EDISI JANUARI 2015
CERITA MIRING DI BALIK PENYELENGGARAAN FFI 2014
Redaksi Redaksi Redaksi Redaksi Pemimpin Umum Ary Sanjaya Pemimpin Redaksi Herman Wijaya Wapemred/ Redaktur Pelaksana Syamsudin N. Moenadi Reporter Nana, Sofyan Lubis, SH, Bob Rafeldi Dewan Redaksi Ary Sanjaya Herman Wijaya, Syamsudin N. Moenadi Didang Prajasasmita Kontributor Daerah M. Syafrin Zaini (Bandung) Damaringtyas B. Kurninda (Yogyakarta) Bambang S. (Surabaya) Design Grafis M. Ramdlan Nurrohman Fotografer Rully Sayapkota Kalimat “tidak korupsi” memang berkalikali disampaikan oleh Kemala Atmodjo, di tengah bisik-bisik dari luar yang mengatakan bahwa Panpel dapat bagian cukup besar dari penyelenggaraan FFI 2014 yang menelan ang garan sebesar Rp. 12,2 milyar! “Panitia sampai sekarang bersih, kita tidak ada yang korup! Honor saya total itu cuma 15 juta! Bahwa masih ada klaim 13,5 juta, itu harus dibayar dong. Itu kan buat makan menteri segala macam, masak gua yang bayar!” kata Kemala ketika ditemui Film Plus, empat hari setelah acara FFI di Palembang. Menurut Kemala, inilah, mungkin, dalam sejarah untuk pertama kalinya honor Ketua FFI setara dengan UMR. Semua staf BPI sampai Christine Hakim yang menjadi ikon FFI pun cuma terima honor Rp.3 juta per bulan. “Bayangkan itu true story, tidak ada yang kita sembunyikan. Makanya teman-teman BPI tenang!” tandas Kemala. BPI (Badan Perfilman Indonesia), ada lah pelaksana FFI 2014 ini.
Pemimpin Perusahaan Wijaya Saputra Keuangan Sri Purwati Distribusi Teuku Anwar Sadat Penerbit PT AHA KOMUNIKA Alamat Redaksi: Jl. Bangka 1 No.11 Pela Mampang Jakarta 12720 Telp. 021-717 907 36/37 Fax. 021- 717 929 13 email: filmplusindonesia@gmail.com
www.filmplusindonesia.com
Januari 2015 | 2
Conratulation Chiko:
“Conratulation atas Terbitnya Majalah Film Plus, Semoga Benarbenar dapat menjadi Bacaan Bernas untuk Orang Cerdas�
Foto: Herman Wijaya
Teras Teras Teras Teras Teras Teras
E
Semoga Berumur Panjang
disi pertama Film Plus akhirnya lahir juga. Harus kami akui, jauh dari sempurna.. Tentu ke depan semua itu harus diperbaiki. Namun yang menggembirakan Film Plus bisa ikut hadir di acara puncak FFI 2014 yang berlangsung di Palembang. Kami gembira karena bisa ikut menjadi saksi sebuah peristiwa perfilman yang, bukan saja penting, tetapi melahirkan sejarah baru. Inilah untuk pertama kalinya FFI dihadiri oleh Presiden RI, dan penilaian film-film peserta yang, konon, melibatkan 100 orang juri. Hasil liputan FFI 2014 Palembang masih kami turunkan di edisi kedua ini. Semoga ini dapat memberi informasi yang lebih lengkap kepada masyarakat tentang hajat FFI 2014. Selama di Palem bang, kami mencoba menyodorkan majalah sederhana ini kepada rekan-rekan wartawan, untuk mendapatkan
feed back berupa komentar atas penampilan maupun isi majalah. Apa pun komentar yang muncul kami terima dengan senang hati, termasuk yang mengatakan, “Ini media tahunan ya. Khusus terbit setiap ada FFI”. Tentu saja kami berharap majalah ini bisa bertahan, meski untuk sementara tidak diperjual belikan atau memasang tulisan “Pengganti Ongkos Cetak!”. Sebab seperti kami sampaikan dalam tulisan pada edisi perdana, majalah ini adalah karya “Orangorang Saraf” – ya kami ini. Ke depan, kami ingin Film Plus menjadi media partner bagi perfilman Indonesia, bukan media partner khusus bagi event-event perfilman semata. Kami ingin menjadi
Slamet Rahardjo dengan Majalah Film Plus • Foto: Herman
Januari 2015 | 4
sahabat bagi dunia perfilman secara keseluruhan. Untuk itu Film Plus berusaha menampilkan tulisan-tulisan yang obyektif, faktual, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kalau kami kritis, tentu tidak bermaksud menghakimi, melainkan ingin memberi obat agar partner kami -- dunia perfilman -- tumbuh sehat. Semoga kami diberi umur panjang. Amin.
Daftar Isi Daftar Isi Daftar Isi Daftar Isi Figur
8
Yayu Unru:
Jadi Seniman itu
Pekerjaan di Jalan Tuhan
Isu Dunia Film
22
Berharap banyak pada
PAWAIARTIS
Isu Dunia Film
12
CERITA MIRING
DI BALIK PENYELENGGARAAN FFI 2014
Film Lokal 43 Battle of SURABAYA Film Animasi Indonesia
Film Impor
52
“Kemasan Amerika”
Setelah Sinetal Kini Sinemon 24 Opini
26
Ego Sektoral
Pesan Persatuan Dalam Film
GARUDA
Langkah Awal Penggunaan Teknologi Komputer dalam Film Indonesia
Rumah Hantu Amityville, Muncul Lagi
Dokumenter
54
Penyelenggaraan Perfilman
Profil Bayu Santoso
FFI BUTUH
29
PESAN BUAT BIDAN DAN IBU HAMIL
31
Manisnya Jeruk Keprok Inseminasi Buatan
Pemenang Lomba Disain Poster Maroon 5
Oleh Akhlis Suryapati
ORANG-ORANG CAKAP Oleh: Ary Sanjaya
Kabar Film
Film-film yang
Dilarang di Indonesia
Komedi Ala Srimulat Dalam “Kacaunya Dunia Persilatan”
Merry Riana Taklukan
Pendekar Tongkat Emas Januari 2015 | 7
Destinasi
60
Istana Ratu Boko Lokasi Favorit Pembuat Iklan dan Video Klip
Foto: Herman Wijaya
Figur Figur Figur Figur Figur Figur Figu
Yayu Unru:
Jadi Seniman itu
Pekerjaan di Jalan Tuhan Januari 2015 | 8
Figur
J
ika ia lewat di jalan, tidak banyak yang mengenalnya. Tidak ada gadis-gadis yang menjerit histeris, ibu-ibu atau bahkan kaum lelaki yang mengajaknya berfoto bersama, atau anak-anak yang meminta tanda tangan. Ya, Yayu Unru memang bukan seorang selebritis, walau pun sesungguhnya di adalah seorang aktor. Anugerah Piala Citra yang diraihnya pada FFI 2014 di Palembang, merupakan bukti keaktoran lelaki kelahiran Sengkang, Wajo, 4 Juni 1967 ini. Yayu mendapat Piala Citra itu sebagai Pemeran Pembantu Pria melalui permainannya dalam film Tabula Rasa. Yayu memang bukan tipe seorang bintang yang gemerlap. Dia jauh dari publisitas, karena sebalum ia lebih banyak di belakang layar sebagai pelatih (coach) akting, bagi para pemain yang bermain dalam suatu film. Di bekerja sebagai asisten aktor kenamaan Didi Petet, yang merupakan seniornya di Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Walau pun lebih banyak berkecimpung di teater. Dunia film tidak asing bagi ayah tiga orang anak ini. Sejak tahun 1985 ia sudah diajak main dalam film Kepak Saya Merpati, lalu Tari Kejang (Nawi Ismail) dan lalu Jakarta 66 (Arifin C Noer). “Waktu itu orientasi orang memang main film. Tetapi saya tidak tertarik. Saya ingin main teater saja,” kata Yayu. Suatu hari Didi Petet yang main dalam film Jermal mengajaknya main, karena ceritanya menarik.
“jadi seniman itu sama mulianya dengan Pastor, Kyai, Pendeta atau apalah orang yang menyebarkan agama,”” “Saya mau main, tapi yang bikin saya stress, syutingnya di laut, dan saya tidak bisa berenang,” katanya sambil tertawa. Sebagai lelaki berdarah Bugis, kedengarannya aneh jika tidak bisa berenang. Hal itu terjadi karena sejak kecil Yayu dilarang orangtuanya berenang di kali, karena banyak teman-temannya yang mati di kali. Sampai sekarang ia tidak bisa berenang. Mengaku sejak kecil sangat nakal, Yayu tidak pernah terpikir untuk memiliki cita-cita dalam hidupnya. Tamat SMA, ketika teman-temannya mengajak akan mendaftar ingin jadi tentara, jadi dokter atau insyinur – sebagaimana umumnya cita-cita anak-anak Indonesia kebanyakan – Yayu tidak terpikir untuk me lanjutkan kuliah. “Saya begini-gini ajalah,” katanya kepada temantemannya waktu itu. Seorang temannya perem puan lalu menganjurkan agar Yayu masuk IKJ – kebetulan ayah perempuan itu tata usaha di IKJ. “Saya tanya IKJ itu apa? Setelah dikasih tahu itu sekolah kesenian,
Januari 2015 | 9
saya tertarik, karena sejak kecil saya suka menggambar,” kata Yayu. Ia lalu pergi ke IKJ untuk men daftar ke Jurusan Seni Rupa. Ketika lewat di depan Teater Luwes, dia melihat mahasiswa Jurusan Teater seperti Mathias Mucus, Eeng Saptahadi, Deddy Mizwar dan lain-lain sedang berlatih. Ia tertarik melihat mereka, lalu memutuskan masuk Jurusan Teater. Yayu menyelesaikan kuliah D3nya sampai sepuluh tahun. Walau ada ketentuan Drop Out (DO) bagi mahasiswa yang tidak naik tingkat, Yayu tidak pernah menalaminya. “Mungkin karena saya sering ke luar negeri ikut berkesenian bersama Mas Sar dono dan yang lain-lain,” ujar Yayu. Tamat kuliah ia langsung me ngajar di almamaternya. Karena asistennya S1, dia diminta untuk kuliah S1 oleh almarhum Sena Utoyo. “Setelah saya S1, asisten saya S2. Makanya sekarang saya kuliah S2 di IKJ. Lalu saya bilang sama asisten saya, kamu jangan ambil S3. Saya udah capek ngikutin kamu,” ujar sambil terbahak. Menjadi seniman merupakan pilihan yang dilakukan penuh kesadaran. Yayu yakin orang bisa hidup dengan menjadi seniman, seperti yang dialaminya. “Menjadi seniman itu sama dengan bekerja di jalan Tuhan. Karena seniman itu menghibur orang, dan tidak semua orang dikaruniai bakat untuk menjadi seniman. Tetapi bukan seniman yang pemabuk ya,” katanya. “jadi seniman itu sama mulianya dengan Pastor,
Figur Figur Figur Figur Figur Figur Figu “Prinsip saya, kalau kita tidak bisa melakukan apa-apa, bayi yang lahir hari ini suatu saat akan membunuh kita, makanya saya harus bisa mengerjakan apa saya”
Foto: Herman Wijaya
Yayu Unru:
Kyai, Pendeta atau apalah orang yang menyebarkan agama,” tambah Yayu. Yayu juga pernah mengalami pahitnya sebagai seniman, terutama ketika di awal ia menikah. “Waktu itu di rumah tidak apaapa sama sekali. Saya tidak tahu mencari uang ke mana. Waktu saya buka pintu, di depan pintu ada amplop. Saya pikir ini anakanak IKJ yang mau bikin kegiatan, minta sumbangan sama seniornya. Ketika saya buka ternyata berisi uang jutaan. Dari tulisan yang terdapat di amplopnya saya baca, itu uang honor saya ketika membantu kegiatan LSM anakanak tiga tahun lalu. Tuhan itu luar
biasa dalam membantu umatnya,” tambah Yayu. Sejak itu Yayu makin yakin bahwa apa pun kebaikan yang diperbuat, pasti akan ada ganjarannya. Dia tidak pernah menolak kalau ada yang ingin belajar akting, walau pun tidak dibayar. Ia bangga orang menjadi seniman. Bahkan ketika anaknya Patih Unru (kini seorang aktor) berusia 4 tahun mengatakan ingin menjadi aktor, dia merasa bangga dan terharu. Patih adalah anak ketiga buah perkawinannya dengan perempuan bernama Mitha. Dua anaknya yang lain perempuan, yakni Widya dan Nasha.
Januari 2015 | 10
Sebagai seniman ia merasa hidupnya cukup, walau tidak berlebihan. “Saya yakin dengan jalan ini, karena Tuhan yang akan membayar saya,” katanya. Dengan Piala Citra yang di raihnya karier Yayu semakin cerah, dan akan berdampak deras nya tawaran main, dan pe ningkatan bandrol Yayu yang lebih tinggi. Akan tetapi ia tetap akan selektif memilih peran. Ia hanya ingin kreatif dan produktif agar bisa bertahan hidup dengan layak. “Prinsip saya, kalau kita tidak bisa melakukan apa-apa, bayi yang lahir hari ini suatu saat akan membunuh kita, makanya saya harus bisa mengerjakan apa saya,” ujar Yayu. (hw)
Natural Dead Sea Mud-face & Body Mask Laut Mati yang terletak di Yordania-Israel, terkenal sebagai tujuan wisata yang diminati dunia. Kandungan kadar garam Laut Mati diketahui 9 kali lipat dibanding laut lain, sehingga Laut Mati terkenal pula sebagai tempat terapi berbagai masalah kulit, tulang dan darah. RL Natural Dead Sea Mask adalah produk kesehatan dan kecantikan alami yang bersumber murni dari Lumpur Laut Mati.
Masker Lumpur Laut Mati Yordania Sangat Efektif untuk: - Membasmi Jerawat - Menghilangkan Flek - Mengencangkan Kulit - Menghaluskan Kulit - Mengangkat Sel Kulit Mati - Melancarkan Peredaran Darah - Mengobati Memar dan Luka Terbakar - Menghilangkan pegal-pegal - Mengobati gatal-gatal atau alergi
Masker RL Mengobati biang keringat dan kulit kusam
Mengurangi kantung mata dan mengecilkan pori-pori
Mengobati gatal-gatal atau alergi, dan aman untuk anak-anak
Ratna Listy
Untuk informasi & pemesanan hubungi: RATNA LISTY - 0811832561
Isu Dunia Film
CERITA MIRING DI BALIK PENYELENGGARAAN FFI 2014
Suasana di Sekretariat Badan Perfilman Indonesia (BPI) yang juga merangkap sebagai sekretariat FFI 2014 di Gedung Film Jl. MT Haryono 47 – 48 Jakarta, 22 Desember 2014 lalu mendadak ramai. Hari itu sebagian besar anggota panitia datang untuk menghadiri acara pembubaran Panitia Pelaksana (Panpel) FFI 2014. Seonggok tumpeng diletakkan di atas meja, lalu dipotong oleh Ketua FFI 2014 Kemala Atmodjo, dan dibagikan kepada seluruh anggota panitia. “Kita bersyukur FFI 2014 sudah terlaksana, dan kita merasa lega karena tidak korupsi!” kata Kemala, seperti ditirukan oleh salah seorang anggota panitia kepada Film Plus, yang hari itu juga datang ke Gedung Film.
Januari 2015 | 12
Foto: Herman Wijaya
K
alimat “tidak korupsi” me mang berkali-kali disam paikan oleh Kemala Atmodjo, di tengah bisik-bisik dari luar yang mengatakan bahwa Panpel dapat bagian cukup besar dari penyelenggaraan FFI 2014 yang menelan ang garan sebesar Rp. 12,2 milyar! “Panitia sampai sekarang bersih, kita tidak ada yang korup! Honor saya total itu cuma 15 juta! Bahwa masih ada klaim 13,5
juta, itu harus dibayar dong. Itu kan buat makan menteri segala macam, masak gua yang bayar!” kata Kemala ketika ditemui Film Plus, empat hari setelah acara FFI di Palembang. Menurut Kemala, inilah, mung kin, dalam sejarah untuk pertama kalinya honor Ketua FFI setara dengan UMR. Semua staf BPI sampai Christine Hakim yang menjadi ikon FFI pun cuma terima honor Rp.3 juta per bulan.
Januari 2015 | 13
“Bayangkan itu true story, tidak ada yang kita sembunyikan. Makanya teman-teman BPI tenang!” tandas Kemala. BPI (Badan Perfilman Indonesia), ada lah pelaksana FFI 2014 ini. Bisik-bisik tentang adanya pat gulipat permainan anggaran dalam FFI 2014 di Palembang memang berhembus meski ti dak terlalu kencang. Cuma ada beberapa pihak yang merasakan hembusannya. Mulai dari Panpel,
Isu Dunia Film
Foto: Ary Sanjaya
perusahaan pemenang tender pelaksanaan FFI (EO) dan pihak pemerintah yang bernaung di bawah Kementerian Pariwisata. Honor 100 orang juri yang baru dibayar separuh, dan sisanya baru dilunasi lebih dari sepuluh hari setelah FFI usai, dituding sebagai pengaruh pat gulipat itu. “Ini pasti permainan Ukus, Armen dan EO. Kita amprokin aja mereka!” Begitu bunyi pesan yang beredar di grup BB kelompok tertentu. Yang dimaksud Ukus adalah Ukus Kuswara (Sekjen Kemenparekraf), dan Armen ada lah Armen Firmansyah, (Direk tur Pengembangan Industri Perfilman Kemenparekraf-Red.). Selain kata “amprokin”, ada pula pesan yang bernada kasar yang bisa dikonotasikan sebagai ancaman. “Saya baca copasnya,” kata Armen Firmansyah ketika ditemui di kantornya. “Lho ka lau mau diamprokin jangan saya atau Pak Ukus. Kita sama sekali tidak tahu menahu soal anggaran.
“Inilah untuk pertamakalinya FFI menggunakan total 100 orang juri, yang mem buat pihak eo pusing tujuh keliling” Itu urusan EO sebagai pemenang tender,” tambah Armen. Sebagai Direktur, menurut Armen, dirinya sama sekali tidak tahu menahu masalah penggunaan anggaran untuk FFI. Pihak nya hanya mengusulkan ang garan yang semula Rp 17M, kemudian menjadi 12,9 milyar karena ada pemotongan anggaran oleh pemerintah. Anggaran itu
Januari 2015 | 14
lalu dilelang melalui LPSE (Lelang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah secara Elektronik) yang diketuai oleh John Tungkir. Dari 54 peserta lelang, PT Barokah Lima Zahra yang menyodorkan HPS 12,2 milyar menjadi pemenang. Pemenang kemudian menandatangani kontrak dengan Panitia Pembuat Komitmen (PPK), dan setelah itu berurusan langsung dengan Panpel. “Kita tidak sama sekali ikut campur. Apalagi cawe-cawe karena itu diumumkan di website,” kata Armen, meski pun sebagai pejabat pemerintah, dirinya harus ikut bertanggungjawab terhadap penggunaan anggaran itu. Pelaksanaan FFI 2014 yang sebagian acaranya berlangsung di Palembang, memang mendapat sorotan dari berbagai pihak. FFI kali ini bukan hanya padat modal, tetapi juga padat tenaga kerja. Inilah untuk pertamakalinya FFI menggunakan total 100 orang juri, yang membuat pihak EO
Foto: HUMAS FFI 2014
Malam Piala Vidia dinilai kurang sukses karena minimnya bintang-bintang televisi yang hadir pusing tujuh keliling memikirkan honor mereka. Meski pun menurut Kemala Atmodjo dalam wawancara dengan Film Plus sebelumnya, ada juri yang tidak memikirkan honor, tetapi pada kenyataannya, tiap juri ngotot minta bayaran Rp.15 juta. Artinya untuk komponen juri saja EO harus mengeluarkan uang Rp.1,5 milyar! “Itu baru honor, belum lagi uang makan dan transpor setiap kali melakukan penjurian di bioskop, mereka minta dua ratus lima puluh ribu perak sekali datang.” kata salah seorang staf dari pihak EO. Uang transpor juri itu tadi nya diminta langsung oleh panitia setiap kali penjurian berlangsung, dikalikan dengan jumlah juri. “Tapi kita bilang kita aja yang bayarin
langsung, karena tidak semua juri datang. Atau kalau pun datang ada yang menjelang penilai berakhir,” tambahnya. Soal ketidaklengkapan ang gota juri dalam penilaian juga diungkapkan oleh produser Chand Parwez Servia. Celakanya, kiner ja juri yang seperti itu sangat merugikan dirinya yang telah mengirimkan 8 judul film untuk mengikuti FFI 2014. Tidak satu pun filmnya yang masuk nominasi. “Saya enggak berpikir film saya menang, tapi saya tahu ada kreatif saya yang bekerja luar biasa. Misalnya Slank (film Slank Tidak Ada Matinya) itu konsep soundnya luar biasa. Kalau enggak masuk nominasi aneh. Mungkin karena masuknya belakangan dan tim jurinya juga mungkin tidak Januari 2015 | 15
lengkap. Yang jadi juri banyak teman saya, saya tanya mereka sempat nonton enggak, mereka tidak nonton,” kata Parwez. Kinerja dan jumlah juri hanyalah satu persoalan yang jadi sorotan dalam FFI 2014 ini. Pelaksanaan pemberian Piala Vidia, Acara Puncak, pawai artis dan insan film yang diundang pun tak luput dari kritik berbagai pihak. Malam Piala Vidia yang berlangsung di di Grand Ballroom Aryaduta Hotel, Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (5/12/2014) dinilai kurang sukses karena minimnya bintang-bintang televisi yang hadir, sehingga pemenang dari kategori artis Piala Vidia lebih banyak diwakili. “Bintang FTV kan sama artis (untuk) Citra kan beda. Ka lau di Jakarta lebih efektif. Stasiun televisi banyak di Jakarta, lebih banyak ngundang (artisnya). Tapi mungkin Panpel punya prinsip beda, kita enggak tahulah,” kata Armen Firmansyah. Dalam RAB (Rancangan Anggaran Belanja) pemberian Piala Citra tertulis di Jakarta. Tetapi karena Pemda Sumsel meminta diadakan di Palembang, maka acara itu dipindah. Konsek wensinya, Pemda Sumsel mem berikan tiket pesawat dan ako modasi untuk 100 orang dari Jakarta Kemala Atmodjo membantah acara pemberian Piala Vidia sepi artis. “Itu pembaca nominasinya kan papan atas semua. Ada Maudy Koesnaedi, ada Dian Sastro, Tara Basro, dan banyak lagi. Setelah naik ke panggung kan mereka duduk semua, jadi meja kelihatan terisi,” katanya. Menurut Kemala, sepinya pengunjung di awal acara disebabkan pihak keamanan terlalu ketat, karena mau ada
Isu Dunia Film
Kemala Atmodjo:
“Menurut saya kita merasa bisa membuat festival yang obyektif. Kita bisa menjadikan FFI milik bersama semua orang” presiden. “Saya aja dicegat sama paspampres, ditanya ID-nya. Ter nyata banyak yang tidak boleh masuk, meski di akhir-akhir saya instruksikan boleh masuk,” tambah Kemala. Kritik terhadap pelaksanaan malam puncak di Sriwijaya Sport Center sehari kemudian, juga tak kalah tajam. Acara malam itu dinilai tidak sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Untuk pelaksanaan malam Piala Vidia dan Pemberian Piala Citra itu kabarnya memakan biaya Rp.4,4 milyar. Biaya itu tidak
Foto: Herman Wijaya
termasuk sewa gedung. Tetapi acara yang ditampilkan terasa “garing”. Panggung Piala Citra terkesan sederhana dan kurang cahaya. Orkestra yang diletakkan di panggung bagian atas juga tidak kelihatan. Kedua acara itu “diborong” langsung oleh Ketua Bidang Acara Dewi Gontha. “Dalam RAB cuma diang garkan 3,6 milyar, tapi Dewi Gontha ngotot minta 4,4 milyar! Kalau tidak disetujui dia meng ancam akan membatalkan acara pemberian Piala Citra. Akhirnya permintaannya disetujui. Biaya yang diminta dibayar cash,” kata sumber. Untuk menangani acara itu Dewi Gontha membuat kon trak sendiri dengan pihak EO. “Harusnya yang melaksanakan EO. Kenyataannya ada kontrak antara EO dan seksi acara, mengajukanlah angka untuk malam vidia dan malam puncak sekitar sekiansekian. Sebenarnya tidak boleh itu EO mendelegasikan kepada EO juga. Mereka mengatakan bukan
Januari 2015 | 16
EO, tapi seksi acara. Yang saya tahu seksi acara tidak banyak orangnya. Seksi acara itu hanya mengelola acara saja, tidak mengelola uang. Tapi sekarang mengelola uang,” papar Armen Firmansyah. Pihak EO semula tidak me nyanggupi permintaan Dewi Gontha. Karena perundingan bu ntu, kata sumber, akhirnya Kemala Atmodjo menjanjikan akan mencarikan dana tambahan yang Rp. 800 juta. Namun sam pai waktunya Kemala tidak mampu menyediakan uang yang dijanjikan, sehingga pihak EO akhirnya menambah kekurangannya. “Kalau saya yang nanganin, dengan 3,6 milyar bisa lebih bagus dari itu,” kata sumber. Versi Kemala Atmodjo, acara di Palembang itu sudah dibicarakan degan pihak EO dari awal. Dewi Gontha menyodori angka 4,4 milyar kepada EO. Kalau Eo keberatan, ada yang mau dicoret, silahkan coret. “Tapi sampai waktunya dia tidak coret. Dia tetap ngotot dengan angka 3,6 milyar. Panitia lalu
mau nalangin. Tapi kata Pak Arief (Menteri Pariwisata), oh jangan begitu, lebih baik (anggarannya) diadendum saja. Sekarang sudah diadendum. Anggarannya tambah sepuluh persen!” ungkap Kemala. Mengenai tingginya biaya acara malam puncak, menurut Kemala, karena urusannya un tuk mengangkut barang yang harus melalui jalan darat dan honor pengisi acara. “Itu kan ada orkestra, ada Kristopher Abimanyu, Ari Lasso dan banyak lagi. Kalau orang bilang jelek, itu soal intepretasi. Kamu bisa saja bilang, oh saya bisa melaksanakan dengan biaya 500 juta, atau 1 milyar. Tapi artisnya kan paling “sakitnya tuh di sini, sakitnya tuh di sini”, atau “iwak peyek, iwak peyek”,” tandas Kemala sembari berdiri dari kursi, menirukan gaya artis menyanyi. Terkait dengan masalah ter sebut, baik Dewi Gontha atau PT Barokah sebagai pemenang tender, tidak bisa dihubungi. Dewi Gontha tidak membalas sms permintaan wawancara. Ketua Sinematek Indonesia yang menjadi Ketua FFI tahun 2004 – 2006 Adisurya Abdy menilai, pelaksanaan FFI 2014 ini terkesan grabag-grubug dan tidak well organized. Minimnya kehadiran insan film “generasi terdahulu” menjadi sorotan. Pro duser anggota PPFI yang terlihat di Palembang cuma Ram Punjabi, Hendrik Gozali dan Ody Mulya Harahap. Anggota PPFI lainnya yang Kehadiran Ody pun karena ia terpilih sebagai Juri Akhir. “Harusnya FFI itu disiapkan untuk menjadi pesta insan film, dan mereka harus menyiapkan jauh-jauh hari. Siapa-siapa yang diundang, bagaimana meng undangnya, berangkatnya naik apa, di mana menginapnya, itu
Chand Parwez:
“FFI saya hormati sebagai sejarah perfilman, tapi jangan dijadikan mainan orang tertentu” sudah beres. FFI 2014 ini gerabakgerubuk. Saya dapat undangan tapi tidak tahu harus berangkat naik apa. Naik getek atau naik apa,” kata Adi, geram. “Sekarang apa kita tahu orang film itu punya duit. Dan mereka datang pun harus dimuliakan. Kalau tidak untuk apa? Saya melihat FFI ini cuma ajang kepentingan kelompok dan proyek!” Hal senada disampaikan oleh Chand Parwez. “Saya cuma dikasih undangan. Saya tidak tahu mau ke mana, tempat teman tinggalnya di mana. Tidak ada informasi. FFI saya hormati sebagai sejarah perfilman– tapi jangan dijadikan mainan orang tertentu. Mudahmudahan ke depan lebih baik lagi,” katanya. Pengaturan undangan dalam FFI 2014 ini memang kacau balau. Nominator yang menjadi calon peraih Piala Citra saja baru mendapat kepastian berangkat ke Palembang, pada tengah malam sehari sebelum acara Puncak. “Saya dapat kabar jam sebelas malam. Jam 3 (dinihari) saya cari taksi sendirian untuk berangkat ke bandara,” kata aktris Dewi Irawan, yang kemudian terpilih sebagai Pemeran Utama Terbaik FFI 2014. Perihal kekacauan dalam urusan tiket pesawat itu diakui oleh Kemala Atmodjo. Kemala Januari 2015 | 17
menuding kesalahan ada pihak EO yang tidak memastikan pesanan tiket di biro perjalanan. Sejak jauh hari panitia memberikan daftar nama yang akan berangkat ke Palembang ke pihak EO, untuk dibookingkan tiket. Tetapi menurut pihak biro perjalanan, EO tidak memberikan uangnya, sehingga biro perjalanan tidak berani memastikan. “Kita kan akan bukabukaan kapan aja. Aku enggak cerita inside storynya. Bahwa dia (EO) tidak punya uang, saya punya banyak buktinya!” tandas Kemala. Kemala juga membantah FFI 2014 ini hanya sebagai ajang kelompok tertentu. “Aku termasuk orang independen tidak blokblokan. Asal tahu aja selama FFI sekalipun aku tidak pernah telepon Mira Lesmana. Tapi coba tanya, berapa kali saya telepon ke Parwez ke Sunil, ke Gope (Samtani) berapa kali. Kita enggak merasa berjarak, kita mau menjalankan apa yang benar. Bahwa itu membuat orang enggak enak ya begitulah,” kata Kemala. Mengenai apresiasi khusus kepada Mira Lesmana dan Riri Riza yang memutuskan ikut FFI 2014 ini sehingga mengesankan hanya Mira dan Riza orang pen ting dalam perfilman, Kemala menganalogikan keduanya seperti orang Islam yang kembali. “Saya ini orang Islam. Kalau ada orang Islam balik, harus kita sambut. Bukan berarti orang-orang Islam yang lain tidak baik,” katanya. Lepas dari berbagai kelemah an yang terjadi di Palembang, Kemala merasa FFI 2014 sudah berlangsung dengan baik. “Me nurut saya kita merasa bisa mem buat festival yang obyektif. Kita bisa menjadikan FFI milik bersama semua orang, dengan mendatang kan pak jokowi mendukung usaha perfilman. Teman-teman film ratarata menyambut baik.” (hawe)
Isu Dunia Film Armen Firmansyah:
Direktur Pengembangan Industri Perfilman,
“Orang Film Mana Mau Diatur?”
H
ubungan saya dengan EO? Sebenarnya saya tidak tahu menahu ini. Kita punya program namanya FFI. Berdasarkan program kerja itu kami menyurati BPI untuk melaksanakan FFI 2014. Dari BPI mengirim surat balik, mengusulkan nama ketua siapa, bidang ini siapa, bidang itu siapa. Dibentuklah SK Panpel. Dari situ dana ini yang kita sudah gelontorkan Rp. 17 milyar. Karena ada penghematan, anggaran ciut jadi Rp.3 milyar. Kita utarakan kita cuma punya dana 3 milyar gimana? Mereka bi lang sudah lakasakan saja. Lalu kami berjuang tanpa BPI ikut. Kita yang berjuang lho. Jadilah total 14 m. Ada namanya HPS yang dibuat oleh LPSE. Tim lelang bukan di kewenangan kami. Itu diketuai langsung di sana kita tidak bisa intervensi. Terjadilah lelang yang ikut 54 perusahaan. Kita kasih pagu 13,9 milyar. Lalu diumumkan bisa dilihat di internet. Kita tidak sama sekali ikut campur. Apalagi direktur, tidak bisa cawe-cawe. Apalagi pak Sekjen, Dirjen. Karena itu independen,
Foto: Herman Wijaya
diumumkan di website. Ada ketuanya namanya John Tungkir. Dia punya tim. Berdasarkan angka yang kita ajukan, dia yang ngelola, kita tidak tahu mekanismenya bagaimana. Sudah ditentukan pemenang, kita sampaikan agar berkoordinasi dengan panpel. PPK (Pejabat Pem buat Komitmen) ada tapi tidak ada ikut campur. PPK kontrak sesuai dengan hasil lelang, tidak bisa melenceng. Setelah kontrak EO (pemenang lelang) melaksanakan. Pemerintah sama sekali tidak ikut campur keuangan, apalagi memotong. Apalagi disebut-sebut Ukus, Armen, Sigit, kita amprokin aja mereka. Lho amprokin jangan saya, EO-nya dong, kenapa tidak dibayar? Lu punya uang enggak? Kalau menurut aturan yang baik, Panpel itu seharusnya men jadi konsultan teknis. Super visi lah. Supaya terselenggara acara ini. Mau beli printer, mau beli artis, dia kasih aja speknya. Harusnya yang melaksanakannya EO. Kenyataannya ada kontrak antara EO dan seksi acara. Karena acaranya sudah mendesak ada kontrak antara EO dengan pengisi Januari 2015 | 18
acara. Sebenarnya tidak boleh itu EO mendelegasikan kepada EO juga. Tapi dia mengatakan bukan EO tapi seksi acara. Pengisi acara seharusnya tidak mengelola uang. Makanya kasihan juga EO nih. Menurut cerita beliau kalau dia sudah ke luar uang 9 – 10 milyar. Besar dong. Yang bilang abal-abal itu yang salah. Kami serba susah. Saya se benarnya tidak mau jalan (ke Palembang). Tapi kan kita harus bertanggungjawab. Akhirnya kita malu juga kan di sana, bantu enggak, cuma nonton. Tapi saya kan bertanggungjawab sama keuangan. Kalau acara tidak berhasil bagaimana? Bapak kan tahu orang film. Kira-kira mau enggak orang film diatur-atur. Nanti malah ngadu dia. Ngadu ke media sosial kan namanya ngadu sama rakyat. Buat kita anggap saja FFI 2014 berhasil. Yang penting penjurian sudah terlaksana, malam vidia dan malam puncak sudah terlaksana. Itu aja sudah. kalau bagus atau tidaknya saya serahkan kepada masyarakat. (hawe)
Y
ang penting dipahami da lam FFI ini melibatkan 3 insitutsi: Kementerian se bagai Penyelenggara, BPI Pelaksana, dan EO pemenang tender. BPI tidak ada urusan dengan duit. Kita hanya minta uang mengajukan pembayaran. Dia yang bayar. Baik kepada BPI maupun kepada vendor. Tapi panitia sampai sekarang bersih. Kita tidak ada yang korup. Honor saya 15 juta, bahwa masih ada klaim 13,5 juta itu harus dibayar. Itu untuk kebutuhan pa nitia di Palembang. Semua staf BPI sampai Christine hakim itu dapat
enggak semua berangkat. Karena kita cuma dikasih jatah 400. Siapa yang pake 400 itu cek aja. FFI 2014 ada yang namanya Pedoman FFI. Ditandatangani Ahman Syah (Dirjen EKSB Kemen parekraf). Di sini sudah tertera mekanismenya, nilainya. Jauh se belumnya RAB itu berkali-kali dibahas dan disetujui. Hasilnya. Ternyata RAB yang ditenderkan itu beda dengan RAB yang kita buat. Kita sudah complain dari awal mengapa RAB ini yang keluar bukan yang kita rancang. Apa maksudnya ini? Orang kementerian bilang nanti mau
harus bayar juga EO tidak mau bayar, karena tidak ada ang garannya. Memang tidak ada anggarannya jadi kita sudah berusaha. Kita sudah ngomong sama SCTV, AN Teve, Metro TV tapi semuanya minta bayar. Kompas TV itu detik terakhir. Satu sampai dua hari menjelang keputusan, saya masih rapat di TVRI. TVRI masih minta duit. Saya lalu cari partner yang free. Ketemulah Kompas TV dan Berita Satu. Mereka kasih free. Kalau dia (pemerintah) nuntut harus siaran di televisi. Mana duitnya? Wong di RAB mu enggak ada.
Kemala Atmodjo:
“Saya Punya Bukti, EO Tidak Punya Duit!”
Foto: Herman Wijaya
15 juta. Bayangkan itu true story. Tidak ada yang kita sembunyikan. Hubungan kita dengan EO baik-baik saja. Soal kekacauan dalam soal tiket dan lain se bagainya itu akan kita evaluasi. Apa dia tidak punya duit atau dia teledor, bisa saja itu terjadi. Tapi jangan dikira itu asal muasalnya dari panitia. Panitia sudah jauhjauh hari menyodorkan nama. Kalau mau jujur EOnya kurang care, kurang orang yang profesional. Mungkin kurang modal. Yang penting FFI sudah ter laksana, ada kebersamaan di antara insan film. Orang film lama diundang. Bahwa kita enggak menyediakan fasilitas itu karena kita tidak punya uang. Panitia aja
diadendum, tapi enggak terjadi. Dalam pelaksanaan kita su dah ada agreemen. Bersamasama, seluruh tim EO dengan se luruh panitia. Kamu menang 12 milyar, dipotong pajak sekian persen, dipotong keuntungan sepuluh persen, dipotong bunga bank sekian persen, sisanya 9,5 milyar untuk biaya pelaksanaan FFI. Kita enggak mau 9,5 kita minta 8 milyar aja, kita salaman. Bahwa ada item yang me lampaui RAB iya. Tapi ada juga yang kruang dari RAB. Saya kasih contoh kecil cetak buku; itu EO tidak bayar. Kok diam aja. Begitu honor juri lewat dia teriak-teriak. Televisi itu juga free. Kalau
Januari 2015 | 19
Acara di Palembang itu dari awal itu sudah disodori ke EO untuk direvisi. Itu ada ceritanya. Dewi Gonta menyodori katakanlah 4,6 dia kasih ke EO ini kalau ada yang mau dicoret silahkan coret. Tapi enggak dicoret-coret. Pada saat yang krusial EO bertahan dengan angka 3,6 milyar sesuai RAB. Dewi Gonta juga ber tahan di angka 4,6 karena itu kan urusannyakan ngangkut barang. Kaitannya dengan honor. Tadinya panitia yang mau talangin, karena EO tetap dengan angka itu. Tapi ter akhir kata Pak Arief (Manteri Pariwisata) jangan begitu dong, diadendum aja, pemerintah yang tanggung. Sekarang sudah diadendum naik 10 persen. (hawe)
Isu Dunia Film Adisurya Abdy:
“FFI JADI AJANG
KELOMPOK!�
F
FI merupakan tolok ukur orang perorang di dunia film, tolok ukur industry film pada tahun itu, dan menjadi ajang dilaturahmi yang tidak ada dikotomi. Kalau ajang silaturahmi tidak ada dikotomi antara orang kemarin dan orang lama. Kalau pun ada, hanya persaingan prestasi. Di Hollywood tidak ada
persaingan usia tua dan muda. Kelihatan FFI itu jadi ajang kelompok per kelompok, bukan ajang untuk orang film secara keseluruhan. Sekarang FFI dilaksanakan di daerah dengan anggaran yang besar. Harusnya FFI disiapkan untuk menjadi pesta insan film. Mereka (Panitia Pelaksana) harus menyiapkan jauh-jauh hari. Siapa-siapa yang diundang, bagaimana mengundangnya, dengan apa berangkatnya, naik apa, di mana menginapnya. FFI 2014 ini gerabak-gerubuk. Saya dapat undangan tapi tidak tahu harus berangkat naik apa,, naik getek atau naik apa. Kalau di Jakarta orang bisa naik taksi, naik busway, naik mikorlet. Sekarang apa kita tahu orang film itu punya duit. Dan mereka da-
tang pun harus dimuliakan. Kalau tidak untuk apa? Saya melihat FFI ini cuma ajang kepentingan kelompok dan proyek. Sekarang secara jujur FFI itu mempengaruhi perfilman apa tidak. Dua tiga hari aja pemberitaan tentang FFI sudah selesai. Jurinya mau 10 orang, 50 orang terserah. Tapi yang namanya Penyelenggara harus membuat arah, membuat pedoman, tahun di mana FFI dilaksanakan. Di dalam pedoman itulah tertulisa apa yang harus dilakukan. Kalau FFI hanya di kepala masing-masing bagaimana menterjemahkannya. Apa sih susahnya menyelenggarakan fesrival. Ada duitnya kok. Yang palign sulit dalam hidup ini nyari duitnya. Kalau ada duitnya apa pun bisa kita bikin. Ini gila belasan milyar kok begini. (man)
Foto: Herman Wijaya
Januari 2015 | 20
Ir. Chand Parwez Servia (Produser):
“FFI Jangan Jadi Mainan Orang Tertentu�
F
FI itu kan dananya besar. Harusnya dengan 12 m itu bisa ngundang benar-benar insan film. Itu sangat memungkinkan. Katanya yang berangkat 400 orang, itu siapa saja. Artinya saya tidak termasuk dari 400 orang yang berpengaruh dalam industri perfilman di Indonesia. Saya juga waktu mau festival saya enggak dihubungin enggak apa, saya cuma dikasih undangan. Saya tidak tahu mau ke mana, tempat teman tinggalnya di mana. Tidak ada informasi. Mer (Meriam Bellina) juga tanya, saya diundang enggak, saya bilang diundang. Saya diundang tapi memang saya enggak berangkat. Saya merasa tidak seperti tidak berada di sana. Saya udah feeling bahwa saya itu hanya diajak untuk rame-rame aja. Dan satu pun tidak ada film saya yang lolos ke dalam nominasi. Saya paham, saya dianggap produser aktif, produser mainstream yang enggak penting dikasih pengharagaan lah. Jadi yang dapat pengharagaan adalah film-film sidestream. Saya diimbau untuk ikut, setelah saya ikut apakah perhatiaannya sama. Dari 8 film, sudah tidak dapat perhatian. Jadi pada waktu ffi kemarin itu saya juga enggak tahu bagaimana ya. Saya memasukan film pada jadwal terkahir pemasukan. Mung-
Foto: Herman Wijaya
kin juriÂnya film-film yang daftar pertama aja dapat perhatian. Kalau memang tengat waktunya begitu harusnya semua diperlakukan sama. Jadi juri banyak teman-teman saya, saya tanya mereka sempat nonton, mereka tidak nonton di daftarkan yang terakhir. Kayak jurinya 100 sebenarnya enggak 100 juga. Kalau saya lihat pemenangnya saya anggap representatif juga. Mungkin mereka melihat film saya bukan yang harus diperhatikan. FFI saya hormati sebagai sejarah perfilman– tapi jangan dijadikan mainan orang tertentu. Sekarang pelaksananya BPI. Padahal BPI itu produk Undang-undang no 33/2009. Waktu itu kan pejuang film menolak UU itu. Kok sekarang banyak yang mau duduk di lembaga yang berasal dari UU yang dulu diprotes. Mungkin sekarang mereka merasa nyaman. (hawe)
Januari 2015 | 21
Isu Dunia Film
Foto: Ari Sanjaya
Berharap banyak pada
PAWAIARTIS C
hristine Hakim dan Reza Rahadian Nampak sum ringah, sesekali keduanya melambaikan tangan kepada masyarakat yang melihatnya di pinggir jalan. Tidak jelas benar, apakah keduanya menatap ke arah penonton atau arah lain, karena mengenakan kacamata hitam. Dalam perjalanan sejauh 4 kilometer di atas jip terbuka, udara panas Kota Palembang memang cukup menyiksa. Sudah pasti sunblock tebal dioleskan agar kulit tidak rusak. Christine dan Reza Rahadian merupakan dua artis yang dikedepankan dalam hampir seluruh kegiatan FFI kali ini, karena statusnya sebagai “Ikon FFI”. Tak berlebihan jika keduanya berada di kendaraan paling depan. Menyusul setelahnya ada tiga truk terbuka, yang dinaiki oleh artis Dony Damara dan Abimana Artayasa bersama Gubernur Sumsel Alex Nurdin dan Menteri Pariwisata Arief Yahya; kemudian ada truk terbuka yang dinaiki oleh Lukman Sardi, dan Adidia Wirasty, Tara Basro, Jajang C Noer, Alex Komang, dan anggota Panitia.
Januari 2015 | 22
Foto: Ari Sanjaya Foto: Ari Sanjaya
Pawai artis merupakan agenda yang selalu diminta oleh panitia di daerah. “Orang daerah itu enggak kenal yang namanya penjurian, Piala Citra, atau acara di dalam gedung. Yang mereka tahu cuma artis. Syukur-syukur mereka bisa lihat langsung artis pujaannya,” kata seorang pejabat Pemda Sumsel yang ikut menyiapkan FFI 2014 di Palembang. Pawai artis memang menjadi ukuran sukses tidaknya pelaksanaan FFI di suatu daerah. Pemerintah rela merogoh kocek asal ada Pawai Artis guna menghibur masyarakatnya. Makin banyak artis yang ikut dalam pawai, makin sukseslah acara FFI di daerah itu. Sayangnya dalam beberapa kali FFI di daerah, sejak 2007 di Pekanbaru Riau, pawai artis selalu gagal membuat artis tumplek blek di daerah. “Yang paling seru waktu FFI di
Foto: Herman Wijaya
Semarang. Artisnya segambreng,” kata Soetrisno Boeyil, koresponden Harian Wawasan di Jakarta. Di Palembang, artis yang ikut pawai tidak sesuai harapan. “Ha..ha… Memang Pawai Artis ini kita harapkan bersentuhan langsung dengan masyarakat. Mengenai jumlahnya memang sedikit. Saya melihat hanya tujuh. Kalau saya sebetulnya secara total , saya tidak kecewa. Saya tidak tahu permasalahan mereka, tapi dari kepanitiaan daerah juga tadinya memang melihat bahwa artis itu bisa lebih maksimal di pawai. Tapi nyatanya cuma sedemikian, yah sudahlah. Kita terima ajalah,” kata Akhmad Najid, SH, Mhum, Ketua Panitia Daerah FFI 2014 Palembang. Berbeda dengan Najib, Ketua Pelaksana FFI 2014 Kemala Atmodjo mengatakan panitia lokal minta disediakan artis 25 orang untuk Pawai Artis. Walau pun banyak artis yang hadir di Palembang, tidak semuanya bisa diturunkan. “Enggak boleh kita ngadangadain. Dia mintanya 25 orang, jadi kita enggak bisa semua artis juga. Kalau pun kita ada enggak bisa. Itu bagian dari aktivitas lokal. Kita sih kalau bisa tidak ada pawai-pawaian. Menurut gua lebih dari 10 orang (artis yang ikut pawai). Kalau panitia dihitung ( jumlahnya) lebih dari 30 orang,” kata Kemala. Pawai artis merupakan moment bagi penggemar untuk me lihat idolanya. Para artis se harusnya juga melihat kegiatan itu sebagai momentum untuk “merangkul” masyarakat, di tengah terpuruknya film nasional saat ini. Tapi kalau kudu dibayar dulu baru mau ikut, jangan salahkan masyarakat kalau tidak mau dekat dengan film Indonesia. (hw)
Januari 2015 | 23
Isu Dunia Film
Setelah Sinetal Kini Sinemon Sinetal dan Sinemon bukanlah dua kosa kata baru plesetan anakanak muda untuk menggambarkan tubuh wanita yang seksi, padat berisi – sintal dan montok. Sinetal dan sinemon adalah dua akronim baru dalam perfilman, yang merupakan kependekan dari Sinema digital (sinetal) dan sinema online (sinemon). Kosa kata baru itu mulai digulirkan oleh Kementerian Parisiwata, untuk mensosialisasikan rencana yang akan dikembangkan untuk “mengobati” industry perfilman Indonesia yang saat ini sedang sakit, utamanya di sektor hilir.
D
alam keterangannya kepada wartawan di Jakarta 23 Desember lalu, Menteri Pariwisata Arief Yahya mengatakan perlunya dikembangkan sinema online (sinemaon) atau sinema digital (sinetal), untuk mendukung pasar film Indonesia. Menurut menteri, banyak pembuat film merugi jika film tidak sukses di pasaran. “Pasarnya harus dibuka. Film dulu hanya layar lebar, sekarang ini jumlah layar terbanyak adalah layar handphone. Kalau film digabungkan dengan smartphone, akan menjadi sinema online atau sinemon,” kata Menteri. Sinemon jika dikembangkan akan merangsang pertumbuhan film. Setiap orang bisa menonton film, tidak hanya di 12 kota besar yang memiliki gedung bioskop seperti sekarang ini. Ide pengembangan sinemon itu sendiri sudah disampai-
Januari 2015 | 24
kan kepada insan perfilman, termasuk pengusaha bioskop, dalam pertemuan di Kantor Kementerian Pariwisata, 17 Desember lalu. “Kemarin saya juga diundang ke Kementerian Pariwisata, untuk membicarakan tentang sinema online itu. Katanya akan bekerjasama dengan PT Telkom. Tapi kita belum tahu ke depannya bagai mana,” kata Coroprate Secretary XXI, Catherine Keng, yang ditemui saat jumpa pers penyelenggaraan Festival Film Pendek XXI di Jakarta, pertengahan Desember lalu. Catherine menegaskan, sejauh ini XXI belum berpikir untuk menyasar segmen lain dalam bisnisnya. XXI tetap akan bertahan untuk segmen menengah ke atas. Tahun 2015 ini XXI bahkan akan melakukan ekspansi ke luar Jawa. “Kami tetap konsentrasi dengan segmen yang sekarang. Karena sekarang saja kita udah kewalahan,” katanya. Gagasan untuk mendirikan bioskop non konvensional sebenarnya bukan hal baru. “Dari ta-
“Kalau film digabungkan dengan smartphone, akan menjadi sinema online atau sinemon”
hun 97 saya sudah bilang kita harus bikin bioskop satelit. Karena dengan bioskop satelit, film tidak bisa dibajak karena ditayangkan ke seluruh indonesia. Kalau di jakarta tiketnya 50 ribu di daerah 5 ribu sesuai potensinya saja,” kata Parwez ketika ditemui di kantor nya, belum lama. Dengan teknologi baru, menurut Parwez film-film di kirim ke seluruh bioskop melalui satelit atau wifi. Bioskop lalu menggunakan proyektor untuk menayangkannya. “Di Jakarta ada yang mengelola, produser tinggal mengirimkan film, lalu dibuat jadwal penayangannya.” Untuk Negara seperti Indonesia yang demikian luas dan terpisah-pisah oleh ribuan pulau, bioskop satelit merupakan cara yang tepat. Jika investasi untuk bioskop konvensional membutuhkan dana Rp.1 – 5 milyar per layar, dengan satelit mungkin hanya butuh seperlimanya. “Dengan cara ini mungkin bisa menumbuhkan bioskop di tingkat Kabupaten Januari 2015 | 25
Foto: Herman Wijaya
Foto: Web
Arief Yahya:
Catherine Keng:
“Kami tetap konsentrasi dengan segmen yang sekarang. Karena sekarang saja kita udah kewalahan” atau Kecamatan. Kalau yang sudah ada bioskop konvensionalnya ya enggak usah,” tandas produser yang mengawali usahanya di bioskop ini. Ide pendirian bioskop dengan menggunakan teknologi telekomunikasi seperti sinemol, kembali mengemuka setelah film-film Indonesia yang diputar di bioskop sepi penonton. “Dari seluruh judul film yang diproduksi, delapan puluh persen hancur,” kata Ketua PPFI Firman Bintang, dalam pertemuan dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan, pertengahan Desember 2014 lalu. (hw)
Opini Film Opini Film Opini Film
Ego Sektoral Penyelenggaraan Perfilman Foto: Doc. Pribadi
P
Oleh Akhlis Suryapati
enyelenggaraan Perfilman Nasional oleh para pemangku kepentingan (stakeholders) per filman di Indonesia, kenyataannya berada di atas bakteri bernama ego sektoral. Yaitu suatu keadaan di mana kelompok-kelompok sesuai dengan kepenti ngannya bertindak untuk mendapatkan sesuatu yang menguntungkan diri dan kelompoknya, tanpa sudi berbagi dengan kelompok lain. Situasi ini tidak terlepas dari pengaruh politik secara umum, di mana ego sektoral sedang mewarnai karakter kehidupan berbangsa dan bernegara menjelang dan sesudah suksesi kepemimpinan nasional. Dalam konstelasi politik perfilman nasional, ego sektoral belakangan ini semakin menajam, setelah sepanjang satu dekade sebelumnya berlangsung apa yang bisa disebut ‘perpecahan’ atau bahasa halusnya ‘kesenjangan’ dan ‘terputusnya matarantai kesejarahan’ antar kelompok kepentingan, sehingga melahirkan dikotomi-dikotomi seperti sineas tua dengan sineas muda, pelaku film aktif dengan pelaku film pasif, kelompok status-quo dengan kelompok independen, serta berbagai dikotomi lainnya. Kegagalan mengelola perbedaan, kesenjangan, perpecahan, dan segala macamnya, menyeret pada situasi di mana penyelenggaraan perfilman menjadi
salah urus. Masing-masing kelompok kepentingan saling mengedepankankan ego sektoral. Dalam teori sosial budaya, berlaku prinsip homohominilupus, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya, saling memangsa. Sektor-sektor dalam perfilman nasional bukan saja bergerak sendiri-sendiri, melainkan libas-melibas satu sama lain. Dalam pertemuan silaturahmi insan perfilman yang difasilitasi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Jakarta belum lama, menajamnya ego sektoral dalam masyarakat perfilman semakin nampak nyata. Sejumlah pendapat, pandangan, dan pernyataan, yang muncul dari sebagian tokoh-tokoh perfilman yang hadir, mempertegas situasi itu. Juga bisa dilihat bagaimana sebagian tokoh dari 44 orang yang diundang dalam silaturahmi itu menghindari berlangsung nya dialog terbuka, dengan lebih memilih menjalin komunikasi tertutup dengan penguasa untuk mendapatkan akses kekuasaan. Embrio dari merebaknya bakteri ego sektoral dalam penyelenggaraan perfilman hari-hari ini, me mang tidak terlepas dari kepentingan untuk mendapatkan akses kekuasaan sebagai hak-hak politik insan film yang sebelumnya terabaikan, terutama sepanjang perfilman nasional mengalami mati suri. Pemahaman atas hak-hak politik era reformasi yang
Sektor-sektor dalam perfilman nasional bukan saja bergerak sendiri-sendiri, melainkan libasmelibas satu sama lain.
Januari 2015 | 26
Opini Film Opini Film Opini Film “perfilman akan sepenuhnya berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana diamanatkan Undang-undang Perfilman”
Foto: Web
dibungkus dengan jargon-jargon demokratisasi, hak asasi, anti KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme), dalam kenyataan berubah menjadi perebutan (akses) kekuasaan dalam semangat homohominilupus tadi. Lebih picik lagi, makin ke sini semakin kelihatan bahwa ujung-ujungnya adalah rebutan fasilitasi (duit). Semangat ini kemudian memecah-belah masyarakat perfilman sehingga melahirkan dikotomi-dikotomi, kelompok-kelompok kepentingan, aliansi-aliansi, faksi-faksi, dan hantu-blau entah apa namanya. Bermunculanlah organisasi-organisasi, asosiasi-asosiasi, lembaga, badan, komunitas, dan semacamnya, bukan untuk melengkapi yang sudah ada atau untuk penguatan peranserta masyarakat perfilman, melainkan dilandasi kepentingan penguatan dikotomi atau pemahaman adanya dua aspek besar perbedaan, yang kemudian terpecah-pecah lagi dalam banyak aspek lainnya. Satu pihak ingin meniadakan yang lain. Sepanjang perfilman di bawah naungan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata (2004 - 2011), pemerintah berupaya memediasi kelompok-kelompok
pemangku kepentingan perfilman, melalui berbagai program penyusunan regulasi dan pelaksanaan fasilitasi. Kulminasi perbedaan yang ditandai dengan ‘perang propaganda’ dan ‘aksi-aksi boikot’ (2005-2007), mulai mencair dengan terbangunnya komunikasi di berbagai forum dan ajang penyelenggaraan perfilman (20082010), mendadak-sontak memanas lagi ketika perfilman menjadi korban kebijakan politik paska reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II (2011). Film berada dalam naungan dua kementerian, yakni Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kalau sebelumnya yang asyik berkonflik adalah internal masyarakat perfilman, maka sejak tahun 2011 internal pemerintah juga ikut berkonflik dalam kebijakan penyelenggaraan perfilman, sampai-sampai untuk meredakannya muncul Nota Kesepahaman antara Kemenparekraf dan Kemendikbud. Riwayat ketidakharmonisan (kalau tidak mau disebut konflik, perpecahan, perseteruan) sepanjang satu dekade, adalah sesuatu yang patut disayangkan.
Januari 2015 | 27
Opini Film Opini Film Opini Film Masa kebangkitan kembali perfilman nasional, mesti nya menjadi masa di mana potensi dan ‘kesempatan sejarah’ bisa terdayakan secara baik, untuk mencapai arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman nasional sebagaimana yang diamanatkan Undang-undang dan didambakan masyarakat luas; film sebagai jati diri dan kebanggaan bangsa. Situasi politik perfilman yang tidak kondusif sepanjang satu dekade itu, membuat kesempatan untuk membangun konstruksi industri perfilman terbuang sia-sia. Hasil revisi Undang-undang Perfilman tidak memberi manfaat, bahkan menambah tensi perbedaan pendapat dalam masyarakat perfilman. Undang-undang sebagai payung hukum juga tidak implementatif, sampai lima tahun diundangkan, hanya satu dari 10 peraturan turunannya yang bisa dilahirkan untuk menjadi landasan penyelenggaraan perfilman. Semangat memproduksi dan membuat film yang menggelora di masyarakat, sebatas menjadi eforia dan gejala borjuisasi untuk memberlakukan film sebagai media pencitraan yang sexy dan glamour. Jangan terbuai dengan angka kenaikan jumlah produksi film Indonesia yang mencapai lebih 100 judul tahun ini, karena grafik kenaikan film impor berjumlah tiga kali lipat dibanding film nasional. Belum lagi kalau mengamati perolehan penonton film. Lebih dari 60 persen film Indonesia jeblok alias ‘tidak laku’ sehingga pemiliknya merugi. Sedangkan film-film impor tetap menjadi idola penonton di bioskop. Siapa yang rugi dan siapa yang untung tatkala masyarakat perfilman dan pemerintah terus-menerus berkubang dalam ego sektoral seperti sekarang? Dalam teori politik kekuasaan, tidak ada sebuah situasi yang lahir oleh tatanan politik, mengalir begitu saja tanpa adanya rekayasa. Bahkan unsur-unsur dalam masyarakat perfilman maupun pemerintahan, bisa pula ikut memetik keuntungan karena situasi yang tidak kondusif tersebut, seperti sebuah peperangan-meskipun menghancurkan sendi-sendiri kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, tetap saja ada pihak-pihak mendapat keuntungan besar karena adanya peperangan tersebut. Ada namanya politik Divide et Impera (pecah belah). Sebuah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi, yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah-belah kelompok besar agar menjadi kelompok-kelompok kecil. Dengan begitu kelompok besar tersebut lebih mudah ditaklukkan. Politik Divide et Impera juga mencegah bergabungnya kelompok-kelompok kecil untuk menjadi kelompok besar yang kuat. Demikian kata kamus! Dalam politik perfilman nasional barangkali bisa kita cermati kemungkinan adanya berlaku teori seperti itu. Pihak siapa dari rezim pemerintah maupun swasta yang mengeluarkan miliaran rupiah dan rajin memberi fasilitas untuk menciptakan atau mendorong perpe cahan dalam masyarakat perfilman guna mencegah aliansi yang bisa menentang dominasi dan kekuasaan industri perfilman di Indonesia saat ini. Pihak mana dari rezim pemerintah dan swasta yang dalam satu dekade ini membantu dan mempromosikan mereka yang bersedia untuk bekerjasama dengan penguasa yang dominan di industri perfilman. Pihak mana dari rezim pemerintah dan swasta yang selalu mendorong ketidakpercayaan dan permusuhan antarmasyarakat perfilman. Pihak mana yang mendorong konsumerisme di masyarakat dengan mengarahkan film lebih sebagai kekuatan ekonomi (kreatif) dan bukannya karya seni-budaya. Semua itu akan bisa dilihat sebagai ciri-ciri berlangsungnya politik Divide et Impera. Optimisme di akhir tulisan ini adalah: Menurut informasi, perfilman akan sepenuhnya berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana diamanatkan Undangundang Perfilman. Semoga bisa berarti, kita akan terdidik dan berbudaya kembali. *** (Jakarta, 28 Desember 2014)
Lebih dari 60 persen film Indonesia jeblok alias ‘tidak laku’ sehingga pemiliknya merugi.
Januari 2015 | 28
Foto: Herman Wijaya
Opini Film Opini Film Opini Film
Y
FFI BUTUH
ORANG-ORANG CAKAP Oleh: Ary Sanjaya
ang namanya FFI memang selalu menarik perhatian. Tidak terkecuali FFI 2014 yang baru saja usai dihelat. Sejak di launching pertengahan Oktober hingga Puncak Acara di Palembang awal Desember lalu, FFI menjadi tranding topic setidaknya di kalangan wartawan dan insan film. Malah jauh sebelum launching pun FFI sudah menjadi hot isu, terutama menyangkut kepastian penyelenggaraan kegiatannya. Ini bisa dimaklumi lantaran hingga awal September 2014, Tender atau Pengadaan Barang dan Jasa untuk kegiatan FFI tak kunjung jelas. Istilah rekan kami, wartawan dan insan film ketika itu bagai sedang menghitung bunyi Tokek: jadi nggak, jadi nggak? Kejelasan adanya FFI 2014 baru diperoleh setelah Tender Kegiatan FFI dimulai pertengahan September. Secara matematika, waktu yang tersedia untuk seluruh rangkaian kegiatan FFI berarti tinggal dua bulanan. Sebab yang namanya Tender membutuhkan waktu minimal 1 bulan. Sedangkan Puncak Acara FFI kebiasaannya diselenggarakan pada awal Desember, disesuaikan dengan batas akhir pencairan Anggaran lantaran FFI menggunakan dana APBN. Jelas, ketersediaan waktu yang hanya dua bulan ini sangat sempit untuk hajat sebesar FFI. Telatnya pelaksanaan Tender FFI nampaknya sudah menjadi penyakit menahun pihak Direktorat Film selaku fasilitator pengadaan kegiatan FFI. Dari tahun ke tahun, Tender tentang FFI kerap diadakan di penghujung tahun, mendekati Acara Puncak FFI. Ini tentu berpengaruh terhadap hasil pelaksanaan FFI itu sendiri. Jika saja Tender diadakan jauh-jauh hari
dengan rentang waktu sedikitnya enam bulan antara Tender dengan kegiatan awal FFI, hasilnya niscaya bakal jauh lebih menggembirakan. Pihak Panitia Pelaksana FFI memiliki waktu cukup untuk menyusun perencanaan dan persiapan yang matang. Akan tetapi terkait dengan FFI 2014, tentu bukan pikiran cerdas jika harus mengkambing hitamkan waktu. Persoalan sumber daya manusia jauh lebih menentukan ketimbang persoalan waktu. Jika FFI ditangani oleh ahlinya--- tenaga-tenaga kompeten dalam bidang penyelenggaraan FFI, hasil yang memuaskan rasanya menjadi suatu keniscayaan. Sayang pada kepanitian FFI 2014 justru terlihat banyak tenaga tidak cakap. Sesuai dengan Undang-Undang Perfilman, BPI---Badan Perfilman Indonesia, ditunjuk sebagai Penyelenggara FFI. Terkait dengan peran BPI sebagai Panitia Pelaksana FFI 2014, sebetulnya mengundang perdebatan. Di satu sisi BPI merasa punya kewenangan untuk menjadi Panitia Pelaksana FFI. Di lain sisi, lantaran kegiatan FFI diadakan melalui proses Tender, maka ada institusi lain yang berdasarkan UndangUndang Pengadaan Barang dan Jasa juga punya kewenangan sebagai Pelaksana FFI, yaitu PT. Barokah Lima Zahra sebagai EO Pemenang Tender. Oleh sebab itu, menjadi aneh ketika BPI terlihat lebih dominan posisinya dalam pelaksanaan FFI 2014 dibanding Pihak EO. Kalau pun beralasan ada restu dari pihak Pengguna Jasa yang dalam hal ini Direktorat Film, kerjasama BPI sebagai Pelaksana FFI dengan EO Pemenang Tender berisiko menerima sangkaan telah terjadi Sub Kontrak Pekerjaan. Dalam Undang-
Januari 2015 | 29
Opini Film Opini Film Opini Film Undang Pengadaan Barang dan Jasa, Sub Kontrak Pekerjaan diharamkan jika sebelumnya tidak diatur dalam Dokumen Tender. Disitulah masalahnya. Banyak pihak yang tidak menyadari soal ini. Padahal persoalan ini terbilang sensitif karena berimplikasi ke ranah hukum. Di mata hukum, Pihak EO lah yang akan dimintai pertanggunganjawab selaku pihak yang terikat Kontrak Pekerjaan FFI. Hal lain yang juga berpotensi menjadi masalah adalah soal model penjurian untuk film-film peserta. Pada FFI 2014, Panitia Pelaksana melibatkan 100 anggota Dewan Juri ditambah lembaga Akuntan Publik Internasional Deloitte. Pada galibnya, semangat Panitia Pelaksana untuk melakukan pem baharuan pada sistem penjurian ini pantas diapresiasi. Sayangnya ide penggunaan model penjurian tersebut menurut sumber di Direktorat Film, disodorkan BPI saat Tender FFI sudah dimulai. Ini yang dari sisi pembiayaan menimbulkan masalah cukup serius. Betapa tidak, model penjurian dengan 100 anggota Dewan Juri itu kabarnya menuntut biaya untuk honor juri hingga mencapai Rp 1,5 milyar di luar biaya konsumsi dan transportasi juri selagi bertugas. Sedangkan rancangan Dokumen Tender FFI 2014, merujuk pada model penjurian FFI tahun sebelumnya, yaitu hanya melibatkan 9 anggota Dewan Juri dengan kisaran anggaran Rp 300 juta, sudah termasuk biaya konsumsi untuk Dewan Juri selama melaksanakan tugas penilaian. Entah langkah apa yang digunakan untuk mencari solusi soal honor juri ini. Paling masuk akal adalah melakukan addendum penambahan anggaran biaya dan revisi spesifikasi pekerjaan. Yang jelas, persoalan honor juri ini kabarnya baru terselesaikan 10 hari setelah FFI rampung. Soal fulus agaknya menjadi isu paling hot sepanjang kegiatan FFI 2014 berlangsung. Berbagai kelemahan yang terjadi, menurut versi Panitia berpangkal dari ketidaksiapan pihak EO menyediakan
modal kerja. Sementara versi EO, Panitia dinilai terlalu memaksakan kehendak. Cara-cara yang digunakan pun dianggap tidak sehat. Antara lain melakukan tekanan melalui membangun opini di grup BB. Selain soal biaya juri, contoh lain menyangkut biaya Puncak Acara di Palembang. Dalam kontrak kerja EO dengan pihak Pengguna Jasa, anggaran untuk Puncak Acara sebesar Rp 3,6 milyar. Tetapi Panitia yang menyodorkan Dewi Gontha sebagai pihak yang melaksanakan Puncak Acara, mematok anggaran Rp 4,4 milyar. Itu pun tidak termasuk biaya untuk venue dan MC. Ini lah antara lain hot isu yang terjadi. Menilik berbagai persoalan yang muncul, bisa dikatakan berpangkal dari kurang matangnya perencanaan dan persiapan pelaksanaan kegiatan. Gagasan model 100 anggota Dewan Juri yang disodorkan Panitia setelah Dokumen Tender dilaunching, bisa dijadikan contoh. Contoh lainnya ada pada Bidang Humas. Peran Humas yang fungsinya membangun imej positif penyelenggaraan FFI, betul-betul melempem. Rilis, produk media yang kerap menjadi salah satu andalan dalam strategi komunikasi Bidang Humas, tidak pernah ada sepanjang kegiatan FFI. Bahkan isu-isu miring yang muncul pun dibiarkan berseliweran tanpa upaya meresponnya. Ini menandakan Humas FFI tidak memiliki perencanaan strategi komunikasi. Penggunaan media partner sebagai ujung tombak promosi, lebih berorientasi untuk pertukaran kesempatan beriklan. Bukan untuk intensitas pemberitaan yang dibutuhkan. Faktanya, diantara sekitar belasan media patner itu terdapat sejumlah media yang terbit bulanan. Harus diakui suatu urusan sebaiknya diserahkan kepada ahlinya. Orang bijak bilang the right man on the right place. FFI butuh itu. Butuh orangorang cakap. Cakap dalam menyusun perencanaan (spesifikasi) pekerjaan, cakap dalam pelaksanaan pekerjaan, dan cakap dalam mengatasi dana modal kerja. ***
“Telatnya pelaksanaan Tender FFI nampaknya sudah menjadi penyakit menahun pihak Direktorat Film�
Januari 2015 | 30
Kabar Film Kabar Film Kabar Film
g n a y m l i f Film
P
g n a r a a i l s Ddii Indone
ertengahan Desember lalu, dunia film digemparkan de ngan terjadinya pelarangan pemutaran film Senyap atau The Look of Silence di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta. Pembatalan itu merupakan buntut dari beredarnya kabar yang menyebutkan acara itu akan dibubarkan oleh massa anggota Front Anti Komunis Indonesia (Faki). Informasi itu disampaikan oleh Kepala Satuan Intelijen dan Keamanan (Kasat Intelkam) Kepolisian Resort Kota Yogyakarta, Komisaris Polisi Sigit Hariyadi. Empat hari sebelumnya, pelarangan pemutaran film yang sama juga terjadi di Malang, Jawa Timur, tepatnya Rumah Makan Kelir. Alasan pembubaran hampir sama, yakni isi film tersebut lebih condong menampilkan “kepentingan” PKI. Sebelum di AJI Yogyakarta, penyelenggaraan acara serupa berlangsung lancar di sejumlah kampus termasuk di Universias Gadjah Mada.
Januari 2015 | 31
Kabar Film Kabar Film Kabar Film
Foto: WEB
Film Senyap karya sutradara Joshua Oppenheimer merupakan sebuah dokudrama yang meng angkat kekejaman yang terjadi di Indonesia, pada tahun 1965. Pelarangan terhadap pemutaran film Senyap bukan pelarangan tayang pertama terhadap film di Indonesia. Baik film nasional maupun film impor, dengan berbagai alasan dan berbagai pihak yang mela kukan keberatan atau bahkan me lakukan pelarangan. Ada pula film yang hanya dilarang di da erah tertentu, tapi di daerah lainnya bebas. Alasan pelarangan pun bermacam-macam. Mulai dari soal politik, moral, hingga ke masalah SARA, yang memang sangat sensitif di Indonesia. Soal judul pun bisa jadi persoalan. Berikut ini adalah daftar film Indonesia yang menghadapi ma salah di masa Demokrasi Terpimpin, hingga Orde Reformasi, dan alasan-alasannya:
Tiada Jalan Lain (1972) karena produsernya, Robby Tjahjadi, terlibat dalam kasus penyelundupan mobil mewah .
Kawat Berduri (1961), diganyang oleh Partai Komunis Indonesia, diselamatkan Presiden Soekarno, namun tetap tak bisa diputar di bioskop.
Yang Muda Yang Bercinta (1977), dianggap meng akomodasi teori revolusi dan kontradiksi dari paham komunis.
Romusha (1972), dianggap dapat mengganggu hubungan dengan Jepang. Inem Pelayan Seksi (1976), diharuskan berganti judul dari judul semula Inem Babu Seksi. Saidjah dan Adinda (1976), judul berubah dari Max Havelaar dan menggambarkan Max Havelaar yang berhati mulia, sementara penguasa pribumi justru menghisap rakyat. Wasdri (1977), skenarionya dianggap bisa menyinggung pejabat Kejaksaan Agung, karena Wasdri, buruh angkut di Pasar Senen, Jakarta, hanya diberi upah oleh seorang istri jaksa hanya separuh dari yang biasanya ia terima.
Bung Kecil (1978), isinya tentang Januari 2015 | 32
orang muda yang melawan feodalisme. Bandot Tua (1978), dipang kas habis-habisan dan diganti judulnya menjadi Cinta Biru, karena kata “Bandot” dinilai bermakna negatif. Jurus Maut (1978) Film ini sempat tertahan selama empat tahun di Badan Sensor Film (BSF) karena adanya kritik terhadap beberapa pejabat dan juga adegan kekerasan yang berlebihan.. Kuda-Kuda Binal (1978) dilarang karena menggambarkan kehidupan seks yang bebas. Petualang-petualang (1978), judulnya diharuskan diubah dari “Koruptor, Koruptor”. Film ini mengisahkan berbagai bentuk korupsi besar-besaran. The Year of Living Dange rously (rilis 1982 dan dilarang hingga 1999) film Australia tentang Jakarta di bawah Orde Lama pada tahun 1965. Perawan Desa (1980) arahan sutradara Franky Rorimpandey yang diperankan Yattie Surach-
man, yang mengisahkan seorang penjual jamu yang diperkosa, sempat dilarang karena dianggap mendeskriditkan kepolisian dan pejabat lokal Yogyakarta. Buah Hati Mama (1983), memuat dialog tentang kakek yang pintar menyanyi karena berteman dengan mantan Kapolri Hoegeng Imam Santoso. Bagian ini digunting habis. Tinggal Landas, sutradara nya, Sophan Sophiaan, diminta menambahkan kata Buat Kekasih menjadi Tinggal Landas buat Kekasih (1984), karena Indonesia saat itu sedang dalam proses tinggal landas.
Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) karena eksploitasi seks. Kanan Kiri OK (1989), di haruskan berganti judul dari Kiri Kanan OK karena kata ‹Kiri› memberi kesan PKI. Nyoman dan Presiden (1989), diminta agar judulnya diubah menjadi Nyoman dan Bapaknya, Nyoman dan Kita, Nyoman dan Bangsa, Nyoman dan Merah Putih, atau Nyoman dan Indonesia. Film ini akhirnya berjudul Nyoman Cinta Merah Putih. Merdeka 17805 (2001), film Jepang tentang andil Tentara Kekaisaran Jepang dalam proses kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Buruan Cium Gue (2005), di protes oleh Abdullah Gymnastiar dan Majelis Ulama Indonesia karena dianggap mengusik perasaan susila masyarakat. Pocong (2006), Lembaga Sensor Film melarang film ini beredar karena dianggap sadis, menimbulkan luka lama, membawa unsur suku, agama, ras dan budaya serta pemerkosaan yang brutal. Suster Keramas (2009), diprotes oleh Majelis Ulama Indonesia karena dianggap mengusik perasaan susila masyarakat. Balibo (2009), film Australia yang berdasarkan peristiwa Balibo Five, Timor Timur, dianggap membuka luka lama.
Film Hollywood yang
Dicekal
True Lies (1994)
Schindler’s List (1993)
Noah
True Lies merupakan film komedi Amerika. Namun, kisahnya sedikit menyinggung soal terorisme. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, film ini pun dilarang. Disutradarai James Cameron, True Lies men dapuk Arnold Schwarzenegger dan Jamie Lee Curtis sebagai pemeran utama. Lewat film ini, Curtin menyabet piala Golden Globe sebagai Aktris Terbaik.
Film karya Steven Spielberg menempati Box Office Amerika Serikat. Film ini juga menyabet tujuh Academy Awards dari 12 nominasi yang didudukinya. Film yang diangkat dari buku Schindler’s Ark karya penulis Australia Thomas Keneally ini dilarang di Indonesia karena film dinilai terlalu bersimpati pada kaum Yahudi.
Film arahan Darren Aronofsky dan diperankan Russel Crowe yang mengkisahkan ulang nabi Nuh dilarang diputar di Indonesia, karena dianggap terlalu membelot dari ajaran yang benar.
Januari 2015 | 33
(herman wijaya dari berbagai sumber).
Apa Siapa Apa Siapa Apa Siapa
RIDHO Rhoma:
Tinggalkan DANGDUT
R
idho Rhoma Irama bukan saja dikenal sebagai putra Raja Dangdut Rhoma Irama. Anak muda ini juga dikenal sebagai penyanyi dangdut, karena sejak awal penampilannya selalu membawakan lagu-lagu dangdut ciptaanya ayahnya. Tetapi untuk soundtrack film Assalamualaikum Beijing, ia membawakan sebuah lagu berirama pop melankolis. Judulnya Move On. Apakah Ridho meninggalkan dangdut? “Sebenarnya enggak. Dari dulu saya kan menyanyi dangdut walau pun saya menyenangi musik apa saja,” kata putra Rhoma dari pernikahannya dengan Marwah Ali ini. Lagu Move On menurutnya sudah diciptakan dua tahun sebelum dijadikan sountrack film. Dia juga awalnya tidak bermaksud ingin membuat soundtrack film. “Karena produsernya suka setelah mendengar lagu itu, dan memintanya untuk dijadikan soundtrack, ya dengan senang hati saya kasih,” kata Ridho ketika ditemui dalam pemutaran film Asslamualaikum Beijing untuk undangan khusus, di Jakarta, belum lama ini. (damai)
Foto: Herman Wijaya
B Morgan Oey:
BELAJAR BAHASA MANDARIN
ertambah lagi penyanyi yang hijrah ke dunia akting. Kali ini kesempatan itu dilakukan oleh Morgan Oey, mantan personil boy band SM*SH. Morgan baru saja tampil dalam film Assalamualaikum Beijing, bersama Revalina S Temat, Ibnu Jamil dan Jajang C Noer. Dalam film itu ia berperan sebagai pemuda Tiongkok bernama Zhongwen yang jatuh cinta dengan seorang reporter tabloid asal Indonesia, Ashma. Karena berkewarganegaraan Tiongkok, tentu saja tokoh Zhongwen harus berbicara dengan bahasa leluhurnya, yaitu bahasan Mandarin. “Seru sih di sini gue juga harus memerankan tokoh pria Beijing asli jadi gue harus fasih berbahasa Mandarin logatnya juga harus bagus banget dan saya cuma punya waktu seminggu efektif 4 hari untuk belajar bahasa Mandarin,” kata lelaki keturunan bermarga Oey itu usai pemutaran perdana filmnya di XXI Episentrum Jakarta, pekan lalu. Meski pun baru pertama kali main dalam lebar, acting Morgan dalam film itu cukup meyakinkan. “Itu karena saya banyak belajar dengan senior. Terutama dengan coach (pelatih) acting film itu, aktor kawakan Arswendi Nasution,” tambah kelahiran Singkawang, Kalimantan Barat pada 25 Mei 1990. (damai)
Foto: WEB
Januari 2015 | 34
Apa Siapa Apa Siapa Apa Siapa
F
estival Film Indonesia dilakukan di daerah merupakan magnet baru bagi promosi pariwisata suatu daerah. Magnet baru tersebut patut dikelola sehingga diharapkan dan mampu menggerakkan orang Indonesia untuk melakukan perjalanan ke destinasi di Nusantrara. Hal itu dikatakan oleh Tazbir Abdullah dilantik menjadi Direktur Promosi Pariwisata dalam Negeri, Kementerian Pariwisata. Tatkala FFI diselenggarakan di daerah, dibutuhkan sarana akomodasi dan transportasi. Terlebih jika dilangsungkan kegiatan lain seperti seminar maupun bengkel kerja yang dilakukan oleh masyarakat perfilman, dan hal tersebut tentu diperlukan pula suatu tempat memadai. Mantan Kepala Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta itu mengatakan tugasnya semakin berat untuk mempromosikan pariwisata daerah, karena anggaran promosi
Festival Film,
Magnet Baru
Promosi Pariwisata yang berkurang. Tahun 2013 anggaran promosi pariwisata dalam negeri mencapai 57 miliar rupiah tahun 2014 turun menjadi 35 miliar rupiah. Dengan anggaran yang kian tipis itu, ia ditugaskan untuk menggali potensi daerah yang sekaligus menciptakan sentra –sentra turis baru. “Ini tantangan yang bakal saya jalani,“ katanya kepada Film Plus.
Foto: WEB
“Kami fokus dan membesarkan beberapa event di daerah. Di Lombok, Manado, Makassar, Banten, provinsi di Pulau Sumatera banyak sekali event. Maka pemerintah pusat, daerah dan industri pariwisata akan berkonstribusi dalam event tersebut. Untuk acara film, tentulah sudah ada lembaga yang mengurusi. Kami hanya berkonstribusi saja. (SNM)
Januari 2015 | 35
Apa Siapa Apa Siapa Apa Siapa
S
Nadine Candrawinata:
Sehari Tiga Kali Mandi…
udah banyak artis yang berperan sebagai wartawan dalam film. Kali ini yang beruntung mendapat peran itu adalah Nadine Candrawinata, yang bermain sebagai wartawan dalam film Erau Lalu apa yang dilakukan Nadine dengan peranannya di film. “Pada saat syuting kan bertepatan dengan Festival Erau, karena itu kita harus menyesuaikan diri dengan Festival Erau. Ketika adegan melipuat festival itu, saya seperti benar-benar berfungsi sebagai jurnalis. Dilepas begitu saja di lapangan. Kata sutradara, kamu bermains aja sebagai jurnalis, nanti kamera mengikuti. Tidak ada kata cut atau action. Pokoknya one take oke. Pada saat festival berlangsung di situlah tantangan kita,” kata artis kelahiran Hannover, 8 Mei 1984 ini. Meskipun sering melalukan perjalanan ke berbagai daerah di Indonesia, gadis yang terpilih sebagai Puteri Indonesia tahun 2005 ini mengatakan syuting di Kutai cukup berat. Cuaca yang panas membuatnya harus sering mandi. Ia bisa mandi sampai 3 atau 4 kali sehari. Seperti minum obat saja. “Tapi saya beruntung dapat terlibat di film ini. Saya buka mata lagi, bahwa kita ini anakanak Nusantara. Kita harus bicara dengan keinginan dan kemampuan kita. Kalau kita mau kita bisa, kalau tidak mau kan tidak bisa. Jadi ini yang bisa kita kerjakan. Ini tantangan kita,” paparnya. Maksudnya opo to nduk? (damai)
Foto: Herman Wijaya
Januari 2015 | 36
Apa Siapa Apa Siapa Apa Siapa
B
ukan hal gampang berakting laga, walau dalam film komedi. “Kaki saya sempat keseleo, lecet juga karena harus adegan berkelahi,” kata artis cantik Vicky Monica, yang berperan sebagai pendekar wanita Mantrili dalam film Kacaunya Dunia Persilatan. Ditemui usai pemutaran film komedi arahan sutradara Hilman Muntasi itu di Jakarta, Jum’at (9/1), Vicky mengaku harus ekstra hati-hati dalam memainkan peranannya. Belum lagi ia harus berusaha agar kulitnya tetap terjaga dari sengatan matahari. “Awalnya sih enggak terasa syuting panas-panasan, tapi belakangan baru tahu kalau kulitku tambah hitam. Akhirnya terpaksalah dijaga pakai pelindung kulit dari sengatan matahari (sunblock). Karena peranannya sebagai pendekar, mau tidak mau ia harus beradegan bak-bik-buk, walau tidak seserius film laga beneran.”Tapi namanya adegan laga, ya tetap aja bahaya. Contohnya waktu adegan lompat, aku sempat nyungsep dengan kepala di bawah walau pakai sling.” Dalam film KDP adegan perkelahanian
Vicky Monica:
Repotnya Jadi Pendekar yang dilakukan wanita 24 tahun berdarah Sunda – Belanda ini memang cukup banyak. “Seru banget sih, tapi aku tuh susah akting dengan Tora Sudiro. Dan yang paling susah itu menahan ketawanya. Mereka lucu-lucu banget,” ujar Vicky Nama Vicky mulai terkenal sejak diciduk di sebuah klub malam di kawasan Senayan, Sabtu 9 November lalu. Vicky sempat dituding menjadi pengguna narkoba, walau kemudian dibebaskan karena ia hanya mengkonsumsi obat dari dokter. Vicky nampaknya tak ingin mengenak peristiwa itu lagi. “Udah deh jangan tanya itu ah,” katanya kepada wartawan yang terus berusaha bertanya tentang peristiwa kelam itu. (damai). Foto: Herman Wijaya
Januari 2015 | 37
Apa Siapa Apa Siapa Apa Siapa
Foto: Doc. Pribadi
TASYA KAMILA:
INGIN JADI MENTERI S
iapa yang tidak kenal dengan Tasya Karmila. Peyanyi cilik yang ngetop di era 2000an kini menjelma menjadi wanita dewasa telah menjadi Sarjana Ekonomi Akutansi lulusan Universitas Indonesia. Namun demikian, pemilik nama Syafa Tasya Karmila ini sering muncul dilayar televisi bermain FTV dan film layar lebar. Tasya pernah main film horror ‘Rumah Kentang’. Ketika ditanya mana yang lebih menarik antara menyanyi
dan akting, ia mengaku masih mencintai dunia tarik suara. “Aku lebih suka nyanyi, kalau acting aku Cuma iseng saja, karena passion aku di bidang nyanyi,” ujar Tasya di studio Global TV Jakarta Selatan. Meski kekayaan dan popularitas ada di genggamanya tak membuat gadis kelahiran Jakarta 22 November 1992 ini berhenti meraih cita-citanya me nge nyam pendidikan yang lebih tinggi. Tasya memiliki segudang impian untuk melanjutkan pen
Januari 2015 | 38
didikan ke jen jang S2 di luar negeri. “Tahun 2016 nanti aku ada rencana untuk melanjutkan S2 di Amerika Serikat. Penginnya ambil jurusan public policy,” ujar Tasya kepada Film Plus. Jurusan kitu dipilih dengan alasan dirinya ingin berbakti kepada Negara jika lulus nanti. “Aku Ingin menjadi menteri yang bisa memegang amanah suara rak yat. Tapi aku masih bingung mau jadi Menteri keuangan atau lingkungan,” tambahnya.(Nana)
Tekno Tekno Tekno Tekno Tekno
Qrio Smart Lock
S
ebuah proyek  urun dana (crowdsourcing) saat ini tengah dikerjakan oleh salah satu perusahaan teknologi asal Jepang, Sony. Proyek tersebut merupakan pembuatan sebuah kunci pintar yang disebut dengan Qrio Smart Lock. Kunci pintar tersebut memungkinkan penggunanya mengontrol kunci pintu melalui peranti smartphone mereka. Sony memajang proyek urun dananya itu di situs Makuake.com. Di situs itu, Sony menjual prototipe Qrio Smart Lock dengan harga 95 dollar AS (sekitar Rp 1 jutaan) untuk 200 penyumbang pertama. Harga retail dari Qrio Smart Lock sendiri diperkirakan oleh Sony sekitar 126 dollar AS atau sekitar Rp 1,5 juta.  Sony menjelaskan, Qrio Smart Lock selain bisa mengenkripsi kunci pintu melalui smartphone, juga berbagi enkripsi tersebut dengan teman lain. Dengan demikian, pemilik kunci bisa memberikan akses pintu masuk ke temannya melalui jarak jauh, apabila sedang berada di tempat lain, tanpa perlu mendatangi rumah atau apartemen mereka. Dikutip SolusiHp dari The Wall Street Journal, Jumat (12/12/2014), Qrio Smart Lock yang akan diluncurkan secara resmi akhir bulan Desember ini merupakan hasil kerjasama antara Sony dan World Innovation Lab. World Innovation Lab
adalah perusahaan pendanaan berbasis di AS yang didirikan sejak satu tahun lalu oleh beberapa perusahaan besar di Jepang, seperti ANA Holdings, Nippon Telegraph and Telephone Corp, dan Nissan Motor. Qrio sendiri bukan menjadi peranti kunci pintar yang pertama. Sebelumnya, perusahaan berbasis di San Fransisco juga memperkenalkan produk yang serupa yang disebut August Smart Lock dengan harga 279,9 dollar AS (sekitar Rp 3,3 juta) Bedanya, jika August Smart Lock mengharuskan pengguna memasang unit di pintu dengan obeng, maka produk buatan Sony diklaim tidak membutuhkan perkakas.[a.f]
Januari 2015 | 39
Agenda Agenda Agenda Agenda
Festival Film Pendek
B
Grup XXI
agi Cinema XXI (dulu dikenal dengan nama Grup 21 / Twenty One), film pendek bukanlah sasaran bisnis bioskop dengan jaringan terbesar di Indonesia itu, karena film pendek bukanlah lahan bisnis yang menggiurkan. Maka ketika XXI membuat festival film pendek – dan tahun 2015 ini diadakan untuk yang ketiga kalinya, tentu perlu dipertanyakan apa motivasi di balik itu. “Udah waktunya XXI bikin CSR ((corporate social responsibility) di bidang perfilman. Tidak mungkin XXI bikin bioskop di Indonesia, tapi larinya ke tempat lain. Kita
sengaja bikin film pendek karena film cerita kan sudah ada yang bikin. Dan film pendek ini kan pembuatannya lebih murah jadi bisa menumbuhkan semangat anak-anak muda untuk membikin film,” kata Catherine Keng, Corporate Secretary Cinema XXI kepada Film Plus ketika ditemui saat pembukaan XXI Short Film Festival 2015 di XXI Kota Kasablanka Jakarta, beberapa waktu lalu. Agar pembuat film pendek bertambah semangat, para pemenang kompetisi ini juga akan diberikan hadiah Rp 10 juta, untuk 3 project terbaik yang dipilih dari sesi Pitching Presentation.
Januari 2015 | 40
Foto: Herman Wijaya
Presentasi dilakukan pada tanggal 18 Maret 2015 di hadapan Dewan Juri yang terdiri dari produser film yang tergabung di APROFI (Asosiasi Produser Film Indonesia) dan Panitia XXI Short Festival. Selain hadiah uang, beberapa sponsor juga menawarkan hadiah berupa beasiswa untuk D3 dan S1 untuk pemenang. “Tapi karena kebanyakan peserta sudah lulus S1, kita minta hadiah yang bisa dirasakan langsung manfaatnya oleh mereka,” tambah Catherine. XXI Shot Film Competition ke tiga ini akan diadakan pada tanggal 18 – 22 Maret 2015 di Epicentrum XXI Jakarta. Panitia telah menerima pendaftaran 641 film pendek untuk tiga kategori kompetisi, yaitu : Film Pendek Naratif (471 film), film pen dek documenter (108), film pendek animasi (62). Seluruh film akan diseleksi menjadi 10 finalis di setiap kategori untuk mem perebutkan Film Pendek Terbaik di masing-masing kategori, Film Pendek pilihan media, Film Pen dek Penghargaan Khusus
“film pendek ini kan pembuatannya lebih murah jadi bisa menumbuhkan semangat anak-anak muda untuk membikin film”
Indonesia Motion Pictures Asso ciation (IMPAS), dan Film Pendek Favorit. Film-film pemenang nantinya akan diputar di bioskop XXI, de ngan harga tiket yang lebih murah dibandingkan tiket umum. Harapannya agar masyarakat mau datang ke bioskop untuk menonton film film pendek. Diakui Catherine, jumlah pe nonton film pendek selama ini memang tidak terlalu signifikan. Tetapi bila pemenangnya dari daerah tertentu, maka film yang diputar di daerahnya penonton cukup banyak. “Jadi saya pikir ini jadi magnitude kalau kita bisa cari local talent itu akan menjadi pembicaraan di daerah,” tambahnya. (hw)
Foto: Herman Wijaya
S Beasiswa Untuk Putera-Puteri
Wartawan
Januari 2015 | 41
ebanyak 28 putra-puteri wartawan anggota PWI Jaya mendapat bantuan beasiswa dari PT Bank Mandiri Tbk. Beasiswa diperuntukan bagi puteraputeri wartawan yang duduk di bangku SD, SMP dan SMA. Pemberian beasiswa berlangsung di Kantor PWI Jaya, Lt. IV Gedung Graha Sasana Karya, Jl. Suryopranoto Jakarta 16 Desember 2014, diserahkan oleh Ketua Ikatan Keluarga Wartawan Indonesia (IKWI) Pusat….Margono dan disaksikan oleh Ketua PWI Cabang Jakarta, Endah Werdiningsih. Beasiswa diterima oleh wartawan anggota PWI Jaya yang putera-puterinya menerima beasiswa. (*)
Agenda Agenda Agenda Agenda
H
ARUS diakui hubungan pers dengan perfilman nasional sudah demikian erat bak simbiosis mutualisme. Pers butuh informasi dari dunia film dan dunia film butuh pers sebagai media promosi. Hubungan seperti ini sudah berlangsung amat lama. Saat film masuk dan lahir di Indonesia sekitar tahun 1926, saat itulah hadir pers film nasional. Bahkan dalam perjalanannya, wartawan film tidak hanya berperan sebagai juru warta tetapi juga banyak yang terjun menjadi praktisi film, mulai dari pemain film, penulis skenario, sutradara hingga produser. Sejumlah tokoh seperti Asrul Sani, Rosihan Anwar, Motinggo Busye, Abrar Siregar, dua kakak beradik Ilham Bintang dan Firman Bintang adalah contoh kecil wartawan yang terjun ke dunia film. Malah bapak perfilman nasional H. Usmar Ismail pun tercatat memiliki latar belakang wartawan selain sebagai tentara dengan pangkat Mayor. Ia pernah mendirikan Koran Harian Rakyat, Patriot dan Majalah Kebudayaan Arena. Soal hubungan pers dengan perfilman nasional ini lah yang menjadi pokok bahasan dalam diskusi terbatas antara kalangan wartawan film, pemerhati film, penulis skenario dan mahasiswa di kawasan Sirkuit Sentul Bogor perte ngahan Desember 2014 lalu ini. Herman Wijaya, Pem-
MENYOAL
PERAN
Foto: Herman Wijaya
WARTAWAN FILM impin Redaksi Majalah Film Plus, tampil sebagai Pembicara ditemani Syamsuddin Noor Moenadi sebagai moderator. Diskusi yang diselenggarakan Direktorat Film Kementerian Pariwisata ini berlangsung menarik dan penuh gairah. Peserta diskusi tidak hanya menyoroti soal peran kritik film yang belakangan bagai mati suri, tetapi juga mempertanyakan isu boikot wartawan film pada Puncak Acara FFI 2014 lalu di Palembang. Peserta bahkan menyinggung pula tentang Majalah Film Plus yang lahir di saat industri pers media cetak sedang megap-megap. Herman berusaha tampil obyektif. Meski diakui liputan pers tentang penyelenggaraan FFI 2014 teramat minim karena Panitia FFI 2014 tidak memiliki strategi Kehumasan jika dibandingkan dengan FFI tahun-tahun sebelum nya, Herman menepis isu boikot wartawan pada Puncak Acara FFI lalu. “Faktanya, ada sekitar 40 wartawan yang meliput Puncak Acara FFI di Palembang,” kata Herman,
Januari 2015 | 42
yang juga datang meliput ke Palembang. Dari sisi kualitas, tidak bisa dipungkiri peran pers pada perfilman nasional belakangan me mang mengalami kemerosotan. Ada kecenderungan, pers kini lebih mengedepankan kabar tentang masalah pribadi artis ketimbang tulisan bernada positif yang dapat menjadikan industri perfilman nasional lebih berkembang dan membanggakan. Tulisan-tulisan seperti kritik film yang dapat membentuk masyarakat penonton dan masyarakat perfilman lebih cerdas dan berkualitas, sangat langka ditemui saat ini. Boleh jadi, hal ini lah yang mendorong pihak insan film terutama produser film nasional kini seperti memandang sebelah mata terhadap peran pers. Karena toh masyarakat pembaca atau pemirsa televisi dinilainya sudah terbentuk senang hanya pada berita gosip pribadi artis. Biaya promosi yang melibatkan pers, tidak lagi menjadi perhatian serius dalam sebuah produksi film. Cuma ala kadarnya saja. (ary)
Film Lokal Film Lokal Film Lokal
Film Animasi Indonesia
“Kemasan Amerika�
B
icara film animasi, tentu Amerikalah gudangnya. Mulai dari serial legendaris Mickey Mouse yang muncul di televise sejak dahulu kala, sampai film-film animasi bioskop yang begitu banyak jumlahnya. Sedangkan film-film animasi buatan anak negeri sampai saat ini belum diperhitungkan. Meski pun akhir-akhir ini sudah ada film animasi berbahsa Indonesia yang diproduksi oleh MD Animation, atau serial UpinIpin, produksi Malaysia yang
sebagian animatornya berasal dari Indonesia. Biaya yang mahal serta waktu pembuatan yang lama, merupakan alasan utama mengapa produser tidak tertarik membuat film animasi. Apalagi pasar dalam negeri yang masih sangat sempit dan cenderung kurang menghargai film animasi produk bangsa sendiri. Kondisi itu rupanya tidak menghalangi tekad MSV Pic tures, sebuah studio animasi yang berbasis di Yogyakarta.
Januari 2015 | 43
Melalui kerja keras dan banyak pengorbanan, lahirnya sebuah film animasi berjudul The Battle of Surabaya (Pertempuran Sura baya). Sesuai judulnya, cerita film itu memang mengambil setting pertempuran di Surabaya, ketika Belanda yang membonceng pasukan sekutu mendarat untuk mengusai Indonesia. Tokoh sentral film ini adalah seorang anak yatim bernama Musa, yang memutuskan menjadi penyemir sepatu untuk membantu ibunya, setelah ia kehilangan
ayahnya. Dalam suatu kekacauan di Surabaya, secara tak sengaja ia bertemu dengan seorang anak terluka yang menitipkan surat kepadanya, dan meminta agar surat itu diberikan kepada seorang tentara bernama Pak Moestopo. Antara rasa takut dan tekad, akhirnya Musa berhasil menyampaikan surat itu kepada orang yang dituju. Setelah berpetualang di beberapa festival internasional dan memenangkan beberapa penghargaan, di antaranya masuk nominasi The Best Foreign Animation Trailer Th2 15th Annual Golden Trailer Award Hollywood 2014 dan menang dalam International Movie Trailer Festival People’s Choice California 2013, The Battle of Surabaya hadir di bioskop XXI. Meski pun dibuat di Indonesia oleh animator-animator Indonesia, kemasan film ini diakui oleh pembuatnya sangat Amerika. “Looknya memang sangat Amerika. Kita sengaja, untuk cari perhatian dulu dari masyarakat. Sebab kalau langsung dibuat dengan gaya Indonesia dan mengklaim bahwa ini buatan Indonesia, masyarakat mungkin akan mikir-mikir untuk menontonnya,” kata Erika
Foto: Herman Wijaya
Film Lokal Film Lokal Film Lokal
“Banyak animasitor Indonesia yang bekerja di luar negeri, tetapi nama mereka tidak pernah dikenal” Diana Rizanti, Chief of Public Relation MSV Pictures Animation Studio. Menurut Erika, The Battle of Surabaya dikerjakan oleh animator-animator Indonesia yang sudah berpengalaman bekerja di studio animasi luar negeri. Meski pun bayaran di luar negeri jauh lebih memuaskan, mereka mau kembali ke Indonesia untuk menegaskan jatidiri mereka, selain ingin berbuat sesuatu untuk ne Januari 2015 | 44
geri tentunya. “Banyak pekerja animasi Indonesia yang bekerja di luar negeri, tetapi nama mereka tidak pernah dikenal, karena tidak muncul di credit title. Di sini nama mereka lebih dihargai, walau pun imbalan yang diterima tidak sebesar di luar negeri,” katanya. Pembuatan film animasi mem butuhkan biaya mahal dan waktu yang lama. Untuk film berdurasai 3 menit saja butuh waktu pengerjaan selama 1 tahun. Film The Battle of Surabaya sendiri dikerjakan selama 3 tahun menghabiskan biaya sebesar Rp.15 milyar. Pengerjaan film ini melibatkan 20 animator dan 20 artis. “Yang paling mahal itu membayar artisnya,” tambah Erika. Bekerja di studio animasi me nurutnya membutuhkan pengorbanan yang tidak sedikit. Dan The Battle of Surabaya diakuinya dikerjakan dengan “berdarah-darah” “Lalu apa yang mendorong kami kuat bekerja di animasi? Nah jawabannya adalah, siapa sih artis yang paling kaya di dunia? Jawabannya adalah Mickey Mouse. Dialah yang mendorong kami,” tandasnya. Semoga tidak jadi tikus beneran.
Film Lokal Film Lokal Film Lokal
Pesan Persatuan Dalam Film
B
angsa Indonesia telah mengalami beberapa kali masa kelam, yang mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa. Yang masih dikenang sampai saat ini adalah Peristiwa Mei 1998, di mana kerusuhan bernuansa SARA terjadi di beberapa kota di Indonesia, yang menyasar etnis minoritas Tionghoa. Akibat peristiwa itu perekonomian yang sedang sakit berat menjadi lumpuh, karena harus diakui, etnis Tionghoa adalah motor penggerak perekonomian di Indonesia, terutama di kota-kota besar. Peristiwa tahun 1998 merupakan akumulasi dari berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia. Kombinasi antara tekanan ekonomi, kejenuhan terhadap pimpinan politik, kecemburuan
ekonomi, dan mungkin saja ada permainan politik di dalamnya. Akumulasi dari semua itu melahirkan sebuah ledakan sosial yang amat dahsyat. Presiden Soeharto yang telah 32 tahun berkuasa, lengser dari jabatannya; pusat-pusat perekonomian luluh lantak. Dan, yang sulit dipulihkan dalam waktu singkat dari peristiwa itu adalah: trauma mendalam, dan sikap saling mencurigai antarsesama anak bangsa. Menjaga persatuan dan kesatuan menjadi sangat penting bagi Negara yang memiliki penduduk sangat majemuk seperti Indonesia ini. Sedikit saja gesekan yang berbau SARA terjadi, keutuhan bangsa terancam. Tetapi kita boleh optimis keutuhan bangsa ini masih akan terjaga, karena di
Januari 2015 | 45
balik peristiwa kelam itu, masih ada orang-orang yang punya nurani, dan tidak pernah membedakan manusia berdasarkan bentuk fisik maupun keyakinannya. Pesan itulah yang ingin disampaikan oleh Lukman Sardi, melalui film perdananya, Di Balik 98. Sesuai dengan judulnya, Lukman mencoba melihat peristiwa tahun 1998 dari perspektif lain, yakni dari kehidupan sosial yang berlangsung di balik peristiwa itu. Walau pun dalam film ini ia mencoba memberi penafsiran tentang apa yang terjadi di kalangan tokoh politik negeri ini, menjelang, ketika, dan setelah peristiwa itu terjadi. Lukman Sardi mencoba mengurai peristiwa 1998 melalui kehidupan tokoh-tokoh dalam film-
Film Lokal Film Lokal Film Lokal
Foto: HUMAS
nya, yakni Dinda (Chelsy Islan) seorang mahasiswi yang memiliki hubungan khusus dengan rekannya mahasiswa Daniel (Boy William). Sebagaimana umumnya mahasiwa di masa itu, Dinda sangat aktif mengikuti demonstrasi untuk menjatuhkan rezim yang dinilainya telah menindas rakyat. Sementara Daniel yang memiliki latar belakang etnis Tionghoa, mengikuti demontrasi hanya karena rasa solidaritas kepada Dinda – gadis yang dicintainya. Kakaknya yang bekerja di Setneg, Salma (Ririn Ekawati) dan iparnya yang tentara, Bagus (Donny Alamsyah) mengingatkan, agar Dinda menghentikan aktivitasnya berdemonstrasi, karena telah membuat malu keluarga. Tapi Dinda yang tengah diselimuti semangat muda malah melawan nasihat kedua orang yang telah membiayai kuliahnya itu. Ketika kerusuhan terjadi, Ririn yang tengah hamil besar tak bisa kembali ke rumah. Ia menghilang tak diketahui kabarnya. Suaminya yang tengah bertugas
mengamankan ibukota, tidak diijinkan meninggalkan tugas oleh sang komandan. Melihat situasi itu Dinda berubah pikiran, ia mulai menaruh empati kepada kakak iparnya, dan berbaikan. Keduanya lalu berjanji untuk mencari Ririn yang hilang. Sementara itu Daniel yang diantar pulang oleh Dinda dan rekannya lain, tidak mendapati ayah dan adiknya di rumah yang telah porak poranda. Dalam kemarahan itu meminta Dinda untuk pergi meninggalkannya. Suatu malam, Daniel hampir menjadi korban kebrutalan para pelaku kerusuhan. Ia diselamatkan oleh seorang sopir mobil boks dan dibawa ke tempat penampungan. Di sana ia bertemu dengan ayah dan adiknya.
Pesan Persatuan
Di Balik 98 merupakan debut Lukman Sardi sebagai sutradara, setelah cukup lama menggeluti dunia akting. Meski pun baru pertama kali menjadi komandan tertinggi dalam mengerjakan
Januari 2015 | 46
sebuah film, hasil kerjanya patut diapresiasi. Film ini enak untuk dinimati, ceritanya menyentuh, dan elemen-elemen penting yang membuat sebuah film menjadi menarik coba dipenuhi. Misalnya kebutuhan artistik, fotografi, acting para pemain umumnya tergarap dengan baik. Hampir semua pemain yang terlibat dalam film ini telah menunjukkan kemampuan akting terbaik nya. Hal itu tentu tidak lepas dari sentuhan sutradara. Sebagai sutradara baru, pemilihan sudut pengambilan gambar yang dipilih Lukman sangat kreatif. Ia memadukan dua unsur sekaligus, estetika dan potret sosial. Lihatlah bagaimana ia menjadikan kehidupan rakyat kecil sebagai foreground pengambilan gambar, seperti orang yang sedang cukur atau dikerok. Agus Kuncoro, Amoroso Katamsi, Chelsy Island, atau Ririn Ekawati telah mengerahkan kemampuan mereka dalam memainkan tokoh yang diperankannya. Pujian patut diberikan ke-
Foto: Herman Wijaya
pada Agus Kuncoro yang telah menunjukkan kelasnya. Ia mampu menirukan dengan baik sosok Presiden BJ Habibie. Gesture dan vokal Habibie yang khas mampu dilakukannya. Agus pas ketimbang Reza Rahadian yang juga memerankan tokoh Habibie dalam film Habibie dan Ainun. Meskipun titik tolak cerita ini berawal dari hubungan antara Diana dan Daniel, Lukman Sardi tidak ingin terseret ke dalam cerita melodramatik. Baik Diana mupun Daniel tidak meratapi perpisahannya, walau pun di akhir cerita ketika Daniel menemui Diana di TK tempatnya mengajar, ada kalimat Diana yang mengatakan, “Kamu tidak tahu kan sakitnya orang di tinggal pergi…”. Adegan itu terasa wajar, tidak dilebih-lebihkan sebagaimana layaknya pertemuan dua orang pernah saling mencintai, yang berpisah sekian lama. Tetapi yang perlu dicermati dari adegan itu adalah, perpisahan dan perbedaan tidak boleh melahirkan dendam. Lukman Sardi nampaknya ingin menempatkan tokoh Diana dan Daniel sebagai representasi masyarakat yang berbeda latar belakang dan keyakinan, untuk tetap saling menghormati, saling menghargai, walau ada ganjalan di hati mereka. Lukman juga ingin memperlihatkan bahwa tidak semua orang yang berbeda itu bermusuhan. Buktinya Daniel diselamatkan dari orang-orang yang mengejarnya oleh seorang sopir mobil boks berpeci putih, peci yang menjadi simbol penting umat muslim. Dan Ririn yang pingsan ketika menghindari kerusuhan, diselamatkan oleh seorang yang nampaknya dari etnis Tionghoa. Lukman tidak menggambarkannya secara vulgar, tapi kita bisa melihat melalui
Lukman juga ingin memperlihatkan bahwa tidak semua orang yang berbeda itu bermusuhan. ciri fisik orang-orang tersebut. Melalui film ini Lukman juga ingin menggambarkan, di sam ping banyak yang membenci, sosok Pak Harto juga seorang yang dicintai. Ketika ia mengumumkan pengunduran dirinya, banyak anggota masyarakat yang menangis sedih. Bukan hanya orang-orang di lingkungan istana seperti yang digambarkan dalam sosok yang diperankan oleh Alya Rohali dalam film ini, tetapi juga masya rakat di luar istana. Berbagai adegan dalam film ini juga kerap ditingkahi dengan musik yang pas. Alunan biola para adegan menyentuh, dan soundtrack yang dinyanyikan oleh Angel Pieters maupun musik keras Saint Loco pada suasana chaos. Sentuhan musik dalam film ini membuat suasana adegan menjadi sangat kuat. Namun seperti pepatah “Tak ada gading yang tak retak”, film ini pun memiliki beberapa kelemahan kecil, yang seharusnya bisa dihindari bila dirancang secara cermat. Tokoh pemulung berdialek Tegal yang menjadi pembuka film ini, diberikan porsi adegan terlalu besar, padahal dia tidak
Januari 2015 | 47
menjadi bagian penting dalam cerita. Pemilihan beberapa komedian untuk memerankan tokoh politik penting, justru membuat kesan kuat film ini agak mencair. Pemeran tokoh Amien Rais juga tidak pas. Itulah barangkali yang membuat Lukman perlu menekankan dialog antara …..dengan anak buahnya yang mengatakan, “Itu tadi Amien Rais ya..”. Dialog itu seolah untuk meyakinkan penonton bahwa itu adalah tokoh Amien Rais. Dan yang kurang kuat dalam film ini adalah tata rias. Sebagai bintang yang telah tiga kali meme rankan tokoh Pak Harto, pemilihan aktor kawakan Amoroso Katamsi sudah tepat. Tetapi makeup sang aktor, terutama di bagian rambut, terlihat kasar. Pak Harto memiliki rambut halus yang agak keriting dibagian belakang, bukan berambut lurus agar panjang se perti make-up Amoroso Katamsi. Tokoh Diana dan Daniel pun tidak terlihat berubah setelah 17 tahun. Dalam telop tertulis Jakarta 2015. Artinya 17 tahun setelah peristiwa Mei 1998, Diana dan Daniel baru bertemu. Wajahnya tetap sama. (Herman Wijaya)
Film Lokal Film Lokal Film Lokal
Langkah Awal Penggunaan Teknologi Komputer dalam Film Indonesia
S
elama ini film Indonesia seperti jauh dari kemajuan teknologi. Padahal penggunaan teknologi komputer yang semakin canggih sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam film-film Hollywood. Bahkan peran teknologi computer dalam film sudah mendominasi. Itulah yang bisa kita lihat dalam film film Hollywood belakangan ini, baik yang bergenre fiksi ilmiah, film-film sejarah, film animasi maupun filmfilm horror atua bahkan komedi. Hadirnya film-film seperti sequel Harry Potter, The Hobbit, Exodus dan banyak lagi.
Hadirnya film “Garuda”, yang mulai main tanggal 8 Januari 2014 di bioskop-bioskop Indonesia, merupakan angin segar bagi perfilman Indonesia. Karena inilah, untuk pertamakalinya lahir sebuah film yang mencoba menggunakan teknologi komputer untuk menciptakan efek-efek khusus dalam adegannya. Teknologi yang digunakan adalah “Computer Generated Imagery” (DGI). Film yang disutradarai oleh X-Jo dengan pemain terdiri dari Rizal Al-Idrus, Agus Kuncoro, Alexa Key, dan sederet aktor lama seperti Slamet Rahardjo, Robby
Januari 2015 | 48
Sugara dan Piet Pagau ini mengisahkan tentang seorang pemuda bernama Garuda yang tampil untuk mengatasi kekacauan di sebuah kota, karena ganggung mahluk angkasa luar. Sendirian Garuda berhasil mengusir mahluk angkasa luar, yang mencoba menjajah bumi. Tugas Garuda (Rizal Al-Idrus) belum selesai. Karena alat peledak nuklir bernama Gatotkaca yang diciptakan oleh para ahli untuk menghancurkan benda langit raksasa yang tengah menuju bumi, dikuasai oleh seorang lelaki psikopat bernama Durja (Slamet
Rahardjo). Garuda yang tengah menyepi di Tibet sengaja dipanggil ke Indonesia untuk membantu petugas keamanan yang dipimpin oleh seorang Kepala Polisi Dipo (Agus Kuncoro). Tugas Bara tidak mudah, karena Durja King memiliki tiga anak buah yang tangguh. Mereka adalah Zyu (Alexa Key), Loco (Jacob Maugeri) dan Gull (Roy Chunonk). Durja King sendiri tak kalah hebat dibandingkan anak buahnya. Petugas keamanan yang dipimpin Kapten Polisi untuk memberantas mereka, dibuat tak berdaya. Bara akhirnya kembali ke Indonesia, untuk meringkus Durja King bersama anak buahnya. Ketiga anak buah Durja King tewas, dan lelaki psikopat itu berhasil diringkus. Setelah menguasai kembali Gatotkaca, Bara membawa alat peledak ke angkasa luar, untuk meledakkan benda langit raksasa yang tengah menuju bumi. Akhirnya bumi bisa diselamatkan.
Foto-Foto: WEB
Film Lokal Film Lokal
Langkah Awal Lahirnya film yang menggunakan teknologi tinggi dan me nampilkan tokoh superhero rekaan asli anak negeri, patut di sambut gembira. Artinya ke depan masih ada harapan perfilman Indonesia tidak lagi hanya mengandalkan cerita drama, komedi atau film-film horor yang masih menggunakan teknolgi pembuatan film tahun 70-an. Film ini tentu saja memiliki beberapa kelemahan yang bisa menjadi catatan demi perbaikan ke depan. Hasil kerja kompugrafik untuk menghasilkan visualisasi yang diinginkan baru sebatas bahwa visualisasi bisa dibuat, meski pun belum menggambarkan sebuah
visualisai adegan yang natural. Efek visual yang ditampilkan masih sangat dekat dengan efek-efek dalam permainan video game. Itu kalau bicara teknologi. Dari unsur dramaturgi, cerita film ini belum membawa penonton kepada suatu nilai dramatik yang kuat, sehingga penonton tidak benar-benar larut. Sutradara terlalu menonjolkan sisi eksyennya sehingga unsur dramanya kurang kuat. Padahal sebuah film tidak mungkin dilepaskan dari kekuatan
Januari 2015 | 49
drama, genre apa pun yang di buat. Dalam beberapa film fiksi laga Hollywood, selalu ditampilkan kesan humanis pada kisah hidup para tokohnya. Apakah dia seorang yang lugu, seorang lelaki yang gagal dalam kisah cintanya, dan berbagai sentuhan lain yang membuat film itu tidak semata-mata dinikmati karena eksyen maupun kecanggihan teknologi nya. Itu yang terasa kurang dalam film “Garuda”. (Matt Bento)
Film Lokal Film Lokal Film Lokal memotong kelapa. Pedang itu baru dikembalikan ke tempatnya setelah beberapa lama. Begitulah cerita dalam film Kacaunya Dunia Persilatan (KDP) produksi PT. Skylar Pictures. Film yang dibintangi oleh Tora Sudiro (sebagai Si Buta Dari Gua Buat Elu), Darius Sinathrya (Broma Membara), Aming (Siluman Antik), Datuk Berdahak (Joe Project P), Agung Saga (Panci Tengkorak), Ery Makmur (Samurat), Vicky Monica (Mantrili) dan Ian Darmawan (Beruk Sepuh). Film ini disutradarai oleh Hilman Muntasi, yang juga merangkap sebagai penulis skenario.
Komedi ala Srimulat
m a l a D t a l u m i r S a l A i ” n a t Komed a l i s r e P a i n u D a y “Kacaun
A
lkisah dunia persilatan dikuasai oleh dua aliran. Aliran Putih dan Aliran Hitam. Golongan Putih terdiri dari Si Buta Dari Gua Buat Elu, Broma Membara, Mantrili dan Samurat. Sedangkan dari Golongan Hitam terdiri dari Panci Tengkorak, Batuk Berdahak, Siluman Antik dan Wiro Sobling. Sesuai dengan namanya, para pendekar pada kedua aliran ini memiliki karakter yang berbeda. Aliran Putih cenderung baik, sedangkan Aliran Hitam tergolong jahat. Suatu hari Pedang Pusaka Dewa milik perguruan Kera Mas pimpinan Beruk Sepuh, hilang dari tempatnya. Kera Mas meminta bantuan para pendekar dari Aliran Putih untuk mencari pedang itu. Aliran Hitam rupanya mengincar juga pedang tersebut. Para pendekar dari Aliran Hitam yang mengaku menguasai pedang itu lalu menantang Aliran Putih untuk berduel satu lawan satu. Siapa yang menang berhak menguasai pedang itu. Tantangan diterima. Dalam pertarungan, Aliran Putih menang dengan skor 3-2. Belakangan baru diketahui bahwa pedang yang dipegang oleh Alirah Hitam palsu. Pedang yang asli diambil oleh isteri Beruk Putih, untuk
Januari 2015 | 50
KDP adalah film bergenre komedi yang memparodikan tokoh-tokoh fiksi terkenal dalam cerita komik maupun sandiwara radio di Indonesia. Karena itu tokoh-tokoh dalam film ini memiliki sosok dan nama yang mirip dengan tokoh komik atau sandiwara radio itu. Pemlesetan nama-nama itu merupakan sebuah upaya awal untuk membuat kelucuan. Menyaksikan KDP tak ubahnya menonton lawakan Srimulat dalam format film. Kelucuan dalam film ini benar-benar mengandalkan plesetan kata atau komedi slapstick ala Srimulat. Pemain nampaknya dibiarkan berimprovisasi dalam dialog, sehingga dialog yang muncul menjadi sekenanya. Terutama dialog-dialog yang diucapkan oleh Tora Sudiro. Bagi penonton yang memiliki kelebihan hormon endorfin, bisa jadi plesetan-plesetan itu akan mengundang tawa. Bagian terlucu dari film ini sebenarnya sisipan gambar-gambar animasi yang memiliki humor cerdas. (hw)
Film Lokal Film Lokal Film Lokal
Merry Riana Taklukan
Pendekar Tongkat Emas
K
eperkasaan Cempaka atau Pendekar Tongkat Emas (PTE) yang telah menghabisi lawanlawannya, ternyata tidak berarti apa-apa bagi Merry Riana (MR) – Mimpi Sejuta Dolar. Ketika berhadapan di bioskop XXI, MR berhasil menaklukan PTE. MR adalah film besutan sutradara Hestu Saputra, sedangkan PTE film arahan sutradara Ifa Isfansyah. Sampai dengan tanggal 3 Januari 2015, MR telah berhasil meraup penonton sebanyak 454.402 sedangkan PTE kurang dari separuhnya, yakni 220.948. Apa yang diperoleh PTE dalam pemasaran boleh dibilang jauh dari perkiraan, jika ditilik dari biaya produksinya yang total mencapai Rp.25 milyar. PTE sendiri sudah mulai berlaga di bioskop sejak tanggal 18 Desember 2014, sedangkan MR baru “mejeng” di biokop tanggal 24 Desember 2014. Diperkirakan MR akan terus meninggalkan PTE dalam perolehan
penonton, sampai 5 Januari 2014, MR masih bertahan di 36 layar XXI Jakarta, sedangkan PTE tinggal 25 layar. “Kalau perkiraan saya sih maksimal PTE akan mendapat 250 ribu penonton,” kata seorang produser yang tidak bersedia disebutkan namanya. Selain kalah dari MR, PTE juga tertinggal jauh dengan Supernova produksi PT Soraya Film yang meraih penonton tidak jauh dari MR, yakni 454.311; Kukejar Cinta ke Negeri Cina (256.263), Assalamualaikum Beijing (260.911) dan Rumah Gurita (299.257) pada pencatatan tanggal yang sama. PTE hanya unggul terhadap film-film: Danau Hitam (136.102), Rumah Kosong (99.662), Bidadari Pulau Hantu (66.174), dan Pokun Roxy (85.908). Dari keempat film yang disebutkan terakhir, hanya Rumah Kosong yang kemungkinan jumlah penontonnya akan naik, karena film ini baru diputar pada akhir Desember 2014. (MB)
Januari 2015 | 51
Film Impor Film Impor Film Impor
Rumah Hantu Amityville, Muncul Lagi
T
ak pelak, kisah rumah hantu Amityville merupakan tema horor yang paling diminati untuk difilmkan di Hollywood. Sejak dibuat pertama kali tahun 1979 dengan judul The Amityville Horor, sequel film ini sudah memasuki yang ke-13, jika karya sutradara Franck Khalfoun jadi dirilis, Januari 2015 ini. Judul yang diangkat untuk sequel terbaru ini adalah Amityville: The Lost Tapes, setelah dirubah dari judul yang direncanakan semula, Amityville: The Awakening.
Untuk film terbarunya ini Franck Khalfoun bekerjasama dengan penulis skenario Daniel Farrands and Casey La Scala. Para pemeran terdiri dari Bella Thorne sebagai Belle, Cameron Monaghan sebagai James, Jennifer Jason Leigh sebagai Joan, dll. .Amityville: The Lost Tapes mengisahkan tentang Belle , bersama adiknya Juliet , dan saudara kembarnya yang sedang koma, James, pindah ke rumah baru bersama ibu mereka yang telah menjanda, Joan.
Januari 2015 | 52
Film Impor Film Impor Film Impor Film Im Untuk menghemat uang guna membantu membayar perawatan kesehatan yang mahal kakaknya, mereka menyewa sebuah rumah tua. Sejak tinggal di rumah itu fenomena aneh mulai terjadi. Kakaknya pulih secara ajaib, dan Belle sering mengalami mimpi buruk yang mengerikan. Belle mulai curiga ibunya tidak menceritakan keadaan yang sesungguhnya. Belakangan mereka menyadari bahwa mereka pindah ke rumah Amityville terkenal. The Amityville Horror atau rumah hantu Amityville adalah sebuah kisah penindasan satu keluarga oleh makhluk gaib di sebuah rumah di Amityville, New York. Sejak kemunculannya, kisah ini dipenuhi oleh kontroversi. Apakah kisah ini nyata atau hanya sebuah rekayasa ? Kisah horor ini dimulai dari sebuah novel best seller berjudul “The Amityville horror : A True Story” yang ditulis oleh Jay Anson dan diterbitkan tahun 1977. Segera setelah buku ini memenuhi rak buku di Amerika, penjualannya melonjak dengan sangat cepat. Kisah di buku ini bermula pada tanggal 13 November 1974 ketika satu keluarga yang terdiri dari enam orang yang tinggal di sebuah rumah di Amityville dibunuh dengan kejam. Kepala keluarganya, sepasang suami istri bernama Ronald dan Louise DeFeo ditembak ditempat tidurnya ketika sedang terlelap. Demikian juga dengan dua anak laki-laki dan dua anak perempuannya. Satu-satunya yang selamat dari pembunu-
han itu adalah seorang anggota keluarga lainnya bernama Ronald DeFeo Jr (Butch). Ronald ditangkap atas tuduhan pembunuhan dan dihukum penjara seumur hidup. Karena seluruh anggota keluarga sudah meninggal dan Ronald berada di penjara, rumah itu akhirnya dijual. Rumah horor itu tepatnya berlokasi di 112 Ocean Avenue, Amityville, New York. Tahun berikutnya, tepatnya 23 Desember 1975, sebuah keluarga baru, George dan Kathy Lutz bersama tiga anaknya menempati rumah itu. Mereka membelinya dengan harga $80.000 dengan cara mengambil hipotik dari Columbia saving and loans sebesar $60.000. Tak berapa lama, mereka mulai mengalami gangguan dari roh-roh jahat yang menghuni rumah itu. Mereka keluar dari rumah itu setelah 28 hari menghuninya. Menurut mereka, tangan tak terlihat memecahkan pintu dan membuka lemari-lemari. Cairan hijau aneh keluar dari langit-langit rumah, sekumpulan serangga menyerang mereka dan wajah iblis dengan mata merah menghantui mereka pada malam hari dan bahkan iblis itu meninggalkan jejak kaki di halaman rumah yang bersalju. Kemudian mereka memanggil seorang pastor bernama Mancuso untuk mengusir setan itu, namun ketika pastor itu tiba dirumah itu, satu suara berteriak “Keluar !”. Pastor itu gagal membersihkan rumah itu dari roh jahat. Akhirnya, karena usaha yang dilakukan gagal untuk mengh-
Januari 2015 | 53
entikan gangguan itu, keluarga Lutz memutuskan untuk pindah dari rumah itu. Konon pembunuhan yang dilakukan oleh Ronald DeFeo Jr juga benar-benar terjadi. Rumah yang terletak di 112 Ocean Avenue juga benar-benar ada. Namun karena alasan privasi, alamat rumah ini telah diubah untuk menghindari turis yang ingin melihat-lihat. Dan Pastor yang mengusir setan itu juga benar-benar ada. Di buku, namanya disebut Pastor Mancuso, namun nama asli pastor itu adalah Ralph J Pecoraro. Ia menolak nama aslinya disebut dibuku itu untuk menjaga privasinya. Saat ini ia sudah meninggal. The Amityville pertama kali diangkat ke layar perak oleh Stuar Rosenberg dengan judul The Amityville Horror (1979), tiga kemudian dibuat oleh Damiano Damiani dengan judul Amityville II: The Possession (1982), setahun berikutnya giliran Richard Fleischer mengangkat dengan judul Amityville 3-D: The Demon. Setelah itu Sandor Stern dengan judul Amityville 4: The Evil Escapes (1979), Tom Berry/The Amityville Curse, Tony Randel/ Amityville: It’s About Time (1992), John Murlowski/Amityville: A New Generation (1993), dan Steve White / Amityville Dollhouse: Evil Never Dies. Barulah sembilan tahun kemudian Andrew Douglas mengangkat dengan judul The Amityville Horror (2005), Geoff Meed / The Amityville Haunting (2011), Andrew Jones/The Amityville Asylum (2013) dan tahun 2015 ini oleh Frank Khalfoun. (hw – dari berbagai sumber)
Dokumenter Dokumenter Dokumenter
Januari 2015 | 54
Dokumenter Dokumenter Dokumenter Dokumen
Foto: Herman Wijaya
Profil Bayu Santoso Pemenang Lomba Disain Poster Maroon 5
B
ayu adalah mahasiswa se mester 3 Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia – ISI Yogyakarta, jurusan Desain Komunikasi Visual. Gambarnya se buah kepala harimau dengan grafis yang unik, berhasil me menangkan kontes desain cover album Animals grup music terkenal Maroon 5, adalah sebuah grup musik beraliran pop rock yang berasal dari Los Angeles, California, dengan anggota Adam Levine, Hes Karmaikel, Micky Maeden dan Rayen Dasik. Untuk mengikuti lomba ter sebut, proses desain yang di lakukannya membutuhkan waktu selama 7 bulan, dan finishing se lama 7 hari. Maka terciptalah gambar wajah harimau bak ukiran
dengan dominasi warna putih, dipadu abu-abu dan cokelat. Memenangkan kontes meng gambar untuk artis asing sebe narnya bukan baru pertama kali ini bagi Bayu. Pada 4 Juli 2014 lalu, ia juga memenangi kontes yang diselenggarakan musisi Amerika Billy Djul. Dalam desainnya, Bayu menggambar sosok Billy Djul dan istana Kremlin dengan warna merah, hitam, dan krem. Anak muda kelahiran Sleman 16 September 1994 ini lahir se bagai putera bungsu dari 5 bersaudara. Sejak kecil ia sangat gemar menggambar. Kegemaran itu terus dipupuknya sejak ia ma suk sekolah dasar hingga sekolah lanjutan pertama. Selepas SMP Bayu kemudian masuk ke SMK I
Januari 2015 | 55
Kalasan, mengambil jurusan kriya kayu. Sambil menyelesaikan tugas belajarnya di jurusan griya kayu ia terus berusaha menyalurkan hobinya menggambar, sehingga akhirnya bertemu dengan senior nya yang bersedia membimbing Bayu. Bekal itulah yang kemudian menggiringnya masuk ke Institut Seni Indonesia. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memfilmkan Profil Bayu Santoso, untuk mem beri inspirasi anak-anak seusianya agar giat berkreasi dan melahirkan prestasi. Pembuatan film dilaksanakan oleh PT Demi Gisela Citra Pro, dengan penulis naskah Herman Wijaya dan Juru kame ra Tunggu A Rajasa dan Jemmy Yoshimiya.
Dokumenter Dokumenter Dokumenter
PESAN BUAT BIDAN DAN IBU HAMIL Foto: HUMAS
A
ngka Kematian Ibu dan bayi di Indonesia sampai saat ini masih tinggi. Meski berbagai upaya promotif dan prefentif terus dilakukan Kementerian Kesehatan, toh hasilnya masih memprihatin. Berdasarkan riset kesehatan, saat ini Angka Kematian Ibu mencapai 228 per 100 ribu kelahiran hidup. Sementara kasus kematian itu lebih banyak terjadi saat ibu melahirkan. Buat ibu dan calon ibu, ini tentu perlu menjadi perhatian. Ingat lah, merawat dan meme rik sa kan kehamilan secara rutin itu penting. Dan tidak kalah pen
tingnya, melahirkan lah di pusat layanan kesehatan supaya dapat ditangani oleh tenaga kesehatan. Inilah pesan yang ingin di sampaikan film video profil tentang Kesehatan Ibu berjudul “Terima Kasih Ibu” produksi Pusat Promosi Kesehatan Kemenkes. Tidak seperti kebanyakan filmfilm penyuluhan umumnya, “Terima Kasih Ibu” digarap dengan pendekatan film cerita dan dengan bahasa dialog sehari-hari. Sangat cair dan sesuai dengan setting cerita yang mengambil lokasi di sebuah desa di wilayah Pulau Jawa. Penyampaian pesan Januari 2015 | 56
mengalir wajar, tidak berkesan menggurui. Film dibuka dengan keda tangan keluarga Anna ke ke diaman adiknya, pasangan anyar Tuti dan Tono. Saat tiba, keluarga Anna disambut dengan keceriaan sang adik yang lebih dari biasanya, membuat Anna dan Simon suaminya heran dan bertanya keberuntungan apakah yang sudah diperoleh keluarga Tuti? Tuti tertawa sumringah. Ia menggamit lengan Anna lalu bilang, “aku hamil, mbak!” Wow kontan terlontar rasa syukur Anna diikuti Simon, suaminya. Suasana
Dokumenter Dokumenter Dokumenter Dokumen
Foto: HUMAS
pun menjadi penuh keriangan. Sebagai kakak dan ibu satu anak, Anna lalu berbagi pe ngalaman kepada Tuti. Mulai dari masalah merawat kehamilan sampai menghadapi masa melahirkan. Pengalaman-pengalaman Anna ini dishare ke Tuti melalui cut to cut dengan adegan flashes sehingga alur film mengalir menarik, tidak membosankan sekalipun sarat dengan pesan-pesan kesehatan tentang ibu hamil. Hal lain yang menarik, banyak gambar bagus disajikan dalam film ini. Setting cerita dengan latar belakang alam pegunungan, sawah dan alam pedesaan, digarap secara filmis. Pun untuk pemeranan, tidak terlihat adanya miscasting. Para pemain tampil wajar dan pas dengan karakter perannya masing-masing. Film video profil Kesehatan Ibu ini ditulis Sofyan Sungkar dan disutradari oleh Emil Heradi dengan Kameraman PC Kintoko Aji alias Koko. Kelak, film ini ditayangkan di youtube dan media website Kementerian Kesehatan selain melalui menyebaran DVD ke seluruh perwakilan Kemenkes di
daerah. “Maunya sih ditayangkan di media televisi swasta supaya bisa lebih efektif menjangkau khalayak sasaran, tapi kami tidak memiliki anggaran yang cukup,” kata dr. Rizkiyana Sukandhi, MKes , Kasubdit Bina Kesehatan Ibu Bersalin dan Nifas, Direktorat Kesehatan Ibu Kemenkes selaku Koordinator Tim Teknis produksi film video “Terima Kasih Ibu”. Film video “Terima Kasih Ibu” ini berdurasi 30 menit dan dimaksudkan untuk menyasar sasaran masyarakat umum, khususnya kalangan ibu dan calon ibu. Menurut dr. Rizkiyana, persoalan masih tingginya Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia sesungguhnya bukan cuma berpangkal dari masih kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya merawat kehamilan dan bersalin di sarana layanan kesehatan. Tetapi peran Bidan pun ikut menentukan. Keberadaan Bidan yang lebih banyak terdapat di lingku ngan masyarakat pinggiran dan pedesaan, secara otomatis menjadi ujung tombak layanan perawatan kehamilan dan melahirkan.
Januari 2015 | 57
Karenanya, kata dr. Rizkiyana, kalangan Bidan juga menjadi target sasaran promotif edukatif. Mereka perlu selalu diingatkan agar kualitas layanannya terus meningkat. “Dengan layanan berkualitas, tentu berdampak sangat positif bagi kesehatan keselamatan ibu hamil dan bayi yang dilahirkan.” Khusus untuk sasaran Tenaga Kesehatan Bidan, dibuat film versi lain berjudul “Di Garis Depan”. Versi ini merupakan produksi Direktorat Kesehatan Ibu. Namun tim pelaksana produksi yang menangani, masih tim yang sama dengan film “Terima Kasih Ibu”. Sekalipun pesan yang ingin disampaikan “Di Garis Depan” le bih bermuatan teknis layanan ke sehatan ibu hamil dan melahirkan, versi satu ini juga digarap dengan pendekatan film cerita. Hal ini di lakukan supaya penyampaian pesan jadi menarik, tidak membosankan. Maklum pesan-pesan teknis seperti itu banyak yang bukan hal baru bagi kalangan Bidan. “Jadi boleh dibilang ini semacam remainding saja untuk Bidan.” Cerita film mengambil setting Puskesmas yang melayani rawat inap ibu hamil dan melahirkan. Tokoh cerita meliputi seorang dokter dan 2 Bidan yang sedang bertugas. Dari interaksi mereka inilah semua pesan tentang peran Bidan disampaikan dengan detil, termasuk ke masalah perawatan nifas atau perawatan pasca melahirkan. Sama halnya “Terima Kasih Ibu”, film “Di Garis Depan” ini pun menggunakan teknik flashes dengan ilustrasi beberapa gambar dokumentasi sehingga terasa tidak menjemukan. (ary).
Film ILM
Film ILM Film ILM Film JERUK KEPROK ANDALAN INDONESIA
J
Foto: Doc. Film
Manisnya
Jeruk Keprok
eruk merupakan buah yang sangat disukai masyarakat, karena memiliki rasa yang manis, asam dan menyegarkan, serta memiliki aroma yang khas. Di Indonesia tumbuh beberapa varietas jeruk, dan namanya dikenal sesuai nama daerah seperti Jeruk Medan, Jeruk Pontianak, Jeruk Bali, Jeruk Garut dan lain sebagainya. Namun ironisnya sampai saat ini Indonesia masih menjadi pengimpor jeruk terbesar di ASEAN, setelah Malaysia. Harapan untuk mengurangi impor muncul setelah dikenal varietas jeruk yang memiliki penampilan menarik dan rasa yang manis. Varietas yang dimaksud adalah Jeruk Keprok. Saat ini ada dua jenis jeruk keprok yang sangat disukai masyarakat, yakni varie-
Januari 2015 | 58
tas Tejakula dari dataran rendah Tuban, dan varietas Batu 55 yang ditanam di dataran tinggi di Malang. Untuk mempopulerkan jeruk keprok yang merupakan jeruk unggulan itu, Kementerian Pertanian membua filler berdurasi 4 menit yang ditayangkan TVRI. Fillter tersebut dibuat oleh PT Demi Gisela Citra Pro dengan kru yang terdiri dari Didang Prajasasmita (Penulis Naskah dan Pengarah Lapangan), serta Juru Kamera Kintoko Adi. Pengambilan gambar dilakukan di Badan Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Sub Tropik Kementerian Pertanian, yang terdapat di Kota Batu, Malang, Jawa Timur. (*)
Film ILM
I
Film ILM Film ILM Film
Inseminasi Buatan
nseminasi buatan adalah kehamilan pada hewan melalui proses kawain suntik dengan cara memasukan mani (spermatozoa) atau yang dikenal dengan istilah semen yang dicairkan. Semen berasal dari ternak jantan yang ditampung khusus menggunakan alat yang disebut insemination gun. Manfaat dari IB adalah memperbaiki mutu genetika ternak, mengoptimalkan penggunaan bibit pejantan unggul secara lebih luas dalam waktu yang lama, serta meningkatkan angka kelahiran denan cepat dan teratur. Selain itu IB dapat mencegah penyebaran penyakit kelamin. Namun bila tidak hati-hati, IB akan berakibat kerugian. Di antaranya, apabila indentifikasi berahi dan waktu pelaksanaan IB tidak tepat, tidak akan terjadi kebuntingan. Selain itu. akan terjadi kesulitan atau distokia, dan menurunkan sifat-sifat genetik yang jelek, apabila pejantan donor tidak dipantau sifat genetikanya denan baik. Untuk mensosialisasikan be足tapa pentingnya inseminasi buatan bagi pengembangbiakan sapi, Kementerian Pertanian RI membuat filler berdurasai 4 menit yang ditayangkan di TVRI. Syuting pembuatan filler ini berlangsung di Balai Besar Inseminasi Butan (BBIB) Toyomarto, Singosari, Malang, Jawa Timur. (*)
Januari 2015 | 59
Foto-Foto: Doc. Film
Destinasi
Destinasi Destinasi Destinasi
Istana Ratu Boko Lokasi Favorit Pembuat Iklan dan Video Klip
Foto: Herman Wijaya
Januari 2015 | 60
Destinasi Destinasi Destinasi Destinasi Destinasi
B
erbicara tentang candi di Yogyakarta, masyarakat kebanyakan hanya tahu candi-candi terkenal seperti Candi Borobudur atau Candri Prambanan (Roro Jonggrang). Borobudur --yang terletak di Muntilan, Magelang-- terkenal karena kemegahannya, sedangkan Pramanan karena keindahannya. Padahal ada satu peninggalan purbakala yang tak kalah cantiknya, yakni Istana Ratu Boko. Tidak terlalu besar memang, karena ada beberapa bagian bangunan peninggalan kuno ini yang sudah tinggal puing. Tetapi keindahan Istana Ratu Boko cukup
menga ggumkan. Tak heran jika candi yang satu ini menjadi lokasi favorit bagi pembuat film iklan dan video klip. Candhi Ratu Baka adalah situs purbakala yang merupakan kompleks sejumlah sisa bangunan yang berada kira-kira 3 km di sebelah selatan dari komplek Candi Prambanan, 18 km sebelah timur Kota Yogyakarta atau 50 km barat daya Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Secara administratif, situs ini berada di wilayah dua Dukuh, yakni Dukuh Dawung, Desa Bokoharjo dan Dukuh Sumberwatu, Desa Sambireja, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, Indonesia. Situs Ratu Baka terletak di sebuah bukit pada ketinggian 196 meter dari permukaan laut. Bila kita berada di kompleks Candi ini, Gunung Merapi dengan bentuk nya yang anggun utuh terlihat. Dari sini terlihat pula Candi Prambanan.
Januari 2015 | 61
Luas keseluruhan komplek adalah sekitar 25 ha. Situs ini menampilkan atribut sebagai tempat berkegiatan atau situs pemukiman, namun fungsi tepatnya belum diketahui dengan jelas. Ratu Boko diperkirakan sudah dipergunakan orang pada abad ke-8 pada masa Wangsa Sailendra (Rakai Panangkaran) dari Kerajaan Medang (Mataram Hindu). Nama “Ratu Baka” berasal dari legenda masyarakat setempat. Ratu Baka (Bahasa Jawa, arti harafiah: “raja bangau”) adalah ayah dari Loro Jonggrang, yang juga menjadi nama candi utama pada komplek Candi Prambanan. Kompleks bangunan ini dikaitkan dengan legenda rakyat setempat Loro Jonggrang. Di dalam kompleks ini terdapat bekas gapura, ruang Paseban, kolam, Pendopo, Pringgitan, keputren, dan dua ceruk gua untuk bermeditasi. Berbeda dengan peninggalan purbakala lain dari zaman Jawa Kuno yang umumnya berbentuk bangunan keagamaan, situs Ratu Boko merupakan kompleks
Destinasi
Destinasi Destinasi Destinasi
Foto: Herman Wijaya
profan, lengkap dengan gerbang masuk, pendopo, tempat tinggal, kolam pemandian, hingga pagar pelindung. Berbeda pula dengan keraton lain di Jawa yang umumnya
di dirikan di daerah yang relatif landai, situs Ratu Boko terletak di atas bukit yang lumayan tinggi. Posisi di atas bukit juga memberikan udara sejuk dan pemandangan alam yang indah bagi para
Januari 2015 | 62
penghuninya, selain tentu saja membuat kompleks ini lebih sulit untuk diserang lawan. Pemerintah pusat sekarang memasukkan komplek Situs Ratu Boko ke dalam otorita khusus, bersama-sama dengan pengelolaanCandi Borobudur dan Candi Prambanan ke dalam satu BUMN, setelah kedua candi terakhir ini dimasukkan dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO. Sebagai konsekuensinya, Situs Ratu Boko ditata ulang pada beberapa tempat untuk dapat dijadikan tempat pendidikan dan kegiatan budaya. Terdapat bangunan tambahan di muka gapura, yaitu restauran dan ruang terbuka (Plaza Andrawina) yang dapat dipakai untuk kegiatan pertemuan dengan kapasitas sekitar 500 orang, dengan view ke arah utara (kecamatan Prambanan dan Gunung Merapi). Selain itu, pengelola menyediakan tempat perkemahan dan trekking, paket edukatif arkeologi, serta pemandu wisata. (Lintang)
Film Daerah Film Daerah Film Daera
Foto: Doc. Film
Film “Erau Kota Raja”
Ironi Film Daerah
K
irana adalah seorang wartawati yang bertugas meliput Festival Budaya Erau, di Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur. Dalam tugas nya ia kerap diantar oleh Reza, seorang dokter yang memilih hidup bebas ketimbang membuka praktek. Keduanya saling tertarik, hal mana membuat wanita yang mencintai Reza dan ibunya kecewa. Belakangan Kirana difitnah,
bahwa tulisannya justru mengundang orang untuk mencuri kekayaan budaya Kutai Kartanegara. Ia lalu diminta untuk meninggalkan Kukar, dan hubungannya dengan Reza berakhir. Itulah sekelumit cerita film Erau – Kota Raja yang disutradarai oleh Bambang Drias dan dibintangi oleh Nadine Chandrawinata, Denny Sumargo, Ray Sahetapy, Jajang C. Noer , dan Donnie Siba-
Januari 2015 | 63
rani (Donnie ADA Band). Film ini mulai main di bioskop 8 Januari 2014. “Harapan saya sebagai bupati anak-anak muda lebih mencintai budaya. Rakyat Indonesia juga mengenal Kutai Kartanegara. Tgl 6 Juni nanti mereka berbondong-bondong datang ke Festival Erau. Jadi film ini selain ingin menceritakan budaya, juga berharap datang investor yang menanam-
Film Daerah Film Daerah Film Daera
Foto: Herman Wijaya
kan modalnya di Kutai kartanegara. Apa saja. Bisa membangun hotel untuk membantu kartanegara,” kata Bupati Kukar, Rita Widyasari dalam keterangannya kepada wartawan usai pemutaran untuk kalangan terbatas di Jakarta, Sabtu 6 November 2014. Menurut Rita, film itu diproduksi dengan dana kurang dari Rp 2 milyar, sumbangan sponsor, bukan APBD. “Kita minta pada Sekda Asisten 4 saya untuk mengumumkan kepada masyarakat, PNS, untuk nonton. Kita berharap Pak menteri, pak bupatinya mengajak pns untuk nonton. Sebuah rumah sakit di Bandung sudah beli tiket untuk nonton bareng. Kita sih 100 ribu aja sudah balik modal.” Mengangkat budaya daerah, mempromosikan daerah, mengundang investor dan wisatawan, adalah kalimat-kalimat sakti yang selalu dikumandangkan
“Harapan saya sebagai bupati anak-anak muda lebih mencintai budaya. Rakyat Indonesia juga mengenal Kutai Kartanegara” oleh pejabat daerah setiap kali membuat film. Kalimat itu merupakan sebuah pertanggungjawaban awal terhadap pemakaian untuk membiayai produksi film. Yang sudah-sudah, memang tidak pernah terdengar jelas
Januari 2015 | 64
bagaimana pertanggungjawaban pejabat yang berkompeten, atas pemakaian uang itu. Beruntung, uang yang dihabiskan untuk film Erau ini, berasal dari sponsor, sehingga pertanggungjawabannya cukup secara moral saja, atau tidak perlu dipertanggungjawabkan karena pihak sponsor sudah lebih dulu mendapat keuntungan dari konsesi-konsesi yang diterimanya di daerah. Sebagaimana umumnya film-film yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah, film Erau – Kota Raja ini, sama sekali tidak menunjukkan keistimewaan sebagai sebuah karya sinema. Ceritanya dipaksakan, logika cerita diabaikan, dramaturgi kedodoran, dan elemen wisata yang ingin ditampilkan hanya sekedar tempelan. Tidak ada kedalaman dari hampir semua unsur di film ini. Bahkan fotografi yang diharapkan dapat memberi
ah Film Daerah Film Daerah Film Daera
gambar-gambar indah dan puitik, seperti melengos. Bukan saja DOP malas mencari angle menarik, pada beberapa shot malah out focus. Lepas dari kelemahan itu, kita berharap film ini mampu meraup penonton yang lumayan. Apalagi jika sang produser, Bupati Kutai Kartanagara mampu menggerakan struktur di pemerintahannya untuk menggiring PNS dan keluarganya menonton. Berbau Orba memang. Tapi apa boleh buat, untuk menyelamatkan wajah di hadapan sponsor. Secara empirik, film-film yang dibiayai oleh Pemerintah Daerah memang kurang sukses dalam peredarannya. Itu mungkin karena produser tidak perlu bertanggungjawab penuh atas kegagalan film itu. Dan kebanyakan film “daerah” cenderung dibuat
hanya berdasar pesanan, tanpa memperhitungkan bahwa tanta ngan yang dihadapi sesungguh nya jauh lebih besar dibandingkan membuat film-film mainstream. Apalagi bila cerita yang diangkat terkait latar belakang sejarah. Dalam membuat film berlatar belakang sejarah, tekad pembuat kerap tidak berbanding lurus dengan kemampuan teknisnya. Sehingga hasil akhir film yang di buat, selalu mengecewakan. Tahun 1997 Pemerintah DKI membiayai pembuatan film Fatahillah dengan sutradara Imam Tantowi dan Chaerul Umam. Alih-alih mampu menampilkan kebesaran Fatahillah, film itu dengan cepat hilang dari ingatan, karena secara teknis sangat kedodoran. Kita tidak tahu bagaimana pertanggungjawaban produser kepada Pemda DKI, dan pertanggu-
Januari 2015 | 65
ngjawaban Pemda DKI kepada rakyat. Fatahillah menceritakan ten tang tokoh ulama yang berjuang mengusir Portugis dan kemudian mendirikan Jayakarta atau Kota Jakarta sekarang. Proyek ini pernah disebut menghabiskan lebih dari anggaran sebesar antara Rp 3 – 4 miliar. Kurangnya riset terhadap kehidupan tokoh yang diangkat serta kehidupan sosial budaya ketika tokoh itu hidup, menjadi kelemahan utama film-film yang mengangkat kisah tokoh sejarah suatu daerah. Hal itu terjadi dalam film Tuanku Tambusai dan Pedang Syahadat (2011). Seorang anggota masyarakat bernama Khusnul Ridho sempat mengirim surat elektronik ke Lembaga Sensor Film (LSF), yang isinya memprotes isi film terse-
Film Daerah Film Daerah Film Daera “Dalam membuat film berlatar belakang sejarah, tekad pembuat kerap tidak berbanding lurus dengan kemampuan teknisnya” but. “Saya sangat menyayangkan penayangan film Tuanku Tambusai dan Pedang Syahadat, karena skenario tidak disusun melalui riset literatur sejarah tentang Tuanku Tambusai. Sebegitu gampangnyakah sebuah stasiun televisi mengangkat cerita tentang seorang tokoh pahlawan nasional yang kebenaran skenarionya tidak diketahui sumber sejarahnya, ditambah kreativitas sutradara dan koreografer yang terlalu mendramatisir setiap adegan? Di dalam sejarah Tambusai, tidak dikenal adanya PEDANG SYAHADAT. Jadi mohon agar MNC tidak sembarang memilih tokoh yang akan difilmkan. Jangan samakan dengan film-film yang mengangkat tokoh fiktif, tulis Khusnul. Film Raja Ali Haji yang dibiayai dengan APBD Rokan Hulu dengan sutradara Gunawan Paggaru, mendapat kritik yang deras dari berbagai pihak di Riau. Sejarawan Kepulauan Riau Aswandi Syahri, dalam tulisannya yang berjudul Antara Fakta dan Khayal;
Raja Ali Haji Dalam Film dan Sejarah dalam blog Informasi Wisata dan Budaya menulis antara lain menulis: Terus terang, saya bersusah hati dan masygul, mengapa pengerjaan scenario dan pembuatan film yang telah “dika wal” dengan demikian ketatnya oleh konsultan yang menguasai dengan fasih “biografi” RAH dan seajarah Riau – Lingga, akhirnya menuai kritikan negatif demikian banyak. Bahkan nyaris meruntuhkan nama besar RAH, dan boleh dikatakan gagal memberikan pemahaman sejarah yang paling sederhana sekali pun tentang RAH dan bagian tertentu dalam sejarah Riau – Lingga kepada masyarakat awam. Menurut saya ini bukan bukan hanya disebabkan alur ce rita yang tidak mendukung dan sinematografi yang tidak mantap. Akan tetapi disebabkan oleh riset sejarah yang dangkal dan kemampuan menterjemahkan data dan fakta sejarah ke dalam derita yang akan dibangun ke daJanuari 2015 | 66
lam teknik-teknik pembuatan film (sinematografi) modern. Akibat nya yang dihasilkan hanyalah khayalan yang dibalut fakta sejarah sekenanya. Film produksi daerah dengan sutradara sekelas Hanung Bramantyo pun tak luput dari kritik tajam. Seorang penulis bernama Asisi Suharianto dalam Kompasiana 19 Januari 2014 menulis: Jika dikatakan film ini bertujuan mengharumkan nama daerah dan menarik investor asing, aku makin bingung. Apa kaitan antara film silat ala sinetron dengan investor asing? Apakah mereka menonton film ini? Lagi pula, tidak terlihat kebesaran daerah Sumatra di film ini. Kolosal? Sama sekali tidak. Gending Sriwijaya hanyalah bentuk bioskop dari sinetron-sinetron laga bertema kerajaan di televisi yang pernah ngetop beberapa waktu lalu. Kisahnya silat bak bik buk. Jangan terburu mengharap gam baran kebesaran Sriwijaya sebagai negara maritim adikuasa,
ah Film Daerah Film Daerah Film Daera
Foto: Doc. Film
atau gelaran pasukan sagelar sepapan menghampar. Takkan anda dapatkan di sini. Jika aku boleh katakan, ini adalah film pendekar. Film sebagai alat mempromosikan pariwisata sudah disadari oleh pemerintah di beberapa Negara. Jadi tidak salah jika pemerintah daerah memanfaatkan film bioskop untuk tujuan itu. Menteri Pariwisata Australia Martin Ferguson secara terang-terangan mengatakan, film Australia (2008), yang di bintangi oleh Nicole Kidman dan Hugh Jackman jelas-jelas dibuat dengan tujuan mempopulerkan aspek-aspek luar biasa yang dimi-
liki Negara Kanguru. Film yang disutradarai Baz Luhrmann dan menelan biaya US$ 122 juta. Syuting film dilakukan di alam liar di bagian utara Australia untuk menggambarkan suasana seputar Perang Dunia II. Australia membuat film Australia untuk mendongkrak kembali tingkat kunjungan wisman ke negeri mereka. Maklum, sejak euforia Olimpiade 2000 di Sydney, jumlah wisman ke negeri mereka menurun 1,2%. Padahal, sektor pariwisata menyumbangkan 3,7% perekonomian Australia. Australia kali pertama berpromosi lewat film. Pada 1986, film Crocodile Januari 2015 | 67
Dundee juga digunakan sebagai kampanye pariwisata. Untuk mempromosikan sebuah negara melalui film, menurut sineas Garin Nugroho, harus dibuat perencanaan matang. Ter utama tentang brand image yang hendak dibawa ke luar, tujuan yang hendak dicapai, dan skala dari promosi itu sendiri. Garin mengungkapkan, kebanyakan yang dilakukan saat ini baru berupa propaganda, bukan menyampaikan sebuah image. Hasilnya sering kali malah membingungkan atau beberapa malah gampang ditebak. (hw dari ber bagai sumber).