Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan versi Bahasa

Page 1



PROSIDING WORKSHOP KONSERVASI ORANGUTAN INTERNASIONAL

Hotel Pantai Sanur, Bali, Indonesia, 15-17 Juli 2010

Departeman Kehutanan Republik Indonesia Forum Orangutan Indonesia (FORINA) Didukung Oleh : USAID


Tentang Publikasi Ini : Dokumen ini merupakan terjemahan dari Workshop Proceedings: International Workshop on Orangutan Conservation. Sanur, Bali, Indonesia..2010 Kementrian Kehutanan Republik Indonesia dan Forum Orangutan Indonesia (FORINA) Prosiding Workshop : Workshop Internasional Konservasi Orangutan. Sanur, Bali, Indonesia. Editor Penerjemah Layout Foto

: Herry Djoko Susilo, Sri Suci Utami Atmoko & Jamartin Sihite : Pradana Pandu Mahardika : Meirini Sucahyo dan M. Arif Rifqi : The USAID Orangutan Conservation Services Program (OCSP)

Penggandaan dari publikasi ini diperbolehkan untuk tujuan non-komersial pandangan yang diungkapkan dalam publikasi ini tidak mencerminkan pandangan dari Departemen Kehutanan Republik Indonesia dan Forum Orangutan Indonesia (FORINA) Š 2012 Kementrian Kehutanan Republik Indonesia, Forum Orangutan Indonesia (FORINA)


DAFTAR ISI 5 6 7 10 12 14

Pengantar Latar Belakang dan Tujuan Agenda Rundown Presentasi Paralel Sambutan Mentri Kehutanan Sambutan Ketua FORINA

RINGKASAN SESI PLENO 16 Kebijakan yang dibutuhkan untuk memperkuat perlindungan Orangutan di Indonesia 18 Managemen Konservasi Orangutan: pelajaran dari kerja lapangan 22 Peran Pusat Rehabilitasi Orangutan dalam Konservasi 39 Pendanaan yang Berkelanjutan untuk Konservasi Orangutan : Kebutuhan dan kemungkinan RINGKASAN SESI KEBIJAKAN & KAMPANYE 45 Penegakan Hukum untuk memerasngi perdagangan orangutan illegal : studi kasus di Kalimantan Tengah dan Barat 47 Ancaman Dominan terhadap Orangutan Sumatera 53 Memerangi tindak pidana yang berkaitan dengan orangutan di Kalimantan: Suatu studi kasus di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat 56 Celah-celah hukum dalam konservasi orangutan : Bagaimana mengatasi kelemahan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 58 Konservasi yang Kontroversial 61 Konservasi Habitat Orangutan di BaratDaya Borneo 63 Wilmar dan Orangutan di Kalimantan Tengah : Apa yang secara realistic dapat dicapai untuk konservasi orangutan di lansekap kelapa sawit? 67 Status saat ini dari implementasi Rencana Aksi Konservasi Orangutan di Sabah RINGKASAN SESI PENELITIAN 71 Analisa genetik menyarankan pembentukan unit-unit konservasi multiple untuk orangutan Indonesia (Pongo sp) 76 Variasi dalam Struktur dan Komposisi Hutan : efek dari kualitas habitat pada kepadatan populasi dan orangutan Borneo (Pongo pygmaeus morio) dan ciri-ciri sarang 79 Status Populasi Orangutan Borneo (Pongo pygmaeus wurmbii) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, Indonesia

89 Populasi Orangutan di Koridor antara Taman Nasional Bentung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum dan Dampak Perubahan Iklim terhadap habitat mereka 97 Populasi Orangutan di area batu kapur (limestone area) Kabupaten Kutai Timur dan Hutan Surya Hutani (HTI) di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur 101 Status Kepadatan dan Populasi Orangutan di Tujuh Habitat Orangutan Kunci di Sabah, Malaysia 105 Pemutakhiran Distribusi dan Populasi Orangutan Sumatera RINGKASAN SESI REHABILITASI DAN PELEPASLIARAN 112 Program Reintroduksi Orangutan di K a l i m a n - t a n Te n g a h : M e n g a mankan/menjamin Masa Depan Orangutan Ex Peliharaan 117 Restorasi Ekosistemj Hutan Produksi PT RHOI : Solusi yang berkesinambungan dan bertanggung jawab untuk Pelepasliaran Orangutan 119 Konservasi Orangutan di Kalimantan : Tantangan untuk mesa depan 122 Reintroduksi Orangutan Sumatera di Ekosistem Bukit Tigapuluh 127 Peranan dari Pusat Satwa Liar (Wildlife Centre) dalam konservasi orangutan: Pengalaman Sarawak 132 Parameter-parameter Reproduktif selama periode watu 42 tahun dari Orangutanh Borneo betina “free ranging� di Pusat Rehabilitasi Orangutan Sepilok 140 Penilaian terhadap pengelolaan kesehatan orangutan pada Pusat Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng 2007-2009 RINGKASAN SESI PENDANAAN YANG BERKELANJUTAN 150 Skema Pendanaan untuk mendukung konservasi orangutan 153 Methodologi untuk Konservasi : Kolaborasi dan implementasi untuk kesuksesan 157 Membantu Orangutan 162 Mendanai Konservasi Orangutan : Arah Baru HASIL DISKUSI KELOMPOK 168 Hasil Diskusi Kelompok RINGKASAN DARI KOMITMEN FGD FORINA 170 Kamar Pemerintah 171 Kamar LSM 174 Kamar Ahli dan Pemerhati 175 Kamar Swasta

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 3 ]


PETA DISTRIBUSI ORANGUTAN 2010 177 Distribusi Orangutan Sumatra 178 Distribusi Orangutan Kalimantan RELASI MEDIA 180 Media Briefing – 9 Juni 2010 191 Press Release 192 Hasil Konferensi Pers 194 Media Attendance pada IWOC 2010 195 Media Monitoring - Kompas 196 Media Monitoring – The Jakarta Post 198 Media Monitoring – The Jakarta Globe 200 Media Monitoring – Kompas.com 201 Media Monitoring – Green Radio 201 Media Monitoring – TAMASYA 202 Media Monitoring – GARUDA Inflight Magazine 204 Media Monitoring – Lain-Lain HASIL SURVEI PERSEPSI, DAFTAR STAN PAMERAN DAN DAFTAR PESERTA 206 Hasil Survei Persepsi 207 Daftar Stan Pameran 208 Daftar Peserta

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 4 ]


PENGANTAR

Y

ang terhormat anggota Panitia, Pembicara, sponsor, co-sponsor, mitra dan peserta International Workshop on O r a n g u t a n Conservation,, atas nama Direktorat J e n d e r a l Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan dan Forum Orangutan Indonesia (FORINA), kami mengucapkan terima kasih kepada anda semua, yang datang dari banyak tempat dan banyak Negara, untuk semua kontribusi pribadi bagi Workshop ini. Peranserta aktif anda dalam sesi-sesi serta diskusi, ide-ide anda yang cemerlang serta pengalaman professional anda adalah kontribusi yang luar biasa bagi pembangunan konservasi orangutan. Ucapan terima kasih secara khusus kami sampikan kepada The Orangutan Conservation Services Program (OCSP)-USAID, serta para sponsor yang telah mengalokasikan dana khusus untuk mendukung terselenggaranya workshop ini dan upaya-upaya konservasi orangutan. Mereka adalah : 1. Perhimpunan Pemerhati & Ahli Primata Indonesia (PERHAPPI) 2. Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) 3. WWF-Indonesia 4. Taman Safari Indonesia 5. Orangutan Foundation UK (OF-UK) 6. Orangutan Foundation International (OFI) 7. PanEco 8. Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) 9. The Aspinall Foundation 10. Orangutan Information Centre (OIC) 11. Sumatran Orangutan Society (SOS) 12. Bamboo Community University (BCU) 13. The Nature Conservancy (TNC) 14. Wilmar 15. Smart 16. PT Cipta Usaha Sejati 17. Agro Harapan Lestari Kami juga mengucapkan terima kasih kepada mitra yang turut berkontribusi : 1. Universitas Nasional 2. Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) 3. Wildlife Conservation Society (WCS) 4. Conservation International Indonesia (CI-Indonesia) 5. Fauna & Flora International (FFI) 6. Frankfurt Zoological Society (FZS)

7. Dewan Kehutanan Nasional (DKN) 12.Forum Komunikasi Kader Konservasi Indonesia 13. Friends of the National Parks Foundation (FNPF) 14. Yayasan Palung 15. Yayasan Titian 16. Yayasan Orangutan Indonesia (YAYORIN) 17. Riak Bumi 18. SUAR Institute 19. Perhimpunan Teropong 20. BEBSIC 21. Bioma 22. Yayasan Dian Tama 23. PRCF-Indonesia 24. Yayasan Ekowisata Sumatra (YES) 25. Forum Konservasi Orangutan Sumatera (FOKUS) 26. Simpur Hutan 27. Sylva 28. Yayasan Cakrawala Indonesia (YCI) 29. Mitra Kalteng 30. Pusaka Indonesia 31. Petra 32. PT Bumi Resources Tbk. 33. PT Kaltim Prima Coal Kemudian Panitia International Workshop on Orangutan Conservation ini mengucapkan terima kasih kepada pada pembicara dan peserta. Keberhasilan workshop ini adalah karena kontribusi anda semua. Kami benar-benar mengharapkan bahwa “multistakeholder workshop� yang pertama ini akan diikuti oleh lebih banyak workshop yang sama dalam beberapa tahun ke depan, karena International Workshop on Orangutan Conservation 2010 ini adalah bukan akhir dari upaya kita. Kita masih menghadapi banyak tantangan besar dalam melestarikan orangutan dan habitat alami mereka. Meskipun demikian, sebagaimana para pemangku kepentingan telah menjanjikan komitmennya selama Workshop, khususnya para pemangku kepentingan dari Sektor Swasta, International Workshop on Orangutan Conservation 2010 telah menandai awal yang penuh harapan. Kita bersama-sama akan memulai perjalanan panjang untuk mengimplementasikan komitmen kita menuju tujuan kita bersama. Akhirnya, pada halaman berikut ini silahkan anda dapatkan prosiding dari Workshop yang anda hadiri. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih atas partisipasi anda dan kami harapkan kolaborasi yang saling menguntungkan dan penuh keberhasilan serta manfaat mulai sekarang dan untuk jangka panjang kedepan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 5 ]

Herry Djoko Susilo Ketua FORINA


LATAR BELAKANG DAN TUJUAN LATAR BELAKANG Ø Orangutan adalah satu-satunya kera besar Asia dan menjadi “icon” Indonesia. Orang utan yang hanya dijumpai di pulau Sumatera dan Borneo (Kalimantan) diklasifikasikan sebagai satwa yang terancam punah serta dilindungi undangundang Indonesia. Meskipun demikian, pengembangan dan pembangunan sumberdaya hutan yang mendukung Indonesia untuk mencapai pembangunan ekonominya, telah menempatkan hutan dimana orangutan hidup menjadi terancam. Kecepatan deforestasi yang terjadi selama lebih dari 20 tahun terakhir telah menyebabkan kerugianj yang sangat besar bagi orangutan. Ø

Dalam tahun 2007, para penggiat konservasi orangutan, ilmuwan, pemerintah, masyarakat dan perwakilan sector swasta telah memulai suatu proses untuk bekerjasama dalam rangka mencari solusi jangka panjang guna menjamin kelangsungan hidup orangutan ditengah kegiatan pembangunan ekonomi Indonesia. Upaya ini telah membuahkan formalisasi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan yang dicanangkan Presiden pada Konperensi Iklim Bali (UNFCCC) ini adalah strategi konservasi multi pihak yang menggabungkan kepentingan-kepentingan msyarakat, swasta serta local dan mencari landasan bersama dalam konservasi orangutan diantara para pihak/pemangku kepentingan dengan berbagai kepentingan.

TUJUAN Ø Untuk membuat road map dalam rangkan meningkatkan partisipasi dan kolaborasi dari para ilmuwan, penggiat konservasi, instansi pemerintah, perusahaan swasta dan masyarakat local dalam konservasi orangutan. Ø Untuk menyusun kegiatan yang spesifik dan detil yang akan dilaksanakan baik secara individual maupun bersama-sama guna membantu menyelamatkan dan melestarikan satu-satunya kera besar Asia. Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 6 ]


AGENDA

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 7 ]


AGENDA

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 8 ]


AGENDA

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 9 ]


RUNDOWN PRESENTASI PARALEL

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 10 ]


RUNDOWN PRESENTASI PARALEL

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 11 ]


SAMBUTAN MENTRI KEHUTANAN

Bismillahirrahmanirrahim AssmWr Wb Yang terhormat para hadirin, bapak dan ibu

M

erupakan suatu kehormatan untuk mengucapkan selamat dating kepada Saudara-saudara sekalian ke Sanur, Bali dan pada The International Workshop on Orangutan Conservation : What does the Future Hold for the Man of the Forest Saya yakin bahwa workshop multipihak tentang konservasi orangutan yang melibatkan para ahli, Lembaga Swadaya Masyarakat, institusi Pemerintah serta sector swasta ini, adalah sangat penting. Oleh sebab itu saya sangat gembira berada disini hari ini untuk memberikan sambutan pada workshop multipihak internasional tentang konservasi orangutan yang pertama diselenggarakan di Indonesia. Saya merasa terhormat untuk mengucapkan selamat dating kepada para wakil pemerintah Indonesia, organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, universitas dan para ahli, perusahaan swasta serta media.

Workshop ini merupakan langkah awal dalam mengembangkan suatu dialog internasional yang terbuka yang dapat mencapai suatu road map yang berkelanjutan bagi masa depan orangutan dan habitatnya, serta tentu saja, bagi masa depan kita semua. Oleh karena itu, saya menyatakan mendukung proses ini dan mengharapkan untuk segera mendapatkan kesimpulan dan rekomendasi dari workshop ini. Dibukanya dialog global tentang konservasi orangutan ini adalah sangat tepat. Kita telah memasuki suatu periode dimana terjadi perubahan dan tantangan yang sangat besar. Begitu bumi menjadi semakin hangat dan iklim berubah di depan mata kita, hutan yang baik menjadi lebihh penting disbanding sebelumnya. Dan orangutan memiliki peran yang sangat penting untuk dilakukan.

Para pembuat kebijakan diseluruh muka bumi saat ini berbagi tantangan dan tanggung jawab untuk menyelaraskan inovasi dengan pertumbuhan yang berkelanjutan serta tingkat perlindungan kesehatan dan lingkungan yang tinggi . Di lingkup Kementerian Kehutanan kami telah berpikir tentang bagaimana konteks ini berubah. Kami menyadarai bahwa mempertahankan kecenderungan pola hidup yang berjalan saat ini akan bergantung pada kemampuan kita untuk menjamin good governance yang berkaitan dengan resiko yang potensial yang terkandung dalam kecenderungan ini. Sebagaimana globalisasi perdagangan, produksi dan teknologi telah mendorong pertumbuhan di banyak Negara, kita sekarang menghadapi tantangan untuk membangun Negara kita serta memperoleh manfaat globalisasi tanpa menimbulkan kerusakan lingkungan lebih jauh. Hal ini telah menimbulkan suatu dimensi baru untuk governance. Pada sebagian besar kasus, respon nasional dan regional tidaklah memadai. Saling keterhubungan dan saling ketergantungan telah mencapai tingkat global. Untuk mencapai governance yang efektif sekarang sangat lebih tergantung, disbanding sebelumnya, pada kerjasama yang lebih kuat diantara para pihak. menyelenggarakan workshop ini dan itulah alasannya mengapa workshop ini telah didukung oleh Orangutan Conservation Service Program (OCSP) USAID serta banyak organisasi. Kami diyakinkan bahwa kita akan memperoleh manfaat bersama dengan mempromosikan kerjasama antar institusi pemerintah, para ahli, sector swasta, masyarakat local dan kelompok---kelompok lain. Ini

swasta, masyarakat local dan kelompok-kelompok lain. Ini adalah upaya yang berbed untuk mengatasi dan mengkomunikasikan ketidakpastian. Pertanyaannya adalah bagaimana kita bias bekerjasama untuk mengidentifikasi cara dan upaya konservasi orangutan yang terbaik serta menjamin pendekatan-pendekatan yang lebih konsisten.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 12 ]


Bersama-sama kita harus berusaha keras untuk mengembangkan atau membangun FORINA sebagai forum multipihak, karena tidak ada seorang pun atau satu oraganisasi pun yang dapat melindungi orangutan apabila hanya berupaya sendirian. Kita semua harus menemukan pemahaman yang sama serta mecari pendekatan yang inovatif untuk konservasi, terutama konservasi orangutan, Oleh karena itu, setiap orang dalam workshop harus memperoleh tambahan dari proses ini. Sejalan dengan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 kami sedang berusaha keras untuk menyelesaikan kegiatan rehabilitasi dan reintroduksi orangutan sebelum tahun 2015. Kementerian kami menyadari bahwa untuk mencapai tujuan ini, kami harus menjunjung tinggi peraturan perundangan dan memperbaiki peraturan. Kami akan menegakkan hukum dan menyempurnakan peraturan perundangan di bidang kehutanan. Untuk mencapai target tahun 2015 kami sedang akan mengalokasikan lebih luas hutan produkasi sebagai hutan restorasi bagi orangutan. Sejauh ini kita telah memiliki Rehabilitasi Habitat Orangutan Indonesia (PT RHOI) yang merintis jalan dengan suatu model yang positif untuk mengubah hutan produksi menjadi areal restorasi dan mengelolanya secara berkelanjutan. Ke depan, kami akan mengalokasikan lebih banyak hutan untuk memberikan peluang yang sama bagi yang lain.

Saya mengucapkan terima kasih kepada PHKA, FORINA, OCSP-USAID, Perhappi, WWF Indonesia, , The Nature Conservancy, Taman safari Indonesia, OIC-SOS, BCU, PanEco-YEL, BOSF, FZS, OFI, OFUK, Aspinal Foundation, WCS Indonesia Programs, CI Indonesia Program dan LSM lain serta beberapa sector swasta atas dukungan aktifnya pada workshop ini. Saya ingin mengakhiri sambutan saya ini dengan mengekspresikan harapan saya bahwa workshop ini akan berjalan dengan baik serta memberikan peluang yang produktif bagi saudara-saudara untuk bertemu serta mendiskusikan isu-isu yang ada dengan mitra dari sector lain dan dari Negara lain. Tidak menjadi masalah apakan saudara dari sektor pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, perusahaan, peneliti, ahli, pendukung atau bahkan bukan dari salah satunya, pasti selalu ada jalan atau cara untuk mempromosikan hutan bagi orangutan. Kami mengharapkan untuk bias bekerjasma dengan Saudara-saudara semua dalam kegiatan konservasi untuk menyelamatkan orangutan dan habitat mereka. Diatas semua harapan ini, dengan ini saya nyatakan workshop internasional konservasi orangutan ini dibuka, Terima kasih Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, SE, MM.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 13 ]


SAMBUTAN KETUA FORINA

Y

ang terhormat Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan

pemahaman yang sama kepadasemua pihak dengan berbagai kepentingan dalam konservasi orangutan.

Yang terhormat Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Hadirin dan Peserta Workshop, Ibu dan bapak yang terhormat

Peran FORINA adalah sebagai katalis untuk mengubah Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia ini dari konsep ke implementasi. Workshop ini membangun proses multiphak yang dihasilkan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia dengan sekali lagi mengundang semua perwakilan kelompok kunci serta mencari bentuk kolaborasi dalam menjamin masa depan orangutan yang aman di Indonesia.

Selamat pagi dan selamat dating di Bali yang Indah, Oulau Dewata Merupakan suatu kehormatan bagi saya untuk berdiri dihadapan bapak, ibu dan saudara-saudara sekalian serta menyambut bapak, ibu dan saudara-saudara pada workshop ini. Atas nama Forum Orangutan Indonesia (FORINA) yang menjadi tuan rumah workshop ini bersama Kementerian Kehutanan dan banyak sponsor pada workshop ini, saya ingin mengungkapkan rasa terima kasih dan penghargaan atas partisipasi bapak, ibu dan saudara sekalin dalam workshop ini. Perkenanlah saya menyampaikan sedikit informasi mengenai FORINA. FORINA dibentuk sebagai lembaga koordinasi pusat untuk konservasi orangutan. FORINA mendorong kerjasama banyak pihak yang kegiatannya memberikan dampat pada kelangsungan hidup orangutan. FORINA juga berbagi keberhasilan dan tantangan dengan para penggiat konservasi orangutan baik nasional maupun internasional serta mengembangkan jaringan untuk mendukuing program konservasi orangutan baik di Indonesia maupun seluruhh dunia. Lalu, mengapa workshop ini penting? Sebagaimana kita tahu, orangutan adalah satusatunya kera besar yang hidup di Asia; dan 3 saudaranya dijumpai di Afrika. Saat ini, orangutan hanya hidup di pulau Kalimantan dan Sumatera, dengan 90% populasinya dijumpai di Indonesia dan sisanya 10% di Sabah dan Serawak. Baik di Indonesia maupun di Malaysia, orangutan dilindungi undang-undang. Namun peraturan perundangan saja tidak cukup untuk melindungi jenis karismatik ini. Konservasi orangutan memerlukan upaya yang konprehensif serta terpadu dari semua pihak, baik di lapangan maupun di tingkat kebijakan, untuk menjamin kelangsungan hidup jangka panjang satwa yang sangat bagus ini. Dalam tahun 2007, para pelestari dan ahli orangutan, pejabat pemerintah, warga masyarakat, perwakilan sector swasta mengawali proses inisiatif untuk bekerjasama untuk mencari solusi jangka panjang untuk menjamin kelansungan hidup orangutan yang berkelanjutan ditengah upaya dorongan bangsa Indonesia melakukan pembangunan ekonomi. Upaya ini berujung pada penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia n2007-2017 Kementerian Kehutanan. Rencana Aksi Nasional yang luncurkan oleh Presiden RI pada Konferensi Iklim Bali, merupakan strategi konservasi multi pihak yang melibatkan masyarakat sektor swasta dan pemerhati lokal serta memberikan -

Kami sangat senang melihat banyak sekali orang disini, termasuk para ahli orangutan dan spesialis primate, Sekitar 200 peserta telah terdaftar untuk workshop ini, termasuk 40 orang dari luar negeri. Hal ini menunjukkan tidak hanya keseriusan issu menghadapi orangutan tepai juga tingkat kepedulian dan komitmen saudara-saudara sekalian. Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama dari hidup saya untuk bekerja dalam melestarikan keanekaragaman hayati Indonesia, saya sangat menghargai dukungan terhadap orangutan yang ditunjukkan ini. Tujuan dari workshop ini adalah untuk menciptakan suatu road map untuk meningkatkan partisipasi dan kolaborasi diantara para pihak (para ahli dan pelestari orangutan, institusi pemerintah, sector swasta dan masyarakat lokal disekitar habitat orangutan) baik nasional maupun internasional untuk konservasi orangutan. Sekarang persoalan intinya. Pada akhir workshop ini FORINA menharapkan untuk menerima road map peningkatan partisipasi dan kolaborasi untuk konservasi orangutan, termasuk rencana aksi yang spesifik untuk membantu menyelematakan orangutan. Sangat banyak diharapkan dari saudara; setiap orang akan sangat sibuk bekerja demi orangutan untuk dua hari kedepan ini. Tetapi itulah alasannya mengapa kita berada disini, dan saya khawatir bahwa pantai dan gunung yang sangat indah harus menunggu sampai hari Sabtu. Workshop ini dapat diselenggarakan karena dukungan dari Kementerian Kehutanan, OCSP—USAID, Perhappi, dan banyak sponsor yang lain, baik organisasi konservasi dan perusahaan swasta – yang ditunjukkan pada banner dibelakang saya ini. Terima kasih untuk semua dukungannya, Saya berharap bahwa pada akhir dari workshop ini saudara akan membawa baik semangat kolaborasi dalam melestarikan orangutan maupun pemahaman yang jelas akan peran dan kontribusi saudara sendiri. Akhirnya, selamat dating di Bali dan selamat dating pada Workshop Konservasi Orangutan 2010. Semoga worksop ini berhasil. Terima kasih

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 14 ]

Ketua FORINA Herry D. Susilo


RINGKASAN SESI PLENO

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 15 ]


PERLUNYA PENGKAJIAN ULANG KEBIJAKAN UNTUK MEMPERKUAT PERLINDUNGAN BAGI ORANGUTAN DI INDONESIA Ir. Samedi, Ph.D Tim Ad hoc Review Kebijakan Konservasi – Dewan Kehutanan Nasional ABSTRAK

U

ntuk menjawab kebutuhan akan kebijakan menyeluruh tentang pelestarian sumber daya alam, Dewan Kehutanan Nasional membentuk sebuah tim Ad Hoc untuk mengkaji ulang kebijakan-kebijakan tentang konservasi di Indonesia. Kajian ini didasarkan pada analisis mendalam atas empat Peraturan Pemerintah (PP) yang berfungsi sebagai petunjuk pelaksanaan (juklak) bagi Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Hayati. Keempat PP yang merupakan dasar utama peraturan pelestarian sumber daya hayati ini adalah : PP No 18 Tahun 1994 Tentang Pengusahaan Pariwisata Alam, No. 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, No 7 Tahun 1999 Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, dan No 8 Tahun 1999 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan Dan Satwa Liar. Tim Ad Hoc ini juga melakukan pengkajian tidak langsung terhadap peraturan-peraturan nasional atau daerah lainnya yang berkaitan dengan pelestarian sumber daya hayati. Empat kelompok diskusi kelompok (focus group) diadakan bersama dengan pemangku kepentingan yang relevan di tingkat daerah (Medan, Pontianak, Balikpapan dan Palangka Raya) dan nasional (Jakarta) pada bulan April dan Mei 2009. Diskusi-diskusi ini berisi kajian lebih mendalam atas topik-topik dan masalah-masalah yang mengemuka dalam kajian literatur oleh tim ad hoc. Tugas-tugas yang dijalankan tim ad hoc tersebut sangat berguna dalam memperkuat perlindungan bagi orangutan di Indonesia Pelestarian sumber daya hayati di Indonesia diatur dalam serangkaian perangkat hukum yang bersumber dari UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Walaupun UU ini masih memiliki kekurangan dalam hal penjatuhan hukuman (terutama atas penyalahgunaan spesies yang tak dilindungi), statusnya tak diragukan lagi sebagai peraturan perundang-undangan paling lengkap tentang pelestarian sumber daya hayati hingga akhir abad ke-20. Di bawah payung UU ini, pemerintah Indonesia berhasil menetapkan sejumlah besar lahan (lebih dari 20 juta hektar) sebagai kawasan-kawasan suaka dan pelestarian alam. Sayangnya, beberapa UU dan perangkat hukum baru yang ditetapkan semasa pergeseran politik di akhir dekade 1990-an dan awal 2000-an menimbulkan beberapa masalah dalam pelaksanaan hukum pelestarian di lapangan.

Ada sejumlah pasal yang tidak konsisten atau bahkan bertentangan dengan UU No. 5 Tahun 1990 sehingga memperlemah dasar hukum proses konservasi. Selain itu, juklak-juklak UU Konservasi dalam bentuk PP dan Keputusan Menteri (Kepmen) belum sepenuhnya ditetapkan. Tanpa adanya juklak-juklak ini, sebagian isi UU Konservasi secara praktis tak dapat dijalankan. Indonesia juga merupakan salah satu Pihak dalam berbagai konvensi internasional serta perjanjianperjanjian regional atau bilateral tentang pelestarian keragaman hayati, misalnya CITES, Ramsar dan CBD; perjanjian-perjanjian ini perlu diterapkan di dalam negeri melalui perundang-undangan dalam negeri pula. Dalam rangka inilah UU No. 5 Tahun 1990 dan juklak-juklaknya dipergunakan sebagai peraturan dalam negeri bagi penerapan konservasi. Dua juklak yang mengatur pelestarian dan pemanfaatan spesies-spesies liar adalah PP No. 7 dan PP No. 8 Tahun 1999. Dalam hal Orangutan dan spesies-spesies terancam lainnya, PP No. 7 Tahun 1999 mengatur tata cara pelestarian spesies liar, termasuk mekanisme penetapan suatu spesies sebagai spesies yang dilindungi, pengelolaan populasi liar dalam habitat alami (in situ), dan pengelolaan populasi tangkapan dalam lingkungan yang terkendali (ex situ). Sayangnya peraturan ini tidak mengatur perlindungan habitat bagi spesies-spesies yang dilindungi, terutama bagi habitat-habitat yang terletak di luar kawasan-kawasan lindung (sehingga mudah dikonversi). Kekurangan ini sangat menonjol karena banyak populasi orangutan ternyata berada di luar kawasan-kawasan yang dilindungi. Populasi dalam kawasan-kawasan lindung dapat dianggap aman karena peraturan dalam PP No. 68 Tahun 1998 menetapkan batasan-batasan yang ketat tentang izin memasuki kawasan lindung. Sementara itu, PP No. 8 Tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar mengatur penggunaan spesies-spesies liar untuk kegiatan-kegiatan seperti penelitian, penangkaran, perdagangan, pertunjukan, dan hobi. Dalam tataran pelestarian orangutan, PP No. 8 Tahun 1999 memberikan dasar hukum bagi rehabilitasi orangutan sitaan untuk membantu pemulihan populasi-populasi liar. Tetapi sekali lagi PP ini tidak mengatur penjatuhan hukuman untuk penyalahgunaan spesies-spesies yang tidak dilindungi.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 16 ]


Penelitian ilmiah baru-baru ini menunjukkan bahwa orangutan terbagi menjadi dua spesies yang berbeda, yaitu Pongo pygmaeus (Kalimantan) dan Pongo abelli (Sumatera), tetapi hanya P. pygmaeus yang termasuk dalam daftar spesies terlindungi di Lampiran PP No. 7 Tahun 1999. Akibatnya, spesies orang utan Sumatera tidak lagi mendapat perlindungan terhadap perburuan dan perdagangan liar. Penambahan spesies baru ke dalam daftar perlindungan memang hanya memerlukan sebuah Kepmen, tetapi hingga saat ini orangutan Sumatera masih belum dimasukkan ke dalam daftar tersebut.Kajian tim ad hoc juga menghasilkan kesimpulan bahwa masalahmasalah yang dialami saat ini bersumber bukan hanya dari tiadanya beberapa aturan yang diperlukan dalam perangkat hukum tentang konservasi, tetapi juga dari kelemahan mendasar dalam UU No.5/90. Banyak kendala yang perlu diatasi melalui penetapan kebijakan yang lebih kuat dan pengelolaan lebih baik dengan penerapan hukum yang lebih efektif. Selain mengajukan rekomendasi untuk revisi perangkat hukum di tingkat PP, tim ad hoc juga menganjurkan agar UU Konservasi turut direvisi. Di luar kendala-kendala hukum di atas, ada pula temuan tim ad hoc yang menunjukkan bahwa tindakan-tindakan pelestarian perlu dukungan lebih luas dari pemerintah daerah serta masyarakat setempat dan/atau adat. Kemitraan yang menyeluruh dengan para pemangku kepentingan juga perlu dikembangkan, misalnya dalam pembentukan sistem kerjasama pengelolaan untuk melibatkan para pemangku kepentingan dalam meningkatkan usaha-usaha pelestarian. Semua perubahan ini perlu disertakan dalam perangkat hukum yang telah direvisi.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 17 ]


Catatan-catatan pengalaman di lapangan tentang pengelolaan konservasi orangutan Carel van Schaik, Museum & Institut Antropologi, Universitas Zurich, CH-8057 Zurich, Swiss, Atas nama konsosrsium Fakultas Biologi UNAS-, Pusat Studi Satwa Primata & Fakultas Kedokteran Hewan IPB, dan Institut Antropologi Universitas Zurich.

P

Pendahuluan eran kalangan ilmuwan dalam upaya pelestarian orangutan sering disalahartikan. Instansi pemerintah dan penegak hukum setempat umumnya berharap bahwa ilmuwan dapat langsung ambil bagian dalam menangani masalahmasalah setempat yang umumnya terkait dengan permasalahan sosial-ekonomi yang bersifat lokal dan jangka-pendek. Para ilmuwan diminta untuk mengambil peran seperti ini karena kehadiran dan andil mereka dalam pelestarian orangutan. Kesalahan ini perlu diperbaiki dengan memperjelas batas-batas peran kalangan pemerintah, LSM, dan ilmuwan. Pemerintah bertugas menetapkan dan menegakkan aturan. LSM membantu pendanaan kegiatan-kegiatan yang tak dapat ditangani pemerintah akibat kekurangan sumberdaya. Para ilmuwan memberikan saran tentang pengelolaan orang utan atas dasar pengetahuan yang telah mereka dapat dalam serangkaian penelitian jangka panjang mengenai sebaran, kepadatan, genetika, demografi, perilaku, dan ekologi orangutan. Jadi, sumbangsih kalangan ilmuwan cenderung terpusat pada tingkatan yang lebih tinggi dan jangka waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan permasalahan yang umumnya dihadapi badan pengelola setempat. Bahkan pada tataran yang lebih tinggi pun saran-saran para ilmuwan terkadang tidak selalu dihargai karena saran-saran tersebut lebih cenderung menyoroti kerumitan suatu masalah daripada menyederhanakan masalah tersebut. Memang begitulah sifat pekerjaan mereka. Presentasi ini akan menyajikan rangkuman singkat tentang topik-topik yang telah mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir dalam kaitan dengan manajemen konservasi. Akan ada banyak pokok permasalahan yang tak sempat dibahas akibat keterbatasan tempat, misalnya masalah sensitivitas terhadap dan pemulihan dari praktek tebang pilih. Pemahaman termutakhir tentang pokok-pokok permasalahan ini telah dibahas dalam buku yang baru-baru ini diterbitkan oleh tim gabungan Indonesia-Zurich (Wich, S., Suci Utami Atmoko, S., Mitra Setia, T. & van Schaik, C.P. (ed.) [2009] Orangutans: Geographic Variation, Behavioral Ecology and Conservation. Oxford University Press).

Rangkuman ini hanya mencakup empat topik utama dengan wawasan-wawasan baru yang relevan terhadap pelestarian orang utan. Semua informasi di sini adalah hasil kerja sama kelompok-kelompok ilmuwan dan peneliti baik dari Indonesia maupun dari mancanegara, dengan rincian lebih lanjut dalam serangkaian terbitan yang sedang dalam tahap kajian atau menunggu penerbitan. Kepandaian orang utan Pertumbuhan orang utan tergolong lamban jika dibandingkan dengan mamalia darat lain. Di Kalimantan, anak orangutan baru mulai belajar mandiri pada usia 6 atau 7 tahun, dan masih tetap bergantung kepada induknya selama beberapa tahun berikutnya. Pertumbuhan yang lamban ini sebanding dengan usia harapan hidup yang cukup panjang, paling tidak hingga usia 50 tahun di Sumatera dan kurang-lebih sama di Kalimantan. Irama hidup yang lambat ini, bersama dengan ukuran otak yang cukup besar, menyediakan waktu belajar yang panjang bagi masing-masing orangutan. Anak-anak orangutan menampakkan ketertarikan yang besar akan kebiasaan dan keahlian yang perlu mereka pelajari dari induk mereka, mulai dari merawat bayi orangutan dan bergaul dengan lawan jenis hingga menemukan dan mengolah bahan makanan di tengah keragaman hayati hutan, terutama di luar musim buah-buah ranum yang disukai orangutan. Lucunya, spesies dengan kapasitas otak paling besar juga harus belajar lebih banyak; sebagian besar keahlian yang mereka pakai harus dipelajari, bukan langsung didapat sejak lahir, dan proses belajar ini utamanya berlangsung dalam suatu lingkungan sosial. Para peneliti sudah sejak lama beranggapan bahwa orangutan memiliki “peta� mental yang cukup baik tentang wilayah hutan yang mereka tinggali. Anggapan ini mencakup juga kemampuan orangutan untuk merencanakan alur perjalanan mereka secara sistematis, bukan hanya mengembara tanpa arah untuk mencari tanda-tanda sumber makan terdekat. Walaupun begitu, penelitian-penelitian terdahulu belum menemukan bukti tentang perencanaan semacam ini. Terima kasih kepada yang telah berhasil menganalisa, saat ini analisis terhadap panggilan panjang (long calls) orang utan menunjukkan bahwa kelompok-kelompok orangutan dapat merencanakan perjalanan mereka sekitar satu hari ke depan (dan mungkin lebih, tetapi data yang ada belum menampakkan kecenderungan ini). Orangutan sumatera jantan mengeluarkan panggilan panjang dan betinabetina memanfaatkan panggilan ini untuk menjaga posisi mereka dalam jangkauan pendengaran (agar mereka tahu posisi jantan tersebut dan dapat menghampirinya jika mereka memerlukannya). Orangutan jantan selalu menghadap ke suatu arah tertentu saat mengeluarkan panggilan panjang, lalu berjalan ke arah yang sama sementara betina-betinanya bergerak bersamaan untuk menjaga posisi relatif mereka dalam jarak pendengaran. Arah panggilan orang utan jantan terbukti menjadi penunjuk arah perjalanan yang konsisten untuk waktu yang cukup lama: hampir sehari penuh; konsistensi ini bertahan melewati selingan panjang saat tidur di sarang malam hari maupun selingan-selingan yang lebih pendek

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 18 ]


untuk mengusir pejantan-pejantan lain. Perencanaan ke depan seperti ini juga ditemukan dalam percobaan terhadap kera-kera besar (dan satu spesies gagak pengumpul biji, walaupun dalam hal ini kita belum mengerti hubungan antara perencanaan ini dan kebiasaan pengumpulan biji mereka yang tak biasa), tetapi hanya untuk jangka waktu yang lebih pendek. Singkatnya, orangutan bisa saja merupakan salah satu spesies yang cukup pandai untuk merencanakan pemenuhan kebutuhan di masa depan.

Kepandaian orangutan juga tampak dalam hal inovasi. Inovasi di sini diartikan sebagai perilaku baru yang tidak ditemukan dalam populasi sebelum perilaku tersebut diciptakan. Dalam kata lain, inovasi adalah perilaku yang bukan muncul dengan cara yang alami dan dapat diperkirakan seperti insting, melainkan diciptakan oleh individu tertentu yang belum pernah mengamati/mengalami perilaku tersebut sebelumya. Beberapa inovasi ini terkait dengan teknologi dalam artian penggunaan alat. Para peneliti orangutan telah mencatat 42 jenis penggunaan alat oleh orangutan liar. Inovasi lain tidak bersifat teknologis tetapi cukup menarik perhatian. Sebagai contoh, orangutan ternyata sangat teliti dalam memilih-milih spesies pohon yang akan dimanfaatkan sebagai sarang malam hari; beberapa jenis pohon sangat dihindari, sementara beberapa jenis lainnya sangat sering dipilih dan bahkan mungkin disukai. Dalam percobaan, beberapa spesies pohon yang disukai orangutan ternyata bersifat mengusir nyamuk, tetapi struktur pohon-pohon ini terkadang kurang cocok untuk menopang sarang. Untuk mengatasi masalah ini, beberapa orang utan membawa cabang-cabang yang mereka ambil dari spesies-spesies pohon pengusir nyamuk sementara mereka mencari tempat lain yang layak dijadikan sarang, sehingga mereka dapat tetap mengambil manfaat dari cabang pohon pengusir nyamuk sekalipun mereka bersarang di pohon dari spesies lain. Pengetahuan tentang kemampuan beberapa jenis pohon dalam mengusir nyamuk mungkin tidak tersebar merata di antara orangutan, karena kebanyakan populasi orangutan tidak menjalankan kebiasaan “membawa daun” ini. Jadi, perilaku ini bisa jadi merupakan suatu contoh perbedaan budaya, atau dalam kata lain suatu inovasi yang diciptakan oleh satu individu dan lalu dipelajari oleh individuindividu lain di sekitarnya melalui kontak sosial. Perbedaan ini bersifat kewilayahan karena adanya halangan terhadap persebaran atau daerah-daerah tanpa habitat yang sesuai sehingga suatu “budaya” tak dapat terus disebarkan tanpa henti. Para peneliti orangutan di lapangan sudah berhasil memetakan keberadaan lebih dari 30 “budaya” setempat. Semua keahlian orangutan yang lebih rumit dari sekedar menjatuhkan cabang-cabang pohon yang kering atau mendorong tunggul mati (potongan batang pohon yang sudah mati tanpa cabang yang tersisa) sekarang telah diketahui atau diperkirakan sebagai hasil kebudayaan orangutan. Penemuan ini sesuai dengan pemahaman bahwa orangutan merupakan-

-spesies yang belajar secara sosial – suatu kecenderungan yang jarang ditemui di alam bebas – dan mereka memanfaatkan kemampuan ini untuk mempelajari budaya setempat dalam populasi mereka. Kebudayaan setempat ini berperan sebagai alat yang penting dalam adaptasi orangutan terhadap keadaan ekologi setempat. Informasi seperti ini sangat membantu dalam mematahkan bantahan terhadap kesahihan etis dan estetis pelestarian orangutan. Hewan-hewan seperti ini layak dilindungi baik sebagai individu maupun sebagai keseluruhan spesies. Informasi tersebut juga berpengaruh pada pendekatan yang tepat dalam pelepasliaran. Pelepasliaran Prosedur terbaik bagi pelepasan kembali orang utan ke alam liar adalah salah masalah yang memancing paling banyak perdebatan saat ini. Komponen tersulit dalam pelepasliaran adalah pemilihan tempat yang tepat agar orangutan yang dilepas mampu membentuk populasi liar yang baru, dan juga prosedur pelepasan terbaik yang akan menjamin tingkat keselamatan orangutan yang diliarkan tanpa memerlukan biaya tinggi. Kita tidak boleh lupa bahwa kita belum memiliki pengetahuan yang pasti tentang cara dan hasil pelepasliaran, dan akibatnya kita harus menjalankan pelepasliaran dengan sangat hati-hati serta selalu melakukan evaluasi terhadap setiap langkah yang kita ambil. Masalah ini disebabkan oleh kurangnya dokumentasi dalam usaha-usaha pelepasliaran sejauh ini, sehingga kita masih terjebak dalam kekosongan informasi. Kekurangan ini belum tentu bersumber dari kesalahan pengelolaan dalam proyek-proyek terdahulu karena orangutan yang dilepaskan di hutan dapat menyebar begitu jauh hingga mereka sulit ditemukan dan dilacak kembali. Perkembangan terakhir dalam teknologi pemancar radio kecil yang dapat ditanamkan ke dalam tubuh hewan (sehingga tak dapat dicabut/dibuang oleh hewan itu sendiri) dapat memberikan jalan keluar bagi pelacakan yang lebih baik dalam upaya-upaya pelepasliaran di masa yang akan datang. Orangutan-orangutan yang telah dilepasliarkan mungkin saja berhasil bertahan hidup, tetapi ada beberapa masalah yang patut dikhawatirkan. Misalnya, kita sekarang tahu bahwa orangutan tidak memiliki banyak pengetahuan sejak lahir tentang cara-cara bertahan hidup di dalam hutan; mereka harus mempelajari keahlian ini dalam lingkungan sosial. Kecenderungan ini membantu mereka dalam beradaptasi secara penuh dengan keadaan setempat karena mereka mampu menciptakan cara-cara baru untuk memanfaatkan keunikan sumber daya lokal. Sayangnya, kecenderungan ini juga membuat orangutan sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan besar terhadap proses perkembangan mereka, misalnya jika mereka kehilangan induk dan individu panutan lainnya sehingga mereka terpaksa

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 19 ]


mempelajari cara-cara hidup bersama manusia (atau bahkan terkurung dalam kandang sempit). Kita juga tahu bahwa orangutan muda di alam bebas cenderung enggan menjelajahi lingkungan sekitarnya sebelum mereka cukup dewasa untuk berpisah dari induknya; pada titik ini si orangutan muda sudah menyerap cukup banyak pengetahuan dari induk dan kerabat-kerabatnya, sehingga ia sudah tahu cara menghindari atau mengatasi bahaya. Di sisi lain, orangutan jinak yang dilepaskan ke habitat alami tentunya belum pernah mengalami proses pembelajaran yang serupa dalam habitat mereka, jadi mereka mungkin membutuhkan cukup banyak bantuan dalam mengembangkan kembali keahlian bertahan hidup mereka. Kenyataan tersebut dapat berpengaruh banyak terhadap proses pelepasliaran. Telah muncul saran bahwa orangutan yang akan dilepasliarkan perlu dididik dalam suatu “sekolah hutan” yang mengajarkan dasar-dasar keahlian hidup di hutan, dan lalu dibawa melalui proses pelepasliaran “lunak” yang membebaskan orangutan untuk mempelajari sumber-sumber makanan dan bahaya-bahaya di lingkungan setempat tetapi juga masih menyediakan dukungan terbatas bagi individu-individu yang membutuhkan jika diperlukan. Selain itu, orangutan yang dipindahkan (translokasi) langsung dari satu habitat ke habitat lainnya (misalnya orang utan yang diselamatkan dari hutan yang akan dibuka untuk perkebunan kelapa sawit) sebaiknya dilepasliarkan terlebih dahulu. Jika orangutan-orangutan yang lebih “berpengalaman” seperti ini mengalami kesulitan beradaptasi dengan habitat baru mereka, maka orangutan jinak yang lebih lugu tentunya akan menghadapi lebih banyak masalah lagi Masalah lain yang muncul adalah sulitnya menilai kesesuaian suatu wilayah bagi kehidupan orangutan jika tidak ada orangutan yang hidup di situ. Ketiadaan orangutan ini mungkin disebabkan oleh perburuan, sehingga pengendalian yang ketat akan perburuan dapat menjadikan wilayah itu habitat yang baik dengan cukup mudah. Tetapi, tiadanya populasi orangutan juga dapat disebabkan oleh ketiadaan suatu sifat habitat penting yang belum kita ketahui. Untungnya, belakangan ini kita mampu melakukan penilaian yang lebih baik atas daya dukung suatu habitat orangutan, sehingga kita dapat lebih yakin bahwa suatu wilayah yang kita pilih untuk pelepasliaran orangutan memang benar-benar habitat yang sesuai (walaupun pernah diganggu oleh perburuan), tetapi kita selalu berhadapan dengan risiko bahwa penilaian kita telah melewatkan satu-dua faktor yang terhitung penting tetapi belum cukup dipelajari. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam menangani pelepasliaran orangutan yang telah diselamatkan dengan susah-payah dan dirawat dengan penuh kasih sayang, semata-mata agar mereka bisa mendapat kesempatan yang layak untuk bertahan hidup di alam bebas. Setiap langkah

yang kita ambil harus diamati dengan cermat dan dipelajari untuk menghasilkan prosedur yang lebih baik di masa yang akan datang. Satuan Pengelolaan Konservasi Dalam beberapa tahun terakhir, banyak peneliti orangutan di berbagai tempat telah bekerja sama untuk mengumpulkan sampel genetik orangutan di seluruh luasan geografis habitatnya dalam rangka merekam pola keragaman genetik spesies orangutan. Usaha ini telah mulai membuahkan hasilhasil yang sedang dipersiapkan untuk diterbitkan oleh kelompok peneliti Zurich (di bawah pimpinan Michael Krützen). Menurut gambaran dasar yang muncul dalam studi ini, ada dua spesies dasar yaitu orangutan sumatera dan orangutan kalimantan, tetapi populasi-populasi di selatan Danau Toba memiliki perbedaan genetik cukup besar dengan populasi di utara. Perbedaan ini mencerminkan banyaknya letusan di wilayah gunung api Toba selama 1,2 juta tahun terakhir; letusanletusan ini telah mempersulit pertukaran genetik antara wilayah-wilayah di utara Danau Toba dengan wilayah-wilayah di selatan, terutama bagi orangutan betina. Garis Toba ini juga merupakan batasan biogeografis yang penting bagi sejumlah spesies selain orangutan. Walaupun begitu, batasan ini tidak begitu berpengaruh terhadap orangutan jantan karena jangkauan jelajah mereka yang cukup luas. Pendek kata, populasi orangutan betina di selatan Danau Toba pada umumnya termasuk dalam kelompok genetis Kalimantan, sementara orangutan jantan di daerah yang sama tergolong dalam lingkup genetis Sumatera, sehingga populasi orangutan di selatan Danau Toba memiliki keunikan genetis tersendiri sekalipun pada umunya mereka masih dapat dianggap sebagai bagian spesies Sumatera.. Kejutan kedua yang ditemukan oleh studi ini adalah tanda-tanda bahwa orangutan kalimantan sempat hampir punah sekitar 100 hingga 200 ribu tahun yang lalu, tetapi telah kembali bereproduksi dan menyebar (beradiasi) sejak saat itu, kemungkinan besar dari suatu daerah “pengungsian” di sekitar pegunungan di timur laut. Akibatnya, populasi-populasi orangutan kalimantan yang ada pada saat ini saling berbeda satu sama lain secara genetis, dan perbedaanperbedaan ini dipertajam oleh sungai-sungai besar yang memisahkan populasi-populasi di Kalimantan. Pada saat ini kita belum yakin akan pengaruh perbedaan-perbedaan ini terhadap taksonomi orangutan, tetapi sudah jelas bahwa dalam hal manajemen konservasi kita harus membedakan populasi orangutan Kalimantan Tiimur dari populasi orangutan di Sabah walaupun keduanya masih dianggap sebagai anggota subspesies yang sama. Di Indonesia sendiri, satuan-satuan berikut harus dikelola secara terpisah (sebisa mungkin tidak dicampurkan, dan diperlakukan sebagai satuansatuan yang layak dipertahankan dalam populasi alami masing-masing): (1) orangutan sumatera di-

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 20 ]


sebelah utara Danau Toba; (2) orangutan sumatera di sebelah selatan Danau Toba; (3) orangutan Kalimantan Barat di utara Sungai Kapuas; (4) semua populasi orangutan lain di Kalimantan Barat dan Tengah (yang mungkin akan terbukti sebagai beberapa populasi yang terpisah setelah dipelajari lebih lanjut, tetapi saat ini disatukan karena mereka hidup dalam habitat dengan produktivitas dan polapola musiman yang serupa); dan (5) orangutan Kalimantan Timur. Kesehatan populasi Ukuran populasi minimal yang dapat bertahan tanpa bantuan dari luar adalah salah satu topik pembicaraan paling hangat dalam konservasi orangutan. Pada dasarnya besar populasi terkait dengan keragaman genetik yang diperlukan untuk bertahan terhadap penyakit-penyakit baru dan tantangan-tantangan lain seperti perubahan ekosistem hutan akibat pergeseran ekologi global. Masing-masing populasi didefinisikan sebagai satuan tertutup, atau dalam kata lain tidak mendapat masukan genetik dari populasi-populasi lain. Pengamatan di lapangan semakin memperkuat pemahaman bahwa orangutan jantan memegang peran penting dalam persebaran genetik. Jantan orangutan sering melakukan penjelajahan jarak jauh, berbeda dengan betina yang lebih cenderung berdiam di dekat daerah kelahirannya. Kesimpulan ini ditarik dari data genetis dan pengamatan langsung terhadap identitas dan pergerakan orangutan (baik jantan maupun betina) di daerahdaerah penelitian jangka panjang. Informasi ini membawa arti baik dan buruk. Berita buruknya, jantan orangutan sering memasuki wilayah habitat yang kurang optimal untuk menyeberang ke habitat lain yang lebih baik, tetapi kadang-kadang mereka malah tersesat dan tak dapat keluar dari habitat yang kurang memadai tersebut.-

Di sisi lain, pengelolaan populasi-populasi orangutan yang relatif kecil dapat dilakukan dengan lebih mudah karena keragaman genetik populasi-populasi kecil tersebut dapat ditingkatkan melalui pertukaran jantan dengan populasi yang lebih besar. Tentu saja solusi ini hanya akan digunakan dalam keadaan darurat karena tingginya risiko bagi jantan-jantan yang dipertukarkan dan besarnya biaya yang perlu dikeluarkan, tetapi kabar baiknya adalah populasipopulasi kecil dengan habitat yang cukup baik dan cukup luas tak perlu dianggap sebagai populasi yang tak layak dipertahankan. Kesimpulan Walaupun kita telah menemukan berbagai hal baru tentang orangutan dalam dua dekade terakhir, hewan-hewan yang berumur panjang ini masih terus memukau kita dengan kepandaian mereka, jadi sepertinya masih banyak kejutan yang akan muncul saat kita mempelajari mereka di alam bebas. Pada umumnya, temuan-temuan sejauh ini menunjukkan bahwa pola-pola adaptasi orangutan menampakkan variasi geografis yang konsisten dan cukup mencolok. Artinya, setiap satuan konservasi orangutan perlu dianggap sebagai populasi yang unik dan layak dilestarikan. Kelima satuan yang diketahui sejauh ini kebetulan memiliki batasan yang sama dengan satuan-satuan administratif, sehingga setiap propinsi bertanggung jawab atas satu kumpulan populasi utama (walaupun orang utan di Kalimantan Tengah, seperti yang telah disebutkan di atas, mungkin terdiri dari beberapa suku yang cukup berbeda sehingga perlu dibagi menjadi satuansatuan yang terpisah, dan orangutan di bagian utara Kalimantan Barat mungkin sangat serupa dengan orangutan di Sarawak). Setiap orangutan sebaiknya diperlakukan sebagai individu dengan keunikan tersendiri, sebab masing-masing orangutan menawarkan pelajaran yang berharga bagi umat manusia.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 21 ]


Rehabilitasi dan Pelepasliaran Menuju 2015 : Peranan pusat rehabilitasi orangutan dalam upaya konservasi Anne E. Russon, Glendon College, York University, Toronto, Canada

M

Pendahuluan a k a l a h i n i bermaksud meninjau peran pusat-pusat rehabilitasi (rehabilitation centers) dalam pelestarian orangutan. Pusat-pusat rehabilitasi ini, yang dimaksudkan untuk membantu orangutan sitann beradaptasi kembali dengan kehidupan di alam bebas, telah beroperasi di seluruh jangkauan jelajah orangutan modern (di Sumatera dan Kalimantan) selama nyaris 50 tahun (Harrisson 1961, 1962). Proyek-proyek ini tidak dapat disebut berhasil bagi semua taksa (Beck et al. 1994; Griffith et al. 1989), tetapi masih ada beberapa pihak yang melihat potensi pusat-pusat rehabilitasi kera besar dalam menggalakkan upaya konservasi (Hannah & McGrew 1991; Rijksen 2001; Yeager & Silver 1999). Para ilmuwan dan konservasionis (ahliahli pelestarian alam) telah lama berusaha menilai dampak positif dan negatif pusat rehabilitasi orangutan terhadap upaya-upaya konservasi sejak awal pendirian pusat-pusat tersebut. Jawaban bagi pertanyaan ini dinilai penting karena hampir semua orangutan sitaan yang dirawat di pusat-pusat ini merupakan individu-individu yatim piatu yang awalnya dilahirkan di alam bebas, dan kategori ini sekarang merupakan bagian yang cukup besar dari populasi orangutan yang hidup di habitat alaminya—saat makalah ini ditulis, ada lebih dari 2.800 orangutan seperti ini (Leiman & Ghaffar 1996; Peters 1995; Singleton et al. 2004; lihat Tabel 1). Pada akhir dekade pertama, banyak ahli yang menyuarakan pendapat pesimis bahwa pusat-pusat rehabilitasi orangutan hanya menawarkan penegakan hukum, propaganda orangutan, dan kesempatan penggalangan dana (Rijksen 1982). Pusat-pusat ini tertimpa begitu banyak masalah sehingga kritik-kritik paling pedas menyebut mereka sebagai usaha yang membuang-buang uang dan menyalahgunakan orangutan bekas sitaan sebagai komoditas untuk menjaring dana dari wisatawan, membohongi hati nurani, dan memberikan kesan yang keliru tentang usaha-usaha pelestarian (Lardoux-Gilloux 1995; Leiman & Ghaffar 1996; Rijksen 2001; Rijksen & Meijaard 1999; Sugardjito & van Schaik 1991; Yeager 1997). Pendapat yang berlawanan menekankan sumbangsih positif pusat-pusat rehabilitasi ini terhadap penegakan hukum perlindungan spesies liar, kesadaran masyarakat, penyelamatan habitat, kelangsungan hidup orangutan, dan pelepasliaran orangutan (Peters 1995; Rijksen & Meijaard 1999; Singleton komunikasi pribadi).

Tujuan makalah ini adalah meninjau ulang sumbangsih yang dihasilkan oleh pusat-pusat rehabilitasi orangutan sepanjang masa kerja lebih dari 50 tahun. Prioritas dan pertimbanganpertimbangan praktis dalam pengoperasian pusatpusat ini akan dijabarkan terlebih dahulu sebagai konteks untuk temuan-temuan berikutnya. Pembahasan akan dipusatkan pada saran-saran untuk memperbaiki kinerja dan keadaan saat ini. Pusat Rehabilitasi Orangutan: prioritas dan pertimbangan praktis Ada dua belas pusat rehabilitasi orangutan yang pernah beroperasi; delapan masih beroperasi karena masih ada orangutan bekas tangkapan yang datang (Gambar 1). Beberapa di antaranya disebut pusat rehabilitasi, sementara sisanya dikenal sebagai pusat reintroduksi. Menurut IUCN, rehabilitasi adalah proses pengelolaan hewan tangkapan melalui “perawatan medis dan fisik untuk mengembalikan kesehatan mereka, bantuan untuk mengembangkan keahlian sosial dan ekologis alami mereka, dan kemandirian dari hubungan dan ketergantungan terhadap manusia higga mereka dapat bertahan hidup atas usaha sendiri di alam bebas�; semetara reintroduksi adalah “usaha melepaskan kembali keberadaan suatu spesies di daerah yang pernah menjadi wilayah jelajahnya di masa lalu tetapi tidak didiami lagi oleh spesies tersebut akibat punah atau terusir.� (Beck et al. 2007, pp. 4-5).

Proyek-proyek paling awal disebut pusat rehabilitasi, dengan penekanan pada usaha membantu hewan sitaan untuk mendapatkan kembali kemampuan hidup di alam bebas. Pusatpusat ini juga mengembalikan orang utan

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 22 ]


Gambar 1. Lokasi rehabilitasi orangutan. Posisi proyekproyek rehabilitasi orangutan yang masih beroperasi.

tangkapan ke habitat alami, tetapi pelepasan ini dilakukan di wilayah-wilayah yang masih memiliki populasi orang utan liar sehingga tidak dapat disebut reintroduksi. Rijksen memilih nama “reintroduksi” bagi metodenya dalam mencapai tujuan yang sama, di antaranya untuk memberi penekanan pada pelepasan orang utan tangkapan ke hutan-hutan yang tidak lagi memiliki populasi orang utan liar dan juga untuk membedakan metode ini dari cara-cara yang telah dipergunakan sebelumnya (Rijksen & Meijaard 1999; Smits et al. 1995). Jadi, sebutan “reintroduksi” menurut Rijksen sebenarnya mencakup kedua macam proses. Sejak saat itu, “rehabilitasi” dan “reintroduksi” sering digunakan sebagai sinonim tanpa pembedaan antara kedua proses. Makalah ini menggunakan definisi dari IUCN untuk membahas rehabilitasi dan reintroduksi secara spesifik, kecuali saat kata “rehabilitasi” dapat digunakan untuk mencakup keduanya secara umum. Prioritas. Pusat-pusat rehabilitasi orang utan pada awalnya memusatkan diri pada usaha membantu penegakan hukum perlindungan orangutan dengan cara menyediakan tempat penampungan bagi orangutan yang disita dari pemeliharaan /perdagangan ilegal, ditambah dengan upaya mengembalikan orangutan ini ke kehidupan mandiri di hutan alami (Frey 1978). Tujuan-tujuan pelestarian lainnya dianggap sebagai prioritas kedua, misalnya mendukung populasi liar yang kekurangan jumlah, menggalakkan pendidikan dan penggalangan dana konservasi (di antaranya melalui pariwisata), dan menjamin kesejahteraan orangutan bekas sitaan (Aveling 1982; de Silva 1965; Harrisson 1961; Rijksen 1982; Rijksen & Rijksen-Graatsma 1975). Pusat-pusat ini mengubah titik berat tujuan mereka di akhir tahun 1980-an. Pada akhir dekade 1970-an, berbagai penelitian telah menunjukan bahwa mengisi populasi liar dengan orangutan bekas sitaan lebih cenderung memberatkan daripada membantu populasi-populasi liar tersebut: di satu sisi, sudah ada terlalu banyak orangutan liar yang hidup di habitat yang tersisa (MacKinnon 1977b; Rijksen 1978, 1982), sementara di sisi lain beberapa orangutan yang direhabilitasi ternyata sudah terjangkit penyakit menular dari manusia, mungkin dari wisatawan, yang dapat menular lebih jauh ke populasi-populasi liar -

(misalnya hepatitis-B, TBC: Frey 1978; Kosasih et al. 1977; MacKinnon 1977b; Rijksen 1982, 2001; Rijksen & Rijksen-Graatsma 1975; Yeager 1999). Ada juga beberapa cara rehabilitasi perilaku yang ternyata keliru, sebagian karena anggapan yang tidak tepat pada masa 1970-an bahwa orangutan adalah hewan yang berkembang dengan cepat dan “terdesosialisasi”, misalnya berharap bahwa orangutan bekas sitaan dapat mengembangkan keahlian bertahan hidup tanpa bantuan lingkungan sosial, melepas orangutan sendiri-sendiri atau pada usia yang terlalu muda, tidak mengenalkan orangutan kepada “masyarakat” orangutan lain, dan mengizinkan terlalu banyak hubungan dengan manusia (Borner & Gittens 1978; Frey 1978; MacKinnon 1977b; Rijksen 1978, 1982). Temuantemuan ini menyebabkan perpecahan menjadi dua golongan. Golongan pertama mementingkan perlindungan orangutan liar dengan menerapkan kendali yang lebih ketat pada orangutan yang direhabilitasi (misalnya pemeriksaan medis yang lebih ketat, melarang kunjungan wisatawan, mengusahakan reintroduksi) dan menitikberatkan sisi sosial dalam rehabilitasi (Rijksen & Meijaard 1999; Smits et al. 1995). Sejak 1995, hukum di Indonesia mengharuskan reintroduksi; reintroduksi juga dianjurkan tetapi tidak diwajibkan di Sabah (Ancrenaz, komunikasi pribadi). Golongan kedua mendukung metode-metode “lama” yang termasuk pelepasan orangutan hasil rehabilitasi di wilayah yang masih memiliki populasi liar dan mendukung keterlibatan orangutan dalam pariwisata. Menjelang akhir abad ke-20, terjadi perubahan mendadak. Indonesia, sebagai rumah bagi lebih dari 80% orang utan liar di dunia, menderita kekacauan di tengah pergolakan politik, ekonomi, dan alami. Akibatnya di Sumatera dan Kalimantan adalah kerusakan hutan besar-besaran, pembangunan yang tak terkendali, dan konflik berkepanjangan di Aceh—jantung habitat orangutan Sumatra— sehingga habitat orangutan liar semakin terpecah dan populasinya semakin berkurang (Singleton et al. 2004). Sejak saat itu, pertumbuhan ekonomi (melalui perkebunan kelapa sawit, penambangan batubara, pembangunan jalan, dsb.) terus mengancam orangutan liar dan habitatnya. Oleh karena itu pusatpusat rehabilitasi sekarang terpaksa mengutamakan penyelesaian kerumitan yang disebabkan oleh besarnya jumlah orangutan bekas sitaan dan kesulitan dalam menemukan habitat yang tepat bagi pelepasliaran. Ada beberapa faktor lain yang turut mempengaruhi prioritas pusat-pusat rehabilitasi orangutan. Salah satunya adalah kecenderungan untuk jatuh ke dalam dua perangkap, yaitu keuntungan ekonomis dari pariwisata dan keterikatan sentimental dengan orangutan yang direhabilitasi (Rijksen & Meijaard 1999). Kedua kecenderungan ini mengganggu proses rehabilitasi dengan cara membelokkan pengambilan keputusan untuk memenuhi agenda pribadi atau menempatkan keinginan segelintir orang di atas kepentingan umum. Pendanaan yang tidak -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 23 ]


cukup besar atau tidak cukup terjamin, dan kurangnya investasi profesional dalam penanganan orangutan bekas sitaan dibandingkan dengan hewan liar atau tangkapan lainnya, juga turut berperan dalam timbulnya masalah-masalah di atas (Irwin 2001). Beberapa pusat rehabilitasi terpaksa memanfaatkan wisatawan sebagai salah satu dari sedikit sumber pendanaan yang tersedia. Jika rehabilitasi orangutan tidak dapat mendukung diri sendiri dengan pendanaan yang dapat diandalkan, atau dipaksa menerima dana yang membawa keterikatan politik atau komersial, tujuan-tujuan pelestarian utamanya tak akan tercapai dengan baik (Rijksen & Meijaard 1999). Pergeseran politik di dalam dan luar negeri telah menyebabkan perubahan dalam baik ancaman-ancaman terhadap orangutan maupun cara-cara menghadapi ancamanancaman tersebut, sehingga pusat-pusat rehabilitasi juga perlu mengatur kembali skala prioritas mereka. Pusat-pusat rehabilitasi yang dikelola pemerintah bahkan tidak dapat menghindari masuknya perhitungan politik dalam agenda mereka. Saat ini pusat-pusat rehabilitasi dipenuhi oleh begitu banyak orangutan bekas sitaan yang tak dapat dilepasliarkan sehingga kesejahteraan mereka pun perlu diperhatikan, termasuk dalam hal penyediaan suaka dan perawatan berkualitas seumur hidup mereka (Rosen & Byers 2002). Pada intinya, penilaian atas sumbangsih pusat-pusat rehabilitasi orangutan perlu memperhatikan kenyataan bahwa konservasi hanyalah salah satu dari sekian banyak prioritas yang harus dihadapi oleh pusat-pusat tersebut. Pertimbangan-Pertimbangan Praktis. Masalah terbesar yang dihadapi pusat-pusat rehabilitasi orangutan muncul dari berbagai kesamaan antara manusia dan orangutan. Selain bentuk badan yang serupa dan ukuran otak yang besar, manusia dan orangutan sama-sama memiliki proses pertumbuhan yang lamban dengan masa kanak-kanak dan ketergantungan yang cukup panjang; kehidupan sosial yang berdasar atas hubungan erat jangka panjang baik dengan saudara maupun bukan saudara (hubungan induk-anak dapat bertahan seumur hidup); dan tingkat kepandaian yang tinggi. Orangutan adalah spesies pembelajar dalam artian bahwa sebagian besar pengetahuan dan keahlian mereka harus dipelajari, sebagian besar pembelajaran mereka terpusat pada masa kanakkanak, dan keterlibatan sosial memegang peranan penting dalam pembelajaran ini. Sebagai akibat dari sebab-sebab di atas, orangutan muda sangat mudah ditangani dan cukup disukai sebagai hewan peliharaan keluarga. Hampir semua orangutan sitaan yang dibawa ke pusat rehabilitasi awalnya lahir di alam bebas dan lalu ditangkap secara ilegal dengan cara membunuh induk mereka (Frey 1978; Peters 1995). Sebagian besar memasuki proses rehabilitasi sebagai bayi atau hewan yang masih sangat muda (63-97% di bawah usia kurang-

-lebih 7 tahun: Aveling 1982; Rijksen 1978; Nijman 2005; SOCP 2007; Swan & Warren 2000), walaupun ada juga yang diterima dalam keadaan dewasa atau hampir dewasa setelah dipelihara secara ilegal selama beberapa tahun (Aveling 1982; Frey 1978; Peters 1995; Singleton - komunikasi pribadi). Akibat lain yang muncul adalah orangutan yang masuk ke pusat rehabilitasi pada umumnya dapat dianggap “cacat” dalam artian tidak mengerti cara berinteraksi dengan hutan dan orangutan lainnya serta terlalu “dimanusiakan.” Hidup orangutan sitaan berbeda-beda, mulai dari dianiaya hingga dimanja, tetapi pada umumnya mereka telah menerima perawatan yang tidak memadai dalam kondisi yang buruk (Payne & Andau 1989; Peters 1995). Cukup banyak yang cacat permanen akibat kecelakaan ataupun perlakuan yang buruk. Penyakit-penyakit yang terdiagnosis pada orangutan pendatang baru di di antaranya tifus, hepatitis A/B/C, TBC, tetanus, infeksi pernapasan, dan parasit (data BOS; Singleton – komunikasi pribadi). Cedera fisik yang teramati meliputi luka tembakan dan parang; tungkai yang putus, lumpuh, ataupun patah; dan cedera organorgan dalam (Russon – pengamatan pribadi, Singleton – komunikasi pribadi). Ada pula cedera perilaku dan psikis akibat penganiayaan fisik dan seksual, isolasi berkepanjangan pada masa kanakkanak, ataupun ketergantungan terhadap interaksi dan pembelajaran dari manusia. Penyitaan pada masa bayi atau kanak-kanak menghasilkan cacat perilaku dalam bentuk kurangnya pengetahuan tentang hutan dan orangutan yang diperlukan untuk hidup normal di alam bebas, berikut ketergantungan terhadap manusia dan kebiasaan-kebiasaan kontraproduktif yang menyertainya. Latar belakang seperti ini berarti bahwa sebagian besar orangutan tangkapan tak dapat langsung dikembalikan ke hutan, sehingga reintroduksi perlu diawali dengan upaya rehabilitasi yang cukup berat. Ada beberapa pengecualian berupa individu yang sudah cukup tua utuk hidup mandiri di hutan saat mereka ditangkap. Kerumitan dalam rehabiltasi dan reintroduksi orangutan ini disajikan dalam Gambar 2 berikut ini.

Gambar 2. Praktek-praktek rehabilitasi dan reintroduksi orangutan, meliputi unsur-unsur utama (kotak tebal) dan bagian-bagian terpenting dalam masing-masing unsur. Poinpoin berhuruf miring di bawah “Kandang sosial” dan “Sekolah hutan” adalah faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan rehabilitasi sosial dan ekologis.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 24 ]


Penerimaan. Kedua spesies orangutan di Indonesia ditangani secara terpisah, jadi orangutan yang diselamatkan dari penangkapan ilegal perlu melalui pengujian genetik untuk menentukan tempat rehabilitasi yang cocok. Semua pusat rehabilitasi mengkarantina orangutan baru untuk menilai kesehatan mereka dan, jika bisa, mengobati penyakit-penyakit atau cedera yang ditemukan (Beck et al. 2007; Rosen & Byers 2002). Banyak orangutan diterima dalam keadaan cedera seperti yang telah disebutkan di atas, sehingga rehabilitasi dan reintroduksi mereka sangat sulit atau bahkan praktis tak mungkin dilakukan. Penyakit menular yang tak dapat disembuhkan (misalnya hepatitis-B kronis) dan cacat fisik (kebutaan, lumpuh, amputasi, dsb.), kegagalan dalam mempelajari keahliankeahlian yang diperlukan, dan perilaku berbahaya adalah faktor-faktor penghambat reintroduksi yang pernah ditemui. Hambatan-hambatan yang mungkin tak dapat diatasi adalah kurangya pengalaman hidup di alam bebas semasa kanakkanak (karena ditangkap pada usia kurang dari satu tahun), perlakuan yang terlalu keras atau terlalu memanjakan selama penangkapan, hubungan yang terlalu erat dengan manusia, dan kegagalan dalam bergabung kembali dengan masyarakat orangutan (Aveling & Mitchell 1982). Selain itu, pusat-pusat rehabilitasi perlu menangani stres, depresi, dan perasaan kekurangan yang disebabkan oleh karantina, isolasi berkepanjangan, dan prosedurprosedur medis tertentu sembari menyediakan dukungan sosial, emosional, dan perilaku yang memadai bagi orangutan yang sedang dipisahkan untuk perawatan medis, terutama bagi orangutan yang masih sangat muda. Orangutan yang pada akhirnya ternyata tak layak dilepasliarkan mungkin akan perlu dirawat secara terpisah dalam semacam suaka.

mereka pula. Orangutan yang diselamatkan dari tangkapan umumnya terlambat mengembangkan keahlian hidup di hutan, tidak memiliki induk yang dapat mengajari mereka, dan menghadapi beberapa hambatan lain, sehingga mereka perlu waktu yang lebih panjang untuk mempelajari keahlian hidup yang mereka perlukan.

Rehabilitasi. Setelah dirawat hingga kembali sehat, orangutan yang dinilai layak untuk pelepasliaran akan dimasukkan dalam program rehabilitasi perilaku yang dimaksudkan untuk membekali mereka dengan keahlian sosial dan ekologi agar mereka dapat hidup mandiri tanpa ketergantungan terhadap manusia. Program ini juga memperhatikan kebutuhan emosi dan sosialisasi, terutama bagi orangutan yang masih berusia kanak-kanak atau sangat muda.

Karena alasan-alasan tersebut, program rehabilitasi perlu dibagi atas dasar usia orangutan, dan lebih jauh lagi disesuaikan dengan setiap individu. Orangutan dipisahkan menjadi “kelaskelas� umur (mis. bayi, anak, remaja, dewasa) karena perbedaan usia dalam kelompok dapat menghasilkan stres dan pertengkaran fisik. Sebagai contoh, Sepilok menetapkan tiga kelas: bayi (perawatan intensif sebagai pengganti peran induk), pelepasan terbatas di wilayah hutan lindung/suaka (pelatihan bertahan hidup dengan orientasi ke luar), dan pelepasan mandiri (Fernando 2001; Lardoux-Gilloux 1995). Caracara yang berbeda juga mungkin diperlukan untuk memenuhi kebutuhan individu, misalnya “sekolah hutan�, pulau berpagar, atau kandang. Sekolah hutan memungkinkan penjelajahan habitat alami dan interaksi sosial yang bersifat normal, tetapi hanya cocok bagi orangutan muda yang masih mudah dibentuk. Kandang merupakan pilihan lain untuk orang utan yang rentan atau terlalu besar dan agresif; suatu kandang dapat memuat lebih dari satu orangutan jika individu yang terlibat memang saling cocok. Semua metode di atas menyediakan lebih banyak kesempatan belajar daripada pelatihan langsung oleh manusia karena pengajar manusia yang kompeten masih sulit ditemukan, dan masing-masing memiliki faktor pro dan kontra tersendiri. Pengandangan bersama memungkinkan sosialisasi antar-orangutan dan mengurangi hubungan yang tak perlu dengan manusia tetapi menyulitkan pengawasan, memaksakan lingkungan sosial, membatasi pilihan dalam penyelesaian konflik, dan memerlukan persediaan seperti alas tidur dan makanan yang kurang alami. Sekolah hutan lebih mudah diawasi, mengizinkan pilihan lingkungan sosial yang lebih bebas, mengurangi kontak dengan benda-benda yang tidak alami, dan meminimalkan waktu pengurungan dalam kandang, tetapi memerlukan lebih banyak keterlibatan dan dukungan manusia.

Ada dua prinsip umum yang dipandang penting. Pertama, proses rehabilitasi akan semakin efektif jika proses tersebut semakin mendekati proses pembelajaran alami dalam spesies sasaran serta bersifat fleksibel dan individual (dicocokkan dengan kebutuhan masing-masing individu) (Fernando 2001; Peters 1995; Pratje & Singleton 2006; Rijksen & Meijaard 1999; Russon 2002; Smits et al. 1995). Kedua, orang utan Kalimantan liar memerlukan 4-6 tahun untuk mempelajari kemampuan fisik dan perilaku yang diperlukan dalam kehidupan mandiri di alam bebas, tentunya dengan bantuan pengajaran dari induk mereka di habitat alami -

Sesuai dengan pola perkembangan orangutan, individu yang direhabilitasi seharusnya tidak dilepaskan di hutan sebelum usia mandiri dan sebelum individu tersebut mempelajari semua keahlian yang diperlukan, dan dalam keadaan ini pun mereka masih perlu dianggap sebagai orangutan yang hanya setengah mandiri. Keahlian yang dibutuhkan dalam kehidupan semi-mandiri seperti ini kurang-lebih setara dengan keahlian yang dimiliki orangutan liar pada saat mereka juga mulai hidup secara semi-mandiri: pengetahuan dan keahlian dalam menemukan sekitar 100 spesies tanaman yang dapat dimakan (Wich, -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 25 ]


komunikasi pribadi), membangun sarang di pohon dan meninggalinya selama semalam, menjelajah hutan secara aman, menemukan arah selama masih dalam jangkauan induk, pertahanan terhadap hewan pemangsa (terutama cara mengenali dan menghindari pemangsa), hidup dalam lingkungan sosial orangutan (komunikasi, hubungan perkawanan, penyelesaian konflik), dan rasa tidak tertarik atau bahkan takut terhadap manusia (Rosen & Byers 2002). . Akibat kekurangan-kekurangan yang mereka derita, orangutan bekas sitaan umumnya perlu rehabilitasi selama bertahun-tahun untuk mempelajari keahlian-keahlian di atas, dan mungkin tak akan berhasil jika dikurung dalam kandang berkelompok. Pada akhirnya, setiap individu juga harus dipantau untuk menilai keberhasilan belajarnya; karena banyaknya keahlian yang perlu dipelajari, pemantauan ini mungkin perlu dilakukan terus-menerus selama beberapa bulan. Reintroduksi. Reintroduksi (pelepasliaran) bukanlah suatu peristiwa tunggal, melainkan proses berkepanjangan bagi orangutan yang sedang beradaptasi dengan kehidupan liar dan memisahkan diri dari manusia dalam tiga tahap utama: penyiapan tempat reintroduksi dan individu yang akan dilepaskan di dalamnya, pelepasan orangutan di tempat, dan dukungan setelah pelepasan. Lokasi reintroduksi yang ideal berupa habitat alami dengan luasan, kualitas, dan keamanan yang cukup, terletak dalam wilayah jelajah alami orangutan, dan terpisah dari populasi-populasi liar yang sudah ada. Tempat-tempat seperti ini semakin jarang ditemui, terutama di Kalimantan, sehingga muncul usulan untuk memanfaatkan daerah-daerah yang telah memiliki populasi liar yang sulit bertahan hidup secara mandiri (non-viable) (Rosen & Byers 2002). Penelitian resmi dan rinci perlu dilakukan terlebih dahulu untuk menilai lokasi yang diusulkan, terutama dalam kaitan dengan faktor-faktor populasi orangutan liar yang sudah ada, kualitas dan kapasitas habitat, dan ancaman-ancaman yang mungkin muncul. Faktor-faktor ini tak dapat dinilai dengan tinjauan singkat semata; misalnya, produktivitas hutan – salah satu unsur terpenting dalam perhitungan kapasitas hutan – hanya dapat dinilai melalui pengamatan jangka panjang. Lokasi yang dinilai tepat perlu dipersiapkan sebelum reintroduksi untuk mendukung kegiatan pascapelepasan yang penting bagi keberhasilan, peningkatan, dan pertanggungjawaban program. Persiapan dasar ini meliputi pemetaan (untuk menentukan titik-titik pelepasan, persediaan pakan, markas pengendali, dan ancaman-ancaman), p e m b u k a a n t a pa k d a n j a l u r a k s e s , d a n pembangunan hubungan yang baik dengan masyarakat (manusia) sekitar. Persiapan yang tidak memadai dalam beberapa upaya pelepasliaran di masa lalu telah menghasilkan masalah-masalah yang seharusnya dapat dicegah. Proses reintroduksi secara resmi dimulai saat orangutan hasil rehabilitasi dilepas (ditempatkan di -

hutan yang terletak cukup jauh dari pusat rehabilitasi). Pada awalnya pelepasan ini sebaiknya dilakukan dengan “perlahan� (soft release: masih diikuti dengan pemberian persediaan dan dukungan terbatas) karena orangutan yang baru dilepaskan belum terbiasa dengan wilayah pelepasan mereka dan hanya dapat dianggap setengah mampu (semikompeten) untuk hidup mandiri. Kerumitan lainnya meliputi pilihan untuk melepaskan orangutan sendirisendiri atau dalam kelompok, dengan kelompok besar atau kecil, dan di daerah yang belum atau sudah didiami oleh orangutan hasil rehabilitasi lainnya (Rijksen 1978, 1982; Rijksen & Meijaard 1999; Smits et al. 1995). Rekomendasi yang diterima sejauh ini terpusat pada pernyataan tentang apakah orangutan dalam kelompok akan saling mendukung atau bersaing, kemungkinan bahwa dukungan dan keselarasan sosial akan runtuh setelah pelepasan, dan kesulitan dalam mengelola sejumlah besar orangutan yang dilepasliarkan secara bersamaan (de Vries 1991; Russon 1996; Singleton – komunikasi pribadi). Kelompokkelompok yang sangat kecil (sekitar 2-4 individu) tampaknya paling cocok dengan lingkungan sosial orangutan yang cenderung tersebar di samping memudahkan pemantauan dan dukungan pascapelepasan (Pratje, Singleton – komunikasi pribadi). Kegiatan pasca-pelepasan meliputi dukungan terbatas untuk orangutan hasil rehabilitasi selama mereka beradaptasi dengan habitat dan pola kebiasaan baru, kehidupan mandiri, serta perubahan hubungan dengan manusia yang sebelumnya merawat mereka; pemantauan wilayah reintroduksi (mis. fenologi) dan orangutan yang dilepaskan (mis. pengetahuan tentang makanan, sarang, hubungan sosial, dan pola penjelajahan); perlindungan habitat; dan pemeliharaan hubungan dengan masyarakat sekitar. Dukungan terbatas (dalam bentuk pemberian persediaan dalam jumlah kecil dan bantuan untuk menyelesaikan masalah-masalah serius) memegang peranan penting pada tahap awal pelepasliaran hingga orangutan yang dilepaskan jelas-jelas mampu bertahan hidup sepenuhnya atas usaha mandiri. Pemantauan berkala dan sistematis selama masa pasca-pelepasan sangat diperlukan untuk melacak kemajuan masing-masing individu dan masalah yang dihadapi dalam mempelajari produktivitas habitat, terutama setelah aliran persediaan dari luar dihentikan (Baker 2002; Rosen & Byers 2002). Pemantauan dalam beberapa program akhir-akhir ini telah berhasil menemukan beberapa masalah pada saat yang tepat untuk mengambil langkah perbaikan, tetapi ada pula masalah yang baru diketahui saat semia sudah terlambat dan berakibat kematian atau bahkan tidak diketahui sama sekali. Jadi, pemantauan ini perlu dijalankan dalam jangka waktu yang cukup lama (misalnya setahun atau lebih) karena produktivitas habitat alami orangutan mengalami perubahan tahunan dan multi-tahunan yang dapat mempengaruhi kesehatan, persediaan makanan, penjelajahan, dan reproduksi orangutan. Pemantauan juga merupakan satu-satunya cara -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 26 ]


untuk menilai keberhasilan program-program pusat rehabilitasi. Perlindungan langsung perlu diberikan bagi orangutan dan habitatnya karena status “terlindungi� secara resmi ternyata tak lebih berguna untuk orangutan hasil rehabilitasi daripada untuk orangutan liar. Beberapa pusat rehabilitasi telah menerima berbagai bentuk ancaman (mis. pembalakan liar, serangan terhadap orangutan yang sedang direhabilitasi) hingga SOCP perlu mengadakan patroli orangutan. Usaha-usaha serupa kemungkinan besar akan perlu diadakan pada lokasi-lokasi reintroduksi. Perlindungan ini juga meliputi masalah penanganan wisatawan. Kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh interaksi dengan wisatawan telah mendorong pusat-pusat rehabilitasi untuk menghentikan atau menerapkan batasan ketat atas wisata orangutan. Pemerintah Indonesia menutup beberapa pusat rehabilitasi yang terlalu penuh dengan wisatawan (Rijksen & Meijaard 1999) sementara beberapa pusat lainnya tidak lagi terbuka untuk kunjungan wisata (Singleton – komunikasi pribadi; Smits et al. 1995). Usaha menghentikan kegiatan wisata di pusat-pusat rehabilitasi tergolong sulit karena pariwisata menghasilkan keuntungan ekonomis dan masih ada pendapat bahwa pemasukan yang datang sebanding dengan risiko yang ditimbulkan terhadap keberhasilan rehabilitasi (Aveling 1982; Frey 1978; MacKinnon 1977b; Rijksen 1982). Pariwisata masih merupakan motor utama di beberapa pusat rehabilitasi yang lebih mementingkan keuntungannya daripada bahayanya (Dellatore, 2007; Galdikas 1991; Payne & Andau 1989). Dua pusat rehabilitasi yang hendak ditutup pemerintah (Tanjung Puting, Bohorok) masih menawarkan orangutan yang sedang direhabilitasi sebagai obyek penarik wisatawan (Dellatore 2007; Low 2004), jadi risiko-risiko dan bahaya-bahaya tersebut masih belum terkendalikan dengan baik. Pusat Rehabilitasi Orangutan: keberhasilan memenuhi sasaran konservasi. Sumbangsih pusat rehabilitasi orangutan terhadap usaha pelestarian satwa liar merupakan turunan langsung dari sasaran awal pendirian pusat-pusat tersebut dan, dalam hal sasaran-sasaran yang berhubungan langsung dengan usaha pelestarian, keberhasilan pusat-pusat tersebut dalam memenuhi sasaran-sasaran ini. Menurut takaran IUCN, sasaran utama reintroduksi kera besar adalah penanaman populasi satwa liar yang dapat berdiri sendiri dengan cara membangun kembali populasi liar yang sudah punah atau mengisi populasipopulasi yang masih kekurangan jumlah ataupun belum sepenuhnya memanfaatkan daya dukung habitat mereka (Beck et al. 2007). Sasaran ini pada umumnya masih belum menjadi sasaran utama bagi pusat-pusat rehabilitasi orangutan, walaupun usahausaha belakangan ini semakin menuju ke arah itu. Penilaian di sini dipusatkan pada beberapa penanda

-sumbangsih pusat rehabilitasi orangutan terhadap upaya pelestarian: pendirian populasi-populasi mandiri, keberhasilan hidup liar di hutan (reproduksi, kemampuan bertahan hidup, pembelajaran dan pengembagan keahlian). Penanda-penanda ini dipilih karena tersedianya data kuantitatif yang mencakup sejumlah besar populasi. Ada satu perkecualian: keberhasilan hidup liar di hutan merupakan faktor yang masih jarang diteliti secara rinci (Yeager 1997), terutama karena penelitian semacam ini memerlukan pemantauan sistematis jangka panjang selama tahap pasca-pelepasan dan belum ada proyek yang berhasil melakukan pengamatan semacam ini. Populasi liar mandiri. Pada awalnya pusat-pusat rehabilitasi orangutan cenderung melepaskan orangutan hasil rehabilitasi ke dalam populasi liar yang sudah ada, dan reintroduksi baru menggantikan kecenderungan ini pada dekade 1990-an; akibatnya, baru sedikit populasi mandiri yang berhasil dibangun dari nol. Populasi mandiri pada dasarnya berarti populasi terpisah (terisolasi) yang mampu bertahan hidup dalam jangka panjang, tetapi parameter penilaian untuk definisi tersebut masih ramai diperdebatkan. Ahli-ahli konservasi umumnya menggunakan ukuran populasi mandiri minimal (minimum viable population, MVP), yaitu jumlah terkecil individu yang diperlukan untuk mencapai tingkat kemunginan bertahan hidup tertentu selama jangka waktu tertentu pula, walaupun ada yang beranggapan bahwa parameter ini masih kurang meyakinkan (mis. Brook et al. 2006; Reed et al. 2003; Sanderson 2006; Traill et al. 2007). Penilaian kelayakan populasi orang utan (population viability analysis PVA) tebaru memperkirakan bahwa nilai MPV untuk kemungkinan bertahan hidup 99% selama jangka waktu 1000 tahun adalah 250-500 individu, walaupun populasi sekecil ini masih tergolong sangat rentan terhadap gangguan seperti penebangan atau perburuan liar (Singleton et al. 2004). Pada tingkat kepadatan populasi orangutan yang normal, MVP sebesar 500 individu memerlukan luasan habitat sebesar 125-1000 km2 di Kalimantan atau 80-350 km2 di Sumatera (Singleton et al. 2004). Perhitungan ini tidak dapat diterapkan secara langsung kepada orangutan hasil rehabilitasi karena orangutan ini memiliki beberapa perbedaan yang cukup besar dengan saudara-saudara liar mereka, misalnya dalam hal genetika (sebagian besar dapat dianggap pendiri populasi / founder), demografi (sebaran usia yang tidak alami), perilaku (kemampuan bertahan hidup di bawah normal), habitat (mungkin tidak optimal), dan keterikatan dengan manusia. Di sisi lain, jika tidak ada ancaman dari luar, beberapa lusin orangutan hasil rehabilitasi saja mungkin cukup untuk menjamin kemampuan bertahan hidup jangka panjang. Karena tiadanya titik acuan yang lebih baik, nilai MVP di atas digunakan untuk menilai keberhasilan pusat rehabilitasi orangutan dalam mendukung perkembangan populasi-populasi mandiri. Baru ada

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 27 ]


dua pusat rehabilitasi yang menjalankan reintroduksi sejak tahun 1990-an, yakni BOS di Kalimantan Timur dan SOCP di Jambi. BOS melakukan reintroduksi orang utan Kalimantan di dua wilayah hutan lindung, yaitu Sungai Wain dan Beratus (Meratus). Sementara itu, reintroduksi orangutan Sumatera oleh SOCP dilaksanakan di sebuah wilayah bekas konsesi penebangan yang berbatasan dengan Taman Nasional Bukit Tigapuluh; orangutan liar diketahui masih hidup di sini hingga tahun 1830-an tetapi sudah punah pada tahun 1990s (Schlegel & Mueller 1839-1844). Sungai Wain sebenarnya terlalu kecil untuk mendukung MVP (kurang-lebih 3.500 ha hutan dalam keadaan yang memadai) dan hanya 10 dari 82 orangutan yang dilepaskan di sana masih bertahan hidup; sisanya meninggal, menghilang, atau dipindahkan (Peters 1995; Russon & Susilo 1999). Populasi di Beratus mungkin dapat memenuhi kriteria MVP: BOS melepasliarkan 325 orangutan hasil rehabilitasi di kawasan lindung yang cukup luas (sekitar 28.800 ha) dan tersambung dengan hutan konsesi penebangan yang lebih luas lagi. Sayangnya, status kawasan ini masih belum begitu jelas karena pemantauan masih belum dilakukan secara terus-menerus dan lonjakan tingkat pembalakan liar sejak 2002 menghasilkan ancaman yang cukup serius. Populasi Bukit Tigapuluh secara teori dapat dibangun hingga memenuhi syarat MVP walaupun sejauh ini baru ada 125 orangutan yang dilepaskan (Pratje, komunikasi pribadi). Kawasan Bukit Tigapuluh meliputi hutan dataran rendah seluas lebih dari 500.000 ha dan seluruh wilayah ini dapat dianggap cocok bagi orangutan, sehingga wilayah ini secara teoritis dapat mendukung populasi hingga 1.000 orang utan. Reproduksi. Pengetahuan tentang pola reproduksi orangutan liar hasil rehabilitasi masih terbatas pada laporan-laporan insidental di semua lokasi tentang sejumlah kecil orangutan betina yang menjelajah bebas bersama dengan beberapa anak orangutan (Payne & Andau 1989; Rijksen & Meijaard 1999). Lamanya waktu yang diperlukan untuk mengamati dan menilai setiap kejadian perkembangbiakan adalah salah satu alasan yang menyebabkan tiadanya statistik yang dapat dipertanggungjawabkan. Di antara orangutan betina liar, kehamilan pertama umumnya terjadi pada usia sekitar 15-16 tahun dengan jeda 6-9 tahun antara kehamilan-kehamilan berikutnya (Galdikas & Wood 1990; Singleton et al. 2004; van Noordwijk & van Schaik 2005; Wich et al. 2004, 2009). Orangutan hasil rehabilitasi pada dasarnya memulai kehidupan di hutan sebagai individu semi-mandiri yang belum sepenuhnya dewasa, jadi reproduksi pertama saja memerlukan cukup banyak waktu untuk pendewasaan, kehamilan, dan lalu dukungan bagi anak orangutan hingga masa proses kemandirian, dengan total hingga 7-14 tahun setelah pelepasan. Laporan-laporan yang diterima memberikan gambaran bahwa orangutan Kalimantan betina hasil rehabilitasi bereproduksi lebih cepat (10-12 tahun) dan lebih sering (sekitar 4 tahun sekali) daripada betina liar (Kuze et al. 2008; Yeager 1997)—suatu pola yang teramati secara konsisten di kelima lokasi di Kalimantan (Tanjung Puting, Kaja, Sungai Wain, Beratus, Sepilok) di bawah pengelolaan empat pusat rehabilitasi. Penyediaan bahan makanan mungkin telah mempengaruhi tingkat reproduksi

dengan cara peningkatan ketersediaan nutrisi (Altmann & Alberts 2003; Knott 2001; Koyama et al. 1992; Takahasi 2002; Tutin 1994; tetapi lihat juga Brewer et al. 2006). Orangutan betina hasil rehabilitasi di Tanjung Puting lebih cenderung menjelajah di sekitar titik-titik penempatan pemberian makan tambahan oleh manusia (feeding platform) daripada orangutan jantan (Yeager 1997) dan cukup banyak betina yang terus memanfaatkan pemberian makan tambahan oleh manusia bahkan setelah dewasa (Russon, pengamatan pribadi). Orangutan betina di Sepilok yang diteliti oleh Kuze et al. (2008) juga cukup sering memanfaatkan pemberian makan tambahan oleh manusia. Di sisi lain, tingkat kematian bayi di antara orangutan hasil rehabilitasi mungkin lebih tinggi daripada tingkat yang teramati pada orangutan betina liar. Di antara 12 orangutan betina hasil rehabilitasi di Tanjung Puting dan 14 Sepilok, tingkat kematian bayi masing-masing adalah 30% dan 57%, sementara angka bagi orangutan Kalimantan liar adalah 7-17% (Kuze et al.2008; Yeager 1997). Tingginya kematian bayi ini dapat menandakan perawatan yang buruk, terutama oleh induk yang baru pertama kali melahirkan. Tingkat yang diamati di Sepilok dan Tanjung Puting mungkin juga terpengaruh oleh stres, persaingan, atau kesehatan yang buruk akibat kepadatan orangutan yang terlalu tinggi dan/atau terlalu banyak persinggungan dengan manusia (baik staf maupun wisatawan) di wilayah jelajah para orangutan betina (Kilbourn et al. 2003; Kuze et al. 2008; Snaith 1999; Yeager 1997). Ketahanan Hidup. Belum ada acuan yang pasti tentang berapa lama orangutan hasil rehabilitasi dapat bertahan hidup setelah pelepasan agar reintroduksi dapat dianggap berhasil, dan salah satu alasannya dalah kekurangan data tentang tingkat kematian yang normal di antara orangutan liar. Perkiraan terbaru tentang tingkat kematian ini dapat bervariasi hingga 5,5% atas dasar usia, 2,5% atas dasar jenis kelamin, dan 5.5% atas dasar keadaan lingkungan; tingkat yang sebenarnya di Kalimantan kemungkinan besar lebih tinggi daripada di Sumatera, terutama bagi orangutan dewasa, karena lingkungan ekologis yang lebih keras (Knott 1998; Singleton et al. 2004; Wich et al. 2004, 2009). Beberapa faktor lain turut mempersulit pengembangan statistik ketahanan hidup orangutan hasil rehabilitasi. Usia setiap orangutan hanya dapat diperkiraan, sehingga statistik ketahanan hidup yang dibagi atas dasar usia tidak mudah dipertanggungjawabkan. Selain itu, baik usia maupun waktu setelah pelepasan samasama bervariasi, jadi salah satunya harus dikontrol secara statistik untuk mendapatkan gambaran yang tepat tentang parameter lainnya. Cara-cara yang digunakan untuk menilai keberhasilan orangutan bertahan hidup juga belum tentu tepat, misalnya orangutan yang tak teramati kadang-kadang begitu saja dianggap masih hidup (Rijksen 2001) sementara tingkat keberhasilan bertahan hidup masih jarang diteliti pada beberapa kerangka waktu yang berbeda walaupun penelitian pada primata lain telah menunjukkan bahwa tingkat ini bervariasi seiring waktu pasca-pelepasan (Beck et al. 2002; Goossens et al. 2005; Kleiman et al. 1991; Tutin et al. 2001). -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 28 ]


Ada pula peristiwa-peristiwa lain yang dapat mempengaruhi keselamatan orangutan hasil rehabilitasi, misalnya siklus El Niño, pemindahan paksa, dan penghentian dukungan pasca-pelepasan Masalah-masalah di atas belum sepenuhnya diperhatikan oleh perkiraan-perkiraan tingkat ketahanan hidup yang telah dibuat sejauh ini. Angkaangka yang paling sering dilaporkan adalah tingkat ketahanan hidup secara umum dengan metode perhitungan apapun dan dalam jangka waktu pengumpulan data manapun. Pada umumnya tingkat ketahanan hidup yang dilaporkan dengan cara ini bervariasi pada sekitar 20-80%. Rijksen and Meijaard (1999) memperkirakan bahwa tingkat keberhasilan 40% dapat dianggap realistis, sementara 80% adalah kemungkinan terbaik, tetapi perkiraan ini bersifat sangat umum dan tidak rinci sama sekali. Lalu apakah tingkat tersebut tergolong rendah? Untuk menjawab ini, dilakukan perbandingan dengan tingkat ketahanan hidup dalam usaha-usaha rehabilitasi dan reintroduksi spesies-spesies primata lain yang sama-sama perlu mempelajari keahlian hidup spesiesnya, bergantung kepada induk pada waktu yang lama, memerlukan interaksi sosial, memiliki periode pembelajaran intensif dalam pertumbuhannya, dan telah terimbas dampak buruk penangkapan ilegal (Beck et al. 2002; Russon 2003; Yeager 1997) (lihat Tabel 2). Tentu saja kesahihan perbandingan ini dibatasi oleh perbedaan-perbedaan antara spesies-spesies, pusat-pusat rehabilitasi, dan program-program rehabilitasi yang terlibat (misalnya individu yang dilahirkan di alam liar atau dalam penangkaran, usia pelepasan, cara pelepasan, pemantausan pasca-pelepasan, dan rentang hidup pasca-pelepasan) serta kurangnya data tentang ketahanan hidup orangutan. Nilai-nilai yang terlihat menunjukkan bahwa tingkat ketahanan hidup orang utan sama beragamnya dengan spesies-spesies primata lain: tingkat yang dialami orangutan bukanlah yang terbaik maupun yang terburuk. Alasan-alasan yang sama juga mendasari kasuskasus kegagalan bertahan hidup. Penyebab kematian yang paling umum di antaranya kekurangan bahan makanan, penyakit, parasit, cedera akibat kurangnya pengetahuan/keahlian alami, dan serangan oleh pemangsa, sesama, maupun manusia (Beck et al. 2002; Bennett 1992; Goossens et al. 2005; Hannah & McGrew 1991; Russon 1996; Yeager 1997). Metode yang kurang tepat biasanya berperan besar dalam kegagalan-kegagalan tersebut (pemilihan atau persiapan lokasi yang buruk, pemindahan paksa, konflik dengan manusia yang seharusnya dapat dicegah, dukungan pascapelepasan yang tidak memadai) tetapi banyak pula faktor yang tak dapat dikendalikan oleh program rehabilitasi, misalnya kekurangan atau kebiasaan yang ditimbulkan oleh pangalaman hidup dalam penangkapan dan campur tangan manusia (Beck et al. 2002; Bennett 1992; Britt et al. 2004; Cheyne 2004, 2005; Farmer et al. 2007; Goossens et al 2005; -

Hannah & McGrew 1991; Ramlee 2006; Tingpalapong et al. 1981; Tutin et al. 2001; Yeager 1997). Sumbangsih lain bagi konservasi. Penilaian menyeluruh atas peran pusat-pusat rehabilitasi orangutan bagi pelestarian alam juga perlu mempertimbangkan sumbangsih yang bersifat tidak langsung. Beberapa di antaranya disebutkan di bawah ini. Pusat-pusat rehabilitasi selalu mendukung upaya penegakan hukum; beberapa pusat di Indonesia telah memimpin sejumlah operasi penyitaan besarbesaran. Pada awalnya penyitaan-penyitaan ini dapat menekan perdagangan ilegal orangutan tetapi hasil jangka panjangnya masih belum pasti karena tindak lanjut dan hukuman yang kurang memadai (Aveling 1982; Aveling & Mitchell 1982; Borner & Gittens 1978; Rijksen 1978, 2001). Tingkat perburuan liar dan perusakan habitat yang masih lebih tinggi dari tingkat penyitaan, keuntungan yang besar dari perdagangan orangutan, dan kesulitan dalam menjalankan proses hukum (tuntutan, dakwaan, dan hukuman yang setimpal) adalah beberapa faktor yang masih menghambat keberhasilan penegakan hukum. Walaupun begitu, dukungan pusat-pusat rehabilitasi orangutan masih memegang peranan penting dalam penegakan hukum terhadap perdagangan liar orangutan, seperti dalam beberapa kasus pemulangan orangutan yang dipelihara secara ilegal di Taiwan, Jepang, Malaysia dan Thailand. Pusat-pusat rehabilitasi membantu penigkatan kesejahteraan dengan cara merawat orangutan yang tidak sesuai untuk reintroduksi. Sebelum pendirian pusat-pusat ini, hampir semua orangutan peliharaan mati dalam tangkapan dan orangutan liar yang terusir dari habitat mereka pun kemungkinan besar berakhir mengenaskan. Kerusakan terbesar pada habitat orangutan Sumatera terjadi pada rentang waktu 1850 - 1980 dan orangutan yang terusir seolah-olah “menghilang” begitu saja (Singleton – komunikasi pribadi). Banyaknya orang utan “pengungsi” yang masuk ke pusat-pusat rehabilitasi saat ini merupakan cerminan keberhasilan usaha pusat-pusat tersebut dalam menemukan, menyelamatkan, dan merawat orangutan “pengungsi” itu. Pusat-pusat ini juga menangani berbagai macam operasi penyelamatan dan translokasi orangutan liar, walaupun masih terjadi perdebatan sengit tentang efektivitas translokasi sebagai salah satu pilihan pelestarian (Yeager 1999). Proyek-proyek rehabilitasi turut mendukung pelestarian lewat berbagai upaya penelitian. Data dalam penelitian genetika yang berujung pada perubahan taksonomi orangutan sebagian besar didapatkan dari orangutan hasil rehabilitasi (Muir et al. 2000; Warren et al. 2001). Orangutan yang sedang dan telah direhabilitasi juga menjadi fokus penelitian kedokteran yang telah menghasilkan beberapa terobosan baru dalam pengetahuan tentang perawatan fisik orangutan. Penelitian terhadap perilaku orangutan hasil rehabilitasi telah -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 29 ]


meningkatkan pengertian akan keahlian sosial dan ekologis, kemampuan belajar, pola stres, dan kepandaian orangutan. Perbandingan antara orangutan liar, sitaan, dan hasil rehabilitasi telah

membuktikan bahwa orangutan yang direhabilitasi dapat tertular penyakit dari manusia serta menularkannya kembali ke orangutan dan manusia lain.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 30 ]


Liputan media terhadap orangutan (terutama artikel tertulis dan film-film dokumenter) umumnya memanfaatkan orangutan yang sedang direhabilitasi. Terlepas dari keberhasilan liputan-liputan ini dalam mendidik masyarakat, hasil-hasil konkret lain telah muncul dalam bentuk sumbangan internasional untuk pelestarian orangutan, kucuran dana dan perhatian ke wilayah-wilayah dengan ekonomi terbelakang, dan kesadaran masyarakat tentang dampak buruk industri kelapa sawit terhadap kelangsungan hidup orangutan. Paparan media ini kemungkinan besar merupakan salah satu alasan bagi industri kelapa sawit untuk mulai bekerja sama dalam mencari penyelesaian tentang masalah orangutan. Sebagian besar biaya rehabilitasi (yang telah dikritik karena nilainya relatif tinggi) dihabiskan untuk membayar gaji karyawan lokal dan membeli barang dan jasa dari lingkungan setempat. Kedua tindakan ini turut mengalihkan penduduk setempat dari kegiatan-kegiatan yang mengancam habitat dan satwa liar, melibatkan mereka dalam upaya perlindungan, dan mendidik mereka tentang cara kerja yang lebih baik.

- seksual). Sesuai dengan pola ini, pada umumnya primata-primata lain yang direintroduksi menampakkan perubahan perilaku yang lebih besar dalam tahun pertama setelah pelepasan daripada tahun kedua (Stoinski & Beck 2004). Atas dasar data yang tersedia, ukuran perbandingan terbaik yang dapat dipergunakan saat ini adalah pola makan orangutan hasil rehabilitasi yang masih relatif baru (< 1 tahun hidup di hutan pasca-pelepasan), orangutan hasil rehabilitasi yang lebih berpengalaman (1-3.5 tahun hidup di hutan pascapelepasan, untuk membatasi efek pendewasaan fisik), dan orang utan liar di Kalimantan. Pola makan (dalam arti waktu yang dihabiskan untuk memakan jenis-jenis makanan utama) dibandingkan dalam Gambar 3. Persediaan dari manusia tidak dihitung dalam angka bagi orangutan hasil rehabilitasi tetapi kemungkinan besar masih mempengaruhi profil yang dihasilkan. Walaupun telah dilakukan beberapa penyesuaian, bukti-bukti yang ada hanya memungkinkan penilaian yang masih bersifat umum dan kasar.

Suaka-suaka kera besar di Afrika telah mulai beralih kepada reintroduksi (Carleson et al.2006) dan IUCN belum lama ini menerbitkan panduan reintroduksi khusus untuk kera-kera besar (Beck et al. 2007). Operasi rehabilitasi orangutan pada skala yang lebih besar dan jangka waktu yang lebih panjang telah dan akan memberikan masukan berharga kepada suakasuaka di Afrika tentang metode-metode yang tepat dan kesalahan-kesalahan yang biasa terjadi. Mempelajari keahlian. Kurangnya keahlian bertahan hidup sepertinya merupakan penyebab utama sebagian besar kegagalan rehabilitasi (Beck et al. 2002). 20% kematian yang tercatat pada spesies golden lion tamarins yang lahir dalam sitaan disebabkan oleh kelaparan atau memakan buah beracun (Beck et al. 1991). Banyak keahlian bertahan hidup primata yang harus dipelajari lewat pengalaman, dan pengalaman ini bertambah seiring dengan waktu yang dihabiskan dalam hidup di alam bebas. Karena itu, keberhasilan menyesuaikan diri dengan kehidupan di hutan dapat digunakan sebagai ukuran dasar tentang seberapa cepat dan seberapa baik satwa hasil rehabilitasi dapat beradaptasi, seberapa berhasil program rehabilitasi mereka, keahlian-keahlian mana yang paling sulit dipelajari, dan individu mana yang paling berhasil (atau paling gagal) dalam mencapai hidup mandiri. Perubahan perilaku yang menandakan pembelajaran pascapelepasan telah diamati dalam kera-kera besar hasil rehabilitasi (Grundmann 2006; Hannah & McGrew 1991; Kuncoro 2004; Peters 1995; Russon 2002, 2003; Russon et al. 2007). Karena orangutan dan kera-kera besar lainnya tumbuh dengan lambat secara fisik, perubahan perilaku yang terjadi akibat pembelajaran seharusnya berlangsung lebih cepat dari perubahan serupa yang berasal dari kedewasaan fisik (mis. kekuatan, ketertarikan Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 31 ]


bahwa orangutan hasil rehabilitasi mempelajari keahlian baru setelah pelepasan, tetapi pembelajaran ini perlu berlangsung selama paling tidak setahun sebelum hasilnya mulai mendekati pola perilaku orangutan liar.

Gambar 3. Pola makan orangutan liar dan hasil rehabilitasi. Gambar 3a-3c membandingkan orangutan hasil rehabilitasi dengan orangutan liar di Kalimantan. 3a – pola makan orangutan Kalimantan liar di lima lokasi pengamatan lapangan jangka panjang, 3b –pola makan orangutan Kalimantan hasil rehabilitasi yang sudah lebih berpengalaman di Sungai Wain dan Beratus, 3c – pola makan orangutan Kalimantan hasil rehabilitasi baru di Sungai Wain dan Beratus. Lokasi orang utan liar: Tanjung Puting (TP), Mentoko (MN-R, MN-W), Ulu Segama (U), Gunung Palung (GP). Lokasi orang utan hasil rehabilitasi. Sungai Wain menurut Frederiksson (SW-F) Beratus menurut Grundmann dan Kuncoro (BR-G, BR-K).

Di Kalimantan, pola makan orangutan hasil rehabilitasi yang sudah berpengalaman lebih serupa dengan pola makan orangutan liar daripada dengan pola makan orangutan hasil rehabilitasi yang masih baru. Persentase waktu makan yang dihabiskan dengan mengonsumsi makanan di luar jenis-jenis yang umum dimakan orangutan liar adalah 5/15 sel pada orang utan baru dibandingkan dengan 1/15 sel pada orangutan yang sudah berpengalaman, dan perbedaan dari pola makan oranutan liar cenderung lebih besar. Orangutan hasil rehabilitasi baru tidak banyak memakan buah-buahan dan menghabiskan lebih banyak waktu memakan makanan selain buahbuahan daripada orangutan yang lebih berpengalaman. Secara umum, orang utan hasil rehabilitasi di Kalimantan memakan lebih banyak makanan selain buah-buahan daripada orangutan liar. Perbedaan ini mungkin muncul dari perlunya mereka mencoba-coba makanan (trial and error) karena tiadanya panduan dari induk orangutan, atau kecenderungan mereka untuk menghabiskan lebih banyak waktu di tanah (terestrial) dibandingkan dengan orangutan liar (Grundmann 2006; Kuncoro 2004; Peters 2005). Orangutan hasil rehabilitasi biasa memakan bahan-bahan yang tidak diacuhkan orangutan liar di wilayah-wilayah yang didiami keduanya (Snaith 1999) dan memakan lebih banyak makanan yang didapat dari tanah atau ketinggian rendah, seperti invertebrata tanah, tunas rumput (Gramineae spp.) dan rotan, serta batang tumbuhan jahe (Zingiberaceae spp.) (Fredriksson 1995; Grundmann et al. 2001; Kuncoro 2004; Russon et al. 2009). Pola-pola yang terlihat di atas menunjukkan -

Riedler (2007) menemukan pola makan yang serupa pada delapan orangutan Sumatera hasil rehabilitasi yang berusia 3-5 tahun dan dipantau 6-12 bulan setelah pemindahan mereka ke Bukit Tigapuluh. Tiga dari orangutan ini tampak lebih menyukai hidup liar dan cenderung menghindari manusia (kelompok hutan) sementara lima lainnya tidak seberapa “terhutankan� dan masih merasa terkait dengan manusia (kelompok terkait-manusia). Kelompok hutan memakan lebih banyak buah-buahan dan lebih sedikit jenis-jenis makanan lain daripada kelompok terkait-manusia. Selain itu, kelompok hutan memakan lebih banyak spesies buah-buahan daripada spesies tanaman, menjelajahi strata lebih tinggi di rimbunan pepohonan hutan, dan membangun lebih banyak sarang baru daripada kelompok terkait-manusia. Seperti orangutan hasil rehabilitasi di Kalimantan, kedua kelompok orangutan memakan lebih banyak makanan nonbuah daripada orangutan liar, terutama karena mereka masih sering memakan batang tumbuhan yang dapat diraih dari tanah. Orangutan ini juga sering ditemukan bersamaan saat mereka memakan buah-buahan daripada saat mereka memakan dedaunan; salah satu penafsiran yang masuk akal berpendapat bahwa buah-buahan lebih sulit didapat dari dedaunan sehingga kemampuan mendapat dan memakan buah-buahan membutuhkan serangkaian keahlian rumit yang perlu dipelajari dalam lingkungan sosial. Ringkasan. Laporan-laporan yang tersedia menunjukkan bahwa pusat-pusat rehabilitasi orangutan tampaknya telah memenuhi sebagian dari sasaran-sasaran pelestarian orang utan: beberapa populasi yang telah terbentuk memiliki potensi untuk bertahan hidup secara mandiri dan sejumlah orangutan hasil rehabilitasi telah berhasil berkembang biak, bertahan hidup selama beberapa tahun, dan mempelajari keahlian baru setelah dilepas. Keberhasilan orangutan ini secara umum masih belum diketahui dengan jelas karena belum ada kepastian tentang cara penentuan yang tepat untuk perkiraan tingkat ketahanan hidup dan penanda-penanda keberhasilan lainnya, dan belum ada upaya pemantauan sistematis jangka panjang pascapelepasan yang diperlukan untuk menghasilkan perkiraan yang lebih dapat dipertanggungjawabkan. Tingkat keberhasilan pusat-pusat rehabilitasi orangutan saat ini sepertinya setara dengan pusatpusat rehabilitasi primata lainnya (tidak lebih baik maupun lebih buruk), walaupun perbandingan ini tentunya tidak bersifat pasti. Pada akhirnya, terlepas dari temuan-temuan di atas, jasa pusat-pusat rehabilitasi orangutan nampaknya masih akan terus -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 32 ]


diperlukan sampai akar masalah—yaitu adanya orangutan yang perlu diselamatkan dari sitaan—dapat diselesaikan. Diskusi dan Kesimpulan Walaupun pusat-pusat rehabilitasi orangutan telah memberikan banyak sumbangan berharga bagi upaya-upaya pelestarian orangutan dan pengelolaan pusat-pusat ini telah ditingkatan seiring dengan waktu, kinerja mereka pada dasarnya masih belum optimal. Kelemahan kinerja ini sebagian besar disebabkan oleh hambatan-hambatan seperti pengalaman orangutan selama penangkapan, sifatsifat alami spesies (Bennett 1992; Ramlee 2006; Tingpalapong et al. 1981), dan berbagai ancaman dari luar terhadap baik orangutan maupun pusatpusat rehabilitasi. Ancaman-ancaman terhadap orangutan liar meliputi perdagangan ilegal satwa liar dalam skala besar; penebangan hutan, baik legal maupun ilegal; pembukaan hutan untuk penambangan dan perkebunan kelapa sawit; serta kekeringan dan kebakaran hutan yang berhubungan dengan El Niño (Buckland 2005; Nellemann et al. 2007; Rijksen & Meijaard 1999; Yeager 1999). Ancaman-ancaman ini telah menempatkan orangutan kalimantan dan sumatera masing-masing pada status “terancam” dan “kritis” (IUCN 2007). Akibatnya terhadap proyek-proyek rehabilitasi adalah peningkatan besar dalam penerimaan orangutan bekas sitaan dan kesulitan dalam menentukan lokasi yang tepat bagi reintroduksi orangutan-orangutan ini. Secara realistis, sejumlah kecil pusat rehabilitasidengan pendanaan terbatas dari penyandang dana independen tak dapat diharapkan untuk melawan semua ancaman tersebut sendirian. Kinerja pusatpusat rehabilitasi juga dibatasi lebih jauh lagi oleh hambatan-hambatan dari luar dalam mendapatkan wilayah yang layak untuk reintroduksi. Walaupun begitu, program-program rehabilitasi dan reintroduksi kadang-kadang juga tidak disertai dengan rancangan, perencanaan, pengelolaan sosial dan pangan, serta pemantauan yang baik; semua kekurangan ini seharusnya dapat diperbaiki. Pelajaran-pelajaran yang didapat dari upaya-upaya rehabilitasi dan reintroduksi primata lain menampakkan sejumlah kesalahan umum dan halhal utama yang perlu diperbaiki karena banyak faktor yang mempengaruhi rehabilitasi orangutan juga memegang peranan yang serupa bagi primataprimata lainnya (misalnya pola adaptasi, pengaruh pengalaman dalam tangkapan, dan rancangan program). Kegagalan yang terjadi umumnya berhubungan dengan pembelajaran untuk mengembangkan kompetensi (pengetahuan dan keahlian) hidup di alam bebas. Hambatan-hambatan terbesar muncul dari perawatan sosial dan fisik yang kurang memadai serta tiadanya periode pembelajaran utama tentang cara-cara hidup di alam bebas. Kehidupan jangka panjang dalam pemeliharaan manusia tanpa hubungan sosial dengan orangutan lainnya sejak usia muda merupakan halangan terbesar karena faktor ini -

meghambat pembangunan pengalaman hidup di hutan sedari dini dan menyebabkan pengaruh kebiasaan dalam pemeliharaan bertahan lebih lama, padahal kebiasaan yang dikembangkan dalam pemeliharaan pada umumnya berpengaruh buruk terhadap kemampuan hidup di alam bebas (Aveling & Mitchell 1982; Beck et al. 2002; Hannah & McGrew 1991; Russon 1996; Yeager 1997). Programprogram rehabilitasi dan reintroduksi perlu dipusatkan pada perkembangan fisik, sosial, emosional, dan mental orangutan karena perkembangan ini adalah faktor yang menjadwalkan, memungkinkan, dan sekaligus membatasi kemampuan belajar primata (Russon 2003; Stoinski & Beck 2004). Pelatihan pra-pelepasan tidak begitu efektif karena pelajaran dalam pelatihan ini belum tentu dapat dipergunakan langsung dalam kehidupan bebas di hutan. Terakhir, pengaruh manusia adalah masalah besar—mungkin masalah terbesar—bagi keberhasilan rehabilitasi. Banyak pola perilaku primata lain yang ditemui juga pada orangutan (Beck et al. 2002; Goossens et al. 2005; Hannah & McGrew 1991; Stoinski et al. 2003; Stoinski & Beck 2004; Strum 2005). Orangutan bekas tangkapan yang diselamatkan pada usia lebih muda umumnya memiliki kemungkinan bertahan hidup yang lebih besar daripada orangutan yang lebih tua. Program pelatihan pra-pelepasan yang efektif perlu memberikan pengalaman dalam hitungan tahunan, bukan hanya beberapa bulan, dan dilengkapi dengan pembelajaran aktif. Ada beberapa peningkatan utama yang perlu diterapkan pada pusat-pusat rehabilitasi orangutan. Pertama, semua pihak yang terlibat perlu mengerti bahwa (1) rehabilitasi dan reintroduksi orang utan adalah proses rumit berjangka panjang yang memerlukan dukungan manusia di berbagai sisi selama beberapa tahun atau bahkan dekade, bukan hanya beberapa bulan dan (2) pembiasaan terhadap manusia adalah halangan terbesar terhadap keberhasilan rehabilitasi karena dampaknya hampir tak mungkin dihilangkan secara penuh. Selain hambatan terhadap rehabilitasi perilaku, dampak jangka panjangnya meliputi kecenderungan untuk mendekati manusia pada masa pasca-pelepasan sekalipun kecenderungan ini dapat berakhir pada cedera atau kematian, kebiasaan memperlakukan manusia seperti sesama orangutan (misalnya lewat perilaku agresif dan pendekatan seksual), dan penularan oleh penyakit-penyakit yang berasal dari manusia (Dellatore 2007; Homsy 1999; Russon pers. obs; Wallis & Lee 1999; Woodford et al. 2002; Yeager 1997). Orangutan bekas sitaan yang berhasil menyesuaikan diri dengan kehidupan di hutan mungkin tak pernah sama sekali meninggalkan kebiasaan berhubungan dengan manusia, tetapi mengembangkan keahlian untuk “hidup dalam dua alam” (Russon & Galdikas 1995; Snaith 1999). Usaha rehabilitasi yang dimaksudkan untuk menjauhkan orangutan bekas sitaan dari manusia belum sepenuhnya berhasil karena larangan -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 33 ]


- -larangan yang diterapkan mudah dipatahkan, apalagi jika orangutan itu sendiri yang mencari hubungan dengan manusia. Karena alasan tersebut, wisata orangutan masih merupakan salah satu masalah terbesar yang perlu dihadapi (Dellatore 2007; Lardoux-Gilloux 1995; Leiman & Ghaffar 1996; Rijksen & Meijaard 1999; Yeager 1997). Kedua, program-program dan operasi perlu ditingkatkan ke taraf profesional, dan keberlangsungannya perlu dijamin melalui pendanaan jangka-panjang yang stabil. Prioritas-prioritas utama dalam rehabilitasi meliputi pengembangan program perilaku yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan dan kemampuan pertumbuhan orangutan serta disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan individu, ditambah dengan pemantauan sistematis sepanjang proses rehabilitasi untuk menilai keberhasilan, masalah, dan potensi reintroduksi masing-masing individu. Faktor-faktor utama yang perlu diperhatikan adalah pemaparan sejak dini terhadap konteks yang mendorong pembelajaran keahlian bertahan hidup (misalnya lingkungan fisik dan sosial yang mendekati keadaan alami), keberlanjutan dukungan bagi orangutan yang sedang belajar, dan metode pengajaran yang disesuaikan dengan masa-masa pembelajaran sensitif serta dampak kebiasaan dalam masa pemeliharaan. Sementara itu, prioritas-prioritas utama dalam reintroduksi adalah upaya yang lebih baik dalam mencari dan menentukan calon lokasi reintroduksi, pemanfaatan jasa penilaian profesional independen untuk meneliti kecocokan lokasi-lokasi tersebut bagi orangutan (mis. luasan dan kualitas habitat, ancaman-ancaman, potensi perlindungan, kemudahan akses untuk dukungan dan pemantauan pasca-pelepasan), perencanaan dan pelaksanaan program dukungan dan pemantauan jangka panjang selama masa pasca-pelepasan, serta perlindungan aktif bagi habitat orangutan. Kendala terakhir adalah sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia untuk menutup semua pusat rehabilitasi orangutan pada tahun 2015. Pada saat ini sasaran tersebut nampak sulit dicapai atau bahkan tidak mungkin. Pusat-pusat rehabilitasi kini berisi lebih dari 1.000 orang utan bekas sitaan, dan sejumlah besar di antaranya tak dapat dikeluarkan karena belum ada wilayah yang cocok untuk reintroduksi. Karena sulitnya mendapatkan dan menetapkan lokasi reintroduksi yang tepat, panjangnya proses penyesuaian kembali terhadap kehidupan di hutan, dan tingginya tingkat perawatan individu yang diperlukan untuk menjamin keberhasilan orangutan hasil rehabilitasi, hanya ada kemungkinan kecil bahwa semua orang utan dalam pusat rehabilitasi akan dapat direintroduksi hingga tahun 2015. Terlebih jauh lagi, masih ada orangutan bekas sitaan baru yang masuk ke pusat-pusat rehabilitasi hingga beberapa pusat rehabilitasi dirasa sudah terlalu penuh. Sebenarnya rehabilitasi dan reintroduksi adalah cerminan kegagalam kita dalam memerangi ancaman utama terhadap orangutan -

perburuan dan perusakan habitat. Oleh karena itu, kedua proses ini masih diperlukan selama masalah dasar tersebut belum dapat diselesaikan. Semua pihak sepakat bahwa satu-satunya solusi nyata bagi masalah-masalah rehabilitasi adalah menghentikan ancaman terhadap kelangsungan hidup orangutan liar dan penegakan hukum adalah salah satu batu sandungan terbesar dalam upaya ini. Sampai dan jika penegakan hukum serta upaya pencegahan dapat dilaksanakan dengan efektif, dan selama masih ada ancaman serius terhadap kelangsungan hidup kera-kera besar di seluruh dunia, kita masih akan memerlukan jasa pusat-pusat rehabilitasi dalam merawat orangutan tangkapan ilegal dan mengembalikan orangutan-orangutan tersebut ke alam bebas. Ucapan Terima Kasih Terima kasih kepada Peter Pratje, Ian Singleton, Ben Beck, Purwo Kuncoro, dan Joshua Smith untuk tanggapan yang telah membantu meningkatkan mutu makalah ini. Ada pula beberapa proyek dan pribadi yang telah menyumbangkan data-data asli, sebagian di antaranya belum diterbitkan: Purwo Kuncoro, Peter Pratje, Ian Singleton, Yayasan BOS beserta pusat-pusat reintroduksinya di Wanariset dan Nyaru Menteng, Orangutan Research and Conservation Project, dan Sumatran Orangutan Conservation Project. Sebagian besar kerja empiris yang mendasari bab ini dilaksanakan di Indonesia dengan dukungan dan bantuan dari Kementerian Kehutanan, PHKA, BKSDA, LIPI, dan RISTEK. Dukungan pendanaan didapat dari LSB Leakey Foundation (USA) dan Natural Sciences and Engineering Council, Glendon College, York University (Canada). Daftar Pustaka Altmann J & Alberts SC (2003). Variability in reproductive success viewed from a life-history perspective in baboons. American Journal of Human Biology, 15, 401–09. Aveling RJ (1982). Orang utan conservation in Sumatra, by habitat protection and conservation education. In LEM de Boer ed., The orang utan: its biology and conservation, pp. 299-315. Dr. W Junk Publishers, The Hague. Aveling RJ & Mitchell A (1982). Is rehabilitating orangutans worth while? Oryx, 16, 263-71. Baker LR ed. (2002). Guidelines for nonhuman primate re introductions. Reintroduction News, 21, whole issue. Beck BB, Castron MI, Stoinski TS & Ballou JD (2002).The effects of prerelease environments and postrelease management on survivorship in reintroduced golden lion tamarins. In DG Kleiman & AB Rylands ed., Lion tamarins: biology and conservation, pp. 283-300. Smithsonian Institution Press, Washington DC. Beck BB, Kleiman DG, Dietz JM, Castro MI, Carvalho C, Martins A & Rettberg-Beck B (1991). Losses and \ reproduction in reintroduced golden lion tamarins (Leontopithecus rosalia). Dodo, Journal of the Jersey Wildlife Preservation Trust, 27, 55-61.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 34 ]


Beck BB, Rapaport LG, Stanley-Price MR & Wilson AC (1994). Reintroduction of captive born animals. In: P Olney, G Mace & A Feistner ed., Creative conservation: interactive management of wild and captive animals, pp. 265–86. Chapman and Hall, London. Beck BB, Walkup K, Rodrigues M, Unwin, S Travis D & Stoinski T (2007). Best practice guidelines for the reintroduction of great apes. SSC Primate Specialist Group of the World Conservation Union, Gland, Switzerland. Bennett J (1989). The confiscated primate dilemma in Sarawak. Australian Primatology, 4, 6-8. Bennett JM (1992). A glut of gibbons in Sarawak—is rehabilitation the answer? Oryx, 26, 157-64. Borner M & Gittens P (1978). Round-table discussion on rehabilitation. In DJ Chivers & W Lane-Petter ed., Recent advances in primatology, Volume II, pp. 101-05. Academic Press, New York. BOS Orangutan Reintroduction Project (2000). (retrieved Nov. 1, 2000). Brewer Marsden S, Marsden D & Thompson ME (2006). Demographic and female life history parameters of freeranging chimpanzees at the Chimpanzee Rehabilitation Project, River Gambia National Park. International Journal of Primatology, 27, 391-410. Britt A, Welch C, Katz A, Iambana B, Porton I, Junge R, Crawford G, Williams C & Haring D (2004). The restocking of captive-bred ruffed lemurs (Varecia variegata variegata) into the Betampona Reserve, Madagascar: Methodology and recommendations. Biodiversity and Conservation, 13, 635–57. Brook BW, Traill LW & Bradshaw CJA (2006). Minimum viable populations and global extinction risk are unrelated. Ecology Letters, 9, 375–82. Buckland H (2005). The oil for ape scandal: how palm oil is threatening the orang-utan. Friends of the Earth Trust. Carlsen F, Cress D, Rosen N & Byers O ed. (2006). African primate reintroduction workshop final report. IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, USA. Cheyne SM (2004). Assessing rehabilitation and reintroduction of captive-raised gibbons in Indonesia. Cambridge, University of Cambridge. PhD. Cheyne SM (2005). Re-introduction of captive-raised gibbons in Central Kalimantan, Indonesia. Reintroduction News, 24, 22-25. de Silva GS (1965). The East-coast experiment. IUCN Public N.S. 10: Conservation in tropical South East Asia, Bangkok, 229-302. de Silva GS (1971). Notes on the Orang-Utan Rehabilitation Project in Sabah. The Malayan Nature Journal, 24, 50-77. de Vries A (1991). Translocation of mantled howling monkeys (Alouatta palliata) in Guanacaste, Costa Rica. Unpublished MA thesis, University of Calgary, Calgary, Canada Dellatore DF (2007). Behavioural health of reintroduced orangutans (Pongo abelii) in Bukit Lawang, Sumatra, Indonesia. Unpublished MSc thesis, Primate Conservation, Oxford Brookes University. Farmer KH, Buchanan-Smith HM & Jamart A (2007). Behavioral adaptation of Pan troglodytes troglodytes. International Journal of Primatology, 27, 747-65. Fernando R (2001). Rehabilitating orphan orang-utans in North Borneo. Asian Primates Newsletter, 7, 20-21. Fredriksson GM (1995). Reintroduction of Orangutans: A New Approach. A study on the behaviour and ecology of reintroduced orangutans in the Sungai Wain Nature Reserve, East Kalimantan, Indonesia. Unpublished MSc thesis, University of Amsterdam, Amsterdam.

Frey R (1978). Management of orangutans. In J McNeely, DS Rabor & EA Sumardja ed., Wildlife management in Southeast Asia, Proceedings of the BIOTROP Symposium on Animal Populations and Wildlife Management in Southeast Asia, Bogor, Indonesia, Mar. 15-17 1979. BIOTROP Special Publication 8, pp. 199215. BIOTROP, Bogor, Indonesia. Galdikas BMF (1991). Protection of wild orangutans and habitat in Kalimantan vis a vis rehabilitation. In Proceedings on the conservation of the great apes in the new world order of the environment, pp. 87-94. Republic of Indonesia Ministries of Forestry and Tourism, Post, and Telecommunication. Galdikas BMF (1995). Behavior of wild adolescent female orangutans. In RD Nadler, BFM Galdikas, LK Sheeran & N Rosen ed., The neglected ape, pp. 163-82. Plenum, New York. Galdikas BMF & Wood JW (1990). Birth spacing in humans and apes. Primates, 83, 185-91. Goossens B, Setchell JM, Tchidongo E, Dilambaka E, Vidal C, Ancrenaz M & Jamart A (2005). Survival, interactions with conspecifics and reproduction in 37 chimpanzees released into the wild. Biological Conservation, 123, 461–75. Griffith B, Scott JM, Carpenter JW & Reed C (1989). Translocation as a species conservation tool: Status and strategy. Science, 245, 477–80. Grundmann E (2006). Back to the wild: Will reintroduction and rehabilitation help the long-term conservation of orang-utans in Indonesia? Social Science Information, 45, 265-84. Grundmann E, Lestel D, Boestani AN, Bomsel MC (2001). Learning to survive in the forest: what every orangutan should know. The apes: challenges for the 21st century, pp. 300-04. Brookfield Zoo, Chicago. Gupta AK (2002). Release of golden langurs in Tripura, India. Re-introduction News, 21, 26-28. Hannah AC & McGrew WC (1991). Rehabilitation of captive chimpanzees. In HO Box ed., Primate responses to environmental change, pp. 167-86. Chapman & Hill, London. Harrisson B (1961). Orangutan: what chances of survival. Sarawak Museum Journal, 10, 238-61. Harrisson B (1962). The immediate problem of the orangutan. The Malayan Nature Journal, 16, 4-5. Homsy D (1999). Ape tourism and human diseases: How close should we get? International Gorilla Conservation Programme, Kampala, Uganda. Irwin A (2001). Wild at heart. New Scientist, 169, 26. IUCN (2007). IUCN Red List of Threatened Species. Species Survival Commission, International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources. IUCN Publications, Gland, Switzerland and Cambridge, UK. Kilbourn A, Karesh W, Wolfe N, Bosi E, Cook R & Andau M (2003). Health evaluation of free-ranging and semicaptive orangutans (Pongo pygmaeus pygmaeus) in Sabah, Malaysia. Journal of Wildlife Diseases, 39, 7383. Kleiman DG, Beck BB, Dietz JM & Dietz LA (1991). Costs of a reintroduction and criteria for success: Accounting and accountability in the Golden Lion Tamarin Conservation Project. In JHW Gipps ed., Beyond captive breeding: reintroducing endangered species to the wild, pp. 120-42. Oxford University Press, Oxford. Knott CD (1998). Changes in orangutan diet, caloric intake and ketones in response to fluctuating fruit availability. International Journal of Primatology, 19, 1061–79.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 35 ]


Knott CD (2001). Ape models of female reproductive ecology. In Ellison PT ed., Reproductive ecology and human evolution, pp. 429-63. Aldine, Chicago Kosasih E et al. (1977). Viral hepatitis B exposure rate among captive orangutans, Pongo pygmaeus. Department of Clinical Pathology, Faculty of Medicine, University of North Sumatra and Provincial Top Referral Hospital, Medan. Koyama N, Takahata Y, Huffman MA, Norikoshi K & Suzuki H (1992). Reproductive parameters of female Japanese macaques: Thirty years data from Arashiyama Troops, Japan. Primates, 33, 33–37. Kuncoro P (2004). Aktivitas Harian Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus Linneaus, 1760) Rehabilitan di Hutan Lindung Pegunungan Meratus, Kalimantan Timur. Unpublished BSc thesis, Biology, Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Indonesia. Kuze N, Malim TP & Kohsima S (2005). Developmental changes in the facial morphology of the Borneo orangutan (Pongo pygmaeus): Possible signals in visual communication. American Journal of Primatology, 65, 353-76. Kuze N, Sipangkui S, Malim TP, Bernard H, Ambu LN & Kohsima S (2008). Reproductive parameters over a 37-year period of free-ranging female Borneo orangutans at Sepilok Orangutan Rehabilitation Centre. Primates, 49(2): 126-134. Lardoux-Gilloux I (1995). Rehabilitation centers: their struggle, their future. In RD Nadler, BFM Galdikas, LK Sheeran & N Rosen ed., The neglected ape, pp. 61-68. Plenum, New York. Leiman A & Ghaffar N (1996). Use, misuse, and abuse of the orang-utan—exploitation as a threat or the only real salvation? In VJ Taylor & N Dunstone ed., The exploitation of mammal populations, pp. 345-57. Chapman & Hall, London. Low, T. W. (2004). Can Ecotourism Help Protect Orangutans? Unpublished BSc (Hons) thesis, Sustainable To u r i s m D e v e l o p m e n t , A P U U n i v e r s i t y, Cambridge/Chelmsford, UK MacKinnon JR (1977b). Rehabilitation and orangutan conservation. New Scientist, 74, 697-99. Muir CC, Galdikas BMF & Beckenbach AT (2000). mtDNA sequence diversity of orangutans from the islands of Borneo and Sumatra. Journal of Molecular Evolution, 51, 471–80. Nellemann C, Miles L, Kaltenborn BP, Virtue M & Ahlenius H ed. (2007). The last stand of the orangutan – state of emergency: illegal logging, fire and palm oil in Indonesia's national parks. United Nations Environment Programme, GRID-Arendal, Norway Nijman V (2005). Hanging in the balance: an assessment of trade in orang-utans and gibbons on Kalimantan, Indonesia. TRAFFIC Southeast Asia. Nyaru Menteng Annual Report (2002). Nyaru Menteng Orangutan Reintroduction Project, Internal Annual Report to the Borneo Orangutan Survival Foundation, Bogor, Indonesia. Orangutan Foundation International (2000). http://www.orangutan.org/ (retrieved Mar. 3, 2000). Orangutan Foundation International-UK (2000). Background fact sheet. http://www.orangutan.org.uk/ (retrieved Mar. 3, 2000). Payne J & Andau P (1989). Orang-utan: Malaysia's mascot. Berita Publishing Sdn. Bhd, Kuala Lumpur. Peters HH (1995). Orangutan reintroduction? development, use and evaluation of a new method: reintroduction. Unpublished M.Sc. Thesis, University of Groningen, The Netherlands.

Pratje PH & Singleton I. (2006). Reintroduction of orangutans in Sumatra. Symposium contribution, Orangutans compared. Congress of the International Primatological Society, Entebbe, Uganda, July 2006. Ramlee H (2005). Orang-utan's activity and diet in captivity and in semi-wild state while under rehabilitation in Sarawak. Unpublished MSc thesis, Universiti Malaysia, Sarawak, Kota Samarahan, Sarawak. Ramlee H (2006). Re-introduction of gibbons in Sarawak, Malaysia. Reintroduction News, 25, 41-42. Reed DH, O'Grady JJ, Brook BW, Ballou JD & Frankham R (2003). Estimates of minimum viable population sizes for vertebrates and factors influencing those estimates. Biological Conservation, 113, 23–34. Riedler B (2007). Activity patterns, habitat use and foraging strategies of juvenile Sumatra orang utans (Pongo abelii) during the adaptation process to forest life. Unpublished Diploma thesis, Department of Behavioural Biology, University of Vienna, Vienna. Rijksen HD (1978). A field study of Sumatran orang utans (Pongo pygmaeus abelii, Lesson 1872), ecology, behavior and conservation. H Veenman and Zonen BV, Wa g e n i n g e n , t h e N e t h e r l & s , M e d e d l i n g e n L&bouwhogeschool. Rijksen HD (1982). How to save the mysterious 'man of the forest'? In LEM de Boer ed., The orang utan: its biology and conservation, pp. 317-41. Dr. W Junk Publishers, The Hague. Rijksen HD (1997). Evaluation of ex-captive orang-utan rehabiliation stations: Bohorok and Tanjung Puting. Unpublished report, International Ministry of Forestry Tropenbos Project. Rijksen HD (2001). The orangutan and the conservation battle in Indonesia. In BB Beck, TS Stoinski, M Hutchins, TL Maple, B Norton, A Rowan, EF Stevens & A Arluke ed., Great apes and humans: the ethics of coexistence, pp. 57-70. Smithsonian Institution Press, Washington DC. Rijksen HD & Meijaard E (1999. Our vanishing relative : the status of wild orang-utans at the close of the twentieth century. Kluwer Academic Publishers, Dordrecht. Rijksen HD & Rijksen-Graatsma AG (1975). Orangutan rescue work in North Sumatra. Oryx, 13, 63-73. Rosen N & Byers O ed. (2002). Orangutan conservation and reintroduction workshop: final report. IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, USA. Russon AE (1996). Report on release group VI. Unpublished report to the Wanariset Orangutan Reintroduction Project, Wanariset-Samboja, E. Kalimantan, Indonesia, Aug. 1996. Russon AE (2002). Return of the native: Cognition and site-specific knowledge in orangutan rehabilitation. International Journal of Primatology, 23, 461-78. Russon AE (2003). Developmental perspectives on great ape traditions. In D Fragaszy & S Perry ed., Towards a biology of traditions: models and evidence, pp. 329-64. Cambridge University Press, Cambridge, UK. Russon AE & Galdikas BMF (1995). Constraints on great ape imitation: Model and action selectivity in rehabilitant orangutans (Pongo pygmaeus). Journal of Comparative Psychology, 109, 5-17. Russon AE, Handayani P, Kuncoro P & Ferisa A (2007). Orangutan leaf-carrying for nest building: Unravelling cultural processes. Animal Cognition, 10, 189-202.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 36 ]


Russon AE & Susilo A (1999). The effects of the 1997-98 droughts and fires on orangutans in Sungai Wain Protection Forest, E. Kalimantan, Indonesia. In H Suhartoyo & T Toma ed., Impacts of fire and human activities on forest ecosystems in the tropics: proceedings of the third international symposium on Asian tropical forest management, pp. 348-72. Tropical Forest Research Center, Mulawarman University and Japan International Cooperation Agency, Samarinda, Indonesia. Russon AE, Wich SA, Ancrenaz M, Kanamori T, Knott CD, Kuze N, Morrogh-Bernard HC, Pratje P, Ramlee H, Rodman P, Sawang A, Sidiyasa K, Singleton I, & van Schaik CP (2009). Geographic variation in orangutan diets. In SA Wich, SS Utami Atmoko, T Mitra Setia & CP van Schaik ed., Orangutans: Geographic variation in behavioural ecology and conservation, pp. 135-156. Oxford: Oxford University Press. Sanderson EW (2006). How many animals do we want to save? The many ways of setting population target levels for conservation. BioScience, 56, 911-22. Schlegel H & Mueller S (1839-1844). Bijdragen tot de Natuurlijke Historie van de Orang-oetan (Simia satyrus). In: Verhandelingen over de Natuurlijke geschiedenis der Nederlandsche Overzeesche Bezittingen, door de Leden de Natuurkundige Commissie de Indië en andere Schrijvers. CJ Temminck. Zoologie, 2¸1-28. Leiden Shanee R & Shanee N (2007). The gibbon rehabilitation project in Phuket, Thailand. Reintroduction News, 26, 48-9. Singleton I & Aprianto S (2001). The semi-wild orangutan population at Bukit Lawang: a valuable 'ekowisata' resource and their requirements. Presentation to the Workshop on eco-tourism development at Bukit Lawang, Medan, April 2001 Singleton I, Wich S, Husson S, Stephens S, Utami Atmoko S, Leighton M, Rosen N, Traylor-Holzer K, Lacy R & Byers O ed. (2004). Orangutan population and habitat viability assessment: final report. IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, USA.

Smits WTM (1992). Year report: orangutan reintroduction at the Wanariset I Station Samboja, East-Kalimantan Indonesia. Internal report, Tropenbos Foundation. Smits WTM, Heriyanto & Ramono W (1994). A new method for rehabilitation of orangutans in Indonesia: A first overview. In JA Ogden, LA Perkins & L Sheeran ed., Proceedings of the international conference on “orangutans: the neglected ape”, pp. 29-40. Zoological Society of San Diego, San Diego. Smits WTM, Heriyanto & Ramono WS (1995). A new method for rehabilitation of orangutans in Indonesia: a first overview. In RD Nadler, BFM Galdikas, LK Sheeran & N Rosen ed., The neglected ape, pp 69-77. Plenum, New York Snaith T (1999). The behaviour of free-ranging ex-captive orangutans in Tanjung Puting National Park, Indonesia. Unpublished MA thesis, University of Calgary, Calgary, Canada. SOCP (2007). Introduction Page—Facts and Figures, d i s p l a y o f t h e d a t a . http://www.sumatranorangutan.org/site_mawas/UK/P ROJECT/pag/project_intro.htm, (downloaded 24.2.08). Stoinski TS & Beck BB (2004). Changes in locomotor and foraging skills in captive-born, reintroduced golden lion tamarins (Leontopithecus rosalia rosalia). American Journal of Primatology, 62, 1-13. Stoinski TS, Beck BB, Bloomsmith MA & Maple TL. (2003). A behavioral comparison of captive-born, reintroduced golden lion tamarins and their wild-born offspring. Behaviour, 140, 137-60. Storm S (1992). The lucky one, Garuda airlines magazine, 20-22. Strum SS (2005). Measuring success in primate translocation: A baboon case study. American Journal of Primatology, 65, 117-40. Sugardjito J & van Schaik CP. (1991). Orang-utans: current population status, threats, and conservation measures. In Proceedings of the great apes conference, on the conservation of the great apes in the new world order of the environment, pp. 150-60. Indonesia: Ministry of Forestry and Ministry of Tourism, Post and Telecommunication.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 37 ]


Sumatran Orangutan Society (2000). Newlsetter from Bohorok—October 1999. http://www.orangutans-sos.org/ (retrieved Mar. 11, 2000). Swan RA & Warren KS (2001). Health, management, and disease factors affecting orangutans in a reintroduction centre in Indonesia. Paper presented at The apes: challenges for the 21st century. Brookfield Zoo, Chicago. Takahashi H (2002). Female reproductive parameters and fruit availability: factors determining onset of estrus in Japanese macaques. American Journal of Primatology, 51, 141–53. Tingpalapong M, Watson WT, Whitmire RE, Chapple FE & Marshall JT (1981). Reactions of captive gibbons to natural habitat and wild conspecifics after release. Natural History Bulletin of the Siamese Society, 29, 31–40. Traill LW, Bradshaw, CJA & Brook BS (2007). Minimum viable population size: a meta-analysis of 30 years of published estimates. Biological Conservation, 139, 159-66. Tutin CEG (1994). Reproductive success story: variability among chimpanzees and comparisons with gorillas. In RW Wrangham, WC McGrew, FBM de Waal & PG Heltne ed., Chimpanzee Cultures, pp. 181–194. Harvard University Press, Cambridge, MA. Tutin CEG, Ancrenaz M, Paredes J, Vacher-Vallas M, Vidal C, Goossens B, Bruford MW & Jamart A (2001). Conservation biology framework for the release of wild-born orphaned chimpanzees into the Conkouati Reserve, Congo. Conservation Biology, 15, 1247-57. van Noordwijk MA & van Schaik CP. (2005). Development of ecological competence in Sumatran orangutans. American Journal of Physical Anthropology, 127, 79-94. van Schaik CP, Ancrenaz M, Borgen G, Galdikas B, Knott C, Singleton I, Suzuki A, Utami S & Merrill M (2003). Orangutan cultures and the evolution of material culture. Science, 299, 102-05. Wallis J & Lee DR (1999). Primate conservation: The prevention of disease transmission. International Journal of Primatology, 20, 803-26. Warren KS, Verschoor EJ, Langenhuijzen S, Heriyanto, Swan RA, Vigilant L & Heeney JL (2001). Speciation and intrasubspecific variation of Bornean orangutans, Pongo pygmaeus pygmaeus. Molecular Biology and Evolution, 18, 47280. Wich SA, de Vries H, Ancrenaz M, Perkins L, Shumaker RW, Suzuki A, van Schaik CP (2009). Orangutan life history variation. In SA Wich, SS Utami Atmoko, T Mitra Setia & CP van Schaik ed., Orangutans: Geographic variation in behavioural ecology and conservation, pp. 65-75. Oxford: Oxford University Press. Wich SA, Utami-Atmoko SS, Mitra Setia T, Rijksen HR, Schurmann C, van Hooff JARAM & van Schaik CP (2004). Life history of wild Sumatran orangutans (Pongo abelii). Journal of Human Evolution, 47, 385–98. Woodford MH, Butynski TM & Karesh WB (2002). Habituating the great apes: the disease risks. Oryx, 36, 153-60. Yeager CP (1997). Orangutan rehabilitation in Tanjung Puting National Park, Indonesia. Conservation Biology, 11, 802-05. Yeager CP ed. (1999). Orangutan action plan. WWF-Indonesia, PHPA, Jakarta, Indonesia. Yeager CP & Silver SC (1999). Translocation and rehabilitation as primate conservation tools. In P Dolhinow & A Fuentes ed., The nonhuman primates, pp. 164-69. Mayfield Publishing, Mountain View CA

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 38 ]


Pendanaan Berkelanjutan Bagi Pelestarian Orangutan M.S Sembiring Direktur Eksekutif Yayasan Keanekaragaman Hayati-KEHATI sembiring@kehati.or.id Abstrak Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) merupakan lembaga nirlaba independen yang bergerak di bidang pelestarian keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumberdaya hayati. Pada awalnya, KEHATI mengelola dana sebesar USD 16,5 juta dalam suatu perjanjian kerjasama yang ditandatangani dengan USAID pada tahun 1995 untuk jangka waktu 10 tahun. Sejak 2006, KEHATI diberi kepercayaan penuh untuk mengelola dana ini sebagai Endowment Fund dalam rangka mendukung kegiatan berbagai lembaga dan komponen masyarakat madani, lembaga swadaya masyarakat, dan semacamnya. Pengelolaan keuangan secara berkelanjutan didasarkan pada tiga pondasi: pertama, lembaga/institusi, kedua, keahlian manajemen, dan ketiga, pendanaan berkelanjutan. Pendanaan berkelanjutan dapat diberikan dalam bentuk endowment fund dan turut menjaga agar daya cipta dalam kegiatan endowment tidak habis. Salah satu alat terpenting dalam pengelolaan endowment fund adalah rencana bisnis dan keuangan (business and financial plan). Tidak seperti rencana penganggaran dan akuntansi biaya biasa, rencana ini tidak hanya menentukan besarnya dana yang diperlukan oleh masing-masing kegiatan, tetapi juga memperkirakan sumber-sumber pendanaan yang paling tepat untuk keperluan jangka pendek, menengah, dan panjang. Rencana bisnis ini juga dapat menjadi dasar penetapan prioritas dalam mengelola penerimaan dan pengeluaran. Endowment adalah dana yang dikelola oleh suatu lembaga untuk suatu tujuan nirlaba yang telah ditentukan oleh penyandang dana dan/atau kepemimpinan lembaga tersebut. Dana ini dijaga agar tetap utuh untuk selamanya, untuk jangka waktu tertentu, atau hingga aset yang terkumpul sudah cukup untuk memenuhi suatu tujuan yang telah ditetapkan. Endowment adalah salah satu strategi terbaik untuk memenuhi kebutuhan keuangan suatu gerakan sosial, tetapi pembentukan endowment fund dapat memakan cukup banyak waktu dan uang; pengelolaan proses endowment juga memerlukan perhatian dan keahlian yang tinggi, sehingga sulit dilakukan oleh lembaga yang tidak memiliki staf dan jajaran kepemimpinan yang tetap. Terlebih lagi, endowment fund belum tentu mampu memenuhi harapan lembaga penerima untuk menghasilkan penerimaan dalam waktu yang cukup singkat. Selain itu, walaupun endowment fund dapat memberikan perlindungan keuangan, pasar yang lesu atau budaya amal yang lemah dapat menghalangi potensi pertumbuhan suatu dana hibah. Penggunaan endowment fund juga kadang-kadang sulit dipertanggungjawabkan kepada para calon penyandang dana. Kebijakan Manajemen Investasi Pengelolaan portofolio endowment fund KEHATI diatur oleh serangkaian panduan tentang kebijakan investasi, persetujuan dewan pembina yayasan, dan kesesuaian terhadap perjanjian kerjasama dengan USAID. Panduan ini meliputi tujuan-tujuan investasi jangka panjang, aturan-aturan pengeluaran dana, tingkat pengembalian yang dikehendaki, dan kebijakan penempatan aset. KEHATI mengelola penempatan asetnya atas dasar perhitungan-perhitungan jangka panjang seperti tingkat pengembalian (rate of return), volatilitas, diversifikasi, lindung nilai terhadap inflasi, dan investasi dalam kategori-kategori aset utama (saham, obligasi, dll.) dalam rangka mencapai tujuan-tujuan investasi jangka panjang dan tingkat pengembalian yang diinginkan. Sasaran penempatan aset netral jangka panjang KEHATI adalah 60 persen dalam ekuitas dan 40 persen dalam sekuritas dengan penghasilan tetap. Sesuai dengan perjanjian kerjasama, yayasan ini hanya berinvestasi dalam aset-aset yang diperdagangkan secara umum oleh perusahaan-perusahaan investasi yang terdaftar pada US Securities and Exchange Commission dan dinominasikan dalam mata uang dolar AS.

Rencana Pengembangan Keuangan KEHATI 1. 2.

Investasi endowment fund KEHATI Penggalangan dana: 1. Konvensional: 1. Penyandang Dana Dalam Negeri dan Luar Negeri 2. Perusahaan Dalam Negeri dan Internasional 2. Non-konvensional 1. Reksadana 1. Reksadana Hijau Produk-produk: a. RDKL (Reksdana KEHATI Lestari) b. MSKH (MEGA SRI KEHATI HARMONI) 2. SRI KEHATI (Sustainable Responsible Investment) 2. Penukaran Utang (Debt Swap) Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 39 ]


I

Latar Belakang ndonesia sedang menghadapi masalah kerusakan hutan dalam skala besar. Lebih dari 40% luasan hutan hujan Indonesia telah rusak atau hilang. Penebangan lebih lanjut akan menyebabkan kehilangan besar-besaran dalam keragaman hayati karena sekitar 60% dari semua spesies hewan dan tumbuhan serta 90% spesies primata di dunia hidup di tengah kekayaan habitat hutan hujan Asia. Hingga 1966, tujuh puluh lima persen luas daratan Indonesia (sekitar 144 juta hektar) masih berupa hutan. Eksploitasi sumberdaya hutan dimulai pada era 1970-an yang juga dikenal sebagai masa “Lomba Perambahan Hutan.� Pada masa ini, Indonesia memanfaatkan bantuan dari berbagai perusahaan asing (yang dimungkinkan oleh UU No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing) untuk menjadi eksportir terbesar kayu gelondongan di dunia. Saat harga minyak bumi jatuh pada tahun 1982, sektor kehutanan menjadi penyumbang devisa terbesar kedua dalam ekonomi Indonesia (di bawah sektor migas). Pada tahun 1983, lima ratus dan enam puluh perusahaan swasta memegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atas 65,14 hektar hutan (lebih dari luasan hutan produksi yang diizinkan dalam aturan pola Tata Guna Hutan). Tingkat kerusakan hutan dari 1982 hingga 1993 diperkirakan mencapai 2,4 jta hektar per tahun. Angka ini lebih tinggi dari perkiraan Departemen Kehutanan dan FAO pada tahun 1990, yaitu 900.000 hingga 1,3 juta hektar per tahun. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia juga jauh lebih tinggi dari ratarata untuk hutan tropis di seluruh dunia, yaitu 987.000 hektar per tahun.3 Pada saat ini hanya ada 53 juta hektar yang tersisa, atau 37% luasan asal hutan Indonesia (WALHI, 1998). Jenis satwa yang paling dirugikan oleh kerusakan hutan adalah orangutan, salah satu primata endemik yang paling berkharisma di Indonesia. Walaupun pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa kawasan sebagai Taman Nasional untuk melestarikan habitat orangutan, maraknya perburuan dan pembalakan liar masih dapat menggagalkan usaha-usaha pelestarian seperti ini. Beberapa program penyelamatan orangutan telah dijalankan baik oleh pemerintah maupun oleh LSM dalam dan luar negeri di habitat-habitat alami orangutan di Sumatera dan Kalimantan, tetapi populasi orangutan terus menurun bersamaan dengan kerusakan habitat akibat berbagai sebab. Pada umumnya program penyelamatan orangutan dijalankan pada jangka waktu tertentu di bawah sokongan penyandang dana, tetapi lalu apa yang terjadi setelah program itu selesai? Beberapa program terpaksa menghentikan kegiatan selama mereka mencari penyandang dana baru dalam proyek baru, kadang-kadang bergabung dengan kegiatan lain atau program lain seperti pemberdayaan masyarakat. Suatu terobosan atau

perspektif baru sangat diperlukan untuk memungkinkan pengelolaan dana pelestarian orangutan secara berkelanjutan dan terus-menerus tanpa bergantung kepada kebaikan penyandang dana. Investasi Endowment Fund KEHATI Yayasan Keanekaragaman Hayati (KEHATI) merupakan lembaga nirlaba independen yang bergerak di bidang pelestarian keanekaragaman hayati dan pengelolaan sumberdaya hayati. Pada awalnya, KEHATI mengelola dana sebesar USD 16,5 juta dalam suatu perjanjian kerjasama yang ditandatangani dengan USAID pada tahun 1995 untuk jangka waktu 10 tahun. Sejak 2006, KEHATI diberi kepercayaan penuh untuk mengelola dana ini sebagai Endowment Fund dalam rangka mendukung kegiatan berbagai lembaga dan komponen masyarakat madani, lembaga swadaya masyarakat, dan semacamnya. Pengelolaan portofolio endowment fund KEHATI diatur oleh serangkaian panduan tentang kebijakan investasi, persetujuan dewan pembina yayasan, dan kesesuaian terhadap perjanjian kerjasama dengan USAID. Panduan ini meliputi tujuan-tujuan investasi jangka panjang, aturan-aturan pengeluaran dana, tingkat pengembalian yang dikehendaki, dan kebijakan penempatan aset. Dua tujuan utama yang mendasari pengelolaan endowment fund yayasan ini adalah menjaga nilai nyata (real value) aset-aset endowment dan menghasilkan pemasukan dana yang cukup besar dan stabil untuk mendanai kegiatan-kegiatan yayasan. Penjagaan nilai nyata aset dapat dilakukan dengan cara mengembangkan program investasi dengan nilai pengembalian bersih (returns net of all fees) yang paling tidak menyamai tingkat pengeluaran tahunan. Dalam hal pengeluaran, kebijakan investasi menyebutkan bahwa sasaran tingkat pengembalian total (average total rate of return) adalah kurang-lebih sama dengan tingkat pengeluaran sebesar lima persen dari nilai pasar rata-rata (average market value) keseluruhan portofolio tahunan, ditambah biaya investasi dan tingkat inflasi. Pengembalian total adalah nilai penghasilan saat ini (current yield) ditambah apresiasi modal (capital appreciation). Kebijakan ini juga mengatur bahwa tingkat pengeluaran adalah minimal tiga persen dan maksimal lima persen dari nilai pasar rata-rata endowment fund selama jangka waktu 12 triwulan (tiga tahun) terakhir, paling tidak selama lima tahun pertama masa hibah. KEHATI mengelola penempatan asetnya atas dasar perhitungan-perhitungan jangka panjang seperti tingkat pengembalian (rate of return), volatilitas, diversifikasi, lindung nilai terhadap inflasi, dan investasi dalam kategori-kategori aset utama (saham, obligasi, dll.) dalam rangka mencapai tujuan-tujuan investasi jangka panjang dan tingkat pengembalian yang diinginkan. Sasaran penempatan aset netral jangka panjang KEHATI pada tahun 2003 adalah -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 40 ]


60 persen dalam ekuitas dan 40 persen dalam sekuritas dengan penghasilan tetap. Pada tahun 2009 KEHATI mengembangkan sasaran penempatan baru berupa 7% cash, 33% sekuritas berpenghasilan tetap, dan 60% ekuitas. Sesuai dengan perjanjian kerjasama, yayasan ini hanya berinvestasi dalam aset-aset yang diperdagangkan secara umum oleh perusahaan-perusahaan investasi yang terdaftar pada US Securities and Exchange Commission dan dinominasikan dalam mata uang dolar AS. Investasi swasta, termasuk modal ventura dan real estate limited partnership, sama sekali tidak diperbolehkan. Endowment fund yayasan ini digunakan untuk mendanai baik hibah kegiatan maupun keperluan administratif dengan perbandingan 75% : 25% dan dikelola dalam perputaran pasar modal global yang perlu ditarik pada tingkat 3% - 5% per tahun. Dalam keadaan volaitilas pasar normal yayasan ini mendapat sekitar 8% - 9% per tahun dari kegiatan pengelolaan aset endowment; sisa likuiditas digunakan untuk menambah aset investasi. Perantara dari AS yang dipilih sebagai Manajer Dana bagi endowent fund yayasan pada saat ini adalah Morgan Stanley dan JPMorgan, Perkembangan Endowment Fund : Penggalangan Dana KEHATI ditantang untuk mengembangkan strategi investasi yang bercakupan lebih luas (diversified) yang meliputi menarik penambahan dana baru ke dalam endowment fund-nya, sehingga dapat membangun kemampuan penggalangan dana jangka panjangnya sendiri dan mengurangi ketergantungannya terhadap pendanaan dari luar. Oleh karena itu, KEHATI telah mengembangkan dua metode penggalangan dana, yaitu penggalangan dana konvensional dan penggalangan dana alternatif (atau non-konvensional). Penggalangan dana konvensional mengandalkan kreativitas KEHATI untuk menjaring dana dari lembagalembaga penyandang dana dalam dan luar negeri untuk program-program dalam tiga matra ekosistem utama (Agro, Kehutanan, dan Pulau dan Pantai). Dana-dana ini tidak hanya datang dari lembagalembaga penyandang dana tetapi juga dari perusahaan-perusahaan dalam dan luar negeri yang bergerak di Indonesia. Dana dari sumber ini disandingkan langsung dengan program-program KEHATI, atau dalam kata lain semua dana ini dipergunakan untuk keperluan program sementara biaya manajemen masih didanai dari endowment KEHATI. Strategi investasi lain untuk menarik dana baru ke dalam endowment adalah strategi nonkonvensional yang meliputi penciptaan reksadana dan mekanisme penukaran utang (debt swap). Pengembangan reksadana dibagi menjadi dua arah, salah satunya Reksadana Hijau seperti RDKL (Reksadana KEHATI Lestari) dan MSKH (Mega SRI

KEHATI Harmoni). Reksa Dana Kehati Lestari (RDKL) adalah Reksadana Hijau yang disediakan sebagai dasar portofolio bagi perusahaanperusahaan berwawasan lingkungan sesuai dengan kriteria-kriteria yang diterapkan oleh yayasan. Pada saat ini RDKL dikelola oleh BAHANA TCW Investment Management bersama dengan Bank Mandiri sebagai penyalur. RDKL adalah terobosan pertama KEHATI untuk menjaring keterlibatan sektor bisnis, pengelola dana, dan para investor, dan telah berhasil mengumpulkan Rp 30 miliar dari para sponsor penyandang dana awal. Proses pengembangan RDKL 1. Inspirasi dari perkembangan Dana Hijau di berbagai negara dengan serangkaian prasyarat untuk menyaring isi yang layak bagi portofolio aset. 2. Seleksi awal bagi Pengelola Dana (Fund Manager) yang tertarik dengan mekanisme program Dana Hijau (5 kandidat FM) 3. Pengembangan produk yang akhirnya berhasil mengumpulkan Rp 30 miliar sebagai investasi awal dan menjalin kerjasama dengan Bank Mandiri sebagai penyalur produk Kinerja RDKL sejauh ini 2007 : +9,8% per tahun 2008 : - 5,5% per tahun 2009 : +15,1% per tahun Di masa depan reksadana ini diharapkan akan mencapai tingkat pertumbuhan yang sama seperti pada tahun 2009 atau bahkan lebih baik (hingga 20% per tahun) Tantangan dan Tuntutan 1. Kesulitan dalam menyaring portofolio aset sehingga produk Reksa Dana Kehati perlu menggunakan struktur penghasilan tetap 2. Sesuai dengan struktur Penghasilan Tetap (Fixed Income) dan Ekuitas, portofolio reksadana ini tidak diperdagangkan secara aktif untuk menjaga tingkat volatilitas 3. Penempatan 60% aset dalam surat berharga (terutama obligasi pemerintah) berarti bahwa kualifikasi yang digunakan untuk menyaring perusahaan hanya didasarkan pada mandat KEHATI Keberlanjutan Finansial Reksadana o Pembagian beban biaya manajemen o Sumbangan investor sebagai keuntungan atau tambahan modal dasar Syarat-syarat o (Reksadana ini memerlukan dasar spesifik dari SRI?) Should this funds must be have specific underlying - SRI o Reksadana ini sebaiknya dirancang agar portofolio dasarnya tampak menarik dan menguntungkan o Reksadana ini harus bisa mendorong pengelola dana untuk menciptakan produk baru yang sesuai dengan kriteria awal.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 41 ]


MEGA SRI KEHATI HARMONI-MSKH Yayasan KEHATI bekerjasama dengan PT. Mega Capital Indonesia (MCI) untuk meluncurkan Mega SRI KEHATI Harmoni, sebuah konsep investasi dalam bentuk reksadana ekuitas (equity mutual fund) untuk investor pribadi atau perusahaan di pasar modal yang ingin mendukung usaha-usaha pelestarian keanekaragaman hayati. Produk ini juga dirancang untuk memberikan informasi tambahan kepada khalayak umum agar mereka dapat berinvestasi dalam industri-industri dan perusahaan-perusahaan yang ramah lingkungan. KEHATI juga mengundang keterlibatan pengelola dana (fund managers) dalam mengembangkan produk-produk investasi, seperti yang telah dilakukan bersama PT. MCI, agar masyarakat umum dapat berinvestasi melalui suatu jalur yang mendukung pelestarian alam. Reksadana MEGA SRI KEHATI HARMONI adalah reksadana berimbang (balanced fund) dengan komposisi: minimal 10% dan maksimal 79% dalam sekuritas utang dan sebagainya, minimal 10% dan maksimal 79% dalam saham dan sebagainya, serta minimal 5% dan maksimal 79% dalam produk pasar uang, baik dalam rupiah maupun dalam valuta asing, sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku. Pengembangan Sustainable and Responsible Index (SRI KEHATI) “Sustainable and Responsible Investing (SRI) is an investment process that considers the social and environmental consequences of investments. It is a process of identifying and investing in companies that meet certain standards of Corporate Social Responsibility (CSR)‌â€? KEHATI bekerja sama dengan Bursa Efek Indonesia untuk meluncurkan suatu indeks serupa dengan contoh-contoh yang sudah ada di negara-negara maju dalam hal pemanfaatan prinsip-prinsip investasi yang bertanggungjawab dan berkelanjutan (Sustainable and Responsible Investment, SRI); indeks ini dinamai SRI-KEHATI. Pada dasarnya indeks ini berfungsi sebagai parameter yang membantu investor agar mereka dapat menginvestasikan uang mereka dalam perusahaanperusahaan yang menunjukkan kesadaran atas lingkungan dan masyarakat serta menerapkan good corporate governance. Indeks bursa efek SRI-KEHATI diharapkan dapat menjadi panduan investasi bagi para investor dengan cara mengembangkan suatu standar untuk menampilkan kinerja perusahaan dalam menerapkan prinsip-prinsip keberlanjutan; ini dilakukan dengan bantuan suatu metodologi pemeringkatan yang didasarkan pada kesadaran atas isu-isu lingkungan

dan kemasyarakatan serta penerapan good corporate governance. Tujuan-tujuan SRI-KEHATI adalah: 1. Menggalakkan usaha-usaha berkelanjutan di kalangan perusahaan-perusahaan emiten di bursa efek. Dengan adanya SRI-KEHATI, para investor diharap tidak hanya melihat sisi keuangan dari sasaran investasi mereka, tetapi juga memperhatihan aspek-aspek lingkungan dan kemasyarakatan dalam menempatkan investasi jangka menengah dan panjang. 2. Menyediakan dasar acuan untuk membentuk portofolio yang terdiri dari perusahaanperusahaan dengan peringkat SRI yang baik, dan menyediakan data bagi investor jangka panjang dan menengah dalam membangun protofolio SRI mereka. SRI-KEHATI Index pada dasarnya dimaksudkan sebagai alat panduan bagi investor yang ingin menanamkan uang mereka dalam saham-saham SRI. 3. Dapat juga digunakan sebagai dasar acuan bagi produk-produk derivatif seperti ETF, Corporate Stock Member of SRI-KEHATI Kelembagaan Berkelanjutan. o Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa lembaga-lembaga yang menjalankan kegiatan sesuai dengan ESG biasanya memiliki tingkat keberlanjutan lebih tinggi karena lembagalembaga ini bergerak dalam kerangka prinsip good governance dalam skala yang dapat diamati dan diukur. o Perusahaan-perusahaan yang mematuhi kriteria akan menjadi lebih menarik bagi investor Keberhasilan Pengembangan SRI Meyakinkan para pemangku kepentingan, terutama Bursa Efek Indonesia (IDX) Proses Pengembangan SRI KEHATI Langkah 1 : Menilai ketertarikan pemangku kepentinngan pasar modal akan indeks SRI Langkah 2 : Uji kelayakan di Bursa Efek Langkah 3 : Memilih mitra penyedia data independen (independent data provider) yang akan mengumpulkan informasi tentang kegiatan ESG/CSR para emiten Tantangan 1. Menyusun kritertia-kriteria yang tepat bagi SRI 2.Mengumpulkan informasi tentang kegiatan ESG/CSR emiten 3. Meyakinkan Bursa Efek Indonesia Prospek 1. Berdasarkan keadaan ekonomi saat ini, investasi etis tampaknya akan menjadi jalan paling menarik bagi para pemangku kepentingan di pasar modal. 2. SRI sudah menerima investasi sebesar US$ 5 triliun dan masih terus berkembang 3. Sudah ada dua pengelola dana (Fund Managers) yang tertarik menciptakan produk berdasar SRI

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 42 ]


Penukaran Utang (Debt Swap) Tropical Forest Conservation Act (TFCA) adalah suatu mekanisme dukungan yang disediakan oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) bagi negara-negara dengan hutan perawan yang terancam rusak. Dukungan ini memanfaatkan mekanisme debt swap, yaitu menukarkan pembayaran bunga dan/atau pokok utang dalam mata uang setempat menjadi dana pelestarian hutan tropis. Dana ini akan tetap berada di dalam negeri, bukannya dibayarkan ke AS. Di bawah meknisme ini, baik pemerintah AS maupun LSM menyumbangkan dana untuk mengurangi atau menghapus sebagian nilai utang negara penerima. Pada umumnya dana sumbangan dari LSM bernilai kurang lebih 10% dari sumbangsih pemerintah AS. Pembayaran utang yang dimaksud dilakukan dalam mata uang lokal untuk mendanai kegiatan-kegiatan pelestarian alam yang telah disepakati oleh negara penerima, pemerintah AS, dan LSM-LSM yang terlibat. Kegiatan-kegiatan ini dapat juga mengikutkan suatu program hibah (seperi opsi pengurangan utang (debt reduction) atau pembelian kembali (buy back)). Selain itu, kesepakatan yang terbentuk juga dapat meliputi kegiatan-kegiatan konservasi seperti penetapan atau pengelolaan kawasan lindung, pengembangan program pelatihan, dan pemberian endowment untuk pengelolaan kawasan lindung dalam jangka panjang. Suatu komisi pengawas lokal perlu dibentuk untuk mengelola program ini. Anggota komisi terutama terdiri dari perwakilan-perwakilan pemerintah dan LSM-LSM penyandang dana. LSM setempat dapat pula diundang untuk duduk dalam komisi ini atas persetujuan pemerintah dan penyandang dana. Perwakilan LSM pada umumnya merupakan bagian terbesar dalam komite pengawas perjanjian debt swap selama ini. Opsi debt-for-nature swap bersubsidi di atas dijalankan dalam kerangka tiga perjanjian yang saling terkait: (1) perjanjian pengurangan utang antara pemerintah AS dan negara penerima, (2) perjanjian pertukaran biaya (swap fee agreement) antara pemerintah AS dan LSM penyandang dana yang menyalurkan dana swasta ke pemerintah AS, dan (3) perjanjian pelestarian hutan antara negara penerima dan LSM penyandang dana, termasuk peraturan tentang tatacara penggunaan dana dan pembentukan komisi pengawas. Rekomendasi Tindakan pelestarian orangutan memerlukan perspektif baru tentang cara-cara untuk menarik dana dari luar dan mengurangi ketergantungan terhadap lembaga penyandang dana. Pembentukan endowment fund adalah salah satu cara pendanaan berkelanjutan yang dapat disarankan, misalnya dengan: o Penggalangan dana dengan cara menarik penyandang dana multinasional untuk membentuk endowment fund yang diinvestasikan dalam portofolio beragam untuk menghasilkan pemasukan secara berkelanjutan. o Kerjasama dengan badan-badan usaha dalam dan luar negeri melalui pendanaan kontrak (contractual funding) dengan tujuan membentuk endowment fund lewat cara-cara penggalangan dana alternatif (misalnya reksadana hijau) untuk menghasilkan pemasukan secara terus-menerus.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 43 ]


RINGKASAN SESI KEBIJAKAN DAN KAMPANYE

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 44 ]


Penegakan Hukum Untuk Memerangi Perdagangan Ilegal Orangutan

Eko Novi, Msi (BKSDA Kalimantan Tengah) David Muhammad (BKSDA Kalimantan Barat)

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 45 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 46 ]


Ancaman yang menghadang dan kesempatan yang terbuka bagi pelestarian orangutan sumatera Ian Singleton, Director of Conservation, PanEco Foundation

P

Keadaan Saat Ini ; 2010 enelitian terbaru (lihat Wich et al 2008) dan penelitian lanjutan oleh PanEco/YEL pada tahun 2009/10 menyatakan bahwa hutan Ulu Masen di Aceh Utara tidak didiami atau hanya didiami oleh sejumlah kecil orangutan. Dalam kata lain, sebagian besar (sekitar 80-85%) dari 6,600 orang utan yang tersisa d i P u l a u Sumatera tinggal d i d a l a m E k o s i s t e m Leuser, yang mencakup baik Taman Nasional Gunung Leuser (dengan sekitar 30% populasi orangutan) maupun Suaka Margasatwa Rawa Singkil (dengan sekitar 20% populasi orangutan yang tersisa). Oleh karena itu pelestarian E k o s i s t e m Leuser, beserta Taman Nasional dan Suaka Margasatwa Rawa Singkil yang tercakup di dalamnya, sangatlah penting bagi kelangsungan hidup orangutan sumatera di masa yang akan datang. Ada pula populasi-populasi orangutan lain yang terletak lebih jauh ke selatan di daerah Tapanuli, Pakpak, dan Dairi. Pelestarian populasi-populasi ini juga tergolong sangat penting, terutama karena populasi-populasi tersebut mungkin memiliki keunikan genetika dan budaya tersendiri.

d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi. Tetapi jumlah orang utan peliharaan ilegal yang disita sepanjang dekade 2000-an tidak berkurang, atau bahkan lebih banyak dari jumlah penyitaan di tahun 1970-an, 80-an, dan 90-an. Gambar 1 menunjukkan bahwa sejak Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) dibuka pada tahun 2001, jumlah orang utan yang masuk ke pusat karantina pada umumnya meningkat dari 16 pada tahun 2002 (terdiri dari 7 yang disita pada tahun 2001 dan 9 yang disita pada 2002), menjadi 22 pada tahun 2003, 39 pada tahun 2008, dan 33 pada tahun 2009, walaupun sempat terjadi penurunan drastis ke angka 11 pada tahun 2007. Data-data ini juga menunjukkan bahwa sebagian besar penyitaan terjadi di Propinsi Aceh (52.5%, Gambar 2), sesuai dengan kenyataan bahwa Aceh merupakan tempat hidup bagi sebagian besar orangutan sumatera liar yang tersisa. Sayangnya, tidak ada satu kasus pun yang dilanjutkan dengan tuntutan hukum. Selain itu, jika kita menilik jumlah orangutan yang disita dan dimasukkan ke pusat rehabilitasi lama di Bohorok, Sumatera Utara, tidak ada satu pun dari 450 penyitaan di Sumatera sejak 1972 yang diproses menjadi tuntutan hukum. Catatan pusat-pusat rehabilitasi di Kalimantan juga menunjukkan bahwa telah terjadi lebih dari 2500 penyitaan orang utan tangkapan ilegal sejak 1970 tetapi tidak ada satupun yang menghasilkan tuntutan hukum.

Penegakan Hukum Yang Lemah Secara resmi, orangutan telah dilindungi oleh perangkat hukum Indonesia. UU Perlindungan Satwa Liar No 5 Tahun 1990 Pasal 21, ayat 2, menyatakan dengan jelas bahwa tindakan-tindakan berikut ini dilarang dengan keras: a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia;

Gambar 1: Jumlah total penyitaan oran utan tangkapan ilegal di Sumatera sejak 2002 (batang biru), beserta rata-rata dan deviasi standar usia orangutan (garis hitam).

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 47 ]


Gambar 2. Asal orangutan yang masuk ke pusat karantina SOCP dari 2002 hingga 2010, diurutkan menurut lokasi (terutama propinsi). Katagori BTNGL hanya untuk orangutan yang dikirim dari Bukit Lawang dalam rangka penanganan medis sementara di pusat karantina.

Masalah besar lain adalah pemeliharaan orangutan ilegal oleh aparat penegak hukum, terutama polisi dan TNI, serta sejumlah pejabat setempat. Misalnya, Gambar 3 menampilkan dua orangutan yang dipelihara secara ilegal oleh Bupati Aceh Barat. Kedua orangutan ini belum juga disita hingga saat ini walaupun BKSDA Aceh dan beberapa lembaga lain (LSM, FORA, dsb.) telah melayangkan surat kepada Bupati yang bersangkutan dan sejumlah artikel koran telah mengulas kasus ini. Gambar 4 menampilkan orangutan tangkapan yang ditemukan di Medan saat hendak dibawa ke Jawa setelah peristiwa tsunami. Truk yang mengangkut orangutan ini diparkir di dekat kantor SOCP di Medan, dan orangutan tersebut teramati oleh staf SOCP yang kemudian berunding dengan “pemilik” orangutan selama lebih dari 24 jam sampai si “pemilik” akhirnya bersedia untuk menyerahkan orangutan tersebut kepada BBKSDA Sumatera Utara.

Gambar 3: Dua orangutan piaraan ilegal Bupati Aceh Barat (Foto ini diambil pada tahun 2009, tetapi kedua orangutan ini masih dipelihara secara ilegal pada tahun 2010)

Gambar 4. Truk yang membawa orangutan tangkapan ilegal saat diparkir di dekat kantor SOCP Medan.

Menurut data lebih terperinci yang disajikan dalam Gambar 5, sebagian besar penyitaan orangutan di Propinsi Aceh terjadi di Gayo Lues (24), Aceh Tenggara (15), dan Banda Aceh (18, walaupun angka ini mencakup orangutan yang disita dari berbagai lokasi oleh BKSDA Aceh, dan beberapa di antaranya bukan berasal dari Banda Aceh). Tidak banyak penyitaan yang terjadi di Kabupaten-Kabupaten lain kecuali Aceh Selatan (10). Data ini memperkuat pengamatan di lapangan yang menunjukkan bahwa Kabupaten-Kabupaten di daerah tengah seperti Aceh Tenggara dan Gayo Lues merupakan sumber utama bagi perdagangan satwa liar ilegal, terutama karena Kabupaten-Kabupaten tersebut terletak di dekat wilayah pusat Taman Nasional Gunung Leuser. Orangutan peliharaan ilegal di beberapa daerah tertentu (e.g. Nagan Raya, Singkil-Subulussalam etc) umumnya tertangkap saat hutan tempat tinggal mereka diubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Tetapi, tidak banyak perkebunan kelapa sawit baru yang dibuka di Gayo Lues dan Aceh Tenggara dalam beberapa tahun terakhir, sehingga banyaknya orangutan sitaan di kedua Kabupaten ini berarti bahwa kemungkinan besar masih ada perburuan orangutan liar untuk diperdagangkan dan/atau penangkapan orangutan yang “mengkonsumsi/mengganggu” tanaman selain kelapa sawit, terutama jika dibandingkan dengan Kabupaten-Kabupaten lain. Di Sumatera Utara (Gambar 6), KabupatenKabupaten dengan angka penyitaan tertinggi adalah Langkat (18)dan Kota Medan (19) bersama dengan Binjai (6) dan Dairi (5). Tingginya angka di Langkat tidaklah mengejutkan karena Kabupaten ini berbatasan langsung dengan populasi terbesar orangutan sumatera di TNGL timur. Orangutanorangutan tangkapan lain di propinsi ini tampaknya berasal dari populasi-populasi yang lebih kecil di Dairi, Pak Pak Barat dan Tapanuli Selatan. Anehnya, tidak ada penyitaan yang tercatat di Tapanuli Utara ataupun Tapanuli Tengah walaupun hutan Batang Toru berbatasan dengan kedua Kabupaten tersebut seperti halnya Tapanuli Selatan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 48 ]


Gambar 5: Asal orangutan yang disita di Propinsi Aceh Gambar 7. Laporan responden tentang pengamatan dan perburuan orangutan.

Gambar 6: Asal orangutan yang disita di Propinsi Sumatera Utara.

Perburuan Walaupun tidak ada catatan tentang orangutan sitaan di Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah, penelitian oleh YEL menunjukkan bahwa perburuan orangutan masih terjadi di kedua kabupaten tersebut. Perburuan dan pemeliharaan ilegal pada umumnya merupakan efek samping dari pembukaan hutan dan penangkapan orangutan yang menjadi hama di tepi hutan. Para satwa ini pada dasarnya adalah pengungsi dari hutan yang sudah hilang. Walaupun begitu, perburuan secara sengaja juga masih terjadi. Kuesioner yang disebarkan YEL pada tahun 2010 menemukan 74 responden (dari hampir 3000; lihat gambar 7) yang pernah terlibat dalam perburuan orangutan. Sebagian besar responden ini merupakan penduduk (55; atau 75%), walaupun ada pula yang tinggal di Tapanuli Utara (16; 22%) dan Tapanuli Selatan (3). Perburuan orangutan dalam hal ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk bahan makanan. Sayangnya, data yang didapat tidak menyebutkan jangka waktu kejadian perburuan. Selain itu, jumlah responden yang diwawancarai hanya sekitar 5% dari jumlah penduduk di pemukiman-pemukiman yang didatangi tim peneliti, jadi jika data ini mencerminkan keadaan sebenarnya (representatif), keterlibatan penduduk setempat dalam perburuan orangutan dapat dibilang cukup besar!

Pembalakan dan perambahan liar Moratorium Penebangan Hutan yang ditandangani oleh Gubernur Aceh pada bulan Juni 2007 mewajibkan pengkajian ulang atas semua izin perkebunan kelapa sawit yang telah diterbitkan di Aceh dan melarang penebangan untuk membuka perkebunan baru hingga kajian ini selesai. Kajian ulang ini masih berlangsung hingga saat ini. Moratorium ini juga melarang jenis-jenis penebangan lain kecuali atas spesies-spesies pepohonan desa yang umum (bukan hutan primer/alami) di tanah milik pribadi dan/atau milik desa. Walaupun begitu, pembalakan liar masih merupakan masalah besar dan masih ada perkebunan yang melakukan pembukaan lahan. Penelitian keragaman hayati oleh Fauna and Flora International Indonesia Program pada tahun 2007 di hutan Ulu Masen menemukan bahwa pembalakan liar merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hutan di 13 dari 18 lokasi yang diteliti (FFI, 2007). Ancamanancaman lain yang ditemui mencakup perambahan hutan (termasuk penebangan liar), pertambangan, dan pembukaan jalan. Kedua pusat penelitian primata terkenal di daerah tersebut, yaitu Ketambe dan Suaq Balimbing, juga masih terancam oleh pembalakan liar walaupun cukup banyak sorotan internasional yang jatuh pada masalah ini. Pembalakan liar terus terjadi walaupun kedua pusat penelitian tersebut terletak di dalam daerak strategis nasional Ekosistem Leuser dan juga Taman Nasional Gunung Leuser yang telah ditetapkan sebagai UNESCO Man and Biosphere Reserve dan bagian dari UNESCO Sumatran Rainforest World Heritage Site. Selain itu, ada banyak laporan lain tentang pembalakan liar di berbagai bagian wilayah ini. Perlindungan Habitat : Studi kasus di Tripa Hutan gambut Tripa di pesisir barat Aceh adalah salah satu contoh terburuk dalam perusakan habitat di dalam jangkauan habitat orangutan sumatera. Hutan gambut pesisir di Aceh memiliki kepadatan populasi orangutan tertinggi di seluruh dunia.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 49 ]


Pada awal tahun 1990-an beberapa konsesi perkebunan kelapa sawit mendapat izin untuk beroperasi di Tripa dan mulai membuka lahan di dalam batas-batas konsesi mereka. Sebagian besar konsesi ini terpaksa menghentikan kegiatan mereka semasa konflik (1999-2005), dan keadaan alam di lahan yang terbengkalai mulai pulih secara perlahan. Tetapi perusakan hutan dimulai lagi setelah penandatanganan perjanjian damai 2006 di Aceh dalam bentuk penebangan, pembukaan lahan, pengeringan lahan, dan penanaman bibit kelapa sawit. Sebagian besar penebangan yang terjadi sebenarnya tergolong ilegal bukan hanya karena moratorium yang ditetapkan Gubernur tetapi juga karena bagian yang cukup besar dari lahan di Tripa terletak di atas lapisan tanah gambut setebal lebih dari 3 meter. Pembukaan lahan pada umumnya memanfaatkan api untuk membersihkan tunggul dan sisa-sisa tanaman (lihat gambar 8), suatu perbuatan yang juga dilarang di wilayah gambut. Salah satu masalah terbesar baik bagi pelestarian orangutan, bagi masyarakat setempat, maupun bagi perusahaan-perusahaan perkebunan adalah penurunan permukaan tanah yang terjadi setelah hutan gambut dibuka dan dikeringkan. Perkebunan kelapa sawit biasanya menurunkan muka air tanah hingga 80-100 cm di bawah permukaan tanah dengan menggunakan jaringan kanal yang luas. Tindakan ini mengeringkan lapisan gambut yang kemudian mulai teroksidasi, melepaskan kandungan karbonnya ke udara sembari mengempis/menurun lebih jauh. Penurunan yang terjadi bisa mencapai 5 cm per tahun, sebagai suatu perkiraan konservatif untuk perkebunan kelapa sawit di tanah gambut, dan dalam jangka waktu 20 tahun penurunan total dapat mencapai 1 meter (Hooijer et al 2006). Kecenderungan ini sangat berbahaya bagi lahan gambut di wilayah pesisir yang terletak hanya 1 atau 2 meter di atas permukaan laut, apalagi dengan peningkatan permukaan laut yang diperkirakan akan terjadi dalam beberapa dekade ke depan. Pada akhirnya pengeringan dan penurunan ini akan menyebabkan kehilangan total baik bagi masyarakat lokal maupun bagi perusahaan-perusahaan perkebunan yang menyebabkan kerusakan tersebut. Kerusakan hutan di lahan gambut Tripa tentu saja menimbulkan dampak sangat buruk bagi orangutan yang tinggal di sana. Tripa merupakan kediaman salah satu populasi kunci orangutan sumatera yang terdiri dari sekitar 280 individu (PHVA 2004) dan telah ditetapkan dalam UN GRASP sebagai salah satu lokasi prioritas tinggi bagi pelestarian orangutan. Orangutan masih sering dan mudah ditemukan di hutan-hutan alami yang tersisa di Tripa. Pada tahun 2009 dan 2010 terjadi beberapa kasus orangutan yang terperangkap dalam wilayah hutan seluas hanya 2 atau 3 hektar (lihat lingkaran-lingkaran biru dalam Gambar 9) oleh kegiatan pembukaan lahan. Beberapa dari orangutan ini ditangkap atau dibunuh (mis. orangutan bernama Seumayam yang disita dalam keadaan terluka parah pada awal tahun 2010). -

Gambar 8. Data satelit tentang titik-titik panas di Tripa menunjukkan bahwa sejumlah besar peristiwa kebakaran/pembakaran telah terjadi dalam beberapa tahun terakhir, dan bahwa semua konsesi besar mengemban tanggung jawab atas kejadian-kejadian tersebut (sumber data: NASA/University of Maryland, 2002)

Gambar 9. Peta lokasi penampakan sarang dan individu orangutan di Tripa dari tahun ke tahun sejak 2007 hingga 2010, dibandingkan dengan luasan konsesi-konsesi perkebunan kelapa sawit. Pengamatan yang terjadi di luar kawasan hutan umumnya melibatkan individu-individu terpisah yang bertahan hidup di rimbunan kecil pepohonan setelah daerah sekitarnya dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. -- Pada bulan Juni dan Juli 2010 muncul laporan baru tentang orangutan yang terancam dibunuh oleh pekebun setelah merusak sejumlah bibit kelapa sawit.

Walaupun kerusakan yang terjadi di Tripa cukup besar, masih ada secercah harapan bahwa hutan gambut ini dan orangutan yang tinggal di dalamnya masih dapat diselamatkan. Beberapa kesempatan utama yang dapat dimanfaatkan di Tripa adalah : • Masih ada cadangan karbon yang cukup besar di pepohonan dan lahan gambut yang tersisa. Tripa adalah cadangang karbon tunggal terbesar yang belum dilindungi di Propinsi Aceh dan kerusakan wilayah ini dapat menyebabkan pelepasan sekitar 33 juta ton karbon ke atmosfer dalam jangka waktu 30 tahun ke depan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 50 ]


• Tripa juga menyediakan sumber daya lingkungan yang bersifat penting bagi masyarakat setempat dalam bentuk keragaman hayati, pengendalian banjir dan persediaan air, dan mata pencaharian (mis. perikanan, rotan, dsb.), serta berperan penting sebagai zona penyangga yang melindungi mereka dari bencana yang mungkin terjadi di wilayah pesisir. • Masih ada kesempatan untuk menghentikan perusakan lingkungan dan untuk mengelola dan memulihkan fungsi ekologis hutan gambut Tripa • PanEco telah mengumpulkan sejumlah besar informasi tentang Tripa, mulai dari data sosialekonomi hingga data terperinci tentang keadaan lingkungan. Informasi ini dapat dimanfaatkan untuk memulihkan keadaan lingkungan dan untuk mengembangkan kegiatan-kegiatan yang lebih berkelanjutan dari segi ekonomis maupun ekologis dalam rangka pemulihan dan pelestarian lingkungan setempat. • Tripa telah diusulkan untuk menjadi wilayah lindung/suaka dalam rencana tata ruang propinsi yang baru dan sudah ada dukungan masyarakat yangl uas bagi pelestarian wilayah ini. Perlindungan Habitat : Studi kasus di BatangToru Masalah utama yang dihadapi di kawasan hutan Batang Toru adalah kebijakan dan perencanaan tata ruang yang buruk. Hutan ini merupakan rumah bagi populasi orangutan liar paling selatan di Sumatera, dan populasi ini mungkin memiliki keunikan genetik dan budaya tersendiri. Sebagian besar kawaan hutan di Batang Toru masih berstatus hutan produksi (lihat Gambar 10) walaupun hutan-hutan ini memenuhi sejumlah kriteria yang seharusnya menempatkan mereka dalam status hutan lindung. Kriteria yang paling nampak adalah keadaan lahan yang terjal dan peranan penting sebagai daerah tangkapan air. Sebagian wilayah hutan produksi telah ditetapkan sebagai konsesi penebangan kayu yang dikelola PT Teluk Nauli. Untungnya, sebagian besar wilayah hutan ini belum pernah ditebangi karena topografinya yang tidak mendukung. Suatu daerah lain dengan topografi terjal dan tutupan hutan yang rapat di lembah Sungai Batang Toru disediakan bagi perkebunan rakyat walaupun rimbunan hutan di daerah ini menandakan tingkat keterjalan dan kesulitan akses yang membuat daerah tersebut tidak cocok untuk fungsi selain hutan perawan dan daerah tangkapan air. Rencana jalan baru yang akan memotong bagian barat hutan Batang Toru juga menghadapi tantangan pembangunan di ketinggian dengan sejumlah lembah sungai yang curam. Seperti halnya Tripa, masih ada harapan bagi Batang Toru. Ada paling tidak 3 industri besar -

Gambar 10. Status penggunaan lahan saat ini di wilayah hutan Batang Toru. Jenis alokasi lahan yang dominan di sini adalah hutan produksi, bahkan di wilayah kota-kota dan desa-desa terdekat. Daerah yang disediakan bagi perkebunan rakyat (arsiran merah di tepi bawah, sedikit ke kanan dari garis tengah) jelas-jelas tidak cocok bagi kegiatan bercocok tanam, dan penempatannya akan memisahkan blok hutan Batang Toru barat dari Suaka Alam Dolok Sibual-buali dan Dolok Sipirok.

setempat yang sangat bergantung pada kelestarian daerah tangkapan air, yaitu sebuah PLTA di Tapanuli Tengah, rencana PLTP di Tapanuli Utara dan pertambangan emas di Tapanuli Selatan. Ketiga industri ini memegang kepentingan dalam pelestarian hutan Batang Toru untuk menjaga kelangsungan pasokan air mereka (karena ketiganya memerlukan air dalam jumlah besar) dan juga untuk menjaga citra mereka di masa umum serta memenuhi persyaratan tanggung jawab sosial (corporate social responsibility). Pemerintah daerah di ketiga kabupaten telah mengusulkan status perlindungan bagi hutan Batang Toru dalam rencana tata ruang wilayah (RTRW) propinsi yang baru, dan ketiganya bersama dengan Pemerintah Propinsi Sumatera Utara telah mengajukan usulan kepada Menteri Kehutanan untuk mengubah status lahan Batang Toru dari hutan produksi mejadi hutan lindung. Selain di Batang Toru, rencana pembangunan jalan baru juga mengancam beberapa habitat inti orangutan di Sumatera, termasuk bagian-bagian tertentu dari Ekosistem Leuser dan Taman Nasional Gunung Leuser. Sebuah jalan baru rencananya akan dibangun di sepanjang tepi barat Suaka Margasatwa Rawa Singkil, sebuah hutan gambut yang dihuni sekitar 1.500 orang utan (populasi ketiga terbesar yang masih tersisa). Jalan lain yang akan memisahkan sisi barat dan sisi timur Pengunungan Bukit Barisan dapat memecah populasi-populasi orang utan Leuser Barat dan Timur lebih jauh. Akibatnya, populasi orang utan yang dapat bertahan mandiri (viable) dapat terpecah menjadi populasipopulasi yang terlalu kecil untuk bertahan hidup secara mandiri dalam jangka panjang (lihat Gaveau et al 2009)

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 51 ]


Kesempatan Di samping ancaman-ancaman di atas, ada pula beberapa kesempatan menarik yang perlu dipertimbangkan dalam pelestarian orangutan, diantaranya: a. Penegakan hukum: upaya pendidikan selama betahun-tahun oleh berbagai LSM telah mempersiapkan kalangan penduduk setempat. Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menggalakkan penegakan hukum dalam kaitan dengan pelestarian orangutan. Sejumlah keberhasilan penting dalam beberapa tahun terakhir (mis. di Jambi, Kalbar, Kalteng) telah menimbulkan hasil konkret dan upaya-upaya ini perlu diperluas ke seluruh jangkauan wilayah habitat orangutan secepat mungkin. b. REDD: Hasil-hasil penelitian menunjukkan keberadaan sekitar 50 hingga 100 juta ton cadangan karbon di Tripa (Agus dan Wahdini, 2008). Bandingkan dengan proyek REDD Ulu Masen yang diperkirakan hanya akan mencegah emisi 3,3 juta ton CO2 per tahun. c. Moratorium penebangan hutan telah berlaku di Aceh dan pemerintah propinsi telah memberikan dukungan terbuka bagi upaya-upaya pelestarian. Moratorium ini juga mewajibkan kajian ulang menyeluruh atas semua HPH dan HGU di Propinsi Aceh. d. Perubahan yang cepat dalam status hukum lahan hutan dan gambut memungkinkan perencanaan tata ruang yang lebih baik dan penerapan good governance (pemerintahan bersih/bijak). e. Komitmen Gubernur-Gubernur di Sumatera akan proses perencanaan ruang yang lebih memperhatikan kepentingan lingkungan di seluruh pulau. f. Munculnya RSPO dan kesadaran baru akan tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility) di kalangan pemegang kepentingan dari pihak industri, ditambah dengan kesadaran konsumen tentang produk dan produksi yang berkelanjutan. Kecenderungan ini mendukung pengembangan transparansi dan dialog yang lebih efektif. g. Dukungan pendanaan bagi praktek-praktek yang lebih baik di sektor swasta. Peningkatan dukungan pendanaan juga mulai nampak bagi upaya-upaya LSM yang terkait dengan pelestarian hutan dan orangutan. h. FOKUS dan FORA, cabang-cabang setempat dari Forum Orangutan Indonesia (FORINA), bersedia dan mampu mewakili LSM-LSM dalam isu-isu pelestarian orangutan dan mengambil tindakan dalam penanganan kasus-kasus yang muncul. i. Data tentang populasi orangutan telah menjadi jauh lebih akurat dan terbaharui dalam beberapa tahun terakhir. Data-data ini mencakup informasi tentang jumlah, persebaran, dan ekologi pelestarian orangutan, termasuk prospek kelangsungan hidup dalam hutan tebang pilih (Catatan: studi-studi terbaru mencakup Kalimantan dan penelitian terdahulu menunjukkan sejumlah perbedaan penting dengan keadaan di Sumatera).

J. Perkembangan teknologi digital, termasuk penginderaan jauh, global positioning system (GPS), dan fotografi digital telah meningkatkan akurasi dan kemudahan akses terhadap informasi, sehingga mendukung pertukaran informasi secara lebih transparan, pengertian yang lebih mendalam, dan upaya-upaya pembangunan jaringan (networking) dan kerjasama. k. Strategi dan Rencana Aksi Nasional telah disusun dan banyak dari poin-poin di atas yang telah tercakup di dalamnya. Daftar Pustaka: Agus, F., dan Wahdini, W., 2008. Assessment of carbon stock of peat land at Tripa, Nagan Raya district, Nanggroe Darussalam Province of Indonesia, Indonesian Centre for Agricultural Land Resources Research and Development. (Laporan yang belum diterbitkan secara umum) FFI, 2007. Orangutan Survey report to Fauna and Flora International. (Belum diterbitkan) Gaveau DLA, Wich S, Epting J, Juhn D, Kanninen M dan Leader-Williams N. 2009. The future of forests and orangutans (Pongo abelii) in Sumatra: predicting impacts of oil palm plantations, road construction, and mechanisms for reducing carbon emissions from deforestation. Environ. Res. Lett. 4. Pp 1-11. Hooijer, A., Silvius, M., Wosten, H. danPage, S. (2006). PEAT-CO2, Assessment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943. Singleton, I., S. Wich, S. Husson, S. Stephens, S. Utami Atmoko, M. Leighton, N. Rosen, K. TraylorHolzer, R. Lacy dan O. Byers (ed.). 2004. Orangutan Population and Habitat Viability Assessment: Final Report. IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MN NASA/University of Maryland, 2002. MODIS Hotspot / Active Fire Detections. Data set. MODIS Rapid Response Project, NASA/GSFC [penyusun], University of Maryland, Fire Information for Resource Management System [distributor]. Tersedia di [http://maps.geog.umd.edu]

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 52 ]


Memerangi Kejahatan Terhadap Orangutan di Kalimantan : Sebuah Studi Kasus di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat Oleh: ,Chairul Saleh*, Yuyun Kurinawan **, Tito ...*** and Patria ...****

****)

*) WWF Indonesia **) Yayasan Titian ***) Yayasan Palung Yayasan WWF Indonesia, West Kalimantan Project

Abstrak ,Kejahatan terhadap orangutan, misalnya pemeliharaan secara illegal, perburuan, perdagangan dan konversi habitat orangutan merupakan ancaman terhadap konservasi orangutan kalimantan, Pongo pygmaeus wurmbii. Di kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, selama periode 2007-2010 lebih dari 30 individu orangutan telah disita oleh aparat penegak hukum yang dibantu oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat, karena dipelihara secara illegal oleh masyarakat. Orangutan-orangutan tersebut sebagian besar diperoleh dari masyarakat lokal yang tinggal di sekitar konsesi perkebunan kelapa sawit dengan memberikan pergantian uang dan kebutuhan pokok lainnya. Kejahatan terhadap orangutan sangat terkait dengan adanya pembukaan kawasan hutan alam untuk pengembangan industry non kehutanan, misalnya perkebunan kelapa sawit dan tingkat penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah. Sejak tahun 2007, nota kesepakatan multi pihak sudah dibuat di kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat untuk memerangi kejahatan terhadap orangutan dan habitatnya. Peningkatan kemauan politik, perbaikan upaya penegakan hukum dan kebijakan kehutanan yang lebih baik yang mempertimbangkan aspek kelestarian orangutan diperlukan untuk menghentikan pemeliharaan illegal orangutan. Pendahuluan rangutan kalimantan, Pongo pygmaeus wurmbii adalah anak jenis orangutan dengan jumlah populasi terbanyak dibandiungkan dua anak jenis orangutan kalimantan lainnya dengan perkiraan populasi lebih dari 34,975 indiividu dan sebagian besar penyebarannya terdapat di provinsi Kalimantan Tengah. Di provinsi Kalimantan Barat, populasi orangutan sub spesies ini diperkirakan berjumlah 3,675 individu dimana 2.500 individu diantaranya hidup di Taman Nasional Gunung Palung. Ancaman terhadap populasi orangutan di Kalimantan Barat, termasuk di kabupaten Ketapang terutama adalah hilangnya habitat dan pemeliharaan illegal. Konversi hutan alam di kabupaten Ketapang, tidak hanya menyebabkan hilang dan rusaknya habitat orangutan, tetapi juga membuka akses bagi masyarakat untuk memasuki habitat orangutan dan meningkatkan pemeliharaan illegal orangutan. Berdasarkan study yang dilakukan oleh Yayasan Palung, lembaga swadaya masyarakat yang berkedudukan di Ketapang, sedikitnya terdokumentasi 30 individu orangutan yang dipeliharan secara illegal oleh masyarakat di beberapa kecamatan di kabupaten Ketapang selama periode 2007-2009 dan seluruh orangutan tersebut sudah disita oleh Kementerian Kehutanan. Namun, disayangkan bahwa penyitaan orangutan ini tidak ditindak lanjuti dengan upaya penegakan hukum secara serius yang dapat memberikan efek jera kepada para pelaku yag terlibat dalam pemeliharaan illegal orangutan tersebut.

O

Indonesia memiliki kebijakan yang lengkap dan relevan untuk mendukung konservasi keanekaragaman hayati, termasuk orangutan dan meliputi aspek yang luas antara lain perlindungan -

- spesies dan habitatnya, penegakan hukum terhadap kejahatan kehutanan, program rehabilitasi dan pelepasliaran, mitigasi konflik antara manusia dan satwa, penataan ruang, dsb. Salah satu kebijakan yang sangat terkait dengan konservasi orangutan adalah Keputusan Menteri Kehuthanan tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2007 – 2017. Kebijkan konservasi di tingkat nasional sudah cukup efektif untuk mendukung keberlangsungan hidup populasi orangutan di Kalimantan Barat baik pada populasi maupun habitatnya melalui penetapan beberapa Taman Nasional, penegakan hukun untuk menghentikan pembalakan haram dan perdagangan orangutan, integrasi dan implementasi strategi dan rencana aksi konservasi orangutan dan pengembangan tata ruang berbasis ekosistem. Dalam kasus pemelihraan illegal orangutan sebagai bagian kejahatan terhadap satwa, penegakan hukum secara optimal perlu ditingkatkan dengan memberikan hukuman maksimal terhadap pemelihara illegal orangutan. Untuk menghentikan pemeliharaan illegal dan perdagangan orangutan di kabupaten Ketapang melalui penegakan hukum secara efektif, pada tahun 2007 ditanda tangani nota kesepakatan oleh pemangku kepentingan terkait yang terdiri dari pemerintah lokal, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat, Polres Ketapang, dan Lembaga Swadaya Masyarakat (Yayasan Palung dan Fauna Flora International Indonesia Program). Nota kesepakatan ini dibuat bertujuan untuk mendukung upaya penegakan hukum dalam rangka menyelamatkan orangutan dan satwa dilindungi lainnya dan koalisi penanda tangan nota kesepakatan ini sudah menyusun arahan program dan panduan untuk mengimplementasi program. Selama priode 2007 – 2009, koalisi ini mendukung upaya penyitaan

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 53 ]


Yayasan Titian tahun 2008 mengidentifikasi bahwa 200 ribu hektar konsesi perkebunan kelapa sawit berada di kawasan yang sebelumnya merupakan kawasan hutan yang merupakan habitat orangutan kalimantan anak jenis, P. pygmaeus wurmbii di Kalimantan Barat. Meningkatnya pembangunan dan pendapatan asli daerah misalnya melalui pembangunan perkebunan kelapa sawit di dua kabupaten, khususnya kabupaten baru, Kayong Utara harus menjadi perhatian untuk mencegah terjadinya penurunan populasi orangutan. Seluruh perusahaan perkebunan kelapa sawit di dua kabupaten ini perlu dilibatakan dan didorong untuk membantu melestarikan orangutan di konsesi mereka melalui penerapan Praktek Pengelolan Terbaik (Best Magament Practces). Perusahaan-perusahaan tersebut juga direkomendasikan dan didorong agar secara sukarela mau mengadopsi panduan untu mencegah, memitigasi dan mengelola konflik antara orangutan dan perkebunan kelapa sawit yang disusun oleh para ahli orangutan dan lembaga swadaya masyarakat bidang konservasi pada tahun 2007. sedikitnya 41 orangutan yang dipelihara secara illegal oleh masyarakat di kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Upaya penegakan hukum terhadap peemeliharaan illegal orangutan di kabupaten Ketapang perlu ditingkatkan sebab ada indikasi bahwa pemelihara illegal orangutan dapat bersifat oportunistik, yaitu menjual orangutan yang dipeliharanya apabial menjumpai pembeli. Pemeilhraan illegal orangutan dan konversi hutan alam Minyak kelapa sawit menjadi komoditas yang sangat diminati untuk melakukan investasi dan dianggap sebagai sumber potensi pemasukan oleh beberapa pemerintah kabupaten di Kalimantan Barat, termasuk kabupaten Ketapang. Sejalan dengan semakin meningkatnya ekspansi pembangunan perkebunan kelapa sawit, maka kejahatan terhadap orangutan juga meningkat dengan berbagai bentuknya antara lain: perburuan, perdagangan, pemeliharaan illegal dan perusakan habitat. Tingginya jumlah orangutan yang dipelihara secara illegal oleh masyarakat di kabupaten Ketapang memiliki keterkaitan erat dengan meningkatnya investasi dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di kabupaten ini untuk memperoleh pendapatan asli daerah. Hingga Juni 2009, konsesi perkebunan kelapa wasit di kabupaten Ketapang sudah mencapai 1,3 juta hektar lahan atau sekitar 37 % dari total wilyah kabupaten. Sebuah study yang dilakukan oleh -

Komunikasi dengan pihak perkebunan kelapa sawit, terutama pada perusahaan-perusahaan yang belum melakukan pembersihan lahan sudah dilakukan oleh Yayasan Palung dan Fauna dan Flora International Indonesia Program untuk menduskusikan konservasi orangutan dan peran kunci perkebunan kelapa sawit dalam membantu keberlangsungan hidup orangutan ynag hidup di konsesi mereka. Banyak dari perusahaan-persuahaan tersebut yang tertarik dengan ide ini dan ingin mendiskusikan lebih jauh dengan lembaga swadaya masyarakat bidang konservasi untuk mendukung konservasi orangutan sesuai dengan kapasitas yang dimiliki. Peningkatan kapasitas pemangku kepentingan untuk mendukung penegakan hukum Seperti sudah disinggung sebelumnya bahwa unutk meningkatkan kegiatan penegakan hukum untuk menghentikan pemeliharaan illegal orangutan, sebuah koalisi yang melibatkan institusi yang berbeda sudah dibentuk di kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Untuk meningkatkan efektifitas upaya penegakan hukum, keterlibatan masyarakat lokal dan organisasi sosial kemasyarakatan dalam proses penegakan hukum, juga penting untuk dilakukan, terutaman yang tinggal berdekatan dengan habitat orangutan. Masyarakat lokal dapat memberikan informasi yang dapat dipercaya ke pihak otoritas atau polisi jika mengetahui ada orangutan yang di tangkap atau diperdagangkan. Masyarakat lokal juga dapat memberikan informasi penting lainnya tentang kegiatan yang dapat mengancam habitat orangutan, misalnya pembalakan haram dan ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 54 ]


Untuk memperoleh kontribusi secara signifikan dari masyarakat lokal dan organisasi sosial kemasyarakatan, maka penting untuk melakukan peningkatan pengetahuan mereka tentang peraturan perlindungan spesies dan proses penegakan hukumnya. Untuk mendukung proses ini, 5 orang masyarakat lokal yang terdiri dari kepala desa dan tokoh kunci lainnya dari beberapa desa yang berbeda di kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, ikut berpartisipasi dalam pelatihan paralegal untuk masyarakat lokal dan organisasi sosial kemasyarakatan pada bulan January 2009 yang diorganisir oleh Yayasan Titian bekerjasama dengan WWF Indonesia dan Indonesian Center of Environment Law (ICEL). Pelatihan yang juga diikuti oleh masyarakat lokal dan organisasi kemasyarakatan dari kabupaten-kabupaten lain yang relevan di Kalimantan Barat, misalnya Singkawang, Sambas dan Kapuas Hulu bertujuan untuk meningkatkan keahlian masyarakat lokal dan organisasi kemasyarakatan dalam melakukan kontrol dan mendukung upaya penegakan hukum terhadap pemeliharaan illegal dan perdagangan orangutan. Peningkatan kapasitas terhadapa aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya juga dilakukan melalui Kelompok Diskusi Fokus (Focus Group Discussion) di Ketapang dengan memberikan data terbaru dan informasi akurat tentang pemeliharaan illegal orangutan berdasarkan hasil investigasi langsung Yayasan Titian. Data ini sebelumnya juga sudah disampaikan ke Direktorat Perlindungan dan Konservasi Alam (PHKA). Diskusi ini difokuskan untuk mendapatkan komitmen dari aparat penegak hukum dan instansi terkait lainnya untuk menindak lanjuti infromasi yang diberikan dengan upaya penegakan hukum. Tantangan ke depan Pemerintah harus memiliki kemauan politik yang kuat untuk menghentikan pemeliharaan illegal orangutan di kabuparen Ketapang, termasuk dengan menghentikan pemberian ijin baru konversi hutan alam yang terindikasi sebagai habitat orangutan dan/atau memiliki populasi orangutan. Dalam rangka penegakan hukum, pemerintah harus memiliki komitmen untuk meningkatkan tingkatan

penegakan hukum dengan membawa para pemelihara illegal orangutan ke meja pengadilan. Pendekatan ini cukup signifikan untuk memberikan efek jera bagi para pemelihara illegal orangutan Strategi nasional penegakan hukum terhadap satwa dilindungi perlu disusun untuk mendukung upaya penegakan hukum yang dilakukan. Koalisi pemangku kepentingan di kabupaten Ketapang pada kegiatan penegakan hukum sudah merupakan infrastruktur yang sangat baik untuk penegakan hukum yang lebih baik terhadap pemelihraan illegal dan perdagangan orangutan. Koalisi ini perlu diperkuat dengan penegakan hukum dengan menindak para pemelihara illegal orangutan. Sebagai anggota koalisi, Kementerian Kehutanan harus dapat memainkan peran secara lebih jelas sebagai pemimpin untuk membawa anggota koalisi lainnya mengimplementasikan penegakan hukum yang lebih baik untuk menghentikan pemeliharaan illegal orangutan. Program penyadaran tentang pentingnya konservasi orangutan serta pemberian penjelasan yang mudah dipahami tentang fungsi ekologi orangutan perlu dilakukan kepada berbagai pemangku kepentingan terkait, termasuk pemerintah lokal, aparat penegak hukum, pihak swasta, masyarakat lokal, dsb. Perubahan paradigma juga perlu dilakukan dengan pemahaman bahwa sangat penting untuk melindungi orangutan untuk kesejahteraaan manusia dan menempatkan orangutan sebagai bagian dari proses pembangunan dengan menjamin keberlangsungan hidupnya untuk jangka panjang dan bukan menganggapnya sebagai hambatan proses pembangunan. Daftar Pustaka Titian, 2008, LAPORAN INVESTIGASI. Invesitgasi ancaman Terhdap Ornagutan (Pongo pygmaeusi) dan habitatnya id Kalimantan Barat Dengan Spesifik Area di kabupaten Kapuas Hulu, Ketapang, dan Pontianak. Wich, S.A., 2008 et. Al. : Distribution and conservation status of the orangutan (Pongo spp.) on Borneo and Sumatra : How many remain?. Oryx, 42 (3), p. 329 – 339, UK>

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 55 ]


KELEMAHAN PENEGAKAN HUKUM DALAM KONSERVASI ORANGUTAN Bagaimana menyiasati kelemahan UU No. 5 Tahun 1990? Dwi Nugroho Adhiasto (WCS-Indonesia)

B 1.

Level Kejahatan erdasarkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, setiap orang dilarang memburu, melukai, membunuh, memperdagangkan, memindahkan, dan menyimpan satwa dilindungi dan bagian-bagiannya. Secara hukum mengandung pengertian bahwa pemburu, pedagang, pembeli, penyimpan atau pemelihara satwa dilindungi dan bagian-bagiannya telah melakukan tindak pidana melawan hukum dan akan diancam dengan hukuman maksimum 5 tahun penjara dan denda maksimal 100 juta rupiah (Pasal 40 ayat 2). Meskipun aturan hukumnya tampak jelas, namun pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan. WCU (Wildlife Crime Unit), sebuah unit kolaborasi penegakan hukum antara WCS (Wildlife Conservation Society) Indonesia Program dan Kementerian Kehutanan telah melakukan kegiatan penyitaan satwa dilindungi yang dipelihara secara illegal lebih dari 150 kali sejak tahun 2003 di Lampung dan mendukung 55 operasi penangkapan terhadap pemburu, pedagang, dan penampung di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan. Jumlah vonis dari para pemburu, pedagang, dan penampung mencapai 61% sejak 2008-10. Sayangnya, belum pernah sekalipun ada vonis untuk para pemelihara illegal, termasuk orangutan (0%). Hal ini menunjukkan betapa sulitnya menindak para pemelihara illegal satwa dilindungi, meskipun dalam Pasal 21 ayat 2 jelas dinyatakan bahwa para pemelihara merupakan pelaku tindak pidana dan melanggar hukum. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa para pemelihara illegal tidak dipandang melakukan tindak pidana berat dan sejajar dengan pemburu atau -

pedagang. Bahkan, melakukan penyerahan secara sukarela dianggap merupakan 'jalan tengah' yang aman bagi para pemelihara illegal supaya lolos dari jerat hukum. 'Kemudahan' ini juga dimanfaatkan para pemelihara illegal (yang sudah bosan dengan satwa peliharaan atau satwa sudah terlalu liar dan susah dikendalikan) untuk menyerahkan satwa kepada pihak berwenang. Dengan cara seperti ini, upaya penegakan hukum untuk menciptakan efek jera tidak pernah tercapai bagi para pemelihara illegal satwa dilindungi, khususnya orangutan. Situasi ini berbeda dengan kasus perburuan, perdagangan, atau penampung satwa dilindungi. Kasus perdagangan orangutan di Pontianak (21 Juni 2010) dan Pangkalan Bun (10 Juli 2010) merupakan pembelajaran yang luar biasa bagi upaya penegakan hukum untuk orangutan di Kalimantan. SPORC (Satuan Polisi Hutan Reaksi Cepat) dan PPNS Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah menunjukkan hasil kerja yang memuaskan dengan menangkap pedagang orangutan dan melanjutkan kasus hingga pemberkasan perkara. Bahkan, vonis terhadap pedagang orangutan di Kalimantan Barat merupakan vonis pertama bagi kasus orangutan di Kalimantan. Pedagang adalah mata rantai sangat penting, merupakan penghubung antara pemburu dengan pembeli. Apabila upaya penegakan hukum masih stagnan di tingkat pemelihara illegal, mengubah prioritas penegakan hukum kepada para pedagang dan penampung orangutan merupakan solusi jitu untuk memutus mata rantai antara pemburu dan pembeli. Dalam jangka waktu menengah dan panjang, ketiadaan pedagang atau penampung akan menyulitkan pemburu dalam menjual orangutan, dan pada akhirnya akan berkontribusi terhadap pengurangan perburuan orangutan di Kalimantan dan Sumatera.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 56 ]


2. Memperkuat peran PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) Terbatasnya kewenangan PPNS untuk menangkap pelaku dan melakukan penggeledahan yang harus dilakukan bersama dengan pihak kepolisian sering menjadi sumber konflik dalam proses pemberkasan perkara dan pembuktian di persidangan. Hakim sering berpendapat bahwa penangkapan dan penggeledahan yang dilakukan oleh PPNS tanpa dilakukan bersama-sama dengan pihak kepolisian adalah illegal. Pihak pengadilan juga sering menahan keluarnya surat penyitaan apabila dalam proses penangkapan dan penggeledahan tidak disertai dengan pihak kepolisian. Faktanya, melakukan aktivitas secara bersama antara PPNS dengan kepolisian masih terkendala dalam hal kecepatan waktu, resiko kebocoran, atau lolosnya pelaku karena pergerakan pelaku sangat cepat untuk merespon aktivitas operasi penegakan hukum. Kendala ini bisa diatasi, terutama di Sumatra dan Jawa karena antara PPNS, polisi, dan JPU (Jaksa Penuntut Umum) mempunyai persepsi dan komitmen yang sama dalam isu kejahatan kehutanan. Mereka juga percaya bahwa kelemahan di pihak PPNS, kepolisian, dan kejaksaan dalam hal komunikasi bisa diatasi dengan melakukan koordinasi yang baik. Tukar-menukar informasi antara PPNS di Sumatra, Jawa, dan Kalimantan adalah langkah yang brilian untuk mendapatkan pengalaman dan solusi terbaik dalam melakukan proses penangkapan, bagaimana bekerjasa,a dengan kepolisian, jaksa, dan kelemahan di undang-undang. Oleh karena itu, konsensus nasional antara Kementerian Kehutanan, kepolisian, dan kejaksaan dan pengadilan merupakan langkah penting yang harus disegerakan. 3. Merevisi Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 Daftar jenis satwa dilindungi di Indonesia yang tercantum dalam Lampiran PP No. 7 Tahun 1990 harus segera direvisi karena beberapa taksonomi satwa dilindungi telah mengalami perubahan serta ada kesalahan penulisan. Perubahan ini berimplikasi kuat terhadap proses penegakan hukum karena lampiran ini menjadi acuan bagi penegak hukum untuk menindak pelaku. Sebagai contoh: Orangutan Sumatera berbeda jenis dengan Orangutan Kalimantan, namun dalam daftar lampiran hanya memuat jenis Orangutan Kalimantan saja (Pongo pygmaeus). Artinya, Orangutan Sumatera (Pongo abelii) tidak termasuk dalam daftar satwa dilindungi karena tidak masuk dalam daftar tersebut. Penulisan nama jenis Gajah Sumatera juga tidak benar. Dalam daftar lampiran ditulis Elephas indicus yang merupakan jenis Gajah India, sedangkan jenis Gajah yang ada di Indonesia adalah Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus). Dalam kasus yang berhubungan dengan Gajah Sumatera dan Orangutan Sumatera, pelaku tindak kejahatan bisa lepas dari jerat hukum karena nama jenis satwa tersebut tidak masuk dalam daftar satwa dilindungi. Para pelaku akan memanfaatkan sisi kelemahan dari daftar jenis satwa dilindungi ini untuk menghindari ancaman hukuman akibat berburu satwa dilindungi.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 57 ]


Kontroversi Konservasi Peter Fraser Conservation Officer Auckland Zoo Peter.fraser@aucklandcity.govt.nz Abstrak Presentasi ini akan mengulas perubahan kebijakan Kebun Binatang Auckland dari suatu lembaga konservatif menjadi salah satu pendukung paling vokal atas pelestarian alam. Perubahan ini dilukiskan lewat kampanye informasi Kebun Binatang Auckland tentang kelapa sawit, mulai dari dorongan moral yang memotivasi staf kebun binatang, diikuti dengan kontroversi melawan KFC dan Tourism Malaysia, hingga perdebatan publik dengan Cadbury dan tindakan-tindakan selanjutnya. Selain mengulas kesempatan bagi komunitas kebun binatang untuk bekerjasama dalam mempengaruhi perilaku perusahan dan individu, makalah ini juga akan menjabarkan kelebihan dan kelemahan pendekatan semacam ini dalam advokasi pelestarian alam.

B

erbagai kebun binatang di seluruh dunia telah menjadikan pelestarian satwa liar sebagai salah satu tujuan utama mereka dan memasukkan nilai-nilai konservasi dalam dokumendokumen seperti visi, misi, dan rencana kerja mereka. Sebagai contoh, misi Kebun Binatang Auckland adalah “Memfokuskan sumber daya kebun binatang untuk mendukung pelestarian alam dan memberikan pengalaman menarik yang mendorong para pengunjung untuk mengambil langkah-langkah positif bagi pelestarian lingkungan dan satwa liar.�

Menetapkan diri sebagai lembaga konservasi tidak berarti apa-apa jika tidak diimbangi dengan tindakan nyata. Jadi, dari misi yang disebutkan di atas, muncul satu pertanyaan penting: di manakah Kebun Binatang Auckland seharusnya memusatkan sumber dayanya? Dalam tindakan-tindakan advokasi? Dalam dukungan teknis dan keuangan untuk proyek-proyek in situ? Di sisi lain, kebun binatang ini juga memegang peranan penting dalam program penangkaran untuk pelepasliaran. Pendekatan yang paling alami tentu saja berupa pembagian sumber daya antara ketiga bidang tersebut, tetapi pemecahan ini masih menyisakan satu pertanyaan: bagaimanakah pembagian/keseimbangan yang tepat antara ketiganya? Kebun Binatang Auckland telah menetapkan sasaran untuk memberikan 10% pendapatannya kepada program-program in situ. Memperkirakan besarnya dana yang dialirkan kepada programprogram pemulihan satwa tidaklah mudah karena aliran dana ini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kegiatan sehari-hari kebun binatang ini, tetapi penghentian aliran dana ini dapat mengurangi hingga 10% dari biaya operasi kebun binatang. Oleh karena itu, 80% sumber daya kebun binatang perlu mendukung upaya konservasi lewat tindakantindakan yang dapat dilakukan di tempat, yaitu advokasi. Dalam kata lain, sebagian besar sumber daya kebun binatang ini tersedia bagi dan sebaiknya diarahkan untuk kegiatan nyata dalam bentuk advokasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para pengunjung kebun binatang ini ingin memandang diri mereka sebagai bagian dari -

pemecahan masalah dan tidak keberatan untuk melibatkan diri lebih jauh dalam upaya-upaya advokasi. (AZA, 2007) Kebayakan anggota komunitas kebun binatang sadar akan kesempatan yang mereka miliki untuk meraih hati sekitar 15 juta pengunjung kebun binatang di seluruh Australasia - 700.000 di antaranya di Kebun Binatang Auckland. Kebun binatang di bawah payung AZA telah bekerja keras untuk mengembangkan program dan prakarsa nyata di bidang konservasi. Kebun-kebun binatang ini memiliki reputasi dan tanggung jawab yang tinggi sehingga mereka lebih dicintai dan dipercayai para pengunjung. Oleh karena itu kami berada di tempat yang tepat untuk memberi pengaruh positif terhadap perilaku pengunjung. Advokasi. Dalam bidang inilah Kebun Binatang Auckland mengalami perjalanan panjang dalam upayanya untuk mendidik para pengunjung tentang produksi minyak kelapa sawit (MKS). Dewan kepemilikan kebun binatang ini pada dasarnya tidak senang mengambil risiko, sehingga segala hal yang bersifat politis atau kontroversial dianggap tidak cocok dengan citra kami. Walaupun begitu, prinsip ini lebih berupa asumsi sejarah daripada kebijakan resmi ketika suatu kejadian pada tahun 2008 mengubah segalanya. Kejadian ini berupa dialog dengan Restaurant Brands, sebuah perusahaan multinasional besar yang memiliki KFC beserta sejumlah merk terkenal lain. Kampanye advokasi di Kebun Binatang Auckland turut mengangkat ancaman-ancaman terhadap spesies-spesies dalam koleksi kami, dan dalam rangka kampanye ini salah satu staf kebun binatang memasang poster yang menyatakan bahwa KFC adalah salah satu produk yang mengandung MKS. Kebun Binatang Auckland lalu menerima sejumlah panggilan telepon dan korespondensi e-mail dari KFC yang meminta agar kami menurunkan poster tersebut. Terlepas dari tenggat waktu yang ditetapkan oleh KFC, kami meninjau ulang materi yang ditampilkan dan menemukan bahwa informasi di dalamnya akurat, sehingga - dengan dukungan Dewan Kebun Binatang dan jajaran manajemen senior - kami menolak tuntutan untuk menurunkan poster itu.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 58 ]


Mengangkat isu ini dalam pembicaraan dengan Dewan Kebun Binatang dan mendapatkan dukungan Dewan tersebut merupakan suatu langkah besar bagi gerakan advokasi di Kebun Binatang Auckland. Setelah kami berhasil menjawab pertanyaan “apakah informasi dalam poster tersebut benar dan akurat?” kami mendapatkan dukungan penuh dalam perdebatan kami dengan pihak KFC. KFC, setelah mengeluarkan ultimatum dengan tenggat waktu dan mengutarakan janji untuk menyelesaikan masalah ini “pada waktunya,” tibatiba mundur dari dialog. Dengan keyakinan bahwa pesan kami telah mulai mendapat perhatian yang lebih luas, kami melanjutkan kampanye pembuatan dan penyebaran materi yang mengangkat isu MKS. Salah satunya adalah 'Passport to Borneo' – sebuah program pengisi liburan sekolah pada bulan Juli. Anak-anak yang mengikuti program ini diberi sebuah buklet berbentuk mirip paspor dengan sejumlah pertanyaan. Peserta yang menjawab semua pertanyaan dengan benar akan diikutkan dalam undian yang berhadiah liburan keluarga ke Kalimantan dengan sponsor Malaysian Tourism Promotion Board (Tourism Malaysia). Salah satu pertanyaan tersebut adalah 'Apakah ancaman terbesar terhadap kelangsungan hidup orangutan?' Jawabannya: Minyak Kelapa Sawit. Walaupun pada awalnya kami mendapat dukungan penuh atas usaha kreatif kami, seminggu sebelum peluncuran program ini Tourism Malaysia meminta kami menghapus semua materi tentang minyak kelapa sawit (MKS). Sebagai penggantinya, mereka menawarkan pendanaan untuk buklet informasi terpisah tentang MKS dengan syarat bahwa buklet ini tidak akam memuat logo mereka. Sekali lagi, dengan dukungan Dewan, Kebun Binatang Auckland menolak untuk mengubah informasi yang akurat, tepat, dan sesuai dengan peran advokasi kami. Sebagai akibatnya kami kehilangan sponsor bagi program liburan kami. Tetapi, kami mendapat keuntungan lain yang lebih berharga – suatu kesempatan untuk membawa isu ini ke taraf nasional. Kami mengangkat kejadian ini dalam suatu liputan tentang minyak kelapa sawit dalam 'Campbell Live' sebuah program televisi harian yang populer di Selandia Baru. Keputusan untuk bergabung dengan kampanye 'Don't Palm Us Off' yang dipimpin oleh Asosiasi Kebun Binatang Victoria adalah kelanjutan yang alami dan logis dari kampanye informasi minyak kelapa sawit yang telah kami jalankan. Perbedaan kami dengan pendekatan beberapa organisasi lain adalah pernyataan pendapat Kebun Binatang Auckland bahwa tingkat konsumsi MKS pada saat ini terlalu tinggi bagi produksi yang berkelanjutan. Untuk mengatasi masalah ini, kami menetapkan

sasaran untuk menjadi kebun binatang “bebas MKS” dengan cara mengurangi konsumsi MKS di tempat. Kami sebisa mungkin tidak menggunakan atau menjual produk yang diketahui mengandung MKS dan dapat diganti dengan produk lain yang tidak mengandung MKS. Ketika kami mendengar bahwa Cadburys mengubah resep cokelatnya dengan menambahkan MKS, kami menyingkirkan sekotak cokelat yang dipajang di meja resepsi untuk menggalang dana dan sejumlah batang cokelat lain dari toko cinderamata Wildzone kami. Ironisnya, tidak ada produk Cadbury yang dijual di kebun binatang kami selain di kedua tempat tersebut. Tak lama sebelum kejadian ini, Amy Dixon, salah seorang staf perawat primata kami, berbicara dalam suatu program Sabtu pagi di radio nasional tentang pengalamannya membantu kegiatan di pusat rehabilitasi orangutan Sungai Pengian di Sumatera bersama seorang staf Kebun Binatang Auckland lain, terutama tentang keadaan orangutan di hadapan ancaman dari kegiatan penebangan hutan dan perkebunan kelapa sawit. Pembawa acara tersebut menanyakan tentang pengorbanan yang perlu dilakukan dalam hal pilihan makanan – dan cokelat Cadbury's sempat disebutkan. Kami juga menghapus Cadbury's dari daftar belanja bebas MKS yang sedang kami kembangkan di situs Web kami. Serangkaian tindakan ini menyulut perdebatan publik di televisi, media cetak, dan Internet dengan judul seperti “Kebun Binatang Mementahkan Cadburys'. Kami memanfaatkan perdebatan ini beserta liputan media untuk menarik perhatian kepada sikap kebun binatang ini. Sebagai hasilnya, Kebun Binatang Auckland mengambil peranan advokasi yang penting dalam mempengaruhi keputusan sebuah perusahaan multinasional besar. Sasaran untuk menjadi bebas MKS dan keputusan untuk mencari segala macam produk pengganti telah memberikan Kebun Binatang Auckland sebuah kesempatan unik untuk mempengaruhi perilaku produsen lain. Seperti berbagai lembaga lainnya, Kebun Binatang Auckland telah lama menjalin hubungan dengan sejumlah produsen dan sponsor, salah satunya dengan es krim Streets yang dimiliki oleh perusahaan multinasional Unilever. Dialog dengan Streets telah menemukan sejumlah produk yang mengandung minyak kelapa sawit, termasuk salah satu produk yang paling laku di kebun binatang ini. Kebun Binatang Auckland adalah pusat penjualan terbsar bagi produk Streets di Selandia Baru. Walaupun ada perbedaan pandangan antara kami dan Unilever tentang MKS, Unilever menyatakan bahwa mereka mengerti pendapat kami dan bersedia bekerja sama dalam program kami untuk menjadi lembaga bebas MKS. Kami tentunya masih memiliki pilihan untuk membatalkan kesepakatan dengan sponsor ini dan menggantinya dengan perusahaan lain, tetapi kami percaya bahwa pendekatan kolaboratif kami memiliki potensi komunikasi yang lebih luas beserta kemungkinan untuk mengubah/mempengaruhi keputusan Unilever dan perusahaan-perusahaan lainnya.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 59 ]


Salah satu perkembangan yang muncul dari dialog terakhir ini adalah penelitian atas potensi pengembangan produk-produk bebas MKS di bawah bendera kebun binatang. Kami mendorong kebunkebun binatang lain untuk membuka dialog serupa dengan kalangan produsen dan sponsor dan memanfaatkan pengaruh bersama komunitas kebun binatang. Dengan cara ini kami dapat terus memberdayakan para pengunjung untuk mengambil tindakan positif bagi pelestarian satwa liar. Lebih jauh lagi, kami juga dapat mempengaruhi perusahaanperusahaan di Australia dan Selandia Baru untuk mengambil langkah-langkah ke arah yang sama. Lebih dari 10.000 orang di Auckland telah menandatangani kartu pos Don't Palm Us Off dalam jangka waktu tiga bulan, menuntut pilihan produk yang bebas MKS. Jumlah ini hanya sebagian dari 100.000 orang yang telah menyatakan dukungan mereka. Cadburys telah menghilangkan minyak sawit dari komposisi cokelat Dairy Milk-nya. KFC NZ telah menyiarkan pernyataan publik bahwa mereka sedang mencari pengganti minyak kelapa sawit untuk daerah Selandia Baru. Perusahaan katering 'Compass' yang melayani Kebun Binatang Auckland telah setuju untuk turut menjadi bebas minyak kelapa sawit. Diskusi dengan perusahaan es krim Streets menandakan itikad baik untuk bekerjasama.

Sejumlah selebritis Selandia Baru telah menyatakan dukungan terbuka untuk kampanye kami, termasuk Rhys Darby, bintang Flight of the Concords. Hal-hal di atas merupakan penanda keberhasilan kami sejauh ini. Keberhasilan-keberhasilan ini memberi kebanggaan tersendiri kepada staf, sukarelawan, dan penggemar kami – semuanya bangga atas pengabdian dan/atau hubungan mereka dengan suatu lembaga yang mengerti dan berani menghadapi tanggung jawabnya dalam bidang advokasi. Kebun Binatang Auckland akan terus melanjutkan tindakan-tindakan berikut dan menantang Anda semua untuk turut melakukan hal yang sama. • Memenuhi pengharapan para pengunjung kami dan masyarakat luas. • Mendorong produsen dan sponsor untuk membantu kami memenuhi sasaran-sasaran kami. • Berhenti membuat keputusan-keputusan komersial yang tak sesuai dengan pesan yang hendak kami sampaikan. Daftar Pustaka Association of Zoos and Aquariums (2007), Why Zoos and Aquariums Matter: Assessing the impact of a visit to a zoo or aquarium, dibuka pada 3 M a r e t 2 0 1 0 l e w a t http://www.aza.org/azapublications/

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 60 ]


Konservasi Habitat Orangutan di Barat Daya Borneo Andrew T. de Sousa, Cheryl D. Knott, Tito P. Indrawan, and Achmad, M. Yayasan Palung/Gunung Palung Orangutan Conservation Program Jl. Gajah Mada No. 97, RT 07/RW 04, Ketapang 78851 - Kalimantan Barat, Indonesia

T

Abstrak aman Nasional Gunung Palung memiliki populasi yang terbesar yang ada dari sub species Pongo pygmaeus wurmbii di bagian barat-daya Borneo. Meskipun upaya perlindungan terhadap orangutan telah meningkat selama beberapa tahun di dalam kawasan Taman Nasional, orangutan tetap terus terancam, terutama oleh aktivitas manusia di sekitar Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara. Seperti di daerah Kalimantan lainnya, ancaman terutama berasal dari hilangnya habitat, karena kelapa sawit, pembalakan dan pertambangan. Gunung Palung Orangutan Conservation Program (Yayasan Palung), suatu program multi kegiatan yang berbasis di Ketapang, Kalimantan Barat, telah bekerja dengan masyarakat lokal dan pejabat pemerintah untuk menemukan solusi dalam mengatasi ancaman ini dalam dasawarsa terakhir. Kami akan berbicara mengenai evolusi dari ancaman yang dihadapi Pongo pygmaeus wurmbii di daerah kami serta beberapa variasi tingkat keberhasilan kami mengatasi ancaman ini dengan pendekatan yang berbeda yang kami lakukan di daerah ini, seperti kampanye penyadartahuan masyarakat, skema CSR (Corporate Social Responsibility), dan dukungan LSM untuk kegiatan Pemerintah. Melihat kecenderungan yang terjadi saat ini di Ketapang dan Kayong Utara, kami akan mendiskusikan bagaimana langkah-langkah bersama untuk meningkatkan kepedulian dan kesadartahuan masyarakat sebagaimana halnya dalam membangun kapasitas pemerintah dibutuhkan guna menjamin kelangsungan hidup jangka panjang species ini.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 61 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 62 ]


Wilmar dan Orangutan di Kalimantan Tengah Apa yang dapat dicapai secara nyata untuk konservasi orang-utan di lansekap perkebunan kelapa sawit? Melissa Tolley meltolley@wilmar.co.id Primatologist dan Manajer Konservasi, Wilmar Group Plantations

S

trategi dan Rencana Aksi untuk konservasi orangutan di Indonesia yang dicanangkan pada Konperensi COP 13 di Bali pada tahun 2007 menghimbau agar perusahaan-perusahaan kelapa sawit dapat melakukan peranan mereka dalam melindungi jenis kera besar ini dengan menjaga dan melindungi habitatnya yang berada didalam areal konsesinya serta meminimalkan konflik antara orangutan dan kegiatan perkebunan. Dengan meningkatnya perhatian platform internasional yang diberikan kepada pengembangan/pembangunan perkebunan serta bertumbuhnya kebutuhan akan keberlanjutan minyak sawit, kebijakan manajemen perusahaan-perusahaan besar mengalami perubahan serta timbul suatu komitmen yang murni untuk melindungi Area Bernilai Konservasi Tinggi (High Conservation Value Areas/HCVA). Meskipun demikian, situasi di lapangan dari lansekap perkebunan memiliki masalah-masalah yang melekat untuk konservasi orangutan. HCVA seringkali kecil (dibandingkan dengan skala habitat hutan yang dibutuhkan untuk populasi sehat orangutan) serta terfragmentasi. Areal yang memiliki potensi untuk menjadi koridor yang menghubungkan fragmen-fragmen habitat tersingkirkan atau dikalahkan oleh penanaman kelapa sawit secara monokultur. Kenyataannya adalah bahwa sisa-sisa populasi orangutan (terlalu kecil untuk viabilitas genetik jangka panjang terdampar pada jalur-jalur hutan yang kecil atau sempit. Upaya terbaik apa yang dapat dilakukan untuk mengelola situasi demikian ini?. Wilmar berupaya untuk menemukan solusi yang dapat dilaksanakan untuk melindungi Orangutan yang berada didalam HCVA dari perkebunan mereka dii Kalimantan Tengah sementara kita juga menerima kenyataan bahwa kita tidak dapat berharap untuk mempertahankan jumlah populasi yang stabil secara genetic atau ukuran habitat yang ideal dalam lansekap perkebunan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 63 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 64 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 65 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 66 ]


Status Terbaru Implementasi Aksi Konservasi Orangutan di Sabah Augustine Tuuga Sabah Wildlife Department

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 67 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 68 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 69 ]


RINGKASAN SESI PENELITIAN

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 70 ]


Analisa genetik menyarankan unit-unit konservasi yang multiple untuk orangutan Indonesia (Pongo sp.) KrĂźtzen, M. Anthropological Institute & Museum, University of Zurich, Winterthurerstr. 190, CH-8057 Zurich, Switzerland Arora, N. Anthropological Institute & Museum, University of Zurich, Switzerland Nater, A. Anthropological Institute & Museum, University of Zurich, Switzerland Perwitasari-Farajallah, D. Bogor Agricultural University, Bogor, Indonesia Pamungkas, J. Bogor Agricultural University, Bogor, Indonesia Van Schaik, C. Anthropological Institute & Museum, University of Zurich, Switzerland

D

ibandingkan dengan kera besar lainnya, sejarah evolusi populasi orangutan masih sangat sedikit diketahui. Dengan banyaknya ancaman yang berasal dari manusia yang dihadapi orangutan saat ini di semua daerah sebarannya, maka suatu penilaian genetic dari pola-pola phylo-geographic yang luas yang dikombinasikan dengan analisa genetika populasi detil adalah sangat dibutuhkan untuk menetapkan unit-unit konservasi yang tepat.Kami menunjukkan bahwa garis keturunan orangutan Sumatera dan Boneo telah dipisahkan untuk 2.62 MYA (0.84–4.41 MYA). Di Borneo, autosomal microsatellite dan mtDNA menunjukkan suatu differensiasi yang sangat tinggi diantara lokasi sampling, bertalian secara masuk akal dengan sangat terbatasnya aliran gen betina diantara populasi-populasi. Kedua system marker juga mengindikasikan suatu radiasi yang akhir-akhir ini terjadi di Borneo . (265 KYA, 89–503 KYA), yang konsisten dengan hadirnya satu atau lebih refugia pada zaman Pleistocene, tetapi tidak dengan suatu rekolonisasi berikutnya dari Sumatera.

Sebagai tambahan, mtDNA haplotypes menunjukkan paling tidak enam kluster geografis dengan pensubstrukturan yang tidak dideskrisikan sebelumnya ditemukan dalam Pongo pygmaeus wurmbii di Kalimantan. Di Sumatera, hasil kami menujukkan suatu struktur populasi yang nyata. Orangutan menunjukkan suatu penstrukturan yang jelas kedalam empat kluster geografis.dengan perpaduan pada 4.43 MYA (1.83–7.52 MYA). Struktur populasi ini tidak direfleksikan dalam bagian jantan dari populasi, menunjukkan adanya aliran gen melalui perantara jantan yang melintasi jarak yang jauh serta melintasi rintangan-rintangan geografis. Secara nyata tampak bahwa populasi Sumatera yang paling selatan tampaknya secara genetik lebih dekat dengan orangutan Borneo. Kami membuktikan bahwa rintangan geografis dalam kombinasi dengan bias dispersal orangutan jantan telah membentuk pola-pola yang terobservasi. Perbedaan-perbedaan ini tidak hanya disebabkan karena aliran genetik tetapi juga merefleksikan adaptasi pada kondisi ekologis regional. Aksi manajemen harus meyakinkan bahwa populasi-populasi besar dalam unit-unit manajemen yang telah diidentifikasi akan dijaga / dipelihara.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 71 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 72 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 73 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 74 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 75 ]


Variasi dalam struktur dan komposisi hutan : efek dari kualitas habitat terhadap kepadatan populasi dan sifat/cirri-ciri sarang orangutan Borneo (Pongo pygameus morio) Yaya Rayadin, Takashi Saito, Anne Russon, Roberto Delgado, Stephanie Spehar, Liza Ningsih, Nardiyono,Slamet Rochmadi

P

ABSTRAK embuatan sarang adalah kebiasaan harian orangutan secara independen. Karena sarang adalah indikator yang dapat dipercaya untuk kehadiran orangutan, sarang telah dipergunakan secara umum untuk mengestimasi kepadatan populasi setempat, mengidentifikasi tempat sarang yang disukai serta untuk menentukan perilaku pergerakan (ranging). Meskipun penelitian dengan memanfaatkan sarang telah meningkatkan pemahaman kita mengenai beberapa aspek ekologi orangutan, temuan-temuan ini terbatas karena penelitian-penelitian tersebut tidak mempertimbangkan struktur dan komposisi hutan . Studi ini menginvestigasi efek / pengaruh dari struktur dan komposisi hutan terhadap kepadatan populasi serta cirri-ciri sarang mereka. Secara khusus kami mempertimbangkan tipe habitat yang berbeda di beberapa lokasi di bagian timur Borneo termasuk di kawasan Taman Nasional Kutai (Zona Inti, Zona Rimba, Sangkima dan Prevab) serta Hutan Birawa. Analisa data menunjukkan bahwa variasi kepadatan populasi orangutan dipengaruhi oleh luas (ukuran) habitat. Sebagai tambahan, sifat/cirri-ciri sarang menunjukkan hubungannya/keterkaitannya dengan struktur dan komposisi hutan. Kata Kunci : kepadatan populasi, struktur dan komposisi hutan, ukuran/luas habitat. Koresponden : yrayadin@yahoo.com (PPHT/PUSREHUT Univ. Mulawarman, Samarinda, Kaltim)

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 76 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 77 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 78 ]


Status Populasi Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus wurmbii) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah, Indonesia Adventus Panda Bhayu Pamungkas Sebangau Conservation Project WWF Indonesia Marc Ancrenaz Kinabatangan Orangutan Conervation Project (KOCP), Sabah, Malaysia Orangutan terancam kepunahan, namun informasi yang persis mengenai distribusi dan ukuran populasi saat ini tidak ada. Persyaratan untuk melestarikan kera besar di habitat alaminya adalah pengetahuan yang baik mengenai distribusi kepadatan dan ukuran populasi. Di dalam Rencana Aksi Spesies Orangutan WWF, salah satu dari tiga prioritas lansekap di Indonesia untuk mendukung populasi orangutan adalah Taman Nasional Sebangau di Kalimantan Tengah. WWF Indonesia telah mengembangkan program konservasi orangutan dalam beberapa tahun sejak tahun 2001 untuk populasi yang terlindungi di dalam Taman Nasional Sebangau. Taman Nasional Sebangau ditetapkan pada bulan Oktober 2004 dengan luas area 568,700 hektar. Tujuan survey ini adalah untuk mengkaji populasi orangutan Sebangau didalam ekosistem rawa gambut dan untuk mengkonfirmasi estimasi populasi terakhir di kawasantersebut. Survei dilaksanakan dari bulan Juni 2006 sampai Februari 2007. Survei sarang dari udara secara original mengikuti Ancrenaz et al (2006) dan metodologi survei sarang melalui transek di darat mengikuti Marshall (2000). Pembuatan sarang adalah kebiasaan harian orangutan mandiri untuk tidur atau beristirahat. Data sarang orangutan telah dipergunakan untuk berbagai studi ekologi (misalnya: estimasi kepadatan, perilaku jelajah, evolusi budaya material) karena sarang adalah tanda di lapangan yang paling memungkinkan untuk diobservasi/diamati. Total sebanyak 3046 sarang terdeteksi selama tiga penerbangan berturut-turut (sejauh 390,6 km). Areal survei udara kami mencakup bagian tengah TN Sebangau. Sementara di daerah paling utara (utara ekstrim) disurvei melalui transek darat. Jarak total transek sepanjang 28.4 km telah dijalani tim WWF serta menjumpai total sarang sebanyak 922. Hasil survei menunjukkan bahwa orangutan tersebar diseluruh kawaan Taman Nasional, Mekipun demikian, kelimpahan orangutan menunjukkan fluktuasi yang sangat terlokalisir. Fluktuasi menunjukkan adanya variabilitas inter-transek dalam deteksi sarang. Fluktuasi ini mungkin disebabkan karena kondisi hutan setempat, ketersediaan pakan, gangguan manusia dan faktor-faktor lain yang harus diteliti secara lebih detil. Selama survei darat, semua lokasi dimasuki dengan sampan. Analisa dari survei udara menunjukkan bahwa orangutan terpusat (terkonsentrasi) di sepanjang sungai besar, dan mengkonfirmasi asumsi sebelumnya oleh Husson et al. Sebagai hasilnya, kita berharap hasil dari survei darat dapat dicondongkan ke atas. Suatu kombinasi survei udara dengan helikopter dan darat telah berhasil untuk secara tepat menghitung besarnya populasi orangutan yang hidup di TN Sebangau. Orangutan tersebar di TN Sebangau tetapi kelimpahan mereka berfluktuasi tergantung beberapa parameter: 1) degradasi habitat: orangutan lebih sedikit (kurang padat) di hutan yang telah mengalami degradasi, seperti hutan di bagian selatan Taman Nasional; 2) tipe habitat orangutan lebih banyak di Hutan Pedalaman Tinggi dan Hutan Rawa Campuran dibanding di Hutan Pancang Rendah. Mereka juga cenderung untuk lebih terkonsentrasi disekitar badan air yang besar. Dengan menggunakan parameter-parameter sebelumnya (Husson et al. 2004), estimasi final untuk Sebangau adalah 6890 orangutan, suatu nilai yang mirip dengan estimasi populasi yang dihasilkan Husson et al (2004) yaitu 6910 orangutan.

D

I. LATAR BELAKANG aerah tangkapan air Sebangau terletak di Kalimantan Tengah, tepatnya terletak diantara Sungai Katingan dan Sungai Kahayan serta mencakup areal seluas kurang lebih 9200 km2. Pada bulan Oktober 2004 kawasan seluas sekitar 578.800 hektar yang terletak dibagian barat daerah ini pada akhirnya dilindungi dan ditetapkan sebagai Taman Nasional Sebangau. Taman Nasional ini sebagian besar tertutup oleh hutan rawa gambut dimana didalamnya bisa dideskripsikan menjadi 5 tipe hutan utama (berdasarkan Sheperd et al, 1997): Hutan Riparian (hutan disepanjang DAS / Riverine Foret/RF), Hutan Rawa Campuran (Mixed Swamp Forest/MSF), Hutan Pancang Rendah (Low Pole Forest/LPF), Hutan Bukit Granit (Granite Hill Forest/GHF)

Tabel 1. Populasi Orangutan di Daerah Sebangau (PHVA, 2004)

Tabel 2. Perkiraan Luas Tipe Habitat yang dijumpai di kawaan TN Sebangau (Husson et Morrogh-Bernard, 2004)

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 79 ]


Areal HPH dialokasikan di Sebangau sampai dengan tahun 1997. Sesudah adanya penghentian penebangan resmi (legal) maka mulai terjadi pembalakan liar dengan skala yang tidak bias ditiru. Pembalakan liar ini diawali di Hutan Rawa Campur yang terletak dekat dengan sungai besar kemudian selama beberapa tahun bergerak kearah pedalaman gambut hingga mencapai hampir seluruh area di kawaan Taman Nasional Sebangau. Hutan yang sangat luas telah dieksploitasi dan sangat terdegradasi saat ini. Disamping pembalakan liar, kebakaran hutan juga terjadi secara ekstensif dan berulang-ulang pada kawasan ini (Peta 3). Pada saat ini, banyak area dijumpai tidak ada pohon, kualitas hutan merupakan suatu mozaik di seluruh ekosistem: semua tipe habitat yang berbeda memiliki tingkat degradasi dan degenerasi yang berbeda. hasil kajian/studi OUTrop selama beberapa tahun terakhir (lihat Morrogh-Bernard et al, 2003) menunjukkan bahwa populasi orangutan yang hidup di daerah tangkapan air Sebangau adalah salah satu benteng populasi terbesar yang ada untuk Pongo pygmaeus wurmbii (Singleton et al, 2004), Dua tambahan populasi yang signifikan juga dijumpai di daerah tersebut namun diluar Taman Nasional Sebangau: rawa-rawa Katingan-Sampit dan rawa-rawa Sebangau-Kahayan (dua daerah ini sebelumnya ditetapkan untuk Mega Proyek Padi 1 Juta Hektar). Studi OUTrop menunjukkan bahwa orangutan tersebar kurang merata di seluruh daerah Sebangau. Di Taman Nasional Sebangau, Husson et al (2004) melakukan suatu analisa citra satelit dan menghasilkan repartisi dari tipe habitat yang berbeda. Berdasarkan hasil mereka, hanya 531.300 hektar hutan dinyatakan sebagai habitat bagi orangutan. Perkiraan terakhir untuk populasi orangutan Sebangau menunjukkan bahwa sekitar 6920 orangutan masih dijumpai di sekitar Taman Nasional Sebangau pada tahun 2003. Hasil stratifikasi dapat dilihat pada Tabel 3. Survei OUTrop menunjukkan suatu penurunan sebesar 49% dari jumlah orangutan selama periode 7 tahun (pada tahun 1996 diperkirakan terdapat orangutan sebanyak 13.430 di Taman Nasional Sebangau) (Morrogh – Bernard et al 2003).

Tabel 3. Perkiraan Populasi Orangutan pada tahun 2003 (dari Husson et Morrogh-Bernard, 2004).

Peta 1. Distribusi Habitat didalam Taman Nasional Sebangau dan perkiraan kepadatan Orangutan (diadaptasikan dari Husson et Morrogh-Bernard, 2004)

Hasil-hasil ini didiskusikan secara intensif dalam suatu laporan yang dipublikasikan oleh Husson dan Morrogh-Bernard (2004). Berdasarkan para penulis ini, ada tiga ancaman besar yang mengakibatkan penurunan drastis populasi orangutan di wilayah ini, yaitu: pembalakan liar, perburuan, kebakaran hutan dan efek komposisi. Survei-survei ini menunjukkan suatu diferensiasi habitat. Kepadatan tertinggi dijumpai di hutan pedalaman tinggi (TIF). Mekipun demikian, jumlah terbesar orangutan di Sebangau dijumpai di hutan rawa campuran karena representasi yang besar dari tipe habitat ini di Taman Nasional Sebangau. Sejumlah satwa banyak dijumpai tertutama mendekati sungai-sungai besar. Hutan pancang rendah secara relatif dihuni lebih sedikit satwa, namun hutan-hutan ini merupakan cadangan yang lumayan serta dapat berperan sebagai koridor yang memungkinkan satwa berpindah antar potongan hutan yang ada. Sarang orangutan tidak terdapat di hutan pancang rendah (LPF) yang nampaknya bukan merupakan habitat yang cocok untuk orangutan. Survei-survei ini juga mengasumsikan bahwa lebih banyak orangutan mungkin dijumpai di daerah Katingan. Peta 2: Distribusi Habitat di TN Sebangau dan perkiraan kepadatan orangutan (diadaptasi dari Husson et al Morrogh-Bernard, 2004). Obervasi ekologi orangutan oleh OUTrop mengungkapkan bahwa ada tiga suku pohon yang mendominasi 45% waktu makan orangutan yang diobservasi, yaitu Annonaceae (Mezzetia, Xylopia, dan Polyalthia); Clusiaceae (Garcinia dan Callophyllum); Apotaceae (Polaquium, dan Madhuca).Tiga suku pohon lain yang penting bagi orangutan termasuk : Moraceae, Ebenaceae dan Myrtaceae (Husson et Morrogh – Bernard, 2004). Survei sebelumnya yang dilakukan oleh OUTrop mencapai suatu pengetahuan yang signifikan tentang status orangutan selama periode waktu tujuh tahun (dari tahun 1996 sampai tahun 2003). Meskipun demikian, pengetahuan tentang distribusi dan kepadatan orangutan di dalam dan diluar Taman Nasional Sebangau ini masih belum sempurna. Benar, bahwa semua survey yang dilaksanakan di darat (ground survey) mencakup area yang relatif kecil. Meng-ekstrapolasikan pengetahuan yang didapat dari

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 80 ]


area yang kecil dan tersebar dari lapangan ke seluruh jajaran (range) populasi akan menyebabkan bias yang besar (lihat Ancrenaz et al, 2004). Di Taman Nasional Sebangau, empat faktor utama akan menyebabkan pengaruh yang signifikan (Husson et Morrogh Bernard, 2004) yaitu: upaya pengambilan sampling yang rendah dan tidak mencakup perwakilan ekosistem yang berbeda di dalam Taman Nasional Sebangau; lokasi yang tepat dan luasnya setiap sub-tipe habitat masih belum diketahui di sebagian besar Taman Nasional Sebangau (banyak tempat di tengah kawasan yang tidak dapat dimasuki lewat darat dan belum pernah disurvei). Kepadatan orangutan di setiap tipe habitat berfluktuasi sepanjang waktu dan kegiatan illegal menimbulkan dampak negatif terhadap ukuran populasi umum yang sangat sulit dihitung dari peta dan survei tidak langsung. Helikopter akan memungkinkan untuk melakukan survei di semua area yang tidak dapat dimasuki lewat darat untuk meningkatkan ukuran survei sampling secara signifikan dan untuk mengukur tingkat degradasi hutan setelah adanya berbagai kegiatan manusia. Ini akan melengkapi pengetahuan kita tentang distribusi dan kelimpahan orangutan diseluruh kawasan Taman Nasional Sebangau. Manfaat dari survei udara sarang orangutan dengan menggunakan helikopter ini telah didiskusikan ditempat lain (Ancrenaz et al, 2004). Dalam kasus Taman Nasional Sebangau, survei udara dapat ditujukan untuk tujuan sebagai berikut: pertama adalah untuk menghitung distribusi orangutan di seluruh kawasan Taman Nasional, yang tidak dapat dimasuki lewat darat, serta tipe dan kualitas habitat diseluruh kawasan Taman Nasional Sebangau. Kedua, membangun suatu model untuk membuat estimasi kepadatan orangutan dari index kilomentric yang dicatat selama survey dengan helikopter. Akhirnya, studi ini juga bertujuan untuk membuat desain sistem monitoring populasi orangutan yang hidup di Taman Nasional Sebangau. II. DESAIN SURVEI DAN PENGUMPULAN DATA Sampling Udara – sebagian besar blok hutan di Taman Nasional Sebangau diidentifikasi dari peta yang didigitasi yang tersedia di WWF. Kami menentukan suatu sampling terstratifikasi secara sistematik menggunakan transek garis paralel yang berjarak sama, lokasi dari garis pertama dipilih secara acak (random). Sebanyak 26 transek berjarak 5 km dibuat. Survei udara dilaksanakan dengan menggunakan helikopter kecil tipe Bell 206 Jet Ranger (lihat gambar). Kecepatan dan ketinggian helikopter dipertahankan konstan, kurang lebih 70 km/jam dan ketinggian 60-80 m di atas kanopi hutan. Co-pilot, (duduk di depan) mencatat jalur terbang yang tepat: posisi pesawat yang yang tepat dicatat setiap 30 detik dengan suatu GPS, informasi tentang tipe-tipe habitat, kehadiran/perjumpaan dengan satwa, kegiatan manusia juga dicatat oleh co-pilot dengan lembar -

data khusus. Rasio antara panjang transek udara dan panjang jalur yang diterbangi melalui habitat yang tidak cocok untuk orangutan (sungai, area terbuka yang luas, dll) memberikan proporsi dari habitat yang tidak cocok bagi orangutan untuk setiap transek. Dari kursi belakang dua orang observer melihat sarang orangutan dari masing-masing sisi helikopter. Semua sarang yang terlihat dicatat. Adalah tidak memungkinkan untuk memperkirakan umur sarang dengan mendeteksi sarang (meskipun terdeteksi sarang baru masih berwarna hijau dan sarang lama hanya terlihat beberapa cabang/ranting). Kedua observer mengindikasikan semua yang dilihat pada lembar catatan sarang yang duduk diantara mereka. Pencatat akan mencatat jumlah sarang yang dideteksi oleh kedua observer setiap periode waktu 30 detik. Semua anggota crew secara konstan melakukan kontak radio selama penerbangan. Setelah penerbangan, data yang dikumpulkan oleh co-pilot dan pencatat sarang dicocokkan untuk melokasikan secara tepat semua yang diamati (dilihat) sepanjang garis penerbangan. Kemudian semua data dimasukkan ke GIS yang tersedia di Kantor WWF. Semua tim observer yang sama melaksanakan semua survei udara untuk menghindari bias observer. Dalam bulan Juni 2006 kami melaksanakan 3 hari penerbangan dan kami melakukan survei pada 8 transek dengan panjang total 390 km (Tabel 5). Sebuat kamera video diletakkan pada kokpit helikopter untuk mem-filmkan penerbangan. Meskipun demikian, untuk memfokuskan pada kanopi ternyata sulit dan video cenderung bergetar dan kabur serta kualitas gambar tidak cukup bagus untuk mendeteksi sarang di layar TV. Walaupun demikian video ini dipergunakan untuk mendikusikan dengan tim dan menentukan suatu klasifikasi habitat dari pesawat.

Tabel 5. Data, Komposisi Tim dan Lokasi Penerbangan Helikopter selama Survei Udara Di Taman Nasional Sebangau

Sampling darat (ground sampling). Yang paling banyak digunakan dalam pendekatan sampling untuk melakukan survei kera besar adalah distance sampling (sampling jarak) (Buckland et al 2001). Distance sampling menggunakan garis transek lurus untuk mencatat kehadiran suatu obyek (satwa atau tanda-tanda kehadirannya, misalnya sarang). Kecuali yang didekat garis atau titik pusat, tidak ada asumsi bahwa semua obyek terdeteksi. Asumsi ini sangat penting di hutan hujan tropis dimana probabilitas pendeteksian obyek menurun secara cepat dengan bertambahnya jarak dari observer. Distance sampling menggunakan alat statistik seperti series Fourier estimator (Crain et al, 1978), the exponential power serie, dan the exponential quadratic model untuk

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 81 ]


mengestimasi penurunan dalam probabilitas pendeteksian dan akhirnya untuk menduga kelimpahan obyek (Whitesides et al 1988; Buckland et al 1993, 2001, 2004). Dalam distance sampling, selama jumlah obyek dan jarak ke suatu titik atau ke suatu garis dicatat secara tepat, estimasi atau perkiraan kepadatan yang dapat dipercaya dapat diperoleh bahkan apabila jumlah yang tidak diketahui dari obyek yang terletak jauh dari observer tidak terdeteksi sekalipun. Line transect (transek garis) adalah metoda tanpa plot dimana observer berjalan sepanjang garis lurus yang diketahui jaraknya. Jarak dari obyek ke garis dicatat secara tepat sebagai “perpendicular distance� Area yang tercakup secara efektif sepanjang garis transek adalah 2wL, dimana L adalah panjang total linier transek dan w adalah lebar jalur efektif (effective strip width) (w adalah jarak, sampai dengan jumlah obyek yang sama terdeteksi seperti dalam survei sebenarnya, dengan deteksi 100%) Sampling Line transect telah dipergunakan sejak awal dasawarsa 1930 untuk mengestimasi kelimpahan satwa dan memerlukan 4 asumsi dasar (Burnham et al 1980) : 1) semua satwa atau obyek yang menjadi perhatian pada garis transek harus dicatat. 2) obyek dilihat sebelum mereka bergerak menjauh. 3) perjumpaan adalah kejadian yang independen; 4) jarak diukur secara akurat. Selama survei, titik awal dari setiap transek secara acak ditempatkan peta topografi yang ada sebelumnya dan diidentifikasi dengan GPS, di lapangan. Lokasi dari semua transek diberikan sebagai sebuah laporan internal WWF yang terpisah. Transek secara kasar tegak lurus terhadap sungai besar atau kanal, terletak sejajar dengan hipotesis distribusi orangutan yang diharapkan menurun dengan bertambahnya jarak dari sungai utama (Payne, 1988, van Schaick et al 1995; Rijksen & Meijaard, 1999). Pola ini ditujukan untuk mengurangi kesalahan sistematis dalam pengumpulan data, untuk mengurangi variasi antara transek serta untuk mencapai atau mendapatkan perkiraan kepadatan orangutan yang lebih dipercaya. Panjang transek secara langsung ditentukan dengan suatu perhitungan jarak yang dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Sepanjang setiap transek, satu tim yang terdiri dari 2 orang membersihkan jalur garis lurus dan mengecek arah dengan kompas. Tim kedua yang terdiri dari 3 orang mencatat informasi mengenai tipe hutan dan tingkat degradasi habitat secara umum berdasarkan modifikasi yang telah dibuat sebelumnya. Data mengenai struktur dan komposisi hutan dicatat berdasarkan dua protokol yang berbeda (1) dalam 10X100 m plot botani yang dipilih secara acak sepanjang transek tersebut atau (2) sepanjang transek itu sendiri. Setiap sarang yang diobservasi di pasang tanda -

(tagging). Tim mengukur jarak tegak lurus ke transek serta mencatat ukuran dbh, jenis/species pohon sarang, demikian juga perkiraan umur sarang, yang diklasifikasi berdasarkan tingkat umur yang berurutan: I. Baru (New) : daun-daun masih berwarna hijau; II. Agak Baru (Recent): semua daun kering di bagian atas sarang berwarna coklat; III. Tua (Old) sarang berwarna coklat, beberapa daun sudah hilang namun masih ada yang menempel, sarang masih bagus dan kompak; IV. Sangat Tua (very old) lobanglobang terlihat pada struktur sarang; dan V. Hampir Hilang (Almost gone) tinggal tersisa beberapa ranting dan cabang, bentuk sarang yang asli sudah tidak tampak (Ancrenaz et al, 2004a). Penghitungan sarang kedua dilaksanakan pada hari yang sama atau hari berikutnya dan hanya sarang baru yang tidak terhitung pada penghitungan sarang sebelumnya yang dicatat. Analisa Data: Jarak tegak lurus dianalisa mengikuti teori analisa transek garis yang dibuat oleh Buckland et al (1993). Yang mendasari teori ini adalah konsep dari suatu fungsi deteksi: d (Y) = probabilitas (deteksi/jarak ke transek). Detektabilitas biasanya berkurang (menurun) dengan bertambahnya jarak dari transek, dan fungsi ini tidak membutuhkan/mengharuskan semua obyek secara aktual ada dalam jalur untuk dideteksi, yang seringkali menjadi masalah karena tutupan yang rapat dari hutan. Kepadatan dihitung dengan menggunakan perangkat lunak (software) Distance 3.5. (Thomas et al, 2006). Dengan mengikuti langkah-langkah berikut ini: 1. Outliers:dalam suatu fase eksplorasi pertama, kami membuat kotak plot dari jarak tegaklurus untuk mengidentifikasi outlier (nilai lebih dari 1.5 panjang kotak dari prosentase ke 75) menggunakan piranti lunak (software) SPSS. Outliers ini kemudian dibuang dari data set sesuai dengan penyusunan tingkat pemotongan. 2. Heaping: adanya penumpukan dihitung dari histogram yang dihasilkan oleh software Distance. Data dikelompokkan apabila diperlukan (Bucklad et al, 1993; Crain, 1998). 3. Seleksi Model: pada langkah kedua, probabilitas deteksi sarang diestimasi dengan 7 model kombinasi probabilitas fungsi kepadatan (seragam, setengah normal dan kecepatan resiko/hazard rate) dengan penyesuaian (cosines, sederhana dan hermite-polynomial) (Buckland et al 1993). Model dengan Akaike's Information Criterion (AIC) terendah dipilih untuk meyakinkan atau menjamin keseimbangan antara kompleksitas model dan kemampuan untuk mendeskripsikan data (Burnham & Anderson, 1998). Kecukupan dari model yang dipilih terhadap jarak tegak lurus dinilai dengan mean dari suatu test chi square goodness-of-fit pada data yang dikelompokkan (Buckland et al, 1993) 4. Perkiraan presisi: Akhirnya kami mengestimasi variance dari kepadatan sarang dengan menggunakan non-parametric bootstrap untuk menangani ketidakpastian pemilihan model dan sumber variasi lainnya (Buckland et al 1993).

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 82 ]


Pertama, kami memilih semua model yang cocok dengan data untuk setiap set data (yaitu yang perbedaannya dalam AIC antara model dalam pertimbangan dengan model AIC yang terendah kurang dari 2 (Brnham & Anderson, 1998). Prosedur pemilihan AIC kemudian diaplikasikan untuk model-model setiap set data yang dilakukan sampling ulang. Transformasi kepadatan sarang ke kepadatan orangutan Kepadatan orangutan yang aktual ouD diestimasi dengan menggunakan rumus

Dimana Dnest adalah perkiraan kepadatan sarang, p perkiraan proporsi pembuat sarang t perkiraan kecepatan pembusukan sarang, dan r perkiraan rata-rata produksi sarang per hari per individu. Satu-satunya nilai yang spesifik untuk parameter-parameter ini yang tersedia untuk Sebangau dibuat oleh OUTROP (Husson et al, 2003), yaitu : p = 0.9 r = 1.16 t = 286 hari (n=126 sarang; berdasarkan pemantauan langsung) III. HASIL DAN DISKUSI Tipe habitat utama yang dijumpai selama survei udara dan darat Tipe Hutan dan Survei Udara Lima Tipe Habitat yang berbeda yang terlihat dari helikopter selama penerbangan Tipe B: “Pole Forest” (Hutan Pancang): pohon mungkin tinggi namun tampaknya cenderung memiliki dbh kecil. Kanopi terbuka tanpa koneksi antar pohon. Banyak terdapat area yang digenangi air. Banyak terdapat pohon dengan batang berwarna putih (Lauraceae) dan pohon lain yang dapat diidentifikasi termauk suku Myrtaceae, Euphorbiaceae dan Theaceae. Tipe C: “Combinaison of Combretaceae and Camnosperma – Anacardiaceae”: tipe ini termasuk Hutan Pancang namun komposisi pohonnya sedikit berbeda dengan tipe B. Tipe D: “Degraded Forest” (Hutan Terdegradasi): komposisi kanopi hutan tampaknya lebih beragam dibanding dengan tipe B dan C dalam artian diversitas tajuk, struktur, ukuran dan warna. Kami membedakan pohonpohon yang menjulang paling tidak dua sampai tiga strata yang berbeda, dan umumnya hutan lebih tinggi. Tipe M: “Mixed Forest” (Hutan Campuran): kehadiran pohon yang menjulang tinggi; kanopi cenderung tertutup ke semi tertutup. Combretocarpus sangat umum diantara stratum yang paling tinggi, sementara Myrtaceae (terutama Syzigium) adalah umum di understorey. Kanopi tampak beragam (bentuk tajuk, warna, dan ditribusinya) Tipe U: “Unsuitable” (Tidak cocok): habitat dengan sedikit atau tanpa pohon, berkaitan dengan area yang dulu terbakar atau dulunya rawa-rawa. Dalam tiga hari survei udara, kami menjalani 390 km transek udara. Kami mengumpulkan transek-transek dalam 3 areal geografis (dalam kelas longitudinal): bagian Utara (4 transek dijalani pada tanggal 21 Juni); bagian Tengah (2 transek dijalani pada tanggal 22 Juni), bagian Selatan (2 transek dijalani pada tanggal 23 Juni). Repartisi tipe habitat per transek dapat dilihat pada Tabel 6

Tabel 6: Distribusi Tipe Habitat per transek udara (persentase diberikan per transek) dan dari setiap sisi pesawat. Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 83 ]

jumlah sarang yang terdeteksi


Sepanjang 208 km (atau 53.4% dari seluruh penerbangan) diterbangi melintasi Hutan Campuran, 45 km (11.5%) melintasi Hutan Pancang; 34.6 km (8.9%) melintasi Habitat Tidak Cocok; 87 km (22.3%) melintasi Combretaceae dan 15 km (3,8%) melintasi Hutan yang Terdegradasi. Distribusi habitat berfluktuasi sesuai dengan lokasi geografis dari transek. Habitat M dan U kurang umum di transek Tengah dibanding dua area lainnya. Kebalikannya, habitat B, C dan D adalah lebih umum di transek Tengah. Selama ground-truthing experiments kami, kami melakukan penilaian terhadap struktur dan komposisi hutan dengan menggunakan plot botani mengikuti klasifikasi yang dibuat sebelumnya untuk Sebangau oleh penulis sebelumnya (Sheperd et al, 1997) dan digunakan selama survei-survei sarang orangutan sebelumnya (Husson dan Morrogh-Bernard 2003). Kemudian kami membandingkan hasil klasifikasi udara kami dengan hasil yang dikumpulkan dari darat (Tabel 7). MF udara berhubungan kurang lebih dengan kombinasi MSF dan TIF yang diidentifikasi dari darat sementara kombinasi BF dan CF udara berhubungan dengan LPF darat. Tipe TIF dan MF yang bagus tampak sangat mirip dari helikopter dan tidak memungkinkan untuk membedakan kedua tipe habitat ini: untuk menginterpretasikan data udara kami, MF udara termasuk TIF darat.

Tabel 7. Kesamaan antara Tipe Habitat yang diidentifikasi dari helikopter dan dari darat

Kami dapat membandingkan distribusi relatif dari tipe habitat yang berbeda yang dideterminasi dari helikopter oleh para penulis sebelumnya (Sheperd et al 1997; Husson et al, 2004). Apabila TIF dikumpulkan dengan MSF, kami memperoleh proporsi yang dapat dibandingkan antara kedua set ini (Tabel 8).

Tabel 8. Stratifikasi dari habitat yang cocok untuk orangutan berdasarkan survei udara dan estimasi darat– lihat Husson et al., 2004 (habitat yang tidak cocok tidak dipertimbangkan dalam persentase ini)

Tipe habitat dan survey sarang dengan transek darat Transek darat terbagi dalam lima kelas longitudinal seperti tampak pada Tabel 9

.

Tabel 9. Distribusi transek darat dalam lima kelas longitudinal Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 84 ]


Untuk ringkasnya, tiga tipe habitat utama terangkum selama transek darat: MSF : 18.82 km (atau 66.3% dari total upaya survei darat) LPF : 5.70 km (atau 20.1%) TIF : 3.88 km (atau 13.7%) Stratifikasi yang dicapai selama survei kami, sedikit berbeda dengan stratifikasi yang dihasilkan oleh Simon et al, 2004. Kami akan mengikuti stratifikasi OUTROP untuk menghasilkan perkiraan final ukuran populasi orangutan dengan tujuan untuk dapat melakukan penilaian terhadap kecenderungan temporal selama beberapa tahun. Jumlah sarang yang terdeteksi selama survei darat Total 922 sarang orangutan tercatat selama survei darat: 741 selama penghitungan pertama (atau 80.4% dari jumlah total) dan 181 (atau 19.6%) selama penghitungan kedua. Proporsi ini sangat dekat dengan rasio yang sudah dipublikasikan di artikel (lihat van Schaik et al, 2005) dan menunjukkan bahwa observer (bahkan yang sudah berpengalaman dan memiliki ketrampilan) kehilangan 20% dari jumlah total sarang selama satu kali melewati transek. Oleh karena itu, penghitungan ganda adalah sangat penting dilakukan agar bisa mendapatkan data yang tepat dan dipercaya.

Confident Interval sebesar 95% untuk kepadatan orangutan dapat diestimasi dengan menggunakan (lihat Ancrenaz et al., 2005):

Untuk set data pertama, aplikasi angka yang diberikan:

K = exp(2.0796[0.086(1 + v *)+ 0.143]

1/ 2

Dengan set parameter kedua kami mendapatkan :

K = exp(2.0796[0.086(1 + v *)+ 0.522]

1/ 2

Nilai untuk v* tetap:

v* = 0.1908 _ 0.2628 ´ log( AI 0 ) + 0.1132[log( AI 0 )]

2

Kepadatan orangutan dietimasi dengan dua kecepatan pembusukan sarang yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Estimasi kepadatan orangutan yang dihasilkan transek udara dan dike-lompokkan dengan kelas longitudinal udara (set pertama dengan t=286 hari; dan set kedua dengan t=365).

Kepadatan Orangutan Kepadatan orangutan diestimasi dari survei udara Kepadatan Orangutan Aktual ouD diestimasi menggunakan :

Dimana Dnest adalah perkiraan kepadatan sarang, p perkiraan proporsi dari pembuat sarang,t perkiraan kecepatan pembusukan sarang,dan r adalah perkiraan kecepatan produksi sarang per hari per individu Data yang tersedia untuk p dan r adalah: p = 9 dan r = 1.16 (CV = 0,045). Dua nilai yang tersedia untuk kecepatan pembusukan sarang: t = 286 hari (n= 907 hari dari pemantauan langsung). Nilai ini dipergunakan oleh Husson et al untuk memberikan estimasi perkiraan ukuran populasi dalam tahun 2004. Kami akan menggunakan nilai ini untuk membandingkan data kami dengan data yang sudah ada di artikel. t=365 hari (n=907 sarang; CV=72.1%): nilai baru ini tersedia untuk Sebangau (Husson, kom. pri.) dengan memberikan nilai dasar (baseline value) yang lebih konservatif untuk kepadatan orangutan di Taman Nasional Sebangau.

Tabel berikut ini menunjukkan stratifikasi berdasarkan tipe habitat Tabel 12. Estimasi kepadatan orangutan yang dihasilkan oleh transek udara dan dike-lompokkan berdasarkan tipe habitat.

Rata-rata kepadatan 1.70 orangutan/km2 (95% CI: 0.62-4.64) diperoleh dari seluruh area survei, dengan sedikit lebih banyak orangutan tersebar di habitat campuran MSF dan TIF (Dou= 1.85 ind./km2; 95% CI: 0.67-5.08) daripada di habitat LPF (Dou= 1.42 ind./km2; 95% CI: 0.52-3.87). Suatu pola umum yang teridentifikasi untuk kepadatan sarang tentunya menyerupai pola umum kepadatan orangutan: 1. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam kepadatan orangutan antara kelas-kelas longitudinal. 2. Kepadatan orangutan di habitat (M+D) lebih tinggi dibandingkan habitat (B+C), tetapi perbedaannya tidak signifikan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 85 ]


3.

Ada sedikit peningkatan kepadatan orangutan sepanjang gradien Utara-Selatan dalam area survei. 4. Tidak ada perbedaan antara daerah tangkapan air Sebangau dan Katingan. Secara keseluruhan, estimasi (perkiraan) kepadatan orangutan melalui survei udara mencapai hasil (angka) yang hampir sama di strata berbeda yang teridentifikasi dalam stratifikasi kami (berdasarkan kelas latitudinal dan longitudinal, serta tipe-tipe habitat). Hasil ini dijelaskan oleh upaya keras survey yang dicapai selama penerbangan dan lokasi acak dari transek: melokalisasi fluktuasi rata-rata kepadatan orangutan sepanjang transek yang panjang terebut. Akhirnya, terlihat bahwa diantara area survey, orangutan tersebar secara luas dan merata di seluruh kawasan hutan. Mekipun demikian, mereka agak lebih melimpah di habitat MSF dan TIF serta dekat badan air yang besar (radius 5 km). Di lain pihak, hasil survei transek udara menunjukkan bahwa fluktuasi yang terlokalisir adalah biasa (umum) di hutan. Cara untuk mengatasi distribusi sarang orangutan yang tidak rata ini adalah dengan menambah upaya survei (misalnya dengan menambah panjang transek) atau mengkorelasikan variasi ini dengan variable lingkungan yang dibuat modelnya dengan mudah. Perbandingan dengan estimasi yang tersedia untuk orangutan di Taman Nasional Sebangau Hasil survei sebelumnya yang dilakukan oleh Husson et al, (2004) memberikan estimasi kepadatan orangutan Taman Nasional Sebangau. Dengan parameter sarang yang sama, kami dapat membandingkan data kami dengan estimasi orangutan yang dihasilkan pada tahun 2003. Tabel 13. Kepadatan orangutan dan ukuran populasi yang dihasilkan dengan etimasi yang dikoreksi dari tahun 2003 (lihat Husson et al., 2004) dan dari survei 2006.

Mengikuti ekstrapolasi yang sama yang digunakan oleh Husson et al. (2004), kami mendapatkan kepadatan orangutan dan perkiraan ukuran populasi final yang lebih tinggi, dengan 9063 individu dibandingkan 6910 individu pada tahun 2003. Perbedaan ini bukanlah dari hasil kenaikan populasi, terutama karena lambatnya siklus reproduksi (perkembangbiakan) orangutan tidaklah memungkinkan terjadinya kenaikan populasi sebesar 25% hanya dalam jangka waktu 3 tahun. Salah satu alasan yang diperhitungkan untuk menjelaskan perbedaan ini adalahlah bahwa rencana (pola) penerbangan yang asli (original) tidak

terselesaikan, karena tidak tersedianya helikopter di lapangan. Survei udara telah meningkatkan secara nyata upaya survei kami dan diharapkan akan dapat memberikan estimasi yang lebih kuat. Meskipun demikian, karena tidak tersedianya pesawat untuk melakukan penerbangan, maka kami tidak dapat melakukan survei di bagian selatan ekstrim Taman Nasional Sebangau. Telah kami tunjukkan sebelumnya bahwa kepadatan orangutan adalah lebih rendah di hutan yang telah mengalami degradasi yang terletak di bagian selatan Taman Nasional Sebangau. Sebagai akibatnya, estimasi kepadatan berdasarkan survei udara adalah sedikit lebih besar (overestimasi) dari nilai yang sebenarnya yang akan diestimasikan diseluruh kawasan Taman Nasional Sebangau, apabila kita memiliki data dari bagian ekstrim selatan dari Taman Nasional. Satusatunya cara untuk mengatasi kekurangan ini adalah dengan melakukan transek udara tambahan dengan melintasi hutan yang terdegradasi di bagian paling selatan (ekstrim selatan) Taman Nasional Sebangau dengan tujuan untuk menyesuaikan estimasi kepadatan final. Selama data-data ini tidak tersedia maka kami tidak akan mampu mengkoreksi secara langsung ketidakcocokan ini. Estimasi Ukuran Populasi Orangutan untuk Taman Nasional Sebangau (2007) Dengan menggunakan parameter sarang yang lebih konservatif yang baru saja dibuat oleh Husson et al untuk Taman Naional Sebangau, akan menyediakan data dasar/awal untuk seluruh populasi orangutan yang hidup didalam kawaan Taman Nasional Sebangau. Angka yang paling tepat akan didapat jika kita menggunakan stratifikasi yang sudah ditentukan dalam Taman Nasional Sebangau dimana untuk itu kita telah mendapatkan perkiraan (estimasi) kepadatan orangutan yang berbeda-beda. Meskipun demikian kita perlu untuk mengestimasi ukuran (luas) setiap tipe habitat yang dimasukkan dalam semua strata yang telah kita pilih. Suatu analisa GIS dari citra satelit yang paling akhir tersedia dapat dipergunakan untuk mengestimasi luas habitat ini. Pada pola penerbangan awal, semua transek udara diberi jarak antara 5 km, dengan anggapan bahwa setiap transek akan menginvestigasi suatu jalur selebar 5 km dengan transek sebagai pusatnya serta dibatasi oleh garis transek disebelah atas (2.5 km kearah utara dari transek) dan garis transek bawah (2.5 km kearah selatan dari transek; Gambar 1). Dengan mengikuti pendekatan ini, kita dapat menyesuaikan kembali kelas kita dengan penerbangan yang telah dilakukan untuk menyediakan data yang dapat dianalisa. Estimasi umum pertama tidak distratifikasi dan tidak mempertimbangkan fluktuasi dari kelimpahan orangutan terhadap tipe habitat.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 86 ]


95% CI dari ukuran populasi orangutan sangat menarik untuk dipertimbangkan. Model yang di desain di Sabah dan yang digunakan dalam survei di Taman Nasional Sebangau ini telah memberikan jalan untuk mengestimasi 95% CI. Karena model ini mengikuti suatu hukum eksponensial, batas upper confidence dari estimasi final akan selalu jauh lebih tinggi dibanding nilai rata-rata. Sebaliknya, batas bawah dan juga rata-rata umum yang dihasilkan oleh model akan lebih tepat dan lebih bisa dipercaya untuk memperkirakan ukuran populasi final. Parameter lain yang diperhitungkan untuk kisaran tinggi dari 95% CI kami. Benar, set data baru yang digunakann untuk kecepatan hancurnya sarang menghasilkan kenaikan lebih dari 50% untuk nilai K yang digunakan dalam penentuan persamaan (equasi) 95%. Demikian pula, nilai 95% yang lebih tinggi akan secara langsung memberikan suatu CI 95% yang lebih lebar. Perhitungan umum ini memberikan estimasi sangat kasar dan tidak mempertimbangkan distribusi orangutan yang tidak merata di seluruh kawasanTaman Nasional Sebangau. Suatu estimasi yang lebih tepat dan akurat dicapai atau didapat apabila kita mengikuti stratifikasi yang telah didiskusikan dan dikemukakan dalam analisa kami (tipe habitat yang berbeda dalam setiap kelas latitudinal). Tabel 14. Perkiraan luas setiap tipe habitat dalam kelas latitudinal yang berbeda dan kepadatan serta jumlah orangutan (*nilai dari ekstrim selatan yang diestimasi dengan Jarak)

Final perkiraan ukuran populasi orangutan adalah sekitar 5.400 individu di Taman Nasional Sebangau. Faktor penting yang ditekankan ialah kepadatan umum yang ditentukan selama survei kami adalah mirip dengan yang dihasilkan oleh Husson dan MorroghBernard dalam tahun 2004. Ukuran populasi yang lebih rendah adalah hasil langsung dari metode dan penggunaan waktu kecepatan peluruhan sarang (t) yang berbeda antara dua studi. Dengan mengikuti diskusi dengan Husson (kom. pri.) kami memutuskan untuk menggunakan suatu nilai estimasi t yang lebih konservastif yaitu 365 hari daripada 286 hari (lihat atas). Rasio antara dua kecepatan peluruhan sarang adalah 78.3%. Jika kita telah menggunakan parameterparameter sebelumnya, perkiraan (estimasi) final adalah 6890 orangutan, suatu nilai yang mirip dengan perkiraan ukuran populasi sebelumnya yang dihasilkan oleh para penulis (6910 orangutan). Data awal yang dihasilkan survey kami tahun 20062007 menggunakan nilai yang lebih konservatif untuk kecepatan peluruhan sarang dibanding dengan yang -

digunakan sebelumnya di Sebangau dan untuk alasan inilah kami mengestimasi bahwa sekitar 5400 orangutan masih dijumpai dii hutan-hutan ini.

IV. RINGKASAN Metode survei udara yang dikembangkan di Sabah untuk menentukan status orangutan diadaptasi ke situasi yang ada di Sebangau. Meskipun demikian, pola penerbangan asli (original) yang didesain sebelumnya untuk survei ini tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan dan untuk itu, kami harus menggunakan data hasil survei darat untuk mendokumentasikan situasi dalam area yang telah dipantau dari pesawat. Kombinasi survei helikopter dan survei darat telah berhasil untuk secara tepat menilai ukuran populasi orangutan yang hidup di Taman Nasional Sebangau. Dengan menggunakan parameter untuk kecepatan peluruhan sarang (t) yang lebih baru dan lebih konservatif dibanding yang telah digunakan sebelumnya (Husson,kom. pri.) kami mampu untuk menentukan bahwa sekitar 5400 orangutan masih hidup di Taman Nasional Sebangau. Populasi ini tanpa keraguan adalah salah satu populasi Pongo pygmaeus wurmbii yang terbesar dimuka bumi, dan mendambakan perhatian yang tinggi untuk pemeliharaan dan konservasinya di masa depan. Walaupun hutan-hutan yang terletak diluar kawasan Taman Nasional Sebangau tidak disurvei selama survei lapangan kami, namun kita ketahui bahwa beberapa ratus atau beberapa ribu orangutan lainnya adalah bagian dari seluruh lansekap. Sangat penting untuk memperoleh suatu gambaran yang lebih tepat dari situasi umum pada tingkat regional untuk membuat desain strategi konservasi yang lebih sesuai untuk populasi-populasi ini. Orangutan tersebar di Taman Nasional Sebangau tetapi kepadatan umumnya berfluktuasi sesuai dengan dua faktor utama: 1) Kegiatan manusia dan degradasi habitat – orangutan kurang padat di hutan yang telah mengalami degradasi, seperti hutan yang dijumpai di bagian selatan Taman Naional Sebangau. Habitat yang telah mengalami degradasi dan kegiatan negatif manusia (misalnya perburuan) mengakibatkan menurunnya jumlah orangutan; 2). Tipe habitat – orangutan lebih padat di TIF dan MSF dibandingkan di LPF. Mereka juga cenderung terkonsentrasi di sekitar badan air yang besar. Distribusi orangutan bervariasi secara nyata pada suatu skala yang terlokalisir tergantung pada keterediaan pakan, akses untuk bertemu betina, kondisi lokal habitat dan tanda-tanda lain. Karena upaya survei udara ini membuktikan dapat meliput area yang jauh lebih besar, pendekatan metode baru ini menghasilkan data yang lebih baik dan mendekati akurasi daripada survei darat yang biasanya sangat tergantung dengan kondisi lapangan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 87 ]


V. UCAPAN TERIMA KASIH Studi ini telah didanai oleh Central Kalimantan Peatland Projects (CKPP), Kedutaan Besar Belanda (The Dutch Embassy) Kami mengucapkan terima kasih kepada: BKSDA Kalimantan Tengah dan Ir. Drasospolino, M.Sc. (Kepala Balai Taman Nasional Sebangau), Sampoladon (Sabah Wildlife Departement), Albertus Tjiu (WWF-Indonesia, Kalimantan Barat), Rosenda Chandra Kasih dan Muhammad Rosidi (WWF-Indonesia, Kalimantan Tengah), kepada Heli mission yang telah membuat studi ini terwujud. Tim Lapangan (The field ground team) dari Universitas Palangkaraya seperti Okta Simon, Robby Octavianus serta ahli taksonomi setempat yang penuh dedikasi Dogor dan Priyono. VI. DAFTAR PUSTAKA Ancrenaz, M., Gimenez, O., Ambu, L., Ancrenaz, K., Andau, P., Goossens, B., Payne, J., Tuuga, A., and Lackman-Ancrenaz, I. 2005. Aerial surveys give new estimates for orang-utans in Sabah, Malaysia. Plos Biology, 3 (1): 30-37. Ancrenaz, M., Gimenez, O., Goossens, B., Sawang, A., and I. Lackman-Ancrenaz. 2004. Determination of ape distribution and population size with ground and aerial surveys: a case study with orang-utans in lower Kinabatangan, Sabah, Malaysia. Animal Conservation, 7: 375-385. Buckland, S.T., D.R. Anderson, K.P. Burnham, J. L. Laake, D. L. Borchers, and Thomas, L.. 2001. Introduction to Distance Sampling. Oxford University Press. Buckland, S.T., D. R. A., K.P. Burnham, J.L. Laake, D.L. Borchers and L. Thomas (2004). Advanced Distance Sampling Estimating abundance of biological populations. Buckland, S.T., Anderson, D.R., Burnham, K.P. and Laake, J.L. 1993. Distance sampling: estimating abundance of biological populations. Chapman & Hall, London, UK. Burnham, K.P., Anderson, D.R. and Laake, J.L. 1980. Estimation of density from line transect sampling of biological populations. Wildlife Monograph 72. Crain, B.R., Burnham, K.P., Anderson, D.R., and Laake, J.l. 1978. A Fourier series estimator of population density for line transect sampling. Utah State University Press, Logan, UT, USA. Husson S and Morrogh-Bernard H. 2003. Report on the orang-utan population of the Sebangau River catchment 1995-2002. Outrop publications; Palangkaraya, Indonesia. 40 pp. Husson S and Morrogh-Bernard H. 2004. Orang-utan population dynamics in the Sebangau Ecosystem, Central Kalimantan. OUTROP-WWF Indonesia Report. Palangkaraya, Central Kalimantan, Indonesia. 19 pp. Morrogh-Bernard H, Husson S, Page SE, and Rieley JO. 2003. Population status of the Bornean orangutan (Pongo pygmaeus) in the Sebangau peat swamp forest, Central Kalimantan, Indonesia.

Payne, J. 1988. Orang-utan conservation in Sabah. WWF-Malaysia International, Report 3759, Kuala Lumpur, Malaysia. Shepherd PA, Rieley JO, and Page SE. 1997. She relationship between forest structure and peat characteristics in the upper catchments of the Sungai Sebangau, Central Kalimantan. In Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands , JO Rieley and SE page eds. Samara Publishing, Cardigan, UK. Pp. 191-210. Singleton I, Wich S, et al. 2004. Orangutan Population and Viability Analysis, Final Report. IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MN, USA. 235 pp. van Schaik, C.P., Priatna, A., and Priatna, D. 1995. Population estimates and habitat preferences of orangutans (Pongo pygmaeus) based on line transects of nests. In R.D. Nadler, B.F.M. Galdikas, L.K. Sheeran, and N. Rosen, (eds), The Neglected Ape., pp. 129-147. Plenum Press, New York van Schaik CP, Wich S, Utami S, and Odom K. 2005. A simple alternative to line transects of nests for estimating orangutan densities. Primates; 46: 249254. Thomas, L., Laake, J.L., Strindberg, S., Marques, F.F.C., Buckland, S.T., Borchers, D.L., Anderson, D.R., Burnham, K.P., Hedley, S.L., Pollard, J.H., Bishop, J.R.B. and Marques, T.A. 2006. Distance 5.0. Release Beta 5. Research Unit for Wildlife Population Assessment, University of St. Andrews, UK. http://www.ruwpa.st-and.ac.uk/distance/ Whitesides, G.H., Oates, J.F., Green, S., and Kluberdanz, R.P. 1988. Estimating primate densities from transects in a West African rainforest: a comparison of techniques. J. Animal Ecology 57: 345-367.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 88 ]


Populasi Orangutan di Koridor Taman Nasional Betung Kerihun – Danau Sentarum (TNBK – TNDS) dan Dampak Perubahan Iklim Terhadap Habitatnya Oleh: Albertus Tjiu*, Amri Yahya*, Chairul Saleh*, Azwar** and Ambriansyah** Abstrak Koridor Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum di Kabupaten Kapuas Hulu di Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat dengan luas area 73.000 ha merupakan salah satu habitat penting bagi orangutan subjenis Pongo pygmaeus pygmaeus. Koridor ini menghubungkan dua taman nasional melalui Daerah Aliran Sungai (DAS) yang disebut dengan Sungai Labian. Penelitian populasi dan distribusi orangutan telah dilaksanakan menggunakan metode line transect (transek jalur) dengan cara menghitung jumlah sarang, dengan berbagai parameter. Sedangkan untuk analisis vegetasi digunakan plot berukuran 20x20 m. Jarak antar setiap plot adalah 100 m. Kawasan hutan dengan luasan 40.746 ha telah tercakup dalam pelaksanaan survey ini, dan diperkirakan ada sekitar 581 individu orangutan masih menempati kawasan hutan di koridor ini. Analisis vegetasi menyimpulkan terdapat 329 jenis pohon dimana 152 jenis diantaranya (47%) merupakan pakan penting orangutan. Perubahan iklim nampaknya memainkan peranan yang signifikan di koridor kedua Taman Nasional ini yang ditunjukkan dengan adanya fenomena El Niùo. Frekuensi dan intensitas terjadinya kebakaran hutan meningkat dan memberikan dampak yang nyata di kawasan ini. Deforestasi di kawasan kedua Taman Nasional ini juga meningkatkan ancaman terhadap populasi orangutan. Dampak langsung perubahan iklim yang nyata adalah menurunnya ketersediaan pohon pakan orangutan. Aksi nyata dan efektif untuk adaptasi dan mitigasi bagi menurunkan pengaruh negatif perubahan iklim terhadap spesies dan habitatnya perlu segera dilakukan. Kata kunci: Pongo pygmaeus pygmaeus, DAS Labian, koridor, TNBK, TNDS, perubahan iklim Catatan: *WWF Indonesia **Konsultan independen

I. Pengantar a. Latar Belakang rangutan Borneo terdiri dari tiga subjenis yang terbagi dalam tiga kelompok geografis, diantaranya adalah Pongo pygmaeus pygmaeus di bagian Barat Laut Kalimantan, subjenis ini umumnya diketemukan di Sungai Kapuas bagian Utara sampai di Timur Laut Sarawak; P.p. wurmbii di bagian Selatan dan Barat Daya Kalimantan, yang tersebar diantara Selatan Sungai Kapuas (Kalimantan Barat) dan di bagian Timur Sungai Barito (Kalimantan Tengah); dan P.p.morio dengan kisaran distribusi di Sabah dan bagian Utara Sungai Mahakam di Kalimantan Timur. Diperkirakan masih terdapat sekitar 54.000 individu orangutan; kebanyakan dari populasi ini menghuni hutan dataran rendah dan hutan rawa di Pulau Borneo.

O

Dibandingkan dengan dua subjenis lainnya, P.p. pygmaeus merupakan populasi yang paling terancam, dengan kisaran jumlah 3.000-4.500 individu dan tersebar di bagian Barat Kalimantan di Indonesia dan Negara bagian Sarawak di Malaysia. Survey awal di tahun 2005 menyatakan bahwa masih terdapat sekitar 1.030 individu (550 – 1.830) orangutan ditemukan di TNBK, sementara itu di TNDS kira-kira terdapat 1.000 individu orangutan (Russon et al, 2001). Banyak faktor yang menyebabkan pesatnya penyusutan populasi orangutan, antara lain rusaknya habitat hutan akibat penebangan liar, konversi lahan hutan menjadi pertanian/perkebunan, kebakaran hutan, perburuan satwa ini untuk dikonsumsi, dipelihara maupun diperdagangkan. Ancaman -

kepunahan jenis kera besar ini juga semakin tinggi terjadi di luar kawasan konservasi dengan area lahannya yang masih berupa hutan sarat akan kepentingan yang lain. Belum banyak informasi mengenai keberadaan populasi orangutan di luar kawasan Taman Nasional yang ada di Kalimantan Bagian Barat. Oleh karenanya pelaksanaan survei orangutan di luar kawasan konservasi menjadi sangat penting untuk mengungkap keberadaannya. b. Tujuan Survei ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui populasi dan distribusi orangutan kalimantan (P.p. pygmaeus) di DAS LabianLeboyan. 2. Mengidentifikasi jenis tumbuhan bernilai konservasi penting, termasuk sumber pakan orangutan. 3. Mengidentifikasi permasalahan dan ancaman terhadap habitat dan satwa khususnya orangutan di sekitar kawasan. 4. Studi perubahan iklim untuk menilai dampak perubahan iklim pada koridor yang terletak diantara TNBK dan TNDS bagi mendukung langkah-langkah adaptasi yang dibutuhkan untuk memastikan daerah tersebut tetap menjadi habitat yang cocok untuk orangutan dan dapat berfungsi sebagai koridor penghubung kedua Taman Nasional. c. Manfaat Survei Hasil survei diharapkan bisa dimanfaatkan untuk: 1. Sumber informasi sebaran populasi dan habitat orangutan di sekitar DAS Labian dan wilayah

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 89 ]


pengelolaan di masa depan. 2. Rekomendasi untuk strategi pengelolaan DAS guna mendukung kawasan konservasi yang ada. 3. Menyediakan data dasar untuk menentukan pengelolaan kawasan yang paling tepat, di tingkat masyarakat lokal bertujuan untuk memperbaiki penghidupan mereka. II. Metode a. Waktu dan Lokasi Survei dilaksanakan selama tiga minggu dimulai dari tanggal 2 – 21 Maret 2009. Lokasi survei meliputi tiga desa yaitu: Desa Melemba yang terdiri dari Dusun Meliau, Bukit Peninjau, dan Dusun Manggin; Desa Sungai Ajung meliputi Dusun Lubuk Bandung dan Kapar Tekalong, serta Desa Mensiau di Dusun Kelawik.

Gambar 1.Lokasi survey di sekitar DAS Labian-Leboyan

b. Pengumpulan Data dan Analisis 1. Transek sarang orangutan Survei ini menggunakan metode jalur transek linier (garis lurus) untuk melakukan penghitungan sarang orangutan. Parameter yg diperlukan dalam perhitungan kepadatan orangutan adalah (1) estimasi jarak perpendiculare (tegak lurus) sarang dari jalur; (2) kelas kehancuran sarang, dimana ada lima kelas yang dipakai untuk memprediksi kondisi tersebut (van Schaik et al, 1995): Kelas 1 = sarang baru, semua daun masih hijau Kelas 2 = warna daun sudah mulai coklat di permukaan sarang Kelas 3 = daun sudah coklat semua, lubang sudah terlihat di sarang Kelas 4 = daun sudah habis dan strukturnya berubah Kelas 5 = tinggal rangkanya saja Selain itu, ada delapan data tambahan juga diperlukan untuk melengkapi informasi terutama sebagai penanda perilaku bersarang di daerah tertentu, yaitu (1) tinggi sarang, (2) tinggi pohon sarang, (3) dbh pohon sarang, (4) diameter sarang,

(5) jarak sarang dengan kanopi pohon teratas, (6) posisi sarang di pohon, (7) sudut antara jalur dengan posisi sarang, (8) nama pohon sarang dalam bahasa lokal/latin. Analisis yang digunakan untuk memperkirakan kepadatan sarang menurut van Schaik et al, 1995 adalah : d = N / (L x w x 2) dimana d = kepadatan sarang (/km2) N = jumlah sarang yang teramati sepanjang jalur transek L = panjang transek (km) W = estimasi lebar efektif pengamatan (km) Persamaan untuk mengubah kepadatan sarang menjadi kepadatan orangutan (individu/km2) menurut van Schaik et al, 1995 adalah : D = d / (p x r x t) dimana D = kepadatan orangutan (individu/km2) p = proporsi orangutan yang membuat sarang dalam populasi r = rata-rata produksi sarang harian (N sarang per kapita / hari) t = estimasi umur sarang (hari) 2. Vegetasi Pengamatan vegetasi dilakukan pada jalur transek yang telah dibuat dengan cara membuat plot berukuran 20 x 20 meter. Jarak antara plot adalah 100 meter. Tiap lokasi diamati 25 plot atau dengan luas total pengamatan 1 ha. Pengumpulan data yang diambil dalam pengamatan ini adalah jenis pohon yang mempunyai ukuran diameter di atas 10 cm. Dari hasil pengukuran dan pengumpulan data di lapangan, maka untuk menganalisis suatu data perbedaan jenis yang ada di dalam hutan yang berbeda yang dianalisa adalah nilai penting jenis (NPJ). Untuk mencari NPJ, Cottom & Curtis (1956) menguraikan dan membandingkan taxa pohon (suku, marga, jenis) dalam plot pengamatan. NPJ didapat dengan cara menjumlahkan Kerapatan relatif (Kr), Dominansi relatif (Dr) dan Frekuensi relatif (Fr).

Jumlah dan persentase pohon pakan berdasarkan perbandingan antara jumlah total jenis pohon yang nyata ditemukan di semua plot dan jenis pohon pakan orangutan (Russon et, al, 2007). Hasilnya akan dibandingkan dengan informasi dari berbagai jenis habitat orangutan di Pulau Kalimantan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 90 ]


III. Kondisi Biofisik Lokasi Pengamatan 1. Meliau (Desa Melemba) Titik pusat pengamatan pada lokasi ini terletak pada koordinat N 00 54 46 dan E 112 21 26,9. Ada 4 lokasi transek yang dibuat di sekitar sungai LabianLeboyan, antara lain 3 lokasi di TPTI dan satu lokasi di Pintas Pinggan (belakang rumah betang). Secara umum lokasi pengamatan merupakan hutan rawa gambut tepi sungai dengan genangan air yang tipis hingga kedalaman lebih dari 1 meter. Kondisi hutan sudah banyak terbuka akibat tebangan lama dan sebagian kecil sudah menjadi ladang. Topografi relatif landai dengan ketinggian antara 30–55 dengan pH air dan tanah rerata 4. 2. Peninjau (Desa Melemba). Lokasi ini terletak sekitar 3 – 4 km ke arah Barat Laut Dusun Meliau. Merupakan hutan dataran rendah berbukit dengan ketinggian antara 48 – 228 m dpl. Kondisi hutan relatif masih baik dan tegakan pohon yang rapat yang didominansi oleh tumbuhan Dipterocarpaceae. Rerata pH tanah dan air adalah 4. 3. Manggin (Desa Melemba) Dusun Manggin adalah lokasi bagian hulu dari desa Melemba. Titik pusat pengamatan pada lokasi ini terletak pada koordinat N 00 52 39dan E 112 21 26 06. Ada 6 transek pengamatan yang dibuat pada 3 lokasi, masing-masing 2 transek di tepi jalan lintas ke Bunut dan Danau Santak, Sungai Remi dan Rantau Tebelian. Secara umum lokasi pengamatan merupakan hutan rawa gambut dengan kondisi hutan yang sudah banyak mengalami gangguan tebangan dan bukaan jalan lintas menuju Bunut. Topografi relatif landai dengan ketinggian antara 35 53 dengan pH air 4 dan tanah antara 4 - 5. 4. Lubuk Bandung (Desa Sungai Ajung). Titik pusat pengamatan pada lokasi ini terletak pada koordinat N 00 58 34,2 dan E 112 25 47,1. Ada 4 jalur transek yang dibuat pada 2 lokasi pengamatan, masing-masing 2 transek di lokasi Sungai Liuk dan Temawai Lama. Lokasi pengamatan merupakan hutan rawa gambut semi tergenang hingga kedalaman hampir 1 meter. Kondisi hutan agak terbuka dan banyak bekas tebangan lama, ketinggian lokasi antara 35 – 75 m dpl dengan pH tanah 5 dan pH air 4. 1. Kapar Tekalong (Desa Sungai Ajung). Titik pusat pengamatan pada lokasi ini terletak pada koordinat N 01 02 50,7 dan E 112 21 47,1. Ada 4 jalurtransek pengamatan yang dibuat, masingmasing 2 transek dekat pemukiman dan 2 lokasi lainnya dibuat di lokasi Kapar Tua (berbatasan dengan Dusun Lubuk Bandung). Merupakan tipe hutan rawa gambut tipis hingga semi tergenang dengan kondisi hutan yang sudah rusak di lokasi yang dekat pemukiman, sementara pada lokasi Kapar Tua kondisinya masih relatif baik, dengan tegakan pohon yang rapat. Ketinggian lokasi berkisar antara 40 – 78 m dpl dengan rerata pH tanah dan air 4,5.

2. Kelawik (Desa Mensiau). Lokasi ini merupakan daerah perbukitan yang agak jauh dari DAS Labian-Leboyan (sekitar 3 km dari sungai Labian-Leboyan) Topografi bergelombang sedang sampai terjal dengan ketinggian antara 121 – 459 m dpl. Kondisi hutan sudah banyak gangguan (ex HPH dan bekas ladang yang sudah lama ditinggalkan). Rerata pH tanah dan air adalah 5. Ada 4 jalur transek pengamatan yang dibuat pada lokasi ini yang menghubungkan antara Bukit Pana' dan Bukit Bunau. IV. Hasil Observasi 1. Temuan sarang dan individu orangutan Panjang total transek pengamatan di semua lokasi adalah 30,249 km dengan jumlah total sarang ditemukan adalah 466 sarang. Hasil analisis ratarata kepadatan sarang dan orangutan per km2 di setiap lokasi berkisar antara 199.2 sarang (0.52 individu) - 1,047.6 sarang (3.88 individu). Hasil pengamatan sarang dan perkiraan kepadatan orangutan untuk DAS Labian-Leboyan disajikan dalam tabel 1 berikut: Tabel 1. Pengamatan sarang dan perkiraan kepadatan orangutan di DAS Labian-Leboyan

Catatan: nilai p, r, dan t, referensi nilai: hutan rawa p = 0.89 ; r = 1.17; t = 365 ; hutan dataran rendah p = 0.89; r = 1.17; t = 259 (Husson et al., 2009)

Kepadatan individu orangutan yang paling tinggi ditemukan di hutan dataran rendah, yaitu di Bukit Peninjau (3.88 ind/km2) dan Kelawik (3.48 ind/km2). Di kawasan hutan rawa ditemukan di Kapar Tekalong, Meliau, Manggin, dan Lubuk Bandung, dengan kepadatan rata-rata berkisar antara 0.52 1.07 ind/km2. Sembilan individu orangutan teramati secara langsung di Pintas Pinggan (di belakang rumah panjang Meliau). Dua dari lima individu (ditemukan pada tgl 5 Maret 2009) adalah induk betina yang masing-masing membawa bayi dan 1 jantan remaja; sedangkan 4 orangutan ditemukan pada tgl 6 Maret 2009 yang terdiri dari 1 jantan dewasa, 1 jantan remaja dan 1 induk betina dengan bayi, sementara di Bukit Peninjau pada tgl 8 Maret 2009 ditemukan 3 orangutan, yang terdiri dari 1 betina dengan bayi dan 1 jantan remaja. Indikasi keberadaan orangutan juga berhasil dicatat melalui panggilan panjang (long call) di Danau Santak pada tgl 10 Maret 2009, dan di Kapar Tua pada 16 Maret 2009. 2. Keragaman jenis dan tumbuhan bernilai penting Hasil pengamatan yang dilakukan di plot vegetasi di 6 lokasi mendapatkan 329 jenis pohon (56 famili) dari total 2.761 pohon. Tabel 2 mendiskripsikan nilai kepadatan pohon yang ditemukan di lokasi survei.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 91 ]


Data ini menegaskan bahwa Peninjau dan Kelawik, yang merupakan hutan dataran rendah memiliki keragaman jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya (Meliau, Manggin, Lubuk Bandung dan Kapar Tekalong) yang merupakan hutan rawa. Tabel 2. Luasan kawasan, jumlah jenis dan jumlah pohon yang ditemukan di masing-masing lokasi survei.

Pohon yang mendominasi di Meliau adalah Shorea smithiana dan Dactylocladus stenostachys, sementara jenis dominan di Peninjau adalah Dryobalanops oblongifolia, Syzgium tawahense dan Vatica micrantha. Tiga jenis dominan yang diketemukan di Manggin adalah Swintonia acuta, Calophyllum sp.2 dan Palaquium pseudorostratum. Di Lubuk Bandung, tiga jenis yang paling dominan adalah Dactylocladus stenostachys, Combretocarpus rotundatus, dan Calophyllum nodusum. Pohon dominan yang ditemukan di Kapar Tekalong adalah Syzgium sp.2, Dactylocladus stenotachys, dan Palaquium pseudorostratum. Sementara di Kelawik didominasi oleh jenis Ptemandra sp.1, Bellucia pentamera dan llex cissoidea. V. Analisis perubahan iklim 1. Diagram berikut adalah gambaran singkat dari Metode

Gambar 2.Diagram Alur Penelitian.

Skenario yang digunakan dalam penelitian ini adalah skenario A1B, A2, dan B1 yang diambil dari SRES (Special Report on Emission Scenarios) yang dikeluarkan oleh IPCC: 1. A1B menggambarkan dunia masa depan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang pesat, tingkat pertumbuhan penduduk rendah, dan adanya insentif

bagi teknologi yang efisien. 2. A2 menggambarkan dunia yang sangat heterogen, dengan identitas kedaerahan yang semakin tajam dengan penekanan pada tradisi lokal dan nilai-nilai kekeluargaan. Menurut skenario ini tingkat pertumbuhan penduduk tinggi, namun memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi rendah. 3. B1 menggambarkan dunia yang convergen dengan pertumbuhan penduduk yang sama dengan A1, namun dengan perubahan yang mencolok pada pertumbuhan ekonomi di bidang pelayanan dan informasi. 2. Proyeksi temperatur dan curah hujan Bulan Januari, April, dan Juli digunakan sebagai acuan penelitian karena mewakili tiga musim di Indonesia yang dipengaruhi oleh monsoon. Musim basah diwakili oleh bulan Januari, musim kemarau oleh bulan Juli, dan musim peralihan diwakili oleh bulan April. Sedangkan tahun 2010 dipilih menjadi sampel analisa karena menjadi dekade awal sejak dimulainya data awal, sehingga perubahan antara data awal dan kondisi 10 tahun ke depan dapat diketahui. Sedangkan tahun 2050 diambil karena menjadi pertengahan abad dalam kurun waktu data awal hingga tahun 2100. Dan tahun 2100 jelas dijadikan acuan analisa karena proyeksi yang dilakukan IPCC adalah per seratus tahun (IPCC, 2001), sehingga perlu melihat kondisi pada tahun 2100. VI. Hasil dan pembahasan 1. Pola distribusi orangutan Sebaran orangutan di DAS Labian-Leboyan secara konsisten ditemukan hampir di semua lokasi survei. Bagaimanapun, populasi yang lebih besar tetap dijumpai di hutan dataran rendah dibandingkan dengan hutan rawa. Selanjutnya, perkiraan populasi di hutan dataran rendah di Kelawik cukup besar yaitu 3.48 ind/km2. Lokasi Kelawik sebelumnya tidak termasuk dalam target wilayah survei karena posisinya tidak termasuk dalam wilayah koridor yang diusulkan oleh WWF. Sementara itu lokasi pengamatan lainnya: Kapar Tekalong, Meliau, Manggin dan Lubuk Bandung, yang merupakan hutan dataran rendah populasi jauh lebih kecil, hanya berkisar antara 0.52 – 1.07 ind/km2. Penting untuk memberikan perhatian khusus pada populasi orangutan di Bukit Peninjau untuk menunjukkan nilai penting kawasan ini di masa depan. Perkiraan jumlah populasi orangutan yang ada di wilayah Koridor yang memiliki luasan tutupan hutan sekitar 61.401 ha. belum dapat diperkirakan secara pasti mengingat banyak faktor yang sangat berpengaruh dalam ekstrapolasi, diantaranya adalah sampling yang dilakukan tidak mewakili semua lokasi di dalam koridor, terutama di bagian Utara koridor yang menghubungkan kawasan TNBK. Selain itu, tidak adanya pembanding untuk sampling transek pada tipe hutan dataran rendah yang ada dalam koridor, sehingga perhitungan ekstrapolasinya akan menjadi bias.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 92 ]


Namun demikian, penghitungan estimasi secara kasar untuk populasi orangutan yang ada dalam koridor dengan luasan tutupan hutan (area koridor bagian Selatan ditambah luasan area lokasi Meliau yang berada di dalam TNDS) yang luasnya sekitar 40.746 ha adalah 581 individu. Angka tersebut diambil dari perhitungan rerata populasi di semua lokasi (kecuali Kelawik) dikalikan luasan area. Jumlah populasi tersebut sedikit berkurang dibanding dengan perkiraan populasi yang telah dilakukan oleh Russon dkk. (2001) yang melaporkan bahwa populasi orangutan yang ada di dalam kawasan TNDS sekitar 1000 individu, sementara yang ada di luar TNDS sekitar 700 individu. Estimasi terakhir populasi orangutan yang dilakukan oleh Erman (2003) adalah 1400 individu yang tersebar di dalam kawasan TNDS dan sekitarnya (Ancrenaz, 2006). Untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dalam perhitungan populasi orangutan di wilayah ini, maka perlu adanya pemantauan (monitoring), terutama untuk mendapatkan lamanya umur sarang (nilai t) harus dilakukan di lokasi survei ini, misalnya transek survei di Pintas Pinggan (belakang rumah betang Meliau) yang mewakili hutan rawa gambut dan di Bukit Peninjau untuk mewakili hutan dataran rendah. Perkiraan kepadatan orangutan di lokasi Kelawik tidak dimasukan dalam perhitungan ekstrapolasi mengingat lokasinya berada cukup jauh di luar koridor, namun informasi keberadaan orangutan di lokasi ini sangat penting terutama dalam menentukan batas koridor yang menghubungkan kedua kawasan taman nasional ini. Untuk mempertahankan keberlangsungan jangka panjang keberadaan orangutan di lokasi ini perlu dilakukan upaya konservasi. Perluasan batas koridor di bagian Timur sampai DAS Embaloh dapat dijadikan sebagai batas alami untuk mempertahan eksistensi orangutan dalam jangka panjang. 2. Keberadaan habitat dan ketersediaan pakan orangutan Identifikasi terhadap tumbuhan yang menjadi sumber pakan orangutan di semua lokasi plot pengamatan berjumlah 154 jenis dari 329 jenis tumbuhan atau sekitar 47 % dari total pohon yang dijumpai. Hasil ini masih jauh di bawah temuan survei vegetasi yang dilakukan di habitat orangutan di lokasi Tuanan dan Blok AB (Proyek Satu Juta Hektar Lahan Gambut) di Kalimantan Tengah yang menunjukkan sekitar 70 % pohon yang ada merupakan jenis pakan orangutan (van Schaik dkk., 2003). Akan tetapi angka ini tidak menjadi tolok ukur dalam kondisi optimal untuk habitat orangutan karena banyaknya pohon pakan orangutan yang dijumpai di luar lokasi pengamatan, terutama pada beberapa daerah di sepanjang sungai Labian-Leboyan.

dengan nilai NPJ 7,68 % dan kerapatan 2,70 pohon/ha. Menurut informasi dari masyarakat di sepanjang Sungai Labian-Leboyan buah Kenarin ini merupakan salah satu buah favorit orangutan. Mereka berani memberikan jaminan untuk melihat orangutan secara langsung seandainya buah ini sedang bermusim dan sudah matang. Hal ini dibuktikan dengan berhasilnya tim survei melihat orangutan langsung sejumlah 9 individu. Pada saat diketemukannya orangutan ini, aktifitasnya adalah sedang makan buah matang kenarin yang berwarna kekuning-kuningan. Potensi untuk mengembangkan paket ekowisata minat khusus pengamatan orangutan dan satwa liar lainnya di daerah ini sangat tinggi. Untuk itu perlu dilakukan identifikasi pakan orangutan yang lebih detil meliputi jenis, jumlah, musim buah, dan lokasinya. Beberapa pakan orangutan di luar jenis tumbuhan berkayu juga banyak ditemui di sepanjang Sungai Labian-Leboyan, diantaranya buah Gama (Lepisanthes amoena) yang tumbuh merata di sepanjang tepi sungai hingga beberapa meter ke dalam hutan. Jenis ini selain buahnya yang enak dimakan, juga daunnya berkhasiat untuk pengganti sabun mandi dan obat untuk bayi yang terkena diare. Selain itu juga dijumpai beberapa jenis liana diantaranya Tempirik (Willughbeia sp), dan Akar bonsai (Gnetum sp) serta jahe-jahe an (Alpinia sp, Amomum sp, Costus sp, Etlingera sp, Globba sp, Horsttedtia sp, Plagiostachys sp dan Zingiber sp). 3. Perubahan iklim, tekanan terhadap habitat, dan satwa liar Ancaman hilangnya habitat hutan menjadi kawasan budidaya dan perburuan satwa merupakan faktor yang menjadi tekanan keberlangsungan keberadaan orangutan dan satwa liar lainnya. Status lahan kawasan yang sebagian besar merupakan Hutan Produksi (HP) di lokasi pengamatan sangat rentan akan perubahan menjadi peruntukan lain (konversi) yang akan mengakibatkan hilangnya habitat utama orangutan. Sementara perburuan satwa liar yang kerap dilakukan di beberapa tempat di kawasan tersebut semakin mempercepat laju kepunahannya. Indikasi tingginya perburuan satwa di beberapa lokasi adalah senjata yang dimiliki oleh masyarakat, banyaknya dijumpai jerat untuk menangkap satwa liar khususnya jenis mamalia yang berukuran besar serta jarangnya dijumpai jenis satwa liar yang umum dijumpai pada tempat lainnya seperti beberapa jenis primata.

Hal yang menarik adalah dijumpainya dominansi jenis pohon kayu malam, Diospyros coriacea (Kenarin [Melayu], Mengku [Iban]) dari famili Ebenaceae di lokasi Pintas Pinggan (belakang betang Meliau). Rata-rata pohon ini berbuah lebat Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 93 ]


Pola Curah hujan dan rata-rata temperatur bulanan di lokasi penelitian periode 1984-2000

Gambar 3.1. Pola curah hujan rata-rata bulanan daerah penelitian berdasarkan data pengamatan tahun 1984 sampai dengan tahun 2000

Tabel 3. Temperatur rata-rata bulanan daerah penelitian berdasarkan data pengamatan tahun 1984 sampai dengan tahun 2000.

Proyeksi Temperatur

Tabel 4. Secara umum, ancaman utama di taman nasional ditunjukkan dengan skenario A1

Proyeksi curah hujan

Tabel 5. Perubahan curah hujan seluruh skenario untuk tahun 2010, 2050, dan 2100 relatif terhadap tahun 2000. Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 94 ]


Gambar 4. Pola curah hujan bulanan untuk skenario A1 (panel atas), skenario A2 (panel tengah), dan skenario B1 (panel bawah) pada tahun 2010, 2050 dan 2100 dibandingkan kondisi data awal.

Analisis ketersediaan air Analisis ketersediaan air yang dilakukan didasarkan pada persamaan neraca air F.J. Mock dengan asumsi siklus tertutup, artinya jumlah air dalam satu wilayah adalah tetap. Input utama model neraca air ini adalah curah hujan. Sehingga proyeksi curah hujan dari tiga skenario yang digunakan akan dijadikan input. Sedangkan temperatur dan kecepatan angin akan dijadikan input untuk menghitung evapotranspirasi. Secara sepintas, berdasarkan Gambar 4 di atas jelas terlihat bahwa curah hujan menunjukkan kecenderungan naik, terutama skenario A1. Namun dari hasil perhitungan neraca air, hasil yang diperoleh berbeda dengan kondisi tersebut. Ketersediaan air dilihat berdasarkan kondisi surplus air dan volume tersedia.

Table 6. Neraca air berdasarkan skenario A1, A2, dan B1

Tabel di atas memperlihatkan kondisi neraca air berdasarkan skenario A1. Dapat dilihat bahwa jumlah curah hujan yang terjadi cenderung bertambah, namun kondisi evapotranspirasi juga ikut membesar. Hal ini disebabkan adanya kenaikan temperatur dan tingginya kecepatan angin. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya water surplus dan yang terpenting juga berkurangnya volume storage air tanah. Berkurangnya pasokan air tanah akan mengancam keberadaan hutan taman nasional. Selain itu, risiko kebakaran hutan akibat El Nino semakin meningkat karena selain terjadi pemanasan juga didukung kekeringan di wilayah taman nasional sehingga titik-titik api dapat terjadi dalam jumlah banyak pada saat yang bersamaan. Skenario A2 dan B1 memperlihatkan hal yang sangat berbeda dengan skenario A1. Seiring dengan kenaikan curah hujan maka water surplus dan volume storage juga mengalami kenaikan. Kondisi ini perlu diperhatikan untuk melakukan langkah adaptasi yang tepat, sehingga dapat diperoleh keadaan water surplus dan volume storage yang mencukupi. Namun dapat terlihat juga bahwa skenario B1 memiliki volume storage lebih besar dibandingkan dengan yang dihasilkan oleh skenario A2. Berdasarkan berbagai skenario yang digunakan dalam penelitian ini, terlihat bahwa dampak perubahan iklim tidak selalu bersifat merugikan, namun dapat juga menguntungkan dan sangat bergantung kepada manusia sebagai pengelola alam. Walaupun ada dampak perubahan iklim yang bersifat bencana seperti kekeringan, namun masih dapat digunakan berbagai macam teknik yang bersifat aplikasi adaptasi agar dampak negatif bisa dikurangi, seperti mengetahui saat yang tepat untuk memanen air ataupun bertani. Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 95 ]


VII.

Kesimpulan

1. Survei transek sarang orangutan yang dilakukan di 6 lokasi pada kawasan hutan DAS LabianLeboyan dilakukan sepanjang 30,249 km dengan jumlah temuan sarang sebanyak 466. Kepadatan sarang dan individu per kilometer persegi di setiap lokasi berkisar antara 199 sarang (0,52 individu) sampai 1.047 sarang (3,88 individu). 2. Kepadatan populasi orangutan di lokasi hutan dataran rendah jauh lebih tinggi dibandingkan populasi di hutan rawa gambut. 3. Perkiraan populasi orangutan yang berada di koridor bagian Selatan dan sedikit wilayah TNDS bagian Timur adalah sekitar 581 individu. 4. Jumlah pohon yang dihitung dari metode plot (137 plot dengan luasan 5,5 hektar) sebanyak 2.761 pohon dengan 329 jenis dari 56 famili. Dari total jenis yang diperoleh, 154 jenis atau sekitar 47 % merupakan tumbuhan pakan orangutan. 5. Konversi lahan dan perburuan adalah faktor yang paling menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup orangutan. 6. Berdasarkan hasil model, skenario A1B menunjukkan adanya shifting musim hujan secara temporal, sehingga musim hujan menjadi semakin lama dan musim kering memendek namun dengan tingkat kekeringan yang lebih tinggi. 7. Seluruh skenario menunjukkan adanya kenaikan temperatur pada tahun 2010, 2050 dan 2100, kecuali skenario A2. Kenaikan temperatur tertinggi ditunjukkan oleh skenario A1B yang pada tahun 2050 mencapai selisih sekitar 4oC dibanding suhu di tahun 2000 dan sekitar 5,5oC pada tahun 2100. 8. Selain perubahan variabel iklim, dampak perubahan iklim mengancam daerah koridor melalui perubahan frekuensi kejadian El Nino sehingga peluang terjadinya kebakaran hutan juga meningkat. Rusaknya hutan juga akan mengancam keberlangsungan hidup orangutan di dalamnya. 9. Untuk tindak lanjut, daerah penelitian kajian perubahan iklim ini perlu diperluas mencakup seluruh wilayah TNBK dan TNDS dan daerah sekitarnya serta diperlukan studi yang lebih rinci mengenai dampak perubahan temperatur, curah hujan dan ketersediaan air akibat perubahan iklim ini terhadap kehidupan orangutan. Dengan studi lanjutan ini, langkah-langkah strategi adaptasi yang tepat untuk mengantisipasi dampak negatif perubahan iklim terhadap konservasi orangutan dapat dirancang. VIII. Rekomendasi 1. Perlu adanya tindak lanjut kegiatan yang komprehensif untuk melindungi orangutan di DAS -

Labian-Leboyan, diantaranya adalah monitoring secara berkala untuk habitat dan orangutan yang dilakukan secara berkala pada musim yang berbeda. 2. Perlu adanya monitoring untuk mendapatkan umur sarang (nilai t) yang dilakukan di dua tipe hutan yang berbeda, yaitu hutan rawa gambut Pintas Pinggan (dekat rumah betang Meliau) dan hutan ataran rendah di Bukit Peninjau. 3. Peninjauan ulang mengenai usulan batas koridor yang telah dideliniasi. Pelebaran batas koridor terutama pada lokasi yang banyak dijumpai keberadaan orangutan dari bagian Timur sampai Sungai Embaloh dapat dijadikan sebagai pembatas alami. 4. Pendidikan konservasi mengenai pentingnya pelestarian habitat dan satwa liar harus diberikan secara rutin kepada masyarakat. Pengalihan kebiasaan masyarakat sebagai pemburu ke profesi lainnya seperti pemandu ekowisata dapat dijadikan alternatif kegiatan. DAFTAR PUSTAKA

ANCRENAZ, M. 2006: Consultancy Report on Survey Design And Data Analysis at Betung Kerihun National Park, West Kalimantan, Indonesia. WWF Indonesia - Betung Kerihun project. COTTOM, G & CURTIS, J.T., 1956. The Use of Distance Measures in Phytosociological Sampling. Ecology 37: 451 – 460 DEPARTEMEN KEHUTANAN, 2009: Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007 – 2017. FIRDAUS, Y. 2010: Climate Change Impacts to Orangutan Habitat in The Corridor Between Betung Kerihun National Park-Danau Sentarum National Park, West Kalimantan FRANCIS C.M., 2001: Photographic Guide to Mammals of South-East Asia. IUCN Red List of Threatened Animals Database Search Results. http:/www.wcmc.org.uk/cgi-bin/arl_output.p MISTAR, 2003, Panduan Fotografi Amfibi Dan Reptil di Kawasan Kelian Equatorial Mining, Kalimantan Timur. PAYNE, J., FRANCIS, C.M. and PHILLIPS, K. 1985: Field Guide to the Mammals of Borneo. The Sabah Society with WWF Malaysia. Pongo pygmaeus pygmaeus in and Around the Danau Sentarum Wildlife Reserve, West Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation 97 (2001) 21 – 28 RUSSON, A. 2007. List of Orangutan Foods All Sites. (unpublish) SALEH, C dan KAMBEY, W, 2003: Panduan Pengenalan Jenis-Jenis Satwa Dilindungi Di Indonesia. WWF Indonesia. SHANNAZ, J., JEPSON. P dan RUDYANTO, 1995: Burung-burung Terancam Punah di Indonesia. PHPA/Birdlife International-Indonesia Programme. SUPRIATNA, J dan WAHYONO, E.H, 2000: Panduan Lapangan Primata Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta TWEEDIE, M.W.F, 1991: Mammals of Malaysia. Longman Malaysia. VAN SCHAIK, C.P., WICH, S.A., UTAMI, S.S. dan ODOM, K 2003: A Simple Tentative to Line Transect of Nests for Estimating Orangutan Densities.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 96 ]


Populasi Orangutan di luar kawasan konservasi Di Kalimantan Timur Nardiyono The Nature Conservancy (TNC) Orangutan Conservation Services Program (OCSP)

H

PENGANTAR utan Beriun berada di jantung kawasan peggunungan kapur Sangkulirang dan Mangkalihat yang membentang dari kabupaten Kutai Timur sampai kabupaten Berau Propinsi Kalimantan Timur.. Beriun adalah nama dari salah satu peggunungan terbesar dan tertinggi di kawasan ini, bersama dengan peggunungan lainnya di kawasan ini sehingga lebih dari 60% dari total kawasan ini mempunyai nilai ekologi dan ekonomi yang sangat tinggi. Sebagian besar kawasan peggunungan kapur ini adalah terkena kebakaran hutan yang sangat parah pada tahun 1990 an, tetapi tidak seperti peggunungan lainnya, peggunungan Beriun adalah satu-satunya kawasan yang tidak terbakar, sehingga dikawasan ini masih banyak ditemukan hutan yang cukup lebat, termasuk banyak ditemukan jenis Dipterocapaceae dengan diameter yang cukup besar, salah satu jenis kayu komersial Kalimantan.

Hutan Beriun terdiri dari beberapa fungsi pemanfaatan lahan dan hutan seperti, hutan produksi dan hutan tanaman industri sampai hutan lindung. Seperti halnya PT. Surya Hutani Jaya (PT. SRH) yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kutai (TNK), salah satu kawasan yang telah banyak diketahui sebagai rumah bagi ratusan atau bahkan ribuan orangutan. Taman Nasional Kutai teridentifikasi mempunyai kepadatan populasi orangutan yang yang tinggi, begitu juga kawasan sekitar TNK pada awalnya juga merupakan habitat asli orangutan, sehingga perlu adanya deliniasi kawasan TNK dengan perusahaan sebagai habitat orangutan. Di dalam kawasan PT. SRH juga teridentifikasi sebagai habitat orangutan. Konversi lahan baik disekitar TNK maupun di dalam TNK adalah merupakan masalah yang sangat serius, ada sekitar 30.000 hektar lahan terdegardasi dan terdeforestrasi didalam TNK. Kondisi hutan di dalam TNK yang semakin hari semakin mengecil adalah salah satu kemungkinan kenapa orangutan pindah ke kawasan Hutan Tanaman Industri PT. SRH. Sebagian besar tanaman yang ada di PT SRH adalah jenis Acacia mangium, tanaman ini diminati orangutan sebagai salah satu sumber makannya, orangutan makan kambium dengan menguliti batang dari jenis tanaman ini sehingga mengakibatkan tanaman ini mati. Beberapa tahun yang lalu, ada laporan secara tidak resmi dari beberapa sumber mengenai keberadaan orangutan dibeberapa kawasan propinsi ini yang belum sempat tereksplorasi. Berdasarkan informasi tersebut TNC dan OCSP menindak lanjuti dengan mengirim team survei untuk melakukan survei lapangan mengenai keberadaan orangutan

METODOLOGI Survei dilakukan pada Desember 2008 dan September 2009 di kawasan hutan Beriun selama 28 hari yang dilakukan oleh 5 (lima) orang dari TNC/OCSP dan 4 (empat) orang dari kampung terdekat yaitu kampung Tepian Lansat dan Sepaso, serta 20 hari survei orangutan di kawasan HTI PT. SRH yang dilakukan oleh 3 (tiga) orang dari TNC, 13 (tiga belas) orang dari PT. SRH, 1 (satu) orang dari TNK dan 1 (satu) orang dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur. Protokol yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada suatu penelitian yang dilakukan oleh Johson et al. 2005, yaitu dengan cara menghitung sarang yang dijumpai disepanjang transek, survei sarang dengan metode line transect (transek jalur) merupakan teknik yang dipakai hampir secara umum oleh para peneliti untuk memperkirakan jumlah populasi orangutan disuatu kawasan (Buij et al, 2003. Marshall et al, 2006). Orangutan merupakan satwa yang hidupnya soliter serta kepadatan populasinya relatif rendah sehingga perjumpaan terhadap individu secara langsung adalah sangat jarang. Hal ini yang menjadi alasan perkiraan populasi orangutan didasarkan pada jumlah sarang yang dapat terlihat (Mathewson dkk, 2008) Kami menggunakan metode line transect yang dimodifikasi dengan membuat transek sepanjang 500 meter yang arahnya tegak lurus ke transek utama (midline), transek tersebut ditentukan secara acak dengan ketentuan bahwa dua transek pada sisi yang sama setidaknya berjarak 100 meter, hal ini untuk menghindari adanya sarang yang sama dihitung dalam dua transek yang berbeda. Tujuh atau delapan transek ditempatkan di kedua sisi transek utama, setiap transek ditentukan secara acak dengan stopwatch (Fulton, 1996). Menurut Rijksen (1978) orangutan dalam membangun sarang, kebanyakan sarang orangutan dibangun pada posisi dan lokasi yang cukup menguntungkan baik dari segi keamanan maupun keyamanan. Survei populasi orangutan dengan menghitung sarang juga dikaitkan dengan keberadaan (waktu kehadiran) orangutan di lokasi tersebut dengan cara membagi kelas sarang, pembagian umur sarang dibedakan menjadi lima kelas sarang yang terdiri dari: Pembagian kelas sarang orangutan: Kelas A = Sarang baru dan semua daun masih segar dan hijau

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 97 ]


Kelas B = Sarang baru namun daun sudah mulai ada yang kering atau coklat dipermukaan Kelas C = Sarang lama tapi kondisi sarang masih utuh dan semua daun sudah kering atau coklat, serta ada lubang pada sarang Kelas D = Sarang lama, kondisi sarang sudah tidak utuh lagi dan daun sudah mulai berguguran atau rontok Kelas E = Sarang lama semua daun sudah rontok dan hanya tinggal ranting-ranting

Hasil dan Diskusi: Hasil survei orangutan di hutan Beriun (lime stone) Kami menggunakan jalur untuk mencari sarang yang merupakan indikasi keberadaan orangutan di hutan Beriun (Gambar 1). Total jalur yang telah dibuat ada 23 jalur dengan total panjang jalur adalah 30.400 meter, dalam jalur tersebut tim menemukan sarang orangutan sebanyak 805, selain sarang orangutan tim survei juga menemukan tanda-tanda keberadaan orangutan yaitu adanya bekas kulit kayu yang dimakan orangutan, terdengarnya panggilan orangutan (Long call) dan perjumpaan langsung dengan orangutan sebanyak 4 orangutan yang terdiri dari 1 (satu) betina dengan anak dan 2 (dua) jantan dewasa. Panjang transek yang dibuat dan jumlah sarang orangutan yang ditemukan dikawasan hutan Beriun adalah seperti terlihat pada tabel dibawah. Tabel 1. Transek dan Sarang yang ditemukan di Beriun

Gambar 1. Distribusi transek di kawasan Hutan Beriun (Lime stone)

Gambar 3. Kelas Sarang Orangutan Berdasarkan temuan sarang orangutan diatas hasil

analisa kepadatan sarang orangutan dikawasan hutan Beriun adalah 37.88 sarang/km.

Gambar 2. Distribusi transek di PT. Surya Hutani Jaya.

Berdasarkan pada pengamatan vegetasi di kawasan hutan Beriun memperlihatkan bahwa kawasan ini masih terdapat beberapa jenis pohon pakan orangutan seperti Durio spp, Macaranga spp dan Ficus Spp, Dikarenakan kawasan ini sangat sedikit adanya kegiatan manusia, serta luasnya kawasan hutan yang belum tersentuh sehingga dapat dikatakan bahwa keberadaan populasi orangutan dikawasan hutan kapur ini adalah dalam kondisi baik, sehat dan sedikit ancaman. Berdasarkan temuan sarang selama survei, kawasan hutan Beriun merupakan kawasan dengan populasi orangutan yang cukup signifikan, Namun kami belum tahu apakah kaberadaan populasi orangutan ini sampai jauh keseluruh kawasan hutan SangkulirangMangkalihat terutama dikawasan yang masih berhutan? Namun fakta keberadaan populasi ini adalah sangat penting, Karena keberadaan populasi

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 98 ]


orangutan dikawasan sampai saat ini belum tercatat, sehingga temuan kami atas keberadaan populasi orangutan dikawasan hutan Beriun adalah sangat penting untuk konservasi orangutan. Beriun tidak hanya penting bagi orangutan, karena selama survei berlangsung kami juga menemukan beberapa jenis satwa dilindungi lainnya seperti Owa(Hylobates muelleri), Lutung merah (Presbytis rubicunda), Beruk (Macaca nemestrina), Bekantan (Nasalis larvatus), Rusa sambar (Cervus unicolor), Kijang emas (Muntiacus atherodes), juga beberapa jenis burung seperti Rangkong Badak (Buceros rhinoceros), dan bangau storm (Ciconia stormi). Kawasan karst tidak hanya penting bagi konservasi spesies, kawasan ini mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan penting bagi masyarakat lokal. Dikawasan ini juga banyak terdapat goa tempat burung walet bersarang, sarang burung walet mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan sangat populer di pasar Asia. Penting bagi semua pihak untuk menjaga kawasan ini sehingga perlu adanya zonasi supaya kawasan in bisa dikelola dengan baik untuk kelangsungan hidup keanekaragaman hayati yang ada didalamnya. Perlu waktu yang cukup panjang untuk program karst, tetapi dengan temuan populasi orangutan serta pentingnya kawasan karst adalah merupakan langkah yang sangat penting. Hasil survei orangutan di Hutan Tanaman Industri PT. Surya Hutani Jaya Selama survei dikawasan Hutan Tanaman Industri PT. Surya Hutani Jaya (PT. SRH), kegiatan survei populasi orangutan berhasil membuat 11 midline (setiap midline dibuat 8 transek) yang tersebar hampir diseluruh area PT. SRH. Kawasan PT. SRH sendiri terbagi menjadi dua kecamatan yaitu kecamatan Sebulu dan kecamatan Muara Bengkal, oleh karena itu untuk memudahkan pembagian lokasi midline, di area PT. SRH kami bagi menjadi 3 bagian yaitu bagian Selatan, Tengah dan Utara, hal ini dilakukan untuk mempermudah tim dalam melingkup area tersebut. Lokasi midline sengaja dipilih berdasarkan informasi dari staff SRH dimana lokasi tersebut harapannya bisa mewakili kawasan dimana ditemukan adanya gangguan orangutan terhadap tanaman Acacia mangium, kawasan yang tidak ditemukan gangguan orangutan, kawasan konservasi dan kawasan buffer zone dengan Taman Nasional Kutai, sehingga data yang kami dapatkan akan mewakili beberapa kawasan tersebut diatas. Total jalur dengan masing-masingpanjang jalur pengamatan yang dibuat dan jumlah sarang orangutan yang ditemukan selama survei populasi orangutan di areaPT. SRH adalah seperti terlihat pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Panjang transek dan jumlah sarang orangutan di area PT. Surya Hutani Jaya.

Dari total sarang yang ditemukan di kawasan PT. SRH yaitu 245 sarang orangutan, didominasi oleh kelas sarang C dan D, kedua kelas sarang ini adalah kelas yang mengalami perubahan yang paling lama dibanding kelas sarang yang lainnya. Informasi persentase kelas sarang selengkapnya yang ditemukan di kawasan PT. SRH adalah seperti terlihat pada gambar 4 dibawah ini.

Gambar 4. Kelas sarang orangutan yang ditemukan di kawasan PT. SRH.

Berdasarakan hasil temuan sarang orangutan di akawasan PT. SRH menjadi suatu indikasi bahwa kawasan hutan tamanan industri bisa berkontribusi untuk kelangsungan hidup speies ini dalam jangka panjang. Untuk kesuksesan ini maka perlu adanya peningkatan yang signifikan mengenai desain kawasan serta zonasi untuk kawasan konservasi, khususnya kawasan yang berbatasan dengan Taman Nasional Kutai, dan beberapa kawasan lainnya yang berhubungan langsung dengan kawasan HTI Sumalindo Lestari Jaya, Kiani Lestari, dan Tambang Batubara PT. Indominco. Dari hasil survei diketahui bahwa kepadatan sarang orangutan di Kawasan PT. Surya Hutani Jaya adalah 5.56 sarang/km. Temuan diatas kontras dengan pemikiran sebelumnya bahwa orangutan tidak bisa bertahan di hutan yang terdegradasi. Hasil tersebut, memperlihatkan adanya kendala bagi perusahaan, oleh karena itu, perlu adanya suatu penanganan khusus bagi pelestarian orangutan yg ada di kawasan akasia. Diskusi Berdasarkan dari hasil survei baik dikawasan hutan Beriun dan kawasan PT. SRH terlihat bahawa tidak ada perbedaan yang signifikan temuan kelas sarang, di kawasan PT. SRH ditemukan sedikit lebih banyak kelas sarang “A� dan “B� daripada di Beriun, hal ini dimungkinkan karena transek yang dibuat di kawasan PT. SRH adalah berdasarkan informasi dari staff perusahaan dimana ada gangguan orangutan terhadap tanaman industri, sedang untuk di hutan Beriun transek dibuat secara acak.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 99 ]


Keberadaan sarang orangutan merupakan suatu indikasi yang kuat akan keberadaan populasi orangutan disuatu kawasan, tetapi untuk memperkirakan jumlah populasi orangutan disuatu kawasan perlu dilakukan studi umur sarang orangutan. Survei yang dilakukan baik di hutan Beriun dan SRH kali ini kami tidak melakukan analisa data sampai ke kepadatan populasi orangutan, hal ini dikarena belum adanya informasi mengenai umur sarang orangutan di kedua kawasan tersebut. Dari informasi tersebut kiranya kedua kawasan tersebut perlu mendapat perhatian dari semua pihak terutama untuk pengelolaan hutan dikawasan tersebut. Rekomendasi 1. Survei yang kita lakukan hanya memberikan gambaran sebaran orangutan secara umum di kedua kawasan tersebut. Kami merekomendasikan untuk melakukan survei yang lebih luas dengan helikopter untuk melihat isu kawasan yang saling berhubungan (bentang alam) dan untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang kawasan-kawasan konsentrasi habitat orangutan 2. Zona penyanggah Taman Nasional Kutai sangat terdegradasi, untuk menjadikan zona penyanggah antara TN Kutai dengan HTI sebagai zona yang lebih efektif diperlukan penanaman kembali jenis-jenis vegetasi alam, sehingga zona penyanggah ini nantinya bisa berfungsi sebagai sekat bakar, penyangga untuk jenis-jenis agresif dari luar dan bisa menjadi pendapatan bagi masyarakat lokal, sehingga akan mengurangi tekanan terhadap TN Kutai. Untuk itu diperlukan jenis-jenis asli yang cepat seperti Octomeles sumatrana, Anthocephalus chinensis, Nauclea dan Neonauclea spp., sementara pohon dan bibitAcacia harus dibuang atau diracun 3. Sungai yang akan dijadikan sebagai koridor utama, dalam pengamatan kami selama survei adalah merupakan area yang sangat terdegradasi, dengan sedikit pohon besar, regenerasi pohon terhambat dengan adanya jenis tumbuhan agresif dari luar lain. Hutan yang ada di koridor berdasarkan pengamatan kami tidak mencapai 50 meter dari sungai. Dalam keadaan seperti ini, koridor sungai tidak atau memiliki fungsi ekologi yang sangat terbatas. Karena koridor sungai mempunyai nilai konservasi yang tinggi, maka kami merekomendasikan menjadikan 4 sungai yang ada sebagi koridor dan menanaminya dengan jenis-jenis asli hutan. 4. Sebagai lawan akasia, eucalyptus pada saat survey dilakukan rupanya tidak dimakan oleh orangutan, tanaman eucalyptus juga jauh lebih tahan daya hidupnya dan kurang agresif dibanding akasia. Kami menyarankan untuk menanam eucalyptus sepanjang zona penyangga dan zona konservasi untuk mengurangi sebaran akasia kedalam Taman Nasional dan kawasan konservasi habitat orangutan lainnya. Namun, penelitian mendalam

t e n t a n g h u b u n g a n e u ca l y p t u s d e n g a n keberadaan orangutan di HTI harus terus dilakukan, mengingat kemungkinan orangutan juga mengkonsumsi eucalyptus dimasa depan dapat saja terjadi, terutama ketika mereka membutuhkan variasi makanan di kawasan yang terbatas. 5. Perlu adanya kesepakatan dan komitmen dari semua pihak untuk menyelamatkan dan mengelola hutan Beriun. Tata batas kawasan yang diusulkan sebagai kawasan lindung serta adanya pengelolaan secara kerjasama. Perlu adanya legalitas kawasan sebagai hutan lindung Beriun dari pemerintah, sertapengelolaan hutan Beriun sebagai jalan untuk mengintegrasikan dalam mengurangi kebakaran hutan.

Daftar Pustaka

Fulton, M. (1996). The digital stopwatch as a source of random numbers. Bulletin of the Ecological Society of America 77(4): 217-218. Guillaume Albar, 2008. Study of orangutan (Pongo pygmaeus morio) densities and distribution in Acacia mangium plantation concessions in East Kalimantan, Indonesian Borneo Johnson, A.E., Knott, C.D., Pamungkas, B., Pasaribu, M. and Marshall, A.J. (2005). A survey of the orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) population in and around Gunung Palung National Park, West Kalimantan, Indonesia based on nest counts. Biological Conservation, 121, 495-507 Junaedi, Charles M. Farncis, Karen Philips dan Sri Nuraini Kartikasari. Edisi bahasa Indonesia 2000. Panduan Lapangan; Mamalia di Kalimantan, Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam. Mathewson, P.D., Spehar, S.N., Meijaard, E., Nardiyono, Purnomo, Sasmirul, A., Sudiyanto, Oman, Sulhnudin, Jasary, Jumali and Marshall, A.J. (2008). Evaluating orangutan census techniques using nest decay rates: implications for population estimates. Ecological Applications, 18 (1), 208-221. Nardiyono, Marc Acrenaz, Erik Meijaard, 2008. Result of an orangutan survey in PT. Surya Hutani Jaya, East Kalimantan Nardiyono, Purnomo, Ali Sasmirul, Sudiyanto, 2009. Laporan Survei populasi orangutan di kawasan hutan Beriun, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur Osunkoya, O. O., Othman, F. E. & Kahar, R. S. (2005) Growth and competition between seedlings of an invasive plantation tree, Acacia mangium, and those of a native Borneo heath-forest species, Nelastoma beccarianum. Ecological Research, 20, 205-214.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 100 ]


Status kepadatan dan ukuran populasi Orangutan di tujuh habitat Orangutan kunci di Sabah, Malaysia Raymond J. Alfred, Koh Pei Hue and Lee Shan Kee Borneo Species Programme, WWF-Malaysia, 1-6-W11, 6th Floor, CPS Tower, Centre Point Complex, Jalan Centre Point, 80000 Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia.

O

Abstrak

rangutan (Pongo pygmaeus) adalah primata terbesar di Asia, sekarang hanya terdapat di pulau Borneo dan Sumatera. Kelangsungan hidup jenis ini sangat tergantung pada keberadaan dan kualitas hutan di Borneo. Meskipun demikian, distribusi yang akurat dari orangutan pada ekosistem hutan yang kompleks belum dipelajari karena ukuran habitat hutan yang sangat ekstensif serta terbatasnya akses ke areal-areal hutan yang terpencil, seperti hutan dataran tinggi dan hutan rawa. Dalam studi ini, distribusi relatif dan distribusi spasial dari orangutan dikembangkan dan ditetapkan dengan menggunakan spatial grid modeling. Ini dilakukan dengan tujuan untuk menentukan pola kepadatan distribusi orangutan di setiap habitat hutan serta untuk menentukan kelimpahan orangutan pada setiap tipe dan ketinggian habitat-habitat hutan yang berbeda. Selama studi, dilakukan observasi terhadap kecepatan produksi sarang dan kecepatan pembusukan sarang. Suatu seri dari survey udara yang mencakup tujuh habitat hutan utama orangutan telah dilakukan antara 2007-2010 dengan tujuan untuk memetakan distribusi spasial, dilanjutkan dengan ground survey pada setiap habitat hutan. Studi ini menunjukkan bahwa (i) ukuran populasi orangutan di tujuh habitat hutan utama orangutan adalah 10.034 (95% CI, 7,453-13.544), yang mempresentasikan paling tidak pada 85% dari seluruh populasi orangutan di Sabah, dan (ii) kepadatan orangutan paling tinggi dijumpai pada hutan Dipterokarpus. Hasil ini menunjukkan bahwa hutan Disterocarpus dataran rendah adalah habitat utama untu orangutan di Sabah. Upaya manajemen strategis telah diidentifikasi berdasarkan pada masing-masing lokasi untuk meyakinkan agar fragmentasi dan degradasi lebih lanjut dari hutan Dipterocarpus dataran rendah dapat dikurangi.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 101 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 102 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 103 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 104 ]


Perkembangan terbaru populasi dan sebaran orangutan sumatera (Pongo abelii) Sri Suci Utami-Atmoko Fakultas Biologi Universitas Nasional Jamartin Sihite OCSP-USAID Nuzuar Ian Singleton YEL-SOCP-Paneco

Abstrak Orangutan sumatera saat ini terancam punah. World Conservation Union (IUCN Red Data List 2008) menggolongkan orangutan sumatera sebagai salah satu spesies dalam status Kritis (Critically Endangered). Spesies ini hanya ditemukan di bagian utara pulau Sumatera. Wich et al (2008) memperkirakan bahwa populasi orangutan yang tersisa di Sumatera hanyalah 6.667 individu. Jumlah ini jauh lebih kecil dari perkiraan sebelumnya, yaitu 7.501 individu (Singleton et al., 2004). Pengurangan ini terjadi karena penelitian pada tahun 2007 di bagian utara Aceh (Ulu Masen dan sekitarnya) tidak menemukan tanda-tanda keberadaan orangutan di wilayah yang pada awalnya diperkirakan sebagai tempat tinggal bagi sekitar 800 individu (Wich, 2007). Dalam makalah ini kami melaporkan keadaan populasi orangutan sumatera berdasarkan hasil survei terbaru (2009-2010) di bagian utara Aceh dan Sumatera Utara (daerah sebelah Barat Danau Toba). Penemuan kembali populasi orangutan di bagian utara Aceh (Pidie, Aceh Utara, Aceh Tengah, Aceh Timur, Nagan Raya dan Bener Meriah) beserta penemuan baru di SM Siranggas, HL Sikulaping dan HL Simpon di Pakpak Bharat (Sumatra Utara) merupakan kabar baik bagi upaya pelestarian orangutan sumatera, terutama karena daerah-daerah di Pakpak Bharat ini belum tercakup dalam peta distribusi orangutan sebelumnya (lihat Soehartono et al, 2007; Wich et al, 2008). Informasi ini juga berperan penting dalam mendukung penetapan koridor yang dapat menyatukan pecahan-pecahan kawasan hutan yang menjadi habitat orangutan di Sumatera utara. Pendahuluan rangutan sumatera (Pongo abelii) merupakan salah satu spesies yang tergolong kritis menurut IUCN Red List. Populasi spesies ini terpusat di bagian utara Pulau Sumatera (Propinsi Aceh dan Sumatera Utara) dan berjumlah kira-kira 6.667 individu (Wich et al, 2008). Dari 13 populasi yang telah ditemukan, hanya 7 di antaranya mengandung lebih dari 500 individu, jumlah minimal yang dianggap perlu bagi kelangsungan hidup jangka panjang (Soehartono et al, 2007; Wich et al, 2008). Angka ini jauh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, yaitu 7.501 orangutan (Singleton et al., 2004). Pengurangan ini terjadi karena penelitian pada tahun 2007 di bagian utara Aceh (Ulu Masen dan sekitarnya) tidak menemukan tanda-tanda keberadaan orangutan di wilayah yang pada awalnya diperkirakan sebagai tempat tinggal bagi sekitar 800 individu (Wich, 2007). Terlepas dari penelitianpenelitian terbaru semacam ini, batas utara jangkauan populasi orangutan di Aceh belum diketahui dengan jelas. Oleh karena itu Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) mengadakan serangkaian survei lapangan untuk menentukan batas utara sebaran orangutan di Aceh dan meneliti sifat batas-batas ini.

O

Sejak penelitian paling awal pada tahun 1930-an, kita sudah mengetahui bahwa populasi orangutan sumatera (Pongo abelii) terpusat di Aceh, tetapi sebaran spesies ini di selatan masih belum diketahui dengan baik. Penelitian terbaru (Wich et al, 2003; Singleton data belum ditebitkan) telah menemukan tiga daerah habitat orangutan di sekitar Danau Toba: Puncak Sidiangkat/Batu Ardan (Dairi-Pakpak Barat), Batang Toru Barat dan Sarulla Timur. Puncak Sidiangkat/Batu Ardan merupakan kawasan terkecil di antara ketiganya. Bagaimanapun juga, kita tak -

dapat mengabaikan ketiga wilayah kunci ini, terutama karena belum banyak pengamatan ataupun hasil penelitian yang diterbitkan mengenai daerah-daerah tersebut. Satuan habitat Dairi-Pakpak Barat (HL Batu Ardan Register 66) merupakan suatu kawasan kecil yang terletak di Sumatera Utara (lihat Gambar 1) di bagian selatan satuan habitat Leuser Barat dan Kawasan Ekosistem Leuser. Populasi orangutan di sini berjumlah kira-kira 134 individu dan tidak terpecahpecah. Perambahan hutan untuk tujuan pertanian dan pembalakan liar telah menimbulkan ancaman longsor dan erosi di lembah-lembah dataran rendah tempat populasi orangutan tersebut tinggal (Singleton et al, 2004; Ellis et al, 2006). Laporan kami tentang keadaan populasi orangutan sumatera didasarkan atas survei terbaru (2008-2010) di Sumatera Utara (Kawasan Toba Barat, lebih tepatnya Dairi-Pakpak Bharat) dan Aceh bagian utara. Metode 1. Survei pendahuluan (Kawasan Toba Barat dan Perbatasan Aceh Utara) a. Wawancara dengan pemegang kepentingan setempat (misalnya penduduk di sekitar blok hutan, aparat pemerintah daerah, dan kepala atau sekretaris desa) b. Perjalanan di hutan untuk mencari tanda-tanda keberadaan orangutan (sarang orangutan, panggilan panjang (long call), kulit pohon yang dikelupas oleh orangutan), pohon buah-buahan, satwa liar lain, kualitas hutan, ancaman-ancaman, dan kemungkinan survei lanjutan di masa yang akan datang (survei transek jalur/line transect, van Schaik et al, 1995; Buij et al, 2003)

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 105 ]


2. Survei sarang lengkap (HL Batu Ardan, SM Siranggas dan Deleng Sitember) Kepadatan populasi orangutan ditentukan melalui penghitungan sarang dengan metode transek jalur (line transect) yang diikuti dengan analisis data (lihat Brockelman dan Ali, 1987), pertama-tama menentukan angka kepadatan sarang orangutan yang kemudian diolah untuk menentukan kepadatan populasi orangutan (mis. van Schaik et al., 1995; Buij et al., 2002; Buij et al., 2003; Wich et al. 2004, Marshall et al., 2006). Jarak tegak lurus dari sarang ke jalur transek dicatat untuk memperkirakan w. Nilai w dihitung dengan program komputer Distance 4.0. Hasil-hasil Sumatera Utara (Kawasan Toba Barat) Sejauh ini kita mengetahui bahwa sebaran orangutan di Sumatera Utara terbatas di wilayahwilayah berikut: sayap timur TN G. Leuser (Langkat, Deli Serdang and Karo), Batangtoru, Sarulla Timur dan Sidiangkat/ Batu Ardan (PHVA 2004). Sayangnya, penelitian dan publikasi tentang orangutan di wilayah-wilayah ini masih sangat terbatas. OCSP-USAID masih memerlukan lebih banyak informasi tentang status orangutan di Pakpak Bharat untuk dipergunakan sebagai dasar data OCSP-USAID dan sebagai data pendukung untuk pemutakhiran PHVA. Setelah survei pendahuluan sebaran orangutan pada bulan Oktober 2008, tim survei (OCSP-USAID, Pusaka Indonesia dan YEL) telah mengadakan penelitian sebaran dan kepadatan populasi orangutan sumatera (Pongo abelii) di Hutan Lindung (HL) Batu Ardan seluas 225,45 km2 dan Suaka Margasatwa (SM) Siranggas pada bulan Januari-Februari 2009. Survei pendahuluan lain tentang sebaran populasi orangutan juga dilaksanakan pada bulan JanuariFebruari 2010 di wilayah-wilayah hutan di bawah SM Siranggas (Pakpak Bharat) ke arah selatan (HL Sikulaping dan HL Simpon di Pakpak Bharat) terus ke Barus (Tapanuli Tengah) mencakup daerahdaerah yang belum terjamah oleh penelitian sebelumnya untuk mengetahui status konservasi orangutan di daerah-daerah tersebut. 1. Survei lengkap sarang orangutan di HL Batu Ardan dan SM Siranggas. Penelitian tentang sebaran dan kepadatan populasi orangutan sumatera (Pongo abelii) telah dilaksanakan di Hutan Lindung Batu Ardan (Register 66) dan Suaka Margasatwa Siranggas+ (Register 70) pada 24 Januari-22 Februari 2009 dengan 7 (tujuh) lokasi transek di 6 (enam) desa: Bongkaras dan Sempung Poling (Dairi) dan Simbrruna, Perolihen, Malum, SM Siranggas (Pakpak Bharat). Dari keseluruhan 30,275 km jalur transek, kami mencatat 256 sarang orangutan pada ketinggian 290 - 1200 m dpl. Menurut penelitian dengan metode transek jalur ini, kepadatan populasi di SM Siranggas lebih tinggi (1,5 ind/km2; 111 individu) dari pada di HL Batu Ardan (0,74 ind/km2; 156 individu) sehingga untuk memberikan kesempatan populasi dapat bertahan hidup dalam jangka panjang satuan

habitat ini sebaiknya dihubungkan dengan HL Batu Ardan dan HPT/Deleng Sibudun. Tutupan hutan di SM Siranggas hanya meliputi 5.405 ha, jadi kami mengusulkan penghubungan dengan 806 ha tutupan hutan HPT dan 1.210 ha dalam HL Batu Ardan yang sudah terpisah dari sisa HL Batu Ardan sejak tahun 1970-an oleh jalan propinsi Sidikalang-Subulusalam. Wilayah yang diusulkan ini hendaknya dijadikan bagian dari SM Siranggas dengan luasan total 7.421 ha.

Gambar 1. Bentang alam HL Batu Ardan dan SM Siranggas, sebaran orang utan, dan orangutan betina remaja yang terlihat dalam survei di SM Siranggas.

Pada dasarnya, wilayah yang diteliti di Hutan Lindung Batu Ardan dan Suaka Margasatwa Siranggas masih ditutupi oleh hutan perbukitan dengan kanopi yang sambung-menyambung dan keragaman hayati yang tinggi. Kekayaan hayati ini dapat mendukung kelangsungan hidup jangka panjang orangutan di wilayah ini. Sayangnya masih ada ancaman terhadap orangutan dari pengalihgunaan habitat (pembukaan hutan, perkebunan kelapa sawit, pertambangan, pembangunan jalan) dan perburuan liar dalam skala kecil. 2. HL Sikulaping, HL Simpon dan blok hutan eksPT. Gruti (Pakpak Bharat) Pada Januari dan Februari 2010 lima kabupaten di wilayah Toba Barat (Pakpak Bharat, Dairi, Humbang Hasundutan, dan Toba Samosir) disurvei oleh tim OCSP-USAID untuk menentukan sebaran orangutan di wilayah tersebut. Dalam survei ini, tim peneliti tidak melihat orangutan secara langsung, tetapi sejumlah sarang orangutan dari berbagai kategori ditemui di Kabupaten Pakpak Bharat. Penemuan sarang ini menandakan bahwa masih ada orangutan yang hidup di wilayah HL Sikulaping, HL Simpon, dan hutan eksPT.Gruti (baik di sisi barat maupun di sisi timur wilayah konsesi di Pakpak Bharat) (lihat tabel dan gambar 2).

Gambar 2. Posisi temuan sarang orangutan selama survei pendahuluan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 106 ]


Tabel 1. Hasil survei pendahuluan di kawasan Toba Barat.

Ancaman: 1. Perambahan untuk pertanian, 2. Pembangunan jalan, 3. Pembalakan liar, 4. Kelapa sawit, 5. Perkebunan

Selain itu, pada 4-22 Juli 2010 tim survei OCSP-USAID bersama dengan tim survei TPL telah melakukan survei sebaran orangutan di kawasan hutan Toba Pulp Lestari dan daerah sekitarnya, terutama di wilayah HPH kosong yang dikenal sebagai “eks-PT. Gruti� di barat daya TPL. Survei ini dipusatkan di Kabupaten Dairi-Pakpak BharatSamosir dan Humbang Hasundutan. Secara keseluruhan kami menemukan 15 sarang orangutan (1000-1300 m dpl), semuanya di dekat Hutan Wisata Alam Sicikeh-cikeh di blok hutan barat laut yang dilintasi jalan penghubung antara Kuta Jungak (Pakpak Bharat) dan Sigalingging (Dairi) yang melewati kamp 53. Populasi di sini tampaknya sangat jarang (0,213 orangutan/km), tetapi blok hutan ini sangat diperlukan untuk menjamin daerah jelajah yang tersambung dengan Hutan Lindung Batu Ardan (lihat gambar 2). Informasi tentang status konservasi orangutan di blok konsesi ini dapat menjadi bahan yang penting bagi upaya menggalang dukungan dan komitmen untuk pelestarian orangutan. Kabar terbaru dari lapangan (awal Agustus 2010) menyatakan bahwa PETRA (penerima hibah OCSP) telah menemukan sarang orangutan segar di sebatang pohon durian di Desa Setorngom, HL Adiankoting / Register 18 (1.87228667 LU- 98.85485650 BT; Tapanuli Utara) setelah mereka mendapat laporan dari penduduk setempat yang mengusir satu orangutan remaja dari pohon durian tersebut dengan tembakan senapan. Informasi yang kami dapat melalui survei di blok hutan Toba Barat ini (Dairi, Pakpak Bharat, dan Tapanuli Utara) menunjukkan bahwa ada orangutan yang hidup di luar daerah sebaran orangutan yang telah diketahui selama ini (lihat Singleton et al. 2004, Soehartono et al. 2007 dan Wich et al. 2008). Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 107 ]


Sayangnya, kelangsungan hidup orangutan di kawasan ini terancam oleh pengalihgunaan habitat (perambahan hutan, perkebunan kelapa sawit, pertambangan, pembangunan jalan) dan perburuan liar dalam skala kecil. Terbatasnya lahan pertanian dan tiadanya mata pencaharian alternatif bagi penduduk desa di sekitar hutan lindung merupakan sumber utama ancaman terhadap hutan-hutan tersebut, dan ancaman ini tampaknya akan semakin membesar seiring dengan berjalannya waktu. Dengan kata lain, status perlindungan bagi suatu hutan bukan berarti hutan itu akan tetap menjadi habitat yang baik bagi orangutan dalam jangka panjang. Ada sejumlah langkah penting yang harus diambil: daerah penyangga dan wilayah adat masyarakat perlu ditinjau ulang, diikuti dengan upaya terpadu untuk melindungi habitat orangutan di HL Batu Ardan, SM Siranggas, HL Sikulaping, HL Simpon, blok hutan eks-PT. Gruti, dan HL Adiankoting melalui kerjasama pengelolaan dengan penduduk setempat, upaya pendidikan tentang pentingnya pelestarian habitat dan satwa liar, mengubah kebiasaan merambah hutan menjadi pertanian intensif di lahan tetap, dan mengembangkan wisata alam sebagai salah satu sumber penghasilan alternatif. Kita juga masih memerlukan survei yang lebih terperinci tentang populasi dan sebaran orang utan, terutama di HL Sikulaping /Register 71, HL Simpon /Register 72 dan HL Adiankoting/Register 18 karena keberadaan orangutan di wilayah-wilayah tersebut baru saja diketahui dan belum ada penelitian mendalam tentang status konservasi orangutan di daerah-daerah ini. Informasi tersebut juga dapat berperan penting dalam upaya pembentukan koridor untuk menghubungkan pecahan-pecahan hutan menjadi satu bentang alam yang ditinggali orangutan di Sumatera Utara. Aceh (NAD) Antara 27 April 2009 dan 5 Juni 2010, 6 survei berkala telah dilaksanakan oleh 2 tim. Secara keseluruhan kedua tim ini telah mengevaluasi ada-tidaknya orangutan di 31 lokasi yang berbeda di kawasan Ulu Masen dan di bagian utara Ekosistem Leuser (lihat tabel 2). Alasan utama survei ini adalah untuk menentukan letak batas utara sebaran orang utan di Aceh dengan memastikan keberadaan spesies ini di bagian utara dan daerah-daerah di luar Ekosistem Leuser yang merupakan tempat tinggal bagi sebagian besar orangutan sumatera yang masih tersisa. Tabel 2. Lokasi survei lapangan di Aceh.

Catatan: FR-Fragmentasi, HP-Hutan Primer, SL-Selective Logging (tebang pilih), LG-Logging (penebangan), HS-Hutan Sekunder, BK-Bekas Kebun. Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 108 ]


Gambar 3. Lokasi survei batas utara sebaran orangutan di Aceh

Salah satu temuan menarik dari survei ini adalah sarang-sarang yang ditemukan di kawasan Geumpang (Kecamatan Mane, Kabupaten Pidie), sekalipun kawasan ini terletak di tengah wilayah Ulu Masen dan dikelilingi luasan hutan yang (menurut survei dan laporan sejauh ini) tidak didiami oleh orangutan liar. 12 buah sarang ditemukan di sini dan tampaknya kemungkinan besar dibuat oleh orangutan. Perkiraan populasi orangutan saat ini, atas dasar transek jalur yang dilakukan secara cepat dan tidak terperinci, menunjukkan kepadatan sekitar 0,013 individu/km2, suatu angka yang sangat rendah jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Sumatera walaupun hutan-hutan di sini tampaknya masih dalam keadaan baik (Wich et al 2007). Pada saat ini populasi orangutan di sini sepertinya tidak cukup besar untuk menjamin kelangsungan populasi (viabilitas) dalam jangka panjang, tetapi hanya waktu dan penelitian lebih lanjutlah yang dapat memastikan dugaan ini. Sebagai hasil dari survei di Aceh ini, sekarang kita dapat menarik suatu garis maya menyeberangi pedalaman Sumatera untuk membedakan hutan-hutan yang didiami populasi orangutan yang mampu bertahan hidup secara mandiri dalam jangka panjang (di sebelah selatan dan timur garis pemisah) dengan hutan-hutan yang tidak memiliki populasi serupa (di utara dan barat, kecuali “keanehan� di Geumpang). Garis ini kurang lebih serupa degan batas-batas utara Ekosistem Leuser, terutama di sisi timur Pulau Sumatera. Di sisi barat, sepertinya masih ada sejumlah orangutan di kawasan Panton Luas, tetapi kemungkinan ini harus diteliti ulang karena hanya ada satu sarang yang ditemukan di sana. Lebih jauh ke utara dari Panton Luas, di pegunungan tinggi sekitar Jamur Pisang, Dapet Indah, Alur Karang dan Alur Badak (umumnya di atas 1.200m), tidak ada tanda orangutan yang ditemukan, jadi mungkin saja dataran tinggi ini merupakan batas utama sebaran orangutan di wilayah ini. Kesimpulan Hasil-hasil survei di Sumatera Utara dan Aceh menunjukkan bahwa masih ada kesempatan untuk menemukan orangutan sumatera liar di luar Taman Nasional dan Ekosistem Leuser. Karena jumlah populasi orangutan sumatera begitu rendah, penemuan-penemuan baru ini dapat berdampak penting bagi pelestarian spesies ini, terutama dalam hal pengembangan koridor orangutan dan penelitian atas populasi-populasi yang memiliki keunikan budaya dan genetik. Ucapan Terima Kasih OCSP-USAID berterima kasih kepada tim survei OCSP kami (Azwar, Gondanisam, Ari Meididit, Nurdin Sulistyo, Siddik Thoha, Fitriah Basalamah, Edward Tang dan Sidahin Bangun), Pusaka Indonesia (Burhanudin, Chairulyanto, Lintong Nadeak dan Sanaun Angkat), PETRA (Fajar Kaprawi) dan KLIKA (T.R. Risuda Santun) atas kerja keras dan informasi yang mereka sediakan, dan Toba Pulp Lestari Tbk atas kerja samanya dalam survei di hutan konservasi TPL dan wilayah sekitarnya (bagian timur hutan eks-PT. Gruti). Kami juga hendak menyampaikan terima kasih secara khusus kepada Bapak Jati Witjaksono (BBKSDA Sumatra Utara) dan Bapak Makmur Barasa (mantan Bupati Pakpak Bharat). Selain itu, kami berterima kasih kepada Eka Rianta dan Yokyok Hadiprakarsa (GIS) atas dukungan mereka. YEL-Paneco berterima kasih kepada Asril (YEL), Susilo, Adi, dan Budiman (FFI-AFEP Program), Banta daro LSM Aceh, SILFA, dan Rufford Maurice Laing Foundation atas kesediaannya mendanai kegiatan ini serta perwakilan kami di Inggris, Orangutan Foundation UK, untuk jasajasanya dalam menggalang dana beserta dukungan logistik dan bantuan-bantuan lainnya. Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 109 ]


Daftar Pustaka

Brockelman, W.Y. and Ali, R. 1987. Methods of surveying and sampling forest primate populations. Pp 23-62 in Primate Conservation in the Tropical Rain Forest. Marsh, C.W. and Mittermeier, R.A. (eds). Alan R. Liss, New York. Buij, R., Wich, S.A., Lubis, A.H., and Sterck, E.H.M. 2002. Seasonal movements in the Sumatran orangutan (Pongo pygmaeus abelii) and consequences for conservation. Biol. Cons. 107: 83-7. Buij, R., Singleton, I., Krakauer, E., and van Schaik, C.P. 2003. Rapid assessment of orangutan density. Biol. Cons. 114: 10313. Ellis, S., Singleton, I., Andayani, N., Traylor-Holzer, K., and Suprijatna, J. (Eds.). 2006. Sumatran Orangutan Conservation Action Plan. Washington, DC and Jakarta, Indonesia: Conservation International. IUCN 2008. 2008 IUCN Red List of Threatened Species. (www.iucnredlist/org). Marshall, A.J., Nardiyono, EngstrĂśm, L.M., Pamungkas, B., Palapa, J., Meijaard, E. & Stanley, S.A. 2006. The blowgun is mightier than the chainsaw in determining population density of Bornean orangutans (Pongo pygmaeus morio) in the forests of East Kalimantan. Biological Conservation, 129. van Schaik, C.P., Azwar, Priatna, D. 1995. Population estimates and habitat preferences of orangutans based on line transects of nests (eds. R.D. Nadler, B.M.F. Galdikas, L.K. Sheeran, N. Rosen). In: The Neglected Ape. Plenum Press, New York, pp. 129-147. Singleton, I., Wich, S. A., Husson, S., Stephens, S., Utami-Atmoko, S. S., Leighton, M., Rosen, N., Traylor-Holzer, K., Lacy, R. & Byers, O (eds.). 2004 Orangutan population and habitat viability assessment (PHVA): final report, IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MN. Soehartono, T.R., Susilo, H.D., Andayani, N., Utami Atmoko, S.S., Sihite, J., Saleh, C., and Sutrisno, A. 2007. Strategi dan rencana aksi konservasi orang-utan Indonesia 2007-2017. Dirjen PHKA, Departemen Kehutanan, Indonesia. Wich, S.A., Singleton, I., Utami-Atmoko, S.S., Geurts, M.L., Rijksen, H.D. & van Schaik, C.P. (2003) The status of the Sumatran orang-utan Pongo abelii: an update. Oryx, 37, 49-54. Wich, S.A., Utami-Atmoko, S.S., Setia, T.M., Rijksen, H.D., SchĂźrmann, C., and van Schaik, C.P. 2004. Life history of wild Sumatran orangutans (Pongo abelii). Journal of Human Evolution 47: 385-398. Wich, S.A. 2007. Orangutan Survey report to Fauna and Flora International. Unpublished FFI report, August 2007. Wich, S.A., Meijaard, E., Marshall, A.J., Husson, S.J., Ancrenaz, M., Lacy, R.C., van Schaik, C.P., Sugardjito, J., Simorangkir, T., Traylor-Holzer, K., Doughty, M., Supriatna, J., Dennis, R., Gumal, M., Knott, C.D., and Singleton, I. 2008. Distribution and conservation status of the orangutan (Pongo spp.) on Borneo and Sumatra: how many remain?. Oryx 42: 329-39.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 110 ]


RINGKASAN SESI REHABILITASI DAN RILIS

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 111 ]


Program Reintroduksi Orangutan di Kalimantan : Menyelamatkan Masa Depan Orangutan eks-peliharaan E.G. Togu Manurung, PhD Ketua/CEO Yayasan BOS Aschta Boestani Tajudin Kepala Biro Pengembangan Program Yayasan BOS ABSTRAK Konservasi adalah pengelolaan sumber daya dalam pengertian perlindungan, pengawetan dan restorasi dari kehilangan, kerusakan dan ketidakacuhan/ketidakpedulian dalam satu konsep kesinambungan/kelestarian. Konsep konservasi biologi adalah suatu strategi desain untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati secara in situ dari pengaruh pembangunan. Suatu upaya konservasi ex situ orangutan telah dilakukan oleh Yayasan BOS melalui Program Reintroduksi Orangutan sejak tahun 1991 sampai sekarang. Dua lokasI telah ditetapkan untuk program tersebut, yaitu Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur di Samboja Lestari (didirikan tahun 1991) dan Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng (didirikan tahun 1999). Jumlah keseluruhan orangutan eks peliharaan yang telah diterima oleh kedua program adalah sekitar 2000 orangutan serta sekitar 500 orangutan liar untuk program translokasi, yang harus dilakukan karena rusak atau hilangnya habitat dan konflik lahan dengan manusia. Bagaimanapun juga, terus menerusnya hilangnya habitat dan pemindahan orangutan yang berkaitan dengan kegiatan penebangan hutan, perkebunan kelapa sawit serta pertambangan akan menyebabkan mendekatnya kepunahan jenis ini dalam waktu empat dasawarsa ke depan. Akhirnya, Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2007-2017 yang diluncurkan oleh Presiden dalam bulan Desember 2007 menyatakan bahwa semua orangutan pada pusat-pusat rehabilitasi orangutan harus dilepasliarkan paling akhir pada tahun 2015. Strategi dan Rencana Aksi ini telah membuka tantangan baru terutama dalam memilih areal pelepasliaran orangutan eks peliharaan melalui IUPHHK-RE. Untuk menghadapi ancaman ini, upaya-upaya harus dilakukan untuk mengurangi laju ekspansi penebangan hutan, perkebunan kelapa sawit dan pertambangan serta terutama untuk menghentikan hilangnya habitat orangutan liar serta menurunnya daya dukung, melalui cessation dari ekspansi-ekspansi tersebut serta mengembangkan program IUPHHK-RE. Kata-kata Kunci : Program Reintroduksi Orangutan; orangutan eks peliharaan, hilangnya populasi dan habitat, IUPHHK-RE

K

I. PENDAHULUAN onservasi adalah pengelolaan sumber daya dalam pengertioan perlindungan, pengawetan dan restorasi dari kehilangan, kerusakan dan ketidakacuhan/ketidakpedulian dalam satu konsep kesinambungan/kelestarian (Goldstein, 1999; Hunter, 2002). Ada dua tujuan utama konservasi biologi, yang pertama, untuk mengawetkan contohcontoh fungsional dari semua ekosistem global pada range alaminya, dan yang kedua, untuk memelihara/mempertahankan populasi yang viable dari semua species/jenis asli (native) yang ada dalam ekosistem-ekosistem tersebut (Gaston, 1996). Konsep konservasi biologi adalah suatu strategi desain untuk melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati secara in situ dari pengaruh pembangunan (Primack, 1993). Salah satu program dari konservasi ex situ adalah membangun program reintroduksi untuk jenis-jenis yang terancam punah. Pada saat ini orangutan Kalimantan adalah salah satu jenis yang terancam punah, disamping itu, sub jenis-sub jenis yang dikenal secara individual juga dikategorikan sebagai jenis yang endangered. Orangutan sangat terancam di seluruh range-nya karena rusaknya habitat yang disebabkan penebangan hutan, bencana alam (terutama kebakaran dan kekeringan), konversi hutan menjadi perkebunan, serta penggunaan-penggunaan lahan untuk pertambangan. Selain itu ancaman juga dating dari perburuan, baik untuk kebutuhan daging -

maupun untuk perdagangan illegal hewan peliharaan yang memang terjadi didalam negeri maupun antara Indonesia dan Malaysia serta negara-negara lainnya, Yayasan BOS (Borneo Orangutan Survival) adalah organisasi nir laba yang berkedudukan di Indonesia didukung organisasi mitranya di seluruh dunia. Yayasan BOS melaksanakan kegiatan dibawah perjanjian resmi dengan Kementerian Kehutanan RI untuk melestarikan dan merehabilitasi orangutan di Kalimantan. Visi Yayasan BOS adalah untuk mencapai jaminan keamanan masa depan orangutan, bebas dan aman di habitat alami mereka, hidup secara harmoni dengan masyarakat local; sedangkan misinya adalah melindungi orangutan Kalimantan di habitat alaminya dan menyelamatkan mereka ketika mereka terluka karena campur tangan (ulah) manusia. Yayasan BOS mengelola dua lokasi Program Reintroduksi Orangutan yaitu Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur di Samboja Lestari (PROKT-SL didirikan tahun 1991) dan Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah di Nyaru Menteng (PROKT-NM didirikan tahun 1999) Jumlah keseluruhan orangutan eks peliharaan yang telah diterima oleh kedua program adalah sekitar 2000 orangutan serta sekitar 500 orangutan liar untuk program translokasi, yang harus dilakukan karena rusak atau hilangnya habitat dan konflik lahan dengan

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 112 ]


manusia. Pada saat ini, sekitar 834 orangutan harus diurus, dan lebih dari 400 karyawan Yayasan BOS bekerja untuk itu, menjadikan Yayasn BOS adalah LSM konservasi primata terbesar di seluruh dunia. II. ISSUE窶的SSUE REINTRODUKSI ORANGUTAN DI INDONESIA SAAT INI Program rehabilitasi orangutan yang bertujuan untuk mendukung penegakan hukum telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1971. Proyek ini dimulai di Ketambe, Taman Nasional Gunung Leuser, di Sumatera oleh Herman Rijksen pada tahun 1971, dan kemudian di Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah oleh Birute Galdikas. Satu proyek reintroduksi lain didirikan di Teluk Kaba, Taman Nasional Kutai pada akhir dasawarsa 1980. Meskipun pada awalnya program ini menunjukkan keberhasilannya dalam mencapai tujuan utamanya yaitu menghentikan perdagangan dan perburuan illegal orangutan, kekurangan didalam desain dan pelaksanaannya lebih menyebabkan semakin semakin tingginya resiko kepunahan orangutan dibanding menyelamatkannya. Program rehabilitasi tradisional (lama) tetap mendorong kontak orangutan dengan manusia serta menyebabkan ketergantungan kepada manusia. Disamping itu, pelepasliaran orangutan dilakukan di areal dimana terdapat populasi orangutan liar yang kemungkinan akan menimbulkan gangguan yang berupa kompetisi dalam sumber pakan dalam kaitannya dengan daya dukung. Lebih jauh lagi, penularan penyakit dari manusia di/dari pusat rehabilitasi karena kontak dengan manusia dalam beberapa periode waktu, kemungkinan dapat ditularkan kepada populasi orangutan liar yang dapat mengarah ke penyebaran penyakit. Penyakit manusia seperti tuberculosis, hepatitis, parasit cacing sangat umum dijumpai pada orangutan rehabilitant. Untuk alasan itulah maka program rehabilitasi di Ketambe di Sumatera Utara dan Teluk Kaba di Kalimantan Timur ditutup. Pendekatan program reintroduksi diperkenalkan pada tahun 1993. Program ini memisahkan secara tegas program rehabilitasi dengan lokasi pelepasliaran. Program rehabilitasi terdiri dari karantina yang ketat (menyediakan fasilitas pemeliharaan/pemeriksaan kesehatan dan proses karantina), kemudian proses rehabilitasi yang diakhiri dengan sekolah hutan atau hutan singgah sebelum melepasliarkan orangutan eks peliharaan ke habitat alami mereka. Areal pelepasliaran juga harus diteliti dan dinilai dalam kaitannya dengan daya dukung dan tidak adanya populasi orangutan liarnya. Kenyataan yang ada telah menjadi dilemma karena prosentase hilangnya habitat adalah sangat tinggi (Smits et all 1994, Boestani 1998). Program Reintroduksi Orangutan melakukan kegiatan konservasi yang berharga, seperti mendukung kegiatan penegakan hukum, melakukan kegiatan pendidikan & penyadartahuan masyarakat utamanya tentang bahayanya memelihara -

orangutan untuk hewan peliharaan, menjelaskan mengenai perdagangan illegal orangutan internasional, mendorong perlindungan hutan, mendorong kegiatan rehabilitasi dan reintroduksi orangutan ke habitat alaminya serta kegiatankegiatan pencegahan kebakaran - - dalam banyak kasus juga membangun komunitas konservasi secara menyeluruh di sekitar pusat program, Mengurus & memelihara orangutan eks peliharaan adalah memakan waktu serta membutuhkan banyak sekali dana dan kegitan intensif sumberdaya, oleh karena itu tujuan utama program ini adalah untuk melepasliarkan orangutan yang diselamatkan kembali ke hutan dimana mereka dapat hidup secara mandiri dan mendukung konservasi populasi orangutan liar. Terdapat tiga masalah utama yang berkaitan denganprogram reintroduksi orangutan, yaitu tingginya biaya operasional program rehabilitasi dan reintroduksi; banyaknya orangutan yang masuk ke program karena hilangnya habitat yang berkepanjangan dan banyaknya orangutan yang keluar dari habitatnya karena penebangan hutan, pembukaan perkebunan kelapa sawit, ekspansi pertambangan serta perdagangan illegal dan yang terakhir adalah sulitnya mendapatkan areal yang sesuai/cocok untuk pelepasliaran orangutan. 1.1. Biaya Operasional Program Reintroduksi Orangutan awalnya timbul sebagai suatu respon terhadap perdagangan hewan peliharaan illegal. Ketika jumlah orangutan yang berasal dari perdagangan hewan peliharaan illegal yang masuk ke program secara relatif masih dapat dikelola, meningkatnya ekspansi perkebunan kelapa sawit telah mengubah situasi; jumlah orangutan yang membutuhkan perhatian, perawatan & pemeliharaan semakin terus meningkat, demikian pula jumlah orangutan liar yang harus diselamatkan dan ditranslokasikan karena terperangkap di habitathabitat yang terfragmentasi dalam perkebunan kelapa sawit. Untuk merawat dan menyelamatkan (dan mentranslokasikan) orangutan, bagaimanapun juga, sangat sulit dan mahal. Program reintroduksi membutuhkan fasilitas (sarana prasarana) perawatan, yaitu klinik orangutan, fasilitas karantina, tim medis yang berpengalaman serta para perawat/pemelihara (keeper). Program ini juga membutuhkan fasilitas (sarana prasarana) rehabilitasi seperti kandang sosialisasi serta lahan/hutan untuk sekolah hutan dan hutan singgah. Diperkirakan diperlukan biaya sekitar 3,500 dolar Amerika untuk memberi makan dan merawat satu orangutan per tahun, yang apabila orangutan tersebut adalah bayi, maka mungkin harus dipelihara/dirawat selama 8 tahun sampai 10 tahun, atau bahkan lebih lama. Sebagian besar biaya operasional diperoleh dari pendanaan masyarakat (public funding), sedangkan dana dari pemerintah sangat sulit diperoleh. -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 113 ]


meskipun orangutan sebenarnya merupakan tanggung jawab pemerintah. Dana yang kurang lebih sama besarnya juga diperlukan untuk biaya operasional penyelamatan (rescue) & translokasi orangutan liar ke habitat/hutan yang lebih aman. 1.2. Hilangnya Habitat dan Perdagangan Hewan Peliharaan Illegal. Ancaman utama terhadap upaya konservasi orangutan adalah rusaknya habitat karena konversi hutan untuk penebangan, perkebunan kelapa sawit dan konsesi tambang. Orangutan juga terancam karena perburuan liar untuk memenuhi kebutuhan daging, perburuan atau penangkapan bayi orangutan untuk perdagangan hewan peliharaan, pemberantasan orangutan sebagai hama pertanian ketika perkebunan menggantikan hutan dimana pakan alaminya menjadi langka serta sulit didapat. Bencana alam seperti kebakaran hutan dan kekeringan adalah salah satu faktor penyebab rusak atau hilangnya habitat. Sebagai contoh, kebakaran hutan Kalimantan dalam tahun 1997/1998 adalah penyebab hilangnya 5 juta hektar hutan dimana sepertiganya adalah habitat orangutan Kalimantan (Boestani & Susilo, 2000). Laju deforestasi di Indonesia adalah yang tertinggi di bumi ini dengan lebih dari 2,8 juta hektar per tahun karena pembalakan liar serta konversi hutan dengan skala besar, termasuk untuk perkebunan kelapa sawit. Dalam tahun 2006, total area perkebunan kelapa sawit adalah 6 juta hektar, menyebar di lima pulau, dimana Sumatera adalah areal penanaman utama yang mencakup 70% dari total area yang ditanami. Kalimantan secara relative adalah tujuan/sasaran baru untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit. Pada saat ini ekspansi perkebunan kelapa sawit telah mencapai 0.4 – 0.5 juta hektar per tahun dimana Kalimantan menjadi tujuan utamanya. Lebih lanjut, dengan total hampir 20 juta hektar diproyeksikan sebelum tahun 2020. Apabila pola dimasa lalu diteruskan maka mayoritas ekspansi tampaknya akan terjadi di kawasan hutan serta akan membawa dampak pada sisa-sisa habitat orangutan (Friends of Earth, 2005; FAO, 2007; WRI, 2008) Pembangunan perkebunan kelapa sawit menyebabkan pembukaan hutan yang menimbulkan fragmentasi hutan. Untuk itu dilakukan pembakaran hutan untuk membersihkan lahan untuk perkebunan. Pembakaran hutan ini tidak hanya secara cepat memusnahkan habitat orangutan, namun seringkali juga menghanguskan orangutan utan yang tidak dapat melarikan/menyelamatkan diri dari api. Disamping itu, ketika hutan dikonversi, itu akan membuat akses yang lebih besar bagi para pemburu liar untuk berburu bayi orangutan guna perdagangan illegal hewan peliharaan. Untuk menggambarkan betapa dramatisnya penurunan populasi orangutan, untuk setiap satu bayi atau anak orangutan yang sampai ke program, maka diperkirakan 4 orangutan betina dewasa dan 3 bayi/anak orangutan telah mati.

Deskripsi tersebut di atas berhubungan dengan data laporan dari PROKT NM yang menunjukkan lebih dari 90% orangutan yang direhabilitasi berasal dari hutan yang ditebang atau dibersihkan untuk dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit dalam periode waktu lima tahun terakhir. Sebagai akibatnya beberapa ahli yakin bahwa hampir 90% habitat orangutan dii Indonesia dan Malaysia hilang karena ekspansi perkebunan kelapa sawit dan mengakibatkan sekitar 5.000 orangutan binasa. 1.3. Areal yang cocok Lokasi Pelepasliaran Orangtan Program Reintroduksi Orangutanperlu memenuhi tiga kunci kebutuhan konservasi orangutan. Pertama, program ini merupakan komponen yang esensial dari suatu sistem penegakan hukum yang menyita orangutan yang secara illegal dipelihara sebagai hewan peliharaan. Melepasliarkan orangutan kembali ke habitat alaminya adalah tahap final dari proses rehabilitasi, yang belum terealisasi sampai saat ini. Kedua, program melaksanakn kegiatan kearah target yang telah ditetapkan Kementerian Kehutanan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan 2007-2017 , untuk melepasliarkan semua orangutan eks rehabilitant yang sehat & viable kembali ke habitat alaminya pada tahun 2015. Ketiga, program ini akan membangun atau membentuk satu atau lebih populasi orangutan liar yang viable, yang akan mendukung upaya konservasi kera besar yang terancam punah ini. Tantangan yang paling besar yang dihadapi program ini adalah untuk melepas-liarkan semua orangutan eks peliharaan yang sehat ke habitat alaminya. Lebih dari sepertiga dari orangutan eks peliharaan yang dirawat (direhabilitasi) pada saat ini sudah cukup tua dan berpengalaman untuk dilepasliarkan. Pemerintah Indonesia melarang untuk melepasliarkan orangutan eks peliharaan ke populasi orangutan liar yang viable; areal pelepasliaran harus dalam range-nya dulu (former range), terdapat sumber pakan yang mencukupi untuk mendukung populasi orangutan, mendapatkan dukungan pemangku kepentingan setempat dan harus tetap menjadi kawasan hutan untuk menjamin masa depan. Meskipun demikian, tantangan untuk mendapatkan atau menemukan areal atau lokasi pelepasliaran yang cocok tetap tidak ada kepastian. II. MENJAMIN MASA DEPAN ORANGUTAN EKS PELIHARAAN Berkaitan dengan dukungan financial, Yayasan BOS dan mitra organisasinya harus bekerja keras untuk mengumpulkan dana public melalui beberapa program, misalnya adopsi orangutan dan lahan untuk orangutan (land for orangutan program), Inisiatif lain dibawah proyek restoring a Rainforest diperkenalkan oleh Yayasan BOS yang mengkombinasikan antara restorasi, konservasi dan pembangunan masyarakat di Samboja Lestari., Kalimantan Timur. Skema ini merupakan suatu model alternative pada -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 114 ]


pembayaran jasa ekosistem yang mendanai konservasi sekaligus mendukung masyarakat sebagai pengawal pembangunan yang berkesinambungan yang membuat okupasi manusia dapat hidup secara harmoni dengan orangutan (dan satwa liar lainnya, dan ligkungannya. Pemerintah, dilain pihak, perlu menyisihkan dana untuk mendukung program untuk jangka panjang. PROKT SL saat ini merawat 224 orangutan, 127 orangutan diantaranya siap untuk dilepasliarkan. PROKT-NM merawat 610 orangutan, 216 orangutan diantaranya siap untuk dilepasliarkan sekarang dan 177 orangutan, telah melakukan survey secara intensif diseluruh Kalimantan untuk mencari lokasi pelepasliaran yang cocok yang memiliki hutan berkualitas baik, tidak terdapat populasi orangutan liar, dengan masyarakat yang mendukung dan tidak terancam oleh kegiatan pembangunan. Dalam beberapa tahun terakhir, survey ini meningkatkan suatu harapan dalam pemilihan sejumlah areal yang cocok/sesuai untuk pelepasliaran orangutan di Kabupaten Kutai di Kalimantan Timur serta di Kabupaten Murung raya di Kalimantan Tengah. Kedua lokasi merupakan lokasi atau areal yang terpencil, dengan beberapa desa dan dengan populasi penduduk yang kecil, serta tekanan perburuan yang rendah. Disamping itu, survey mendapatkan bahwa areal-areal tersebut merupakan bagian dari wilayah yang dahulu didiami oleh orangutan liar, sejumlah jenis tumbuhan dan satwa liar langka lain, serta juga memiliki nilai daya dukung dalam kaitannya dengan penyediaan kualitas habitat dan ketersediaan pohon buah orangutan. Untuk jaminan keamanan serta status hokum lokasi pelepasliaran Yayasan BOS telah mengajukan permohonan kepada Kementerian Kehutanan guna mendapatkan IUPHHK-RE dengan intense untuk menggunakan areal tersebut untuk pelepasliaran orangutan yang telah direhabilitasi. Lebih lanjut Yayasan BOS telah membentuk/mendirikan suatu perusahaan, yaitu PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (RHOI) yang akan mengelola areal konsesi tersebut apabila ijin telah diberikan oleh pemerintah Indonesia. Di Kalimantan Timur PT RHOI telah diberi Ijin Prinsip1 (SP 1) untuk areal seluas 86.450 hektar eks HPH Mugitriman International (MGI) dan 223.450 hektar eks PT Narkata di Kabupaten Kutai Kartanegara serta Kabupaten Kutai Timur sebagai suatu Konsesi Restorasi Ekosistem yang disebut sebagai RHOI-1. Pada saat ini, proyek masih dalam pengembangan, meskipun demikian, dana dibutuhkan segera untuk membayar Fee Ijin Konsesi untuk luas total area 109.950 hektar dalam hal ini sebesar 1,5 juta dollar Amerika untuk jaminan selama 60 tahun. Kalimantan Tengah juga memiliki peluang untuk restorasi ekosistem. Hutan dataran rendah yang sangat luas di Kabupaten Murung Raya telah dipilih -

menjadi areal yang paling cocok/sesuai di Kalimantan Tengah untuk pelepasliaran orangutan karena memiliki kualitas habitat yang baik, serta hanya terdapat populasi orangutan liar yang tidak viabledan dan hanya terdapat sedikit desa dengan sedikit penduduk. Di Kabulaten Murung Raya, tujuh areal telah dipilih secara awal sebagai kemungkinan areal pelepasliaran orangutan. Dua dari tujuh areal yang paling cocok untuk pelepasliaran orangutan adalah areal PT Akathes Plywood dan areal PT Tunggal Pamenang. Yayasan BOS telah melakukan diskusi secara detil dengan PT Akathes Plywood berkenaan dengan penyisihan sebagian areal konsesinya untuk pelepasliaran orangutan, dengan suatu perjanjian yang berisi kesepakatan bahwa PT Akathes Plywood akan dapat melakukan penebangan di areal bagian selatan serta membiarkan areal yang cocok untuk pelepasliaran orangutan tidak ditebang. Investasi/modal awal mungkin dibutuhkan untuk memberikan kompensasi kepada perusahaan guna melaksanakan kesepakatan tersebut., mungkin melalui pengembangan skema konservasi karbon yang akan melihat kredit karbon yang diperdagangkan pada pasar ‌.. (international compliance market) Berkaitan dengan eks areal PT Tunggal Pamenang , Yayasan BOS sedang mempersiapkan Proposal Teknis yang akan diserahkan kepada Kementerian Kehutanan setelah pengumuman pencadangan areal tersebut. Fee Ijin untuk areal eks PT Tunggal Pamenang seluas 123.400 hektar adalah sebesar kurang lebih 1,7 juta dolar Amerika untuk jaminan selama 60 tahun. RHOI-1 cocok/sesuai sebagai areal pelepasliaran orangutan yang dapat menampung sekitar 127 orangutan eks peliharaan. PROKT-SL dan PT RHOI akan bekerjasama untuk program pelepasliaran orangutan di Kalimantan Timur yang akan dimulai tahun 2010 dan akan terus berlangsung sampaii tahun 2015. Sedangkan di PROKT-NM, pada saat ini 216 orangutan telah siap dilepasliarkan dan 177 orangutan akan siap dilepasliarkan dalam 2 tahun mendatang. Suatu strategi pelepasliaran akan disiapkan sebelum pelepasliaran, termasuk aspek pengelolaan kesehatan, transportasi, strategi pelepasliarn dan monitoring pasca pelepasliaran. Program akan melakukan kegiatan dengan kemitran dengan pemerintah daerah guna mencapai visi dan misinya termasuk meningkatkan perlindungan sumberdaya alam, mengentaskan kemiskinan, pembangunan kapasitas lokal untuk good governance dan pembangunan ekonomi lokal yang berkesinambungan. Berkitan dengan pendanaan, beberapa penelitian menyimpulkan bahwa forest carbon offsets yang dihasilkan dari usulan mekanisme climate mitigation yang dikenal sebagai REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation).dapat dijadikan -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 115 ]


pendekatan untuk mendanai perolehan lahan serta pendanaan kegiatan pembangunan yang berkesinambungan dalam ekonomi lokal. Disamping itu skema ini memiliki suatu potensi untuk memberikan solusi baik untuk tujuan-tujuan karbon maupun untuk keanekaragamanhayati. Yayasan BOS juga mencari model yang dapat mendatangkan dana untuk perlindungan areal, misalnya pembayaran karbon (carbon payments), bio-banking dan pembayaran jasa ekosistem (ecosystem services payments) seperti air. Meningkatnya governance sangat penting untuk memperbaiki keadaan orangutan yang kurang baik serta untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal dengan mengimplementasikan skema konservasi seperti ecosystem services payments melalui insentif finansiil pada pengurangan fee IUPHHK-RE bagi yang menggunakan skema tersebut untuk lokasi pelepasliaran orangutan. Yayasan BOS juga telah meningkatkan hubungan dengan sekstor bisnis dan sekarang bekerjasama lebih erat dengan sektor swasta untuk meningkatan best management practices (praktek/pelaksanaan pengelolaan terbaik) bagi orangutan dalam perkebunan kelapa sawit, HTI dan pertambangan. Inisiatif ini bertujuan untuk menegaskan produksi bisnis yang berkelanjutan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kegiatan operasi dan pengelolaan yang secara sosial dapat dipertanggungjawabkan, secara lingkungan berkesinambungan, secara ekonomi berkelanjutan dan tidak melanggar hokum. Hal ini dilakukan dengan memberikan saran dan rekomendasi untuk konservasi orangutan dan kegiatan konservasi yang terkoordinasi dengan tujuan untukk melestarikan populasi orangutan dalam areal konsesinya atau areal disekeliling areall pelepasliaran orangutan. Yayasan juga sangat hatihati agar program ini terhindar dari laundering green image dari perusahaan. IV. KESIMPULAN Saat ini, banyak isu menyulitkan program reintroduksi. Pendanaan dan jaminan lokasi pelepasliaran orangutan adalah isu terbesar dalam memberikan jaminan bagi populasi orangutan eks peliharaan di masa depan. Faktanya adalah bahwa program rehabilitasi memiliki proses yang panjang dan komplek, disamping mahal dalam hal biaya operasional serta membutuhkan tenaga-tenaga yang berpengalaman untuk melaksanakan program. Program juga meningkatkan kesadartahuan masyarakat akan isu konservasi yang diwujudkan dalam bentuk tekan politik untuk menetapkan area yang dilindungi serta menegakkan hukum lingkungan yang akan melindungi sisa populasi orangutan liar guna menjamin keberadaan populasi dan habitat mereka.

untuk jangka waktu 60-90 tahun untuk tujuan restorasi dan konservasi. Yayasan BOS sedangg mempelajari beberapa model pendanaan konservasi melalui skema REDD, carbon payment, bio-banking dan payment on ecosystem services. Meskipun demikian, kemauan Pemerintah untuk memberikan dukungan politis dan financial diperlukan untuk menjamin kesinambungan program, di masa depan. Yayasan BOS mndorong perusahaan bisnis untuk bertanggung jawab dan mendanai upaya konservasi sebagai bagian dari komitmen mereka untuk mengimplementasikan prinsip berkelanjutan. Orangutan, saat ini mungkin masih menghadapi situasi yang suram, meskipun demikian masa depan mereka tampaknya akan menjanjikan apabila lebih banyak perusahaan mengadopsi prinsip berkelanjutan yang lebih difokuskan pada kegiatan konservasi untuk mempelambat laju deforestasi. IV. Referensi Boestani, A. N. 1998. Orangutan Habitat and Viability Analysis; A Study Case in East Kalimantan. Master Degree Dissertation. Edinburgh University, Edinburgh, UK. Boestani, A. N and Susilo, A. 2000. A Report on the Orangutan Status in Kalimantan after the Forest Fires 1997/1998. Presente at The Apes: Challenges for the 21st Century, Brookfield Zoo, Chicago, US untuk memperoleh A, May 10-13. Food and Agriculture Organization (FAO). 2007. FAO O n l i n e S t a t i s t i c a l D a t a b a s e . http://apps.fao.org/page/form?collection=Production.C rops. Primary&Domain=Production& servlet=1&language=EN&hostname=apps.fao. org&version=default, FAO, Rome. Friend of Earth Summary Report. 2005. The Oil for Ape Scandal; How Palm Oil is Threatening the Orang-Utan. London, UK. Gaston, K. J. 1996. What is biodiversity? In K. J. Gaston (Ed.). Biodiversity: A Biology of Numbers and Difference. Blackwell Science Ltd. Oxford, UK. Goldstein, P. Z. 1999. Clarifying the Role of Species in Ecosystem Management. Conservation Biology 13(5): 1515-1517. Hunter, M. L. 2002. Fundamental of Conservation Biology. Blackwell Science, Malden, Massachusetts, USA. Primack, R. B. 1993. Essentials of Conservation Biology. Sinauer Associates, Sunderland, Massachusetts, USA. Smits, W. T. M, Heriyanto, and Widodo, R. 1994. A New Method of Rehabilitation of Orangutans in Indonesia; A First Overview. In J. J. Ogden, L. A. Perkins and L Sheehan (Eds.), Proceedings of the International Conference on “Orangutans; The Neglected Ape” (pp. 29-40). San Diego Zoological Society, San Diego, USA. World Resource Institute. 2008. Groundbreaking Study Finds the “Hotspots” Most Responsible For Deforestation. WashingtonD.C, USA.

Guna melindungi hutan secara tepat dalam jangka p a n j a n g , Ya y a s a n B O S m e n c o b a u n t u k mendapatkan hak pengelolaan areal pelepasliaran melalui skema perijinan IUPHHK yang diberikan Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 116 ]


Hutan Produksi – Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) PT RHOI: Sebuah Solusi yang Bertanggung Jawab dan Berkelanjutan bagi Areal Pelepasan Kembali Orangutan Oleh: Aldrianto Priadjati, Bungaran Saragih PT Restorasi Habitat Orangutan Indonesia (PT. RHOI) aldrianto2005@yahoo.com

P

Latar Belakang eresmian Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 pada bulan Desember 2007 oleh Presiden Republik Indonesia di Nusa Dua Bali yang bersamaan dengan workshop to the Conference of Parties (COP) XIII – Konvensi Jaringan Kerja PBB tentang United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) merupakan sebuah komitmen politik dan keseriusan yang nyata dari pemerintah Republik Indonesia dalam konservasi orangutan. Ancaman serius terhadap habitat orangutan pada hutan alam antara lain perubahan tata guna lahan, tekanan jumlah populasi penduduk, kebakaran hutan, perkebunan kelapa sawit, pertambangan, rendahnya penegakan hukum, perburuan/perdagangan ilegal, dan ketidakkonsistenan kebijakan pengelolaan dan fungsi kawasan hutan.

Kayu – Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) di Hutan Produksi (Peraturan Menteri Kehutanan No. P.61/Menhut-II/2008), dimana lembaga pemohon diberi kesempatan untuk mengelola hutan secara berkelanjutan selama periode 60 (enam puluh) tahun dan hanya dapat diperpanjang sekali selama periode 35 (tiga puluh lima) tahun.

Target pelepasan kembali orangutan yang saat ini berada di Pusat Rehabilitasi Orangutan ke areal yang utuh dan aman pada habitatnya akan berakhir pada tahun 2015 sebagaimana yang tercantum pada Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 (Peraturan Menteri Kehutanan No. P.53/Menhut-IV/2007) sejalan dengan upaya yang telah dilakukan oleh Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Yayasan BOS). Sayangnya, lokasi yang memadai dan aman bagi pelepasan kembali sudah tidak tersedia lagi. Terbukti bahwa sejak 2002 upaya Yayasan BOS untuk mendapatkan areal tersebut tidak membuahkan hasil. Kondisi Taman Nasional, areal yang dilindungi dan hutan lainnya saat ini tidak mendukung tujuan sebagai areal pelepasan kembali karena terjadinya banyak konflik, kurangnya keamanan dan adanya orangutan liar. Saat ini, ada sekitar 223 orangutan dalam proses rehabilitasi di pusat rehabilitasi yang dikelola oleh Proyek Reintroduksi Orangutan Kalimantan Timur Samboja Lestari (Yayasan BOS) di Kalimantan Timur, dan beberapa orangutan yang sedang direhabilitasi berpotensi untuk dikembalikan ke habitat alami berdasarkan kesehatan, prilaku, dan umurnya. Setidaknya 37 orangutan per tahun harus dilepaskan kembali dari proyek ini untuk mencapai target by 2015. Jumlah orangutan di proyek akan meningkat jika ancaman terhadap habitat orangutan dan juga perburuan/perdangangan ilegal tidak diselesaikan.

P T. R E S TO R A S I H A B I TAT O R A N G U TA N INDONESIA (PT RHOI) mempunyai perhatian dan komitmen untuk mengkonservasi orangutan dan habitatnya. Untuk maksud tersebut, PT RHOI sedang mengajukan sebuah areal kandidat untuk Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) di Hutan Alam pada Hutan Produksi di Kabupaten Kutai Timur and Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur) seluas ± 86,450 hektar (Lihat Gambar 1 di bawah).

Peluang untuk mendapatkan areal yang memadai dan aman bagi rencana pelepasan kembali orangutan yang berkelanjutan mulai terbuka melalui mekanisme Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan

Dengan pertimbangan di atas, PT. RESTORASI HABITAT ORANGUTAN INDONESIA (PT RHOI), sebuah perusahaan yang telah didirikan oleh Yayasan BOS, mengajukan permohonan Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) bagi pelepasan kembali orangutan karena sebagai sebuah Yayasan, Yayasan BOS tidak dapat memohon IUPHHK-RE Pelepasan Kembali Orangutan pada Konsesi Hutan Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE)

Pelepasan kembali orangutan akan menjadi fokus utama dari kegiatan yang ada di PT. RHOI, dimulai dengan kegiatan pre-pelepasan kembali, kegiatan pelepasan kembali, pemantauan dan evaluasi paska pelepasan kembali melalui partisipasi masyarakat lokal yang sesuai dengan praktek kebutuhan yang berkelanjutan.

Gambar 1. HPH-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) PT RESTORASI HABITAT ORANGUTAN INDONESIA (PT RHOI) di Kalimantan Timur seluas ± 86,450 hektar

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 117 ]


Hasil studi keanekaragaman hayati pada hutan Restorasi Ekosistem ini dan di daerah sekitarnya menunjukkan bahwa kondisi hutan dan biodiversitasnya (keaneka-ragaman hayatinya) masih dapat dikatakan considered bagus dibandingkan dengan kondisi umum hutan di Kalimantan. Survey ini telah berhasil mengidentifikasi 482 jenis pohon, 229 burung, 53 mamalia, 24 amfibi dan 15 jenis reptil. Paling tidak, 48% jenis pohon pakan orangutan ditemukan di areal hutan ini. Kesimpulan, seluruh areal yang diusulkan sedang dipertimbangkan untuk menjadi lokasi yang baik bagi habitat orangutan.

pihak lain dari komunitas Indonesia, LSM, sektor swasta, peneliti, dan Kementerian Kehutanan.

Tabel 1. Kekayaan Biodiversitas di Areal PT RESTORASI HABITAT ORANGUTAN INDONESIA (PT RHOI) di Kalimantan Timur

Gambar 1. Proses Legal Status dan tata waktu untuk mendapatkan Ijin Pengusahaan Hutan Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE) oleh PT RESTORASI HABITAT ORANGUTAN INDONESIA (PT RHOI)

Perlu waktu lebih dari satu tahun bagi PT. RHOI untuk memenuhi tahapan dan prosedur dalam pencapaian legalitas, dan sekarang memasuki tahap akhir pada permohonan ijin. Selain memerlukan waktu untuk memperoleh legalitas ijin, PT RHOI juga harus mempersiapkan untuk membayar iuran ijin (pembayaran lunas untuk 60 tahun di muka). Birokrasi dan peraturan pembayaran ini should be considered since PT RHOI tidak hanya membantu pemerintah untuk konservasi orangutan, ikon Indonesia, tapi juga mengamankan habitatnya dari kerusakan (logged) karena orangutan perlu pepohonan untuk hidupnya.

Sejalan dengan komitmen yang kuat terhadap pelepasan orangutan kembali ke hutan mereka, pengamanan habitat telah menjadi upaya utama dari PT. RHOI untuk memenuhi komitmen yang telah diungkapkan di atas. Once the orangutan dilepasliarkan, akan menjadi tanggung jawab penuh perusahaan untuk meningkatkan dan melindungi kualitas hutan dengan tujuan untuk melestarikan kehidupan yang lebih baik bagi orangutan in decades, dengan pelibatan masyarakat lokal dan praktek pengelolaan yang bertanggung jawab secara pasti akan mengarah mengarah kepada pembangunan lingkungan yang berkelanjutan. Strengths dan Tantangan Salah satu kegiatan utama PT RESTORASI HABITAT ORANGUTAN INDONESIA (PT RHOI) adalah untuk melepaskan kembali orangutan ke habitat alaminya, dengan skema HPH – Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE). PT. RHOI telah membangun langkah yang progresif untuk memperoleh ijin legal IUPHHK-RE. Selama proses untuk mendapatkan ijin, PT. RHOI juga mengalami banyak tantangan karena hal ini adalah paradigma baru pada aksi konservasi untuk membangun suatu mekanisme restorasi hutan yang melibatkan banyak

Kesimpulan Konsesi Restorasi Ekosistem atau Pemanfaatan Hutan Produksi untuk Restorasi Ekosistem (IUPHHKRE) adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan areal yang aman bagi program pelepasan kembali orangutan pada PROKT-SL (Yayasan BOS) dimana areal tersebut akan dikelola oleh PT. RHOI melalui pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan berdasarkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007 - 2017 dan juga sejalan dengan Peraturan Menteri Kehutanan tentang konsesi hutan. Oleh karena itu, perusahaan berharap seluruh pihak terkait akan secara aktif berpartisipasi pada upaya pengamanan habitat orangutan sesuai dengan lingkup masingmasing sektor.within the respective scope of sectors. Kementerian Kehutanan dan pemerintah diharapkan untuk menyesuaikan adjust peraturan dan diharapkan untuk memberikan insentif untuk membuat sukses program pemerintah. PT RHOI siap untuk mengimplementasikan Rencana Aksi Orangutan, dan memerlukan kerjasama dari semua pihak terkait. FORINA diharapkan dapat berperan dalam komunikasi. Pustaka Kementerian Kehutanan Indonesia, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.53/MenhutIV/2007 Kementerian Kehutanan Indonesia, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.61/Menhut-II/2008.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 118 ]


Pelestarian Orangutan Di Kalimantan: Suatu Tantangan di Masa Depan Biruté Mary Galdikas, Christian N. Simanjuntak, Reniastoetie Djojoasmoro Orangutan Foundation International Abstract Camp Leakey in Tanjung Puting National Park was established as the base camp of a research study area for a population of wild orangutan. But it also served as the place for the first orangutan rehabilitation and release program in Kalimantan. From 1971 to 1990, about 200 orangutans were released. Subsequently, rehabilitation was continued at Orangutan Care Center and Quarantine in Pasir Panjang. During the years 1998 – 2010, based on data at the OCCQ, the captive orangutan population increased by 10% average every year. There are currently 325 orangutans at the Care Center which demonstrated that orangutan populations and habitats are increasingly under threat. During 1999 – 2009, 160 orangutans, including 10 translocated wild orangutans, were released at the Lamandau Wildlife Reserve. Currently, new locations are being prepared for orangutan release in the forest adjacent to the 89.185 Ha Seruyan Restoration Concession. These forest will serve as a buffer zone to the park and are an integral part of the National Park's ecosystem. Hopefully, in the next five years, the Seruyan area can accommodate over 200 orangutan individuals. Key words:

Pongo pygmaeus wurmbii, Rehabilitation, Seruyan, Tanjung Puting National Park.

P

Pendahuluan. ulau Kalimantan memiliki salah satu areal hutan hujan tersisa terbesar di Indonesia dan merupakan wikayah yang sangat strategis dalam konservasi orangutan. Hal itu dapat terjadi karena Pulau Kalimantan-Indonesia merupakan tempat populasi orangutan terbanyak dengan tingkat kerusakan habitat orangutan terbesar di dunia. Lebih dari 70 % populasi orangutan di Kalimantan tersebar di Kalimantan Tengah dan terdapat di luar kawasan konservasi. Sebagai “Umbrella Species”, populasi Orangutan di Kalimantan Tengah terus mengalami ancaman kepunahan. Penurunan populasi yang cepat terjadi akibat konversi hutan alam untuk usaha di bidang kehutanan, pembalakan tidak ramah lingkungan, kebakaran hutan, perburuan dan perdagangan bayi orangutan, dan perubahan iklim. Kerusakan habitat yang parah menyebabkan orangutan piatu banyak yang dikirim ke Pusat Rehabilitasi Orangutan. Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP) merupakan kawasan yang dilindungi dan merupakan kawasan hutan rawa gambut terbesar di Asia dengan area seluas 4.016 Km2, terletak di Propinsi Kalimantan Tengah. Taman Nasional ini lebih dikenal sebagai tempat penelitian orangutan; dan pada tahun 1971 – 1990 merupakan tempat rehabilitasi orangutan yang dirintis oleh DR. Biruté Mary Galdikas. Orangutanorangutan hasil rehabilitasi telah liar dan berhasil beradaptasi dengan habitat alaminya serta memiliki keturunan. Diperkirakan saat ini terdapat 6.000 individu orangutan di kawasan TNTP. Sejak tahun 1998, TNTP mengalami kerusakan yang amat parah akibat adanya aktivitas manusia tanpa ijin di dalam kawasan tersebut. Aktivitas-aktivitas yang berlangsung pada saat itu adalah penebangan dan penambangan, diduga dampak kerusakan kawasan yang terjadi lebih dari 50%. Dikembangkannya program perlindungan kawasan TNTP oleh Orangutan Foundation International (OFI) bekerjasama dengan Balai TNTP telah berhasil melindungi lebih dari 30% kawasan dari aktivitas -

tanpa ijin saat ini. Berlangsungnya program konservasi habitat orangutan di TNTP bertujuan untuk mempertahankan sekitar 40% sisa hutan yang masih utuh dan populasi orangutan yang masih ada. Seiring dengan pertambahan populasi orangutan di TNTP dan makin berkurangnya luasan hutan sebagai habitat orangutan, maka berdasarkan Nota Kesepahaman antara PHKA - OFI sejak tahun 1996, OFI mengelola Pusat Perawatan dan Karantina Orangutan di desa Pasir Panjang. Berdasarkan data dari Pusat Perawatan dan Karantina Orangutan (OCCQ) hingga bulan Maret 2010, saat ini terdapat 325 orangutan yang menjalani proses rehabilitasi. Gambaran yang menarik selama program OCCQOFI berlangsung adalah terjadinya penurunan jumlah populasi orangutan yang datang ke OCCQ dan semakin terbatasnya lokasi pelepasliaran yang ada di wilayah Kalimantan. Tulisan ini merupakan gambaran/informasi tentang pelestarian orangutan yang telah dilakukan oleh OFI dan tantangan yang dihadapinya. Pusat Perawatan dan Karantina Orangutan (Orangutan Care Center and Quarantine/ OCCQ) Pusat Perawatan dan Karantina Orangutan berperan untuk menyelamatkan orangutan-orangutan peliharaan yang ada di masyarakat maupun orangutan liar yang mendapatkan masalah baik akibat perlakuan manusia maupun akibat bencana alam. Pusat perawatan dan karantina bertujuan untuk merawat, melatih dan meliarkan kembali orangutanorangutan piatu. Saat ini terdapat tiga pusat perawatan dan karantina orangutan di Indonesia. Di Sumatera dikelola oleh Pan Eco Foundation dengan Sumatran Orangutan Conservation Program; di Kalimantan dikelola oleh Orangutan Foundation International (Kalimantan Tengah) dan Borneo Orangutan Survival Foundation (Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur). OFI bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan mengelola OCCQ yang telah berlangsung selama 12 tahun. Pada akhir tahun 1998, OFI menyelesaikan pembangunan gedung Pusat Perawatan dan Karantina Orangutan bagi orangutan-orangutan piatu yang membutuhkan perawatan dan perlakuan secara medis guna -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 119 ]


persiapan pelepasliaran orangutan ke habitat yang sesuai dan terlindungi. OCCQ terletak di Desa Pasir Panjang, berjarak 10 Km dari Kota Pelabuhan Kumai atau 5 Km dari Ibukota Kabupaten Kotawaringin Barat yaitu Pangkalan Bun. OCCQ merupakan komplek bangunan yang berdiri di atas tanah seluas 100 Ha; terdiri dari 40% hutan rawa dan 60% hutan dataran yang masih memiliki vegetasi asli Kalimantan. Sejak tahun 1998 hingga 2010, OCCQ telah menampung lebih dari 300 individu orangutan. Orangutan-orangutan itu merupakan hasil penyerahan langsung dari masyarakat, sitaan atau operasi penyelamatan (rescue). Banyaknya orangutan yang dirawat di OCCQ menunjukan bahwa ancaman terhadap orangutan masih cukup besar. Oleh karena itu diharapkan penyitaan ataupun penyelamatan orangutan yang ditemukan di luar areal habitatnya dapat berkurang sehingga dapat menekan laju kepunahan orangutan di habitatnya. Selama program OCCQ berlangsung, jumlah total orangutan yang meninggal dalam proses rehabilitasi adalah kurang dari 20 individu (Tabel 1). Hal itu memperlihatkan bahwa Pusat Rehabilitasi Orangutan sangat berguna untuk menekan laju kematian orangutan piatu, sebelum mereka dilepasliarkan. Keberhasilan itu juga didukung oleh fasilitas OCCQ yang memadai serta tenaga-tenaga medis dan para medis yang handal. Orangutan-orangutan yang baru di OCCQ biasanya datang dalam kondisi sakit parah atau kekurangan gizi. Kematian orangutan-orangutan yang terjadi sebagian besar disebabkan oleh penyakit dan akibat pemeliharaan manusia yang buruk selama menjadi satwa peliharaan. Orangutan-orangutan tersebut hanya diperlakukan sebagai alat hiburan belaka bagi pemelihara, tanpa memperhatikan sisi “kesejahteraan satwa (animal welfare)�. Tabel 1. Banyaknya orangutan yang meninggal selama menjalani proses rehabilitasi (garis ungu) di Pusat Perawatan dan Karantina Orangutan.

Selain menerima orangutan sitaan dari Kalimantan, OFI telah memulangkan 4 orangutan dari Thailand dan 4 orangutan dari Malaysia, juga telah memindahkan 4 orangutan peliharaan masyarakat di Jakarta ke OCCQ.

Saat ini 12 individu orangutan itu menjalani proses pelatihan terhadap habitat mereka di hutan pelatihan. Setiap harinya, staf-staf OCCQ dengan gigih dan penuh kepedulian melatih ke 12 individu orangutan tersebut supaya mereka dapat beradaptasi di habitatnya. Kendala terberat dalam hal pelatihan orangutan adalah ketika orangutan-orangutan yang tiba di OCCQ berusia lebih dari 5 tahun atau telah lama dalam peliharaan manusia karena pola perilaku mereka banyak berubah tergantung pemilik/pemelihara memerlakukan mereka selama di kandang. Pada tahun 2000 hingga 2007, jumlah orangutan piatu yang tiba ke OCCQ mengalami fluktuasi dan cenderung meningkat yaitu lebih dari 5% (Tabel 2). Hal itu terjadi karena pada kurun waktu itu terjadi perusakan habitat alami orangutan berupa pembukaan hutan untuk perkebunan, HPH dan penambangan. Laju kerusakan hutan yang tidak dilindungi rata-rata per tahun adalah 9% di bagian timur TNTP (Bolick & Galdikas, 2010; Unpub.). Berkurangnya luasan hutan menyebabkan orangutan keluar dari habitat alaminya untuk memenuhi kebutuhan makan dan tempat tinggal.

Tabel 2. Rerata banyaknya orangutan yang tiba di Pusat Perawatan dan Karantina Orangutan tiap tahun.

Pada tahun 2008 – 2010, terjadi penurunan jumlah individu orangutan yang tiba di OCCQ (Tabel 2). Sangat menakjubkan bahwa pada saat habitat alami orangutan berkurang sangat cepat (2% per tahun (Greenpeace, 2008)), seharusnya jumlah orangutan yang tiba ke OCCQ semakin bertambah. Populasi liar orangutan banyak yang keluar dari habitat alaminya, sehingga sangat mudah untuk diburu atau dibunuh. Menyusutnya habitat alami orangutan mengakibatkan ketersediaan sumber-sumber makanan makin berkurang. Sehingga tidak tertutup kemungkinan bahwa proses reproduksi juga akan terganggu karena penurunan terhadap kualitas kesehatan individu orangutan. Menurunnya populasi orangutan yang tiba di OCCQ dapat diasumsikan bahwa populasi alami orangutan di habitatnya telah berkurang atau bahkan mengalami kepunahan lokal di beberapa tempat. Untuk menghindari penyusutan populasi orangutan liar di habitatnya, OCCQ telah melepasliarkan orangutan ke Suaka Margasatwa Lamandau pada tahun 2002 (Gambar 1). Diharapkan orangutan-orangutan tersebut sudah mampu bertahan hidup dan berkembangbiak, sehingga populasi alami orangutan dapat bertambah.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 120 ]


Oleh karena itu pada tahun 2008, OFI bekerjasama dengan Balai Taman Nasional Tanjung Puting dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam, melakukan pelepasliaran orangutan di hutan pelepasan yang baru yaitu di kawasan hutan Seruyan. Lokasi itu terletak di bagian timur Taman Nasional Tanjung Puting, sehingga diharapkan orangutan dapat memperoleh sumber-sumber makanannya yang tersedia di sekitar dan di dalam kawasan hutan Taman Nasional. Sebanyak 21 individu orangutan telah dilepasliarkan ke hutan Seruyan pada tahun 2008 – 2009.

Gambar 1. Suaka Margasatwa Lamandau sebagai tempat pelepasliaran orangutan (sumber: GIS-OFI, 2007). Pelestarian Orangutan di Kalimantan Pelepasliaran orangutan adalah tahapan terakhir sesudah orangutan menjalani tahapan rehabilitasi dan pelatihan. SM Lamandau merupakan kawasan hutan yang masih layak bagi orangutan yang berhasil menjalani proses rehabilitasi dari OCCQ. Sejak tahun 2002-2009, OCCQ telah melepasliarkan sebanyak 160 individu orangutan termasuk 10 individu orangutan liar yang ditranslokasikan di SM Lamandau (Tabel 3).

Selanjutnya, OFI mengusulkan kawasan hutan Seruyan menjadi kawasan konsesi hutan untuk pelepasliaran orangutan melalui PT. Rimba Raya Conservation. Tujuan dari usulan kawasan konsesi hutan itu adalah untuk menjadikan kawasan penyangga bagi TNTP, memperoleh manfaat fungsi ekologis hutan sebagai kawasan hutan yang sesuai untuk tempat pelepasliaran orangutan, dan memperoleh manfaat fungsi hutan sebagai penambat karbon (carbon sink). Luas kawasan hutan konsesi itu adalah 89.185 Ha dan diharapkan dapat menampung lebih dari 200 individu orangutan untuk lima tahun ke depan. Sejalan dengan itu, pencarian dan penentuan lokasi pelepasliaran baru yang sesuai dengan habitat alami orangutan sangat diperlukan sekali. Hal itu dapat terkait dengan kebijakan pemerintah mengenai tata ruang wilayah dan kerjasama yang baik dari setiap pemangku kepentingan dalam hal pelestarian orangutan. Dengan mengurangi tingkat kerusakan hutan yang tersisa, diharapkan dalam 10 tahun ke depan populasi dan habitat orangutan dapat tetap lestari sehingga dapat termanfaatkan secara berkelanjutan bagi masyarakat di sekitarnya dan bersinergi untuk pembangunan wilayah dimana populasi orangutan berada. Daftar Pusataka.

Tabel 3. Orangutan-orangutan yang dilepasliarkan di Suaka Margasatwa Lamandau.

Permasalahan yang dihadapi dalam proses pelepasliaran orangutan adalah keterbatasan daya tampung dari kawasan hutan tersebut. Sulitnya menemukan lokasi pelepasliaran yang baru bagi orangutan diperparah oleh semakin luasnya konversi hutan alam untuk budidaya non kehutanan, terutama dijadikan perkebunan kelapa sawit. Akibatnya adalah hilang dan terfragmentasinya habitat alami orangutan, sehingga meningkatkan konflik antara manusia dan orangutan, meningkatkan perburuan dan perdagangan orangutan serta menyebabkan harus dievakuasinya ratusan orangutan ke Pusat-pusat Rehabilitasi Orangutan (Dephut, 2007).

Bolick, L. & B.M.F. Galdikas, 2010. Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) population density in the logged peat swamp forests of Rimba Raya Restoration Concession, Central Kalimantan. Unpublished Paper. Departemen Kehutanan (Dephut). 2007. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 20072017. Diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta. Greenpeace. 2008. Bagaimana Para Pemasok Minyak Kelapa Sawit Unilever Membakar Kalimantan. Published by Greenpeace International, Ottho Heldringstraat 5, 1066 AZ, Amsterdam - The Netherlands.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 121 ]


Program Pelepasliaran Orangutan di Bukit Tigapuluh Peter Pratje Frankfurt Zoological Society

P

elepasliaran orangutan di Sumatera dimulai pada tahun 1972 dengan pembukaan pusat pelepasliaran pertama di Bohorok untuk mendukung penegakan hukum perlindungan satwa liar di lingkungan Taman Nasional Gunung Leuser. Proyek awal ini cukup berhasil dalam meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat, terutama di kalangan penduduk setempat, tetapi dengan terbitnya panduan pelepasliaran IUCN pada tahun 1988 proyek Bohorok ini tidak lagi dianggap sesuai bagi keperluan pelepasliaran. Wacana tentang pembukaan lokasi pelepasliaran baru di luar sebaran populasi orangutan yang sudah ada akhirnya terealisasi pada tahun 2002 dalam suatu proyek baru di Propinsi Jambi, tepatnya di wilayah Bukit Tigapuluh. Pusat pelepasliaran orangutan sumatera yang baru ini bekerja sama dengan pusat karantina medis di Batu Mbelin, Sumatera Utara. Proyek pelepasliaran baru ini pada dasarnya bertujuan melestarikan sebagian luasan hutan hujan Sumatera sebagai habitat orangutan dengan cara menggalakkan reintroduksi orangutan. Tidak seperti banyak proyek pelepasliaran lainnya, titik berat proyek ini terletak pada pelestarian habitat, bukan hanya perlindungan spesies tunggal. Lokasi pelepasliaran di Bukit Tigapuluh merupakan bagian dari daerah jelajah orangutan di masa lampau dan ada sejumlah laporan yang dapat dipercaya tentang keberadaan orangutan di daerah ini hingga tahun 1830-an (Schlegel dan Mueller 1839-1844). Reintroduksi, atau dalam kata lain pelepasliaran orangutan bekas sitaan di daerah yang sebelumnya tidak ditinggali oleh populasi orangutan liar, dilakukan menurut panduan IUCN yang dijelaskan dalam lokakarya Conservation Breeding Specialist Group (CBSG) pada tahun 2001 (Rosen et all 2001). Hingga saat ini (Juni 2010) sudah ada 125 individu yang dilepaskan. Kejadian-kejadian yang teramati termasuk tiga kelahiran dan sebelas kematian. Teknik pelepasliaran yang digunakan di Bukit Tigapuluh awalnya dikembangkan pada tahun 1990an untuk spesies orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus). Teknik-teknik ini terus diuji dan dikembangkan untuk meningkatkan keberhasilan pelepasliaran. Perbedaan utama program ini dari program-program pelepasliaran lain terletak pada pelepasan orangutan secara sendiri-sendiri atau berpasangan, bukan dalam kelompok besar. Perubahan ini diterapkan karena orangutan yang dilepaskan dalam kelompok besar ternyata sulit dipantau begitu individu-individu dalam kelompok mulai berpisah dan menyebar ke bagian-bagian hutan yang berbeda. Program pelepasliaran di Bukit Tigapuluh memberikan perhatian khusus terhadap pemantauan proses dan tahapan penyesuaian -

orangutan beserta pemantauan pasca-pelepasan secara umum untuk mendapatkan gambaran ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan tentang keberhasilan pelepasliaran. Pengalaman sejauh ini menunjukkan bahwa perilaku orangutan dalam beberapa minggu atau bahkan beberapa hari pertama setelah pelepasan ternyata dapat memberikan gambaran yang cukup baik tentang kemungkinan keberhasilan setiap individu. Pada umumnya perhitungan kemungkinan ini dapat dilakukan dengan cepat oleh anggota staf yang sudah berpengalaman. Salah satu tujuan utama Program Pelestarian Orangutan Sumatera (Sumatran Orangutan Conservation Programme) adalah untuk melestarikan ekosistem Bukit Tigapuluh secara keseluruhan sebagai habitat yang sangat cocok untuk suatu populasi mandiri orangutan sumatera dan sebagai suaka bagi semua spesies asli di wilayah hutan dataran rendah Sumatera. Perlindungan bentang alam (landscape) dalam program pelepasliaran orangutan di Bukit Tigapuluh Setelah proyek reintroduksi orangutan sumatera mulai melepasliarkan orangutan pada awal tahun 2003, munculah suatu kesadaran bahwa tujuan proyek ini, yaitu membangun populasi orangutan mandiri di wilayah Bukit Tiga Puluh, hanya bisa dicapai dengan cara melibatkan diri secara aktif dalam upaya-upaya perlindungan habitat orangutan. Area proyek: bentang alam Bukit Tigapuluh Wilayah Bukit Tiga Puluh terletak di daerah paparan Sunda (Sundaland) di Indonesia, tepatnya di Pulau Sumatera. Inti dari ekosistem ini adalah Taman Nasional Bukit Tigapuluh yang dikelilingi oleh hutanhutan produksi. Bukit Tigapuluh adalah rumah bagi sejumlah spesies megafauna penting seperti harimau sumatera, gajah sumatera, beruang madu, dan tapir malaya. Daerah suaka Taman Nasional Bukit Tigapuluh saat ini terbentang seluas 144.000 ha. Terlebih lagi, wilayah lindung ini berbatasan dengan hutan-hutan produksi yang berada dalam keadaan cukup baik karena sebagian besarnya dikelola dengan cara tebang pilih yang masih menyisakan hamparan kanopi tak terputus. Luas keseluruhan dari wilayah hutan ini (termasuk daerah suaka) adalah sekitar 350.000 ha. Keadaan masa kini dan ancaman terhadap bentang alam Bukit Tigapuluh Taman Nasional Bukit Tigapuluh ditetapkan pada tahun 1995 sebagai gabungan dari Hutan Lindung Seberida di Propinsi Riau dan Suaka Margasatwa Bukit Besar (33.000ha) di Propinsi Jambi. Untuk -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 122 ]


menghubungkan kedua wilayah suaka ini, sebagian luasan hutan produksi terbatas di antara keduanya ditetapkan sebagai bagian dari Taman Nasional. Para pemegang konsesi hutan produksi tentu saja berkeberatan dengan perubahan ini, sehingga pada akhirnya tapal batas Taman Nasional ini lebih ditentukan oleh kompromi dengan permasalahan di dunia nyata daripada prinsip-prinsip ideal perlindungan habitat. Sebagai contoh, sejumlah besar wilayah kaki gunung di tengah hamparan hutan Bukit Tigapuluh (ekosistem Bukit Tigapuluh) tidak termasuk dalam wilayah Taman Nasional dan hingga kini masih dipergunakan sebagai hutan produksi. Taman Nasional Bukit Tigapuluh pada dasarnya berupa sebarisan bukit yang curam tetapi tidak begitu tinggi di tengah wilayah hutan dataran rendah. Hampir seluruh wilayah dataran rendah tersebut dikelola oleh perusahan-perusahaan konsesi perkayuan di sekitar daerah hutan lindung. Walaupun perusahaan-perusahaan konsesi ini telah berhenti beroperasi atau mengalihkan konsesi mereka kepada subkontraktor kecil dalam beberapa tahun terakhir, perluasan taman nasional yang dijanjikan sejak dulu masih tetap belum direalisasikan. Beberapa produsen kertas dan bubur kayu juga sudah mulai mengambil alih hutan-hutan produksi untuk diubah menjadi perkebunan tanaman industri atau kelapa sawit. Sistem pengamanan berbasis masyarakat Pada tahun 2004, Frankfurt Zoological Society mendirikan Satuan Perlindungan Orangutan (Orangutan Protection Units) dengan bantuan keuangan dari Australian Orang-utan Program (Regional Nature Heritage Fund) untuk melindungi habitat alami orangutan di wilayah Bukit Tigapuluh. Sepanjang tahun 2004, dua unit OPU bekerja untuk melindungi lingkungan sekitar program pelepasliaran secara umum, kegiatan pembalakan liar berskala kecil dalam batasan Taman Nasional berhasil dihentikan di semua sektor patroli. Keberhasilan satuan-satuan perlindungan ini mendorong Frankfurt Zoological Society untuk memperluas kegiatan mereka ke tataran seluruh bentang alam pada 2006, bersamaan dengan perubahan nama regu-regu patroli menjadi Satuan Perlindungan Satwa liar (wildlife protection unit). Wewenang perlindungan satuan-satuan ini pun diperluas hingga mencakup semua spesies satwa liar, terutama gajah sumatera di wilayah Bukit Tigapuluh yang hidup di luar batas-batas Taman Nasional. Patroli-patroli ini menjalankan patroli dan pemantauan secara tetap di zona penyangga Taman Nasional sejak tahun 2006. Tahap awal program jagawana berasis masyarakat ini sejak tahun 2004 hingga kini (Juni 2010) bertujuan mendirikan dan menguji sistem satuan perlindungan satwa liar sebagai suatu metode pengamanan Taman Nasional. Sistem patroli ini telah terbukti -

efektif dan dapat diandalkan, jadi FZS bermaksud memperluas jangkauan perlindungan satuan-satuan perlindungan satwa liar hingga mencakup seluruh ekosistem Bukit Tigapuluh dalam rangka melindungi wilayah hutan yang tersisa dan mencegah kejahatan yang terkait dengan margasatwa liar di seluruh wilayah terpatroli. Satuan Perlindungan Margasatwa (Wildlife Protection Unit) Tujuan utama satuan perlindungan berbasis masyarakat adalah membantu otoritas Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Departemen Lingkungan Hidup di Jambi dan Riau dengan cara mendirikan suatu sistem patroli jagawana berbasis masyarakat. Gagasan dasar sistem ini adalah melibatkan penduduk di daerah penyangga Taman Nasional dalam upaya-upaya pelestarian alam melalui perekrutan anggota jagawana dari kalangan masyarakat setempat sehingga pelestarian alam dapat menciptakan lapangan pekerjaan baru. Terlebih lagi, perekrutan jagawana dari masyarakat setempat membuka jalur komunikasi langsung dengan masyarakat karena anggota-anggota dari lingkungan setempat ini pada umumnya cukup mengetahui keberadaan kegiatan ilegal di sekitar daerah tempat tinggal mereka. Dengan cara ini para jagawana dapat bertindak sekaligus sebagai informan dan sebagai petugas komunikasi terhadap masyarakat setempat. Sosialisasi konsep-konsep dan peraturan pelestarian alam merupakan salah satu tugas yang dijalankan satuan-satuan perlindungan satwa liar (wildlife protection unit/WPU) dalam patroli mereka. Setiap regu patroli dipimpin oleh seorang jagawana dari jajaran polisi hutan. Anggota lainnya direkrut dari kalangan penduduk sekitar Taman Nasional untuk menjalankan patroli yang efektif dan tidak banyak memakan biaya. Keterlibatan LSM dalam perencanaan jadwal patroli dan jadwal program telah terbukti efektif dalam mendorong pengembangan jasa-jasa patroli secara progresif dan menggalang pendanaan yang diperlukan untuk menjalankan patroli secara berkelanjutan. . Dana Penegakan hukum Banyak pelanggaran hukum konservasi yang ditemukan oleh dinas kehutanan dan departemen pelestarian alam, tetapi para tersangka dalam kasuskasus ini jarang ditangkap ataupun didakwa di pengadilan. Salah satu penyebab masalah ini adalah kurangnya anggaran patroli yang diperparah dengan peralatan yang tidak memadai dan kesulitan transportasi. Jumlah petugas polisi hutan juga sangat tidak mencukupi dan banyak petugas ini sudah terlalu tua untuk menjalankan patroli dengan efektif. Sekalipun halangan-halangan tersebut dapat diatasi, tindakan-tindakan ilegal belum tentu dapat dituntut di pengadilan karena sistem peradilan di Indonesia tidak berjalan dengan semestinya. Penangkapan tersangka belum tentu berujung pada penuntutan dan -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 123 ]


pendakwaan jika tidak diiringi dengan pembayaran dana tambahan kepada para petugas sistem peradilan karena pengadilan juga menghadapi kekurangan dana seperti yang dialami dinas kehutanan. Walaupun begitu, pada tahun 2007 FZS berhasil mendukung proses hukum terhadap sekelompok pemburu liar orangutan hingga mencapai tahap dakwaan dan penjatuhan hukuman penjara. Dengan harapan mengulang keberhasilan ini, Frankfurt Zoological Society telah mendirikan dan mulai mengelola suatu dana penegakan hukum (terutama dalam proses penuntutan di pengadilan). Departemen pelestarian lingkungan dapat menarik sebagian dari dana ini untuk keperluan penuntutan hukum setelah kasus yang terkait dibicarakan dan disetujui oleh kedua pihak. Dana ini tidak bermaksud membebaskan pemerintah Indonesia dari tugasnya untuk membentuk sistem peradilan yang berjalan dengan baik, tetapi dapat dimanfaatkan untuk menerapkan penegakan hukum secara cepat dalam kasus-kasus berdampak tinggi dengan tujuan memperkuat penegakan hukum di ekosistem Bukit Tigapuluh secara umum. Titik-titik penghubung konservasi (Conservation hubs) Salah satu masalah yang dihadapi dalam upaya “menjual� nilai-nilai dan peraturan pelestarian alam kepada mayarakat Indonesia adalah pandangan umum bahwa hutan, yang sebenarnya merupakan milik pemerintah pusat, adalah tanah kosong yang dapat diduduki seenaknya jika tidak ada perusahaan atau proyek yang memegang hak pengusahaan lahan di sana. Wilayah hutan yang tidak dikelola secara aktif dianggap sebagai lahan tidur yang dapat digarap oleh siapapun. Izin pembukaan hutan untuk pertanian, perkebunan skala kecil, ataupun penebangan kayu biasanya diberikan oleh kepala desa terdekat. Saat Pusat Reintroduksi Orangutan Sumatera (Sumatran Orangutan Re-introduction Centre/SORC) memulai upaya konservasi pada akhir tahun 2002, area proyeknya masih berupa daerah konsesi penebangan aktif yang baru berhenti beroperasi pada akhir 2003. Setelah informasi tentang akhir masa berlaku konsesi penebangan ini tersebar luas, pembalakan liar langsung merajalela dan bengkel penggergajian kayu bermunculan dengan cepat di wilayah bekas konsesi tersebut. Hanya daerah di dekat fasilitas SORC-lah yang tidak dirambah para penebang liar karena keberadaan fisik stasiun SORC dan usaha tanpa henti para petugas SORC dalam meyakinkan para penebang untuk menghindari daerah tersebut. Hutan di sekitar stasiun SORC baru dapat diselamatkan dari penebangan setelah ditetapkannya proyek pelestarian habitat. Dengan semangat yang muncul dari pengalaman tersebut dan keberhasilan satuansatuan pelestarian satwa liar, suatu rencana -

strategis baru dikembangkan untuk memanfaatkan fasilitas-fasilitas pelestarian alam sebagai bagian dari strategi penegakan hukum konservasi. Sasaran rencana ini adalah mendirikan pusat-pusat reintroduksi, pos-pos jagawana, pusat-pusat logistik patroli, sarana riset dan pemantauan, serta sekolah jagawana yang tersebar di dalam batasan Taman Nasional dan di titik-titik strategis untuk mengendalikan kegiatan-kegiatan ilegal di lingkungan ekosistem Bukit Tigapuluh. Hingga tahun 2009, sudah ada dua pusat reintroduksi dan satu pusat logistik yang didirikan dan mencapai tahap aktif. Pendanaan bagi dua pos jagawana sudah didapatkan dan kegiatan pembangunan akan dimulai pada 2010. Selain itu, sudah ada pula pendanaan bagi sekolah jagawana yang dilengkapi dengan pusat pendidikan tentang satwa liar. Sekolah jagawana dan pusat pendidikan satwa liar ini akan menjadi pusat pelatihan utama bagi satuan-satuan perlindungan satwa liar di bawah FZS. Beberapa paket pelatihan untuk satuan-satuan perlindungan telah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir. Paket-paket ini akan ditawarkan oleh staf WPU kepada LSM-LSM dan proyek-proyek lain sebagai kursus pelatihan dalam pembangunan dan pengembangan patroli pelestarian alam berbasis masyarakat di wilayah-wilayah lindung lain. Selain itu, saat sekolah ini tak sedang digunakan untuk pelatihan jagawana, fasilitas-fasilitasnya dapat digunakan untuk kursus-kursus pelestarian satwa liar yang terbuka untuk umum dan dikelola oleh pengajar-pengajar dari Mobile Education Unit. Mobile Education Unit (MEU) Frankfurt Zoological Society memulai program pengujian Mobile Education Units (Satuan Pengajaran Bergerak) selama tiga bulan pada tahun 2007. MEU merupakan tanggapan langsung terhadap suatu insiden penembakan orangutan pada tahun 2006. Sasaran awal pengujian MEU adalah untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat setempat tentang pelepasliaran dan pergerakan orangutan yang dilepasliarkan, cara-cara menangani konflik dengan orangutan di wilayah Bukit Tigapuluh, dan akibat-akibat pelanggaran hukum pelestarian satwa liar. Sejumlah materi pendidikan dasar (poster, folder, buku mewarnai) disediakan untuk disebarkan selama program pendidikan ini. Suatu Mobile Education Unit dengan cakupan yang lebih luas didirikan pada tahun 2009 untuk menjalin hubungan dengan ke-34 permukiman di daerah penyangga dan di dalam Taman Nasional Bukit Tigapuluh, dengan tujuan utama untuk menjalin dialog yang berkelanjutan dengan masyarakat setempat. Salah satu keuntungan sampingan dari kegiatan Mobile Education Unit adalah terbangunnya suatu jaringan informan yang menyediakan informasi -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 124 ]


tentang posisi orangutan yang terlihat oleh penduduk setempat dan memungkinkan tindakan segera jika ada orangutan yang memasuki ladang, pekarangan, atau bangunan milik penduduk agar tidak ada orangutan maupun penduduk setempat yang dirugikan. Paling tidak dua petugas kontak yang dapat diandalkan akan dipilih dari setiap desa sebagai informan untuk Sumatran Orangutan Conservation Programme. Petugas-petugas kontak ini perlu memiliki alat komunikasi yang beroperasi terusmenerus (misalnya radio atau telepon seluler) dan dapat digunakan untuk menghubungi SOCP dengan cepat. Kantor hubungan masyarakat (penyadaran masyarakat) Sumatran Orangutan Conservation Programme di Jambi telah mendirikan kantor hubungan masyarakat yang bertujuan meningkatkan kesadaran masyarakat akan nilai dan keunikan wilayah Bukit Tigapuluh. Kegiatan kantor ini terdiri dari persiapan bahan-bahan pendidikan (seperti folder, poster, dan selebaran) untuk mendukung kegiatan MEU dan penyebaran informasi tentang Program Pelestarian Alam Bukit Tigapuluh (Bukit Tigapuluh Landscape Conservation Programme) ke khalayak luas di seluruh Indonesia. Target yang ingin dicapai adalah: 路 Liputan TV sekali setahun tentang bentang alam Bukit Tigapuluh 路 Terbitan empat kali setahun dalam jurnaljurnal nasional 路 Liputan bulanan dalam surat-surat kabar nasional Kerjasama dengan suku-suku penduduk asli Suku tradisional Talang Mamak hidup di Desa Semeranthian, sangat dekat dengan Sumatran Orangutan Re-introduction Centre. Desa ini dibangun pada tahun 1995 oleh Departemen Sosial untuk menampung anggota-anggota suku Talang Mamak dari wilayah Tanah Datai yang dijadikan Taman Nasional pada tahun 1995. Sekitar 50 keluarga dipindahkan (translokasi) keluar batasbatas Taman Nasional baru tersebut. Sayangnya, setelah pemindahan ini desa tersebut ditinggalkan begitu saja tanpa layanan umum dalam bentuk apapun. Saat ini proyek pelepasliaran orangutan di bawah Frankfurt Zoological Societies menyediakan pekerjaan sebagai petugas stasiun, pengamat orangutan, dan pekerja harian bagi penduduk desa ini. Selain itu, seorang guru dibayar untuk mengelola sekolah dasar di Semeranthian dan beberapa pemeriksaan medis telah dilaksanakan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat desa tersebut. Tindakan-tindakan ini tidak berskala besar dan tidak begitu memberatkan anggaran operasional program ini, tetapi telah meningkatkan penerimaan masyarakat terhadap program pelepasliaran dan membangun hubungan timbal balik dengan masyarakat Talang Mamak.

Rencana Pelaksanaan Konservasi Untuk menggalakkan pelestarian alam pada tataran kewilayahan, Frankfurt Zoological Society menggawangi penyusunan Rencana Pelaksanaan Konservasi (Conservation Implementation Plan/CIP) untuk wilayah Bukit Tigapuluh. Tidak seperti rencanarencana pengelolaan biasa, rencana ini ditiikberatkan pada pengelolaan daerah penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh, bukan pada pelestarian daerah inti Taman Nasional tersebut. Pendekatan ini dipilih karena sudah ada dokumen-dokumen perencanaan yang memadai bagi wilayah Taman Nasional dan juga karena wilayah berhutan yang berbatasan dengan Taman Nasional berperan penting sebagai daerah penyangga ekologis yang melindungi keutuhan biologis daerah Taman Nasional. Garis besar rencana pelaksanaan konservasi ini terpusat pada pengelolaan hutan-hutan yang tersisa di sekeliling Taman Nasional secara berkelanjutan untuk memelihara fungsi-fungsi ekosistem dan melestarikan keragaman hayati yang menakjubkan di wilayah Bukit Tigapuluh. Suatu matriks yang bercakupan luas dan terperinci telah dikembangkan untuk menentukan kegiatan-kegiatan yang perlu didukung dalam rangka pelestarian bentang alam Bukit Tigapuluh. Daftar Pustaka

Harrison B. 1962. The immediate problem of the orangutan. The Malayan Nature Journal 10, 238-61 IUCN 1987. Position Statement on the Translocation of Living Organisms IUCN 1988. Guidelines for Re-introductions prepared by the IUCN/SSC Re-introduction Specialist Group. IUCN, Gland, Switzerland and Cambridge, UK, Beck B. et al. 2007. Guidelines for Great Ape Reintroduction. Gland, Switzerland: SSC Primate Specialist Group of the World Conservation Union. 48 pp. Frey R. 1978. Management of orangutans In: Wildlife management in South-East Asia. Biotrop Spec. Publ. 8: 199-215 Frey, A.R. 1996. Report on Present Situation and Proposal for Establishment of Sustainable Management of Bohorok Orangutan Centre. Unpublished report. MacKinnon, J.R. 1977. Pet orangutans; should they return to the forest? New Scientist 74: 697-699 Rijksen, H.D. and Rijksen-Graatsma, A.D. 1978. Rehabilitation a new approach is needed. Tigerpaper 6 (1):16-18 Rijksen, H.D. 1997. Orangutan viewing centre in Sumatra: recommendations for improving of the Bohorok facility. Unpublished report commissioned by the Director General, PHPA. Rijksen, H.D, and Meijaard, E.1999. Our vanishing relative, Kluwer Academic Publishers, Dondrecht/Boston/London Rosen, N., A. Russon and O. Byers (eds.). 2001. Orangutan Reintroduction and Protection Workshop: Final Report. IUCN/SSC Conservation Breeding Specialist Group, Apple Valley, MN. Russon A.E. 2009. Orangutan rehabilitation and reintroduction. In Orangutan Which et al. Oxford University Press

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 125 ]


Schlegel, H. and Mueller, S. 1839-1844. Bijdragen tot de Natuurlijke Historie van de Orngutan (Simian sattyrus). In C.J. Temminck, ed, Verhandelingen over de natruurlijkegeschiedenis der Nederlandsche overzeesche bezittingen, door de leden de natuurkundige comissie de Indie en andere schijvers. Zoologie 2, 1-28 Singleton, I. and Arpianto, S. 2005. The semi-wild orangutan population at Bukit Lawang: A valuable source for 'ecovisata' and their requirements. Unpublished report. Smits. W.T., Heriyanto, Ramono W.S. 1995 A new method to rehabilitation of orangutans in Indondesia. In The Neglected Ape. Nadler D. at all. Plenum Press , New York and London

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 126 ]


REHABILITASI ORANGUTAN DI SARAWAK oleh Sundai Silang1 dan Ting Huong2 1Protected Areas and Biodiversity Conservation Division, SARAWAK FORESTRY Corporation, Jalan Tapang, Kota Sentosa, Kuching. 2Matang Wildlife Centre, SARAWAK FORESTRY Corporation, Jalan Tapang, Kota Sentosa, Kuching

ABSTRAK Usaha rehabilitasi orangutan di Sarawak dimulai pada tahun 1960 di Taman Nasional Bako. Namun, usaha ini berhenti ketika orangutan-orangutan dari Bako dipindahkan ke Sepilok. Setelah 15 tahun, banyaknya orangutan dan hewan liar lain yang disita atau diserahkan kepada Departemen Kehutanan Sarawak mendorong pembukaan Pusat Rehabilitasi Satwa Liar Semenggoh (yang lalu berganti nama menjadi Pusat Margasatwa Liar Semenggoh) untuk rehabilitasi orangutan. Pusat rehabilitasi ini menerima 42 individu orangutan dari berbagai macam golongan usia. 11 di antaranya telah berhasil menjalani program rehabilitasi dan dilepaskan sebagai orangutan setengah liar; hingga saat ini kelompok ini telah menghasilkan 14 individu keturunan yang juga lahir dalam keadaan setengah liar. Karena jumlah hewan yang masuk ke pusat ini terus bertambah, Pusat Margasatwa Liar Matang dibuka pada tahun 1991 untuk mengurangi beban di Semenggoh, tetapi sekarang Matang telah menjadi pusat perawatan bagi semua hewan liar yang berhasil disita atau diserahkan di samping fungsi utamanya sebagai pusat rehabilitasi orangutan. Makalah ini akan membahas pencapaian-pencapaian dan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh kedua pusat rehabilitasi orangutan ini di Sarawak.

PENDAHULUAN

PUSAT-PUSAT REHABILITASI

P

royek rehabilitasi orangutan pertama di Sarawak dicanangkan oleh Barbara Harrisson pada tahun 1960-an di Taman Nasional Bako. Proyek ini bertujuan merehabilitasi orangutan yang disita agar dapat dilepaskan kembali ke hutan (Harrisson, 1962). Tetapi, kegiatan rehabilitasi di sini dihentikan secara tiba-tiba dan orangutan di dalamnya pun dipindahkan ke Sepilok. Pada dasawarsa 1970-an pemerintah Sarawak menerima banyak orangutan dan satwa liar lain yang disita maupun diserahkan, sehingga gagasan untuk mendirikan pusat rehabilitasi orangutan di negara bagian ini pun mulai dihidupkan kembali. Hewanhewan sitaan ini dikirim ke Departemen Kehutanan untuk menjalani program rehabilitasi, dan Suaka Alam Semenggoh dipilih sebagai tempat yang paling strategis untuk kegiatan ini karena keadaan lingkungan dan kekayaan ragam tumbuhan di daerah sekitarnya. Pada tahun 1975, Pusat Rehabilitasi Satwa Liar Semenggoh didirikan untuk menangani rehabilitasi orangutan dan spesies-spesies satwa liar lain di Sarawak. Dengan semakin banyaknya satwa liar yang berdatangan sehingga Semenggoh tak lagi mampu menangani mereka, sebuah sarana rehabilitasi lain yang bernama Pusat Margasatwa Liar Matang didirikan pada tahun 1998 di Matang, dekat Taman Nasional Kubah. Sejak saat itu, fungsi-fungsi rehabilitasi satwa liar dilimpahkan kepada pusat margasatwa yang baru sementara Pusat Margasatwa Liar Semenggoh hanya merawat orangutan setengah-liar yang kini hidup di Suaka Alam Semenggoh.

Pusat Margasatwa Liar Semenggoh (Semenggoh Wildlife Centre / SWC) Pusat Margasatwa Liar Semenggoh terletak di dekat Kuching, sekitar 30 menit jauhnya dengan bermobil dari pusat kota. Sarana ini merupakan bagian dari luasan 653 hektar hutan hujan tropis yang tercakup dalam Suaka Alam Semenggoh. Fungsi utama SWC saat ini adalah pengelolaan populasi orang utan setengah-liar yang hidup di Suaka Alam Semenggoh. Selain itu, SWC juga menjalankan sejumlah kegiatan penelitian, pendidikan lingkungan, dan wisata lingkungan. SWC dilengkapi fasilitas berupa klinik hewan dengan ruang karantina, pusat informasi dan kegiatan, gedung pameran, dapur satwa, pusat administrasi, jalanjalan setapak melewati hutan, serta akomodasi bagi staf. Sejak SWC didirikan, sarana ini telah merawat sekitar 700 ekor satwa liar (baik spesies yang dilindungi ataupun tidak) selama rentang waktu dari 1975 hingga akhir 1997 (Abang & Onuma, 1997). Hingga tahun 2009, 24 ekor orang utan hidup di Suaka Alam Semenggoh sebagai hewan penjelajah bebas. Pusat Margasatwa Liar Matang (Matang Wildife Centre / MWC) Pusat Margasatwa Liar Matang didirikan pada tahun 1998 sebagai fasilitas “bersaudara� dengan SWC. Sarana ini terletak sekitar 35km dari Kuching, di dalam bentangan hutan tropis Taman Nasional Kubah yang mencakup kurang lebih 2200 ha. Fungsi utama MWC adalah merehabilitasi orangutan dan -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 127 ]


spesies satwa liar lain, penelitian, pendidikan lingkungan, rekreasi alam bebas (outdoor), dan wisata lingkungan. MWC dilengkapi dengan klinik hewan beserta ruang karantina, pusat administrasi, penginapan pengunjung, kandang orangutan beserta sarang malam hari, jalan setapak melewati hutan, dan akomodasi bagi staf. MWC merupakan pusat perlindungan dan rehabilitasi utama bagi satwa liar yang disita atau diselamatkan di Sarawak dalam rangka meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pelestarian spesies langka (bukan hanya orangutan). Berbagai jenis satwa darat dan burung dirawat dalam kandang besar yang menyerupai habitat alami mereka dan perilaku mereka dipantau secara terus-menerus. TAHAP-TAHAP REHABILITASI 1. Penerimaan Satwa Semua satwa liar yang diterima (termasuk orangutan) diproses melalui pencatatan asal, tanggal dan jam kedatangan, usia, berat badan, dan riwayat masing-masing. Informasi tentang setiap ekor/individu hewan disimpan dalam arsip tersendiri yang baru akan ditutup setelah kematian hewan tersebut. 2. Proses Karantina Setiap orangutan yang masuk segera diberi pemeriksaan kesehatan lengkap. Setelah itu, orangutan tersebut dikarantina selama 90 hingga 100 hari (Onuma, 1998) untuk mencegah kemungkinan penularan penyakit kepada orangutan lain. Satwa yang hendak direhabilitasi harus dalam keadaan sehat. Setelah kesehatan satwa tersebut dapat dipastikan, proses rehabilitasi sebenarnya dapat dimulai. Pemeriksaan kesehatan berkala tetap dilakukan sepanjang program rehabilitasi untuk memastikan bahwa satwa tersebut tetap sehat. Pemeriksaan ini meliputi analisis air seni, serologi, bakteriologi, dan rontgen dada untuk mencegah penularan TBC, malaria, dan penyakit-penyakit serupa. Pada akhir masa karantina setiap orangutan akan melewati penilaian kesehatan dengan tujuan menentukan kelayakannya untuk menjalani program rehabilitasi. 3. Tahap 1 (Perawatan) Bayi orangutan dimasukkan ke tahap “perawatan�, sementara anak orangutan (1 - 3 years) menjalani pelatihan “prasekolah� untuk membekali mereka dengan keahlian-keahlian yang diperlukan dalam kehidupan liar di alam bebas, misalnya memanjat pohon dan memanfaatkan keempat tungkai. Pada tahap ini seluruh pelatihan dijalankan di dalam kandang. Kegiatan yang dilakukan dalam kandang meliputi memanjat, merayap, dan berayun, sehingga kandang harus dilengkapi dengan landasan, gantungan, tali, dan peralatan sejenis.

4. Tahap 2 Pelatihan Pelatihan ini dijalankan di sekitar feeding platform (panggung pemberian makan) kurang-lebih 200 m jauhnya dari pusat margasatwa. Tujuan tahap ini adalah mengenalkan orangutan kepada kehidupan di hutan untuk membiasakan mereka dengan lingkungan alam bebas. Di sini, para orangutan bebas menjelajah hutan dengan bantuan terbatas dari para perawat dan mereka didorong untuk mempelajari dasar-dasar keahlian hidup di hutan seperti memanjat, menjelajah, dan bercengkerama dengan orangutan lain. Mereka juga dikenalkan dengan sumber-sumber pangan di hutan sementara suplemen makanan berupa susu dengan tambahan mineral dan vitamin masih diberikan dua kali sehari di feeding platform. Pelatihan ini berlangsung hingga sore sebelum para orangutan dikembalikan ke sarang malam. Tahap ini dapat memakan waktu dua hingga tiga tahun, tergantung usia masing-masing orangutan dan kecepatannya dalam mempelajari keahlian hidup di hutan. 5. Pelatihan Tahap 3 Dalam pelatihan Tahap 3, orangutan dibawa ke suatu daerah yang terletak jauh dari pusat margasatwa atau bahkan ke daerah pelepasan mereka di masa depan. Saat ini, pelatihan ini dijalankan di hutan Taman Nasional Kubah. Orangutan dilepaskan ke hutan sepanjang jangka waktu pelatihan (biasanya seminggu) dan mereka akan dibiasakan untuk menghabiskan malam di hutan (bukan di sarang buatan manusia). Mereka juga didorong untuk mempelajari keahlian bertahan hidup di hutan seperti membangun sarang dan mencari makanan. Para perawat akan memantau setiap orangutan dari jarak jauh dan mencatat setiap kegiatan yang dilakukan masing-masing individu. Pemberian makanan secara berkala masih dilakukan sementara para orangutan bergerak lebih jauh ke dalam hutan dan membiasakan diri mereka dengan lingkungan yang baru. Pelatihan ini masih bersifat sementara, jadi para orangutan dibawa kembali ke pusat margasatwa di akhir setiap waktu pelatihan dan kembali menjalani pelatihan Tahap 2 sampai mereka siap dilepaskan ke hutan. Pelatihan Tahap 3 hanya diberikan kepada orangutan yang telah berusia 4 -7 tahun. 6. Pelepasan Orangutan akan dilepaskan setelah mereka mempelajari semua keahlian dasar yang diperlukan untuk bertahan hidup di hutan. Para pelatih akan menilai kecakapan setiap orangutan selama masa sosialisasi untuk memastikan bahwa hanya individuindividu yang sehat dan memiliki keahlian cukuplah yang akan dilepaskan ke hutan. Lokasi pelepasan akan diteliti untuk memastikan bahwa ada sumber makanan yang memadai dan tidak ada orangutan liar di daerah setempat. Kegiatan pasca-pelepasan seperti pemantauan dan penyediaan makanan akan dilanjutkan hingga para orangutan dapat bertahan hidup secara mandiri di lingkungan hutan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 128 ]


REHABILITASI ORANG UTAN: PENGALAMAN DI SARAWAK Pusat Margasatwa Liar Semenggoh Pada awalnya, Semenggoh menghadapi banyak kesulitan dalam merehabilitasi orangutan karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan staf dalam hal penanganan orangutan. Seiring waktu berjalan, staf SWC berhasil mempelajari cara untuk menjalankan pelatihan dengan baik, dan hingga tahun 1991 pusat ini telah melepaskan 17 dari 42 orangutan yang disita ke hutan Suaka Alam Semenggoh. Enam orangutan sama sekali tidak diikutkan dalam program rehabilitasi karena ukuran mereka terlalu besar dan mereka telah menghabiskan terlalu banyak waktu sebagai piaraan manusia dan dikurung dalam kandang. Oleh karena itu, manajemen SWC memutuskan bahwa orangutan-orangutan tersebut akan dirawat di dalam kandang sepanjang sisa hidup mereka. Selain itu, akibat keterbatasan jumlah staf dan berbagai alasan lain, 19 orang utan dikirim ke tempat-tempat lain di Malaysia untuk keperluan pendidikan, penelitian, dan kebun bianatang. Pusat Margasatwa Liar Matang MWC memulai kegiatan dengan 4 ekor orang utan yang dipindahkan dari SWC (Abdul Kadir dan Abu Bakar, 1999). Karena SWC tidak lagi memusatkan diri pada rehabilitasi orang utan, semua orang utan yang disita selanjutnya diterima di MWC. Hingga tahun 2008, pusat ini telah melatih 11 orang utan yang kemudian dilepaskan ke hutan di sekitar Taman Nasional Kubah (Tabel 1). Dari kelompok ini, 4 orang utan masih kembali sesekali ke pusat margasatwa untuk mendapatkan makanan tambahan, sementara 7 sisanya tidak pernah terlihat lagi walaupun ada tanda-tanda kegiatan mereka (misalnya bekas-bekas sarang) di sekitar daerah pelepasan mereka. Pada saat ini ada 4 ekor orang utan yang sedang direhabilitasi, 2 di antaranya pada Tahap 1 dan 2 lainnya pada Tahap 2. Tabel 1: Status program rehabilitasi orang utan di Pusat Margasatwa Liar Matang.

teramati di antara orangutan penjelajah bebas (semi liar) di SWC adalah sekitar 4-5 tahun, dibandingkan dengan 7-8 tahun pada populasi liar. Tabel 2: Jumlah bayi orangutan yang lahir di Pusat Margasatwa Liar Semenggoh dan Matang antara 1996 dan 2009

ANGKA KEMATIAN Hingga tahun 2009, kedua pusat margasatwa telah mencatat 14 kematian, sebagian besarnya di SWC pada masa-masa awal operasi pusat tersebut. Penyakit merupakan penyebab kematian utama yang paling umum (Tabel 3). Sebagian besar orangutan sitaan yang dikirim ke Semenggoh pada masa itu cenderung tidak sehat atau kurang gizi akibat pemeliharaan yang tidak tepat oleh majikan mereka. Selain itu, SWC pada saat itu masih baru didirikan dan belum dilengkapi dengan sarana dan sumber daya yang memadai untuk merawat hewan-hewan yang sakit. Selain penyakit, ada juga orangutan yang meninggal akibat tersetrum listrik atau secara alami (Tabel 3). Sebagian besar orangutan yang mati adalah orangutan muda atau dewasa, sementara angka kematian bayi di kedua pusat margasatwa tergolong rendah, mungkin karena kebiasaan perawatan anak secara alami masih dilakukan oleh para induk betina yang bersifat semi liar. Tabel 3: Angka dan penyebab kematian orangutan 1979 hingga 2008 di SWC dan MWC

ANGKA KELAHIRAN Secara umum, 19 orangutan dilahirkan di SWC dan MWC dalam rentang waktu antara 1996 dan 2009 (Tabel 2). Di Semenggoh, semua anak orangutan dilahirkan di alam bebas, sementara sebagian besar bayi orangutan di Matang dilahirkan dalam rehabilitasi. Rentang waktu antar kelahiran yang Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 129 ]


TANTANGAN Pembangunan di Daerah Sekitar Saat ini jauh lebih banyak bangunan modern seperti perumahan, gedung-gedung, dan pabrik-pabrik yang berdiri di sekitar SWC jika dibandingkan dengan keadaan 10 tahun yang lalu. Pembangunan lain juga telah direncanakan di wilayah setempat. Perkembangan ini menciptakan tantangan bagi orangutan semi liar karena mereka tidak mengetahui batas-batas antara wilayah manuasia dan wilayah hutan sehingga mereka dapat terlibat konflik dengan manusia. Perubahan Perilaku Sebagian besar orangutan yang disita telah kehilangan kedua orangtua mereka dan tidak memiliki kepercayaan diri sehingga mereka perlu menghabiskan waktu lebih lama dalam program rehabilitasi sebelum mereka dapat dilepaskan ke hutan. Keberhasilan program rehabilitasi orangutan bergantung tidak hanya kepada pelatihan yang diberikan tetapi juga kepada perilaku alami masingmasing orangutan. Perubahan perilaku yang terjadi pada umumnya merupakan akibat kontak dengan manusia dalam jangka waktu lama, terutama di antara orangutan yang pernah menjadi hewan peliharaan. Kecenderungan ini tampak lebih jelas di antara hewan-hewan yang lebih tua dibandingkan dengan orangutan muda atau bayi. Perubahan perilaku juga dapat disebabkan oleh penyediaan makanan tambahan, yang dapat menimbulkan persaingan dan agresi di antara sesama orangutan. Kurangnya Keahlian Memanjat Kekurangan dalam kemampuan memanjat kemungkinan besar disebabkan oleh kebiasaan hidup di tanah dan kurangnya kesempatan untuk memegangi rambut induk orangutan pada masa awal kehidupan. Kedua hal ini menyebabkan rasa kurang percaya diri dan ketidakmampuan untuk memanjat dengan baik. Keahlian memanjat adalah salah satu parameter kunci yang menentukan kemampuan setiap orangutan untuk dilepasliarkan. Keahlian ini wajib dimiliki orangutan yang hendak bertahan hidup di luar. Orangutan yang menghabiskan sebagian besar hidup mereka dalam perawatan manusia biasanya memerlukan masa pelatihan yang lebih panjang karena mereka merasa takut dengan ketinggian. Orangutan Berusia Tua Beberapa orangutan yang diterima pusat margasatwa sudah cukup tua dan bahkan melebihi batas usia pelatihan. Pada dasarnya pelatihan sulit dilakukan bagi individu yang telah berusia lebih dari 6 atau 7 tahun. Orangutan pada usia ini sangat kuat secara fisik dan perilaku mereka tak dapat ditebak. Mereka dapat menyebabkan cedera kepada staf perawat atau pelatih dan dalam beberapa kejadian ada pelatih yang digigit oleh orangutan seperti ini. Perawatan orangutan yang lebih tua merupakan pekerjaan yang berisiko dan berbahaya; oleh karena -

itu, pelatihan umumnya hanya diberikan kepada orangutan yang berusia di bawah 6-7 tahun. Tingginya Biaya Operasi Pada masa kini, perawatan setiap individu orangutan memakan banyak biaya akibat berbagai faktor seperti harga ransum makanan, obat-obatan, perawatan kandang, dan jasa kedokteran hewan. Sebagai contoh, biaya perawatan masing-masing orangutan di MWC adalah sekitar RM 400 – RM 500 per bulan sementara biaya perawatan di SWC lebih murah, sekitar RM 250 – RM 300 per individu per bulan. Perbedaan ini disebabkan karena kehidupan semi liar orangutan di SWC, sehingga staf pusat margasatwa hanya perlu menyediakan makanan, obat-obatan, dan suplemen seperti vitamin atau susu jika dipandang perlu. PERANAN REHABILITASI ORANGUTAN DI MASA DEPAN Pusat-pusat rehabilitasi orangutan masih memegang peranan dalam pelestarian orangutan. Pusat-pusat ini berperan tidak hanya dalam melaksanakan rehabilitasi orangutan tetapi juga dalam menjalankan program-program pendidikan dan penyadaran masyarakat. Hingga kini, kesadaran masyarakat akan pelestarian orangutan masih tegolong rendah dan pusat rehabilitasi dapat turut mendidik masyarakat tentang pentingnya menyelamatkan orangutan dari kepunahan. Pusat margasatwa juga dapat menjadi tempat pendidikan bagi anak-anak sekolah tentang pelestarian orangutan dan satwa liar lain karena adanya fasilitas yang lengkap sehingga anak-anak mampu mendapat pengalaman langsung tentang cara kerja program rehabiltiasi. Bagi industri pariwisata, pusat margasatwa dapat turut menarik perhatian wisatawan. Para wisatawan dapat melihat orangutan yang hidup setengah liar atau dalam penangkaran di pusat margasatwa sehingga mereka tak perlu berjalan jauh ke dalam hutan di taman-taman nasional tanpa kepastian bahwa mereka akan berhasil menemukan orangutan liar. Kegiatan wisata di pusat margasatwa dapat menghasilkan pemasukan keuangan dan mendidik masyarakat tentang pentingnya pelestarian orangutan. Pusat rehabilitasi orangutan juga merupakan lokasi penting bagi penelitian tentang orangutan, terutama tentang ekologi dan biologi spesies tersebut. Orangutan setengah liar di SWC menyediakan kesempatan yang baik bagi penelitian di bidang ekologi dan perliaku satwa liar. Orangutan di sini telah hidup bebas di hutan sejak pelepasan mereka bertahun-tahun yang lalu. Walaupun beberapa dari mereka sempat kembali ke pusat margasatwa untuk mendapatkan makanan tambahan, kontak mereka dengan manusia sangat dibatasi. Selain itu, mereka telah membiasakan diri dengan kehidupan liar sehingga perilaku mereka serupa dengan orangutan liar. Kegiatan pelestarian lebih lanjut seperti rehabilitasi, pelepasliaran, serta pemeliharaan populasi liar dan semi-liar dapat menyelamatkan orangutan dari tepi jurang kepunahan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 130 ]


DAFTAR PUSTAKA Abang, M.A.T. & Onuma, M. (1997). Review of Activities at Semenggoh Wildlife Rehabilitation Centre. Forest Department Sarawak. Abdul Kadir Mohd. Hussain dan Abu Bakar Azman (1999). Preliminary report on the orang utan (Pongo pygmaeus) rehabilitation programme at Matang Wildlife Centre. Tidak diterbitkan. Onuma, M. (1998). Zoonotic Diseases of Confiscated Primates in Semenggoh Wildlife Rehabilitation Centre. Hornbill vol. 2 pp. 212-217. Harrisson, B. (1962). The immediate problem of the orangutan. The Malayan Nature Journal, vol. 16, pp. 4-5.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 131 ]


Parameter reproduksi orangutan kalimantan betina yang dilepasliarkan di Pusat Rehabilitasi Orangutan Sepilok dalam rentang waktu 42 tahun Kuze N.1, Tajima T.2, Alysto S.3, Malim T. P.4, Bernard H.5, Ambu L. N.4 1Wildlife Research Center of Kyoto University, Research Fellow of the Japan Society for the Promotion of Science 2Graduate School of Science, Kyoto University, 3Sepilok Orangutan Rehabilitation Centre, 4Sabah Wildlife Department, 5Uiversiti Malaysia Sabah Penulis utama (pembicara): Kuze Noko Pusat Penelitian Satwa Liar, Universitas Kyoto, Peneliti di Japan Society for the Promotion of Science Alamat: 2-24 Tanaka-Sekiden-cho, Sakyo, Kyoto, 606-8203, Jepang E-mail: nouko@mva.biglobe.ne.jp

Abstrak: Untuk meningkatkan efektivitas progran rehabilitasi/reintroduksi, kami meneliti rekam jejak reproduksi orangutan betina yang telah dilepasliarkan (penjelajah bebas) di Pusat Rehabilitasi Orangutan Sepilok (Sepilok Orangutan Rehabilitation Centre, SORC) di Pulau Borneo, Sabah, Malaysia. Total ada enam belas betina dewasa yang telah melahirkan 32 anak orangutan dalam rentang waktu antara 1967 hingga 2009. Selang waktu antar-kelahiran (interbirth interval, IBI) (anak sebelumnya masih bertahan hidup saat induk melahirkan anak berikutnya) adalah 6,1 tahun (n=4). Angka ini lebih kecil daripada IBI yang tercatat di alam bebas (orangutan liar) tetapi serupa dengan IBI yang tercatat dalam penangkaran (pusat rehabilitasi). Angka kematian bayi orangutan (0–3 tahun) (infant mortality rate, IMR) di SORC adalah 70% (n=20), lebih tinggi daripada angka rata-rata baik di alam liar maupun dalam penangkaran. Rasio kelamin anak yang dilahirkan (birth-sex ratio, BSR) sangat timpang: 26 dari 30 bayi orangutan dengan kelamin yang jelas dikenali sebagai betina. Usia rata-rata melahirkan pertama (average age at first reproduction, AFR) adalah 11,0 tahun (n=17), lebih muda dari rata-rata umum baik di alam bebas maupun dalam penangkaran. AFR yang lebih muda dan IBI yang lebih pendek mungkin disebabkan oleh nutrisi yang lebih baik akibat pemberian makanan tambahan oleh manusia baik dalam masa perawatan (oleh manusia) maupun setelah pelepasan. Sementara itu, IMR yang tinggi dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan tentang cara membesarkan anak (efek samping dari perawatan manusia) ataupun oleh persaingan memperebutkan makanan tambahan di lokasi-lokasi pelepasan. Belum ada penjelasan yang pasti atas ketimpangan BSR. Kami mengangkat hasil-hasil ini dalam rangka meningkatkan efektivitas program-program rehabilitasi/reintroduksi, terutama dalam hal tatacara pemberian makan tambahan di lokasi-lokasi pelepasliaran. Kata kunci: rentang waktu antar-kelahiran; angka kematian bayi; ketimpangan rasio kelamin; reintroduksi; makanan tambahan

Pendahuluan tudi tentang parameter reproduksi primata—terutama pada kera-kera besar—merupakan suatu bagian penting dalam penelitian tentang evolusi hominoid (Galdikas dan Wood 1990; Knott 2001, 2009; De Lathouwers dan Van Elsacker 2005; Tutin 1994). Parameter reproduksi orangutan tergolong menarik karena spesies ini memiliki beberapa ciri reproduksi yang unik, seperti: jarak waktu antarkelahiran (IBI) terpanjang di antata primata; angka kematian bayi yang rendah dibandingkan dengan kera-kera besar lain di alam liar (Galdikas dan Wood 1990; Wich et al. 2004, 2009); dan masa kanak-kanak terpanjang di antara semua spesies kera (van Adrichem et al. 2006; van Noordwijk dan van Schaik 2005).

S

Pusat-pusat rehabilitasi menyediakan subyek orangutan bagi sejumlah sudi etologi (perilaku), kedokteran hewan, dan psikologi (Kaplan dan Rogers 1994; Kilbourn et al. 2003; Russon 2002, 2007). Proyek-proyek rehabilitasi (reintroduksi) yang mengembalikan orangutan yatim piatu ke habitat hutan telah berlangsung di Pulau Sumatera dan Kalimantan sejak tahun 1960-an (Rijksen dan Meijaard 1999, Russon 2009). Artinya, parameter reproduksi orangutan betina dalam rehabilitasi telah tersedia untuk dipelajari dalam jangka waktu yang cukup lama (Yeager, 1996).

Sejumlah orangutan yang direhabilitasi menerima pemberian makan tambahan dari manusia dalam lingkungan hutan primer. Oleh karena itu, kami dapat menyelidiki pengaruh pemberian makan tambahan tersebut terhadap parameter reproduksi orangutan dibandingkan dengan orangutan-orangutan lain baik di alam bebas maupun dalam penangkaran. Beberapa studi sebelum ini telah membandingkan parameter reproduksi individu-individu dari spesies yang sama dengan dan tanpa pemberian makan tambahan oleh manusia. Studi-studi tersebut menunjukkan bahwa dampak makanan tambahan pada umumnya positif: kedewasaan seksual pada usia yang lebih muda dan masa menyusui serta IBI yang lebih pendek. Pemberian makan tambahan bahkan dapat meningkatkan tingkat kebertahanan hidup melalui penyediaan nutrisi yang lebih baik (Macaca fuscata: Sugiyama dan Ohsawa 1982; Papio anubis: Strum dan Western 1982; Semnopithecus entellus: Borries et al. 2001). Di sisi lain, beberapa studi juga menemukan efek negatif dari pemberian makan tambahan: peningkatan angka kematian akibat kompetisi agresif dalam memperebutkan makanan (M. sylvanus: Teas et al. 1981) dan peningkatan penyebaran penyakit (P. troglodytes: Wrangham 1974). Kami meneliti parameter reproduksi orangutan betina yang dilepasliarkan (penjelajah bebas) dari spesies

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 132 ]


P. P. morio yang diberi makanan tambahan oleh manusia sesuai dengan data yang dikumpulkan di Sepilok Orangutan Rehabilitation Centre (SORC) dalam rentang waktu 42 tahun. Kami lalu membandingkan hasil-hasil penyelidikan tersebut dengan data yang telah diterbitkan tentang spesies Pongo spp., baik yang hidup bebas (liar) maupun dalam penangkaran (rehabilitasi). Kami juga menentukan faktot-faktor yang mungkin mempengaruhi parameter-parameter ini dan menyarankan sejumlah perbaikan yang dapat diterapkan dalam program-program rehabilitasi. Metode Lokasi dan Subyek Studi Pusat Rehabilitasi Orangutan Sepilok (05'51.841”N, 117'57.003”E) (sejak 1964) adalah salah satu pusat rehabilitasi tertua di dunia. Pusat ini telah menerima lebih dari 600 orangutan (P. p. morio) yatim piatu dari seluruh Sabah dan melepasliarkan sekitar setengah dari jumlah tersebut ke Hutan Lindung Kabili-Sepilok (Kabili-Sepilok Forest Reserve, SFR). Suaka ini terdiri dari 42 km2 hutan primer yang terletak tepat di sebelah pusat rehabilitasi. Orangutan-orangutan pendatang baru dibawa melewati tes kesehatan lengkap, termasuk tes darah dan TB. Berikutnya pendatang dikarantina selama 90 hari untuk memastikan bahwa mereka bebas penyakit. Usai dikarantina, orangutan yang masih bayi (umur 0-3 tahun) umumnya dirawat di dalam ruangan yang dilengkapi kandang baik di dalam maupun di luar ruangan. Orangutan yang lebih tua (umur >3 tahun) dapat dilepas langsung ke SFR jika individu yang bersangkutan dinyatakan sehat. Data tentang besar populasi orangutan liar asli di SFR tidak tersedia, tetapi Sabah Wildlife Department (SWD) mengadakan sensus sarang dari helikopter pada tahun 1997 dan memperkirakan bahwa populasi total orangutan pada saat itu adalah sekitar 200 (100–300) individu (Ancrenaz et al. 2005). SORC menyediakan 2–6 panggung makanan (feeding platforms, FP) di hutan sepanjang masa 42 tahun yang kami amati. Saat ini SORC menyediakan bahan makanan (pisang, tebu, dan susu) di dua FP setiap hari pada jam 10 pagi dan 3 sore. Orangutan yang telah dilepasliarkan dapat mengonsumsi tidak hanya makanan yang disediakan di FP tetapi juga makanan yang tersedia secara alami (buah-buahan, dedaunan, kulit kayu, dsb.) di dalam hutan (Kuze et al. 2005a). Orangutan-orangutan ini secara berangsur-angsur belajar untuk hidup mandiri dengan cara mengamati perilaku orangutan yang lebih tua (orangutan muda, usia 7–15 tahun, dan dewasa yang mendatangi FP) (Grundmann 2006; Russon 2002). Jika ada orangutan muda (berusia di bawah 7 tahun) tampak menderita penyakit atau cedera, staf SORC akan secepatnya menangkap individu tersebut dan memberikan perawatan yang diperlukan. Wa l a u p u n k e b a n y a k a n o r a n g u t a n y a n g dilepasliarkan menyebar keluar dari daerah sekitar

FP dalam hitungan bulan atau tahun setelah pelepasan mereka (Kuze et al. 2005a), sejumlah orangutan betina dewasa melahirkan dan merawat anak-anak mereka di hutan di dekat FP. Betina-betina ini mengunjungi salah satu atau kedua FP hampir setiap hari antara 2001 – 2004. Rentang waktu terpanjang tanpa kunjungan mereka ke FP dalam periode ini adalah 2 minggu. Ayah bayi-bayi orangutan ini diasumsikan sebagai pejantan-pejantan orangutan liar maupun hasil pelepasliaran di daerah setempat. Kadang-kadang jantan dewasa berpipi (flanged male) liar yang belum pernah mengunjungi FP teramati di hutan bersama betina dewasa yang sering mendatangi FP. Selain itu, panggilan panjang (long call)yang dibuat oleh jantan dewasa berpipi liar dapat didengar di dekat SORC. Walaupun begitu, tidak ada jantan dewasa tidak berpipi (unflanged male) liar yang teramati di sekitar SORC dalam rentang waktu 2001 - 2004. Pejantan muda (berusia di bawah 15 tahun) di SORC dapat juga merupakan ayah bayi-bayi tersebut karena pejantan-pejantan ini sering terlihat kopulasi dengan betina muda (berusia 7 sampai 10 tahun) di sekitar SORC. Paling tidak 3 kopulasi penuh antara pejantan muda dan betina muda teramati dalam rentang waktu 2001 hingga 2004. Pengumpulan dan Analisis Data Staf SORC memperkirakan usia setiap orangutan dengan cara mengukur gigi-gigi dewasa dan berat badannya, serta mengamati pola perilaku mereka pada saat kedatangan di SORC (ref.: gigi dewasa dan berat badan: Fooden dan Izor 1983; perkembangan perilaku: Kaplan dan Rogers 1994; serta Kuze et al. 2005b). Cara perkiraan seperti ini dapat menyebabkan perhitungan usia yang terlalu rendah karena gigi dewasa satwa liar muncul pada usia lebih tua daripada gigi dewasa satwa dalam penangkaran (simpanse: Zihlman et al. 2004). Staf juga mencatat tanggal pelepasliaran setiap orangutan dan tanggal kunjungan terakhirnya ke FP. Selain itu, jika orangutan hasil rehabilitasi mengunjungi FP dengan membawa bayi baru, staf SORC mencatat tanggal pengamatan pertama atas bayi tersebut, menentukan jenis kelaminnya, dan memperkirakan usianya. Usia dan jenis kelamin bayi umumnya ditentukan melalui pengamatan langsung. Data kelahiran bayi diperhitungkan atas dasar hasilhasil pengamatan ini. Data hasil pengamatan langsung di SFR oleh penulis utama dari Maret 2001 hingga 2004, dan oleh penulis kedua dari Maret 2009 hingga Maret 2010, juga digunakan untuk mendukung penelitian kami. Analisis Statistik Perbedaan antara populasi-populasi lain (baik liar, dalam rehabilitasi, ataupun dalam penangkaran) dan populasi yang kami pelajari diuji dengan metode Ryan sebagai uji post-Hook untuk jarak waktu -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 133 ]


antarkelahiran (IBI), usia melahirkan pertama (AFR), angka kematian bayi (IMR), dan rasio kelamin bayi (BSR). Uji binomial digunakan untuk menentukan apakah proporsi bayi jantan yang dilahirkan lebih besar dari nilai yang diharapkan (0,5) atau tidak. Hasil -hasil Tujuh belas orangutan betina dewasa melahirkan 30 bayi (termasuk sepasang anak kembar dan dua bayi yang lahir dalam keadaan mati) dalam rentang waktu 42 tahun (Tabel 1). Tabel 2 membandingkan parameter-parameter reproduksi antara populasi yang diteliti, populasi liar, dan populasi dalam penangkaran. Parameter-parameter tersebut adalah IBI lengkap (lengkap: masih ada anak yang hidup saat induk mendapatkan anak yang baru), IMR (antara usia 0 dan 3 tahun), BSR, dan AFR. IBI lengkap rata-rata yang teramati adalah 6,6 tahun (jangkauan 5,0 – 7,5, n = 4 tahun, jumlah betina =4). IBI rata-rata ini serupa dengan nilai orangutan kalimantan yang lahir dalam penangkaran (6,2 tahun), orangutan sumatera yang lahir dalam penangkaran (5,7 tahun) dan subspesies yang sama (P. p. morio) di alam liar tetapi lebih pendek dari spesies/subspesies orangutan lain di alam bebas (7,0 – 9,3 tahun). Nilai AFR adalah 11,0 tahun (n = 17, SD = 2,1, kisaran 7 – 16), lebih muda dari usia yang ditemukan pada populasi liar P. p. wumbii (Tanjung Puting: 15,7 tahun, n = 3, SD = 0,5, kisaran 15–16) dan orangutan sumatera (Ketambe: 15,4 tahun, n = 7, SD = 1,6, singkaran 13–18); serta orangutan dalam penangkaran di Kalimantan (15,5 tahun, n=88, SD=0,56) maupun Sumatera (16,4 tahun, n=101, SD=0,55). Nilai AFR ini menampakkan perbedaan yang signifikan dengan nilai dari populasi liar (Sepilok – Ketambe: p<0,01) maupun dalam penangkaran (Sepilok – Kalimantan: p<0,01; Sepilok – Sumatera: p<0,01). IMR orangutan berusia 0 hingga 3 tahun adalah 64%, dengan 16 kematian di antara 25 bayi orangutan (Tabel 1; tidak termasuk 'tidak yakin' dan 2 yang lahir mati). Dua individu lagi mati pada usia muda, masing-masing pada usia empat dan tujuh tahun (PP474 dan PP193). IMR ini jauh lebih tinggi dari nilai yang ditemukan pada orangutan Sumatra liar (Ketambe: n = 29, 7%, p<0,001; Suaq Balimbing: n = 23, 17%, p<0.001) dan orangutan dalam penangkaran (Kalimantan: n = 440, 20,5%, p<0,001; Sumatera: n = 504, 22,4%, p<0,001). 26 dari 30 anak orangutan dengan jenis kelamin yang jelas teramati sebagai orangutan betina, dibandingkan dengan tiga jantan (Tabel 1). Nilai BSR ini jauh berbeda dari 0,5 (uji binomial, p<0,001). BSR di Sepilok (n = 27, 0,11) jauh lebih kecil dari nilai pada orangutan Sumatera liar (Ketambe: n = 28, 0,57, p<0,01; Suaq Balimbing: n=25, 0,56, p<0,05) maupun dalam penangkaran (n = 755, 0,51, p<0,05).

Diskusi Ciri-ciri parameter reproduksi dalam populasi orangutan yang kami pelajari adalah: 1. IMR lebih tinggi dari populasi lain, baik liar maupun dalam penangkaran 2. IBI serupa dengan nilai pada subspesies yang sama dan populasi di penangkaran tetapi lebih pendek dari nilai pada populasi liar subspesies/spesies lain. 3. AFR lebih muda dari nilai pada populasi liar maupun penangkaran. 4. BSR jauh lebih timpang ke arah bayi betina daripada hasil di populasi lain, baik liar maupun dalam penangkaran. Angka kematian bayi (Infant mortality ratio / IMR) Nilai IMR yang tinggi mungkin disebabkan oleh perawatan manusia dan kecenderungan berkumpul yang lebih tinggi di sekitar lokasi pemberian makanan tambahan. Adanya orangutan berkumpul yang lebih besar mungkin telah meningkatkan penularan penyakit (Altizer et al. 2003; Nunn et al. 2004) dan kecenderungan agresif (e.g. Goodall 1986; Wrangham, 1974). Cocks (2007) melaporkan bahwa nilai IMR di antara orangutan betina yang dibesarkan oleh manusia lebih tinggi dari nilai di antara betina-betina yang dibesarkan oleh induk mereka sendiri. Di Sepilok, setiap orangutan betina mengalami lebih dari satu kematian anak (Tabel 1). Dalam kata lain, kemampuan betina hasil rehabilitasi dalam merawat anak-anak mereka tampak sama buruknya dengan betina yang dibesarkan (dipelihara) oleh manusia. Nilai IMR yang tinggi dan perawatan bayi yang buruk dalam populasi hasil rehabilitasi telah dilaporkan juga oleh Yeager (1997) dan Russon (2009). Rata-rata 9,0 orangutan (n=85, SD=3,1, jangkauan 215, Kuze - data belum diterbitkan) mengunjungi FP pada setiap waktu makan sepanjang tahun 2004. Pertemuan yang lebih sering dengan sesama anggota spesies di FP memberikan lebih banyak kesempatan untuk melakukan kontak fisik. Rata-rata ukuran kelompok yang umum bagi orangutan betina dewasa liar adalah 1–1,2 individu di Kalimantan dan 1,8–2 individu di Sumatera (van Schaik, 1999). Selain itu, perilaku sosial, terutama yang melibatkan kontak fisik, hanya mengambil bagian kurang dari 1% waktu kegiatan di antara populasi liar (Fox et al. 2004). Seringnya perkumpulan dengan sesama orangutan dapat meningkatkan penularan penyakit. Orangutan yang telah dilepasliarkan (menjelajah bebas) di sekitar SORC lebih mudah terpapar virus daripada orangutan liar (Wolfe et al. 2002; Kilbourn et al. 2003). Selain itu, betina penjelajah bebas di Sumatera lebih cenderung terjangkit parasit saluran pencernaan daripada pejantan. Perbedaan ini kemungkinan disebabkan oleh kecenderungan yang berbeda dalam tingkat kontak fisik dengan orangutan lain (Mul et al. 2007). Empat dari 16 bayi orangutan yang mati di Sepilok diketahui terjangkit malaria (PP182 and -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 134 ]


PP202) dan infeksi oportunis (PP474: Klebsiella spp dan Proteus spp dan PP554: r-Streptococcus spp). Selain itu, satu induk (PP167) juga meninggal akibat infeksi oportunis (r-Streptococcus spp serogroup D dan Candida spp). Tidak ada wabah penyakit serius yang tercatat di SORC sepanjang rentang waktu 42 tahun yang dipelajari dalam studi ini. Sejumlah staf dan sukarelawan juga telah mengalami kontak fisik dengan orangutan muda yang dilepasliarkan (penjelajah bebas) serta dengan lebih dari 100 orang wisatawan yang mendatangi SORC setiap hari. Walaupun sukarelawan dan staf mendapat pemeriksaan medis berkala dan para wisatawan tidak diperbolehkan menyentuh orangutan (staf SORC selalu menjaga jarak minimal 5 m antara wisatawan dan orangutan), orangutan yang kami teliti jelas telah lebih terpapar penyakit yang menyebar dari manusia dibandingkan dengan populasi-populasi orang utan liar (Muehlenbein et al. 2010). Studi-studi terdahulu melaporkan kecenderungan agresi yang lebih tinggi di antara kelompokkelompok orangutan penerima makanan tambahan pada waktu-waktu pemberian makan, apalagi jika akses terhadap persediaan makanan dibatasi dengan cara apapun (e.g. Goodall 1986; Wrangham, 1974). Di Sepilok, persaingan terbuka untuk memperebutkan makanan—terutama yang menyulut perkelahian—tidak banyak terlihat pada 2001–2004. Sementara itu, ada tiga kasus penculikan dalam rentang waku 42 tahun yang kami pelajari. PP037, betina sedang hamil, menculik cucunya (PP211) dari anak betinanya (PP080) tak lama sebelum kematian PP21. PP173, yang juga sedang hamil, sepertinya menculik cucunya (PP643) dari anak betinanya (PP249). Setelah kejadian itu sang ibu (PP249) tak pernah lagi terlihat di dekat FP sementara si nenek (PP643) masih ditemui di sekitar FPs. Tak lama setelah melahirkan, PP173 mencoba untuk menculik bayi (PP670) dari betina yang tak berhubungan darah dengannya (PP498), dan kemudian sang ibu maupun bayinya tak pernah terlihat lagi di sekitar FP. Anehnya, dua dari tiga kasus penculikan tersebut terjadi antara induk dan betina keturunannya (PP037 dan PP080, PP173 dan PP249) walaupun hanya ada dua pasang betina yang berhubungan darah di antara sekian banyak orangutan betina yang kami teliti; jadi, penculikanpenculikan ini kemungkinan besar bukan merupakan adaptasi perilaku terhadap perebutan makanan (cf. penculikan di kalangan simpanse liar, Goodall, 1986 dan Townsend et al. 2007). Dua kasus kanibalisasi induk-bayi yang tidak biasa juga pernah dilaporkan terjadi di Bukit Lawang, Sumatera. Kejadian ini mungkin merupakan perilaku tak biasa yang terkait dengan tekanan lingkungan (environmental stressors) di daerah setempat (Dellatore et al. 2009). Penculikan yang terjadi di Sepilok juga kemungkinan besar merupakan perilaku tak biasa yang disebabkan oleh tekanan lingkungan dalam bentuk kepadatan populasi yang tinggi.

Jarak waktu antar kelahiran (Interbirth interval / IBI) dan Usia melahirkan pertama (Age at first reproduction / AFR) Singkatnya IBI lengkap mungkin disebabkan oleh ukuran sampel yang kecil sementara AFR pada orangutan yang kami pelajari mungkin terpengaruh oleh perkiraan usia yang terlalu rendah. Walaupun begitu, nutrisi yang lebih baik akibat pemberian makanan tambahan kemungkinan besar juga merupakan faktor-faktor yang turut menyebabkan IBI yang pendek dan AFR yang lebih muda (Knott, 2001; Sugiyama dan Ohsawa 1982; Strum dan Western 1982; Borries et al. 2001). Terlebih lagi, pemberian makanan tambahan menyebabkan pertemuan yang lebih sering dengan sejumlah jantan di sekitar FP daripada di alam liar maupun dalam penangkaran. Faktor terakhir ini dapat menyebabkan hubungan seksual pada usia yang lebih muda dan nilai IBI yang lebih pendek dibandingkan orangutan lain di alam bebas (liar) maupun dalam penangkaran. Namun nilai IBI yang serupa tercatat di populasi liar di Taman Nasional Kutai (6,1 tahun oleh Dr. Suzuki, diterbitkan dalam Wich et al. 2004). Kutai dan Sepilok merawat subspesies yang sama, yaitu P. p. morio. Perbedaan morfologis dan ekologis antara P. p. morio dan spesies/subspesies lain (Taylor, 2006; Taylor dan van Schaik, 2007, Kanamori et. al. 2010) berarti bahwa P. p. morio juga memiliki nilai parameter reproduksi yang berbeda (Wich et al., 2009, Knott 2009). Tetapi, data yang kami miliki masih sangat terbatas, sehingga masih perlu diadakan penelitian lebih lanjut untuk memperjelas nilai-nilai parameter reproduksi P. p. morio. Ketimpangan rasio jenis kelamin (birth sex ratio / BSR) BSR di Sepilok sangat timpang ke arah betina. Dalam laporan penelitian sebelumnya (Kuze et. al. 2008) kami telah mencoba untuk menjelaskan penyebab ketimpangan BSR yang muncul dalam hipotesis Trivers dan Willards (Trivers dan Willard 1973), mulai dari kesehatan induk yang buruk, penjangkitan parasit, dan/atau tekanan sosial yang tinggi (tetapi bukan kekurangan makanan) akibat persinggungan dengan sesama orangutan di sekitar FP. Tetapi studi terbaru kami menemukan bahwa BSR di kedua populasi orangutan bekas sitaan lain justru timpang ke arah jantan (Kuze et. al. 2010). Pada saat ini kami belum menemukan faktor-faktor penentu yang berpengaruh kuat terhadap ketimpangan BSR ini. Pelestarian Pada awalnya, betina hasil rehabilitasi/reintroduksi yang melahirkan keturunan di hutan sudah dipandang sebagai sebuah keberhasilan. Sayangnya, hasil-hasil penelitian kami menunjukkan bahwa hasil reproduksi betina-betina tersebut tidaklah bebas dari berbagai masalah. Selain angka kematian bayi yang tinggi, usia yang relatif muda pada awal masa reproduksi dapat berakibat buruk pada kesehatan induk orang utan. Cocks (2007) melaporkan bahwa permulaan reproduksi pada usia yang lebih muda di antara orangutan sitaan dapat

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 135 ]


meningkatkan risiko kematian induk sehingga kopulasi/hubungan seksual sebaiknya ditunda hingga orangutan betina berusia 12–15 tahun. Di Sepilok beberapa induk yang lebih muda mengalami penurunan kesehatan setelah melahirkan. Sebagai contoh, setelah PP636 (usia 10 tahun) ditemukan bersama bayi yang sudah mati di dekat SORC, betina tersebut melemah secara fisik hingga perlu ditangkap untuk perawatan medis. Cocks (2007) juga berpendapat bahwa proses kelahiran cukup berbahaya bagi orangutan betina sitaan dan selang waktu antarkelahiran yang pendek dapat berdampak negatif terhadap kelangsungan hidup. Di Sepilok banyak orangutan betina yang tampaknya sering melahirkan sebagai akibat dari angka kematian bayi yang tinggi, dan kecenderungan ini sepertinya merupakan beban bagi kesehatan betina-betina tersebut. Sebagai contoh, PP249 hamil setiap dua tahun sejak 2005 (2007 dan 2009) dan tampaknya kehilangan berat setelah anaknya lahir dalam keadaan mati pada tahun 2009. Jadi, untuk menjaga kesehatan orangutan betina hasil rehabilitasi dan mengurangi dampak negatif terhadap kelangsungan hidup mereka, kami menganjurkan tindakan untuk mencegah kehamilan di antara orangutan betina muda (betina berusia di bawah 12 tahun). Pemantauan yang lebih teliti terhadap para betina, terutama setelah kelahiran, juga mungkin dapat membantu. Lalu, perlu diadakan penelitian atas kemungkinan bagi dukungan positif dan pengendalian reproduksi di antara orangutan betina hasil rehabilitasi. Kontrasepsi yang tidak permanen telah berhasil diterapkan pada orangutan sitaan (Porton 2007). Ada pula acuan tentang pengendalian angka kelahiran dalam populasi yang menerima makanan tambahan dari manusia. Para betina dalam suatu populasi monyet Jepang di Arashiyama diberi makanan buatan yang mengandung progesteron sintetis selama musim kawin oleh staf administrasi taman setempat dalam rangka mengendalikan pertumbuhan populasi tersebut (Nozaki 2009). Hasil-hasil yang kami temukan menunjukkan pahwa pemberian makanan setiap hari di FP dapat berakibat buruk terhadap kesehatan populasi orangutan hasil rehabilitasi. Kepadatan populasi yang tinggi akibat ketersediaan makanan di sekitar FP meningkatkan risiko penularan penyakit dan ketegangan sosial. Metode pemberian makanan tambahan yang lebih baik di lokasi pelepasan telah terbukti dapat mengurangi masalah-masalah seperti ini. Sebagai contoh, di Bukit Tigapuluh, Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) telah menjalankan program reintroduksi sejak 2002; di lokasi ini SOCP memberikan makanan dengan menggunakan tongkat panjang untuk mencegah kontak fisik dan menjaga agar orangutan yang diberi makan tak perlu turun ke tanah (Cocks dan Bullo 2008) .

Selain memberikan perawatan bagi orangutan yang diambil dari alam liar dan mengembalikan mereka ke kehidupan bebas di pepohonan (Russon 2009), kita juga perlu menjaga kesehatan induk-induk orangutan bersama dengan keturunan mereka dalam rangka melestarikan orangutan. Ucapan Terima Kasih Federal Economic Planning Unit dan Sabah Economic and Planning Unit di Malaysia atas izin bagi penelitian ini. Kami juga hendak berterimakasih kepada staf di Sepilok Orangutan Rehabilitation Centre di Sabah dan kepada Sabah Wildlife Department untuk dukungan mereka bagi penelitian kami. Selain itu, kami berterima kasih kepada Ann Russon, Dave Dellatore, Graham L Banes dan Peter Pratje untuk saran-saran berharga yang telah mereka berikan. Sebagian pendanaan studi ini berasal dari The Shikata Memorial Trust for Nature Conservation, Tokyo Zoo Conservation Fund, Grant for Environmental Research Projects of The Sumitomo Foundation, JSPS-HOPE, program COE abad ke-21 di Graduate School of Science, Kyoto University (A14), program COE Global di Graduate School of Science, Kyoto University (A06), Japan Global Environment Research Fund (F-061) dan JSPS Research Fellowships for Young Scientists. Daftar Pustaka

Altamm J, Murhthi P (1988) Differences in daily life between semiprovisoned and wild-feeding baboons. Am J Primatol 15:213-221 Altizer S, Nunn CL, Thrall PH, Gittleman JL, Antonovics J, Cunningham AA, Dobson AP, Ezenwa V, Jones KE, Pedersen AB, Poss M, Pulliam JRC (2003) Social organization and parasite risk in mammals: integrating theory and empirical studies. Annual Review of Ecology, Evolution, and Systematics 34:517-547 Ancrenaz M, Gimenez O, Ambu L, Ancrenaz K, Andau P, Goossens Bt, Payne J, Sawang A, Tuuga A, LackmanAncrena I (2005) Aerial surveys give new estimates for orangutans in Sabah, Malaysia. PLoS Biol 3:1-8 Anderson HB, Emery Thompson M, Knott CD, Perkins L (2007) Fertility and mortality patterns of captive Bornean and Sumatran orangutans: is there a species difference in life history? J Hum Evol in press Boesch C, Boesch-Achermann H (2000) The Chimpanzees of the TaĂŻ Forest: Behavioural Ecology and Evolution. Oxford University Press, Oxford Borries C, Koenig A, Winkler P (2001) Variation of life history traits and mating patterns in female langur monkeys (Semnopithecus entellus). Behav Ecol Sociobiol 50:391-402 Clark AB (1978) Sex ratio and local resource competition in a prosimian primate. Science 201:163-165 Clutton-Brock TH, Iason GR (1986) Sex ratio variation in mammals. Quart Rev Biol 61:339-74 Cocks L (2007) Factors influencing the well-being and longevity of captive female orangutans. Int J Primatol 28:429-440 Cocks L, Bullo K (2008) The processes for releasing a zoobred Sumatran orang-utan Pongo abelii at Bukit Tigapuluh National Park, Jambi, Sumatra. Int Zoo Yearb 42:183-189

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 136 ]


De Lathouwers M, Van Elsacker L (2005) Reproductive parameters of female Pan paniscus and P. troglodytes: Quality versus quantity. Behav Ecol Sociobiol 50:391-402 Dellatore DF, Waitt CD, Foitova I (2009) Two cases of mother–infant cannibalism in orangutans. Primates 50:277-281 Fooden J, Izor R (1983) Growth curves, dental emergence n o rms, a nd su p ple me n ta ry morph o lo g ica l observations in known-age captive Orangutans. Am J Primatol 5:285-301 Fox EA, van Schaik CP, Sitompul A, Wright DN (2004) Intra-and interpopulational differences in orangutan (Pongo pygmaeus) activity and diet: Implications for the invention of tool use. Am J Phys Anthropol 125:162-174 Galdikas B (1995) Social and reproductive behavior of wild adolescent female orangutans. In: Nadler RD, Galdikas BFM, Sheeran LK, Rosen N (eds) The Neglected Ape. Plenum Press, New York, pp 163-182 Galdikas BM, Wood JW (1990) Birth spacing patterns in humans and apes. Am J Phys Anthropol 83:185-91 Gibson MA, Mace R (2003) Strong mothers bear more sons in rural Ethiopia. Proc Biol Sci 270 Suppl 1:S1089 Goodall J (1986) The Chimpanzees of Gombe: Patterns of Behavior. Harvard University Press, Cambridge Grundmann E (2006) Back to the wild: will reintorduction and rehabilitation help the long-term conservation of orang-utans in Indonesia? Soc Sc Inform 45:265-284 Hens SM (2005) Ontogeny of craniofacial sexual dimorphism in the orangutan (Pongo pygmaeus). I: Face and palate. Am J Primatol 65:149-166 James WH (2005) Possible constraints on adaptive variation in sex ratio at birth in humans and other primates. J Theor Biol 238:383-394 Kanamori T., N. Kuze, T. P. Malim, H. Bernard, S. Kohshima. (2010) Feeding ecology of Borneo orangutan (Pongo pygmaeus morio) in Danum Valley, Sabah, Malaysia: A 3-year record including two mast fruitings. Am J of Primatol (in publish) Kaplan G, Rogers L (1994) Sexual behaviour and reproduction. In: Kaplan G, Rogers L (eds) OrangUtan in Borneo. University of New England Press, Armidale, pp 73-84 Kemkes A (2006) Secondary sex ratio variation during stressful times: the impact of the French revolutionary wars on a German parish (1787-1802). Am J Hum Biol 18:806-821 Kilbourn A, Karesh W, Wolfe N, Bosi E, Cook R, Andau M (2003) Health evaluation of free-ranging and semicaptive orangutans (Pongo pygmaeus pygmaeus) in Sabah, Malaysia. J Wildl Dis 39:73-83 Knott CD (2001) Female reproductive ecology of the apes: implications for human evoulution. In: Ellison PT (ed) Reproductive Ecology and Human Evolution. Walter de Gruyter, New York, pp 429-463 Knott CD, Thompson ME, Wich SA (2009) The ecology of female reproduction in wild orangutans. In: Wich SA, Utami SS, Setia TM, van Schaik CP (eds) Orangutans: Geographical Variation in Behavioral Ecology. Oxford University Press, Oxford, pp 171-188 Kuze N, Kanamori T, Malim TP, Bernard H, Kohshima S (2005a) Ethological study of orangutan in KabiliSepilok Forest Reserve and Danum Valley Conservation Area. In: Ambu LN, Malim TP (eds) 10th Sabah Inter-Agency Tropical Ecosystem (SITE) Research Seminar, Kota Kinabalu, Malaysia, pp 82-99

Kuze N, Malim TP, Kohshima S (2005b) Developmental changes in the facial morphology of the Borneo orangutan (Pongo pygmaeus): possible signals in visual communication. Am J Primatol 65:353-376 Kuze N, Sipangkui S, Malim T, Bernard H, Ambu L, Kohshima S (2008) Reproductive parameters over a 37-year period of free-ranging female Borneo orangutans at Sepilok Orangutan Rehabilitation Centre. Primates 49:126-134 Kuze N, Dellatore D, Banes GL, Pratje P, Tajima T, Russon AE (2010) Reproductive parameters of rehabilitant female orangutans (Pongo spp.); high infant mortality rate and young age at first reproduction. In: The 23rd Congress of the International Primatological Society, Kyoto, Japan Leturque H, Rousset F (2004) Intersexual competition as an explanation for sex-ratio and dispersal biases in polygynous species. Int J Org Evolution 58:2398-408 Muehlenbein MP, Martinez LA, Lemke AA, Ambu L, Nathan S, Alsisto S, Sakong R (2010) Unhealthy travelers present challenges to sustainable primate ecotourism. Tr a v e l M e d i c i n e a n d I n f e c t i o u s D i s e a s e doi:10.1016/j.tmaid.2010.03.004 Mul I, Paembonan W, Singleton I, Wich S, van Bolhuis H (2007) Intestinal Parasites of Free-ranging, Semicaptive,and Captive Pongo abelii in Sumatra, Indonesia. Int J Primatol 28:407-420 Norberg K (2004) Partnership status and the human sex ratio at birth. Proceedings Biological Sciences / the Royal Society 271:2403-10 Nozaki M (2009) Grandmothers care for orphans in a provisioned troop of Japanese macaques ( Macaca fuscata ). Primates 50:85-88 Nunn CL, Altizer S, Sechrest W, Jones KE, Barton RA, Gittleman JL (2004) Parasites and the evolutionary diversification of primate cl ades. Am Nat 164:S90–S103 Porton I (2007) Birth Control Option. In: Sodaro C (ed) Orangutan Species Survival Plan Husbandry Manual. Chicago Zoological Society/Brookfield Zoo, Chicago, p p 6 3 - 7 5 ; https://www.brookfieldzoo.org/shell/?shttplink=../pgpa ges/pagegen.318.aspx Pride RE (2005) Optimal group size and seasonal stress in ring-tailed lemurs (Lemur catta). Behav Ecol 16:550560 Rijksen HD, Meijaard E (1999) Our Vanishing Relative: The status of wild orang-utans at the close of the twentieth century. Kluwer Academic Pub, Dordrecht Russon AE (2002) Return of the native: cognition and sitespecific expertise in orangutan rehabilitation. Int J Primatol 23:461-478 Russon A, Handayani D, Kuncoro P, Ferisa A (2007) Orangutan leaf-carrying for nest-building: Toward unraveling cultural processes. Anim Cogn 10:189-202 Russon AE (2009) Orangutan rehabilitation and reintroduction: Successes, failures, and role in conservation. In: Wich SA, Utami SS, Setia TM, van Schaik CP (eds) Orangutans: Geographical Variation in Behavioral Ecology. Oxford University Press, Oxford, pp 327-350 Shields MD, O'Hare B, Nelson J, Stewart MC, Coyle P (2002) Different sex ratios at birth in Europe and North America. Maternal cytomegalovirus seropositivity affects sex determination. BMJ 325:334 Silk JB (1983) Local resource competition and facultative adjustment of sex ratios in relation to competitive abilities. Am Nat 121:56-66 Silk JB (1984) Local resource competition and the evolution of male-biased sex ratios. J Theor Biol 108:203-213

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 137 ]


Singleton I, van Schaik CP (2002) The social organization of a population of Sumatran orang-utans. Folia Primatol 73:1-20 Strum SC, Western JD (1982) Variations in fecundity with age and environment in olive baboons (Papio anubis). Am J Primatol 3:61-76 Sugiyama Y, Ohsawa H (1982) Population dynamics of Japanese monkeys with special reference to the effect of artificial feeding. Folia Primatol 39:238-263 Teas J, Richie TL, Taylor HG, Siddiqi MF, Southwick CH (1981) Natural regulation of resus monkey populations in Kathmadu, Nepal. Folia Primatologica (Basel) 35:117-123 Townsend SW, Slocombe KE, Emery Thompson M, Zuberbuhler K (2007) Female-led infanticide in wild chimpanzees. Curr Biol 17:R355-R356 Trivers RL, Willard DE (1973) Natural selection of parental ability to vary the sex ratio of offspring.. Science 179:90-92 Tutin CEG (1994) Reproductive success story. Variability among chimpanzees and coparison with gorillas. . In: Wrangham RW, McGrew WC, de Waal FBM, Heltne PG (eds) Chimpanzee Cultures. Harvard University Press, Cambridge, pp 181-193 Utami S, Wich S, Sterck E, van Hooff J (1997) Food competition between wild orangutan in large fig trees. Int J Primatol 18:909927 van Adrichem GGJ, Utami SS, Wich SA, van Hooff JARAM, Sterck EHM (2006) The development of wild immature Sumatran orangutans (Pongo abelii) at Ketambe. Primates 47:300-309 van Noordwijk MA, van Schaik CP (2005) Development of ecological competence in Sumatran orangutans. Am J Phys Anthropol 127:79-94 van Schaik CP, Hrdy S (1991) Intensity of local resource competition shapes the relationship between maternal rank and sex ratios at birth in cercopithecine primates. Am Nat 138:1555-1562 Wich SA, Utami-Atmoko SS, Setia TM, Rijksen HD, Schurmann C, van Hooff JA, van Schaik CP (2004) Life history of wild Sumatran orangutans (Pongo abelii). J Hum Evol 47:385-98 Wich SA, de Vries H, Ancrenaz M, Perkins L, Shumaker RW, Suzuki A, van Schaik CP (2009) Orangutan life history variation. In: Wich SA, Utami SS, Setia TM, van Schaik CP (eds) Orangutans: Geographical Variation in Behavioral Ecology. Oxford University Press, Oxford, pp 65-75 Wolfe N, Karesh W, Kilbourn A, Cox-Singh J, Bosi E, Rahman H, Prosser A, Singh B, Andau M, . AS (2002) The impact of ecological conditions on the prevalence of malaria among orangutans. Vector borne and zoonotic diseases 2:97-103 Wrangham RW (1974) Artificial feeding of chimpazees and baboons in their natural habitat. Anim Behav 22:83-93 Zihlman A, Bolter D, Boesch C (2004) Wild chimpanzee dentition and its implications for assessing life history in immature hominin fossils. P Natl Acad Sci USA 101:10541-10543

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 138 ]


Tabel 1. Daftar subyek (induk dan keturunannya)

Tabel 2. Perbandingan parameter reproduksi

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 139 ]


TINJAUAN MENGENAI PENGELOLAAN KESEHATAN SATWA DI PROGRAM REINTRODUKSI ORANGUTAN KALIMANTAN TENGAH YAYASAN BOS (BORNEO ORANGUTAN SURVIVAL) DI NYARU MENTENG PADA 2007 - 2009 Sulistyo, F., drh. (siska@orangutan.or.id); Rhamdiandi, H. S., Amd.Vet (heldi@orangutan.or.id) Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah Yayasan BOS Di Nyaru Menteng

Abstrak Sebagai sebuah pusat rehabilitasi / reintroduksi primata dengan populasi satwa terbesar di dunia, Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah Yayasan BOS Di Nyaru Menteng terus menghadapi tantangan di bidang kesejahteraan satwa dan masalah konservasi. Pengelolaan kesehatan orangutan memainkan peranan penting dalam hal ini. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk meninjau pengelolaan kesehatan di Nyaru Menteng sejak 2007 hingga 2009. Pada tiga tahun terakhir, populasi orangutan di Nyaru Menteng stabil pada 600 individual, pengelolaan dan pencatatan data juga dalam format yang serupa pada masa itu. Tinjauan ini dilaksanakan dengan menganalisa dokumen dan laporan medis selama 3 tahun terakhir. Parameter keberhasilan pengelolaan kesehatan akan didasarkan pada jumlah kasus yang tercatat setiap bulan, persentase pasien terhadap keseluruhan populasi, perbaikan metode diagnose pada beberapa penyakit utama (TBC, hepatitis B, malaria, strongyloidosis, dan typhoid / salmonellosis) dan tingkat kematian per tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbaikan yang signifikan sebagai hasil dari kerja yang dilaksanakan oleh tim dokter hewan Nyaru Menteng yang profesional. Meskipun demikian, ada beberapa tantangan besar yang dihadapi oleh tim dokter hewan dan semua staff pendukung lainnya dalam meningkatkan kesejahteraan orangutan. Kata kunci: Nyaru Menteng, pengelolaan kesehatan, tim dokter hewan, rekam medis.

digambarkan pada tabel berikut:

PENDAHULUAN Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah Yayasan BOS Di Nyaru Menteng adalah salah satu dari pusat reintroduksi orangutan yang beroperasi di Indonesia. Dibangun oleh Ms. Lone Droscher-Nielsen dengan dukungan dari The Gibbon Foundation pada 1999, program ini telah menjadi pusat penyelamatan primata dengan populasi terbesar di dunia. Program ini terletak di Nyaru Menteng, 28 km di utara Palangkaraya, ibukota Propinsi Kalimantan Tengah, Indoensia. Nyaru Menteng terbagi menjadi 2 situs. Lokasi pertama dimana klinik dan kantor beroperasi (lebih umum disebut sebagai “klinik”) menempati sebidang lahan disebuah areal hutan arboretum yang dimiliki oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) seluas 65.2 ha. Program ini menggunakan sekitar 15 ha dari areal tersebut sebagai sekolah hutan. Lokasi kedua disebut “Nyaru Menteng 2” adalah areal lain yang terpisah sejauh 4 km dari klinik. Fungsi utamanya adalah untuk merawat orangutan dewasa liar dan remaja yang menunggu untuk ditransfer ke lokasi pelepasan dan pra-pelepasan. Area seluas sekitar 15 ha ini dulunya adalah lokasi untuk sekolah hutan 2, tetapi sekarang tidak befungsi demikian. Ada juga 5 pulau sungai yang berlokasi 10 – 15 km dari lokasi klinik. Pulau-pulau sungai ini adalah situs pra-pelepasliaran untuk orangutan dewasa dan remaja yang siap untuk dilepaskan. Ukuran pulau ini berkisar antara 40 – 120 ha. Saat ini klinik Nyaru Menteng sedang merawat 610 orangutan berumur dari 3 minggu sampai 50 tahun. Komposisi orangutan berdasarkan usia mereka -

Tabel 1. Komposisi Populasi Orangutan di Nyaru Menteng berdasarkan usia.

Program Rehabilitasi Pada dasarnya sebuah program rehabilitasi untuk orangutan bertujuan untuk menyiapkan orangutan untuk kembali ke alam liar. Mereka harus sehat secara fisik dan mental untuk mampu bertahan hidup dan berkembang biak di habitat alami mereka setelah direintroduksi. Proses rehabilitasi ini harus dilakukan dengan cara yang benar tanpa mengabaikan prinsipprinsip kesejahteraan satwa, yaitu kebebasan dari ketakutan dan stress, kebebasan dari penyakit dan parasit, dan kebebasan untuk merasa aman, sehat, dan sejahtera ( Pedoman Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan Yayasan BOS, 2009) Ada tiga inti yang harus diperhatikan dalam proses rehabilitasi ini, yaitu pengelolaan kesehatan (medis), perawatan satwa (termasuk aspek perkandangan, sanitasi, dan diet/nutrisi), serta pengayaan perilaku (Pedoman Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan Yayasan BOS, 2009) Tujuan utama untuk seluruh program rehabilitasi ini adalah untuk mereintroduksi orangutan kembali ke alam liar. Segera setelah orangutan dinilai dan -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 140 ]


dinyatakan cukup “liar”, mereka akan dikirim ke hutan yang aman untuk memulai hidup baru mereka di rumah mereka sendiri. Pengelolaan kesehatan di Nyaru Menteng dilaksanakan oleh sebuah tim medis yang terdiri dari dokter hewan dan paramedic. Salah satu dokter hewan bertindak sebagai koordinator tim. Bersama dengan divisi perawat stawa (lebih dikenal dengan sebutan “teknisi” untuk perawat laki-laki, dan “babysitter” untuk perawat perempuan), mereka bertanggung jawab atas kesejahteraan satwa di tempat ini. Kondisi Kesehatan Orangutan Sejak 2007 populasi orangutan di Nyaru Menteng stabil pada kisaran 600 individual. Dengan fasilitas yang tersedia saat ini, jumlah ini terlalu sangat tinggi. Untuk menentukan kapasitas terbawa yang ideal dari program ini akan memerlukan penelitian dan penyelidikan yang lebih jauh, tetapi secara kasar dapat dikatakan bahwa jumlah ideal untuk orangutan yang dapat tinggal disini untuk jangka waktu yang lama haruslah tidak melampaui maksimal 300. Overpopulasi, dikombinasikan dengan komposisi usia orangutan dimana sekitar 45% adalah orangutan muda dibawah usia 7 tahun, menghasilkan resiko tinggi dalam masalah kesehatan. Masalah utama adalah penyakit menular yang disebabkan oleh berbagai agen patogen yang berbeda-beda: bakteri, virus, jamur, dan parasit. Untuk membantu dalam pengelolaan populasi di Nyaru Menteng, tim medis Nyaru Menteng telah menyusun sebuah SOP untuk membantu mereka sendiri dalam melaksanakan aktivitas harian dalam merawat orangutan yang sakit dan juga melaksanakan serangkaian diagnosa laboratories untuk mendukung pemeriksaan fisik. Tetapi itu belum cukup. Tugas yang lebih penting bagi sebuah tim medis adalah untuk mencegah atau meminimalisir penyebaran penyakit menular sebelum mereka mendapat kesempatan untuk menyebabkan lebih banyak kerusakan pada orangutan. Diantara berbagai penyakit menular yang sangat variatif yang dapat menginfeksi orangutan, ada 5 penyakit yang dianggap mempunyai dampak signifikan terhadap status kesehatan orangutan, dan sangat sering ditemukan dalam aktivitas harian kami. Penyakit-penyakit tersebut adalah: Tuberculosis, Hepatitis B, helminthiasis, malaria, dan demam tifoid. Tuberculosis Tuberculosis (TB) adalah salah satu jenis penyakit yang paling penting pada primata non manusia. Pengelolaan yang tepat memerlukan pengawasan yang konstan, karena kehadirannya dapat mengarah pada hasil yang membawa bencana. Kunci untuk mengendalikan adalah diagnose yang akurat, sanitasi program kesehatan untuk para personel, dan karantina. Tidak ada satu tes tunggal yang 100% -

efektif untuk mendiagnosa TB. Spesifisitas dan sensitivitas tergantung pada tingkat kejadian penyakit, jenis infeksi Mycobacteria dan inang dari factor pendukung yang lain (manual dokter hewan PASA) Diagnosa tuberculosis dapat diduga dari keberadaan gejala dan patologi tetapi hanya dapat dikonfirmasi dengan isolasi, yaitu menumbuhkan basilus yang bertanggung jawab atas penyakit tersebut: M. tuberculosis complex; dari specimen yang diambil dari pasien (Davies, 2005). Disamping kasus tuberculosis paru aktif yang mudah dikenali, ada bentuk lain tuberculosis. Infeksi tuberculosis laten terkarakterisasi dengan kehadiran basilus didalam individu inang tetapi tanpa ada bukti gejala atau patologi. Satusatunya bukti mungkin adalah dengan uji kulit tuberculin yang positif atau tes darah dengan Quantiferon atau ELISA yang positif. Jenis tuberculosis laten dapat menjadi mimpi buruk bagi pusat penyelamatan satwa seperti Nyaru Menteng. Ketiadaan gejala pernapasan yang menciri mungkin mengarah ke berbagai macam diagnosa pembanding. Ini, ditambah dengan fakta bahwa belum ada test yang dapat diandalkan atau prosedur untuk menseleksi kondisi laten tuberculosis ini. Belum lagi kenyataan bahwa beberapa tes yang lebih maju seperti quantiferon atau ELISA tidaklah ramah lapangan dan tidak terlalu mudah ditemukan di negara sedang berkembang dimana pusat penyelamatan kera besar pada umumnya berada. Hepatitis B Infeksi HBV (Hepatitis B Virus) adalah masalah kesehatan manusia yang penting dan diperkirakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai penyebab utama nomor Sembilan atas kematian di seluruh dunia (Perillo, 1993). Infeksi HBV adalah endemic di Asia Tenggara, dengan 70 - 90 % populasi menunjukkan bukti paparan terdahulu atau sedang terinfeksi (Margolis, 1993). HBV juga termasuk endemic tinggi di Indonesia, dengan rerata pembawa kronis yang terdeteksi di 11 kota besar berkisar antara 2.1% sampai 9.5% dan rerata setinggi 17.5% dilaporkan di Jayapura, Irian Jaya (Sastrosoewignjo, Sandjaja & Okamoto 1991). Sebelum diketahui lebih jauh, ada bukti penularan penyakit ini pada orangutan. Beberapa orangutan yang dites secara serologi untuk HBV menunjukkan hasil positif. Karena factor ini, selama bertahun-tahun setiap pusat penyelamatan orangutan di Indonesia selalu menyeleksi populasi orangutan mereka dari infeksi viral ini. Pada 2001 Dr. Kris Warren mempublikasikan disertasinya mengenai pengelolaan kesehatan orangutan di Proyek Wanariset Yayasan BOS. Data yang dikompilasi pada saat itu menunjukkan bahwa orangutan terinfeksi dengan sejenis hepadnavirus baru yang berbeda dari, tetapi masih berhubungan dengan HBV manusia. Pada beberapa kasus yang dapat diamati, test laboratorium tidak menunjukkan -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 141 ]


bukti penyakit hepatitis yang nyata pada hewan yang terinfeksi dengan OHV (Orangutan Hepadnavirus). Bagaimanapun, dampak OHV pada ketahanan populasi orangutan liar yang sudah ada masih belum diketahui secara pasti (Warren, 2001). Helminthiasis Orangutan tangkapan sering dipelihara dibawah kondisi yang tidak alami dan dalam kontak yang dekat dengan manusia dan/atau spesies hewan yang lain, yang memungkinkan patogen dengan mudah dipindahkan dari manusia ke orangutan (Chitwood, 1970; Ott-Joslin, 1993) dan sebaliknya. Kondisi ini juga terjadi pada program Nyaru Menteng. Meskipun adanya standard yang tinggi untuk higienitas yang telah diterapkan disini, penyebaran parasit pencernaan antara orangutan dan manusia adalah tak terhindarkan. Dari penelitian yang dilakukan oleh Labes dkk pada 2009, ada bervariasi genus Protozoa (termasuk Entamoeba, Endolimax, Iodamoeba, Balantidium, Giardia dan Blastocystis), nemotoda (seperti Strongyloides, Trichuris, Ascaris, Enterobius, Trichostrongylus dan cacing kait), serta satu trematoda (Dicrocoeliid) ditemukan pada orangutan liar dan di tempat penampungan termasuk di Nyaru Menteng. Mereka juga menyimpulkan bahwa sementara usia adalah pengaruh yang terbesar untuk resiko infeksi untuk Strongyloides pada individu, tempat penampungan juga secara signifikan mempengaruhi resiko infeksi Balantidium pada grup bekas tangkapan. Malaria Malaria adalah penyakit yang dapat mengancam jiwa yang disebabkan oleh parasit yang disebarkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi (WHO, 2010). Karena penyakit ini digolongkan sebagai ancaman jiwa pada manusia, menemukan bukti adanya parasit ini pada orangutan mengarahkan malaria untuk diidentifikasi sebagai ancaman yang potensial untuk konservasi orangutan (Reid, 2005). Ada dua spesies Plasmodium yang secara alami dapat menginfeksi orangutan, yaitu P. pitechi dan P. sylvaticum. Keduanya diidentifikasi pada orangutan Borneo (Reid, 2005). Reid dkk juga telah mempublikasikan bahwa mereka telah menemukan P. vivax dan P. cynomolgi pada orangutan tangkapan. Tetapi ada beberapa pemeriksaan mengenai hasil tersebut oleh Singh dkk pada 2009 menyimpulkan bahwa tak satupun dari isolate Plasmodium spp yang ditemukan pada orangutan tersebut di Kalimantan adalah P. cynomolgi atau P. vivax. Belum ada data yang dipublikasikan yang tersedia mengenai derajat kesakitan dan kematian yang diderita oleh orangutan sebagai akibat langsung dari malaria, ataupun data mengenai kemampuan respon system imun orangutan untuk membersihkan

infeksi ini. Sebagai hasilnya, plasmodia orangutan dianggap sebagai patogen yang tidak ganas. Bagaimanapun, beberapa fasilitas rehabilitasi orangutan di Sumatra dan Kalimantan telah melaporkan hilangnya gejala seperti malaria parah pada orangutan setelah pemberian obat antimalaria (Reid, 2005). Demam Tifoid Demam tifoid adalah penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi.(Strickland, 2000). Penyakit ini telah menyebar di seluruh dunia, dan masih dalam jumlah yang epidemis di daerah tropis dan subtropics, termasuk Borneo. Pada manusia, presentasi yang paling sering adalah demam dan radang pencernaan akut, diikuti dengan sakit kepala, anoreksia, sakit perut, dan diare ataupun konstipasi (Nelson, 2000). Dalam istilah kedokteran hewan, demam tifoid lebih dikenal sebagai Salmonellosis, yang mengacu pada etiologinya. Salmonellosis adalah infeksi yang disebabkan oleh Salmonella spp dari type apapun, yang patogenesitasnya tergantung pada jenis bacteria dan spesies yang peka. Semua primata non manusia, terutama yang berasal dari Dunia Lama, peka terhadap lebih dari 1800 jenis Salmonella spp (EAZWV Transmissible Disease Fact Sheet, 2003). Belum ada banyak riset mengenai Salmonellosis pada orangutan. Tetapi mengingat fakta bahwa ada banyak hal yang sama dalam aspek kesehatan manusia dan orangutan, maka adalah sangat indikatif bahwa Salmonella typhi juga merupakan patogen pada orangutan seperti halnya pada manusia. ALAT DAN BAHAN Data diambil dari dari laporan medis bulanan dan tahunan di Program Reintroduksi Orangutan Kalimantan Tengah Yayasan BOS Di Nyaru Menteng. Laporan tersebut berisi semua jenis kasus baru yang terjadi pada periode tersebut yang diklasifikasikan berdasarkan system organ yang terinfeksi. Setiap kekurangan atau keraguan mengenai data tersebut akan dicek silang dengan rekam medis individual dari orangutan. Rekam medis adalah sebuah file yang dimiliki oleh setiap individual orangutan dan berisi semua informasi penting mengenai kesehatan mereka. Ini termasuk laporan penyakit yang pernah didiagnosa pada orangutan bersangkutan sejak mereka tiba di tempat ini, daftar obat atau perawatan yang pernah mereka terima, tabel berat badan, dan hasil lab yang penting seperti hasil serologi dan hasil test tuberculosis. Diagnose tuberculosis diperoleh pada saat pemeriksaan kesehatan orangutan baru datang, pemeriksaan kesehatan tahunan, dan pemeriksaan kesehatan sewaktu, ketika ada kecurigaan berdasarkan gejala klinis. Tes ulang untuk mereka yang terdiagnosa dengan tuberculosis dilakukan -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 142 ]


pada bulan ke 2, 6, dan 9 setelah perawatan dengan obat anti tuberculosis dimulai. Ketika hasilnya telah menjadi negative minimal 6 bulan setelah pengobatan, orangutan tersebut dinyatakan sembuh dari tuberculosis. Diagnose malaria diperoleh pada saat pemeriksaan kesehatan orangutan baru datang dan pemeriksaan kesehatan sewaktu berdasarkan gejala klinis. Hingga saat ini tidak dilakukan jadwal rutin untuk pemeriksaan malaria. Ini adalah sesuatu yang perlu untuk dipertimbangkan untuk kedepannya. Helminthiasis didiagnosa dari pemeriksaan kesehatan orangutan baru datang dan pemeriksaan kesehatan sewaktu berdasarkan gejala klinis. Juga ada beberapa kali pemeriksaan sampel feses secara menyeluruh yang dikerjakan pada 2007 – 2009, tetapi jadwalnya belum tetap. Hasil positif dari pemeriksaan menyeluruh ini tidak dicatat pada laporan medis bulanan maupun tahunan. Jadi prevalensi helminthiasis yang didiskusikan disini adalah kasus helminthiasis dengan gejala klinis. Diagnosa demam tifoid diperoleh saat pemeriksaan kesehatan orangutan baru datang dan pemeriksaan kesehatan sewaktu berdasarkan gejala klinis. Diagnosa Hepatitis B diperoleh hanya dari pemeriksaan kesehatan orangutan baru datang. Ini dikarenakan belum pernah dilaporkan gejala klinis hepatitis yang kemudian mengarah ke hasil positif dari tes serologi. Sejak tahun 2007 – 2009 orangutan yang positif HbsAg akan dites ulang setiap 6 bulan. Ketika hasil serologinya telah berubah menjadi HbsAg negative, maka orangutan tersebut akan dinyatakan telah sembuh dari hepatitis B. test yang dilaksanakan pada Februari 2010 berbeda. Pada test tersebut telah terbukti bahwa virus hepatitis B yang terdeteksi pada orangutan sebenarnya adalah Orangutan Hepadnavirus. Dengan demikian, hal ini membuat prevalensi hepatitis B pada populasi orangutan di Nyaru Menteng jatuh pada angka nol setelah tes. DISKUSI Jumlah Kasus per Bulan Berdasarkan laporan harian dan bulanan selama 3 tahun terakhir, ada sejumlah rata-rata 106.4 kasus per bulan dengan rata-rata populasi selama 3 tahun terakhir inia dalah 566.3 individual. Pencatatan tahunan digambarkan pada tabel dibawah. Tabel 2. Rata-rata total prevalensi kasus yang tercatat per bulan sejak tahun 2007 hingga 2009.

Tabel di atas menunjukkan bahwa pada tahun 2008 ada peningkatan pada jumlah kasus per bulan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sementara pada tahun 2009 jumlah kasus adalah yang terendah dan jumlah populasi adalah yang tertinggi, yang mengarah pada penurunan prevalensi kasus per populasi. Menentukan “musim puncak” tidak terlalu jelas terlihat. Berdasarkan tabel di bawah ada beberapa bulan dimana kasus meningkat, yaitu pada bulan April 2007, Agustus 2007, Juli 2008, Januari 2009, dan Juni 2009. Peningkatan ini mungkin dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti misalnya perubahan musim, perubahan managemen, musim buah, dan factor social-ekonomi dari masyarakat yang tinggal di sekitar proyek.

Grafik 1. Jumlah Kasus per Bulan 2007 – 2009

Tingkat Kematian Sejak tahun 2007 – 2009, 81 kematian orangutan terjadi di Nyaru Menteng. Dibandingkan dengan rerata populasi per tahun, tingkat kematian di Nyaru Menteng digambarkan sebagai berikut:

Tabel 3. Tingkat kematian sejak 2007 - 2009

Sementara prevalensi dari total kasus meningkat pada tahun 2008, ternyata bahwa tingkat mortalitas menurun dibandingkan tahun 2007. Ini mungkin karena: 1. Ada lebih banyak penyakit serius (fatal) yang terjadi pada tahun 2007 dibandingkan 2008, sehingga ada lebih banyak kematian dengan lebih sedikit kasus yang terjadi pada 2007. 2. Sebagian besar kasus yang meningkat pada tahun 2008 adalah kasus-kasus yang kurang serius. 3. Ada perbaikan dalam pengelolaan kesehatan pada tahun 2008, yang menghasilkan penurunan tingkat kematian. Pada tahun 2009 ada penurunan tajam pada prevalensi total kasus tetapi ternyata tingkat kematiannya meningkat. Berdasarkan pencatatan medis pada tahun 2009, 10 dari 28 (36%) kematian yang terjadi pada tahun tersebut disebabkan oleh wabah malaria pada bulan Januari 2009. Wabah ini menginfeksi 28% populasi pada saat itu atau sebanyak 166 individual. Ini tentu saja menyumbang pada prevalensi total kasus dan tingkat kematian pada tahun itu.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 143 ]


Tuberculosis Sejak tahun 2007 hingga 2009 kami mendapatkan 17 kasus tuberculosis, terduga tuberculosis, atau tuberculosis laten. Menarik untuk mengetahui bahwa sebelum 2007 tidak ada kasus tuberculosis yang tercatat di Nyaru Menteng. Tetapi dari beberapa laporan nekropsi yang telah dikumpulkan dari tahuntahun sebelumnya (2001 – 2006) ada beberapa kasus yang cukup indikatif sebagai tuberculosis. Sayangnya laporan-laporan tersebut tidak lengkap dan tidak didukung dengan tes-tes lain seperti histopatologi dan kultur.

Tabel 4. Prevalensi Kasus Tuberculosis sejak 2007 – 2009.

Sejak pencatatan data yang lebih baik salaam 3 tahun terakhir kita dapat melihat bahwa prevalensi tuberculosis di Nyaru Menteng sebenarnya sangat rendah. Kurang dari 10% selama 3 tahun. Angka yang kecil ini mungkin mengindikasikan bahwa kasus tuberculosis ini berasal dari luar populasi dan belum menyebar didalam populasi.

Chart 2. Prevalensi kasus Tuberculosis sejak 2007 – 2009.

Kami sangat ingin menjaga prevalensi TB ini tetap rendah. Satu-satunya cara untuk melakukan ini adalah dengan melaksanakan pemeriksaan kesehatan menyeluruh dan karantina untuk orangutan baru, dan juga melaksanakan pemeriksaan kesehatan rutin untuk seluruh penghuni di proyek ini. Sebagai catatan tambahan, pada bulan Juli 2010, prevalensi tuberculosis di Nyaru Menteng adalah nol. Itu berarti bahwa semua pasien yang telah sembuh tidak lagi mempunyai tuberculosis aktif dan tidak ada lagi kasus baru yang tercatat pada bulan ini. Uji Validasi untuk Chembio PrimaTB Statpak Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, tantangan dengan kasus tuberculosis adalah pada metode diagnosanya. Tuberculosis laten adalah sesuatu yang perlu sangat diperhatikan. Dan hingga saat ini belum ada satu tes tunggal yang dapat mendeteksi kasus pada tahap ini, demikian juga halnya untuk prosedur untuk pemeriksaan TB pada orangutan. Pada tahun 2007, Nyaru Menteng menggunakan tes Mammalian Old Tuberculin pada kulit abdomen dan -

diikuti dengan foto rontgen dada dan PCR dari bilas trakea untuk deteksi TB. Kami juga menggunakan gejala klinis sebagai alat diagnose yang penting. Jika ada dua atau lebih dari tes-tes ini yang positif, maka diagnose TB akan ditegakkan. Tetapi sebenarnya tidak satupun dari tes-tes ini yang telah divalidasi untuk kera besar khususnya orangutan. Ada beberapa tulisan penelitian yang menemukan bahwa reaksi untuk beberapa tuberculin adalah umum terjadi pada orangutan yang tidak terpapar oleh mycobacteria yang patogen atau bukti klinis infeksi tuberculosis (Calle, 1989). Dibandingkan dengan tuberculin tes yang lain, MOT tampaknya adalah yang paling sensitif. Sensitivitasnya dapat mencapai hingga 75% dalam sebuah populasi orangutan yang bebas TB (Calle, 1989). Rontgen dada tidaklah spesifik untuk mendiagnosa tuberculosis. Ada beberapa diagnose pembanding untuk foto dada yang menunjukkan tanda-tanda bronkopneumonia seperti infeksi jamur misalnya. Dan lagi, di Indonesia masih sangat sulit untuk menemukan radiologis yang cukup berpengalaman dengan citra rontgen orangutan. Sedangkan untuk PCR meskipun ini merupakan tes yang sangat akurat untuk mendeteksi keberadaan Mycobacterium, tantangan yang lebih besar dan lebih sensitive adalah pada kualitas sampel untuk dites dengan PCR. Sampel terbaik yang dapat diambil dari orangutan adalah bilas trakea, bilas bronkoalveolar, atau bilas lambung. Untuk sampel yang terakhir disebutkan, itu masih dipertanyakan kualitasnya jika orangutan tidak menunjukkan gejala klinis apapun seperti mengeluarkan sputum atau menunjukkan masalah pernapasan. Sedangkan bilas trakea dan bilas bronkoalveolar memerlukan teknik yang sederhana namun penuh kehati-hatian untuk memperoleh sampel yang bernilai diagnostic yang baik serta melakukannya secara aman. Tidak setiap pusat penyelamatan orangutan di Indonesia mempun yai fasilitas yang lengkap untuk melaksanakannya dengan baik ataupun mempunyai pengetahuan untuk melakukannya dengan benar. Sebenarnya ada beberapa tes lain yang dapat dilakukan untuk membuat diagnose TB yang lebih akurat. Kultur dari sampel bilas trakea adalah tes “gold standard” jika hasilnya positif, tetapi tes ini tidak menyingkirkan kemungkinan adanya TB jika hasilnya negative. Sekali lagi, kualitas sampel memegang peranan penting dalam tes ini. Pada bulan Juni 2010 Komunitas Dokter Hewan Orangutan (sebuah komunitas dokter hewan yang bekerja erat dengan orangutan), PASA, OC (Orangutan Conservancy), dan Chembio, melaksanakan test validasi untuk Chembio PrimaTB Statpak test. Produk ini dikembangkan oleh perusahaan Chembio sebagai sebuah test kilat untuk mendeteksi antibodi yang spesifik untuk Mycobacterium complex. Chembio PrimaTB Statpak ini awalnya didesain untuk mendeteksi Mtb complex -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 144 ]


pada monyet makaka. Jadi tes validasi ini untuk membuktikan apakah tes ini juga bekerja dengan baik pada kera besar. Uji validasi ini akan dilakukan pada 1500 kera besar (orangutan, simpanse, dan gorilla) untuk mendapatkan data yang akurat. Untuk memvalidasinya, beberapa tes lain akan dilakukan juga. Tes-tes ini meliputi TST, rontgen dada, PCR dan kultur dari bilas trakea, dan histopatologi dari hewan yang mati. Ada harapan yang tinggi pada test Chembio PrimaTB Statpak ini. Segera setelah tes ini divalidasi dan hasilnay cukup akurat untuk mendeteksi TB, maka ia akan melengkapi kita dengan prosedur pemeriksaan TB di populasi kami, dan mungkin kita dapat meninggalkan beberapa tes lain yang terbukti kurang (atau terlalu) sensitive dan spesifik untuk mendiagnosa TB pada orangutan. Malaria Sejak tahun 2007 – 2009 kami telah menemukan total 830 kasus malaria. Ini adalah jumlah kasus terbesar yang tercatat selama 3 tahun dibandingkan dengan penyakit yang lain. Tidak seperti tuberculosis, yang baru saja terdeksi di Nyaru Menteng pada 2007, malaria telah menjadi kasus endemic sejak awal berdirinya Nyaru Menteng. Meskipun pencatatan tidak lengkap dan akurat dari masa tersebut, beberapa dokumen dan percakapan nonformal dengan personel yang kompeten yang telah berada disini lebih lama menunjukkan bahwa malaria telah terjadi pada masa lalu. Malaria juga sangat umum pada populasi manusia disekitar Nyaru Menteng. Mendiagnosa malaria pertama kalinya dilakukan berdasarkan gejala klinis. Ketika satu individu orangutan teramati mengalami demam (di Nyaru Menteng suhu tubuh orangutan dinyatakan sebagai hipertermia pada 38.5 C ke atas), dia akan diperiksa secara menyeluruh dan diambil sampel darahnya. Film darah hampir selalu juga dikerjakan. Berdasarkan pemeriksaan dibawah mikroskop yang dilakukan di tempat, film darah akan menunjukkan apakah sampel tersebut bebas dari plasmodium atau mengandung plasmodium. Penghitungan parasit biasanya tidak dilakukan. Ketika film darah terbukti positif mempunyai plasmodium, maka orangutan akan didiagnosa menderita malaria. Dan obat anti malaria akan segera diberikan. Keputusan untuk memberikan obat ini spesifik berdasarkan gejala klinis yang muncul. Sejak tahun 2007 hingga 2009 prevalensi kasus malaria per bulan digambarkan di grafik dibawah. Dari grafik tersebut jelas bahwa malaria telah menjadi kasus endemic di Nyaru Menteng. Prevalensi tertinggi malaria adalah pada tahun 2008. Dengan total 386 kasus yang tercatat, prevalensi malaria pada tahun 2008 adalah 66.57%. tetapi pada tahun itu juga tingkat keparahan kasus -

malaria adalah yang terendah dalam tiga tahun. CFR (Case Fatality Rate) malaria pada tahun 2008 adalah hanya 0.52%.

Grafik 3. Prevalensi kasus Malaria sejak 2007 – 2009.

Sebuah wabah malaria telah terjadi hanya sekali dalam 3 tahun terakhir. Itu dimulai pada akhir Desember 2008 dan berakhir pada Januari 2009. Pada bulan Januari 2009 jumlah kasus yang tercatat adalah 176 kasus atau prevalensi 30.2%. meskipun angkanya sangat tinggi pada bulan Januari, total prevalensi malaria pada tahun itu menurun menjadi 47% dari tahun sebelumnya. Tingkat keparahan kasus malaria selama tiga tahun ini dihitung dari jumlah kematian yang disebabkan oleh malaria, dibandingkan dengan jumlah kasus yang terjadi. Disini di Nyaru Menteng kita mempunyai tingkat keparahan kasus malaria sebesar 2.41%. sementara CFR yang didapat pada saat wabah Januari 2009 adalah 5.68%, secara signifikan lebih tinggi dari CFR selama 3 tahun. Sebagai pembanding yang menarik, CFR malaria pada manusia di Indonesia bersifat naik turun, dengan kejadian tertinggi pada 2003 sebesar 4.9% (WHO, 2010) Membandingkan prevalensi yang tinggi dari kejadian malaria dengan tingkat keparahan kasus yang rendah mengindikasikan bahwa pengelolaan kesehatan telah didorong setiap saat untuk berjuang demi setiap kasus yang terjadi, demikian juga untuk memelihara populasi yang lain agar tidak tertular. Karena ini adalah penyakit endemic, tujuan dari pengelolaan penyakit ini adalah untuk mengendalikan insidensinya serendah mungkin, mencegah kasus menjadi fatal, dan terakhir namun mungkin yang paling penting, adalah untuk mendeteksi kapanpun ada kemungkinan terjadi wabah (sebuah system peringatan dini). Metode diagnostic yang lebih jauh untuk mengenali kasus malaria disini akan menjadi sesuatu yang sangat menarik untuk dikembangkan. Ada beberapa pertanyaan penting yang muncul, seperti misalnya mengapa malaria dapat menjadi endemic disini (Nyaru Menteng); mengapa penyakit ini dapat menyebabkan gejala klinis ringan hingga parah pada orangutan di Nyaru Menteng sementara hal itu terbukti yang sebaliknya di pusat orangutan lain seperti di Samboja, Kalimantan Timur; dan apa sesungguhnya spesies plasmodium yang menginfeksi populasi di Nyaru Menteng.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 145 ]


Helminthiasis Sejak tahun 2007 hingga 2009 ada 539 kasus helminthiasis tercatat di laporan medis Nyaru Menteng. Helminthiasis disini didefinisikan sebagai infestasi apapun dari parasit cscing dari spesies apapun yang terdeteksi di sampel feses. Dari penelitian terdahulu oleh Labes dkk pada 2009 dia menemukan beberapa sepsies nematode yaitu Strongyloides, Trichuris, Ascaris, Enterobius, Trichostrongylus and hookworms. Dari pengalaman kami sejauh ini nematode yang paling umum ditemukan di Nyaru Menteng adalah Strongyloides sp. Paling umum kedua adalah cacing kait. Diagnose dilakukan hanya metode pemeriksaan langsung. Kapanpun pengecekan langsung terbukti positif, itu mengindikasikan bahwa jumlah parasit dalam individu tersebut sudah tinggi, jadi akan segera diobati dengan anti cacing yang sesuai. Hasil negative harus dibuktikan dengan 3 kali pengambilan sampel selama 3 hari berturut-turut.

Grafik 4. Prevalensi kasus Helminthiasis sejak 2007 – 2009.

Berdasarkan grafik diatas, tampak jelas bahwa helminthiasis juga merupakan kasus endemik disni. Prevalensi untuk kasus ini pada 2007, 2008, dan 2009 berturut-turut adalah 24,2%, 35,4%, and 25,2%. Kembali, prevalensi pada 2008 adalah yang tertinggi. Dan seperti telah dijelaskan sebelumnya, tujuan untuk penanganan helminthiasis adalah untuk mengendalikan insidensi sekaligus juga merancang sistem peringatan dini untuk meramalkan adanya kemungkinan wabah. Tingkat keparahan kasus untuk helminthiasis (terutama Strongyloides sp pada populasi orangutan di Nyaru Menteng adalah 3.53%. dibandingkan dengan tingkat keparahan kasus pada malaria di topic sebelummnya, tampak bahwa kasus helminthiasis adalah masalah serius. Karena penularan yang merata dapat dicegah dengan penanganan dini dari infeksi kronis yang tidak menunjukkan gejala, program pemeriksaan direkomendasikan untuk mendeteksi infeksi laten dari helminthiasis, terutama Strongyloides stercoralis ( Genta, 1989). Program pemeriksaan untuk helminthiasis dimulai di Nyaru Menteng pada 2010. Sebelum itu, pemeriksaan tidak dilakukan secara rutin, sehingga data yang ada tidak akurat. Sejak 2007 hingga 2009 kami hanya melakukan program pemberian obat cacing rutin setiap 1-3 bulan tergantung kondisi. Tetapi meskipun dengan pengobatan menyeluruh dalam frekuensi tinggi seperti demikian, prevalensi kasus ini masih tertinggi dibandingkan kasus lain yang tercatat setiap bulan.

Untuk memperbaiki kondisi tersebut, dimulai sejak 2010 kami mempunyai program pemeriksaan bulanan untuk memeriksa sampel feses. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut kami dapat menjadwalkan waktu pemberian obat cacing selanjutnya. Demam Tifoid Sejak 2007 hingga 2009 telah tercatat sebanyak 298 kasus. Tifoid adalah istilah yang didefinisikan sebagai infeksi yang disebabkan oleh Salmonella typhi or paratyphi. Penyakit ini juga merupakan endemic yang telah terjadi di populasi orangutan di Nyaru Menteng selama bertahun-tahun. Prevalensi demam tifoid pada 2007 sangat rendah, 3.57%. Tetapi mengarah ke 2008 dan 2009, kejadiannya meningkat secara signifikan menjadi 23.5% dan 24.5%. Penggambaran yang lebih jelas terlihat pada grafik dibawah. Kecenderungan ini memerlukan perhatian dan penyelidikan lebih jauh terutama dalam melaksanakan diagnose untuk infeksi ini.

Grafik 5. Prevalensi kasus Typhoid sejak 2007 – 2009.

Mendiagnosa demam tifoid adalah sebuah tantangan juga. Disamping fakta bahwa gejala klinis tifoid tidak spesifik dan sedikit sulit untuk dinilai pada orangutan (atau hewan lain), test laboratorium (serologi) juga memerlukan interpretasi yang hatihati. Tes serologi untuk demam tifoid yang banyak dipakai di Indonesia adalah tes widal. Tetapi pada manusia tes ini tidak seharusnya dipakai sebagai tes tunggal untuk mendiagnosa tifoid, terutama tanpa adanya gejala klinis. Sebuah hasil widal tes yang “positif” dapat merupakan response nonspesifik yang secara etiologi tidak berhubungan dengan penyakit demam yang sedang diselidiki (Tupasi et al, 2001). Pada bulan Mei 2009 tim medis Nyaru Menteng diperkenalkan dengan tes serologi baru untuk tifoid yaitu tubex tes. Berbeda dengan tes widal, tes tubex ini dirancang spesifik untuk mendeteksi infeksi baru Salmonella typhi dan beberapa serotype lain paratyphi. Meskipun belum ada penelitian lain yang dilakukan untuk membandingkan hasil kedua test dengan keberhasilan perawatan, tetapi tim medis Nyaru Menteng cukup puas dengan tes tubex ini. Meskipun akurasi yang tinggi untuk tes serologi terutama tes tubex, “gold standard” untuk mendiagnosa demam tifoid adalah dengan melakukan kultur isolate Salmonella typhi (Tupasi, 2001). Dimulai pada 2008, proyek Nyaru Menteng telah membangun sebuah laboratorium mikrobiologi

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 146 ]


sederhana untuk melaksanakan beberapa prosedur mikrobiologi dasar untuk mendukung diagnosa penyakit. Sejak 2009 kami telah mampu mengisolasi Salmonella sp (atau terduga sebagai Salmonella sp) dan melakukan uji sensitivitas. Prosedur ini telah dilakukan pada beberapa kasus tifoid yang kambuhan (ditunjukkan dengan hasil tubex tes) setelah lebih dari satu serial pemberian antibiotik. Hepatitis B Berdasarkan literature dan pengalaman dengan ratusan orangutan di proyek ini, belum pernah ada kasus hepatitis B yang menunjukkan gejala klinis. Memang ada beberapa kematian orangutan yang mengidap hepatitis B, tetapi itu selalu disebabkan oleh patogen yang lain. Tabel dan grafik dibawah mendeskripsikan situasi hepatitis B di proyek Nyaru Menteng.

Tabel 5. Prevalensi kasus Hepatitis B sejak 2007 – 2010.

Pada 2007 tim medis Nyaru Menteng masih melaksanakan pemeriksaan rutin untuk orangutan yang secara serologi positif untuk HBV manusia. Tes ini dilakukan setiap tahun. Sejak tahun 2007 hingga 2009 ada penurunan yang konstan pada prevalensi hepatitis B. penurunan angka ini berasal dari jumlah orangutan yang telah terserokonversi dari HbsAg positif menjadi negative. Tetapi ada perbedaan besar pada tahun 2010. Ada penurunan yang signifikan dari 28 orangutan yang mempunyai hepatitis B menjadi nol. Tes yang dilakukan disini bukanlah serologi test, melainkan PCR-RFLP yang dirancang untuk menentukan spesies virus yang menyebabkan peningkatan pada hasil serologinya. Teknik PCR ini menunjukkan bahwa dari 28 sampel orangutan ini semuanya positif mempunyai infeksi Orangutan Hepadnavirus.

Grafik 6. Prevalensi kasus Hepatitis B 2007 – 2009.

menyarankan bahwa di masa depan akan ada lebih sedikit perhatian yang diperlukan untuk penyakit ini dalam pengelolaan kesehatan orangutan karena telah terbukti bahwa analisa resiko untuk penyakit ini adalah bernilai minimal. Apa yang perlu diperhatikan lebih baik adalah menerapkan keputusan untuk mereintroduksi orangutan yang terinfeksi dengan Orangutan Hepadnavirus. KESIMPULAN 1. Total prevalensi kasus yang terekam pada 2007 – 2009 menunjukkan angka tertinggi pada 2008, namun angka mortalitas pada tahun tersebut adalah yang paling rendah. Pada 2009 prevalensi dan angka kematian secara signifikan dipengaruhi oleh wabah malaria pada Januari 2009. 2. Prevalensi kasus tuberculosis di Nyaru Menteng adalah dibawah 10%. Ini mungkin mengindikasikan bahwa penyakit ini berasal dari luar populasi dan belum menyebar diantara orangutan penghuni tempat ini. Mempertahankan kondisi akan menjadi salah satu fokus utama dari pengelolaan kesehatan di Nyaru Menteng. Pemeriksaan tahunan dengan prosedur yang telah tervalidasi serta karantina untuk orangutan baru datang adalah satu-satunya cara untuk menangkal penyebaran tuberculosis di tempat ini. 3. Malaria adalah kasus endemik di Nyaru Menteng. Prevalensinya sangat tinggi pada 2008 (66.57%) tetapi tingkat keparahan kasus pada tahun tersebut telah dapat ditekan dengan sukses pada angka 0.52%. sebuah system peringatan dini perlu dirancang untuk dapat meramalkan setiap kemungkinan merebaknya wabah pada populasi di lokasi ini. Pemeriksaan film darah rutin mungkin dapat dipertimbangkan. 4. Helminthiasis adalah masalah kesehatan yang berhubungan erat dengan higienitas lingkungan. Prevalensi tertinggi terjadi pada 2008 setinggi 35.4%. Mengendalikan penyakit ini dapat dilakukan dengan pemeriksaan sampel feses rutin dan pemberian obat cacing untuk semua populasi. 5. Demam tifoid adalah kasus endemic lain dengan kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Metode diagnose telah meningkat secara signifikan sejak 2008, tetapi masih perlu penyelidikan dan penilaian lebih jauh. 6. Prevalensi Hepatitis B terus menurun dari 2007 hingga 2009, dan jatuh ke angka nol pada 2010 karena metode diagnose untuk kasus ini telah diperbaiki, demikian juga keputusan untuk orangutan yang mempunyai Orangutan Hepadnavirus.

Virus ini dipercaya merupakan infeksi alami yang sudah lama yang mungkin telah berevolusi bersamaan dengan diferensiasi subspesies orangutan Borneo (Warren, 2001). Penemuan ini Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 147 ]


DAFTAR PUSTAKA Behrman, Richard E., MD., Robert M. Kliegman, MD, and Hal B. Jenson, MD. 2000. Nelson Textbook of Pediatrics. 16th Edition. W.B. Saunders Company. Calle, Paul P., et al. 1989. Tuberculin Skin Test Responses, Mycobacteriologic Examinations of Gastric Lavage, and Serum Enzymed Linked Immunosorbent Assay in Orangutans (Pongo pygmaeus). Journal of Zoo and Wildlife Medicine 20(3): 307-314, 1989. Chitwood, M. (1970). Comparative relationships of some parasites of man and old and new world subhuman primates. Laboratory Animal Care, 20, 389–394. Davies, P D O. 2005. Risk Factors for Tuberculosis. Monaldi Arch Chest Dis 2005; 63: 1, 37 – 46. EAZWV Transmissible Disease Fact Sheet. Sheet no 93. November 2003. Genta, Robert M., 1989. Global Prevalence of Strongyloidiasis: Critical Review With Epidemiologic Insights into the Prevention of Disseminated Disease. Reviews of Infectious Diseases. Vol 11, number 5. September – October 1989. Labes, E.M., et al. 2009. Intestinal Parasites of Endangered Orangutans(Pongo pygmaeus) in Central and East Kalimantan, Borneo, Indonesia. Lampiran SK DIREKTUR EKSEKUTIF No: 366/DE/ORG/SK/XII/2008 Tentang Pedoman Rehabilitasi dan Reintroduksi Orangutan di Yayasan Penyelamatan Orangutan Borneo (Yayasan BOS). Margolis HS, Alter MJ, Hadier SC: Hepatitis B: evolving epidemiology and implications for control. Semin Liver Dis 1991 , 11:84-92. Ott-Joslin, J. E. (1993). Zoonotic diseases of nonhuman primates. In M. E. Fowler (Ed.), Zoo and wild animal medicine: Current therapy, (3rd ed., pp. 358–373). Philadelphia: W. B. Saunders. Primate Veterinary Healthcare Manual, Pan African Sanctuary Alliance. 2nd Edition, November 2009. Reid, Michael John C,. 2005. Plasmodium sp. Infection in Ex-captive Bornean Orangutans (Pongo pygmaeus) Housed at the Orangutan Care Center and Quarantine, Pasir Panjang, Kalimantan Tengah, Indonesia. Simon Fraser University. Sastrosoewignjo RI, Sandjaja B, Okamoto H. Molecular epidemiology of hepatitis B virus in Indonesia. J Gastroenterol Hepatol. 1991 Sep–Oct;6(5):491–498. Singh, Balbir and Paul Cliff Simon Divis. 2009. Orangutans not Infected with Plasmodium vivax or P. cynomolgi, Indonesia. Emerg. Infect. Dis. 2009 October 15(10): 1657 – 1658. Strickland, G. Thomas M.D., Ph.D., D.C.M.T., F.A.C.P. 2000. Hunter's Tropical Medicine and Emerging Infectious Disease. W.B. Saunders Company. Tupasi, Thelma E. et al. 1991. Clinical Application of Widal Test. Phil J Micribiology Infectious Disease 1991, 20(1): 23-26. Warren, Kristin S,. 2001. Orangutan Conservation – Epidemiological Aspects of Health Management and Population Genetics. Division of Veterinary and Biomedical Science. Murdoch University. WHO, 2010. www.who.int/entity/mediacentre/factsheets/fs094/en/.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 148 ]


RINGKASAN SESI KEBERLANJUTAN PENDANAAN

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 149 ]


Konservasi Komersial sebagai suatu Sarana untuk Pendanaan Kegiatan Konservasi

K

Agus P. Sari Global CEO, Conservation Carbon Credited Farming PLC

onservasi secara tradisional suatu focus untuk kegiatan invesmen akan tetapi lebih merupakan suatu tanggung yang didukung oleh pemerintah, atau kadang-kadang oleh kedermawanan. Diyakini bahwa beberapa korporasi multinasional telah memberikan kontribusi, sebagian untuk pengganti kerugian kerusakan ekologis yang telah mereka perbuat dalam mendapatkan kepentingan komersial. Sektor swasta secara umum tidak terlibat dan sebagian besar disebabkan karena konservasi sebagai tujuan akhir tidak menghasilkan keuntungan finansial. Sebagai akibatnya, forestry carbon telah menjadi fokus pembicaraan atau diskusi internasional dengan kemungkinan terjadinya transfer ekonomi dari negara-negara industri ke Negara berkembang yang didorong atau didesak keharusan yang diatur paraturan untuk mengurangi emisi karbon. Sampai saat ini, hasil dari suatu perspektif lingkungan masih jauh dari mencukupi. Konservasi dari ekosistem yang sensitive vital untuk menghilangkan atau mengurangi dampak dari perubahan iklim serta menjadi pusat dari pengawetan keanekaragaman hayati dunia yang menurun, membutuhkan inisiatif baru yang dapat memanfaatkan kepedulian lingkungan yang sedang tumbuh serta sumber financial substansial dari sector swasta. Percepatan, pendalaman atau peluasan debat umum pada saat ini dirasa sudah tidak memadai lagi, sudah tiba saatnya untuk perluasan dan pengadopsian suatu model yang berkesinambungan untuk konservasi komersial. “Konservasi komersial� , berlawanan apa yang menjasi persepsi umum, adalah bukan suatu hal kontradiksi dalam pengertian. Konservasi Komersial adalah suatu hal yang patut dipuji dan dapat dicapai berlandaskan penggabungan antara konservasi tradisional dengan pembangunan yang berkelanjutan dari sumberdaya ekologis. Model untuk mencapai tujuan ini dengan prospek yang terbesar untuk keberhasilannya yaitu model yang mengkombinasikan suatu pendekatan holistic, “daerah penyangga� harus dibuat disekeliling ekosistemekosistem yang sensitive, masyarakat setempat perlu dilibatkan dan peluang diberikan kepada mereka untuk berperan serta dalam usaha komersial yang berkesinambungan untuk mengurangi kebutuhan mereka untuk menggantungkan keberadaan mereka pada kegiatan yang dapat memberikan kontribusi pada degradasi lingkungan; lebih jauh, invesmen harus dilakukan untuk meyakinkan agar usaha ini memiliki masa depan jangka panjang yang yang memberikan kontribusi kepada kemampuan dunia untuk memenuhi kebutuhannya yang terus tumbuh akan sumberdaya lingkungan. Pemenuhan kebutuhan-kebutuhan ini harus dicapai melalui implementasi dari suatu model usaha yang tertib, bertanggung jawab, dan berkesinambungan yang secara komersial juga viable

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 150 ]


Unit-unit Konservasi Kandungan Karbon di kawasan konservasi dihitung dalam equivalen karbon. Stok karbon, bukan aliran karbon Dihargai US$0.25 per ton per tahun Secara langsung “retired on sale� (tidak ada pasar kedua) Tidak ada penggantian kerugian emisi di tempat lain Kredibilitas yang tinggi untuk Coorporate Social Responsibility

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 151 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 152 ]


Metodologi Konservasi : Kerjasama dan Penerapan Menuju Keberhasilan Commitante R., Ph.D.

California State University, Fullerton, USA Orangutan Conservancy, USA Alamat dan informasi kontak penulis utama: 26616 Indian Peak Road Rancho Palos Verdes, CA 90275 USA Email: rcommitante@gmail.com

Rosen N., Presiden

Orangutan Conservancy, USA E-mail: normrosen@aol.com

U

paya pelestarian alam di abad ke-21 menghadapi serangkaian tantangan dan kendala. Pada masa kini, dengan terpusatnya perhatian dunia kepada pergolakan keuangan global, masalah-masalah yang dihadapi para pemegang kepentingan konservasi tampaknya tak akan mudah diselesaikan. Tidak banyak cerita sukses yang dapat memberi panduan bagi para pelaku konservasi. Untuk mengubah pandangan masa depan yang suram ini, kita juga perlu mengubah cara kerja kita sebagai pemegang kepentingan dalam bidang pelestarian alam.

Sebagian besar organisasi yang berkecimpung dalam pelestarian alam pada umumnya memusatkan usaha mereka sesuai dengan kekuatan masing-masing. Kekuatan ini dapat berbentuk hubungan yang erat dengan kalangan perusahaan, pemerintahan (lokal ataupun internasional), ilmuwan/peneliti, atau penyandang dana. Segala macam kekuatan tersebut terhitung penting bagi usaha-usaha pelestarian alam, tetapi tanpa kerjasama untuk menggabungkan kekuatankekuatan ini kita tak akan mampu menerapkan rencana apapun, dan tanpa penerapan kita pun tak dapat menyelesaikan masalah yang kita hadapi sebagai pendukung konservasi. Tanpa niat yang kuat untuk menerapkan rencanarencana kita secara nyata, segala macam konsep, dana, dan orang-orang yang terlibat tak akan cukup untuk mencapai sasaran kita bersama, yaitu mencegah kepunahan orang utan. Pemegang kepentingan konservasi di seluruh dunia sedang berusaha untuk membangun sistem pertukaran utang degan pelestarian alam, untuk menggalang dana dan kesadaran masyarakat, untuk bekerjasama dengan pemerintah dan penduduk setempat, dan untuk mengurangi kehilangan habitat dan spesies. Tetapi semua kerja keras ini belum membuahkan banyak hasil positif. Kita masih perlu dorongan yang lebih kuat menuju penerapan secara konkret agar segala macam prakarsa dan kerjasama kita di bidang pelestarian alam dapat benar-benar menghasilkan kemajuan yang berarti. Pendekatan “perban� (yang bersifat reaktif, bukan proaktif) pada umumnya tidak bekerja dengan baik karena pelestarian alam melibatkan sejumlah besar komponen yang berbeda dan juga bervariasi dari -.

negara ke negara. Di luar perbedaan-perbedaan antarnegara ini, ada kesamaan penting dalam hal manusia sebagai pelaku utama perubahan di dunia dan komponen-komponen inti seperti lingkungan, yang mencakup iklim dan habitat manusia maupun margasatwa; kependudukan, dengan beberapa miliar jiwa yang akan lahir di negara-negara berkembang hingga tahun 2050; ekonomi, yang mendorong upaya manusia; dan budaya, yang meliputi lika-liku politik (Cohen 2010). Komponenkomponen ini jarang bekerjasama untuk mengambil pendekatan proaktif terhadap masalah masingmasing. Tanggapan yang tidak proaktif biasanya gagal dalam menghadapi besarnya masalah kehilangan sumberdaya hayati, baik nabati maupun hewani. Perjuangan kita untuk menyelamatkan sumber daya ini benar-benar merupakan suatu perjuangan, atau lebih tepatnya sebuah perang. Sejarah menunjukkan bahwa kemenangan dalam peperangan hanya bisa didapat dengan kepemimpinan yang jelas dan aktif. Harus ada niat yang kuat dan pendekatan yang tak kenal takut demi mencapai tujuan bersama. Selain itu, perlu ada juga pemimpin di tingkat akar rumput yang mampu mengambil keputusan secara mandiri dengan dukungan pasukan yang lebih besar di belakangnya Apa lagi yang kita perlukan untuk menjalankan perang ini? Tentu saja uang, karena perang pasti memakan biaya; sumber daya manusia, karena setiap insan yang ikut serta dapat menentukan keberhasilan seluruh usaha, walaupun ada juga pertarungan yang dimenangkan oleh hanya segelintir pejuang bertekad baja; dan strategi yang jelas sehingga dapat diikuti dan diterapkan oleh semua pihak yang turut serta. Tetapi, tanpa satu unsur penting lagi, segala daya upaya kita tak akan ada gunaya. Unsur penting ini adalah kepemimpinan. Kita memerlukan kepemimpinan yang berani mengambil keputusan; kepemimpinan yang mampu menyusun rencana tindakan dan pergerakan; kepemimpinan yang dapat menerapkan dan melancarkan rencana tersebut; kepemimpinan yang dapat menumbuhkan dan mempererat kerjasama; kepemimpinan yang mampu menggerakkan dan mendorong tindakan nyata di tingkat akar rumput. Kepemimpinan semacam itulah yang diperlukan untuk memenangkan perang ini.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 153 ]


A

khir-akhir ini ada sejumlah tragedi yang menampilkan akibat dari tiadanya kepemimpinan yang jelas sekalipun tersedia uang dan tekad untuk membantu. Gempa bumi di Haiti belum lama ini menimbulkan kerusakan besar. Banyak orang yang tewas atau terluka. Masyarakat dan pemerintah di seluruh dunia segera mengucurkan dana bantuan ke Haiti. Saat ini, setengah tahun berselang, dana yang terkumpul berjumlah 5,3 miliar dolar AS (Katz 2010). Artikel Katz (2010) menyatakan bahwa “tiadanya kepemimpinan, silang pendapat antar lembaga penyandang dana, dan kekacauan secara umum” telah menghambat upaya-upaya pemulihan. Uang dan niat baik yang mengalir masuk tak banyak berguna tanpa kepemimpinan yang jelas. Amerika Serikat juga sedang berusaha menaggulangi tumpahan minyak terbesar dalam sejarahnya. Selain kerugian materi bagi penduduk yang hidup di sepanjang pesisir Teluk Meksiko, banyak pula burung dan hewan laut yang terancam oleh minyak mentah yang menyembur di bawah laut. Pada kejadian ini, sudah ada dana yang tersedia, dan sejumlah ahli beserta tim pendukung telah siap turun ke lapangan untuk menyelamatkan satwa liar yang terancam – tetapi tak ada yang terjadi. Usaha penyelamatan satwa liar dari tumpahan minyak belum pernah sekacau ini (Mentzer 2010). Sekali lagi, walaupun uang dan sumber daya manusia sudah siap, tiadanya kepemimpinan telah menghalangi penerapan dan pengambilan keputusan yang dapat mendoring terlaksananya tindakan nyata. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa usahausaha sejauh ini terpusat pada menggalang dana dan perhatian masyarakat, tetapi begitu uang dan personel terkumpul semua tindakan tiba-tiba berhenti. Mulai sekarang kita tak boleh lagi terpaku pada masalah uang, terutama urusan apa yang akan kita lakukan “seandainya” kita mendapat uang sejumlah ini atau itu. Kita perlu memusatkan diri pada apa yang dapat kita lakukan sekarang. Pertemuan-pertemuan kita harus menghasilkan tindakan nyata. Pada dasarnya kita sudah tak bisa lagi menerima kata “seandainya” ataupun pertemuan-pertemuan yang hanya membawa kita ke jalan buntu. Sekarang kita harus menempatkan hutan di prioritas pertama. Hutan, satwa liar, dan orang utan semuanya perlu ditempatkan di atas motif keuntungan ataupun ketenaran. Kita semua mengerti prinsip tersebut, tetapi belum mewujudkannya secara utuh. Selama kita semua (pemerintah, LSM, penyandang dana, ilmuwan, peneliti, dan pemerhati konservasi) belum bersedia berkerja sama tanpa mementingkan ego masingmasing, tanpa berdebat dan melobi tentang siapa yang akan mendapat bagian terbesar, dan tanpa percekcokan tentang masalah-masalah sepele, kita tak akan berhasil mencapai tujuan kita – begitulah pelajaran yang muncul dari sejarah kita bersama.

Pemerintah pusat, daerah, dan internasional harus sadar bahwa strategi pelestarian alam tak dapat berjalan baik di bawah beban persyaratan semacam “jika Anda melakukan A maka kami akan melakukan B.” Pelestarian orang utan memerlukan pelestarian hutan. Kita tak dapat membeli hutan, kita tak dapat menyewanya selama 25 tahun, dan kita tak punya hak untuk menjual atau menyewakannya. Hutan adalah milik makhluk-makhluk yang hidup di dalamnya – hutan adalah hak mereka, dan kita tak boleh mendulang keuntungan di atas penderitaan mereka. Lestarikanlah hutan dan kitapun akan melestarikan semua kehidupan di dalam dan di sekitarnya. Gagasan ini tidaklah baru atapun mengejutkan, tetapi kita belum menerapkannya dengan baik sementara waktu yang tersisa bagi kelangsungan hidup hutan dan orang utan semakin pendek. Semua pemegang kepentingan di bidang orang utan harus berani mengesampingkan perbedaan dan mencapai persetujuan demi mencapai tujuan kita bersama, yaitu pelestarian secara efektif. Gerakan ini tidak boleh menjadi kontes “siapa yang menyelamatkan orangutan terlebih dahulu,” tentang siapa yang akan mendapat pujian atau siapa yang menjadi pemenang. Kemenangan kita harus merupakan kemenangan bersama sebagai sebuah tim yang saling berbagi pengetahuan, semangat, dan tenaga untuk menempatkan hutan sebagai prioritas utama. Saat ini Indonesia adalah negara produsen kelapa sawit terbesar (Crutchfield 2007).

Peningkatan produksi kelapa sawit di Indonesia bersumber dari ketersediaan lahan di Kalimantan dan daerah pembangunan tertinggal lain (Crutchfield 2007). Permintaan kelapa sawit diperkirakan akan meningkat hingga mencapai dua kali angka saat ini pada tahun 2050 (Corley 2009). Angka-angka tersebut merupakan berita baik bagi industri kelapa sawit, tetapi berita buruk bagi pelestarian alam. Pembukaan kebun kelapa sawit baru berarti kerusakan hutan semakin meluas. Jika hutan dirusak,

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 154 ]


keragaman hayati pun turut hilang (Danielsen et al. 2008). Selama kita belum menempatkan hutan di atas keuntungan, orang utan dan spesies-spesies lain yang hidup bersamanya akan terus terancam.

2. Tingkat pemerintah – keterlibatan pemerintah harus berlangsung dari awal sampai akhir; tanpa bantuan pemerintah, pelestarian alam tak akan terwujud

Tetapi haruskah kita mengabaikan kebutuhan manusia? Tidak juga. Satwa liar bukanlah satusatunya pihak yang dirugikan oleh kerusakan hutan. Bagi penduduk yang hidup di sekitar hutan, mata pencaharian mereka bergantung kepada ekosistem yang utuh (Morisson, 2010) seperti halnya orang utan. Kita harus sadar bahwa pelestarian alam tidaklah bertentangan dengan pembangunan (Daily et al. 2010). Kita perlu melibatkan masyarakat setempat sebagai pemegang kepentingan utama. Mereka mengerti akan nilai hutan dan dapat menyumbangkan pengetahuan berharga tentang cara-cara untuk menjaganya. Pembangunan bukanlah musuh – hanya beberapa cara yang digunakan untuk menerapkannya – dan cara-cara inilah yang perlu diubah. Hutan dapat menjadi aset yang menguntungkan bagi negara (Dailey et al. 2010) dan tidak perlu dipandang sebagai beban atau hambatan. Hutan dan wilayah-wilayah alami lainnya memberi kehidupan dengan cara menyediakan air, bahan makanan, dan perlindungan bagi sumber daya yang berguna di daerah sekitarnya (Hoekstra et al. 2010). M. Sanjayan (2020) menyebutkan “6F” sebagai sumber daya alam yang berguna bagi masyarakat sekitar: freshwater (air tawar), fuel wood (kayu bakar), fisheries (perikanan), fertility (kesuburan), forest products (produk hutan), dan fodder (pakan ternak). Ketergantungan pada sumber daya alam ini berdampak besar terhadap masyarakat (Sanjayan 2010). Pelestarian hutan bukan membebani melainkan menyokong pembangunan.

3. Tingkat pendidikan – baik pada skala lokal maupun global, pendidikan masyarakat menjadi kunci kelangsungan jangka panjang bagi upaya pelestarian alam

Kerja sama menuju penyelamatan spesies dan habitat kunci dari kepunahan merupakan suatu usaha berskala sangat besar. Semua peserta harus ikut bekerja dan memiliki tujuan utama bersama. Ego dan agenda masing-masing harus dikesampingkan untuk menjalankan pendekatan gotong-royong. Sebagaimana halnya perang, tentu ada yang menjadi pahlawan; tetapi pada akhirnya semangat gotong-royonglah yang merupakan pahlawan utama, karena perang dimenangkan oleh orang-orang yang bersedia bekerja sama untuk mencapai tujuan yang nampak mustahil. Kita harus menyerahkan diri kepada kepentingan bersama untuk mencapai keberhasilan. Sekali lagi, kepemimpinan yang mampu mengambil keputusan harus menjadi inti rencana aksi. Petunjuk yang jelas bagi pelaksanaan setiap rencana aksi (terutama rencana besar) harus disusun untuk menjamin keberhasilan. Keterlibatan harus berlangsung pada beberapa tingkat: 1. Tingkat masyarakat – masyarakat setempat harus diajak berdiskusi dan dilibatkan pada semua tahap rencana penyelamatan hutan (dan orang utan) karena masyarakat ini menerima dampak langsung dari bantuan apapun

4. Tingkat penegakan – tanpa penegakan atas hukum yang berlaku, pelestarian alam tak ada gunanya karena perdagangan ilegal satwa liar akan terus berlangsung dan bahkan tumbuh. Usaha kita akan sia-sia jika kita hanya melindungi hutan tetapi gagal melindungi satwa liar dari perburuan ilegal; 40.000 ekor primata dirampas dari alam dan diperdagangkan lintas negara setiap tahun (Hoekstra et al. 2010). Sebagian besar primata yang diperdagangkan berasal dari Indonesia, Filipina, Mauritius, Cina, Thailand, Vietnam, Nigeria, dan Kolombia (WWF n.d.). Negaranegara pembeli utama adalah Cina, AS, Jepang, dan Uni Eropa (Hoekstra et al. 2010). Kita dapat melakukan sesuatu sekarang juga sebelum pertemuan ini berakhir. Selama kita berada di sini, kita dapat menyusun suatu kerangka rencana aksi dan menunjuk para pemimpin yang akan menerapkannya. Jika kita dapat menunjukkan kepaduan kita dengan kepemimpinan dan petunjuk pelaksanaan yang jelas, beserta pengawasan yang baik untuk memastikan bahwa dana digunakan dengan tepat, kita bisa mendapatkan pengakuan dari masyarakat internasional dan mungkin juga dukungan mereka. Tim pemimpin kita dapat mengunjungi kantor-kantor LSM Amerika di Washington, D.C. untuk membahas kerja sama aktif bersatu. Pertemuan serupa dapat dilakukan dengan negara-negara lain yang tertarik untuk mengundang mitra-mitra lainnya. Tetapi, jika kita tak dapat menunjukkan kepada dunia bahwa kita memiliki strategi yang jelas dan terpadu dengan penjabaran tentang risiko dan pengorbanan yang akan kita ambil, kita tak akan mendapat cukup dukungan, dan tanpa dukungan masyarakat internasional kita tak akan mampu menggalang dana. Diagram di bawah ini menampilkan struktur organisasi yang dapat kita gunakan. Kepemimpinan terletak di inti diagram. Tim kepemimpinan ini harus diisi dengan orang-orang yang mampu mengambil keputusan – misalnya seorang pejabat pemerintah pusat, seorang perwakilan LSM Indonesia (seperti FORINA), seorang perwakilan LSM internasional, dan seorang perwakilan masyarakat ilmiah. Satelitsatelit yang memancar keluar dari lingkaran Kepemimpinan bisa saja merupakan perwakilan pemegang-pemegang kepentingan lain yang akan menerapkan rencana yang dikembangkan secara aktif. Semuanya harus bekerja bersama, saling berkomunikasi, dan memberi laporan kepada Kepemimpinan yang akan memastikan bahwa -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 155 ]


tindakan-tindakan nyata terus berlanjut karena tim ini memiliki wewenang untuk menjaga agar setiap pemegang kepentingan mendapat informasi yang diperlukan dan mengerjakan bagian tugas yang dilimpahkan kepada mereka. Tak lama lagi Indonesia akan menerima hibah satu miliar dolar dari Norwegia (Butler 2010). Sekarang adalah waktu yang tepat untuk menyusun organisasi kita dan memanfaatkannya sebagai batu loncatan bagi tindakan nyata. Jika kita tidak melakukan itu, pertemuan ini tak akan ada bedanya dengan begitu banyak pertemuan sebelumnya yang hanya diisi pembicaraan tanpa akhir, tanpa tindakan, hingga pertemuan berikutnya yang tak juga membuahkan hasil.

Jika kita dapat menunjukkan keseriusan kita tentang pelestarian alam, kita pun akan dipandang serius dan mungkin hibah-hibah satu miliar dolar lain akan berdatangan. Kita perlu membuktikan baik kepada diri kita sendiri maupun kepada dunia bahwa kita semua merupakan pelestari alam yang serius dan bahwa pelestari alam yang serius menempatkan hutan di prioritas pertama. Jika kita mampu melakukan itu secara proaktif dan bersama-sama, barulah kita dapat meminta pihak lain untuk turut menyumbangkan waktu dan uang serta bergabung dalam perjuangan kita.

Daftar Pustaka Cohen, Joel 2010. Ultimate Agents of Global Change in The Atlas of Global Conservation changes, challenges, and opportunities to make a difference. Edited by Jonathan M. Hoekstra et al. University of California Press. The Nature Conservancy Corley, R.H.V. 2009. How much palm oil do we need? Environmental Science & Policy Volume 12, Issue 2, April, Pages 134-139 Crutchfield, Jim 2007. Commodity Intelligence Report USDA-FAS, Office of Global Analysis Danielsen, Finn,Hendrien Beukema,Neil D. Burgess,Faizal Parish,Carsten A. Bruhl,Paul F. Donald,Daniel Murdiyarso,Ben Phalan,Lucas Reijnders,Matthew Struebig,And Emily B. Fitzherbert 2008. Biofuel Plantations on Forested Lands: Double Jeopardy for Biodiversity and Climate Conservation Biology, Volume 23, No. 2, 348–358 Hoekstra, JM, Jennifer Molnar, Michael Jennings, Carmen Revenga, Mark Spaulding, Timothy Boucher, James Robertson, Thomas Heibel, and Katherin Ellison 2010. The Atlas of Global Conservation changes, challenges, and opportunities to make a difference. Edited by Jonathan M. Hoekstra et al. University of California Press, The Nature Conservancy Katz, Jonathan 2010. US Senate report says Haiti rebuilding has stalled. Associated Press June 21, 2010 http://www.google.com/hostednews/ap/article/ALeqM 5idZiVQhHcyG1gpBjzXaAmmk4_ OtAD9GG26A80 Mentzer, Robert 2010. Bird expert frustrated not to be helping in Gulf cleanup. Wausau Daily Herald June 16, 2 0 1 0 h t t p : / / w w w. w a u s a u d a i l y h e r a l d . c o m / article/20100616/WDH0101/6160505/Bird-expertfrustrated-not-to-be-helping-in-Gulf-cleanup Morrison, Scott A. 2010. Convergent Conservation in The Atlas of Global Conservation changes, challenges, and opportunities to make a difference. Edited by Jonathan M. Hoekstra, et al. University of California Press, The Nature Conservancy Sanjayan, M. 2010. Poverty and Nature's Services in The Atlas of Global Conservation changes, challenges, and opportunities to make a difference. Edited by Jonathan M. Hoekstra, et al. University of California Press and The Nature Conservancy WWF World Wildlife Foundation, n.d. http://www.worldwildlife.org/what/globalmarkets/ wildlifetrade /faqs-primate.html

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 156 ]


MEMBANTU ORANGUTAN Preuschoft, S., VIER PFOTEN/FOUR PAWS, Linke Wienzeile 236, 1150 Vienna, Austria

M

embantu orangutan adalah mahal. Upaya-upaya restoratif seperti rescue (penyelamatan), Rehabilitasi dan Reintroduksi adalah lebih mahal, akan tetapi upaya-upaya preventif saja tidak efisien semenjak UNEP melakukan ekstrapolasi bahwa hilangnya habitat akan mendorong orangutan liar tidak akan terselamatkan sebelum tahun 2017. Mengingat bahwa orangutan adalah ''saudara'' dari umat manusia dan mengingat umat manusia yang hidup di seluruh dunia adalah konsumer dari semua produk yang diciptakan dengan ongkos rusaknya habitat, maka hanya dirasakan akan adil kalau membantu orangutan adalah upaya bersama dari negara-negara yang memiliki orangutan dan negara asing lainnya. Tetapi bagaimana caranya memotivasi negaranegara asing ini mau menjadi donor? Motivasi utama akan memperbaiki kesalahan untuk berbagai tanggung jawab globalm serta meningkatkan citra altruistik sesorang. Upaya restoratif dapat difokuskan pada orangutan, habitatnya atau keduanya; upaya ini mencakup tiga aspek : aspek ekologi, aspek konservasi dan kesejahteraan satwa. Institusi-institusi di negara pemilik orangutan (range country) dalam merekrut donor harus bertujuan untuk mendapatkan bantuan yang berkesinambungan yang secara benar/tepat menjawab kebutuhan orangutan. Donor yang profesional membutuhkan program-program yang berbasis keilmuan, kualitas manajemen yang berstandar tinggi, struktur organisasi dan aliran finansiil yang transparan. Institusi-institusi penerima bantuan harus tidak membebani kebutuhan donor mereka maupun kesinambungan mereka sendiri.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 157 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 158 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 159 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 160 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 161 ]


Arah Baru Dalam Pembiayaan Pelestarian Orangutan Desilets, M. L. Executive Director, Orangutan Land Trust Pendahuluan ebagai pelestari orangutan, kita menghadapi berbagai macam tantangan dalam upaya mencapai tujuan kita bersama. Kelangsungan hidup orangutan saat ini terancam oleh pengalihan fungsi atau pembukaan hutan-hutan yang merupakan habitat spesies ini. Selain itu, penuhnya pusat-pusat penyelamatan dan rehabilitasi orangutan telah mendorong dibukanya sejumlah pusat penyelamatan baru serta menggarisbawahi kenyataan bahwa kita masih belum berhasil menangani penyebab utama berbagai ancaman terhadap orangutan, yaitu perusakan hutan. Memang sudah ada sejumlah terobosan seperti keterlibatan empat lembaga masyarakat madani yang peduli dengan kelangsungan hidup orangutan dalam Roundtable for Sustainable Palm Oil. Tetapi perusakan hutan di wilayah habitat orangutan masih terus berlangsung dalam skala besar. Dorongan utama bagi perusakan hutan datang dari kalangan industri, baik legal maupun ilegal. Perusakan hutan di berbagai negara (terutama negara berkembang) dipandang sebagai tindakan ekonomi yang masuk akal. Lalu bagaimanakah LSM-LSM dapat berjuang melawan kecenderungan ini? Mencegah perubahan fungsi habitat orang utan adalah langkah terpenting dalam penyelamatan spesies ini. Selain itu, kita juga perlu menemukan, meninjau, dan mengamankan daerah yang aman untuk translokasi orang utan liar yang terusir dari habitat mereka dan reintroduksi lebih dari 1000 individu orangutan hasil rehabilitasi (angka yang hanya meliputi orangutan Kalimantan). Hingga saat ini pendanaan dari masyarakat dan berbagai lembaga penyumbang masih belum cukup untuk mengimbangi besarnya tantangan yang kita hadapi.

S

Kesempatan dan Paradigma Baru Di sisi lain, ada beberapa kesempatan baru untuk menghasilkan dana bagi pelestarian orangutan. Perhatian seluruh dunia saat ini semakin terpusat pada perubahan iklim dan pengurangan emisi, sehingga pihak-pikak pemerintah, swasta, maupun masyarakat mulai memahami nilai ekonomis hutan terutama di daerah tropis. Dengan menjelaskan nilai ekonomis konservasi, kelestarian hutan, keragaman hayati, dan peranan ekosistem perawan dalam menjaga keseimbangan lingkungan, kita dapat menarik pendanaan sektor swasta bagi usaha-usaha tersebut. Menghitung nilai ekonomis keragaman hayati dan jasa lingkungan memang sulit, dan mekanisme yang berdasar pada penilaian ini memang belum teruji, tetapi masyarakat dunia telah mulai sadar bahwa mereka berutang kepada alam dan bahkan mulai berusaha untuk membayar kewajiban ini. Sebagai contoh, Norwegia baru-baru ini mengucurkan dana $1 miliar dalam rangka menghentikan perusakan hutan.

Dalam rangka menghasilkan manfaat terbesar bagi pelestarian orangutan, LSM-LSM yang terlibat perlu mempelajari perkembangan-perkembangan terbaru dan menempatkan diri di posisi strategis dalam perkembangan-perkembangan tersebut. Pendanaan ataupun dukungan praktis lainnya bisa didapatkan dari: · Corporate Social Responsibility (CSR) dan kegiatan perusahaan lain · Payments for Ecosystem (or Environmental) Services (PES) · Voluntary Carbon Market · UN-REDD+ · Study The Economics of Ecosystems and Biodiversity (TEEB) · Biodiversity Banking Orangutan sebagai “komoditas andalan” Untungnya, lembaga-lembaga pelestarian memiliki suatu “alat” yang sangat penting dalam upaya mereka untuk turut serta dalam perkembanganperkembangan terbaru di atas, yaitu orangutan itu sendiri. Orangutan dapat dianggap sebagai spesies pembawa bendera (menarik perhatian karena mewakili ekosistem yang luas), spesies payung (menghasilkan perlindungan bagi spesies-spesies lain yang hidup di habitat yang sama), spesies kunci (karena kepunahannya dapat menyebabkan dampak beruntun bagi seluruh ekosistem) dan spesies indikator (karena keberadaannya memberikan petunjuk tentang keadaan ekosistem secara menyeluruh). Oleh karena itu, orangutan dapat dipromosikan sebagai suatu faktor penarik dalam proyek-proyek pelestarian ekosistem yang lebih luas. Kerentanan orangutan telah mendapat perhatian dunia dalam beberapa tahun terakhir; ancaman kepunahan terhadap spesies ini telah menjadi fokus sejumlah kampanye internasional yang menuntut produksi minyak kelapa secara lebih berkelanjutan. Orangutan sangat mudah “dijual” sebagai simbol dalam kegiatan-kegiatan “hijau” yang dilaksanakan oleh perusahaan swasta. Dalam hal ini LSM-LSM pelestari orangutan mendapat kesempatan tersendiri untuk memastikan bahwa kegiatan-kegiatan “sadar lingkungan” seperti ini benar-benar menghasilkan manfaat nyata bagi orangutan. Jika “dipaketkan” bersama sejumlah produk konservasi lainnya, penyelamatan orangutan dapat menjadikan suatu proyek pelestarian karbon hutan tidak hanya lengkap tetapi juga sangat menarik bagi investor. Produkproduk konservasi lain yang dapat dimasukkan misalnya: · Sumber daya air · Energi terbarukan · Mata pencaharian alternatif dan pengentasan kemiskinan

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 162 ]


· Pendidikan · Kesehatan dan gizi · Cara-cara pertanian yang lebih baik · Improved Forest Management (IFM) atau Sustainable Forest Management (SFM) · Wisata lingkungan Proyek-proyek yang paling lengkap tentu saja akan memasukkan sejumlah besar dari matra-matra lingkungan di atas sebagai komponen utama. Pembentukan Tim Proyek Kehutanan yang Efektif Suatu tim dengan cakupan keahlian dan kemampuan yang luas sangat diperlukan untuk memastikan bahwa keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan suatu proyek kehutanan tidak hanya terbatas pada unsur penanggulangan perubahan iklim. Kejujuran personel, perusahaan, dan lembaga-lembaga yang terlibat perlu juga dipastikan secara seksama. Tim pelaksana dengan reputasi yang baik akan meningkatkan kredibilitas rencana proyek sejak awal, di samping menyediakan kemampuan pemantauan, penilaian, dan pelaporan yang memadai—suatu faktor yang penting dalam upaya menarik pendanaan modal. Proyek yang baik perlu didasarkan pada kesadaran bahwa kemiskinan berhubungan langsung dengan kerusakan ekosistem dan kehilangan keragaman hayati. Artinya, suatu proyek yang berhasil perlu memperhatikan tuntutan-tuntutan sosial, terutama di negara-negara berkembang. Kurangya perhatian terhadap masalah ini tidak hanya terbilang buruk secara etis tetapi juga dapat membahayakan nilai keberlanjutan proyek. Pembangunan dan pelestarian alam HARUS berjalan beriringan, bukan berlawanan. Masyarakat adat dan penduduk setempat perlu menjadi mitra (dan penerima manfaat) utama dalam setiap proyek, sehingga mereka perlu dilibatkan dalam perancangan dan perencanaan proyek sejak awal. Kehendak bebas (free, prior and informed consent / FPIC) dari setiap pemegang kepentingan perlu dipastikan sepanjang masa pengembangan proyek berserta kelanjutannya untuk memastikan pembagian manfaat secara adil. Masyarakat perlu diberi pilihan untuk memenuhi kebutuhan mereka tanpa melakukan perusakan hutan di tempat lain. Selain itu, masyarakat juga perlu diberi penghargaan yang setimpal bagi usaha-usaha mereka dalam melestarikan hutan. Tim pengembangan proyek perlu mengenali kearifan yang dimiliki masyarakatmasyarakat adat dan setempat yang telah lama tinggal di wilayah proyek secara turun-temurun. Pembangunan kapasitas perlu dilaksanakan untuk melatih masyarakat-masyarakat tersebut agar mereka memiliki keahlian yang diperlukan untuk terlibat secara penuh. Salah satu contoh kerjasama yang baik adalah melatih dan mempekerjakan penduduk setempat untuk memantau keadaan hutan sebagai tambahan data bagi pemantauan -

lewat satelit, sehingga keberhasilan (atau kegagalan) proyek dapat dinilai dengan lebih lengkap. Selain kearifan masyarakat adat dan penduduk setempat, masih banyak jenis keahlian lain yang diperlukan. Karena hampir tidak mungkin ada perusahaan atau lembaga yang memiliki semua keahlian tersebut, kemitraan antara sejumlah perusahaan dan/atau lembaga tentu saja perlu dijalin. Kemitraan tersebut perlu melibatkan personel yang ahli dalam bidang-bidang berikut: · · · · · · · · · · · ·

Pembangunan sosial Pinjaman mikro (micro-financing) Perubahan iklim Perhitungan karbon (carbon accounting) Keuangan Hukum Pemerintahan / pengelolaan (governance) Perencanaan ruang / tata guna lahan Manajemen kehutanan Keragaman hayati Hidrologi Pendidikan dan akademik

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa LSMLSM dapat berperan besar dalam perencanaan dan pelaksanaan suatu proyek kehutanan secara berkelanjutan. Sejumlah LSM seperti Borneo Orangutan Survival Foundation memiliki keahlian yang diperlukan dalam berbagai bidang di luar perawatan orangutan, misalnya manajemen kehutanan, pembangunan sosial, dan pengelolaan (governance). Mencari Pendanaan Bagi Proyek Berskala Besar Ada banyak kegiatan yang termasuk dalam kategori proyek kehutanan, termasuk penanggulangan perubahan iklim, perbaikan hidrologi daerah, perlindungan keragaman hayati, pengembalian fungsi ekosistem yang rusak, dsb. Skala proyekproyek semacam ini bervariasi dari penghijauan kembali beberapa hektar daerah penyangga hingga konsesi pemulihan ekosistem seluas ratusan ribu hektar. Secara umum, proyek kehutanan yang menghasilkan dampak positif yang berarti dan dapat diukur dalam beberapa bidang perlu dijalankan pada skala (dan tingkat biaya) yang cukup besar. Sejumlah besar dana diperlukan sekedar untuk menemukan calon tapak proyek yang baik, meninjau daerah tersebut, menyusun laporan kelayakan teknik (sebesar ratusan halaman dan meliputi berbagai bidang ilmu), dan membayar biaya konsesi sebelum kegiatan inti dapat dilakukan di lokasi proyek. Suatu proyek juga dapat memakan waktu beberapa tahun sebelum proyek tersebut mulai menghasilkan pengembalian yang dapat diukur dan dipastikan dalam bentuk karbon maupun unsur-unsur lainnya. Karena sifat pasar sukarela (voluntary market) yang sulit diperkirakan dan tiadanya “daftar harga” yang -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 163 ]


disepakati secara internasional untuk pelestarian keragaman hayati dan jasa ekosistem lainnya, nilai dan jangka waktu pengembalian yang dihasilkan suatu proyek sulit dihitung dengan uang. Walaupun begitu, ada sejumlah lembaga keuangan, investor, dan perusahaan yang bersedia mendukung proyekproyek semacam ini. Beberapa dari lembaga penyandang dana tersebut tampaknya sadar akan potensi keuntungan dalam bentuk selain uang, misalnya dampak positif terhadap lingkungan dan masyarakat serta perbaikan reputasi. Corporate Social Responsibility dan Pendanaan Swasta Lainnya Perusahaan-perusahaan di seluruh dunia telah mulai menerima konsep Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility / CSR). Sebagai contoh, praktek-praktek Fair Trade, ethical sourcing, dan pengurangan bahan kemasan semakin banyak dijalankan. Sisi lain konsep ini adalah memberikan balas jasa, seperti menyediakan perawatan kesehatan bagi karyawan perusahaan dan penduduk setempat di negaranegara berkembang atau menanam kembali hutan setempat. Kegiatan-kegiatan semacam ini dapat menguntungkan perusahaan: karyawan yang sehat akan lebih jarang absen karena sakit; penghijauan kembali wilayah hutan dapat memperbaiki keadaan hidrologi lahan tanaman industri di sekitarnya. Sekarang LSM pelestarian orang utan perlu berpikir kreatif untuk menyusun menu kegiatan yang dapat menarik pendanaan dan upaya CSR sebagai dasar bagi kegiatan-kegiatan selanjutnya. Perusahaanperusahaan dengan kegiatan yang berdampak langsung kepada ekosistem dan keragaman hayati seperti perkebunan kelapa sawit, perkayuan, atau pertambangan tentu dapat dan harus mendukung proyek-proyek kehutanan (tetapi dukungan ini tidak boleh dimanfaatkan untuk “memaafkan” perusakan ekosistem dan keragaman hayati di tempat lain). Industri-industri ini tampaknya akan terus bertahan dalam jangka panjang karena mereka menghasilkan kebutuhan yang banyak dicari di pasar dunia, sehingga kita perlu mendorong perubahan ke arah praktek-praktek yang lebih berkelanjutan dalam industri-industri tersebut. Salah satu praktek berkelanjutan yang dapat dilakukan adalah kompensasi atau “penyeimbangan” terhadap dampak industri-industri ini pada sumber daya air, lingkungan, dan ekosistem. Investasi yang bermanfaat bagi masyarakat sekitar mereka dapat meningkatkan baik reputasi maupun produktivitas mereka, dan kemitraan yang saling menguntungkan dengan masyarakat serta LSM dalam mengelola tata guna lahan tentunya akan bermanfaat bagi semua pihak. Calon-calon penyokong lain bagi proyek kehutanan sebagai bagian dari strategi CSR adalah perusahaan-perusahaan yang sangat bergantung pada keragaman hayati dan keutuhan ekosistem bagi produktivitas mereka, misalnya pertanian, perikanan, dan industri obat-obatan.

Pembayaran Jasa Lingkungan dan The Economics of Ecosystems and Biodiversity (TEEB) Sejumlah upaya telah dimulai untuk menetapkan nilai uang bagi jasa-jasa yang disediakan oleh alam kepada rumah tangga, masyarakat, dan ekonomi. Pembayaran jasa lingkungan (payments for environmental services / PES) merupakan kontrak yang menetapkan bahwa penyedia jasa lingkungan perlu mendapat pembayaran yang adil dan pengguna jasa perlu menyediakan dana bagi pembayaran ini. Dalam sistem ini, para pemilik tanah dan masyarakat setempat mendapat insentif untuk melestarikan lahan milik mereka, sehingga menghasilkan suatu keadaan yang saling menguntungkan (win-win situation). Beberapa contoh jasa lingkungan adalah: · Jasa penyediaan – misalnya serat, bahan makanan, dan bahan obat-obatan · Jasa pengaturan (regulasi) – misalnya pencegahan erosi, penjernihan air, pengutangan banjir, dan penanggulangan perubahan iklim · Jasa pendukung – misalnya penyebaran serbuk sari dan nutrisi · Jasa budaya – misalnya wisata, rekreasi, dan penelitian. Study The Economics of Ecosystems and Biodiversity (TEEB) merupakan suatu prakarsa untuk membandingkan keuntungan ekonomi pelestarian ekosistem dan keragaman hayati dengan biaya yang muncul dari kerusakan ekosistem dan kehilangan keragaman hayati. Studi ini meneliti biaya dan hasil tindakan-tindakan penanggulangan yang dapat dilakukan untuk mengurangi kerusakan tersebut. Dengan mengumpulkan sejumlah bidang ilmu untuk menghubungkan ekonomi dengan ekosistem dan keragaman hayati, TEEB berusaha untuk menentukan atau memperkirakan nilai masingmasing faktor dengan menyarankan mekanisme penilaian yang tepat untuk berbagai konteks. Informasi kuantitatif yang dihasilkan dapat menjadi panduan yang berharga bagi para penyusun kebijakan di tingkat internasional, regional, maupun lokal. Pasar Karbon Tertata (Regulatory) dan Sukarela (Voluntary) Ada satu jasa lingkungan yang telah mendapat nilai keuangan yang jelas: penyimpanan dan pengikatan karbon dalam hutan-hutan tropis. Perdagangan karbon dilaksanakan lewat pasar tertata maupun swakarsa. Pasar-pasar ini telah dikembangkan untuk memungkinkan penjualan jatah emisi (emissions allowances) dan/atau dana emisi (credits for emissions). Pasar-pasar tertata yang ada di antaranya CDM, EU ETS, New South Wales dan RGGI. Pasar-pasar swakarsa yang tersedia di antaranya Chicago Climate Exchange dan pasar OTC. Proyek-proyek karbon hutan hanya merupakan bagian kecil dari proyek-proyek CDM karena adanya

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 164 ]


· Menghasilkan pertambahan (additionality) · Menetapkan garis dasar (baseline) yang realistis · Mengukur, memantau, melaporkan, dan memastikan penyimpanan karbon · Menanggulangi kebocoran · Mengelola risiko terhadap keberlanjutan dana karbon (carbon credits). · Memastikan keterlibatan dan manfaat bagi masyarakat adat dan setempat. · Memastikan bahwa upaya yang diambil membantu, bukannya menggerogoti upaya lain · Manfaat sampingan bagi lingkungan · Memperluas skala dan cakupan usaha karbon kehutanan.¹ ¹Virgilio, N. and S. Marshall. 2009. Forest Carbon Strategies in Climate Change Mitigation: Confronting Challenges Through Onthe-Ground Experience, The Nature Conservancy. Arlington, Virginia.)

Saat ini, hanya pasar sukarelalah yang mengizinkan penawaran imbangan (offsets) dari ketiga jenis kegiatan karbon kehutanan: Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation, Improved Forest Management dan Afforestation/Reforestation (REDD, IFM dan AR). Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan peningkatan cadangan karbon hutan (Reduced Emissions from Deforestation and Forest Degradation/REDD+) REDD+ (atau lengkapnya: “Reducing emissions from deforestation and forest degradation in developing countries, and the role of conservation, sustainable management of forests and enhancement of forest carbon stocks in developing countries according to Bali Action Plan (1/CP.13)”) adalah satu dari sedikit kesepakatan umum yang berhasil diambil dalam konferensi perubahan iklim PBB di Kopenhagen (COP15) Desember lalu. Salah satu paragraf dalam “Kesepakatan Kopenhagen,” suatu perjanjian yang mengikat secara politik di antara 97 negara, menetapkan peran penting REDD Plus dan pentingnya mobilisasi sumber daya keuangan dari negara-negara maju. Kesepakatan ini mendorong dibentuknya Kemitraan REDD+ Partnership, yang hingga bulan Mei 2010 telah mengumpulkan 58 negara mitra dan komitmen dana sebesar $4.5 miliar untuk periode 2010–2012. Sejumlah tantangan dan pertanyaan yang menghadapi pengembangan REDD+ telah ditemukan oleh CIFOR: · Kita memerlukan cara untuk mengukur banyaknya karbon yang tersimpan dalam hutan sebelum kita dapat menentukan nilai ekonomisnya. · Kita perlu menentukan jenis pembayaran yang akan dilakukan dan penerimanya: misalnya, apakah pemerintah pusat, masyarakat di sekitar hutan, dan/atau perusahaan perkayuan turut diuntungkan oleh dana REDD? Bagaimanakah kita akan memastikan kejujuran dan pertanggungjawaban atas transaksi-transaksi semacam ini?

· Harus ada mekanisme pertanggungjawaban untuk memastikan bahwa hutan akan terlindungi: misalnya, jika pembayaran REDD telah dikucurkan, tetapi hutan masih tetap dirusak, siapakah yang harus bertanggung jawab dan dalam bentuk apa? · Dari manakah dana REDD berasal? Dari negara penyandang dana, atau lewat sistem perdagangan pasar? Indonesia, sebagai salah satu pendukung utama Bali Road Map, telah sepenuhnya menerima konsep REDD dan memenuhi tahap-tahap REDDReadiness. Lusinan proyek REDD swakarsa sedang dalam taraf pengembangan dan, menurut PBB, lebih dari 3 juta hektar lahan telah diusulkan untuk REDD. Pemerintah Indonesia mengerti akan pentingnya keterlibatan semua pemegang kepentingan, dan pemerintah propinsi juga sudah mulai tertarik dengan potensi REDD sebagai pengganti pembukaan hutan. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi REDD saat ini adalah membangun komunikasi dan pengertian yang lebih baik antara pemerintah daerah dan Kementerian Kehutanan. Biodiversity Banking Biodiversity Banking atau Bio-Banking telah lama dijalankan di Amerika Serikat, baru-baru ini diperkenalkan di Australia, dan sedang diajukan di Inggris. Dalam sistem ini, pelaksana pembangunan diwajibkan mencegah kerusakan lingkungan sebisa mungkin, dan melakukan penanggulangan jika kerusakan tak dapat dicegah. Para pelaksana juga wajib mendanai bio-bank sebagai pengimbang atas dampak lingkungan yang tak dapat dicegah. Suatu BioBank merupakan luasan besar habitat atau ekosistem yang dilindungi di bawah pengelolaan ahliahli yang berkecakapan. Pengelolaan wilayah ekosistem yang besar (bukan sejumlah daerah kecil yang terpisah) meminimalkan efek perbatasan, memungkinkan pergerakan bebas sejumlah besar spesies, mendukung kelangsungan hidup populasipopulasi mandiri, dan memungkinkan pemantauan secara lebih mudah, lebih lengkap, dan lebih jujur. Di AS, sejumlah spesies langka dan jenis ekosistem tertentu telah mendapat nilai keuangan. Jika suatu lembaga pelaksana pembangunan menghasilkan dampak negatif terhadap spesies-spesies atau jenisjenis ekosistem ini (setelah menghabiskan segala upaya untuk mencegah atau menanggulangi dampak tersebut), lembaga itu wajib membayar kompensasi untuk mendukung kelangsungan spesies atau jenis ekosistem tersebut dalam salah satu BioBank terdaftar. BioBank pertama yang ditetapkan di daerah tropis adalah BioBank Malua di Sabah. Model baru pelestarian hutan ini berupaya untuk merehabilitasi dan melestarikan 34.000 hektar habitat utama bagi orangutan dan margasatwa liar lain. BioBank Malua adalah suatu kemitraan negara-swasta dengan pemerintah negara bagian Sabah sebagai investasi dalam rangka pemulihan dan pelestarian Hutan Lindung Malua. Sebagai bagian dari perjanjian ini, -

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 165 ]


pemerintah Sabah telah menyetujui penghentian penebangan hutan di Malua selama paling tidak 50 tahun. Sepanjang rentang waktu ini, Rencana Pengelolaan Konservasi BioBank Malua akan diterapkan untuk meningkatkan fungsi habitat satwa liar dan mempromosikan jasa-jasa ekosistem seperti penyimpanan dan pengikatan karbon dalam pertumbuhan hutan Malua. Penjualan Sertifikat Pelestarian Keragaman Hayati (Biodiversity Conservation Certificates / BCCs) yang terdaftar di Markit menghasilkan pemasukan untuk mendanai Biobank. BBC dapat dibeli oleh perusahaan atau penyandang dana pribadi, tetapi sertifikat ini bukan merupakan imbangan atas pembukaan atau perusakan hutan lain. Pada saat ini BCC dijual seharga US$1000 per hektar. Dengan dana yang dihasilkan melalui penjualan BCCs, Malua Trust, sebuah lembaga yang dikelola HSBC Trustees, akan mengawasi dan mendanai pelestarian Hutan Malua di masa yang akan datang. Beberapa dari kegiatan yang didukung oleh sumber dana ini adalah: · Pemulihan tutupan kanopi hutan · Pembangunan dan perawatan jembatan kanopi orangutan · Patroli dan program pendidikan anti-perburuan liar · Penanaman spesies pohon asli endemik · Pemantauan satwa liar dengan perangkap kamera Pada tahun 2005, Round Table for Sustainable Palm Oil (RSPO) menerbitkan serangkaian prinsip best practice yang perlu dipatuhi para anggota untuk mendapat sertifikasi RSPO. Kriteria dan indikator yang dikembangkan untuk memenuhi prinsip-prinsip tersebut telah melalui pengujian awal antara November 2005 dan November 2007. Dalam rentang waktu yang sama penafsiran nasional atas skema sertifikasi RSPO dikembangkan untuk Indonesia dan Malaysia. Kriteria 7.3 membahas penanaman kelapa sawit baru: 'Penanaman baru sejak November 2005 belum menggantikan hutan primer atau lahan serupa yang diperlukan untuk memelihara atau meningkatkan satu atau lebih Nilai Konservasi Tinggi (High Conservation Values / HCV).' Untuk menanggulangi ketidakpatuhan dengan kriteria ini antara 2005 dan 2007 (dianggap sebagai masa antara bagi perusahaan yang sedang menguji prosedur-prosedur yang tepat untuk memenuhi prinsip-prinsip RSPO), penafsiran khusus bagi Indonesia dan Malaysia menambahkan suatu kewajiban kompensasi: 'Jika ada bukti bahwa suatu lahan tidak mengandung HCV setelah Nov 2005, lahan tersebut dapat diikutkan dalam program sertifikasi RSPO. Jika status HCV lahan tidak diketahui dan/atau dalam sengketa, lahan tersebut tak dapat diikutkan dalam program sertifikasi RSPO sampai ada solusi kompensasi HCV yang dapat diterima. Perusahaan pemilik lahan tersebut masih dapat mengikutsertakan lahan-lahan lain dalam program. Peraturan ini hanya berlaku bagi pengembangan lahan antara Nov 05 dan Nov 07, yaitu dalam masa awal percobaan penerapan RSPO P&C'.

RSPO sedang mengembangkan suatu skema kompensasi yang bercakupan luas dan dapat dipertanggungjawabkan untuk menangani masalah yang menyulitkan. Dalam skema ini, RSPO mempertimbangkan bank konservasi sebagai mekanisme kompensasi yang memungkinkan perusahaan anggota yang telah membuka hutan dengan status HCV tidak jelas atau dipersengketakan antara 2005 dan 2007 untuk mematuhi Kriteria 7.3. RSPO berniat mengangkat usulan skema kompensasi ini dalam pertemuan RSPO General Assembly (RT8) pada bulan November 2010. New Forests Asia (NFA) mengelola Biobank Malua beserta upaya untuk mengembangkan skema kompensasi yang dapat dipertanggungjawabkan untuk perkebunan kelapa sawit dan industri-industri lainnya. Business and Biodiversity Offsets Programme (BBOP, salah satu program Forest Trends) menawarkan panduan dan bantuan teknis kepada pihak-pihak pemerintah, swasta, dan masyarakat madani dalam penanggulangan dampak proyek terhadap keragaman hayati, termasuk pengimbangan keragaman hayati (biodiversity offsets), dalam rangka menanggulangi dampak sisa proyek untuk menunjukkan bahwa tidak ada kehilangan nyata dalam keragaman hayati. RSPO telah meminta bantuan NFA dan BBOP untuk menggabungkan kekuatan, pengetahuan, dan pengalaman bersama dalam pengembangan suatu sistem percobaan bank konservasi yang dapat memberikan penyelesaian bagi masalah-masalah dengan kompensasi Kriteria 7.3 RSPO. NFA, BBOP, sejumlah perusahaan kelapa sawit dengan kewajiban kompensasi, dan Orangutan Land Trust telah setuju mengadakan kerjasama dalam suatu proyek percobaan untuk mengembangkan dan menguji suatu mekanisme kompensasi bank konservasi bagi pembukaan hutan dalam rentang waktu 2005-07, dengan tujuan akhir untuk menghasilkan model/mekanisme yang dapat diterima dalam suatu skema kompensasi RSPO. Proyek ini akan berlangsung di Pulau Borneo, termasuk di Sabah, Malaysia dan di Kalimantan, Indonesia untuk memastikan kelayakan dan ketepatgunaan skema yang diajukan tersebut di bawah wewenang kedua negara. BBOP dan NFA akan bekerjasama dengan mitra proyek dan konsultan terpilih untuk: · Menentukan wilayah-wilayah biogeografis utama (yang juga berperan sebagai wilayah layanan) serta jenis-jenis habitat dan hutan utama di Kalimantan sebagai dasar pertimbangan kompensasi "setara atau lebih baik" sesuai dengan lahan dan keadaan setempat; · Menetapkan metodologi perhitungan kehilangan keragaman hayati di lokasi dampak dan peningkatan keragaman hayati di calon lokasi bank konservasi,

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 166 ]


路 serta mengusulkan jangkauan perbandingan (rasio) kompensasi yang dapat diterapkan untuk keadaan-keadaan tertentu beserta alasan-alasan yang sesuai; 路 Mengembangkan tolak ukur sertifikasi dan syarat pemrosesan bagi mekanisme bank konservasi RSPO; 路 Mendukung pembangunan kelembagaan dan kapasitas bagi RSPO dan pemengang-pemegang kepentingan yang terkait dalam rangka penerapan program kompensasi bank konservasi; dan 路 Menghasilkan suatu proses konsultasi masyarakat dan pelibatan pemegang kepentingan yang jujur/transparan. Tergantung pada keberhasilan percobaan ini, dan penerimaan biobanking oleh RSPO sebagai mekanisme kompensasi bagi masa antara dari November 2005 hingga November 2007, mungkin akan ada suatu jalur pemasukan baru bagi BioBank di Indonesia dan Malaysia. Sekretariat RSPO memperkirakan bahwa telah terjadi pembukaan sekitar 700.000 hektar lahan dengan status HCV tidak jelas atau dipersengketakan dalam rentang waktu ini di Kalimantan. Kesimpulan Besarnya jumlah mekanisme yang sedang dikembangkan untuk perlindungan bentangan luas ekosistem menandakan kemungkinan besar bahwa ada manfaat yang akhirnya akan mencapai orangutan, terutama dalam bentuk perlindungan habitat. Mekanisme-mekanisme ini berdasar pada keterlibatan banyak pemegang kepentingan dalam upaya pengembangan, pelaksanaan, dan pembagian manfaat. LSM-LSM orangutan dapat ikut serta untuk memastikan bahwa proyek-proyek kehutanan memiliki dampak positif, keberlanjutan, dan transparansi setinggi mungkin. Karena perlindungan habitat orangutan memegang peranan begitu penting dalam pelestarian spesies ini, dan upaya tersebut memiliki cakupan yang begitu luas, LSM-LSM orangutan perlu bekerja sama baik satu sama lain ataupun dengan mitra-mitra lainnya untuk mencapai keberhasilan yang diinginkan. Situs-situs web yang disarankan: BioBanking: http://www.maluabank.com/ Borneo Orangutan Survival Foundation: http://www.orangutan.or.id/ Carbon Markets: http://www.conservationfinance.org/ CCBA: http://www.climate-standards.org/ CIFOR: http://www.forestsclimatechange.org/ Orangutan Land Trust: http://www.forests4orangutans.org/ REDD+:http://www.un-redd.org/ RSPO: http://www.rspo.org/ TEEB: http://www.teebweb.org/

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 167 ]


HASIL DISKUSI KELOMPOK Kebijakan dan kampanye *Tujuan: - Identifikasi opsi-opsi perencanaan kedepan bagi kebijakan dan kampanye - Belajar dari pengalaman yang ada

* Cakupan penelitian yang sedang berjalan dan masa depan mulai dari analisis genetic sebagai dasar rekomendasi konservasi, penilaian habitat dan perilaku pakan serta memperbarui distribusi dan populasi pelepasliaran

* Tekanan bagi orangutan - Deforestasi akibat (il)legal logging,konversi hutan, tambang, dan perburuan

* Ada celah untuk memperoleh hasil yang padat dan komprehensif, seperti jumlah sampel yang lebih banyak dan lebih luas cakupan wilayahnya sehingga membutuhkan partisipasi pemangku kepentingan lainnya yang relevan termasuk kebijakan dan kebutuhan dana

* Kebijakan : membuat kebijakan-kebijakan tata guna lahan (termasuk tata ruang dan implementasinya), harus konsisten, regulasi yang memenuhidan mendukung keamanan/kelangsungan hidup satwa liar, menguatkan standar (pemerintah mengadopsi asesmen HCVF untuk perkebunan kelapa sawit), melibatkan institusi keuangan * Berbagi habitat orangutan dengan hutan konsesi (terutama ERC) * Mekanisme resolusi konflik * Isu dalam penegakan hukum - Bekerjasama dengan penegak hukum lainnya - Peningkatan kapasitas penegak hukum (kewenangan, kemampuan, peralatan, fasilitas untuk menampung hewan sitaan dan pegawai) - Tidak menghalangi hukum dan regulasi, termasuk kejahatan kelalaian - Bekerjasama dengan badan hukum lainnya * Partisipasi komunitas termasuk komunitas umum * Konteks International: mengembangkan tekanan untuk manajemen yang lebih baik kampanye, perbaikan kebijakan, edukasi konsumen, mendokumentasi BMP, mengembangkan kapasitas perusahaan Pendanaan yang Berkelanjutan *Tujuan: Menghasilkan mekanisme keuangan yang berkelanjutan untuk memastikan keberlangsungan hidup orangutan di alam, terutama populasi yang dapat bertahan jangka panjang * Apa saja kunci-kunci langkah untuk mengoperasikan skema keuangan yang berkelanjutan? - Tingkat ambisi - Identifikasi kawasan dan criteria untuk prioritas - Bagaimana membangun kepemilikan, kerjasama dan kemitraan dengan para pemangku kepentingan - Bagaimana mengubah pola piker dari 'biaya pusat' menjadi 'pemasukan pusat', dari 'amal' menjadi 'bisnis’ * Bagaimana menyiapkan instrument yang tepat? - Opsi-opsi apa saja yang memungkinkan di setiap konteks (biobank, biodiversity credits, offset, REDD+, commercial conservation)? - Identifikasi pasar/sumber - Manajemen dana (rasional, memungkinkan, efisien, efektif, akuntabilitas) - Memanfaatkan kesempatan dan strategi * Isu-isu apa saja yang berhubungan dengan 'kebenaran' dan keuntungan distribusi'? - Hak sosial vs. bagaimana pemerintah menyebarluaskan dan melakukan pendekatan peraturan? - Bagaimana mengurus ijin pembayaran sebagai penghalang untuk masuk Penelitian * Isu yang berhubungan dengan penegakan * Tujuan relevan strategi dan rencana aksi konservasi orangutan Indonesia: habitat dan populasi orangutan yang stabil pada 2017 * Adanya komitmen jangka panjang dan institusi-institusi baru yang turut serta dalam penlitian sangat diperlukan untuk memperoleh akurasi yang lebih kuat, padat dan hasil yang lengkap membutuhkan jaminan dana

* Transfer teknologi adalah keharusan dalam membangun kerjasama untuk meningkatkan kapasitas kondisi local dan kapabilitas serta fasilitas (sumber-sumber) dari institusi lokal sehingga sampel tidak perlu lagi dikirim ke Luar Negeri * Standarisasi periode penelitian untuk aspek tertentu, selang monitoring, prosedur dan marker genetic perlu diatur sehingga hasilnya dapat dibandingkan * Lebih banyak pendekatan yang terintegrasi (misalnya observasi sarang sambil mengambil sampel DNA) termasuk aspek sosioekonomi-budaya perlu direncanakan dan diimplementasikan disaat melaksanakan penelitian lapangan * Perlu penelitian di koridor gambaran dan legalisasi koridor yang menghubungkan dua atau lebih area adalah kebutuhan yang mendesak juga berkaitan dengan kebijakan * Penelitian juga harus menyinggung ancaman yang ada (perambahan, logging dan aktivitas illegal seperti perburuan, perdagangan illegal, pembangunan infrastruktur) dan potensi ancaman lainnya seperti perubahan iklim * Kebijakan dan program konservasi harus berdasarkan hasil penelitian ilmiah Rehabilitasi dan Pelepasliaran (reintroduksi) * Tujuan -untuk menopang populasi orangutan di habitat alamnya - untuk menghentikan masuknya orangutan ke Pusat Rehabilitasi * Tantangan - ERC dan HCVF adalah dua kandidat yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan ini. Namun, HCVF perlu diformalisasi dalam regulasi pemerintah dan pentingnya mengurangi pembayaran bagi ERC karena peruntukannya bukan konsesi untuk produksi * Kebutuhan - Perlunya regulasi untuk mempertahankan orangutan yang mendiami hutan konsesi dan menjadi tanggung jawab pemilik konsesi. Mereka tidak boleh dipindahkan ke Pusat Rehabilitasi. Sistem insentif dan disinsentif harus diterapkan. * Pedoman - Sebelum melepasliarkan orangutan rehabilitant, harus dipastikan sudah mengikuti langkah-langkah SOP. Namun, pedoman pelepasliaran yang saat ini tersedia berdasarkan kera besar afrika yang kita tahu tidak semuanya cocok untuk orangutan. * Bushmeat (konsumsi daging) - Adanya kebiasaan bushmeat di beberapa populasi manusia harus diperhitungkan saat menseleksi kawasan pelepasliaran. Jadi tidak hanya berdasarkan pertimbangan ekologi. * Isu Genetik - Penemuan baru yang memperlihatkan perbedaan genetik diantara sub spesies wurmbii di Kalimantan Tengah jangan menjadi kendala usaha pelepasliaran, karena kondisi ekologi mereka tidak berbeda, orangutan mudah beradaptasi dengan kondisi lokal. - Ada kebutuhan untuk mengevaluasi aktivitas pelepasliaran yang telah berlangsung hingga kini. Hal ini penting untuk memaksimalkan hasil prakarsa pelepasliaran.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 168 ]


RINGKASAN DARI KOMITMEN FGD FORINA

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 169 ]


Kamar Pemerintah Cross Cutting > Hambatan untuk kegiatan konservasi · Menghilangkan hambatan dengan hati-hati · Untuk ERC akan dilakukan revisi P 61/2000 yang berkaitan dengan perampingan birokrasi · Peraturan baru untuk ERC dalam kawasan konservasi. · Kementerian Pertanian akan menghilangkan kewajiban untuk sebagian EIA (AMDAL) > Tata Guna Lahan · HCVF (High Conservation Value Forest/Hutan Bernilai Konservasi Tinggi) sudah tercakup dalam peraturan yang ada, mekanisme untuk implementasi akan ditingkatkan dengan melibatkan “assessor” independen. · Mendorong dan mengenali “multiple forest uses” (“cohabitation”), Peraturan Menteri baru sedang dalam proses. Kebijakan dan Kampanye > Penegakan Hukum (Enforcement) · Memohon kepada Presiden agar memerintahkan para menteri dan lembaga pemerintah lain yang terkait untuk memerangi kejahatan satwaliar (crimes on wildlife) dengan menggunakan kerangka kerja yang sama dengan Inpres No. 4/2005 (untuk memerangi illegal logging) · Merevisi PP no. 7/1999 untuk memasukkan orangutan Sumatra. · Bekerjasama dengan masyarakat lokal dan hukum adat dengan memasukkan hukum positif, hukum adat, peraturan-peraturan agama dalam kegiatan pendidikan bagi masyarakat. · Rancangan undang-undang atau peraturan yang berkaitan dengan tindak pidana kehutanan sedang dalam proses dan akan segera diundangkan; berisi hukuman yang lebih keras dan cakupan yang lebih luas. · Mengusulkan “Indonesian type of Lacey Act. > Pemerintah akan menggunakan “track 1 diplomacy” untuk bekerjasama dengan masyarakat internasional dan mendorong “Track 2 diplomacy (non state diplomacy)

> Bekerjasama dengan Kementerian Energi, Pertambangan dan Sumberdaya Minerak untuk penggunaan dana reklamasi guna kegiatan konservasi dan pengembangan habitat orangutan. > Meyakinkan kebutuhan mekanisme “benefit sharing” yang adil untuk mengikuti prinsip-prinsip : Akses dan benefit sharing, bebas dan pemberitahuan persetujuan/kesepakatan sebelumnya, hak milik intelektual serta perjanjian alih teknologi/intelektual yang menguntungkan bersama. Penelitian > Penelitian harus dikoordinasikan diantara berbagai institusi termasuk penelitian medis. > Penelitian dapat ditempatkan di Kesatuan Pemangkuan Hutan Konservasi (KPHK) agar supaya relevan dengan kebutuhan dari kawasan hutan yang spesifik. > “Scientific Authority” seyogyanya lebih beragam serta mencakup berbagai institusi selain LIPI. > Melakukan pemetaan keanekaragaman hayati Indonesia. Rehabilitasi dan Reintroduksi > Mengenali/mengetahui tantangan dan kebutuhan (mana yang sudah dan mana yang belum tercakup dalam kebijakan, mengurangi hambatan untuk memulai serta membuat agar “cohabitation” dapat dilakukan). > Memahami serta menyetujui saran-saran dalam pedoman, pertimbangan yang berkaitan dengan populasi manusia serta dalam menangani isu genetik Daftar Peserta Kamar Pemerindah

Pendanaan > Pemerintah telah berusaha untuk memfasilitasi dan mendanai penyelamatan (“rescue”), rehabilitasi dan pelepasliaran orangutan melalui APBN namun dibutuhkan alokasi yang lebih besar. Data dan argument dibutuhkan untuk menjastifikasi kebutuhan untuk meningkatkan anggaran.i) > Mekanisme pendanaan yang innovative telah diakomodasi dalam revisi UU no. 5/1990. > Skema pendanaan yang innovative harus diimplementasikan dengan kehati-hatian untuk menghindari komersialisasi yang berlebihan dari konservasi. > Pemerintah harus mengarahkan kembali dana reforestasi (reboisasi) ke Dana Jaminan Reboisasi (DJR)serta melakukan penilaian terhadap performance (keberhasilan reboisasi) sebagai dasar penarikan DJR (“redemption”) Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 170 ]


Kamar Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO)

Kebijakan dan Kampanye > Komitmen pemerintah belum cukup kuat harus dilakukan advokasi kepada pemerintah agar lebih banyak melakukan kegiatan konservasi > Menyelesaikan problem pada tata guna lahan monetary value untuk model ekonomi > Meningkatkan penghargaan terhadap “indigenous landrights” (hak atas tanah orang asli?) manfaat jangka panjang bagi masyarakat (lokal). > Memanfaatkan Revisi Undang-undang tata Ruang untuk menjamin keamanan keberadaan habitat orangutan secara legal, pelepasliaran orangutan, kebijakan pengelolaan yang baik untuk kegiatan pariwisata apabila kegiatan ini memang dimungkinkan untuk dilakukan di situs pelepasliaran orangutan. > Melakukan pendekatan terhadap konsesi (perkebunan) kelapa sawit untuk memastikan dilakukannya kegiatan-kegiatan yang berkesinambungan; membantu mereka melakukan kegiatan pengelolaan populasi orangutan yang berada didalam area konsesinya atau disekitarnya (misalnya dengan melakukan kegiatan monitoring bersama-sama atau secara independen) > Melakukan kegiatan pendidikan dan memberikan dukungan bagi perusahaan dan pemerintah (untuk pemerintah diprioritaskan institusi konservasi dan polisi/penegak hukum) > Kampanye untuk pendidikan bagi pembuat kebijakan > Orangutan adalah pintu masuk yang baik untuk bekerjasama dengan pemerintah. Diperlukan program antar bangsa/Negara : misalnya antara Indonesia dengan Sarawak berkaitan dengan Rencana Aksi Konservasi Orangutan. > Mendorong dilakukannya Moratorium Deforestasi oleh Pemerintah Daerah diberbagai daerah (tidak hanya daerah tertentu saja) > Problem : · Peraturan Tata Ruang tidak merupakan payung untuk peraturan-peraturan lain yang terkait (sektor/kabupaten memiliki peraturan mereka sendiri) · Kurang atau tidak adanya koordinasi antar institusi terkait. > Saran : · Dibutuhkan Pusat Perijinan Satu Atap (“one stop permit centre”) LSM perlu mendorong pemerintah untuk ini. · Menciptakan dan membangun kampanye yang komprehensif bersama-sama diantara Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak-pihak lain yang terkait. Pendanaan yang berkesinambungan > Melakukan pendekatan terhadap pihak bank yang berkaitan dengan SME (… ), misalnya BRI di Taman Nasional Kutai untuk mendanai kegiatan. > Untuk pendanaan yang effisien maka diperlukan kerjasama yang baik dengan LSM dan Kelompok Peneliti. > Sementara mengembangkan mekanisme untuk pendanaan jangka panjang (berkesinambungan), suatu kombinasi skema perlu dilaksanakan :

· CSR : perusahaan (disampaikan pada “the Asian CSR Conference” di Hong Kong, September 2010) memberikan opsi kepada perusahaan, menerapkan strategi yang sesuai dalam melakukan pendekatan kepada perusahaan. · Melakukan lobi terhadap para petinggi kabupaten dan pimpinan-pimpinan lokal. · Melakukan pendekatan terhadap “voluntary initiative” (Eropa dan AS) : 1% keuntungan kepada LSM > Dibutuhkan suatu mekanisme “clearing house” > Pemerintah seyogyanya melakukan kajian kembali terhadap aspek hukum mengenai kemungkinan pembelian tanah/lahan (contoh: seperti yang dilakukan di Sabah). > Bio Bank > Mengembangkan kemauan untuk berbagi (jaringan kerja yang kuat) di setiap situs; contoh : dilaksanakan di Kalimantan Barat guna mengatasi masalah pendanaan. > Kontribusi “in kind” dari banyak pihak memobilisasi sumberdaya > Pendanaan yang berkesinambungan : REDD plus : collaborating leadership > Pendanaan yang berkesinambungan : dimungkinkan apabila semua pihak mau bekerjasama. Kebijakan dan Kampanye > Komitmen pemerintah belum cukup kuat harus dilakukan advokasi kepada pemerintah agar lebih banyak melakukan kegiatan konservasi > Menyelesaikan problem pada tata guna lahan monetary value untuk model ekonomi > Meningkatkan penghargaan terhadap “indigenous landrights” (hak atas tanah orang asli?) manfaat jangka panjang bagi masyarakat (lokal). > Memanfaatkan Revisi Undang-undang tata Ruang untuk menjamin keamanan keberadaan habitat orangutan secara legal, pelepasliaran orangutan, kebijakan pengelolaan yang baik untuk kegiatan pariwisata apabila kegiatan ini memang dimungkinkan untuk dilakukan di situs pelepasliaran orangutan. > Melakukan pendekatan terhadap konsesi (perkebunan) kelapa sawit untuk memastikan dilakukannya kegiatan-kegiatan yang berkesinambungan; membantu mereka melakukan kegiatan pengelolaan populasi orangutan yang berada didalam area konsesinya atau disekitarnya (misalnya dengan melakukan kegiatan monitoring bersama-sama atau secara independen) > Melakukan kegiatan pendidikan dan memberikan dukungan bagi perusahaan dan pemerintah (untuk pemerintah diprioritaskan institusi konservasi dan polisi/penegak hukum) > Kampanye untuk pendidikan bagi pembuat kebijakan > Orangutan adalah pintu masuk yang baik untuk bekerjasama dengan pemerintah. Diperlukan program antar bangsa/Negara : misalnya antara Indonesia dengan Sarawak berkaitan dengan Rencana Aksi Konservasi Orangutan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 171 ]


> Mendorong dilakukannya Moratorium Deforestasi oleh Pemerintah Daerah diberbagai daerah (tidak hanya daerah tertentu saja) > Problem : · Peraturan Tata Ruang tidak merupakan payung untuk peraturan-peraturan lain yang terkait (sektor/kabupaten memiliki peraturan mereka sendiri) · Kurang atau tidak adanya koordinasi antar institusi terkait. > Saran : · Dibutuhkan Pusat Perijinan Satu Atap (“one stop permit centre”) LSM perlu mendorong pemerintah untuk ini. · Menciptakan dan membangun kampanye yang komprehensif bersama-sama diantara Lembaga Swadaya Masyarakat dan pihak-pihak lain yang terkait. Pendanaan yang berkesinambungan > Melakukan pendekatan terhadap pihak bank yang berkaitan dengan SME (… ), misalnya BRI di Taman Nasional Kutai untuk mendanai kegiatan. > Untuk pendanaan yang effisien maka diperlukan kerjasama yang baik dengan LSM dan Kelompok Peneliti. > Sementara mengembangkan mekanisme untuk pendanaan jangka panjang (berkesinambungan), suatu kombinasi skema perlu dilaksanakan : · CSR : perusahaan (disampaikan pada “the Asian CSR Conference” di Hong Kong, September 2010) memberikan opsi kepada perusahaan, menerapkan strategi yang sesuai dalam melakukan pendekatan kepada perusahaan. ·Melakukan lobi terhadap para petinggi kabupaten dan pimpinan-pimpinan lokal. ·Melakukan pendekatan terhadap “voluntary initiative” (Eropa dan AS) : 1% keuntungan kepada LSM > Dibutuhkan suatu mekanisme “clearing house” > Pemerintah seyogyanya melakukan kajian kembali terhadap aspek hukum mengenai kemungkinan pembelian tanah/lahan (contoh: seperti yang dilakukan di Sabah). > Bio Bank > Mengembangkan kemauan untuk berbagi (jaringan kerja yang kuat) di setiap situs; contoh : dilaksanakan di Kalimantan Barat guna mengatasi masalah pendanaan. > Kontribusi “in kind” dari banyak pihak memobilisasi sumberdaya > Pendanaan yang berkesinambungan : REDD + : collaborating leadership > Pendanaan yang berkesinambungan : dimungkinkan apabila semua pihak mau bekerjasama. Penelitian > Menginterpretasikan hasil-hasil penelitian kedalam bahasa yang sederhanan dan populer untuk para pembuat kebijakan. > Menyiapkan dan membuat “road map” orangutan (cetak biru) sebagai prioritas nasional - untuk pendanaan berkesinambungan

> Monitoring medis untuk populasi liar - dorong untuk mengeluarkan system perijinan. Rehabilitasi dan Reintroduksi > Metoda Reproduktif dan Penyakit (tidak disebutkan) mengapa beberapa orangutan tidak dapat dilepasliarkan libatkan dokter hewan relawanan > Hindari konflik antara pusat rehabilitasi dan masyarakat atau areal yang berdekatan dalam ekoturisme lebih baik populasi liar, namun kalau di pusat rehabilitasi, diperlukan peraturan pengelolaan. > Libatkan masyarakat asli setempat manfaatkan keyakinan mereka bahwa Orangutan adalah nenek moyang (namun karena masyarakat tersebut tidak memiliki sumberdaya, maka berburu berbagai jenis satwa, termasuk orangutan menjadi alternative pendapatan mereka) > Dibutuhkan transparansi informasi dalam rehabilitasi untuk advokasi. > Diperlukan pedoman yang standar untuk pasca pelepasliaran orangutan. > Diperlukan kesadaran untuk perusahaan (mengubah “mind set” dari “orangutan adalah suatu masalah berkaitan dengan masuknya orangutan ke pusat rehabilitasi > Membangun data base (pangkalan data) & website mengenai informasi orangutan bagi umum melalui FORINA ke seluruh dunia.> Monitoring medis untuk populasi liar - dorong untuk mengeluarkan system perijinan. Rehabilitasi dan Reintroduksi > Metoda Reproduktif dan Penyakit (tidak disebutkan) mengapa beberapa orangutan tidak dapat dilepasliarkan libatkan dokter hewan relawanan > Hindari konflik antara pusat rehabilitasi dan masyarakat atau areal yang berdekatan dalam ekoturisme lebih baik populasi liar, namun kalau di p u s a t r e h a b i l i ta s i , d i p e r l u k a n p e r a t u r a n pengelolaan. > Libatkan masyarakat asli setempat manfaatkan keyakinan mereka bahwa Orangutan adalah nenek moyang (namun karena masyarakat tersebut tidak memiliki sumberdaya, maka berburu berbagai jenis satwa, termasuk orangutan menjadi alternative pendapatan mereka) > Dibutuhkan transparansi informasi dalam rehabilitasi untuk advokasi. > Diperlukan pedoman yang standar untuk pasca pelepasliaran orangutan. > Diperlukan kesadaran untuk perusahaan (mengubah “mind set” dari “orangutan adalah suatu masalah berkaitan dengan masuknya orangutan ke pusat rehabilitasi > Membangun data base (pangkalan data) & website mengenai informasi orangutan bagi umum melalui FORINA ke seluruh dunia.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 172 ]


Rekomendasi 1. Habitat > Mekanisme bebas biaya - konsesi hutan > Tingkatkan habitat : identifikasi area yang masih belum tercakup : REDD plus (mekanisme berbasis karbon) untuk semua jenis terancam punah termasuk orangutan > Selamatkan/amankan integritas habitat dalam tata ruang yang baru 2. Kebijakan : Penegakan Hukum > Patroli Perburuan Liar : tidak hanya polhut di areal tertentu lebih banyak dukungan kepada pemerintah (hakim, jaksa, polisi) pelatihan dan fasilitasi > Beri umpan balik kepada peraturan pelanggaran pidana kehutanan yang baru partisipasi dalam konsultasi public. > Apabila penegakan hukum tidak dilaksanakan secara lebih tegas ; target tahun 2015 tidak akan tercapai ijin yang lebih ketat untuk konversi lahan guna kelapa sawit dan pertanian diperlukan > Diperkuat atau dibentuk Petugas/Penjaga/Polisi Satwaliar (Wildlife Warden) (mungkin seperti : Orangutan Monitoring and Protection Unit) melibatkan masyarakat perlu status hukum. Dapat menurunkan masalah perdagangan illegal;

> Moratorium di beberapa macam area di lapangan perlu pedoman dalam penanaman baru kelapa sawit (RSPO) > Menghentikan perburuan keterlibatan masyarakat dan menciptakan lapangan pekerjaan atau pendapatan alternative. 3. Kebijakan : Peningkatan Kapasitas > Tingkatkan kapasitas Pemerintah daerah untuk mengimplementasikan UU No.32/2009 tentang keanekaragaman hayati : pendanaan dan ciptakan peraturan daerah untuk mendukungnya. > Restorasi skema berbasis masyarakat. 4. Pendanaan Yang Berkesinambungan > Bagaimana mencari dana, bagaimana menggunakannya kepemimpinan yang jelas (“clearing house�) 5. Penelitian : > Prioritaskan kegiatan penelitian yang memberikan dampak langsung pada konservasi jenis. > Bangun data base/website/informasi untuk pembuat kebijakan dan hasil penelitian yang berbasis public - bahasa yang populer.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 173 ]


Kamar Ahli dan Pemerhati Rekomendasi 1. Mengingat beberapa penelitian yang sangat urgen tidak dapat dilaksanakan karena keterbatasan perijinan, para peneliti memohon agar pemerintah menyederhanakan peraturan yang mengatur tentang pengkoleksian sampel di lapangan untuk keperluan analisa di laboratorium dari universitas dan atau lembagalembaga penelitian dan ijin tersebut diterbitkan untuk lembaga atau institusi bukan untuk perorangan dan validitas surat ijin tersebut hendaknya proporsional dengan masa proyek. 2. Situs-situs penelitian jangka panjang yang ada saat ini adalah control penting untuk pengevaluasian semua jenis kegiatan dan untuk m e ndo ku me n tasi kan semua efek d a ri perubahan iklim. Penjagaan terhadap keamanan situs-situs penelitian ini hendaknya menjadi prioritas yang tinggi. 3. Memperbaiki kegiatan peningkatan kapasitas lokal dan mensosialisasikan temuan-temuan atau hasil penelitian, Kita harus memperkuat keterlibatan universitas lokal dalam proyekproyek atau kegiatan penlitian orangutan. Ini dapat dilakukan dengan mengembangkan “multi-way collaboration” yang melibatkan peneliti asing, universitas pusat/nasional, universitas lokal dan LSM 4. FORINA dapat menyediakan web-site untuk berbagi informasi yang relevan kepada peneliti orangutan. 5. Banyak hasil penelitian orangutan hanya tersedia dalam bahasa Inggris. Dibutuhkan terjemahannya dalam bahasa Indonesia. FORINA dapat membantu disini. 6. Para Peneliti dan para pemangku kepentingan dalam konservasi orangutan dapat memanfaatkan FORINA sebagai jaringankerja komunikasi terutama untuk berbagi data. 7. Metoda penelitian (perilaku, koleksi sampel untuk genetika, endokrinologi) sebagian besar sudah distandardisasi dan tersedia di . Semua metode diwaktu yang akan datang dapat dikompilasikan disini juga. 8. Dirasakan adanya kebutuhan yang urgen untuk melakukan evaluasi terhadap program reintroduksi (pelepasliaran) orangutan diwaktu yang lalu, termasuk melakukan survey ulang terhadap area-area dimana dulu dilakukan pelepasliaran orangutan serta penelitian ilmiah untuk mendukung kegiatan monitoring dari upaya reintroduksi yang sedang berjalan. 9. Suatu “gap” yang besar dalam pengetahuan genetika orangutan saat ini adalah informasi yang kurang mengenai Pongo pygmaeus pygmaeus. Diharap para peneliti dapat mengisi kekurangan atau “gap” ini, bekerjasama dengan organisasi-or ganisasi setempat.

10. Para peneliti diharapkan dapat memaksimalkan potensi LSM dalam memfasilitasi link penelitian ke sumber pendanaan. 11. Untuk mendokumentasikan dampak dari konsesi kayu (HPH), perkebunan kelapa sawit, hutan tanaman dan tambang batubara terhadap populasi orangutan, para peneliti dapat melakukan kerjasama dengan sektor swasta ini untuk memperbaiki pedoman “best practices”. 12. Para peneliti orangutan perlu mengembangkan “cetak biru” (master plan) untuk prioritas penelitian, yang diharapkan akan dapat membantu untuk mendapatkan sumber pendanaan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 174 ]


Kamar Swasta

I Isu yang didiskusikan > Peran sektor swasta dalam konservasi > WII-FM > Kontribusi Finansial Komitmen dari Perusahaan dan GAPKI > Perusahaan dan GAPKI sepakat tidak akan mengkonversi habitat orangutan dalam pengembangan perkebunan yang akan datang berdasarkan assessmen ilmiah independen yang dapat dipercaya. > Perusahaan dan GAPKI sepakat akan mengembangkan perjanjian diantara perusahaan kelapa sawit di Indonesia untuk tidak melakukan konversi hutan yang bersambungan (dengan perkebunan yang ada saat ini) untuk perkebunan baru. > Dengan bantuan FORINA, perusahaan berniat untuk menggali kemungkinan untuk skema invesmen yang innovative dalam mendukung konservasi melalui pendekatan proyek pilot.

R1 : Peranan dari Sekstor Swasta > Kemungkinan Peran Sektor Swasta : · Konservasi in situ didalam areal konsesinya · Kesepakatan untuk tidak mengganggu habitat orangutan untuk pengembangan/perluasan perkebunan · Kontribusi financial (kebun binatang dapat membantu) · “Conservation Companies” (? Mungkin yang dimaksud Lembaga Konservasi) dapat menyediakan tempat rehabilitasi dan relokasi. > Kebijakan baru yang dibutuhkan · “Affirmasi” dari status HCVF · Untuk populasi orangutan yang tidak “viable”, perusahaan (sektor swasta) akan mengkonservasikan orangutan didalam areal konsesinya (habitat alaminya) dengan bantuan kajian ilmiah (FORINA) untuk mendapatkan solusi jangka panjang. · Sektor swasta setuju bahwa translokasi adalah opsi terakhir dan apabila hal ini harus dilakukan maka perusahaan akan bertanggung jawab terhadap konsekuensinya. > Rekomendasi kepada LSM dan Ilmuwan · Menyediakan atau memberikan dukungan teknis untuk implementasi konservasi didalam areal konsesinya (termasuk HCVF) · Membantu sebagai pengamat dalam assessmen independen terhadap areal perkebunan (untuk kredibilitas) > Rekomendasi untuk FORINA : · Melembagakan forum dialog secara regular diantara Pemerintah-Ilmuwan-Sektor SwastaLSM untuk berbagi informasi dan perhatian, menghindari ketegangan, dan mencari solusi apabila ada perbedaan. · Berperan sebagai “clearing house” informasi · Memfasilitasi dialog multistakeholder kearah solusi jangka panjang untuk menangani populasi orangutan yang tidak “viable”

> Memperhatikan tata ruang, tata guna hutan dan unit pengelolaan hutan. R2 : WII-FM > Dasar Pemikiran : Perusahaan berniat memberikan kontribusi apabila diberi rekognisi, appresiasi dan insentif yang tepat · Mengembangkan cara-cara untuk menangkis “black campaign” · Pemberian insentif pajak bagi perusahaan yang menyisihkan sebagian arealnya untuk konservasi > Lingkung kerjasama lain : · Belajar bersama R3 : Kontribusi Finansial > Berbagi biaya untuk relokasi kegiatan yang terkait · Namun diharapkan agar hal ini tidak membuatnya menjadi “dis-insentif” bagi perusahaan yang telah melakukan hal-hal yang baik dilapangan. > Mengalokasikan kewajiban dana CSR > Menggali berbagai opsi untuk memberikan kontribusi secara financial (melalui biobank, kredit keanekaragaman hayati, “biodiversity offset”, REDD plus, conservation GDM) · Regulatory offset · CSR based offset

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 175 ]


PETA DISTRIBUSI ORANGUTAN 2010

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 176 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 177 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 178 ]


MEDIA RELASI

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 179 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 180 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 181 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 182 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 183 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 184 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 185 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 186 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 187 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 188 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 189 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 190 ]


Press Release

Workshop Internasional Tentang Konservasi Orangutan : Suatu Langkah Penting untuk Masa Depan Kemanusiaan

S

uatu workshop dua hari yang intens tentang konservasi orangutan dimulai hari ini, 15 Juli 2010, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) bekerjasama dengan Forum Orangutan Indonesia (FORINA) dan para mitranya.

Sanur, Bali, Indonesia, 15 Juli 2010. . “The International Workshop on Orangutan Conservation – Man of the Forests and the Future of Humanity, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam bekerjasama dengan Forum Orangutan Indonesia (FORINA) dan para mitranya dimulai hari ini di Hotel Sanur Bali Beach, Sanur, Bali, Indonesia. Dr. Ir. Boen Purnama, Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan, secara resmi telah membuka workshop dua hari yang secara strategis telah mempertemukan para ahli orangutan, para pengusaha baik lokal maupun multinasional, organisasi konservasi, institusi bilateral maupun multilateral, perwakilan pejabat tinggi pemerintah Indonesia, dan juga kelompok atau grup konservasi yang lebih luas, guna mengidentifikasi area-area untukmeningkatkan kolaborasi dan dukungan diantara para pihak (stakeholder) untuk keberhasilan dimasa depan dalam konservasi orangutan. Orangutan adalah satu-satunya kera besar di Asia. Pada saat ini orangutan hanya terdapat di pulau Borneo dan Sumatera sebagai dua jenis co-generic, Pongo pygmaeus dan Pongo abelii. 90% orangutan hidup di Indonesia sementara 10% dapat dijumpai di Sabah dan Sarawak, Malaysia. Pada saat ini, orangutan Sumatera dan orangutan Borneo keduanya terancam kepunahan. World Conservation Union (IUCN Red Data List 2007) mengklasifikasikan orangutan Borneo sebagai Endangered (terancam punah) dan saudaranya, orangutan Sumatera diklasifikasikan Critically Endangered (kritis). Kedua jenis juga masuk dalam daftar Appendix I CITES (The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora). Di Indonesia dan Malaysia orangutan adalah dilindungi undang-undang . Meskipun demikian, hukum dan peraturan saja tidaklah mencukupi untuk melindungi jenis kharismatik ini. Konservasi orangutan membutuhkan dan mengundang upaya-upaya yang komprehensif dan terpadu dari para pihak, baik dari sisi teknis maupun politis, guna menjamin keberhasilannya. “The International Workshop on Orangutan Conservation” ini merupakan suatu langkah penting dalam perjalanan panjang untuk konservasi dari jenis ikonis ini. Banyak diantara kita yang tidak menyadari pentingnya orangutan bagi masa depan. Sebagai satu penyebar biji yang sangat effektif, orangutan men-stabilkan hutan hujan dan secara konsekuen memainkan suatu peran kunci dalam system iklim global.. Manusia pada saat ini memerlukan hutan hujan lebih dari sebelumnya. Hilangnya orangutan dan hutan hujan dapat menimbulkan effek pada kondisi kehidupan manusia diseluruh dunia. Saling ketergantungan ini sangat sederhana namun seringkali dengan mudah terabaikan. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menciptakan suatu “road map” guna peningkatan peranserta dan kolaborasi diantara para pihak, baik nasional maupun internasional untuk konservasi orangutan” kata Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan dalam sambutannya. Dalam sambutan pembukaannya, Ketua FORINA, Herry Djoko Susilo, juga menyatakan bahwa pada saat tantangan iklim yang serius ini, orangutan telah menjsi simbol dari solusi. “Kita harus menyampaikan pesan yang sangat jelas mengenai urgensi untuk menghentikan dan “me-reverse” pemanasan global. Keberhasilan konservasi orangutan dan habitatnya dapat membantu untuk mencapai tujuan ini. Melalui workshop ini, kami berharapan bahwa para pihak akan men-sepakati “common ground” dan menyusun agenda untuk kerjasama lebih jauh dimasa mendatang dalam perlindungan dan pengelolaan orangutan dan habitatnya”, katanya. The International Workshop on Orangutan Conservation didukung oleh OCSP-USAID, PERHAPPI, WWF Indonesia, FFI Indonesia, WCS Indonesia, CI Indonesia, TNC-Indonesia, Paneco-YEL, FZS, BOSF, OFI, OF-UK, dan YAYORIN . Hari ini, presentasi dalam sidang pleno akan membicarakan empat bidang utama Kebijakan (Policy), Penelitian (Research), Rehabilitasi dan Pelepasan Kembali (Rehabilitation & Release), dan Pendanaan (Financing). Pada hari kedua and terakhir, acara akan mencakup focus group discussions, working group summary reports dan kesimpulan, serta Acara penutupan oleh Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi , Kemeterian Kehutanan Bpk.. Ir. Darori, MM. Media Contacts : > Communications Manager, Mika Maharani Gc at +62(21)7251093/7251576 ext 8378, Mika_Gynecologia@dai.com > Media Relations, Rini Sucahyo at +62 (812) 3895002, meirinisucahyo@gmail.com Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 191 ]


HASIL KONFERENSI PERS

P

ada tanggal 15 Juli 2010 pagi telah diselenggarakan Konperensi Press untuk Workshop Internasional Konservasi Orangutan di Hotel Sanur Beach, Bali, Indonesia Para panelis pada Konperensi Press ini adalah : 1. Dr. Ir. Boen M. Purnama, M.Sc. , Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan mewakili Menteri Kehutanan Republik Indonesia 2. Dr. Ir. Harry Santoso, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati, Ditjen PHKA, Kementerian Kehutanan mewakili Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Kementerian Kehutanan. 3. Herry Djoko Susilo, Ketua Forum Orangutan Indonesia (FORINA) 4. Prof. Dr. Bungaran Saragih, Perwakilan dari IWOC Committee, Mantan Menteri Kehutanan dan mantan Menteri Pertanian Republik Indonesia 5. Meirini Sucahyo, Moderator Target 2015 Diskusi diawali oleh Bpk. Boen Purnama yang menegaskan komitmen Kementerian Kehutanan dalam mengalokasikan lebih besar lagi areal hutan produksi sebagai areal restorasi untuk orangutan guna mencapai target tahun 2015, yaitu untuk melepasliarkan semua orangutan yang masih ada di pusat-pusat rehabilitasi orangutan (kurang lebih 1200 orangutan) ke habitat alami mereka. Target yang sangat ambisius dan menantang ini sangat jelas dinyatakan dalam Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007-2017 yang secara resmi dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yodhoyono dalam United Nations Framewotk on Climate Change Conference (UNFCCC) di Bali pada akhir tahun 2007. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutanan juga berjanji untuk mempercepat proses perijinan untuk PT RHOI (Restorasi Habitat Orangutan Indonesia, perusahaan nirlaba dibawah arahan Yayasan BOS untuk mendapatkan areal restorasi, guna pelepasliaran orangutan yang berada pada pusat rehabilitasi orangutan Yayasan BOS. RHOI akan diberi ijin ini karena reputasi dan dedikasi Yayasan BOS yang sudah sangat lama dalam konservasi orangutan. Sekretaris Jenderal Kementerian Kehutananv menghimbau agar lembaga-lembaga lain yang memiliki perhatian (konsern) terhadap konservasi orangutan untuk mengajukan pemohonan ijin guna menyediakan lebih banyak areal untuk pelepasliaran orangutan ke habitat alaminya. Beliau juga mengatakan bahwa ada kemungkinan bagi lembaga yang memiliki kemampuan untuk menyelenggarakan (mengadakan) kegiatan wisata alam yang tekontrol dalam areal konsesinya. Peraturan Baru Oleh karena 70-80% orangutan berada di luar kawasan konservasi, Bpk. Harry Santoso, Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati (KKH) selanjutnya berbicara tentang kebijakan. Direktur KKH mengakui bahwa peraturan yang ada saat ini belum memadai untuk dapat memberikan perlindungan yang maksimum bagi orangutan dan “rumah�nya. Salah satu kesulitan adalah tidak adanya sinergi di antara para pemangku kepentingan. Pembangunan suatu areal atau kawasan harus memperhatikan/ memperhitungan aspek-

aspek sosial-ekonomi demikian juga aspek ekologis, suatu praktek yang selama ini belum bisa dioptimalkan. Meskipun demikian, menurut Direktur KKH suatu peraturan baru saat ini sedang dalam proses untuk direalisasikan. Peraturan yang baru ini ditujukan untuk mengatasi pelanggaran secara lebih efektif, tidak hanya untuk pembalakan liar tetapi juga perdagangan satwaliar serta beberapa pelanggaran lain. Peraturan yang lama misalnya, menyatakan hukuman penjara maksimum 5 tahun untuk sutau pelanggaran tertentu. Peraturan yang baru akan merubahnya menjadi hukuman penjara minimum. Diharapkan bahwa peraturan yang baru dan lebih baik ini akan dapat diberlakukan secepat mungkin. Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 192 ]


Untuk mengatasi perdagangan satwa liar, Pemerintah Indonesia telah bekerjasama dengan negaranegara lain pada tingkat ASEAN serta secara internasional melalui CITES, untuk meningkatkan tekanan pada tantangan utama ini. “Perdagangan satwa liar telah menjadi suatu perhatian internasioanl, dengan demikian dunia membantu kita mengawasi orangutan” kata Direktur KKH. Bekerja bersama Menyadari bahwa tak seorangpun dapat bekerja sendiri dan guna meyakinkan, memonitor dan mengevaluasi implementasi Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia, suatu forum telah dibentuk. Forum Orangutan Indonesia (FORINA) yang diketuai oleh Herry Djoko Susilo akhirnya terbentuk pada bulan Februari 2010. Anggotanya terbagi menjadi 4 kamar, yaitu Kamar Pemerintah, Kamar Swasta, Kamar LSM dan Kamar Pemerhati. Kamar Pemerhati terdiri dari para ilmuwan (ahli), peneliti dan masyarakat local yang tinggal di sekitar habitat orangutan. Setiap kamar akan melaksanakan diskusi secara regular dimulai dengan diskusi yang akan dilaksanakan pada hari kedua Workshop Internasional ini untuk menanggapi berbagai macam isu dalam konservasi orangutan. Kemudian semua kamar akan bertemu dan membicarakan bersama-sama guna mendapatkan dasar atau pengertian yang sama. Forum ini merupakan forum multipihak pertama dengan tanggung jawab yang sangat besar. Ketua Forina juga mengatakan bahwa FORINA dibentuk untuk menjadi wahana saling berbagi dan mendapatkan pengetahuan; misalnya pusat informasi konservasi orangutan. Rumah untuk orangutan Bpk. Saragih, mantan Menteri Kehutanan dan Pertanian yang dulu juga membantu pembangunan industry kelapa sawit, sekarang mengkalim “bertobat”, Beliau sekarang menjadi pendorong dan menjadi salah seorang yang bersuara paling berpengaruh dalam konservasi orangutan. Sekarang beliau bekerja untuk Yayasan BOS, beliau mendesak pemerintah agar segera menerbitkan ijin konsesi (IUPHHK-RE) dalam bulan Juli agar supaya dapat segera dilakukan pelepasliaran beberapa orangutan ke habitat alaminya sebelum bulan Nopember 2010, kegiatan yang belum pernah dilakukan selama 8 tahun. 86.000 hektar kawasan hutan produksi akan dialokasikan untuk RHOI dan 20.000 hektar akan mengikutinya. Areal ini akan menjadi suatu tempat berlindung bagi orangutan. Itulah yang menjadi dasar harapan bapak Bungaran Saragih bahwa Indonesia akan dapat mencapai target tahun 2015, hanya apabila RHOI dan pihak-pihak lain yang mengajukan IUPHHK-RE dapat memperoleh ijin dengan segera. “Kami harus membantu Pemerintah. Tolonglah kami sehingga kami dapat membantu anda (pemerintah)” aku bapak Bungaran. Bapak Bungaran Saragih juga mengharapkan agar FORINA dapat berperan secara maksimum dalam konservasi orangutan.

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 193 ]


MEDIA ATTENDANCE PADA IWOC 2010 No.

Name

1.

Fidelis Eka Satriastanti

2.

Organization/Media The Jakarta Globe

Cell Phone

Email

0818877038

fidelis.satriastanti@thejakartaglobe.com

Adianto Parulian Simamora The Jakarta Post

081513304185

adianto@thejakartapost.com

3.

Adriansyah Malik

Forum Keadilan

08124534509

Adriansyah_malik@yahoo.com

4.

Christiantiowati

NatGeo Traveler

08161887710

chris@nationalgeographic.co.id

5.

Tika Primandari

Skala-Berita Lingkungan

08561184400

tikaprimandari@gmail.com

6.

Barkah Jembar Pinanggih

The Netherland Radio

085692640003

barkahjp@yahoo.com

7.

Artha Senna

Green Radio

0818475472

artha_senna@yahoo.com

8.

Ery Sandra Amelia

Metro TV

08159496666

erysandra@gmail.com

9.

Popo Nurakhman

Metro TV

08122079150

10.

A. Edo Saputra

Majalah TAMASYA

08179933052

dark_capucino@yahoo.com

11.

Keiko Ikeda

NHK

08124657813

ponta@dps.centrin.net.id

12.

Rofiqi Hasan

Koran Tempo

08123830564

13.

Meirini Sucahyo

Media Relations

08123895002

meirinisucahyo@yahoo.com

14.

Ria Ariyanie

Asst. Media Relations

0811965853

adheriani@gmail.com

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 194 ]


MEDIA MONITORING-KOMPAS

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 195 ]


MEDIA MONITORING-THE JAKARTA POST

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 196 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 197 ]


MEDIA MONITORING-THE JAKARTA GLOBE

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 198 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 199 ]


MEDIA MONITORING-KOMPAS.COM

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 200 ]


MEDIA MONITORING-GREEN RADIO

MEDIA MONITORING-TAMASYA

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 201 ]


MEDIA MONITORING-GARUDA INFLIGHT MAGAZINE

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 202 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 203 ]


MEDIA MONITORING LAINNYA

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 204 ]


HASIL SURVEI PERSEPSI, DAFTAR STAN, DAN DAFTAR PESERTA

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 205 ]


HASIL SURVEI PERSEPSI

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 206 ]


DAFTAR STAN PAMERAN

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 207 ]


DAFTAR PESERTA

Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 208 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 209 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 210 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 211 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 212 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 213 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 214 ]


Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 215 ]


Terima Kasih

Kami Berteima Kasih Kepada Semua Pihak Yang Berkontribusi Dalam Suksesnya Workshop Ini Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 216 ]



Prosiding Workshop Internasional Konservasi Orangutan [ 218 ]


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.