Inovasi-Vol15-Nov2009

Page 1


Majalah INOVASI ISSN: 2085-871X Volume 15/XXI/November 2009 No. Hal EDITORIAL Transformasi Pendidikan Tinggi: Sebuah Investasi Membentuk Peradaban Bangsa (Bambang Widyantoro)

1

TOPIK UTAMA 1.

Membangun Kerja Sama Antaruniversitas, Merajut Mimpi Menuju Universitas Riset (Udin Bahrudin)

2.

Brain Drain: Musibah atau Berkah? (Yuli Setyo Indartono)

5 10

IPTEK & INOVASI 1.

Teknologi Hyperspectral Remote Sensing: Solusi Alternatif Bagi Program Ketahanan Pangan Nasional (Muhamad Sadly)

2.

3.

13

Menuju Solusi Krisis Pangan: Pengelolaan Blue Water dan Green Water Untuk Pertanian (Ardiansyah)

19

Konversi Sampah Perkotaan Menjadi Bahan Bakar (Bayu Indrawan)

27

NASIONAL Community Based Technology Transfer: Case of Indonesian Communities in Japan (Fauzy Ammary)

31

KESEHATAN Penggunaan Madu dalam Perawatan Luka (Haryanto)

36

HUMANIORA Kuliah Dunia Fantasi (Hasanudin Abdurakhman)

39

CATATAN RISET Akurasi Deteksi Mutasi Gen GLB1 dengan Denaturing-High Performance Liquid Chromatography pada Penyakit GM1-Gangliosidosis (Udin Bahrudin)

41

KILAS RISET Epidemiologi Molekuler Virus HIV di Jakarta, Indonesia (Muhareva Raekiansyah)

49

Panduan Penulisan Naskah Untuk Majalah Inovasi

50

Susunan Dewan Editor Inovasi

53


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

EDITORIAL TRANSFORMASI PENDIDIKAN TINGGI: SEBUAH INVESTASI MEMBENTUK PERADABAN BANGSA Bambang Widyantoro Editor Inovasi E-mail: bambang.widyantoro@gmail.com

“Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire.” William Butler Yeast (an Irish Poet, Nobel Prize Laureate in Literature, 1923) Tak dipungkiri, pendidikan tinggi memang masih merupakan hal yang mahal bagi sebagian masyarakat kita. Saat ini, baru sekitar 2% dari total populasi Indonesia yang dapat menikmati jenjang ini, dengan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi tahun 2008 sebesar 18,29%,1 yang masih jauh bila dibandingkan dengan sesama negara berkembang seperti Malaysia, Thailand, dan Filipina yang pada satu dekade lalu APK-nya sudah berada di kisaran 25-30%.2 Meski demikian, di era kompetisi global saat ini, tak pelak semua pihak berharap agar komponen dan keluaran pendidikan tinggi yang direpresentasikan oleh keberadaan Perguruan Tinggi (PT) dan hasil karya para lulusannya dapat menjadi pilar utama penguat daya saing dan penjaga jati diri bangsa. Mengapa demikian? Mari kita lihat satu contoh terdekat. Jepang, dengan keunggulan kolaborasi PT dan dunia industri yang menghasilkan inovasi tak henti di bidang sains dan teknologi tetapi miskin sumber daya alam ini mampu mereguk pendapatan (revenue) besar tiap tahunnya dari hasil menjual aplikasi teknologi ke negara lain. Tidak hanya itu, kesungguhan untuk mandiri dalam sains dan teknologi tergambar jelas dalam perilaku masyarakat terdidiknya dan akhirnya menjadi “trade mark” bagi peradaban bangsa Jepang sendiri. Pertanyaan mendasarnya, sudah mampukah PT di tanah air memenuhi harapan tersebut? Memang sulit untuk mencari jawaban yang akurat tanpa menggunakan parameter dan batasan yang jelas tentang target keluaran yang diharapkan. Namun, melihat dinamika dan persaingan global antarinstitusi, katakan saja di kawasan Asia-Pasifik dalam satu dekade terakhir, tampaknya PT kita perlu berbenah dan bertransformasi untuk menjadi lebih baik. Masa keemasan (era 70-an) saat PT terkemuka di tanah air kebanjiran mahasiswa asing dari Malaysia, Thailand, dan Filipina, serta catatan sejarah adanya kontribusi bermakna dari para staf pengajar ITB, UI, dan PT lain terhadap kemajuan beberapa PT di negara-negara tetangga, sudah saatnya kita hidupkan kembali dan tidak sekadar menjadi nostalgia masa lalu. Banyak pertanyaan lain yang kemudian juga bermunculan di benak. Apa yang salah dengan kondisi selama ini? Transformasi seperti apa yang perlu dilakukan dan mau dibawa ke mana langkah perguruan tinggi di tanah air? Layakkah kita “bermimpi” untuk memiliki PT berkelas dunia (world class university), atau PT berbasis penelitian (research university) dan akhirnya sampai pada PT berkelas daya wirausaha (entrepreneur university), ketika mendapati fakta sederhana tetapi menyedihkan bahwa 6,76% dari total sekitar 9 juta lebih pengangguran terbuka di Indonesia di tahun 2009–meningkat 2 kali lipat dari persentase di tahun 2004–adalah para sarjana lulusan PT.3 Pemerintah melalui Dirjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional harus menyadari kompleksitas masalah yang menaungi 81 PT Negeri (PTN) dan lebih dari 2000 PT Swasta (PTS) kita.4 Tanpa identifikasi masalah yang jelas, dikhawatirkan hanya masalah klasik yaitu sumber Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

1


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

pendanaan pendidikanlah yang akan selalu menjadi pokok bahasan, sedangkan aspek penting lain seperti infrastruktur perundang-undangan, standardisasi dan akreditasi kualitas PT, kinerja para staf pengajarnya, serta pembuatan peta jalan (roadmap) transformasi pendidikan tinggi termasuk upaya menjalin jejaring kerja sama dengan universitas terkemuka di dunia, akan terlupakan. Memang benar bahwa komponen pembiayaan memegang peranan penting dalam keberlangsungan hidup dan aktivitas sebuah PT. Sebuah kajian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi memperkirakan bahwa untuk menyelenggarakan program sarjana dengan mutu yang memadai rata-rata diperlukan biaya pendidikan sebesar Rp18,1 juta/mahasiswa/tahun.4 Sebuah jumlah yang tidak sedikit tentunya dibandingkan dengan SPP yang dibayarkan oleh mahasiswa. Biaya ini idealnya dipikul bersama oleh pemerintah pusat dan daerah (anggaran publik), swadaya masyarakat (mahasiswa) dan sektor produktif/industri. Keberadaan UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang pada bab pendanaan pendidikannya mengarah pada otonomi pembiayaan pendidikan, 5 serta UU Badan Hukum Pendidikan6 yang sempat menuai pro-kontra dan akhirnya disahkan beberapa waktu lalu haruslah mulai dilihat dan dimanfaatkan sebagai sebuah peluang untuk bertransformasi, dari pada sekadar dicurigai sebagai upaya komersialisasi pendidikan dengan diskusi yang tak berujung. Justru di sinilah dituntut komitmen dari pengelola PT untuk tidak membuat PT yang “asal jadi� dan mencari laba semata karena PT adalah sarana penting untuk mendidik tunas muda unggul bangsa ini. PT di tanah air juga perlu mulai menjalin kemitraan strategis dengan dunia industri dan sektor produktif lainnya untuk memperoleh revenue, agar beban pembiayaan tidak lantas dibebankan kepada mahasiswa saja. PT di negara maju seperti Amerika Serikat dan UK sudah sejak lama menjadikan mitra strategis serta pengumpulan dana lestari (endowment funds) sebagai komponen penting dalam mengembangkan pendidikan dan penelitian di kampus mereka.7,8 Di tanah air contohnya adalah para alumni ITB yang memelopori pengumpulan dana lestari, dengan jebolan Fakultas Teknik Elektro tercatat sebagai salah satu donatur terbesar saat ini.9 Di sisi lain, telah diwujudkan secara bertahap amanah UUD 1945 tentang alokasi 20% APBN untuk pendidikan yang tentunya sangat menggembirakan. Total dana yang kira-kira setara dengan Rp62 triliun rupiah di tahun 2009,10 tentu cukup besar untuk dapat dialokasikan dalam upaya peningkatan kualitas PT beserta para staf pengajarnya. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita mengoptimalkan pemanfaatan dana ini dengan bijak dan menentukan prioritas langkah yang akan ditempuh. Pertama, perlu dibuat visi dan misi bersama yang jelas, bahwa komponen dan keluaran pendidikan tinggi kita harus dapat berkontribusi pada kemandirian dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk mencapai ini dibutuhkan kecermatan dalam menjabarkan strategi jangka panjang ke dalam langkah yang terkoordinir dengan baik, dengan target capaian yang jelas. Termasuk di dalamnya adalah kerja sama yang apik dan pembagian peran di antara PT yang ada. Mungkin kita juga harus berbesar hati untuk menerima bahwa tidak perlu semua PT diarahkan menjadi world class university (WCU) ataupun research university (RU). Di tahap awal, cukuplah beberapa PTN potensial yang dipilih dan didaulat menjadi lokomotif penarik dengan dukungan dari pemerintah untuk menjadi WCU dan RU. PT lain dapat didorong mengembangkan diri sesuai potensi dan ciri khasnya masing-masing. Hal ini akan berdampak pada terciptanya kerja sama yang erat antar-PT di tanah air dan terwujudnya efisiensi alokasi sumber dana untuk nantinya dapat memosisikan PT-PT Indonesia setara dengan PT terkemuka di dunia. Kedua, optimalisasi infrastruktur pendidikan serta penyesuaian peraturan perundang- undangan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan jaman. Peraturan dan sistem birokrasi haruslah dibuat untuk memudahkan, bukan untuk menyulitkan. Akan sulit untuk maju dan bersaing bila tidak mencoba untuk berpikir lateral dan di luar kotak. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

2


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Ketiga, pengembangan kualitas SDM, yaitu staf pengajar dan peneliti yang andal, dengan kemampuan mendidik dan manajerial serta semangat untuk menghasilkan inovasi baru berbasis penelitian, yang diwujudkan dalam dukungan untuk melakukan penelitian serta membuat publikasi di jurnal internasional. Dengan begitu, nama institusi akan terangkat dengan sendirinya. Terkait erat dengan hal ini, membangun jejaring kerja sama dengan PT terkemuka di dunia juga akan membantu proses akselerasi transfer ilmu dan pengetahuan kepada staf pengajar dan institusi PT di tanah air, seperti yang disampaikan oleh Bahrudin dalam tulisannya di topik utama Inovasi kali ini, yang disertai dengan ilustrasi prakarsa kerja sama yang menarik.11 Bagaimana dengan fenomena perpindahan ilmuwan kita ke luar negeri (brain drain) yang juga banyak dibahas? Menyimak ulasan lugas Indartono di edisi ini juga,12 rasanya kita tidak perlu terlalu khawatir dan dapat menganggapnya sebagai sebuah berkah dari pada musibah. Bila suatu saat memang terjadi, kita dapat belajar dari India dan Cina bagaimana mereka memanfaatkan brain drain ribuan ilmuwannya menjadi sumber kekuatan mereka, dengan strategi jitu menarik kembali (brain gain) sebagian dari mereka dan akhirnya membuat sebuah siklus brain circulation, sehingga ilmuwan mereka yang berkarier di luar negeri dapat memfasilitasi ilmuwan junior untuk menempa diri di institusi mereka, serta “mengangkat” derajat PT lokal di negaranya dengan kolaborasi riset unggulan. Masih berkaitan dengan tema yang kita bahas, Abdurakhman dalam perspektifnya dengan jeli mengkritisi dua komponen penting dalam pendidikan tinggi, yaitu mahasiswa yang tidak siap untuk mengenyam bangku kuliah dan institusi PT yang cenderung sekadar “mencari mahasiswa”.13 Dari sini kita juga bisa berkaca bahwa perubahan kultur dan cara pandang masyarakat terhadap dunia pendidikan tinggi sangatlah diperlukan. Selain itu, PT hendaknya juga menganalisis dengan cermat potensi pasar sebelum membuka program studi, serta berusaha mengembangkan kreativitas anak didiknya, sehingga para lulusannya dapat berjiwa kewirausahaan yang mampu menciptakan lapangan kerja. Pada akhirnya, menilik berbagai perkembangan yang ada, peluang untuk mewujudkan pendidikan tinggi berkualitas cukup terbuka. Dengan komitmen yang kuat, transformasi kultur dalam lingkup penyelenggaraan pendidikan tinggi dapat dimulai. Bukan pekerjaan mudah yang selesai dalam semalam tentunya, dan memerlukan keyakinan bahwa proses ini adalah sebuah investasi jangka panjang untuk menghasilkan para scholar terbaik yang kelak akan menjadi ujung tombak pembentuk peradaban bangsa. Daftar Pustaka 1.

2.

3.

4. 5. 6. 7.

Pidato Kenegaraan Presiden Republik Indonesia pada HUT Kemerdekaan RI 17 Agustus 2009. http://www.bappenas.go.id/node/127/2037/pidato-presiden-dan-lampiran-pidato-tahun-2009/ Diakses 25 Desember 2009 Education at Glance 2002. 2002. Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). http://www.oecd.org/document/59/0,3343,en_2649_39263238_37533115_1_1_1_1,00.html Diakses 22 Desember 2009. Data Badan Pusat Statistik RI 2009. http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?tabel=1&daftar=1&id_subyek=06&notab=4 Diakses 22 Desember 2009. Strategi Jangka Panjang Pendidikan Tinggi 2003-2010. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional RI, 2004. UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Lembaran Negara RI No. 4301. UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan. Lembaran Negara RI No. 4965. Polonsky K.S. 2009. Research at a glance: experience of Department of Medicine, Washington University. Dipresentasikan pada “Global COE symposium on Faculty Career Development”, Kobe University 2009.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

3


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

8. 9. 10.

11. 12. 13.

Yano K. 2009.Post graduate study in UK. Dipresentasikan pada “Global COE symposium on Faculty Career Development�, Kobe University. Website resmi ITB. http://www.itb.ac.id/ Diakses 22 Desember 2009. APBN RI 2009. Departemen Keuangan RI. http://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/download/Data%20Pokok%202009%20Indonesia%20rev1.pdf Diakses 22 Desember 2009. Bahrudin U. 2009.Membangun Kerja Sama Antaruniversitas: Merajut Mimpi Menuju Universitas Riset. Inovasi Online, 15(21): h. 5-9. Indartono, Y.S. 2009.Brain Drain: Musibah atau Berkah? Inovasi Online,15(21): h. 10-12. Abdurakhman, H. 2009. Kuliah Dunia Fantasi. Inovasi Online, 15(21): h. 39-40.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

4


TOPIK UTAMA

INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

MEMBANGUN KERJA SAMA ANTARUNIVERSITAS, MERAJUT MIMPI MENUJU UNIVERSITAS RISET Udin Bahrudin Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang Email: bahrudin00@gmail.com “Jadilah yang pertama untuk mendukung ide dan pendapat orang lain, untuk membantu, untuk menghasilkan, dan jadilah yang terakhir untuk meragukan dan untuk menyerah�. (Mario Teguh1) 1. Peluang Kerja Sama Antaruniversitas Dalam konteks membangun kerja sama antaruniversitas, hal pertama yang harus ada adalah terbukanya pintu peluang kolaborasi antara dua universitas atau lebih. Peluang kerja sama sering muncul dalam banyak kesempatan baik formal maupun informal, seperti pertemuan akademis, seminar, kunjungan observasi, ataupun sekadar pertemuan tidak terencana antara dua orang dalam perjalanan pesawat, yang dari sekadar obrolan kemudian berlanjut pada komunikasi yang mengarah ke kerja sama. Pintu kesempatan tidak terkunci, membukanya atau tidak, itu keputusan Anda.1 Dari banyak pengalaman, peluang yang kemungkinannya besar dapat menghasilkan kerja sama adalah kesempatan belajar pada level pascasarjana di perguruan tinggi luar negeri bagi staf pengajar universitas di Indonesia. Dengan lama tinggal dan berinteraksi selama dua sampai tiga tahun (tingkat master atau doktoral), tahapan-tahapan prasyarat telah terpenuhi sebelum kerja sama dijalin. Kerja sama antara dua pihak dapat terjadi bila dilandasi sikap saling percaya, dalam arti masing-masing pihak memang dapat dipercaya, lalu saling membutuhkan. Untuk sampai tahap dibutuhkan, setidaknya ada dua proses, yaitu diterima dan dipercaya. Seseorang dapat diterima apabila keberadaannya minimal tidak membahayakan, merugikan, atau berdampak negatif lain. Tahap dipercaya akan sampai setelah ada pengalaman kinerja untuk jangka waktu tertentu dengan hasil sesuai harapan, syukur jika sangat memuaskan. Kemampuan atau keahlian khusus yang dimiliki seseorang atau pihak tertentu yang tidak banyak dimiliki (langka) akan menjadikannya dibutuhkan oleh pihak lain. 2. Komponen Pembentuk Kerja Sama Kerja sama antaruniversitas akan berlangsung dengan baik atau tidak tergantung pada beberapa faktor, yaitu inisiator, dukungan pimpinan universitas, dan aktivitas kerja sama. Ilustrasi kasus 1: Sekitar awal tahun 1980-an, seorang pimpinan rumah sakit pendidikan di Jawa bertemu dekan sebuah fakultas kedokteran universitas terkemuka di Eropa. Terjadi pembicaraan antara keduanya yang diakhiri dengan persetujuan untuk dimulai kerja sama antarinstitusi yang mereka pimpin. Tidak lama setelah itu, ditandatangani naskah Memorandum of Understanding (MoU) sebagai tanda dimulainya kerja sama secara resmi yang berlaku lima tahun sejak penandatanganan, untuk kemudian dievaluasi lagi. Singkat cerita, lima tahun berlalu dan tidak ada aktivitas kerja sama, MoU tidak dilanjutkan oleh pimpinan institusi yang baru.

2.1. Inisiator Ide bekerja sama bisa berasal dari salah satu atau kedua universitas. Pemrakarsa kerja sama hendaknya memiliki motivasi untuk pengembangan universitas, memiliki visi ke depan untuk memajukan bangsa melalui institusinya. Keluasan wawasan dan keinginan untuk memajukan institusi akan mendorong seseorang untuk melakukan langkah-langkah membangun jaringan kerja sama. Inisiator kerja sama dapat berasal dari pimpinan universitas, tetapi berdasarkan beberapa pengalaman, justru inisiator yang berasal dari departemen atau jurusanlah yang dapat membangun kerja sama dengan baik. Yang sering terjadi, hubungan kerja sama terbentuk berkat hubungan individu antara staf pengajar dari dua universitas yang berbeda.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

5


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

2.2. Dukungan Pimpinan Universitas Dapat dibayangkan apa yang akan terjadi bila ide dan usaha inisiator kerja sama tidak didukung oleh pimpinan departemen, fakultas, ataupun universitas. Visi pimpinan universitas untuk meningkatkan kualitas universitas akan sejalan dengan program kerja sama antaruniversitas. Secara struktural, keberadaan pembantu (wakil) rektor dan pembantu (wakil) dekan bidang “kerja sama dan pengembangan� menjadi sangat strategis. Di beberapa universitas di Jepang, International Affair Division dibentuk secara khusus dan dipimpin oleh seorang profesor untuk mengatur kerja sama antaruniveritas dan urusan internasional. Database univeritas beserta keunggulannya perlu dikemas dengan tampilan yang menarik, baik berupa media cetak maupun elektronik (website). Saat ini, setidaknya ada beberapa universitas di Indonesia yang telah memproklamasikan diri untuk menjadi universitas kelas dunia atau universitas riset, yaitu Universitas Gadjah Mada2, Universitas Indonesia3, Universitas Diponegoro4, Institut Teknologi Bandung5, dan Institut Pertanian Bogor6. 2.3. Aktivitas Kerja Sama Tanda bahwa kerja sama universitas masih berlangsung adalah adanya aktivitas yang melibatkan pihak-pihak yang bekerja sama. Tanpa adanya aktivitas kerja sama, MoU hanya merupakan pernyataan politis tanpa ada dampak yang nyata. Dekan Fakultas Kedokteran Undip, dr. Soejoto, pada beberapa kesempatan berkelakar, “MoU tanpa aktivitas berarti memorandum of misunderstanding�. Pada ilustrasi kasus 1, kerja sama terbentuk karena diprakarsai oleh dua pemimpin institusi yang kebetulan bertemu. Latar belakang dan ketertarikan bidang ilmu mereka berbeda. Meskipun ada kemauan untuk memajukan institusi mereka melalui kerja sama bilateral, tidak ada aktivitas nyata yang dikerjakan. Kerja sama seperti ini tidak akan menghasilkan apapun kecuali kesepakatan di atas kertas. Ilustrasi kasus 2: Seorang asisten dosen (sebutlah A) di Universitas S di Indonesia sedang mengambil program PhD di Universitas T di Jepang. Suatu saat dalam pembicaraan santai, profesor pembimbing A mengatakan bahwa ia ingin mendapatkan calon mahasiswa lagi dari Universitas S untuk program magister atau PhD. Mengetahui keinginan profesornya tersebut, A mengatakan akan mengusahakan calon terbaik. Di samping itu, disampaikan pula keinginan mengundang profesor untuk berkunjung ke Universitas S dan si profesor menyetujui. Selanjutnya A mengontak kepala departemen di Universitas S yang memiliki keahlian sama dengan profesor. Kepala bagian tersebut menyambut baik rencana kunjungan akademik profesor. Diaturlah waktu kunjungan profesor oleh A. Saat liburan musim panas, A pulang bersama profesor dan diaturlah pertemuan profesor dengan kepala bagian, dekan, direktur rumah sakit, dan rektor. Pada saat yang bersamaan, ada pertemuan nasional di Universitas S, dan profesor diminta memberikan kuliah tamu, di samping presentasi akademik di departemen. Beberapa mahasiswa tingkat akhir dan staf pengajar muda di Universitas S diberi kesempatan mempresentasikan kasus atau penelitian yang mereka lakukan. Di situlah terjadi kontak antara profesor dan beberapa calon kandidat mahasiswa yang ingin studi lanjut ke luar negeri. Profesor diajak pula mengunjungi tempat pariwisata dan mencicipi makanan khas di sekitar universitas. Di akhir kunjungannya, profesor memperoleh kesan baik dan menyatakan keinginannya mengundang kepala departemen dan dekan untuk melakukan kunjungan balasan ke Jepang. Tahun berikutnya, dekan, kepala departemen, dan koordinator kerja sama luar negeri melakukan kunjungan ke Universitas T. Diagendakan pertemuan dengan dekan dan rektor di Universitas T, serta seminar. Rombongan dari Universitas S mengenalkan profil universitasnya serta beberapa kinerja riset maupun pelayanan di rumah sakit. Pada kunjungan ini ditandatangani MoU antardepartemen yang mencakup kesepakatan pertukaran mahasiswa atau staf pengajar dengan bebas uang masuk dan biaya kuliah (admission and tuition fees). Beberapa bulan kemudian, dikirimlah dua mahasiswa dari Universitas S untuk mengambil short term research masing-masing 3 dan 6 bulan, tanpa dipungut biaya oleh Universitas T. Waktu musim liburan berikutnya, A pulang ke Universitas S bersama salah seorang staf rumah sakit di Universitas T yang memiliki keahlian khusus, sebutlah Dokter F. Di Indonesia, Dr. F memberikan presentasi tentang keahliannya, dan bersama-sama dokter di Universitas S menangani beberapa pasien dengan kasus yang sulit dan langka. Dan 6 bulan berikutnya, ditandangani MoU level universitas oleh kedua rektor.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

6


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Ilustrasi kasus 2: (lanjutan) Saat ini A telah menyelesaikan pendidikan doktoral, dan sedang membantu proses keberangkatan calon mahasiswa baru dari Universitas S untuk program PhD di Universitas T.

Pada ilustrasi kasus 2, A menjadi inisiator dan melakukan upaya membangun kerja sama dengan pendekatan personal kepada profesor pembimbingnya maupun pimpinan universitas di Indonesia. Dua kepentingan yang berbeda, yaitu keinginan profesor untuk mendapatkan calon mahasiswa internasional dan kepentingan pimpinan Universitas S untuk meningkatkan kualitas institusi, ditangkap oleh A untuk dipertemukan dalam bentuk kerja sama universitas. Dukungan dan sambutan baik dari kedua belah pihak serta aktivitas pengiriman mahasiswa dan staf menjadikan hubungan kerja sama berjalan langgeng. 3. Kerja Sama Internasional Mempercepat Langkah Menuju Universitas Riset Universitas riset merupakan strata tertinggi dari sistem pendidikan tinggi, yaitu dapat memberikan akses beasiswa internasional dan menyelenggarakan riset yang dapat berkontribusi untuk majunya ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya.7 Times Higher Education (THE) 2009 memberikan penilaian peringkat universitas kelas dunia dengan kriteria: research excellence, teaching excellence, international faculty, international students, academic peer review, dan employer survey.8 Kunci utama universitas riset ada pada tiga faktor, yaitu 1) mahasiswa, peneliti, dan dosen yang berkualitas, 2) sumber dana mencukupi, dan 3) dukungan pemerintah (Gambar 1).9 Untuk negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki keterbatasan sumber dana, universitas riset dapat dibangun dengan mengembangkan bidang khusus sesuai kebutuhan atau keunikannya, serta dengan menjalin kerja sama dengan komunitas internasional.7 Dalam konteks inilah, kerja sama universitas dalam negeri dengan universitas di negara maju diperlukan.

Concentration of talent

Students Teaching staff Researchers

Graduates

Research output WCU

Abundant resources

Supportive regulatory framework

Public budget resources Autonomy Endowment revenues Technology Tuition fees transfer Leadership team Research grants Strategic vision Culture of excellence

Favorable governance

Gb 1. Karakteristik Universitas Kelas Dunia, Faktor-Faktor Penentu.9 WCU = World Class University.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

7


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Ilustrasi kasus 3: Kerja sama antara Universitas S di Indonesia dan Universitas R di Belanda telah berlangsung lebih dari 5 tahun. Pemrakarsanya adalah Dr. X (Univ. S) dan Dr. Y (Univ. R). Keduanya memiliki latar belakang dan minat keilmuan yang sama, yaitu genetika manusia. Bidang ini telah berkembang maju di negara maju termasuk di Univ. R, tetapi belum banyak peminatnya di Indonesia. Walhasil, Dr.X menjadi salah satu pionir dalam bidang ini. Setiap tahun sekali diselenggarakan seminar nasional dan workshop di Universitas S dengan mengundang pembicara nasional dan tim dari Universitas R yang lengkap terdiri atas klinikus, patologis, biologis, teknisi laboratorium, dst. Selain terjadi transfer ilmu, teknologi, dan manajemen pengelolaan pasien, juga terjadi penyebaran ilmu secara nasional. Tiga tahun belakangan mereka membuka twinning program pascasarjana level magister genetika, mahasiswa melakukan studi dan riset di Indonesia satu tahun awal, dan tahun berikutnya di Universitas R. Biaya riset dan biaya hidup selama di luar negeri didapat dari bantuan beasiswa pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda. Banyaknya kasus kelainan genetika di Indonesia yang belum tergali kejelasannya baik dari segi penyebab, mekanisme penyakit, maupun pengobatannya menjadi lahan kerja sama penelitian antara Universitas S dan R. Penelitian telah menghasilkan beberapa magister dan doktor dari kedua universitas, serta publikasi internasional. Kerja sama ini masih terus berjalan hingga kini.

Pada ilustrasi kasus 3, kerja sama bilateral universitas dalam negeri dengan universitas maju telah berlangsung dan memberikan hasil terukur berupa peningkatan kapasitas ilmu dan kemampuan riset bagi staf pengajar dan mahasiswa, serta dampak positif bagi kemajuan pelayanan di rumah sakit. Hal ini terwujud berkat kemampuan penyelenggara melihat peluang serta daya dukung pemerintah Indonesia. 4. Langkah-langkah Membangun Kerja Sama Menurut Prof. Edison Munaf, dari pengalamannya menjalin kerja sama dengan universitas-universitas di Jepang selama 22 tahun, ada tiga tahapan membangun kerja sama universitas, yaitu:10 a. Duduk bersama. Fase awal ketika kedua belah pihak saling mengenal, menyampaikan keinginan masing-masing, dan menentukan tujuan dan aturan main. Menilai dan membangun kepercayaan. Pastikan bahwa kedua belah pihak mendapatkan manfaat dari kerja sama. Manfaat dapat berwujud finansial, intelektual, peningkatan kemampuan pelayanan, ataupun kepuasan akan kebutuhan untuk berkontribusi atau melakukan perubahan di tingkat internasional. b. Membangun pondasi. Menyusun proyek dan melaksanakan bersama. Menciptakan keuntungan jangka pendek untuk memperkuat komitmen. c. Mengembangkan dan mempertahankan visi. Kedua belah pihak melanjutkan kerja memecahkan masalah bersama. Bila perlu, evaluasi terhadap kesepakatan yang telah disusun dapat dilakukan demi kelangsungan hubungan kerja sama untuk periode yang panjang. Dari pengalaman penulis, hal terpenting dalam menjalin kerja sama adalah kualitas hubungan personal antara pemrakarsa kerja sama. Kemampuan personal dalam komunikasi (attitude) dan prestasi kerja yang memuaskan merupakan modal penting untuk melanjutkan hubungan jangka panjang. Seorang kolega senior, Dr. Hussein Gassem, mengatakan bahwa inti dari kerja sama adalah hubungan PtoP (person to person). 5. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5.

Teguh, M. 2005. Becoming a Star. Syaamil Cipta Media, Bandung. 1–23. Website resmi Universitas Gadjah Mada. URL: http://ugm.ac.id/content.php?page=0&display=1, akses tanggal 21 Des. 2009. Basaruddin, T. 2008. Pendidikan Berbasis Riset Menuju UI sebagai Universitas Berkelas Dunia. URL: http://www.cs.ui.ac.id/staf/chan/pendidikan.pdf, akses tanggal 21 Des. 2009. Website Resmi Universitas Diponegoro. URL: http://www.undip.ac.id/about/, akses tanggal 21 Des. 2009. Akhmaloka. 2009. ITB sebagai Universitas Riset dan Inovasi, Challenging, Excellent, and Committed. URL: http://rektorkita.itb.ac.id/kertasKerja/Akhmaloka.pdf, akses tanggal 21 Des. 2009.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

8


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

6.

Website Resmi Institut Pertanian Bogor. URL: http://www.ipb.ac.id/id/?p=2, akses tanggal 21 Des. 2009. 7. Altbach, P.G. 2009. Peripheries and centers: research universities in developing countries. In: The world-class university as part of a new higher education, Jan Sadlak and Liu Nian Cai (Eds). Bucharest: UNESCO-CEPES. 69–93. 8. Baty P. 2009. World University Rankings 2009, Rankings 09: Talking Points. URL: http://www.timeshighereducation.co.uk/story.asp?storycode=408562, akses tanggal 21 Des. 2009. 9. Salmi J. 2009. The challenge of establishing world-class universities. In: The world-class university as part of a new higher education, Jan Sadlak and Liu Nian Cai (Eds). Bucharest: UNESCO-CEPES. 23–68. 10. Munaf, E. 2008. Lessons in collaboration: how to make a partnership work (22 years experiences with Japanese universities). Makalah: Keynote speech III pada Temu Ilmiah PPI Chubu 2008 tanggal 22 Maret 2008 di Nagoya University, Japan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

9


TOPIK UTAMA

INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

BRAIN DRAIN: MUSIBAH ATAU BERKAH? Yuli Setyo Indartono Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara, Institut Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia E-mail: indartono@yahoo.com Brain drain didefinisikan sebagai “depletion or loss of intellectual and technical personnel”.8 Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh British Royal Society untuk menjelaskan fenomena arus keluar ilmuwan dan teknolog ke Amerika dan Kanada pada tahun 1950-an dan awal 1960-an.3 Migrasi kaum intelektual ini terjadi hampir di seluruh dunia, baik negara berkembang maupun negara maju.3,7. Amerika menjadi negara yang menikmati dampak positif dari fenomena brain drain (brain drain net importer). Negara ini sadar benar dengan pentingnya keberadaan kaum cerdik cendekia di negaranya. Amerika menerbitkan program visa khusus untuk menarik kaum terpelajar dari seluruh dunia datang dan memperkuat ekonomi negara Paman Sam.3,7 Sementara itu, negaranegara berkembang seperti India, China, Pakistan, dan Filipina dilaporkan mengalami eksodus kaum intelektual ke Amerika dan Eropa Barat.7 Dari segi finansial, brain drain memberikan kerugian ganda bagi net exporter brain drain: capital flight akibat terbangnya sumber daya manusia yang telah menerima dukungan biaya pendidikan dari pemerintah dan capital flight karena harus membayar tenaga asing untuk menggantikan posisiposisi yang seharusnya bisa diisi oleh SDM dalam negeri. Sebagai contoh, India dilaporkan mengalami kerugian sekitar 2 miliar dolar AS per tahun akibat terbangnya kaum cerdik cendekia ke luar negeri,7 sementara benua Afrika harus merogoh kocek hingga 4 miliar dolar AS per tahun untuk membayar tenaga profesional asing di negaranya.7 Meski di sisi yang lain, secara ekonomi patut diakui bahwa para pelaku brain-drain juga memberikan capital input dalam bentuk pengiriman uang, utamanya kepada keluarga di dalam negeri. Dana yang dikirim Philippinos yang bekerja di luar negeri dilaporkan mencapai 10,7 miliar dolar AS pada tahun 2006, yang setara dengan 12% GDP negara tersebut tahun 2005.7 Meski pada saat yang sama, sekolah kedokteran dan rumah sakit di Filipina mengalami kesulitan akibat eksodus tenaga profesional tersebut.7 Ada beberapa penyebab terjadinya brain drain, di antaranya faktor ekonomi, sosial-budaya, politk, dan keamanan. Masalah ekonomi, tidak dapat dipungkiri, merupakan faktor pendorong klasik terjadinya migrasi manusia, bukan hanya kaum intelektual, melainkan juga orang kebanyakan yang hendak memperbaiki kesejahteraannya. Faktor sosial dan budaya (riset) menjadi daya tarik manakala negara tujuan brain drain tersebut dikenal memiliki budaya riset yang maju. Riccardo Giacconi, fisikawan Itali penerima Nobel bidang fisika menyatakan “A scientist is like a painter. Michelangelo became a great artist, because he had been given a wall to paint. My wall was given to me by the United States”.4 Peperangan, sentimen etnis dan agama, serta konflik politik juga dapat memicu terjadinya brain drain. Bagaimana dengan Indonesia? Tidak ada data akurat tentang berapa banyak kaum cerdik cendekia Indonesia yang menetap dan bekerja di luar negeri. Jumlah mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri ditaksir mencapai angka 50 ribu orang.1 Sedangkan jumlah ilmuwan Indonesia yang bekerja di luar negeri ditaksir mencapai angka ratusan orang.4 Seribu orang “hanyalah” 0,0004 persen bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang saat ini sudah lebih dari 220 juta orang. Namun, jangan lupa bahwa karya-karya intelektual yang bermutu umumnya hanya dihasilkan dari segelintir orang, bisa jadi hanya dari beberapa ribu atau bahkan ratus orang di antara angka 220 juta jiwa tersebut. Pada tahun 1926, Alfred J. Lotka melakukan penelitian tentang distribusi produktivitas ilmiah. Lotka kemudian merumuskan inverse square law of productivity.6 Dari hukum tersebut dapat dinyatakan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

10


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

bahwa dari populasi “p” ilmuwan, jumlah orang yang menghasilkan “n” karya ilmiah adalah sama dengan p/n2. Artinya, hanya minoritas intelektual yang memiliki produktivitas ilmiah tinggi; dari 100 orang peneliti, ada 25 orang yang menghasilkan 2 karya per orang (100/22), dan hanya 1 orang yang menghasilkan 10 karya per orang (100/102). Indonesia perlu belajar dari China dan India dalam memanfaatkan “energi” fenomena brain drain bagi pembangunan bangsa. Ibarat seorang Master “Tai-Chi” yang memanfaatkan energi lawan untuk melumpuhkan lawan itu sendiri. China dan India, dua negara dengan populasi raksasa di Asia ini, mengalami eksodus ilmuwan terutama ke Amerika Serikat pada awal 1990-an.7 Alih-alih merana dengan fenomena brain drain, dunia justru saat ini menyaksikan kebangkitan industri di kedua negara tersebut. Para analis memprediksi bahwa kekuatan ekonomi China akan segera menyaingi Paman Sam dalam waktu dekat. Kebangkitan industri dan ekonomi di China dan India bukan sekadar karena tersedianya tenaga kerja yang murah. India dilirik investor dunia, salah satunya karena tingginya modal intelektual per satuan dolar AS. Tiga negara yang menduduki peringkat atas dalam hal jumlah publikasi ilmiah per satuan GDP adalah India (31,7%), China (23,32%), dan Amerika (7%).6 Meski termasuk dalam negara berkembang, India merupakan negara maju bila dilihat dari infrastruktur intelektual [6]. Dari 2.300 karyawan Fasilitas R&D General Electric terbesar di dunia yang berlokasi di India, 700 orang di antaranya adalah para profesional India yang memilih kembali dari Amerika Serikat.6 Fenomena reverse brain drain ini mempercepat kebangkitan industri di India. Bisa jadi kebangkitan industri dan ekonomi di China dan India tidak akan secepat dan sebesar sekarang bila tidak terjadi reverse brain drain yang menghadirkan tenaga andal dengan akumulasi pengalaman profesional dari negara maju. Kembalinya para profesional ke negara asal juga membawa serta kultur budaya maju yang telah menyatu dengan dirinya pada saat menjalani kehidupan di negara maju. Akan terjadi pengayaan kebijakan pemerintah manakala para profesional tadi menduduki posisi-posisi kunci di pemerintahan. UNESCO melaporkan bahwa pada tahun 2004 China membelanjakan 1,44% dari PDB untuk kegiatan riset dan pengembangan. Angka ini merupakan yang tertinggi untuk Asia.2 Council of Scientific and Industrial Research (CSIR) India telah mendaftarkan 542 paten di Amerika dalam kurun waktu 2002-2004. Jumlah ini melebihi total jumlah paten Amerika yang didaftarkan oleh Jepang, Prancis, dan Jerman.5 Keberadaan para pelaku brain-drain di luar negeri pada saat ini perlu dimaksimalkan pemanfaatannya ‘ala’ jurus membalik energi Master “Tai-Chi”. Patut diakui bahwa banyak mahasiswa Indonesia yang berangkat ke luar negeri dengan bantuan ilmuwan kita di mancanegara, umumnya dalam bentuk akses informasi beasiswa ataupun memberikan rekomendasi kepada calon pembimbing di mancanegara. Ilmuwan Indonesia yang sedang bekerja di luar negeri juga bersentuhan dengan teknologi canggih yang bagi ilmuwan di negara kita masih menjadi impian. Kerja sama riset antara ilmuwan dalam dan luar negeri merupakan wahana untuk maksimalisasi potensi tersebut. Tanpa perlu ditagih, ilmuwan yang lahir dari rahim Ibu Pertiwi akan secara alamiah terpanggil memberikan kontribusinya bagi Merah Putih. Di sisi lain, tingginya dana bidang pendidikan belakangan ini merupakan peluang bagi Indonesia untuk menyediakan ladang persemaian yang kondusif bagi para cerdik cendekia dalam mengaktualisasikan diri, termasuk bagi ilmuwan yang saat ini bekerja di luar negeri. Belajar dari India, investor bidang teknologi tinggi akan melirik negara dengan infrastruktur intelektual yang kuat. Pelaku brain-drain secara alamiah akan pulang ke tanah air manakala kondisi keilmuan di Indonesia mulai membaik. Kehadiran mereka dengan membawa budaya iptek yang maju diharapkan mempercepat pembangunan bangsa. Bisa jadi, budaya iptek maju tersebut tidak bisa Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

11


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

mereka dapatkan apabila mereka saat ini dipaksa untuk berkarya di tanah air. Meminjam istilah Riccardo Giacconi, bahwa Michael Angelo pun butuh kanvas untuk melukis. Musibah atau berkah, tergantung bagaimana bangsa kita menyikapinya. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4.

5. 6. 7. 8.

Antara News, I4: Berdayakan Ilmuwan Indonesia di Luar Negeri, 26 Oktober 2009. “Asian Science on the Move”, Science, 311, January 2006. Cervantes, M. And Guellec, D., “The brain drain: Old myths, new realities”, OECD Observer No.230, January 2002. Dikti Kehilangan Ratusan Ilmuwan, Harian Rakyat Merdeka, URL: http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/2009/08/12/10359/Dikti-Kehilangan-Ratusan-Ilmuwan, akses 21 Nopember 2009. Jayaraman, K.S., “Is India’s ‘patent factory’ squandering funds?”, Nature, 442, 13 July 2002. Marshelkar, R.A., “India’s R&D: Reaching for the Top”, Science, 307, February 2005. Wikipedia, “Brain Drain”, URL: www.wikipedia.org, akses 20 Nopember 2009. URL: wordnetweb.princeton.edu/perl/webwn, akses 20 Nopember 2009.

* Dosen Institut Teknologi Bandung; Program Academic Recharging Departemen Pendidikan Nasional RI di Kobe University, 2009; Ketua Ikatan Alumni Universitas Kobe di Indonesia.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

12


IPTEK & INOVASI

INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

TEKNOLOGI HYPERSPECTRAL REMOTE SENSING: SOLUSI ALTERNATIF BAGI PROGRAM KETAHANAN PANGAN NASIONAL Muhamad Sadly Direktur Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam (PTISDA), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, Indonesia E-mail: sadly@ceo.bppt.go.id 1. Pendahuluan Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia. Sebagai makanan pokok, pemenuhan kebutuhan beras bagi penduduk Indonesia mendapat perhatian khusus, karena hal ini menyangkut masalah stabilitas sosial, ekonomi dan politik. Strategi yang tepat dan cepat harus dicanangkan untuk selalu memenuhi kebutuhan akan bahan pokok tersebut. Segala daya upaya harus disiapkan oleh pemerintah pada semua lini terkait secara sinergis untuk mengupayakan stabilitas pemenuhan kebutuhan pokok akan pangan, mulai dari kebijakan pemerintah, payung hukum, kontrol sarana produksi pertanian di pasar, asistensi teknik, teknik estimasi produksi, distribusi panen, sampai pada kontrol harga jual di pasar. Pemerintah sering mengalami kesulitan dalam menentukan perhitungan produksi beras nasional karena setiap tahun banyak deviasi angka dan kesalahan. Deviasi angka dan kesalahan ini terkait dengan perhitungan kekurangan pangan nasional yang sering tidak akurat karena hanya mendasarkannya pada asumsi, bukan data akurat. Akibatnya, kebijakan pemerintah sering menjadi salah. Di samping itu, pemerintah juga berupaya mengatasi dampak pengaruh cuaca akibat kekeringan, serangan hama, dan banjir yang sering mengakibatkan kegagalan panen dan penurunan produksi. Pengembangan pertanian direorientasikan pada upaya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat pertanian. Pengembangan sistem pertanian yang sesuai dengan tuntutan era informasi dan komunikasi global menuntut penyediaan informasi sumber daya pertanian yang cepat, akurat, terkini, dan objektif-kuantitatif. Oleh sebab itu, sistem informasi lahan dan pertanian yang didukung oleh teknologi pengindraan jauh (remote sensing) dan sistem informasi geografis (SIG) untuk pemodelan spasialnya merupakan syarat mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Tulisan ini bertujuan untuk memberi solusi alternatif kepada pemerintah dalam mengatasi permasalahan ketahanan pangan nasional yang ditinjau dari perspektif kemajuan IPTEK di bidang teknologi pengindraan jauh, khususnya aplikasi teknologi ini pada bidang pertanian.

2.

Apa itu Teknologi Hyperspectral Remote Sensing?

Teknologi Hiperspektral (hyperspectral remote sensing technology) merupakan suatu paradigma baru dalam dunia pengindraan jauh (remote sensing) dengan memanfaatkan jumlah kanal (channel) yang berlebih (hyper) sehingga pengguna akan mendapat kesempatan yang lebih luas untuk mengembangkan aplikasi sesuai dengan kebutuhan, khususnya dalam konteks pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Hal ini tidak dimiliki oleh sistem multispektral dengan keterbatasan jumlah kanal, yang selama ini digunakan. Secara definisi teknologi hiperspektral merupakan cara memperoleh gambaran kondisi di permukaan bumi secara simultan dengan jumlah band/kanal yang banyak (lebih dari 200) serta menggunakan panjang gelombang yang sempit (narrow band) dan saling berdekatan (Evri, M. et. al., 2004) Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

13


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Ada banyak satelit yang memiliki sensor hiperspektral yang sudah dapat digunakan, misalnya data satelit Hyperion milik Amerika Serikat (terdiri atas 220 kanal dengan rentang panjang gelombang 400 nm - 2500 nm), data satelit CHRIS/Proba milik Eropa, serta jenis airborne seperti sensor (CASI, HYMAP) yang juga sudah banyak digunakan dalam berbagai aplikasi. Gambar 1 memperlihatkan contoh aplikasi teknologi hiperspektral dengan menggunakan pesawat udara (airborne) yang sedang dikaji-terap oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) (Sadly, et.al., 2004), sedangkan grafik perbandingan karakteristik kanal antara jenis multispektral dan hiperspektral diperlihatkan pada Gambar 2. Dapat dilihat bahwa panjang gelombang dari sistem hiperspektral bersifat kontinu, sempit, dan berdekatan yang memungkinkan untuk mendeteksi objek-objek di permukaan bumi secara kontinu dan lebih detail/terperinci dibandingkan dengan sistem multispektral yang selama ini digunakan. Gambar 3 menunjukkan contoh studi perbandingan yang dilakukan oleh BPPT dan Universitas Gifu, Jepang antara jenis foto udara, sistem multispektral, dan sistem hiperspektral yang digunakan dalam mendeteksi/mengklasifikasi tutupan lahan (tanaman padi). Terlihat bahwa dengan teknologi hiperspektral klasifikasi tanaman padi dapat dilakukan lebih detail dan mampu membedakan jenis tanaman padi serta kondisinya lebih baik dan terperinci dibandingkan dengan menggunakan foto udara dan sistem multispektral yang selama ini digunakan.

Pemanfaatan data pengindraan jauh hiperspektral yang dapat diperoleh secara periodik dan berkesinambungan dapat menjaga kontinuitas penyediaan informasi yang lebih akurat tentang ketersediaan sumber daya pertanian dan karakteristiknya seperti sebaran dan luas lahan sawah, informasi kondisi tanaman padi dalam waktu yang singkat untuk lahan pertanian yang luas, potensi produksi, kerawanannya terhadap pengaruh iklim atau bencana kekeringan, dan pendugaan produksi yang akan dipanen.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

14


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

3. Bagaimana Melacak Sidik Jari Tanaman Padi sampai Estimasi Produksi? Dengan menggunakan teknologi hiperspektral, pengguna (user) akan mampu menyerap informasi kuantitatif mengenai objek di permukaan bumi. Walaupun demikian, untuk dapat memahami bagaimana cara melakukan interpretasi data hiperspektral dengan baik, diperlukan pemahaman mengenai prinsip dasar mengenai sistem pengindraannya dan faktor-faktor yang memengaruhi pantulan objek. Secara umum, kualitas dari hamburan dan serapan dari objek di permukaan bumi akan menentukan besarnya nilai pantulan yang lebih dikenal dengan kurva spektral (spectral signature) (Thenkabail, P.S., et.al, 2001). Besarnya hamburan dan serapan ini sebenarnya ditentukan oleh bentuk fisik (physiognomy) dan kenampakan dari material, termasuk struktur dalam dari material tersebut dan juga komposisi kimianya. Yang dimaksud dengan sidik jari tanaman adalah sekumpulan nilai-nilai spektral yang terkandung pada tanaman padi yang lebih dikenal dengan istilah pustaka spektral (spectral library) yang dapat dilacak atau dideteksi dengan menggunakan alat pengukur spektral. Gambar 4 memperlihatkan diagram alir aplikasi hiperspektral untuk pemantauan dan prediksi pertumbuhan padi. Ada 3 tahap, yaitu: tahap observasi, analisis, dan diseminasi informasi ke pengguna. Pada tahap observasi dilakukan akuisisi data, baik melalui survei lapangan, survei dari udara (airborne survey), maupun dari satelit (spaceborne). Dalam pemanfaatan teknologi hiperspektral untuk pertanian, untuk akuisisi data digunakan pendekatan multi-skala (multi-scale sensing), yakni pada saat yang bersamaan dilakukan akuisisi data dari satelit pengindraan jauh, dari pesawat udara (airborne), pengukuran di lapangan (field atau in-situ), serta pengukuran data pada skala yang lebih detail (farmland). Pendekatan ini bertujuan untuk melakukan validasi terhadap model prediksi berbasis hiperspektral yang dibangun. Setelah model diuji dan divalidasi, pada fase operasional/implementasi akan digunakan data satelit pengindraan jauh yang mampu memonitor lokasi pertanian dengan jangkauan yang luas dan secara near real time. Diperlihatkan juga contoh citra Kabupaten Indramayu dalam format FCC (False Colour Composite) yang diakuisisi menggunakan pesawat udara dengan sensor hiperspektral (HYMAP) pada tanggal 30 Juni 2008. Sensor HYMAP terdiri atas 126 kanal spektral (spectral channel) dengan cakupan panjang gelombang 450 nm – 2500 nm. Pada survei lapangan, dilakukan pengukuran sidik jari tanaman (pengukuran nilai spektral tanaman padi). Sedangkan pada kegiatan farmland dilakukan pengukuran spektral tanaman padi setiap fase pertumbuhan (time base) dengan beberapa jenis varitas (Ciherang, IR42, Ketan) dengan menggunakan hand-held spectrometer yang dihubungkan dengan laptop secara lebih detail. Selanjutnya diproses dan dianalisis untuk mendapatkan kumpulan spektral berdasarkan kondisi setiap fase pertumbuhan, lalu dilakukan validasi untuk mendapatkan pustaka spektral yang akurat. Dari pustaka spektral tersebut dapat diketahui karakteristik tanaman padi setiap fase pertumbuhannya serta kondisi kesehatannya. Pustaka spektral yang telah dibangun diintegrasikan dengan variabel tanaman padi (crop variables) yang akan digunakan sebagai parameter untuk model prediksi pertumbuhan padi berbasis hiperspektral serta estimasi produksinya. Perolehan spektral kanopi tanaman (sidik jari tanaman) secara rutin selama satu atau lebih fase pertumbuhan tanaman akan memberikan informasi yang penting tentang parameter biofisik tanaman seperti indeks luas daun (Leaf Area Index/LAI), status kandungan nitrogen, berat kering tanaman, indeks panen, dan hasil panen. Ratusan kanal atau bahkan puluhan ribu kombinasi kanal yang diperoleh tersebut akan mampu menunjukkan kanal-kanal yang sensitif terhadap biofisik tanaman. Perkembangan teknologi hiperspektral yang terkini menunjukkan bahwa teknik untuk menentukan kanal yang optimal atau yang paling sensitif telah mengalami kemajuan yang cukup signifikan, yang dikaitkan dengan karakteristik biofisik, fisiologi, dan biokimia tanaman. Dengan demikian, pemantauan kondisi (setiap fase pertumbuhan) tanaman padi dapat dilakukan dengan baik dan terukur sehingga akan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

15


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

memudahkan dalam memperkirakan produktivitas tanaman padi sebelum panen. Setelah informasi diperoleh, dilakukan diseminasi ke pengguna. 4. Status Pengkajian, Pemanfaatan dan Pengembangan di Indonesia? Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir teknologi “hyperspectral remote sensing� telah berkembang pesat di negara-negara maju dan juga negara yang mempunyai iklim monsoon seperti Jepang, Korea, maupun Cina. Bagi Indonesia, teknologi ini masih relatif baru dan penerapannya masih sangat sedikit. Sebagai negeri yang berbasis pertanian atau masih bersandar pada sektor pertanian, teknologi ini sangat menjanjikan untuk membantu krisis informasi seputar pangan atau bisa juga dikatakan krusial untuk mendukung program ketahanan pangan nasional.

Gb 4. Diagam Alir Contoh Aplikasi Hiperspektral untuk Pemantauan dan Prediksi Pertumbuhan Tanaman (Padi)

BPPT, yang salah satu tugas pokok dan fungsinya adalah melaksanakan pengkajian dan penerapan teknologi untuk mendukung pembangunan nasional telah memilih teknologi hiperspektral sebagai salah satu teknologi lanjutan (frontier) untuk diuji-kaji, dikembangkan, dan selanjutnya diaplikasikan di Indonesia. BPPT telah melakukan kerja sama dengan beberapa institusi riset di luar negeri dalam bidang teknologi hiperspektral. Pada tahun 2005-2006, BPPT telah bekerja sama dengan institusi di Belgia dalam melakukan uji-kaji dan aplikasi teknologi hiperspektral untuk pemantauan kondisi terumbu karang di Pulau Fordate, Nusa Tenggara Barat. Hasil yang diperoleh dari kegiatan ini memperlihatkan bahwa teknologi hiperspektral dapat memantau kondisi terumbu karang secara lebih akurat, dibandingkan dengan menggunakan sistem multispektral. Pada Desember 2007 BPPT juga telah melakukan penandatanganan MoU dengan Earth Remote Sensing Data Analysis Center (ERSDAC) Jepang dalam kegiatan kerja sama “Research Project of Hyperspectral Technology for Agricultural Application in Indonesia (HyperSRI Project)�. Kerja sama ini disepakati selama 3 tahun. Tujuan utama dari kerjasama ini adalah mengkaji, mengembangkan metode/algoritma untuk memantau pertumbuhan tanaman padi, serta membangun model prediksi produksi padi. Untuk pelaksanaan kegiatan HyperSRI ini, BPPT juga bekerja sama dengan institusi Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

16


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

di dalam negeri, seperti LAPAN, Pusat Data dan Informasi Departemen Pertanian, Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, Masyarakat Pengindraan Jauh Indonesia (MAPIN), serta Pemerintah Kabupaten Indramayu dan Subang yang dipilih sebagai lokasi kegiatan. Hasil kegiatan HyperSRI ini sangat strategis karena akan digunakan sebagai salah satu rekomendasi kepada Pemerintah Jepang (dalam hal ini Kementerian Ekonomi, Perdagangan dan Industri) mengenai kelayakan rencana peluncuran satelit baru Jepang dengan sensor hiperspektral pada tahun 2011. Keuntungan untuk Indonesia jika Jepang meluncurkan satelit baru tersebut adalah fase operasional dari model prediksi produktivitas padi nasional yang dibangun pada kegiatan HyperSRI ini dapat menggunakan data satelit tersebut dalam kerangka kerja sama dan harganya relatif murah dibandingkan dengan satelit lain. Oleh karena itu, sistem pemantauan pertumbuhan padi beserta estimasi produksinya dapat dilakukan secara cepat dan near real time. 5. Penutup Paket teknologi hiperspektral ini diharapkan mampu untuk memantau dinamika (peningkatan dan penurunan) produksi dan pengadaan stok pangan setiap tahunnya. Pemantauan yang mampu dilakukan melalui paket teknologi ini akan sangat bersifat fisik dan spasial (keruangan), termasuk di antaranya untuk dikorelasikan dengan pengaruh cuaca akibat kekeringan, bencana banjir, dan serangan hama yang sering berakibat langsung pada musim panen dan tingkat produksi pangan. Pengkajian, pemanfaatan, dan pengembangan teknologi hyperspectral remote sensing yang sedang dilakukan oleh BPPT bekerja sama dengan institusi dalam negeri dan luar negeri diharapkan dapat dilaksanakan secepat mungkin sehingga pemanfaatannya di Indonesia dapat segera dilaksanakan, terutama dalam memberi solusi nyata terhadap permasalahan sumber daya alam (mulai dari kehutanan, pertanian, kelautan, dan lainnya), khususnya dalam mendukung program ketahanan pangan nasional. Teknologi ini dipilih untuk memberikan informasi yang tepat dan teliti, terutama untuk menghindari kesalahan informasi pertumbuhan tanaman yang berbeda menurut waktu pengamatan. Dengan bantuan teknologi hiperspektral, bukan hanya dapat memberikan informasi terkini mengenai luasan, dan distribusi lahan pertanian, serta estimasi produksinya, tetapi juga perkembangan kondisi lahan berikut tanamannya secara berkala melalui proses observasi dengan data citra satelit, analisis data citra menjadi informasi, dan sintesis informasi menjadi pengetahuan (’knowledge’). Sekitar 20 tahun lalu, para pemain teknologi pengindraan jauh di Indonesia masih bermimpi tentang prospek teknologi ini serta bagaimana agar teknologi ini dapat memasyarakat dan menjadi industri jasa yang tangguh di Indonesia. Saat ini mimpi tersebut telah menjadi kenyataan. Betapa pemanfaatan teknologi ini sangat luas untuk berbagai aplikasi dan dapat dikatakan bahwa inventarisasi dan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan akan kewalahan tanpa dukungan teknologi pengindraan jauh. Pengembangan dan pemanfaatan IPTEK tidak bisa ditunda lagi untuk membantu memberi solusi nyata terhadap permasalahan sumber daya alam yang semakin kompleks. Faktor penting yang sering dilupakan adalah bagaimana agar setiap institusi riset dan departemen terkait bisa bersinergi dalam melaksanakan kegiatan, terutama kegiatan berskala nasional. Yang pasti peranan pemerintah dalam melakukan koordinasi antarinstansi dan penyiapan anggaran riset yang memadai sangat penting, khususnya dalam menyukseskan program ketahanan pangan nasional.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

17


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

6.

Daftar Pustaka

1. Thenkabail, P.S., R.B. Smith, and E. De Pauw., 2001. Hyperspectral vegetation indidces and their relationships with agricultural crop characteristics. Remote Sensing of Environment, 71, pp.158-182. 2. Sadly, et.al., 2004, Preliminary Analysis of Hyperion Data: Northern Jakarta Area, Workshop on MODIS and Hyperspectral Data Analysis and the Applications, September 14, 2004. TISDA, BPPT (2004). 3. Evri, M. 2004. Rice Yield Prediction by Using Field Spectral Measurement and ASTER Data.. Master Thesis. TISDA, BPPT (2004)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

18


IPTEK & INOVASI

INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

MENUJU SOLUSI KRISIS PANGAN: PENGELOLAAN BLUE WATER DAN GREEN WATER UNTUK PERTANIAN Ardiansyah Jurusan Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Purwokerto, Indonesia Department of Biological and Environmental Engineering, Graduate School of Agricultural and Life Science, The University of Tokyo, Tokyo, Jepang E-mail: ard@ardiansyah.net 1. Pendahuluan Menurut Rost (2009), saat ini lebih dari 8000 km3/tahun air dikonsumsi untuk memenuhi kebutuhan pangan dunia (dalam bentuk evapotranspirasi, baik dari lahan tadah hujan maupun lahan beririgasi). Skenario IPCC's SRES (Intergovernmental Panel on Climate Change - Special Report on Emissions Scenarios) menyebutkan, tambahan air sebanyak 5000 km3/tahun diperlukan jika populasi meningkat menjadi 10 miliar pada tahun 2050. Di samping itu, luas lahan pertanian saat ini yang sebesar 15 juta km2 (sekitar 10% permukaan bumi) dianggap tidak akan mampu lagi mencukupi kebutuhan pangan. Masih menurut IPCC, keadaan ini berimplikasi pada diperlukannya ekspansi lahan sebesar 10 juta km2 yang pada akhirnya diikuti oleh peningkatan kebutuhan air yang sangat signifikan. Lalu dari mana air tersebut akan diperoleh? Jawaban singkatnya adalah dari sumber-sumber air, sungai, danau, dan air tanah (groundwater). Paradigma lama pengelolaan air hanya mempertimbangkan blue water (debit air sungai, danau dan air tanah). Umumnya dipahami bahwa penghematan air berarti menghemat penggunaan air yang diperoleh dari sumber-sumber tersebut sehingga menghemat pengambilan blue water. Penghematan air untuk keperluan domestik (rumah tangga) antara lain dilakukan dengan mengurangi penggunaan air yang tidak perlu. Namun, ketika berbicara masalah penyediaan pangan, tambahan air sebanyak 5000 km3/tahun mau tidak mau harus disediakan. Ini berarti eksplorasi besar-besaran terhadap blue water. Akan tetapi, untuk berbagai daerah yang mengalami masalah kelangkaan air (water scarcity), peningkatan konsumsi air bukan solusi sehingga diperlukan perubahan pola penggunaan air. Dengan hanya mempertimbangkan blue water, kita akan gagal dalam memecahkan masalah kelangkaan air untuk pertanian.

Green water

Blue water

Gb. 1. Konsep Blue Water dan Green Water Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

19


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Tulisan ini akan membahas pentingnya mengintensifkan pengelolaan air untuk pertanian dengan mempertimbangkan green water. Selain itu perlunya diterapkan metode-metode baru dalam upaya konservasi green water serta penerapan teknologi Sistem Informasi Geografis dan pengindraan jauh (remote sensing) sebagai alat bantu pengelolaan sumber daya air. 2. Green Water: Paradigma Baru Paradigma baru dalam pengelolaan air pertanian memasukkan green water sebagai komponen penting dalam analisis. Green water adalah air yang terdapat dalam zona tidak jenuh dalam tanah (unsaturated zone), yaitu di daerah perakaran tanaman hingga zona air tanah jenuh (saturated zone). Green water terkumpul karena hujan yang jatuh ke permukaan tanah dan mengalami infiltrasi ke bawah permukaan. Namun, green water juga menguap melalui proses evaporasi (langsung dari permukaan tanah) atau transpirasi (melalui tanaman). Perhitungan Falkenmark dan Rockstrom (2006) menunjukkan bahwa produksi pangan global memerlukan 6800 km3/tahun green water (evaporasi dan transpirasi). Dari jumlah tersebut, 1800 km3/tahun diperoleh dari blue water dengan cara irigasi dari sungai, danau, atau air tanah. Umumnya, perencana irigasi mempertimbangkan blue water sebagai total air yang dipergunakan dalam pertanian, meskipun pada kenyataannya porsi terbesar penggunaan air disuplai oleh green water. Dengan demikian pengelolaan air untuk pertanian yang memasukkan pengelolaan green water menjadi sangat penting untuk dilakukan. Studi yang dilakukan oleh RockstrĂśm et al. (2009) membuktikan bahwa pengelolaan green water yang tepat akan menjadi basis baru bagi revolusi hijau. Bahkan bisa menjadi basis bagi ketahanan terhadap bencana yang disebabkan air, seperti banjir, kekeringan, dan musim kemarau yang kini menjadi sulit diprediksi akibat perubahan iklim (climate change). Tanpa peningkatan produktivitas air yang siginifikan dengan diiringi usaha-usaha lain untuk meningkatkan hasil pertanian, penyediaan pangan penduduk dunia dapat menjadi masalah serius di tahun-tahun mendatang. Demikian juga dengan adanya wacana peningkatan produksi biofuel, pertanian kini berperan tidak hanya untuk menyediakan pangan dan pakan tapi juga bahan bakar (food, feed, fuel). Air untuk pertanian kini menjadi isu yang sangat penting. Produktivitas air mengacu kepada berapa banyak panen yang diproduksi untuk input air sejumlah tertentu. Dalam kegiatan pertanian, selain berkaitan dengan air, konsep produktivitas juga berkaitan dengan pupuk, luas lahan, dan tenaga kerja yang menjadi input. Dengan terminologi ini, peningkatan produktivitas air bisa dilakukan dengan meningkatkan hasil panen atau melakukan penghematan air. Cara pertama, yakni meningkatkan hasil panen, sedang dan terus dikembangkan oleh lembagalembaga riset bibit, baik di Indonesia maupun di negara-negara lain, termasuk oleh IRRI (International Rice Research Institute). Prinsipnya adalah peningkatan hasil dengan input air yang tetap sehingga meningkatkan produktivitas air. Cara kedua adalah penghematan air. Hasil panen yang sama jika diperoleh dengan input air yang lebih sedikit dari biasanya bisa dikatakan meningkatkan produktivitas air. Hal ini dilakukan dengan menginventarisasi dan memanfaatkan green water secara efektif.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

20


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

3. Pertanian Padi Indonesia: Perspektif Ketersediaan Air Menurut FAO (1996), meskipun terdapat lebih dari 10,000 spesies serealia, hanya beberapa spesies yang secara luas dibudidayakan. Padi termasuk yang paling banyak digunakan dan dikonsumsi hampir separuh penduduk dunia. Indonesia mempunyai curah hujan yang tergolong tinggi, rata-rata lebih dari 2000 mm/tahun. Curah hujan itu bervariasi antara satu tempat dan tempat yang lainnya dari 500 mm/tahun hingga 7000 mm/tahun. Karena adanya musim hujan dan musim kemarau, Indonesia mengenal perbedaan yang mencolok antara bulan basah (curah hujan di atas 100 mm/bulan) dan bulan kering. Produktivitas lahan padi di Indonesia adalah 4,4 ton/ha, menempati peringkat 29 dibandingkan dengan negara produsen pangan lain (FAO, 1993). Karena Indonesia hanya mengalami dua musim, dalam satu tahun bisa dilakukan 2 hingga 3 kali tanam. Sebagai perbandingan, Jepang memiliki dengan curah hujan rata-rata 1718 mm/tahun, yang dua per tiganya turun di musim tanam (Satoh, 2003). Meskipun Jepang menerima hujan sepanjang tahun, dengan rata-rata 150 mm/bulan yang cukup untuk pertanian padi, periode tanam hanya bisa dilakukan satu kali, yaitu pada musim panas (Juli-September). Namun, produktivitas lahan di Jepang tinggi, yaitu 6,65 ton/ha (FAO, 1993) dengan luas lahan 1.953.000 ha (FAO, 2001, data tahun 1997).

Tabel 1. Luas Panen, Produktivitas, dan Produksi Padi Indonesia (GKG)

Tahun

Luas Panen (Juta ha)

Produktivitas (Ton/ha)

1999 12,0 4,25 2000 11,8 4,40 2001 11,5 4,39 2002 11,5 4,47 2003 11,5 4,54 2004* 11,8 4,53 Sumber : BPS,2004 Keterangan :* Angka Ramalan II, 2004

Produksi (Juta ton) 50,9 51,9 50,5 51,5 52,1 53,7

Pertumbuhan Produksi (%) 3,3 2,0 -2,8 2,0 0,7

Data pada Tabel 1 menunjukkan adanya peningkatan produktivitas padi di Indonesia yang terus meningkat. Bahkan BPS meramalkan produksi padi (Gabah Kering Giling, GKG) pada tahun 2009 sebesar 63,84 juta ton, meningkat 5,83 persen dibandingkan dengan tahun 2008 (Kompas, 2009). Hal ini disebabkan oleh peningkatan luas panen (karena berkurangnya kekeringan) yang menyumbang 4,18 persen dan kenaikan produktivitas yang menyumbang 1,57 persen. Meskipun demikian, dalam perspektif ketersediaan air, pertanian padi di Indonesia belum bisa dikatakan aman dari kekeringan selama produktivitas air belum meningkat. Dengan adanya perubahan iklim, kejadian kekeringan akan sulit diprediksi sehingga berpengaruh terhadap kesinambungan tingkat produksi padi saat ini.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

21


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Pertanian padi memerlukan banyak air. Notohadiprawiro (2006) menyebutkan perkiraan kebutuhan air per satu musim tanam 1744 mm pada musim hujan dan 1940 mm pada musim kemarau di Indonesia. Gambar 2 menunjukkan tipikal penggunaan air pada satu musim tanam padi, dengan asumsi metode pengolahan sawah yang dilakukan adalah metode yang umum dikenal petani. Walaupun secara umum Indonesia tidak termasuk wilayah miskin air, setiap tahun Indonesia mengalami periode kekeringan pada musim kemarau. Periode kekeringan ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan petani. Air menjadi barang langka yang diperebutkan. Pada bulan Oktober 2009, 1000 hektar lahan padi di Tasikmalaya dinyatakan gagal panen atau puso, dengan potensi kerugian mencapai 5000 ton (Pikiran Rakyat Online). Bulan Juli 2008, seluas 110 ribu hektar (ha) areal tanaman padi di Jawa Barat terkena kekeringan, dan 40 ribu ha di antaranya gagal panen akibat kemarau panjang (Media Indonesia Online). Petani-petani yang tidak memiliki akses terhadap air, baik karena persaingan maupun karena letaknya di ujung saluran irigasi merelakan sawahnya puso. Di samping itu ada pula kasus premanisme air (Republika, 2008), yakni para pemilik sawah besar membayar preman untuk menyedot air dari saluran irigasi dengan menggunakan pompa. Tindakan ini merugikan banyak petani dan mengabaikan regulasi yang dilakukan oleh instansi setempat. Kedua kasus ini merupakan contoh yang sangat mungkin terjadi di daerah-daerah lain.

Keterangan Wet : Musim hujan (wet season) Dry : Musim kemarau (dry season) Gb. 2. Tipikal Penggunaan Air dalam Satu Musim Tanam untuk Tanaman Padi di Indonesia. (Disimpulkan dari Notohadiprawiro, (2006))

Dari sudut pandang ketersediaan air, musim kemarau merupakan kendala utama dalam peningkatan produksi padi di Indonesia. 3. Beberapa Tindakan untuk Menghemat Air pada Pertanian Melihat fase-fase yang dilewati dalam pertanian pada (Gambar 2), ada beberapa hal yang bisa dilakukan pada tiap fase untuk menghemat penggunaan air. Pada setiap fase terbuka peluang terhadap efisiensi penggunaan air, sejak penyiapan lahan hingga pertumbuhan tanaman. Tindakan-tindakan tersebut di antaranya :

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

22


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Mulching (penutupan dengan mulsa). Dalam suatu lahan pertanian non-produktif, kehilangan air melalui evapotranspirasi harus dicegah. Jika lahan itu muncul setelah dilakukan panen, cara termudah adalah dengan membiarkan residu tanaman (batang, daun, jerami) menutupi permukaan tanah hingga musim tanam berikutnya. Dengan demikian, air tertahan di zona tidak jenuh dan tersedia untuk musim tanam berikutnya. Metode Alternate Wetting and Drying (AWD). AWD menerapkan penghematan air total pada setiap fase tanam mulai dari penyiapan lahan hingga setelah panen. Metode ini efektif meningkatkan produktivitas air tanpa efek negatif yang signifikan terhadap hasil panen (Cabangon (2001), Virk, et al. (2004)). Pada metode AWD, air akan dialirkan ke sawah ketika dibutuhkan oleh padi tanpa harus dilakukan penggenangan. Kemudian selama beberapa waktu pengairan dihentikan hingga air di bawah permukaan surut pada kedalaman tertentu. Beberapa penelitian telah dilakukan terhadap metode ini, di antaranya mengenai pengaruhnya terhadap jumlah produksi, kualitas beras, efektivitas penggunaan pupuk, dan aplikasi praktis di lapangan. Metode ini juga diterapkan dalam System of Rice Intensification (SRI) yang sedang diuji efektivitasnya di berbagai tempat di Indonesia. Menurut Uphoff (2006), dibandingkan dengan metode konvensional, kebutuhan air dapat berkurang 25–50% dengan metode ini. Membuang Tanaman Non-Produktif. Ketika musim kering datang di tengah-tengah waktu tanam, petani akan mengelola sawahnya untuk mendapatkan air yang cukup. Jarak sawah dari sungai atau saluran irigasi terdekat dan kontur areal persawahan terkadang menjadi hambatan bagi petakpetak sawah tertentu mendapatkan air yang cukup. Ketika jumlah air tidak mencukupi dan tanaman menjadi tidak produktif, petani cenderung meninggalkan pengelolaan sawah. Kenyataannya, akar tanaman akan terus menarik air dari subpermukaan dan melepaskannya ke atmosfer melalui proses evapotranporasi. Proses ini akan menyebabkan berkurangnya air di subpermukaan sebagai cadangan untuk masa tanam berikutnya. Namun, membuang tanaman non-produktif membutuhkan tenaga ekstra sehingga hampir tidak pernah dilakukan.

Gb. 3. Tanaman Non-Produktif

Pemeliharaan Saluran Irigasi. Dengan pertimbangan yang sama seperti di atas, dengan membersihkan saluran irigasi dari tanaman gulma, besar kehilangan air akibat transpirasi oleh tanaman gulma bisa dikurangi.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

23


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Dari tindakan-tindakan di atas, mulching dan membuang tanaman non-produktif berkaitan langsung dengan konservasi green water. Pengelolaan green water yang tepat bisa mengurangi input air yang ditarik dari blue water. Untuk tanaman palawija, irigasi kendi adalah contoh teknologi penghematan air di lahan kering yang bisa diterapkan di Indonesia. Metode ini dikembangkan pada tahun 1996 oleh Budi Indra Setiawan. Uji coba metode irigasi kendi telah beberapa kali dilakukan, salah satunya untuk mengairi tanaman sayuran di daerah kering (Saleh dan Setiawan, 2001). Irigasi kendi dibangun berdasarkan sistem osmosis, yaitu terjadinya aliran air dari dalam kendi ke dinding kendi yang dibuat berpori dan mampu menghantarkan air dengan kecepatan tertentu (porus), kemudian mengalir ke tanah sekitar perakaran tanaman berdasarkan perbedaan potensial matriks antara tanah dan dinding kendi. Untuk mempertahankan air dalam kendi tingginya konstan, digunakan prinsip tabung mariotte sebagai kendali. Dengan irigasi kendi, pengambilan blue water bisa dikurangi secara signifikan. 4. Teknologi Sistem Informasi Geografis dan Pengindraan Jauh sebagai Alat Bantu Memperluas perspektif pengelolaan air dari basis sawah menjadi basis Daerah Aliran Sungai (DAS) sangat diperlukan. DAS dianggap sebagai suatu sistem dengan komponen-komponen yang saling berkaitan dengan pengguna air sebagai komponennya. Dengan cara ini, kebutuhan air dapat dipetakan berdasarkan penggunaan lahan sehingga membantu membuat prioritas suplai air. Sistem Informasi Geografis dapat diterapkan dalam pemetaan areal lahan dalam suatu DAS dan membuat analisis untuk merumuskan strategi penghematan air.

Gb. 4. Evaporasi Pada Akhir Musim Kemarau dan Awal Musim Kemarau di Lahan Sawah DAS Cidanau (Ardiansyah, 2009)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

24


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Berkaitan dengan green water, teknologi pengindraan jauh (remote sensing) dapat digunakan untuk menganalisis kehilangan air karena evaporasi dan transpirasi. Dengan melakukan klasifikasi terhadap gambar satelit, lahan persawahan dapat dibagi menjadi sawah yang ditanami dan yang tidak ditanami. Sedangkan daerah sawah yang ditanami dapat dibagi berdasarkan fase pertumbuhannya. Kehilangan air pada masing-masing tutupan lahan dapat dihitung dengan menggunakan algoritma-algoritma pendekatan yang sudah dikembangkan oleh peneliti. Informasi spasial yang diperoleh melalui analisis pengindraan jauh dan Sistem Informasi Geografis bisa digunakan untuk menentukan strategi penghematan air yang harus diterapkan di suatu DAS. Gambar 4 merupakan contoh penerapan teknologi ini untuk menduga besarnya evapotranspirasi (ET) pada lahan sawah di DAS Cidanau.

Jika ditinjau sebagai satu unit produksi, daerah aliran sungai (DAS) pada akhirnya mampu menggunakan air yang sudah dihemat ini untuk kepentingan industri atau domestik. Sebagai gambaran sederhana, bisa diambil contoh DAS Cidanau (Provinsi Banten). Apabila lahan pertanian di hulu DAS bisa menahan kehilangan air (karena evaporasi) sebesar 0,4 mm/hari, untuk luas DAS sebesar 220 km2 berarti mengurangi beban pemompaan blue water sebesar 1 m3/detik. Air ini dapat dimanfaatkan untuk industri dan pemukiman di daerah hilir. Lebih lanjut mengenai pemanfaatan teknologi ini memerlukan pembahasan tersendiri dan tidak dicakup dalam tulisan ini. 5. Penutup Strategi pengelolaan air yang memperhitungkan green water sangat tergantung pada lokasi pertanian (site specific). Karena berbicara mengenai berapa banyak air yang disimpan di zona tidak jenuh, strategi ini memerlukan informasi mengenai sifat fisik partikel-partikel tanah dalam mengikat air. Saat ini berbagai model matematika dikembangkan untuk menyimulasi berbagi skenario dan mengaudit penggunaan air di pertanian. Model-model tersebut mencoba mengintegrasikan bidang keilmuan yang berkaitan dengan irigasi, yaitu bidang keilmuan di level makro (hidrologi daerah aliran sungai) dan mikro (fisika tanah). Karena sifatnya yang site specific, diperlukan alat bantu berupa sistem informasi geografis (SIG). Riset mengenai hal ini masih terus dikembangkan. Para peneliti masih terus mencoba skenario-skenario pengelolaan air dan mengembangkan teknologiteknologi yang dapat diterapkan di lapangan. 6. Daftar Pustaka 1.

2. 3.

4.

Anonim. 2009. BPS: Tahun Ini, Indonesia Bakal Swasembada Beras. Kompas. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/xml/2009/11/02/1453239/BPS.Tahun.Ini..Indonesia.Bakal.Swase mbada.Beras Anonim. 2008. Premanisme Air yang Meresahkan Petani. Harian Republika Online http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=336591&kat_id=3. Anonim. 2008 Ratusan Ribu Hektare Sawah di Jabar Kekeringan. Media Indonesia Online. http://www.mediaindonesia.com/read/2008/07/07/16681/123/101/Ratusan_Ribu_Hektare_Sawah_di_Jaba r_Kekeringan. Anonim. 2009. 1.000 Hektare Tanaman Padi Puso. Harian Pikiran Rakyat Online. http://www.pikiran-rakyat.com/index.php?mib=news.detail&id=101835. Ardiansyah, Sho Shiozawa, B.I. Setiawan. 2009. Evaluating on-Site and Satellite Remote Sensing Methods on Evapotranspiration Estimation. In Proceeding of International Conference on Promising Practices for The Development of Sustainable Paddy Fields, 7-9 October 2009, Bogor, Indonesia.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

25


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

5.

6.

7. 8.

9. 10.

11. 12. 13.

14.

15. 16. 17.

18.

Cabangon RJ, Castillo EG, Bao LX, Lu G, Wang GH, Cui YL, Tuong TP, Bouman BAM, Li YH, Chen CD and Wang JZ. 2001. Impact of alternate wetting and drying irrigation on rice growth and resource-use efficiency. In: R Barker, R Loeve, YH Li, TP Tuong (eds.). Water-saving irrigation for rice. Proceedings of the International Workshop, 23-25 March 2001, Wuhan, China. IWMI, Colombo, Sri Lanka. p 55-79. Falkenmark, M., and J. Rockstrom. 2006. The New Blue and Green Water Paradigm: Breaking New Ground for Water Resources Planning and Management. Journal of Water Resources Planning and Management 132, no. 3 (May 0): 129-132. doi:10.1061/(ASCE)0733-9496(2006)132:3(129). FAO. 1993. Rice In human Nutrition. Food and Nutrition Series. FAO, Rome . FAO. 1996. Dimensions of Need : An Atlas of Food and Agriculture, Food and Agriculture Organization of the United Nations. Available online at:http://www.fao.org/docrep/u8480e /U8480E00.HTM [Accessed February 3, 2009]. FAO. 2001. Crop Diversification in the Asia-Pacific Region. FAO Regional Office for Asia and the Pacific〠Bangkok. Hendrayanto. 2004. Watershed and Water Resources Management in Indonesia : An Overview of Forest Degradation and Present Situation of Water Resources Supply and Efficient Utilization for Human Survival and Bioproduction. In Tsukuba Asian Seminar on Agricultural Education . Tsukuba, Japan. IPCC. 2000. IPCC Special Report on Emissions Scenarios (SRES), Summary for Policymakers. Cambridge University Press Notohadiprawiro, T. 2006. Rasionalisasi Penggunaan Sumberdaya Air di Indonesia. Ilmu Tanah, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. RockstrÜm, Johan, Malin Falkenmark, Louise Karlberg, Holger Hoff, Stefanie Rost, and Dieter Gerten. 2009. Future water availability for global food production: The potential of green water for increasing resilience to global change. Water Resources Research 45 (2). doi:10.1029/2007WR006767. http://www.alphagalileo.org/ViewItem.aspx?ItemId=57418&CultureCode=en. Rost, Stefanie, Dieter Gerten, Holger Hoff, Wolfgang Lucht, Malin Falkenmark, and Johan Rockstrom. 2009. Global Potential to Increase Crop production through Water management in Rainfed Agriculture. Environmental Research Letters 4, no. 4: 044002. Saleh, Edward, and Budi I. Setiawan. 2001. Distribution and Profile of Soil Moisture on "Kendi" Irrigation Method for Vegetable in Dry Area. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia 3, no. 2: 94-98. Satoh, Masayoshi. 2003. Demand and Allocation of Water Resource in Japan. In Tsukuba Asian Seminar on Agricultural Education (TASAE). Tsukuba, Japan. Uphoff, N.T. 2006. Increasing Water Savings while Raising Rice Yields with the System of Rice Intensification (SRI). Panel on Water Productivity - The 2nd International Rice Congress , 9-13 October, New Delhi. Virk, Parminder, Sant S. Virman, V. Lopena, and R. Cabangon. 2004. Enhancing Water Productivity in Irrigated Rice. In Proceeding of The 4th International Crop Science Congress. The Regional Institute Ltd.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

26


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

IPTEK & INOVASI

Konversi Sampah Perkotaan Menjadi Bahan Bakar Bayu Indrawan Department of Environmental Science and Technology, Tokyo Institute of Technology E-mail: me@bayu.in 1. Pendahuluan “Kebersihan adalah sebagian dari iman” merupakan semboyan yang dikenal dan sering didengar di dalam masyarakat kita. Pemerintah pun setuju dan mendukung semboyan ini, yang dapat dilihat dari penyelenggaraan pemilihan kota terbersih di Indonesia dan pemberian penghargaan bagi kota tersebut setiap tahun oleh pemerintah. Namun, bagaimana dengan kota yang dinyatakan sebagai kota terkotor? Apakah ada sanksi secara hukum atau sekadar gelar yang disandangkan? Kehidupan masyarakat modern memproduksi sampah lebih banyak daripada masyarakat tradisional. Kenyataan ini bisa disaksikan di kota-kota besar, yaitu persoalan penanganan sampah yang tak kunjung terpecahkan. Contohnya, produksi sampah di wilayah Jabodetabek, jika diambil angka rata-rata produksi sampah per orang sekitar 500–1.500 gram per hari, produksi sampah di wilayah tersebut berkisar 10.000–15.000 ton per hari (dengan asumsi jumlah penduduk wilayah ini sekitar 20 juta orang). Jakarta saja bisa menghasilkan sampah sekitar 6.500 ton per hari, sedangkan Tangerang sekitar 1.000 ton per hari. Seiring dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat, cara pandang terhadap sampah pun perlu diubah. Sampah juga bisa menjadi sumber daya yang bermanfaat dan mempunyai nilai ekonomi karena bisa diolah menjadi bahan bakar atau pupuk. Ada beberapa cara yang digunakan dalam pengolahan sampah, seperti TPA (land-filling), pembakaran atau insenerasi (incineration), dan daur ulang (recycling). Cara pengolahan yang umum digunakan di Indonesia adalah membawa sampah ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA), sedangkan sebagian kecil didaur ulang. Cara pengolahan dengan membawa sampah ke TPA masih bisa digunakan untuk daerah yang lahannya cukup luas, tetapi kurang efektif dikembangkan di daerah dengan luas lahan terbatas. Selain itu, TPA sampah adalah salah satu tempat penghasil gas metan yang menyebabkan efek rumah kaca, sumber penyakit, dan pada umumnya ditentang oleh masyarakat setempat. Di Eropa, cara ini sudah dilarang sejak tahun 2008. Cara pengolahan sampah lainnya adalah insenerasi. Insenerasi merupakan cara pengolahan sampah yang digunakan secara komersial. Melalui cara ini, sampah dapat diolah dalam volume besar. Tetapi dengan cara pengolahan sampah ini masih muncul masalah lingkungan, yaitu adanya dioksin yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan seperti kerusakan sistem kekebalan tubuh, kanker, gangguan reproduksi, dan lain-lain. Di samping itu dibutuhkan investasi yang sangat besar, teknologi yang rumit dengan nilai ekonomi yang minim, dan saat ini sangat dibatasi penggunaannya di negara maju. Universitas riset terkemuka di Jepang, Tokyo Institute of Technology, memperkenalkan teknologi Hydrothermal yang diberi nama RRS (Resource Recycling System). RSS memanfaatkan tekanan dan uap suhu tinggi (30 atm, 200ºC) yang lebih ramah lingkungan, relatif murah, dan lebih sederhana teknologinya, sehingga kandungan lokal komponennya bisa mendekati 90%. Artinya, uang tidak perlu dibelanjakan ke negara lain. Teknologi ini sesuai dengan kebutuhan pengolahan sampah di Indonesia yang umumnya terdiri dari 80% bahan organik dan campuran plastik. Sampah campuran ini dapat menghasilkan bahan bakar padat yang bisa dicampur (co-firing) dengan batu bara yang bisa digunakan sebagai bahan bakar pada pabrik semen, pembangkit PLTU, dan keperluan rumah tangga. Dengan nilai ekonomi yang dimilikinya, investasi yang sudah ditanam dapat kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

27


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

2. Resource Recycling System (RRS) Proses awal pada Resource Recycling System adalah penghancuran, pengeringan, dan penghilangan bau yang dilakukan bersamaan dengan menggunakan Multi-purpose Material Conversion System (MMCS). MMCS menggunakan gas bertekanan dengan suhu tinggi. Prinsip kerja alat ini cukup sederhana, yaitu pertama-tama sampah dimasukkan ke dalam reaktor, kemudian disusul dengan memasukkan uap bertekanan tinggi (30 atm, 200ยบC) dari boiler. Dengan bantuan blender, sampah yang ada di dalam reaktor akan terurai dalam waktu sekitar 30-60 menit. Kemudian dihasilkan produk menyerupai bubuk batu bara melalui pemisahan uap air. Karena hanya menggunakan uap air panas dan uap bertekanan tinggi, alat pengolah sampah ini tidak menghasilkan zat kimia berbahaya. Selain itu, bau yang menyengat pada sampah juga hilang dan bakteri-bakteri mati karena tingginya suhu. Hasil pengolahan sampah ini dapat dijadikan bahan bakar, baik untuk pembangkit listrik tenaga uap, pabrik semen sebagai campuran batu bara, maupun untuk kebutuhan rumah tangga berupa briket. Gambar 1, 2, dan 3 merupakan diagram, produk, dan foto dari sistem tersebut.

Gb. 1. Diagram Resource Recycling System Technology

Untuk pengolahan sampah, teknologi RRS mempunyai keunggulan teknik dan nilai ekonominya, antara lain: 1. Bebas polusi macam-macam gas buangan, seperti CO2, NOx, SOx, dan debu. 2. Limbah air dapat diproses ulang dan digunakan kembali oleh boiler. 3. Menghasilkan bahan bakar padat yang dapat mendampingi batu bara sebagai bahan bakar. 4. Biaya investasi dan operasi jauh lebih murah daripada teknik pembakaran konvensional, yaitu sekitar separuh harga. 5. Karena bebas polusi, masyarakat lebih mudah menerima keberadaan RRS.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

28


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Gb. 2.

Produk Resource Recycling System Technology

Gb. 3. RRS Technology Commercial Plant di Hokkaido

Konsep RRS adalah pemanfaatan kembali sumber kekayaan yang sudah dianggap tidak berguna secara ekonomis, seperti sampah rumah tangga (Municipal Solid Waste). Keuntungan teknologi ini adalah ramah lingkungan, lebih sederhana, relatif murah dengan komponen lokal sekitar 90%, dan menghasilkan produk berkualitas yang bisa dijual sehingga modal investasi dapat kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama. Sesuai dengan komposisi sampah yang ada pada umumnya, yaitu sebagian besar terdiri dari campuran bahan organik dan plastik, RRS mampu memproses sampah ini menjadi bahan bakar padat berupa bubuk yang bisa digunakan untuk pembangkit lisrik tenaga uap, pabrik semen, atau bahan bakar untuk keperluan rumah tangga.

3. Kesimpulan Pada saat ini dan di masa yang akan datang, sampah akan selalu menjadi masalah utama bagi pemerintah kota jika tidak dicarikan solusinya. Sebaliknya, dengan manajemen yang baik dan teknologi yang tepat, sampah akan dapat dimanfaatkan kembali. Resource Recycling System yang berdasarkan konsep tersebut dapat mengolah sampah

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

29


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

menjadi produk yang bermanfaat dan ramah lingkungan. RSS menghasilkan produk berupa bahan bakar bubuk yang dapat digunakan sebagai pencampur batu bara dan briket sampah, sehingga bisa dijual kepada perusahaan pembangkit listrik tenaga uap, pengusaha batu bata, pabrik semen, rumah tangga, dsb. Modal investasi yang ditanamkan dapat mencapai titik impas (break even point) dalam waktu yang tidak terlalu lama. Selain itu, RSS yang ramah lingkungan akan diujicobakan di Indonesia dalam bentuk pilot project. Diharapkan RSS dapat menjadi-solusi permasalahan sampah di Indonesia dan upaya mendorong pengembangan teknologi, industri dan penelitian di bidang persampahan di Indonesia.

4. Daftar Pustaka 1.

G. Jambaldorj, M. Takahashi and K. Yoshikawa. 2007. Liquid Fertilizer Production from Sewage Sludge by Hydrothermal Treatment. Proceedings of International Symposium on EcoTopia Science.

2.

K. Sato, Z. Jian, J.H. Soon, T. Namioka, K. Yoshikawa, Y. Morohashi, J. Takase, M. Nozaki and T. Kaneko. 2004. Studies on Fuel Conversion of High Moisture Content Biomass Using Middle Pressure Steam. Proceeding of Thermal Engineering Conference, 255-260.

3.

K. Yoshikawa. 2009. Hydrothermal Treatment of Municipal Solid Waste to Produce Solid Fuel. 7th International Energy Conversion Engineering Conference.

4.

Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia (KNLH). 2008. Statistik Persampahan Indonesia Tahun 2008.

5.

P. Prawisudha, K. Yoshikawa, H. Takano and Y. Ishida. 2009. Solid Fuel Production from MSW using Innovative Hydrothermal Treatment Technology for Cement Kiln Application.

6.

UIN – ITB – UNAND - Tokyo Tech - Nagoya Univ. - Tokyo Univ. Agriculture - Nihon Univ. Cooperative Research. 2008. Establishment of Circulation Systems for Bio-resources in Indonesia.

7.

United Nations Environmental Programme, Division of Technology, Industry and Economics, International Environmental Technology Centre. 2009. Converting Waste Agricultural Biomass into a Resource.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

30


NASIONAL

INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

COMMUNITY BASED TECHNOLOGY TRANSFER: CASE OF INDONESIAN COMMUNITIES IN JAPAN Fauzy Ammari Director, Working Group for Technology Transfer (http://wgtt.org ) 125 Kurono Kopo, Furuichiba 32-1 Gifu 501-1121 Japan Telp/Fax: +81 58 239 8233, Mobilephone: 090 9179 3555 Email: fauzy@wgtt.org

1. Potentiality of Community Limitation of information sharing networks on applicable technology between communities is one among many reasons caused the sluggishness of technology transfer in Indonesia, as recorded in WGTT (Working Group for Technology Transfer) surveys (see list of references) that 48.36% respondents has agreed in this regards. In fact, according to official information, more 25 Thousand of Indonesian staying in Japan and has various activities especially majority in automotive industrial sector. Mostly, they are involved in a community in Japan based on their specific sector or background similarity or same grade. Those communities potentially have a capability as a media for technology transfer. 2. Basic Concept Basic concept of transferring technology undertaken by WGTT is, develop a human capacity building to be able to realize the information for increasing the ability and built character personally and in a community; therefore they will be able open new business or develop their existing business adopting new technology. To date, in each regional in Japan, face to face discussion and presentation with Indonesian trainee community (kenshusei) are applied as methodology as well as web based interface communication. This is focused on developing self-potential, existing network mobilization, consultation and guiding on establishing business including assist on how to obtain a technical assistance to initially set up business and identification of technology which recommended applicable in a market oriented business (see Table 1). Contribution of technology in advance for efficiency and productivity in daily life are an indicator for business oriented technology applications. 3. Small and Medium Size Enterprises (SME) Access to Technology To date, there are many factors which delay the process of technology transfer in Indonesia including, but not limited to: the weakness in knowledge networking, low ability of establishing technology-based business creation, and the institutional integrity. Due to limited data base and latest information, generally, the small and medium enterprise (SME) groups are still unable to access technology related information freely and are facing limited capital for running a steady business. Technology transfer in this paper is meant to be in term of an acquisition of latest information for the improvement of efficiency and productivity of SMEs in Indonesia which drives new product introductions, new company formation, and regional economic development by strengthening the local and global networking. 4. Variant of Indonesia Communities There are many types of Indonesian communities and organizations in Japan, which are potential as a community involvement of technology transfer. The high number group is the trainee where documented about 6,000 persons per year, then further the group of students, worker in various sectors, government officers, professionals in various level of company, Japanese school student (2 years program), and dependent families. Based on WGTT’s surveys conducted on January to July 2008, 277 respondents from the 3 years industrial training program, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

31


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

we get the following information (WGTT, 2008): (i)

The vulnerability of cooperation and collaboration between big firm, government, social communities (NGO) and SMEs is considerably deep (48.36%) Less reliable market information (23.64%) Less number of small scale groups (9.82%) and The difficulties to find partner to discuss a future plan (18.64%). 50.49% of them are still unsure about the future application of their technical skill during the trained 3 years in industrial sector in Japan. However they are pretty sure to be able to open business in non mechanical automotive industry (25.24% responded).

(ii) (iii) (iv)

This is generally to assess the potential of Indonesian communities in various level in Japan, including -

-

Roughly assess the recent policy and institutional capacity innovation framework which applied by the government of Indonesia (GOI) and the impact of GOI priority innovation programs Highlight the competitiveness situation between Asian countries by economic growth index, and To understand that SMEs is appropriate as the end user of the latest technologies for the purpose of economic of scale production activities.

As per surveys results, 78.44% among 277 respondents in the surveys during Jan- July 2008 informed that it is possible to use the technical skill they mastered in Japan for establishing an appropriate SME in Indonesia as an entrepreneur. 5. Strengthening Individual and Community Functions More specifically, by also using SWOT analysis (it will be outlined in the second edition of this book), the presentation objective is: (i)

(ii)

(iii) (iv) (v)

(vi)

To discuss the way to strengthen the existing capacity of Indonesia communities and organization in Japan, quality of documentation, status of networking and the methodology to be applied to strengthen and ensure its coherence with transferring technology To share experience about the ongoing Japan-wide Entrepreneurship and Banking Trainings (pelatihan wirausaha dan edukasi perbankan (PWEP) in Japan. This program executed under the Tokyo Commitment (references can be downloaded in http://wgtt.org ) To recommend an appropriate government policies/regulation in encountering global competitiveness and financing risks Finding opportunities in the bilateral relation including the undertaken economical partnership agreement (EPA) The need of deeply assessment to identify the existing bottleneck of technology transfer and potential barriers such as legislation including resistance condition to change, link between commercialization and technology transfer, conflict of interest, patent and competitiveness, lag time, insufficient marketing regarding domestic developed technologies, lack of marketing and incentive from government, lack of community trust on government support, lack of involvement research and application in term of collaboration, and contribution of stakeholders within crosscutting issues To search a funding requirement and policy to stimulate Community Based Technology Transfer (CBTT) including technical skill upgrading and the creation of practically technology based enterprises.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

32


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Table 1. Approaching Method on Strengthening Individual and Communities. Media/Forum

Methodology

Target

Indicator

Face to face

Seminar, workshop & training

Equalize Perception/ build network

Web based

Through Website/forum/ Email/Chatting/ Multimedia, Survey online, pooling

Equalize vision and mission, Sharpen intention, sector analysis, mapping/clustering

Generate intention, built networks, follow up deeply discussion through web Discussion and sector analysis, preparation of business plan and proposal, understanding basic management, basic accounting, , running business, marketing, initial cost and risk identifications.

6. Surveys and Recommendations Based on WGTT’s Surveys (Jan-July 2008) involving 277 number of respondents: -

The need of seminar and training (face to face and web-based online) (25.93%) Information distributed about SME and strategy (30.74%) Financing and strategic business management (26.48%), and Technical assistance after starting up business (16.85%).

The concept of Community Based Technology Transfer proposed in this presentation is a short cut way to solve the technology transfer problem in Indonesia as mentioned above. Realistically, technology transfer process takes longer time, in case of industrial innovation from university to be applied in a private company in Japan; it takes more than 10 years averagely (Yamane, 2008). The community-based technology transfer concept is to promote and conduct various training activities to improve the technical knowledge base of the Indonesia communities in Indonesia and in overseas, SMEs is one of the media where the technology to be implemented and product. The using of technology transfer is to improve the productivity of these SMEs in Indonesia. Through the technology transfer scope which addressed to the Indonesian communities in Japan, basically the assessment of the position of technology transfer is structurally focused on (i) (ii) (iii) (iv) (v)

Assessing current responses to implementing technology transfer, Understanding barriers encountering to the development, Examining trends in proposed solutions addressing community based technology transfer, Data collection regarding technology transfer finance and investment initiatives, Requirement of social and environmental criteria for the process and mechanism of technology transfer.

The trainee communities in Japan are mainly involved in the automotive sector (spare-parts and build up) is presented 25.79% and in food processing industries is 21.84% among the 276 respondent. Production sector (processing until packaging) is ranked first as 65.67% among the various divisions in industry. Technology transfer is able to be created from daily life learning. The huge number of Indonesian who stayed in industrial countries can share information through internet discussion and possible to advise an initiation of such SMEs and investment partnership in Indonesia using new Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

33


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

technology. Many steps from technology transfer to commercialization including market strategy, product demands, product development, customer acquisition, and funding. Community networks in overseas such as in Japan, is easy to be strengthened since they have a good internet access and mostly regionally has event for gathering regularly. Human factor is a key of technology transfer where technology from one sector can be applied to other sectors. An assessment is required to know which technology is demanded and for which place including for which commercial and business. As a reference, the machine and equipment operated by the industrial trainee in Japan is generally to produce a commodity. They are used to perform productivity and quality (59.93% among the 277 respondent).

Diagram 2: Develop humanIdentifications technical skill through trainee program Surveys/pooling Clustering/mapping Various Information Capacity building and Measurement of qualifications Documentations Generate/motivate intentions Sector analysis Financial Plan Response and feedback Various Information Option on entrepreneurship or investment Full Business Proposal Technical Cooperation and Standardization Ready on emosional Commencing entrepreneurship or investment Risk Management

Documentation/Experiences

Diagram 1. Develop Human Technical Skill through Trainee Program.

Community networks are fully depending on human capacity building, where it can be reaching a target along with sharing ability and information. This study will be based on the survey and Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

34


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

identification of the availability of local organization/forums especially the trainee groups, which has position of ranking first in number of community in Japan. Assessment of stakeholder who is actually plays a role in the technology transfer process. Based on surveys, the team work in machinery operation is 41.70% of the trainee. The group that understood about their daily working and the function of the machinery system is 40.17% among the trainee. Also, 41.42% of trainee knows well about the electrical system and general mechanical engineering of the equipment they used.

Generate personal capacity

Training Program

Business plan counseling Assistance on start up business

Lesson learned

Iinsert technology transfer based industry

Business incubator

Mobilize entrepreneur networks

Diagram 2. Sustainability on Business Oriented Technology Transfer. Through the program in Working Group for Technology Transfer (WGTT), understanding a technology can be divided into three steps, (i) (ii) (iii)

Understanding mechanically, however the purpose of the technology is in unclear condition Understanding of what to be done for the next step Utilization by understanding the daily life requirements.

Utilization is the high step of a technology and close to a business oriented. A model for technology transfer process proposed in WGTT program is strongly emphasized as follows (see Table 1, Diagram 1 and 2),: (i) through trainee program develop human way of thinking and generate personal potential, (ii) to mobilize current entrepreneur networks, (iii) business plan counseling and guidance, (iv) to facilitate a technical assistance on start up a new business and enable to develop an existing business, (v) develop business incubator, and (vi) applied new technology transfer based industry. 7. References 1. WGTT. 2008, Direct and Online Surveys on Capacity Building and Technology Transfer, Working Group for Technology Transfer ( http://wgtt.org/ ), Accessed: 31 October 2009. 2. Yamane, T. 2008 Technology and It’s Transferring (Japanese Version Book), Nikkan Publisher.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

35


KESEHATAN

INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

PENGGUNAAN MADU DALAM PERAWATAN LUKA Haryanto Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan (STIK) Muhammadiyah Pontianak Department of Wound Care Management, Division of Nursing Graduate School of Medicine Kanazawa University Email: gibyanto@yahoo.com.au

1. Pendahuluan Penggunaan madu sebagai obat telah dikenal sejak puluhan ribu tahun yang lalu, misalnya dalam pengobatan penyakit lambung, batuk, dan mata (Subrahmanyam et al., 2001). Selain itu madu juga dapat digunakan sebagai terapi topikal untuk luka bakar, infeksi, dan luka ulkus. Sampai saat ini telah banyak hasil penelitian yang melaporkan bahwa madu efektif untuk perawatan luka, baik secara klinis maupun laboratorium. Ada beberapa hasil penelitian yang melaporkan bahwa madu sangat efektif digunakan sebagai terapi topikal pada luka melalui peningkatan jaringan granulasi dan kolagen serta periode epitelisasi secara signifikan (Suguna et al., 1992;1993; Aljady et al., 2000). Menurut Lusby PE (2006) madu juga dapat meningkatkan waktu kontraksi pada luka. Madu efektif sebagai terapi topikal karena kandungan nutrisi yang terdapat di dalam madu dan hal ini sudah diketahui secara luas. Bergman et al. (1983) menyatakan secara umum bahwa madu mengandung 40% glukosa, 40% fruktosa, 20% air dan asam amino, vitamin biotin, asam nikotinin, asam folit, asam pentenoik, proksidin, tiamin, kalsium, zat besi, magnesium, fosfor, dan kalium. Madu juga mengandung zat antioksidan dan H2O2 (Hidrogen Peroksida) sebagai penetral radikal bebas. Tujuan tulisan ini adalah memberikan gambaran kandungan dan sifat madu sehingga madu dapat digunakan sebagai alternatif terapi topikal pada perawatan luka. 2. Sifat Zat Yang Terkandung dalam Madu Kandungan dan sifat madu dapat berbeda tergantung dari sumber madu (Gheldof et al., 2002; Gheldof and Engeseth, 2002). Pada saat ini salah satu madu yang cukup dikenal luas dalam perawatan luka adalah Manuka Honey. Madu lebih efektif digunakan sebagai terapi topikal karena kandungan nutrisi dan sifat madu.

2.1. Osmolaritas Yang Tinggi Madu merupakan larutan yang mengalami supersaturasi dengan kandungan gula yang tinggi dan mempunyai interaksi kuat dengan molekul air sehingga akan dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme dan mengurangi aroma pada luka. Salah satunya adalah pada luka infeksi yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus. Seperti yang dilaporkan Cooper et al (1999), hasil studi laboratorium menunjukkan madu memiliki efek anti bakteri pada beberapa jenis luka infeksi, misalnya bakteri Staphylococcus aureus. Hasil penelitian lain melaporkan madu alam dapat membunuh bakteri Pseudomonas aeruginosa dan Clostritidium (Efem & Iwara, 1992). Luka dapat menjadi steril terhadap kuman apabila menggunakan madu sebagai dressing untuk terapi topikal. Selain itu pH yang rendah (3,6-3,7) dari madu dapat mencegah terjadinya penetrasi dan kolonisasi kuman (Efem, 1998). Apabila terjadi kontak dengan cairan luka khususnya luka kronis, cairan luka akan terlarut akibat kandungan gula yang tinggi pada madu, sehingga luka menjadi lembap dan hal ini dianggap baik untuk proses penyembuhan.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

36


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

2.2. Hidrogen Peroksida Bila madu dilarutkan dengan cairan (eksudat) pada luka, hidrogen peroksida akan diproduksi. Hal ini terjadi akibat adanya reaksi enzim glukosa oksidase yang terkandung di dalam madu yang memiliki sifat antibakteri. Proses ini tidak menyebabkan kerusakan pada jaringan luka dan juga akan mengurangi bau yang tidak enak pada luka khususnya luka kronis. Hidrogen peroksida dihasilkan dalam kadar rendah dan tidak panas sehingga tidak membahayakan kondisi luka (Molan, 1992). Selain itu hidrogen peroksida yang dihasilkan tergantung dari jenis dan sumber madu yang digunakan. 2.3. Aktivitas Limfosit dan Fagosit Hasil penelitian menunjukkan bahwa aktivitas sel darah lymphosit B and lymphosit T dapat distimulasi oleh madu dengan konsentrasi 0.1% (Abuharfeil et al.,1999). Adanya aktivitas limfosit dan fagosit ini menunjukkan respons kekebalan tubuh terhadap infeksi khususnya pada luka. 2.4. Sifat Asam Madu Madu yang bersifat asam dapat memberikan lingkungan asam pada luka sehingga akan dapat mencegah bakteri melakukan penetrasi dan kolonisasi. Selain itu kandungan air yang terdapat dalam madu akan memberikan kelembapan pada luka. Hal ini sesuai dengan prinsip perawatan luka modern yaitu "Moisture Balance". Hasil penelitian Gethin GT et al (2008) melaporkan madu dapat menurunkan pH dan mengurangi ukuran luka kronis (ulkus vena/arteri dan luka dekubitus) dalam waktu dua minggu secara signifikan. Hal ini akan memudahkan terjadinya proses granulasi dan epitelisasi pada luka. 3. Manfaat Madu Untuk Perawatan Luka Madu dapat digunakan untuk terapi topikal sebagai dressing pada luka ulkus kaki, luka dekubitus, ulkus kaki diabet, infeksi akibat trauma dan pasca operasi, serta luka bakar. Madu dapat mempercepat masa penyembuhan luka bakar (Evan and Flavin, 2008; Jull et al.,2008). 4. Cara Menggunakan Madu Saat Perawatan Luka Ada beberapa tips yang dapat dipakai saat merawat luka dengan terapi madu (Molan, 2001): a. Gunakan jumlah madu sesuai dengan jumlah cairan atau eksudat yang keluar dari luka. b. Frekuensi penggantian balutan tergantung pada cepatnya madu terlarut dengan eksudat luka. Jika tidak ada cairan luka, balutan dapat diganti dua kali seminggu supaya komponen antibakteri yang terkandung di dalam madu dapat terserap ke dalam jaringan luka. c. Untuk mendapatkan hasil yang terbaik, gunakan second dressing yang bersifat absorbent. Jika madu digunakan langsung pada luka, madu akan meleleh sehingga keluar area luka. Hal ini tidak akan efektif untuk merangsang proses penyembuhan luka. d. Gunakan balutan yang bersifat "oklusif", yaitu menutup semua permukaan luka untuk mencegah madu meleleh keluar dari area luka. e. Pada cairan luka yang sedang, sebaiknya gunakan transparent film sebagai second dressing. f. Pada abses (nanah) dan undermining (luka berkantong), perlu lebih banyak madu untuk mencapai jaringan di dalamnya. Dasar luka harus diisi dengan madu sebelum ditutup dengan second dressing seperti kasa atau dressing pad lainnya. g. Untuk memasukkan madu pada luka berkantong, sebaiknya gunakan kasa atau dressing pad sehingga kerja kandungan madu lebih efektif.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

37


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

5. Penutup Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa manfaat madu dari zat dan sifat yang terkandung di dalamnya sangat efektif dan ekonomis untuk perawatan luka. Hal ini sangat potensial dikembangkan di Indonesia yang memiliki beragam jenis madu. Di beberapa rumah sakit di Indonesia, madu telah digunakan sebagai terapi topikal, tetapi sampai saat ini belum ada hasil penelitian secara klinis dan laboratorium yang melaporkan bahwa madu Indonesia efektif untuk perawatan luka. Berdasarkan fakta ini, perlu dilakukan penelitian terhadap madu yang terdapat di Indonesia, terkait dengan penggunaannya sebagai alternatif perawatan luka yang ekonomis, aman, mudah didapat, dan mudah digunakan oleh tenaga medis. 6. Daftar Pustaka 1. Abuharfeil N., R. Al-Oran and M. Abo-Sheheda, 1999. The effect of bee honey on the proliferative activity of human B and T lymphocytes and the activity of phagocytes. Food Agric. Immunol., 11:169-177. 2. Aljady A.M, M.Y. Kamaruddin, A.M. Jamal, M.Y. Mohd. Yassim, 2000. Biochemical study on the efficacy of malaysian honey on inflicted wounds: an animal model. Medi. Journal of Islamic Academy Sciences.,13:3, 125-132. 3. Bergman A, J. Yanai, J. Weiss, D. Bell and M.P. David. 1983. Acceleration of wound healing by topikal application of honey: An animal model. Am. J. Surg., 145: 374-376. 4. Cooper RA, Molan PC, Harding KG. 1999. Antibacterial activity of honey against strain of Staphylococcus aureus from infected wounds. J Roy Soc Med., 92:283-285. 5. Efem SEE, 1998. Clinical observation on the wound healing properties of honey. Br J. Surg., 75:679-681. 6. Efem SEE and C.I. Iwara, 1992.The antimicrobial spectrum of honey and its clinical significance. Infection.,20:227-229. 7. Evan J, Flavin S. 2008. Honey: a guide for healthcare professionals. Br J Nurs 17(15):S24, S26, S28-30 8. Gheldof N, Engeseth NJ. 2002. Antioxidant capacity of honeys from various floral sources based on the determination of oxygen radical absorbance capacity and inhibition of in vitro lipoprotein oxidation in human serum samples. J Agric Food Chem., 50: 3050-3055. 9. Gethin GT, Seamus C and Ronan MC. 2008. The impact of manuka honey dressing on the surface pH of chronic wounds. Int Wound J., 5:185-194. 10. Gheldof N, Wang, XH, Engeseth NJ. 2002. Identification and quantification of antioxidant components of honeys from various floral sources. J Agric Food Chem., 50: 5870-5877. 11. Jull AB, Rodger A, Walker N. 2008. Honey as topikal treatment for wounds. Cochrane Database Syst Rev (4):CD005083. 12. Lotfi A, 2008, Use of Honey as a Medical Product in Wound Dressing (Human and Animal Studies): A Review , Res. J. Biol Sci., 3 (1): 136-140. 13. Molan PC, 2001, Potential of honey in the treatment of wounds and burn, Am.J.Clin.Dermatol., 2 (1): 13-19. 14. Molan PC, 1992. The antibacterian activity of honey variation in the potency of antibactrial avtivity, Bee World.,73:59-79. 15. Subrahmanyam M, H. Archan and S.G. Pawar, 2001, Antibacterial Activity of Honey on Bacteria Isolated From Wounds, Annal of Burns and Fire Disasters., 14: 1-22. 16. Subrahmanyam M, 1991, Topikal application of honey in treatment of burn, Br J Surg.,78 (4): 497-498. 17. Suguna L, G Chandrakasan, U. Ramamorrthy and K.T. Joseph, 1993. Influence of honey on collagen metabolism during wound healing in rats. J. Clin. Biochem. Nutr., 14:91-99.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

38


HUMANIORA

INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

KULIAH DUNIA FANTASI Hasanudin Abdurakhman Alumni Tohoku University E-mail: hasan@osimo.co.id Saat mulai bekerja di perusahaan, saya merekrut beberapa orang lulusan SMA untuk ditempatkan sebagai operator di pabrik. Salah seorang pelamar untuk posisi ini adalah pemegang gelar Sarjana Hukum, lulusan sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Pada riwayat hidupnya dinyatakan bahwa dia pernah bekerja beberapa bulan di perusahaan penyedia jasa kebersihan dengan kualifikasi pekerja tanpa keterampilan tertentu (non-skill). Artinya pekerja bergelar sarjana ini hanyalah seorang tukang bersih-bersih. Meski sempat tercenung membaca riwayat hidup tersebut, saya tidak terlalu kaget. Sebelum bekerja di perusahaan, saya sempat bekerja beberapa tahun sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di daerah. Saat itu saya sudah menduga bahwa banyak mahasiswa yang berpotensi menjadi seperti sang Sarjana Hukum tadi, yaitu lulus dari perguruan tinggi dengan gelar sarjana tetapi tidak memiliki kualifikasi apapun. Di hari pertama kuliah di setiap semester, khususnya kepada mahasiswa baru, saya selalu memulai dengan mengajukan pertanyaan: “Apa tujuan Anda kuliah?� Sebagian besar mahasiswa tidak (bisa) menjawab. Sebagian memberikan jawaban klise, seperti “mencari ilmu�. Hanya ada segelintir yang bisa memaparkan dengan baik tujuannya masuk ke perguruan tinggi. Sepanjang masa perkuliahan saya sering harus mengurut dada. Banyak mahasiswa Fakultas Teknik atau MIPA yang tidak bisa menjelaskan hal-hal sederhana dalam mata kuliah Fisika atau Matematika. Banyak yang tidak bisa, misalnya, menjelaskan definisi sinus dan kosinus. Bahkan ada yang tidak bisa menjumlahkan bilangan pecahan! Bagaimana mereka bisa lulus dalam Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri? Entahlah. Saya punya beberapa dugaan, tetapi tulisan ini tidak akan membahas hal itu. Yang hendak saya sampaikan dengan ilustrasi di atas adalah bahwa perguruan tinggi kita dihuni oleh tidak sedikit orang yang sebenarnya tidak memiliki kualifikasi minimum untuk menempuh pendidikan tinggi. Juga tidak memiliki visi yang memadai tentang apa dan bagaimana belajar di perguruan tinggi, serta motivasi yang cukup untuk mengembangkan diri. Orang-orang seperti itu, menurut saya, tak layak berada di perguruan tinggi. Tentu saya tidak hendak mengatakan bahwa mereka tidak berhak mengenyam pendidikan tinggi. Yang hendak saya katakan adalah mereka hanya akan melewatkan sekian tahun tanpa makna dengan kuliah di perguruan tinggi. Masa sekian tahun itu tidak akan membuat mereka memiliki kompetensi tertentu. Yang akan mereka dapatkan saat selesai kuliah tidak lebih dari selembar ijazah dan sebuah gelar. Pengalaman saya beberapa tahun menyeleksi calon karyawan lulusan perguruan tinggi semakin membuat saya yakin dengan kesimpulan di atas. Saya melihat banyak sarjana menganggur bukan semata karena tidak ada lapangan kerja. Tetapi karena apa yang mereka miliki tidak memadai untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan pemberi kerja, termasuk untuk mengisi lowongan yang diperuntukkan bagi lulusan baru. Saya melihat baik orang tua maupun para mahasiswa banyak yang belum bisa mengubah cara pandang mereka tentang pendidikan tinggi. Di masa lalu, hampir setiap lulusan sarjana akan mendapatkan posisi di dunia kerja. Bahkan banyak yang kuliah sambil bekerja, dan kemudian mendapatkan penyesuaian jabatan setelah lulus kuliah. Orang kemudian membayangkan kuliah itu seperti memasuki terowongan ajaib, yang ketika keluar dari situ dijamin mendapat pekerjaan dan penghidupan yang baik. Cara pandang itu tidak berubah meskipun di kemudian hari makin banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur. Orang tua tetap mendorong anaknya untuk kuliah tanpa memperhatikan apakah anaknya memiliki kualifikasi minimum untuk belajar di perguruan tinggi atau tidak. Orang tua cenderung melihat bahwa kuliah lalu memperoleh gelar adalah satu-satunya jalan untuk hidup layak di masa depan. Sedangkan anaknya menikmati Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

39


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

status sebagai mahasiswa sambil berfantasi bahwa kelak setelah lulus dia akan menikmati pekerjaan yang baik dengan penghasilan besar. Status dan fantasi itu sayangnya, tidak disertai kesadaran bahwa pekerjaan dengan penghasilan besar itu hanya bisa didapat oleh lulusan dengan kualifikasi tertentu, dan kualifikasi itu hanya bisa diperoleh dengan memeras keringat selama kuliah. Sebagian dari mereka adalah mereka yang saya sebutkan di atas: tidak memiliki kualifikasi minimum untuk bisa menyerap ilmu untuk mendapatkan kualifikasi yang lebih tinggi. Sedangkan sebagian yang lain memiliki kualifikasi minimum, tetapi tidak punya visi. Mereka kuliah tanpa tahu hendak menjadi apa setelah lulus nanti, dan kualifikasi apa yang dibutuhkan untuk itu. Karenanya tidak ada rencana yang jelas dalam studi mereka. Mereka mengikuti arus belaka. Kemampuan berbahasa Inggris, misalnya, nyaris merupakan sebuah syarat mutlak untuk memasuki dunia kerja bagi para sarjana. Meski sadar betul akan hal ini, hanya sedikit dari para mahasiswa itu yang bergerak untuk memperbaiki kemampuan mereka. Sebagian baru mulai pontang panting ikut kursus saat lulus. Sebuah langkah yang sangat terlambat. Perguruan tinggi di sisi lain, sepertinya hanya tertarik untuk menjaring sebanyak mungkin mahasiswa. Tak cukup dengan program reguler, program ekstensi pun dibuka. Demikian pula, fakultas dan jurusan baru juga ditambah. Pernahkah perguruan tinggi mengumpulkan data tentang dunia kerja yang akan dimasuki oleh para mahasiswanya setelah lulus? Adakah program di dalam dan di luar kurikulum yang mengarahkan mahasiswa untuk siap memasuki dunia kerja? Adakah kegiatan terstruktur untuk memotivasi mahasiswa untuk mempersiapkan diri? Yang sering saya lihat di kampus adalah para dosen yang sibuk dengan berbagai kegiatan untuk mencari nafkah tambahan, agar dapur mereka tetap bisa berasap. Program ekstensi adalah salah satu dari kegiatan itu. Para dosen tidak punya waktu untuk memikirkan bagaimana nasib mahasiswa setelah lulus kelak. Oleh karena itu, perguruan tinggi menjadi lembaga pencetak manusia bergelar belaka. Produk pendidikan tinggi adalah orang-orang yang kemudian disebut sebagai “penganggur terdidik�. Sebuah istilah yang keliru karena mereka ini tak lebih dari “penganggur bergelar“. Untuk mengurangi jumlah penganggur bergelar ini setidaknya diperlukan dua hal. Pertama, kesadaran para orang tua dan calon mahasiswa tentang makna pendidikan tinggi. Bahwa perguruan tinggi bukan terowongan ajaib pencetak orang bernasib baik. Juga bahwa dibutuhkan kualifikasi minimum untuk belajar di situ. Yang tidak memiliki kualifikasi itu, harus sadar untuk memilih jalan lain yang sebenarnya tidak buruk. Kedua, perguruan tinggi harus lebih intensif berkomunikasi dengan dunia kerja. Mahasiswa harus diberi kesadaran tentang apa dan bagaimana dunia kerja agar mereka bisa mempersiapkan diri.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

40


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

CATATAN RISET

AKURASI DETEKSI MUTASI GEN GLB1 DENGAN DENATURING-HIGH PERFORMANCE LIQUID CHROMATOGRAPHY PADA PENYAKIT GM1-GANGLIOSIDOSIS Udin Bahrudin Institute of Regenerative Medicine and Biofunction, Tottori University Graduate School of Medical Science, Japan; Pusat Riset Biomedik, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Indonesia E-mail: bahrudin@med.tottori-u.ac.jp

Abstrak

Denaturing-high performance liquid chromatography (DHPLC) telah dikembangkan sebagai alat untuk deteksi mutasi gen dengan biaya sepuluh kali lebih murah daripada metode standar dengan sequencing. Akurasi DHPLC untuk deteksi mutasi gen GLB1 pada penyakit GM1-gangliosidosis belum pernah dilaporkan. Analisis mutasi dilakukan pada ekson 1─16 gen GLB1 dari 9 pasien GM1-gangliosidosis dengan menggunakan metode DHPLC dan sequencing. Dibandingkan dengan sequencing, DHPLC memiliki sensitivitas 83,33% dan spesifisitas 97,56%. Nilai prediksi positifnya 71,43% dan nilai prediksi negatif 98,77%. Rasio kemungkinan positif 34,17 dan rasio kemungkinan negatif 0,17. Prevalensi DHPLC pada deteksi mutasi ini adalah 6,82%. DHPLC memiliki akurasi tinggi untuk mendeteksi mutasi gen GLB1 pada penyakit GM1-gangliosidosis. Metode yang relatif murah ini dapat digunakan untuk melengkapi metode sequencing sehingga mengurangi biaya deteksi mutasi gen GLB1, dan berguna untuk skrining mutasi pada penyakit GM1-gangliosidosis. Kata Kunci: DHPLC, deteksi mutasi, gen GLB1, GM1-gangliosidosis.

1. Pendahuluan Gen β-galaktosidase manusia (GLB1) terletak pada kromosom 3p21.33, panjangnya 62,5 kb, dan terdiri atas 16 ekson yang tersusun oleh 2.031 rantai nukleotida pengkode.1-5 Batas ekson/intron telah ditentukan dan intron antara ekson 1 dan 2 sangat panjang (22 kb).6 Inisiasi translasi ATG diberi nomor 1 pada urutan nukleotida. Gen GLB1 mengodekan asam β-galactosidase yang merupakan enzim hidrolisis dalam lisosom untuk mengontrol pencernaan makromolekul di dalam sel seperti gangliosida. 7 Defisiensi enzim β-galactosidase yang disebabkan oleh mutasi pada gen GLB1 menyebabkan penyakit GM1-gangliosidosis yang ditandai dengan adanya akumulasi ganglioside GM1 dan derivatifnya asialo GA1, oligosakarida turunan dari glikoprotein, dan keratan sulfate.8,9 Insiden penyakit ini adalah 1:400.000 di berbagai etnik. Berdasarkan onsetnya, secara klinis GM1-gangliosidosis dibagi menjadi tipe anak-anak, remaja, dan dewasa.8 Cara penurunannya adalah autosomal recessive, laki-laki dan perempuan mempunyai predileksi sama.8 Diagnosis GM1-gangliosidosis terdiri atas diagnosis klinis, biokimia, dan analisis gen.8 Pemeriksaan gen GLB1 saat ini digunakan untuk diagnosis genetika molekuler standar pada pasien dengan GM1-gangliosidosis, sehingga diperlukan metode analisis genetik yang aman, harga terjangkau, dan memiliki akurasi tinggi. Analisis gen ini sangat penting dalam kaitannya dengan konseling genetik dan diagnosis dalam kandungan (prenatal diagnosis), juga terkait dengan terapi molekuler seperti pengobatan chemical chaperone yang saat ini masih dalam penelitian preklinik.8,10,11

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

41


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Metode sequencing adalah baku standar untuk diagnosis mutasi baru gen pada pasien, tetapi metode ini membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya relatif mahal.8 Teknik skrining alternatif diperlukan untuk analisis kandidat gen dan aplikasi diagnostik. Idealnya, metode skrining mutasi sampel baru harus sensitif, aman, relatif murah, dan otomatis atau setidaknya semiotomatis untuk meminimalkan waktu, tenaga, dan biaya. Denaturing-high performance liquid chromatography (DHPLC) belum lama ini telah dikembangkan sebagai metode otomatis untuk mendeteksi mutasi. DHPLC menggunakan HPLC fase terbalik untuk mendeteksi single nucleotide polymorphisms (SNPs).12 Prinsipnya adalah adalah fase padat yang memiliki afinitas yang berbeda untuk DNA untai tunggal dan ganda. Pada DHPLC, fragmen-fragmen DNA dipisahkan (denaturated) dengan pemanasan dan kemudian dikondisikan untuk menempel kembali (reannealed). Suhu leleh (melting temperature) dari fragmen-fragmen DNA yang menempel kembali menentukan lamanya waktu mereka dipertahankan dalam kolom (waktu retensi). Jika DNA target identik dengan DNA kontrol, akan terbentuk pasangan homodupleks pada tahap reannealing. Sedangkan bila target DNA mengandung SNP yang berbeda dengan kontrol, akan terbentuk pasangan heterodupleks. Pasangan heterodupleks memiliki suhu leleh yang berbeda dari homodupleks dan waktu retensinya di dalam DHPLC juga berbeda. Dengan demikian, pola gelombang kromatogram yang dihasilkan dari pasangan heterodupleks akan berbeda dari pasangan homodupleks.12

Selain otomatis, DHPLC lebih cepat (karena tidak memerlukan label atau pemurnian fragmen DNA) dan memiliki sensitivitas dan spesifitas tinggi, serta setidaknya 10 kali lebih murah dibandingkan dengan metode sequencing.13 Oleh karena itu, DHPLC berpotensi dapat mengatasi kekurangan metode sequencing, tetapi akurasi DHPLC untuk mendeteksi mutasi gen GLB1 pada GM1-gangliosidosis belum pernah dilaporkan. Pada penelitian ini, kami melakukan analisis genetik pada gen GLB1 pasien GM1-gangliosidosis dan menganalisis sensitivitas dan spesifisitas DHPLC dibandingkan dengan metode sequencing. 2. Metode Alur penelitian secara rinkas seperti pada Gambar 1 di bawah.

DHPLC Pengumpulan sampel

Ekstraksi DNA

Amplifikasi DNA (PCR)

Deteksi produk PCR Sequencing

Gb 1. Alur penelitian. Sampel darah dan atau fibroblas kulit diambil dari pasien, DNA diekstraksi dan diamplifikasi. Produk PCR dipakai untuk pemeriksaan DHPLC dan sequencing.

2.1. Pengumpulan Sampel, Ekstraksi dan Amplifikasi DNA , dan Deteksi Produk PCR Sampel darah dan atau fibroblas kulit diperoleh dari beberapa pusat riset di Jepang. Prosedur diagnosis pasien GM1-gangliosidosis berdasarkan standar diagnosis klinis dan biokimia.8 Sembilan sampel diperoleh dari pasien GM1-gangliosidosis, yang terdiri atas 8 berkebangsaan Jepang dan 1 Turki. Tiga sampel normal berkebangsaan Jepang diambil sebagai kontrol normal amplikon DHPLC. Ekstraksi DNA genom dari fibroblas kulit atau darah pasien GM1-gangliosidosis dilakukan dengan metode ekstraksi fenol-kloroform standar. Amplifikasi gen dengan polymerase chain reaction (PCR)14 pada ekson 1 sampai 16 gen GLB1 menggunakan beberapa set primer (dapat diinformasikan atas permintaan). Reaksi amplifikasi DNA dilakukan dalam total volume 20 μL berisi: 0.2 μg DNA, 2 μL 10xPCR buffer yang mengandung 15 mM MgCl2 (Roche), 5 mM campuran dNTP (Applied Biosystem), 20 pmol masing-masing primer forward dan reverse, dan 10 unit AmpliTagGold DNA polymerase. Mesin PCR yang dipergunakan adalah Takara PCR thermal cycler atau Gene Amp® PCR System 9700 (Applied Biosystem). Kondisi reaksi adalah denaturasi awal pada 95oC selama 5 menit, yang diikuti Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

42


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

oleh 35 siklus amplifikasi, yang terdiri atas 95oC selama 1 menit, 60oC selama 1 menit, dan 72oC 1 menit sebelum diakhiri dengan elongasi final pada 72oC selama 5 menit. Produk PCR diseparasi dalam 1% gel agarosa, dilabel dengan ethidium bromide, dan divisualisasikan dengan mesin transilluminator ultraviolet (Bioinstrument Atta). 2.2. Denaturing-high performance liquid chromatography Analisis DHPLC dilakukan dengan menggunakan Transgenomic WAVE® system untuk mendeteksi varian genetik. Untuk menghasilkan sistem gelombang heterodupleks, prediksi suhu dan kondisi gradient ditentukan dengan perangkat lunak dari Stanford Genome Technology Center (http://insertion.stanford.edu/melt.html) dan perangkat lunak WAVEMAKERTM. Tiga prediksi suhu leleh (melting temperature) dipilih dari beberapa alternatif yang didapatkan dari analisis menggunakan kedua perangkat lunak di atas. Suhu leleh tersebut berbeda untuk tiap fragmen DNA. Prediksi suhu yang sama atau mendekati sama oleh kedua perangkat lunak tersebut dipilih sebagai suhu leleh pertama. Suhu leleh kedua dan ketiga masing-masing merupakan suhu leleh pertama yang ditambah dan dikurangi 1—3 derajat. Sampel untuk analisis DHPLC dikelompokkan menjadi 3 grup, yaitu kontrol normal, sampel pasien GM1-gangliosidosis, dan campuran kontrol normal dan sampel pasien dengan perbandingan 1:1. Sepuluh μL produk amplifikasi PCR diencerkan dengan 35 μL air (distillated water) dan diperoleh jumlah total 45 μL. Tiga puluh μL dari volume tersebut sampel pasien (tanpa campuran), dan 15 μL untuk sampel campuran dengan kontrol normal. Untuk membuat formasi gen heterodupleks, sampel didenaturasi pada suhu 95oC selama 4 menit, kemudian ditempelkan kembali dengan penurunan suhu secara bertahap dengan kecepatan 0,1oC per 4 detik hingga mencapai suhu 25oC. Perbedaan puncak heterodupleks dipengaruhi oleh adanya ketidakcocokan nukleotida spesifik dan karakteristik suhu leleh basa nukleotida di sekitarnya. Profil gelombang DHPLC yang berbeda dengan kontrol normal mengindikasikan adanya perbedaan basa nukleotida yang berarti kemungkinan ada polimorfisme atau mutasi gen (Gambar 2).

Absorbans (mV)

Campuran normal + mutasi homozigot

Kontrol normal

Mutasi homozigot

Mutasi heterozigot

Waktu retensi (menit) Gambar 2. Gelombang DHPLC. Sampel dengan mutasi heterozigot menunjukkan puncak ganda yang berbeda dari kontrol normal. Sample mutasi homozigot dan kontrol normal menunjukkan puncak gelombang serupa, untuk membedakannya diperlukan campuran sample mutasi tersebut dengan kontrol normal.

2.3. Sequencing Produk PCR sebanyak 7 μL dimurnikan dari sisa primer dan dNTP yang tidak terpakai dengan menggunakan penyaring Montage® PCR Cleanup Kit (Millipore). Sepuluh μL total volume reaksi yang Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

43


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

mengandung 200 ng DNA produk PCR, 4 μL Terminator Ready Mix, dan 1,6 pmol primer dipergunakan untuk sampel sequencing. Kondisi termal cycler adalah suhu 96oC 10 selama 5 detik, 50oC selama 5 detik, dan 60oC selama 4 menit, dengan jumlah siklus 25 kali. Kemudian produk dibersihkan dan dipisahkan dari Dye Terminator dengan menggunakan MultiScreen 96-Well Filtration Plates (Millipore). Dengan hati-hati, sampel untuk sequencing ditambahkan ke tengah-tengah lubang masing-masing sumuran MultiScreen plate, kemudian dirakit dengan 96-well v-bottom plate, dan disentrifugasi 2250 ppm selama 5 menit pada suhu kamar. Filtrat DNA ini didenaturasi pada suhu 95oC selama 2 menit, ditambahkan 20 μL HiDi formamide reagent, dipanaskan 95oC selama 2 menit, lalu dimasukkan ke dalam mesin Abi® Prism 373 DNA Sequencer (Applied Biosystems). 2.4. Analisis Statistik Metode statistik yang dipakai adalah tes diagnostik15,16 menggunakan analisis tabel 2X2 untuk membandingkan metode DHPLC dan sequencing, dengan standar baku deteksi mutasi sequencing. Karena sampel amplikon DHPLC dan sequencing adalah fragmen DNA dari masing-masing ekson gen GLB1, unit sampel yang digunakan untuk analisis statistik adalah fragmen ekson. GM1-gangliosidosis merupakan penyakit autosomal recessive, sehingga perkiraan mutasi gen GLB1 pada GM1-gangliosidosis adalah 2 mutasi untuk keseluruhan ekson. Total ekson dari gen GLB1 ada 16, tetapi untuk analisis statistik hanya 14 fragmen DNA. Hal ini karena ada perkecualian yaitu ekson 1 di mana terdapat banyak polimorfisme, dan exon 8 dan 9 yang diamplifikasi dalam 1 fragmen yang sama. Estimasi mutasi gen GLB1 pada GM1-gangliosidosis adalah 2 per 14 (14,29%). Dengan memakai rumus untuk proporsi tunggal di bawah, jumlah hasil positif pada amplikon DNA DHPLC adalah 11,18. Rumus untuk proporsi tunggal :

n

za 2 PQ d2

n adalah hasil positif pada amplikon, P (prediksi sensitivitas DHPLC) = 97% (0,97); Q (1 ─ P) = 0,03; d (penyimpangan sensitivitas yang dapat diterima) = 10% (0.1); dan interval kepercayaan = 95% (a=0,05; za=1,96). Dari perhitungan di atas, diperoleh total subjek minimal yang diperlukan untuk analisis, yakni 78 fragmen amplikon DNA. Jumlah ini diperoleh dari perhitungan bahwa minimal 14,29% total subjek menunjukkan hasil positif, yaitu sebanyak 11,18. 3. Hasil Semua ekson gen GLB1 berhasil diamplifikasi dengan PCR pada suhu leleh 63oC (Gambar 3). 3.1. DHPLC Puncak gelombang DHPLC ganda pada amplikon dari sampel pasien menunjukkan polimorfisme atau mutasi heterozigot, sedangkan dua atau lebih puncak gelombang dalam campuran amplikon (dengan puncak gelombang sampel normal) menunjukkan polimorfisme atau mutasi homozigot. Pada penelitian ini ditemukan lebih dari satu puncak gelombang DHPLC di ekson 3 dari pasien no. 5 dan no. 9, ekson 4 dari pasien no. 5, ekson 5 dari pasien no. 1, ekson 6 dari pasien no. 3 dan 9, ekson 10 dari pasien no. 7, ekson 11 dari pasein no. 3, dan ekson 15 dari pasien no. 8. Pada ekson 1, puncak gelombang ganda ditemukan di semua sampel DNA dari pasien dan subjek normal. Hal ini mengindikasikan kemungkinan adanya polimorfisme pada ekson ini.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

44


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

M

1

2

3

4

5

6

7 8-9

10

11

12

13 14

15

16

1000bp 300bp

Gambar 3. Hasil amplifikasi PCR gen GLB1 ekson 1 sampai dengan 16. Band terdeteksi pada kisaran 300 sampai 500 base pairs (bp). M: molecular weigh marker.

3.2. Sequencing Sequencing dilakukan pada semua sampel DNA pasien. Konsisten dengan hasil DHPLC, ditemukan beberapa polimorfisme pada ekson 1 dari gen GLB1 dari semua sampel pasien dan subjek normal, sehingga ekson 1 tidak disertakan dalam analisis diagnostik DHPLC terhadap sequencing. Selain pada ekson 1 yang merupakan polimorfisme, data sequencing positif pada ekson lain merupakan mutasi. Diidentifikasi 10 mutasi pada gen GLB1, terdiri atas 1 mutasi homozigot dan 9 heterozigot. Hanya 1 pasien yang ditemukan mutasi homozigot, sedangkan pasien lainnya diidentifikasi compound heterozygous mutation. Mutasi tersebut berupa 3 mutasi missense yang pernah dilaporkan, 6 mutasi missense baru dan 1 insersi baru yg mengakibatkan frame shift dan stop codon. 3.2. Perbandingan DHPLC dan sequencing Dari total 360 gelombang DHPLC, 88 memenuhi syarat untuk analisis diagnostik. Seperti tampak pada Tabel 1, teridentifikasi 1 negatif palsu dan 2 positif palsu. Sensitivitas DHPLC adalah 83,33% dan spesifisitasnya 97,56%. Selain itu, nilai prediksi positif DHPLC adalah 71,43% dan nilai prediksi negatifnya 98,77%. Rasio kemungkinan positif 34,17 dan rasio kemungkinan negatif 0,17, serta prevalensinya 6,82%. Dari segi biaya, per fragmen DNA dikeluarkan biaya kurang lebih ¥200 untuk pemeriksaan DHPLC dan ¥1.000 untuk sequencing dengan ketentuan jumlah minimal sampel untuk sequencing adalah 8. Penelitian ini dikerjakan di Universitas Tottori.

Tabel 1. Analisis diagnostik DHPLC terhadap sequencing

Sequencing (+)

Sequencing (–)

Total

DHPLC (+)

5

2

7

DHPLC (–)

1

80

81

Total

6

82

88

Sensitivitas = 83,33%, spesifisitas = 97,56%, nilai prediksi positif = 71,43%, nilai prediksi negatif = 98,77%, rasio kemungkinan positif = 34,17, rasio kemungkinan negatif = 0,17, prevalensi = 6,82%. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

45


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

4. Diskusi Diagnosis GM1-gangliosidosis terdiri atas diagnosis klinis, biokimia, dan genetik.8 Diagnosis genetik sangat berguna dalam konseling genetik dan diagnosis dalam kandungan, serta terkait dengan terapi molekuler yang saat ini masih dalam tahap uji coba.17 Apabila mutasi gen diidentifikasi pada seorang pasien, skrining mutasi pada semua anggota keluarganya diperlukan, khususnya apabila mereka ingin memiliki keturunan baru. Berdasar alasan ini, pembakuan metode yang terjangkau dari segi biaya merupakan bagian dari strategi diagnostik molekuler untuk skrining mutasi gen GLB1 pada GM1-gangliosidosis sangat penting. Sequencing merupakan standar baku untuk diagnosis baru mutasi gen pada pasien, tetapi membutuhkan waktu, tenaga, dan biaya mahal.8,13 Analisis mutasi menggunakan sequencing menjadi mahal karena setiap ekson harus diperiksa dua kali (forward dan reverse). Biaya untuk sekali sequencing sekitar 10–25 dolar AS, termasuk biaya isolasi DNA, reagen PCR, dan tenaga kerja.8,13,18 Idealnya, setiap metode skrining mutasi harus mudah teknisnya, biaya reagen rendah, dan memiliki akurasi tinggi. Oleh karena itu, metode skrining mutasi sebelum dilakukan sequencing dapat memberikan kontribusi untuk mengurangi jumlah sampel yang tidak perlu untuk disequencing. DHPLC adalah metode yang relatif baru dan telah dikembangkan untuk deteksi mutasi gen. Alat ini bekerja secara otomatis dan relatif murah. Setiap amplikon dari DHPLC memerlukan biaya sekitar 1,5 dolar AS.19 Metode yang murah ini akan lebih terjangkau di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Karena aplikasi praktis DHPLC dalam diagnosis genetik adalah untuk skrining guna mengurangi jumlah sequencing yang tidak perlu, sensitivitas yang tinggi menjadi penting. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan sensitivitas DHPLC secara konsisten melebihi 96%.18-21 Pada penelitian ini, dinemukan bahwa deteksi mutasi menggunakan DHPLC memiliki sensitivitas 83,33% dan spesifisitas 97,56%. Kemampuan DHPLC untuk mendeteksi mutasi bergantung pada pembentukan formasi heterodupleks,18,22 sehingga amplikon campuran pasien dan subjek normal perlu diuji dahulu dengan berbagai rasio untuk memperoleh hasil yang paling jelas. Faktor lainnya adalah ketepatan suhu leleh yang dipergunakan dalam DHPLC. Selain itu, perlu diperhatikan pula tahap pra-DHPLC, yaitu saat amplifikasi DNA menggunakan PCR. Beberapa enzim polymerase menunjukkan hasil yang lebih baik dari enzim yang dipergunakan dalam penelitian ini. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui sejauh mana efeknya. Perbedaan hasil dari pemeriksaan DHPLC dan sequencing perlu dianalisa lebih lanjut. Hasil DHPLC positif sedangkan sequencing negatif kemungkinan menunjukkan mosaicism. Eksperimen lanjutan berupa sub-cloning kemungkinan dapat menemukan mutasinya. Sementara hasil DHPLC yang negatif sementara hasil sequencing positif kemungkinan membutuhkan proses optimasi DHPLC lebih lanjut. Optimasi DHPLC paska DNA sequencing dapat diterapkan pada skrining anggota keluarga lain paska identifikasi mutasi pada kasus indeks. Kesimpulan, DHPLC memiliki akurasi tinggi untuk deteksi mutasi gen GLB1 pada penyakit GM1-gangliosidosis. Metode yang relatif murah ini dapat digunakan untuk melengkapi metode sequencing sehingga mengurangi biaya deteksi mutasi gen GLB1, dan berguna untuk skrining mutasi pada penyakit GM1-gangliosidosis. 5. Acknowledgement Data pada artikel ini merupakan bagian dari laporan yang dipergunakan untuk tesis magister di Universitas Diponegoro Semarang. Terima kasih kepada Prof. Eiji Nanba dan Dr. Katsumi Higaki (Universitas Tottori, Jepang) atas bantuan fasilitas dan biaya penelitian. Terima kasih kepada Prof. Yoshiyuki Suzuki, Dr. Hiroyuki Iwasaki, dan Dr. Okamoto Shoko atas tersedianya sampel pasien. Juga terima kasih kepada Prof. Sultana MH Faradz atas diskusi naskah dan Prof. Hertanto W Subagio atas masukan analisis statistik saat penulisan tesis. Saat melakukan riset, penulis mendapat beasiswa dari Takeda Science Foundation Jepang. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

46


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

6. Daftar Pustaka 1. 2.

3.

4. 5. 6.

7. 8.

9. 10.

11. 12. 13. 14.

15.

16. 17. 18. 19.

20.

Takano T, Yamanouchi Y. Assignment of human beta-galactosidase-A gene to 3p21.33 by fluorescence in situ hybridization. Hum Genet. 1993; 92: 403-4. Sips HJ, de Wit-Verbeek HA, de Wit J, Westerveld A, Galjaard H. The chromosomal localization of human beta-galactosidase revisited: a locus for beta-galactosidase on human chromosome 3 and for its protective protein on human chromosome 22. Hum Genet. 1985; 69: 340-4. Morreau H, Galjart NJ, Gillemans N, Willemsen R, van der Horst GTJ, d'Azzo A. Alternative splicing of beta-galactosidase mRNA generates the classic lysosomal enzyme and a beta-galactosidase-related protein. J Biol Chem. 1989; 264: 20655-63. Morreau H, Bonten E, Zhou XY, D'Azzo A. Organization of the gene encoding human lysosomal beta-galactosidase. DNA Cell Biol. 1991; 10:495-504. Oshima A, Tsuji A, Nagao Y, Sakuraba H, Suzuki Y. Cloning, sequencing, and expression of cDNA for human beta-galactosidase. Biochem Biophys Res Commun. 1988; 157:238-44. Callahan JW. Molucular basis of GM1 gangliosidosis and Morquio disease, type B. Structure-function studies of lysosomal β-galactosidase and the non-lysosomal β-galactosidase-like protein. Biochim Biophys Acta. 1999; 1445:85-103. Albert B, Johnson A, Lewis J, Raff M, Roberts K, Walter P. Molecular biology of the cell. 4th ed. New York: Garland Science, 2002: 592-740. Suzuki Y, Nanba E, Matsuda J, Higaki K, Oshima A. β-galactosidase deficiency (β-galactosidosis), gangliosidosis and Morquio B disease. In: Valle D, Beaudet AL, Vogelstein B, Kinzler KW, Antonarakis SK, Ballabio A, et al, eds. The online metabolic and molecular bases of inherited disease. The McGraw-Hill Companies.URL: http://www.ommbid.com/OMMBID/the_online_metabolic_and_molecular_bases_of_inherited_disease/b/abstr act/part16/ch151 diakses tanggal 9 Desember 2009. Chakraborty S, Rafi MA, Wenger DA. Mutations in the lysosomal beta-galactosidase gene that cause the adult form of GM1 gangliosidosis. Am J Hum Genet. 1994; 54:1004-1013. Sena-Esteves M, Camp SM, Alroy J, Breakefield XO. Correction of acid beta-galactosidase deficiency in GM1 gangliosidosis human fibroblasts by retrovirus vector mediated gene transfer: Higher efficiency of release and cross-correction by the murine enzyme. Hum Gene Ther. 2000; 11(5):715-727. Matsuda J, Suzuki O, Oshima A, Yamamoto Y, Noguchi A, Takimoto K, et al. Chemical chaperone therapy for brain pathology in G(M1)-gangliosidosis. Proc Natl Acad Sci U S A. 2003; 100(26):15912-15917. Oefner PJ, Underhill PA. Comparative DNA sequencing by denaturing high-performance liquid chromatography (DHPLC). Am J Hum Genet. 1995; 57: A266. O’Donovan MC, Oefner PJ, Robert SC, Austin J, Hoogendoorn B, Guy C, et al. Blind analysis of denaturing high-performance liquid chromatography as a tool for mutation detection. Genomics. 1998; 52:44-49. Bahrudin U, Morisaki H, Morisaki T, Ninomiya H, Higaki K, Nanba E, et al. Ubiquitin-proteasome system impairment caused by a missense cardiac myosin-binding protein C mutation and associated with cardiac dysfunction in hypertrophic cardiomyopathy. J Mol Biol. 2008; 384(4):896-907. Pusponegoro HD, Wirya IW, Pudjiadi AH, Bisanto J, Zulkarnain SZ. Uji dignostik. Dalam: Sastroasmoro S, Ismael S, penyunting. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Ed ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto, 2002:166-84. Samekto MW. Penelitian tes diagnostic. Dalam: Husni A, penyunting. Epidemiologi klinik dan critical appraisal. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1996:14-25. Suzuki K, Vanier MT. Lysosomal disease. In: Siegel GJ, Agranoff BW, Albers RW, Fisher SK, Uhler MD, editors. Basic neurochemistry, molecular, cellular and medical aspects. Lippincott Williams and Wilkins. 1999. Xiao W, Oefner PJ. Denaturing high-performance liquid chromatography: a review. Hum Mutat. 2001; 17(6):439-474. Wagner TM, Hirtenlehner K, Shen P, Moeslinger R, Muhr D, Fleischmann E, et al. Global sequence diversity of BRCA2: analysis of 71 breast cancer families and 95 control individuals of worldwide populations. Hum Mol Genet. 1999; 8(3):413-423. Underhill PA, Jin L, Lin AA, Mehdi SQ, Jenkins T, Vollrath D, et al. Detection of numerous Y chromosome biallelic polymorphisms by denaturing high-performance liquid chromatography. Genome Res. 1997;

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

47


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

7(10):996-1005. 21. Wagner T, Stoppa-Lyonnet D, Fleischmann E, Muhr D, Pages S, Sandberg T, et al. Denaturing high-performance liquid chromatography detects reliably BRCA1 and BRCA2 mutations. Genomics. 1999; 62(3):369-376. 22. Rudolph JG, White S, Sokolsky C, Bozak D, Mazzanti C, Lipsky RH, Goldman D. Determination of melting temperature for variant detection using dHPLC: a comparison between an empirical approach and DNA melting prediction software. Genet Test. 2002; 6(3):169-176.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

48


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

KILAS RISET

EPIDEMIOLOGI MOLEKULER VIRUS HIV-1 DI JAKARTA, INDONESIA

AIDS Res Hum Retroviruses. 2009 Jul;25(7):637- 46. Meski termasuk negara dengan perkembangan epidemi HIV/AIDS tercepat di dunia, data mengenai distribusi genotipe HIV-1 yang beredar di Indonesia amat sedikit. Ivo Sahbandar, mahasiswi S3 di Department of Microbiology, School of Medicine, Iwate Medical University dan staf pada Departemen Penyakit Dalam FKUI dalam artikel ilmiah ini melaporkan hasil kajiannya mengenai epidemiologi molekuler HIV-1, yang merupakan studi paling mutakhir dan komprehensif dalam memetakan virus HIV-1 di Indonesia. Artikel ilmiahnya melengkapi beberapa

laporan

sebelumnya

yang

hanya

melibatkan

sampel

dengan

jumlah

terbatas. Walaupun penelitian ini terbatas pada pasien HIV-AIDS di wilayah Jakarta dan sekitarnya, data yang diperoleh cukup merepresentasikan keadaan di Indonesia karena Jakarta merupakan ibu kota negara sekaligus sebagai melting pot Indonesia. Selain mencakup aspek klinis dan molekuler (genotipe virus), poin penting dari studi ini adalah pemetaan distribusi virus pada kelompok-kelompok berisiko tinggi, terutama kelompok heteroseksual dan pengguna narkoba suntik (IDUs). Khusus pada kelompok terakhir, informasi virus yang beredar sangat penting mengingat semakin meningkatnya prevalensi HIV/AIDS pada kelompok ini, bahkan telah menyodok menjadi faktor risiko utama. Adanya kecederungan pergesaran dominasi virus yang mewabah pada kelompok ini dari subtipe B ke CRF01_AE seperti yang terjadi di Thailand dan Malaysia juga terungkap dalam hasil studi ini. Hasil penelitian ini juga berhasil mengidentifikasi adanya introduksi varian baru yang merupakan perpaduan genetik antara subtipe yang beredar dalam populasi kelompok IDUs. Informasi ini menggambarkan dinamika genetik virus yang sangat berfaedah tidak saja untuk mengetahui arah perkembangan epidemi, tetapi juga untuk program pencegahan penyakit, pengembangan sistem diagnostik dan desain vaksin. (Muhareva Raekiansyah, editor Inovasi).

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

49


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

GUIDELINES PENULISAN NASKAH UNTUK MAJALAH INOVASI (FONT: ARIAL 12 POINTS, BOLD) Nama penulis-1 (font: Arial 10.5 points, bold) Afiliasi penulis-1 (font: Arial 10 points) E-mail: email[at]address.com (font: Arial 10 points, italic) Nama penulis-2 (font: Arial 10.5 points, bold) Afiliasi penulis-2 (font: Arial 10 points) E-mail: email[at]address.com (font: Arial 10 points, italic) 1. Inovasi (font: Arial 10 points, bold) Majalah INOVASI (ISSN 2085-871X) diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (http://io.ppijepang.org/article.php?) sebagai majalah ilmiah semi-populer berkala dan bersifat online untuk menyajikan tulisan-tulisan berbagai topik, seperti IPTEK, sosial-politik, ekonomi, pendidikan, dan topik humaniora lainnya. Majalah INOVASI berfungsi sebagai media untuk mengartikulasikan ide, pikiran, maupun hasil penelitian dalam rangka memperkaya wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan. 2.

Kategori Artikel

Majalah INOVASI menerima naskah baik yang bersifat ilmiah populer maupun ilmiah nonpopuler dengan kategori sebagai berikut: 2.1.

Artikel Populer

Berisi tentang ide-ide atau gagasan baru yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan tidak lebih dari 6000 karakter atau maksimal 4 halaman. 2.2.

Artikel Non-populer

Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan dan tidak akan dipublikasikan di media lainnya. a. Maksimal 9000 karakter atau tidak lebih dari 6 halaman dan ditulis dalam bahasa Indonesia/Inggris. b. Judul harus menggambarkan isi pokok secara ringkas dan jelas serta tidak melebihi 10 kata. c. Struktur naskah terdiri atas pendahuluan, uraian isi (metode dan pembahasan), kesimpulan dan daftar pustaka. Judul bab tidak harus seperti struktur naskah tersebut, misalnya: I. Pendahuluan, II. Uraian‌. Judul bab dapat disesuaikan oleh penulis, misalnya: Perspektif Pertanian 5 tahun masa reformasi (mewakili pendahuluan)‌ dst. Huruf pertama setiap kata dalam judul bab harus ditulis dengan huruf kapital. d. Pendahuluan berisi latar belakang/masalah, hipotesis, pendekatan, dan tujuan yang hendak dicapai. e. Uraian isi terdiri atas judul bab yang disesuaikan dengan kebutuhan dan informasi yang tersedia. Apabila naskah ini menyampaikan hasil penelitian yang khas, judul bab dalam uraian isi dapat terdiri atas Bahan dan Metode serta Hasil dan Pembahasan. f. Sangat disarankan isi/pembahasan bersifat kuantitatif di dalam uraian. Misalnya, A lebih besar 10% daripada B, bukan A lebih besar dari B.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

50


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

g. Kesimpulan memuat secara singkat hasil yang telah diuraikan sebelumnya. Dapat dibuat dengan menggunakan penomoran atau dalam satu paragraf. 3.

Format Penulisan Artikel

Ukuran kertas: A4; batas atas: 3 cm; batas kiri, kanan dan bawah: 2,5 cm; tulisan: 2 kolom; spasi: tunggal; jenis huruf: Arial; ukuran: 10 points. Judul, nama penulis, afilisasi penulis, dan alamat surel (surat elektronik) ditulis dalam 1 kolom (center). Judul ditulis dengan font Arial, 12 points, bold, huruf kapital. Nama penulis ditulis dengan font Arial, 10.5 points, bold. Afiliasi penulis ditulis dengan font Arial, 10 points. Alamat surel ditulis dengan font Arial, 10 points, italic. 4.

Penulisan Gambar/Ilustrasi

Gambar/Ilustrasi diberi nomor dan judul singkat. Sumber kutipan dicantumkan dengan jelas (jika gambar/ilustrasi merupakan hasil kutipan). Judul diletakkan di bawah gambar/ilustrasi dan ditulis dengan font Arial 9 points, center, dan setiap kata diawali dengan huruf besar, kecuali kata-kata seperti, dan, atau, dalam, kata depan, yang, untuk.

GAMBAR

Gb.1. Judul Gambar/Ilustrasi

5.

Penulisan Tabel

Judul tabel diletakkan di atas tabel dan ditulis dengan font Arial 9 points, center, dan ditulis mengikuti aturan seperti penulisan Judul Gambar. Tabel.1. Judul Tabel

Frekuensi (kHz) 76.8 104.6 205.1 6.

Standard Deviasi (cm/s) N=10 N=12 6.723 4.751 3.375 2.112 2.418 1.869

Pengiriman Naskah

Naskah dikirim melalui surel dalam bentuk berkas MS Word ke alamat redaksi INOVASI online sebagai berikut: redaksi@io.ppijepang.org 7.

Daftar Pustaka

Daftar pustaka setiap sumber harus dirujuk dan disusun berdasarkan abjad nama pengarang dan tahun terbit. Daftar pustaka diketik dengan menggunakan font 9.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

51


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

1. 2. 3.

Nasution, A.H., A.K. Makarim, dan I. Las. 2004. Paradigma Pertanian Nasional. IAJ vol. XI, No. 5, 345-355. Rasmusson, E.M., and J.M. Wallace. 1983. Meteorological Aspects of the El Nino/Southern Oscillation, Science, 222, 1195-1203. Yu, L., dan M. Reinecker. 1998. Evidence of An Extratropical Atmospheric Influence During the Onset of the 1997-98 El Nino. Geophys. Res. Lett., 25(18), 3537-3540.

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

52


INOVASI Vol.15/XXI/November 2009

Susunan Dewan Editor Inovasi

Penanggung Jawab

Ketua PPI-Jepang (Farid Triawan)

Editor Utama

Murni Ramli

Editor

Agustan Bambang Widyantoro Udin Bahrudin Oce Madril Muhareva Raekiansyah Haryanto Mukti Ali

Editor Bahasa

Dina Faoziah

Produksi

Aries Setiawan

Cover

Udin Bahrudin (Foto) Agustan (Setting)

Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia

53



Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.