Airport Edisi Mei 2016

Page 1

MEMIJAK BUMI

MEI 2016

MENATAP DUNIA

THE

OTHERo�SIDE Terrorism ••••••••••••••••

{

THE ROOTS OF TERRORISM

}

where on earth did it come from?

••• HALAMAN 3 •••

Mengenal islamophobia

••• HALAMAN 11 •••

APA yang bisa kita pelajari dari mbak titik? ••• HALAMAN 7 •••

SOUTHEAST ASIA’S fight on

TERROR

••• HALAMAN 5 •••


daftar isi

3 THE ROOTS OF TERRORISM 5 SOUTHEAST ASIA’S FIGHT ON TERROR 7 Chit-chat: TITIK FIRAWATI 9 REFLEKSI: Nabeel Khawarizmy 11 INSIDE: ISLAMOFOBIA OLEH WILLIBRORDUS BINTANG HARTONO & NAOMI RESTI ANDITYA

OLEH ALOYSIUS ANANDYO PAMBUDI & FARRAS MASARDHI

DIWAWANCARAI OLEH TIFANI DIAHNISA HARDIANTI

DIWAWANCARAI OLEH ANGELO ABIL WIJAYA

OLEH BACHARUDDIN W. A. M. & WIDYASHRI DIAN MAHANANI

•••••••••••••••••••••••••••••••• NEWSFLASH 10

Indonesia after Sarinah attacks: Prevent Terrorism or Protect Human Rights? OLEH STEFANI PUDYANTI

AIRPORTCOMIC 13 RESENSI BUKU 14

Inferno oleh Dan Brown

DIBAHAS OLEH GIDION IVAN ARLY

RESENSI FILM 15

Five Minarets in New York (2015)

DIBAHAS OLEH KEVAL DIOVANZA HENDRI

1

AIRPORT • MEI 2016

16 AIRPORTPEDIA

Cyberterrorism: Virus Stuxnet OLEH MUHAMMAD RESPATI HARUN

17 STAT-CORNER

Facts and Statistics about Terrorism

19 OPINI

Signifikansi ACCT dalam menangkal terorisme di Asia Tenggara DIWAWANCARAI OLEH SELMA THEOFANI

21 TEKA-TEKI SILANG


REDAKSIONAL

Segala puji dan syukur kami panjatkan karena atas rahmat-Nya redaksi dapat menerbitkan majalah Airport edisi Mei 2016. Redaksi juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pihak yang turut memberikan kontribusi tenaga dan pikirannya demi kesuksesan penerbitan Airport kali ini. Pada edisi ini, Airport mengambil jalan yang sedikit berbeda dengan edisi-edisi pendahulunya. Jika sebelumnya Airport berfokus pada salah satu kawasan khusus di dunia, kali ini kami mengambil terorisme sebagai tema besar kami. Akan tetapi kami menekankan pada terorisme dan perkembangannya yang belum begitu banyak diketahui oleh orang awam sehingga memberikan perspektif baru bagi pembaca. Untuk memberikan dasar pemahaman bagi pembaca, Fokus I membahas definisi terorisme

serta asal usul perkembangannya di dunia. Kemudian, Fokus II akan menjelaskan perkembangan terorisme di Asia Tenggara serta akan menganalisis keefektifan upaya kolektif yang dilakukan negara-negara ASEAN untuk memberantas terorisme. Terdapat pula rubrik-rubrik lainnya yang tidak kalah menarik seperti Inside yang membahas Islamophobia serta terorisme non-Islam dan juga News Flash yang mengupas perlawanan terhadap terorisme di Indonesia pasca bom Sarinah. Sebagai penutup, redaksi ingin mengucapkan selamat membaca dan menikmati hasil karya kami. Tak lupa juga kami ucapkan permintaan maaf yang sebesar-besarnya jika masih terdapat kekurangan dan kesalahan dalam penerbitan Airport edisi ini. Salam jurnalistik!

•••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••••

DEWI AYU MEGAWATI, ELLYATY PRIYANKA, RIDHO BIMA P., PIMPINAN REDAKSI; MELINDA GULARSO, LAYOUTER; ALOYSIUS ANANDYO P., ANGELO ABIL W., BACHARUDDIN W. A. M., FARRAS KHALIDA M., GIDION ARLY, KEVAL DIOVANZA H., LUKAS ADWIN, M. RESPATI HARUN, NAOMI RESTI A., REZA ANGGRAINI, SELMA THEOFANY, STEFANI DYAH R. P., TIFANI DIAHNISA H., WIDYASHRI DIAN M., WILLIBRORDUS BINTANG H., TIM REDAKSI; Dr. NUR RACHMAT YULIANTO, PENANGGUNG JAWAB; NOVRIMA RIZKI ARSYANI, PEMIMPIN UMUM; DITERBITKAN OLEH: DEPARTEMEN INTRAKURIKULER DAN AKADEMIK, KORPS MAHASISWA HUBUNGAN INTERNASIONAL, FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA JALAN SOSIO-YUSTISIA, BULAKSUMUR, DEPOK, SLEMAN, YOGYAKARTA 55281

AIRPORT • MEI 2016

2


FOKUS

The Roots of

Terrorism

WHERE ON EARTH DID IT CoME FROM? Oleh WILLIBRORDUS BINTANG HARTONO & NAOMI RESTI ANDITYA

Terorisme berasal dari kata teror yang mengalami penambahan imbuhan ‘isme’. Terorisme sendiri didefnisikan dalam KBBI sebagai “penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik).” Kesamaan yang terus terulang dari upaya berbagai pihak mendefinisikan terorisme adalah bahwa tindakan ini mengandung ancaman serta kekerasan sebagai elemen utama. Namun jika dicermati, dua elemen tersebut merupakan komponen kecil dari tindakan koersif yang terjadi di sekitar kita setiap Hubungan koersif hari. Lalu bagaimana sebagai tindakan politik terorisme kemudian dan kekuasaan erat kaitannya diidentifikasi sebagai dengan terorisme karena tindakan tindakan khas yang koersif merupakan tindakan berbeda dengan merusak yang terjadi karena tindakan koersif perilaku manusia yang bersifat lainnya? internasional. Menurut Samuel DuBois Cook, tindakan koersif bertujuan untuk menghentikan keinginan bebas manusia yang dilakukan oleh manusia lainnya. Jika tindakan tersebut masih mampu diterima menurut standar, yang tentu berbeda di setiap tempat, hal itu dikategorikan sebagai force. Namun, jika standar yang ditetapkan tidak dapat diterima oleh masyarakat, maka tindakan tersebut masuk dalam kategori violence atau kekerasan. Terorisme masuk dalam tindakan kekerasan tertinggi dan bagi sebagian besar orang, ia sulit ditolerir dengan dasar apapun. Akan tetapi dengan semakin bertambahnya hari, identifikasi terhadap aksi teror kemudian menunjuk langsung kepada salah satu agama atau diidentikkan dengan aksi balasan kepada negara yang melakukan operasi militer. Noam Chomsky dan Edward Herman mengatakan bahwa

3

AIRPORT • MEI 2016

“Kata ‘teror’ dan ‘terorisme’ telah menjadi alat semantik yang sangat kuat bagi dunia Barat. Dalam kamus mereka, dua kata tersebut akan diidentifikasi sebagai ‘intimidasi’ yang dilakukan dengan ‘penggunaan kekerasan yang sistematis,’ baik oleh pemerintah maupun pihak oposisi. Namun, saat ini makna terorisme di sana telah terestrukturisasi dan berbasis pada perbedaan ideologi, di mana terorisme menjadi bentuk pemberontakan terhadap “established order.” Pandangan ini mengambil sudut pandang teori strukturalis di mana adanya ketidakpuasan dari masyarakat kepada pemerintah yang menyebabkan terjadinya perlawanan. Menarik untuk dikaji bahwa bagi sebagian kecil orang tindakan perlawan ini dianggap wajar ketika pihak berwenang gagal memenuhi kebutuhan hidup mereka, baik secara relative maupun absolute deprivation. Lalu, apakah terorisme kemudian dianggap wajar demi melawan, katakanlah, pemerintah yang lalim? Sulit menyatakan hal itu karenakan tujuan serta hasil yang didapat tidak selaras dengan tujuan damai civil society. Tindakan terorisme dapat menarget siapapun, sehingga orang-orang tidak bersalah dapat menjadi korban tindakan ini yang dengan mudah dapat diidentifikasi diri sebagai “kita” yang dalam hal ini sebagai warga dunia. Berhubungan dengan dunia, tindakan terorisme tidak bisa dilepaskan dengan kata globalisasi di mana tindakan di salah satu belahan bumi dapat memberikan


FOKUS

efek ke seluruh dunia. Terorisme juga tidak terbatas hanya sebagai tujuan lokal; tidak dapat dipungkiri bahwa ia seringkali memiliki tujuan internasional yang tentu mengganggu stabilitas serta perdamaian dunia. Lantas muncul berbagai perjanjian internasional yang mengatur penindakan terhadap terorisme sebagai kejahatan global, di mana yang terbaru adalah International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing yang merupakan resolusi United Nations pada 1997 serta International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism pada tahun 1999. Bentuk identiďŹ kasi apa saja dan motif yang melatarbelakangi aksi ini juga memiliki ragam yang menarik untuk diulik lebih dalam. Kita tentu perlu mengetahui mengapa banyak kelompok politik yang menggunakan aksi teror, misalnya bom bunuh diri, penculikan, sabotase, bahkan pembajakan untuk menyuarakan pendapat dan kepentingannya. Bom bunuh diri sendiri pertama kali diterapkan oleh Macan Tamil dari Srilanka, dan kini menjadi aksi teror yang paling ‘populer’. Negara asal terorisme biasanya merupakan negara yang koniktual, memiliki tingkat kesejahteraan yang rendah, ataupun memiliki basis pemimpin yang sektarian. Dalam situasi seperti ini, banyak masyarakat yang tentu kecewa dengan negara dan pemerintah, namun siapakah orang-orang ini? Mereka adalah orang-orang yang hak-hak hidupnya dikorupsi dan ideologinya direpresi, namun mereka tidak memiliki ruang untuk bersuara dalam lingkup pergaulan pembuat kebijakan. Meskipun kelompok-kelompok ini juga banyak dipimpin oleh cendekiawan atau orang kaya, tetapi hampir tidak ada kepentingan mereka yang diakomodasi oleh pemerintah karena mereka tidak memiliki kuasa. Misalnya, orang-orang Palestina yang ditekan oleh Israel membentuk HAMAS atau Fatah (Palestine Liberation Organization). Ketika mereka merasa tidak ada alternatif untuk bersuara, maka jalan kekerasanlah yang mereka ambil, misalnya dengan melakukan bom bunuh diri. Mereka berharap teror yang mereka ciptakan dapat memun-

culkan rasa takut dalam benak banyak orang, tidak hanya orang-orang di sekitar mereka, tetapi pemerintah dan bahkan masyarakat internasional. Teror ini digunakan oleh mereka untuk menyampaikan pesan yang selama ini tidak pernah didengar oleh orang lain. Fenomena terorisme semakin dilematis ketika radikalisasi kelompok-kelompok ini justru menguat apabila mereka terus dikerucutkan oleh pemerintah maupun oleh negara lain, seperti Amerika Serikat. War on Terror yang dicetuskan Presiden George W. Bush pasca kejadian 9/11 bukannya menghilangkan Al-Qaeda, tetapi justru memunculkan ISIS (kini menjadi IS)—ancaman yang sama besarnya, bahkan mungkin lebih besar. Drone yang digunakan Barack Obama di Pakistan dan Afghanistan untuk menghabisi Taliban juga dilaporkan telah membuat kelompok-kelompok radikal baru, meskipun AS berhasil membunuh orang-orang kunci. Tidak mudah mengatasi persoalan mengenai terorisme. Akan tetapi, terdapat beberapa kunci penting berupa tindakan preventif oleh negara untuk mencegah munculnya radikalisasi kelompok-kelompok tertentu dengan mengusahakan dan menciptakan keadilan bagi semua golongan yang ada di negara tersebut serta terus mengusahakan dialog antarkelompok maupun antara pemerintah dan kelompok, sehingga aspirasi masyarakat benar-benar dipahami dan perbedaan-perbedaan pun dapat dijembatani. Apabila keduanya sudah terpenuhi, masyarakat akan berpikir dua kali untuk melakukan aksi terorisme yang tidak memberikan faedah bagi mereka. Salam perdamaian, salam keadilan!

4


FOKUS

southeast asia's fight on terro�

Oleh ALOYSIUS ANANDYO PAMBUDI & FARRAS MASARDHI Tentu masih lekat dalam ingatan kita ketika pertengahan Januari silam Indonesia dikejutkan oleh pengeboman di kawasan Thamrin, Jakarta. Dampak kejadian ini begitu masif, dari mulai meningkatkan tensi dalam masyarakat hingga melariskan pedagang sate di bilangan Sarinah. Sayangnya, ini bukanlah kali pertama Indonesia diguncang oleh kasus terorisme. Menoleh sedikit ke belakang, salah satu kasus yang paling memilukan adalah Bom Bali 2002 yang menyasar sebuah kawasan hiburan malam dengan jumlah korban mencapai 202 jiwa. Dalam kasus ini, pemerintah menuding Jemaah Islamiyah (JI) yang terafiliasi dengan kelompok militan Al-Qaeda sebagai dalang pengeboman. Faktanya, Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengalami kasus terorisme yang meresahkan. Bila kita perbesar lagi cakupan geografisnya, maka Asia Tenggara akan menghadirkan cerita tersendiri tentang hal ini.

A

sia Tenggara telah lama menjadi ‘rumah’ dari banyak kelompok militan Islam pribumi. Biasanya, kelompok ini menyasar pemerintah domestik dengan tuntutan penerapan hukum Islam (Syariah) ataupun mencari kemerdekaan. Menurut Naval History and Heritage Command USA, kemunculan gerakan Islam radikal ini dipicu oleh beberapa hal seperti represi pemerintah yang sekuler, keinginan untuk membentuk pan-Islam di Asia Tenggara, rekasi terhadap konflik Palestina, serta datangnya veteran teroris dalam perlawanan di Afghanistan. Lanskap terorisme di Asia Tenggara berubah secara signifikan pasca terjadinya pengeboman 9/11 WTC di Amerika Serikat. Al-Qaeda merupakan tertuduh utama pelaku pengeboman tersebut. Amerika kemudian mengkampanyekan ‘War on Terrorism’ dengan slogannya ‘Either you’re with us, or with the terrorists’. Tidak berhenti di situ, Amerika Serikat kemudian memimpin koalisi untuk mengintervensi Afghanistan dan Irak dan menjadikannya first front dalam pemberantasan terorisme. Intervensi Amerika kemudian membuat kekuatan Al-Qaeda melemah. Kekuatan yang melemah lantas membuat Al-Qaeda

5

AIRPORT • MEI 2016

mulai mencari basis gerakan baru. Asia Tenggara kemudian menjadi kawasan yang menggiurkan karena adanya basis kelompok militan Islam sebelumnya. Misalnya saja, keberadaan kelompok-kelompok afiliasinya seperti Moro Islamic Liberation Front (Filipina), Abu Sayyaf Group (Filipina), Lashkar Jundullah (Indonesia), Kumpulan Mujahidin Malaysia (Malaysia), Jemmah Salafiyah (Thailand), Arakan Rohingnya Nationalist Organization (Myanmar), Rohingnya Solidarity Organization (Myanmar), dan secara umum Jemaah Islamiyah di Asia Tenggara hingga Australia. Ide bersama yang disebarluaskan adalah untuk memerangi “the distant enemy” alias Amerika Serikat. Akibat dari pengaruh Al-Qaeda dalam kawasan ini sangat signifikan, contohnya saja Bom Bali 2002, pengeboman superferry 14 di Manila, dan lain-lain. Kekuatan Al-Qaeda dan kelompok afiliasinya boleh jadi tidak sekuat dahulu, namun ancaman terorisme tentu masih membayang. Belum lagi munculnya kelompok-kelompok terorisme baru seperti ISIS, yang makin meningkatkan kecemasan


FOKUS

masyarakat. Kemudian menjadi penting bagaimana pemerintah menyikapi ancaman sebagai otoritas yang berwenang. Asia Tenggara memiliki wadah bertajuk ASEAN yang mengatur sedikit banyak upaya kolektif pemerintah di dalamnya. Lantas, apa strategi yang diterapkan oleh ASEAN dalam melawan isu terorisme di Asia Tenggara?

berkesinambungan. Contohnya adalah ASEAN Regional Forum (ARF) yang merupakan forum multilateral di kawasan Asia-PasiďŹ k yang memiliki fokus masalah keamanan. ARF hadir sebagai bagian dari negara-negara untuk membentuk rasa saling percaya (confidence building measures). Hal tersebut diperlukan sebagai bagian dari upaya kolektif penanganan terorisme agar negara-negara yang bersangkutan merasa nyaman dalam melakukan dialog di dalam forum terkait koordinasi langkah-langkah politik yang diambil. Lebih jauh, hal ini berpengaruh dalam konteks perumusan kebijakan dalam negeri yang berkaitan dengan counterterrorism di negara masing-masing. Langkah kolektif negara-negara yang bernaung di bawah bendera ASEAN dalam rangka counterterrorism juga terlihat dengan adanya Declaration on Joint Action to Counter Terrorism yang disepakati pada tahun 2001. Tindak lanjut dari deklarasi ini diantaranya adalah adanya kerjasama intelijen melalui ASEAN Chiefs of Police (ASEANAPOL).

Menakar Efektivitas ASEAN Untuk menjawab pertanyaan ini, satu hal yang perlu dipahami adalah bahwa kebijakan negara-negara anggota ASEAN adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sebuah upaya kolektif penanganan terorisme di ASEAN: Kerangka dan Peran level regional. Artinya, kita tidak bisa semata-mata Berbicara tentang upaya kolektif negara-negara Asia hanya menilai sejauh mana efektivitas usaha Tenggara dalam penanggulangan terorisme, hal ASEAN sebagai sebuah organisasi regional, yang penting untuk dipahami adalah perumunamun yang lebih penting adalah bagaimana san konsep politik terkait counterterrorism oleh Efektivitas ASEAN peran negara-negara yang bersangkutan. ASEAN dan implementasinya dalam dalam counterterrorism Hal ini disebabkan karena posisi ASEAN kesepakatan dan regulasi. Dalam hal ini, yang bukan merupakan organisasi bergantung kepada ASEAN menjadi forum dialog dan supranasional, sehingga kedaulatan koordinasi antara setiap negara bagaimana negara-negara dan implementasi kebijakan tertinggi anggota serta bertugas mendorong anggotanya mampu tetap berada di tangan negara. ASEAN peran aktif negara anggota dalam upaya menangani terorisme tidak memiliki legal binding yang kuat counterterrorism. Hal ini tentunya harus di negaranya untuk membuat negara-negara anggota sesuai dengan prinsip non-interference dan masing-masing. ASEAN berada di dalam satu frame tujuan ASEAN yang salah satunya adalah to kebijakan counterterrorism yang sama. promote regional peace and stability through abiding Kesepakatan-kesepakatan yang terbentuk respect for justice and the rule of law. selama ini hanya sebatas kesamaan komitmen akan Secara umum ASEAN memiliki dua cara dalam melakutujuan bersama, tidak sampai menyentuh hal-hal yang kan upaya kolektif penanggulangan terorisme, yaitu respon bersifat detail termasuk dalam tatanan regulasi. ideologi dan respon secara politik. Respon ideologi Efektivitas ASEAN dalam counterterrorism digunakan dengan melakukan pendekatan kepada bergantung kepada bagaimana negara-negara masyarakat serta kelompok-kelompok radikal oleh anggotanya mampu menangani terorisme di negaranya lembaga-lembaga masyarakat (misalnya lembaga masing-masing. Di satu sisi, terdapat kritik bahwa keagamaan) dengan tujuan deradikalisasi. Seperti yang respon-respon ASEAN terkait terorisme hanya sekedar terjadi pasca disepakatinya ASEAN-US Joint Declaration for perangkat retoris belaka dan tidak pernah ada Cooperation to Combat International Terrorism pada Juli 2002 mekanisme yang jelas. Namun melihat pada fondasi yang disusul Bom Bali tiga bulan berikutnya, ASEAN utama pembentukan ASEAN yang salah satunya adalah bekerjasama dengan pemerintah Indonesia untuk penghormatan terhadap kedaulatan negara, pendekatmendorong Nadhlatul Ulama dan Muhammadiyah an-pendekatan secara sosio-kultural melalui upaya-upamencegah masuknya paham-paham Islam radikal di ya persuasif merupakan pendekatan yang paling cocok kalangan masyarakat. Upaya ini juga bertujuan untuk digunakan di Asia Tenggara. Ini akan menjadikan memberikan pemahaman kepada masyarakat bahwa apa ASEAN sebagai wadah dialog yang nyaman dan yang dilakukan oleh para teroris tidak mencerminkan Islam terpercaya bagi negara-negara anggota dan mendorong Indonesia yang benar. kesadaran negara-negara anggota bahwa dengan Di sisi lain, terdapat respon politik yang berkaitan menjaga stabilitas dalam negeri, maka ia turut menjaga dengan pembentukan kesepakatan dan institusi. Respon stabilitas kawasan Asia Tenggara, termasuk dalam hal politik tidak semata-mata ada untuk memecahkan suatu ini penanggulangan terorisme. kasus tertentu, namun dilakukan untuk membuat kesepakatan tentang upaya-upaya yang akan dilakukan secara

“

�

AIRPORT • MEI 2016

6


C H I T- C H AT

APA YANG BISA KITA PELAJARI

dari MBAK TITIK Diwawancari oleh TIFANI DIAHNISA HARDIANTI Dalam rubrik Chit-Chat kali ini, Airport berkesempatan untuk mewawancarai salah satu dosen muda HI UGM yang juga menjabat sebagai Sekretaris Jurusan saat ini. Senada dengan fokus studinya di studi perdamaian keamanan, negosiasi, dan resolusi konflik, Titik Firawati MA, atau akrab disapa Mbak Titik ini, membeberkan apa itu isu terorisme dan segala dimanika serta sisi lain dari isu global tersebut. Monggo deh langsung saja kita simak!

AIRPORT (AP): Menurut Mbak Titik, apa definisi yang dapat menjelaskan terorisme itu sendiri? Bagaimana kemudian sebuah aksi atau tindakan atau peristiwa dapat kita kategorikan sebagai terorisme? TITIK FIRAWATI (TF): Mendefinisikan apa itu terorisme tidak mudah. Ada banyak versi dan masing-masing versi cenderung tidak pernah selesai diperdebatkan. Definisi yang saya pakai di sini adalah dari Global Terrorism Database (GTD) yang sering menjadi rujukan peneliti di bidang kajian terorisme internasional. Definisi ini sebatas contoh untuk membantu kita membayangkan kira-kira seperti apa peristiwa yang kita sebut sebagai terorisme. Kata GTD, terorisme ialah “the threatened or actual use of illegal force and violence by a non-state actor to attain a political, economic, religious, or social goal through fear, coercion, or intimidation”. Berdasarkan definisi ini, tiga komponen kunci suatu insiden disebut terorisme jika ada faktor kesengajaan, kekerasan atau ancaman kekerasan, dan aktor non-negara. Dalam hal ini, keterlibatan state dalam terorisme juga masih diperdebatkan, bahkan dalam PBB sendiri pun belum dapat memastikan.

7

AIRPORT • MEI 2016

AP: Masyarakat selalu menginterpretasikan terorisme sebagai ISIS atas nama agama tertentu yang hanya berinduk di Timur Tengah, apakah ada aktor-aktor penting lain yang juga memainkan peran terorisme global yang sekarang ini marak terjadi tidak hanya di Timur Tengah tetapi juga di Eropa, Amerika, Asia? TF: Merujuk pada definisi dari GTD, aktor non-negara yang terlibat dalam terorisme bisa siapa saja. Perilaku kelompok neo-Nazi di Eropa, contohnya, bisa dikategorikan ke dalam terorisme. Asumsi yang meyakini bahwa terorisme identik dengan Islam menjadi lebih kuat setelah peristiwa penyerangan WTC dan Pentagon pada tahun 2001. Ini salah satu dampak negatif sekuritisasi pemerintah Amerika Serikat pada saat itu dalam memerangi terorisme global. Akibatnya, banyak orang memandang bahwa terorisme merupakan persoalan Islam sehingga hanya di antara orang-orang Islam yang seharusnya menuntaskan persoalan ini. Merujuk kembali pada definisi dari GTD, aktor non-negara yang terlibat terorisme banyak tidak peduli afiliasi agamanya sehingga terorisme seharusnya menjadi masalah bersama.


C H I T- C H AT

AP: Siapa saja pihak-pihak yang sebenarnya menjadi target dari terorisme? TF: Siapa saja yang menjadi takut setelah diteror adalah target terorisme. Apalagi mereka yang reaktif dan meresponnya secara berlebihan dengan menggunakan kekuatan militer seperti yang dilakukan Amerika Serikat beserta sekutunya. Respon yang reaktif ini lalu dijadikan sebagai bukti kelompok-kelompok teroris bahwa mereka betul-betul telah “diserang musuh”. “Bukannya Islam mengajarkan bahwa kita harus melawan musuh yang menyerang kita?” tegas mereka. Pernyataan ini sering kita dengarkan melalui media massa. Akhirnya, agama yang mengajarkan arti penting memelihara kehidupan umat manusia menjadi korban sebagai alat justifikasi perilaku kekerasan mereka. Sikap yang cenderung tidak atau kurang proporsional dalam merespon jumlah korban terorisme yang lebih sedikit daripada korban bencana alam, konflik, penyakit, atau kecelakaan lalu lintas memang perlu dipertimbangkan ulang. Hasil riset media massa IIS tahun 2011, misalnya, mencatat delapan orang tewas (empat terduga teroris, dua polisi, dan dua warga sipil) karena insiden teror di tanah air sepanjang tahun 2011. Bandingkan korban tewas akibat kecelakan lalu lintas H-7 hingga H+6 Lebaran pada tahun 2012, misalnya, terjadi 5.005 kecelakaan dengan korban tewas 869 orang. Info ini dari Tribunnews.com. Dilihat dari angka kematian dan arti penting penanggulangannya, kerawanan lalu lintas seharusnya lebih mengancam daripada terorisme, bukan?

Mengulang apa yang sudah saya utarakan di atas, keterlibatan mereka hendaknya dilihat dari perspektif yang lebih sistemik. Peristiwa terorisme di masa lalu dan masa sekarang yang terjadi di beberapa tempat sebaiknya dilihat sebagai satu kesatuan analisis yang utuh. Hindari perspektif yang berhenti pada analisis personal pelaku. Aksi teror di Poso yang terjadi tahun 2001, misalnya, tidak bisa dipahami dengan baik tanpa memahami invasi Soviet ke Afghanistan tahun 1979 dan konflik di Mindanao, Filipina Selatan. AP: Bagaimana kemudian upaya yang paling efektif dilakukan dari tingkat masyarakat hingga pemerintah khususnya di Indonesia dan Asia Tenggara dalam mencegah serta menanggulangi terorisme? TF: Penanganan yang saya sampaikan di sini bukan resep sakti yang obatnya sekali diteguk penyakit langsung sembuh, melainkan saya hanya memperbanyak pilihan penanganan dari yang sudah ada atau mungkin menjadi pilihan baru. Di level masyarakat dan pemerintah di Indonesia dan Asia Tenggara, pertama, beberapa langkah penanganan di antaranya adalah bersikap normal mengatasi aksi teror tersebut dengan jalur politik yang ada atau desekuritisasi dan hindari pelabelan “teroris” terhadap seseorang atau sekelompok orang karena label “teroris” bisa digunakan siapa saja untuk kepentingan apa saja yang biasanya merugikan. Kedua, kurikulum pendidikan nasional di masing-masing negara anggota ASEAN perlu menitikberatkan pada arti pendidikan perdamaian. Nilai empati, contohnya, harus ditanamkan sejak dini oleh pendidik di mata pelajaran apa pun. Guru-guru jangan lagi mengajarkan kebencian kepada murid-murid yang berbeda agama. Ketiga, perbanyak kerja sama politik, ekonomi, sosial-budaya, dan keamanan, termasuk dialog antarumat beragama baik di level lokal, nasional, dan regional.

“..label ‘teroris’ bisa digunakan siapa saja untuk kepentingan apa saja yang biasanya merugikan.”

AP: Bagaimana pendapat Mbak Titik mengenai keterlibatan WNI dalam terorisme global? TF: Sejumlah WNI terlibat aksi terorisme global, seperti di Suriah, tapi saya tidak memiliki angka pastinya.

AIRPORT • MEI 2016

8


REFLEKSI

CO and CO CH CO

Diwawancari oleh ANGELO ABIL WIJAYA

Narasumber rubrik Refleksi kali ini adalah Nabeel Khawarizmy, mahasiswa departemen Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada angkatan 2013. Nabeel adalah Kadep INKA masa jabatan 2015 dan telah bergabung dengan INKA sejak masa jabatan sebelumnya.

Bagi Kak Nabeel, INKA itu apa sih? INKA adalah tempat untuk mengembangkan kemampuan akademik, kegiatan akademik dan kegiatan-kegiatan yang terkait dengan hal-hal akademik. Secara pribadi, saya sangat tertarik dengan program kerja yang ada di INKA seperti IRCCT, Airport dan juga Seminar nasional. Bagaimana pencapaian INKA menurut kakak selama ini, khususnya dalam masa jabatan Kak Nabeel? Di setiap masa jabatan INKA, pasti ada hal-hal yang tercapai dengan baik dan ada pula hal-hal yang masih harus diperbaiki kedepannya. Pada masa jabatan sebagai kadep INKA 2015, saya mengaku senang karena teman-teman di internal INKA sangatlah kooperatif. Mereka juga sangat inisiatif dalam menyampaikan pendapat dan diskusi. INKA sendiri, pada masa jabatan saya, telah lebih mampu menyalurkan minat mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada di bidang akademik yang ditandai dengan meningAIRPORT • MEI 2016

9

katnya jumlah diskusi dalam program kerja IRCCT (International Relations Community for Critical Thinkers), lebih terbukanya kesempatan luas bagi mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada untuk menulis di Buletin Airport, sehingga tidak hanya terbatas dari kalangan INKA saja, serta diadakannya kembali seminar nasional seperti yang telah diselenggarakan di tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, kekeluargaan diantara anggota-anggota INKA pun semakin erat. Secara keseluruhan, INKA dapat dibilang berhasil dalam menjalankan fungsinya. Apakah ada tantangan terhadap program kerja INKA? Seringkali program kerja-program kerja INKA yang sebenarnya inovatif dan menarik kurang peminat. Hal tersebut sangat disayangkan, terutama oleh pengurus departemen INKA karena kegiatan-kegiatan tersebut membawa manfaat tersendiri bagi mahasiswa Hubungan Internasional. Bagaimana perkembangan proker-proker INKA saat ini? Dilihat dari masing-masing

program kerja INKA, banyak aspek yang menjadi lebih baik. Contohnya adalah Buletin Airport. Meskipun sekarang lebih jarang diterbitkan, jumlah halaman yang ada di Buletin Airport bertambah di setiap edisinya. Hal ini mengakibatkan semakin komprehensifnya pembahasan yang ada di tiap-tiap edisi Buletin Airport. Sama halnya dengan IRCCT. Kegiatan yang awalnya sebagian besar hanya befungsi sebagai tempat untuk mengajari mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional mengenai Model United Nations (MUN) sekarang telah mampu menjadi wadah diskusi isu-isu internasional, sesuai dengan namanya, International Relations Community for Critical Thinkers. Proker selanjutnya yaitu Seminar Nasional adalah salah satu program INKA yang patut dibanggakan karena berskala besar dan luas. Proker ini adalah salah satu tempat di mana para pengurus INKA dan juga mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Univesitas Gadjah Mada lainnya merasakan dan mencicipi pengalaman kegiatan

berskala nasional. Apa harapan dan saran Kak Nabeel untuk INKA ke depannya? Sebagai Kadep INKA 2015, saya berharap INKA ke depannya harus bisa menjadi departemen yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan wawasan mahasiswa Hubungan Internasional UGM misalnya dengan menerapkan continuity and change di dalam departemen INKA dengan melanjutkan program-program kerja yang diminati dan disukai mahasiswa Hubungan Internasional UGM, tetapi tetap melakukan perbaikan terhadap program kerja yang dinilai kurang efektif. Saya juga berharap INKA ke depannya mampu melakukan bonding yang rutin, tidak hanya di tingkat internal departemen INKA, tetapi juga dengan departemen atau BSO lainnya melalui kerjasama-kerjasama agar kegiatan-kegiatan di KOMAHI semakin menarik. Lalu jangan lupa bahwa having fun adalah hal yang utama di dalam KOMAHI maupun di dalam INKA, work and the rest comes after that.


NEWSFLASH

INDONESIA AFTER THE SARINAH ATTACK

Prevent Terrorism or Protect Human Rights? Oleh STEFANI DYAH PUDYANTI

Indonesia seperti mendapatkan “hadiah� di awal tahun 2016 berupa serangan terorisme di ibu kota Jakarta pada 14 Januari 2016. Serangan terorisme yang didalangi oleh ISIS ini cukup menyedot perhatian banyak kalangan, tidak hanya di Indonesia tapi juga di tingkat global. Beragam tanggapan muncul, seperti simpati, dukacita dan support dari berbagai pihak. Di tingkat internasional, Indonesia mendapat pujian karena aparat bisa mengatasi aksi terorisme ini dan mencegah serangan lebih lanjut hanya dalam waktu tiga jam. United Nations Security Council (UNSC) juga sangat menghargai respon cepat Indonesia terhadap serangan ini. Dukungan juga datang dari Jepang melalui Perdana Menteri Shinzo Abe dan dari Inggris melalui Menteri Luar Negeri Philip Hammond yang menyatakan rasa bela sungkawa dan dukungan untuk Indonesia. Selain itu, ASEAN dan Amerika Serikat juga menyatakan siap membantu dan bekerjasama dengan Indonesia dalam memberantas terorisme. Setelah serangan di Sarinah, di Indonesia sendiri muncul ketakutan akan serangan serupa yang lantas melahirkan de untuk tidak hanya bisa mengatasi terorisme tapi untuk mencegah kejadian serupa terulang lagi. Untuk mencegah terorisme di Indonesia, pemerintah beranggapan perlu adanya revisi Undang-Undang (UU) Terorisme. Rencana revisi UU Terorisme menuai pro dan kontra di dalam negeri. Revisi yang dimaksud adalah terhadap UU Nomor 15 tahun 2003 tentang pemberantasan terorisme dan UU Nomor 9 tahun 2013 tentang pencegahan dan pemberantasan terorisme. Revisi UU ini sebenarnya sudah dibicarakan beberapa tahun lalu dan kembali diperdebatkan setelah kejadian di Sarinah. Undang-undang yang ada dianggap kurang efektif untuk bisa benar-benar memberantas terorisme. Selain itu, Badan Intelegensi Negara (BIN) yang tadinya hanya bisa memberikan data

mengenai terorisme dirasa perlu mendapat hak untuk bisa menangkap langsung terduga pelaku terorisme. Peraturan untuk terorisme di Indonesia dianggap terlalu lembek, kurang efektif, dan belum memiliki kejelasan hukum yang pasti. Polisi baru bisa menangkap orang yang diduga sebagai teroris jika sudah melakukan aksi, sehingga sulit untuk benar-benar mencegah terorisme dan hanya bisa mengatasi bila sudah benar-benar terjadi seperti di Sarinah. Situasi seperti ini nyatanya terjadi saat pemakaman terduga teroris Fonda Amar Solihin di Sukoharjo, Jawa Tengah. Ada orang yang melayat sambil membawa bendera ISIS selama prosesi pemakaman. ISIS sudah jelas dilarang di Indonesia tapi polisi hanya bisa mendata dan tidak bisa langsung bertindak begitu saja, walau sudah jelas ada pendukung gerakan radikal dan terorisme. Revisi UU Terorisme juga mendapat tentangan dari banyak pihak, terutama para aktivis dan pendukung HAM. Bahkan sebelum revisi UU, penanganan terhadap terorisme sering diduga melanggar HAM. Belum lama ini, terduga teroris bernama Siyono meninggal dunia saat melawan anggota Densus 88 yang mengawalnya. Tidak hanya Siyono; ada setidaknya 120 terduga teroris yang meninggal saat proses penangkapan. Revisi UU Terorisme akan awmakin bertentangan dengan HAM, ditambah dengan keadaan di Indonesia yang memiliki pengalamn traumatik terhadap pelanggaran HAM di masa lalu. Hal-hal yang dikritik mengenai isi revisi UU antara lain perpanjangan masa penangkapan dari semula tujuh hari menjadi 30 hari, tidak adanya kewajiban bagi terduga teroris untuk didampingi pengacara, dan adanya wewenang untuk membawa atau menempatkan seseorang terduga teroris ke suatu tempat dalam waktu enam bulan. Hal-hal ini dianggap akan memunculkan Guantanamo versi Indonesia. Komnas HAM menyarankan pemerintah untuk tidak tergesa-gesa dalam merevisi UU tersebut dan menyediakan ruang dan waktu untuk mendengarkan aspirasi publik dan menyerapnya sebelum benar-benar direvisi dan dimplementasi.

AIRPORT • MEI 2016

10


INSIDE

Islamofobia, Terorisme Non-Islam, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Islam Oleh BACHARUDDIN W. A. M. & WIDYASHRI DIAN MAHANANI

I

slamofobia adalah istilah yang banyak digunakan oleh media saat ini untuk mendeskripsikan ketakutan dan praduga negatif terhadap kaum Muslim yang dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk. Serangan 9 September 2011 (9/11) yang meluluhlantakkan World Trade Center di New York merupakan salah satu pemicu Islamofobia pada abad 21. Di Amerika Serikat sendiri, pasca 9/11 terdapat banyak laporan berbagai serangan baik ďŹ sik maupun verbal terhadap kaum Muslim. Kisah Terry Jones yang mengumumkan Hari Pembakaran Al-Quran pada tahun 2013 untuk memperingati 9/11 merupakan salah satu contoh Islamofobia. Beberapa masjid di Amerika Serikat juga menjadi sasaran dari berbagai individu yang termotivasi Islamofobia. Selain itu, terdapat juga kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan isu Islamofobia sebagai agenda pribadi, seperti KURANGNYA Wilders, PENGETAHUAN DAN Geert politikus dari partai INTERAKSI beraliran Sayap Kanan DENGANS ISLAM PVV di Belanda yang DAN KAUM MUSLIM menggunakan kritik terhadap Islam dan MENYEBABKAN kaum Muslim sebagai MUNCULNYA agenda politik untuk mendapat dukungan BERBAGAI SIKAP masyarakat luas. CURIGA, Wilders sendiri KETAKUTAN, DAN m e n y a m a k a n PEMIKIRAN SEMPIT Al-Quran dengan Mein Kampf, buku

11

AIRPORT • MEI 2016

karangan Adolf Hitler, dan mendorong pelarangan peredarannya di Belanda. Oleh karena itu, apa sebenarnya faktor penyebab Islamofobia? Penulis berpendapat bahwa kurangnya pengetahuan dan interaksi dengan Islam dan kaum Muslim menyebabkan munculnya berbagai sikap curiga, ketakutan, dan pemikiran sempit terhadap Islam dan umat Muslim. Seperti Joshua Gray, pelaku pembakaran Quba Islamic Institute di Houston 2015 lalu, yang mengakui bahwa dia sama sekali belum pernah bertemu dan berinteraksi dengan umat Muslim sebelum diajak berdiskusi dengan tokoh-tokoh Muslim setempat. Penulis juga ingin menyampaikan bahwa umat Muslim sebagai korban dari Islamofobia sendiri juga harus bisa menunjukkan bahwa Muslim bukanlah kaum barbar yang mendukung kekerasan dan berbagai gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam. Mungkin kisah umat Muslim di York, Inggris yang menyambut protes kelompok radikal EDL yang menentang keberadaan Masjid mereka dengan ajakan minum teh sambil berdiskusi tentang Islam dan diakhiri dengan bermain sepak bola dapat menjadi inspirasi bagi kita sendiri untuk menangkal Islamofobia—banyak alternatif metode yang bisa ditempuh. Penulis merasa labelisasi teroris yang seringkali diidentikkan dengan Islam dan menimbulkan Islamofobia seolah menutupi fakta bahwa terorisme juga dilakukan oleh pelaku non-Muslim. Di Amerika Serikat, fakta justru menunjukkan bahwa jumlah korban aktivitas teror yang dilakukan oleh pelaku non-Muslim atau warga kulit putih biasa berjumlah lebih banyak dibanding Muslim. Sejak peristiwa 9/11, pelaku teror non-Muslim ataupun yang tidak terkait


dengan simbol-simbol Islam sudah ada. Hal ini diperkuat oleh survei yang dilakukan oleh New America dan Charles Kurzman, peneliti terorisme dari University of North Carolina yang membuktikan bahwa terorisme domestik di Amerika Serikat lebih banyak dipicu oleh kelompok sayap kanan fasis. Kelompok sayap kanan radikal dirasa lebih mengancam keamanan negara dibanding kelompok ekstrimis Muslim. Berkembangnya terorisme non-Islam secara masif juga terjadi di Eropa. Europol, sebagai lembaga penegak hukum Uni Eropa, menerbitkan laporan tahunan berjudul EU Terrorism Situation and Trend Report yang berisikan laporan serangan terorisme 2006-2013. Terdapat data bahwa 99,43% serangan teroris di Eropa dilakukan oleh kelompok non-Muslim: kelompok separatis berkontribusi 81,44%, kelompok sayap kiri 10,14%, dan sisanya adalah kelompok lain yang tidak berafiliasi dengan Islam. Secara keseluruhan, serangan teroris di Eropa yang dilakukan oleh Muslim hanya berkisar 0,57% sepanjang tahun 2006-2013. Menurut penulis, fakta tersebut menunjukkan bahwa Islamofobia yang beralasankan bahwa kaum Muslim adalah teroris lebih didasari kepada presepsi ketimbang realita sebab memang tidak ada serangan yang secara eksplisit diklasifikasikan sebagai serangan yang terinspirasi agama, sayap kanan, dan single-issue yang dilaporkan oleh negara-negara Uni Eropa dalam kurun waktu di atas. Kemunculan dan perkembangan teroris non-Islam di dunia juga berkontribusi besar terhadap munculnya organisasi teroris. Terdapat 10 kelompok teroris non-Islam terbesar di dunia yang berasal dari golongan non-Islam dan membawa ideologi atau kepentingan kelompok ketika melakukan terorisme, seperti Liberation Tigers of Tamil Elam di Sri Lanka yang merupakan salah satu most violent organization in the world, Fuerzas Armadas Revolucionarias De Colombia (FARC), Epanastatikos Agonas (EA) di Yunani, Euskadi Ta Askatasuna (ETA) di Basque, Sandero Luminoso di Peru, Real Irish Republican Army (RIRA), Ulster Defense Association (UDA) di Irlandia, New People’s Army (NPA), Aum Shirikyo di Jepang, Kahane Chai di Israel, dan Lord’s Resistance Army (LRA) yang beroperasi di

INSIDE

LABELISASI TERORIS YANG SERINGKALI DIIDENTIKKAN DENGAN ISLAM DAN MENIMBULKAN ISLAMOFOBIA SEOLAH MENUTUPI FAKTA BAHWA TERORISME JUGA DILAKUKAN OLEH PELAKU NON-MUSLIM. DI AMERIKA SERIKAT, FAKTA JUSTRU MENUNJUKKAN BAHWA JUMLAH KORBAN AKTIVITAS TEROR YANG DILAKUKAN OLEH PELAKU NON-MUSLIM ATAU WARGA KULIT PUTIH BIASA BERJUMLAH LEBIH BANYAK DIBANDING MUSLIM.

Uganda, Sudan Selatan, Republik Demokratik Kongo, dan Republik Afrika Tengah. Beberapa dari kelompok teroris tersebut merupakan pemeluk agama tertentu yang aktif melakukan serangan terorisme dari tahun ke tahun. Perbedaannya adalah saat mereka melakukan terorisme, mereka tidak dipersalahkan karena agama mereka, berbeda halnya dengan kelompok teroris Muslim. Sungguh disayangkan ketika kelompok teroris non-Islam melakukan tindakan terorisme yang memakan jumlah jauh lebih besar dibandingkan teroris Muslim, justru kaum Muslim-lah yang dianggap sebagai teroris yang paling berbahaya bagi keamanan dunia. Pada dasarnya tindakan terorisme yang dilakukan baik oleh Muslim maupun non-Muslim sama-sama mengancam perdamaian dunia, sehingga tidak seharusnya masyarakat dunia menganggap setiap Muslim adalah teroris.

12


AIRPORT COMIC

13

AIRPORT • MEI 2016


RESENSI BUKU

Inferno “A thrilling novel with the unexpected fuse of history, science, politics, art, and symbology to expose a modern threat: overpopulation.” Dibahas oleh GIDION IVAN ARLY

Penulis Dan Brown Tahun 2013 Genre Mystery thriller Penerbit Doubleday Halaman 609

Inferno (2013) adalah buku keempat dari seri apokaliptik yang ditulis oleh Dan Brown setelah The Da Vinci Codes, Angel & Demons, dan The Lost Symbols. Seri tersebut berfokus pada tokoh fiksi bernama Robert Langdon – seorang profesor simbologi di Harvard yang lantas menjadi pahlawan dalam beberapa peristiwa yang terkait simbol, agama, dan sejarah. Cerita Inferno berputar pada perjalanan Robert Langdon melacak lokasi sebuah container yang berisi sebuah virus dengan kemampuan memanipulasi gen-gen manusia. Virus tersebut merupakan satu-satunya “penyelamat” di dunia yang diciptakan oleh seorang ilmuwan genius yang sinting, Bertrand Zobrist – atau Shade – yang memercayai bahwa permasalahan-permasalahan seperti overpopulasi akan mengancam keberlangsungan manusia. Zobrist memutuskan mengatasi hal tersebut dengan berusaha mengurangi populasi manusia melalui sebuah virus yang diciptakannya, yang berkemampuan “mensterilkan” orang dengan gen-gen tertentu. Ia menjadi pemicu serangkaian peristiwa mengerikan yang menebarkan teror ke seluruh dunia – khususnya kepada WHO dan Concorsium – bahwa “hadiah” ciptaannya yang ia anggap sebagai satu-satunya penyelamat kemanusiaan akan segera datang. Hal yang menarik dari Inferno adalah cara Brown membungkus cerita dengan begitu mengerikan, di mana dunia diteror dengan sebuah wabah yang dapat mengurangi populasi manusia secara drastis. Brown juga secara lihai menggabungkan unsur-unsur sejarah kuno, seni rupa, warisan budaya, arsitektur, pengobatan futuristis, teknologi tingkat tinggi, kepentingan geopolitik, simbologi, dan juga ikonografi ke dalam cerita dengan apik. Meski Inferno sendiri sering dikatakan sebagai buku terburuk dalam seri Brown, buku ini masih highly recommended bagi kalian yang menyukai cerita-cerita thriller dan penuh misteri. Alur cerita dan scene setiap perisitwa di buku ini pun dideskripsikan dengan sangat detil. Buku ini juga menyampaikan sebuah konspirasi dunia melalui kacamata dan argumen sang penulis mengenai salah satu ancaman global modern, yakni overpopulasi.

AIRPORT • MEI 2016

14


RESENSI FILM

Tahun Rilis 2010 Sutradara Mahsun Kirimizugul

Five Minarets in New York

Apiknya drama harmonisasi antara dendam, agama dan terorisme, yang dikomplitkan dengan nilai-nilai yang diambil dalam kehidupan kita. Dibahas oleh KEVAL DIOVANZA HENDRI Pada review kali ini, penulis akan sedikit memutar waktu untuk kembali pada tahun 2010 di mana sebuah film bertema terorisme dirilis dengan judul “Five Minarets in New York.” Film ini sendiri sengaja dibuat atas dasar aksi terorisme 11 September 2011 yang meluluhlantakkan Gedung Word Trade Center di kota New York. Mengangkat efek peristiwa malang tersebut, film ini mencoba menjelaskan munculnya stereotip yang sangat luas kepada para penganut Agama Islam sebagai pelaku dari aksi teroris tersebut. Berlatar belakang dari hal itu, film ini pun berusaha untuk menanamkan pemahaman bahwa terorisme dengan kepercayaan Islam bukanlah merupakan suatu hal yang dapat disamakan dan disatukan. Film ini dimulai dengan sebuah adegan pemboman yang diakukan di Istanbul. Kepolisisan Istanbul menduga bom ini berasal dari kelompok teroris yang bergerak dibawah pimpinan seseorang yang disebut Dajjal. Berdasarkan interogasi, didapatlah sebuah nama yaitu Hadji Gumus (Haluk Belginer) yang diduga sebagai Dajjal. Berkerjasama dengan Interpol dan juga FBI, akhirnya Hadji berhasil ditangkap di Kota New York. Lalu diutuslah dua orang agen rahasia kepolisisan Turki, Acar (Mustafa Sandal) dan Firat (Mahsun Kirmizigul), untuk mengirim Hadji kembali ke Turki untuk menjalani ekstradisi. Di

15

AIRPORT • MEI 2016

sinilah konflik bermula. Di saat proses pengiriman itu berlangsung, Hadji berhasil dibawa lari oleh temannya Marcus (Danny Glover). Namun tidak berlangsung lama, kedua polisi Turiki tersebut dapat menemukan kembali lokasi Hadji dan mencoba menangkapnya. Akan tetapi, usaha mereka ini gagal, Acar dan Fyrat malah tertangkap oleh anak buah Marcus, yang atas kehendak Hadji akhirnya mereka berdua dilepaskan. Dari sinilah, Acar dan Fyrat mulai sadar bahwa Hadji bukanlah pemimpin dari organisasi teroris seperti yang mereka anggap, ia hanyalah seseorang muslim dengan hati yang sangat mulia. Akan tetapi, David, seorang agen FBI yang sangat membenci umat muslim, telah memutuskan untuk tetap mengejar Hadji. Hadji yang merasa tidak bersalah akhirnya setuju untuk dibawa kembali ke Turki, karena ia percaya bahwa negara itu mampu membuktikan ketidakbersalahannya. Ia pun ditangkap tanpa perlawanan dan langsung dikirim ke negara kelahirannya itu. Di Turki, Hadji akhirnya dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan dari tuduhannya. Tidak berakhir di sini, akhirnya diketahuilah dalang sebenarnya dari kejadian ini adalah Firat. Firat yang memiliki dendam kepada Hadji karena dianggap telah membunuh ayahnya, membuat ia kalut

Aktor Mahsun Kirmizigul, Haluk Bilginer, Mustafa Sandal, Gina Gershon, Danny Glover Durasi Film 1 jam 56 menit

dan melaksanakan pemalsuan ini. Pada akhir cerita, Hadji mampu untuk membuktikan bahwa ia bukanlah pelaku dari pembunuhan tersebut. Film ini diakhiri dengan kematian Hadji yang ditembak oleh kakek dari Firat sendiri yang masih menaruh dendam atas pembunuhan anaknya. Dari dalam film ini kita mampu untuk menyaksikan nilai-nilai sosial yang tertanam sangat dalam alur ceritanya. Kuatnya pengaruh stereotip dapat kita lihat dalam aksi David yang memandang semua Umat Islam sebagai teroris, karena dendam atas kematian saudaranya pada sebuah aksi teroris. Selain itu hal lain yang dapat dipetik adalah dendam tidak akan pernah menyelesaikan masalah, justru hal itu akan membimbing hidup kita menuju keterpurukan, seperti apa yang disampaikan Hadji dalam film ini. Film ini sangat cocok untuk ditonton oleh kelompok umur ataupun golongan mana saja, terutama untuk para mahasiswa ilmu sosial yang diharapkan mampu untuk berpikir kritis tanpa mengikuti stereotip yang berkembang di masyarakat dan juga perasaan-perasaan berupa dendam, seperti pesan yang disampaikan dalm film ini. Untuk film ini sendiri penulis memberi rating 8/10, nilai yang cukup bagus untuk sebuah film ber-genre drama laga.


AIRPORTPEDIA

Cyberterrorism: Virus Stuxnet Oleh MUHAMMAD RESPATI HARUN Beberapa tahun yang lalu, mungkin kalian pernah mendengar istilah Stuxnet. Stuxnet ini adalah salah satu nama worm yang ditemukan pada 2010 setelah digunakan untuk menyerang fasilitas pengayaan uranium di Natanz, Iran. Karena keberhasilannya dalam menyabotase program nuklir Iran tersebut, malware ini dianggap sebagai yang pertama berhasil menyerang mesin industri. Tidak hanya mesin industri, sebuah studi mengenai malware oleh Symantec menunjukkan penyebaran Stuxnet di beberapa negara. Penyebaran virus yang dianggap sebagai salah satu virus komputer yang paling ‘mematikan’ tersebut banyak disebarkan melalui USB. Grafik di bawah menunjukkan penyebaran Stuxnet. Saking luasnya penyebarannya, Stuxnet ini juga sempat menjangkit International Space Station atau ISS. Hal ini diungkapkan oleh ahli cybersecurity, Eugene Kaspersky. Pendiri perusahaan antivirus Kaspersky Lab ini berpendapat bahwa penyebaran Stuxnet di ISS tersebut bermula dari salah satu kosmonot Rusia yang mengunjungi ISS menancapkan flashdrive USB ke salah satu laptop di ISS dan kemudian virus tersebut menyebar ke laptop lainnya dengan cepat. Dia menambahkan bahwa penyebaran Stuxnet ini berpotensi mencuri data dan memata-matai.

Namun, dia tidak menjelaskan dampak Stuxnet terhadap operasional ISS. Karena kehebatannya yang dimiliki oleh virus ini, banyak pakar keamanan cyber yang menduga bahwa virus ini disponsori oleh suatu negara. Salah satu pakar yang mengemukakan hal tersebut adalah Mikko Hypponen, seorang kepala penelitian pada perusahaan perangkat lunak keamanan F-Secure. Dia menyatakan bahwa Stuxnet ini sangatlah kompleks dan jelas dilakukan oleh kelompok yang didukung oleh peralatan teknologi yang canggih dan aliran keuangan yang tidak sedikit. Namun, hingga sekarang, pembuat virus Stuxnet ini masih belum bisa ditentukan. Beberapa penganut teori konspirasi meyakini bahwa Stuxnet ini dibuat oleh Amerika Serikat dan Israel sebagaimana yang disampaikan oleh Edward Snowden. Amerika Serikat dan Israel diduga telah merencanakan sejak 2006 pada masa pemerintahan George W. Bush dan menamai operasi ini dengan Operation Olympic Games. Namun hingga sekarang, Amerika Serikat dan Israel masih bergeming jika ditanya mengenai operasi tersebut.

Dengan Stuxnetnya ini, Amerika Serikat tidak hanya membidik Iran dan fasilitas pendukung program nuklirnya; Amerika Serikat juga membidik program senjata nuklir Korea Utara, meski rencana tersebut gagal karena sangat tertutupnya jaringan komputer di negara yang dipimpin oleh Kim Jong Un tersebut.

AIRPORT • MEI 2016

16


S T AT- C O R N E R

TERRORISM i 1 PENYEBAB TERORISME

$$

ketidakadilan ekonomi

perusahaan

x

FREEDOM

22,7

20,7

membayar ganti rugi

tidak tahu/ tidak jawab

130.000 fatalities disebabkan oleh

senilai 1.000.000.000

dollar as

10,8

atas pengeboman yang

aksi terorisme di seluruh dunia

dilakukan teroris di

pusat perekonomian London.

NEGARA YANG

NEGARA YANG

MENGALAMI

KENAIKAN Korban terorisme

5.662

korban

2013-2014

Jumlah Serangan

TERORISME di seluruh dunia 2006-2014

2006 14.371 serangan

2007 14.414 serangan 11.662 2008 serangan 2009 10.969 serangan

2010 11.604 serangan 2011 10.283 serangan

6.771 2012 serangan 9.964 2013 serangan

2014 13.463 serangan

17

2010

asuransi

ketidakadilan politik

41,9

2006

1993

perjuangan syariat islam

AIRPORT • MEI 2016

3.532

korban

1.391

korban

665

korban

593

korban

MENGALAMI PENURUNAN Korban terorisme 2013-2014

596

korban

82

korban

80

korban

65

korban

51

korban


n NUMBERS 2011

2013

2014

2015

PADA PERIODE INI...

400

SERANGAN (mayoritas terjadi di irlandia utara dan tidak mematikan)

47

SERANGAN

131

[

total serangan

terorisme

di daerah ini mencapai

]

SERANGAN (20 diantaranya menyebabkan korban tewas)

jumlah ini merupakan

TIGA KALI LIPAT

lebih banyak dibandingkan dengan total jumlah serangan di bagian bumi lainnya.

tahun 2014, terorisme mencapai titik tertingginya

ANGKA ini relatif

RENDAH

82-97%

umat muslim menjadi korban

aksi terorisme

dalam 5 tahun terakhir. (Pusat Nasional Penanggulangan Terorisme Pemerintah AS (NCTC), 2015)

bila dibandingkan dengan...

12.000 SERANGAN

(8000 diantaranya termasuk serangan yang mematikan)

Serangan pada tahun 2014 Serangan terparah tahun 2014

32.658 jiwa meninggal

13.370 78%

akibat terorisme

serangan terorisme terjadi di 98 negara

80% LEBIH TINGGI

DARI TAHUN 2013

KORBAN MENINGGAL

dalam serangan terorisme

yang terjadi di 5 negara

AIRPORT • MEI 2016

18


I p O NI Terorisme di Asia Tenggara kini mulai menjadi isu yang diperhatikan. ASEAN Convention on Counter Terrorism (ACCT) hadir untuk menjadi kerangka penanganan isu. Bagaimana signifikansi ACCT terhadap terorisme di Asia Tenggara menurut teman-teman HI? Oleh SELMA THEOFANI

Reza Anggraini HI 2014 ACCT belum signifikan, tetapi pasti ada hasilnya. Signifikansi ini terhambat karena terdapat prinsip nonintervensi dan sentimen sejarah antar negara. Namun, konvensi ini menunjukkan adanya sebuah progres pembahasan terorisme bukan hanya sekedar dalam pertemuan. ACCT juga menerangkan bahwa terorisme tidak berafiliasi dengan identitas tertentu itu benar. Terorisme lebih mengarah ke pergerakan melawan negara. Klausul tentang HAM di dalam ACCT setidaknya menyinggung Indonesia. HAM sendiri masih menjadi perdebatan di berbagai negara karena interpretasi yang berbeda.

19

AIRPORT • MEI 2016

Mia Rizkiana HI 2013 ACCT belum signifikan dalam menangani terorisme karena concern ASEAN sebenarnya lebih ke bidang ekonomi. Namun, ACCT ini menunjukkan adanya kesadaran tentang isu terorisme. Klausul tentang HAM di dalam ACCT menunjukkan bahwa ada perlindungan terhadap human security. Namun, hal ini masih membingungkan untuk menentukan posisi mendukung atau menolak karena efek destruktif yang masif ditimbulkan oleh terorisme. ACCT juga menerangkan bahwa terorisme tidak berafiliasi tepat karena berdasarkan definisi akarnya terorisme hanya gerakan kelompok. Mungkin dalam praktiknya diidentikkan dengan identitas tertentu, tetapi sebenarnya di luar itu.

Kristian Oka HI 2014 Dari framework ASEAN, ACCT tidak berpengaruh banyak terhadap kegiatan terorisme itu sendiri. ACCT di level ASEAN tidak membuat takut karena dalam isinya tidak ada langkah asertif. ACCT hanya memfasilitasi komunikasi dan perjanjian mengenai proses peradilan terorisme antar negara. ACCT memiliki klausul yang mengandung nilai HAM. Akan tetapi, hal ini tidak disinggung sama sekali terkait dengan wacana perubahan UU terorisme. Hal ini menunjukkan ACCT tidak memiliki signifikansi bagi setiap anggota. ACCT juga menerangkan bahwa terorisme tidak berafiliasi dengan identitas tertentu untuk menghargai sifat ASEAN yang heterogen dan sisi normatifnya.


Muhammad Adrian Gifariadi HI 2015

Muhammad Amir HI 2015

Dedi Dinarto HI 2013

ACCT merupakan penanganan terorisme intranegara, terlebih terorisme di Asia Tenggara yang berkembang secara regional. Selain itu, banyak grup regional yang bergabung dengan ISIS. Jika ACCT diberi kewenangan dan kekuatan lebih, ACCT dapat lebih aktif menangani terorisme. ACCT harus melihat asal terorisme, yaitu ketidak-adilan dan ketidaksetaraan, daripada memfokuskan pada upaya intelijen dan militer saja. Di samping itu, klausul ACCT yang menyatakan terorisme tidak beraďŹ liasi dengan identitas tertentu menunjukkan bahwa ASEAN memposisikan diri sebagai organisasi yang inklusif. Masa war on terror sudah lewat, tetapi teror masih banyak terjadi. Langkah esensial dan krusial untuk menghancurkan basis terorisme harus segera dilakukan. Berdasarkan satu studi, terorisme tidak terjadi di negara totaliter, oleh akibat minimnya ruang gerak dan indoktrinasi dari negara.

ACCT atau ASEAN Convention on Counter-Terrorism, dalam kerja lapangan/real action nya, Asia Tenggara telah saling berbagi dalam mengenai informasi dan data mengenai terorisme. Hanya saja, untuk negara-negara di Asia Tenggara jarang sekali melakukan operasi gabungan dalam hal penanganan aksi terorisme. Ini dikarenakan ACCT secara teknis belum menjangkau hal tersebut. Mengenai klausul tentang terorisme yang tidak beraďŹ liasi dengan identitas apa pun termasuka ras, agama, golongan dan lain-lainnya, itu benar. Hanya saja kelompok-kelompok terorisme lebih sering menggunakan ide identitas dalam hal ini SARA maupun ideologi untuk menggalang kekuatan/support dari orang-orang yang awam. Mengenai klausul proteksi HAM, hal ini sesuai dengan ASEAN yang menjunjung tinggi HAM. Namun, dalam praktiknya ketika di lapangan, HAM sering tidak digubris. ACCT sebagai hukum internasional menjadi himbauan, khususnya untuk law enforcement Indonesia untuk bertindak sesuai dengan ACCT. Namun, kenyataannya di lapangan, ada saja petugas law enforcement yang tidak menjalankannya sesuai dengan ketentuan yang ditulis/dituangkan di ACCT karena keterbatasan pengetahuan.

ACCT tidak bisa dibilang membawa signiďŹ kansi yang serius dalam penanganan terorisme. Konvensi ini muncul sebagai pedoman, tetapi dalam implementasinya kita perlu mengoreksi apakah dokumen itu berjalan. Kelebihan dokumen ini adalah memiliki butir yang menerangkan kita tidak boleh diancam oleh kejahatan terorisme dan menyebutkan stateless person yang akan dilibatkan dalam hal pelaporan. Keterlibatan stateless person dapat menjadi modal untuk mendapatkan pengakuan. Kekurangan konvensi ini adalah adanya prinsip non application yang membuat tidak semua butir berlaku adil terhadap semua negara, fair treatment yang berbenturan dengan state relativity seperti pada upaya penegakkan HAM dalam konvensi ini, orientasi ASEAN yang sebenarnya ke perdagangan bebas bukan keamanan, dan untuk beberapa persoalan ASEAN belum bisa mencapai konsensus.

AIRPORT • MEI 2016

20


TEKA TEKI SILANG

Sebelum menutup majalah Airport edisi Mei 2016, redaksi ingin membagi-bagi rejeki untuk pembaca setia kami. Isilah teka-tiki silang di bawah ini dan raih kesempatan untuk memenangkan PULSA sebesar Rp 25.000 untuk pemenang pertama dan Rp 10.000 untuk dua pemenang lainnya. Jawaban dikirim ke inkaofďŹ cial@gmail.com

MENURUN 1. Lokasi Bom Brussel 2016 3. Pilar ke-tiga dalam perjanjian ini mengikat negara anggota uni eropa untuk memerangi crime, salah satunya terorisme. Nama perjanjian ini adalah.... 4. Lokasi ledakan bom Jakarta 2016 6. 11 September 2001 8. Jakarta Operation

MENDATAR 2. Kelompok separatis yang ingin mendirikan negara Islam di sebelah Selatan Filipina 5. Istilah Middle East pertama kali ditulikan dalam London’s National Review 1902 oleh... 7. Incorporates the practice, military tactics, techniques, and strategy that government, military, law enforcement, business, and intelligence agencies use to combat or prevent terrorism 9. Bendera biru berbintang kuning 12 10. Jurnalis jepang yang disandera ISIS

CATATAN: Pemenang ditentukan oleh ketepatan jawaban dan lamanya waktu pengiriman.

21

AIRPORT • MEI 2016




Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.