4 minute read

Dilema Antara Ujaran Kebencian (Hatespeech) dan Kebebasan Berpendapat

dalam Kampanye Politik di Media Sosial

Fenomena ujaran kebencian (hate speech) dalam kampanye politik merupakanhalyanglumrahditemui dalamkontestasipemilihan umum, baik dalam skala daerah ataupun nasional. Melihat pelaksanaan pilkada dari tahun 2017–2020,terdapatpeningkatankasus ujaran kebencian (hate speech) khususnya dalam media massa. Fenomenahatespeechdalamkampanye politik khususnya pada jejaring media sosial menjadi marak dilakukan karena media massa acap kali menjadi rujukan bagi audiens untuk menentukan pilihan politiknya.

Advertisement

Penggunaan media sosial sebagai ajangkampanyetentunyatidakterlepas dari era digitalisasi yang membuat kehidupan manusia lebih terhubung melaluiinternet,khususnyadalammedia sosial.Olehkarenaitu,tidakheranmedia sosialbanyakdigunakanolehmasyarakat sebagai rujukan untuk menentukan pilihan politik. Jadi, dapat dikatakan bahwa media sosial menjadi sarana kampanyeyangcukupmenjanjikanbagi politikusdalammenjajakanvisimisinya.

MenurutUNESCO,hatespeech merupakanbentukdariujarankebencian yang merujuk kepada tindakan diskriminatif,kekerasan,danpermusuhan terhadapkelompoktertentu,termasukdi dalamnya pidato yang mempengaruhi, mengancam,dan mendorong tindakan kekerasan.

Sejalan dengan hal tersebut, Kominfo mendefinisikan hatespeech sebagai bagian dari marginalisasi yang dilakukan oleh seseorang untuk menjadikan seseorang atau kelompok tertentumemilikicitrayangburuk.Dapat dikatakanbahwatujuandarihatespeech ini ialah mempengaruhi pandangan orang lain terhadap suatu individu atau kelompok tertentu, yang dalam hal ini akan menimbulkan citra buruk bagi individu/kelompok tersebut demi kepentingan pribadi.Dalam proses kampanye politik, hatespeechbanyak dilakukan oleh para politikus untuk menjatuhkan lawan politiknya. Sebut sajapadakampanyepilkadaDKIJakarta 2017 lalu yang kental akanhatespeech yangberkaitandenganisuSARAdanjuga politik identitas .

Dalam pilkada 2020 lalu, Kominfo menemukan 47 berita hoax yangtersebarkedalam602kontenyang terdapat di platform digital selama pemilihan kepala daerah 2020. Selain itu,Bawaslu RI merilis laporan pengawasan konten internet selama sebulan kampanye dan menerima 106 laporan kampanye negatif dan 32 isu hoaxyang bermuatan hate speech.

Penggunaanhatespeechdalam proses kampanye, khususnya dalam media sosial seolah menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa hate speech ini merupakan bagian dari kebebasan berpendapat warga negara dan dijamin dalam konstitusi. Normalisasi terhadap fenomena hate speechini menjadikan hatespeech tumbuh dan berkembang pada proses kampanyekhususnyadalammediasosial.

MenurutAlfertSchutz,tindakan manusia menjadi suatu hubungan sosial apabila manusia memberikan arti atau makna tertentu terhadap tindakan tersebut dan manusia lain memahami tindakan tersebut sebagai sesuatu yang penuh arti.

Pemahaman secara subyektif terhadapterhadapsuatutindakansangat menentukan terhadap keberlangsungan proses interaksi sosial (George Ritzer : 1980).Berangkatdaripenjelasantersebut, dapat dipahami bahwa hatespeech merupakan tindakan penuh arti dan memiliki tujuan, oleh sebab itu hate speechdapat dinilai sebagai hubungan sosial.

Tindakan individu yang mempunyai arti atau makna tersebut disebut sebagai intersubjektivitas. Intersubjektivitas ini berkaitan dengan cara orang bergaul. Cara pergaulan tersebut dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman masing- masing individu. hatespeechdalam kampanye politik ini menjadi salah satu hasil dari pengetahuan dan pengalaman individu tersebut dan berkemungkinan terjadi karena perilaku tokoh memberikan pengalaman buruk kepada dirinya dan banyak orang lain.

Hatespeechinijikadianalogikan bagaikan virus yang dapat menular kepada orang lain. hatespeechdapat menginspirasioranglainuntukmelakukan kekerasan, menyakiti orang lain, dan tindakannegatiflainnya.JeremyWaldron menjelakans PBB telah menuangkan aturanhukuminternasionalyangdiambil dari deklarasi universal HAM. Dalam aturan tersebut hatespeechmasuk ke dalam konteks fitnah atau ujaran kebencian yang dianggap sangat berbahaya karena memiliki peluang kekerasan, kebencian,merusak kebaikan di ranah publik, dan intimidasi diskriminasi.

Halyangpalingmendasardalam persoalan hatespeechpada kampanye politik dalam media sosial ini adalah kebebasan dalam berpendapat. Tak jarang dari calon kada, pendukung mereka, ataupun masyarakat beranggapan bahwa hate speech atauujarankebencianmerupakanbagian darikebebasanberpendapatyangdijamin olehkonstitusidanmerupakansalahsatu strategi untuk memenangkan kontestasi politik.

Hal ini membuat penggunaan hatespeechdalam kampanye pilkada di mediasosialmenjadisuatuhalyangbiasa atau normal terjadi. Normalisasi hate speechdalam proses kampanye pilkada ini tentunya akan membuat iklim dari kontestasi politik itu menjadi buruk dan melukaiartidarikebebasanberpendapat yang sesungguhnya.

Pada dasarnya, banyak faktor yang menyebabkan adanya kesalahpahaman yang terjadi di masyarakat mengenai makna dari hate speechini, salah satunya yaitu belum pahamnya masyarakat untuk menggunakanmediasosialdenganbaik. Perkembangan teknologi yang sangat cepatyangtidakdiimbangidenganliterasi yang cukup tentang bagaimana penggunaan media sosial yang baik menjadi hal mendasar dari munculnya penyalahgunaan media sosial sebagai sebagaiwadahuntukmenjatuhkanlawan politik. Kemunculan media sosial tidak hanya menjadi sarana yang menghubungkan antar manusia, tetapi juga mengakibatkan semakin mudah tersebarnyahatespeech

Faktor lainnya yaitu adanya penyalahgunaan prinsip kebebasan berpendapat(freedomofspeech).Dalam tradisinya, Floridi menyebutkan bahwa prinsipfreedomofspeechiniberasaldari negara-negara liberal yang memberikan kebebasan yang sebebas-bebasnya kepada masyarakatnya, termasuk di dalamnya untuk mengemukakan pendapat, menyalahkan orang-orang danmemujasebebas-bebasnya.Dengan adanya perkembangan teknologi dan dimulainya era digitalisasi, paham ini mulai diikuti negara-negara demokrasi dandisalahartikansertadigunakanuntuk menciptakanhatespeech.

Penyalahgunaan paham ini dapat dilihat dalam kampanye politik yangdilakukandalampilkada,Sebutsaja dalam pilkada DKI Jakarta tahun 2017. Dalam pilkada tersebut banyak isu hate speechyang berhembus, khususnya dalamisu-isuyangberhubungandengan agama dan mendiskreditkan salah satu paslon yang berlaga dalam kontestasi pilkada DKI 2017 tersebut. Isu agama merupakan isu yang paling sering dijadikansebagaitemahatespeechuntuk menjatuhkan salah satu paslon dalam pilkadaDKIJakarta2017 ini.

Srategikampanyetersebutdapat dikatakan berhasil.Dalam proses kampanyesebenarnyasah-sahsajauntuk menggunakan hak kebebasan berpendapat dalam berorasi guna menyakinkan pemilih, sebab hak kebebasan dalam berpendapat tersebut telahdijamindalamkonstitusiyaitupasal 28Eayat3yangberbunyi“Setiaporang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.Namun,haltersebutmenjadi salah dan melanggar aturan apabila hak kebebasan berpendapat tersebut digunakan untuk menjatuhkan lawan politikdalambentukujaranyangbersifat diskriminatif, provokasi, hasutan,dan hinaan kepada individu/kelompok tertentu.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dibawah kewenangan Kominfo dan Bawaslu untuk menekan kasus hate speech yang terjadi dalam kampanye pilkada di media sosial ini. Sebut saja dengan memastikan ruang digitalyangsehatselamamasakampanye dengan adanya UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) pasal 40 ayat 2yangberbunyi“Pemerintahmelindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguansebagaiakibatpenyalahgunaan informasi elektronik dan transaksi yang mengamankan ketertiban umum, sesuai ketentuan peraturan perundangundangan”.

Selain itu, dari pihak Bawaslu jugamenyediakanaplikasiGowasludan hotline melalui nomor whatsapp 08111414414,untukmelaporkandugaan pelanggaran tahapan kampanye pada pilkada serentak 2020 di media sosial.

Langkah lain yang dilakukan oleh

Bawaslu yang bekerjasama dengan

Kominfo yaitu melakukan takedown konten hatespeechdan meneruskan kepadatimcyber Namun, dalam pelaksanaannya cara-caratersebutterbilangbelumcukup efektifuntukmenekankasushatespeech yang ada dalam kampanye pilkada tersebut. Misalnya saja per 26 Oktober 2020 Bawaslu masih menemukan 106 kampanye negatif berupa ujaran kebencian. Sepekan menjelang hari pencoblosan pilkada serentak 2020, Bawaslu masih menemukan 122 kasus pelanggaran internet. Lain dari hal yang telah dijelaskan di atas, cara menekan hate speechdalam media sosial dalam masa kampanye dapat dilakukan melalui pemberian pemahaman yang jelas kepada masyarakat mengenai peletakan ujaran, ucapan, atau pernyataan yang dapat dikategorikan dalamhatespeech. Halinibisamenjadialternatifpemecahan hatespeechini dengan memberikan pemahamandanbatasanyangtepatagat masyarakat paham akan batasan hate speechdengan tetap menjamin hak kebebasan dalam berpendapat mereka. Setelah adanya pemahaman yang baik akan peletakan dan batasan dari hate speechtersebut,makaakanlebihbaikjika terdapat hukum yang tegas dalam menindak oknum- oknum yang masih melakukanhatespeechkhususnyadalam kampanyepemilubaikditingkatdaerah maupun nasional dalam media sosial.

Pada akhirnya dengan adanya hukum yang jelas dan tegas mengenai penggunaanhatespeechmasakampanye iniakanmenekankasushatespeechyang terjadi dalam kampanye pemilukada di mediasosial.Fenomenahatespeechyang ada di tengah kampanye pemilukada tentunyamenjaditantangantersendiridi negara demokrasi, dimana kebebasan berpendapat dijamin dalam pasal 28 E ayat3uud1945.

Akan tetapi, dengan adanya batasan dan peletakan yang jelas mengenai ukuran dari ucapan, pernyataan, ataupun ujaran yang dikategorikandalamhatespeech(ujaran kebencian) akan membuat masyarakat lebihpahamuntukbertindak,khususnya dalam kampanye pemilukada di media sosial.

Hak kebebasan berpendapat warganegaraakantetapterjamin.Selain itu,denganadanyahukumyangjelasdan tegas dalam menangani oknum yang masihmelanggarakanmenjadialternatif yang baik dalam menekan kasus hate speechdalam kampanye pemilukada mendatang.

*Penulis merupakan Mahasiswa Departemen Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Andalas

This article is from: