AIRPORT November 2019: Rethinking the Technoscape

Page 1

01000001 01001001 01010010 01010000 01001111 01010010 01010100 00100000 01100001 01100100 01100001 01101100 01100001 01101000 00100000 01101101 01100001 01101010 01100001 01101100 01100001 01101000 00100000 01101101 01100001 01101000 01100001 01110011 01101001 01110011 01110111 01100001 00100000 01100100 01101001 00100000 01100010 01100001 01110111 01100001 01101000 00100000 01000100 01100101 01110000 01100001 KRISIS RELEVANSI OUTER SPACE TREATY (1967) 01110010 01110100 01100101 01101101 01100101 TERHADAP SPACE01101110 RACE ERA MODERN 00100000 01001001 01101110 01110100 01110010 01100001 01101011 01110101 01110010 01101001 01101011 01110101 01101100 01100101 01110010 00100000 Sistem Kredit Sosial Tiongkok: 01100100 01100001 01101110 00100000 01000001 Keteraturan dalam Kediktatoran Modern 01100100 01101011 01100001 01100101 01101101 RIVALITAS TEKNOLOGI TEKNOLOGI 5G 5G 01101001 01101011 00100000RIVALITAS 00101000 01001001 AS AS DAN DAN TIONGKOK TIONGKOK 01001110 01001011 01000001 00101001 00100000 01001011 01001111 01001101 01000001 01001000 01001001 00100000 01010101 01000111 01001101 0010z0000 00101101 00100000 01100100 01100101 01110000 01100001 01110010 01110100 01100101 01101101 01100101 01101110 00100000 01111001 01100001 01101110 01100111 00100000 01100010 01100101 01110010 01110100 01110101 01101010 01110101 01100001 01101110 00100000 01110101 01101110 01110100 01110101 01101011 00100000 01101101 01100101 01101101 01100010 01100001 01101110 01100111 01110101 01101110 MEMIJAK BUMI, MENATAP DUNIA

NOVEMBER 2019



DAFTAR ISI

2

1

editorial

3

highlight

4-5 f o k u s 1 6-7 f o k u s 8-9 i n s i g h t

10

2

airportpedia

11

opini

13

resensi film

12

14

15

resensi buku aa ii rr pp oo rr tt cc oo m m ii cc

seni tulis rr ee ff ll ee kk ss ii

16 17 p o j o k s e k r e 18 g a l e r i 19 tt tt ss

DAFTAR ISI AIRPORT 2019


2 EDITORIAL

Editorial Puji s yukur kami h aturkan ke h adirat Tuh an Yang Mah a Esa, karena atas anugerah-Nya Kami dapat menyel esaikan penyusunan Ma jalah AIRPORT. Pertama, ucapan terima kasih Kami tujukan kepada Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM atas dukungannya dalam pengadaan Ma jalah AIRPORT. Kedua, kepada KOMAHI yang telah memberi kesempatan ba gi mah asiswa HI UGM untuk menyalurkan bakatnya dalam jurnalisme. Kemudian, kepada seluruh kontributor AIRPORT atas partisipasi dan kontribusi dalam proses penyusunan Ma jalah AIRPORT. Pada edisi kali ini, Ma jalah AIRPORT mengh adirkan tema tentang teknologi global dengan ta juk “Rethinking The Technoscape�. Setidaknya mulai tahun 2000-an, isu tentang teknologi dan digitalisasi global mulai berkembang seiring dengan inovasi-inovasi dalam bidang komputasi seperti software, hardware, dan internet. Perkembangan h ari ini, teknologi dan digitalisasi mencapai seba gian besar ranah kehidupan dan membentuk cakupan global baru yang berisi teknologi. Lanskap teknologi yang berubah ini tentu berpengaruh pada hubungan internasional antarnegara. Diskursus tentang teknologi mulai dibah as dan isu-isu yang muncul akibat impl ementasi teknologi mulai dika ji. Ma jalah AIRPORT akan menya jikan analisis dari beberapa isu tersebut. Kami menyoroti kasus kompetisi untuk memiliki teknologi 5G antara Cina dan Amerika Serikat. Bahwa kepemilikan teknologi menjadi indikator kekuatan negara baik ekonomi maupun keamanan. Berangkat dari asumsi tersebut, kami mengembangkan pembah asan l ebih lanjut tentang teknologi. Fokus pertama kami menyajikan analisis pada isu penggunaan teknologi untuk tujuan politik dalam kasus sistem kredit sosial Cina. Fokus selanjutnya analisis pada fenomena kontestasi teknologi internasional yang menyangkut luar angkasa. Kami juga membawa bah a ya dari kema juan teknologi, seperti dron e dan kill er robots. Demikian gambaran sekilas Ma jalah AIRPORT, semoga adanya ma jalah ini menambah wawasan tentang teknologi dan jurnalisme. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan dan outcome dari ma jalah. Ol eh karena itu, Kami sangat terbuka dengan kritik dan saran pada ma jalah ini. Supa ya selanjutnya Ma jalah AIRPORT menjadi l ebih baik. Salam, selamat membaca.

PEMIMPIN REDAKSI: M. Anugrah Utama, M. Damar Shafy, Tri Nur Chasanah LAYOUTER: Cinthasya Nandini TIM REDAKSI: Alfin Febrian B., Allysa Ramadhani, Fanya Tarissa, Lazarus Andja K., Medisita Febrina, Gardenia Sekartaji, Archandra V. Sugama, Abiyyu Genta, Ni Made Diah Apsari Dewi, Najwa Ahila A. K., Refina Anjani P., Sentul DASS HI UGM, Muhammad Alvarizi Daffaakbar, PENANGGUNG JAWAB: Dr. Diah Kusumaningrum PEMIMPIN UMUM: Anggita Veronica Marthin

AIRPORT 2019


HIGHLIGHT 3

RIVALITAS TEKNOLOGI 5G AS DAN TIONGKOK Oleh Alfin Febrian B.

Perkembangan teknologi informasi pada era Revolusi Industri Keempat semakin pesat dan signifikan. Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, yang belum lama ini saling beradu kekuatan ekonomi dalam perang dagang, turut ambil bagian dalam pengembangan teknologi informasi dan mengubahnya menjadi persaingan. Dua negara adikuasa teknologi tersebut merambah sektor pengembangan jaringan seluler generasi kelima (5G) sebagai ‘perpanjangan’ dari perang dagang yang telah berlangsung lebih dari setahun.

Jaringan seluler 5G sendiri mulai menjadi topik bahasan sejak tahun 2018. Keunggulan 5G telah jauh meninggalkan 4G/LTE, di mana jaringan ini mampu menjangkau jutaan gawai per kilometer persegi, sementara 4G/LTE maksimal hanya mampu menjangkau 100.000 gawai. Dari segi kecepatan, Deutsche Telekom menyebut bahwa 5G dapat mencapai 10 Gbps, dibanding 4G/LTE yang secara teoretis hanya mampu mencapai 300 Mbps. Keunggulan lainnya, komunikasi dapat berlangsung jauh lebih lancar karena tidak ada ‘jeda’ antargawai, terutama ketika pengiriman pesan, pesan suara, dan video realitas virtual. Dengan segala keunggulan di atas, tak heran bahwa pengembangan 5G menjadi krusial, sampai-sampai AS dan Tiongkok saling bersaing untuk mengembangkannya. Tiongkok diwakili oleh Huawei, perusahaan telekomunikasi raksasa yang sedang getol mengembangkan berbagai gawai dengan teknologi baru. Apabila Tiongkok berhasil mengembangkan jaringan 5G, akan terjadi peningkatan pengaruh politik, ekonomi, bahkan militer negara tersebut. Merasa kecolongan, AS tentu sa ja berang akan hal tersebut. Agustus tahun lalu, Gedung Putih, sebagaimana dikutip dari South

China Morning Post, telah menyatakan akan mengembangkan teknologi 5G secara “Lebih jauh, untuk melindungi kepemimpinan AS dalam teknologi,” sebagai bentuk tandingan Huawei. Pengembangan teknologi 5G AS terutama akan berfokus pada militer dan artificial intelligence—kecerdasan buatan. Tak hanya itu, AS juga melobi sekutu-sekutunya di Eropa untuk berusaha memblokir dan menutup segala kemungkinan Huawei untuk mengembangkan 5G. Rivalitas tersebut semakin nyata karena otoritas AS telah mengeluarkan National Defense Authorization Act yang melarang seluruh lembaga pemerintahan AS menggunakan produk-produk Huawei dan ZTE, terutama gawai yang telah menerapkan jaringan 5G. Dikhawatirkan, Tiongkok dapat meretas atau bahkan mengambil data-data penting Pemerintah AS apabila penggunaan produk dan fitur Huawei serta perusahaan telekomunikasi Tiongkok lainnya tetap dilegalisasi. Belum lagi, teknologi 5G dapat digunakan dalam militer, misalnya dalam pemantauan wilayah musuh, komunikasi antarsatuan pasukan, hingga asistensi untuk penentuan target. Tiongkok boleh merasa unggul dalam persaingan pengembangan 5G, walaupun Presiden AS, Donald Trump, telah melakukan kebijakan proteksionisme dalam perang dagang demi memberi ancaman kepada Tiongkok. AS sendiri hingga kini belum memiliki ‘rancang bangun’ pengembangan 5G. Sejauh ini, belum ada perusahaan-perusahaan raksasa telekomunikasi AS macam Apple, Google, atau Microsoft yang berniat mengembangkannya lebih lanjut. Boleh dikata, bahwa tanggapan AS hanya sebatas ‘tindakan defensif’ dalam menghadapi Tiongkok, dalam pengembangan jaringan 5G. Persaingan pengembangan 5G antara AS dan Tiongkok nampaknya akan mengubah peta kompetisi kedua negara dari sebatas perang dagang menjadi persaingan multisektor, terutama karena telekomunikasi kian berperan signifikan dan efektif. Dunia perlu mewaspadai persaingan tersebut dan meningkatkan keamanan pada sektor-sektor terkait agar tak terjebak dalam bipolarisasi antara dua negara adikuasa tersebut.

1. 1 Deutsche Telekom AG, “5G Speed Is Data Transmission in Real Time,” diakses 29 September 2019, https://www.telekom.com/en/company/details/5g-speed-is-data-transmission-in-real-time-544498. 2. 2 Roger Cheng, “Not Just Speed: 7 Incredible Things You Can Do with 5G,” CNET, diakses 29 September 2019, https://www.cnet.com/news/5g-not-just-speed-fifth-generation-wireless-tech-lets-you-do-vr-self-driving-cars-drones-remote/. 3. “US Is Losing the 5G War to China,” Nikkei Asian Review, diakses 29 September 2019, https://asia.nikkei.com/Spotlight/Comment/US-is-losing-the-5G-war-to-China. 4. Ibid. 5. Jamie Carter June 13 dan 2019 Mobile phones, “How the 5G Network Could Benefit the Military,” TechRadar, diakses 29 September 2019, https://www.techradar.com/news/how-the-5g-network-could-benefit-the-military. 6. Marguerite Reardon, “How 5G Got Tied up in the US Trade War with China,” CNET, diakses 29 September 2019, https://www.cnet.com/news/how-5g-got-tied-up-in-a-trade-war-between-trump-and-china/. 7. “Why 5G, a Battleground for US and China, Is Also a Military Conflict,” South China Morning Post, 31 Januari 2019, https://www.scmp.com/news/china/military/article/2184493/why-5g-battleground-us-and-china-also-fight-military-supremacy.

AIRPORT 2019


4 FOKUS 1

Sistem Kredit Sosial Tiongkok: Keteraturan dalam Kediktatoran Modern Oleh Allysa Ramadhani

Berkembang pesat dalam abad ke-21, big data technology hangat diperbincangkan terkait digitalisasi data miliaran individu serta bagaimana pihak yang berkuasa atas data itu dapat memanfaatkannya. Beberapa tahun terakhir, pemerintah Tiongkok membuat kema juan pesat dalam pemanfaatan big data technology, seperti pemantauan kualitas udara serta peringatan dini mengenai polusi dengan komputer mainframe raksasa. Namun, pada tahun 2014, Dewan Negara Republik Rakyat Tiongkok meluncurkan kerangka Sistem Kredit Sosial yang dianggap sebagai bentuk pengawasan massal invasif yang berbasis teknologi. Sistem Kredit Sosial berupaya untuk menilai seluruh anggota masyarakat, dan nilai mereka dapat bertambah dan berkurang berdasarkan perilaku mereka, baik secara finansial maupun secara sosial. Sesuai kerangka yang telah diluncurkan, Sistem Kredit Sosial bertujuan untuk menumbuhkan rasa percaya dalam masyarakat, meningkatkan efisiensi pasar, memperkuat tata kelola sosial, serta menghasilkan masyarakat yang harmonis dalam negara sosialis tersebut. Masih dalam tahap uji coba di beberapa daerah, sistem ini ditargetkan untuk berlaku secara nasional pada tahun 2020. Bagaimana “Aturan Mainnya”? Diujikan di beberapa daerah, Sistem Kredit Sosial setiap daerah berbeda meskipun pemerintah Tiongkok mengharapkan adanya sistem yang terunifikasi. Sistem baru ini mengumpulkan sejumlah besar data dari berbagai sumber, dan pada tahun 2015, pemerintah Tiongkok bekerja sama dengan beberapa perusahaan swasta—seperti Tencent, Alibaba, dan Pengyuan Credit Services—dalam uji cobanya. Selain itu, Bank Nasional Tiongkok bertanggung jawab untuk menciptakan mata uang digital, mewujudkan cashless society serta mempermudah pengumpulan data yang lebih luas. Melalui

AIRPORT 2019

tahap uji coba, kita memperoleh gambaran mengenai mekanisme serta implikasi sistem ini. Mulanya, Sistem Kredit Sosial memberikan 1.000 poin kepada masyarakat yang akan dimonitor dan dinilai perilakunya secara konsisten. Poin akan bertambah melalui perilaku baik: mendonorkan darah atau mendonasikan uang, melakukan bakti sosial, memuji pemerintah dalam media sosial, dan lainnya. Anggota masyarakat berperilaku baik akan mendapatkan balas jasa yang beragam, mulai dari promosi jabatan yang lebih cepat hingga perolehan kredit yang lebih mudah di bank. Di sisi lain, beberapa perilaku buruk—seperti menyebarkan kabar angin secara daring, melanggar lalu lintas, serta menyeberangi jalan tanpa memperhatikan aturan—akan berdampak pada pengurangan poin serta hukuman lainnya: larangan berpergian dengan kereta dan pesawat terbang, pengurangan kecepatan browsing, serta pencemaran nama baik melalui label bad citizen secara publik. Melalui mekanisme ini, perilaku masyarakat masih diobservasi secara konstan dengan berbagai cara: (1) pengenalan wa jah, di mana big data technology dapat mencocokkan data visual dengan identitas mereka dalam hitungan detik, (2) kacamata dan drone berbasis AI yang digunakan aparat keamanan, serta (3) layar raksasa untuk mempermalukan masyarakat yang melanggar aturan dan untuk menimbulkan deterrence effect. Bahkan, sistem ini memiliki program neighbor watch, di mana anggota masyarakat memperoleh insentif setelah melaporkan kegiatan tetangganya dan, secara tidak langsung, mempengaruhi poin mereka. Dengan ini, dapat disimpulkan bahwa “perilaku baik membawa kebaikan, dan perilaku buruk mendatangkan malapetaka”; namun, hingga saat ini, belum ada transparansi mengenai algoritma yang digunakan sebagai basis sistem ini.


FOKUS 1 Seberapa Luas Dampak Sosialnya? Sistem Kredit Sosial Tiongkok bekerja dengan sistem reward and punishment untuk meningkatkan pemerintahan dan menghilangkan kekacauan dalam masyarakat. Pihak swasta berperan memberikan penghargaan sedangkan pemerintah meregulasi hukuman; keduanya bekerja secara sinergis untuk mendorong perilaku sosial yang bertanggung jawab. Melalui sistem ini, masyarakat Tiongkok akan berpikir dua kali untuk melanggar peraturan, takut akan pengurangan poin dan pencabutan hak istimewa mereka. Bahkan, mereka terdorong untuk m e l a k u k a n kebaikan demi peningkatan poin serta perolehan pelayanan yang lebih baik. Meskipun Sistem Kredit Sosial dilakukan secara individu, dampaknya tidak hanya ke diri mereka; anggota keluarga serta teman-teman orang tersebut akan merasakan dampak dari sistem ini, seperti contoh, melalui label bad citizen yang dipublikasikan di tempat umum. Bahkan dalam jangka panjang, sebagai konsekuensi dari penentuan akses terhadap pelayanan dalam masyarakat, dikhawatirkan big data akan mengontrol keberlangsungan social contract. Di Asia, ketika seseorang menikah, ia menikah dengan seluruh keluarganya dan poin mereka yang telah diakumulasikan. Dipersepsikan dapat meniadakan freedom of speech serta membasmi pembelot, Sistem Kredit Sosial Tiongkok, mendapat sambutan positif dari masyarakat terlepas dari sifat intrusifnya. Bahkan, sebuah riset yang dilakukan oleh Mercator Institute of China Studies menunjukkan delapan puluh persen responden menyetujui sistem yang, menurut mereka, dapat mendorong perilaku baik dan melindungi mereka dari keburukan sosial.

5

Lalu, Bagaimana Respons Dunia Internasional? Dinilai sebagai produk evolusi teknologi yang tidak dapat dihindarkan, Sistem Kredit Sosial Tiongkok memperoleh respons internasional. Salah satu respons negatif diberikan oleh Mike Pence, Wakil Presiden Amerika Serikat, yang mengecam sistem tersebut sebagai “sistem Orwellian yang mengontrol seluruh aspek kehidupan secara virtual”. Meski demikian, beberapa negara menganggap sistem ini sebuah gebrakan dalam penggunaan teknologi dalam tata kelola negara. B e r b a g a i negara, seperti Kenya dan E t h i o p i a , terdorong untuk menggunakan teknologi asing dalam program pengawasan massalnya. Bahkan, kota Darwin, Australia, hendak mengadopsi Sistem Kredit Sosial karena adanya (1) pertukaran teknologi dengan Haikou, salah satu sister city-nya di Tiongkok, (2) pengembangan jaringan CCTV lokal dengan anggaran dana sebesar A$1.4 juta, dan (3) pengesahan Encryption Act yang memberikan akses teknologi informasi serta data personal oleh aparat penegak hukum serta badan intelijen. Masih dalam fase uji coba, Sistem Kredit Sosial Tiongkok dapat dipandang sebagai sebuah metode kontrol sosial, dan ia memunculkan kemungkinan bahwa kita hidup dalam era terakhir tanpa pengawasan digital secara kolektif. Memperoleh respons baik dari masyarakat, sistem ini dapat kehilangan dukungan jika tidak diikuti dengan transparansi mekanisme dan algoritma yang digunakan. Masyarakat bertanggung jawab untuk menuntut transparansi sistem tersebut, dan mereka akan ditantang untuk melindungi suara-suara yang akan terbungkam ketika teknologi kian berkembang.

References Campbell, C. (2019). How China Is Using Big Data to Create a Social Credit Score. Time.com. Diakses 7 Oktober 2019, dari https://time.com/collection/davos-2019/5502592/china-social-credit-score/ Jones, K. (2019). The Game of Life: Visualizing China’s Social Credit System. Visual Capitalist. Diakses 7 Oktober 2019, dari https://www.visualcapitalist.com/the-game-of-life-visualizing-chinas-social-credit-system/ Kostka, G. (2018). China’s social credit systems are highly popular – for now | Mercator Institute for China Studies. Merics.org. Diakses 7 Oktober 2019, dari https://www.merics.org/en/blog/chinas-social-credit-systems-are-highly-popular-now Rogers, P. (2019). Is China's social credit system coming to Australia?. The Conversation. Diakses 7 Oktober 2019, dari https://theconversation.com/is-chinas-social-credit-system-coming-to-australia-117095

AIRPORT 2019


6 FOKUS 2

KRISIS RELEVANSI RELEVANSI KRISIS

OUTER SPACE SPACE TREATY TREATY (1967) (1967) OUTER

TERHADAP SPACE SPACE RACE RACE TERHADAP ERA MODERN MODERN ERA Oleh Fanya Tarissa

Eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa oleh negara-negara di dunia telah berjalan sejak pertengahan abad ke-20 – hampir bersamaan dengan saat Perang Dingin membawa dunia pada kegentingan krisis nuclear apocalypse akibat perlombaan senjata antara Blok Barat dan Blok Timur. Dalam rangka menciptakan pemerintahan global yang menjamin ketenteraman dan kerja sama yang baik antarnegara dalam eksplorasi ruang angkasa, pada tahun 1967, diciptakanlah suatu hukum internasional yang dikenal sebagai Outer Space Treaty, satu-satunya ikatan legal yang meregulasi apa sa ja yang bisa dan tidak bisa dilakukan negara-negara di ruang angkasa. Pada dasarnya, Outer Space Treaty menegaskan bahwa setiap aktivitas negara di luar angkasa harus didasarkan pada tujuan yang baik dan dilaksanakan secara damai, termasuk melarang negara untuk menempatkan senjata penghancur massal atau yang mengancam kemanusiaan dan kelestarian ruang angkasa pada orbit bumi, bulan, atau objek-objek ruang angkasa lain serta melarang negara untuk mengklaim teritori di luar angkasa atau berusaha memiliki objek-objek luar angkasa. Namun, memasuki abad ke-21 yang diwarnai perkembangan teknologi luar angkasa yang semakin pesat, realitas yang terjadi saat ini mulai berbelok dari regulasi yang ada sehingga Outer Space Treaty tersebut dinilai kurang relevan dan efektif dalam menciptakan keamanan dan perdamaian internasional. Realitas-realitas

AIRPORT 2019

yang mendukung penilaian tersebut adalah sebagai berikut. 1. Kemunculan aktor-aktor komersil dalam eksplorasi dan eksploitasi luar angkasa Kompetisi teknologi luar angkasa oleh aktor-aktor swasta ternama, seperti SpaceX dan Blue Origin semakin ramai dengan ragam aktivitas, seperti turisme luar angkasa, penambangan sumber daya strategis di Bulan, Mars, hingga asteroid, serta kolonisasi luar angkasa. Perusahaan-perusahaan besar, seperti Boeing, BAE System, hingga Lockheed Martin juga turut terlibat dalam pembuatan misil, satelit, hingga roket luar angkasa untuk orientasi keuntungan. Permasalahannya, Outer Space Treaty tidak mengatur perilaku aktor-aktor swasta dan limitasi jangkauan aktivitasnya dalam eksplorasi dan eksploitasi ruang angkasa. Fenomena keterlibatan perusahaan-perusahaan swasta dalam urusan luar angkasa masih berada di bawah tanggung jawab negara asal pihak swasta yang bersangkutan. Namun, proliferasi aktor swasta dan organisasi non-pemerintahan transnasional yang berkepentingan dalam urusan luar angkasa terus berlangsung dengan aktivitas-aktivitasnya yang dinilai dapat mengganggu stabilitas lingkungan luar angkasa maupun bermaksud mengklaim sumber daya objek luar angkasa. Hal tersebut tentunya kontradiktif terhadap regulasi Outer Space Treaty.


FOKUS 2 Ambiguitas terhadap kriteria subjek ruang angkasa ini diperparah dengan tindakan beberapa negara yang telah melegalkan hak-hak masyarakat sipil, termasuk perusahaan swasta untuk melakukan penambangan serta kegiatan komersil lain di luar angkasa, seperti Amerika Serikat dengan pengesahan Undang-Undang Komersialisasi Ruang Angkasa-nya pada tahun 2018. 2. Ancaman dominasi negara-negara tertentu terhadap ruang angkasa secara geopolitik dan militer Negara-negara dunia saat ini semakin kompetitif dan giat mengkontestasikan dominasinya di ruang angkasa. Sebagaimana dinyatakan oleh Sekretaris Angkatan Udara Amerika Serikat pada tahun 2017, ruang angkasa telah menjadi rezim dan medan peperangan, seperti daratan, lautan, dan udara. Pada tahun 2018, Presiden Trump bahkan mengumumkan rencana strategis pembentukan U.S. Space Force atau Angkatan Militer Ruang Angkasa Amerika Serikat untuk mengekspansi dominasi Amerika di luar angkasa. Merespon perkembangan Amerika Serikat, negara-negara kompetitor Amerika Serikat (khususnya RRT dan Rusia), turut menciptakan program luar angkasa yang melibatkan senjata antisatelit serta misil balistik – yang berisiko memicu konflik fisik di bumi yang melibatkan senjata nuklir –

7

sebagai sistem pertahanan negara. Terlebih, kebanyakan teknologi konter-satelit tersebut menghasilkan debris berbahaya yang dapat mengganggu lingkungan ruang antara orbit bumi dan bulan (cislunar). Berkembangnya program-program kompetitif luar angkasa negara-negara di dunia – bahkan oleh negara-negara berkembang, seperti India, Nigeria, dan Uni Emirat Arab – semakin mengaburkan definisi dan limitasi perilaku negara yang legal menurut Outer Space Treaty. Dunia internasional kembali dihadapkan pada krisis kompetisi teknologi dan persenjataan setelah Perang Dingin pada era 1960-an. Tidak berlebihan jika dikatakan Doomsday Clock yang semakin mendekati tengah malam akan menggambarkan kondisi kegentingan kompetisi teknologi luar angkasa dalam beberapa dekade ke depan. Sebagaimana kompetisi nuklir, Space race yang didorong oleh keagresifan aktor-aktor internasional memiliki potensi ancaman laten yang dapat muncul kapan sa ja. Sedangkan untuk saat ini, perundingan untuk pembaruan Outer Space Treaty (1967) tidak segera dilakukan. Tanpa pembaruan, beberapa pasal problematik dalam Outer Space Treaty, seperti pasal IV yang memperbolehkan adanya personel militer dalam program luar angkasa untuk tujuan saintifik, akan terus berkontribusi pada irelevansi Outer Space Treaty di tengah tren Space Race oleh aktor internasional yang semakin beragam.

“Relevansi Outer Space Treaty dalam mengatur perilaku aktor-aktor internasional pada era modern mulai berkurang, namun tidak sepenuhnya hilang. Satu hal yang pasti: harapan akan stabilitas perdamaian internasional di ruang angkasa dapat diciptakan apabila negara-negara segera memperbarui regulasi yang ada, bahkan jika usaha tersebut perlu membahas isu-isu yang sensitif secara politik dan militer.”

Referensi Matignon, L. de G. (2019, September 26). The Outer Space Treaty of 1967 and the main principles of Space Law. Retrieved October 6, 2019, from https://www.spacelegalissues.com/space-law-the-outer-space-treaty-of-1967-and-the-main-principles-of-space-law/. Panfil, C. M. Y. (2019, July 8). The 1967 Treaty That Says What Countries Can and Can't Do in Space Is Woefully Outdated. Retrieved October 6, 2019, from https://slate.com/technology/2019/07/un-outer-space-treaty-1967-allowed-property.amp. 3 Deslandes, A. (2019). The Bold Future of the Outer Space Treaty | JSTOR Daily. Retrieved 6 October 2019, from https://daily.jstor.org/the-bold-future-of-the-outer-space-treaty/ 4 Smith, & Lamar. (2018, April 25). H.R.2809 - 115th Congress (2017-2018): American Space Commerce Free Enterprise Act. Retrieved October 9, 2019, from https://www.congress.gov/bill/115th-congress/house-bill/2809. 5 Grego, L. (2017). 50 years after the Outer Space Treaty: How secure is space? Space Security Index 2017, 136–142. Retrieved from www.ucsusa.org 6 Deslandes, A. (2019). The Bold Future of the Outer Space Treaty | JSTOR Daily. Retrieved 6 October 2019, from https://daily.jstor.org/the-bold-future-of-the-outer-space-treaty/ 7 Grego, L. (2017). 50 years after the Outer Space Treaty: How secure is space? Space Security Index 2017, 136–142. Retrieved from www.ucsusa.org 8 Panfil, C. M. Y. (2019, July 8). The 1967 Treaty That Says What Countries Can and Can't Do in Space Is Woefully Outdated. Retrieved October 6, 2019, from https://slate.com/technology/2019/07/un-outer-space-treaty-1967-allowed-property.amp. 1

2

AIRPORT 2019


8 INSIGHT Dalam perkembangan ilmu hubungan internasional, disrupsi yang disebabkan oleh munculnya teknologi baru tidak jarang mengubah perilaku aktor-aktor internasional. Salah satu contohnya, banyaknya penggunaan mesin uap mengubah cara pandang negara dalam memahami transportasi dan industri produksinya. Hal ini lalu berdampak pada pola manufaktur yang berubah. Dalam peperangan, semenjak digunakannya tank dalam perang, parit dapat dibilang berkurang relevansinya. Kali ini, Insight mencoba menggali lebih dalam suatu disrupsi yang terjadi di era kontemporer, yaitu adanya Lethal Autonomous Weapons (LAWs). Isu kali ini dipandu oleh pemahaman-pemahaman yang dipaparkan melalui wawancara dengan Yunizar Adiputera, MA atau biasa mahasiswa HI UGM panggil Mas Yudi. Pertama-tama, mas Yudi menjelaskan mengenai ketiadaan ‘kesepakatan definitif’. Yang ia maksud di sini meliputi terminologi yang kadang menggunakan ‘killer robots’, ‘fully autonomous robots’, atau ‘lethal autonomous weapons.’ Mengenai definisi, yang ada hanyalah working definition dari ICRC yang adalah “senjata yang memiliki otonomi dalam fungsi-fungsi kritis”. Otonomi di sini mas Yudi paparkan sebagai “kemampuan memilih dan menyerang tanpa intervensi”. Permasalahan mengenai kategorisasi juga menjadi bagian besar dalam pembahasan LAWs, salah satunya mengenai penggunaan kata ‘autonomous’. Menurut Mas Yudi, istilah ‘autonomous’ adalah sebuah spektrum. Ada beberapa kemungkinan dalam spektrum otonomi ini yakni full human control, kontrol eksekusi oleh manusia yaitu dimana mesin menarget musuh kemudian diberi keputusan akhir oleh manusia, atau sampai ke otonomi penuh. Ada juga kontestasi mengenai perlunya pembedaan atau justru penyamaan kategori untuk LAWs defensif dan ofensif. Aspek lain yang mencakup kategorisasi meliputi penggunaan istilah ‘lethal’. ICRC sendiri tidak setuju untuk menaruh aspek ini dalam konsepsi mereka mengenai sistem robot pembunuh ini. “Lethal tidak relevan menurut ICRC. Lethality tidak inherent. Senjatanya mungkin tidak lethal, tapi bukan berarti bisa dilegalkan,” jelas Mas Yudi. “Tidak harus memiliki dampak mematikan untuk bisa memicu obligation HHI,” lanjut Mas Yudi. Keberadaan sistem ini tentu dapat memberi dampak disruptif pada praktek peperangan kedepannya. Tentu jika membahas peperangan, kita tidak bisa menghindar dari Hukum Humaniter Internasional. Mas Yudi menggarisbawahi keraguan mengenai apakah sebuah mesin dapat mematuhi prinsip-prinsip hukum perang saat manusia sendiri sering lalai

AIRPORT 2019

mematuhinya. Prinsip proportionality contohnya, selain masalah angka memiliki “aspek konteks dan emotional condition” yang perlu dipertimbangkan. Mas Yudi juga menekankan aspek etika yang perlu dipertanyakan jika keputusan untuk membunuh diberikan kepada mesin. Dengan melegalkan LAWs, dapat terjadi kondisi dimana “apresiasi nilai kehidupan non-eksisten di konteks peperangan”. Dengan adanya ‘pendelegasian’ keputusan untuk membunuh, “apakah dignified kalau ada manusia yang harus mati di tangan mesin pembunuh?” Sentralitas negara sebagai aktor utama politik internasional tentu merambat juga ke perkembangan LAWs. Aspek pertama mengenai sentralitas ini mengacu pada tanggungjawab dalam pengembangan, produksi, dan penggunaan LAWs. Menurut Mas Yudi, interseksi pemerintah dan swasta dalam ketiga hal tersebut adalah suatu hal yang sudah terjadi.


INSIGHT 9

Problematika Lethal Autonomous Weapons (LAWs) Yunizar Adiputera, MA Oleh Lazarus Andja K. Beberapa negara yang sudah terlansir melakukan setidaknya salah satu dari ketiga kegiatan tersebut yakni AS, Israel, RRC, dan Korea Selatan. Mereka dinilai sudah “mulai mengembangkan otonomi dalam praktik militer mereka.” Dalam konteks lain, yakni dalam praktik peperangan langsung, Mas Yudi merasa ada pertanyaan besar di sini. Pertanyaan itu adalah mengenai siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban dalam perang yang menggunakan LAWs? “Apakah komandan atau programer?,” dan bagaimana cara kita untuk membedakan pelanggaran HHI oleh LAWs sebagai “perintah atau kelalaian.” Forum dimana negara membahas mengenai LAWs pada saat ini masih hanya dibahas dalam ranah Convention on Certain Conventional Weapons. Hal ini dikarenakan LAWs masih dianggap ‘konvensional’. Selain masalah minimnya kesepakatan mengenai

aspek-aspek LAWs, Mas Yudi menjelaskan mengenai pentingnya peran aktor non-negara dalam mengawasi perkembangannya. Ia mengaku bahwa organisasi seperti Campaign to Stop Killer Robots, Human Rights Watch, dan bahkan IIS UGM memiliki andil dalam kampanye ini. Dalam konteks Indonesia, Mas Yudi menjelaskan bagaimana posisi nasional belum terbentuk. Salah satu tujuan aktor non-negara Indonesia dalam isu ini adalah mendorong agar pemerintah memiliki posisi. Akhir kata, mengenai peran yang bisa dijalankan mahasiswa dalam isu ini Mas Yudi menjelaskan bahwa “selemah-lemahnya sebagai mahasiswa, (kalian) bisa turut mengkampanyekan di media sosial, paling murah.” Dengan ini, selain melalui peran ICRC, “masyarakat sipil bisa mencari celah untuk memberi pressure kepada pemerintah.”

AIRPORT 2019


A AI IR RP PO OR RT TP PE ED DI IA A

10 AIRPORTPEDIA

TOP 10 10 TOP

FINTECH FINTECH COMPANIES COMPANIES

1. Ant Financial 2. Adyen 3. Qudian

Did you you know? know? South South Did Korea has has the the highest highest Korea robot density density rate rate in in robot the world. world. With With average average the 631 631 robots robots per per 10.000 10.000 workers. workers. (IFR (IFR 2018) 2018)

4. Xero USA USA is is the the country country with with the the world’s world’s highhighest number number of of space space est junk in in the the outer outer space space junk (Dailymail UK) UK) (Dailymail

5. SoFi 6. Lufax 7. Avant 8. ZhongAn 9. Klarna

TOP TOP 10 10

AUTOMATION AUTOMATION COMPANIES COMPANIES

10. Oscar Source: Investopedia

1. SIEMENS 2. ABB

AI AI IN IN DAILY DAILY LIFE LIFE

3. Emerson 4. Rockwell

SOCIAL MEDIA

5. Schneider 6. Honeywell

ONLINE SHOPPING

BANKING

7. Mitsubishi 8. Yokogawa 9. Omron 10. Danaher Source: Planautomation.com

AIRPORT 2019


OPINI 11

“IS ARTIFICIAL INTELLIGENCE A THREAT OR AN OPPORTUNITY?” Archandra V. Sugama “The rising of AI can be considered as a double-edge sword. In my opinion, it could be a great opportunity for science and the development of modern society. However, if we don’t educate people to improve their quality, it could also be a threat to their position at work.”

Medisita Febrina “Dalam konteks warfare, AI cenderung kepada ancaman. Keberadaan AI perlu di pertanyakan lagi apakah ia bisa mengimbangi kecerdasan manusia (kecerdasan emosi), dan apakah AI dilengkapi fitur distinction antara combatants dan civilians. Oleh karena itu, penggunaan AI dalam situasi perang menimbulkan risiko yang besar.”

Gardenia Sekartaji “AI merupakan ancaman bagi keberlangsungan ekonomi. Perusahaan produksi menggunakan AI untuk efektivitas produksi. Akibatnya, AI menggantikan keterampilan manusia dan munculnya pengangguran teknologi.”

Abiyyu Genta “AI bisa menjadi pendukung diplomasi publik. Inovasi Artificial Intelligence dalam bidang informasi dan komunikasi semakin memudahkan proses diseminasi informasi kepada publik dalam rangka diplomasi. Sehingga keberadaan AI bisa menjadi kesempatan yang baik.”

Opini

AIRPORT 2019


12 RESENSI BUKU

Drones and Support for the Use of Oleh: Najwa Ahila A.K Force Ni Made Diah Apsari Dewi

Akhir-akhir ini, drone nampaknya menjadi alternatif pencapaian objektif yang menggiurkan dalam dunia militer. Hasrat kita untuk keterjangkauan, kemudahan, dan efisiensi membuahkan ‘generasi instan’ dalam masayarakat. Dalam perkembangannya, hal ini membuat dunia militer yang kaku pun perlu menyesuaikan dengan era yang ada. Tapi apakah kebutuhan akan hasil instan yang didapatkan melalui teknologi ‘mematangkan’ generasi kita dalam proses pembuatan keputusan? Apakah drone dapat menjadi solusi yang terbaik dalam mengejar tujuan militer kita? Dalam bukunya Drones and Support for the Use of Force, Walsh dan Schulzke mengelaborasikan pertanyaan ini dengan memfokuskan penelitiannya pada pertanyaan utama yaitu bagaimana armed drones mempengaruhi dukungan masyarakat terhadap penggunaan kekuatan militer. Penelitian yang dilakukan Walsh dan Schulzke dalam buku ini menjadi jembatan antara teori-teori awal tentang korelasi opini publik dan kebijakan luar negeri – yang menjadi justifikasi penggunaan armed drones

AIRPORT 2019

Pengarang: James Igoe Walsh dan Marcus Schulzke Penerbit: University of Michigan Press Tahun terbit beserta cetakannya: November 2018 Jumlah halaman: 237 halaman Genre: Non-fiksi, political science, hukum-militer Nomor Edisi: ISBN 9780472124299

dalam militer – dengan teori terkini yang lebih dekat dengan realitas penggunaan drone sekarang. Hal ini memberi sudut pandang yang menarik tentang armed drone – bahwa armed drone tak jarang menjadi bumerang bagi tujuan perdamaian. Buku ini mengka ji opini masyarakat Amerika sebagai pusat penelitiannya, hal ini disebabkan oleh fakta bahwa Amerika merupakan salah satu negara yang paling gencar mengembangkan penggunaan armed drones. Menurut mereka, dukungan masyarakat terhadap armed drones sangat tergantung pada bahasa yang digunakan oleh para politikus untuk membingkai pemakaian drone ini, antara lain tentang tingkat kesuksesannya, tujuan penggunaannya, dan lain-lain. Masyarakat awam umumnya mudah terbuai oleh arahan dari para elite ini dan pada akhirnya menimbulkan moral hazard. Moral hazard dalam konteks ini adalah kondisi yang menjelaskan bagaimana sisi positif drone – sedikitnya awak militer negara yang dikorbankan, kemudahan mengawasi target, dan efisiensi dalam menyerang – mendorong negara untuk berperang walau masih ada alternatif nirkekerasan yang lain. Kecepatan, yang telah lama menjadi candu masyarakat dunia, dalam kasus ini justru dapat menimbulkan perang-perang kecil dan pada akhirnya mengancam stabilitas perdamaian negara. Teknologi militer telah berkembang di berbagai belahan dunia pada era modern ini. Walsh dan Schulzke dalam bukunya telah berhasil mengantarkan pembaca ke dunia militer instan yang sejatinya masih rapuh dan berbahaya. Dengan alur elaborasi yang detail dan terarah, pembaca akan mengerti tentang psikologis dibalik pengambilan keputusan yang berkaitan dengan militer dan efek dari keputusan tersebut. Namun yang lebih penting adalah pembaca akan memahami bagaimana drone mengubah dinamika dalam dunia kemiliteran. Bahwa sebenarnya perubahan ini sangat dipengaruhi oleh narasi negara dan bagaimana isu tersebut dibingkai.


RESENSI FILM 13

Judul Film: Eight Grade Tahun Rilis: 2018 Sutradara: Bo Burnham Pemain: Elsie Fisher, Josh Hamilton Genre: Coming-of-age; drama Durasi: 94 menit

Eighth Grade

Oleh Refina Anjani P.

Film coming-of-age secara esensial memiliki dua pendekatan ekstrim : agak pretensius namun bermakna seperti yang biasa diproduksi oleh studio indie, misalnya A24 (Lady Bird, Boyhood, Scott Pilgrims v. the World) atau tidak benar-benar realistis untuk menggaet target demografis yang besar seperti yang banyak diproduksi oleh studio-studio seperti Disney (High School Musical, Hannah Montana). Kekurangan dari masing-masing pendekatan dapat terlihat jelas, film artsy cenderung tidak relatable untuk subjek yang mereka bicarakan (butuh knowledge capital tertentu untuk bisa memahami Scott Pilgrims) dan film produksi studio besar cenderung menutupi subjek-subjek yang sepatutnya dibicarakan lalu menggantinya dengan ekstravaganza yang tidak membumi (Sharpay Evans mungkin secara tidak sengaja membuat paramater untuk menjadi queen bee). Eight Grade tidak berada dalam kedua ekstrim tersebut, ia berhasil menyampaikan subjek-subjek yang ingin dibawa—it pushes the right buttons. Eight Grade dibuka dengan video vlog dari Kayla (Elsie Fisher) yang menyampaikan bagaimana cara menjadi percaya diri dan berani berlari di luar zona nyaman, lalu mengunggah hal tersebut di kanal Youtube self-help miliknya. Padahal, pada kenyataannya, Kayla tidak mempunyai satupun sahabat di sekolah dan dinobatkan sebagai murid paling pendiam di buku tahunan sekolah. Juktaposisi ini merupakan satu dari sekian banyak anomali-anomali kehidupan remaja sekolah menengah yang ditawarkan kepada audiens oleh sutradara sekaligus penulis naskah, Bo Burnham. Ia dengan cerdas membungkus topik-topik tanpa sentimen tendensius dari generasi sebelumnya yang kritikal dengan generasi Z. Bo Burnham membuat fenomena keterikatan remaja dengan media sosial hanya sebagai alat plot, bukan materi yang ingin dikritisi. Kayla tinggal bersama ayahnya (Josh Hamilton) yang menjalankan peran sebagai orang tua tunggal, serta ditampilkan bersusah payah untuk membangun hubungan yang hangat dengan Kayla. Sosial media dan generation gap menjadi faktor utama mengapa komunikasi yang dicoba untuk dibangun terus gagal. Kayla juga terus berbohong terhadap dirinya sendiri dengan mempercayai bahwa prinsip-prinsip yang Ia bawa di sosial media

telah Ia terapkan di kehidupan nyata. Padahal, ambisinya untuk menjadi populer dan keren tidak pernah terealisasikan. Ia tetap menjadi Kayla yang dipenuhi oleh insekuritas. Bo Burnham menyisipkan komentar-komentar sosial subtil yang tidak menggurui tentang realita kehidupan siswi sekolah menengah bawah yang dipenuhi oleh kebingungan-kebingungan mereka dalam menghadapi transformasi dalam diri—tubuh yang pelan-pelan berubah serta ekspektasi sosial akan bagaimana mereka seharusnya berada dan bertindak juga berubah. Gambaran untuk memenuhi ekspektasi tersebut secara eksplisit diperlihatkan di sosial media serta perilaku dari orang sekitar. Periode penuh dengan kecanggungan serta tendensi fear of missing out ini dieksploitasi oleh film ini secara habis-habisan sehingga audiens akan dengan sendirinya merefleksikan tindakan-tindakan yang mereka lakukan sehari-hari secara otomatis. Apakah saya benar-benar melakukan ini untuk diri sendiri atau untuk memproyeksikan imaji yang saya ingin dilihat orang lain? . Eight Grade membuktikan bahwa film coming-of-age bisa saja dibungkus secara inklusif, kritis, tetapi tidak menggurui.

AIRPORT 2019


14 AIRPORTCOMIC

Sumber: Paresh Nath. <http://cagle.com/author/paresh-nath/> Marian Kamensky. <http://cartoonmovement.com> Cleo. <http://whatsonpolitics.com/> Rick Mckee. <http://caglecartoons.com>

AIRPORT 2019


SENI TULIS 15 Nostalgia Oleh Adinda Putri Hari yang pilu slalu Menyambut kalbuku Terdiam, termangu, Daku luruh Kukuh raga ku terhembus Saat angin takdir kini Menghalangi daku Tuk merasakan cinta Dimanakah cinta? Pantaskah ku dicinta? Nostalgia Nyanyian indah Senyuman nan merekah Hari hariku, yang dulu Kini, nostalgia hanyalah bayangan semu

Unititled

Oleh M. Alvarizi Daffaakbar I do not really recognise what nostalgia is. I’m more familiar (and comfortable) with saudade. A deep, sad longing for something loved that is absent and would never, ever return. Unlike the happy associations of nostalgia, saudade brought afloat a Stockholm Syndrome-like feeling for me. I am abducted and being kept hostage, but I somehow feel safe, sound and sheltered. Then how do I call back? How do I feel “nostalgic”, if that is the case? I’ll call the heaven. I’ll call the heaven until I break my phone. I’ll call it for bits of flashback, and also to make sure; are my memories dying or am I the one who is actually perishing? And I do so very often. At one time, for several times, the heaven is the one that actually calls me. But at those times, I was mostly too scared to answer it. Sometimes the heaven would call me repeatedly, it would crush my cellphone with messages and missed calls, or anything that it felt could bring about my attention. And most of the time I’ll run scared. I’ll go downstairs so far down the heaven could not reach me. Then I will break my cellphone and hack the heaven’s, just to make sure everything dies off. I ended up never figuring out if I’ve really killed them off. I still wait for the day I could declare that I never break cellphones anymore. I wish I could state that; “I never and will never break cellphones anymore and my sausade is dead! And my sausade is dead because I shot the single arrow!” I still wait for the day I could finally find that I am fully alive, and deep within I’ll say, quoting Calvin Harris; “Why can’t I realise I’m fighting for my life?” Adapted mostly from “Telemoveis” (Conan Osiris, 2019) and partly from “Flashback” (Calvin Harris, 2009)

AIRPORT 2019


16 REFLEKSI

Andi Isyraqi Ramadhan / Oki

(HI 2017, Perwakilan KOMAHI di MM FISIPOL UGM)

Oleh: Muhammad Alvarizi Daffaakbar Untuk rubrik Refleksi kali ini, AIRPORT telah berbincang bersama Andi Isyraqi Ramadhan, yang akrab dengan sapaan Oki (HI 2017), dan juga merupakan Perwakilan KOMAHI untuk Ma jelis Mahasiswa FISIPOL UGM. Menarik untuk menilik sepak terjang Oki dalam KOMAHI serta pandangannya terhadap KOMAHI, sebab Oki sendiri sebelumnya belum pernah terlibat dalam kepengurusan KOMAHI namun pada akhirnya ia masuk ke KOMAHI setelah menerima amanah sebagai Perwakilan MM. Menurut Oki, sejauh ini KOMAHI sebagai Himpunan Mahasiswa Departemen dalam lingkup jurusan HI memiliki rasa kedekatan dan kekeluargaan yang kental, dan hal tersebutlah yang seharusnya ada dan dicari dalam sebuah HMD, terutama apabila dibandingkan dengan organisasi atau bahkan kepanitiaan lain yang ada dalam tingkat fakultas. Rasa kekeluargaan tersebut juga ditekankan oleh KOMAHI itu sendiri yang menurut Oki mencerminkan semangat mahasiswa-mahasiswa HI yang kolaboratif. Oki juga mengapresiasi banyaknya acara dan program kerja yang diselenggarakan KOMAHI, terutama acara-acara HIPHORIA (IREC, HIATUS, dan YYSF) yang juga menarik partisipasi publik, serta bagaimana hal tersebut turut diapresiasi oleh pihak fakultas. Namun di sisi lain, Oki juga menyorot fakta bahwa acara-acara besar tersebut membuat KOMAHI kesulitan mendapatkan sumber daya (terutama sumber daya manusia) untuk acara dan program kerja yang diselenggarakan departemen-departemennya sendiri serta memiliki keterbatasan dalam mengembangkan sumber daya manusianya, karena bila dibandingkan dengan jurusan lain, acara yang diselenggarakan KOMAHI secara keseluruhan tergolong sangat banyak. Secara khusus, Oki juga mengapresiasi program-program kerja yang dilaksanakan KOMAHI. Menurutnya, para anggota KOMAHI senantiasa berusaha mewujudkan serta memperbaiki proker-proker yang telah ada dan antusiasme mahasiswa HI terhadap proker-proker KOMAHI juga sangat tinggi, namun karena ada keterbatasan dari segi SDM dan fakta bahwa proker-proker yang ada cenderung diadakan di tingkat jurusan sa ja, dapat dikatakan jangkauannya terbatas dan pesertanya masih kurang beragam. Di sisi lain, Oki juga mengakui bagaimana perbedaan kultur antar jurusan juga dapat memengaruhi pengadaan proker serta keikutsertaannya. Misalnya, kecenderungan KOMAHI untuk menanggapi isu-isu internasional yang membedakannya dengan HMD lainnya. Hal tersebut membuat ruang lingkup ka jian-ka jian yang kerap dilakukan KOMAHI menjadi kurang kaya, padahal menurut Oki, ilmu sosial seharusnya terintegrasi.

AIRPORT 2019

Terkait perdebatan antara profesionalitas atau kekeluargaan yang selalu menghiasi kepengurusan KOMAHI dari tahun ke tahun, Oki berpendapat bahwa KOMAHI merupakan tempat warga HI bersama-sama berlatih berorganisasi dan harus diperhatikan bahwa banyak dari anggota KOMAHI yang baru menyicipi pengalaman berorganisasi di bangku kuliah, sehingga aspek kekeluagaan harus dikedepankan; pada dera jat tertentu harus ada pemakluman atas kurangnya profesionalitas dan kesalahan-kesalahan yang terjadi tidak harus selalu diganjar dengan hukuman saat pengganjaran bisa dilakukan dengan mekanisme-mekanisme lain seperti pengingatan. Namun, Oki menekankan bahwa kesadaran atas pemenuhan tanggung jawab tetap merupakan hal yang utama dalam berorganisasi, sehingga asas kekeluargaan tidak bisa menjadi justifikasi atas hilangnya profesionalitas, kelalaian terhadap tanggung jawab, serta penyelesaian masalah yang hadir karenanya. Sebagai salah satu organisasi yang berada di bawah naungan Keluarga Mahasiswa FISIPOL UGM, yang notabene merupakan “payung� mahasiswa FISIPOL UGM yang dianggap tengah mengalami kenaikan dalam capaian kinerja pada periode 2019 ini, menurut Oki KOMAHI masih harus lebih banyak m e n g a d a k a n kegiatan-kegiatan yang bersifat kerjasama dengan organisasi-organisasi lain dari KM FISIPOL dan tidak boleh terkungkung atau menutup diri pada organisasinya sendiri. Kemampuan KOMAHI dalam melaksanakan proker-proker yang sifatnya merangkul tidak hanya warga HI namun juga warga FISIPOL dan masyarakat umum serta pujian yang datang atas hal tersebut seharusnya dimanfaatkan untuk dapat melakukan kerjasama-kerjasama kegiatan atau bahkan bonding dengan organisasi-organisasi lain di FISIPOL. Selain itu, hal tersebut juga penting untuk lebih mengenal teman-teman lain di FISIPOL di luar jurusan HI. Pada akhir wawancara, Oki berpesan untuk Pengurus KOMAHI UGM serta perwakilannya di KM FISIPOL pada periode mendatang untuk bersemangat dan tetap amanah dalam menjalankan tugasnya, dapat bela jar bertanggungjawab dalam berorganisasi, serta dapat menjaga rasa solidaritas dengan tetap menjaga rasa profesionalitas dan kekeluargaan. Ia juga berharap amanah yang ada tidak jatuh ke tangan-tangan yang salah. Secara khusus, Oki berpesan untuk penggantinya sebagai Perwakilan KOMAHI di MM FISIPOL UGM periode mendatang untuk pintar dan berani dalam berpolitik serta berdebat di tingkat fakultas, juga untuk tidak berpolitik dengan pikiran yang kosong.


POJOK SEKRE 17

HI EVENTS Rumah HI Acara Rumah HI pada tanggal 16 dan 17 Agustus 2019 berlangsung dengan lancar. Pada tanggal 16 Agustus, agenda rumah HI adalah sosialisasi dari dosen-dosen HI UGM yang bertujuan mengenalkan kehidupan akademik HI UGM. Sedangkan, pada tanggal 17 Agustus agenda yang dilaksanakan adalah pengenalan mahasiswa baru dengan KOMAHI sebagai organisasi mahasiswa HI UGM. Walaupun Rumah HI pada tanggal 17 tidak diikuti oleh seluruh mahasiswa baru, para mahasiswa yang hadir tetap mengikuti rangkaian acara dengan antusias

INKOM

INKA

DEPOR

M. Anugrah Utama

Reihan Ihza F.

DASS

DPSDM

TDKV

Brigitta Kalina

Adzhani Khairana P.

Daffa Akbar

BEBIHI

HI-CINE

SOSMAS

Dhania Salsha H.

Jihan S. Baswedan

Cinthasya Nandini S.

Nandita Putri K.

BEST STAFF KOMAHI GASAL 2019/2020

Joint Discussion x HI UNS Pada Sabtu, 19 Oktober 2019 diadakan salah satu program kerja Joint Discussion dari Departemen INKA KOMAHI. Joint Discussion merupakan sebuah acara berbentuk diskusi yang diselenggarakan untuk menambah wawasan mahasiswa/i Ilmu Hubungan Internasional dan memfasilitasi mahasiswa/i untuk bertukar pikiran dengan mahasiswa/i dari universitas lain yang pada kali ini KOMAHI UGM kedatangan tamu dari HIMATERS UNS. Tema yang diusung kali ini yakni Menja jaki Kebijakan Lingkungan Indonesia di Panggung Internasional mengingat telah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia pada September lalu.

AIRPORT 2019


18

GALERI

YYSF

HIATUS AIRPORT 2019

IREC

HIPH ORI A 2019 H IPH O RIA


TTS

19

MENDATAR 1. Negara yang memiliki angka space junk tertinggi di dunia 3. Salah satu nama mata uang kripto yang paling marak digunakan saat ini 4. Film dokumenter yang menceritakan kasus Facebook - Cambridge Analytica 8. Tokoh yang membocorkan informasi program rahasia NSA Amerika 10. Istilah yang digunakan untuk menggambarkan proses di mana teknologi mengubah atau mengganggu perilaku masyarakat 11. Negara yang memiliki angka robot density tertinggi di dunia

MENURUN 2. CEO Huawei saat ini 5. Salah satu anak perusahaan Alibaba dalam bidang e-commerce 6. Di Tiongkok ada Huawei, di Amerika Serikat ada... 7. Tokoh yang pertama kali memperkenalkan istilah ‘Revolusi Industri 4.0’ 9. Di Amerika Serikat ada Facebook, di Tiongkok ada...

Caranya: 1. Isi TTS-nya

TS BERHADIAH BERHADIAH TTTS 2. Foto jawaban TTS

3. Kirim foto jawaban ke line @rizkitnh

Kami tunggu jawabannya paling lambat 7 Desember. Dua pengirim beruntung akan mendapat hadiah saldo Gopay/OVO masing-masing 25k dari redaksi.

AIRPORT 2019


AKSES EDISI LAIN

SECARA DARING AIRPORT 2019

ISSUU - INKAOFFICIAL

http://www.issuu.com/inkaofficial



01000001 01001001 01010010 01010000 01001111 01010010 01010100 00100000 01100001 01100100 01100001 01101100 01100001 01101000 00100000 01101101 01100001 01101010 01100001 01101100 01100001 01101000 00100000 01101101 01100001 01101000 01100001 01110011 01101001 01110011 01110111 01100001 00100000 01100100 01101001 00100000 01100010 01100001 01110111 01100001 01101000 00100000 01000100 01100101 01110000 01100001 01110010 01110100 01100101 01101101 01100101 01101110 00100000 01001001 01101110 01110100 01110010 01100001 01101011 01110101 01110010 01101001 01101011 01110101 01101100 01100101 01110010 00100000 01100100 01100001 01101110 00100000 01000001 01101011 01100001 01100100 01100101 01101101 01101001 01101011 00100000 00101000 01001001 01001110 01001011 01000001 00101001 00100000 01001011 01001111 01001101 01000001 01001000 01001001 00100000 01010101 01000111 01001101 00100000 00101101 00100000 01100100 01100101 01110000 01100001 01110010 01110100 01100101 01101101 01100101 01101110 00100000 01111001 01100001 01101110 01100111 00100000 01100010 01100101 01110010 01110100 01110101 01101010 01110101 01100001 01101110 00100000 01110101 01101110 01110100 01110101 01101011 00100000 01101101 01100101 01101101 01100010 01100001 01101110 01100111 01110101 01101110 00100000 01101011


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.