Membangun Kerjasama Multi-Pihak yang Berkeadilan dalam Penyelenggaraan Proyek di Daerah Studi Kasus: Penyusunan Rencana Detil Tata Ruang Kota Majalaya secara Partisipatif Oleh: Sapei Rusin, Donny Setiawan, Ari Nurman, Adenantera Dwicaksono, Diding Sakri
I.
PENDAHULUAN
Dalam beberapa tahun belakangan ini dorongan untuk melakukan perubahan paradigma dalam proses perencanaan sektor publik semakin menguat. Situasi ini muncul sebagai akibat- salah satunya- keterbatasan pendekatan proses perencanaan konvensional (tradisional) dalam memberikan kesempatan kepada para stakeholders (multi-pihak yang mempunyai kepentingan, berpotensi mendapat manfaat dan akibat dari sebuah proyek) untuk terlibat secara langsung dalam proses perencanaan dan proses pengambilan keputusan sektor publik. Pendekatan perencanaan masa lalu cenderung menempatkan para perencana dengan kemampuan teknis dan analitisnya- sebagai pemain tunggal yang menentukan dalam menyusun rencana dan mengeluarkan keputusan-keputusan pengelolaan sektor publik. Kecuali pemerintah, peran dan ruang multi-pihak lainnya dalam proses penyusunan rencana sangat terbatas bahkan bisa dikatakan tidak ada. Pendekatan perencanaan konvensional yang cenderung melihat proses perencanaan sebagai proses yang bersifat teknis dan analitis ini terbukti mengalami banyak kegagalan di hampir seluruh tempat di Indonesia. Sebagian besar produk-produk rencana yang telah disusun dan disyahkan menjadi Peraturan Daerah tidak bisa diimplementasikan sebagaimana mestinya karena kegagalan untuk menangkap proses sosial-politik-ekonomi yang berkembang dalam masyarakat. Proses penyusunan rencana yang cenderung menempatkan perencana sebagai pemain tunggal, telah mengakibatkan para perencana kurang dapat memahami konteks ekonomi, sosial dan politik yang berkembang serta keterbatasan untuk memahami permasalahan kolektif yang terdapat dalam masyarakat. Sebagai akibatnya, rencana-rencana tersebut kurang sejalan dan kurang mendapat dukungan dari masyarakat luas serta tidak bisa dijadikan sebagai kesepakatan kolektif dalam pengelolaan masalah publik yang bersifat mengikat terhadap multi-pihak. Kritik-kritik tersebut telah memunculkan keperluan perubahan paradigma dalam perencanaan menuju pada pemahaman perencanaan sebagai proses untuk mencapai kesepakatan kolektif multi-pihak. Dalam pendekatan perencanaan yang lebih mementingkan proses ini, peran para perencana lebih diarahkan sebagai fasilitator dan mediator bagi tercapainya kesepakatan kolektif diantara para stakeholders. Tanpa mengurangi arti penting dimensi teknis dan analitis dalam proses perencanaan konvensional, perencanaan mutakhir ini cenderung melihat proses perencanaan sebagai proses untuk memahami dimensi sosial
1
dan politis yang berkembang di masyarakat. Pemahaman konteks sosial dan politis ini hanya bisa dipahami bila terjadi proses interaksi yang cukup intens antar semua stakeholders, termasuk para perencana. Melalui interaksi yang cukup intens ini para perencana akan memperoleh kesempatan lebih luas untuk memahami konteks sosial dan politik, permasalahan kolektif, peta dan besaran konflik multi-pihak, keterbatasan dan potensi sumber daya kolektif yang mungkin dimobilisir serta rencana-rencana yang akan dilakukan oleh multi-pihak. Pembentukan forum multi-pihak merupakan media yang paling tepat bagi implementasi proses perencanaan yang bersifat partnership. Forum-forum tersebut perlu secara terus menerus disosialisasikan, dibentuk dan dilembagakan sehingga bisa terus berlanjut menjadi media bagi proses perencanaan yang partisipatif. Pengalaman-pengalaman perencanaan yang partisipatif relatif sangat terbatas, bahkan dalam skala kota/kabupaten/propinsi yang meliputi seluruh sektor pembangunan sangat jarang dilakukan. Perencanaan partisipatif yang terjadi saat ini di Indonesia relatif berada pada skala wilayah yang kecil (desa) dengan sektor tunggal, misalnya perumahan. Sebagai bagian dari proses untuk mecari model-model perencanaan partisipatif pada skala wilayah yang lebih luas dan multi sektor dibutuhkan akumulasi pengalaman dan pengetahun dengan cara melakukan serangkaian uji coba proses perencanaan partisipatif. a. Latar Belakang Terselenggaranya Program Penyusunan Rencana Tata Ruang Kota Majalaya secara Partisipatif Program Merumuskan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) Majalaya secara Partisipatif ini terinspirasi oleh penolakan warga di wilayah Majalaya, Kabupaten Bandung terhadap produk rencana tata ruang Majalaya untuk tahun 2000-2010 yang telah dibuat oleh salah satu konsultan pada tahun 2000 yang lalu. Penolakan warga Majalaya ini didasarkan pada dua aspek, substansi yang salah dan proses penyusunan rencana yang tidak melibatkan warga. Keberatan warga ini kemudian disampaikan kepada pihak Dinas Permukiman dan Tata Wilayah (Kimtawil) Kabupaten Bandung selaku pemegang proyek RDTRK Majalaya. Kemudian Kimtawil bersama-sama dengan Bappeda menjadi mediator dalam menyelenggarakan beberapa kali pertemuan antara warga Majalaya dengan pihak konsultan. Pada beberapa kali pertemuan tersebut disepakati bersama bahwa penyusunan RDTRK Majalaya akan dibuat ulang untuk tahun anggaran 2002 dengan syarat harus melibatkan warga dalam pembuatannya. Namun kemudian muncul beberapa pertanyaan terutama dari pihak pemerintah daerah, bagaimana menyelenggarakan penyusunan RDTRK yang melibatkan warga mulai dari proses pembuatan term of reference (TOR), pengawasan tender hingga pembuatan rencana tata ruang? dengan cara bagaimana dan dalam proses apa saja warga dapat terlibat dalam penyusunan RDTRK ini? bagaimana dengan ketersediaan pendanaan? apakah dengan proses partisipatif ini akan memakan biaya yang lebih mahal dari biasanya dan memakan waktu yang lebih lama? Pertanyaan-pertanyaan yang sangat wajar mengingat selama ini belum pernah ada pengalaman warga terlibat sepenuhnya dalam proses-proses penyusunan rencana tata ruang maupun penyusunan rencana pembangunan yang dilakukan oleh
2
pemerintah. Proses yang selama ini terjadi adalah konsultasi yang dilakukan hanya kepada pihak DPR/D dan beberapa perwakilan warga dan pemerintah lokal di tingkat kecamatan yang menurut mereka sudah cukup merepresentasikan aspirasi warga. Dilatarbelakangi oleh masalah tersebut, Indonesian Partnership on Local Governance Initiatives (IPGI) Bandung bersamasama dengan Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera (FM2S) berinisiatif menyelenggarakan beberapa diskusi dengan para pakar perencanaan wilayah, praktisi perencanaan partisipatif, kalangan birokrasi dan masyarakat untuk membuat panduan mengenai penyusunan RDTRK secara partisipatif. Rangkaian pertemuan multi-pihak yang dilakukan oleh IPGI dan FM2S dengan beberapa pakar perencanaan tersebut melahirkan sebuah buku yang berisi panduan-panduan penyelenggaraan proses penyusunan RDTRK yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah, konsultan ataupun praktisi yang memiliki keinginan untuk menyelenggarakan proses perencanaan wilayah melalui pendekatan partisipatif. b. Mengapa warga harus terlibat dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) ? Ada beberapa alasan mengapa partisipasi warga dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) memiliki nilai penting baik bagi Pemerintah Daerah maupun bagi masyarakat sendiri, yaitu : 1. Partisipasi warga yang kuat dapat membangun rasa kepemilikan yang tinggi dikalangan warga terhadap hasil-hasil pembangunan yang dijalankan 2. Warga akan semakin sadar dan dewasa untuk memahami kompleksitas proses pembangunan dan relatif mudah mencari jalan keluar yang lebih sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya 3. Pilihan dan alternatif jalan keluar yang dihasilkan melalui proses pengkajian bersama antara warga--konsultan--Pemda merupakan pilihan yang lebih teruji dibandingkan dengan tugas kajian tersebut diserahkan kepada segelintir profesional yang selama ini duduk di konsultan dan birokrasi 4. Partisipasi warga akan menimbulkan efisiensi di berbagai hal termasuk pendanaan, dikarenakan ada kontribusi nyata dari warga terhadap gerakan dan proses pembangunan 5. Partisipasi warga akan menumbuhkan sikap saling menghormati, menghargai perbedaan pandangan dan pendapat serta dapat menjadi kekuatan bersama yang saling mendewasakan 6. Partisipasi merupakan salah satu proses pemberdayaan warga untuk mewujudkan haknya terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan publik yang berpengaruh pada kehidupannya II.
PELIBATAN MASYARAKAT DALAM MERUMUSKAN RENCANA TATA RUANG KOTA
3
Program Penyusunan RDTRK Majalaya secara Partisipatif ini terbagi kedalam dua jenis kegiatan, yaitu: pertama, advokasi kepada pemerintah daerah untuk mendorong keterlibatan masyarakat dalam penyusunan RDTRK. Kedua, penguatan masyarakat untuk dapat terlibat dalam proses penyusunan RDTRK. Kegiatan advokasi yang dilakukan oleh FM2S bersama-sama IPGI kepada pemerintah daerah telah berjalan mulai dari tahun 2000 yang lalu. Hasil yang telah dicapai melalui kegiatan advokasi ini adalah bahwa dalam penyusunan RDTRK Majalaya untuk tahun 2002, pemerintah daerah dan konsultan terpilih dibantu oleh IPGI dan FM2S akan menjalankan metodologi-metodologi partisipatif dalam menjalankan proses penyusunan RDTRK, mulai dari kegiatan perumusan kerangka acuan kerja, pemilihan wilayah perencanaan, perumusan fakta dan analisis wilayah hingga perumusan rencana tata ruang untuk tahun 2002-2012. Kegiatan-kegiatan tersebut akan dilakukan secara berjenjang mulai di tingkat desa, kecamatan hingga antar kecamatan di wilayah Majalaya. Pada dasarnya dalam penyusunan rencana pembangunan dan pengembangan wilayah –termasuk didalamnya RDTRKwarga dapat berpartisipasi mulai dari proses penyusunan dan pelaksanaan rencana hingga pengendalian dan pengawasan rencana. Secara rinci, ketiga proses tersebut dapat dijabarkan ke dalam tahapan-tahapan sebagai berikut.
4
a. Skema Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) secara Partisipatif Persiapan dan Penyepakatan Skema kerja di Tingkat warga
Perumusan Konsep RDTRK dengan KIMTAWIL
Pelatihan Fasilitator Warga Untuk RDTRK Lokakarya dan Pelatihan Skema Penyusunan RDTRK Kepada Perwakilan warga (kepala desa, LKMD, BPD) tingkat kecamatan serta penyepakatan batas-batas pengembangan wilayah Pembuatan Format Basis Data RDTRK Sosialisasi RDTRK dan Pembentukan Pokja Desa Untuk RDTRK
Pembuatan Profil Desa
Pembuatan Rencana Pemanfaatan Ruang, Pengembangan Sarana & Prasarana dan Pengembangan Kawasan Prioritas oleh Konsultan
Pengesahan
Lokakarya Analisis Situasi Desa Lokakarya Penyepakatan Alternatif Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan oleh Warga
Lokakarya Analisis Situasi Wilayah
Pembuatan Alternatif Rencana Struktur Tata Ruang Kawasan Perkotaan oleh Konsultan
Lokakarya Penyepakatan Rencana Pemanfataan Ruang, Pengembangan Sarana & Prasarana dan Pengembangan Kawasan Prioritas oleh Warga Penyusunan Draft Rencana Detil Tata Ruang Kota
Dengar Pendapat dengan warga
Lokakarya Penyepakatan Konsep & Strategi Pengembangan Wilayah oleh Warga
Lokakarya Merumuskan Visi, Misi & Strategi Wilayah
Pembuatan Konsep & Strategi Pengembangan Wilayah oleh Konsultan
Lokakarya Perumusan Program Pembangunan & Pengembangan Kawasan Perkotaan Pembuatan Persyaratan Teknis Pengembangan Kawasan Perkotaan, dan Pedoman Pengendalian Ruang Kawasan oleh Konsultan 5
b. Kegiatan Penyusunan RDTRK Majalaya secara Partisipatif Kegiatan penyusunan RDTRK Majalaya secara partisipatif pada prinsipnya menekankan kerjasama antara pemerintah daerah-konsultan terpilih-mayarakat dalam menyelenggarakan proyek-proyek perencanaan di suatu wilayah. Namun demikian kondisi kerjasama ini tidak mudah untuk terwujud dengan sendirinya, sehingga pada kenyataannya untuk mencapai situasi seperti ini diperlukan beberapa langkah pendekatan dan negosiasi antar mereka. Untuk kasus Majalaya, FM2S (Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera) berperan cukup sentral dalam menjembatani dan mendorong agar pelaksanaan proyek penyusunan RDTRK ini dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat. Seperti telah diutarakan sebelumnya, secara historis pengalaman penyusunan perencanaan perkotaan (RDTRK) Majalaya secara partisipatif, diawali oleh “tantangan“ dari pihak Pemerintah Kabupaten untuk menyusun mekanisme proses partisipasi warga. Hal ini merupakan buntut dari penolakan sejumlah warga yang difasilitasi FM2S (Forum Masyarakat Majalaya Sejahtera) terhadap draft RDTRK yang telah disusun oleh konsultan sebelumnya, yang dianggap warga tidak partisipatif dan berujung pada ditundanya pengesahan RDTRK Majalaya oleh Bupati Bandung. Tantangan tersebut ternyata menjadi pendorong bagi warga untuk dapat lebih berperan aktif dalam proses penyusunan RDTRK secara partisipatif. Tantangan dari Pemerintah Kabupaten tersebut memunculkan inisiatif dari FM2S untuk secara khusus membentuk Pokja (Kelompok Kerja) Advokasi guna mengurus pemasalahan RDTRK di tingkat pengambilan kebijakan. Disisi lain, FM2S memfasilitasi kegiatan-kegiatan sosialisasi dan persiapan ditingkat warga yang diantaranya dilakukan dengan mendorong desa-desa untuk ikut aktif memberikan masukan berupa penyiapan data informasi desa yang bisa dijadikan bahan bagi penyusunan RDTRK ini. Sejak itu, FM2S bersama-sama dengan IPGI Bandung mulai merancang Skema Penyusunan RDTRK Majalaya secara Partisipatif menurut versi dan kehendak warga. Warga selanjutnya, membuat KAK (Kerangka Acuan Kerja), dan menyusun Modul Partisipasi Warga Dalam Penyusunan RDTRK. Beberapa pertemuan-pertemuan dengan pihak Pemerintah maupun calon konsultan dilakukan dalam penyepakatan-penyepakatan prinsip-prinsip pelaksanaan penyusunan RDTRK secara partisipatif, yang dengan pembicaraan serta perdebatan panjang akhirnya menyepakati KAK dan skema yang diajukan warga yang kemudian dituangkan dalam Berita acara Anwijzing. Kegiatan penguatan kapasitas di masyarakat sebagai langkah untuk mempersiapkan warga untuk dapat memahami dan ikut terlibat dalam proses penyusunan RDTRK telah dan sedang dijalankan. Kegiatan ini diawali dengan tahapan pengorganisasian dan capacity building di tingkat warga yang termasuk wilayah perencanaan dan wilayah pengaruh perencanaan, termasuk di dalamnya para aparat pemerintah desa dan pemerintah kecamatan. Pengorganisasian warga ditingkat desa dimulai dengan kegiatan sosialisasi mengenai program RDTRK partisipatif dan sistem perencanaan daerah yang dilanjutkan dengan beberapa kali kegiatan pelatihan bagi fasilitator lokal untuk penguasaan teknik-teknik fasilitasi dan advokasi. Di tingkat desa, selain menjalankan sosialisasi mengenai RDTRK, juga dilakukan kegiatan pembentukkan kelompok kerja (POKJA) di tingkat desa untuk melakukan pembuatan profil desa melalui kegiatan Survey Kampung Sendiri (SKS) dan pengkajian keadaan desa dengan menggunakan
6
metodologi Participatory Rural Appraisal (PRA) dan Technology of Participatory (TOP). Pembuatan profil desa ini dilandasi oleh semangat warga desa untuk melakukan pembaruan dan validasi data desa yang akan dijadikan landasan dalam penyusunan RDTRK. Selain itu, POKJA desa bersama-sama dengan aparat pemerintahan desa berperan sebagai perwakilan masyarakat desa dalam kegiatan-kegiatan pengkajian fakta dan analisis wilayah serta perumusan rencana tata ruang di tingkat wilayah. Hampir semua POKJA yang telah dibentuk di ke-26 desa tersebut memiliki keanggotaan yang cukup beragam latar belakangnya yang terdiri dari perwakilan dari Badan Perwakilan Desa, aparat pemerintah desa, Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa, PKK, Karang Taruna Desa dan kelompok-kelompok warga lainnya yang ada di masing-masing desa. Tahapan penyusunan RDTRK Majalaya secara partisipatif ini dapat dilihat dalam skema penyusunan RDTRK Majalaya diatas. Dalam skema diatas dapat dilihat bahwa terjadi pembagian tugas dan peran yang cukup detail antara konsultan dan warga dalam setiap tahapan kegiatannya. c. Bentuk Kerjasama Pemerintah Kabupaten-Konsultan-Masyarakat Bentuk kerjasama multi-pihak dalam penyusunan RDTRK Majalaya secara partisipatif ini diwujudkan di dalam pembagian peran diantara pihak-pihak yang terlibat di dalam setiap tahapan penyusunan RDTRK. Pemerintah Kabupaten menjadi narasumber pada setiap tahapan kegiatan sosialisasi dan penyusunan RDTRK seperti yang sudah dilakukannya pada tahapan perumusan skema tahapan kegiatan penyusunan RDTRK secara partisipatif bersama-sama dengan warga dan kegiatan lokakarya sosialiasi RDTRK di desa-desa memberikan informasi dan menyediakan data-data
Pemerintah Desa bersama-sama dengan warga desa melakukan pembaruan dan validasi data desa menjadi fasilitator dalam setiap kegiatan yang dilakukan di tingkat desa
Konsultan menjadi tenaga ahli yang membantu masyarakat dalam membuat proyeksi dan interpretasi data, analisis situasi wilayah, penentuan konsep dan dan strategi pengembangan wilayah, struktur tata ruang, dll sebagai mitra masyarakat dalam melakukan pengumpulan dan kompilasi data menjadi fasilitator dalam
Masyarakat memberikan masukanmasukan mengenai informasi data dan situasi terkini di tingkat desa dan wilayah melalui media POKJA Desa, membantu konsultan dalam melakukan validasi data dan analisis situasi wilayah dan bersamasama dengan konsultan merumuskan visi wilayah, konsep dan strategi
7
Pemerintah Kabupaten yang dapat menunjang kegiatan penyusunan RDTRK partisipatif, seperti : foto udara, data statistik dari BPS dan BKKBN, dll melalui pemerintah kecamatan, melakukan pengawasan terhadap konsultan dalam menyelenggarakan penyusunan RDTRK agar tetap berjalan didalam koridor partisipatif bersama-sama dengan konsultan dan masyarakat menjadi fasilitator untuk setiap kegiatan lokakarya ditingkat wilayah, sperti : lokakarya validasi data dan analisis situasi wilayah, lokakarya perumusan visi wilayah, lokakarya penyepakatan konsep dan struktur tata ruang, dll
Pemerintah Desa
Konsultan setiap tahapan kegiatan melakukan konsultasi terhadap masyarakat dalam perumusan konsep dan strategi pengembangan wilayah, struktur tata ruang, dll
Masyarakat pengembangan wilayah, struktur tata ruang, indikasi program, dll melakukan pengawasan terhadap kinerja konsultan dalam menyelenggarakan penyusunan RDTRK Majalaya termasuk di dalamnya control terhadap penggunaan anggaran melalui media FM2S, melakukan advokasi kebijakan penyelenggaraan proyek RDTRK partisipatif
8
III.
PEMBELAJARAN-PEMBELAJARAN a. Potensi Munculnya optimisme yang cukup besar dari warga bahwa kegiatan penyusunan RDTRK sebagai pengalaman warga untuk melakukan proses-proses partisipatif lainnya terutama yang menyangkut dengan kegiatan perumusan rencana pembangunan di wilayahnya. Warga Masyarakat (Pokja Desa) memiliki pengetahuan menyusun peta sendiri dengan menentukan batas-batas wilayahnya, tata guna lahan di desa, transportasi, dan drainase, serta merumuskan sistem pengelolaan sampah dan limbah di desanya. Keberadaan POKJA di 26 desa menjadi medium bagi warga ditingkat desa dalam melakukan pengkajian terhadap situasi wilayah yang ada di desanya masing-masing yang selama ini tidak pernah mereka lakukan. Pengalaman ini membuat warga memiliki pemahaman yang lebih mendalam terhadap wilayahnya melalui analisis kekuatan, kelemahan, peluang maupun ancaman wilayahnya. Masyarakat telah menyadari bahwa keterlibatan masyarakat adalah penting dalam menyusun rencana kotanya. Warga tidak merasa canggung atau minder berhadapan dengan pengambil kebijakan, bahkan warga memiliki kepercayaan diri untuk bisa ikut ambil bagian dalam proses pengambilan kebijakan, terutama yang menyangkut dengan kepentingan warga. Warga telah menjadi terbiasa melakukan dialog dengan pemerintah, dan berani mengeluarkan pendapat. Selain itu warga juga telah biasa berdialog dengan konsultan, terutama menyangkut penyusunan RDTRK, yang mungkin pada masa sebelumnya merupakan hal yang tidak mudah. Warga cukup antusias dalam mengikuti rangkaian proses pertemuan. Setiap pertemuan selalu dihadiri banyak warga dan selalu mendapat respon dari masyarakat, misalnya dari Radio Komunitas Mase FM 94,4 MHz di Majalaya yang secara berkala mengudarakan masalah RDTRK dan perkembangannya tiap saat. Awalnya masyarakat merasa berat dan mengalami kesulitan dalam menjalani proses ini karena munculnya tanggapan yang kurang responsif dari pihak Kimtawil. Bahkan berkali-kali, upaya yang dilakukan oleh warga seringkali terhambat saat berhubungan dengan pihak Kimtawil dan bahkan seringkali cenderung membingungkan, karena memang Dinas ini yang merupakan pemegang proyek sekaligus juga pelaksana teknis dalam Penyusunan RDTRK Majalaya. Namun demikian hal ini sama sekali tidak menyurutkan semangat warga dalam proses penentuan kota. Hal ini dapat terlihat dari aktifitas masyarakat yang difasilitasi FM2S, dengan terus-menerus secara intensif melakukan pertemuan dengan pihak Pemerintah, mulai dari Kimtawil dan undangan untuk mengikuti lokakarya hingga menjadi pengisi acara, kemudian dengan Bapeda sekadar untuk sharing, dengan Wakil Bupati, hingga dengan Bupati Kabupaten Bandung secara langsung. Pertemuanpertemuan tersebut mungkin akan sulit terealisasi pada masa sebelumnya, tetapi kini warga telah menjadi terbiasa audiensi
9
atau sekadar sharing dengan para pejabat pemerintah. Bahkan Wakil Bupati pernah mengadakan kunjungan ke Majalaya guna memberikan dukungan politis terhadap proses partisipasi warga dalam penyusunan RDTRK Majalaya. Artinya proses komunikasi antara elit dengan masyarakat telah mulai terjalin. Masyarakat memiliki kekuatan untuk meminta pertanggungjawaban terhadap penggunaan dana publik, baik yang dilakukan swasta (konsultan) dan Pemerintah karena hal ini menyangkut kepentingan publik. Selain itu masyakat sekarang menjadi semakin kritis dalam menyikapi berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Warga masyarakat melalui pokja secara langsung terlibat dalam menentukan pilihan-pilihan tindakan untuk menyusun proses RDTRK, yang selama ini warga tidak pernah mengetahui prosesnya. Dan sebelumnya seluruh proses penyusunan RDTRK hanya diketahui oleh pemerintah dan konsultan. Hal ini menunjukkan bahwa melalui proses ini cukup berhasil membangkitkan kesadaran warga untuk mengetahui kapasitas yang dimilikinya serta upaya meningkatkan kapasitasnya melalui simulasi dan pengetahuan tentang teknik-teknik fasilitasi dalam penyusunan RDTRK. Warga masyarakat tumbuh kesadaran tentang hak dan kewajibannya untuk turut serta melakukan proses-proses membangun kesadaran dan kapasitas sesama warga, dengan secara mandiri melakukan fasilitasi di warganya sendiri. Hal ini di tunjukkan dengan hampir seluruh proses kegiatan lokakarya, sosialisasi dan pembentukan pokja di fasilitasi oleh warga, dan memberikan pemahaman kepada warga melalui pertemuan informal kepada masyarakat tentang pentingnya RDTRK. Warga masyarakat secara bersama mampu menentukan secara metodologis cara-cara melakukan fasilitasi dengan istilah dan bahasa yang mudah dimengerti oleh warga masyarakat. Seperti terlihat beberapa aturan dalam metode ToP (Technology of Participation) menggunakan bahasa lokal (sunda). --- Contoh: hurup citak (hurup kapital), hiji pamendak = hiji kartu (satu gagasan = satu lembar) dst. Warga masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen: camat, aparat kecamatan, kepala desa, BPD, LKMD dan tokoh masyarakat) memiliki kesempatan untuk mendefinisikan dan menilai secara bersama batas-batas wilayah perencanaan yang sebelumnya hanya dilakukan oleh konsultan atau pemerintah (dengan dasar RTRW) Warga masyarakat terlibat untuk mengambil keputusan-keputusan mengenai skema yang akan dijalankan dalam penyusunan RDTRK Majalaya secara partisipatif. Tumbuhnya sinergi antar lembaga-lembaga formal yang ada di desa yang saling bekerjasama melalui wadah Pokja RDTRK Desa dengan secara bersama-sama terlibat dalam proses penyusunan RDTRK Contoh di Desa Majakerta Kepala Desa mengambil peran untuk menyampaikan undangan resmi kepada RW-RW untuk membantu Pokja dalam melakukan survey/pendataan. Serta seluruh komponen lembaga formal terlibat dalam keanggotaan pokja seperti: aparat desa, BPD, PKK, LKMD, Karang Taruna, RW, serta terdapat keterlibatan dalam keanggotaan pokja secara personal.
10
Munculnya kerjasama untuk saling membantu antara masyarakat-konsultan-pemerintah kabupaten dalam penyelenggaraan beberapa tahapan kegiatan. Seperti contoh: dalam kegiatan-kegiatan ditingkat wilayah baik yang sifatnya analisis maupun penyusunan rencana, pemerintah ditempatkan sebagai narasumber mengenai program-program pembangunan yang sedang dan akan dijalankan sedangkan masyarakat yang memiliki pemahaman yang cukup dalam terhadap wilayahnya ditempatkan sebagai pemberi masukan, sementara itu konsultan bertugas untuk melakukan kajian-kajian dan memberikan pertimbangan-pertimbangan dari sisi akademis. Munculnya inisiatif-inisiatif untuk mengembangkan cara-cara yang mudah dalam melakukan pendataan, seperti di beberapa desa dengan membagi peran anggota pokja sesuai dengan topik bahasan, dan di beberapa desa lainnya dibentuk berdasarkan keberadaan di tiap RW. Bagi konsultan perencana, pengalaman yang diperoleh dari penyelenggaraan penyusunan RDTRK partisipatif ini menjadikan mereka memiliki peran yang lebih luas yaitu tidak hanya sebagai tenaga ahli untuk hal-hal yang bersifat teknokratis tetapi juga dapat berperan sebagai fasilitator masyarakat dan mediator dalam menangani konflik-konflik kepentingan dalam masalah publik. Bagi pemerintah daerah, penyelenggaraan penyusunan RDTRK Majalaya partisipatif ini memberikan pengalaman baru dalam menyelenggarakan proyek daerah melalui pendekatan partisipatif. Pengalaman ini diharapkan menjadi pemicu bagi pemerintah daerah untuk menjadikan pendekatan paritisipatif sebagai prinsip dasar bagi penyelenggaraan proyek lainnya di daerah, baik dalam perumusan makanisme penyelenggaraan proyek maupun dalam perumusan anggaran.
b. Tantangan Masih ada peran yang cukup sentral yang dilakukan oleh pendamping (IPGI) terutama untuk peran-peran advokasi terhadap pemerintah daerah dan inisiatif untuk perumusan program. Adanya keterbatasan aspek pendukung proses partisipasif terutama yang terkait dengan legal formal dari pemerintah dan keterbatasan kapabilitas yang dimiliki oleh warga untuk dapat terlibat dalam keseluruhan proses partisipasi. Menjaga keberlanjutan proses pelembagaan partisipatif terutama yang terkait dengan potensi yang dimiliki oleh warga melalui pengalaman mereka dalam proses penyusunan RDTRK partisipatif. Lamanya proses yang harus dijalankan dalam advokasi tidak diragukan lagi akan banyak menghabiskan energi dan akan mempengaruhi daya tahan warga untuk terus terlibat. Akibatnya, seringkali muncul ungkapan frustasi dan skeptis dari warga. Tidak bisa dipungkiri, sebuah proses advokasi yang panjang akan sangat melelahkan sehingga diperlukan sebuah metode khusus untuk dapat menjaga kestabilan spirit warga.
11
Dampak dari kegagalan proses penyusunan RDTRK Majalaya yang dilakukan secara konvensional, telah memunculkan trauma tersendiri di kalangan warga terhadap kehadiran konsultan. Akibatnya stigma yang terbentuk adalah semangat yang cenderung kontra terhadap konsultan. Dalam berbagai pembicaraan dan pertemuan dengan konsultan terlihat kesan negatif terhadap pihak konsultan. Meski demikian, di pihak konsultan juga memperlihatkan kecenderungan yang kurang bersungguh-sungguh dalam menjalankan proses penyusunan RDTRK ini secara partsipatif dengan alasan terbatasnya waktu dan dana. Hal ini dapat dilihat dari langkah konsultan yang kurang responsif terhadap aktifitas yang dijalankan warga. Dari Dinas Kimtawil sendiri, pada awal proses terasa kurang mendukung, tetapi lambat laun mulai memperlihatkan itikad baik dalam mendorong proses partisipasi warga ini. Terlihat dari beberapa pertemuan selalu melibatkan FM2S dan konsultan dalam menentukan kebijakan yang akan diambil. Adanya dominasi beberapa kelompok (seperti di beberapa desa (Desa Sukamantri), aparat pemerintah desa dan BPD sudah menentukan prioritas perencanaan desanya tanpa melibatkan warganya) sehingga menimbulkan perdebatan antara warga masyarakat dengan pemerintahan desa. Adanya indikasi keterlibatan warga karena mengharapkan insentif karena pengalaman-pengalaman masa lalu bahwa setiap bentuk program pemerintah yang mendorong keterlibatan masyarakat selalu diiming-imingi dengan insentif materiil bagi warga. Munculnya anggapan bebarapa warga bahwa apa yang mereka lakukan merupakan “beban bagi mereka” bukan kebutuhan yang harus dipenuhi. Ketidakterbukaan penyusunan penganggaran proyek yang dilakukan sebelumnya oleh pemerintah daerah dan DPRD menjadi masalah tersendiri yang menimbulkan kecurigaan dari warga terhadap penggunaan anggaran.
12