DARURAT KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN (KARHUTLA) HEALTH POLICY STUDIES ISMKI
I.
Latar Belakang Kebakaran hutan dan lahan bukan merupakan hal baru ditelinga masyarakat Indonesia, khususnya mereka yang menjadi korban secara langsung merasakan efek dari asap yang dihasilkan oleh api yang membakar ribuan hektar. Selama 15 tahun terakhir sebagian besar kebakaran di Indonesia terjadi di Sumatra Selatan, Kalimantan Tengah, dan Riau. Total kebakaran ketiga provinsi ini mencapai 44 persen dari semua kebakaran yang terjadi di Indonesia sejak 2001. ditahun 2015, jumlah peringatan titik api di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan mencapai lebih dari 27.000 peringatan, yang mana merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan rata-rata 5.500 peringatan di setiap provinsi pada lima tahun sebelumnya. Di Riau, tingkat kebakaran secara keseluruhan menurun, tetapi ada 4.058 kebakaran yang terdeteksi di tahun 2016, meskipun tahun itu adalah tahun basah. Jumlah ini lebih banyak empat kali lipat daripada jumlah kebakaran yang terdeteksi di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan, dua wilayah yang juga rawan kebakaran. Berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sampai Senin, 16 September 2019, pukul 16.00 WIB, titik panas ditemukan di Riau sebanyak 58, Jambi (62), Sumatera Selatan (115), Kalimantan Barat (384), Kalimantan Tengah (513) dan Kalimantan Selatan (178). Sedangkan, menurut data yang dilansir situs iku.menlhk.go.id secara harian, pada 16 September 2019 per pukul 15.00 WIB, Indeks Standar Pencemar Pencemar Udara (ISPU) di Palangkaraya (Kalimantan Tengah), mencapai angka 500. Artinya, kualitas udara di Palangkaraya ada pada level Berbahaya bagi semua populasi yang terpapar pada waktu tersebut. Angka ISPU itu berdasar parameter konsentrasi partikulat PM 10 atau partikel di udara berukuran lebih kecil dari 10 mikron. PM10 adalah partikel debu dan salah satu polutan yang membahayakan sistem pernapasan jika terhisap langsung ke paru-paru serta mengendap di alveoli sehinga mampu menyebabkan beberapa ganguan kesehatan, berdasarkan investigasi ditemuka bahwa kebakaran hutan ini merupakan praktik ‘and clearing’ dengan cara murah dan mudah memanfaatkan musim kemarau, Hingga 16 September 2019, polisi
memang sudah menetapkan 185 tersangka perseorangan dalam kasus karhutla. Namun, baru 4 korporasi menjadi tersangka terkait kasus karhutla di Riau, Kalbar dan Kalteng. Praktik seperti sangat merugikan masyarakat.
II.
Tinjauan Pustaka a) Kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (KARHUTLA) Berdasarkan data dari Direktorat PKHL Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI. luas kebakaran hutan dan lahan pada tahun 2014 mencapai total 44,411,36 Hektar, pada tahun 2015 terjadi meningkatan yang sangat menghawatirkan yaitu mencapai 2.611.411.44 hektar, tentu ini bukan merupakan sebuah prestasi. Sebagian besar kebakaran hutan di Indonesia disebabkan oleh manusia. Hutan negara dan lahan gambut-lanskap yang kaya karbon dan digenangi air menjadi pilihan popular untuk ekspansi pertanian-terlalu lembab menjadi penyebab terjadinya kebakaran secara alami. Oleh karena itu, lahan dseperti ini biasanya secara aktif dikeringkan dan dibakar untuk digunakan dsebagai lahan pertanian atau untuk mengusir warga ketika terjadi sengketa lahan Selama 15 tahun terakhir, sebagian besar kebakaran di Indonesia terjadi di Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Riau. Total kebakaran di ketiga provinsi ini mencapai 44 persen dari semua kebakaran yang terjadi di Indonesia sejak tahun 2001. Di tahun 2015, jumlah peringatan titik api di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan mencapai lebih dari 27.000 peringatan, yang mana merupakan peningkatan signifikan dibandingkan dengan rata-rata 5.500 peringatan di setiap provinsi pada lima tahun sebelumnya. Di Riau, tingkat kebakaran secara keseluruhan menurun, tetapi ada 4.058 kebakaran yang terdeteksi di tahun 2016, meskipun tahun itu adalah tahun basah. Jumlah ini lebih banyak empat kali lipat daripada jumlah kebakaran yang terdeteksi di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan, dua wilayah yang juga rawan kebakaran. Kini kebakaran terjadi lagi di Provindi Riau, Kalimantan dan Sematra, berdasar data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sampai Senin, 16 September 2019, pukul 16.00 WIB, titik panas ditemukan di Riau sebanyak 58,
Jambi (62), Sumatera Selatan (115), Kalimantan Barat (384), Kalimantan Tengah (513) dan Kalimantan Selatan (178). Sementara luas karhutla di Indonesia selama 2019, sesuai data KLHK, sudah mencapai 328.722 hektare. Dari data itu, kebakaran di Kalimantan Tengah tercatat seluas 44.769 hektare, Kalbar (25.900 ha), Kalsel (19.490 ha), Sumsel (11.826 ha), Jambi (11.022 ha) dan Riau (49.266ha) b) Bencana Asap Kejadian kebakaran hutan di musim kemarau 2019 kembali memicu bencana asap di banyak daerah. Laporan bencana asap pun bermunculan dari Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Menurut data yang dilansir oleh iku.menlhk.go.id secara harian, pada 16 September 2019 per pukul 15.00 WIB, Indeks Standar Pencemar Pencemar Udara (ISPU) di Palangkaraya (Kalimantan Tengah), mencapai angka 500. Artinya, kualitas udara di Palangkaraya ada pada level Berbahaya bagi semua populasi yang terpapar pada waktu tersebut. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) adalah laporan kualitas udara kepada masyarakat untuk menerangkan seberapa bersih atau tercemarnya kualitas udara dan bagaimana dampaknya terhadap kesehatan setelah menghirup udara tersebut selama beberapa jam/hari/bulan. Penetapan ISPU ini mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuhan, bangunan dan nilai estetika. ISPU ditetapkan berdasarkan 5 Pencemaran yaitu :
Karbon Monoksida (CO)
Sulfur Dioksida (SO2)
Nitrogen Dioksida (NO2)
Ozon Permukaan (O3)
Partikel debu (PM2,5 dan PM10)
c) Masalah Kesehatan Akibat Bencana Asap Dampak dari buruknya kualitas udara akibat karhutla kini mulai dirasakan oleh masyarakat yang tempat tinggalnya terpapar oleh kabut asap. Berikut sejumlah
penyakit
yang mengintai akibat
paparan
kabut
asap
karhutla berdasarkan Pusat Krisis Kesehatan, Kementerian Kesehatan : 1. Infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) Meski penyebab paling umum ISPA adalah virus dan bakteri, namun paparan kabut asap terus menerus dapat meningkatkan risiko seseorang terkena ISPA, terutama anak-anak dan lansia. Kondisi ini menyebabkan timbul penyakit-penyakit seperti rhinitis, sinusitis, disfungsi tuba eustachius, gangguan penciuman, dan sebagainya (Shusterman, 2010). Berdasarkan Data Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes, penderita ISPA di Riau pada 1-15 September 2019 mencapai 15.346 orang, di Jambi selama Juli-Agustus mencapai 15.047 orang, Sumatera Selatan dari MaretSeptember tertinggi ada di Palembang dengan jumlah 76.236 orang. Sementara di Kalimantan Barat data terakhir pada Juli berjumlah 15.468 orang, Kalimantan Tengah dari Mei September penderita ISPA tertinggi ada di Palngkaraya dengan jumlah 11.758 orang, Kalimantan Selatan data JuniAgustus tertinggi di Banjarbaru sebanyak 10.364 orang (Depkes RI, 2019). 2. Asma Faktor lingkungan seperti polusi, sulfur dioksida, nitrogen oksida, ozon, suhu dingin, dan kelembaban tinggi diketahui dapat memicu asma pada
individu yang rentan (Guidice dkk, 2014; Sarkissian, 2018). Studi lapangan menunjukkan bahwa insiden kekambuhan gejala asma dan rawat inap di rumah sakit meningkat pesat selama periode pencemaran udara (Sarkissian, 2018). 3. Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) PPOK merupakan penyakit radang paru, salah satu jenisnya ialah bronkitis. Kabut asap dapat memperburuk kinerja paru-paru dan dalam jangka panjang dapat memunculkan PPOK. Zat polutan partikulat seperti sulfat, nitrat, logam, dan hidrokarbon dapat memgakibatkan destruksi saluran napas karena ukuran dan sifat kimianya yang berbahaya. Partikel dengan ukuran <100 nm memiliki retensi paru yang lebih besar yang dapat menyebabkan peradangan dan fibrosis. Selain itu, karena juga termasuk dalam radikal bebas, partikel ultrafine menyebabkan stres oksidatif dan mengaktivasi faktor transkripsi untuk pro-inflamasi gen di makrofag dan sel epitel sehingga menyebabkan obstruksi saluran napas (Berend, 2016). 4. Penyakit jantung Kabut asap mengandung partikel polusi udara sekunder dengan campuran zat gas yang kompleks, seperti karbon monoksida (CO), karbon dioksida (CO2), nitrogen dioksida (NO2), dan nitrat oksida (NO3), serta Particulate Matter (PM). Sebagian besar partikel PM < 2,5 hingga 10 Îźm. Karena ukurannya yang sangat kecil, partikel ini dapat masuk ke saluran napas kemudian menembus alveolus hingga beredar di sirkulasi darah yang menyebabkan kerusakan pembuluh darah. Kerusakan pembuluh darah dank arena adanya radikal bebas ini dapat menyebabkan penyakit-penyakit cardiovaskuler seperti hipertensi, penyakit jantung, dan lain-lain (Jae-Lee dkk, 2014). 5. Iritasi Paparan kabut asap dapat berpengaruh langsung dan menyebabkan iritasi pada mata, tenggorokan, hidung. Termasuk memicu timbulnya sakit kepala hingga alergi. Iritasi ditandai dengan kemerahan, gatal, kering, hingga radang di jaringan yang terpapar.
III.
Pembahasan Kebakaran hutan pada tahun 2019 telah memicu bencana asap yang hari demi hari mengerogoti paru-paru masyarakat khususnya mereka yang berada di Provinsi Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimanta barat. Data pusat krisis kesehatan kemenkes menybut, penderita ISPA pada 1-15 September 2019 mencapai 15.346 orang. Sementara di Jambi selama bulan juli-agustud ada terinfeksi ISPA 15.047 orang Di Sumatera Selatan dari Maret-September sejumlah 76.236 orang, dengan penderita terbanyak berasal dari kota Palembang. Untuk Kalimantan Barat, data terakhir yang tersedia pada bulan Juli menyebut 15.468 orang terinfeksi ISPA. Sementara di Kalimantan Tengah dari Meiâ&#x20AC;&#x201C;September sejumlah 11.758 orang, dengan terbanyak ada di Palangka Raya. Untuk Kalimantan Selatan, per Juni-Agustus sebanyak 10.364 orang terinfeksi ISPA, dengan angka tertinggi di Banjarbaru Banyaknya
masyarakat
yang
mengalami
ISPA
tentu
sangat
mengambarkan buruknya kualitas udara, dan tentu hal ini menjadi perhatian kami
sebagai
mahasiswa
kedokteran.
Berdasarkan
Indeks
Standar
Pencemaran Udara (ISPU) rata-rata di angka 300 dan masuk dalam kategori berbahaya.
Terlepas dari isu pembakaran hutan yang merupakan tindakan kejahatan dari beberapa pihak yang tidak bertanggung jawab perlu ada perhatian yang besar terhadap dampak kesehatannya. Khususnya mereka yang berada diusia rentan yaitu anak-anak dan orang usia lanjut. ISMKI sampai saat ini terus melakukan usaha promotiv dan preventif, yang
merupakan aksi solidaritas yang dilakukan didepan kantor Gubernur Riau, memberikan bantuan berupa masker N95 dan surgical maks
Aksi solidaritas ini merupakan bukti kepedulian dari ISMKI dalam terus mengawal dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Namun sampai saat ini permasalahan asap tidak hanya dapat diselesaikan oleh salah satu pihak saja, namun perlu pengawalan dari berbagai pihak, mulai dari pemerintah, praktisi kesehatan dan masyarakat.
IV.
Kesimpulan Dalam Penyelesaian permasalahan ini membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak mulai dari pemerintah, praktik kesehatan dan masyarakat, maka kami dari ISMKI merekomendasikan : 1. Mengoptimalkan
upaya
untuk
dinas
kesehatan
Kabupaten/Kota/Provinsi berdasarkan Pusat krisis Kemenkes RI 2. Pemerintah
harus
mempersiapkan
rencana
strategis
untuk
menanggulangi bencana asap dikemudian hari 3. Mengawasi secara ketat pembakaran hutan dan memberikan sanksi untuk pelaku pembakaran hutan dan lahan 4. Menganalisis terperinci
kebakaran di
Sumatera
dan Kalimantan secara
DAFTAR PUSTAKA https://www.kominfo.go.id/content/detail/21540/pemerintah-minta-korbankarhutla-manfaatkan-pos-kesehatan/0/berita https://tirto.id/penyebab-dan-akibat-kebakaran-hutan-di-kalimantan-hinggasumatera-eic3 Shusterman, D. (2011). The effects of air pollutants and irritants on the upper airway. Proceedings of the American Thoracic Society, 8(1), 101–105. https://doi.org/10.1513/pats.201003-027RN Sarkissian Carol Der. (2018). Asthma Risk Factors. https://www.webmd.com/asthma/asthma-risk-factors#1 http://www.depkes.go.id/article/view/19091600001/korban-karhutladiminta-manfaatkan-pos-kesehatan.html Miraglia del Giudice, M., Allegorico, A., Parisi, G., Galdo, F., Alterio, E., Coronella, A., & Maiello, N. (2014). Risk Factors for Asthma. Italian Journal of Pediatrics, 40(1), 1–2. https://doi.org/10.1186/1824-7288-40-S1-A77 Berend, N. (2016). Contribution of Air Pollution to Copd and Small Airway Dysfunction. Respirology, 21(2), 237–244. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/pdf/10.1111/resp.12644 Byeong-Jae Lee, Kim B., & Lee, K. (2014). Air Pollution Exposure and Cardiovascular Disease. Toxicol Respirology, 30(2), 71-75 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4112067/