Rencana Pengelolaan Kolaboratif di Lanskap Habitat Orangutan Laporan Identifikasi dan Hasil Konsultasi dengan Para Pihak Forum Orangutan Indonesia
DAFTAR ISI PENDAHULUAN .............................................................................................................................. 2 RENCANA KOLABORASI DI TINGKAT LANSKAP:LANSKAP LEUSER, ACEH TENGGARA ............. 3 Latar Belakang ........................................................................................................................... 3 Usulan Program Kolaborasi ...................................................................................................... 4 Lokasi Program Kolaborasi ....................................................................................................... 4 Hasil Pemetaan Mitra Potensial ............................................................................................... 5 Lembaga Mitra Kolaborasi ........................................................................................................ 7 Bentuk Kegiatan Utama ............................................................................................................ 7 Kegiatan dalam Implementasi .................................................................................................. 7 Agenda ........................................................................................................................................ 8 RENCANA KOLABORASI DI TINGKAT LANSKAP:LANSKAP LEUSER, ACEH SELATAN................. 9 Latar Belakang ........................................................................................................................... 9 Usulan Program Kolaborasi ...................................................................................................... 9 Lokasi Program Kolaborasi ..................................................................................................... 10 Hasil Pemetaan Mitra Potensial ............................................................................................. 10 Lembaga Mitra Kolaborasi ...................................................................................................... 12 Bentuk Kegiatan Utama .......................................................................................................... 12 Kegiatan dalam Implementasi ................................................................................................ 13 Agenda ...................................................................................................................................... 14 RENCANA KOLABORASI DI TINGKAT LANSKAP:LANSKAP KAYONG UTARA ............................. 15 Latar Belakang ......................................................................................................................... 15 Usulan Program Kolaborasi .................................................................................................... 16 Lokasi Program Kolaborasi ..................................................................................................... 16 Hasil Pemetaan Mitra Potensial ............................................................................................. 17 Lembaga Mitra Kolaborasi ...................................................................................................... 18 Bentuk Kegiatan Utama .......................................................................................................... 18 Kegiatan dalam Implementasi ................................................................................................ 18 Agenda ...................................................................................................................................... 19 RENCANA KOLABORASI DI TINGKAT LANSKAP:LANSKAP KATINGAN, KATINGAN .................. 20 Latar Belakang ......................................................................................................................... 20 Usulan Program Kolaborasi .................................................................................................... 21 Lokasi Program Kolaborasi .................................................................................................... 21 Pemetaan Mitra Potensial ....................................................................................................... 22 Lembaga Mitra Kolaborasi ...................................................................................................... 23 Bentuk Kegiatan Utama .......................................................................................................... 23 Kegiatan dalam Implementasi ................................................................................................ 23 Agenda ...................................................................................................................................... 24
[1 ]
PENDAHULUAN Mulai pertengahan tahun 2012, Forum Orangutan Indonesia (FORINA) telah menerima subkontrak dari IFACS-USAID dengan tujuan: (i) meningkatkan koordinasi berbagai pelaku konservasi orangutan untuk memastikan bahwa kegiatan mereka selaras dengan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan Indonesia 2007–2017, (ii) memastikan bahwa database konservasi yang dikembangkan sebelumnya dengan bantuan hibah operasional USAID tersedia secara luas bagi pelaku konservasi, dan (iii) mengurangi ancaman terhadap orangutan dari kelompok empat kegiatan yang dipilih ditawarkan oleh USAID. Salah satu kegiatan utama dalam program tersebut adalah mendorong terjadinya kegiatan pengelolaan kolaborasi (collaborative management) mengenai mitigasi ancaman orangutan di empat lanskap utama orangutan di Indonesia, yakni: Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Kayong Utara (Palung) dan Katingan. Setelah melalui proses observasi, wawancara dan diskusi dengan para pihak potensial di masing-masing lanskap, FORINA telah berhasil mengidentifikasikan satu rencana kegiatan kolaborasi di setiap lanskap. Rencana-rencana tersebut telah dikonsultasikan dengan para pihak yang ada dan mendapatkan masukan untuk perbaikan dan penyempurnaan. Dalam pendekatan kolaborasi yang hendak dilaksanakan, FORINA lebih mendorong pada rencana-rencana yang sudah ada atau sudah didiskusikan oleh para pihak yang ada. Sementara dalam inisiasi kolaborasi mencoba memulai kelembagaan kolaborasi dari para pihak yang siap berkolaborasi, namun tetap memberikan ruang bagi para pihak lainnya yang hendak bergabung di dalam kolaborasi yang berlangsung di masa mendatang. Faktor keberlanjutan dan ketersediaan mitra kolaborasi yang akan terus mengawal pelaksanaan kegiatan kolaborasi juga menjadi pertimbangan penting dalam penyusunan rencana pengelolaan kolaboratif ini. Rencana-rencana kolaborasi yang berhasil diidentifikasi dapat dilihat pada laporan ini. Secara ringkas rencana kolaborasi yang telah berhasil diidentifikasi untuk setiap lanskap yang menjadi lokasi program ini adalah: 1. Di lanskap Aceh Tenggara, kegiatan kolaborasi yang hendak dilaksanakan adalah pengamanan pengamanan hutan berbasis masyarakatdi sekitar Ketambe, Ketambe dengan lembaga inisiator dari rencana ini terdiri dari Orangutan Information Centre (OIC), masyarakat, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) dan penggiat wisata di sekitar Ketambe. 2. Di lanskap Aceh Selatan, kegiatan kolaborasi yang hendak dilaksanakan adalah pengamanan hutan berbasis masyarakat di SM Rawa Singkil dengan lembaga inisiator dari rencana ini terdiri dari Yayasan Leuser Internasional, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, dan masyarakat Desa Teupin Tinggi, Bulusuma, Sinebouk Jaya, Rakit, Kampung Tengoh dan/atau Kuta Padang. 3. Di lanskap Kayong Utara (Palung), kegiatan kolaborasi yang hendak dilaksanakan adalah pengelolaan wisata alam secara kolaboratif di Hutan Lindung Padu Banjar dengan lembaga inisiator dari rencana ini terdiri dari Yayasan Palung, Dinas Kehutanan Kabupaten Kayong Utara, Rumah Ide, Dinas Pariwisata Kabupaten Kayong Utara dan masyarakat Desa Padu Banjar Kabupaten Kayong Utara. 4. Di lanskap Katingan, kegiatan kolaborasi yang hendak dilaksanakan adalah penyediaan dan pengelolaan habitat bagi orangutan eks translokasi dan suaka orangutan di areal kerja PT. Rimba Makmur Utama (RMU (RMU) RMU) dengan fokus pada monitoring, pengamanan dan antisipasi konflik orangutan dan manusia dalam jangka panjang dengan lembaga inisiator dari rencana ini terdiri dari PT. Rimba Makmur Utama (RMU), Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) dan Forum Konservasi Orangutan Kalimantan Tengah (FORKAH). [2 ]
RENCANA KOLABORASI DI TINGKAT LANSKAP: LANSKAP: LANSKAP LEUSER, ACEH TENGGARA Latar Belakang Kawasan hutan di Aceh Tenggara sebagian besar merupakan zona inti Taman Nasional Gunung Leuser, dimana kawasan ini sendiri sudah ditetapkan sejak 1934 menjadi sebuah kawasan perlindungan. Sejak dahulu, telah ada beberapa pemukiman atau desa di dalam kawasan yang kemudian ditetapkan menjadi kawasan perlindungan. Kawasan-kawasan tersebut kemudian menjadi enclave di dalam kawasan taman nasional di kemudian hari. Dalam perkembangan selanjutnya, semakin banyak pemukiman baru di sekitar ataupun di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Leuser, terutama sejak dibangunnya jalan yang menghubungkan Aceh dan Sumatera Utara atau lebih dikenal sebagai jalan lintas tengah, pada 1970 hingga 1980-an yang sebagian ruas jalannya melintasi TNGL. Kondisi saat ini, di sepanjang jalan telah menjadi pemukiman/desa-desa, sebagian besar mata pencahariannya sebagai petani/peladang berpindah yang membuka lahan-lahan pertanian di perbukitan di sekitar atau bahkan masuk ke kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Aktivitas penebangan liar di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser di wilayah Aceh Tenggara sangat marak terjadi pada 1990-an hingga awal 2000-an. Kegiatan penebangan liar tersebut dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedekatan dengan penguasa daerah pada masa itu dan mendapat perlindungan (backing) dari aparat keamanan setempat dan juga organisasi massa yang besar di wilayah tersebut. Kegiatan penebangan liar tersebut berhenti sejak sering terjadinya bencana alam, seperti banjir dan longsor, yang melanda Aceh Tenggara.Kondisi tersebut seiring dengan diberlakukannya kebijakan nasional anti penebangan liar, sehingga banyak dilakukan razia dan penangkapan serta penutupan industri pengolahan kayu (kilang) ilegal di sekitar wilayah tersebut.Saat ini meskipun masih terjadi, penebangan liar hanya berlangsung dalam skala kecil dan cenderung pada pemenuhan kebutuhan kayu lokal. Ancaman kelestarian taman nasional yang merupakan habitat Orangutan Sumatera (Pongo abelii) ini adalah kegiatan perambahan hutan untuk kegiatan pertanian masyarakat. Hal itu terjadi karena tingginya ketergantungan masyarakat secara ekonomi dari kegiatan pertanian tersebut. Secara geografis 70% luas kawasan Aceh Tenggara merupakan kawasan lindung, sehingga lahan pertanian sangat terbatas. Padahal pada saat terjadinya konflik antara GAM dan pemerintah pusat, secara umum kawasan hutan di Aceh Tenggara cukup aman dari kegiatan perambahan. Hal tersebut disebabkan tidak ada yang berani memasuki kawasan hutan karena merupakan basis gerilyawan GAM dan pusat konflik pertempuran. Kondisi saat ini, kegiatan perambahan kawasan hutan untuk lahan pertanian semakin meluas dan tidak saja dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan, tetapi juga dilakukan oleh para spekulan tanah. Motivasi perambahan disebabkan berhasilnya penanaman kakao di wilayah tersebut. Semakin banyaknya masyarakat yang menanam kakao, sementara lahan pertanian yang terbatas, mengakibatkan kawasan taman nasional menjadi sasaran perambahan. Bahkan, beberapa bulan yang lalu ada tiga orang pejabat daerah yang ditangkap oleh pihak keamanan, karena keterlibatan mereka dalam perambahan kawasan hutan taman nasional. Maraknya kegiatan perambahan yang berlangsung, membuat pemerintah pusat menekan Pemda Aceh Tenggara untuk lebih serius ikut terlibat dalam pengamanan kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser. Menindaklanjuti tekanan tersebut, Bupati Aceh Tenggara melakukan pembentukan tim pengamanan kawasan hutan taman nasional dari kegiatan penebangan liar dan perambahan yang dalam keanggotaannya melibatkan para pihak yang ada. Keadaan lainnya yang cukup memprihatinkan adalah terjadinya konflik pengelolaan Stasiun Penelitian Ketambe antara Badan Pengelola Kawasan Ekosistem [3 ]
Leuser, yang merupakan perpanjangan tangan Pemerintah Aceh, dengan Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser.Akibat konflik tersebut, Stasiun Penelitian Ketambe yang menjadi salah satu pusat penelitian perilaku orangutan di Indonesia, menjadi terbengkalai dan ditutup hingga saat ini. Fasilitas bangunan yang ada terbakar dan hingga kini belum jelas siapa pelakunya. Usulan Program Kolaborasi Melihat ancaman yang semakin meningkat, beberapa pihak telah mendiskusikan kemungkinan keterlibatan masyarakat sekitar kawasan hutan untuk ikut berpartisipasi dalam menjaga dan melakukan pengamanan kawasan hutan di sekitar desanya. Untuk mendukung dalam melakukan pengamanan kawasan hutannya dilakukan melalui peningkatan beberapa kemampuan teknis melalui kegiatan-kegiatan pelatihan.Keterbatasan tenaga pengamanan dan luasnya wilayah menjadi alasan pengusulan pendekatan tersebut. Peningkatan kapasitas masyarakat disekitar kawasan hutan yang direncanakan tersebut merupakan kolaborasi antara para pihak dalam mengurangi ancaman perambahan dan penebangan liar di kawasan habitat orangutan di Taman Nasional Gunung Leuser. Lokasi Program Kolaborasi Sekitar kawasan hutan Ketambe (TNGL) di Aceh Tenggara, yakni pada Desa Ketambe, Desa Lawe Aunan (Kec.Ketambe) dan Desa Darul Makmur (Kec.Darul Hasanah) Kabupaten Aceh Tenggara.
[4 ]
Hasil Pemetaan Mitra Potensial 1. Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser (diwakili Bidang II Aceh Tenggara) a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Mendukung rencana kegiatan pengamanan hutan dengan pelibatan masyarakat dalam pengamanan kawasan hutan dengan memastikan keberlanjutan dari kegiatan tersebut. b. Ketertarikan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Patroli dengan pelibatan masyarakat cukup membantu kerja pengamanan kawasan hutan TNGL yang cukup luas dengan personil terbatas yang ada saat ini. c. Kebutuhan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Sebagai pelaksanaan program mitra polisi hutan dalam pengawasan dan pengamanan kawasan hutan dalam pelibatan masyarakat sekitar kawasan.Selain itu sudah adanya Surat Keputusan Bupati Aceh Tenggara dengan melibatkan para pihak dalam melakukan patroli bersama pengamanan dan penindakan secara hukum di kawasan hutan Taman Nasional Gunung Leuser. 2. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh (diwakili oleh Resort Aceh Tenggara) a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Mendukung kegiatan pelaksanaan patroli pengamanan hutan dan spesies orangutan dalam kawasan TNGL yang merupakan habitat orangutan. b. Ketertarikan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Selama ini kegiatan yang dilakukan masih sebatas pemantauan peredaran flora dan fauna di perbatasan Aceh Tenggara, Gayo Lues dan Sumatera Utara dengan personil yang terbatas. Dengan adanya pelibatan masyarakat banyak informasi yang akan diperoleh berkaitan dengan kondisi orangutan di habitatnya. c. Kebutuhan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Melakukan pengawasan dan pemantauan peredaran satwa liar dengan melibatkan stakeholder melalui aturan main yang jelas. 3. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Aceh Tenggara a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Belum jelas dukungannya terhadap patroli pengamanan hutan dengan pelibatan masyarakat sekitar. b. Ketertarikan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Kawasan hutan Ketambe (TNGL) merupakan salah satu daerah kunjungan wisatawan di Aceh Tenggara. c. Kebutuhan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Orangutan sebagai salah satu objek atraksi wisata yang menjadi daya tarik wisatawan mancanegara. 4. Orangutan Information Centre (OIC) a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Mendukung adanya kegiatan patroli pengamanan kawasan hutan yang melibatkan masyarakat sekitar kawasan. b. Ketertarikan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Sesuai dengan progam kerja serta visi dan misi OIC dalam pelestarian orangutan sumatera. c. Kebutuhan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: [5 ]
Memperkuat kegiatan-kegiatan yang sudah dilakukan selama ini dalam kegiatan pendampingan masyarakat di beberapa desa di sekitar kawasan hutan Ketambe (TNGL) di Aceh Tenggara. 5. Masyarakat di sekitar Ketambe (Desa Ketambe dan Desa Lawe Aunan di Kecamatan Ketambe serta Desa Darul Makmur di Kecamatan Darul Hasanah) a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Adanya dukungan beberapa masyarakat yang selama ini menjadi desa dampingan OIC tentang pengamanan kawasan hutan yang merupakan habitat orangutan. b. Ketertarikan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Untuk menghindari terjadinya konflik orangutan dengan para petani yang membuka lahan perladangannya di sekitar kawasan hutan.Kesadaran bahwasanya orangutan merupakan spesies yang dilindungi serta menjadi objek wisata. c. Kebutuhan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Kegiatan patroli dengan melibatkan masyarakat perlu didukung dengan peningkatan kapasitas dan kebutuhan operasional pelaksanaan. 6. Pemandu Wisata a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Mendukung kegiatan patroli dengan melibatkan masyarakat sekitar dalam pengamanan kawasan habitat orangutan. b. Ketertarikan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Pelestarian TNGL sebagai habitat orangutan sangat penting sebagai daya tarik, baik bagi peneliti maupun wisatawan untuk datang berkunjung.Selama ini para pemandu wisata yang umumnya berasal dari masyarakat sekitar kawasan mendukung kerja-kerja pelestarian kawasan. c. Kebutuhan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Pemandu wisata memahami tentang kondisi kawasan dan dapat dilibatkan atau berbagi informasi dan pengetahuan dengan kelompok patroli yang akan dibentuk. 7. Pengelola Hotel a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Mendukung adanya kegiatan pengamanan kawasan habitat orangutan dengan melibatkan masyarakat sekitar. b. Ketertarikan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Akan meningkatkan kunjungan wisatawan untuk datang ke kawasan hutan Ketambe. c. Kebutuhan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Meningkatnya pendapatan keuntungan usaha dari para wisatawan yang datang dan menginap.
[6 ]
Lembaga Mitra Kolaborasi (1) Inisiator awal Adapun lembaga/para pihak utama yang merupakan inisiator dari kelembagaan kolaborasi ini adalah Orangutan Information Centre (OIC), masyarakat, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser, IFACS, FORA, FOKUS dan penggiat wisata. (2) Mitra Perluasan Kolaborasi Wali Nangroe dan Forum Ranger Aceh (3) Peluang Keberlanjutan OIC dan BB Taman Nasional Gunung Leuser merupakan mitra potensial untuk mengawal keberlanjutan inisiatif. Bentuk Kegiatan Utama 1. Melakukan seleksi (rekrutmen) masyarakat yang akan dilibatkan dalam kegiatan pelatihan pengamanan kawasan hutan. 2. Pelatihan peningkatan kapasitas masyarakat dalam monitoring, pengamanan dan penanganan konflik (keterampilan navigasi/GIS, pengetahuan dasar orangutan, bagaimana pengamanan hutan dilakukan dan SOP pengamanan hutan). 3. Penggalian informasi spasial dan nonspasial mengenai ancaman kerusakan kawasan hutan yang merupakan habitat utama orangutan. Kegiatan dalam Implementasi 1. Pematangan Bentuk Kolaborasi, melalui diskusi serial yang akan dilakukan dengan melibatkan pihak-pihak yang akan berkolaborasi. Hasil yang hendak dicapai dari diskusi serial adalah: (i) kebutuhan perlu atau tidaknya formalisasi kolaborasi, (ii) jika dibutuhkan, bagaimana bentuk formalisasi, (iii) mekanisme kontrol, (iv) pendanaan berkelanjutan, (v) koordinasi dengan aparat pengamanan, (v) rekrutmen tim, dan sebagainya. 2. Perencanaan Sistem Pengamanan, melalui penggalian informasi spasial dan nonspasial mengenai: objek penting, akses, kecenderungan gangguan, dan sebagainya. Hasil yang hendak dicapai dari perencanaan tersebut adalah: kebutuhan pos pengamanan, jalur-jalur patroli. 3. Pelatihan Dasar Pengamanan. Pelatihan tersebutakan meliputi: keterampilan navigasi/GIS, pengetahuan dasar orangutan, bagaimana pengamanan hutan dilakukan dan SOP pengamanan hutan. Hasil yang hendak dicapai dari perencanaan tersebut adalah: terlatihnya 10-15 anggota masyarakat dalam melakukan pengamanan hutan.
[7 ]
Agenda No Kegiatan
Hasil
Bulan (2014) Jan Feb
Ap r 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
I
Pematangan Bentuk Kolaborasi 1. FGD (Bentuk formalisasi kolaborasi, mekanisme kontrol dan pendanaan berkelanjutan) 2. FGD (Koordinasi dengan aparat keamanan dan rekrutmen)
II
Pelatihan Peningkatan Kapasitas 1. Pengetahuan dasar orangutan
2. Penanganan konflik orangutan
3. Keterampilan penggunaan navigasi/GIS
4. Pemahaman SOP pengamanan/patrol
III
Perencanaan Sistem Pengamanan Identifikasi informasi spasial dan non spasial berkaitan dengan jalur pengamanan/patroli, akses, objek penting, ancaman gangguan dan posko pengamatan
Disepakatinya bentuk dan nama kolaborasi, mekanisme kontrol dan perencanaan penggalian pendanaan berkelanjutan Adanya mekanisme koordinasi dengan aparat berwenang dan kriteria untuk masyarakat yang akan dilatih
Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang ekologiorangutan Masyarakat memahami tentang mekanisme penanganan konflik orangutan Peserta pelatihan/masyarakat memiliki keterampilan penggunaan alat navigasi Peserta pelatihan/ masyarakat memahami tentang SOP pengamanan/ patroli
Teridentifikasinya informasi spasial dan non spasial berkaitan dengan pengamanan kawasan hutan disekitar desanya.
[8 ]
Mar
X
X
X
X
X
X
X
RENCANA KOLABORASI DI TINGKAT LANSKAP: LANSKAP: LANSKAP LEUSER, ACEH SELATAN Latar Belakang Kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil seluas 102.500 hektar di Aceh Selatan merupakan kawasan yang memiliki kekayaan keanekaragaman yang tinggi. Selain kekayaan tersebut, kawasan itu juga memiliki pemandangan alam yang indah. Pemandangan hutan rawa tropis, bentangan pantai mulai dari Kuala Baru hingga Trumon di Aceh Selatan, pemandangan pinggir Sungai Alas (Lae Soraya) yang berkelok memotong hutan melengkapi keindahan panorama alam Rawa Singkil.Kekayaan keanekaragaman hayati di Suaka Margasatwa Rawa Singkil ditunjukkan oleh berbagai flora dan fauna yang dapat ditemui di dalamnya. Rawa Singkil merupakan rumah bagi beragam satwa liar dan dilindungi, di antaranya gajah, harimau sumatera, dan orangutan.Berdasarkan PHVA 2004, di kawasan SM Rawa Singkil diperkirakan hidup 1.500 orangutan sumatera (Pongo abelii). SM Rawa Singkil merupakan bagian dari DAS Singkil yang menunjang kehidupan masyarakat di sekitarnya baik dalam penyediaan air, transportasi ataupun perikanan dan pertanian.Kawasan tersebut memiliki banyak potensi produk jasa lingkungan, seperti penyimpan karbon, pengatur iklim mikro, penyedia habitat bagi flora fauna yang dilindungi, serta menyediakan tempat pemijahan berbagai jenis ikan. Berdasarkan studi Conservation International, kawasan SM Rawa Singkil merupakan kawasan penyimpan karbon yang sangat besar, yakni sekitar 175,18 juta ton karbon (atau setara dengan 642,91 juta ton CO2). Keberadaan kawasan SM Rawa Singkil yang ditetapkan melalui SK Menhut No.166/Kpts-II/1998 mengalami ancaman dengan pembangunan dan peningkatan status jalan yang ada di dalam kawasannya.Salah satunya adalah pembukaan jalan yang menghubungkan Suak Mirah di Aceh Selatan dan Buluhseuma di Singkil.Ruas jalan selebar 12 meter tersebut sepenuhnya berada di dalam kawasan, dan membelah kawasan sepanjang 20,9 kilometer. Meskipun untuk mengurangi dampak perusakan dan menjaga kelestarian SM Rawa Singkil telah ada perjanjian antara Pemkab Aceh Selatan, Aceh Singkil dan BKSDA Aceh pada tanggal 29 April 2011, namun pembangunan jalan tersebut telah mengakibatkan peningkatan ancaman bagi kelestarian kawasan dan satwa liar seperti orangutan. Pembangunan jalan tersebutsemakin membuka akses terjadinya pencurian kayu, perburuan satwa dan perambahan kawasan. Bagi kelestarian orangutan, pembangunan jalan tersebutakan pula menimbulkan fragmen-fragmen di hutan, meningkatkan perburuan dan konflik antara manusia dan orangutan. Permasalahan lainnya adalah terjadinya kesalahan persepsi masyarakatmengenai perdagangan karbon. Pemberlakuan moratorium hutan oleh Pemerintah Aceh memperkenalkan gagasan akan dilakukannya perdagangan karbon hutan. Namun karena beragam kendala, kegiatan perdagangan karbon masih belum dapat berlangsung. Sosialisasi dan transparansi informasi mengenai perkembangan yang terjadi mengenai perdagangan karbon tersebut masih belum tersampaikan dengan baik pada masyarakat, sehingga banyak anggota masyarakat yang beranggapan bahwa telah terjadi perdagangan karbon hutan yang berasal dari hutan di TNGL dan SM Rawa Singkil.Asumsi mereka bahwa dengan telah berlangsungnya perdagangan karbon, maka telah menghasilkan uang yang sangat banyak, tetapi masyarakat tidak memperoleh pembagian apapun dari perdagangan tersebut. Usulan Program Kolaborasi Melihat ancaman yang semakin meningkat, beberapa pihak yang ada telah mendiskusikan kemungkinan pengembangan pengamanan hutan berbasis komunitas di kawasan SM Rawa Singkil.Keterbatasan tenaga pengamanan dan luasnya wilayah menjadi alasan pengusulan pendekatan tersebut.Pengamanan hutan berbasis [9 ]
komunitas yang direncanakan tersebut merupakan kolaborasi antara para pihak yang ada dalam mengurangi ancaman perambahan, perburuan dan penebangan liar di kawasan SM Rawa Singkil. Lokasi Program Kolaborasi Kawasan SM Rawa Singkil di Aceh Selatan dan wilayah sekitarnya, yakni pada Desa Teupin Tinggi, Bulusuma, Sinebouk Jaya, Rakit, Kampung Tengoh dan/atau Kuta Padang di Kabupaten Aceh Selatan.
Hasil Pemetaan Mitra Potensial 1. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Aceh (diwakili oleh Resort Aceh Selatan) a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Mendukung kegiatan pelibatan masyarakat dalam perlindungan kawasan SM Rawa Singkil dalam bentuk kegiatan pengamanan hutan berbasis komunitas untuk pencegahan pencurian kayu, perburuan satwa dan perambahan kawasan. Kesulitan membangun dukungan dan kerjasama masyarakat sekitar SM Rawa Singkil–Trumon dalam pengelolaan dan perlindungan kawasan. b. Ketertarikan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Melakukan pembinaan dan pengamanan terhadap kawasan SM Rawa Singkil– Trumon. Melibatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan pengamanan kawasan SM Rawa Singkil. c. Kebutuhan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Meningkatkan kegiatan patroli dan monitoring kawasan SM Rawa Singkil.Mencegah berlanjutnya kegiatan pencurian kayu, perambahan dan perburuan satwa di kawasan SM Rawa Singkil dan koridor satwa Trumon. Membangun dukungan dan peran serta masyarakat dalam pengelolaan dan [10] 10]
pelestarian kawasan SM Rawa Singkil dan koridor satwa Trumon. Pengembangan ekonomi masyarakat untuk pengalihan aktivitas ekonomi masyarakat yang menyebabkan kerusakan kawasan SM Rawa Singkil dan koridor satwa Trumon. 2. Polisi Resort Aceh Selatan a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Mendukung upaya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan perlindungan kawasan hutan lindung dan penegakan hukum terhadap kejahatan hutan di Aceh Selatan. b. Ketertarikan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Melakukan pembinaan dan pengamanan kehidupan masyarakat di Aceh Selatan. Mengembangkan kerjasama dengan masyarakat untuk mewujudkan kondisi kehidupan di Aceh Selatan yang kondusif dan aman. c. Kebutuhan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Meningkatkan kegiatan pelibatan masyarakat dalam membangun kehidupan daerah yang kondusif dan aman di Aceh Selatan.Mencegah berlanjutnya berbagai kegiatan kejahatan hutan di wilayah Aceh Selatan.Melakukan pembinaan kepada masyarakat dalam membangun kehidupan daerah yang kondusif dan aman di Aceh Selatan.Membangun hubungan yang harmonis dengan semua pihak untuk mewujudkan kondisi Aceh Selatan yang kondusif dan aman. 3. Yayasan Leuser International a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Mendukung upaya pelibatan masyarakat dalam pengelolaan dan perlindungan SM Rawa Singkil Aceh Selatan. b. Ketertarikan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Mengembangkan partisipasi/dukungan masyarakat dalam pengelolaan dan perlindungan kawasan KEL dan SM Rawa Singkil Aceh Selatan. c. Kebutuhan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Meningkatkan kegiatan pengamanan hutan berbasis komunitas untuk mencegah berlanjutnya kegiatan perambahan, pencurian kayu dan perburuan satwa serta konflik satwa dengan masyarakat di desa-desa sekitar kawasan SM Rawa Singkil.Membangun kerjasama dan dukungan masyarakat sekitar kawasan SM Rawa Singkil. Pengembangan usaha ekonomi alternatif masyarakat untuk pengalihan aktivitas ekonomi masyarakat yang menyebabkan kerusakan kawasan SM Rawa Singkil. 4. Masyarakat Sekitar Koridor Satwa dan SM Singkil a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Perambahan kawasan SM Rawa Singkil yang dilakukan oleh masyarakat adalah bentuk protes supaya pihak-pihak terkait lebih memperhatikan mereka, meskipun sejauh ini tidak ada respon apa-apa.Sebagian besar masyarakat desa di sekitar SM Rawa Singkil kurang peduli terhadap upaya pengelolaan dan perlindungan kawasan, meskipun sudah mulai ada kelompok-kelompok di masyarakat yang memandang perlu untuk terlibat dalam upaya pengelolaan dan perlindungan kawasan SM Rawa Singkil.Beberapa tahun terakhir mulai merasakan dampak kerusakan hutan, yaitu pada musim kemarau mereka kekurangan air dan pada musim hujan mereka terkena banjir, yang sebelumnya tidak pernah terjadi.Ada beberapa kelompok masyarakat yang memanfaatkan hutan dengan mengambil madu.Ketergantungan kelompok tersebut sangat tinggi pada pohon tualang, tempat biasanya lebah membuat sarang. [11] 11]
b. Ketertarikan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Mempertahankan kawasan hutan yang menjadi penyangga mata air untuk mencegah kekeringan dan banjir. Mengelola dan melindungi kawasan hutan penghasil madu yang menjadi sumber pendapatan masyarakat. Menghentikan kegiatan perluasan kebun kelapa sawit dikawasan SM Rawa Singkil oleh pejabat dan pengusaha. Pengembangan ekowisata dengan memanfaatkan gajah, potensi air terjun, adopsi pohon, agro wisata dan daya tarik satwa liar. c. Kebutuhan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Pengembangan usaha produktif untuk peningkatan ekonomi yang selaras dengan upaya konservasi. Penghentian kegiatan perluasan kebun kelapa sawit oleh pengusaha dan pejabat. 5. Organisasi non pemerintah lingkungan lokal (Porpel dan Lakon) a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Kurang menghargai kepada para pejabat daerah yang justru melakukan pengembangan kebun sawit di kawasan konservasi (SM Rawa Singkil), karena mereka berpandangan bahwa para pejabat daerah tidak tertarik dengan isu-isu konservasi. Proyek-proyek konservasi yang selama ini dilaksanakan kurang memberikan manfaat yang secara nyata dapat dirasakan oleh masyarakat sekitar kawasan. b. Ketertarikan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Penyelesaian konflik batas kawasan SM Rawa Singkil dengan warga desa di sekitarnya. Monitoring kegiatan penambangan biji besi manggamat dan pengelolaan yang adil serta menjamin manfaat untuk masyarakat luas. Memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat tentang pengertian KEL dan TNGL.Tim patroli dan monitoring yang nantinya terbentuk berasal dari perwakilan masyarakat juga menjalankan fungsi sebagai pihak yang menguatkan komunikasi dan mendorong komitmen para pihak untuk lebih memperhatikan kebutuhan masyarakat. c. Kebutuhan pada isu kebutuhan dilakukannya pengamanan hutan berbasis komunitas: Mendorong adanya komitmen daerah dalam pengelolaan kawasan konservasi di Aceh Selatan. Mendorong praktek pengelolaan tambang biji besi manggamat yang adil serta menjamin manfaat untuk masyarakat luas dan berwawasan lingkungan. Lembaga Mitra Kolaborasi (1) Inisiator awal Inisiasi pembentukan kelembagaan kolaborasi akan diawali oleh Yayasan Leuser International, BKSDA Aceh, FORA, FOKUS, IFACS dan masyarakat Desa Teupin Tinggi, Bulusuma, Sinebouk Jaya, Rakit, Kampung Tengoh dan/atau Kuta Padang. (2) Mitra Perluasan Kolaborasi Yayasan Porpel, Yayasan Lakon, Wali Nangroe dan Forum Ranger Aceh (3) Peluang Keberlanjutan YLI dan BKSDA Aceh merupakan mitra potensial untuk mengawal keberlanjutan inisiatif. Bentuk Kegiatan Utama 1. Pembentukan pengamanan hutan berbasis komunitas dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam monitoring dan penanganan konflik (keterampilan navigasi/GIS, pengetahuan dasar orangutan, bagaimana pengamanan dilakukan dan SOP pengamanan). [12] 12]
2. Kegiatan pengamanan hutan berbasis komunitas dalam pengamanan kawasan di dalam dan sekitar kawasan Suaka Margasatwa Rawa Singkil. 3. Patroli komunitas memonitor dan mendata tentang ancaman terhadap kawasan dan orangutan, seperti perambahan, illegal logging, konflik orangutan dengan masyarakat atau penangkapan dan perdagangan orangutan. Kegiatan dalam Implementasi 1. Pematangan Bentuk Kolaborasi, melalui diskusi serial yang akan dilakukan melibatkan pihak-pihak yang akan berkolaborasi. Hasil yang hendak dicapai dari diskusi serial adalah: (i) kebutuhan perlu atau tidaknya formalisasi kolaborasi, (ii) jika dibutuhkan, bagaimana bentuk formalisasi, (iii) mekanisme kontrol, (iv) pendanaan berkelanjutan, (v) koordinasi dengan aparat pengamanan, (v) kriteria perekrutan anggota pengamanan hutan berbasis komunitas. 2. Pelatihan Dasar Pengamanan. Pelatihan tersebutakan meliputi: keterampilan navigasi/GIS, pengetahuan dasar orangutan, bagaimana pengamanan dilakukan dan SOP pengamanan. Hasil yang hendak dicapai dari perencanaan tersebut adalah: terlatihnya 10-15 anggota masyarakat dalam melakukan pengamanan hutan. a. Melakukan seleksi (rekrutmen) masyarakat yang akan dilibatkan dalam kegiatan pelatihan pengamanan kawasan hutan. b. Pelatihan peningkatan kapasitas masyarakat dalam monitoring, pengamanan dan penanganan konflik (keterampilan navigasi/GIS, pengetahuan dasar orangutan, bagaimana pengamanan dilakukan dan SOP pengamanan) 3. Perencanaan sistem pengamanan, melalui penggalian informasi spasial dan non spasial mengenai: objek penting, akses, kecenderungan gangguan, dan sebagainya. Hasil yang hendak dicapai dari perencanaan tersebut adalah: kebutuhan pos pengamanan dan jalur-jalur patroli.
[13] 13]
Agenda No Kegiatan
Hasil
Bulan (2014) Jan Feb
Ap r 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
I
II
Pematangan Bentuk Kolaborasi 1. FGD (Bentuk formalisasi kolaborasi, mekanisme kontrol dan pendanaan berkelanjutan) 2. FGD (Koordinasi dengan aparat keamanan dan rekrutmen) Pelatihan Peningkatan Kapasitas 1. Pengetahuan dasar orangutan 2. Penanganan konflik orangutan
3. Keterampilan penggunaan navigasi/GIS 4. Pemahaman SOP pengamanan/patroli
III
Perencanaan Sistem Pengamanan Identifikasi informasi spasial dan non spasial berkaitan dengan jalur pengamanan/patroli, akses, objek penting, ancaman gangguan dan posko pengamatan
Disepakatinya bentuk dan nama kolaborasi, mekanisme kontrol dan perencanaan penggalian pendanaan berkelanjutan Adanya mekanisme koordinasi dengan aparat berwenang dan kriteria untuk masyarakat yang akan dilatih
Meningkatnya pengetahuan masyarakat tentang ekologi orangutan Masyarakat memahami tentang mekanisme penanganan konflik orangutan Peserta pelatihan/masyarakat memiliki keterampilan penggunaanalat navigasi Peserta pelatihan/masyarakat memahami tentang SOP pengamanan/ patroli
Teridentifikasinya informasi spasial dan non spasial berkaitan dengan pengamanan kawasan hutan di sekitar desanya
[14] 14]
Mar
X
X
X
X
X
X
X
RENCANA KOLABORASI DI TINGKAT LANSKAP: LANSKAP: LANSKAP KAYONG UTARA Latar Belakang Kabupaten Kayong Utara adalah sebuah kabupaten yang berada di Kalimantan Barat dan merupakan kabupaten dengan luas wilayah terkecil di propinsi tersebut, yang usianya masih sangat muda, yang pembentukannya baru dilaksanakan pada 2007 melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2007. Kabupaten pecahan dari Kabupaten Ketapang tersebut memiliki persentase kawasan hutan yang cukup dominan di dalam wilayah daratan kabupatennya, yaitu 48% kawasannya adalah kawasan hutan atau seluas 197.248 hektar. Taman Nasional Gunung Palung menempati proporsi yang terbesar dari kawasan hutan yakni sebesar 71.346 hektar. Hutan-hutan yang ada di kawasan Kabupaten Kayong Utara didominasi oleh hutan rawa gambut dan hutan dataran rendah, dimana kawasan-kawasan tersebut merupakan habitat bagi orangutan subspesies Pongo pygmaeus wurmbii. Sebagian hutan yang ada terutama hutan produksi dan hutan konversi, telah mengalami ekstraksi sumber daya kayunya. Beberapa HPH pernah beroperasi di kawasan tersebut di era 1980 hingga 1990-an. Saat dilakukan pengembangan program transmigrasi, beberapa kawasan hutan di wilayah tersebut dilepaskan untuk penempatan program pemerintah pusat tersebut.Pada awal era reformasi, kegiatan penebangan liar marak terjadi di hutanhutan yang ada, terutama pada saat kayu ramin (Gonystylus bancanus) masih boleh diperdagangkan. Bahkan penebangan liar juga merambah kawasan taman nasional yang ada. Aktivitas penebangan liar skala besar mulai menurun seiring dengan keterbatasan sumber daya kayu dan juga diberlakukannya gerakan anti penebangan liar secara nasional. Keberadaan kawasan hutan yang cukup dominan dan sejarah ekstraktif di masa lalu, sementara jumlah penduduk yang terus bertambah mengakibatkan perlu dicarikan inisiatif-inisiatif yang memadukan upaya perlindungan hutan dan peningkatan pendapatan masyarakat. Pemanfaatan hutan lindung yang mencapai 52.367 hektar merupakan salah satu topik yang banyak didiskusikan oleh pemangku kepentingan di kabupaten tersebut. Seperti halnya sebagian besar hutan lindung di Indonesia, pengelolaan hutan lindung di Kayong Utara cenderung tidak terkelola dengan baik dan terkesan dibiarkan. Banyak masyarakat yang kurang paham mengenai pengelolaan di kawasan hutan lindung, dimana sebagian besar menganggap pengelolaan hutan lindung sama dengan pengelolaan kawasan taman nasional, yang terlarang dan pengelolaannya dilakukan oleh Kementerian Kehutanan. Padahal ada ruang-ruang pengelolaan yang cukup potensial dikembangkan untuk memberdayakan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Salah satu gagasan dari pengelolaan hutan lindung dan pemberdayaan masyakat yang menjadi diskusi para pihak di Kayong Utara adalah melalui pengembangan wisata alam atau ekowisata. Populernya Taman Nasional Gunung Palung sebagai kawasan habitat orangutan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan, baik lokal maupun manca negara. Pengembangan wisata di kawasan hutan di luar kawasan taman nasional diharapkan dapat menjadi altenatif tambahan dan dapat pula menjadi penampung limpahan wisatawan dari kawasan tersebut, dimana saat ini pengunjung yang dapat masuk ke fasilitas yang dikelola taman nasional dilakukan pembatasan. Hutan lindung yang ada di sekitar Desa Padu Banjar seluas 6.000 hektar adalah salah satu hutan lindung yang diusulkan untuk pengembangan ekowisata penunjang wisata di Taman Nasional Gunung Palung. Keberadaan beberapa spesies kunci, seperti orangutan, siamang dan rangkong, menjadi alasan pengembangan kawasan tersebut, selain aksesnya yang sangat baik, yakni berada di dekat jalan penghubung utama pantai selatan Kalimantan Barat dan mudah dicapai dari 3 kota besar, yakni Telok Melano (5 km), Telok Batang (15 km) dan Sukadana (25 km). Kawasan hutan lindung tersebut [15] 15]
selama ini masih belum terkelola dengan baik dan berdasarkan laporan masyarakat masih terjadi penebangan liar yang berlangsung secara sporadis untuk memenuhi pasaran lokal sejak 2010. Akses masuk ke kawasan yang cukup banyak mengakibatkan kesulitan dalam melakukan penjagaan kawasan. Jika aktivitas ekowisata dapat berlangsung, diyakini juga dapat meningkatkan pengawasan pada kawasan tersebut. Pengembangan ekowisata di Hutan Lindung Padu Banjar juga memiliki potensi untuk memainkan peran utama dalam kelangsungan hidup orangutan dan habitatnya di daerah ini. Jika hutan mampu menghasilkan pendapatan bagi masyarakat dari ekowisata, maka ancaman dari penebangan pohon akan berkurang dan orangutan dapat tetap memanfaatkan pohon yang ada, baik untuk mencari makan maupun bersarang. Usulan Program Kolaborasi Kolaborasi Beberapa pihak yang ada melihat perlu adanya satu kawasan hutan lindung yang dapat menjadi pembelajaran dalam sinergisitas antara upaya konservasi orangutan dan peningkatan ekonomi masyarakat di sekitarnya melalui pengelolaan wisata alam secara kolaboratif yang melibatkan Yayasan Palung, Dinas Kehutanan Kabupaten Kayong Utara, Rumah Ide, Dinas Pariwisata Kabupaten Kayong Utara dan masyarakat Desa Padu Banjar Kabupaten Kayong Utara. Lokasi Program Kolaborasi Hutan lindung Padu Banjar yang juga telah ditetapkan sebagai Hutan Desa Padu Banjar di Kecamatan Simpang Hilir, Kayong Utara.
[16] 16]
Hasil Pemetaan Mitra Potensial 1. Dinas Kehutanan Kabupaten Kayong Utara a. Posisi pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Mendukung ide tersebut dan berharap pada keberhasilan kegiatan ekowisata karena dapat menjadi percontohan pengelolaan hutan lindung yang lestari dan memberdayakan masyarakat di sekitarnya. b. Ketertarikan pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Masyarakat sekitar hutan lindung dapat menerima manfaat dari keberadaan hutan lindung dan terjadinya pemanfaatan jasa lingkungan yang lestari di kawasan hutan lindung. c. Kebutuhan pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Berlangsungnya mekanisme dan bentuk pengelolaan ekowisata di kawasan hutan lindung dan terlaksananya pengamanan kawasan hutan lindung. 2. Dinas Pariwisata Kabupaten Kayong Utaradan masyarakat pariwisata (pengusaha hotel dan pengelola jasa pariwisata lainnya) di Kabupaten Kayong Utara. a. Posisi pada isu kebutuhan dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Mendukung pengembangan wisata alam alternatif, terutama dalam pemanfaatan kawasan hutan lindung yang cukup banyak di Kabupaten Kayong Utara. b. Ketertarikan pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Mengenalkan, meningkatkan, dan mengembangkan potensi pariwisata yang ada di Kabupaten Kayong Utara, selain potensi wisata yang sudah ada seperti Taman Nasional Gunung Palung. c. Kebutuhan pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Kehadiran alternatif wisata alam di Kabupaten Kayong Utara yang dapat memberikan peningkatan pendapatan masyarakat dan PAD. 3. Rumah Ide a. Posisi pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Rumah Ide sangat ingin kegiatan tersebut dapat berlangsung karena sejalan dengan ide pembentukan lembaga itu yang dibentuk untuk mendorong munculnya ide-ide yang berhubungan dengan konservasi dan tata ruang. b. Ketertarikan pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Hadirnya ekowisata dapat menjadi contoh nyata bagi pelaksanaan pemanfaatan hutan lindung yang berkelanjutan. c. Kebutuhan pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Pengelolaan kawasan dengan pendekatan kolaborasi dapat menjadi pembelajaran bagaimana hal tersebut dapat ditularkan pada kawasan-kawasan hutan lindung lainnya di lanskap Palung. 4. Yayasan Palung a. Posisi pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Yayasan Palung sangat ingin kegiatan tersebut dapat berlangsung karena sejalan dengan pelaksanaan program hutan desa yang mereka laksanakan di lokasi tersebut. b. Ketertarikan pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Yayasan Palung sangat tertarik pada ide tersebut sebab dapat menjadi gambaran dari pengembangan jasa lingkungan yang diberikan hutan. c. Kebutuhan pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Kegiatan ekowisatatersebut dapat menjadi contoh dilakukannya kolaborasi para pihak yang saling menguntungkan dan pembelajaran bagi masyarakat lainnya di sekitar lanskap Palung mengenai kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang selaras dengan konservasi hutan dan spesies satwa liar dilindungi. 5. Masyarakat Desa Padu Banjar a. Posisi pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: [17] 17]
Posisi masyarakat sangat menentukan dalam program ekowisata, karena masyarakat yang akan dan harus mendapat manfaat dari program tersebut. Beberapa anggota masyarakat ada yang mendukung ide ini, namun banyak yang masih belum bersikap karena belum mengetahui secara pasti pelaksanaan dan mekanisme ekowisata yang ditawarkan. b. Ketertarikan pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Masyarakat sangat tertarik dengan program tersebut, karena jika program ini berjalan maka mereka akan mendapat manfaat langsung dan tidak langsung. c. Kebutuhan pada isu dilakukannya ekowisata di hutan lindung: Masyarakat sangat membutuhkan penghasilan yang berasal dari kawasan hutan yang ada di sekitarnya. Kondisi masyarakat masih banyak yang belum memiliki kehidupan yang layak dan sangat banyak yang bergantung pada hutan. Lembaga Mitra Kolaborasi (1) Inisiator awal Inisiatif kolaborasi pengembangan ekowisata di Hutan Lindung Padu Banjar diawali oleh Yayasan Palung, Dinas Kehutanan Kabupaten Kayong Utara, IFACS, FORKAB, Dinas Pariwisata Kabupaten Kayong Utara dan masyarakat Desa Padu Banjar. (2) Mitra Perluasan Kolaborasi IAR, PNPM Pariwisata dan pengusaha pariwisata. (3) Peluang Keberlanjutan Yayasan Palung dan BKSDA Kalimantan Barat merupakan mitra potensial untuk mengawal keberlanjutan inisiatif. Bentuk Kegiatan Utama a. Membentuk satu manajemen kolaboratif ekowisata Hutan Desa Padu Banjar Kabupaten Kayong Utara. b. Menyusun rancangan bentuk ekowisata yang akan dilaksanakan dan rencana pelaksanaan kegiatan untuk implementasi rancangan tersebut, dimana diharapkan ada pengembangan fasilitas (fasilitas homestay menggunakan rumah penduduk, fasilitas tracking untuk pengamatan orangutan, fasilitas perkemahan, dan fasilitas lainnya), standar-standar pengelolaan, peluang pasar, dan sebagainya. Kegiatan dalam Implementasi 1. Pematangan Bentuk Kolaborasi, melalui diskusi serial yang akan dilakukan melibatkan pihak-pihak yang akan berkolaborasi. Hasil yang hendak dicapai dari diskusi serial adalah: (i) kebutuhan perlu atau tidaknya formalisasi kolaborasi, (ii) jika dibutuhkan, bagaimana bentuk formalisasi, (iii) mekanisme kontrol, (iv) pendanaan berkelanjutan, (v) koordinasi dengan aparat pengamanan, (v) rekrutmen tim, dan sebagainya. 2. Penyusunan rancangan ekowisata, melalui: a. Survei keragaman hayati. b. Konsultan pengembangan ekowisata (Edy Hendras). c. Konsultasi publik rancangan pengembangan ekowisata. 3. Pelatihan dasar pemandu ekowisata dan pengamanan hutan.
[18] 18]
Agenda Bulan (2014) Jan Feb
Ap r 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2
No
Kegiatan
I
Pematangan Bentuk Kolaborasi 1. FGD 1: Konsultasi ide dan gagasan ekowisata di HL Padu Banjar 2. FGD 2: Kesepahaman dan kesepakatan pengembangan ekowisata di HL Padu Banjar (pembentukan tim kerja) 3. FGD 3: Kesepakatan model manajemen ekowisata kolaboratif di HL Padu Banjar Penyusunan Rancangan Ekowisata 1. Survei keanekaragaman hayati 2. Konsultasi pengembanganekowisata 3. Konsultasi publik rancangan pengembangan ekowisata Penyiapan kemampuan pemandu ekowisata 1. Rekrutmen pemandu 2. Pelatihan dasar-dasar pemandu Pelatihan Dasar Pengamanan dan pengamanan hutan 1. Rekrutmen 2. Kerja sama pelatihan 3. Pelaksanaan pelatihan
II
III
IV
[19] 19]
Mar
X
X
X
X X
X X
X X
X X X
RENCANA KOLABORASI DI TINGKAT LANSKAP: LANSKAP: LANSKAP KATINGAN, KATINGAN Latar Belakang Kalimantan Tengah merupakan kawasan populasi terbesar orangutan Kalimantan, dimana diperkirakan sekitar 32.000 individu hidup di hutan-hutan gambut propinsi tersebut. Secara genetika, orangutan di Kalimantan Tengah tersebut masuk ke dalam subspesies Pongo pygmaeus wurmbii, yang juga dijumpai di bagian selatan Kalimantan Barat. Tetapi populasi yang ada di areal gambut tersebut tidak berada di dalam sebuah habitat yang berkesinambungan dan tersebar ke dalam beberapa kantong habitat dengan ukuran populasi yang berbeda-beda. Kawasan gambut di Kalimantan yang mencapai lebih dari 3 juta hektar memiliki hutan yang unik dan menjadi penyimpan karbon yang besar, yang menurut beberapa peneliti menyebutkan nilai kandungannya sekitar 60 kgC/m3. Namun banyak sekali kawasan gambut tersebut yang hilang atau menuju kehilangan. Pembalakan adalah penyebab terbesar kehilangan lahan gambut. Pada akhir 1990, di kawasan tersebut dilakukan Megaproyek Nasional Pengembangan Lahan Gambut (PLG) yang bertujuan mengkonversi 1,5 juta hektar lahan menjadi areal pertanian. Proyek tersebut melakukan pembangunan saluran drainase yang kemudian merusak tanah gambut dan sulit dikembalikan seperti semula. Proyek tersebut kemudian dinyatakan gagal pada 1999 melalui dikeluarkannya Keppres No. 80 tahun 1999, namun kanal-kanal drainase yang ada sudah mengakibatkan banyak kawasan gambut yang rusak. Paska itu, perusakan lahan gambut di Kalimantan Tengah masih terus berlanjut dengan terjadinya penebangan liar dan pengembangan areal kelapa sawit yang masif dilakukan. Hutan yang terdegradasi di Indonesia mencapai 96,3 juta hektar, dimana diperkirakan ada 54,6 juta hektar adalah berada di kawasan hutan, baik mencakup kawasan hutan produksi, hutan konservasi maupun hutan lindung. Atas desakan dari banyak pihak dengan mempertimbangkan kondisi hutan Indonesia yang sangat tinggi terdegradasi tersebut, Kementerian Kehutanan membuka ruang pengusahaan kawasan hutan produksi melalui system Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan(IUPHH) Restorasi Ekosistem.Dimana pemilik konsesi diberikan kepercayaan untuk melakukan restorasi ekosistem hingga terjadi stabilitas. Meskipun tidak diperkenankan melakukan pemanfaatan kayu sampai terjadi stabilisasi ekosistem, pemilik konsesi diperkenankan melakukan pengusahaan lain, seperti perdagangan karbon. Salah satu perusahaan yang mencoba melakukan pengembangan proyek rehabilitasi ekosistem adalah PT. Rimba Makmur Utama (RMU). Perusahaan tersebut sejak 2008 telah mengajukan perizinan konsesi IUPHHK-RE (Restorasi Ekosistem) di Kabupaten Kotawaringin Timur dan Katingan, Kalimantan Tengah kepada pemerintah. Namun baru pada Oktober 2013, perusahaan tersebut memperoleh izin, namun hanya sebagian dari areal yang dimohonkannya.Areal yang dimohonkan adalah seluas 203.570 hektar, dan yang disetujui hanya seluas 100.000 hektar. Kawasan yang dikelola oleh PT. RMU tersebut merupakan salah satu habitat orangutan, yang berdasarkan strategi dan rencana aksi konservasi orangutan Indonesia sebaiknya menyusun dan mengimplementasikan rencana kelola orangutan di areal kerjanya, serta mencari pilihan terbaik bagi perlindungan orangutan yang ada di wilayah kelolanya. Para penggiat dan lembaga konservasi orangutan saat ini masih kesulitan mendapatkan lokasi yang sesuai bagi lokasi suaka orangutan untuk orangutanorangutan yang tidak mungkin dilepasliarkan. Suaka tersebut nantinya akan berfungsi sebagai tempat pelepasliaran bagi orangutan yang cacat ataupun berpenyakit yang dikhawatikan dapat menyerang populasi alami. Beberapa tempat yang sudah dievaluasi, namun kurang memadai dari pertimbangan teknis, seperti biofisik dan ekologinya, maupun dari sisi non teknis, seperti perizinan dan keamanan orangutan dalam jangka panjang. Komitmen lingkungan dan konservasi yang terlihat sangat baik dari PT. RMU [20] 20]
serta izin IUPHH-RE yang telah diperolehnya menjadi sebuah peluang untuk mengkaji kemungkinan adanya lokasi di dalam kawasan konsesinya yang dapat dijadikan suaka orangutan bagi orangutan subspesies Pongo pygmaeus wurmbii. Usulan Program Kolaborasi Penyediaan dan pengelolaan habitat bagi orangutan eks translokasi dan suaka orangutan di areal kerja PT. RMU dengan fokus pada monitoring, pengamanan dan antisipasi konflik orangutan dan manusia dalam jangka panjang yang melibatkan masyarakat sekitar, PT. RMU, BOSFdan Forum Konservasi Orangutan Kalimantan Tengah (FORKAH). Lokasi Program Kolaborasi Hutan konsesi PT. RMU yang berada di sekitar Desa Jahanjang dan Desa Keruing di Kecamatan Kamipang dan/atau Desa Kampung Melayu dan Desa Tewang Kampung di Kecamatan Mendawai Kabupaten Katingan.
[21] 21]
Pemetaan Mitra Potensial 1. PT. Rimba Makmur Utama (sementara) a. Posisi pada isu manajemen kolaborasi konservasi orangutan: Belum diketahui. b. Ketertarikan pada isu manajemen kolaborasi konservasi orangutan: Tertarik pada isu konservasi orangutan. c. Kebutuhan pada isu manajemen kolaborasi konservasi orangutan: Suaka OU Belum diketahui bentuk kebutuhannya termasuk pertanyaan tentang peran-peran para pihak dalam membangun manajemen kolaborasi konservasi orangutan. 2. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah (diwakili oleh seksi Perlindungan Kawasan dan Seksi Kemitraan) a. Posisi pada isu manajemen kolaborasi konservasi orangutan: Mendukung adanya kegiatan kolaborasi yang melibatkan banyak pihak terutama swasta pemilik izin dan masyarakat dalam konservasi orangutan di Kalimantan Tengah. b. Ketertarikan pada isu manajemen kolaborasi konservasi orangutan: Manajemen kolaborasi hendaknya dilakukan sejak awal sehingga kegiatankegiatan yang dilakukan akan lebih terencana. Jika pemiliki konsesi mau melibatkan para pihak dalam konservasi orangutan diwilayahnya akan membantu pemerintah. Diharapkan kolaborasi akan bermanfaat langsung bagi masyarakat, sehingga akan lebih bertanggungjawab terhadap pengamanan wilayah disekitarnya. c. Kebutuhan pada isu manajemen kolaborasi konservasi orangutan: Melakukan pendampingan, baik manajerial maupun melekat terhadap kerjasama para pihak dalam konservasi orangutan. 3. Dinas Kehutanan Propinsi Kalimantan Tengah (Bidang Perlindungan Kawasan) a. Posisi pada isu manajemen kolaborasi konservasi orangutan: Mendukung bentuk-bentuk kolaborasi dalam melakukan perlindungan habitat orangutan. b. Ketertarikan pada isu manajemen kolaborasi konservasi orangutan: Tertarik pada pelibatan masyarakat dan para pihak dalam konservasi orangutan, sebaiknya dengan pembagian peran yang jelas. c. Kebutuhan pada isu manajemen kolaborasi konservasi orangutan: Menjadi contoh pengelolaan restorasi ekosistem dan kalau memungkinkan menjadi tempat untuk melakukan translokasi orangutan. 4. Borneo Orangutan Survival Foundation (BOSF) a. Posisi pada isu manajemen kolaborasi konservasi orangutan: Mendukung adanya kegiatan manajemen kolaborasi. b. Ketertarikan pada isu manajemen kolaborasi konservasi orangutan: Tertarik pada kolaborasi dalam melakukan konservasi orangutan. c. Kebutuhan pada isu manajemen kolaborasi konservasi orangutan: Adanya kebutuhan akan lokasi yang tepat untuk tempat pelepasliaran. Dalam jangka panjang ada lokasi yang tepat dan terjaga untuk tempat suaka orangutan.Memiliki MoU dengan PHKA (Kementerian kehutanan) yang memungkinkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan dalam lingkup konservasi orangutan termasuk melakukan rescue, translokasi, rehabilitasi dan pelepasliaran.Memiliki kemampuan untuk mengembangkan pusat suaka di kawasan yang memungkinkan dan pengalaman dan kemauan untuk mengembangkan kolaborasi dalam konservasi orangutan dengan berbagai pihak (swasta).
[22] 22]
Lembaga Mitra Kolaborasi (1) Inisiator awal Inisiasi pembentukan kelembagaan kolaborasi akan diawali oleh PT. RMU, BOSF, IFACS dan Forum Konservasi Orangutan Kalimantan Tengah (FORKAH). Dimana bentuk peran dalam kolaborasi tersebut adalah: a) PT. RMU akan lebih fokus pada pengamanan dan restorasi kawasan. b) BOSF akan lebih fokus pada melakukan pengelolaan orangutan. c) FORKAHakan lebih fokus pada komunikasi, baik diantara para pihak yang berkolaborasi maupun dengan pihak luar. (2) Mitra Perluasan Kolaborasi Yayasan Puter, BKSDA Kalimantan Tengah, YCI dan PT. Remark Asia. (3) Peluang Keberlanjutan BOSF dan PT. RMU merupakan mitra potensial untuk mengawal keberlanjutan inisiatif. Bentuk Kegiatan Utama a. Penyiapan areal kawasan PT. RMU untuk menjadi lokasi bagi translokasi orangutan di bagian utara kawasan konsesi, dimana kondisinya secara fisik lebih berhutan yaitu pada alur anak sungai yang masuk ke dalam wilayah konsesi. b. Penyiapan areal kawasan PT. RMU untuk menjadi lokasi bagi suaka orangutan di bagian utara kawasan konsesi, di mana kondisinya secara fisik lebih terbuka. Kegiatan dalam Implementasi 1. Pematangan Bentuk Kolaborasi, melalui diskusi serial yang akan dilakukan melibatkan pihak-pihak yang akan berkolaborasi. Hasil yang hendak dicapai dari diskusi serial adalah tersusunnya strategi implementasi kolaborasi dan MoU antara RMU dan BOSF, dimana dokumen tersebut di dalam jangka pendek akan dimasukkan menjadi bagian dalam BKU (Bagan Kerja Umum) dan selanjutnya akan masuk dalam Rencana Kerja Umum yang sedang disusun oleh RMU. 2. Penyiapan lokasi translokasi dan suaka orangutan. Melalui beberapa diskusi dan studi yang telah dilakukan, diidentifikasi kandidat areal translokasi yakni di sekitar Sei Telaga dan Sei Galinggang. Direncanakan pada Februari 2014, BOSF akan melaksanakan translokasi, sehingga upaya penyiapan akan dilakukan segera. Untuk kawasan suaka masih akan menunggu hasil dari survei keanekaragaman hayati yang dilakukan oleh OUTROP. Diperkirakan survei tersebutakan selesai pelaporannya pada pertengahan Januari 2014. Setelah diperoleh hasil survei OUTROP, barulah kemudian akan dilaksanakan survei lokasi suaka orangutan. 3. Pemantauan dan monitoring orangutan paska pelepasliaran (baik translokasi maupun suaka). Dalam waktu kerja dalam kegiatan yang difasilitasi FORINA, kegiatan yang akan dilakukan adalah pada penyiapan camp pemantauan dan monitoring orangutan di kawasan untuk translokasi, yakni di Desa Tawang Kampung.
[23] 23]
Agenda No . 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bulan (2014) Jan Feb 3 4 1 2 Diskusi pematangan konsep MoU X X Penyiapan Camp Monitoring Translokasi X X Pertemuan Desa X Translokasi X Pertemuan mendiskusikan hasil survei X OUTROP Survei Lokasi Suaka
Kegiatan
3
4
Mar 1 2
3
X
X
4
X X X
Dari kegiatan pertemuan, diskusi dan perencanaan Manajemen Kolaboratif oleh para pihak di empat lokasi di masing-masing lanskap IFACS diharapkan dapat menjadi cikal bakal kegiatan Manajemen Kolaboratif yang berkelanjutan oleh para pihak di masing-masing lokasi tersebut, yang akan bermuara pada meningkatnya pengelolaan sumberdaya alam hayati.
FORINAFORINA-Forum Orangutan Indonesia Jl. Cemara Boulevard No. 58, Taman Yasmin, Bogor, 16112 Telp. + 62 251 8401645; Email: forina.ou@gmail.com; Website: www.forina.or.id
[24] 24]