i s k a d e Salam R Assalamualaikum wr, wb. Salam, I-reader! Beberapa waktu belakangan ini banyak sekali kasuskasus anak dan remaja yang bertebaran di media massa. Mulai dari kasus bullying, kekerasan, hingga pelecehan seksual dengan anak dan remaja sebagai korban dan pelakunya. Berangkat dari fenomena tersebut, Imagz edisi 10 akan mengupas lebih lanjut mengenai anak-anak dan remaja, tentunya dari sudut pandang psikologi bersama ahli-ahli psikologi yang berkompeten di bidangnya. Akhir kata, semoga hadirnya Imagz edisi 10 memberikan pengetahuan bagi pembaca semua, khususnya mengenai anak-anak dan remaja. Stop kekerasan pada anak, mari lindungi dan sayangi adik-adik kita. Salam hangat, Aliď€ a S. Oktriwina
Perkembangan mental anak dan remaja tidak terlepas dari lingkungan masyarakat juga perkembangan teknologi. Namun, perkembangan tersebut seakan bergerak ke arah negatif seiring perkembangan jaman. Fenomena tersebut perlu disoroti berdasarkan Ilmu Psikologi. - Chairani Wulandari -
2
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
Daftar Isi Salam Redaksi 2
3 Daftar Isi Kajian Tema: Krisis Mental Anak dan Remaja
5
8 Artikel: Full Day School dan Mental Anak Wawancara Ahli: Reza Indragiri 10
12
Opini
17
Review Buku: Jangan Beri Aku Narkoba
20 Review Film: It’s Kind of Funny Story Ruang Karya 22
26
What’s on ILMPI: Memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia Curhat Yuk! 31
33
Tokoh: Chelsea Islan iQuotes 35
36
iQuiz
Coming Soon: Mukernas VII
38
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
3
SEKRETARIS JENDRAL
PENANGGUNG JAWAB
SUSUNAN REDAKSI Fai s
is ub L ) ah Sy karta him B Ja a r Ib (UM
ha
lA ul (Un ia Da an rm aw d) an
PIMPINAN REDAKSI
ILUSTRATOR
LAYOUTER Alifia Seftin Oktriwina (Unand) MARKETING
Prayudha Aditama (UMP)
EDITOR Chairani Wulandari (Undip)
KONTRIBUTOR
Raras Ayu Putri P (ULM)
Jessica (Universitas Atma Jaya) Ilham Musyafa (UIN Maliki)
Siti Auliyah Sazqiyah (Unhas)
Qurota Aini (UNJ) Ade Kurniati (UIN Raden Fatah) Syafitri Ajeng Kinanti (Universitas Jayabaya) Fadhil Anriva Maulana (IAIN Imam Bonjol) Riza Ma'rifatullah Zakkiyah (STAIN Kediri) Marietha D.R. Sianturi (Universitas Pancasila) Husna Sholihah (UIN Sunan Ampel) Siti Ulfa Hutabarat (Unand) Azizah Azizah (Universitas Esa Unggul) R.A. Annisa Istiqomah (UIN Raden Fatah)
Fikri Rafif Rinaldi (Undip) Yudha Pratama (Unsri) Citra Pertiwi Putri (ULM)
Tia Isti'anah (UIN Sunan Gunung Djati) Bonita Sandika Budi (UMP) Ghazali Fauzia (Unbraw) Heppy Ria Mareta (UNS) Maslaahatun Amma Sasqia (Unja)
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
5
7
Ik a t anL e mb ag aMah as i s waPs i k o l o g iIn d o n e s i aMag az i n e|E d i s i#1 0
ARTIKEL
“
Akhir-akhir ini masyarakat ramai membicarakan usulan Mendikbud yang baru, Muhadjir Effendy, tentang Full Day School (FDS). Ia berpendapat bahwa FDS dibutuhkan untuk pembelajaran mengenai pendidikan karakter bagi peserta didik. Full Day School sendiri berarti sekolah sehari penuh, namun maksud sebenarnya adalah waktu sekolah hingga pukul 5 sore.
Full Day School dan Mental Anak
8
Berbagai macam reaksi muncul, mulai dari masyarakat yang pro hingga kontra. Masyarakat yang merasa setuju, menilai FDS akan berdampak baik, karena dapat menempa mental anak. Selain itu faktor tidak adanya pengawasan dari orang tua yang di sebabkan sibuk bekerja, dapat membuat anak bermain bebas di lingkungan yang tidak terjangkau oleh orang tua sehingga membuat maraknya kasus kriminalitas yang melibatkan anak. Hal itu memicu FDS menjadi salah satu solusi. Jika anak lebih lama di sekolah, pengawasan dan pembimbingan oleh guru dinilai akan lebih profesional. Sebaliknya, yang tidak setuju berpendapat bahwa FDS sama saja memenjarakan anak, terutama bila sarana dan prasarana yang ada belum mendukung. Bukan mental yang semakin bagus, tetapi anak malah terbebani dengan adanya FDS. Jumlah mata pelajaran sudah banyak, jika ditambah lagi dengan penambahan waktu di sekolah, anak akan stres dan tertekan. Namun, jika
�
dilihat lebih jauh, sebenarnya banyak sisi yang perlu diperhatikan dari usulan sistem FDS tersebut. Tidak hanya hitam-putih, terutama pengaruhnya terhadap mental anak. Anak usia sekolah dasar (7-12 tahun) memiliki tahap perkembangan yang sangat berbeda di tiap tahunnya. Umumnya anak usia sekolah dasar senang bermain, senang bergerak, senang melakukan sesuatu secara langsung, dan senang bekerja dalam kelompok. Pada usia tersebut anak juga dianjurkan mengasah kemampuan sosial, bereksperimen secara langsung dengan objek, serta banyak belajar dengan praktek, dibandingkan mengikuti pembelajaran monoton dalam kelas. Dilansir dari rri.co.id, psikolog pendidikan Fenny Listyana menilai wacana kebijakan Full Day School akan mengganggu psikologi anak. Menurutnya anak mempunyai ketahanan ď€ sik yang terbatas. Ketika anak-anak dipaksakan dengan metode
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
belajar seharian penuh, maka anak-anak dihadapkan pada kelelahan mental yang berdampak tidak maksimalnya metode pembelajaran yang diajarkan. Dalam hal ini guru harus kreatif, penekanan pengajaran dengan mengedepankan keseimbangan antara kognitif, afeksi, dan psikomotor harus dilakukan. Jika pendidik tidak mampu mengimplimentasikan metode ajar, maka dikhawatirkan Full Day School dianggap oleh peserta didik justru sebagai hukuman. Jika melirik pengalaman berbagai Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) yang sudah sejak lama menerapkan sistem FDS, sebenarnya tidak ada masalah berkaitan dengan mental. Contohnya di SDIT Insan Mandiri, Jakarta Selatan. Pada tahun-tahun awal berdiri, sarana yang mendukung hanyalah tersedianya pilihan ikut katering, atau membawa bekal makan siang sendiri dari rumah. Selain itu perpustakaan dengan pendingin ruangan, wi-ď€ , playground dengan perosotan atau permainan lengkap belum tersedia. Sekedar gambaran, saat musim hujan, atap yang bocor sempat membuat air merembes masuk ke kelas. Namun siswa tidak pernah mengeluh tentang “pulang sekolah sore banget, bikin beteâ€?. Malah banyak yang betah berlama-lama di sekolah. Mereka senang bermain futsal di halaman hingga maghrib (guru pun ikut bergabung), atau sekedar bermain congklak, lompat karet, dan permainan tradisional lain. Kenapa? Sebab guru-gurunya memang menyenangkan, sabar, penuh perhatian, bisa bersikap seperti teman sepermainan saat diperlukan, dan penuh kasih sayang. Guru yang berkarakter, tulus, dan bisa dijadikan diteladan. Pelajaran diajarkan tidak hanya membuat hafal, tapi juga paham. Ranking tidak digembar-gemborkan seperti suatu pencapaian ď€ nal. Justru para guru lebih tertarik mendalami siswa secara individual dan men-
dorong untuk mengasah bakat. Guru sangat menghargai tiap pencapaian siswa, pada bidang apapun. Berbagai kegiatan tambahan seperti market day tiap hari Jumat juga menambah semangat siswa, karena hari itu mereka diajak belajar menjadi wirausahawan sejak kecil. Bebas berjualan apapun, dan seluruh teman maupun guru bisa berkeliling untuk membeli. Agar FDS bisa berlangsung dengan maksimal dan tidak membebani mental anak, maka kunci utamanya satu yaitu menciptakan suasana sekolah yang menyenangkan. Selain itu, guru harus memahami karakteristik siswa sekolah dasar, maupun bagaimana cara yang tepat dalam menanganinya. Membuat metode ajar yang sesuai tahap perkembangan memang tidak mudah, namun bukan berarti mustahil, karena sudah banyak kisah sukses yang bisa ditiru. Fasilitas boleh diperbagus dan dilengkapi, tapi ketika guru masih suka mencaci-maki, marah-marah, dan sederet sifat tidak patut lainnya, sebenarnya fasilitas semewah apapun tidak ada guna.
Kontributor: Qurrota Aini (Universitas Negeri Jakarta) Editor : Bonita Sandika Budi (Universitas Muhammadiyah Purwokerto) Illustrator : Prayudha Aditama (Universitas Muhammadiyah Purwokerto) Layouter : Chairani Wulandari (Universitas Diponegoro)
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
9
Reza Indragiri
Wawancara Ahli
Ahli Psikologi Forensik
Jangan selalu berpersepsi negatif terhadap anak. Banyak diantara anak-anak kita (di Indonesia) yang jago dan hebat dalam olimpiade, memiliki bakat, memiliki kecerdasan dan lainnya. Alih-alih terus menerus memandang anak kita sebagai sekelompok manusia yang dalam ambang penderitaan, barangkali lebih tepat jika kita (bahkan memaksakan diri sekalipun) untuk memandang dunia anak-anak dan remaja sebagai dunia yang penuh harapan. Dimana jika kita berbicara harapan berarti kita juga bicara tentang anak yang memiliki banyak bakat, kecerdasan prestasi, keharmonisan rumah tangga, berbangsa dan keharmonisan dalam keluarga. Kita mengatakan bahwa bangsa Indonesia saat ini mengalami darurat kejahatan (terutama seksual) kepada anak dikarenakan dari tahun ke tahun angkanya semakin meninggi. Menurut saya, angka yang dari tahun ke tahun yang meninggi merupakan sebuah kabar baik, angka yang naik menunjukan masyarakat saat ini yang, lebih berani melapor bahkan media-media cenderung lebih berani memberitakan dan dengan kata lain masyarakat kita dari waktu ke waktu kian sadar tentang pentingnya perlindungan anak, itu lah sesungguhnya yang membuat angka dari tahun ke tahun cenderung naik. Angka itu jangan dimaknakan sebagai angka peristiwa atau insiden, tapi maknailah angka tersebut sebagai angka kasus yang terungkap. Berati dari sini kita dapat mengatakan bahwa angka dari tahun ke tahun semakin banyak yang terungkap, tentu hal tersebut merupakan kabar baik bukan? Masayarakat lebih banyak mendiskusikan, media lebih banyak memberitakan dan pihak berwajib juga turut menindak lanjuti. Maka dari itu seharusnya kita gembira dengan angka yang naik tersebut dan kalau kita gembira maka sebaiknya kita merevisi ulang asumsi kita jika bicara tentang dunia anak Indonesia. Boleh dibiliang anak kita memang banyak merasakan penderitaan tetapi disaat yang bersamaan kesadaran masyarakat kita pun semakin baik maka dari itu sah-sah saja kalau kita menaruh harapan dari waktu ke waktu upaya kita untuk melindungi anak-anak bangsa yang berprestasi itu akan lebih baik Undang-undang perlindungan anak eksplisit hitam diatas putih mengatakan bahwa upaya perlindungan anak merupakan kewajiban seluruh elemen negara, baik itu pemerintah, presiden beserta kabinetnya, kepala lembaga negara, guru, polisi, orang tua, teangga dan semua sama-sama dikenakan kewajiban untuk melindungi anak tidak hanya negara atau pihak tertentu saja. Orang-orang Psikologi sendiri tidak hanya mahasiswa bahkan dosen, banyak berkiprah di dunia mikro seperti psikologi keluarga, psikologi untuk sekolah, dan lain sebagainya itu semua tidak salah tapi kita menantikan masa keemasan ketika kita mantap mengatakann psikologi untuk bangsa, salah satu cara realistis untuk mendongkrak Psikologi untuk bangsa itu adalah dengan bagaimana psikologi bisa mewarnai produk hukum kita, bagaimana psikologi bisa memberikan warna terhadap dap perundang-undangan kita, undang-undang yang selama ini didominasi oleh produk berď€ kir dari hukum harus kita geser bahwa Psikologi harus berperan besar disitu. Contohnya, saat ini dalam proses perumusan RUU pengasuhan anak, saya harap psikologi bisa mewarnai hal tersebut walaupun memang tidak seluruh pasal tapi ada pasal-pasal dan ayat-ayat tertentu yang membutuhkan masukan-masukan dari disiplin psikologi.
10
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
Jangan melulu bicara terapi dan individual oriented approach, tidak ada yang salah sebenarnya, tetapi kalau kita ingin memposisikan Psikologi sebagi ilmu yang prestisius seperti ilmu-ilmu lain mari kita pikirkan sejak semester satu bagaimana Psikologi keluar dari ruang terapinya dan ikut andil dalam merumuskan bangsa ini. Jika tidak seperti itu maka tidak heran apabila masyarakat masih memandang bahwa psikologi hanyalah sekelompok manusia yang bisa menebak-nebak kepribadian, mengatasi anak bermasalah, keretakan rumah tangga, tidak salah sekali lagi tapi sebagai mahasiswa Psikologi Indonesia kita dipaksa untuk berpikir dalam tataran kenegaraan, berpikir dalam tataran kebangsaan, memaksa kita keluar dari cangkang psikologi mikro memaksa masuk untuk masuk ke lapangan makro. Mari kita bicara mengenai undang-undang perlindungan anak, bagaimana undang-undang ini mendeď€ nsikan anak. Anak dideď€ nisikan berusia antara 0-18 tahun, bayangkan jika ada anak usia 17 tahun dan dia memperkosa temannya, mengambil barangnya, bahkan membunuh sampai membakarnya, lantas menurut UU apakah dia bisa dihukum mati? Tidak. Anak tersebut tidak bisa dihukum karena UU kita terlanjur menetapkan batasan bahwa usia anak antara usia 0-18 tahun, seharusnya Psikologi bisa hadir disitu dengan kita merevisi batasan usia anak, maka anak yang seperti contoh kasus tadi tidak begitu saja mudah untuk berlindung dibawah UU perlindungan anak. UU perlindungan anak beberapa kali menjadi benteng perlindungan bagi orangorang yang tidak bertanggung jawab yang berada di bawah usia 18. Jika psikologi misalnya menetapkan usia anak antara 0-12 tahun itu akan memberikan warna yang lebih bisa mempertanggung jawabkan dari segi keilmuan psikologi bagi UU perlindungan anak. Contoh lain, selama ini kalau ayah ibunya bercerai kemudian hak asuh anak jatuh ke salah satu pihak (misalnya ibu) kemudian sang ibu melarang anak untuk bertemu ayahnya, itu tidak dapat dengan mudah diberikan sanki hukuman karena Psikologi tidak berkontribusi. Didalam RUU pengasuhan, ada sekian pasal yang mengatakan bahwa ketika terjadi perceraian kemudian salah satu pihak menutupi akses pihak lain untuk bertemu dengan anak, pidana ganjarannya karena anak menderita dan orang tua mengabaikan kepentingan anak, kalimat ini tidak bisa keluar dari sarjana hukum kalimat ini hanya keluar dari sarjana psikologi tapi sampai sekarang belum terlihat.
11
Kontributor: Ilham Musyafa (UIN Maulana Malik Ibrahim) | Editor : Ghazali Fauzia (Universitas Brawijaya) | Layouter: Chairani Wulandari (Universtias Diponegoro)
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
Opini Ibu Sebagai Sekolah Pertama Sang Anak Oleh: Habib Faqih Muqoddam Ba'abud (Santri Lirboyo asal Purworejo) Secara agama seorang anak terlahir ď€ trah/ suci, artinya bersih tanpa dosa. Baik buruk perilaku sang anak bergantung pada lingkungan serta pendidikan agama orang tuanya. Kewajiban orang tua terhadap anak sesungguhnya ada tiga yaitu, memberikan nama yang baik, memberi pendidikan yang baik, dan mencarikan pasangan yang baik. Hal paling penting dari ketiga tersebut adalah pendidikan, utamanya pendidikan agama. Dalam hal ini seorang Ibu memiliki peran penting sebagai sekolah pertama bagi anak-anaknya. Menanamkan pengetahuan agama sejak anak berusia dini sebagai pedoman hidupnya, minimal sang anak mengetahui antara yang benar dan yang salah. Begitu pentingnya peran orang tua bagi anak, bahkan dosa sang anak pun ikut menjadi tanggung jawab orang tua, selama masih dalam masa pengasuhan. Dalam urusan ibadah ataupun segala sesuatunya sang orang tua hendaknya memberikan contoh berperilaku, bukan hanya memerintahkan saja, karena derajat perintah itu jauh lebih rendah dari pada mencontohkan. Ketika seorang anak diajak bersama-sama melaksanakan perintah agama, maka akan membawa pengaruh bagi perkembangan pola pikir, kepribadian, serta karakternya. Membentengi anak dengan pengetahuan agama akan menjadikan anak yang kuat mental. Pendidikan Berbasis Nilai Oleh: Prof. Dr. HM. Amin Syukur, M.A (Guru Besar Ilmu Tasawuf UIN Walisongo Semarang) Pendidikan di Indonesia pada umumnya hanya mentransfer ilmu saja, tidak mentransfer nilai-nilai, sehingga sering terjadi perilaku kurang menyenangkan. Apalagi dikalangan remaja yang masih melalui proses pencarian jati diri. Bahkan tidak menutup kemungkinan bahwa seseorang itu memiliki kepribadian yang terbelah, mampu melakukan kebaikan
12
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
dan keburukan secara bersamaan. Kondisi seperti ini terjadi karena kurangnya penghayatan terhadap nilai-nilai, sehingga ilmu hanya dipahami tetapi tidak diamalkan. Penanaman pendidikan sejak dini hingga jenjang tertinggi menjadi viral, karena hal ini menjadi lahan awal menerapkan nilai-nilai untuk berperilaku normatif serta universal. Utamanya pada remaja yang membutuhkan wadah untuk mengembangkan potensinya. Peran aktif keluarga, masyarakat, juga pemerintahan menjadi sangat penting bagi pendidikan anak dan remaja saat ini. Globalisasi Mental Oleh: Alď€ n Islami (Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin) Mental anak dan remaja disabilitas dengan anak normal kurang lebih sama. Yang jadi tolak ukur mereka adalah bagaimana mereka mampu memaknai hidup dengan penuh kesyukuran serta melakukan hal-hal yang positif. Perkembangan zaman yang kian maju menuntut perilaku yang bijak guna kontroling kondisi mental pada anak juga remaja. Banyak faktor yang menyebabkan kemerosotan mental, diantaranya adalah arus globalisasi yang kian kuat. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi memberikan kontribusi yang cukup signiď€ kan. Keadaan seperti ini setidaknya ada penyeimbang antara kesiapan mental serta kebijaksanaan dalam memperlakukan arus globalisasi. Sehingga kita mampu menyesuaikan diri. Globalisasi tak pernah lepas dari teknologi, penggunaan teknologi pun harus bijak. Perkembangan mental anak dan remaja yang notabene masih dalam asuhan, mendorong peran serta orang tua, guru serta pemerintah dalam pemanfaatannya. Disamping itu yang paling penting adalah anak dan remaja mendapatkan pendidikan yang sesuai, serta memperoleh ajaran hidup melalui agamanya sehingga mereka dapat hidup tentram dan damai. Sinergisitas Lingkungan Oleh: Chlalissa Michele (Universitas Atmajaya Jakarta) Menurut WHO (2014), sehat mental adalah ketika individu menyadari potensi yang ia miliki, dapat menghadapi stres dalam kehidupan, dapat bekerja secara produkif, dan mampu berkontribusi dalam komunitas. Berdasarkan deď€ nisi tersebut, salah satu hal yang dapat mengindikasikan anak dan remaja dengan atau tanpa disabilitas memiliki mental yang sehat adalah mereka dapat mengahadapi masalah secara positif dan memiliki relasi yang baik dengan orang lain. Perbedaan akan muncul bergantung pada konteks lingkungan disekitar. Tidak semua masyarakat di Indonesia dapat memberikan dukungan positif terhadap anak dan remaja dengan disabilitas. Dampaknya adalah mereka memunculkan perilaku negatif dalam menghadapi masalah dan memiliki masalah dalam berhubungan dengan orang lain. Pendidikan yang kualitasnya baik dan ajaran agama yang kuat dapat memberikan pemahaman dan memunculkan kasih yang dapat mendukung secara positif anak dan remaja dengan atau tanpa disabilitas, serta memunculkan kebijaksanaan dalam memanfaatkan teknologi. Kemerosotan mental terjadi ketika individu dan konteks lingkungan yang dihidupi tidak memiliki kedua hal tersebut. Untuk menanggulangi kemerosotan tersebut adalah memberikan pemahaman tidak hanya kepada anak dan remaja, melainkan juga kepada konteks lingkungan yang dihidupi, seperti orang tua, guru, teman, dan masyarakat sekitar. Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
13
Opini
Aisyah Pertiwi Putri (Universitas Negeri Sebelas Maret) Staff Badan Informasi dan Komunikasi Nasional Remaja saat ini berbeda dengan remaja kelahiran tahun 90-an, mulai dari ď€ sik, psikis, kematangan emosi, hingga lingkungannya. Menurut aliran behaviorisme, lingkungan tempat belajar remaja akan memengaruhi perilaku mereka. Keseharian remaja saat ini pasti tidak jauh dari gadget, hingga ada yang nomophobia (no mobile phone phobia) – tidak bisa jauh dari gadget. Peran orangtua maupun keluarga pun menjadi berkurang, penanaman kelekatan (attachment) tidak terjalin. Seperti yang disebutkan di dalam teori urie brofenbrener, ketika masuk ke makrosistem nilai-nilai dan kebudayaan, indonesia bisa dibilang sedang mengalami pergeseran karena modernisasi serta globalisasi dari berbagai hal di dunia ini. Tidak ada pihak yang bisa ditunjuk menjadi penanggung jawab karena hal ini sangat plural. Kemudian ada yang disebut dengan waktu. harapan manusia dari waktu ke waktu adalah untuk mengembangkan dan menjadi lebih baik. Sebagai kakak mereka (remaja) tentu kita bisa masuk ke mesosistem, tempat terdekat setelah mikrosistem, banyak hal yang bisa kita lakukan. Kita (mahasiswa) bisa memberikan perlu memberikan mereka banyak kesempatan belajar. Belajar mengenal diri, menelusuri minat bakat, meningkatkan kreativitas sampai mengusung mereka menjadi "generus bangsa yang berprestasi". Diluar sana banyak komunitas buatan mahasiswa diluar, mulai dari bidang mendidik hingga enterpreuner untuk remaja. Namun sayangnya masih kurang gencar karena tidak ada dukungan dari lapisan lainnya. Seperti dari lapisan keluarga (mikrosistem) maupun lapisan pemerintah (Ekosistem). Harapannya, sebagai agent of change, batasan itu tidak menjadi penghalang untuk terus mengajak adik-adik kita menjadi remaja yang berprestasi dan berkualitas. Hidup Mahasiswa, Hidup Rakyat Indonesia. Fitria Hayati Staff Badan Kesekretariatan Nasional (Universitas Andalas) Kalau menurut saya pribadi, secara umum kondisi mental remaja saat ini menghawatirkan. Banyak faktor yang menyebabkan mereka kehilangan arah yang akhirnya berefek negatif. Nah, salah satunya adalah ketidakpuasan ď€ sik yang diterimanya karena remaja memiliki role model. Dari segi sosial, pergaulan remaja saat ini terlihat sangat memprihatinkan, baik terhadap temannya, sampai orang yang lebih tua. Anak-anak bangsa sekarang banyak yang bobrok karena salah satunya dari faktor pendidikannya, tawuran, merokok, sampai kepada pengaduan karena urusan ď€ sik yang sepele seperti dicubit. Perbedaan remaja sekarang dan dulu sangatlah kontras karena salah satu faktornya ialah anak sekarang (generasi Y) yang teknologinya sudah canggih. Nah, semua itu mempengaruhi sekali kondisi mental remaja saat ini walaupun memang tidak semua remaja seburuk itu, ada juga yang berprestasi.
14
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
Kunci utama dari semuanya adalah orang tua, karena mereka tangan pertamanya, kemudian setelah itu dengan berbagai pihak, seperti guru disekolah, tenaga pendidik, lingkungan dan sebagainya. Masa Orientasi merupakan momen yang tepat karena disitu mahasiswa bisa menempa remaja untuk mempersiapkan diri mereka menjadi pribadi yang tahan banting sampai kepada pendidikan yang memperhatikan remaja dari segi psikologis. Selain itu, mahasiswa juga bisa turut langsung kemasyarkat dengan strong family, jadi mahasiswa itu melihat langsung bagaimana keadaan remaja itu. Cara kerjanya adalah dalam satu kelompok terdapat 3 orang untuk melihat bagaimana kehidupan keluarga-keluarga tersebut sampai sekitar 3-4 bulan. Melihat langsung dari tangan pertama, yaitu orang tua dan membantu mereka (remaja) dalam mengatasi permasalahan mereka. Nah, disini akan terlihat bahwa sebenarnya sebenernya mahasiswa bisa dan punya andil untuk agent of change dan memang itulah tugas kita sebagai mahasiswa. Dan terakhir semua yang kita lakukan terutama untuk strong family tadi masih harus dibawah bimbingan psikolog Aviola Natasha B Koordinator Badan Kesekretariatan Nasional (Universitas Andalas) Kondisi mental anak dan remaja Indonesia saat ini dapat dikatakan memprihatinkan. Karena sebagian dari mereka tidak menunjukkan kesehatan mental yang baik. Kesehatan mental merupakan kondisi dimana adanya keserasian antara fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara individu dan lingkungannya. Singkatnya, kesehatan mental yang baik dicapai ketika individu dalam kondisi batin yang tenang serta memungkinkan perkembangan ď€ sik, intelektual dan emosional yang optimal. Namun sayangnya pada saat ini tidak semua anak dan remaja memiliki kesehatan mental yang baik. Setidaknya tidak seperti beberapa belas tahun silam di mana tidak terlalu banyak anak dan remaja yang mengalami kondisi seperti saat ini. Hal ini tentunya tidak terjadi begitu saja. Seiring perkembangan zaman, teknologi pun berkembang dan memungkinkan anak untuk mengakses lebih banyak informasi. Tayangan televisi atau konten media pun tidak sepenuhnya diď€ lter sehingga masih sering kita lihat adegan kekerasan ataupun tidak layak konsumsi bagi anak ditayangkan. Selain itu, pola asuh dalam keluarga juga mempengaruhi kesehatan mental anak. Dengan pola asuh dan kontrol dari orang tua yang baik, maka anak akan menghasilkan perilaku yang baik pula dan tentunya secara psikologis akan sehat mental. Namun zaman sekarang, cukup banyak anak-anak yang dibiarkan menyerap informasi apapun yang disuguhkan media tanpa pengawasan dari orang tua. Ada cukup banyak orang tua yang lepas perhatian dari anak-anaknya sehingga menghasilkan beberapa anak yang belakangan kita dengar beritanya di media. Ada anak yang melakukan kekerasan sampai dengan membunuh orang tuanya sendiri hanya karena alasan tidak diberi uang oleh orang tuanya bahkan ada yang alasannya membunuh karena disuruh sholat oleh orang tua. Pengawasan dari orang tua juga berpengaruh terhadap pemilihan lingkungan sosial anak. Jika anak memasuki lingkungan sosial yang tidak baik, maka anak dan remaja akan meniru perilaku lingkungannya tersebut. Hal lain yang membuat anak dan remaja banyak yang rapuh dalam kesehatan mental, salah satu penyebabnya adalah kurangnya pelajaran akhlak, agama, dan pengaturan emosi di sekolah. Sekolah saat ini banyak berfokus pada kemampuan kognitif yang terus menerus harus ditingkatkan sehingga banyak yang hanya mengutamakan hal ini saja. Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
15
Secara individual, peran yang dapat kita lakukan sebagai mahasiswa psikologi bisa dimulai dari diri kita sendiri dan lingkungan terdekat kita. Saling mengingatkan dan memberikan pengetahuan kepada keluarga dan saudara-saudara kita pentingnya pola asuh serta pengawasan dari orang tua terhadap anak dan remaja. Langkah yang saya rasa cukup besar untuk dapat kita lakukan secara bersama sebagai mahasiswa psikologi adalah dengan mengkampanyekan pentingnya kesehatan mental bagi anak dan remaja saat ini dan apa saja yang harus dilakukan orang tua untuk membuat anak mereka sehat mental. Selain itu, kita bisa bekerja sama dengan pemerintah, membantu pemerintah untuk mensosialisasikan UU kesehatan jiwa yang telah disahkan pada Juli 2014 lalu dengan langsung terjun ke dalam masyarakat. Memang langkah di atas tidak semudah bagaimana saya mengatakannya, namun usaha kecil yang tiap kita kumpulkan dari ribuan mahasiswa psikologi di seluruh Indonesia, tentunya akan menghasilkan dampak yang besar bagi Indonesia nantinya. Naufal Nurramadhan (UIN Syarif Hidayatullah) Koordinator Badan Keuangan Untuk kondisi mental anak dan remaja saat ini memang harus kita perhatikan, karena menurut sepengelihatan saya dan melihat tetangga di kawasan saya yang cukup memprihatinkan. Baik dari cara bergaulnya, melihat kebiasaan anak dan remaja saai ini yang teradiksi gadget, mental hedonis, mental manja, dan hal lain yang tak bisa disebutkan satu per satu karena menurut saya sudah memasuki red alert karena semua hal itu didukung oleh media dan orang di sekitarnya yang terlihat malah memang bertujuan membentuk karakter tersebut. Sebagai mahasiswa psikologi kita kan sudah belajar tentang perkembangan perkembangan anak, ada baiknya kita menyebarkan tentang ilmu yang kita sudah miliki kepada orangtua-orangtua di seluruh Indonesia. Caranya dengan memanfaatkan organisasi mahasiswa psikologi atau ILMPI yang sudah ada di seluruh Indonesia untuk bisa menyebarkan ilmu yang kita dapat agar dapat berguna bagi orang tuan dan anakanak seluruh Indonesia. Kontributor : Fadhil (IAIN Imam Bonjol Padang) Editor : Bonita Sandika Budi (universitas Muhammadiyah Purwokerto) Layouter: Chairani Wulandari (Universitas Dipongoro)
16
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
IKATAN LEMBAGA MAHASISWA PSIKOLOGI INDONESIA MAGAZINE | EDISI #10
17
18
IKATAN LEMBAGA MAHASISWA PSIKOLOGI INDONESIA MAGAZINE | EDISI #10
IKATAN LEMBAGA MAHASISWA PSIKOLOGI INDONESIA MAGAZINE | EDISI #10
19
20
Kontributor: Ilham Musyafa (UIN Maulana Malik Ibrahim Malang) Editor: Tia Isti’anah (UIN Sunan Gunung Djati Bandung) Layouter (Citra Pertiwi Putri (Universitas Lambung Mangkurat)
21
22
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
23
24
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
Memperingati Hari Kesehatan Sedunia Mari Menjadi Agen PFA (Psychological First Aid) Dari Kejahatan Seksual dengan 3L:
Lihat, Lapor, dan Lindungi
26
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
What’s on ILMPI Wilayah
Wilayah 1
Selama 3 bulan terakhir, ada beberapa kegiatan dan program kerja yang dilakukan oleh Wilayah 1. Kegiatan yang pertama yaitu, memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Menthal Health Day), dengan maraknya kasus kejahatan seksual di Indonesia saat ini, Wilayah 1 mengampanyekan PFA (Pyschology First Aid) sexual crime. Kegiatan ini diharapkan agar masyarakat peka atau cepat tanggap ketika melihat kejahatan seksual. Seluruh provinsi di Wilayah 1 membuat berbagai kegiatan dalam rangka memperingati Hari Kesehatan Mental ini. Jambi adalah daerah yang pertama kali memperingati Hari Kesehatan Mental ini, yaitu pada tanggal 09 Oktober 2016. Kegiatan di Jambi dilaksanakan bersama mahasiswa psikologi dari UNJA, HIMPSI, dan anak-anak dari panti asuhan. Tanggal 10 Oktober, Lampung menjadi daerah kedua yang memperingati hari kesehatan mental ini. Kegiatan ini dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah dengan kegiatan Pondok Curhat. Dan pada tanggal 16 Oktober 2016, Sumbar dan Riau menjadi daerah ketiga yang memperingati Hari Kesehatan Mental sedunia ini. Kegiatan yang dilaksanakan di Sumbar adalah jalan santai, konseling gratis bersama HIMPSI, dan panggung hiburan, kegiatan ini dilaksanakan di GOR H. Agus Salim, sedangkan di Riau, kegiatannya adalah mengampanyekan mengenai agen PFA untuk sexual crime. Pada minggu selanjutnya, di Sumatera selatan, mahasiswa Psikologi dari universitas yang tergabung dalam keanggotaan ILMPI mengampanyekan PFA sexual crime sesuai arahan dari nasional, untuk isu nasional yang diangkat oleh ILMPI.
Kegiatan kedua yang dilaksanakan oleh Wilayah 1 yaitu, Psyquiz. Di sini, Wilayah 1 membagikan kuesioner online untuk edisi yang keenam dengan tema Psychology In Our Life. Psyquiz ini dilaksanakan setiap bulan. Adapun kegiatan ketiga yang telah dilaksanakan oleh Wilayah 1 yaitu, Lomba Essay dengan tema Psychology In Our Life. Juara 1 diraih oleh Ade Kurniati (UIN Raden Fatah), juara 2 diraih oleh Astika Syatri (Universitas Jambi), dan juara 3 diraih oleh Rodhiyatul Mardiyyah (UIN Sultan Syarif Kasim).
Wilayah 2
Detak Jantung Relawan di Wilayah 2 Berbeda dengan wilayah lainnya, Wilayah 2 berusaha menumbuhkan rasa tolongmenolong terhadap sesama sembari mempersiapkan relawan dari mahasiswa Psikologi dalam menghadapi bencanabencana sosial atau alam. Dimulai dengan mengadakan pelatihan relawan dengan tema “Detak Jantung Relawan”, Wilayah 2 Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
27
berhasil membekali mahasiswa psikologi dengan pengetahuan-pengetahuan yang sifatnya dasar dalam memberikan pertolongan. Kegiatan ini juga bertujuan agar tiap-tiap individu mengetahui batasan-batasan dan hal-hal yang dapat dilakukan oleh relawan Psikologi yang masih menjadi mahasiswa. Wilayah 2 juga berhasil mendatangkan Wahyu Cahyono S.Psi, M.Si dan Dwi Prihandini S.Psi, M.Psi sebagai narasumber. Pelatihan ini diadakan di Universitas Guna Darma, pada tanggal 13 Agustus 2016 dengan jumlah peserta 35 orang.
Berbagi Ceria dan Uluran Tangan dari Wilayah 3
Wilayah 3
Sesuai dengan tujuan ILMPI, yaitu membuat Indonesia tersenyum bersama psikologi, Wilayah 3 telah berhasil berbagi keceriaan bersama anak-anak di Panti Asuhan Aisyiah Solo. Kegiatan ini dilaksanakan pada tanggal 16 Juni 2016. Tidak hanya berbagi keceriaan, dibulan ramadhan yang penuh berkah, wilayah 3 juga mengadakan buka bersama bersama anak-anak di Panti Asuhan Aisyiah Solo. Selain itu, Wilayah 3 juga melakukan aksi penggalangan dana untuk korban longsor di Jawa Timur. Aksi penggalangan dana tersebut dilaksanakan pada tanggal 20, 21, 22 Juni, bekerjasama dengan beberapa organisasi. Pada tanggal 28 Juni, Wilayah 3 mengirimkan bantuannya langsung ke daerah yang terkena longsor tersebut, dan sebelum lebaran, yaitu pada tanggal 4 Juli, Wilayah 3 mengirimkan bingkisan lebaran. Pengiriman bantuan tahap terakhir dilaksanakan pada tanggal 15 Juli. Dari beberapa kegiatan di atas, pada tanggal 19, 20, dan 21 Agustus wilayah 3 juga sudah mengadakan Rakorwil, yang dilaksanakan di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, yang dihadiri oleh beberapa universitas lainnya; ULM, UMS, UNS, Unnes, USM, dan lainnya, sedangkan pada bulan September, Wilayah 3 mengadakan IGC di Semarang, yaitu di Undip, UIN Wali Songo, Unnes, dan USM.
Wilayah 4 Psikologi First Aid dan ILMPI Berqurban Pada tanggal 13-14 Agustus, di Pentingsari, bekerja sama dengan BEM STIPSI, Wilayah 4 mengadakan kegiatan PFA (Psychological First Aid). Selain itu, Wilayah 4 juga mengadakan IGTC pada tanggal 31 Agustus di UND, 23 september di UNY, dan 24-25 September ILMPI Camp. Selain kegiatan tersebut kegiatan amal juga berhasil diselenggarakan oleh Wilayah 4. Dalam hal ini, Wilayah 4 mengadakan kegiatan ILMPI berqurban. Kegiatan ini diawali dengan membuka donasi untuk binatang Qurban. Dari donasi tersebut didapatkan 3 ekor kambing. Hewan Qurban tersebut, kemudian disalurkan ke desa-desa yang membutuhkan, seperti desa Kembang, Jatimulyo, Girimulyo, dan Kulon Progo.
28
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
Wilayah 5 Ospek, Rakorwil, dan Hari Kesehatan mental. Mengangkat tema dengan Forum Ketua Lembaga, Wilayah 5 berhasil mengumpulkan para ketua-ketu BEM di berbagai universitas yang terdapat di Wilayah 5. Kegiatan tersebut bertujuan untuk membahas mengenai keadaan ILMPI di masing-masing kampus, Ospek, Rakorwil, Mukernas, dan juga peringatan Hari Kesehatan Mental. Kegiatan ini diadakan pada tanggal 11-12 Juli 2016, di Universitas Muhammadiyah Jember.
Wilayah 6 TUDANG SIPULUNG Kebudayaan pada saat ini memang mulai terpojokkan. Seiring dengan perkembangan zaman dan pertukaran nilai-nilai kehidupan, kita seakan tidak ingin melihat ke belakang dan lupa bahwa dahulunya leluhur kita telah mewariskan banyak hal dalam berbagai aspek kehidupan dalam bentuk kebudayaan. Berbeda dengan wilayah lainnya, Wilayah 6 mengangkat tema kegiatannya dengan mendengungkan kembali nilai-nilai kebudayaan. Dengan mengangkat tema “Tudang Sipulung”, Wilayah 6 mengingatkan kembali tentang kebudayaan kepada kita. Tudang Sipulung, yaitu budaya Politik Bugis Makassar yang merupakan penggabungan 2 kata yang mempunyai makna sangat berarti bagi masyarakat. Tudang yang berarti “duduk”, dan sipulung yang berarti “berkumpul bersama”. Jadi, secara istilahnya Tudang Sipulung mempunyai pengertian yitu, duduk dan berkumpul bersama untuk membahas berbagai hal terkait dengan program pelaksanaan. Kegiatan ini dilaksanakan pada hari Sabtu, 24 September 2016, di Koridor Psikologi UNHAS. Dalam kegiatan ini, Wilayah 6 menampung berbagai masukan dari dimisioner, dan ketua-ketua LEM, dan Pengurus Wilayah Harian yang dimana hasilnya akan dijadikan masukan ke Pengurus Harian Wilayah (PHW), dan akan dibawa pada saat RAKORNAS nantinya.
Wilayah Aceh-Sumut ILMPI mengajar, Buka Bersama, IGTC dan Upgrading Wilayah Aceh-Sumut Dalam kegiatan ILMPI mengajar, disini Wilayah Aceh dan Sumatera Utara memberikan pengajaran kepada anak usia 9-12 tahun di SOS Children's Village, yaitu sebuah organisasi yang memperhatikan anak-anak dengan pengasuhan yang kurang oleh orang tua. Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
29
Kegiatan ini dilaksanakan sebelum hingga sesudah puasa. Selain kegiatan pengajaran, Wilayah Aceh dan Sumatera Utara juga mengadakan buka bersama anak-anak di SOS Children's Village tersebut. Buka bersama ini merupakan salah satu acara untuk menghibur anak-anak tersebut. Buka bersama ini dihadiri oleh PHW, Staff, dan Relawan (Non pengurus ILMPI), Pengurus SOS, dan anak-anak dari SOS tersebut. Upgrading, dilaksanakan dalam 2 tahap. Tahap pertama pada tanggal 18 September di Banda Aceh, yang dihadiri oleh USU, Universitas Syiah Kuala, Universitas Muhammadiyah Aceh, UIN Ar-Raniry, Universitas Medan Area, dan Universitas Malikal-Saleh. Tahap kedua dilaksanakan pada tanggal 25 September di Medan. Target khusus pada upgrading kali ini yaitu meningkatkan SDM ILMPI, kaderisasi, dan menigkatkan rasa memiliki terhadap ILMPI, sedangkan IGTC dilaksanakan pada tanggal 19 September di Universitas Malik al-Saleh Lhoksumawe.
Kontributor: Fadhil Aanriva Maulana (IAIN Imam Bonjol) Editor:Bonita Sandika Budi (universitas Muhammadiyah Purwokerto) Layouter: Chairani Wulandari (Universitas Diponegoro)
30
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
31
Dosen Universitas Negeri Jakarta
Layouter: Fikri RaďŹ f Rinaldi (Universitas Diponegoro)
32
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
33
Qurata ‘Aini (Universitas Negeri Jakarta)
34
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
35
36
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
Coming Soon:
MUKERNAS VII Salah satu kegiatan tahunan yang rutin diadakan oleh Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia (ILMPI) adalah Musyawarah Kerja dan Rapat Nasional (Mukernas). Mukernas ini sudah enam kali diadakan. Mukernas terakhir dilaksanakan pada bulan Maret lalu, dengan tuan rumah Universitas Negeri Padang di Sumatera Barat. Kali ini, Mukernas VII bertempat di Universitas Teknologi Sumbawa alias UTS. Yuk, kita intip gimana persiapannya! Andri, selaku ketua pelaksana mengatakan bahwa Mukernas VII akan mempunyai konsep yang berbeda dari tahun sebelumnya, baik dari model acara maupun segi tempat. Jika Mukernas yang lalu lebih banyak menghabiskan waktu dalam forum, maka kali ini akan lebih difokuskan pada bakti sosial ke masyarakat dan diselingi dengan berwisata ke berbagai tempat di Sumbawa.
38
Mukernas VII direncanakan berlangsung mulai tanggal 11 hingga 18 Maret 2017, mengambil tema “Sopo Ate Saleng Beme� yang artinya adalah “Satu Hati Saling Merangkul�. Namun tema ini masih sementara, karena Steering Committee dan panitia berniat mengusulkan tema lain yang lebih menarik dan berkaitan dengan tema seminar. Di Sumbawa, provinsi Nusa Tenggara Barat, ada sebuah tradisi unik yang hingga kini masih dipertahankan masyarakat yang tinggal di desa, yaitu tradisi pacuan kuda yang biasa disebut Main Jaran. Bedanya dengan pacuan kuda di daerah lain yang
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
memakai joki dewasa, joki di sini adalah anak kecil berusia sekitar 6 tahun. Para joki cilik ini kebanyakan menghabiskan waktu di arena pacuan kuda, sehingga tidak sempat mengenyam pendidikan dasar seperti anak seusianya. Andri dan teman-teman dari UTS akhirnya turun tangan, membuat sekolah di pinggir arena untuk mengajar para joki di sela pertandingan. Maka untuk Seminar Nasional, Andri berniat mengangkat tema “Joki Kecil Berhak Belajar�. Nantinya peserta juga diharapkan bisa melihat secara langsung budaya Main Jaran ini. Untuk rangkaian acara pertama, ada Malam Keakraban alias Makrab. Konsep acara yang ditawarkan kepada peserta Mukernas VII ILMPI adalah konsep kekeluargaan khas Sumbawa. Akan ada penampilan yang dipersembahkan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Universitas Teknologi Sumbawa dan komunitas kesenian yang ada di daerah Sumbawa. Setelah melakukan ramah tamah dan perkenalan awal antar sesama peserta maupun dengan pihak tuan rumah, selanjutnya peserta akan dihidangkan makan malam yang dinamakan dengan Mangan Tode'. Mangan Tode' adalah tradisi makan bersama dengan cara duduk bersama-sama di dalam suatu tempat yang telah ditentukan. Biasanya tradisi ini dilakukan oleh anak kecil, dengan tujuan untuk meningkatkan rasa persaudaraan. Maka di Mukernas kali ini, peserta diharapkan dapat saling mengenal dan menjadi seperti saudara. Nantinya seluruh peserta akan dibagi dalam beberapa kelompok dan duduk melingkar. Lalu di tiap kelompok disediakan satu wadah yang di dalamnya berisi nasi dan berbagai macam lauk khas Sumbawa. Masih seperti agenda Mukernas seperti biasa, akan ada pembahasan tentang laporan pertanggungjawaban (LPJ), pemilihan Sekretaris Jendral (Sekjend), perumusan Pengurus Harian Nasional (PHN), pembahasan GBHO/GBHK dan .
Buku Pedoman Organisasi (BPO) serta tambahan kebijakan lain. Rapat Kerja Nasional akan membahas tentang program kerja ILMPI untuk satu periode ke depan. Juga perubahan AD/ART, yang sesuai kesepakatan memang diubah tiap 2 tahun sekali, terhitung sejak Mukernas V di Universitas Mercu Buana Jakarta Tak ketinggalan, peserta akan disuguhi penampilan dari Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) dalam rangka menyambut Hari Peduli Autis Sedunia. Peserta juga dapat berinteraksi langsung dengan ABK setelah persembahan selesai. Selain itu, akan ada outbound untuk mempererat ikatan antar sesama peserta Mukernas VII, sekaligus memperkenalkan budaya di Sumbawa. Karena akan ada yang menggunakan benda tradisional saat outbound. Acara yang biasanya paling dinanti peserta adalah ď€ eld trip. Peserta akan diajak melihat pembuatan permen susu yang ada di desa Penyaring Moyo Utara, juga diajak berkeliling ke Universitas Teknologi Sumbawa. Selain itu, tak lupa pula kunjungan ke Wisma Daerah, Istana Dalam Loka dan Masjid Agung. Peserta bisa melakukan berbagai hal, seperti berfoto dengan memakai baju adat penikahan, serta memberi makan rusa yang berada disekitar Wisma Daerah. Andri menyebutkan bahwa pihak panitia ingin bekerja sama dengan Pemda setempat, agar memungkinkan adanya pembiayaan transportasi dari Mataram ke Sumbawa. Namun hal ini belum terlaksana karena masih menunggu persetujuan proposal oleh petinggi ILMPI. Sekilas tentang persiapan Mukenas VII yang akan datang, kita doakan semoga berjalan lancar! Kontributor: Qurrota Aini (Universitas Negeri Jakarta) Editor: Tia Isti'anah (UIN Sunan Gunung Djati Bandung) Layouter: Chairani Wulandari (Universitas Diponegoro)
Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia Magazine | Edisi #10
39