MENUJU PENINGKATAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK DI PERDESAAN: Upaya Penguatan Otonomi Desa Melalui Devolusi Kewenangan dan Fiskal
Naskah akademik ini disiapkan sebagai masukan bagi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bandung dalam penyusunan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung tentang Devolusi Kewenangan dan Fiskal di Kabupaten Bandung
Oleh: TIM PENELITI YAYASAN INISIATIF
Yayasan Inisiatif 2001-2005
1
1. Sebuah Pengantar: Konteks
Lahirnya UU No.22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No.25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah telah menjadi tonggak sejarah dimulainya otonomi daerah di Indonesia. Pada prinsipnya, otonomi daerah ditujukan untuk memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggungjawab kepada daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri. Hal tersebut dilaksanakan secara proporsional, yang berarti adanya pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan. Prinsip-prinsip yang digunakan dalam otonomi menurut undang-undang tersebut adalah demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman Daerah. Desa dan otonomi Definisi desa dalam UU 22/99, Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten. (Ps.1 point o). Sedangkan menurut UndangUndang No. 32 Tahun 2004, desa atau yang disebut dengan nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bila kita lihat sekilas, sepertinya tidak ada perbedaan yang mencolok diantara keduanya. Namun bila kita telaah lebih dalam lagi, akan terlihat dari kedua definisi tersebut bahwa UU 32/04 lebih memberikan kejelasan mengenai status desa sebagai daerah otonom dan kewenangannya. Hal ini dapat kita bandingkan dengan definisi Daerah Otonom. Dalam UU tersebut, Daerah otonom, didefinisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. (Pasal 1 ayat 6). Jelaslah sudah bahwa desa tidak hanya berhak mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat sebagaimana menurut definisi desa dalam UU 22/99 dan UU 32/04, tapi juga mengatur dan mengurus urusan pemerintahan sebagai mana dalam pengertian desa sebagai daerah yang otonom dalam UU 32/04. Memang, bila kita melihat ke masa lalu desa pada awalnya adalah daerah otonom. Kepentingan penduduk desa dilindungi dan dikembangkan oleh hukum
2
adat1. Secara tertulis, keberadaan desa diakui pertama kali pada masa Pemerintahan Belanda tahun 1854 yang kemudian berkembang pada masa setelah kemerdekaan Indonesia hingga saat ini. Namun begitu, pada pelaksanaannya seringkali tidak konsisten. Tidak jarang hak otonomi desa di kebiri sedemikian rupa sehingga otonomi yang dimiliki desa sangat sempit. Desa: Setelah reformasi Penerapan UU No 22/1999 berimplikasi pada pergeseran paradigma tatanan kepemerintahan dari yang bersifat sentralistis menuju yang bersifat desentralistis. Tatanan kepemerintahan yang desentralistis berarti daerah memiliki wewenang yang lebih besar, dan dimanifestasikan dalam pelimpahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan daerah. Implikasinya daerah kabupaten dan kota berkedudukan sebagai daerah otonom mempunyai kewenangan dan kekeluasaan untuk membentuk dan melaksanakan kebijakan menurut prakarsa dan aspirasi masyarakat2 . Kewenangan daerah tersebut diatur secara eksplisit dalam pasal 7 sampai 13 UU No.22/1999. Seperti daerah, keberadaan desa sebagai pemerintahan pada tingkatan paling rendah dan paling dekat dengan masyarakat menuntut adanya kewenangan yang jelas. Kewenangan desa menurut UU No.22/1999 diatur dalam pasal 99. Kewenangan desa disebutkan bahwa kewenangan desa mencakup: kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa; kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten. Hal ini berimplikasi bahwa desa mempunyai kewenangan atas sesuatu yang “tidak jelas”. Kewenangan berdasar “hak asal-usul” desa saat ini tidak jelas jenis-jenis urusannya. Kewenangan tersebut hanya ada pada desa-desa yang “kuat” memegang teguh adat istiadatnya. Sementara di desa-desa yang lain, seiring dengan waktu dan “kebijakan” pemerintah pusat di masa lalu yang “menyeragamkan” perlakuan pada desa, adat istiadat dan kebiasaan di desa lambat laun menghilang dan seringkali terlupakan. Hal ini sangat jelas terlihat pada sejumlah besar desa di Jawa, termasuk di kabupaten bandung. Sementara “kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah” tidak juga memberikan kewenangan yang lebih luas pada desa. Hal ini karena kewenangan tersebut adalah kewenangan “sisa” yang mana tidak diatur dalam peraturan perundangan manapun. Tidak adanya kejelasan jenis-jenis urusan yang menjadi kewenangan “sisa” tersebut dan Kartohardikoesoemo, Soetardjo, Desa, PN. Balai Pustaka Jakarta 1984. Hukum tersebut memuat dua hal, yaitu hak untuk mengurus kepentingan daerahnya sendiri (hak otonomi), dan hak memilih kepala desanya sendiri 2 Bratakusumah, Deddy Supriady dan Dadang Solihin (2002), Otonomi dan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1
3
tidak adanya kejelasan hukum menyebabkan desa tidak “tertarik” untuk mengeksplorasi jenis-jenis urusan dalam kewenangan ini. Implikasi lainnya dari ketidakjelasan jenis-jenis urusan tersebut menyebabkan desa “heureut lengkah”, tidak bisa bebas melaksanakan inisiatifnya. Memang pendekatan top-down dan sentralistik selama rejim orde baru yang telah menarik semua kewenangan yang memungkinkan diatur di tangan pemeritah pusat dan daerah sehingga praktis sulit untuk menemukan kewenangankewenangan yang belum diatur dan dilaksanakan oleh pemerintah pusat dan daerah. Kalaupun ada dan dapat dikerjakan oleh desa, desa tidak memiliki kemampuan sumber daya yang memadai untuk membiayai urusan dan kewenangannya. Selama ini sumber daya yang ada di desa tereksploitasi secara luar biasa oleh pemrintah pusat dan daerah melalui berbagai pungutan pajak dan retribusi yang dikumpulkan kepada pemerintah tanpa ada imbalan yang berarti bagi desa untuk dikelola secara mandiri oleh desa. Kemudian, “Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten” kepada desa hanya menjadikan desa sebagai pelaksana/eksekutor program kerja pemerintah pusat. Desa sama sekali tidak dapat mengembangkan inisiatifnya dalam melaksanakan kewenangan yang merupakan tugas perbantuan ini. Desa melaksanakan tugas perbantuan sesuai dengan petunjuk dan pedoman yang diberikan pada pemberi tugas pembantuan. Demikian juga dengan pertanggungjawabannya, desa harus mempertanggungjawabkan apa yang dikerjakannya pada pemberi tugas pembantuan. Kasarnya, desa hanya menjadi “kuli” di desanya sendiri. Sementara dalam UU 32/04 pasal 206, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa mencakup: urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa. Pada UU 32/04 ini kewenangan desa menjadi lebih jelas. Pasal ini membuka peluang adanya devolusi kewenangan dari kabupaten kepada desa. Hal itu tercantum dalam kalimat kewenangan desa berupa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa. Selain itu kewenangan “sisa” sebagaimana tercantum pada UU22/99 dirubah menjadi urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-perundangan diserahkan kepada desa. Hal ini jelas sekali bahwa kewenangan desa yang dimaksud pada akhirnya bukan lagi kewenangan “sisa” melainkan kewenangan yang jelas jelas diberikan pada desa dengan diperkuat peraturan perundangan.
4
Menuju desa yang membangun menuju sejahtera Ironis memang bila kita melihat keadaan desa selama ini yang lebih banyak menjadi penonton dalam pembangunan yang mengatasnamakan rakyat. Pembangunan banyak dilakukan di desa, namun selama ini masyarakat desa tidak dilibatkan dan tidak dapat berpartisipasi di dalamnya. Hasilnya, pembangunan yang dilaksanakan hanya membuang sumberdaya karena tidak sesuai dengan preferensi masyarakat desa dan tidak memberikan manfaat bagi mereka. Bahkan sebuah studi yang dilakukan akhir 2004 lalu di Kabupaten Bandung menunjukan bahwa masyarakat tidak merasa bahwa pembangunan yang dilaksanakan di daerah mereka meningkatkan mesejahteraan mereka3. Lalu bagaimana agar pembangunan dapat mensejahterakan masyarakat desa? Salah satu preskripsi yang banyak diberikan adalah dengan melibatkan masyarakat desa dalam pembuatan kebijakan publik mulai dari perencanaan sampai implementasinya. Untuk itu harus proses pembuatan kebijakan publik harus di dekatkan pada masyarakat dengan cara memberikan kewenangan lebih luas pada desa untuk menyediakan pelayanan publik. Desa sebagai pemerintah pada tingkat paling rendah harus di�kembalikan� hak otonominya dengan mewujudkan pemerintahan yang lebih desentralistis. Yaitu dengan pelimpahan kewenangan urusan urusan tertentu pada desa yang selama ini dikuasai tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Analog dengan pelimpahan kewenangan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan kabupaten, sistem pemerintah desentralistis menuntut adanya pengembangan pelimpahan kewenangan ke tingkat yang lebih/paling rendah-dari kabupaten ke desa. Namun begitu Pelimpahan kewenangan dari pemerintah kabupaten ke desa membutuhkan penafsiran yang lebih lengkap. Artinya, masih terdapat permasalahan yang cukup signifikan dalam menentukan berbagai urusan dalam penyediaan barang dan jasa publik pada tingkat lokal yang menjadi kewenangan pemerintah yang paling rendah (desa). Oleh karena itu, pertanyaan pertama dalam yang hendak dijawab adalah apa saja urusan urusan yang menjadi kewenangan desa? Bagaimana menentukan pembagian kewenangan antara pemerintah kabupaten dengan pemerintah desa? Implikasi dari pelimpahan kewenangan pada desa adalah beban kewajiban atau tanggung jawab desa yang bertambah. Untuk itu diperlukan adanya perimbangan keuangan (tranfer fiskal) dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa. Perimbangan keuangan merupakan manifestasi dari hak yang semestinya diperoleh oleh pemerintahan desa sebagai sumber daya untuk melaksanakan penyediaan barang dan jasa publik pada tingkat desa. Dalam perspektif desentralisasi fiskal perimbangan keuangan dibutuhkan karena adanya kesenjangan keuangan (fiscal gap) antara pendapatan pemerintah desa dengan kebutuhan dana Untuk gambaran lebih jelas dapat dilihat dalam studi yang dilakukan oleh Bidang Monitoring dan Evaluasi Bapeda Kabupaten Bandung bekerja sama dengan IPGI Bandung. Ratnawulan (2004) “Monitoring dan Evaluasi Pelayanan Publik di Kabupaten Bandung�, Bapeda Kabupaten Bandung. 3
5
untuk melaksanakan penyediaan barang dan jasa publik. Lalu pertanyaan kedua yang ingin dijawab adalah bagaimana formula perimbangan keuangan dan transfer fiskal dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa? Naskah akademik ini disusun berdasar hasil penelitian yang dilakukan oleh IPGI Bandung di Kabupaten Bandung sejak akhir tahun 2000. Secara umum, substansi naskah akademik devolusi kewenangan dan fiskal ini adalah memaparkan seluruh pengalaman IPGI dalam proses devolusi kewenangan dan fiskal. Tujuan dari penulisan naskah akademik tentang devolusi kewenangan dan fiskal ini adalah: 1. Mendokumentasikan hasil penelitian IPGI baik kumpulan catatan lapangan, berbagai literatur relevan, dan hasil analisis yang telah dilakukan oleh IPGI, khususnya yang berkaitan dengan penelitian devolusi kewenangan dan fiskal. 2. Membagi pengalaman yang telah dimiliki IPGI kepada pihak-pihak yang berminat dengan konsep devolusi kewenangan dan fiskal, khususnya yang bergerak di bidang pemerintahan kabupaten atau desa.
6
Desentralisasi dari Kabupaten ke Desa: Realisasi pengembalian otonomi desa di Kabupaten Bandung
“Desentralisasi seperti obat yang keras karena untuk memperoleh efek yang diinginkan, obat tersebut harus diberikan pada waktu yang tepat, dosis yang tepat, dan pada penyakit yang tepatâ€? (Prudâ€&#x;homme, 1994) Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah dalam pelayanan publik. Salah satunya dengan mendekatkan pengambilan keputusan pada masyarakat. Pada bagian sebelumnya, dengan berbagai alasan/argumen yang diungkapkan telah memberikan preskripsi bahwa otonomi desa yang sebelumnya diâ€?rebutâ€? oleh pemerintah yang lebih tinggi perlu dikembalikan pada desa. Desentralisasi dipandang sebagai alat terbaik untuk mengembalikan otonomi desa sehingga pengambilan keputusan publik lebih dekat pada masyarakat. Sejalan dengan hal tersebut, konsep ideal mengenai desa adalah desa yang otonom, yang mana memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya alam dan sumber daya ekonomi untuk kesejahteraan warganya dan mendistribusikannya secara adil kepada semua kelompok, termasuk kelompok marginal. Untuk mewujudkan kondisi desa yang ideal tersebut salah satu hal yang diperlukan adalah kejelasan hubungan atau pembagian kewenangan antara pemerintahan kabupaten dengan pemerintahan desa. Konsekuensi dari hal tersebut desa akan memiliki pendapatan desa yang bersumber pada pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi setempat dan diperlukan adanya pengembangan model perimbangan keuangan antara kabupaten dengan desa. Terkait dengan konsep otonomi desa, dalam wacana politik hukum, dikenal dua konsep hak otonomi desa berdasarkan asal-usulnya4, yaitu hak berian dan hak bawaan. Hak berian adalah kewenangan yang diberikan pemerintah daerah, sedangkan hak bawaan adalah hak yang sejak dulu telah dimiliki desa (yang melekat pada sejarah asal-usul). Hak bawaan desa antara lain mencakup hak atas wilayah, sistem pengorganisasian sosial, aturan-aturan di wilayah desa, dll. Untuk memperkuat kedudukan kewenangan desa, diperlukan aturan hukum yang mengikat. Sampai saat ini, peraturan daerah mengenai kewenangan desa, khususnya kewenangan/hak berian (yang didesentralisasikan) di Indonesia masih sangat kurang. Pada beberapa daerah 5 , substansi peraturan perundangan daerah yang mengatur tentang desa tidak jauh berbeda dengan Peraturan Pemerintah No. 76 Tahun 2001. Sebagai turunan dari peraturan pemerintah, peraturan daerah mengenai desa seharusnya memiliki substansi yang lebih detail sesuai dengan Zakaria, R. Yando, Memulihkan Desa, Beberapa Catatan tentang Upaya-Upaya Pengembalian Otonomi Desa, Yogyakarta, Desember 2003. 5 Ibid. 4
7
karakteristik desa yang ada di kabupaten tersebut. Dengan diberlakukannya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, peraturan pemerintah mengenai pemerintahan desa perlu disesuaikan dengan perundangan yang baru tersebut. 1. Konsep desentralisasi Desentralisasi dilakukan untuk membatasi kekuatan pemerintah pusat dengan memberikan sebagian kekuasaan/kewenangannya kepada pemerintah bawahannya. Desentralisasi adalah sebuah alat untuk mencapai salah satu tujuan bernegara, yaitu terutama memberikan pelayanan publik yang lebih baik dan menciptakan proses pengambilan keputusan yang lebih demokratis 6 . Dengan desentralisasi, diharapkan masyarakat dapat lebih leluasa mengeluarkan aspirasinya. Secara umum, yang dimaksud desentralisasi adalah bentuk penyerahan kekuasaan/kewenangan atas suatu urusan tertentu dari pemerintah yang lebih tinggi pada tingkatan yang lebih rendah. Namun begitu, ada beberapa alternatif desentralisasi. Terminologi yang paling berguna dan paling banyak dijadikan acuan adalah seperti yang dilakukan oleh Rondinelly (1981), yang membedakan antara empat katagori yang berbeda mengenai desentralisasi: (i) dekonsentrasi (ii) delegasi (iii) devolusi dan (iv) privatisasi. Terminologi Rondinelli ini berguna untuk mendeskripsikan proses desentralisasi. Kemudian dalam Minis & Rondinelli (1989) dan Prodhomme (1994) disebutkan tiga kategori desentralisasi yaitu (i) dekonsentrasi (ii) delegasi dan (iii) devolusi. a. Dekonsentrasi Dekonsentrasi didefinisikan sebagai redistribusi pembuatan keputusan di antara tingkatan yang berbeda berbeda dalam pemerintahan pusat atau berupa transfer kewenangan/kekuasaan pada kantor administrasi lokal pemerintah pusat. Dengan kata lain penyelenggaraan berbagai urusan pemerintah pusat di daerah, yang dilaksanakan oleh perangkat pemerintah pusat di daerah dan merupakan tanggung jawab pemerintah pusat. b. Delegasi Delegasi adalah transfer tanggung jawab dan kewenangan/kekuasaan dari pemerintah pusat pada pemerintahan sub nasional atau institusi lainnya yang sifatnya semi otonomi (seperti perusahaan publik atau otoritas perumahan) dengan tidak sepenuhnya dikontrol oleh pemerintah pusat tapi pada akhirnya bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. Tanggung jawab pelaksanaan kewenangan/kekuasaan pemerintah pusat tersebut kemudian menjadi milik pemerintahan daerah. c. Devolusi Devolusi adalah transfer kewenangan/kekuasaan dari pemerintah pusat kepada entity politik/pemerintah sub nasional yang independen. 6
Kadjamiko, pada Prosiding Workshop Internasional – FISIP UNPAR, 4-5 September 2002.
8
Bentuk-bentuk desentralisasi yang mungkin terjadi Pelaksanaan di daerah oleh Urusan-urusan Pusat Daerah pusat Dekonsentrasi Delegasi pusat yang Sentralisasi kewenangan diberikan ke Daerahnya tidak Devolusi daerah mampu Selain tiga terminologi desentralisasi diatas, ada variasi terminologi lain yang sering digunakan di Indonesia: a. Debirokratisasi Debirokratisasi adalah bentuk transfer fungsi dan tanggung jawab publik, tapi penerima transfer tersebut adalah sukarelawan (voluntary), organisasi privat atau nongovernmental organizations. Ini mirip privatisasi. Namun istilah privatisasi terbatas hanya transfer pada swasta saja, yang semata bertujuan untuk mencari keuntungan, sehingga pelayanan diberikan hanya kepada masyarakat yang mampu membayar saja. Sedangkan debirokratisasi tujuannya bukan semata mencari keuntungan, namun juga berusaha memberikan pelayanan pada masyarakat seluruhnya. b. Co-administration (tugas perbantuan/medebewind) Co-administration mirip dengan delegasi, namun transfer kewenangan dilakukan pada tingkatan pemerintah yang lebih rendah, bukannya pada badan quasi-pemerintahan (quasi-governmental bodies) atau agen-agen dengan fungsi tunggal (single function agencies) sebagaimana yang biasanya dilaksanakan di negara-negara lain. 
Elemen-elemen desentralisasi Apa saja yang didesentralisasikan? Pertanyaan tersebut terjawab oleh Parker (1995) yang menyebutkan bahwa ada tiga elemen yang didesentralisasikan. Ketiga elemen tersebut adalah: a. Desentralisasi politik Dimensi desentralisasi politik umumnya memberikan perhatian pada peningkatan partisipasi publik dengan memicu keaktifan warga dalam institusi publik. Dimensi desentralisasi politik membutuhkan komitmen formal pemerintah untuk menginisiasi prosesnya. Arthur Lewis (1976) memaparkan bahwa “hambatan utama untuk desentralisasi lebih jauh lagi adalah politik�. b. Desentralisasi institusi Desentralisasi institusi memperlihatkan keterkaitan antara pemerintah pusat dengan pemerintah lokal (pemerintah daerah) dalam kerangka legal yang tepat. Untuk itu, institusi yang menerima desentralisasi perlu memiliki kapasitas yang baik untuk memegang tanggung jawab dan kewenangan urusan yang didesentralisasikan.
9
c. Desentralisasi fikal Desentralisasi fiskal dibutuhkan untuk menutupi pembiayaan desentralisasi institusi. Tiga sumber utama yang biasa digunakan dalam penyediaan barang dan jasa publik tingkat lokal adalah: kekayaan, pengelolaan, sumber daya lokal trasfer dari institusi yang lebih tinggi sumber dari pinjaman Ketiga elemen desentralisasi di atas saling berkaitan satu sama lain dan diperlukan kombinasi ketiganya dalam penerapan konsep desentralisasi. Keseimbangan ketiga dimensi desentralisasi tersebut dapat menghasilkan: Keefektifan: menyediakan pelayanan pada tingkat standar minimum secara cost effectif, dan ditargetkan untuk kelompok yang termarjinalisasi. Kemampuan institusi terdesentralisasi nerespon kebutuhan komunitas lokal, pada saat yang bersamaan, memenuhi tujuan dari kebijakan yang lebih besar. Keberlanjutan sebagaimana yang diindikasikan dengan kestabilan politik, kecukupan fiskal, dan kefleksibelan institusional. Inisiatif desentralisasi selalu merupakan subjek dari proses yang menerus dari modifikasi yang merefleksikan perubahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Apa yang muncul adalah kebutuhan untuk memasukan pada desentralisasi ketiga dimensi elemen politik, fiskal dan institusional. Jadi tidak mungkin ntuk mendesentralisasikan satu elemen saja. Pada gambar 2.1 desentralisasi dimodelkan sebagai suatu kerangka yang berguna untuk menganalisis dimensi terpisah dari desentralisasi. Ini adalah langkah penting pertama dalam membangun karakteristik menyeluruh dari seluruh dimensi desentralisasi. Model konseptual untuk menganalisis desentralisasi ke desa dapat dilihat dibawah ini (Cheema dalam Parker, 1995). PILIHAN DESENTRALISASI Political Political rights Civil liberties State coerciveness
DAMPAK MENENGAH (INTERMEDIATE IMPACT) participation
Resource mobilization
KELUARAN PEMBANGUNAN DESA
Effectiveness
Fiscal Fiscal autonomy Source of funds
Institutional Subnational government administration Non governmental institution
Sustainability
Accountabil ity
Institutional capacity
responsiveness
10
Persepsi keuntungan dan kerugian desentralisasi Desentralisasi telah menjadi bahan diskusi dibanyak negara, tidak hanya di negara besar seperti Rusia dan Indonesia, tetapi juga di negara kecil seperti Latvia, Malawi, dan Suriname. Desentralisasi telah menjadi isu di negara maju maupun berkembang serta yang mengalami transisi ekonomi. Tapi sampai saat ini desentralisasi masih mengundang kontroversi karena penafsiran setiap orang tentang desentralisasi berbeda. Karenanya pelaksanaan desentralisasi dianggap mempunyai keuntungan dan kerugian. Keuntungan pelaksanaan desentralisasi adalah : Mampu menyediakan pelayanan yang beragam sesuai dengan permintaan masyarakat lokal; Aparat pemerintah akan menjadi lebih mempunyai akuntabilitas publik di mata masyarakat terhadap berbagai kualitas pelayanan publik yang telah mereka berikan; Desentralisasi mungkin dapat meningkatkan mobilisasi pendapatan, dan Memperkuat posisi pemerintah dan masyarakat lokal terhadap pemerintah yang lebih tinggi; Desentralisasi dapat menjadi eksperiman fiskal di daerah, karena dapat menciptakan lingkungan yang inovatif pada sektor fiskal dan anggaran; Secara politik, desentralisasi mendorong kearah sikap kepemerintahan yang lebih demokratis; Secara politik, desentralisasi lebih dapat mengakomodasi wilayah untuk otonomi yang lebih besar, sehingga mengurangi tuntutan dan ketergantungan pada pemerintah yang lebih tinggi Sebaliknya terdapat beberapa pendapat yang menentang desentralisasi (lebih memilih struktur yang sentralistis) dengan argumen sebagai berikut : Kontrol pemerintah pusat menghasilkan kontrol yang lebih menyeluruh terdapat semua kebijakan fiskal, stabilitas ekonomi, dan kondisi makroekonomi; Membangun infrastruktur nasional; Lebih baik dalam pelaksanaan distribusi pendapatan; Secara politik, desentralisasi fiskal kemungkinan dapat menganggu kesatuan nasional, penbentukan desentralisasi akan cenderung untuk lebih memperbesar otonomi daerah, bahkan, pemisahan wilayah. Tentu saja kita tidak bisa berharap keuntungan-keuntungan desetralisasi tersebut dapat terwujud semuanya. Hal ini karena di Indonesia tiap daerah, aalagi desa, adalah unik, sehingga efek dari desentralisasi tidak akan sesempurna yang diharapkan. Selain itu kekhawatiran dari dampak negatif desentralisasi tidak terlalu relevan dalam konteks desentralisasi dari kabupaten ke desa. Namun begitu, bila desentralisasi jadi diwujudkan muncul sebuah pertanyaan: mampukah pemerintah lokal (daerah/desa) merespon seluruh preferensi masyarakat pada berbagai pelayanan lokal?
11

Devolusi kewenangan dan fiskal sebagai bagian dari sistem perencanaan partisipatif Pemberlakuan UU No.25 tahun 2004, UU No.32 tahun 2004, UU No.33 tahun 2004, serta terbitnya surat Menteri Dalam Negeri Nomor: 140/640/SJ, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Bandung yang menggunakan hak inisiatifnya untuk mengadopsi keempat perundangan tersebut, telah memberikan sebuah kesempatan bagi desa untuk lebih terlibat dalam proses pembangunan. Namun begitu, keterlibatan desa dalam proses pembangunan sepertinya tidak akan begitu mudah. Hal tersebut karena dalam MPKT Desa (atau Musrenbang Desa) masyarakat desa tidak bisa mengajukan usulan-usulan yang sifat kegiatannya dan dampaknya dilingkup desa sendiri (lokal desa). Sementara pembangunan yang sifatnya lokal desa harus tetap berjalan, dan dilaksanakan oleh desa sendiri. Desa memiliki posisi yang strategis dalam menyediakan pelayanan publik sesuai dengan kehendak dan preferensi masyarakat. Tapi selama ini upaya desa dan partisipasi masyarakatnya terhambat oleh tidak jelasnya urusan-urusan yang menjadi kewenangan desa. Padahal berdasarkan pertimbangan lokalitas dampak, skala ekonomi dan keunikan, beberapa urusan sangat mungkin untuk diserahkan pada desa. Selain itu, dalam menyediakan pelayanan publik, desa juga masih terhambat oleh tidak adanya kepastian dukungan sumber daya yang dimiliki desa. Bahkan PBB dan pungutan lainnya yang diambil dari desa sedikit sekali yang kembali ke desa. Perencanaan partisipatif yang diadopsi ternyata masih kurang lengkap. Usulan pembangunan yang seharusnya dilakukan oleh sendiri oleh desa, tidak diusulkan ke musrenbang kecamatan, terhambat pelaksanaannya. Hal ini terjadi karena desa terhambat langkahnya karena masalah kewenangan desa atas urusan urusan tersebut belum jelas, serta sumber pembiayaannya juga masih belum jelas. Kondisi di kabupaten bandung seperti diatas memang telah bisa kita prediksi sebelumnya. Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, desentralisasi dalam pembangunan desa harus selalu melibatkan ketiga elemen politik, fiskal dan institusional. Telah disebut sebelumnya, dimensi politis desentralisasi ke desa umumnya memberikan perhatian pada peningkatan partisipasi publik melalui pemicuan keaktifan warga dalam institusi publik. Dikabupaten bandung, yang baru terdesentralisasi melalui diadopsinya sistem perencanaan pembangunan dalam perda adalah elemen politis. Pelaksanaan devolusi kewenangan dan fiskal dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung kepada pemerintah desa merupakan salah satu bagian dari sistem perencanaan partisipatif yang bersifat integral. Setelah elemen politik terpenuhi dengan diadopsinya sistem perencanaan pembangunan, kemudian yang diperlukan adalah adanya desentralisasi elemen fiskal dan institusional. Desentralisasi elemen institusi yang dimaksud adalah adanya desentralisasi kewenangan urusan urusan tertentu dari kabupaten ke desa.
12
Sistem perencanaan partisipatif sendiri terdiri dari: Penyederhanaan jenis-jenis perencanaan Devolusi kewenangan dan fiskal Perumusan model perencanaan partisipatif Penataan peran dan fungsi dan kelembagaan
Dari sistem perencanaan tersebut terdapat kegiatan-kegiatan yang merupakan kegiatan turunannya. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah : Kegiatan penelitian dalam bentuk critical review terhadap aspek legal dan uji coba (riset aksi) Pengembangan wacana (kampanye) Pengembangan kapasitas (capacity building) dalam bentuk pelatihan, pendampingan dan studi banding Dokumentasi dan publikasi Legislasi Peranan penting devolusi kewenangan dan fiskal dari kabupaten ke desa di Kabupaten Bandung terletak pada adanya „amunisi‟ yang jelas untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan sekaligus peningkatan kapasitas lokal untuk memanfaatkan „amunisi‟ tersebut. Dengan adanya pelimpahan kewenangan, pemerintah bersama dengan masyarakat desa memiliki kesempatan yang riil untuk melaksanakan perencanaan yang partisipatif. Hal ini didukung dengan transfer fiskal dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung ke pemerintah desa sebagai implikasi dari devolusi kewenangan tersebut. Untuk merealisasikan devolusi dan kewenangan inilah telah, sedang dan akan dilakukan lima kegiatan turunan seperti tertulis di atas. 2. Desentralisasi kewenangan Sejalan dengan perspektif desentralisasi maka penyediaan barang dan jasa publik bersifat berjenjang dari tingkat nasional sampai lokal. Penyediaan barang dan jasa publik pada tingkat lokal harus disediakan oleh pemerintahan lokal sepanjang hal tersebut memenuhi kriteria-kriteria yang ada. Oleh karena itu beberapa kewenangan maupun fiskal akan diletakkan pada tingkat pemerintahan yang paling rendah. Dalam tatanan kenegaraan di Indonesia maka pemerintah yang terendah adalah pemerintah desa yang diharapkan dapat memegang otoritas kewenangan yang sebenarnya. Lalu apa saja kewenangan yang bisa didevolusikan? Bagaimana cara menentukan jenis jenis urusan yang menjadi kewenangan desa?
Kriteria-Kriteria Pemisahan untuk Desentralisasi Urusan Pada Desa Berdasarkan studi literatur terdapat beberapa kriteria untuk menentukan apakah kewenangan suatu urusan dapat didevolusikan dari kabupaten ke desa atau
13
tidak. Yang pertama yaitu yang diungkapkan oleh Shah (1991). Shah (1991) 7 menyebutkan bahwa ada beberapa faktor tertentu yang relevan untuk dipertimbangkan. Berikut ini faktor-faktor tersebut. a. Variasi geografis dan preferensi dengan mobilitas tidak sempurna: Berbagai urusan yang sifatnya lintas administratif, yang sangat mobile, yang bisa berpindah melewati batas administrasi, sebaiknya tidak didesentralisasikan ke desa. Bila ada urusan dengan mobilitas sempurna, maka urusan tersebut sebaiknya tidak didesentralisasikan menjadi kewenangan desa. Dengan kata lain, bila kekhasan preferensi warga atau kondisi geografis suatu desa dan tidak ada ditemui di desa lain, kemudian preferensi warga serta kondisi geografis yang membatasi itu berpengaruh dalam suatu urusan tertentu, maka urusan tersebut sebaiknya dikelola pada tingkat lokal. b. Eksternalitas spasial: Eksternalias spasial muncul ketika manfaat dan/atau biaya dari pelayanan publik dirasakan oleh orang yang bukan penduduk lokal. Urusan seperti itu sebaiknya tidak dikelola pada tingkat lokal, namun pada tingkatan yang lebih tinggi. Singkatnya, bila eksternalitas spasial yang timbul dari wewenang yang hendak didesentralisasikan hanya muncul dalam lingkup desa, dan dapat dikelola dengan baik oleh desa, maka kewenangan tersebut bisa didesentralisasikan ke desa. c. Skala ekonomi: Pelayanan tertentu membutuhkan area pelayanan lebih luas dari jurisdiksi desa untuk penyediaan yang efektif secara biaya (cost effective). Bila luas area pelayanan (skala ekonomi) pelaksanaan wewenang tidak terlalu besar, dan bisa dicapai pada lingkup desa, maka kewenangan suatu urusan dapat didesentralisasikan ke desa. d. Biaya administratif dan biaya pemenuhan kebutuhan publik: Kewenangan yang didesentralisasikan ternyata memberikan manfaat lebih besar dari biaya yang harus dikeluarkan, maka desentralisasi dapat terus berjalan. Yang kemudian harus diperhatikan kemudian adalah yang dimaksud dengan biaya. Apakah biaya yang dimaksud adalah biaya aggregat, atau biaya dari sisi pemerintah saja sebagai penyedia, atau biaya dari sisi masyarakat saja sebagai konsumen? Kriteria lainnya seperti yang ada pada Peraturan Pemerintah no 45 tahun 1992 untuk mentransfer fungsi pemerintahan dari nasional ke propinsi (regional). Seperti kita ketahui, urusan-urusan yang menjadi kewenangan suatu instansi merupakan implementasi dari fungsi instansi tersebut. Dengan sedikit modifikasi, kita juga dapat mengaplikasikan prinsip yang sama untuk mentransfer kewenangan dari kabupaten ke desa 7
Shah, Anwar, (July 1991), Perspectives on the Design of Intergovernmental Fiscal Relation, Policy, Research, and External Affairs Working Papers, No WPS 726, Country Economics Department, The International Bank for Reconstruction and Development/THE WORLD BANK, Washington D.C., USA.
14
Fungsi-fungsi yang biasa ditangani oleh daerah. Fungsi-fungsi yang terkait dengan kepentingan publik langsung yang penting, dan sangat terpengaruhi oleh kondisi lingkungan regional (lokal). Fungsi-fungsi yang dapat menggenerate partisipasi publik atau yang mempunyai karakteristik/dikarakterisasikan sebagai tanggung jawab publik (masyarakat) Fungsi-fungsi yang labor intensif dalam implementasinya. Fungsi-fungsi yang memberikan tambahan pendapatan regional (lokal), dan mempunyai potensi untuk meng”generate” pendapatan sendiri (own revenues) bagi daerah. Fungsi-fungsi yang harus diputuskan dan aksi yang harus segera dilakukan implementasinya.
Kriteria-kriteria lain yang mungkin bisa digunakan, seperti yang pernah diusulkan oleh GTZ8 untuk menentukan besaran/jumlah dan fungsi dan tugas yang akan didesentralisasikan kedesa. Besaran/jumlah dan fungsi dan tugas yang sebaiknya didesentralisasikan kedesa yaitu bila: Manfaat yang muncul meluas di tingkat desa atau multi desa saja Efek meluas (externality) yang serius tidak melebihi/melewati batas desa Kemampuan teknis yang dibutuhkan mudah dipenuhi Fungsi/kewenangan tidak melebihi kapasitas administratif (administrative capacity) atau kapasitas bisa ditingkatkan untuk dapat memegang/mengelola fungsi dalam basis yang luas (ini tidak saya mengerti) Adanya/dibutuhkan partisipasi publik dalam/untuk merencanakannya, implementasinya dan kontrolnya Fungsi-fungsi terkait dengan kebutuhan dasar populasi Fungsi-fungsi terkait untuk meningkatkan pendapatan lokal Berdasarkan pertimbangan untuk perencanaan dan implementasi proyek (Jerry M. Silverman, 1992) 9, maka kriteria pelimpahan wewenang adalah : 1. Membutuhkan pengambilan keputusan yang spesifik lokasional karena area yang dilayani oleh proyek mempunyai karakteristik yang relatif unik dalam istilah (term) dampak pada implementasi proyek dan operasi subsequent; 2. Tidak mempunyai konsekuensi yang signifikan pada tujuan yang menjadi prioritas dari negara secara keseluruhan; 3. Mempunyai skala ekonomi yang relatif rendah bila dibandingkan pada implementasi atau operasi pada skala country- wide; 4. Membutuhkan waktu respon yang singkat; 5. Padat karya (labor intensive) dari pada padat teknis dan modal (technical dan capital intensive); 6. Membutuhkan integrasi yang erat antara sektor-sektor dalam area geografis yang terbatas memliputi juridiksi lokal yang tetap; 7. Membutuhkan partisipasi lokal; 8
“Support for Decentralization Measures”, Proyek Pendukung Pemantapan Penataan Desentralisasi, Discussion Paper on Key Issues in Decentralization and Regional Autonomy in Indonesia, GTZ Advisory Team, March 1997 9
Jerry M. Silverman, Sector Decentralization: Economic Policy and Sector Investment Programs. World Bank Technical Paper Number 188 Africa Technical Department Series.
15
8. Relatif skalanya kecil dan padat karya; 9. Dapat secara mudah dikontrakkan pada sektor swasta untuk rancangan teknis, implementasi, dan operasi; dan atau 10. Tidak membutuhkan tindakan dukungan yang signifikan dari agen pemerintah, baik pada tingkat tinggi atau diantara perusahaan yang semi otonom (kecualai pada kasus seperti ini dimana kontraktor bertanggung jawab pada kewenangan lokal). 
Dari teoritis ke implementasi Kriteria-kriteria di atas tentu saja masih bersifat sangat teoretis dan dirasakan terlalu banyak (tidak ringkas). Banyak terjadi overlapping antara kriteria yang satu dengan kriteria yang lain dan tidak relevannya beberapa kriteria dengan kondisi lapangan di wilayah Kabupaten Bandung. Selain itu ketidakringkasan kriteria akan mempersulit metoda/formulasi penilaian kewenangan yang akan didevolusikan. Untuk memperoleh kriteria akhir yang ringkas dan implementatif serta sesuai dengan karakteristik lokal, dilakukan pembahasan dan diskusi. Kriteria akhir yang dihasilkan dari pembahasan tersebut akan digunakan dalam penelitian. Dengan demikian pada dasarnya pembahasan terhadap kriteria berdasarkan literatur tersebut bertujuan untuk: 1. Memperoleh kriteria umum yang tepat dan ringkas. Kriteria yang terlalu banyak juga mempersulit penilaian terhadap kewenangan suatu urusan. 2. Memperoleh kriteria umum yang sesuai dengan karakteristik lokal dalam hal ini kondisi Kabupaten Bandung. Dengan melakukan pembahasan bersama dengan berbagai stakeholders, kriteria-kriteria yang tidak sesuai dapat dieliminasi dan sebaliknya dapat diperoleh masukan kriteria-kriteria baru yang diperlukan. Dari hasil diskusi, diperoleh hasil sementara kriteria-kriteria yang dapat digunakan untuk penilaian devolusi kewenangan adalah: 1. Urusan tersebut berskala lokal desa. 2. Urusan tersebut memerlukan pengambilan keputusan yang khusus/spesifik untuk lokasi tertentu (dalam hal ini suatu desa). Adanya kriteria ini berkaitan dengan karakteristik desa yang unik sehingga dampak dari penyediaan barang dan jasa publik akan berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. 3. Urusan tersebut tidak memiliki konsekuensi-konsekuensi yang signifikan bagi tujuantujuan-tujuan prioritas yang lebih tinggi (pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi secara keseluruhan sampai negara) dan dampak yang ditimbulkannya, -baik positif maupun negatif- tidak bersifat lintas desa/tidak menimbulkan eksternalitas lintas desa. Kriteria ini dipertegas dengan istilah eksternalitas. 4. Urusan tersebut memiliki skala ekonomi yang relatif rendah dibandingkan dengan implementasi atau operasi pada skala luas wilayah tingkat pemerintahan yang lebih tinggi. Dengan kata lain, pembiayaan urusan tersebut paling efisien jika dikelola desa. 5. Urusan tersebut memerlukan waktu respons yang cepat.
16
Kriteria-kriteria berdasarkan studi literatur yang tidak dimasukkan ke dalam hasil sementara disebabkan kriteria-kriteria tersebut bersifat overlapping dengan kelima kriteria yang ada. Sebagai contoh, kriteria padat karya sudah terwakili oleh kriteria skala lokal desa dan skala ekonomi yang relatif rendah. Selain itu –seperti telah dijelaskan sebelumnya- kriteria yang lebih ringkas akan mempermudah proses penilaian yang dilakukan. Selanjutnya perlu diketahui bagaimana cara melakukan penilaian berdasarkan 5 kriteria tersebut. Apakah kelima kriteria tersebut harus terpenuhi agar kewenangan suatu urusan dapat didevolusikan dari kabupaten ke desa? Bagaimana jika salah satu atau lebih dari satu kriteria tidak terpenuhi? Untuk itulah proses selanjutnya adalah menentukan metoda penilaian dengan menggunakan kriteria-kriteria yang telah disepakati. Terdapat kriteria yang bersifat absolut sehingga merupakan saringan awal dalam penelitian. Ini berarti apabila kewenangan suatu urusan tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih dari kriteria-kriteria absolut, maka kewenangan urusan tersebut tidak dapat didevolusikan ke desa walaupun kriteria-kriteria lainnya dapat terpenuhi. Kriteria yang disepakati bersifat absolut adalah: 1. Kriteria 3 (selanjutnya ditulis eksternalitas). 2. Kriteria 4 (selanjutnya ditulis cost efficient) Dari kesepakatan tersebut tersisa tiga kriteria yang harus ditentukan metoda/formulasi penilaiannya. Untuk itu digunakan matriks untuk melihat kondisi-kondisi yang mungkin terjadi. Sebelumnya dilakukan penggabungan antara kriteria 1 (selanjutnya ditulis lokal) dengan kriteria 2 (selanjutnya ditulis unik). Penggabungan tersebut karena kriteria 1 dan kriteria 2 memiliki klasifikasi yang „miripâ€&#x;. Kriteria 5 selanjutnya ditulis dengan responsiveness. Diasumsikan kriteria eksternalitas dan cost efficient sebagai kriteria absolut (saringan awal) sudah terpenuhi. Matriks tersebut seperti terlihat di bawah ini: Matriks Simulasi Metoda Penilaian Responsif Lokal dan unik Didevolusikan Tidak lokal dan tidak Tidak didevolusikan unik
Tidak responsif Didevolusikan Tidak didevolusikan
Terlihat bahwa tanpa terpenuhinya kriteria lokal dan unik, keperluan terhadap respon yang cepat dalam suatu urusan tidak membuat suatu kewenangan dapat didevolusikan. Dengan kata lain kriteria lokal dan unik bersifat absolut. Jadi tanpa terpenuhinya kriteria tersebut, kewenangan suatu urusan tidak dapat didevolusikan ke desa Terlihat juga tanpa adanya keperluan respon yang cepat, tapi terdapat kriteria lokal dan unik, kewenangan suatu urusan tetap dapat didevolusikan. Kesimpulan yang diperoleh dari matriks tersebut adalah kriteria lokal dan unik bersifat absolut sementara kriteria responsiveness tidak perlu dimasukkan ke dalam kriteria karena tidak mempengaruhi penilaian.
17
Secara umum berdasarkan hasil akhir diskusi tersebut terdapat 3 kriteria untuk menentukan apakah kewenangan suatu urusan dapat didevolusikan dari pemerintah kabupaten ke pemerintah desa. Kriteria-kriteria tersebut adalah: 1. Penyediaan barang dan jasa publik tersebut berskala lokal desa dan penyediaannya menimbulkan dampak yang unik bagi lokalitas desa. Apabila skala penyediaan barang bernilai kecil dalam pengertian berada dalam ruang lingkup desa, baik dilihat dari ketersediaan sumber daya maupun lingkup pelayananannya maka kewenangan suatu urusan dapat didevolusikan ke desa. Begitu pula apabila terdapat karakterisitik tiap-tiap desa yang unik sehingga dampak dari penyediaan barang dan jasa publik juga akan berbeda-beda bagi setiap desa, kewenangan penyediaan barang dan jasa publik tersebut dapat –bahkan dalam hal ini merupakan keharusan- didevolusikan ke desa. 2. Penyediaan barang dan jasa publik tersebut tidak memiliki dampak lintas desa (eksternalitas) dan tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap tujuan kebijakankebijakan pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi. Apabila penyediaan barang dan jasa publik menghasilkan dampak –baik yang positif maupun negatifyang bersifat lintas desa maka kewenangan suatu urusan harus ditangani oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi dibandingkan dengan pemerintah desa. Selain itu dampak dari pelaksanaan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah desa tidak boleh bertentangan dan menghambat kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah pada tingkat yang lebih tinggi. Adanya indikasi bahwa dapat terjadi trade-off antara kebijakan pemerintah desa dengan pemerintah yang lebih tinggi menunjukkan bahwa kewenangan suatu tidak dapat didevolusikan. 3. Penyediaan barang dan jasa publik tersebut memiliki skala ekonomi pada tingkat desa yang berarti efisiensi biaya tercapai pada tingkat desa. Pelimpahan kewenangan suatu urusan kepada pemerintah desa harus berdampak kepada biaya penyediaan barang dan jasa publik yang lebih rendah. Dengan demikian masyarakat desa akan memperoleh manfaat devolusi kewenangan tersebut. Apabila efisiensi biaya tidak dapat tercapai pada skala desa, devolusi kewenangan justru akan berdampak kontraproduktif. Sebaliknya jika ternyata efisiensi biaya dicapai pada skala desa kewenangan suatu urusan harus didevolusikan ke desa. Seluruh kriteria tersebut bersifat absolut. Ini berarti kewenangan suatu urusan dapat didevolusikan jika penyediaan barang dan jasa publik yang berkaitan dengan urusan tersebut memenuhi seluruh kriteria tersebut. Adanya satu atau lebih kriteria yang tidak dipenuhi menyebabkan kewenangan suatu urusan tidak dapat didevolusikan ke desa. Ini merupakan formulasi/metoda umum yang digunakan dalam pembahasan. Penting untuk ditegaskan bahwa kriteria-kriteria dan formulasi/metoda penilaian tersebut merupakan kriteria umum dan formulasi/metoda umum. Dalam hal ditemui kasus-kasus yang spesifik untuk menilai kewenangan suatu urusan, dapat digunakan kriteria-kriteria yang lain di luar kriteria umum tersebut atau
18
digunakan formulasi/metoda penilaian yang berbeda dengan formulasi/metoda penilaian umum tersebut. 
Kewenangan yang Didevolusikan ke Pemerintah Desa Pembahasan pelimpahan kewenangan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung ke pemerintah desa dilakukan dengan dua tahapan kajian. Pertama, kajian dilakukan oleh tim peneliti IPGI. Kajian ini difokuskan pada eksplorasi sistem urusan pada setiap bidang pembangunan yang bersumber pada literatur kepustakaan maupun hasil wawancara dengan berbagai pihak terkait. Kajian literatur dilakukan dengan mengkaji berbagai sumber buku literatur yang berkaitan dengan aspek kajian maupun mengkaji berbagai aspek legal produk Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung seperti Peraturan Daerah No 7 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung, SK Bupati Bandung No 7 Tahun 2000 tentang Pelimpahan Sebagian Kewenangan Bupati Kepada Camat, serta berbagai SK Bupati Bandung tentang Rincinan Tugas Dinas dan Instansi di Kabupaten Bandung. Kedua, kajian melalui forum diskusi dilakukan oleh tiga kelompok institusi yaitu :  IPGI sebagai tuan rumah sekaligus pencetus ide pembahasan kewenangan yang akan dilimpahkan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung ke Pemerintah Desa;  Departemen Teknik Planologi ITB sebagai wakil institusi pendidikan yang telah memberikan berbagai masukan konsep desentralisasi fiskal;  Bapeda Kabupaten Bandung sebagai institusi yang akan menggunakan produk devolusi kewenangan dan fiskal, serta  BPS sebagai institusi yang akan membantu dalam memformulasikan model transfer fiskal dari Pemerintah Kabupaten Bandung ke pemerintah desa terutama dalam menyediakan berbagai data yang akan digunakan sebagai variabel transfer fiskal. Forum diskusi membahas materi pelimpahan kewenangan dan fiskal selama dua hari mulai tanggal 3 sampai 4 Juli 2002 bertempat di Hotel Abadi Asri Bandung. Adapun materi yang dibahas terdiri dari penentuan kriteria pelimpahan kewenangan, pembahasan kewenangan yang dilimpahkan ke pemerintah desa, konsep desentralisasi fiskal dan penentuan variabel yang digunakan dalam model transfer fiskal. Setelah dilakukan pembahasan tentang konsep desentralisasi fiskal dan menentukan kriteria yang digunakan dalam pelimpahan kewenangan maka tahap selanjutnya mengkaji berbagai sistem urusan yang telah dihasilkan oleh tim peneliti IPGI Bandung. Sistem urusan yang telah dihasilkan oleh tim peneliti IPGI Bandung pada dasarnya terbagi atas berbagai aspek pembangunan baik fisik maupun non fisik. Untuk melakukan penilaian terhadap urusan-urusan dari berbagai bidang dilakukan diskusi kelompok. Peserta diskusi dibagi ke dalam dua kelompok dengan materi pembahasan masing-masing sebagai berikut:
19
Kelompok 1 Urusan Kebinamargaan Urusan Perhubungan Urusan Air Bersih Urusan Persampahan dan Limbah Urusan Irigasi Urusan Pembuangan Air Kotor Urusan Drainase Urusan Listrik Urusan Pasar dan Perdagangan Urusan Pemakaman Kelompok 2 Urusan Kesehatan Urusan Pendidikan Urusan Pertanian dan Tanaman Pangan Urusan Peternakan dan Perikanan Urusan Kehutanan dan Perkebunan Urusan Konservasi Urusan Industri dan Penanaman Modal Urusan Ketenagakerjaan Urusan Kesejahteraan Sosial Urusan Kependudukan Urusan Koperasi dan usaha Kecil Menengah Urusan Pendapatan Daerah Hasil penilaian pelimpahan kewenangan berbagai urusan oleh masingmasing kelompok kemudian dilanjutkan dengan diskusi pleno oleh seluruh peserta. Terdapat beberapa kewenangan yang dapat/harus didevolusikan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung kepada Pemerintah Desa. Dalam hubungannya dengan transfer fiskal, terdapat tiga klasifikasi kewenangan yang didevolusikan. Klasifikasi kewenangan tersebut terdiri dari : 1. Kewenangan yang didevolusikan tetapi tidak memiliki dampak terhadap nilai transfer fiskal. Hal ini disebabkan pelimpahan kewenangan memiliki implikasi terhadap potensi (pendapatan) dan beban (pengeluaran) desa dan nilai potensi atau pendapatan diperkirakan dapat menutupi nilai beban atau pengeluaran. Urusan-urusan tersebut adalah : 1. Listrik komunal (non-PLN) (Urusan Listrik) 2. Air bersih non-PDAM (Urusan Air bersih) 3. Pasar lingkungan dan pasar kaget (Urusan Perdagangan) 4. Pengelolaan moda transportasi desa mencakup ojek, dokar, becak dan gerobak (Urusan Perhubungan) 5. Sampah; domestik dan lingkungan (Urusan Sampah)
20
6. Pemakaman umum desa (Urusan Pemakaman) 2. Kewenangan yang didevolusikan dan memiliki dampak terhadap nilai transfer fiskal. Hal ini disebabkan devolusi kewenangan akan menambah beban (pengeluaran) desa. Kewenangan-kewenangan tersebut adalah : 1. Jalan Lokal Primer 3, Lokal Primer 4 dan Fungsi Sekunder (Urusan kebinamargaan) 2. Pembuangan Air Kotor; septik tank komunal, septik tank dan cubluk individu (Urusan Pembuangan Air Kotor) 3. Drainase Minor Tersier (Urusan Drainase) 4. Irigasi Tersier dan Irigasi non-Teknis(Urusan Irigasi) 5. Pengawasan Perlakuan Lingkungan (Urusan Kesehatan) 6. Pelaksanaan Operasional Organisasi Olahraga dan Kepemudaan (Urusan Pendidikan) 7. Penyediaan Sarana dan Prasarana Pra-Sekolah, Taman Bermain dan Taman Kanak-Kanak (Urusan Pendidikan) 3. Kewenangan yang didevolusikan dari kabupaten ke desa dalam bentuk pembantuan. Kewenangan secara umum masih dipegang oleh pemerintah kabupaten, tetapi dalam pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah desa di bawah pengawasan pemerintah kabupaten. Devolusi kewenangan ini berpengaruh pada transfer fiskal dalam bentuk Dana Alokasi Khusus (DAK). Kewenangankewenangan tersebut adalah: 1. Pengelolaan Pelayanan Kesehatan Ibu, Anak dan Keluarga Berencana (KB) (Urusan Kesehatan) 2. Pengelolaan Gizi Masyarakat dan Institusi (Urusan Kesehatan) Di dalam proses melakukan penilaian, ternyata kewenangan suatu urusan tidak selalu dapat dilihat sebagai suatu kesatuan. Sebagai contoh ditemui kasus di mana perencanaan urusan tersebut tidak dapat didevolusikan ke desa tetapi pelaksanaannya dapat didevolusikan ke desa. Untuk itulah diperlukan perincian komponen masing-masing urusan. Hal ini terlihat pada tabel berikut mengenai penilaian kewenangan yang didevolusikan.
21
Penilaian Kewenangan yang Didevolusikan Urusan
Komponen Urusan
Listrik Komunal (non PLN)*
1 Ya
Kriteria 2 3 Ya Ya
Kesimpulan Didevolusikan
Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Air Bersih non-PDAM*
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Pasar Lingkungan dan Pasar Kaget*
Pengelolaan Moda Transportasi Desa Mencakup Ojek, Dokar, Becak dan Gerobak* Sampah; Domestik dan Lingkungan*
Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan
Pemakaman Umum Desa* Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Jalan lokal primer 3** Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Jalan lokal primer 4** Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Fungsi sekunder** Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Pembuangan air kotor** Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan
22
Pemeliharaan Drainase minor tersier**
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Ya
Ya
Ya
Didevolusikan
Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Irigasi tersier** Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Irigasi non-teknis** Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Pengelolaan kesehatan ibu, anak dan Keluarga Berencana (KB)***
Pengelolaan gizi masyarakat dan institusi***
Pengawasan perlakuan lingkungan**
Pelaksanaan operasional organisasi olahraga dan kepemudaan**
Penyediaan sarana dan prasarana pra-sekolah, taman bermain dan taman kanakkanak (TK)**
Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan Perencanaan Pelaksanaan Pembiayaan Pemeliharaan
Keterangan : * Devolusi yang tidak memerlukan transfer fiskal ** Devolusi yang memerlukan transfer fiskal dalam bentuk DAU ***Devolusi dalam bentuk pembantuan dan memerlukan transfer fiskal dalam bentuk DAK
Pada tahap akhir desentralisasi kewenangan dari kabupaten ke desa adalah proses advokasi. Proses advokasi devolusi ini dimulai dengan penyeleksian urusan urusan yang bisa didesentralisasikan ke desa, sosialisasi dan kampanye, legal drafting, dan proses advokasi ke dewan dan kemudian proses legislasi. Hasil akhir adalah draft peraturan daerah kabupaten bandung tentang penyerahan sebagian urusan dari pemerintah kabupaten ke desa. (terlampir)
23
Implikasi lebih lanjut dari adanya devolusi kewenangan adalah perlunya dilakukan penghitungan nilai transfer dari kabupaten yang diperlukan desa. Di dalam pembahasan mengenai transfer fiskal ini, kewenangan yang memiliki potensi (pendapatan) dan beban (pengeluaran) yang seimbang tidak memiliki peranan. Dengan demikian pada pembahasan selanjutnya baik dalam penentuan variabel, pengumpulan data dan pembobotan variabel, klasifikasi kewenangan tersebut tidak diikutsertakan. 3. Desentralisasi fiskal Relasi fiskal antar pemerintah dan desentralisasi fiskal berhubungan dengan bagaimana sektor pemerintah dibiayai. Sektor pemerintah pada setiap negara terdiri dari lebih dari satu level pemerintahan. Selain pemerintah pusat, banyak negara mempunyai satu atau lebih tingkatan pemerintahan sub nasional, yang hanya melakukan hubungan antar juridiksi region tertentu, distrik atau lokal. Banyak negara mempunyai dua tingkatan pemerintahan (pusat dan lokal), banyak negara lain memiliki tiga tingkatan pemerintahan yang terdiri dari pemerintahan pusat (atau federal), pemerintahan wilayah (atau negara), dan pemerintahan lokal. Di Indonesia tingkatan sistem pemerintahan terdiri dari pemerintahan pusat, pemerintahan propinsi, pemerintahan kabupaten dan kota, pemerintahan kecamatan, dan pemerintahan desa dan kelurahan. Relasi fiskal antar pemerintahan mempelajari bagaimana tingkat pemerintahan yang berbeda berinteraksi satu sama lainnya dalam berbagai isu perimbangan fiskal. Pada sistem pemerintahan yang bersifat sentralisastis, semua keputusan dibuat oleh pemerintah pusat, sehingga keputusan tersebut sangat jauh antara pemerintah pusat dengan penduduk atau masyarakat. Padahal masyarakat merupakan pengguna barang dan jasa publik yang dilsediakan oleh pemerintah. Desentralisai devolusi adalah penugasan kekuasaan pengambilan keputusan fiskal dan tanggung jawab manajemen kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Definisi ini berimplikasi pada asumsi bahwa pemerintah lokal mempunyai tingkatan tanggung jawab tertentu dari otonomi. Dalam sistem dekonsentrasi maupun delegasi pemerintah lokal tidak mempunyai kekuatan sebagai pengambil keputusan dimana pemerintah lokal hanya merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Dimensi dan Kaidah Desentralisasi Fiskal Para pakar mempertimbangkan bahwa pembentukkan relasi fiskal antar tingka pemerintahan atau desentralisasi fiskal dapat dibagi ke dalam beberapa dimensi. Terdapat empat blok pembentuk atau pilar dari desentralisasi fiskal yaitu : 1. Penugasan dari tanggung jawab pengeluaran yang menyangkut apa fungsi dan tanggung jawab pengeluaran untuk masing-masing tingkatan kepemerintahan? 2. Penugasan dari sumber-sumber perpajakan, satu pemerintahan daerah diberikan tanggung jawab pengeluaran tertentu, bagaimana pendapatan dari pajak
24
maupun non pajak menjadi sumber penerimaan pemerintah daerah untuk melaksanakan berbagai pelayanan dengan sumber daya yang ada di daerah? 3. Transfer fiskal antar pemerintahan sebagai sumber pendapatan tambahan, pemerintah pusat memberikan pada pemerintah daerah (propinsi maupun kota dan kabupaten) dengan tambahan sumberdaya melalui sistem transfer fiskal atau hibah; 4. Defisit daerah, pinjaman, dan utang : jika pemerintah daerah tidak hati-hati untuk menyeimbangkan pengeluaran tahunan dengan penerimaan dan transfer, akan mengakibatkan defisit fiskal pada pemerintah daerah dan membuat hutang. Hal ini menjadi pertimbangan yang penting bagi kondisi makroekonomi nasional, pemerintah pusat sering memberikan pada pemerintah daerah untuk menyeimbangkan anggaran dengan mengetatkan aturan untuk mengatasi masalah hutang pemeritantah daerah. Adapun kaidah yang perlu diperhatkan dalam mengimplementasikan konsep desentralisasi fiskal adalah : 1. Desentralisasi fiskal harus dilihat sebagai sistem yang komprehensif. Pandangan bahwa desentralisasi fiskal dapat dilaksanakan secara parsial akan menyebabkan kegagalan pencapaian tujuan karena akan ada variabel yang menjadi penghambat. Contohnya diberikannya kewenangan secara signifikan kepada pemerintah lokal akan menjadi sia-sia tanpa adanya mekanisme transparansi. 2. Keuangan (penerimaan) mengikuti fungsi (pengeluaran). Kewenangan dan pengeluaran yang dilimpahkan kepada pemerintah lokal harus diikuti dengan transfer fiskal dan kewenangan untuk penarikan pajak. 3. Diperlukan kemampuan pemerintah pusat untuk memonitor dan mengevaluasi desentralisasi. Hal ini sering menjadi masalah di negara berkembang di mana terdapat kelemahan sistem dan keterbatasan data yang terukur sebagai input evaluasi dan pengawasan. 4. Suatu sistem antarpemerintah dan desentralisasi tidak selalu cocok di semua tempat, terutama dalam kaitannya dengan perbedaan antara desa dan kota. Di sini diperlukan sistem yang dapat mengakomodasi perbedaan. Selain itu harus ada batasan yang jelas kriteria suatu daerah termasuk ke dalam klasifikasi yang mana dalam hubungannya dengan „perlakuanâ€&#x; yang berbeda tersebut. 5. Desentralisasi fiskal memerlukan kewenangan perpajakan yang signifikan oleh pemerintah daerah (lokal). Bentuk desentralisasi yang hanya berupa transfer fiskal tidak akan mendorong akuntabilitas pemerintah kepada masyarakat. Pemerintah daerah akan cenderung hanya merasa bertanggung jawab kepada pemerintah pusat. 6. Pemerintah pusat harus melaksanakan aturan desentralisasi fiskal yang telah dibuat. Tanpa adanya aturan dan kepatuhan terhadap peraturan, peran pemerintah pusat masih terlalu besar sehingga tujuan desentralisasi secara umum tidak akan dapat tercapai. 7. Perencanaan dan pelaksanaan desentralisasi harus dibuat secara ringkas. Untuk melaksanakan desentralisasi fiskal secara riil harus diperhitungkan
25
pembatasan tujuan dan kapasitas administrasi daerah. Kebutuhan akan data yang rumit dan tidak tersedia, tujuan yang terlalu banyak dan standar yang dipaksakan oleh pemerintah pusat akan mempersulit pelaksanaan desentralisasi fiskal. 8. Rancangan sistem transfer antarpemerintah harus sesuai dengan tujuan reformasi desentralisasi. Berbagai pilihan model transfer akan memberikan dampak yang berbeda. Dengan demikian harus dilakukan perhitungan secara secara matang mengenai kesesuaian dampak pilihan model transfer dan tujuan reformasi desentralisasi. 9. Desentralisasi fiskal harus mempertimbangkan seluruh level pemerintahan. Model desentralisasi yang diaplikasikan dapat berbeda-beda tetapi seluruh level pemerintahan harus dipertimbangkan dalam hubungannya dengan peranan-peranan terbaik yang dapat mereka lakukan. 10. Diperlukannya anggaran yang ketat dalam perencanaan dan pelaksanaan desentralisasi fiskal. Anggaran yang dibuat harus memiliki keseimbangan antara penerimaan dan pengeluaran. Di sini berarti juga diperlukan manajemen yang tepat serta kejelasan dalam utang daerah (termasuk pembayarannya) dan besaran transfer fiskal. Tidak boleh terjadi penutupan defisit anggaran daerah di akhir tahun oleh pemerintah pusat dan bailout utang daerah. 11. Diperlukannya kesadaran bahwa sistem antarpemerintah yang mendasari desentralisasi selalu berada dalam keadaan „transisiâ€&#x; dan karenanya diperlukan perencanaan mengenai hal tersebut. Fleksibilitas dan perubahan dalam besaran dan alokasi pendapatan dan anggaran harus dilaksanakan untuk mengikuti perubahan-perubahan dalam kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Aturan yang eksplisit mengenai klasifikasi daerah berdasarkan tingkat perkembangannya harus dibuat. Perlu diperhatikan bahwa fleksibilitas sistem tidak berarti semuanya menjadi bersifat ad hoc. Hal ini hanya akan menyebabkan tidak transparannya pelaksanaan desentralisasi fiskal tersebut. 12. Harus adanya dukungan dari pihak-pihak internal yang mengusahakan pelaksanaan riil desentralisasi fiskal. Walaupun dukungan tersebut bisa berasal dari berbagai pihak, tetapi yang paling penting adalah langkahlangkah yang dilakukan oleh pihak internal (yang memahami manfaat dan biaya dari pelaksanaan desentralisasi) terutama pemerintah. Jika tidak, desentralisasi hanya akan menjadi sebuah retorika daripada sebuah kebijakan. 
Alasan-alasan adanya transfer fiskal sebagai realisasi devolusi fiskal Transfer fiskal antar pemerintah adalah hal yang umum terjadi. Di Indonesia hal tersebut sering dilakukan oleh pemerintah pusat pada tingkatan pemerintah lain di bawahnya. Demikian juga pemerintahan lain di bawahnya, misalnya kabupaten, sering memberikan transfer sejumlah dana kepada desa. Namun tidak banyak yang diketahui tentang transfer fiskal ke desa. Banyak pengamat mengatakan bahwa bergantung pada pemerintah pusat untuk mendapatkan dana merupakan hal yang buruk, sedangkan mampu berdiri sendiri dalam keuangan merupakan hal yang
26
baik, tanpa mempertimbangkan benar-benar soal ini dari sudut kebijaksanaan pembangunan jangka panjang (Devas, et.al., 1989). Pendapat lain mengatakan bahwa mungkin tanpa bantuan pemerintah pusat pada daerah, pembagian pendapatan yang timpang antara daerah akan bertambah buruk. Selain itu transfer fiskal ke desa selama ini tanpa disertai sebuah desain besar untuk pemberdayaan dan pembangunan desa. Selama ini transfer fiskal hanya untuk program program yang tidak berkaitan satu sama lain. Namun kritik pokok adalah pola pembagian yang muncul tidak banyak mendorong daerah untuk mengerahkan sumber dana sendiri (Devas, et.al., 1989). Terlepas dari kontroversi itu ada beberapa alasan yang dikemukakan para ahli yang bisa menjadi pembenaran dilakukannya transfer dana dari pemerintah yang lebih tinggi pada pemerintah yang lebih rendah, seperti halnya dari kabupaten ke desa. Ada beberapa alasan ekonomi yang dipandang cukup rasional sebagai pembenaran adanya transfer fiskal diantara pemerintahan (intergovenrmental fiscal transfer/IGFT). Diantaranya yang dikemukakan oleh Broadway et.al. (1993), Shah (1994), dan Rosen (1995). a. Mengatasi ketidakseimbangan fiskal vertikal (address vertical fiscal imbalance). IGFT dibutuhkan untuk menyeimbangkan anggaran pada tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Selama ini, dan sesudah pemberlakuan UU pemerinthaan daerah, desa mempunyai beban yang lebih besar. Namun tidak diimbangi dengan cukupnya sumberdaya. b. Mengatasi ketidakseimbangan fiskal horizontal (address horizontal fiscal imbalance). Di satu sisi, beberapa desa mungkin mempunyai potensi lebih baik pada sumberdaya alam atau basis pajak lain yang ternyata tidak didapatkan di desa lain. Mereka juga bisa mempunyai tingkat income yang lebih tinggi dari pada mereka yang ada di desa lain. Inilah yang disebut perbedaan kapasitas fiskal. Di sisi lain, beberapa desa mempunyai kebutuhan pengeluaran yang luar biasa, karena mereka mereka mempunyai proporsi orang miskin, tua dan populasi orang muda yang tinggi, atau karena mereka butuh untuk memelihara prasarana yang sifatnya tingkat kabupaten. Versi yang lebih lemah dari argumen ini menyatakan bahwa kabupaten mempunyai jaminan untuk memelihara standar pelayanan umum yang minimum di semua desa. Daerah tanpa sumberdaya yang mencukupi untuk mencapai tingkatan minimum sebaiknya diberi subsidi. c. Mengatasi efek limpahan eksternalitas lintas desa/interjurisdiksional (Address interjurisdictional spillover effect). Beberapa jenis pelayanan umum mempunyai efek limpahan (atau externalitas) yang lintas desa. Pada pelayanan umum jenis ini, pemerintah desa akan cenderung berinvestasi lebih kecil karena manfaat yang diterima mungkin akan lebih menguntungkan orang lain dari luar desa. Sehingga, pemerintah kabupaten harus untuk menyediakan insentif atau sumberdaya finansial untuk memecahkan masalah kekurang-penyediaan (underprovision) ini.
27
Alasan lain yang mirip dikemukakan oleh Parker (June 1995) ada empat agumen ekonomi utama yang disarankan sebagai justifikasi untuk IGFT:  Untuk menjembatani kesenjangan fiskal (fiscal gap) yang bisa berakibat pada ketidaksesuaian antara sumber pendapatan dan kebutuhan pengeluaran, yang mengarah pada kekurangan pendapatan.  Untuk mengkompensasi adanya perbedaan pendapatan dan kemampuan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi yang juga mengarah pada migrasi yang disebabkan fiskal (fiscally induced migration), sebagai faktor penarik produksi menuju area yang lebih kaya. Misalnya urbanisasi.  Untuk menjamin adanya pelayanan pada standar minimum yang umum (common minimum standards) yang membuat area yang lebih miskin dapat menyediakan pelayanan pada tingkat yang dapat diterima.  Untuk mengentaskan ketidakefisienan yang muncul dari limpahan yanglintas desa, dimana orang menikmati manfaat dari barang publik tapi tidak berkonstribusi pada biaya penyediaannya, mungkin berakibat pada tingkat pemerintah desa dalam mempertimbangkan manfaat yang hanya muncul di daerah desa mereka saja dan menyediakan barang publik dalam jumlah kurang. Terkait dengan ketidakseimbangan horizontal, ada beberapa arti yang harus dipahami dalam hal pemerataan. Seperti misalnya pengertian pemerataan antara daerah yang dikemukakan oleh Devas, et.al., (1989). Hal ini karena pengertian pemerataan antara daerah merupakan unsur penting dalam kebijaksanaan pemerintah di Indonesia, dan soal pokok dalam setiap pembahasan mengenai hubungan keuangan. Mengingat berbagai perbedaan besar dalam tingkat pembangunan antara daerah, dan perbedaan besar dalam pendapatan per kepala dan kekayaan di seluruh negara itu, tujuan semacam itu penting sekali. Tetapi, merumuskan apa arti pengertian pemerataan antara daerah itu sebenarnya, dan memperinci bagaimana tujuan itu akan dicapai, bukan pekerjaan yang mudah. Devas, et.al., (1989) menyebutkan beberapa kemungkinan arti pemerataan pada konteks tingkatan kabupaten. a. Tingkat produk domestik regional bruto yang sama disemua daerah, baik dari sudut jumlah mutlak maupun dari sudut pendapatan perkepala. b. Tingkat rata-rata pendapatan per kepala yang sama disemua daerah. c. Peluang yang sama untuk memperoleh layanan masyarakat yang pokok (misal pendidikan, layanan kesehatan, angkutan, dsb). d. Tingkat pajak dan pungutan daerah yang sama disemua daerah. e. Tingkat bantuan pemerintah yang sama disemua daerah. f. Menyamakan sumberdaya yang diberikan pada pemerintah daerah, dengan memperhitungkan perbedaan antara daerah dalam hal tingkat kebutuhan pengeluaran dan sumber yang dimiliki. Konsep pemerataan ini harus dipilih dengan baik, dan harus disepakati oleh masyarakat dan pemerintahan kabupaten. Kalau konsep d yang digunakan, berarti rumus c sudah tercakup, karena pengertian pembagian sumberdaya sebagian
28
ditujukan untuk mewujudkan peluang yang sama guna memperoleh layanan masyarakat (apapun batasannya). Ini juga akan memungkinkan tercapainya tujuan d, karena sistem pembagian sumberdaya yang tepat akan memungkinkan penyediaan layanan pada tingkat yang sama dapat dibayar dengan pajak dan pungutan pada tingkat yang sama pula. Hal yang tidak dapat diwujudkan secara langsung dengan konsep ini ialah perubahan pembagian pendapatan perkepala antara (atau dalam) daerah. Namun ini sebernarnya sudah diluar lingkup keuangan pemerintah daerah. Tujuan semacam ini harus didekati terutama melalui kebijaksanaan nasional (tentang pajak nasional, subsidi, program pembangunan, dsb). Tetapi pola perpajakan dan pola pengeuaran pemerintah daerah juga hendaknya dirancang untuk mencapai pembagian yang merata dari beban dan manfaat, dan sistem alih dana dari pemerintah pusat yang dirancang dengan tepat dapat membantu dalam hal ini. (Devas, et.al., 1989)
Cara transfer Transfer merupakan elemen inti dari keuangan daerah dan desa(setidaknya, di indonesia seperti ini). Lalu bagaimana cara membagikannya pada seluruh daerah? Sampai saat ini terdapat tiga jenis cara dasar untuk menetapkan berapa besar jumlah dana yang perlu didistribusikan ke daerah-daerah melalui transfer fiskal antar pemerintahan, yaitu: Menurut persentase tetap dari penerima pemerintah pusat Mengikuti suatu dasar ad hoc, yaitu dengan cara yang sama seperti untuk jenis-jenis pengeluaran anggaran yang lain Atas dasar „mekanisme formula‟, yaitu menurut persentase dari pengeluaranpengeluran daerah tertentu yang dibayar oleh pusat, atau yang berhubungan dengan beberapa ciri umum daerah penerima Dalam perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah di indonesia menggunakan kombinasi antara ketiga cara transfer tersebut (lihat saja UU 33/2004 tentang perimbangan keuangan) Menurut persentase seperti pada bagi hasil pajak dan hasil bumi Adanya pembagian yang merata (basis), semua daerah mendapatkan sama besar Atas dasar „mekanisme formula‟, dengan menggunakan variable-variable terntentu Variabel penentu besar transfer Untuk menentukan besar transfer yang akan diberikan, banyak variabel yang harus dipertimbangkan. Variabel tersebut harus dapat menggambarkan perbedaan yang ada diantara daerah, yang dalam hal ini harus bisa menggambarkan perbedaan yang ada antara desa. Memang sampai saat ini sedikit literatur yang bisa ditemukan yang memberikan gambaran variabel yang bisa digunakan untuk menentukan besar transfer ke desa. Selama ini yang banyak adalah variabel untuk menentukan besar transfer dari pusat ke daerah. Namun sepertinya tidak salah bila kita merefer pada itu dan kemudian mentransformasikannya sehingga dapat diterapkan pada desa.
29
A. Freinkman (April 1999), Dari hasil penelititan yang dilakukan oleh Freinkman (April 1999) di Rusia, terdapat empat variabel utama yaitu variabel karakteristik administratif dan geografis, variabel sosial, variabel ekonomi dan variabel fiskal. Variabel-variabel utama tersebut kemudian diperjelas lagi menjadi beberapa variabel yang lebih detil. Karakteristik adninistratif dan geografis lokasi geografis (wilayah dibagi menjadi 11 zone, sehingga di sebut wilayah ekonomi, didasarkan pada lokasinya) persen luas wilayah dari luas total federasi rusia (%) kepadatan penduduk tahun 1994 (orang per kilometer) tipe administrative (republik, oblast dan krai, autonomous krog) Variabel sosial persen populasi penduduk miskin (%)-1994 dan 1995) money income as percent of the subsistence minimum tingkat pengangguran (%) – 1994 dan 1995 share of rural population in 1994 (%) tingkat kematian bayi (jumlah bayi perseribu kelahiran hidup yang meninggal sebelum umur satu tahun) kematian bayi di thaun 1990 – digunakan sebagai variabel referensi yang merefleksikan karakteristik social yang spesifik dari wilayah rusia biasanya sebelum transisi ke ekonomi pasar harapan hidup (tahun) Variabel ekonomi GDP per kapita (nyata) (rubel 1991) – data 1994 dan 1995 saja Pendapatan perkapita tahunan (rubel 1991) Tingkat inflasi tahunan (%) Pertumbuhan output industri (% tahun sebelumnya) Pertumbuhan investasi (% tahun sebelumnya) Persentase tunggakan perusahaan yang dibayar (1995 dan 1996) Variabel fiskal transfer federal pada regional sebagai persentase dari belanja regional total (%) transfer regional pada pemerintah lokal sebagai persentase belanja pemerintah lokal total (%) share belanja atas ekonomi nasional dalam pengeluaran anggaran regional terkonsolidasi (%) share belanja atas pendidikan dalam pengeluaran anggaran regional terkonsolidasi (%) share belanja atas kesehatan dan olah raga dalam pengeluaran anggaran regional terkonsolidasi (%) share belanja atas social protection dalam pengeluaran anggaran regional terkonsolidasi (%)
30
real (1991 rubles) perkapita pengeluaran regional terkonsolidasi atas ekonomi nasional real (1991 rubles) perkapita pengeluaran regional terkonsolidasi atas pendidikan tunggakan anggaran sebagai persen dari belanja anggaran regional terkonsolidasi (%) – tahun 1994 1995 saja) tunggakan pajak sebagai persen dari pendapatan anggaran regional terkonsolidasi (%) – data 1995 saja hutang terakumulasi sebagai persen dari pendapatan transfer anggaran regional bersih (%) – 1995 dan 1996 saja neraca anggaran pemerintah lokal (tanda negatif berarti defisit) sebagai persen dari belanja total pemerintah lokal neraca anggaran regional (tanda negatif berarti defisit) sebagai persen dari belanja total regional neraca anggaran regional terkonsolidasi (tanda negatif berarti defisit) sebagai persen dari belanja regional terkonsolidasi.
B. Shah (1994) Penelitian Anwar Shah (1994) ini dilakukan di beberapa negara, termasuk didalamnya australia, jerman/swiss, dan kanada. 1. Australia Asumsi yang digunakan dalam perhitungan besar transfer adalah belanja setiap katagori perdaerah berbeda ongkos. Penilai akhir adalah kebijaksanaan tim AGC (Australia Grant Commission), prosedur dinilai subjektif. Variabel yang digunakan adalah jumlah penduduk total belanja perkapita faktor skala (judgement) faktor penduduk (persebaran, urbanisasi, komposisi sosial, struktur umur, kepadatan) kondisi fisik (differential cost) 2. German/Swiss Asumsi yang digunakan dalam perhitungan adalah ongkos penyediaan pelayanan publik standar dapat diminimumkan. Untuk daerah pegunungan ongkos layanan lebih mahal. Variabel yang digunakan adalah: jumlah penduduk kepadatan penduduk pendapatan perkapita luas daerah budidaya luas wilayah ekonomi produktif 3. Kanada Pemerataan fiskal lebih darahkan untuk kesetaraan ongkos prasarana per kapita, dibandingkan pemerataan tingkat pelayanan barang dan jasa publik lokal antar-
31
daerah. Formula digunakan untuk alokasi dan distribusi grant/anggaran federal dengan menggunakan variabel-variabel berikut: jumlah penduduk kepadatan penduduk pertumbuhan penduduk panjang jalan jumlah rumah faktor lokasi (utara-selatan) faktor urbanisasi indeks harga jaminan sosial C. Wallich (dalam Roy, 1995) Berbeda dengan Freinkman, Wallich di rusia mengungkapkan bahwa pemerataan didasarkan pada bantuan perkapita (Bahl dan Wallace,1994). Penerapan formula secara ex-post untuk menutup defisit anggaran daerah. Variabel yang digunakan adalah sebagai berikut: jumlah penduduk pendapatan perkapita ranjang rumah sakit angka kematian bayi kerapatan jalan tingkat upah jumlah penduduk urban jumlah pajak terkumpul keuntungan BUMN/Daerah D. Bagchi (dalam Roy, 1995) Penelitiannya di India, pemerataan kemampuan keuangan daerah dilakukan untuk membantu kesetaraan layanan publik, mengurangi ketidakseimbangan horizontal dan disparitas antar daerah. Variabel yang digunakan adalah sebagai berikut: Jumlah penduduk PDRB perkapita Manajemen fiskal Masalah khusus E. Ma, (1997:33) Ma (1997) dalam penelitiannya mengungkapkan tentang adanya variasi indikator yang dapat merefleksikan kebutuhan fiskal suatu daerah, dan pilihannya adalah sangat tergantung pada tujuan pemerintah sebagaimana faktor historis dan politik lain. Indikator utama (sering digunakan dalam kombinasi dengan bobot) digunakan untuk menentukan kebutuhan fiskal region termasuk: Tingkat income perkapita; Angka kemiskinan; Tingkat pengangguran; Kepadatan populasi; Area;
32
Kematian bayi; Harapan hidup; Tingkat pendaftaran sekolah; Infrastruktur (misal panjang jalan dan rel kereta api); Indikator tingkat pembangunan lain (misal konsumsi listrik dan jumlah sambungan telepon)
Beberapa alternatif formula dasar transfer fiskal Secara kasar, ada empat tipe formula transfer Formula A. Formula ini mempertimbangkan tidak hanya equalisasi kapasitas fiskal, tapi juga menyesuaikan untuk kebutuhan pengeluaran daerah yang berbeda. Aplikasi formula ini dapat ditemukandi australia, jerman, jepang, korea, dan UK. Formula tertentu sangat tergantung pada kebutuhan data, tertama pada data kebutuhan pengeluaran (expenditure needs). Formula khas tipe ini adalah sebagai berikut: TRi = Ni – Ci – OTRi
(1)
Dimana Ni adalah kebutuhan fiskal region i, dan Ci adalah kapasitas fiskal region i. Ni-Ci mengukur gap antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal (own sources of revenue). OTRi merepresentasikan transfer lain (e.g., spesific purpose transfers) yang diterima region i dari pusat. Formula ini menyatakan bahwa transfer pemerintah pusat akan menutup gap antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal setiap daerah, untuk meyakinkan bahwa region dengan usaha pajak yang rasional akan dapat menyediakan pelayanan publik pada tingkat yang masuk akal. Ada pertanyaan bagaimanan menyesuaikan the sum dari entitlements (i TRi) dihitung dari formula diatas dengan kelompok dana transfer yang tersedia. Secara teori, the pool dapt menjadi lebih besar atau lebih kecil dati total entitlements. Metode yang biasa digunakan secara umum adalah untuk menyesuaikan transfer secara proporsional menurut ukuran the pool. Misalkan TT adalah ukuran pool untuk transfer. Kemudian transfer aktual pada region i adalah: ATRi = (TT/i TRi)TRi Dimana ATRi stands untuk transfer aktual pada region i, dan TRi adalah dihitung menggunakan rumus (1). Cara lain untuk menyesuaikan entitlements dengan dana yang tersedia adalah menggunakan sebuah koeffisien, , didepan gap fiskal, (Ni – Ci): TRi = (Ni – Ci) – OTRi
33
Dimana dipilih dengan cara tertentu sehingga TT = i TRi. Variasi metode ini adalah untuk mengaplikasikankoefisien ini pada Ni, malahan (Ni – Ci), adalah, TRi = Ni – Ci – OTRi Dimana dipilih dengan cara tertentu sehingga TT = i TRi. Cara ketiga untuk menyesuaikan entitlements dengan dana yang tersedia adalah dengan memasukan “transfer standar” pada formula: TRi = STi + Ni – Ci – OTRi Dimana STi adalah transfer standar pada region i. STi dihitung dengan mengalikan jumlah standar transfer perkapita dengan populasi di region i. Standar transfer perkapita bisa bernilai positif atau negatif, dan besarannya ditentukan dengan cara tertentu sehingga TT = i TRi. Formula B Adalah formula yang hanya mempertimbangkan equalisasi kapasitas fiskal. Sebagai contoh adalah yang digunakan di kanada. Formula tipe ini mempunyai mempunyai kebutuhan data yang relatif lemah dan mudah diimplementasikan. Tapi formula ini mengabaikan perbedaan yang berpotensi besar pada kebutuhan pengeluaran spesial di seluruh region. Ciri khas formula tipe ini (seringkali disebut sistem pajak representatif) adalah sebagai berikut: TRi = Pi (B/P – Bi/Pi)t Dimana TRi adalah transfer dari pusat pada region i, Pi adalah populasi region i, Bi adalah basis pajak di region i, P adalah populasi total negara, B adalah basis pajak total negara, dan t adalah tingkat (rate) efektif rata-rata negara atas basis pajak. B/P – Bi/Pi mengukur gap antara rata-rata basis pajak perkapita nasional dan basisi pajak perkapita region i. Formula ini menyatakan bahwa transfer pemerintah pusat akan diberikan pada region dengan kapasitas fiskal dibawah rata-rata menjadi region dengan kapasitas fiskal sesuai rata-rata. Di kanada, region dengan kapasitas dibawah rata-rata (TRi<0) menerima transfer dari pemerintah pusat, dan region dengan kapasitas fiskal diatas rata-rata (TRi>0) tidak menerima transfer tapi tidak diminta untuk berkonstribusi pada the pool for transfer. Di jerman, bagaimanapun, transfer equalisasi interstate dibuat secara langsung antara state-state dengan kapasitas fiskal diatas rata-rata memberikan dana langusng pada pool yang kemudian didistribusikan pada state dengan kapasitas fiskal dibawah rata-rata. Variasi formula ini menggunakan “rata-rata” basis pajak perkapita yang berbeda sebagai tingkat acuan (benchmark level) untuk perbandingan. Yakni, ratarata nasional B/P diganti dengan rata-rata sekelompok region. Pemilihan kelompok
34
ini dapat digunakan sebagai instrumen oleh pemerinth pusat untuk menyesuaikan intesitas usaha equalisasi. Bila pemerintha pusat memilih sekelompok yang menghasilkan rata-rata kelompok lebih rendah dari rata-rata nasional, skema transfer kemudianmenjadi lebih kecil dari “full” equalization dan memerlukan pool sumber daya fiskal yang lebih kecil. Skema transfer equalisasi didasarkan pada formula tipe ini berasumsi bahwa kebutuhan fiskal perkapita seluruh region adalah sama. ini adalah terlalu menyederhanakan (over simplification) dan bisa menciptakan sumberbaru disparitas regional bila biaya peneydiaan pelayanan publik berbeda jauh diantara region. Bagaimanapun, bila sebuah negara mempunyai perbedaan biaya regional yang relatif tidak signifikan atau data tentang perbedaan biaya tertentu tidak available, formula ini bisa jadi pilihan paling cocok untuk dipertimbangkan. Formula C Adalah formula yang mendistribusikan transfer equalisasi didasarkan pada bberapa indikator kebutuhan. Kapasitas fiskal tidak sering dipertimbangkan dalam formula ini karena data tertentu sulit didapatkan. India, italia dan spanyol menggunakan formula tipe ini. Ada variasi indikator yang dpat merefleksikan kebutuhan fiskal suatu daerah, dan pilihannya adalah sangat tergantung pada tujuan pemerintah sebagaimana faktor historis dan politik lain. Indikator utama (sering digunakan dalam kombinasi dengan bobot) digunakan untuk menentukan kebutuhan fiskal region termasuk: Tingkat income perkapita; Poverty incidence; Tingkat pengangguran; Kepadatan populasi; Area; Kematian bayi; Harapan hidup; School enrollment rate; Infrastrukture (misal panjang jalan dan rel kereta api); Indikator tingkat pembangunan lain (misal konsumsi listrik dan jumlah sambungan telepon) Indikator apa yang sebaiknya dipilih dan berapa besar bobot setiap indikator bisa diberikan masih menjadi pertanyaan yang sangat sensitif dan membutuhkan jawabah dengan simulasi yang sangat hati-hati dan konsultasi dengan otoritas regional. Formula D Formula yang mendistribusikan transfer equalisasi pada basis perkapita yang sama. formula tertentu digunakan dalam sharing PPN (Value Added Tax) di jerman, EPF kanada, NDR inggris, dan sejumlah hibah tujuan umum di Indonesia. Dibandingkan dengan tiga tipe transfer yang lainnya, transfer perkapita yang sama adalah yang paling sedikit membutuhkan data, tapi mempunyai efek equalisasi yang relatif lemah.
35
Formula transfer perkapita yang sama yang paling sederhana adalah sebagai berikut: TRi = Pi(TT/P) Dimana TT adalah jumlah total transfer yang tersedia, dan P adalah total populasi yang memenuhi syarat untuk program transfer. Transfer yang sama per kepala penduduk tidak dapat secara penuh meratakan pendapatan, tapi setidaknya dapat mengurangi disparitas regional dalam kapasitas fiskal. Untuk meilihat ini, misalkan anya ada dua region, region A dan region B, dengan pendapatan pajak perkapita adalah Rp1000 dan Rp2000. transfer perkapita yang sama dari Rp1000 mengurangi rasio pendapatan perkapita pajak region Bdari yang mana regin A dari 2 menjadi 3/2. tapi setidaknya transfer pekapita tak terhingga, rasionya akan selalu lebih kecil dari satu (full equalization) Komentar Formula tipe A menyediakan potensi untuk full equalization. Formula ini yang paling kompleks dan mungkin yang paling akurat dalam mengukur gap fiskal horizontal, tapi juga yang paling membutuhkan data. Formula tipe B dan C mengabaikan aspek utama (kapasitas atau kebutuhan) dari equalisasi horizontal, dan kemudian kurang efektif dalam memecahkan isu disparitas regional. bagaimanapun formula tersebut membutuhkan data lebih sedikti dan cocok untuk negara yang hendak untuk memulai sistem transfer equalisasi pada basisi eksperimental. Formula tipe D adalah yang paling tidak efektif dalam terms equalisasi, tapi juga yang paling sedikit membutuhkan data. ď&#x201A;ˇ Transfer Fiskal dari Kabupaten ke Desa Sebagai Implementasi Devolusi Fiskal a. Penentuan variabel dalam formulasi transfer fiskal Langkah pertama dalam melakukan pembahasan mengenai nilai transfer fiskal dari Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung ke pemerintah desa adalah menentukan variabel-variabel yang menentukan nilai transfer tersebut. Terdapat tiga kelompok variabel yang digunakan yaitu: ď&#x201A;§
Variabel umum. Variabel umum adalah variabel yang digunakan untuk menentukan transfer fiskal dan tidak ditentukan oleh kewenangan urusan yang didevolusikan. Rincian variabel umum yang digunakan dalam formulasi transfel fiskal dan korelasinya dengan nilai transfer adalah:
Variabel Umum dan Korelasinya dengan Transfer Fiskal Variabel Umum Jumlah penduduk Luas wilayah Jumlah pajak daerah (desa) Jumlah PBB
Korelasi + + + +
36
Indeks Harga Bangunan ď&#x201A;§
+
Variabel yang berkaitan dengan kewenangan desa. Variabel ini digunakan untuk menentukan nilai transfer fiskal dari kabupaten ke desa sesuai dengan kewenangan urusan yang didevolusikan. Variabel ini merupakan turunan dari kewenangan yang didevolusikan, contohnya panjang jalan desa merupakan variabel turunan dari urusan kebinamargaan. Rincian variabel yang berkaitan dengan kewenangan desa dan korelasinya dengan nilai transfer fiskal adalah adalah :
Variabel Kewenangan dan Korelasinya dengan Transfer Fiskal Kewenangan urusan Variabel Kewenangan Kebinamargaan Panjang jalan desa Air kotor Tingkat pelayanan Drainase Panjang saluran minor tersier Irigasi Panjang irigasi tersier dan irigasi non-teknis Pengelolaan pelayanan kesehatan -Jumlah anak balita ibu, anak dan keluarga berencana -Jumlah wanita usia (KB) produktif (15-49 tahun) Pengelolaan gizi masyarakat dan Jumlah kasus kekurangan institusi energi protein (KEP) Pengawasan perlakuan lingkungan Luas kawasan terbangun Pelaksanaan operasional kegiatan -Jumlah organisasi pemuda organisasi olahraga dan pemuda dan olahraga -Jumlah penduduk usia 1546 tahun Penyediaan sarana dan prasarana Jumlah anak usia 3-6 tahun pra-sekolah, taman bermain dan taman kanak-kanak (TK) ď&#x201A;§
Korelasi + + + +
+ + + +
+
Variabel khusus. Variabel khusus adalah variabel yang digunakan untuk menentukan transfer fiskal dari kabupaten ke desa. Variabel ini bersifat khusus karena berkaitan dengan tujuan-tujuan prioritas/kebijakan strategis pemerintah kabupaten dan/atau asal-usul desa. Rincian variabel khusus dan korelasinya dengan nilai transfer fiskal adalah:
Variabel Khusus dan Korelasinya dengan Transfer Fiskal Variabel Khusus Jumlah penduduk miskin Jumlah anak balita Jumlah wanita usia produktif Jumlah kekurangan energi protein (KEP) Luas wilayah konservasi/luas hutan Jumlah pengangguran
Korelasi + + + + + + 37
Penurunan laju pertumbuhan penduduk Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
+ +
b. Pengumpulan Data Pengumpulan data berupa data variabel-variabel penentu nilai transfer fiskal dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bandung. Hal ini mengingat kompetensi untuk hal tersebut â&#x20AC;&#x201C; baik kompetensi substansi dan kompetensi legal dimiliki oleh BPS. Dalam pelaksanaannya, BPS dapat bekerjasama dengan berbagai instansi yang telah memiliki data yang diperlukan, misalnya Badan Perencanaan Daerah (Bapeda) Kabupaten Bandung. Dari hasil diskusi terdapat data-data yang telah tersedia di beberapa instansi dan data-data yang belum tersedia sehingga masih harus dikumpulkan dalam bentuk survey. Selengkapnya mengenai kebutuhan data dan ketersediannya dapat dilihat dalam tabel 4.6. Kebutuhan Data dan Ketersediaannya No Jenis Data 1 2 3
Jumlah penduduk desa Luas wilayah Jumlah pajak daerah
4 5 6 7 8 9
Jumlah PBB Indeks Harga Bahan Bangunan Panjang jalan desa Tingkat pelayanan pembuangan air kotor Panjang saluran drainase minor tersier Panjang saluran irigasi non-teknis dan tersier
10 11 12
Jumlah anak usia balita Jumlah wanita usia produktif (15-49 tahun) Jumlah kasus kekurangan energi protein (KEP)
13 14 15 16 17 18 19 20 21
Luas kawasan terbangun Jumlah organisasi olahraga dan pemuda Jumlah penduduk usia 15-46 tahun Jumlah anak usia 3-6 tahun Jumlah penduduk miskin Luas wilayah konservasi dan luas hutan Jumlah pengangguran Penurunan laju pertumbuhan penduduk Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Ketersediaan dan Sumber Data Bapeda Kab. Bandung Bapeda Kab. Bandung Dispenda Kab. Bandung KP PBB Tidak tersedia Bapeda Kab. Bandung Tidak tersedia Tidak tersedia Dinas Pengairan Kab. Bandung Bapeda Kab. Bandung Bapeda Kab. Bandung Dinas Kesehatan Kab. Bandung Bapeda Kab. Bandung Tidak tersedia Tidak tersedia Bapeda Kab. Bandung BKKBN Kab. Bandung Bapeda Kab. Bandung Bapeda Kab. Bandung Bapeda Kab. Bandung Tidak tersedia
38
Selanjutnya variabel penentu tranfer fiskal diterjemahkan dalam enam kriteria tranfer fiskal yang telah disusun pada bab III. Berdasarkan enam kriteria transfer fiskal maka variabel yang digunakan dalam menyusun model transfer fiskal adalah sebagai berikut : Kriteria dan Variabel Penentu Transfer Fiskal No 1
Kriteria Kecukupan
2
Netralitas dan efisiensi
3 4
Akuntabilitas public Relevan
5
Keseimbangan antar daerah
6
Obyektif dan transparansi
Variabel Manifes Jumlah penduduk desa Luas wilayah Panjang jalan desa (lokal primer 3 dan 4) Panjang saluran drainase minor tersier Panjang saluran irigasi non teknis dan tersier Jumlah organisasi olahraga dan pemuda
Jumlah pajak daerah Tingkat pelayanan pembangunan air kotor Luas wilayah terbangun
Besar swadaya masyarakat Jumlah anak usia balita Jumlah wanita usia produktif (15 – 49 tahun) Jumlah kasus kekurangan energi protein (KEP) Jumlah penduduk usia 15 – 46 tahun Jumlah anak usia 3 – 6 tahun Jumlah penduduk miskin
Indeks harga bahan bangunan Luas wilayah konservasi dan luas hutan Penurunan laju pertumbuhan penduduk Indeks pembangunan manusia (IPM)
c. Pembobotan Variabel, Penentuan Model dan Penentuan Nilai Transfer Fiskal Masing-Masing Desa Pembobotan variabel dan penentuan model untuk menentukan nilai transfer fiskal dari kabupaten untuk masing-masing desa dilakukan oleh tim peneliti berdasarkan literatur dan hasil diskusi dengan instansi-instansi dan pemerintah di berbagai tingkatan meliputi pemerintah kabupaten, pemerintah kecamatan dan pemerintah desa. Besarnya transfer fiskal masing-masing desa bervariasi tergantung dari nilai variabel-variabel yang digunakan dalam model. Hasil akhir dari penyusunan konsep devolusi fiskal adalah draft peraturan daerah tentang devolusi fiskal.
39