Apa itu URE?
UGM Research Expedition (URE) adalah suatu kegiatan ekspedisi berbasis penelitian atau riset yang dibentuk oleh Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada (Mapagama).
URE biasanya dilakukan di tempat dan daerah unik yang masih jarang dilakukan penelitian. Pelaksanaan URE
difokuskan di pulau-pulau Nusantara. Kegiatan ekspedisi
ini merupakan bagian dari Rencana Strategis (Renstra)
Mapagama dalam rangka mempersiapkan perayaan ulang
tahun Mapagama ke-50 tahun. Selain itu, kegiatan URE
juga dilaksanakan sebagai wadah berkegiatan anggota
Mapagama untuk melakukan penelitian.
Hal ini sesuai dengan kegiatan Mapagama yang
berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu penelitian, pendidikan, dan pengabdian.
Sebagai mahasiswa, kami percaya bahwa berada di lapangan dengan lingkungan baru dapat menjadi sarana pembelajaran yang baik dan akan menjadi pengalaman hidup yang tak ternilai. Nun jauh di timur, cenderawasih kuning-kecil menarik minat kami untuk mengenalnya lebih dalam.
Benarkah mereka memang burung yang jatuh dari surga? Bagaimana habitat mereka?
Bagaimana penduduk setempat hidup berdampingan dengan aves berekor menawan satu ini?
Apakah memungkinkan jika dunia pun turut mengenal mereka, tanpa ada resiko buruk yang mungkin terjadi pada teman-teman kita ini?
Pertanyaan demi pertanyaan berakhir dengan keyakinan kami untuk beranjak ke salah satu rumah mereka di Papua, tepatnya di Kepulauan Yapen.
Hari berganti bulan dan rintangan demi rintangan, keberangkatan kami dilepas dengan haru dan hura oleh orang-orang terkasih.
Terima kasih atas dukungan teman-teman semua, sekecil apapun itu.
Inilah Si Cantik dari Papua, cara kam bawa si kuning-kecil lebih dekat dengan kalian semua.
A Bliss from The East
UGM Research Expedition V
Terima kasih kepada
Universitas Gadjah Mada melalui Direktorat Kemahasiswaan
Yayasan Kehati melalui Biodiversity Warrior Kehati
Saireri Paradise Foundation
para mama, bapa, dan kaka yang su bantu torang semua
serta
teman-teman dan kakak-kakak Mahasiswa Pencinta Alam Universitas Gadjah Mada dan seluruh pihak lain yang telah berkontribusi bersama kami
Cenderawasih kuning-kecil membersihkan bulunya agar tetap cantik
Photo: Erdyan NuringtyasManus yang selalu ceria saat kami ajak bermain bersama
Photo: Toto Karsius K.Meet The Team
Harits Alam Maulana
Sebagai Kepala Peneliti Biotik, Harits memastikan temanteman lain memahami penelitian biotik dan cara mengambil data. Selain itu, sebagai P3K, ia juga bertugas memastikan kesehatan seluruh tim.
Erdyan Nuringtyas
Mahasiswa Geografi yang berperan sebagai Koordinator Lapangan, Erdyan bertugas mengarahkan pergerakan tim pada hari-hari lapangan.
Arya Rahman
Selain sebagai mahasiswa Teknik Geodesi yang menjadi kartografer untuk kedua penelitian, Arya juga mengoordinir seluruh peralatan dan logistik tim maupun personal yang di bawa ketika di lapangan.
Atsil Tsabita Ismaningdyah
Mahasiswi Sastra Prancis dalam ekspedisi lapangan, Acil merancang dan mengoordinir segala kebutuhan dokumentasi serta publikasi hasilnya.
Dian Novitasari
Menjadi mahasiswi Pariwisata merupakan latar belakang Dian memutuskan menjadi Kepala Peneliti Pariwisata. Selain itu, ia juga menjadi sekretaris dan mengoordinir kebutuhan asupan tim.
Toto Karius Karo-karo
Mahasiswa Vokasi Teknik Sipil dengan peran sebagai
Koordinator Tim Ekspedisi. Tanggung jawab Toto meliputi persiapan seluruh anggota tim serta memastikan tugas
teman-teman lain selesai hingga akhir.
Sebagai mahasiswi Kehutanan yang familiar dengan kegiatan serupa, Isma bertanggung jawab atas survei dan perizinan ke pihak-pihak terkait, serta mengurus kebutuhan transportasi tim.
Rayhan James Cellars
Bendahara Tim dipegang oleh mahasiswa Psikologi satu
ini. Selain mengatur dana tim, ia membantu Acil mendokumentasikan di lapangan, terutama dalam hal video.
Fahrudin Firda Raharja
Ekspeditor URE IV 2019
Sponsorship dalam URE V
Demetria Alika Putri
Koordinator Dewan Ekspedisi 2021
Survei dan Perizinan Internal dalam URE V
Honorable Mentions
Rachmat Wily Adam
Koordinator URE 2021
Dana Usaha dalam URE V
kisah kami dimulai di sini
Kampung Sawendui
Lokasi Administratif
Kepulauan Yapen
134°46” - 137°21,964”BT dan 1°27’47,714” – 1°58’36,376” LS
Desa Yapen
Kecamatan Raimbawi dan Kosiwo
Kabupaten Kepulauan Yapen
Provinsi Papua
Lokasi Administratif
Kampung Sawendui merupakan sebuah
daerah pemukiman kecil yang terletak
di Distrik Raimbawi, Kabupaten
Kepulauan Yapen. Berada di pesisir
timur Pulau Yapen, kampung ini dikenal
sebagai rumah bagi berbagai spesies
endemik dan langka, salah satunya
ialah burung cenderawasih
kuning-kecil. Setidaknya memiliki luas
lebih dari 203 hektar, seluruh area
hutan Sawendui yang merupakan
habitat cenderawasih merupakan
hutan adat milik keluarga Korano.
Rumah kayu, rumah kami selama menetap di Kampung Sawendui
Perumahan warga Desa Sawendui
dilihat dari atas
Aerial photo: Erdyan Nuringtyas
A Bliss of The East
Toto bersama warga menghabiskan waktu luang
Photo: Harits A. MaulanaSuasana sore hari yang selalu kami rasakan di muara
Sungai Kasuari, Kampung Sawendui
Toto mencari sinyal di pinggir
Sungai Kasuari sembari
bermain air
Photo: Harits A. Maulana Photo: Atsil Tsabita I.Pejantan cenderawasih kuning-kecil yang kami jumpai di hari kedua pengambilan data
Photo: Erdyan NuringtyasPejantan cenderawasih kuning-kecil lain yang kami jumpai di hari pertama
pengambilan data, sedang berkelompok
Photo: Erdyan Nuringtyas
Kecantikan Surgawi Kuning-Kecil
oleh Harits A. MaulanaCenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor) merupakan jenis burung endemik dari famili Paradisaeidae yang hanya tersebar di Pulau Papua. Burung ini menjadi ikon negara Indonesia dan dikenal oleh dunia sebagai burung yang indah. Masyarakat umum lebih mengenal burung cenderawasih sebagai burung dengan warna bulu yang cantik sehingga disebut sebagai bird of paradise atau burung dari surga. Cenderawasih kuning-kecil tersebar di sepanjang Pulau Papua bagian utara, termasuk Kepulauan Yapen.
Saat ini burung cenderawasih mengalami penurunan populasi di habitat aslinya. Di dalam situs web IUCN Red List, burung cenderawasih kuning-kecil (Paradisaea minor) (Shaw, 1809) masuk ke dalam kategori Least Concern (LC) yang berarti hewan ini dalam kondisi aman dan berisiko rendah. Namun populasi burung ini mengalami penurunan dan terancam punah akibat rusaknya habitat dan maraknya perburuan liar.
Pejantan cenderawasih kuning-kecil yang kami jumpai di hari kedua pengambilan data
Photo: Erdyan NuringtyasPejantan cenderawasih kuning-kecil yang kami jumpai di hari kedua pengambilan data
Bapa Sepi sedang bercerita mengenai kebiasaan cenderawasih kuning-kecil dengan kami ketika sedang beristirahat di hari pengambilan data
Photo: Atsil Tsabita I.Pejantan belah rotan yang kami temui, tampak sedang beristirahat setelah membersihkan rumahnya dedaunan kering
Si Bujang Belah Rotan
oleh Rayhan J. CellarsCenderawasih belah rotan (Cicinnurus magnificus) adalah spesies burung cenderawasih yang termasuk famili Paradisaeae. Arti nama latin burung ini adalah “si buntut melengkung yang indah”. Secara umum, burung ini memiliki paruh luar dan kaki berwarna biru, namun para pejantannya memiliki warna bulu kuning di bagian atas dan hijau di bagian dadanya. Ia memiliki dua antena yang melengkung berwarna biru. Sementara itu, bagian dalam paruhnya berwarna hijau. Kebiasaan dalam perkawinan burung ini cukup unik dan berbeda jika dibandingkan dengan cenderawasih kuning-kecil. Burung ini setiap pagi dan sore akan membersihkan “kebun” tempat mereka bermain. Mereka akan membersihkan kebun tersebut dari daun-daun yang berserakan sampai benar-benar dirasa “bersih”, agar dapat digunakan sebagai tempat menari untuk menarik perhatian para betina.
Cellars
Isma mengidentifikasi jenis vegetasi di area transect
Taun-Taun, Sahabat Si Penyu
oleh Erdyan Nuringtyas
Burung taun-taun (Rhyticeros plicatus) merupakan burung yang tersebar di seluruh hutan wilayah Papua. Dikenal pula sebagai Julang Papua, burung ini merupakan bahan konsumsi umum warga hingga saat ini. Nasib taun-taun masih berputar pada hidupnya yang tidak tenang akibat diburu, baik untuk dikonsumsi maupun untuk dijual dalam keadaan terawetkan. Perburuan ini menjadi salah satu faktor utama mengapa ia berada dalam tren penurunan populasi dan berstatus Least Concern pada IUCN Red List Categories and Criteria pada data yang diperbarui terakhir di tahun 2020. Ia sangat mudah dikenali. Selain karena tubuh besar berwarna hitam dengan paruh warna kuning yang mencolok, saat terbang ia akan menimbulkan suara seperti baling-baling helikopter. Suara ini timbul dari kepakan sayap yang ukurannya cukup besar. Sarangnya dapat ditemui di area batang pohon. Pada saat bertelur, para betina mereka hanya akan mengeluarkan satu butir telur. Selain itu, burung ini akan berkelompok dan akan tinggal di sekitaran pohon buah karena makanan utamanya termasuk buah-buahan di sekelilingnya. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Sawendui, taun-taun dahulu bersahabat dengan para penyu. Sayangnya, karena persediaan makanan di darat perlahan surut, penyu memilih untuk menjelajahi samudra dan menjadi satwa yang kita kenali saat ini.
Di siang hari, sembari beristirahat, burung taun-taun bertengger sedang mencari mangsanyaPhoto: Erdyan Nuringtyas
Deburan ombak laut yang terus menerjang daratan Kampung Sawendui setiap harinya
Aerial photo: Erdyan NuringtyasMonokrom di Siang Hari
oleh Erdyan Nuringtyas
Burung Siang atau burung Akiku atau burung jagal papua merupakan burung yang tersebar di daratan Yapen, Biak, dan hampir di seluruh Papua. Dianggap sebagai titisan leluhur, burung siang haram dikonsumsi oleh masyarakat di Kampung Sawendui. Akan tetapi, di daerah lain, burung ini masih diburu, baik untuk dijual karena kicauannya yang bagus ataupun dalam bentuk terawetkan. Kicauannya cenderung dapat menirukan burung di sekitarnya, namun suara aslinya akan menyerupai suara suling.
Burung siang merupakan burung dengan ukuran sedang dengan warna dominan hitam dan putih. Seperti namanya, burung siang merupakan burung pertanda adanya siang hari. Ia akan berkicau ketika hari sudah beranjak siang. Burung siang juga merupakan burung pertanda adanya malam hari, dimana saat sore hari burung ini akan mulai berkicau lagi. Hal ini juga sesuai dengan warna hitam dan putih pada tubuhnya yang melambangkan siang dan malam.
Termasuk hewan karnivora, ia mendapat pasokan energi dari melahap serangga berukuran besar, reptil kecil, katak, laba-laba, tikus, hingga burung-burung lain yang berukuran lebih kecil. Menurut salah satu penjaga burung di Sawendui, burung siang juga menjadikan buah-buahan sebagai makanan selingan.
Burung siang yang kami jumpai di bawah cerahnya langit, sedang menikmati hasil buruannya
Photo: Rayhan J. CellarsKuskus, Si Pemalu
Kuskus merupakan salah satu binatang endemik lain yang berada di Kampung Sawendui. Tidak hanya satu jenis, kita dapat menjumpai beberapa jenis kuskus dengan dominasi corak berwarna merah, putih, dan hitam. Ditetapkan sebagai hewan yang dilindungi karena menurunnya populasi, masyarakat setempat masih mengonsumsi kuskus hitam di acara-acara tertentu karena populasi di daerah tersebut masih lebih stabil dibandingkan dengan yang lain.
Putri Kapi Boki
Kapi Boki adalah sebuah gua yang terletak di pesisir pantai Kapi Boki. Kapi Boki diambil dari nama seorang perempuan tua yang tinggal di gua tersebut. Perempuan itu dipercaya sebagai nenek moyang dari keluarga marga Korano. Nenek Kapi Boki memiliki ukuran tubuh besar seperti raksasa dan memiliki kebiasaan berburu manusia sebagai sumber utama asupan energinya. Pada suatu hari, Nenek Kapi Boki pergi ke daerah bagian Barawai. Sesaat setelah sampai di daratan Barawai, Sang Nenek bertemu dengan seorang ayah bersama anak perempuannya yang sedang berburu. Karena kebiasaannya memakan manusia, Sang Nenek pun membunuh ayah yang malang itu dan membawa anak perempuannya untuk dibesarkan dan dijadikan seorang cucu. Sampai suatu saat, ada sebuah keluarga dari Barawai yang terdiri dari dua kakak-beradik laki-laki. Mereka sedang duduk di tepi pantai dan melihat seekor ikan paus naik ke permukaan. Hal ini membuat mereka kemudian bergegas memburu paus tersebut, dengan cepat mereka menaiki perahu dan hendak menikam ikan raksasa itu, namun ia malah berbalik dan memakan kedua orang itu. Di dalam perut ikan paus tersebut, kedua orang itu membuat api. Asap api membuat si paus memuntahkan mereka di bibir Pantai Sawendui. Lalu, kedua orang itu berjalan di pantai untuk mencari sebuah desa. Setelah beberapa waktu, mereka bertemu dengan cucu dari Kapi Boki. Anak kecil ini menanyakan asal kakak-beradik tersebut. Mereka mengakui darah mereka dari Barawai.
“Cucu angkat” Kapi Boki kemudian menghimbau agar mereka tidak bisa tinggal disini dengan berkata “Kaka, kam sebaiknya cepat pergi dari sini karena sa pu nenek biasa makan orang. Sa cuma bisa kasih kaka kam api saja tapi kam cepat pergi dari sini sebelum sa pu nenek datang”. Setelah memberikan mereka bahan untuk membuat api, Sang Cucu berkata, “Kaka, biar tong bisa balik ke tong pu kampung, kaka kam habis ini bikin perahu kasih selesai biar tong pake pulang
Arya mendengarkan Bapa Sepi bercerita mengenai
legenda Kapi Boki ketika mengunjungi gua yang dipercayai penduduk sebagai rumahnya
ke kampung”. Mendengar arahan tersebut, kakak-beradik ini kemudian bergegas pergi ke sisi lain pulau dan berdiam di sana hingga seminggu lamanya untuk membuat perahu sambil menghangatkan diri. Selama mereka membuat perahu, Sang Cucu mengarahkan neneknya untuk pergi mencari babi ke arah matahari terbenam agar sang nenek tidak bertemu dengan kedua orang itu. Pada hari kedelapan, sebuah perahu sudah siap dipakai. Sang Kakak menyempatkan pergi ke tempat Cucu Kapi Boki untuk memberi tahu, “Besok pagi ko siap-siap ke tong sini, perahu su jadi”. Keesokan harinya, mereka bertiga benar-benar meninggalkan pulau tersebut. Sang Nenek merasa ada yang ganjil karena tidak bisa menemukan cucunya. Curiga, ia pun pergi mengejar cucunya bersama dengan 12 anjing miliknya sampai sudah dekat. Sayang, Sang Cucu sudah mengetahui pantangan-pantangan dari neneknya. Ia pun menggunakan pantangan-pantangan tersebut untuk mengalahkan sang nenek. Sampai pada akhirnya kedua belas anjing nenek Kapi Boki itu mati, diikuti dengan kematian nenek Kapi Boki. Setelah Sang Nenek tidak bernafas lagi, Sang Cucu kembali untuk membawa mayat nenek Kapi Boki dan menguburkannya di Pantai Sawendui. Kemudian cerita rakyat ini menjadi asal usul dari nama Gua Kapi Boki yang berada di Desa Sawendui.
Pantai Piamunui, pemandangan sehari-hari kami setiap pagi ketika berada di Kampung Sawendui
Photo: Rayhan J. CellarsPiamunui di Pelupuk Mata
oleh Rayhan J. CellarsHamparan butiran pasir yang menyambut kami pertama kali di siang hari yang terik itu. Wajah-wajah baru nan ramah berbaris di pantai yang asing nan indah di mata.
Tempat kami bercengkrama di hari pertama, hingga berdansa bersama di malam terakhir di sana.
Pantai indah penuh kenangan tak terlupakan. Bersama kawan-kawan baru dan lama mengukir kisah di sana. Bertemu penyu dan udang karang di malam penuh bintang. Disambut bulan dan bimasakti yang menyala.
Selamat tinggal sementara, pantai Sawendui tercinta. Kami bersyukur pernah menginjakkan kaki di sana. Tempat indah bak nirwana.
Pantai Piamunui dan seluruh area Kampung Sawendui di muara Sungai Kasuari, dilihat dari atas
Nuringtyas
Cara Bapa Sepi Melihat Dunia
Semua orang memanggilnya dengan Bapa Sepi. Bernama asli Septianus Samber, beliau menginjak usia 52 tahun pada bulan Desember. Katanya, ia berasal dari Kampung Wabompi, sebelum akhirnya memutuskan untuk menetap di Kampung Sawendui. Kita dapat langsung mengenalinya dengan penampilan rambut gondrong gimbalnya yang nyentrik. Ketika ditanya hobinya, beliau mengaku bahwa kegiatan favoritnya cukup sederhana, yaitu bermain kartu gaple bersama bapa-bapa lain. Menilik kesehariannya, Bapa Sepi bergabung dengan Kelompok Konservasi Penyu Inserei, sebuah kelompok masyarakat yang membantu menjaga ekosistem dan populasi penyu di Kampung Sawendui. Tugas pokoknya mencakup relokasi telur dari tempat-tempat peneluran yang mulanya beresiko serta melakukan monitoring hingga telur-telur tersebut menetas menjadi tukik. Selain itu, beliau juga memiliki kemampuan dalam mengidentifikasi berbagai tumbuhan yang ada di area hutan Kampung Sawendui, hanya dengan melihat daun atau mengupas sedikit batang atau ranting tumbuhan tersebut.
Tak hanya ahli di lapangan, Bapa Sepi juga handal dalam membuat kerajinan. Tas, gelang, hingga kalung yang ia buat umumnya berasal dari bahan-bahan alam seperti tanduk sapi dan akar pepohonan. Meskipun umurnya yang sudah tidak muda lagi, namun kondisi fisiknya masih cukup prima. Nyatanya, selama kurang lebih seminggu kami masuk-keluar hutan untuk mengambil data penelitian di berbagai titik, beliau tidak pernah absen menemani kami.
Bapa Sepi mengamati burung-burung yang juga sedang beristirahat siang dan minum di tepi Sungai Kasuari
oleh Arya Rahman Photo: Atsil Tsabita I.Sosok Bapa Sepi dari belakang, selepas menemani kami mengambil data di pantai
Bapa Sepi memberi kami gelang dari
tanduk sapi buatannya, lalu bercerita
pada kami bagaimana cara membuat
dan merawatnya
Photo: Erdyan NuringtyasMama Ice, Mama Kami
“Mama Ice!”, begitulah kami semua memanggilnya. Perempuan paruh baya berambut putih ini akan menyahut panggilan dengan senyum riangnya. Sehari-hari, Mama Ice bekerja di bagian dapur untuk LSM Saireri Paradise Foundation, lembaga swasta bidang konservasi yang mendukung kegiatan konservasi burung cenderawasih dan penyu yang hidup di wilayah Kampung Sawendui. Tanggung jawab yang dipikulnya tidak ringan, karena urusan perut para pekerja dan tamu yang berkunjung ke area homestay SPF berada di tangannya.
Mama Ice mencuci wajan yang digunakan untuk memasak tadi pagi di muara Sungai Kapuas
Para mama dan cucian yang menumpuk
ditemani anak-anak pada suatu sore
Photo: Toto Karsius K.Toto bercerita pada Mama Ice
Menunggu Rita Tumbuh Dewasa
oleh Atsil Tsabita I.
Gadis kecil itu dipanggil Rita. Ketika ditanya mengenai sekolahnya, seingat Rita, ia menduduki kelas 4 SD. Sudah berbulan-bulan lamanya tidak ada kegiatan bersekolah, karena guru-gurunya pergi ke kota dan sebagian lagi mogok kerja. Ia paling suka menggambar dan bercerita mengenai apapun, mulai dari MOB hingga kebiasaan-kebiasaan berbagai hewan yang kita temui di hutan. Menari merupakan bagian dari dirinya, sehingga ia tak pernah absen dalam acara. Tarian Yospan adalah salah satu favoritnya.
Rita, tersenyum lebar ketika
bercengkrama dengan kami di pesisir Piamunui bersama para mama
Para mama mencuci di pinggir muara
Sungai Kasuari pada sore hari, terkadang diiringi oleh anak-anaknya
Menipu Orang Banyak
oleh Isma R. H. Mergwar
Pernahkah kalian mendengarkan tentang MOB Papua? Jika belum, MOB Papua merupakan stand up comedy versi Papua. MOB merupakan wadah untuk menuangkan candaan di kalangan masyarakat Papua guna melepas lelah atau sekedar bersendagurau sore hari. Biasanya, MOB diceritakan secara bergantian pada saat berkumpul bersama kerabat ataupun teman. MOB sendiri diangkat dari apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari seni, agama, tradisi, kebudayaan, bahasa bahkan sampai konsep ketuhanan. MOB sendiri merupakan singkatan dari “Menipu Orang Banyak” atau dalam artian ‘hal yang diceritakan dalam MOB tidak sepenuhnya benar melainnya hanya candaan belaka’, selain itu juga hal yang diceritakan dalam MOB tidak bermaksud untuk merendahkan apalagi menghina kalangan tertentu. Berikut ada beberapa MOB yang tidak hanya lucu namun mengandung pesan di dalamnya:
1. Berharap Surga, Berujung Neraka
Entah apa penyebabnya. Pada suatu petang seorang lelaki meninggal dunia. Roh dari pria ini berjalan menuju sebuah gerbang tempat dimana malaikat memberi tahu perbuatannya selama kehidupan di dunia. Ia berjalan sembari memperhatikan kanan dan kiri badan jalan. Pada beberapa poster, ia menemukan tulisan yang membuatnya terus kepikiran. Orang yang dosanya 100 ke atas, akan langsung masuk neraka. Sedangkan yang dosanya 99 kebawa, akan masuk surga.
Baru berjalan beberapa meter, ia pun bertemu seorang malaikat duduk di sebuah kursi dengan sebuah buku besar di tangannya. Buku yang memuat segala hal selama ia hidup di dunia. Malaikat itu mulai memeriksa satu demi satu catatan di buku itu. Tidak lama kemudian, malaikat itu mengangkat kepalanya dan berkata. Selamat ya, kamu masuk surga. Mendengar, hasil itu. Lelaki itu pun tersentak bahagian. Saking bahagiannya, ia berkata. Yeahh.. Anjing-anjing. Sa masuk surga tuh....
Photo: Erdyan NuringtyasBelum juga sedetik, malaikat itu kembali berkata. Maaf Pak, dosa anda genap 100 silahkan menuju Neraka. Ternyata, tanpa disadari, awalnya dosa lelaki ini berjumlah 99 dan hanya kurang satu dosa. Akhir cerita, ungkapan kebahagiaannya menggunakan kata umpatan membuatnya harus berpindah haluan menuju neraka.
Pesannya: Terkadang hal-hal yang dianggap kecil dan sederhana dapat memicu terjadinya hal-hal besar, yang bisa saja kita sesali seumur hidup.
Pada suatu pagi setelah pak pendeta memimpin Ibadah hari minggu. Ia keluar dari gereja dan mendapati beberapa anak kecil sedang mengelilingi seekor anak anjing di halaman gereja. Ia pun bertanya kepada anak-anak itu.
Kalian sedang apa?
Satu dari anak-anak itu menjawab
Bapa, kita lagi lomba menipu ni, yang paling pandai menipu ia berhak mendapatkan anak anjing ini!
Pak pendeta pun menanggapi dengan lekas.
Kalian tahu, menipu itu dosa, dilarang oleh Tuhan. Kalian tidak boleh begitu. Bapa aja ni, waktu seumuran kalian tidak pernah menipu! Jawabnya.
Semuanya terdiam, tetapi satu dari anak-anak itu kembali berkata. Teman-teman, kita sudah dapat pemenangnya!
Berikan anak anjing itu kepada Pak pendeta!
Pernyatan itu keluar dari anak kecil itu karena bapak pendeta mengatakan bahwa waktu kecil ia tidak pernah menipu.
Pesannya: Dalam kehidupan, kita pandai melihat kesalahan orang lain, tetapi lupa dengan kesalahan kita sendiri.
Padahal bisa saja kita lebih buruk dari orang yang kita anggap salah dan buruk.
Mama Emma dan Mama Vero dengan
bercengkrama dengan kami di pesisir
Kami membersihkan badan dan beristirahat di Sungai Kasuari seusai keluar dari hutan pada suatu sore. Arya mengabadikan senja melalui ponselnya
Suanggi: Menilik Kehidupan Astral di Papua
oleh Isma R. H. MergwarSuanggi atau Swangi (Suwangi) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti burung hantu, juga mengacu kepada kepercayaan lama masyarakat suku Aru, ataupun roh jahat yang oleh suku Belu dipercaya selalu mengembara untuk memangsa manusia. Mungkin nama Suanggi masih terdengar asing di telinga orang Indonesia pada umumnya, namun bagi orang Indonesia timur nama tersebut begitu menakutkan. Bahkan banyak orang menghindari topik pembicaraan soal ini saat berkumpul bersama teman atau keluarga. Hal ini terbukti ketika kami berada di Desa Sawendui.
Suanggi merupakan sebutan untuk sebuah ilmu hitam berikut orang yang menekuninya. Suanggi banyak terdapat di Yapen Utara dan Yapen Barat. Masyarakat setempat menyebut Suanggi di Yapen Barat dengan nama Nyata. Sementara di Yapen Utara, tepatnya di Poom, Suanggi biasa disebut Hinata.
Suanggi sangat ditakuti masyarakat, karena banyak digunakan untuk membunuh orang, terutama yang tak disukai. Suanggi pada dasarnya memang manusia yang memiliki ilmu hitam. Keberadaan Suanggi pun hidup berbaur bersama warga setempat, walau ada Suanggi yang memang menetap di hutan.
Banyak warga di Kepulauan Yapen enggan berkomentar terkait Suanggi. Mitosnya, jika berani bercerita, maka nyawa taruhannya. Walau begitu, banyaknya cerita simpang siur terkait Suanggi, banyak pula warga yang mulai membuka suara terkait keberadaan dan asal usul Sanggi. Konon kabarnya, berubahnya manusia menjadi wujud Suanggi dilalui dengan proses yang panjang. Misalnya sang Suanggi harus memakan daun khusus yang hingga saat tidak pernah ada yang tahu betul sebutannya. Bahkan proses untuk menjadi Suanggi, harus menyediakan tumbal dari keturunan atau keluarganya sendiri. Cerita dari masyarakat setempat, Suanggi biasa melakukan aksi pada malam hari. Konon jika Suanggi ingin membunuh seseorang, hanya dengan menggunakan mantra atau berubah menjadi bayangan ke rumah korban. Biasanya, dalam beberapa hari kemudian korban sakit dikarenakan hal yang tak wajar. Pendekatan medis tak mampu mendeteksinya. Selain itu mayat korban ulah Suanggi, biasa dimakan oleh Suanggi untuk menambah ilmu mereka, misalnya Suanggi akan makan isi perut korban dan sebagainya. Ciri-ciri Suanggi memang sulit dilihat secara kasat mata. Kebanyakan Suanggi hanya keluar di malam hari. Biasanya warga yang juga memiliki ilmu yang sangat tinggi dapat melihat Suanggi dengan ciri-ciri mata terang menyala, berbeda dengan manusia pada umumnya. Ada pula yang mengatakan jika tercium aroma binatang kuskus, maka Suanggi ada di sekitar kita.
Toto ikut bermain kartu bersama para bapa di gazebo pesisir Piamunui setiap malam
Photo: Atsil Tsabita I.setelah pengambilan data usai...
Owi, Biak Timur, Kabupaten Biak Numfor, Papua
Erdyan belajar menyelam bersama teman-teman lain yang asik berenang di pesisir pantai di daerah Biak
Aerial photo: Atsil Tsabita I.Acil memandangi pemandangan bawah
laut dengan snorkelling
Serui Kota, Yapen Selatan, Kabupaten Kepulauan Yapen, Papua
Pemandangan langit cerah Telaga Serawandori dari bangku pengunjung
Sejuknya memandang kontras warna alami
Telaga Serawandori dari atas
Aerial photo: Erdyan NuringtyasHarits, menjadi ingin berenang setelah
melihat teman-teman lain turun ke
telaga, tetapi masih ragu
Photo: Atsil Tsabita I.Kedua pulau kecil dengan ujung simetris bak cermin, pemandangan kami di Telaga Serawandori
Photo: Harits A. MaulanaPemandangan senja di Pelabuhan Biak, sesaat sebelum kami beranjak ke Serui
Photo: Erdyan NuringtyasMenonton kapal dari kejauhan sembari menunggu kapal kami berangkat
Photo: Erdyan Nuringtyas17 Oktober 2021, kami berangkat dari
Sekretariat Mapagama D11