TEMU PAKAR MENGUPAS MASA DEPAN BPJS DI TAHUN KE-6
TEMU PAKAR MENGUPAS MASA DEPAN BPJS DI TAHUN KE-6 Hari/Tanggal Waktu Tempat Moderator Materi Rapat Panelis hari ini :
: Senin 22 Juli 2019 : 16.30 -20.30 : Hotel Grand Picasso : Rizki Rinaldi : Pembahasan BPJS
Taufik Supriyana Trisaputra, S.Ked Timboel Siregar dr. Irwanda Djamil
Diskusi dibuka secara berurutan oleh Taufik Supriyana Trisaputra, S.Ked yang membawakan hasil kajian mahasiswa kedokteran se-Indonesia dalam kurun waktu 2 tahun terakhir, dr. Irwanda Djamil selaku pemilik FKTP di daerah Pontianak, dan Timboel Siregar selaku koordinator advokasi BPJS Watch yang membawakan data-data dari BPJS Watch.
Kajian Mahasiswa Pada sesi ini, Taufik Supriyana selaku Sekjend ISMKI memaparkan kajian mahasiswa berfokus pada tiga poin yakni kepesertaan, relasi BPJS-Faskes dan defisit BPJS, namun karena perihal durasi, yang disampaikan adalah data dari survei kepada mahasiswa dari angkatan 2013-2018 sebanyak 83 fakultas kedokteran yang mempunyai kartu BPJS hanya 76%, sedangkan 16% tidak memiliki keanggotan BPJS dan 6% lainnya tidak mengetahui apakah memiliki keanggotan BPJS dan/atau tidak. Selain itu mahasiswa yang melihat iklan BPJS di sosial media (youtube, instagram) kebanyakan tidak melihat iklan BPJS ISMKI memiliki beberapa poin Rekomendasi untuk keberlangsungan BPJS , hal ini menunjukkan bahwa kepesertaan BPJS dikalangan mahasiswa itu sendiri masih belum optimal dan pengetahuan dasar terkait BPJS pun masih rendah.
Pelaku FKTP
Dr.
Irwanda
Djamil
selaku
pemilik
salah
satu
FKTP
memaparkan
pandangannya bahwa terdapat ketimpangan antara faskes Swasta dan puskesmas dalam urusan kapitasi, dimana pada FKTP swasta kapitasi diberlakukan Rp. 8000 dan Rp. 10.000 jika ada layanan kedokteran gigi, sedangkan pada puskesmas kapitasi diberlakukan Rp. 6.000 dan Rp. 8.000 jika ada layanan kedokteran gigi. Pada sesi ini pula, dr. Irwanda menyampaikan relasi BPJS dan FKTP saat ini menjadi lebih mudah karena proses digitalisasi. Seperti Mobile JKN yang saat ini disediakan sudah User Friendly, proses tracking menjadi lebih mudah bahkan bisa untuk melihat anggota keluarga mempunyai BPJS atau tidak melalui Nomor NIK yang sudah terintegrasi di DUKCAPIL, serta adanya hafis P-Care dan rujukan online yang sangat membantu FKTP. Sempat ditanyakan pula kepada dr. Irwanda apakah polemik tunggakan BPJS juga terjadi di FKTP beliau. Namun ternyata, pada kasus FKTP tiap klaim kapitasi selalu dibayarkan tepat waktu per tanggal 15. Sedangkan, klaim non kapitasi selalu dibayarkan terlambat. Hal ini menambah data mahasiswa yang mencatat tunggakan BPJS kepada FKTP dan FKTL memiliki perbedaan yang signifikan. Diakhir sesi, panelis dr. Irwanda berpesan untuk saat ini peran mahasiswa adalah mengajak masyarakat untuk memiliki BPJS segera.
Pemaparan BPJS Watch Pak Timboel Siregar menyampaikan bahwa JKN merupakan program sebuah negara untuk membantu rakyat dalam hal Kesehatan yang secara langsung berarti bahwa JKN merupakan hak konstitusional seluruh warga negara Indonesia. Terdapat 5 program JKN: JKN (Jaminan Kesehatan Nasional), JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja), JKM (Jaminan Kematian), JHT (Jaminan Hari Tua), JP (Jaminan Pensiun). Dalam cita-cita mencapai Universal Health Coverage (UHC) setidaknya WHO mendefinisikan 3 dimensi UHC : 1. Presentase peserta yang dijamin 2. Pelayanan yang dijamin serta kesiapan faskes 3. Pembiayaan JKN
Berbicara tentang presentase yang dijamin, sampai saat ini untuk mencapai target 31 Desember 2019 keanggotaan BPJS mencapai 254 juta atau 95%
masyarakat Indonesia, BPJS masih kekurangan 32 juta peserta dalam jangka 6 bulan kedepan. Sehingga cita-cita kepesertaan penuh tampaknya masih belum bisa tercapai akhir 2019. Sedangkan bebicara tentang pembiayaan JKN diprediksikan terjadinya defisit BPJS pada tahun 2019 sebesar 28 Triliun Rupiah yang berdampak langsung pada hambatan pelayanan. Hambatan pelayanan ini, akhir-akhir ini sempat muncul ke permukaan melalui tweet direktur RSCM yang menyampaikan bahwa RSCM sebagai rujukan nasional pun mengalami hambatan dan bahkan sempat mengirimkan pasiennya pulang karena tidak dapat dilakukannya operasi akibat habisnya obat bius. Padahal, dalam undang-undang rumah sakit no. 44 pasal 2 menjamin keselamatan pasien. Tetapi dalam hal ini ada rumah sakit yang tidak mampu menangani pasien karena kekurangan supply untuk proses pengobatan pasien.
Hambatan
pelayanan
lainnya
juga
berupa
penyakit-penyakit yang
dihilangkan dalam tanggungan BPJS untuk menanggulangi defisit BPJS itu sendiri, dilain sisi beberapa obat dalam formularium nasional juga dicabut. Dalam pembiayaan JKN sendiri biaya paling besar untuk BPJS adalah PBIAPBN. Namun, untuk utilisasi BPJS sendiri justru lebih besar pada golongan PBPU. Hal ini dapat diartikan bahwa pembiayaan terbesar pada klaim BPJS sendiri terjadi pada golongan PBPU. Lemahnya utilisasi PBI dapat terjadi karena tidak semua kalangan pra-sejahtera memiliki kartu JKN dan apabila memiliki kartu pun belum tentu paham bagaimana cara menggunakan kartunya, serta terdapatnya beberapa kasus dimana pelaksanaan rujukan di beberapa daerah secara ekonomi tidak sesuai dengan peserta PBI. Selain itu kerugian BPJS banyak terjadi akibat. ketidakmampuan pemerintah untuk menaikkan iuran sehingga defisit BPJS semakin tinggi dan tindakan yang dilakukannya hanyalah dengan pemberian suntikan dana. Kinerja direksi juga mempengaruhi defisit BPJS karena masyarakat kurang kesadaran atas pembayaran BPJS
sehingga
tunggakan
semakin
tinggi.
Faktor-faktor
lain
juga
dapat
mempengaruhi defisit BPJS ialah Missmatch yang berupa income dan outcome yang tidak seimbang serta peningkatan penyakit katastropik dalam penyakit jantung, kanker, dan ginjal. Defisit BPJS akan berpengaruh terhadap kelangsungan kesembuhan pasien, baik berupa pelayanan, sarana prasarana, serta obat obatan. Regulasi yang berubah-ubah juga menghambat rumah sakit untuk mendapatkan income,
sementara rumah sakit butuh untuk keberlangsungan rumah sakit tersebut dan regulasi yang berubah-ubah ini juga membuat masyarakat tidak mengetahui regulasi JKN akibat berubah ubahnya regulasi JKN
SESI DISKUSI PANELIS Pertanyaan 1 Apakah penaikan premi justru berpotensi merugikan masyarakat ?
Tidak. Tidak jika kenaikan premi mengikuti hitungan aktuaria yang sebenarnya. Karena kenaikan premi terutama pada kalangan PBPU kelas 3 bisa ditekan hanya hingga Rp. 4.000 per orang per bulan. Dan kenaikan premi utamanya ditujukan pada kalangan menengah atas dan PBI-APBN dan PBI-APBD yang pada hitungan ini seharusnya BPJS mendapat tambahan dana sebesar 20 Triliun.
Pertanyaan 2 Apakah ada regulasi denda pada penunggak BPJS?
Berbicara tentang regulasi, permasalahan utama di negeri ini bukanlah ada atau tidaknya regulasi. Tapi, penegakkan regulasi dan penegakkan hukum di Indonesia. Seharusnya, merujuk pada Peraturan Pemerintah, seharusnya per 1 Januari 2019 ketidakpemilikan atas BPJS mendapat denda atas tidak terbukanya pelayanan publik, baik per orang maupun swasta yang tidak mengurus BPJS pegawainya.
Untuk denda akibat tunggakan sendiri, sebenarnya tidak ada. Hanya harus membayar tunggakan tersebut pada kasus rawat jalan. Dan pada kasus rawat inap, jika kartu yang non-aktif diaktifkan dalam waktu 45 hari dan dirawat inap, maka peserta dikenakan denda berupa 2,5% kali INACBGs kali banyaknya bulan tunggakan per orang per bulan.
SESI TERAKHIR
Langkah paling dekat untuk merealisasikan JKN sebagai penutup dalam kalimat singkat Pemerintah harus berperan konsisten dalam penegakkan regulasinya sendiri, ada banyak sekali regulasi yang dikeluarkan seperti review biaya INACBGs, review besaran iuran, persyaratan kerjasama, sanksi atas ketidakpemilikan BPJS tidak satupun dilaksanakan dengan baik. Oleh karena itu langkah paling dekat ialah membentuk komitmen terhadap BPJS dan penegakan regulasinya.
*kami sadari dalam rilis notulensi ini tidak dapat melingkupi seluruh intisari dan serapan diskusi Temu Pakar Mengupas Masa Depan BPJS di Tahun ke 6, oleh karena itu selanjutnya kita akan menyegerakan rilis kajian BPJS dengan menambahkan data dan fakta pada diskusi kali ini dan mengupayakan berdirinya diskusi-diskusi kepakaran serupa diberbagai lokasi yang dapat mengedukasi publik dan memberi ruang seluas-luasnya bagi mahasiswa berdiskusi.
Kontributor: Rizki Rinaldi, Bagas Pilar, Luci, Hana Oktariani