Influx: Extended

Page 1

2021APRIL,11-MARCH12THTH

Angki Purbandono Andy YuliRizkiR.E.MaharaniM.JimboFilippoFendryEddieCecepDewantoroM.TaufikHaraEkelSciasciaIrfanMancanagaraHartantoResaUtamaPrayitno

Curated by: Gumilar Ganjar

2021APRIL,11-MARCH12THTH

GROUP EXHIBITION BY:

Gumilar Ganjar INFLUX EXTENDED: Menyoal Pluralisme

4 Untuk tidak dipertukarkan dengan relativitas dalam konteks fisika (General Theory of Relativity, Einstein - 1915) Meski keduanya tetap berbagi sejumlah kesamaan paradigma, utamanya tentang pentingnya acuan perbandingan dalam melihat sebuah fenomena, relativisme menjadi berbeda karena ia dibicarakan dalam filosofia dan humaniora dan banyak ditambatkan pada konteks kultural dan manusia.

Pengantar di atas boleh jadi mengilustrasikan beberapa nilai dan keutamaan dari pluralisme, dan sangat mungkin untuk diafirmasi dan diterima begitu saja. Namun, apa benar pluralisme itu demikian? Sulit memang membayangkan sesuatu yang terbuka dan akomodatif untuk memiliki ketimpangan dan menyimpan persoalan. Pluralisme itu netral, ia tidak memihak, semua serba relatif, apa yang kemudian bermasalah?3 Poin terakhir yang sekiranya menjadi problematik:

2 Dalam konteks global, hal ini terjadi mulai dari dekade 70an dan memuncak pada dekade 1990an. Iklim kebudayaan paska Perang Dingin yang diakhiri dengan kemenangan liberalisme justru melahirkan poros-poros kekuatan baru di luar Barat: menjadi semacam emansipasi global yang mempertanyakan legitimasi dan relevansi atas hegemoni Barat berikut modernisme yang dibawanya terhadap dunia. Dalam semangat ini, semangat ‘pemerataan’ menjadikan seni sebagai ruang strategis dimana apresiasi pada nilai budaya yang sebelumnya terpinggirkan untuk kemudian didiskusikan.

7 Tentunya, merujuk pada pemikiran ‘The End of Art’ yang dipromosikan oleh Arthur Danto (dalam After The End of Art: 1997) yang melihat kondisi seni rupa dalam berakhirnya modernisme di dekade 1960an. Ketika modernisme berakhir, dan praktik seni rupa kemudian dikembalikan kepada para seniman alih-alih mengikuti sebuah metanarasi seni, Danto melihat bawa seniman menjadi lebih ‘pragmatis’ dan liberal mengikuti agenda personal. Menurutnya, hal ini dirasa ‘kurang bertanggung jawab. Sinisme yang terasa cukup signifikan ini terkesan menunjukkan apati Danto pada potensi dari seni rupa setelah modernisme berakhir. Ia berkesimpulan bahwa pertanyaan filosofis tentang ‘apa itu seni’ telah dibebaskan dan bukan lagi menjadi tanggung jawab seniman, melainkan filsafat.

Sebagaimana juga terlihat dalam dinamika paradigma kebudayaan: dari yang singular melayani yang spiritual, lantas memisah dan menjadi oposisi diametral dalam upaya kritis pencerminan untuk mendukung kemajuan, kemudian terpecah terpetakan dalam ragam versi keberpihakan: semuanya dalam upaya memahami dan mendalami sang kebenaran. Artikel ini tidak bermaksud untuk mengulang sinisme serupa yang mengasumsikan ‘keberakhiran seni’7 ketika segalanya terfragmentasi dan menyisakan kegamangan, dan masih mempercayai bahwa dapat menawarkan perspektif khusus dalam mengakses - atau setidaknya mendekati - kebenaran: sebuah kanal pendalaman yang melampaui bahasa dan representasi.

3 Artikel ini tidak bermaksud untuk menjangkarkan sepenuhnya pluralisme dengan paham tersebut. Keduanya dapat benar-benar menjadi berbeda dalam konteks dan pemahaman tertentu, namun dapat pula beririsan bahkan hingga berkelindan: sebagai landasan konseptual, prasyarat keterjadian, hingga konsekuensi logis, juga dalam konteks yang spesifik.

1 Untuk mengikuti Terry Smith dalam Contemporary Art: World Currents (2011).

5 Mengambil dari bentuk paling sederhana dari logis: kontradiksi, bahwa sebuah premis bisa menjadi masuk akal secara memuaskan (satisfiable) ketika negasi darinya kemudian salah.6Dibahas

sejumlah total 24 seniman (mengikutsertaan pula partisipan pada edisi sebelumnya) dalam upaya menyikapi keberagaman ini. Perlu sebelumnya dijelaskan bahwa pelibatan seniman banyak berhutang pada Andy Dewantoro, yang berperan sebagai pengarah ruang, untuk kemudian menjadi bahan pertimbangan terhadap premis kuratorial yang diajukan. Keragaman

dalam konteks ‘self-refuting ideas’ - atau gagasan yang menganulir diri. Karena secara inheren premis ‘semua serba relatif’ mengandung kesalahan logis (logical fallacy), konsep ini kemudian tidak bisa diterima karena dilandaskan pada gagasan yang tidak masuk akal. Sejumlah kritik pada relativisme salah satunya cukup bersandar pada gagasan ini (Dixon, 1977).

Sebagai sebuah paradigma, pluralisme telah begitu baik diterima jika bukan dirayakan oleh masyarakat mutakhir. Bagaimana tidak? Ia menolak pemikiran yang hegemonik, mempromosikan kesejajaran, bersifat demokratis, serta begitu terbuka dan akomodatif terhadap (hampir) segalanya - menuju sebuah kondisi yang dipercaya dapat menjadi seba-ideal dan serba-berkesesuaian. Pun dalam praktik seni kontemporer, pluralisme menjadi pijakan penting yang melandasi salah satu keutamaannya. Hal ini menjadi demikian mengikuti semangat kembalinya seni pada kehidupan, berjalan mengikuti dinamika masyarakat bersama keragaman persoalan yang dibawanya. Dengan ini praktik seni kemudian menjadi tempat dimana ragam persoalan kemanusiaan bersama-sama secara bersamaan dibicarakan1. Premis ini menjadi terlihat saat melihat ragam kecenderungan karya seni rupa kontemporer: seniman membicarakan sejumlah ragam tema, mengutarakannya melalui bermacam media, menggunakan modus dan metode artistik yang begitu berbeda, bahkan didistribusikan melintas ruang dan carauntuk tidak lagi terkungkung pada pola mediasi konvensional yang

relativisme4. Dengan menjadi plural dan menerima segala perbedaan, menyatakan ‘kebenaran’ kemudian menjadi beresiko, ia dapat menjadi kabur dan tanpa acuan. Bagaimana satu hal menjadi benar ketika negasinya tidak bisa menjadi salah?5 - semenjak di titik terjauhnya konteks apapun dapat dibangun untuk melegitimasi (secara relatif) satu versi kebenaran. Indikasi lain, premis ‘semua serba relatif’ pun amat riskan untuk menjadi landasan karena ia dengan sendirinya menganulir diri, seraya terseret dalam jebakan absolutisme manunggal6. Bukan berarti bahwa monisme kemudian perlu ditegakkan, bukan pula menawarkan dualisme antagonis sebagai antitesa untuk mengatasinya, namun mendekati kenyataan dengan pluralisme pun sepertinya tidak sepenuhnya menjelaskan.

Sebuah pameran tentunya memiliki keterbatasan jangkauan pembahasan, dan persoalan yang sebelumnya diulas pun belum pula dapat tuntas dibicarakan dalam iterasi ini. Setidaknya, pameran ini dapat membuka tabir persoalan sehingga perbincangan lanjutan dapat mulai dibina. Influx: Extended, sebagai penyelenggaraan kedua dari program inaugurasi Ruang Dini ini, berupaya untuk itu, menawarkan ruang dialog pendalaman namun memahami adanya keterbatasan, menjadi penanda atas sebuah inisiatif baru untuk memasuki aktivitas kesenian dalam kesederhanaan yang penuh Influxpertimbangan.melibatkan

dari segi produksi artistik, dalam konteks mediasinya pun pluralisme menawarkan banyak keutamaan. Ia dibayangkan membawa sikap toleran yang merangkul, netral yang tanpa prasangka, dan menghargai segala kepentingan. Dengan dilandasinya seni kemudian berpotensi menjadi instrumen untuk mengadvokasikan keberpihakan: politik identitas, perjuangan kelas, juga peminggiran dan penekanan pada yang Liyan, beberapa diantaranya2. Praktik seni rupa bersamaan dengan infrastrukturnya bersifat akomodatif terhadap ini: sebuah kanal jejaring terbuka yang memfasilitasi perhubungan dan perlintasan beragam daya kekuasaan neoliberal: administrasi, pengetahuan, industri, dan kapital - menjadi sebuah muara perhubungan terjadinya pertukaran, apapun itu.

CURATORIAL

Takbiasanya.hanya

11modern.Upaya paling jauh yang dapat ditawarkan, adalah memaparkan gejala alih-alih menjadi sebuah gambaran sejarah yang komprehensif. Artikel ini mengakui bahwa proposal rudimentari saja yang dapat diajukan. Meski demikian, hal ini tidak menganulir harapan dari pameran untuk memberikan sebuah pembacaan yang terukur.

CURATORIAL

13 Istilah ini diserap dari kata ‘idiolect’ yang dapat diartikan sebagai ‘logat personal’: variasi komunikasi individu dalam mengutilisasi sistem bahasa untuk dapat mentransmisikan bahasa-bahasa personal yang tidak dapat dimediasikan hanya melalui yang ‘literal’. Jika dialek adalah varian khusus yang berlaku dalam sebuah wilayah, idiolek berlaku di level individual, mengikuti etimologinya yang berasal dari idiosyncratic (kekhususan individual) dan dialect (logat) - (Supangkat, 2013).

Pameran Influx ‘memulai’ seni kontemporer dengan memperlihatkan masih pentingnya aspek estetik dalam karya seni rupa kontemporer melalui pelibatan seniman-seniman Jendela dengan kekhasan ekspresi estetik yang idiosinkratik dari masing-masing eksponennya. Inisiatif ini sejatinya muncul pada pertengahan dekade 1990an, namun cenderung mulai direkognisi pada akhir dekade tersebut menyusul menyurutnya ketertarikan seniman dalam merespon secara kritis - dan acapkali eksplisit - pada persoalan sosiopolitik yang lahir dari karakter pemerintahan Orde Baru yang represif, pada masyarakat secara umum dan terhadap ekspresi estetik secara khusus. Meski kala itu terkesan muncul sebagai ‘anomali’, karena dipandang tidak merepresentasikan isu sosial yang faktual, kecenderungan estetik ini secara gradual kian dikenali memasuki dekade 2000an dan masih dirayakan hingga saat ini12. Dari sekian banyak kualitas, hal yang patut digarisbawahi adalah kepiawaian para seniman untuk menciptakan idiolek13 masing-masing, sebuah ungkapan ekspresi yang tentu bersumber dari personalitas diri namun tetap relevan dengan konteks dan ‘bahasa’ kultural yang mengitarinya, menjadikan karya sebagai lapisan permeabel dimana kontemplasi yang personal kemudian berpadu-padan secara ulang alik dengan nilai kultural lokal, tradisional, modern, lokal, global yang dibagi secara kolektif. Kehadiran mereka yang konsisten mewarnai dinamika seni rupa kontemporer kita hari ini, kemudian membuktikan bagaimana estetika tetap menjadi hal yang relevan untuk dibicarakan dalam perbincangan seni rupa. Dalam Influx, sensibilitas ini diwakili oleh M. Irfan dan Jumaldi Alfi.

Sensibilitas yang berikutnya muncul tentunya adalah, seni sebagai representasi. Dengan dipercaya telah ‘kembali’ kepada masyarakat, seni kemudian menjadi kanal dimana beragam persoalan sosiokultural (di luar sosiopolitik sebagai umum mengemuka pada dekade 1990an) kemudian dibicarakan. Di awal dekade 2000an, ragam tema yang muncul dibahas oleh masing-masing

12 Dengan menimbang reputasi eksponennya yang cukup baik, tidak hanya dari sisi ‘pewacanaan’ dalam pameran namun juga dari apresiasi market.

Berjalan beriringan dengan maraknya wacana representasi seni adalah perluasan rentang jelajah media seni kontemporer dari yang semula terbatas pada instalasi, benda temuan, dan fotografi, untuk kemudian memanfaatkan teknologi14, yang umum dibingkai dalam perbincangan seni media. Patut diakui bahwa pandangan ini akan terkesan terlalu sederhana, karena seni media sendiri melingkupi dan tidak seluruhnya habis dibahas hanya melalui perspektif atau pandangan tunggal saja. Pameran ini sendiri mencoba melihatnya dari sisi materialitas. Seni media mendekonstruksi - jika bukan mendobrak - pandangan artefaktualitas seni konvensional - dimana benda seni dilihat sebagai bukti kongkrit sejarah yang ‘menyaksikan’ peristiwa, dengan melahirkan seni yang ‘dematerial’. Perkembangan teknologi yang berhasil ‘mengabstraksikan’ realitas melalui formulasi dan algoritma biner, secara esensial sejatinya telah mengaburkan batas antara yang nyata dan yang maya. Pada sisi lainnya, seni media sejatinya juga merepresentasikan kondisi kebudayaan mutakhir, utamanya tentang materialitas, yang sudah terbongkar dan terlipat sedemikian rupa melampaui yang fisikal, kongkrit, dan riil. Keutamaan seni media, saya rasa, masih terletak pada sifatnya yang demikian. Dalam pameran ini sendiri, penggunaan medium fotografi dirasa cukup dominan, terlihat pada: Angki Purbandono, Anton Ismael, Jim Allen Abel, dan Wimo Ambala Wayang. Meskipun fotografi sendiri masih dapat dilihat mengandung materialitas yang kongkrit, namun pada sisi produksinya yang melibatkan ‘penerjemahan’ digital, tetap membawa sifat dematerial tersebut. Gejala gambar bergerak dan instalasi, seperti pada karya Eldwin Pradipta, Erik Pauhrizi, Filippo Sciascia, juga sedikit banyak mewakili perkembangan ini, menawarkan permutasi yang sedemikian rupa dalam pemanfaatan media dalam merespon persoalan.

seniman mengalami multiplikasi, seni kemudian benar-benar dapat membicarakan apapun: persoalan agama, politik identitas, aktivitas medan, gaya hidup, konsumerisme, persoalan gender dan domestik, bahkan tentang yang trivial nan banal. Representasi kemudian melandasi karya seni untuk dapat ‘berbahasa’, menjadi sebuah konfigurasi sistem pertandaan yang interaksi dan pertautan dari tiap unitnya dapat menghasilkan efek makna. Namun, berbeda dengan sistem representasi bahasa yang literal dan linear, dinamika pemaknaan representasi seni melampauinya. Ia tidak hanya sekadar menginformasikan fenomena secara literal, melainkan bertaut, berkelindan, kadang berlarian, dengan kognisi apresian. Ini barangkali salah satu keutamaan representasi seni. Dalam pameran ini, beberapa persoalan yang muncul dibicarakan seniman antara lain: persoalan identitas pada karya Abdi Setiawan dan R. E. Hartanto, representasi persoalan diri pada karya Andy Dewantoro dan Cecep Taufik, persoalan lingkungan pada karya Eddie Prabandono dan Maryanto, subkultur dan budaya popular pada karya Eddi Hara, persoalan lokalitas dan tradisi pada Yuli Prayitno, dan poskolonialisme pada karya Maharani Mancanegara.

Terdapat setidaknya 4 kecenderungan, atau sensibilitas, yang cukup mengemuka. Pertama adalah upaya ‘kembali ke estetika’ melalui penuturan yang cenderung idiosinkratik paska fenomena seni pembebasan sosial di akhir dekade 1990an, yang kedua adalah seni sebagai representasi yang masih menjadi dominan dipraktikkan semenjak Reformasi, ketiga adalah kecenderungan seni media pada dekade 2000an, dan terakhir adalah gejala pos-representasional yang termanifestasikan dalam bentuk abstrak kontemporer akhirakhir ini. Artikel ini akan beranjak memaknai pemetaan lebih jauh dengan menelusuri kemungkinan keterkaitan dan pertautan diantaranya, ditujukan untuk menghindari pembingkaian menjadi terlepas dan terfragmentasi, meski tidak pula dapat dikunci dalam sebuah premis yang ‘linear’.

karya yang hadir berhulu pada lebarnya rentang generasi, perlintasan basis kerja, permutasi modus ekspresi, serta (boleh jadi) perbedaan konteks kultural8 tiap seniman, patut diakui menjadikan pembingkaian kuratorial menjadi cukup menantang. Tujuan tersebut kemudian ditelusuri melalui cara yang dinilai paling diplomatis9, dengan secara deskriptif membangun pembacaan melalui pelandasan kontekstual pada dinamika sosio-kultural-lingkungan10. Melalui upaya tersebut, premis yang kemudian akan coba diajukan adalah: dinamika seni rupa kontemporer Indonesia selama hampir 3 dekade ke belakang, secara umum dapat terbaca pada karya-karya yang hadir dalam pameran ini11

9 Patut diakui bahwa upaya kritis yang dimuatkan pada pendekatan kuratorial belum dapat terwujud menjadi sebuah kerangka kerja pameran yang lebih kritis dengan tawaran gagasan yang lebih kongkrit. Upaya menjadi etis dan diplomatis ini dipilih setidaknya karena resiko yang ditawarkan, di tataran substansinya, tidak terlalu fatal.

10 Dengan deskriptif, artikel ini hendak secara rudimentari menerapkan metode relativisme deskriptif yang umum dikenal dalam pendekatan antropologi dalam memberikan gambaran etis tentang struktur kebudayaan sebuah kelompok budaya. Dalam antropologi, pendekatan ini mengedepankan ‘etika keilmuan’ karena tidak membawa prasangka - apalagi penilaian - terhadap nilai sebuah sistem budaya dan menghadirkan serta menjelaskannya secara apa adanya. Berbeda dengan ‘sejawatnya’, relativisme normatif, lebih condong menggunakan kerangka filosofia dan berupaya menempatkan - jika bukan mengevaluasi - nilai-nilai kultural sebuah sistem budaya dalam konstelasi pemikiran humanis

14 Penggunaan istilah teknologi di sini patut diakui memang beresiko, namun tetap diambil untuk membangun relevansi dengan lanskap kebudayaan kita saat ini dimana teknologi telah menjadi bagian inheren yang menelusup hampir seluruh aspek kehidupan. Kedekatan ini - antara keseharian dan teknologi - menjadi elemen lain dari seni media untuk turut merepresentasikan masyarakat mutakhir.

8 Kemungkinan ini muncul jika ketika melihat beberapa seniman partisipan yang menjadi ‘diaspora seni rupa Indonesia.’ Evi Pangestu dan Rizki Resa yang banyak berkegiatan di luar Indonesia. Pelibatan Filippo Sciascia pun menjadi konteks lain yang turun melandasi. Ketiga seniman ini membawa pengalaman kediaman yang boleh jadi berbeda dengan partisipan seniman lain, dan dibayangkan juga akan membawa semacam konteks kultural yang berbeda dalam karya-karyanya.

Kecenderungan terakhir, yang muncul beberapa tahun ke belakangan adalah kembali mengemukanya aspek formal dalam sensibilitas yang lebih ‘mutakhir’. Hal ini di satu sisi kembali membuka perbincangan mengenai estetika dan nilai intrinsik dari karya seni, hal yang mungkin sempat ‘terpinggirkan’ karena kontekstualisasi seni pada persoalan yang aktual selama dua dekade ke belakang begitu terasa. Jika dipadankan terhadap kecenderungan sebelumnya (kembali ke estetika oleh Jendela), hal ini mungkin akan terlihat berulang. Perbedaannya, saat ini persoalan bentuk kembali mendapatkan

Buckner,ReferensiClark.

(2013): Autonomy, pluralism, play: Danto, Greenberg, Kant, and the philosophy of art history. Journal of Aesthetics & Culture, 5:1 Danto, Arthur. (1997). After the end of art: Contemporary art and the pale of history. New Jersey: Princeton University Press. Gumilar, Ganjar. (2019): Media Baru, Materialitas, dan Medan Seni Rupa - Katalog Pameran Matter Matters. Jakarta: Can’s Gallery Harman, Graham. (2020): Art + Objects. Massachusetts: Polity Press.

Keith Dixon. (1977): Is Cultural Relativism Self-Refuting? British Journal of Sociology, vol 28, No. 1 Lippard, Lucy. (1973): Six Years: The Dematerialization of the Art Object From 1966 to 1972. New York: Praeger Punter, David. (2007): Metaphors. New York: Routledge Smith, Terry. (2011): Contemporary Arts: World Currents. New Jersey: Prentice Hall. Supangkat, Jim., dkk. (2013): Post-Medium - Katalog Indonesian Art Award 2013. Jakarta: Yayasan Seni Rupa Indonesia

15 ‘Kerangka dalam’ di sini merupakan penyerapan dari ‘inner framework’

CURATORIAL keutamaan - tidak lagi menjadi pada ekspresi idiosinkratik - dengan kompleksitas fungsi representasi yang lebih rumit. Meski tidak selalu seruang dan sebangun, artikel akan mencoba membuka diskusi tentang seni post-representasional sebagai paradigma pemahaman dalam memaknai kecenderungan abstrak kontemporer ini.

Seni post-representasional membuka kemungkinan untuk melihat karya seni melampaui bingkai ‘representasi konvensional’ dimana pemaknaan tak lagi slalu ditarik dari konfigurasi tanda yang nampak. Representasi terkadang masih dapat menjadi pijakan untuk mendekatinya, namun ia menjadi bersifat elusif ‘berlarian’ dan kadang terselip bersembunyi di belakang. Saya mengajukan, kita perlu memahami ‘kerangka dalam’15 dari karya atau secara sadar ‘mundur dalam tabula rasa’ seraya menghilangkan prasangka dengan melihat karya sebagai sebuah entitas otonom. Ia kemudian didekati melalui konotasi dan metafora - semenjak pemaknaan literal melalui bahasa akan menjadi terlampau ‘artifisial’- sehingga akses makna melalui penguraian jalinan serta pembongkaran lapis-lapis perseptual karya dapat dilakukan. Kecenderungan ini mulai menggejala pada karya Dua Studio, Evi Pangestu, Erwin Windu, dan Joko Dwi Avianto.

Demikianlah sejumlah keragaman yang hadir dalam seri pameran Influx. Meski terkesan berbeda satu sama lainnya, keseluruhannya masih terjalin dalam sebuah dinamika. Terlihat adanya satu siklus dimana relevansi estetika pada kebudayaan terus menjadi hal yang dibicarakan dan dipentingkan: sempat diutamakan dalam semangat penerimaan modernitas, ditampik mengabdi pada isu sosial dalam krisis politik, menelusup ke dalam individualitas seniman seraya membongkar persoalan kultural dan kontekstual di era pembebasan, hingga kembali direnungkan di tataran fundamental dan filosofis ketika representasi menjadi dominan. Ini menunjukkan bagaimana praktik seni rupa kontemporer, terlepas dari keberagaman yang terasa begitu nyata, sebetulnya tidak berjalan statis tenggelam dalam bentuk eksplorasi tak terbatas dengan mengikuti keberpihakan masing-masing seniman, melainkan terus berkait, berkelindan, dan berdialog dengan arus perkembangan zaman.

PURBANDONOANGKI

“Saya mendorong diri saya untuk lebih memahami kehidupan melalui fotografi sebagai medium saya karena orang-orang juga melakukan hal yang sama seperti yang saya lakukan. Dan kemudian saya tahu fotografi tidak pernah mengakhiri kisah kehidupan. Setiap jenis kehidupan sangat membutuhkan fotografi untuk menciptakan kehidupan baru di masa depan.”

Burning Cam

UV print on metallic photo paper, 58 cm x 75

2019cm PURBANDONOANGKI

ANGKI PURBANDONO

Lahir pada 24 September 1971 di CepiringJawa Tengah, Angki Purbandono merupakan salah satu pendiri Ruang MES 56 dan Prison Art Programs (PAPs), yaitu sebuah kolektif atau ruang seni fotografi kontemporer dan konseptual di Yogyakarta yang bergerak di bidang kepedulian terhadap para narapidana di lembaga Angkipemasyarakatan.mengembangkan dan menciptakan karyakarya fotografi melalui medium mesin scanner. Metode itu dikenal sebagai scanography.

Angki Purbandono menggambarkan inspirasinya untuk membakar kamera sebagai tindakan spontan atas “ekspresi diri radikal” terhadap konsep fotografi yang fanatik bahwa kamera adalah satusatunya cara dalam menghasilkan sebuah karya fotografi.

DEWANTOROANDY

yang tidak Anda dengar dengan keras, namun itulah yang saya temukan dalam hati saya katakan dengan tenang setelah membuat karya melukis berulang kali. Rusak, dingin, hening, ditinggalkan dan putus asa. Pekerjaan saya adalah pemeriksaan dari konsep yang sama yang tumbuh ke visual yang lebih luas, dan pemikiran yang ada di baliknya. Ingatan adalah rumah bagi saya, dan itu bukan hanya tempat kenyamanan tetapi juga tempat kendali. Masa lalu kelam yang dulu mengganggu, masih dalam taraf kelangsungan hidup saya, tapi tidak lagi tumbuh kesakitan. Saya menggunakan gambar yang jauh dari tempat tinggal saya saat ini sebagai pemahaman yang diterima tentang lingkungan saya. Mengubahnya adalah cara mempertanyakan sikap, emosi, dan aturan tak tertulis yang telah membentuk lingkungan itu. Sama seperti bagaimana saya memperlakukan sebuah ingatan, sesuatu yang jauh dari kenyataan saya, namun itu tetap cara hidup yang saya sambut.” (Andy Dewantoro)

Andy Dewantoro lahir di Tanjung Karang Lampung pada tahun 1973. Lulus pada tahun 2000 dari Desain Interior, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (ITB). Andy telah mengikuti banyak pameran, baik di dalam maupun luar negeri, antara lain di Inggris, Hongkong, Malaysia, Romania, Singapura, Korea Selatan dan Belanda. Andy dinobatkan sebagai 30 besar finalis Sovereign Asian Art Prize 2019, penghargaan paling bergengsi Asia edisi ke-15 untuk seniman

“Inikontemporer.adalahsentimen

Deserted Oil on canvas, 150 cm x 1502019cm DEWANTOROANDY

ANDY DEWANTORO

TAUFIKM.CECEP

CECEP M. TAUFIK

“Proses kreasi saya sebetulnya sangat berkaitan dengan karakter pribadi sebagai individu. Sebagai pribadi yang selalu ingin serba tertata, rapi, progresif, dan perfeksionis. Ketika melukis, saya merasa medium cat minyak dan gaya hyperrealism ini bisa jadi perantara saya untuk aktualisasi diri. Secara obsesif dan ambisius, ada keinginan yang harus terpenuhi untuk mengejar kualitas visual yang ‘ideal’ menurut saya. Pengerjaan nya pun progresif, konvensional dengan metode gambar grid, perspektif secara freehand. Dalam hal ini karya/lukisan menjadi dirinya sendiri yang memiliki nilai keindahan yang otonom. Objek digambarkan dengan tetap memperhatikan aspek formal, tatanan komposisi tertentu dalam penggambarannya di atas kanvas. Objek dalam lukisan kali ini adalah penggambaran sebuah skena di mana mobil Fiat 600 terbengkalai di sekitar lingkungan yang telah porak poranda, mati, dan terasing. Mobil Fiat 600 tersebut tampak sudah tak tersentuh sama sekali, terabaikan. Skena ini merupakan representasi dari situasi dan kondisi dunia yang tengah berlangsung saat ini. Pandemi SARS-CoV-2 (Virus Corona) tengah melanda hampir seluruh belahan dunia dan telah melumpuhkan/mematikan hampir segala aspek kehidupan di dunia sehingga memaksa hampir seluruh umat manusia berada dalam masa-masa yang sulit. Karya ini merupakan sebuah pengingat bahwa di belahan dunia manapun saat ini, di bawah langit yang sama kita sedang menghadapi suatu kengerian dan kemalangan yang sama. Berhenti merasa menjadi yang paling dirugikan/ menderita, we’re in this together. Jalan terbaik saat ini adalah bersatu padu mengesampingkan ego masing-masing demi kebaikan bersama.” (Cecep M. Taufik)

Under The Same Sky Oil on canvas, 60 cm x 80

2020cm TAUFIKM.CECEP

HARAEDDIE

EDDIE HARA

Etching, India ink and acrylics on paper, 55 X 39,7cm 1998 - 2018.

Etching, India ink and acrylics on paper, 55 X 39,7cm 1998 - 2018.

HARAEDDIE

Lahir pada 10 November 1957 di Salatiga, Eddie Hara saat ini tinggal dan bekerja di Swiss. Karya-karyanya diciptakan sebagai respon atau semacam refleksi dari kepribadiannya yang unik: humoris, sedikit kekanak-kanakan, trendi, bersahabat namun juga sangat menonjol dan profesional dalam menjalani perjalanannya sebagai seniman internasional. Setidaknya itulah yang bisa kita jadikan petunjuk dalam mengapresiasi karya-karyanya, terutama visualisasi makhluk metamorf, hewan aneh dan monster yang terkadang bisa tampil lucu, bahagia tapi juga bisa memunculkan amarah. Melalui lukisan Eddie Hara, ia berharap dapat menginspirasi pemirsanya untuk merenungkan dunia, isu-isu seperti politik, feminisme, seksisme, perang, kemiskinan, rasisme, dll. Karya-karyanya melangkah satu langkah melampaui estetika. Eddie telah mengadakan banyak pameran tunggal dan kelompok di Kuba, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Belanda, dan Swiss dan karyanya termasuk dalam Singapore Art Museum, Museum der Kulturen, Basel, Swiss, serta yayasan swasta, perusahaan dan galeri di Indonesia dan di seluruh dunia.

KINGFISHER & CO

SUNNY SUNDAYS ARE FOR BITCHES.

Eddie Hara adalah salah satu seniman kontemporer Indonesia, dan dengan caranya sendiri berhasil menemukan jenis visualisasi yang pada akhirnya melahirkan “genre baru” dengan memasukkan keliaran dan kepolosan gambar anak-anak, atau seni jalanan - dalam kata lain: seni mentah generik - dalam karya-karyanya. Dengan demikian, karya-karya EddiE tetap mengangkat tema dan sub-culture mindset: dari perusakan lingkungan hingga absurditas kehidupan masyarakat kontemporer. Akhir-akhir ini, karyanya lebih banyak menampilkan kemiripan dengan mural jalanan, yang seolah-olah dibuat dengan corat-coret dan penggunaan warna yang minim. Bagi mereka yang rajin memantau karier seninya, sebagai seniman jalanan, Eddie Hara ternyata memiliki beberapa tokoh atau figur utama yang akan dimunculkan dalam karyanya: ubur-ubur, cumi-cumi, kelinci, sepatu / boot bertopi, dan tengkorak manusia. - semuanya mungkin terbang dan berjungkir balik di kanvasnya. Lukisan Eddie Hara secara karakter memadukan fantasi nakal anak-anak dan kehidupan jalanan perkotaan yang liar. (Oleh Enin Suprapto, Kurator, 2013)

EKELFENDRY

FENDRY EKEL

oil and acrylic on canvas, 240 x

Fendry Ekel (Jakarta, Indonesia) belajar seni rupa pada 1992 - 1999 di Akademi Gerrit Rietveld dan Rijksakademie van beeldende kunsten di Amsterdam. Sebagai hasil dari pameran tunggalnya di Hudson Valley Center for Contemporary Art (HVCCA) di New York pada tahun 2010, ia diundang untuk berpartisipasi dalam International Studio and Curatorial Program (ISCP) New York pada tahun 2011. Ekel telah dijuluki sebagai doktor bergambar, yang secara kritis menyelidiki kekuatan seni, kerancuan dan representasi dengan mengambil gambar ikonik dari ingatan kolektif kita. Lukisan monumental berlapis-lapis setelah foto-foto yang ada mengeksplorasi hubungan antara ‘manusia dan ingatan’ . Fendry Ekel telah memamerkan karyanya secara Internasional dan mengadakan pertunjukan tunggal berulang di Amsterdam, Jakarta, Milan, Valencia, Mexico City dan New York. Ekel tinggal dan bekerja saat ini di Bali, Indonesia dan Berlin,

122cm2012 EKELFENDRY

FendryJerman.Ekel

telah dijuluki sebagai doktor bergambar, yang etosnya menyelidiki — melalui lukisan — gambar-gambar yang dia tangani untuk memahaminya. Pokok bahasannya berkisar pada hubungan antara manusia dan ingatan. Common Ground (2012), lukisan cat minyaknya yang gelap dan berlapis-lapis dalam pertunjukan ini, menggambarkan subjek yang agak ikonik dalam sejarah seni: bendera Amerika. Karya dicat dengan warna hitam dan putih yang sama sekali tidak terduga setelah sebuah foto yang diambil Fendry dari sebuah bendera, yang dia temukan dipajang di sudut lobi sebuah gedung; sebuah panti jompo di suatu tempat di Brooklyn selama program residensinya pada tahun 2011 di ISCP, New York. “Common Ground terkait dengan bagaimana konsep representasi sebagai proyeksi beroperasi. Lukisan itu menyampaikan gagasan tentang identitas sebagai konstruksi buatan komunal kepercayaan daripada kondisi alamiah. Titik awal dalam menciptakan karya ini adalah pertanyaan ‘apakah kita mengerti apa yang kita lihat? ‘Saya tergelitik dengan fenomena persepsi, bagaimana kita memandang suatu hal dan menghadapinya. Dulu seniman mewarisi tugas untuk berkesan seperti pesulap. Sebagai seniman sekarang, di zaman sekarang, saya tertarik dengan seni aBu no ide bus sebagai pilihan untuk menavigasi kehidupan. Saya senang melihat karya saya sebagai titik orientasi. “ (Fendry Ekel, 2020)

Common Grounds

SCIASCIAFILIPPO

(Lahir di Palma Di Montechiaro Sicily 1972 Italia) Tinggal di Bali, Indonesia, dan Florence, Italia. Sciascia belajar seni di Italia dan Amerika Serikat, dan telah mengadakan pameran di berbagai tempat di Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika. Filippo Sciascia mempelajari pengaruh siang hari pada evolusi sejarah dan masyarakat.

Gesso, oil on wood, alumunium 50 cm x 60 x 3 2018cm

Cahaya membantu sebagai metafora bagi umat manusia dan memungkinkan kita mengamati lingkungan. Pencapaian efeknya merupakan perhatian abadi dalam sejarah seni dan Sains. Dalam proses melukis, ia menciptakan tautan ke data ilmiah. Ia menafsirkannya dengan menggunakan cat minyak, pigmen alami, pewarna nabati untuk mendapatkan ekstrak klorofil untuk mendapatkan cat hijau. Kemudian kombinasikan lampu listrik untuk menangkap efek luminescent di bawah kanvas untuk memperluas konsep berkreasi dengan menggunakan listrik itu sendiri sebagai Saatmedianya.inikita semakin bergantung pada data internet yang dikembangkan dari listrik, yang masih dipanen dari sumber daya alam seperti bahan bakar fosil, angin, air, dan yang terpenting, matahari. Sciascia mengomentari hubungan antara manusia dan listrik ini dan menggunakannya bersama dengan cat minyak di atas kanvas untuk merepresentasikan hubungan antara manusia dan cahaya serta merumuskan lapisan dan pembacaan karyanya yang lebih akurat, apakah itu lukisan, patung, atau instalasi.

FILIPPO SCIASCIA

Fossilized resin, spices, pulverized wood, volcanic sand, alumunium 77,5 cm x 96,52020cm

Primitive Mornings

SCIASCIAFILIPPO

Primitive Mornings

Sciascia menggunakan listrik itu sendiri untuk menciptakan kembali pola Filogenetika, yaitu studi tentang hubungan evolusi antar entitas biologis, Filippo Sciascia menangani pendekatan konseptual mengikuti lukisan sebagai pusat praktik. Kemudahan bergerak dalam arsip seni rupa sedangkan model seni konseptual mengelola radikalisme pemikiran. Semua sumber tersebut diterapkan tidak hanya secara konseptual tetapi secara fisik ke dalam suatu kompleks gagasan yang mencakup setiap cabang Ilmu Pengetahuan, usaha dan pemikiran manusia, pendekatannya dalam hubungannya dengan seni lukis selalu dikondisikan oleh pesan yang ingin disampaikannya. Seni dimodifikasi oleh sejarahnya sendiri dan hubungannya dengan wilayah kehidupan dan Sains. Untuk mempraktikkan seni yang mampu melahirkan pengalaman ilmu, yang perlu terus dipelajari untuk melihat ke depan. Pendekatan kreativitas yang lebih ilmiah, untuk memperbarui makna dari apa yang dapat diungkapkan seni di zaman kita.

JIMBO

“JanganJakarta.

Karyaku1966.

JIMBO

Jim Allen Abel (Jimbo) lahir di Luwu 28 Juni 1975. Saat ini Jimbo tinggal di Yogyakarta, sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Desain Interior, Modern School of Design Yogyakarta, Indonesia lalu melanjutkan di Departemen Fotografi, Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Setelah lulus ia bekerja sebagai fotografer komersial untuk beberapa band musik top Indonesia yang melakukan tur secara ekstensif ke seluruh nusantara. Sejak meninggalkan pekerjaan fotografi komersial, Jimbo terus merepresentasikan karyanya di Korean International Art Fair, Photography Biennale Musee du Quay Paris France, CP Biennale Jakarta, Art Stage Singapore, Art Dubai, Art | Jog, Cryptic Festival Glasgow Scotland, Bazaar Art Jakarta, Centre for Contemporary Photography Melbourne, Ricoh Ring Cube Tokyo, White Cube Gallery Kuala Lumpur, Element Art Space Singapura, Pusat Seni Budaya Bangkok, SongEun Seoul, Oz Fest Adelaide, Rumah Seni Cemeti dan D Galeri

Ironis jika membayangkan perjuangan generasi sebelumnya, berdarah-darah demi informasi dan komunikasi yang egaliter, terutama saat era orde baru, dimana semua saluran informasi dan komunikasi benar-benar dibungkam. Apakah sejarah memang tidak penting dan tidak menarik bagi generasi muda hari ini? Tapi kenapa?” (Jimbo)

Sekali-kali Meninggalkan Sejarah atau disingkat Jasmerah adalah semboyan yang terkenal yang diucapkan oleh Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus

“Setelah sejarah dilupakan” ini, terinspirasi oleh pidato terakhir Soekarno sebagai presiden Republik Indonesia. Konteksnya adalah melihat kenyataan sejarah Indonesia, yang semakin dilupakan generasi masa kini, justru pada saat sekat-sekat informasi benar-benar sangat terbuka, alih-alih sejarah itu semakin terang benderang malah semakin redup dan tampak samar-samar seperti siluet dari benda-benda mati, kita masih bisa menangkap temaram bayangan bentuk sejarah itu tapi yah samar!

Setelah Sejarah Dilupakan Inkjet Print on Professional Photo Paper mounted on alumunium Dbond, 1/3 ed. +

20202AP JIMBO

IRFANM.

Acrylic on canvas, 195 cm x 1502020cm

M. Irfan - lahir di Bukittinggi 19 Oktober 1972 adalah seorang pelukis beraliran realis lulus dari ISI Yogyakarta. M. Irfan bersama 20 perupa Indonesia lainnya masuk dalam daftar 500 pelukis terlaris di dunia berdasarkan Top 500 Artprice 2008/2009 yang disusun oleh sebuah lembaga analis perkembangan pasar seni rupa dunia, Artprice, yang berbasis di Paris, Prancis

IRFANM.

Root Series #03 (Fuckin Medusa Hair)

M. IRFAN

MANCANAGARAMAHARANI

MANCANAGARAMAHARANI

Maharani Mancanagara adalah seniman Indonesia yang tinggal dan berkarya di Bandung, Indonesia. Lulus dari Institut Teknologi Bandung, Fakultas Seni Rupa dan Desain, jurusan studio seni grafis. Terutama bekerja pada media gambar, media campuran dan instalasi. Karya-karyanya mengeksplorasi sejarah Indonesia, waktu kuno untuk sekarang, berdasarkan pengalaman pribadi dan Gagasankeluarganya.muncul

ketika adanya kesadaran pada zaman sekarang ini, sejarah muncul sebagai media penghubung melalui histografi dari monumenmonumen peristiwa masa lalu dengan realita zaman sekarang. Dengan adanya hubungan sebab dan akibat, sejarah menjadi kesinambungan menurut si pencatat sejarah. Berangkat dari hal tersebut, Maharani mencoba mengangkat ceritacerita diluar rentan waktu sejarah pada umumnya, mentransformasikan dokumen-dokumen histografi tersebut menjadi monumen-monumen yang Mengambildirekonstruksi.latar

belakang pribadinya, Maharani menumbuhkan minatnya saat memvisualisasikan sejarah yang panjang pendidikan di Indonesia dan selama beberapa tahun terakhir berlanjut ke topik tentang pengasingan tapol di Indonesia - bagian dari sejarah yang ditinggalkan pada artefak-artefak milik almarhum kakeknya. Berdasarkan Perspektif tersebut, Maharani kemudian bertujuan untuk mengekspresikan harta benda tersebut ke dalam sebuah karya seni, sebuah jalan dimana ia mulai mengidentifikasi dirinya sendiri yang dia harap bisa memberikan pengakuan bagi lingkungan orang yang lebih luas dengan latar belakang serupa.

Buku Biru Series (#3-#6) Charcoal on wood, (configuration)2020 MANCANAGARAMAHARANI

HARTANTOR.E.

“Sejak 2016 saya mengamati pergulatan batin kelas menengah Indonesia sebagai subyek kekaryaan saya. Gejolak politik, ekonomi, sosial, dan budaya nasional membuat mereka menjadi kelompok massa dengan perilaku yang dinamis. Kadang menjengkelkan, tapi di sisi lain juga bisa lucu, bahkan mengharukan. Saya tidak melukis manusianya, belum. Yang berusaha saya lukis adalah suasana batinnya, karena itulah realisme saja tidak cukup.

2021cm HARTANTOR.E.

Saya mulai melukis lanskap alam antah-berantah yang digabungkan dengan figur sejak tahun 2017. Dalam seri ini figurnya dihilangkan. Yang tersisa adalah lanskap antah-berantah yang, sebenarnya, tidak masuk akal, untuk merefleksikan ketidakpastian dan yang tak diketahui, yang berisi kesempatan sekaligus risiko, yang kita hadapi sejak pandemi dimulai setahun lalu.” (R.E. Hartanto)

Limbo, variasi no. 1 Oil on canvas, 140x140

R.E. HARTANTO

R.E. Hartanto (Tanto) lahir di Bandung, 1973. Lulus dari Studio Seni Lukis, FSRD ITB, pada tahun 1998. Sejak 1998 hingga saat ini Tanto berkiprah sebagai perupa dengan berkarya, mengikuti pameran kelompok dan pameran tunggal, membuat lokakarya dan proyek seni rupa, juga mengikuti program artist in residence di berbagai kesempatan. Selain berkarya Tanto juga mengajar kursus dan menulis blog seni rupa.

UTAMARESARIZKI

integrasi sosial antar budaya dan cultural learning process, proses onomatopoeia bisa terilustrasikan seperti halnya di dalam sebuah situasi dimana seorang pengungsi yang baru datang ke sebuah tempat dan budaya yang baru, mulai mencoba mengerti lingkunganya dan mengambil makna bagi dirinya. Ketika seseorang tidak mengerti nilai dan bahasa yang diberlaku di mayoritas penduduknya, secara alamiah, dimana manusia adalah multi sensorik, dia akan mencari cara lain untuk merekam atau mencoba mengerti apa yang dianggap menarik atau penting baginya. Selain bentuk, bunyi dari sesuatu yang tidak diketahui namanya merupakan salah satu elemen yang “termudah” untuk direkam oleh tubuh. Dalam proses pembuatannya, kata-kata onomatopoeia tidak hanya sangat dipengaruhi oleh sebuah kebiasaan berbahasa di sebuah budaya yang spesifik, namun juga di pengaruhi oleh keunikan pita suara dan anatomi tubuh masing-masing individu. Hal ini membuat proses pemaknaan “pertama” seseorang akan sesuatu yang tidak diketahui sebelumnya tersebut menjadi lebih “personal”. Di dalam karya ini, onomatopoeia digunakan sebagai strategi artistik untuk membuat karya yang mencoba membuat sebuah “portrait” dari post-krisis imigran di Jerman, terutama di Berlin.

RIZKI RESA UTAMA

Dipertamanya.dalamkonteks

Rizki Resa Utama lahir di Bandung, (28.04.1982), dan hidup antara Indonesia & Jerman sejak 2008. Rizki umumnya menggunakan media video multi channel instalasi, eksperimental film, fotografi dan pertunjukan menghasilkan karyakaryanya yang berkaitan dengan kompleksitas “Terjemahan” di konteks sosial-budaya dan sistem pertanyaan tentang bagaimana perbedaan itu didefinisikan, diwakili, dan ditujukan kepada kesadaran kolektif kita.

Onomatopoeia adalah proses pembuatan kata yang phonology-nya mengimitasi efek suara dari yang direpresentasikan oleh kata tersebut. Kata kata yang mengekspresikan tiruan bunyi yang bertujuan untuk membantu pendeskripsian suatu keadaan atau kondisi dan memberikan efek yang membuat pembaca atau pendengar bisa mengilustrasikan dalam benak mereka serta merasa seolah-olah mereka mampu mendengar efek suara tersebut. Di lingkungan seharihari, proses onomatopoeia juga bisa dilihat ketika seorang anak kecil mepelajari kata- kata

concrete2021 UTAMARESARIZKI

The Sound of Human Nature Audio-Installation & Found objects

11 Min. Audio, Water, Sand, and an Aspahlt

PRAYITNOYULI

J.podagrica & Waktu Batu Mix media, 1202021cm PRAYITNOYULI

Hal ini saya lakukan setelah mengamati polanya ternyata setiap saatnya jatuhnya cahaya matahari ke benda tidak pernah bisa sama sekalipun tempat dan bendanya berada pada posisi yang sama. Ini merupakan rekaman kesesaatan dari sebuah benda atas ruang dan waktu. Dalam karya ini saya mencantumkan kordinat pembuatan karya dan data pembuatan karya sebagai tanda.” (Yuli Prayitno)

YULI PRAYITNO

Yuli Prayitno - lahir di Bandung 19 Juli 1974. Yuli Prayitno saat ini tinggal dan bekerja di Yogyakarta. Lulus tahun 2001 dari Jurusan Seni Rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Yuli Prayitno selalu memiliki pendekatan unik terhadap objek, ia melibatkan persepsi umum tentang suatu objek dan menantang karakter material dan fungsinya.

Waktu

“Karya ini merupakan rekaman atas pergeseran ruang dan waktu, ruang dan waktu menjadi menarik karena setiap tempat setiap waktu memiliki rekam jejak yg berbeda beda, dan sangat berkaitan dengan lokasi peristiwanya. Pada karya ini saya berusaha merekam jatuhnya bayangan dari matahari dari pagi sampe sore hari tanpa terputus (pengecualian dikarenakan cuaca berawan).

“Happy Scan”, BIASA ArtSpace, Bali, Indonesia

2004

Drugs Rehabilitation Program, Narcotic Prison in Yogyakarta, Indonesia

ruangrupa Residency Program, Jakarta, Indonesia

2008

Modern School of Design Yogyakarta, Indonesia.

Rumah Kijang Mizuma, Yogyakarta, Indonesia

CVARTIST

ANGKI PURBANDONO

Tangkahan Elephant Conservation and EcoTourism, initiation by Nicholas Saputra, Tangkahan, North Sumatra, Indonesia

Mizuma Art Gallery, Tokyo, Japan

2012

2009

“Post Jungle: Tangkahan Project”, Art Rooms, Brightspot x Art Dept ID, PIK Avenue Ballroom, Jakarta, Indonesia

2007

“Angki Purbandono and PAPs, The Swimmers”, Mizuma Gallery, Singapore

Tangkahan Elephant Conservation and EcoTourism, initiation by Nicholas Saputra, Tangkahan, North Sumatra, Indonesia

2000

Artist in Residency Program, Art Project Gallery, Hong Kong

2017

2011

Asian Artist Fellowship, Changdong Art Studio, Seoul, South Korea

2011

“Industrial Fiesta”, Changdong Art Studio, Seoul, South Korea

“GreySingaporeArea”, Bangkok University Gallery, Bangkok, Thailand

“My Brain Packages”, Institut Français d’Indonésie Jakarta, Jakarta, Indonesia

1971BORN

Indonesia Institute of the Arts, Yogyakarta, Indonesia.

EDUCATION/RESIDENCY1994-1999

2016

2012 - 2013

Artist in Residency Program, S. Bin Art Plus Gallery, Singapore

2005 - 2006

SOLO EXHIBITIONS

Artist in Residency Program, Fukuoka Asian Art Museum, Fukuoka, Japan

2014

2013

“Invisible Cities”, Art Project Gallery, Hong Kong

“TOP POP”, S. Bin. Art Plus Gallery, Singapore

“Noodle Theory”, Garis Art Space, Jakarta,

2009

“OVALOVA”, Vivi Yip Art Room, Jakarta, Indonesia

“Kissing The Methods”, Richard Koh Fine Art, Kuala Lumpur, Malaysia

1993-1994

2014 - Present

2017

- Cepiring-Jawa Tengah, Indonesia

2006

“If You Give Me Lemon, I’ll Make Lemonade: Tales from Tokyo and Tangkahan”, Mizuma Gallery,

“2IndonesiaFolders

2010

From Fukuoka”, Vivi Yip Art Room 2, Jakarta, Indonesia

2016

“Industrial Fiesta”, Cemeti Art House, Yogyakarta, Indonesia

Participatory Art Practices in Indonesia After 1998 Reformation”, National Gallery of Indonesia, Jarkata, Indonesia

SELECTED GROUP EXHIBITION

“Solo Photo Festival 2020”, Virtual Exhibition

“OPPO Art Jakarta Virtual Exhibition 2020” –“ARSwww.artjakarta.comElectronica2020

“CELEBRATING INDONESIAN PORTRAITURE”, OHD Museum, Magelang, Indonesia

2016

“Dear Art World”, Visma Arts & Design Gallery, Surabaya, Indonesia

“The History of Boys: the MES 56 and Beyond”, DECK, “BeyondSingaporeBoundaries

“Data For Life”, The Ritz-Carlton, Jakarta, “FirstIndonesiaSight in Jogja”, Cemeti Art House, Yogyajarta, Indonesia

Biennale”, Chennai, India Seoul Photo Festival 2015 – 2016, COEX, Seoul, South Korea

“Unveiling Fundamentals in Contemporary Art through Asia (Short Culture)”, OHD Museum, Magelang, Indonesia

“Jeonju International Photography Festival | After Photography”, Jeonbuk Art Center Chamberlain; Wanpanbon Cultural Center; Hanok Village, South

“Biennale Jogja XV 2019: Equator #5, Indonesia with Southeast Asia”, Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia

“Why are we doing what we are doing?”, Mizuma Gallery, Singapore

“KOLASMANIAC”, Institut Français d’Indonésie Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

“PhotoBangkok Festival 2018”, Bangkok Arts and Culture Centre, Bangkok, Thailand

2017

– Globalisation and Identity”, Liechtenstein National Museum, Vaduz, “IdentityLiechtensteinCrisis: Reflections on Public and Private Life in Contemporary Javanese Photography”, Herbert F. Johnson Museum of Art, Cornell University, New York, USA

“Dipping in the Kool Aid”, Tony Raka Art Gallery, Bali, Indonesia

“Minimal Art Gallery (MAG) | Home”, REDBASE Foundation Yogyakarta, Indonesia

“ChennaiKoreaPhoto

2015 “Photo Bangkok Festival 2015”, Bangkok Art and Culture Center, Bangkok, Thailand

“After Darkness: Southeast Asian Art in the Wake of History”, Asia Society Museum, New York, USA

“Singapore International Photography Festival”, National Library, Singapore

“ART|JOGKorea (commission artist) in Art Stage Singapore”, Marina Bay Sands Expo and Convention Centre, Singapore

Angki Purbandono has participated in several group exhibitions since 1997 [not listed here]

CVARTIST

“Universal Influence (Memories Cosmic Axis)”, ART|JOG|9, Jogja National Museum, Yogyakarta, “VirtualIndonesiaMural ‘Atas Nama Daun’ (In The Name of Leaf)”, collaboration with Mona Liem, Artists of Prison Art Programs, and Soekamti TV, live streaming between Jogja, Indonesia and Zurich, “IndonesiaSwitzerlandin Song Eun KEREN DAN BEKEN Ruang MES 56”, Song Eun Art Space, Seoul, South

“Hope: an art exhibition by inmates”, Museum of Fine Arts and Ceramics, Jakarta, Indonesia

“Traces of the Future: Contemporary Art from Southeast Asia”, Mizuma Art Gallery, Tokyo, Japan

“Infinity in Flux [Prison Art Laboratorium]”, ART|JOG|8, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

“Changing Perspective, ART|JOG|10”, Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia

1999

“Abad Fotografi– The Age of Photography”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia

“Hopes & Dialogues in Rumah Kijang Mizuma”, Mizuma Gallery, Singapore

“Beyond Bliss: Bangkok Art Biennale 2018”, Central World, Bangkok, Thailand

“The Launch of Malaria House”, Deus Ex Machina, Bali, “RESIPRO(VO)KASI:Indonesia

– In kepler’s Gardens Artcare at ARTJOG Resillience MMXX”, Jogja National “ARTJOGMuseumMMXXI: RESILIENCE”, Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia

2018

2020

“DEGIL – Luar Ruang Exhibition on Billboard #2 2020”, SYAM Art Management, Pekanbaru

“We Go Where We Now”, Galeri R.J. Katamsi, ISI Yogyakarta, “CelebrationIndonesiaofCompassion”, Srisasanti Syndicate, Yogyakarta, Indonesia

“Concept Context Contestation: Art and the Collective in Southeast Asia”, Cemeti House and Ruang MES 56, Yogyakarta, Indonesia

2019

“Finding MEMO”, ViaVia Jogja, Yogyakarta, Indonesia

“Energi”, ECOlab Walhi Jogja, Yogyakarta, “FromIndonesiathe Archives”, Mizuma Gallery, Singapore

“Unseen Amsterdam CO-OP: [Ruang MES 56]”, Transformatorhuis, Amsterdam, Netherlands

“South East Asia Plus (SEA+) Triennale”, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia

STAGE SINGAPORE 2014”, Semarang Contemporary Art Gallery, Marina Bay Sands, Singapore

2019

2011

“Half Full Half Empty”, Valentine Willie Fine Art, Kuala Lumpur, Malaysia

“Art Basel 2013”, Sin Sin Fine Art, Hong Kong Convention and Exhibition Center, Hong Kong

2018

- Tanjung Karang, Lampung, Indonesia

SOLO EXHIBITIONS

2015”, Dadaepo Beach, Busan, South “LangkahKoreaKepalang

1973BORN

Art Camp Lazarea, Gyergyoszarhegy, Transylvania, Romania

2015

“REVISIT”, Sin Sin Fine Art, Hong Kong, Hong “ARTKong

2009

“Mencegah Bara”, Galeria Fatahillah, Jakarta, “SeaIndonesiaArtFestival

“Charity Art Auction doctorSHARE”, CAN’S Gallery, Jakarta, Indonesia

“ART JAKARTA 2019”, Rachel Gallery X LISTIA, Jakarta, Indonesia

SELECTED GROUP EXHIBITIONS

“Lost and Found 1 & 2”, Ark Galerie, Space K, Gwacheon, Seoul, South Korea

“Symbol, Spirit, Culture (To Communicate in The Art Making Today)”, Edwin’s Gallery, Jakarta, “MelihatIndonesiaIndonesia”, Ciputra Museum, Jakarta, “BazaarIndonesiaArt

“Homo Ludens 4”, Emmitan CA Gallery, Bentara Budaya, Denpasar, Bali

Interior Design, Faculty of Fine Art and Design, Bandung Institute of Technology (ITB)

“G-Seoul International Art Fair 13”, Ark Galerie, Grand Hilton Seoul, South Korea

2013

2019

“ACTS OF TRANSGRESSION”, Pearl Lam Galleries, Hong Kong, Hong Kong

CVARTIST

EDUCATION/RESIDENCY1995-2000

“Konstelasi Benda-Benda”, Semarang Gallery, Semarang, Indonesia

2010

Global Art Center, Neerharen/Lanaken, Belgium

2008

“PLUGGED”, Pearl Lam Galleries, Singapore, “ExpandingSingapore Horizon”, Galeri Canna, Jakarta, Indonesia

Dekolonisasi”, Galeri Canna, Galeri Nasional, Jakarta, Indonesia

2014

2016

“Silent World”, Ark Galerie, Jakarta, Indonesia

2017

“empty – space – landscapes”, Galeri Semarang, Semarang, Indonesia

“#familyandfriends”, Roh Projects, Jakarta, Indonesia

ANDY DEWANTORO

2020

“Spektrum Hendra Gunawan”, Museum Ciputra Artpreneur, Jakarta, Indonesia

Jakarta 2014”, Semarang Contemporary Art Gallery, Jakarta, Indonesia

“ART STAGE JAKARTA 2017”, Pearl Lam Galleries, Sheraton grand Jakarta Gandaria City Hotel, “OBSCURE”,Jakarta Salihara Gallery, Jakarta, Indonesia

“The KorkeP - 35th International Art Camp’s Exhibition”, The Gallery of The Lazarea Castle, “AWARENESSRomania - Indonesian Art Today”, Canvas International Art, The Netherlands

“ARTKong STAGE SINGAPORE 2012”, Semarang Contemporary Art Gallery, Marina Bay Sands, Singapore

“LAYER OF VISUALITY”, Artsphere Gallery, Jakarta, Indonesia

CVARTIST

Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Lawangwangi“CONTEMPORARYIndonesiaLANDSCAPE”,–Art&ScienceEstate, Bandung, “HOMOIndonesiaLUDENS #2”, Emmitan CA Gallery, Surabaya, “IndonesianIndonesiaEyeContemporary Art Exhibition: Fantasies & Reality”, Ciputra Artpreneur Center, Jakarta, Indonesia

“The Indonesian Eye Contemporary Art Exhibition”, Saatchi Gallery, London, England

2010

2009

“Indonesian Art Now: The Strategies of Being”, ART|JOG|10, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, “CONTEMPORANEITY”,Indonesia Biennale Indonesia Art Award (IAA) 2010, Galeri Nasional, Jakarta, “ReachIndonesiafor The HeART 10/11”, Sin Sin Fine Art, Hong Kong, Hong Kong

“ART STAGE SINGAPORE 2011”, Semarang Contemporary Art Gallery, Marina Bay Sands, Singapore

2008

2012

“A Moment to Absctract, 9th Anniversary Galeri Canna”, Galeri Canna, Jakarta, Indonesia

Finalist of the 2019 Sovereign Asian Art Prize, Sovereign Art Foundation.

2011

“Indonesian Artist Group Show”, Sin Sin Fine Art, Hong Kong Bazaar Art Jakarta 2011

“Indonesia Young Artists Exhibition 2009”, Cheongju Arts Center, South Korea

“SPACING CONTEMPORARY”, JAF #2, Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

“LINTAS”, Edwin’s Gallery, Jakarta, Indonesia

“Resonance”, ARTSEASONS, Jakarta, Indonesia

“We Are Now Open”, GARIS artspace, Jakarta, “ART|JOG|11”,Indonesia

“COLD MEMORIES”, viviyipartroom, Jakarta, “SPACEIndonesia& IMAGE”, Ciputra World Marketing Gallery, Jakarta, Indonesia

“PAN Amsterdam 2009”, Canvas International Art, Amsterdam RAI Parkhal, The Netherlands

“CONTEMPORARY INDONESIAN ART EXHIBITION”, Sin Sin Fine Art, Hong Kong, Hong

“Jogja Art Fair #1”Taman Budaya Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia

“Re.claim”, Galeri Nasional, Jakarta, Indonesia

2019GRANTS/AWARDS

“Flight for Light: Religiosity in Indonesia Art”, Art:1 Space, Jakarta, Indonesia

“HYBRIDIZATION”, North Art Space, Jakarta, Indonesia

“We Wanted To Be The Sky” D Gallery, Jakarta,

“Bandung Initiative #5: Veduta”, Vanessa Art Link, Jakarta, Indonesia

TO A MENTOR”, Indonesian Modern and Contemporary Art Exhibition, Gedung Tribakti, Magelang, Indonesia

“Semarang Contemporary Art Gallery”, The Ritz Carlton, Jakarta, Indonesia

“AIndonesiaTRIBUTE

“TWO SIDES OF SOLITUDE”, Garis Artspace, Jakarta, “DIVERSEIndonesia-40X 40”, Sin Sin Fine Art, Hong

“NATUREKong PEACE”, Geumgang Nature Art Pre Biennale 2009, South Korea

“Online Exhibition Manifesto VII Pandemi”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta

2020

2017

“Integrasi”, The Energy Building SCBD, Jakarta

“Open P.O.”, Omnispace, Bandung, Indonesia

“Respublica; Gudang Garam Indonesia Art Award 2015 Finalist Exhibition”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta

Action Painting “Pasar Seni; Karya Raya”, ITB, “PasarBandungSeni

2014; Awanama Art Habitat: MiniMartNow”, Institut Teknologi Bandung, “ManifestoBandung#4“KESEHARIAN: Mencandra TandaTanda Masa”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta

“Bayang”, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta

“Reality Effects”, Galeri Nasional Indonesia, “BiennalleJakarta Indonesia Art Award 2010: Contemporaneity”, Galeri Nasional Indonesia, “Manifesto:Jakarta Percakapan Masa”, Galeri Nasional Indonesia, “15x15x15JakartaMiniArt

“Photography Exhibition Lecturers of Creative Industry Faculty”, Idealoka Gallery, Bandung

“Halimun/The Mist”, Lawangwangi, Bandung

2014

“Bandung Initiative #5 “VEDUTA““, Vanessa Art Link, Jakarta

2009

CECEP M. TAUFIK

2018

“Bandung Expanding”, Tonyraka Gallery, Bali

CVARTIST

“Pameran Bersama Perupa/Pengajar”, Idealoka Gallery, Bandung

‘PLOT’ Online Solo Exhibition, Ruang Segi Empat, Bandung, Indonesia

2019

Project#3: Recreate x Reality x Representation”, Galeri Soemardja, Bandung

2020

2012

2008EDUCATION/RESIDENCY

Faculty of Fine Art and Design, Bandung Institute of Technology (ITB)

2016

2010

“Getok Tular 2; Spacing Out [Lamunanku...]”, Omuniuum Building, Bandung

2015

“Drawing Exhibition Lecturers of Creative Industry Faculty”, Idealoka Gallery, Bandung

“Beyond Realistic Order”, Yun Artified, Jakarta, “Jak(art)a:Indonesia

SELECTED GROUP EXHIBITIONS

“Homo Ludens #3”, Emmitan Contemporary Art Gallery, “BandungSurabayaNewEmergence Vol. 4”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung

1986BORN

- Bandung, Jawa Barat, Indonesia

“SSAS As Ideas”, Bale Tonggoh Selasar Sunaryo Artspace, Bandung, Indonesia

Art Jakarta 2019”, JCC Senayan, Jakarta, “PaintingIndonesiaExhibition

2011

“Bila Lapar Melukis”, Omnispace, Bandung, Indonesia

SOLO EXHIBITIONS

“What Do Picture Wants”, Art:1Gallery, Jakarta

“Art Stage Singapore”, Marina Bay Sands, Singapore

The Best Student of Art Program, Art and Design Faculty, Bandung Institute of Technology, Bandung

2006

“Us/Industry, Dago Tea House Gallery”, Bandung

“Pasar Seni ITB 2006, Galleria Portabelina Transparantina”, Campus Center ITB, Bandung

“Triple Three”, Auditorium CCF, Bandung

“Top 30 Finalists West Java Painting Competition 2007”, Galerikita, Bandung

“Black Hole”, Indonesian Education University (UPI), “StreetBandungPainting Ganesha Art Festival, Bandung

Soemardja Award 2012 Young Artist Nominee, Galeri Soemardja, Bandung

“Bandung Institute of Technology Science, Technology, and Art Fair”, Plaza Widya ITB, Bandung

2005

“26 Bandung Artists: 22nd Asian International Art Exhibition’s Fund raising”, Congo Gallery

“Trans Allegory: A Group Exhibition by Cecep M.Taufik, M. Reggie Aquara, and Yogie Achmad Ginanjar”, Roemah Roepa, Kemang, Jakarta

GRANTS/AWARDS2016

2012

“Tera Rupa Soft Launching”, TeraRupa Gallery, “OpenBandungHouse

“Experimental Art: Pleasure Of Humiliating Myself Video Documentary”, Soemardja Gallery, Bandung

“Soft-Launching Roemah Roepa”, Roemah Roepa, Kemang, “Surfacial”,JakartaSelasarSunaryo Art Space, Bandung

2010

“Fine Art Exhibition of B. J. Habibie Inviting Ceremony”, Campus Center ITB, Bandung

“Scale:&Café,Bandung15x15x15 cm”, Soemardja Gallery, “Re-MuralBandung Siliwangi”, Bandung

The Best 5 West Java Painting Competition 2007, Galerikita, Bandung

Gudang Garam Indonesia Art Award 2015 Finalist, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta

Bukalapak Advertisement Festival 2016 Winner

The 2nd Best of Ciwalk Mural Competition “Walking on the Painting”, Ciwalk,Bandung

2007

2008

2005

TPB Academic Group Exhibition: Satu”, West Hall ITB, Bandung

Indonesia Art Award 2010 Finalist, Galeri Nasional Indonesia, Jakarta

CVARTIST

ITB 2007”, West Hall ITB, Bandung

2015

2007

“(WITHOUT) FEAR”, Kunst aus dem Lockdown, Voltage Basel, Switzerland

IAAB, Christoph Merian Stiftung (CMS), Basel, Switzerland

1989 - 1990

2013

“SEA Focus”, Nadi Gallery Jakarta, Singapore Art Basel Hongkong, Nadi Gallery Jakarta, Hongkong China

Studio 106, Lasalle Art College, Singapore

Mimmo (Part II)”, Danes Art Veranda, Denpasar, Indonesia

2004

2005

Ludwig Forum Für Internationale Kunst, Aaachen, Germany

2014

1957BORN

EDDIE

1996

Akademie voor Beeldende Kunst Enschede (AKI), The Netherlands

2007

“Global Warming, Cool Art!”, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia 2005

“Captain Fuck & Co”, Canna Gallery, Jakarta, Indonesia 2004

2011

“GOT PAPER?”, Ruci Art Space Jakarta, Indonesia

EDUCATION/RESIDENCY1980-1989

- Salatiga, Indonesia

Recyclart, Bruxelles, Belgium

1991

“Peculiar Vibration Of The Empty Ocean”, INSIGHT Section of the 1st Art Basel Hongkong, Semarang Gallery, Hongkong

“Carnival of the FUNtastic”, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia

SELECTED GROUP EXHIBITIONS

SOLO EXHIBITIONS

2017

2001

HARA

Indonesian Institute of The Arts (ISI), Yogyakarta, Indonesia

“Art Stage Jakarta”, Nadi Gallery, Canna Gallery, Semarang Gallery, Sri Sasanti Gallery, Jakarta, “PingIndonesiaPong Basel-Miami-LA”, Downtown Miami, “PingUSA Pong Basel-Miami-LA- Berlin”, M54 Basel, “ArtSwitzerlandBaselHongkong”, Nadi Gallery Jakarta, Hong

“Double Dutch”, Stichting Kunst Mondiaal, Tilburg, the Netherlands

Special Project: EddiE haRA, Bazaar Art Jakarta, Nadi Gallery, Jakarta Indonesia

“ArtKongStage Singapore”, Nadi Gallery Jakarta and Sri Sasanti Gallery Yogyakarta, Singapore

“Aqua Art Fair”, GX Gallery London, Miami, USA

2018

CVARTIST

2017

“THIS IS NOT STREETART!”, Artstubli Galerie für Urbankunst Basel, Switzerland.

“SWEET (& SOUR) SIXTY”, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia

2018

“We Are Not Alone-Lost Heroes and Sensible Weirdoes”, Jendela Art Space, Esplanade, “BluesSingaporefor

2015

2020

“We Do Not Belong To This High Fuckin Art Society”, eyeloveyou, Basel Switzerland

2019

CVARTIST

“Art Basel Hongkong”, Nadi Gallery, Hongkong

“This is Not Street Art”, Dialogue Gallery, Jakarta, “Manifesto”,Indonesia the National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia

2014

“Art Paris 2015”, Element Art Space, France

“Art Stage Singapore”, Nadi Gallery and Semarang Gallery, Singapore

“Art Philippines”, Equator Art Project, Manila, The “ArtPhilippinesStage Singapore”, Nadi Gallery and Semarang Gallery, Singapore

2013

2015

“1st Art Basel Hongkong 2013”, Nadi Gallery, “ArtHongkongStage Singapore”, Nadi Gallery, Singapore

“Art Basel Hongkong”, Nadi Gallery, Hongkong

“Ping Pong Basel-Miami-LA”, Downtown Miami, “ArtUSABasel Hongkong”, Nadi Gallery Jakarta, “ArtHongkongStage Singapore”, Nadi Gallery Jakarta and Semarang Gallery Semarang, Singapore

CVARTIST

Sebagai hasil dari pameran tunggalnya di Hudson Valley Center for Contemporary Art (HVCCA) di New York pada tahun 2010, ia diundang untuk berpartisipasi dalam International Studio and Cu ratorial Pro gram (ISCP). New York pada tahun 2011. Ekel telah dijuluki sebagai doktor bergambar, yang secara kritis menyelidiki kekuatan seni, kerancuan dan representasi dengan mengambil gambar ikonik dari ingatan kolektif kita Lukisan monumental berlapis-lapis setelah foto-foto yang ada mengeksplorasi hubungan antara ‘manusia dan ingatan’ . Fendry Ekel telah memamerkan karyanya secara Internasional dan mengadakan pertunjukan tunggal berulang di Amsterdam, Jakarta, Milan, Valencia, Mexico City dan New York. Ekel tinggal dan bekerja saat ini di Bali, Indonesia dan Berlin, Jerman.

1992EDUCATION/RESIDENCY-1999

FENDRY EKEL

Akademi Gerrit Rietveld dan Rijksakademie van beeldende kunsten di Amsterdam.

1971BORN - Jakarta, Indonesia

EXHIBITION

SOLO EXHIBITIONS

“Opposite Attract” Filippo Sciascia-Made Wianta. Gaya Gallery. Bali. Indonesia.

“Matahari” Complesso Post Industriale – Galleria Poggiali Ex-Marmi, Pietra Santa. Italy.

FILIPPO SCIASCIA

“Koi Dan Trinacria” National Gallery Jakarta. Indonesia. Curated by Rifky Effendy

“Primitive Mornings” Presented by the Embassy of Italy and the Italian Cultural Institute Jakarta on the occasion of the 15th Italian Contemporary Art Day. Hosted by Rubanah Underground Hub, in collaboration with Yeo Workshop and A.M.A.C.I (Associazione dei Musei d’Arte Contemporanea Italiani). Jakarta, Indonesia.

2009

2005

Lux Lumina II Museum Castel Dell’Ovo. Naples, Italy.

“Video<>Painting Kadek II” Cemara 6 Gallery. Jakarta.

“Video<>PaintingIndonesia. Kadek I” Selasar Sunaryo Art Space. Bandung. Indonesia.

“Recent Works” Valentine Willie Fine Art. Kuala Lumpur. Malaysia.

“For Your Consideration Only II” Cemeti Art House. Yogyakarta. Indonesia.

2017 “Apertures” Yeo Workshop. Singapore

2006

“Sophia 19:38” Gaya Gallery. Bali. Indonesia.

“Godspeed” Yeo Workshop – Gilmann Barracks. Singapore

- Palma Di Montechiaro Sicily, Italy

“Bring Illuminance Home” Langgeng Art Foundation, Yogyakarta, Indonesia. Curated by Enin Supriyanto.

“Trinacria (Part 2)” The LAB Gallery. New York. U.S.A.

2012 Lumina EquatorMenseGallery, Singapore.

“Frame of Mind” Galleria Battaglia -Milan-Italy

EDUCATION/RESIDENCY

Bali FilippoBule’Sciascia, Ashley Bickerton and Luigi Ontani. Archeological National Museum of Naples, Italy.

2014

2013

“Filippo Sciascia and Ugo Untoro” Biasa Art Space, Bali – Indonesia.

2003

“Strange Things” at Twenty Twenty. 2 Cavan Road, Singapore (11 – 27 January 2020)

2011 Ex SpazioVotoCulturale – foundation Ratti, Ex Chiesa S.Francesco, Como, Italia.

1972BORN

2019

2007

Institute Art of Nordio Accademia di Belle Arti Firenze, Florence, Italy

2020

2010

2008

“1571 Caravaggio 1610” Willie Valentine Fine Art Singapore. Curated by Enin Supriyanto.

2004

“Lux Lumina I” Langgeng and Kendra Gallery. Bali. Indonesia.

CVARTIST

2016

“Prima Visione#2” – Matahari OFCA International, Sarang I, Yogyakarta, Indonesia

CVARTIST

“Marcel Duchamp” At Equator Gallery. Singapore. Curated by Tony Godfrey.

1999

“Figurare”, Gaya Gallery. Bali. Indonesia.

2003

“Doveva Accadere I” Sergio Tossi Arte Contemporanea. Italy.

2006

1998

2017

“Cronache Vere”, Spazio Consolo. Milan. Italy. Curated by Alesandro Riva.

“Drawing from The Stock Room”, Biasa Art Space. Bali Indonesia. Curated by Hendro Wiyanto

“AIndonesia.Nudo”, In collaboration with Studio D’Arte Cannaviello. Milan. Italy

“Open Biennale 2003”, CP Foundation in Cooperation with National Gallery Jakarta.

2018

“Beyond the Myths”, ArtBali 2018. Nusa Dua. Bali. Indonesia

“Comunita Esistente”, Consorzio Project. Le Marche. Italy.

“We didn’t mean to break it (but is ok we can fix it)” Galeria Pedro Cera. Lisbon, Portugal. Curated by Cristina Sanchez -Kozyreva

1998

2010

2009

“Nuova Arte Segno” Udine. Italy In Collaboration with Studio D’Arte Cannaviello. Milan. Italy.

2001

2002

“Faith and Reason” Manila Contemporary. Philippines. Curated by Willie Valentine

“Doveva Accadere II” La Meridiana. Modena. Italy.

“A Thousand Times Yes” Manila Contemporary. Philippines. Curated by Willie Valentine

“Beyond”, Jakarta Biennale 06. Indonesia.

“Written in the sky” Honold Fine Art. Bali.

“Ritiro” Kayu Lucie Fontaine. Rumah Topeng And Bukit Rhema. Yogyakarta.

2011 54. Exposition of Venice biennial.

2007

“Follow the White Cube” Honold Fine Art. Bali.

2019

“Vissuto Immaginato Visto” Grafio Gallery. Prato. Italy

“The Great Archipelago”, The Embassy of Italian and Italian Cultural Institute with Cittadella dell’arte Michelangelo Pistoletto Foundation, at Kayu Lucie Fontaine and Setia Darma House of Mask and Puppets, Bali. Indonesia.

2012

“Corte Delle Giare”, In collaboration with Studio D’Arte Cannaviello. Parma. Italy.

“Il Nuovo Ritratto.”, Spazio Consolo. Milan. Italy. Curated by Alessandro Riva.

“Fetish II”, Biasa Art Space. Jakarta. Indonesia.

SELECTED GROUP EXHIBITIONS

2016

1999

“Undercover”, L’archimede Gallery. Roma Italy.

2001

“Senarai, Simposium Khatulistiwa”, Balai Seni Gampingan, Yogyakarta.

Terorrizer Photography Project: Ruang Mes56 Yogyakarta, Indonesia.

“Open PO”, Omni Space, Bandung.

JIMBO

: ISAARTANDDESIGN.COM

“Serigram TERATOTERA”, Ruang Mes56, “CorporalYogyakarta.Material”

2017

“Uniform_Code”, D Gallery, Jakarta, Indonesia.

“JatengSurabaya.Biennale

“Where We Go We Now (Mes56)”, Katamsi Gallery, ISI Yogyakarta.

Seoksu Art Project: Anyang, South Korea.

“Artjog 10 : Changing Perspective”, Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia.

Sakarsa Art Space, Bekasi Barat.

“#Finland”, Bibliothekswohnung, Berlin, Germany.

“The Others, Art Stage Project”, SAS, Marina Bay Sands, Singapore.

2019

“Trajectory : A Decade Of Lawangwangi”, Lawangwangi Cretive Space, Bandung.

1997EDUCATION/RESIDENCY-2005

Yeo workshop, Singapore.

“Vertical Horizon”, Lawangwangi Creative Space, Bandung, Indonesia.

“Solo Photo Festival”, Kampus ISI, Surakarta.

2005

#2 : The Future of History”, Gedung Oou de Trapp, Kota Lama, Semarang.

: Patterns of Meaning” Jim Thompson Art Centre, Bangkok.

Interior Design Department, Modern School of Design Yogyakarta, Indonesia.

Soft Opening Surabaya Art Center. Lenmarc Mall,

“Artjog 11”, Jogja National Museum, Yogyakarta.

“Art Jakarta : ArtSociate Lawangwangi”, JHCC, “DivertingJakarta.

1996 – 1997

Politics Of (Re)Presentation”, Gajah Galeri, Yogyakarta.

2017

SELECTED GROUP EXHIBITIONS

2018

“The Mastodon Came in Through My Bathroom Window”, Element Art Space, Singapore.

2013

CVARTIST

SOLO EXHIBITIONS

“Thread & Tension – Stories From SouthEast Asia”, Yeo Workshop, Singapore.

2011

Jimei X Arles International Photo Fest. : Xiamen, “POLAChina.

Photography Department, Indonesia Institute of Art, Yogyakarta, Indonesia.

“Memories of the Unseen”, A+ Work of Art, Kualalumpur.

2010

2019

Lawangwangi Creative Space, Bandung, Indonesia.

“Lab. Sejarah”, Ruang Mes56, Yogyakarta.

2020 “Art Jakarta”, ArtSociate Lawangwangi & Ruang Mes56, “SenirupaVirtual.Kontemporer?:”

2019

1975BORN - Luwu, Indonesia

“Manusia dan Waktu”Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia.

“Indonesia Contemporary Photography” CCP, Melbourne, Australia.

2015 “Makassar Biennale #1 Trajectory” GTCC Makassar, Indonesia.

2008

“Parallax: Asean-Korea Contemporary Media Arts”, #1 Nemo at Bluesquare, #2 Seoul

2013

“Urbantopia” North Art Space, Jakarta, Indonesia.

Gerilya Gallery, Bandung, Indonesia.

“Reclaim.Doc” National Gallery, Jakarta, Indonesia.

“A Survey of Contemporary Indonesia Art (Mes56)”, BUS Gallery, Melbourne, Australia.

“ArtJog 09”, Taman Budaya, Yogyakarta, Indonesia.

2005

“Revert to read of Driyarkara”, Sanata Dharma University, Yogyakarta, Indonesia.

“Indonesia Marker Art Dubai” Madinat Jumeirah, Dubai, “BaCAAUEA.#2” Lawangwangi, Bandung, Indonesia.

“Concept Context Contestation: Art and the collective in Southeast Asia (Mes56)” BACC, Bangkok, Thailand.

“Codex Code”, #1Kedai Kebun Forum, Yogyakarta #2 Ruang Rupa, Jakarta #3 CO2, Surabaya, Indonesia.

2011

“Bangkok Photo Festival”BACC, Bangkok, “DearThailand.Art World”Visma Gallery, Surabaya, “CommissionIndonesia. Works for KIAF/ArtSeoul 2016”, COEX Hall, Seoul, South Korea.

2014

“Bazaar Art” Nadi Galeri Booth, Pacific Place, Jakarta, Indonesia.

“Beyond Photography”, Ciputra Artpreneur, Jakarta, Indonesia.

“3rd world Images biennalle”, Musee du Quay Branly, Paris, France.

“Seoksu Art Project” Anyang, South Korea.

“Homo Ludens #4”, Emmitan Gallery, Surabaya, “FarawayIndonesia.So Close”, Gallery Semarang, Semarang, “DermawanIndonesia.Darmawan”, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia.

2006

“The Italian Job”, D Gallerie, Jakarta, Indonesia. “Mix Hang”, Jogja Contemporary, Bantul, Yogyakarta, Indonesia.

“Rayuan Pulau Kelapa Project” Bumi Pemuda Rahayu, Dlingo, Yogyakarta, Indonesia.

“EarthQuake Jogja”, #1 Gallery Biasa, Bali #2 Basel, “BeautySwitzerland.Contest”Insomnium, Malang, Indonesia.

“Peristiwa Sebuah Kelas” Sangkring Art Space, Yogyakarta, Indonesia.

“Deer Andri” Ruang Mes56, Yogyakarta, Indonesia.

“The History of Boys: the MES56 and Beyond” DECK, “IdentitySingapore.Crisis”H.F Johnson Museum, Itacha, New York, “BeyondUSA.Boundaries Globalisation and Identity” Liechtenstein National Museum, Vaduz, “SoutheastLiechtenstein.Asia Forum Exhibition” Art Stage, Marina Bay Sands, Singapore.

“Self Title “Mes56” : Room”, #1, Bandung, “Terorizer:Indonesia. Fotografi Project”, Ruang Mes56, Yogyakarta, “Glass+Cup”,Indonesia.ParkirSpace, Yogyakarta, JimboIndonesia.has participated in several group exhibitions since 2003 [not listed here]

“Citizens Hall, #3 Hanam Art Centre, South Korea.

“KLPhoto Awards” White Cubes Gallery, Kualalumpur, “PhotographyMalaysia.Asia@MOPT” Ricoh Ring Cube, Tokyo, “SpeakJapan.of”,Jogja National Museum, Yogyakarta, “ArtJogIndonesia.11”, Taman Budaya Yogyakarta, Indonesia.

“On Camera” Biasa Art Space, Bali, Indonesia.

“Sakinah Project” Ruang Mes56, Yogyakarta, Indonesia.

“Art Baazar” D Gallery, Pacific Place, Jakarta, “ArtJogIndonesia.9: Universal Influence” Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia.

“Element Art Space Anniversary” Audi Building, “ArtSingapore.BaZaar” D Gallery Booth, Pacific Place, Jakarta, “Alhamdulillah,Indonesia.We Made It! (Mes56)” OzAsia Festival, Adelaide, Australia.

“Contract & Other Transaction” Ruang Mes56, Yogyakarta, Indonesia.

2009

“Blueprint Jogja (Mes56)”, Tembi Contemporary Art, Yogyakarta, Indonesia.

“Dirty Feet” Cemeti Art House, Yogyakarta, “MemajangIndonesia. Boleh Saja Asal Ada Artinya” Sarang Building, Yogyakarta, Indonesia.

“Look! See? Indonesian Contemporary Photography Exhibition” Nadi Gallery, Jakarta, “ArtJogIndonesia.10”

“Getok Tular 2 : Spacing Out (lamunanku…)”, Omnispace, Bandung, Indonesia.

“CUT2012 New Photography From SouthEast Asia: Politics” VWFA, Singapore.

“Zeitgeist: The Art Collection of Wiyu Wahono & Indra Leonardi”, Galeri Seni Kuntskring, Jakarta, “Inaugural”,Indonesia.Rachel Gallery, Jakarta, Indonesia.

2010

2012

“ArtJog 8 : Infinity Influx”, Taman Budaya, Yogyakarta, Indonesia.

“Full House” Ruang Mes56, Yogyakarta, Indonesia.

Taman Budaya, Yogyakarta, Indonesia.

“Crash Project Image Factory” Sigi Art Space, Jakarta, Indonesia.

2016 “Unsung Museum” Roh Gallery, Jakarta. Kedai Kebun Forum, Yogyakarta.

“Indonesia (Mes56) : Keren Dan Beken” Song Eun Art Space, Seoul, South Korea. “Chennai Photo Biennale” Chennai, India.

“Discover Indonesia” The Glue Factory, Glasgow, “Pause:UK. Bangkok Art and Cultural Centre”, Bangkok, Thailand.

“AlterOrgasm”Kedai Kebun Forum, Yogyakarta, Indonesia.

CVARTIST

“Unfolded City (Mes56): Here & Now 8th Yogyakarta Biennale” Taman Budaya, Yogyakarta, “UrbanIndonesia.Culture (Mes56): CP Open Biennale”, Indonesia Bank Museum, Jakarta, Indonesia.

1972BORN

“ArtStage Jakarta 2016”, Semarang Gallery

“NIRKIAS (Not a Figure of Speech)”, Rubanah Underground Hub, Jakarta

“Bazaar Art Jakarta 2016”, Gallery Canna

“ContextArt Miami | Affinity for Art Gallery”, Miami, America

“Bazaar Art Jakarta 2016”, Edwin Gallery

“Coloring My World”, Fine Art Center, Eslite Bookstore, Taipei, Taiwan

2018

“ODDYSEY”, TopRed, Art Gallery (798 art area), Beijing, China

SOLO EXHIBITIONS

2008

2011

2013

“Work at our “6” Group Exhibition”, SIN SIN Gallery, “PresentHongkongisTheFuture

2017

“KALA/MASA”,SingaporeGaleri Canna”, Jakarta 2014

“Semarang Gallery”, ArtStage Singapore

CVARTIST

“INDONESIA BAKABA#6”, Jogja Gallery, “MatraYogyakartaBaru Can’s”, Can’s Gallery, Jakarta

“ContextArt NY, Affinity for Art Gallery HongKong”, ContextArt New York, America

2019

“ArtStage Jakarta 2016”, Gallery Canna

“Red Draw II, Discovery”, Edwin’s Gallery, Jakarta

“A Study on Abstraction”, Mizuma Gallery,

“ArtSingaporeStage Singapore 2015”, Semarang Gallery, MBS

“Memajang Boleh Saja Asal Ada Artinya”, FCC Bkdp, “SINGAPOREYogyakartaART

2006

FAIR”, Suntec Singapore Convention & Exhibition Centre

From The Past” JAF Gallery, Jatiwangi

“To Landscape”, Museum dan Tanah Liat, Kersan, “BIENALEYogyakarta Peluncuran program terbaru Simposium Khatulistiwa SENARAI PAMERAN TUNGGAL EDISI 2018”, Balai Seni Gampingan, Yogyakarta.

“Mandiri Art Charity 2016 | Mandiri Sahabat Negeri”, Graha Bimasena, Jakarta.

“BAKABA | Cadiak indak membuang Pandai”, Jogja Gallery, Yogyakarta

2015

EDUCATION/RESIDENCY

“Affinity for Art Gallery”, Art Central, HongKong

ISI Yogyakarta

M. Irfan has participated in several group exhibitions since 1995 [not listed here]

“Menolak Sekaligus Merengkuh”, SAKATO ART COMMUNITY, NADI Gallery, Jakarta

- Bukittinggi, Indonesia

“Pameranku di Sumardja”, ITB, Bandung

2016

M. IRFAN

“Oasis”, Mon Décor Gallery, Jakarta

SELECTED GROUP EXHIBITIONS

“Termasuk, Darren Knight Gallery”, Sydney –“IndonesianAustralia Women Artists : Into The Future”, National Gallery Indonesia, Jakarta – Indonesia

“ArtIndonesiaUnlimited : XYZ”, Gedung Gas Negara, Bandung –“CelebrationIndonesiaofTheFuture”, AB.BC Building Art Bali, Bali – Indonesia

SELECTED GROUP EXHIBITIONS

“Kaya Kayu : Care of Wood”, The Space The Parlor, Bandung – Indonesia

2019

2018

Bandung Institute of Technology Faculty of Art and Design, Majoring Printmaking Studio, Bandung, Indonesia

“Mereka - reka, Galeri Lorong”, Yogyakarta“KecilIndonesiaItuIndah #15, Edwin’s Gallery”, Jakarta –

“Over Here : Specific Moment”, OverLab, Gwangju – South Korea

2021

“Seni Rupa Kontemporer?”, Sakarsa Art Space, Jakarta –“IndonesiaIndonesiaCalling”, 16th Albermarle, SydneyAustralia

Zero Sum Game, Galeri Soemardja, BandungIndonesia

MAHARANI MANCANAGARA

“Art Bali : Speculative Memories”, ABBC Building, Bali - Indonesia

“Bandung Contemporary Art Award : Assemblage”, Lawangwangi Creative Space, Bandung –“I....ThereforeIndonesiaIAm”,Cans Gallery, JakartaIndonesia

2018

“Bukan Perawan Maria”, Bandung Creative Hub, Bandung –“SSAS.AS.IDEAS”,IndonesiaSelasar Sunaryo Art Space, Bandung - Indonesia

“Axis by Praxis : Global Wave”, G13 Gallery, Kuala Lumpur – Malaysia

2020

“Letter – Callus – Post War”, Lorong Gallery, Yogyakarta – Indonesia

“Re:Emergence”,Indonesia Selasar Sunaryo Art Space, Bandung – Indonesia

CVARTIST

EDUCATION/RESIDENCY2008-2013

SOLO EXHIBITIONS

Parodi Partikelir, Visma Gallery, SurabayaIndonesia

2017

“TapakIndonesiaJejak Langkah Jelajah – Pameran Besar Seni Grafis ITB”, Galeri Soemardja, Bandung –

1990BORN - Padang, Indonesia

“Letter – Callus – Post War”, Kuandu Museum of Fine Arts, Taipei“Retrospect.Repose.Redefine”,Taiwan dia.lo.gue artspace, Jakarta - Indonesia

“Manifesto 6.0 : Multipolar”, National Gallery Indonesia, Jakarta – Indonesia

2017

“Java!”, Institut des Cultures d’Islam, Paris –

“BiennaleFrance Jateng #2 – The Future of History”, Semarang Contemporary Art Gallery, Semarang -

“Bandung Drawing Festival”, NuArt Sculpture Park, Bandung – Indonesia

“Stories Across Rising Lands”, Museum MACAN, Jakarta – Indonesia

Garam Indonesia Art AwardRespublica”, Galeri Nasional, Jakarta – Indonesia

“JermanIndonesiaFest : Market Share”, Pameran Seni di Pasar Tebet Timur Jakarta - Indonesia

“Detournement, Duo- Solo Exhibition”, ROH Projects, Jakarta – Indonesia

Maharani Mancanagara has participated in several group exhibitions since 2010 [not listed here]

2014

“BEXCO Young Artist Award”, Art Show Busan 2014, Busan-South Korea

“Bandung New Emergence vol. 5”, Selasar Sunaryo Artspace, Bandung – Indonesia

“A.S.A.P, G13 Gallery”, Kuala Lumpur – Malaysia

2016 “Historia Docet”, Historia Vitae Magistra, D Gallerie, Jakarta-Indonesia

“Bandung Contemporary Art Award #4”, Lawangwangi Creative Space, Bandung –

Finalist, Gudang Garam - Indonesia Art Award, Yayasan Seni Rupa Indonesia, Galeri Nasional, Jakarta – Indonesia

“Friend’sIndonesiaand Family”, ROH Projects, Jakarta –

“LimaIndonesiaPembuka

CVARTIST

2012

“Redraw II : Discovery”, Edwin’s Gallery, Jakarta“ConstituentIndonesia Concreteness”, Mizuma Gallery, “KolektifSingaporeKolegial, Cemeti Art House”, Yogyakarta –“KecilIndonesiaItuIndah”, Edwin’s Gallery, Jakarta“ArtIndonesiaMosphere”, Galleries Laffayette, Pacific Place, Jakarta - Indonesia

“GudangIndonesia

2014

“15x15x15 Mini Art Project #4 : Mind Eye Perception”, Galeri Soemardja, Bandung“AtlantaIndonesiaBillboard Art Project”, digital LED billboards exhibition, Atlanta, Georgia-USA

2010

Finalist, Gudang Garam - Indonesia Art Award, Yayasan Seni Rupa Indonesia, Galeri Nasional, Jakarta – Indonesia

“Indonesia Sekarang”, Plaza Indonesia, Jakarta –“KoreaIndonesiaInternational Art Fair 2014”, COEX Hall A&B, Seoul – South Korea

“Stepping Into The Light”, Tugu Kunstkring Paleis, Jakarta – Indonesia

“What You Wear is (Not) What You Are, You are (Not) What You Wea”r, The Warehouse, Jakarta – Indonesia

“Void”, Langgeng Gallery, Magelang-Indonesia

“Pameran Gagasan : Getok Tular Omni Space”, Bandung - Indonesia

“Festival GrafisBerseni : Reframing Printmaking”, Lawangwangi Art and Science Estate, BandungIndonesia

“Indonesia Art Award 2013”, Galeri Nasional, “BandungJakarta-IndonesiaContemporary : Disposition”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung-Indonesia

“Art Stage Jakarta – Bale Project”, Ballroom Sheraton Hotel, Gandaria City, Jakarta –Indonesia

“When in Bali do Like the Balinese do”, Kendra Artspace, Bali – Indonesia

“Infamy”, Pinto Art Museum, Antipolo - Phillippines

“Indonesia Art Award 2013”, Galeri Nasional, “BandungJakarta-IndonesiaContemporary : Disposition”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung-Indonesia

“Stepping Into The Light”, Tugu Kunstkring Paleis, Jakarta – Indonesia

2013

: Recreate x Reality x Represent”, Galeri Soemardja, Bandung-Indonesia

1st Prize, Soemardja Award, Galeri Soemardja, Bandung - Indonesia

“SHOUT! Mapping Melbourne 2015”, Melbourne - Australia

Finalist, BEXCO Young Artist Award, Art Show Busan,Busan – South Korea

“Penang International Print Exhibition 2010 (PIPE 2010)”, Penang State Museum Art and Gallery, “ConvenientPenang-MalaysiaStore, E’sp Gallery”, Center Culture France, “15x15x15Bandung-IndonesiaMiniArtProject#3

2013GRANTS/AWARDS

“New Future”, Art1 New Museum, Jakarta –

“Artmoments Jogja”, Jogja National Museum, “LangkahJogjakarta-IndonesiaKepalangDekolonisasi”, National Gallery Indonesia, Jakarta – Indonesia

“Art Sneakers by Bazaar Art Jakarta”, Pacific Place, Jakarta - Indonesia

“Design Statement : A Design Weekend”, Industrial design exhibition, dia.lo.gue artspace, “TheJakarta-IndonesiaBillboardArt Project”, digital LED billboards exhibition, Salem, Oregon-USA

“Bardo, Edwin’s Gallery”, Jakarta – Indonesia

“Symbol, Spirit, Culture”, Edwin’s Gallery, Jakarta – Indonesia

“Equidistant Night”, Provenance Gallery, Manila –“X”,PhilippinesOrange Gallery, Bacolod – Philippines

Tabir”, Roemah Seni Sarasvati, Bandung – Indonesia

2015

“Arte Indonesia 2014”, Regenerasi, Jakarta Convention Centre, Jakarta-Indonesia

Finalist, Bandung Contemporary Art Award #4, Lawangwangi Creative Space, BandungIndonesia

“Art Tech by Art Dept and Samsung”, Pacific Place, Jakarta – Indonesia

2013

2015 “Aku Diponegoro”, National Gallery, Jakarta“ContemporaryIndonesia Alternative”, Ar+otel, Jakarta“Connection,Indonesia Commemorative 60th years of Asian African Conference”, Rumah Seni Sarasvati, Bandung-Indonesia

2011

“SPOT ART”, MICA Building, Singapore

“SPOT ART”, MICA Building, Singapore “Soemardja Award”, Galeri Soemardja, Bandung –“LimaIndonesiaPembuka Tabir”, Roemah Seni Sarasvati, Bandung – Indonesia

“Soemardja Award”, Galeri Soemardja, Bandung –

“Bardo, Edwin’s Gallery”, Jakarta

R.E. HARTANTO

“Museum Potret Dokter Rudolfo”, at Selasar Sunaryo Art Space, Bandung

“Cakrawala”, Edwin’s Gallery, Jakarta

2018

“Post-North-Korea Nuclear Test”, H2 Art Gallery, Semarang

2018 “Velatura”, GSPI, Bandung

Fine Art Department, Faculty of Fine Art & Design, Bandung Institute of Technology, Indonesia (major: painting)

“Small Is Beautiful XIV”, Edwin’s Gallery, Jakarta

“Tales from the Lonely Hill”, Krack! Gallery, Yogyakarta

“Platform”, Brightspot Market, PIK Avenue, Jakarta

CVARTIST

2019

“Art Stage Jakarta”, with Rachel Gallery, Jakarta

2015

2009

“OPPO Art Jakarta Virtual”, http://www.artjakarta. “Onlinecom Curator’s Choice Bandung Art Month Bandung“KilasMuseum,“Artjog:edankeunhttps://bdgconnex.net/venues/curators-choice-III”,Resilience2020”,YogyaNationalYogyakartaBalik”,SelasarSunaryoArtSpace,

2000

1973BORN

“Carte Blanche: Anxiety”, Mizuma Gallery, “FlowSingaporeInto Now”, Sampoerna Strategic Square, “BandungJakarta Drawing Festival”, Nu-Art Sculpture Park, “GetokBandungTular#2: Spacing Out”, Omnispace, “Art-tivitiesBandung Now”, ArtSerpong Gallery, Jakarta

SELECTED GROUP EXHIBITIONS

“Redraw II: Discovery, Edwin’s Gallery”, Jakarta

“7 Bandung Artists Drawing Exhibition”, Common Room, Bandung

“Small Is Beautiful XV”, Edwin’s Gallery, Jakarta “Transit#4”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung

2015

2017

2014

2019

2004

“Boundless Journey”, solo exhibition of Ponto Sindy, “Residence,HegarmanahBandung”, Superhighway Visual Transformation, Kalbis Institute, Jakarta

“We Cordially Invite You”, as part of Mr. Budi Adi Nugroho’s presentation, Ewe Gallery, Berlin, Germany

“Museum dan Tanah Liat”, Yogyakarta

“Liber Primus”, Semarang Gallery, Semarang

“Redraw III: Ugahari”, Edwin’s Gallery, Jakarta

EDUCATION/RESIDENCY1992-1998

“15th Subject”, Festival Ekstrakurikulab, Gudang Sarinah Ekosistem, “BazaarJakarta Art Jakarta”, with Edwin’s Gallery, Jakarta

SOLO EXHIBITIONS

- Bandung, Indonesia

2016

“Unseen Wounds”, Koong Gallery, Jakarta

“Crossing Conversations”, Pasar Seni Jakarta 2013, Gelora Bung Karno, Jakarta

2006

“Beyond Panopticon”, BEC, Bandung

2008

“War, Words & Image”, Salihara Gallery, Jakarta

“BMW Young Asian Artist series III”, STPI, “HomoSingaporeLudens #2”, Emittan Gallery, Surabaya

“Amor Fati”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung

2009

“Re.claim”, National Gallery, Jakarta

“Urban Cartography vol. 1”, Bandung Creative Communities, CP Biennale 2005, Jakarta

“Should I Stay or Should I Go?”, De Schone Kunsten, Haarlem, The Netherlands

CVARTIST

2001

“Jakarta Biennale XIV Maximum City”, National Gallery, “BiennaleJakartaYogya XI Equator”, Yogyakarta

“The Slice of Indonesian Contemporary Art”, Soka Gallery, “Survey”,BeijingEdwin’s Gallery, Jakarta

2004

“City Sign Festival, Cipta II Gallery”, Jakarta

Asia-Europe Foundation, Helsinki, Finland (Bandung-Helsinki: City Surgery Project).

2011

“Cross/Piece”, Canna Gallery, Jakarta

“Middlebare Akte”, Soemardja Gallery, Bandung

“Topology of Flatness”, Edwin Gallery, Jakarta

“Kompas Daily’s Short Story Illustrations”, Orasis Gallery, Surabaya

2005

Juror’s Choice, Phillip Morris ASEAN Art Awards, Kuala Lumpur, Malaysia

“South East Blooming”, Primo Marella Gallery, “JakartaMilan Biennale XIII”, Fluid Zone, National Gallery, “BandungJakartaArtNow”, National Gallery, Jakarta

“Common Sense”, National Gallery, Jakarta

“Homo Ludens”, Emittan Gallery, Surabaya

“Lost and Found: Retelling the Story of Silk Road in Indonesia”, K Space, Seoul, Gwangju, Gyeonggi, South Korea

“Bandung Petition #2”, Langgeng Gallery, “22ndMagelangAsian International Art Exhibition”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung

2001-2002

2013

“Book Play”, U&KL, Bandung

“Soul of Indonesia”, Godo Gallery, Seoul

“Us and Them, Art Basel Miami Beach 2008, Miami, “Refresh”,USAValentine Willie Fine Arts, Singapore

“Celebrate Fire Boar”, CSIS Building Jakarta & Griya Santrian Bali

“Kompas Daily’s Short Story Illustrations”, Darga Gallery Bali, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya,

R.E. Hartanto has participated in several group exhibitions since 1998 [not listed here]

“Homo Ludens #4”, Bentara Budaya Bali, “MaritimeDenpasar Culture”, ArtJOG, 2013, Yogyakarta

“The Mist”, Lawangwangi Art & Science Estate, Bandung

“A Decade of Dedication: 10 Years Revisited”, Selasar Sunaryo Art Space, Bandung

Utopia: Mapping the Urban Terrain | Platform 2:”, Soemardja Gallery, Bandung

“In Search for Myself within My Own Art History”, Balé Tonggoh, SSAS, Bandung

“Bandung Invasion”, Canna Gallery, Jakarta

2012

“Lowave”, Centre Culturel Français Bandung

“Reading Images”, Puri Gallery, Surabaya

“German Video Art 2000-2002”, Common Room, “7BandungBandung Artists Drawing Exhibition”, Bentara Budaya Jakarta

“Made in Indonesia”, Christian Hosp Gallery, Berlin, “TributeGermanytoS.Sudjojono”, 212 Gallery, STSI, “Unity:BandungThe Return to Art”, Wendt Gallery, New York, “RealityUSAEffect”, National Gallery, Jakarta

“Ganti Oli”, Valentine Willie Fine Arts, Singapore

“TheBandungPast Forgotten Time #3”, Cemeti Art House, “FutureSonicYogyakarta 2006”, Manchester, UK, as part of online project by Bandung Center for New Media “HeteroArts

“Carte Blanche #2: Sans Titre”, Centre Culturel Français, Jakarta

“Pameran Poskad 2012”, Viridian Art House, “FountainSingaporeof Lamneth”, Gajah Gallery, Singapore

“36 Frames”, Common Room, Bandung

“15x15x15, Recreate x Reality x Representation”, Soemardja Gallery, Bandung

1999

“Fringes”, Toimoi, Jakarta

2002

2010

RAIN Artists’ Initiatives Network supported by Dutch Ministry of Foreign Affairs/DCO/IC (for Bessengue City Project).

2007

2004GRANTS/AWARDS

“Suvey #1.10”, Edwin Gallery, Jakarta

“Bandung-Helsinki: City Surgery”, Kuvataideakatemia, Helsinki, Finland

“New Painting”, Kita Gallery, Bandung

“Selametan Digital”, Langgeng Art Foundation, Magelang

Ministy of Science, Culture and Education & Trustfond Rijksakademie, Amsterdam, The Netherlands (Rijksakademie v.B.K.).

“Indonesia Contemporary Drawing”, National Gallery, “BeyondJakartaGlobalization”, Beyond Art Space, “Reborn”,Beijing H2 Art Gallery, Semarang

“Merti Bumi”, Lerep Art Village, Ungaran “Manifesto”, National Gallery, Jakarta

“The Past Forgotten Time”, Singapore National Art Museum

“Jazz in The Sky, Sky FM”, Planet BizCafe, Bandung

ANAT & Daniel Langlois Foundation (Alchemy Masterclass)

2019

“27.KASSELER DOKFEST”, Kassel, DE. 2008

PhD Candidate in Art (Aritistic Research), University of Applied Arts, Vienna, AT.

“WE’RE NOT IN KANSAS ANYMORE”, Mönchehaus Goslar Museum, Goslar, DE

- Bandung, Indonesia

2013

2016

2010

“I SEE INTERNATIONAL VIDEO ART FESTIVAL”, Centre for Contemporary Arts, Glasgow, UK. & Galerie,BerlinischeBerlin, DE.

“SHALL WE CROSS THIS RIVER?” (SOLO) Asia contemporary art platform NON Berlin, DE.

SELECTED EXHIBITIONS

2020

“IMMORTALITY FOR ALL” Savvy Contemporary, Berlin, “ASIANDE.EXPRESS”

“VISIO – LO SCHERMO DELL’ARTE FILM FESTIVAL”, Villa Romana, Florence, IT.

“WONDER, SINGAPORE BIENNALE 2008” City Hall Singapore, SG.

Bachelor of Arts, Communication Faculty, Majoring Journalism, Padjadjaran University, ID.

2017

“THIS IS MEDIA ART” 24. European Media Art Festival, Osnabrück, DE.

2012

CVARTIST

2013

2014

RIZKI RESA UTAMA

2006

ONLINE SCREENING: SALIHARA ART SEASON “Out of in the Penal Colony”, Collab. with 69 Performance Club, Jakarta.

“ART JAKARTA”,Jakarta Convention Center, Jakarta, ID.

Daegu Photo Biennale 2016, South Korea, SK.

2015

2018EDUCATION/RESIDENCY

2014

“ORDE BARU (NEW ORDER) OK. VIDEO”, Indonesia Media Arts Festival, National Gallery of Indonesia, Jakarta.

“KESTNERSCHAU, SCHEINFREI UND GLANZLOS”, Kestnergesselschaft, Marktkirche, Hannover, “BETWEENDE.THE LINES”, Michaelis Gallery Cape Town, ZA.

“GERMAN-INDONESIAN EXPERIMENTAL FILM SCREENING”, The Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara Jakarta, Jakarta.

“25. IMAGES FESTIVAL 2012”, Independent and experimental film and Video, Toronto, CA. 2011

“RE- “ (SOLO), Junge Kunst e.V. Wolfsburg, Wolfsburg, DE. LOOPING LOOPHOLES Yeo Workshop, Singapore, SG

“ID-INDONESIAN CONTEMPORARY ART”, Kunstraum Bethanien, Berlin, DE.

1982BORN

Meisterschüler under Prof. Candice Breitz, Hochschule für Bildende Künste (HBK) Braunschweig, DE.

“87. HERBSTAUSSTELLUNG”, Kunstverein Hannover, DE.

“NEVER LEND MONEY TO A MAN WITH A SENSE OF HUMOUR”, Kreuzberg Pavillon, Berlin, DE.

Diploma of Fine Art, HBK Braunschweig, DE. (Room Concept class of Prof. Candice Breitz and Film Experimental class of Prof. Michael Brynntrup).

2017

- Bandung, Indonesia

‘Art Stage Jakarta 2017’, Nadi Gallery, Jakarta, ‘ChangingIndonesia. Perspective’, ArtJog 2017, Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia

Asean Youth Sculpture, workshop, Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam

1974BORN

‘Equator Symposium’, Balai Seni Gampingan, ‘Enlightenment’,Yogyakarta. Artjog, Jogja National Museum, ‘ArtYogyakarta.BaselHong Kong (ABHK 18)’, Nadi Gallery, Hong Kong.

‘The Show Must Go On’, Nadi Gallery, Jakarta, ‘ArtIndonesiaPoint’, Rachel Gallery, Senayan City, Jakarta, Indonesia

2015

2009

Indonesian Institute of Arts (ISI), Yogyakarta, indonesia

1993-2001EDUCATION/RESIDENCY

‘I Love’, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia

2018

‘The Makers’, Art Jakarta, Equator Simposium + Galeri Lorong Jakarta.

‘Unity in Diversity’, Equator Art Projects, Gillman Barracks, Singapore

‘Flow In To Now’, Art Sampoerna, Sampoerna Strategic Square, Jakarta, Indonesia

Workshop by Toshihiro Kuno, Bandung Institute Of Technology, Bandung, Indonesia

SOLO EXHIBITIONS

Glass2001-2002Workshop, Bali Glass, Bali, Indonesia

2014

‘The Makers’, Galeri Lorong, Yogyakarta.

‘Art2016Stage Singapore 2016’, Nadi Gallery, ‘UniversalSingaporeInfluence’, ArtJog 2016, Jogja National Museum, Yogyakarta, Indonesia

CVARTIST

2004

‘Waiting For It To Happen’, Platform 3, Nadi Gallery, Jakarta, Indonesia

‘Art Stage Singapore 2015’, Nadi Gallery,

1997

‘Skala’, Trienal Seni Patung Indonesia #3, National Gallery of Indonesia, Jakarta, Indonesia.

YULI PRAYITNO

2005

‘ArtSingaporeBaselHong Kong (ABHK 15)’, Nadi Gallery, Hong Kong

‘Packaging’, Cemeti Art House, Yogyakarta, Indonesia

Jl. Anggrek No.46, Cihapit, Kec. Bandung Wetan, Kota Bandung, Jawa Barat 40114

Ruang Dini

Zhul Muhammad Ramdhan

Dini Triani Harianti

Co-Founder

Curator

Graphic Designer

Andy Dewantoro

Founder

Published by Ruang Dini, 2021

Art Director

Muthia Fatharani

Ruang Dini

In conjunction with the group exhibition of INFLUX : EXTENDED

12TH MARCH - 11THAPRIL, 2021

Tel. +62 812 8248 2946

Gumilar Ganjar

Tri Dewanti K.P.

Operational Manager

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.