[Instant]
1
2
3
Instant
4
contributors
Aksi Gila Agung Prasetya Nugraha Angga Caesar Framujiyanto Bulletos Cecilia Gandes Christmastuti Destriyani Elfinda Taufik Katharina Rakhmavika Meysia Kurniawan Sharen Angelina Timami Yestha
5
T E N TA N G B U D AYA I N S TA N 6
Di suatu siang hari yang terik di tahun awal tahun 1940an, seorang bocah perempuan berusia 3 tahun bertanya kepada ayahnya mengapa dia tidak dapat melihat hasil foto yang diambil ayahnya secara langsung dan terus bertanya mengapa. Ayahnya, yang dikenal sebagai Edwin Land merenungkan pertanyaan buah hatinya dan sebuah ide tercetus dalam pikirannya. Land kemudian memutuskan untuk mengembangkan kamera Polaroid, produk revolusioner dari fotografi instan, proses satu langkah untuk menghasilkan foto jadi dalam waktu satu menit setelah mengambil gambar. Seperti sekarang ini, kita semua - tidak peduli seberapa muda, memiliki kenangan tentang Polaroid yang tertanam dalam kenangan kita, bahkan generasi yang lebih muda sekali pun tahu bahwa gaya bingkai dan filter Instagram, banyak yang menyalin hasil dari kamera polaroid. Sangat mengherankan bahwa kamera instan yang diciptakan tak lama setelah Perang Dunia II, masih memiliki daya tarik hingga kini, 80 tahun kemudian. Tapi ketika berbicara budaya “instan” yang sesungguhnya, Polaroid memang menjadi pelopor fotografi instan,
tetapi berjuang untuk tetap relevan berkat kenyamanan kamera smartphone dan generasi instan.
berdasarkan lokasi, seksualitas, agama, hobi, dan betapa putus asanya mereka mencari pasangan.
Jika kita memikirkannya, perkembangan signifikan dalam teknologi selama 20 tahun terakhir ini mungkin telah membuat generasi ‘saya menginginkannya sekarang’, budaya ketidaksabaran dan kepuasan instan.
Pusat Penelitian Pew yang berbasis di AS meringkas penelitian baru-baru ini tentang orang-orang berusia di bawah 35 tahun dan bahaya kehidupan mereka yang terhubung teramat sangat dengan teknologi informasi dengan penjelasan yang seperti peringatan obat resep dari dokter:
Kepuasan instan adalah kebutuhan untuk mengalami kepuasan tanpa penundaan atau menunggu apa pun. Seperti yang kita semua tahu, menunggu bisa sangat sulit dan ketika orang tidak mendapatkan apa yang mereka inginkan, reaksi psikologisnya adalah kecemasan. Dengan demikian, permintaan untuk hasil instan merembes ke setiap sudut kehidupan kita. Saat ini, aplikasi smartphone dapat menghilangkan penantian taksi atau meja di restoran yang trendi. Film dan acara TV mulai banyak dinikmati secara streaming dan wirausaha berailih ke layanan pengiriman pada hari yang sama. Semakin kita memikirkannya, apa pun bisa hadirkan secara instan: makanan, bunga, perabotan, cucian bersih, jawaban instan di Google, dan bahkan orang-orang. Yah, tidak secara harfiah orang, tetapi dengan aplikasi seperti Tinder, Grindr dan sebagainya, ada 50 juta profil sekarang di ujung jari kamu, menunggu kamu untuk memfilternya
“Efek negatif termasuk kebutuhan untuk kepuasan instan dan kehilangan kesabaran.” Jika kita menggali lebih dalam ide tentang kepuasan instan ini, itu tidak memberikan kepuasan yang langgeng. Seluruh tujuannya adalah untuk menggantikan kesenangan yang dalam dari kenikmatan yang dinikmati dengan kesenangan instan yang cepat. Orang akan menikmati deru ponsel mereka berbunyi dengan pesan teks baru, tetapi perasaan kenikmatan itu menghilang dengan cepat setelah momen itu lewat. Tidak ada yang salah dengan keinginan atau kebutuhan akan suatu objek, pengalaman, atau orang dalam waktu tertentu, tetapi penting juga untuk dapat menahan diri saat diperlukan. Karena hal terbaik dalam hidup adalah lebih dari satu klik.
7
8
Aksi Gila
9
10
11
12
Angga Caesar Framujiyanto
13
14
15
16
KE NC A N DA R I N G DAN KI SA H C I N TA YANG HI L A N G MA K N A T EKS: E L FINDA TAUF I K ILLUSTRATI ON: BUL L ETOS
Kalau dipikir-pikir, mungkin adalah sebuah hal konyol ketika saya dan jutaan warga dunia lainnya menggantungkan urusan cinta kepada sebuah aplikasi gratisan yang menjanjikan seorang belahan jiwa dan berharap sang jodoh akan tiba secara cuma-cuma dari gawai seukuran telapak tangan. Geser ke kiri dan ke kanan, semudah itu kini menilai ratusan orang asing yang berpotensi untuk jadi sang jodoh kelak. Tanpa perlu pikir panjang, tidak usah buang-buang waktu, cukup mudah menentukan suka atau tidak suka. Manusia memang se-judgemental itu, semua dapat kita nilai dan pilih seenak jidat tanpa perlu repot-repot mengenal para calon kekasih itu terlebih dulu, bahkan berhasrat untuk mengenal pun tidak. Semua bisa langsung dinilai berdasarkan data yang sangat ala kadarnya: wajah, umur, pekerjaan yang tertera—itu pun kalau ada, dan foto-foto terbaik yang dipajang dengan narsisnya. Percayalah, beberapa tahun terakhir saya habiskan waktu swipe sana-sini hanya untuk mengisi kebosanan. Semua niat untuk kenalan akan luntur ketika matched dengan seseorang di sana, apalagi ketika menemukan fakta bahwa mereka tidak menarik-menarik
17
amat karena kalimat pertama yang mereka lontarkan hanya sekadar perkara tinggal dan bekerja di mana.
18
Lalu apakah salah berharap sesuatu yang besar dan wah akan terjadi dengan cara instan dan mudah? Berharap dapat jodoh padahal usahanya hanya sebatas geser jempol ke kiri dan kanan. Saya tidak bilang bahwa kencan daring mutlak untuk orangorang yang putus asa alias hopeless. Well, in some part, maybe it is hopeless, but we also know that we use our phone and internet a lot on a daily basis. We even talk more on the internet than we do in our real lives, jadi saya rasa tidak ada salahnya mencari calon pujaan hati di internet. Toh, kata orang jodoh itu jorok karena bisa ditemukan di mana saja, termasuk dunia maya. Manusia adalah makhluk dinamis, adaptif terhadap perubahan, termasuk dalam urusan mengikuti perkembangan zaman. Entah itu baik atau buruk, teknologi yang maju saat ini sedikit banyak telah mengubah cara manusia menjalani hidupnya: bekerja, bersosialisasi, dan soal mencari jodoh. Memang ada fakta bahwa banyak yang menemukan jodohnya dan menikah dengan seseorang yang mereka temukan di internet, melalui aplikasi kencan daring, media sosial, dan semacamnya-dan semacamnya. Bahkan seorang teman dari kantor lama saya memutuskan menikahi istrinya saat ini setelah bertemu di Tinder dan melakukan penjajakan selama kurang dari setahun. Namun, itu semua adalah sisi
indah dari balada pencarian jodoh di dunia maya. Jika itu terjadi padamu, maka beruntunglah kau. Sisi buruknya? Sepertinya lebih banyak. Mulai dari munculnya fenomena ghosting— tiba-tiba muncul dan tiba-tiba hilang seperti hantu, hingga kisah kencan daring mengerikan lainnya yang bisa dengan mudah ditemukan di internet. Kencan daring yang populer beberapa tahun terakhir tanpa disadari telah membentuk pandangan dan pola pikir manusia terhadap definisi hubungan itu sendiri. Kencan daring memberikan begitu banyak kemudahan dan pilihan; seseorang akan diberikan pilihan berupa ratusan perempuan cantik dan lelaki tampan yang diidam-idamkan seperti yang ada dalam khayalan. Hal ini membuat banyak orang menjadi bersikap cukup “seenaknya”, semudah dan seenak geser ke kanan dan kiri tentunya. Untuk apa susah payah berusaha kalau semuanya sudah sangat mudah sejak awal? Pendekatan dengan cara-cara instan pun dilakukan, bertemu sekali, dua kali, dan ketika ada sesuatu yang dirasa merepotkan lebih baik tinggalkan saja, lalu silakan buka kembali aplikasi kencan daringmu dan move on ke pilihan selanjutnya. Hasrat untuk mendapatkan jodoh idaman dengan cara mudah dan instan seperti ini membuat kisah cinta menjadi kehilangan makna. Tidak benar-benar ada kedekatan emosi yang mendalam, atau untuk sekadar mencari tahu sang calon pasangan suka makan di mana dan apa warna favoritnya, karena sebelum tahu apa saja kesukaan dan ketidaksukaannya, semuanya sudah usai begitu saja. Seseorang begitu mudahnya berubah pikiran, menyerah, dan meninggalkan sebelum pernah benar-benar berusaha untuk mempertahankan. As if meeting someone through an app make them less of a human, so it’s okay to hurt each other’s feelings and leave when things get inconvenient. Such an ugly truth. Faktanya, seinstan apapun, mie instan saja tetap butuh proses dalam penyajiannya. Lalu apakah ‘harga’ yang harus dibayar untuk mendapatkan jodoh kini lebih murah dari sebungkus mie instan?
19
20
A gu n g Nu gra h a
Duduk saling bertatap muka sambil menyedot kopi susu bersama teman Tinder .
21
Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?
22
berteman sampai kapan?”
Kita nggak tahu
23
kita bakal
24
“Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?”
“Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?”
“Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?” “Kita nggak tahu kita bakal berteman sampai kapan?”
25
26
Timami Yestha
27
28
29
30
31
32
Sharen Angelina
Fotografer: Sharen Angelina Fahion Stylist: Vanessa Violeta Model: Kelly Kenina (MCmodelsmanagement) Makeup: Vanessa Sonia Hair: Ratih
33
34
35
Fotografer: Sharen Angelina Fahion Stylist: Vanessa Violeta Model: Kelly Kenina (MCmodelsmanagement) Makeup: Vanessa Sonia Hair: Ratih
36
Fotografer: Sharen Angelina Fahion Stylist: Vanessa Violeta Model: Belvia Helena Sachiko (R2Modelsmanagement) Makeup: Vanessa Sonia
37
by : M ey s i a K u r n i aw a n
38
39
40
41
42
M E NJA D I VI R A L : CA R A I NSTA N DAPAT I P O P UL A R I TA S T EXT: C HRISTMAS T UT I DES T R I YA N I COMIC : KATHRINN A R A K H M AV I K A
Karin Novilda atau yang biasa dikenal sebagai Awkarin awalnya hanyalah anak muda biasa. Namanya kemudian menjadi sorotan ketika ia sering mengunggah kehidupan percintaannya di media sosial. Namanya semakin populer ketika ia putus dengan sang kekasih dan membuat sebuah video yang dilengkapi dengan airmata kesedihannya. Video tersebut pun viral. Namanya Awkarin semakin melambung di tengah kontroversi dari video ataupun yang ia lakukan sebelumnya. Atau yang baru-baru ini menjadi viral, yakni sebuah utas yang menceritakan pengalaman horor ketika melakukan KKN di sebuah desa. Utas tersebut menarik perhatian banyak orang. Di-retweet ribuan kali. Disukai ribuan kali. Dibahas berkali-kali. Bahkan dari sebuah utas melahirkan utas baru lainnya. Tak lama, utas tersebut pun menjadi sebuah buku dan film. Meski kini pembicaraan tersebut mulai surut, utas ini menjadi contoh lain, selain Awkarin, tentang menjadi viral dan popularitas yang instan.
43
Setiap hari, setiap saat, di tengah gempuran konten di media sosial akan selalu ada satu dua hal yang menjadi viral. Kemudian hal tersebut membuat siapapun yang terlibat atau mengikuti turut menjadi populer. Bahkan mereka yang berada di ‘seberang’ dari segala yang viral pun turut menuai hasil dengan menjadi populer. Dan yang menariknya adalah, segala hal yang viral, yang dibicarakan oleh banyak orang di media sosial, justru mendapatkan tempat yang besar di masyarakat. Konten viral ditayangkan di televisi, kemudian sosok yang viral diundang ke talkshow di TV, banyak artikel yang mengulas, peningkatan pengikut yang gila-gilaan, pasang tarif untuk setiap unggahan, dimintai foto di tempat umum, dsb. 44
Popularitas datang lebih cepat dibandingkan pada mereka yang benar-benar berusaha keras. Tentu nggak ada yang salah. Tapi bukan berarti hal tersebut pun kemudian menjadi benar. Orang bijak di internet bilang kalau semua hal memiliki masa berlakunya. Begitu juga dengan konten viral serta popularitas yang mengikutinya. Nggak sedikit dari yang viral hanya jadi populer sebentar saja. Nama yang cepat melambung, namun juga cepat terlupakan. Instan! Segala yang viral akan tergantikan dengan hal viral baru lainnya. Begitu terus, layaknya roda yang berputar. Pada akhirnya, memilih menjadi viral dan mendapatkan popularitas secara instan atau tidak kembali pada diri sendiri. Meski di muka bumi ini tak ada yang benar-benar abadi, ku kira kita perlu berpikir mengenai popularitas yang ingin kita raih. Apakah ia berdampak baik dan besar untuk sekitar? Ataukah hanya memenuhi ego sendiri?
Puisi C EC I L I A GA N DH ES
Akte Kelahiran Tak perlu ke kantor kelurahan. Nama lengkap, tanggal lahirku, berat tubuh, serta panjang tubuhku ada di caption.
Warisan Setelah kelahiran, aku menerima warisan negara: utang dan kejahatan-kejahatan korupsi. Setelah kelahiran, aku menerima hadiah orangtua: akun Instagram dengan tagar bernama.
45 Nama Maya “Ibu, apakah aku sudah bernama?” “Belum. Tapi, akun Instagram milikmu sudah kuberi nama.”
Follower Ibu “Kenalkan, Nak. Ini Tante Orin.” “Halo, Tante Orin… Teman kantor Ibu?” “Bukan. Tante Orin ini follower ke-1.020. Sering banget kasih komentar di foto-foto yang ada kamu.”
46
47
Instant
48