5 minute read

Jang Amba Tong pe Pala: Cerita Pala Maluku Utara

Dong Ambe Tong pe Pala: Cerita Pala Maluku Utara

Ketika kita berbicara mengenai Ternate dan juga Tidore, akan ada cerita tentang pala. Pala, sepintas terlihat seperti duku, dengan ukuran lebih besar. Pala muda berbalut kulit berwarna hijau, dan menjadi kekuning-kuningan ketika matang, warna yang elok sedap dipandang mata. Ketika dikupas, buah pala sedikit pucat tapi menggiurkan untuk dicicipi. Akan tetapi, jangan coba-coba langsung melahapnya. Rasanya kecut.

Advertisement

Di balik rasa kecut itu, pala mengandung harta yang bernilai tinggi. Nyatanya, pala dicari dan diburu oleh bangsa-bangsa Eropa selama berabad-abad. Pala bahkan ternisbat menjadi salah satu penanda utama suatu periode penting dalam sejarah dunia, the age of discoveries atau abad-abad penemuan dan penjelajahan.

Hampir seluruh bagian buah pala bernilai ekonomi. Isinya diolah menjadi manisan atau sirup lalu dipasarkan. Pala itu dibalut “bunga” yang disebut fuli yang tampak cantik berkilau berwarna merah saat sudah matang dan saat buahnya dibelah. Fuli atau bunga yang membungkus biji dan berwarna merah adalah bagian termahal. Kemudian biji pala, berwarna hitam mengkilap ketika telah dijemur lazim ditemukan di Indonesia sebagai bumbu makanan. Biji pala disebut pula mutiara hitam.

Pemilihan biji pala. (searah jarum jam) Buah Pala yang masih di pohon, pala yang sudah dikeringkan, pala dan fuli yang mulai lepas dari bijinya, buah pala dan biji pala.

Pala dan fuli inilah yang selama berabad-abad bertahan sebagai produk dagang termahal di pasaran dunia. Pala dan fuli memang dapat diubah menjadi berbagai produk olahan; seperti bahan farmasi, kosmetik, bumbu makanan dan bahkan campuran parfum. Bahkan, pala diyakini memiliki khasiat yang sangat ampuh sedemikian ampuh sehingga dapat menyembuhkan banyak ragam penyakit. Konon, pandemi mematikan Black Death yang menyerang Eropa pada akhir abad ke-14 bisa mereda karena khasiat pala.

Pala di Ternate dan Tidore

Walau pala adalah tanaman terkenal mula-mula di Banda dan telah memiliki sejarah panjang. Namun pada perkembangan berikutnya, pala tersebar ke hampir seluruh pulau di Maluku. Ternate dan Tidore juga merupakan bagian dari wilayah sebaran pala di Maluku. Walau pala di Ternate dan Tidore tidak semashyur di Banda, namun tetap saja tumbuh serta berkembang hingga kini. Dengan demikian pala di Ternate dan Tidore juga merupakan tanaman yang menjadi incaran bangsa-bangsa eropa.

Gufran Ibrahim dalam tulisannya ‘menemukan evidensi linguistik keaslian pala dan cengkeh mengatakan bahwa nama pala dalam bahasa daerah Ternate dan Tidore adalah gosora. Pala yang hidup di kaki gunung Gamalama (Ternate) dan Kie Matubu (Tidore) adalah asli dari tanah Maluku yang juga digilai orang-orang Eropa. Biji dan fuli merupakan rempah paling dicari.

Cengkih tumbuh di bagian utara tanah Maluku. Sementara pala berkembang di selatan tanah Maluku. Begitu berharganya pala, sampaisampai membuat Pulau Run rela ditukar-gulingkan Inggris dan Belanda dengan Pulau Manhattan, yang ketika itu bernama Niuew Amsterdam dan sekarang dikenal sebagai New York, pusat ekonomi utama di dunia saat ini.

foto: Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan

foto: Direktorat Pengembangan dan Pemanfaatan Kebudayaan

Pala dan Sejarah

Barangkali, jika tidak ada pala maka orang tidak akan kenal pulau Banda, pulau penghasil pala terbaik dunia. Bangsa-bangsa Eropa saja rela berlayar ribuan mil laut demi si hitam manis. Mereka bahkan mendirikan koloni multikultural mula-mula di Banda. Suatu daerah kosmopolit. Jauh sebelum ada Jakarta, Batavia.

Pala bahkan bisa membuat kekuatan-kekuatan Eropa saling berperang. Belanda (VOC) memiliki hasrat sangat besar untuk memonopoli perdagangan pala. Belanda mengirim tentaranya dengan jumlah yang sangat banyak untuk menyerang Portugis di pulau Banda. Kemudian mereka berperang melawan bangsa Inggris. Lalu, salah satu peristiwa paling kelam di Nusantara, tapi mungkin juga salah satu yang paling sedikit diceritakan adalah pembantaian orang-orang asli Banda. Sebuah peristiwa genosida telah terjadi. Kejadian itu diabadikan sebagai legenda dan ratap-tangis Banda Eli dalam tradisi lisan Maluku Selatan.

Dibalik perdagangan pala tersimpan nestapa berabad-abad sejarah Nusantara. Sebagaimana lada dan cengkeh, pala itu seumpama bidadari cantik rupawan yang menarik banyak lelaki untuk memperebutkannya. Portugis, selaksa lelaki perebut, adalah bangsa pertama yang datang khusus untuk berdagang pala dengan penduduk tempatan. Apa daya, mereka punya banyak saingan. Spanyol, Inggris dan Belanda juga ingin mengambil bagian. Inggris dan kemudian Belanda adalah bangsa dengan keinginan terkuat untuk merebut pala di kepulauan Banda dari tangan Portugis.

Portugis di Ternate dan Spanyol ke Tidore

Orang tua kami sering berkisah soal asal mula Portugis masuk ke Ternate. Kisah-kisah yang juga sejarawan Ternate, misalnya Adnan Amal, Des Alwi dan lainnya. Konon, saat pertama berlabuh di Ternate, Portugis disambut baik oleh Sultan karena prasangka baik bahwa bangsa baru ini akan menjadi sekutu yang baik dan barangkali mau membantu menyerang Kesultanan Tidore. Waktupun berjalan, hingga diketahui bahwa Portugis sesungguhnya bermaksud menguasai rempah di Ternate. Sultan Tabariji kemudian menjadi korban hingga dibuang ke Goa (India). Sultan Tabariji kemudian digantikan oleh Sultan Khairun yang masih belia. Pihak Portugis meremehkan Sultan Khairun dan ikut campur semua urusan dalam kesultanan Ternate.

Khairun tidak mau memutus kerjasama dengan bangsa Portugis yang bermukin di Ternate, hingga suasana stabilitas dan kedamaian tetap terjaga. Namun suasana ini dimanfaatkan Portugis dengan mengundang sang Sultan berkunjung ke benteng. Sultan Khairun tanpa curiga langsung datang ke Benteng dengan hanya beberapa pengawal. Pada tanggal 25 Februari 1570 di Benteng Nostra Senhora Del Rosario (sekarang lebih dikenal dengan nama Benteng Kastela), Sultan Khairun dibunuh oleh tentara portugis atas perintah Gubernur Lopez de Mesquita.

Berita Sultan Khairun dibunuh menyebar dan menyulut huru-hara, kemarahan dan keberanian warga Ternate. Sultan Baabullah, sang anak, yang menggantikan ayahnya, marah pada bangsa Portugis yang telah membunuh ayahnya. Sang Sultan marah karena Portugis memonopoli perdagangan rempah. Kenyataannya justru berbeda, Baabullah terlihat sangat berani dan kuat serta berkeinginan kuat untuk mengusir bangsa Portugis keluar dari tanah Maluku.

Sebelum bangsa Portugis dan Spanyol sampai di Ternate dan Tidore, telah ada perang antara kedua kesultanan ini. Perang ini juga mendorong Portugis dan Spanyol terlibat menjadi sekutu. Portugis memilih Ternate sebagai sekutu. Sementara Spanyol bersama Tidore untuk berkonfrontasi dengan Ternate dan Portugis. Sama seperti Portugis, kedatangan Spanyol ke Maluku juga ingin menguasai rempah yaitu pala dan cengkih. Namun, Spanyol agak kesulitan karena telah ada Portugis yang lebih dulu memonopoli perdagangan rempah kawasan itu. Kala itu, Spanyol dengan Tidore terlibat perang dengan Portugis dan Tidore.

Pala telah menentukan sejarah panjang tidak hanya untuk Ternate dan Tidore, tetapi pula untuk Indonesia. Buah ini tidak hanya digemari bangsa eropa, namun pula bangsa-bangsa dari Asia seperti India, Arab dan China. Berbagai bangsa ini datang ke nusantara, termasuk di Maluku Utara. Orang Ternate bilang, ”Jang Ambe Tong pe Pala”. Ya, mereka bilang, “Jangan ambil kami punya pala”. (Sukran Ichsan: Peneliti di Rumah Sinergi Research and Consulting)

Suasana pasar tradisional di Ternate saat ini, dengan para penjual sayur mayur, buah buahan dan bumbu-bumbu lokal.

foto: iamjoray https://www.shutterstock.com/g/iamjoray

This article is from: