LAYOUT & DESIGN
Raisha Adistya Pramita
Team Gallery
EDITOR
OWNER & FOUNDER RUANG DINI
Ary AbdusyukurCONTRIBUTORRustandiBudiarvin
Septiadi Florenza Octarina
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage01-02GaleriRuangDini
Andy IN-HOUSEMuthiaOPERATIONALDewantoroMANAGERFatharaniCOPYWRITER&
ARTISTIC DIRECTOR
Dini Triani Haryanti
GROUP EXHIBITION on GanjarTaraEviBunga(MenyoalRepresentationyangLirada)ARTISTSYuridespitaPangestuKasendaCURATORGumilar
Namun pada satu sisi, jika persoalan yang direpresentasikan kian mengutama, lantas bagaimana estetika dapat ditempatkan di dalamnya? Apa seni kontemporer berhenti pada pemenuhan fungsi dan utilitas sosial—dimana karya sekaligus proses mencipta hanya menjadi semacam wahananya? Adanya pameran bersama on Representation (Menyoal yang Lirada) ini yang kemudian menghantarkan Ruang Dini pada pertanyaan dan persoalan lanjutan tersebut, juga karena ini pula Ruang Dini berterima kasih atas hadirnya pameran ini.
Melalui pameran ini, serpihan karya-karya dari tiga seniman muda: Bunga Yuridespita , Evi Pangestu , dan Tara Astari Kasenda mampu menempatkan karya yang tidak berpretensi dengan mencoba melampaui wacana representasi—atau yang disebutsebut sebagai pendekatan post-representational Pendekatan ini nampaknya dapat mendekatkan kita pada karya abstrak kontemporer yang menolak perbincangan lain di luar aspek bentuk dan dirinya sendiri. Lebih dari itu, dengan dipamerkannya karyakarya dari Bunga, Evi, dan Tara, kita dapat setidaknya merasakan sensibilitas baru dalam mengolah bentuk tanpa terlepas dari intensi yang hendak disampaikan oleh ketiganya.
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage03-04GaleriRuangDini
Persoalan representasi dalam seni bagaikan keniscayaan yang baik ditunjukkan secara subtil maupun tidak menjadi penentu arus perkembangan seni rupa. Melalui representasi, seni dapat menjalankan fungsi sosialnya dengan merespon fenomena-fenomena sosial yang aktual, hingga menjadi pemantik kesadaran. Wacana tentang representasi ini kemudian kian mengarus-utama, menjadikannya sebagai acuan kualitas dari proses penciptaan suatu karya seni.
Kata Pengantar
Ruang Dini berharap pameran bersama on Representation (Menyoal yang Lirada ) ini dapat kian memantik dikursus terkait tawaran alternatif dari wacana arus utama, dan dalam konteks ini: Selamatrepresentasi.menikmati. Dini
Ruang
2 Meski, secara sedemikian rupa, seni rupa kontemporer tidak juga menjadi bagian yang ‘sehari-hari’ bagi masyarakat Indonesia. Persoalan jarak antara seni dan masyarakat ini memang begitu ‘laten’ dalam aktivitas medan. Dalam perkembangan terakhirnya, patut diapresiasi bahwa persoalan jarak ini perlahan mulai didekatkan melalui terobosanterobosan terakhir dari para pelaku medan, utamanya galeri dan museum-museum 3privat.Untuk dibedakan dengan wacana realisme sosial yang hidup dalam sejarah seni rupa modern Indonesia, dimana seni kemudian menjadi media penghadiran kenyataankenyataan langsung yang dialami oleh masyarakat. Dalam seni kontemporer, pengabdian ini kemudian diimbangi dengan pluralisme dimana seni kemudian merepresentasikan persoalan secara lebih majemuk, tidak terbatas hanya pada penderitaan rakyat
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage05-06GaleriRuangDini
Umum saat ini kita mendatangi sebuah pameran, melihat karya seniman, berharap untuk dapat mengerti dan ‘membaca’ maksud yang hendak diutarakan. Ini sebetulnya sudah menggejala dalam modernitas Indonesia, setidaknya semenjak Orde Baru 1 , ketika paparan masyarakat terhadap citraan sudah menjadi amat sehari-hari. Semenjak itu kita menjadi akrab terhadap bentukbentuk yang bisa dikenali atau representatif ini. Dalam konteks seni kontemporer kedekatan tersebut juga kian mengemuka jika bukan mengarus-utama 2 . Setidaknya semenjak dekade 1990an, kita mulai bertemu dengan karya seni yang merepresentasikan persoalan sosiokultural yang aktual, utamanya bernuansa politik. Di sini seni kembali melayani fungsi sosialnya 3 untuk mengabdi secara langsung kepada masyarakat, untuk menjadi daya pemberontak, daya pembebasan, dan daya penyadaran. Peran ini tentunya berbeda dengan paradigma sebelumnya ketika seni hidup dalam ruang yang steril dan esoterik, melayani hanya dirinya sendiri, dalam upaya reflektif- produktif menciptakan kebaruan yang dipercaya menunjukkan kemajuan. Seni modern dilihat ‘gagal’ karena acuh dan menjadi begitu berjarak terhadap masyarakatnya. Klaim semacam pencapaian estetika dalam skala universal kemudian pucat-pasi menghadapi kesenjangan sosial yang justru menjadi ekses dan dampak dari modernitas. Seni kontemporer yang merepresentasikan persoalan, dianggap menjadi lebih relevan.
1 Prof. Sudjoko dalam Menuju Nirada (dalam Anas (ed.), 2000), menyebut ini menjadi semacam ‘praharap’ / ekspektasi dari masyarakat. Dalam pandangannya, ia juga menyebutkan ‘miripan’ atau mimetis sebagai bentuk seni yang relatif cukup akrab dan dapat diakses oleh masyarakat.
on Representation
Menyoal yang Lirada
Gumilar Ganjar
Tentu sepertinya tidak akan bermasalah ketika seni menjadi representasi kemajemukan persoalan yang dialami kemanusiaan. Seni menjadi ruang dimana beragam ketimpangan bersama (kolektif) diperbincangkan secara bersamaan (dalam waktu yang sama) 4 . Seni kemudian menjadi refleksi kritis terhadap kehidupan mutakhir, memantik penyadaran yang menggerakkan kita untuk terus memperbaiki diri sebagai manusia, baik di tataran individual maupun dalam totalitasnya sebagai peradaban. Ia menjalankan fungsi sosialnya di sana.
Setelah pada yang sosial politik, representasi persoalan yang diperbincangkan kian melebar dan menyentuh aspek-aspek yang lebih majemuk, terlihat pada perkembangan seni rupa Indonesia dekade 2000an. Jika sebelumnya kuasa institusional menjadi semacam musuh bersama dan ‘sumber gagasan’, semenjak periode ini seniman mulai ‘kembali merujuk dirinya masing-masing dalam mencari isu dan persoalan yang diangkat. Beberapa yang kemudian mereka temukan: kembali ke estetika, ketimpangan gaya hidup, polemik masyarakat urban, kondisi lingkungan, advokasi para Liyan, perayaan kebebasan, pembebasan ekspresi individual, semangat otonomi, trivialitas, ringkasnya, hampir apapun. Seni tidak lagi hanya sebatas ekspresi dan keindahan, namun menjadi wahana perbincangan persoalan. Pada periode ini tidak hanya legitimasi pada rujukan diri para seniman kemudian diafirmasi, kondisi plural yang menjadi indikasi penting dari seni kontemporer pun menjadi hal lain yang turut dirasakan, hal yang masih terasa hingga saat ini.
4 Mengikuti paparan Terry Smith, dalam Contemporary Art: World Current (2012), dalam menjelaskan beberapa karakter-karakter kunci dari seni rupa kontemporer.
Lantas apa yang kemudian dipersoalkan sebagaimana judul pameran ini membingkainya? Menyoal yang Lirada 5 ? Resiko dan persoalan apa yang hadir dalam tabirnya?
Bagaimana ia ditempatkan dalam kemutakhiran seni yang demikian? Terakhir, bagaimana kemudian kita dapat memposisikan dan memaknai karya yang dikerjakan di luar kesepakatan 7 tersebut? Dilatari dari hal-hal ini lah, gagasan Menyoal yang Lirada muncul.
6 Dalam pameran Influx: Extended - Menyoal Pluralisme (2020)
7 ‘Kesepakatan’ dalam paragraf ini menyadur dari pengertian ‘konvensi’ sebagaimana diutarakan Becker dalam pembahasan Artworld (1980). Kesepakatan yang dimaksud adalah konsensus yang diacu dan mengatur perilaku para aktor yang berinteraksi dalam medan ketika berlaku dalam aktivitas kolektif. Makna kesepakatan ini dapat ditarik lebih jauh hingga pada kualitas karya yang dianggap baik.
5 Istilah ‘lirada’ diambil dari paparan Prof. Sudjoko dana ‘Menuju Nirada’ (dalam Anas (ed.), 2000). Istilah ini terbentuk dari imbuhan lir- atau lwir- yang artinya ‘seperti’ dan ada yang artinya ‘hadir’. Definisi yang demikian dapat dimaknai kongruen terhadap representasi, menjadi semacam: kembali menghadirkan untuk menyerupai yang ada. Begitupun tentang ‘Nirada’, dari nir- yang berarti ‘tidak’ dan ‘ada’, dalam pemaknaannya yang spesifik, Sudjoko menggunakan nirada untuk menggantikan istilah ‘abstrak’.
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage07-08GaleriRuangDini
Sempat dibahas sebelumnya 6 representasi yang mementingkan konteks persoalan memberi landasan bagi relativisme yang justru dapat mengaburkan valuasi, bahkan mungkin membuat kenyataan menjadi tuna-acuan. Dalam konteks ini pun seni kemudian beresiko untuk direduksi ‘sebatas’ wahana pewartaan persoalan, habis ditambang dari sisi ‘komunikasinya’ terlepas beragam pencanggihan bahasa visual yang ditawarkan. Resiko ini juga menyimpan polemik lanjutan untuk menggeser keutamaan seni pada persoalan yang direpresentasikan alih-alih terhadap ‘luaran artistik’-nya atau karya akhir itu sendiri. Beberapa gejala pergeseran ini dapat kita sebut: seni relasional, seni konseptual, seni aktivisme, seni berbasis riset, seni berbasis proses, dan lain- lain. Keseluruhannya memang menawarkan semacam kebaruan revolusioner yang memperkaya khazanah kesenian, namun apakah kemudian estetika - dalam pengertiannya yang konvensional - sudah sepenuhnya usang?
Pameran ini berkesempatan untuk menghadirkan sepilihan karya yang sifat representasinya relatif tidak ‘konvensional’ 8 , menawarkan sebuah sensibilitas olah bentuk yang relatif baru bersama keterkaitannya yang khas terhadap intensi, tujuan, serta makna yang hendak disampaikan. Menyoal yang Lirada melibatkan Bunga Yuridespita, Evi Pangestu, dan Tara Astari Kasenda.
Atau justru mencoba untuk melebur tegangan antara bentuk murni dan narasi? Apa mungkin mendua dan mengambang? Atau bisa juga, berupaya melampaui?
Sebelumnya akan dijelaskan tentang bagaimana representasi ini mengarus- utama dalam konteks seni rupa kontemporer, termasuk di Indonesia. Setidaknya semenjak pertengahan abad ke 20, atmosfer intelektual Barat mulai menghidupi semangat ‘Tikungan Linguistik’ ( Linguistic Turn ) dengan premis dasar melihat bahwa realitas manusia selama ini dibangun utamanya oleh bahasa, menjadikannya semacam konstruksi artifisial yang terkesan tidak alami dan asali. Dalam tikungan ini, fenomena budaya didekati menjadi semacam teks yang dapat dibaca, umum bersandar pada linguistik dan semiotika bersama segala penyesuaiannya. Paradigma ini nampaknya begitu omnipoten, hampir semua aktivitas budaya dapat kemudian dipetakan, dibedah, dan dibaca: kuasa lembaga, produksi pengetahuan, simpang siur identitas, bahkan pada hal-hal yang sifatnya sangat personal dan paling individual sekalipun.
8 Konvensional dalam artian, menangani karya menjadi semacam wahana penunjukkan persoalan. Sebagaimana seni-seni yang representasional mengupayakannya.
Ketiganya menunjukkan caranya masing-masing dalam mengolah bentuk beserta persoalan yang ‘direpresentasikan’ - ada ataupun tidak, diniatkan atau disadarinya belakangan. Ketika menghadapinya, ragam asumsi dan (jika boleh) spekulasi muncul: apa modus artistik yang tampak pada karya-karya ini sebetulnya sedang berusaha untuk mengingkari dan menjauhi representasi?
Posmodernisme, ringkasnya, merupakan sebuah gelombang pemikiran yang bermunculan ketika narasi- narasi besar modernisme kemudian disangsikan, utamanya setelah perang dunia kedua. Posmodernisme sendiri, meski membawa semangat yang beririsan, sebetulnya menggunakan beragam kacamata dan pendekatan dalam menanggapi persoalan. Tikungan linguistik, boleh dibilang merupakan salah satu manifestasinya.
Upaya untuk menanggapi ‘hegemoni’ representasi seni ini sebetulnya sudah menggejala, meski masih belum begitu mengemuka. Jika dapat berspekulasi, urgensi persoalan sosial yang diutarakan meski beresiko meminggirkan keutamaan seni dan melihatnya sebagai entitas yang otonom, melatari pemikiran di baliknya
Periode posmodern 9 (semenjak 1960an dalam konteks global), meskipun tidak selalu, banyak pula terpapar dan dipengaruhi oleh kesadaran ini. Seni posmodern kemudian dibayangkan bekerja melalui kerangkanya, dilihat mengandung ujaran dan ungkapan yang menyiratkan suatu maksud, menjadi semacam tekstualitas visual dengan konfigurasi elemen pertandaan yang sedemikian rupa. Idiom, tata ungkap, atau retorika yang semula hidup di dunia sastra kemudian dipindahkan pada seni rupa. Dalam seni rupa, hubungan dan keterkaitan antar elemen visual ini yang menjadi pijakan dari retorika visual: pastiche yang nirwaktu, parodi dan apropriasi yang meminjam, metafor dan alegori yang mensubtitusi, konotasi yang terkias, intertekstual yang menyerabut, adalah beberapa diantaranya. Ketika menjadi idiom, elemen tanda dalam sebuah seni diharapkan untuk dapat hadir secara utuh, saling terkait, dan memperkuat makna. Menariknya, dibentuk pula cara-cara memahaminya ketika konfigurasi tersebut terkesan inkonsisten, idiom seperti jukstaposisi, oxymoronic , penanda kosong atau mengambang, adalah beberapa contohnya. Di Indonesia sendiri, posmodernisme dan praktik seninya beserta perangkat-perangkat pemikirannya mulai diwacanakan di tahun 1990an 10 , meski kala itu masih sering dipertukarkan dengan istilah ‘seni kontemporer’, terus beroperasi dalam beberapa pameran dan dipertahankan di dekade 2000an. Hingga saat ini sekalipun gejalanya masih amat kuat terasa di beragam pilar penopang aktivitas medan, jika bukan mengarus-utama 11 .
Sebagaimana diungkap, kerangka representasi seni, betapapun elastis dan inklusif, tidak sepenuhnya dapat menjelaskan seluruh fenomena seni kontemporer.
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage09-10GaleriRuangDini
9
10 Sebagaimana diupayakan dalam Biennale Jakarta IX 1993, dikuratori oleh Jim Supangkat. Ini sebetulnya juga berkaitan dengan internasionalisasi seni rupa kontemporer Indonesia yang berlangsung sepanjang 1990an. Dalam forum global tersebut Jim banyak bersentuhan dengan wacana representasi seni, pemikiran-pemikiran posmodernisme, dan tentang seni rupa kontemporer.
11
Sayangnya, karya-karya yang beroperasi di luar kerangka tersebut, seringkali ‘dipaksakan’ untuk dibaca dalam sistem ini. Alhasil, alih- alih benar-benar mengungkap dan mengekstrak makna yang terkandung, upaya tersebut justru mengalienasi keutamaan karyanya. Menariknya dalam kegamangan acuan tersebut, asumsi, tudingan, mis-identifikasi dapat kemudian muncul. Karya-karya yang relatif ‘non-representasional’ ini kemudian dituding menjadi ‘abstrak’, dimana apresiasinya kemudian dikembalikan pada unsur formal dari karya yang sepertinya masih tersisa untuk dapat diidentifikasi. Dalam kasus-kasus anektdotal, beberapa seniman justru tidak mengafirmasi tudingan tersebut, beberapa ada yang menyangkal karyanya abstrak, atau ada pula yang merangkul dan kian merenungkan proses penciptaannya yang demikian. Di sini tentu ada problema, nirada kerangka yang dapat menjadi acuan atau perlintasan, yang dapat menjembatani intensi dan maksud seniman, perwujudan formal dari karya, dan apresian. Celakanya, kesalahpahaman ini ketika tidak ditilik dan ditelisik lebih lanjut, dapat menghadirkan kesimpangsiuran 12 .
Bunga Yuridespita, dalam pameran ini menghadirkan karya yang sebetulnya sudah beranjak dari persoalan ruang, memori, dan identitas diri yang beberapa tahun ke belakang ini sempat menjadi fokusnya. Sebelumnya, Bunga melakukan semacam abstraksi tampak atas dari tapak sebuah ruang makro, dipilihnya berdasar signifikansi memori personal yang terkandung, untuk kemudian dipilah dan ‘dipotong’ dan dilabur dengan kroma dan warna yang secara idiosinkratik dicatut dan ditambatkan sebagai identitas pribadinya.
12 Seperti pada perbincangan Zombie Formalism, yang mulai dibicarakan pada paruh kedua dan menjelang akhir dari dekade 2010an. Kala itu, gejala abstrak kontemporer dilihat sebatas ‘derivatif’ atau turunan dari abtsrak ekspresionisme dan minimalisme, ditambang hanya dari sisi apresiasi pasar dan dianggap miskin pembaruan estetik.
Pameran ini bercita-cita untuk dapat menawarkan semacam kerangka alternatif yang dapat secara berkesesuaian menjelaskan dan memaknai karya-karya abstrak kontemporer. Tujuan yang tentunya tidak akan selesai dibahas hanya melalui upaya tunggal, dan di sini baru hanya dapat diajukan semacam gagasan-gagasan formatif yang rudimenter. Sebelum beranjak pada peluang- peluang ini, akan coba diilustrasikan bagaimana pendekatan ini dapat dilakukan pada karya-karya yang dipamerkan.
Untuk Evi Pangestu, pada pameran ini masih pula berkutat dengan persoalan orde, keteraturan, kontrol, dan kekuasaan serta perhadapannya dengan manusia. Menjadi semacam kelanjutan terhadap karya-karya sebelumnya 13 , bujur sangkar sebagai metafor visual terhadap orde dan keteraturan tersebut masih menjadi titik tolak perbincangan. Secara konsisten, Evi melakukan satu hal yang boleh jadi dapat disebut sebagai ‘kesalahan yang diniatkan’, atau intentional fallacy, dimana ia secara sengaja membuat keganjilan dalam keteraturan karyanya untuk kemudian nantinya diintervensi kembali menjadi tertata. Menariknya, ini tidak sama sekali berarti bahwa Evi menikmati kesiasiaan, proses yang dilakukannya tetap berhasil menawarkan sebuah retorika pengungkapan yang sublim. Proses mencipta yang demikian dimaksudkan untuk menunjukkan bagaimana sebetulnya hasrat manusia untuk berkuasa atas diri dan mengelola apa yang ada di sekitar perlu kemudian terus bernegosiasi, menyesuaikan, menyepakati, dan berkompromi pada acuan kerangka sistemik dalam skala yang lebih besar. Untuk karya ini, tepian dari kotak ini Evi lanjutkan dan perpanjang menjadi garis-garis melintang dan sejajar yang membagi dan membelah kanvasnya, untuk kembali dia berikan penekanan serta keteraturan di beberapa bagian.
Sekarang kekaryaan Bunga telah beranjak dari itu. Upaya abstraksi sebagai rujukan dan lahan untuk digarap untuk bentuk akhirnya, berganti pada imajinasi. Perlakuan ini diakuinya dibutuhkan untuk kian menggali persoalan kaitan antara memori dengan individu. Dalam prosesnya pun selain membayangkan, Bunga juga sering menemukan bentuk-bentuk tertentu yang secara repetitif muncul dalam karyanya, seringkali pula tidak disadarinya. Meski mulai beranjak lebih intuitif, sentuhan pola kerja arsitektur yang metodikal tetap dipertahankan di beberapa bagian. Beberapa elemen formal yang sering muncul pada gambar kerja arsitektur, diolah dan ditampilkan.
Sebagaimana terlihat dalam pameran tunggalnya terakhir, Dalam Sangkar (2021), dikuratori oleh Gesyada Siregar.
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage11-12GaleriRuangDini
13
Tara Astari dalam pameran ini menampilkan karya yang menunjukkan ‘tema’ yang selama setidaknya 3 tahun ke belakang konsisten digelutinya. Selintas, apa yang ia kita tangkap dari visualitas karyanya adalah skyscape Paris di waktu- waktu yang spesifik, dimana titik jatuh cahaya kemudian membiaskan warna- warna yang lembut yang khas ( diaphanous ), untuk kemudian secara sengaja ia buramkan. Mudah untuk berprasangka bahwa langit dan awan ini terkesan sebagai subject matter yang direpresentasikan dan dipersoalkan, namun sebetulnya tidak sesederhana demikian. Apa sebetulnya yang tersimpan dari intensi dibaliknya? Melalui ‘nirbentuk 14 ’ yang ditampilkan, Tara sebetulnya tengah menghadirkan hasil pendalaman dan pemaknaannya tentang yang serba buram dan mendua, menghindari fiksasi dan penambatan, dan membiarkannya terus mengambang dan terbebas dari prasangka. Gagasan abstrak ini sebetulnya merupakan amalgamasi dari praktik kekaryaannya yang terisolasi antara pemaknaan soal kemenjadian identitas, hal-hal yang intim, individual, dan personal, tentang intuisi dan memori, serta pada akhirnya keindahan. Alih-alih merepresentasikan secara spesifik, Tara melihat karyanya menjadi semacam pintu atau jendela persepsi terbuka yang mengantar jalan pada banyak bahan perbincangan, mengajak kita untuk bercermin, kembali merangkul memori dan mengalami keindahan, dan sejenak menghindari belenggu keseharian. Hal lain yang patut dicatat dari penciptaan Tara adalah kehadiran proses ulang alik antara intuisi yang sifatnya personal, primal, dan ‘segera’, untuk berpadu padan dengan penalaran-penalaran empiris yang sebetulnya melekat dalam prosesnya, untuk kemudian ditampilkan dalam luaran yang melayang tak menambat. Ada upaya pemahaman dan ‘penyadaran’ lebih yang Tara lakukan dalam prosesnya tersebut, namun pada akhirnya ia melepas interpretasi dari karyanya untuk kemudian bertaut dengan persepsi dan pengalaman masing-masing apresian.
14 Istilah nirbentuk di sini diupayakan sebagai terjemahan dari formless, istilah kunci dalam Formless: A User Guide (Bois dan Krauss, 1996). Dalam konteks Tara dan pameran ini, ‘nirbentuk’ kemudian dipahami dalam pertentangannya dengan bentuk artifisial. Bentuk-bentuk buatan terkesan lebih memiliki struktur bentuk yang kuat, sementara bentuk alam dan organik, meski tentunya beralasan (motivated) dirasa berpotensi untuk mengantar pada kemungkinan-kemungkinan nirbentuk ini. Bentuk awan yang ditampilkan Tara dapat kita tinjau dalam kemungkinan ini.
Deskripsi-deskripsi di atas, dengan sendirinya menganulir klaim non- representatif terhadap karya-karya tersebut. Ketiganya menyatakan bahwa karya mereka merepresentasikan dan berkaitan dengan sesuatu 15 . Memeriksa aspek estetika melalui konfigurasinya pun, meski menjadi perhatian dan sepertinya cukup dipentingkan oleh seniman-seniman ini, terlihat menjadi prasyarat untuk mendapatkan status seni serta bukan semata satu-satunya tujuan penciptaan. Ini tentunya ‘menyimpang’ terhadap visi artistik formalisme modern yang mensterilkan seni dari narasi seraya memuja keutamaan bentuk signifikan 16 , yang mana seniman-seniman ini nampak tidak bekerja dalam kerangka demikian. Lantas dimana kemudian problema representasi tersebut mulai terasa? Ini dapat terlihat jika kita mulai menginvestigasi kapasitas visual 17 dari masing-masing karya. Apa cukup kemudian visualitas yang ditampilkan merepresentasikan persoalan? Bagaimana warna yang Bunga gunakan mengantar kita pada identitasnya? Bagaimana kemudian langit Tara mengantarkan kita pada mimpi, identitas, dan intuisinya? Serta, bagaimana garis, bidang, dan warna Evi membicarakan orde dan kekuasaan?
Bagi para pembaca yang kritis, mungkin akan muncul pertanyaan semacam: Apakah representasi seni semacam komunikasi visual yang ‘literal’ dan ‘ilustratif’? Bukankah struktur dan keterbacaan narasi tidak selalu menjadi tujuan penciptaan? Diakui, bahwa ada semacam ekspektasi terhadap idiom seni yang semestinya membawa pencanggihan sublim. Namun tetap saja, upaya pencanggihan ini tidak menihilkan representasi, melainkan (seringkali) membuatnya menjadi berlapis, bercabang, atau ulang alik. Representasi seni kontemporer umumnya menyatakan respon individu seniman
15 Salah satu upaya untuk memaknai karya-karya abstrak dalam bingkai kemutakhiran pernah dicoba oleh Pepe Karmel dalam Conceptual Abstraction: Still Conceptual After All These Years (2012). Di sini Karmel mengajukan bahwa banyak karya-karya abstrak kontemporer masih mengandung ke-tentang-an (aboutness) sehingga masih bersifat konseptual (dan berikutnya representatif). Sayangnya, bingkai Karmel ini masih mensyaratkan adanya jejak-jejak representasi untuk tetap dapat dilacak dari visualitas karya. Atas alasan ini lah pembahasan Karmel belum bisa banyak di garap di pameran ini.
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage13-14GaleriRuangDini
16 Disadur dari istilah significant form dari Clive Bell (dalam Art, 1914). Menurut Bell, seni semestinya menemukan bentuk signifikan yang dianggap dapat memberikan pengalamanpengalaman estetik yang khas dan baru, dapat menyentuh dimensi estetika manusia yang 17terdalam.Harapuntuk tidak mengaitkan terminologi ‘kapasitas visual’ ini dalam kerangka The End of Art (1997) oleh Arthur Danto, yang menyatakan bahwa operasi medan lah yang kemudian menentukan status seni sebuah objek.
18 Dalam bingkai semiotika pragmatis / komunikasi, Charles S. Peirce (1883), Pierce membagi penanda (signifier) kedalam tiga tingkatan, yakni ikon, indeks, dan simbol. Ketiga tingkat ini mengandung fitur dan latarnya masing-masing, ikon pada kemiripan dan peniruan (resemblance / similarity), indeks pada kausalitas dan hubungan sebab akibat, dan simbol pada konvensi dan kesempatan. Makin tinggi tingkatan penanda ini, makin terkesan tidak ‘natural’ dan alamiah sifatnya.
Kembali diulas, ketiga seniman yang berpameran di sini memang merepresentasikan sesuatu, namun mereka mengambil cara dan peluang lain untuk menghadirkan persoalan itu. Karya Evi misalnya, dari ketiganya, ialah yang bersifat paling representatif. Jika ditilik, bujur sangkar, garis, kanvas serta bentuk-bentuk murni yang Evi tampilkan sebetulnya mengisyaratkan sesuatu. Di sini mungkin dapat kita pinjam relasi representamen dan objek dalam semiotika komunikasi 18 yang dalam tingkatan ketiganya, yakni simbol, dimana bentuk- bentuk tertentu kemudian disepakati maknanya dalam konvensi. Dalam kebudayaan kita, seperti pada ragam hias geometri tradisi, simetri dan keteraturan adalah hal yang sering muncul di beragam peradaban. Persoalan arketip dan ketidaksadaran kolektif memang akan mensaturasi pembahasan ini, hal yang tidak sepenuhnya diklaim dan disadari Evi, namun justru karena basis operasinya di bawah dan ambang sadar ini lah, keabsahan bujur sangkar sebagai ‘konvensi’ ini dapat kita maknai. Berikutnya, warna kuning neon yang digunakan juga sifatnya representatif terhadap kemutakhiran, mengikuti teknologi produksi pigmen-pigmen menyala yang baru dapat terfasilitasi hari- hari ini. Fitur-fitur formal ini tentunya tidak bersifat steril namun mengandung simbol serta mengandung konteks zaman dari spesifikasi medium / materialnya. Melalui bingkai ini Evi kemudian dapat sampai pada persoalan negosiasi manusia terhadap sistem dan aturan yang mengangkangi kehidupannya.
Untuk karya Bunga dan Tara, karena hadirnya intimasi personal seniman dengan proses menciptanya, perlu cara lain untuk mendekati dan benar-benar memaknainya.
terhadap persoalan yang diangkatnya, sehingga tidak lagi ‘murni’ sebatas pewartaan masalah, yang akan terbantu ketika ada struktur dan orde narasi yang lebih jelas. Ada sisi sentimen dan keberpihakan diri seniman yang diperbolehkan masuk di sana. Boleh jadi representasi seni seperti itu, tapi ini masih tidak menjelaskan sepenuhnya bagaimana karya-karya di pameran ini ‘sampai’ pada persoalannya masing-masing.
Pendekatan psikologi seni sebetulnya sudah terlebih dulu mencoba kemungkinan ini, namun relatif masih melihat dimensi psikologis seniman untuk beroperasi di wilayah pelataran. Dari sini, karya seni tetap menjadi yang utama, menghilangkan sisi ‘emansipatif’nya untuk melihat bahwa totalitas karya seni dari seluruh pembentuknya
Konsep ini bisa relevan dengan karya Tara.
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage15-16GaleriRuangDini
Meskipun pada konteks Tara konsep ‘floating signifier’ ini sebetulnya berkesesuaian mengikuti intensi senimannya yang memang tidak bermaksud menambatkan makna-makna yang terlampau spesifik. Tapi dalam pameran ini, akan diupayakan pendekatan yang lain.
22
19 Penanda mengambang: ‘Floating Signifier, dan Penanda Kosong: ‘Empty Signifier’. Semula, konsep Empty Signifier, dirumuskan oleh Claude Levi Strauss (1987), adalah yang pertama muncul. Ia membicarakan tentang kemungkinan tanda untuk menjadi kosong dan bisa dimuati nilai apapun. Sementara konsep floating signifier muncul kemudian, melihat adanya kemungkinan ambiguitas makna dari sebuah tanda.
Konsep ini relevan untuk dikaitkan dengan karya Bunga.
20
Solusi yang dapat diajukan untuk memaknai karya-karya yang mengandung idiosinkrasi ini, adalah dengan terlebih dahulu memilah karya beserta entitas yang terkandung sekaligus yang mengitarinya (seniman, material, medium, proses, persoalan, makna, hingga apresiator) secara otonom dan independen serta sejajar tanpa hirarki, untuk kemudian dilihat kemungkinankemungkinan hibrida dan gabungan ( compound ) darinya, dan dipilih mana yang kemudian mendekati makna atau realita sebenarnya di balik karya tersebut. Untuk mengakses karya Bunga dan Tara, kita perlu sebelumnya memilah mereka dengan karyanya termasuk diri kita dan memaknai spesifikasinya masing- masing, serta setelahnya melihat kemungkinan gabungan dari ketiga elemen tersebut. Pada konteks karya Bunga, makna kemudian dapat diakses jika kita menimbang sejarah dan riwayat personalnya 23 , hal yang dapat menjelaskan kemenjadian warna dan bentuk-bentuk yang hadir, serta melebur pemaknaan tersebut dengan karyanya.
23
21
Sebetulnya, menghadapi karya-karya yang membawa idiom yang sarat dengan idiosinkrasi ini, konsep semiotik ‘penanda mengambang’ atau ‘penanda kosong’ 19 dapat saja digunakan. Ketika sebuah penanda, sebuah seni misalnya, menjadi mengambang, ia dapat menyiratkan ambivalensi dan ambiguitas 20 atau dapat menjadi ‘kosong’ dan berpotensi untuk dimuati makna apapun 21 . Meskipun dapat menjelaskan, mendasarkan pemahaman pada paradigma ini sebetulnya mengisyaratkan semacam kepasrahan: menyerah untuk melakukan pemaknaan dan memilih untuk patuh pada kesewenangan dan penafsiran majemuk. Bersandar pada ini sebetulnya mengandung resiko, bahwa pemaknaan dapat menjadi kabur, manasuka, bahkan sampai tuna acuan 22 .
telah begitu mensaturasi dinamika kebudayaan mutakhir yang sampai juga di Indonesia pada akhirnya. Satu yang dapat diupayakan adalah dengan menangani karya seni beserta totalitasnya berikut persoalan, material, medium, proses, medan seni rupa, dan lainnya untuk berdiri secara independen terhadap satu sama lain, untuk membuka peluangpeluang penggabungan di antara unsur pembentuknya yang dapat lebih tepat memaknai dan mengalami karya seni, sekaligus secara emansipatif melihatnya sederajat tanpa hirarki, sehingga seni, proses penciptaan, seniman, dapat menjadi sama penting dengan isu dan persoalan yang diangkatnya. Model ini kemudian dapat berlaku tidak hanya pada karya-karya yang berpotensi ‘nonrepresentasional’ atau meng-abstrak, pada karya-karya yang representatif sekalipun hal ini dapat kita jadikan pijakan. Jika berkenan, ini berpeluang untuk membuka pembahasan tentang paradigma seni pos-representasional, pos-tekstual, atau pos-literal yang dapat lebih menyeluruh mendekati inklusivitas dan fluiditas seni kontemporer. Tentunya, tawaran yang dituturkan di sini masih amatlah formatif, baru sebatas purwarupa rudimenter, yang akan saya terus upayakan dan ujicobakan di kesempatan- kesempatan lain.
Tara, proses penelusuran makna memang relatif menjadi ‘menantang’, karena penciptanya sendiri tidak bermaksud untuk menambat pada kekhususan. Tara seperti sengaja menggali dan mengeksploitasi nilainilai ‘ambangan’ seperti dualitas dan paradoks. Ada metafor yang ia gunakan sebagai himbauan dalam menghadapi karyanya, yakni jendela, mengisyaratkan sebuah undangan untuk masuk ke dalam dimensi pengalaman lain. Di sini, gabungan antara seniman dan karya kemudian dapat dilebarkan untuk melibatkan kita selaku apresian. Memang sering dinyatakan bahwa persepsi dan pengalaman seni tidaklah searah, melainkan dialogis antara objek budaya dengan subjeknya. Dengan melibatkan diri kita dalam menghadapi gabungan antara karya dan senimannya, operasi multitafsir yang muncul dalam benak kita kemudian dirangkul oleh gabungan Tara dan karyanya, untuk kemudian sampai pada intensi Pemaknaan-pemaknaansenimannya.di
atas tentunya akan sulit untuk dialami ketika kita hanya bersandar pada representasi seni konvensional yang berharap bahwa visualitas, kekonkretan, dan materialitas karya sebagai luaran akhir dapat sepenuhnya mengantarkan dan menjelaskan. Di sini telah dicoba untuk mendekati karya-karya yang berpotensi untuk dituding ‘non-representasional’ ini melalui beberapa solusi: dengan menggali dan mencari kemungkinan lain dari paradigma representasi seni (semiotik misalnya), atau dengan bersandar pada ‘ontologi datar’ yang mengkritisi tikungan linguistik yang
Untukmanusia.karya
sampai pada persoalan identitas dan pengaruh ruang terhadap identitas
Danto, Arthur. (1997): After the end of art: Contemporary art and the pale of history . New Jersey: Princeton University Karmel,Press.
(2011): Contemporary Arts : World Currents. Prentice Hall: New Jersey: Amerika Serikat.
Peirce, C.S. (1998): The Essential Peirce. Volume 2. Eds. Peirce edition Project. Bloomington I.N.: Indiana University Wallis,Press.
Pepe. (2012): Conceptual Abstraction: Still Conceptual After All These Years. Hunter College: the City University of New York: Amerika Serikat.
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage17-18GaleriRuangDini
Bryant, Levi., Srnicek, Nick. dan Harman, Graham. (ed.). (2011): The Speculative Turn: Continental Materialism and Realism. re.press : Melbourne, Australia.
Anas, Biranul, ed. (2000): Refleksi Seni Rupa Indonesia , Balai Pustaka: Jakarta, Indonesia.
Bibliography
Brian. (1984): Art After Modernism: Rethinking Representation. New Museum of Contemporary Art. Michigan University.
Bois, Yves-Alain, dan Krauss, Rosalind (1996): Formless: A User Guide . dikembangkan dan diterjemahkan dari katalog pameran L’Informe : mode d’emploi , MIT Press: Amerika Serikat dan Inggris.
Lévi-Strauss, Claude (1987): Introduction to Marcel Mauss. diterjemahkan oleh Baker, Felicity. Routledge: London, Smith,Inggris.Terry.
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage19-20GaleriRuangDini
Bunga Yuridespita is an artist based in Bandung. Through space, time, and memory, she juxtaposes her practice with an exploration of her life imprints that built her identity as an individual. She graduated from Pelita Harapan University majoring in Architecture, then continued her master’s degree in Bandung Institute of Technology, where she majors in Fine Arts. Though she decided to pursue Fine Arts, consecutively after obtaining her Bachelor of Architecture degree, she never let go of her architectural instincts; in fact, it became a significant influence in her creative process and Bunga’sartworks.
abstraction depicts pavement lines seen from a bird’s point of view (aerial photography); its reduction creates a harmonized composition on the canvas. Visually, it represents shape and color that make its original object unidentified. The areas and subjects illustrated in her pieces are representations of daily experiences and personal space. Her compositions are achieved using the collage method, which is stimulated by the act of personal meditation, which touches upon ideas of the relationship between humans and spaces. Bunga believes that space is equivalent to the storage of memories of the past, the current self (present), and the constant development of our identity (future). Her works cultivate what has escaped from human’s daily activities and their responses towards space. It is like a conversation between the human body and space, which leaves a memory that forms the character of an individual. This concept is then interpreted in the form of a collage; Combining her prior architectural knowledge and her sensitivity towards aesthetics.
YURIDESPITABUNGA
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage21-22GaleriRuangDini Another brick in the wall Choose as many as you want 200 x 200 cm Acrylic on Canvas2022 Night with Ólafur 80 x 80 cm Acrylic on Canvas2022 Day with Ólafur 80 x 80 cm Acrylic on Canvas2022
Body and space are constantly in dialogue. When the body has moved from one space to another, the past space entered memory consciously or not. In the process of making this artwork, I used my memory and the remaining memories of the spaces that I’ve been in—so the works presented here are abstract forms of the floor plans that I’ve had gone through. The additional color choices that appear are silver and gold. They’re symbols of the spiritual spaces that are present in sacred architectural buildings.
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage23-24GaleriRuangDini
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage25-26GaleriRuangDini
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage27-28GaleriRuangDini
Acrylic on Canvas2022
Dunkle Abby
50 x 50 cm each x 8 panels
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage29-30GaleriRuangDini
EVI PANGESTU
Evi Pangestu (b.1992, Indonesia) is a painter who investigates rebellion and control within the parameter of convention. Evi started her formal education in painting at the Indonesian Art Institute, Yogyakarta, which was later completed at the Birmingham School of Art, UK.
Evi is currently based between Oakland and Jakarta. She has lived and worked itinerantly since she graduated from Royal College of Art in 2019.
Stretched and Fixed, Intersecting Grids and graphite on canvas x 302020cm
30
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage31-32GaleriRuangDini
Square Among Stretched Grid Gesso and graphite on canvas 80 x 802021cm
Acrylic
I believe that humans are driven with the tendency to manage things in a perfect grid system according to their own standard and acceptance. However most time, we are under a bigger structure that requires fixing with agreeing and disagreeing, consequences and compromises.
Stretched Lines focus in the idea of intention at state of discomfort. Having used to constantly adapt to changing places, the current global situation has put a break to change, bringing me to reflect upon the control that people seem to no longer have.
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage33-34GaleriRuangDini
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage35-36GaleriRuangDini
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage37-38GaleriRuangDini
Tara Kasenda (b. 1990) obtained her Bachelor’s degree at the Institute of Technology Bandung, Indonesia, specializing in painting (2013), and her Master of Fine Arts degree in Transdisciplinary New Media from Paris College of Art (2019). She works with oil painting, installation, prints, sculpture, and new media – each of them depicts the spirit of her time while still rooted in the convention of
Throughpainting.
Based in Paris, Tara exhibits her work regularly in South East Asia and in Europe. She had three solo exhibitions in Asia: ‘Taksa’ at Ark Galerie (2013, Jakarta), ‘Somatic Markers’ at Langgeng Art Foundation (2014, Jogjakarta), and ‘Wheedled Beings’ at Art Taipei (2015, Taiwan). In 2021, ‘Unshut Windows’ at Achetez de l’Art and ‘Eternal Ephemeral’ at Galerie Virginie Louvet marks her big debut in France. In 2019 she was recognized as Forbes Indonesia’s 30 under 30.
obscureness and soft pastel hues that tie her work together, she emphasizes the issue of identity, perception, and memory. The dreamlike quality of her work simultaneously evokes the feeling of ambiguity, paradox, and comfort.
Research is the foundation of Tara’s work. She collects data, observes, and investigates the history, theories, and studies on color in correlation to her subject. Her soft color palette offers thresholds of beauty and chaos, the defined and undefined, reality and dream, old and new - that drifts the spectator into a contemplative sphere.
TARA KASENDA
GARE SAINT LAZARE
Oil on canvas 100 x 802021cm
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage39-40GaleriRuangDini
In this stage of life, now more than ever, I feel an imperative need to take a pause from my daily routine. The sky has become my place of refuge with its infinite spectrum of color. And painting it is a longing gesture of inner peace in uncertainty. The sky is the grandest painting of all. It humbles me, refreshes me, and makes me feel closer to God.
If light is a revelation, therefore, for me, color is a form of truth.
Color in painting radiates a sense of authenticity of the artist in the purest form - provoking a perceptual experience that is often unbiased. Therefore, returning to the natural source of light – the sun – and how it plays its ray in the sky, in my view, is essential to the basic understanding of color. James Turell once said that light is not so much something that reveals, it is itself a revelation.
The intimacy and feelings that appear to me in the presence of the sky lead me to approach and ultimately capture the spirit of Romanticism. From Romanticism’s many facets, I adapted its romantic sensibility towards nature, which I lay bare with the blurry execution of my paintings.
Familiarity and comfort that prevail in the blurriness allow our tired eyes to have a moment of rest. In contrast to our era that is remarkably saturated with digital information in the form of images, texts, and symbols; I positioned my artwork as windows that drift the audience to a nostalgic, calm, contemplative space without pretense.
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage41-42GaleriRuangDini
2008 – 2013
2019
2016
2017 Finalist for Bandung Contemporary Art Award #5, Indonesia.
2015 – 2017
2015
Master Degree Student in Fine Arts Institut Teknologi Bandung (ITB) : Fakultas Desain dan Seni Rupa
Project Mei, Planes|Spheres,Singaporeduoexhibition by Bunga Yuridespita & Nunung WS, D GallerieJakarta
Bachelor of Architecture
“Precursory two dimensional media : Painting and its derivatives” “PameranPurwokertoBersama
Group Exhibitions
Architect at MINT-DS, Jakarta
Awards:
Universitas Pelita Harapan (UPH): Department of Architecture
“The Grand Mixture” Galeri Hidayat Bandung “Jangan – Jangan Pameran.” Gedung YPK Bandung “Titik Temu” “MereklamekanBandungPelem | an imaginary poster.” APA Space, Jakarta
2016
2017
2016 – 2019
“Gallery Tie Dye Artist” Jakarta
2013 – 2015
2018
Bunga Yuridespita
Experience
Ruang Dalam ArtSpace, Yogyakarta ArtJakarta 2019, Jakarta Spatial Traces, Duet Exhibition, D Gallerie Jakarta Solo Exhibition, Rubanah Hub, Jakarta
Artist Assistant at Pramuhendra Studio, Bandung
2013 – 2015 Stage Photographer at SRM Band Management
2018 Lecturer at DKV – ITHB, Bandung (Part Time)
“XYZ, Bandung Art Fair” – Braga
Dosen ITHB” Bandung
Forbes Indonesia’s 30 under 30 Art, Style, and Entertainment.
(b. 1989, Jakarta, Indonesia)
Education
“Grab Indonesia x Brightspot Market” | ArtDept Indonesia Artist
“Time after Time” art exhibition featuring the musical journey of ru mah sakit band, Jakarta “Smile is the answer” Catalyst arts & Kopi Keliling “Rendering Regime, Pameran Besar Seni Lukis” Jakarta
Lecturer Assistant at ITB (Part time)
2020
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage43-44GaleriRuangDini
2019
2018 Workshop scholarship, Anderson Ranch Art Center, Snowmass Vlg, Colorado, USA
Art on a Postcard for International Women’s Day 2021 Jakarta Post: ‘Influx: Inauguration’ show marks birth of new creative space
Longlisted for Ivan Juritz Prize 2019
RCA WIP Show, Royal College of Art, London, UK 2017 Parataxis, Birmingham School of Art, Birmingham, UK 2016 UK Young Artist National Festival, Derby, UK 2016 School of Visual Art Summer Residency Open Studio, New York, USA
2016 Interview on Birmingham East Side on UK Young Artist National Festival Derby
Evi Pangestu 1992, Indonesia)
We Can Only Have Fun on Certain Days, Stour Space, London, UK 2019 MICRO, Air Gallery, Altrincham, UK 2018 Component, The Old Biscuit Factory, London, UK 2018 Thumbnails, Hockney Gallery Royal College of Art, London, UK 2018
MA Painting, Royal College of Art, London, UK 2015 - 2017 BA (Hons) Fine Art, Birmingham School of Art, Birmingham, UK 2011 - 2015
Solo Exhibition:
Selected Group Exhibitions:
2021
Touch Me, virtual exhibition curated by Veronika Neukirch
Online interview with Heap Magazine 2019 Visiting lecture, Reading University, UK
Selected artist on Friend of the Artist Volume 10 2019
Dalam Sangkar / Within Square, Galeri Ruang Dini, Bandung, Indonesia
2016 SVA Summer Residency, School of Visual Arts (SVA), New York, USA
UOB Painting of the Year, Art Moments Jakarta Online II 2021 Sensing Sensation, Semarang Gallery, Semarang, Indonesia 2021 Suksesi, ISA Art & Design, Jakarta, Indonesia 2021 Influx: Inauguration, Ruang Dini, Bandung, Indonesia 2020 Winter Exhibition, Royal Academy of Arts, London, UK 2020
2020 PADA Studios residency, Barreiro, Portugal 2019
2020 Online interview with Where’s The Frame 2020 Arisan Karya edisi pertama, Museum MACAN, Jakarta, Indonesia
2020 Almost There, virtual exhibition of PADA Studios March Residency 2019 Sekala / Niskala, Kinship Studio, Bali, Indonesia
2017 - 2019
2021
Education:
2021
Selected Finalist - UOB Painting of the Year, CAN’S Gallery, Jakarta, Indonesia
Publications and Related Experiences:
(b.
2021
Fine Art - Painting, Indonesian Institute of the Arts Yogyakarta, Indonesia
Royal College of Art Graduate Show 2019, Royal College of Art, London, UK 2019
2019
Master of Art Paris College of Art Transdisciplinary New Media.
“WHEEDLED BEINGS” , Solo Presentation at Art Taipei 2015 Special “Future”.
Selected Group Exhibition & Artfair
Bachelor of Fine Arts Institute of Technology Bandung Faculty of Fine Art and Design, majoring in Painting.
Sep “FIRST LIGHT” , a group exhibition of five artists from the Asia Pacific region exploring the formal qualities of light, shadow, and color, Yavuz Gallery, Sydney, Australia.
2017 Finalist for Bandung Contemporary Art Award #5, Indonesia.
“PROLOGUE” , a group exhibition presented by Sumi Arts, Milieu Space, Surabaya, Indonesia. 2019
“ART FAIR PHILIPPINES 2021” , represented by Yavuz Gallery.
Aug
Academic Attainment
Jun
May
“INTO THE FUTURE” , a group exhibition and book launching of 21 contemporary Indonesian female artists curated/ authored by Carla Bianpoen, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia.
2019 Forbes Indonesia’s 30 under 30 Art, Style, and Entertainment.
2013
“SALON D’ART CONTEMPORAIN” , a group exhibition of 25 con temporary artists presented by Maison Contemporain, Bastille Design Center, Paris, France.
Feb
Awards:
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage45-46GaleriRuangDini
Feb
2015
Nov
Apr
“BEYOND THE DOT” , a group show by Master of Transdisciplinary New Media students, Espace F15, Paris, France.
TARA KASENDA (b. 1990, Jakarta, Indonesia)
2014 “SOMATIC MARKERS” , Langgeng Art Foundation (LAF), Yogyakarta, Indonesia.
Solo Exhibition
“SHIFT” , a Master’s Degree Show of Paris College of Art, Bastille Design Center, Paris, France.
2020
“TAKSA” , First Solo Exhibition, Ark Galerie, Senopati, Jakarta, Indonesia 2021 “UNSHUT WINDOWS”, Achetez de l’Art, Paris, France. 2021 Coming soon in September at Galerie Virginie Louvet, Paris, France.
2021
“ART JAKARTA VIRTUAL 2020” , Indonesia’s biggest annual art fair returns in a new form - making a mark as the first digital art fair in Southeast Asia. Represented by Semarang Gallery.
Nov
“BOARD TO BE SOLIDAIRE” , special work in collaboration with John Hamon for charity auction show organized by Secours Populaire, Agnès B., Paris, France
“SENSING SENSATION” , a group exhibition of Indonesia’s young female contemporary artists, Semarang Gallery, Semarang, Indonesia.
Mar “SUCCESSION” , a group exhibition of Indonesian female artists, ISA Art & Design, Jakarta, Indonesia.
2015Selasar(ongoing)Sunaryo, Bandung, Indonesia
“BAZAAR ART JAKARTA 2016” , special project booth, The Ritz Carlton Jakarta, Indonesia.
Nov
Oct “AGSI Artsy Weekend” , group exhibition supported by AGSI Indone sia Art Gallery Association), Edwin’s Gallery, Jakarta, Indonesia.
Sep “EQUIDISTANT NIGHT” , a group exhibition of Indonesia’s and Philip pines’ Emerging Young Artists, Provenance Gallery, Shangri-La at the Fort, Manila, Philippines July “BAZAAR ART JAKARTA 2017”, special work for charity auction, The Ritz Carlton Jakarta, Indonesia.
Mar “MULAT SARIRA NAGRI PARAHYANGAN” , group exhibition, NuArt Sculpture Park, Bandung, Indonesia.
“BAZAAR ART JAKARTA 2015” , represented by Equator Art Pro jects, Jakarta, Indonesia.
Oct “X” , group exhibition, Orange Gallery, Bacolod Island, Philippines “MURNI” , a work with team Whatever Workshop at Indonesian Con temporary Art & Design (ICAD)’s annual exhibition incorporating multi-discipline talents, Grand Kemang Hotel, Jakarta, Indonesia
89+ INDONESIA
Aug
2015
2016
Research“The Power of Collaboration in Installation Art: A Case Study on Marguerite Humeau” 2018-2019
A Master’s Thesis by Tara Astari Kasenda in partial fulfillment of the requirements for “Master of Arts” in Trasnsdisciplinary New Media, Paris College of Art.
Apr “WAITING FOR IT TO HAPPEN” , group exhibition, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia.
Aug “NEW FUTURE” , The 3rd Korea-Indonesia Media Installation Art Exhibition, Art1 Museum, Jakarta, Indonesia.
2017
June “VOID” , group exhibition, Langgeng Gallery, Magelang, Indonesia.
“BIPOLARITY TO MULTIPOLARITY” , group exhibition, Yogyakarta, Indonesia.
Oct
June
Selected Group Exhibition & Artfair
“UNIVERSE BEHIND THE DOOR” , a group exhibition organized by Indonesia’s Board of Creative Economy (BEKRAF), ArTotel, Jakarta, Indonesia.
Long-term, international, multi-platform research project co-founded by Simon Castets and Hans Ulrich Obrist, investigating the generation of innovators born in or after 1989, Bandung – Indonesia.
“SEKATA LIVING” Collaborative work with team Whatever Workshop at CASA by Bravacasa, The Ritz Carlton Jakarta, Indonesia.
Mar “SAYA KATA MAKA SAYA PERCAYA” , writing-based installation project, Galeri Chandan, Kuala Lumpur, Malaysia.
Aug
Mar “A.S.A.P” , group exhibition, G13 Gallery, Selangor, Malaysia .
May “HERE-THERE-EVERYWHERE” , group exhibition, Galeri Semarang, Semarang, Indonesia.
Feb “SOCIAL TURBULENCE” , group exhibition hosted by Martell, Edwin’s Gallery, Jakarta, Indonesia.
2016
2015
“Knocking Holes” - the Jakarta Globe
Representationon Lirada)yang(MenyoalPage47-48GaleriRuangDini
“Taksa” - Tara’s solo exhibition, Taksa, reviewed in Harper’s Bazaar Indonesia 13th Anniversary Issue
“30 Under 30 Young Artists” - NYLON Magazine Indonesia November 2016 Art Issue
“Seeing Through the Web: a Critical Approach” – workshop and art project with Pauline Chasseray-Peraldi (Researcher on Information and Communication Sciences) & Lou-Maria de Brusq (Artist)
“Immersive Realities” – Virtual Reality workshop with Solíman Lopez (New Media Artist)
2013
“Photogrammetry and Virtual Reality” – workshop with Solíman Lopez (New Media Artist)
“Not Just VR Goggles. An Oblique Introduction to New Media Art” – workshop with Fillipo Lorenzin (Curator of Victoria & Albert Museum)
Workshop / Art Project
2018
“How to Elaborate a New Economy for Digital Art? Marketing and Creating with Blockchain, Cryptocurrency and Smart-Contract Technologies” – workshop with Aleksandra Smilek (Creative Director of EP7, Paris)
“Career & Entrepreneurial Advice: Best Practices for an Efficient Independent Career” –workshop with Olivia Sappey d’Anjou (Owner of bOssa tallents)
2019
2019
“Citizen Art, Socially-engaged and Participatory Practices” – workshop with Klaus Fruchtnis (Artist & Dean of PCA’s Graduate Studies)
“Young and Restless” Creative Personas from various art fields - Harper’s Bazaar Indonesia January 2016 Issue
“Future – Emerging Artists’ Solo Presentations, Art Taipei 2015” - Art Radar “Kehampaan dalam Ruang Publik (Void in the Public Space)” - Tara’s solo exhibition, Somatic Markers, reviewed in KOMPAS, Indonesia’s leading national newspaper.
“12 Seniman Perempuan Generasi Baru (12 Female Artist in the New Generation)”Her World Indonesia magazine
2014
“Hole in the Wall” - Style.com
“ARCHIVE 02” - interview with Saint Maison Gallery among 100 international artists, published by Saint Maison
“Indonesian Women Artist: Into the Future” - authored by Carla Bianpoen, published by Cemara Enam Foundation, and Afterhours Book -”Forbes Indonesia 30 under 30” Art, Style, and Entertainment - Forbes Indonesia
“Contemporary Image Collection” - graduate symposium at Paris College of Art, chaired by Bien DoBui (Linguist and Researcher on Endangered Languages)
Selected2020Press
Published by Ruang Dini, 2022 www.galeriruangdini.com
Tuesday - Sunday 10AM - 5PM Admission Fee Free Entry
Media Partner Explore Bandung Indo Art ArtcaseBandungNowConnex
Organized by Ruang Dini
Opening Hours
In conjunction with the exhibition of: on Representation ( Menyoal yang Lirada ) Bunga Yuridespita, Evi Pangestu, Tara Kasenda Ruang JanuaryDini14th - February 4th 2022
Jl. Anggrek No.46, Cihapit, Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40114 Tel. +62 813 8299 5424
Ruang Dini