Teen Girls Editorial - Bertarung Ala Karya Media

Page 1

Bertarung Ala Karya Media Oleh Fredrick L.S, Cellestyle Teen Girls 1 Juli 2014 20:44

Fredrick L.S

Punya majalah di wilayah sendiri ternyata godaan dan tantangannya sangat luar biasa. Sangat berbeda ketika dulu saya bersama kawan-kawan membidani lahirnya Teen Girls (majalah umum remaja wanita) di Sampit. Tantangannya bukan lagi sekadar bagaimana menjaga harmonisasi antara idealisme dan kepentingan model. Tapi sudah pada pertarungan bapurun hati dalam kewajiban menjalankan fungsi sebagai social control. Tak jarang, pagi-pagi sekali handphone saya berdering. Entah dari cewek “OMG, masuk majalah wow...............,� protes suara di handphone.


Seperti biasa, saya hanya menjawab.” Maaf balum sempat tebaca nah”. Dan, seperti biasa juga, si penelpon dengan nada gusar menceritakan jika usahanya, kejadian yang menimpanya atau pekerjaannya jadi santapan awak media majalah ini. Bahkan ada yang menjadi headline, lengkap dengan foto-fotonya. Sebagaimana biasa pula, saya hanya bisa menyampaikan permohonan maaf, sembari menjelaskan, bahwa sebuah berita yang naik drastis telah melalui proses dan bisa dipertanggung jawabkan. Kalaupun ada yang merasa jadi “korban” pemberitaan, maka yang bersangkutan punya hak jawab dan diberi kesempatan yang sama untuk menyampaikan fakta atau kebenaran versinya. Memberi penjelasan kepada orang lain yang tak punya ikatan atau hubungan keakraban pertemanan, tentu lebih mudah dan ringan. Tapi, bagaimana yang protes itu adalah saudara sendiri, kawan karib? itulah yang bisa saya lakukan ketika saya menerbitkan majalah digital ini di situs halaman web issuu. Sebagai cowok yang memiliki jiwa feminim yang tersebar dimana-mana di kawasan Kotawaringin, sangat sering saya harus berlembut hati pada gadis. Inilah risiko punya majalah di wilayah sendiri. Saat ada model yang masuk majalah dengan berita yang positif, saya mendapat apresiasi positif. Sebaliknya, jika ada model yang jadi berita di majalah ini karena kelakuannya yang patut dikritisi atau ada kasus yang sedang menimpa, saya kadang dicemberuti dan dicueki, kadang juga dicaci. “Teganya pang lawan cewek sendiri,” begitu tanggapan yang saya terima. Berlembut hati pada gadis tentu bukanlah perkara gampang. Baik buruknya ikatan keakraban, apalagi masih berkenalan. Namun, sebagai jurnalis, saya harus meletakan kehormatan di atas hubungan kekerabatan (apalagi sekadar pertemanan). Dan, ini adalah sebuah pilihan tersulit yang harus diambil. Jangan sampai karena punya majalah di wilayah sendiri, bisa mentang-mentang. Giliran orang lain dikritisi dan diberitakan habis habisan. Eh, begitu yang tersangkut masalah adalah keluarga, dibela-belain, ditutup tutupi. Jika boleh memilih, antara menjaga hubungan baik dengan model atau narasumber, tentu saya memilih narasumber. Sebab, model itu ada masa priodesasinya, sementara hubungan narasumber tidak akan lekang selama hayat dikandung badan. Namun, pilihan itu menjadi tidak berlaku manakala tugas sebagai jurnalis memanggil. Fakta-fakta dan kebenaran harus disampaikan, meski kemudian saya


harus menyesap kepahitan. Kepahitan karena dimusuhi narasumber yang tak terima diberitakan, kepahitan karena tak disukai model sombong dan korup yang terbongkar aibnya. Begitu majalah ini diterbitkan, ada saja gadis yang dengan entengnya mengatakan,” nyamanlah kau mengisi majalah. Nyaman mencari duit, tinggal telepon cewek dan datangi pemred,” dan bla…bla. Di awal-awal terbit, betapa getirnya kami harus melawan stigma yang terlanjur tersemat lama. Bahwa kerjaan jurnalis itu hanya mencari-cari kesalahan orang, mencari yang ujung-ujungnya hanya demi duit. Saya selalu ingatkan diri saya (juga narasumber dan kontribusi saya di Teen Girls), bahwa kemulian hidup sebagai karya media, adalah bagaimana kita mampu mengawinkan antara idealisme dan kepentingan media sebagai sebuah industri press. Di satu sisi, karya media dituntut untuk bekerja profesional. Menjunjung tinggi etika jurnalistik, mengemban misi sebagai social control, dan menjadi salah satu pilar demokrasi. Disisi lain, karya media juga adalah manusia biasa. Sebagaimana manusia lainnya, pekerja media juga butuh makan, butuh kesejahteraan, butuh kehidupan yang layak, juga butuh hiburan, serta kebutuhan lainnya sebagaimana orang lainnya mendapatkan dengan caranya masing-masing. Di dua kutub berbeda itulah nurani karya media bertarung. Pertarungannya pun bukan pertarungan biasa. Jika di medan perang, pilihannya adalah membunuh atau dibunuh. Maka, karya media harus bertarung untuk tidak memenangkan atau mengalahkan salah satu diantaranya. Lho kok jadi aneh gitu? Ya, memang begitulah yang dilakoni para karya media. Idealisme harus ditegakkan, tapi dapur perusahaan yang menaungi juga harus tetap ngebul, dan…ini yang lebih penting lagi, harus memberi keuntungan kepada pemodalnya. Akhirnya…teruslah berjuang kawan-kawan, sahabat-sahabat terbaikku. Jalanilah “pertarungan” itu dengan enjoy, karena kita tidak pernah tahu kapan mengakhirinya. Kita juga tak pernah tahu, apakah bisa terus bertarung tanpa harus memenangkan atau mengalahkan salah satunya. Salam Pemred Muda (fredrick.leon1@gmail.com/frk)



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.