d
DISKUSI SASTRA H.B. Jassin: Kritikus dan Dokumentator Sastra Agus R. Sarjono
Kamis, 22 September 2011 Pukul 19.00 – 21.00 WIB WISMA PROKLAMASI Jalan Proklamasi No 41 Jakarta Pusat
Agus R. Sarjono / Diskusi Sastra
H.B. Jassin
Para sastrawan boleh bicara apa saja tentang saya.Yang jelas, saya mengenal mereka: kapan mereka lahir dan kapan mereka mati. Di tempat sayalah mereka lahir, dan di tempat saya juga kuburannya. H.B. Jassin
Kalau orang ditanya siapakah kritikus sastra Indonesia?, hampir pasti semuanya akan mengatakan H.B. jassin lah orangnya. Bahkan, ia dijuluki sebagai Paus Sastra Indonesia. Julukan itu awalnya dimaksudkan sebagai cemooh, namun ternyata melekat sebagai pujian dan bahkan pengakuan. Sudah berbagai upaya, sengaja atau tidak, untuk mengecilkan peran dan nama H.B. Jassin, namun hingga sekarang tak pernah berhasil. Kebesaran H.B. Jassin dan posisinya yang penting dalam sejarah sastra Indonesia Modern, tak tergoyahkan. Ada dua monumen yang ditinggalkannya bagi kita: kritik dan bahasannya, serta Pusat Dokumentasi H.B. Jassin.
Ada sejumlah suara yang mencoba meyakinkan kita bahwa H.B. Jassin sebenarnya bukanlah seorang kritikus sastra, melainkan Dokumentator Sastra. H.B. Jassin juga dicemooh karena tidak ilmiah dan tidak akademis. Seingat saya mereka yang mengatakan bahwa H.B. Jassin bukan kritikus melainkan dokumentator sastra umumnya tidak pernah menunjukkan kinerja unggulnya di bidang kritik, apalagi di bidang dokumentasi sastra.
Jika penamaan tidak ilmiah dimaknai sebagai tidak berteori, maka anggapan itu ada benarnya. Dilihat dari banyak segi, H.B. Jassin memang lebih banyak menulis kritik-kritiknya berdasarkan common sense dan tidak menggunakan teori solid tertentu. Lagi pula, saat itu teori sastra relatif belum dikenal di Indonesia.
Teori-teori sastra baru belakangan dikenal di Indonesia berkat pengenalan yang dilakukan oleh Prof. A. Teeuw. Teeuw lah yang mengajar dan menjadi “guru pertama� teori sastra dengan pengaruh yang cukup luas di kalangan akademisi sastra. Bahkan, bisa dikatakan bahwa keilmiahan dan dasar teori sastra di kalangan akademis ditubuhkan oleh A. Teeuw. Sejak saat itu, strukturalisme dan New Criticism menjadi buah bibir di fakultas-fakultas sastra. Untuk pertama kalinya para akademisi memiliki pegangan (teoretis) dalam membahas, mengkaji, dan mengkritik sastra. Lepas dari fakta bahwa teori sastra tidak selalu difahami dengan baik / 2 /
FREEDOM INSTITUTE
dan dijalankan dengan konsisten dalam mengkaji suatu karya sastra, sejak saat itu teori sastra menjadi pegangan dalam menulis skripsi, tesis, dan disertasi. Yang paling populer –bahkan hingga saat ini– adalah “analisis makna, struktur dan fungsi”. Ini adalah pendekatan paling elementer dalam kajian sastra tapi paling berterima di kalangan akademisi sastra. Hampir bisa dikatakan bahkan suatu kajian bersifat ilmiah standar manakala ia mengkaji (makna), struktur dan fungsi, Kajian ini, sekaligus adalah kajian paling aman dan jarang mendapat penolakan di kalangan akademisi sastra,
Belakangan, pengenalan kalangan akademisi sastra atas teori-teori sastra makin meluas dan beragam, mulai dari new criticism, strukturalisme dengan segala variannya, hermeneutik dengan segala variannya, semiotik dan pascastrukturalisme, dan sebagainya. Belum lagi semua itu berkembang dengan hasil-hasil kajian yang memadai, ia sudah terasa meredup dan muncul teori-teori yang lebih populer: kajian feminis, dekonstuksi, pascakolonial, cultural studies, dan lain-lain. Semua banjir teori sastra itu telah menyibukkan para akademisi di fakultas-fakultas sastra, dan –agak mengherankan– juga sebagian kalangan sastrawan. Begitu sibuknya para akademisi sastra dengan gelombang-gelombang teori sastra sehingga membuat mereka abai dengan karya sastra itu sendiri.
Banyak kalangan akademisi yang mengenal dan gemar bercakap mengenai bermacammacam teori, langsung gagal ketika berhadapan langsung dengan karya sastra. Maka cukup banyak buku tentang teori sastra: Semiotik, Struktural Genetik, Hermeneutik dan sebagainya, namun hampir tak ada buku berisi kajian meyakinkan atas suatu karya sastra berdasar teoriteori tersebut. Tidak jarang juga ada kecenderungan untuk memperlakukan teori sastra seperti mode pakaian dalam fashion show. Seorang pembicara dan “ahli” strukturalisme dan belum pernah menulis kritik meyakinkan menggunakan strukturalisme, apa lagi buku kritik atas suatu karya berdasar strukturalisme, tiba-tiba enggan bicara strukturalisme karena dianggap sudah tidak in. Maka, ia mulai asyik membicarakan teori “baru” yang dianggap sedang in. Di tengah situasi semacam ini kita jadi ingat pada H.B. Jassin, dan perlahan-lahan kita menjadi tahu mengapa dia menjadi besar dan demikian penting posisinya di awal kehadiran sastra Indonesia Modern. H.B. Jassin memang tidak mengenal banyak teori sastra, tidak menulis buku untuk menyarikan berbagai teori dan pendekatan dalam kritik sastra. Namun, H.B. Jassin menjalani proses penting dan paling elementer dalam kritik sastra, yakni Membaca baik-baik karya sastra yang akan dibahasnya. Membaca, membaca, dan membaca dengan sungguh-sungguh suatu karya sastra, Kadang ikut hanyut dengan karya yang dibacanya, mencoba menemukan segi-segi unggul dan kuat pada karya sastra bersangkutan sembari pada saat yang sama menemukan dan mencatat segi-segi yang dianggapnya lemah, kurang memuaskan, atau mengganggu. Jika yang dibacanya sudah terbit sebagai buku, ia menuliskan apresiasi dan tanggapannya atas buku itu dalam bentuk kritik sastra. Jika yang dibacanya masih berupa manuskrip, ia tak segansegan menuliskan cacatan dan masukan/saran perbaikan, bahkan tidak jarang ia turun tangan mencarikan penerbit bagi karya sastra yang dianggapnya bagus. / 3 /
Agus R. Sarjono / Diskusi Sastra
Membaca karya para sastrawan sebelum karya itu diterbitkan adalah salah satu posisi khas H.B. jassin karena ia menjadi redaktur hampir semua media sastra terkemuka. Sebagai redaktur, pada dasarnya ia menjalankan kerja dasar seorang kritikus: membaca, memberi catatan, membaca dengan penuh apresiasi dan kritis. Semua itu dilandasi oleh kepekaan intuisinya, ketelitian, kesabaran, dan cinta. Ada semacam keadilan dan objektivitas ilmiah dalam cirinya yang membuat ia bersedia membaca dan mengapresiasi semua karangan yang masuk, menolak karangan yang dianggapnya buruk, bahkan memberi catatan dan usulan. Semuanya ia lakukan tanpa terlalu direpotkan oleh hal-hal di luar karya. Ini menyebabkan Jassin terkenal sebagai penemu bakat dan pembaptis. Banyak sastrawan merasa mapan setelah dibaptis oleh H.B. Jassin, hingga sebagian sastrawan mengejeknya sebagai Paus Sastra yang ternyata memang cocok dengan sosoknya hingga cemooh itu mengubah dirinya sendiri menjadi pujian.
Dalam menulis kritik, kerja redaktur itu mendapat intensifikasi. Tanpa teori, tanpa pegangan, tanpa route, tanpa peta, ia bertemu langsung dengan suatu karya dan bermuka-muka secara pribadi dengannya. Bermuka-muka dengan suatu karya sastra tanpa perantara maupun becking teori sastra bukan hal yang mudah. Bagi beberapa kalangan hal ini cukup memputusasakan. Bagaimana cara membaca dan menilai sastra? Tidak semua orang memiliki wawasan, kepekaan, dan intuisi seperti Jassin. Untunglah kemudian terbit di Indonesia buku A. Teeuw, Membaca dan Menilai Sastra. Pada buku-buku A. Teeuw, orang merasakan adanya sesuatu yang bisa dijadikan pegangan dalam membaca dan menilai sastra1. Namun, akan segera terbukti bahwa “pegangan” itu bukanlah sebuah formula dimana seorang kritikus tinggal memasukkan bahan dan mengolahnya dengan formula itu lalu hasilnya akan meyakinkan. Menjadikan teori sastra sebagai juklak dan juknis tentu bukan cara tepat, meskipun inilah yang kerap terjadi.
Menulis kritik satra demi kritik sastra, tak putus-putus, sampai menghasilkan sekurangkurangnya empat buku (Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai), tanpa teori solid tertentu melainkan berbekal common sense dan intuisi, ternyata membuat H.B. Jassin tampil sebagai sosok yang memberi dampak besar bagi perkembangan sastra Indonesia modern. Di negeri yang minat dan tradisi membacanya sangat rendah ini, tidak bisa dibayangkan bahwa sastra Indonesia modern dapat langsung diterima dan mengisi khasanah perbincangan dan khasanah batin masyarakat Indonesia. H.B, Jassin lah yang dengan sabar tak putusputusnya mengabarkan fenomena sastra Indomesia modern langsung dari gelanggang kepada masyarakat. Sejumlah pelabelan yang dilakukannya melekat di ingatan masyarakat dan tak kunjung bisa digeser atau dihapuskan lagi, seperti “Angkatan Pujangga Baru”, “Angkatan 45”, juga “Angkatan 66”. Selain angkatan, julukan yang ia buat pun populer dan melekat dalam ingatan pembaca sastra, seperti Chairil Anwar Tokoh Penyair Angkatan 45, Amir Hamzah Raja Penyair Baru, dan sebagainya. Ketika sastra Indonesia Modern diajarkan ke sekolah-sekolah, mau tidak mau kepada H.B. Jassin lah guru bahasa dan sastra menyandarkan dirinya. Dengan jumlah karya sastra
1 Buku ini adalah kumpulan esai A. Teeuw yang sebenarnya sepadan dengan esai-esai Jassin periode belakangan. Namun bukunya Tergantung Pada Kata, dan Sastra dan Ilmu Sastra benar-benar dijadikan pegangan para akademisi sasta. Buku praktek kritiknya yang luas, antara lain Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer. / 4 /
FREEDOM INSTITUTE
yang terbatas pada saat itu, dan lebih-lebih jumlah pembahasan atas karya sasatra yang lebih terrbatas lagi, H.B. Jassinlah satu-satunya tokoh yang menyediakan ulasan terbanyak dan relatif terpercaya.
Saat situasi politik memaksanya tampil ke muka untuk mempertahankan cerpen Ki Panji Kusmin “Langit Makin Mendung� di depan pengadilan, H.B. Jassin menulis pledoi yang gemilang dengan judul “Imajinasi di di Depan Pengadilan�. Pledoi gemilang itu memang tidak berhasil membebaskan dirinya dari hukuman penjara, tapi pledoi itu berhasil memaksa masyarkat luas untuk menengok pada sastra modern Indonesia. Jika seseorang bersedia dipenjara untuk sesuatu, maka sesuatu itu pastilah berharga. H.B. Jassin memaksa masyarakat untuk memberi harga pada sastra, saat ia terbukti masuk bui untuk membela barang aneh bernama sastra Indonesia modern, di tengah situasi masyarakat yang megap-megap dihimpit mahal dan sulitnya mendapat kebutuhan pokok buat hidup mereka. ***
Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai, Tifa Penyair dan Daerahnya, merupakan kritik sastra dan pandangan H.B. Jassin mengenai sastra. Umumnya kritik dan esainya pendekpendek, sesuai dengan kepentingan media yang ditujunya, baik koran maupun majalah. Sebagian besar tulisan awalnya lebih berupa resensi dibanding kritik sastra yang sesungguhnya. Nadanya pun cenderung menyapa publik umum agar bisa memahami dan menikmati buku sastra yang telah dan atau hendak mereka baca. Ini terlihat, misalnya, pada tulisannya atas Belenggu Armijn Pane yang kelahirannya sangat kontroversial pada masa itu: Mestikah kita marah pada pengarang ini? Mestikah dia kita caci, kita cela habis-habisan sampai ia menarik kembali apa yang dituliskannya?mestikah dia kita dera supaya insaf padadirinya, supaya dia tahu kesalahannya, kesalahannya memperlihatkan manusia, memperlihatkan keadaan, memperlihatkan jiwa masyarakat sebagai yang telah diperlihatkannya pada diri kita itu? Tidak! Bukan salah manusia atau masyarakat, sehingga jiwa masyarakat seperti yang dilukiskannya itu. Dia melihat dan dia menuliskan. Tetapi apakah sebabnya dituliskannya yang buruk-buruk itu?mengapa keburukan bangsanya dituliskan terang-terangan demikian? Sebab dia merasa wajib untuk menuliskan sekaliannya itu sebagai pujangga, ujabgga yang memperlihatkan kemajuan bengsanya. bangsanya diperiksanya akan mengetahui rohani nya akan menyelami batinnya. Dan apa yang didapatnya? Itulah luisan yang telah dilukiskannya dalam romannya Belenggu. Disitulah manusia dinilainya hidup-hidup, jiwanya dianalisisnya. Iutlah yang telah dibawanya kepada kita. (H.B. Jassin, Sastra Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai) / 5 /
Agus R. Sarjono / Diskusi Sastra
Ulasannya cenderung personal dan intuitif. Kritik-kritiknya boleh dibilang tepat dan sesuai bagi situasi sastra waktu itu yang kebanyakan sastrawannya berbekalkan “bakat alam”. Memang kebanyakan sastrawan saat itu lahir dari bakat alam. Bahkan beberapa sastrawan yang secara akademis berhasil mencapai puncak, misalnya Noegroho Notosusanto, pun saat menulis cerpen-cerpennya pada dasarnya berangkat dalam disiplin “bakat alam” dibanding intelektualisme2. Cerpen dan novel saat itu cenderung ditulis sebagai perpanjangan atau pendedahan pengalaman hidup alias biografi pengarangnya. Makin unik dan menarik pengalaman penulisnya, makin besar peluang karyanya menjadi kuat. Dalam posisi ini, H.B. Jassin menjadi seorang pembaca dan pembimbing sastrawan agar bahan bagus yang dimiliki astrawan bersangkutan dapat mereka olah mengajdi karya sastra yang berhasil baik dari segi penggarapan tema, sudut pandang, konflik, maupun penceritaannya. Demikian pula dengan puisi, ia membimbing para penyair menulis dengan pengolahan tema, rima, perlambangan dan sebagainya dengan harapan penyair bersangkutan dapat menghasilkan karya personal yang segar. Cara ini lah yang telah membuatnya menemukan keunggulan Amir Hamzah dan terutama Chairil Anwar di bidang puisi. Ternyata, setelah diuji waktu, baik Amir Hamzah maupun terutama Chairil Anwar memang tetap unggul dan memikat. Saat teknik bersastra menjadi beragam sesuai dengan semangat avant garde di era 70an, H.B. Jassin tidak menulis kritik segencar dan serajin sebelumnya. Sejumlah karrya avant garde tersebut memang tidak selalu mudah dan sesuai dibahas dengan cara yang biasa dilakukan H.B. Jassin sebelumnya, Sekalipun begitu, H.B. Jassin terbukti memiliki kepekaan dan pemahan yang baik atas segala bentuk pembaruan yang dihasilkan pada masa itu. Kesulitan melakukannya pembahasan tidak dengan sendirinya mengandaikan bahwa H.B. Jassin tidak memahami kebaruan dan pencapaian generasi sastra yang datang kemudian. Hal ini terlibat dari antusiasme H.B. Jassin atas novel-novel avant garde Iwan Simatupang. Ia tidak menulis kritik intensif atas novel-novel Iwan Simatupang sebagaimana pernah dilakukannya atas karya-karya Amir Hamzah atau Chairil Anwar, tapi (boleh jadi secara intuitif) ia merasakan dan mengakui kebaruan novel-novel Iwan Simatupang tersebut. Rumusannya tentang angkatan-angkatan sastra yang dibuatnya pun sangat populer dan paling berterima di masyakat. Pembabakan “Angkatan Pujangga Baru”, “Angkatan 45”, dan “Angkatan 66”, sudah demikian populer dan diajarkan terus-menerus di sekolah. Abdul Hadi WM yang merumuskan lahirnya “Angkatan 70-an”, atau Korrie Layun Rampan yang menghimpun sastrawan untuk dinamainya “Angkatan 2000”, tidak menangguk sukses seperti yang dicapai H.B. Jassin.
Rumusannya atas “Angkatan 66”, misalnya, banyak mendapat kecaman dan kritik, namun semua kritik itu tidak berhasil menggugurkan popularitas penamaan “Angkatan 66” yang diproklamirkan H.B. Jassin, padahal rumusannya atas angkatan ini sangat lemah dan sembrono. Reputasi H.B. Jassin, ternyata terlalu besar untuk digoyang dengan mudah. 2 Untuk pembagian “bakat alam”dan “intelektualisme”,lihat Subagio Sastrowardojo, Bakat Alam dan Intelektualisme. / 6 /
FREEDOM INSTITUTE
Sekali lagi, semua reputasinya dalam kritik sastra didapat dari ketekunannya membaca, mengapresiasi, kemudian menuliskan semua pendapat pribadinya atas karya sastra yang dibacanya. Cara tersebut boleh dibilang sangat sederhana dilihat dari keberbagaian sastra yang beredar di Indonesia sekarang ini. Namun, mengapa kritikus-kritikus dengan teori canggih tak pernah mencapai popularitas dan posisi sekokoh H.B. Jassin?
Saya mendapat kesan bahwa justru tindakan elementar dan sederhana yang dijalani H.B. Jassin itulah yang kini kerap alpa dijalani kritikus pasca H.B. Jassin, khususnya dari kalangan akademis. Saya kerap berjumpa dengan komposisi khas ulasan sastra yang lazim muncul. Misalkan ada ulasan sepanjang 10-12 halaman, maka komposisinya kurang lebih adalah: 2-3 halaman pendahuluan, berisi penjelasan umum. 4-5 halaman berisi uraian teori dan kutipan pendapat sejumlah ahli tentang teori tersebut. 2 halaman berupa kutipan puisi/cerpen/ novel yang akan dibahas, dan hanya 1 sampai 2 halaman berisi pembahasan lengkap dengan kesimpulannya. Sisa halaman akan berisi daftar pustaka. Dalam skripsi, tesis, atau penelitian, yang halamannya jauh lebih banyak, persentase komposisinya kurang lebih sama. Pertemuan pribadi –dengan atau tanpa cinta– dengan karya yang dibicarakan nyaris tidak ada. Saat membahas suatu karya, sesuatu yang disangka teori itulah yang utama. Bahkan, tidak jarang terjadi keajaiban: apapun teori yang digunakan, hasilnya kurang lebih sama. Tindakan dasar, yakni membaca dan mengapresiasi sastra jarang dilakukan. Padahal tindakan ini benar-benar dasar dan tak terhindarkan untuk dilakukan bahkan oleh pembaca biasa yang tidak hendak mengulas atau mengkritik karya sastra. Pertemuan pribadi dari hati ke hati, jiwa ke jiwa antara pembaca dengan karya yang dibaca tidak dapat dilewati dan diabaikan oleh seorang kritikus. Setelah pembacaan dari hati ke hati dilakukan, baru teori yang akan digunakan dalam pembahasan menjadi bahan pertimbangan. Membaca dan mencintai sastra, itulah yang dilakukan dan dijalani H.B. Jassin sepanjang hidupnya. Bahkan saat ia membaca dan menilai sastra, ia menjalaninya dalam proses membaca dan mencintai sastra. Tanpa cinta, sebagian kalangan yang mencoba menjadi kritikus dengan membaca dan menilai sastra, bahkan cukup banyak yang menjadi kritikus dengan “tidak membaca tapi menilai sastra�. Kadang, untuk menutupi ketidakmembacaan sastra yang hendak dinilainya, sang kritikus menaburkan berbagai penjelasan mengenai berbagai pendekatan dan teori sastra sebagai kamuflase. Kritikus semacam ini bisa saja nampak canggih, namun tak mampu menggeser kebersahajaan kritik H.B. Jassin, baik dalam kepekaan maupun kecintaan.
Kecintaan H.B. Jassin pada sastra terlihat dari ketekunannya mendokumentasikan bukan hanya karya sastrawan melainkan segala dokumen yang diperkirakannya akan berguna dalam memahami karya seorang sastrawan: surat-surat pribadi, pengantar pengarang saat mengirimkan naskah, dan sebagainya. Bahkan, tidak jarang H.B. Jassin turun tangan memecahkan persoalan yang dihadapi sastrawan mulai dari hubungan pribadi hingga masalah ekonomi. Chairil Anwar mungkin akan berbeda tanpa sentuhan dan keterlibatan H.B. Jassin. H.B. Jassin, selain menulis kritik juga mengabdikan hidupnya untuk membangun dokumentasi sastra. Manuskrip-manuskrip, kartu pos, surat sastrawan dan berbagai bahan dia kumpulkan lebih dari 50 tahun. Semua ini kemudian dia perluas dengan koleksi buku hingga kemudian menjadi Pusat Dokumentasi H.B. Jassin. / 7 /
Agus R. Sarjono / Diskusi Sastra
Sebenarnya, sejumlah bukunya pun menunjukkan kecenderungan dokumentatif itu, misalnya: Gema Tanah Air (1948); Kesusastraan Indonesia Di Masa Jepang (1948); Angkatan 45 (1951); Kesusasteraan Dunia Dalam Terdjemahan Indonesia (1956); Pujangga Baru Prosa Dan Puisi (1963); Angkatan 66 Prosa Dan Puisi (1968); Heboh Sastera 1968 (1970); dan Surat-Surat 1943 – 1983 (1984). Apa yang dikumpulkan dan didokumentasikan oleh H.B. Jassin tak pelak lagi menjadi bukti kecintaan H.B. Jassin pada sastra. Ia menjadi monumen dan warisan berharga bagi sastra modern Indonesia. Masalah yang dihadapi PDS H.B. Jassin belum lama ini dan belum sepenuhnya terpecahkan hingga sekarang, dengan jelas menunjukkan bahwa kecintaan seluruh rakyat Indonesia tidak sebanding dengan kecintaan H.B. Jassin seorang. Untunglah banyak fihak baik kaum muda maupun tua yang turun tangan menunjukkan keprihatinan dan dukungan bagi PDS H.B. Jassin, sehingga kita semua mengetahui bahwa masih ada cinta pada dunia sastra. Harus dikatakan bahwa ada sejumlah kritik sastra yang baik dan meyakinkan pasca H.B. Jassin. Sayang penulisnya tidak mengabdikan dirinya pada kritik sastra secara total sebagaimana ditunjukkan oleh H.B. Jassin. Dalam pada itu, penguasaan dan akses terhadap teori sastra yang beragam makin mudah dan terbuka. Jika H.B. Jassin yang menulis kritik berbekal common sense telah menghadiahi khasanah sastra Indonesia modern dengan sumbangan yang sangat berarti, maka dapat dibayangkan jika para para akademisi sastra juga memiliki kecintaan pada sastra serta memiliki ketekunan dalam mengkaji dan mengkritik sastra, tentu setelah membaca karya sastra yang hendak diteliti, dikaji, dan dikritiknya.***
/ 8 /