Bagaimana Otak Melahirkan Altruisme

Page 1

d

KLUB SAINS FREEDOM INSTITUTE: OTAK, SPIRITUALITAS, DAN ALTRUISME Cuplikan buku Jonah Lehrer, “How We Decide” (Bab 6, halaman 171-189) Disampaikan oleh Ryu Hasan sebagai pengantar diskusi

Jumat, 19 Agustus 2011 Pukul 19.00 – 21.00 WIB WISMA PROKLAMASI Jalan Proklamasi No 41 Jakarta Pusat


Klub Sains Freedom Institute

BAGAIMANA OTAK MELAHIRKAN ALTRUISME

Emosi yang melahirkan moralitas

Kalau dibicarakan secara sepintas, mungkin banyak yang tidak percaya bahwa terdapat hubungan antara moralitas dan emosi. Keyakinan umum selama ini adalah bahwa keputusan-keputusan moral muncul dari proses yang sangat logis dan legal. Anggapan umum bahwa berbuat baik berarti menimbang secara teliti argumenargumen yang saling bertentangan, bagaikan seorang hakim yang netral dan tidak berat sebelah. Penjelasan tersebut mempunyai sejarah yang panjang. Tokoh-tokoh Abad Pencerahan, semisal Leibniz dan Descartes, berusaha menyusun suatu sistem moral yang sepenuhnya terbebas dari perasaan. Immanuel Kant berpendapat bahwa berbuat baik hanyalah konsekuensi dari bertindak rasional. Imoralitas, tulisnya, adalah hasil dari ilogika (illogic). Kata Kant lagi, “Makin sering kita merenungkan” keputusan-keputusan moral kita makin bermorallah keputusankeputusan kita. Hingga sejauh ini sistem hukum modern masih berpijak pada asumsi-asumsi kuno tersebut dan membebaskan siapa pun yang “rasionalitasnya cacat”-orang-orang ini secara hukum dinyatakan gila-sebab otak rasional dianggap sebagai pembeda antara benar dan salah. Doktrinnya adalah “apabila anda tak dapat menalar, berarti anda tak boleh dihukum”. Sayangnya, semua konsep kuno tentang moralitas itu berlandaskan pada sebuah kesalahan yang sangat mendasar. Neurosains sekarang dapat menjelaskan proses pengambilan keputusan moral, dan di dalam proses pengambilan keputusan tersebut ternyata tidak ada yang rasional. Keputusan moral mirip dengan keputusan estetis, seperti yang dikatakan oleh Jonathan Haidt, ahli biopsikologi di Universitas / 2 /


FREEDOM INSTITUTE

Virginia. Saat kita melihat lukisan,kita biasanya langsung tahu apakah kita menyukainya atau tidak. Apabila orang lain meminta kita menjelaskan mengapa kita menyukainya, kita harus mengingat-ingat alasannya Argumen-argumen moral pun sama: Dua orang sangat merasakan sesuatu, perasaan merekalah yang kali pertama muncul, dan alasan-alasan logis baru muncul kemudian secara cepat, saling bersaing Kant dan para pengikutnya memandang otak rasional bekerja seperti saintis: kita menggunakan akal budi untuk menciptakan pandangan yang tepat tentang dunia. Artinya, moralitas dilandasi oleh nilai-nilai objektif; keputusankeputusan moral menggambarkan fakta-fakta moral. Namun pikiran sejatinya

tidak bekerja seperti ini. Manakala kita berhadapan dengan dilema etika, alam bawah sadar kita otomatis menciptakan reaksi emosional. (Inilah yang tidak bisa dilakukan oleh psikopat.) Dalam beberapa milidetik saja, otak menghasilkan pikiran: kita tahu mana yang benar dan yang salah. Insting-insting moral ini tidak rasional -insting-insting tersebut tak pernah mengikuti teori etika Kant- tetapi merupakan bagian penting dari apa yang menjaga kita untuk tidak melakukan segala macam kejahatan berat. Sirkuit-sirkuit rasional di prefrontal cortex baru aktif, setelah emosi-emosi membuat keputusan-keputusan moral. Sirkuit-sirkuit rasional menjadikan manusia memiliki alasan-alasan persuasif untuk membenarkan intuisi moralnya. Saat prefrontal cortex membuat keputusan-keputusan etis, rasionalitas manusia bekerja bukan seperti ilmuwan, melainkan seperti pengacara. Pengacara batin ini mengumpulkan bukti-bukti, justifikasi post hoc, dan membuat retorika yang singkat padat agar keputusan moral emosi (reaksi otomatis) itu tampak mempunyai alasan yang kuat. Namun, alasan yang tampaknya kuat ini hanyalah tedeng aling-aling, delusi diri yang rapih. Benjamin Franklin menjelaskannya dengan apik dalam otobiografinya: “Secara sangat meyakinkan, otak menjadikan manusia sebagai makhluk yang mudah beralasan, sebab otak memungkinkan manusia mencari atau membuat alasan untuk membenarkan apa saja terdapat dalam pikirannya.� / 3 /


Klub Sains Freedom Institute

Dengan kata lain, pandangan moralitas dasar kita - konsensus filosofis yang bertahan selama beribu-ribu tahun - benar-benar telah kadaluwarsa dan ketinggalan zaman. Kita masih saja berasumsi bahwa keputusan-keputusan moral kita merupakan produk sampingan dari pikiran rasional, bahwa norma-norma moral kita dibangun di atas antara lain Sepuluh Firman Tuhan dan kategori imperatif Kant. Para filsuf dan teolog telah menuangkan banyak tinta untuk menulis argumen-argumen perihal logika dari dilema-dilema etis tertentu. Namun, argumen-argumen mereka tak mengacu pada dasar pokok dari keputusan-keputusan moral, bahwa logika dan legalitas hanya mempunyai sedikit kaitan dengan segala sesuatu. Ada sebuah skenario moral menarik yang diciptakan kali pertama oleh Haidt , yakni sebagai berikut:

Julie dan Mark, adik dan kakak, sedang berlibur ke daerah Prancis selatan. Suatu malam, setelah seharian asyik menyusuri daerah pedalaman di Prancis bagian selatan, mereka menikmati makan malam yang lezat dan minum beberapa botol anggur merah. Suasana yang hangat membuat Julie dan Mark ingin berhubungan seks. Julie minum pil antihamil, dan Mark menggunakan kondom. Mereka berdua sangat menikrnati percintaan tersebut, tetapi tak mau mengulangi perbuatan itu lagi. Mereka berjanji untuk merahasiakan peristiwa malam itu dan ternyata di kelak kemudian hari, mereka merasakan bahwa hubungan seks membuat mereka berdua makin dekat. Apakah perbuatan Julie dan Mark itu salah?

Apabila kita seperti kebanyakan orang, reaksi pertama kita adalah menilai bahwa kedua adik kakak itu telah berbuat dosa. Perbuatan mereka salah besar. Sewaktu Haidt meminta orang-orang untuk menjelaskan penilaian-penilaian moral mereka yang tegas, penjelasan yang paling banyak muncul ialah bahwa hubungan seks antarsaudara kandung itu dapat menghasilkan anak yang cacat dan merusak hubungan persaudaraan mereka. Lantas, Haidt secara santun mengatakan kepada orang-orang itu bahwa Julie clan Mark menggunakan dua alat kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan mereka melakukan hubungan seks justru untuk mempererat persaudaraan mereka. Orang-orang itu mengabaikan faktafakta ini. Meskipun argumen-argumen mereka dapat dipatahkan, mereka tetap / 4 /


FREEDOM INSTITUTE

berkukuh bahwa hubungan seks antar saudara kandung adalah perbuatan amoral. Kata Haidt: “Eksperimen ini menunjukkan, bagaimana orang-orang mengajukan alasan [mengapa hubungan seks di luar nikah itu salah].” Ketika alasan mereka dipatahkan, mereka memberikan alasan lain. Saat alasan baru ini kembali dipatahkan, mereka pun mencari alasan lain lagi.” Mereka mempunyai banyak alasan: mereka mengeluarkan daftar justifikasi moral mereka. Pertahanan rasional ini dipaksakan untuk menghentikan perdebatan. Mereka mulai mengatakan, misalnya, “Berhubungan seks dengan selain suami-isteri itu salah” atau “Menjijikkan, itulah alasannya!” Haidt menyebut kondisi mental mereka sebagai “akrobat moral” (moral dumbfounding). Mereka tahu bahwa perbuatan itu secara moral salah -hubungan seks antara adik clan kakak itu jorok sekali- tetapi tak seorang pun secara rasional bisa mempertahankan penilaian moral mereka.

Skenario sederhana tentang hubungan seks adik-kakak ini membuktikan dua proses mental yang terpisah ketika kita membuat keputusan moral. Otak emosional menciptakan keputusan moral, dan kemudian menentukan apa yang salah dan yang benar. Dalam kasus Julie dan Mark, otak emosional menolak untuk percaya bahwa hubungan seks adik-kakak diizinkan secara moral, betapa pun banyak alat kontrasepsi yang dipakai. pihak lain, otak rasional menjelaskan keputusan moral tersebut. Otak rasional memberikan alasan-alasan, tetapi semua alasannya muncul setelah keputusan moral itu diambil, setelah faktanya terjadi.

Hal ini yang menyebabkan mengapa psikopat sangat berbahaya: mereka tak mempunyai emosi yang berfungsi sebagai pembimbing pertama keputusan moral. Otak mereka mempunyai ruang kosong yang berbahaya, yang seharusnya diisi oleh perasaan. Bagi orang-orang psikopat dosa selalu bersifat intelektual, tak pernah emosional. Kesudahannya, psikopat hanya memiliki pengacara rasional di dalam kepalanya, yang bertugas menjustifikasi semua perbuatannya. / 5 /


Klub Sains Freedom Institute

Psikopat berbuat jahat sebab emosinya tak pernah melarangnya.

Keputusan moral merupakan jenis keputusan yang unik. Seperti bila kita sedang memilih-milih coklat terbaik di pasar swalayan, sebenarnya kita sedang berusaha memaksimalkan kesenangan kita sendiri. Hanya diri kitalah yang dipertimbangkan; kesenangan kitalah yang coba kita puaskan. Di sini, egoisme (selfishness) menjadi sikap ideal. Kita mendengarkan sel-sel yang gugup di orbitofrontal cortex yang memberitahu kita apa sesungguhnya keinginan Anda.

Akan tetapi, ketika kita sedang membuat keputusan moral, sikap egosentris ini menjadi bumerang. Keputusan moral harus mempertimbangkan orang lain. Kita tidak dapat berlaku rakus dan kasar atau marah tidak karuan; itulah resep untuk menghindari kejahatan dan penjara. Berbuat baik berarti memperhitungkan orang lain, menggunakan otak emosional untuk membaca emosi-emosi orang lain. Egoisme mesti diimbangi dengan altruisme (selflessness). Evolusi Otak Menghasilkan Altruisme Ditinjau dari sudut evolusioner, evolusi moralitas ini memerlukan seperangkat mesin pembuat keputusan yang sama sekali baru. Otak manusia harus menumbuhkan struktur-struktur baru yang akan mencegahnya dari perbuatan-perbuatan yang menyakiti orang lain. Bukannya terus menerus mencari kesenangan sendiri, otak mesti makin peka terhadap penderitaan dan kemalangan orang lain. Struktur-struktur saraf baru yang ditumbuhkan ini merupakan hasil adaptasi biologis terbaru. Manusia mempunyai sirkuit antarsel otak - setiap mamalia menggunakan sistem dopaminnya - tetapi sirkuit moral hanya ditemukan pada primata-primata yang kehidupan sosialnya maju. Manusia, tentu saja, merupakan primata yang kehidupan sosialnya paling maju.

/ 6 /


FREEDOM INSTITUTE

Cara paling baik dalam mempelajari sirkuit-sirkuit otak yang mengurusi moralitas adalah memakai alat pemindai otak (MRI fungsional atau PET Scan) pada saat orang-orang sedang membuat keputusan moral. Ini juga yang dilakukan dalam eksperimen yang dipimpin oleh pakar neurosains Joshua Greene dari Universitas Harvard pada tahun 2007. Greene mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang bus listrik yang lepas kendali, seorang lelaki bertubuh besar, dan lima pekerja pemelihara jalan. (Skenario ini barangkali terasa janggal, tetapi sebenarnya dibuat berdasarkan sebuah teka-teki filsafat yang terkenal.) Skenario pertama sebagai berikut: Anda menyopiri sebuah bus listrik yang tak bisa dikendalikan lagi. Remnya rusak. Busnya mendekati simpangan jalan dengan kecepatan tinggi. Apabila Anda tak berbuat sesuatu, busnya akan berbelok ke kiri dan menabrak lima orang pekerja yang tengah memperbaiki jalan bus. Kelima pekerja itu akan mati. Namun, bila Anda membelokkannya ke kanan-Anda harus bekerja keras untuk memutar stirnya-busnya menabrak seorang pekerja. Apa yang akan Anda lakukan? Apakah Anda akan membelokkan busnya ke kanan? Sembilan puluh lima persen responden setup untuk memelokkan busnya ke kanan karena diperbolehkan secara moral. Keputusan ini hanyalah hasil perhitungan matematika sederhana: lebih baik membunuh satu orang daripada lima orang. Sebagian filsuf moral bahkan berpendapat bahwa tidak membelokkan busnya ke kanan adalah perbuatan amoral, sebab bus yang berbelok ke kiri akan membunuh 4 orang lebih banyak. Tapi, bagaimana kalau skenarionya begini:

Anda berdiri di jembatan penyeberangan di atas jalur bus listrik. Anda melihat sebuah bus listrik yang lepas kendali meluncur cepat ke arah lima orang pekerja yang sedang memperbaiki jalus bus. Kelima orang itu akan mati tertabrak bila / 7 /


Klub Sains Freedom Institute

busnya tak dapat dihentikan. Di sebelah Anda di jembatan penyeberangan, berdirilah seorang lelaki yang tubuhnya amat besar. Dia bersandar di pagar jembatan melihat bus yang meluncur deras. Apabila Anda mendorong tubuhnya, dia akan jatuh ke jalur bus. Oleh karena tubuhnya amat besar, dia dapat menahan laju busnya sehingga busnya tidak akan menabrak lima orang pekerja tadi. Apakah Anda akan mendorong lelaki bertubuh besar itu? Atau Anda akan membiarkan lima orang pekerja mati?

Skenario-skenario kejam ini berakhir dengan hasil yang sama: satu orang harus mati untuk menyelamatkan lima orang. Apabila keputusan-keputusan etis sepenuhnya rasional, Anda akan mengambil tindakan yang sama dalam kedua situasi itu: membelokkan busnya ke kanan dan mendorong si lelaki bertubuh besar. Namun, tak seorang pun berinisiatif untuk mendorong jatuh si lelaki bertubuh besar. Keputusan-keputusan tersebut membuahkan hasil yang sama, tetapi satu keputusan moral dan satu lagi pernbunuhan. Menurut Green lagi, mendorong jatuh si lelaki bertubuh besar terasa salah sebab pembunuhannya bersifat langsung: Anda menggunakan tubuh Anda untuk melukai tubuhnya. Greene menyebutnya sebagai situasi moral Sebaliknya, ketika membelokkan busnya ke kanan, Anda tak secara langsung melukai orang lain, Anda hanya memutar stir busnya; kematiannya terasa tak langsung. Ini dinamakan keputusan moral impersonal.

Apa yang membuat eksperimen pikir ini menarik adalah bahwa pembedaan moral yang tak begitu jelas itu - antara keputusan personal klan keputusan impersonal - tertanam secara alamiah di dalam otak. Apa pun budaya atau agama kita, dua skenario bus listrik yang berbeda itu memicu pola-pola aktivasi yang berlainan. Pada skenario pertama, ketika responden ditanya apakah busnya akan dibelokkan ke kanan, mesin pembuat keputusan rasional menjadi aktif. Jaringan daerah-daerah otak menilai berbagai opsi, mengirim keputusannya ke prefrontal cortex, dan kemudian responden memilih opsi yang paling bagus. Otaknya dengan cepat tahu bahwa lebih baik membunuh satu orang daripada lima orang. / 8 /


FREEDOM INSTITUTE

Akan tetapi, ketika responden ditanya apakah dia akan mendorong si lelaki bertubuh besar jatuh ke jalur bus listrik, yang aktif adalah jaringan daerahdaerah otak lainnya. Daerah-daerah otak yang berwarna abu-abu-superior temporal sulcus, posterior cingulate, dan medial frontal gyrus - bertugas menafsirkan pikiran dan perasaan orang lain. Hasilnya, responden itu otomatis membayangkan bagaimana perasaan si lelaki bertubuh besar yang malang saat dia jatuh dan mati tertabrak busnya. Responden itu membuat simulasi yang sangat hidup dalam pikirannya dan berkesimpulan bahwa mendorong jatuh si lelaki adalah sebuah kejahatan besar, meskipun tindakan tersebut menyelamatkan lima nyawa lain. Responden itu tak dapat menjelaskan keputusan moralnya -pengacara batinnya bingung dengan inkonsistensi ini - tetapi dia tetap merasa bahwa mendorong jatuh orang lain itu adalah perbuatan yang salah. Cerita-cerita evolusi Darwinian sering kali menunjukkan amoralitas seleksi alam - kita semua adalah makhluk Hobbesian yang kejam dan didorong oleh gen-gen egois untuk mempertahankan hidup - tetapi realitas psikologis kita sebenarnya tak sekejam itu. Kita bukan malaikat, tetapi juga bukan hominid yang bejat. “Nenek moyang primata kita,” tulis Greene, “mempunyai kehidupan sosial yang kuat. Mereka membangun mekanisme-mekanisme mental untuk mencegah perbuatan-perbuatan jahat yang mungkin ingin mereka lakukan. Moralitas primata awal ini tak mengenal, misalnya, caracara untuk menghindari pajak, tetapi mengenal perbuatan-perbuatan seperti mendorong orang lain ke jurang.” Sebagaimana kata Greene, pelanggaran moral personal dapat diistilahkan dengan “aku menyakitimu” sebuah konsep yang cukup sederhana untuk dimengerti oleh primate. Konsep itu mendurhakai Tuhan. Orang-orang yang beriman kepada Tuhan meyakini bahwa Tuhan-lah yang menciptakan aturan moral. Aturan moral itu, misalnya, diberikan kepada Nabi Musa di Gunung Sinai, perintahperintah yang tertulis di batu. (Dostoyevsky berkata, “Jika tiada Tuhan, kita akan tersesat dalam kekacauan moral. Segalanya serba dibolehkan.”) Namun, pandangan ini sebetulnya berawal jauh sebelum itu. Emosi-emosi moral / 9 /


Klub Sains Freedom Institute

telah ada jauh sebelum Nabi Musa. Emosi-emosi itu merupakan bawaan otak primata. Agama sekadar mendorong manusia mengodifikasi lembagalembaga moral, menerjemahkan etika evolusi ini jadi sistem hukum yang jelas. Pengambilan keputusan moral seringkali berujung pada rasa simpati. Kita menampik kekerasan karena tahu bahwa kekerasan itu melukai orang lain. Kita memperlakukan orang lain dengan balk karena tahu bagaimana rasanya jika kita diperlakukan dengan buruk.

Kita menolak penderitaan lantaran dapat membayangkan betapa tidak enak kalau kita menderita. Pikiran kita secara alamiah mengikat diri kita, sehingga mau tak mau kita menuruti nasihat Lukas: “Dan jika kalian ingin orang lain berlaku baik pada kalian, berlaku baiklah pada orang lain.�

Kemunculan perasaan simpatik sesungguhnya tak sesederhana yang dibayangkan. Pada mulanya, sebelum kita bersimpati pada perasaan orang lain, kita harus memutuskan apa yang seclang orang lain rasakan. Artinya, kita harus mengirangira apa yang sedang terjadi dalam pikiran orang lain, sehingga otak emosional kita dapat meniru aktivitas pada otak emosional orang itu. Adakalanya, membaca pikiran orang lain dilakukan dengan rnenafsirkan ekspresi wajahnya. Apabila melihat orang yang memejamkan matanya dan menggeretakkan giginya, kita otomatis berkesimpulan bahwa amygdalanya aktif, dia pasti tengah marah. Andai otot-otot wajahnya melebar - ini yang terjadi ketika tersenyum - kita menganggapnya sedang merasa senang. Kita tentu saja tak selalu dapat membaca ekspresi wajah orang lain. Saat berbicara di telepon atau menulis surat elektronik atau memikirkan orang nun jauh di sana, kita terpaksa membaca ekspresi wajahnya dengan simulasi, dengan membayangkan apa yang akan kita rasakan dalam situasi yang dihadapi orang lain itu.

Adam Smith, filsuf abad ke-18, adalah tokoh pertama yang menjelaskan fenomena bahwa moralitas dibentuk oleh emosi. Walaupun Smith dikenal karena buku klasiknya tentang ekonomi, The Wealth of Nations, dia / 10 /


FREEDOM INSTITUTE

sendiri justru paling senang dengan karyanya yang lain, The Theory of Moral Sentiments, hasil risetnya yang mendalam perihal psikologi moralitas. Sebagaimana sahabatnya, David Hume, Smith percaya bahwa keputusankeputusan moral manusia dibentuk oleh insting-insting emosionalnya. Manusia sebenarnya piawai untuk membuat alasan-alasan irasional.

Menurut Smith, sumber dari emosi moral adalah- imajinasi, yang digunakan sebagai cermin oleh manusia untuk membaca pikiran orang lain. (Cermin, benda rumah yang sudah populer pada zaman Smith, merupakan metafor penting dalam tulisannya tentang moralitas.) “Lantaran kita tak mengalami apa yang orang lain rasakan;’ tulis Smith, “kita tak tahu bagaimana situasinya memengaruhi mereka, kecuali dengan menempatkan diri kita dalam situasi mereka untuk merasakan perasaan mereka.”20 Proses pencerminan ini menetaskan simpati instingtif pada perasaan orang lain - Smith menamakannya fellowfeeling - yang mendasari keputusan-keputusan moral. Insting simpatik ini juga menjadi salah satu pendorong kelahiran altruisme, yang tampak ketika orang-orang bertindak tidak mementingkan diri sendiri, seperti bersedekah atau membantu orang lain. Dalam sebuah penelitian tahun 2009 yang hasilnya dipublikasikan di Nature Neuroscience, ilmuwan-ilmuwan di Universitas Duke memindai otak manusia yang sedang menonton video game sederhana di komputer. Responden diberitahu bahwa komputer bermain game itu dengan tujuan tertentu - untuk memperoleh uang - otak para responden otomatis memandang komputer seolah sebagai “manusia yang mempunyai keinginan” juga perasaan dan tujuan (0tak manusia ingin sekali mengetahui pikiran orang lain sehingga sering kali menganggap benda-benda nonmanusia, seperti komputer dan hewan, mempunyai jiwa.) Dalam eksperimen itu, para ilmuwan dapat melihat aktivitas di superior temporal sulcus dan daerahdaerah khusus lain yang membantu manusia mengira-ngira dan bersimpati pada perasaan orang lain. Responden tahu bahwa mereka sedang menonton komputer, dan mereka hanya dapat membayangkan apa yang komputer “rasakan”. / 11 /


Klub Sains Freedom Institute

Mengapa perilaku altruistik muncul? Sebab, berperilaku altruistik itu terasa enak. Otak manusia dirancang sedemikian rupa sehingga bersedekah itu menyenangkan, bersikap baik kepada orang lain itu membuat kita merasa nyaman. Dalam sebuah eksperimen pemindaian atau pencitraan otak yang dilakukan tahun 2008, responden yang jumlahnya beberapa puluh orang diberi uang 128 dolar AS dan kemudian dipersilakan untuk menabung atau menyumbangkan uangnya. Pusat sirkuit pahala di otak orang-orang yang memilih untuk menyumbangkan uang mereka menjadi aktif, dan mereka merasa senang atas kedermawanan mereka. Bahkan, sirkuit pahakla di otak beberapa orang responden lebih aktif ketika mereka bertindak altruistik ketimbang ketika mereka menerima hadiah uang tunai. Dari perspektif neurosains, sejatinya memberi lebih baik ketimbang menerima.

Cara lain yang dipakai oleh ahli-ahli neurosains untuk mempelajari otak adalah meneliti apa yang sedang berlangsung di otak manakala terdapat kelainan. Misalnya, mereka mempelajari peran penting emosi moral dengan meneliti para psikopat, mereka mempelajari peran pokok dopamin dengan meneliti para penderita penyakit Parkinson; dan tumor otak di frontal lobe membantu mereka mengetahui inti dari rasionalitas. Cara ini barangkali tampak kurang etis -penderitaan dijadikan alat penelitian - tetapi sebetulnya sangat efektif. Otak yang rusak membantu kita memahami bagaimana cara kerja otak yang normal.

Saintis telah mengetahui banyak hal perihal sirkuit-sirkuit simpatik pada otak manusia dengan meneliti penderita autisme. Sewaktu dr. Leo Kanner pertama kali mendiagnosis sebelas anak autis pada 1943, dia menyebut sindrom ini sebagai salah satu “kesendirian yang ekstrem” (extreme aloneness). (Aut dalam bahasa Yunani berarti “diri” [self], dan autisme diartikan sebagai “keadaan dalam diri sendiri’:) Satu dari setiap 160 orang menderita autisme, yang membuatnya terisolasi secara emosional, tak mampu melakukan banyak / 12 /


FREEDOM INSTITUTE

interaksi sosial, yang mudah dilakukan oleh sebagian besar orang. Psikolog Universitas Cambridge, Simon Baron-Cohen, menyebut penderita autisme sebagai “buta otak� (mind-blind). Para autis sulit sekali menafsirkan emosi dan keadaan mental orang lain. Para saintis sudah sejak lama curiga bahwa autisme adalah penyakit perkembangan otak. Autisme terjadi ketika korteks tak bersambungan dengan benar pada tahun pertama kehidupan. Sekarang sudah diketahui bahwa salah satu daerah otak yang rusak pada autis adalah sekelompok kecil sel yang dinamakan neuron cermin (mirror neuron). Dinamakan demikian karena neuron-neuron ini mencerminkan gerakan orang lain. Apabila kita melihat orang lain tersenyum, neuron cermin kita berpendar seolah-olah kita juga sedang tersenyum.

Sama halnya ketika kita melihat orang lain cemberut, menyeringai, atau menangis. Sel-sel tersebut merefleksikan ekspresi wajah orang lain. Giacamo Rizzolatti, salah seorang ilmuwan yang menemukan neuron cermin, menyatakan, “Neuron-neuron cermin memungkinkan kita menangkap pikiran orang lain bukan dengan pena laran konseptual, melainkan dengan simulasi langsung, dengan merasakan, bukan dengan memikirkan.� Kemampuan untuk membuat keputusan moral bersifat bawaan lahir - sirkuit simpatik itu bawaan, paling tidak pada kebanyakan manusia - tetapi kemampuan tersebut dapat berkembang bila memperoleh pengalaman yang

tepat. Kalau semuanya berjalan sesuai dengan rencana, potensi insting-insting simpatik pada otak manusia akan berkembang secara alamiah.

Akan tetapi, apabila terjadi sesuatu yang salah dalam proses perkembanganya - bila sirkuit-sirkuit yang mendasari pengambilan keputusan moral tak pernah tumbuh dewasa - efeknya bisa parah. Adakalanya, seperti autisme, masalahnya bersifat genetik. (saintis memperkirakan 80-90% autisme disebabkan oleh faktor keturunan, dan ini menjadikan autisme sebagai salah satu kondisi neurologis yang paling genetis [inheritable].) Namun, faktor lain / 13 /


Klub Sains Freedom Institute

yang menyebabkan kerusakan permanen pada otak adalah kekerasan pada anak. Ketika anak-anak dihina, diabaikan, atau tak disayangi, otak emosional mereka melengkung. “Program� biologis yang memungkinkan manusia bersimpati pada orang lain menjadi mati.

Kekejaman mambuat kita kejam. Kejahatan membuat kita jadi jahat. Itulah lingkaran setan.

/ 14 /


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.