Airport May 2017

Page 1

MEMIJAK BUMI

FOKUS

EKONOMI ISOLASIONIS TRUMP: Memperburuk Krisis Hegemoni AMERIKA SERIKAT?

••• HALAMAN 3 •••

MOTIF POLITIK DI BALIK OBOR

“One Belt, One Road.”

••• HALAMAN 5 •••

MENATAP DUNIA

MEI 2017

INSIDE

KONFLIk SURIAH PASCA KEMENANGAN ASSAD: kontes kekuatan global

••• HALAMAN 11 •••

CHITCHAT

AMERIKA LATIN & 'GLOBAL POWER SHIFT'

••• HALAMAN 7 •••

DYNAMICS OF GLOBAL POWERS:

A New World Order?


DAFTAR ISI

daftar isi FOKUS

Ekonomi Isolasionis Trump: Akankah Memperburuk Krisis Hegemoni Amerika Serikat? Oleh: Ellyaty Priyanka & Michael Raffy Sujono

FOKUS

Motif Politik di Balik Proyek ‘One Belt One Road’ Oleh: Alethea C.W. Pramesthi & M. Adrian Gifariadi

CHIT-CHAT

Amerika Latin dan “Global Shift Power” Oleh: Ayu Diasti R., MA, Diwawancarai: Sarasti C.R.

REFLEKSI

Novrima Rizki Arsyani Oleh: Divya Karyza Putri

NEWSFLASH

Misil untuk Bashar Al-Assad Oleh: Abdurrahman Ayyasy & Abid Darma

INSIDE

Konflik Suriah Pasca Kemenangan Assad: Kontes Kekuatan Global Oleh: Lucke Haryo & Purwaditya Yuwana

SENI TULIS

RESENSI BUKU

No Place To Hide oleh Glenn Greenwald Oleh: Dilla Mahartina P.

RESENSI FILM

Tangerines (2013) Oleh: Muhammad Respati Harun

AIRPORTPEDIA

Populisme Oleh: Theodore Great Sifra Aipassa

STAT CORNER OPINI

Implikasi Cina sebagai “rising power”

AIRPORTCOMIC

TEKA TEKI SILANG

1

AIRPORT • MEI 2017


EDITORIAL

L A I R O EDIT Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang

Maha Esa, karena atas karunia-Nya, redaksi kembali menerbitkan majalah Airport Edisi April 2017. Redaksi juga berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah kooperatif dalam berkontribusi demi mewujudkan kesuksesan penerbitan Airport kali ini. Isu-isu yang berkaitan dengan dinamika konstelasi kekuatan dunia yang mulai bergeser dari unipolaritas dengan sang hegemon, Amerika Serikat, menuju bipolaritas atau bahkan multipolaritas sedang hangat-hangatnya diperbincangkan. Kemenangan Trump dan segala kontroversinya, bangkitnya Cina, serta pengaruh berbagai organisasi regional turut hadir meramaikan dinamika politik internasional. Joseph Nye mengatakan bahwa, di era dimana media-lah yang ‘menyetir’ penilaian dunia terhadap suatu hal, soft power menjadi tidak kalah penting dari hard power. Kemungkinan alterasi kekuatan ini kemudian membuahkan pertanyaan menarik: apa saja parameter kekuatan suatu negara, dan yang paling

penting, apa indikator pergeseran kekuatan tersebut? Berangkat dari pertanyaan tersebut, Airport mengambil tema besar “Dynamics of Global Power: A New World Order?” yang ditujukan untuk memantik pendapat pembaca akan isu ini. Pada rubrik Fokus I, penulis memaparkan kemungkinan degenerasi status Amerika Serikat sebagai kekuatan hegemoni di bawah administrasi Presiden Trump dengan kebijakan-kebijakannya yang cenderung isolasionis. Kemudian, Fokus II membahas salah satu strategi Cina menuju kekuatan besar dunia dengan mega-infrastruktur One Belt One Road. Selain itu, rubrik lainnya juga membahas topik-topik yang berkaitan dengan tema besar, seperti Inside yang mengupas persaingan kekuatan dunia dalam Konflik Suriah, News Flash yang membahas isu hangat peluncuran misil Tomahawk oleh AS terhadap Al-Assad di Suriah, dan masih banyak rubrik menarik lainnya. Sebagai penutup, redaksi mengharapkan pembaca dapat menikmati hasil karya kami. Salam jurnalistik!

FIRSTYA DIZKA A., ANDETA KARAMINA, HEIDIRA WITRI H., PIMPINAN REDAKSI; MELINDA GULARSO, DZIKRI RAMANDA, LAYOUTER; ELLYATY PRIYANKA, MICHAEL RAFFY S., ALETHEA PRAMESTHI, MUHAMMAD ADRIAN G., SARASTI CIPTANING R., DIVYA KARYZA P., AYYASY FATIHULHAQ, ABID DARMA S., PURWADITYA YUWANA, LUCKE HARYO, DILLA MAHARTINA P., MUHAMMAD RESPATI H., THEODORE GREAT S.A., NURUL VIEDA S., SENTUL DASS HI UGM, TIM REDAKSI; DR. DIAH KUSUMANINGRUM, PENANGGUNG JAWAB; RIDHO BIMA PAMUNGKAS, PEMIMPIN UMUM; DITERBITKAN OLEH: DEPARTEMEN INTRAKURIKULER DAN AKADEMIK, KORPS MAHASISWA HUBUNGAN INTERNASIONAL, FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK, UNIVERSITAS GADJAH MADA JALAN SOSIO-YUSTISIA, BULAKSUMUR, DEPOK, SLEMAN, YOGYAKARTA 55281 2


FOKUS

EKONOMI ISOLASIONIS TRUMP:

Akankah memperburuk krisis hegemoni Amerika Serikat? Apakah hegemoni Amerika Serikat sedang mengalami krisis? David Wilkinson berargumen, tatanan internasional yang berlaku saat ini bersifat unipolar dan tidak hegemonik. Kekuataan global yang dipegang oleh AS secara perlahan disusul dengan munculnya Cina sebagai kekuatan baru. Proses transisi kekuasaan tersebut dapat memicu ketegangan dan konflik. Namun, perkembangan sejarah justru membuktikan sebaliknya, tatanan Barat yang dibentuk melalui nilai-nilai keterbukaan memberi rising powers prakondisi untuk memperkuat kekuasaan ekonomi dan politik mereka melalui skema pasar bebas. Artinya, logika pasar bebas ibarat pisau bermata dua untuk ruling power. Di satu sisi, pasar bebas membantu AS memperkuat dan mengekspansi dominasinya serta mengontrol tindakan negara-negara lain sesuai kepentingannya. Sisi gelapnya, memberi peluang ke Tiongkok si rising power untuk melakukan hal yang serupa dan mengkontestasi AS si ruling power. Bangkitnya Cina sebagai Alternatif Great Power Ada beberapa alternatif bagi proses power shift. Pilihannya terletak pada jatuhnya tatanan internasional ke dalam tatanan bipolar atau multipolar yang ditandai dengan munculnya kekuatan baru yang sangat berpengaruh di level regional. John Ikkenbery menyatakan bangkitnya kekuatan Cina merupakan sebuah kepastian. Persoalannya, bagaimana peralihan kekusaan ini berjalan. AS harus mampu mempertahankan tatanan internasional yang berada dalam nilai dan standar Barat, contohnya pasar bebas, sehingga manuver yang dapat dilakukan Cina hanya terbatas ke mengintegrasikan

3

AIRPORT • MEI 2017

dirinya ke dalam tatanan yang telah berjalan. Akibatnya, AS yang hegemoninya menurun dapat memposisikan dirinya lagi dalam tatanan global. Performa Cina dalam tatanan ekonomi global semakin signiďŹ kan. Tahun 2007, Cina telah melampaui AS dan Jepang dalam pemberian developmental aid ke Afrika. Di Amerika Latin, volume perdagangan antara Cina terus meningkat dari tahun 2000-2009, yang kelipatannya mencapai 1.200% dari yang awalnya $10 milliar menjadi $130 milliar. Menurut beberapa negara seperti Kolombia dan Brazil, tren ini dapat memutus ketergantungan Amerika Latin terhadap AS. Di Asia, Cina menarik semakin banyak negara untuk berpartisipasi dalam program One Belt, One Road-nya yang bertujuan untuk meningkatkan interkonektivitas demi mengurangi biaya produksi dan memaksimalkan keuntungan perdagangan internasional. Selain itu, Cina semakin aktif dalam berbagai perjanjian perdagangan internasional, sebut saja Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) yang terdiri dari 16 negara (10 anggota ASEAN, India, Jepang, Selandia Baru, Korea Selatan, Australia, dan Tiongkok) yang meliputi 50% populasi dunia dan 30% PDB. AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank) juga muncul sebagai rival Bank Dunia dan

OLEH:

ELLYATY PRIYANKA MICHAEL RAFFY SUJONO

International Monetary Fund (IMF) yang dianggap lebih atraktif ketimbang kedua institusi tersebut sebab prasyarat pemberian bantuan AIIB yang tidak seketat mereka. Dampak Keluarnya AS dari Berbagai Perjanjian Ekonomi Internasional: Perubahan Struktur Geopolitik dan Preseden Buruk ke AS Tren menurunnya performa AS diperburuk dengan agenda Presiden AS Donald Trump yang ingin menarik diri dari berbagai perjanjian ekonomi internasional, seperti North American Free Trade Agreement (NAFTA) dan Trans-PaciďŹ c Partnership (TPP). Perjanjian perdagangan internasional bukan hanya soal kalkulasi untung-rugi ekonomi, namun juga politik. Keputusan menarik diri dari perjanjian tersebut berpotensi mengubah arsitektur geopolitik dengan kevakuman AS yang akan diisi oleh Cina. Selama ini, perjanjian tersebut membantu AS menjaga aliansinya dan menarik negara-negara lain bertindak sesuai kepentingannya. Meksiko contohnya, meskipun ada pink tide gerakan kontra-hegemoni AS di Amerika Latin, NAFTA membantu menjaga hubungan baik AS-Meksiko. Terlebih-lebih, perjanjian perdagangan meningkatkan ketergantungan negara lain ke AS dan otomatis menaikkan posisi tawar dan membuka peluang untuk AS


FOKUS

melancarkan agenda-agendanya. TPP dan NAFTA adalah kerangka untuk memahami tatanan regional dan balance of power ke bangkitnya Cina. Realis seperti John Mearsheimer berpendapat bahwa AS dan Cina kemungkinan akan berlomba senjata yang berpotensi perang. Pendapat ini tidak terlalu kuat dikarenakan kapasitas militer Cina yang masih jauh ketinggalan dari AS hingga beberapa dekade ke depan (bahkan jika diasumsikan militer Cina berkembang secara eksponen dan linear), menjadikan opsi perang sebagai sesuatu yang tidak strategis. Alhasil, kemungkinan lain lebih masuk akal; Cina dan AS sama-sama mengejar kekuasaan global dengan cara damai, yaitu ekonomi sebagai soft politics. AS memang tidak mengejar strategi containment ke Cina, dalam artian menghalangi pertumbuhan ekonomi atau menutup ikatan diplomatik Cina dengan negara-negara lain. Namun, AS selalu memiliki kepentingan untuk mencapai ekulibrium tertentu untuk menjaga distribusi kekuasaan. TPP khususnya berfungsi sebagai sebagai strategi balance of power terhadap RCEP tanpa AS di dalamnya. Akibatnya, pembatalan TPP dan NAFTA membuat negara-negara lain mencari alternatif great power lain. Cina dianggap mempunyai kemampuan mumpuni untuk itu—seperti komitmennya yang besar terhadap pasar bebas dengan intensitas keterlibatan dalam perjanjian internasional yang semakin tinggi, pembangunan infrastruktur dengan kerangka AIIB dan OBOR, dan pemberian developmental aid. Ruang ke Cina menjadi pembuat aturan main dalam tatanan ekonomi global semakin besar pula. Lebih jauh, hal tersebut memperbesar ketergantungan negara-negara lain ke Cina sebab opsi great powers mereka untuk bersandar semakin sedikit. Kedua, di masa depan, AS akan semakin sulit untuk kembali memposisikan dirinya di tatanan ekonomi global. AS mungkin akan mengejar perjanjian ekonomi bilateral yang

“AS memang tidak mengejar strategi containment ke Cina ... Namun, AS selalu memiliki kepentingan untuk mencapai ekulibrium tertentu untuk menjaga distribusi kekuasaan.” dianggap lebih mengakomodasi kepentingan AS atau di masa depan kembali ingin berpartisipasi dalam perjanjian ekonomi internasional. Namun, alternatif tersebut kecil kemungkinannya akan “dibeli” oleh negara-negara lain. Alasan pertama, isolasionisme dan proteksionisme AS telah menjadi preseden buruk terhadap kredibilitas, kompetensi, dan komitmen AS ke negosiasi perdagangan bebas di tengah-tengah munculnya Cina sebagai alternatif. AS dipersepsikan sebagai negara egosentris yang hanya mengejar keuntungannya sendiri alih-alih kebaikan bersama. Kedua, perjanjian bilateral sebagai mekanisme lain juga tidak atraktif karena bilateralisme memberi posisi tawar yang lebih besar ke AS dalam negosiasi dan pengambilan keputusan ketimbang multilateralisme yang bisa meminimalisir dominasi AS karena lebih banyak negara yang bersama-sama bisa menekan AS. Bagaimana pun, persepsi penting; persepsi dapat mengkonstruksi realita.

REFERENSI

Gomez, E. 25 Januari 2017. “US Withdrawal from TPP: Geopolitical and Geoeconomic Gift for Cina?”, dapat diakses di , <http://thediplomat.com/2017/01/us-withdrawa l - f r o m - t p p - g e o political-and-geoeconomic-gift-for-Cina/> pada 8 Februari 2017. Green, J. & M. Goodman. 2016. ‘After TPP: the Geopolitics of Asia and the Pacific’, The Washington Quarterly. McMillan, B. 26 Januari 2017. ‘Abandoning TPP, Trump Signals Major Shift for U.S. Trade’, dapat diakses di <https://www.forbes.com/sites/bradmcmillan/2017/01/26/abandoning-tpp-t r u m p - s i g n a l s - m a jor-shift-for-u-s-trade/#346758362dd8 > pada 7 Februari 2017. Sink, J. et al. 24 Januari 2017. ‘Cina Eager to Fill Political Vacuum Created by Trump’s TPP Withdrawal’, dapat diakses di <https://www.bloomberg.com/politics/articles/2017-012 3 / t r u m p - s - w i t h d r a w al-from-asia-trade-deal-viewed-as-boon-forCina>, pada 7 April 2017. The Standard, 5 Februari 2017. “Global Shift in Power as US Goes Egocentric”, dapat diakses di <https://www.thestandard.co . zw / 2 0 1 7 / 0 2 / 0 5 /g l o b a l - s h i ft- p ow er-us-goes-egocentric/>, pada 7 Februari 2017. Williams, B. & Fergusson, I. 23 Februari 2017. “The United States Withdraws from The TPP—Analysis”, dapat diakses di <http://www.eurasiareview.com/23022017-the-unitedstates-withdraws-from-the-tpp-analysis/>, pada 8 Februari 2017.

AIRPORT • MEI 2017

4


FOKUS

MOTIF POLITIK CINA DI balik proyek

one belt, one road OLEH:

ALETHEA C. W. PRAMESTHI & MUHAMMAD ADRIAN GIFARIADI Di penghujung tahun 2013, Republik Rakyat Cina (RRC) di bawah pemerintahan Presiden Xi Jinping mencanangkan sebuah program kolaborasi pembangunan infrastruktur dan perdagangan berskala global dengan nama “One Belt, One Road” (OBOR). Proyek bernilai sekitar 900 milyar dollar Amerika tersebut terdiri dari pembangunan dua rute utama perdagangan, yaitu melalui rute darat “Silk Road Economic Belt” yang menghubungkan kawasan Eropa dengan Sentral Asia dan melalui rute laut “21st century Maritime Silk Road” yang mencakup wilayah maritim Asia

Tenggara, Asia Selatan, dan beberapa titik di Afrika dan Timur Tengah. Jika sukses, proyek OBOR memiliki potensial untuk memberikan profit kepada RRC dan negara-negara pemegang saham. Selain itu, kesuksesan proyek raksasa OBOR juga dapat menjadi trofi pencapaian luar biasa yang diraih sepanjang perjalanan karir kepresidenan Xi. Meski begitu, patut diingat bahwa proyek pembangunan infrastruktur ini

5

AIRPORT • MEI 2017

memiliki risiko yang cukup signifikan. Misalnya, Republik Rakyat Cina akan berhadapan dengan beberapa jenis pasar yang belum mereka kenal serta lingkungan bisnis yang menantang dan tidak dapat diprediksi. Maka dari itu, inisiatif OBOR memerlukan peran aktif pemerintah RRC untuk dapat mengantisipasi masalah yang ditemukan dalam proses eksekusi OBOR serta menyiapkan langkah-langkah penanggulangan. OBOR sebagai Alat Kepentingan Ekonomi dan Politik Pada dasarnya, inisiatif infrastruktur ambisius OBOR dirangkai sebagai proyek yang mengadopsi nilai-nilai perdagangan bebas dan konektivitas global. Dalam perjalanannya, proyek tersebut jelas diadopsi dengan cara menyelaraskan proses implementasi dengan kepentingan nasional yang dimiliki oleh RRC, khususnya dari aspek ekonomi dan kekuatan politik. Sebagai konsekuensi berlanjut dari krisis ekonomi global 2007-2009, pertumbuhan PDB Cina melambat dari

pertumbuhan dua digit menjadi satu digit. Beralih dari program akselerasi pertumbuhan ekonomi, Xi memilih untuk berorientasi pada transisi kebijakan ekonomi inklusif dan berkelanjutan dengan memanfaatkan model pasar dunia yang berkiblat pada neoliberalisme. Investasi dalam pembangunan infrastruktur dipercaya dapat membantu perekonomian nasional RRC. Alasan kedua yang jauh lebih implisit, inisiatif OBOR juga diwarnai dengan motif politik. Pemerintah RRC berambisi untuk menjadi pusat perekonomian regional dan global, karena keberhasilan proyek ekonomi tersebut sekaligus membuktikan pengaruh kekuatan RRC sebagai negara hegemoni yang berpeluang besar menggantikan Amerika Serikat di ranah politik dunia. Proyek infrastruktural transnasional dengan skala semasif OBOR tentu mengingatkan kita akan Marshall Plan yang dicanangkan Amerika Serikat setelah Perang Dunia Dua.


FOKUS

Interaksi Tangguh AS dan RRC di Panggung Ekonomi Global Seakan menanggapi retorika Presiden Amerika yang baru dilantik, Donald J. Trump, yang menyerukan perang dagang dan menampakkan postur yang lebih kritis terhadap globalisasi, Xi menggunakan Forum Ekonomi Davos untuk membela globalisasi dan

Proyek OBOR adalah satu dari sedikit lobi pemerintah Cina yang bertujuan membuka pasar-pasar baru bagi produk Cina, sekaligus memonopoli akses terhadap sumber daya alam di daerah Asia Tengah.

perdagangan bebas. Dengan lugas, Presiden Republik Rakyat Cina tersebut menyamakan pemutusan hubungan dagang dan proteksionisme ekonomi dengan “mengunci diri di ruang yang gelap”, yang “menghalangi air dan udara”. Sekilas, RRC nampak memposisikan dirinya sebagai pembela kedaulatan pasar dari tindak kecurangan dan intervensi negara. Pada faktanya, RRC dapat dikatakan sebagai perintis kecurangan perdagangan yang tak sungkan. Di Cina, negara secara aktif menikung pasar dan menjaga upah buruh pada tingkat yang rendah. Bertolak belakang dengan retorika Xi, Cina menetapkan rezim dagang yang cukup ketat: Harga komoditas ekspor di Cina ditentukan oleh pemerintah yang

sering melakukan manipulasi harga dan kompetisi yang tidak jujur. Selain itu, pemerintah RRC secara aktif melobi dan menggunakan tekanan politik maupun militer untuk memperoleh konsesi-konsesi dari negara-negara tetangga. Proyek OBOR adalah satu dari sedikit lobi pemerintah Cina yang bertujuan membuka pasar-pasar baru bagi produk Cina, sekaligus memonopoli akses terhadap sumber daya alam di daerah Asia Tengah. Namun, Cina tidak sendiri. Dengan menunjukkan ketidakstabilan pasar dan kelemahan-kelemahan lainnya dari sistem ekonomi global yang dianut sekarang, hal ini menjadi argumen yang dipakai para pemimpin dunia untuk mendeklarasikan kesetiaan pada prinsip-prinsip perdagangan bebas selagi memenangi hak-hak istimewa dan melindungi industri nasional. Lewat manuver-manuver diplomatik,

pemerintah melangkahi kehendak pasar dan mempermudah ekspansi perusahaan nasional. Tidak hanya RRC, nasionalisasi sumber daya dan industri vital mulai dijalani negara-negara lainnya, tak terkecuali Indonesia. Xi sama sekali tidak salah. Menghadapi Amerika yang merasa terpojok, yang belum siap untuk menghadapi gaya pasar yang mengoyak sendi-sendi demokrasi Republik, Republik Rakyat Cina berada dalam posisi strategis untuk meraup kesempatan dan kemakmuran yang didatangkan globalisasi. Pada saat yang sama, intervensi aktif pemerintah RRC dalam mencanangkan program-program infrastruktur raksasa, peminjaman utang dan fasilitasi ekspansi perusahaan Cina ke seluruh dunia menunjukan rencana jangka panjang untuk menyambut globalisasi, namun dengan syarat dan cara mereka sendiri. Negara tidak lagi berpangku tangan, melainkan menjadi aktor global yang aktif dan agresif mengamankan pasar, sumber daya dan keuntungan bagi dirinya sendiri. Berlawanan dengan paradigma pembangunan tahun 1960an, yang bertujuan pada autarki dan swasembada, ataupun Washington Consensus dan Structural Adjustment ala 1980an, proyek OBOR mungkin menandai era persaingan yang diarahkan dan dikendalikan negara, suatu lomba untuk merebut sumber daya yang kian menipis REFERENSI

Ramo, Joshua Cooper. 2004. The Beijing Consensus. London: Foreign Policy Centre. Ze, Shi. 2014. "‘One Road & One Belt’& New Thinking With Regard To Concepts And Practice." 30th Anniversary Conference of the Schiller Institute. Domonoske, Camila. 17 Januari 2017. "Cina's Xi Jinping Defends Globalization In First-Ever Speech At World Economic Forum." diakses pada 17 Maret 2017.

AIRPORT • MEI 2017

6


Apakah Amerika Latin memiliki peran dalam global power shift?

Q+

Istilah global power shift seringkali disebut untuk menggambarkan perpindahan kekuasaan dari Amerika Serikat dan Eropa ke Asia, dimana meningkatnya pengaruh Cina dalam perpolitikan dan perekonomian dunia dianggap menjadi gejala shift ini. Apakah Amerika Latin memiliki peran di dalam proses tersebut? Mungkin, meski secara tidak langsung. Kita bisa mencoba mencari penjelasannya dengan mengingat relasi Amerika Serikat-Amerika Latin sejak tahun 2000an. Relasi AS-Amerika Latin pada masa pemerintahan George W. Bush Jr. diwarnai banyak sekali kekecewaan—sebagian besar negara Amerika Latin menolak mendukung kebijakan Bush untuk memerangi Irak, dan sebagai balasannya, Bush pun tidak memenuhi janji kampanyenya untuk “berbaik-baik” dengan tetangganya di Selatan. Kekecewaan ini sayangnya tidak terlalu membaik selama sebagian besar masa pemerintahan Obama karena ia lebih banyak memfokuskan perhatiannya pada Asia—ingat, hanya di akhir-akhir masa jabatannya Obama dianggap lebih ramah pada Amerika Latin karena kebijakannya membuka hubungan diplomatik dengan Kuba. Narasi kekecewaan inilah yang kemudian dipakai oleh banyak pemimpin-pemimpin populis kiri di Amerika Latin untuk memperkuat basis dukungan politiknya. Ketika mereka menggunakan retorika anti-Amerika sejak awal 2000an, mereka pun mau tidak mau harus membuka diri terhadap keberadaan mitra-mitra non-tradisional lainnya. Cina, pada titik ini, muncul sebagai salah satu alternatif di tengah ketidakpercayaan Amerika Latin terhadap AS. Di saat yang sama, Cina sedang berusaha memperluas pengaruh luar negerinya melalui berbagai proyek infrastruktur dan kerjasama perdagangan di banyak tempat di dunia—termasuk di Amerika Latin.

Apa pengaruh redistribusi kekuasaan ini terhadap Amerika Latin?

AMERIKA LATIN DAN GLOBAL POWER SHIFT OLEH: AYU DIASTI RAHMAWATI, MA* DIWAWANCARAI OLEH: SARASTI C. RENANTYA 7

AIRPORT • MEI 2017

Kita tidak perlu terlalu terburu-buru menyimpulkan proses global shift to the East sudah selesai. Menurut saya, saat ini transisi tersebut justru sedang terjadi dan kita tidak bisa mengasumsikan prosesnya terjadi secara linear. Saya sepakat dengan Joseph Nye yang dalam kuliah singkatnya beberapa tahun yang lalu mengatakan bahwa negara-negara Asia, seperti Cina, India, dan Jepang, masih menghadapi banyak permasalahan di dalam negeri dan kawasannya sendiri yang membuat negara tersebut belum bisa menggantikan peran sentral Amerika Serikat dan Eropa dalam perpolitikan global. Bagaimana dengan keberadaan Cina di Amerika Latin? Sebuah laporan yang diterbitkan Brookings Institute menyebutkan bahwa meski nilai investasi Cina di Amerika Latin meningkat, persebaran investasi tersebut tidak merata di kawasan Amerika Latin. Sementara itu, citra Cina di mata publik Amerika Latin juga tak selalu baik. Laporan Brookings Institute menyebutkan bagaimana persepsi negatif tersebut disertai dengan kritik mengenai kualitas barang yang rendah, praktek bisnis yang tidak adil dan tidak berkelanjutan, atau budaya/bahasa yang terlalu berbeda. Artinya, redistribusi kekuasaan global boleh saja sedang terjadi, tetapi dominasi Cina di Amerika Latin dapat dikatakan masih jauh dari perkiraan. Bagi negara-negara Amerika Latin saat ini, keberadaan Cina mungkin dapat dianggap sebagai alternatif yang mereka perlukan untuk mengontrol dan menyeimbangkan relasi mereka dengan hegemon yang lebih besar di Utara yaitu, AS.

Bagaimana dengan pink tide? Nah, ini yang menarik. Jika kita sepakat dengan asumsi di atas, Cina memiliki kesempatan besar untuk “masuk” ke Amerika Latin justru karena keberadaan gelombang merah jambu yang menyapu Amerika Latin sejak awal 2000an. Pemimpin-pemimpin populis kiri—mulai dari Bachelet di Chile, Castro di Kuba, Chavez dan Maduro di Venezuela, Correa di Ekuador, da Silva dan Rouseff di Brazil, Kirchner dan


C H I T- C H AT

Fernandez di Argentina, Morales di Bolivia, Ortega di Nikaragua—dalam derajat yang berbeda-beda senantiasa menyuarakan retorika anti-dominasi AS dan membuka diri terhadap Cina. Permasalahannya, gelombang ini mulai surut dimulai dari merosotnya dukungan terhadap Maduro di Venezuela, kemenangan Macri di Argentina, kegagalan Morales terpilih lagi untuk ketiga kalinya di Bolivia, serta dimakzulkannya Rouseff di Brazil. Satu persatu negara-negara Amerika Latin kembali dipimpin oleh pemimpin-pemimpin berideologi kanan-tengah yang secara tradisional biasanya mendukung Washington. Tetapi apakah demikian adanya? Belum tentu. Kita masih memerlukan waktu yang lebih panjang untuk melihat kemana Amerika Latin akan melangkahkan kakinya. Sejauh ini, pemimpin-pemimpin Amerika Latin dibuat kecewa oleh Trump karena kebijakannya yang sangat hostile terhadap Amerika Latin. Hal ini lagi-lagi dapat memberikan celah yang lebih lebar bagi Cina untuk mengukuhkan keberadaannya di Amerika Latin.

Tidak perlu terlalu terburu-buru menyimpulkan proses global shift to the East sudah selesai. Saat ini transisi tersebut justru sedang terjadi dan kita tidak bisa mengasumsikan prosesnya terjadi secara linear.

Bagaimana peran gerakan sosial domestik dalam kebijakan pemerintah di Amerika Latin?

Ayu Diasti Rahmawati, MA *

Dosen Politik dan Pemerintahan Amerika Latin dan Studi Kawasan AMEURO

Gerakan sosial domestik selalu relevan bagi perpolitikan Amerika Latin. Beberapa pakar studi demokrasi yang terilhami oleh Amerika Latin berargumen bahwa transisi menuju demokrasi—dalam kasus ini proses pembuatan kebijakan di Amerika Latin—sedikit banyak dipengaruhi oleh political struggle di antara aktor-aktor dominan di dalam perpolitikan dan perekonomian Amerika Latin. Gelombang merah jambu muncul dan bertahan selama hampir 1,5 dekade karena dukungan dari sektor popular dan informal dari kelas menengah-bawah yang didominasi oleh petani, buruh, masyarakat miskin kota, masyarakat adat, dsb. Saat ini, keberadaan pemimpin kanan-tengah pun mencerminkan kemenangan basis massa yang cukup spesifik. Sehingga bagaimana arah kebijakan negara-negara Amerika Latin dalam menghadapi AS dan Cina tentu bisa dibaca dengan melihat political struggle antara berbagai elemen masyarakat di Amerika Latin, serta bagaimana hal ini mempengaruhi konfigurasi basis dukungan politik bagi pemerintah yang sedang menjabat saat ini.

Bagaimana dengan keputusan Raul Castro untuk memperbaiki hubungan dengan AS? Ketika kita membayangkan Kuba, seringkali kita hanya memfokuskan perhatian pada figur Fidel Castro yang revolusioner, progresif, dekat dengan Uni Soviet. Sehingga kedatangan Raul Castro seringkali diterjemahkan sebagai antitesis dari Fidel—tidak terlalu progresif, main aman, apalagi ditilik dari keputusannya memperbaiki hubungan dengan AS. Padahal Raul Castro justru figur intelektual yang paling penting di balik Revolusi Kuba. Ia disebut-sebut sebagai tokoh yang lebih ortodoks daripada Fidel Castro, dan karenanya dipercayai untuk memimpin Tentara Revolusioner Kuba selama Fidel Castro menjabat sebagai pemimpin Kuba. Lalu, bagaimana menjelaskan langkah yang dipilih Raul Castro untuk memperbaiki hubungan dengan AS? Apakah ini dapat dilihat sebagai gejala melemahnya semangat revolusioner Kuba? Beberapa ahli berpendapat, dan saya sepakat, langkah Raul Castro harus dipandang sebagai kompromi yang perlu diambil pemerintah Kuba untuk membuat dirinya relevan di mata warga Kuba di tengah dunia pasca Perang Dingin. Jika diperhatikan, reformasi yang dilakukan Raul Castro sebenarnya sangat terukur. Ia tidak benar-benar membuang ideologi sosialisme dan beralih pada neoliberalisme, Raul hanya mencoba memodifikasi sosialisme Kuba agar bisa bertahan. Misalnya, “berbaik-baik” dengan AS diperlukan agar embargo AS terhadap Kuba diberhentikan.

Selain itu, pemerintah Kuba saat ini juga bisa mengambil keuntungan dari perdagangan barang-barang yang masuk dari AS, yang sebelumnya lebih banyak masuk melalui transaksi-transaksi di pasar gelap. Logika yang sama juga dipakai Raul dalam mereformasi pertanian di Kuba, misalnya. Alih-alih tetap melarang petani menentukan sendiri apa yang harus ditanam dan bagaimana cara menanamnya, Raul membebaskan para serikat petani memutuskan sendiri varietas tanaman pangan yang mereka ingin tanam dan bagaimana cara menanamnya. Hal ini meningkatkan produktivitas petani, dan secara bertahap mengurangi ketergantungan Kuba terhadap impor bahan pangan yang sudah terjadi sejak jatuhnya industri gula yang didukung oleh Uni Soviet dan dimulainya embargo AS terhadap negara tersebut. Maka, langkah-langkah ini perlu dilihat sebagai upaya Kuba untuk kembali menyeimbangkan relasi-relasinya dengan negara-negara adidaya di dunia sembari mempertahankan kemampuannya bertahan hidup sekaligus relevansinya di era baru ini.


REFLEKSI

NOVRIMA RIZKI ARSYANI “KOMAHI harus saling dukung program kerja.”

OLEH: DIVYA KARYZA PUTRI “Do the best sincerely and let the universe do the rest.” Itulah prinsip Novrima Rizki Arsyani, mahasiswi departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM angkatan 2014 yang menjadi narasumber rubrik Refleksi kali ini.

Ketua Departemen Intrakurikuler dan Akademik (INKA) Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI) periode 2015-2016 yang akrab disapa Rima ini kemudian bercerita seru tentang pengalamannya selama menjadi pengurus KOMAHI. Menurut Rima, menjadi bagian dari kepengurusan KOMAHI tak hanya menjadi tanggung jawab semata, namun menjadi wadah baginya untuk mengembangkan potensi - juga menemukan ‘keluarga’ baru. “Menurutku, bisa berkerja sama dengan mereka (red: pengurus KOMAHI) itu pengalaman yang penting dan menyenangkan,” ungkapnya sambil tersenyum. “Semua suka duka adalah tabungan yang penting untuk perjalananku ke depannya,” tambahnya lagi. Di antara pengalaman-pengalaman tak ternilai itu, apa saja sih yang bisa direnungkan untuk membuat KOMAHI lebih baik lagi? Bagi Rima, tantangan terberat yang dialaminya selama menjadi pengurus KOMAHI adalah ketika ada program kerja departemennya yang sepi peminat. Maka dari itu, ia tak ingin kepengurusan periode baru ini mengalami tantangan yang serupa. Sarannya, dengan meningkatkan semangat saling mendukung program kerja

9

AIRPORT • MEI 2017

yang diusung oleh setiap departemen dan mencari strategi agar seluruh

“(Bentuk saling dukung) mungkin bisa dilakukan dengan hal-hal sederhana seperti mengatur jarak antara satu promotional post dengan yang lainnya ... Selain itu, sistem pendelegasian bisa dipertimbangkan menjadi solusi. ”

anggota KOMAHI tanpa terkecuali bisa ikut merasakan manfaat dan serunya berbagai kegiatan yang ditawarkan pada setiap program

kerja. “Ini jadi masukan saja. Mungkin bisa dilakukan melalui hal-hal sederhana seperti mengatur berapa lama jarak antara satu promotional post dengan promotional post lainnya di grup besar,” jelas Rima, “supaya tidak terkesan menumpuk dan akhirnya meningkatkan kemungkinan salah satu postingan tidak terbaca—atau mungkin buat rangkuman ada acara apa saja yang akan dilangsungkan minggu depan, supaya tidak ada yang terlewat.” Selain itu, Rima juga menyarankan sistem ‘pendelegasian’ untuk dipertimbangkan sebagai solusi. Misalnya, saat INKA mengadakan International Relations Community for Critical Thinkers (IRCCT), setidaknya ada satu atau dua anggota dari masing-masing departemen lainnya yang menghadiri—dan begitu pula ketika Departemen Olahraga (DEPOR) mengadakan Permaenan Musim Panas Hubungan Internasional (MAEMUNAH), dan seterusnya. “Itu saja sih yang menurutku penting untuk lebih diperhatikan. Tapi kembali lagi, jangan lupa untuk melakukan yang terbaik untuk KOMAHI karena kalau kalian sudah berusaha maksimal, hasil akan mengikuti,” tutupnya.


MISIL UNTUK BASHAR AL-ASSAD

NEWSFLASH

Sebuah pembalasan atau kesalahan?

OLEH: ABDURRAHMAN AYYASY FATIHULHAQ & ABID DARMA SETIAWAN Donald Trump, presiden Amerika Serikat, pada Jumat (7/4) mengeluarkan perintah berupa peluncuran misil terhadap pihak pemerintahan Bassar al-Assad di Suriah. Perintah tersebut bertujuan sebagai upaya pembalasan atas penyerangan gas di Khan Sheikhoun, Idlib, Suriah dengan menyerang landasan udara tempat penyerangan zat kimia berbahaya itu dilancarkan. Pada Jumat (7/4), Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengeluarkan perintah berupa peluncuran misil terhadap pihak pemerintahan Bashar al-Assad di Suriah. Perintah tersebut bertujuan sebagai upaya pembalasan atas penyerangan gas di Khan Sheikhoun, Idlib, Suriah dengan menyerang landasan udara tempat penyerangan zat kimia berbahaya itu dilancarkan. Serangan yang dilancarkan pada hari Selasa, 4 Maret 2017 tersebut menuai banyak perdebatan. Hal tersebut dikarenakan adanya zat kimia yang terkandung pada bom yang diluncurkan. Penggunaan zat kimia berbahaya sebagai senjata perang merupakan pelanggaran terhadap salah satu prinsip dalam hukum Humaniter Internasional, dimana pihak yang melakukan tindakan ofensif dilarang menggunakan senjata yang berpeluang memusnahkan lawan dalam skala masif. Sebanyak 72 warga sipil diperkirakan meninggal dalam peristiwa bom tersebut di Khan Sheikhoun, dengan rincian 20 anak-anak dan 52 orang dewasa. Dengan banyaknya korban jiwa, penyerangan ini mendapat kecaman luar biasa dari masyarakat internasional. Tindakan agresif tersebut mendapatkan kecaman sebab bom yang dijatuhkan mengandung senyawa kimia bernama organophosphorous atau racun syaraf, namun juga menyerang anak-anak sebagai korban. Selama 6 tahun perang berkecamuk di Suriah, Amerika Serikat belum pernah secara langsung terlibat. Intervensi AS secara langsung ini berpotensi mengubah jalannya perang sipil di Suriah, walaupun menurut US Secretary of State, Rex Tillerson, penyerangan

tersebut tidak mengubah arah kebijakan politik luar negeri AS terhadap Suriah. Namun, dengan adanya pengesahan misil yang dilakukan, peluang agresivitas AS terhadap Perang Suriah dinilai akan meningkat seiring dengan terus berjalannya konflik. Penyerangan misil oleh AS mendapatkan respon negatif dari pendukung Bashar al-Assad dan mendulang dukungan dari sekutu AS. Berbagai macam pernyataan dari pihak pendukung dan pihak menentang juga gencar bermunculan, mengingat isu yang disoroti bukanlah perkara yang sepele. Selain itu, tanggapan yang berupa dukungan dan penolakan yang dilakukan oleh banyak aktor tersebut juga berperan dalam menegaskan di pihak mana mereka berada. Sebagai pendukung rezim Bashar al-Assad yang memiliki pengaruh cukup signifikan, Rusia melihat penyerangan ini sebagai aksi yang menganggu kedaulatan pemerintahan Suriah. Lebih lanjut, Moskow menganggap hal ini sebagai tindakan yang melanggar hukum internasional, sehingga situasi yang terjadi berpotensi mengganggu hubungan AS dan Rusia yang sebelumnya diprediksi akan semakin harmonis dengan terpilihnya Donald Trump. Pendukung lain dari rezim berkuasa yaitu Iran, telah mengecam segala bentuk intervensi yang sifatnya unilateral. Di lain pihak, Inggris dan Israel mendukung penuh aksi yang diambil oleh AS seraya berharap intervensi yang dilakukan akan memberikan pesan pada dunia internasional, bahwa rezim al-Assad tidak sepenuhnya mendapatkan legitimasi dari rakyat Suriah - seperti yang dilansir dari PBB News Centre. Sementara itu, PBB sebagai

organisasi yang bertujuan untuk menciptakan integrasi bangsa-bangsa dalam percaturan dunia internasional, belum mengambil langkah lebih jauh mengenai tragedi ini. Ditegaskan oleh Sekretaris Jenderal PBB, António Guterres, bahwa ia telah menginstruksikan pada negara-negara untuk tidak membesar-besarkan polemik ini, sehingga eskalasi yang berlebihan dapat dihindari. Lebih lanjut, António Guterres juga mendorong negara-negara yang tergabung dalam UN Security Council untuk segera berunding dan menengahi masalah ini. “Sejauh pemahaman saya, permasalahan ini hanya dapat diselesaikan melalui jalur politik, dan bukan melalui jalur lain”, tutur António Guterres. Bagaimanapun, intervensi langsung AS dinilai akan mengubah jalannya perang - ke arah yang lebih baik, atau pun lebih buruk. Di samping itu, Rusia yang menempatkan diri sebagai sekutu dari pemerintahan Bashar al-Assad, diprediksikan tidak akan berdiam diri dengan adanya intervensi yang terjadi. Pertentangan antara kedua kekuatan besar dunia mungkin saja akan berubah dari yang awalnya bersifat proxy war, menuju konfrontasi langsung. BBC Indonesia. “Serangan senjata kimia di Suriah, siapa yang bertanggungjawab?”, bisa diakses di: http://www.bbc.com/indonesia/dunia-39514573. pada 8 April 2017. Grierson, Jamie, dan Claire Phipps. “Second Attack on Syrian Town Hit by Chemical Weapons Reported after Trump Strikes in Idlib – Live,” bisa diakses di The Guardian, April 7, 2017, sec. World news, https://ww w . t h e g u a r d ian.com/world/live/2017/apr/07/us-syria-response-donald-trump-assad-pentago n-live.

AIRPORT • MEI 2017

10


K P J H A N I M R Y U S GAN Y Y K I N N L A F A G N MEN SAD O K E D S bal S o K A l G V KAVekuatan ERAASCAO K P ntes o P K ED PASFG ED INSIDE

Konflik Suriah yang merupakan konflik terparah di abad ke-21 ini telah memasuki tahun keenamnya. Peristiwa yang berawal dari demonstrasi yang menuntut reformasi di tubuh pemerintah kemudian tereskalasi menjadi konflik bersenjata yang rumit dan berkepanjangan. Berbagai aktor global seperti Amerika Serikat (AS) dan Rusia kemudian ikut terlibat dan mendukung pihak tertentu.

Menjadi cukup jelas bahwa akhir dari konflik ini akan lebih ditentukan oleh raungan jet tempur Rusia dan bukan dari janji-janji AS. Adanya perkembangan terbaru dalam jalannya konflik Suriah kemudian memunculkan sebuah pertanyaan, apa makna dari dinamika kontestasi yang terjadi? Mundurnya Hegemoni AS Kemenangan Assad yang didukung Rusia dan Iran dalam perang saudara ini menandakan satu hal penting, yaitu menurunnya pengaruh dan status AS sebagai hegemon di kawasan Timur Tengah. Hegemoni ini berlangsung sejak berakhirnya Perang Dingin dan secara otomatis membuka jalan bagi AS untuk mendikte lanskap politik di Timur Tengah. Adanya perang melawan terorisme menjadi dalih bagi Amerika untuk membentuk postur kebijakan yang lebih agresif dalam menanggapi dinamika yang terjadi di kawasan. Namun, strategi ini kemudian harus dibayar oleh Amerika, khususnya pada saat invasi ke Irak yang menimbulkan konflik berlarut-larut dan membangkitkan penolakan dari domestik maupun internasional. Hal ini kemudian 11 AIRPORT • MEI 2017

membuat adanya perubahan kebijakan Amerika ke arah penurunan komitmen seperti penarikan pasukan dari Irak. Semenjak itu, opsi kebijakan Amerika terhadap isu keamanan kawasan khususnya dalam menanggapi Suriah menjadi lebih terbatas. Pola ini dapat terlihat dari kebijakan Obama yang hanya memberi aksi punitif apabila kubu pemerintah Suriah menggunakan senjata kimia. Agenda perubahan rezim tidak lagi menjadi fokus utama dari intervensi tersebut. Terpilihnya Trump di sisi lain diprediksi akan melanjutkan tren penarikan diri ini, mengingat kebijakan luar negerinya yang cukup isolasionis. Namun, tindakan terbaru administrasi Trump untuk meluncurkan serangan misil ke Suriah menimbulkan adanya kemungkinan dilakukannya intervensi oleh Amerika Serikat. Di sisi lain, perlu digarisbawahi pula bahwa dalih yang digunakan oleh Trump tidak jauh berbeda dengan retorika Obama, sehingga kecil kemungkinan kita dapat melihat intervensi dalam skala yang lebih besar. Kembalinya Rusia Rusia yang dapat dikatakan telah

OLEH:

LUCKE HARYO S. P. PURWADITYA YUWANA

sukses melancarkan dukungannya terhadap rezim Assad hingga berujung kemenangan menandakan kembalinya Rusia ke panggung kontestasi kekuatan baik di kawasan Timur Tengah maupun di level global. Pasca Perang Dingin, Rusia terlucuti dari statusnya sebagai negara adidaya. Kondisi ini mengharuskan Rusia untuk melakukan konsolidasi domestik secara intensif yang kemudian membuat Rusia menurunkan skala keterlibatannya terhadap dinamika politik global maupun Timur Tengah secara signifikan. Dalam situasi ini, Amerika dan Barat berusaha untuk mengubah secara drastis tatanan warisan Perang Dingin, khususnya di Eropa Timur dan Timur Tengah. Tentu tindakan ini dipandang oleh Rusia sebagai ancaman bagi kepentingan keamanannya. Persepsi inilah yang mendorong adanya konsolidasi kekuatan Rusia yang menjadi salah satu agenda utama Rusia di bawah pemerintahan Putin. Hal ini dibuktikan dengan berbagai operasi militer Rusia seperti di Chechnya, Georgia, Krimea dan Ukraina Timur, dan tentunya Suriah. Komitmen Rusia terhadap Suriah kemudian dapat diartikan sebagai upaya Rusia untuk


INSIDE

Konflik Suriah tidak dapat disederhanakan sebagai wujud dari rivalitas antara AS dan Rusia semata. Cina secara diplomatik telah mendukung Assad dan bersedia untuk terlibat secara militer apabila dibutuhkan. Israel juga berkepentingan terhadap jatuhnya Assad karena selama ini Assad telah bersekutu dengan musuh Israel, yakni Iran, Hamas, dan Hisbullah. menghentikan perluasan pengaruh Barat di Timur Tengah, terutama di Suriah. Lebih lanjut, adanya penurunan komitmen dari Amerika terhadap Timur Tengah membuka kesempatan baru bagi Rusia untuk memulai keterlibatannya di kawasan tersebut. Bersama-sama dengan Iran, Rusia juga akan berusaha untuk menyeimbangi pengaruh aktor kawasan baru seperti Turki dan Arab Saudi untuk menciptakan pola power politics baru di Timur Tengah. Kompleksitas Konflik Suriah dan Pemetaan Kekuatan Global Konflik Suriah tidak dapat disederhanakan sebagai wujud dari rivalitas antara AS dan Rusia semata. Cina secara diplomatik telah mendukung Assad dan bersedia untuk terlibat secara militer apabila dibutuhkan.1 Israel juga berkepentingan terhadap jatuhnya Assad karena selama ini Assad telah bersekutu dengan musuh Israel, yakni Iran, Hamas, dan Hisbullah. Sejak Iran menyatakan dukungannya kepada Assad, Arab Saudi dan Qatar yang notabene merupakan rival lamanya kemudian berada di pihak pemberontak. Turki di bawah pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdoğan yang berambisi untuk menjadi pemain utama di Timur Tengah juga memutuskan untuk mendukung pemberontak untuk menggulingkan Assad. Suasana yang telah rumit ini kian diperumit dengan hadirnya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang ingin mendirikan

kekhalifahan. Awalnya, ISIS bersama al-Qaeda dan Kurdi berada di pihak yang sama untuk mendukung pemberontak. Akan tetapi, mereka kemudian terpisah dan saling bertentangan karena masing-masing memiliki agenda tersendiri dalam konflik Suriah. Selain itu, terdapat kelompok ekstremis bersenjata lainnya yang turut memperkeruh konflik seperti Jabha al-Nusrah, Ahrar al-Sham Kataeb, Ahrar Souria, Liwa’ al-Tauhid, Halab al-Shahba, dan Daral-Ummah. Banyaknya pihak yang terlibat menyebabkan konflik Suriah menjadi sebuah ‘noodle bowl’ dimana kepentingan politik, ekonomi, etnisitas, dan agama dari para aktor saling berbenturan. AS yang selama ini menjadi hegemon tunggal pasca-Perang Dingin secara perlahan mengalami pelucutan pengaruh di kawasan Timur Tengah karena meningkatnya kapabilitas Rusia dalam mengimbangi AS dan juga terpilihnya Trump sebagai presiden AS yang cenderung isolasionis. Selain itu, munculnya sikap Cina sebagai rising power dalam konflik ini juga turut membentuk persepsi khalayak dalam memandang dinamika politik global kontemporer. Di samping itu, negara-negara kawasan seperti Iran, Arab Saudi,

dan terutama Turki juga menunjukkan intensinya dalam dominasi politik kawasan. Ini menjadi salah satu sinyalemen bahwa sistem global sedang mengalami transisi dari unipolar di mana AS sebagai hegemon menjadi multipolar. Ditambah dengan agresivitas kelompok ekstremis yang mampu untuk memukul mundur pemerintah dan sempat menguasai beberapa kota penting di Timur Tengah seperti Mosul dan Raqqa, sistem multipolar dalam konteks Timur Tengah tidak hanya bicara tentang aktor negara, tetapi juga non-negara. Namun, hanya Rusia dan Cina yang sejauh ini mampu mengimbangi kekuatan AS. Selain itu, bagi Rusia konflik Suriah hanya menjadi salah satu arena pembuktiannya sebagai negara pecahan terbesar Uni Soviet untuk kembali diperhitungkan.

A. Taylor, ‘Bashar al-Assad says relations between Syria and Cina are ‘on the rise’,’ Washington Post (daring), 12th March 2017, <https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2017/03/12/bashar-al-assad-says-rela tions-between-syria-and-Cina-are-on-the -rise/>, diakses pada 9 April 2017.

1

AIRPORT • MEI 2017

12


S E N I

T U L I S D A S S

Kutipan untuk kawaNkawan yang jauh di kampung halaman

K O M A H I

Semoga kalian senantiasa dalam keaadan baik dan ceria. Kota ini asing, kawan. Kawanku yang baru adalah anak-anak yang baik dan cerdas. Mereka sungguh menarik, namun aku belum sepenuhnya tertarik. Aku yang besar bersama kalian tak mungkin berkata anjing-bangsat dengan cukup mudah, seperti waktu kita SMA. Mungkin kelak, kawan, ketika aku telah melewati semua cara untuk berhasil sampai ke kota yang mendewasakan kita, Kumohon ajari aku lagi bagaimana caranya merayakan setiap kegagalan dan kebahagiaan hidup dengan penuh sukacita. Dengan penuh canda. “Walau sejenak terfikirkan, untuk sudahi semua dan persetan. Bila harus terulang, mungkinkah kutulis dari awal?”

Bukan sore ini, Aku tak liat senja penuh jingga Dititipnya salam pada bintang dibalik kelut awan Tidak pernah sampai Jauh, jauh Hening, sepi Tidak dibawanya juga surat rindu lewat bus-bus kota Kertas ini sudah lusuh penuh coret Tapi tidak sekata dibacanya Kapan sampai? Aku bertanya di ruangan kedap suara.

PENGHIBURAN UNTUK NONA MANIS

13 AIRPORT • MEI 2017

U G M

KERTAS LUSUH INI TIDAK PERNAH SAMPAI

Nona, kau murung Nona, kau sedih Mengapa lagi nona? Terduduk sendiri di ujung kantin sana? Bahkan makananmu sudah dicicipi lalat Sudahlah nona, hapus kalut di matamu Telan lagi air matamu Bersusah-susah tidak memberi jawaban Tidak ada yang menawarkanmu pangkuan Nona, kau lebih manis dari kopi yang ku minum pagi ini Tak perlu lagi kau sesali yang ada Tersenyum saja nona Biar lalat yang ada di atas tempe gorengmu Sudi hinggap di sabit bibirmu


SENI TULIS

MelengKUNG MENJAUH

Tidak lebih dari dua garis melengkung yang sempat saling merapat mengikis jarak, hanya untuk saling membelok menjauh sebelum sempat berpotongan sesaatpun. Tak mengapa. Sedikitpun tidak menyalahkan. Dan tatkala ia temui arti bahagia untuknya, dan tatkala ia hayati segala rasa yang tercurah baginya, dengan bangga akan kuceritakan pada angkasa mengenai segala sementara di antara ada dan tiada. Sebab, adakalanya ber-“semoga bahagia” ialah lebih mulia dari memiliki sekalipun. Dan bahagianya, kreasi siapapun itu, ialah satu-satunya perihal yang mampu mendamaikanku.

"..hati orang tua, hakim yang paling ringan, simpatisan yang paling intim, matahari cinta yang apinya menghangkatkan yang paling sentral dari upaya kita.” Surat Marx kepada Ayahnya (1837)

For when your choices discombobulate you. What if those intersections are not question marks, but rather the universe's way of presenting itself to your mortal eye: a simplified infinity? What if you are not meant to be a master of one road who knows every single one of its nooks and crannies, but rather a jack of all trade, given a little taste of every big thing the universe has to offer? What if you are not meant to be a single picture on a frame, but rather a wall of fame with tiny photographs holding to you like a lifeline? What if it is not so bad: not being plastered with a distinct medal, but rather living audaciously through the wonders and mysteries this world has provided? Maybe you are not meant to touch a star, but rather, your arms are meant to hug galaxies.

TINY INFInITIES

AIRPORT • MEI 2017

14


RESENSI BUKU

Glenn Greenwald

NO PLACE TO HIDE

OLEH:

DILLA MAHARTINA P.

Penulis Glenn Greenwald Tahun 2013 Halaman 374

15 AIRPORT • MEI 2017

Masih teringat dengan jelas dalam benak gambaran runtuhnya menara kembar World Trade Center atau yang lebih akrab disebut menara WTC di New York City, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001. Tragedi yang setiap tahun diperingati sebagai hari dimana Amerika Serikat kecolongan oleh 19 teroris yang berhasil membajak pesawat komersil dan menabrakkannya ke beberapa tempat penting di negara hegemoni ini dikenal dengan nama peristiwa 9/11. Sebagai respon atas aksi teror ini, presiden negara hegemon yang sedang terluka saat itu, George W. Bush, dengan berang mendeklarasikan War on Terror (WoT), yaitu perang yang bertujuan membasmi terorisme. Pada implementasinya, WoT menuai banyak kecaman dari masyarakat internasional karena banyak diantara mereka yang berpendapat pemerintah Amerika Serikat justru menggunakan WoT sebagai justiďŹ kasi atas beberapa kebijakan ekstrem yang pada kenyataannya tidak membuktikan adanya unsur terorisme. Glenn Greenwald, seorang jurnalis Amerika ternama, dalam bukunya No Place To Hide (2013) membahas salah satu peristiwa internasional paling fenomenal dalam dekade ini yang masih berkaitan dengan kebijakan ekstrem Pemerintah Amerika Serikat dalam menggunakan justiďŹ kasi WoT yaitu munculnya seorang wistleblower yang melaporkan aksi negara hegemoni ini dalam memata-matai penduduk dunia secara masal melalui National Security Agency (NSA) dengan dalih memberantas kemungkinan-kemungkinan akan terjadinya aksi teror yang merugikan Amerika Serikat di kemudian hari. Dalam bukunya, Glenn Greenwald, menceritakan kisah perjalanan panjang penuh liku Edward Snowden, sang whistleblower, yang harus ditempuh demi melaporkan kejadian luar biasa ini kepada publik. NSA, menurut kesaksian Edward Snowden yang sempat bekerja sebagai pakar keamanan komputer di organisasi tersebut, telah bekerjasama secara rahasia dengan Microsoft, Yahoo!, Google, Facebook, PalTalk, AOL, Skype, YouTube, dan Apple untuk mengumpulkan data langsung dari server sembilan perusahaan komputer berskala internasional tersebut. Dengan usaha, perjuangan, dan tekad yang kuat, Snowden memilih untuk membocorkan tindakan ini kepada publik karena kepercayaannya bahwa internet adalah ruang yang menjanjikan kebebasan dan peluang untuk eksplorasi. Hal yang menarik dari buku ini adalah Greenwald berhasil menceritakan perjalanan Snowden dalam pembongkaran mata-mata massal ini dengan runtut serta menyertakan gambar bukti-bukti tindakan NSA yang berupa graďŹ k dan istilah-istilah intelejen yang walaupun terasa asing bagi para pembaca tetapi berhasil dikemas dengan cerdik oleh Greenwald. Dalam bukunya, Greenwald juga menyertakan penjelasan dari istilah-istilah asing tersebut sehingga para pembaca dapat memahaminya dengan baik bahkan seolah-olah terlibat langsung di lapangan bersama Edward Snowden. Selain itu, No Place to Hide juga berhasil menunjukkan seberapa kuat pengaruh Amerika Serikat atas negara-negara lain kepada para pembacanya. Hal ini dapat dibuktikan dari data-data rahasia pemerintah bahkan penduduk negara lain yang dapat diakses secara massal oleh pemerintah Amerika Serikat tanpa kendala yang berarti.


RESENSI FILM

“Tangerines”

PERMUSUHAN YANG MEREDA BERKAT KEBAIKAN

OLEH:

MUH. RESPATI HARUN Resolusi konflik adalah hal yang sangat diperlukan untuk mencapai perdamaian. Hal itulah yang coba disampaikan oleh Zaza Urushadze dalam “Tangerines”. Film nominasi Oscar dan Golden Globe ini berlatar belakang di suatu desa berisi orang-orang Estonia di Abkhazia sejak abad ke-19. Perang Georgia-Abkhazia pada 1992 telah memaksa orang-orang di desa itu hengkang. Hampir seluruh orang di desa tersebut terpaksa kembali ke Estonia, kecuali Ivo (Lembit Ulfsak), dan Margus (Elmo Nüganen). Ivo enggan kembalike Estonia, sedangkan Margus menunda kepulangannya karena menunggu panen di kebun jeruknya. Suatu hari, terjadi baku tembak di depan rumah Margus. Hampir seluruh orang yang terlibat dalam baku tembak tersebut tewas kecuali Ahmed (Giorgi Nakashidze), seorang tentara bayaran dari Chechnya dan Nika (Mikheil Meskhi) yang merupakan tentara Georgia. Ahmed dan Nika kemudian berada di bawah perawatan Ivo yang seringkali melerai keduanya yang sangat membenci satu sama lain karena latar belakang hingga saling ingin membunuh. Kompleksitas plot timbul saat suatu hari rumah Ivo didatangi oleh sejumlah pasukan Rusia. Kedatangan pasukan Rusia tersebut disambut oleh Ahmed yang merupakan pasukan Chechnya, sekutu Rusia. Namun, pasukan Rusia tersebut malah mencurigai Ahmed sebagai pasukan Georgia. Di sinilah dinamika hubungan ILM INI karakter-karakter yang ada diuji. Baku tembak MENGANGKAT yang terjadi antara tentara Rusia dengan Ahmed dan Nika memakan korban dan menimbulkan ISU PERDAMAIAN trauma emosional—sebuah potret konflik yang SEBAGAI FOKUS realistis. Film ini mengangkat isu perdamaian SANGAT sebagai fokus, dan cukup baik dalam menggambarkan bagaimana proses perdamaian dua DIREKOMENindividu dari pihak yang berseberangan dalam DASIKAN BAGI konflik. Film ini sangat direkomendasikan bagi MEREKA YANG mereka yang tertarik dengan isu tersebut, termasuk yang berkecimpung dalam bidang HI. TERTARIK Salah satu nilai moral yang terkandung adalah DENGAN ISU bahwa melepaskan perbedaan sangat penting TERSEBUT dalam mewujudkan perdamaian. Seperti yang digambarkan salah satu adegan paling memoraTERMASUK YANG ble, “Maksudnya? Kau menguburkan orang BERKECIMPUNG Georgia di sebelah anakmu?” tanya Ahmed. DALAM BIDANG “Ahmed, apa itu penting?” tanya Ivo. “Tidak penting,” jawab Ahmed yang kemudian pulang untuk bertemu dengan keluarganya.

F

...

,

Sutradara Zaza Urushadze Pemeran Lembit Ulfsak, Elmo Nüganen, Giorgi Nakashidze, Mikheil Meskhi Durasi 87 menit

,

HI.

AIRPORT • MEI 2017

16


AIRPORTPEDIA

OLEH: THEODORE GREAT SIFRA AIPASSA

Definisi populisme kerap kali menjadi perdebatan, namun beberapa karakteristik dari populisme yaitu memihak kepada rakyat mayoritas dan membagi dunia dalam dua keberpihakan yaitu para kelas atas dan kelas bawah, yang mana biasanya kelas bawah ini menjadi kelompok mayoritas yang memiliki keinginan untuk melawan kelas atas. Tidak ada definisi yang dapat menjelaskan populisme secara keseluruhan. Hal ini dijelaskan oleh Cas Mudde

bahwa populisme adalah thin ideology, yang hanya menjelaskan sebagian kecil dari agenda politik. Definisi ideologi ini memiliki pembahasan kerangka pemikiran antara masyarakat (the pure people) versus kelompok elit korup (the corrupt elite). Ideologi populisme kemudian dapat diikutsertakan dengan “thick idelogy” seperti sosialisme, nasionalisme, atau rasisme yang memiliki komponen dengan pergerakan dinamis untuk menjelaskan fenomena yang terjadi.

Populisme di berbagai daerah Amerika Serikat

Populisme dimulai setelah Perang Saudara dan awal dari revolusi industri di negara tersebut untuk menuntut perubahan ekonomi. Gerakan tersebut mengawali terbentuknya partai populis di Amerika Serikat.

Amerika Latin

Populisme dipelopori oleh beberapa tokoh seperti Presiden Brazil, Getúlio Vargas pada tahun 1930 dan presiden-presiden lainnya seperti Presiden Bolivia, Evo Morales.

Eropa

Dua tokoh populisme yang memiliki pengaruh besar antara lain Berlusconi, seorang pemimpin Italia yang fokus pada isu anti-korupsi dan Hitler yang membawa isu kemurnian suku orang Jerman. Dua tokoh ini sangat kontradiktif dengan isu yang mereka suarakan karena dibalik isu tersebut, Berlusconi adalah seorang koruptor sedangkan Hitler berasal dari Austria. Donald Trump Presiden Amerika Serikat Dalam kampanyenya Trump banyak mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro-pekerja yang merasakan dampak kerugian dari kesenjangan.

Para Populis

Rodrigo Duterte Presiden Filipina Sering kali membawa kebijakan yang tidak mendukung para elit kelas atas. Marine Le-Pen Dalam pemilihan umum yang akan diadakan di Prancis berkampanye dengan menggunakan isu anti-globalisasi dan ingin membawa Prancis menjadi negara yang lebih tertutup. Geert Wilders Salah satu kandidat dalam pemilu Belanda yang melakukan kampanye dengan kata-kata anti-Islam dan anti-EU. Namun, dalam pemilu yang diadakan di Belanda pada bulan Maret lalu, Geert Wilders kalah dari pesaingnya yaitu Mark Rutte.

Cannane, Steve. "Dutch Opt For Tolerance And Reject Wilders' Populism". ABC News, 2017. http://www.abc.net.au/news/2017-03-16/geert-wilders-falls-well-short-on-election-day-analysis/8361506. France-Presse, Agence. "Duterte, Trump, 'Brexit': Populist Surge Worldwide". ABS-CBN News, 2016. http://news.abs-cbn.com/overseas/11/10/16/duterte-trump-brexit-populist-surge-worldwide. Gale, Thomson. "Populism Facts, Information, Pictures | Encyclopedia.Com Articles About Populism". Encyclopedia.Com, 2008. http://www.encyclopedia.com/history/united-states-and-canada/us-history/populism. Kuttner, Robert. "Trump, Berlusconi, Hitler And The Populist Moment". The Huffington Post, 2017. http://www.huffingtonpost.com/robert-kuttner/trump-berlusconi-hitler-a_b_9344570.html. Mudde, Cas. "The Problem With Populism | Cas Mudde". The Guardian, 2015. https://www.theguardian.com/commentisfree/2015/feb/17/problem-populism-syriza-podemos-dark-side-europe. Nossiter, Adam. "Marine Le Pen Echoes Trump’S Bleak Populism In French Campaign Kickoff". Nytimes.Com, 2017. https://www.nytimes.com/2017/02/05/world/europe/marine-le-pen-trump-populism-france-election.html. Thompson, Derek. "The Big Populist Lie". The Atlantic, 2017. https://www.theatlantic.com/business/archive/2017/03/trumps-populist-mirage/520599.

17 AIRPORT • MEI 2017


STATCORNER

S T A T C O R N E R

A NEW WORLD ORDER? HARD POWER 01

Kekuatan Militer

% GDP untuk militer

4, 35

1,99

0,97

3,49

2,40

Personel militer aktif

1.400.000

2.335.000

250.000

766.055

1.325.000

Attack Aircraft

2.785

1.385

287

1.438

809

Kekuatan Tank

8.848

9.150

678

15.398

6.464

Defense Budget Tahunan

$581 miliar

$155,6 miliar

$40,3 miliar

$46,6 miliar

$40 miliar

Kapal Selam

75

68

17

60

60

Sumber: CIA World Factbook, globalfirepower.com

SOFT POWER 01

Pertumbuhan PDB 2017

7,98%

6,2%

2,22%

2,502%

INDIA

Cina

US

UK

Jumlah PDB:

Jumlah PDB:

Jumlah PDB:

Jumlah PDB:

$2.487,94

$2.885,48

$19.284,99

$12.263,43

1,29%

Perancis Jumlah PDB:

$2.537,92 Sumber: economicwatch, IMF

Eropa

9,7%

Afrika

8% Amerika Utara dan Amerika Selatan

Rasio Pengangguran 2017 02

Timur Tengah

10,6%

Sumber: World Economics Outlook, ILO

Asia

(Timur, Tenggara Tengah)

4,2%

5,1%

AIRPORT • MEI 2017

18


OPINI

OPINI Seiring status Cina sebagai rising power, apakah hegemoni Amerika Serikat mengalami deteriorasi? Jika iya, apa implikasi momentum tersebut?

GIDION IVAN ARLY - HI 2015 Apabila melihat kondisi sekarang, hegemoni AS menurutku belum mengalami penurunan yang signifikan. Yuk lihat dinamika internasional saat ini, dimana dunia sedang disibukkan oleh dampak kebijakan ‘America First’ yang kemudian banyak dari kita translasikan sebagai kebijakan yang cenderung ‘isolasionis’ yang diterapkan oleh Presiden Trump. Banyak hubungan ataupun perjanjian baik multilateral ataupun bilateral yang harus disusun atau bahkan dibangun ulang. Kebijakan-kebijakan Trump – baik domestik maupun internasional yang kontroversial memiliki pengaruh masif secara global hingga saat ini, yang kemudian menurutku dapat dijadikan indikator bagaimana hegemoni AS belum menunjukkan significant ‘downfall’. Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri pula kalau bangkitnya sebagai kekuatan baru – bersama negara BRICS lainnya, juga berpotensi untuk menjadi kompetitor kuat yang dapat memukul mundur hegemoni AS dalam dunia internasional. Tapi untuk sekarang, aku berargumen kalau hegemoni AS belum mengalami penurunan meski sudah memiliki berbagai kompetitor hebat. Tergantung bagaimana pemerintahan Trump – ataupun pemerintahan AS selanjutnya, dapat mengelola kekuatan, potensi, dan privilese yang dimiliki AS saat ini dalam mempertahankan hegemoni-nya.

OKTIVA DEWI PUSPITA - HI 2016 Menurutku, iya. Hegemoni AS mengalami penurunan bersamaan dengan munculnya beberapa negara rising power, seperti Cina dan India. Implikasinya antara lain perubahan balance of power dunia, yang sebelumnya dengan hegemoni AS cenderung lebih unipolar. Terus dengan menurunnya hegemoni AS, sistemnya bisa jadi lebih multipolar yang nantinya juga berpengaruh sama perilaku negara-negara middle dan small power.

TARADHINTA SURYANDARI - HI 2014 Menurutku, peran hegemoni Amerika Serikat memang menurun. Dulu kan dari keamanan, budaya, ekonomi, pokoknya semua sektor sepertinya dikuasai Amerika. Sekarang, walaupun militer Amerika mungkin masih paling kuat, tapi kalau bicara ekonomi misalnya, banyak yang bilang Cina sudah menguasai ekonomi dunia, kalau bicara budaya, Korsel juga punya pengaruh yang cukup kuat. Kalau bicara teknologi, Jepang dan India juga luar biasa keren inovasinya. Itu isu, kalau wilayah juga di Timur Tengah misalnya, nggak lagi US doang, tapi ada Iran juga. Nah, implikasinya, saat alat-alat yang bisa digunakan untuk berkuasa baik soft maupun hard power sudah tersebar ke yang lain, ya mungkin dunianya bisa lebih multipolar. Di satu sisi, mungkin akan lebih adil (dengan asumsi negara semacam Korsel dan India mau memperjuangkan causes negara berkembang yang selama ini selalu left behind) tapi di sisi lain, berdasarkan pendapat seorang teman yang menurutku menarik, mungkin dunianya akan lebih unpredictable, lebih dinamis. Kalau dulu yang punya kuasa hegemonik Amerika; kita sudah tahu “Oh Amerika itu sifatnya a b c d e. Maka negara lain akan bertindak x, y, z terhadap sifat Amerika yang kayak gitu.” Nah kalau sekarang mungkin susah ya.

KRISTIAN OKA PRASETYADI - HI 2014 Memang, Cina sejak akhir 1990an hingga sekarang sudah melampaui AS dari segi surplus neraca perdagangan. Sekitar tahun 2000, Cina mengalami economic boom sehingga pertumbuhannya bisa melaju pesat. Akhirnya, munculah Cina sebagai negara yang mungkin mengandalkan soft power dengan ekonomi sebagai instrumennya. Tak dapat dipungkiri pula bahwa aktivitasnya di LCS dan di LCT mengkhawatirkan. Tapi menurutku, dari segi hard power, Amerika Serikat, terlepas dari kekuatan aktualnya, masih bersikap sebagai hegemon. AS masih mengirimkan pasukan ke Polandia, Korea Selatan, dan yang baru saja akhir-akhir ini, serangan ke Suriah (sebagai tanggapan chemical attack yang dipercaya umum sebagai perbuatan Bashar Al Assad). Jadi, kepemilikan power itu berkaitan juga dengan penggunaannya. Sejauh ini, AS masih menggunakan kekuasaannya dan bersikap sebagai hegemon, sedangkan Cina masih merupakan emerging sebagai tantangan. 19

AIRPORT • MEI 2017


AIRPORTCOMIC

AIRPORT • MEI 2017

20


TTS

TEKA TEKI SILANG 9

Kirimkan jawaban Anda ke inkaofficial@gmail.com.

4

Dua pemenang akan mendapat hadiah menarik.

5

8

7

2 3

6

10 1

1. MENDATAR

satu megaproyek pembangunan 3. Salah infrastruktur Cina 6. Peluncuran oleh Amerika Serikat pada 7 April 8. 2017 10. Status quo Cina pada sistem internasional Rival Amerika Serikat Negara Asia satu-satunya yang masuk dalam peringkat lima besar pemiliki GDP militer terbesar

MENURUN

2. Konflik Suriah dapat dikategorikan sebagai bentuk … 4. Pemimpin Suriah 5. Kebijakan politik yang memihak pada masyarakat menengah ke bawah 7. Aliran politik yang cenderung nasionalis dan terkadang etnosentris 9. The superpower

AIRPORT • MEI 2017

21


EARLY BIRD OPENS UNTIL

GAMA

20th MAY

2017

DC 2017

GADJAH MADA DIPLOMATIC COURSE “The Presence of Democracy and Peace in the Society: Challenges and Prospects”

GRAND SEMINAR

MODEL BDF

TABLE MANNER

August 25-27, 2017

Santika Premier Yogyakarta EARLY BIRD REGISTRATION FEE SEMINAR

IDR 85.000

MODEL BDF & DIPLOMATIC COURSE

IDR 300.000

FULL PACKAGE

IDR 450.000

TABLE MANNER

IDR 130.000

FULL ACCOMMODATION

IDR 1.500.000

Register yourself through: http://bit.ly/gamadc2017-earlyregistration CONTACT PERSON

SELMA THEOFANY +6285730542121 LINE: stheofany

SOCIAL MEDIA

LINE E-mail

: @wzk8347u : mail.gamadc2017@gmail.com



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.