Info ICCC ed. 1

Page 1

Edisi 1 - Agustus 2012

Editorial

Terobosan Dalam Pengurangan Emisi di Indonesia

313

550

246 243 MISI TOTAL E IT A K R E TOTAL T N RAN PENGGUNAA EBAKAU K N A T H A I L B BS GAM ABSOR SEKTORA IAN STASI E N AINNY A R L T O R F E E P D I IS S O P DEKOMBUT DASI GAM DEGRA

763

info@iccc-network.net

Informasi mengenai ICCC tersedia di portal www.ICCC-network.net.

Tim Info ICCC: Pengarah: Rachmat Witoelar, Agus Purnomo, Amanda Katili Niode, Murni Titi Resdiana, Farhan Helmy, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Pemimpin Redaksi: Farrah Mardiati, Indonesia Climate Change Center (ICCC) Kontributor: Eli Nur Nirmala Sari, Dadang Hilman, Harityas Wiyoga, Eryka Dwi Surya Purnama, Indonesia Climate Change Center (ICCC)

Edisi 1 - Agustus 2012

1,739

300

Saran dan masukan mengenai ICCC dan pelaksanaan kegiatan ICCC dapat dikirimkan melalui email ke

Gedung Kementrian BUMN, lantai 18, Jl. Medan Merdeka Selatan No.13, Jakarta 10110.

15%

Oleh: Eli Nur Nirmala Sari

Info ICCC merupakan buletin triwulan yang disajikan sebagai media informasi mengenai isu dan hasil kajian yang telah dihasilkan ICCC. ICCC mendukung penyebaran informasi pada bulletin ini secara bebas untuk penggunaan non-komersial selama ICCC INFO dituliskan sebagai sumber informasi.

atau di alamatkan ke

129

2,052

Sumber: Indonesia GHG Abatement Cost Curve

Dibentuk sejak Oktober 2011 dibawah kerjasama US - Indonesia Comprehensive Partnership, Indonesia Climate Change Center (ICCC) merupakan wadah untuk melakukan kajian kebijakan perubahan iklim berbasis ilmu pengetahuan, yang diharapkan dapat menjadi referensi dalam proses penentuan kebijakan (science-based policy) perubahan iklim di Indonesia.

Media Informasi Indonesia Climate Change Center

M

enurut data dari Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) (2011), lahan gambut di dunia adalah penyumbang emisi terbesar, yakni 41,4% dari total emisi global tahun 2005, sedangkan Tata Guna Lahan dan Perubahan Tata Guna Lahan (LULUCF) merupakan penyumbang emisi terbesar kedua, yakni 37% dari total emisi global. Oleh karena itu, pengelolaan lahan gambut yang tepat sangat penting dilakukan untuk mendukung komitmen Indonesia mengurangi emisi sebesar 26% pada tahun 2020. Selama ini, sulitnya membuat suatu kebijakan yang tepat-guna terkait dengan pengelolaan lahan gambut disebabkan oleh terbatasnya data-data yang tersedia tentang gambut, baik mengenai luasan maupun mengenai kedalaman gambut. Hal tersebut disebabkan oleh beragamnya perbedaan persepsi dan pengertian mengenai gambut, sehingga hal yang mendasar yang sangat penting untuk dilakukan adalah menyeragamkan persepsi dan pemahaman mengenai gambut, dengan membuat satu definisi gambut yang sesuai dengan kondisi dan karakter gambut di Indonesia.

Menyadari pentingnya suatu ‘definisi gambut’ yang seragam, maka DNPI dan Indonesia Climate Change Center (ICCC) membuat suatu terobosan baru dengan fokus pada perbaikan kebijakan-kebijakan terkait lahan gambut, yang akan berdampak pada perbaikan pengelolaan lahan gambut. Hal tersebut diinisiasi dengan proses perumusan definisi lahan gambut, yaitu melalui serangkaian pertemuan yang melibatkan ahli gambut yang berasal dari beberapa universitas di Indonesia maupun internasional, kementerian di Indonesia, lembaga penelitian di Indonesia maupun internasional, dan beberapa organisasi non pemerintah. Banyak aspek-aspek yang harus dipertimbangkan untuk mendefinisikan ‘gambut’ di Indonesia, yaitu definisi ‘gambut’ yang paling sesuai dengan kondisi dan karakter gambut di Indonesia, dan definisi ‘gambut’ berdasarkan sains yang dapat diadopsi di Indonesia. Definisi ‘gambut’: Definisi Authoritative dan Scientific Definisi ‘gambut’ dibedakan menjadi dua kategori, yakni definisi authoritative, yang

1


Media Informasi Indonesia Climate Change Center

dibuat oleh pemerintah Indonesia, definisi scientific. Definisi authoritative di Indonesia dinyatakan oleh tiga kementerian, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan.

Berbagai kebijakan di Indonesia yang menyatakan definisi lahan gambut Menurut Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, 'tanah gambut' adalah tanah yang berkembang dari hasil penumpukan bahan organik yang diluruhkan oleh produksi biomassa hutan hujan tropika (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 07/2006). Kementerian Pertanian Indonesia mendefinisikan 'gambut' sebagai tanah hasil dari akumulasi timbunan bahan organik sebanyak 65% atau lebih yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun, dan terbentuk dari dekomposisi vegetasi yang terhambat prosesnya oleh tanah anaerob dan lahan yang basah (Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009). Sedangkan Kementerian Kehutanan Indonesia mendefinisikan 'gambut’ sebagai suatu kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam kurun waktu yang lama (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.69/Menhut-II/20122). Definisi authoritative yang telah ada, dibuat dengan tujuan khusus. Sebagai contoh, Kementerian Lingkungan Lingkungan Hidup mendefinisikan gambut sebagai bagian dari penyusunan tata cara pengukuran kerusakan tanah dan kriteria baku untuk produksi biomassa. Kementerian Pertanian mendifinisikan ‘gambut’ untuk penyusunan pedoman pemanfaatan lahan gambut, seperti untuk budidaya kelapa sawit. Sedangkan Kementerian Kehutanan mendifinisikan ‘gambut’ dalam rangka penyusunan petunjuk teknis penggunaan dana alokasi khusus (DAK) bidang kehutanan tahun anggaran 2012, yang salah satu agendanya adalah merehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi. Karena pendefinisian yang dilakukan oleh pihak pemangku kebijakan tersebut belum dapat diadopsi secara umum yang sesuai dengan kondisi dan karakter gambut di Indonesia, maka definisi tersebut masih perlu dikembangkan. Sementara itu, definisi scientific dinyatakan oleh ilmuwan berdasarkan penelitian dan ada beberapa definisi ilmiah yang sudah ada selama ini, yaitu definisi oleh Wust dkk. (2003), Moris (1989), Andrejko

Rubrik ICCC dkk. (1983), Landva dkk. (1983), Jarrett (1983), Mankinen dan Gelfer (1982), Kearns dkk. (1982), Kivinen (1980), Davis (1946), dan Arman (1923). Hampir semua Definisi Scientific didasarkan pada pengamatan lapangan dan analisa sifat tanah gambut. Sifat tanah gambut dapat dibagi ke dalam komponen fisik dan kimia. Sifat fisik meliputi tingkat dekomposisi (humifikasi), bobot isi, kadar air, porositas dan lain-lain, sedangkan sifat kimia meliputi kadar karbon, kadar abu, pH, rasio C/N.

Rubrik ICCC

Media Informasi Indonesia Climate Change Center

Portal ICCC: Visualisasi Data di atas Peta

Definisi Scientific yang sudah ada selama ini belum dapat mewakili karakteristik gambut di Indonesia, karena gambut di Indonesia sebagian besar sangat berserat dan memiliki kandungan organik dan karbon yang sangat tinggi. Gambut di Indonesia mengandung bahan kayu. Sedangkan definisi scientific ‘gambut’ selama ini ditujukan untuk wilayah bumi bagian utara dan daerah temperate (daerah yang mengalami musim panas lama dan musim dingin pendek), sehingga tidak dapat memenuhi karakter gambut di daerah tropis yang memiliki banyak kandungan kayu. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan definisi ‘gambut’ yang tepat. Definisi Lahan Gambut oleh ICCC: Sebuah Terobosan Baru Melalui beberapa pertemuan para ahli gambut, disimpulkan bahwa unsur kandungan karbon dalam tanah dan kedalaman gambut merupakan unsur penting yang harus dipertimbagkan dalam mendefinisikan gambut. Berdasarkan analisa kesenjangan antara definisi authoritative dan definisi scientific, rekomendasi dan masukan dari hasil pertemuan para ahli, maka ICCC menyusun suatu definisi lahan gambut yang dapat juga digunakan untuk mendukung target pengurangan emisi Indonesia, seperti berikut: Lahan gambut merupakan daerah dengan akumulasi bahan organik yang sebagian lapuk, dengan kadar abu sama dengan atau kurang dari 35%, kedalaman gambut sama dengan atau lebih dari 50 cm, dan kandungan karbon organik (berdasarkan berat) minimal 12%. Setelah pendefinisian ‘lahan gambut’, hal penting selanjutnya yang harus ditetapkan adalah metode delineasi (penggambaran) lahan gambut. Hasil rapat para ahli gambut merekomendasikan tiga kategori untuk delineasi lahan gambut, yaitu berdasarkan klasifikasi lapisan gambut, berdasarkan klasifikasi wilayah hidrologi lahan gambut, dan berdasarkan klasifikasi pemanfaatan lahan pada wilayah gambut. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa delineasi lahan gambut ini akan erat kaitannya dengan kepentingan pengelolaan lahan gambut untuk mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca. Untuk itu, yang menjadi catatan selanjutnya adalah melakukan serangkaian diskusi yang lebih dalam yang tetap melibatkan para ahli untuk proses deliniasi lahan gambut.•

P

engembangan portal merupakan salah satu program kerja ICCC, dimana portal akan menjadi pusat informasi mengenai isu dan hasil kajian yang telah dihasilkan ICCC. Portal ini merupakan media yang berisikan data statis dan dinamis yang dapat di akses oleh khalayak luas, terutama mengenai data, sains dan pemodelan terkait tematik yang ada, yang disajikan dengan dukungan fasilitas dan teknologi terkini. Portal diharapkan dapat menjadi wadah penyebarluasan diskusi ilmiah, data, report, publikasi dan sumber informasi lain yang bisa dijangkau siapa dan darimana saja. Selain itu portal juga menyediakan basis data terkait dengan program masing-masing Cluster dan juga fungsi visual interaktif sehingga masyarakat bisa menyesuaikan kebutuhan informasi yang dicari. Disamping menyediakan informasi untuk analisis dan integrasi, portal juga akan mengakomodir diskusi antara stakeholder, para expert dan masyarakat luas. Didukung oleh tim ICCC dalam penyediaan data, portal telah diperkenalkan kepada masyarakat bertepatan dengan kegiatan Indonesia Climate Change Education Forum and Expo 2012 yang dilaksanakan pada tanggal 19 April 2012. Peluncuran Portal ICCC berlangsung lancar, tepat setelah acara pembukaan Indonesia Climate Change Education Forum and Expo yang dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur Kalimantan Timur dan tamu undangan dari negara sahabat. Proses pengembangan portal akan terus berlangsung dan saat ini proses transfer ilmu dari portal developer kepada ICCC telah dilakukan. Selanjutnya, ICCC akan melakukan pengembangan portal terpadu, yaitu menggunakan konsep Mash-up yang menggunakan dan mensinergikan berbagai web services yang tersedia di internet, baik dari sisi data, fungsionalitas, dan presentasi (tampilan). Pengembangan portal terpadu akan dilakukan dengan pengembangan basis data spasial dan non-spasial yang terintegrasi dengan berbagai jaringan informasi nasional maupun internasional, khususnya yang terkait dengan kegiatan cluster, diantaranya Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN) yang dikoordinasikan oleh Badan Informasi Geospasial dan Pengembangan Jejaring yang dikoordinasikan oleh Satuan Tugas REDD+.•

Hutan gambut Berbak, Jambi – Sumatra. (Matt Warren/USFS)

2

Edisi 1 - Agustus 2012

Edisi 1 - Agustus 2012

3


Media Informasi Indonesia Climate Change Center

dibuat oleh pemerintah Indonesia, definisi scientific. Definisi authoritative di Indonesia dinyatakan oleh tiga kementerian, yaitu Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan.

Berbagai kebijakan di Indonesia yang menyatakan definisi lahan gambut Menurut Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia, 'tanah gambut' adalah tanah yang berkembang dari hasil penumpukan bahan organik yang diluruhkan oleh produksi biomassa hutan hujan tropika (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 07/2006). Kementerian Pertanian Indonesia mendefinisikan 'gambut' sebagai tanah hasil dari akumulasi timbunan bahan organik sebanyak 65% atau lebih yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun, dan terbentuk dari dekomposisi vegetasi yang terhambat prosesnya oleh tanah anaerob dan lahan yang basah (Peraturan Menteri Pertanian No. 14/Permentan/PL.110/2/2009). Sedangkan Kementerian Kehutanan Indonesia mendefinisikan 'gambut’ sebagai suatu kawasan yang unsur pembentuk tanahnya sebagian besar berupa sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam kurun waktu yang lama (Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.69/Menhut-II/20122). Definisi authoritative yang telah ada, dibuat dengan tujuan khusus. Sebagai contoh, Kementerian Lingkungan Lingkungan Hidup mendefinisikan gambut sebagai bagian dari penyusunan tata cara pengukuran kerusakan tanah dan kriteria baku untuk produksi biomassa. Kementerian Pertanian mendifinisikan ‘gambut’ untuk penyusunan pedoman pemanfaatan lahan gambut, seperti untuk budidaya kelapa sawit. Sedangkan Kementerian Kehutanan mendifinisikan ‘gambut’ dalam rangka penyusunan petunjuk teknis penggunaan dana alokasi khusus (DAK) bidang kehutanan tahun anggaran 2012, yang salah satu agendanya adalah merehabilitasi lahan gambut yang terdegradasi. Karena pendefinisian yang dilakukan oleh pihak pemangku kebijakan tersebut belum dapat diadopsi secara umum yang sesuai dengan kondisi dan karakter gambut di Indonesia, maka definisi tersebut masih perlu dikembangkan. Sementara itu, definisi scientific dinyatakan oleh ilmuwan berdasarkan penelitian dan ada beberapa definisi ilmiah yang sudah ada selama ini, yaitu definisi oleh Wust dkk. (2003), Moris (1989), Andrejko

Rubrik ICCC dkk. (1983), Landva dkk. (1983), Jarrett (1983), Mankinen dan Gelfer (1982), Kearns dkk. (1982), Kivinen (1980), Davis (1946), dan Arman (1923). Hampir semua Definisi Scientific didasarkan pada pengamatan lapangan dan analisa sifat tanah gambut. Sifat tanah gambut dapat dibagi ke dalam komponen fisik dan kimia. Sifat fisik meliputi tingkat dekomposisi (humifikasi), bobot isi, kadar air, porositas dan lain-lain, sedangkan sifat kimia meliputi kadar karbon, kadar abu, pH, rasio C/N.

Rubrik ICCC

Media Informasi Indonesia Climate Change Center

Portal ICCC: Visualisasi Data di atas Peta

Definisi Scientific yang sudah ada selama ini belum dapat mewakili karakteristik gambut di Indonesia, karena gambut di Indonesia sebagian besar sangat berserat dan memiliki kandungan organik dan karbon yang sangat tinggi. Gambut di Indonesia mengandung bahan kayu. Sedangkan definisi scientific ‘gambut’ selama ini ditujukan untuk wilayah bumi bagian utara dan daerah temperate (daerah yang mengalami musim panas lama dan musim dingin pendek), sehingga tidak dapat memenuhi karakter gambut di daerah tropis yang memiliki banyak kandungan kayu. Oleh karena itu, Indonesia memerlukan definisi ‘gambut’ yang tepat. Definisi Lahan Gambut oleh ICCC: Sebuah Terobosan Baru Melalui beberapa pertemuan para ahli gambut, disimpulkan bahwa unsur kandungan karbon dalam tanah dan kedalaman gambut merupakan unsur penting yang harus dipertimbagkan dalam mendefinisikan gambut. Berdasarkan analisa kesenjangan antara definisi authoritative dan definisi scientific, rekomendasi dan masukan dari hasil pertemuan para ahli, maka ICCC menyusun suatu definisi lahan gambut yang dapat juga digunakan untuk mendukung target pengurangan emisi Indonesia, seperti berikut: Lahan gambut merupakan daerah dengan akumulasi bahan organik yang sebagian lapuk, dengan kadar abu sama dengan atau kurang dari 35%, kedalaman gambut sama dengan atau lebih dari 50 cm, dan kandungan karbon organik (berdasarkan berat) minimal 12%. Setelah pendefinisian ‘lahan gambut’, hal penting selanjutnya yang harus ditetapkan adalah metode delineasi (penggambaran) lahan gambut. Hasil rapat para ahli gambut merekomendasikan tiga kategori untuk delineasi lahan gambut, yaitu berdasarkan klasifikasi lapisan gambut, berdasarkan klasifikasi wilayah hidrologi lahan gambut, dan berdasarkan klasifikasi pemanfaatan lahan pada wilayah gambut. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa delineasi lahan gambut ini akan erat kaitannya dengan kepentingan pengelolaan lahan gambut untuk mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca. Untuk itu, yang menjadi catatan selanjutnya adalah melakukan serangkaian diskusi yang lebih dalam yang tetap melibatkan para ahli untuk proses deliniasi lahan gambut.•

P

engembangan portal merupakan salah satu program kerja ICCC, dimana portal akan menjadi pusat informasi mengenai isu dan hasil kajian yang telah dihasilkan ICCC. Portal ini merupakan media yang berisikan data statis dan dinamis yang dapat di akses oleh khalayak luas, terutama mengenai data, sains dan pemodelan terkait tematik yang ada, yang disajikan dengan dukungan fasilitas dan teknologi terkini. Portal diharapkan dapat menjadi wadah penyebarluasan diskusi ilmiah, data, report, publikasi dan sumber informasi lain yang bisa dijangkau siapa dan darimana saja. Selain itu portal juga menyediakan basis data terkait dengan program masing-masing Cluster dan juga fungsi visual interaktif sehingga masyarakat bisa menyesuaikan kebutuhan informasi yang dicari. Disamping menyediakan informasi untuk analisis dan integrasi, portal juga akan mengakomodir diskusi antara stakeholder, para expert dan masyarakat luas. Didukung oleh tim ICCC dalam penyediaan data, portal telah diperkenalkan kepada masyarakat bertepatan dengan kegiatan Indonesia Climate Change Education Forum and Expo 2012 yang dilaksanakan pada tanggal 19 April 2012. Peluncuran Portal ICCC berlangsung lancar, tepat setelah acara pembukaan Indonesia Climate Change Education Forum and Expo yang dihadiri oleh Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur Kalimantan Timur dan tamu undangan dari negara sahabat. Proses pengembangan portal akan terus berlangsung dan saat ini proses transfer ilmu dari portal developer kepada ICCC telah dilakukan. Selanjutnya, ICCC akan melakukan pengembangan portal terpadu, yaitu menggunakan konsep Mash-up yang menggunakan dan mensinergikan berbagai web services yang tersedia di internet, baik dari sisi data, fungsionalitas, dan presentasi (tampilan). Pengembangan portal terpadu akan dilakukan dengan pengembangan basis data spasial dan non-spasial yang terintegrasi dengan berbagai jaringan informasi nasional maupun internasional, khususnya yang terkait dengan kegiatan cluster, diantaranya Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN) yang dikoordinasikan oleh Badan Informasi Geospasial dan Pengembangan Jejaring yang dikoordinasikan oleh Satuan Tugas REDD+.•

Hutan gambut Berbak, Jambi – Sumatra. (Matt Warren/USFS)

2

Edisi 1 - Agustus 2012

Edisi 1 - Agustus 2012

3


Media Informasi Indonesia Climate Change Center

Rubrik ICCC

Pentingnya Pembahasan Lahan Gambut dalam Diskusi Internasional Oleh: Eli Nur Nurmala Sari

Kegiatan ICCC

Media Informasi Indonesia Climate Change Center

Finalisasi Definisi Lahan Gambut

S

ebagai tindak lanjut dari diskusi tahap awal dalam menentukan definisi lahan gambut, Indonesia Climate Change Center (ICCC) mengadakan pertemuan pada 10 Mei 2012 untuk proses finalisasi masukan kebijakan policy memo definisi lahan gambut dengan mengumpulkan usulan dan rekomendasi peserta dalam mematangkan policy memo tersebut.

Kesepakatan yang didapatkan melalui pertemuan tersebut adalah bahwa lahan gambut harus didefinisikan berdasarkan indikator terukur seperti kandungan karbon/kandungan mineral, kedalaman gambut (dengan survei lapangan), estimasi cadangan karbon dan perkiraan karbon fluks. Namun, aspek sosial dan ekonomi juga harus dipertimbangkan dalam proses delineasi lahan gambut secara lebih spesifik. Dalam proses tersebut, tahap pertama adalah menentukan definisi lahan gambut secara umum dan tahap kedua adalah menjabarkan definisi lahan gambut menurut penggambaran lapisan gambut, pengukuran hidrologi lahan gambut, dan yang terakhir menganalisa pengelolaan area lahan gambut untuk mengetahui bagaimana lahan tersebut dapat dimanfaatkan selama tidak menghasilkan lebih banyak emisi. Tahapan tersebut dinilai akan memudahkan para pemangku kebijakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung REDD.•

Lahan gambut di dunia, terancam oleh drainase dan kebakaran yang tidak terkendali. Menurut data dan informasi yang ada, lebih dari 300,000 hektar lahan gambut di Indonesia terdegradasi setiap tahunnya, yang menghasilkan sekitar 10 juta hektar lahan gambut terdegradasi hingga saat ini (Eli Nur Nirmala Sari/ICCC).

S

ecara global, gambut hanya menempati 2,7% dari daratan dunia, tetapi ia menyimpan sekitar 30% cadangan karbon terestrial. Angka ini merupakan nilai karbon yang besar sekali yang berada di daerah lahan gambut, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis hutan lainnya di dunia. Lahan gambut di dunia, terancam oleh drainase dan kebakaran yang tidak terkendali. Data yang ada menunjukkan bahwa di Indonesia lebih dari 300.000 hektar lahan gambut terdegradasi setiap tahunnya, dan seluruhnya sudah sekitar 10 juta hektar lahan gambut yang terdegradasi. Dapat dimengerti bahwa hasil degradasi lahan gambut menghasilkan emisi yang lebih besar daripada yang dihasilkan ekosistem lainnya. Indonesia memiliki kawasan lahan gambut terbesar di Asia Tenggara, dan merupakan salah satu dari lima negara besar pemilik lahan gambut tropis di dunia. Empat negara lainnya adalah Brasil, Republik Demokrasi Kongo, Papua Nugini, dan Malaysia. Menurut Joosten dan Clarke (2002) dalam Wetlands International (2011), sekitar 30 negara bertanggung jawab atas emisi GRK terbesar dari lahan gambut, termasuk di antaranya negara-negara non-Annex I. Mayoritas dari 130 juta hektar lahan gambut di negara-negara non-Annex I memiliki tutupan hutan alami, yang menyimpan sekitar 100 miliar ton karbon, yang sebagian besar tersimpan di dalam tanah. Degradasi lahan gambut di negara berkembang melalui drainase dan kebakaran gambut menyebabkan emisi karbon dioksida tahunan sebesar 1,2 miliar ton. Di Asia Tenggara, hilangnya lahan gambut terjadi sangat dramatis. Dalam 20 tahun terakhir, lebih dari 12 juta hektar lahan gambut telah mengering, dan lebih dari 3 juta hektar telah terbakar. Penyusutan luasan hutan gambut baru-baru ini adalah dua kali lebih besar dibandingkan dengan laju penyusutan luasan hutan lainnya. Perlu ada tindakan segera untuk menghentikan degradasi hutan gambut ini. Namun dalam konteks emisi global, lahan gambut belum dibahas secara khusus dan intensif. Pada UNFCCC, lahan gambut termasuk dalam kategori lahan basah dan telah dibahas oleh Ad Hoc

4

Working Group on Further Commitments untuk negara-negara Annex 1 di bawah Protokol Kyoto (AWG-KP), khususnya di bagian Tata Guna Lahan, Perubahan Tata Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF). Sejauh ini, hanya ada sedikit upaya untuk mengangkat lahan gambut menjadi perhatian global. Kurangnya informasi, data yang lemah, dan ketidakpastian lainnya menghambat negara-negara pihak untuk mendiskusikan dan menegosiasikan lahan gambut di forum UNFCCC. Namun, aktivitas akunting baru sudah diusulkan untuk periode komitmen kedua untuk memberikan insentif guna mengurangi emisi dari drainase lahan gambut di negara-negara Annex 1. Definisi hutan UNFCCC mencakup semua hutan gambut, termasuk semua hutan gambut yang untuk sementara waktu ini destocked (gundul) karena secara alami dianggap kelak akan kembali menjadi hutan. Di masa depan, hutan-hutan gambut yang tidak kembali menghutan secara alami mungkin bisa juga dibahas di bawah mekanisme ini atau yang serupa.

Rapat ahli finalisasi definisi lahan gambut (Farrah Mardiati/ICCC)

Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

S

etelah serangkaian pertemuan para pakar untuk proses finalisasi definisi lahan gambut, ICCC telah melakukan pertemuan tindak lanjut pada tanggal 20 Juni 2012 untuk mendiskusikan standar metodologi pemetaan lahan gambut yang dihadiri oleh para ilmuwan, serta wakil kementerian/ lembaga pemerintah dan organisasi nasional maupun internasional.

Mekanisme REDD menawarkan peluang luar biasa untuk melindungi dan memulihkan hutan gambut. Namun dalam negosiasi REDD+, lahan gambut belum secara khusus diperlakukan sebagai komponen penting. Tak satu pun negara pihak memberi perhatian yang cukup untuk masalah ini. Kendala teknis dan politis adalah penghalang utama dalam membawa lahan gambut menjadi perhatian nasional atau global. Namun, dimasukkannya insentif untuk mendukung pengurangan emisi dari degradasi lahan gambut dan jenis hutan lainnya dengan cadangan karbon tinggi adalah sangat penting dalam mekanisme REDD. Mengurangi emisi dari lahan gambut di REDD dapat melibatkan lima bidang, seperti perlindungan sisa hutan gambut yang masih utuh; pemulihan lahan gambut terdegradasi dan terdrainase; pencegahan kebakaran hutan gambut; pembatasan pengembangan konsesi perkebunan baru di atas lahan gambut; dan pengurangan emisi dari perkebunan yang ada di lahan gambut. Jika kelima bidang ini dapat dijalankan dengan baik, dapat dipastikan bahwa sektor lahan gambut dapat berkontribusi dalam upaya untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020.•

Edisi 1 - Agustus 2012

Pertemuan ini bertujuan untuk menyampaikan hasil rumusan 'Definisi Lahan Gambut' serta membahas metodologi pemetaan lahan gambut yang tepat secara ilmiah yang pernah dan perlu dilaksanakan di Indonesia untuk mendukung target penurunan emisi. Untuk menyediakan data yang akurat dalam mendukung penurunan emisi, pemerintah perlu bekerja sama dengan para ilmuwan untuk menentukan parameter dasar yang perlu diambil dalam kegiatan pemetaan. Selain itu, meninjau hasil kerja instansi pemerintah maupun para peneliti mengenai pemetaan lahan gambut juga penting untuk dilakukan. Dengan demikian pemangku kepentingan dapat melakukan identifikasi tentang kegiatan yang ada saat ini untuk kemudian menentukan berbagai hal yang perlu ditindaklanjuti. Lokakarya metodologi pemetaan lahan gambut diselenggarakan sebagai tindak lanjut proses pendefinisian dan delineasi lahan gambut (Harityas Wiyoga/ICCC).

Edisi 1 - Agustus 2012

Pertemuan lanjutan untuk membahas metodologi pemetaan lahan gambut akan dilakukan pada minggu pertama Agustus 2012 untuk menghasilkan konsensus dari para pakar terkait dengan metode delineasi dan pemetaan lahan gambut di Indonesia, serta metode pemantauannya.•

5


Media Informasi Indonesia Climate Change Center

Rubrik ICCC

Pentingnya Pembahasan Lahan Gambut dalam Diskusi Internasional Oleh: Eli Nur Nurmala Sari

Kegiatan ICCC

Media Informasi Indonesia Climate Change Center

Finalisasi Definisi Lahan Gambut

S

ebagai tindak lanjut dari diskusi tahap awal dalam menentukan definisi lahan gambut, Indonesia Climate Change Center (ICCC) mengadakan pertemuan pada 10 Mei 2012 untuk proses finalisasi masukan kebijakan policy memo definisi lahan gambut dengan mengumpulkan usulan dan rekomendasi peserta dalam mematangkan policy memo tersebut.

Kesepakatan yang didapatkan melalui pertemuan tersebut adalah bahwa lahan gambut harus didefinisikan berdasarkan indikator terukur seperti kandungan karbon/kandungan mineral, kedalaman gambut (dengan survei lapangan), estimasi cadangan karbon dan perkiraan karbon fluks. Namun, aspek sosial dan ekonomi juga harus dipertimbangkan dalam proses delineasi lahan gambut secara lebih spesifik. Dalam proses tersebut, tahap pertama adalah menentukan definisi lahan gambut secara umum dan tahap kedua adalah menjabarkan definisi lahan gambut menurut penggambaran lapisan gambut, pengukuran hidrologi lahan gambut, dan yang terakhir menganalisa pengelolaan area lahan gambut untuk mengetahui bagaimana lahan tersebut dapat dimanfaatkan selama tidak menghasilkan lebih banyak emisi. Tahapan tersebut dinilai akan memudahkan para pemangku kebijakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang mendukung REDD.•

Lahan gambut di dunia, terancam oleh drainase dan kebakaran yang tidak terkendali. Menurut data dan informasi yang ada, lebih dari 300,000 hektar lahan gambut di Indonesia terdegradasi setiap tahunnya, yang menghasilkan sekitar 10 juta hektar lahan gambut terdegradasi hingga saat ini (Eli Nur Nirmala Sari/ICCC).

S

ecara global, gambut hanya menempati 2,7% dari daratan dunia, tetapi ia menyimpan sekitar 30% cadangan karbon terestrial. Angka ini merupakan nilai karbon yang besar sekali yang berada di daerah lahan gambut, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis hutan lainnya di dunia. Lahan gambut di dunia, terancam oleh drainase dan kebakaran yang tidak terkendali. Data yang ada menunjukkan bahwa di Indonesia lebih dari 300.000 hektar lahan gambut terdegradasi setiap tahunnya, dan seluruhnya sudah sekitar 10 juta hektar lahan gambut yang terdegradasi. Dapat dimengerti bahwa hasil degradasi lahan gambut menghasilkan emisi yang lebih besar daripada yang dihasilkan ekosistem lainnya. Indonesia memiliki kawasan lahan gambut terbesar di Asia Tenggara, dan merupakan salah satu dari lima negara besar pemilik lahan gambut tropis di dunia. Empat negara lainnya adalah Brasil, Republik Demokrasi Kongo, Papua Nugini, dan Malaysia. Menurut Joosten dan Clarke (2002) dalam Wetlands International (2011), sekitar 30 negara bertanggung jawab atas emisi GRK terbesar dari lahan gambut, termasuk di antaranya negara-negara non-Annex I. Mayoritas dari 130 juta hektar lahan gambut di negara-negara non-Annex I memiliki tutupan hutan alami, yang menyimpan sekitar 100 miliar ton karbon, yang sebagian besar tersimpan di dalam tanah. Degradasi lahan gambut di negara berkembang melalui drainase dan kebakaran gambut menyebabkan emisi karbon dioksida tahunan sebesar 1,2 miliar ton. Di Asia Tenggara, hilangnya lahan gambut terjadi sangat dramatis. Dalam 20 tahun terakhir, lebih dari 12 juta hektar lahan gambut telah mengering, dan lebih dari 3 juta hektar telah terbakar. Penyusutan luasan hutan gambut baru-baru ini adalah dua kali lebih besar dibandingkan dengan laju penyusutan luasan hutan lainnya. Perlu ada tindakan segera untuk menghentikan degradasi hutan gambut ini. Namun dalam konteks emisi global, lahan gambut belum dibahas secara khusus dan intensif. Pada UNFCCC, lahan gambut termasuk dalam kategori lahan basah dan telah dibahas oleh Ad Hoc

4

Working Group on Further Commitments untuk negara-negara Annex 1 di bawah Protokol Kyoto (AWG-KP), khususnya di bagian Tata Guna Lahan, Perubahan Tata Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF). Sejauh ini, hanya ada sedikit upaya untuk mengangkat lahan gambut menjadi perhatian global. Kurangnya informasi, data yang lemah, dan ketidakpastian lainnya menghambat negara-negara pihak untuk mendiskusikan dan menegosiasikan lahan gambut di forum UNFCCC. Namun, aktivitas akunting baru sudah diusulkan untuk periode komitmen kedua untuk memberikan insentif guna mengurangi emisi dari drainase lahan gambut di negara-negara Annex 1. Definisi hutan UNFCCC mencakup semua hutan gambut, termasuk semua hutan gambut yang untuk sementara waktu ini destocked (gundul) karena secara alami dianggap kelak akan kembali menjadi hutan. Di masa depan, hutan-hutan gambut yang tidak kembali menghutan secara alami mungkin bisa juga dibahas di bawah mekanisme ini atau yang serupa.

Rapat ahli finalisasi definisi lahan gambut (Farrah Mardiati/ICCC)

Metodologi Pemetaan Lahan Gambut

S

etelah serangkaian pertemuan para pakar untuk proses finalisasi definisi lahan gambut, ICCC telah melakukan pertemuan tindak lanjut pada tanggal 20 Juni 2012 untuk mendiskusikan standar metodologi pemetaan lahan gambut yang dihadiri oleh para ilmuwan, serta wakil kementerian/ lembaga pemerintah dan organisasi nasional maupun internasional.

Mekanisme REDD menawarkan peluang luar biasa untuk melindungi dan memulihkan hutan gambut. Namun dalam negosiasi REDD+, lahan gambut belum secara khusus diperlakukan sebagai komponen penting. Tak satu pun negara pihak memberi perhatian yang cukup untuk masalah ini. Kendala teknis dan politis adalah penghalang utama dalam membawa lahan gambut menjadi perhatian nasional atau global. Namun, dimasukkannya insentif untuk mendukung pengurangan emisi dari degradasi lahan gambut dan jenis hutan lainnya dengan cadangan karbon tinggi adalah sangat penting dalam mekanisme REDD. Mengurangi emisi dari lahan gambut di REDD dapat melibatkan lima bidang, seperti perlindungan sisa hutan gambut yang masih utuh; pemulihan lahan gambut terdegradasi dan terdrainase; pencegahan kebakaran hutan gambut; pembatasan pengembangan konsesi perkebunan baru di atas lahan gambut; dan pengurangan emisi dari perkebunan yang ada di lahan gambut. Jika kelima bidang ini dapat dijalankan dengan baik, dapat dipastikan bahwa sektor lahan gambut dapat berkontribusi dalam upaya untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020.•

Edisi 1 - Agustus 2012

Pertemuan ini bertujuan untuk menyampaikan hasil rumusan 'Definisi Lahan Gambut' serta membahas metodologi pemetaan lahan gambut yang tepat secara ilmiah yang pernah dan perlu dilaksanakan di Indonesia untuk mendukung target penurunan emisi. Untuk menyediakan data yang akurat dalam mendukung penurunan emisi, pemerintah perlu bekerja sama dengan para ilmuwan untuk menentukan parameter dasar yang perlu diambil dalam kegiatan pemetaan. Selain itu, meninjau hasil kerja instansi pemerintah maupun para peneliti mengenai pemetaan lahan gambut juga penting untuk dilakukan. Dengan demikian pemangku kepentingan dapat melakukan identifikasi tentang kegiatan yang ada saat ini untuk kemudian menentukan berbagai hal yang perlu ditindaklanjuti. Lokakarya metodologi pemetaan lahan gambut diselenggarakan sebagai tindak lanjut proses pendefinisian dan delineasi lahan gambut (Harityas Wiyoga/ICCC).

Edisi 1 - Agustus 2012

Pertemuan lanjutan untuk membahas metodologi pemetaan lahan gambut akan dilakukan pada minggu pertama Agustus 2012 untuk menghasilkan konsensus dari para pakar terkait dengan metode delineasi dan pemetaan lahan gambut di Indonesia, serta metode pemantauannya.•

5


Media Informasi Indonesia Climate Change Center

Rubrik ICCC

Wawancara Tokoh

Media Informasi Indonesia Climate Change Center

Rachmat Witoelar Tentang Visi dan Misi ICCC Oleh: Farrah Mardiati

P

residen Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Obama pada tahun 2010 menyepakati adanya kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat dalam kerangka US-Indonesia Comprehensive Partnership. Kedua negara menetapkan Plan of Action yang mencakup 6 kelompok kerja, yaitu di bidang pendidikan, pertahanan dan keamanan, energi, demokrasi dan sosial masyarakat, perdagangan dan investasi serta perubahan iklim dan lingkungan. Salah satu kegiatan yang dicanangkan oleh Presiden SBY dan Presiden Obama, adalah pembentukan climate change study center di Indonesia yang ditindaklanjuti dalam kelompok kerja perubahan iklim dan lingkungan. Berikut ini adalah petikan wawancara dengan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim, Bapak Rachmat Witoelar, mengenai pembentukan climate change study center, yang dinamakan Indonesia Climate Change Center (ICCC).

T: Mengapa Indonesia Change Center?

membutuhkan

sebuah

Climate

J: Saat ini, Indonesia menjadi penggerak climate change effort dunia karena Indonesia merupakan negara berkembang pertama yang secara sukarela menyatakan komitmen pengurangan emisi sebesar 26% pada tahun 2020. Indonesia sangat menyadari bahwa masalah climate merupakan komponen pembangunan yang sangat penting. Hal ini tentunya tidak dapat ditangani dengan satu atau dua individu dan lembaga saja, akan lebih baik jika hal ini dilakukan bersama-sama dalam sebuah jaringan kerja.

Kajian Ketahanan Iklim Indonesia Climate Change Center Oleh: Dadang Hilman

S

ebagai negara kepulauan besar yang memiliki sekitar 17 ribu pulau, Indonesia membutuhkan solusi terhadap tantangantantangan akibat perubahan iklim yang menyeluruh yang mengintegrasikan aksi-aksi adaptasi terhadap perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan Indonesia. Melihat kebutuhan ini, Indonesia Climate Change Center menyelenggarakan kajian Ketahanan Iklim yang berada dibawah Climate Resilience Cluster. Pendekatan yang dilakukan oleh Climate Resilience Cluster ini adalah dengan menetapkan tiga sektor yang akan menjadi fokus kajian, yaitu pertanian, pengelolaan perkotaan, dan pesisir serta berbagai aspek yang terkait pengelolaan resiko iklim. Dalam mengembangkan program kerjanya, Climate Resilience Cluster telah menyelenggarakan diskusi tentang Ketahanan Iklim di Sektor Pertanian. Pertemuan ini bertujuan untuk mengkaji pendekatan sains yang tepat untuk mendukung ketahanan pangan khususnya dalam mengahadapi permasalahan ketahanan iklim. Masukan yang didapatkan dalam pertemuan ini akan menjadi dasar dalam mengembangkan rencana kerja untuk Climate Resilience Cluster untuk sektor pertanian. Secara paralel, Cluster ini juga melakukan gap analysis untuk fokus kajian lainnya, seperti pengelolaan perkotaan dan pesisir.•

6

Edisi 1 - Agustus 2012

Sementara itu di Indonesia, ketersediaan data-data mengenai perubahan iklim sangat beragam, dan mungkin saja data-data tersebut berlainan antara satu lembaga dan lembaga lainnya. Sehingga, untuk mengembangkan strategi pembangunan yang merangkul unsur-unsur sosial, ekonomi, lingkungan, perubahan iklim, serta hubungan internasional, penting sekali bagi Indonesia untuk memiliki suatu wadah atau jaringan yang menyediakan data yang mengintegrasikan hal-hal ilmiah dan sosial ekonomi mengenai perubahan iklim. Yang perlu ditekankan adalah, ICCC adalah sebuah jaringan kerja yang merangkul pakar ilmiah nasional dan internasional, para pembuat kebijakan seperti badan-badan pemerintahan yang terkait di Indonesia, serta kerjasama dengan negaranegara lain termasuk dengan negara-negara berkembang untuk menghasilkan kajian-kajian ilmiah serta rekomendasirekomendasi tentang perubahan iklim di Indonesia yang dapat menjadi acuan untuk kebijakan dan strategi pembangunan Indonesia. T: Bagaimana dengan kemungkinan adanya entity-entity serupa nantinya dan apa yang membedakan ICCC dengan badan-badan yang menangani isu perubahan iklim yang sudah ada? J: Adanya entity-entity serupa itu tidak mustahil. Kita sangat menghormati badan-badan lain yang sudah ada di Indonesia dan tentunya akan merangkul mereka untuk kerjasama. DNPI diketuai oleh Presiden memiliki hak permandatan yang lebih

Edisi 1 - Agustus 2012

Rachmat Witoelar: Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim

dengan adanya Perpres No.46/2008. Sebagai inisiator ICCC, DNPI bertugas untuk menangani konsiliasi semua unsur tersebut. Dengan begitu, diharapkan nantinya ICCC akan menjalankan fungsi koordinasi dengan berbagai pihak tersebut untuk isu peribahan iklim. T: Apa kiranya tantangan yang dihadapi ICCC dalam usahanya mendukung target pengurangan emisi Indonesia? J: Yang pertama adalah, institution building, supaya dengan elemen-elemen yang lain tidak bertabrakan atau tumpang tindih. Kedua, suatu tantangan bagi kita untuk memiliki kehandalan dalam mengumpulkan semua pakar yang ada, dan membangun jaringan yang besar yang terdiri dari para pakar individu, pusat studi lingkungan, dan institusi terkait lainnya. T: Menurut Bapak, apa target keberhasilan ICCC dalam mendukung upaya Indonesia mengurangin emisi ? J: Target keberhasilan ICCC adalah kualitatif, yaitu jika kita bisa menjawab semua permasalahan tersebut melalui penyediaan Ilmu pengetahuan, data, dan fasilitas dalam pengertian sumber daya manusia, informasi dan komunikasi, dan website. Hal-hal inilah yang akan membuat ICCC dapat menjalankan fungsinya sebagai Center untuk climate change, environment dan development strategies untuk Indonesia. T: Apa harapan Bapak terhadap ICCC? J: ICCC memerlukan penanganan yang serius dan berkomitmen untuk mengumpulkan para pakar serta melobi institusi yang ada. Tim yang sudah terbentuk sekarang harus melakukan reach out, dan saya sendiri akan menghubungkan tim Center dengan kerjasama internasional, karena awal terbentuknya ICCC adalah sebuah kerjasama internasional. Dengan begitu, saya harapkan partnership ini akan menjadi kokoh dan berkelanjutan, serta dapat menarik dan menerima peminat-peminat dari negara lain sehingga ICCC tetap dapat menyediakan layanan untuk development strategies di Indonesia pada khususnya.

7


Media Informasi Indonesia Climate Change Center

Rubrik ICCC

Wawancara Tokoh

Media Informasi Indonesia Climate Change Center

Rachmat Witoelar Tentang Visi dan Misi ICCC Oleh: Farrah Mardiati

P

residen Susilo Bambang Yudhoyono dan Presiden Obama pada tahun 2010 menyepakati adanya kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Amerika Serikat dalam kerangka US-Indonesia Comprehensive Partnership. Kedua negara menetapkan Plan of Action yang mencakup 6 kelompok kerja, yaitu di bidang pendidikan, pertahanan dan keamanan, energi, demokrasi dan sosial masyarakat, perdagangan dan investasi serta perubahan iklim dan lingkungan. Salah satu kegiatan yang dicanangkan oleh Presiden SBY dan Presiden Obama, adalah pembentukan climate change study center di Indonesia yang ditindaklanjuti dalam kelompok kerja perubahan iklim dan lingkungan. Berikut ini adalah petikan wawancara dengan Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim, Bapak Rachmat Witoelar, mengenai pembentukan climate change study center, yang dinamakan Indonesia Climate Change Center (ICCC).

T: Mengapa Indonesia Change Center?

membutuhkan

sebuah

Climate

J: Saat ini, Indonesia menjadi penggerak climate change effort dunia karena Indonesia merupakan negara berkembang pertama yang secara sukarela menyatakan komitmen pengurangan emisi sebesar 26% pada tahun 2020. Indonesia sangat menyadari bahwa masalah climate merupakan komponen pembangunan yang sangat penting. Hal ini tentunya tidak dapat ditangani dengan satu atau dua individu dan lembaga saja, akan lebih baik jika hal ini dilakukan bersama-sama dalam sebuah jaringan kerja.

Kajian Ketahanan Iklim Indonesia Climate Change Center Oleh: Dadang Hilman

S

ebagai negara kepulauan besar yang memiliki sekitar 17 ribu pulau, Indonesia membutuhkan solusi terhadap tantangantantangan akibat perubahan iklim yang menyeluruh yang mengintegrasikan aksi-aksi adaptasi terhadap perubahan iklim ke dalam rencana pembangunan Indonesia. Melihat kebutuhan ini, Indonesia Climate Change Center menyelenggarakan kajian Ketahanan Iklim yang berada dibawah Climate Resilience Cluster. Pendekatan yang dilakukan oleh Climate Resilience Cluster ini adalah dengan menetapkan tiga sektor yang akan menjadi fokus kajian, yaitu pertanian, pengelolaan perkotaan, dan pesisir serta berbagai aspek yang terkait pengelolaan resiko iklim. Dalam mengembangkan program kerjanya, Climate Resilience Cluster telah menyelenggarakan diskusi tentang Ketahanan Iklim di Sektor Pertanian. Pertemuan ini bertujuan untuk mengkaji pendekatan sains yang tepat untuk mendukung ketahanan pangan khususnya dalam mengahadapi permasalahan ketahanan iklim. Masukan yang didapatkan dalam pertemuan ini akan menjadi dasar dalam mengembangkan rencana kerja untuk Climate Resilience Cluster untuk sektor pertanian. Secara paralel, Cluster ini juga melakukan gap analysis untuk fokus kajian lainnya, seperti pengelolaan perkotaan dan pesisir.•

6

Edisi 1 - Agustus 2012

Sementara itu di Indonesia, ketersediaan data-data mengenai perubahan iklim sangat beragam, dan mungkin saja data-data tersebut berlainan antara satu lembaga dan lembaga lainnya. Sehingga, untuk mengembangkan strategi pembangunan yang merangkul unsur-unsur sosial, ekonomi, lingkungan, perubahan iklim, serta hubungan internasional, penting sekali bagi Indonesia untuk memiliki suatu wadah atau jaringan yang menyediakan data yang mengintegrasikan hal-hal ilmiah dan sosial ekonomi mengenai perubahan iklim. Yang perlu ditekankan adalah, ICCC adalah sebuah jaringan kerja yang merangkul pakar ilmiah nasional dan internasional, para pembuat kebijakan seperti badan-badan pemerintahan yang terkait di Indonesia, serta kerjasama dengan negaranegara lain termasuk dengan negara-negara berkembang untuk menghasilkan kajian-kajian ilmiah serta rekomendasirekomendasi tentang perubahan iklim di Indonesia yang dapat menjadi acuan untuk kebijakan dan strategi pembangunan Indonesia. T: Bagaimana dengan kemungkinan adanya entity-entity serupa nantinya dan apa yang membedakan ICCC dengan badan-badan yang menangani isu perubahan iklim yang sudah ada? J: Adanya entity-entity serupa itu tidak mustahil. Kita sangat menghormati badan-badan lain yang sudah ada di Indonesia dan tentunya akan merangkul mereka untuk kerjasama. DNPI diketuai oleh Presiden memiliki hak permandatan yang lebih

Edisi 1 - Agustus 2012

Rachmat Witoelar: Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim

dengan adanya Perpres No.46/2008. Sebagai inisiator ICCC, DNPI bertugas untuk menangani konsiliasi semua unsur tersebut. Dengan begitu, diharapkan nantinya ICCC akan menjalankan fungsi koordinasi dengan berbagai pihak tersebut untuk isu peribahan iklim. T: Apa kiranya tantangan yang dihadapi ICCC dalam usahanya mendukung target pengurangan emisi Indonesia? J: Yang pertama adalah, institution building, supaya dengan elemen-elemen yang lain tidak bertabrakan atau tumpang tindih. Kedua, suatu tantangan bagi kita untuk memiliki kehandalan dalam mengumpulkan semua pakar yang ada, dan membangun jaringan yang besar yang terdiri dari para pakar individu, pusat studi lingkungan, dan institusi terkait lainnya. T: Menurut Bapak, apa target keberhasilan ICCC dalam mendukung upaya Indonesia mengurangin emisi ? J: Target keberhasilan ICCC adalah kualitatif, yaitu jika kita bisa menjawab semua permasalahan tersebut melalui penyediaan Ilmu pengetahuan, data, dan fasilitas dalam pengertian sumber daya manusia, informasi dan komunikasi, dan website. Hal-hal inilah yang akan membuat ICCC dapat menjalankan fungsinya sebagai Center untuk climate change, environment dan development strategies untuk Indonesia. T: Apa harapan Bapak terhadap ICCC? J: ICCC memerlukan penanganan yang serius dan berkomitmen untuk mengumpulkan para pakar serta melobi institusi yang ada. Tim yang sudah terbentuk sekarang harus melakukan reach out, dan saya sendiri akan menghubungkan tim Center dengan kerjasama internasional, karena awal terbentuknya ICCC adalah sebuah kerjasama internasional. Dengan begitu, saya harapkan partnership ini akan menjadi kokoh dan berkelanjutan, serta dapat menarik dan menerima peminat-peminat dari negara lain sehingga ICCC tetap dapat menyediakan layanan untuk development strategies di Indonesia pada khususnya.

7


Kegiatan ICCC

Media Informasi Indonesia Climate Change Center

Lokakarya Ketahanan Iklim dalam Pertanian

Perwakilan dari Bank Dunia, Yoko Doi, menjelaskan konsep mikro asuransi untuk petani miskin dalam Lokakarya Ketahanan Iklim di Sektor Pertanian (Farrah Mardiati/ICCC)

T

idak dapat dipungkiri bahwa teknologi modern dan kemajuan dalam sektor pertanian sangat membantu dalam meningkatkan produksi. Hal ini menjadi hal yang mendasar dalam memenuhi kebutuhan pangan populasi Indonesia yang terus tumbuh, dalam menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang diperlukan dan dalam memberikan kontribusi terhadap pengentasan kemiskinan di negara-negara yang bergantung pada hasil pertanian, seperti Indonesia. Namun, dalam keadaan tertentu, teknologi modern dan maju juga menyebabkan kerusakan ekologi, degradasi tanah, penggunaan sumber daya yang tidak berkelanjutan, wabah hama dan penyakit, serta menyebabkan masalah kesehatan baik untuk ternak dan manusia. Menyadari tantangan ini, ICCC mengembangkan Climate Resilience Cluster, yang akan mengkaji kebijakan serta aksi ketahanan iklim di sektor pertanian, perkotaan dan pesisir. Untuk tahap awal, ICCC telah menyelenggarakan lokakarya satu hari tentang ketahanan iklim di sektor pertanian. Workshop ini bertujuan untuk mendiskusikan konsep pertanian yang dapat meningkatkan ketahanan pangan serta mendukung program pengurangan emisi. Selain itu, pertemuan ini juga membahas kegiatan yang berkaitan dengan adaptasi perubahan iklim dan tindakan mitigasi di sektor

pertanian serta aspek pendukung seperti informasi mengenai isu iklim / cuaca, pembiayaan dan negosiasi. Pada lokakarya ini, ICCC mengundang perwakilan dari FAO untuk mempresentasikan konsep pertanian ramah iklim. Asuransi mikro bagi petani miskin, pelayanan badan meteorologi dalam mendukung ketahanan iklim terhadap pertanian, dampak emisi gas rumah kaca pada pertanian di Indonesia, serta aplikasi pada ketahanan iklim terhadap pertanian di Indonesia juga dipresentasikan dan didiskusikan. Sementara itu, terdapat lima poin penting yang berhasil diidentifikasi dari Lokakarya Ketahanan Iklim di Sektor Pertanian tsb yang akan ditelusuri lebih lanjut oleh Climate Resilience Cluster. Cluster perlu melakukan diskusi yang lebih terarah mengenai penyediaan data dan informasi, penilaian dan analisa kebijakan pertanian yang sudah ada (policy assessment & policy matrix), kalender tanam dengan fokus mensinergikan Kementrian Pertanian dan BMKG terutama dalam mekanisme aliran informasi sampai tingkat kecamatan. Yang tidak kalah penting adalah diskusi terarah mengenai intervensi pemerintah tentang asuransi mikro untuk petani miskin serta tentang isu integrasi aspek mitigasi kedalam progam ketahanan iklim (termasuk isu deforestasi).•

Memotret Aksi Adaptasi Petani Tambak di Serang, Banten

P

ada tanggal 16 Juli, Climate Resilience Cluster berpartisipasi dalam kegiatan lapangan yang diselenggarakan oleh DNPI (Dewan Nasional Perubahan Iklim). Kegiatan tersebut adalah kunjungan ke lokasi Biorights Project yang dilaksanakan oleh Wetland International.

Mengunjungi wilayah pesisir Serang, Banten, ICCC berkesempatan untuk berkomunikasi dengan petani tambak setempat yang terlibat dalam kegiatan restorasi tanaman bakau untuk mendukung kegiatan tambak udang dan ikan bandeng yang berkelanjutan, menambah produksi yang berdampak pada peningkatan ekonomi mereka, serta sekaligus mendukung usaha adaptasi perubahan iklim. Kegiatan ini merupakan inisiasi awal dalam melihat langsung aksi adaptasi di wilayah pesisir, yang menjadi salah satu fokus program ICCC melalui Climate Resilience Cluster, selain pertanian dan manajemen perkotaan.•

8

Memotret aksi adaptasi petani tambak di Serang – Banten. Selain merupakan salah satu upaya untuk adaptasi perubahan iklim di daerah pesisir, restorasi tanaman bakau oleh petani tambak juga mendukung perbaikan produksi tambak (Farrah Mardiati/ICCC).

Edisi 1 - Agustus 2012


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.