Refleksi di Balik Bencana Sorja Koesuma koesuma@gmail.com
Sejarah telah mencatat bahwa wilayah
pada rakyat Indonesia, terutama mereka
Indonesia
berbagai
yang bertempat tinggal di sekitar wilayah
gunung
pantai yang rawan bencana. Hal ini pantas
berapi, gempa bumi, dan tsunami yang
saja karena dilihat dari sudut pandang
menjatuhkan
Sebutlah
kerugian materi dan nyawa, gempa dan
letusan Gunung Tambora, Sumbawa, pada
tsunami Aceh memiliki nilai kerugian yang
tahun
90.000
paling tinggi. Ini karena infrastruktur di
manusia. Saat itu, Kerajaan Mataram dan
sepanjang pantai Barat Aceh dan Sumut
penduduknya
(sepanjang Banda Aceh hingga Meulaboh)
bencana
lahar.
pernah bumi
mengalami
berupa
banyak
1815
letusan
korban.
yang menewaskan
lenyap
Bencana
terkubur
lain,
mutahan
gempa
bumi
tersapu hingga tidak ada yang tersisa lagi.
berkekuatan 7,1 skala Richter di Irian Jaya
Di pihak lain, kerugian nyawa tercatat
pada tahun 1976 yang menewaskan 9000
sebanyak 240.000 orang syahid.
orang. Bencana lainnya juga, gempa bumi dan tsunami yang menerjang Pulau Flores
Pada Pascagempa dan tsunami Aceh,
pada tahun 1977. Dalam bencana tersebut
media mengekspos besar-besaran kejadian.
1000 orang tewas.
Liputan media dengar dan pandang pada akhirnya menyisakan trauma yang cukup
Pada tiga tahun belakangan ini, 2004-2006,
pakem di dalam minda-minda masyarakat
wilayah Indonesia kembali dilanda berbagai
Indonesia. Pada akhirnya, kedalaman dan
bencana yang cukup membuat dunia cukup
kepekatan ingatan mengenai kejadian di
sibuk menggalang dana kemanusiaan dan
Aceh menyisakan trauma. Hal ini dapat
merehabilitasi lokasi bencana. Bencana-
terlihat ketika gempa bumi mengguncang
bencana tersebut terdiri dari gempa bumi,
Palu pada tanggal 24 Januari 2005, tidak
tsunami, banjir, tanah longsor, dan lain-lain.
lama
Dari berbagai bencana yang telah terjadi,
Penduduk sekitar spontan berlarian ke
setidaknya
gunung
ada
empat
bencana
yang
setelah
karena
gempa
khawatir
tsunami
akan
Aceh.
disusul
terekam paling jelas dalam pikiran, yaitu
tsunami. Wilayah lain yang juga diliputi
gempa
trauma ialah daerah Lampung. Penduduk
dan
tsunami
di
Aceh,
gempa
Yogyakarta, meletusnya gunung merapi,
terlihat takut sekali dengan
dan tsunami di Pangandaran.
bergolak dan gempa-gempa kecil yang
laut
yang
biasanya sering mereka rasakan. Mereka Dalam deretan bencana yang disebut di
sampai
mendirikan
kamp-kamp
atas, gempa dan tsunami Aceh yang begitu
penampungan di daerah yang lebih tinggi.
menyisakan trauma psikologis cukup berarti
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Tujuh belas bulan setelah gempa tsunami
Berita yang disiarkan simpang siur. Ada
Aceh, Yogyakarta terkena gempa bumi yang
yang mengatakan bahwa guncangan itu
menewaskan lebih dari seribu orang. Waktu
berasal dari Gunung Merapi yang bergolak.
kejadian
berbeda
Ada pula yang mengatakan bahwa pusat
dengan kejadian gempa di Aceh, yaitu pagi
gempa ada di laut sehingga harus berlari ke
hari saat orang-orang terlelap tidur atau
gunung. Akhirnya, semua orang panik dan
sedang bersantai-santai sambil menonton
berlarian
berita pagi. Tidak ada sinyal yang bisa
kepanikan ini ialah, jatuhnya korban-korban
mengingatkan mereka akan gempa yang
baru akibat dari kecelakaan di jalan
akan
gempa
terjadi
tidak
hingga
begitu
bencana
ke
segala
arah.
Hasil
dari
yang
menggancurkan itu kembali menghilangkan
Bencana Geologi yang merupakan topik
banyak nyawa. Selain karena tidak ada
utama pada Inovasi kali ini diharapkan dapat
sistem
digunakan masyarakat Indonesia sebagai
peringatan dini juga
tidak ada
penerangan yang jelas dari pemerintah.
media pembelajaran sekaligus pengingat bahwa wilayah Indonesia termasuk dalam daerah ‘ring of fire’ yang berarti bahwa bahaya geologi bisa datang sewaktu-waktu.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Tektonik Lempeng: antara Sumber Bencana dan Kekayaan Alam Mohamad Nur Heriawan Graduate School of Science and Technology, Universitas Kumamoto Anggota KK Eksplorasi Sumberdaya Bumi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, ITB E-mail: heriawan@mining.itb.ac.id
1. Apakah Tektonik Lempeng itu? Tektonik lempeng atau plate tectonics merupakan teori yang relatif baru yang terkembang sekitar tahun 1960 dan 1970 dan telah merevolusi cara berfikir para ahli geologi tentang bumi. Menurut teori ini, permukaan bumi terbagi-bagi menjadi beberapa lempeng besar. Ukuran dan posisi lempeng-lempeng tersebut selalu berubah setiap waktu. Batasbatas dari lempeng tersebut, dimana lempeng saling bergerak satu dengan yang lain, merupakan tempat-tempat yang berpotensi terhadap aktivitas geologi, seperti gempa bumi, gunung berapi, dan pembentukan jalur pegunungan. Sebenarnya tektonik lempeng merupakan gabungan dari dua teori awal, yaitu teori pergerakan benua (continental drift) berkembang pada sekitar paruh pertama abad ke-20 dan konsep pemekaran lantai samudera (sea-floor spreading) berkembang sekitar tahun 1960-an. Teori pergerakan benua menyatakan bahwa permukaan bumi terletak di atas kerak bumi yang tipis, dan kerak bumi ini senantiasa bergerak disebabkan pergerakan magma di bawah kerak bumi. Sedangkan pemekaran lantai samudera merupakan pembentukan kerak samudera yang baru pada punggungan tengah samudera (mid-oceanic ridges) dan pergerakan kerak menjauh dari punggungan tengah samudera tersebut. Bumi sendiri terbagi menjadi tiga lapisan, yaitu: inti, mantel, dan kerak. Inti bumi umumnya mengandung unsur-unsur besi dan nikel yang sangat panas, meskipun telah mengalami pendinginan selama 4,5 milyar tahun sampai saat ini. Inti bumi sendiri tersusun atas dua bagian, yaitu: inti bagian dalam yang padat dan inti bagian luar yang berupa cairan. Bagian tengah bumi yang berupa mantel, kaya akan unsur-unsur besi, magnesium, silika, dan oksigen. Kerak bumi juga kaya akan unsur-unsur oksigen dan silika dengan kandungan aluminium, besi, magnesium, kalsium, potasium, and sodium
yang lebih rendah dibandingkan pada mantel bumi. Kerak bumi terbagi menjadi dua jenis berdasarkan sifat fisik dan kimia material penyusunnya. Kerak samudera terbentuk dari batuan yang relatif berat bernama basal. Sedangkan kerak benua terbentuk dari batuan yang memiliki densitas lebih ringan, seperti andesit dan granit. Bagian terluar bumi dapat dibagi berdasarkan sifat fisiknya menjadi litosfer dan astenosfer seperti yang diilustrasikan pada Gambar.1.
Gambar.1. Bagian terluar bumi dimana lempeng terbentuk atas kerak dan mantel atas yang kaku [1]
Litosfer pada dasarnya mengapung di atas astenosfer. Litosfer terbagi-bagi menjadi beberapa bagian yang kita kenal dengan tektonik lempeng, dimana di bumi ini terdapat sepuluh lempeng utama dan beberapa lempeng kecil. Pergerakan lempeng pada batas antar lempeng secara umum dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) konvergen, dimana dua lempeng mendorong satu terhadap yang lain dan umumnya membentuk zona subduksi atau tumbukan antar benua sehingga pergerakan ini bersifat kompresif, (2) divergen, dimana dua lempeng menjauhi satu sama lain, sehingga pergerakannya bersifat ekstensif, dan (3) bergeser (sliding), dimana dorongan lempeng berpapasan satu sama lain sepanjang patahan atau sesar geser (lihat Gambar.2).
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Gambar.2. Sebaran lempeng-lempeng utama di bumi [2]
Pergerakan lempeng saling mendekati akan menyebabkan tumbukan (subduksi), dimana salah satu dari lempeng akan menunjam ke bawah yang lain. Daerah penunjaman membentuk suatu palung yang dalam, yang biasanya merupakan jalur gempa bumi yang kuat. Di belakang jalur penunjaman akan terbentuk rangkaian kegiatan magmatik dan gunungapi serta berbagai cekungan pengendapan. Salah satu contoh yang terjadi di Indonesia adalah pertemuan antara lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia. Pertemuan kedua lempeng tersebut menghasilkan jalur penunjaman di selatan Pulau Jawa, jalur gunung api di sepanjang pantai barat Sumatera, Jawa bagian selatan sampai ke Nusa Tenggara, dan pembentukan berbagai cekungan seperti Cekungan Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan dan Cekungan Jawa Utara [3]. Sedangkan pergerakan lempeng yang saling menjauh akan menyebabkan penipisan dan peregangan kerakbumi dan akhirnya terjadi pengeluaran material baru dari mantel membentuk jalur magmatik atau gunung berapi. Sebagai contoh adalah pembentukan gunung berapi di punggungan tengah samudera di Lautan Pasifik dan Benua Afrika [3]. Pergerakan lempeng yang saling berpapasan dicirikan oleh adanya sesar mendatar (geser) yang besar seperti misalnya Sesar Mendatar San Andreas di Amerika. Pergerakan lempeng kerak bumi yang saling bertumbukan akan membentuk zona obduksi dan menimbulkan gaya yang bekerja baik horizontal maupun vertikal, yang akan membentuk pegunungan lipatan, jalur gunung
api/magmatik, persesaran batuan, dan jalur gempabumi serta terbentuknya wilayah tektonik tertentu. Selain itu terbentuk juga berbagai jenis cekungan pengendapan batuan sedimen seperti palung (parit), cekungan busur muka, cekungan antar gunung dan cekungan busur belakang. Pada jalur gunung api/magmatik biasanya akan terbentuk zona mineralisasi emas, perak dan tembaga, sedangkan pada jalur penunjaman berpotensi terbentuknya mineral kromit. Setiap wilayah tektonik memiliki karakteristik atau indikasi tertentu, baik pada jenis batuan, mineralisasi, struktur geologi maupun pola kegempaannya [3]. Sebagai contoh Gambar.3. mendeskripsikan tatanan geologi pada penampang baratdaya - timurlaut yang memotong Sumatera bagian tengah sebagai akibat tektonik lempeng di perairan bagian barat Sumatra.
Gambar.3. Tatanan geologi pada penampang baratdaya - timurlaut memotong Sumatra bagian tengah [4]
2. Tektonik Lempeng sebagai Sumber Bencana Secara umum bencana alam yang disebabkan oleh aktivitas tektonik lempeng dapat berupa gempa bumi maupun letusan gunung berapi. Baik gempa bumi maupun gunung berapi yang sumber aktivitasnya berada di laut bisa menyebabkan bencana tsunami pada kekuatan tertentu. 2.1. Gempa Bumi Gempa bumi merupakan suatu fenomena yang disebabkan oleh terlepasnya energi secara tiba-tiba yang menghasilkan radiasi
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
gelombang seismik. Di permukaan bumi, gempa bumi dapat dirasakan dalam bentuk goncangan atau pergeseran tanah, dan terkadang menyebabkan tsunami yang tentu saja dapat menghancurkan apa saja yang ada di atas permukaan bumi. Secara umum gempa bumi diakibatkan baik oleh aktivitas tektonik maupun volkanik. Gempa bumi tektonik dapat disebabkan oleh patahnya massa batuan di bawah permukaan bumi. Penunjaman kerak samudera ke bawah kerak benua pada jalur subduksi dengan gerakan yang lambat tapi cenderung konstan menyebabkan terjadi tegangan akibat pergesekan. Pada saat tegangan tersebut terakumulasi dan akhirnya mencapai suatu nilai kritis, maka massa batuan yang menerima tegangan tersebut bisa runtuh atau patah. Beberapa dampak merugikan dari kejadian gempa bumi, antara lain: • Menghancurkan kaca jendela yang dapat melukai siapa saja yang sedang berada di sampingnya. • Meruntuhkan bangunan dan menyebabkan korban terperangkap bahkan meninggal karena tertimpa reruntuhan. • Kebakaran, seperti yang terjadi pada gempa bumi di San Francisco tahun 1906. • Tsunami, seperti yang terjadi pada gempa bumi Sumatra pada akhir tahun 2004 dan gempa bumi di berairan Jawa Barat bagian selatan yang menyebabkan gelombang tsunami di pantai Pangandaran pada Juli 2006.
menyebabkan perpindahan sejumlah besar massa air laut oleh pengaruh aktivitas letusan gunung api, gempa bumi, longsoran maupun meteor yang jatuh ke laut dengan kekuatan tertentu. Namun, 90% tsunami yang terjadi di dunia adalah akibat gempa bumi yang berpusat di bawah laut. Dalam rekaman sejarah beberapa tsunami yang diakibatkan oleh gunung meletus, misalnya ketika Gunung Krakatau di Selat Sunda meletus pada 27 Agustus 1883 menyebabkan gelombang tsunami mencapai ketinggian 40 meter dan menimbulkan korban jiwa sekitar 36,4 ribu jiwa [5]. Umumnya apabila gelombang tsunami menghampiri pantai, ketinggiannya meningkat sementara kelajuannya akan menurun dari semula. Gelombang tersebut bergerak dengan kecepatan tinggi, hampir tidak dapat dirasakan efeknya, misalnya oleh kapal laut yang sedang melintasi laut dalam, tetapi ketinggian gelombang bisa meningkat sampai 30 meter atau lebih. Tsunami bisa menyebabkan kerusakan dan korban jiwa pada kawasan pesisir pantai dan kepulauan yang dilaluinya. Sebagai contoh adalah tsunami yang terjadi di perairan Sumatra bagian utara pada 26 Desember 2004 yang dipicu oleh gempa bumi dengan kekuatan hampir 9 Skala Richter. Total korban jiwa pada peristiwa tersebut mencapai sekitar 174 ribu jiwa meliputi sebagian besar warga provinsi Nangroe Aceh Darussalam dan sebagian kecil warga Kepulauan Nias, Sumatra Utara. 2.3. Aktivitas Gunung Berapi
• Tanah longsor. • Ketidakstabilan pada pondasi-pondasi bangunan yang dapat menyebabkan runtuhnya bangunan tersebut jika terjadi gempa bumi pada lain waktu. • Menyebarnya berbagai penyakit. • Berkurangnya sumber-sumber kebutuhan hidup mengingat banyak terjadi kerusakan pada sistem infrastruktur. 2.2. Tsunami Tsunami yang menurut terrminologi Jepang berarti "gelombang besar di pelabuhan" adalah sebuah gelombang laut (ombak) yang terjadi akibat gangguan yang
Apabila gunung berapi meletus, magma yang terkandung di dalam dapur magma di bawah gunung berapi menekan keluar permukaan dalam bentuk lahar atau lava. Peristiwa letusan gunung berapi (vulkanisme) selain mengakibatkan kerugian harta benda dan nyawa manusia serta kerusakan alam sekitarnya, juga memberikan efek samping yang bermanfaat bagi umat manusia. Beberapa kerugian yang dialami akibat aktivitas vulkanik antara lain: 1. Gempa bumi vulkanik yang dapat menimbulkan beberapa kerusakan, meski gempa bumi ini lebih bersifat lokal daripada gempa bumi tektonik.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
2. Kebakaran hutan akibat aliran lava pijar. 3. Ancaman banjir lahar dingin jika terjadi hujan yang cukup intensif di sekitar puncak dan lereng gunung berapi setelah peristiwa vulkanisme. 4. Bahaya gas beracun yang umumnya berupa gas H2S. 5. Bahaya luncuran awan panas dari puncak gunung berapi ke arah sekitar lereng gunung yang dapat membakar apa saja yang dilewatinya. 6. Jatuhan material-material vulkanik (piroklastik) dalam berbagai ukuran dari bongkah sampai kerikil yang tentu saja membahayakan apa saja yang tertimpa. 7. Sebaran abu vulkanik yang sangat tebal dan meluas dapat mengganggu kesehatan dan mengotori sarana yang ada sampai radius beberapa kilometer dari kawasan gunung berapi, tergantung arah dan kecepatan angin yang membawanya. 8. Letusan gunung berapi di laut juga dapat menimbulkan gelombang tsunami.
sekitar lereng dan kaki Gunung Merapi, Jawa Tengah. 4. Sumber bahan galian berupa material sirtu (pasir dan batu) yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan konstruksi, sebagai contoh material sirtu di lereng Gunung Galunggung dimana endapan pasir dari kawasan tersebut sangat terkenal dengan kualitas yang bagus sebagai bahan pembuatan beton. 3. Tektonik Lempeng sebagai Sumber Kekayaan Alam Sumber-sumber kekayaan alam terutama mineral, dalam kaitannya dengan jalur tektonik lempeng tidak bisa terpisahkan dengan istilah yang dalam ilmu kebumian disebut sebagai ‘Mendala Metalogenik’ atau Metallogenic Province. Mendala metalogenik merupakan suatu area yang dicirikan oleh kumpulan endapan mineral yang khas, atau oleh satu atau lebih jenis-jenis karakteristik mineralisasi. Urat (Vein) (Au - Ag - Hg) (Cu - Pb - Zn) Eksalatif - S Placer Au - Sn Sedimentary (Fe - Mn)
Ofiolit - Cu
Vulkanogenik Pb-Cu-Zn
Porfiri (Cu - Mo)
Sandstone Host (U - V - Cu)
Mafik - Ultramafik
Shale hosted (Cu-Pb-Zn) Limestone Hosted (Pb - Zn - Cu)
Cr - Ni - Pt KERAK SAMUDERA
Urat (Vein) (Sn - W)
KERAK BENUA
Pa rt ia
lM el tin g
Skarn (Cu - Pb - Zn)
ZONA TUMBUKAN (SUBDUCTION ZONE)
ZONA REGANGAN (RIFT ZONE) ZONA TUMBUKAN (SUBDUCTION ZONE)
Gambar.4. Model tatanan geologi endapan mineral dan kaitannya dengan proses tektonik lempeng [4]
Sedangkan manfaat yang dapat diperoleh setelah vulkanisme berlangsung antara lain: 1. Terbentuknya kawah dan sumber mata air panas yang dapat dijadikan objek wisata, misalnya di Gunung Tangkubanperahu, Ciater, dan sekitarnya. 2. Sumber energi panas bumi, seperti di Kamojang, Jawa Barat. 3. Tanah yang subur mengingat abu volkanik yang dihasilkan letusan gunung berapi mengandung unsur-unsur mineral yang bermanfaat sebagai nutrisi tanaman seperti magnesium, potasium, kalsium, sulfur, dan besi. Sebagai contoh tanah yang subur di
Suatu mendala metalogenik mungkin memiliki lebih dari satu episod mineralisasi yang disebut dengan Metallogenic Epoch. Mendala metalogenik selalu berkaitan dengan siklus-siklus geologi dan formasi endapan mineral. Proses-proses yang terlibat meliputi pendinginan, kristalisasi, dan perombakan material-material bumi yang telah ada sebelumnya. Pembentukan bijih dan perkembangan strukturnya dapat diinterpretasikan sebagai model tektonik lempeng yang terjadi selama evolusi kerak bumi seperti model yang ditunjukkan pada Gambar.4. Model tersebut menjelaskan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
bagaimana kerak yang baru terbentuk di dalam zona regangan (rift zone), terutama di punggungan tengah samudera, oleh penambahan magma basaltik dari dalam. Proses tersebut membentuk kerak samudera yang homogen yang telah mengalami sedikit proses segregasi logam-logam yang membentuk endapan bijih. Selain sumberdaya mineral, seperti yang telah disebutkan pada Bab 1 di atas bahwa terbentuknya cekungan-cekungan akibat tektonik lempeng dapat menjadi medium pengendapan sedimen yang bisa berpotensi sebagai reservoir air, migas, maupun batubara. Beberapa keuntungan akibat vulkanisme seperti yang telah dijelaskan pada Subbab 2.3. juga merupakan anugerah tersendiri yang bermanfaat bagi negara dan masyarakat. 4. Penutup Dengan terjadinya bencana alam secara beruntun yang menimpa bangsa Indonesia sejak peristiwa Gempa Sumatra yang disertai gelombang tsunami pada akhir tahun 2004, sampai aktivitas vulkanisme Gunung Merapi di Jawa Tengah yang secara kebetulan bersamaan dengan peristiwa gempa bumi di daerah Yogyakarta dan sekitarnya pada akhir Mei 2006, kemudian yang terakhir adalah gempa bumi yang disertai dengan gelombang tsunami di pantai Pangandaran, Jawa Barat menunjukkan bahwa seluruh wilayah Indonesia terutama yang berdekatan dengan batas antar lempeng merupakan wilayah rawan bencana yang setiap saat dapat terjadi.
Namun media massa dan masyarakat tampaknya lupa bahwa fenomena tektonik lempeng yang menjadi sumber bencana alam tersebut sebenarnya telah memberikan sumber kekayaan dan potensi alam yang dapat bermanfaat untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat, mulai dari sumberdaya mineral, air, batubara, minyak bumi dan gas, sumber energi panas bumi, sampai pada potensi keindahan alam. 5. Daftar Pustaka [1] Volcano World – The Web’s Premier Source of Volcano Info, http://volcano. und.edu/ [2] Center for Educational http://www.cet.edu/
Technologies,
[3] Tatanan Tektonik Indonesia, http://www. geocities.com/museumgeologi/Geologi/tat anan.htm [4] Darijanto, T. dan Syafrizal, 2002, Diktat Genesa Bahan Galian, Departemen Teknik Pertambangan FIKTM – ITB. [5] Satyana, A.H., 2006, IAGI (Ikatan Ahli Geologi Indonesia – Indonesian Association of Geologists): One Earth for All, http://www.iagi.or.id/
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Sumberdaya Air, Bagian dari Bencana Geologi ? Rachmat Fajar Lubis Graduate School of Science and Technology, Chiba University, Japan E-mail : fajarlubis@graduate.chiba-u.jp Bencana geologi (geologic hazard) adalah suatu yang alami dan merupakan proses kesetimbangan (equibilirium) bumi ini sendiri yang bersifat dinamis. Menjadi masalah ketika bencana ini sudah mulai berdampak kepada umat manusia baik dalam bentuk korban jiwa ataupun materi (geology disaster). Pada dasarnya memang bencana geologi tidak dapat kita hindari tapi dengan pemahaman dan perhitungan yang kita miliki, prediksi dapat dilakukan dan kerugian dapat kita kurangi. Berkaitan dengan judul diatas. Tulisan ini ingin mencoba menggambarkan bahwa sumberdaya air, apabila tidak dikelola dengan sungguhsungguh dapat menjadi bagian dari bencana diatas. 1. Permasalahan Sumberdaya Air Alami. Permasalahan sumberdaya air saat ini sudah menjadi suatu permasalahan yang sangat penting di Indonesia, khususnya pulau Jawa, Bali dan kepulauan Nusa Tenggara. Kebutuhan sumberdaya air yang terus meningkat tidak dapat diimbangi oleh siklus air yang relatif tetap. Perubahan lahan akibat tekanan aktifitas penduduk mengakibatkan perubahan badan air yang terbentuk di daratan. Contoh nyata di berbagai wilayah pada saat musim hujan selalu/menjadi banjir, sedangkan pada saat musim kemarau daerah yang sama mengalami kekeringan (Gambar 1). Perubahan ini mengakibatkan penduduk di wilayah-wilayah ini, yang pada awalnya bertumpu pada penggunaan air sungai sebagai sumber air bersih mulai beralih kepada penggunaan sumberdaya air lainnya.
Mengapa ini bisa terjadi? Tabel yang dikeluarkan oleh UNDP/FAO tahun 1992 (Tabel 1) dapat memberikan gambaran mengenai permasalahan yang ada. Tabel ini disusun hanya berdasarkan ketersediaan air permukaan (dalam hal ini difokuskan kepada air sungai) sebagai sumber utama penyediaan kebutuhan air bersih. Dalam tabel ini hanya ditampilkan 4 pulau yang merupakan prioritas utama permasalahan sumberdaya air (khususnya air permukaan) yang akan datang. Dalam tabel ini dapat dilihat secara umum potensial sumberdaya air permukaan di wilayah Indonesia sebenarnya lebih dari cukup. Akan tetapi pada saat aliran rendah (low flow) masalah mulai muncul. Aliran rendah di Indonesia terjadi pada saat musim kemarau. Bulan kering untuk dekade ini jatuh antara bulan Mei hingga bulan Oktober. Pada musim ini, pulau Jawa dan Bali telah mengalami kekurangan sumberdaya air permukaan pada saat kemarau sejak awal tahun 1990. Data inipun menunjukkan bahwa kenyataan ketersediaan sumberdaya air pulau Jawa dan Bali sehingga masih mampu bertahan hingga saat ini, mestilah didukung dengan penggunaan alternatif sumberdaya air lainnya seperti airtanah, air hujan dan sumber lainnya Pulau yang diperkirakan akan bermasalah selanjutnya adalah pulau Sulawesi. Berita di pertengahan tahun ini menunjukkan bahwa permasalahan ini mengalami akselerasi yang lebih cepat dari yang diperkirakan pada tahun 1992. Selain dari ketersediaan air secara alami, ternyata pola kebutuhan air inipun memunculkan permasalahan yang lain.
Tabel 1. Perbandingan Ketersediaan Sumberdaya Air Permukaan Potensial dan Kebutuhan Pulau [2] Ketersediaan Irigasi dan Kebutuhan Air Domestik Luas Perkiraan Air Wilayah Aliran Pulau Permukaan 1990 2000 2015 (1000 Rendah 3 3 3 Potensial (m /detik) (m /detik) (m /detik) 3 km2 ) (m /detik) 3 (m /detik) Jawa/ Bali 139 6,199 786 1,074 1,777 1,878 Sulawesi 187 2,488 561 126 365 529 Sumatera 470 23,660 4,704 297 497 693 Kalimantan 535 32,279 6,956 73 93 193
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
2. Permasalahan Sumberdaya Air Akibat Aktifitas Manusia Tekanan lingkungan akibat kepadatan penduduk, tanpa disadari merubah rona lingkungan secara lebih cepat pada skala mikro. Perubahan tata ruang secara signifikan memberikan bukti perubahan kesetimbangan alam. Gangguan kesetimbangan inipun berakibat langsung terhadap sumberdaya air sebagai salah satu komponen alam. Banjir yang tiba-tiba muncul di lokasi yang sebelumnya bukan termasuk dalam kategori dataran banjir. Longsor, gerakan tanah dan perubahan iklim secara mikro (mikroklimat) mulai dilaporkan terjadi di berbagai pelosok daerah. Pemakaian airtanah sebagai alternatif sumberdaya air, tanpa pengawasan yang berimbang ternyata dapat menjadi sumber bencana lainnya. Amblesan (subsidence) dan intrusi airlaut saat ini menghantui beberapa wilayah yang mengalami kondisi pengambilan airtanah yang berlebih (over exploitated). Penggunaan air hujan juga tidak terlepas dari ancaman sebagai salah satu faktor bencana di masa mendatang. Pencemaran udara yang tidak terkendali, dapat menimbulkan hujan asam. Hujan ini selanjutnya dapat menjadi masalah yang serius bagi kelangsungan hidup umat manusia di masa mendatang. Secara sederhana, hujan asam dapat dikatakan sebagai hujan dengan kualitas air yang memiliki nilai pH dibawah 5,5- 5,6 [2]. 3. Manajemen Sumberdaya Berkesinambungan
Air
yang
Ketika dampak lingkungan mulai terasa, maka pentingnya upaya konservasi barulah disadari. Sumberdaya air haruslah mulai diperhitungkan dan menjadi salah satu parameter kendali dalam penentuan tata ruang [3].
Perbedaan kondisi yang ada pada tiap daerah dan minimnya data penelitian yang telah ada menuntut perlunya penangangan permasalahan ini dengan sungguh-sungguh. Peningkatan jumlah ahli dibidang sumberdaya air untuk setiap wilayah sangatlah diperlukan. Ratio jumlah yang ideal adalah, 1 kecamatan memiliki 1 ahli sumberdaya air. Hal lainnya adalah upaya pengamatan dan pengumpulan data ketersediaan dan penggunaan sumberdaya air yang menerus dan dilakukan di berbagai wilayah di Indonesia. Pengumpulan data dan analisa yang dilakukan dengan menekankan pemahaman pada karakteristik yang berbeda untuk tiap daerah, sangatlah perlu dilakukan untuk menghindari bencana geologi yang diakibatkan oleh sumberdaya air, saat ini dan di masa mendatang. 4. Ucapan Terima Kasih Tulisan ini diperuntukkan kepada Dr. Haris Syahbuddin atas dedikasinya yang luar biasa terhadap majalah ilmiah semi populer : Persatuan Pelajar Indonesia (PPI Jepang), Inovasi On-line selama masa studinya di Jepang, Sorja Koesuma atas masukan dan koreksiannya sehingga tulisan ini lebih mudah dipahami serta para peneliti lainnya yang terus bergiat dibidang ketersediaan sumberdaya air yang layak bagi umat manusia di Indonesia dan dunia. Daftar Pustaka [1]
‌‌, 2003 The Columbia Electronic Encyclopedia, Sixth Edition. Columbia University Press.
[2] Black & Veatch, 2004, Draft Report of National Water Sector Profile for Asian Development Bank. Indonesia, Limited, December 2004 [3] Lubis, R. F, 2006, Air sebagai parameter kendali dalam tata ruang, Majalah Inovasi on Line Edisi Vol.7/XVIII/Juni 2006.
Gambar 1 . Kondisi sumberdaya air ekstrim di Indonesia
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI VOL 8/XVIII/September 2006
Mengenal Bencana Alam Tanah Longsor dan Mitigasinya Agus Setyawan Department of Earth Resources Engineering, Graduate School of Engineering, Kyushu University, 6-10-1, Hakozaki, Higashi-ku, Fukuoka, 812-8581, JAPAN E-mail: asetyawan@mine.kyushu-u.ac.jp
Wahyu Wilopo Department of Earth Resources Engineering, Graduate School of Engineering, Kyushu University, 6-10-1, Hakozaki, Higashi-ku, Fukuoka, 812-8581, JAPAN E-mail: wilopo@mine.kyushu-u.ac.jp
Supriyanto Suparno Department of Earth Resources Engineering, Graduate School of Engineering, Kyushu University, 6-10-1, Hakozaki, Higashi-ku, Fukuoka, 812-8581, JAPAN E-mail: suparno@mine.kyushu-u.ac.jp 1. Pengantar Bencana alam sebagai peristiwa alam dapat terjadi setiap saat dimana saja dan kapan saja, disamping menimbulkan kerugian material dan imaterial bagi kehidupan masyarakat. Gerakan tanah adalah salah satu bencana alam yang sering mengakibatkan kerugian harta benda maupun korban jiwa dan menimbulkan kerusakan sarana dan prasarana lainnya yang membawa dampak sosial dan ekonomi. Bencana adalah sesuatu yang tidak kita harapkan, oleh karena itu pemahaman terhadap proses terjadinya gerakan tanah berikut faktor penyebabnya menjadi sangat penting bagi pemerintah maupun masyarakat. Alternatif penanggulangan bencana baik dari aspek pencegahan (preventif), pengurangan (mitigasi) maupun penanggulangan (rehabilitasi) perlu dikaji secara mendalam. Mitigasi adalah segala usaha untuk meminimalisasi akibat terjadinya suatu bencana pada saat bencana terjadi maupun pasca bencana, yang dalam hal ini dilakukan baik dalam skala lokal, nasional, maupun regional [3]. Beberapa instansi yang menangani hal ini antara lain Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Alam, LAPAN, BPPT, Pemda Tingkat I dan II, Dinas Pertambangan dan Energi, Perguruan Tinggi, Bakornas, Kimpraswil, dan Lembagalembaga penelitian lainnya. Walaupun demikian korban akibat bencana alam tanah longsor masih saja terjadi, hal ini
menunjukkan bahwa mitigasi bencana harus ditingkatkan pelaksanaannya. 2. Tanah longsor Tanah longsor adalah suatu jenis gerakan tanah, umumnya gerakan tanah yang terjadi adalah longsor bahan rombakan (debris avalanches) dan nendatan (slumps/rotational slides). Gaya-gaya gravitasi dan rembesan (seepage) merupakan penyebab utama ketidakstabilan (instability) pada lereng alami maupun lereng yang di bentuk dengan cara penggalian atau penimbunan [2]. 2.1. Tipe longsoran dan tipologi lereng Terdapat beberapa tipe longsoran yang sering terjadi diantaranya [2] : a. Kelongsoran rotasi (rotational slip). b. Kelongsoran translasi (translational slip). c. Kelongsoran gabungan (compound slip). Pada dasarnya sebagian besar wilayah di indonesia merupakan daerah perbukitan atau pegunungan yang membentuk lahan miring. Lereng atau lahan yang kemiringannya melampaui 20 derajat (40%), umumnya berbakat untuk bergerak atau longsor. Namun tidak selalu lereng atau lahan yang miring berpotensi untuk longsor. Dari berbagai kejadian longsor, dapat didentifikasi 3 tipologi lereng yang rentan untuk bergerak [1] yaitu: a. Lereng timbunan tanah residual yang dialasi oleh batuan kompak. b. Lereng batuan yang berlapis searah lereng topografi.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
c. Lereng yang batuan.
tersusun
oleh
blok-blok
3. Penyebab Tanah Longsor Faktor penyebab terjadinya gerakan pada lereng juga tergantung pada kondisi batuan dan tanah penyusun lereng, struktur geologi, curah hujan, vegetasi penutup dan penggunaan lahan pada lereng tersebut, namun secara garis besar dapat dibedakan sebagai faktor alami dan manusia: 3.1. Faktor alam Kondisi alam yang menjadi faktor utama terjadinya longsor antara lain: a. Kondisi geologi: batuan lapuk, kemiriringan lapisan, sisipan lapisan batu lempung, struktur sesar dan kekar, gempa bumi, stratigrafi dan gunung api. b. Iklim: curah hujan yang tinggi. c. Keadaan topografi: lereng yang curam. d. Keadaan tata air: kondisi drainase yang tersumbat, akumulasi massa air, erosi dalam, pelarutan dan tekanan hidrostatika. e. Tutupan lahan yang mengurangi tahan geser, misal tanah kritis.
4.1. Tahap awal (preventif) Langkah pertama dalam upaya meminimalkan kerugian akibat bencana tanah longsor adalah: a. Identifikasi daerah rawan dan pemetaan. Dari evaluasi terhadap lokasi gerakan tanah yang telah terjadi selama ini ternyata lokasi-lokasi kejadian gerakan tanah merupakan daerah yang telah teridentifikasi sebagai daerah yang memiliki kerentanan menengah hingga tinggi. b. Penyuluhan pencegahan dan penanggulangan bencana alam gerakan tanah dengan memberikan informasi mengenai bagaimana dan kenapa tanah longsor, gejala gerakan tanah dan upaya pencegahan serta penangulangannya. c. Pemantauan daerah rawan longsor dan dilakukan secara terus menerus dengan tujuan untuk mengetahui mekanisme gerakan tanah dan faktor penyebabnya serta mengamati gejala kemungkinan akan terjadinya longsoran.
3.2. Faktor manusia Ulah manusia yang tidak bersabat dengan alam antara lain: a. Pemotongan tebing pada penambangan batu dilereng yang terjal. b. Penimbunan tanah urugan di daerah lereng. c. Kegagalan struktur dinding penahan tanah. d. Penggundulan hutan. e. Budidaya kolam ikan diatas lereng. f. Sistem pertanian yang tidak memperhatikan irigasi yang aman. g. Pengembangan wilayah yang tidak diimbangi dengan kesadaran masyarakat, sehingga RUTR tidak ditaati yang akhirnya merugikan sendiri. h. Sistem drainase daerah lereng yang tidak baik. 4. Mitigasi Mitigasi bencana tanah longsor berarti segala usaha untuk meminimalisasi akibat terjadinya tanah longsor. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk menekan bahaya tanah longsor dibagi menjadi 3 yaitu:
Gambar 1. Bagan alir sistem manajemen bencana longsor (Karnawati, 2002)
d. Pengembangan dan penyempurnaan manajemen mitigasi gerakan tanah baik dalam skala nasional, regional maupun lokal secara berkelanjutan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan menggalang kebersamaan segenap lapisan masyarakat (gambar 1).
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
e. Perencanaan pengembangan sistem peringatan dini di daerah rawan bencana. f. Pola pengelolaan lahan untuk budidaya tanaman pertanian, perkebunan yang sesuai dengan azas pelestarian lingkungan dan kestabilan lereng. g. Hindari bermukim atau mendirikan bangunan di tepi lembah sungai terjal. h. Hindari melakukan penggalian pada daerah bawah lereng terjal yang akan mengganggu kestabilan lereng sehingga mudah longsor. i. Hindari membuat pencetakan sawah baru atau kolam pada lereng yang terjal karena air yang digunakan akan mempengaruhi sifat fisik dan keteknikan yaitu tanah menjadi lembek dan gembur sehingga kehilangan kuat gesernya yang mengakibatkan tanah mudah bergerak. j. Penyebarluasan informasi bencana gerakan tanah melalui berbagai media dan cara sehingga masyarakat, baik secara formal maupun non formal. 4.2. Tahap bencana Hal penting yang harus dilakukan ketika suatu daerah terkena bencan tanah longsor diantaranya: a. Menyelamatkan warga yang tertimpa musibah b. Pembentukan pusat pengendlian (Crisis Center). c. Evakuasi korban ke tempat yang lebih aman. d. Pendirian dapur umum, pos-pos kesehatan dan penyediaan air bersih. e. Pendistribusian air bersih, jalur logistik, tikar dan selimut. f. Pencegahan berjangkitnya wabah penyakit. g. Evaluasi, konsultasi dan penyuluhan. 4.3. Tahap pasca bencana Berlalunya bencana tanah longsor bukan berarti permasalahan sudah selesai, masih ada beberapa tahapan yang perlu kita lakukan: a. Penyusunan dan penyempurnaan peraturan tata ruang dalam upaya mempertahankan fungsi daerah resapan air. b. Mengupayakan semaksimal mungkin pengembalian fungsi kawasan hutan lindung. c. Mengevaluasi dan memperketat studi AMDAL pada kawasan vital yang berpotensi menyebabkan bencana.
d. Mengevaluasi kebijakan Instansi/Dinas yang berpengaruh terhadap terganggunya ekosistem. e. Penyediaan lahan relokasi penduduk yang bermukim di daerah bencana, sabuk hijau dan di sepanjang bantaran sungai. f. Normalisasi areal penyebab bencana, antara lain seperti normalisasi aliran sungai dan bantaran sungai dengan membuat semacam polder dan sudetan. g. Rehabilitasi sarana dan prasarana pendukung kehidupan masyarakat yang terkena bencana secara permanen (seperti: perbaikan sekolah, pasar, tempat ibadah, jalan, jembatan, tanggul dll). h. Menyelenggarakan forum kerjasama antar daerah dalam penanggulangan bencana. 5. Kesimpulan Bencana alam tanah longsor masih tetap berpotensi terjadi di tahun-tahun mendatang, mengingat kondisi alam (morfologi dan geologi) di beberapa wilayah di Indonesia berbakat untuk longsor terutama di musim hujan. Potensi terjadinya longsoran ini dapat diminimalkan dengan memberdayakan masyarakat untuk mengenali tipologi lereng yang rawan longsor, gejala awal longsor, serta upaya antisipasi dini yang harus dilakukan, sehingga pengembangan dan penyempurnaan manajemen mitigasi gerakan tanah baik dalam skala nasional, regional maupun lokal secara berkelanjutan dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan menggalang kebersamaan segenap lapisan masyarakat. Daftar Pustaka [1] Anwar,H.Z., Suwiyanto, E. Subowo, Karnawati, D., Sudaryanto, Ruslan, M., 2001, “Aplikasi Citra Satelit Dalam Penentuan Dareah Rawan Bencana Longsor”. Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, Bandung. [2] Dwiyanto JS, 2002, “Penanggulangan Tanah longsor dengan Grouting” Pusdi kebumian LEMLIT UNDIP, Semarang. [3] Karnawati, D, 2002, “Pengenalan Daerah Rentan Gerakan Tanah Dan Upaya Mitigasinya”, Pusdi kebumian LEMLIT UNDIP, Semarang.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Aspek Iklim dalam Perencanaan Tata Ruang Indah Susanti E-mail: indah_satklim05@bdg.lapan.go.id
Teguh Harjana E-mail: teguh@bdg.lapan.go.id 1. Pengantar Masalah perkotaan pada saat ini telah menjadi masalah yang cukup pelik untuk diatasi. Perkembangan perkotaan membawa pada konsekuensi negatif pada beberapa aspek, termasuk aspek lingkungan. Perkembangan kota membutuhkan ruang sebagai tempat hidup penduduk dengan aktivitasnya. Pertambahan jumlah penduduk kota berarti juga peningkatan kebutuhan ruang. Karena ruang tidak dapat bertambah, maka yang terjadi adalah perubahan penggunaan lahan, yang cenderung menurunkan proporsi lahan-lahan yang sebelumnya merupakan ruang terbuka hijau. Pada saat ini hanya 1,2% lahan di dunia merupakan kawasan perkotaan, namun coverage spasial dan densitas kota-kota diperkirakan akan terus meningkat di masa yang akan datang. PBB telah melakukan estimasi dan menyatakan bahwa pada tahun 2025, 60% populasi dunia akan tinggal di kota-kota. Pada saat ini telah diakui bahwa iklim perkotaan memiliki karakteristik yang berbeda dengan iklim kawasan di sekitarnya yang masih memiliki unsur-unsur alami cukup banyak. Perubahan unsur-unsur lingkungan dari yang alami menjadi unsur buatan menyebabkan terjadinya perubahan karakteristik iklim mikro . Berbagai aktivitas manusia di perkotaan, seperti kegiatan industri dan transportasi, mengubah komposisi atmosfer yang berdampak pada perubahan komponen siklus air, siklus karbon dan perubahan ekosistem. Selain itu, polusi udara di perkotaan menyebabkan perubahan visibilitas dan daya serap atmosfer terhadap radiasi matahari. Radiasi matahari itu sendiri merupakan salah satu faktor utama yang menentukan karakteristik iklim di suatu daerah.
dalam perancangan dan perencanaan kota. Namun di sisi lain, pemahaman mengenai urbanisasi dan dampaknya pada sistem iklim-bumi belum lengkap. Dan dalam sistem perencanaan pembangunan perkotaan di Indonesia, unsur iklim masih dianggap sebagai elemen statis, dimana diasumsikan tidak ada interaksi timbal balik antara iklim dengan perubahan guna lahan. Data-data iklim lebih sering dipergunakan sebagai data yang mendukung pernyataan kesesuian lahan dan lokasi bagi pengembangan fungsi sebuah kawasan, terutama untuk pengembangan kawasan pertanian. Namun dalam perancangan dan perencanaan kawasan perkotaan di Indonesia, hampir tidak pernah dipertimbangkan bahwa perubahan guna lahan yang direncanakan akan memberikan implikasi yang sangat besar terhadap sistem iklim.
2. Beberapa Karakteristik Iklim Perkotaan Iklim perkotaan merupakan hasil dari interaksi banyak faktor alami dan antropogenik. Polusi udara, material permukaan perkotaan, emisi panas anthropogenik, bersama-sama dengan faktor alam menyebabkan perbedaan iklim antara kota dan area non perkotaan. Iklim suatu kota dikendalikan oleh banyak faktor alam, baik pada skala makro (seperti. garis lintang) maupun pada skala meso (seperti topografi, badan air). Pada kota yang tumbuh dan berkembang, faktorfaktor baru dapat mengubah iklim lokal kota. Guna lahan, jumlah penduduk, aktivitas industri dan transportasi, serta ukuran dan struktur kota, adalah faktor-faktor yang terus berkembang dan mempengaruhi iklim perkotaan (Gambar 1).
Perubahan-perubahan tersebut sangat penting untuk menjadi bahan pertimbangan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi iklim perkotaan (Sumber: Sebastian Wypych, 2003) Dalam tahap awal perkembangan kota, sebagian besar lahan merupakan ruang terbuka hijau. Namun, adanya kebutuhan ruang untuk menampung penduduk dan aktivitasnya, ruang hijau tersebut cenderung mengalami konversi guna lahan menjadi kawasan terbangun. Sebagian besar permukaannya, terutama di pusat kota, tertutup oleh jalan, bangunan dan lain-lain dengan karakter yang sangat kompleks dan berbeda dengan karakter ruang terbuka hijau. Setiap material permukaan mempunyai albedo berbeda yang mengubah fraksi dari radiasi matahari yang terpantul dan terserap di permukaan. Dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa albedo kawasan perkotaan hanya sekitar 10-15% (albedo untuk salju adalah lebih besar dari 80%) yang berarti banyak energi matahari yang datang diserap oleh suatu kota [2]. Selain itu, bahan bangunan yang digunakan untuk konstruksi kota pada umumnya dicirikan oleh kapasitas
dan keterhantaran panas tinggi. Kombinasi albedo yang rendah dan kapasitas panas yang tinggi ini adalah faktor antropogenik yang menciptakan karakter khusus pada kondisi atmosfer di atas kawasan perkotaan. Dari sisi yang lain, geometri tiga dimensi, kota cenderung untuk menjebak radiasi dekat permukaan, dan dengan demikian menurunkan radiasi gelombang panjang yang mungkin dapat dilepaskan. Energi yang cukup besar yang disimpan kota sepanjang siang hari, dilepaskan pada malam hari dengan proses yang sangat lambat. Proses pendingingan di kawasan perkotaan ini jauh lebih lambat bila dibandingkan dengan pendinginan yang terjadi di kawasan non perkotaan yang memiliki jumlah vegetasi cukup banyak. Polusi udara yang tinggi adalah faktor lain yang menjadi ciri kawasan perkotaan. Polusi udara perkotaan terdiri dari gas dan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
2
INOVASI Vol.8/XVIII/Agustus 2006
partikel/unsur/butir padat yang diemisi oleh industri, transportasi, sistem pemanas dan lain lain. Polusi udara yang teremisi, merubah komposisi atmosfir perkotaan, menurunkan transmissivitas dan meningkatkan daya serap terhadap radiasi matahari. Dengan kata lain, polusi udara menyerap cahaya matahari dan visibilitas udara menurun, sehingga lebih sedikit radiasi matahari yang menjangkau permukaan tanah. Pada umumnya pusat kota lebih terpolusi dibanding bagian pinggir kota, tetapi hal tersebut tergantung pada sebaran lokasi industri dan intensitas penggunaan jalan-jalan. Pada siang hari, konsentrasi polusi udara tertinggi cenderung terjadi pada jam-jam puncak, yaitu pada kondisi dimana arus lalu lintas yang terjadi sangat tinggi. Dalam rentang waktu satu tahun, di negara-negara subtropis, konsentrasi polutan tertinggi cenderung terjadi pada waktu musim dingin ketika banyak polusi udara berbahaya dipancarkan karena kombusi berbagai macam bahan bakar, untuk memanaskan bangunan, dan ketika atmosfir dalam keadaan paling stabil yang memperkecil kemungkinan udara untuk bercampur. Namun, pada musim panas, kabut photochemical tidak jarang pula tebentuk. Dalam sebuah kota, evaporasi dapat berkurang secara signifikan karena permukaan artifisial tidak menyerap air sebagaimana halnya permukaan alami. Lebih dari itu, selama musim hujan, air mengalami run off dengan cepat ke dalam sistem drainase kota dan permukaan di perkotaan menjadi cepat kering. Karena air di atas permukaan tanah jumlahnya sedikit, panas yang ada tidak digunakan untuk evaporasi, melainkan digunakan untuk memanaskan atmosfer kota. Penting untuk disadari bahwa kondisi vegetasi di suatu daerah atau kawasan, sangat berpengaruh terhadap suhu udara. Dampak faktor antropogenik pada iklim perkotaan tergantung pada ukuran kota, struktur spasial, jumlah penduduk, dan konsentrasi industri. Kota kecil dengan bangunan-bangunan yang relatif rendah dan menyebar di antara area hijau, tanpa pabrikpabrik atau industri, akan cenderung memiliki pengaruh yang lebih kecil terhadap perubahan iklim perkotaan dibandingkan dengan kota-kota besar dengan bangunanbangunan yang tinggi.
Selain itu, setting alam dimana kota berada, memiliki implikasi yang besar terhadap sistem interaksi faktor antropogenik dan iklim lokal. Contohnya, kota yang terletak di daerah bergunung sering berkabut dan aliran udara lemah. Hal tersebut menyebabkan kualitas udara buruk, ditambah lagi oleh inversi temperatur yang sering terjadi. Kota yang berada di lembah, formasi inversi terjadi karena adanya shading di bagian dasar dari landform oleh karena adanya kemiringan, sehingga bagian yang lebih rendah sebagai area yang mendapat shade tetap lebih dingin dari area yang terletak di atasnya, dan dengan begitu udara yang berada di dekat permukaan tanah, membentuk inversi temperatur. Ditambah lagi, udara dingin (dan lebih berat) dari area miring sekitar kota turun secara gravitasi dan berkumpul di lembah atau basin, yang memperkuat inversi. Iklim perkotaan dapat diperbaiki oleh perencanaan struktur perkotaan dengan cara mengurangi dampak negatif faktor-faktor alam dan antropogenik. Misalnya melalui penempatan daerah hijau (misalnya taman) dan badan air daerah lokasi-lokasi yang strategis. Pabrik-pabrik sebaiknya dibangun dengan memperhatikan arah angin, sehingga polusi udara terbawa oleh angin dan tidak mencemari ke area-area dimana dibutuhkan kualitas udara yang baik sseperti area permukiman. 3. Perubahan Iklim Global Perubahan iklim pada abad ini telah menjadi isu lingkungan yang cukup penting. Berbagai penelitian dilakukan untuk dapat mengidentifikasi berbagai penyebab terjadinya perubahan iklim. Penelitianpenelitian lainnya mengarah pada identifikasi strategi mitigasi bencana perubahan iklim. Berbagai perubahan dan konsekuensi yang terukur sangat diperlukan untuk dapat melakukan respon dan adaptasi yang tepat terhadap perubahan iklim, terutama adaptasi yang dapat dilakukan di kawasan perkotaan. Hal penting lainnya yang diperlukan adalah eksplorasi pengetahuan mengenai bagaimana pembangunan kota-kota baru dapat memenuhi kriteria untuk mitigasi dan tujuan-tujuan adaptasi.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/Agustus 2006
Pada tahun 2030, diperkirakan 60% penduduk dunia akan tinggal di kawasan perkotaan. Ini merupakan tantangan yang cukup berat. Pertambangan penduduk perkotaan menuntut adanya efisiensi dalam sistem ekonomi, termasuk efisiensi dalam intensitas penggunaan ruang. Pembangunan pencakar langit dengan kepadatan yang tinggi merupakan salah satu bentuk efisiensi penggunaan ruang. Penggunaan teknologi bahan yang kedap air untuk meningkatkan daya tahan bangunan, adalah bentuk lain dari efisiensi ekonomi di perkotaan. Padahal, tingkat kepadatan yang tinggi dan penggunaan bahan-bahan kedap air dengan kapasitas panas yang tinggi merupakan faktor-faktor yang memberikan kontribusi besar terhadap pemanasan di perkotaan. Respon yang sering muncul terhadap gejala pemanasan ini adalah adanya peningkatan penggunaan energi untuk pendingin ruangan, yang memberikan respon balik dan memperkuat gejala pemanasan di perkotaan [5].
4. Adaptasi Terhadap Perubahan Iklim dalam Perencanaan Kawasan Perkotaan Berbagai isu lingkungan di perkotaan muncul dan memberi peringatan mengenai ancaman keberlanjutan pembangunan kotakota. Dalam hal ini, diperlukan pemikiran jauh ke depan, yang tidak hanya berorientasi pada pemenuhan tujuan berjangka pendek, dan perlu reorientasi visi pembangunan kota lebih mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan dan keberlanjutan pembangunan. Strategi pemanfaatan ruang, baik untuk kawasan budidaya maupun kawasan lindung, perlu dilakukan secara kreatif, sehingga konversi lahan dari pertanian produktif ataupun dari kawasan hijau lainnya menjadi kawasan non hijau dan non produktif, dapat dikendalikan. Ini merupakan langkah preventif untuk menurunkan laju perubahan suhu, baik secara lokal maupun global. Sebagai langkah represif, respon dalam sistem perencanaan dan perancangan kawasan perkotaan dapat dilakukan salah satunya melalui desain perkotaan yang mempertimbangkan sistem iklim. Beberapa unsur perkotaan yang perlu diamati antara lain:
-
Desain dan konstruksi bangunan. Adanya kemungkinan terdapat masalah bangunan dan geoteknik. Desain untuk ventilasi dan pendinginan dengan cara alami, mungkin akan sangat diperlukan.
-
Ruang terbuka dan ekologi perkotaan. Desain perkotaan sebaiknya menggabungkan koridor-koridor habitat, badan air dan anak sungai, dan pohonpohon peneduh. Penggunaan lahan multi fungsi mungkin menjadi kunci adaptasi ekologi perkotaan, dengan fokus pada kelompok permukiman baru untuk perencanaan dan pemeliharaan karakter ekologis.
-
Utilitas. Area-area yang jauh dari pelayanan fasilitas dan utilitas, serta area-area pantai akan menjadi area yang rentan. Pengaruh yang paling besar akan terjadi pada perubahan geoteknik dalam hidrologi dan air tanah, yang akan mempengaruhi drainase serta jaringan suplay air bersih. Infrastruktur utama lainnya sering kali berada pada lintas otoritas kewenangan dan membutuhkan pendekatan yang kolaboratif.
-
Transportasi. Berbagai prasarana transportasi seperti jalan kereta api (terutama di daerah pantai dan daerahdaerah yang berpotensi banjir) kanalkanal, pelabuhan laut dan udara harus diadaptasikan terhadap kejadian-kejadian cuaca ekstrim.
-
Pengembangan sistem drainase dan pembuangan air kotor. Area perkotaan akan membutuhkan desain engineering yang memasukkan unsur area permeabel dan soft engineering.
Perencanaan dan zoning sensitif terhadap iklim dan menuntut konsistensi pembuatan keputusan-keputusan yang didasarkan pada pengetahuan mengenai keterhubungan unsur-unsur iklim dan elemen kota serta berbagai konsekuensi terhadap berbagai perubahan. Beberapa hal yang dapat dalam perencanaan ruang :
dilakukan
1. Preservasi dan akuisisi ruang hijau a. Benchmarks untuk penggambarkan penggunaan lahan, terutama ruang terbuka hijau b. Menghindari soil capping melalui pengembangan ruang hijau dan air c. Pengembangan roof greening
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/Agustus 2006
d. Pengembangan façade greening 2. Pengamanan pertukaran udara lokal, yang menyangkut : a. Produksi udara dingin b. Suplay udara segar c. Pengembangan koridor hijau d. Pengembangan bentuk-bentuk bangunan yang menguntungkan 3. Menentukan tindakan untuk kontrol polusi a. Terhadap kawasan industri dan komersial b. Terhadap home heating c. Terhadap lalulintas
5. Peranan Ruang Hijau dalam Penentuan Iklim Mikro Perkotaan Tingginya tingkat pembangunan di daerah perkotaan, seringkali mengabaikan unsur-unsur alami seperti vegetasi. Padahal dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa vegetasi memiliki manfaat dan nilai untuk mempertahankan tingkat kenyamanan udara [1]. Dalam hal ini, sangat penting untuk mempertimbangkan kebutuhan ruang hijau di perkotaan. Pembangunan fisik kota itu sendiri mempengaruhi ketersediaan ruang untuk vegetasi dan distribusinya [3]. Hasil analisis yang dilakukan dalam beberapa penelitian mengungkapkan adanya dampak dampak-dampak menguntungkan dari ruang hijau perkotaan pada iklim mikro, kualitas udara, reduksi konsumsi energi pada gedung-gedung yang berdekatan, penyimpanan karbon, dan juga memperkaya biodiversity [3,4,5]. Telah diakui pula bahwa terdapat keuntungan sosial ekonomi yang dapat diperoleh dari ruang hijau perkotaan, dan kontribusinya pada perbaikan kesehatan manusia. Telah diketahui bagaimana perubahan iklim dapat mempengaruhi fungsi dan struktur ruang hijau, yang mana hal tersebut pada akhirnya berdampak pada lingkungan perkotaan. Pengetahuan mengenai hal ini menjadi penting untuk memberikan respon terhadap pengaruh-pengaruh perubahan iklim dengan strategi yang adaptif melalui manajemen, perancangan dan perencanaan ruang hijau perkotaan.
Beberapa peranan ruang hijau di perkotaan yang berhubungan dengan kualitas udara antara lain : 1. Penahan dan Penyaring Partikel Padat dari Udara 2. Penyerap dan Penjerap Partikel Timbal 3. Penyerap dan Penjerap Debu Semen 4. Peredam Kebisingan 5. Mengurangi Bahaya Hujan Asam 6. Penyerap Karbon-monoksida 7. Penyerap Karbon-dioksida dan Penghasil Oksigen 8. Penahan Angin 9. Penyerap dan Penapis Bau 10. Mengatasi Penggenangan 11. Ameliorasi Iklim 12. Penapis Cahaya Silau Beberapa model telah dibangun dan diaplikasikan untuk mengkuantifikasi indikator-indikator kinerja ruang hijau seperti temperatur permukaan, run-off permukaan, carbon storage dan sequestration. Kombinasinya dengan sistem informasi geografis, menghasilkan model-model yang didukung peralatan untuk mengeksplor bagaimana pola spasial ruang hijau dan atribut-atributnya seperti tutupan pohon berhubungan dengan kinerja lingkungannya [6]. Dari hasil studi tersebut disimpulkan bahwa ruang hijau dapat menjadi alat yang efektif untuk melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim di area perkotaan. Tetapi masih terdapat banyak hal yang belum digali, seperti berapa banyak ruang hijau diperlukan, jenis ruang hijau seperti apa yang dibutuhkan dan bagaimana konfigurasi spasial yang paling efektif untuk memperbaiki iklim perkotaan secara efektif. 6. Penutup Urbanisasi sebagai fenomena yang terjadi di berbagai belahan dunia, merupakan kontributor terhadap terjadinya perubahan iklim. Ini karena dalam proses urbanisasi terjadi perubahan karakteristik lansekap, dari yang bersifat alami menjadi artifisial. Dalam hal ini, berbagai kebijakan yang ditempuh dalam perencanaan dan perancangan kota dan lingkungan, perlu mempertimbangkan perubahan aspek-aspek iklim yang akan terjadi. Penetapan pengembangan kawasan permukiman, kawasan industri, atau pun kawasan budidaya lainnya, tentunya akan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/Agustus 2006
memberikan berbagai konsekuensi terhadap kondisi atmosfer di atasnya. Oleh karena itu, para ahli klimatologi ataupun meteorologi perlu dilibatkan dalam proses perencanaan dan perancangan kota. Dengan demikian dapat diharapkan bahwa dalam proses perencanaan tata ruang kota terjadi reaksi yang tepat terhadap situasi atmosfer yang terpolusi dan akan terjadi perbaikan kondisi kenyamanan iklim/bioklimatik di perkotaan.
Daftar Pustaka [1] Elsa, Fabio Bertrand. The urban heat isles and the micro-climatic variations brought about by vegetation. http://www.mybestlife.com/eng_bio/BioArchitecture/Urban_vegetation.htm, 2005. [2] Landsberg, H.E., 1981. The Urban Climate. National Academy Press, New York 275pp.Li Q., et al., 2004. Urban heat island effect on annual mean temperature during the last 50 years in China. Theoretical Applied Climatology 79: 165– 174
[3] McPherson, G. R. Ecology and Management of North American Savannas. University of Arizona Press, Tucson, Arizona, 1997 [4] Nowak, David J., Daniel E. Crane, and John F. Dwyer. “ Compensatory Value of Urban Trees in the United States.” Journal of Arboriculture. Volume 21, Number 4. 2002. pp.194-1999. [5] Paul Moccia, Lauren. Climate Change in Area F.A.Q. http://www.terry. Urban ubc.ca/index.php/2006/02/08/climatechange-in-urban-areas-faq-moccia-mix/. [6] Pauleit S., Duhme F., Assessing the Environmental Performance of Land Cover Types for Urban Planning. Journal of Landscape and Urban Planning 52 (1): 1-20, 2000.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Me-Rumput di Piala Dunia Tatang Sopian United Graduate School of Agricultural Science, Tokyo University of Agriculture and Technology ; Dinas Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Alam, Kabupaten Purwakarta E-mail: tsopian@yahoo.com ; tspn@cc.tuat.ac.jp Tahukah apa yang paling sibuk dilakukan Panitia Piala Dunia 2006 Jerman terhadap stadion-stadion yang dipersiapkan untuk perhelatan akbar sepakbola dunia yang baru berlalu tersebut? Ternyata mereka sibuk mengganti hamparan rumput yang ada dengan yang baru. Tidak kurang dibutuhkan 530.000 meter persegi hamparan rumput untuk keperluan ini. Kesibukan Jerman dalam mempersiapkan hamparan rumput untuk Piala Dunia 2006 lalu telah terlihat sejak 2 tahun sebelumnya. Seperti yang diberitakan di dalam website resmi Piala Dunia 2006 [3] bahwa federasi sepakbola Jerman secara khusus menyelenggarakan workshop tentang rumput yang dihadiri oleh ahli-ahli rumput (turf specialist) termasuk juga Panitia Piala Dunia 2006. Pada saat itulah Panitia Piala Dunia 2006 secara resmi mengumumkan rencana penggantian hamparan rumput di stadionstadion di Jerman yang akan dipergunakan untuk Piala Dunia 2006. Yang menarik adalah bahwa Jerman sampai perlu mendatangkan sebagian besar hamparan rumput baru itu dari lahan pertanian Perusahaan Hendriks Graszoden Groep (Hendriks Grass Sod Group) di Belanda seperti diberitakan oleh Reuters [6]. Meskipun sekitar 160.000 meter persegi sisanya, disuplai dari lahan pertanian milik keluarga Buchner pengusaha Jerman sendiri. Jenis rumput yang dipilih adalah campuran 80 persen Poa pratensis yang lembut serta 20 persen rumput kasar Lolium parenne [4] (Gambar 1). Mengutip pemberitaan surat kabar Inggris, The Observer [8], ketika wartawan mereka mendatangi lahan pertanian Hendriks Graszoden Groep, pemiliknya yaitu John Hendriks, menolak memberitahukan letak persis di antara 350 hektar hamparan rumput yang dikelolanya untuk dipergunakan pada perhelatan Piala Dunia tersebut. Hal ini memang merupakan kesepakatan dengan FIFA untuk merahasiakan tentang hamparan
rumput yang dipersiapkan tersebut, untuk mencegah hal-hal yang tidak dikehendaki.
Gb.1. Penggantian rumput di salah satu stadion Piala Dunia 2006 (sumber:Reuters)
Sedemikian pentingnya rumput dalam arena bergengsi olahraga sepakbola ini, sampai-sampai lapangan-lapangan sepakbola berstandar Eropa dan selalu dipergunakan oleh tim-tim Bundesliga ternyata harus diganti untuk perhelatan akbar sepakbola Piala Dunia 2006. Itupun tidak tanggung-tanggung, hamparan rumputnya pun diimpor dari perusahaan Belanda yang telah berpengalaman selama 30 tahun dalam bisnis rumput untuk olahraga dan rekreasi, lalu dirahasiakan lagi tempat penanamannya. Hal ini mengundang rasa penasaran kita tentang bagaimana rumput yang baik bagi olahraga dunia semacam ini. Di Atas Rumput Alam Rumput lapangan sepakbola, merujuk kepada istilah ‘turf’ atau ‘turfgrass’, seringkali kita terjemahkan dengan padanan frase ‘rumput golf’, meskipun ternyata bukan hanya lapangan golf yang memanfaatkan rumput semacam ini, lapangan olahraga lainnya seperti lapangan sepakbola dengan Piala Dunia sebagai ajang pertandingan terbesarnya, menempatkan rumput sebagai standar tertinggi untuk penyelenggaraannya. Sehingga penggunaan istilah ‘turf’ atau rumput menjadi tidak asing dan juga melekat erat dengan penyelenggaraan Piala Dunia. Di dalam dokumen-dokumen FIFA, hampir tidak ditemukan adanya referensi yang
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
mengatur tentang permukaan lapangan harus mempergunakan rumput alam (natural turf) untuk pertandingan sepakbola versi FIFA. Satu-satunya pegangan bahwa lapangan rumput alam harus dipergunakan dalam sepakbola, adalah dikarenakan asal-muasal sepakbola dari Inggris terkait dengan adat dan budayanya mengatur penggunaan lapangan rumput alam (lawn). Ide-ide penggunaan rumput buatan (artificial turf) sebagai permukaan lapangan dalam pertandingan-pertandingan sepakbola versi FIFA sempat mendapat tentangan dari Inggris dan Skotlandia, namun akhirnya FIFA mengizinkan penggunaan rumput buatan untuk penyelenggaraan pertandingan sepakbola versi FIFA di negara-negara tertentu. Hal ini dilakukan demi memberikan kemudahan bagi negara-negara itu dalam pengelolaan lapangan sepakbola tersebut, sehubungan karena pengelolaan lapangan rumput alam membutuhkan biaya dan teknologi tinggi. Misalnya pada penyelenggaraan pertandingan sepakbola Piala Dunia di bawah usia 17 tahun (World Cup U-17) pada tahun 2003 di Finlandia, lapangan yang dipergunakan di 10 pertandingan yang berlangsung termasuk di final, menggunakan lapangan rumput buatan (Gambar 2). Tentu saja standar rumput buatannya merupakan yang terbaik direkomendasikan menurut versi FIFA, yang mempunyai sifat hampir mirip dengan rumput alam.
Gb.2. Rumput buatan di salah satu stadion Piala Dunia U-17 2003 (sumber:UEFA.com)
Meskipun FIFA telah mengeluarkan ketentuan-ketentuan tentang penggunaan rumput buatan untuk pertandinganpertandingan sepokbola versi FIFA, namun hal ini masih belum berlaku untuk perhelatan sepakbola bergengsi Piala Dunia, FIFA masih memilih lapangan rumput alam sebagai tempat penyelenggaraannya, setidaknya
sampai saat ini. Mengingat tentunya masih perlu dipertimbangkan pula faktor-faktor kenyamanan bagi pemain dan wasit. Salah satu faktor luar yang menjadi penyebab resiko cedera olahragawan adalah permukaan lapangan, sebagaimana dikemukakan Murphy dkk [5] dalam sebuah review di British Journal of Sport Medicine, di samping juga level pertandingan, jenis sepatu dan pelindung tungkai kaki, turut mempengaruhi resiko cedera. Menurut review mereka, permukaan lapangan rumput buatan dilaporkan lebih sering menyebabkan cedera pemain sepakbola, dikarenakan rumput buatan relatif lebih keras permukaannya serta meningkatkan pergesekan antara sepatu dan permukaan lapangan, meskipun hal ini masih perlu dikonfirmasi lebih jauh. Keseragaman, Elastisitas dan Kecepatan Berbagai jenis rumput alam telah dikenal dapat dipergunakan untuk permukaan lapangan olahraga, misalnya : Bentgrass (Agrotis spp.), Kentucky Bluegrass (Poa pratensis), Ryegrass (Lolium spp.), Tall Fescue (Festuca arundinacea), Fine Fescues (Festuca spp.), Bermudagrass (Cynodon dactylon), Hybrid Bermudagrass (Cynodon spp.), Kikuyugrass (Pennisetum clandestinum), Augustinegrass (Stenotaphrum secundatum), Zoysiagrass (Zoysia japonica), dan Dichondra (Dichondra micrantha). Masing-masing rumput tersebut mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Khusus untuk olahraga sepakbola, seperti pada penyelenggaraan Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat, rumput jenis Bermudagrass hibrida C-transvaalensis dipergunakan pada 5 lapangan yang dipergunakan untuk pertandingan, dan rumput campuran jenis Kentucky bluegrass dengan Ryegrass dipergunakan pada 4 lapangan lainnya. Hal ini dilakukan karena kesembilan lapangan tersebut terletak pada daerah yang berbeda iklimnya. Ini adalah salah satu kriteria pertimbangan dalam penentuan jenis rumput yang diperlukan untuk permukaan lapangan sepakbola. Dalam majalah kerjasama penyuluhan California University, Cockerham dkk [2] sempat mengemukakan pada performansi lapangan rumput bagi pemain membutuhkan kriteria keseragaman, elastisitas dan kecepatan. Pertimbangan ini pula yang
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
dipergunakan dalam penyiapan lapangan rumput pada Piala Dunia 1994 tersebut. Kriteria keseragaman yang dimaksud adalah keseragaman dari rumput tersebut di lapangan, tentunya pemain sepakbola dunia kurang merasa nyaman apabila rumputnya ada yang tinggi dan ada yang rendah akibat pemeliharaan yang kurang baik atau banyak warna-warni akibat fisiologi tanaman rumputnya kurang baik. Elastisitas rumput mempunyai rentang dari keras hingga lembut, dan tentunya yang dipilih adalah pada tingkat elastisitas optimum yang mampu meningkatkan permainan para pemain sepakbola. Untuk kecepatan dapat diperhatikan dari kemampuan pemain untuk dapat berlari dengan nyaman, di sini yang menjadi ukurannya adalah ketebalan lapangan rumput dan kekerasannya.
Penempatan hamparan rumput lapangan sepakbola di luar ini, memang terkait dengan kebutuhan rumput mendapatkan cahaya matahari langsung atau tidak boleh ternaungi terlalu lama. Hal ini ditunjukkan oleh Bell dkk [1] di dalam jurnal Crop Science, bahwa rumput ‘turf’ membutuhkan irradiasi cahaya matahari. Mereka juga membuktikan bahwa kerapatan hamparan rumput semakin berkurang bila ternaungi, bahkan di dalam gedung tertutup dapat menyisakan 28 % hamparan rumput dalam 8 hari.
Tidak Ternaungi Dalam perhelatan sepakbola Piala Dunia, kita sering melihat bahwa lapangan sepakbola berada di dalam stadion yang tidak beratap (outdoor). Namun tidak semuanya, sebagai contohnya duel bergengsi ArgentinaInggris pada penyisihan Grup F putaran Piala Dunia 2002 Korea/Jepang yang berlangsung di Sapporo Dome - Jepang, juga 2 pertandingan lainnya pada ajang tersebut, dilakukan di stadion tertutup atau dalam ruangan (indoor). Sapporo Dome adalah salah satu stadion futuristik dalam ruangan tertutup yang memamerkan teknologi tinggi dan menghabiskan biaya pembangunan sebesar 42,2 milyar yen. Stadion berkapasitas 42.831 tempat duduk ini dibangun dengan sengaja oleh Jepang, sebagai salah satu dari dua negara yang menjadi tuan rumah, dalam rangka mempersiapkan Piala Dunia 2002. Kecanggihan Sapporo Dome ini, adalah adanya perangkat untuk memindahkan hamparan rumput lapangan sepakbola, dari luar ruangan masuk ke dalam ruangan stadion tertutup tersebut, dan kemudian mengembalikannya ke luar apabila tidak dipergunakan untuk pertandingan sepak bola. Pada keadaan normal, di dalam stadion tertutup tersebut, terhampar rumput lapangan baseball yang terbuat dari rumput buatan, sedangkan di luar ruangan terhampar secara terbuka lapangan sepakbola dari rumput alam (Gambar 3).
Gb.3. Sapporo dome tampak dari udara (sumber:website resmi Sapporo dome)
Berdasarkan kenyataan tersebut, maka tidak heran apabila pertandinganpertandingan yang berlangsung di Piala Dunia, seringkali dilakukan di lapangan terbuka. Win on Home Turf Kita tentunya masih mengingat penyelenggaraan Piala Dunia tahun 1998. Saat itu Tim Perancis sebagai tuan rumah berhasil menjadi juara dunia setelah mengalahkan Brazil dengan skor telak 3-0 di final. Beberapa media massa internasional, mengangkat kembali isu kemenangan Tim Perancis tersebut. Misalnya pemberitaan Reuters [7] yang bertajuk ‘Zidane mengatakan Perancis harus mengembalikan semangat tim’. Salah satu pernyataan di dalamnya menyebutkan bahwa Tim Perancis menang Piala Dunia di atas lapangan ‘rumput’-nya pada tahun 1998 (French team won the World Cup on home ‘turf’ in 1998). Lalu pada penyelenggaraan Piala Dunia 2006 di Jerman, isu ‘kemenangan di atas rumput’ sempat ramai dibicarakan. Penyebabnya yaitu karena Tim Jerman sebagai runner up pada Piala Dunia 2002 Korea/Jepang, adalah tim yang diunggulkan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
bersama dengan Tim Brazil sebagai juara bertahan. Selain itu sebagai tuan rumah, Jerman mendapatkan keuntungan ganda dengan adanya dukungan penonton, sehingga menambah peluang mengulang keberhasilan ‘win on home turf’ seperti Perancis pada Piala Dunia 1998. Cuma sayangnya ternyata Jerman memang tidak beruntung. Mereka dikalahkan oleh tim sepakbola Eropa lainnya di semifinal. Mungkinkah karena faktor rumput ? Daftar Pustaka [1] Bell, GE, TK Danneberger, and MJ McMahon. 2000. Spectral irradiance available for turfgrass growth in sun and shade. Crop Science. 40:189–195. [2] Cockerham, ST, JR Watson, and JC Keisling. 1995. The soccer fieldgauge: measuring field performance. Cooperative Extension: California Turfgrass Culture. 45:3-4.
[4] Kompas (7/6/2006), Rumput ruwet rumput rumit. http://www.kompas.com/kompascetak/0606/07/pialadunia/2705002.htm [5] Murphy, DF, DAJ Connolly, and BD. Beynnon. 2003. Risk factors for lower extremity injury: a review of the literature. British. Journal of Sports Medicine. 37: 13-29. [6] Reuters (5/5/2006), Dutch turf begins journey to German World Cup stadiums. http://worldcup.reuters.com/netherlands/n ews/usnL05667497.html [7] Reuters (19/5/2006), Zidane says France must recover team spirit. http://fifaworldcup.yahoo.com/06/en/0605 19/7/6ubo.html [8] The Observer (19/2/2006), Secret site of the World Cup turf. http://observer.guardian.co.uk/world/story/ 0,,1713143,00.html
[3] FIFAworldcup.com (6/8/2004), Fresh turf at World Cup venues. http://fifaworldcup.yahoo.com/06/en/0408 06/1/1y8g.html
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Biogas sebagai Peluang Pengembangan Energi Alternatif Asep Bayu Dani Nandiyanto Mahasiswa Chemical Engineering, Graduate School of Engineering, Hiroshima University Email: asepbayudn@hiroshima-u.ac.jp
Fikri Rumi Mahasiswa Graduate School for International Development and Cooperation (IDEC), Hiroshima University Email: fikrirumi@hiroshima-u.ac.jp 1. Latar Belakang Dengan timbulnya kelangkaan bahan bakar minyak yang disebabkan oleh kenaikan harga minyak dunia yang signifikan, pemerintah mengajak masyarakat untuk mengatasi masalah energi ini secara bersama-sama karena kenaikan harga yang mencapai 72 dolar/barel ini termasuk luar biasa [1]. Harga ini membuat harga minyak menjadi yang tertinggi sepanjang abad 21. Masalah ini memang sulit sebagaimana yang dikatakan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa kenaikan harga minyak akan menyebabkan kenaikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada APBN 2006. Peryataan selanjutnya dikatakan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menyatakan bahwa masyarakat perlu untuk melakukan penghematan di segala sisi termasuk penggunaan BBM, listrik, air, dan telepon [2]. Sebetulnya, proses penghematan ini sudah berlangsung sejak dahulu terutama sejak pemerintah melakukan program penghematan energi secara nasional [3]. Dan proses penghematan ini telah berhasil menurunkan pengeluaran negara terutama subsidi pada listrik dan BBM. Adapun hal yang menyebabkan keharusan setiap warga untuk melakukan proses penghematan adalah karena pasokan bahan bakar yang berasal dari minyak bumi merupakan sumber energi fosil yang tidak dapat diperbarui (unrenewable), sementara permintaan menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat dan demikian pula dengan kondisi harga sehingga tidak ada stabilitas keseimbangan antara permintaan
dan penawaran. Dengan adanya ketidakstabilan permintaan dan penawaran ini mengakibatkan peningkatan harga minyak yang terus-menerus hingga saat ini [4]. Salah satu jalan untuk melakukan penghematan BBM adalah dengan mencari sumber energi alternatif terutama yang dapat diperbarui (renewable) [5]. Sebagai contoh, potensi sumber daya alam yang dapat dikembangkan menjadi sumber energi adalah batu bara, panas bumi, aliran sungai, angin, matahari, sampah serta sumber-sumber lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti pohon jarak, dan energi biogas [6]. Dalam paper ini, akan dijelaskan tentang teknologi biogas yang merupakan salah satu sumber energi pengganti minyak bumi. Hal yang menyebabkan biogas menarik perhatian penulis adalah proses pemeliharaan pada pembangkit biogas yang sederhana dan energi yang dihasilkan cukup besar (8900 kkal/m3 gas methan murni) [7]. 2. Teknologi Biogas 2.1. Sejarah Penemuan Biogas Gas methan ini sudah lama digunakan oleh warga Mesir, China, dan Roma kuno untuk dibakar dan digunakan sebagai penghasil panas. Sedangkan, proses fermentasi lebih lanjut untuk menghasilkan gas methan ini pertama kali ditemukan oleh Alessandro Volta (1776). Hasil identifikasi gas yang dapat terbakar ini dilakukan oleh Willam Henry pada tahun 1806. Dan Becham (1868), murid Louis Pasteur dan Tappeiner (1882), adalah orang pertama yang memperlihatkan asal mikrobiologis dari pembentukan methan.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Adapun alat penghasil biogas secara anaerobik pertama dibangun pada tahun 1900. Pada akhir abad ke-19, riset untuk menjadikan gas methan sebagai biogas dilakukan oleh Jerman dan Perancis pada masa antara dua Perang Dunia. Selama Perang Dunia II, banyak petani di Inggris dan Benua Eropa yang membuat alat penghasil biogas kecil yang digunakan untuk menggerakkan traktor. Akibat kemudahan dalam memperoleh BBM dan harganya yang murah pada tahun 1950-an, proses pemakaian biogas ini mulai ditinggalkan. Tetapi, di negara-negara berkembang kebutuhan akan sumber energi yang murah dan selalu tersedia selalu ada. Oleh karena itu, di India kegiatan produksi biogas terus dilakukan semenjak abad ke-19. Saat ini, negara berkembang lainnya, seperti China, Filipina, Korea, Taiwan, dan Papua Nugini, telah melakukan berbagai riset dan pengembangan alat penghasil biogas [5]. Selain di negara berkembang, teknologi biogas juga telah dikembangkan di negara maju seperti Jerman [8]. 2.2. Prinsip Teknologi Biogas Pada prinsipnya, teknologi biogas adalah teknologi yang memanfaatkan proses fermentasi (pembusukan) dari sampah organik secara anaerobik (tanpa udara) oleh bakteri methan sehingga dihasilkan gas methan. Gas methan adalah gas yang mengandung satu atom C dan 4 atom H yang memiliki sifat mudah terbakar. Gas methan yang dihasilkan kemudian dapat dibakar sehingga dihasilkan energi panas. Bahan organik yang bisa digunakan sebagai bahan baku industri ini adalah sampah organik, limbah yang sebagian besar terdiri dari kotoran, dan potongan-potongan kecil sisasisa tanaman, seperti jerami dan sebagainya, serta air yang cukup banyak [5]. Proses ini sebetulnya terjadi secara alamiah sebagaimana peristiwa ledakan gas yang terbentuk di bawah tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Leuwigajah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat [5]. Prinsip pembangkit biogas, yaitu menciptakan alat yang kedap udara dengan bagian-bagian pokok terdiri atas pencerna (digester), lubang pemasukan bahan baku dan pengeluaran lumpur sisa hasil pencernaan (slurry), dan pipa penyaluran
biogas yang terbentuk. Di dalam digester ini terdapat bakteri methan yang mengolah limbah bio atau biomassa dan menghasilkan biogas. Dengan pipa yang didesain sedemikian rupa, gas tersebut dapat dialirkan ke kompor yang terletak di dapur. Gas tersebut dapat digunakan untuk keperluan memasak dan lain-lain [5]. Alat biogas ini terbagi atas dua tipe, tipe terapung (floating type) yang dikembangkan di India dan tipe kubah tetap (fixed dome type) yang dikembangkan di China. Tipe terapung terdiri atas sumur pencerna dan di atasnya diletakkan drum terapung dari besi terbalik yang berfungsi untuk menampung gas yang dihasilkan oleh digester. Bagian sumur dibangun dengan menggunakan bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membuat fondasi rumah seperti pasir, batu bata, dan semen. Berbeda halnya dengan tipe terapung, tipe kubah berupa digester yang dibangun dengan menggali tanah, kemudian dibuat bangunan dengan bata, pasir, dan semen yang berbentuk seperti rongga yang ketat udara dan berstruktur seperti kubah (bulatan setengah bola) [5]. Untuk permulaan pembangunan pembangkit biogas memang diperlukan biaya yang relatif besar bagi penduduk pedesaan tetapi alat tersebut dapat dipergunakan untuk menghasilkan biogas selama bertahun-tahun. Keuntungan pembangkit biogas selain sebagai sumber energi adalah untuk mengatasai masalah sampah organik terutama di pedesaan seperti feses, urine, sisa makanan, embrio, kulit telur, lemak, darah, bulu, kuku, tulang, tanduk, isi rumen, dan sebagainya. Sampah ini akan semakin menjadi masalah ketika adanya pengembangan usaha di pedesaan karena semakin berkembang usaha peternakan, maka semakin meningkat limbah yang dihasilkan [7]. 2.3.
Perhitungan Peluang Pemanfaatan Biogas dalam Mengatasi Masalah BBM
Program penghapusan BBM yang dilaksanakan pada tahun 2005 akan menjadi momentum yang tepat dalam penggunaan energi alternatif seperti biogas. Hal ini bisa dihitung dengan adanya jumlah bahan baku biogas yang melimpah dan rasio antara energi biogas dan energi minyak bumi yang
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006 menjanjikan (8900 kkal/m3 gas methan murni) [7].
penggunaan BBM di masa depan. 4. Daftar Pustaka
Hal yang pertama harus diperhitungkan dalam menghitung jumlah energi yang dihasilkan adalah berapa banyak jumlah bahan baku yang dihasilkan. Jumlah bahan baku gas ini didapatkan dengan menjumlahkan jumlah feses dan sampah organik yang dihasilkan setiap hari. Jumlah bahan baku ini akan menentukan berapa jumlah energi dan volume alat pembentuk biogas [5]. Sebagai pertimbangan, telah diketahui di China dan India, dalam 1 hari jumlah feses yang dihasilkan 1 ekor sapi adalah 5 kg [7] dan 80 kilogram kotoran sapi yang dicampur 80 liter air dan potongan limbah lainnya dapat menghasilkan 1 meter kubik biogas [1]. Jika diasumsikan bahwa jumlah feses manusia yang dihasilkan sebanyak 0.5 kg/hari/orang, 1 keluarga terdiri dari 5 orang, dan setiap keluarga memelihara 1 ekor sapi, serta 1 desa terdiri dari 40 orang, maka akan didapatkan hasil perhitungan jumlah feses yang dihasilkan sebanyak 140 kg feses/ hari. Dengan jumlah ini, maka biogas yang dihasilkan setiap hari sebanyak 1,75 m3/hari atau sebesar 15.575 kkal/hari. Hal ini akan semakin mengejutkan dengan adanya perhitungan bahwa jumlah penduduk indonesia berdasarkan data statistik pada tahun 2000 sebanyak lebih dari 200 juta jiwa [9]. Dengan hanya mengandalkan asumsi perhitungan jumlah kotoran manusia tanpa memperhitungan sampah organik dan feses hewan ternak, akan didapatkan hasil feses sebanyak 100 juta kg feses/hari atau 1,25 juta 3 m /hari atau 11.125 juta kkal/hari. Apabila dengan asumsi konversi 1 J = 4.2 kal maka akan didapatkan hasil total energi yang dihasilkan hanya dari jumlah penduduk adalah sebesar 30.66 MW.
[1] Kompas, edisi 24 April 2006, ”Wapres: Subsidi BBM Naik, Jika Harga Minyak Melambung“. [2] Liputan6, edisi 24 April 2006, “Presiden Yudhoyono Mengajak Masyarakat Indonesia Berhemat”. [3] Liputan 6, 7 Juli 2005, ”Hemat Energi Nasional dimulai pekan depan” 5. Burhani Rahman, “Sumber Energi Alternatif”, 2005 http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?arti kel&1123717100&2 [4] Teguh Dartanto, “BBM, Kebijakan Energi, Subsidi, dan Kemiskinan di Indonesia”, Inovasi, Vol.5/XVII/November 2005 [6] Pikiran rakyat, edisi 24 Maret 2006, Benarkah Kita Mengalami Krisis Energi? [7]
Eddy Nurtjahya dkk, ”Pemanfaatan Limbah Ternak Ruminansia Untuk Mengurangi Pencemaran Lingkungan”, 2003, http://tumoutou.net/6_sem2_023/kel4_se m1_023.htm
[8] Gatra, edisi 29 April 2006, “Menuai Listrik di Kampung Energi”. [9] STATISTIK INDONESIA 2000, Biro Pusat Statistik, Jakarta, 2001.
3. Kesimpulan Dengan jumlah energi yang cukup besar dan tidak adanya pemanfaatan merupakan salah satu penyebab timbulnya masalah baru, terutama masalah pemanasan global karena gas methan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon [7]. Di lain pihak, apabila biogas ini dimanfaatkan, maka akan mengurangi kecenderungan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Produksi Tanaman dan Makanan dengan Menggunakan Hidroponik - Sederhana hingga OtomatisM.Affan Fajar Falah Mahasiswa Program Doktor, The United Graduate School Of Agriculture Ehime University Staff Pengajar Jur. Teknologi Industri Pertanian, FTP UGM Yogyakarta E-mail : affan.fajar@gmail.com 1. Pendahuluan Kecenderungan konsumen dalam memilih hasil produksi tanaman dan makanan di kotakota besar Indonesia adalah mencari produk dengan nilai tambah terhadap manfaat kesehatan, berpenampilan menarik, dan dengan harga yang rasional. Produk-produk tersebut sebagian besar dapat terpenuhi oleh produk hidroponik [7]. Dalam makalah ini akan dijelaskan tentang cara memproduksi tanaman makanan dan non-makanan (seperti bunga atau yang dikenal dengan ornamental plants) dengan metode hidroponik, secara sederhana hingga otomatis. Dalam sejarahnya, penelitian hidroponik dikenal melalui penelitian Woodward (1699) yang menggunakan hidroponik untuk studi pertumbuhan tanaman, namun penelitian De Saussure (1804) lebih signifikan untuk dikatakan sebagai cikal bakal penelitian hidroponik yang menggunakan larutan nutrisi sebagai komposisi awal dengan berbagai macam komponen
elemen mineral di dalam distilled water [2]. Hidroponik atau hydroponics, berasal dari bahasa latin yang terdiri atas kata hydro yang berarti air dan kata ponos yang berarti kerja, sehingga hidroponik dapat diartikan sebagai suatu pengerjaan atau pengelolaan air sebagai media tumbuh tanaman tanpa menggunakan media tanah sebagai media tanam dan mengambil unsur hara mineral yang dibutuhkan dari larutan nutrisi yang dilarutkan dalam air. Beberapa kelebihan sistem hidroponik dibanding dengan media tanah adalah kebersihan lebih mudah terjaga, tidak memerlukan pengelolaan tanah, penggunaan pupuk dan air lebih efisien, tidak tergantung musim, tingkat produktivitas dan kualitas cukup tinggi dan seragam, tanaman dapat dikontrol dengan baik, dapat diusahakan di tempat yang tidak terlalu luas ataupun dipergunakan sebagai bisnis dengan luasan yang cukup, dapat mengurangi jumlah tenaga kerja, kenyamanan kerja dapat ditingkatkan secara ergonomis, dan diferensiasi produk dapat dilakukan [10, 11].
Tabel 1. Perbandingan produktivitas panen sayuran hidroponik (dalam greenhouse) dengan sayuran (dalam pertanian terbuka dengan tanah) di Univesitas Arizona [6]. Hidroponik (dalam greenhouse) Pertanian Terbuka Tanaman Hasil Panen Jumlah Panen Total Total (Ton/ha) per tahun (Ton/ha/tahun) (Ton/ha/tahun) Brokoli 32.5 3 97.5 10.5 Kedelai 11.5 4 46 6 Kubis 57.5 3 172.5 30 Sawi putih 50 4 200 -Mentimun 250 3 750 30 Terong 28 2 56 20 Lettuce 31.3 10 313 52 Lada 32 3 96 16 Tomat 187.5 2 375 100 2. Dasar-dasar Teknologi Hidroponik Dalam upaya memproduksi tanaman atau makanan secara hidroponik, diperlukan bebera-
pa peralatan dasar agar tanaman dapat tumbuh dengan baik seperti daerah perakaran harus memperoleh cukup udara, air dan unsur
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006 hara/nutrisi, sehingga dapat menghasilkan tanaman dan makanan yang berkualitas. Peralatan dasar yang diperlukan untuk memenuhi kriteria tersebut di atas adala : 1. Tempat tumbuh tanaman, seperti bak atau kolam penampung, pot, dan bedengan. Diusahakan agar tempat tumbuh tanaman dijaga kebersihannya secara berkala dengan membersihkan dan menghilangkan tumbuhan atau tanaman lain yang tidak diinginkan (terutama dalam bedengan atau kolam penampung). 2. Aerator Alat ini dipakai untuk tercukupinya oksigen untuk pertukaran udara dalam daerah perakaran. Kekurangan oksigen akan mengganggu penyerapan air dan nutrisi oleh akar dan respirasi [8]. 3. Larutan Nutrisi Larutan nutrisi sebagai sumber pasokan air dan mineral nutrisi merupakan faktor penting untuk pertumbuhan dan kualitas hasil tanaman hidroponik, sehingga harus tepat dari segi jumlah, komposisi ion nutrisi dan suhu. Unsur hara ini dibagi dua, yaitu unsur makro (C, H, O, N, P, S, K, Ca, dan Mg) dan mikro ( B, Cl, Cu, Fe, Mn, Mo, dan Zn). Pada umumnya kualitas larutan nutrisi ini diketahui dengan mengukur electrical conductivity (EC) larutan tersebut. Semakin tinggi konsentrasi larutan semakin tinggi arus listrik yang dihantarkan (karena pekatnya kandungan garam dan akumulasi ion mempengaruhi kemampuan untuk menghantarkan listrik larutan nutrisi tersebut). Larutan nutrisi dapat dibuat sendiri dengan melarutkan pupuk yang diramu khusus untuk tanaman hidroponik atau membeli pupuk hidroponik secara komersial. Di Jepang, larutan nutrisi yang digunakan oleh para petani maupun peneliti hidroponik di lembaga riset atau universitas umumnya dibuat oleh perusahaan kimia Otsuka Chemical bagian fertilizer untuk tanaman. Salah satu yang banyak dipakai adalah Otsuka House yang juga menjelaskan cara pemakaian untuk tanaman dengan tingkat EC dan pH tertentu untuk
beberapa tanaman dengan tingkat konsentrasi tertentu (http://chemical.otsukac.co.jp/products/agli/h iryo.html). Tabel 2. PH dan EC beberapa tanaman sayur dan buah [11] Tanaman pH EC (mS/cm) Brokoli 6.0- 6.8 3.0-3.5 Kubis 6.5-7.0 2.5-3.0 Kubis bunga 6.5-7.0 1.5-2.0 Seledri 6.0-6.5 2.5-3.0 Mentimun 5.5-6.0 1.0-2.5 Lettuce 6.0-6.5 2.0-3.0 Bayam 6.0-7.0 1.4-1.8 Terung jepang 5.8-6.2 2.5-3.5 Tomat 5.5-6.5 1.2-5.0 Melon 5.5-6.0 2.0-2.5 Apel 6.8-7.5 2.2-3.0 Stroberi 6.0-6.5 1.4-2.0 Semangka 5.8-6.2 1.7-2.5 Larutan nutrisi juga dapat dipertahankan dan dikontrol sesuai dengan kebutuhan tanaman dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Hal ini mendasari adanya sistem kontrol secara sederhana maupun otomatis pada larutan nutrisi. Selain EC dan konsentrasi larutan nutrisi, suhu dan pH merupakan komponen yang sering dikontrol untuk dipertahankan pada tingkat tertentu untuk optimalisasi tanaman. Suhu dan pH larutan nutrisi dikontrol dengan tujuan agar perubahan yang terjadi oleh penyerapan air dan ion nutrisi tanaman (terutama dalam hidroponik dengan sistem yang tertutup) dapat dipertahankan. Suhu yang terlalu rendah dan terlalu tinggi pada larutan nutrisi dapat menyebabkan berkurangnya penyerapan air dan ion nutrisi [1], untuk tanaman sayuran suhu optimal antara 515oC dan tanaman buah antara 15-25oC. Beberapa tanaman sayuran dan buah dipertahankan mempunyai tingkat pH dan EC tertentu yang optimal. Beberapa komposisi larutan nutrisi untuk hidroponik disajikan dalam tabel 3 dibawah ini.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
2
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Referensi Hoagland dan Arnon Schawartz Resh Verwer Graves
Tabel 3. Komposisi larutan nutrisi hidroponik [6]. Elements (mg/kg) K Ca Mg S Fe Mn Cu
N
P
210
31
234
160
48
64
0.6
0.5
126 175 173 175
93 65 39 50
312 400 280 400
124 197 170 225
43 44 25 50
160 197 103 -
2 1.7 3
0.5 1.1 1
3. Tipe Aplikasi Hidroponik Secara umum tipe aplikasi hidroponik dapat dibedakan menjadi 3 jenis : Pot culture system, Floating Hidroponic System (FHS) dan Nutrient Film Technique (NFT) System.
Zn
B
Mo
0.02
0.05
0.5
0.01
0.03
0.05 0.25 0.1
0.5 0.35 0.4
0.02
0.017
0.1
0.058
0.05
larutan nutrisi dapat juga diukur dengan menambahkan sensor ion, pH atau EC dalam larutan nutrisi. Growth Chamber
Penerangan Buatan
3.1. Pot Culture System. Kalo kita menanam tanaman di dalam rumah menggunakan tempat plastik atau gelas dengan air sebagai media maka ini dapat dikatakan sebagai pot culture system yang sederhana. Namun, sesuai dengan kebutuhan tanaman agar tumbuh dengan baik maka harus diperhatikan ketentuan-ketentuan dasar seperti aerasi dan larutan nutrisi dalam pot atau tabung dengan media air ini. Untuk aerasi dapat digunakan pompa udara untuk akuarium (kalau ukuran pot atau tabungnya tidak terlalu besar). Selain dua hal tersebut perlu juga diperhatikan suhu larutan nutrisinya, untuk ini dapat digunakan pendingin atau pemanas buatan yang dapat dikendalikan. Pada gambar 1, ditunjukkan pot culture system yang ditumbuhkan dalam ruang tumbuh (growth chamber) dengan penerangan buatan (artificial lighting) dengan suhu ruangan yang terkontrol, kemudian berkurangnya larutan nutrisi oleh transpirasi dan penyerapan oleh tanaman dapat diketahui dari potometer dan suhu daerah perakaran dapat dikontrol menggunakan pengatur suhu dengan pendingin dan pemanas pada bak air. Untuk otomatisasi, berkurangnya larutan nutrisi oleh transpirasi dan penyerapan tanaman dapat juga dideteksi menggunakan timbangan otomatis yang dapat diletakkan dibawah pot dan bias dihubungkan dengan komputer. Kemudian bisa juga ditambahkan tangki larutan nutrisi dan dihubungkan dengan pipa atau selang kecil untuk penambahan otomatis. Konsentrasi
Pengatur Suhu
P
Pompa udara
Potometer
Sensor suhu
Pemanas dan Pendingin
Bak Air
Gambar 1. Hidroponik dengan pot (pot culture system) dalam growth chamber dengan pengontrol suhu dan level air (potometer) [1]. 3.2. Floating Hidroponics System (FHS) Floating hidroponic system (FHS) merupakan suatu budidaya tanaman (khususnya sayuran) dengan cara menanamkan /menancapkan tanaman pada lubang styrofoam yang mengapung diatas permukaaan larutan nutrisi dalam suatu bak penampung atau kolam sehingga akar tanaman terapung atau terendam dalam larutan nutrisi. Metode ini dikembangkan pertama kali oleh Jensen (1980) di Arizona dan Massantini (1976) di Italia [6]. Pada sistem ini larutan nutrisi tidak disirkulasikan, namun dibiarkan pada bak penampung dan dapat digunakan lagi dengan cara mengontrol kepekatan larutan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini perlu dilakukan karena dalam jangka yang cukup lama akan terjadi pengkristalan dan pengendapan pupuk cair dalam dasar kolam yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Sistem ini mempunyai
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
3
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006 beberapa karakteristik seperti terisolasinya lingkungan perakaran yang mengakibatkan fluktuasi suhu larutan nutrisi lebih rendah, dapat digunakan untuk daerah yang sumber energi listriknya terbatas karena energi yang dibutuhkan tidak terlalu tergantung pada energi listrik (mungkin hanya untuk mengalirkan larutan nutrisi dan pengadukan larutan nutrisi saja). Pada Gambar 2 di bawah ditunjukkan pemakaian system FHS pada tanaman daun bawang dalam greenhouse. Tanaman ditancapkan pada lubang dalam styrofoam dengan bantuan busa (agar tanaman tetap tegak) serta ditambahkan penyangga tanaman dengan tali. Lapisan styrofom digunakan sebagai penjepit, isolator panas dan untuk mempertahankan tanaman agar tetap terapung dalam larutan nutrisi. Agar pemakaian lapisan styrofoam tahan lama biasanya dilapisi oleh plastik mulsa. Dalam gambar juga ditunjukkan adanya bak larutan nutrisi dengan penyangganya, biasanya bak penampung ini mempunyai kedalaman antara 10-20 cm dengan kedalaman larutan nutrisi antara 6-10 cm. Hal ini ditujukan agar oksigen dalam udara masih terdapat di bawah permukaan styrofoam. Untuk otomatisasi dalam FHS tidak berbeda jauh dengan cara untuk pot culture system. 3.3. Nutrient Film Technique (NFT) Nutrient film technique (NFT) merupakan salah satu tipe spesial dalam hidroponik yang dikembangkan pertama kali oleh Dr. A.J Cooper di Glasshouse Crops Research Institute, Littlehampton, Inggris pada akhir tahun 1960-an dan berkembang pada awal 1970-an secara komersial. Konsep dasar NFT ini adalah suatu metode budidaya tanaman dengan akar tanaman tumbuh pada lapisan nutrisi yang dangkal dan tersirkulasi sehingga tanaman dapat memperoleh cukup air, nutrisi dan oksigen. Tanaman tumbuh dalam lapisan polyethylene dengan akar tanaman terendam dalam air yang berisi larutan nutrisi yang disirkulasikan secara terus menerus dengan pompa. Daerah perakaran dalam larutan nutrisi dapat berkembang dan tumbuh dalam larutan nutrisi yang dangkal sehingga bagian atas akar
tanaman berada di permukaan antara larutan nutrisi dan styrofoam, adanya bagian akar dalam udara ini memungkinkan oksigen masih bisa terpenuhi dan mencukupi untuk pertumbuhan secara normal. Beberapa keuntungan pemakaian NFT antara lain : dapat memudahkan pengendalian daerah perakaran tanaman, kebutuhan air dapat terpenuhi dengan baik dan mudah, keseragaman nutrisi dan tingkat konsentrasi larutan nutrisi yang dibutuhkan oleh tanaman dapat disesuaikan dengan umur dan jenis tanaman, tanaman dapat diusahakan beberapa kali dengan periode tanam yang pendek, sangat baik untuk pelaksanaan penelitian dan eksperimen dengan variabel yang dapat terkontrol dan memungkinkan untuk meningkatkan produktivitas tanaman dengan high planting density. Namun NFT mempunyai beberapa kelemahan seperti investasi dan biaya perawatan yang mahal, sangat tergantung terhadap energi listrik dan penyakit yang menjangkiti tanaman akan dengan cepat menular ke tanaman lain [3]. Pada sistem NFT, kebutuhan dasar yang harus terpenuhi adalah : Bed (talang), tangki penampung dan pompa. Bed NFT di beberapa negara maju sudah diproduksi secara massal dan disediakan oleh beberapa perusahaan supplier greenhouse dan pertanian, di Jepang terbuat dari styrofoam, namun di Indonesia belum diproduksi sehingga banyak petani Indonesia memakai talang rumah tangga (lebar 13-17 cm dan panjang 4 meter). Tangki penampung dapat memanfaatkan tempat atau tandon air. Pompa berfungsi untuk mengalirkan larutan nutrisi dari tangki penampung ke bed NFT dengan bantuan jaringan atau selang distribusi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam NFT adalah : kemiringan talang (1-5%) untuk pengaliran larutan nutrisi, kecepatan aliran masuk tidak boleh terlalu cepat (dapat diatur oleh pembukaan kran berkisar 0.3-0.75 L/menit) dan lebar talang yang memadai untuk menghindari terbendungnya larutan nutrisi [1, 3, 11]. Dalam gambar dibawah ditunjukkan NFT system dengan tanaman tomat menggunakan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
4
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006 suhu, aliran dan jumlah air (larutan nutrisi) yang terkontrol dengan komputer. 4. Otomasi Hidroponik Proses pengontrolan dalam hidroponik merupakan proses yang dilakukan secara kontinyu, dalam jangka waktu yang panjang dan memerlukan akurasi pengontrolan yang tinggi (apalagi kalau variabel yang dikontrol cukup banyak). Untuk itu perlu dilakukan pengontrolan otomatik agar tidak terjadi permasalahan seperti pada pengontrolan secara manual antara lain : kelelahan, subyektifitas, kejemuan, ketidakseragaman dan ketidaktelitian manusia. Pada kontrol otomatik ini, tahapan kontrol seperti mengukur, membandingkan, menghitung dan mengoreksi dilakukan oleh instrumen secara berulang. Dengan kontrol otomatik dapat dicapai tujuan kelancaran operasi, pengendalian keamanan dan mutu produk [11]. Secara umum pengontrolan yang dilakukan dalam hidroponik dapat dilakukan untuk mengontrol : air (penjadwalan, sirkulasi dan distribusi), larutan nutrisi (kandungan konsentrasi nutrisi, pH, suhu, EC dan oksigen) dan juga faktor ekternal seperti lingkungan dalam greenhouse. Pengontrolan air dapat dilakukan dengan mudah dengan menggunakan aksi kontrol on-off
(seperti yang diterapkan dalam gambar 3 untuk sistem NFT). Untuk pengontrolan larutan nutrisi diperlukan sensor-sensor yang akan membaca kandungan larutan nutrisi (sensor ion), sensor pH, sensor suhu dan sensor oksigen (DO sensor). Sebagai contoh yang dilakukan oleh beberapa peneliti dalam mengontrol komposisi larutan nutrisi baik dengan pendekatan matematik maupun simulasi [4,9] ataupun penerapan dalam sistem NFT [5]. Untuk pengontrolan konsentrasi larutan nutrisi secara otomatis diperlukan : dispensing technology; tangki pencampur dan pompa pengukur; sensor untuk mengukur konsentrasi larutan nutrisi (per ion nutrisi atau menggunakan ISFET (ion selective field effect transistor), EC dan pH; software computer untuk mengukur, mengontrol dan komunikasi termasuk model dan algoritma untuk menentukan set point dan kebutuhan air dan nutrisi [5]. Adanya kemajuan teknologi sensor, komputer dan elektronika memungkinkan adanya adaptasi wireless teknologi untuk mengendalikan hidroponik secara lebih komprehensif, terutama untuk mengendalikan faktor eksternal lingkungan dalam greenhouse serta pengendalian air dan larutan nutrisi [12].
Penyangga tanaman
Lapisan styrofoam
Bak larutan nutrisi Penyangga bak larutan nutrisi Gambar 2. Floating Hidroponic System (FHS) pada tanaman daun bawang dalam greenhouse di Kochi University (dari Hidaka, 2006, personal komunikasi).
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
5
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Sensor Suhu
Kom puter
Bedengan NFT
Penghangat Pendingin
Pengatur Suhu Pemancar Tekanan
IFMC
A rah S irkulasi IFM = Integrated Flow Meter, c : sirkulasi dan s : suplai
P om pa
B ak P enam pung
IFMS
Pompa
K atup P engatur
Bak Penyuplai Larutan Nutrisi
Gambar 3. NFT system dengan suhu, aliran dan level air yang terkontrol oleh komputer pada tanaman tomat di dalam greenhouse (dari Affan, 2004).
Daftar Pustaka [1] Affan, M. F.F, 2004, High temperature effects on root absorption in hydroponic system, Master thesis, Kochi University, pp 78. [2] Asher, C.J., and Edwards, D.G, 1983, Modern solution culture technique. In : Inorganic plant nutrition (eds : Lauchli, A and Bieleski, R.L) Springer-verlag, Heidelberg, 94-115. [3] Graves, C.J, 1983, The nutrient film technique. Hortic. Reviews, 5, 1-37. [4] Heinen, M, 1992, Control of the composition of the nutrients solution in an automated NFT system : A simulation study. In :Sensors in Horticulture (eds : Schurer, K et al). Acta Hortic, 304, 281289. [5] Kupers, G., van Gaalen, J., Gieling, T.H., van Os, E.A., 1992, Diurnal changes in the ion concentration of the supply and return water of a tomato crop grown on rockwool. In :Sensors in Horticulture (eds : Schurer, K et al). Acta. Hortic, 304, 291299. [6] Jensen, M.H., and Collins, W. L, 1985, Hydroponic vegetable production. In : Hortic. Reviews 7, 483-553.
teknologi hidroponik untuk pengembangan agribisnis perkotaan.Creata-IPB, Bogor. pp 1-20. [8] Morard, P., and Silvestre, J, 1996, Plant injury due to oxygen deficiency in the root environment of soilless culture : A review. Plant and Soil, 184, 243-254. [9] Savvas, D, and Manos, G, 1999, Automated composition control of nutrient solution in closed soilless culture systems. J.Agric.Eng.Res, 73, 29-33. [10] Shinohara, Y, 2002, Perspective of st hydroponics in 21 century. Dalam : Seminar prospek masa depan hidroponik di Indonesia. FTP – BPTIY – UGM.Yogyakarta.pp 1-25. [11] Suhardiyanto, S, 2002, Teknologi hidroponik. Dalam : Pelatihan aplikasi teknologi hidroponik untuk pengembangan agribisnis perkotaan.Creata-IPB, Bogor. pp 1-12. [12] Wang, N., Zhang, N, and Wang, M, 2006, Wireless sensors in agriculture and food industry- recent development and future perspective. Comp and Elec in Agric. 50, 1-14. [13]http://chemical.otsukac.co.jp/products/agli /hiryo.html.
[7] Marsoem, S, 2002, Tantangan dan prospek pengembangan usaha hidroponik. Dalam : Pelatihan aplikasi
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
MENUJU KEBIJAKAN PENANGGULANGAN BENCANA YANG INTEGRATIF Heru Susetyo Visiting Researcher Disaster Prevention Research Institute Kyoto University Staf Pengajar Fakultas Hukum UI – Depok E-mail : hsusetyo@ui.ac.id
Indonesia adalah negeri yang sarat dengan bencana alam. Tengoklah musibah datang silih berganti. Gempa bumi dan tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dan Sumatera Utara 26 Desember 2004, gempa bumi Yogyakarta 27 Mei 2006, lalu tsunami di pantai Selatan Jawa pada 17 Juli 2006. Kesemuanya adalah suatu momentum berharga bagi pemerintah dan bangsa Indonesia. Yang menunjukkan bahwa nyata betul bahwa negara ini begitu tidak berdaya menghadapi musibah tersebut. Bahwa, ternyata kita belum memiliki manajemen penanggulangan bencana yang baik. Contoh paling nyata adalah penanganan bencana tsunami pantai selatan Jawa 17 Juli 2006. Tsunami pantai selatan telah menelan korban jiwa sekitar 531 jiwa dan 280 jiwa lainnya hilang. Kerusakan fisik yang terjadi luar biasa besarnya karena terpaan tsunami mengoyak daratan hingga 300 meter jauhnya. Sebenarnya skala kerusakan dapat diminimalisir apabila negara Indonesia memiliki manajemen peringatan dini yang baik. Apabila kita cepat relajar dari tsunami AcehSumut 2004. Karena Hawai Pacific Tsunami Warning Center dan Japan’s Meteorological Agency sebelumnya telah mengeluarkan peringatan (warning) akan kemungkinan terjadinya tsunami 15 menit setelah gempa terjadi. Dan, memang tsunami kemudian menyapu pantai selatan Jawa 45 menit setelah gempa terjadi tanpa sedikitpun ada peringatan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah setempat. Kalaupun pemerintah berkehendak memberikan peringatan, medianya-pun terbatas. Tak ada alarm ataupun sirine di pinggir pantai yang setiap saat dapat difungsikan. Maka, tak heran apabila mudah sekali timbul informasi menyesatkan pasca bencana. Bahwa tsunami akan kembali datang, ombak telah sampai pinggir pantai, dan sebagainya. Sehingga membuat masyarakat setempat kembali panik dan berlarian tak beraturan hingga kembali memakan korban jiwa.
Terlepas dari kenyataan bahwa bencana alam adalah bagian dari takdir Illahi, sehingga seringkali tak bisa dicegah, namun manusia memiliki kekuatan akal dan pengetahuan yang semestinya bisa dimaksimalkan untuk mereduksi atau meminimalisir bahaya (damages) bencana alam. Dalam suatu lingkaran manajemen bencana (disaster management cycle) ada dua kegiatan besar yang dilakukan. Pertama adalah sebelum terjadinya bencana (pre event) dan kedua adalah setelah terjadinya bencana (post event). Kegiatan setelah terjadinya bencana dapat berupa disaster response/ emergency response (tanggap bencana) ataupun disaster recovery. Kegiatan yang dilakukan sebelum terjadinya bencana dapat berupa disaster preparedness (kesiapsiagaan menghadapi bencana) dan disaster mitigation (mengurangi dampak bencana). Ada juga yang menyebut istilah disaster reduction, sebagai perpaduan dari disaster mitigation dan disaster preparedness. Berdasarkan pengamatan selama ini, kita lebih banyak melakukan kegiatan pasca bencana (post event) berupa emergency response dan recovery daripada kegiatan sebelum bencana berupa disaster reduction/mitigation dan disaster preparedness. Padahal, apabila kita memiliki sedikit perhatian terhadap kegiatan-kegiatan sebelum bencana, kita dapat mereduksi potensi bahaya/ kerugian (damages) yang mungkin timbul ketika bencana. Kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan sebelum bencana dapat berupa pendidikan peningkatan kesadaran bencana (disaster awareness), latihan penanggulangan bencana (disaster drill), penyiapan teknologi tahan bencana (disaster-proof), membangun sistem sosial yang tanggap bencana, dan perumusan kebijakan-kebijakan penanggulangan bencana (disaster management policies). Kebijakan yang Memprihatinkan Kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia bisa dibilang memprihatinkan.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Apabila kebijakan tersebut harus dituangkan melalui Undang-Undang, maka kenyataannya sampai sekarang kita belum memiliki UU Penanggulangan Bencana ataupun kebijakan terpadu sejenis yang berkekuatan hukum untuk menangani bencana dan pengungsi (semacam disaster management act). Dalam program legislasi nasional (prolegnas) tahun 2005 – 2009 pemerintah dan DPR cenderung lebih memprioritaskan pengundang-undangan RUU bidang ekonomi (sebanyak 28 RUU) dan bidang politik (sebanyak 14 RUU). Rancangan UndangUndang tentang Manajemen/ Penanganan Bencana tidak diprioritaskan dan tidak disebutkan sama sekali. Barulah ketika bencana tsunami dan gempa bumi Aceh/ Sumut tahun 2004 terjadi, desakan untuk lahirnya UU ini begitu mengemuka dan kini UU ini tengah dalam proses pembahasan yang entah kapan akan diundangkan. Regulasi yang tersedia saat ini hanyalah Keppres No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana dan Penanggulangan Pengungsi, Keppres No. 111 tahun 2001 tentang Perubahan atas Keppres RI No. 3 tahun 2001, dan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001. Di masa silam, pemerintah Indonesia pernah membentuk Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Alam (BAKORNAS PBA) dengan Keputusan Presiden No. 28 tahun 1979. Pada tahun 1990, melalui Keppres No. 43 tahun 1990, Badan tersebut disempurnakan menjadi Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana (BAKORNAS PB) yang tidak hanya berfokus pada bencana alam belaka, namun juga berfokus pada bencana oleh ulah manusia (man-made disaster) (Sekretariat Bakornas PBP, 2001). Selanjutnya, Keppres ini disempurnakan lagi dengan Keppres Nomor 106 tahun 1999 yang memberikan tugas tambahan kepada Bakornas PBP untuk juga menangani dampak kerusuhan sosial dan pengungsi. Namun usia Keppres No. 106 tahun 1999 tidak bertahan lama. Sebabnya antara lain pembubaran Departemen Sosial pada era tersebut yang menyebabkan Bakornas PBP kehilangan salah satu organnya. Menyadari kejadian tersebut, Pemerintah kemudian
menerbitkan Keppres No. 3 tahun 2001 tentang Bakornas Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang diketuai oleh Wakil Presiden dan Sekretaris Wakil Presiden secara ex officio menjadi Sekretaris Bakornas PBP. Strategi penanggulangan bencana berdasarkan Pedoman Umum Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang ditetapkan melalui Keputusan Sekretaris Bakornas PBP No. 2 tahun 2001 meliputi empat tahapan yaitu : (1) tahap penyelamatan; (2) tahap pemberdayaan; (3) tahap rekonsiliasi; dan (4) tahap penempatan. Sedangkan, kegiatan penanganan pengungsi meliputi kegiatankegiatan : (1) penyelamatan (2) pendataan (3) bantuan tanggap darurat; dan (4) pelibatan masyarakat/ LSM (Sekretariat Bakornas PBP, 2001). Pengalaman Jepang Jepang adalah negara Asia yang memiliki karakteristik hampir sama dengan Indonesia dalam hal saratnya terjadi bencana. Terletak pada zona Circum-Pacific dan memiliki kondisi geografi, topografi, dan meteorologi yang khas, membuat gempa bumi, hujan deras dan banjir, letusan gunung api, hujan salju berskala besar, hingga badai (typhoon) sangat sering terjadi di Jepang setiap tahunnya. Bedanya, negara ini memiliki kesiapsiagaan menghadapi bencana yang amat baik. Termasuk, dimilikinya sejumlah regulasi dan kebijakan yang mendukung pelaksanaan manajemen penanggulangan bencana terpadu. Sebelum tahun 1960, Jepang belum memiliki kebijakan penanganan bencana yang terpadu (integrated disaster management). Titik baliknya terjadi sejak terjadi badai besar IseWan pada tahun 1959 yang disebut sebagai the Epoch-Making Turning Point. Sejak itu pendekatan penanggulangan bencana berubah dari response oriented approach kepada preventive approach. Kemudian dari Individual approach menjadi comprehensive multi-sectoral approach. Juga, dibenamkan sejumlah besar investasi untuk programprogram pengurangan resiko bencana (Investment for disaster reduction). Pada tahun 1961 Jepang melahirkan Disaster Countermeasures Basic Act (1961) yang mengatur dan memiliki sejumlah elemen antara lain :
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
•
•
•
Pendirian Dewan Penanggulangan Bencana (Disaster Management Council) di tingkat nasional, prefektur, kota atau municipality yang berkoordinasi dengan organisasiorganisasi multi sektoral. Pemantapan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan) di tingkat nasional, prefektur, dan kota atau municipality. Pemantapan markas pusat yang bersifat ad hoc dan kerjasama multisektoral untuk respon gawat darurat .
Penanggulangan bencana alam di Jepang dilakukan utamanya oleh pemerintah kota/ municipal. Apabila skalanya terlalu besar, maka pemerintah prefektur dan nasional akan turun tangan. Upaya koordinatif dan integratif semacam ini yang didukung oleh program promosi konservasi bumi tingkat nasional, peningkatan teknologi meteorologi, penyempurnaan sistem komunikasi bencana dan manajemen bencana, telah terbukti dapat mengurangi dampak bencana dan meminimalisir korban jiwa dalam bencana di Jepang selama ini. Faktor sukses berikutnya, adalah tersedianya sejumlah besar kebijakan penanggulangan bencana yang komprehensif dan integratif. Bahkan, tak hanya sejak tahun 1960. Kebijakan setingkat Undang-Undang ini telah dirintis sejak tahun abad 18 dan berlanjut hingga kini. Adapun daftar kebijakankebijakan tersebut dapat dilihat pada bagan berikut :
Daftar UU terkait Penanggulangan Bencana Alam di Jepang TAHUN
JENIS UNDANG-UNDANG
1880 1896
Provision and Saving Act for Natural Disaster River Act Erosion Control Act Forest Act Disaster Preparation Funds Special Account Act Flood Prevention Association Act Flood Control Expenditure Funds Special Account Act Disaster Relief Act Fire Organization Act Fire Service Act Flood Control Act Temporary Measures Act for Subsidizing Recovery Projects for Agriculture, Forestry and Fisheries Facilities Damaged due to Disasters Act concerning National Treasury Share of Expenses for Recovery Projects for Public Civil Engineering Facilities Damage due to Disasters Meteorological Service Act Temporary Measures Act for Financing Farmers, Forestrymen and Fishermen Suffering from Natural Disasters Seashore Act Landslide Prevention Act Soil conservation and Flood Control Urgent Measures Act Disaster Countermeasures Basic Act Act of Special Countermeasures for Heavy Snowfall Area Act concerning special financial support to deal with the designated disaster of extreme severity. River Act (revised) Act for Earthquake Insurance Act Concerning Prevention of Steep Slope Collapse Disaster Marine Pollution Prevention Act
1897 1899 1908 1911 1947 1948 1949 1950 1951 1952 1955 1956 1958 1960 1961 1962 1964 1966 1969 1970
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1972
1973 1975 1978 1980 1987
1995
1996 1997 1998 1999 2000
Act Concerning Special Financial Support for Promoting Group Relocation for Disaster Mitigation Act Concerning Improvement etc. Or Refugee etc. In Vicinal Areas of Active Volcanoes (revised to the Act on Special Measures for Active Volcanoes in 1978) Act for the payment of Solatia for Disaster Industrial Complexes and Other Petroleum Facilities Large Scale Earthquake Countermeasures Special Act (Basic Plan for Earthquake Disaster Prevention) Special fiscal Measures Act for Urgent Improvement Project for Earthquake Countermeasures in Areas under Intensified Measures Against Earthquake Disaster Act Concerning Dispatch of Japan Disaster Relief Team • Act for the Statement of Principles and Organization of the Great Hanshin-Awaji Earthquake Revival • Partial Revision of Disaster Countermeasures Basic Act • Earthquake Disaster Management Special Measures Act • Partial revision of Disaster Countermeasures Basic Act and Large Scale Earthquake Countermeasures Special Act • Act for promotion of the earthquake proof retrofit of Buildings Act Regarding Special Measures to Weigh the Preservation of Rights and Profits of the Victims of Specified Disasters Act of Densely Inhabited Areas Improvement for Disaster Mitigation Act concerning support for reconstructing livelihoods of disaster victims Special Measures of Nuclear Disaster Act Sediment Disaster Countermeasures for Sediment Disaster Prone Areas Act
Menuju Kebijakan Penanggulangan Bencana yang Integratif Belajar dari pengalaman Jepang yang begitu reaktif dan responsif dalam menghadapi bencana alam, semestinya demikian pula Indonesia. Sebagai negeri yang sarat bencana dengan bentangan alam yang jauh lebih luas serta jumlah penduduk yang jauh lebih banyak, semestinya kita tak bertaruh lagi untuk masalah ini. Program-program dan kegiatan-kegiatan kesiapsiagaan terhadap bencana harus segera dirintis dan dikembangkan. Pendidikan sadar bencana dan latihan menghadapi bencana mesti segera dibiasakan. Pusat-pusat studi dan pelatihan menghadapi bencana wajib untuk dimunculkan dan didukung sepenuhnya. Juga, kebijakan dan manajemen penanggulangan bencana mesti segera ditata dan dilahirkan. Tak ada alternatif lain bagi Indonesia saat ini selain menggesa lahirnya kebijakan penanganan bencana yang komprehensif dan integratif. Kebijakan ini bisa bernama UU Penanggulangan Bencana atau apapun. Karena, satu Undang-Undang saja tak cukup untuk mengatur ribuan permasalahan di
bidang penanggulangan bencana. Maka, perlu ada kebijakan yang integratif. Semisal, mengamandemen UU terkait di wilayah lain (kehutanan, lingkungan hidup, pertambangan, sumber daya air, dll), supaya selaras dengan semangat penanggulangan bencana. Ataupun membuat UU baru di wilayah yang belum banyak dijangkau selama ini. Jepang misalnya, memiliki UU tentang sungai, tentang banjir, tentang polusi di laut, tanah longsor, hingga penanggulangan bahaya nuklir. Karena membuat UU yang lengkap dan integratif cukup memakan waktu dan dana, maka barangkali prioritas utama saat ini adalah menggesa lahirnya UU Penanggulangan Bencana (yang mudahmudahan segera diikuti oleh UU terkait di wilayah yang lain). Kami memantau bahwa banyak sekali pihak-pihak yang sebenarnya telah memberi masukan bahkan membantu membuatkan draft UU tersebut ke DPR. Disamping itu, pedoman tentang manajemen bencana telah terserak dalam pelbagai instrumen internasional seperti pada Humanitarian Charter and Minimum Standards in Humanitarian/ Disaster Relief yang disponsori oleh Federasi Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional dan beberapa
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
lembaga internasional seperti OCHA (UN Office for Coordination of Humanitarian Affairs) ataupun lembaga lain yang bergerak di bidang intervensi kemanusiaan. Selain itu, secara simultan mestinya Pemerintah dan DPR dapat meratifikasi Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the Status of Refugees) Karena, tak jarang dari korban konflik dan bencana di Indonesia lahir banyak pengungsi yang hijrah dan terlantar di negara lain. Selain pengungsi, masalah yang juga urgent adalah menangani pengungsi dalam negeri (Internally Displaced Persons - IDPs) yang keberadaannya di luar yurisdiksi dari Konvensi Pengungsi 1951 yang hanya mengatur pengungsian antara negara.
Masalah perlindungan pengungsi dalam negeri ini harus diintegrasikan dengan UU Penanggulangan Bencana atau dibuatkan Undang-Undang tersendiri. Rujukannya adalah pada The Guiding Principles on Internal Displacement yang diproduksi oleh Office for Coordinating of Humanitarian Agencies (OCHA) PBB pada tahun 1998. Maka, tunggu apa lagi? Mari segera kita realisasikan kebijakan-kebijakan penanggulangan bencana di Indonesia dan kita budayakan hidup dalam kesiapsiagaan terhadap bencana. Atau, anak bangsa kita akan mengalami lagi kerugian dan kehilangan yang besar pada bencana alam yang akan datang. Wallahua’lam...
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Bencana Alam dan Delegitimasi Ach. Faidy Suja’ie Email: afys_pascal@yahoo.co.id Siapa yang tidak kenal Indonesia? Negara yang terhampar dari Sabang sampai Merauke ini mempunyai berjuta kekayaan alam yang melimpah, gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kerto raharjo, kata inilah yang mampu menggambarkan kekayaan Indonesia. Selain kaya budaya, bahasa, agama dan adat istiadat, ternyata belakangan ini bumi pertiwi juga tercatat sebagai negara yang kaya akan bencana alam. Hal ini, disebabkan oleh posisi Indonesia yang terletak pada daerah pertemuan tiga lempeng besar yang aktif, yaitu lempeng Pasifik, lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia. Tiga tahun terakhir merupakan tahun bencana bagi bangsa Indonesia, dimana rakyat Indonesia mengawali pergantian tahun ini dengan berbagai bencana alam (banjir, tanah longsor, gempa bumi, tsunami) yang hampir merata diseluruh pelosok tanah air, kondisi alam inilah yang memaksa masyarakat berdesak-desakan di wilayah pengungsian, berjuang melawan ketidaknyamanan untuk mempertahankan hidupnya sambil menunggu bantuan yang akan diberikan oleh saudarasaudaranya dan kucuran dana dari pemerintah. Di kantong-kantong pengungsian inilah mereka harus berperang dengan banyaknya gangguan kesehatan, karena terbatasnya bahan makanan yang dapat dikonsumsi, lingkungan yang serba kotor dan kumuh, serta carut-marutnya lingkungan hidup disekitarnya. Tentunya hal ini memerlukan perhatian serius dari pemerintah untuk menanggulanginya dan menjadi tanggung jawab lembaga legislatif untuk mengontrol setiap kebijakan-kebijakan pemerintah. Berawal dari peristiwa tsunami di Aceh yang menelan korban 285.000 jiwa, termasuk korban di negara – negara lain, kemudian banjir bandang di Jember, merupakan peristiwa bencana alam yang mengawali pergantian tahun 2006, disusul gempa di Jogja dan jawa Tengah. Bencana geologi terkini adalah bencana alam yang menimpa
masyarakat sekitarnya.
pantai
Pangandaran
dan
1. Berebut Muka Analisis Erving Goffman, sosiolog ternama abad ke-20 tentang tingkah laku manusia, dia mengibaratkan prilaku manusia sebagai metafora teatrikal. Dimana lingkungan masyarakat menjelma menjadi sebuah panggung sandiwara dan orang-orang di dalamnya bertindak sebagai aktor dan aktris yang menyusun performa untuk memberi kesan baik pada yang lainnya. Tampaknya analogi di atas sangat relevan untuk digunakan dalam melihat hiruk-pikuk yang terjadi di bumi nusantara selama negeri ini diguncang bencana alam yang berkepanjangan. Fenomena ditempat-tempat pengungsian ramai sekali dengan kunjungan orang, mulai dari rakyat biasa sampai rakyat yang tidak biasa (wakil rakyat atau legislatif dan ekesekutif). Kelompok pertama; golongan yang menjadikan wilayah bencana sebagai tempat rekreasi (bencana-tainment), mereka datang berbondong-bondong dengan keinginan menikmati nuansa alam pasca bencana. Kerena itulah, di beberapa tempat terjadinya bencana sering terjadi kecemburuan bagi korban bencana, mereka beranggapan telah ditempatkan sebagai tontonan masyarakat banyak. Kelompok kedua; elit politik dan elit pemerintahan yang datang berkunjung ketempat-tempat bencana dengan seribu janji dan sejuta iming-iming bagi korban bencana, seolah-olah mereka tampak murung dan sedih melihat penderitaan yang menimpa masyarakat korban bencana, nyatanya, semua itu dilakukan untuk membangun image di masyarakat semata. Alih-alih ingin membantu, secara personal baik birokrat maupun politisi dari level paling bawah sampai level paling atas, dengan dorongan ingin
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
berkuasa (will to power) datang dengan janji, lalu setelah itu selesai sudah. Kelompok ketiga; Ormas, Parpol dan LSM, terjadinya bencana alam di seluruh pelosok negeri mengundang perhatian banyak kalangan untuk memberikan bantuan, datanglah tenaga-tenaga sukarelawan dari berbagai instansi dan institusi, semua akan mafhum, bahwa kelompok ketiga inilah yang melakukan evakuasi korban, rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam, tetapi tidak dapat dipungkiri juga, bahwa bencana alam menjadi lahan basah bagi kelompok ini untuk mengais lebih banyak lagi proyek yang mengalir pada mereka. 2. Krisis Legitimasi Oleh karena tidak didasari rasa tanggung jawab sebagai pemerintah yang secara de jure mempunyai kewajiban untuk melindungi masyarakatnya, termasuk perlindungan masyarakat dari bencana alam, meskipun menurut logika, memang tidak mungkin menghentikan bencana dan menghalangi bencana sebagai rutinitas alamiah, akan tetapi bagi wilayah yang rawan bencana, seharusnya Indonesia tidak hanya melakukan evakuasi, rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap korban bencana alam, tetapi juga yang tidak kalah pentingnya adalah upaya pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan pada saat sebelum terjadinya bencana, usaha ini dapat memperkecil korban jiwa dan harta kekayaan.
Untuk menghindari resistensi legitimasi pemerintah, paling tidak harus ada langkah kongkret dari pemerintah untuk membuat janjijanjinya menjadi nyata, dua hal yang ingin penulis sampaikan disini, pertama, pencegahan bencana, mitigasi dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadai bencana alam jauh lebih penting dilakukan sebelum bencana alam terjadi. Kedua, korban bencana alam bukan kawula yang hanya dijadikan objek meraih kekuasaan politik semata, daerah bencana bukan tempat rekreasi serta tidak bijak dijadikan tempat mengais rezeki. Oleh karena itu, wujudkan janji-janji pemerintah untuk memenuhi kebutuhan korban bencana alam di tempat pengungsian, realisasikan program rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana. Dengan dua langkah inilah setidaknya dapat membantu Indonesia keluar dari krisis bencana alam dan krisis legitimasi. Akhirnya, bagaimanapun harus diakui, bahwa semua kelompok yang disebutkan diatas, merupakan pihak-pihak yang paling berjasa mengembalikan kondisi bangsa dan melakukan rekonstruksi daerah bencana alam, tanpa mereka, Indonesia tak ubahnya seperti Tempat Pembuangan Akhir (TPA), karena setiap detik, sepanjang waktu selalu saja dilanda bencana dan bencana.
Benar apa yang dikatakan Micheal Foucault (1980) bahwa perlawanan telah menjadi bagian yang melekat dari sebuah kekuasaan. Penerapan kekuasaan selalu berbanding lurus dengan munculnya sejumlah kekerasan di masyarakat. Menghadapi kenyataan sebuah kekuasaan dan “teatrikal� penguasa, para korban bencana alam akan melakukan perlawanan. Penjarahan, perampokan, perusakan fasiltas umum, dan berlaku culas adalah serangkaian strategi perlawanan yang menentang dehumanisasi dan “teatrikal� elit politik dan kaum birokrat.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
2
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Sketsa Buram Indonesia dan Refleksi Kemerdekaan Oleh Sakdullah Abdulkadir University of the Ryukyus, Okinawa Kementerian Lingkungan Hidup sakdu@yahoo.com Sengaja penulis mamadukan dua topik di atas, karena sesungguhnya esensi nilai-nilai kemerdekaan yang telah kita perjuangkan mulai dari perjuangan fisik oleh para pendahulu kita sejak sebelum tahun 1945 hingga perjuangan non-fisik di masa kini tidaklah jauh berbeda. Yaitu, untuk membebaskan harkat dan martabat manusia Indonesia dari ketertindasan secara fisik, ekonomi, ideologi, politik serta pertahanan dan keamanan, sehingga pada gilirannya bangsa kita bisa menggapai kemandirian dengan segenap rakyatnya yang berkeadilan dan berkemakmuran lagi aman sentosa. Kini kembali kita memperingati hari ulang tahun (HUT) kemerdekaan Republik Indonesia dengan usia yang ke-61. Meskipun kemerdekaan kita telah mencapai usia lebih dari setengah abad, namun rasa-rasanya nilai-nilai kemerdekaan yang hendak kita capai masih jauh dari harapan. Selama ini kita baru gegap gempita ketika merayakan HUT kemerdekaan di seluruh pelosok tanah air, dan bahkan di seantero jagat ini. Tetapi semua itu masih sekadar seremoni, dan hanya memberikan kegembiraan dan kebanggaan sesaat. Pertanyaan klasik kembali mengemuka. Hingga detik ini, sudahkah rakyat kita menikmati arti kemerdekaan secara hakiki dengan limpahan keadilan dan kemakmuran? Yaitu ketika kita sudah tidak mendengar lagi ada kelaparan di setiap jengkal bumi nusantara Indonesia yang kita kenal subur dan kaya ini? Dan sudahkah bangsa kita benar-benar telah mencapai kemandirian secara ekonomi, dan juga dalam arti luas telah bebas dari segala macam intervensi baik ekonomi, politik, maupun hukum dari anasir-anasir kekuatan asing? 1. Fakta Lama Jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagian diantaranya, telah terkuak dalam presentasi panel Temu Ilmiah (TI) 2006 di Hiroshima beberapa waktu yang lalu. Para pembicara mengungkap fakta-fakta mengenai status ekonomi, sosialkelembagaan, serta soal kependidikan di
tanah air. Mungkin secara umum kita sudah mengetahui potret buram wajah Indonesia, baik melalui forum-forum diskusi ataupun yang tereskpos di berbagai media. Para presenter yang sangat berkompeten dibidang mereka masing-masing seolah hanya menegaskan kembali, dan menyodorkan bukti-bukti konkrit dan ilmiah tentang problematika bangsa kita. Dan apa yang terungkap di ruang panel TI itu hampir semuanya seperti mengatakan kembali bahwa realita yang menyangkut moneter dan ekonomi, sosial-kelembagaan, serta soal pendidikan di negara kita memang masih memprihatinkan. Ambil contoh, ketika salah seorang pembicara dari lembaga otoritas keuangan kita, Bank Indonesia (BI), mengungkap fakta tidak menyenangkan tentang kondisi ekonomi kita dan sambil mengekpresikan kata â€œâ€Ś.very sadâ€?, lantas para peserta TI malah menyambutnya dengan ketawa “gerrâ€?, dan bukannya mengekspresikan kesedihan. Ini seolah memberitahukan, bahwa kita memang telah memafhumi masalah bangsa kita ini yang sudah terjadi sekian lama dari waktuwaktu yang lalu. Indonesia yang ekonominya keropos karena digerogoti oleh ekonomi biaya tinggi, penyakit KKN dan sebagainya, telah terjerumus dalam keterpurukan ekonomi yang cukup lama setelah dipicu oleh krisis moneter pada 1997 dan diperburuk dengan krisis politik di tahun 1998. Meskipun sudah lebih dari setengah dasa warsa krisis moneter telah berlalu, namun situasi ekonomi riil negara kita belum menunjukkan pemulihan yang berarti. Bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang sama-sama diterjang badai krisis moneter, seperti Malaysia dan Thailand, yang sudah menggeliat kembali ekonominya, maka sebaliknya perjalanan ekonomi Indonesia masih saja berjalan terseok-seok. Sementara stabilitas makro-ekonomi menggembirakan yang ditandai dengan menguatnya nilai tukar rupiah dan ekspor, namun sektor riil masih berjalan tertatih-tatih. Lambannya pemulihan ekonomi Indonesia, selain karena ada tudingan salah
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
resep dari IMF (Dana Moneter International), diduga terutama karena masih maraknya praktik korupsi yang sedemikian parah yang terjadi pada semua lapisan birokrasi. Seolah pekerjaan korupsi adalah hal lumrah dan menjadi makanan sehari-hari. Saking biasanya, kita tidak mudah untuk membedakan antara tindakan korupsi dan bukan. Korupsi hanya menguntungkan sebagian kecil orang dari 220-an juta penduduk Indonesia. Namun, karena korupsi terjadi dalam skala luas dan hampir di semua sektor kehidupan, maka dampaknya sungguh luar biasa. Triliunan rupiah (diprediksi mencapai Rp 300 triliun) uang negara raib setiap tahunnya dari kas negara, yang mestinya bisa digunakan untuk membiayai pembangunan, antara lain dapat digunakan untuk meningkatkan mutu pendidikan dan pembukaan lapangan kerja baru. Bayangkan, masih ada sekitar 40 juta penduduk miskin yang mesti harus dientaskan. Salah satunya disuarakan oleh seorang buruh panggul di Kota Palembang, Rakid (69), sebagaimana ditulis di harian Kompas 16 Agustus 2006, “Jadi, kapan kami bisa kerja dan makan cukup?”. Mereka tidak minta yang aneh-aneh dan tidak minta fasilitas yang nyaman, sebagaimana yang diminta oleh kalangan pejabat dan wakil rakyat kita. Cukup bagi mereka hanyalah bisa bekerja dengan keringatnya sendiri dan cukup makan untuk menghidupi keluarganya. Mereka yang sudah kerja keras seperti Rakid, untuk kebutuhan makan sehari-hari saja masih susah, apalagi bagi banyak orang diantara jutaan penduduk miskin Indonesia yang tidak mempunyai pekerjaan. Komitmen pemerintah yang dikomandani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pemberantasan korupsi sudah ada. Bahkan telah didukung pula oleh segenap elemen masyarakat, termasuk organisasi kemasyarakatan besar seperti NU dan Muhammadiyah. Tapi hasilnya belum banyak menggembirakan. Pemerintah terlihat masih setengah hati atau terkesan tebang pilih dalam menangani kasus-kasus korupsi. Banyak kasus yang akhirnya harus berhenti di tengah jalan sebelum diputuskan di sidang pengadilan atau diputus bebas. Soal pemberantasan korupsi barangkali kita bisa belajar dari pemerintah Cina. Ketika menjadi Perdana Menteri Cina, Zhu Ronji memberlakukan hukuman mati bagi koruptor, tak peduli siapa koruptor itu. Rupanya Zhu mengerti betul makna pepatah Cina kuno,
“bunuhlah seekor ayam untuk menakuti seribu monyet”. Ternyata kebijakan Zhu sangat efektif dan membuat calon pelaku korupsi bergidik. Keberhasilan pemberantasan korupsi itu kemudian diikuti dengan pertumbuhan ekonomi Cina yang fantastis, mencapai rata-rata 9 persen per tahun. Potret buram lainnya di negara kita adalah soal pendidikan. Berdasarkan data Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dikeluarkan oleh United Nation Development Program (UNDP), negara kita menempati peringkat 111 dari 175 negara. Data ini mengindikasikan bahwa kualitas manusia Indonesia masih rendah. Bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, maka peringkat kita jauh di bawah mereka, Singapura (25), Brunei (33), Malaysia (58), Thailand (76), dan Filipina (83). Salah satu cara untuk meningkatkan kulitas manusia Indonesia adalah melalui penyediaan alokasi anggaran pendidikan yang memadai. Meskipun Undang-undang Dasar kita (UUD 1945) mewajibkan negara untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD, namun realisasinya dari tahun ke tahun masih jauh dari harapan. Sebagai contoh pada tahun 2006, pemerintah kita baru sanggup menyediakan alokasi anggaran pendidikan sebesar 9,3 persen dari total APBN yang bernilai Rp 427,5 triliun. Di sisi lain, kurikulum pendidikan kita masih dianggap sebagai penyakit lama yang belum tuntas disembuhkan. Masih banyak mata pelajaran sekolah yang dianggap membebani dan tidak perlu diberikan dari tingkat pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, disamping seringnya ada perubahan kurikulum di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Sehingga ada anekdot di negeri kita, “setiap ganti menteri selalu ganti kurikulum”. Perubahan kurikulum pendidikan kita tidak didasarkan atas hasil evaluasi yang dilakukan oleh para pelaku pendidikan di lapangan, tetapi lebih banyak diputuskan oleh para penentu kebijakan di tingkat atas. Akibatnya, banyak materi pelajaran yang dianggap membebani para peserta anak didik atau malah dianggap tidak perlu. 2. Utang dan Kepentingan Asing Barangkali banyak yang tidak asing dengan ucapan Bung Karno ketika menolak tawaran bantuan asing, terutama dari AS, “Go to hell with your aid”. Tentu saja bukan tanpa
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
alasan Presiden RI pertama ini menolak bantuan asing tersebut. Dia sudah dapat mencium gelagat yang tidak baik dibalik agenda bantuan itu. “Neoimperialisme”, demikian Bung Karno menyebut misi dibalik agenda itu. Sementara koleganya, Bung Hatta, menawarkan konsep “ekonomi kerakyatan” untuk mengawal pembangunan perekonomian bangsa Indonesia. Kemudian konsep ekonomi kerakyatan itu disuarakan kembali oleh Prof. Mubyarto dan Prof. Sri Edi Swasono. Namun para perumus kebijakan ekonomi Indonesia di masa orde baru seolah melupakan pesan-pesan penting para pendiri republik ini, dan sebaliknya mereka lebih memilih konsep yang ditawarkan oleh pihak asing, khususnya Amerika Serikat (AS). Pemimpin kita terlena dan telah mengambil jalan pintas dengan jalan mengambil pinjaman luar negeri yang terus menerus untuk membiayai pembangunan. Padahal negara kita sangat kaya akan sumberdaya alam, baik pangan, mineral dan migas, yang tersebar di daratan maupun di lautan. Karena kemalasan pula, kita telah menyerahkan sepenuhnya pengelolaan sumberdaya mineral dan migas yang kita miliki kepada pihak asing, dengan keuntungan yang jauh berkurang untuk pihak Indonesia. Maka tidaklah berlebihan jika ada kekhawatiran Bung Karno beberapa puluh tahun yang lalu, “Biarkan kekayaan alam kita, hingga insinyurinsinyur Indonesia mampu mengolahnya sendiri”. Kini setelah beberapa dasa warsa berlalu, kekhwatiran Bung Karno seolah terbukti. Kita manjadi bangsa pengutang. Seolah negara kita seperti menjadi kecanduan utang. Setiap tahun harus diberi infus dari pinjaman luar negeri. Jeratan utang luar negeri nampak semakin menyengsarakan, terutama setelah krisis ekonomi melanda Indonesia di tahun 1997. Dan akumulasinya, kini utang luar negeri kita mencapai US$ 80 miliar, dengan angsuran pokok dan bunga utang dalam dan luar negeri mencapai spertiga APBN. Blunder kedua pemerintah kita adalah ketika meminta pinjaman dari IMF sebesar US$ 12,779 milyar di tahun 1998. Anehnya pinjaman dari IMF itu tidak boleh dipakai untuk belanja modal. Meskipun tidak dipakai, tetapi pemerintah Indonesia harus membayar bunganya. Sebagai contoh pada tahun 2002, Indonesia membayar bunga utang kepada IMF sebesar US$ 1,755 milyar atau setara dengan Rp 15,795 triliun dengan asumsi kurs Rp 9.000. Lalu apa bedanya IMF dengan
rentenir. Dana angsuran bunga utang sebesar itu tentu akan sangat bermanfaat bila kita gunakan untuk meningkatkan anggaran pendidikan nasional kita atau untuk membuka lapangan kerja baru. Yang lebih mengenaskan, untuk membayar bunga utang IMF itu Indonesia diharuskan menjual beberapa BUMN. Karena sebagian besar dana telah tersedot untuk membayar bunga dan cicilan pokok utang, maka untuk memperoleh tambahan dana pada APBN 2002, pemerintah mesti rela menjual Indosat. Meskipun pemerintahan SBY mengakui bahwa resep ekonomi IMF (Dana Moneter International) salah, tetapi anehnya tetap saja mengikuti program anjuran IMF. Negeri berdaulat yang berpenduduk lebih dari 200 juta orang, tapi dalam menjalankan kebijakan ekonominya harus tunduk pada kemauan sebuah lembaga keuangan internasional yang bernama IMF. Sementara ekonomi di dalam negeri sendiri dan kepentingan rakyatnya masih terabaikan, pemerintah justeru terus saja mengadopsi kebijakan IMF. Tujuan kebijakan ekonomi IMF tidak lain adalah untuk mentransformasikan ekonomi Indonesia sehingga menjadi wilayah yang nyaman untuk kepentingan investor internasional. Demikian pendapat Revrisond Baswir. Karena itu, sesuai anjuran IMF, pemerintah kita tak segan-segan mengambil kebijakan ekonomi yang tidak populer (seperti menaikkan harga BBM, listrik dan telepon). Ini artinya Indonesia direkayasa sedemikian rupa sehingga menguntungkan dieksploitasi oleh pemodal asing. Di sisi lain, pendekatan ala IMF ini telah menghasilkan biaya sosial ekonomi, bahkan politik, yang makin menyengsarakan rakyat Indonesia. Dalam banyak kasus di negara-negara berkembang, sebagaimana dikemukakan oleh Revrisond Baswir, utang luar negeri telah menimbulkan banyak persoalan. Secara internal, utang luar negeri tidak hanya dipandang sebagai penghambat tumbuhnya kemandirian ekonomi negara-negara Dunia Ketiga, tetapi juga diyakini menjadi pemicu terjadinya kontraksi belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan ekonomi. Sedangkan secara eksternal, utang luar negeri dianggap sebagai pemicu meningkatnya ketergantungan negara-negara Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, arus masuk modal asing, dan terjadinya ketergantungan pada utang luar negeri secara kesinambungan.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Utang luar negeri juga menimbulkan implikasi sosial dan politik di negara-negara penghutang. Sebab, utang luar negeri bisa menjadi sarana yang sengaja dikembangkan oleh negara-negara pemberi pinjaman untuk mengintervensi negara-negara penerima pinjaman. Bahkan, secara tidak langsung, utang luar negeri juga dituduh ikut bertanggung jawab terhadap munculnya rezim diktator, kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi dan perdagangan obat-obatan, serta terhadap muculnya konflik dan peperangan. Selain itu, lembaga-lembaga keuangan multilateral yang berperan sebagai penyalur utang luar negeri, seperti Bank Dunia dan IMF, bukan hanya dinilai telah bersikap tidak transparan dan akuntabel, namun juga mereka diyakini telah bekerja sebagai kepanjangan tangan negara-negara Dunia Pertama yang menjadi pemegang saham di kedua lembaga tersebut. Bahkan, utang luar negeri juga diyakini sebagai sarana untuk menyebarkan kapitalisme neo-liberal ke seluruh penjuru dunia. Dan dengan demikian, utang luar negeri telah dengan sengaja dipakai oleh negara-negara pemberi pinjaman sebagai sarana untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya dari seluruh penjuru dunia. Masih segar dalam ingatan kita, bagaimana mungkin cadangan minyak yang luar biasa besar di blok Cepu dengan enteng diserahkan ke ExxonMobil. Padahal puteraputera Indonesia melalui perusahaan nasional kita sendiri, PERTAMINA, menyatakan sanggup untuk mengelolanya, yang pada gilirannya akan memberikan keuntungan besar buat bangsa kita sendiri. Demikian juga soal peninjauan ulang kontrak Freeport, yang menguasai pertambangan emas terbesar di dunia, pun tidak dilakukan pemerintah. Ini menunjukkan bahwa ketergantungan Indonesia terhadap AS dari segi ekonomi hampir mutlak, demikian penilaian Revrisond Baswir. Dan setiap persoalan yang menyangkut kepentingan perusahaan multinasional milik AS, pemerintah Indonesia senantiasa bersikap melunak. Di sisi lain, Presiden SBY yang memiliki legitimasi kuat karena dipilih langsung oleh rakyat, ternyata belum menunjukkan keberaniannya berdiri bersama rakyat, yaitu dalam posisi selalu mengutamakan kepentingan rakyat dan berani menolak intervensi kekuatan asing. Sepertinya ia lupa dengan apa yang pernah diucapkan ketika berupaya menarik simpati rakyat untuk
menjadi orang nomor satu memimipin negeri ini, “Bersama kita bisa�. 3. Penguasaan Iptek Momentum HUT RI ke-61 seyogyanya bisa menjadi tonggak kesadaran para intelektual muda Indonesia bukan hanya pada soal pentingnya penguasaan iptek, namun juga termasuk kesadaran yang menyangkut masa depan bangsanya, yaitu kesadaran untuk merealisasikan cita-cita proklamasi yang belum tercapai hingga kini. Penguasaan iptek pun bukan hanya soalsoal yang bisa memberikan kontribusi pada kemajuan ekonomi, industri dan teknologi, namun perlu juga kita menguasai ilmu-ilmu alam dan kebumian, seperti biologi, geologi, geofisika, vulkanologi dan oceanografi. Terlebih lagi negeri kita, terdiri dari deretan pulau-pulau dengan ragam bentang alamnya dari Sabang sampai Merauke, merupakan mata rantai Cincin Api (Ring of Fire) yang melingkari seluruh nusantara hingga memanjang ke wilayah negara-negara Asia Pasifik. Selama ini kita baru sibuk memandang Indonesia dari sudut pandang ekonomi dan politik, dan kita melupakan sisi lainnya. Setelah kita mengalami berbagai musibah bencana alam; tsunami, gempa, letusan gunung merapi, dan banjir; yang senantiasa akan datang lagi, maka tidak ada alasan bagi putera-putera bangsa kita ini untuk tidak menguasai ilmu-ilmu alam dan kebumian. Dan tak kalah pentingnya, kita perlu memberikan ruang dan penghargaan bagi para ilmuwan kita. Kita perlu ubah cara pandang kita terhadap alam raya kita, bahkan juga kita tanamkan ke anak-anak kita, bukan hanya untuk mengeksploitasi, namun juga kita mesti memperlakukannya secara baik. Semakin banyak kita mengerti tentang alam kita, semakin besar pula kemungkinan kita mengerti cara mengurangi dampak katastropiknya. Alam ini telah banyak memberikan pelajaran bagi kita. Bukti-bukti empiris menunjukkan, sejauh apa yang kita perbuat pada alam dan lingkungan kita, sejauh itu pula kita akan menuai akibatnya. Banjir, peubahan iklim, penyakit, hama, penurunan stok pangan baik di darat maupun laut, adalah hasil-hasil dari perbuatan manusia juga yang telah banyak mengotori dan merusak lingkungan dan alam semesta selama ini. Jadi, eksistensi generasi yang akan datang jelas ditentukan pula oleh apa-
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
apa yang telah kita perbuat terhadap lingkungan dan alam jagat raya ini. Bermodalkan lebih dari 17.000 pulau, dengan limpahan kekayaan sumberdaya kenakeragaman hayati baik di darat dan laut, sumberdaya mineral, minyak dan gas (migas), serta didukung oleh iklim tropis yang sangat bersahabat, merupakan tantangan tersendiri bagi para kaum intelektual muda Indonesia untuk bangkit dan menjadikan amanat untuk mengelolanya sendiri bagi kesejahteraan anak-anak cucu kita. Karena itu, penguasaan iptek menjadi suatu keharusan bagi putera puteri Indonesia. Dan mesti diingat pula, kekayaan alam kita bukanlah warisan untuk kita kuras habis saat ini, tetapi anak-anak cucu kita sedang menunggu untuk meneruskan kelanjutan eksistensi bangsa kita ini di kemudian hari. Kalau sekiranya kita belum bisa menapakkan kaki kita sendiri berdiri sejajar secara ekonomi maupun ilmu pengetahuan dan teknologi dengan bangsa-bangsa maju dunia di saat ini, setidaknya kita mesti meletakkan batu pondasi bagi anak-anak cucu kita guna menjejakkan kakinya untuk meneruskan harapan-harapan kita dan untuk menggapai cita-cita kemerdekaan yang diusung oleh para pendahulu kita. 4. Bangkitnya Kaum Terpelajar Kaum terpelajar yang dimaksud disini bukanlah semata-mata untuk mereka yang masih aktif di sekolah-sekolah atau kampuskampus, namun lebih luas lagi termasuk juga mereka yang telah menyelesaikan pendidikan dan sedang menjalani aktivitas di masyarakat dengan beragam profesi. Kembali membuka lembaran sejarah perjuangan bangsa kita. Babak baru kesadaran berbangsa dalam periode penjajahan adalah dipelopori oleh kaum terpelajar, yang dirintis oleh dokter Sutomo dan kawan-kawan. Sedangkan tendangan golnya diselesaikan oleh Sukarno-Hatta dan koleganya dengan diproklamasikannya kemerdekaan Republik Indonesai pada 17 Agustus 1945, 61 tahun lalu. Mereka, kaum terpelajar itu, bukan hanya berperan sebagai pendobrak kebangkitan kaum muda di jamannya, tetapi juga sekaligus sebagai pelaku gerakan perjuangan pada tingkatan praktis. Ini berbeda dengan gerakan kaum terpelajar (baca: mahasiswa) di tahun 1966 (pergantian orde lama ke orde baru) dan juga tahun 1998 (era reformasi). Gerakan kaum
terpelajar di era kemerdekaan ini hanya manjadi pendobrak palang pintu untuk kemudian diteruskan oleh generasi pendahulu (kaum tua) untuk mengimplementasikan idealismenya. Jadi, mereka hanya memecahkan kulit luarnya, isi buahnya diserahkan pada generasi tua untuk mengurusnya. Tapi, ada perbedaan idealisme yang mendasar antara kaum terpelajar dengan generasi tua yang mendapatkan kepercayaan memimpin negeri. Generasi tua, meskipun tidak semua, yang telah terkontaminasi oleh pembusukan sistem birokrasi tentu tidak serta merta mau kehilangan kedudukan dan kenyamanan mereka, sehingga masih saja setengah hati untuk melakukan perubahan-perubahan. Maka tak heran, gegap gempita demonstrasi dan semangat reformasi dengan segala euforianya, selalu hanya berhasil menggantikan lapisan luar atau pembungkusnya pada tataran konsep dan formalitas belaka, tetapi gagal merombak isi yang hendak diperbarui. Antara harapan atau idealisme dengan kenyataan dan praktik acapkali tidak sejalan. Kini, sudah saatnya kaum terpelajar kita mempelopori semangat kemandirian di berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dan sudah waktunyalah untuk merebut kembali kekayaan sumberdaya alam strategis negara yang dikuasai asing untuk kita kelola sendiri buat kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Untuk mengurus negara kita, bukan hanya penguasaan iptek saja yang mesti kita miliki, tetapi juga kita mesti memperbaiki moralitas bangsa ini. Tidak kita pungkiri lagi bahwa kerusakan moral telah melanda di semua lapisan masyarakat, baik di lingkup birokrasi maupun di kehidupan sosial bermasyarakat. Karena itu, mambangun moralitas bangsa agar menjadi lebih baik juga mutlak kita perlukan. Dan salah satunya adalah dengan menyiapkan generasi yang lebih baik untuk meneruskan pembangunan dan untuk mewujudkan citacita bersama menuju masyarakat Indonesia yang adil dan makmur. Sudah menjadi hukum alamiah, manusia terlahir dengan membawa ciri-ciri yang berbeda, seperti warna kulit, tempat kelahiran, serta suku dan budaya. Sesuai dengan perkembangannya, setiap manusia akan memiliki visi sosial dan politik yang berbedabeda sesuai dengan latar belakang pendidikan, pengalaman hidup, lingkungan pergaulan, dan ideologi yang dianut. Namun, meskipun berbeda-beda, manusia tetap
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
mempunyai keinginan yang sama, yaitu ingin sukes dan bahagia. Dengan kesamaan keinginan asasi ini, sebenarnya kita mempunyai kesamaan dasar untuk bisa melangkah bersama guna memperbaiki bangsa dan membangun negeri. Masih banyak putera-putera bangsa yang baik di negeri kita, hanya saja mungkin mereka membawa baju daerah, bendera partai, atau ideologi yang berbeda. Tapi, karena kita mempunyai keinginan yang sama untuk memperbaiki dan membangun negeri, maka perbedaan-perbedaan itu mesti kita buang jauh-jauh. Dan sebaliknya, kita perlu mensinergikan kekuatan dan potensi yang ada untuk bersama-sama membangun Indonesia tercinta (Diolah dari berbagai sumber).
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Meranti (Shorea sp), Mampukah Menjadi Primadona HTI Indonesia? Ika Heriansyah Peneliti pada Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan Jl. Gunung Batu No. 5, 16610, Bogor. E-mail: ika_heriansyah@yahoo.com
1. Pendahuluan Produktifitas hutan alam semakin menurun baik segi kuantitas maupun segi kualitas. Beberapa penyebabnya adalah operasional logging yg kurang terkendali, maraknya illegal logging, perambahan dan konversi lahan hutan menjadi areal lain, serta kebakaran yang terjadi baik secara alami akibat kekeringan yang panjang maupun non alami akibat ulah manusia yang tidak bertanggung jawab. Salah satu dampak nyata terhadap hutan adalah semakin sulit dalam mendapatkan kayu dari jenis komersial, dan karena permintaan kayu yang besar maka pergeseran target produksipun terjadi dengan memanfaatkan jenis lain yang kurang komersial. Untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam ini, pembangunan hutan tanaman industri (HTI) mulai marak dikembangkan. Namun sangat disayangkan, yang seharusnya dikembangkan di areal yang terdegradasi dan kurang produktif, pada kenyataannya tidak sedikit yang mempergunakan lahan hutan alam potensial dengan dalih konversi lahan karena tidak potensial lagi. Jenis-jenis HTI yang dikembangkanpun masih dapat dihitung dengan jari dan umumnya dipilih jenis cepat tumbuh. Tujuan penggunaan kayunya masih terbatas sebagai bahan baku pulp dan kertas atau konstruksi ringan saja, disamping dari segi luas areal yang belum mampu mengcover kebutuhan bahan baku kayu. Beberapa industri pulp dan kertas masih sangat tergantung pada pasokan kayu dari hutan alam dengan memanfaatkan fasilitas ijin pemanfaatan kayu (IPK), sehingga tujuan awal untuk mengurangi tekanan terhadap hutan alam yang tersisa pun masih jauh dari harapan. Dalam perkembangan HTI, berbagai permasalahan mulai bermunculan bukan hanya terbentur masalah penurunan biodiversitas saja tetapi juga masalah kerawanan akan hama dan penyakit, kebakaran, penurunan kualitas air, bahkan
sampai kepada menurunkan daya dukung lingkungannya. Terjadinya defisiensi beberapa unsur hara dan mineral, mengindikasikan bahwa siklus hara belum berjalan sempurna/lengkap dan disinyalir akan terus merosot pada daur-daur berikutnya. Beberapa solusi ditawarkan termasuk perlakuan pemupukan pada rotasi berikutnya, tetapi akankah hal tersebut kita pertahankan? Jawabnya tentu saja tidak. Sehingga solusi ekologis yg menjamin keberlangsungan hutan dan kehutanan serta menguntungkan secara ekonomi sangat diperlukan. 2. Potensi Meranti Meranti (Shorea sp) sebagai salah satu jenis kayu primadona dari hutan tropika ini mulai sulit dicari di pasaran, eksploitasi terhadap jenis ini dimasa ekspor log maupun dimasa kini begitu besar sejalan dengan kebutuhan kayu konstruksi yang meningkat. Sementara pengembangan jenis ini lebih banyak mengandalkan regenerasi alam, belum lagi masa berbuahnya yang tidak beraturan [1] dan masa simpan benih yang pendek [9], menjadi batasan dalam produksi bibit secara berkesinambungan, sebelum teknik propagasi vegetatif berhasil dikembangkan. 2.1 Produksi Bibit dan Pertumbuhannya Dewasa ini banyak pemerhati Dipterocarpaceae termasuk didalamnya jenis meranti mencoba berbagai teknik pengadaan bibit, salah satu yang berhasil dalam skala besar adalah melalui sistem pendingin kabut yang dikembangkan oleh Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam (P3HKA) yang bekerjasama dengan Komatsu Ltd. yang dimulai sejak awal tahun 1990-an [8]. Beberapa jenis yang telah dikembangkan diantaranya Shorea leprosula, S. selanica, S. javanica, S. pinanga, S. seminis dan S. stenoptera. Sejak itu permasalahan pengadaan bibit sudah mulai terantisipasi. Lalu bagaimana dengan pertumbuhan bibit
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
stek ini dilapangan?, dalam proyek yang sama juga telah dibangun hutan tanaman di lahan terdegradasi di Leuwiliang, Jawa Barat sejak tahun 1995 dengan target luasan 250 ha dan di Perawang, Riau sejak tahun 2000 dengan target seluas 100 ha, khususnya untuk jenis S. selanica dan S. leprosula [10]. Pertumbuhan awal di lapangan mengindikasikan bahwa bibit asal stek ini mempunyai performa yang lebih baik daripada bibit asal biji yang ditanam sebagai plot pembanding di areal yang sama [6]. Sebagai jenis meranti yang cepat tumbuh, jenis ini tidaklah terlalu memerlukan naungan untuk pertumbuhan awal di lapangan, kunci keberhasilan terletak pada masa adaptasi lapangan sebelum penanaman, dengan cara mengurangi naungan secara bertahap sampai dengan tanpa naungan sama sekali. Perlakuan ini telah terbukti berhasil, baik di areal gambut di Riau, dimana naungan hanya berupa 10% tanaman ekaliptus sakit maupun di areal terbuka pada ujicoba perlakuan arang di Jasinga, Jawa Barat [5]. 2.2 Potensi Produksi Kayu Meranti Berbagai jenis meranti telah dikembangkan di beberapa hutan penelitian (HP) yang dikelola oleh P3HKA sejak tahun 1940, mulai di dataran rendah di HP Carita, Banten, di dataran sedang di HP Haurbentes, HP Dramaga, HP Yanlappa, Jawa Barat sampai di dataran tinggi di HP Pasir Hantap dan HP Cikole, Jawa Barat bahkan juga dikembangkan di daerah lebih kering seperti di HP Cikampek, Jawa Barat. Kondisi hutan tanaman jenis ini sudah menyerupai kondisi di hutan alam dengan strata tajuk yang lengkap mulai dari tingkat seedling, sapling, pole sampai tingkat pohon. Selain berfungsi sebagai konservasi jenis, dan sumber benih/bibit, juga sebagai pengatur tata air dan hunian bagi berbagai satwa liar. Keberhasilan ini kemudian diimplementasikan oleh Perum Perhutani III, Jawa Barat dengan membuat kelas perusahaan meranti secara operasional, dengan memanfaatkan hutan penelitian sebagai sumber benih. Setidaknya ada dua jenis meranti yaitu S. leprosula dan S. selanica yang cepat pertumbuhannya dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai tanaman HTI [7;2]. Berdasarkan hasil riset di HP Haurbentes, diketahui bahwa produktifitas kayunya jauh lebih tinggi dibanding dengan HTI Acacia mangium, baik yang dijarangi seperti di areal KPH Bogor, Perum Perhutani Jawa Barat,
maupun dengan yang tidak dijarangi seperti di PT Musi Hutan Persada, Sumatra Selatan [2]. Pada umur masak tebang, HTI A. mangium di Jawa Barat dan Sumatra Selatan menghasilkan volume kayu perdagangan 3 rata-rata 17.9 dan 15.6 m /ha/tahun [3], sedangkan tanaman S. leprosula dan S. selanica di HP Haurbentes menghasilkan volume kayu perdagangan masing-masing 38.4 dan 45.0 m3/ha/tahun [2]. Belum lagi jika ditinjau dari segi kualitas, ukuran log dan nilai jualnya, kayu dari jenis meranti ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan mulai dari meubeler sampai dengan konstruksi sedang, dengan harga yang lebih tinggi. Di samping itu, daur/rotasi tebang meranti yang jauh lebih lama (antara 30 sampai 50 tahun), merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh terhadap konservasi tanah dan air, konservasi biodiversitas, serta dalam pemeliharaan daya dukung ekosistem hutan. Jenis ini mampu tumbuh di lahan terdegradasi, mulai dataran rendah sampai dataran sedang, dan pada jenis tanah asam sampai agak basa. 2.3 Meranti dan Penyerapan Karbon Rosot karbon hutan memainkan peranan penting dalam siklus ekologi secara alami dan berkontribusi dalam mencegah pemanasan global dengan menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya sebagai karbon dalam bentuk materi organik tanaman. Karena separuh massa tanaman merupakan karbon, maka sejumlah karbon tersimpan dalam hutan, sehingga hutan merupakan penyimpan karbon terbesar di daratan bumi. Potensi hutan tanaman meranti dalam menyerap karbon pun telah dilakukan untuk menjawab isu di atas, melalui pendugaan akumulasi volume kayu dan biomassa tanaman terhadap 7 jenis meranti pada berbagai tingkat umur. Kemampuan mereka bervariasi sesuai jenis dan umur tanaman. Lebih jauh dikatakan bahwa variasi daya serap karbon disebabkan oleh perbedaan luas kawasan, perbedaan kombinasi dan komposisi jenis, kerapatan tanaman dan perbedaan komposisi umur tegakan [4]. Ratarata penyerapan CO2 perindividu tanaman jenis S. leprosula, S. palembanica, S. pinanga, S. selanica, S. seminis, S. stenoptera Burck dan S. stenoptera forma Ardikusuma adalah masing-masing 55.13, 35.37, 28.97, 40.46, 71.32, 72.18 dan 20.41 ton CO2 per tahun [4].
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
2
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
3. Kesimpulan Keberadaan meranti di alam sudah dalam tahap kritis, sehingga diperlukan langkahlangkah konkrit, baik dalam hal konservasi maupun pengembangannya. Kejayaan meranti di masa lalu selayaknya dijadikan dasar pijakan untuk membuatnya berjaya kembali di masa mendatang. Beberapa keterbatasan dan hambatan dalam pengembangannya secara umum telah berhasil diantisipasi, mulai dari permasalahan penyediaan dan perbanyakan bibit secara masal, teknik penanaman dan pemeliharaan sampai dengan pengaturan daur panen yang optimal. Menilik performa pertumbuhan dan potensi produksi kayu dan rosot karbonnya, diperlukan upaya untuk menjadikan jenis ini tampil sebagai primadona HTI di Indonesia, terutama di areal-areal endemik sebaran aslinya. Pengembangan jenis ini menguntungkan ditinjau dari segi ekonomis, dan jika ditinjau dari segi ekologi tidaklah berlebihan jika jenis ini dikatakan lebih ramah lingkungan. Pustaka [1] Ashton, P.S., Givinish, T.J., dan Appanah, S. 1998. Staggered flowering in Dipterocarpaceae: New insights into floral induction and the evolution of mast flowering in the seasonal tropic. American Naturalist 132: 44-60. [2] Heriansyah, I. 2006. Growth patterns and potential production of fast growing meranti in the humid tropics of West Java, Indonesia. Proc of the 15th Indonesia Scientific Conference in Japan. Hiroshima University. Japan. [3] Heriansyah, I. dan Kanazawa, Y. 2005. Potential production of Acacia mangium Willd. forests at harvest-age under different conditions in Indonesia. Proc of th the 14 Indonesia Scientific Conference in Japan. Nagoya University. Japan.
[4] Heriansyah I, dan Mindawati, N. 2005. Potensi hutan tanaman marga Shorea dalam menyerap CO2 melalui pendugaan biomassa di Hutan Penelitian Haurbentes. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Bogor. [5] Heriansyah I, dan Siregar, C.A. 2002. Demonstration study on carbon fixing forest management in Indonesia. Dalam Noor, Y.R. (Ed.) “Lahan gambut untuk perlindungan iklim global dan kesejahteraan masyarakat�. Wetlands International. Bogor. [6] Heriansyah, I., Subiakto, A., Nuroniah, H.S., dan Sakai, C. 1999. Rehabilitation of degraded forest at Leuwiliang, West Java using meranti cuttings. Impacs of fire and human activities on forest ecosystems in rd the tropics. Proc. 3 International Symp. Asean Tropical Forest Management. Samarinda. [7] Masano, Alrasjid, H., dan Hamzah, Z. 1987. Planting trials of dipterocarps species out side their natural distribution range in the Haurbentes experimental forest, West Java. Proc. The third round table conference on Dipterocarps. [8] Sakai, C., Yamamoto, Y., Subiakto, A., Hendromono, dan Prameswari, D. 1994. Vegetative propagation of Dipterocarpaceae. Biorefor proc. Kangar Workshop. [9] Sasaki, S. 1980. Storage and germination of dipterocarp seeds. Malay. Forester 46 (2): 175-185 [10] Subiakto, A., Heriansyah, I., Nuroniah, H.S., dan Sakai, C. 1999. Cutting technique of meranti using fog-cooling system. Impacs of fire and human activities on forest ecosystems in the rd tropics. Proc. 3 International Symp. Asean Tropical Forest Management. Samarinda.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
3
KEPUNAHAN BAHASA1 (Kontemplasi terhadap Bencana Geologis di Indonesia) Imelda Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) E-mail: jendelabahasa@yahoo.com Abstract Indonesia is the second country, after Papua New Guinea, which has numerous languages. There are 726 languages that still used by the native speakers in Indonesia. However, those languages do not always develop in the save places. It is because Indonesia has unstable land. Massive geological disasters like earth quake, volcanic eruption and tsunami shake Indonesia frequently. These massive disasters caused thousands of people to die. Thousand of people death could be one of the factors of language extinction. To avoid this, linguists need to know the riskiest land in Indonesia to save the languages before the disaster buried the languages. kata kunci: kepunahan bahasa, bencana alam, bahasa nusantara. The West Caucasian language Ubuh...died at th a daybreak, October 8 , 1992, when the Last Speaker, Tevfik Esenรง, passed away. I happened to arrive in his village that very same day, without appointment, to interview this famous Last Speaker, only to learn that he had died just a couple of hours earlier. He was burried letter the same day. (Dikutip dari Andersen (1990:3) dalam Crystal 2000:2))
Nukilan di atas merupakan sebuah cerita tragis mengenai kematian bahasa. Cerita tersebut dikatakan tragis karena linguis terlambat menangani bahasa yang terancam punah. Kepunahan bahasa disebabkan kematian penutur terakhir merupakan hal yang wajar terjadi. Namun, punahnya bahasa akibat bencana merupakan kejadian luar biasa dan tidak pernah terduga akan terjadi.
Di wilayah Indonesia, hilangnya bahasa secara tiba-tiba mungkin saja terjadi karena wilayah Indonesia rawan bencana alam. Ini karena Indonesia masuk ke dalam lingkaran Cincin Api Dunia (gambar 1). Menurut para geolog, wilayah yang masuk ke dalam Cincin Api Dunia merupakan wilayah yang rawan gempa bumi dan letusan gunung api. Dalam artikel Crystallink.com, dijelaskan bahwa 90% gempa bumi di dunia terjadi di wilayah Cincin Api Dunia, 81% dari gempa termasuk dalam kategori gempa berkekuatan besar. Dalam artikel itu dinyatakan pula bahwa wilayah paling rawan gempa ada di sepanjang Jawa, Sumatra, Himalaya, Mediterania, dan Atlantik. Lima puluh enam persen gempa bumi di dunia terjadi di wilayah-wilayah rawan tersebut, 17% di antaranya masuk dalam kategori gempa terdahsyat di dunia.
Gambar 1. Peta Cincin Api Dunia Sumber: http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/fire.html
Kepulauan Indonesia termasuk ke dalam cincin api dunia karena wilayah ini adalah tempat pertemuan tiga lempengan dunia: lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia, dan lempeng Pasifik. Dua dari tiga lempengan tersebut, yaitu lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik, aktif bergerak. Rata-rata gerakannya 3-4 sentimeter per tahun. Lempengan-lempengan itu bertumbukan dan membentuk gunung berapi dan pulau Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, dan Maluku. Ketika tumbukan lempeng-lempeng tersebut mencapai ambang batas, terjadilah gempa. Akibat susulan dari gempa di laut dangkal yang berkekuatan sama atau lebih dari 6,2 pada skala Richter adalah gelombang tsunami. 1. Hilangnya Komunitas Akibat Bencana Beberapa bencana yang pernah terjadi di Indonesia termasuk dalam kategori bencana dahsyat di dunia. Salah satunya ialah bencana letusan gunung api di Sumbawa. Bencana tersebut terjadi pada tahun 1815. Dalam bencana tersebut, Kerajaan Mataram hilang terkubur muntahan Gunung Tambora dan diperkirakan 117.000 orang tewas (National Geographic: 2006). Tidak ada catatan yang tersisa pada kejadian tersebut. Sirgurdsson dalam artikel yang ditulis oleh Roach (National Geographic, 2006) baru mampu menduga jenis bahasa dan beberapa hasil bumi yang menjadi mata pencaharian masyarakat Tambora pada waktu itu. Selain itu ia juga mengatakan bahwa bahasa yang digunakan di Tambora mirip dengan bahasa di Laos dan Kamboja. Saat ini, sepanjang tahun 2000-2006, Indonesia setidaknya mengalami tujuh kali gempa bumi dahsyat (lebih dari 6,2 pada skala Richter) dan dua kali tsunami. Salah satunya termasuk dalam kategori gempa terdahsyat di dunia. Bencana tersebut ialah gempa dan tsunami Aceh. Dalam kejadian tersebut, kekuatan gempa mencapai 9,3 pada skala Richter. Selain itu, gempa tersebut juga memicu terjadinya tsunami dengan ketinggian 10 meter. Owen (National Geographic, 2005) mencatat bahwa korban meninggal mencapai
jumlah 240.000 orang di Aceh dan Nias. Bencana lain yang terakhir terjadi ialah gempa di Yogyakarta dan gempa tsunami di Selatan Jawa. Dua bencana yang terakhir ini juga menewaskan ribuan orang. Korban manusia yang begitu banyak jumlahnya menimbulkan sebuah prediksi mengenai hilangnya suatu desa dan penduduknya, terutama pada desa yang berada di sepanjang pantai yang tersapu tsunami saat gempa dan tsunami Aceh. Dari laporan Pribadi dalam Cahanar (2005:215) dinyatakan bahwa 70% penduduk kota Calang tewas dalam bencana tersebut. Menurut data statistik Pemerintah Daerah NAD tercatat jumlah penduduk yang tinggal di Kota Calang sebelum bencana sekitar 86.000 orang. Akan tetapi, setelah bencana, penduduk yang tersisa berjumlah 25.800 orang. 2. Persebaran Bahasa-Bahasa Nusantara2 Bagi Indonesia yang dikenal dengan kemegadiversity-annya—salah satu keanekaragaman yang dimiliki bangsa Indonesia ialah keanekaragaman bahasa— hilangnya suatu kampung bersama komunitasnya merupakan suatu kerugian karena secara otomatis mengurangi keanekaragaman penduduknya. Selain itu, Indonesia juga kehilangan keanekaragamn bahasanya. Ini merupakan kerugian yang sulit dihitung nilainya karena kebudayaan adalah yang berharga, terutama dalam ilmu pengetahuan lokal. Singkatnya, keanekaragaman bahasa memiliki arti penting bagi Indonesia. Dalam keanekaragaman bahasa, Indonesia menempati urutan kedua, setelah Papua New Guinea. Summer Institute of Linguistics (SIL) Internasional cabang Indonesia dalam Grimes (2001:1) telah mencatat bahwa Republik Indonesia memiliki 731 bahasa3. Dari 731 bahasa tersebut, 726 bahasa masih memiliki penutur asli, 3 bahasa telah punah, dan 2 bahasa tidak memiliki penutur asli lagi. Pada gambar (2) di bawah dapat dilihat gambaran persebaran bahasa-bahasa di seluruh dunia.
Gambar 2. Peta Bahasa-Bahasa di Dunia Sumber: http://www.ethnologue.com/show_map.asp?name=World&seq=10
Dari gambar tersebut dapat dilihat pola sebaran bahasa-bahasa dari Indonesia bagian Barat ke Indonesia bagian Timur. Bahasabahasa tersebut semakin ke Timur semakin beraneka ragam. Hal ini diduga karena keunikan masyarakat Indonesia bagian Timur yang setiap suku, bahkan keluarga, memiliki bahasa sendiri. 3. Jumlah Penutur Nusantara
Jumlah penutur bahasa-bahasa nusantara semakin ke Timur semakin sedikit. Selain itu, jumlah penutur sebagian besar bahasabahasa tersebut juga tidak berada dalam hitungan yang aman untuk tetap hidup. Selain karena keunikan masyarakat Indonesia bagian Timur yang setiap suku, bahkan keluarga, memiliki bahasa sendiri, fenomena ini juga diduga karena tingkat mobilitas penduduk di bagian Timur lebih rendah dibandingkan penduduk di bagian Barat. Gambaran jumlah penutur pada bahasa-bahasa di nusantara dapat dilihat pada Tabel 1.
Bahasa-Bahasa
Tabel 14. Bahasa-Bahasa Nusantara dan Jumlah Penuturnya5 Katagori Jumlah Wilayah
A
B
C
D
E
F
G
H
I
J
Total
K
Sumatra
-
-
6
7
17
17
1
1
-
-
3
52
Jawa dan Bali
-
1
5
2
4
2
3
-
-
-
3
19
Kalimantan
-
-
1
1
5
35
25
7
-
-
8
82
Nusa Tenggara
-
-
1
3
9
20
12
3
-
-
20
68
Sulawesi
-
-
2
1
15
45
31
15
-
-
5
114
Maluku
-
-
-
-
1
26
60
27
12
3
2
131
Papua
-
-
-
-
2
19
87
139
10
-
8
265
Total
-
1
15
14
53
164
218
192
22
3
49
731
Keterangan: A = sangat besar (di atas100 juta), B = besar (antara 35-100 juta), C = menengah (antara 1-35 juta), D = agak kecil (antara ½-1 juta), E = kecil (antara 100.000-1/2 juta), F = sangat kecil (antara 10.000-100.000), G = sangat kecil (antara 1000-10.000), H = jumlah minimum (kurang dari 1000), I = hampir punah (kurang dari 100), J = punah, K = Belum diketahui jumlahnya
Tabel 1 memperlihatkan, sebagian besar bahasa-bahasa nusantara berlokasi di Sulawesi (114 bahasa), Maluku (131 bahasa), dan Papua (265 bahasa). Di daerah-daerah tersebut juga didapati kebanyakan jumlah penutur bahasa berada dalam kategori F, G, dan H. Fakta tersebut memberikan gambaran mengenai kerawanan eksistensi bahasa-
bahasa di Indonesia, terutama di Indonesia bagian Timur. Bahasa-bahasa tersebut bisa punah karena bencana besar yang kerap melanda Indonesia menewaskan ribuan, bahkan puluhan ribu manusia.
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
4. Lokasi-Lokasi Rawan Bencana Hampir semua wilayah Indonesia merupakan lokasi rawan bencana. Aprianti (2005:52) menyatakan bahwa daerah di Pulau Sumatera, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua merupakan daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Hanya beberapa daerah di Pulau Kalimantan yang bebas dari bahaya bencana-bencana tersebut. Gambaran yang lebih lengkap dapat dilihat pada tabel 2 yang diadaptasi dari data yang ditulis oleh Aprianti. Tabel 2. Wilayah rawan gempa bumi dan Tsunami di Indonesia Gempa Bumi Aceh SUMUT -Simeulue SUMBAR - Jambi Bengkulu Lampung Banten-Pandeglang
Tsunami Aceh SUMUT SUMBAR Bengkulu Lampung JATENG bagian Selatan
JABAR-Bantar JATIM bagian Selatan Kawung Yogyakarta Bali Lasem NTB JATIM-Bali NTT NTB SULUT NTT SULTENG Kepulauan Aru SULSEL SULSEL Maluku Utara Sulawesi Tenggara Maluku Selatan SULTENG Biak SULUT Pak-Pak Sangir Talaud Balikpapan Maluku Utara Maluku Selatan Kepala Burung-Papua Utara Jayapura Nabire Wamena Kalimantan Timur Sumber: Aprianti (2005:52)
5. Manfaat Penyelamatan Bahasa Nusantara
Bahasa-
Bahasa merupakan keunikan yang diberikan Tuhan kepada manusia karena hanya manusia yang memiliki kemampuan berbahasa. Dengan bahasa, manusia mengkomunikasikan gagasan, tindakan, dan karyanya dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, tidak keliru
apabila Koentjaraningrat (1985:203) memasukkan bahasa sebagai salah satu aspek kebudayaan bagi semua bangsa di dunia. Singkatnya, bahasa merupakan aspek utama dalam kehidupan manusia. Selain sebagai alat menyampaikan gagasan, bahasa juga digunakan sebagai alat penyimpan kekayaan alat intelektual dan penyampai sejarah, seperti pengetahuan tentang cara mengelola lingkungan, cara bertahan hidup, pengobatan, perbintangan, dan lain-lain. Ilmu-ilmu tersebut secara sinkronis ditularkan di dalam komunitas dan secara diakronis ditularkan kepada keturunan mereka. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa bahasa merupakan “kapsul” ilmu. Bagi Bangsa Indonesia keanekaragaman bahasa nusantara pantas untuk dipertahankan. Hal itu karena bahasa memiliki berbagai kegunaan bagi kehidupan bangsa Indonesia di masa kini dan masa depan. Hal ini beralasan karena dalam setiap bahasa yang dimiliki setiap suku di Indonesia terdapat beraneka ragam ilmu sesuai dengan lokasi di mana bahasabahasa tersebut tumbuh dan hidup. 6. Simpulan Fakta mengenai kondisi geologis Indonesia yang rawan bencana, jumlah penutur yang kebanyakan berkategori sedikit, serta lokasi daerah rawan bencana yang hampir meliputi seluruh wilayah Indonesia memberikan gambaran tentang ancaman kelangsungan hidup bahasabahasa di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa bencana alam menjadi salah satu penyebab kepunahan bahasa yang tidak dapat diperdebatkan lagi. Gambaran tersebut selayaknya menjadi rambu-rambu bagi para linguis untuk melakukan langkahlangkah strategis dalam penyelamatan bahasa di daerah yang sangat rentan dengan bencana geologis. Hal tersebut penting dilakukan karena bahasa adalah “kapsul” kekayaan intelektual lokal yang berguna untuk memecahkan permasalahan kehidupan masyarakat pada masa kini dan masa mendatang. Daftar Pustaka [1] Aprianti, Yenti. 2005. “Hidup Harmonis dengan Gempa Bumi dan Tsunami”
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
dalam Bencana Gempa dan Tsunami (Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara), Cahanar, P. (ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kompas. [2] Crystal, David. 2000. Language Death. Cambridge: Cambridge. [3] Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. [4] Pribadi, Dody Wisnu. 2005. “Penduduk Kota Calang Tersisa 30 Persen” dalam Bencana Gempa dan Tsunami (Nanggroe Aceh Darussalam dan Sumatera Utara), Cahanar, P. (ed.). Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
[10] Roach, John. 2006. “Lost Kingdom discovered on Volcanic Island in Indonesia” dalam National Geogaphic News.http://news.nationalgeographic.c om/news/2006/02/0227_060227_lost_k ingdom.html. Diakses tanggal 10 Agustus 2006. [11] USGS. 2006. Understanding Plate Motion. http://pubs.usgs.gov/gip/dynamic/under standing.html/. Diakses tanggal 10 Agustus 2006. 1
Kata bahasa terintegrasi dengan kata budaya karena bahasa dan kebudayaan merupakan dua sisi mata uang yang berbeda, tetapi tidak dapat dipisahkan.
2
Istilah bahasa nusantara digunakan dalam tulisan ini dengan tujuan mereduksi makna subordinasi yang tersirat dalam istilah bahasa daerah. Jadi, ada kesamaan derajat antara bahasa nasional dan bahasa daerah. Selain itu, istilah ini dianggap dapat menggambarkan keanekaragaman yang terintegrasi: Binneka Tunggal Ika. Perlu dicatat pula bahwa konsep bahasa bertumpangtindihan dengan dialek. Jadi, tidak ada pembedaan antara bahasa dan dialek dalam tulisan ini.
3
Krauss (1992:6) dalam Skutnabb-Kangas (2000:34) mencatat bahwa Indonesia memiliki 670 bahasa dan Papua New Guinea memiliki 850 bahasa. Perlu dicatat pula bahwa konsep bahasa yang digunakan oleh buku Ethnologue bertumpang tindih dengan konsep dialek.
4
Tabel 1 dibuat berdasarkan data Ethnologue versi tercetak (2001).
5
Perhitungan jumlah penduduk mengikuti aturan yang dibuat oleh Gunnemark dalam Skutnabb-Kangas (2000:45).
[5] Grimes, Berbara F. (ed.), 2001. Ethnologue:Languages of The World (fourth Eds.), Jakarta:SIL International. [6]
Skutnabb-Kangas, Tove. 2000. Linguistic Genocide in Education—or Worldwide Diversity and Human Rights? New Jersey: Lawrance Erlbaum Associates.
Internet: [7] Grimes, Berbara F. (ed.), 2006. Ethnologue:Languages of The World (fourth Eds./On Line Edition), http://www.ethnologue.com/show_map. asp?name=World&seq=10. Diakses 14 Agustus 2006.
[8]
Owen, James. 2005. “Tsunami Rebuilding Could Deforest Sumatra, Green Groups Say” dalam National Geographic News. http://news.nationalgeographic.com/ne ws/2005/04/0426_050426_indonesia.ht ml. Diakses tanggal 14 Agustus 2006.
[9] Pacific Ring of Fire. http://www.crystalinks.com/rof.html. Diakses tanggal 14 Agustus 2006.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
PENGGUNAAN ANTIBIOTIKA IRASIONAL PADA ANAK Dr Widodo Judarwanto SpA Rumah Sakit Bunda Jakarta email : wido25@hotmail.com
1. Pendahuluan “Penderita yang sering berobat di Indonesia bila berobat di luar negeri (terutama di negara maju) sering khawatir, karena bila sakit jarang diberi antibiotika. Sebaliknya pasien yang sering berobat di luar negeri juga sering khawatir bila berobat di Indonesia, setiap sakit selalu mendapatkan antibiotika�. Hal ini bukan sekedar pameo belaka. Tampaknya banyak fakta yang mengatakan bahwa memang di Indonesia, dokter lebih gampang memberikan antibiotika. Penggunaan antibiotika irasional atau berlebihan pada anak tampaknya memang semakin meningkat dan semakin mengkawatirkan. Penggunaan berlebihan atau penggunaan irasional artinya penggunaan tidak benar, tidak tepat dan tidak sesuai dengan indikasi penyakitnya. Sebenarnya permasalahan ini dahulu juga dihadapi oleh negara maju seperti Amerika Serikat. Menurut penelitian US National Ambulatory Medical Care Survey pada tahun 1989, setiap tahun sekitar 84% setiap tahun setiap anak mendapatkan antibiotika. Hasil lainnya didapatkan 47,9% resep pada anak usia 0-4 tahun terdapat antibiotika. Angka tersebut menurut perhitungan banyak ahli sebenarnya sudah cukup mencemaskan. Dalam tahun yang sama, juga ditemukan resistensi kuman yang cukup tinggi karena pemakaian antibiotika berlebihan tersebut. Di Indonesia belum ada data resmi tentang pengguanaan antibiotika ini. Sehingga banyak pihak saat ini tidak terlalu peduli dengan masalah ini. Berdasarkan tingkat pendidikan dan pengetahuan masyarakat serta fakta yang ditemui sehari-hari, tampaknya penggunaan antibiotika di Indonesia baik jauh lebih banyak dan lebih mencemaskan. 2. Bahaya Penggunaan Antibiotika pada Anak Sebenarnya penggunaan antibiotika secara benar dan sesuai indikasi memang harus diberikan. Meskipun terdapat pertimbangan
bahaya efek samping dan mahalnya biaya. Tetapi menjadi masalah yang mengkawatirkan, bila penggunaannnya berlebihan. Banyak kerugian yang terjadi bila pemberian antibiotika berlebihan tersebut tidak dikendalikan secara cepat dan tuntas. Kerugian yang dihadapi adalah meningkatnya resistensi terhadap bakteri. Belum lagi perilaku tersebut berpotensi untuk meningkatkan biaya berobat. Seperti diketahui bahwa harga obat antibiotika merupakan bagian terbesar dari biaya pengobatan. Efek samping yang sering terjadi pada penggunaan antibiotika adalah gangguan beberapa organ tubuh. Apalagi bila diberikan kepada bayi dan anak-anak, karena sistem tubuh dan fungsi organ pada bayi dan anakanak masih belum tumbuh sempurna. Apalagi anak beresiko paling sering mendapatkan antibiotika, karena lebih sering sakit akibat daya tahan tubuh lebih rentan. Bila dalam setahun anak mengalami 9 kali sakit, maka 9 kali 7 hari atau 64 hari anak mendapatkan antibiotika. Gangguan organ tubuh yang bisa terjadi adalah gangguan saluran cerna, gangguan ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan sumsum tulang, gangguan darah dan sebagainya. Akibat lainnya adalah reaksi alergi karena obat. Gangguan tersebut mulai dari yang ringan seperti ruam, gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan bibir atau kelopak mata, sesak, hingga dapat mengancam jiwa (reaksi anafilaksis). Pemakaian antibiotika berlebihan atau irasional juga dapat membunuh kuman yang baik dan berguna yang ada didalam tubuh kita. Sehingga tempat yang semula ditempati oleh bakteri baik ini akan diisi oleh bakteri jahat atau oleh Namur atau disebut "superinfection". Pemberian antibiotika yang berlebihan akan menyebabkan bakteri-bakteri yang tidak terbunuh mengalami mutasi dan menjadi kuman yang resisten atau disebut “superbugs�. Jadi jenis bakteri yang awalnya dapat diobati dengan mudah dengan Antibiotika yang ringan, apabila antibiotikanya digunakan dengan irasional, maka bakteri tersebut mutasi dan menjadi kebal, sehingga
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
memerlukan jenis antibiotika yang lebih kuat. Bila bakteri ini menyebar ke lingkungan sekitar, lama kelamaan, apabila pemakaian antibiotika yang irasional ini terus berlanjut, maka suatu saat akan tercipta kondisi dimana tidak ada lagi jenis antibiotika yang dapat membunuh bakteri yang terus menerus bermutasi ini. Hal ini akan membuat kembali ke zaman sebelum antibiótica ditemukan. Pada zaman tersebut infeksi yang diakibatkan oleh bakteri tidak dapat diobati sehingga angka kematian akan drastis melonjak naik. Hal lain yang mungkin terjadi nantinya kebutuhan pemberian antibiotika dengan generasi lebih berat, dan menjadikan biaya pengobatan semakin meningkat karena semakin harganya mahal. 3. Indikasi Pemakaian Antibiotika Indikasi yang tepat dan benar dalam penggunaan antibiotika pada anak adalah bila penyebab infeksi tersebut adalah bakteri. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) indikasi pemberian antibiotika adalah bila batuk dan pilek berkelanjutan selama lebih 10 – 14 hari.yang terjadi sepanjang hari (bukan hanya pada malam hari dan pagi hari). Batuk malam dan pagi hari biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, pembengkakan sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 – 14 hari. Bila batuk dan pilek yang berkelanjutan yang terjadi hanya pada malam hari dan pagi hari (bukan sepanjang hari) biasanya berkaitan dengan alergi atau bukan lagi dalam fase infeksi dan tidak perlu antibiotika Indikasi lain bila terdapat gejala infeksi sinusitis akut yang berat seperti panas > 39 C dengan cairan hidung purulen, nyeri, bengkak di sekitar mata dan wajah. Pilihan pertama pengobatan antibiotika untuk kasus ini cukup dengan pemberian Amoxicillin, Amoxicillinm atau Clavulanate. Bila dalam 2 – 3 hari membaik pengobatan dapat dilanjutkan selama 7 hari setelah keluhan membaik atau biasanya selama 10 – 14 hari. Indikasi lainnya adalah radang tenggorokan karena
infeksi kuman streptokokus. Penyakit ini pada umumnya menyerang anak berusia 7 tahun atau lebih. Pada anak usia 4 tahun hanya 15% yang mengalami radang tenggorokan karena kuman ini. Bila sakit batuk dan pilek timbul sepanjang hari (bukan hanya malam dan pagi hari) lebih dari 10-14 hari disertai cairan hidung mukopurulen (kuning atau hijau). Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur yang membutuhkan beberapa hari untuk observasi. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan sample urin dan kemudian di lakukan pemeriksaan kultur di rumah sakit. Setelah beberapa hari akan ketahuan bila ada infeksi bakteri berikut jenisnya dan sensitivitas terhadap jenis obatnya. Penyakit yang lain yang harus mendapatkan antibiotika adalah infeksi saluran kemih dan penyakit tifus Untuk mengetahui apakah ada infeksi bakteri biasanya dengan melakukan kultur darah atau urine. Apabila dicurigai adanya infeksi saluran kemih, dilakukan pemeriksaan kulut urine. Setelah beberapa hari akan diketahui bila ada infeksi bakteri berikut jenis dan sensitivitas terhadap antibiotika. Untuk mengetahui penyakit tifus harus dilakukan pemeriksaan darah Widal dan kultur darah gal. Anak usia di bawah 5 tahun yang mengalami infeksi virus sering mengalami overdiagnosis penyakit Tifus. Sering terjadi kesalahan persepsi dalam pembacaan hasil laboratorium. Infeksi virus dengan peningkatan sedkit pemeriksaan nilai widal sudah divonis gejala tifus dan dihantam dengan antibiotika. Sebagian besar kasus penyakit infeksi pada anak penyebabnya adalah virus. Dengan kata lain seharusnya kemungkinan penggunaan antibiotika yang benar tidak besar atau mungkin hanya sekitar 10 – 15% penderita anak. Penyakit virus adalah penyakit yang termasuk “self limiting disease” atau penyakit yang sembuh sendiri dalam waktu 5 – 7 hari. Sebagian besar penyakit infeksi diare, batuk, pilek dan panas penyebabnya adalah virus. Secara umum setiap anak akan mengalami 2 hingga 9 kali penyakit saluran napas karena virus. Sebaiknya jangan terlalu mudah mendiagnosis (overdiagnosis) sinusitis pada anak. Bila tidak terdapat komplikasi lainnya secara alamiah pilek, batuk dan pengeluaran cairan hidung akan menetap paling lama sampai 14 hari setelah gejala lainnya membaik. Sebuah penelitian terhadap gejala pada 139 anak penderita pilek(flu) karena
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
virus didapatkan bahwa pemberian antibiotik pada kelompok kontrol tidak memperbaiki cairan mucopurulent dari hidung. Antibiotika tidak efektif mengobati Infeksi saluran napas Atas dan tidak mencegah infeksi bakteri tumpangan. Sebagian besar infeksi Saluran napas Atas termasuk sinus paranasalis sangat jarana sekali terjadi komplikasi bakteri. 4. Siapa yang Bertanggungjawab Dalam permasalahan penggunaan antibiotika yang berlebihan ini, pihak manakah yang bertanggung jawab untuk mengatasinya. Permasalahan ini tidak sesederhana seperti yang kita lihat. Banyak pihak yang berperanan dan terlibat dalam penggunaan antibiotika berlebihan ini. Pihak yang terlibat mulai dari penderita (orang tua penderita), dokter, rumah sakit, apotik, sales representatif, perusahaan farmasi dan pabrik obat. Bila penggunaan antibiotika berlebihan lebih dikarenakan faktor dokter, maka orang tua sebagai penerima jasa dokter dalam keadaan posisi yang sulit. Tetapi orang tua penderita sebagai pihak pasien mempunyai hak untuk mendapatkan informasi sejelasjelasnya rencana pengobatan, tujuan pengobatan dan akibat efek samping pengobatan tersebut Kalau perlu orang tua sedikit berdiskusi dengan cara bukan menggurui untuk peluang apakah boleh tidak diberi antibiotika. Dilain pihak, orangtua juga sering sebagai faktor terjadinya penggunaan antibiotika yang berlebihan. Pendapat umum yang tidak benar terus berkembang, bahwa kalau tidak memakai antibiotika maka penyakitnya akan lama sembuhnya Tidak jarang penggunaan antibiótika adalah permintaan dari orang tua. Yang lebih mengkawatirkan saat ini beberapa orang tua dengan tanpa beban membeli sendiri antibiótika tersebut tanpa pertimbangan dokter. Antibiotika yang merupakan golongan obat terbatas, obat yang harus diresepkan oleh dokter. Tetapi runyamnya ternyata obat antibiotika tersebut mudah didapatkan di apotik atau di toko obat meskipun tanpa resep dokter. Persoalan menjadi lebih rumit karena ternyata bisnis perdagangan antibiotika sangat menggiurkan. Pabrik obat, perusahaan farmasi, medical sales representative dan apotik sebagai pihak penyedia obat mempunyai banyak kepentingan. Antibiotika merupakan bisnis utama mereka, sehingga banyak strategi dan
cara dilakukan. Dokter sebagai penentu penggunaan antibiotika ini, harus lebih bijak dan harus lebih mempertimbangkan latar belakang ke ilmiuannya. Sesuai sumpah dokter yang pernah diucapkan, apapun pertimbangan pengobatan semuanya adalah demi kepentingan penderita, bukan keperntingan lainnya. Peningkatan pengetahuan dan kemampuan secara berkala dan berkelanjutan dokter juga ikut berperanan dalam mengurangi perilaku penggunaan antibiótika yang berlebihan ini. Departemen Kesehatan (Depkes), Balai Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), Ikatan dokter Indonesia (IDI), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) dan beberapa intitusi terkait lainnya harus bekerjasama dalam penanganannya. Pendidikan tentang bahaya dan indikasi pemakaian antibiotika yang benar terhadap masyarakat harus terus dilakukan melalui berbagai media yang ada. Penertiban penjualan obat antibiotika oleh apotik dan lebih khusus lagi toko obat harus terus dilakukan tanpa henti. Organisasi profesi kedokteran harus terus berupaya mengevaluasi dan melakukan pemantauan lebih ketat tentang perilaku penggunaan antibiótika yang berlebihan ini terhadap anggotanya. Kalau perlu secara berkala dilakukan penelitian secara menyeluruh terhadap penggunaan antibitioka yang berlebihan ini. Sebaiknya praktek dan strategi promosi obat antibiotika yang tidak sehat juga harus menjadi perhatian. Bukan malah dimanfaatkan untuk kepentingan dokter, meskipun hanya demi kepentingan kegiatan ilmiah. PERSI sebagai wadah organisasi rumah sakit, juga berwenang memberikan pengawasan kepada anggotanya untuk terus melakukan evaluasi yang ketat terhadap formularium obat yang digunakan. Di Amerika Serikat, karena upaya kampanye dan pendidikan terus menerus terhadap masyarakat dan dokter ternyata dapat menurunkan penggunaan antibiotika secara drastis. Proporsi anak usia 0 – 4 tahun yang mendapatkan antibiotika menuirun dari 47,9% tahun 1996 menjadi 38,1% tahun 2000. Jumlah rata-rata antibiótika yang diresepkan menurun, dari 47.9 1.42 peresepan per anak tahun 1996 menjadi 0.78 peresepan per anak tahun 2000. Rata-rata pengeluaran biaya juga dapat ditekan cukup banyak, padfa tahun 1996 sebesar $31.45 US menjadi $21.04 per anak tahun 2000.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Rekomendasi dan kampanye penyuluhan ke orangtua dan dokter yang telah dilakukan oleh kerjasama CDC (Centers for Disease Control and Prevention) dan AAP (American Academy of Pediatrics) memberikan pengertian yang benar tentang penggunaan antibiotika. Pilek, panas dan batuk adalah gejala dari Infeksi Pernapasan Atas yang disebabkan virus. Perubahan warna dahak dan ingus berubah menjadi kental kuning, berlendir dan kehijauan adalah merupakan perjalanan klinis Infeksi Saluran Napas Atas karena virus, bukan merupaklan indikasi antibiotika. Pemberian antibiotika tidak akan memperpendek perjalanan penyakit dan mencegah infeksi tumpangan bakteri Upaya ini seharusnya menjadi contoh yang baik terhadap intitusi yang berwenang di Indonesia dalam mengatasi permasalahan penggunaan antibiotika ini. Melihat rumitnya permasalahan pemberian antibiotika yang irasinol di Indonesia tampaknya sangat sulit dipecahkan. Tetapi kita harus yakin dengan kemauan keras, niat yang tulus dan keterlibatan semua pihak maka permasalahan ini akan dapat terpecahkan. Jangan sampai terjadi, kita semua baru tersadar saat masalah sudah dalam keadaan yang sangat serus.
Daftar Pustaka [1] Rosenstein N, Phillips WR, Gerber MA, Marcy SM, Schwartz B, Dowell SF. The common cold-principles of judicious use.Pediatrics 1998;101:181-184. [2] Monto AS, Ullman BM. Acute respiratory illness in an American community. JAMA 1974;227:164-169. [3] Wald ER. Purulent nasal discharge. Pediatric Infect Dis J1991;10:329-333. [4] Centers for Disease Control and Prevention. Get smart: know when antibiotics work. Web site: http://www.cdc.gov/drugresistance/comm unity/. Accessed Oct. 2004. [5] Mainous AG III, Hueston WJ, Davis MP, et al. Trends in antimicrobial prescribing for bronchitis and upper respiratory infections among adults and children. Am J Public Health 2003 Nov; 93(11):1910-4.
[6] Perz JF, Craig AS, Coffey CS, et al. Changes in antibiotic prescribing for children after a communitywide campaign. JAMA 2002; 287:3101-9. [7] Schwartz B, Bell DM, Hughes JM. Preventing the emergence of antimicrobial resistance. A call to action by clinicians, public health officials, and patients. JAMA.1997; 278 :944 –945. [8] US Interagency Task Force. A Public Health Action Plan to Combat Antimicrobial Resistance. Bethesda, MD: US Interagency Task Force; 2001 [9] Finkelstein JA, Metlay J, Davis RL, Rifas S, Dowell SF, Platt R. Antimicrobial use in defined populations of infants and young children. Arch Pediatr Adolesc Med.2000; 154 :395 –400. [10] Nyquist AC, Gonzales R, Steiner JF, Sande MA. Antibiotic prescribing of children with colds, upper respiratory tract infections, and bronchitis. JAMA.1998; 279 :875 –877. [11] Nash DR, Harman J, Wald ER, Kelleher KJ. Antibiotic prescribing by primary care physicians for children with upper respiratory tract infections. Arch Pediatr Adolesc Med.2002; 156 :1114 –1119. [12]Koopman LP, Smit HA, Heijnen M-LA, et al. Respiratory infections in infants: interaction of parental allergy, child care, and siblings—the PIAMA Study. Pediatrics.2001; 108 :943 –948 [13]Barden LS, Dowell SF, Schwartz B, Lackey C. Current attitudes regarding use of antimicrobial agents: results from physicians’ and parents’ focus groups. Clin Pediatr.1998; 37 :665 –671. [14] Mangione-Smith R, McGlynn EA, Elliott M. Parental expectations for antibiotic, physician-parent communication, and satisfaction. Arch Pediatr Adolesc Med.2001; 155 :800 –806. [15] Mangione-Smith R, McGlynn EA, Elliott MN, Krogstad P, Brook RH. The relationship between perceived parental expectations and pediatrician antimicrobial prescribing behavior. Pediatrics.1999; 103 :711 –718.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
[16] Takata GS, Chan LS, Shekelle P, Morton SC, Mason W, Marcy SM. Evidence assessment of management of acute otitis media: I. The role of antibiotics in treatment of uncomplicated acute otitis media. Pediatrics.2001; 108 :239 –247. [17] Oannidis JPA, Lau J Technical report: evidence for the diagnosis and treatment of acute uncomplicated sinusitis in children: a systematic overview. Pediatrics.2001; 108(3) . [18] van Buchem FL, Peeters MF, van’t Hof MA. Acute otitis media: a new treatment strategy. BMJ.1985; 290 :1033 –1037
[19] Paradise JL. On classifying otitis media as suppurative or non-suppurative, with a suggested clinical schema. J Pediatr.1987; 111 :948 –951. [20] Brien KL, Dowell SF, Schwartz B, Marcy SM, Phillips WR, Gerber MA. Cough illness/bronchitis—principles of judicious use of antimicrobial agents. Pediatrics.1998; 101(suppl) :178 –181. [21] American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Management of Sinusitis and Committee on Quality Improvement. Clinical practice guideline: management of sinusitis. Pediatrics.2001; 108 :798 –808.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Sisi Lain Dari TI Hiroshima 2006: Refleksi Dibalik Angka Sakdullah Abdulkadir University of the Ryukyus, Okinawa E-mail: sakdu@yahoo.com Temu Ilmiah (TI) Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (PPI-J) yang ke-15 telah berlangsung dengan sukses pada 5 Agustus 2006 di Hiroshima, tepatnya di kampus Hiroshima University, Higashi Hiroshima-shi. Perhelatan akbar satu tahunan ini dihadiri lebih dari 100 peserta, bukan hanya mereka yang masih berstatus pelajar (tingkat master dan doktoral), tetapi juga dihadiri oleh kaum intelektual lainnya yang telah bekerja di beberapa lembaga di Jepang, baik yang berprofesi sebagai pengajar ataupun peneliti di universitas maupun yang bekerja pada perusahaan-perusahaan di Jepang. Melihat latar belakang peserta yang beragam dari berbagai disiplin ilmu dan datang dari berbagai universitas di Jepang, setidaknya ini bisa menjadi indikator perlunya sebuah wahana pertemuan ilmiah bagi komunitas intelektual Indonesia semacam TI. Katakanlah ada semacam obat rindu bagi para ilmuwan muda kita ini untuk bisa saling mengetahui, menjajagi, dan/atau memberikan informasi terkini dari bidang keilmuan yang selama ini digeluti. Jika menilik jumlah peserta dan paper yang masuk, dapatlah dikatakan TI Hiroshima 2006 berlangsung sukses. Paling tidak tercatat 87 peserta sebagai pemakalah dengan 104 paper, dan belum termasuk mereka yang hanya hadir sebagai peserta biasa. Namun bila kita menengok data jumlah pelajar Indonsesia di seluruh Jepang, maka kita masih patut kecewa dengan tampilan peserta yang mencapai sedikit lebih dari 100 orang tersebut. Dengan mengambil data jumlah pelajar dari Bagian Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Tokyo, dan ditambah sekitar 300-400 orang yang tidak terdata (sebagaimana yang ditaksir oleh PPI Jepang), maka jumlah total pelajar Indonesia di Jepang diperkirakan sekitar 1300 orang. Jadi, baru sekitar 10 persen pelajar kita yang ikut berpartisipasi dalam TI ini Tentu ini agak ironis jika melihat komposisi pelajar kita di Jepang yang didominasi oleh mereka yang menempuh jenjang pendidikan master dan doktor (dengan kontribusi masingmasing 27,33 % dan 42,16 %), dan hanya
15,25 % yang menempuh pendidikan tingkat S1 (undergraduate). Pasalnya, pertemuan ilmiah semacam TI mestinya bisa mengundang gairah ilmuwan-ilmuwan muda kita untuk beramai-ramai hadir mempresentasikan hasil-hasil riset mutakhir yang telah ditekuninya selama ini. Setidaknya, pergaulan ilmiah sesama anak negeri dalam TI ini diharapkan mampu merangsang dan menumbuhkan iklim keilmiahan dan kompetisi positip dalam dunia riset diantara mereka pada saat ini, dan lebih-lebih setelah kembali di tanah air. Lebih mengherankan lagi, ternyata mahasiswa-mahasiswa kita dari daerahdaerah konsentrasi pelajar dan yang berasal dari universitas-universitas terkenal di Jepang nyaris tidak menampakkan diri. Sebagai contoh, dari 200-an mahasiswa kita yang sedang menimba ilmu di Tokyo (tidak termasuk Chiba, Ibaraki, Saitama dan Kanagawa), tercatat hanya 14 orang sebagai pemakalah, atau hanya sekitar 7 % dari jumlah mahasiswa kita yang ada di kota Tokyo. Itupun 8 pemakalah diantaranya datang dari institusi tunggal, Tokyo University of Agriculture and Technology (TUAT), dan sisanya 2 pemakalah masing-masing berasal dari Tokyo Institute of Technology dan Tokyo University of Marine Science and Technology, serta 1 pemakalah dari Tokyo Metropolitan University dan 1 pemakalah lainnya tanpa menyebutkan afiliasinya. Dan diluar dugaan, tak satupun pemakalah yang hadir dengan membawa bendera Tokyo University. Padahal di universitas top ini diperkirakan ada 40-50 mahasiswa kita. Bagaimanapun juga, jumlah pemakalah terbanyak adalah berasal dari tuan rumah sendiri, sebanyak 14 pemakalah atau 16,1 %. Kemudian disusul oleh TUAT (8 pemakalah), dan jumlah pemakalah yang sama banyak, yaitu 7 orang, datang dari Chiba University, Kobe University dan Okayama University. Perlu dicatat, meskipun letak Kobe dari Hiroshima hanya dipisahkan oleh Okayama, namun jumlah pemakalahnya masih bisa dikatakan belum sepadan dengan jumlah mahasiswa kita yang belajar di Kobe, yaitu
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
sekitar 50 orang. Kondisi yang tidak jauh berbeda juga bisa dilihat dari partisipasi mahasiswa kita yang sedang belajar di Fukuoka. Dari sekitar 40-50 pelajar kita yang ada di Fukuoka, hanya 4 orang yang tercatat sebagai pemakalah. Sedangkan dari Toyohashi University of Technology, yang letaknya dari Hiroshima dipisahkan oleh 5 prefecture, setidaknya ada 5 orang sebagai pemakalah,. Jumlah yang lumayan banyak juga berasal dari Nara Institue of Science and Technology sebanyak 4 pemakalah dan dari Ibaraki University sebanyak 4 orang. Sementara 1-2 pemakalah lainnya tersebar datang dari Yamaguchi, Kanazawa, Keio, Tottori, Ehime, Gifu, Nagoya, Chukyo dan Ritsumeiken Asian Pacific University (Oita), serta dari Saga dan Kawasaki Medical School, dan Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST). Adapun 2 pemakalah lainnya berasal dari lembaga non-universitas, NTT dan KY Research Institute. Dan, tidak ada satupun pemakalah yang datang dari daerah Tohoku dan Hokkaido
Satu hal lagi, dua distrik yang juga dikenal sebagai daerah kantung pelajar Indonesia di Jepang yaitu Kyoto dan Osaka, yang lokasinya dari arena TI hanya dipisahkan oleh Okayama dan Hyogo, ternyata tak satupun ada yang tercatat dari universitas-universitas di kedua daerah tersebut sebagai pemakalah. Terlebih lagi bagi Kyoto, karena di kota inilah akan digelar TI ke-16 pada 2007 yang akan datang. Dari gambaran-gambaran di atas tampak bahwa TI PPI-J yang diselengarakan setiap tahunnya ini belum mampu menjadi magnit yang mampu menyedot kehadiran ilmuwanilmuwan muda Indonesia di seluruh Jepang. Relatif rendahnya partisipasi mereka dalam TI setidaknya perlu menjadi perhatian kita bersama, terutama bagi para pengurus PPI-J, baik pusat, korda maupun komisariat, untuk kembali memikirkan bersama guna mencari format yang paling tepat agar TI ini mampu menjadi wahana kita bersama, warga PPI-J, dalam mengartikulasikan diri secara optimal untuk saling berbagi informasi tentang kemajuan riset dan ilmu pengetahuan yang digelutinya selama ini. Dan juga tak kalah pentingnya, bagaimana agar TI ini mampu menelorkan sumbangan-sumbangan pemikiran bagi kemajuan pendidikan dan ilmu pengetahuan di tanah air. Sampai ketemu di TI 2007 Kyoto.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Ramai-Ramai Membantu Yogya Oleh: Tim Inovasi (Contact Person: Ilham Maulana) E-mail: il_maulana@yahoo.com Hari itu keadaan biasa saja, masyarakat masih memusatkan perhatiannya pada sang Merapi yang sesekali masih menguap mengeluarkan asapnya. Masyarakat di Yogyakarta yang bertempat tinggal jauh dari Merapi seperti halnya Bantul, menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Namun dalam beberapa detik, pemandangan berubah menjadi amat mengerikan. Bumi bergerak seakan menggeliat, mengahancurkan satu persatu bangunan yang berdiri di atasnya. Tawa riang berubah menjadi teriakan yang mencekam, seorang ibu hanya melihat tak percaya seluruh keluarganya termasuk bayinya hilang di dalam reruntuhan rumahnya yang hancur. Sementara di sisi lain seorang anak meraung-raung karena ditinggal ibunya entah kemana. Ribuan jiwa melayang, menyisakan deraian air mata. Ribuan lainnya menjadi papa. Yang tersisa hanya luka, kepedihan dan derita berkepanjangan. Indonesia menangis untuk kesekian kalinya.
1. Bencana dan Kesiapan Pemerintah Bencana alam memang datang silih berganti di negara yang kita cintai ini. Setelah Aceh diterjang tsunami, berbagai gempa juga terjadi di daerah yang lain. Belum lagi bencana longsor, kekeringan dan banjir bandang. Bencana yang cukup besar adalah kejadian gempa tektonik berkekuatan 5,9 pada skala richter yang terpusat di Yogyakarta tanggal 27 Mei lalu, yang menelan korban hingga 6.500 orang. Pada saat Yogyakarta memasuki fase pembangunan kembali, kita pun dikejutkan dengan gempa dan tsunami di pantai selatan Jawa Barat dan Jawa Tengah pada hari senin 17 Juli 2006. Ratusan orang tewas dan puluhan lainnya hilang dalam sekejap Hati bangsa inipun tergerak. Semua orang, seperti halnya pada saat tsunami Aceh tergerak untuk membantu. Bantuan mengalir dari berbagai pihak, dalam dan luar negeri. Beratus orang relawan berdatangan untuk membantu korban. Sejumlah elemen masyarakat menghimpun dana untuk korban gempa. Berbagai organisasi mahasiswa langsung turun tangan mendirikan posko perduli bencana gempa bumi Yogyakarta. Presiden bahkan harus menginap di Yogyakarta selama 2 hari untuk mengawasi penanganan pasca bencana. Peristiwa gempa Yogyakarta dan Tsunami di Pangandaran juga kembali menghiasi berbagai mass media Internasional. Gaungnya mencapai gedung terhormat Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menye-
rukan komunitas Internasional untuk segera memberikan bantuan kemanusiaan. Para pemimpin dunia juga ikut menyatakan keprihatinannya atas musibah yang melanda bangsa Indonesia Namun kejadian yang sama seperti yang selalu terjadi kembali terulang di Yogyakarta dan Pangandaran. Manajemen koordinasi bencana selalu menjadi momok yang paling menakutkan bagi para korban. Lambannya pemerintah dalam penanganan bencana benar-benar dirasakan oleh korban. Sehari setelah bencana gempa belum semua korban yang selamat memperoleh bantuan makanan. Bahkan beberapa hari setelah kejadian, tenda-tenda darurat yang seharusnya sudah terpasang di daerah bencana, hanya terlihat di sebahagian kecil lokasi. Penduduk yang selamat dan mengungsi ke tempat yang aman kembali menyanyikan lagu lama, kekurangan makan-an dan obat-obatan. Sementara korban yang meninggal terus bertambah. Kesiapan pemerintah dalam penanganan pasca bencana memang belum memadai. Posko-posko bantuan yang berdiri sehari setelah gempa, hanya mampu melayani sebahagian kecil korban. Pemerintah daerah juga tidak mempunyai dana yang cukup untuk membantu para korban. Ditambah lagi dengan buruknya pendistribusian di lapangan, sehingga banyak bantuan hanya menumpuk di daerah yang dekat dengan kecamatan atau di dekat jalan utama. Alam seakan belum cukup mengajari bangsa ini untuk belajar menangani bencana. Bangsa ini selalu
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
mengulang kesalahan yang sama berulang kali. Bahkan masih ada yang sibuk dengan terminologi untuk menentukan apakah ini bencana nasional atau lokal. 2. Kesetiakawanan Nasional Ada suatu hal yang menarik untuk dicermati di balik ruwetnya berbagai penanganan bencana dan penyaluran bantuan di tanah air. Respon seketika dari seluruh masyarakat, tanpa memandang suku, agama, status sosial dan afiliasi politik untuk bahu membahu bekerja sama, adalah suatu pemandangan yang sudah sangat jarang dijumpai di Indonesia, terutama untuk suatu kegiatan berskala nasional. Namun suasana seperti inilah yang tanpa kita sadari tumbuh kembali pasca Tsunami di Aceh dan Gempa Yogya, dua bencana besar yang melanda negeri ini. Di sepanjang jalan besar, baik di Jakarta maupun di kota-kota lain di seluruh Indonesia, tampak mahasiswa, pelajar dan masyarakat umum mengedarkan kotak amal untuk korban gempa Yogya. Masyarakatpun tanpaknya tidak merasa “terganggu” dan secara suka rela mengulurkan tangannya untuk mengisi kotak yang diedarkan tersebut. Sebagai salah satu contoh adalah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Cabang Jember, Ikatan Mahasiswa Klaten (Imakla), Keluarga Mahasiswa Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unej, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indoneia (KAMMI) dan sejumlah elemen lainnya bahkan mendirikan posko di berbagai tempat strategis selama satu minggu. Solidaritaspun tidak hanya dimonopoli kalangan mahasiswa. Perhimpunan Bank Umum Nasional (Perbanas) sebagaimana disampaikan anggota pengurus Perbanas, Winny Hasan kepada Tempo, Minggu (28/5), berhasil mengumpulkan dana lebih dari 4 milyar, satu hari setelah gempa di Yogyakarta. Jumlah ini belum dari semua anggota. “Kami masih menunggu konfirmasi dari bank-bank lain, termasuk BNI," ungkap Winny. PT Bank Negara Indonesia Tbk menurut Winny mengalokasikan Rp 2 miliar untuk bantuan ke Yogyakarta Pemerintah daerah di seluruh Indonesia bahu membahu menggalang bantuan untuk di salurkan ke Yogyakarta. Di Banda Aceh, daerah yang masih belum pulih pasca tsunami, Pemda Aceh, menurut harian Serambi Indonesia (27/5) membantu korban
Gempa Jogya senilai Rp 1,25 miliar. Bantuan tidak hanya datang dari masyarakat setempat, tetapi juga dari warga Aceh di luar negeri. Media setempat melukiskan kesungguhan warga yang menyumbang dengan motto: watte tsunami ureng Yogya dibantu geutanyo, jino geutanyo wajib ta tulong korban geumpa Yogya.(waktu tsunami orang di Yogya telah membantu kita, sekarang saatnya kita wajib membantu korban gempa di Yogya) Selain di dalam negeri, bencana alam gempa bumi di Yogyakarta juga mendapat perhatian cukup besar dan simpati dari berbagai kalangan di dunia. Menurut informasi dari KBRI Ottawa, Kanada, sepekan setelah kejadian ini KBRI Ottawa masih sibuk melayani permintaan wawancara di televisi setempat, seperti CBC TV (Canadian Broadcasting Corporation) dan CBC Radio, Global TV, CFRA News Talk Radio. Selain dari rekening khusus KBRI, dari kalangan masyarakat Indoensia di Kanada, penggalangan dana antara lain dilakukan oleh komunitas WNI di Propinsi Quebec serta Perhimpunan Indonesia Kanada (ICC) yang berpusat di Ottawa. Di luar negeri, dompet Yogya perduli bukan hanya monopli KBRI. Persatuan Pelajar Indonesia di berbagai negara juga terlibat aktif dalam penggalangan bantuan untuk saudara-saudara di Yogya. PPI Oxford, mengadakan malam dana yang bertajuk malam kultur “Spirit of Indonesia”. Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini disalurkan melalui program ESQ perduli gempa bekerja sama dengan ESQ Indonesia. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang, di bawah koordinasi Komite Aceh yang pada perjalanannya juga menangani berbagai bencana lain di tanah air, menyalurkan dana bantuan yang di dapat dari komsat bekerja sama dengan PKPU dalam rangka rehabilitasi sekolah dasar. PPI Osaka-Nara mengadakan kegiatan pemutaran film Indonesia di berbagai tempat di wilayah Osaka-Nara dalam rangka mengumpulkan bantuan untuk membangun sekolah dasar di Yogya. Dari target sebesar 3 juta yen, sampai saat ini PPI Osaka-Nara telah berhasil mengumpulkan dana sebesar 900 ribu yen. Di Kobe, dengan menggandeng International Student Center Kobe University, mahasiswa Indonesia di Kobe mengadakan berbagai kegiatan, mengumpulkan sumbangan di tempat strategis, mengadakan bazar makanan Indonesia dan charity event, yang mendapat liputan luas dari media
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
Jepang. Kegiatan charity bahkan mendapat lebih dari satu kali liputan pada televisi Jepang. Menurut ketua Forum perduli Jogya yang dibentuk dengan masa kerja selama 6 bulan, Teguh Sasongko, kegiatan ini berhasil mengumpulkan uang tunai lebih dari 800 ribu yen. Demikian juga dengan anak asuh yang di tawarkan semuanya berhasil memperoleh orang tua asuh. “Program orang tua asuh masih tetap berlanjut dan dipertahankan keberadaan, dan untuk selanjutnya akan dikoordinir oleh PPI Kobe,� kata Teguh. Forum Masyarakan Indonesia (FORMASI) di Nagoya, mengadakan konser amal di Nagoya dan seluruh hasilnya disumbangkan untuk Yogya. Kegiatan pengumpulan dana juga dilakukan oleh PPI Hirosima dan berbagai Komsat PPI lainnya yang ada di Jepang. Para mahasiswa melupakan sejenak aktivitas rutinnya, menyusun dan menjalankan berbagai kegiatan dalam rangka membantu masyarakat Yogyakarta yang terkena bencana. 3. Potensi Nasional Dalam dua tahun terakhir negeri ini memang dirundung berbagai bencana. Baik itu yang berasal dari alam, maupun akibat ulah manusia. Namun bencana pulalah yang telah membuka mata kita bahwa bangsa ini masih memiliki energi sosial yang positif yang bernama rasa kesetiakawanan nasional. Energi ini hendaknya mampu dimanfaatkan oleh pemerintah saat ini, bukan hanya untuk penanggulangan bencana, namun juga untuk berpartisipasi dalam penyembuhan bangsa secara luas. Kebersamaan inilah yang telah mampu kita tunjukkan pada masa lalu pada saat kita harus bersama-sama melawan penjajahan meskipun hanya bersenjatakan bambu runcing. Rasa kebersamaan ini pula yang muncul pada tanggal 28 Oktober 78 tahun lalu yang kerap kita peringati sebagai hari sumpah pemuda. Rasa kebersamaan dan kesetiakawanan bangsa ini adalah energi besar yang akan mampu membawa Indonesia untuk lepas dari krisis yang berkepanjangan. Akan tetapi rasa kesetiakawanan dan semangat kebersamaan ini akan segera luntur manakala masyarakat menyaksikan sikap segelintir orang yang akhirnya berselingkuh terhadap rakyat dengan
menyalahgunakan kepercayaan yang mereka berikan untuk menahkodai bangsa ini. Rasa kesetiakawanan tentu saja memerlukan lingkungan sosial yang tepat untuk tumbuh. Rasa ini tidak akan tumbuh jika pemegang kekuasaan masih larut dengan budaya korupsi, sementara disisi lain, masyarakat kecil bahkan harus berbuat kejahatan demi memenuhi hajat hidup mereka. Lihat saja bagaimana pedagang kaki lima yang terpaksa mengorbankan hak orang lain manakala mereka terpaksa menggunakan trotoar jalan untuk mencari nafkah, meskipun harus melanggar peraturan. Keberadaan mereka akan tetap ada selama tidak memperoleh lahan lain untuk mencari pekerjaaan dan masih ada oknum yang mengutip restribusi yang melegalkan mereka demi kepentingan pribadi dan golongan. Bagaimana pula dengan puluhan bahkan mungkin ratusan anak bangsa yang berpotensi dan memiliki kemampuan tinggi harus terlempar dari kampung halaman dan negerinya sendiri, terpaksa harus mencari makan di negara-negara maju, yang siap menampung mereka sebagai tenaga yang murah dan siap pakai?. Mereka terpaksa meninggalkan rasa kesetiakawanan dan nasionalisme mereka karena merasa tidak memperolah tempat di negaranya dan terpaksa bekerja di negara lain yang menghargai prestasinya. Karena itu, harus ada perubahan besar dalam kerangka berpikir yang disertai dengan politik kebijakan. Kebijakan dalam menata bangsa ini dengan semangat keikhlasan, kerja keras dan professional, hendaknya tidak lagi berupa slogan yang tertulis besar di berbagai kantor pemerintahan Data terbaru dari penduduk miskin yang dikeluarkan oleh BPPS, yaitu jumlah penduduk miskin Indonesia pada bulan Maret sebanyak 39,05 juta jiwa atau 17,75% dari total penduduk (222 juta jiwa), bertambah 3,95 juta jiwa dari data pada Februari 2005. Ini merupakan beban besar bagi pemerintah yang harus segera diselesaikan sebelum menjadi bom waktu kelak. Kebijakan pemerintah yang jujur dan memihak kepada rakyat niscaya akan mampu menggerakkan seluruh elemen bangsa untuk bersatu padu sebagaimana yang dilakukan oleh pendahulu kita pada masa perjuangan kemerdekaan. Sebaliknya kebijakan yang bersifat charity, menempatkan rakyat sebagai objek bukan subjek tanpa mengubah pola pikir hanya akan membuat bangsa ini menjadi
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.8/XVIII/September 2006
keledai yang terperosok pada lubang yang sama. Dalam konteks bencana, jangan sampai kebijakan birokasi bantuan menyebabkan korban dibiarkan mati kelaparan. Penyaluran bantuan pasca bencana maupun masa rekonstruksi harus di lakukan secara transparan dan tidak dicemari oleh budaya korupsi kolektif. Ini adalah momentum yang baik bagi bangsa ini untuk belajar kepada rakyatnya apa arti kesetiakawanan yang sesungguhnya. Spontanitas membantu korban bencana adalah wujud nyata rasa cinta kepada tanah air. Turut merasakan penderitaan orang lain sebagai anak bangsa adalah hakikat dari persatuan. Kita merasa satu dalam suka dan duka sebagai bangsa.
Apa yang tidak kita miliki sebagai suatu bangsa yang besar?. Kita punya kekayaan alam yang berlimpah. Kita memiliki ribuan pulau, laut, hutan dan tanah yang subur. Kita punya anak bangsa yang bahkan mampu menjadi juara dunia olimpiade fisika. Kita juga punya ribuan ahli, ilmuan dan 222 juta penduduk. Tapi kita masih gagal memanfaatkan segala potensi yang ada. Penyakit terjadi di segala bidang. Bangsa ini tumbuh secara kronis, digerogoti oleh penyakit menular yang bernama korupsi. Akhirnya seperti kata pepatah lama; ayam mati di lumbung padi. Hanya dengan kemauan yang kuat, responsibility dan good awareness, kita dapat bekerja sama memanfaatkan segala potensi bangsa yang ada untuk membangun sebuah negara yang bernama Republlik Indonesia. MERDEKA! 17 Agustus 2006. Kecerdasan untuk Inovasi
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
Dr. Arif Satria : INOVASI bisa menjadi miniatur majalah NATURE
Tokoh yang satu ini memang bukan wajah baru bagi aktivis dan anggota Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang. Dosen Departemen Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB ini menyelesaikan studi Doktornya pada Kagoshima University, Kagoshima pada dekade 7 Oktober 2002 sampai dengan 29 April 2006. Selain sebagai anggota PPI dan mahasiswa doktor yang berpotensi, Arif adalah mantan ketua PPI Kagoshima dan Pemimpin Redaksi pertama majalah INOVASI. Lahir di Pekalongan 17 september tiga puluh lima tahun yang silam, Arif memulai pendidikan tingginya sebagai mahasiswa pada jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Institut Pertanian Bogor. Gelar master diraihnya di Institut yang sama pada jurusan Sosiologi Pedesaan pada tahun 1999. Selanjutnya pada tahun 2002 Arif melanjutkan pendidikan doktornya pada Marine Policy Kagoshima University, Jepang. Bidang “perketuaan” menurut Arif dirintisnya secara tidak sengaja. Sejak Arif muda memasuki bangku sekolah, ia sudah terbiasa dipercayakan pada posisi ketua oleh teman-temannya yang melihat bakat kepemimpinan pada diri Arif. Mulai dari ketua OSIS Sekolah Menengah pertama, Ketua Pramuka, Ketua MPK OSIS Sekolah Menengah Atas dan Ketua Pelajar Islam Indonesia Kodya Pekalongan. Semasa menjadi Mahasiswa di IPB Arif juga menjabat sebagai Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia dan Presidium Senat Mahasiswa IPB. “Pengalaman sebagai aktivis sangat membantu pekerjaan saya sebagai dosen,” kata Arif. Paling tidak dalam formulasi dan memperjuangkan sebuah gagasan Hal lain adalah dunia aktifis mendorong kita untuk tidak memikirkan diri sendiri, tapi sebaliknya membiasakan kita untuk senantiasa perduli terhadap lingkungan sekitar. Dunia organisasi pulalah Arif yang yang mempertemukan Arif dengan Retna Widayawati yang kemudian dinikahinya dan dikaruniai satu orang anak. “Dulu sewaktu di IPB, saya pernah menjabat National Director of International Association of Agricultural Student (IAAS) Indonesia. Kebetulan beliau adalah bendahara saya yang sangat hebat, cantik, berkarakter, punya inner-beauty, tak
kenal lelah, dan committed pada tugastugasnya. Hampir setiap hari ketemu, dan cocok. Disamping memang ada factor “eksternal” yakni peran teman-teman saya yang sengaja ingin “menjodohkan” saya dengan beliau,” kenang Arif mengenai sang istri tercinta yang disuntingnya 7 September 1997 yang silam. Ayah dari Zafran Akhmadery Arif yang sekarang duduk kelas 2 SD Bina Insani Bogor ini dalam kesehariannya dikenal sangat kritis. Baik semasa berprofesi sebagai mahasiswa, pimpinan organisasi, dosen maupun dalam kapasitasnya sebagai Kepala Divisi Pemberdayaan Masyarakat pesisir, Pusat Kajian Masyarakat pesisir dan Lautan (PKSPL IPB). Kritik-kritiknya tajam dan keras serta senantiasa berpihak kepada masyarakat kecil. Ia pun dikenal sebagai seorang yang sungguh bersahaja dalam hidup sehari-harinya. Sebagai mantan aktivis dan sekarang menjadi birokrat di lingkungan Universitas, Arif turut prihatin akan berbagai bencana yang terjadi di tanah air dan penanganannya, termasuk gempa Yogya-Jateng yang terjadi dan telah menewaskan lebih dari 4000 jiwa, meruntuhkan ribuan rumah, dan sejumlah kerugian psikologis lainnya, seperti perasaan traumatik yang begitu menghantui para korban. ”Saya yang berada di Klaten saat terjadi gempa, setelah merasakan dan mengamati gempa tersebut, bisa menyimpulkan bahwa masyarakat kita memang tidak disiapkan untuk menghadapi bencana. Masyarakat tidak tahu langkahlangkah yang harus dilakukan begitu terjadi gempa. Begitu pula aparat pemerintah dan kepolisian. Hal ini karena memang tidak ada sistem yang disiapkan untuk menghadapi bencana. Padahal bencana Aceh sudah setahun berlalu.” kata Arif kecewa. Arif melihat, setelah empat jam gempa terjadi, ribuan orang dari arah Yogya menuju Klaten dengan penuh kepanikan dan berteriak-teriak bahwa tsunami datang. Serentak seluruh warga di pedesaan sekitar Klaten bersiap-siap meninggalkan desa. Ada yang sudah berkumpul di atas truk, dan ada pula yang bergerombol di jalan menunggu mobil kosong. Namun isu tsunami ini telah mendorong terjadinya perampokan di desadesa di Klaten. Murid-murid yang sedang
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
mengikuti ujian SD, dijemput paksa oleh orang tuanya dengan alasan tsunami datang. Ini semua terjadi akibat tidak adanya sistem informasi bencana yang efektif. Polisi-polisi di jalan meski mengetahui bahwa tidak terjadi tsunami ternyata tidak bereaksi menetralisasi isu yang berkembang di masyarakat, dan membiarkan ribuan orang panik di jalan-jalan. Dan, kantor-kantor desa juga tak difungsikan untuk menangkal isu-isu liar tersebut. Ia berharap, dengan belajar dari bencana-bencana ini, pemerintah Indonesia mesti mulai sadar bahwa tanah air kita memang rawan bencana, dan karena itu mestinya pula menyadari pentingnya mitigasi bencana alam, khususnya gempa. Dari mulai sistem deteksi dini yang memang mengandalkan riset, sistem informasi darurat, manajemen rehabilitasi pasca gempa, serta penyuluhan gempa. Saat ini mitigasi bencana yang disiapkan pemerintah masih bertumpu pada bencana gunung berapi. Gambaran model mitigasi bencana gempa ala jepang nampaknya perlu diperhatikan, dan beberapa hal patut ditiru khususnya dalam menyiapkan perangkat sistem informasi serta penyuluhan gempa. Dan, tentu kesiapan kita dalam mengantisipasi gempa tersebut akan dapat membantu memperkecil jumlah dan besaran korban. Merintis INOVASI Sewaktu masih berstatus mahasiswa Doktor pada Kagoshima University, Arif Satria perrtama kali ditawari sebagai Pemred oleh Candra Dermawan (Ketua PPI Jepang waktu itu). Saat itu ia merasa kurang percaya diri, dan sempat bertanya pada dirinya sendiri: apa saya mampu? Tapi karena terus didesak akhirnya ia menerima amanah tersebut yang sekaligus merupakan tantangan baginya agar bisa membuat “sejarah” di PPI Jepang. Dengan catatan, bahwa ia tidak diberi amanah untuk menerbitkan edisi cetak. Menurut Arif, edisi cetak terlalu complicated dan nggak mungkin dikerjakan dengan baik dengan status redaksi sebagai mahasiswa saat itu. “Mengawali INOVASI gampang-gampang susah,” kenang Arif. Awalnya memang tim redaksi kesulitan mencari penulis sehingga mereka coba door to door untuk memenuhi jumlah artikel. Alhamdulillah mulai edisi kedua sudah mulai banyak tulisan yang masuk dan selanjutnya relative lancar tanpa harus capek menagih tulisan orang. Juga saat menentukan topik utama memang agak susah karena biasanya
tiap orang punya preferensi masing-masing sesuai dengan minat dan bidang keahliannya. “Tentu saya sangat bahagia karena hasil jerih payak kami dulu dapat berbuah melalui terus eksisnya INOVASI secara regular dengan jumlah pembaca yang makin meningkat, format makin menarik, tulisan makin berkualitas,” kata Arif bangga. Memang semula sulit dibayangkan, bahwa INOVASI bisa dikendalikannya dari Kagoshima dengan para redaktur yang tersebar di Kyoto, Tokyo, Hiroshima, dan Kobe tanpa pernah ketemu sebelumnya. Semua proses komunikasi dan diskusi dilakukan melalu email. Alhamdulillah di tengah kesibukan studi semua itu bisa dilakukan dengan lancar. Ini adalah buah dari hasil kerja tim, sehingga saya harus berterima kasih kepada tim kerja waktu itu. Sebagai mantan perintis sekaligus pemimpin redaksi INOVASI, Arif merasa sangat bangga sekali dengan semangat dan kerja tim INOVASI yang sekarang.. Bahkan dalam berbagai diskusianya dengan Dr. Haris Syahbuddin (mantan Pemred Inovasi) Arif yakin bahwa Inovasi bisa menjadi miniatur majalah NATURE nantinya. Orientasinya tetap pada informasi dan kajian IPTEK yang dilihat dari berbagai perspektif: sosial, ekonomi, politik, maupun kacamata hardsciences itu sendiri. Seiring perbaikan kualitas, menjaga kontinuitas juga penting. Menurutnya, banyak majalah kolaps karena tak sanggup menjaga kontinuitas. Kuncinya terletak pada kaderisasi pengelola serta hubungan yang baik dengan para pembaca dan penulis. Oleh karena itu redaktur saat ini mesti menyiapkan paling tidak dua generasi lagi agar proses regenerasi benar-benar terjamin.
Menekuni ekologi-politik untuk kelautan dan perikanan Meski disibukkan dengan berbagai aktivitasnya dan kesibukannya menulis, peraih gelar pelajar teladan I tk SLTP se Kodya pekalongan dan pelajar teladan I tk SLTA se Kab Pekalongan masih tetap mempertahankan idealisme sebagai peneliti. Sepulangnya dari Jepang, Arif tidak larut dengan rutinitas pekerjaannya dan mengabaikan tugasnya sebagai peneliti. Ia sekarang sangat serius dalam menekuni ekologi-politik untuk kelautan dan perikanan yang merupakan bidang relatif baru. Tapi Arif punya alasan. Selama ini persoalan kelautan dan perikanan sering
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
tereduksi hanya sebatas isu-isu teknis. Padahal banyak isu-isu non-teknis yang penting dicermati, khususnya yang berkaitan dengan relasi kekuasaan antara negara, pasar, dan masyarakat. Ada ketimpangan hak dalam akses pemanfaatan maupun pengelolaan sumberdaya antar mereka, yang tentu pada akhirnya berujung pada marjinalisasi masyarakat atau kaum nelayan. Hal menarik lainnya adalah bagaimana pengaruh sains dan pengetahuan lokal terhadap kebijakan perikanan dan kelautan. Selama ini sains yang positivistik sangatlah dominan dalam mempengaruhi kebijakan perikanan dan kelautan, sementara pengetahuan lokal milik nelayan tradisional seringkali diabaikan. Politik pengetahuan dan kaitannya dengan formulasi kebijakan sumberdaya juga menjadi salah satu kajian dalam ekologi-politik. Disinilah menjadi wilayah pendekatan pasca-strukturalis. Meskipun begitu, sebagaimana halnya para alumnus luar negeri lainnya, ada sedikit masalah yang dialaminya ketika pulang ke tanah air. Idealisme untuk pengembangan riset-riset unggulan belum bisa sepenuhnya terwujud. Kesempatan baca jurnal berkurang. Memang saat ini ia sibuk memenuhi undangan pembicara di seminar-seminar dan serta menjadi konsultan. Namun demikian, ia masih meyempatkan diri untuk menulis di koran. Arif berharap masa-masa seperti ini berlangsung tidak lama, sehingga ia bisa kembali memikirkan hal-hal yang strategis yang terkait dengan riset. Untuk sementara, Arif coba berbesar hati menganggap masamasa sekarang adalah masa reorientasi baginya. Buku dan upaya membuat sejarah Kesederhanaan, kejujuran dan keteladanannya membuat apa yang dikatakannya menjadi lebih bernilai dan berbobot serta rasa kebenarannya menjadi sangat nyata. Menurut Airf, orang tuanyalah yang menyiapkan dirinya agar suatu saat kelak ia harus mampu menulis. Orang tuanyalah, menurut Arif yang menekankan ia agar boleh berprofesi sebagai apa saja, tapi kemampuan menulis tetap harus dimiliki. Ketika kelas 3 SD ayahnya memberikannya mesin ketik agar ia tiap hari bisa mengetik apa saja. Selain menulis, orang tua Arif juga mendidiknya untuk menjadi atlet. Pertamakali ia diarahkan untuk jadi atlet renang. Namun pelatih renang bilang bahwa ia tidak bakat
renang karena persoalan napas yang pendek. Kemudian orang tuanya membawa Arif ke klub bulutangkis saat kelas 4 SD. Akhirnya Arif berlatih di klub dan menjuarai beberapa turnamen, seperti Porseni SD, HUT PBSI, serta POR Seni SMP. Namun karena ia harus memakai kacamata saat duduk di kelas 3 SMP, akhinya ia berhenti berambisi menjadi atlet. Bulutangkis sekedar hiburan dan olah raga saja. Padahal beberapa teman se klubnya saat ini sudah bisa masuk pelatnas dan masuk dalam jajaran elit dunia. “Tapi lumayanlah, bekal latihan di SD tetap masih berbuah saat ini.paling tidak tiga kali juara di Olimpiade PPI Kyushu dan ditakuti anak-anak Fukuoka,� kata Arif Salah satu obsesi yang ingin dicapainya adalah membuat buku teks berbahasa Inggris yang berpengaruh bagi proses pendidikan dan penelitian di bidang kelautan dan perikanan. Saat ini, Arif telah pengarang berbagai buku; Dinamika Modernisasi perikanan: Formasi Sosial dan Mobilitas Nelayan (Humaniora Press, 2001), Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir (Cidesindo, 2002), Menuju desentralisasi kelautan (Cidesindo, 2002) (ketua tim penulis), Acuan Singkat Desentralisasi pengelolaan Sumberdaya perikanan(Cidesindo, 2002) (ketua tim penulis) dan Fisher’s knowledge in fisheries Science (UNESCO, 2006) (book chapter). Namun ia mengaku baru bisa menghasilkan buku teks berbahasa Indonesia. Membuat buku teks, bagi penulis yang buah karyanya tersebar di berbagai media lokal, nasional maupun internasional, antara lain di Gatra, Kompas, Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Sinar Harapan dan Forum Keadilan, merupakan bagian dari suatu upaya merubah sejarah. Arif ingin buku-buku tersebut masih terus bermanfaat bagi kemaslahatan umat, karena itulah bentuk amal sholeh yang bisa ia lakukan, dan tetap bermanfaat bagi kehidupannya di akhirat nanti. Tekadnya dalam menghasilkan karyanya didukung oleh falsafah hidup yang diyakini oleh Arif. “Saya masih memegang prinsip bahwa tugas kita adalah sebagai khalifah di muka bumi yang tugasnya membawa rahmat bagi seluruh alam. Karena itu kita menjalankan fungsi sebagai pembuat sejarah. Sejarah terjadi karena ada karya berupa perubahan. Sehingga dimana pun saya ingin terus membuat sejarah, sekecil apapun sejarah yang saya buat. Inipun makin kuat dengan adanya kata-kata seorang filsuf bahwa kebodohan dan keterbelakangan
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.2/XVI/November 2004
bukan semata karena buta huruf tapi karena ketidakmampuan kita untuk terlibat dalam proses sejarah,� kata pria yang merasa tidak punya potongan sebagai politisi ini. *** Meskipun sudah meninggalkan negeri Sakura dan kembali berkiprah di tanah air, Arif belum bisa begitu saja meninggalkan kenangannya selama berada di Jepang. Bahkan ia masih sedikit menyesali karena hingga saat ini hanya memiliki kemampuan pas-pasan dalam berbahasa Jepang. Karena itu Dr. Arif Satria berpesan kepada seluruh anggota PPI Jepang agar memanfatkan keberadaannya di sini untuk mempelajari bahasa Jepang dan mengenali kehidupan masyarakat Jepang. “Saya menyesal karena hingga saat ini hanya pas-pasan berbahasa jepang. Padahal itu modal yang sangat penting bagi kita untuk menimba ilmu lebih banyak dari sini,� kata penggemar lagu-lagu Ebiet G Ade ini menutup wawancaranya. (ihm-Inovasi)
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia