POLICY MEMO:
MENUJU KONSENSUS DEFINISI
LAHAN GAMBUT INDONESIA
Daftar Isi Ringkasan Eksekutif
1
Kata Pengantar
4
Penulis Utama
5
Kontributor
5
Reviewer
5
Ucapan Terima Kasih
5
LAHAN GAMBUT DI INDONESIA: KONTEKS DAN MASALAH
7
DEFINISI AUTHORITATIVE GAMBUT
8
Definisi dari Kementerian Lingkungan Hidup
8
Definisi dari Kementerian Pertanian
9
Definisi dari Kementerian Kehutanan
9
Ringkasan Definisi Authoritative
10
DEFINISI SCIENTIFIC GAMBUT
11
Berbagai Definisi Scientific Gambut
11
Ringkasan Definisi Scientific
13
ANALISA KESENJANGAN (GAP ANALYSIS) ANTARA DEFINISI GAMBUT OLEH AUTHORITATIVE DAN SCIENTIFIC
14
USULAN DEFINISI LAHAN GAMBUT UNTUK INDONESIA
15
PENUTUP: Maju Menghadapi Tantangan
18
Mendukung Program ‘One Map’
18
Memperluas Penilaian Lahan Gambut untuk Menangkap Dinamika Kelembagaan yang Ada
19
Melakukan Penelitian dan Pengembangan
20
Meningkatkan Kapasitas
21
Membangun Jaringan Penelitian Pemetaan Lahan Gambut dan Lahan Gambut
23
Membawa Masalah Lahan Gambut ke Komunitas Internasional
25
Referensi
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
27
iii
iv
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
Ringkasan Eksekutif Implikasi pada Komitmen Indonesia untuk Mengurangi GRK Pada KTT Negara-Negara G-20 di Pittsburgh, 25 September 2009, Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebanyak 26 persen pada tahun 2020 dari skenario Business As Usual (BAU). Sebagian besar pengurangan ini dapat dicapai melalui rancangan kebijakan yang membidik sektor Tata Guna Lahan, Perubahan Tata Guna Lahan, dan Kehutanan (LULUCF). Sejauh ini, emisi terkait gambut dan LULUCF merupakan kontributor terbesar emisi GRK di Indonesia, dan diperkirakan juga di masa depan, sangat jauh melebihi emisi dari sumber lain. Karena itu, sektor ini memberikan peluang terbesar untuk pengurangan emisi GRK (DNPI, 2011). Terdapat dua kategori emisi terkait gambut yaitu drainase dan kebakaran, dan berdasarkan estimasi konservatif sekitar 2.052 MtCO2e dilepaskan tiap tahun (2005). LULUCF dan gambut masing-masing menyumbang 760 MtCO2e dan 850 MtCO2e. Di bawah skenario BAU, LULUCF dan gambut masih akan menjadi sumber emisi terbesar dan masih akan memberikan kontribusi lebih dari 50 persen pada tahun 2020 dan sekitar 50 persen pada tahun 2030. Hal ini berarti, 2,5 persen dari emisi GRK dunia kemungkinan berasal dari LULUCF dan lahan gambut di Indonesia (DNPI, 2011). Bahkan, sebagian besar hasil analisis menyatakan bahwa emisi Indonesia terkait dengan drainase dan kebakaran gambut berada dalam kisaran 0,75-1,5 GtCO2e. Angka ini sangat bervariasi secara signifikan dari tahun ke tahun, tergantung pada interaksi antara iklim, kebakaran, dan konversi lahan gambut. Beberapa tantangan terus dihadapi dalam menafsirkan kebijakan pengurangan emisi akibat bervariasinya perkiraan emisi GRK yang berasal dari drainase dan kebakaran gambut. Walau banyak penelitian terkait emisi dari lahan gambut dan pengukuran emisi lahan gambut sedang berlangsung di Indonesia, pemahaman ilmiah mengenai emisi lahan gambut masih berkembang, terutama untuk emisi di daerah tropis. Oleh karena itu, kerangka kerja yang komprehensif dan tepat-guna diperlukan untuk menyelesaikan masalah-masalah kritis dalam pengelolaan lahan gambut dan terutama dalam kaitannya dengan emisi GRK . Definisi tepat tentang ‘lahan gambut’ menjadi salah satu landasan untuk menetapkan kebijakan dan pengelolaan lahan gambut untuk dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan penilaian dan praktik pengelolaan lahan gambut yang lebih tepat. Implikasi Penting Definisi Authoritative dan Scientific Lahan Gambut Berdasarkan referensi yang ada, terdapat dua kategori definisi lahan gambut, yakni: Definisi Authoritative dan Definisi Scientific. Pada saat ini di Indonesia ada tiga kementerian yang telah mendefinisikan ‘gambut’. Kementerian Lingkungan Hidup mendefinisikan ‘gambut’ sebagai residu tenaman yang terbentuk secara alami melalui proses dekomposisi (pelapukan) jangka panjang, yang terakumulasi di daerah rawa atau air tergenang (tidak mengalir). Kementerian Pertanian mendefinisikan ‘gambut’ sebagai bahan organik tanah yang secara alami terakumulasi lebih dari 65 persen, terbentuk dari pelapukan vegetasi yang dekomposisinya terhambat oleh lahan basah dan anaerob. Sementara itu, Kementerian Kehutanan mendefinisikan ‘gambut’ sebagai residu bahan organik yang terakumulasi dalam jangka waktu yang panjang. Beberapa definisi juga telah diperkenalkan dan diakui oleh komunitas ilmiah, termasuk yang dikembangkan oleh Wüst dkk. (2003), Moris (1989), Andrejko dkk. (1983), Landva dkk. (1983), Jarrett (1983), Mankinen dan Gelfer (1982), Kearns dkk. (1982), Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
1
Kivinen and Heikurainen (1979), Davis (1946), dan Arman (1923). Kebanyakan definisi scientific didasarkan pada pengamatan lapangan dan analisis sifat tanah gambut. Elemen-elemen utama mencakup komponen fisik, seperti tingkat dekomposisi (humifikasi), berat isi, kadar air, porositas dan lainnya, serta komponen kimia gambut, yang meliputi kadar karbon, kadar abu, pH, dan rasio C/N. Usulan Definisi Lahan Gambut Dalam mendefinisikan ‘lahan gambut’, ada pertimbangan berdasarkan kepentingankepentingan terkait estimasi emisi GRK. Definisi authoritative yang ada mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan diintegrasikan ke dalam satu definisi komprehensif yang mampu mencakup berbagai pengertian terkait gas rumah kaca, seperti cadangan dan aliran karbon. Sementara itu, definisi scientific juga perlu dikembangkan atau disempurnakan untuk mencerminkan karakteristik gambut Indonesia, karena sebagian besar gambut di Indonesia sangat fibrik1 dan hemik2 dengan kandungan bahan organik dan karbon sangat tinggi, serta sebagian besar berasal dari biomassa kayu. Definisi scientific gambut yang ada yang umumnya dikembangkan untuk daerah beriklim sedang dan kawasan boreal tidak akan sepenuhnya sesuai dengan karakterisasi dan klasifikasi gambut tropis. Oleh karena itu, definisi yang jelas tentang ‘gambut’ yang dapat diadopsi di Indonesia perlu dirumuskan untuk meningkatkan pengelolaan gambut oleh berbagai kementerian dan lembaga. Setelah mengadakan serangkaian pertemuan dan konsultasi teknis dengan para ilmuwan terkemuka, para pemangku kepentingan utama, dan perwakilan pemerintah dari organisasi-organisasi nasional dan internasional, maka didapatlah rekomendasi berikut terkait dengan pendefinisian lahan gambut dan usulan kegiatan tindak lanjut, yakni: 1. Elemen-elemen penting yang perlu dipertimbangkan dalam mendefinisikan ‘lahan gambut’. Definisi komprehensif lahan gambut harus meliputi elemen penting seperti kandungan karbon atau kandungan mineral dan kedalaman minimum. 2. Definisi lahan gambut yang direkomendasikan. Lahan gambut merupakan daerah dengan akumulasi bahan organik yang sebagian lapuk, dengan kadar abu sama dengan atau kurang dari 35%, kedalaman gambut sama dengan atau lebih dari 50 cm, dan kandungan karbon organik (berdasar beratnya) minimal 12%. 3. Metodologi Delineasi Lahan Gambut Ada empat kategori untuk delineasi lahan gambut yang direkomendasikan, yaitu berdasarkan klasifikasi kedalaman gambut, lapisan gambut, area hidrologi di lahan gambut, dan penggunaan lahan di lahan gambut. Untuk merumuskan metodologi delineasi lahan gambut yang sesuai dan tepat untuk pengelolaan lahan gambut yang lebih baik agar sejalan dengan pengurangan emisi GRK, variabel lain yang berkaitan dengan batas lahan gambut dan klasifikasi lahan gambut juga penting untuk dipertimbangkan.
1. Gambut yang belum melapuk, bahan asalnya masih dapat dikenali, berwarna cokelat, dan apabila diremas, maka seratnya akan tersisa lebih dari 75% 2. Gambut setengah melapuk, sebagian bahan asalnya masih dapat dikenali, berwarna cokelat, dan apabila diremas maka bahan serat yang tersisa sebesar 15% sampai dengan 75%.
2
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
Kegiatan Selanjutnya Kegiatan-kegiatan berikut diusulkan untuk secara sistematis menggabungkan seluruh kegiatan terkait secara komprehensif: 1) Mendukung program ‘One Map’. ICCC akan memfasilitasi diskusi ilmiah dan penelitian internasional mengenai lahan gambut dan pemetaan lahan gambut, berkoordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG), untuk mendukung proses revisi peta lahan gambut; 2) Memperluas penilaian lahan gambut untuk menangkap dinamika kelembagaan yang ada. Lahan gambut merupakan sumber daya alam yang berharga, maka sangatlah penting untuk memasukkan penilaian dan pencantuman lahan gambut ke dalam program Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RANGRK)​​, Perencanaan Tata Ruang, dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I); 3) Melanjutkan penelitian dan pengembangan jangka panjang kolaboratif dan komprehensif untuk memahami kompleksitas sistem lahan gambut dengan melibatkan ilmuwan dan para ahli, dengan dukungan pemangku kepentingan lokal; 4) Terkait peningkatan kapasitas, pelatihan dan pendidikan harus ditujukan kepada kalangan akademisi dan teknisi, mencakup Pembangunan Kapasitas Kelembagaan (Institutional Capacity Building/ICB), Pembangunan Kapasitas Sosial (Social Capacity Building/SCB), dan Pembangunan Kapasitas Penelitian (Research Capacity Building/RCB); 5) Membangun jaringan penelitian tentang lahan gambut dan pemetaan lahan gambut. Jaringan dan kerjasama antar pihak (negara, ilmuwan/akademisi, pemangku kepentingan masyarakat, dan lain-lain) seperti Asia Flux, Asian Forum on Carbon Update (AFCU), dan The Heart of Borneo (HOB), adalah penting untuk dapat secara efektif mengatasi masalah perubahan iklim, ketimbang upayaupaya tunggal yang dijalankan secara independen. 6) Membawa persoalan lahan gambut kepada perhatian masyarakat internasional. Sampai saat ini baru ada sedikit usaha untuk membawa persoalan lahan gambut agar mendapat perhatian global. Kurangnya informasi, data yang lemah, dan ketidakpastian lainnya, menghambat negara-negara pihak untuk membahas dan menegosiasikan persoalan lahan gambut di forum Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC).
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
3
Kata Pengantar Indonesia memiliki luasan lahan gambut tropis terbesar di dunia, yang sebagian besar tersebar di Sumatera, Kalimantan dan Papua. Secara historis, lahan gambut di Indonesia merupakan hutan rimbun yang telah menyerap dan menyimpan karbon atmosfer selama ribuan tahun lamanya. Akhir-akhir ini, lahan gambut telah dikonversi dan digunakan untuk tujuan lain, seperti lahan pertanian, perkebunan untuk produk kayu, lahan permukiman, dan perkebunan kelapa sawit. Daerah yang dibuka dan ditinggalkan mengakibatkan terjadinya degradasi area lahan gambut. Definisi ‘gambut’ yang dapat diterima secara nasional sangat penting untuk Indonesia, sehingga kita dapat segera mengambil tindakan untuk menentukan praktik pengelolaan lahan gambut yang tepat dalam mendukung pengurangan emisi gas rumah kaca. Saat ini, ada perbedaan besar pada pemahaman lahan gambut, terutama yang terkait dengan wilayah dan kedalaman. Perbedaan ini sebagian muncul karena adanya definisi ‘gambut’ yang berbeda baik secara teori maupun praktiknya. Peta lahan gambut yang tidak akurat menghambat pengembangan kebijakan yang tepat-guna untuk pengelolaan lahan gambut. Merupakan suatu kebahagiaan bagi saya bahwa Indonesia Climate Change Center (ICCC), sebuah forum ilmu pengetahuan untuk kebijakan perubahan iklim, telah mengembangkan ‘definisi lahan gambut’ yang nantinya dapat diterapkan untuk pemetaan dan pengelolaan lahan gambut Indonesia. Definisi lahan gambut ICCC telah disusun berdasarkan dengan kondisi gambut di Indonesia sebagai sebuah konsensus yang didapatkan dari para pakar di beberapa perguruan tinggi di Indonesia, kementerian terkait di Indonesia, Lembaga Swadaya Masyarakat, serta para pakar dari Amerika Serikat, Jepang, dan Belanda. Lebih jauh lagi, definisi ‘gambut’ ICCC bertujuan untuk mendukung upaya pemerintah dalam merevisi dan menyeragamkan pemetaan (terutama pemetaan lahan gambut). Tujuan lain adalah untuk mendukung pengembangan kebijakan yang tepat-guna bagi pengelolaan lahan gambut dan pengurangan emisi karbon. Karena lahan gambut memiliki cadangan karbon yang signifikan, pengelolaan lahan gambut yang lebih baik dapat memberikan kontribusi besar untuk mengurangi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi ini. Sangat penting bagi Indonesia untuk memiliki pemahaman tentang gambut yang seragam dan saya harap definisi gambut hasil konsensus ini dapat berkontribusi menciptakan standar delineasi dan pemetaan untuk pengelolaan lahan gambut yang lebih baik di skala nasional. Saya berharap definisi gambut ini dapat digunakan oleh semua kalangan, termasuk pembuat kebijakan, pakar, dan perwakilan lembaga-lembaga yang memerlukannya. Saya percaya bahwa definisi ini akan mendukung berbagai program pemerintah termasuk ‘One Map’ khususnya untuk merevisi peta lahan gambut di Indonesia. Saya sampaikan terima kasih kepada para pihak yang telah memberikan kontribusinya dan bersama dengan kami mencari solusi untuk menyikapi permasalahan perubahan iklim.
Rachmat Witoelar
Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI)
4
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
Penulis Utama Agus Purnomo, Doddy Surachman Sukadri, Farhan Helmy, Dewan Nasional perubahan Iklim (DNPI), Indonesia; Mitsuru Osaki, Research Faculty of Agriculture, Hokkaido University, Japan; Kazuyo Hirose, Earth Remote Sensing Division, Department of Data Application and Development, Japan Space Systems; Cynthia Mackie, US Forest Service.
Kontributor Amanda Katili Niode, Murni Titi Resdiana, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), Indonesia; Eli Nur Nirmala Sari, Indonesia Climate Change Center (ICCC), Indonesia; Hendrik Segah, Center for Sustainability Science (CENSUS), Hokkaido University, Japan; Bill Rush, US Forest Service; Micah Fisher, East West Center, Honolulu USA.
Reviewer Kusumo Nugroho, Kementerian Pertanian Indonesia; S. M.Tobing, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia; Nyoman Suryadiputra, Wetlands International; Sawahiko Shimada, Tokyo University of Agriculture; Supiandi Sabiham, Institut Pertanian Bogor, Indonesia; Gusti Zakaria Anshari, Pusat Penelitian Keanekaragaman Hayati dan Masyarakat Lahan Basah (PPKMLB); Gary N. Geller, NASA, USA; Sandra G. Neuzil, Eastern Energy Resources Science Center; Dough Muchoney,USGS; Fred Stole, World Resource Institute (WRI); Earl Saxon, AED; Matthew Hanson, South Dakota University; Matthew W. Warren, United States Department of Agriculture (USDA).
Ucapan Terima Kasih Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak berikut yang telah memberikan masukan berharga: Sulistyowati, Hermono Sigit, Dida Mighfar, Muslihuddin, Prasetyohadi, Agus Gunawan, Muslihudin, Kementerian Lingkungan Hidup Indonesia; Yuyu Rahayu, Ruandha Agung Sugardiman, Hans S. Sinaga, Nurhayati, Kementerian Kehutanan Indonesia; Muhrizal Sarwani, Kusumo Nugroho, Wahyunto, Rizatus Shofiati, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP), Kementerian Pertanian Indonesia; Orbita Roswintiarti, Kustiyo, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN); Adi Rusnanto, Kepala Bidang Inventarisasi Sumber Daya Alam Darat, BIG; Muhammad Evry, Meuthia Djoharin, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT); Truman, Ali, Untung Triono, Pusat Sumber Daya Geologi (PMG), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Sukarman, Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pertanian Indonesia; Adi Eusmanto, Mulyanto Darmawan, Jaka Suryanto,Nurwajedi, Badan Informasi Geospasial (BIG); Nirarta Samadhi, Arief Darmawan, Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4); Y. Kristanto W., Dewi Komalasari, Badan Standardisasi Nasional (BSN); Muhammad Farid, Agus Supangat, Dicky Edwin Hindarto, Suzanty Sitorus, Widiatmini, Eggy Janata Giwangkara, Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI); Yani Saloh, Eka Melisa, Staf Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim; Muhammad Urip, Arwin Lubis, Inisisatif Pemetaan100 Desa; Bima Priadi, Ali Suwanto, ESRI Indonesia; Sonya Dewi, International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF); Rogier Klavier, Laskmi Banowati, UN-REDD Indonesia; Boone Kaufman, Rini Sulaiman, USFS; Takahara Shigeru, Oktovina Tirsa, JICA-FFORTRA; Masato Kawanishi, Matsuura Kazuki, Mari Miura, Japan International Cooperation Agency (JICA); Eriko Momota, Center for Sustainability Science (CENSUS) Hokkaido Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
5
University; Sri Widiyantoro, Satria Bijaksana, Andri Dian Nugraha, Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan, Institut Teknologi Bandung (ITB); Jatna Supriatna, Bambang Marhendra, Mochamad Solichin, Mohammad Hasroel Thayib, Research Center for Climate Change (RCCC), Universitas Indonesia (UI); Joenil Kahar, Dewan Geomatika Indonesia (DGI); Dudung Muhally Hakim, Akhmad Riqqi, Ketut Wikantika, Bidang Teknik Geodesi dan Geomatika, Institut Teknologi Bandung (ITB); Rizaldi Boer, M. Ardiansyah, Center for Climate Risk and Opportunity Management (CCROM), Institut Pertanian Bogor (IPB); Supriadi S., (CCROM-SEAP) Institut Pertanian Bogor; Dewi Kania Sari, Sumarno, Institut Teknologi Nasional (ITENAS); Agus Suratno, Conservation International (CI); Deddy Hadriyanto, Universitas Mulawarman (UNMUL); Aswin Usup, Universitas Palangka Raya (UNPAR); Mira Lee, Kedutaan Besar Korea; Bonie Dewantara, Wildlife Conservation Society (WCS); Daniel Mudiyarso, Joko Purbopuspito, Centre for International Forestry Research (CIFOR); Arif Budiman, World Wild Fund (WWF); S.M. Tobing, ESDM; Budi Mulyanti, BPN; Aljosja Hooijer, Deltares; Aulia Arum, Dian Novarina, Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP); Lim Harjanto, Solid Sphere; Dadang Hilman, Farrah Mardiati, Harityas Wiyoga, Eryka Purnama, Indonesia Climate Change Center (ICCC).
6
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
LAHAN GAMBUT DI INDONESIA: KONTEKS DAN MASALAH Pada KTT Negara-Negara G-20 di Pittsburgh, 25 September 2009, Indonesia menjadi negara berkembang pertama yang dengan sukarela berkomitmen untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) sebanyak 26 persen pada tahun 2020 dari proyeksi skenario Business As Usual (BAU). Pengurangan emisi sebagian besar akan dicapai dengan merancang kebijakan yang secara khusus menyasar sektor LULUCF. Emisi terkait gambut dan LULUCF adlaah sumber emisi terbesar di Indonesia saat ini, dan diperkirakan juga di masa depan, sangat jauh melebihi emisi dari sumber lain. Karena itu, sektor ini menjadi peluang terbesar pula bagi Indonesia untuk mengurangi emisi GRK (DNPI, 2011). Page dkk. (2004) memperkirakan tingkat penyerapan karbon dari lahan gambut alami di Indonesia mencapai 0,8 t C/ha/ta. Berdasarkan perkiraan konservatif untuk dua kategori emisi terkait gambut (drainase dan kebakaran), LULUCF dan gambut masing-masing menyumbang 760 MtCO2e dan 850 MtCO2e dari 2.052 MtCO2e total emisi global (2005), (DNPI, 2011). Dalam skenario BAU, LULUCF dan gambut masih akan menjadi sumber emisi terbesar nasional dan akan terus memberikan kontribusi lebih dari 50 persen profil emisi Indonesia sampai tahun 2030. Ini menunjukkan bahwa 2,5 persen dari emisi GRK dunia kemungkinan dihasilkan dari sektor LULUCF dan lahan gambut di Indonesia (DNPI, 2011). Bahkan, kebanyakan analisis tentang emisi Indonesia terkait drainase dan kebakaran gambut menunjukkan emisi pada kisaran angka 0,7-1,5 GtCO2e dan variasi yang lebar dari tahun ke tahun, tergantung pada kondisi iklim. Pengurangan emisi dari kegiatan LULUCF juga diprogram dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) dan diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 61/2001. Program ini kemudian akan diadopsi dalam Rencana Aksi Daerah Pengurangan Emisi dari Gas Rumah Kaca (RAD-GRK). RAN-GRK menargetkan pengurangan emisi GRK dari sektor LULUCF sekitar 80 persen dari total pengurangan emisi, atau sekitar 23 persen dari total emisi Indonesia pada tahun 2020. Lahan gambut menyimpan lebih banyak karbon dibandingkan jenis hutan lainnya, dan degradasi lahan gambut menghasilkan emisi berkelanjutan yang lebih besar dibandingkan emisi dari ekosistem lainnya. Ketika lahan gambut kering, karbon akan terlepas dan emisi akan berlanjut sampai simpanan karbon habis atau rehabilitasi dilakukan. Dalam rangka pengelolaan lahan gambut untuk mitigasi iklim, perlu ada peta lahan gambut nasional yang akurat untuk mendukung Keputusan Presiden tentang kebijakan pengurangan emisi GRK di Indonesia terkait lahan gambut. Oleh karena itu, standar definisi teknis ‘gambut’ sangat penting untuk delineasi (penggambaran) lahan gambut.
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
7
Delineasi lahan gambut yang tepat dengan pertimbangan geomorfologi, topografi, dan sifat tanah lahan gambut perlu diintegrasikan ke dalam upaya pemetaan lahan gambut untuk menentukan daerah mana yang perlu ditargetkan untuk pengurangan atau mitigasi emisi GRK. Delineasi lahan gambut ini akan memungkinkan para pembuat kebijakan menentukan kebijakan yang tepat untuk pengelolaan lahan gambut yang efektif demi mendukung pengurangan emisi GRK. Beberapa tantangan terus hadir dalam menafsirkan kebijakan pengurangan emisi akibat perkiraan emisi GRK dari drainase dan kebakaran gambut yang berbeda-beda. Walau banyak penelitian dan pengukuran emisi gambut sedang berlangsung di Indonesia, pemahaman ilmiah tentang emisi terkait gambut masih berkembang, terutama tentang emisi di daerah tropis. Oleh karena itu, mengadakan rerangka kerja yang komprehensif dan kokoh untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang berkenaan dengan lahan gambut dan GRK adalah sangat penting. Maka definisi ‘lahan gambut’ yang tepat menjadi hal yang fundamental untuk digunakan sebagai acuan dalam mengembangkan penilaian lahan gambut dengan lebih tepat.
DEFINISI AUTHORITATIVE GAMBUT Definisi authoritative adalah definisi resmi yang dibuat oleh lembaga pemerintah. Di Indonesia, terdapat tiga kementerian yang menerapkan definisi ‘tanah gambut’ masing-masing. Definisi Kementerian Lingkungan Hidup Kementerian Lingkungan Hidup mendefinisikan ‘tanah gambut’ sebagai tanah yang berkembang dari hasil penumpukan bahan organik yang diluruhkan oleh produksi biomassa hutan hujan tropika (Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 7/2006). Peraturan ini memuat tata cara pengukuran kriteria baku kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup ini, penjelasan terkait gambut lebih banyak mengulas mengenai indikator gambut yang terdegradasi. Dinyatakan bahwa membuka lahan basah air tawar pada umumnya dilakukan dengan membuat saluran drainase untuk menurunkan permukaan air dan meningkatkan aerasi tanah. Jika wilayah yang dikeringkan adalah lahan gambut, maka penurunan permukaan gambut yang terjadi dapat mengakibatkan permukaan turun di bawah elevasi drainase kritis. Kondisi tersebut dapat mengakibatkan hilangnya drainase gravitasi dan genangan permanen. Dalam Peraturan Menteri, dinyatakan bahwa definisi ‘subsidensi (penurunan) gambut’ adalah laju penurunan permukaan tanah gambut akibat adanya saluran drainase pada pembukaan lahan,
8
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
dihitung dengan satuan tebal (cm) untuk tiap satuan waktu (tahun). Pembukaan lahan gambut menyebabkan penghentian akumulasi gambut, dan lahan gambut didefinisikan sebagai ‘terdegradasi’ apabila penurunan kumulatif dari permukaan gambut lebih dari 35 cm/5 tahun. Definisi ‘gambut’ oleh Kementerian Lingkungan Hidup adalah definisi kualitatif, antara lain dengan menyebut bahan organik sebagai bahan pembentuk gambut. Definisi Kementerian Lingkungan Hidup belum mencakup ukuran kuantitatif untuk menggambarkan lahan gambut. Definisi ini sangat umum dan belum menggambarkan karakteristik gambut di Indonesia, sehingga belum dapat diadopsi untuk keperluan lain. Karena tidak menyebutkan kandungan organik atau kedalaman, definisi ini belum sesuai untuk dapat menggambarkan gambut di Indonesia, yang karakteristiknya memiliki kandungan bahan organik tinggi. Definisi Kementerian Pertanian Kementerian Pertanian mendefinisikan ‘gambut’ sebagai tanah hasil akumulasi timbunan bahan organik lebih besar dari 65% secara alami dari lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah (Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14/Permentan/PL.110/2/ 2009). Sementara itu, area ‘gambut’ adalah ekosistem lahan gambut, baik di dalam maupun diluar kawasan hutan, yang dapat dijadikan kawasan perlindungan atau dapat dimanfaatkan untuk budidaya. Peraturan ini disusun sebagai pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit. Definisi ‘gambut’ pada peraturan ini belum dapat diadopsi untuk keperluan lain, seperti untuk konservasi lahan gambut atau alih fungsi lahan. Maka tidaklah mengherankan bahwa dalam peraturan ini Kementerian Pertanian mendefinisikan ‘lahan gambut’ sebagai areal gambut yang dapat dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit. Definisi ‘gambut’ oleh Kementerian Pertanian ini cukup jelas dengan mendefinisikannya secara kualitatif (dengan menyebutkan bahan organik sebagai bahan pembentuk gambut), dan juga dengan mendefinisikannya secara kuantitatif (dengan menyebutkan persentase bahan organik dari gambut lebih dari 65 persen). Namun, definisi ini belum mencakup mengenai kedalaman gambut, sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut. Definisi Kementerian Kehutanan Kementerian Kehutanan mendefinisikan ‘hutan gambut’ sebagai suatu formasi pohon-pohon yang tumbuh pada kawasan yang sebagian besar terbentuk dari sisa-sisa bahan
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
9
organik yang tertimbun dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, definisi ‘gambut’ adalah sisa-sisa bahan organik yang tertimbun dalam waktu yang lama (Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.69/Menhut-II/2011). Peraturan ini dibuat sebagai petunjuk teknis penggunaan dana alokasi khusus (DAK) bidang kehutanan tahun anggaran 2012. Dana alokasi khusus ini bertujuan untuk merehabilitasi lahan dan hutan yang terdegradasi, seperti rehabilitasi lahan gambut yang telah terdegradasi. Definisi ‘gambut’ oleh Kementerian Kehutanan adalah definisi kualitatif, dengan menyebutkan bahan materi ‘gambut’. Namun, definisi ini tidak mencakup ukuran kuantitatif seperti kedalaman atau persentase kandungan organik. Bila mengacu pada definisi ini, area gambut yang dapat tercakup akan lebih luas, karena semua tanah yang sebagian besar mengandung bahan organik terakumulasi selama jangka waktu yang panjang akan dikategorikan sebagai gambut. Definisi ini masih belum jelas karena tidak menyebutkan jumlah pasti ‘sebagian besar bahan organik’ pada gambut. Ringkasan Definisi Authoritative Kementerian-kementerian tersebut di atas mendefinisikan ‘gambut’ secara berbeda, karena didasarkan pada tujuan masing-masing. Kementerian Lingkungan Hidup mendefinisikan ‘gambut’ dengan tujuan menetapkan kriteria standar prosedur pengukuran kerusakan tanah untuk produksi biomassa. Prosedur ini disusun untuk mencapai pemahaman tentang metodologi dan aspek kesesuaian yang harus ditinjau dalam menentukan kondisi dan status kerusakan tanah untuk produksi biomassa, yang diarahkan untuk mengendalikan degradasi lahan. Kementerian Pertanian mendefinisikan ‘gambut’ untuk membuat pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit. Sedangkan Kementerian Kehutanan mendefinisikan ‘gambut’ untuk mengembangkan pedoman teknis penggunaan dana alokasi khusus (DAK) di bidang kehutanan, serta mempertimbangkan ‘rehabilitasi’ dan ‘lahan’ (termasuk lahan gambut yang terdegradasi) sebagai prioritas kebijakan nasional. Tiga kementerian mendefinisikan ‘gambut’ secara kualitatif, dengan menyebutkan kandungan organik sebagai material gambut. Hanya Kementerian Pertanian yang mendefinisikan ‘gambut’ secara semi-kuantitatif, dengan menyebutkan bahwa persentase kandungan bahan organik untuk gambut adalah lebih dari 65 persen. Ketiga definisi tersebut masih terlalu umum untuk menggambarkan gambut di Indonesia. Oleh karena itu, definisi ‘gambut’ perlu dikembangkan sesuai dengan kondisi dan karakter gambut di Indonesia dan penting sekali melakukan standarisasi ‘definisi gambut’ yang
10
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
akan digunakan sebagai pedoman oleh semua kementerian, organisasi, dan lembaga yang berkepentingan dengan lahan gambut, meskipun mereka memiliki kepentingan dan tujuan yang berbeda-beda. Dari ketiga definisi authoritative tersebut, definisi Kementerian Pertanian memberi versi yang paling lengkap, dengan menyebutkan aspek-aspek kualitatif dan semi-kuantitatif. Karena itu, definisi gambut dari Kementerian Pertanian perlu dikembangkan untuk dapat mengakomodasi persyaratan definisi lahan gambut yang dapat diadopsi untuk semua tujuan. Tabel 1: Definisi ‘gambut’ oleh Pemangku Kebijakan Definisi oleh Pemangku Kebijakan Kategori
Kementerian Lingkungan Hidup
Kementerian Pertanian
Kementerian Kehutanan
Jenis material gambut
Bahan organik
Bahan Organik
Bahan Organik
Persentase kandungan organik
-
> 65%
-
Kedalaman
-
-
-
Tujuan pendefinisian
Penetapan kriteria standar degradasi tanah untuk produksi biomassa
Pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan kelapa sawit
Penetapan petunjuk teknis untuk penggunaan DAK di bidang kehutanan untuk tahun anggaran 2012
Produktivitas
Pengelolaan Hutan Lestari (dengan mempertimbangkan produktivitas, keanekaragaman hayati, dan keberlanjutan sosial)
LULUCF lahan gambut (sudut pandang dan aspek-aspek yang dipertimbangkan)
Kelestarian lingkungan
DEFINISI SCIENTIFIC GAMBUT Berbagai Definisi Scientific Gambut Gambut di daerah beriklim sedang dan hutan boreal cenderung didominasi oleh tumbuhan lumut dan semak belukar. Oleh karena itu, penetrasi perakarannya dangkal dan tingkat dekomposisi cenderung rendah. Sebaliknya, lahan gambut tropis memiliki berbagai jenis pohon (Polak, 1975; Anderson, 1983), dengan akar menembus timbunan organik sedalam beberapa meter. Tingkat produksi biomassa dan dekomposisi primernya tinggi. Kandungan bahan organik yang berasal dari pelapukan akar dan getah akar di bawah permukaan tanah gambut di daerah tropis jauh lebih besar daripada timbunan gambut di wilayah beriklim sedang. Oleh karena itu, tes rubbing dan uji ekstrak cairan dari gambut tropis menimbulkan kekeliruan dalam penentuan karakterisasi tekstur, yang sering bersifat fibrik karena banyaknya kandungan komponen kayu (WĂźst, dkk., 2003). Beberapa definisi scientific atau taksonomi telah diperkenalkan dan diakui oleh komunitas ilmiah, seperti yang dikembangkan
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
11
oleh Wüst dkk. (2003), Moris (1989), Andrejko dkk. (1983), Landva dkk. (1983), Jarrett (1983), Mankinen dan Gelfer (1982), Kearns dkk. (1982), Kivinen and Heikurainen (1979), Davis (1946), dan Arman (1923) (Tabel 2). Kebanyakan definisi scientific didasarkan pada pengamatan lapangan dan analisis sifat tanah gambut. Elemen-elemen penentu bagi definisidefinisi tersebut mencakup komponen fisik, seperti tingkat dekomposisi (humifikasi), berat isi, kadar air, porositas dan lainnya, serta komponen kimia yang mencakup kadar karbon, kadar abu, pH, dan rasio C/N. Sebagian besar skema yang digunakan secara umum untuk pengklasifikasian gambut di lapangan maupun di laboratorium dikembangkan untuk daerah boreal dan daerah beriklim sedang yang lembap, sehingga tidak mampu menggambarkan ciri khas serta kegunaan spesifik gambut tropis. Wüst dkk. (2003) menyatakan bahwa skema-skema tersebut telah gagal dalam mengenali karakterisasi dan klasifikasi timbunan organik lahan gambut tropis di Tasek Bera (Malaysia) (yang dipilih sebagai contoh timbunan gambut tropis untuk mengevaluasi sistem klasifikasi yang berbeda, dan ideal untuk menguji penerapan sistem klasifikasi gambut untuk gambut tropis dataran rendah). Berikut adalah gambaran kekurangan dalam skema klasifikasi yang umum: 1) Gambut daerah beriklim sedang dan boreal sering didominasi oleh tumbuhan lumut dan semak; 2) Skema klasifikasi yang ada untuk gambut di iklim sedang dan boreal didasarkan pada karakteristik yang dipilih untuk keperluan tertentu di bidang pertanian, teknik, energi, dan lain-lain, bukan pendekatan generik; dan 3) Klasifikasi tanah organik untuk keperluan pertanian (misalnya: CSSC, 1987; Soil Survey Staff, 1990; Paramananthan, 1998) didasarkan pada seksi pengontrolan. Oleh karena itu, aspek penting dari tekstur gambut (morfologi bahan pembentuk dan susunannya) dan kadar abu laboratorium (residu setelah pembakaran) perlu dimodifikasi agar sesuai dengan klasifikasi timbunan gambut tropis. Wüst dkk. (2003) mengusulkan tiga kelompok klasifikasi tekstur lahan (fibric, hemic, sapric3)1untuk diterapkan pada timbunan organik tropis yang didasarkan pada klasifikasi yang dilakukan Esterle (1990), dan dimodifikasi oleh US Soil Taxonomy untuk tanah tropis rendah abu, timbunan gambut ombrotrophic, dan tanah. Klasifikasi tekstur lahan ini dibuat berdasarkan pada pemeriksaan visual morfologi konstituen gambut (tekstur); dan perkiraan kandungan serat dan matriks. Wüst dkk. (2003) mendefinisikan ‘gambut’ sebagai tanah yang memiliki kadar abu antara 0-55%, dan klasifikasi ‘gambut’ 3 Gambut yang sudah melapuk lanjut, bahan asalnya tidak dikenali, berwarna cokelat tua sampai hitam, dan apabila diremas, kandungan seratnya yang tersisa kurang dari 15%
12
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
dibagi kedalam subkelas abu sangat rendah (0-5%); abu rendah (5-15%); abu sedang (15- 25%); abu tinggi (25- 40%); dan abu sangat tinggi (40-55%). Ringkasan Definisi Scientific Sebagian besar definisi scientific gambut dikembangkan di daerah beriklim sedang dan boreal yang tidak dapat mengenali ciri khas dan pemanfaatan gambut tropis. Karakteristik gambut di daerah beriklim sedang dan boreal berbeda dengan karakteristik gambut tropis yang dapat dikategorikan sebagai sangat fibric dan memiliki kandungan organik yang sangat tinggi. Gambut di daerah beriklim sedang dan boreal sering didominasi oleh tumbuhan lumut dan semak belukar, sementara gambut tropis sering didominasi oleh bahan kayu. Oleh karena itu, definisi-definisi scientific yang ada tersebut perlu dimodifikasi untuk mengakomodasi kondisi dan karakteristik lahan gambut di Indonesia. Tabel 2: Berbagai sistem klasifikasi gambut dan tanah organik (W端st dkk, 2003.) Klasifikasi oleh W端st dkk. (2003)
Moris (1989)
Andrejko dkk. (1983)
Landva dkk. (1983)
Jarret (1983)
Kandungan abu (wt-%)
Kategori
Kandungan Organik (wt-%)
0-5
Gambut (abu sangat rendah)
95-100
15-5
Gambut (abu rendah)
85-95
15-25
Gambut (abu sedang)
75-85
25-40
Gambut (abu tinggi)
60-75
40-55
Gambut (abu sangat tinggi)
45-60
55-65
Muck
35-45
65-80
Tanah kaya organik/sedimen
20-35
80-100
Tanah mineral/sedimen mineral dengan bahan organik
0-20
0-35
Gambut
65-100
35-65
Muck
35-65
65-100
Tanah lempung organik
0-35
0-5
Gambut (abu rendah)
95-100
15-5
Gambut (abu sedang)
85-95
15-25
Gambut (abu tinggi)
75-85
25-50
Sedimen berkarbon (abu rendah)
50-75
50-75
Sedimen berkarbon (abu tinggi)
25-50
75-100
Sedimen mineral
0-25
0-20
Gambut (Pt)
80-100
20-40
Tanah organik bergambut (PtO)
60-80
40-95
Tanah organik (O)
40-95
95-100
Tanah dengan kandungan organik
0-5
0-25
Gambut
75-100
25-55
Muck bergambut
45-75
55-80
Silty/Muck berlempung
20-45
80-100
Silt/lempung
0-20
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
13
Mankinen and Gelfer (1982) American Society for Testing and Materials (ASTM, 1982) Kearns et al. (1982)
Kivinen and Heikurainen (1979)
Canadian System of Soil Classification (CSSC, 1987) Davis (1946)
Arman (1923)
0-50
Gambut
50-100
50-100
Non-gambut
0-50
0-25
Gambut
75-100
25-100
Muck dan sedimen lain yang kaya organik
0-75
0-25
Gambut
75-100
25-45
Muck bergambut
55-75
45-65
Muck
35-55
65-85
Muck berlempung
15-35
85-95
Lempung (mucky)
15-5
95-100
Lempung (organik)
0-5
0-50
Gambut
50-100
50-80
Muck
20-50
80-100
Tanah mineral
0-20
0-70
Tanah organik
30-100
70-100
Tanah mineral
0-30
0-35
Gambut
65-100
35-75
Muck
25-65
75-100
Tanah mineral
0-25
0-80
Tanah organik
20-100
80-100
Tanah dengan kandungan organik
0-20
ANALISIS KESENJANGAN (GAP ANALYSIS) ANTARA DEFINISI AUTHORITATIVE DAN SCIENTIFIC Perbedaan utama antara definisi authoritative dan definisi scientific adalah bahwa definisi authoritative bersifat kualitatif, sedangkan definisi scientific bersifat kuantitatif. Perbedaan dan ketidakpastian antara kedua versi definisi tersebut dapat berasal dari asumsi yang berbeda; metode yang berbeda; dan teknologi yang berbeda. Organisasi yang berbeda dapat menggunakan metodologi dan sumber yang berbeda yang berpengaruh terhadap perbedaan estimasi gambut dan estimasi emisi karbon. Perbedaan antara definisi lahan gambut secara authoritative dan scientific terdapat pada karakteristik gambut; kedalaman gambut; dan bahan kandungan gambut. Definisi ‘gambut’ oleh tiga kementerian (Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Kehutanan) masih terlalu umum dan kualitatif untuk menggambarkan dan memetakan lahan gambut di Indonesia. Definisi-definisi tersebut menggambarkan ‘gambut’ hanya sebagai timbunan bahan organik, dan kurang berhasil dalam menentukan kandungan bahan organik minimum, kandungan C, kadar abu, atau kedalaman gambut, sehingga menyisakan cukup banyak ruang bagi interpretasi. Definisi ‘gambut’ dari Kementerian Pertanian lebih spesifik dalam mendefinisikan ‘gambut’, yakni dengan memberikan nilai persentase
14
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
minimum kandungan bahan organiknya. Namun, kedalaman minimum dari akumulasi bahan organik tidak terdefinisi, yang juga menjadi persoalan dalam menginterpretasikan gambut. Sebagian besar ilmuwan gambut dan ahli taksonomi tanah mendefinisikan ‘gambut’ berdasarkan kandungan material (kandungan mineral atau kandungan organik/kadar abu) dan kedalamannya. Definisi gambut dengan menggambarkan persentase kandungan organik/kadar abu dan kedalaman merupakan definisi yang lebih kuantitatif untuk dapat diterapkan di Indonesia, mengingat sebagian besar lahan gambut di Indonesia kandungan organiknya sangat tinggi dan memiliki kedalaman yang sangat bervariasi. Perlu adanya perhatian dalam mendefinisikan ‘lahan gambut’ berdasarkan kepentingan terkait perkiraan emisi GRK. Definisi authoritative yang ada mungkin perlu dikembangkan lebih lanjut dan diintegrasikan ke dalam satu definisi yang komprehensif untuk menangkap pengertian tentang gas rumah kaca, seperti cadangan dan aliran karbon. Sementara itu, definisi scientific juga harus dikembangkan atau disempurnakan untuk mencerminkan karakteristik gambut Indonesia. Sebagian besar gambut di Indonesia sangat fibric dan hemic dengan kandungan bahan organik dan karbon sangat tinggi, dan sebagian besar berasal dari biomassa kayu. Setiap definisi scientific gambut yang ditujukan untuk daerah beriklim sedang dan kawasan boreal kemungkinan tidak akan mampu sepenuhnya menggambarkan karakterisasi dan klasifikasi gambut tropis. Oleh karena itu, definisi yang jelas tentang ‘gambut’ yang dapat diadopsi di Indonesia perlu dirumuskan untuk meningkatkan pengelolaan gambut oleh berbagai kementerian dan lembaga.
USULAN DEFINISI LAHAN GAMBUT UNTUK INDONESIA Setelah mengadakan serangkaian pertemuan dan konsultasi teknis dengan para ilmuwan terkemuka, para pemangku kepentingan utama, dan perwakilan pemerintah dari organisasi-organisasi nasional dan internasional, maka didapatlah rekomendasi untuk mendefinisikan lahan gambut dan rekomendasi usulan kegiatan tindak lanjut sebagai berikut: 1. Elemen-elemen penting yang perlu dipertimbangkan dalam mendefinisikan lahan gambut. Definisi ‘lahan gambut’ harus meliputi elemen penting seperti kandungan karbon atau kandungan mineral dan kedalaman minimum. Setelah pendefinisian ‘lahan gambut’, stok karbon dan perkiraan fluks diperlukan untuk menilai besarnya pengurangan emisi dari intervensi kebijakan atau pengelolaan lahan gambut.
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
15
2. Definisi lahan gambut yang diusulkan. Lahan gambut merupakan daerah dengan akumulasi bahan organik yang sebagian lapuk, dengan kadar abu sama dengan atau kurang dari 35%, kedalaman gambut sama dengan atau lebih dari 50 cm, dan kandungan karbon organik (berdasarkan berat) minimal 12%.
16
Kandungan abu dinyatakan dengan persentase residu pembakaran setelah unsur-unsur organik (karbon, oksigen, dan hidrogen) dibakar. Karena kadar abu mencerminkan jenis tanaman asli, komposisi mineral bermanfaat untuk mendefinisikan gambut. Kandungan abu gambut tergantung pada jenis vegetasi, komposisi batuan dasar, dan hidrologi. Semakin rendah kandungan abu, semakin tinggi kandungan organiknya (Gambar 1). Menurut sistem Moris (1989), sebagian besar kandungan organik di Tasek Bera Basin (lahan gambut tropis) diklasifikasikan sebagai gambut, dengan kadar abu berkisar 0-35%. Banyak ilmuwan gambut menggolongkan tanah organik sebagai ‘gambut’ meski kandungan abunya jauh lebih besar dari 25%. Wüst dkk. (2003) mendefinisikan gambut sebagai tanah organik dengan kadar abu 0-55 %. Mengacu pada definisi ini, tanah organik dengan kadar abu di bawah 55% memiliki kandungan karbon (C) di atas 18%. Namun, untuk diadopsikan di Indonesia, kadar abu sebesar 55% menunjukkan kandungan organik hanya sekitar 45%. Oleh karena itu, diusulkan bahwa ‘gambut’ adalah tanah organik dengan nilai-nilai kandungan organik sama dengan atau lebih dari 65% (Rieley dan Page, 2005; Sorensen, 1993; Andriesse, 1974), atau nilai-nilai kadar abunya sama dengan atau kurang dari 35%. Berdasarkan penelitian Wüst dkk. (2003), kandungan abu 35% pada tanah organik tropis terdiri dari 28% - 32 % karbon (C) (Gambar 2). Sebagaimana disebutkan di atas, ‘kedalaman gambut’’ harus dimasukkan ke dalam definisi ‘gambut’. Terdapat berbagai kategori kedalaman berbeda yang digunakan oleh para ilmuwan gambut saat mendefinisikan ‘gambut’. Andriesse (1988) mendefinisikan ‘gambut’ sebagai tanah organik dengan kedalaman lebih dari 80 cm. Jansen dkk. (1985) dan Soil Survey Staff (1996) mendefinisikan kedalamannya harus lebih dari 40 cm. Joosten dan Clarke (2002) mendefinisikan kedalamannya lebih dari 30 cm, sedangkan Sorensen (1993), menjelaskan bahwa setidaknya 17% dari hutan gambut di Indonesia memiliki kedalaman gambut antara 50 cm sampai 20 m. Sistem pertanian dari Malaysia (Paramananthan, 1998) menyebutkan kedalaman minimum bahan organik 40-120 cm untuk dapat memenuhi syarat sebagai tanah organik. Kongres Internasional Ilmu Tanah kedua pada tahun 1930 (Tie, 1982) dan Rieley dan Page (2005) mendefinisikan gambut sebagai tanah organik yang tebalnya lebih dari Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
50cm. Hardjowigeno dan Abdullah (1987) mendefinisikan gambut sebagai timbunan organik yang sebagian melapuk dengan kedalaman sama dengan atau lebih dari 50 cm. Karena ada banyak literatur ilmiah menyebutkan ‘gambut tropis’ dengan ketebalan minimal 50 cm, maka diusulkan bahwa untuk definisi gambut tropis kedalamannya adalah sama dengan atau lebih dari 50 cm. US Soil Taxonomy mengklasifikasikan tanah organik sebagai tanah yang memiliki organik karbon antara 12% sampai 18%. Dalam timbunan gambut tropis, kandungan C sering berkisar antara 40% dan 60% (Andriesse, 1988; Moris, 1989; Phillips, 1995; Neuzil, 1997 ). Tie (1990) melaporkan bahwa di Malaysia, kandungan C pada timbunan gambut tropis bervariasi antara 35% dan 44%. Sementara itu, WĂźst dkk. (2003) melaporkan bahwa kandungan C gambut Tasek Bera Basin (Malaysia), berkisar antara 20% sampai 54%. Oleh karena itu, diusulkan bahwa klasifikasi mengenai kandungan karbon organik untuk gambut tropis menggunakan pedoman definisi tanah organik dari US Soil Taxonomy, yakni sedikitnya 12% C organik.
Gb. 1: Kandungan organik dibandingkan dengan kandungan abu dalam gambut
Gb. 2: Kandungan karbon dibandingkan dengan kandungan abu dalam gambut (WĂźst et al., 2003)
17
3. Metodologi Delineasi Lahan Gambut Untuk mendukung program ‘One Map’, perlu dirumuskan sebuah metodologi delineasi (penggambaran) lahan gambut berdasarkan definisi gambut. Penggambaran lahan gambut bertujuan untuk mengklasifikasikan lahan gambut di lapangan untuk mendukung pengembangan pengelolaan lahan gambut yang tepat guna. Ada empat kategori delineasi lahan gambut yang direkomendasikan dengan klasifikasi sebagai berikut: 1) Kedalaman gambut; 2) Lapisan gambut; 3) Daerah hidrologi lahan gambut; dan 4) Pemanfaatan lahan gambut. Untuk merumuskan metodologi delineasi lahan gambut yang sesuai dan tepat yang ditujukan untuk memperbaiki pengelolaan lahan gambut dalam rangka mendukung pengurangan emisi GRK, komponen lain yang berkaitan dengan batas lahan gambut dan klasifikasi lahan gambut juga penting untuk dipertimbangkan.
PENUTUP: Maju Menghadapi Tantangan Kegiatan-kegiatan berikut diusulkan untuk secara sistematis menggabungkan semua usaha pemetaan lahan gambut secara komprehensif: Mendukung Program ‘One Map’ ICCC akan memfasilitasi diskusi ilmiah/penelitian internasional tentang lahan gambut dan Pemetaan Lahan Gambut melalui koordinasi BIG dalam mendukung proses revisi Peta Lahan Gambut. Klaster Peatland and Peatland Mapping akan bekerja sama membantu merumuskan rencana untuk mendukung yang menjadi fokus area pemetaan lahan gambut awal oleh ICCC dalam program ‘Satu Peta’ berdasarkan kebutuhan Pemerintah Indonesia yang telah diidentifikasi dan diprioritaskan. Fokus utama yang membutuhkan dukungan segera adalah membantu Pemerintah dalam pengembangan proses revisi peta yang dapat berulang, dan revisi yang sebenarnya/ pengembangan Peta Lahan Gambut baru untuk seluruh Indonesia, dikoordinasikan melalui BIG dan didukung oleh ICCC. Rencana pengembangan akan dipandu oleh situasi saat ini sebagai berikut: • Peta moratorium saat ini (berdasarkan citra LANDSAT 2009), yang merupakan bagian integral dan instrumental dari Instruksi Presiden (INPRES) No 10/2011 untuk Moratorium Penerbitan Izin di Hutan Primer dan Lahan Gambut, akan diperbarui setidaknya setiap enam bulan. Peta moratorium, dan skemanya yang diperbarui secara teratur, telah dianggap oleh Presiden Republik Indonesia sebagai kendaraan untuk mencapai ‘One Map’. Bantuan
18
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
•
•
•
•
•
awal AS akan fokus pada penilaian metodologi yang digunakan dan ketepatan hasil revisi ‘Peta Lahan Gambut’. Pembaruan peta secara rutin akan dilakukan dengan metodologi/strategi (yang sedang dirancang oleh BIG, LAPAN, dan Kementerian Kehutanan) termasuk penggabungan citra satelit yang lebih baru (Landsat 2010/2011). Pembaruan secara sistematis memerlukan pasokan konstan spektral satelit baru dan/atau citra radar. Pemerintah AS akan membantu Indonesia dalam akuisisi pencitraan baru. Dalam mendefinisikan ‘gambut’ untuk peta moratorium, hal pertama yang perlu dilakukan untuk mendukung revisi berikutnya adalah memperbarui ‘delineasi lahan gambut’. Peta moratorium saat ini menggunakan peta lahan gambut Wetlands International sebagai sumber untuk delineasi kawasan lahan gambut. Semua pemangku kepentingan sepakat bahwa peta ini perlu direvisi menggunakan skema peta yang diperbarui secara teratur seperti yang dijelaskan dalam Instruksi Presiden. Telah ada definisi hutan primer yang formal dan disepakati untuk peta moratorium, yang didasarkan pada SNI tentang Tutupan Lahan. Namun, definisi berbasis SNI ini perlu diuji di lapangan melalui serangkaian proyek percontohan, yang pada akhirnya akan memberikan masukan balik untuk proses pembaruan peta moratorium berikutnya. BIG dan Kementerian Pertanian akan menyusun prosedur delineasi area lahan gambut menggunakan citra radar dan satelit, yang kemudian akan didukung oleh misi verifikasi di lapangan. Lahan gambut yang baru digambarkan pada revisi peta moratorium harus digunakan sebagai dasar beberapa inisiatif: a) Penelitian ilmiah untuk mendukung definisi lahan gambut seperti yang digunakan pada peta moratorium (ini akan dilakukan oleh ICCC). Inisiatif ini juga dapat mengarah pada perumusan SNI tentang lahan gambut; b) Prosedur percontohan pemetaan lahan gambut; dan c) Pemetaan lahan gambut di Kalimantan, Sumatera, dan Papua. Inisiatif lain yang terkait adalah membangun database nasional dari metadata satelit dan citra radar (yang dilakukan oleh LAPAN di bawah koordinasi BIG) sebagai dasar dari pendekatan ‘One License One Buyer’ pada penyediaan citra satelit/radar untuk SATU PETA .
Memperluas Penilaian Lahan Gambut untuk Menangkap Dinamika Kelembagaan yang Ada Mengintegrasikan lahan gambut ke dalam rencana pembangunan yang ada merupakan hal yang sangat penting karena emisi CO2 akibat konversi lahan gambut sangat signifikan dalam kontribusinya untuk profil emisi nasional
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
19
dan sub-nasional. Intervensi ini akan memerlukan perubahan besar terhadap struktur ekonomi, perencanaan penggunaan lahan, dan kebijakan pemerintah. Intervensi tersebut juga akan memerlukan pola pikir baru yang berfokus pada pembangunan jangka panjang, ramah lingkungan serta keberlanjutan, yang dikendalikan oleh pemerintah, komunitas bisnis, dan sektor nirlaba. Oleh karena itu, memperluas penilaian lahan gambut dalam konteks strategi pembangunan emisi rendah (Low Emission Development, LED) adalah titik awal yang strategis. Dinamika lembaga-lembaga yang ada berikut ini perlu dimanfaatkan dan diperhitungkan untuk memastikan penilaian lahan gambut, yaitu Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) ​​dan Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK); Perencanaan Tata Ruang di tingkat nasional, pulau-pulau, serta provinsi dan kabupaten; Lembaga pengembangan REDD+ di bawah Satgas REDD+ Nasional; dan Rencana Induk Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3I). Melakukan Penelitian dan Pengembangan Lahan gambut secara ekologis memiliki karakter yang unik dan dikenal atas manfaat ekosistemnya. Namun, fungsi dan manfaat lahan gambut amat rentan terhadap LULUCF, begitu pula dengan prediksi konsekuensi perubahan iklim. Oleh karena itu, penelitian dan pengembangan komprehensif jangka panjang harus dilanjutkan oleh para pakar dan masyarakat, bekerja sama dengan pemangku kepentingan lokal untuk memahami sistem lahan gambut. Lahan gambut di Indonesia mengandung cadangan karbon yang signifikan secara global. Pengelolaan dan pengembangan lahan gambut untuk program-program mitigasi iklim (termasuk REDD+ dan pasar sukarela) adalah bagian dari respon nasional terhadap persoalan perubahan iklim. Permasalahan lahan gambut melibatkan berbagai disiplin ilmu yang sangat luas. Penelitian dan pengembangan diperlukan untuk pengelolaan karbon hutan, termasuk lahan gambut dan penghitungan karbon hutan; verifikasi, pelaporan, dan pengukuran (MRV) ekosistem karbon; teknologi pengelolaan karbon; isu sosial ekonomi; sistem pendukung keputusan; mekanisme pendanaan dan distribusi manfaat; keanekaragaman hayati dan konservasi serta penilaiannya; dan layanan lain untuk lingkungan. Juga, beberapa masalah lainnya mempengaruhi penelitian cadangan karbon lahan gambut dan LULUCF. Masalah yang berkaitan dengan penguasaan dan hak atas lahan perlu diselesaikan. Peraturan perundang-undangan yang ada yang melarang penebangan hutan lahan gambut secara ilegal harus dilaksanakan dan ditegakkan. Tata pemerintahan yang baik diperlukan di semua tingkatan, kebijakan perlu dikoordinasikan
20
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
dengan lebih baik, dan banyak peraturan yang perlu direvisi. Perbaikan aspek-aspek kebijakan publik bisa membantu mengurangi emisi karbon dalam jumlah besar dari hutan gambut. Persoalan pengarusutamaan pembayaran karbon di bawah proyek REDD+, ketahanan pangan, dan pendidikan juga merupakan aspek penting dari program pencegahan deforestasi. Meningkatkan Kapasitas Peningkatan kapasitas merupakan pengembangan yang direncanakan (atau peningkatan) pengetahuan, output, manajemen, keterampilan, dan kemampuan lainnya dari suatu organisasi melalui akuisisi, insentif, teknologi, dan/ atau pelatihan. Konteks peningkatan kapasitas di sini diarahkan untuk pengembangan kelembagaan, akademisi, dan dukungan teknis untuk lahan gambut. Pelatihan dan pendidikan harus diarahkan untuk perguruan-perguruan tinggi dan kapasitas teknis pemerintah, LSM, dan pemangku kepentingan masyarakat. Hanya sedikit pakar teknis yang telah mengakui pentingnya isu perubahan iklim terkait lahan gambut. Sebagai contoh, lahan gambut dan program REDD+ diakui dalam upaya global untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan, termasuk penghargaan dengan pemberian insentif keuangan dari negara-negara maju kepada negaranegara berkembang atas upaya pelestarian hutan sebagai sumber karbon, meskipun pengaturan insentif ini belum jelas. Beberapa pemangku kepentingan sudah akrab dengan pengembangan persoalan-persoalan REDD+ dan pengaturan insentif, dan karena itu ada kebutuhan untuk pendidikan dan pelatihan. Peningkatan kapasitas adalah proses multidimensi yang memperbaiki pemahaman di dalam lembaga dan menghadapi tantangan dengan sukses (efektif dan efisien) termasuk sumber daya manusia, sumber daya lainnya, institusi dan struktur, kebijakan, prosedur, dan lain-lain. Berdasarkan tujuan dan program, peningkatan kapasitas dapat dibagi menjadi tiga kategori, yaitu peningkatan kapasitas kelembagaan (International Capacity Building, ICB); peningkatan kapasitas sosial (Social Capacity Building, SCB); dan peningkatan kapasitas penelitian (Research Capacity Building, RCB). Peningkatan kapasitas kelembagaan merupakan proses menciptakan institusi yang lebih efektif melalui peningkatan sumber pengetahuan bersama, sumber daya relasional dan kapasitas untuk mobilisasi. Hal ini biasanya berkaitan dengan kapasitas untuk memfasilitasi terbuka pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan (di tingkat nasional dan lokal) yang menyediakan akses kepada pihak terkait dan ruang untuk berbagai jenis sumber pengetahuan. Peningkatan kapasitas sosial adalah proses membantu masyarakat untuk membantu
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
21
diri mereka sendiri menjadi pribadi mandiri/swasembada. Peningkatan kapasitas penelitian adalah peningkatan keterampilan dan kapasitas para peneliti pendidikan dan para pembuat kebijakan (dan tentu saja kelompok pengguna lainnya), tidak hanya tentang bertambahnya jumlah peneliti yang handal, tapi juga tentang kapasitas pengguna penelitian untuk memahami dan memanfaatkan penelitian yang ada. Salah satu program peningkatan kapasitas yang terkait dengan penelitian dan pengembangan di lahan gambut adalah pembentukan ’Kalimantan University Consortium’ yang berbasis di Universitas Palangka Raya (Kalimantan Tengah). Rincian tentang ’Kalimantan University Consortium’ disajikan dalam contoh dibawah ini.
Kalimantan University Consortium tentang Pengembangan Jaringan dan Penelitian Lahan Gambut Isu lingkungan global perubahan iklim telah menempatkan daerah tropis dalam posisi strategis untuk mitigasi dampak deforestasi dan degradasi hutan. Di Indonesia, Kalimantan sudah pasti berperan penting dalam mendukung pengurangan emisi karbon lahan gambut sekaligus mempertahankan fungsi ekosistem dan mendukung kebutuhan untuk penghidupan lokal dan regional. Perguruan-perguruan tinggi lokal memainkan peran yang sangat penting untuk mengawasi dan melaksanakan penelitian; mengkoordinasikan penelitian dan kolaborasi; mensosialisasikan upaya-upaya mitigasi iklim; memberikan saran berbasis ilmu; dan terlibat dalam berbagai Kelompok Kerja terkait perubahan iklim. Terkait dengan pelestarian ekosistem hutan hujan tropis, terutama hutan lahan gambut, perguruan tinggi perlu memainkan peran lebih dengan meningkatkan koordinasi, komunikasi, dan kerjasama dalam melaksanakan penelitian, pendidikan, dan layanan masyarakat. Kehadiran lima perguruan tinggi inti di Kalimantan, yaitu Universitas Palangka Raya, Kalimantan Tengah; Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur; Universitas Tanjungpura, Kalimantan Barat; Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan; Universitas Borneo, Kalimantan Timur, untuk memenuhi harapan ini amatlah penting.Oleh karena itu, peningkatan kapasitas sangat diperlukan. Sehubungan dengan semua hal di atas, Konsorsium Pergutuan Tinggi Kalimantan (konsorsium lima perguruan tinggi inti di Kalimantan, dan Universitas Nasional lain serta Perguruan-perguruan Tinggi Swasta lokal) diharapkan dapat meningkatkan peran perguruan tinggi dalam Pengembangan Kapasitas penelitian/pendidikan mengenai lahan gambut dan mitigasi perubahan iklim. Tujuan Kalimantan University Consortium adalah: 1. Memfasilitasi komunikasi dan kolaborasi antara perguruan tinggi inti dan lembaga penelitian yang berkaitan dengan perubahan iklim;
22
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
2. Mengkoordinasikan kerja sama dan kolaborasi internal, eksternal, dan penelitian internasional; 3. Bertukar hasil penelitian, termasuk memperluas penyebaran informasi; 4. Memfasilitasi pelatihan yang diperlukan untuk meningkatkan kapasitas pekerja penelitian, penyerapan, dan penerapan hasil penelitian; 5. Membangun gagasan, kesempatan, dan masukan baru; 6. Memfasilitasi para pembuat kebijakan untuk pengambilan keputusan berbasis ilmu pengetahuan. Berbagi kegiatan dan informasi penelitian juga dapat dilakukan dengan Perguruan Tinggi Negri lainnya dan Perguruan Tinggi Swasta lokal yang memiliki kegiatan yang terkait perubahan iklim.
Membangun Jaringan Penelitian Pemetaan Lahan Gambut dan Lahan Gambut Isu perubahan iklim dan lingkungan global saat ini telah menempatkan lahan gambut Indonesia dan lahan gambut tropis umumnya pada posisi yang strategis untuk penelitian mitigasi iklim. Jaringan dan kerja sama antar pihak (negara, ilmuwan/akademisi, pemangku kepentingan masyarakat, dan lain-lain) adalah faktor kunci untuk menangani masalahmasalah perubahan iklim, dibandingkan dengan melakukan upaya tersebut secara sendiri-sendiri. Berikut ini adalah jaringan yang bisa menjadi mitra potensial untuk bertukar minat dalam mengembangkan kegiatan penelitian yang lebih mendalam terkait lahan gambut: • Asia Flux (http://www.asiaflux.net/index.html) adalah jaringan riset regional yang menyatukan para ilmuwan dari berbagai perguruan tinggi dan lembaga di Asia untuk mempelajari pertukaran karbon dioksida, uap air, dan energi antara ekosistem daratan dan atmosfer dalam skala waktu setiap hari sampai antar-tahunan. • The Sentinel Asia (SA) Project Initiative adalah kolaborasi antara badan ruang angkasa dan badan pengelola penanggulangan bencana, menerapkan teknologi penginderaan jauh dan Web-GIS untuk mendukung pengelolaan bencana di kawasan Asia-Pasifik. Sentinel Asia Project bertujuan untuk meningkatkan keselamatan masyarakat dengan informasi dan komunikasi; teknologi (ICT) dan teknologi ruang angkasa; meningkatkan kecepatan dan keakuratan kesiapsiagaan bencana dan peringatan dini; serta meminimalkan jumlah korban dan kerugian sosial/ekonomi. • The Indonesia Higher Education Network (INHERENT) adalah jaringan pendidikan antar perguruan tinggi
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
23
•
•
•
•
24
di Indonesia di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Untuk tahap pertama pembangunannya, jaringan ini melibatkan 32 perguruan tinggi. Lingkar utama jaringan ini terletak di pulau Jawa; lima perguruan tinggi (UI, ITB, ITS, UGM dan UNDIP) sebagai jaringan sentral yang terhubung menggunakan jalur STM1 dengan kapasitas bandwidth 155 Mbit/detik. Program The Heart of Borneo (HoB) merupakan kerja sama lintas-batas antar tiga negara (Indonesia, Brunei Darussalam, dan Malaysia) meliputi 220.000 km2 (22 juta hektar) hutan hujan tropis yang saling terhubung, yang terdiri dari jaringan daerah produktif yang dilindungi dan juga dikelola dengan baik, untuk memastikan pelestarian sumber daya keanekaragaman hayati dan air untuk kepentingan para pemangku kepentingan lokal, nasional, dan internasional. Kalimantan University Consortium akan menjadi tautan yang kuat antara riset, pendidikan, dan perluasan ilmu pengetahuan dan teknologi di Kalimantan terkait dengan isu perubahan iklim. Output dari konsorsium ini dapat diwujudkan menjadi kebijakan bersama-sama dengan para pengambil keputusan di tingkat lokal, nasional, regional dengan melibatkan 5 anggota inti perguruan tinggi negeri (UNPAR, UNMUL, UNTAN, UNLAM dan Universitas Borneo) dan 120 perguruan tinggi swasta di Kalimantan secara lebih erat. Indonesia Carbon Update (ICU) adalah sebuah inisiatif tahunan yang difasilitasi oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) dan mitra-mitra strategis yang bertujuan untuk memberi masukan terbaru kepada Pemerintah Indonesia (GoI) mengenai negosiasi global tentang perubahan iklim, khususnya isu-isu mitigasi; memperbarui informasi mengenai inisiatif yang sedang berjalan dan kemajuan aksi mitigasi Indonesia dalam mengurangi emisi GRK; berbagi pengetahuan, pengalaman, serta pemikiran untuk investasi aksi mitigasi; dan menemui investor dan pengembang proyek yang bersedia melaksanakan inisiatif karbon rendah di lapangan. Asia Forum Carbon Update (AFCU) merupakan forum tahunan antar para pemangku kepentingan utama di wilayah Asia dengan tujuan untuk berbagi gagasan dan pengalaman tentang pelaksanaan ekonomi karbon rendah dengan mengelaborasi berbagai masalah teknis/praktis; memperbarui inisiatif yang sedang berjalan dan kemajuan aksi mitigasi di Asia dalam mengurangi emisi GRK, terutama isu-isu terbaru seperti REDD+, MRV, pembiayaan iklim dan peningkatan kapasitas; dan mengembangkan setiap upaya kolaborasi potensial antara negara-negara Asia dalam mencari mekanisme yang layak dalam menanggulangi masalah perubahan iklim. Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
Membawa Masalah Lahan Gambut ke Komunitas Internasional Secara global, gambut hanya menempati 2,7% dari daratan dunia, tetapi ia menyimpan sekitar 30% cadangan karbon terestrial. Angka ini merupakan nilai karbon yang besar sekali yang berada di daerah lahan gambut, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis hutan lainnya di dunia. Indonesia memiliki kawasan lahan gambut terbesar di Asia Tenggara, dan merupakan salah satu dari lima negara besar pemilik lahan gambut tropis di dunia. Empat negara lainnya adalah Brasil, Republik Demokrasi Kongo, Papua Nugini, dan Malaysia. Menurut Joosten dan Clarke (2002) dalam Wetlands International (2011), sekitar 30 negara bertanggung jawab atas emisi GRK terbesar dari lahan gambut, termasuk di antaranya negara-negara non-Annex I. Mayoritas dari 130 juta hektar lahan gambut di negara-negara non-Annex I memiliki tutupan hutan alami, yang menyimpan sekitar 100 miliar ton karbon, yang sebagian besar tersimpan di dalam tanah. Degradasi lahan gambut di negara berkembang melalui drainase dan kebakaran gambut menyebabkan emisi karbon dioksida tahunan sebesar 1,2 miliar ton. Di Asia Tenggara, hilangnya lahan gambut terjadi sangat dramatis. Dalam 20 tahun terakhir, lebih dari 12 juta hektar lahan gambut telah mengering, dan lebih dari 3 juta hektar telah terbakar. Penyusutan luasan hutan gambut baru-baru ini adalah dua kali lebih besar dibandingkan dengan laju penyusutan luasan hutan lainnya. Perlu ada tindakan segera untuk menghentikan degradasi hutan gambut ini. Namun dalam konteks emisi global, lahan gambut belum dibahas secara khusus dan intensif. Pada UNFCCC, lahan gambut termasuk dalam kategori lahan basah dan telah dibahas oleh Ad Hoc Working Group on Further Commitments untuk negara-negara Annex 1 di bawah Protokol Kyoto (AWG-KP), khususnya di bagian Tata Guna Lahan, Perubahan Tata Guna Lahan dan Kehutanan (LULUCF). Sejauh ini, hanya ada sedikit upaya untuk mengangkat lahan gambut menjadi perhatian global. Kurangnya informasi, data yang lemah, dan ketidakpastian lainnya menghambat negara-negara pihak untuk mendiskusikan dan menegosiasikan lahan gambut di forum UNFCCC. Namun, aktivitas akunting baru sudah diusulkan untuk periode komitmen kedua untuk memberikan insentif guna mengurangi emisi dari drainase lahan gambut di negara-negara Annex 1. Definisi hutan UNFCCC mencakup semua hutan gambut, termasuk semua hutan gambut yang untuk sementara waktu ini destocked (gundul) karena secara alami dianggap kelak akan kembali menjadi hutan. Di masa depan, hutan-hutan gambut yang tidak kembali menghutan secara alami mungkin bisa juga dibahas di bawah mekanisme ini atau yang serupa.
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
25
Mekanisme REDD menawarkan peluang luar biasa untuk melindungi dan memulihkan hutan gambut. Namun dalam negosiasi REDD+, lahan gambut belum secara khusus diperlakukan sebagai komponen penting. Tak satu pun negara pihak memberi perhatian yang cukup untuk masalah ini. Kendala teknis dan politis adalah penghalang utama dalam membawa lahan gambut menjadi perhatian nasional atau global. Namun, dimasukkannya insentif untuk mendukung pengurangan emisi dari degradasi lahan gambut dan jenis hutan lainnya dengan cadangan karbon tinggi adalah sangat penting dalam mekanisme REDD. Mengurangi emisi dari lahan gambut di REDD dapat melibatkan lima bidang, seperti perlindungan sisa hutan gambut yang masih utuh; pemulihan lahan gambut terdegradasi dan terdrainase; pencegahan kebakaran hutan gambut; pembatasan pengembangan konsesi perkebunan baru di atas lahan gambut; dan pengurangan emisi dari perkebunan yang ada di lahan gambut. Jika kelima bidang ini dapat dijalankan dengan baik, dapat dipastikan bahwa sektor lahan gambut dapat berkontribusi dalam upaya untuk mengurangi emisi GRK sebesar 26% pada tahun 2020.
26
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
Referensi Anderson, J.A.R., 1983. The Tropical Peat Swamps of Western Malaysia. In: Gore, A.J.P. (ed), Mires: Swamp, Bog, Fen and Moor, Regional Studies. Ecosystems of the World. Elsevier, Amsterdam, pp. 181-199. Andrejko, M.J., Fiene, F. and Cohen, A.D., 1983. Comparison of ashing techniques for determination of the inorganic content of peats. In: Jarrett, P.M. (Ed.), Testing of Peats and Organic Soils. American Society for Testing and Materials, Philadelphia, pp. 5- 20 Andriesse, J.P., 1974. Tropical Lowland Peats of Southeast Asia.Communication, vol. 63. Koninklijk Instituutvoor de Tropen, Amsterdam. Andriesse, J.P., 1988. Nature and Management of Tropical Peat Soils. FAO Bulletin, vol. 59. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome. Arman, A., 1923. A Definition of Organic Soils - An Engineering Definition.Engineering Research Bulletin 101. Division of Engineering Research, Louisiana State University. Baton Rouge. University of Toronto Press. 1969. pp. 78-126. CSSC, 1987. The Canadian System of Soil Classification. Agriculture Canada Expert Committee on Soil Survey, Ottawa, Canada. Davis, J.H., 1946. The peat deposits of Florida: their occurrence, development and uses. Florida Geological Survey Bulletin 30. Tallahassee, FL. DNPI, 2011. DNPI Green Review on REDD+. Jakarta, Indonesia. Esterle, J.S., 1990. Trends in petrographic and chemikal characteristics of tropical domed peats in Indonesia and Malaysia as analogues for coal formation. PhD thesis, University of Kentucky, Lexington, KY, USA. Hardjowigeno, S. and Abdullah, 1987. Suitability of peat soils of Sumatra for agricultural development. International Peat Society. Symposium on Tropical Peat and Peatland for Development. Yogyakarta, 9-14 February 1987. Jansen, J.C., W.H. Diemont and N. Koenders, 1985. Peat development for power generation in West Kalimantan-An ecological appraisal. The Netherlands Economic Institute 3062 PA Rotterdam, The Netherlands. Jarrett, P.M., 1983. Summary of testing of peats and organic soils. In: Jarrett, P.M. (Ed.), Testing of Peats and Organic Soils. American Society for Testing and Materials, Philadelphia, pp. 233- 237. Joosten, H. and D. Clarke, 2002. Wise use of mires and peatland: A framework for decision-making. International Mire Conservation Group/International Peat Society. Kearns, F.L., Autin, W.J. and Gerdes, R.G., 1982. Occurrence and stratigraphy of organic deposits. St. Mary Parish, Louisiana. GSA Abstracts With Programs, N.E. and S.E. Sections. Louisiana Geological Survey (LGS), GSA annual meeting, Washington, DC, USA. 30.
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
27
Kementerian Kehutanan Indonesia, 2011. Petunjuk Teknis Penggunaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang kehutanan Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P.69/Menhut-II/2011. Kementerian Lingkungan Hidup, 2006. Tata Cara Pengukuran Kriteria Baku Kerusakan Tanah unuk Produksi Biomassa. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 07 Tahun 2006. Kementerian Pertanian Indonesia, 2009. Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. Peraturan Menteri Pertanian No: 14/Permentan/ PL.110/2/ Kivinen, E. and Heikurainen, L., 1979. Classification of peat and peatland. Proceedings of International Peat Society. Landva, A.O., Korpijaakko, E.O. and Pheeney, P.E., 1983. Geotechnical classification of peats and organic soils. In: Jarrett, P.M. (Ed.), Testing of Peats and Organic Soils. American Society for Testing and Materials, Philadelphia, pp. 37- 51. Mankinen, G.W. and Gelfer, B., 1982. Comprehensive use of peat in the U.S.S.R. DOE Fifth Technical Conference on Peat.U.S. Department of Energy, Bethesda, MD, pp. 44- 54. Moris, N., 1989. Composition of organic materials of peat soils in Peninsular Malaysia. In: Zauyah, S., Wong, C.B., Paramanathan, S. (Eds.), Recent Developments in Soil Genesis and Classification, Kuala Lumpur, Malaysia. Malaysian Society of Soil Science, Kuala Lumpur, MY, pp. 81- 87. Neuzil, S.G., 1997. Onset and rate of peat and carbon accumulation in four domed ombrogenous peat deposits, Indonesia. In: Rieley, J.O., Page, S.E. (Eds), Tropical Peatland. Samara Publishing Limited, Cardigan, pp. 55-72. Page, S.E., W端st, R.A.J., Weiss, D., Rieley, J.O., Shotyk, W. and Limin, S.H., 2004. A record of Late Pleistocene and Holocene carbon accumulation and climate change from an equatorial peat bog (Kalimantan, Indonesia): Implications for past, present and future carbon dynamics. Journal of Quaternary Science, 19, 625-635. Paramananthan, S., 1998. Malaysian Soit Taxonomy (Second Approximation): A Proposal for the Classification of Malaysian Soils. Malaysian Society of Soil Science, Param Agricultural and Soil Surveys (M) Sdn. Bhd., Kuala Lumpur, Malaysia. Phillips, S., 1995. Holocene evolution of the Changuinola peat deposit, Panama: sedimentology of a marine influenced tropical peat deposit on a tectonically active coast. PhD thesis, University of British Columbia, Vancouver, B.C., Canada. Polak, B., 1975. Character and Occurrence of Peat Deposits in the Malaysian Tropics. Modern Quaternary Research Southeast Asia 2, 71-81 Rieley, J.O. and S.E. Page., 2005. Wise Use of Tropical Peatland: Focus on Southeast Asia, ALTERRA. Wageningen University and Research Centre and the EU INCOSTRAPEAT and RESTOPEAT Partnerships, Wageningen, The Netherlands. Soil Survey Staff, 1990. US Soil Taxonomy. Keys to Sol Taxonomy. Soil Management Support Services Technical Monograph No. 19. Virginia Polytechnic Institute and State University, Blacksburg, VA.
28
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
Soil Survey Staff, 1996. Key to Soil Taxonomy. United State Department of Agriculture (USDA), Washington DC. Soil Survey Staff, 2010. Keys to Soil Taxonomy. United States Department of Agriculture Natural Resources Conservation Service. Eleventh Edition, 2010. Sorensen, K.W., 1993. Indonesian peat swamp forest and their role as a carbon sink. Chemosphere 27, no. 6: 1065-1082. Tie, Y.L., 1982. Soil Classification in Sarawak. Technical Paper No. 6, Soils Division Research Branch, Department of Agriculture, Sarawak, Malaysia. Tie, Y.L., 1990. Studies of peat swamps in Sarawak with particular references to soil - forest relationships and development of dome-shaped stuctures. PhD thesis, Polytechnic of North London, London, UK. W端st, R.A.J, Bustin, R.M. and Lavkulich, L.M., 2003, New classification systems for tropical organic-rich deposits based on studies of the TasekBera Basin, Malaysia, Catena, pp.133-163.
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia
29
30
Menuju Konsensus Definisi Lahan Gambut Indonesia