7 minute read

Khasanah Budaya

Next Article
Wawasan

Wawasan

Basmi Hama Burung dengan Penghalau Burung Otomatis Oleh : Indah Ariesta Gusra*

Bagi petani, burung menjadi salah satu ancaman saat menjelang musim panen padi atau sering disebut juga dengan masak susu. Petani seringkali dibuat kesal dengan hama yang satu ini. Hama burung merupakan salah satu hama utama pada tanaman padi yang hingga kini belum ditemukan cara pengendalian yang efisien. Pada umumnya, pengendalian yang dilakukan oleh petani terhadap serangan hama burung ini adalah secara manual atau tradisional, dimana para petani memasang paranet pada lahan persawahannya atau menggunakan tali yang terlebih dahulu dipasang dengan bendabenda yang mengeluarkan bunyi ketika digerakkan. Tali kemudian dipasang mengelilingi lahan persawahan tersebut, namun cara ini tidak begitu efektif digunakan. Hama burung tetap memakan padi tersebut karena pergerakannya yang terlalu cepat sehingga terkadang tidak terlihat oleh para petani.

Advertisement

Aktivitas yang seperti ini biasanya sangat menyita waktu bagi petani. Menggerakkan tali dengan cara manual dengan banyaknya populasi burung yang beterbangan di sawah, membuat para petani harus rela duduk seharian di sawah demi mengawasi padi mereka agar tidak dimakan hama. Hal ini justru merugikan petani, karena untuk menghalau hama burung di sawah seharian membuat mereka tidak bisa melakukan aktivitas yang lainnya. Keluhan yang dialami para petani membuat Dosen Fakultas Pertanian Universitas Andalas (Unand) Eka Candra Lina bersama dosen Fakultas Teknik Zaini merasa prihatin. Mereka berinisiatif untuk membantu para petani ini dengan membuatkan sebuah alat pembasmi hama burung otomatis.

“Keluhan untuk pembasmian hama ini sebenarnya sudah sangat sering kita dengar dari para petani saat kami melakukan survey lapangan, jadi keluhan petani ini yang memotivasi kami untuk menciptakan alat ini,” ujar Eka.

Menurut Eka, jika petani masih menggunakan metode lama seperti menghalau burung dengan menggunakan jaring, berapa banyak jaring yang harus dipasang di sekitaran sawah. Sedangkan untuk hal tersebut petani juga harus mengeluarkan biaya yang cukup besar.

Eka bersama Zaini mulai merancang alat pembasmi hama burung otomatis ini di bulan September 2019. Tidak hanya dikerjakan oleh Eka dan Zaini, para

...sambungan dari halaman 8

nasional bagi mahasiswa tersebut. Sangat diperlukan sosialiasi terhadap peraturan yang baru dibuat oleh Unand.

Ferdi pun menuturkan bahwa peraturan rektor mengenai BSS telah lama ada, tetapi sosialisasi yang kurang membuat civitas akademika Unand tidak mengetahui tentang hal tersebut, termasuk pimpinan Unand. Ferdi berharap peraturan tersebut lebih disosialisasikan kepada mahasiswa dan dosen. “Orang tua mahasiswa sebaiknya juga tahu mengenai aturan-aturan tersebut agar tidak terjadi permasalahan tentang hal ini,” jelas Ferdi di ruangannya, Selasa (11/ 2/2020).

Keluhan serupa juga datang dari kalangan mahasiswa. Mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Desri Rahma Dhani menyatakan bahwa program baru yang diterapkan oleh pihak kampus sangat kurang sosialisasi. Begitu juga dengan peraturan BSS yang baru, masih kurang adanya informasi lebih. “Pada program BSS sekarang ini kurangnya dosen Universitas Andalas ini juga dibantu oleh beberapa orang mahasiswa dari jurusan Teknik Elektro Rahmat dan mahasiswa Fakultas Pertanian Neneng dan Ovi. Kegiatan perancangan alat pembasmi hama burung otomatis ini masih di bawah tanggung jawab Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unand.

Eka menjelaskan teknologi pembasmi hama burung otomatis ini merupakan perancangan alat elektronika berbasis mikrokontroler meliputi dua aspek, yaitu hardware dan software. Untuk aspek hardware dibutuhkan kemampuan perakitan sensor, mikrokontroler dan penggerak motor lengan. Sedangkan aspek software meliputi skill pemograman pada mikroprosesor agar data dari sensor dapat diproses dan mengirimkan perintah ke motor.

Untuk aspek hardware, pada sistem monitoring berbasis mikroprosesor terdapat Arduino Mini sebagai otak yang mampu menerima dan mengolah data dari sensor dan mengirimkan perintah ke motor penggerak. Sensor PIR sebagai alat pendeteksi keberadaan burung di sawah, driver motor penggerak sebagai lengan untuk menggerakkan tali yang terhubung di persawahan, serta panel surya dan inverter sebagai suplai energi sistem. Data yang diberikan oleh sensor PIR digunakan untuk bergerak dan mematikan motor untuk menggerakkan tali penghalau burung pengganggu.

Eka juga menjelaskan sensor yang digunakan pada sistem ini akan diletakkan pada titik-titik tertentu pada bidang sawah dengan kabel penghubung yang dihubungkan dengan mikrokontroler. Mikrokontroler akan diletakkan di sekitar panel surya agar tidak terlalu jauh dengan suplai energi. Motor listrik yang terhubung dengan mikrokontroler akan diikat dengan tiang dan diletakkan pada suatu titik yang dapat menarik tali-tali penghalau agar dapat digerakkan secara keseluruhan. Implementasi software meliputi proses akuisisi dan pengolahan data dari sensor dan pengaturan sensitivitas sensor oleh mikroprosesor dan mengirimkan perintah apakah motor akan bergerak atau diam. Software yang digunakan dalam uji coba tersebut adalah Arduino IDE sebagai pemograman mikroprosesor.

Alat yang dirancang oleh Eka dan kawan-kawan ini sudah dipatenkan oleh pihak Unand, namun untuk produksi alat ini pihak Unand masih belum bisa memenuhi permintaan tersebut. “Unand saat ini hanya bisa sebagai prototype atau sebagai penyalur ide untuk alat ini, karena Unand tidak mempunyai perusahaan yang akan memproduksi alat ini secara lanjut. Maka alat ini akan ditawarkan pembuatan produksi lanjutannya kepada perusahaanperusahaan dibidang peralatan pertanian,” ungkap Eka.

Meskipun yang akan memproduksi dari pihak luar, Unand tetap akan mendapatkan royalti dan lisensi atas nama alat tersebut.

Pembuatan alat pembasmi hama burung otomatis ini memakan waktu selama tiga bulan. Seluruh peralatan dan bahan yang dibutuhkan untuk membuat alat ini ditanggung oleh pihak Unand dengan menghabiskan dana sebesar enam juta rupiah untuk satu alat. Eka mengatakan, untuk pembuatan alat ini menelan biaya yang cukup besar, apalagi jika dipasarkan kepada petani. Namun untuk satu alat ini bisa digunakan oleh tiga orang petani, jadi petani bisa lebih meninimalisir biaya yang dikeluarkan jika membeli alat ini perorangan.

Eka menjelaskan untuk alat ini sudah dilakukan penyuluhan dan workshop di salingka kampus Unand. Dalam penyelenggaraan workshop ini pun para petani sangat antusias dengan alat ini. Bahkan banyak petani yang berminat dan ingin sekali memiliki alat tersebut, karena alat ini sangat membantu meringankan pekerjaan para petani dalam menghalau hama burung. Selain itu, dengan sistem alat yang otomatis petani dapat melakukan berbagai aktivitas lainnya tanpa harus menunggu di sawah seharian hanya untuk menghalau hama burung.

Selain untuk pembasmi hama burung otomatis, para petani juga meminta bantuan kepada Eka dan tim untuk dibuatkan juga alat untuk pembasmi tikus dan pembasmi hama lainnya. Ini disebabkan karena hama yang memakan padi mereka bukan burung saja, tetapi juga tikus. “Waktu workshop kan petani ini sudah melihat bagaimana cara kerja alat pembasmi hama ini, jadi karena alat ini sangat membantu mereka minta dibuatkan lagi alat untuk pembasmi hama tikus,” kata Eka.

Kedua hama ini selalu menjadi masalah utama bagi petani menjelang musim panen tiba, hal tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang sangat berpengaruh bagi tingkat produksi dan Dok. PribadiDok. Pribadi Foto : Ariesta

Alat Penghalau Burung Otomatis

hasil yang didapatkan oleh para petani. Hama juga bisa menimbulkan kerugian besar jika tidak segera dituntaskan.

Permintaan dari para petani inilah yang menjadi pemicu semangat bagi Eka dan timnya untuk merancang alat pembasmi hama tersebut. Walaupun untuk saat ini mereka baru bisa menyelesaikan alat untuk pembasmi burung otomatis, namun tidak menutup kemungkinan untuk mereka mampu merancang kembali alat untuk pembasmi hama lainnya. Menurut Zaini, alat pembasmi hama burung ini masih bisa dimodifikasi lagi menjadi alat pembasmi hama tikus otomatis, dan ini tidak akan memakan biaya yang lebih untuk memodifikasi alat tersebut.

Dengan adanya alat ini Eka dan tim berharap para petani yang merasa letih dan lelah akibat menunggu untuk menghalau burung seharian di sawah, dapat dikurangi bebannya dan dapat melakukan aktivitas lain selain menghalau burung ini. Dengan bantuan alat ini juga dapat membantu meningkatkan hasil produksi tanaman padi milik para petani tersebut.

*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Peternakan Fakultas Peternakan Universitas AndalasUniversitas Andalas

informasi terkait dengan program terbarunya. Saya sama sekali tidak mengetahui kalau program BSS sekarang dihitung sebagai masa kuliah,” jelas Desri. Desri juga memaparkan bahwa sosialisasi mengenai aturan baru BSS yang kurang gencar akan membingungkan mahasiswa. Seorang mahasiswa seharusnya diberikan penjelasan lebih lengkap terhadap program BSS apalagi bagi mahasiswa yang banyak memiliki permasalahan dan ingin sekali mengambil cuti sementara, sehingga tidak ada peraturan yang dibuat merugikan mahasiswanya sendiri.

Tanggapan Mahasiswa Terhadap Aturan Baru BSS

Adanya aturan baru tentunya menuai pro dan kontra, terutama di kalangan mahasiswa. Ada yang setuju dengan kebijakan tersebut karena dapat membantu mahasiswa untuk menyelesaikan perkuliahan dengan tepat waktu. Namun nada keberatan juga ada karena dinilai merugikan mahasiswa.

Salah seorang mahasiswa yang tidak setuju dengan kabijakan ini adalah Nico Mussalem. Mahasiswa Jurusan Teknik Pertanian ini menyatakan peraturan rektor tersebut akan sangat merugikan mahasiswa. Hal ini akan menyebabkan mahasiswa yang BSS ketika melanjutkan kuliah kembali, maka dia hanya bisa mengambil sebanyak 13 SKS. “Artinya mahasiswa akan terbebani lebih banyak untuk mengejar mata kuliah yang di bawah semester saat ia mengambil BSS dan ditambah dengan 13 SKS tersebut,” kata Nico.

Senada dengan Nico, Wafi juga mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan baru rektor mengenai BSS. “Beberapa teman saya yang melakukan BSS misalnya dengan alasan kekurangan biaya untuk membayar UKT, sedang mengikuti tes kepegawaian, atau karena sakit parah. Saya pikir Unand perlu untuk mengkaji ulang kebijakan baru ini,” ungkapnya.

Meskipun ada pihak yang menyayangkan aturan ini, salah seorang Mahasiswa Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Sarah Gusteriko justru memandang dari sisi positifnya. Selaku mahasiswa yang pernah mengambil BSS Sarah mengatakan bahwa ia setuju dengan adanya kebijakan baru mengenai BSS dikarenakan mahasiswa dapat menyelesaikan masa kuliahnya tepat waktu. “Aturan baru ini akan membuat mahasiswa tidak lalai dalam menyelesaikan perkuliahannya, serta mendesak mahasiswa untuk dapat menyelesaikan perkuliahan tepat waktu,” ujarnya saat diwawancarai kru Genta Andalas, Jumat (21/2/2020).

Kebijjkan BSS dibuat untuk membantu mahasiswa dalam malaksanakan kuliahnya jika ada kendala, baik itu karena sakit ataupun karena belum adanya uang untuk membayarkan UKT. Peraturan baru BSS mengantisipasi adanya mahasiswa yang tidak memiliki ijazah nasional, selain itu kebijakan BSS yang baru juga membantu dalam ketepatan mahasiswa dalam melaksanakan kuliah sesuai masa studi. Walaupun demikian, sosialisasi sangat dibutuhkan agar tidak adanya kesalahpahaman terhadap aturan baru yang dikeluarkan.  Suhada, Rifa, Anggi, Suhada, Rifa, Anggi, Icha, Hafiz, ‘Icha, Hafiz, ‘Ain, Rahma

This article is from: