januari 2015 | 21

doluptatiur? Ipsaecatur sit exerit, nuscimin nimenim fugitatus nobitione etur aut ulla nobis voloria sequos ilitionsed qui volorro to ipsanimus cus reriscipsum quatur? Qui quae nia que conet res quam simporepe ped et parum quia que moluptatibus eicienem volor molore pore simporum dolendam aute sume sed que occus aboriberro quiam quiasperor aut officae volorum nectat dereiur iassectatis aliti dolor re vel ipsam sitiat et as dolesedit re sa volorec ulliquo dioribusam di nonecus ipsusam asperit ellam nis nonsecus maionsequi odisqui atisqui offici iliquae ne di in pa nis entis id quaspisquia aut volorer speribusae pro blaceaqui as millabore, nim fugitasperem es iurendae voluptaectus non nihil ius, sit eveliquatia et, voloratis velent ommolecae dipiduc iatiorerum quiatur?


Isu Dunia Film

Berharap banyak pada

PAWAIARTIS C hristine Hakim dan Reza Rahadian Nampak sum­ ringah, sesekali kedua­ nya melambaikan tangan kepada masyarakat yang melihatnya di pinggir jalan. Tidak jelas benar, apakah keduanya menatap ke arah penonton atau arah lain, karena mengenakan kacamata hitam. Dalam perjalanan sejauh 4 kilometer di atas jip terbuka, udara panas Kota Palembang memang cukup menyiksa. Sudah pasti sunblock tebal dioleskan agar kulit tidak rusak. Christine dan Reza Rahadian merupakan dua artis yang dikedepankan dalam hampir seluruh kegiatan FFI kali ini, karena statusnya sebagai “Ikon FFI”. Tak berlebihan jika keduanya berada di kendaraan paling depan. Menyusul setelahnya ada tiga truk terbuka, yang dinaiki oleh artis Dony Damara dan Abimana Artayasa bersama Gubernur Sumsel Alex Nurdin dan Menteri

Pariwisata Arief Yahya; kemudian ada truk terbuka yang dinaiki oleh Lukman Sardi, dan Adidia Wirasty, Tara Basro, Jajang C Noer, Alex Komang, dan anggota Panitia. Pawai artis merupakan agenda yang selalu diminta oleh panitia di daerah. “Orang daerah itu enggak kenal yang namanya penjurian, Piala Citra, atau acara di dalam gedung. Yang mereka tahu cuma artis. Syukur-syukur mereka bisa lihat langsung artis pujaannya,” kata seorang pejabat Pemda Sumsel yang ikut menyiapkan FFI 2014 di Palembang. Pawai artis memang men­ jadi ukuran sukses tidaknya pe­lak­sanaan FFI di suatu daerah. Pemerintah rela merogoh kocek asal ada Pawai Artis guna menghibur masyarakatnya. Makin banyak artis yang ikut dalam pawai, makin sukseslah acara FFI di daerah itu. Sayangnya dalam beberapa kali FFI di daerah, sejak 2007 di Pekanbaru Riau, pawai artis selalu gagal membuat artis tumplJanuari 2015 | 22

ek blek di daerah. “Yang paling seru waktu FFI di Semarang. Artisnya segambreng,” kata Soetrisno Boeyil, koresponden Harian Wawasan di Jakarta. Di Palembang, artis yang ikut pawai tidak sesuai harapan. “Ha.. ha… Memang Pawai Artis ini kita harapkan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Mengenai jumlahnya memang sedikit. Saya melihat hanya tujuh. Kalau saya sebetulnya secara total , saya tidak kecewa. Saya tidak tahu permasalahan mereka, tapi dari kepanitiaan daerah juga tadinya memang melihat bahwa artis itu bisa lebih maksimal di pawai. Tapi nyatanya cuma sedemikian, yah sudahlah. Kita terima ajalah,” kata Akhmad Najid, SH, Mhum, Ketua Panitia Daerah FFI 2014 Palembang. Berbeda dengan Najib, Ketua Pelaksana FFI 2014 Kemala Atmodjo mengatakan panitia lokal minta disediakan artis 25


orang untuk Pawai Artis. Walau pun banyak artis yang hadir di Palembang, tidak semuanya bisa diturunkan. “Enggak boleh kita ngada-ngadain. Dia mintanya 25 orang, jadi kita enggak bisa semua artis juga. Kalau pun kita ada enggak bisa. Itu bagian dari aktivitas lokal. Kita sih kalau bisa tidak ada pawai-pawaian. Menurut gua lebih dari 10 orang (artis yang ikut pawai). Kalau panitia dihitung ( jumlahnya) lebih dari 30 orang,” kata Kemala. Pawai artis merupakan mo­ment bagi penggemar untuk me­ lihat idolanya. Para artis se­ harusnya juga melihat kegiatan itu sebagai momentum untuk “merangkul” masyarakat, di tengah terpuruknya film nasional saat ini. Tapi kalau kudu dibayar dulu baru mau ikut, jangan salahkan masyarakat kalau tidak mau dekat dengan film Indonesia. (hw)

UpAYA KAMI SUDAH MAKSIMAL Apakah ini tidak mengurangi kredebelitas panitia daerah ?

sedang untuk senam cukup 5 orang. Apa betul ?

Yah, kalau kita lihat ya sebetulnya manusia itu ‘kan sesuai kodrat ‘kan bersyukur. Selalu banyak bersyukur, walaupun banyak kekurangan. Harapan kita semuanya bisa hadir, pawainya bisa artis mbludak datang. Tapi kondisinya memang begitu ya kita terimalah. Kalau kami dari panitia daerah itu, dengan ditugaskan atau ditunjuk sebagai tuan rumah saja salah satu kebanggaan yang memang ke depan harus dievaluasi ya saya kira perlu. Supaya ke depan nanti lebih baik.

Iya. Tapi yang datang kok cuma sembilan. Ha…ha…Kalau saya berkata kecewa kayaknya tidak bersyukur. Memang, kadang-kadang keinginan dan kenyataan pasti ada tidak ketemu. Tapi saya tetap mensyukuri dan acara bisa berjalan. Bagaimana kalau nggak datang semua ?

Tapi menurut informasi, artis yang diminta untuk pawai 25 orang,

Apa Anda pernah menanyakan hal itu pada Pa Kemala ? Ya, saya pernah nanya. Jawabannya siap. Tapi kenyataannya yang datang 9 yang kita minta 25, ya sudahlah. Tapi apakah kekecewaan itu tidak Anda ungkapkan pada Pa Kemala ?

Januari 2015 | 23

Tidak. Tidaklah, saya kira kalau saya kecewa nanti mereka juga ‘kan sudah berbuat yang maksimal. Cuma nanti pada FFI 2015, perencanaannya , komitmennya, kemudian pelaksanaannya betulbetul sesuai dengan target. Misalnya target kita 25 artis, yah 25. Apalagi Bapak Presiden sudah memberikan motivasi dan mengingatkan kementerian pariwisata untuk mendukung. Yah nanti tidak ada alasan lagi kalau pemerintah sudah memberikan dukungan, kemudahkemudahan akses-aksesnya, Badan Perfilman juga insan-insan perfilman bisa betul-betul bagaimana bangga dengan film Indonesia itu menjadi kenyataan.


Isu Dunia Film

Setelah Sinetal Kini Sinemon Sinetal dan Sinemon bukan­lah dua kosa kata baru plesetan anakanak muda untuk menggambarkan tubuh wanita yang seksi, padat berisi – sintal dan montok. Sinetal dan sinemon adalah dua akronim baru dalam perfilman, yang merupakan kependekan dari Sinema digital (sinetal) dan sinema online (sinemon). Kosa kata baru itu mulai digulirkan oleh Kementerian Parisiwata, untuk mensosialisasikan rencana yang akan dikembangkan untuk “mengobati” industry perfilman Indonesia yang saat ini sedang sakit, utamanya di sektor hilir.

D

alam keterangannya kepada wartawan di Jakarta 23 Desember lalu, Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan perlunya dikembangkan sinema online (sinemaon) atau sinema digital (sinetal), untuk mendukung pasar film Indonesia. Menurut menteri, banyak pembuat film merugi jika film tidak sukses di pasaran. “Pasarnya harus di­buka. Film dulu hanya layar lebar, sekarang ini jumlah layar terbanyak adalah layar handphone. Kalau film digabungkan dengan smartphone, akan menjadi sinema online atau sinemon,” kata Menteri. Sinemon jika dikembangkan akan merangsang pertumbuhan film. Setiap orang bisa menonton film, tidak hanya di 12 kota besar yang memiliki gedung bioskop seperti sekarang ini. Ide pengembangan sinemon itu sendiri sudah disampai-

Januari 2015 | 24


Arief Yahya:

“Kalau film digabungkan dengan smartphone, akan menjadi sinema online atau sinemon” kan kepada insan perfilman, termasuk pengusaha bioskop, dalam pertemuan di Kantor Kementerian Pariwisata, 17 Desember lalu. “Kemarin saya juga diundang ke Kementerian Pariwisata, untuk membicarakan tentang sinema online itu. Katanya akan bekerjasama dengan PT Telkom. Tapi kita belum tahu ke depannya bagai­ mana,” kata Coroprate Secretary XXI, Catherine Keng, yang ditemui saat jumpa pers penyelenggaraan Festival Film Pendek XXI di Jakarta, pertengahan Desember lalu. Catherine menegaskan, sejauh ini XXI belum berpikir untuk menyasar segmen lain dalam bisnisnya. XXI tetap akan bertahan untuk segmen menengah ke atas. Tahun 2015 ini XXI bahkan akan melakukan ekspansi ke luar Jawa. “Kami tetap konsentrasi dengan segmen yang sekarang. Karena sekarang saja kita udah kewalahan,” katanya. Gagasan untuk mendirikan bioskop non konvensional sebenarnya bukan hal baru. “Dari ta-

hun 97 saya sudah bilang kita harus bikin bioskop satelit. Karena dengan bioskop satelit, film tidak bisa dibajak karena ditayangkan ke seluruh indonesia. Kalau di jakarta tiketnya 50 ribu di daerah 5 ribu sesuai potensinya saja,” kata Parwez ketika ditemui di kantor­ nya, belum lama. Dengan teknologi baru, menurut Parwez film-film di­ kirim ke seluruh bioskop melalui satelit atau wifi. Bioskop lalu menggunakan proyektor untuk menayangkannya. “Di Jakarta ada yang mengelola, produser tinggal mengirimkan film, lalu dibuat jadwal penayangannya.” Untuk Negara seperti Indonesia yang demikian luas dan terpisah-pisah oleh ribuan pulau, bioskop satelit merupakan cara yang tepat. Jika investasi untuk bioskop konvensional membutuhkan dana Rp.1 – 5 milyar per layar, dengan satelit mungkin hanya butuh seperlimanya. “Dengan cara ini mungkin bisa menumbuhkan bioskop di tingkat Kabupaten Januari 2015 | 25

Catherine Keng:

“Kami tetap konsentrasi dengan segmen yang sekarang. Karena sekarang saja kita udah kewalahan” atau Kecamatan. Kalau yang sudah ada bioskop konvensionalnya ya enggak usah,” tandas produser yang mengawali usahanya di bioskop ini. Ide pendirian bioskop dengan menggunakan teknologi telekomunikasi seperti sinemol, kembali mengemuka setelah film-film Indonesia yang diputar di bioskop sepi penonton. “Dari seluruh judul film yang diproduksi, delapan puluh persen hancur,” kata Ketua PPFI Firman Bintang, dalam pertemuan dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, pertengahan Desember 2014 lalu. (hw)


Opini Film Opini Film Opini Film

Ego Sektoral Penyelenggaraan Perfilman Oleh Akhlis Suryapati

P

enyelenggaraan Perfilman Nasional oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) per­ filman di Indonesia, kenyataannya berada di atas bakteri bernama ego sektoral. Yaitu suatu keadaan di mana kelompok-kelompok sesuai dengan kepenti­ ngannya bertindak untuk mendapatkan sesuatu yang menguntungkan diri dan kelompoknya, tanpa sudi berbagi dengan kelompok lain. Situasi ini tidak terlepas dari pengaruh politik secara umum, di mana ego sektoral sedang mewarnai karakter kehidupan berbangsa dan bernegara menjelang dan sesudah suksesi kepemimpinan nasional. Dalam konstelasi politik perfilman nasional, ego sektoral belakangan ini semakin menajam, setelah sepanjang satu dekade sebelumnya berlangsung apa yang bisa disebut ‘perpecahan’ atau bahasa halusnya ‘kesenjangan’ dan ‘terputusnya matarantai kesejarahan’ antar­ kelompok kepentingan, sehingga melahirkan dikotomi-dikotomi seperti sineas tua dengan sineas muda, pelaku film aktif dengan pelaku film pasif, kelompok status-quo dengan kelompok independen, serta berbagai dikotomi lainnya. Kegagalan mengelola perbedaan, kesenjangan, perpecahan, dan segala macamnya, menyeret pada situasi di mana penyelenggaraan perfilman menjadi

salah urus. Masing-masing kelompok kepentingan saling mengedepankankan ego sektoral. Dalam teori sosial budaya, berlaku prinsip homohominilupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, saling memangsa. Sektor-sektor dalam perfilman nasional bukan saja bergerak sendiri-sendiri, melainkan libas-melibas satu sama lain. Dalam pertemuan silaturahmi insan perfilman yang difasilitasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta belum lama, menajamnya ego sektoral dalam masyarakat perfilman semakin nam­pak nyata. Sejumlah pendapat, pandangan, dan pernyataan, yang muncul dari sebagian tokoh-tokoh perfilman yang hadir, mempertegas situasi itu. Juga bisa dilihat bagaimana sebagian tokoh dari 44 orang yang diundang dalam silaturahmi itu menghindari berlangsung­ nya dialog terbuka, dengan lebih memilih menjalin komunikasi tertutup dengan penguasa untuk mendapatkan akses kekuasaan. Embrio dari merebaknya bakteri ego sektoral dalam penyelenggaraan perfilman hari-hari ini, me­ mang tidak terlepas dari kepentingan untuk mendapatkan akses kekuasaan sebagai hak-hak politik insan film yang sebelumnya terabaikan, terutama sepanjang perfilman nasional mengalami mati suri. Pemahaman atas hak-hak politik era reformasi yang

Sektor-sektor dalam perfilman nasional bukan saja bergerak sendiri-sendiri, melainkan libasmelibas satu sama lain.

Januari 2015 | 26


Opini Film Opini Film Opini Film “perfilman akan sepenuhnya berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana diamanatkan Undang-undang Perfilman”

dibungkus dengan jargon-jargon demokratisasi, hak asasi, anti KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme), dalam kenyataan berubah menjadi perebutan (akses) kekuasaan dalam semangat homohominilupus tadi. Lebih picik lagi, makin ke sini semakin kelihatan bahwa ujung-ujungnya adalah rebutan fasilitasi (duit). Semangat ini kemudian memecah-belah masyarakat perfilman sehingga melahirkan dikotomi-dikotomi, kelompok-kelompok kepentingan, aliansi-aliansi, faksi-faksi, dan hantu-blau entah apa namanya. Bermunculanlah organisasi-organisasi, asosiasi-asosiasi, lembaga, badan, komunitas, dan semacamnya, bukan untuk melengkapi yang sudah ada atau untuk penguatan peranserta masyarakat perfilman, melainkan dilandasi kepentingan penguatan dikotomi atau pemahaman adanya dua aspek besar perbedaan, yang kemudian terpecah-pecah lagi dalam banyak aspek lainnya. Satu pihak ingin meniadakan yang lain. Sepanjang perfilman di bawah naungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2004 - 2011), pemerintah berupaya memediasi kelompok-kelompok

pemangku kepentingan perfilman, melalui berbagai program penyusunan regulasi dan pelaksanaan fasilitasi. Kulminasi perbedaan yang ditandai dengan ‘perang propaganda’ dan ‘aksi-aksi boikot’ (2005-2007), mulai mencair dengan terbangunnya komunikasi di berbagai forum dan ajang penyelenggaraan perfilman (20082010), mendadak-sontak memanas lagi ketika perfilman menjadi korban kebijakan politik paska reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II (2011). Film berada dalam naungan dua kementerian, yakni Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kalau sebelumnya yang asyik berkonflik adalah internal masyarakat perfilman, maka sejak tahun 2011 internal pemerintah juga ikut berkonflik dalam kebijakan penyelenggaraan perfilman, sampai-sampai untuk meredakannya muncul Nota Kesepahaman antara Kemenparekraf dan Kemendikbud. Riwayat ketidakharmonisan (kalau tidak mau disebut konflik, perpecahan, perseteruan) sepanjang satu dekade, adalah sesuatu yang patut disayangkan.

Januari 2015 | 27


Opini Film Opini Film Opini Film Masa kebangkitan kembali perfilman nasional, mesti­ nya menjadi masa di mana potensi dan ‘kesempatan sejarah’ bisa terdayakan secara baik, untuk mencapai arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman nasional sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang dan didambakan masyarakat luas; film sebagai jati diri dan kebanggaan bangsa. Situasi politik perfilman yang tidak kondusif sepanjang satu dekade itu, membuat kesempatan untuk membangun konstruksi industri perfilman terbuang sia-sia. Hasil revisi Undang-undang Perfilman tidak memberi manfaat, bahkan menambah tensi perbedaan pendapat dalam masyarakat perfilman. Undang-undang sebagai payung hukum juga tidak implementatif, sampai lima tahun diundangkan, hanya satu dari 10 peraturan turunannya yang bisa dilahirkan untuk menjadi landasan penyelenggaraan perfilman. Semangat memproduksi dan membuat film yang menggelora di masyarakat, sebatas menjadi eforia dan gejala borjuisasi untuk memberlakukan film sebagai media pencitraan yang sexy dan glamour. Jangan terbuai dengan angka kenaikan jumlah produksi film Indonesia yang mencapai lebih 100 judul tahun ini, karena grafik kenaikan film impor berjumlah tiga kali lipat dibanding film nasional. Belum lagi kalau mengamati perolehan penonton film. Lebih dari 60 persen film Indonesia jeblok alias ‘tidak laku’ sehingga pemiliknya merugi. Sedang­kan film-film impor tetap menjadi idola penonton di bioskop. Siapa yang rugi dan siapa yang untung tatkala masyarakat perfilman dan pemerintah terus-menerus berkubang dalam ego sektoral seperti sekarang? Dalam teori politik kekuasaan, tidak ada sebuah situasi yang lahir oleh tatanan politik, mengalir begitu saja tanpa adanya rekayasa. Bahkan unsur-unsur dalam masyarakat perfilman maupun pemerintahan, bisa pula ikut memetik keuntungan karena situasi yang tidak kondusif tersebut, seperti sebuah peperangan-meskipun menghancurkan sendi-sendiri kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tetap saja ada pihak-pihak mendapat keuntungan besar karena adanya peperangan tersebut. Ada namanya politik Divide et Impera (pecah belah). Sebuah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi, yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah-belah kelompok besar agar menjadi kelompok-kelompok kecil. Dengan begitu kelompok besar tersebut lebih mudah ditaklukkan. Politik Divide et Impera juga mencegah bergabungnya kelompok-kelompok kecil untuk menjadi kelompok besar yang kuat. Demikian kata kamus! Dalam politik perfilman nasional barangkali bisa kita cermati kemungkinan adanya berlaku teori seperti itu. Pihak siapa dari rezim pemerintah maupun swasta yang mengeluarkan miliaran rupiah dan rajin memberi fasilitas untuk menciptakan atau mendorong perpe­ cahan dalam masyarakat perfilman guna mencegah aliansi yang bisa menentang dominasi dan kekuasaan industri perfilman di Indonesia saat ini. Pihak mana dari rezim pemerintah dan swasta yang dalam satu dekade ini membantu dan mempromosikan mereka yang bersedia untuk bekerjasama dengan penguasa yang dominan di industri perfilman. Pihak mana dari rezim pemerintah dan swasta yang selalu mendorong ketidakpercayaan dan permusuhan antarmasyarakat perfilman. Pihak mana yang mendorong konsumerisme di masyarakat dengan mengarahkan film lebih sebagai kekuatan ekonomi (kreatif) dan bukannya karya seni-budaya. Semua itu akan bisa dilihat sebagai ciri-ciri berlangsungnya politik Divide et Impera. Optimisme di akhir tulisan ini adalah: Menurut informasi, perfilman akan sepenuhnya berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana diamanatkan Undangundang Perfilman. Semoga bisa berarti, kita akan terdidik dan berbudaya kembali. *** (Jakarta, 28 Desember 2014)

Lebih dari 60 persen film Indonesia jeblok alias ‘tidak laku’ sehingga pemiliknya merugi.

Januari 2015 | 28


Kabar Film Kabar Film Kabar Film

g n a y m l i f Film

P

g n a r a a i l s Ddii Indone

ertengahan Desember lalu, dunia film digemparkan de­ ngan terjadinya pelarangan pemutaran film Senyap atau The Look of Silence di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Pembatalan itu merupakan buntut dari beredarnya kabar yang menyebutkan acara itu akan dibubarkan oleh massa anggota Front Anti Komunis Indonesia (Faki). Informasi itu disampaikan oleh Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan (Kasat Intelkam) Kepolisian Resort Kota Yogyakarta, Komisaris Polisi Sigit Hariyadi. Empat hari sebelumnya, pe­la­rangan pemutaran film yang sama juga terjadi di Malang, Jawa Timur, tepatnya Rumah Makan Kelir. Alasan pembubaran hampir sama, yakni isi film tersebut lebih condong menampilkan “kepenti­ngan” PKI. Sebelum di AJI Yog­ya­­karta, penyelenggaraan acara serupa berlangsung lancar di sejumlah kampus termasuk di Universias Gadjah Mada.

Januari 2015 | 29


Kabar Film Kabar Film Kabar Film

Film Senyap karya sutradara Joshua Oppenheimer merupakan sebuah dokudrama yang meng­ angkat kekejaman yang terjadi di Indonesia, pada tahun 1965. Pelarangan terhadap pemutaran film Senyap bukan pelarangan tayang pertama terhadap film di Indonesia. Baik film nasional maupun film impor, dengan berbagai alasan dan berbagai pihak yang mela­ kukan keberatan atau bahkan me­ lakukan pelarangan. Ada pula film yang hanya dilarang di da­ erah tertentu, tapi di daerah lainnya bebas. Alasan pelarangan pun bermacam-macam. Mulai dari soal politik, moral, hingga ke masalah SARA, yang memang sangat sensitif di Indonesia. Soal judul pun bisa jadi persoalan. Berikut ini adalah daftar film Indonesia yang menghadapi ma­ sa­lah di masa Demokrasi Terpimpin, hingga Orde Reformasi, dan alasan-alasannya:

Tiada Jalan Lain (1972) karena produsernya, Robby Tjahjadi, terlibat dalam kasus penyelundupan mobil mewah .

Kawat Berduri (1961), diganyang oleh Partai Komunis Indonesia, diselamatkan Presiden Soekarno, namun tetap tak bisa diputar di bioskop.

Yang Muda Yang Bercinta (1977), dianggap meng­ akomodasi teori revolusi dan kontradiksi dari paham komunis.

Romusha (1972), dianggap dapat mengganggu hubungan dengan Jepang. Inem Pelayan Seksi (1976), diharuskan berganti judul dari judul semula Inem Babu Seksi. Saidjah dan Adinda (1976), judul berubah dari Max Havelaar dan menggambarkan Max Havelaar yang berhati mulia, sementara penguasa pribumi justru menghisap rakyat. Wasdri (1977), skenarionya dianggap bisa menyinggung pejabat Kejaksaan Agung, karena Wasdri, buruh angkut di Pasar Senen, Jakarta, hanya diberi upah oleh seorang istri jaksa hanya separuh dari yang biasanya ia terima.

Bung Kecil (1978), isinya tentang Januari 2015 | 30

orang muda yang melawan feodalisme. Bandot Tua (1978), dipang­ kas habis-habisan dan diganti judulnya menjadi Cinta Biru, karena kata “Bandot” dinilai bermakna negatif. Jurus Maut (1978) Film ini sempat tertahan selama empat tahun di Badan Sensor Film (BSF) karena adanya kritik terhadap beberapa pejabat dan juga adegan kekerasan yang berlebihan.. Kuda-Kuda Binal (1978) dilarang karena menggambarkan kehidupan seks yang bebas. Petualang-petualang (1978), judulnya diharuskan di­ubah dari “Koruptor, Koruptor”. Film ini mengisahkan berbagai bentuk korupsi besar-besaran. The Year of Living Dang­e­ rously (rilis 1982 dan dilarang hingga 1999) film Australia tentang Jakarta di bawah Orde Lama pada tahun 1965. Perawan Desa (1980) arahan sutradara Franky Rorimpandey yang diperankan Yattie Surach-


man, yang mengisahkan seorang penjual jamu yang diperkosa, sempat dilarang karena dianggap mendeskriditkan kepolisian dan pejabat lokal Yogyakarta. Buah Hati Mama (1983), memuat dialog tentang kakek yang pintar menyanyi karena berteman dengan mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso. Bagian ini digunting habis. Tinggal Landas, sutradara­ nya, Sophan Sophiaan, diminta menambahkan kata Buat Kekasih menjadi Tinggal Landas buat Kekasih (1984), karena Indonesia saat itu sedang dalam proses tinggal landas.

Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) karena eksploitasi seks. Kanan Kiri OK (1989), di­ haruskan berganti judul dari Kiri Kanan OK karena kata ‹Kiri› memberi kesan PKI. Nyoman dan Presiden (1989), diminta agar judulnya diubah menjadi Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Bangsa, Nyoman dan Merah Putih, atau Nyoman dan Indonesia. Film ini akhirnya berjudul Nyoman Cinta Merah Putih. Merdeka 17805 (2001), film Jepang tentang andil Tentara Kekaisaran Jepang dalam proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Buruan Cium Gue (2005), di­ protes oleh Abdullah Gymnastiar dan Majelis Ulama Indonesia karena dianggap mengusik perasaan susila masyarakat. Pocong (2006), Lembaga Sensor Film melarang film ini beredar karena dianggap sadis, menimbulkan luka lama, membawa unsur suku, aga­ma, ras dan budaya serta pemer­kosaan yang brutal. Suster Keramas (2009), diprotes oleh Majelis Ulama Indonesia karena dianggap mengusik perasaan susila masyarakat. Balibo (2009), film Australia yang berdasarkan peristiwa Balibo Five, Timor Timur, dianggap membuka luka lama.

Film Hollywood yang

Dicekal

True Lies (1994)

Schindler’s List (1993)

Noah

True Lies merupakan film ko­medi Amerika. Namun, kisahnya sedikit menyinggung soal terorisme. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, film ini pun dilarang. Disutradarai James Cameron, True Lies men­ dapuk Arnold Schwarzenegger dan Jamie Lee Curtis sebagai pemeran utama. Lewat film ini, Curtin menyabet piala Golden Globe sebagai Aktris Terbaik.

Film karya Steven Spielberg menempati Box Office Amerika Serikat. Film ini juga menyabet tujuh Academy Awards dari 12 nominasi yang didudukinya. Film yang diangkat dari buku Schindler’s Ark karya penulis Australia Thomas Keneally ini dilarang di Indonesia karena film dinilai terlalu bersimpati pada kaum Yahudi.

Film arahan Darren Aronofsky dan diperankan Russel Crowe yang mengkisahkan ulang nabi Nuh dilarang diputar di Indonesia, karena dianggap terlalu membelot dari ajaran yang benar.

Januari 2015 | 31

(herman wijaya dari berbagai sumber).


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.