Majalah Opini edisi 40

Page 1



PEMIMPIN UMUM DICKY SATRIYA HUTOMO SEKRETARIS UMUM VITRI JUNIATI PEMIMPIN REDAKSI AYU NABILLA PEMIMPIN MORPIN LUH RANI WIJAYANTI EDITOR ADITYA WISNU P. STAFF SHINTALOKA PRADITA SICCA MONALISA SIMA S. FATIMAH ASTRI MEY ADHANNI ARRIBATH SAKHA EGGI LISTY B. M. NUR SOLEKHATUN NISA PEMIMPIN ONLINE GIGIH TAFA’UL EDITOR YULI KURNIAWATY STAFF VITRI JUNIATI FRANSISCUS ANTON GERRY MAULANA MAULANA KHALIDIN RIVALDI WIDIANTO PRATNYA PURI H. ELLY MANIKA M. M. IBRAHIM M. R. DINA TASYALIA D. LITBANG SHINTALOKA PRADITA SICCA MAULANA KHALIDIN ANNISA ZETTA AFIATNI NADIRA AZZAHRA DINA TASYALIA D. TIM ARTISTIK ANNISA ZETTA AFIATNI REBECCA VENUSIA MAULANA KHALIDIN WAHYU SETIAWAN BIZANTI AYURI GANIS PIMPINAN PERUSAHAAN NUR FAJRIANI FALAH STAFF HUMAS NITYA AMALIA Y. VERAMITHA INDRIYANI FRANSISCUS ANTON WAHYU SETIAWAN YULIANA HARIANJA FATIMAH STAFF MARKETING LAILY EROS B. AYU SRI PURNAMA LUTFI OKTAVIA D. ANJAR MUKTI YUNI PUJI PURWATI STAF IKLAN DAN RUMAH TANGGA PUJI PURWATI NITYA AMALIA IBRAHIM M. RAMADAN LUTFI OKTAVIA DEWI AYU SRI PURNAMA STAFF LITBANG PIPIN L. FAJAR ANJAR MUKTI YUNI P. STAFF EVENT LAILY EROS B. VERAMITHA INDRIYANI

crews

opium “Sebuah proses yang terus mengalir, dan setiap generasi memiliki masanya.”–M. Kurniawan (Pemimpin Umum OPINI 2002). Selama 28 tahun OPINI berdiri, perubahan selalu ada di setiap produknya. Jika Anda membaca majalah OPINI edisi-edisi sebelum ini, isi Opium hampir selalu serupa: perubahan dan perombakan. Di edisi ini pun OPINI berubah. Lagi, kami berusaha menyeimbangkan berbagai permintaan. Di satu sisi, banyak permintaan yang seakan menuntut kami untuk menyajikan tulisan yang bernas dan bikin otak panas. Padahal, kami adalah generasi OPINI ingusan, otak kami belum cukup bernas untuk membuat tulisan yang panas. Di sisi lain, banyak permintaan dari sebagian besar kawan-kawan mahasiswa untuk meringankan isi majalah. Kuliah dan terpaan berita di luar pers mahasiswa sudah cukup memberatkan pembaca. Akhirnya, dengan mengingat dan membuka lagi fungsi pers, kami menolak untuk berpening-pening. Semua poin penting tuntutan-tuntuan itu kami aduk dan jadilah benda yang Anda pegang ini. Setiap generasi memiliki masanya. Perubahan melahirkan perubahan yang baru. Perubahan yang terjadi di berbagai aspek kehidupan melahirkan perubahan baru yang tak terhindarkan. Salah satunya perubahan hak bersuara. Maka, sebagai pemanasan, laporan utama dan laporan khusus kami fokuskan pada pembahasan seputar hak bersuara dan info FISIP terbaru. Sedangkan sebagai pendinginan, kami menyajikan beberapa rubrik baru, seperti rubrik Berkelana yang mengulas tentang Candi Cetho. Rubrik Surat Pembaca—yang sempat hilang di beberapa edisi—dan FISIP Ber-OPINI kami siapkan bagi mahasiswa FISIP non-OPINI supaya bisa ikut beropini. Alhamdulillah, suara kami terealisasi dalam bentuk majalah ini. Setelah beberapa minggu yang terasa berwindu-windu, majalah OPINI berhasil dijinakkan. Maka, kami berterima kasih kepada diri kami sendiri (seluruh kru OPINI generasi ingusan), seluruh pihak yang membantu OPINI untuk menjadi lebih baik, dan tentu saja pembaca yang (mau tak mau) setia pada OPINI: mahasiswa, dosen, seluruh warga FISIP Undip. Semoga bermanfaat, selamat membaca! Majalah Opini edisi 40 // 1


DAFTAR ISI OPIUM Surat Pembaca:

3 NGAPAIN DEMONTRASI? Editorial: 4 NASIB FISIP

DI TANGAN WARGANYA

Laporan Utama:

6

BERSUARA UNTUK PERUBAHAN

9

SKETSA

10FISIP BEROPINI 14 OPINI DALAM ANGKA Kolom: 19 WARTAWAN KINI SETENGAH BISU 22 MENYOAL KEBEBASAN BERPENDAPAT

11

Dialog Tanya Jawab:

25 MIE NGES-NGES 26 GALERY

Teropong: 28 SUISTAINABLE SEAFOOD:

MENOPANG DAN MENDUKUNG BLUE ECONOMY DI INDONESIA

MENGAIS KESADARAN PEMILIH PEMULA AKAN PERANNYA

16

37Jalan-jalan: MENIKMATI MENU SPESIAL DI NDALEM BAWOR

39 Cerita: BERBAGI CERITA DARI THAILAND

41 Momen: FLS 2013

31 IRFAN RAMDHANY: Profil:

SI AGEN PUBLIK PEDULI LINGKUNGAN

33 FOOD NOT BOMB Berkelana: 35 EKSOTISME CANDI CETHO

BERSAMA PPO, MAHASISWA DIMINTA JADI PENGAWAS?

MENCETAK GENERASI MUDA PEMIMPIN MASA DEPAN

RANGKAIAN 42 MENGULAS CULTURE WEEK

43JADWAL KEGIATAN UKK 46 RESENSI BUKU DAN FILM 47 OPINI LAMPAU

2 // Majalah Opini edisi 40


Surat Pembaca

NGAPAIN DEMONSTRASI ? Mungkin terlalu berat jika kemudian dalam rubrik surat pembaca ini penulis mengangkat tema mengenai demonstrasi, aktivitas yang mungkin masih anti-mainstream di kalangan mahasiswa. Namun menjadi menarik di sini karena kegiatan menyuarakan aspirasi tersebut tetap tumbuh subur sejalan dengan pro dan kontra pendapat yang menanggapinya. Beberapa hari terakhir, khalayak Universitas Diponegoro disuguhi dengan beberapa kegiatan mahasiswa turun ke jalan guna menyuarakan aspirasinya. Latar belakang beberapa aksi demonstrasi tersebut juga berbeda. Di antaranya adalah, pengawalan pemilihan umum kepala daerah, aksi penyambutan tokoh partai politik yang datang berkunjung ke Undip, hingga aksi aliansi mahasiswa seIndonesia yang menuntut pengusutan kasus korupsi. Perihal menarik di sini adalah, apa sebenarnya makna definitif dari aksi demonstrasi tersebut dan bagaimana mahasiswa secara umum menyikapinya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, demonstrasi didefinisikan sebagai pernyataan protes yang dikemukaan secara massal. Khalayak kemudian banyak tersandera dengan konsep pernyataan protes tersebut dan menarik kesimpulan bahwa demonstrasi identik dengan aksi yang tidak teratur dan tidak efektif dalam goal setting-nya. Konstruksi opini inilah yang kemudian perlu diluruskan, karena memang tidak selamanya demonstrasi

demonstrasi lekat dengan ketidakteraturan. Masih banyak kita dapat jumpai, aksi yang berjalan santun namun tetap dengan passion yang bergelora. Keributan kecil yang terjadi, tak ubahnya sebagai dinamika sederhana yang membersamainya. Poin penting dalam hal ini adalah, demonstrasi tetap diperlukan guna mengawal setiap dinamisasi yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Namun, demonstrasi yang menjadi harapan adalah demonstrasi yang lekat dengan nilai perjuangan dan tetap berpola humanis jauh dari tirakat ketidakteraturan.

/////////////////////////////////////////////////////////////////////// “Mimpi saya yang terbesar, yang ingin saya laksanakan adalah, agar mahasiswa Indonesia berkembang menjadi “manusia-manusia yang biasa�. Menjadi pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang bertingkah laku sebagai seorang manusia yang normal, sebagai seorang manusia yang tidak mengingkari eksistensi hidupnya sebagai seorang mahasiswa, sebagai seorang pemuda dan sebagai seorang manusia. � ― Soe Hok Gie

///////////////////////////////////////////////////////////////////////

Majalah Opini edisi 40 // 3


Editorial

NASIB FISIP DI TANGAN WARGANYA Public Hearing sudah menjadi agenda lama

Kemudian hadirlah Public Hearing 2013 sesi I

Senat Mahasiswa (Sema) FISIP Undip. Namun, sejak

pada hari Kamis (23/5). Tercatat 48 mahasiswa yang

tahun lalu, Public Hearing yang sebelumnya diadakan

hadir. Sayangnya, antusiasme mahasiswa tak lagi

sekali setahun, diagendakan menjadi dua kali setiap

berkobar seperti sebelumnya. Partisipasi

tahun. Sesi I diadakan untuk menyediakan ruang dan waktu bagi pejabat, staf, dan mahasiswa untuk saling

mahasiswa dalam Public Hearing yang menurun menunjukkan ketidakpuasan mahasiswa.

mengomunikasikan kebijakan, kekurangan, kendala, dan segala unek-unek seluruh pihak mengenai FISIP. Sedangkan sesi II untuk mengevaluasi pejabat, staf, dan mahasiswa

Ketidakpuasan mahasiswa FISIP ini dilatarbelakangi berbagai alasan.

FISIP berdasarkan hasil Public Hearing sebelumnya. Begitulah rencananya.

Walau begitu, Public Hearing sesi I tahun 2012 yang

1

topik yang dibahas dalam Public Hearing cenderung tidak bergerak pada topik yang sama.

diadakan Sema masih kurang diminati mahasiswa. Dari sekian ribu mahasiswa FISIP, hanya 30 mahasiswa yang terdaftar hadir. Penyebab yang paling berpengaruh berdasarkan pernyataan beberapa mahasiswa adalah kurangnya sosialisasi informasi mengenai acara itu. Ada mahasiswa yang sebenarnya tahu, tetapi memilih kuliah. Ada juga yang lebih memilih untuk tidak datang dan pergi sarapan.

Sang Kantin—yang teramat diharapkan. Dialah yang paling sering disebut. Sejak 2012, tiga kali ditanya, tiga kali dijawab. Pertanyaan yang sama “Mana kantinnya?” dan jawaban yang sama pula “Sulit.” Dekan FISIP, Agus Hermani, berkali-kali mengatakan bahwa pembangunan kantin membutuhkan ketekunan yang panjang, berliku, dan berat. Peraturan pemerintah menjadi

Namun, tujuan utama Public Hearing tetap terlaksana.

alasannya. Apalagi, dengan munculnya kasus korupsi

Mungkin karena sudah gregetan, dari 30 yang datang,

yang dilakukan oleh berbagai pihak di pemerintahan,

sebagian besar mahasiswa mengeluarkan unek-uneknya

semakin memperketat pengawasan keuangan, termasuk

dengan menggebu. Begitu juga dengan pejabat dan staf kampus. Keduanya saling menuntut dan meminta satu sama lain untuk saling mengerti.

Public Hearing sesi II dihadiri dua kali lipat partisipan sesi sebelumnya: 60 mahasiswa. Sesi II diadakan tidak lama setelah mahasiswa baru datang, jadilah Public Hearing semakin panas dengan komentar-komentar mahasiswa baru yang sudah terlanjur berharap pada kampus FISIP.

keuangan dalam mendirikan kantin. Solusi terhadap hal tersebut pun sedang diusahakan pihak kampus. Pembantu Dekan III, Wahyu Hidayat, juga memberikan alternatif untuk melihat sisi positif dari kantin yang sulit diwujudkan ini sebagai kesempatan bagi mahasiswa untuk berwirausaha, sebagai tambahan dana organisasi maupun keuntungan pribadi. Untuk memfasilitasi, pihak kampus akan menyediakan dua tenda payung sebagai tempat jual-beli makan dan minum. Selain itu, FISIP masih belajar dari fakultas tetangga untuk menyiasati pembangunan dan pengadaan kantin.

4 // Majalah Opini edisi 40


Akan tetapi, mahasiswa masih tidak puas. Mahasiswa hanya ingin mengenyangkan perut tanpa harus jauh-jauh dari kampus, apalagi jika kuliah memakan waktu hampir seharian. Ditambah lagi, tidak banyak mahasiswa yang berorganisasi dan banyak yang cukup mampu untuk menghidupi dirinya, sehingga kebanyakan mahasiswa tak tertarik dengan alternatif yang diberikan PD III.

2

usaha Sema untuk menampung aspirasi mahasiswa kurang terencana.

Lagi, topik yang berulang dalam Public Hearing adalah salah satu akibatnya. Selain itu, survei yang dilakukan

Apapun yang dilakukan Sema dan pejabat kampus tidak dipedulikannya. Usaha Sema dan pejabat kampus dalam Public Hearing sebenarnya sangat bisa dan mungkin sempat menarik perhatian mahasiswa apatis. Akan tetapi karena kegagalan Public Hearing yang kurang efektif justru mengembalikan mereka pada zona apatis. Malahan, sangat mungkin mahasiswa apatis semakin bertambah karena hal itu.

Sema kurang mewakili kebutuhan mahasiswa. Sebelum Public Hearing 2013 diadakan, Sema telah melakukan jajak

Ketiga alasan kurang efektifnya Public Hearing

pendapat pada 200 mahasiswa, 20 mahasiswa setiap

saling berkaitan dan berkesinambungan. Perencanaan Public

jurusan. Hasil dari survei tersebut, sebagian besar responden

Hearing yang matang bisa mengurangi kemungkinan efek

memerlukan kantin dan lapangan olahraga. Kebersihan toilet dan mushola, pelayanan birokrasi dan perpustakaan, serta aplikasi siska dinilai baik atau cukup baik oleh sebagian besar

domino ini. Sema perlu mengevaluasi kembali pengadaan Public Hearing dua kali dalam setahun (apakah akan lebih

responden. Melihat hasil survei tersebut banyak mahasiswa

efektif atau sebaliknya), agenda dan tujuan yang sebenarnya

yang kurang, atau bahkan tidak setuju. Anehnya, Sema pun

ingin dicapai, mencari tahu dengan sungguh-sungguh apa

heran dengan beberapa hasil survei yang dinilai baik tersebut.

yang sebenarnya diperlukan mahasiswa dan pejabat kampus, dan sosialisasi yang menyeluruh sebelum maupun

3

sebagian besar mahasiswa FISIP apatis

Mahasiswa apatis memang lagu lama, sejak reformasi pun sudah ada. Mahasiswa apatis tidak akan bergerak selama kebutuhan mereka tidak terganggu.

sesudah Public Hearing.

Pejabat kampus juga perlu berusaha lebih baik. Konfirmasi dan klarifikasi tidak bisa cukup, apalagi bagi mahasiswa yang dididik terus-menerus untuk selalu kritis (walau apatis). Realisasi yang bisa dilihat dan dirabalah yang dipercaya mahasiswa. Jika hanya Sema dan mahasiswa yang berusaha, perbaikan kampus FISIP akan tetap berjalan lamban. Kemudian, mahasiswa yang tidak peduli perlu mengingat ini: keleluasaan yang didapat sekarang bukan dimulai dari ketidakacuhan. Tampaknya, ketiga pihak dibuai dengan dunia yang serba instan. Banyak yang perlu dibenahi bukan hal yang jelek. Kita ini di FISIP, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang mengajarkan bahwa segalanya membutuhkan proses dan hasil yang nyata.

Majalah Opini edisi 40 // 5


Laporan Utama

BERSUARA UNTUK PERUBAHAN Oleh: Vitri Juniati & Arribath Sakha

k

amis, 21 Mei 1998. Soeharto, Presiden Republik Indonesia (RI) ke–2 yang menyatakan berhenti setelah menjabat selama 32 tahun. Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa satu minggu sebelumnya, ternyata membuahkan hasil yang luar biasa. Reformasi Indonesia akan terwujud.

Berada di bawah belenggu pemimpin yang enggan turun dari tampuk kekuasaannya selama 32 tahun, mendorong mahasiswa melakukan aksi besar-besaran tersebut. Saat itu, semua lapisan masyarakat saling membantu untuk menyalurkan suara mereka.

“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI� /////////////////////////////////////////////// 6 // Majalah Opini edisi 40

Bersuara, berpendapat, menyampaikan ide, gagasan, dalam berbagai bentuk merupakan hak yang dimiliki setiap individu. Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah memberikan jalan bagi setiap orang untuk bisa mengeluarkan pendapat.


///////////////////////////////////////////////////////////////////////////

Sumber: http://i3.ytimg.com/vi/B2QcxL956B0/maxresdefault.jpg

Berbagai macam media dan cara dapat ditempuh setiap orang untuk bisa bersuara. Keberadaan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan mengemukakan pendapat di muka umum pun telah mengatur bagaimana seharusnya orang bersuara. Bentuk-bentuk dalam menyampaikan pendapat atau bersuara, diantaranya yakni demonstrasi, mimbar bebas, pawai, serta rapat umum. Setidaknya itu beberapa bentuk dan tata cara menyampaikan pendapat yang diatur dalam Undang-Undang. Demonstrasi, seperti yang telah disebutkan, merupakan salah satu cara yang sering digunakan untuk bersuara. Tahun 1998, demonstrasi dalam skala besar dilakukan oleh mahasiswa bersama seluruh lapisan masyarakat. Saat itu, mahasiswa yang 'katanya' sebagai agen perubahan jelas terlihat aksinya. Mahasiswa saat itu berhasil menjadi penyambung lidah rakyat. Suara rakyat, tersampaikan melalui aksi demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Masihkah mahasiswa bersuara untuk menjadi penyambung lidah rakyat? Kondisi sebelum reformasi dengan sekarang tentu berbeda. Sebelum reformasi, tepatnya ketika masa Orde Baru, mahasiswa dan seluruh lapisan masyarakat (kecuali mereka yang dekat dengan penguasa) berada dalam posisi tertekan dan terbungkam. Jangankan untuk bisa menyuarakan hal-hal yang menentang pemerintah, untuk berkumpul saja harus waspada kalau tidak ingin dimusnahkan tanpa jejak. Saat ini, kita dapat hidup dengan bebas, setiap orang berhak untuk bersuara, berserikat dan berkumpul, sesuai dengan isi UUD 1945. Dengan adanya kebebasan ini, aksi demonstrasi menjadi sesuatu yang lumrah dan biasa saja. Ditambah lagi memang tidak ada masalah substansi, seperti ketika masa Orde Baru di mana kebebasan dan kesejahteraan menjadi tuntutan.

dimusnahkan tanpa jejak. Saat ini, kita dapat hidup dengan bebas, setiap orang berhak untuk bersuara, berserikat dan berkumpul, sesuai dengan isi UUD 1945. Dengan adanya kebebasan ini, aksi demonstrasi menjadi sesuatu yang lumrah dan biasa saja. Ditambah lagi memang tidak ada masalah substansi, seperti ketika masa Orde Baru di mana kebebasan dan kesejahteraan menjadi tuntutan. “Saat ini ada pandangan sinisme kepada orang yang melakukan demonstrasi. Demonstrasi bukan menjadi suatu hal yang populis lagi di mata masyarakat. Justru mereka (masyarakat) yang di dalam mobil nyinyir, bahwa aksi itu bikin macet. Padahal, maksudnya (demonstrasi) kan sounding (menyuarakan), agar masyarakat tahu bahwa kita peduli dan masyarakat menengah ke bawah harus terus dibela,� ujar Rifky Isaac Prasadana, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FISIP Undip. Menurut Dzunuwanus Ghulam Manar, staf pengajar jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Undip, masyarakat sekarang itu sangat pragmatis. Jika memang yang dilakukan mahasiswa itu berdampak pada kepentingan masyarakat, masyarakat pasti mendukung. Namun, lain jika demonstrasi yang dilakukan mahasiswa ini tidak tulus, karena ada motif, entah ditumpangi atau ada agenda tertentu, maka bisa jadi masyarakat tidak bersimpati. Nilai public interests yang rendah dari isu yang diangkat saat mahasiswa berdemonstrasi juga menjadi faktor lain mampu tidaknya aksi mahasiswa ini mendapat perhatian publik yang berarti. Kemajuan teknologi yang terjadi saat ini juga ikut mempengaruhi bagaimana orang bersuara. Dengan perkembangan teknologi komunikasi, ruang publik menjadi semakin lebar, sehingga semakin mempermudah masyarakat untuk ikut ambil bagian dan mendukung proses demokrasi. perkembangan teknologi komunikasi, ruang publik menjadi semakin lebar, sehingga semakin mempermudah masyarakat untuk ikut ambil bagian dan mendukung proses demokrasi. Majalah Opini edisi 40 // 7


Pada jaman sekarang, twitter sebagai media sosial banyak digunakan oleh berbagai kalangan masyarakat untuk menyampaikan suaranya. Dengan kepraktisan twitter, orang cenderung lebih nyaman bersuara meskipun apa yang diutarakan tidak semuanya benar. Melalui twitter, banyak ditemukan pendapat-pendapat kritis tentang berbagai hal. Sayangnya, banyak akun-akun anonim yang bebas beredar di twitter dan dengan seenaknya menyuarakan pendapatnya tanpa memberikan bukti konkret. Setidaknya, pendapat yang disampaikan bukan hanya bersifat menjatuhkan pihak tertentu, tetapi memang mengkritisi untuk berupaya menutut suatu perubahan atau menyuarakan aksiaksi tertentu. Menyampaikan hak bersuara juga dapat dilakukan melalui petisi. Website change.org, platform petisi online terbesar di dunia memberdayakan orang di mana pun untuk menciptakan perubahan yang ingin mereka lihat. Sejak beroperasi tahun 2011, change.org telah menarik minat sebanyak 6 juta pengguna. Hingga sekarang, tahun 2013 change.org berhasil memiliki 35 juta pengguna. Dengan membuat petisi yang ditandatangani ratusan bahkan ribuan orang, change.org telah berhasil mencatat setidaknya enam peristiwa sosial atau kebijakan publik di Indonesia selama tahun 2012. Peristiwa sosial atau kebijakan publik tersebut antara lain, Satuan Tugas (Satgas) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang meminta maaf atas pernyataan ketuanya yang dinilai menyinggung TKI; perbaikan sebuah jalan yang bertahun-tahun rusak oleh Walikota Tangerang Selatan; Bandar Udara Soekarno-Hatta yang melarang sebuah toko menjual sirip ikan hiu; pencabutan izin perkebunan kelapa sawit yang merusak hutan oleh Gubernur Aceh; aksi oleh Hero, Giant, Lottemart, dan Coca-Cola yang mendukung pemberhentian sirkus lumba-lumba keliling yang kejam; serta penyerahan kasus korupsi simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Presiden SBY. Ketika kesempatan untuk bersuara dibuka seluasluasnya bagi setiap orang di negeri ini, apakah para pembuat kebijakan publik benar-benar mengakomodasi suara itu? Ingat di tahun 2012 saat wacana kenaikan harga BBM akan dilakukan pada tanggal 1 April? Hampir setiap lapisan masyarkat bergabung untuk menyuarakan penolakan terhadap hal tersebut. Begitu besarnya gejolak yang terjadi di masyarakat, bahkan hingga mencuat isu kudeta. Pada akhirnya, kenaikan harga BBM pun batal dilakukan. Terlepas dari kepentingan politik orang-orang partai yang membangun citra berpihak pada rakyat, ketika melakukan voting pada rapat paripurna DPR RI saat itu, tidak bisa dipungkiri bahwa aksi yang dilakukan publik kala itu cukup mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan. Dzunuwanus Ghulam Manar menambahkan, dalam isu tertentu memang aspirasi rakyat cukup berpengaruh dalam pembuatan kebijakan. Hanya saja, hal tersebut tidak berlaku pada beberapa isu lain. Aksi Kamisan yang dilakukan oleh keluarga korban kerusuhan Mei 1998 dan aktivis pejuang HAM di depan Istana Negara misalnya, sudah ratusan kali aksi tersebut dilakukan. Namun, sampai saat ini tidak ada tindakan yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan hal itu. Jadi, meski berbagai macam aksi dilakukan, jika isu tersebut tidak memiliki public interests yang tinggi, maka pemerintah tidak akan merespon.

8 // Majalah Opini edisi 40

Masalahnya adalah tidak ada ukuran yang pasti untuk menakar derajat pengaruh suatu isu terhadap masyarakat. Saat isu tersebut sudah menjadi sentimen publik, seringkali pemerintah baru akan benar-benar mengambil suatu tindakan. Dalam masyarakat demokrasi, pembentukan opini dan pembuatan keputusan adalah sesuatu yang dianggap sah manakala pembentukan tersebut mewakili keinginan banyak orang. demi kepentingan bersama. Maka, tidak heran para pembuat kebijakan mengabaikan aksi-aksi yang mengangkat isu yang tidak berdampak pada publik yang luas. Pada beberapa isu lain. Aksi Kamisan yang dilakukan oleh keluarga korban kerusuhan Mei 1998 dan aktivis pejuang HAM di depan Istana Negara misalnya, sudah ratusan kali aksi tersebut dilakukan. Namun, sampai saat ini tidak ada tindakan yang dilakukan pemerintah berkaitan dengan hal itu. Jadi, meski berbagai macam aksi dilakukan, jika isu tersebut tidak memiliki public interests yang tinggi, maka pemerintah tidak akan merespon. Untuk dapat didengar oleh para pengambil keputusan dan para pembuat kebijakan, yang perlu dilakukan adalah tidak sekadar bersuara. Menggunakan hak bersuara harus dengan penuh tanggung jawab. UU Nomor 9 Tahun 1998 telah mengatur bagaimana seharusnya proses penyampaian pendapat di muka umum dilakukan. Di antaranya yakni, larangan untuk melakukan aksi di lingkungan Istana Kepresidenan, tempat ibadah, instalasi militer, rumah sakit, pelabuhan udara atau laut, stasiun kereta api, terminal angkutan darat, dan obyek-obyek vital nasional Meski Undang-Undang telah mengatur sedemikian rupa bagaimana seharusnya hak bersuara tersebut digunakan, nyatanya pelanggaran masih terjadi. Misalnya, aksi demonstrasi yang dilakukan oleh serikat buruh saat MayDay yang memblokir jalan tol. Contoh lainnya, demonstrasi mahasiswa yang berujung ricuh dan terjadi bentrok serta merusak fasilitas publik. Terlepas dari bagaimana seharusnya menggunakan hak bersuara maupun apakah suara yang disampaikan didengar dan ditanggapi atau tidak, saat ini adalah masa di mana setiap orang bebas bersuara. Tidak perlu takut untuk mengutarakan pendapat. Membiasakan diri untuk bisa berpendapat dan mengungkapkan gagasan dapat dimulai dari lingkup yang paling sederhana. Di FISIP Undip sendiri ada beberapa cara untuk menggunakan hak bersuara. Salah satunya adalah melalui kotak saran yang mulai beroperasi sejak April 2012. Saat pertama kali diluncurkan, kotak saran mendapatkan respon yang positif dari beberapa mahasiswa FISIP. Banyak mahasiswa yang menyampaikan suaranya melalui surat yang dimasukkan ke dalam kotak saran tersebut. Akan tetapi, pada tahun 2013 keberadaan kotak saran itu diacuhkan. Tak banyak lagi “suara-suara� yang tertampung di dalamnya. Mencoba memperjuangkan aspirasi, sekecil apapun aksi yang dilakukan, tetap diperlukan. Hal tersebut jauh lebih baik daripada bungkam dan mengeluh, menyerah dengan keadaan yang ada. Jika ingin merasakan perubahan, maka bersuaralah..


Sketsa

////////////////////////////////////////////////////////////////////////////

Public Hearing sepi peminat? Ilustrasi: Bizanti Ayuri Ganis Majalah Opini edisi 40 // 9


Fisip Beropini Reporter :

Eggy Listy B.M. F. Anton

Setiap warga negara Indonesia yang berumur diatas 17 tahun memilki hak suara dalam pemilihan pemimpin baik tingkat kota, provinsi, maupun negara. Hak suara yang telah mereka miliki mungkin saja bisa menentukan nasib suatu wilayah untuk jangka waktu tertentu. Lantas apa tanggapan warga FISIP mengenai pemilu itu sendiri?

“Saya mengikuti pemilu walikota pada tahun 2010 karena setiap suara konstituen selain menentukan kemenangan calon pemimpin dalam pemilu juga merupakan representasi dari suara masyarakat itu sendiri. Walaupun hanya satu suara yang saya miliki namun hal tersebut dapat menjadi cerminan sebagai masyarakat yang peduli.” M. Mario, Ilmu Pemerintahan 2010

“Menurut saya, PILGUB itu sebenarnya cukup efektif karena secara teknis saat ini dipilih langsung oleh rakyat, hanya saja saya agak pesimis melihat debat Calon Gubernur Jawa Tengah kemarin. Mereka hanya obral janji semua. Seharusnya mereka menyampaikan visi misi sesuai dengan data yang akurat berupa angka/ numerik dengan sistematika penghitungannya.”

Albertus Yose Satria, Administrasi Publik 2011

“Mengikuti pemilu sudah menjadi kewajiban bagi warga negara yang berusia diatas 17 tahun. Dengan diadakannya pemilu, saya ingin menggunakan hak suara saya dan ingin diakui sebagai warga negara yang tinggal di negara demokrasi dengan menggunakan hak suara tersebut.” Arum Setiowati, Hubungan Masyarakat 2012

“Menurut saya, mengikuti pemilu merupakan hal yang penting karena ini merupakan bagian kebebasan kita untuk memilih pemimpin. Harapan saya, pemimpin yang telah kita pilih bisa memberikan dampak secara langsung pada kita.”

Yuliana Andhika, Hubungan Internasional 2011

10 // Majalah Opini edisi 40


Laporan Khusus

MENGAIS KESADARAN PEMILIH PEMULA AKAN PERANNYA ----------------------------------------Oleh: Nur Fajriani Falah & Elly Manika

Mei 2013 Kota Semarang dipenuhi begitu banyak baliho dari tiga calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang nantinya akan menjadi pemimpin Jawa Tengah. Teriakan visi misi menjadi sirine bahwa pesta demokrasi sedang berlangsung bagi semua kalangan, termasuk pemilih pemula. ...................................... Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Jawa Tengah untuk pemilihan gubernur 26 Mei 2013 ditetapkan sebanyak 27.385.985 pemilih. Dari jumlah tersebut perempuan menjadi pemilih terbesar yakni sejumlah 13.774.665 orang. Sedangkan pemilih laki-laki sebanyak 13.611.320 orang. Menurut anggota KPU Jateng, Andreas Pandiangan, seperti dilansir dalam www.kompas.com (15/04), dari jumlah DPT tersebut, 10–15 persen biasanya adalah pemilih pemula. Siapakah pemilih pemula? Secara luas, pemilih pemula adalah istilah yang digunakan untuk menyebut pemilih yang baru memasuki usia 17—21 tahun. Pemilih pemula juga dapat digolongkan bagi kalangan mahasiswa yang baru pertama kali menggunakan haknya dalam pemilihan. Selain itu, TNI/Polri yang baru pensiun dan kembali menjadi warga sipil, juga dikategorikan sebagai pemilih pemula. Menurut Fitriyah, dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Diponegoro (Undip), biasanya keputusan pemilih pemula dalam menentukan pilihannya akan dipengaruhi oleh beberapa hal. Seperti pilihan politik keluarganya, kedekatan sosial dengan tokoh

tertentu, dan beberapa orang bahkan memilih seorang kandidat karena hanya kandidat itulah yang familiar di matanya. Berbeda dengan pelajar SMA, bagi dosen yang mengajar dibeberapa bidang mata kuliah tersebut, sudah sepantasnya mahasiswa sebagai pemilih pemula yang mengecap pendidikan yang lebih tinggi dapat menyelami informasi mengenai siapa, kapan, dan bahkan info lebih dalam mengenai visi misi program yang ditawarkan para kandidat yang akan dipilih. Berdasarkan pernyataan tersebut, dari hasil survey yang dilakukan LPM OPINI terhadap kalangan pemilih pemula FISIP Undip, diketahui 56% pemilih pemula sekadar tahu mengenai calon dan tanggal pencoblosan. Parahnya, 32% menyatakan tidak tahu sama sekali. Dan hanya 12% yang mengetahui secara mendalam visi-misi cagub dan cawagub. Terdapat beberapa alasan yang diutarakan para responden mengenai ketidaktahuannya tersebut, salah satuya adalah kurangnya sosialisasi mengenai para calon kandidat. Nampaknya, kurangnya sosialisasi mengenai pengenalan kandidat tersebut juga berdampak pada besarnya keraguan pemilih pemula, khususnya dikalangan mahasiswa untuk memantapkan pilihan pada satu suara. Terbukti sebanyak 60% pemilih pemula dikalangan mahasiswa FISIP Undip menyatakan belum menentukan pilihannya.

Majalah Opini edisi 40 // 11


Foto: Ibrahim M

Sementara, hanya terdapat 12% suara yang menyatakan sudah menentukan pilihannya. Menariknya, terdapat 18% suara yang telah memutuskan untuk tidak memilih sama sekali. Para mahasiswa yang memilih golongan putih (golput) umumnya berpendapat bahwa keputusan tersebut didasari atas rasa ketidakpercayaan mereka terhadap calon pemimpin yang ada. Baik ketidakpercayaan akan terlaksananya visi misi, maupun ketidakpercayaan terhadap kejujuran para cagub dan cawagub dalam melaksanakan tugasnya nanti. Perlu diketahui, selama proses sosialisasi, ketiga cagub dan cawagub mendapat peringatan dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) agar tidak melakukan kecurangan. Bawaslu sendiri terus melakukan pengecekan, apakah kegiatan yang berlangsung bersifat sosialisasi atau kampanye, dan apakah kegiatan yang dilakukan sesuai keputusan yang disepakati atau tidak. Akan tetapi, masih ada saja isu kecurangan yang berhembus. Berdasarkan survey LPM OPINI, 44% pemilih pemula di FISIP Undip telah mendengar isu kecurangan dikalangan cagub dan cawagub Jawa Tengah 2013. Beberapa responden menganggap hal inilah yang menyebabkan mereka sebagai pemilih masih ragu untuk menentukan pilihannya, bahkan tak ayal memutuskan untuk golput. Golput atau golongan putih pada awalnya adalah istilah yang digunakan untuk menyebut tipikal pemilih yang tidak percaya pada sistem Pemilu, sehingga muncul sikap “menolak�. Hal

12 // Majalah Opini edisi 40

ini disebabkan perilaku-perilaku tidak fair dalam pelaksanaan Pemilu. “Di negara-negara yang maju, orang tidak menggunakan hak pilihnya karena mereka yakin siapapun yang menang akan baik programnya. Di negara kita orang tidak memilih karena tidak yakin siapapun yang terpilih mampu membuat perubahan. Korelasi pemimpin terpilih dan kesejahteraan masyarakat presentasinya kecil. Secara umum tetap buruk,� ujar Fitriyah. Permasalahan ketidakpercayaan politik inilah yang perlu diselesaikan demi kepentingan demokrasi. Selain itu, Fitriyah juga melanjutkan bahwa fenomena golput ini juga disebabkan tidak adanya calon-calon yang sesuai ideologi masyarakat. Inilah yang disebut dengan kedekatan sosiologis. Ketika tidak ada calon yang sesuai ideologi masyarakat, masyarakat cenderung tidak memilih. Alasan ini juga ditengarai masih ada pada diri pemilih pemula. Secara psikologis, mahasiswa sebagai pemilih pemula dianggap kritis, mandiri, independen, dan masih sulit untuk dipengaruhi karena masih memiliki idealisme yang tinggi mengenai kriteria pemimpin yang dipercaya dapat membawa perubahan. Terkait pemilihan gubernur tahun ini, mahasiswa mengharapkan gubernur dan wakil gubernur terpilih benarbenar melakukan sesuatu demi kehidupan yang lebih baik. Gubernur dan wakil gubernur diharapkan memiliki pengalaman di bidang politik dan benar-benar bertindak melakukan perubahan. Melihat dari benang merah yang saling


berkaitan antara sosialisasi dan kepercayaan para pemilih pemula menghasilkan sebuah kesimpulan yang cenderung mengarahkan pemilih pemula untuk tidak memilih. Padahal sebenarnya sifat kritis, independen, mandiri, dan pro akan perubahan yang dimiliki para pemilih pemula, khususnya kaum mahasiswa, dapat menjadi suatu kriteria yang kondusif untuk membangun komunitas pemilih yang cerdas. Oleh karena itu, perlu diadakan pendidikan pemilih mengenai Pemilu yang ada. Pendidikan ini bukan sekadar menyangkut cara mengesahkan suara kita dalam kertas suara, tetapi juga memotivasi agar pemilih mau menggunakan hak pilihnya secara rasional. Yaitu mereka yang memilih karena memahami fungsi-fungsi dari gubernur, dari mana sumber uang yang didapat, serta mereka yang memilih karena meilihat visi misi dan rekam jejak calon tanpa peduli partai pengusungnya. Pendidikan pemilih mestinya dilakukan sepanjang masa, tidak hanya ketika Pemilu akan segera berlangsung. Negara dan masyarakat turut bertanggung jawab untuk memilih mekanisme bagaimana pemilih yang baik. Tidak hanya para pemilih pemula, bahkan masyarakat pun perlu dijelaskan bahwa risiko dari coblosan mereka akan dialami selama lima tahun. Di kalangan masyarakat menengah ke bawah, golput seringkali dilandasi karena pemilih tidak mendapat ongkos dari praktik money politic yang dilakukan para calon. Karenanya, masyarakat perlu diajari cara

mencari informasi, sehingga suaranya tidak mudah dibeli. Perlu ditegaskan kepada pemilih bahwa vote mereka adalah voice dan merupakan harga diri mereka. Masih dari hasil survey yang dilakukan OPINI, mahasiswa dianggap mengetahui bahwa sebagai pemilih pemula suara mereka memang berarti. Sayangnya, banyak pula dari mereka yang pesimis terhadap dampak yang dihasilkan jika mereka memutuskan pilihannya terhadap salah seorang calon pemimpin. Pemilih pemula seakan menganggap suara mereka tidak akan mengubah situasi yang ada nantinya. Padahal untuk membentuk suatu perubahan, yang dibutuhkan adalah keyakinan bersama akan peran mahasiswa yang dapat memengaruhi keputusan dengan cara ikut memilih dan menjadi pemilih yang baik. Fitriyah menegaskan, “Suara itu akan sangat bermakna jika komulatif, dan itu yang disebut dengan political edukasi. Jadi orang itu punya keyakinan akan perannya, dan itu akan tampak kalau dalam jumlah yang banyak�, tuturnya. Suatu perubahan mungkin dapat diciptakan melalui masyarakat yang menyadari pentingnya peran mereka sebagai pemilih yang selektif, kritis, dan independen terhadap calon pemimpinnya. Perlu diingat pula bahwa pemilih yang sangat potensial untuk melakukan perubahan tersebut sebenarnya adalah pemilih pemula, termasuk didalamnya, mahasiswa.

“Being right is also being boring. Your mind is closed. You are not open to new ideas. You are rooted in your own rightness, which is arrogant. Arrogance is a valuable tool, but only if used very sparingly. Worst of all, being right has a tone of morality about it. To be anything else sounds weak or fallible, and people who are right would hate to be thought fallible. So: it's wrong to be right, because people who are right are rooted in the past, rigid-minded, dull, and smug. There's no talking to them.� –Paul Arden

Majalah Opini edisi 40 // 13


opini

a k g n a m a dal

Sepanjang akhir tahun 2012 hingga pertengahan 2013 ini, sejumlah perubahan telah terjadi dalam hal sistem dan infrastruktur di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Diponegoro (Undip). Beberapa di antaranya adalah pembangunan Gedung D yang kini difungsikan sebagai perpustakaan, pusat kegiatan mahasiswa FISIP Undip, dan laboratorium. Selain itu, perubahan sistem terkait penjadwalan kuliah mahasiswa yang saat ini telah ditentukan oleh pihak akademik, serta penggunaan kartu parkir untuk mahasiswa juga menjadi hal baru di kalangan warga FISIP. Berbagai perubahan yang dilakukan oleh pihak pengelola fakultas, tentu bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan dan kenyamanan mahasiswa. Namun, apakah perubahan yang telah dilakukan tersebut mampu menjawab persoalan yang dihadapi mahasiswa selama ini? Atau justru tidak memberikan dampak apapun kepada mahasiswa? Menjawab pertanyaan tersebut, Tim Litbang OPINI telah melakukan random survey kepada 100 mahasiswa FISIP Undip terkait apa yang dianggap sebagai permasalahan bagi warga FISIP. Hasilnya, 35% mahasiswa menjawab bahwa fasilitas yang disediakan oleh fakultas dianggap kurang menunjang perkuliahan. Mayoritas responden menjawab fasilitas yang dianggap kurang menunjang adalah kebersihan kamar mandi. Selain itu, permasalahan pelayanan, perkuliahan, organisasi mahasiswa, keamanan, serta kesadaran mahasiswa dalam merawat FISIP juga dianggap sebagai permasalahan fakultas. Hal tersebut menunjukan adanya perbedaan persepsi antara masalah mana yang menurut mahasiswa perlu segera ditangani, dengan perbaikan yang diberikan oleh fakultas. Lalu, apakah mahasiswa sudah menggunakan hak bersuara untuk memberikan tanggapan terkait permasalahan yang dihadapi? Sebanyak 77% mahasiswa menyatakan pernah menggunakan hak bersuara. Mereka merasa bahwa hak bersuara merupakan hak yang mereka miliki untuk menciptakan perbaikan atas ketidaknyamanan, atau bentuk kepedulian terkait permasalahan yang dihadapi. Sedangkan, 12% responden menyatakan tidak pernah menggunakan hak bersuara karena malas dan beranggapan bahwa suaranya tidak akan didengar, tidak mengubah sesuatu, maupun menganggapnya sebagai hal yang tidak penting. Sedangkan 11% sisanya abstain. Kemudian, cara seperti apa yang paling sering digunakan dalam memanfaatkan hak bersuara mereka untuk menyampaikan kritik atau saran? Menurut informasi yang kami dapat dari responden, cara yang dilakukan untuk menyampaikan kritik dan saran ialah melalui media sosial, organisasi mahasiswa, demo, diskusi kelas bersama dosen, diskusi kelas bersama teman sebaya, atau yang lainnya. Adapun presentasenya, yaitu sebanyak 38,52% responden lebih sering menyalurkan aspirasinya melalui bercerita dengan teman karena dirasa lebih nyaman dan santai. Kemudian, 31,96% responden menyalurkan hak suaranya melalui media sosial. Organisasi mahasiswa menduduki peringkat ketiga, yaitu dengan presentase 16,39% yang sering digunakan responden untuk menyalurkan pendapat dan pikirannya. Sedangkan, 6,5% responden lebih sering memanfaatkan kotak kritik dan saran untuk menggunakan hak bersuaranya. Opsi terakhir dengan presentase 5,73%, responden memilih untuk berdiskusi langsung dengan dosen. Sementara itu, apabila dilihat dari tingkat efektivitasnya, 100 responden menyatakan, sejumlah cara yang menurut mereka efektif dalam menyalurkan pendapat dan pikiran, antara lain melalui sosial media, organisasi mahasiswa, demo, dan diskusi dengan dosen serta teman. Berdasarkan presentasenya, menyalurkan suara melalui media sosial menduduki peringkat pertama dengan presentase 30,1%, selanjutnya diikuti organisasi mahasiswa dengan 25,47%, 20,75% berdiskusi dengan teman sebaya dinilai efektif, dan berdemo mendapat presentase 10,37% sebagai gerakan yang dianggap efektif untuk meyalurkan hak bersuara. Sementara 8,4% responden menilai diskusi dengan teman sebaya cara efektif menyalurkan aspirasi dan terakhir dengan presentase 4,71% menggunakan public hearing dan kotak suara.

14 // Majalah Opini edisi 40


CARA YANG DILAKUKAN MAHASISWA DALAM BERSUARA Ĭ ỲÏ ĒHĖĦHĒÏĆÈF ĐG Sebaya

6 5

CARA YANG DIANGGAP EFEKTIF OLEH MAHASISWA DALAM BERSUARA ĈBÌ ÑŇÒMĬ ŎŒ ÒMÕ

İ ỲÏÅ ÈÉĒĐÏCĜHĒĐĘ

4 1

3

Į ỲÏĄĢĚĐGĒHĐHĒ Mahasiswa IJỲÏĀĜĤĐĖÏĀĢĒĤĒĖ dan Saran

2

J ỲÏ ĒHĖĦHĒÏÉÈGĚĐG Dosen Ĵ ỲÏĂĐĒGGÎ Đ

5

6

ČBÎ ǾŊMŌÒŒ MŒ Ò Mahasiswa

1

4

ĊBGÒŒ ÔÞŒ ÒŇÑŌŊMŌ Dosen ÇBGÑÖ Ŏ

3 2

DBGÒŒ ÔÞŒ Òİ ÑÖ MŌ Sebaya ĎBĨ ÞNÕÒŃĢÑMǾÒŌŊ dan Kotak Suara

Terdapat perbedaan cara yang dilakukan responden dengan cara yang dianggap efektif oleh responden dalam menggunakan hak bersuara. Menurut responden, bercerita dengan teman lebih sering dilakukan daripada menyampaikan hak bersuara melalui media sosial, aktif berorganisasi, diskusi dengan dosen, dan berdemo. Padahal, mereka menyadari bahwa menyalurkan hak suara hanya dengan diskusi dengan teman tanpa aksi nyata tidak akan menghasilkan atau mengubah sesuatu. Sebaliknya, menyalurkan pendapat dan pikiran secara lisan dan tulisan dengan cara langsung kepada orang yang memiliki kewenangan terhadap instansi terkait akan lebih memiliki dampak nyata dari apa yang diaspirasikan. Bertolak belakangnya apa yang disoroti mahasiswa sebagai permasalahan yang perlu diselesaikan terlebih dahulu (perbaikan kualitas toilet), dibandingkan dengan pembangunan fasilitas gedung dan jalan penghubung, telah ditanggapi oleh Wahyu Hidayat, selaku Pembantu Dekan III FISIP Undip. Ia mengatakan bahwa adanya urgensi pembangunan jalan penghubung tersebut dalam hal memfasilitasi dosen terkait dengan rekan pengajar yang mayoritas berumur di atas 40 tahun agar tidak kesulitan dalam mengakses antargedung, serta mahasiswa yang memiliki disabilitas fisik. Ia menambahkan keberadaan toilet dirasa sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa dan akan mengkoordinasikan keluhan mahasiswa mengenai kebersihan toilet kepada Pembantu Dekan II FISIP Undip, Handoyo DW. Ia juga memberikan keterangan, bahwa pengadaan jalan penghubung, sudah direncanakan dan dimasukkan ke dalam anggaran sejak dua tahun lalu. Disebutkan pengadaan fasilitas yang membutuhkan biaya besar tidak bisa dilakukan secara mendadak, tetapi harus diajukan paling lambat setahun sebelumnya. Menjawab pertanyaan kedua, Wahyu Hidayat, mengatakan cara beraspirasi mahasiswa akan efektif jika disampaikan melalui Badan Eksekutif Mahasiswa atau Senat, yang kemudian akan disampaikan langsung kepadanya. Bisa juga melalui kotak saran dan kritik yang terdapat di kampus. Setelah itu, akan dibicarakan dengan pimpinan fakultas. Jika biaya yang dibutuhkan tidak terlalu besar, akan disampaikan pada rapat pimpinan dwi mingguan. Selain cara nonformal tersebut, terdapat beberapa cara formal yang difasilitasi oleh pihak fakultas seperti Public Hearing dan Rapat Koordinasi Lembaga Mahasiswa. Ia berkata, “Prinsip saya, Anda saya anggap sebagai anak, saya sebagai orang tua, teman-teman administrasi sebagai pendamping untuk melengkapi fasilitas dan sarana. Kan kalau kita bicara seperti itu enak; tidak (seperti) saya mahasiswa, saya dosen, dan saya karyawan. Kalau seperti itu kan tidak akan selesai.” Mengakhiri wawancara, ia menekankan bahwa masukan dan kritik yang membangun merupakan saran yang baik dan jangan bersikap tidak senang ketika dikritik. Oleh: Tim Litbang OPINI

Selamat kepada kru Opini ingusan yang berhasil memproduksi majalah! Semoga semakin kritis, kreatif, dan amanah.

Majalah Opini edisi 40 // 15


Laporan Khusus

BERSAMA PPO MAHASISWA DIMINTA JADI PENGAWAS? Oleh: Wahyu Setiawan & Gigih Tafa'ul Sadewa

Beberapa waktu lalu, mencuat istilah “Surat PPO” di kalangan lembaga kemahasiswaan FISIP Undip. Kejelasannya masih banyak dipertanyakan. Apa sebenarnya PPO tersebut? Sejak kapan PPO tersebut berlaku? Pedoman Pokok Organisasi atau biasa disebut PPO adalah sebuah acuan bagi sebuah organisasi untuk menjalankan kegiatannya selama satu periode kepengurusan. Menurut pasal 1 Pedoman Pokok Organisasi Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Pedoman Pokok Organisasi (PPO) merupakan suatu pedoman pokok bagi pengurus organisasi kemahasiswaan di lingkungan FISIP Undip untuk menjalankan tugasnya agar proses organisasi dapat berjalan lancar. PPO menjadi acuan dari Senat Mahasiswa (Sema) FISIP Undip untuk semua organisasi yang aktif. Dilihat dari tujuannya, PPO secara sah mengatur organisasi berdasarkan pertimbangan dan persetujuan dari Pembantu Dekan III. Semua organisasi wajib berpedoman kepada PPO atas kegiatan dan program kerja yang mereka kerjakan nantinya. Seperti bagaimana yang dijelaskan dalam Pedoman Pokok Organisasi Kemahasiswaan pasal 2, bahwa maksud ditetapkannya PPO adalah memberikan arah bagi organisasi kemahasiswaan untuk menjalankan kegiatanya dalam rangka melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Sehingga, tujuan organisasi kemahasiswaan sebagai wahana dan sarana pengembangan diri mahasiswa ke arah perluasan wawasan dan peningkatan kecendekiawan, serta integritas kepribadian dapat terwujud. Setiap organisasi, termasuk Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), mempunyai peran masing-masing yang semuanya tertera di dalam PPO. Semua organisasi kemahasiswaan, baik Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ), Himpunan Mahasiswa Program Studi (HMPS), maupun Unit Kegiatan Kemahasiswaan (UKK) wajib menjalani dan menaati aturan yang tertulis di dalamnya. Sema FISIP Undip sendiri selalu mengawasi setiap organisasi secara langsung, dengan berpedoman pada PPO dan GBHK (Garis-Garis Besar Haluan Kemahasiswaan) yang telah ditetapkan. PPO sudah ada sejak awal terbentuknya Sema FISIP Undip. Di setiap awal kepengurusan, PPO tersebut selalu disosialisasikan kembali kepada semua pengurus organisasi. Isinya di samping Sema yang menetapkan, juga perlu mendapat persetujuan dari Pembantu Dekan III. “PPO semacam menjadi aturan main bagi setiap organisasi, apa yang harus dilakukan dan bagaimana prosedur yang harus dilakukan,” tegas Ketua Sema FISIP Undip, Lalu Ageeiza Rahardhipa. Pembantu Dekan III, Wahyu Hidayat, juga membenarkan adanya PPO tersebut. Seakan mengamini

16 // Majalah Opini edisi 40


pernyataan ketua Sema FISIP Undip, menurutnya, keberadaan PPO ditujukan agar program kerja semua organisasi kemahasiswaan di FISIP Undip dapat berjalan lancar dan tepat waktu. Ia mengatakan, “Tujuannya agar organisasi bisa berjalan sesuai dengan rel yang ada. Artinya, bagaimana kita mengelola organisasi dalam kelembagaan kemahasiswaan. Inginnya dekanat, “tentunya saya dalam hal ini sebagai penanggung jawab, supaya organisasi kemahasiswaan bisa berjalan sesuai dengan tata tertib yang telah disepakati bersama.” Ia menambahkan, PPO lebih difokuskan untuk membuat kegiatan dari UKK maupun HM menjadi lebih disiplin dan tepat waktu. Dirinya menjelaskan bahwa pada tahun kedua penerapan PPO ini, pihak fakultas ingin bertindak lebih tegas mengenai ketepatan waktu bagi semua organisasi kemahasiswaan dalam menjalankan program kerja. Salah satu faktor yang membuat pihak fakultas lebih tegas dalam kedisiplinan menjalankan program kali ini adalah, karena seringnya UKK dan HM menumpuk program kerja di akhir tahun. Perlu diketahui, dalam PPO tersebut, Sema selaku pengawas boleh mengintervensi program organisasi yang baru berumur kurang dari dua tahun. Interval dua tahun ini dianggap oleh Sema menjadi ukuran kematangan dari organisasi. “Kita melihat angka yang normal dan standar itu dua tahun. Artinya, yang dua tahun itu belum layak buat kita lepas,” kata Ketua Sema. Sema mempunyai wewenang untuk mengawasi secara langsung setiap program-program dari HMJ maupun HMPS. Bila perlu, Sema akan datang langsung untuk mengecek program yang dijalankan. “Tidak usah yang formal-formal pakai undangan, lewat sms aja sudah cukup. InsyaAllah kita akan hadir ke acaranya”. Berkaitan dengan PPO, Sema sekaligus akan mengawasi langsung apabila terdapat pelanggaran di dalamnya. PPO sendiri juga memuat beberapa aturan sekaligus sanksi bagi organisasi yang tidak patuh terhadap aturan, dalam hal ini PPO. Tidak hanya Sema, peran Pembantu Dekan III juga aktif terkait dengan pelanggaran dan sanksi yang ada. Dijelaskan bahwa terdapat beberapa tahapan sanksi terhadap organisasi yang melanggar. Pertama, dengan pemberian Surat Penyataan, sampai tahap ketiga. Apabila masih tetap melanggar, selanjutnya akan dikenai sanksi berupa denda maksimal Rp 1.500.000,00. Nominal tersebut merupakan hasil pertimbangan dari Pembantu Dekan III, dilihat dari bentuk pelanggarannya dan kondisi finansial organisasi tersebut. Pembantu Dekan III mengatakan bahwa denda yang masuk akan dimasukkan ke kelembagaan kemahasiswaan, tetapi pada akhirnya tetap akan dikembalikan ke organisasi terkait. “Denda ini tujuannya agar mereka (organisasi kemahasiswaan) disiplin. Dimanapun mereka, ketika menjalankan program pasti ada aturan-aturan yang harus diikuti.” “Pada intinya, saya harapkan tidak ada denda. Sebenarnya denda ini bukan untuk menakut-nakuti. Tetapi lebih kepada kedisiplinan mereka dalam menjalankan kegiatan. Artinya, supaya kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan berjalan tepat waktu dan sesuai harapan,” tambah beliau.

Senat Kurang Sosialisasi Pada awal periode kepengurusan, sudah ada satu organisasi yang melanggar isi PPO. Dijelaskan oleh ketua Sema pada saat diwawancarai, bahwa organisasi tersebut melanggar dan sebenarnya sudah masuk ke ranah pidana. Tanpa disebutkan namanya, Sema memberikan sanksi berupa teguran Surat Penyataan I kepada organisasi tersebut. “Kalau dilihat dari hukum pidana, itu sudah melanggar pidana. Masuknya ke dalam pemalsuan, yang mana organisasi tersebut memalsukan tanda tangan presiden BEM dan Pembantu Dekan III. Apabila awalnya ada perizinan, mungkin bisa saja saya izinkan. Namun, ini tidak ada persetujuan pada awalnya,” tambahnya. Terlepas dari itu, mahasiswa juga diharapkan ikut berperan aktif dalam mengawasi jalannya organisasi. Baik setiap program yang dijalankan, ataupun hal-hal lain terkait ketentuan yang ada di dalam PPO. Namun,

Majalah Opini edisi 40 // 17


dari mahasiswa sendiri masih ada yang kurang mengenal apa itu PPO. Sema mengakui, bahwa terdapat beberapa mahasiswa yang belum mengenal PPO. “Saya senang sekali bila ada mahasiswa yang tahu akan PPO. Jadi, bukan hanya Senat yang tahu mengenai PPO, mahasiswa juga. Jadi, mahasiswa bisa ikut berperan aktif memantau dan mengawasi kegiatankegiatan dari lembaga kemahasiswaan,” ujar Lalu penuh harap. Lalu juga mengakui bahwa Sema masih kurang maksimal dalam melakukan sosialisasi. Ia sadar bahwa sampai saat ini sosialisasi hanya sebatas pada media sosial saja. Sehingga, wajar bila ada beberapa mahasiswa yang belum mengetahuinya. “Memang publikasi kami minim, tetapi Sema punya blog yang di situ sudah tercantum lengkap. Nanti kalau ada yang mau sharing, sharing di blog aja,” ungkap Lalu. Sema juga menambahkan bahwa PPO memang tidak dapat dipasang di majalah dinding, karena ukuran dari majalah dinding tersebut kurang memadai untuk memajang PPO. Hal itu merupakan yang menjadi pertanyaan di benak mahasiswa. Seperti diketahui, bahwa Sema hanya mengundang perwakilan dari HMJ, HMPS, dan UKK untuk menghadiri sosialisasi terkait PPO dan GBHK pada awal April tahun ini. Dan, tidak ada mahasiswa independen di dalamnya, jelas hal itu merupakan suatu ironi apabila Sema tetap mengharapkan mahasiswa ikut berperan aktif dalam mengawasi jalannya organisasi. Dalam salah satu kutipan wawancaranya, Ketua Sema ini berkata bahwa ia ingin semua orang di FISIP bisa mengawasi jalannya kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh 26 lembaga kemahasiswaan FISIP. Namun, dengan sosialisasi yang minim seperti ini, bisakah hal itu terwujud?

“Jati diri hanya bisa dibentuk oleh diri sendiri. Dalam mencari pijakan itu kita harus mencari sendiri, tidak bisa berpijak pada pendirian orang lain. Dan dalam hal menolong orang lain, itu pun harus tetap berdiri pada pijakan sendiri. Bukan mengajak mereka pada pijakan kita, tetapi membantu mereka untuk mendapatkan pijakan sendirinya.” -Tan Malaka

18 // Majalah Opini edisi 40


Kolom

WARTAWAN KINI SETENGAH BISU Oleh: Luh Rani Wijayanti

Kebebasan pers sering dielukan, katanya pers saat ini sudah bebas. Namun, dari berbagai arah, tekanan untuk para wartawan tidak pernah berhenti, sehingga wartawan merasa tidak aman memberitakan kebenaran.

Pada satu sisi, pers sebagai wahana komunikasi massa berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat. Pers di antaranya berperan mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Sementara di sisi lain, masyarakat memiliki hak untuk mengetahui dan memeroleh informasi. Jadi, sudah merupakan tugas wartawanlah untuk menjadi jembatan, khususnya antara pemerintah dengan masyarakat. Sehingga wartawan pun memiliki hak yang sama untuk bersuara dan dilindungi oleh hukum. Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers, menjamin kegiatan jurnalistik yang ada di Indonesia. Pasal (2) Undang-Undang (UU) Pers menyebutkan bahwa kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat. Selanjutnya pada pasal (4) juga disebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Pada pasal tersebut, dipertegas pula bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memeroleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, serta mempunyai Hak Tolak dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum. Selain itu, kemerdekaan pers yang merupakan salah satu bentuk hak asasi warga negara, sejalan dengan landasan konstitusional yang ada, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Dalam pasal 28 UUD 1945 diantaranya menyebutkan bahwa mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan ditetapkan dengan undangundang. Selanjutnya, pasal ini diperjelas dalam pasal 28 F UUD 1945. Hal ini, jelas semakin meneguhkan bahwa dalam menjalankan profesinya, wartawan dilindungi oleh hukum. Namun, pada kenyataannya, meskipun pers pada era reformasi disebut telah merdeka, wartawan toh masih tetap tidak bisa benar-benar mengungkapkan fakta yang

selayaknya diketahui publik. Toh masih saja tekanan fisik maupun mental, verbal maupun nonverbal, menimpa mereka yang selalu dituntut membuat berita yang berimbang dan akurat. Orang bilang wartawan dalam bekerja dilindungi hukum, tetapi tetap saja jaminan hukum sekadar 'ada', tidak berfungsi melindungi seutuhnya seperti apa yang diharapkan. Lalu ke mana perginya hak bersuara wartawan? Bolehkah menyebut wartawan kini setengah bisu, hanya bisa bicara ketika yang dibicarakan itu 'aman'? Bagaimana wartawan tidak perlahan membisu, jika setiap saat ancaman kekerasan fisik dan mental, mulai dari larangan peliputan, ancaman, intimidasi, pemukulan, hingga tindak kekerasan yang merenggut nyawa selalu mengancam. Menurut data Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta, kekerasan terhadap wartawan di Indonesia mulai tahun 2003 – 2012 mencapai 467 kasus. Pelakunya pun bervariasi, mulai dari anggota DPRD, polisi dan TNI, preman, mahasiswa, hingga orang-orang yang tidak dikenal. Sementara itu di tahun 2013, menurut data Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sejumlah kasus kekerasan juga sempat terjadi. Salah satu kasus yang barangkali masih segar dalam ingatan adalah kekerasan yang dialami oleh wartawati Paser TV, Nurmila Sari Wahyuni, pada 2 Maret 2013 lalu. Parahnya, kejadian ini mengakibatkan korban mengalami keguguran. Kemudian di bulan yang sama, tepatnya pada 25 Maret 2013, terjadi penyerangan kantor Stasiun TVRI Gorontalo. Hal ini berkaitan dengan pemberitaan hasil keputusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) Manado tentang hasil Pemilukada Gorontalo. Lalu tidak sampai seminggu kemudian, mobilisasi massa dan penyerangan kantor menimpa Palopo Pos. Media ini menurut massa tidak netral dalam memberitakan selama Pilkada putaran kedua berlangsung. Jadi, jangan heran jika wartawan yang juga adalah manusia biasa merasa gentar.

Majalah Opini edisi 40 // 19


Ironisnya, tekanan bagi wartawan tidak hanya datang dari pihak luar media saja. Fenomena konglomerasi media menjadi sebuah ancaman baru bagi wartawan. Sejak era reformasi bergulir, bisnis media di Indonesia mulai berkembang pesat. Dalam sebuah hasil riset berjudul “Mapping the Landscape of the Media Industry in Contemporary Indonesia� yang dipublikasikan pada bulan Maret 2012, hampir seluruh saluran media di Indonesia dikuasai oleh hanya 12 grup media yang ada. Grup media tersebut adalah MNC Group, Kompas Gramedia Group, Elang Mahkota Teknologi, Visi Media Asia, Jawa Pos Group, Mahaka Media, CT Group, Beritasatu Media Holdings, Media Group, MRA Media, Femina Group, dan Tempo Inti Media. Grup-grup media tersebut memiliki berbagai saluran media seperti broadcast, media cetak, dan media online. Kepemilikan media yang kemudian menjadi lahan bisnis inilah yang dikhawatirkan mengancam hak publik mendapatkan informasi. Menurut riset yang sama, pemilik media cenderung mengubah media sebagai komoditas dan publik hanya berperan sebagai konsumen. Maka dari itu, dalam dunia industri seperti ini, informasi adalah barang dagangan, yang akan semakin laku dikonsumsi konsumen jika memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Selain itu, pemilik media juga dianggap menggunakan kewenangan yang dimiliki demi mendukung kepentingan masing-masing. Informasi publik pada media menjadi hak istimewa: mereka membentuknya dan dalam waktu bersamaan juga berkompetisi dengan media lain. Alhasil, publik akan disajikan informasi-informasi dalam jangkauan yang semakin sempit, sesuai dengan pilihan selektif media. Lalu apa pengaruhnya bagi wartawan? Tentu saja, adanya industrialisasi media yang menggeser hak publik mendapatkan informasi, mengubah konsep kerja wartawan. Apapun yang tidak memiliki nilai jual, nyaris tidak lagi layak disoroti oleh wartawan. Begitu pula dengan adanya kepentingan pemilik media, membuat wartawan pun turut selektif melakukan pemberitaan, karena hanya hal-hal tertentu saja yang akan ditampilkan oleh media. Hal mana yang kemudian mendukung kepentingan pemilik media, maka hal itu sajalah yang akan dipaparkan oleh media. Padahal nyatanya, banyak hal yang terjadi dalam masyarakat perlu diketahui oleh publik. Banyak informasi yang menurut para pebisnis media tidak memiliki nilai jual, sebenarnya merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh publik. Banyak informasi yang menyangkut kepentingan publik juga tidak ter-expose hanya karena tidak sejalan dengan kepentingan pemilik media. Ujung-ujungnya, apalagi kalau bukan wartawan yang menjadi setengah bisu. Dibisukan bisnis media dan kepentingan yang ada, membuat wartawan tidak lagi dirasa perlu mendahulukan kepentingan publik untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Dua bentuk tekanan di atas: kekerasan terhadap awak media dan adanya konglomerasi media menyebabkan wartawan nyaris tidak dapat berkutik. Melawan sedikit, nyawa melayang. Berontak sedikit, sumber penghidupan bisa hilang. Wartawan yang 'katanya' dilindungi hukum demi kepentingan publik ini pun menjadi lemah, karena 20 // Majalah Opini edisi 40

hukum pun tidak bisa memberi kekuatan pada mereka. Menurut data AJI, dari seluruh kasus pembunuhan terhadap wartawan, baru satu kasus saja yang pelakunya mendapat hukuman. Kasus tersebut adalah pembunuhan terhadap seorang wartawan Radar Bali, Anak Agung Prabangsa. Sisanya, hukum gagal memberi ganjaran setimpal dan efek jera pun tidak mampu diciptakan. Seperti pada kasus pembunuhan Ridwan Salamun, wartawan SUN TV pada 21 Agustus 2010 lalu. Terdakwa kasus tersebut dinyatakan tidak secara sah dan meyakinkan melanggar dakwaan subsider dan dakwaan primer, sehingga akhirnya dibebaskan dari hukum. Selain lemah terhadap kasus kekerasan yang menimpa wartawan, hukum juga terbukti lemah dalam mengatur kepemilikan media di Indonesia. Menurut pasal 18 ayat (1), UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta oleh satu orang atau suatu badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun beberapa wilayah siaran dibatasi. Seberapa ketat batas yang diberikan atas kepemilikan media ini tampaknya masih tidak jelas, meskipun dalam pasal yang sama juga disebutkan pembatasan diatur oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan pemerintah. Sejumlah pihak menyatakan, seharusnya dalam satu wilayah provinsi, satu badan hukum tidak boleh memiliki lebih dari satu izin penyiaran. Menurut pihak tersebut, pasal ini beserta sejumlah pasal-pasal lain dalam UU Penyiaran memang masih perlu dikaji kembali. (Tempo.co, 10 Januari 2012). Sekali lagi, maraknya tekanan dari berbagai pihak ditambah lemahnya perlindungan hukum, membuat adanya kebebasan pers pada era reformasi seolah tidak ada artinya. Wartawan tidak dapat menggunakan hak bersuara sebebas-bebasnya. Sebagai salah satu agen perubahan dan pilar demokrasi, wartawan belum merdeka dalam menjalankan tugas mulianya. Di negara berlandaskan hukum ini, jaminan keselamatan dan kesejahteraan wartawan masih samar pelaksanaannya. Termasuk didalamnya jaminan akan kebebasan pers itu sendiri.

Foto: Dicky


Kalau negara pun sudah tidak mampu melindungi hak bersuara wartawan, lalu siapa yang bisa melindungi mereka? Jangan sampai kelemahan regulasi di negara ini membuat para 'penekan' wartawan dengan segala kepentingan dan kuasa yang dimiliki, berhasil benar-benar meredupkan suara wartawan. Tentu yang diharapkan bersama adalah adanya kekuatan hukum di balik perjuangan wartawan dan dukungan publik atas kinerja mereka. Akan lebih baik lagi, disaat yang bersamaan wartawan dalam melakukan

tugasnya tetap menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, agar setiap pemberitaan dapat dipertanggungjawabkan. Ketika hukum bisa ditegakkan seadil-adilnya, niscaya wartawan pun juga dengan hak bersuaranya akan menjadi pilar yang mendukung keadilan di Indonesia. Semoga saja hal ini segera tercapai. Semoga. “Selamat Hari Kemerdekaan Pers Internasional, 3 Mei 2013”

Emphasis;“…sesungguhnya engkau lemah dan sesungguhnya dia (kekuasaan itu) adalah amanah dan di hari kiamat akan menjadi siksa dan sesal kecuali yang mengambil sesuai haknya dan melaksanakan apa seharusnya dilaksanakan.” -Nabi Muhammad Saw.

Foto: http://3.bp.blogspot.com/_xjjASUJaOQI/SMizbNtojtI/AAAAAAAAASU/okrwx8x-mK4/s400/TRACE.png

Majalah Opini edisi 40 // 21


Kolom

Oleh: Fendy Wahyudi Dosen Hubungan Internasional Foto: doc.pribadi

MENYOAL KEBEBASAN BERPENDAPAT Beberapa waktu yang lalu, publik diramaikan dengan prokontra pengesahan RUU Ormas (Organisasi Masyarakat). Rancangan Undang-undang yang tengah digodok di DPR RI tersebut, ditujukan sebagai sarana pengaturan keberadaan organisasi kemasyarakatan di Indonesia. Selama ini memang keberadaan Organisasi Kemasyarakatan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) disinyalisasi seringkali bergerak tanpa ada aturan yang jelas. Sehingga dianggap memberikan kemungkinan melakukan aktivitas yang justru kontraproduktif terhadap kemaslahatan masyarakat itu sendiri. Kalangan yang pro kepada Rancangan Undang-Undang ini menyebutkan bahwa sasaran utama UU Ormas adalah ormas-ormas terutama yang berasal dari asing, yang mengelola dana bahkan dari asing. Perlu adanya pengaturan sehingga keberadaan organisasi

22 // Majalah Opini edisi 40

Kemasyarakatan atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) disinyalisasi seringkali bergerak tanpa ada aturan yang jelas. Sehingga dianggap memberikan kemungkinan melakukan aktivitas yang justru kontraproduktif terhadap kemaslahatan masyarakat itu sendiri. Kalangan yang pro kepada Rancangan Undang-Undang ini menyebutkan bahwa sasaran utama UU Ormas adalah ormas-ormas terutama yang berasal dari asing, yang mengelola dana bahkan dari asing. Perlu adanya pengaturan sehingga keberadaan organisasi kemasyarakatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan bagi kalangan yang kontra, keberadaan RUU Ormas justru dianggap sebagai pembangkit rasa trauma otoritarianisme Orde Baru. RUU Ormas ini dikhawatirkan akan menutup ruang gerak masyarakat pada umumnya dan organisasi kemasyarakatan pada khususnya dalam


mengkritik pemerintah serta beraktivitas. Artinya, RUU ormas ini berpotensi membunuh daya kritis masyarakat dan sekaligus mengancam hak untuk menyampaikan pendapat. Dengan kata lain, RUU ini tidak memiliki urgensi yang jelas dan hanya merupakan bentuk kontrol terhadap masyarakat semata.

kebebasan bukanlah nilai yang harus dianggap penting.

Bentuk penolakan pun dilakukan mulai dari ormas-

Menurut Plato, justru penyensoran yang dapat dimaknai

dijunjung tinggi tersebut? Bagi sebagian besar orang dewasa ini mungkin akan beranggapan bahwa nilai itu adalah freedom atau kebebasan. Namun, ternyata bagi Plato justru

ormas non keagamaan seperti Kontras, ELSAM,

sebagai salah satu bentu pembelengguan terhadap

Imparsial, serta kelompok-kelompok buruh, maupun

kebebasan perlu dilakukan, terutama dalam konteks

ormas-ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah,

edukasi atau pendidikan. Tidak semua informasi dan

dan HizbutTahrir Indonesia (HTI).

ekspresi dapat secara bebas diberikan kepada publik

Kontroversi seputar RUU Ormas ini sebenarnya

terutama jika dikaitkan dengan pencerdasan publik.

berangkat dari kekhawatiran bahwa jika diterapkan UU

Nampaknya, apa yang dikemukakan oleh Plato

ini maka kebebasan masyarakat, terutama kebebasan

bahwa atas nama kebebasan, terutama kebebasan

berpendapat, menjadi terkekang. Padahal, kebebasan

menyampaikan pendapat, justru berbagai ekspresi yang

berpendapat (freedom of speech) merupakan salah satu

kontraproduktif bagi masyarakat terjadi. Atas nama

pilar penting dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Lalu,

kebebasan berpendapat, sejumlah kasus penistaan

pertanyaannya adalah, bagaimanakah semestinya kita

terhadap agama-agama tertentu terjadi. Dengan alasan

mendudukan hal ini? Apakah RUU Ormas tersebut perlu

kebebasan berpendapat, sering kali muncul argumen-

didukung atau ditolak?

argumen yang mendiskreditkan pihak-pihak tertentu tanpa dasar dan bukti yang kuat. Atas nama kebebasan pula, argumen cadas nan ngawur pun dengan

Arti Penting Kebebasan

mudahnya dilontarkan. Jika yang dimaksud kebebasan berpendapat adalah demikian, tentu kita tidak sepakat. Tidak mungkin dengan alasan freedom of speech kemudian kita menyamakan dengan bebas untuk

Sudah menjadi hal yang lazim, bagi mondial masyarakat sipil kekinian kebebasan atau freedom menjadi nilai yang dijunjung tinggi. Bahkan, freedom yang dalam hal ekspresi publik dikenal sebagai kebebasan berpendapat menjadi hal yang diagungagungkan oleh anak semua bangsa dari berbagai latar belakang peradaban yang berbeda. Namun, perlu kiranya dipahami terlebih dahulu arti penting kebebasan, atau sejauh manakah kebebasan perlu diperjuangkan dalam konteks kemasyarakatan. Jika ditelaah, kajian filosofis seputar freedom dapat dijumpai pada kajian filosofis klasik. Menarik apa yang disampaikan oleh Plato dalam salah satu karya monumentalnya—Republik. Dalam konteks umum masyarakat, Plato mengemukakan pentingnya sebuah institusionalisme. Disinilah Plato beranggapan akan pentingnya keberadaan negara. Namun, Plato menambahkan bahwa dalam bernegara, penting pula adanya sebuah nilai yang dianggap tinggi. Nilai ini harus ditegakkan dalam praktik kenegaraan. Pertanyaannya adalah, apakah nilai yang harus

menyampaikan apapun, termasuk bebas dalam menghina orang atau pihak lain. Bagi Plato, nilai yang harus dijunjung tinggi dalam bernegara bukanlah kebebasan. Bagi Plato, justru keadilanlah nilai yang harus dijunjung tinggi dalam sebuah negara. Artinya, perlu diluruskan bahwa memang sesungguhnya kebebasan bukanlah segalagalanya. Namun, bukan berarti tirani dan otoritarianisme bagai lawan dari kebebasan boleh dilakukan apalagi oleh negara. Justru, di sinilah pentingnya apa yang disampaikan oleh Plato, bahwa keadilanlah nilai yang seharusnya dianggap penting dalam bernegara. Dalam konteks berpendapat, maka bukan kebebasan menyampaikan pendapat yang penting, tetapi justru keadilan berpendapat atau perlindungan terhadap hak berpendapat yang kini semestinya menjadi fokus permasalahan.

Majalah Opini edisi 40 // 23


Mengapa penulis lebih memilih menggunakan istilah “hak berpendapat” bukan “kebebasan berpendapat”. Dalam kata “hak” sering diikuti kata “kewajiban”. Dengan kata lain, penting memberikan dan bahkan menjamin hak setiap entitas warga negara untuk menyampaikan pendapat, tetapi juga melekatkan kewajiban di dalamnya untuk memberikan pendapat yang benar. Ini menunjukkan pentingnya posisi keadilan tersebut. Hak diberikan secara adil, disertakan pula kewajiban untuk mempertanggungjawabkan hak tersebut. Sebaliknya, “bebas” cenderung tanpa aturan. Tidak melekat kewajiban moral dan tanggung jawab. Mungkin kita bisa berdebat bahwa makna kebebasan berpendapat tidaklah demikian. Akan tetapi, kita sepakat bahwa tidaklah benar mengutarakan pendapat tanpa dapat dipertanggungjawabkan. Kita juga sepakat bahwa tidaklah elok jika menyampaikan pendapat atas nama kebebasan, namun justru jatuh pada kondisi menghina pihak lain. Tidak ada freedom to insult, tentu kita sepakat. Dan tentu kita juga menginginkan ada keleluasaan untuk menyuarakan pendapat, namun juga melekat di dalamnya kewajiban untuk mempertanggungjawabkan pendapat tersebut. Inilah yang penulis sebut sebagai “hak berpendapat”. Maka, apakah RUU Ormas perlu didukung?

Mendudukan Masalah RUU Ormas

Dalam draf terakhir RUU Ormas yang digodok di DPR, ternyata juga masih mendapat banyak tentangan dari publik terutama pihak-pihak ormas. Menyoal prokontra RUU tersebut, semestinya kita mampu melihat, bahwa besar ketakutan publik akan RUU ini. Dikhawatirkan justru RUU ini akan membelenggu hak masyarakat dalam berserikat, berorganisasi, dan menyampaikan pendapat. Ketakutan ini beralasan dikarenakan anak negeri ini pernah cukup lama diperbudak kungkungan otoritarianisme represif Orde Baru. Jika RUU Ormas dijiwai semangat memberangus daya nalar, kritis, dan menginjak-injak hak ber pendapat publik, tentu RUU ini haruslah ditolak.

24 // Majalah Opini edisi 40

Namun, jika RUU Ormas ini ditujukan sebagai sarana pengaturan urusan publik, salah satunya adalah keberadaan aktivitas organisasi-organisasi kemasyarakatan maka tentu ini merupakan hal yang baik. Namun, bentuk pengaturan itu harus diarahkan bukan dalam rangka membuat hambatan-hambatan yang mempersulit penyampaian pendapat publik atau mengebiri aktivitas ormas. Pengaturan tersebut seharusnya justru ditujukan untuk semakin memfasilitasi aktivitas ormas agar lebih profesional dan semakin mendapat kepercayaan publik. Harus ditujukan pada upaya pengaturan agar organisasi-organisasi kemasyarakatan tersebut menjadi lebih bertanggung jawab, kepada siapa? Kepada publik tentunya, sebagai pemegang saham terbesar organisasi kemasyarakatan. Dan yang paling penting RUU tersebut juga harus memiliki ruh untuk memfasilitasi tercapainya hak berpendapat. Melihat kondisi pro-kontra tersebut pemerintah perlu dituntut tinggi kehati-hatiannya agar tidak salah dalam mengambil langkah. Kita pun sebagai masyarakat, semestinya memahami betul bahwa tidak ada kebebasan yang sebebas-bebasnya. Hak untuk berpendapat harus dijunjung tinggi sebagai suatu hal yang asasi. Lagipula, Hak Asasi Manusia tentu berbicara tentang ”hak” dan bukan kebebasan. Maka, yang penting hak untuk berpendapat tetap dijamin dengan pertanggungjawaban. Disinilah kita perlu mengubah paradigma kita dari kebebasan berpendapat menuju hak berpendapat. Jika pemerintah yakin bahwa RUU tersebut justru memfasilitasi ormas untuk melakukan hak berpendapat, maka RUU tersebut layak untuk disahkan, dan sebaliknya, jika RUU tersebut ternyata justru mencederai hak berpendapat publik dan ormas, maka tentu RUU tersebut harus ditolak.

////////////////////////////////// Opini mengucapkan SELAMAT datang kepada mahasiswa baru uiversitas diponegoro tahun akademik 2013/2014

//////////////////////////////////


Mie Nges Nges “Express Hot Spicy Home Made Noodles�

Tanya Jawab Oleh: Pratnya Puri & Yuli Kurniawaty

Kemunculan kuliner-kuliner baru dan unik di daerah Semarang akhir-akhir ini tidak hanya menarik minat dan rasa penasaran masyarakat, tetapi juga menambah ragam kuliner yang ada. Hal tersebut juga membuat para pebisnis dan pengusaha muda menjadi lebih kreatif dan tidak kehilangan akal untuk terus meng-explore ide-idenya. Tidak terkecuali dengan Muhammad Ihsan. Pria yang akrab dipanggil Ison ini hadir dan semakin dikenal sejak ide dan kemunculannya sebagai pencetus sekaligus owner outlet Mie Nges Nges. Sejak beroperasi pada Februari lalu, Mie Nges Nges tidak hanya dikenal masyarakat sekitar wilayah Semarang, tetapi sudah merambah ke ranah nasional. Lantas, apa yang membuat sarjana Ilmu Komunikasi FISIP Undip ini membanting stir menjadi pengusaha muda? Mengapa harus Mie Nges Nges? Bagaimana dengan proses pemasarannya? Untuk mengetahui jawaban di atas, Opini telah mewawancarai Muhammad Ihsan selaku owner Mie Nges Nges di lokasi penjualan di Jalan Meranti Raya 1 Banyumanik, Semarang. Apa sebenarnya Mie Nges Nges itu? Mie Nges Nges sendiri adalah mie pedas, lebih tepatnya seperti tagline yang kami punya “Express Hot Spicy Home Made Noodles�. Jadi, ada arti tersendiri di balik tagline tersebut. Seperti yang kita tahu, hot spicy itu artinya pedas, home made noodles itu artinya mie buatan sendiri, dan express itu artinya cepat. Kita maunya orang-orang yang makan di sini itu merasakan mie cepat saji dengan rasa pedas dan mie-nya sendiri merupakan buatan sendiri. Mengapa bisa tercetus ide untuk membuka Mie Nges Nges? Sebenarnya, saya awalnya sudah tiga tahun menjalankan usaha. Pertama, pada tahun 2010 saya membuka warung mie ayam konvensional dan es goyobot yang berlokasi di depan Masjid Kampus Tembalang. Namun, pada saat pertama kali buka itu semangatnya menggebu-gebu, tetapi ilmu dan pengalamannya belum ada. Baru tiga bulan dibuka, akhirnya ditutup. Kebetulan waktu itu dibuka bulan Novermber dan berlanjut bulan Desember, tetapi bulan-bulan itu kan masih musim hujan. Lalu dilanjutkan pada bulan Januari yang ternyata padat dengan jadwal UAS, setelah itu jadwal KKN, dan terakhir ditutup dengan jadwal libur mahasiswa selama satu bulan. Jadi, tidak ada yang mengurus. Daripada hidup segan, mati tak mau, kami akhirnya tutup saja. Lalu, kami membuka cafe yang namanya Teras Cafe. Dulunya, cafe ini berlokasi di seberang TK Bina Bangsa, Ngesrep. Cafe ini sudah berjalan dua tahun, tetapi karena ada kendala tidak dapat memperpanjang kontrak tempat, awal tahun 2013 lalu cafe ini akhirnya vacuum dulu. Dan yang terakhir kami operasikan adalah Mie Nges Nges ini, ternyata malah lebih laku. Alhamdulillah, kami baru beroperasi dua bulan lewat dua minggu, tetapi yang sudah menghubungi kami untuk menjalani kemitraan sudah 27 pihak. Mulai dari lingkup daerah Semarang, Jakarta, Yogyakarta, Malang, Solo, Purbalingga, Purwokerto, Medan, hingga Manado. Saat ini kami sedang membenahi manajemen internal dulu.

Sebenarnya kami memiliki dua segmentasi pasar. Pertama, student yang terbagi lagi menjadi dua, yaitu school and college. Kedua, family yang untuk kawasan tersebut memang ramai dipadati oleh masyarakat yang sudah berkeluarga. Harapan kedepannya untuk Mie Nges Nges? Kami punya misi agar Mie Nges-Nges ini bisa menjadi lebih besar. Kebanyakan orang bilang kalau mimpi jangan ketinggian, kalau jatuh nanti pasti sakit. Namun,bagi saya bermimpilah yang besar, biar harapanmu besar. Dan kalau harapan yang kamu punyai itu besar, effort dan kerja keras yang kamu lakukan juga harus besar juga. Kalau tidak sebanding itu hanya mimpi belaka. Apa pesan-pesan untuk anak-anak muda yang ingin menjadi pengusaha muda? Seperti yang sudah saya katakan tadi, kalau bermimpi jangan setengah-setengah. Jangan hanya bermimpi tanpa usaha dan kerja keras. Karena ketika muncul pertanyaan 'bisnis yang bagus itu seperti apa?', jawabannya adalah bisnis yang dibuka. Percuma kalau kamu hanya punya ide untuk menjalankan atau melakukan sesuatu, tetapi hanya di omongan belaka, tanpa action. Dan setelah dibuka, harus fokus dan ditekuni, kerjakan sesuatu yang lebih untuk mendapatkan sesuatu yang lebih. Dan dari apa yang saya sudah dapatkan di bangku perkuliahan, saya praktikkan dalam kehidupan berbisnis saya. Mulai dari branding, lobbying, marketing, advertising, pesanpesan yang memiliki makna, dan semua itu saya aplikasikan dalam bisnis saya.

Siapa saja target pasar Mie Nges Nges?

Majalah Opini edisi 40 // 25


Galery

lam BEM FISIP tergabung da ng ya a w sis sa untuk Maha n aksi unjuk ra ka ku la e m ip Und izal Bakrie ke atangan Abur d ke ut b m a meny kuliah umum, ngka mengisi ra m la a d ip i) Und (Ibrahim/Opin Jumat (17/5).

Muhammad Najib selaku Ket ua BEM KM UNDIP melakukan orasi dalam unjuk rasa menolak pencalonan Ical sebagai capres 2014 di depan Gedung Pro f. Soedharto, S.H. Jumat (17/5). (Ibrahim/Opini)

Seorang mahas iswa mengibark an sang saka di tengah puluhan masa ya ng sedang berunjuk rasa di bundaran depan Gedung Prof. So edharto, S.H. Ju mat (17/5). (Ibrahim/Opini)

26 // Majalah Opini edisi 40


Aksi teatrikal oleh salah seorang mahasiswa asal Sidoarjo mewarnai aksi unjuk rasa di depan Gedung Prof. So edharto, S.H. Jumat (17/5). (Ibrahim/Opini)

sekelompok nesia (AJI) dan do In is al rn Ju i ns Alia tuntutannya g menyuarakan an ar m Se di is dan jurnal an perlindungan untuk memberik rtepatan bagi jurnalis, be kesejahteraan icky/OPINI) ruh 2 Mei 2013.(D bu ri ha an ng de

Demo buruh 2 Mei 2013, seorang ang gota polisi mengawal dan membaur den gan demostrasi di depan kantor gubernu r Jawa Tengah. (Dicky/OPINI)

Majalah Opini edisi 40 // 27


Teropong

Sustainable Seafood: Menopang dan Mendukung Blue Economy di Indonesia Gagasan Indonesia tentang ekonomi biru (blue economy) terus menggelinding. Hampir semua anggota Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) menyambut dengan antusias, sehingga Pemerintah Indonesia perlu segera membuat konsepnya dalam tataran yang jelas. Gagasan mengenai 'blue economy' sebenarnya sudah muncul pada Senior Official Meeting (SOM) I di Moskow, Rusia, pada Januari 2012, dan ditindaklanjuti pada Forum APEC 2012 di Kazan, Rusia, Senin 4/6/2012. (Kompas.com) Menteri Kelautan dan Perikanan RI, Sharif Cicip J. Sutardjo, mendorong dan sangat mendukung perencanaan pembangunan Indonesia untuk memprioritaskan pembangunan laut dan pesisir mengadopsi pembangunan yang berbasis blue economy untuk menumbuhkan peningkatan pendapatan negara pada umumnya, dan kesejahteraan nelayan pesisir pada khususnya. "Prinsip-prinsip yang terkandung dalam ekonomi biru dapat menjadi kunci emas dalam perencanaan pembangunan nasional," ujar beliau saat membuka acara "Indonesia Marine and Fishery Industries Expo and Forum 2012", di Jakarta, Kamis 6/9/2012. (Antara news) Namun, menjalankan konsep blue economy ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Masih banyak kendala dari berbagai aspek yang perlu kita telaah dan selesaikan bersama-sama. Masih banyak tantangan yang dihadapi dalam sektor ini, baik dari pengolahan sumber daya, kemiskinan nelayan dan pembudidayaan ikan, maupun sumbangan sektor perikanan dalam pembangunan nasional. Salah satu permasalahan utama adalah kurangnya pemahaman masyarakat Indonesia mengenai sumber daya kelautan dan perikanan yang kita miliki. Akhir-akhir ini sudah banyak issue dan dengung mengenai potensi dan hasil sumber daya dari kelautan dan perikanan. Meskipun begitu, masih sedikit masyarakat yang mencoba peduli dan memahami makna, serta manfaat dari potensi kelautan dan perikanan. Sebenarnya hal ini menjadi sebuah ironi tersendiri. Negara kita notabene merupakan negara maritim dengan luas lautan sebanyak 70% dari seluruh kawasan negeri ini. Namun, pemahaman rakyat belum bisa secara menyeluruh menyentuh setiap kalangan dan seluruh daerah. Hal ini menjadi tugas dan kewajiban kita untuk bersama-sama membangun kembali potensi kelautan dan perikanan yang kita miliki, guna mendukung perekonomian yang ada di negara ini. Sampai muncullah istilah ekonomi biru, yaitu perekonomian yang mengandalkan sumber daya hasil kelautan dan perikanan. Konsepsi blue economy di bidang kelautan dapat menjembatani ekonomi hijau (green economy) yang selama ini diterapkan dalam perencanaan pembangunan di Indonesia, berbasis pelestarian lingkungan hidup. Kedua konsepsi green economy dan blue economy tidak bertentangan satu sama lainnya, tetapi saling melengkapi. Dengan berbagai permasalahan yang melanda, prinsip- prinsip yang terkandung dalam blue economy dinilai dapat memperkuat ketahanan pangan dan ekonomi demi mencapai pertumbuhan dan menyejahterakan rakyat secara berkelanjutan. Ya, memang masih banyak yang harus diperbaiki dan dibenahi jika kita berbicara mengenai pengelolaan aspek kelautan. Seperti dalam proses pelaksanaan program rehabilitasi dan perlindungan. Serta penghentian berbagai aktivitas pemanfaatan sumber daya laut yang tidak ramah lingkungan seperti overfishing, penggunaan sianida dan bom pada perikanan tangkap, manajemen yang belum terorganisir secara baik pada tempat-tempat ekowisata, dan lain sebagainya. Ada banyak cara yang dapat kita lakukan demi mendukung terlaksananya konsep blue economy ini. Salah satunya melalui prinsip 'sustainable seafood'. Yaitu program keberlanjutan hasil dan sumber daya perikanan tangkap. Sejauh ini kita tahu bahwa ikan-ikan konsumsi yang berasal dari laut sangat sehat dan dianjurkan menjadi konsumsi masyarakat. Hal tersebut mendorong tingginya permintaan pasar terhadap hasil sumber daya perikanan tangkap. Wajar rasanya jika kita warga negara Indonesia patut bangga dengan kekayaan laut yang kita miliki. Namun, tahukah kita bahwa saat ini terdapat berbagai masalah mengenai ekosistem perairan laut, salah satunya mengenai perikanan tangkap yang ada di negeri ini. Mulai dari overfishing sampai dengan cara penangkapan yang salah, sehingga menyebabkan

28 // Majalah Opini edisi 40


ketidakseimbangan ekosistem yang ada di lautan. Yang menyebabkan stok ikan semakin berkurang, sehingga berdampak kepada hasil perikanan yang semakin berkurang dan bahkan beberapa spesies mulai mendekati kata kepunahan. Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan bersama-sama untuk memulihkan kembali stok ikan dan ekosistem perairan laut ini. Salah satu prinsip yang diperjuangkan adalah menjaga stok ikan dan meningkatkan mutu lingkungannya, serta membangun komitmen para aktor industri perikanan (nelayan, konsumen, dan perusahaan) dalam menciptakan perilaku dan bisnis perikanan yang berkelanjutan. Juga peningkatan fungsi Kawasan Konservasi Laut (MPAs). Dengan menjaga area yang dapat dieksploitasi, maka penurunan populasi ikan diharapkan dapat terselamatkan. Tentunya pemahaman dari para nelayan yang notabene mereka adalah aktor utama dalam proses perikanan tangkap ini, harus mengerti sejak awal dan paham secara mendasar mengenai 'sustainable seafood' itu sendiri. Nelayan harus mengetahui ikan yang berukuran sebesar apa dan berumur berapa yang dapat ditangkap, sehingga stok ikan di lautan selalu tersedia. Penangkapan ikan yang belum dewasa atau belum melewati masa memijah akan menyebabkan penurunan populasi ikan tersebut. Selain itu, nelayan juga mengerti cara menangkap ikan yang ramah lingkungan yang tidak menggunakan sianida dan bom. Hal penting lainnya adalah penangkapan ikan yang tidak berlebihan (overfishing), hal tersebut akan sangat merugikan dan berdampak buruk bagi populasi ikan dan lingkungan. Hal ini dapat menguntungkan nelayan. Di mana sumber daya perikanan tangkap yang notabene merupakan mata pencaharian nelayan tetap terjaga. Keseimbangan ekosistem dan ketersediaan sumber daya akan sangat menguntungkan nelayan secara khusunya, dan industry beserta consumer secara umumnya. Peran kedua yang sangat berpengaruh adalah dari sektor industri. Memang agak sulit mengatur dan menyesuaikan dari peranperan industri itu sendiri. Di mana di sini kita berbicara mengenai keuntungan dan uang. Semua industri mengharapkan keberlanjutan yang tiada batas dengan tujuan memenuhi kebutuhan dan permintaan pasar tentunya. Namun, apalah artinya apabila kondisi yang didapatkan saat ini hanya bersifat sesaat atau sementara. Tentunya peran terhadap aktor industri sendiri harus memahami fungsi dari sustainable seafood secara mendasar. Dengan tujuan harapan dari perisndustrian yang mereka jalankan ini dapat bertahan lama. Dalam artian, ketika sumber daya perikanan tangkap dilautan sudah habis, lalu apa lagi yang akan kita cari dan kita eksploitasi. Bisnis perikanan tangkap ini merupakan hal yang sangat menggiurkan bagi beberapa kalangan. Dengan kondisi permintaan pasar global akan hasil perikanan tangkap yang semakin besar, membuat seluruh industri perikanan tangkap ini berlomba-lomba untuk menghasilkan dan mendapatkan ikan sebanyak mungkin. Namun, apabila tidak dibarengi dengan prinsip sustainable seafood, sektor bisnis perikanan tangkap ini tidak akan bertahan lama karena sumber daya yang semakin berkurang dan cenderung semakin habis. Hal tersebut akan sangat timpang dengan konsep blue economy, yang mengandalkan perekonomian dari sumber daya kelautan dan perikanan. Oleh karena itu, peran aktor industri di sini sangat penting dan diperlukan pemahaman secara mendasar akan prinsip sustainable seafood ini. Salah satu bentuk nyata dan konkrit yang dapat dilakukan dari para aktor industri adalah seperti, dengan menggunakan label terhadap ikan-ikan yang dilempar ke pasaran. Label yang menandakan bahwa ikan yang sudah berada di pasaran tersebut telah melewati proses yang ramah lingkungan. Seperti penangkapan yang tidak menggunakan pukat, sianida ataupun bom. Serta penangkapan beberapa jenis ikan yang sudah melewati masa memijah atau sudah dewasa. Sehingga, para consumer mulai paham dan mengerti, serta akan menjadi kebijakan tersendiri bagi para consumer dalam memilih seafood yang akan mereka konsumsi. Karena consumer cenderung akan lebih acuh dan tidak mau tahu dari mana dan seperti apa proses ikan yang mereka konsumsi itu dihasilkan. Maka dari itu, peran aktor industri dalam menjalankan konsep 'sustainable seafood' ini sungguhlah sangat besar. Lalu, apa yang bisa kita lakukan sebagai consumer utama dari hasil perikanan tangkap ini untuk memulai dan memulihkan kembali ekosistem yang ada di lautan kita ini?. Melalui kampanye publik 'sustainable seafood', diharapkan kita sebagai consumer dan juga bisa dibilang sebagai predator utama dalam rantai makanan menjadi lebih bijak dan pintar dalam memilih seafood yang akan kita konsumsi. Seperti contohnya, kita mengkonsumsi seafood yang sudah diberi label oleh para aktor-aktor industri yang sudah menjalankan konsep 'sustainable seafood'. Cari lain adalah kita mengkonsumsi ikan hasil budidaya atau mengkonsumsi hasil perikanan tangkap yang menggunakan bagan atau jarang insang. Hindari konsumsi ikan yang cara penangkapannya menggunakan pukat, karena itu sangat membuat stok ikan menjadi berkurang dan semakin terbatas bahkan menjurus kepada kepunahan spesies. Setelah peran nelayan dan industri menjalankan prinsip sustainable seafood ini, selanjutnya adalah peran manusia sebagai consumer. Perlu kerjasama antara 3 elemen di atas. Di mana nelayan dan industri sudah menjalankan prinsip sustainable seafood. Oleh karena itu, manusia diharapakan menjadi consumer yang cerdas dalam memilih ikan yang akan dikonsumsi. Satu hal lain yang tidak kalah penting adalah peran dari sektor pemerintahan. Peran pemerintah di sini sangatlah vital adanya. Karena kendali kebijakan dalam suatu keputusan ada di tangan pemerintahan. Lewat sosialisasi terhadap semua aktor yang berperan mulai dari para nelayan, industri dan terhadap masyarakat luas sebagai consumer. Majalah Opini edisi 40 // 29


Pemerintah memegang kendali dalam proses pengambilan kebijakan, pemahaman secara mendasar mengenai sustainable seafood, serta pengawasan secara ketat. Konsep sustainable seafood ini akan berjalan sesuai dengan konsep blue economy yang digaungkan oleh pemerintah akhir-akhir ini. Tentunya, jika semua aktor yang berperan dapat bekerja sama. Di samping peran vital dari pemerintahnya sendiri, bagaimana konsep ini dapat diramu secara baik oleh pemerintah, sehingga melahirkan keselarasan sesuai dengan apa yang kita harapakan bersama-sama demi terciptanya kestabilan ekonomi melalui konsep blue economy. Oleh: Evi Nurul Ihsan (Ilmu Kelautan 2010, Delegasi Undip di Seminar Blue Economy, Kementerian Kelautan dan Perikanan)

*** “You see, Doctor, God didn't kill that little girl. Fate didn't butcher her and destiny didn't feed her to those dogs. If God saw what any of us did that night He didn't seem to mind. From then on I knew, God doesn't make the world this way. We do.�-Watchmen (Rorschach)

30 // Majalah Opini edisi 40


Profil Oleh :

Rizky Utami Putri Adhitya Wisnu

Pemuda Hijau Indonesia regional Jawa Tengah tahun 2013. Mahasiswa Undip ini juga terkenal memiliki segudang prestasi yang dapat membuat orang disekitarnya berdecak kagum. Bagaimana tidak, sosoknya yang peduli terhadap lingkungan pernah sekali membawanya ke Brunei Darussalam sebagai wakil dari Indonesia dalam ajang ASEAN+3 Youth Environment Forum.

Foto: doc.pribadi

Permasala han perubahan iklim dewasa ini kian berkembang dan semakin mengkhawatirkan bagi masyarakat global hari demi hari. Diperlukan tindakan nyata untuk mengurangi dampak dari pemanasan global tersebut. Oleh karena itu, para pemuda yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan menjawab tantangan tersebut dengan membentuk sebuah koalisi yang bernama Koalisi Pemuda Hijau Indonesia (KOPHI). KOPHI merupakan salah satu NGO (Non-Governmental Organization) yang bergerak pada bidang lingkungan hidup. Organisasi yang berdiri pada 2010 ini, salah satunya diinisiasi oleh Yudithia, mahasiswa Universitas Indonesia (UI) jurusan Teknik Lingkungan. KOPHI memiliki beberapa tujuan, yaitu memfasilitasi para pemuda dari perwakilan setiap provinsi di Indonesia yang peduli dan mau membawa perubahan bagi lingkungan, mengembangkan kapasitas berorganisasi dan kepemimpinan dalam diri para pemuda yang nantinya akan menjadi agen perubahan bagi lingkungannya, mengajak para pemuda untuk berpikir kreatif dan berinisiatif dalam melakukan setiap aksi penyelamatan lingkungan, serta mampu mengajak para pemuda lain untuk melakukan tindakan yang sama. Selain itu, tujuan lainnya adalah memilih perwakilan KOPHI di setiap regional di Indonesia, menjalin hubungan yang baik di antara para pemuda di seluruh Indonesia dengan berbagai universitas, NGO, dan komunitas hijau yang ada, serta membuat gerakan yang nyata dan berkelanjutan dalam skala nasional. Sebelumnya mungkin orang tak mengira, di balik penampilannya yang sederhana dan terkesan pendiam, ternyata ia memiliki peran besar dalam KOPHI saat ini. Irfan Rhamdany, salah satu dari pemuda di Indonesia yang kini mendapat kehormatan menjabat sebagai Ketua Koalisi

Lahir di Bandung, 2 Maret 1993 sebagai anak tertua dari empat bersaudara, pria yang akrab disapa Irfan ini telah memiliki cita-cita untuk memelihara lingkungan sejak kecil. Ketidaksukaannya terhadap orang-orang yang membuang sampah sembarangan menumbuhkan rasa semangat yang kuat terhadap kebersihan lingkungan. Tekadnya pun sudah bulat di mana kelak saat dewasa ia ingin mewujudkan citacitanya untuk menjadi Menteri Lingkungan Hidup. Maka dari itu, mulai saat ini ia merintis karirnya menuju kementerian melalui banyak organisasi di bidang lingkungan yang sedang ia ikuti. Menurutnya, melalui organisasi lingkungan ini ia dapat mengembangkan potensi dan melakukan aksi nyata untuk lingkungan yang lebih asri dan baik. Masalah dan isu lingkungan menjadi perbincangan baik skala nasional maupun internasional. Di berbagai belahan dunia berupaya untuk dapat menyelamatkan lingkungan yang sudah terganggu dan tercemar oleh banyak faktor. Seperti sampah, polusi udara, polusi air, polusi tanah, dan lain sebagainya yang harus dicari solusi untuk mengatasi permasalahan tersebut. “Oleh karena itu, saya sebagai salah satu pemuda di Indonesia, dan pemuda adalah sebagai agents of change jadi harus dapat berbuat lebih untuk negeri tanpa harus banyak menuntut dari pemerintah.� Banyak sekali ragam prestasi telah diraih Irfan, baik itu terkait lingkungan hidup ataupun bidang lainnya. Sebelumnya, pada 2010 lalu, mahasiswa jurusan Administrasi Publik angkatan 2012 ini mendapatkan kesempatan untuk mewakili sekolahnya pada lomba mading On-Line tingkat Jawa Barat dan mendapat terbaik ke-2 untuk presentasi mading online. Kemudian, di tahun yang sama ia mendapatkan kesempatan mewakili Indonesia dalam kegiatan ASEAN+3 Youth Environment Forum di Brunei Darussalam. Ia juga mendapatkan juara 1 dalam cerdas cermat pada Kemah Hijau Nasional di Taman Safari Bogor Indonesia dan juara 1 dalam cerdas cermat tingkat kabupaten Indramayu. Tahun 2011 Irfan kembali mewakili Indonesia dalam Tunza International Children and Youth Road to RIO+20 di Bandung selama sepekan. Pada tahun 2012, ia menjadi delegasi dalam Future Leader Summit 2012 yang diselenggarakan di Semarang dan menjadi juara 3 dalam Ling Art National Essay Competition yang diselenggarakan oleh FBS UNNES, serta pernah menjadi juara 3 dalam Pekan Esai Nasional yang diselenggarakan oleh FIP UNNES. Di tahun yang sama, dalam Kongres Nasional II Koalisi Pemuda Hijau Indonesia di TMII Jakarta ia diminta menjadi delegasi mewakili Provinsi Jawa Tengah, menjadi delegasi dalam StudentsXCEO Summit 2012 di ITB Bandung. Kemudian di tahun 2013, ia menjadi delegasi dalam Womenpreneur Summit 2013, di Kementerian Koordinator Perekonomian Indonesia, dan juga di kegiatan Leader Activation Project bersama AIESEC dan Astra International. Majalah Opini edisi 40 // 31


Sungguh luar biasa rentetan prestasi yang pernah ia torehkan yang tidak hanya diranah lokal, tetapi juga internasional. Menurutnya, berprestasi adalah hal penting yang harus dilakukan oleh setiap manusia. Namun, bagi mahasiswa yang pernah mendapat beasiswa dari PT. Prima Coal Kalimantan Timur tersebut, meraih prestasi bukanlah suatu tujuan, melainkan hadiah atas usaha dan doa yang telah dilakukan. Dengan prestasi yang telah diraih itulah, seharusnya manusia dapat bermanfaat bagi manusia lainnya. Namun, terlepas dari semua itu, segala prestasi yang ia raih ternyata terdapat sosok yang menjadi motivasinya dalam berkarya. ”Orang-orang yang berprestasi di sekitar saya menjadi faktor yang membuat saya termotivasi. Begitu pula Ibu yang menjadi sosok inspiratif saya selama ini. Karena beliau, saya menjadi semangat untuk bekerja keras dan tak pernah berhenti untuk menyerah. Beliau selalu ada dan menguatkan diri saya untuk segera bangkit dan menuju lebih baik lagi,” papar mahasiswa yang pernah menetap di Indramayu, Jawa Barat, ini. Baginya, Ibu adalah sosok yang sangat inspiratif dan sempurna di dunia ini. “Saya tertarik dengan intercultural diplomacy karena seperti dikatakan tadi bahwa intercultural diplomacy merupakan bagian dari soft diplomacy di mana dalam melakukan hubungan diplomasi dengan negara lain tidak hanya dengan saling perundingan atau perjanjian yang dilakukan saja, tetapi juga tetap menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi dan demokrasi yang ada. Sehingga dalam berdiplomasi tidak melupakan budaya sebagai ciri khas tersendiri dari negara lain yang bisa mengangkat derajat bangsa kita melalui intercultural diplomacy,” jelas laki-laki yang berumur 20 tahun ini. Banyak pengalaman yang telah ia dapatkan dari kegiatankegiatan di luar akademik yang pernah ia ikuti. “Di konferensi yang pernah saya ikuti, saya banyak belajar aksiaksi dari para pemuda untuk lingkungan hidup di negaranya masing-masing sangat inspiratif dan berdampak nyata untuk lingkungan dan tentunya berkelanjutan. Di sana saya belajar bagaimana mengelola lingkungan hidup yang baik dari berbagai negara. Belajar budaya mereka, pendidikan yang ada di sana, pariwisata, dan masih banyak lagi.” Kemudian ia menjelaskan pengalamannya selama di Brunei Darussalam di mana perbedaan Indonesia dengan negara Islam tersebut terletak pada kondisinya yang sangat tertib, nyaman, dan sampah tidak berserakan. Tidak ada kendaraan bermotor roda dua yang berkeliaran di jalanan; infrastruktur memadai, lengkap, dan tidak ada yang terbengkalai. Yang lebih mencengangkan adalah di mana pendidikan di sana gratis hingga Perguruan Tinggi, kesehatan gratis, pelayanan publik gratis, dan semua ditanggung oleh pihak kesultanan Brunei Darussalam. “Disana kejahatan minim sekali terjadi, dan mall yang di Indonesia menjamur di Brunei hanya ada satu mall, tetapi kondisinya lebih bagus Citra Land di Semarang malah daripada di mall sana hehe”, jelas Irfan sambil tertawa. Dari berbagai prestasi yang telah ia raih, tidak setiap prestasi dapat ia raih begitu mudahnya. Ada kalanya ia pernah jatuh dan merasakan kegagalan yang begitu berat. Bahkan, ia hampir tidak kuliah karena beban biaya masuk yang dirasanya cukup besar. Setelah lolos Ujian Mandiri Undip ternyata biaya besar cukup menjadi hambatan, tetapi melalui usaha dan dengan

32 // Majalah Opini edisi 40

disertai doa akhirnya ia dapat mengatasi persoalan biaya melalui jalan yang dimudahkan. “Tetap tenang dan percayalah bahwa dalam setiap kesulitan terdapat kemudahan. Kesulitan yang kita hadapi jangan dijadikan alasan untuk tidak meraih sukses dalam hidup. Selalu bersyukur dan rendah hati, itulah kuncinya,” pesan Irfan. Pada akhirnya, karena keteguhan hatinya untuk melanjutkan pendidikan dan juga dibantu oleh beasiswa dari PT Prima Coal Kalimantan Timur, ia pun sukses melanjutkan pendidikan sebagai mahasiswa FISIP Undip tahun ini. Motto besar dalam hidupnya yang ia pegang selama ini, yaitu think, write, and do it! Segala mimpi yang ingin diraih, dipikirkan. Lalu tulislah, kemudian laksanakan untuk dapat mewujudkannya. Yang paling penting adalah mimpi tersebut dapat membawa kemaslahatan bagi orang banyak (useful for all). Tiga kata yang memiliki makna besar dibaliknya. “Kesulitan yang kita hadapi jangan jadikan alasan tidak meraih sukses dalam hidup kita baik prestasi maupun memberikan mashlahat kepada orang banyak. Sehingga harus benar-benar memanfaatkan kesempatan yang ada, harus dapat menjadi manusia yang beguna dan tidak menyia-nyiakan kesempatan dan amanah, serta tanggung jawab yang telah diberikan kepada saya. Selalu bersyukur dan rendah hati dalam menerima rezeki dari Allah SWT,” pesannya sambil menutup pembicaraan.

2011

· Menjadi delegasi Indonesia dalam Tunza International Children and Youth Road to RIO+20 di Bandung, Indonesia. 2012 · Menjadi delegasi dalam Future Leader Summit 2012 yang diselenggarakan di Semarang.  Juara 3 dalam Ling Art National Essay Competition yang diselenggarakan oleh FBS UNNES, Semarang.  Juara 3 dalam Pekan Esai Nasional yang diselenggarakan oleh FIP UNNES, Semarang.  Menjadi delegasi Provinsi Jawa Tengah dalam Kongres Nasional II Koalisi Pemuda Hijau Indonesia di TMII Jakarta.  Menjadi delegasi dalam Students XCEO Summit 2012 di ITB Bandung. 2013  Menjadi delegasi dalam Womenpreneur Summit 2013 di Kementerian Koordinator Perekonomian Indonesia.  Menjadi delegasi di kegiatan Leader Activation Project bersama AIESEC dan Astra International.


Profil

Oleh: Dicky Satriya

FOOD NOT BOMB

Food Not Bombs adalah kegiatan pembagian makanan secara cuma-cuma atau gratis yang bertujuan untuk mengembalikan makan sebagai sumber penghidupan yang sehat dan alami.

Majalah Opini edisi 40 // 33


Era demokrasi membebaskan setiap orang untuk berpendapat, menyampaikan aspirasi, bahkan melakukan aksi demonstrasi. Apapun dapat dilakukan, tentunya dengan tetap menaati peraturan yang ada, tidak merusak atau anarki, serta tidak mengganggu kepentingan orang lain. Salah satu kegiatan pemberontakan yang dikemas secara menarik adalah Food Not Bombs. Food Not Bombs adalah kegiatan pembagian makanan secara cuma-cuma atau gratis yang bertujuan untuk mengembalikan makan sebagai sumber penghidupan yang sehat dan alami. Sehingga, makanan bukan lagi menjadi komoditi instan yang hanya bertujuan untuk mencari keuntungan, seperti yang dilakukan restoran-restoran cepat saji ataupun produsen-produsen makanan instan saat ini. Dunia memang kaya akan sumber daya alam, tetapi tidak sedikit masyarakat yang justru hidup di tengah kemiskinan dan kelaparan. Food Not Bombs bermula sekitar tahun 1980 di kota yang tak terlalu besar, Cambridge, Massachusetts, Amerika. Awalnya, kegiatan ini hanya sebagai bentuk perlawanan pendistribusian nuklir oleh pemerintah Amerika ke negara-negara sekutunya. Saat itu terdapat sekumpulan aktivis yang aktif dalam aksi protes menentang proyek kekuatan nuklir

membutuhkan. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa siapa saja yang berada di sekitar lokasi Food Not Bombs bisa mendapatkan makanan dari kegiatan ini. Sumber dana maupun makanan tersebut biasanya didapat dari sumbangan para sukarelawan individu ataupun kolektif, makanan sisa yang layak konsumsi dari supermarket, pasar tradisonal, atau toko makanan. Dana juga didapat dengan menjual berbagai merchandise, kerajinan, atau karya-karya pribadi (fundrising) Food Not Bombs yang diproduksi sendiri secara mandiri, seperti kaos, poster, pin, emblem, atau kaset dan CD. Adapun makanan yang disajikan dalam Food Not Bombs adalah makanan nondaging. Selain mahal, daging juga mengandung lemak dan kolestrol yang dapat menyebabkan berbagai macam penyakit. Hal ini juga bertujuan untuk menghargai bahwa binatang pun mempunyai hak hidup yang sama dengan manusia. Seiring berjalannya waktu, Food Not Bombs mulai dilakukan oleh orang-orang di berbagai belahan dunia. Salah satunya adalah di Indonesia (Jakarta, Bandung, Makasar, Lampung, Palembang, Medan, Yogyakarta, Solo, Kudus dan Semarang). Hal ini menunjukkan bahwa Food Not Bombs dapat dilakukan di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja yang beranggapan bahwa makanan adalah hak semua orang. Pada peringatan Hari Buruh, 1 Mei 2013 lalu, Food Not Bombs ikut membuka stand di kawasan Peleburan, tepat di depan patung Diponegoro. Food Not Bombs ikut serta di tengah-tengah aksi demo buruh, walau tidak terlibat secara langsung dalam menyuarakan tuntutan buruh. Food Not Bombs juga turut serta membantu para buruh, karena selain menyediakan makanan bagi tukang becak dan orang sekitar, para pendemo juga turut mendapatkan makanan.

SEABROOK (Seabrook Nuclear Power Project). Salah satu aktivitas mereka adalah mencorat-coret tembok bangunan umum dan trotoar dengan cat semprot yang bertuliskan slogan-slogan anti nuklir dan anti perang. Salah satu slogan yang paling sering dituliskan adalah “Food Not Bombs!” Slogan tersebutlah yang kemudian menjadi nama dari kegiatan sosial untuk berbagi makanan gratis. Dengan dicetaknya nama mereka berulang-ulang di media, akan berdampak timbulnya konsep politis ke publik. Tak peduli apa yang media katakan tentang mereka di dalam laporannya, nama mereka akan mengatakan semuanya. Sama halnya saat mereka datang membawa makanan, orang-orang akan berkata “Hey, Food Not Bombs ke sini.” Food Not Bombs umumnya dirancang

“Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan.” Pramoedya Ananta Toer (Bumi Manusia)

untuk para homelesss, pemulung, gelandangan, anak jalanan, serta orang yang membutuhkan. Namun, tidak menutup

34 // Majalah Opini edisi 40


Berkelana

EKSOTISME CANDI CETHO Oleh: Gerry dan Baim

Beberapa waktu yang lalu, OPINI berkesempatan untuk mengunjungi salah satu situs sejarah di Jawa Tengah. Candi Cetho. Itulah nama situs prasejarah yang berhasil kami kunjungi. Kata “cetho� dalam kamus bahasa Jawa berarti jelas atau jernih. Tidak heran apabila banyak pengunjung yang selain datang untuk beribadah, mereka juga berwisata ke candi ini untuk mencari ketenangan hati serta kejernihan pikiran. Kompleks candi tersebut berdiri kokoh di atas dataran

tinggi, yaitu pada ketinggian 1496 meter di atas permukaan laut. Letaknya di sebelah barat lereng Gunung Lawu itu tepatnya di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karangayar, sebelah timur Kota Solo, Jawa Tengah. Inilah bukti sejarah bahwa agama Hindu pernah berkembang di Karanganyar.

Suasana Bali menyambut kami setibanya di sana. Rasanya seperti benar-benar berada di Bali ketika menjajakan kaki di depan komplek Candi Cetho. Situs petilasan Majapahit ini hingga kini masih digunakan oleh umat Hindu yang berasal dari berbagai daerah untuk prosesi peribadatan. Seperti ketika OPINI berkunjung hari itu. Kebetulan sekali kami bertemu dengan rombongan pengunjung

rombongan pengunjung yang kurang lebih berjumlah 150 orang. Mereka berasal dari Denpasar, Bali, yang bertujuan untuk melakukan Tirta Yatra (Perjalanan Suci). Di musim penghujan, cuaca mendung dan kabut menyelimuti kami di sana. Kami pun memulai petualangan di Candi Cetho. Menaiki satu persatu teras yang berjumlah 9 teras, dengan gapura di tiap tingkatnya. Teras pertama adalah halaman candi yang berada di area paling luar. Setelah naik beberapa anak tangga yang cukup melelahkan kaki, kita akan bertemu dengan gapura berupa sepasang arca penjaga. Sepasang arca penjaga tersebut dinamakan arca Nyai Gemang Arum. Kemudian kami mengikuti rombongan, naik ke teras kedua dan memulai prosesi ritual dengan meminta izin di depan petilasan Ki

Majalah Opini edisi 40 // 35


Ageng Krincing Wesi yang merupakan leluhur masyarakat di Dusun Cetho.

sengaja dibuat sempit agar umat yang hendak beribadah memasuki bangunan satu persatu secara teratur.

Setelah melakukan ritual di teras kedua, rombongan lantas naik ke teras ketiga. Pada tingkatan tersebut kita dapat temui arca bebatuan di atas permukaan tanah yang bebentuk segitiga dengan ujung berupa Phallus (alat kelamin pria) yang menggambarkan nafsu biologis manusia. Disinilah mulai terlihat eksotisme tempat ini, di mana setelah itu kita akan menemui patung atau arca yang berbau seksualitas.

Kami sebagai wisatawan lokal dilarang untuk menaiki trap yang paling atas ini, cukup hanya sampai teras depan dari tingkat puncak tersebut. Juru kunci candi ini mengatakan, di puncak candi yang tertutup nan sakral tersebut bersemayam arca lingga dan yoni yang lagi-lagi melambangkan kesuburan dan kesejahteraan. Hal ini tidak dianggap tabu, karena pada jaman dahulu hal tersebut diartikan sebagai lambang kesuburan.

Naik ke tingkat selanjutnya, rombongan memasuki teras keempat dan menemukan sebuah relief yang menggambarkan kisah perjuangan manusia yang ingin melepaskan diri dari malapetaka (Sudhamala). Untuk sekadar informasi, relief adalah kumpulan beberapa karakter yang diukir di atas permukaan batu, sehingga menonjol dan terdapat alur cerita yang bisa diterka. Memasuki teras kelima dan keenam, terdapat bangunan berupa pendopo yang biasa dipakai untuk upacara keagamaan. Tak hanya itu, tempat tersebut bisa dipakai berteduh. Biasanya digunakan oleh warga setempat untuk berjualan benda-benda antik. Diantaranya berupa cincin pengasihan, yang dipercaya dapat memberikan khasiat tersendiri dan masih banyak benda lainnya. Naik ke teras ketujuh dapat kita temui arca Sabdopalon dan Nayagenggong Abdi Dalem, penasehat spiritual Prabu Brawijaya. Memasuki teras berikutnya terdapat arca phallus Kuntobimo dan disebelahnya terdapat arca Prabu Brawijaya, melambangkan suri tauladan sebagai raja yang berbudi luhur dan dipercaya sebagai utusan Tuhan di muka bumi. Di teras kedelapan ini hujan deras sempat mengguyur kompleks candi, sehingga kami berteduh sejenak di bawah pendopo. Setelah mulai reda, umat yang hendak beribadah langsung melanjutkan ritual keagamaan mereka yang terakhir dan paling puncak. Di trap yang kesembilan ini terdapat bangunan utama candi yang paling suci, berbentuk trapesium. Konon candi ini sering dihubung-hubungkan dengan candi peninggalan Suku Maya, karena memang bentuknya yang hampir serupa. Pintu masuk

36 // Majalah Opini edisi 40

kunci candi ini mengatakan, di puncak candi yang tertutup nan sakral tersebut bersemayam arca lingga dan yoni yang lagi-lagi melambangkan kesuburan dan kesejahteraan. Hal ini tidak dianggap tabu, karena pada jaman dahulu hal tersebut diartikan sebagai lambang kesuburan. Semakin tinggi, semakin terasa hembusan anginnya. Indahnya candi tak hanya terlihat dari struktur bangunannya, tetapi juga pemandangan sekitar candi yang indah, sejuk, dan bersih. Berdiri di puncak teratas merupakan salah satu kebahagian yang utama ketika berkunjung ke candi ini. Menatap hamparan pepohonan hijau yang terlihat begitu asri. Candi Cetho menjadi tempat rekomendasi bagi para pelancong yang ingin mencari ketenangan hati dan kejernihan pikiran. Menyaksikan umat Hindu melaksanakan ritual keagamaan di candi ini, telah menjadi pengalaman tersendiri bagi kami. Letaknya memang terpencil, perlu melewati jalanan yang menanjak, berkelok, menikung untuk mencapai kawasan candi. Namun, jika kita sudah berada di sana, enggan rasanya untuk pulang karena udara yang sejuk dan pemandangan indahnya. Semua itu membuat kita merasa nyaman. Bagaimana? Tertarik untuk menjadikan Candi Cetho sebagai destinasi liburan kalian?

“A person who won't read has no advantage over one who can't read.� (Mark Twain)


Jalan-Jalan

MENIKMATI MENU SPESIAL DI NDALEM BAWOR Oleh: Anjar Yuni

Mungkin banyak di antara temanteman yang kerap bingung hendak menghabiskan malam Minggu di mana. Kali ini, redaksi memiliki informasi seputar tempat kuliner yang dapat dijadikan alternatif dalam menghabiskan malam Minggu atau liburan. Ndalem Bawor House of Mendoan, begitulah nama cafe yang satu ini. Cafe yang berlokasi di tikungan pojok Patemon, Jalan Raya Patemon, Gunung Pati, Unnes, Semarang, ini memang terdengar memiliki nama yang unik. Tri Anggoro, selaku pemilik cafe mengungkapkan bahwa dalam Bahasa Jawa, ndalem berarti rumah, sedangkan Bawor merupakan salah satu tokoh Punakawan dalam pewayangan Jawa yang sering dikenal dengan nama Bagong. Bawor atau yang populer dengan nama Bagong ini, juga merupakan icon dari Kota Banyumas.

Sehingga, penggunaan nama Bawor juga identik dengan makanan asli Banyumas. Terlebih lagi, pria yang akrab disapa Aang ini rupanya menyukai filosofi Bawor, yaitu SablakaBlaka Suta, yang artinya apa adanya dan dengan sifatnya tersebut, Bawor memiliki banyak teman. Harapan untuk cafe yang dimilikinya ini kedepannya adalah agar apa adanya dengan budaya lokal, tetapi tetap diakui dan memiliki banyak relasi. Sesuai namanya, cafe ini

ada di daerah asalnya. Tempe yang digunakan sebagai bahan baku mendoan pun adalah tempe daun yang didatangkan langsung dari Banyumas. Di Ndalem Bawor House of Mendoan ini, pengunjung bisa memilih berbagai variasi mendoan, mulai dari mendoan standar, mendoan gulung, mendoan bawor, serta mendoan keju. Untuk menikmati salah satu menu mendoan, tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Wajar saja,

menyediakan mendoan, yang tidak lain

karena target utama cafe ini

adalah makanan khas Kota

memang adalah mahasiswa.

Banyumas. Aang menjelaskan bahwa

Dengan kisaran Rp 5.000,00 – Rp

mendoan berasal dari kata mendo

6.000,00 saja, pengunjung sudah

yang artinya setengah matang.

bisa menikmati berbagai pilihan

Berbeda dengan mendoan yang sering

menu yang ditawarkan cafe ini.

ditemui di Semarang, mendoan yang

Selain menyediakan aneka

disajikan di cafe ini cenderung lebih

mendoan, Ndalem Bawor House of

basah, sesuai dengan mendoan yang

Mendoan juga mampu memadukan

Majalah Opini edisi 40 // 37


gaya tradisional dan gaya modern, lewat menu minuman yang disediakan. Karena selain bisa menikmati minuman khas Kota Banyumas, di cafe ini pengunjung juga bisa memilih minuman yang sudah banyak dikenal masyarakat, seperti kopi robusta. Tidak habis sampai di situ saja keunikan cafe ini. Selain nama dan menu makanan yang unik, masih ada desain yang tidak kalah menarik. Ndalem Bawor House of Mendoan ini tampak menarik dengan unsur tradisional khas Kota Banyumas, di antaranya dengan beberapa gambar Bawor yang digunakan sebagai icon cafe. Dilihat dari keunikan cafe yang buka mulai pukul 17.00–00.00 WIB ini, tampak bahwa pemilik cafe memang ingin mengangkat nama Kota

38 // Majalah Opini edisi 40

Banyumas. Aang yang berasal dari Banyumas, ingin mengajak pemudapemudi sekampung halamannya untuk peduli dengan budaya asal mereka. Hal ini dilakukan dengan mencintai makanan daerah dan tidak malu untuk berbicara ngapak. Menurutnya, banyak generasi asal Kota Banyumas yang saat ini merasa malu untuk berbicara dengan bahasanya sendiri. Banyak di antara mereka yang memilih menggunakan Bahasa Indonesia jika berbicara dengan orang lain. Cara lain yang ditempuh Aang adalah dengan menyediakan pamflet yang berisi tempat tujuan wisata di Kota Banyumas. Jadi selain mempromosikan mendoan, cafe ini juga mempromosikan Kota Banyumas agar lebih dikenal oleh masyarakat luas, khususnya yang berasal dari luar Kota Banyumas.

/////////////////////

KurirOpini Opini menerima kritik dan saran dari siapa saja dan dimana saja dalam bentuk tulisan Surat Pembaca dikirim ke lpmopini(at)yahoo (dot)com

/////////////////////


Cerita

BERBAGI CERITA DARI THAILAND

Semakin berkembangnya jaman, menuntut universitas untuk terus meningkatkan kualitasnya. Saat ini, salah satu indikator yang menentukan kualitas sebuah universitas adalah internasionalisasi. Pada dasarnya konsep ini memungkinkan universitas yang ada di Indonesia untuk dapat terhubung dengan universitas dan lembaga pendidikan lain di luar negeri, baik di bidang penelitian maupun pertukaran mahasiswa. Melalui program semacam ini universitas-universitas di Indonesia mampu meningkatkan standar dan reputasi mereka baik di dalam ataupun di luar negeri. Internasionalisasi ini sejalan dengan apa yang dilakukan oleh Universitas Diponegoro (Undip). Melalui AIESEC, berbagai program internasionalisasi telah berhasil diwujudkan. Melalui organisasi tingkat internasional ini, telah banyak mahasiswa Undip yang mendapatkan kesempatan studi banding maupun pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Tidak hanya dalam lingkup Asia saja, melainkan juga hingga lingkup Eropa. Salah satunya adalah Dini Puspita Hapsari (19). Mahasiswi program studi Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) ini mendapatkan kesempatan untuk pergi ke luar negeri dalam rangka

Oleh: Fatima Majalah Opini edisi 40 // 39


pertukaran mahasiswa. Ia menjalani program student exchange selama tujuh minggu di Thailand, Januari lalu. Dalam kurun waktu tersebut, mahasiswi angkatan 2012 ini mengikuti berbagai macam kegiatan. Mulai dari program training, perkenalan budaya dari masingmasing negara, hingga mengabdikan diri di daerah pedalaman Thailand. Sebelum berangkat ke Thailand hingga kembali ke Indonesia, Dini mengaku kerepotan dengan persiapan yang harus dilakukan. Sebab, gadis kelahiran Wonosobo ini harus mengurus segala sesuatunya sendiri. Mulai dari tahap seleksi, pengurusan pembuatan paspor dan visa, sampai masalah tiket keberangkatan. Dalam prosesnya, Dini bahkan sempat terancam batal berangkat, akibat surat-surat kelengkapan yang seharusnya didapatkan dari pihak Thailand tidak kunjung diterimanya. Padahal untuk membuat visa, dokumen seperti surat undangan dan surat keterangan dari pemerintah yang bersangkutan sangat dibutuhkan. “Buat ngurus visa aja butuh dua minggu, sedangkan waktu tinggal beberapa hari aja, alhasil aku berangkat tanpa visa ,� tutur Dini dalam sebuah kesempatan wawancara. Kendala yang dialami Dini, rupanya tidak berhenti sampai di situ. Pada minggu pertama pelatihan di Thailand, ia sempat ia ingin menyerah dan pulang. Pasalnya, Dini harus menjalani rutinitasnya bersama peserta lain dari berbagai negara dari pagi buta hingga tengah malam untuk persiapan di minggu-minggu selanjutnya. Rasa putus asa gadis ini pun semakin memuncak ketika ia harus ditugaskan ke Sisaket, sebuah provinsi di dekat perbatasan antara Thailand dan Kamboja. Di Sisaket, Dini harus mengajar anak-anak setingkat sekolah dasar di kota terpencil yang jarak tempuhnya mencapai tujuh jam dari Bangkok. Namun, semua perasaan yang tidak menyenangkan tersebut berubah ketika Dini dijemput oleh house fame d Thailand. Ia merasa beruntung bertemu dengan keluarga angkat sementaranya itu. Hingga pada akhirnya bisa merasa nyaman menjalani rutinitasnya di Thailand. Mereka memang telah banyak membantunya dalam

40 // Majalah Opini edisi 40

segala urusan, termasuk untuk dalam mengurus visa yang saat itu masih bermasalah. Bicara soal aktivitas, Dini tidak hanya mengajar saja. Ia juga menjalani rutinitas perkuliahan di sebuah universitas terkemuka di provinsi Sisaket, yaitu Sisaket Rajabath University. Uniknya, universitas ini diperuntukkan bagi keturunan para raja di Thailand. Meskipun mata kuliah yang ia pelajari saat itu tidak sesuai dengan program studi yang ia jalani di Undip, Dini merasa bangga bisa bergabung dan belajar dengan mahasiswa di sana. Selain itu, ia juga sempat mengikuti beberapa konferensi di Sisaket. Dalam kesempatan itu, Dini mempromosikan banyak hal mengenai budaya Indonesia kepada peserta konferensi. Serangkaian aktivitas yang ia jalani di Thailand tersebut memberikannya banyak pengalaman dan bekal untuk mengembangkan diri dikemudian hari. Duta Wisata Kabupaten Wonosobo ini berharap tahun depan dirinya mendapat kesempatan semacam ini lagi. Namun, obsesinya kali ini bukan hanya untuk pergi ke negaranegara di Asia, tetapi ia ingin berkunjung ke negaranegara di Eropa untuk memperkenalkan budaya dan pariwisata di Indonesia. “Untuk kedepannya saya ingin berusaha lagi, biar bisa ke Eropa� tegasnya. Dini puspita Hapsari, adalah satu dari segelintir mahasiswa yang beruntung bisa mendapatkan kesempatan pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Sebab, ada banyak mahasiswa yang awalnya mendapatkan kesempatan tersebut, tetapi akhirnya tidak dapat berangkat karena keterbatasan biaya. Karena program semacam ini memang tidak selalu memberikan biaya cuma-cuma untuk para pesertanya. Ada beberapa hal yang harus ditanggung sendiri oleh mereka. Padahal student exchange adalah salah satu jalan bagi generasi muda untuk mampu berbicara dan berkembang di ranah internasional. Ada baiknya jika pemerintah melalui pihak kampus mampu membantu pembiayaan agar kesempatan yang didapatkan oleh para mahasiswa berprestasi tidak lewat begitu saja.


Momen

encetak generasi muda Mpemimpin masa depan

Oleh : Nur Sholekhatun Nisa

P

ada Minggu (19/5), bertempat di Grand Candi Hotel Semarang, komunitas pemuda Future Leader Summit (FLS) menggelar acara Grand Summit bersama Ainun Chomsun, founder Akademi Berbagi sebagai pembicara. Dalam grand summit FLS 2013 ini, Ainun Chomsun berbagi cerita mengenai sejarah terbentuknya Akademi Berbagi hingga pada akhirnya mampu hadir di 35 kota di Indonesia. Ia juga berbagi pengalaman dan saran dalam memanfaatkan kekuatan jejaring sosial untuk branding suatu kegiatan, termasuk kegiatan sosial yang banyak dipandang orang tidak perlu disiarkan melalui ruang publik. Selain berupa seminar, grand summit sekaligus menutup rangkaian kegiatan FLS 2013. Sebelumnya, FLS sudah berlangsung sejak Sabtu (18/5), dengan rangkaian kegiatan seperti City Tour ke Kota Lama, kunjungan ke berbagai lokasi inspiratif di Semarang, dan Networking Night. Acara kemudian dilanjutkan pada hari selanjutnya (19/5) dengan Youth Fair, Room Summit, dan Grand Summit. FLS merupakan sebuah wadah yang dibentuk oleh para pemuda–pemudi Indonesia yang mempunyai satu misi dan visi dalam menggugah kesuksesan generasi Indonesia. Berawal dari sini, tercetak pemimpin masa depan yang dapat menjunjung tinggi solidaritas, menciptakan cawan bagi seluruh pemuda–pemudi untuk berkontribusi secara nyata sesuai referensi, unifikasi, serta menginspirasi dari berbagai sudut pandang. Menurut Muhamad Ibnu Sina, selaku Project Leader dalam Future Leader Summit 2013, memaparkan bahwa tujuan dari diselenggarakannya kegiatan ini adalah agar para pemuda saling berkaca, saling mendukung, dan memotivasi demi terwujudnya cita-cita bangsa akan generasi muda sebagai pemimpin masa depan. FLS kali ini diikuti oleh 300 pemuda dari seluruh Indonesia yang terbagi dalam 6 room, yaitu business development, health care, art and culture, environment, human rights, dan education, Acara ini juga bekerja sama dengan beberapa komunitas pemuda–pemudi di Semarang, di antaranya CEO (Care Environmental Organizator), Lensa (Lentera Nusantara), Semarang Coin a Chance, Young on Top Semarang, Forum for Indonesia, Akademi Berbagi Semarang, dan komunitas lainnya. Lalu, bagi peserta sendiri, apa manfaat mengikuti FLS 2013 ini? “Manfaat setelah ikut FLS, kita bisa mendapat banyak wawasan, pengalaman baru, teman baru, dan ke depannya untuk kontribusi, mungkin akan lebih terlibat dengan banyak event dan proyek sosial sesuai dengan room human rights,” tutur Dinda Dwimanda, mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP Undip, Semarang.

“The reason why we're fighting so hard, I not to change the world, but instead not to let the world change us.” –Silenced Majalah Opini edisi 40 // 41


Momen

42 // Majalah Opini edisi 40


BEM FISIP

///////////////////////////////////////////

JADWAL KEGIATAN UKK FISIP UNDIP 2013

Badan Eksekutif Mahasiswa FISIP

1.Juni Stadium General untuk mahasiswa. 2.September * Bazar Buku untuk tingkat fakultas. *FISIP mengabdi untuk tingkat fakultas. *Hari bakti sosial untuk tingkat fakultas. 3. Oktober *Seminar “Kajian tentang Pencerdasan Politik pada Masyarakat di tahun Politik” untuk masyarakat sekitar Undip. *Fisiphoria untuk tingkat fakultas. *POR SMA se-Semarang untuk tingkat SMA se-Semarang dan Dekan CUP untuk tingkat FISIP. 4. Diskusi rutin Selama periode BEM FISIP Undip untuk tingkat fakultas. 5. Pekan riset mahasiswa Awal tengah dan akhir kepengurusan BEM FISIP Undip untuk tingkat fakultas. Kontak: Rifky 085694744111

/////////////////////////////////////////// HMPS D3 Perkantoran

HMJ Ilmu Komunikasi

1. 15 Juni Seminar Sekretaris untuk tingkat program studi. 2. 10 September Bakti sosial untuk tingkat daerah. 3. 7 Oktober LKMM Pradasar untuk tingkat program studi.

1.Juli Bakti Sosial untuk tingkat jurusan. 2.Oktober Bedah Skripsi dan Karya Bidang untuk tingkat jurusan. 3.Akhir Acara seni “Komusikasi” untuk tingkat jurusan. Kontak: Dila 081228557977

Kontak: Dwi Taufiqul

HMPS D3 Hubungan Masyarakat 1. 1 Juni Pelatihan Produksi Majalah untuk tingkat SMA se-Semarang. 2. 20 Juli Bakti sosial untuk tingkat masyarakat seSemarang. 3. 21 September LKMM pradasar untuk tingkat program studi. 4. 14-15 September PR Cup untuk tingkat program studi. 5. 17 Oktober Lomba Pembuatan Iklan untuk tingkat universitas. 6. 17-19 Oktober PR festival dan Awarding Night untuk tingkat universitas. 7. 8 November Seminar Humas Muda untuk tingkat program studi. Kontak: Yunizar Riswanda 085641068088

“No government ought to be without censors; and where the press is free no one ever will.” Thomas Jefferson

083877544532

HMJ Administrasi Publik 1. 1 Juni VOPA (Voice Of Public Administration) untuk tingkat FISIP. 2. Minggu ke-4 juni Visiting Day (Pemda Solo & Himagara UNS) untuk tingkat jurusannya. 3. 7-9 Juni Public Go Public untuk tingkat universitas. 4. 13 Juli Sharing in Ramadhan untuk tingkat jurusan. 5. 14 September Great Moment untuk tingkat jurusan. 6. 21–22 September LKMM Pra Dasar Untuk tingkat jurusan. 7. 12 Oktober Upgrading HMJ untuk tingkat Himpunan Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik. Kontak: Gayuh 085742252239

HMJ Administrasi Bisnis 1. 14 Juni Business Study Club untuk tingkat FISIP. 2. 19—24 Agustus Penerimaan Mahasiswa Baru untuk tingkat jurusan Administrasi Bisnis. 3. 7-8 September LKMM Pradasar untuk seluruh mahasiswa angkatan 2013. 4. 20–21 September Open Recruitment Perangkat Muda untuk seluruh mahasiswa angkatan 2013 5. 25 Oktober Bazar Pameran UKM untuk tingkat universitas 6. 1 Oktober Pekan Olahraga dan Seni Mahasiswa untuk mahasiswa. 7. November Donor darah untuk tingkat FISIP. 8. November Seminar nasional untuk tingkat umum. Kontak: Yuniar 085726145895

Majalah Opini edisi 40 // 43


HMPS D3 Keuangan Daerah 1. 24–25 Mei Bakti sosial untuk tingkat umum. 2. 12 Juni Seminar Umum “Menatap Dunia Kerja” untuk tingkat universitas. 3. 10 juni Lomba fotografi untuk tingkat umum. 4. 15 September Penyuluhan Sex Education untuk tingkat SMA 5. 21—22 September Upgrading untuk tingkat program studi (int). 6. Pertengahan Oktober Seminar Nasional untuk tingkat umum. 7. 26 Oktober LKMM pradasar untuk tingkat program studi. Kontak: Abdul 085647572764

PSM FISIP 1. 31 Mei—2 Juni Lomba PSM tingkat nasional yang diselenggarakan PSM Hukum UNDIP. 2. Juni/Juli Studi Banding yang diselenggarakan oleh pengurus PSM FISIP UNDIP. 3. Agustus/September Penerimaan Mahasiwa Baru (Open Recruitment) yang diselenggarakan oleh pengurus PSM FISIP. 4. November Pelantikan anggota baru yang

Orangers FISIP 1. 15-16 Juni dan 22-23 Juni FISIP League untuk tingkat universitas 2. 24-26 Oktober Oprec Orangers untuk tingkat fakultas 3. Januari-Desember 2013 Latihan Rutin Orangers yang diselenggarakan oleh UKK Orangers untuk tingkat fakultas.

5. Setiap semester Produksi majalah untuk tingkat fakultas.

Kontak: 085786607892

HMPS D3 Manajemen Pemasaran 1. 5 Juni Bakti sosial untuk tingkat jurusan. 2. 7-8 September Marketing Futsal Cup untuk tingkat kota Semarang. 3. 8 Oktober Seminar Edukasi untuk tingkat nasional. 4. 21 Oktober LKMM pradasar untuk tingkat jurusan. Kontak: Yuli 085641772329

Pagar Alam

pengurus PSM FISIP.

1. 21-23 Juni Pendidikan wajib bagi para anggota Pagar Alam untuk tingkat FISIP.

Kontak: Risang 085234121416

2. 28 September

diselenggarakan oleh

1. Juni Bakti Sosial. 2. September Bazar buku dan workshop untuk tingkat universitas. 3. Oktober Open Recruitment yang diselenggarakan oleh LPM Opini. 4. Setiap bulan Produksi buletin Morpin untuk tingkat fakultas.

LPM OPINI

Fun Rafting bagi para anggota Pagar Alam untuk tingkaat FISIP. 3. 13 Oktober

SPECIES Club

Penanaman Mangrove bagi para anggota Pagar Alam untuk tingkat

1. Juni Tes TOEFL yang diselenggarakan oleh pengurus Species Club bekerja sama dengan SEU Undip.

FISIP

2. Mei

anggota Pagar Alam untuk tingkat

Pelatihan debat bahasa Inggris.

FISIP

3. September

5. Mingguan (Rutin)

Open Recruitment Species Club.

Jogging yang diadakan setiap Selasa

4. Oktober Upgrading dan pelantikan anggota baru. Kontak: Haikal 08529626770

44 // Majalah Opini edisi 40

4. 8-10 November Pendakian dan Aksi bersih bagi para

sore pukul 16.30 Kontak: Rizky 085284185807

Kontak: Fajri 085694588918

HMJ Ilmu Pemerintahan 1. 7 dan 11 Juni Tes TOEFL untuk tingkat universitas. 2. 12 Jun Survei Kinerja untuk tingkat jurusan. 3. Juli Minggu ke-2 Government Magazine untuk tingkat jurusan. 4. September Kuliah Umum untuk tingkat fakultas. 5. September Public Hearing untuk tingkat jurusan. 6. September Kunjungan ke Panti Penyandang Cacat untuk tingkat umum. 7. September LKMMPD untuk tingkat mahasiswa. 8. Oktober Stadium General untuk tingkat jurusan. 9. Oktober Pelatihan Mawapres untuk tingkat jurusan. 10.November Government Fair untuk tingkat fakultas. 11. November Pemerintah Cup untuk tingkat fakultas. 12. November Bazar Governement Fair untuk tingkat umum. 13. Desember Government Magazine II untuk tingkat jurusan. 14. Insidental Fokkermappi untuk tingkat nasional. 15. Insidental Audiensi untuk tingkat jurusan. 16. Tentatif Issue Corner untuk tingkat jurusan. 17. Tentatif Komik Edukasi untuk tingkat jurusan. Kontak: Donna 081542965323


HMJ Hubungan Internasional 1. 1 Juni dan 19 Oktober Short Diplomatic School untuk tingkat jurusan. 2. 20 Juni “We Share to Inspire” untuk tingkat umum. 3. 8 Juni HI Mengajar II untuk tingkat jurusan 4. 8-9 Juni Futsal HI Cup untuk tingkat fakultas. 5. 16-17 September Diplomatic Days untuk tingkat fakultas. 6. 12 September IRDU Moservation untuk tingkat jurusan. 7. September IR Fest untuk tingkat universitas. 8. 7-8 September LKMM Pradasar untuk tingkat jurusan. 9. 8 Oktober Seminar Ilmiah untuk tingkat fakultas. 10. Minggu Ke-4 Oktober International Market untuk tingkat umum. 11. 9 November Bakti Sosial YPAC untuk tingkat jurusan. 12. 15-16 November IRDUMUN untuk tingkat jurusan. Kontak: Farisah 085716958814 //////////////////////////////////////////////////////////////

Persekutuan Mahasiswa Kristen Protestan (PMK) 1. 5 Oktober Talkshow untuk tingkat Ma. 2. 22 November Temu Keakraban UKK PM bagi para anggota PMK untuk tingkat Ma. 3. November Bakti Sosial dalam rangka memperingati natal untuk tingkat Ma. Kontak: Renata 085270096654

Forum Keluarga Mahasiswa Muslim (FKMM) 1. Setiap Jumat “Kajian Keputrian/Asah Kreativitas” kajian seputar dunia keputrian untuk mahasiswa FISIP. 2. Dua bulan sekali Kajian menambah ilmu pengetahuan agama yang bermanfaat untuk mahasiswa FISIP. 3. 8—12 Juli “Tebar Kebaikan” kegiatan menyambut bulan Ramadhan dengan mengumpulkan tanda tangan dan bagi-bagi merchandise untuk mahasiswa FISIP. 4. September Tutorial & Bagi-Bagi Jilbab untuk mahasiswa FISIP. 5. Minggu kedua bulan September dan pertengahan Oktober *Open House & Open Recruitment FKMM periode 2013/2014. 6. 29 September Grand Opening Mentoring (GOM) pembuka kegiatan mentoring bagi maba. 7. 28 Oktober dan 25 November “Mentoring Bersama” mentoring yang dilaksanakan bersama maba oleh FISIP. 8. Awal November dan Mei Donor darah untuk umum. 9. Desember “Mentoring Gabungan & Penutupan Mentoring” penutupan serangkaian kegiatan mentoring selama satu tahun untuk mahasiswa FISIP. Kontak: Lia 085692310092

Basket Globies 1. 21 September Fisip Cup 9 untuk tingkat universitas. Kontak: Rara 085713930800 ///////////////////////////////////////////////////

Himpunan Mahasiswa Peduli Sosial (HIMPS) 1. 1-2 Juni Wisata Alam dan Budaya untuk tingkat universitas. 2. 18 Juni Nature Inside untuk tingkat universitas. 3. 29 Juni Penyuluhan Kesehatan untuk tingkat universitas. 4. 11 Oktober Charity on Culture untuk tingkat universitas dan SMA. 5. 14 Oktober Lomba Fotografi untuk tingkat universitas dan SMA. 6. 19 Oktober LDO untuk tingkat fakultas. 7. 10 November Gathering with LSM untuk tingkat UKK. 8. 2 November Seminar HIMPS untuk tingkat fakultas. Kontak: Tulus 089669013204

Majalah Opini edisi 40 // 45


Resensi Buku & Film

46 // Majalah Opini edisi 40


Opini Lampau

Semua Gara-Gara P4* Y. B. Mangunwijaya

Bagaimana pendapat Anda tentang fenomena budaya politik selama era Soeharto? Orde Baru atau Orde Soeharto terdiri dari tiga komponen pokok. Pertama, segi budaya, yaitu budaya kerajaan feodal pribumi. Kedua, segi sosioekonomi adalah ekonomi Hindia Belanda. Ketiga, segi sistem pemerintahan dan rekayasa sosial ala bala tentara Dai Nippon zaman Jepang. Ketiga komponen ini membentuk negara menjadi negara feodal, negara yang mengeksploitasi dan pengisapan rakyat dan fasisme Jepang. Ini mestinya dicabut sampai akar-akarnya.

Jadi sistem feodal baru ada pada era Orde Baru? Betul. Tahun 1945 tidak ada feodal. Orde Lama sama sekali tidak feodal justru demokratis. Jadi, feodalisme bukan budaya yang permanen tumbuh di bangsa timur. Itu P4. Bagaimana dengan UUD 1945, apakah sudah saatnya diganti? Iya, tapi istilahnya bukan diganti tapi disempurnakan, dimekarkan. Istilanya dimekarkan tapi intinya masih sama. Kalau dulu berupa bunga terus jadi buah, itu kan esensinya masih sama.

Apakah komponen ketiga bersedia dicabut?

Apa Pancasila bisa dimekarkan?

Tidak ada penguasa yang rela dicabut. Hindia

Bisa saja, Pancasila yang ada sekarang ini juga merupakan pemekaran dari Pancasila yang dipidatokan Bung Karno pada tanggal 1 Juni. Bukannya diganti, hanya didewasakan tanpa mengubah identitas. Itu bisa. Ini hanya dapat dilakukan dengan refleksi yang serius dan jika dirasa rumusan yang ada sekarang sudah tidak njamani.

Belanda dulu juga tidak bersedia dicabut, Jepang juga. Itu biasa. Dengan adanya niat untuk melakukan reformasi di segala bidang, tampaknya militer tidak melakukan reformasi? Belum, tidak dengan belum itu beda. Ini kan perjuangan. Tidak sama dengan beli barang di toko, kalau beli Toyota tidak bisa dapat Volvo. Perjuangan

Apakah pada masa pemerintahan Habibie ini Soeharto masih terlihat campur tangan?

belum. Ini tergantung generasi muda.

Campur tangan masih tapi tidak langsung. Campur tangan tidak perlu dengan ngomong, dengan duit juga bisa.

Apa Anda melihat adanya keinginan dari ABRI

Dengan budaya yang ditinggalkan?

sendiri untuk melakukan reformasi?

Dengan budaya bisa, dengan duit ya bisa, dengan peluru ya bisa. Tidak harus dengan omong.

manusia itu bisa dilaksanakan, sekarang mungkin

Sudah mulai, misalnya mendukung turunnya Soeharto, memindah jabatan Prabowo, dan mereka mengizinkan mahasiswa demonstrasi di gedung DPR. Ini kan lain dari jamannya Feisal Tanjung atau Benny Moerdani. Bagaimana dengan segi budaya feodal yang tampaknya melekat dengan budaya Indonesia? Itu kan brainwashing P4! Anda percaya? Buktinya tahun 1945 sampai 1959 tidak ada yang feodal.

Bagaimana dengan sistem pemerintahan yang tengah berlangsung saat ini? Sekarang ini kalau UUD 1945 masih diberlakukan, ya masih akan sama. Wong UUD 1945 itu sistemnya Soeharto, sistemnya Soekarno juga, ya dua-duanya diktator. Habibie nanti kalau terlalu lama ya podho wae. Nanti ada

Majalah Opini edisi 40 // 47


;presiden Sukimin, Paijo, ya podho wae. UUD 1945 itu memberi kelonggaran yang secara psikologis mendorong ke arah kediktatoran. Bagaimana dengan dihapusnya P4? Ini merupakan tanda bahwa P4 itu tidak ada gunanya. Tapi kalau masih ingin terus mengikuti tafsiran P4 ya monggo. Apakah mungkin di masa datang akan muncul lagi pemaksaan interpretasi? Itu tergantung Anda. Kalau ingin meneruskan ya monggo. Saya kan sebentar lagi sudah meninggal. Jadi, Anda yang akan mengurus. Bagaimana pendapat Anda tentang gerakan mahasiswa yang dilakukan beberapa waktu lalu? Sudah bagus, tapi baru sepuluh persen. Kualitasnya atau‌ Ya, kualitasnya juga baru sepuluh persen. Tapi, ini bukan kesalahan Anda, tapi kesalahan P4 selama tiga puluh tahun. Ha ha ha. Yang 90 persen ke mana? Yang 90 persen belum tercapai dan belum terungkap. Mahasiswa hanya menuntut Soeharto turun bahkan digantung dan sidang istimewa MPR. Tapi masih ada sebagian gerakan rakyat atau mahasiswa yang tidak hanya menuntut Soeharto turun. Kapan? Mana? Ada juga yang lebih jauh dengan mengadili Soeharto

tentang sistem. Nah, itulah yang sepuluh persen. Bung Karno, Bung Hatta dulu itu tidak membicarakan orang, tidak membicarakan Gubernur Jenderal Belanda atau Jenderal Yamashita‌ngrembug kok ngrembug menungsa, rugi! Nanti diganti Paijo hasilnya akan sama, diganti Paimin juga sama. Ngrembug itu sistem. Dulu pemuda-pemuda sudah sampai taraf perombakan sistem. Mahasiswa baru perombakan orang. Sudah berjasa tapi baru mengguncangkan orang. Beberapa waktu yang lalu para rektor sepakat untuk cooling down. Gini, ya, saya kasih tahu, kalau mau dikasih tahu. Sebetulanya yang ingin reformasi itu siapa? Itu kan jelas orang-orang yang belum beruntung dari orde Soharto. Mereka yang sangat beruntung dari Orde Baru masa ingin reformasi. Bisa beli BMW masa pingin reformasi, ha ha ha. Jadi, ya, maklumlah. Jadi para rektor termasuk orang yang beruntung? Saya tidak mengatakan rektor tapi semuanya. Ya gubernur, ya bupati, kepala departemen, dosen, direktur bank‌ Bagaimana dengan rakyat kebanyakan? Rakyat kebanyakan juga tergantung. Rakyat yang beruntung dari situasi orde Soeharto, atau yang kurang atau tidak beruntung. Kalau yang beruntung itu ya mestinya wegah. Ning samar le dibalangi, ya pro reformasi. Orang yang beruntung pada masa Orde Baru masa mau reformasi, kan tidak sebodoh itu, ha ha ha. Mudah saja. Karena mahasiswa tergolong yang tidak beruntung jadi makanya demo. Tapi yang beruntung nggak bakal ikut demo, cucunya Pak Harto masak ikut demo.

dan antek-anteknya. Lha iya. Soeharto, Soeharto, Soeharto. Jadi masih

Apa yang menarik dari pergerakan rakyat ini?

berbicara tentang orang, orang, per orang, belum

pergerakan ini belum ada, yang ada hanya marah,

berbicara

ngamuk, jengkel. Itu saja.

48 // Majalah Opini edisi 40


Gerakan itu harusnya seperti apa? Pergerakan itu sistematis, dirapatkan, terorganisir. Kalau rakyat nggak ada yang terorganisir, yang ada Cuma ngamuk, jengkel, ada yang dijarah ya dijarah. Saking mlarate saking jengkele. Dulu ketika awal Soearto jadi presiden ia berbicara masalah demokrasi, HAM, dan sebagainya, tapi sekarang kenyataannya berbeda. Apakah ini akan terulang lagi pada pemerintahan baru? Makanya, kalau masih UUD 45, ya hasilnya akan sama. Itu bisa diramal. Makanya, saya bingung. Ini bagaimana, dosen, mahasiswa, doktor yang pinterpinter kok cuma ngrembug menungsa. Apakah pada masa Orde Baru militer termasuk pihak yang diuntungkan? Sama saja. Ada militer yang beruntung dan ada militer yang tidak beruntung, atau mengharapkan beruntung dengan adanya reformasi. Apakah saat ini dwifungsi ABRI masih relevan?

dikeramatkan, dipuja-puji pakai dupa. Dwifungsi itu dulu menurut Nasution sebetulnya tidak seperti yang dilakukan Soeharto. Menurut Nasution, dwifungsi tidak hanya ABRI tetapi semua orang. Dokter pada jaman revolusi juga dwifungsi, tidak cuma dokter thok, guru juga bukan cuma guru thok. Semua dwifungsi. Kalau Soeharto bilang Dwifungsi ABRI, maka ABRI menjadi kekuatan sosial, maka punya wakil seratur orang (di DPR). Saya juga bilang: kalau begitu wakil buruh juga seratus orang, wakil petani seratus orang, wakil guru seratus orang, wakil kondektur, masinis, juga seratus orang. Apa begitu? Kan tidak. Dulu semua dwifungsi kok tidak dapat wakil? Sekarang tentara dwifungsi dikasih wakil. Curangnya di situ. Mengapa Abri bisa curang? Apa mereka punya nilai tawa yang lebih? Tidak. Tapi karena ABRI punya bedhil. Itu! Coba kalau kaum buruh punya bedhil pasti minta wakil seratus, sama saja.

Seperti di Amerika, Inggris, Jerman, dwifungsi itu ada gunanya. Tapi pada keadaan perang atau darurat.

Kalau prinsip yang baik itu begini, orang yang membawa bedhil itu harus ahli dalam menembakkan bedhil. Tapi, tentang pemakaian bedhil itu di mana dan kapan yang menentukan bukan yang ahli bedhil, tapi pihak lain yang tidak punya bedhil. Kalau yang punya bedhil yang menentukan kapan dan di mana menggunakannya, itu sama saja dengan bandit. Kalau yang memegang kendali orang yang tidak punya bedhil, akan tercipta negara yang teratur, kemanusiaan, adil, dan beradab.

Kalau tidak ada?

Jadi presiden harusnya sipil?

Kalau tidak ada ya tidak. Ketika dulu Perang Dunia II, semua dwifungsi tapi kalau perang sudah selesai ya sudah. Dwifungsi ABRI di negara manapun diperlukan dalam keadaan perang.

Presiden itu harus sipil. Kalau presiden tidak sipil, nanti jenderal bintang empat mau jadi bintang lima saja bingung. Yang memberi jenderal bintang lima malah Feisal Tanjung yang bintangnya Cuma empat. Ini bagaimana? Wis ora karuan, ha ha ha.

Di Indonesia kok diterapkan terus?

Seharusnya yang mengangkat presiden sendiri.

Ya salahnya di situ. Barang bukan tempatnya kok ditempatkan. Dwifungsi ABRI jangan diabadikan,

Jadi, presiden Soeharto mengangkat jenderal

Relevan. Ini barang baru, waktu zaman revolusi dulu belum ada. Ini kan karangannya Nasution, karangannya orde Soeharto. Tapi pada akhirnya‌

bintang lima Soeharto, ha ha ha.

Majalah Opini edisi 40 // 49


Kalau kita melihat sekarang rakyat makin tertekan… Itu sudah lama ha ha ha. Jangan kaget. Seperti kata Soeharto ojo gumunan, ha ha ha. Maksudnya, kalau kita melihat sekarang banyak yang sibuk mendirikan partai tapi rakyat makannya tidak terurus… Sebenarnya, bukannya tidak diurus, tapi harus ada keseimbangan. Ginanjar Kartasasmita itu cukup cerdas dengan mengatakan perbaikan ekonomi hanya mungkin kalau dalam bidang politik sudah ada penyelesaian. Itu betul. Tapi, setiap orang ngomong jangan politik dulu, sekarang ekonomi dulu, ya tidak bisa. Ekonomi kan tergantung pada situasi politik. Kalau politik belum beres, siapa yang mau investasi di sini? Sekarang 150.000 orang Tionghoa sudah keluar negeri, ini kan karena politik bukan ekonomi. Sekarang semua orang pintar ngomong, termasuk Amien Rais juga ngomong, yang penting itu sembako. Kalau orang bodho menuntut itu ya bener, tapi kalau orang pintar ngomong gitu, aduh, diragukan kepintarannya. Jangan-jangan kamu dikooptasi supaya jangan memikirkan

politik, sudahlah jangan mikir politik mikir ekonomi saja, berikan waktu pada Habibie. Nah, itulah tujuannya. Kalian dininabobokan. Apakah kegagal Indonesia saat ini karena rakyat dijauhkan dari negara? Iya, itu juga. Tapi, selain itu juga karena tidak pernah diajak mikir, dicuci otak terus. Kalau ada generasi muda datang ke sini pasti tanya, apa yang harus kami perbuat, Pak? Ini berarti sudah dicuci otak P4. Otak itu bisa tumbuh, bukan seperti neker (kelerengred). Itu harus kamu tumbuhkan karena dulu sudah dipotong. Mungkin karena trauma sejarah masa Bung Karno, bahwa politik adalah panglima… Itu hasil P4! Apa Orde Baru politik bukan panglima? Dwifungsi itu apa? Golkar itu apa? Kalau Gus Dur bilang, pada zaman Soekarno politik adalah panglima, tapi zamannya Soeharto, panglima adalah politik, ha ha ha. *P4: Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila

Oleh: Pappilon, Yogi, Komet. (Laporan Utama Majalah Opini edisi 23 tahun 1998)

“Nilai yang diwariskan oleh kemanusiaan hanya untuk mereka yang mengerti dan membutuhkan, humaniora memang indah bila diucapkan para mahaguru—indah pula didengar oleh mahasiswa berbakat dan toh menyebalkan bagi mahasiswamahasiswa bebal. Berbahagialah kalian, mahasiswa bebal, karena kalian dibenarkan berbuat segala-galanya.” Pramoedya Ananta Toer (Rumah Kaca)

50 // Majalah Opini edisi 40


Puisi

Teh Hangat Untuk Negeri Bapak-bapak dan ibu-ibu. Masihkan kalian berseteru? Apa sih yang di ributkan? Mari, ikuti saja aku mewedang : Nikmati teh hangat buatan rakyat, Sekedar melegakkan tenggorokan yang dari kemarin mengucap sumpah dusta, : di belakang meja hijau, di depan para jelata, di atas namakan Tuhan-Tuhan palsu. Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Masihkan kalian bersandiwara? Mari ikut saja aku bersantai : Menyeruput keadilan, masuk keperut-perut, Lalu jangan sampai dikeluarkan sia-sia, karena Tuhan tahu mana yang nista! Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Silahkan nikmati teh hangat dulu, Barangkali ada dingin dibalik musuh yang berselimut, Atau mungkin ada kubu-kubu beku yang siap beraksi, Maka, nikmati dulu secangkir teh hangat ini, Asli : dari rakyat untuk negeri! Cirebon, 2012

Maling Permisi tuan-tuan berdasi. Kudengar ada maling di negeri ini? Yang mana kah? Yang mana? Katanya : ada yang pandai mencuri. Siapakah? Siapakah? Ah, kau hanya diam saja : Tak tahukah? Kami yang mengais makna di bumi pertiwi. Hanya dengar-dengar saja : Seliwar-seliwer. Hanya Tanya-tanya saja, dan tak pernah tuntas terjawab Kapan? Kapan nurani kembali? Mana maling? Dimana maling? Siapa maling? Brebes, 2012

Oleh : Annisa Moezha (@AnnisaMoezha) Selamat kepada Malta Nur Doa Firdania Rarastiti Meivita Ika Nursanti Atas keberhasilan meraih gelar sarjana. Jangan lupakan Opini. Opini takkan melupakan kalian

Gambar: http://aku-uwong.blogspot.com/

Majalah Opini edisi 40 // 51


@majalahopini LPM Opini Fisip Undip www.majalahopini.com opini_fisipundip@yahoo.com cp Humas : 085694588918

52 // Majalah Opini edisi 40


Pojok FISIP

Photographer Dicky Satriya Hutomo



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.