Hti bmp layout

Page 1

FORUM ORANGUTAN NASIONAL INDONESIA

PRINSIP PENGELOLAAN

KONSERVASI ORANGUTAN DI HUTAN TANAMAN INDUSTRI


Daftar Isi

FORUM ORANGUTAN NASIONAL INDONESIA

PRINSIP PENGELOLAAN KONSERVAS I ORANGUTAN DI HUTAN TANAMAN INDUSTRI September 2011

Penulis: Rona Dennis, Adam Grant,Yokyok Hadiprakarsa, Paul Hartman, Darrell Kitchener,Tim Lamrock, Fergus MacDonald, Erik Meijaard dan Didik Prasetyo Penerjemahan dan Editor Bahasa Indonesia: Pahrian G. Siregar dan Sri Suci Utami Atmoko

Tata Letak: Donald Bason (diadaptasi Forina) Kontrak USAID: 497-C-00-07-00016-00 These guidelines are made possible by the support of the American People through the United States Agency for International Development (USAID). The contents of this document are the sole responsibility of DAI and do not necessarily reflect the views of USAID or the United States Government.

1 3 3 7

Pendahuluan Latar Belakang Orangutan di Hutan Tanaman Industri Siapa yang Akan Menggunakan Buku Paduan ini? 7 Mengapa Perusahaan Harus Memperbaiki Praktek Mereka dalam Pelaksanaan Konservasi Orangutan 8 Sasaran Kebijakan Pemerintah yang Menekankan Tanggung Jawab Perusahaan 8 Sasaran dan Perolehan Menyeluruh bagi Manajemen Orangutan yang Bertanggung Jawab 9 Ringkasan Komitmen 11 Pengelolaan Orangutan dan Habitat Orangutan di Hutan Tanaman Industri 11 Komitmen #1: Komitmen Perusahaan bagi Perlindungan Orangutan 13 Komitmen #2: Kepatuhan Terhadap Hukum dan Peraturan 17 Komitmen #3: Perencanaan Pengelolaan dan Pemantauan Orangutan 23 Komitmen #4: Pengelolaan Kolaboratif Tingkat Lansekap



Pendahuluan Orangutan adalah salah satu spesies mamalia besar yang paling terancam kelestariannya. Sebagian dikarenakan, kebanyakan orangutan tinggal di luar kawasan lindung, yang membuatnya rentan mengalami berbagai ancaman akibat konversi hutan, perburuan dan pembangunan. Meskipun kedua spesies orangutan sepenuhnya dilindungi berdasarkan aturan perundangundangan Republik Indonesia. orangutan sumatra saat ini sudah dalam kondisi diambang kepunahan. Sementara, orangutan kalimantan kondisinya tidak juga jauh berbeda dan juga terancam punah.

Orangutan Sumatra - Pongo abelii - masuk dalam klasifikasi Terancam Punah atau Critically Endangered (CR) dalam Red List IUCN 2007 dan dalam Appendix I CITES

Pengelolaan habitat orangutan yang berada di dalam kawasan yang dilindung sudah sangat jelas dan tegas diatur. Hal ini terkait dalam kerangka hukum Indonesia, dimana hutannya dilindungi dan perburuan satwa yang ada di dalamnya dilarang. Sehingga, pekerjaan utama bagi perlindungan orangutan di kawasan ini dapat difokuskan dengan menjaminkan pelaksanaan aturan perundangan yang berlaku dan penegakan hukum.

Di wilayah berhutan yang tidak berstatus dilindung, aturan hukum Indonesia (dan juga Malaysia) menyatakan bahwa perbuatan membunuh orangutan adalah ilegal. Namun, hutan yang ada dapat secara legal terdegradasi atau berubah peruntukkannya sejauh orangutan ini tidak secara langsung dibunuh dalam proses perubahan peruntukkan yang dimaksud. Kondisi yang demikian akan berakibat peningkatan laju pengurangan habitat orangutan yang masih tersisa. Akibatnya, primata yang hidup di kantong-kantong habitat ini terpaksa bertahan hidup melalui sumber-sumber makanan yang semakin menipis. Keadaan tersebut menyebabkan peningkatan konflik dengan manusia, ketika orangutan yang menghadapi kekurangan makanan mulai mengambil jenis tanaman komersial, seperti kelapa sawit, akasia atau pohon buah-buahan di desa sebagai makanannya. Orangutan yang merambah dan merusak tanaman komersial sering dianggap sebagai hama. Meskipun pembunuhan orangutan adalah ilegal, orangutan yang dianggap menjadi sebagai pengganggu tersebut seringkali dibunuh. Di samping aturan perundang yang berlaku untuk perlindungan orangutan, pada tahun 2007, Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk menghentikan berkurangnya populasi orangutan dan menciptakan kondisi populasi yang stabil sampai tahun 2017 melalui PerMenHut No. P. 53/ Menhut-IV/2007 tentang Strategi dan Rencana Kerja Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 (Rencana Aksi Konservasi Orangutan). Rencana aksi ini menjelaskan tujuan dan target pelaksanaan konservasi orangutan, serta tindakan dan tanggungjawab dari pihak-pihak yang terkait dalam pencapaian rencana aksi ini. Salah satu langkah yang diambil pemerintah Indonesia untuk memperbaiki konservasi alam in-situ orangutan adalah perlindungan dan rehabilitasi habitat orangutan di area konsesi yang dimiliki dan berkaitan secara tidak langsungoleh perusahaan pertambangan, kehutanan dan industry perkebunan. Kegiatan ini sangat membutuhkan keterlibatan yang besar dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam tersebut. Selain itu, ada dua tuntutan yang tak terpisahkan, yakni tanggung jawab perusahaan dan praktek yang berkesinambungan, akan semakin mendorong perusahaan untuk menerapkan dan melaksanakan

1


serangkaian prinsip dan kriteria yang ketat. Hal ini dilakukan sehingga perusahaan-perusahaan ini dapat menunjukkan penggunaan sumber daya yang berkesinambungan – termasuk keanekaragaman hayati– serta kepekaan terhadap pertimbangan-pertimbangan ekonomi, sosial dan lingkungan. Masalah yang muncul pada perusahaan kelapa sawit di Indonesia adalah bagaimana mensinergikan ijin resmi yang dimiliki dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di daerah-daerah yang sangat penting bagi habitat orangutan yang berstatus wajib dilindungi, rasa tanggungjawab perusahaan, dan komitmen terhadap praktek-praktek usaha yang berkesinambungan. Selain dari larangan yang jelas untuk tidak membuka perkebunan kelapa sawit di habitat orangutan, hampir tidak ada panduan dari pemerintah terhadap perusahaan-perusahaan tentang bagaimana merencanakan dan mengelola konservasi orangutan. USAID telah mengidentifikasi ketiadaan panduan ini sebagai titik lemah yang paling kritis dalam konservasi orangutan di tingkat lansekap. Untuk itu USAID sudah meminta Orangutan Conservation Services Program (OCSP) untuk menyusun serangkaian panduan yang mengatur secara rinci tindakan apa yang harus dilakukan oleh perusahaan dalam menunjukkan Prinsip Pengelolaan (Best Management Practices/BMP) Perlindungan Orangutan di wilayah konsesi yang ada. OCSP juga mendapat tugas untuk bekerja sama dengan para pemangku kepentingan dalam melaksanakan konservasi orangutan di tingkat lansekap yang lebih luas, yang letaknya berdampingan dengan wilayah konsesi. Selanjutannya guna penggunaan yang lebih luas, Forum Orangutan Nasional Indonesia (FORINA) menterjemahkannya ke dalam versi Bahasa Indonesia. Dokumen ini menggambarkan tinjauan ringkas BMP yang diharapkan dapat membantu pelaksanaan konservasi orangutan serta habitatnya dalam wilayah konsesi kelapa sawit. Dokumen ini hanya menyajikan panduan dan bukan sebuah analisa komprehensif BMP. Dalam dokumen ini hanya memuat prinsip-prinsip umum yang memberikan petunjuk bagi perusahaan-perusahaan yang sedang berusaha memadukan BMP dalam konsesi perusahaannya. Harapannya, dokumen ini dapat menjadi bahan dasar bagi pembahasan awal di internal perusahaan, juga bagi para pemangku kepentingan, serta dapat dimodifikasi dan diperluas sesuai dengan hasil pembelajaran yang diterima dan berdasarkan masukan dari para pemangku kepentingan tersebut. Kunci sukses pelaksanaan BMP ini tergantung pada pola manajemen perusahaan yang adaptif dan selalu mau menyesuaikan diri, serta keinginan untuk melakukan pengawasan dan evaluasi yang jelas dalam pelaksanaan konservasi yang dilaksanakan.

2


Latar Belakang Orangutan di Hutan Tanaman Industri

Orangutan akan mengupas batang pohon untuk mendapatkan getah pohon yang diinginkannnya

Pengembangan hutan tanaman industri yang menjadi pemasok bahan baku bagi produksi pulp dan kertas umumnya melibatkan pembersihan lahan hutan dan semak belukar yang memiliki tutupan vegetasi, untuk selanjutnya ditanami dengan jenis tumbuhan yang cepat tumbuh dalam penyediaan serat kayu. Hutan tanaman industri yang monokultur ini umumnya hanya sedikit atau sama sekali tidak menyediakan sumber makanan bagi orangutan, sehingga secara drastis mengurangi daya dukung kawasan tersebut bagi kelangsungan hidup orangutan. Meskipun demikian, beberapa hutan tanaman industri telah mengupayakan pengadaan sumber makanan yang cukup agar orangutan dapat bertahan hidup di sana, setidaknya untuk jangka waktu pendek. Acacia mangium dan Acacia casicarpa (dan juga Eucalyptus sp), sebagai bahan baku kertas dan pulp, menyediakan seba-

gian makanan yang bernilai gizi bagi orangutan. Getah pohon dan kulit bagian dalam (kambium) mengandung gula berkadar tinggi. Selain jenis tanaman bahan baku kertas dan pulp, orangutan di HTI juga mengkonsumsi kambium dari Ficus albifila, kaliandra, mahoni, sengon dan ketapang. Sedikit sekali observasi berbasis ilmu pengetahuan untuk ekologi orangutan di hutan tanaman industri. Sebuah kajian awal terhadap sebuah populasi orangutan di perkebunan Acacia mangium yang berdekatan dengan sebuah Taman Nasional menunjukan jumlah populasi berada pada rentang menengah ke rendah, sementara di beberapa lokasi lainnya memperlihatkan jumlah yang tinggi. Asumsi awal dari kedua observasi ini, kondisi populasi yang demikian disebabkan terjadinya migrasi singkat ke wilayah hutan tanaman industri akibat lingkungan yang telah parah terdegradasi, atau wilayah konsesi itu memang hutan daerah jelajahnya sejak sebelum dibuka menjadi HTI, sehingga orangutan yang ada memenuhi kebutuhan makanan tambahan dari getah dan kambium akasia. Namun, saat konsultasi dengan para pakar orangutan, asumsi ini dimentahkan, karena sangat kecil kemungkinan orangutan dapat memenuhi nutrisi yang diperlukan untuk bertahan hidup dan berkembang biak dalam jangka waktu yang lama hanya dari perkebunan monokultur. Pada kondisi dimana orangutan mengkonsumsi pohon akasia sebagai makanan, seringkali dampaknya akan sangat merugikan operasional perkebunan. Saat mengkonsumsi pohon akasia, orangutan akan mengupas kulit pohon untuk mengambil getah di inti kambium, sehingga akan mengakibatkan banyak pohon yang akan rusak. Terkadang tingkat perusakan yang dilakukan orangutan dapat cukup tinggi sehingga berdampak terhadap potensi pendapatan perusahaan hutan tanaman industri tersebut. Pada kasus yang pernah terjadi di areal penanaman akasia, dilaporkan orangutan secara periodik mengkonsumsi pohon yang berusia di antara 6 bulan-2 tahun. Kerusakan yang tercatat mencapai sekitar 300 hektar per tahun. Kondisi ini berpotensi meningkatkan konflik antara perusahaan dan orangutan, dimana menem-

3


patkan orangutan sebagai ancaman nyata terhadap hutan tanaman industri, khususnya bagi perusahaan yang mengembangkan tanaman akasia. Di sisi yang lain, perusahaan dapat dipastikan akan berupaya semaksimal mungkin untuk melindungi tanaman yang. Potensi konflik demikian perlu dihindari atau dicarisolusinya. Pengalaman menunjukan bahwa resolusi menyangkut konflik demikian sangat situasional dan sangat tergantung pada ketersediaan data dan informasi. Berdasarkan kompilasi dan analisa dari informasi dan data inilah dijadikan dasar bagi pengelolaan orangutan. Resolusi atas konflik manusia dan orangutan menjadi masalah khusus bagi para pemegang konsesi karena orangutan mempunyai kemampuan kognitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan kebanyakan satwa lain. Orangutan mempunyai kemampuan tinggi untuk belajar dan memecahkan masalah secara inovatif dan berprilaku secara fleksibel. Kondisi ini akan menyulitkan pengembangan tindakan pengendalian yang efektif dan dapat diterapkan dalam jangka panjang. Karena statusnya yang dilindungi, orangutan yang menjadi masalah dalam sebuah konsesi perkebunan solusinya hanya boleh diarahkan ke hutan yang tersisa atau dibiarkan. Banyak opsi solutif bagi para pemegang konsesi dalam upaya pengurangan konflik antara manusia dan orangutan, yang mencakup tindakan preventif dan kuratif. Opsi tersebut meliputi: (i) melakukan pengarahan orangutan secara fisik ke hutan yang tersisa dari perkebunan kelapa sawit sebelum orangutan menghancurkan HTI. Hal ini dapat saja dilakukan dengan penggunaan predator umpan, termasuk predator tiruan, pelepasan bau-bauan dan permainan suara-suara. (ii) menetapkan koridor dengan melindungi hutan yang tersisa, melakukan penanam jenis pohon lokal di daerah yang terdegradasi dan daerah koridor yang potensial. (iii) jika konflik disebabkan oleh kurangnya sumber pohon pakan dan sarang, salah satu solusinya (umumnya digunakan oleh beberapa perusahaan konsesi di Kalimantan) adalah melakukan pengayaan. Misalnya, opsi yang paling banyak dilakukan dengan melakukan penanaman pohon di sepanjang bagian dalam di tepian daerah penyangga sebuah perkebunan atau di koridor konservasi lainnya yang menghubungkan dengan lansekap yang lebih luas. (iv) pembuatan instalasi rintangan (barrier) - termasuk pengadaan zona penyangga, parit pemisah dan pagar listrik. (v) membuat jalan untuk patroli harian. (vi) memperkuat peraturan yang dapat melindungi keberlanjutan satwa liar dan orangutan. (vii) terakhir, opsi terbaik dalam kasus dimana hanya ada sedikit orangutan yang terisolir dari populasinya adalah translokasi orangutan ke daerah baru. Sekalipun, keputusan tersebut hanya dapat dilakukan melalui persetujuan dari Kementerian Kehutanan, yang dalam hal ini di bawah koordinasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam atau Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam setempat. Jelaslah bahwa strategi untuk mengurangi ancaman terhadap orangutan banyak terkait dengan manajemen lansekap yang lebih besar dan pembuatan koridor dalam semua jenis sektor konsesi untuk mendorong peningkatan fasilitas bagi orangutan agar bebas bergerak melalui lansekap ke dalam dan keluar dari wilayah konsesi. Pemerintah Indonesia meminta bahwa baik jalur hijau di tepian sungai (Undang-Undang No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air; Undang-undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; Undang–undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Kehati dan Ekosistemnya; dan Undang-undang No.26 Tahun 2007 tentang Penata Ruang) dan areal yang disisihkan untuk konservasi satwa liar (Undang–undang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Kehati dan Ekosistemnya) harus dibuat di dalam wilayah konsesi. Garis sempadan sungai harus sekurang-kurangnya memilik lebar 50 meter di kedua sisi sungai utama, sedangkan areal yang disisihkan harus setidak-tidaknya 100 hektar untuk setiap

4


rencana pengembangan konsesi lima tahunan (RKTL) – setidaknya untuk konsesi kayu hutan alam. Sedangkan, aturan mengenai areal yang disisisihkan pada konsesi pertambangan, hutan tanaman industri dan kelapa sawit masih belum secara jelas diatur. Luasan jalur hijau di sempadan sungai dalam wilayah konsesi (yang dapat secara efektif berfungsi sebagai koridor kehidupan satwa liar), dan areal yang disisihkan untuk hehidupan satwa, sangat berbeda satu dan lainnya. Sebenarnya, masih banyak hal yang harus dipelajari terkait bagaimana merancang dan mengelola koridor dan areal areal yang disisihkan dalam sebuah wilayah konsesi perkebunan, sehingga dapat bermanfaat bagi konservasi orangutan dan tidak mengakibatkan kerugian ekonomi bagi perusahaan. Prioritas pertama bagi seorang manajer HTI adalah melaksanakan ketentuan-ketentuan konservasi yang tertera dalam peraturan perundangan di Indonesia untuk pelaksanaan konservasi orangutan, yaitu; i) mempertahankan daerah konservasi inti, ii) melindungi hutan tepian sungai, dan iii) mempertahankan sistem koridor hutan antara berbagai macam wilayah hutan, baik yang ada di dalam konsesi maupun dengan lansekap yang lebih luas. Hutan yang paling baik bagi orangutan adalah hutan yang pepohonannya belum pernah ditebangi. Meskipun demikian, hutan seperti itu jarang sekali dijumpai di HTI, dimana kebanyakannya merupakan bekas konsesi hak pengusahaan hutan yang pernah melakukan penebangan kayu secara besar-besaran, sehingga daerah konservasi yang tersisa dan koridor yang potensial terkadang sudah sangat terdegradasi. Idealnya, daerah-daerah seperti itu harus ditanami kembali namun pada tahap awal sebaiknya tidak dengan tanaman yang menyediakan makanan yang disukai oleh orangutan, tetapi dengan jenis pohon hutan yang lebih heterogen, dan jenis pohon yang pada saat masih muda tidak dimakan kambiumnya (lihat Tabel 1). Penempatan koridor agar orangutan dapat bergerak melewati wilayah HTI sedapat mungkin harus berada di pinggiran wilayah konsesi di samping hutan yang sesuai bagi habitat orangutan. Sebuah wilayah penyangga pepohonan yang tidak disukai orangutan harus dibuat sebaris dengan garis dalam di koridor tersebut. Dengan demikian, orangutan tidak akan tergoda masuk lebih jauh ke perkebunan – yang selanjutnya mengurangi konflik antara manusia dan orangutan. Secara umum, paling baik tidak menanam jenis pohon yang juga dibutuhkan manusia, misalnya: rotan dan aren, mangga (Mangifera spp.), rambutan (Nephellium lappaceum) atau durian (Durio spp). Ketika jenis-jenis ini menarik manusia dan orangutan, kemungkinan konflik akan terjadi. Pemilihan jenis pohon yang akan ditanami harus pula sejak awal mempertimbangkan faktor waktu yang diperlukan serta peruntukan lokasinya (mis. koridor, sepadan sungai atau kawasan konservasi), sehingga tanaman tersebut dapat berfungsi. Cukup banyak spesies buah-buahan asli hutan dan yang tidak dikonsumsi manusia. Bahkan beberapa jenis mangga hutan (Anacardiaceae spp.) dan jambu hutan (Syzigium spp.) selain merupakan makanan orangutan, juga dapat berfungsi sebagai pagar kebakaran. Untuk itu, saran ahli vegetasi orangutan sangat dibutuhkan, agar pada waktu perencanaan penanaman bisa cocok dengan masing-masing kebutuhan konsesi.

5


Tabel 1. Beberapa jenis pohon yang dapat tumbuh dengan cepat dan menyediakan makanan bagi orangutan,yang dapat ditanam di sekitar areal konsesi perkebunan serta di koridor konservasi dan areal yang dialokasikan.

Jenis

Bagian pakan orangutan

Anthocephalus chinensis Artocarpus spp.

Kulit kayu dan buah Kulit kayu, buah dan kuncup (tapi pohon akan rusak kalau bagian ini dimakan). Pohon nangka (Artocarpus heterophyllus) harus dihindari untuk mencegah konflik dengan manusia yang juga dapat mengkonsumsi buah ini. Buah Buah/bunga; dan pohon sarang yang disukai Beberapa buah dimakan Buah, pohon dan kulit kayu bagian dalam Buah dan daun Buah dan daun Buah Daun dan buah

Dracontomelon spp. Cananga odorata Pometia spp. Ficus spp. Diospyros spp. Eugenia spp. Sandoricum spp. Uncaria spp., Spatholobus spp., Bridelia spp.,

6


Siapa yang Akan Menggunakan Buku Panduan ini? Buku Panduan BMP ini disusun untuk membantu perusahaan yang mengembangkan dan mengelola HTI, yang di dalam wilayah konsesinya terdapat kehidupan orangutan, dalam melakukan pemenuhan tanggung jawabnya atas pengelolaan lingkungan dan keragaman hayati, serta mampu mengikuti kebijakan pemerintah Indonesia yang termuat dalam Rencana Aksi Orangutan. Melalui panduan ini, diharapkan dapat memberi panduan di tingkat operasional bagi para praktisi HTI dan lingkungan dalam melakukan pengelolaan yang diperlukan orangutan agar dapat tetap bertahan hidup di dalam konsesi HTI. Meskipun jelas bahwa perusahaan mempunyai tanggungjawab yang terfokus pada wilayah konsesi mereka, BMP ini juga memberi wawasan bagi perusahaan HTI untuk dapat terlibat dalam mempengaruhi keberlanjutan orangutan di lansekap yang lebih luas. Hal ini dapat dicapai dengan pelibatkan aktif perusahaan sebagai pemangku kepentingan yang bertanggung jawab dalam usaha berskala lansekap, misalnya melalui kerja sama dengan forum, masyarakat dan institusi pemerintah setempat yang berwenang dalam membantu pembuatan rancangan yang tepat mengenai tata ruang dan pelaksanaannya. Panduan ini dapat juga digunakan oleh institusi keuangan lokal dan internasional agar lebih memahami risiko-risiko non-finansial, yang terkait dengan lingkungan maupun sosial, dalam berinvestasi atau pengadaan kredit bagi perusahaan sebagai usaha menjamin praktek bisnis yang tidak merusak orangutan dan habitatnya. Panduan ini juga dapat digunakan oleh institusi pemerintah dan masyarakat dalam menilai sejauh mana perusahaan pemilik konsesi perkebunan menerapkan BMP dalam pelestarian orangutan.

Mengapa Perusahaan Hendaknya Memperbaiki Praktek Mereka dalam Pelaksanaan Konservasi Orangutan Jejak sebuah perusahaan yang beroperasi secara bertanggung jawab pada lingkungan akan tercatat dengan baik dalam dokumen. Perencanaan dan pengelolaan orangutan yang baik diharapkan dapat meningkatkan reputasi perusahaan di dalam negeri dan dunia internasional, serta masyarakat setempat. Beberapa keuntungan menjalankan praktek bertanggung jawab lingkungan adalah: • Meningkatkan kepercayaan dan loyalitas kreditor dan investor, serta meningkatnya akses yang semakin baik terhadap permodalan. • Meningkatkan nilai saham perusahaan. • Meningkatkan akses terhadap lahan, baik pada tahap awal pengembangan proyek maupun eksplorasi yang sedang berlangsung dalam upaya memperpanjang hak pengusahaan yang ada. • Siklus perijinan yang menjadi lebih pendek dan mudah sebagai akibat dari hubungan yang lebih baik dengan lembaga pembuat kebijakan. • Meningkatkan hubungan dengan kelompok konservasi. • Hubungan dengan masyarakat yang lebih baik. • Hubungan dengan karyawan yang semakin baik.

7


Sasaran Kebijakan Pemerintah yang Menekankan Tanggung Jawab Perusahaan Rencana Aksi Orangutan mengamanatkan pada semua pemangku kepentingan agar sepakat melaksanakan serangkaian rekomendasi menjaga stabilitas populasi dan habitat orangutan sampai tahun 2017. Rencana aksi ini menjadi payung bagi semua kegiatan pelaksanaan konservasi orangutan di Indonesia, dan menuntut semua perusahaan yang berkepentingan dengan pengelolaan orangutan untuk memberikan dukungan terhadap kegiatan perlindungan, pengelolaan dan pelestarian orangutan.

Sasaran dan Capaian Menyeluruh Bagi Manajemen Orangutan yang Bertanggung jawab Sasaran dari pelaksanaan BMP adalah prospek kehidupan orangutan yang semakin baik di HTI dan nilai bisnis perusahaan yang meningkat. Perusahaan harus berusaha semaksimal mungkin memimimalisasi dampak terhadap orangutan. Kondisi ini hanya dapat dicapai melalui perencanaan dan penerapan BMP yang saksama, dengan demikian dibutuhkan perbaikan dan peningkatan areal habitat yang dialokasikan bagi orangutan dalam wilayah konsesi perusahaan dan areal penggantian yang berada di luar wilayah konsesinya, serta partisipasi dalam usaha konservasi di tingkat lansekap yang lebih luas bersama di tingkat lokal, regional dan nasional. Pengaruh upaya ini kepada orangutan dalam jangka panjang akan tergantung pada seberapa baik sebuah perusahaan: • Memahami tuntutan ekologis dan tingkah laku orangutan, terutama untuk tempat tinggal, ruang gerak, makanan serta struktur dan ruang sosial. • Mengenali potensi ancaman bagi orangutan dari kegiatan operasional di tahapan penilaian (assessment) dan perencanaan pengembangan proyek. • Mengidentifikasi dan mengelola risiko dan peluang atas keanekaragaman hayati yang potensial di tahapan pengembangan, pelaksanaan dan kegiatan operasi. Idealnya, pada tahapan kegiatan operasi harus diupayakan minimalisasi gangguan terhadap habitat orangutan, termasuk koridor yang digunakan untuk menghubungkan hutan alam dengan wilayah perkebunan. Meskipun demikian, pertimbangan-pertimbangan praktis dan teknis dapat meningkatkan kesadaran untuk menghindari gangguan, namun terkendala dalam pelaksanaannya. Misalnya, di dalam sebuah wilayah konsesi dimana terdapat beberapa orangutan tinggal di kantong-kantong hutan yang terlalu kecil dan tidak terhubung dengan kelompok hutan lain. Dalam situasi seperti ini, orangutan tidak akan dapat bertahan hidup di wilayah konsesi ini. Jika masih memungkinkan, sebaiknya dilakukan pembuatan koridor untuk menghubungkan kantong-kantong hutan yang ada. Namun jika hal tersebut sulit dilakukan, barulah mengarah kepada solusi yang paling tidak diinginkan, yaitu translokasi orangutan ke wilayah lain. Perusahaan yang bertanggung jawab akan mempertimbangkan membeli lahan yang cocok bagi orangutan ini di dekat wilayah konsesinya sebagai wilayah konservasi pengganti, kemudian melaksanakan translokasi orangutan ke tersebut. Perusahaannya hendaknya membiayai proses translokasi hingga monitoring dari satwa yang ditranslokasi tersebut. Upaya ini memperlihatkan perusahaan membantu menjamin bahwa jumlah orangutan tidak berkurang dalam wilayah kegiatan operasi perusahaan secara keseluruhan.

8


Ringkasan Komitmen Ada empat bidang komitmen yang direkomendasikan bagi perusahaan dalam menunjukkan praktek pengembangan dan pengelolaan HTI yang berkesinambungan. Praktek dan pengelolaan tersebut hendaknya mematuhi Rencana Aksi Orangutan di Indonesia, serta menjalankan kegiatan perusahaan yang bertanggung-jawab dan berkesinambungan di habitat orangutan. Adapun keempat komitmen tersebut adalah:

1. KOMITMEN PERUSAHAAN UNTUK MELINDUNGI ORANGUTAN Perusahaan membutuhkan dukungan dari seluruh jajarannya agar dapat mencapai praktek pengelolaan terbaik (BMP) yang menjamin kehidupan orangutan dalam jangka lama di wilayah konsesinya. Untuk membantu pencapaian tersebut, perusahaan hendaknya: 1.1. Berkomitmen terhadap tujuan dan sasaran Rencana Aksi Orangutan. 1.2. Membuat statemen kebijakan pada publik untuk perlindungan orangutan. 1.3. Menjaminkan orangutan dikelola dengan baik dalam wilayah konsesinya. 1.4. Melaporkan status dan pengelolaan orangutan dalam wilayah konsesinya berdasarkan standar pelaporan internasional.

2. KEPATUHAN TERHADAP HUKUM DAN PERATURAN YANG BERLAKU SERTA PERIJINAN YANG DIPERSYARATKAN Agar dapat menjalankan usahanya dengan rasa tanggung jawab, perusahaan hendaknya mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku, baik yang dikeluarkan oleh negara maupun yang diberlakukan oleh masyarakat adat, serta perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia. Oleh karena itu, perusahaan hendaknya: 2.1. Menghormati aturan perundangan yang berlaku dan memenuhi perijinan yang dipersyaratkan terkait dengan perlindungan lingkungan dan keanekaragaman hayati. 2.2. Bekerja sesuai ketentuan perjanjian internasional yang terkait dengan pelestarian orangutan. 2.3. Menjamin perlindungan habitat orangutan dari kegiatan ilegal dan tidak resmi. 2.4. Mengupayakan dokumentasi yang sesuai dengan aturan hukum yang berlaku atas kepemilikan dan hak guna lahan masyarakat setempat 2.5. Menghormati kedudukan masyarakat adat setempat atau kebiasaan mereka yang mendukung pelestarian orangutan yang telah berlangsung serta hak-hak guna pada saat pelaksanaan program perlindungan orangutan.

9


3. PERENCANAAN PENGELOLAAN, PELAKSANAAN DAN PEMANTAUAN ORANGUTAN Perusahaan hendaknya menjamin bahwa tujuan jangka panjang pengelolaan orangutan, dan saranasarana untuk mencapai hal tersebut dinyatakan dengan jelas dan diawasi. Perusahaan dituntut untuk mengembangkan rencana pengelolaan yang cocok untuk orangutan, yang harus dilaksanakan dan dimonitor (dipantau) pengelolaan lingkungan perusahaan. 3.1. Menjamin bahwa rencana pengelolaan konservasi komprehensif untuk orangutan dibuat sesuai dengan BMP bagi orangutan. Rencana konservasi ini harus dijadikan lampiran dalam keseluruhan pengelolaan lingkungan perusahaan. 3.2. Mencari seorang penghubung atau tim kontak agar dapat memimpin kegiatan koordinasi terkait dengan pengelolaan orangutan. 3.3. Membuat dan melaksanakan program pendidikan akan pentingnya konservasi orangutan bagi semua karyawan dan kontraktor. 3.4. Menjamin bahwa semua pemantauan dan evaluasi dimasukkan ke dalam rencana konservasi pengelolaan yang adaptif dan berjangka panjang. 3.5. Membuat prosuder standar operasi (SOP), instruksi dan panduan kerja untuk mendukung pelaksanaan program konservasi oranghutan. 3.6. Mengkomunikasikan dengan masyarakat setempat pentingnya konservasi orangutan dan cara untuk mengurangi ancaman terhadap orangutan. 3.7. Bekerja sama dengan para ahli konservasi dan meminta saran teknis dari mereka jika diperlukan.

4. PENGELOLAAN BERSAMA TINGKAT LANSEKAP Perusahaan hendaknya bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat dan para praktisi HTI untuk pelaksanaan konservasi orangutan baik di dalam wilayah konsesi, dan di lansekap yang lebih besar. Secara khusus perusahaan hendaknya: 4.1. Berpartisipasi dalam pengelolaan kelompok kolaboratif pemangku-kepentingan di tingkat lansekap dalam mencegah konflik penggunaan tanah, termasuk untuk orangutan dan habitat mereka.

10


Pengelolaan Orangutan dan Habitat Orangutan di Hutan Tanaman Industri KOMITMEN #1: KOMITMEN PERUSAHAAN BAGI PERLINDUNGAN ORANGUTAN Perusahaan hendaknya menggalang dukungan dari semua jajarannya untuk melaksanakan BMP dalam mendukung pelaksanaan konservasi orangutan di wilayah konsesi yang dikelola. Hal ini diperlukan agar mendapat upaya yang dilakukan menjadi terpadu dan terintegrasi dalam mengurangi ancaman terhadap orangutan dan habitatnya. Untuk itu, perusahaan hendaknya: 1.1 BERKOMITMEN TERHADAP TUJUAN DAN SASARAN RENCANA AKSI ORANGUTAN DI INDONESIA Lingkup: Rencana Aksi Orangutan merupakan dasar kegiatan konservasi orangutan di Indonesia. Rencana Aksi ini menuntut agar semua perusahaan mempunyai tanggung jawab pada pengelolaan orangutan serta mendukung kegiatan konservasi dan pengelolaan orangutan dan habitatnya. Tindakan yang disarankan: • Perusahaan hendaknya mempunyai komitmen terhadap tujuan dan sasaran Rencana Aksi Orangutan dan setiap kebijakan yang mengacu pada rencana aksi tersebut. Perusahaan hendaknya mengakomodasi pencapaian tujuan dari rencana aksi itu dalam kebijakan perusahaan, prosedur dan rencana pengelolaan operasional dengan melakukan tindakan berikut ini: • Membuat dan melaksanakan rencana pengelolaan konservasi yang cocok untuk orangutan (Lihat Lampiran 1. Panduan utama untuk mengembangkan rencana pengelolaan konservasi – yang diberikan sesudah selesainya pokok-pokok pembelajaran). • Mengembangkan prosedur standar operasi (SOP) untuk perlindungan orangutan dan habitat orangutan (termasuk pengelolaan habitat, usaha pertolongan, pengurangan konflik, dan keterlibatan masyarakat). (Lihat Lampiran 2. Panduan utama mengakomodasi kegiatan konservasi menjadi prosedur standar operasi). • Memberikan kontribusi terhadap pendidikan masyarakat dan kegiatan pengelolaan yang kondusif bagi konservasi orangutan di lingkungan habitatnya (Lihat Lampiran 3. Panduan umum untuk pengembangan pendidikan masyarakat dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan konservasi). • Membangun dan mempertahankan koridor antara wilayah habitat orangutan yang terpisah satu sama lain dan yang dekat wilayah konsesi mereka, jika memungkinkan. • Membuat sistem pemantauan dan evaluasi untuk memperkirakan kinerja dari pelaksanaan rencana pengelolaan konservasi mereka. (Lihat Lampiran 4. Panduan umum mengenai pembuatan sistem pemantauan dan evaluasi). • Menjamin bahwa kegiatan operasi mengurangi pengaruh negatif terhadap orangutan dan habitat mereka. • Bekerja sama dengan para pemangku kepentingan dalam pelestarian orangutan di tingkat lansekap.

11


1.2 MEMBUAT STATEMEN KEBIJAKAN PADA PUBLIK UNTUK PERLINDUNGAN ORANGUTAN Lingkup: Perusahaan sebaiknya menunjukkan transparansi penuh dalam pelaksanaan rencana pengelolaan konservasi yang cocok untuk orangutan dengan menunjukkan kepada khalayak bahwa transparansi tersebut melekat pada prinsip-prinsip BMP orangutan. Tindakan yang disarankan: • Hendaknya berkomitmen untuk meminamilasi pengaruh buruk pada orangutan di tingkat lansekap. • Hendaknya berkomitmen untuk menaati peraturan nasional dan peraturan internasional yang mengikat. • Hendaknya berkomitmen menerapkan transparansi atas data dan informasi pengelolaan orangutan, pemantauan di tahap pengawasan dan tindakan-tindakan operasional konservasi orangutan. • Hendaknya berkomitmen untuk menghargai hak-hak adat penduduk asli dan ketentuan undang-undang. • Hendaknya berkomitmen untuk melakukan pelibatan masyarakat dan para pemangku kepentingan dalam cara yang jujur dan transparan. • Hendaknya berkomitmen untuk mengidentifikasi dan mempertimbangkan semua jenis ancaman terhadap orangutan yang mungkin berasal dari keputusan pengelolaan strategis perusahaan. 1.3 MENJAMINKAN ORANGUTAN DIKELOLA DENGAN BAIK DALAM WILAYAH KONSESINYA Lingkup: Perusahaan hendaknya berkonsultasi dengan para ahli, kelompok konservasi dan para pemangku kepentingan untuk bekerja demi menjaga keberadaaan orangutan di wilayah konsesi mereka. Tindakan yang disarankan: • Hendaknya melaksanakan pendekatan dan teknik menejemen silvikultur dan jenis pendekatan dan teknik pengelolaan habitat lainnya untuk mengurangi pengaruh kegiatan perusahaan pada daerah yang digunakan orangutan. • Hendaknya melindungi sumber-sumber ekologi utama bagi orangutan baik dalam areal yang disisihkan untuk konservasi maupun koridor habitat (lihat Lampiran 5. Sumber ekologis utama bagi orangutan). • Hendaknya berupaya mencegah perburuan orangutan oleh karyawan perusahaan, kontraktor dan pihak lain. 1.4 MELAPORKAN STATUS DAN PENGELOLAAN ORANGUTAN DALAM WILAYAH KONSESINYA BERDASARKAN STANDAR PELAPORAN INTERNASIONAL Lingkup: Perusahaan hendaknya melakukan pelaporan secara transparan dan tepat waktu kepada publik mengenai kondisi keanekaragaman hayati dalam lingkup wilayah konsesinya untuk memperlihatkan keseriusan perusahaan dalam melakukan pemantauan dan evaluasi. Perusahaan hendaknya memasukkan informasi mengenai kondisi orangutan di dalam laporan lingkungannya, seandainya di dalam daerah operasi perusahaan tersebut masih terdapat orangutan. Meskipun

12


perusahaan tidak diharuskan mengikuti standar ini, kepatuhan terhadap standar ini akan meningkatkan transparansi perusahaan dan menunjukkan tanggung jawab perusahaan dalam pengelolaan dampak pada orangutan, serta berfungsi sebagai panduan internal bagi kinerja perusahaan terkait kebijakan perusahaan terhadap orangutan. Laporan mengenai status dan pengelolaan orangutan ini merupakan tambahan laporan lingkungan yang secara formal disampaikan kepada pihak pemerintah. Tindakan yang disarankan: Perusahaan hendaknya mengadopsi standar pelaporan keragaman hayati yang diterima secara internasional, yaitu: • Melakukan pengumpulan segala informasi di wilayah konsesinya yang relevan dengan pengembangan BMP. • Melakukan dokumentasi dan penjelasan atas ancaman yang signifikan terhadap keragaman hayati dalam wilayah konsesi (lihat Lampiran 6, daftar ancaman potensial terhadap orangutan). • Melakukan pengumpulan data keberadaan orangutan dengan menggunakan GPS jika memungkinkan dan publikasi informasinya. Informasi ini sebaiknya melingkupi perkiraan kepadatan populasi, sumber ekologi penting mereka dan lokasi sebaran sarang. Informasi tipe habitat hendaknya dipisahkan antara habitat alami, buatan dan artificial (habitat baru), berdasarkan area dan keberadaan orangutan (Lihat Lampiran 7: Peta distribusi orangutan di Kalimantan dan Sumatera) • Menyusun strategi rinci menyangkut tindakan yang dilakukan saat ini dan rencana masa depan dalam meminimalisasi ancaman terhadap keragaman hayati dan orangutan.

KOMITMEN #2: KEPATUHAN TERHADAP HUKUM DAN PERATURAN YANG BERLAKU SERTA PERIJINAN YANG DIPERSYARATKAN Perusahaan hendaknya menunjukkan kepatuhan terhadap hukum, baik hukum negara dan hukum adat, maupun perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku. Untuk menunjukkan hal ini, perusahaan hendaknya: 2.1 MENGHORMATI ATURAN PERUNDANGAN YANG BERLAKU DAN MEMENUHI PERIJINAN YANG DIPERSYARATKAN TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN KERAGAMAN HAYATI Lingkup: Perusahaan hendaknya mematuhi hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia, yang mempunyai implikasi terhadap orangutan dan habitat orangutan. Selain itu, perusahaan hendaknya juga patuh pada perda yang berlaku di provinsi dan kabupaten/kota dimana di lokasi konsesi berada. Perusahaan juga hendaknya memiliki dan memperpanjang seluruh perijinan yang dibutuhkan dalam operasional perusahaan. Beberapa peraturan perundangan yang terkait, namun tidak terbatas pada yang tertera di bawah ini: • UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Kehati dan Ekosistemnya. • UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Convention on Biological Diversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). • UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang direvisi melalui UU No. 19 Tahun 2004 tentang Revisi UU No. 41 Tahun 1999 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang. • Peraturan Pemerintah No.68/1998 tentang kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

13


• • • • • • • • • • •

alam. Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan. Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2004 tentang Syarat dan Tata Cara Pengalihan Perlindungan Varietas dan Penggunaan Varietas yang dilindungi Pemerintah. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/MENHUT-II/2008 mengenai Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/MENHUT-II/2004 mengenai Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Keputusan Menteri Kehutanan No. 519/Kpts-II/1997 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Pembangunan Kehutanan. Keputusan Menteri Kehutanan No. 355/Kpts-II/2003 tentang Penandaan Spesimen Tumbuhan dan Sata Liar Keputusan Menteri Kehutanan No. 447/Kpts-II/2003 tentang Tata Usaha Pengambilan atau Penangkapan dan Peredaran Tumbuhan dan Satwa Liar Peraturan Menteri Kehutanan No. 57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

Perusahan hendaknya memperhatikan dan mematuhi aturan yang termuat dalam: • UU No. 5 Tahun 1990, pasal 21 dan 22. • UU No. 41 Tahun 1999, pasal 40 s/d 51. • Peraturan Menteri Kehutanan No. P.48/Menhut II/2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar. • Peraturan Menteri Pertanian No. 14/ Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit • Peraturan Menteri Kehutanan No. P.38/Menhut-II/2009 tentang Standar dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. • Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.101/Menhut-II/2004 tentang Percepatan Pembangunan Hutan Tanaman Untuk Pemenuhan Bahan Baku Industri Pulp dan Kertas. Tindakan yang disarankan: • Mempelajari peraturan pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten yang terkait dengan orangutan dan habitatnya, mengkaji implikasi yang mungkin terjadi dari peraturan tersebut atas perencanaan dan keputusan operasional, serta prilaku para karyawan dan kontraktor. • Membangun komunikasi internal untuk menjamin agar para manajemen tingkat atas yang mempunyai kewewenangan mempertimbangkan kajian hukum ini serta mematuhi aturan perundangan ketika hendak membuat keputusan. • Membangun komunikasi internal kepada para karyawan dan kontraktor agar mereka mematuhi dan tunduk pada aturan yang berlaku pada saat mereka menangani orangutan dan habitatnya. • Membangun sistem dokumentasi untuk mengidentifikasi, melacak, menyelesaikan, melaporkan masalah-masalah terkait dengan potensi ketidakpatuhan hukum yang mungkin dilakukan perusahaan, karyawan dan kontraktor. • Memastikan semua perijinan yang terkait dengan kegiatan yang dapat mempengaruhi habitat orangutan termasuk dalam daftar perijinan yang harus diperoleh oleh perusahaan sebelum melakukan aktivitas tersebut.

14


• Hendaknya memberikan lembaran mengenai kesediaan memenuhi ketaatan akan aturan kepara karyawan dan kontraktor setiap tahun sebagai bagian dari penilaian pekerjaan. • Hendaknya membuatlah prosedur penilaian kepatuhan dan melakukan penegakan yang tegas akan prosedur ini jika terjadi pelanggaran. • Hendaknya menerapkan sistem penghargaan dan hukuman (reward and punishment) bagi para karyawan dan kontraktor untuk mendorong kepatuhan akan aturan yang ada. 2.2 BEKERJA SESUAI KETENTUAN PERJANJIAN INTERNASIONAL YANG TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN ORANGUTAN Lingkup: Perusahaan hendaknya tidak hanya patuh pada peraturan dan perundangan di tingkat nasional saja, tetapi juga hendaknya pada isi dari perjanjian dan konvensi internasional yang telah ditandatangi pemerintah Indonesia. Perjanjian internasional yang terkait dengan perlindungan orangutan tersebut antara lain: • Konvensi Keanekaragaman Hayati (sudah diratifikasi melalui UU No. 5 Tahun 1994). • Deklarasi Primata Besar Kinshasa. • CITES. • Kayu Tropis 83. • Kayu Tropis 94. • Konvensi Ramsar. Tindakan yang disarankan: Perusahaan hendaknya mensosialisasikan semua persyaratan-persyaratan yang terdapat dalam konvensi dan perjanjian internasional ini kepada para karyawan dan kontraktor, dan memasukkannya dalam perencanaan dan pengelolaan operasional. Hal ini meliputi: • Mempelajari perjanjian dan konvensi internasional yang terkait dengan orangutan dan habitatnya, mengkaji implikasi yang mungkin terjadi dari peraturan tersebut atas perencanaan dan keputusan operasional, serta perilaku para karyawan dan kontraktor. • Membangun pemahaman dan kesadara semua karyawan dan kontraktor akan konsekuensi hukum dan administrasi mengenai perjanjian internasional terkait yang ditandatangani pemerintah Indonesia. • Membangun komunikasi internal untuk menjaminkan agar para manajemen tingkat atas yang mempunyai kewewenangan agar mempertimbangkan kajian hukum ini serta mematuhi aturan perundangan ketika hendak membuat keputusan. • Membangun komunikasi internal kepada para karyawan dan kontraktor agar mereka mematuhi dan tunduk pada aturan yang berlaku pada saat mereka menangani orangutan dan habitatnya. 2.3 MENJAMIN PERLINDUNGAN HABITAT ORANGUTAN DARI KEGIATAN ILEGAL DAN TIDAK RESMI Lingkup: Perusahaan hendaknya melindungi habitat orangutan dari penebangan ilegal di dalam wilayah konsesinya. Perusahaan juga hendaknya mengupayakan penggalangan keamanan dan sistem perlindungan yang memadai dan sesuai dengan rencana pengelolaan konservasi orangutan yang tepat. Kegiatan operasi pada tahap perencanaan hendaknya mempertimbangkan penyisihan areal untuk konservasi dan meminimalisasi ancaman bagi keanekaragaman hayati yang ada. Sehingga apabila perusahaan memiliki areal yang disisihkan di dalam wilayah konsesinya, maka perusahaan hendaknya memiliki komitmen untuk mempertahankan keberadaan dan fungsi kawasan tersebut.

15


Tindakan yang disarankan: • Hendaknya melakukan identifikasi dan perkira-an ancaman serta intervensi praktis agar dapat mengurangi atau menghilangkan ancaman. • Hendaknya membuat standarisasi tata batas wilayah kegiatan konservasi dan memberitahu para pemangku kepentingan tata batas tersebut. • Hendaknya mempertimbangkan pembentukan patroli hutan gabungan di wilayah konsesi, yang melibatkan anggota komunitas lokal dan penegak hukum. Upaya ini dilakukan untuk mengidentifikasi dan memerangi perambahan, bahaya kebakaran, kegiatan ilegal dan masalahmasalah lainnya. • Hendaknya memastikan adanya sistem untuk pengawasan, pendokumentasian dan pelaporan kepada pihak-pihak berwenang mengenai panebangan ilegal, penyerobotan atau kegiatan lain yang tidak berijin. 2.4 MENDOKUMENTASIKAN SECARA JELAS HAK-HAK KEPEMILIKAN DAN HAK GUNA LAHAN JANGKA PANJANG MASYARAKAT SETEMPAT, YANG DIAKUI SECARA HUKUM FORMAL MAUPUN ADAT, JIKA HAK-HAK TERSEBUT ADA. Lingkup: Perusahaan hendaknya menunjukkan komitmen pada kepemilikan dan hak guna lahan terdahulu dari masyarakat setempat atas sumber daya lahan dan hutan yang berada di dalam atau berbatasan dengan wilayah konsesinya. Kepemilikan dan hak pengguna lahan ini hendaknya didefinisikan dengan jelas, didokumentasikan dan dihormati keberadaannya. Tindakan yang disarankan: • Hendaknya mendokumentasikan bukti hak kepemilikan masyarakat dalam jangka panjang sesuai dengan aturan hukum dalam mengelola tanah dan menggunakan sumber daya hutan. Berkait dengan pengelolaan perkebunan kelapa sawit, ‘jangka-panjang’ setidaknya berarti satu kali panjang rotasi masa panen. • Hendaknya penetapan hak ini harus disetujui oleh masyarakat setempat dengan bukti-bukti atas pemberian persetujuan ini. • Agar relasi dan kerjasama dengan masyarakat setempat dan para pemangku kepentingan dapat terus terjaga dengan baik, sebuah mekanisme penyelesaian sengketa hendaknya disepakati, dengan pendokumentasi yang baik menyangkut penyebab sengketa serta resolusinya, khususnya jika ada keterkaitan dengan orangutan dan habitatnya. 2.5 MENGHORMATI HAK KEPEMILIKAN DAN PENGGUNAAN BERDASAR HUKUM FORMAL DAN ATURAN ADAT DARI MASYARAKAT SETEMPAT KETIKA MELAKUKAN PERLINDUNGAN ORANGUTAN Lingkup: Perusahaan hendaknya menghormati hak-hak masyarakat setempat terkait dengan hak kepemilikan dan penggunaan lahan berdasarkan hukum formal dan aturan adat di dalam wilayah konsesinya, dalam upaya melindungi hak-hak tersebut dan membantu memecahkan masalah ekonomi dan kultural. Perusahaan juga diharapkan dapat melibatkan komunitas-komunitas ini dalam pengelolaan hutan dan perlindungan terhadap orangutan. Tindakan yang disarankan: • Mengidentifikasi dan mendukung penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan oleh masyarakat setempat dan mengambil langkah-langkah agar hak adat dan hak-hak lainnya dihormati. • Hak-hak para pengguna harus diakui dan didukung dan juga harus jelas teridentifikasi, terdokumentasi dan terpetakan melalui pendekatan partisipatif.

16


• Mendukung formalisasai hak-hak pengguna melalui mekanisme yang diakui, baik oleh negara ataupun yang berlaku di dalam masyarakat setempat. • Memberikan persetujuan bebas di awal berdasarkan informasi yang sudah diberitahukan (free, prior, informed, concern) atas hak-hak guna masyarakat setempat atau pihak-pihak yang terkena dampak. • Jika memungkinkan, mengembangkan partisipasi masyarakat setempat atau pihak-pihak yang mempunyai memiliki hak pengelolaan dalam perencanaan pengelolaan hutan di dalam willayah konsesi. • Menciptakan mekanisme untuk penyelesaian sengketa atas klaim penggunaan lahan dan hak guna yang menghargai pandangan masing-masing pihak yang bersengketa untuk meredam risiko konflik yang membahayakan orangutan.

KOMITMEN #3: PERENCANAAN PENGELOLAAN DAN PENGAWASAN ORANGUTAN Perusahaan hendaknya menjamin bahwa orangutan dalam wilayah konsesi harus dikelola dengan baik. Hal ini membutuhkan penyusunan rencana manajemen konservasi yang peka terhadap orangutan, yang didukung dengan pelaksanaan dan pengawasan rencana tersebut. Rencana ini harus menjadi satu dan menjadi bagian dari keseluruhan rencana pengelolaan lingkungan, sehingga dapat memberikan jaminan pengelolaan jangka panjang, dan dukungan sarana untuk mencapainya menjadi lebih jelas serta terpantau. Agar tujuan ini tercapai, maka perusahaan hendaknya: 3.1 MENJAMIN BAHWA RENCANA KOMPREHENSIF PENGELOLAAN KONSERVASI ORANGUTAN DIBUAT SESUAI DENGAN PRAKTEK PENGELOLAAN TERBAIK Lingkup: Lingkup: Dasar untuk kegiatan HTI yang baik adalah sebuah rencana pengelolaan konservasi yang terpadu dan terencana baik, yang ditujukan untuk menjaga, memperbaiki, dan melindungi wilayah yang disisihkan untuk konservasi dan nilai-nilai keragaman hayati secara umum. Panduan umum untuk praktek terbaik dalam sistem pengelolaan lingkungan terdapat dalam ISO 14001. Rencana pengelolaan konservasi orangutan sebuah perusahaan akan dianggap baik apabila kebijakan dan tujuan perusahaan akan perlindungan orangutan diadopsi dalam kebijakan lingkungan dan sistem manajemen yang berusaha mencapai standar ini. Rencana pengelolaan konservasi harus sesuai dengan lingkup dan skala operasional serta kejelasan tujuan jangka panjang pengelolaan dan arti pencapaiannya. Salah satu sasaran jangka panjang adalah perlindungan orangutan dan habitatnya di daerah sekitar wilayah konsesi. Tindakan yang disarankan: Sebuah rencana pengelolaan konservasi sebaiknya dikembangkan sebagai berikut ini, namun tetapi tidak terbatas pada hal-hal ini saja: • Maksud, tujuan dan sasaran rencana ini harus secara jelas diuraikan terkait dengan konservasi orangutan. • Rencana ini hendaknya memasukkan penjelasan rinci mengenai daerah hutan yang harus dikelola, masalah-masalah lingkungan, pola hak milik tanah, status kepemilikan, kondisi sosial ekonomi, kondisi dan profil lahan-lahan sekitarnya. • Sistem budidaya dan sistem manajemen jangka panjang lainnya harus digambarkan secara jelas dan dibenarkan dalam hubungan dengan persyaratan setiap orangutan yang berada di dalam kawasan. • Penebangan kayu yang diperbolehkan setiap tahun hendaknya didasari pada data inventarisasi

17


• •

18

dan kriteria yang keberlanjutan. Pemilihan spesies hendaknya didasari oleh pertimbangan bahwa pengambilan kayu tersebut tidak akan berpengaruh negative terhadap orangutan yang ada di dalam konsesinya. Rencana ini hendaknya secara jelas menegaskan identifikasi dan perlindungan akan spesies yang dilindungi dan habitatnya, termasuk orangutan. Rencana ini juga harus mencakup semua rencana tindakan untuk perlindungan orangutan di dalam konsesi dan juga pada lansekap yang lebih luas. Rencana ini hendaknya disertai dengan peta yang komprehesif yang menggambarkan sumber daya hutan termasuk jenis hutan, arus sungai dan pembuangan, kompartemen/ blok, tempat memproses dan penimbunan hasil, wilayah yang dilindungi, sumber biologi dan kebudayaan unik, dan kegiatan pengelolaan lain yang direncanakan. Peta ini juga hendaknya menjelaskan sebaran orangutan di wilayah konsesi dan di hutan sekitarnya, sumber makanan, sumber ekologi utama seperti pohon buah-buahan tua dan daerah kaya mineral, serta identifkasi koridor biologis. Rencana ini juga hendaknya meliputi semua perlindungan lingkungan yang akan digunakan sebagai kesatuan konsesi hutan dan orangutan di dalam wilayah konsesi. Perlindungan ini harus didasarkan atas penilaian lingkungan (AMDAL) dengan referensi yang jelas antara lain bagaimana akibat dari dampak yang tidak diinginkan bagi orangutan dapat dikurangi melalui rekomendasi pengelolaan. Perhatian khusus harus diberikan untuk mengukur langkah-langkah yang dapat mengurangi konflik manusia dan satwa liar. Rencana ini juga perlu mempunyai sebuah program pemantauan yang baik untuk semua aspek pengelolaan termasuk untuk orangutan. Jika perlu, semua hasil pengawasan, terutama dalam kaitan dengan orangutan harus dilaporkan kembali ke pemerintah sehingga database dapat selalu dimutakhirkan, dan pemerintah dapat mengevaluasi kemajuan terkait dengan Rencana Aksi Orangutan; Mempersiapkan prosedur rinci tentang tanggap situasi darurat untuk masalah-masalah terkait dengan gangguan terhadap orangutan, konflik, penyakit dan kecelakaan lain yang mungkin timbul. Menerapkan sebuah sistem pelaporan kecelakaan/bahaya yang mencatat masalah, tindakan, tindak-lanjut dan penyelesaian hal-hal terkait orangutan. Rencana ini hendaknya meliputi perkiraan seluruh anggaran untuk semua kegiatan operasi dan perencanaan. Anggaran juga perlu meliputi alokasi yang cukup untuk menutup biaya kegiatan operasi konservasi orangutan. Rencana ini hendaknya dihubungkan dengan sistem database untuk menyimpan informasi tentang orangutan. Lebih baik lagi, rencana ini harus merupakan sistem berbasis peta sehingga memungkinkan perbandingan lokasi orangutan sedemikian rupa sehingga pergerakan mereka dalam wilayah konsesi dapat terpetakan. Hasil pemantauan orangutan tersebut sebaiknya dimasukkan ke dalam pelaksanaan dan revisi rencana itu. Semua informasi yang tidak mengandung kerahasiaan hendaknya dapat diakses oleh publik. Rencana ini hendaknya berisi rehabilitasi rinci habitat orangutan di dalam dan di daerah sekitar wilayah konsesi. Tindakan ekologis lainnya dan ukuran operasional hendaknya mencakup: o Pelestarian pohon besar untuk bersarang dan pohon buah-buahan di daerah sekitarbagian wilayah konsesi yang ditanami; o Penutupan sistem kanal di lokasi rehabilitasi dan kanal yang memecah wilayah konservasi. o Pengawasan plot petak permanen di daerah pinggiran dalam areal yang disisihkan untuk konservasi. o Pengawasan akses masyarakat setempat. o Pengawasan penanaman rehabilitasi melalui plot petak permanen. o Pengawasan perbatasan bagian luar wilayah konservasi, dan perbatasan bersebelahan dengan lokasi produksi.


o

Perluasan habitat sempadan sungai sampai minimal 500 m di masing-masing sisi pinggir sungai (lokasi tanah mineral) di lokasi yang didiami orangutan dan menghubungkannya dengan areal yang disisihkan untuk konservasi dan hutan yang berdekatan dengan wilayah konsesi.

Ketika perencanaan rehabilitasi, tindakan minimalisasi dampak dalam penyiapan lahan harus dilakukan, karena terjadinya pemadatan atau degradasi akibat pembangunan infrastruktur. Karena lamanya masa tunggu buah yang dihasilkan dari penanaman biji, penanaman dengan cara mencangkok dapat menjadi alternatif. Tetapi, kebanyakan jenis pohon makanan orangutan merupakan pohon non-komersial dan mungkin bibitnya tidak tersedia di pasaran. Pengawasan hendaknya dilakukan pula untuk mendukung sasaran pengelolaan ini. Pengawasan akan semakin penting ketika pohon-pohon tersebut menghasilkan buah untuk mencegah konflik antara manusia dan orangutan pada saat panen buah tersebut. Pemilihan jenis untuk rehabilitasi habitat orangutan yang penting harus didasarkan pada karakteristik ekologis (misalnya sumber makanan orangutan yang sudah diketahui, sumber makanan untuk spesies lain, pertumbuhan yang cepat, kecocokan bagi daerah tersebut dan kecocokan untuk jenis tanahnya). Pada umumnya, penanaman rehabilitasi menggunakan spesies pohon campuran dengan selang-seling kurang lebih 2 sampai 5 meter. Meskipun demikian, dalam beberapa hal menanam pohon yang bukan makanan orangutan bisa dilakukan sebagai penghalang agar orangutan tidak masuk lebih jauh ke daerah perkebunan. Bisa juga ditanam pohon-pohon yang sangat disukai sebagai sarang orangutan. Semua daerah yang terbuka dapat diselidiki agar dapat dipakai untuk rehabilitasi, termasuk, tetapi tidak terbatas pada: • Sisi-sisi jalan untuk jalan akses dan jalan kegiatan operasi • Pinggiran sistem drainase • Tempat bekas operasi pemuatan hasil yang digunakan untuk putaran kendaraaan dsb. 3.2. MENGIDENTIFIKASI INDIVIDU ATAU KELOMPOK KHUSUS YANG MEMIMPIN KEGIATAN KOORDINASI TERKAIT DENGAN PENGELOLAAN ORANGUTAN Lingkup: Perusahaan hendaknya menunjuk seorang individu atau sebuah tim yang akan turut mengambil bagian dalam pengelolaan orangutan di dalam semua kegiatan perlindungan orangutan. Staf atau tim ini sebaiknya ditempatkan dalam struktur pengelolaan dan mempunyai kewenangan cukup dalam mempengaruhi keputusan-keputusan pengelolaan yang penting. Tindakan yang disarankan: • Peran dan tanggung jawab diberikan secara jelas atas penyebarluasan informasi dan pelaksanaan pokok-pokok pengelolaan untuk konservasi orangutan. • Buat uraian tugas yang menyatakan peran dan tanggung jawab baik untuk komunikasi internal dan eksternal. • Memastikan bahwa orang yang diberi tanggung jawab untuk pengelolaan orangutan mempunyai akses terhadap semua informasi penting terkait dengan perencanaan wilayah konsesi, dan terlibat dalam keputusan pengelolaan terkait dengan kegiatan atau rencana yang secara potential mempengaruhi orangutan. 3.3 MEMBUAT DAN MELAKSANAKAN PROGRAM PELATIHAN DAN PENDIDIKAN BAGI SEMUA KARYAWAN DAN KONTRAKTOR MENGENAI PENTINGNYA KONSERVASI ORANGUTAN

19


Lingkup: Perusahaan hendaknya menjamin bahwa tanggung jawab konservasi orangutan dan habitatnya merupakan tanggung jawab pengelolaan kolektif, semua karyawan dan semua kontraktor. Agar hal ini dapat tercapai perlu dilakukan penyebaran informasi mengenai masalah ini melalui pendidikan secara langsung. Perusahaan hendaknya mengadakan sosialisasi dan pendidikan untuk para karyawan dan kontraktor mengenai pentingnya konservasi orangutan, sehingga ancaman bagi orangutan dari mereka dapat dikurangi. Informasi yang disampaikan dalam pelatihan sekurang-kurangnya meliputi: informasi mengenai status hukum dan hukuman dalam kontrak kerja dan perjanjian kontrak untuk semua jenis pelanggaran, termasuk tindak pelanggaran menyangkut orangutan; sejarah orangutan di alam dan kondisi lingkungan yang diharapkan; kebijakan perusahaan atas konservasi orangutan dan keanekaragaman hayati yang lebih luas; dan kebijakan SDM, serta proses dan prosedur hukuman dalam ketentuan operasional. Tindakan yang disarankan: • Mengidentifikasikan perlunya pelatihan untuk menjamin kompetensi para karyawan dan kontraktor terkait tanggung jawab terhadap orangutan. • Mempersiapkan dan lakukan pelatihan secara teratur kepada para karyawan dan kontraktor yang mempunyai tanggung jawab mengenai orangutan, termasuk staf hubungan kemasyarakatan. • Mengidentifikasi dan melatih staf pengelolaan secara khusus untuk memahami orangutan dan kehidupan satwa liar lainnya, sehingga mampu menangani tanggap darurat atas masalah-masalah yang ditimbulkan orangutan. Masalah orangutan, tindakan dan tanggung jawab harus juga dimasukkan dalam masa pengenalan bagi para karyawan, kontraktor serta tamu. • Membuat brosur dan informasi lain agar dapat digunakan oleh para karyawan, kontraktor dan tamu dalam mengidentifikasikan tanggung jawab perusahaan, strategi dan tindakan terkait dengan konservasi orangutan. Semua karyawan dan kontraktor harus mempunyai lembar prosedur operasi standar (lihat rincian 3.5) dan diinstruksikan memakai prosedur tersebut. 3.4 MENJAMIN BAHWA SEMUA PENGAWASAN DAN EVALUASI DIMASUKKAN KE DALAM RENCANA PENGELOLAAN KONSERVASI ADAPTIF BERJANGKA PANJANG Lingkup: Perusahaan hendaknya selalu memperbaharui rencana pengelolaan konservasi orangutan berdasarkan pelaksanaan sistem pengkajian pengelolaan yang mensintesis pelajaran dan pengalaman implementasi atau faktor-faktor eksternal seperti pengetahuan ilmiah mengenai orangutan terbaru. Agar sesuai dengan tanggung jawab perusahaan untuk secara terus menerus meningkatkan kinerja pengelolaan orangutan, sebuah perusahaan hendaknya: Tindakan yang disarankan: • Mendesain sebuah mekanisme untuk secara teratur mengkaji kebijakan dan sistem pengelolaan orangutan yang dimiliki perusahaan sehingga kebijakan dan sistem tersebut dapat diadaptasi untuk segala perubahan terkait dengan persepsi dan keadaan. • Membuat sebuah program dan prosedur untuk audit secara teratur mengenai sistem pengelolaan orangutan. Ini harus dimasukkan kedalam proses sertifikasi perusahaan yang sejalan dengan ISO 14001 dan/atau RSPO dan RA-SAN. Perusahaan yang belum tersertifikasi berdasarkan standar ini dapat mengikuti panduan penilaian diri (self-assessment) berdasarkan prinsip-prinsip ISO. • Mencari informasi baru dari semua pemangku kepentingan, termasuk pihak keamaman, masyarakat setempat, badan pemerintah daerah, dan masyarakat ilmiah untuk meyakinkan bahwa rencana pengelolaan konservasi yang sudah dikaji memasukkan praktek dan pengalaman teknis terbaiknya.

20


• Melaksanakan kajian periodik dan teratur atas rencana yang ada, sasaran, sistem dan hasil yang dicapai untuk menjamin ketepatan dan efektivitas konservasi orangutan, di lokasi konsesi maupun di dalam lansekap yang lebih luas. • Mengidentifikasi setiap perubahan yang terkait dengan kebijakan dan prosedur, sehubungan dengan perubahan keadaan dalam masalah teknis dan ilmiah mengenai konservasi orangutan, perubahan dalam prakiraan jumlah orangutan di tingkat lansekap, dan pertimbangan hukum, bisnis atau keuangan. • Melakukan pemutakhiran kebijakan dan prosedur berdasarkan temuan dari kajian yang berlangsung untuk menjamin perbaikan berkelanjutan dalam pendekatan konservasi orangutan, untuk memperlihatkan tanggung jawab lingkungan perusahaan. • Memasukkan setiap hasil dari kajian ini ke dalam perencanaan dan pengelolaan operasi pada wilayah konsesi. • Mendokumentasikan dan mengkomunikasikan kepada para karyawan setiap perubahan terhadap rencana pengelolaaan kegiatan konservasi dan setiap prosedur operasi. 3.5 MENGEMBANGKAN PROSEDUR STANDAR OPERASI, INSTRUKSI DAN PANDUAN KERJA UNTUK MENDUKUNG PELAKSANAAN RENCANA PENGELOLAAN KONSERVASI BAGI ORANGUTAN Lingkup: Perusahaan hendaknya membuat sebuah prosedur standar operasi (SOP) yang jelas dan singkat untuk masing-masing kegiatan sesuai dengan prinsip dan panduan pengelolaannya. Perusahaan hendaknya menjamin bahwa SOP yang dikembangkan agar mencakup seluruh kegiatan operasional yang mempunyai pengaruh potensial terhadap orangutan dan habitatnya. Hal ini dibutuhkan karena prinsip dan panduan perusahaan yang bersifat generik dirasakan tidak cukup menjamin segala kegiatan operasional dilakukan secara konsisten dan sesuai dengan metode yang ditetapkan perusahaan. Tindakan yang disarankan: • Menyusun dan melaksanakan SOP untuk kegiatan operasional yang meliputi diseminasi informasi kepada para pembuat rencana kegiatan operasi. • Menyusun dan melaksanakan SOP untuk proses penilaian pra-operasional standar (gangguan persiapan tanah/ pembebasan tanah, dan proses penilaian paska operasi (pengawasan). • Menyusun dan melaksanakan SOP untuk gangguan permesinan dan pembebasan tanah untuk meminimalisir kerusakan hutan selama masa pembebasan tanah, pembuatan jalan, dan kerjakerja permesinan lain; serta perlindungan sumber-sumber air. • Menyusun dan melaksanakan SOP untuk pengawasan keanekaragamanhayati rutin. • Menyusun dan melaksanakan SOP untuk pengelolaan dan pemeliharaan areal sisih untuk konservasi sukarela dalam wilayah konsesi dan sumber air, termasuk petunjuk untuk mempertahankan lubang pohon atau pohon-pohon besar untuk bersarangnya satwa atau diambil buahnya. • Menyusun dan melaksanakan SOP untuk menetapkan dan menjalankan patroli hutan di wilayah konsesi. • Menyusun dan melaksanakan SOP untuk melakukan pengenalan lingkungan kepada semua karyawan, kontraktor dan staf lain. • Menyusun dan melaksanakan SOP untuk pelibatan masyarakat dan protokol komunikasi, terutama terkait dengan pemahaman konflik antara masyarakat dan orangutan, dan mempunyai praktek standar untuk mengatasi masalah konflik ini. • Menyusun dan melaksanakan SOP untuk mengeluarkan informasi, dan verifikasi informasi kepada para pembuat rencana operasional, staf lapangan dan tim yang ditugasi untuk mempengaruhi kegiatan operasi.

21


• Menyusun dan melaksanakan SOP untuk mengurangi kerusakan selama masa panen, peningkatan konstruksi jalan, dan semua pekerjaan permesinan yang lain. • Menyusun dan melaksanakan SOP untuk rehabilitasi dan restorasi wilayah yang terdegradasi. • Menyusun dan melaksanakan SOP mengenai apa yang hendaknya dikerjakan ketika orangutan menghadapi masalah atau apabila peristiwa terjadi selama masa pembersihan lahan, penumbangan pohon, pembangunan jalan dan kegiatan-kegiatan lain. SOP ini harus berisi rekomendasi untuk tingkah laku karyawan agar orangutan dapat tercegah dari bahaya seperti gangguan yang tidak perlu, ketidak tersediaan makanan, penumbangan pohon dimana orangutan hidup, dst. • Menyusun dan melaksanakan SOP untuk pertukaran tanah. 3.6 MENDORONG KOMUNIKASI DENGAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN MENGENAI PENTINGNYA KONSERVASI ORANGUTAN DAN MINIMALISASI ANCAMAN TERHADAP ORANGUTAN Lingkup: Perusahaan hendaknya secara proaktif berkomunikasi dengan masyarakat di sekitar kawasan yang sudah menetap dalam wilayah konsesi dan/atau akses ke keanekaragaman hayati, koridor, serta habitat yang penting lainnya yang dikelola/ dikontrol. Perusahaan sebaiknya bekerjasama dengan masyarakat dalam mengidentifikasi konsensus pengurangan risiko atau penyelesaian konflik. Di dalam Rencana Aksi dan Strategi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 dengan jelas menunjukkan dalam seksi C1 bahwa pelibatan masyarakat, lembaga masyarakat dan masyarakat adat sangat penting dalam perlindungan orangutan. Tindakan yang disarankan: • Mengkaji program pengembangan masyarakat untuk menjamin kegiatan terkait konservasi orangutan dimasukkan dalam program tersebut, seperti: kegiatan pendidikan dan sosialisasi orangutan, program pengurangan tekanan terhadap orangutan dan habitatnya melalui mata pencariaan alternatif dan kegiatan ekonomi lainnya. • Mempersiapkan proses dokumentasi dalam aktivitas pelibatan masyarakat untuk mengidentifikasi pelibatan masyarakat terkait dengan masalah orangutan, yang juga harus meliputi rapat-rapat, pemecahan masalah, perjanjian, tindakan serta tindak lanjut. • Mengembangkan sistem pelaporan cepat tentang konflik antara orangutan dan masyarakat, serta mengembangkan SOP pengelolaan untuk mengurangi konflik dan mencegah bahaya bagi orangutan, tanaman pangan dan kebun masyarakat. • Mengidentifikasikan keuntungan-keuntungan masyarakat yang diperoleh dari program konservasi orangutan. • Menyediakan pendidikan bagi masyarakat mengenai upaya minimalisasi risiko terhadap orangutan yang mungkin terjadi. 3.7 BEKERJASAMA DAN MEMPERTIMBANGKAN MASUKAN TEKNIS DENGAN PARA AHLI KONSERVASI Lingkup: Perusahaan hendaknya bekerja sama dan mempertimbangkan masukan teknis dengan para ahli dan kelompok konservasi, lembaga akademis terkemuka, para konsultan handal, atau institusi pemerintah yang memiliki kompetensi dalam melakukan konservasi orangutan ada di luar lingkup pemahaman dan atau kemampuan teknis perusahaan. Tindakan yang disarankan: • Mencari dukungan teknis untuk melakukan survei orangutan dan mengintegrasikan hasil-

22


hasil survei tersebut dalam Sistem Informasi Geografis (GIS). • Mengembangkan kemitraan untuk melakukan kajian data hasil survey secara tahunan dan menilai pengaruh/ dampak dari kegiatan konservasi. • Mengembangkan kemitraan untuk mengkaji dan menggali masukan atas proposal perencanaan pengelolaan. • Menfasilitasi kajian mengenai ekologi orangutan dalam konsesi HTI dengan melibatkan para peneliti lokal dan internasional, dan menggunakan hasil informasi tersebut untuk mengindentifikasi ciri-ciri utama yang digunakan bagi orangutan (umur, pohon, buah-buahan besar, lahan kaya mineral, lokasi sarang khusus dsb.). • Apabila jangkauan daerah jelajah orangutan di suatu daerah meluas ke wilayah konsesi tetangga, sebaiknya membangun kerja sama dengan pengelola dari wilayah konsesi tersebut dengan melibatkan para ahli orangutan untuk membuat rencana pengelolaan di tingkat lansekap yang lebih luas dalam mendukung konservasi orangutan (lihat di bawah).

KOMITMEN #4: PENGELOLAAN KOLABORATIF DI TINGKAT LANSEKAP Perusahaan diharapkan dapat bekerjasama dengan para pemangku kepentingan lain untuk memperoleh perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan konservasi yang lebih baik bagi orangutan dalam landsekap yang lebih luas. Untuk melaksanakan hal ini, disarankan untuk melakukan hal berikut ini. 4.1 BERPARTISIPASI AKTIF DALAM KELOMPOK PENGELOLAAN BERSAMA DI TINGKAT LANSEKAP UNTUK MEMINIMALISASI KONFLIK PENGGUNAAN TANAH,TERMASUK UNTUK ORANGUTAN DAN HABITATNYA Lingkup: Perusahaan didorong untuk mendukung kelompok pengelolaan kerjasama tingkat lansekap sesuai dengan peraturan Menteri Kehutanan, dengan mengalokasikan staf dan sumber pendanaan pendukung. Tindakan yang disarankan: • Mendukung perencanaan penggunaan lahan di tingkat landsekap yang lebih luas. • Mendukung pembuatan demarkasi batas-batas wilayah konsesi. • Bersama dengan para pemangku kepentingan, mendukung persiapan penilaian risiko dan rencana pengelolaan konservasi orangutan di tingkat lansekap. • Memastikan bahwa rencana pengelolaan orangutan di lokasi yang dimiliki oleh perusahaan mampu mendukung pengelolaan konservasi di tingkat lansekap • Jika memungkinkan, mendukung riset dan penelitian mengenai orangutan di lansekap yang lebih luas. • Bersedia untuk membagi data, informasi dan laporan mengenai pengelolaan orangutan dengan para pihak lainnya. • Mendukung kegiatan penegakan hukum bersama lembaga penegakan hukum. • Jika memungkinkan, mendukung peningkatan kapasitas para pihak agar dapat melakukan pemenuhan tanggung jawabnya. • Mendorong dan berpartisipasi aktif dalam penyelesaian persengketaan lahan antara para pemangku kepentingan dalam lansekap yang lebih luas. • Jika memungkinkan, mempertimbangkan alih tukar lahan sebagai sebuah alternatif bagi konservasi hutan alam atau konservasi hutan yang terdegradasi.

23


• Bersama para pemangku kepentingan, mendorong program sosialisi mengenai konservasi orangutan di daerah tersebut kepada masyarakat. • Bersama para pemangku kepentingan, membantu badan perencana tingkat kabupaten, provinsi dan nasional meningkatkan nilai keanekaragamanhayati di lansekap yang lebih luas.

24


25


Daftar Isi

FORUM ORANGUTAN NASIONAL INDONESIA

LAMPIRAN PRINSIP PENGELOLAAN KONSERVAS I ORANGUTAN DI HUTAN TANAMAN INDUSTRI September 2011

Penulis: Rona Dennis, Adam Grant,Yokyok Hadiprakarsa, Paul Hartman, Darrell Kitchener,Tim Lamrock, Fergus MacDonald, Erik Meijaard dan Didik Prasetyo

Penerjemahan dan Editor Bahasa Indonesia: Pahrian G. Siregar dan Sri Suci Utami Atmoko

Tata Letak: Donald Bason (diadaptasi Forina) These guidelines are made possible by the support of the American People through the United States Agency for International Development (USAID). The contents of this document are the sole responsibility of DAI and do not necessarily reflect the views of USAID or the United States Government.

27

LAMPIRAN 1.

Panduan Umum dalam Menyusun Rencana

Pengelolaan Konservasi

33

LAMPIRAN 2.

Panduan Umum untuk Memasukkan

Usaha-Usaha Konservasi ke dalam

Prosedur Standar Operasi (SOP)

37

LAMPIRAN 3.

Panduan Umum Pengembangan

Pendidikan dan Pelibatan Masyarakat dalam

Pengembangan dan Pelatihan Konservasi

41

LAMPIRAN 4.

Panduan Umum Pembuatan Sistem

Monitoring dan Evaluasi (M&E)

47

LAMPIRAN 5.

Sumber Ekologi Penting yang Dibutuhkan

Orangutan

51

LAMPIRAN 6.

Ancaman Potensial bagi Orangutan

55

LAMPIRAN 7.

Peta Sebaran Orangutan Kalimantan dan

Sumatera


LAMPIRAN 1. PANDUAN UMUM DALAM MENYUSUN RENCANA PENGELOLAAN KONSERVASI Pendahuluan Panduan yang dapat dipergunakan dalam penyusunan rencana pengelolaan konservasi ini menggunakan pendekatan yang diperkenalkan oleh Conservation Measure Partnership pada tahun 2007, dalam dokumen yang berjudul “Open Standard for the Practice of Conservation.” Pendekatan ini merupakan kerja sama antara the African Wildlife Foundation, The Nature Conservancy, the Wildlife Conservation Society, dan the World Wide Fund for Nature dalam mengembangkan cara yang lebih baik untuk merancang, mengelola, dan mengukur dampak pelaksanaan konservasi yang dilakukan. Beberapa prinsip umum yang menjadi dasar pengembangan sebuah rencana pengelolaan konservasi, antara lain: • Keterlibatan para pemangku kepentingan. Salah satu dari prasyarat awal dari pemenuhan prinsip ini adalah penentuan siapa pemangku kepentingan, baik secara internal maupun eksternal, yang tepat. Pemangku kepentingan internal dapat berupa lembaga konservasi dan staf atau bagian dari perusahaan pemegang konsesi. Pemangku kepentingan eksternal dapat berupa perwakilan masyarakat, pejabat pemerintah, lembaga donor, lembaga internasional, dan individu atau institusi lain dalam bidang konservasi. • Pendekatan yang obyektif. Hal ini harus didasari pilihan target (sasaran) pelaksanaan konservasi yang dapat mewakili seluruh keragaman hayati. • Penanganan atas ancaman utama yang terjadi. Diperlukan upaya untuk mengidentifikasi ancaman utama, akar permasalahan dan kemudian melakukan tindakan untuk mengurangi, meringankan atau menghilangkan ancaman tersebut. • Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam. Merupakan sesuatu yang penting untuk melibatkan para pemangku kepentingan yang paling dirugikan akibat dampak kegiatan yang dilakukan para pemegang konsesi. Oleh karena itu sangat mendesak untuk melibatkan para anggota masyarakat di sekitar konsesi dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana tersebut. • Mengutamakan pendekatan kehati-hatian. Pendekatan kehati-hatian mendorong para pemilik konsesi untuk menghindari tindakan yang dapat mengakibatkan perubahan permanen pada fungsi ekosistem hutan. Strategi pengelolaan alternatif (termasuk alternatif tanpa penebangan, ekstraksi, atau konversi lahan) juga harus dipertimbangkan dalam melakukan pemilihan tindakan silvikultur, penambangan atau konversi lahan yang setidaknya dapat merusak keberadaan suatu spesies atau ekosistem. • Pengelolaan adaptif. Pengelolaan adaptif akan mempertimbangkan pelaksanaan pendekatan pengelolaan baru yang lebih terstruktur dan berbasis ilmiah. Pengelolaan adaptif bukanlah suatu upaya trial and error. Pengelolaan adaptif mengacu kepada proses terstruktur dalam penyesuaian pengelolaan, sebagai respon dari pelaksanaan sebuah program monitoring yang menguji sebuah hipotesa tertentu serta pengkajian kembali pengelolaan yang ada berdasarkan hasil monitoring tersebut.

27


Kedua pendekatan terakhir akan saling melengkapi. Sembari terus mengutamakan kehati-hatian dan kewaspadaan pada saat menghadapi situasi ketidakpastian, penebangan pohon, penambangan atau konversi lahan lainnya hanya dapat terus dilanjutkan apabila para pengelola konsesi berkeyakinan bahwa pengaruh negatifnya tidak akan terjadi. Begitu kondisi ini telah terpenuhi, tindakan pengelola selanjutnya harus dipandu oleh proses-proses pengelolaan adaptif. Melalui pendekatan terpadu seperti ini, dampak negatif yang membahayakan dapat dihindari, serta diperolehnya kesempatan pembelajaran dan peningkatan pengelolaan dalam menghadapi kondisi ketidakpastian.

Ringkasan Proses Pengembangan rencana pengelolaan konservasi adalah sebuah proses adaptif. Para pemangku kepentingan yang ada sebaiknya didukung oleh ahli konservasi, sehingga dapat mengidentifikasi target, ancaman dan intervensi konservasi, serta mengadaptasikannya ke konteks setempat.

Diagram 1. Tahapan pengembangan rencana pengelolaan konservasi.

Kajian literatur Langkah pertama dalam perencanaan pengelolaan konservasi adalah kajian literature, termasuk pengumpulan semua data menyangkut sistem informasi geografis (GIS) yang dapat digunakan dalam pengembangan sebuah model untuk menentukan prioritas untuk konservasi.

28


Idenfikasi target konservasi

Target konservasi dapat berupa spesies, sistem/habitat ekologis, atau proses-proses ekologis yang dipilih untuk mewakili dan meliputi seluruh kelompok keanekaragaman hayati pada sebuah wilayah. Target tersebut merupakan dasar untuk penetapan tujuan, pelaksanaan usaha-usaha konservasi, dan pengukuran efektifitas kegiatan konservasi. Menurut teori, sebuah kelompok target yang lengkap harus menjamin konservasi atas seluruh keanekaragaman hayati asli di lokasi tersebut. Pemilihan target konservasi biasanya membutuhkan masukan dari para ahli dan analisa data keruangan. Penilaian status yang lebih detail dapat dilakukan melalui penelitian khusus menyangkut ciri ekologis penting dari setiap target tersebut.

Kotak 1. Target Konservasi • Sistem ekologi terestrial • Sistem ekologi akuatik • Target spesies adalah: o Spesies yang terdaftar para daftar Merah IUCN o Spesies yang dilindungi peraturan pemerintah; o Spesies endemis; o Spesies yang mempunyai nilai budaya tinggi; o Spesies yang mempunyai nilai ekonomi tinggi; o Spesies kharismatis; o Spesies migrant; • Lain-lain adalah o Kelompok spesies atau habitat. o Lokasi kritis keanekaragaman hayati. diambil dari TNC (2000).

Idenfikasi target konservasi Target konservasi dapat berupa spesies, sistem/habitat ekologis, atau proses-proses ekologis yang dipilih untuk mewakili dan meliputi seluruh kelompok keanekaragaman hayati pada sebuah wilayah. Target tersebut merupakan dasar untuk penetapan tujuan, pelaksanaan usaha-usaha konservasi, dan pengukuran efektifitas kegiatan konservasi. Menurut teori, sebuah kelompok target yang lengkap harus menjamin konservasi atas seluruh keanekaragaman hayati asli di lokasi tersebut. Pemilihan target konservasi biasanya membutuhkan masukan dari para ahli dan analisa data keruangan. Penilaian status yang lebih detail dapat dilakukan melalui penelitian khusus menyangkut ciri ekologis penting dari setiap target tersebut. Idenfikasi dan peringkat ancaman langsung terhadap masing-masing target Ancaman langsung paling utama adalah kegiatan manusia yang dapat secara langsung mempengaruhi target konservasi yang ada, misalnya: penangkapan ikan secara berlebihan, perburuan, pembalakan, pembangunan jalan, pencemaran, pelepasan spesies invasive. Selain itu, ancaman langsung dapat pula berbentuk fenomena alam akibat dari kegiatan manusia, misalnya: kenaikan suhu karena pembabatan hutan, atau fenomena alam yang pengaruhnya meningkat akibat kegiatan manusia. Ancaman lainnya merupakan ancaman tidak langsung, misalnya: kemiskinan yang menyebabkan penduduk desa setempat menjadi ancaman bagi target konservasi yang ada. Dalam penyusunan proses ini hendaknya berfokus pada ancaman langsung dan tidak langsung. Sebagai rangkaian dari analisis, tingkat ancaman yang berlangsung dinyatakan dengan menggunakan nilai peringkat, agar fokus kegiatan dapat diterapkan pada bagaimana menghentikan ancaman terhadap masing-masing target, seperti terlihat dalam Diagram 2.

29


Diagram 2. Diagram ini menggambarkan beberapa ancaman langsung dan tak langsung pada tiga target konservasi. Tanda panah menunjukkan tindakan campur-tangan yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan ancaman-ancaman ini. Untuk beberapa ancaman tidak diperlukan campur-tangan – karena tindakan campur tangan di sini mungkin tidak bisa dilakukan (atau tidak praktis untuk dilaksanakan).

Analisa Kelayakan Setiap tindakan untuk mengurangi atau menghilangkan ancaman terhadap target konservasi diperlukan sebuah analisis untuk menentukan kelayakan pelaksanaannya. Banyak faktor dapat mempengaruhi kelayakan tindakan campur tangan, seperti: biaya yang terlalu mahal, kurangnya dukungan para pemangku kepentingan, efektiftivitas pengurangan ancaman, dsb. Hanya campur tangan yang praktis, layak dan yang disepakati bersama yang akan diusulkan di dalam rencana tersebut. Tindakan campur tangan atau kegiatan juga harus dapat diselesaikan dalam kerangka waktu yang ditentukan dalam rencana itu (disarankan 3 tahun).

Identifikasi Wilayah Pelaksanaan Intervensi Konservasi Beberapa tawaran tahapan yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi wilayah pelaksanaan bagi intervensi dan usaha konservasi yakni: i. Identifikasi wilayah yang mempunyai nilai konservasi tinggi (high conservation value) ii. Identifikasi wilayah yang merupakan sumber ancaman yang tinggi bagi target konservasi yang ada.

30


iii. Menggabungkan wilayah yang diidentifikasikan pada tahapan i dan ii di atas untuk mengidentifikasi wilayah yang bernilai konservasi tinggi yang menghadapi ancaman tinggi. Selanjutnya, wilayah tersebut harus menjadi fokus dalam upaya konservasi. Sistem Informasi Geografis (GIS) untuk mengidentifikasi i) dan ii) di atas disebut pendekatan Multiple Criteria Decision Analysis System (MCDAS), dimana beberapa kriteria penting yang mencerminkan secara terpisah nilai konservasi dan tingkat ancaman dikumpulkan untuk sebuah daerah konsesi dan wilayah sekitarnya. Kriteria umum yang dipakai dalam MCDAS untuk mengidentifikasi wilayah yang mempunyai nilai konservasi tinggi, adalah: • Daerah aliran sungai yang penting. • Habitat penting untuk spesies utama seperti untuk orangutan dan burung rangkong; • Areal dimana ada keterkaitan antara berbagai jenis habitat, fisiografi (tanah, geologi) dan ekosistem; • Areal penting untuk konektivitas habitat. Kriteria umum yang dipakai dalam MCDAS untuk mengidentifikasi wilayah yang sangat terancam, adalah: • Wilayah yang dekat jalan raya, kampung, sungai (yang menjadi bagian sistem transportasi utama, seperti di Kalimantan) yang meningkatkan aksesibilitas; • Bertetangga-an dengan wilayah yang sudah digarap misalnya perkebunan atau tanah yang sudah dikonversi; • Sejarah kebakaran dan ekologi kebakaran, misalnya: tanah gambut yang sangat rentan terhadap kebakaran pada musim kering, dan api dapat merambat jauh di bawah tanah;

Struktur Rencana Pengelolaan Konservasi Struktur Rencana Pengelolaan Konservasi adalah sebagai berikut: Visi Visi yang dikembangkan oleh para pemangku kepentingan hendaknya dapat menggambarkan hasilhasil ideal jangka panjang yang akan dicapai melalui (a) pencapaian yang baik dalam konservasi keragaman biologis dalam wilayah konsesi dan lansekap yang lebih luas dan (b) tuntutan dari para pemegang konsesi agar dapat mencapai tujuan bisnis mereka, sembari (c) berpegang pada prinsipprinsip penggunaan sumber daya alam yang berkelanjutan dalam wilayah konsesi, dan (d) berperan serta dalam pengurangan perubahan iklim.Visi ini mencakup jangka waktu yang jauh lebih panjang dari pada masa yang tertera dalam Rencana dan Strategi, dan dapat dipandang sebagai tujuan akhir dari dari kegiatan intervensi. Tujuan Tujuan akan berkaitan dengan pengaruh positif yang diperoleh dari sebuah rencana. Setiap tujuan berkait dengan sebuah target konservasi yang khusus dan dapat dilihat sebagai sebuah sasaran jangka panjang. Tujuan ini harus dikaji lagi sesudah siklus rencananya selesai (tiga tahun pertama). Sasaran Sasaran sebaiknya lebih spesifik daripada tujuan. Sasaran berfokus pada ciri-ciri target konservasi , misalnya habitat dan kemungkinan populasi spesies.

31


Sub-sasaran Setiap sub-sasaran menangani ancaman atau sekelompok ancaman. Agar tidak terlalu banyak subsasaran yang hendak ditangani, setiap ancaman diturunkan hanya pada satu sub-sasaran utama saja. Kegiatan Untuk setiap sub-sasaran, diusulkan sejumlah usaha dan tindakan konservasi untuk mengurangi atau menghentikannya. Tindakan ini dapat menangani beberapa ancaman dan harus dilihat sebagai usaha utama dari perusahaan untuk mencapai sasaran konservasi. Daftar kegiatan ini sebaiknya tidak terlalu panjang. Di penghujung siklus perencanaanya, sebaiknya dilakukan penilaian terhadap apa yang dicapai perusahaan, dan diputuskan apakah kegiatan harus dilanjutkan atau diubah, atau diusulkan kegiatan-kegiatan baru. Siklus berikutnya hendaknya mengakomodasi rekomendasi dari hasil penilaian pelaksanaan siklus sebelumnya, agar memperoleh manfaat dan hasil yang lebih baik. Pemantauan dan Evaluasi (Lihat Lampiran 4) Setiap tujuan, sasaran, sub-sasaran dan kegiatan yang disusun hendaknya diikuti oleh rencana pemantauan dan evaluasi (M&E) melalui penetapan indikator-indikator keberhasilan, agar kemajuan usaha-usaha konservasi yang dilakukan dapat dipantau. Untuk setiap kegiatan yang diusulkan, para pemangku kepentingan harus mengidentifikasi hasil (output), indikator, sarana verifikasi, dan para pelaksana kegiatan. Kerangka waktu Rencana Pengelolaan Konservasi harus mencakup jangka waktu yang menunjukkan pelaksanaan kegiatan.

Referensi yang Disarankan USAID /ARD (2005). Biodiversity Conservation: a guide for USAID staff and partners, September 2005 (USAID & ARD, BIOFOR).

32


LAMPIRAN 2. PANDUAN UMUM UNTUK MEMASUKKAN USAHA-USAHA KONSERVASI KE DALAM PROSEDUR STANDAR OPERASI (SOP) PENDAHULUAN Prosedur standar operasi (standard operational procedure, SOP) adalah sebuah prosedur yang memuat bagaimana cara penanganan kegiatan operasional tertentu yang telah disepakati oleh perusahaan dan dirumuskan dalam sebuah rangkaian instruksi. Memasukkan kegiatan-kegiatan konservasi ke dalam SOP sebuah perusahaan adalah sangat penting karena akan menjamin pelaksanaan kegiatan tersebut secara konsisten sepanjang waktu. SOP dapat juga membantu terbangunnya dukungan perusahaan secara menyeluruh dalam pelaksanaan sebuah rencana pengelolaan konservasi oleh seluruh staf perusahaan tersebut. Terdapat beberapa keuntungan penggunaan SOP dalam mencapai sasaran di atas, diantaranya: SOP menstandarkan pendekatan seluruh pekerja di dalam perusahaan mengenai prosedur pelaksanaan konservasi yang khusus; SOP memberikan batasan tugas-tugas seorang pekerja secara khusus menyangkut pelatihan selama masa orientasi; dan SOP meningkatkan kecepatan pembuatan keputusan penting dalam bidang tertentu, terutama dalam perencanaan keadaan darurat lingkungan seperti kebakaran, banjir, pembalakan liar, perambahan, perburuan, serta bantuan dan pemindahan orangutan. SOP dapat juga dipakai untuk menyebarluaskan praktek pengelolaan konservasi orangutan yang baik. Pembuatan dan penerapan SOP akan mempermudah referensi-silang prosedur pengelolaan konservasi antara beberapa perusahaan (wilayah konsesi) berbeda yang berada dalam satu perusahaan induk, dan konsistensi antar beberapa perusahaan yang berbeda atau antar kelompok perusahaan dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan mereka. Hal ini dapat juga meningkatkan kehati-hatian terkait penggunaan sumber daya alam oleh sekelompok perusahaan ketika mereka melakukan tindakan campur-tangan pada lingkungan. SOP sangat bermanfaat untuk menunjukkan kepada para pemangku kepentingan lainnya bahwa perusahaan tersebut sudah mempunyai pendekatan tertentu dalam pelaksanaan konservasi, dan dalam meningkatkan transparansi atas segala yang dilakukannya kepada kelompok konservasi, masyarakat setempat dan pemerintah. Hal ini sangat membantu ketika perusahaan menerapkan larangan bagi masing-masing individu atau kelompok yang beroperasi secara ilegal, misalnya, melanggar batas jalan perusahaan atau mengambil sumber-sumber daya alam dari sebuah wilayah konsesi. Semakin meningkatnya transparansi dalam perusahaan juga membantu menciptakan nilai-nilai konservasi yang dapat dirasakan bersama. Dalam sengketa mengenai pelaksanaan konservasi, SOP memberikan informasi kepada para penyelidik dari luar mengenai apakah prosedur konservasi yang benar sudah dijalankan dan apakah laporan pemantauan tersimpan dengan baik. Pada saat prinsip pokok konservasi dimasukkan ke dalam SOP, prinsip tersebut akan meningkatkan pengertian yang semakin besar di antara para karyawan perusahaan atas seluruh pelaksanaan sebuah rencana pengelolaan konservasi pada sebuah areal konsesi. SOP hendaknya memberikan keuntungan bagi para karyawan dengan meningkatkan kinerja dan menyederhanakan aktivitas pelaksanaan konservasi. SOP sebaiknya menyediakan kerangka pen-

33


gambilan keputusan yang inklusif dan bukan eksklusif, dapat diakses oleh seluruh karyawan, harus mengarah kepada tindakan yang khusus dan sederhana agar dapat diterapkan dengan mudah, dapat digunakan oleh para pengambil kebijakan di dalam perusahaan dalam pembuatan keputusan mengenai konservasi dan kemudian dikomunikasikan kepada karyawan lain. SOP sebaiknya tidak membatasi (restriktif), sehingga mengurangi kebebasan pribadi serta pendekatan pribadi terhadap pekerjaan masing-masing. SOP sebaiknya tidak menuntut terlalu banyak pekerjaan administratif. SOP hendaknya tidak mengurusi aspek-aspek pekerjaan sederhana, yang mengakibatkan terciptanya lingkungan yang sangat terkontrol bagi pelaksanaan kegiatan konservasi. Kajian pemantauan dan evaluasi (monitoring and evaluation atau M&E) atas sebuah rencana pengelolaan konservasi (conservation management plan atau CMP) akan membantu perusahaan memilih SOP mana yang diperlukan. Kajian yang dilakukan secara berkala ini akan membantu penilaian keberhasilan pencapaian pengelolaan konservasi secara kritis berkaitan dengan target, bidang-bidang yang mempunyai perbedaan mendasar antar indikator kinerja utama, serta ukuran pembanding (benchmark). (Lihat Lampiran 4 untuk mempelajari sistem pemantauan dan evaluasi lebih lanjut). Pendekatan ini menjamin bahwa perusahaan menerapkan SOP yang sangat penting dalam jangka pendek, tanpa memberi beban kerja tambahan yang berarti. Elemen SOP lain dapat diterapkan di kemudian hari jika dirasakan adanya keuntungan yang jelas bagi semua pemangku kepentingan.

Prinsip-prinsip penting yang hendaknya menjadi pertimbangan pembuatan SOP untuk tujuan konservasi Indikator kinerja dalam rencana pengelolaan konservasi • Jika mungkin, diperlukan seorang penilai independen untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja perusahaan dalam melaksanakan rencana pengelolaan konservasi perusahaan tersebut. Berkaitan dengan masyarakat setempat terdekat dan masyarakat terpencil • Memberikan pelatihan dan pendidikan mengenai pengelolaan limbah yang baik dan sistem yang sedehana. • Mengurangi jalan akses dari desa ke bagian-bagian lain dari areal konsesi. • Jika diidentifikasi adanya kebutuhan mengenai pengembangan alternatif ekonomi yang berkelanjutan,hendaknya perusahaan dapat memfasilitasi pelatihan dan pengembangannya. Kegiatan konservasi dari sumber luar (survei, usaha-usaha kegiatan) • Memastikan bahwa kontraktor, konsultan dan pelaksana kegiatan lainnya di dalam konsesi memahami rencana pengelolaan konservasi serta SOP yang dimiliki perusahaan, dan juga mentaatinya sebaik yang dinyatakan di dalam dokumen perjanjian kontrak. • Jika mungkin, tugaskan konsultan ahli untuk membuat survei orangutan dan target konservasi utama agar dapat mengidentifikasi habitat penting target konservasi ini dan menjadikannnya masukan terhadap rencana pengelolaan konservasi. Keselamatan dan keamanan • Menyusun rencana strategis untuk mengurangi konflik antara manusia dan orangutan (serta satwa liar lain terutama yang langka, rentan dan terancam punah) dan menentukan bagaimana

34


mengatasi konflik yang terjadi (Hal ini harus dilakukan bersama badan pengelola sumber daya alam, seperti: BKSDA, dan Badan/ Unit Taman Nasional). Kebijakan personalia dan pengembangan karyawan • Memastikan agar semua karyawan dari perusahaan telah menerima pendidikan dan pelatihan menyangkut bidang tugasnya (tertera dalam seksi seleksi karyawan di bawah ini). Sumber daya manusia dan koordinasi • Masyarakat setempat sebaiknya diutamakan untuk dipekerjakan dalam upaya meminimalisasi kehadiran masyarakat pendatang. Dalam banyak kasus, pendatang dari luar dapat meningkatkan tekanan pada orangutan, meningkatkan konflik antara manusia dan orangutan, dan menyebabkan pengambilan sumber daya alam lain dalam wilayah konsesi. • Perlu dilakukan pendefinisian dengan jelas peran semua pihak yang terlibat dalam masalah kehidupan satwa liar untuk menjamin agar usaha-usaha konservasi berjalan efektif. Aturan disiplin dan prosedur pengaduan • Tindakan penegakan disiplin atas pelanggaran SOP untuk masalah-masalah konservasi hendaknya dilakukan dengan tegas. Seleksi pegawai • Hendaknya ditetapkan petugas lingkungan yang akan bertanggungjawab atas pembuatan dan pelaksanaan rencana pengelolaan konservasi, dan mekanisme serta pelaksanaan dari rencana M&E pengelolaan adaptif. • Hendaknya dipertimbangkan kemungkinan untuk mencari seorang pelatih yang bertugas untuk melatih staf, kontraktor dan para penduduk desa setempat mengenai perlunya rencana pengelolaan konservasi serta pengaruhnya terhadap mereka. Hal ini mungkin memerlukan pelatihan khusus seperti pelatihan sistem hidrologis dan pengelolaannya, pengontrolan polusi, sistem septik sederhana dan pembuangan limbah manusia, pengelolaan kebakaran, nilai keanekaragaman hayati, pentingnya ekologi untuk satwa dan spesies utama di daerah tersebut, keuntungan rehabilitasi dan restorasi habitat. Standardisasi kegiatan operasional pokok • Penerapan panduan dalam melindungi konservasi keanekaragaman hayati dari kegiatan penebangan dan pembukaan lahan yang dilaksanakan kepada para pelaksana penebangan pohon dan operator pembukaan lahan. • Pengurangan kerusakan yang diakibatkan mobilitas kendaraan melalui pengawasan yang lebih ketat dan penerapan petunjuk Penebangan Berdampak Rendah (Reduced Impact Logging, RIL). • Penaatan petunjuk dalam RIL untuk kemiringan dengan gradien di atas 40%. • Pelarangan penggunakan api dalam aktivitas pembukaan lahan kepada para karyawan. • Pengurangan penggunaan produk minyak dan bahan kimia lain di dekat kawasan perairan. • Pengurangan pembuatan jalan yang berdekatan dengan habitat yang merupakan daerah konservasi utama. • Pengurangan jalan sekunder. • Pengutamaan pemanfaatan pengunakan jalan lama dibandingkan pembukaan jalan baru. • Pengurangan ancaman terhadap lokasi air dan vegetasi yang berada di pinggiran akibat dari konversi hutan, pembalakan liar, pembangunan jalan dan penambangan (terutama untuk menghindari pembuangan sisa tambang atau tailing, atau membuat kolam penampungan di dekat kawasan perairan). • Pelarangan kegiatan perburuan, mengupas kulit pohon dari pohon yang tidak dieksploitasi, dan penebangan pohon untuk pengambilan madu.

35


• Pelarangan pembelian daging dari pasar lokal yang merupakan hasil buruan dari hutan (daging dari hutan) bagi karyawan dan pihak lain yang bekerja untuk perusahaan. • Pembuatan kakus dengan sistem septik sederhana dan unit pembuangan limbah manusia dalam camp sementara atau permanen di hutan. • Permintaan pada para karyawan untuk melapor jika melihat satwa atau tumbuhan yang teridenfikasi terancam punah ke petugas utama konservasi. Sistem informasi manajemen • Pembuatan database konservasi untuk menyimpan (a) semua informasi mengenai satwa liar yang dilaporkan oleh kontraktor, penerima dana bantuan, dan konsultan, dan (b) hasil dari penilaian pengawasan dan evaluasi pelaksanaan rencana pengelolaan konservasi. Manajemen Proyek • Pelibatkan staf yang mengurus lingkungan dalam semua pengambilan keputusan strategis terkait dengan pengelolaan sumber daya alam (termasuk satwaliar) dalam konsesi dan masyarakat setempat terdekat yang terkait.

36


LAMPIRAN 3. PANDUAN UMUM PENGEMBANGAN PENDIDIKAAN DAN PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN DAN PELATIHAN KONSERVASI Pendahuluan Pelibatan masyarakat seringkali dianggap sebagai kegiatan hubungan kemasyarakatan melalui sebuah kegiatan pendidikan sebagai upaya pemberian informasi mengenai prakarsa pendidikan kepada masyarakat. Lebih luas lagi, pelibatan masyarakat dapat pula dipandang sebagai tindakan yang direncanakan untuk menggerakkan anggota setiap kelompok pemangku kepentingan terkait secara bersama dalam menghadapi tantangan yang ada. Panduan ini dimaksudkan untuk membantu para pemegang konsensi, lembaga pendidikan dan para pemimpin masyarakat untuk lebih fokus kepada apa yang dikategorikan sebagai tantangan bersama tersebut. Para pemangku kepentingan tersebut hendaknya mempertimbangkan peran strategis pelibatan masyarakat dalam usaha mempersiapkan para generasi muda memasuki pendidikan tinggi, bekerja dan menjadi warga negara yang paham mengenai tanggungjawab mereka terhadap lingkungan, serta peran mereka sebagai penjaga hutan dan pelestari orangutan yang potensial, terutama di dalam dan di sekitar lahan konsesi sumber daya alam. Dengan demikian, panduan ini memberikan: • Pendalaman mengenai pentingnya pelibatan masyarakat secara kontekstual. • Kerangka dan panduan pertanyaan untuk membantu para pemimpin masyarakat mengidentifikasi tujuan keterliban masyarakat dengan benar serta menentukan proses yang paling efektif untuk mencapai tujuan tersebut. • Usulan sarana bagi usaha pelibatan masyarakat, serta sumber daya yang diperlukan.

Pelibatan Masyarakat Konsultasi kepada kelompok masyarakat merupakan sebuah unsur sangat penting dari setiap strategi pelibatan masyarakat yang hendak dilaksanakan. Ada empat tingkat konsultasi yang menjadi unsur proses pelibatan masyarakat: • Saling berbagi informasi • Mencari jawaban atas permasalahan • Menggali masukan dari masyarakat terkait perencanaan • Pembuatan keputusan dan perencanaan secara bersama-sama Konsultasi masyarakat yang efektif adalah melalui kemitraan. Setiap proses konsultasi masyarakat hendaknya didasari adanya saling pengertian yang jelas mengenai masalah, sasaran, tujuan dan harapan. Hal ini menuntut perlunya dibuat sebuah definisi ringkas mengenai pokok konsultasi, alasan konsultasi dan sasaran konsultasi. Agenda dan proses konsultasi masyarakat hendaknya responsif dan fleksibel, dimana setiap hambatan harus menjadi fokus perhatian sejak awal. Hambatan harus diidentifikasi secara jelas dan sahih. Konsultasi yang efektif tidak selalu mengarah kepada pemufakatan atau pengambilan keputusan. Meskipun demikian, konsultasi yang efektif harus mengarah kepada pengertian yang semakin baik mengenai posisi peserta dan latar belakang sikap mereka mengenai pengambilan keputusan akhir.

37


Checklist rencana pelibatan masyarakat Bagian ini merupakan checklist yang terkait dengan pertanyaan yang harus dijawab selama tahap perencanaan pelibatan masyarakat tersebut mengenai masalah lingkungan: Identifikasi Masalah • Apa yang perlu dikonsultasikan? • Apa yang perlu didiskusikan dan diputuskan? • Apakah masalah kontroversial yang mungkin terjadi sudah diantisipasi? • Apa ada masalah yang benar-benar tidak bisa diselesaikan? Mendefinisikan Sasaran • Apakah sasaran dari konsultasi ini? • Informasi apa yang hendak dicari dari konsultasi ini? • Batasan masalah yang dikonsultasikan? • Apakah pengambilan keputusan secara konsensus merupakan tujuan? Identifikasi peserta • Siapa para pemangku kepentingan? • Siapa yang harus dilibatkan dalam konsultasi? • Apakah ada kelompok masyarakat tertentu menjadi sasaran (misalnya: para pembuat keputusan di tingkat masyarakat, pelajar, orang-orang tua, pengangguran, pemburu, dsb)? Memilih teknik • Teknik apa yang akan dipakai? • Apakah teknik yang dipilih merupakan teknik paling tepat bagi pencapaian sasaran dan bagi para peserta? • Apakah teknik-teknik non-tradisional telah dipertimbangkan untuk dimanfaatkan? Pemakaian teknik • Informasi terkait latar belakang, data, peta dan riset apa saja yang diperlukan bagi para peserta? • Format apa yang sesuai dalam menyampaikan informasi kepada para peserta (misalnya: pamflet, surat, slide presentasi, cerita dari media, iklan)? • Apakah informasi tertulis ringkas, konsisten dan dalam format yang tepat? • Apakah jargon dan istilah teknis telah diminimalisasikan atau diterangkan secara jelas? Kontrol Kualitas • Apakah mereka yang memimpin proses konsultasi mempunyai ketrampilan komunikasi efektif, negosiasi dan ketrampilan analisis? • Apakah pemakaian seorang fasilitator membantu dalam proses konsultasi? • Proses apa yang dipersiapkan jika terjadi konflik? • Tingkat konsultasi seperti apa yang diperlukan seandainya masalah besar muncul selama proses pelibatan masyarakat? Memaksimalkan kemampuan para pemangku kepentingan untuk berpartisipasi • Apakah hambatan yang mungkin muncul terhadap partisipasi dan sarana apa yang digunakan untuk mengatasinya? • Apa metode yang paling cocok untuk membangkitkan partisipasi? • Apakah seluruh kelompok kepentingan yang ada sudah dipertimbangkan? • Apakah sudah diperoleh dukungan dan pertimbangan dari para pemimpin masyarakat atau organisasi mengenai tata cara untuk berkonsultasi dengan masyarakat setempat?

38


Merumuskan jadwal • Apakah konsultasi ini akan dilakukan sekali atau merupakan sebuah proses? • Apakah jadwal konsultasi realistis? • Apakah ada hambatan terkait dengan waktu? Memperkirakan sumber daya • Sumber dan kriteria staf seperti apa yang diperlukan? • Apakah diperlukan pelatihan staf? • Apakah diperlukan personil dari luar (misalnya, fasilitator atau mediator)? • Apakah perlu menyewa tempat pertemuan, menyewa catering, dsb? • Apakah ada kesempatan untuk bekerjasama dengan para pemangku kepentingan? Hasil dan Pelaksanaan • Apakah hasil yang hendak dicapai didefinisikan secara jelas? • Bagaimana keputusan yang diputuskan dalam konsultasi akan dilaksanakan? • Bagaimana proses persetujuannya? Umpan balik • Bagaimana hasil konsultasi disampaikan kepada para peserta? • Bagaimana hasil-hasil tersebut akan disampaikan, apa saja yang relevan bagi perusahaan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat (kehutanan, pertanian dan pertambangan)? • Bagaimana hasil-hasil tersebut disampaikan kepada para pemangku kepentingan dan masyarakat luas? Evaluasi • Apakah proses evaluasi sudah dipersiapkan? • Bagaimana sebuah proses konsultasi yang sukses didefinisikan dan diukur?

Strategi Pelibatan Masyarakat Sebelum mempertimbangkan strategi pelibatan masyarakat, perusahaan perlu memutuskan apa yang diinginkan perusahaan dari proses tersebut. Kalau tujuannya adalah menyampaikan informasi, memberikan laporan atau berbagi informasi mengenai kebijakan atau usulan pemberian pelayanan, maka perusahaan tidak perlu mengkonsultasikannya. Perusahaan hanya perlu merencanakan sebuah program penyampaian informasi yang ditujukan untuk memberikan informasi kepada kelompok masyarakat atau pemangku kepentingan terkait. Tetapi, perusahaan memang perlu merencanakan konsultasi, dan juga mengklarifikasi secara terbuka dan transparan aspek-aspek mana dari masalah tersebut yang dapat atau tidak dapat dinegosiasikan atau dipengaruhi melalui konsultasi, pada saat perusahaan sedang dalam tahapan: • Mengusahakan pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan penataan. • Mengusahakan umpan balik masyarakat atas kebijakan yang sedang berlangsung atau tingkat pelayanan yang akan datang. • Mencoba mendapatkan informasi agar dapat membuat keputusan tepat mengenai usulan pelayanan darurat yang mempengaruhi masyarakat. Untuk dapat melakukan konsultasi yang efektif dan inklusif, hal-hal pokok berikut ini perlu dipertimbangkan: • Pelaksana konsultasi harus netral dan tidak berpihak. • Para fasilitator lokakarya dan forum publik haruslah terlatih dengan baik. • Tempat dan waktu penyelenggaraan konsultasi harus memungkinkan partisipasi maksimal,

39


dengan mempertimbangkan masalah seperti lokasi dan akses ke tempat tersebut. Laporan proses konsultasi harus tersedia hingga para manajer dan petugas komunikasi dari perusahaan yang terkait dapat memperoleh informasi mengenai masalah yang muncul selama proses pelibatan masyarakat.

Garis Besar Strategi Pelibatan Masyarakat Ringkasan Eksekutif Memberikan rincian sasaran dari strategi pelibatan masyarakat. Latar Belakang • Memberikan informasi yang sesuai terkait dengan pelayanan yang diberikan dalam wilayah yang menjadi target strategi pelibatan masyarakat. • Memberikan garis besar konsultasi sebelumnya yang dilaksanakan oleh perusahaan dalam wilayah yang bersangkutan. • Memberikan garis besar mengenai perubahan terhadap pemberian pelayanan dalam wilayah tersebut. • Memberikan rincian mengenai komunikasi formal sebelumnya antara komunitas yang terkena dampak dan pengambil kebijakan yang ada. Masalah • Memberikan secara rinci pandangan masyarakat yang terlibat terkait dengan pemberian pelayanan di wilayah yang terdampak oleh strategi pelibatan masyarakat. • Memberikan garis besar terkait masalah yang diharapkan dapat didukung oleh perusahaan dan pihak lainnya. • Memberikan rincian dukungan politik setempat bagi usulan pelibatan masyarakat. • Memberikan rincian konflik tertentu, kalau ada, yang harus diantisipasi. Pemangku Kepentingan Memaparkan seluruh para pemangku kepentingan utama yang harus dilibatkan selama proses pelibatan masyarakat. Tehnik Pelibatan Masyarakat • Memberikan gambaran rinci mengenai rencana metode pelibatan masyarakat. • Metode tersebut harus sesuai dengan sifat masalah dan tuntutan para pemangku kepentingan Ringkasan Memberikan ringkasan mengenai strategi pelibatan masyarakat, kerangka waktu pelaksanaan, dan proses evaluasi.

Bacaan yang disarankan Evans, K. et al. (2006). Guide to Participatory Tools for Forest Communities. Center for International Forestry Research. (Intiprima, Jakarta) Garnier, J. et al. (2010). Small Schools Project: strategic community engagement- a resource guide (Version 1.0)( Bill and Melinda Gates Foundation).

40


LAMPIRAN 4. PANDUAN UMUM PEMBUATAN SISTEM MONITORING DAN EVALUASI (M&E) Pendahuluan Pentingnya Pengelolaan Konservasi Pengelolaan konservasi yang baik sangat terkait dengan sistem M&E yang dirancang secara tepat, yang dapat menunjukkan akuntabilitas dan dampak campur-tangan terhadap lingkungan, serta sangat berperan penting dalam menentukan seberapa baik sebuah pengelolaan konservasi dilaksanakan. Sistem M&E dapat pula berfungsi sebagai sistem peringatan dini untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mungkin muncul, serta pemecahan yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut, yang berujung pada pengambilan keputusan yang semakin baik. Pra-perencanaan M&E Sebelum mulai membuat M&E untuk rencana pengelolaan konservasi, perusahaan hendaknya mempertimbangkan: • Apakah rencana strategi yang disusun telah mempunyai tujuan dan sasaran jelas. • Apakah M&E merupakan bagian kesatuan seluruh rencana strategi, termasuk tahap perencanaan, pelaksanaan dan pengkajian. • Apakah rencana strategi telah mencakup proses perbaikan masalah selama pelaksanaan dan sesudah terselenggaranya rencana strategi tersebut. • Apakah rencana strategi telah membedakan antara output (tingkat kegiatan) dan outcome (hasil kegiatan) secara jelas. Outcome (hasil kegiatan) lebih sulit dicapai secara akurat karena berjangka lebih panjang, tetapi hasil kegiatan tersebut harus jelas bentuk kemungkinan pencapaiannya di masa mendatang. Sedapat mungkin, M&E harus berfokus pada sesuatu yang dapat diukur, dan bukan hasil kegiatan abstrak. Meskipun demikian, pada saat berhubungan dengan sistem sosial, lebih baik menilai tingkah laku, persepsi dan sikap masyarakat yang berlangsung.

Pendekatan M&E Ada empat pendekatan utama yang digunakan untuk menilai keberhasilan sebuah rencana pengelolaan konservasi, yakni: 1. Mengukur efektivitas. Evaluasi untuk mengukur efektivitas perlu dikaitkan dengan tindakan campur-tangan terpisah yang diterapkan oleh para pengelola. Evaluasi untuk mengukur efektivitas dapat dibagi dalam dua katagori besar: penilaian dampak dan pengelolaan adaptif. Penilaian dampak biasanya merupakan penilaian sekali saja yang dilaksanakan sesudah selesainya sebuah proyek dalam menentukan seberapa baik target konservasi yang sudah berhasil dicapai oleh sebuah rencana konservasi. Penilaian dampak juga mencakup penilaian prediktif yang memberi penilaian atas wajar tidaknya sebuah campur tangan yang dilaksanakan. Sebaliknya, pengelolaan adaptif merupakan sebuah proses yang berulang-ulang yang melibatkan keutuhan sebuah perencanaan proyek, pengelolaan dan pengawasan untuk secara sistematis menguji tindakan campur-tangan agar dapat diadaptasi dan dipelajari. Perbedaan pengelolaan adaptif dengan penilaian dampak terletak pada pengelolan adaptif

41


kegiatan-kegiatan yang bisa diadaptasi pada saat diperlukan agar dapat mencapai tujuan dan sasaran konservasi. 2. Penilaian status. Penilaian status mengevaluasi kondisi atau status sebuah target konservasi (spesies, populasi, atau ekosistem), biasanya dengan tidak membedakan tindakan campur-tangan khusus yang dirancang untuk mencapai target tersebut. Penilaian status menunjukkan apa yang sudah dicapai pada titik waktu tertentu. Penilaian status memakai kerangka konseptual yang menggambarkan hubungan sebab akibat umum yang mempengaruhi kondisi target konservasi. 3. Riset dasar. Riset dasar melibatkan pengumpulan informasi dan pengetahuan terkait dengan kondisi lingkungan pada suatu kawasan konsesi untuk mengerti lingkungan tersebut dengan lebih baik, serta kemudian mengembangkan dan memperbaiki rencana pengelolaan konservasi. 4. Akunting dan sertifikasi. Evaluasi ini menentukan apakah perusahaan memenuhi kewajibannya terhadap pihak pendonor, masyarakat, pemerintah atau badan penegak hukum atau badan sertifikasi. Standar kepatuhan akuntansi biasanya dibuat di luar perusahaan, sedangkan sertifikasi melibatkan standar dan regulasi yang diterapkan sendiri, yang biasanya disertai dengan insentif ekonomi atau sosial.

Indikator Keberhasilan Konservasi Lembaga konservasi sudah sejak lama mengkonsentrasikan diri pada pelaksanaan M&E untuk dapat mengidentifikasi indikator-indikator dampak konservasi (pendekatan 1 di atas). Pendekatan ini cenderung bertumpu pada indikator, dengan hampir tidak memperhatikan perencanaan sistem M&E yang mengukur outcome terkait dengan tindakan campur tangan tertentu. Hal ini mungkin sesuai pada tingkat kebijakan atau untuk memberikan informasi dasar, tetapi tidak dapat dipakai untuk melihat proses sebab akibat yang dikaitkan dengan tindakan campur tangan di tingkat lapangan.

Kotak: Panduan pemilihan indikator untuk mengukur keberhasilan rencana pengelolaan konservasi wilayah konsesi. Kebanyakan lembaga konservasi besar mempunyai seperangkat kriteria untuk membantu mereka mengembangkan indikator kinerja. Ada beberapa kesamaan dalam banyak indikator ini, diantaranya: • Berkaitan dengan sasaran yang jelas dari rencana strategi (specific) • Berdasarkan pada sumber data serta metode yang akurat dan dapat dipertangung jawabkan (measurable) • Dapat dipercaya dan mampu diselesaikan dengan pembiayaan yang terjangkau (attainable) • Perangkat tersebut harus bisa diterima oleh semua tingkat organisasi perusahaan (relevant) • Dapat diintegrasikan ke dalam sistem informasi yang ada (trackable)

Akhir-akhir ini ada gerakan yang mengarah ke pendekatan yang lebih komprehensif terhadap M&E yang menekankan pengukuran keefektifan, pembelajaran, adaptasi, dan perbaikan terhadap program. Kalau dikaitkan dengan pengelolaan wilayah lindung, pendekatan berdasar pengelolaan efektif ini semakin mendapatkan dasar pijak yang kokoh. Meskipun indikator-indikator sendiri tidak cukup untuk mengungkapkan keefektifan tindakan campur-tangan konservasi, M&E yang didasari pendekatan penilaian status menuntut pengertian yang jelas tentang fungsi dan sebab-akibat ekologis, yang saat ini mungkin tidak terdapat di sebagian besar wilayah konsesi. Dikarenakan alasan ini, disarankan pemakaian pendekatan yang lebih tradisional untuk mengukur keefektifan, dimana kinerja rencana pengelolaan di wilayah konsesi dapat terus dimonitor.

42


Perencanaan M&E Dalam merancang M&E, perusahaan dapat dibantu dengan pertanyaan-pertanyaan dasar berikut ini: • Bagaimana bisa diketahui bahwa tujuan dan sasaran rencana pengelolaan konservasi yang dimiliki perusahaan telah mencapai sasaran? • Informasi mana yang akan membantu dalam menentukan kesuksesan rencana strategi? • Kapan informasi semacam ini dikumpulkan dan dinilai? • Bagaimana pengumpulkan informasi ini dilakukan? • Apa saja kekuatan dan kelemahan rencana strategi yang berlangsung selama ini? • Siapa saja yang akan berminat terhadap evaluasi dari rencana strategi? • Bagaimana caranya agar rencana strategi dapat diperbaiki?

Pelaksanaan M&E Akhir-akhir ini para pemangku kepentingan dari berbagai bidang telah bekerja sama dengan beberapa jenis sektor konsesi berbasi sumber daya alam dalam mengembangkan rencana M&E untuk rencana tindakan pengelolaan konservasi. Tabel berikut ini menggambarkan struktur tabel M&E, yang memberikan ringkasan indikator untuk sasaran (indikator output) dan kegiatan (indikator proses) untuk orangutan. Monitoring Buatlah sistem M&E sederhana, mudah didapat dan mudah dilaksanakan • Buatlah secara jelas mengenai tujuan dan lingkup sistem M&E. • Buatlah sistem yang memenuhi, tidak melampui, tingkat keperluan pokok semata. • Gunakan indikator yang jelas dalam mengukur dan menginterpretasi data. Buatlah Sistem M&E relevan • Bekerjalah dengan staf proyek, pengelola, dan para pemangku kepentingan untuk membuat pertanyaan-pertanyaan evaluasi yang relevan dan praktis. • Pergunakan seperangkat indikator yang dimengerti oleh para pembuat • kebijakan dan keputusan dalam pengelolaan. • Pilihlah indikator yang mendorong tindakan yang benar dan berfungsional, jelas, berdaya paksa dan dimengerti. Analisa Buatlah Sistem Informasi Saudara Mudah Dikelola • Proses dan analisalah informasi di tingkat lapangan – jangan hanya semata-mata mencatat data. • Sintesakan informasi yang berjumlah besar tersebut menjadi prinsip-prinsip yang • sederhana yang dapat meringkas pelajaran yang sudah didapat. • Pastikan bahwa data yang ada mendukung kesimpulan. Buatlah Komprehensif • Kumpulkan informasi monitoring mengenai masukan (input), keluaran (output), hasil kegiatan (outcome) dan dampak. • Buatlah analisa baik untuk keberhasilan dan kegagalan agar dapat menentukan alasan bagaimana hal tersebut dapat dicapai. • Catatlah dan komunikasikan pelajaran-pelajaran penting.

43


Komponen

Uraian

Peringkat ancaman

Output

Indikator

Sarana

Pelaksana

1 =rendah, 4 = tinggi

Habitat orangutan dipertahankan atau ditingkatkan sesudah 3 tahun

Adanya perubahan wilayah habitat orangutan dalam Q1 dibanding dengan Q12

Peta

Perusahaan

1

Membentuk komisi Komisi bertugas pemangku kepentingan secara efektif Kegiatan dari berbagai bidang 1.1.1 untuk membantu/ melaksanakan BMP

Notulen Rapat

Mengidentifikasi dan Kegiatan memetakan wilayah dengan nilai konserva1.1.2 si tinggi bagi orangutan Membuat daftar dan peta pohon Kegiatan yang penting 1.1.4 bagi pakan orang utan.

Peta

Perusahaan, masyarakat setempat, pihak berwenang setempat Perusahaan

1

Peta dan laporan monitoring untuk pohon pakan Laporan survei

Perusahaan

2

Perusahaan

2

Memperjelas peraturan internal untuk zona penyangga termasuk penyangga sempadan sungai. Hal ini harus sama atau melebihi apa yang diatur dalam peraturan pemerintah.

Peraturan internal

Perusahaan

2

Koridor hayati diidentifikasi dan dipetakan

Peta

Perusahaan

2

Peningkatan pengetahuan mengenai sebaran dan besaran jumlah orangutan di wilayah konsesi

Laporan survei

Sasaran 1

Menjamin perlindungan orangutan dan habitatnya dalam sebuah konsesi

Subsasaran 1.1

Mengidentifkasi wilayah dengan nilai konservasi tinggi bagi spesies target

Kegiatan 1.1.5

Kegiatan 1.1.6

Kegiatan 1.1.7

Kegiatan 1.1.8

44

Mengidentifikasi dan melindungi spesies pohon rambat yang digunakan oleh manusia dan orangutan. Menyisihkan wilayah yang cukup untuk konservasi, termasuk daerah penyangga sempadan sungai di wilayah konsesi seperti yang ditunjukkan dalam kegiatan 1.1.2 -1.1.5) Membuat dan melindungi habitat penghubung dan koridor hayati Melaksanakan program untuk memonitor jumlah orangutan

Semua wilayah yang penting bagi orangutan diidenfikasi dan dipetakan. Pohon pakan untuk orangutan dalam konsesi diidentifikasi, ditandai dan dipetakan dalam waktu 3 tahun. Pohon rambat di wilayah nilai konservasi tinggi dipetakan

2


• Buatlah penilaian bukan hanya apakah perusahaan sudah bertindak efektif, tetapi juga apakah pendekatan-pendekatan alternatif bisa lebih efektif. Komunikasi Pertimbangkan Siapa Pemakainya • Konsultasi dan pelibatan para pemangku kepentingan melalui proses evaluasi, termasuk kapan harus mengkomunikasikan temuan-temuan yang didapatkan. • Komunikasikan temuan-temuan dalam sebuah bentuk yang sesuai bagi keperluan para pihak yang berkepentingan. Informasi harus jelas dan dapat dimengerti. • Informasi harus mendorong, memberikan keterangan dan mendukung proses belajar. • Sampaikan saran dan kritik dalam tata cara budaya yang tepat. Penggunaan/adaptasi Hubungkan Penilaian dengan Pengambilan Keputusan • Tegaskan dari awal dalam rencana kerja bagaimana rencana tersebut akan menggunakan hasilhasil evaluasi. • Berikan saran-saran jelas untuk meningkatkan keberhasilan pengelolaan. • Identifikasi dengan jelas siapa yang bertanggungjawab untuk menindaklanjuti saran tersebut. Menciptakan Lingkungan Pembelajaran • Pakailah kesalahan sebagai cara untuk belajar dan berubah. • Buatlah struktur insentif yang dapat menerima diadakannya percobaan dan inovasi berkaitan dengan risiko yang mungkin terjadi dan imbalan yang diperoleh. • Buatlah dokumen secara sistematis mengenai proses yang sudah dijalani tim Saudara, serta hasil-hasil yang sudah dicapai.

Referensi yang Disarankan: Stem, C. et al. (2003). A Review of Monitoring and Evaluation Approaches and Lessons Learned in Conservation: Summary Results from the Measuring Conservation Impact Initiative. Hal. 1-17, World Parks Congress: Benefits Beyond Boundaries, Durban, South Africa, September 8-18, 2003 (Foundations of Success, Wildlife Conservation Society & Conservation International).

45


46


LAMPIRAN 5. SUMBER EKOLOGI PENTING YANG DIBUTUHKAN ORANGUTAN Ekologi umum Orangutan sangat rentan terhadap kepunahan karena spesies ini berkembangbiak sangat lambat. Satu individu betina akan melahirkan hanya tiga sampai lima anak pada masa hidupnya yang dapat mencapai usia di atas 50 tahun. Dengan demikian, perburuan, perusakan habitat dan gangguangangguan lain yang mengganggu perkembangbiakan hampir pasti akan menyebabkan turunnya populasi orangutan secara drastis. Orangutan hanya dapat bertahan hidup di alam apabila habitat hidupnya di kawasan lindung dikelola benar, dan apabila para perusahaan berbasis sumber daya alam mau berperan aktif dalam pelaksanaan konservasi orangutan di wilayah konsesinya. Hal ini hendaknya didukung oleh pendekatan yang mempelajari dengan cermat sejauh mana orangutan yang ada dalam wilayah konsesi menggunakan dan membutuhkan sumber daya dari lansekap di sekitarnya. Pendekatan seperti ini perlu melibatkan banyak pemangku kepentingan karena orangutan merupakan satwa yang memerlukan habitat hutan yang relatif luas dan saling terhubung, serta tersedianya buah dan pakan utama lain sepanjang tahun untuk bertahan hidup. Orangutan lebih menyukai habitat hutan luas yang saling terhubung sehingga memudahkan mobilitas dari populasi yang ada, dengan demikian menjaminkan terdapatnya berbagai macam gen untuk menghindari perkembangbiakanseinduk (in-breeding). Hutan-hutan dataran rendah Sumatera dan Kalimantan sangat penting karena orangutan jarang sekali ditemukan di ketinggian diatas seribu meter, dimana pakan kesukaan mereka lebih sulit didapatkan (lihat Morrogh-Bernard H.C. et al., 2008). Pakan kesukaan orangutan adalah buah-buahan terutama buah ara (figs), durian, rambutan, mangga, jambu-jambuan, dan banyak buah-buahan hutan yang kurang dikenal. Orangutan juga memakan daun, biji dan kulit dari berbagai macam spesies pohon, beberapa macam serangga (seperti: rayap dan semut), dan madu. Perubahan musim terkadang menyebabkan ketiadaan makanan, orangutan sering kali akan mengubah baik jenis pakan maupun lokasi mencari pakan, sambil mencari pakan yang lebih baik di tempat lainnya. Dalam kondisi, hutan yang telah terfragmentasi, koridor pepohonan harus diciptakan kembali. Hal ini penting dilakukan terutama di Sumatera, karena banyak orangutan sumatera hidup sepenuhnya di pepohonan (mungkin karena adanya predator besar yang berdiam di lantai hutan seperti harimau). Keadaan ini agak berbeda dengan saudaranya di Kalimantan, orangutanjantan dewasa akan seringkali berjalan dan mencari makan dengan berjalan di tanah, sedangkan betinanya yang lebih kecil biasanya akan tetap hidup di pepohonan. Untuk memahami keperluan khusus bagi keberlanjutan hidup orangutan di habitat aslinya, pertama-tama harus mengerti kebutuhan spesies ini akan pakan, ruang dan daerah jelajah. Di hutan alam, orangutan biasanya membatasi kegiatan mereka di lokasi yang khusus (daerah jelajah) yang mereka huni dalam jangka waktu yang sangat lama. Orangutan biasanya tinggal di wilayah yang bahkan beberapa bagiannya sudah rusak karena kegiatan produksi kehutanan atau konversi lahan. Bentangan luasan daerah jelajah mereka tergantung pada jenis hutan serta ketersediaan pakan. Orangutan di hutan-hutan rawa mempunyai daerah jelajah paling luas, yang berkisar dari sekitar 850 hektar bagi betina dewasa sampai 2500 hektar bagi jantan remaja dan dewasa, dengan tingkat tumpang tindih diantara mereka yang tinggi.

47


Orangutan di hutan gambut mengkonsumsi buah dengan proporsi yang besar sepanjang tahun, dibandingkan dengan orangutan yang hidup di hutan dataran rendah lain, terutama jenis yang merupakan campuran pohon-pohon hutan yang didominasi pohon-pohon dipterocarp. Hal ini dikarenakan produksi dan ketersediaan buah-buahan di hutan gambut relatif berlimpah, jika dibandingkan dengan hutan-hutan dataran rendah yang didominasi dipterocarp, yang sangat bergantung kepada musim dimana kebanyakan pohon berbuah bersama-sama untuk masa yang pendek, diikuti dengan masa ketiadaan buah-buahan dalam jangka waktu lama. Orangutan membutuhkan makanan yang banyak untuk memenuhi kebutuhan energi dan nutrisinya sehari-hari. Semakin buruk kualitas energi dan nutrisi dari pakan yang tersedia, semakin jauh orangutan harus mencari pakan, serta semakin banyak waktu yang dibutuhkan orangutan untuk dapat memperoleh kuantitas nutrisi yang sama. Karena itu, orangutan yang tinggal di hutan gambut beristirahat lebih sedikit dan berjalan lebih jauh daripada orangutan yang hidup di hutan yang didominasi pohon-pohon dipterocarp. Pohon ara (fig) mencakup sekitar tiga persen dari semua spesies pohon di hutan yang dihuni orangutan. Ara merambat (strangler fig) dapat menghasilkan buah sepanjang tahun, dan orangutan gemar mengkonsumsi buah dari tumbuhan ini, sementara pohon buah lainnya hanya berbuah untuk masa yang lebih terbatas. Kondisi buah yang berserat tinggi tetapi menyediakan energi rendah, pohon ara menjadi pakan pokok orangutan (terutama orangutan sumatera) saat buah lainnya sedang sangat sedikit tersedia. Pada saat buah-buahan tidak tersedia dalam jumlah yang cukup, orangutan akan mengkonsumsi pakan yang bernutrisi lebih rendah seperti kulit bagian dalam (kambium) dan dedaunan, akibatnya berat badan orangutan akan menurun.

Perilaku Orangutan Sesudah hampir 50 tahun dilakukan studi mempelajari prilaku orangutan, terutama mengenai prilaku reproduksi, cara makan dan tingkah laku sosialnya. Beberapa populasi orangutan mempunyai ‘kultur’ (budaya) yang berbeda, dengan menunjukkan cara-cara yang berbeda dalam membuat sarang,, dan beragam teknik dalam pengambilan pakan yang sukar diperoleh. Keberagaman budaya ini sangat terlihat diakibatkan adanya halangan geografis seperti sungai yang memisahkan populasi orangutan. Perbedaan-perbedaan perilaku ini mencerminkan kemampuan belajar yang luar biasa dari orangutan. Observasi lapangan biasanya dilakukan terhadap masing-masing orangutan yang sudah terhabituasi oleh kehadiran manusia, karena sangat sulit menemukan orangutan yang tinggal di hutan rimba. Biasanya, orangutan menghindari manusia mungkin karena orangutan sering diburu. Pendekatan alternatif lain adalah menghitung tempat orangutan tidur (sarang). Meskipun metode ini memberikan ukuran bagi jumlah orangutan yang terdapat di lokasi tertentu, sukar membandingkan dengan tepat jumlah sarang dengan perkiraan besaran jumlah populasi orangutan di tempat tersebut. Oleh karena itu sebaiknya perhitungan dilakukan oleh ahlinya. Survei orangutan di Kalimantan menunjukkan bahwa meskipun orangutan lebih menyukai hutan dengan kanopi yang menyambung, orangutan juga dapat tinggal di hutan-hutan yang terganggu (disturbed forest). Sejauh mana orangutan dapat bertoleransi terhadap perubahan atas kualitas tempat huniannya, daerah jelajah yang masih dalam kondisi hutan alami dan jumlah makanan yang tersedia untuk mereka kelihatannya tergantung pada spesies dan sub-spesies, dimana orangutan sumatera terlihat kurang mampu beradaptasi dengan perubahan lingkungan mereka.

48


Pengaruh Pembalakan Pada saat hutan terdegradasi karena pembalakan, ketersediaan pangan bagi orangutan dapat berubah secara drastis. Misalnya, pada saat melakukan pemanenan, beberapa perusahaan juga akan membuang ara merambat dan pohon merambat lainnya, yang secara langsung akan mempengaruhi ketersediaan sumber pakan orangutan. Pembalakan juga mempengaruhi sebaran pohon dan kondisi strata (lapisan vertikal) pohon yang membentuk struktur hutan, yang mengakibatkan melebarnya jarak antar pohon, yang menyebabkan perjalanan orangutan menjadi sulit, dan dengan demikian mengurangi jumlah orangutan di wilayah tertentu (misalnya, penurunan densitas). Dalam beberapa laporan berdasarkan penelitian di Kalimantan, penuruan densitas yang terjadi dapat mencapai 30%, dan penurunan lebih besar lagi dilaporkan terjadi di Sumatera. Penurunan populasi orangutan yang terjadi juga dapat diperparah jika para penebang kayu melakukan pemburuan orangutan selama mereka melakukan kegiatan penebangan. Bahkan saat tidak terjadi perburuan, orangutan akan tetap menghindari para penebang kayu dan menjauh dari wilayah penebangan yang sedang berlangsung. Apabila situasi setempat kondusif, misalnya, hampir tidak ada manusia yang tinggal di daerah tersebut dan hanya ada sedikit kerusakan dari hutan yang terjadi karena terfragmentasinya hutan menjadi unit hutan yang lebih kecil atau tidak terhambat mobilitasnya karena jalan, maka orangutan akhirnya akan kembali ke hutan semula. Kalau kemudian hutan ini dibiarkan saja, pada kebanyakan hutan yang sudah dibalak akan kembali seperti semula sesudah 50 atau 100 tahun, dan kemudian dapat menampung densitas populasi orangutan sama seperti pada awalnya. Penerapan Reduced Impact Logging (RIL) merupakan proses dimana hanya sedikit pohon diambil untuk diperjual belikan dari sebuah wilayah konsesi, yang mengupayakan terjadinya kerusakan terhadap pohon, vegetasi, tanah dan kemampuan tanah untuk menahan air. Apabila RIL, yang meminimalisasi terjadinya degradasi hutan, dapat secara langsung mengurangi ancaman terhadap orangutan pada penebangan kayu komersial, diterapkan densitas orangutan dari tingkat medium sampai tinggi dapat terus berlangsung hidup di kawasan tersebut..

Konversi lahan menjadi areal perkebunan Konversi hutan menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan biasanya melibatkan pembersihan hutan dan vegetasi yang masih tersisa, untuk selanjutnya dilakukan penanaman pohon yang cepat tumbuh untuk menghasilkan serat atau komoditas perkebunan, seperti sawit. Kedua kawasan ini tidak menyediakan pakan atau tidak terdapat pakan sama sekali untuk orangutan. Hal ini mengakibatkan terjadinya pengurangan jumlah orangutan yang ada di wilayah tersebut, dimana dalam beberapa kasus populasi orangutan menjadi nol. Meskipun demikian, beberapa jenis hutan tanaman industri dapat menyediakan makanan bagi orangutan, setidak-tidaknya dalam jangka pendek. Misalnya, kulit bagian dalam pohon Acacia mangium dapat memberikan nutrisi yang cukup untuk bisa menghidupi orangutan, yang kelihatannya menyukai rasa manis dari getah pohon. Sayangnya, karena orangutan mengelupasi kulit pohon akibatnya pohon akan mati pada saat orangutan menyerap getahnya. Kondisi ini akan menyebabkan kerugian pada perusahaan pemilik konsesi tanaman industri serta menimbulkan konflik dengan pihak tersebut. Perubahan dalam riset seputar habitat orangutan telah mencakup bagaimana merancang dan mengelola bentang hutan untuk memaksimalkan kemungkinan hidupnya orangutan, dan sekaligus meminimalisasi kerugian ekonomi pada perusahaan swasta serta masyarakat sekelilingnya. Mem-

49


pertahankan areal hutan yang sudah disisihkan yang dihubungkan melalui koridor yang berisi buahbuahan dan pohon tempat bersarang (yang terletak di pinggiran daerah perkebunan, sehingga mengurangi kemungkinan orangutan masuk ke kawasan perkebunan) merupakan unsur pokok bagi pengelolaan orangutan di wilayah perkebunan. Saran pengelolaan kebutuhan dasar orangutan: 1) Pertahankan pohon-pohon besar untuk memfasilitasi pergerakan orangutan dengan menyediakan kanopi hutan dan membangun sarang. 2) Pertahankan pohon buah-buahan, terutama pohon ara (fig). 3) Jangan potong pohon rambat dan fig kecuali kalau menebang pohon. 4) Kurangi jalan dan infrastruktur yang membelah hutan menjadi kelompok-kelompok kecil. 5) Identifikasi sejauh mana orangutan dalam wilayah konsesi menggunakan wilayah di sekitarnya dan bekerja dengan para pemangku kepentingan lain untuk mengelola daerah tersebut dan membiarkan orangutan dapat leluasa bergerak bebas sejauh mana bisa. 6) Kurangi konflik antara manusia dan orangutan melalui penyediaan habitat alternatif dan pelatihan yang benar dalam perkebunan hutan kayu dan kelapa sawit.

Referensi yang Disarankan Marshall, A.J. et al. (2008). Perspectives from population viability analysis models: hal. 311-327, Bab 22, Orangutan population biology, life history, and conservation. Oxford Scholarship Online Monographs. Morrogh-Bernard H.C. et al. (2008). Orangutan activity budgets and diet: a comparison between species, populations and habitats, models: hal.119-133, Bab 8, Orangutan population biology, life history, and conservation. Oxford Scholarship Online Monographs. Agnes Ferisa et al. (2008). Daftar pakan orangutan. BOS Orangutan Reintroduction Project, Samboja Lestari, East Kalimantan (2007-2008). (BOS, East Kalimantan - Samboja Lestari)

50


LAMPIRAN 6. ANCAMAN POTENSIAL BAGI ORANGUTAN Pendahuluan Ancaman terhadap kehidupan orangutan di alam bisa bersifat langsung maupun tak langsung, misalnya, ancaman langsung adalah ketika seseorang menembak orangutan, menebang pohon atau membakar pohon yang dihuni orangutan. Ancaman tak langsung adalah ancaman yang mempunyai pengaruh yang merusak kehidupan jangka panjang melalui serangkaian hubungan tertentu, misalnya, tidak jalannya penegakan hukum atas kejahatan atas satwa liar atau kejahatan kehutanan yang membiarkan tumbuh-suburnya kegiatan ilegal seperti perburuan. Perusahaan biasanya akan berperan pada pengelolaan atau pengurangan ancaman langsung dalam wilayah konsesi mereka, karena kebanyakan ancaman tak langsung berada di luar kewenangannya, setidaknya dalam jangka-pendek. Ancaman utama yang tak langsung terhadap kelangsungan hidup orangutan di alam adalah hilangnya habitat – melalui penebangan resmi maupun pembalakan liar, konversi tanah, dan kebakaran hutan – dan perdagangan satwa liar. Sebuah ancaman global terhadap orangutan, baik langsung maupun tidak langsung, dapat digambarkan seperti pada Diagram 1. Diagram 1. Peringkat ancaman global terhadap orangutan di lokasi yang menjadi kajian USAIDOCSP

51


Ancaman Langsung Perkebunan Kelapa Sawit Program Lingkungan PBB (UNEP) pada 2007 melaporkan bahwa ekpansi besar-besaran kelapa sawit sudah merupakan penyebab utama terjadinya deforestasi di Indonesia, bahkan sudah melampaui pembalakan liar dan kebakaran hutan. Meningkatnya pembangunan perkebunan minyak sawit yang berlangsung merupakan respon dari meningkatnya permintaan produk ini, baik untuk dikonsumsi maupun sebagai bahan baku bagi bioenergi. Laporan UNEP menyatakan bahwa laju kehilangan habitat orangutan telah meningkat 30% lebih cepat daripada prediksi semula. Dalam laporan tersebut dinyatakan “Saat ini, terjadi peningkatan luar biasa dalam pemanfaatan lahan untuk perkebunan (kelapa sawit) yang merupakan ancaman terbesar bagi orangutan dan hutan dimana orangutan menggantungkan hidupnya. Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit merupakan sebab utama hilangnya hutan hujan alami secara permanen. Permintaan yang besar untuk produk aneka guna tersebut menyebabkan sulitnya mengurangi perluasan perkebunan.� Saat ini ada hanya sekitar 12 juta hektar habitat orangutan yang tersisa di Kalimantan. Delapan persen dari wilayah ini sekarang terancam oleh perkebunan kelapa sawit. Meskipun proporsinya relatif kecil, wilayah yang sekarang sedang terancam oleh perkebunan kelapa sawit merupakan kawasan yang memiliki densitas orangutan tertinggi di Kalimantan. Kondisi kelapa sawit yang monokultur tidak menyediakan habitat yang memungkinkan bagi orangutan, perkembangan perkebunan kelapa sawit pasti merupakan penyebab utama turunnya populasi orangutan. Karena besarnya densitas orangutan di wilayah yang sedang direncanakan untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit ini, apabila rencana tersebut terus dilanjutkan, yang merupakan habitat bagi 9.800 orangutan atau sekitar seperlima dari populasi orangutan di Kalimantan yang diketahui pada tahun 2004, akan hancur. Pembalakan liar Laporan UNEP menyatakan bahwa pembalakan liar terjadi di 27 dari 41 Taman Nasional di Indonesia dan kemungkinan masih akan terus bertambah. Laporan tersebut mengatakan: ‘dengan tingkat intrusi saat ini, nampaknya beberapa Taman Nasional akan terdegradasi sangat parah dalam jangka paling lama tiga sampai lima tahun mendatang, yaitu menjelang tahun 2012.’ Pembalakan liar merupakan tantangan yang luar biasa, sebagian karena sukarnya penerapan perundangan di Taman Nasional yang sedemikan luas di Indonesia, dimana hanya ada 2.000 jagawana di wilayah yang melebihi 100.000 kilometer persegi. Kebakaran hutan Penyebab lain dari hilangnya habitat seringkali adalah kebakaran hutan yang tak terkendali dan sengaja dilakukan untuk membersihkan hutan sebagai persiapan tanam kelapa sawit. Orangutan seringkali terperangkap dalam kebakaran hutan ataupun mati terbakar (terutama orangutan betina dan anaknya). Fragmentasi habitat Banyak aktivitas yang menyebabkan wilayah hutan yang ada terpisah-pisah menjadi blok-blok hutan dengan luas yang beragam, seperti: konversi lahan, pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya. Kegiatan tersebut secara langsung akan mengurangi wilayah yang dapat dipergunakan orangutan untuk dapat bebas berkeliaran. Berlangsungnya fragmentasi habitat orangutan akan mengurangi kesempatan orangutan untuk memperoleh sumber-sumber makanan untuk bertahan hidup, sehingga membuatnya lebih rentan terhadap kepunahan baik disebabkan oleh kelaparan, penyakit, mau-

52


pun kebakaran. Fragmentasi habitat juga mengurangi kelancaran genetika antara berbagai macam sub-populasi orangutan. Ini akan menyebabkan perkawinan sesama saudara (in-breeding), yang dapat meningkatkan penurunan penyakit genetik pada keturunan selanjutnya, sehingga daya hidup anak orangutan menjadi sangat menurun. Hal ini akan berpengaruh sangat serius pada kelestarian orangutan untuk dapat bertahan hidup di kantong-kantong hutan dalam jangka panjang. Perburuan dan Perdagangan Perburuan dan perdagangan orangutan juga secara signifikan berpengaruh kepada populasi orangutan yang tersisa di hutan. Para pemburu dan pedagang berkonsentrasi pada orangutan yang dapat paling mudah ditangkap atau yang mempunyai nilai ekonomis paling tinggi. Dengan demikian, bayi orangutan merupakan target utama untuk para pedagang. Meskipun sukar menilai dampak perdagangan orangutan terkait dengan populasinya di hutan, data menunjukkan bahwa di Indonesia, jumlah orangutan kalimantan yang diperdagangakan dapat mencapai 500 individu setiap tahun. Mayoritas terbesar berasal dari orangutan yang masih kecil. Umum diketahui untuk setiap anak orangutan yang diperdagangkan, akan pula mengakibatkan terbunuhnya sang induk dalam proses penangkapan. Kondisi ini akan menyebabkan kehilangan populasi orangutan di hutan secara besar-besaran. Sebagai mana diketahui, tingkat reproduksi orangutan sangat rendah dan membutuhkan waktu yang panjang dalan proses membesarkan anaknya (jarak antar kelahiran 6-9 tahun) , pembunuhan 500 orangutan betina yang terjadi setiap tahunnya akan mempercepat kepunahan populasi spesies ini di alam. Orangutan merupakan salah satu spesies dengan permintaan terbesar untuk hewan sirkus, pasar binatang peliharaan, panggung hiburan, dan kolektor pribadi di seluruh dunia. Keadaan perburuan ini masih terus berlangsung meskipun Indonesia menjadi anggota dari Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES), dimana orangutan terdaftar pada Lampiran I, yang melarang semua perdagangan spesies ini secara komersial.

Ancaman Tak Langsung Ada banyak ancaman tidak langsung yang menyebabkan terjadinya situasi ancaman langsung. Salah satu dari ancaman tidak langsung ini adalah tingginya tingkat kemiskinan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan yang menjadi habitat orangutan. Penduduk yang sangat miskin seringkali memburu orangutan untuk dijadikan makanan, membuka hutan untuk pertanian, dan terlibat dalam pembalakan liar. Meskipun demikian, ancaman yang paling besar muncul dari tidak adanya peraturan perundangan yang tepat untuk melindungi habitat orangutan. Meskipun membunuh orangutan merupakan sebuah tindakan ilegal, tidak ada peraturan yang secara tegas melindungi habitat orangutan. Selain itu, penerapan penegakan bagi kehidupan satwa liar yang diharapkan dapat melindungi orangutan masih berjalan dengan sangat buruk.

Referensi yang Disarankan USAID-OCSP (2008). Orangutan threats: trade, Brochure Hadiprakarsa,Y.Y. et al. (2009). Evaluation of threats to orangutan and priority interventions to abate these threats at PSSF focused Sites in North Sumatra and East Kalimantan. (http://indonesia. usaid.gov/documents/document/Document/413/PSSF_Site_Threats). Nantha, H.S. & Tisdell, C. (2009). The orangutan-oil palm conflict: economic constraints and opportunities for conservation. Biodiversity Conservation 18:487–502. Nellemann , C. et al. (2007). The last stand of the orangutan – state of emergency: Illegal logging fires and palm oil in Indonesia’s national parks. (http://www.unep.org/grasp/docs/2007Jan-LastStand-of-Orangutan-report.pdf).

53


54


LAMPIRAN 7. PETA SEBARAN ORANGUTAN KALIMANTAN DAN SUMATERA

55


56


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.