nov 2013
lembar
gradasi
dari hitam menuju putih diterbitkan oleh Departemen Kajian Strategis BEM IKM Fakultas Psikologi UI 2013
Pengumuman, pengumuman! Di tahun 2014 nanti akan ada hajatan besar-besaran yang dihelat secara nasional! Sebagaimana hajatan lainnya, hajatan ini pun mengundang tamu sebanyak-banyaknya untuk hadir. Bahkan kali ini seluruh warga Indonesia yang cukup dewasa ikut diundang. Nah, maukah kamu datang dan berpartisipasi?
lembar
gradasi dari hitam menuju putih
diterbitkan oleh
Departemen Kajian Strategis BEM IKM Fakultas Psikologi UI 2013
oleh Arya Adiansyah
Hajatan akbar itu biasa kita sebut sebagai ‘pesta demokrasi’. Dari sanalah akan muncul pemimpin dan wakil-wakil rakyat baru untuk Indonesia. Persisnya pada 9 April 2014 akan digelar pemilihan umum anggota legislatif dan pada 9 Juli 2014 akan digelar pemilihan umum presiden RI. Hajatan biasanya dikaitkan dengan pesta dan pesta diasosiasikan dengan kebahagiaan. Namun tidak selalu demikian dengan pesta demokrasi. Untuk hajatan ini, beberapa undangan bahkan secara sadar memilih untuk tidak hadir. Kebanyakan dari mereka merasa pesimis, semacam, “Alah, nggak ada ngaruhnya buat gue.” Di sisi lain, cukup banyak yang hadir sekadar buat seru-seruan. Mereka adalah yang dalam pemilihan umum ikut mencoblos tanpa pemikiran yang mendalam. Ada yang asal memilih calon yang ganteng atau cantik, ada juga yang memilih hanya berdasarkan instruksi dari atasan. Di antara kedua jenis undangan itu, ada sekelompok
undangan yang spesial. Mereka adalah.. kita. Ya, kita, kaum muda yang menjadi pemilih pemula. Kelompok ini sering dipandang sebagai pangsa pasar yang segar dan belum terjamah. Banyak pihak yang berusaha menarik perhatian kaum muda dengan berbagai cara. Tidak mengherankan, sebab konon pemilih muda akan menyumbang suara hingga 21,92% dalam Pemilu tahun depan. Dengan porsi sebesar itu, kaum muda sebenarnya memiliki andil besar dalam menentukan arah bangsa Indonesia di masa depan. Hasil survei kepada 1.134 responden berusia 18-22 tahun di Britania Raya pada tahun 2005 menunjukkan bahwa secara umum pemilih muda pemula memiliki kepercayaan yang rendah, sinisme yang tinggi, dan efficacy (perasaan bahwa tindakan yang seseorang lakukan memiliki dampak) yang cukup tinggi terhadap politik. Penelitian semacam ini seharusnya dapat membantu pihak-pihak berwenang untuk mendorong kesadaran berpolitik kaum muda, sehingga porsi
suaranya tidak akan sia-sia atau malah diselewengkan. Ilmu psikologi pun telah memberikan sumbangsih pemikiran melalui ratusan penelitian yang mengkaji perilaku memilih (voting behavior). Nyatanya, voting behavior sering kali tidak didasari oleh pertimbanganpertimbangan kritis, namun malah didasari hal-hal irelevan seperti penampilan, faktor kemiripan, tekanan sosial, dan lain-lain. Pada akhirnya, kita tetaplah undangan dalam pesta demokrasi ini. Itu artinya, mau hadir atau tidak—mau menggunakan hak pilih atau tidak—memang menjadi urusan pribadi yang tak semestinya dipaksakan. Hanya saja dalam memutuskan hal tersebut kita seharusnya menyadari peran dan potensi yang kita miliki. Kita, kaum muda, adalah kelompok yang dinilai lebih dapat menggunakan pertimbangan rasional dalam memberikan suara. Lha, jika kita malah tak acuh dengan dengan Pemilu, bagaimana jadinya masa depan bangsa? :/
catatan mahasiswa biasa
Jadi Pemilih Nubie
Waktu itu gue lagi leyeh-leyeh santai di selasar bareng Ujang. Kita lagi asyik membelai-belai kucing selasar pas tiba-tiba Udin datang sambil bawa laptop dengan muka yang panik. "Gawat bos, gawat!!" "Kenapa Din?" "Nih, coba lu lihat." Udin menyodorkan laptopnya dan nunjukin homepage Kaskus. Di sana terpampang muka seorang tokoh bakal calon presiden dengan senyum charming plus tulisan gede berisi jargonjargon kampanye. "Widiiih.." "Tuh lu lihat." Setelah meletakkan laptonya, Udin duduk di sebelah Ujang dan melengos. "Kenapa sih tuh calon-calon pejabat ga bisa berhenti gangguin kita? Udah baliho gak jelas di mana-mana, sekarang tempat nongkrong favorit gue pun ditunggangi. Bikin sakit mata tau ga." Karena Udin kelihatan gusar banget, gue pun coba memberi saran yang solutif. "Sabar Din. Nih, lu bisa ilangin gambarnya kok. Tinggal ubah di settingnya nih. Disable image.." Klik, klik, klik, gue reload,
“
dan sukses lah foto bakal calon presiden tadi musnah. Tapi kayaknya Udin sama sekali nggak perhatiin gue.. Dia masih ngoceh sendiri, "Pemilu mau kayak gimana akhirnya sama aja. Semua capres, semua caleg sama aja!" Gue tiba-tiba jadi inget gaya cewek yang baru disakitin cowoknya, pasti omongannya kayak gini: “Semua cowok sama aja!” "Din..” Tiba-tiba angin berembus dan dedaunan gugur, suasana mendadak tenang saat Ujang menepuk pundak Udin. “Lu masih inget sama RUU Kesehatan Jiwa yang selalu lu gembar-gemborin?" "Iya Jang. Emang kenapa?" "Nah gue mau tanya. Itu RUU bisa muncul inisiatif dari siapa?" tanya Ujang. "Err.. kalo ga salah inisiatif orang Komisi IX DPR gitu deh," jawab Udin. "Itu anggota DPR kok bisa jadi anggota legislatif gimana ceritanya?" "Ya... lewat Pemilu sih."
Sebaik-baiknya pemimpin, nggak ada pemimpin yang bisa meraih jabatan dengan berjalan sendirian. If you believe in him/her, put into action. —Pandji Pragiwaksono
Ujang diem. Daun-daun masih berguguran. Udin terlihat merenung sejenak. "Kalau si ketua panitia kerja RUU Kesehatan Jiwa ga punya cukup suara buat masuk DPR, belum tentu lho isu kesehatan jiwa dibahas di komisi IX," Udin kembali menambahkan, “Gue ga mau ceramah panjang-panjang deh. Kalaupun mau golput juga gapapa Din, tapi sebagai pemilih nubie pastikan setiap keputusan lu itu beralasan. Dengan pertimbangan yang matang.” Beh! Ga tau kenapa si Ujang nih dari hari ke hari makin kerasa bijaknya. Mau maju jadi ketua BEM UI kali ya! Saking terinspirasinya, gue yang awalnya ya-udahlah-ya aja sama Pemira UI akhirnya ngubek-ubek juga tuh grand design BEM UI yang dibawa para calon: Adnan-Wize, Kevin-Wieldan, dan Ivan-Aid. ...Tapi pusing bos baca grand design-nya, tebeltebel amat. Pada pinter semua kali tuh ya. Pada ga berempati sama level kognisi gue. :( Yaudah akhirnya gue tutup dan lanjut buka 9gag deh. :/