DESEMBER 2018
#12
DESAIN INKLUSIf: REALITA KOTA BANDUNG: MENGULAS KOTA SEBAGAI TEMPAT TINGGAL
IR. BUDI FAISAL, DESAIN INKLUSIF DALAM ARSITEKTUR
gaung bandung, 2018: MENGHEMPAS BATAS RUANG KITA
editorial
Editorial Sebuah kota tentunya harus dapat menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali. Isu ini dikenal dengan sebutan Liveable City. Tak hanya untuk tinggal, sebuah kota juga harus menciptakan suasana dan lingkungan yang nyaman untuk melakukan berbagai aktivitas bagi semua kalangan, termasuk kalangan difabel atau penyandang disabilitas. Dalam menciptakan kota layak huni, kemudahan akses merupakan salah satu poin penting yang perlu diperhatikan. Namun, apakah Kota Bandung sudah menciptakan lingkungan yang mudah diakses oleh kalangan difabel? Bagaimana pendapat kalangan difabel selama tinggal di Kota Bandung ini? Apakah Kota Bandung sudah cukup layak untuk dihuni? Majalah IMAGE edisi Desember, 2018, kali ini, akan membahas mengenai bagaimana peran desain inklusi dalam arsitektur, khususnya akses pada Kota Bandung. Vivat G!
Shazkia Aulia Shafira Dewi
redaksi ketua biro kominfo ima-g Zahra Dhia Imtinan G’16
wakil ketua biro kominfo ima-g Prisky Kartikasari G’16
ketua redaksi Shazkia Aulia Shafira Dewi G’16
Tim penulisan Koordinator
Mutia Ayu Cahyaningtyas G’16 Zahra Nurul Azmi I. G’16 Rayi Ruby G’16 Hilman Prakoso G’17
Koordinator
Hanifa Nur Amalina G’16 Theresia Priscylla Adelina G’16 Muhammad Yusuf G’17 Alyssa Fadhilla G’17
Brian Filbert Pradharma G’18 Dyah Cahyamawarni G’18 Zufar Azka P. G’18
Tim layout
humas Koordinator Putri Permata G’17
Dinda Nadhila Augusta G’17 Amanda Aufa Khairunnisa G’18 Fadhilah Sayogo P. G’18 Prayoga Arya Wirasana G’18
Table 06 of Content
08
daftar isi
14 17 22 26 30
Mengenal Difabel Lebih Jauh
Realita Kota Bandung
Apa Kata Mereka?
Desain Inklusif dalam Arsitektur
Gaung Bandung 2018, Menghempas Batas Ruang Kita
Sayembara
ARCASIA Student Jamboree 2018
TKI MAI 34
EPILOGUE: Pameran Mahasiswa Arsitektur Tingkat Akhir ITB
Pameran Venice Architecture Biennale
Archireview: Byron Selective
Rekam Jejak Pemenang Pritzker Award
The Pearl Tower, Latar Utama dalam Film Skyscraper
32 34 36 38 40 42
Foto oleh Tim Dokumentasi Gaung Bandung 2018
ISU UTAMA
edisi #12
Mengenal Difabel Lebih Jauh
6
“Recognizing that disability is an evolving concept and that disability results from the interaction between persons with impairments and attitudinal and environmental barriers that hinders their full and effective participation in society on an equal basis with others – UN Convention on the Rights of Persons with Disabilities”
Pengertian Difabel atau Disabilitas Difabel atau disabilitas menurut UU No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat merupakan setiap orang yang memiliki kelainan fisik dan/atau mental yang menjadi hambatan baginya untuk beraktivitas sebagaimana selayaknya. Dulu, kaum difabel lebih dikenal dengan sebutan ‘penyandang cacat’ oleh masyarakat. Namun, istilah ini sempat dianggap terlalu menghakimi dan berpotensi memicu terjadinya pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini kemudian menyebabkan terjadinya banyak tuntutan berupa gerakan-gerakan yang mendukung persamaan hak pelayanan terhadap penyandang cacat di berbagai daerah di Indonesia. Puncaknya, pada tahun 2009, diskusi pakar Komnas HAM akhirnya merubah istilah ‘penyandang cacat’ menjadi penyandang disabilitas. Oh iya, meskipun secara hukum istilah tersebut diubah menjadi penyandang disabilitas, menurut teman-teman penyandang disabilitas sendiri, mereka lebih senang jika disebut dengan Teman Difabel.
Penyandang Difabel di Indonesia Menurut data Survey Sosial Ekonomi Nasional, jumlah penyandang difabel di Indonesia pada tahun 2012 mencapai 2,45% dari total penduduk 237 juta jiwa atau sekitar 5.806.500 jiwa. Menurut data ini juga diketahui bahwa penyandang difabel yang terbanyak adalah mereka yang memiliki lebih dari satu jenis keterbatasan, yaitu sebesar 39,97% dari total penyandang cacat. Data ini semakin memperkuat tentang pentingnya pengadaan sarana dan prasarana yang bersifat universal dan dapat digunakan oleh semua lapisan masyarakat, khususnya para teman difabel.
Persentase Penduduk Penyandang Disabilitas Berdasarkan Data Susenas 2003, 2006, 2009, dan 2012 (sumber: bps)
edisi #12
ISU UTAMA
Distribusi Penyandang Disabilitas Menurut Jenis Disabilitas Berdasarkan Data Susenas Tahun 2012 (sumber:bps)
Jenis Difabel Kira-kira orang-orang seperti apa ya yang dapat dikategorikan sebagai teman difabel? Ternyata teman difabel atau penyandang difabel itu tidak hanya mereka yang memiliki keterbatasan dalam fisik, namun dapat juga terkait keterbatasan dalam mental atau bahkan gabungan dari keduanya. Secara umum penyandang difabel dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu cacat fisik, mental, dan ganda.
Foto oleh Tim Dokumentasi Gaung Bandung 2018
1. Cacat Fisik a. Cacat tubuh, yaitu ketidaklengkapan bagian anggota tubuh. b. Cacat rungu wicara, yaitu terganggunya fungsi pendengaran dan/atau fungsi berbicara. Cacat rungu wicara ini meliputi cacat rungu (pendengaran), cacat wicara (berbicara), dan cacat rungu wicara. c. Cacat netra, yaitu terganggunya fungsi penglihatan. 2. Cacat Mental a. Cacat mental retardasi, yaitu ketidaksesuaian perkembangan mental dengan pertumbuhan usia biologis. b. Cacat eks-psikotik, yaitu berupa gangguan terhadap kejiwaan. 3. Cacat Ganda, yaitu merupakan gabungan kelainan pada fisik dan mental. (MAC)
7
ISU UTAMA
8
edisi #12
REALITA KOTA BANDUNG
Kondisi trotoar di sekitar Balai Kota Bandung Foto oleh Shazkia Aulia S. D.
edisi #12
Desain inklusif adalah desain yang berusaha menghilangkan halangan atau hambatan yang menimbulkan kesulitan dan pemisahan. Desain ini menyediakan kesempatan untuk kesetaraan akses bagi semua orang secara mandiri dalam berkegiatan sehari-hari. Gagasan mengenai desain inklusi termanifestasi dalam berbagai macam aspek kehidupan, mulai dari sistem pendidikan, desain bangunan gedung, fasilitas publik, dan sebagainya. Desain inklusif juga didukung oleh elemen-elemen desain universal seperti ramp, ubin taktil, huruf braille, dan elemen lainnya. Konsep desain inklusif kini menjadi bagian dari perencanaan kota-kota di dunia. Hal ini dapat terlihat dari pemerintah yang mulai menyertakan konsep tersebut pada peraturan-peraturan penataan kota. Beberapa konsep yang diterapkan menjadi kunci pertimbangan dalam desain inklusif di Kota London
ISU UTAMA
adalah way-finding, barriers, dan street furniture. Kota Bandung pun termasuk kota yang mencoba menerapkan elemen-elemen desain universal dalam ruang publiknya sebagai manifestasi dari konsep desain inklusif. Elemen desain universal pada fasilitas publik mulai diperkenalkan ke masyarakat Bandung secara bertahap. Namun meskipun telah mencoba menerapkan desain inklusif, pada kenyataannya aksesibilitas bagi semua yang merupakan tujuan utama dari desain masih belum dapat tercapai secara maksimal. Penyebab utama tidak tercapainya aksesibilitas ini dikarenakan kesalahan pada pemasangan serta kurangnya pemahaman terhadap ketentuan dan fungsi dari elemen-elemen tersebut baik oleh pekerja konstruksi maupun masyarakat awam. Dalam artikel berikut akan dibahas mengenai kondisi ruang publik ditinjau dari konsep desain inklusif di lingkungan ITB, gedung pemerintahan, dan jalanan umum.
9
Kondisi ramp sebagai akses menuju taman Balai Kota yang kurang memadai
ISU UTAMA
10
Kampus Institut Teknologi Bandung (ITB) termasuk kawasan yang cukup memperhatikan elemen desain universal pada fasilitas-fasilitas di dalam dan di sekitar kampus. Salah satu elemen desain universal yang dapat langsung terlihat pada kawasan ini adalah ubin taktil berwarna kuning yang dipasang di trotoar sekitar ITB. Ubin taktil adalah sistem peringatan menggunakan tekstur pada permukaan lantai. Ubin taktil terdiri dari pola-pola permukaan berbentuk tabung dan batang yang dapat terbaca dan terasa polanya oleh tongkat maupun alas kaki, berfungsi untuk memberi peringatan bagi temanteman tunanetra tentang jalan di depan, permukaan berbahaya, serta perubahan ketinggian lantai. Ubin taktil berwarna kuning ini pertama kali diterapkan di Kota Okayama, Jepang. Terdapat beberapa pola yang menyusun sistem ubin taktil ini. Salah satu pola tersebut adalah taktil blister yang berfungsi untuk memberi peringatan kepada tunanetra bahwa jalan pejalan kaki atau trotoar telah habis dan jalan di depan merupakan jalan raya. Pola taktil ini biasa ditempatkan di titik-titik penyeberangan. Selain pola taktil blister, pola lainnya adalah taktil offset blister, taktil lozenge, taktil peringatan corduroy hazard, taktil cycle way, dan taktil guidance. Akan tetapi pada kenyataannya, ubin taktil yang terpasang di trotoar Jl. Ganeca (jalan di sisi selatan ITB) belum dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Meski pada kedua sisinya telah tersedia trotoar, Jalan Ganeca masih belum dapat diakses dengan nyaman dan aman oleh pejalan kaki. Masalah utama terdapat di trotoar sisi selatan Jalan Ganeca. Trotoar ini dipenuhi oleh pedagang kaki lima yang menghambat dan menghalangi sirkulasi pejalan kaki. Keberadaan pedagang kaki lima di Jalan Ganeca memang telah menjadi masalah sebelum trotoar di jalan ini diperbaiki. Terlepas dari masalah hambatan yang ditimbulkan pedagang kaki lima, trotoar Jalan Ganeca telah mengalami beberapa kali perbaikan pada tahun 2017 lalu. Perbaikan berupa penggantian lantai trotoar menjadi ubin granit dan dilengkapinya ubin taktil berwarna kuning pada setiap ruas trotoar. Akan tetapi, trotoar masih belum dilengkapi dengan ubin taktil berpola tabung pada titik-titik penyeberangan. Ketinggian trotoar di titik penyeberangan juga belum berada di level yang sama dengan jalan kendaraan di depannya.
edisi #12
1
2
5
3
6
4
edisi #12
1) Trotoar jalan Ganesa di sisi 5) Kondisi trotoar yang didominasi selatan (depan pintu Masjid oleh pedagang kaki lima, 6) jenis Salman) yang digunakan oleh taktil yang banyak digunakan motor untuk parkir, 2) trotoar jalan Ganesa di sisi selatan (dekat One Eighty), 3) trotoar jalan Ganesa di sisi utara (dekat Warung Pasta), 4) trotoar jalan Ganesa di sisi utara (depan kampus ITB)
ISU UTAMA
Selain Jalan Ganeca di sisi selatan ITB, Jalan Tamansari di sisi utara ITB juga dilengkapi trotoar pada kedua sisinya. Trotoar ini juga telah diperbaiki di tahun 2017 lalu. Meski tidak ada pedagang kaki lima di sepanjang jalurnya, trotoar Jalan Tamansari sangat panjang dan dapat menyebabkan kelelahan jika tidak ada kursi ataupun tempat istirahat yang menyelingi jalur trotoar. Menurut rencana pengembangan wilayah Tower Hamlets di London, jarak maksimum bagi penyandang keterbatasan gerak untuk berjalan tanpa beristirahat adalah 50 meter. Oleh karena itu, kursi sebagai bagian dari perabot jalan perlu disediakan di trotoar dengan desain yang menyesuaikan berbagai pengguna dengan segala kondisi, baik normal maupun dengan keterbatasan. Trotoar Jalan Tamansari sendiri sudah menyediakan tempat duduk di jalurnya, meski hanya pada trotoar sisi utara.
11
ISU UTAMA Usaha penerapan konsep desain inklusif di jalan umum dan lingkungan pemerintah kota Bandung dapat terlihat dengan elemen-elemen desain universal pada fasilitas publik di sekitarnya. Beberapa elemen desain universal dapat dilihat dari trotoar di jalan umum dan lingkungan Balai Kota, Gedung Sate, dan daerah pemerintah lainnya. Berbeda dengan trotoar Jalan Ganeca, setelah mengalami perbaikan pada tahun 2017 lalu, penutup lantai trotoar di lingkungan pemerintah kota dan pada beberapa jalan umum tidak seragam karena terdapat jalur trotoar yang berpenutup lantai beton berpola, ubin granit, maupun paving block. Namun, jalur-jalur trotoar tersebut telah dilengkapi perabot jalan yang terdiri dari kursi, bollards, dan lampu jalan.
12
Keberadaan kursi merupakan usaha untuk menyediakan tempat beristirahat bagi pejalan kaki. Meski begitu, kursi ini belum dapat mengakomodasi pejalan kaki dengan keterbatasan fisik karena desainnya yang seragam dan hanya berorientasi pada pejalan kaki biasa. Perabot lain selain kursi adalah bollards yang berfungsi menghalangi parkir kendaraan di trotoar. Keberadaan bollards dapat menjadi penghalang dan gangguan bagi penyandang tunanetra karena penempatannya yang tidak sesuai. Selain perabot jalan, jalur-jalur trotoar tersebut juga dilengkapi ubin taktil. Kekurangan penerapan konsep desain inklusi pada jalur trotoar di lingkungan pemerintah dan jalan-jalan umum Kota Bandung adalah belum samanya level trotoar dengan jalan kendaraan di titik-titik penyeberangan. Kekurangan yang sama seperti trotoar di lingkungan ITB ini berbahaya bagi pengguna kursi roda dan penyandang tunanetra. Secara umum, kota Bandung telah berusaha menerapkan konsep desain inklusif pada fasilitas publiknya. Penerapan konsep desain inklusif ini didukung oleh elemen-elemen desain universal seperti ramp, ubin taktil, dan lainnya. Akan tetapi keberadaan elemen desain universal ini belum dapat membantu pengguna dengan
edisi #12
edisi #12
ISU UTAMA
Beberapa kondisi trotoar yang berada di sekitar Balai Kota Bandung
13
kebutuhan khusus karena desainnya yang belum sempurna. Oleh karena itu, pemahaman akan konsep desain inklusif ini tidak hanya perlu dipahami oleh pemegang kekuasaan dan penentu kebijakan, tetapi juga oleh semua calon pengguna fasilitas publik. Pekerja konstruksi harus memahami hal tersebut agar elemen desain dapat terpasang secara benar. Pemahaman konsep desain inklusif oleh masyarakat umum juga berperan dalam membuka pemikiran bahwa pengguna fasilitas publik beragam dan hak dari masing-masing pengguna harus dipenuhi dan dihormati secara adil. (RR)
OPINI
edisi #12
“Ketika berada di luar negeri, saya pernah berjalan-jalan sendiri di luar dan saya merasa menjadi manusia. Saya bisa berkeliling dan melakukan hal-hal sendiri.”
Foto oleh Tim Dokumentasi Gaung Bandung 2018
14
Foto oleh Tim Dokumentasi Gaung Bandung 2018
“Kami tidak butuh diperlakukan khusus, bukan ketika kami mengantri, kami dipersilakan terlebih dahulu.”
Foto oleh Tim Dokumentasi Gaung Bandung 2018
edisi #12
OPINI
KOTA RAMAH HUNI
APA KATA MEREKA ? Kota ramah huni atau Livable City merupakan suatu istilah yang menggambarkan lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai tempat tinggal dan beraktivitas. Kota ramah huni juga dapat diartikan sebagai sebuah kota yang dapat dengan adil memberikan akses kepada setiap penghuninya dalam memenuhi kebutuhan hidup, baik dari aspek fisik maupun non fisik. Dalam KBBI, inklusif (in¡klu¡sif) berarti termasuk atau terhitung. Secara istilah, inklusif merujuk pada pengembangan lingkungan secara terbuka tanpa memandang latar belakang sehingga setiap individu sebagai bagian dari warga kota dapat terus berkembang dan menunjukkan eksistensinya. Dalam pembentukan kota inklusif, terdapat tiga aspek inklusivitas yaitu spasial, sosial, dan ekonomi.
Jika kota inklusif dapat diartikan sebagai keadaan kota yang telah mampu mencapai kesetaraan bagi penghuninya, bagaimana dengan Kota Bandung? Pada acara Bandung Inclusive Trip yang diselenggarakan oleh Gaung Bandung 2018, peserta yang terdiri dari mahasiswa dan masyarakat umum mengajak teman difabel untuk berkeliling ke berbagai ruang publik di penjuru Kota Bandung. Tempat difabel yang terlibat merupakan teman daksa dan taman netra.
Pada kegiatan berkeliling di Taman Balai Kota Bandung, teman difabel yang menggunakan kursi roda merasa bahwa ramp yang terdapat pada tempat tersebut terlalu curam sehingga sulit untuk dilewati secara mandiri tanpa bantuan orang lain. Begitupun dengan Taman Inklusi yang juga masih memiliki beberapa ramp yang terlalu curam, ketidaksesuaian material “Kursi roda adalah ramp yang menyebabkan hambatan pada kursi roda, bagian tubuh kami. serta kesulitan manuver kursi Kalau tidak pelanroda akibat jarak yang tidak sesuai dengan standar. pelan rasanya sakit.�
Pada aspek spasial, kota inklusif menyediakan kebutuhan terhadap hunian, air, serta sanitasi yang terjangkau. Selain itu, infrastruktur dan fasilitas publik yang memadai juga harus tersedia dengan akses yang mudah. Setiap fasilitas dan infrastruktur tersebut harus dapat digunakan oleh seluruh kalangan tanpa memandang jenis kelamin, fisik, dan usia. Dalam mewujudkan inklusivitas, hal yang paling mudah diamati secara langsung (tangible) adalah akses masyarakat terhadap kebutuhannya. Konsep akses ini meliputi lima kriteria yaitu ketersediaan, aksesibilitas, akomodasi, keterjangkauan, dan penerimaan. Konsep ini secara sederhana dapat ditinjau dari pertanyaan-pertanyaan berikut.
Apakah suatu layanan telah tersedia dan siap untuk digunakan? Apakah layanan tersebut cukup mudah dan memungkinkan untuk digunakan/didapatkan? Apakah layanan yang tersedia memang dibutuhkan oleh masyarakat? Siapa saja yang sanggup menggunakan layanan tersebut?
Berbicara tentang inklusivitas, praktiknya dalam kehidupan sehari-hari memang sangat luas. Inklusivitas tidak hanya melulu tentang desain fisik, namun juga tentang bagaimana memanusiakan manusia dan berfikir dari perspektif teman-teman difabel. Teman difabel pun pada kenyataannya merasa tidak ingin merepotkan orang lain dengan adanya perlakuan khusus. Oleh karenanya, mereka membutuhkan dukungan fasilitas dan prasarana agar dapat beraktivitas secara mandiri dengan selayaknya. Lalu bagaimana dengan kota ini dan kota-kota lainnya di Indonesia? Bagaimana kesetaraan dan kesempatan bagi semua orang dalam memenuhi akses untuk kebutuhannya secara mandiri? Untuk saat ini, kota ramah huni mungkin masih menjadi cita-cita yang butuh diperjuangkan. Semoga kedepannya masih ada waktu untuk memberikan jawaban. (ZNA)
15
X
xx
edisi #12
kami bukan tidak bisa, kami ingin melakukannya sendiri
edisi #12
ISU UTAMA
17
ISU UTAMA
edisi #12
Foto oleh Tim Dokumentasi Gaung Bandung 2018
18
Foto oleh Tim Dokumentasi Gaung Bandung 2018
edisi #12
ISU UTAMA
19
(HP)
Foto oleh Tim Dokumentasi Gaung Bandung 2018
EVENTS
xx
Foto oleh Tim Dokumentasi Gaung Bandung 2018
edisi #12
edisi #12
EVENTS
GAUNG
BANDUNG 2018
“Menghempas Batas Ruang Kita dan Merefleksikan Manusia itu Sama”
Dalam rangka merayakan Dies IMA-G 67, Gaung Bandung 2018 yang diketuai oleh Aries Fadli Prayoga (G16) mengangkat tema “Inklusivitas dalam Akses” yaitu menghempas batas ruang dalam akses tanpa memandang kekurangan dari setiap elemen masyarakat. Selain konsep inklusivitas, acara tahunan ini juga memperkenalkan konsep Livable City yaitu kota yang ramah huni terhadap pengguna dan masyarakatnya. Rangkaian acara Gaung Bandung 2018, dengan ketua bidang acara Nikita Eka Nurwita (G16), terdiri dari acara Pre-Event: Bandung Inclusive Trip, Pameran Tanpa Batas, dan Main Event: Festival Tanpa Batas. Acara juga diramaikan dengan pelaksanaan Sayembara Tanpa Batas yang merupakan sayembara tingkat nasional yang diperuntukkan bagi mahasiswa D-3/D-4/S1 seluruh Indonesia, khususnya jurusan arsitektur.
23
EVENTS
edisi #12
Foto oleh Tim Dokumentasi Gaung Bandung 2018
24
Sayembara Tanpa Batas Sayembara Tanpa Batas yang diketuai oleh Ikyu Tirtodimejo (G16) dibuka secara umum pada tanggal 16 Juli 2018 hingga 13 Oktober 2018 dengan tema “Inklusi dalam Akses pada Zona Transisi�. Tema ini bertujuan untuk menghasilkan sebuah rancangan yang mampu menghilangkan batas antar masyarakat dan mewujudkan lingkungan yang inklusif. Sayembara dilaksanakan secara perorangan atau tim maksimal lima orang. Peserta perorangan diharuskan berasal dari jurusan arsitektur, sementara peserta tim harus diketuai oleh mahasiswa arsitektur dan anggotanya diperbolehkan berasal dari jurusan lain. Pendaftaran dilakukan melalui website resmi gaung-bandung. com. Penjurian dilaksanakan secara tertutup dan terbuka oleh berbagai ahli di bidang arsitektur, di antaranya Yu Sing dari Studio Akanoma dan Ramalis Sobandi dari Komunitas Tunas Nusa. Karya-karya terbaik dari sayembara ini kemudian akan ditampilkan dalam Pameran Tanpa Batas pada tanggal 2-4 November 2018.
Bandung Inklusif Trip Pre-Event: Bandung Inclusive Trip (BIT) yang diselenggarakan pada tanggal 22 September 2018. Acara yang diketuai oleh Nurul Azizah Hatami (G16) ini mengajak mahasiswa dan masyarakat untuk berinteraksi dengan masyarakat tereksklusifkan, dalam hal ini teman difabel, sambil berkunjung ke berbagai ruang publik di penjuru Kota Bandung. BIT juga dipandu oleh berbagai narasumber dalam berdiskusi tentang konsep Inklusivitas dan Livable City. Rangkaian acara pre-event ini diawali dengan talkshow yang berlokasi di Taman Balai Kota Bandung mengenai desain inklusif dan survey kelayakan desain oleh teman difabel. Kemudian acara berpindah lokasi menuju Taman Saparua untuk membahas konsep universal dalam aspek desain dan dilanjutkan dengan kegiatan lokakarya bagi para peserta. Pada kegiatan lokakarya, peserta dibagi menjadi beberapa kelompok dan diminta untuk berdiskusi serta mencari solusi terhadap sebuah isu permasalahan terkait inklusivitas yang diberikan. Lokakarya Bandung Inclusive Trip ini dimenangkan oleh kelompok yang diwakilkan oleh Dini (G12).
edisi #12
EVENTS
Pameran Tanpa Batas
Festival Tanpa Batas
Pameran Tanpa Batas dilaksanakan pada tanggal 2-4 November 2018 mulai pukul 09.00 hingga 17.00 di GOR Saparua. Diketuai oleh Fikri Anam (G16), Pameran Tanpa Batas menampilkan berbagai karya dari pemenang Sayembara Tanpa Batas, hasil Lokakarya Bandung Inclusive Trip (BIT), video acara “Bingkai Kenangan” karya massa G18, talkshow, dan instalasi wahana yang dibangun oleh Tim Divisi Artistik Gaung Bandung yang diketuai oleh Fardhani Yodiatama (G16). Instalasi wahana berupa lorong yang menggunakan berbagai macam material sebagai tirai serta wahana refleksi menyiratkan makna bahwa semua manusia diciptakan sama. Talkshow yang merupakan bagian dari acara Pameran Tanpa Batas diadakan pada tanggal 3 November 2018 dan mengangkat judul “Apa Kabar Kota Ramah Huni?”. Talkshow ini mengundang lima orang pembicara yaitu Rachmita Harahap dari Arsitektur Universitas Mercubuana, Cucu Saidah sebagai Founder Bandung Independent Living Center, Paskalis Khrisno dari Han Awal Partners, serta Nadya Victoryka dan Ardzuna Sinaga dari Pusat Studi Urban Desain (PSUD). Para pembicara saling berbincang mengenai permasalahan kota terkait isu inklusi dan bagaimana mengatasi hal tersebut ditinjau dari ranah desain.
Pameran diakhiri dengan penyelenggaraan Main Event: Festival Tanpa Batas pada 4 November 2018 yang diketuai oleh Putri Belinda (G16). Acara ini diisi oleh berbagai workshop dari Kriya ITB, Puka, dan Beliefable serta diramaikan oleh panggung kolaborasi dari Apres! ITB, Kunci-G, BILIC, Smile Motivator, dan bintang tamu spesial dari Dried Cassava. Workshop diadakan di area indoor GOR Saparua dengan mengajak para peserta untuk berkreasi membuat dompet rajut serta mempelajari teknik tie dye pada tas dan tapestry. Panggung kolaborasi berada di area outdoor GOR Saparua bersama dengan tenants dan instalasi artistik yang menarik. Festival Tanpa Batas ditutup dengan nyanyian dan alunan lagu ‘Paradox’ dari Dried Cassava yang berhasil menyemangati para penonton dan meramaikan panggung malam itu. (DC)
25
Foto oleh Tim Dokumentasi Gaung Bandung 2018
SAYEMBARA
edisi #12
GAUNG BANDUNG 2018:
SAYEMBARA TANPA BATAS JUARA 1
26
nama: I Gusti Nugrah Alit Ardika kampus: Universitas Udayana jurusan: Teknik Arsitektur angkatan: 2016
nama: I Gusti Agung Krishnan U. N. kampus: Universitas Udayana jurusan: Teknik Arsitektur angkatan: 2016 nama: Putu Juliendy Palguna kampus: Universitas Udayana jurusan: Teknik Arsitektur angkatan: 2016
edisi #12
X
xx
Foto oleh Tim Dokumentasi Gaung Bandung 2018
EVENTS
30
edisi #12
arcasia 2018: Belajar Arsitektur di Jepang bersama temanteman dari seluruh penjuru Asia. September 2018, sebuah kegiatan bernama ARCASIA (Architects Regional Council Asia) Student Jamboree diselenggarakan di Tokyo, Jepang. ARCASIA Student Jamboree merupakan kegiatan rutin dua tahun sekali yang bertujuan sebagai wadah berkumpul, berdiskusi, dan berkolaborasi bagi mahasiswa arsitektur dari seluruh penjuru Asia. Kegiatan ini merupakan bagian dari rangkaian acara ACA (Asian Congress of Architects) yang merupakan konferensi yang diperuntukkan bagi orang-orang di bidang keprofesian arsitek. Pada tahun ini, Jepang terpilih menjadi tuan rumah kegiatan ARCASIA di bawah naungan JIA (Japan Institute of Architects). William Wibowo dan Fransiskus Asisi Dwinugroho, yang akrab disapa Wilbow dan Winu, merupakan dua orang perwakilan dari Arsitektur ITB yang berhasil mengikuti acara ARCASIA Student Jamboree 2018. Keduanya berhasil lolos dalam seleksi yang diadakan oleh IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) pada beberapa bulan sebelumnya. Seleksi tersebut meliputi seleksi berkas berupa CV (Curriculum Vitae), portofolio, serta essay berbahasa Inggris sebanyak 500 kata dengan tema yang telah ditentukan oleh panitia. Dari seluruh peserta, dipilih 20 mahasiswa arsitektur terbaik mewakili Indonesia yang diberangkatkan ke Jepang pada tanggal 9 September 2018.
ARCASIA Student Jamboree 2018 diselenggarakan
pada tanggal 10-15 September 2018 dan diikuti oleh 200 mahasiswa yang berasal dari 21 negara Asia yang tergabung sebagai anggota. Rangkaian acara berlangsung di Meiji University (Nakano Campus) sebagai venue utama dan Yoyogi National Olympic Memorial Youth Center sebagai tempat penginapan peserta selama lima hari. Oh iya, prodi arsitektur juga ikut memberi bantuan dana kepada Wilbow dan Winu untuk berkegiatan disana loh! Dalam kegiatan ARCASIA Student Jamboree 2018, peserta dibagi ke dalam 10 kelompok besar (AJ) yang kemudian setiap kelompok besar dipecah kembali menjadi dua kelompok kecil. Setiap kelompok besar diberikan topik yang berbeda dengan dua isu berlawanan untuk didiskusikan selama rangkaian kegiatan, seperti “Growing vs Shrinking” dan ”Natural vs Artificial”. Setiap kelompok juga dilengkapi oleh seorang mentor dan dua orang asisten yang akan membimbing peserta dalam berdiskusi dan mencari solusi terkait isu permasalahan yang dihadapi. Kegiatan umumnya berlangsung dari pukul 8 pagi hingga 10 malam dengan penyesuaian diserahkan kepada masingmasing kelompok. Pada hari terakhir acara, diadakan presentasi final dari setiap kelompok di hadapan seluruh peserta dan mentor terkait hasil diskusi. Presentasi ini cukup unik karena diselenggarakan dengan
edisi #12
EVENTS
menggunakan metode Pecha Kucha! Pecha Kucha merupakan metode presentasi yang mengharuskan peserta untuk mempresentasikan 20 slide dalam waktu maksimal 20 detik. Pada tahap ini, peserta diberikan maksimal 4 panel dan waktu 20 detik untuk mempresentasikan ide dan gagasan yang dihasilkan selama rangkaian kegiatan. Hal ini menjadi pengalaman luar biasa bagi Wilbow dan Winu untuk menyampaikan gagasan dalam waktu yang sangat singkat. Selama proses diskusi, keduanya juga mengaku mendapatkan begitu banyak pengalaman seperti budaya kerja keras orang Jepang, kesulitan komunikasi terkendala bahasa, belajar untuk memahami berbagai macam tipe orang dengan latar belakang dan budaya yang berbeda, dan sebagainya. Eits, tapi kegiatan ARCASIA Student Jamboree tidak melulu tentang berdiskusi dan presentasi saja loh! Pada hari ketiga, para peserta diajak berjalan-jalan ke berbagai tempat oleh setiap mentornya untuk mengamati isu permasalahan secara nyata. Kemudian pada hari keempat, peserta mengunjungi Meiji University (Surugadai Campus) untuk menyaksikan seminar dari beberapa arsitek profesional dari berbagai negara, di antaranya Fumihiko Maki dari SANAA Architect Japan. Pada malam harinya, diadakan acara Friendship Night dimana setiap negara akan menampilkan pertunjukan budaya dari negaranya masing-masing. Adapun tim Indonesia dengan bangga menampilkan Tari Kecak yang merupakan tarian tradisional dari Bali. Selain itu, Bapak Ahmad Djuhara sebagai ketua IAI, juga turut meramaikan pembukaan dari penampilan tim Indonesia. Acara Friendhip Night ini menjadi ajang bagi para peserta untuk saling
berkenalan dan mengakrabkan diri satu sama lain. Kemudian pada pesta penutup (Closing Ceremony) yang diadakan pada malam terakhir, terdapat pembacaan tim terbaik hasil presentasi akhir dan pembagian sertifikat keikutsertaan dalam acara. Para peserta juga saling bertukah hadiah atau uang negara masing-masing yang telah dituliskan pesan sebagai bentuk kenang-kenangan dan tanda persahabatan. Pada hari terakhir, selain agenda check-out, terdapat kegiatan extra-course gratis yang ditujukan bagi para peserta yang berminat. Wilbow dan Winu yang turut mengikuti acara extra-course tersebut diajak mengunjungi daerah Shibuya untuk melihat berbagai objek wisata menarik seperti Shibuya River dan bangunan Shibuya Stream yang baru diresmikan beberapa hari sebelumnya. Peserta juga mengunjungi sebuah biro arsitek yang menjadi satu bangunan dengan sebuah gereja dan diajak berkeliling untuk melihat-lihat interior dan detail dari bangunan tersebut.
ARCASIA Student Jamboree 2018 ini menjadi sebuah momen pembelajaran yang tidak terlupakan bagi Wilbow dan Winu. Mereka mengaku mendapatkan banyak pengalaman baru, mengenal banyak teman baru dari berbagai negara dengan keahlian beragam, belajar berdiskusi, bekerja, dan berkolaborasi dengan latar belakang yang berbeda, dan sebagainya. Mereka juga memperoleh kesempatan besar untuk dapat mengenal dan menggali ilmu dari berbagai arsitek hebat di Jepang dan dilatih untuk berpikir terbuka, berargumen, serta berani untuk menyampaikan gagasan di depan khalayak umum. (ST) Foto oleh William Wibowo & Frans A. Dwinugroho
31
EVENTS
edisi #12
TKI MAI 34
32
Temu Karya Ilmiah Mahasiswa Arsitektur Indonesia atau biasa dikenal dengan sebutan TKI MAI merupakan kegiatan tahunan yang diselenggarakan oleh mahasiswa arsitektur se-Indonesia. TKI MAI ke34 tahun ini mengusung tema Arsitektur Nusantara. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, TKI MAI tahun ini berlokasi sedikit lebih jauh ke bagian timur Indonesia yaitu Pulau Sulawesi, tepatnya di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Kegiatan yang berlangsung selama 9 hari mulai dari tanggal 26 Agustus hingga 3 September 2018 ini diwakili oleh Fara, Sasqi, Dekav, dan Vinsen dari G-16 sebagai perwakilan IMA-G. Sehari sebelum pelaksanaan acara, Massa-G bersama peserta FIMA JABAR lainnya berangkat bersama dari Bandung menuju Kota Palu. Pada hari pertama, peserta TKI MAI se-Indonesia melakukan long march menuju Lapangan Vatulemo untuk mengadakan opening ceremony. Setiap provinsi mengenakan pakaian adat kebanggaan daerahnya masing-masing. Para peserta juga mendapat sambutan hangat dari Walikota Palu, panitia, serta Mahasiswa Arsitektur Sulawesi Tengah. Hari selanjutnya, para peserta diberikan pembekalan dan arahan mengenai rangkaian kegiatan TKI MAI 34. Para peserta kemudian dibagi ke dalam beberapa paket kegiatan yang berlokasi di tempat yang berbeda-beda. Terdapat paket kegiatan diskusi ilmiah, workshop, studi ekskursi, pengabdian masyarakat, pameran, serta forum komunikasi. Kegiatan studi ekskursi yang diikuti oleh Dekav G-16 dan Fara G-16 dilaksanakan di Desa Lore Tengah, Poso, Sulawesi Tengah. Perjalanan yang harus
edisi #12
EVENTS
ditempuh untuk mencapai lokasi adalah 4 jam dari Kota Palu. Sesampai di lokasi, para peserta studi ekskursi disambut dengan meriah oleh tarian adat Suku Tambi yakni Goyang Dero. Di Desa Lore Tengah, peserta meneliti dan mempelajari arsitektur Rumah Adat Suku Tambi. Rumah Adat Suku Tambi memiliki arsitektur yang sangat unik. Rumah adat ini berbentuk panggung dan memiliki konstruksi dari berbagai jenis kayu yang disusun saling bersilangan. Material utama yang digunakan merupakan kayu dan sirap. Selain mempelajari rumah adat, peserta juga berkunjung ke Lembah Besoa. Lembah Besoa memiliki peninggalan bersejarah yaitu situs megalitikum. Artefak-artefak dari masa megalitikum seperti patung-patung batu berbentuk kuali, manusia, dan monyet banyak ditemukan di tempat ini. Kegiatan workshop yang diikuti Sasqi G-16 juga tidak kalah serunya. Kegiatan dilakukan di Kecamatan Pagimana, Kabupaten Banggai, yang berjarak 14 jam dari Kota Palu. Saat tiba di Banggai, peserta diajak melakukan pawai dengan perahu nelayan menuju kecamatan Pagimana. Setelah itu peserta berkeliling desa dan disambut oleh Bupati Banggai serta penduduk setempat yaitu Suku Bajo. Warga Suku Bajo memberikan sambutan dengan tarian Putri Papu yang mengisahkan tentang hilangnya putri raja saat bertamasya mengarungi laut. Di sini, peserta dibimbing oleh teman-teman dari Rumah Intaran untuk mendokumentasikan sejarah dan adat dari Suku Bajo. Pendokumentasian dilakukan melalui wawancara, foto, serta sketsa. Suku Bajo di Desa Pagimana menetap pada daerah pantai dan mayoritas bermata pencaharian nelayan. Suku Bajo dikenal sebagai suku yang mengarungi lautan. Rumah Suku Bajo yang asli merupakan rumah panggung di atas air di tepi pantai. Beberapa rumah memiliki tempat penangkaran ikan masing-masing pada kolong rumah yang juga dipergunakan sebagai tempat penyimpanan perahu. Keluaran dari kegiatan ini adalah berupa sebuah buku mengenai Suku Bajo yang dikerjakan bersama oleh para peserta workshop.
33
Selain itu ada juga kegiatan pengabdian masyarakat (pengmas) yang diikuti oleh Vinsen G-16. Kegiatan pengmas dilakukan di Pulau Togean yang juga tidak kalah jauh, yaitu 16 jam dari Kota Palu dan harus menyeberangi lautan untuk mencapai pulau tersebut. Pulau Togean merupakan sebuah pulau kecil di tengah laut yang memiliki keindahan bawah laut yang luar biasa. Peserta bermalam di rumah panggung di atas laut. Kegiatan yang dilakukan di sana adalah pelestarian terumbu karang serta pemberian pengajaran kepada adik-adik warga sekitar. Setelah serangkaian masing-masing paket kegiatan selesai dilakukan, seluruh peserta kembali ke Kota Palu untuk mengikuti acara penutupan dan perpisahan dengan teman-teman lainnya. Melalui kegiatan TKI MAI 34 ini, diharapkan kita sebagai mahasiswa arsitektur dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai keragaman arsitektur nusantara. Sampai bertemu lagi di TKI MAI 35 di Kota Yogyakarta! (SNA)
EVENTS
e
O L i p
34
foto: @epilogue_itb
E U G
edisi #12
8 1 0 2 T C o Mahasiswa tingkat akhir sudah sepatutnya akrab dengan perihal TA. Tugas akhir (TA) merupakan mata kuliah yang wajib diselesaikan oleh setiap mahasiswa untuk dapat menyelesaikan studi di bangku perkuliahan. Pada program studi Arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB), mata kuliah ini berbentuk proyek perancangan bangunan dengan pemilihan tipologi diserahkan kepada masingmasing mahasiswa. Rangkaian proses perjuangan dimulai dari Persiapan Tugas Akhir (AR-4050) hingga Tugas Akhir (AR-4099) dengan total enam kali sidang. Program Studi Arsitektur dan Ikatan Mahasiswa Arsitektur – Gunadharma setiap tahun berkolaborasi untuk menggelar pameran karya tugas akhir Epilogue yang umumnya dilangsungkan minimal pada bulan April dan Oktober. Pameran ini menandakan berakhirnya satu fase kehidupan dan menjadi awal perjalanan karir sekaligus perjalanan
edisi #12
EVENTS
menuju dunia yang sesungguhnya selepas dari dunia perkuliahan. Pameran Epilogue pada Oktober 2018 dilaksanakan pada tanggal 15 – 19 Oktober 2018 dan bertempat di Galeri Arsitektur Institut Teknologi Bandung. Mengusung tema “Pop of Color” dengan warna jingga sebagai warna utamanya, Epilogue menampilkan 70 karya wisudawan/wisudawati S1 Arsitektur ITB yang terbagi dalam delapan tipologi. Tipologi yang dipamerkan tersebut yaitu kultural, residensial/ hunian, komersial, kesehatan, pendidikan, transportasi, religius, dan miscellaneous.
foto: @epilogue_itb
Selain itu, dari 70 wisudawan/wisudawati terdapat 23 orang yang menyandang predikat Cum Laude. Angka tersebut yakni sekitar 32.8% dari total lulusan merupakan salah satu yang tertinggi dalam sejarah program studi Arsitektur ITB. Pameran dibuka dengan kata sambutan oleh bapak Aswin Indraprastha selaku Ketua Program Studi Arsitektur ITB, Guntur Mahardika Iman Muhammad Damanik selaku Ketua umum Ikatan Mahasiswa Arsitektur – Gunadharma, dan Ajibayu Triantoro selaku Ketua Epilogue.
35
“Pameran ini diadakan untuk apresiasi terhadap wisudawan, untuk panitia, dan teman-teman”, ungkap Guntur. Sedangkan Ajibayu menjelaskan bahwa warna jingga dipilih sebagai representasi senja yang menggambarkan warna langit sesaat sebelum matahari terbenam, yaitu persembahan karya dari wisudawan sebelum pergi. Ia juga menambahkan bahwa warna jingga memaknai perjalanan petualangan wisudawan selama masa perkuliahannya dari awal hingga akhir.
foto: @epilogue_itb
Pengunjung pameran terdiri dari mahasiswa Institut Teknologi Bandung dan masyarakat umum. Dalam keberjalanannya, pengunjung mendapat kesempatan untuk memberikan komentar dan memilih karya favorit menurut mereka. Selama pergelaran pameran selama lima hari, karya terfavorit terpilih berhasil diraih oleh Josephine Amalia dengan Tugas Akhir berjudul Urban Oasis: Sudirman Lifestyle Center. Sst, pameran Epilogue Wisuda Oktober kali ini berhasil menarik jumlah pengunjung sebanyak 1400 orang loh! Selamat dan sukses untuk kakak wisudawan! Terus semangat untuk berkarya! (ZAP)
EVENTS
edisi #12
36
BIENNALE ARCHITETTURA 2018
16th International Architecture Exhibition La Biennale di Venezia yang diketuai oleh Paolo Baratta dibuka sejak tanggal 26 Mei hingga 25 November 2018 di Giardini, Arsenale, serta di beberapa lokasi lain di Venesia. Biennale Architettura 2018 mengangkat tema Freespace. Melalui tema ini, Biennale Architettura 2018 menyajikan beragam pameran yang menunjukkan kualitas penting dari arsitektur meliputi modulasi, kekayaan materialitas, orkestrasi, serta sequencing of movement yang mengungkapkan kekuatan dan keindahan dari sebuah karya arsitektur. Pameran ini bertujuan untuk mempromosikan ‘desire’ dari arsitektur dengan berfokus pada pertanyaan terkait ruang yang meliputi kualitas ruang, ruang terbuka, dan ruang bebas. Pameran Freespace berlokasi di sepanjang Paviliun Tengah (Giardini) hingga Arsenale dan terdiri dari 71 peserta yang merupakan perwakilan dari 63 negara. Seluruh peserta akan dibagi ke dalam dua
edisi #12
EVENTS
37 bagian khusus. Bagian pertama yang berjudul ‘Close Encounter’ akan menyajikan karya-karya yang berasal dari refleksi terhadap bangunan terkenal di masa lalu. Sementara bagian kedua yang berjudul ‘The Practice of Teaching’ menyajikan karya yang terinspirasi dan dikembangkan sebagai bagian dari pengalaman mengajar. Terdapat dua proyek khusus di Biennale Architettura 2018 yaitu Forte Marghera oleh Sami Rintala dan Dagur Eggertsson serta Special Project at the Applied Arts Pavilion yang merupakan karya kolaborasi antara La Biennale dan The Victoria and Albert Museum di London. Perwakilan dari Indonesia pada pameran ini adalah paviliun “Sunyata: The Poetics of Emptiness” oleh Ricky Joseph Pesik, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Indonesia, Ahmad Djuhara dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), serta Institut Arsitek Indonesia. Karya ini dikuratori oleh Ary Indrajanto, David Hutama, Adwitya Dimas Satria, Ardy Hartono, Jonathan Aditya Gahari, dan Johanes Adika Gahari.
Paviliun Sunyata mengusung konsep kekosongan yang merupakan sebuah konsep yang mengakar di dalam arsitektur Indonesia melalui elaborasi dari segala etnis. Paviliun ini juga memaknai dialog antar manusia dengan ruang sebagai suatu manifestasi arsitektur. Dialog tersebut membangun hubungan antara waktu dan tempat serta menciptakan ruang netral dengan menggunakan koneksi datum untuk menyatukan konsep kekosongan. Paviliun yang terdiri dari 9600 jahitan dan 100 kancing kertas ini dikerjakan selama 10 hari hanya dengan tenaga tangan mulai dari konsepsi hingga inisiasinya. Paviliun yang terbuat dari 21 m dari 18 m kertas melayang di dalam Arsenale dengan 9600 jahitan tangan dan 100 kancing kertas untuk menstabilkan struktur ini dikerjakan selama 10 hari dengan tangan mulai dari konsepsi hingga inisiasi semua dikerjakan oleh manusia. (SA)
ARCHIREVIEW
edisi #12
Archireview:
byron selective Kejutan adalah kata yang tepat bagi saya ketika menemukan sebuah cafĂŠ yang baru saja melakukan soft-opening pada tanggal 17 Agustus 2018 ini. Berawal dari keinginan untuk mengambil foto di Jonas Banda, ternyata saya malah berujung menemukan sebuah pintu kaca kecil di dinding seberang pintu masuk. Sebagai seseorang yang menghabiskan lebih dari satu dekade hidupnya di Kota Bandung, pintu tersebut membuat saya membuka arsip ingatan bahwa benda itu seharusnya tidak ada di sana. Rasa penasaran dan suasana hangat di balik kaca yang terus memanggil mendorong saya untuk menaiki tangga kecil di bawah pintu tersebut dan membukanya.
foto: @byron.selective
Material Choice
38
Cahaya matahari yang langsung menyambut dari balik dinding kaca mengajak saya untuk berkeliling melihat keseluruhan ruangan. Sebuah cafĂŠ dengan lantai dan pilar beton yang membawa suasana dingin dipadukan dengan interior kayu dan tanaman-tanaman indoor yang membawa suasana hangat telah menciptakan pertanyaan bagi seorang desainer, bagaimana kedua hal yang bertentangan tersebut berhasil dipadukan dengan sangat menarik. Bagi saya tidak ada pilihan lain selain memilih meja, duduk dengan nyaman, dan memesan kuliner gastronomy untuk menemani saya menikmati waktu dan mengulik jawabannya. Perpaduan adalah transisi. Dua hal yang bertentangan tidak akan bisa bersama tanpa sebuah area transisi. Di manakah transisi tersebut terjadi? Sembari mengetuk-ngetuk meja sambil berpikir dengan sisipan-sisipan kopi hangat, tak lama ketukan itu berhenti karena jawabannya sudah tiba. Furniture. Pemilihan furniture yang tepat. Meja marmer dengan kursi rotan, sofa berwarna abu yang disandingkan dengan meja kayu, dan kolom-kolom dekoratif kayu dengan lukisan pada beton. Zona transisi terjadi di sini. Elemen yang mengikat dan menyatukan bangunan telah ditemukan dari sisi interior.
foto: @byron.selective
edisi #12
ARCHIREVIEW
foto: @byron.selective
Byron Selective adalah sebuah cafĂŠ baru yang terletak di Jalan Progo nomor 2, Bandung. CafĂŠ ini terletak di lantai dua pada bangunan berlantai tiga tepat di sebelah Jonas Banda.
39
Ruang Bagaimana dengan sisi lainnya? Tidak lengkap rasanya jika belum membahas dari sisi ruangannya. Saya menemukan enam bagian ruangan utama: sebuah bar pelayan, ruang makan dengan pohon besar di bagian tengah, ruang makan dengan lukisan bungan, dapur, teras kecil, dan entrance utama bar.
Di balik dinding tersebut, terdapat ruang makan lainnya yang terletak lebih dalam dari bagian bangunan sehingga memberikan nuansa privasi yang lebih tinggi. Sementara sisi sampingnya merupakan dapur di mana semua menu makanan Byron Selective dipersiapkan untuk disajikan.
Bar pelayan terletak tepat di sebelah pintu masuk dan terbuat dari kayu berwarna coklat gelap. Pada dinding bagian belakang yang berwarna tosca tua, terdapat kolom-kolom dekoratif kayu yang diberikan fungsi baru sebagai tempat penyimpanan pot tanaman indoor berukuran kecil. Bar inilah tempat di mana kopi dibuat dan berbagai jenis pilihan cake yang nikmat tersedia.
Kunjungan tidak terduga ini pun akan segera berakhir. Sebelum menemui pintu keluar yang berbeda, saya menemukan sebuah teras kecil dengan railing depan yang bertambah fungsi sebagai meja untuk menikmati hidangan yang ada sambil menikmati udara luar.
Pada bagian depan bar, terdapat ruang makan dengan primadona sebuah pohon besar yang berdiri kokoh di tengah ruangan. Meja-meja diatur dengan rapi di sekitar pohon tersebut. Sisi ruangan berbentuk segi empat itu dikelilingi oleh dua dinding kaca dan satu dinding kayu. Frame dinding kaca tersebut juga diberikan kolom dekoratif yang sama dengan dinding bagian belakang bar, perbedaan hanya terletak pada intensitas cahaya matahari yang masuk. Terdapat juga dinding kayu sebagai elemen dekoratif untuk menyembunyikan tangga menuju lantai tiga yang merupakan studio foto dan bukan bagian dari cafĂŠ.
Byron Selective terletak di lantai dua bangunan sehingga untuk keluar harus menggunakan tangga ataupun lift. Saya memilih menggunakan tangga siku memutar yang terbuat dari beton exposed yang dibiarkan tanpa dicat. Di lantai satu inilah tempat parkir indoor berada. Keluar dari bangunan, pohonpohon ramping berdiri menemani parkiran mobil di luar, dan untuk pertama kalinya, saya melihat fasad bangunan ini. Hanya terlihat struktur beton exposed dengan dinding kaca dan frame baja. Suasana yang sangat berbeda dari yang baru saja saya rasakan di dalam. Hal ini mempertegas perasaan yang pertama kali saya rasakan yaitu terkejut. Sebuah kejutan yang menarik dan nyaman menanti untuk ditemukan di balik fasad tersebut. (BFP)
X FYI
40 xx
infografis: Adi Nur Khamim
edisi #12
edisi #12
FYIX
41 xx
FYI
THE PEA R L T OWER Gedung pencakar langit yang menjadi latar utama dalam film Skyscraper.
“Apakah nyata?” 42
Sudahkah Anda menyaksikan salah satu film terbaru Dwayne Johnson yang berjudul ‘Skyscraper’? Film bergenre action ini bercerita tentang seorang mantan agen FBI yang bertugas untuk menjaga sebuah gedung pencakar langit tertinggi di dunia yang disebut The Pearl Tower. The Pearl Tower dikisahkan sebagai sebuah gedung 225 tingkat yang berlokasi di Hongkong dan dilengkapi dengan teknologi mutakhir serta desain futuristic tanpa melupakan ciri khas dari arsitektur China. Nah, mungkin saat ini sebuah pertanyaan muncul di benak Anda, apakah The Pearl Tower benar-benar ada?
The Pearl Tower yang menjadi tokoh utama dalam film Skyscraper ini nyatanya hanya berupa gedung fiksi belaka. Namun, bukan mustahil jika suatu saat gedung tersebut benar-benar dibangun. Karena sutradara dari film ini, Rawson Marshall Thurber, menginginkan rancangan gedung nyata yang memungkinkan untuk dibangun sebagai pemeran utama dalam film yang digarapnya.
edisi #12
edisi #12
FYI
Nama Adrian Smith sudah tidak asing lagi dalam dunia arsitektur. Beliau merupakan arsitek dari gedung tertinggi dunia saat ini, Burj Khalifa. Selain Burj Khalifa, Adrian Smith juga merupakan arsitek dari Jin Mao Tower dan Kingdom Tower. Minat Adrian Smith terhadap gedung pencakar langit merupakan salah satu alasan ia mendirikan Adrian Smith + Gordon Gill Architecture, sebuah firma arsitektur yang memiliki spesialisasi dalam merancang skyscraper atau gedung pencakar langit. Firma arsitektur ini menerapkan prinsip desain sustainable architecture, environmental engineering of highperformance, dan energy-efficient architecture dalam setiap rancangannya.
JIM BISSEL
Lantas, seperti apakah The Pearl Tower itu? The Pearl Tower digambarkan sebagai sebuah gedung dengan tinggi 3000 kaki dan memiliki 225 tingkat. Terbuat dari material kaca dan rangka baja yang membentuk sinus dan pada bagian atasnya menopang sebuah struktur bulat raksasa yang menggambarkan sebuah mutiara (Pearl -red). Menurut Jim Bissel,
ADRIAN SMITH
Untuk mewujudkan rancangan gedung sekeren The Pearl Tower, sang sutradara menggaet production designer Jim Bissel, seorang production designer yang juga mendesain Gedung Burj Khalifa pada film Tom Cruise, Mission impossible: Ghost Protocol dan juga dinominasikan dalam Academy Awards untuk film Good Night and Good Luck. Namun untuk membuat sebuah rancangan arsitektural yang memungkinkan untuk dibangun, Bissel ditemani oleh salah satu arsitek ternama di dunia yaitu Adrian Smith.
desain dari gedung ini terinspirasi dari cerita rakyat China, tentang naga yang muncul dari dalam laut. Gedung ini menggambarkan tubuh seekor naga yang menggapai mutiara di mulutnya. Adrian Smith juga menambahkan bahwa The Pearl Tower melakukan penerapan konsep bagaimana sebuah gedung dengan 225 tingkat dapat berfungsi sebagai kota. Gedung ini dapat menghidupi dirinya sendiri karena memiliki area perumahan, kantor, observatorium, restoran, pusat kesehatan, pusat perbelanjaan, serta kebutuhan lainnya. Hal ini didasari oleh perkiraan bahwa dalam beberapa dekade kedepan, sebagian besar penduduk dunia akan hidup di tengah perkotaan. Smith pun tidak lupa menerapkan prinsip environmental-engineering and energy efficient pada gedung fiktif ini. Gedung ini didesain dilengkapi dengan turbin yang dapat menghimpun pergerakan angina dan menciptakan energi sendiri. Meskipun rancangan gedung untuk keperluan film ini sangat mungkin untuk diwujudkan, bukan berarti tidak ada tantangan dalam upaya mewujudkan The Pearl Tower menjadi sebuah karya nyata. Untuk membuat sebuah gedung pencakar langit, beban angin, elevator, serta kondisi tanah tempat gedung dibangun merupakan hal-hal utama yang harus dipertimbangkan dengan matang. Namun dengan perkembangan arsitektur yang pesat saat ini, tidak diragukan bahwa mungkin dalam waktu dekat arsitek akan dapat mendirikan gedung pencakar langit sekeren The Pearl Tower dalam film Skyscraper. Siapa yang tahu? (AR)
43
r e daksi zahra dhia imtinan
prisky kartikasari
shazkia aulia shafira dewi
brian filbert pradharma
amanda aufa khairunnisa
prayoga arya wirasana
dyah cahyamawarni
hanifa nur amalina
zufar azka p.
alyssa fadhilla
hilman prakoso
theresia priscylla a.
rayi ruby
fadhilah sayogo p.
mutia ayu cahyaningtyas
putri permata
muhammad yusuf
zahra nurul azmi i.
eka kurniawan
adi nur khamim
shofura tsabita
sasqia nurul azmi
syifa anggita
ajani raushanfikra
mahira raihana putri
Back cover
Redaksi Majalah IMAGE Alamat: Sekretariat Ikatan Mahasiswa Arsitektur Gunadharma Institut Teknologi Bandung Gedung Labtek IX-B Arsitektur Jalan Ganeca 10, Bandung Email: imag_itb@km.itb.ac.id