PROBLEMA BPJS

Page 1

KENAIKAN IURAN BPJS HEALTH POLICY STUDIES ISMKI NASIONAL


BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Kenaikan iuran BPJS menjadi topik yang sedang hangat diperbincangkan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Berbicara tentang kenaikan iuran BPJS seringkali dikaitkan dengan keadaan ekonomi rakyat Indonesia saat ini. Bisa dikatakan perekonomian masyarakat Indonesia dalam 5 tahun terakhir ini meningkat, hal ini dapat dilihat dari turunnya angka pengangguran. Dalam setahun terakhir, pengangguran berkurang 50 ribu orang. Selain itu, tercatat jumlah angkatan kerja pada Februari 2019 sebanyak 136,18 juta orang, naik 2,24 juta orang dibanding Februari 2018. 1 hal lagi yang dapat dilihat yakni menurunnya jumlah penduduk miskin. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2014 jumlah penduduk miskin mencapai 27,73 juta jiwa atau sekitar 10,96%dari total populasi, Per Maret 2019, jumlah penduduk miskin sebesar 25,14 juta jiwa. Jumlah ini menurun 2,59 juta jiwa dibanding posisi September 2014, sebulan sebelum Jokowi menjabat sebagai presiden. Demikian pula persentase penduduk miskin turun 155 basis poin menjadi 9,41%. Meskipun perekonomian masyarakat Indonesia meningkat bukan berarti dapat disimpulkan bahwa perekonomian Indonesia sedang baik-baik saja. Bukti nyatanya adalah defisit BPJS yang belum teratasi. Pada 2014, defisit keuangan yang dialami BPJS Kesehatan hanya mencapai Rp 1,9 triliun. Kemudian di tahun 2015, melonjak menjadi Rp 9,4 triliun. Lalu turun pada 2016 menjadi Rp 6,7 triliun dan kembali melonjak menjadi Rp 13,8 triliun pada 2017. Sementara tahun lalu, defisit BPJS Kesehatan mencapai Rp 9,1 triliun. Penyebab defisit BPJS adalah gagal bayar dengan nominal sebesar Rp 9,1 triliun di 2018 yang dicarry over hingga 2019. Pertanyaan yang sering terbersit adalah, dapatkah defisit BPJS terselesaikan dengan dinaikkannya iuran BPJS?

1.2. Penyebab Kenaikan Iuran BPJS Mengutip dari penjelasan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, ada empat akar masalah defisit BPJS Kesehatan.


1. Struktur iuran BPJS masih di bawah perhitungan aktuaria atau underpriced. Nominal iuran yang masih terbilang rendah namun digunakan untuk berbagai permasalahan kesehatan dengan jumlah peserta yang cukup banyak. 2. Ketidaktegasan kebijakan penarikan iuran BPJS, sehingga banyak Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dari sektor mandiri atau informal yang hanya mendaftar pada saat sakit lalu berhenti membayar iuran setelah mendapatkan layanan kesehatan. Hal ini, menurut dia, tentu harus diantisipasi dengan memperbaiki kebijakan. 3. Rendahnya tingkat keaktifan peserta mandiri atau informal, yakni hanya sekitar 54% dengan tingkat penggunaan yang dinilai sangat tinggi. 4. Beban pembiayaan BPJS Kesehatan pada penyakit katastropik

yang

sangat besar, yakni lebih dari 20% dari total biaya manfaat.

1.3. Tujuan dan Manfaat Seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya, kenaikan iuran BPJS ini bertujuan untuk mengatasi defisit BPJS. Baik yang telah terjadi maupun sebagai upaya preventif. Selain itu, dibarengi dengan beberapa upaya yang mendukung keberlanjutan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Upaya tersebut antara lain berupa perbaikan sistem dan manajemen JKN, penguatan peranan pemerintah daerah, dan penyesuaian iuran peserta JKN. Dari sisi perbaikan sistem dan manajemen JKN, menurut dia, perlu dilakukan perbaikan database peserta, optimalisasi kepesertaan badan usaha, serta perbaikan sistem pembayaran dan pemanfaatan dana kapitasi.


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Undang-Undang Terkait Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menjelaskan bahwa Jaminan social adalah salah satu bentuk perindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, pada dengan asas kemanusiaan, asas manfaat dan asas keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan/atau anggota keluarganya berdasarkan prinsip kegotong-royongan, nirbala, keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat dan hasil pengelolaan dana jaminan social dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besar kepentingan peserta. Untuk besaran iuran ditetapkan program secara berkala sesuai dengan perkembangan social, ekonomi dan kebutuhan dasar hidup yang layak 2.2. Sejarah BPJS Dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, bangsa Indonesia telah memiliki sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan sistem jaminan sosial nasional perlu dibentuk badan penyelenggara yang berbentuk badan hukum publik berdasarkan prinsip kegotongroyongan, nirlaba, keterbukaan, kehatihatian, akuntabilitas, portabilitas, kepesertaan bersifat wajib, dana amanat, dan hasil pengelolaan Dana Jaminan Sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan sebesar-besarnya untuk kepentingan Peserta. Sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional maka dibentuk Badan penyelenggara Jaminan Sosial

melalui

Undang-Undang

Nomor

24

Tahun

2011

tentang

Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial. Dengan Undang-Undang ini dibentuk 2 (dua) BPJS yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan mulai beroperasi menyelenggarakan Program Jaminan Kesehatan pada tanggal 1 Januari 2014 dan merupakan transformasi kelembagaan


PT Askes (Persero). Namun, sebelum terbentuk BPJS, ada beberapa badan pemelihara kesehatan di Indonesia yang sebelumnya telah terbentuk, antara lain : 1. Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK) (1968) Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan yang secara jelas mengatur pemeliharaan kesehatan bagi Pegawai Negeri dan Penerima Pensiun (PNS dan ABRI) beserta anggota keluarganya berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 230 Tahun 1968. Menteri Kesehatan membentuk Badan Khusus di lingkungan Departemen Kesehatan RI yaitu Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), dimana oleh Menteri Kesehatan RI pada waktu itu (Prof. Dr. G.A. Siwabessy) dinyatakan sebagai embrio Asuransi Kesehatan Semesta. 2. Perusahaan Umum Husada Bhakti (1984-1991) Untuk lebih meningkatkan program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi peserta dan agar dapat dikelola secara profesional, Pemerintah menerbitkan

Peraturan

Pemerintah

Nomor

22

Tahun

1984

tentang

Pemeliharaan Kesehatan Bagi Pegawai Negeri Sipil, Penerima Pensiun (PNS, ABRI dan Pejabat Negara) beserta anggota keluarganya. Dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 1984, status badan penyelenggara diubah menjadi Perusahaan Umum Husada Bhakti. Berdasarkan Peraturan Pemerintah

Nomor

69

Tahun

1991,

kepesertaan

program

jaminan

pemeliharaan kesehatan yang dikelola Perum Husada Bhakti ditambah dengan Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya. Disamping itu, perusahaan diijinkan memperluas jangkauan kepesertaannya ke badan usaha dan badan lainnya sebagai peserta sukarela. 3. PT Askes (Persero) (1992 – 2013) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1992 status Perusahaan Umum (Perum) diubah menjadi Perusahaan Perseroan (PT Persero) dengan pertimbangan fleksibilitas pengelolaan keuangan, kontribusi kepada Pemerintah dapat dinegosiasi untuk kepentingan pelayanan kepada peserta dan manajemen lebih mandiri. Pada tahun 2004 sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, PT Askes (Persero)


sebagai salah satu calon Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Berdasarkan

Keputusan

Menteri

Kesehatan

RI

Nomor

1241/Menkes/XI/2004 PT Askes (Persero) ditunjuk sebagai penyelenggara Program Jaminan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (PJKMM). PT Askes (Persero)

mendapat

penugasan

untuk

mengelola

kepesertaan

serta

pelayanan kesehatan dasar dan rujukan. Di tahun 2008, Pemerintah mengubah nama Program Jaminan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin (PJKMM) menjadi Program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). PT Askes (Persero) berdasarkan Surat Menteri Kesehatan RI Nomor 112/Menkes/II/2008 mendapat penugasan untuk melaksanakan Manajemen Kepesertaan Program Jamkesmas yang meliputi tatalaksana kepesertaan, tatalaksana pelayanan dan tatalaksana organisasi dan manajemen. Untuk mempersiapkan PT Askes (Persero) bertransformasi menjadi BPJS Kesehatan atas diberlakukannya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang SJSN, maka dilakukan pemisahan Program Askes Sosial dan Askes Komersial. Dan tahun 2008 dibentuk anak perusahaan PT Askes (Persero) yaitu PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia, yang didirikan berdasarkan Akta Notaris Nomor 2 Tahun 2008, tanggal 6 Oktober 2008 dengan perubahan Nomor 7 tanggal 18 Desember 2008 dengan Akta Nomor 4 tanggal 13 Maret 2009. Pada tanggal 20 Maret 2009 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor Kep-38/KM.10/2009 PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia selaku anak perusahaan dari PT Askes (Persero) telah memperoleh ijin operasionalnya. Dengan dikeluarkannya ijin operasional ini maka PT Asuransi Jiwa InHealth Indonesia mulai beroperasi secara komersial pada 1 April 2009. PT Askes (Persero) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2009 ditugaskan untuk menyelenggarakan jaminan kesehatan bagi para menteri dan pejabat tertentu (Program Jamkesmen). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Dewan Komisaris dan Direksi PT Askes (Persero) sampai dengan beroperasinya BPJS Kesehatan ditugasi untuk: (a)


menyiapkan operasional BPJS Kesehatan untuk program jaminan kesehatan. (b) menyiapkan pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban PT Askes (Persero) ke BPJS Kesehatan. 4. BPJS Kesehatan (2014 – sekarang) Berdasarkan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial maka pada tanggal 1 Januari 2014 PT Askes (Persero) bertransformasi kelembagaan menjadi BPJS Kesehatan. Transformasi tersebut diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban. Sejak beroperasinya

BPJS

Kesehatan,

Kementerian

Kesehatan

tidak

lagi

menyelenggarakan program jaminan kesehatan masyarakat, Kementerian Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia tidak lagi menyelenggarakan program pelayanan kesehatan bagi pesertanya, kecuali untuk pelayanan kesehatan tertentu berkaitan dengan kegiatan operasionalnya yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden dan PT Jamsostek (Persero) tidak lagi.

2.3. Data Statistik Sebaran BPJS Dalam lima bulan terakhir, jumlah peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terus meningkat. Pada 1 September 2018, jumlah peserta mencapai 201.660.548 jiwa. Jumlah peserta BPJS pada 1 Februari 2019 mencapai 217.549.455 jiwa atau meningkat 15,8 juta, setara 7,8 persen. Demikian data yang dikutip dari laman resmi BPJS. Dengan angka 217 juta jiwa ini, artinya jumlah peserta BPJS Kesehatan telah mencapai 81,8 persen dari total penduduk Indonesia yang sekitar 265 juta jiwa. Namun, angka ini masih terpaut sekitar 13,2 persen dari target pemerintah. Sebelumnya, pemerintah telah menargetkan angka peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) di BPJS Kesehatan pada 2019 bisa mencapai 95 persen dari total penduduk. Direktur Kepatuhan, Hukum, dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan Bayu Wahyudi pada 3 September 2018 lalu mengatakan persoalan geografi menjadi salah satu kendala menggaet lebih banyak peserta. Bayu menuturkan Indonesia


memiliki 170 ribu lebih pulau dan sebagian tinggal di pedalaman. Dengan demikian, akses untuk menjangkau mereka tidak mudah. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia Puan Maharanipernah menyatakan baha pemerintah sedang berupaya memenuhi target. "Tapi perlu tahapan." Penambahan tak hanya terjadi dari sisi peserta, tapi juga fasilitas kesehatan alias faskes mitra BPJS Kesehatan. Jika pada 1 September 2019 jumlahnya sekitar 22.467 faskes, maka per 1 Februari 2019 tak banyak terjadi penambahan, karenanya mencapai 22.999 faskes.



BAB III PERMASALAHAN

Indonesia merupakan negara yang berkembang dengan berbagai polemik yang terus dihadapi oleh masyarakatnya. Salah satu problematika yang tak pernah luput dari sorotan masyarakat adalah problematika dalam bidang kesehatan. Tentu hal inilah yang menjadi sebab setiap masyarakat selalu mendambakan untuk hidup dengan keadaan sehat dan sejahtera. Namun, di tengah-tengah keinginan tersebut terdapat berbagai permasalahan yang tak kunjung tuntas untuk dibahas salah satunya ialah masalah penjaminan kesehatan yang diberikan pemerintah. Kesinambungan program BPJS merupakan tanggung jawab bersama antara BPJS Kesehatan dengan seluruh pemangku kepentingan, dan tidak luput pula perlunya dukungan dari Pemerintah. Tanpa itu, mustahil program ini dapat terus berlangsung dan memberikan dampak positif bagi seluruh masyarakat (status kesehatan dan pertumbuhan ekonomi). Tantangan pelaksanaan program BPJS saat ini dihadapkan pada persoalan tingkat kesehatan keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS) yang mengalami defisit karena besaran iuran yang belum memadai dibandingkan dengan luasnya manfaat yang ditetapkan. Mendekati pergantian tahun, BPJS kesehatan pun memasang target untuk menyelesaikan solusi-solusi bagi pekerjaan rumah tersebut. Salah satunya dengan merevisi iuran bulanan peserta. BPJS Kesehatan menyatakan

kenaikan iuran

diperlukan untuk menghindari defisit yang semakin parah. Direktur Utama BPJS Kesehatan, menjelaskan bahwa salah satu penyebab dari defisit BPJS adalah iuran belum sesuai dengan hitungan aktuaria. Tahun ini, defisit BPJS kesehatan diproyeksikan sudah mencapai Rp 32,8 triliun, angka ini akan terus membengkak jika tanpa pembenahan. Berdasarkan rapat yang dilakukan sebelumya, Menteri Keuangan yang katanya “Menteri terbaik di dunia�telah mengusulkan kenaikan iuran dua kali lipat dari iuran sebelumnya. Artinya, peserta JKN kelas I yang tadinya membayar Rp. 80.000 perbulan harus membayar sebesar Rp. 160.000. kemudian peserta JKN kelas II membayar 110.000 dari sebelumya Rp. 51.000. Sementara peserta JKN mandiri kelas III yang tadinya hanya


membayar iuran sebesar Rp. 25.500 harus menaikkan iuran bulanan menjadi Rp. 42.000 per bulan. Mengapa bisa demikian? Mari kita simak selanjutnya. 3.1. Masalah Kenaikan premi BPJS a. Katanya sih, BPJS Kesehatan diharapkan dapat menyelenggarakan program jaminan sosial kesehatan yang berkualitas dan berkesinambungan. Faktanya, terdapat permasalahan mendasar bahwa premi yang harus dibayarkan peserta belum sesuai dengan hitungan para ahli atau belum sesuai hitungan akturia yang lazim digunakan dalam program seperti ini. b. BPJS terus menerus mengalami defisit dalam perjalanannya hingga saat ini BPJS telah mengalami defisit iuran hingga Rp. 19 Triliun hal ini dapat menyebabkan kebangkrutan pada BPJS sendiri sedangkan masalah kesehatan belum tentu teratasi c. Tantangan pelaksanaan program saat ini juga dihadapkan pada persoalan tingkat kesehatan keuangan Dana Jaminan Sosial (DJS), yang mengalami defisit karena besaran iuran yang belum memadai dibandingkan dengan luasnya manfaat yang ditetapkan. d. Masyarakat dirugikan dengan adanya kenaikan premi BPJS dimana sesuai dengan dasarnya BPJS dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin justru tidak boleh sakit. Lantas dimana akar penyebab masalahnya? Pengelolaan keuangan menjadi hal yang sangat substansial dalam penyelenggaraan program JKN oleh BPJS Kesehatan. Disinilah pusat kelemahannya. Seiring bertambahnya peserta BPJS yang berdampak pada peningkatan akses kepada fasilitas kesehatan, BPJS Kesehatan menghadapi situasi yang kontradiktif antara kualitas layanan dengan risiko keuangan yang harus dikelola. Setiap upaya peningkatan kualitas layanan kepada peserta membawa konsekuensi peningkatan risiko pembiayaan pelayanan kesehatan. Sebagaimana diketahui, di tahun pertama berjalannya Program BPJS, terjadi adverse selection yang menyebabkan tingginya tingkat pemanfaatan yang akhirnya berdampak pada biaya pelayanan kesehatan yang melonjak. Kecenderungan masyarakat

untuk

mendaftar

ketika

sakit

masih

terjadi,

meskipun

sudah

diberlakukan masa aktif 14 hari. Oleh karena itu, BPJS Kesehatan terus berupaya meminimalkan adverse selection, demi mendorong terjadinya subsidi silang secara


adil. Terkait peningkatan kolektabilitas iuran peserta khususnya pada segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), telah dibangun sistem pembayaran iuran yang efektif. Adapun untuk iuran peserta bukan penerima upah (mandiri) terdiri atas tiga kelas. Iuran kelas I naik 50% dari Rp 80 ribu menjadi Rp 120 ribu, kelas II naik 47,1% dari Rp 51 ribu menjadi Rp 75 ribu, dan kelas III naik 64,71% dari Rp 25,5 ribu menjadi Rp 42 ribu. Menteri Keuangan Sri Mulyani juga mengusulkan kenaikan iuran BPJS hingga lebih dari 100%. Ia mengusulkan iuran peserta mandiri kelas I naik 100% menjadi Rp 160 ribu dan kelas II naik 116% menjadi Rp 110 ribu. Adapun iuran untuk kelas III usulan kenaikannya sama seperti usulan DJSN.

Sumber: Usulan kenaikan iuran BPJS untuk peserta mandiri dan DJSN dari Sri Mulyani BPJS,2019

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selalu mengalami defisit. Pada 2019, Kementerian Keuangan Sri Mulyani memperkirakan defisit BPJS Kesehatan akan mencapai Rp 32,8 triliun. Maka dari itu, pemerintah merencanakan kenaikan iuran BPJS. Salah satu pihak yang memberikan usulan adalah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). DJSN mengusulkan kenaikan iuran untuk penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 42 ribu, naik 82,61% dari iuran sebelumnya yang sebesar Rp 23 ribu. Sementara untuk iuran penerima upah pemerintah diusulkan menjadi 5% dari take homepay dari sebelumnya 5% dari gaji


pokok ditambah tunjangan keluarga. Untuk badan usaha batas atas upah, iurannya naik menjadi Rp 12 juta dari sebelumnya Rp 8 juta dengan besaran persentase iuran tetap sebesar 5%. Tidak optimalnya tingkat kolektibilitas iuran selain disebabkan oleh rendahnya kemampuan untuk membayar (ability to pay) atau kesediaan untuk membayar (willingness to pay), tetapi juga dikarenakan informasi tentang saluran (channel) pembayaran dan tata cara pembayaran iuran belum sepenuhnya dipahami dengan baik oleh peserta. Oleh karena itu, selain sosialisasi yang berkesinambungan, ketersediaan payment point terus dikembangkan dan semakin diperluas, mulai dari kanal konvensional hingga iuran, sosialisasi secara cermat, kontinu dan efektif terus dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan dalam membayar iuran. digital, guna memastikan dan mempermudah masyarakat memahami tata cara pembayaran. Kenaikan tarif BPJS ini bukankah akan menimbulkan resiko gagal bayar yang lebih besar nantinya? Belum lagi banyak mengeluhkan

mengenai

pelayanan

yang

masyarakat yang

diberikan kepada

peserta

BPJS.

"PelayananBPJS tidak maksimal, pasien lama d itang an i dan harus mengurus segala administrasi yang melelahkan sementara pasien membutuhkan pelayanan yang cepat� Demikian ungkapan kekecewaan yang sering di keluhkan .Bahkan ada pasien terkadang Justru terlantar dan terabalkan. Berdasarkan data yang kami kumpulkan, dikutip dari the conversation Indonesia yang ditulis oleh Irwandy bahwa Defisit Keuangan ini dampaknya paling dirasakan oleh fasilitas pelayanan kesehatan, khususnya rumah sakit, penelitiannya di Provinsi Sulawesi Selatan pada 25 rumah sakit pemerintah yang berstatus Badan Pelayanan Umum Daerah (BLUD) dan bergabung dengan program JKN menunjukan 14 rumah sakit (56%) masuk kategori tidak efisien dan hanya 11 rumah sakit (44%) yang efisien. Efisiensi dalam konteks ini adalah ukuran yang menunjukan perbandingan pencapaian output actual yang di hasilkan rumah sakit dengan output maksimal yang seharusnya dapat dicapai oleh rumah sakit dengan menggunakan kombinasi dari input yang dimiliki. Indikator input dalam penelitian ini terdiri dari luas bangunan rumah sakit, total aset, total biaya operasional dan total biaya farmasi RS. Sedangkan

indikator output terdiri

dari

jumlah

pasien,

jumlah

pemeriksaan

laboratorium, jumlah tindakan operasi, total pendapatan operasional RS, angka rata-


rata lamanya pasien dirawat, dan rata-rata jumlah hari sebuah tempat tidur tidak terisi. Ada kemungkinan

BPJS telah memberikan pelayanan kesehatan yang

terbaik dan telah merata untuk semua peserta sehingga BPJS mengalami defisit Tetapi ada kemungkinan yang lain pula. Seperti yang kita kelahui bahwa keuangan BPJS sampai saat ini masih terbantu dari berbagai pihak. Pertanyaan sekarang jlka keuangan BPJS masih bisa di bantu mengapa harus dinaikkan? Padahal kita ketahui bahwa target Indonesia untuk menuju Universal Health Coverage (UHC) semua warga kesehatan .iuran

Indonesia harus

terdaftar dalam jaminan

BPJS yang kemarin saja masih belum semua warga

Indonesia yang menjadi peserta apalagi dengan kenaikan iuran BPJS sekarang akan semakin mengurangi niat warga untuk menjadi peserta JKN. BPJS Merupakan Urusan Berbagai Pihak a. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan selalu mengalami defisit. Pada 2019, Kementerian Keuangan Sri Mulyani memperkirakan defisit BPJS Kesehatan akan mencapai Rp 32,8 triliun. Maka dari itu, pemerintah merencanakan kenaikan iuran BPJS. Salah satu pihak yang memberikan usulan adalah Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). DJSN mengusulkan kenaikan iuran untuk penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp 42 ribu, naik 82,61% dari iuran sebelumnya yang sebesar Rp 23 ribu. Sementara untuk iuran penerima upah pemerintah diusulkan menjadi 5% dari take homepay dari sebelumnya 5% dari gaji pokok ditambah tunjangan keluarga. Untuk badan usaha batas atas upah, iurannya naik menjadi Rp 12 juta dari sebelumnya Rp 8 juta dengan besaran persentase iuran tetap sebesar 5%. b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tak sepakat iuran BPJS Kesehatan naik dua kali lipat seperti yang diusulkan oleh Mentri Keuangan Sri Mulyani. DPR menilai iuran itu bakal membuat peserta malas membayar. Anggota Komisi XI, Ichsan Firdaus mengatakan jumlah peserta yang menunggak akan semakin banyak jika iuran dinaikkan hingga 100 persen dari sebelumnya. Dengan demikian, keuangan BPJS pun akan semakin memburuk dari sekarang.


c. Komisi IX dan XI DPR dalam rapat gabungan yang digelar id gedung parlemen di Jakarta, menolak usulan pemerintah yang ingin menaikkan iuran Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III.


BAB IV PERNYATAAN SIKAP ISMKI

1. Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) Mendesak Presiden untuk melakukan Penundaan Kenaikan Iuran BPJS 2. Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) Meminta Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) untuk membuat Naskah Akademik dalam Penentuan Kenaikan Iuran BPJS 3. Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI)

Meminta Menteri

Kesehatan Kembalikan serta Optimalisasi fungsi Puskesmas dalam tindakan Preventif dan Promotif 4. Ikatan

Senat

Mahasiswa

Kedokteran

Indonesia

Pengoptimalan Koordinasi antara 3 pihak  Pemerintah sebagai regulator  BPJS Kesehatan sebagai operator  Dokter sebagai kalangan organisasi profesi

(ISMKI)

Menghimbau


DAFTAR PUSTAKA

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/01/07/awal-2019-fasilitas-kesehatan-bpjshampir-mencapai-28-ribu-unit https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190313171811-81-376965/infografis-datapeserta-bpjs-kesehatan-dari-tahun-ke-tahun https://katadata.co.id/berita/2019/08/21/sri-mulyani-beberkan-empat-penyebab-defisit-bpjskeuangan http://www.jkn.kemkes.go.id/attachment/unduhan/UU%20No.%2040%20Tahun%202004%20tentang %20SJSN.pdf


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.