MEMIJAK BUMI • MENATAP DUNIA
DISINTEGRASI EROPA: intoleransi
&NON PERDAMAIAN
••••••••••••••••••••••••••
{ QUO VADIS INTEGRASI EROPA } The Rise of Right-Wing Parties in European Countries
••• HALAMAN 3 •••
MEMAHAMI BREXIT ••• ••• HALAMAN 5
CHIT-CHAT: MAS OGIK (HALAMAN 7) INSIDE: BURKINI BAN (HALAMAN 11)
NOV 2016
DAFTAR ISI
3
Memahami Brexit
‘Quo Vadis’ Integrasi Eropa OLEH WILIBRORDUS BINTANG & ALOYSIUS ANANDYO
OLEH GIDION IVAN & NIDA IRMANTI
5 7
Chit Chat: Mas Ogik DIWAWANCARAI OLEH SITI KHOTIMAH
Refleksi: Kristian Oka DIWAWANCARAI OLEH TIM REDAKSI
9 7
Inside: The Burkini Ban OLEH JANITRA HARYANTO & ARUMDRIYA MURWANI
•••••••••••••••••••••••••• NEWSFLASH 10
Managing Refugee Crisis: Joint Action Plan and Its Progress
OLEH REZA ANGGRAINI & KEVAL DIOVANZA
AIRPORTCOMIC 13 RESENSI BUKU 14
Istanbul oleh Orhan Pamuk
DIBAHAS OLEH NAOMI RESTI ANDITYA
RESENSI FILM 15 Der Untergang (2004)
DIBAHAS OLEH MUHAMMAD RESPATI
1
AIRPORT • NOVEMBER 2016
16 AIRPORTPEDIA After Brexit & Post Brexit
OLEH ELLYATI PRIYANKA
17 STAT-CORNER
Euroscepticsm & Far-Right Politics
19 OPINI
Kemungkinan Disintegrasi yang Membayangi Eropa Sekarang DIWAWANCARAI OLEH FARRAS MASARDHI
21 TEKA-TEKI SILANG
EDITORIAL
PIMPINAN REDAKSI DEWI AYU MEGAWATI ELLYATY PRIYANKA RIDHO BIMA P. LAYOUTER MELINDA GULARSO TIM REDAKSI ALOYSIUS ANANDYO P. ARUMDRIYA MURWANI FARRAS KHALIDA M. GIDION IVAN A. JANITRA HARYANTO KEVAL DIOVANZA H. LUKAS WIBOWO NAOMI RESTI A. NIDA IRMANTI, M. RESPATI HARUN REZA SUTRISNO SITI KHOTIMAH WILLIBRORDUS B.H. PENANGGUNG JAWAB DR. NUR RACHMAT YULIANTO PEMIMPIN UMUM NOVRIMA RIZKI ARSYANI
sebuah catatan dari kami
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya redaksi kembali menerbitkan Airport Edisi November 2016. Redaksi berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah kooperatif dan berkontribusi demi kesuksesan penerbitan Airport kali.
Pada edisi ini, Airport mengambil tema besar Disintegrasi Eropa: Isu Intoleransi & Non-Perdamaian yang membahas isu-isu disintegrasi di Uni Eropa dan memahami latar belakang serta implikasi lanskap sosial, politik, dan ekonomi pasca Brexit baik ke Britania Raya dan UE. Pada rubrik Fokus I, penulis memaparkan kebangkitan partai sayap kanan yang mendukung kebijakan nasionalisme anti-asing sebagai manifestasi kekecewaan terhadap krisis yang terjadi di Eropa. Fokus II memberi pemahaman yang lebih komprehensif terkait Brexit. Selain itu, rubrik-rubrik lainnya seperti Inside mengupas kecacatan argumen pendukung pelarangan Burkini di Perancis, News Flash membahas mekanisme penanganan pengungsi, dan masih banyak rubrik menarik lainnya. Sebagai penutup, redaksi mengharapkan pembaca dapat menikmati hasil karya kami. Salam jurnalistik!
DEPARTEMEN INTRAKURIKULER DAN AKADEMIK (INKA) KORPS MAHASISWA HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA JALAN SOSIO-YUSTISIA, BULAKSUMUR, DEPOK, SLEMAN, YOGYAKARTA 55281 HUBUNGI KAMI DI INKAOFFICIAL@GMAIL.COM
AIRPORT • NOVEMBER 2016
2
FOKUS
‘Quo Vadis’ Integrasi Eropa
The Rise of Right-Wing Parties in European Countries OLEH: ALOYSIUS ANANDYO PAMBUDI & WILIBRORDUS BINTANG Pada bulan Juli 2016 yang lalu, laman The New York Times merilis sebuah artikel yang berisi data mengenai tingkat kecenderungan kebangkitan “partai sayap kanan” (Right Wing Party/RWP) di beberapa negara Uni Eropa. Artikel tersebut memuat data mengenai tingkat perkembangan elektabilitas RWP di 20 negara Uni Eropa dalam interval waktu antara tahun 1999 hingga tahun 2016. Mengenai rilis ini, “sayap kanan” yang dimaksud di dalamnya meliputi aliran yang nasionalis-populis hingga fasis. Beberapa negara menunjukkan perkembangan elektabilitas RWP yang tinggi, diantaranya adalah Austria, Denmark, Perancis, Inggris, Jerman, Polandia dan juga Slovakia.1 Bahkan, data lain menunjukkan bahwa pada tahun 2014, partai beraliran sayap kanan ekstrim (Extreme Right Wing Party/ERWP) mampu memegang kendali dominasi dan melaju mulus di dalam Pemilihan Umum Anggota Dewan Uni Eropa2. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi di negara-negara Uni Eropa? Jika dilihat secara lebih mendalam, terdapat ketakutan dan kekecewaan yang melanda masyarakat Eropa atas kondisi saat ini. Masuknya imigran yang sebagian besar berasal dari dataran Afrika dan Timur Tengah membuat masyarakat Eropa perlu bekerja lebih keras dalam bersaing memperebutkan lapangan pekerjaan. Kontestasi dalam dunia kerja nampak semakin ketat dan nyata, baik di sektor formal maupun informal. Selain itu, isu keamanan yang berkaitan dengan serangkaian aksi terorisme menyebabkan masyarakat tidak lagi percaya kepada “orang-orang lama” di pemerintahan. Parta-partai dengan mainstream background ideologi liberal-konservatif, liberal-demokratis, ataupun sosialis pun akhirnya mulai kehilangan popularitasnya. Alhasil, RWP yang mengusung semangat
1
nasionalis-populis (bahkan beberapa cenderung fasis) menjanjikan kestabilan dan kemakmuran dengan jalan mengorbankan imigran sebagai alternatif pilihan masyarakat asli Eropa. Gelombang kampanye-kampanye bertemakan hal tersebut semakin menyeruak dalam kurun 4 tahun terakhir, ketika krisis integrasi Uni Eropa mulai naik ke level yang lebih tinggi. Sebut saja tokoh-tokoh kharismatik seperti Marine Le Pen (Front National, Perancis) atau Nigel Farage (UKIP, Britania Raya) yang menggunakan “politik ketakutan” untuk menarik jumlah massa. Dengan kemampuan oratorial yang baik, mereka memberikan janji yang berfokus pada pengembalian kedaulatan negara secara utuh. Kampanye-kampanye yang dilakukan memuat konten bertemakan “Europe is for Europeans” atau “Eropa adalah untuk orang Eropa” yang kemudian tersebar luas lewat media. RWP juga memandang bahwa kesempatan yang diberikan kepada para migran untuk memperoleh sumber penghidupan di dataran Eropa merupakan kesalahan Uni Eropa yang pada akhirnya justru merugikan warga asli Eropa sendiri. Mari kita beralih pada kemenangan kubu “Leave” pada referendum British Exit (Brexit) yang dilaksanakan pada tanggal 23 Juni 2016. Jika dicermati, kemenangan tersebut diperoleh karena usaha kampanye yang menarget penuh kepada kelompok yang terkena dampak masalah ekonomi, terutama di wilayah industri serta pertanian di wilayah Midlands dan utara Inggris. Isu permasalahan keamanan yang hadir atas influx imigran dengan Uni Eropa sebagai “kambing hitam” dan wacana kegagalan kerja sama Inggris dan Uni Eropa juga tidak luput dari agenda setting kampanye RWP Inggris. Hasilnya, Inggris dan Wales memiliki jumlah persentase terbesar penduduk yang memilih untuk Leave. Namun hal yang menarik terjadi pula dalam konteks Brexit, karena sebagian besar penduduk Irlandia Utara dan Skotlandia justru
G. Aisch, A. Pearce, dan B. Rousseau, ‘How Far is Europe Swinging to the Right?,’ New York Times, 25 July 2016 (daring), http://www.nytimes.com/interactive/2016/05/22/world/europe/europe-right-wing-austria-hungary.html?_r=0
2
‘Results of the 2014 European elections,’ European Parliament, 1 July 2014 (daring), http://www.europarl.europa.eu/elections2014-results/en/election-results-2014.html
3
AIRPORT • NOVEMBER 2016
FOKUS
memilih untuk Remain. Scottish National Party yang notabene adalah partai konservatif, dalam hal ini memang memegang agenda lain yaitu memunculkan wacana kemerdekaan dari Britania Raya.
“
Alhasil, kebangkitan ‘Right-Wing Parties’ di negara-negara Uni Eropa saat ini memang menjadi fenomena yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Berbagai krisis yang ada menjadi tonggak fondasi kebangkitan RWP yang hadir melalui politik ketakutan dan kekecewaan.
”
Sedikit bergeser ke selatan, hal yang tidak jauh berbeda terjadi di Perancis. Isu keamanan dan ekonomi masih menjadi konten kampanye yang ampuh dalam mendulang suara bagi partai Front National yang dipimpin oleh keluarga Le Pen. Lonjakan peningkatan suara yang ada semenjak pemilu domestik 2012 secara tidak langung dipengaruhi oleh isu-isu imigran yang dikaitkan dengan beberapa aksi terror di beberapa wilayah Perancis. Aksi teror jelas memberikan dampak ketakutan yang besar bagi masyarakat Perancis dan hal ini pula yang menyebabkan elektabilitas RWP Perancis semakin meningkat. Di Hungaria, ERWP justru berkuasa dengan Viktor Orban sebagai perdana menteri yang salah satu kebijakan kontroversialnya adalah menutup perbatasan negaranya demi mencegah masuknya imigran. Padahal, dalam konteks Uni Eropa, hal ini menyalahi asas keterbukaan yang tercantum dalam Schengen Plan. Masyarakat Yunani yang sempat dilanda krisis ekonomi berkepanjangan pun secara politik mulai menunjukkan adanya tendensi simpati kepada wacana-wacana yang dibawa oleh RWP di negaranya. Keputusan Uni Eropa untuk terus membuat ekonomi Yunani “hidup” melalui sokongan dana yang diperoleh dari pajak warga negara Uni Eropa lainnya juga ternyata menimbulkan ketidakpuasan di dalam internal domestik masyarakat Yunani sendiri. Sebenarnya perhatian khusus perlu diberikan kepada Jerman, ketika hasil pemilu domestik 2016 memenangkan partai AfD (Alternative fur Deutcshland) yang mengusung misi pemberhentian arus
imigran yang masuk ke Jerman. Ia mengalahkan CDU (Christlich Demokratische Union Deutschlands), sebuah partai politik beraliran liberal-konservatif pimpinan Angela Merkel, yang dengan kebijakannya membuka lebar pintu masuk bagi arus imigran di Jerman. Keputusan Jerman dibawah kepemimpinan Merkel untuk menampung pengungsi dianggap oleh masyarakat Jerman menimbulkan gangguan keamanan di lingkup internal dan akhirnya dikaitkan dengan serangan-serangan teror yang mengatasnamakan agama. Menariknya kasus-kasus semacam ini nampak memiliki intensitas yang besar di wilayah-wilayah yang dahulunya ada di Jerman Timur yang dalam kerangka analisis historis-ekonomi memiliki tingkat kesenjangan ekonomi dengan wilayah-wilayah di Jerman bagian barat. Artinya, ketidakpuasan warga Jerman (terutama yang berada di wilayah timur) terhadap kondisi kesenjangan ekonomi yang ada, ditambah dengan gangguan-gangguan keamanan yang nyatanya terjadi, membuat masyarakat memalingkan simpatinya kepada wacana-wacana yang dilontarkan oleh RWP tentang nasionalisme, anti-Islam, dan lain sebagainya. Beberapa kasus dalam pertandingan sepakbola di Liga Jerman bahkan menampakkan berkibarnya bendera Neo-Nazi di tribun penonton. Alhasil, kebangkitan Right-Wing Parties di negara-negara Uni Eropa saat ini memang menjadi fenomena yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Berbagai krisis yang ada menjadi tonggak fondasi kebangkitan RWP yang hadir melalui politik ketakutan dan kekecewaan. Hal ini diakui ampuh dalam menarik simpati warga Eropa. Isu-isu anti-Islam dan anti-imigran yang dihembuskan dengan bumbu-bumbu kesenjangan ekonomi pun menjadi “bahan bakar” RWP dalam melebarkan jangkauannya. Pertanyaan besar patut disematkan kepada Uni Eropa yang selama ini telah dianggap sebagai model ideal integrasi masyarakat di level regional. Dalam konteks hubungan internasional, apakah integrasi masyarakat benar-benar dapat tercapai dan berjalan berkesinambungan? Atau mungkin seperti yang telah lama diungkapkan para kaum realis, bahwa sejatinya kerjasama akan sulit dilakukan karena negara akan terus berfokus pada national interest-nya, seperti yang terjadi di Inggris saat ini?
AIRPORT • NOVEMBER 2016
4
FOKUS
MEMAHAMI
BREXIT OLEH:
GIDION IVAN ARLY
Beberapa bulan belakangan ini, kita tidak asing lagi dengan istilah ‘Brexit’. Istilah Brexit sendiri berasal dari gabungan British dan Exit, yang merujuk pada proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa (UE) sebagai hasil dari referendum pada Juni 2016 yang lalu di mana 51.9% pemilih warga negara Inggris memilih untuk keluar dari UE. Brexit sendiri bukan fenomena baru, melainkan hasil pertimbangan dari keanggotaan Inggris dalam UE sejak lama. Kecenderungan skeptis terhadap integrasi Eropa – yang juga dikenal dengan istilah ‘Euroscepticism’ – telah ada sejak Inggris memutuskan untuk bergabung dengan UE pada 1993 lewat Perjanjian Maastricht. Skeptisisme tersebut pula yang mencegah Inggris untuk turut serta dalam unifikasi mata uang negara-negara anggota UE pada 1999. Terlebih, skeptisisme tersebut semakin menguat sejak integrasi negara-negara Eropa Timur ke dalam UE yang mendorong gelombang imigran ke dalam negeri Ratu Elizabeth tersebut.1 Masuknya imigran ke Inggris yang diikuti dengan pertambahan beban terhadap ketersediaan pekerjaan, komoditas kebutuhan, dan layanan publik yang kemudian semakin diperparah dengan minimnya perhatian yang
5
AIRPORT • NOVEMBER 2016
NIDA AZARINE IRMANTI
diberikan para politisi pemerintahan kepada isu ini membuat skeptisisme para Britons semakin menguat dan memuncak melalui referendum yang terjadi pada Juni yang lalu. David Cameron sendiri sebelum dipilih pada 2010 berjanji akan memotong jumlah imigran, namun kegagalannya menguatkan anggapan bahwa para politisi di Inggris tidak berdaya dalam mengatasi isu imigran.2 Faktor lain yang mendorong adanya Brexit adalah pandangan Inggris soal EU sebagai ancaman terhadap kedaulatannya. Inggris hampir tidak pernah mengidentifikasi dirinya sebagai bagian dari Eropa, mengingat bahwa ia memiliki kerajaan sendiri dengan perkembangan institusional serta kultural yang relatif independen dari pengaruh Eropa. Upaya UE untuk memperluas ranah integrasi dengan mencakup bidang urusan luar negeri, peradilan, serta perundang-undangan dari sekedar kerja sama ekonomi saja, dilihat sebagai ancaman bagi kedaulatan Inggris. Para pemimpin dalam konsul UE dilihat sebagai tidak demokratis dan tidak transparan dalam pandangan para suporter Brexit3. Faktor ekonomi juga menjadi pertimbangan keluarnya Inggris. UE dituding sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi. Inggris sebagai salah satu negara yang relatif kuat pasca krisis ekonomi
FOKUS 2008 kemudian dibanjiri oleh pendatang dari kemudian dapat diratifikasi oleh Parlemen Eropa. Selagi negara-negara anggota UE lain yang relatif lemah Inggris masih menunggu kepastian mengenai status karena kebijakan pergerakan bebas barang dan jasa keanggotaannya, kebijakan-kebijakan UE masih berimbas pada melemahnya perekonomian. Kebijakan mengikat, namun ia tidak berhak untuk terlibat dalam ekonomi yang diterapkan oleh UE juga dilihat sebagai proses pengambilan keputusan maupun kebijakan pembatasan atas perkembangan ekonomi Inggris. terkait. Apabila dikorelasikan dengan kebijakan pergerakan Sulit untuk secara spesifik menjabarkan masa depan bebas yang disebutkan sebelumnya, harus disadari dan menyusul Brexit mengingat skenario serupa belum diakui bahwa perekonomian negara-negara UE pernah ada dalam sejarah. Sejauh ini kekhawatiran cenderung lebih lemah ketimbang Inggris, yang mana utama kebanyakan orang bekisar seputar pertimbangan hal ini akan berdampak pada level harga komoditas ekonomi. Efek langsung yang dirasakan pasca keluarnya hasil produksi UE yang lebih rendah ketimbang hasil referendum adalah jatuhnya Poundsterling dan komoditas produksi Inggris yang menggunakan indeks saham global. Namun lebih dari permasalahan standar kurs Poundsterling. Lebih rendahnya level ekonomi, Brexit merupakan indikasi dari lanskap harga komoditas UE tentu akan geososiopolitikal yang kompleks, membuat para Britons lebih terlihat dari perpecahan hampir memilih untuk membeli komoditas yang hampir bulat antara tersebut ketimbang dengan komodisuporter dan oposisi Brexit. tas produksinya sendiri.4 Hal ini Perpecahan ini bukan tidak Kasus Brexit masih tentu akan melemahkan industri mungkin selanjutnya akan domestik Inggris dan membuat menyisakan syok berdampak pada instabilitas banyak firma serta manufaktur dalam politik domestik Inggris. Inggris untuk gulung tikar ataupun bagi masyarakat Skotlandia yang mayoritas pindah ke negara lain agar dapat penduduknya memilih untuk internasional dan bersaing dan memiliki sumber daya tetap bertahan dalam UE, yang lebih murah, terlebih banyak menggagalkan ilusi mungkin akan mengajukan dari SDM berkualitas Inggris yang permohonan referendum sempurna memilih untuk melakukan ‘pergeraindependensi lain setelah kan bebas’ di negara-negara Eropa sebelumnya setuju untuk tetap mengenai kesatuan lainnya karena menyempitnya menjadi bagian dari Inggris. lapangan pekerjaan di Inggris – Eropa. Tidak ada Brexit sendiri masih yang kemudian juga dituding yang tahu pasti menyisakan syok bagi sebagai dampak dari banyaknya masyarakat internasional. Bukan imigran yang masuk ke sana. bagaimana masa saja efeknya, namun juga Meskipun demikian, Inggris kecenderungan mustahilnya, depan Inggris, atau sendiri belum secara resmi keluar bahkan bagi kelompok pro keluar. dari UE. Setelah melakukan bahkan Uni Eropa. Kasus Brexit menggagalkan ilusi referendum dan mendeklarasikan sempurna mengenai kesatusan keluarnya Inggris dari keanggotaan Eropa. Tidak ada yang tahu UE, Inggris harus mengajukan secara pasti bagaimana masa Artikel 50 Perjanjian Lisbon yang depan Inggris, atau bahkan Uni mengatur mekanisme serta negosiaEropa. Inggris bisa saja terpecah si keluarnya negara anggota dari union. Setelah belah. Negara-negara anggota Uni Eropa lain bisa saja pengajuang tersebut, barulah negara-negara anggota terinspirasi langkah Inggris dan turut pergi. Atau UE berunding untuk menentukan pencabutan Inggris kesemua skenario di atas bisa saja tidak terjadi. Dunia dari keanggotaan. Proses ini sendiri tidak akan selesai menanti dengan tegang selagi Uni Eropa belajar (atau dalam waktu singkat mengingat Artikel 50 tersebut mungkin tidak belajar) dari kasus Inggris dengan baru pertama kali digunakan dalam sejarah dan memberi fokus lebih kepada evaluasi kedaulatan dibutuhkan setidaknya dua tahun masa negosiasi dan negara-negara serta isu sensitif seperti imigran. pembentukan ulang kerjasama antara Inggris sebagai negara anggota yang ingin keluar dengan negara-negaWhy Britain Voted to Quit the EU. Robert Hutton. 3 Oktober 2016. ra anggota UE lainnya. Itu pun terjadi apabila https://www.bloomberg.com/quicktake/will-uk-leave-eu perundingan berjalan dengan lancar dan proses How did UK End up Voting to Leave the European Union. Rowena Mason. 24 Juni 2016. https://www.theguardian.com/politics/2016/negosiasi tidak diperpanjang – mengingat bahwa jun/24/how-did-uk-end-up-voting-leave-european-union Artikel 50 memperbolehkan hal demikian. Hasil Ibid. perundingan itu sendiri harus disetujui oleh setidaknya 3 Resasons Brits Voted For Brexit. George Friedman. 5 Juli 2016. http://www.forbes.com/sites/johnmauldin/2016/07/05/3-rea20 negara anggota dengan 65% total populasi UE, yang
“
”
1
2
3 4
AIRPORT • NOVEMBER 2016
6
C H I T- C H AT
menggalid a rinformasi i
mas ogik
DIWAWANCARAI OLEH SITI KHOTIMAH Dalam rubrik Chit-Chat edisi kali ini, Airport berkesempatan untuk mewawancarai program officer Kajian Eropa di Institute of International Studies yaitu Mas Nurhawira Gigih Pramono — atau kerap disapa Mas Ogik. Dari wawancara tersebut, Airport berhasil menggali informasi seputar intoleransi di Eropa. Yuk langsung saja kita simak informasinya! Airport (AP): Berbicara tentang sejarah intoleransi di Eropa, menurut Mas Ogik, apakah intoleransi merupakan peristiwa yang sudah lama terjadi di kawasan tersebut? Sebetulnya, kepada entitas apa saja intoleransi tersebut pernah dilakukan? Nurhawira Gigih (NG): Sebetulnya intoleransi bukan merupakan hal baru, karena dalam sejarahnya cukup banyak peristiwa intoleransi di kawasan ini. Dalam sejarah Eropa modern sendiri, terjadi beberapa peristiwa seperti bagaimana Hitler membenci orang-orang Yahudi dan kemudian melakukan pembunuhan masal. Meskipun peristiwa tersebut tidak hanya terjadi di daratan Eropa, namun seperti yang kita ketahui bahwa Hitler berada di Jerman. Selain itu, sejarah juga menunjukkan bagaimana Hungaria sangat membenci orang-orang Serbia. Intoleransi ini terjadi 7
AIRPORT • NOVEMBER 2016
baik antar sesama orang Eropa atau dengan orang lain di luar kawasan. Target intoleransi sendiri tidak hanya kepada orang-orang muslim—seperti yang sering kita dengar, namun juga terhadap orang Roma dan Gipsy yang nomaden dan memiliki gaya hidup uncivilized. Menurut data dari Pew Research Center, orang Italia yang tidak menyukai Roma sebesar 85% sedangkan yang tidak menyukai muslim sebesar 63%, Polandia tidak menyukai muslim sebesar 50%, dan Perancis tidak menyukai muslim sebesar 27%. Sedangkan negara yang paling membenci Yahudi adalah Yunani. AP: Seperti yang kita ketahui bahwa berkembang islamophobia khususnya di Perancis. Menurut Mas Ogik, apakah islamophobia tersebut memengaruhi kebijakan yang diambil pemerintahnya?
C H I T- C H AT NG: Kebijakan yang paling terlihat adalah dalam kebijakan imigrasi di mana mereka membatasi imigran ilegal. Selain itu, sebetulnya Perancis memang memiliki kebijakan yang mengatur masyarakatnya untuk tidak menggunakan atribut keagamaan di ruang publik, khususnya bagi orang-orang yang bekerja untuk negara. Dan hal tersebut berlaku untuk semua agama, seperti rosario ataupun jilbab. Hal ini berkaitan dengan kebanggaan Perancis atas penegakan demokrasi dan hak asasi manusia, yang salah satunya terkait pemisahan agama dengan urusan publik. Di dalam ‘KTP’ saja, tidak ada kolom agama. AP: Bagaimana intoleransi berdasar etnis berkembang (khususnya di Inggris) sebagai dampak dari imigrasi? NG: Yang paling terasa adalah ketika Brexit kemarin. Di sosial media seperti Twitter, ada seseorang yang sangat kaget karena salah seorang dari temannya menghardik orang Polandia untuk pulang ke negaranya. Hal seperti itu juga terjadi pada orang-orang di negara Eropa Timur atau keturunan India. AP: Bagaimana sebetulnya intoleransi kepada imigran tersebut dapat terjadi? NG: Sebetulnya, intoleransi berkembang juga disebabkan faktor ketidakmampuan imigran untuk beradaptasi. Misalnya di Jerman di mana mayoritas imigranya berasal dari Turki. Imigran ini mengajak kerabatnya untuk tinggal di sana, sehingga terdapat pemukiman khusus untuk mereka. Karena jumlah dari mereka semakin besar, mereka pernah mengajukan permintaan kepada pemerintah daerah untuk melarang peredaran minuman keras, padahal kita tahu Eropa sangat kuat dengan
intoleransi bukanlah hal baru dan bukan hanya ditujukan kepada muslim saja. budaya itu. Dari data Pew Research, rata-rata lebih dari 40% masyarakat Eropa menganggap imigran sulit untuk berasimilasi. Di lain sisi imigran saat ini berjumlah sangat banyak. Pada tahun 1942 ketika tembok Berlin runtuh, total pencari suaka hanya sekitar 400 ribu, begitu juga ketika konik Cosovo terjadi hanya sekitar 400 ribu. Namun sekarang, jumlah pencari suaka yang legal mencapai angka 1,3 juta. Masih dalam konteks imigran, sebetulnya kasus ISIS itu unik. Mereka yang diincar ISIS dan kemudian mau diajak berperang biasanya adalah imigran second born generation, di mana ayah dan ibunya dulu berimigrasi ke Eropa. Second born ini mengalami krisis identitas karena merasa orang Eropa mengingat dilahirkan di sana, namun di sisi lain merasa kurang diterima oleh masyarakat setempat. AP: Menurut Mas Ogik, bagaimana peran media dalam memperluas intoleransi di Eropa? NG: Sebetulnya saya kurang begitu tahu tentang seberapa jauh media kemudian bias atau terlibat. Namun seharusnya ada pemahaman yang lebih berimbang terkait status pengungsi dan imigran. Ada beberapa perbedaan terkait pengungsi dan imigran, termasuk bagaimana prosedur yang harus dilalui pencari suaka agar dapat menetap di sana. Namun di media seolah seluruhnya adalah imigran. Selain itu yang luput dari perhatian kita adalah bahwa sebetulnya intoleransi bukan hanya ditujukan kepada muslim.
AIRPORT • NOVEMBER 2016
8
REFLEKSI
KRISTIAN OKA PRASETYADI Narasumber rubrik Refleksi kali ini adalah Kristian Oka Prasetyadi, mahasiswa departemen Ilmu Hubungan Internasional UGM angkatan 2014. Simply known as Oka, beliau adalah ketua Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI) periode 2015-2016. Berikut wawancara kami dengannya! Airport (A): Sebentar lagi kan suksesi kepengurusan KOMAHI, Mas. Menurut Mas Oka, pengalaman menarik apa saja yang didapatkan selama menjabat sebagai ketua KOMAHI? Pembelajaran apa yang didapatkan untuk mengembangkan diri sendiri? Oka (O): Kalau pengalaman, sebenarnya banyak banget sehingga aku tidak bisa menyebut satu pengalaman yang paling menarik atau berharga karena I cherish every moment. Jadi, menurutku semua rangkaian proker (red: program kerja) berarti. Tetapi, di saat yang sama, aku juga menghadapi berbagai tantangan seperti adanya orang-orang yang sedikit individualis di angkatanku sehingga agak susah untuk menyatukan mereka. Itu mungkin hal buruk tetapi sudah bukan rahasia lagi. Di sisi lain, selama menjadi ketua, aku juga belajar bahwa seorang pemimpin harus mempertahankan citranya karena aku bukan orang yang kharismatik. Dari situ aku perlahan belajar, meski belum berhasil sih. Belajar jaim (red: jaga image) lah haha! A: Selama menjadi ketua, motto yang diusung adalah Dekat, Erat, Bersahabat. Menurut Mas Oka sendiri, apakah nilai-nilai kekeluargaan tersebut sudah berhasil dibangun? O: Sebenarnya, kekeluargaan dan profesionalisme itu selalu menjadi perdebatan, tetapi pada intinya kita membutuhkan keduanya. Saat di kampanye aku mengakui bahwa aku mengangkat kekeluargaan tetapi itu tidak bisa menjadi modal utama menjalani organisasi karena dibutuhkan profesionalisme. Namun, kekeluargaan itu juga penting karena memberi jiwa pada KOMAHI, dan kita akan menjadi robot apabila hanya menggunakan profesionalisme. Tetapi aku menemui tantangan dalam membangun kekeluargaan karena kekeluargaan membutuhkan resiprositas. Saat aku berusaha memberi contoh tetapi orang lain tidak menanggapi, hal itu menjadi penghambat dalam menumbuhkan kekeluargaan tersebut. Sangat susah mendapatkan resiprositas entah itu karena
9
AIRPORT • NOVEMBER 2016
kepribadianku atau orang-orang yang memang cuek, tetapi yang jelas aku tetap berusaha. A: Selain tidak adanya resiprositas atau timbal balik dari anggota-anggota KOMAHI, apa permasalahan lain yang belum bisa diatasi selama ini? Hal apa yang sejak dahulu ingin dilakukan sebagia ketua tetapi belum tersampaikan? O: Kekeluargaan tanpa resiprositas tadi bukan masalah ya, melainkan tantangan. Kalau membicarakan apa yang belum tersampaikan, aku dulu menjanjikan “kalender proker”. Tetapi, karena di FISIPOL ada 6 HMJ (red: himpunan mahasiswa jurusan), belasan UKMF, dan juga berbagai acara dari setiap departemen, maka sangat susah mewujudkan kalender proker tersebut karena berbagai acara dengan jadwal yang saling bertabrakan. Belum lagi jika teman-teman sedang sibuk dengan tugas kuliah. Bagaimanapun, kita di sini untuk belajar dan beberapa kali kami terpaksa mengganti jadwal proker sehingga susah mematenkan tanggal proker. Lalu, aku juga ragu apakah aku sudah mewujudkan kekeluargaan. Berbeda dengan UKMF seperti Scanity dan SIPAL yang memiliki lingkup lebih kecil, KOMAHI ini sangat besar sehingga susah untuk menumbuhkan kebersamaan. Aku tidak tahu apakah kekeluargaan tersebut sudah terwujudkan atau tidak, tetapi jika memang belum, I have no one to blame but myself. A: Pertanyaan terakhir, Mas. Apa pesan Mas Oka untuk ketua KOMAHI selanjutnya? O: Jangan kembali lagi pada kesalahanku untuk terlalu mengagungkan kekeluargaan karena pada dasarnya KOMAHI juga membutuhkan profesionalisme - tidak bisa salah satunya saja. Untuk ketua selanjutnya, kamu tidak perlu menjadi seseorang yang kharismatik asal mampu mewujudkan KOMAHI sesuai dengan keinginan dan idealismemu. Utamakan rasa cinta terhadap KOMAHI karena dalam melaksanakan tugas sebagai ketua, kamu butuh “perasaan”. Itu yang utama.
NEWS FLASH
managing
refugee crisis: Joint Action Plan and Its Progress OLEH REZA ANGGRAINI & KEVAL DIOVANZA HENDRI Krisis pengungsi saat ini menjadi masalah bersama bagi Uni Eropa dan Turki. Pada tanggal 29 November 2015, dengan didasari oleh spirit of burden sharing, Uni Eropa dan Turki mengadakan EU-Turkey Summit yang pada akhirnya menghasilkan Joint Action Plan. Kerja sama ini merupakan respon terhadap krisis pengungsi dari Suriah yang melanda Uni Eropa sejak beberapa waktu yang lalu. Tujuannya adalah untuk menjalin kerja sama dengan menyediakan perlindungan sementara kepada pengungsi Suriah di Turki, mencari penyebab utama yang menyebabkan gelombang migrasi yang besar dari Suriah dan memperkuat kerja sama untuk mencegah terjadinya migrasi yang tidak terkendali yang menuju ke Uni Eropa. Selain itu kerja sama tersebut ditujukan untuk mempererat ikatan politik antara Uni Eropa dan Turki, dengan memberikan Turki bantuan kuangan untuk menangani permasalahan pengungsi, mempercepat pemenuhan visa bebas Turki-Uni Eropa dan mempertimbangkan kembali proses masuknya Turki menjadi anggota Uni Eropa. Dalam negosiasi kerja sama ini pihak Uni Eropa diwakili oleh Wakil Presiden Pertama Komisi Uni Eropa Timmermans dengan pihak Turki, Presiden Erdoğan, Perdana Menteri Davutoğlu dan Menteri Luar Negeri Sinirlioğlu. Implementasi Joint Action Plan (JAP) saat ini hampir mendekati usia satu tahun. Selama umur waktu tersebut, penerapan JAP telah banyak memberikan dampak positif terhadap masalah refugees. Seperti yang dikutip dari situs European Commission, hasil-hasil yang memuaskan ini dapat terlihat melalui penurunan tingkat arus imigrasi yang tidak teratur ke Uni Eropa. Data ini sendiri
diambil pada awal tahun 2016, dan dikomparasikan dengan data imigran pada awal penerapan JAP. Penurunan arus, berdasarkan survei, dapat dilihat dengan jelas melalui total imigrasi yang tak teratur, di mana dari 154.381 imigran Turki-Yunani pada Desember 2015 terus menurun hingga mencapai angka 56.335 pada Februari 2016. Fakta ini juga diperkuat dengan berkurangnya rata-rata harian jumlah “penyeberang” non-reguler ke Yunani yaitu dari 3.368 menjadi 1.943 jiwa. Di samping arus imigrasi, implementasi Joint Action Plan juga diperluas hingga bidang sosial, di mana berdasarkan pengambilan data pada tanggal 2 Maret 2016, Turki berhasil memberikan status proteksi kepada 2.928.975 pengungsi dari Suriah. Status ini memberikan akses langsung atas pelayanan publik seperti pendidikan dan juga layanan kesehatan. Selain itu, sejak 15 Januari, para pengungsi Suriah telah mendapatkan akses menuju pasar tenaga kerja. Hal ini dapat dibuktikan melalui keberhasilan pihak pengungsi dalam mengirimkan 15 surat lamaran kerja ke pemerintahan Turki pada tanggal 20 Februari 2016. Di bidang pendidikan, Turki juga mampu menyekolahkan sekitar 350.000 anak-anak Suriah. Sedangkan pada akses kesehatan, prestasi negara ini dapat disaksikan melalui tingginya jumlah kelahiran bayi di kamp pengungsi, yang menyentuh angka 151.746 jiwa. Menurut European Commission, Turki telah melakukan awal yang bagus dalam menerapkan kebijakan Joint Action Plan, tetapi akan diperlukan usaha lebih serta langkah-langkah cepat dan kuat dalam menerapkan JAP yang lebih efektif.
AIRPORT • NOVEMBER 2016
10
INSIDE
THE BURKINI BAN OLEH: JANITRA HARYANTO & ARUMDRIYA MURWANI
Itulah yang terjadi di Nice, Perancis. Seorang perempuan dipaksa untuk melepaskan pakaian renangnya yang menutupi kepala sampai kaki, atau lebih populer disebut dengan burkini. Di dalam tiket dendanya, perempuan tersebut didenda karena menggunakan pakaian yang tidak “menghormati moral dan sekulerisme yang baik”. Hukuman tersebut diberikan seiring dengan berlakunya larangan menggunakan baju renang tertutup di beberapa kota di Perancis. Perancis memang dikenal sebagai negara yang menerapkan nilai sekulerisme di dalam konstitusinya, namun apakah itu bisa menjadi justifikasi bagi otoritas Perancis untuk melarang warganya berpakaian dengan cara yang mereka pilih? Penulis beranggapan tidak ada justifikasi apapun bagi pemerintah suatu negara untuk mengatur bagaimana warga negaranya beragama dan mengekspresikan diri. Sekulerisme Perancis diatur dalam Undang-Undang tahun 1905 tentang Pemisahan antara Urusan Agama dan Negara. Undang-Undang ini awalnya dibuat untuk mengurangi kekuasaan Gereja Katolik di kehidupan bernegara. Namun seiring berjalannya waktu, undang-undang ini sering disalahgunakan sebagai alat untuk membatasi ruang gerak umat beragama di Perancis. Seharusnya, sebagai negara sekuler, Perancis tidak turut campur dalam urusan beragama warganya. Ini bisa dipahami dengan konteks ketidakturutsertaan pemerintah Perancis dalam mengatur agama dan kepercayaan apa yang dianut warganya, dan bagaimana individu mempraktekkan agama atau kepercayaan tersebut. Dasar hukum yang mendasari perilaku seperti ini sebenarnya sudah ada, dan diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang tahun 1905. Pasal 1 Undang-Undang tahun 1905 menjamin kebebasan beragama bagi setiap warga Perancis, yang mana kebebasan ini hanya dibatasi oleh peraturan yang bersifat menjaga ketertiban umum.
11
AIRPORT • NOVEMBER 2016
Siapa yang tidak suka berlibur di pantai-pantai di Perancis? Negeri yang menjadi tujuan pariwisata populer ini memang menyimpan banyak pesona, baik alam maupun budayanya. Namun, apa jadinya jika kita sedang berlibur dan tiba-tiba sekelompok polisi menghampiri, kemudian menyuruh kita melepaskan baju yang sedang kita gunakan—lalu didenda pula?
Sayangnya, bagian “menjaga ketertiban umum” inilah yang sering disalahgunakan sebagai justifikasi tindakan represif otoritas pemerintah terhadap ekspresi keagamaan warga negara Perancis. Salah satu kebijakan kontroversial yang didasari oleh prinsip “menjaga ketertiban umum” adalah larangan untuk menggunakan atribut renang yang berafiliasi dengan agama di ruang publik. Kebijakan ini telah diterapkan di beberapa kota di Perancis, dan dinilai merugikan perempuan-perempuan muslim secara proporsional, apalagi mereka yang memang memilih untuk menutup diri. Pilihan untuk menutup diri bagi perempuan-perempuan muslim bukan hanya sebuah bentuk ekspresi, melainkan juga salah satu cara untuk memenuhi aturan agamanya yang melarang perempuan untuk memperlihatkan bagian tubuhnya yang dinilai sebagai aurat. Dalam kasus ini, pemerintah Perancis telah melanggar hak warga negaranya untuk beragama dan berekspresi. Hak-hak tersebut dijamin di dalam Universal Declaration of Human Rights, sebuah deklarasi pemenuhan hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh Perancis, sehingga Perancis memiliki tanggungjawab untuk memenuhi isi dari deklarasi tersebut dan terikat oleh hukum didalamnya. Oleh karenanya, penulis merasa bahwa larangan penggunaan atribut renang yang berafiliasi dengan agama di ruang publik (burkini ban) tidak dapat dijustifikasi karena melanggar deklarasi internasional yang sudah diratifikasi oleh Perancis. Kebijakan burkini ban secara tidak langsung juga menambah stigma buruk masyarakat terhadap umat muslim. Hal ini dikarenakan pemerintah melegalkan kebijakan yang menganggap bahwa kepatuhan seorang muslim pada aturan agamanya adalah sebuah hal yang melanggar ketertiban umum. Secara tidak langsung, apabila penerapan suatu aturan agama di ranah publik dianggap sebagai pelanggaran ketertiban umum,
INSIDE
asd kebijakan burkini ban akan menambah stigma buruk masyarakat terhadap umat muslim karena secara tidak langsung menyatakan bahwa agama muslim menganggu ketertiban sosial. stigma buruk ini kemudian akan berimplikasi pada semakin terdisintegrasinya masyarakat muslim dan non-muslin perancis. asd
masyarakat akan menilai bahwa agama tersebut tidak mengandung nilai dan norma yang memiliki kontribusi dalam mewujudkan ketertiban sosial yang selama ini berusaha diterapkan oleh masyarakat melalui norma dan nilai yang berlaku. Dengan kata lain, agama tersebut mengganggu ketertiban sosial. Stigma buruk ini kemudian akan berimplikasi pada semakin terdisintegrasinya masyarakat muslim dan non-muslim di Perancis. Pasalnya, setelah serangan terorisme di beberapa tempat di Perancis, sentimen masyarakat non-muslim terhadap masyarakat muslim di Perancis semakin besar. Walaupun beberapa kali institusi-institusi berbasis agama Islam telah berusaha untuk memberikan klariďŹ kasi bahwa terorisme tidak merepresentasikan Islam, fakta bahwa teroris selalu menggunakan atribut-atribut serta menggunakan alasan membela kepentingan agama Islam sebagai dasar dalam melakukan aksinya membuat masyarakat Perancis semakin sulit untuk tidak menaruh sentimen terhadap agama Islam. Apabila disintegrasi yang terjadi semakin besar, masyarakat muslim (yang notabene merupakan masyarakat minoritas, ditinjau dari jumlahnya yang lebih sedikit daripada masyarakat Non-muslim di Perancis) akan semakin sulit untuk mendapatkan hak-haknya di dalam kehidupan sehari-hari karena mereka telah dibatasi dari dua segi, yakni segi hukum (melalui kebijakan burkini ban yang diterapkan) dan segi sosial (melalui sentimen dan stigma buruk yang diberikan oleh masyarakat). Keadaan akan jauh berbeda apabila masyarakat muslim hanya mendapat tekanan dari segi sosial, karena tekanan dari segi sosial tidak didasari oleh hukum yang tertulis, tidak memiliki hukuman yang nyata (denda, maupun penjara) dan datang dari sesama anggota masyarakat (yang mana didalam konteks kekuasaan, tidak memiliki kekuasaan yang lebih besar daripada masyarakat muslim karena
memiliki otoritas yang sama). Ketika kebijakan burkini ban telah ditetapkan, masyarakat Non-muslim memiliki justiďŹ kasi yang lebih kuat dan landasan hukum dalam menerapkan perilaku diskriminatif terhadap masyarakat muslim karena mereka merasa didukung oleh pihak yang lebih berwenang daripada masyarakat sipil, yakni pemerintah. Dengan adanya keberpihakan secara tidak langsung oleh pemerintah, masyarakat Non-muslim akan merasa berada di strata yang lebih tinggi daripada masyarakat muslim dan memperbesar kecenderungan mereka untuk menaruh sentimen pada masyarakat muslim. Kondisi ini kembali lagi akan semakin memperbesar disintegrasi sosial antara masyarakat muslim dan Non-muslim di Perancis. Dalam hipotesis yang lebih ekstrim, apabila pemerintah yang seharusnya menjadi aktor yang netral menjadi tidak berperilaku netral dengan tidak meluruskan paradigma masyarakat yang sentimental terhadap masyarakat muslim, klaim bahwa agama Islam dan aturan-aturan didalamnya (terutama aturan untuk menutup aurat, yang diterapkan dengan penggunaan burkini) mengganggu ketertiban umum akan dianggap sebagai sah secara umum, karena apabila semakin banyak orang yang mempercayai hal ini dan melakukannya secara terus menerus, menurut Teori Legitimasi Psikologis oleh Easton, klaim tersebut secara psikologis akan dianggap sebagai hal yang benar. Apabila kondisi ini terjadi, akan sulit untuk mengubah paradigma masyarakat yang sentimental dan mengembalikkan hak-hak masyarakat muslim yang hilang. Melihat dari segi justiďŹ kasi, penulis melihat bahwa kebijakan burkini ban membatasi kebebasan individu untuk berekspresi dan memeluk agama sesuai dengan kepercayaannya masing-masing. Penulis juga melihat bahwa kebijakan burkini ban akan memperbesar sentimen masyarakat Non-muslim terhadap masyarakat muslim di Perancis yang kemudian memperbesar disintegrasi sosial yang terjadi di Perancis.
AIRPORT • NOVEMBER 2016
12
AIRPORTCOMIC
13
AIRPORT • NOVEMBER 2016
REVIEW
review buku DIBAHAS OLEH NAOMI RESTI ANDITYA
“..berjalan menyusuri Istanbul dan kota-kota lain di Turki bagai melihat imitasi Eropa yang tidak pernah jadi.” Berbicara tentang sastra Turki tidak mungkin melupakan penulis besar di era kontemporer, Orhan Pamuk yang karya sastranya mungkin ekuivalen dengan Eka Kurniawan di Indonesia. Penulis telah membaca dua karyanya, salah satunya adalah karyanya yang berjudul Istanbul: Memories and the Cities. Ditulis pada saat Pamuk mengalami depresi, Istanbul diceritakan dengan cara yang dialektik — bolak-balik dari Istanbul di masa Ottoman, Konstantinopel dan masa kontemporer; dari sejarah budaya ke pengalaman personal Pamuk di kota tercintanya. Pamuk bercerita dari kenangan di apartemen keluarganya yang sekuler, yang ia tinggali bersama ibunya, sementara anggota keluarganya yang lain pergi meninggalkan mereka. Istanbul memang adalah sebuah otobiografi yang secara eksplisit menceritakan relasi keluarga Pamuk dan mimpi-mimpinya sekaligus memberikan sensasi berjalan-jalan dan merefleksikan kontur budaya Istanbul bagi pembaca. Turki mungkin merupakan manifestasi paling jelas dari corak Barat dan Timur yang bertemu dan memutuskan untuk kawin. Bagi Pamuk, hidup di Istanbul bagaikan menghidupi renungan dan kesedihan akan puing-puing kejayaan kota tersebut di masa lalu, di masa Ottoman. Ia mengingat penulis, pelukis, dan seniman yang jiwanya berada di jalan-jalan Istanbul dan dalam berbagai hal telah membentuk sensibilitasnya terhadap kota yang telah bertransformasi dalam revolusi Ataturk. Baginya, berjalan menyusuri Istanbul dan kota-kota lain di Turki bagai melihat imitasi Eropa yang tidak pernah jadi. Mengikuti perspektif Pamuk, pembaca akan mendapatkan pemandangan baru tentang Istanbul—Istanbul yang dicintai, sekaligus tidak dicintai; Istanbul yang dipuja, dan Istanbul yang kotor, miskin dan ditinggalkan. Mereka yang ingin mengenal Istanbul dalam dilema peradaban Barat dan Timur tidak akan menyesal untuk membaca karya-karya Orhan Pamuk, terutama Istanbul.
Orhan Pamuk
Judul buku Istanbul: Kenangan sebuah Kota (terjemahan) Penulis Orhan Pamuk Penerjemah Rahmani Astuti Tahun terbit 2015 Penerbit Serambi
AIRPORT • NOVEMBER 2016
14
REVIEW
review film DIBAHAS OLEH MUHAMMAD RESPATI HARUN Judul Der Untergang • Tahun 2004 • Genre Drama • Durasi 155 menit • Sutradara Oliver Hirschbiegel • Pemain Bruno Ganz, Alexandra Maria Lara, Ulrich Mattes, Corinna Harfouch
“Tidak mengambil jalur mainstream, film ini mengambil fokus pada Adolf Hitler dengan perspektif yang lebih humanis.” Jika kita berbicara tentang Eropa, tentu saja kita tidak bisa lepas dari masa lalu Eropa yang sangat sering mengalami berbagai perang. Salah satunya adalah Perang Dunia II. Terjadinya Perang Dunia II tidak bisa lepas dari peran Jerman yang pada saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler dengan ideologi fasismenya yang melakukan okupasi ke negara Eropa yang lain demi membuka lebensraum. Begitu banyak film yang menggambarkan pertempuran Perang Dunia II, namun hanya sedikit yang menceritakan “sisi lain” dari perang tersebut - salah satunya adalah Der Untergang. Film ini menceritakan berjalannya hari-hari terakhir dari Adolf Hitler dan “Kekaisaran” Nazi Jerman yang dia agung-agungkan. Film ini dibuka dengan adegan di mana Hitler merekrut Traudl Junge sebagai sekretarisnya. Kemudian dilanjutkan dengan adegan-adegan yang menggambarkan cukup rinci mengenai apa yang terjadi di Berlin pada akhir Perang Dunia II. Khususnya pada penggambaran bagaimana kondisi di Berlin yang saat itu mengalami tekanan luar biasa akibat serangan dari Uni Soviet. Banyak petinggi militer yang dieksekusi karena dianggap melawan perintah Hitler, dan melakukan bunuh diri karena merasa tidak sanggup lagi menghadapi kondisi Jerman yang sangat kacau pada saat itu. Namun pada akhirnya, Jerman dihadapkan pada situasi dimana Jerman hampir tidak mungkin melakukan perlawanan. Kondisi tersebut membuat Hitler frustrasi dan akhirnya bunuh diri bersama dengan Eva Braun, istrinya. Sepeninggal Hitler, para jenderal pun seakan
15
AIRPORT • NOVEMBER 2016
bingung apa yang akan mereka lakukan dan mau dibawa kemana nasib Jerman ini berikutnya. Namun, kebingungan mereka tidak kunjung menemui titik terang sehingga mau tidak mau Jerman harus menyerah kepada Uni Soviet. Ketika Jerman menyerah, ada adegan yang menggambarkan bagaimana tekanan yang dialami oleh keluarga Goebbels sehingga mereka bunuh diri, dan bahkan Magda Goebbels dengan tega membunuh seluruh anaknya sendiri dengan racun. Film ini kemudian di tutup dengan adegan yang menggambarkan penyerahan diri pasukan Jerman kepada pasukan Soviet. Ketika pasukan Jerman menyerah, Traudl Junge dan Peter kabur dari kerumunan dengan menyerobot pesta kemenangan pasukan Soviet dan kemudian berhasil melarikan diri dari Berlin. Setelah itu, ditunjukkan nasib para petinggi Jerman yang berhasil menyintas tekanan yang dialami oleh Jerman di akhir Perang Dunia II. Secara keseluruhan, daya tarik utama dari film ini adalah bahwa dia tidak mengambil jalur mainstream dengan terlalu banyak menggambarkan konflik peperangan antara kedua kubu, namun lebih fokus pada peristiwa-peristiwa yang dialami oleh Adolf Hitler pada hari-hari terakhirnya dengan mengambil perspektif yang dapat dikatakan lebih humanis. Memandang Hitler dari kacamata humanis yang simpatik tentu merupakan hal yang tidak mampu dilakukan banyak orang, sehingga film ini cocok untuk mereka yang ingin mendapatkan cerita yang sedikit berbeda mengenai Perang Dunia II.
AIRPORTPEDIA
A F T E R
B R E X I T:
Hard or Soft?
OLEH ELLYATI PRIYANKA Pasca referendum Britania Raya yang menghasilkan keputusan untuk menarik keanggotaannya dari Uni Eropa (UE), masa depan hubungan Britania dan UE hingga kini masih belum menemui titik terang. Hubungan antara Britania dan blok tersebut, seperti akses ke single market dan custom union, sedikit banyak bergantung pada mekanisme pemisahan apa yang akan diambil oleh Britania. Istilah Hard Brexit dan Soft Brexit kemudian muncul ke permukaan sebagai pembeda kedua opsi mekanisme pemisahan.
demi mendapatkan kontrol imigrasi dan yurisdiksi hukum Britania dari UE. Jika Britania akhirnya memilih Hard Brexit, diprediksi akan terjadi peningkatan tarif terhadap barang dan jasa Britania sebesar 10 persen yang berarti meningkatkan biaya ekspor dan proses birokratis yang lebih rumit terhadap komoditas yang masuk baik dari atau ke UE. Britania juga akan kehilangan komoditas impor yang murah. Secara agregat, akan terjadi kerugian ekonomi yang signifikan berupa lemahnya pertumbuhan ekonomi, rendahnya investasi, dan pesatnya inflasi.
Hard Brexit merujuk kepada pengaturan di mana Britania akan melepaskan secara penuh akses ke single market dan custom union dengan UE. Pelepasan akses ini sebagai trade-off atas keinginan Britania untuk mencapai kedaulatan dan kontrol penuh atas perbatasannya, kebebasan membuat perjanjian perdagangan baru, dan menerapkan hukum apa yang dianggap ideal dalam wilayahnya sendiri. Salah satu implikasi dari Hard Brexit ialah Britania harus memperbarui kembali regulasi perdagangan dengan partner perdagangan di UE di bawah institusi ekonomi internasional World Trade Organization (WTO). Theresa May, sang perdana menteri, sebagai salah satu pendukung Hard Brexit tampaknya tak gentar untuk melepaskan akses Britania ke pasar UE
Di sisi lain, para Remainers pada referendum kemarin menginginkan Soft Brexit. Britania memang tidak akan mendapat keanggotaannya lagi di Dewan Eropa dan Komisi Eropa, namun Britania masih mendapatkan akses yang luas ke pasar Eropa. Komoditas yang diperdagangkan dengan negara-negara UE akan tetap bebas dari tarif. Sebagai gantinya, Britania harus membiarkan urusan perpindahan barang, jasa, modal, dan warga negaranya sebagai subjek di dalam yurisdiksi UE. Hal ini tentunya akan diterjemahkan sebagai ancaman terhadap kedaulatan Britania—yang merupakan narasi dominan di balik alasan Brexit.
H AT E
C R I M E
Lalu, kemakmuran atau kedaulatan? Kita tunggu saja jawabannya.
I N
T H E
W E S T
OLEH RIDHO BIMA PAMUNGKAS Hate crime merupakan aksi-aksi kriminalitas yang dilakukan di atas prejudice terhadap suatu kelompok tertentu, baik itu kelompok etnis, ras, agama, orientasi seksual, maupun lainnya. Sebagai sebuah sovereign state dengan masyarakat yang multikultural, United Kingdom (UK) tidak lepas dari hate crime yang didorong oleh ketidaksukaan terhadap kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Pada 2013, sebuah survei menunjukkan bahwa hampir 280.000 kasus hate crime terjadi di Inggris dan Wales setiap tahunnya. Angka ini meningkat tajam akibat referendum Brexit Juni lalu. Dua minggu menjelang pemilihan pada tanggal 23 Juni, terjadi sebanyak 1.546 hate crime di Inggris dan Wales yang melonjak hingga 58% hanya dalam minggu pertama pasca referendum. Diketahui pula bahwa hate crime yang terjadi pada Juli 2016 meningkat sebanyak 41% dibandingkan dengan Juli 2015. Target penyerangan utama hate crime tentu saja adalah masyarakat pendatang yang tidak hanya meliputi warga muslim saja melainkan juga imigran dari negara-negara Eropa Timur dan Eropa Tengah. Berbagai statistik ini hanya meliputi kasus-kasus yang memang dilaporkan pada polisi, dan diperkirakan bahwa angka riilnya jauh lebih besar dari yang diketahui. Untuk memahami fenomena tersebut, harus diketahui
bahwa referendum UE dianggap sebagai justifikasi dilakukannya hate crime kepada kelompok minoritas. Kemenangan kaum Leave dipandang sebagai pernyataan tegas bahwa UK tidak lagi menerima masyarakat pendatang, dan bahwa UK hanya diperuntukkan bagi Britons “asli”. Pola serupa ditemui di Amerika Serikat yang baru saja melalui apa yang dijuluki sebagai “the biggest political upset in history”. Kemenangan Donald Trump yang tidak pernah jauh dari retorika rasis dan misoginis selama kampanyenya ditafsirkan sebagai kemenangan masyarakat anti-imigran yang memiliki sentimen terhadap nilai-nilai progresif. Namun, tidak hanya masyarakat muslim dan Latino saja yang kemudian menjadi target penyerangan – warga kulit hitam dan kaum LGBTQ+ pun tidak luput dari aksi-aksi hate crime. Kebangkitan far-right politics di dunia Barat yang diiringi dengan peristiwa-peristiwa mengejutkan seperti Brexit dan kemenangan Trump hanya akan semakin melanggengkan terjadinya hate crime. Dengan begitu, menarik untuk kemudian melihat bagaimana perkembangan dinamika politik di Eropa (dengan diselenggarakannya pemilu presiden di berbagai negara seperti Perancis dan Jerman pada 2017) serta implikasi yang akan dibawakannya terhadap jumlah hate crime yang terjadi. Mari kita tunggu.
AIRPORT • NOVEMBER 2016
16
STATCORNER
1
FENOMENA “EUROSKEPTISME” DI BEBERAPA NEGARA DI EROPA Survei ini mengukur tingkat favourability terhadap Uni Eropa yang diambil pada April/Mei 2016 sebelum Brexit terjadi. Dilakukan oleh Pew Research Center dan mengambil sampel rata-rata 1.049 orang berusia 18 tahun di setiap negara.
22%
POLANDIA HUNGARIA ITALIA SWEDIA BELANDA JERMAN SPANYOL INGGRIS PERANCIS YUNANI
72%
37% 39% 44% 46% 48% 49% 48%
61% 58% 54% 51% 50% 47% 44% 38%
61% 71%
27% Unfavourable
2
Favourable
GELOMBANG NASIONALISME DI EROPA Survei yang dilakukan oleh BBC ini memperlihatkan jumlah pemilih partai nasionalis di dalam pemilu nasional negara-negara di bawah ini (dalam %).
FINLANDIA
Nama Partai : The Finns Jumlah Suara : 18%
BRITANIA RAYA
Nama Partai : UK Independence Party Jumlah Suara : 12,6%
SWEDIA
Nama Partai : Sweden Democrats Jumlah Suara : 13%
BELANDA
AUSTRIA
Nama Partai : Freedom Party Jumlah Suara : 10%
Nama Partai : Freedom Party Jumlah Suara : 21%
SLOVAKIA
Nama Partai : Our Slovakia Jumlah Suara : 8%
JERMAN
Nama Partai : Alternative for Germany Jumlah Suara : 47%
HUNGARIA
Nama Partai : Jobbik Jumlah Suara : 21%
PERANCIS
Nama Partai : National France Jumlah Suara : 14%
ITALIA
Nama Partai : Northern League Jumlah Suara : 4%
17
AIRPORT • NOVEMBER 2016
YUNANI
Nama Partai : Golden Dawn Jumlah Suara : 7%
STATCORNER
3
PERWAKILAN PARTAI FAR RIGHT & EUROSCEPTIC DI TIAP NEGARA
751 PERWAKILAN SEMUA NEGARA
80 dari partai euroskeptis 48 dari partai ‘Far Right’/NEONAZI
“Persebaran” perwakilan dari beberapa negara:
belanda
belgia
inggris
13 Perwakilan 4 far-right
26 Perwakilan 4 far-right
21 Perwakilan 1 far-right
73 Perwakilan 23 euroskeptis
Perancis
polandia
YUNANI
ceko
FINLANDIA
74 Perwakilan 24 far-right
51 Perwakilan 23 euroskeptis
21 Perwakilan 3 neonazi
21 Perwakilan 2 euroskeptis
13 perwakilan 2 far-right
JERMAN
4
96 Perwakilan 1 neonazi 7 euroskeptis
DENMARK
MASA DEPAN EROPA? Survei ini dilakukan dengan melihat persentase populasi orang yang merasa pesimis dengan masa depan Uni Eropa, dari berbagai negara yang menjadi anggota Uni Eropa.
50&+ populasi merasa pesimis 40-50% populasi merasa pesimis 30-40% populasi merasa pesimis 0-30% populasi merasa pesimis
AIRPORT • NOVEMBER 2016
18
OPINI
OPINI DIWAWANCARAI OLEH FARRAS KHALIDA MASARDHI Eropa merupakan kawasan yang seringkali menjadi kiblat dari berbagai aspek, sebut saja politik, ekonomi, bahkan kultur. Integrasi Eropa dalam wadah European Union (EU) pun digadang-gadang sebagai salah satu yang paling lekat dan menjadi percontohan banyak organisasi regional. Namun, kali ini Eropa mendapat tantangan berupa isu-isu intoleransi, islamophobia, pengeboman, arus pengungsi dan lain-lain yang dapat menjadi bibit disintegrasi di Eropa, khususnya EU. Lantas bagaimana pendapat teman-teman HI terkait Eropa dalam tahun-tahun terakhir dan kemungkinan disintegrasi yang membayangi?
HASNAA NAILA - HI 2016 Isu islamophobia menurut saya bisa menjadi pemicu integrasi maupun disintegrasi. Dalam konteks integrasi, adanya serangkain aksi terorisme dapat dijadikan sebagai musuh bersama dan kemudian diharapkan bisa memperkuat integrasi. Sedangkan tidak dapat ditampik bahwa neglection terhadap Muslim Eropa karena sentimen agama juga dapat memicu disintegrasi. Untuk isu pengungsi, tentu tiap negara memiliki dilema tersendiri dalam menampung pengungsi. Saya pribadi belum dapat menghubungkan isu pengungsi ke kasus disintegrasi karena keputusan suatu negara tidak seharusnya dijadikan alasan disintegrasi Eropa.
JONATHAN EVERT RAYON - HI 2015 Berkaitan dengan isu pengungsi dan islamophobia yang merupakan isu sensitif di Eropa, hal ini salah satunya disebabkan oleh letak geografis Eropa yang terletak paling dekat dan terbilang aman dari daerah konflik yang utamanya di Timur Tengah. Misalnya saja, fenomena refugees yang menjadi salah satu pertimbangan keluarnya Inggris dari EU dimana pengungsi dirasa banyak mengambil alih lapangan pekerjaan. Hal ini dapat memengaruhi proses integrasi di Eropa itu sendiri. Proses disintegrasi juga diakibatkan oleh faktor lain seperti krisis ekonomi Yunani yang tentu memiliki dampak signifikan untuk Eropa, khususnya bagi negara anggota EU.
GRACE LOLONA - HI 2015 Apakah nasionalisme negara-negara Eropa yang mulai bangkit lagi menyebabkan disintegrasi merupakan pertanyaan besar bagi saya - karena, yang lebih dibutuhkan dalam sebuah kawasan adalah “sense of regionalism”. Selain itu, kecintaan berlebih pada identitas juga dapat memicu pengabaian terhadap pihak lain yang memunculkan isu anti-refugees, xenophobia, islamophobia, dan lain-lain. Kekacauan yang terjadi dalam internal EU sendiri saya rasa disebabkan adanya kesenjangan dan perasaan tidak adil dari negara-negara yang kurang berkembang terhadap negara yang lebih besar. Lebih lanjut, Eropa adalah salah satu bangsa yang paling civilized di dunia, tetapi mereka mudah terpengaruh dengan isu-isu yang mengancam kepentingan mereka sehingga output yang dikeluarkan menjadi kurang rasional.
19
AIRPORT • NOVEMBER 2016
OPINI
SENANDUNG LULUK - HI 2014 Isu pengungsi dan islamophobia tentu memiliki pengaruh terhadap proses disintegrasi di Eropa. Bentuk-bentuk intoleransi ini disebabkan oleh ketidaksepahaman terhadap isu tersebut karena perbedaan kepentingan yang dimiliki negara. Adanya islamophobia makin memperparah penerimaan refugees karena stigma yang dimiliki masyarakat Eropa --utamanya setelah rangkaian serangan teror-terhadap sebuah agama tertentu menjadi buruk. Hal lain yang mempengaruhi disintegrasi adalah Brexit yang menurut saya merupakan kesempatan emas bagi negara dengan kondisi politik domestik yang menolak EU dimana Inggris seakan-akan membuka jalan atas ide yang dulu dianggap 'radikal' yaitu keluar dari EU.
TUNGGUL WICAKSONO - HI 2014 Saya melihat bahwa peran dan sikap EU merupakan buah dari representasi beberapa pihak saja, misalnya dalam Council of the European Union. Suara yang muncul kemudian hanya berkutat dari negara-negara besar seperti Jerman ataupun Italia. Hal ini juga diperkuat dengan sistem voting yang didasari oleh jumlah populasi. Sayangnya, hal tersebut tidak dapat merangkul kepentingan negara-negara kecil karena pada dasarnya, negara hanya memperhatikan kepentingan nasional dan memperhitungkan kerugian masing-masing, sehingga potensi disintegrasi sangat besar dan salah satu penyebabnya adalah ketidakseimbangan representasi dari negara-negara Eropa.
ALIFIANDI YUSUF - HI 2013 Menurut saya, salah satu akar disintegrasi di Eropa adalah adanya proses penyatuan yang dipaksakan antara Eropa Timur dan Eropa Barat. Eropa Timur yang terintegrasi paska Perang Dingin mau tak mau harus mengadopsi nilai dan norma yang dimiliki oleh Eropa Barat. Misalnya, Eropa Barat cenderung menghindari politik yang beraliran ekstrim kanan. Sedangkan Eropa Timur banyak menganut praktek politik ini. Selain itu, terkait isu pengungsi dan imigran, penolakan yang diajukan oleh sebagian masyarakat Eropa dikarenakan keterbukaan pemerintah terhadap migran. Terkadang mereka lupa pada masyarakat asli yang juga berkompetisi untuk mendapat pekerjaan. Ketimpangan akses ini kemudian menimbulkan sentimen terhadap migran dan pengungsi.
AIRPORT • NOVEMBER 2016
20
TTS
TTS
Sebelum menutup Majalah AIRPORT edisi November 2016, redaksi ingin membagi-bagi rejeki untuk pembaca setia kami. Isilah teka-teki silang di bawah ini dan raih kesempatan untuk memenangkan PULSA sebesar Rp 25.000 untuk pemenang pertama dan Rp 10.000 untuk dua pemenang lainnya. Jawaban dikirim ke inkaofficial@gmail.com
MENURUN
1. 23 Juni 2016 di Inggris 4. “Brexit means Brexit.. no attempts to remain inside the EU, no attempts to rejoin it through the back door, and no second referendum.” 5. Keadaan tidak bersatu padu; keadaan terpecah belah; hilangnya keutuhan atau persatuan; perpecahan 6. Negara yang pada tahun 2015 menerima pengungsi terbanyak kedua setelah Jerman 9. Kamp pengungsi yang ditutup setelah fenomena Brexit berada di kota ini
21
AIRPORT • NOVEMBER 2016
MENDATAR
2. Politik yang menitik-beratkan nasionalisme dan mengarah ke fasisme; ekstrem kanan 3. Dikenalkannya konsep kedaulatan negara 7. “The Commision” 8. Three pillars of the European Union 10. Regionalisme Uni Eropa
Korps Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI) Universitas Gadjah Mada Presents
$OVR 3HUIRUPLQJ