RUANG DINI
Redaksi | 2
Tim Galeri
OWNER & FOUNDER RUANG DINI Dini Triani
EDITOR Raisha Adistya Pramita
IN-HOUSEMuthiaMANAJERAndyPENGARAHHaryantiARTISTIKDewantoroOPERASIONALFatharaniCOPYWRITER&
DESAIN & TATA LETAK Ary AbdusyukurKONTRIBUTORRustandiBudiarvin
Septiadi Florenza Octarina
3 | :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
Pameran Tunggal Mulyana
Kurator Ganjar Gumilar
PengantarKata | 4
menjadi abai, dalam menghadapi keterbatasannya, Mulyana justru memanfaatkan apa-apa yang ada dengan menjalankan proses mencipta. Dan kala itu, ia mengeksplorasi makanan dengan menjadikanya semacam bentuk penciptaan karya. Kreasi yang dilakukan dengan bahan makanan menjadi bentuk apresiasinya dalam menghadapi keterbatasan yang ada, dan dalam konteks ini adalah makanan. Apresiasi atas makanan ini pun menjadi pertanda bahwa ia tidak hanya memiliki nilai fungsional namun juga kultural; dan pada pameran ‘Bento, please cheer me up’ ini, Mulyana menujukkan itu pada kita semua.
Merebaknya fenomena pandemi telah mendisrupsi kehidupan masyarakat di seluruh penjuru dunia. Demi kebaikan hajat hidup bersama, penyesuaian dan perubahan gaya hidup terpaksa dilakukan oleh kita semua, termasuk salah satunya adalah Mulyana yang juga akrab dipanggil ‘Mang Moel’. Selama menjalankan program residensi di Korea Selatan, ia diserbu rasa kejemuan akibat proses karantina yang diakuinya tak menyenangkan, bahkan menjemukan dan kadang juga menekan. Mulyana dibatasi tidak hanya dari aspek mobilitas dan ruang gerak, namun juga pada makanan yang menurutnya adalah eskapisme paling ‘primal’ dan Alih-alihpersonal.
Kata Pengantar
Ruang Dini sangat berterima kasih kepada Mulyana sebab karenanya, ada secercah harapan bahwa sebetulnya tidak ada yang dapat menghalangi kita dalam bereksperimen dan mencipta, terlepas dari keterbatasan yang ada. Pameran ini juga menjadi pengingat bahwa selalu ada alternatif dan warna lain bagi kita untuk melerai dan menyelesaikan persoalan.
RUANG DINI
Dalam merespon hal tersebut, Ruang Dini sebagai galeri menyambut hangat perayaan atas proses mencipta dengan melakukan eksperimentasi dan eksplorasi seni melalui beragam hal, termasuk yang sifatnya keseharian seperti makanan. Kreasi dan apresiasinya atas makanan ini berhasil Mulyana alihbentukkan dalam wujud seni rajut dengan gaya khasnya yang cerah, ceria, dan jenaka.
5 | :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
Manusia punya cara yang khas dalam memaknai beragam hal, baik terhadap hal yang bermakna signifikan begitupun pada yang bersifat keseharian, termasuk makanan. Persoalan yang semula sebatas pemenuhan kebutuhan biologis yang bersifat amat ‘primal’ tersebut, kita maknai melampauinya. Makan tak hanya soal kebutuhan, melainkan menjadi ‘pengalaman’ 1 , atau bahkan hingga aktivitas simbolik dan kultural 2 . Terlebih ketika dipadankan dengan kemutakhiran sekarang, pergeseran dan perkembangan itu pun terasa kian nyata. Pengalaman makan tidak juga sebatas soal rasa, presentasinya dibuat indah sedemikian rupa, menjadi ruang terjadinya dialog budaya, bahkan mungkin memantik interaksi dan menjadi pelumas sosial. Apresiasi terhadapnya, yang lazim dibagi 3 oleh kita kepada khalayak, menjadi pertanda lain tentang posisi makanan yang semula fungsional untuk menjadi kultural.
Pameran Tunggal: Mulyana
teksKuratorial | 6
Bento, Please Cheer Me Up :(
1 Pengalaman makan, di satu sisi juga mungkin dapat dilihat sebagai bentuk dari pengalaman estetik, utamanya ketika ia terkait dengan estetik dalam konteks penginderaan / pencerapan. Makanan memberikan sensasi rasa, dapat menjadi ‘indah’ dan juga ‘tidak 2indah’.Makan
3 ‘Berbagi’ dalam konteks ‘informa sional’. Umum kita tengarai saat ini dimana peristiwa makan yang semula sifatnya personal kemudian diangkat menjadi publik melalui kanal-kanal media sosial.
Persoalan berbagi dan transparansi yang hari-hari ini kian mengemuka juga tak luput mempengaruhi konsumsi dan distribusi makanan. Berkat perkembangan teknologi, akses terhadapnya menjadi begitu leluasa dan tersedia: kapanpun,
dapat ‘berfungsi’ secara sim bolik seperti ketika ia menjadi simbol prestise dan hierarki sosial, makanan khusus para raja misalnya. Selain sim bolik, makanan juga dapat berfungsi secara kultural ketika ia diperuntuk kan hanya pada situasi yang khusus, utamanya terkait pada ritual, seperti ketika menjadi sesajen misalnya. Di sana, makanan benar-benar dilepas kan dari fungsi praktisnya dan ber operasi di level kultural-tradisional.
dimanapun, juga dengan ragam pilihan yang hampir tak terbatas 4 . Menariknya kondisi ini seolah menjadi ‘hak’ dan kemudahan yang kita terima begitu saja. Tak terbayangkan mungkin sebelumnya, bagaimana ketika semua akses tersebut tak lagi berada dalam kuasa kita Mulyanasepenuhnya?bolehjadi
dapat bercerita tentang itu. Beririsan dengan persiapan pameran ini, ia tengah menjalani program residensi dan diundang untuk berpameran Cheongju Craft Biennale di Cheongju, Korea Selatan. Tentu dalam kondisi yang seperti ini, penegakkan protokol kesehatan adalah tanggung jawab yang diemban bersama. Mulyana dalam keterbukaannya memenuhi undangan tersebut, dilaksanakannya dengan penuh pertimbangan dan kehati- hatian, termasuk pula ketika menjalani karantina. Di Korea sana, karantina menjadi satu kebijakan mandatoris yang harus dipenuhi pengunjung luar, selama 2 minggu penuh, dalam fasilitas karantina yang disediakan, dan dalam pengawasan ketat tenaga kesehatan setempat. Dalam ceritanya Mulyana menuturkan, selama masa karantina ia merasa sangat terbatasi, mobilitas ruang gerak tentu menjadi yang utama, untuk kemudian disusul dengan hal-hal lain yang disukainya: berbagi, bersosialisasi, dan berkomunitas. Tak juga Mulyana bayangkan sebelumnya, seputar keterbatasan makanan juga lambat laun menjadi Beragampersoalan.
4 Keterbukaan dan keleluasaan ini tentunya berhutang pada inovasi jasa ride-hailing app yang membuka lebar akses distribusi dan mobilitas makanan yang sebelumnya begitu lokal. Pelebaran ini juga selain dapat dilihat dari sisi ekonomi, juga dapat dilihat dari sisi sosiokultural.
7 | :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
cara Mulyana lakukan untuk mengusir kebosanan dan mengisi hari-harinya di sana. Hingga tiba ia di satu ketika, intuisi Mulyana kembali mengarahkannya pada proses mencipta. Dalam segala keterbatasannya ia mencoba berkarya dengan apa yang ada, dan kala itu yang tersedia adalah makanan. Seolah seperti menjadi ritual, tiap jadwal makanan tiba Mulyana tidak langsung mengkonsumsinya, melainkan dieksplorasinya menjadi semacam karya. Telur, daging, buah, dan sayur mayur dia kreasikan sedemikian rupa
5 Kami merasa beruntung untuk dap at menampung kekhususan praktik penciptaan Mulyana yang demikian. Meski terkesan insidental, namun perbedaannya terhadap karya-kar ya Mulyana yang sebelumnya justru membuka cukup banyak peluang baru. Mulyana dikenal dengan karya instalatifnya yang meruang dan me wahana, namun pada kesempatan ini karya-karyanya kemudian menjadi terpisah- pisah dan ‘monolitik’. Patut diakui bahwa hal ini banyak meng geser rencana persiapan pameran serta pembacaan kuratorial yang sebelumnya dibayangkan. Melalui ini pula saya mencoba menggeser pem bacaan karya untuk lebih fokus pada sisi personal, alih-alih pada komunali tas dan partisipasi yang sudah cukup umum dibicarakan melalui karya-kar ya Mulyana sebelumnya.
menjadi monster-monster jenaka yang dibayangkan dapat menghibur dirinya. Proses ini berjalan dengan sangat intuitif dan insidental, seolah tanpa prasangka atau tujuan yang ditentukan. Menariknya, meski dalam keterbatasan tersebut, karakter penggambaran yang khas a la Mulyana, yakni cerah dan playful , masih dapat tercipta. Ada paradoks yang menarik ditampilkan dalam karyanya yang demikian, keriangan penggambaran itu justru terkesan mengingkari kesan asli monster yang umumnya menyeramkan. Gagasan karya untuk pameran ini pun kemudian banyak muncul dari sana. ‘ Bento, please cheer me up ’ , menjadi dialog imajiner sekaligus eskapisme Mulyana yang terjadi dalam keterbatasan karantina tersebut, melalui makanan sebagai rekan resiprokalnya. Dalam ‘korespondensi’ tersebut, ada kekesalan yang tersirat namun disikapinya dengan perasaan ringan dan terbuka. Mulyana bahkan beranjak untuk menampung luapan emosi tersebut menjadi gagasan estetik, yang sifatnya personal serta jujur, idiom yang amat khas lahir dari tangan Mulyana. Di sini seni menjadi hampir tak berjarak dengan kehidupan sang seniman, beroperasi dengan begitu intim dengan Tentangdirinya.
teksKuratorial | 8
penggambaran yang ‘paradoksal’ tadi, monster makanan yang jenaka dan menyenangkan, bolehjadi Mulyana lakukan terdorong impuls insidental yang relatif tidak terencana 5 dan beroperasi di level ambang sadar. Menariknya, ada banyak perbincangan yang menarik jika sikap tersebut tidak kita maknai sebatas kegiatan mengisi waktu dan mengusir kebosanan, meski intensi
8tekanan.Dalam
awalnya demikian. Dalam karya ini Mulyana sepertinya sedang ‘memparodikan 6 ’ kenyataan sulit yang sedang diterimanya, menggunakan humor sebagai mekanisme pertahanan atau penyesuaian 7 . Strategi demikian pun sebetulnya nampak dalam keseharian Mulyana. Ia dikenal sebagai seorang yang periang. Lantas, cerminan apa dari posisi humor terhadap kehidupan ini yang dapat dimaknai lebih jauh melalui karya Mulyana, bersamaan dengan hal-hal lain yang melampauinya? Boleh jadi, hal tersebut tidak lah sesederhana apa yang kita bayangkan.
Humor, terlepas dari begitu lazim dan pentingnya ditemukan dalam keseharian, ternyata relatif baru-baru saja signifikansinya dipentingkan dalam kebudayaan. Saat ini utilitas humor terletak pada fungsinya untuk melepaskan tekanan, mempertajam fleksibilitas mental, menstimulus kreativitas, mempromosikan kesehatan, motivator handal, bahkan hingga menjadi pelumas sosial. Signifikansi humor tidak pula hanya berlaku di seputaran yang personal dan kasual, ia melebar hingga ranah sosial-profesional 8 . Sebelumnya, setidaknya hingga Abad Pertengahan ketika wahyu Ilahiah menjadi kenyataan paling purna dan begitu determinan, humor dilihat menunjukkan aura negatif yang bersifat profan yang mencerminkan sisi-sisi kelam manusia: arogansi, kekanak-kanakan, ketidak-seriusan, keburukan, dan lainlain. Pemaknaan yang lebih terbuka pada humor sendiri lebih banyak dilakukan ketika kebudayaan mulai memasuki
9 | :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
6 Parodi dalam konteks ini tidak di maksudkan untuk dimaknai dalam at mosfer pemikiran posmodernisme se bagaimana Fredric Jameson (1984) mengutarakannya. Alih-alih demikian. parodi ini lebih dimaknai secara literal. Dalam konteks Jameson, idiom paro di yang dimaksud banyak dilingkupi dengan iklim semiotika dimana parodi menjadi salah satu dinamika permain an tanda. Sementara karya Mulyana dalam pameran ini cenderung tidak bermaksud demikian.
7 Dimaksudkan untuk merujuk pada defense / coping mechanism, istilah psikologi yang cukup popular, yang menceritakan tentang cara-cara khusus yang diambil seseorang ke tika menghadapi persoalan- persoa lan hidup yang sering menghasilkan
sebuah wawancara, John Morreal (dalam Ille, 2006) seorang filsuf dan ahli humor, menyatakan pengalaman anekdotalnya seputar profesi sampingannya sebagai kon sultan humor bagi beberapa korporasi besar. Dalam pengalamannya terse but, Morreal melihat bahwa humor dapat diberdayakan secara produktif dalam modus operasi industri: baik dalam memperbaiki dinamika sumber daya manusia dalam sebuah korpora si, hingga sebagai daya dorong pene muan inovasi.
12 Morreall (1987, 1999) melihat bahwa inkongruensi dalam humor sebetulnya berdiri dalam landasan yang kurang memuaskan. Ia mengamini bahwa banyak tidak seluruh hal yang sifatnya inkongruen serta absurd akan memantik perasaan sendang dan tawa. Untuk itu ia mengajukan pendekatan humor sebagai permainan, dalam istilahnya: humor as play, laughter as play signal.
modernisme. Beragam kacamata dan cara pendekatan diajukan untuk mengangkat status sekaligus memahaminya: semula masih dilihat menandakan kesombongan serta perasaan super manusia 9 , lambat laun mulai dilihat berpotensi menjadi kanal pelepasan ketegangan diri serta perasaan terpendam 10 , kemudian menjelajah posisi ketak-sebangunan atau inkongruensi 11 rasio dan akal dalam diri manusia, sebagai bentuk permainan dan olahrasa 12 yang menjaga kognisi, dan terakhir sebagai komedi 13 , semacam pementasan yang kasual, trivial, parodis, dan menyenangkan.
diterangkan, karya Mulyana dalam pameran ini muncul dari aktivitas yang relatif bekerja di ambang sadar. Apa yang menginspirasinya muncul secara insidental dan terkesan tidak direncanakan. Latar ini kemudian dapat mengarahkan pembacaan pada psikoanalisis ‘konvensional’, yang melihat humor 14 sebagai sebuah peristiwa dimana superego (etika, moral, dan nilai luhur kemanusiaan) mempersilahkan hasrat (insting primal yang umumnya badaniah) untuk muncul ke permukaan, secara sementara dan dalam setting yang relatif lebih terkontrol. Dalam situasi tersebut, jiwa yang tengah dirundung tekanan tersebut kemudian mengalami ‘anestesi sementara 15 ’, untuk diredam dan dikembalikan stabilitasnya. Ketika tertekan, kecamuk hasrat dan emosi terpendam yang biasanya ditengahi ego (penengah yang sadar, pengambil keputusan),
Bagaimana kita dapat menempatkan karya Mulyana dalam pameran ini dalam spektrum humor yang sebelumnya disebutkan? Setidaknya, pertautan tersebut dapat dilihat melalui beberapa peririsan. Pertama adalah motif penciptaan sebagai pelepasan tekanan ambang sadar; kedua, pendekatan ‘permainan lepas’ sebagai daya eksperimentasi artistik; serta ketiga, tentang inkongruensi terhadap ekspektasi kognisi dan operasi mental yang justru dapat dinikmati dan mempromosikan Sebagaimanakreativitas.
9 Morreall (1987) menyebut ini sebagai Supe riority Theory . Pembacaan ini muncul masih dalam reputasi humor yang buruk. Humor, utamanya tawa, sering dilihat sebagai ungka pan derogatoris manusia terhadap manusia lain yang dianggapnya lebih rendah. Ungka pan ‘bersenang-senang’ di atas penderitaan orang lain pun, patut diakui, menjadi ‘meng hibur’ dalam konteks ini.
10 Morreall (ibid) menyebut ini sebaga Re lieve Theory, Pendekatan ini banyak dikaitkan dengan pendekatan psikoanalisis, utamanya Freud. Bagi Freud (1928) motivasi humor da tang dari dorongan hasrat yang dimediasikan melalui ego, untuk meminta ‘izin’ pada super ego untuk melepaskannya, untuk menjaga kestabilan dan keutuhan psyche.
11 Morreall (ibid) dan Ilie (2006) menyebut ini sebagai ‘incongruity’, diterjemahkan oleh pe nulis sebagai inkongruensi, ketidaksesuaian antara antisipasi kognisi yang sebelumnya dibangun dengan kenyataan yang sebetulnya. Patut diakui istilah ‘inkongruensi’ ini terkesan dipaksakan. Putusan ini diambil karena dalam khazanah Bahasa Indonesia sendiri, setidak nya hanya istilah kongruen (sebangun) yang kemudian dikenal. Alih-alih menggunakan ke tak-sebangunan, saya memilih istilah inkon gruen untuk sedikit mempertahankan kata rujukannya, incongruity.
13 ‘Komedi’, dalam penuturan Morreall (1999) banyak terkait dengan perkembangan seni peran dan merupakan upaya ‘pelembagaan pertama’ dari humor yang mulai berlaku di zaman Yunani Kuno. Komedi merupakan dra ma yang sifatnya antitesis terhadap tragedi. Keduanya sama-sama menghadapi persoalan hidup, namun menawarkan resolusi yang be nar-benar bertolak belakang. Pula dinyatakan, ini merupakan kali pertama dimana komedi kemudian dilembagakan dalam sebuah struk tur sosial dan kebudayaan.
teksKuratorial | 10
Upaya pelepasan ini bolehjadi terjadi di awal Mulyana bermain dengan makanannya. Setelahnya, operasi ambang sadar itu ‘diangkat’ untuk lebih disadari dan dimaknai. Ini kemudian ia kembangkan setelah ‘ego’nya melihat ada potensi dari hal tersebut. Mulyana kemudian menyortir ‘peristiwa’ mana yang dapat ia angkat menjadi karya, ia juga kemudian refleksikan terhadap sumber daya dan strategi estetik apa yang kiranya sesuai untuk menampung dan mengembangkannya. Di level ini, eksperimen ambang sadarnya secara gradual mulai lebih disadari, namun tetap didekatinya sebagai sebuah permainan bebas yang lebih terstruktur. Konteks kedua, tentang humor dan permainan, barangkali dapat kita lihat peririsannya di titik ini. Upaya Mulyana untuk lebih aktif menyadari eksperimentasinya, di sisi lain juga mendemonstrasikan manfaat dari permainan bebas yang juga menjadi daya dorong kreativitas.
kemudian gagal dijinakkan dan menjadi residu energi yang tersimpan dan terus menekan. Energi ini bagaimanapun perlu dilepaskan, skenario sebaliknya dapatlah menjadi detrimental bagi kestabilan jiwa.
dari Henri Bergson (1911) yang menyatakan bahwa humor berperan dalam memberikan ‘momentary anesthesia of the heart’.
14 Dalam Sigmund Freud, Humour.
16 Estologi adalah studi tentang tingkah laku hewan, serta juga termasuk manusia. Merupakan salah satu derivasi dari psikologi tingkah
Tanpa bermaksud menjadi derogatori, pola perilaku serupa juga terlihat dalam binatang. Morreal (1987) menyatakan, bahwa permainan hewan-hewan kecil bersama keluarganya, seperti saling mengejar, saling menggigit, serta saling bergulat, sejatinya juga melatih dan mengajarkan pada mereka keterampilan dan pengetahuan penting dalam berburu dan bertahan hidup. Di sini pula, bentukbentuk rudimentari dari tawa mulai
Tentang permainan, meski mudah ditampik sebagai hal yang kekanakan, sejatinya tidak hanya memberikan sebuah pengelaman yang menyenangkan. Permainan memberikan kita ruang untuk melatih keterampilan dan kepiawaian di dalam cara yang tidak biasa dan di titik terjauhnya (ekstrim), namun dalam kondisi khusus yang dibuat sedemikian rupa aman. Etologi 16 melihat, bahwa permainan yang dilakukan anak-anak 17 ini juga berguna menjadi semacam proses orientasi manusia untuk kelak kedepannya dapat secara mandiri melerai persoalan melalui penemuan solusi. Dalam sebuah permainan yang menyenangkan, latihan pencarian solusi itu juga seringkali meminta kita untuk bersosialisasi, memahami pentingnya mengikuti aturan, serta melihat potensi produktif dari kolaborasi. Sifat-sifat permainan yang seperti itu, barangkali mirip dengan olahraga, dimana kemampuan fisik terbaik manusia kemudian diuji dan
15(1928)Dikutip
17laku.
berevolusi.11|:(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
18
Sebagaimana diungkap dalam catatan kaki nomor 12.
dikontestasikan. Mungkin dapat dibayangkan, jika olahraga merujuk pada fisik manusia, dalam humor hal tersebut adalah rasa. Apa mungkin kita mendekati humor ini juga sebagai salah satu bagian dari olahrasa?
Kembali ditekankan di sini, tidak seluruh hal yang ‘tidak masuk akal’ tentunya menyenangkan bagi manusia.
teksKuratorial | 12
Pada proses penciptaan karya ini, Mulyana sebetulnya sedang ‘menikmati’ semacam inkongruensi dari penggambaran monster tersebut melalui cara yang mirip dengan kita menikmati humor. Dalam humor, kita akan berhadapan dengan ikongruensi, atau pengingkaran pola-pola mental dan ekspektasi dari rasio dan logika 18 manusia, yang menariknya justru dapat manusia kita nikmati dengan sendirinya, meski terbatas hanya pada kondisi dan waktu-waktu yang khusus 19 . Kadang halhal yang absurd dan tak masuk akal dapat mengundang canda dan gelak tawa. Di titik terjauhnya, menjadi ‘di luar nalar’ dan absurd sekalipun, ketika diarahkan secara lebih konstruktif, menjadi sumur gagasan yang kaya. gelak tawa. Di titik terjauhnya, menjadi ‘di luar nalar’ dan absurd sekalipun, ketika diarahkan secara lebih konstruktif, menjadi sumur gagasan yang kaya. Frasa ‘ out of the box ’ yang sangat umum kita temui saat ini, bolehjadi bermuara dari sini, dengan ‘kotak’ yang mengekang itu adalah logika dan juga rasio.
19
Konteks terakhir yang dapat diceritakan dari kekaryaan Mulyana adalah tentang ‘inkongruensi’ logis dari visualitas luaran karyanya. Di pameran ini Mul menciptakan monster-monster makanan yang jenaka. Apa makna penggambaran yang demikian? Apa Mulyana tengah membangun sebuah metafor yang menyuarakan kejemuan dan kegelisahannya? Mengibaratkan makanan-makanan ini sebagai monster? Sepertinya tidak demikian. Metafor ini justru Mulyana ingkari melalui visualitas yang cerah dan ceria. Ia nampak sedang ‘menghaluskan’ bentuk monster eksperimentalnya. Jika sedemikian paradoksal, lantas bagaimana kita mendekati dan memaknainya?
Ketika kembali beririsan dengan ‘permainan’, inkongruensi yang semula sebatas jenaka dapat dikembangkan menjadi lebih lanjut sebagai daya cipta yang dapat produktif.
misalnya.13|:(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
20 Umumnya, karya-karya partisipa toris juga menceritakan problema sosiokultural yang spesifik terhadap publik / masyarakat yang dilibatkan nya. Seperti pada penciptaan karya Tisna Sanjaya dan Arahmainai Feisal
Masih banyak sebetulnya yang dibagi Mulyana kepada kita dalam karya- karyanya yang dihadirkan dalam pameran ini. Sejauh ini setidaknya, Mulyana bercerita tentang bagaimana kejemuan, kebosanan, dan kekhawatiran, ketika dihadapi dengan keterbukaan diri dan perasaan lapang, masih dapat dimaknai secara positif. Praktik Mulyana juga membuktikan bagaimana seorang seniman dapat benar-benar menjadi dekat dengan keseniannya, menjadikan seni sebagai bagian penting yang menemani kehidupan, menjadi semacam jurnal, yang melaluinya beragam pencerminan, introspeksi, serta pembelajaran dapat dilakukan. Tidak selalu hal tersebut diperoleh melalui ‘keseriusan’ yang sepenuhnya disadari, melalui tindakan-tindakan ambang sadar, melalui keterbukaan, serta keriangan pelajaranpelajaran tersebut masih dapat muncul dan kita resapi.
Sebetulnya, saya ingin pula bercerita tentang keutamaan lain dari kekaryaan Mulyana yang sering diulas dan dibicarakan, tentang elemen partisipatoris dan sifat komunal dari karya-karya Mulyana yang juga esensial. Namun, menimbang konteks personal karya yang amat mengemuka dibawanya dalam pameran ini, pembacaan tersebut dirasa kurang sesuai. Jika hendak berandai, hal yang ingin saya ajukan adalah, tentang keberhasilannya untuk menemukan perimbangannya antara individualitas seniman dengan partisipasi publik yang khas dalam praktik Kekhususanartistiknya.diatas
menjadi menarik ketika kita sandingkan dengan representasi karya-karya Mulyana yang sebetulnya, banyak bercerita tentang persoalan individual serta narasi personal 20 , namun diwujudkan
Penciptaan karya Mulyana dalam seri Bento ini, bolehjadi menawarkan cara lain untuk memaknai partisipasi publik dan komunalitas tersebut: tidak melihatnya sebagai sesuatu hal yang secara ‘sadar’ diartikulasikan secara eksplisit dalam representasi karya, namun sublim melebur dengan agensi 21 dan personalitas serta kehidupan senimannya, juga merangkul sisi ambang dan tak sadar yang bolehjadi terkesan naif, namun begitu jujur penuh ketulusan. Dalam kerja komunal tersebut, bagaimanapun ketulusan menjadi hal kunci yang mengikat. Tanpanya, Mulyana akan segan memberikan kredit pada mereka yang telah terlibat, pun kebalikannya, mereka yang dilibatkan pun akan menampik merasa dilibatkan dalam perayaan narasi personalnya. Bolehjadi Mulyana menciptakan apa yang disebut ruang antara dimana dikotomi antara yang personal dan yang komunal ini dapat melebur dalam kejujuran dalam ketulusan, dan bekerja di wilayah yang relatif ‘domestik’ alih-alih kritikal.
21 Di sini, saya mengasumsikan bahwa agensi Mulyana sebagai seorang seniman, yakni perannya dalam sebuah medan sosial / medan artistik, alih-alih representasi dari karya tersebut, merupakan elemen utama yang aktif merangkul keter libatan publik. Ini menawarkan pola lain dalam mendekati seni partisipasi, yang kerap berdiri dalam dikoto mi individualitas dan komunalitas, dan melebur penciptaan seni yang individual dan masyarakat sebagai solusinya. Elemen partisipatif dalam kekaryaan Mulyana mengajukan solusi yang khas.
secara bersama. Tanpa kerja komunal, karya Mulyana yang umum dihadirkan secara masif dan meruang, menghasilkan pengalaman yang merangkul dan ‘mengepung’ apresian, untuk terbawa dalam wahana, lanskap, dan narasi yang diceritakan, tidak mungkin dapat terwujud. Kerja yang demikian dapat saja diselesaikan melalui skema profesional dengan perekrutan artisan, namun Mulyana dengan gigih menampiknya dan menyatakan bahwa ini adalah kerja bersama. Ia hanya berperan sebagai inisiator awal untuk kemudian diwujudkan secara bersama- sama.
teksKuratorial | 14
Morreall, John., ed., (1987). The Philosophy of Laughter and Humor, Albany, NY: State University of New York Press.
Morreall, John., ed., (1987). The Philosophy of Laughter and Humor, Albany, NY: State University of New York Press.
Sutantio, Maradita. (2018). Multiple Hands. Dalam katalog pameran Multiple Hands - Syukuran 10 Tahun Perjalanan The Mogus. Bandung: Selasar Sunaryo Art Space
Bibliografi
15 | :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
Bergson, H., (1911), Laughter: An Essay on the Meaning of the Comic, C. Brereton and F. Rothwell (trs.), London: Macmillan.
Freud, Sigmund. (1928). Humor. International Journal of Psychoanalysis, 9, 1-6 Hapsoro, Chabib Duta (2018). Merajut Resistensi, Mengoyak Stereotip. Dalam katalog pameran Multiple Hands - Syukuran 10 Tahun Perjalanan The Mogus. Bandung: Selasar Sunaryo Art Space
Kent, Ellen. (2016). Entanglement: Individual and Participatory Art Practice in Indonesia. Disertasi Research School of Humanities and the Arts. Australia National University.
Jameson, Fredric (1984). Postmodernism, or The Cultural Logic of Late Capitalism. New Left Review. I (146).
Kent, Ellen. (2016). Entanglement: Individual and Participatory Art Practice in Indonesia. Disertasi Research School of Humanities and the Arts. Australia National University.
Ilie, Alexandra. (2006). Humor, an Antidote to Life’s Incongruities. Europe’s Journal of Psychology, 2(1).
Morreall, John., (1999). Comedy, Tragedy, and Religion, Albany, NY: State University of New York Press.
Sutantio, Maradita. (2018). Multiple Hands. Dalam katalog pameran Multiple Hands - Syukuran 10 Tahun Perjalanan The Mogus. Bandung: Selasar Sunaryo Art Morreall,SpaceJohn., ed., (1987). The Philosophy of Laughter and Humor, Albany, NY: State University of New York Press.
Morreall, John., (1999). Comedy, Tragedy, and Religion, Albany, NY: State University of New York Press.
Yarn, dacron, plastic net variable dimension
FOOD MONSTER 1
Karya | 16
Piring kayu Kayu, 35cm
FOOD MONSTER
dacron, plastic net variableKayu,Piringdimensionkayu35cm17| :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
2
Yarn,
Piring kayu Kayu, 35cm
Karya | 18
Yarn, dacron, plastic net variable dimension
FOOD MONSTER 3
FOOD MONSTER 4 Yarn, dacron, plastic net variableKayu,Piringdimensionkayu35cm19| :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
Yarn, dacron, plastic net variable dimension
Karya | 20
Piring kayu Kayu, 35cm
FOOD MONSTER 5
FOOD MONSTER 6 Yarn, dacron, plastic net variableKayu,Piringdimensionkayu35cm21| :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
Yarn, dacron, plastic net variable dimension
Karya | 22
Piring kayu Kayu, 35cm
FOOD MONSTER 7
FOOD MONSTER 8 Yarn, dacron, plastic net variableKayu,Piringdimensionkayu35cm23| :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
Karya | 24
Yarn, dacron, plastic net variable dimension
FOOD MONSTER 9
Piring kayu Kayu, 35cm
FOOD MONSTER 10 Yarn, dacron, plastic net variableKayu,Piringdimensionkayu35cm25| :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
FOOD MONSTER 11
Piring kayu Kayu, 35cm
Yarn, dacron, plastic net variable dimension
Karya | 26
FOOD MONSTER 12 Yarn, dacron, plastic net variableKayu,Piringdimensionkayu35cm27| :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
Yarn, dacron, plastic net variable dimension
Karya | 28
FOOD MONSTER 13
Piring kayu Kayu, 35cm
FOOD MONSTER 14 Yarn, dacron, plastic net variableKayu,Piringdimensionkayu35cm29| :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
Piring kayu Kayu, 35cm
Karya | 30
FOOD MONSTER 15
Yarn, dacron, plastic net variable dimension
FOOD MONSTER 16 Yarn, dacron, plastic net variableKayu,Piringdimensionkayu35cm31| :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
FOOD MONSTER 17
Yarn, dacron, plastic net variable dimension
Karya | 32
Piring kayu Kayu, 35cm
FOOD MONSTER 18 Yarn, dacron, plastic net variableKayu,Piringdimensionkayu35cm33| :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
Yarn, dacron, plastic net variable dimension
Karya | 34
Piring kayu Kayu, 35cm
FOOD MONSTER 19
FOOD MONSTER 20 Yarn, dacron, plastic net variableKayu,Piringdimensionkayu35cm35| :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
Time after Time, Niagara Sarang Setan, Bandung.
2020
The Messenger, Art Porters, Singapore
Coral Atlas, Art Central Hong Kong, HK
2017
Graduate/ Training:
2016 Forest, Art Porters, Artstage Singapore, Singapore.
2014 Bandung New Emergence, Selasar Sunaryo Artspace, Bandung.
Bandung Contemporary: Disposition, Lawangwangi Creative Space, Bandung.
2015 Mapping Melbourne, Multicultural Arts Victoria, Australia.
2012 Indonesian Contemporary Fiber Art #1: Mapping, Art1 Gallery, Jakarta.
2012 Mogus World II, Kedai Kebun Forum, Yogyakarta.
2019
Equilibrium: At the Boundary Between Human and Environment, Asia Culture Center, Gwangju, South Korea
Let Me Know You More, Chandan Gallery, Kuala Lumpur, Malaysia.
2020
2005
2015 Infinity In Flux, ART|JOG|8 , Taman Budaya, Yogyakarta.
2018
4 Artists of Nafas Residensi, Yogyakarta; and Kuala Lumpur, Malaysia.
2009
2012 Mogus World I, Galeri Gerilya, Bandung.
Group Shows:
2012
2017
2014
2020
2019 We Are Robot, Melbourne Fringe Festival, Melbourne, Australia
2019 Anima Mundi, Central Embassy, Bangkok, Thailand
2016
2021
2018
2020
A Man, A Monster, and The Sea, The Goods Shed (FORM), Perth, Australia
2018
Tools of Conviviality, Cheongju Craft Biennale, South Korea
2020 Jumping The Shadow, Sapar Contemporary, New York
A Man, A Monster, and The Sea, Orange County Museum of Art, California, USA
Diver(sea)ty, ESPLANADE- Theatres on the Bay, Singapore
One Person Shows:
Age of Hope Biennale Jogja XIV, Yogyakarta
Changing Prespective, ART|JOG|10, Yogyakarta.
2015
2013
Start Light, Galeri Gerilya, Bandung.
CV|Biodata | 36
Art Education, Universiatas Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung.
2019 Indonesian Contemporary Art and Design 2019: Faktor X, Jakarta
Multiple Hands, Selasar Sunaryo, Bandung
2021 Pekan Kebudayaan Nasional, Galeri Nasional, Jakarta
Imaginarium: Over The Ocean Under The Sea, Singapore Art Museum, Singapore.
2004 - Islamic Finance Management, 2005 ISID Gontor, Ponorogo.
Mulyana (b. 1984, Bandung, Indonesia)
Resilience, ART|JOG|12, Yogyakarta
2019
Enlightment, ART|JOG|11, Yogyakarta
Window Display HERMES, Singapore.
2014 Nafas Residency, Yogyakarta
2012 Reposisi, Galeri Nasional, Jakarta.
Residency:
2019
Window Display HERMES, Seoul.
2019
Commission Works:
2012 Design/Art: Renegotiating Boundaries, Lawangwangi Creative Space, Bandung.
2021 Cheongju Korean Design and Craft, South Korea
2009 Deer Andry, Mes 56, Yogyakarta.
2009 Toys Are Us, Tobucil & Klabs, Bandung.
37 | :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
2011 Contemporary Archeology Chapter Two, SIGIarts, Jakarta.
2019 Project 11, Melbourne, Australia
2010 Leasure All Mine, Play Dead #2, Galeri Padi, Bandung.
2010 La Light Music Fest, Sabuga, Bandung.
2018 Sea Remembers, ART|JOG|11, Yogyakarta.
2010 Play Your Magic Finger, Tobucil & Klabs, Bandung.
2017 3 Sister Islands, Facebook Artists in Residence, Jakarta.
2010 Alter Media, Djamoe #4, UPI Bandung.
Membuat Monster adalah salah satu cara saya dalam bermain. Selain melatih kreatifitas, di dalamnya terdapat semangat dan usaha untuk terus membuat kebaruan. Ada tantangan yang tidak pernah selesai, kecuali saat saya mati. Ini adalah cara saya memahami misteri keluasan makna kata-kata dan rasa syukur kepada Sang Maha Pencipta.
“Bermain itu membebaskan”
Bagaimana manusia bisa hidup dan bertahan dari tekanan atau keadaan yang memaksa mereka untuk terus menjalanankan hidupnya adalah dengan menggunakan akalnya. Sehingga sampai sekarang mereka masih selamat meskipun dihadapi ‘takdir maut atau kematian’—siapa yang tahu. Suatu hal yang kita tidak bisa elak adalah perihal waktu dan gilirannya.
| 38 berkaryakonsep
Bermain bagi saya salah satu kegiatan paling penting bagi manusia, karena di dalamnya membutuhkan kreatifitas untuk dijalankan. Membuat orang berpikir, bahagia, namun juga bisa melatih pengembangan rasa. Bagi saya, di dalam bermain terdapat pembebasan dari tekanan sehingga mehilangkan stress dan membuat bahagia. Kebahagian itu memang diciptakan, salah satunya dengan bermain.
Tuesday - Sunday 10AM - 5PM Admission Fee Free Entry
In conjunction with the exhibition of: Bento, Please Cheer Me Up :( 26RuangMulyanaDinithNovember 2021 - 2 nd January 2021
39 | :(UpMeCheerPleaseBento,|Mulyana
Published by Ruang Dini, 2021 www.galeriruangdini.com
Media Partner Explore Bandung Indo Art ArtcaseBandungNowConnex
Organized by Ruang Dini
Opening Hours
| 40
Jl. Anggrek No.46, Cihapit, Kec. Band ung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat Tel.40114+62 812 8248 2946
Ruang Dini