Inovasi-Vol12-Nov2008

Page 1

Vol .12/XX/Nove mbe r2008

Pe manas anGl ob al : Se b uahT ant anganYangT akT e r he nt i kan?


Majalah INOVASI ISSN: 0917-8376 Volume 12/XX/NOVEMBER 2008 No. Hal EDITORIAL Pemanasan Global: Sebuah Ancaman Yang Tak Terhentikan? 1

1

TOPIK UTAMA 1. 2. 3. 4.

Membangun Kerangka Hukum Mengenai Pencegahan Pemanasan Global di Daerah Energi Dan Lingkungan: Sebuah Keterkaitan Erat Marginal Cost of Abatement (MCA) and Marginal Benefit of Abatement (MBA) of Greenhouse-Gas Emission Reduction in United States Melongok Olimpiade Hijau di Beijing

4 8 12 15

IPTEK 1.

Catatan Kecil Mengenai Pengolahan Limbah Dengan Menggunakan Sinar Matahari

KESEHATAN Studi Mikroanatomi dan CT Scan Pada Foramen Jugularis Untuk Bedah Saraf 1. Benarkah Diet Golongan Darah Bermanfaat? 2.

17

21 27

NASIONAL 1. 2.

Strategi Pemeliharaan Batas Wilayah Melalui Penguatan Pengelolaan Tata ruang PulauPulau Kecil Terluar Pemilu 2009: Akhir Masa Transisi?

30 40

HUMANIORA 1.

Pariwisata Yang Bertanggung Jawab: Beberapa Gagasan Penerapannya di Keseharian Kita

Tim Redaksi Inovasi Guidelines Penulisan Naskah untuk Inovasi Online

42

45 46


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

EDITORIAL Pemanasan Global: Sebuah Ancaman Yang Tidak Terhentikan? Bambang Widyantoro Redaktur Inovasi E-mail: bambang.widyantoro@gmail.com

“How can I look at my grandchildren in their eyes, and tell them that I knew it but never do anything….” [Sir David Attenborough, British Naturalist] Di penghujung abad ke-19, para ilmuwan mulai menyadari bahwa beberapa gas di atmosfer menyebabkan efek Gas Rumah Kaca (GRK), yang mempengaruhi temperatur bumi. Adalah Svante Arrhenius, peraih Nobel Kimia tahun 1903 yang pertama kali memperkirakan bahwa emisi gas karbon dioksida yang dihasilkan manusia suatu saat akan menyebabkan 1 pemanasan global. Ia mungkin tidak pernah menyangka bahwa lebih dari 10 dekade kemudian prediksinya begitu serupa dengan data yang dilaporkan oleh IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), bahwa temperatur permukaan bumi meningkat rata-rata sebesar 0.74 ± 0.18°C (1.33 ± 0.32°F) dalam kurun 100 tahun hingga 2005, dan diproyeksikan terus meningkat 1.4 – 5.8°C pada tahun 2100. IPCC menyimpulkan bahwa hal ini “kemungkinan besar” 2 disebabkan oleh peningkatan konsentrasi emisi gas buatan manusia. Seperti kita ketahui bersama, lembaga ini kemudian dianugerahi hadiah Nobel Perdamaian bersama dengan Albert Arnold (Al) Gore Jr., tepat setahun yang lalu, atas kontribusinya dalam menyebarluaskan informasi dan menginisiasi berbagai upaya penanggulangan pemanasan global. Sejauh apakah realita ancaman pemanasan global yang kita hadapi saat ini? Mari kita tengok sejenak beberapa fenomena berikut. Data IPCC tentang kenaikan temperatur bumi rata-rata yang “hanya” kurang dari 1°C janganlah membuat kita terlena, karena kisaran kenaikan temperatur sesungguhnya bisa dari 0.5°C di ekuator (yang mungkin tidak terasa perbedaannya) hingga 12°C di artik yang menyebabkan mencairnya es di kutub utara (Gb. 1), dan 3 meningkatnya permukaan air laut.

Gambar 1. Mencairnya Es di Kutub Utara (Sumber: http://www.nature.org/initiatives/climatechange/issues/art19620.html)

Al Gore mendokumentasikan dengan jelas dalam bukunya, betapa area di Puncak Kilimanjaro yang dahulu tertutup salju kini kian menyusut, juga menghilangnya dataran lapisan es (glacier) di berbagai belahan bumi dari Alpen di Eropa sampai Patagonia di Argentina, seiring dengan tercatatnya tahun 2005 sebagai tahun dengan temperatur tertinggi yang terjadi pada lebih dari 200 kota di dunia. Rekor baru juga tercatat, ketika 10 episode angin puting beliung hebat 4 melanda Jepang pada tahun 2004, sebagai yang terbanyak dalam sejarah negeri sakura itu. Di

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

1


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

sisi lain, Monnin dkk dalam publikasinya di Jurnal Science mencatat kenaikan konsentrasi CO2 di atmosfer sebesar lebih dari 76 part per million (ppm) menjadi lebih dari 300 ppm sejak pra hingga pasca era industri, serta mengindikasikan adanya korelasi erat antara peningkatan 5 konsentrasi CO2 dengan kenaikan temperatur bumi. Amerika Serikat, negara pengkonsumsi energi terbesar, menghasilkan lebih dari 30% emisi gas CO2 dunia, melebihi total emisi yang dihasilkan oleh gabungan Cina, India, Jepang dan seluruh negara-negara di Asia, Afrika, 4, 6 Amerika Selatan dan Australia (Gb. 2).

Gambar 2. Regio Penghasil Emisi CO2 (Sumber: http://cdiac.ornl.gov/)

Kini, saat penggunaan ilmu dan teknologi makin berkembang dalam mendokumentasikan fenomena perubahan alam serta mencari penyebabnya secara akurat, rasionalkah kiranya ketika beberapa ilmuwan secara individu masih skeptis dan menyanggah fakta pemanasan global akibat emisi gas buatan manusia (human-made global warming), dengan argumen bahwa ini terjadi akibat faktor alamiah/natural semata? Lalu masih ada pula yang menyoroti ancaman pemanasan global ini sebagai isu yang terlalu berlebihan dan lebih banyak mengandung unsur politis dan ekonomi, berkaitan dengan konsekuensi keharusan untuk mencari potensi energi baru, kekhawatiran akan efek ketidakstabilan ekonomi di negara maju 7 dan tendensi pemerataan kekuatan ekonomi ke negara-negara dunia ketiga. Memang benar bahwa kenaikan konsentrasi CO2 dan GRK lain di atmosfer dapat terjadi secara alamiah, misalnya dari erupsi gunung berapi yang melepaskan sekitar 130-200 juta ton CO2 per tahun. Namun pada kenyataannya, pasca revolusi industri emisi CO2 yang dihasilkan manusia mencapai 27-30 milyar ton per tahun, lebih dari 130 kali lipat dibandingkan emisi dari gunung 8 berapi. Selain itu, saat ini lebih dari 30 institusi sains internasional telah sepakat dengan konsensus pemanasan global akibat emisi gas buatan manusia serta meyakini dampaknya terhadap perubahan iklim yang mengancam masa depan bumi. Berbagai realita ini menunjukkan bahwa sudah saatnya kita meninggalkan perdebatan politik soal nyata-tidaknya pemanasan global akibat emisi gas buatan manusia, dan beralih pada langkah apa yang harus dilakukan bersama untuk mengatasinya. Upaya apa yang dapat dilakukan? Secara formal, lebih dari 180 negara telah meratifikasi Protokol Kyoto dalam upaya menurunkan produksi GRK sebesar 5.2% (dari produksi tahun 1990) pada tahun 2012 mendatang, termasuk Australia yang akhirnya menyerahkan dokumen persetujuan pada UN Climate Change Conference di Bali akhir tahun lalu, meninggalkan 9 Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara yang belum meratifikasi. Alternatif sumber energi baru pengganti minyak bumi dengan emisi CO2 rendah harus terus dikembangkan, seperti 10 tenaga nuklir, hydropower, biomass, angin dan geothermal. Anggapan bahwa negara industri maju harus selalu memilih antara ekonomi dan lingkungan sudah saatnya ditinggalkan, karena dengan analisis ekonomi yang cermat, investasi penggunaan teknologi ramah lingkungan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

2


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

sesungguhnya akan berjalan linier dengan keuntungan yang optimal, seperti dikemukakan oleh 4 Jeffrey Immelt, chairman dan CEO General Electric. Bagaimana dengan negara kita Indonesia, penghasil emisi GRK terbanyak ke-4 di Asia setelah Cina, India dan Jepang? Indartono dan Rudy secara terpisah dalam tulisan mereka di Inovasi edisi kali ini menyoroti kesungguhan Indonesia dalam upaya mengurangi ketergantungan terhadap sumber energi fosil dengan Kebijakan Energi Nasional, meski harus diakui belum 11, 12 didukung oleh perangkat hukum lokal yang mengikat daerah di era desentralisasi. Terbentuknya Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang dipimpin langsung oleh Presiden RI pada bulan Juli lalu diharapkan juga dapat mewujudkan komitmen pemerintah dalam 13 menangani masalah ini. Secara individu, kita pun dapat berpartisipasi, mengikuti slogan “consume less, conserve more�. Mari kita mulai dari rumah, dengan berhemat energi, memilih produk daur ulang, mengurangi mileage kendaraan pribadi dan beralih pada transportasi publik, serta berbagai upaya sederhana lain. Pada akhirnya, bila semua pihak melanjutkan komitmen untuk mengurangi emisi GRK buatan manusia, rasanya cukup besar harapan untuk dapat menepis anggapan bahwa pemanasan global adalah ancaman yang tidak terhentikan. Dan di masa depan nanti, semoga anak-cucu kita tetap akan dapat menikmati indahnya planet ini, tanpa harus membuat peta dunia baru, yang berubah akibat pemanasan global dan perubahan iklim yang tak teratasi. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Weart SR. The Discovery of Global Warming. Harvard University Press, 2004. IPCC. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. http://www.nature.org/initiatives/climatechange/issues/art19620.html Accessed on Nov 29, 2008. Gore A. An Inconvinient Truth. Rodale Books, New York, 2006. Monnin E, Indermuhle A, et.al. Atmospheric CO2 Concentrations over the Last Glacial Termination. Science 200;291(5501): h. 112-4. http://cdiac.ornl.gov/ Accessed on Nov 29, 2008.

7. Schrope M. Concensus Science, or Concencus Politics. Nature 2001;412: h. 112-4. 8.

9. 10. 11. 12. 13.

Gerlach, TM, McGee, KA, et.al. Carbon dioxide emission rate of Kilauea Volcano: Implications for primary magma and the summit reservoir. Journal of Geophysical Research, 2002;107 (B9): h. 2189-90. Kyoto Protocol. Status of Ratification. Updated 2008. http://unfccc.int/files/kyoto_protocol/ status_of_ratification/application/pdf/kp_ratification.pdf Accessed on Nov 29, 2008. Schiermeier Q, Tollefson J, et.al. Electricity without carbon. Nature 2008;454 (7206):h. 816-23. Indartono Y. Energi dan Lingkungan: Sebuah Keterkaitan Erat. Inovasi 2008;12(20): h. 8-11. Rudy. Membangun Kerangka Hukum Mengenai Pencegahan Pemanasan Global di Daerah. Inovasi 2008;12(20): h. 4-7. http://www.antara.co.id/arc/2008/7/11/disahkan-dewan-nasional-perubahan-iklim/ Accessed on Nov 30, 2008.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

3


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

UTAMA Membangun Kerangka Hukum Mengenai Pencegahan Pemanasan Global di Daerah Rudy Pusat Kajian Konstitusi dan Peraturan Perundang-Undangan Fakultas Hukum Universitas Lampung Department of Institutional Law Building, GSICS Kobe University Email: rechtboy@yahoo.com

1. Pendahuluan Pemanasan global yang disebabkan oleh emisi gas penyebab efek rumah kaca adalah suatu keniscayaan. Industrialisasi dan pembangunan di seluruh dunia sedikit banyak ikut andil dalam penciptaan pemanasan global. Meskipun tidak sedikit juga upaya untuk menekan atau mencegah peningkatan pemanasan global, baik di level internasional, nasional, maupun konteks lokal. Dalam upaya pencegahan pemanasan global ini pun, banyak sekali terdapat pandangan mengenai cara terbaik untuk mencegah bahkan menguranginya. Salah satunya adalah pihak yang memegang teguh prinsip modernisasi yang menyatakan bahwa pencegahan pemanasan global harus dilaksanakan melalui cara modernisasi dan teknologi. Kelompok ini mempercayai bahwa teknologi dapat mencegah terjadinya pemanasan global. Di lain pihak terdapat juga kelompok radikal yang menyuarakan keinginan kembali ke alam untuk menyelamatkan bumi [1]. Dari aspek hukum internasional, kerangka hukum mengenai pemanasan global ditandai dengan adanya UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Tahun 1992 atau lebih dikenal dengan Deklarasi Rio [2] yang kemudian dilanjutkan dengan diadakannya Conference of Parties to UNFCCC yang kemudian menghasilkan Kyoto Protocol yang cukup fenomenal [3]. Meskipun dalam beberapa hal Kyoto Protocol mempunyai beberapa kekurangan, kesepakatan ini paling tidak telah memberikan suatu instrumen hukum yang bersifat internasional dalam upaya pencegahan pemanasan global. Pada tahun 2007 bertempat di Nusa Dua Bali, Indonesia menjadi tuan rumah UNFCCC Tahun 2007 sebagai tindak lanjut dari implementasi Kyoto Protocol. Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah kerangka hukum internasional tersebut telah cukup memberikan suatu kerangka hukum yang menyeluruh bagi pencegahan pemanasan global? Jawabannya sangat sederhana, yaitu tidak, karena kerangka hukum nasional bahkan lokal sangat dibutuhkan dalam usaha pencegahan pemanasan global. Hal ini tidak lain karena adanya keragaman sosial dan sistem hukum di antara negara-negara di dunia. Bahkan di tengah-tengah globalisasi ekonomi yang terkadang melewati batas negara, tiap negara mempunyai keragaman dalam banyak hal misalnya sejarah, budaya, pertumbuhan ekonomi, sistem pemerintahan dan lainnya. Keragaman ini mempunyai implikasi yang besar terhadap pengaturan tentang lingkungan khususnya pencegahan terhadap pemanasan global. Dengan demikian, tiap-tiap negara dapat saja mempunyai pilihan-pilihan yang berbeda dalam hal seberapa jauh pencegahan pemanasan global dilakukan dan sebarapa jauh kerangka hukum di suatu negara dibangun dalam rangka pencegahan pemanasan global. Hal ini tentunya didasarkan pada norma hukum yang ada di negara tersebut, konsep mengenai efisiensi dan keadilan, serta pengalaman suatu negara dalam pengaturan suatu kerangka hukum [4]. Dengan demikian pembangunan institusi hukum pada level nasional bahkan lokal sangat penting dalam upaya pencegahan pemanasan global. 2. Kerangka Hukum Nasional Komitmen Indonesia dalam hal pencegahan pemanasan global tidak diragukan lagi. Selain telah sukses menjadi tuan rumah UNFCCC Tahun 2007 di Nusa Dua Bali, komitmen Indonesia

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

4


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

didukung oleh Pernyataan Presiden SBY saat membuka pertemuan informal tingkat menteri untuk persiapan Konferensi Internasional Pencegahan Perubahan Iklim di Istana Kepresidenan Bogor mengenai pentingnya aksi global dalam pencegahan pemanasan global dan menyelamatkan bumi dan agar semua negara tidak perlu menunggu sampai pemanasan global terjadi untuk melakukan aksi bersama [5]. Pernyataan ini merupakan suatu pernyataan yang menggambarkan politik hukum Indonesia dalam upaya pencegahan pemanasan global. Sementara itu perlu digarisbawahi bahwa terlepas dari tekanan yang kuat dari dunia internasional kepada setiap negara untuk melakukan upaya pencegahan pemanasan global, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia, tiap-tiap negara mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu pula, pencegahan pemanasan global harus memperhatikan aspek-aspek yang unik ini. Aspek-aspek yang khusus inilah yang harus dijadikan batu pijakan dalam pengambilan kebijakan dan pembagunan institusi hukum yang menunjang kebijakan tersebut. Dalam hal ini, Indonesia dengan anugerah Yang Maha Esa telah diberikan kekhasan yang jarang ada di negara lain, misalnya hutan yang sangat luas yang dipercaya merupakan paru-paru dunia. Kekhasan inilah yang kemudian harus dipertimbangkan dalam pembangunan institusi hukum mengenai pencegahan pemanasan global di Indonesia. Sampai saat ini Indonesia telah meletakkan beberapa institusi hukum yang terkait dengan pemanasan global seperti misalnya UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, UU No. 30 tahun 2007 tentang Energi, UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 2007 tentang Panas Bumi, Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 2007 tentang Perubahan Atas PP No. 35 tahun 2002 tentang Dana Reboisasi, PP No. 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan, terakhir yang terbaru adalah UU No. 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Banyaknya peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pencegahan pemanasan global yang telah ditetapkan sejalan dengan komitmen Indonesia dalam upaya pencegahan pemanasan global. Namun demikian, permasalahan yang kemudian terjadi dalam pembangunan hukum di Indonesia adalah ketidakseimbangan antara perhatian pada pembangunan institusi hukum nasional dan pembangunan institusi hukum daerah. Saat ini pembangunan institusi hukum di Indonesia bernuansa sangat nasional dengan beranggapan bahwa institusi hukum di daerah akan serta merta mengikuti institusi hukum nasional. Pertanyaan besar yang kemudian muncul dari kondisi demikian adalah, apakah secara kenyataan institusi hukum di daerah serta merta mengikuti pola pembangunan institusi hukum nasional terutama dalam hal pencegahan pemanasan global? 3. Pembangunan Institusi Hukum di Daerah Negara merupakan sebuah tatanan hukum. Unsur-unsur negara yang mencakup wilayah dan rakyat merupakan bidang validitas teritorial dan personal dari tatanan hukum tersebut. Dalam hal ini sentralisasi dan desentralisasi harus dipahami sebagai dua tipe tatanan hukum. Perbedaan antara negara yang sentralistis dengan desentralistis berimbas kepada perbedaan di dalam tatanan hukumnya. Konsepsi tentang tatanan hukum sentralistis mengandung arti bahwa semua norma berlaku bagi seluruh teritorial yang diliputinya; ini berarti bahwa semua norma memiliki bidang validitas teritorial yang sama. Di pihak lain, tatanan hukum desentralistis terdiri atas norma-norma yang memiliki validitas teritorial yang berbeda. Sejumlah normanya berlaku untuk seluruh teritorial sedangkan sejumlah norma yang lain berlaku hanya untuk bagian-bagian teritorial yang berbeda [6]. Norma-norma yang berlaku bagi seluruh teritorial disebut sebagai norma-norma pusat, sedangkan norma-norma yang berlaku bagi sebagian teritorial disebut norma daerah. Normanorma daerah ini kemudian dilembagakan dalam suatu produk hukum daerah yang salah satunya adalah Perda. Perda merupakan instrumen pemerintah daerah untuk menjabarkan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sesuai dengan kondisi faktual demografi, geografi, dan geo-sosial ekonomi masing-masing daerah ke dalam suatu sistem hukum. Dalam

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

5


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

perda akan tergambar politik hukum pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan daerahnya. Tabel 1. Perda Berdasarkan Kategori

NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Kategori Agama Akses terhadap Hukum dan Hukum Adat Investasi Asing Anak Perempuan Kesehatan dan Jaminan Sosial Pendidikan Pengaturan Kemasyarakatan Perencanaan Pembangunan Struktur Pemerintahan Kecamatan dan Desa Tanah, Lingkungan, dan Sumber Daya Alam Perburuhan dan Buruh Migran Usaha dan Investasi Lokal Isu-isu yang lain

Jumlah Perda 1 19 0 1 6 80 16 87 338 193 244 24 292 593

(Sumber: http://www.Perdaonline.org)

Bila dilihat dari konfigurasi jumlah Perda berdasarkan kategori, jelas bahwa isu-isu yang diangkat dan jenis Perda yang dikeluarkan lebih banyak berkutat pada masalah kelembagaan atau institusi pemerintahan dan daerah serta keuangan khususnya pajak dan retribusi daerah. Desentralisasi kemudian diartikan sebagai kesempatan untuk memperkaya daerah masingmasing dengan meningkatkan pundi-pundi PAD masing-masing dengan berbagai macam cara yang dilegalkan: pajak, retribusi, pengerukan kekayaan sumber daya alam (SDA). Dalam hubungannya dengan pencegahan pemanasan global, kategori Perda yang sangat terkait adalah Perda yang mengatur mengenai SDA. Perda dalam kategori ini menjadi salah satu primadona dalam implementasi otonomi daerah. Faktor pemikat untuk mengatur SDA karena menganggap sumber daya tersebut bersifat given dan mudah mendatangkan keuntungan tanpa perlu melakukan investasi dahulu, cukup dengan format izin. Dalam hal ini, pembangunan institusi hukum yang dilakukan di daerah lebih menitikberatkan pada aspek pemanfaatan dan bukan pada aspek pemeliharaan dan perlindungan. Bagaimanapun juga sektor SDA, misalnya hutan, berkait erat dengan daya dukung lingkungan dan kemampuan untuk mencegah pemanasan global. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa lembaga-lembaga pembuat perundang-undangan (law making institutions) di daerah telah gagal menyusun berbagai perundang-undangan transisional yang dapat berlaku secara efektif untuk mendorong terciptanya sebuah tata pemerintahan yang baik dan penegakan hukum. Sebaik-baiknya instrumen hukum internasional dan hukum nasional dibangun guna pencegahan pemanasan global, dengan ketiadaan gerak sinergis pembangunan institusi hukum di daerah dapat mengakibatkan upaya pemerintah untuk mengatasi berbagai persoalan khususnya dalam hal ini pemanasan global dapat saja tidak membuahkan hasil. Oleh karena itu, perhatian yang khusus perlu diberikan terhadap pembangunan institusi hukum mengenai pencegahan pemanasan global di daerah. Di beberapa daerah pada tahun-tahun belakangan ini, sedikit banyak terdapat inisiatif lokal untuk membangun institusi hukum yang lebih bergigi, salah satu contohnya adalah Perda Kabupaten Lampung Barat No. 18 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Berbasis Masyarakat. Melalui Perda ini diatur secara komprehensif upaya terpadu untuk mengelola sumber daya alam dan lingkungan hidup yang menjadi kewenangan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

6


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

daerah yang meliputi proses perencanaan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan dan pengendalian sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kedua, Perda Kabupaten Lampung Timur No. 3 Tahun 2002 tentang Rehabilitasi Pesisir, Pantai dan Laut Dalam Wilayah Kabupaten Lampung Timur. Sehubungan dengan pembangunan institusi hukum di daerah, maka regulasi daerah yang bertujuan melindungi (konservasi) SDA sangat dibutuhkan. Diharapkan pada tahun-tahun mendatang, pembentukan peraturan daerah yang khusus mengatur mengenai pencegahan pemanasan global dapat terwujud. Sementara itu, pembangunan institusi hukum di daerah khususnya yang terkait dengan pencegahan pemanasan global haruslah didasarkan pada sebuah perencanaan yang matang dan sebaiknya diletakkan dalam kesatuan sistem pembentukan Program Legislasi Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 Pasal 15 (2) yang menyatakan bahwa “Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam suatu Program Legislasi Daerah”. Program Legislasi Daerah yang selanjutnya disebut Prolegda adalah instrumen perencanaan pembentukan produk hukum daerah yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis. Tujuan penting keberadaan Prolegda adalah adanya skala prioritas Perda sesuai dengan perkembangan kebutuhan hukum di daerah serta menjaga agar produk Perda tetap berada dalam kesatuan sistem hukum nasional. Namun demikian, amat disayangkan praktik penyusunan program legislasi daerah ini tidak dilakukan oleh setiap daerah sehingga pembangunan institusi hukum di daerah kadang tidak sistematis dan tidak sesuai dengan program yang direncanakan. Alangkah baiknya jika pembangunan institusi hukum mengenai pencegahan pemanasan global diletakkan dalam suatu kerangka penyusunan program legislasi daerah sehingga harmonisasi dan keteraturan institusi hukum di daerah dapat terjaga. 4. Kesimpulan Dari perspektif hukum, pencegahan pemanasan global harus mengedepankan aspek sinergitas dari institusi hukum internasional, institusi hukum nasional, dan institusi hukum di daerah. Dalam hal ini, komitmen Indonesia terhadap pencegahan pemanasan global tidak hanya dilakukan dengan meratifikasi instrumen hukum internasional, namun juga harus diikuti oleh pembangunan institusi hukum nasional, dan lebih penting lagi adalah pembangunan institusi hukum di daerah. Bukankah “the advance guard in the frontier” dalam rangka pencegahan pemanasan global adalah pemerintahan daerah di era desentralisasi ini? 5. Daftar Pustaka 1.

Coglianese, Cary. Social Movements, Law, and Society: The Institutionalization of the Environmental Movement. University of Pennsylvania Law Review, Vol. 150, No. 1 (Nov., 2001), pp. 85-118.

2.

Stone, Christopher D. Beyond Rio: "Insuring" Against Global Warming. The American Journal of International Law, Vol. 86, No. 3 (Jul., 1992), pp. 445-488.

3.

Davies, Peter G. G. Global Warming and the Kyoto Protocol. The International and Comparative Law Quarterly, Vol. 47, No. 2 (Apr., 1998), pp. 446.

4.

Wiener, Jonathan Baert. Global Environmental Regulation: Instrument Choice in Legal Context. The Yale Law Journal, Vol. 108, No. 4 (Jan., 1999), pp. 677-800

5.

Keharusan Negara Maju Atasi Perubahan Iklim. Antara News tanggal 24 Oktober 2007 at: http://www.antara.co.id/arc/2007/10/24/keharusan-negara-maju-atasi-perubahan-iklim/

6.

Kelsen, Hans. 2006. Teori Umum tentang Hukum dan Negara. Bandung: Nusamedia & Nuansa.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

7


INOVASI Vol.12/XX/November 2008

UTAMA Energi Dan Lingkungan: Sebuah Keterkaitan Erat Yuli Setyo Indartono Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut Teknologi Bandung E-mail: indartono@termo.pauir.itb.ac.id

1. Komposisi Energi Dunia Energi merupakan salah satu tulang punggung utama jalannya peradaban. Kemajuan suatu bangsa membutuhkan dukungan ketersediaan energi. Sebagai contoh, pada tahun 2006, negara maju seperti Amerika mengkonsumsi 21,4% energi dunia, sedangkan Cina yang dianggap sebagai kekuatan industri baru mengkonsumsi 15,6% energi dunia [BP, 2008]. Peningkatan kebutuhan energi di satu sisi serta ketidakstabilan harga dan pasokan energi konvensional di sisi lain, memunculkan isu keamanan energi (energy security) di berbagai negara di dunia. Kesadaran mengenai dampak negatif penggunaan sumber energi fosil terhadap lingkungan, khususnya atmosfer bumi, memunculkan berbagai upaya untuk meningkatkan penggunaan sumber energi baru dan terbarukan yang rendah emisi CO2 nya atau penggunaan bahan bakar fosil yang disertai upaya untuk mengeliminasi/meminimalkan emisi GRK (Gas Rumah Kaca) ke atmosfer, seperti Carbon Capture and Storage (CCS). Dengan demikian, di samping bermasalah dengan dirinya sendiri (ketidakstabilan harga dan pasokan), penggunaan bahan bakar fosil secara konvensional juga menimbulkan permasalahan lingkungan hidup. Bertambahnya jumlah penduduk, kemajuan teknologi, dan peningkatan perekonomian menyebabkan peningkatan konsumsi energi dunia. International Energy Agency (IEA, 2007) melaporkan peningkatan konsumsi energi dunia hampir dua kali lipat dari 6.128 Mtoe pada tahun 1973 hingga 11.435 Mtoe pada tahun 2005. Meski bila dilihat sisi jumlah, penggunaan bahan bakar fosil semakin meningkat, namun akibat masalah ketersediaan dan harga yang fluktuatif, persentase penggunaan minyak bumi mengalami penurunan; dari 46,2% pada tahun 1973 menjadi 35% pada tahun 2005. Penurunan persentase penggunaan minyak bumi tersebut dikompensasi oleh kenaikan penggunaan gas (16% menjadi 20,7%) dan batubara (24,4% menjadi 25,3%), serta sumber energi nuklir (0,9% menjadi 6,3%). Selama kurun waktu yang sama, penggunaan sumber energi air mengalami peningkatan dari 1,8% menjadi 2,2%, sedangkan sumber-sumber energi yang lain seperti surya, panas bumi, dan angin mengalami peningkatan dari 0,1% menjadi 0,5%. Selain itu, pembakaran biomassa dan sampah menyumbang suplai energi sekitar 10%. Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa peradaban dunia saat ini masih sangat ditopang oleh bahan bakar fosil. Seperti halnya komposisi energi dunia, Indonesia juga masih bertumpu pada minyak bumi untuk pemenuhan kebutuhan energinya; bahkan dengan persentase yang lebih tinggi (54,4% dari total energi [DESDM, 2005]). Namun kesadaran kolektif bangsa Indonesia terkait permasalahan pada minyak bumi, yakni penurunan tingkat produksi domestik (kurang dari 1 juta barel per-hari), cadangan yang tidak besar (sekitar 24 tahun pada tahun 2007), serta ketidakstabilan harga minyak dunia menumbuhkan keinginan bangsa ini untuk mengurangi ketergantungannya terhadap minyak bumi. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 5 tahun 2005 tentang Kebijakan Energi Nasional. Dalam peraturan tersebut, pada tahun 2025 konsumsi minyak bumi diharapkan turun menjadi 20%, gas alam naik menjadi 30%, batubara naik menjadi 33%, sedangkan energi baru dan terbarukan naik menjadi 17%. Target capaian energi terbarukan pada perpres tersebut (yakni 15%) cukup maju dibandingkan dengan negara tetangga seperti Australia yang hanya 6% pada tahun 2029-2030 [Australia’s Energy Outlook, 2006], sedangkan India mentargetkan kontribusi tenaga air dan nuklir sebesar 11,8% pada tahun 2031-2032 [WEC, 2006]. Guna mencapai target penggunaan energi terbarukan tersebut, baru-baru ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral telah mengeluarkan Peraturan Menteri

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

8


INOVASI Vol.12/XX/November 2008

ESDM Nomor 32 Tahun 2008 yang mewajibkan berbagai sektor pengguna energi untuk menggunakan Bahan Bakar Nabati (BBN) dengan persentase dan pentahapan tertentu. 2.

Energi dan Perubahan Iklim

Telah umum diketahui bahwa CO2 merupakan GRK (Gas Rumah Kaca) utama yang memerangkap panas di lapisan atmosfer bagian bawah (troposfer) dan selanjutnya menghangatkan permukaan bumi. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) dalam laporannya (assessment report) yang ke-4 melaporkan bahwa konsentrasi CO2 di atmosfer telah mencapai 379 ppm; melebihi rentang normal antara 180-300 ppm yang bertahan selama 650.000 tahun terakhir. Akibatnya, dari hasil pencatatan diketahui bahwa rata-rata temperatur o bumi telah mengalami peningkatan sebesar 0,79 C dibandingkan dengan masa sebelum revolusi industri. Pemanasan global telah terjadi dan kait-mengkait dengan perubahan perilaku cuaca dan iklim bumi. Pencairan es di wilayah Kutub Utara dan sekitarnya (termasuk Greenland) menjadi bukti telah terjadinya pemanasan global. Sektor energi memegang peran dominan dalam masalah pemanasan global, karena 56,6% emisi CO2 dunia dihasilkan dari sektor energi [IPCC, 2007]. Dari sektor energi, kontribusi Indonesia terhadap emisi CO2 dunia sekitar 1,26%; jauh dibawah Amerika yang berkontribusi sebesar 21,4% [IEA, 2007]. Namun di sisi lain, sebagai negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 81.000 km [KLH, 2007], Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat rentan terhadap dampak pemanasan global dan perubahan iklim. Bakosurtanal (Badan Koordinasi Survai dan Pemetaan Nasional) mencatat kenaikan permukaan air laut di beberapa wilayah di tanah air sebesar 8 mm per-tahun [KLH, 2007]; melebihi rata-rata dunia yang mencapai 1,8 mm per-tahun [IPCC, 2007]. Perubahan intensitas hujan dan panjang musim hujan serta kemarau ditengarai berbagai pihak sebagai dampak nyata telah terjadinya perubahan iklim di tanah air. Oleh karena itu, Indonesia sangat berkepentingan dengan upaya kolektif masyarakat internasional dalam mencegah perubahan iklim yang lebih tidak bersahabat. 3.

Sumber dan Teknologi Energi Ramah Lingkungan

Pengurangan penggunaan sumber energi fosil secara konvensional adalah konsekuensi logis penurunan emisi Gas Rumah Kaca. Meski demikian, terlanjur tingginya ketergantungan teknologi terhadap bahan bakar fosil, ditambah masih belum kompetitifnya harga sumber energi terbarukan, menyulitkan berbagai negara, terutama negara dengan kemampuan finansial dan teknologi terbatas (seperti Indonesia), untuk menyatakan sayonara kepada sumber energi fosil. Beberapa skenario yang kemudian dipilih adalah penetrasi bertahap penggunaan sumber energi yang mengemisikan CO2 neto yang rendah, terutama yang berasal dari sumber energi baru dan terbarukan, peningkatan efisiensi energi, dan implementasi teknologi untuk menangkap dan menyimpan CO2 di dalam lapisan bumi (Carbon Capture and Storage - CCS). Di bawah ini akan diuraikan kondisi energi di berbagai sektor pengguna energi di Indonesia, serta usulan strategi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan energi dengan dampak lingkungan seminimal mungkin. 3.1.

Transportasi

Sektor transportasi merupakan salah satu sarana vital yang memiliki multiplyer effect ke berbagai sektor lain. Celakanya, sumber energi di sektor ini hampir belum terdiversifikasi sama sekali. 99,96% sumber energi yang digunakan di sektor transportasi adalah Bahan Bakar Minyak (BBM) [Ariati, 2008]. Praktis, sektor inilah yang biasanya paling terpukul manakala terjadi krisis minyak dunia; dan hal ini bukan sekali ini saja terjadi. Cita-cita luhur Pemerintah untuk meningkatkan penggunaan BBN (Bahan Bakar Nabati) sebagai pengganti BBM masih terseok-seok. Kenyataannya, capaian produksi BBN (biodiesel dan bioethanol) kurang dari 10% dibandingkan dengan target tahunan Tim Nasional BBN. Salah satu kendala seriusnya, pemerintah tidak melakukan intervensi terhadap BBN sebagaimana intervensi yang diberikan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

9


INOVASI Vol.12/XX/November 2008

kepada BBM. Padahal ditinjau dari segi lingkungan hidup, berbagai hasil riset menyatakan bahwa secara keseluruhan BBN lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan BBM (meski ada pihak-pihak yang masih mempersoalkan “kehijauan� BBN). Dan yang jelas, BBN bisa berperan dalam mengurangi ketergantungan impor energi. Dari data neraca energi nasional, gas alam merupakan sumber energi yang paling siap menggantikan posisi BBM di sektor transportasi. Ditilik dari isu pemanasan global, penggunaan gas alam lebih bersahabat dengan atmosfer karena memiliki tingkat emisi CO2 yang lebih rendah dibandingkan BBM. Apalagi mengingat cadangan minyak Indonesia tidaklah besar; terbatas sampai tahun 2022 (versi Blue Print Pengelolaan Energi Nasional) dan 2017 (versi British Petroleum). Pembangunan SPBBG (Stasiun Pengisian Bahan Bajar Gas) di berbagai wilayah dan kerjasama dengan produsen kendaraan bermotor perlu segera dilakukan guna memuluskan penggunan BBG pada kendaraan bermotor. Bila memungkinkan, re-negosiasi kontrak-kontrak gas dengan asing perlu dilakukan guna mencukupi pasokan energi jangka pendek. Dalam jangka panjang, perlu kebijakan untuk mengalokasikan produksi gas baru guna mencukupi kebutuhan dalam negeri. Lebih penting dari itu, pembangunan transportasi massal yang baik adalah hal yang tidak bisa ditawar dan ditunda lagi; baik bagi kota yang sudah terlanjur metropolis, maupun yang sedang beranjak besar. Penggunaan transportasi massal akan berdampak pada penurunan emisi GRK dari sektor transportasi secara signifikan. Cukuplah Jakarta yang menjadi pelajaran berharga bagi seluruh kota di tanah air; jangan tunggu menjadi serumit Jakarta untuk membangun transportasi massal yang baik. Jakarta sudah tak punya pilihan lain; data perkembangan jumlah kendaraan dan jalan menunjukkan bahwa tahun 2014 kemacetan total bisa terjadi di seluruh pelosok Jakarta bila tidak dilakukan pembatasan-pembatasan. 3.2. Industri Konsumsi energi final di sektor ini adalah yang tertinggi (dibandingkan dengan sektor transportasi, rumah tangga dan komersial). Kontribusi minyak bumi pada komposisi energi final sektor industri adalah sebesar 35,7%; lainnya disumbang oleh gas alam, batubara, LPG (Liquefied Petroleum Gas), dan listrik [Ariati, 2008]. Diversifikasi yang sudah berjalan di sektor industri ini perlu dipertahankan dan ditingkatkan; antara lain dengan meningkatkan penggunaan BBN (Bahan Bakar Nabati) guna lebih jauh menurunkan konsumsi minyak bumi. Selain diversifikasi energi, hal yang tidak kalah penting dilakukan di sektor industri adalah penghematan energi. Data dari Departemen Perindustrian menyatakan bahwa potensi penghematan energi di sektor ini rata-rata adalah sebesar 22% - suatu angka yang signifikan apabila bisa diwujudkan. 3.3 Rumah Tangga dan Komersial Dominasi BBM pada komposisi energi final di sektor ini cukup tinggi, yakni sebesar 60,2%. Sisanya disumbang oleh LPG 5,1% dan listrik 34,1% (sebagian kecil menggunakan batubara sebesar 0,5% dan gas alam 0,1%) [Ariati, 2008]. Seperti halnya di sektor yang lain, strategi pengamanan pasokan energi dan mitigasi terhadap perubahan iklim di sektor ini meliputi diversifikasi energi dan penghematan energi. Selain diversifikasi menggunakan gas alam, sumber energi non-fosil yang cocok untuk pemenuhan energi sektor rumah tangga dan komersial adalah sumber energi biomassa (biogas, waste to energy, dsb.). Sektor rumah tangga dan komersial bisa berperan besar dalam penghematan energi melalui penggunaan alat-alat hemat energi dan internalisasi budaya hemat energi sejak kanak-kanak. 3.4 Pembangkit Listrik Berbeda dengan ke-tiga sektor di atas, pembangkit energi mengkonsumsi energi primer untuk selanjutnya ditransformasikan menjadi energi final (listrik) yang antara lain dikonsumsi oleh

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

10


INOVASI Vol.12/XX/November 2008

sektor industri dan rumah tangga serta komersial. Diversifikasi energi di sektor ini cukup baik. BBM berkontribusi sebesar 26,2% dari pasokan energi primer; batubara mendominasi dengan 40,4%, sedangkan sisanya disumbang oleh tenaga air (13,3%), gas alam (11,2%), panas bumi (8,9%), dan biomassa (0,02%) [Ariati, 2008]. Maksimalisasi gas alam, tenaga panas bumi, dan biomassa (BBN dan limbah/sampah organik) akan semakin menurunkan peran BBM dalam pembangkitan listrik; yang berdampak pula pada penurunan emisi GRK. Peningkatan efisiensi pada pembangkit listrik bisa dilakukan, salah satunya melalui penerapan siklus kombinasi (combined cycle) antara PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) dan PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas). Pemanfaatan gas buang dari PLTG yang masih memiliki temperatur tinggi untuk menguapkan air di siklus PLTU akan menghasilkan efisiensi siklus gabungan yang sangat tinggi. Opsi lain untuk maksimalisasi energi PLTG adalah melaui kombinasi dengan siklus refrigerasi absorbsi. Teknik semacam ini telah diterapkan di Shinjuku Jepang; dari satu sumber energi (gas alam) dihasilkanlah listrik, air panas, dan air dingin untuk refrigerasi (pendingin dan pengkondisian udara). 4. Tantangan Besar Tidak dapat dipungkiri, keamanan energi (energy security) serta pemanasan global dan perubahan iklim adalah dua masalah besar umat manusia dewasa ini yang saling kait-mengkait satu sama lain. Keterkaitan tersebut menyebabkan penyelesaiannya tidak dapat dilakukan secara parsial; peningkatan suplai energi tidak boleh mengakibatkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer. Ini berarti, hanya sumber dan teknologi energi yang rendah emisi CO2 lah yang mampu mengurai permasalahan energi tersebut. Meskipun potensinya besar, pada umumnya kendala utama penggunaan sumber energi terbarukan adalah pada faktor biaya yang tidak kompetitif terhadap bahan bakar fosil. Tiga pilar pengembangan dan penggunaan sumber energi, yakni pemerintah-peneliti-dan masyarakat, harus berperan aktif guna meningkatkan penggunaan sumber dan teknologi energi yang ramah terhadap lingkungan. Pemerintah perlu mengeluarkan berbagai regulasi energi yang berpihak kepada lingkungan hidup, peneliti dituntut untuk melakukan inovasi agar sumber dan teknologi energi ramah lingkungan tersebut semakin terjangkau oleh masyarakat, dan masyarakat diharapkan memiliki kepedulian untuk turut menyelamatkan lingkungan hidup melalui upaya penghematan energi dan penggunaan energi yang ramah lingkungan. 5.

Daftar Pustaka

1. 2. 3.

BP Statistical Review of World Energy June 2007, http://www.bp.com/statisticalreview, 2008 International Energy Agency (IEA), Key World Energy Statisctic 2007, IEA, 2007 INTERGOVERNMENTAL PANEL ON CLIMATE CHANGE (IPCC), Climate Change 2007: The Physical Science Basis, IPCC, 2007 Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), Rencana Aksi Nasional untuk Mitigasi dan Adaptasi terhadap Perubahan Iklim, KLH, 2007 Ariati,R., NATIONAL ENERGY CONSERVATION PROGRAM IN INDONESIA, Presented at ASHRAE Indonesia Chapter Seminar “Through Energy Saving Measures to Achieve IAQ and Assuring Occupant Productivity�, Jakarta, 2008

4. 5.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

11


INOVASI Vol.12/XX/November 2008

UTAMA Marginal Cost of Abatement (MCA) and Marginal Benefit of Abatement (MBA) of the Greenhouse-Gas Emission Reduction in United States Ambiyah Abdullah Graduate School of International Development, Nagoya University Email: ambiyah2001@yahoo.com

1. Introduction Since global warming phenomena became hot topic in the world recently, United States (US) as one of great economies in the world is also trying to introduce proposals related to the reduction of greenhouse-gas emission as a part of actions for global warming. US President as mentioned in the article of “Bush Calls for Action on Greenhouse-Gas Emissions” published in the Wall Street Journal Online, April 17, 2008, has asked for reduction of usage on greenhouse emissions and supported the alternative ways to increase energy supply. The proposal to reduce global warming can be seen from two basic economic concepts namely demand and supply. On the demand side, reduction of global warming means there is decreasing in the quantity number of users by increasing the price of energy. How to increase the price of energy, suppose that consumer or user will economically reduce the quantity they consume? Here, it is the government contribution to act by implementing some policies such as imposing tax on the energy. On the supply side, it means that there is a need to increase the alternative energy, by conducting research on this. Since the increasing quantity supplied on the alternative energy takes time, government commonly implements the policy on demand side first by imposing tax, and simultaneously implements policy to support the research on the development of alternative energy. Furthermore, to get how much the optimum tax should be imposed, we need to analyze it using externality concept. This paper will focus on analyzing the impact of greenhouse-gas policy using the concept of marginal benefit and marginal cost, how much the quantity of used greenhouse energy should be reduced, and how much its optimum price should be. 2. Economic Analysis 2.1. Negative Externality Concept Negative externality occurs when certain goods is consumed or produced, it causes bad effects on the others, such as produce or consume greenhouse-gas emission will cause bad effects namely marginal social cost that must paid by society. In the case of greenhouse-gas emissions consumed, there is marginal social cost for society (MSC), because of consuming greenhousegas emission cause pollution. Negative externality occurs when the marginal social cost of consuming greenhouse-gas emission is larger than marginal benefit the society gets. As explained by the graph [Fig. 1], when the quantity consumed of greenhouse emission at Q2, there is deadweight loss because at point Q2, the MSC > MB. But, when the price increases, or price equals to marginal social cost, there will be decreasing of the quantity consumed at point Q1. It means that the MSC = MB. MSC P

MPC

D

Q

Q

Q2

Fig. 1. Source: Handout “Introductory Microeconomics with Policy and Business Application, Dr. Janet Gerson, pp: 39. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

12


INOVASI Vol.12/XX/November 2008

2.2. Marginal Cost of Abatement (MCA) and Marginal Benefit of Abatement (MBA) Based on the point 2.1., the optimum point is when the marginal social cost is equal to marginal benefit. Indeed, there is a need to decrease number of consumed by increasing price (demand side). Furthermore, in order to understand how much we should reduce the quantity and at the same time, how much we need to increase the price, the concept MCA and MBA is needed. The MCA is how much cost is needed to reduce the pollution level of consuming greenhousegas emissions. The less the pollution level, the higher cost of abatement will be. The MBA is how much the benefit society will get because of reduction or abatement of pollution level. The less pollution level is, the more the benefit society will get. The detail is shown in Fig. 2.

MBA

Cost MCA =MBA

MCA Quantity

Fig. 2. Source: Handout “Introductory Microeconomics with Policy and Business Application, Dr. Janet Gerson, pp: 45.

2.3. Analysis with MCA and MBA The next step is to combine the MCA and MBA in order to find how much the optimum cost or price should be imposed in order to decrease the pollution level. As mentioned at point 2.2., the optimum condition is at point when MCA and MBA are equal. The firms usually will choose the point when they spend less money but achieve the lower pollution level, which is at point Q1. But at the condition or point Q1, there is difference between MCA and MBA, whereas MBA is larger than MCA. But when Q1 moves to Q2, the MCA is equal to MBA, means that there is reduction on social damage, or increase marginal benefit because of pollution level reduction, and at the same time, there is also increased of marginal cost should be paid by firm to reduce the pollution level. At the point Q2, this is the optimum cost or price [Fig. 3].

Cost

Increase in MCA

MBA A MCA

B Quantity Q1

Q 2 Reduction in Social Cost

Fig. 3. Source: Handout “Introductory Microeconomics with Policy and Business Application, Dr. Janet Gerson, pp: 46.

Moreover, to get more accurate policy plan, we need to do further analysis by putting the optimum price resulted from combination between MCA and MBA into the tax framework. In other word, suppose that the new price of any kinds of greenhouse emission consumption will be at the optimum price, the difference between the initial price and the optimum price will be Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

13


INOVASI Vol.12/XX/November 2008

the tax. Furthermore, we also need to consider how is the impact of tax on greenhouse-gas emission on the consumer, producer, and national welfare as whole. 3. Limitation of analysis Due to limitation of data about the current cost of reduction, the current quantity of greenhousegas emission consumption, the current tax price, etc; this paper only analyzed the general framework. 4. References 1. Gerson, J. Introductory Microeconomics with Policy and Business Applications. Department of Economics, University of Michigan, 2008. 2. http://online.wsj.com/article_print/SB120836813617919991.html. Accessed on April 17, 2008.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

14


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

UTAMA Melongok Olimpiade Hijau di Beijing Asra Virgianita Meijigakuin University E-mail: asra_virgianita@yahoo.com

Olimpiade Beijing 2008 telah berakhir setelah dilaksanakan selama dua minggu, tanggal 8-24 Agustus 2008. Pelaksanaan upacara pembukaan dan penutupan Olimpiade Beijing ini sangat spektakuler, dengan menampilkan gabungan atraksi budaya dan teknologi, dan tentu saja sumber daya manusia yang cukup andal. Momen Olimpiade Beijing ini telah menjadi ajang pemerintah Cina sebagai tuan rumah untuk melakukan “show of force” kekuatan ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang mereka miliki. Yang menarik adalah, di antara berbagai kontroversi dan kecaman terhadap Pemerintah Cina dalam persoalan HAM di Tibet dan masalah lingkungan hidup akibat tingginya polusi udara di Cina, Pemerintah Cina berani menyodorkan konsep olimpiade hijau (Green Olympics), olimpiade masyarakat (People’s Olympics), dan olimpiade teknologi tinggi (Hi-tech Olympics) sebagai konsep Olimpiade Beijing 2008 ini. Untuk masalah lingkungan, walau sebelumnya berbagai media di dunia ramai membicarakan masalah tingginya polusi udara di Cina, kontroversi terhadap isu lingkungan ini mampu diatasi oleh Pemerintah Cina. Pemerintah Cina berhasil menampilkan Olimpiade Beiijing sebagai Olimpiade Hijau. Berdasarkan laporan Antara, untuk melakukan persiapan “Olimpiade Hijau”, Pemerintah Beijing telah melakukan 160 proyek penghijauan olimpiade pada 31 lapangan pertandingan dan 45 lapangan latihan. Selain itu, dilaporkan juga bahwa pada tahun 2001 hutan di kota Beijing rata-rata mencapai 50 persen, hutan di pegunungan rata-rata 70 persen, dan penghijauan di antara lima sungai dan sepuluh jalan raya total arealnya mencapai 23.000 hektar. Akan tetapi, jumlah penghijauan meningkat pada tahun 2007 dengan hutan kota rata-rata naik menjadi 51,6 persen, hutan di pegunungan rata-rata 70,49 persen, dan total areal penghijauan di antara lima sungai dan sepuluh jalan naik menjadi 25.000 hektar. Upaya penghijauan oleh Pemerintah Cina tidak hanya dilakukan oleh pemerintah sendiri, tapi masyarakat Cina pun, terutama kota Beijing, sangat antusias memberikan dukungannya. Tidak hanya itu, Pemerintah Beijing tercatat telah menyiapkan sekitar 40 juta pot tanaman beraneka warna untuk menghiasi sejumlah lapangan, taman, tepi jalan, pagar, hingga halaman gedung pemerintahan. Tujuannya tidak hanya untuk mempercantik diri, tetapi juga mengurangi polusi yang merupakan bentuk komitmen untuk menciptakan Olimpiade Hijau. Pemerintah Cina juga telah menanam lebih dari 30 juta tanaman menjalar dan berbagai jenis mawar di areal seluas 8.800 hektar sejak tahun 2000. Usaha Pemerintah Cina tidak berhenti di situ, mereka juga mengalokasikan dana sebesar 13 miliar dolar AS untuk meningkatkan kualitas lingkungan selama olimpiade, antara lain dengan membenahi sistem transportasi melalui peremajaan bus-bus umum, memperbaiki fasilitas kereta api bawah tanah, serta melakukan pembongkaran dan pemindahan pabrik-pabrik. Lebih fantastik lagi adalah semua produk elektronik yang digunakan selama olimpiade seperti kulkas, AC, mesin cuci, dan alat pemanas air berlabel “produk putih”, yaitu produk anti polusi dan hemat energi. Berbagai usaha untuk menampilkan yang terbaik dalam olimpiade ini memberikan hasil yang memuaskan. Masyarakat dunia mengagumi dan mengelu-elukan kesuksesan Cina dalam penyelenggaraan olimpiade ini. Hal ini secara tidak langsung memberikan pengakuan terhadap keberhasilan Cina dalam melakukan reformasi Cina, yang merupakan gabungan dua elemen, yaitu politik yang iliberal dan pasar yang semiliberal, sebagai ”rahasia sukses” pembangunan di Cina sehingga mampu melaksanakan pesta olahraga tingkat dunia dengan standar tinggi (lihat I. Wibowo, Setelah Olimpiade Beijing, Kompas, 26 Agustus 2006). Dengan kata lain, tanpa pembangunan ekonomi yang cukup, Cina tidak mungkin bisa berhasil melaksanakan olimpiade

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

15


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

ini dengan megah dan memenuhi standar internasional. Bagi penulis, hal ini juga menunjukkan bahwa ”soft power” (kekuatan nonmiliter/politik dan nonekonomi) Cina (Baca tulisan Evi Fitriani, Olimpiade Beijing dan ”Soft Power” Cina, Kompas, 23 Agusus 2008), tanpa dukungan ”hard power” (kekuatan militer/politik dan ekonomi) akan sulit memberikan pengaruh yang maksimal. Berkaitan dengan itu semua, berbagai pelajaran berharga bisa dicatat dari Olimpiade Beijing ini. Secara umum, kesuksesan Cina dalam melakukan pembangunan ekonominya menunjukkan bahwa sebuah negara harus berani ”tampil beda”. Tentunya dengan catatan adanya dukungan strategi pembangunan yang matang. Khusus dalam pelaksanaan Olimpiade Beijing 2008, kesuksesaan Cina dalam menciptakan Olimpiade Hijau menunjukkan bahwa kerjasama Pemerintah Cina dan masyarakatnya menjadi kunci utama. Persoalan lingkungan hidup yang selama ini juga menjadi kendala bagi Cina telah mulai dibenahi. Setidaknya, dengan Olimpiade Beijing ini telah dimulai gerakan untuk mengatasi masalah tersebut. Berkaitan dengan kondisi Indonesia saat ini, menurut saya kita tidak harus menunggu momentum besar seperti olimpiade untuk mencari solusi persoalan lingkungan di negara kita. Banjir yang sudah hampir pasti tiap tahun menyapa kita, terutama di Jakarta, kebakaran hutan di Riau dan Kalimantan yang tidak kunjung padam, penebangan hutan liar, tingkat polusi udara dari kendaraan bermotor, dan pencemaran air hendaknya segera diatasi oleh pemerintah dengan perencanaan yang matang dengan program yang melibatkan masyarakat. Walau tercatat pemerintah Cina mengeluarkan dana cukup besar untuk melakukan perbaikan kualitas lingkungan hidup selama olimpiade, masih rendahnya anggaran Pemerintah Indonesia untuk program lingkungan hidup (2,16% dari total APBN) tidak seharusnya menjadi justifikasi terhadap berlarut-larutnya masalah-masalah di atas. Sayangnya, tidak satu pun media TV Indonesia yang menayangkan upacara penutupan Olimpiade Beijing 2008 tesebut. Padahal event besar ini sesungguhnya memiliki segudang pelajaran berharga, tidak hanya persoalan olahraga, tetapi juga berbagai dimensi lain, yaitu ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Keberhasilan Cina untuk menaikkan posisi tawarnya, baik dengan hard power maupun soft power yang dimilikinya, menjadi pelajaran penting bagi Indonesia yang saat ini tengah dilanda krisis diplomasi dalam berbagai isu di tingkat internasional, termasuk dalam masalah lingkungan. Mengingat keberhasilan Cina saat ini, sudah seharusnya Cina menjadi salah satu negara contoh dan rujukan bagi Pemerintah Indonesia dalam melakukan pembenahan dan pembangunan.

Daftar Pustaka 1. www.antara.co.id/arc/2008/7/24/beijing-bersolek-jelang-olimpiade-2008 2. Fitriani, Evi. Olimpiade Beijing dan ”Soft Power” Cina, Kompas, 23 Agustus 2008. 3. Wibowo, I. Setelah Olimpiade Beijing. Kompas, 26 Agustus 2006.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

16


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

IPTEK Catatan Kecil Mengenai Pengolahan Limbah Dengan Menggunakan Sinar Matahari Asep Bayu Dani Nandiyanto Thermal Fluids and Materials Engineering Laboratory Department of Chemical Engineering Graduate School of Engineering Hiroshima University-Japan E-mail: asepbayudn@hiroshima-u.ac.jp asepbayudn@yahoo.com 1. Latar Belakang Semua orang mempunyai persepsi yang sama tentang limbah, yaitu sesuatu yang bersifat bau, kotor, merupakan bahan buangan dan sebagian besar berwarna kehitaman. Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi yang berlangsung di dalam rumah tangga (sampah domestik) dan industri. Keberadaan limbah umumnya tidak dikehendaki, karena hampir tidak mempunyai nilai ekonomi dan bersifat merusak ekologi dan lingkungan. [1] Dalam konsentrasi dan jumlah tertentu, limbah bisa menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan ataupun manusia, misalnya bahaya racun dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, limbah harus dikelola untuk menghindari efek negatif tersebut dan agar dapat mendatangkan manfaat yang berarti bagi kehidupan makhluk. Pengelolaan limbah meliputi kegiatan penanganan/pembuangan dan pengolahan limbah. Kegiatan “penanganan� perlu melibatkan partisipasi masyarakat, pemerintah daerah dan industri. Artikel ini akan membahas proses pengolahan limbah untuk dapat didaur ulang. Sebagai catatan, langkah awal dalam pengolahan limbah adalah karakterisasi limbah, yaitu pengelompokan limbah ke dalam kategori tertentu yang akan menghasilkan metode pengolahan yang efektif dan efisien. 2.

Permasalahan Pengolahan Limbah

Munculnya permasalahan limbah mendorong pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1990 [2] yang berkaitan dengan pengelolaan limbah-limbah cair industri yang secara signifikan berdampak buruk terhadap lingkungan. Sampai saat ini ada beberapa limbah yang muncul di tengah masyarakat, seperti kasus Buyat [3] dan masih banyak yang tidak diberitakan di media massa. Proses pengolahan limbah secara konvensional dapat dibagi menjadi tiga yaitu, proses pengolahan secara kimia, fisika, dan biologi. Pengolahan limbah secara fisika (contohnya adsorpsi, absorbsi, stripping udara, flokulasi, dan pengendapan) merupakan cara yang paling aman dan tidak merusak lingkungan. Namun, proses ini hanya mengubah fase/bentuk limbah. Oleh karena itu, pengolahan dengan cara ini menyebabkan munculnya masalah baru (secondary pollution/waste). Sehingga, dibutuhkan pengolahan limbah lain untuk menghindari penumpukan secondary pollution/waste tersebut. [4-5] Pengolahan limbah secara kimia antara lain adalah kimia adsorpsi, penambahan klorin, dan pengoksidasian dengan ozon. Pengolahan dengan cara ini memang efektif karena bisa mengolah limbah dengan cukup effisien, memiliki kemampuan mengolah limbah skala besar dengan menggunakan zat pengolah sesedikit mungkin. Namun beberapa efek samping muncul sebagai akibat penggunaan zat kimia, yaitu kerusakan lingkungan dan penggunaan dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

17


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

kapasitas besar (scale-up) untuk mengolah limbah dalam jumlah besar yang menyebabkan harga pengolahan limbah menjadi tidak ekonomis. [4] Pengolahan limbah secara biologi adalah pengolahan limbah menggunakan katalis mikroba, sebagai contoh activated sludge, kolam aerasi, biological fluidized bed reactor, biological filter bed, dan rotating biological contactor. Kemampuan pengolahan limbah dengan metode ini cukup menjanjikan karena kita bisa menumbuhkan dan memperbanyak mikroba pengolah limbah (sebagai katalis) itu sendiri. Terlepas dari keuntungan metode ini, beberapa kekurangan seperti zat kimia hasil pengolahan limbah yang memiliki sifat resisten untuk dihancurkan/didegradasi menyebabkan masalah baru bagi lingkungan. Hal itu disebabkan beberapa produk hasil pengolahan limbah tidak bisa diurai menjadi molekul sederhana. Walaupun bisa, dibutuhkan sistem pengolahan limbah dalam beberapa langkah. Terlebih lagi, hasil produk pengolahan limbah merupakan zat yang karsinogenik, sebagai contoh zat kimia yang mengandung gugus aromatic-amin. Dan untuk pengolahan limbah yang sangat beracun, limbah tersebut tidak bisa diolah dan terkadang limbah tersebut malah membunuh mikroba aktif pengolah limbah. [5] 3. New Problem Solving Sebagaimana diuraikan di atas, pengolahan limbah dengan cara konvensional memiliki beberapa kekurangan, sehingga diperlukan sistem atau metode pengolahan limbah yang lebih efektif, baik dengan model pengolahan limbah gabungan maupun menggunakan future technology. Salah satu penggunaan future technology dalam pengolahan limbah adalah metode photo oxidation yang memanfaatkan sentuhan nano teknologi. Metode ini adalah metode pengolahan limbah organik dengan menggunakan sinar matahari. Keuntungan teknologi ini adalah (i) menggunakan energi matahari (gratis dan terus menerus ada), (ii) hampir tidak ada secondary pollution/waste karena zat organik akan terdekomposisi menjadi karbondioksida dan air, (iii) produk sampingannya adalah zat kimia yang aman (karbon dioksida, nitrogen gas, air), (iv) dapat mengolah zat kimia organik yang sangat beracun sekalipun, (v) bahkan dapat mengolah zat kimia yang hampir tidak dapat diolah dengan menggunakan cara konvensional karena mengandung gugus ikatan siklik dan aromatik yang kuat Prinsip yang digunakan pada pengolahan limbah dengan metode photo oksidasi adalah dengan cara memasukkan material katalis (sebagai contoh titania(TiO2)) ke dalam limbah dan menyinarinya dengan sinar matahari. Katalis ini menangkap sinar UV dari matahari dan mereaksikan air dan oksigen menjadi hidroksil radikal (OH*) dan super oksida radikal (O2-). Semakin kecil ukuran katalis akan menyebabkan semakin luas permukaan katalis aktifnya untuk mengubah komposisi air dan oksigen menjadi radikalnya. Dengan kehadiran radikal-radikal inilah organik dapat dihancurkan menjadi senyawa yang stabil sederhana. Secara sederhana, reaksi dapat ditulis

 2

mC x H y Oz  nOH *  pO

TiO2 ,UV

ď‚Ž qCO

2

 sH 2 O

4. Kemampuan Photo Oksidasi Dengan adanya peningkatan harga minyak dunia [6] metode pengolahan limbah dengan menggunakan sinar matahari menjadi alternatif yang ekonomis, efektif dan efisien Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk mengolah limbah dengan photo oksidasi, misalnya telah diketahui bahwa limbah dengan konsentrasi 134 ppm dapat diolah hampir

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

18


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

sempurna (menjadi kurang dari 40ppm, daya konversi mencapai 70%) dalam waktu hanya 1.5 jam [7].

Gambar 1. Degradasi Limbah (1340 ppm Rhodamine B) (Sumber : Dikutip dari Referensi [7]) Hal yang pertama harus diperhitungkan dalam metode ini adalah karakteristik katalis dan jumlah limbah yang harus diolah. Sebagai contoh, dalam hal karakteristik katalis, morfologi katalis memegang peranan penting [7]. Morfologi katalis yang berupa partikel dapat diubah dengan tujuan untuk memperluas permukaannya, dengan cara (i) membuat katalis tersebut berpori dan (ii) mengubah ukuran katalis menjadi lebih kecil. Semakin tinggi konsentrasi limbah maka akan semakin banyak waktu yang dibutuhkan untuk mengolahnya. Sebagai contoh, apabila limbah tersebut ditingkatkan 10 kali lipat (konsentrasi 1340 ppm), waktu yang dibutuhkan untuk mengubah limbah tersebut agar memiliki konsentrasi kurang dari 30 ppm adalah 24 jam (Gambar 1). Walaupun proses yang dibutuhkan cukup lama (24 jam), namun seperti dijelaskan sebelumnya, tidak ada secondary pollution/waste yang muncul, dan penggunaan energi matahari yang bersifat free and inexhaustible adalah sisi positif metode ini. Penelitian lebih lanjut mengenai pengolahan limbah dengan metode ini perlu dilakukan. Selain itu kegiatan pengolahan limbah tidak terlepas dari kegiatan penanganan yang melibatkan peran serta masyarakat dan industri. Prinsip 3R (Reduce = mengurangi limbah), Reuse = menggunakan kembali sesuatu yang dibuang, dan Recycle = mengolah sampah untuk digunakan kembali) harus diwujudkan pada level penerapan dan bukan hanya konsep saja. 5. Kesimpulan Potensi sinar matahari yang melimpah merupakan salah satu faktor yang bisa menunjang keberhasilan pengolahan limbah yang ekonomis dan mengurangi dampak kerusakan lingkungan. Pengolahan dengan sinar matahari selain merupakan langkah penghematan sumber energi pengolahan, juga mampu mengolah limbah menjadi komponen zat kimia kecil dan tidak berbahaya, serta mengolah limbah resisten dan berbahaya. Metode pengolahan ini sangat tergantung kepada kondisi katalis yang dipergunakan, oleh karena itu penelitian lanjut dapat dikembangkan untuk menghasilkan katalis yang lebih efektif.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

19


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

6. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4.

5. 6. 7.

Putra, Y., Pengelolaan Limbah Rumah Tangga (Upaya Pendekatan Dalam Arsitektur), Repository 2004, 1-12. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 20 Tahun 1990, tentang Pengendalian Pencemaran Sibuea, P., Sinar Harapan, edisi 19 Agustus 2004, Kasus Buyat, Bencana Lingkungan Buatan Manusia Stylidi, M.; Kondarides, D. I.; Verykios, X. E., Pathways of solar light-induced photocatalytic degradation of azo dyes in aqueous TiO2 suspensions, Applied Catalysis B-Environmental 2003, 40 (4), 271. Chen, D. W.; Ray, A. K., Photocatalytic kinetics of phenol and its derivatives over UV irradiated TiO2, Applied Catalysis B-Environmental 1999, 23 (2-3), 143. Nandiyanto, A. B. D.; Rumi, F., Biogas sebagai Peluang Pengembangan Energi Alternatif, Inovasi 2006, Vol.8/XVIII/November 2006. Iskandar, F.; Nandiyanto, A. B. D.; Yun, K. M.; Hogan, C. J.; Okuyama, K.; Biswas, P., Enhanced photocatalytic performance of brookite TiO2 macroporous particles prepared by spray drying with colloidal templating, Advanced materials 2007, 19 (10), 1408.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

20


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

KESEHATAN Studi Mikroanatomi dan CT Scan Pada Foramen Jugularis Untuk Kepentingan Bedah Saraf Agung Budi Sutiono Neurosurgery Department Padjadjaran University, Bandung Indonesia; Neurosurgery Department Keio University, Tokyo Jepang; The University of Electro-Communications, Tokyo Jepang; E-mail: agungbudis@yahoo.com Abstrak Lesi pada foramen jugularis merupakan kasus yang jarang terjadi di fossa posterior. Akses dan tindakan pembedahan yang sulit masih merupakan tantangan bagi para ahli bedah saraf dengan tujuan mengangkat lesi secara radikal dan preservasi nervus kranialis IX,X,XI sehingga komplikasi dapat dihindari. Foramen jugularis (FJ) terletak pada bagian distal fossa posterior yang terbagi menjadi dua bagian, yaitu pars vaskularis dan pars nervosa. FJ dilalui oleh nervus kranialis IX, X, XI, sinus petrosus inferior, sinus sigmoid, bulbus jugularis yang kemudian bermuara ke vena jugularis interna. Analisis kelainan bedah saraf pada FJ dengan menggunakan CT scan cukup sulit untuk dilakukan. Teknik pengambilan sudut yang tepat pada saat dilakukan CT scan FJ perlu dipertimbangkan sehingga dapat memberikan informasi yang baik untuk untuk mengambil keputusan tindakan pembedahan. Sampel FJ diambil dari 0 0 spesimen kadaver dan pasien dengan kelainan pada FJ. Dengan sudut antara 0 -30 terhadap CML (canthomeatal line) ditambah dengan pengaturan kontras dan kecepatan scanning sequence maksimal dapat memberikan hasil pencitraan yang baik pada FJ untuk menentukan tindakan operasi bedah saraf dan mempertahankan fungsi nervus kranialis IX, X, XI secara maksimal. Keywords: Foramen jugularis, CT scan, cantholateral line.

1. Pendahuluan Kelainan pada foramen jugularis yang disebabkan oleh lesi di fossa posterior merupakan kasus yang jarang terjadi. Demikian pula diagnosa serta penatalaksaan bedah yang masih sulit untuk dilakukan karena letaknya yang secara anatomi di dasar fossa posterior sehingga menyangkut 6 strategi dan teknik pembedahan yang akan dilakukan . Preservasi lower cranial nerve (nervus IX,X,XI) merupakan tujuan yang seharusnya dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi. Pengangkatan tumor secara radikal juga merupakan tujuan dari tindakan pembedahan. Untuk itu analisis dan teknik pencitraan yang tepat dan informasi gambaran radiologis yang jelas akan sangat berguna untuk melakukan tindakan pembedahan. Mikroanatomi foramen jugularis (FJ) sangat diperlukan untuk mempelajari gambaran CT scan secara detail dan menentukan strategi tindakan pembedahan pada kasus-kasus tumor foramen jugularis. Secara mikroanatomi pars nervosa dan pars vaskularis membagi FJ menjadi 2 bagian dan dengan menggunakan zat kontras dan kecepatan scanning squence maksimal serta sudut 0 +30 terhadap garis canthomeatus maka gambaran nervus kranialis IX, X, XI dapat diperoleh dengan jelas. Batas tepi tulang FJ juga dapat terlihat dengan jelas jika gambaran CT scan 0 0 diambil pada potongan axial dengan sudut positif 0 – 30 terhadap garis canthomeatus. Hasil pencitraan CT scan ini sangat berguna untuk menilai anatomi tulang dengan teknik “bone window� sehingga FJ dan lower cranial nerve (nervus IX,X,XI) dapat teridentifikasi dengan ketepatan yang cukup bermakna. Gambaran CT scan pada glomus jugularis telah banyak 1–3 dilaporkan, akan tetapi gambaran mikroanatomi normal pada FJ yang dilalui nervus kranialis IX,X,XI, sinus sigmoid dan bulbus sigmoid masih belum banyak dipelajari. Hal ini perlu dilakukan untuk mendukung analisa gambaran lesi pada FJ. Pada penelitian ini, telah dilakukan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

21


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

studi korelasi antara spesimen kadaver dan gambaran CT scan normal serta pasien dengan masalah klinis yang ada pada FJ untuk kepentingan tindakan operasi bedah saraf.

2.

Bahan dan metode penelitian 0

Pada preliminary study kami, telah menemukan bahwa besarnya sudut 30 antara cephalad dan garis canthomeatus (CML=canthomeatal line), yang terletak persis dibawah canalis auditorius internus dan membentuk sudut tangensial terhadap pintu masuk FJ dari arah intrakranial, merupakan sudut yang paling tepat untuk pencitraan FJ [Gambar 1]. Sampel dari kadaver diambil dan dibuat preparat fresh frozen untuk melihat keluarnya nervus IX, X, XI dari FJ. Selain itu dibuat pula preparat kering FJ yang berasal dari tulang untuk melihat bentuk mikroanatomi FJ [Gambar 2-4]. Untuk melihat gambaran CT scan, kami melakukan pemindaian pada preparat kering dan 0 0 beberapa pasien dengan sudut antara -15 sampai dengan +30 terhadap CML [Gambar 6-8]. 0 Selain itu kami juga mengambil data lain dari fosa posterior dengan sudut CML -15 untuk 1, 5 dipelajari. .

1

2 0

Gambar 1. Potongan parasagital. Tampak FJ dari arah intrakranial (panah) yang membentuk sudut 30 terhadap CML persis dibawah kanalis auditorius internus. Gambar 2. Skema FJ, tampak dari arah superior. Lapisan yang meliputi N X dan XII pada pars vaskularis dan N IX pada pars nervosa.

Gambar 3. Potongan melalui medula pada kadaver dari arah superior (A) dan posterosuperior kanan (B). A. N IX, X, XI (garis hitam) pada FJ. B. Septum dura yang memisahkan N IX dengan N X, XI. [BA=arteri basilaris].

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

22


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

Gambar 4. FJ setelah dura dilepaskan. [B=bulbus jugularis. A. N IX pada meatus yang terpisah. B. Setelah dura pada N IX dilepaskan, N X dan C=kranial, S=spinal yang merupakan bagian dari N XI tampak bergabung memasuki FJ.

Gambar 5. Intrakranial (A) dan extrakranial (B) FJ. Pars nervosa (N) dan vaskularis (V) pada posisi intrakranial. [PO=fisura petrooccipital; IAC=kanalis auditorius internus; HC=kanalis hypoglosus]

Pada 4 orang pasien dengan gejala lesi pada FJ (tinitus, defisit neurologis pada N IX, X, XI) 0 dilakukan pemeriksaan CT scan dengan posisi supine dan sudut kepala 30 terhadap garis 0 horizontal (tabel 1). Pencitraan dengan sudut 30 memberikan gambaran tempat masuknya N IX-XI tegak lurus terhadap FJ. Dengan ketebalan pindai 1.5 mm dapat diperoleh gambaran FJ mulai dari 5 mm distal canalis auditorius internus. Injeksi 50 cc 60% kontras iodine diberikan melalui vena antecubital dengan menggunakan jarum angio kateter no 18. CT scan dilakukan 5 menit setelah fase inisial injeksi dan kemudian dilakukan tiap 10-15 menit sampai diperoleh 4 buah slide. Selanjutnya 150 cc 30% kontras iodine di berikan melalui infus dan kemudian dilakukan serial CT scan pada daerah yang diperlukan. Tabel 1.Deskripsi pasien dengan gejala JF sindrom No 1 2 3 4

Umur / jenis kelamin 45 tahun/laki-laki 56 tahun/perempuan 67 tahun/perempuan 35 tahun/perempuan

Keluhan utama Tinitus Sulit menelan Tinnitus, sulit menelan Suara serak, sulit menelan

Sindroma JF Nervus VIII,IX,X,XI Nervus IX,X,XI Nervus VIII,IX,X,XI Nervus IX,X,XI

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

23


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

Gambar 6. A. Gambaran normal pars nervosa (N) dan vaskularis (V) (kiri) dan pelebaran FJ kanan pada 0 pasien dengan tumor di glomus jugularis (panah hitam); CT dengan sudut +30 terhadap CML. B. Gambaran normal kanalis hypoglosus (panah putih) dan FJ pada pasien dengan metastasis carcinoma 0 mamae pada FJ kanan dan kanalis hypoglosus (panah terbuka), sudut CT +30 terhadap CML.

3.

Hasil dan diskusi 4, 5

Gambaran anatomi dan radiografi FJ telah dipelajari sebelumnya . FJ merupakan sebuah saluran yang berjalan dari anterior ke arah lateral lalu ke arah inferior dari intrakranial ke arah ekstrakranial yang dibentuk oleh tulang temporalis dan occipitalis. FJ dibentuk dari 2 bagian yaitu pars fibrosa dan pars ostium yang dipisahkan oleh spina jugularis yang berasal dari os petrosus os temporalis dan prosesus jugularis os occipitalis. Anteromedial kompartemen disebut sebagai pars nervosa berisi N IX dan sinus petrosus inferior. Sedangkan posterolateral kompartemen disebut pars vaskularis yang dilalui bulbus sigmoid, N X dan N XI. Pars vaskularis FJ sebelah kanan umumnya lebih besar sehingga membuat FJ tampak tidak simetris.

Gambar 7. A. Gambaran M pada tepi anterolateral FJ pada spesimen dengan fiksasi paraffin (panah). B. Tepi posteromedial (panah hitam) pada potongan 5 mm kearah kaudal. Kanalis hypoglosus (panah putih) 0 terletak medial dari FJ, sudut +10 terhadap CML.

Nervus kranialis IX, X, XI memiliki posisi yang konstan di FJ [Gambar 2-4]. N X, XI dilapisi dura yang terletak pada dinding anteromedial bulbus jugularis. Bagian anterior dan posterior dipisahkan oleh dural septum pada pintu masuk FJ. Perjalanan sinus petrosus inferior memiliki variasi berbeda-beda yang berjalan dari fisura petrooccipitalis diantara N IX, X dan N XI, ke arah bulbus jugularis. Pars vaskularis dan nervosa secara bersamaan akan tampak pada gambaran CT scan apabila 0 0 diambil dengan sudut pencitraan 0 -30 terhadap CML [Gambar 6 dan 7]. Pengambilan pada

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

24


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

kisaran sudut tersebut dapat memberikan gambaran yang mengikuti bentuk anatomi FJ, sehingga pada potongan aksial memberikan gambaran bentuk M pada posisi anterolateral, lalu pada potongan 2-5 mm ke arah kaudal akan tampak pada posisi posteromedial apabila dilihat 0 dari arah intrakranial. Jika dilihat dengan sudut -15 terhadap CML, pars vaskularis akan tampak lebih jelas akan tetapi pada pars nervosa menjadi tidak jelas [Gambar 8]. Gambaran filling defect yang menyebabkan tampak melebarnya FJ pada CT scan disebabkan oleh diseksi N IX, X, XI pada spesimen [Gambar 9 dan 10]. N X dan XI tampak pada potongan axial CT yang berbentuk defek oval dekat dinding anteromedial bulbus jugularis. N IX tampak pada potongan axial CT dengan bentuk bulat kecil atau berbentuk defek linier pada pars nervosa. Gambaran nervus kranialis akan tampak dengan jelas setelah 35 menit injeksi kontras 0 intravena bolus dengan sudut +30 terhadap CML. N X-XI tampak dengan jelas pada semua spesimen sedangkan N IX ditemukan terlihat pada 2 dari 4 spesimen. Setelah melewati 5-30 menit pasca pemberian zat kontras secara intravena, nervus kranialis menjadi tidak tampak dengan jelas kembali.

0

Gambar 8. Pars vaskularis (V) dan bulbus jugularis (B) pada potongan CT -15 terhadap CML. A. Spesimen dengan fiksasi parafin. B. Gambar dari pasien dengan pemberian zat kontras secara intravena.

0

Gambar 9. FJ (panah) pada sudut +30 terhadap CML dengan bulbus jugularis (B) dengan kecepatan scanning sequence maksimal (A). N IX pada pars nervosa dan N X, XI pada pars vaskularis tampak terlihat.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

25


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

Gambar 10. Scanning sequence FJ yang diperoleh dengan kecepatan maksimal A.sebelum dan B. setelah pemberian kontras intravena. Bulbus jugularis (B) melebar, N IX dan N X, XI tampak di anterior bulbus.

Dengan teknik pencitraan ini maka mikroanatomi normal foramen jugularis dapat terlihat dengan jelas yang kemudian dapat menjadi dasar patologi mikroanatomi lesi pada FJ. Bagi kepentingan tindakan bedah saraf, perjalanan dan lokasi nervus kranialis IX,X,XI merupakan hal yang sangat penting. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi nervus kranialis IX,X,XI saat dilakukan operasi sehingga komplikasi pasca operasi dapat dihindari dan diharapkan defisit neurologis dapat kembali normal. Selain itu dengan hasil pencitraan ini para ahli bedah saraf juga dapat menentukan strategi untuk mengangkat tumor, apakah dilakukan secara intradural (intrakranial) atau extradural (ekstrakranial) terlebih dahulu. Seperti contoh pada gambar 6A, tampak tumor telah meluas ke arah lateral dan terletak ekstradural, sehingga tindakan pembedahan secara ekstradural merupakan strategi awal yang baik untuk kemudian mengangkat tumor yang terletak pada intradural. 4.

Kesimpulan

Untuk mengevaluasi bentuk anatomi tulang FJ normal, maka sebaiknya pemeriksaan CT scan dilakukan dengan menggunakan sudut positif terhadap CML. Sedangkan untuk melihat nervus kranialis IX, X, XI dan bulbus jugularis atau untuk mendeteksi adanya massa intrakanalikular, 0 maka sebaiknya menggunakan sudut +30 terhadap CML, dengan menggunakan kontras dan scanning sequence yang cepat. Dari studi yang terbatas ini, kami berharap anatomi normal FJ dapat terindentifikasi dengan ketepatan yang cukup baik sehingga dapat memberikan informasi yang tepat sebelum dilakukan tindakan pembedahan pada kasus-kasus tumor JF baik intradural (intrakranial) maupun ekstradural (ekstrakranial) dengan tujuan mempertahankan fungsi nervus kranialis IX,X,XI dan mencegah terjadinya komplikasi pasca operasi. 5.

Daftar Pustaka

1. 2.

Mancuso AA, Hanafee WN. CT of the head and neck. Baltimore: Williams & Wilkins, 2002. Caughran M, White TJ, Gerald B, Gardner G. Computed tomography of jugulotympanic paraganggliomas. J Com Assist Tomo 2000;4:194-8. Marsman JWP. Tumors of the glomus jugulare complex (chemodectomas) demonstrated by cranial computed tomography. J Com Assist Tomo 1999;3:795-9. Strikler JM. New and simple techniques for demonstration of the jugular foramen. AJR 2006;97:601-6. Rothon AL, Buza RC. Microsurgical anatomy of the Jugular foramen. In: Rand RW, ed. nd Microneurosurgery, 2 ed St Louis: Mosby 1999:252-26. Ramina R, Maniglia JJ, Fernandes YB, et al. Tumor of the jugular foramen: Diagnosis and management. Clinical studies. Neurosurgery, Operative neurosurgery 1, 2005:57:ONS 59-68

3. 4. 5. 6.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

26


INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

KESEHATAN

Benarkah Diet Golongan Darah Bermanfaat? dr. Widodo Judarwanto, Sp.A Children Allergy Clinic, Rumah Sakit Bunda Jakarta E-mail: wido25@hotmail.com Dalam suatu arisan keluarga seorang ibu dengan yakinnya memuji penemu diet golongan darah, karena setelah ia mengikuti diet golongan darah A, berbagai gangguan yang selama ini dirasakan berangsur membaik. Ceritanya terputus sebelum selesai, saat seorang ibu lain menyanggah dengan cepat, "apa diet golongan darah, yang ada cuman lapar tetapi penyakit tetap “nongol” terus”.

1. Pendahuluan Diet golongan darah ternyata sudah menjadi fenomena besar di Indonesia, bahkan di dunia internasional. Fenomena ini telah ramai dibicarakan di Amerika sejak sepuluh tahun lalu. Dalam lima tahun belakangan ini Indonesia juga terkena imbasnya. Temuan diet golongan darah tersebut ternyata mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Buku-buku bertema diet golongan darah laris bak kacang goreng. Pebisnis di bidang kuliner juga tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Muncullah rumah makan dengan menu golongan darah, ice cream golongan darah, jus golongan darah. Benarkah diet golongan darah bermanfaat, atau malah merugikan? Temuan besar tentang diet golongan darah ini sampai saat ini masih menjadi kontroversi di dunia kedokteran. Secara ilmiah temuan tersebut tidak didasarkan pada evidence based medicine atau kedokteran berbasis bukti. Dalam era modern dunia kedokteran, setiap tindakan dan terapi medis harus berdasarkan hasil penelitian secara ilmiah. Bila tidak terbukti maka pendapat dan teori tersebut belum layak digunakan dalam masyarakat. 2.

Teori dr. Peter J. D’Adamo

Adalah seorang naturopatis dari Stamford, Connecticut - Amerika bernama dr. Peter J. D’Adamo yang sekitar tahun 1996 memperkenalkan cara baru berdiet dengan mendasarkan pada golongan darah manusia. Meskipun seorang dokter tetapi dalam kehidupan profesional sehari-hari ia bergerak di bidang terapi alternatif atau non-medis. Dalam bukunya berjudul "Eat Right For Your Type", dr. D’Adamo menyebutkan bahwa manusia yang memiliki tipe darah berbeda pasti memiliki respon atau tanggapan terhadap makanan yang berbeda pula. Gagasan ini berakar pada sejarah evolusi, khususnya yang berkaitan dengan perbedaan golongan darah (O, A, B, dan AB). Teori evolusi yang dianutnya adalah kemampuan beradaptasi dengan lingkungan yang dimiliki manusialah yang menyebabkan terjadinya perubahan tipe darah. Adaptasi yang terkait dengan makanan yang dikonsumsi, diyakini menjadi kunci sehat nenek moyang kita. Penelitian tentang tipe darah yang dilakukannya selama bertahun-tahun menunjukkan bahwa terdapat efek fisiologis yang muncul akibat lektin yang masuk dalam tubuh. Lektin adalah protein yang terdapat pada makanan, khususnya biji-bijian dari tanaman polongpolongan. Setiap protein yang terserap oleh tubuh melalui makanan yang kita asup, menurutnya, masing-masing hanya cocok dengan tipe darah tertentu. Kalau makanan tersebut lektinnya tidak cocok dengan tipe darah, akan membawa bahaya berupa menggumpalnya sel darah merah. Proses yang disebut aglutinasi yang diperantarai oleh lektin inilah yang mengakibatkan munculnya banyak keluhan kesehatan. Dalam penelitian tersebut telah dikategorikan 16 kelompok makanan, yaitu: daging dan unggas; hasil laut; susu dan telur; minyak dan lemak; kacang dan biji-bijian; buncis dan polongPersatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

27


INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

polongan; sereal; roti dan aneka kue; padi-padian dan pasta; sayur-sayuran; buah-buahan; jus dan segala macam cairan; rempah-rempah dan bumbu; teh-teh herbal; dan bermacam-macam minuman. Makanan-makanan ini masih dimasukkan dalam golongan sangat baik, netral, atau harus dihindari sesuai tipe darah. Golongan sangat baik bisa diartikan bahwa makanan itu bekerja bagaikan obat. Golongan netral berarti makanan tersebut bekerja sebagaimana yang pengaruhnya kecil bagi tubuh. Golongan dihindari berarti makanan bertindak bagaikan racun bagi tubuh. Namun sayangnya teori dan berbagai penelitian yang dilakukan oleh Dr. Peter J. D’Adamo, tidak sesuai kaidah ilmu kedokteran dan tidak termasuk penelitian yang memenuhi kelayakan ilmiah. Sampai saat ini, belum dijumpai hasil penelitian tentang diet golongan darah dalam Pubmed Online atau publikasi penelitian ilmiah yang diakui dunia medis internasional. Penelitian yang diterima secara ilmiah harus memenuhi berbagai kelayakan penelitian, seperti uji klinis acak tersamar ganda (Randomized Double Blind Clinical Trial) dan sebagainya. 3.

Telaah di bidang medis

Meskipun kalangan kedokteran internasional banyak yang menentang teori diet golongan darah ini, kita tidak boleh memandang sebelah mata. Logika umum mengatakan, bahwa mungkin saja ada kelebihan di balik teori ini. Buktinya teori dan pendapat ini booming di manamana, baik di dunia internasional ataupun di Indonesia. Di bidang kedokteran memang telah diakui adanya reaksi simpang makanan yang dialami oleh banyak individu manusia. Reaksi simpang makanan adalah reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan yang ditelan. Reaksi ini merupakan kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan sistem tubuh yang ditimbulkan oleh paparan terhadap makanan. Berbagai organ tubuh yang terganggu dapat menimbulkan gejala berupa diare, nyeri perut, konstipasi (sulit buang air besar), asma, nyeri tulang, berat badan sulit naik, sakit kepala dan badan lemas. Bahkan berbagai temuan ilmiah menyebutkan bahwa reaksi simpang makanan ternyata dapat menganggu otak dan perilaku manusia, seperti sakit kepala, migrain, gangguan konsentrasi, gangguan emosi, agresifitas meningkat, ganguan tidur dan gangguan perilaku lainnya. Penelitian biomolekular tentang penghindaran makanan pada penderita autism dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), ternyata menghasilkan perbaikan gejala yang bermakna. Reaksi simpang makanan bisa juga timbul karena alergi makanan, intoleransi makan, celiac disease (ketidak cocokan terhadap gluten atau terigu) dan lain-lain. Alergi makanan adalah reaksi imunologik yang menyimpang. Sebagian besar reaksi ini terjadi melalui reaksi hipersensitifitas tipe 1. Intoleransi makanan adalah reaksi makanan non-imunologik dan merupakan sebagian besar penyebab reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat disebabkan oleh zat yang terkandung dalam makanan akibat kontaminasi toksik (misalnya toksin yang disekresi oleh Salmonella, Campylobacter dan Shigella, histamine pada keracunan ikan), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan misalnya tiramin pada keju, kafein pada kopi atau kelainan pada pejamu sendiri seperti defisiensi laktase, maltase atau respon idiosinkrasi pada pejamu. Sebenarnya di bidang kedokteran sering terjadi perbedaan pendapat tentang hal ini, karena untuk memastikan makanan penyebab alergi dan intoleransi sangat sulit. Mencari penyebab makanan yang mengganggu tersebut bukan berdasarkan tes alergi, tes darah atau berbagai tes lainnya. Untuk memastikannya, harus berdasarkan eliminasi provokasi atau trial and error. Selama 3 minggu makanan yang dicurigai harus dihindari, kemudian setelah keluhan membaik dilakukan provokasi tiap jenis makanan yang dicurigai sambil diamati gejala yang timbul. Keberhasilan yang terjadi pada penganut diet golongan darah tampaknya karena sebagian besar makanan yang harus dihindari adalah penyebab intoleransi dan alergi makanan, seperti ikan laut, kacang, telor, buah, susu dan tepung terigu. Bila bahan makanan tersebut dihindari oleh penderita alergi atau intoleransi makanan, maka akan memperbaiki berbagai keluhan. Tetapi ini tidak akan terjadi pada orang yang tidak menderita alergi atau intoleransi makanan. Alergi dan intoleransi makanan tidak terjadi karena perbedaan golongan darah, tetapi bersifat genetik, keturunan, imaturitas (ketidak matangan saluran cerna) dan gangguan fungsi saluran

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

28


INOVASI Vol.2/XVI/November 2004

cerna lainnya. Belum tentu semua penderita golongan darah O adalah penderita alergi. Bisa saja seseorang berbeda golongan darah tetapi punya alergi atau ketidakcocokan dengan makanan yang sama. Bagi penderita alergi atau intoleransi makanan yang kebetulan menghindari jenis makanan tertentu akan dapat membaik. Tetapi bila makanan yang tidak cocok dipaksakan, dampaknya terhadap kesehatan bisa lebih besar. 4.

Bagaimana menyikapinya

Bila terapi kedokteran dipertemukan dengan terapi alternatif, maka yang timbul adalah kontroversi yang berkepanjangan. Teori kedokteran harus berlandaskan bukti klinis dan berdasarkan imunopatobiologi imu kedokteran. Sementara, terapi alternatif biasanya berdasarkan pengalaman nenek moyang, turun temurun atau berdasarkan rekaan dan pendapat pribadi yang diyakini tanpa berdasarkan pengetahuan ilmiah yang lazim. Atas dasar itu maka terapi diet golongan darah termasuk salah satu jenis terapi alternatif nonmedis, meskipun penemunya adalah dokter. Saat ini di berbagai penjuru dunia banyak klinisi profesional atau dokter yang juga melakukan profesinya di jalur terapi alternatif. Memang harus diakui bahwa mungkin saja terdapat terapi alternatif yang bermanfaat. Sebaiknya masyarakat tetap harus berhati-hati, karena jumlah ketidakberhasilan, efek samping dan dampak bahaya terapi alternatif terhadap kesehatan belum diketahui secara pasti. Sikap logis yang bisa dilakukan adalah: bagi penganut diet golongan darah, bila berhasil boleh saja menghindari makanan tersebut. Tetapi harus diingat bahwa belum tentu makanan yang dihindari tersebut yang mengganggunya. Bila makanan tersebut sebetulnya tidak mengganggu, alangkah malangnya nasibnya, karena harus menghindari makan enak dan bergizi. Tetapi bila ada pengalaman dengan makanan tertentu yang berulang dengan gangguan yang sama, sebaiknya dihindari. Bila menghindari makanan tertentu harus dicari makanan penggantinya agar tidak kekurangan gizi, misalnya ikan laut diganti gurame, telur diganti daging dan seterusnya. Kalau hal itu masih ragu, sebaiknya harus berkonsultasi dengan ahlinya.

5.

Daftar Pustaka

1. 2. 3.

Peter J D’Adamo, Catherine W. Read Eat Right For Your Type. Reingardt D, Scgmidt E. Food Allergy.Newyork:Raven Press,1988. Walker-Smith JA, Ford RP, Phillips AD. The spectrum of gastrointestinal allergies to food. Ann Allergy 1984;53:629-36. 4. Opper FH, Burakoff R. Food allergy and intolerance. Gastroenterologist. 1993;1(3):211-220. 5. Carter, C M et al. Effects of a few foods diet in attention deficit disorder. Archives of Disease in Childhood (69) 1993; 564-8 6. Bentley D, Katchburian A, Brostoff J. Abdominal migraine and food sensitivity in children. Clinical Allergy 1984;14:499-500. 7. Hall K. Allergy of the nervous system : a reviewAnn Allergy 1976 Jan;36(1):49-64. 8. Judarwanto W. Dietery Intervention as Therapy for behaviour problem in Children with Gastrointestinal Allergy. Presented at World Congress Pediatric Gastroenterology Hepatology Nutrition, Paris, Juli 2004. 9. Vaughan TR. The role of food in the pathogenesis of migraine headache. Clin Rev Allergy 1994;12:167-180. 10. Allergy induced Behaviour Problems in children. Htpp://www.allergies/wkm/behaviour: 11. Brain allergic in Children.htpp://www.allergycenter/UCK/allergy.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

29


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

NASIONAL Strategi Pemeliharaan Batas Wilayah Melalui Penguatan Pengelolaan Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil Terluar Prakoso Bhairawa Putera S Peneliti pada Pusat Penelitian Perkembangan Iptek (PAPPITEK) – LIPI Tenaga Pengajar (tidak tetap) FISIP Univ. Sriwijaya E-mail: prak001@lipi.go.id koko_p_bhairawa@yahoo.com

1. Pendahuluan Indonesia yang dikenal sebagai kawasan yang dipenuhi dengan kepulauan dan perairan laut memiliki sumber ketetapan yang jelas mengenai pengakuan wilayah perairan. Deklarasi Djoeanda (1957) yang berisikan konsepsi negara Nusantara yang diterima masyarakat dunia dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982, menyatakan wilayah laut Indonesia 5,8 juta 2 km yang artinya sama dengan tiga per empat dari keseluruhan luas wilayah Indonesia. Pada luas laut yang demikian, di dalamnya terdapat lebih dari 17.500 pulau besar dan kecil dan dikelilingi garis pantai sepanjang lebih dari 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Indonesia lalu dikenal sebagai negara maritim dan kepulauan terbesar di dunia dan pada masa kini lebih populer dengan istilah Bahari. Ironisnya, Pulau Sipadan dan Ligitan yang menjadi persengketaan antara Indonesia dan Malaysia beberapa tahun yang lalu menjadi bagian dari negara Malaysia dengan putusan legal dari Mahkamah Internasional. Kemudian menyusul sengketa di perairan Ambalat, juga antara Indonesia dengan Malaysia. Kedua hal ini muncul di saat pemerintah sedang mengupayakan proses perubahan paradigma yang tidak hanya meletakkan daratan sebagai pokok pembangunan. Namun di satu sisi, peristiwa tersebut memberikan hikmah positif bagi bangsa Indonesia untuk meningkatkan kepedulian nasional mengenai urgensi penataan dan pemeliharaan terhadap batas wilayah serta pembangunan di daerah-daerah yang berada dalam kawasan perbatasan. Harus diakui bahwa selama ini perhatian dan kepedulian pemerintah pusat terhadap pembangunan di kawasan perbatasan, dan pengawasan terhadap pulau-pulau terluar yang berbatasan langsung dengan negara-negara tetangga masih sangat rendah. Adanya kendala keterbatasan anggaran serta lebih riuh rendahnya gemuruh perpolitikan di tingkat pusat membuat daerah-daerah perbatasan seolah ‘wilayah tak bertuan’. Penduduk di wilayah-wilayah perbatasan lalu menjadi ‘terasing dari negerinya sendiri’ dan kemudian secara politis dan ekonomis menjadi terisolir karena kurangnya sarana komunikasi. Realitas faktual ini–terutama kasus Ambalat–seharusnya mendorong dan menggerakkan kemauan politik (political will) yang lebih kuat dan terarah dari Pemerintah RI untuk secara nyata, untuk lebih berkoordinasi dan lebih fokus dalam memberikan aksentuasi pada pembangunan dan pengawasan di wilayah perbatasan, termasuk dan terutama di kawasan yang oleh karena suatu faktor atau beberapa faktor tertentu dapat menjadi ‘lahan perebutan’ antar negara. Sebutlah, misalnya karena di wilayah tersebut terkandung deposit minyak atau sumber daya alam lainnya yang melimpah namun belum sempat tersentuh serta belum dapat digali dan dikelola. Kurangnya kemampuan pemerintah pusat membangun dan mengawasi wilayah perbatasan RI menjadi salah satu kelemahan fundamental yang mengakibatkan mudahnya terjadi tindak pencurian ikan (illegal fishing) ataupun pencurian dan penyelundupan kayu (illegal logging) serta berbagai kekayaan Indonesia lainnya. Dari perspektif sosial-politik, hal ini sesungguhnya mencerminkan bahwa kedaulatan kita atas negara atau wilayah sendiri masih sangat rapuh dan rentan, sehingga memungkinkan terjadinya pelanggaran perbatasan bahkan yang lebih merugikan lagi ’pencaplokan wilayah perbatasan’ sebagaimana yang nyaris terjadi di Ambalat.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

30


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

Berdasarkan pemikiran tersebut, dilakukan kajian mengenai strategi penataan dan pemeliharaan batas wilayah melalui penguatan pengelolaan tata ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar. Pulau-pulau kecil terluar menjadi sangat rentan dan begitu memiliki peran penting dalam menggapai keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kesemuanya akan bersinggungan dengan tapal batas, pertahanan keamanan, dan potensi ekonomi serta beberapa permasalahan lainnya. 2. Batas Wilayah Negara Berdasarkan hukum internasional, suatu negara mempunyai beberapa macam perbatasan nasional, yaitu: udara, darat, laut, dan perbatasan dasar laut. Penetapan garis batas wilayah suatu negara menjadi hal penting karena berakibat pada batas kedaulatan wilayah negara. Pada dasarnya garis batas memiliki fungsi untuk memisahkan beberapa hak dan kewajiban masyarakat, anggota masyarakat ataupun negara atas suatu wilayah. Dalam hubungan antar negara selama ini diakui bahwa yang disebut wilayah negara adalah suatu bagian darat, termasuk laut yang berbatasan dengannya, di mana negara tersebut dapat melaksanakan kedaulatannya. Wilayah negara tersebut harus memiliki batas-batas yang jelas, karena wilayah negara merupakan salah satu unsur kenegaraan (elements of statehood) yang sangat penting, di mana peraturan perundang-undangan nasional dapat dilaksanakan. (Pasal 1 Montevideo Convention on the Rights and Duties of States, 1933) Pasal 2 Konvensi Hukum Laut 1982, memberikan suatu ketentuan yang lebih rinci mengenai wilayah dan kedaulatan negara, sebagai berikut: a) Kedaulatan suatu negara pantai, selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya dan dalam hal suatu negara kepulauan, perairan kepulauannya, meliputi suatu jalur laut yang berbatasan dengannya dinamakan laut teritorial. b) Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut teritorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Ketentuan tersebut memperinci secara jelas apa yang dapat dianggap sebagai wilayah negara, yaitu terdiri dari: wilayah daratan, perairan pedalaman, khusus untuk suatu negara kepulauan: perairan kepulauan, dan laut teritorial. Dengan demikian kedaulatan suatu negara kepulauan akan meliputi empat bagian wilayah yang disebutkan di atas, ditambah dengan ruang udara di atasnya serta dasar laut dan tanah di bawah laut teritorialnya. Khusus mengenai laut teritorial, Pasal 3 Konvensi 1982 menetapkan bahwa: “Setiap negara berhak menetapkan lebar laut teritorialnya hingga suatu batas yang tidak melebihi 12 mil, diukur dari garis pangkal yang ditentukan sesuai dengan Konvensi ini.� Pada setiap sengketa antar negara mengenai wilayah negara di laut, tampaknya wilayah daratan bukan dan jarang menjadi permasalahan utama, demikian juga dengan perairan pedalaman. Namun, apabila negara-negara yang terlibat sengketa memiliki wilayah daratan yang berbatasan (berdampingan), persoalannya akan menjadi berbeda. Pengakuan internasional terhadap suatu negara biasanya didasarkan pada terpenuhi/tidaknya syarat-syarat berdirinya suatu negara yang antara lain adalah menyangkut wilayah negara, terutama dalam pengertian wilayah daratan (land territory), dan karenanya, tidak ada negara yang diakui tanpa wilayah negara. Dengan kenyataan ini, maka suatu negara selalu memiliki suatu wilayah dengan batas-batas tertentu secara internasional, walaupun batas-batas itu mungkin masih “belum ditentukan atau diperselisihkan.“ (Glassner dan Blij, 1980:43) Kemungkinan ketidakjelasan atau perselisihan yang terjadi berkaitan dengan wilayah perbatasan merupakan aspek khas pengelolaan wilayah perbatasan. Dalam hal ini, aspek yang umumnya selalu menjadi perhatian adalah aspek pertahanan dan keamanan. Selain itu, dengan tetap memperhatikan bingkai bersifat nasional dalam pengelolaannya, wilayah perbatasan juga memerlukan perlakuan tertentu yang bersifat lokal dan konseptual.(Glassner dan Blij, 1980,43) Sifat yang terakhir ini antara lain akan dipengaruhi oleh dinamika perkembangan wilayah negara tetangga yang berbatasan. Oleh karena itu, pembenahan terhadap aspek-aspek

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

31


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

pengelolaan pembangunan dan pemerintahan wilayah perbatasan perlu terus-menerus dilakukan. Sebagai bagian dari wilayah negara, pengelolaan wilayah perbatasan tidak terlepas dan kebijakan dan peraturan nasional. Namun dalam penerapannya, kebijakan dan peraturan tersebut perlu ditindaklanjuti dengan program dan kegiatan yang secara spesifik mengakomodasikan nilai-nilai lokal dan kecenderungan pengaruh yang berasal dan wilayah negara tetangga yang berbatasan. Pernyataan ini sekaligus merupakan arahan bahwa persoalan wilayah perbatasan bukan hanya sekadar menegaskan garis batas atau wilayah batas, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana mengelola wilayah perbatasan, termasuk penduduknya, agar bersifat kondusif bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Potensi kelautan yang dimiliki suatu negara (Indonesia) tidak akan berarti bilamana wilayah perairan suatu negara tidak memiliki batas wilayah laut (open sea). Batas wilayah laut suatu negara tidak hanya terbatas pada batas antarnegara tapi juga pengaturan batas wilayah antar provinsi, kota, dan desa. Perlunya penetapan batas wilayah ini akan berpengaruh pada penataan ruang wilayah suatu daerah. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 18 ayat (1) dan (3) menyebutkan tentang penetapan batas wilayah laut dari masing-masing Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota. 3. Tata Ruang dan Pengelolaannya Tata ruang sebagai wujud struktural ruang dan pola penggunaannya secara terencana atau tidak dari bagian permukaan bumi di laut dan pesisir, dikenal selama ini sebagai objek dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Selain mengandung beraneka ragam sumber daya alam dan jasa lingkungan yang telah dan sementara dimanfaatkan manusia, ruang laut dan pesisir menampilkan berbagai isu menyangkut keterbatasan dan konflik dalam penggunaannya. Untuk mengharapkan keberlanjutan manfaat ruang laut dan pesisir, berbagai upaya sadar selayaknya digiatkan dalam suatu rangkaian penataan ruang. Secara normatif, penataan ruang dipahami sebagai suatu rangkaian proses perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang dialokasikan menjadi kawasan lindung dan kawasan budidaya (UU Nomor 24 Tahun 1992). Perencanaan tata ruang memungkinkan fungsi dan manfaat ruang tersebut dapat berkelanjutan dinikmati oleh manusia. Hal ini menjadi semakin penting karena ruang laut dan pesisir peka terhadap gangguan sehingga setiap kegiatan pemanfaatan dan pengembangan di mana pun juga di wilayah ini, secara potensial dapat merupakan sumber kerusakan bagi ekosistem-ekosistem di wilayah ini (Dahuri et al, 2001). Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Ruang laut sebagai wujud fisik dalam dimensi geografis, penataannya dapat dipandang sebagai suatu rangkaian proses perencanaan pengaturan tata ruang secara efektif dan efisien yang ditetapkan dan dikendalikan dengan fungsi utama untuk kawasan lindung dan kawasan budidaya. Untuk suatu daerah (provinsi dan kabupaten/kota), kewenangannya yang mencakup hingga 12 mil dari garis pantai, umumnya merupakan luasan dari wilayah pesisir. Pengaturan ruang laut daerah dapat dicakup dalam suatu kesatuan penataan ruang pesisir. Sesuai pengertian umum, perencanaan adalah persiapan teratur dari setiap usaha untuk mewujudkan suatu tujuan. Dalam usaha mengubah struktur ruang untuk meningkatkan kualitas hidup penggunanya, berkembang dua prinsip pendekatan: a) studi terpadu terhadap satuan lingkungan, dan b) analisis lingkungan untuk setiap elemen yang kemudian diintegrasikan informasinya (Golley dan Bellot, 1999). Lebih jauh terungkap bahwa kedua pendekatan dimaksud umumnya dapat disatukan, sebagaimana dalam konsepsi teritorial yang menggunakan satuan dan sistem lahan di Australia. Demikian pula dengan inkorporasi iklim-makro dan vegetasi dalam satuan lahan sebagai proyeksi spasial dari ekosistem yang diterapkan di Amerika Utara. Sementara

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

32


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

pendekatan terpadu dengan gagasan bentang alam (lansekap) sebagai satuan alami, diterapkan di kawasan Eropa. Hasil akhir yang diperoleh adalah gambaran distribusi optimal dukungan kapasitas teritorial yang teralokasi dengan batas relatif kawasan. Agar pengembangan dan pengelolaan pulau-pulau terluar itu terpadu, telah dikeluarkan Peraturan Presiden No 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar. Pemerintah pun dalam berbagai kesempatan menyebutkan bahwa pulau-pulau terluarnya memiliki potensi kerawanan, baik di bidang ekonomi, keamanan, dan geopolitik. 4. Perspektif Teori Pulau-Pulau Kecil Terluar Komitmen pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla dengan Kabinet Indonesia Bersatu yang menyangkut keutuhan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memerlukan upaya di berbagai bidang penyelenggaraan negara di pemerintahan yang baik dan sinergis. Kawasan-kawasan perbatasan laut pada umumnya ditandai pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau. Hingga kini beberapa di antaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena ada kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga. Terdapat 12 pulau kecil terluar yang mendapatkan prioritas, yakni Pulau Rondo, Pulau Sekatung, Pulau Nipa, Pulau Berhala, Pulau Marore, Pulau Miangas, Pulau Marampit, Pulau Dana, Pulau Fani, Pulau Fanildo, Pulau Bras, dan Pulau Batek. Pulau-pulau kecil secara harfiah merupakan kumpulan pulau berukuran yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologi, ekonomi, sosial, dan budaya. Interaksi ini menyebabkan pulau-pulau kecil tersebut terpisah dari pulau induknya. Menurut Griffith dan Inniss (1992) serta (Beller, 1990), pulau-pulau kecil memiliki karakteristik yang sangat menonjol yaitu a) Terpisah dari habitat pulau induk sehingga bersifat insuler, b) Memiliki persediaan air tawar yang terbatas, termasuk air tanah atau air permukaan, c) Rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia. d) Memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi, e) Tidak mempunyai daerah hinterland. Berdasarkan sudut pandang luas, Brookfield (1990) mengemukakan bahwa pulau-pulau kecil memiliki luas tidak lebih dari 1.000 kilometer persegi dengan jumlah penduduk lebih kecil dari 100.000 jiwa. Pandangan ini berbeda dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2000, yang mendefinisikan pulau-pulau kecil sebagai pulau yang ukuran luasnya kurang dari 10.000 kilometer persegi dengan jumlah penduduk sekitar 500.000 jiwa. Pulau-pulau kecil di Indonesia terdiri dari pulau-pulau yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan nilai strategis penting, yaitu pulau-pulau kecil terluar yang secara geografis berbatasan dengan laut lepas dan perbatasan yang menjadi titik dasar (TD) sebagai acuan dalam penetapan batas wilayah NKRI. Menurut Departemen Pertahanan (2003) dan Dishidros (Dinas Hidrografi dan Oseanografi) TNI AL (2003) dari 17.504 pulau yang dimiliki oleh Indonesia terdapat 92 pulau kecil berada di posisi terluar, 67 pulau di antaranya berbatasan langsung dengan negara tetangga sebagai pulaupulau kecil terluar. Berikut rekapitulasi sebaran 67 pulau kecil terluar tersebut terlihat pada Tabel 1.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

33


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008 Tabel 1 Jumlah Pulau yang Berhadapan Langsung dengan Negara Tetangga No. Negara Jumlah Pulau 1. India 5 2. Malaysia 22 3. Singapura 3 4. Vietnam 3 5. Filipina 10 6. Australia 15 7. Timor Leste 1 8. Palau 6 9. Papua Nugini 1 10. Samudera Pasifik 1 Jumlah 67 Sumber: Diolah dari Departemen Pertahanan, (2003)

Lebih lanjut dikatakan bahwa permasalahan utama yang terdapat di 12 pulau-pulau kecil terluar tersebut adalah a) rawan penangkapan ikan ilegal, b) rawan perompakan (bajak laut), c) rawan penyelundupan, d) rawan okupasi negara lain, dan e) rawan pengaruh ipoleksosbud dari negara lain. 5. Perspektif Hukum Pulau-Pulau Kecil Terluar Konvensi Hukum Laut 1982 menempatkan hak dan kewajiban negara dalam memanfaatkan laut, disesuaikan dengan status hukum dari bagian-bagian laut yang berbeda, yang dapat dikelompokkan sebagai berikut: a) Berada di bawah kedaulatan penuh negara (sovereignty), b) Negara memiliki yurisdiksi khusus (control), c) Negara memiliki hak-hak eksklusif (souvereign rights), d) Tunduk pada prinsip kebebasan di laut lepas (freedom of the high seas), e) Dinyatakan sebagai milik bersama umat manusia (common heritage of mankind), dasar laut samudera dalam di luar yurisdiksi nasional (kawasan). Untuk setiap zona maritim Konvensi (UNCLOS) 1982 memuat berbagai ketentuan yang mengatur tentang penetapan batas-batas terluarnya (outer limit) dengan batas-batas maksimum yang ditetapkan sebagai berikut: 1. Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara:12 mil-laut; 2. Zona tambahan dimana negaramemiliki yurisdiksi khusus: 24 mil-laut; 3. Zona ekonomi eksklusif:200 mil-laut; 4. Landas kontinen: 200–350 mil laut atau sampai dengan 100 mil-laut dari isobath (kedalaman) 2.500 meter. Di samping itu Konvensi 1982 juga menetapkan bahwa suatu Negara kepulauan juga berhak untuk menetapkan: 1. Perairan kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis pangkal kepulauannya; 2. Perairan pedalaman pada perairan kepulauannya; Kedaulatan negara pada perairan kepulauan selain wilayah daratan dan perairan pedalamannya, dan juga meliputi suatu jalur laut yang berbatasan yang disebut dengan laut teritorial. Kedaulatan ini meliputi ruang udara di atas laut territorial serta dasar laut dan tanah di bawahnya. Kedaulatan di atas laut teritorial ini dilaksanakan dengan tunduk pada ketentuanketentuan Konvensi Hukum Laut Internasional dan peraturan hukum internasional lainnya. 6. Strategi Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil Terluar. Berdasarkan pemikiran yang telah ada, maka terdapat dua hal pokok yang perlu dipertimbangkan dalam penataan ruang pulau-pulau kecil terluar, yakni: pertama, berkenaan dengan upaya pengembangan kegiatan sosial ekonomi dan kedua, berkaitan dengan ”daya dukung lingkungan”. Pada hakikatnya kedua hal tersebut perlu ”dipertemukan” sehingga dapat diperoleh optimasi pemanfaatan sumber daya alam yang dikaitkan dengan usaha pemerataan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

34


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan juga berdasarkan atas pertimbangan pembangunan yang berkelanjutan. Setiap usaha yang berkitan dengan pengembangan kegiatan ekonomi maupun sosial, umumnya akan selalu membutuhkan sejumlah sumber daya alam tertentu yang di peroleh dari suatu “lingkungan geografis”. Sesuai dengan sifat alamnya, suatu lingkungan geografis akan di hadapkan pada faktor “keterbatasan” atau limitasi. Apabila ditinjau dari sisi pengembangan kegiatan ekonomi, peran lingkungan geographis ini dapat dipandang sebagai “aspek supply” dan tidak selalu dapat menunjang kebutuhan pengembangan kegiatan sosial-ekonomi yang berada di atasnya. Khusus untuk pulau-pulau kecil, sesuai dengan ciri yang dimilikinya, kondisi lingkungan geografisnya memiliki keterbatasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan “mainland”. Sehubungan dengan hal tersebut, dibutuhkan pendekatan pengelolaan pembangunan yang lebih spesifik untuk pulau-pulau kecil. Hubungan antara pengembangan kegiatan sosial-ekonomi dengan lingkungan geografis tidak selamanya harmonis. Penyebabnya, pada umumnya kegiatan sosial-ekonomi, yang dapat dikenali sebagai “aspek demand”, berkembang jauh lebih pesat dibandingkan dengan ketersediaan sumber daya pendukungnya. Sehubungan dengan hal tersebut, pada tingkat daya dukung tertentu seyogyanya perkembangan kegiatan sosial-ekonomi perlu dibatasi agar dapat dicegah atau dikurangi dampak negatif yang dapat ditimbulkannya, misalnya meningkatnya polusi, erosi, pengrusakan lanskap, dan hilangnya biota penting. Pada hakekatnya, fenomena dampak negatif lingkungan disebabkan oleh timbulnya ”sideeffect” akibat setiap perkembangan kegiatan sosial-ekonomi dan hal ini merupakan respon adanya “kepekaan” sumber daya yang ada. Di sisi lain, setiap upaya pengembangan kegiatan sosial-ekonomi akan menuntut adanya suatu “resources requirement” berdasarkan atas spesifikasi kegiatan sosial-ekonomi yang akan dikembangkan. Hal ini merupakan respon dari adanya pemanfaatan sumber daya yang ada (utility of existing resources).

Gambar 1. Hubungan antara Kegiatan Ekonomis dan Lingkungan Geografis

Pada prinsipnya, pendekatan yang dilakukan dalam penataan ruang pulau-pulau kecil ditekankan pada upaya mengenali peluang pengembangan berbagai macam kegiatan dengan memperhatikan akibat lingkungan dan ekonomi yang mungkin timbul.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

35


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dalam melakukan penataan ruang pulau-pulau kecil ada lima tahap analisis yang perlu dilakukan, yaitu: a) Melakukan analisis terhadap peran sumber daya yang ada (analysis of potential role of resources). b) Melakukan analisis dampak yang ditimbulkan (analysis of side effects). c) Menganalisis sensitivitas sumber daya yang ada (analysis of sensitivity of resources). d) Melakukan analisis terhadap akibat pembangunan (analysis of potential consequences of development). e) Melakukan analisis konflik (analysis of conflicts).

Gambar 2: Analisis Hubungan Antara Sumber Daya dengan Kegiatan Kelima pendekatan analisis tersebut, pada hakikatnya ditujukan untuk dapat mengambil keputusan pembangunan yang optimal. Berkaitan dengan upaya penataan ruang pulau kecil seperti Pulau Selayar di Sulawesi Selatan, perhatian terhadap upaya menjaga “kapasitas daya dukung lingkungan� menjadi sangat penting artinya. Untuk itu ada empat dimensi lingkungan yang perlu dikenali agar keputusan pembangunan yang diambil dapat mencerminkan nuansa “pembangunan yang berkelanjutan�, yaitu: a) Teritorial, dapat menunjukkan area yang dapat dimanfaatkan bagi pengembangan suatu kegiatan. b) Kuantitatif, dapat menunjukan besaran kegiatan yang akan dikembangkan c) Kualitatif, dapat menunjukan jenis kegiatan yang akan dihasilkan d) Temporal, dapat menunjukkan tingkat perkembangan yang dapat ditoleransi. Lahirnya kebijakan pemerintah berupa Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005 Tanggal 29 Desember 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar memberikan pedoman yang semakin jelas dalam penataan dan pemeliharaan kawasan pulau-pulau kecil terluar. Berdasarkan pokok pikiran dan semangat kebijakan tersebut serta untuk mengatasi permasalahan dalam pemanfaatan ruang pulau-pulau terluar diperlukan pengelolaan penataan ruang secara terpadu yang meliputi: Peran serta Masyarakat dan Pelaku Pembangunan. Penataan ruang dapat dilihat sebagai kebijakan publik yang mengoptimalkan kepentingan antar pelaku pembangunan (pemerintah, swasta, dan masyarakat) dalam pemanfaatan ruang laut pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga proses perencanaan tata ruang yang demokratis dan akomodatif terhadap semua kepentingan pelaku pembangunan. Pengalaman masa lalu banyak menunjukkan bahwa perencanaan yang prosedural, normatif dan kurang mengakomodasikan kepentingan para pelaku pembangunan yang ada di dalam proses penyusunannya, menjadi kurang dapat diimplentasikan karena menghadapi berbagai kendala di lapangan. Rencana-rencana seperti itu selain kurang aspiratif juga cenderung tidak diakui, tidak diterima, dan tidak ditaati di dalam pelaksanaannya. Kompensasi. Masyarakat selama ini tidak mengetahui ataupun diberi hak untuk menegosiasikan penyelesaian konflik, ataupun aspek kompensasi terhadap konsekuensiPersatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

36


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

konsekuensi biaya dampak yang timbul akibat diberlakukannya rencana tata ruang pada suatu kawasan, baik terhadap timbulnya dampak lingkungan fisik ataupun sosial-ekonomi. Otonomi Daerah dan Desentralisasi. Undang-Undang No.32/1999 tentang Pemerintahan Daerah memberi peluang kepada daerah agar leluasa mengatur dan melaksanakan kewenangan atas dasar prakarsa sendiri sesuai dengan kepentingan masyarakat setempat dan potensi setiap daerah. Kewenangan daerah tersebut dilaksanakan secara luas, utuh, dan bulat yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi pada semua bidang. Dalam kerangka negara kesatuan, meskipun daerah diberikan otonomi secara luas, tetapi tetap diperlukan adanya konsistensi baik hal keterpaduan substansi maupun kesamaan visi-misi secara nasional. Oleh karena itu, sesuai dengan kewenangannya, pemerintah pusat berkepentingan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan strategis dan pedoman-pedoman teknis yang berlaku secara umum. Penentuan Zona Preservasi, Konservasi, dan Pemanfaatan Intensif. Prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan pada penataan ruang dengan terlebih dahulu membagi ruang ke dalam zona preservasi, konservasi dan pemanfaatan intensif. Clark (1976) mendefinisikan daerah preservasi, pemanfaatan intensif dan konservasi sebagai berikut : - Zona preservasi adalah zona yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan publik baik rekreasi, ekonomi, estetika, maupun daerah proteksi banjir, namun daerah ini direkomendasikan untuk dilindungi dari kegiatan pembangunan yang dapat merusak ekosistem. Termasuk di dalamnya mangrove, rawa yang produktif dan bernilai bagi masyarakat pesisir. - Zona pemanfaatan intensif adalah zona yang secara fisik dapat dibangun, daerah ini dapat dibangun langsung atau dengan syarat hanya perubahan yang kecil. - Zona konservasi meliputi kawasan lindung yang secara ekologis sangat kritis untuk dibangun, zona ini berfungsi sebagai penyangga antara zona preservasi dan daerah pemanfaatan intensif. Penentuan Sektor Unggulan. Sektor unggulan merupakan sektor potensial untuk dikembangkan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan intensif. Sektor tersebut memiliki kriteria, yaitu: menghasilkan devisa, menyerap banyak tenaga kerja, dan lain-lain. Penentuan Struktur Tata Ruang. Struktur tata ruang wilayah yang meliputi sistem jaringan dan pusat-pusat kegiatan yang membentuk ruang fisik wilayah harus mendukung dan kondusif bagi pengembangan sektor unggulan yang telah ditentukan, khususnya dalam hal kegiatan pemanfaatan ruang atau kegiatan pembangunan yang menggunakan faktor-faktor produksi (seperti tenaga kerja, kapital, teknologi) dan memiliki eksternalitas negatif baik dampak yang berupa bahan pencemar, sedimen, maupun terhadap perubahan bentang alam. Musyawarah dan Hak Adat atau Tradisional. Keputusan terhadap konflik kepentingan dalam kegiatan pemanfaatan ruang yang terjadi antara para pelaku pembangunan diselesaikan melalui pendekatan musyawarah, dan media partisipatif lainnya. Penataan ruang juga memperhatikan dan mengadopsi akan adanya hak adat atau tradisional dan hak-hak lainnya yang sudah hidup dan berlaku dalam sistem tatanan sosial setempat. Penataan ruang merupakan kebijakan publik yang bermaksud mengoptimalkan kepentingan antar pelaku pembangunan dalam kegiatan pemanfaatan ruang. Penataan ruang juga memadukan secara spasial fungsi-fungsi kegiatan pemanfaatan ruang, baik antar sektor maupun antar wilayah administrasi pemerintahan agar bersinergi positif dan tidak mengganggu. Penataan ruang meliputi proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dalam perencanaan tata ruang perlu memperhatikan faktorfaktor yang menentukan terjadinya produk rencana, yaitu : - Konsensus, adanya peran serta aktif dan kesepakatan-kesepakatan antar pelaku pembangunnan di dalam penyusunan rencana. - Konsistensi, secara teknis ada kesamaan materi dengan rencana-rencana pada tingkat makro. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

37


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008 -

Legitimasi, produk rencana diakui, dapat diterima, dan ditaati oleh semua pelaku pembangunan (karena memperhatikan faktor konsensus di atas). Aspek legal (hukum), produk rencana mempunyai kekuatan dan kepastian hukum. Kompensasi, memperhatikan konsekuensi-konsekuensi biaya dampak yang timbul akibat rencana tata ruang dilaksanakan, baik terhadap biaya dampak lingkungan fisik maupun sosial-ekonomi.

7. Kesimpulan Pemeliharaan batas wilayah melalui penguatan pengelolaan tata ruang pulau-pulau kecil terluar merupakan suatu hal yang penting untuk dilaksanakan. Masalah perbatasan adalah mengenai kewenangan dari negara untuk membuat suatu kebijakan dan peraturan perundang-undangan tentang batas wilayah. Masih banyak juga wilayah perbatasan Indonesia dengan negara lain yang memerlukan penanganan secepatnya, terutama mengenai wilayah yang rawan konflik karena potensi sumber daya alamnya, baik hayati ataupun non hayati. Sepanjang bersangkutan dengan batas laut, batas laut tersebut harus ditetapkan berdasarkan persetujuan dengan negara tetangga yang bersangkutan, khususnya batas-batas laut wilayah zona tambahan, zona ekonomi eksklusif, dan landas kontinen. Batas-batas maritim Indonesia ke laut bebas dapat dilakukan sendiri oleh Indonesia dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Hukum Internasional dan ketentuan-ketentuan Hukum Laut Internasional. Perbatasan suatu negara berpengaruh pada kondisi politik, pertahanan keamanan, ekonomi dan sosial budaya pada masyarakat secara keseluruhan maupun pada masyarakat di perbatasan. Penataan ruang pada dasarnya merupakan suatu upaya pemanfaatan potensi suatu wilayah atau kawasan bagi pembangunan secara berkelanjutan dengan mengurangi konflik pemanfaatan ruang oleh berbagai kegiatan, sehingga dapat dicapai suatu keharmonisan antara kegiatan dengan lingkungannya. Dalam hal ini penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan satu kesatuan sistem yang tidak terpisahkan satu dengan yang lainnya. Dalam penataan ruang pulau-pulau kecil terluar, secara fisik batas wilayah perencanaannya akan lebih “fleksibel� karena sangat dipengaruhi oleh batasan fungsi ekosistem. Sesuai dengan sifat alamnya, pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu lebih ditekankan pada aspek preservasi dan konservasi dibanding dengan pembangunan yang bersifat intensif. Dalam kaitannya dengan upaya pengembangan pulau-pulau kecil, ada dua hal pokok yang perlu diperhatikan, yaitu: pertama, menentukan batas ambang kegiatan di pulau tersebut; kedua mengintergrasikan perlindungan habitat ke dalam kegiatan ekonomi, sehingga dapat terjadinya sinergi antara pengembangan kegiatan usaha dengan upaya melindungi dan melestarikan habitat dan sumber daya alam yang ada. 8. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Dahuri, R. 1993. Model Pembangunan Sumber Daya Perikanan secara Berkelanjutan. Prosiding Simposium Perikanan Indonesia I: 297-316. Dahuri, R., J. Rais., S.P. Ginting., dan M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dahuri. R, 1998. Model Pembangunan Ekosistem Pulau-Pulau Kecil Secara Optimal dan Berkelanjutan – Studi Kasus Pulau Siberut. Majalah Alami, Vol 3, Nomor 1, DIT. TPSLM. Jakarta. Dahuri. R, 2002. Membangun Kembali Perekonomian Indonesia Melalui Sektor Perikanan dan Kelautan, LISPI. Jakarta. Dahuri, R. 2000. Pembangunan Kawasan Pesisir dan Lautan: Tinjauan Aspek Ekologis dan Ekonomi. Jurnal Ekonomi Lingkungan 12: 13-33. de Klerk, L.G. de., 1983. Zeespigel Riffen en Kustflakten in Zuitwest Sulawesi, Indonesia, PhD Thesis Utrecht Netherland. Direktorat PPPK. 2003. Database Potensi Pulau-pulau Kecil di Indonesia. Direktorat Pemberdayaan Pulau-Pulau Kecil. Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Kelautan dan Perikanan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

38


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22.

Djalal, Hasjim, Menentukan Batas Negara Guna Meningkatkan Pengawasan, Penegakan Hukum dan Kedaulatan NKRI, Ceramah Umum Hukum Laut, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 2005. —————, Sistem Keamanan Perbatasan Indonesia, Majalah Berita Perbatasan, Departemen Dalam Negeri, Edisis 02/Th1, Des 2002/Jan 2003. FAO. 1995. Code of Conduct for Responsible Fisheries. FAO Fisheries Department (online). Accessed 9 Juli 2002: 24 pp. Fauzi, Akhmad dan Anna, Suzy, 2005, Pemodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Glassner and Blij, 1980,43 dalam Muchlis Hamdi, Pengelolaan Wilayah Perbatasan-perbatasan, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Desember 2002/Januari 2003, h. 36. Hamdi, Muchlis, Pengelolaan Wilayah Perbatasan, Perbatasan, Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, Desember, 2002/Januari 2003. Hartono, Sunaryati, C.F.G. , Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994. Kozlowski. J, 1986. Threshold Approached In Urban, Regional And Environmental Planning-Theory and Practice, University of Queensland Press, Brisbane. Robert Kay and Jacqueline Alder, 1999. Coastal Planning and Management, E & FN Spon. New York. Rodney. V. Salm, John R. Clark, Erkky Siirila, 2000. Marine and Coastal Protected Areas - A Guide For Planners and Managers. Third Edition, IUCN. Cambrige UK. S, Mulyadi, 2005, Ekonomi Kelautan, Jakarta : Rajagrafindo Persada. Sumardiman, Adi ,Aspek Yuridis dalam penataan Batas Negara, Pusat Pemetaan Batas Wilayah, Bakorsurtanal, 2004. Meuwissen, D.H.M. ,Pengembanan Hukum, Pro Justitia, Universitas Parahiyangan, Th. XII, Nomor.1, Januari 1994. Montevideo Convention on the Rights and Duties of States, 1933. Simbolon, EffendiM.S., Masalah Batas Wilayah NKRI: Kasus Ambalat Ditinjau dari Aspek Sosial – Politik, Seminar, Bandung, 23 April 2005

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

39


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

NASIONAL Pemilu 2009: Akhir Masa Transisi? Asra Virgianita, M.A. Staf Pengajar Departemen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia Peneliti di Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia E-mail: asra_virgianita@yahoo.com

“You can have election without democracy, but you can not have democracy without election�

Pada tahun 2009 bangsa Indonesia akan kembali melaksanakan pemilu demokratis setelah jatuhnya Pemerintahan Orde Baru. Pada zaman Orde Baru, pemilu juga dilaksanakan secara rutin setiap lima tahun, sebagai pengejawantahan Demokrasi Pancasila, yang sesungguhnya merupakan sebuah demokrasi semu yang diciptakan sebagai cara melegitimasi kekuasaan permerintahan Order Baru. Indonesia telah kembali masuk ke dalam alam demokrasi pada tahun 1998 ketika pemerintahan Soeharto jatuh. Pemilu demokratis pertama dan kedua terselenggara pada tahun 1999 dan 2004. Kedua pemilu tersebut dinilai sebagai pemilu yang cukup berhasil untuk mengantar bangsa Indonesia menuju negara demokratis yang sesungguhnya. Kini pemilu demokratis yang ketiga akan dilaksanakan pada tahun 2009. Tentunya momentum ini perlu kita sambut dengan suka cita, berharap pemerintahan yang terpilih nantinya bisa menggiring kita lebih dekat ke sistem demokrasi yang lebih mapan, tidak hanya kemapanan dalam bidang politik, tetapi juga di bidang sosial dan ekonomi. Secara teori, ada tiga tahap yang harus dilalui dalam proses demokratisasi suatu negara, yaitu tahap liberalisasi, transisi, dan konsolidasi (Schmidtz & Sell: 1999). Tahap liberalisasi telah kita lalui, yang ditandai dengan jatuhnya Pemerintahan Orde Baru. Saat ini kita sedang berada dan bergelut dalam masa transisi, masa yang paling penting untuk menentukan langkah ke depan reformasi di negara kita. Tak mudah memang melalui masa transisi ini, mengingat banyak sekali pekerjaan rumah yang diwariskan oleh pemerintahan sebelumnya, yang menuntut apa yang disebut dengan “democratization cost� yang tidak sedikit. Biaya ekonomi dan sosial yang tidak sedikit harus menjadi pendorong suksesnya bangsa kita melalui masa transisi ini. Kegagalan melalui masa transisi ini, akan menjadikan biaya yang sudah dikeluarkan menjadi sia-sia dan semakin menuntut cost yang besar. Bila hal ini terjadi, dikhawatirkan akan berdampak pada keapatisan masyarakat terhadap keberlangsungan proses demokratisasi di negara kita. Ironisnya, kita sadari atau tidak, indikasi gerak mundur masa transisi ini dapat terbaca dari beberapa perkembangan akhir-akhir ini. Munculnya suara-suara yang mengusulkan digunakannya kembali sistem bipartai, karena sistem multipartai dianggap tidak memberikan dampak signifikan, menjadi salah satu indikasi tersebut. Terlepas dari motif apapun di balik berdirinya suatu partai, rasanya kita perlu memberikan sambutan positif terhadap antusiasme masyarakat tersebut. Sistem multipartai saat ini masih menjadi pilihan terbaik setelah trauma yang mendalam dari sistem bipartai yang pernah kita jalani selama 32 tahun. Revisi UU Pemilu Legislatif 2009 juga dinilai sebagian kalangan sebagai langkah mundur karena revisi tersebut dinilai tidak membawa perubahan yang berarti. Sebaliknya, disinyalir bahwa revisi UU itu dilatarbelakangi kehendak para politisi partai untuk menjaga peluang mendapatkan kursi baik tingkat pusat maupun daerah. Apa yang kita harapkan dari Pemilu 2009 jika kepentingan partai atau individu masih menjadi nomor satu, dan meletakkan kepentingan bangsa pada nomor kesekian? Fenomena masih dijadikannya politik sebagai alat untuk mencapai kepentingan ekonomi dan kekuasaan masih banyak terjadi. Terkuaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh anggota dewan, kasus BLBI, dan kasus korupsi di tubuh KPU menambah suramnya masa transisi ini. KPU, sebagai lembaga pelaksana pemilu yang diharapkan bisa menggiring Indonesia menjalankan pemilu yang jujur dan adil (jurdil) seharusnya menjadi lembaga yang bersih dari praktik-praktik menyimpang. Pemilu 2009 seharusnya menjadi momentum bagi KPU untuk membuktikan bahwa tidak akan ada lagi kasus

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

40


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

korupsi di tubuh KPU yang terkuak setelah pelaksanaan pemilu. Bukan berarti tidak terkuak karena tertutup rapat oleh karpet merah, akan tetapi karena benar- benar bersih dan transparan. Lebih jauh, Pemilu 2009 seharusnya menjadi harapan bagi masyarakat Indonesia untuk bisa segera meninggalkan masa transisi ini dan segera memasuki tahap konsolidasi. Tapi akankah Pemilu 2009 mampu mengantarkan kita mengakhiri masa transisi ini dan menuju ke pintu masuk tahap konsolidasi? Berdasarkan kondisi yang ada saat ini rasanya tidak salah jika saya katakan bahwa peluang tersebut masih kecil. Pengalaman negara-negara yang telah lebih dulu melalui proses demokratisasi seperti Filipina dan negara-negara di Amerika Latin menunjukkan bahwa panjangnya masa transisi di suatu negara sangat bervariasi, tergantung pada bagaimana pemerintah dan masyarakatnya mempersiapkan kebutuhan ”software” dan ”hardware” untuk memasuki tahap konsolidasi. Masih lemahnya civil society dalam tatanan sistem politik kita juga menjadi salah satu dari sekian banyak batu kerikil yang menghalangi jalannya demokratisasi di negara kita. Hal ini bukan berarti memupuskan harapan terhadap proses transisi yang sedang berjalan. Sebaliknya, partisipasi kita untuk aktif mengawal proses transisi ini semakin dituntut. Mari kita jaga proses demokratisasi yang sedang berjalan saat ini agar tidak bergerak mundur atau hanya berjalan di tempat. Jika tidak, negara kita akan menjadi failed state yang akan kehilangan sendi-sendi penting bagi berdirinya sebuah negara yang demokratis dan kuat. Bersikap kritis, tidak apatis, dan menggunakan hak pilih dengan cermat, merupakan contoh pilihan dari sekian banyak cara yang bisa dilakukan untuk menjaga proses demokrasi ini tetap berlangsung. Dengan demikian, jelas bahwa jawaban atas pertanyaan tentang kapankah bangsa Indonesia akan melewati masa transisi dan sampai pada tahap konsolidasi, sesungguhnya berada di tangan saya dan Anda.

Daftar Pustaka Hans Peter Schmitz and Katrin Sell. (1999). “International Factors in Process of Political Democratization” in Jean Grugel (ed.). Democracy without Borders: Transnationalization and Conditionality in New Democracies, London & New York: Routledge/ECPR Studies in European Political Science.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

41


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

HUMANIORA Responsible Tourism – Pariwisata Yang Bertanggung Jawab: Beberapa Gagasan Penerapannya di Keseharian Kita Devi Roza K. Kausar Graduate School of International Development Nagoya University E-mail : devi@nagoya-u.jp

1. Sekilas Mengenai Konsep Responsible Tourism Konsep responsible tourism yang dapat diterjemahkan secara bebas sebagai pariwisata yang bertanggung jawab, adalah konsep yang baru muncul dalam beberapa tahun terakhir. Konsep ini merupakan hasil evolusi dan pengembangan dari konsep-konsep terdahulu, seperti sustainable tourism (pariwisata berkelanjutan) dan ecotourism (ekowisata). Dalam bahasa aslinya maupun dalam terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indonesia, sulit untuk menangkap maksud yang sebetulnya dari konsep ini. Pertanyaan yang mungkin timbul adalah: “Siapa yang harus bertanggung jawab?’ Bertanggung jawab kepada apa atau siapa?” dan “Hal apa yang harus dipertanggungjawabkan?” Untuk memahami apa yang dimaksud dengan pariwisata yang bertanggung jawab, terlebih dahulu kita akan menyinggung setidaknya dua konsep yang menjadi akar dari konsep ini, yaitu pariwisata berkelanjutan dan ekowisata. Pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism adalah sebuah konsep turunan dari konsep pembangunan berkelanjutan yang ada pada laporan World Commission on Environment and Development, berjudul Our Common Future (atau lebih dikenal dengan the Brundtland Report) yang diserahkan ke lembaga PBB pada tahun 1987 (Mowforth dan Munt 1998). Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu proses pembangunan yang berusaha untuk memenuhi kebutuhan sekarang dan selanjutnya diwariskan kepada generasi mendatang. Singkat kata, dengan pembangunan berkelanjutan generasi sekarang dan generasi yang akan datang mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk menikmati alam beserta isinya. Sedangkan pariwisata berkelanjutan sendiri adalah sebuah proses dan sistem pembangunan pariwisata yang dapat menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber daya alam, kehidupan sosial-budaya dan ekonomi hingga generasi yang akan datang. Intinya, pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang dapat memberikan manfaat jangka panjang kepada perekonomian lokal tanpa merusak lingkungan. Salah satu mekanisme dari pariwisata berkelanjutan adalah ekowisata yang merupakan perpaduan antara konservasi dan pariwisata, yaitu pendapatan yang diperoleh dari pariwisata seharusnya dikembalikan untuk kawasan yang perlu dilindungi untuk pelestarian dan peningkatan kondisi social ekonomi masyarakat di sekitarnya. Ekowisata menurut International Ecotourism Society adalah perjalanan yang bertanggung jawab ke tempat-tempat yang alami dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Munculnya istilah responsible tourism atau pariwisata yang bertanggung jawab seakan ingin melengkapi konsep-konsep terdahulu. Definisi pariwisata berkelanjutan menurut sebagian orang agak sulit dipahami maksud dan operasionalisasinya secara langsung, sedangkan definisi ekowisata cenderung mengarah hanya kepada wisata berbasis alam terutama kawasan yang dilindungi seperti taman nasional dan cagar alam. Tujuan yang ingin dicapai oleh responsible tourism sesungguhnya sama dengan kedua konsep sebelumnya yaitu pariwisata yang berusaha meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dan masyarakat. Tetapi responsible tourism lebih menekankan pilihan yang diambil oleh konsumen dalam menentukan tujuan wisata, akomodasi, model transportasi dan cara melakukan perjalanan, misalnya memilih mengatur sendiri perjalanannya dibandingkan mengikuti kelompok tur (www.visitbritain.com). Responsible tourism juga menekankan kesadaran wisatawan itu sendiri untuk meminimalkan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

42


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

dampak-dampak responsable.org)

negatif

dari

kunjungannya

ke

suatu

tempat

(www.eveil-tourisme-

Sebuah situs bernama http://www.responsibletravel.com yang berbasis di Inggris juga ikut mempopulerkan responsible tourism. Situs ini memuat beragam pilihan akomodasi dan paket liburan di berbagai negara dengan beragam tema, seperti melihat satwa liar, menikmati alam di sebuah kawasan lindung, tinggal di akomodasi yang berwawasan lingkungan, dan bahkan menjadi volunteer atau sukarelawan di berbagai tempat yang membutuhkan bantuan. Organisasi responsible travel menyeleksi berbagai tujuan wisata, operator perjalanan wisata (tour operator), akomodasi, bahkan pemandu wisata yang dapat dipasarkan lewat situs mereka dengan kriteria-kriteria tertentu. Beberapa aktivitas dan tempat di Indonesia yang masuk ke dalam jaringan responsible travel, antara lain: 1. Pengamatan burung di Taman Nasional Bali Barat yang termasuk di dalam paket Bali Activity and Cultural Holiday 2. Bali Mountain Eco-lodge 3. Pusat Rehabilitasi Orangutan di Bukit Lawang dan trekking di Tangkahan yang termasuk di dalam paket Indonesia Holidays, Tailor Made 4. Komodo Dragon Eco-lodge di Flores 5. Orangutan Tour di Kalimantan dan Sumatra 6. Wisata bahari dan selam di Sulawesi Sedangkan beberapa tempat di Jepang yang ada pada situs tersebut adalah: 1. Wisata sepeda (cycling tour) di Kyoto dan Nara 2. Mendaki Gunung Fuji yang termasuk di dalam paket wisata petualangan (Adventure Holiday) 3. Wisata kuliner dari Tokyo ke Hiroshima 4. Menyusuri sungai dengan kano di Fox Canyon, Minakami 2. Responsible Tourism Sebagai Fenomena Dari Negara Maju Fenomena pariwisata yang lebih berwawasan lingkungan memang datang dari negara-negara maju khususnya Amerika, Inggris, dan negara-negara Eropa sebagaimana fenomena mass tourism atau pariwisata massal. Mass tourism biasanya bercirikan wisatawan melakukan perjalanan dalam kelompok besar dan segala aktivitasnya sudah diatur oleh operator perjalanan wisata. Dari sisi wisatawan, tidak ada yang salah memang dengan mass tourism ini, karena kenyataannya banyak wisatawan yang merasa lebih aman dan nyaman apabila semua komponen perjalanannya sudah diatur sedemikian rupa. Namun demikian, banyak studi mengindikasikan bahwa manfaat ekonomi dari tipe mass tourism kurang dapat menyentuh masyarakat di tingkat bawah. Interaksi antara wisatawan dengan masyarakat setempat pun terbatas karena wisatawan hanya memiliki waktu terbatas untuk mengeksplorasi daerah atau obyek yang didatanginya sebelum kembali ke bus-bus yang mengangkut mereka. Kembali ke fenomena responsible tourism, pangsa pasar responsible tourism dan juga ekowisata dari negara-negara Barat biasanya adalah orang-orang berpendidikan dan berpenghasilan tinggi, serta banyak di antara mereka yang tinggal di daerah-daerah perkotaan. Bagi sebagian mereka, membayar harga di atas rata-rata untuk sebuah pengalaman yang berbeda (bahkan kadang harus menurunkan standar kenyamanan) bukanlah suatu persoalan. Hal-hal yang menjadi prioritas adalah kesempatan untuk berinteraksi lebih dekat dengan alam, budaya, dan masyarakat di tempat-tempat yang mereka datangi. Kemudian, bagaimana halnya dengan wisatawan dari negara berkembang? Relevankah konsep responsible tourism ini bagi kita? Sebuah studi mengenai pariwisata pedesaan di Malaysia oleh Liu (2006) pernah mencatat suatu kecenderungan bahwa semakin membaik kesejahteraan maka semakin kuat keinginan untuk merasakan kemewahan, termasuk dalam menentukan tujuan wisata serta akomodasi. Paling tidak hal ini merupakan kecenderungan di Malaysia yang mungkin juga terjadi di Indonesia. Tentu saja hal ini sangat manusiawi. Apalagi dalam konteks negara kita, adalah konsumen dari kelas menengah ke atas yang membantu mendongkrak tingkat okupansi hotel-hotel berbintang di tanah air ketika jumlah wisatawan

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

43


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

mancanegara menurun akibat isu terorisme, SARS, dan lain sebagainya. Wisatawan nusantara pula yang kini semakin menggandrungi wisata atau sekedar rekreasi berbasis alam, seperti arung jeram, team building melalui paket outbond, dan mendatangi pusat-pusat pendidikan konservasi seperti Pusat Pendidikan Konservasi Bodogol di kaki Gunung Gede-Pangrango. Ketika kita ingin merasakan liburan di hotel berbintang misalnya, bisakah kita tetap menerapkan gagasan responsible tourism dalam pilihan-pilihan kita sebagai konsumen? Tentu saja bisa karena semestinya konsep ini bisa diterapkan di mana saja. Kita dapat memulainya dengan menghemat konsumsi energi di kamar hotel kita meskipun kita tidak akan membayar rekening listriknya (paling tidak, tidak secara langsung). Buanglah sampah pada tempatnya dan jika tempat yang anda kunjungi sudah mempunyai sistem pemisahan sampah maka berusahalah untuk menaatinya. Sebisa mungkin cobalah makanan khas lokal, belilah cindera mata lokal dan hindari membeli cindera mata yang bahan bakunya berasal dari jenis tumbuhan atau bahkan hewan yang dilindungi. Ajaklah diri kita sendiri untuk menjadikan perjalanan tersebut menjadi sebuah pembelajaran, penemuan, dan petualangan. 3. Kode Etik Bagi Wisatawan Sebuah majalah yang berjudul the New Internationalist dalam edisi Maret 2008 memuat kode etik bagi wisatawan yang mungkin bermanfaat bagi kita. Berikut disarikan dari New Internationalist Travellers’ Code: 1. Pilihlah organisasi-organisasi wisata yang mempunyai kebijakan yang jelas mengenai pembagian manfaat ekonomi bagi penduduk lokal di tempat-tempat yang akan anda kunjungi. 2. Sekali waktu, cobalah akomodasi skala kecil seperti ryokan di Jepang, hostel, Bed & Breakfast di Inggris dan Australia, atau guest house di Indonesia. Tinggal di akomodasi berskala kecil akan memberikan lebih banyak kesempatan bagi anda untuk mengetahui lebih dekat kehidupan lokal dan memberikan penghasilan langsung ke tingkat lokal. 3. Cobalah makanan lokal, bukan saja untuk mencoba sesuatu yang baru tetapi juga karena makanan lokal kemungkinan besar dibuat dengan menggunakan bahan lokal dari pemasok lokal pula. 4. Sensitiflah terhadap perasaan orang-orang di sekitar anda, terutama penduduk lokal di daerah yang anda kunjungi. Mintalah ijin sebelum mengambil gambar mereka dengan kamera anda. 5. Cobalah untuk lebih dermawan. Menawar sampai serendah-rendahnya bukanlah hal yang paling penting apalagi jika anda mengunjungi daerah dengan tingkat perekonomian yang rendah. 6. Bersikap kritis terhadap paket-paket wisata bertajuk “eco� atau yang mengklaim dirinya ramah lingkungan. Selidiki dahulu sebelum membeli. 7. Sensitiflah terhadap adat dan kebiasaan lokal, termasuk terhadap praktek-praktek religi yang mungkin dilakukan oleh penduduk lokal.

4. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

www.ecotourism.org www.eveil-tourisme-responsable.org Liu, A. (2006) Tourism in Rural Areas: Kedah, Malaysia. Tourism Management 27(5), hal. 878 – 889. Mowfort, M dan Munt, I (1998) Tourism and Sustainability: New Tourism in the Third World. Routledge, London New Internationalist, edisi Maret 2008 www.responsibletravel.com www.visitbritain.com

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

44


INOVASI Vol. 12/XX/November 2008

Tim Redaksi Inovasi Penanggung Jawab

Ketua PPI-Jepang Deddy Nur Zaman

Pemimpin Redaksi

Sorja Koesuma

Redaktur Murni Ramli Bambang Widyantoro Agustan Dina Faoziah Konsultan Bahasa

Imelda

Produksi

Aries Setiawan

Cover

Reaktor nuklir serbaguna G.A. Siwabessy di kawasan Pusat Penelitian

Ilmu

Pengetahuan

dan

Teknologi

(PUSPIPTEK),

Serpong yang sedang aktif bekerja (cahaya Cerenkov), sebagai salah satu sumber energi alternatif dengan emisi CO2 rendah. Ani Sekarningsih (Foto) Sorja Koesuma (Setting)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

45


GUIDELINES PENULISAN NASKAH UNTUK MAJALAH INOVASI (FONT: ARIAL 12 POINTS, BOLD) Nama penulis-1 (font: Arial 10.5 points, bold) Afiliasi penulis-1 (font: Arial 10 points) E-mail: email@address.com (font: Arial 10 points, italic)

Nama penulis-2 (font: Arial 10.5 points, bold) Afiliasi penulis-2 (font: Arial 10 points) E-mail: email@address.com (font: Arial 10 points, italic) 1. Inovasi (font: Arial 10 points, bold) Majalah INOVASI (ISSN: 0917-8376) diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (http://www.ppi-jepang.org/) sebagai majalah ilmiah semi-populer berkala dan bersifat on-line. Dirancang untuk terbit 3 kali dalam setahun, majalah INOVASI mengangkat satu topik utama di setiap edisi sebagai fokus bahasan, dan menyajikan beragam tulisan dari berbagai topik, khususnya IPTEK, sosial-politik, ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan topik humaniora lainnya. Majalah INOVASI berfungsi sebagai media untuk mengartikulasikan ide, pikiran, maupun hasil penelitian dalam rangka memperkaya wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan. 2.

Kategori Artikel

Majalah INOVASI menerima naskah baik yang bersifat ilmiah populer maupun ilmiah nonpopuler dengan kategori sebagai berikut: 2.1.

Artikel Ilmiah Populer

Tulisan dapat berupa telaah literatur (review) singkat yang dikemas dalam bahasa ilmiah populer dan disertai dengan daftar pustaka yang memadai, maupun artikel yang berisi tentang perspektif, ide-ide atau gagasan baru yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan tidak lebih dari 6000 karakter atau maksimal 4 halaman. 2.2.

Artikel Ilmiah Non-populer

Berupa naskah asli (manuskrip) hasil penelitian, survey atau telaah kasus yang belum pernah dipublikasikan dan tidak akan dipublikasikan di media lainnya. a. Maksimal 9000 karakter atau tidak lebih dari 6 halaman dan ditulis dalam bahasa Indonesia/Inggris, dilengkapi dengan abstrak berbahasa Indonesia/Inggris. b. Judul harus menggambarkan isi pokok secara ringkas dan jelas serta tidak melebihi 10 kata. c. Struktur naskah terdiri atas Pendahuluan, Uraian Isi (metode dan pembahasan), Kesimpulan dan Daftar Pustaka. Judul bab tidak harus seperti struktur naskah tersebut, misal: I. Pendahuluan, II. Uraian‌ Akan tetapi dapat disesuaikan, misal: Perspektif Pertanian 5 tahun masa reformasi (mewakili pendahuluan)‌ dst. Huruf pertama setiap kata dalam judul bab harus ditulis dengan huruf kapital d. Pendahuluan berisi latar belakang/masalah, hipotesis, pendekatan dan tujuan yang hendak dicapai.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

46


e. Uraian isi terdiri dari judul bab yang disesuaikan dengan kebutuhan dan informasi yang tersedia. Apabila naskah ini menyampaikan hasil penelitian yang khas, judul bab dalam uraian isi dapat terdiri dari Bahan dan Metode serta Hasil dan Pembahasan. f. Sangat disarankan jika dalam uraian isi/pembahasan bersifat kuantitatif. Misal: A lebih besar 10% daripada B, bukan A lebih besar dari B. g. Kesimpulan memuat secara singkat hasil yang telah diuraikan sebelumnya. Dapat dibuat dengan menggunakan penomoran atau dalam satu paragraph. 3.

Format Penulisan Artikel

Artikel ditulis mengikuti format naskah guidelines ini. Ukuran kertas: A4; Margin atas: 3 cm; margin kiri, kanan dan bawah: 2.5 cm; tulisan: 1 kolom; spasi: tunggal; jenis huruf: Arial; ukuran: 10 points. Judul, nama penulis, afilisasi penulis dan alamat email ditulis dalam 1 kolom (center). Judul ditulis dengan font Arial, 12 points, bold, huruf kapital. Nama penulis ditulis dengan font Arial, 10.5 points, bold. Afiliasi penulis ditulis dengan font Arial, 10 points. Alamat email ditulis dengan font Arial, 10 points, italic. Tulisan menggunakan tata bahasa Indonesia yang baik sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan. Penulis dapat merujuk ke http://www.pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/. 4.

Penulisan Gambar/Ilustrasi

Gambar/Ilustrasi diberi nomor dan judul singkat. Sumber kutipan dicantumkan dengan jelas (jika gambar/ilustrasi merupakan hasil kutipan). Judul diletakkan di bawah gambar/ilustrasi dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan setiap kata diawali dengan huruf besar, kecuali kata-kata seperti, dan, atau, dalam, kata depan, yang, untuk.

GAMBAR

Gb. 1. Judul Gambar/Ilustrasi

(Sumber: ......) 5.

Penulisan Tabel

Judul tabel diletakkan di atas tabel dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan ditulis mengikuti aturan seperti penulisan Judul Gambar.. Tabel. 1. Judul Tabel

Frekuensi (kHz) 76.8 104.6 205.1

Standard Deviasi (cm/s) N=10 N=12 6.723 4.751 3.375 2.112 2.418 1.869 (Sumber data: ‌..)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

47


6.

Pengiriman Naskah

Naskah dikirim melalui elektronik mail dalam bentuk attachment file MS Word ke alamat redaksi INOVASI online sebagai berikut: inovasionline@gmail.com 7.

Daftar Pustaka

Daftar pustaka setiap sumber harus dirujuk dan disusun berdasarkan nama pengarang dan tahun terbit. Daftar pustaka diketik dengan menggunakan font 9. 1. 2. 3. 4.

Nasution, A.H., A.K. Makarim, dan I. Las. 2004. Paradigma Pertanian Nasional. IAJ vol. XI, No. 5, 345-355. Rasmusson, E.M., and J.M. Wallace. 1983. Meteorological Aspects of the El Nino/Southern Oscillation, Science, 222, 1195-1203. Yu, L., dan M. Reinecker. 1998. Evidence of An Extratropical Atmospheric Influence During the Onset of the 1997-98 El Nino. Geophys. Res. Lett., 25(18), 3537-3540. http://search.japantimes.co.jp/cgi-bin/ed20080712a1.html, accessed on July 22, 2008.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

48


Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.