5 minute read

Dari Banda untuk Dunia

Romantisme kesejarahan memang sangat kental terasa ketika berbincang mengenai Kepulauan Banda. Artefak arkeologis yang kaya hasil peninggalan masa jaya itu masih ada dan bertahan hingga sekarang. Di Pulau Banda Neira, sekitar 24 situs arkeologi, 7 di antaranya telah di tetapkan menjadi cagar budaya. Di Pulau Lonthor ditemukan 11 situs arkeologi. Di pulau lain juga ditemukan namun tidak begitu banyak.

Di antara peninggalan-peninggalan bersejarah itu adalah Benteng Belgica, Hollandia, Istana Mini, Gereja Hollandische Kerk yang disebutsebut sebagai gereja tertua di Asia Tenggara, dan beberapa yang lainnya. Di sana Banda Neira terdapat rumahrumah pengasingan tokoh pergerakan Kemerdekaan Indonesia seperti Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, dan Dr Cipto Mangunkusumo. Bahkan Pulau Rosengain diubah namanya menjadi Pulau Hatta sebagai penghormatan atas jasanya mengajar dan menjadi guru bagi warga Banda Neira selama proklamator tersebut menjalani pengasingan.

Advertisement

Lalu bagaimana nasib Banda ke depan? Dengan profil yang demikian kolosal tersebut, dengan kekayaan budaya yang juga massif, Banda sudah seharusnya dapat menjadi kota warisan budaya dunia. Bukankah Dalam Warisan Budaya Dunia terdapat penilaian Nilai Universal Luar Biasa (Outstanding Universal Value)? Bukankah hal itu merupakan ide dasar dari Konvensi Perlindungan Warisan Dunia Alam dan Budaya Tahun 1972 (Convention concerning the Protection of the World Cultural and Natural Heritage).

Kemudian, apa dan bagaimana hubungannya Warisan Budaya Takbenda (WBTb) dengan pala dan fuli Banda? Sebagai tambahan, pada akhir abad 20, lingkup warisan budaya oleh masyarakat internasional secara umum disepakati bahwa nilai budaya yang merupakan bentuk WBTb (intangible culture heritage) berperan penting dalam mendukung narasi warisan budaya bersifat ‘kebendaan’ (tangible heritage) serta lingkungan alamnya.

Pada tahun 1999, UNESCO menyatakan bahwa lingkup nilai kebendaan (bangunan dan situs), lingkungan dan warisan alam, kemudian mengadopsi

Illustrasi pengumpulan hasil perkebunan pala di Banda masa kolonial oleh Henri Zodervan & J.B. Wolters. (Leiden University Library, KITLV52A10)

Menjemur pala di depan rumah di desa di Banda Naira.

foto: Luca Vaime, https://www.shutterstock.com/g/Luca+Vaime

konvensi Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage (UNESCO, 2003). WBTb ini diwarisi secara turun temurun, secara terus-menerus diciptakan dan dikembangkan oleh masyarakat dalam merespons lingkungan sekitarnya, interaksi mereka dengan sejarah dan alam, memberikan mereka a sense of identity and continuity, dan mempromosikan penghormatan terhadap keragaman budaya dan kreatifitas manusia

Padahal, berbagai macam tinggalan atas kejayaan Banda silam yang dapat menjadi inspirasi atas rekonstruksi nilainilai budaya untuk mengangkat Banda dan memberdayakan masyarakatnya. Manajemen pengelolaan wilayah yaitu dengan adanya kawasan konservasi, yang mengatur dan melindungi sumberdaya alam sebagai daya tarik dan daya saing untuk mengembangkan pembangunan ekonomi dan budaya masyarakat Kepulauan Banda.

Sebut saja pentingnya penguatan kelembagaan dan kearifan lokal, pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan cagar budaya dan WBTb, sekaligus pelestarian pesona keindahan alam dan dunia bawah lautnya, pemberdayaan untuk meningkatkan taraf hidup dan perekonomian masyarakat. Kita juga tentunya tahu bahwa pala Banda merupakan komoditas unggulan perkebunan yang menjanjikan serta komoditas unggulan potensial permintaan pasar internasional.

Pada pada abad ke-10 saja pala Banda sudah tercatat dalam daftar perdagangan utama di pelabuhan Alexandria Mesir. Terlebih lagi, pada sekitar abad ke-14, di kitab Negarakertagama telah termaktub kata Wandan (Banda) sebagai salah satu kepulauan Indonesia bagian Timur penghasil rempah-rempah.

Ketika berbicara mengenai Kepulauan Banda maka hal itu melekat pada pembahasan rempahrempah dan jejak sejarah kehadiran bangsa asing di Nusantara. Harumnya pala dan fuli (myristica fragrans) telah merangsang datangnya para petualang dan pedagang dari berbagai penjuru dunia untuk mengarungi dan menaklukkan luasnya samudera.

Tome Pires mencatat bahwa orang Gujarat dan India ternyata telah terlebih dulu hadir, jauh sebelum datang pedagang-pedagang Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris di sana. Konon pula disebutkan bahwa masyarakatnya Banda memiliki armada dagang yang kuat hingga mampu berdagang pala dan fuli hingga negeri Malaka.

Apa hendak dikata, akhirnya datang bangsa-bangsa Eropa. Mereka silih berganti melakukan praktik kolonialisasi. Bukan harga dan keuntungan tinggi, melainkan perampasan dan penindasan selama berabad-abad yang rakyat Nusantara peroleh. Tersebutlah, pada 1599 rombongan Armada Belanda I yang dipimpin oleh Van Hemskerk tiba di Pelabuhan Orantata, Banda Besar keplauan Banda. Kemudian, pada tahun 1601 armada Inggris datang ke kepulauan Banda untuk tujuan yang sama yaitu mendapatkan pala dan fuli untuk dibawa ke pasar Eropa. Meskipun sesama Eropa, Belanda menganggap Inggris sebagai musuh dan saingan dagang mereka di Kepulauan Banda.

Pada tahun 1602, Banda kedatangan rombongan armada Belanda yang kedua. J.P. Coen memimpin armada itu. Pires mencatatnya sebagai pemimpin yang kejam. Pires mencatat bahwa J.P. Coen menawan 44 orang kaya yang dibawa dari Pulau Lonthoir. Kedua tangan para

Kota kecil di Banda Neira, dengan bangunan berbentuk pentagonal yaitu Benteng Belgica yang menjadi ikon kota.

foto: farhankudosan https://www.shutterstock.com/g/farhankudosan

tawanan diikat erat-erat lalu dimasukkan ke kerangkeng bambu. Di Banda, J.P. Coen memutilasi bagian tubuh mereka seperti tangan, kaki dan kepala. Ekspedisi yang kejam dan menentukan demi takluknya penduduk Kepulauan Banda itu terjadi pada April 1621.

Di balik sejarah kelam itu, tercatat sebuah sejarah juga penting dan unik, Pulau Run - satu di antara gugus Kepulauan Banda - dipertukarkan antara Inggris dan Belanda dengan pulau Manhattan, Amerika Serikat pada tahun 1667. Pertukaran Pulau Run dan Manhattan itu tertuang dalam Perjanjian Breda (Treaty of Breda) yang ditandatangani antara Inggris, Belanda, Perancis dan Denmark-Norwegia. Dalam perjanjian tersebut, Belanda bersedia melepaskan wilayah kekuasaannya di Nieuw Netherland, Amerika, atau saat ini dikenal sebagai Pulau Manhattan, untuk ditukar dengan Pulau Run. Itu semua pala dan fuli. Itu semua demi mempertahankan monopoli atas perdagangan rempah dunia di abad ke-17.

Begitu pula, betapa Banda Neira, salah satu pulau di Kepulauan Banda sedemikan penting sehingga ia menjadi kota pertama yang dibangun oleh bangsa Eropa di bumi Nusantara. Banda Neira dibangun demi kepentingan perdagangan pala yang dijalankan oleh bangsa Eropa. Di kota baru ini dibangun gedung-gedung perkantoran kolonial dan belasan benteng pertahanan.

Indonesia adalah pemegang sah jalur rempah. Jejak rempah Indonesia telah menjadi ikon budaya yang mendunia dan menjadi jalur diplomasi internasional bidang kebudayaan. Penting bagi kita untuk kembali menguatkan ideologi jalur rempah. Dan, Banda merupakan lokus penting sebagai bagian untuk mengumandangkan kejayaan Nusantara dalam jalur rempah. Bukankah kisah

Salah satu desa di Pulau Run yang terletak di ujung kepulauan Banda Neira.

foto: J. Croese https://www.shutterstock.com/g/J.Croese

di balik artefak-artefak itu adalah peninggalan Budaya Takbenda yang sangat penting? konservasi, yang mengatur dan melindungi sumberdaya alam sebagai daya tarik dan daya saing untuk mengembangkan sosial ekonomi dan budaya masyarakat Kepulauan Banda Neira. Perlu adanya model keterlibatan para stakeholder untuk mengelola dan mengembangkan potensi sumberdaya alam dan budaya yang tinggi di Kepulauan Banda Neira. Mohamad Atqa (Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan)

This article is from: