Media Informasi Indonesia Climate Change Center
Foto: Budhi Marta Utama/ICCC
Edisi 4 - November 2013
SIAPKAH INDONESIA? Untuk sukses menurunkan emisi pada tahun 2020
Oleh: Dadang Hilman
Lahan gambut harus mendapat perhatian yang lebih serius untuk keberhasilan Indonesia dalam mengurangi emisi sebesar 26-41% pada tahun 2020. Jika tidak dikendalikan, maka gambut di Indonesia yang menyimpan hampir sepertiga karbon tanah dunia akan menjadi sumber yang sangat besar meningkatnya emisi gas rumah kaca (GRK). ejadian kebakaran hutan termasuk gambut yang rutin terjadi di Indonesia harus segera diatasi. Jika tidak, Indonesia akan dianggap gagal dan kredibilitasnya turun di mata dunia, khususnya untuk isu perubahan iklim yang saat ini sudah menjadi satu isu prioritas internasional.
K
Hiratsuka melakukan pengukuran ketersediaan biomassa di Kalimantan Timur pada hutan terbakar dan hanya menemukan sisa biomassa sebanyak 8-10 t/ha hingga 9-17 t/ha. Dua penelitian ini menunjukkan jumlah sisa biomassa hampir sama setelah terjadinya kebakaran.
Karakteristik emisi GRK dari kebakaran gambut sangat kompleks. Banyak faktor yang memengaruhi untuk mengukur jumlah emisi dari kebakaran gambut, mulai dari jumlah area yang terbakar, jenis api, struktur vegetasi, hidrologi, sejarah cuaca, jumlah biomassa yang terbakar, jenis biomassa yang terbakar hingga bagaimana biomassa tersebut terbakar.
Bisa dipastikan jika emisi dari hutan, termasuk kebakaran lahan gambut, merupakan salah satu target dalam menurunkan emisi GRK di Indonesia dan ini telah masuk dalam Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2010 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) penurunan emisi GRK. Dalam dokumen tersebut instansi pemerintah dan lembaga terkait harus melakukan upaya implementasi termasuk penanganan (kebakaran) lahan gambut.
Penelitian yang dilakukan oleh Englhart tahun 2013, menyatakan bahwa kebakaran lahan gambut telahmengakibatkan hilangnya 92% biomassa dari 154 t/ha gambut. Peneliti gambut Hishimoto dan
| Edisi 4 - November 2013
Kerangka kerja rinci (KKR) dan mekanisme kerja rinci (bersambung ke halaman 7)
1
Rubrik ICCC
Oleh: Artissa Panjaitan
P
ada 23 September 2013, Indonesia Climate Change Center (ICCC) memulai pekerjaan untuk menyelidiki potensi penggunaan biomassa untuk dijadikan bahan bakar etanol dan limbah prosesnya digunakan sebagai bahan baku listrik untuk membangun kemandirian energi di daerah terpencil. Pekerjaan ini berjudul Tanaman untuk Energi pada Lahan Terdegradasi sebagai Langkah Awal menuju Kemandirian Energi, Pertanian untuk Penyerapan Karbon ke Tanah, dan Perlindungan terhadap Lahan yang Ditetapkan sebagai Wilayah REDD+.
menghindari persaingan dengan produksi pangan. Kami akan mengembangkan penelitian ini untuk mendapatkan alternatif tanaman dan teknologi yang cocok.�
Untuk menjadikan gagasan ini sebagai kenyataan, perlu diatasi persoalan kritis yang menghambat upaya ini di masa lalu, misalnya: letak lahan pertanian biomassa, kebijakan yang mendukung bio-etanol sebagai bahan bakar transportasi, keterlibatan masyarakat lokal, perlindungan kawasan hutan, mencegah persaingan antara produksi pangan dan Artissa Panjaitan, Koordinator Kelompok Kajian bahan bakar, dan juga merancang dampak ekonomi Strategi Pembangunan Rendah Emisi dari ICCC, dari upaya ini. mengatakan: “Etanol sebagai bahan bakar alternatif di Indonesia bisa dimulai dengan menggunakan Hasil-hasil penyelidikan diharapkan akan membantu teknologi generasi pertama berbahan sari pati atau pembuat kebijakan dalam merancang industri bahan gula, contohnya singkong. Pada saat yang sama, bakar terbarukan, penggunaan lahan terdegradasi tanaman tropis yang cepat tumbuh dan mengandung dan perlindungan hutan di Indonesia. Penelitian ini sedikit atau tanpa lignin dapat diproses dengan juga akan menganalisa dari sudut pandang pemangku menggunakan bakteri anaerob untuk menghasilkan kebijakan melalui penelitian kepustakaan, wawancara, energi listrik dari biogas. Di masa depan, bio-etanol forum diskusi dan lokakarya. ICCC berharap dapat dapat dikembangkan dari bahan selulosa untuk menyelesaikan penelitian ini dalam waktu 6 bulan. (*) Dibentuk sejak Oktober 2011 dibawah kerjasama US - Indonesia Comprehensive Partnership, Indonesia Climate Change Center (ICCC) merupakan wadah untuk melakukan kajian kebijakan perubahan iklim berbasis ilmu pengetahuan, yang diharapkan dapat menjadi referensi dalam proses penentuan kebijakan (science-based policy) perubahan iklim di Indonesia. Info ICCC merupakan buletin triwulan yang disajikan sebagai media informasi mengenai isu dan hasil kajian yang telah dihasilkan ICCC. ICCC mendukung penyebaran informasi pada buletin ini secara bebas untuk penggunaan non-komersial selama Info ICCC ditulis sebagai sumber informasi. Pengarah: Rachmat Witoelar, Agus Purnomo, Amanda Katili Niode, Murni Titi Resdiana, Farhan Helmy, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Pemimpin Redaksi: Arfiana Khairunnisa, Indonesia Climate Change Center (ICCC). Kontributor: Artissa Panjaitan, Dadang Hilman, Eli Nur Nirmala Sari, Harityas Wiyoga, Eryka Dwi Surya Purnama, Indonesia Climate Change Center (ICCC) Saran dan masukan dapat dikirimkan melalui email ke info@iccc-network.net atau dialamatkan ke Gd. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), 16th Fl. Jl. M.H.Thamrin 8, Jakarta 10340. Informasi mengenai ICCC tersedia di portal www.ICCC-network.net.
2
Edisi 4 - November 2013
|
Gambut dan Pemetaan Lahan Gambut:
Sebuah Tantangan untuk Indonesia Oleh: Eli Nur Nirmala Sari
P
Foto: Matt Warren/USFS
Rubrik ICCC
andangan dari sektor pertanian menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia hingga tahun 2025 diperlukan perluasan lahan pertanian.
Lahan yang paling ideal untuk pertanian di Indonesia adalah lahan sawah yang sangat produktif, namun lahan ini telah banyak yang dikonversi menjadi kawasan industri, perumahan, dan fasilitas lainnya untuk memenuhi kebutuhan perkotaan. Di sisi lain, lahan tanaman pangan telah dikonversi menjadi perkebunan, seperti kelapa sawit dan karet. Sebagai akibatnya, lahan pertanian akan diperluas ke lahan sub-optimal seperti lahan gambut dan lahanlahan terdegradasi. Lahan gambut di Indonesia sangat bervariasi, baik dari jenis hingga pemanfaatannya. Di Kubu Raya, Kalimantan Barat, misalnya, sudah lebih dari 100 tahun masyarakat lokal memanfaatkannya untuk menanam sayur-sayuran. Namun, seiring dengan kebutuhan manusia yang terus meningkat, dapat mengancam kelestarian lahan gambut yang menyebabkan peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK). Oleh karena itu, dibutuhkan perencanaan tata ruang lahan gambut untuk mewujudkan pengelolaan yang berkelanjutan. Meskipun 25-35% lahan gambut yang ada di Indonesia memiliki potensi secara agronomis dan ekonomis, namun memanfaatkan lahan gambut sebagai lahan pertanian merupakan alternatif terakhir,
| Edisi 4 - November 2013
sebab pengembangan pertanian masih diprioritaskan pada lahan mineral. Dari sudut pandang sektor pertanian, hutan gambut primer harus dikonservasi, sedangkan lahan gambut terdegradasi harus direstorasi. Jika memungkinkan, lahan gambut direstorasi menjadi hutan tanaman industri (HTI), selama memberikan produktivitas yang tinggi dengan emisi karbon yang rendah. Indonesia Climate Change Center (ICCC) mengidentifikasi lahan gambut sebagai daerah dengan akumulasi bahan organik yang sebagian lapuk, dengan kadar abu sama dengan atau kurang dari 35%, kedalaman gambut sama dengan atau lebih dari 50cm, dan kandungan karbon organik (berdasar beratnya) minimal 12%. Maka, jika ada lahan (ber) gambut yang kedalamannya kurang dari 50cm, dapat dimanfaatkan untuk pertanian atau pemanfaatan produksi lain. Di Indonesia sendiri, penataan ruang sebagai sebuah sistem proses yang terdiri atas perencanaan, penggunaan lahan, dan pengendalian telah diatur dalam Undang-undang No. 26/2007. Berdasarkan undang-undang tersebut faktor-faktor yang harus dipertimbangkan adalah: (1) Kondisi fisik; (2) Sumber (bersambung ke hal 7)
3
Menengok Lahan Gambut di Pelalawan Oleh: Eli Nur Nirmala Sari
Keindahan Sungai Kerumutan. Foto-foto: Eli Nur Nirmala Sari
ei 2013. Setelah sekitar 2 jam menyusuri Sungai Kerumutan dengan perahu ketinting ke arah hulu, akhirnya kami sampai pada titik pertama di mana kami akan mengukur kedalaman gambut. Sepanjang perjalanan menyusuri Sungai Kerumutan yang lebarnya 16 meter, terlihat rerimbunan vegetasi di sepanjang pinggir-pinggir sungai yang didominasi oleh pandan, bakung air dan jambu-jambu (Eugenia sp).
M
Kerumutan. Ketika melangkahkan kaki dan menginjak tanah yang ada persis di pinggir sungai kaki saya melesak ke dalam tanah. Yang artinya yang saya injak adalah gambut, yang jika dalam kondisi basah akan melesak saat terinjak. Air di sekeliling nampak berwarna hitam, warna yang dihasilkan oleh senyawasenyawa organik gambut yang ikut larut dalam air. Kami berjalan menyusuri kanal kecil ke arah dalam, menjauhi sungai untuk mendapatkan titik di mana kami dapat melakukan pengeboran gambut untuk mengetahui kedalamannya. Dari 50 titik yang kami targetkan di lahan gambut Pelalawan, wilayah itu adalah target sebagai titik pertama kegiatan pengukuran kami.
Pagi itu, tim Kelompok Kajian Gambut dan Pemetaan Lahan Gambut dari Indonesia Climate Change Center (ICCC) yang terdiri dari 10 orang melakukan kegiatan pengukuran kedalaman gambut. Kami berangkat dari Dusun Lahan gambut sangat penting Kapau, Kelurahan Kerumutan, bagi masyarakat di Dusun Kecamatan Kerumutan, Kapau. Di Kapau, sebagian Kabupaten Pelalawan, Propinsi besar masyarakatnya hidup Riau. Di sana kami akan menguji dari bercocok tanam di lahan konsensus metodologi sekitar mereka dan juga pada pemetaan lahan gambut lahan gambut, serta mencari yang telah dirumuskan oleh ikan di sungai. Alam sekitar ICCC bersama dengan tim mereka masih menyediakan panel pakar gambut. Sebelum banyak sumber daya alam yang berangkat ke lapangan, kami dapat dimanfaatkan, meskipun sempat menginap semalam di ada penurunan dalam kuantitas rumah penduduk di Dusun Kapau, dan kualitasnya dibandingkan yang berjarak sekitar 300 km atau Pengukuran kedalaman gambut pada tahun-tahun sebelumnya. sekitar 5 jam menggunakan mobil dari Banyak masyarakat yang memanfaatkan kota Pekanbaru. hasil hutan non kayu seperti rotan, jamur, tanaman Dua perahu yang kami gunakan mulai merapat obat, madu liar dan binatang buruan di hutan. ke pinggir sungai antara kanal kecil dan Sungai
4
Edisi 4 - November 2013
|
Cerita Gambut
Budidaya padi telah menjadi salah satu sumber mata pencaharian tradisional utama di daerah tersebut. Sistem ladang berpindah telah menjadi praktek umum sampai akhir tahun 1980-an. Pindah dari satu daerah ke daerah lain, masyarakat lokal membuka lahan dengan menebang pohon, menanam padi di lahan gambut terbuka dan mengembangkan lahan lain untuk menanam padi. Setelah gambut menjadi kering dan kurang subur, masyarakat kemudian meninggalkan sawah kering mereka. Lahan-lahan yang ditinggalkan ini pada umumnya akan kembali ditumbuhi pohon-pohon, akan tetapi tidak dapat menjadi hutan yang sama seperti sediakala. Dalam beberapa kasus, praktek pengelolaan lahan yang seperti ini menyebabkan terjadinya subsidensi (penurunan permukaan gambut), dan menurut masyarakat lokal, bahwa kisaran subsidensi adalah 50-60cm dalam kurun waktu 3 tahun budidaya padi yang diikuti dengan pembuatan kanal-kanal. Sejak akhir tahun 1980-an, masyarakat lokal telah mengubah praktek pertanian dari perladangan berpindah ke metode pertanian berbasis lahan. Secara umum, masyarakat lokal lebih memilih untuk mengembangkan lahan pertanian di tanah mineral atau gambut dangkal, dan bukan di lahan gambut tebal. Hal ini disebabkan karena tanah mineral atau gambut dangkal memiliki kesuburan yang lebih dibandingkan gambut tebal, sehingga lebih mudah pengelolaannya dan biaya
| Edisi 4 - November 2013
pemeliharaannya juga lebih rendah. Nephentes sp Meskipun demikian, seperti yang terlihat di wilayah yang kami jajaki tersebut, bahwa batas-batas wilayah pertanian telah semakin bergerak menuju lahan gambut dalam karena keterbatasan dalam ketersediaan lahan. Lahan gambut memiliki karakter unik dengan berbagai macam fungsi, yang salah satunya adalah sebagai penangkap karbon. Sepertinya, seruan kepada khalayak umum tentang pentingnya lahan gambut perlu lebih digalakkan lagi. Kelompok Kajian Gambut dan Lahan Gambut dari ICCC akan melanjutkan pekerjaannya dalam metode pengelolaan lahan gambut yang berkelanjutan yang dapat diaplikasikan dengan baik di lapangan. (*)
Rubrik ICCC
ICCC Mendukung Pemetaan Lahan Gambut Indonesia Oleh: Eli Nur Nirmala Sari ndonesia Climate Change Center (ICCC) mendukung komitmen Badan Informasi Geospasial (BIG) untuk memetakan lahan gambut Indonesia dengan skala 1:50.000. Dengan peta skala ini, maka akan diperoleh informasi-informasi yang lebih detail terkait dengan status lahan gambut dan memudahkan para pemangku kepentingan untuk membuat kebijakan pengelolaan lahan gambut. Ketersediaan peta lahan gambut yang akurat diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai acuan dasar untuk berbagai tujuan yang berkaitan dengan pengelolaan lahan gambut. Namun, hal yang paling penting untuk dipertimbangkan saat ini adalah bahwa lahan gambut sudah digunakan untuk berbagai kepentingan. Untuk berbagai aktivitas penggunaan lahan pada dasarnya kita tidak hanya memerlukan informasi lebih detail, tetapi juga kita perlu menentukan bagaimana mengelola lahan gambut tersebut dan merehabilitasi lahan gambut yang sudah terdegradasi. Oleh karena itu, ICCC sedang melakukan kegiatan pemetaan lahan gambut di Kabupaten Pelalawan, Riau dan Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah untuk mendukung BIG dan Kementrian Pertanian terkait penyediaan data kedalaman gambut, dan untuk mengidentifikasi praktek pengelolaan lahan gambut yang paling tepat. ICCC juga akan melakukan kegiatan yang mendukung pengelolaan lahan gambut berkelanjutan di berbagai sektor, sehingga pemerintah Indonesia dapat mengevaluasi tujuan kegiatan pemanfaatan lahan gambut. (*)
I
Foto: Budhi Marta Utama/ICCC
6
Edisi 4 - November 2013
|
Rubrik ICCC
ICCC: Menarik Investasi Energi Terbarukan Melalui Tanaman Oleh: Artissa Panjaitan
Meskipun memiliki potensi besar untuk energi listrik dari sumber Energi Terbarukan (ET), investasi ET di Indonesia belum mendekati tingkat terbaiknya. Pemerintah Indonesia telah mengubah skema harga jual listrik (feedin tariff) beberapa kali untuk meningkatkan daya tarik investasi tetapi arah pergerakan investasinya masih belum berkelanjutan. ICCC memiliki hipotesis bahwa profil resiko ET di Indonesia tidak memenuhi tingkat pengembalian yang diharapkan oleh investor.
Profil resiko sebuah negara dapat mempengaruhi biaya modal dan tingkat keuntungan industri jika dilihat dari biaya-biaya pra-operasi, aspek hukum, persaingan dalam harga dan pasar, biaya bahan baku, syarat & ketentuan pembayaran, perlindungan asuransi dan potensi pertumbuhan pasar. Untuk menarik minat investasi ET lebih banyak, terutama di sektor listrik dari biomassa, ICCC mempertimbangkan 5 syarat mendasar kebijakan: (1) Ketersediaan bahan baku biomassa; (2) Menghilangkan penghambat investasi; (3) Menyediakan insentif investasi; (4) Hukuman terhadap pembatalan; dan (5) Menyajikan peluang investasi dengan informasi yang cukup. Kajian ini diharapkan dapat memberikan hasil akhir dalam kurun waktu enam bulan. (*)
Siapkah Indonesia? (MKR) lintas kementerian atau lembaga untuk mendorong upaya kolektif yang terintegrasi perlu segera dirumuskan termasuk bagaimana keterkaitannya dengan Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi GRK Nasional. Selain itu, perlu adanya ruang partisipasi yang luas bagi para pihak di luar pemerintahan sehingga tata kelola pengelolaan hutan dan gambut yang berkelanjutan dapat diwujudkan. Pengukuran dan penghitungan emisi GRK dari lahan gambut salah satunya yang perlu menjadi titik perhatian, tanpa satu pengukuran yang akurat akan berdampak pada pada perumusan kebijakan yang tidak tepat. Oleh karenanya, rumusan KKR dan MKR perlu ditempatkan dalam kerangka pemantauan dan evaluasi pencapaian RAN GRK yang dikoordinasikan bersama antara Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Kementerian Lingkungan Hidup. Dengan demikian diharapkan pelaksanaan komitmen nasional tersebut di atas dapat dipantau berdasarkan indikator yang jelas dan terukur. (*)
| Edisi 4 - November 2013
Sumber: UK renewable energy installer
Pada 26 September 2013, Indonesia Climate Change Center (ICCC) memulai satu lagi kajian yang akan menghasilkan: Perspektif Baru untuk Menarik Investasi Energi Terbarukan di Indonesia – dalam bidang Tanaman untuk Energi.
Gambut dan Pemetaan Lahan Gambut daya alam potensial, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan manusia; kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, keamanan, lingkungan, ilmu, dan teknologi; (3) Geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi. Kementerian Pekerjaan Umum menekankan faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam penataan ruang lahan gambut meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Tantangan dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan adalah data yang masih tersebar di berbagai institusi dan seringkali data yang tersedia memiliki periode waktu yang berbeda. Selain itu, setiap institusi memiliki target yang berbeda sehingga kriteria dan indikator yang berbeda pula. Perencanaan tata ruang pada lahan gambut sangat penting dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan, terutama kontribusinya yang signifikan terhadap karbon emisi. Menyadari hal tersebut, pada April 2013 ICCC memfasilitasi para pakar gambut dalam sebuah pertemuan untuk berbagi pandangan dan pengetahuan tentang peran penting penataan ruang untuk pengelolaan lahan gambut berkelanjutan. Upaya-upaya kolaboratif dan sinergis adalah penting dalam pengelolaan lahan gambut. (*)
7
Kegiatan ICCC
Lokakarya Pengembangan Metodologi Pengukuran Emisi Gas Rumah Kaca dari Kebakaran Gambut Oleh: Arfiana Khairunnisa
ndonesia Climate Change Center (ICCC) dengan dukungan Dewan Nasional Perubahan Iklim dan United State Forest Service telah memfasilitasi dialog yang melibatkan para pakar gambut internasional dan nasional, perwakilan dari kementrian dan lembaga pemerintah terkait, LSM dan institusi terkait dalam sebuah lokakarya berjudul “Pengembangan Metodologi Pengukuran Emisi Gas Rumah Kaca dari Kebakaran Gambut: Identifikasi dan Pelingkupan” pada 3 Oktober 2013 di Jakarta.
I
Para peserta lokakarya membahas hal-hal penting diantaranya keterbatasan data yang tepat dan diperlukan untuk estimasi emisi gas rumah kaca (GRK) dari kebakaran lahan gambut, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Kondisi seperti harus segera ditangani untuk menghindari pengambilan kebijakan yang keliru. Dari Komunikasi Nasional Indonesia yang pertama pada UNFCCC, disebutkan bahwa kebakaran lahan gambut berkontribusi pada GRK sebesar 20-40%. Sedangkan studi terbaru menyatakan, lahan gambut yang terbakar berkontribusi sekitar 13% dari total inventori GRK nasional pada 2000. Selain itu, beberapa hasil studi yang ada menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Situasi ini diperburuk dengan belum adanya panduan yang dikeluarkan oleh Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) untuk metodologi perkiraan jumlah emisi GRK dari kebakaran gambut. Dr. Kevin Ryan, salah satu pembicara kunci dalam lokakarya
8
ini memaparkan tentang bagaimana kompleksnya mengukur karbon emisi dari kebakaran gambut. Sebab menurut Kevin, memperkirakan jumlah emisi dari kebakaran gambut berbeda dengan memperkirakan jumlah emisi dari kebakaran lain. Banyak faktor yang harus diperhitungkan dalam hal ini, termasuk biomassa di atas permukaan tanah, biomassa di bawah permukaan tanah, kondisi cuaca dulu dan sekarang, kondisi hidrologi, apakah kebakaran berada di atas permukaan atau bara api di bawah permukaan. Sehingga, tidak ada “perbaikan cepat” yang dapat dilakukan untuk kajian perkiraan jumlah emisinya. Pembicara lainnya Dr. Mark Cochrane yang merupakan pakar penginderaan jauh memaparkan tentang potensi penginderaan jarak jauh dalam mendeteksi kebakaran lahan gambut. Mark memberi contoh penggunaan satelit MODIS yang mendeteksi titik api. “Tetapi satelit ini masih terbatas pada titik api pada permukaan saja, sehingga tidak bisa mendeteksi banyak api dan tidak menyediakan luas area yang terbakar,” terang Mark.
emisi GRK dari kebakaran gambut dan kaitannya dengan proses pengembangan sistem MRV (Monitoring, Reporting and Verification) pada pembuat kebijakan yang relevan. Apa yang dibutuhkan segera adalah data yang tepat, termasuk untuk perkiraan jumlah total emisinya. Sehingga upaya-upaya kolaboratif antara lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan para ahli gambut sangat penting untuk mengatasi kesenjangan data.” Para peserta lokakarya menyatakan tentang adanya data yang tidak lengkap, tidak dapat diakses atau kualitasnya tidak memadai dari berbagai sumber data. Sehingga, para peserta menyadari dibutuhkan institusi yang bertanggung jawab khusus memperkirakan emisi GRK dari kebakaran gambut. Lokakarya ini menghasilkan usulan-usulan lain yang merekomendasikan ICCC untuk melakukan contoh penelitian, misalnya yang berupa uji estimasinya, mengkaji dan mengulas literatur yang terkait dengan kebakaran gambut, dan lokakarya MRV untuk kebakaran lahan gambut. (*)
Farhan Helmy, Sekretaris Kelompok Kerja Mitigasi, Dewan Nasional Perubahan Iklim, mengatakan, “ICCC saat ini tengah m e nge m ba ngka n m e t o d o l o g i perkiraan jumlah Edisi 4 - November 2013
|