Vol.17/XXII/Juli 2010
PPI JEPANG ISSN 2085-871X
Topik Utama Perbaikan Lingkungan Hidup dan Sosial
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
PPI JEPANG
Membuka Dunia Untuk Indonesia dan Membuka Indonesia Untuk Dunia
Majalah INOVASI ISSN: 2085-871X Volume Vol.17/XXII/Juli 2010 Halaman EDITORIAL Menjaga Lingkungan Stabil dan Seimbang untuk Kehidupan Jangka Panjang (Udin Bahrudin) TOPIK UTAMA 1. The Role of Heart of Borneo Initiative in Protecting Tropical Rainforest in Southeast Asia (Azhar) 2. Transforming Indonesian Environment: Challenges for Government Intervention (Maharani Hapsari) 3. Satoyama: Sistim Klasik untuk Masa Depan (Ramadhani Eka Putra) IPTEK & INOVASI Error Correction Coding: Teori, Aplikasi dan Pembangunan Masyarakat (Khoirul Anwar) NASIONAL 1. Helm Standar Nasional Indonesia dan Standar Luar Negeri (Jonas Aditya Pramudita) 2. Zakat sebagai Kredit Pajak (Hani Rahmat Budi Norkusuma) KESEHATAN Peranan p53 terhadap Tumorigenesis dan Progresivitas Glioblastoma (Brian Wasita) HUMANIORA Sougoutekina Gakushuu no Jikan dalam Pengajaran Pendidikan Sosial di Negara Jepang (Parastuti) KILAS RISET Suriadi Sanada Scale, Kajian Baru untuk Memprediksi Timbulnya Luka Dekubitus di Ruang Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit di Indonesia (Haryanto) REDAKSI Panduan Penulisan Naskah untuk Majalah Inovasi Susunan Dewan Editor
1
3 15 25 31
37 44 49 56
61
62 65
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
EDITORIAL
Menjaga Lingkungan Stabil dan Seimbang untuk Kehidupan Jangka Panjang Udin Bahrudin Editor Utama Ernst Haeckel (1834-1914) adalah ilmuwan yang memperkenalkan pentingnya pemahaman tentang interaksi antara makhluk hidup dan lingkungannya, yang dikenal dengan istilah ekologi.1 Kajian ekologi mencakup tiga hal, yaitu (1) perpindahan energi dan materi dari makhluk hidup yang satu ke makhluk hidup yang lain ke dalam lingkungannya dan faktor-faktor yang menyebabkannya, (2) perubahan populasi atau spesies pada waktu yang berbeda dan faktor-faktor yang menyebabkannya, dan (3) interaksi antarspesies makhluk hidup dan hubungan antara makhluk hidup dengan lingkungannya.2 Dalam semua lingkup kajian tersebut, manusia menempati posisi strategis dan memiliki peran sentral dalam menjaga stabilitas dan keseimbangan linkungan. Usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keinginan untuk meningkatakan kenyamanan dalam hidup seringkali memberikan dampak negatif bagi keseimbangan lingkungan. Peran sentral manusia dalam interaksi antarspesies dan interaksi makhluk hidup dengan lingkungan digambarkan dalam model Whell (Gambar 1).3 Lingkungan sosial
Genetik Manusia Lingkungan biologi
Lingkungan fisik/kimia Gambar 1. Model Whell, interaksi manusia dan lingkungan.3
Isu-isu terkini yang menjadi fokus ahli ekologi adalah ekowilayah bumi dan perubahan iklim.2 Mengingat bumi sebagai satu kesatuan, masalah lingkungan yang terjadi di suatu negara akan mempengarui lingkungan negara lain. Misalnya, kebakaran hutan di wilayah Pulau Sumatra dan Kalimantan akan berdampak langsung terhadap pencemaran udara karena asap menyebar ke wilayah negara tetangga, dan juga berdampak pada peningkatan suhu di permukaan bumi. Sehingga permasalahan lingkungan di satu negara menjadi perhatian dunia. Kerja sama baik bilateral, regional, maupun multinasional sangat diperlukan untuk mengatasi masalah global terkait lingkungan. Eksistensi hutan hujan tropis yang berada di kepulauan Indonesia terutama Sumatra dan Kalimantan sebagai penjaga keseimbangan ekosistem sangat penting. Pengembangan area pemukiman dan eksploitasi hutan mengakibatkan meluasnya dampak negatif akibat perusakan lingkungan. Usaha bersama Negara Indonesia dan negara tetangga melalui Heart of Borneo Initiative4 perlu didukung dan didengungkan terus. Di tingkat nasional, pembangunan berwawasan lingkungan juga perlu terus digalakkan. Meskipun aturan-aturan telah dibuat di tingkat nasional, tetapi implementasi di daerah masih jauh dari harapan.5 Hal ini terkait dengan kurangnya tenaga ahli dibidang lingkungan yang bekerja di daerah, selain belum sinkronnya peraturan-peraturan yang berlaku. Ini semua menjadi tantangan baik bagi pemerintah dan masyarakat luas yang memerlukan kerja sama seluruh komponen bangsa. Selain dalam bidang politik dan perundang-undangan, konsep ekologi juga berlaku di bidang pertanian, kesehatan, dan ekonomi. Satoyama6 adalah suatu sistem pertanian tradisional di Jepang yang menerapkan konsep ekologi. Begitu pula dengan sistem pertanian Tapak Siring Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
1
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
yang dikembangkan di Sumatra dan Jawa, Sistim Subak di Bali, dan sistim pertanian rawa di Kalimantan.6 Pengaruh langsung lingkungan terhadap kehidupan manusia dapat dilihat dalam ekologi di bidang kesehatan yang populer dengan istilah kesehatan lingkungan. Kondisi kesehatan manusia dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu tubuh manusia (host), sumber penyakit (agent), dan lingkungan, sebagaimana terlukiskan dengan jelas pada segitiga epidemiologi (Gambar 2).3 Manusia (host)
Agen penyakit
Lingkungan
Gambar 2. Segitiga epidemiologi. Interaksi antara manusia, lingkungan, dan agen penyakit.3
Sampai di sini, jelaslah bagi kita bahwa permasalahan lingkungan yang timbul baik karena ulah manusia atau sebab lainnya, akan berdampak terhadap kehidupan manusia. Menjaga stabilitas dan keseimbangan lingkungan mutlak diperlukan demi berlangsungnya kehidupan jangka panjang, untuk generasi penerus. Selain tema lingkungan, edisi 17 kali ini juga menyajikan tulisan Khoirul Anwar di bidang teknologi informasi tentang error correction coding, artikel tentang perbandingan standar helm di dalam negeri dan luar negeri di uraikan oleh Jonas A Pramudita, dan gagasan tentang zakat sebagai kredit pajak dipaparkan oleh Hani RB Norkusuma. Di rubrik kesehatan, Brian Wasita mengulas peran protein p53 dalam keganasan otak. Tulisan Parastuti mengurai satu aspek pengajaran pendidikan sosial di sekolah dasar dan menengah di Jepang yang menaruh perhatian pada keterkaitan antara pendidikan di sekolah dengan kebutuhan dan tantangan hidup nyata yang dihadapi selepas sekolah. Di catatan riset, Haryanto mengulas artikel koleganya di bidang keperawatan yang membuat parameter baru (Suraidi Sanada Scale) untuk memprediksi timbulnya luka dekubitus di rumah sakit berdasarkan data di Indonesia. Selamat membaca. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hutagalung RA. Ekologi Dasar. Jakarta. 2010; 20-27. Wikipedia. Ekologi. URL: http://id.wikipedia.org/wiki/Ekologi. Diakases tanggal 10 Agustus 2010. FKM Unair. Dasar kesehatan lingkungan. URL: http://www.fkm.unair.ac.id/files/matkul/KML000/DS.KESLING.ppt. Diakases tanggal 10 Agustus 2010. Azhar.The role of heart of Borneo initiative in protecting tropical rainforest in Southeast Asia. Inovasi. 2010; 17:3-14. Hapsari M. Transforming Indonesian environment: challenges for government intervention. Inovasi. 2010; 17:15-24. Putra RE. Satoyama: sistim klasik untuk masa depan. Inovasi. 2010; 17:25-30.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
2
TOPIK UTAMA
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
The Role of Heart of Borneo Initiative in Protecting Tropical Rainforest in Southeast Asia Azhar Faculty of Law, Sriwijaya University, Indonesia E-mail: aazhar_2000@yahoo.com 1. Introduction According to the Forest Resources Assessment 2000, forests cover about 3,870 million ha, or 30 percent of the earth's land area. Tropical and subtropical forests comprise 56 percent of the world's forests, while temperate and boreal forests account for 44 percent. Forest plantations make up only about 5 percent of all forests; the rest is natural forest.i Covering an area of roughly 287,000 square miles, Borneo is the third-largest island in the world and also one of the most important equatorial rainforest in the world. Borneo was once covered with dense rainforests with its overall size of nearly 743,330 square kilometers (km2). The tropical rainforest covers almost 30 percent of the island. It is divided into four political regions: Kalimantan belongs to Indonesia; Sabah and Sarawak are part of Malaysia; a small remaining region comprises the sultanate of Brunei which are Malaysia (Sabah and Serawak) (26.7%), Brunei Darussalam (0.6%) and Indonesia (Kalimantan – West, Central, South, and East) (72.6%)ii which can be seen from Map 1. Located southeast of the Malay Peninsula and southwest of the Philippines, Borneo is primarily mountainous, with dense areas of rain forest. The highest peak in Borneo, Mt.Kinabalu, stands at 13,455 ft. With a generally hot, wet climate, rain is more common than not, with some portions of Borneo receiving between 150 and 200 inches of rainfall annually. Between October and March, monsoons buffet the island. This area of forest is also famously known as the “Heart of Borneo’ (HoB) which is now being threatened from all sorts of threats that are mostly human made.iii In view of these threats and the fear of losing the HoB, the three countries in the island have come up with a joint conservation effort to protect the forests from further destruction with the help of the World Wildlife Fund (WWF). This article will look into the features of the Heart of Borneo initiative forest and its importance, and also the threat faced by the areas in the three countries. Finally, we will examine the main issue of this article, that is, the formulation and the role of the HoB initiatives in protection of rain forest in Southeast Asia and its progress. 2. Heart of Borneo initiative forest The Heart of Borneo, one of the most biologically diverse habitats on earth, comprises the central highland rainforests of Borneo and transcends the international borders of Brunei, Malaysia and Indonesia. Given the abundance of rainfall, it makes sense that Borneo's flora is among the most diverse in the world. Borneo has nearly 11,000 species of flowering plants, about a third of which are indigenous. How dense is the vegetation? In one 16 acre area of Borneo's lowland forest, over 700 species of trees have been recorded. In comparison, there are only 171 native tree species in all of eastern North America.iv The HoB covers a total of 220,000 km2 of equatorial rainforest. It also contains most diverse creatures in the planet, from the Orang Utans, Rhinoceros and also other unique plant species. The HoB is conservatively estimated to hold 222 mammals (including 44 endemic – not found anywhere else in the world), 420 resident birds (37 endemic). 100 amphibians and 394 fish (19 endemic). There are 10 primate species, over 350 bird species, and 150 reptiles and amphibian species. At least 15,000 plants, of which, 6,000 are found nowhere else in the world. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
3
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Between 1994 and 2004, at least 361 new species have been described from Borneo, which are, 260 insects, 50 plants, 30 freshwater fishes, 7 frogs, 6 lizards, 5 crabs, 2 snakes and a toad.v
Figure 1. Map of the administrative of Borneo [Source: www.panda.org] HoB initiative is the answer for the island fortification. It will ensures sustainable development, protecting part of the island valuable resources and contents from exploitation, protecting species and diverse ecological livelihood and most importantly preserving the island’s natural heritage for future utilization.vi 3. Threats to the Borneo forest One of the main challenges faced by the three Borneo nations is the value of the natural resources to be found in the Heart of Borneo. The sought-after commodities do not end with timber. Palm oil plantations have become one of the prominent features on Borneo at times dominating the landscape. According to the United Nation’s Food and Agriculture Organization (FAO), Indonesia has experienced the greatest destruction of forest of any country in the Asia Pacific Region and especially in Borneo. The World Bank has predicted that in Kalimantan there will be no lowland rainforest left outside protected areas by 2010 if the current destruction rate continued.vii In the mid 1980s the forest cover of Borneo was still at 73.7%. In 2005 only 50% of Borneo remained under forest cover. Between 1985 and 2005 Borneo lost an average of 850,000 hectares of forest every year. If this trend continues, forest cover will drop to less than a third by 2020. Moreover, the rate of deforestation in Kalimantan is increasing. Between 2000 and 2002, deforestation rose to 1.2 million hectares a year. Together with forest loss in Sabah and Serawak, this would mount to total forest loss of 1.3 million hectares a year. This is the equivalent of 148 hectares every hour and 2.5 hectares a minutes.viii Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
4
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Deforestation is the biggest threat to the equatorial rainforest of the HoB. This can be seen from the figures of the rate of deforestation in Figure 1. Road-building, logging, agriculture, forest fire and illegal wildlife trade are just some of the causes that led to deforestation of these areas. It all started with industrial road construction. The initiator of deforestation in the HoB is mainly due to the introduction of two simple machines in the 1950s, that is, the chainsaw and the caterpillar tractor. With these two machineries, the construction of road is made easier, which also results in the easy reach of previously unexplored forest whose trees can be felled in a matter of minutes. Since, then, the development of road has been a key factor, changing the face of Borneo. With the construction of new roads, it led to an increase in agriculture in previously inhabitable areas and also increased the opportunity of business and individuals to do logging, either legal or illegally, as they see the profit gained from selling the timbers from the area. Another cause of deforestation in the HoB is from oil palm plantation, which is most common in Malaysia and Indonesia, as they are the two largest exporters of palm oil in the world. Vast areas of the forest have to be declared in order to make way for the oil palm plantation. In 2004, over 37% of Malaysia’s oil palm plantations were in Sabah, while Serawak accounted for just over 13% of palm oil production.ix In Sabah, more than 16% of the land was utilized for oil palm plantation. It has about 1.3 million hectares of oil palm plantation with a potential for expansion to up to 1.7 million ha. Lahad Datu was chosen for the site of Sabah's first POIC because of its location within the major oil palm growing belt in the State. State-owned Sawit Kinabalu Sdn Bhd is developing the State's second palm oil cluster near Sandakan to take advantage of the vast acreage of oil palm in the Sandakan district, and neighboring Kinabatangan and Beluran district.x More farmers are converting to oil farm cash crop with its high yields and quick returns. Indigenous tribes are encouraged to convert their forested land, palm oil plantations are springing up all over Sarawak and it is catching up with Sabah in terms of production. The implication of these economic activities would be a massive threat to the tropical rainforest whereby increase in private palm oil plantation would lead to shifting cultivation, inefficient and hazardous clearance of land. Clearing land by fire and illegal logging has already threatened the tropical forest in both Sabah and Sarawak. The Indonesian government has licensed 9.7 million hectares of oil palm plantations, with 7.9 million hectares already planted by 2009. Some sources even mention plans for the establishment up to 20 million hectares of palm oil plantations through 2025 – an area the size of England, the Netherlands and Switzerland combined. xi To set up these plantations, however, more often than not rainforests and along with them traditional agro forestry and farmland are destroyed. Since the giant plantations in Sumatra are fast reaching their geographical limits, the plantation companies are concentrating more and more on Kalimantan and Papua. “In Central Kalimantan alone, one of the most important habitats of the orangutan, there were 1.2 million hectares of oil palms planted by 2008 – half of it just recently due to the new boom,” Altogether, around four times as many plantations are planned for the province, 70 percent of it in forest areas.”xii A study by Greenpeace claims Indonesia destroyed 28 million hectares of its rainforests since 1990 – mainly for the cultivation of oil palms – making it the world’s biggest deforester. The slash-and-burn method used to clear forests for plantations also exposes the rich peat soil beneath, releasing an estimated 1.8 billion tons of carbon dioxide a year into the atmosphere. Peat and forest fires are the second-biggest sources of manmade CO2 after transportation, and have made Indonesia the world’s third-biggest greenhouse gas producer after China and the United States. The Agriculture Ministry, however, continues to deny any link between palm oil production and deforestation in Indonesia.xiii
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
5
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Moreover, Kalimantan has already vastly exploited its resources through mining activities-mine and quarries have been set up to extract precious stones and minerals. Mining had a serious effect on Kalimantan surface; mines and processing unit for basic raw materials are source of water contamination. Also open pits are hazardous to both wildlife and human being. Mining areas have been reported to impede parts of Kalimantan's natural drainage patterns.xiv Indonesia has recently caused a controversial an environmental issue in Borneo, when it again failed to control its logging activities causing deforestation, shifting cultivation and forest fire. Finally, Indonesia has not signed the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Brunei Darussalam is heading towards the phrase of diversifying its economy. This will involve utilizing land, forest, forest contents. The economy will concentrate itself away from the nation's chief export of oil and gas production. The resulting outcome will be a major threat to nation's forest resource. Brunei Darussalam has already extracted its forest resource from its logging activities. Although logging is controlled and permitted to authorized loggers, the problem of illegal logging activities is persisting within the country. Further, the agriculture sector both private owned and state registered stakeholders are threatened to the forest. This problem is becoming an issue and needs to be assessed as Brunei Darussalam is trying to achieve national rice dependency output of 70% by 2015. xv This national target will require land to be utilized more for rice production. Another problem that threatens the forest in Brunei Darussalam is the shifting cultivation; improper clearing of land that continues to be practiced by local farmer such an open burning could destroy the natural habitats, species and ecology of the forest.
Figure 2.The rate of deforestation in Borneo [Source: WWF 2005]
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
6
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
4. Heart of Borneo initiative The Heart of Borneo initiative is one of the most fundamental approaches in protecting and conserving the natural environment. WWF is supporting the governments of Brunei Darussalam, Indonesia and Malaysia, at national and local levels, with the support of WWF, has initiated a joint effort for the protection, conservation and sustainable use of the forests and water-catchments of the HoB area. This initiative has opened up the eyes of each country involved on the importance of protecting and conserving the forest of Borneo and its biodiversity as it is one of the most important existing equatorial rainforest in the world. The HoB initiative began in April 2005, when Brunei Darussalam became the host to a ground-breaking workshop which brings all 3 Borneo governments; Indonesia, Malaysia and Brunei Darussalam, together for the first time to discuss the Heart of Borneo. The workshop brought forward the benefits of large-scale conservation, reviews issues facing the uplands of Borneo, and promotes the need for effective transboundary activities. Further discussions were set on the issues and a consensus is reached on a vision and action plant to promote the declaration of the HoB. On December 2005, during the 11th ASEAN Summit in Kuala Lumpur, Malaysia, the Chairman stated on the importance of providing sanctuaries in the HoB to conserve the island’s biodiversity. The HoB is included as flagship program in the 5-year work plan of an ASEAN forum; the BIMP-EAGA (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Philippines-East ASEAN Growth Area), which is endorsed by the heads of government. The statement and the inclusion of the HoB in the BIMP-EAGA work plan shows how initiatives is moving up on the political agenda in Southeast Asia. On March 2006, the HoB is officially launched at the Convention on Biological Diversity conference by the three Bornean governments. The three countries are now committed in supporting the initiative. This commitment is a landmark for the Heart of Borneo. What is needed now is a formal Declaration from the three governments to pave the way for increased international collaboration to improve the management of the region. With this announcement, it also spells the end of plans to create the world’s largest palm oil plantation in Kalimantan, along Indonesia’s mountainous border with Malaysia. The scheme was expected to cover an area of 1.8 million hectares and would have had long-lasting, damaging consequences on the Heart of Borneo. Hence, even at the initial stages of the HoB, it seems that it already has its effect in helping to conserve the forest in Borneo. On 12th February 2007, the long awaited official signing of the formal Declaration was held in Bali, Indonesia and it was officially signed by the 3 representatives from the three governments of Brunei Darussalam, Malaysia and Indonesia. The three country declaration will conserve and sustainable management one of the most important centers of biodiversity in the world, covering approximately 220,000 km2 of equatorial rainforest (almost a third of the island) (See Figure 3). After three years of intense negotiations, research and planning, the Declaration became a reality to ensure that the conservation of the HoB will be on the top of the environmental agendas of the three Bornean Governments.xvi The Declaration was important for the simple fact that it brought together the three governments under a common commitment. 5. The role of HoB initiative in protecting tropical rainforest in Southeast Asia In order to play its role the HoB initiative has five main programs set as the top priorities in the effort to conserve the HoB area. The five programs arexvii: a. Transboundary management; b. Protected areas management; c. Sustainable natural resources management; d. Ecotourism development; e. Capacity building Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
7
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Figure 3. Map of the heart of Borneo areas [Source: http://www.panda.org] Transboundary management refers to the management of the collaboration of three governments in conserving the HoB area. Since the HoB covers the forest in the three countries, proper planning, integration and cooperation between the governments of the three countries need to be setup to ensure the HoB area can be properly monitored and managed in reality and not just discussed on paper in workshops, seminars and conferences. Each country also needs to properly manage the protected areas in their jurisdiction so as to enforce the declaration and ensure that the areas are indeed being protected and conserve. The protected areas are usually already being declared as National Parks or Forest Reserves which can be seen from the Figure 4. Another important program in the HoB is the sustainable natural resources management, which will help to ensure that there are sustainable uses of natural resources in the HoB areas. For example, if there are still trees being felled in the HoB areas, it needs to be replanted to ensure that the trees are being replaced. In addition, if mining is still done in the HoB areas, it needs to be properly managed so that it does not disrupt the HoB areas biodiversity too much. However, if it does disrupt the environment in the protected areas, proper actions need to be enforced to discourage people from causing further disruptions. Ecotourism is another part of the program in the HoB. According to Li and Hanxviii, ecotourism represents one of the most environmentally friendly alternatives for the economic development of protected areas. It can help benefit the protected areas by providing income to the local people and also contributing to the national development of the country. It is becoming a booming business around the world and part of the activities of ecotourism can be hiking, bird watching, and wildlife viewing in the forests.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
8
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Figure 4. Map of the protected areas [Source: http://www.panda.org] Brunei Darussalam is already trying to further develop its ecotourism by improving the current facilities in National Parks and Forest reserve and also providing new facilities in order to support the demand for the increase in ecotourism. This is also apparent from the allocation of budget of BND 65 million in the National Development Plan 2007-2017, which includes the implementation of four new programs; Forestry Resource Protection, Extension of forest Infrastructure Facilities and Support, Extension of Forestry Industry (Ecotourism) and Forest Product, and Development of Social and Environmental Forestry (Brunei Long-Term Development (Plan 2007). All of these programs will indefinitely help to boost the country’s ecotourism industry.xix The final program in the HoB is capacity building, in which the United Nations Development Program (UNDP) has defined it as “the creation of enabling environment with appropriate policy and legal frameworks, institutional development, including community participation (of women in particular), human resources development and strengthening of managerial systems.” It further describes it as “a long-term, continuing process, in which all stakeholders participate (ministries, local authorities, non-governmental organizations and water user groups, professional associations, academics and others).” Therefore, in relations to the HoB, capacity building is needed in order for the conservation efforts to be successfully implemented by the joint efforts of the three governments in providing the necessary policy and legal frameworks and also appropriate human resources to support the conservation activities programs. Furthermore, support from other non-governmental organizations (NGOs) is also needed in order for the conservation efforts to be success. One NGO that is already supporting and helping the HoB is the WWF.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
9
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
6. The progress of HoB initiative The latest progress of HOB was on the Fourth Trilateral Meeting to discussed finalized the Institutional Arrangement and Modalities for the implementation of the HoB Initiative followed by a workshop on “The Next Frontier: Forests to Reefs – Challenges and Opportunities”, which was held from April 22 to 23, 2010. The meeting also aimed to provide an update of each country's progress in implementing their national HoB initiatives and discuss other matters which are relevant for the successful and effective implementation of the Heart of Borneo initiatives. The objectives of the workshop, among others are to promote awareness regarding the importance of forests and reefs, to explore opportunities that the forests and reefs could offer in the region wide context as well as to discuss the way forward to overcome the challenges being faced in implementing initiatives and endeavors. It highlighted the interrelationship of the forest ecosystem with the coastal ecosystem in order to formulate an integrated approach in natural resources management. The participants were representatives from government institutions, private sector, local community, non-government organizations, and other concerned stakeholders from the HoB (Brunei, Indonesia and Malaysia) member countries. A total 60 delegates from Brunei, Malaysia and Indonesia attended this workshop. The Third Heart of Borneo (Hob) Trilateral Meeting in Kota Kinabalu, Sabah, Malaysia on 5th October 2009 attended by delegations from the countries involved. During this meeting Malaysia presented that at the national-level, Malaysia had formed a National Expert Working Group on the HoB, chaired by Secretary-General of his Ministry and comprising experts from the relevant stakeholders from Sabah and Sarawak as well as Peninsular Malaysia. On the other hand, at the State-level, Sabah and Sarawak have also formed the State Steering Committee on HoB chaired by their respective State Secretary. The National Expert Working Group Meeting had met in May 2009 last year to discuss the implementation of the HoB projects in Sabah and Sarawak. Under the Ninth Malaysia Plan, which covers a period of five years, the Federal government has allocated a sum of RM10.8 million to Sabah and Sarawak to implement various projects and activities under the HoB initiatives.xx The 2nd HoB Trilateral Meeting was held on 4th and 5th April 2008 in Pontianak, West Kalimantan, Indonesia. During the meeting, each country presented their progress report on the HoB and also their plans or strategies in order to make the HoB success. For Brunei Darussalam, the representative presented the National Project Document entitled “Project Implementation Framework (PIF).” The PIF sets out five objectives for Brunei’s HoB namely: conservation of representative forest and freshwater habitats as well as the full range of biological diversity therein; economic diversification through the development of non timber use of forests and to sustainable timber harvesting; integrated framework for the conservation and sustainable use of forests and related natural resources; re-establishment of forest connectivity and the greening of degraded areas; and promoting public support and awareness towards Brunei HoB. Indonesia is still in the process of formulating the National Project Document. Malaysia had formed a National Expert Working Group on the HoB initiative, which has been given the task to formulate the national Project Document, while Indonesia had not implemented the formulation of the Strategic and National Action Plan of Indonesia. However, the country has yet to present the national Project Document which is required for the country to formulate under the HoB initiative. If we look at the progress of Heart of Borneo from Transboundary management perspective that the foundations of the Heart of Borneo’s transboundary collaboration were laid at a workshop in Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
10
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
April 2005 that was hosted by the Brunei Darussalam government and facilitated by WWF. The event was attended by over 150 representatives from the government and non-government agencies of Brunei Darussalam, Indonesia and Malaysia, presented the benefits of large-scale conservation thinking, reviewed issues facing the uplands of Borneo, and promoted the need for effective transboundary partnership. At the end of 2005, Indonesia’s Ministry of Forestry held a National Workshop on the Heart of Borneo, drawing more than 100 participants from 8 government departments and 10 districts in Kalimantan. The workshop resulted in a draft Heart of Borneo Declaration, an agreement on the extent of the boundary within Indonesia and an action plan for the Declaration and future implementation. In a commendable show of partnership, these key outputs were communicated to the other 2 Borneo countries, Brunei Darussalam and Malaysia. WWF-Malaysia has held briefings about the Heart of Borneo for government agencies and decision-makers at both Federal and State levels (Sabah and Sarawak) and the response has been positive. In March 2006, the government concluded that it would support the Heart of Borneo programme. Malaysia’s Ministry of Natural Resources and Environment took the lead in preparing for the tri-national Heart of Borneo meeting, hosted in July 2006 by the Indonesian Government. At the same time the progress has been achieved in Brunei-Darussalam. In partnership with WWF, the government held its National Heart of Borneo Planning Workshop in May 2006 and demonstrated eager support for the programme. As an outcome of this workshop, the proposed area for inclusion under the Heart of Borneo increased from 11% to more than 59% of the country, including both totally protected areas and production forest. The Heart of Borneo area in Brunei now extends from the interior upland borders, down through peat swamps to beach forests along the coast Other progress of the HoB is the creation and expansions of the protected areas management are shown in Figure 4. These areas mostly have been identified as National Parks or Forest Reserves and some are newly declared parks or reserves. The tropical rainforest of Borneo are one of the most biologically diverse habitats on earth. The District Government of Barito Utara (Indonesia) and the Gunung Lumut- Muller Foundation, a locally based NGO, have announced the nomination of Gunung Lumut protection forest in East Kalimantan to be a National Park. The area is internationally recognized as important for biodiversity conservation and function for the Kaharingan people, who believe their spirits reside in the mountain after deathxxi. As for enforcement of any kind, there have yet to be any form of enforcement done by the joint efforts of the three governments against those who violate or are destroying the three or biodiversity in the protected areas. So far, any form of enforcement has been done by individual country according to the existing laws in each country. Moreover, in term of sustainable natural resources management, there are three possibilities of achieving sustainable financing for HoB projects: internal projects of each member, transboundary projects (collaboration among Brunei, Indonesia and Malaysia) and making use of the HoB initiative. Brunei has launched a project, spearheaded at Sungai Ingai. Brunei will be able to access the level of biodiversity in Sungai Ingai, which represent biodiversity in the part of HoB. Malaysian authorities will nominate the Maliau Basin in the Heart of Borneo as a World Heritage Site. The basin covers almost 400 square miles (600 sq km) and ranges from 1,650ft (500m) to about 6,500 (2,000m) deep, which environmentalists call the Lost World, is deep within the remote interior of North Borneo, was only discovered in the 1970s and remains largely unexplored. xxii Mining and timber conglomerates have long eyed the rich coal deposits and potential concessions in the basin. In late March 2010, WWF-Indonesia and the Muller-Schwaner Project (MS) held discussions in four sub-districts of Katingan to introduce the community to the National Park Management Plan and the Collaborative Management concept. Katingan area contains about 60% of the 181,000 ha, includes Bukit Baka, Bukit Raya National Park in the Schwaner mountain range, straddling Central and West Kalimantan in the HoB. The Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
11
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
further suggested activities mainly for sustainable resources management such as the development of agro-forestry (rattan plantations, rubber, and agro-wood) and livestock/animal husbandry (goats, cows, chickens, fish, etc).xxiii In term of ecotourism development, Indonesia (Kalimantan) expressed interest in taking part in the joint ecotourism package that Brunei, Sabah and Sarawak have been actively promoting. The idea for the joint ecotourism package was revisited during a bilateral meeting between the Minister of Tourism Malaysia (Dr. Ng Yen Yen) and the Minister of Industry and Primary Resources Brunei (Pehin Orang Kaya Seri Utama Dato Seri Setia Hj Yahya Begawan Mudim Dato Paduka Hj Bakar) during the Asean Tourism Forum in January 2010, Brunei Darussalam. The possibility for Brunei to market its Sungai Ingei Protection Forest in Belait District as another ecotourism product with could be jointly promoted with the nearby Gunung Mulu National Park in Sarawak, which is a UNESCO World Heritage Site. WWF Indonesia, in collaboration with the provincial Department of Tourism, plans to explore the tourism potential of Central Kalimantan, including Sebangau National Park, with the aim of publishing a guide to tourist destinations in the area. WWF-Indonesia is pleased to support government efforts to boost the economic situation of local communities. In this case, ecotourism should become a source of livelihood for local residents while conserving natural resources. There is a future for Brunei, Indonesia and Malaysia to work more closely and capitalize on the existing sustainable ecotourism so it will benefit not just the travel agents and tour operators, but more importantly for me the people living in the rural areasxxiv. For capacity building, WWF in collaboration with Forum Masyarakat Adat (FORMADAT), Serawak Malaysia develop and market as green and fair product (GFP). One of the products, Adan rice, is planted by communities in Krayan, Ba Kelalan, Bario and Long Pasia. This is an original, local variety from the Highlands in the Heart of Borneo. The Adan rice comes in white, black, and red varieties. The community also seeks recognition of collective Intellectual Property Rights for the rice as a product of the Indigenous Peoples of the Highlands of Borneo. Other products to use the GFP branding are mountain salt and wild cinnamon. Sustainable use and sale of forest products and other natural resources with market potential can become a conservation measure and help protect significant biodiversity while fulfilling essential economic needs and affording good livelihoods to the communities living in and around conservation areas. Brunei has already launched project One Village, One Product in 2009, which the concept is the nation aspires to achieve in the coming years, where local quality products can be recognize in a larger market scale, both locally and internationally, which could ultimately enhance the people's standard of livingxxv. The Dayak communities in Datarban and Diak Lay both showed a deep knowledge of forest ecology and regenerative processes based on centuries of experience with long rotation agriculture. Traditional wisdom combined with more recent scientific experimentation indicates rapid re-growth can be achieved if cutting and burning are controlled. The productivity of valuable timber and non-timber forest products can be greatly increased through enrichment planting and other manipulations of the natural environment. The Dayaks as well as the Kutai and migrant groups, are concerned about the future of their communities and the natural resources upon which they depend. The local government, NGO, planners, academics, and community development specialists to empower forest people with the legal custodial authority to heal disturbed forest ecosystems and make them once again ecologically rich and economically productivexxvi. Finally, according to Adam Tamasek from the World Wildlife Fund (WWF), a clear regional policy framework is critical for the Heart of Borneo project to succeed xxvii . There is a whole interconnectivity and addressing that needs cooperation. It requires people, governments, stakeholders, understanding that they are all as much of the problem as they are of the solution. 7. Conclusion After looking into the formation and background of the HoB, it can be seen that the joint efforts of the three Bornean governments have gained support from the global community and other Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
12
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
international organizations. However, since the HoB is still considered as being in its initial stages, there are still a lot of improvement and work to be done by the three countries involved. There is a need for more public awareness of the HoB, which means that the three governments need to do more exhibitions and campaigns to inform the public on the importance of the HoB initiative in protecting and conserving the forest and biodiversity. Since the HoB initiative involves the three governments, there is a need for proper budget allocation in order to support the programs planned for the project. Moreover, there must be equal commitments from all the three countries involved to ensure that the HoB will be a success. There seems to be very slow progress on implementation of the programs planned. So far, the HoB initiative members and representatives from the three countries have only held meetings and group discussions, but no actions have been enforced on the violators of the HoB areas. Therefore, there is a need for more actions rather than just meetings and discussions, so that it will show public that the HoB is already in action and hopefully will discourage people from further destroying the HoB areas. 8. References [1.] Bevis, William.W. (1995). Borneo Log: struggle for Serwak's forest. Seattle: University of Washington Press. [2] Brunei Darussalam Long-Term Development Plan: Wawasan Brunei 2035, Outline of Strategies and Plicies for development (OSPD) 2007-2017, National Development Paln (RKN) 2007-2017. [3] Declaration on Heart of Borneo initiative 12th February 2007. [4] Montagnini, F. & Jordan, C.F. (2005). Tropical Forest Ecology: The basis for Conservation. [5] Oekan, Abdoellah. And Abu Bakar Lahjie. (1993). Communities and Forest Management in East Kalimantan: Pathway to Environmental Stability. Center for Southeast Asia Studies, International and Area Studies University of California, Berkeley. [6] Parson, Gerard A. and Manon Ossewijer (Eds). (2208). Reflections on the Heart of Borneo. Wageningen: Tropenbos International. Tropenbos Series 24. Cited in IIAS Newsletter No 49 (autumn 2008):26. [7] Schilthuizen, M. (2006). Biodiscoveries: Borneo's Botanical Secret, Jakarta: WWF Indonesia [8] World Wildlife Fund (WWF). Website.<http://www.panda.org.[Accessed February 12th, 2010]. [9] WWF. (2005). Borneo: Treasure Island at Risk. Germany: WWF. [10] WWF. (2007). Forest of Borneo.
i
ii iii iv v vi vii viii ix x xi
xii xiii xiv xv xvi xvii xviii xix
State of the world forests 2001, FAO Corporate Document Repository: http://www.fao.org/docrep/003/y0900e/y0900e04.htm#P10_413%20 http://www.mongabay.com http://www.pbs.org/ http://www.pbs.org/ http://www.panda.org. Person, Gerard A. and Manon Osseweijer (2008). WWF, 2005. http://www.panda.org. Beavis (1995). Palm Oil Industrial Cluster Sabah. http://www.poic.com.my/index.asp?p=news_20061107 Minister of Agriculture Republic of Indonesia in the Jakarta Post. February 23, 2010. http://www.thejakartapost.com/news/ /2010/02/23/oil-palm-plantation-not-forest%C2%A0sector-govt.html The Jakarta Post. January 22, 2010. http://www.thejakartapost.com/news/2010/01/22 The Jakarta Post. January 22, 2010. http://www.thejakartapost.com/news/2010/01/22 Schilthuizen (2006). Borneo Bulletin Brunei Year Book 2008. http://www.panda.org. Declaration on Heart of Borneo initiative 12th February 2007. Montagnini and Jordan, 2005. Forestry Department, Brunei Darussalam. www.forestry.gov.bn/heart.htm
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
13
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
xx xxi xxii xxiii xxiv xxv
xxvi xxvii
Daily News. 6 October 2009 The Heart of Borneo May 2010 Newsletter. The Heart of Borneo May 2010 Newsletter. The Heart of Borneo May 2010 Newsletter. The Brunei Times, April 23, 2010. http://www.bt.com.bn/en/news Borneo Bulletin May 8, 2009. Oekan, Abdoellah. And Abu Bakar Lahjie. (1993) The Brunei Times, October 16 2009. http://www.bt.com.bn/en/news- national/2009/10/16/
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
14
TOPIK UTAMA
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Vertical and Horizontal Coordination in the Policy Integration: Challenges toward Environmental Reform in Indonesia Maharani Hapsari Department of International Relations, Faculty of Social and Political Science, Gadjah Mada University, Indonesia E-mail: ranikumoro@yahoo.com 1. Introduction Post United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) 1992 era has witnessed the enduring role of states in shaping the direction of environmental reform. As quoted from Mitchell (2009), between 1998 and 2009, 218 new multilateral environmental agreements (MEAs), protocols and amendments have been ratified (UNEP, 2010). This huge number of new MEAs suggests broad tasks for the states to strengthen their commitment toward sustainable development ideals as conceived by the Brundtland Commission in 1987. At the national level, formal state intervention in managing environmental issues appears in various regulations; all of which aim to prevent and to mitigate environmental incidence and protect the environment and natural resources from over-exploitation, pollution and over-consumption. These forms of regulations are enforced through mechanisms that develop along vertical (from the central to local government) and horizontal line coordination (among government agencies at the same level of authority). This article reviews some major challenges to be addressed by the Indonesian government while gearing toward environmental reform with respect to the vertical and horizontal coordination aspects of environmental policy integration. 2. State agencies and environmental instruments As argued by Jordan and Lenschow (2010), from an institutional perspective, the environmental policy integration is characterized by multi-sectoral and multi-level coordination. This is particularly relevant in the context of contemporary governments, in which governance activities are functionally differentiated into sectoral ministries and (increasingly) decentralized agencies. While the argument was drawn from the context of environmental policy integration within the European Union, it also has an empirical basis in Indonesian context. Indonesia has witnessed three generations of Environmental Management Act (EMA): EMA No.4/1982 on the Principles of Environmental Management, EMA No.23/1997 on Environmental Management, and the recent EMA No.32/2009 on Environmental Management and Protection. Two important settings are worth considering alongside the transformation of government agencies that follow the evolution of such legislations: first, transition from the centralized to decentralized authority and second, a shift from the authoritarian towards a more democratic style of environmental governance (Setiawan and Hadi, 2007).Before EMA No.4/1982 was enacted, there were some efforts to incorporate environmental considerations as part of the broader development strategy. In 1972, the Bureau of Natural Resources and Environment was established as part of the National Development Planning Board (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, BAPPENAS). Later, the Office of the State Minister for Environmental Monitoring and Development (Kantor Menteri Negara Pengawasan Lingkungan Hidup dan Pembangunan) was set up in 1978. Its main function was to coordinate environmental management in various agencies at the national and regional level and to integrate various environmental dimensions of development. Following the enactment of EMA No.4/1982, the national government established the Ministry of Population and Environment (Kementerian Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup) in 1983, which was later reorganized into the Office of the State Minister for the Environment
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
15
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
(Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup, KLH) in 1993.i Within this legal framework, the Environmental Impacts Assessment (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, AMDAL) was also established, and becoming a major instrument to implement environmental policy in Indonesia. In addition to KLH, the Environmental Impact Management Agency (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan, BAPEDAL) was set up in 1990 as a non-department agency under the auspices of the Office of President. This government agency is lead by the Minister of Environment. ii At the regional level, the Regional Environmental Impact Agency (Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah, BAPEDALDA) was established with staffing and funding by the national BAPEDAL office as well as local governments.iii Its position is fully under the control of the provincial and regency or municipal governments. KLH and BAPEDAL became two agencies that have central roles in coordinating the implementation of environmental policies. iv Concerning the relationships between KLH and BAPEDAL, KLH would act to formulate policies, including those pertaining to global issues such as deforestation, greenhouse gases and ozone layer destruction, while BAPEDAL would act as an extension of KLH’s mandate in policy enforcement, particularly concerning pollution issues (MacAndrews, 1994). As the government enacted EMA No.23/1997, environmental issues began to gain broader legal framework. This legislation was enacted before political decentralization was officially introduced. The nuance of centralized environmental management was still expressed while deconcentration-implementation of central laws and policies by branch offices of the central government could already be identified (Badner, 2003). EMA 1997 mandated the provincial governments to implement environmental management policy within its territory and to address problems involving inter-municipality or inter-regency. They are also responsible for monitoring compliance (including inspection) and imposing several administrative sanctions. Meanwhile, the regency/city government is responsible for implementing environmental management policy within its territory, issuing site license, building license, nuisance license, monitoring compliance (including supervision), and imposing several administrative sanctions (Ratnawati, 2008). The recent EMA No.32/2009 highlights some important elements towards a more comprehensive effort in responding to complex environmental issues in Indonesia. First, KLH and its vertical agencies are given more power to enforce environmental regulations. This is done through the appointment of civilian environmental investigators, whose task is to conduct investigation and arrest perpetrators.v Second, it defines how vertical and horizontal integration of environmental policy will be conducted. This includes defining the authority and responsibilities of various levels of government (national, provincial, and district or municipalities) under the framework of regional autonomy.vi Third, there is a legal obligation for business to
i
Different from other governmental agencies that has the status as department, the Minister’s Office as stipulated in the Presidential Decree No.108/2001 acts to coordinate and to formulate environmental policies. It does not have any authority to monitor compliance or other operational activity. ii There have been some presidential decrees regulating the role of this agency. However, a recent description of authority, function, organization, and working mechanism of BAPEDAL can be found in the Presidential Decree No.10/2000 on Environmental Impact Management Agency iii In January 2009, the name BAPEDALDA was changed to BLHD, which stands for Badan Lingkungan Hidup Daerah or Regional Environmental Agency. iv In 2002, President Megawati issued Presidential Decree No.2/2002 and No.4/2002, which has merged BAPEDAL and the Office of the State Minister for the Environment into State Ministry of the Environment. This policy has been subject of public controversies. Not only has it been regarded as violating EMA No.23/1997, the abolishment of the Deputy of Environmental Law Enforcement that used to be part of BAPEDAL structure has raised a suspicion on the government’s political will to sanction environmental perpetrators (see Santosa, 2002). v Article 94 of EMA No.32/2009 vi Article 63 of EMA No.32/2009 Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
16
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
have environmental license after conducting AMDAL. vii The real enforcement of EMA No.32/2009, however, remains to be seen because the supporting regulations are still under the formulation process. In the context of transition from centralized to decentralized and toward democratic environmental governance, apparently, some obstacles have urged the government to act more proactively. EMA 2009 covers 13 policy instruments,viii with AMDAL as the key document that determines whether individuals or companies may obtain business license before they can start their profit-making activities that will have broad impacts on the environment. The role of non-state actors, particularly the civil society is also included in order to strengthen the implementation of regulatory environmental policies.ix In this regard, the central as well as local governments are obliged to develop an environment information system which is obligatory to be available for public.x This law, therefore, has reflected the dynamics of decentralization and the ongoing process of democratization. However, the actual functioning of state intervention to increase compliance of various stakeholders with environmental regulations is still to be seen. At the present stage, this law mandated the formulation of additional government regulations that will describe in detail many aspects for its implementation. At the same time, state intervention has also been challenged by the lasting legacy of fragmented and uncoordinated environmental management combined with some unresolved issues brought by the transition that follows political decentralization. 3. Decentralization and vertical coordination The issue of maintaining vertical coordination among central, provincial, and regency or municipal governments has become increasingly important, particularly after decentralization was officially implemented (Setiawan and Hadi, 2007; Bedner, 2010). Indonesia is witnessing a trend in which local governments tend to rely heavily on the extraction of raw natural resources in order to finance short term development agenda. They generally focus on economic growth, but their considerations on environmental issues have been less in comparison with other growth-generating projects. Setting up strict environmental standards, therefore, is mostly seen as counterproductive when there is a need to secure their political legitimacy through the means of economic growth. In order to minimize barriers to investment flow, local governments tend to avoid the risks of employing too many regulations that will discourage investors from participating in local economic development project. It results in a minimum attention to long-term ecological consequences of natural resources use. Decentralization has brought more uncertainty in terms of the rationality and cohesiveness of natural resource management and environmental conservation (Setiawan and Hadi, 2007). In the area of natural resources management, there has been a continuous effort to reconcile two disparate sets of political forces, one purporting to accord greater power to local government units while the other seeking to retain centralized control over sector resources and revenue streams (Tan, 2004). Unfortunately, in this politically sensitive arena, managing environmental
vii
The legal provision concerning AMDAL has been discussed at length in EMA 2009 (See Article 22-33) These instruments include Strategic Environmental Studies (Kajian Lingkungan Hidup Strategis, KLHS), landscape, environmental quality, environmental degradation kriteria. Environmental Impact Assessment or AMDAL, Environment Monitoring Scheme (Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup, UKL) and Environment Management Scheme (Upaya Perlindungan Lingkungan Hidup, UPL), licensing, economic instruments, environment-based regulations, environmental expenditure, environmental risk analysis, environmental audit, and other instruments that follows the expanding necessity and development of science (see Article 14). ix See Article 70 of EMA No.32/2009 x See Article 62 of EMA No.32/2009 viii
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
17
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
issues is not properly defined. As a result, these brought tremendous impacts on how environmental issues are managed along the vertical coordination line. The first problem is that decentralization of authority does not automatically translate into stricter control on the process of environmental change as well as the enforcement of environmental regulations by local governments. This is because the delegation of authority to manage natural resources and the environment has not been accompanied by substantial efforts to increase local governmentsâ&#x20AC;&#x2122; capacity in preventing and managing unintended environmental impacts. In newly established autonomous regions, vertical environmental agencies have developed minimum level of capacity, reflecting minimum attention to environmental issues. Furthermore, they are equipped with personnel who lack of specialization in managing different characteristics of environmental incidence. Their daily tasks have also been supported with minimum facilities. A case of environmental management in Sekadau District in West Kalimantan Province has shown how limited capacity, particularly the lack of human resources, has hindered the effective implementation of environmental policy. xi The function of environmental management was previously under the Forestry and Plantation Advisory. There were only 4 personnel in the environmental section managing environmental issues in an area covering 544,420 ha, which were divided into 7 sub-districts, 76 villages, and 268 hamlets (dusun). Under previous administrative structure, the authority on environmental issue was in the hands of the Head of Forestry and Plantation Advisory as there were no personnel in charge of the environmental section. In early 2009, the District Environmental Office (Kantor Lingkungan Hidup) was established. In terms of human resources, the composition of personnel that support the function of environmental agencies was not based on competence. As a consequence, the new office has minimum capacity to deal with the growing environmental challenges. Transfer of personnel often took place in order to support day to day activities at the local governmental level. Under ad hoc consideration, this practice is likely to cause inefficient policy implementation. There is obviously a need to improve distribution of personnel on the basis of expertise and competence. Otherwise, it is difficult to maintain the implementation of environmental policy on a long-term basis. In addition, if other resources such as budget to support environmental policy are taken into account, environmental agencies at the local level are experiencing limited capacity to monitor environmental compliance as well as identifying environmental incidence. Environmental expenditure is allocated at a very low level and this has created some shortcomings to support operational activities of the environmental office. In short, institutional development at the local level has been unable to balance the speed of environmental change, let alone mitigate its undesirable impacts. Low capacity to manage environmental issues, has also been witnessed in existing pre-decentralization administrative regions. In Surabaya City, for example, until 2007, only 34 out of thousands of industrial factories that have been built comply with the requirements concerning waste processing facilities (Lenakoly, 2007). This is despite the fact that by the end of 1999 alone, industrial pollution constituted between 25 to 50% out of total pollutants discharged in the river. Combined with mismanaged house waste discharge, this has contributed to lower quality of water service from the river inside the city (Santosa, 2000). It is apparent that environmental policy has long been seriously neglected at the expense of peopleâ&#x20AC;&#x2122;s quality of life. There is yet a satisfactory example that economic growth will provide an incentive for local government to take environmental issues seriously as part of their development agenda. In this context, problems surrounding decentralization can be seen as adding up to the long list of deficiencies in implementing environmental policies at the local level. xi
Authorâ&#x20AC;&#x2122;s interview with government officials in Sekadau District in February 2009
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
18
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
The second problem in relation to decentralization comes from weak supervision by the central government. When decentralization is implemented without close supervision from central government, it creates serious obstacles during the transition process. There were incidences where district governments have failed to maintain policy coherence with reference to national regulation. A case study in Ketapang District by Friends of the Earth Netherland (Milieudefensie) and WALHI West Kalimantan found that in 2008, only 17 out of some 90 oil palm plantation companies in Ketapang District, West Kalimantan Province, had an approved AMDAL report. Numerous companies have commenced activities on the ground without obtaining the required approvals of their AMDAL reports (Milieudefensie & WALHI, 2009). Such loopholes have shown that the district government has not been able to credibly implement environmental standards. As argued by Marifa (2005), under the situation where national policies are inconsistent or even conflicting, some districts tend to follow the path of their choices. Also, without substantial efforts to strengthen political commitment and capacity building that follows decentralization, claims that decentralization has so far exacerbated environmental pressures and degradation of natural resources, remains to be the case. In order to increase the capacity of local governments, improving the level of competence of human resources and technical expertise should be prioritized. This implies that local governments should be engaged meaningfully so that sufficient capacity and expertise can be developed by utilizing the connections between central, regional and local governments. It is also necessary to define the routes through which capacity building mechanisms that connect central and local government can be conducted, such as transfer of skills and expertise. In this context, some efforts have been conducted by KLH in order to strengthen regulation enforcement at the local level. For instance, they provided training to 2,951 investigators who will be assigned at the central as well as local level. This consists of 555 civilian investigators, 1,800 environmental monitoring officials, and 596 environmental observers (Irawan, 2009). By improving the quality of personnel and the provision of infrastructure, policy implementation can be partially secured from ad hoc consideration which otherwise, will only prolong insufficient treatment of environmental incidence. This is, of course, under the condition where the allocation of personnel is on the basis of expertise and competence. 4. Fragmentation and multi-sector coordination Looking at how environmental issues have been managed for the last five decades, it is apparent that the speed of deforestation, biodiversity loss and land use change as well as the level of water, soil, and air pollution has been generally uncontrolled. Development imperative has so far been translated engagement to industrial-based process; all of which share the risk of unintended environmental impacts. The government has used â&#x20AC;&#x153;grow first, clean up laterâ&#x20AC;? approach as a tentative answer to the enduring dilemma between environment and development. This dominant view, indeed, has brought significant consequences on how environmental policies are designed and practiced side by side with other development agendas. The management of environmental issues has relied heavily on the capability of KLH and BAPEDAL to maximize their function as a coordinating body since they have a very limited authority to enforce environmental regulations. Until such distribution of authority is shifted in favor of stronger enforcement capacity by KLH and BAPEDAL, the actual executors of environmental policy will be the sectoral agencies, police department, public prosecutors, and judiciary. Sectoral agencies and departments have the authority to issue business license. As a consequence, they have the responsibility to closely monitor the use of business license with reference to AMDAL and other documents stating the commitment of business license holders. When violation takes place, they can revoke the business license in order to enforce compliance through administrative sanctions. Meanwhile, the police department, public prosecutors, and judiciary are responsible for dealing with environmental cases through legal procedures; starting Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
19
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
from investigation to carrying out prosecutions against violators and conducting hearing of environmental cases. In this context, two linkages that position KLH in the horizontal structure of environmental policy coordination determine how environmental regulation may reach its goal to penalize perpetrators. The first one is KLH’s relationship with sectoral agencies and the second one is KLH’s relations with the police as well as judicial institutions. With regards to KLH’s relations with sectoral agencies, it is important to understand the position of KLH in its very political nature. Such relationships have developed under political circumstances where policy priorities have long been directed towards economic growth. Applying strict environmental criteria have been regarded as challenging the spirit of speeding up economic growth that mostly become the main target of sector-based agencies. This opinion, indeed, represents a difficult trade-off for policy makers where big investments such as those for mining, logging or for agricultural plantation projects are under review. Furthermore, environmental policy does not promise direct contribution to economic growth and the material benefit of environmental services improvement is generally undervalued. The success of improving environmental quality is not measured by its performance on the GDP increase and it takes time until the result can be experienced by the citizens. Even though recently, Indonesian government has put the concept of Green GDP xii , it is largely undermined in practice. Environmental degradation and incidence, thereby, has continued to be part of externalities. Implementing environmental policy demands a long-term vision from various sectoral agencies and departments to project the long-term impacts of resource extraction and other pollution generating activities that are part of the industrialization strategy. Unfortunately, this ability has not been demonstrated in most cases. One illustration is the implementation of AMDAL. For example, in West Kalimantan Province, AMDAL has often created debates among governmental agencies, especially with regard to current trend of shortening the licensing process to make efficient investment development under the One Stop Administrative System (Sistem Perizinan Satu Atap). AMDAL review is often accused for delaying the efficiency of the licensing process because it is time-consuming. Fulfilling requirements of environmental document is often at the expense of raising opportunity cost on the side of the investors. This is something that sector-based agencies and investment boards have made most of their complaints. Also, even when AMDAL document has been completed, the failure to attach the obligation to implement AMDAL as part of the statute in the business license has resulted in massive incompliance by business license holders.xiii While monitoring by sectoral agencies play a crucial role in ensuring that sufficient level of compliance can be maintained, reality has shown that many perpetrators are able to escape from enforcement mechanism. Administrative sanctions, therefore, are still ineffectively applied. In terms of KLH’s relationships with the police, public prosecutors and judiciary, there often appears missing links when the legal process has failed to punish the perpetrators. Low credibility of judicial institutions in enforcing sanctions has been subject to public scrutiny. As quoted by Ratnawati (2008), a survey conducted by KOMPAS newspaper in 2006 found that in general, the level of public trust to legal institutions was low. Generally, the percentage of good perception on enforcement institutions was less than 40%. For attorney general, only 36% of respondent has good perception. In case of judges and police, the percentage was even lower, in which the former got 27% and the latter got 26%. As for the Supreme Court, only 39% shows xii
See Law No. 25/2004 on National Development Planning System (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional). Based on author’s interview with Officials at BLHD of West Kalimantan Province (February 2009) and at BLHD of Yogyakarta Special Region (July 2010). This tendency has seriously deterred the enforcement of administrative sanction that is legally executed by sectoral agencies. xiii
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
20
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
good perception. If eradicating massive corruption and applying stringent law enforcement through punishing environmental perpetrators shall be an indicator of government’s actual commitment, the role of the judiciary and police institutions are central. Otherwise, the failure to deal with environmental perpetrators will only encourage more violation of environmental regulations by irresponsible individuals and companies. The case of forest fires in 1997 showed that law enforcement is far from sufficient to prevent incompliance. As examined by Febrian, Wiremmer, and Effendie (1998), following the forest fires, 176 companies were accused of initiating land burnings. Two cases were brought to court. The first case brought PT Torus Ganda to Bangkinang District Court, Riau Province and the second case brought 11 companies to District Court of Palembang City, South Sumatera Province. The 11 companies were operating in Musi Banyuasin District and Ogan Komering Ilir District. Out of those numbers, two were sanctioned and 9 were released. The two companies, however, were not asked to provide any compensation, but only to develop their management and forest fires prevention personnel within their operating area. All of these deficiencies have caused the impacts of environmental regulations less significant. Up to present, the assertiveness of police as well as judiciary institutions in handling environmental incidence or suspected environmental incidence is generally unobserved. As recently recorded by WALHI (2010), lack of support from the police institutions to enforce environmental law is still part of recent state of affairs. In their note, WALHI mentioned some serious environmental cases in which the legal process has failed to answer people’s plea for justice. In addition to the termination of illegal logging cases by 13 companies in Riau Province and Lapindo mud burst in Sidoarjo Regency, East Java, WALHI also highlights the vague treatment of several environmental cases that has been filed by communities in various regions. Cases of mining exploitation, land expropriation for oil palm plantation establishment, and the breakdown of Situ Gintung Dam in Tangerang are among the list. The missing links in the relationships between KLH/BAPEDAL and the police/judicial institutions that affects the credibility of environmental law enforcement can be traced back from several factors. First, there has been lack of attention to the broad consequences of environmental incidence on people’s livelihoods and the natural environment. Mainstreaming environmental agendas has occupied a very limited space in judiciary reform. Judicial decisions are lack of knowledge regarding international and domestic principles and the judges have failed to adopt detailed provisions of the international agreement into relevant laws. Second, there is a minimum capacity to deal with environmental cases. Indonesia has no specialized court that deals with environmental cases. Environmental cases are heard by the general and administrative courts as well as the Supreme Court on appeal. As a result, a relatively small numbers of environmental cases reach the courts (IDLO, 2006). Since 1998, Indonesia has trained 20% of its judiciary on environmental law. KLH has also entered into a Memorandum of Understanding with the Supreme Court to establish a certification program. This program is expected to strengthen judicial capacity to deal with natural resources and environmental cases by ensuring that only judges with expertise on environmental issues decide those cases (ADB, 2010). Nevertheless, more efforts are needed to ensure that this form of capacity building will produce the desired outcomes and that the remaining large part of the judiciary is also able to be engaged in such program. With regards to multi-sectoral coordination, the most difficult problem is how to deal with uncoordinated actions between various governmental agencies which are non-hierarchical. The drive towards reform requires stronger multi-sectoral coordination. Yet, the environmental flag still flutters only in BAPEDALDA.xiv It reveals how political commitment to develop multi-sectoral xiv
Author’s Interview with BAPEDALDA West Kalimantan Province Official, 23 February 2009. Pontianak.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
21
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
coordination remains to be modest even though discourses on mainstreaming and integrating environmental policy has entered the policy-makersâ&#x20AC;&#x2122; consultation forums. In short, what MacAndrews (1994:99) described as â&#x20AC;&#x2DC;compartmentalization and fragmentation of responsibilities rather than coordinationâ&#x20AC;&#x2122;, or strong fracture (Tan, 2004) is obstinate in character. This fragmentation has also affected the credibility of sanctions. Both administrative sanctions by sector-department and legal sanctions by the judiciary institutions have been executed impartially, leaving numerous environmental cases beyond appropriate legal treatment. At the national level, President Yudhoyono has recently come up with a statement that Indonesia needs to implement the concept of Green Economy, which consist of triple-track-plus-one economic strategy, namely pro-growth, pro-job, pro-poor, plus pro-environment (Abdussalam, 2010). Nevertheless, in order to strengthen state intervention, there is a need to clarify the mechanisms through which collaboration between KLH and its vertical agencies and other department and sector-based agencies may function on a day to day basis in order to end confusions and resolve tensions. Here, strong leadership by the governors and regents (bupati) is an important entry point that will contribute significantly to the mobilization of political support. Without doing so, environmental issues remain to be partially addressed. In terms of policy enforcement, there exists an effort to improve coordination among KLH, police department and judicial institutions by introducing the Joint Decree of the Office of the State Minister for the Environment, Attorney General, and Chief of Police Department on the Comprehensive Environmental Law Enforcement (Penegakan Hukum Lingkungan Terpadu) in 2004.xv This decree has been adopted in some provinces, districts as well as municipalities in Indonesiaxvi which has provided a stronger legal framework to resolve the missing link by making clear the technical coordination between the three governmental agencies when applying sanctions and enforcement to environmental perpetrators. The implementation of this approach, however, needs more serious efforts so that results can be witnessed on daily practices. It is obvious that in order to deal with the fragmented nature of environmental policy, sector-department, police department and judicial institutions have to demonstrate a stronger commitment to support the enforcement of environmental regulations. It means that sanctions to environmental perpetrators, both administrative and legal, should be credibly executed so that their impacts will be perceived by other relevant actors. 5. Conclusions Despite the ongoing efforts to improve vertical and horizontal coordination, lack of consistency has continued to undermine policy effectiveness. Under the current situation, response to environmental issues at the governmental levels is still fragmented. In practice, environmental issues are understood merely as the domain of environmental agencies, which have proven to be less effective in mobilizing sufficient response from sector-based agencies during the occurrence of environmental incidence. Furthermore, mainstream of environmental criteria in the various sector-based agencies has not yet resulted in effective abatement and mitigation of undesirable environmental impacts. At worst-case, environmental criteria are still regarded as the source of inefficiency expressed by tensions among various governmental agencies. Given the current institutional limitations, the state is challenged to strengthen its internal capacity by improving the quality of personnel, infrastructure, and collaboration along vertical as well as horizontal line. Commitment by political leaders at the national, provincial, regency and xv
See Joint Decree of the Office of the State Minister for the Environment, Attorney General, and Chief of Police Department No.KEP-04/MENLH/04/2004, No.KEP-208/J.A/04/2004, and No. Pol. KEP-19/IV/2004, April 2004. xvi Among provincial governments who have formally adopted this regulation are Jakarta Special Region, Banten Province, and East Kalimantan Province. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
22
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
municipal levels is a starting point toward more substantial transformation. In addition, political will of sectoral agencies as well as police department and judicial institutions is a major precondition to ensure that the missing links when dealing with environmental cases can be addressed. Overall, it is inevitable that the government should be more comprehensive and coordination among the stakeholders should be conducted more intensively in integrating environmental policy enforcement. 6. References Abdussalam, A. (2010). Indonesia going green. Antara. June 12, 2010. URL: http://www.antaranews.com/en/news/1276320189/indonesia-going-green. Accessed on July 23, 2010. Asian Development Bank. (2010). Asian judges: Green courts and tribunals, and environmental justice. URL: www.adb.org/documents/briefs/law.../2010-Brief-01-Asian-Judges.pdf. Accessed on June 28, 2010. Bedner, A. (2010). Consequences of decentralization: Environmental Impact Assessment and water pollution control in Indonesia. Law and Policy. 32(1):38-60. Febrian, R., Wiremmer, H. L., & Effendie, M. (1998). Sanksi yang mengecewakan. Tempointeraktif, October 27, 1998. URL: http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1998/10/27/HK/mbm.19981027.HK96598.id.html. Accessed on December 16, 2009. IDLO. (2006). Strengthening environmental law compliance and enforcement in Indonesia: Towards improved environmental stringency and environmental performance. Development Law Update. 6: 4-6.. URL: www.idlo.int/publications/30.pdf. Accessed on July 23, 2010. Irawan. (2009). Ditempatkan di Pusat dan Daerah, KLH Didik 2951 Tenaga PPNS dan PPLH untuk Awasi Lingkungan. Batamtodaynews. October 14. URL: http://www.batamtoday.com/news/read/2009/10/1401/17046.KLH-Didik-2951-Tenaga-PPNS-dan-PPLH -untuk-Awasi-Lingkungan.html. Accessed on July 7, 2010. Jordan, A., & Lenschow, A. (2010). Policy paper environmental policy integration: a state of the art review. Environmental Policy and Governance. 147-158. Lenakoly.S. (2007). Dari ribuan, hanya 34 industri yang punya IPAL. DetikSurabaya. July 24. URL: http://surabaya.detik.com/read/2007/07/24/092033/808569/466/dari-ribuan-hanya-34-industri-yang-pun ya-ipal. Accessed on July 5, 2010. Marifa, I. (2005). Institutional transformation for better policy implementation and enforcement. In: Resosudarmo, B. P. The politics and economics of Indonesia's natural resources. Singapore: ISEAS Publications. 248-258. MacAndrews, C. (1994). The Indonesian Environmental Impact Agency (BAPEDAL): Its role, development, and future. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 30(1): 85-103. Purnama, D. (2003). Reform of the EIA Process in Indonesia: improving the role of public involvement. Environmental Impact Assessment Review. 23: 415-439. Ratnawati, R.V. (2008). Environmental compliance and enforcement in Indonesia. Presentation for Asia pacific Regional Conference on Environmental Justice and Enforcement. 2008. Bangkok, January 14-16. URL: http://www.roap.unep.org/program/Documents/Law08_presentations/Day2/Env_Compliance-IndonesiaRosa%20Vivien.pdf. Accesed on May 29, 2010. Sakumoto, N. and Juwana, H. (2007). Reforming laws and institutions in Indonesia: An assessment. Chiba: JETRO. URL: http://www.ide.go.jp/English/Publish/Download/Asedp/index.html. Accessed on May 29, 2010. Santosa, H. (2000). Environmental management in Surabaya with reference to Agenda 21 and the social safety net programme. Environment and Urbanization. 12(2): 179. URL: http://www.bvsde.paho.org/bvsacd/cd26/enurb/v12n2/175.pdf. Accessed on July 7, 2010. Santosa, M.A. (2002). Kontroversi Pembubaran Bapedal. Koran Tempo. January 15. URL: http://www.infoanda.com/linksfollow.php?lh=UwtcAw4ABwFV. Accessed on July 7, 2010. Setiawan, B. and Hadi, S.P. (2007). Regional autonomy and local resources management in Indonesia. Asia Pacific Viewpoint. 48(1): 72-84. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
23
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Tan, A.K. (2004). Environmental laws and institutions in Southeast Asia: A review of recent developments. Singapore Yearbook of International Law. 8: 177-192. URL: http://law.nus.edu.sg/apcel/docs/Article-SYBIL3-SoutheasiaEnvironment3.pdf. Accessed on July 7, 2010. UNEP Yearbook. (2010). URL: http://www.unep.org/yearbook/2010/. Accessed on May 28, 2010. WALHI. (2010). Police and natural resources management. WALHI Record on Indonesian Police Roles in Environmental Law Enforcement and the Establishment of Natural Resources Management Justice. June 29. URL: http://www.walhi.or.id/en/campaign/policy-advocacy/54-uu-psda/1625-polisi-dan-pengurusan-sumber-d aya-alam. Accessed on July 7, 2010.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
24
TOPIK UTAMA
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Satoyama: Sistim Klasik untuk Masa Depan Ramadhani Eka Putra Graduate School of Natural Science and Technology, Kanazawa University, Japan Sekolah Tinggi Ilmu dan Teknologi Hayati, Institut Teknologi Bandung, Indonesia E-mail: ramadhaniputra@yahoo.com 1. Pendahaluan Manusia merupakan makhluk hidup paling dominan di permukaan bumi pada saat ini walaupun merupakan makhluk hidup yang paling terakhir mendiami bumi. Salah satu rahasia kesuksesan manusia adalah kemampuan mereka untuk merubah lingkungan sekitar mereka menjadi sesuai dengan kebutuhan manusia, tidak seperti makhluk hidup lainnya yang beradaptasi terhadap lingkungan mereka. Kemampuan inilah yang selanjutnya melahirkan pertanian dan peternakan yang merupakan cikal bakal lahirnya kota-kota dan peradaban. Pada tulisan ini, penulis akan menitikberatkan bahasan pada upaya manusia merancang sistim pertanian yang menitikberatkan pada pengelolaan lahan yang ramah lingkungan. Berhubung latar belakang pendidikan, titik berat bahasan adalah pada sistim yang dikembangkan di Jepang, dikenal dengan istilah Satoyama. 2. Apa itu Satoyama? Setiap peradaban manusia mengembangkan sistim pertanian yang spesifik untuk lokasi yang mereka tinggali. Sebagai contoh, sistim ‘slash and char’ yang diterapkan oleh suku-suku di daerah Amazon dan ‘Satoyama’ yang dikembangkan oleh masyarakat Jepang. Satoyama (里山) merupakan istilah Jepang yang secara leksikal berasal dari kata ‘sato (里)’ yang berarti daerah yang dapat dihuni dan ‘yama (山)’ yang berarti gunung. Seperti sistim pertanian lain yang dikembangkan oleh banyak daerah di Asia, sistim ini merupakan perpaduan utuh antara lingkungan alami dan daerah pemukiman manusia (Hong, 1998; Nakagoshi & Hong, 2001). Tidak seperti sistim lain dimana hasil pertanian, peternakan, kehutanan yang 100% mengandalkan pada hasil produksi alami, sistim ini menitik beratkan pada ganguan yang diberikan oleh manusia terhadap lingkungan alami. Satoyama sendiri sudah berkembang di Jepang jauh sebelum jaman Edo (sekitar 400 tahun yang lalu). Pada masa awal perkembangannya, sistim ini ditujukan untuk meniru ganguan-gangguan yang bersifat alami seperti taifun, gunung meletus, banjir, dsb. Hal ini disebabkan gangguan-gangguan alami ini berperan besar dalam meningkatkan hasil pertanian, memotong rantai suksesi alami (dengan kata lain mencegah agar daerah pertanian tidak menjadi hutan), menghambat ekspansi tumbuhan-tumbuhan dominan seperti bambu, dan menyediakan daerah-daerah yang memiliki perbedaan karakteristik yang dimanfaatkan oleh hewan-hewan liar. Bentuk gangguan yang diberikan oleh manusia sendiri antara lain dalam bentuk pembakaran lahan, pembabatan hutan bambu, pembuatan saluran irigasi (tanpa pembetonan), dan pembuatan kolam-kolam penampungan air. Secara tidak sadar, para petani di Satoyama merubah struktur awal dari bentang alam dan mengendalikan serta mempertahankan sistim ekologi yang terdapat pada daerah tersebut (Hong, 1999) yang penting bagi daerah pemukiman di Jepang, pada masa itu, yang umumnya berada pada lembah yang terlindung dari gangguan-gangguan alami (Yamada dkk, 2007) Terdapat beberapa pengertian Satoyama. Pengertian klasik menyatakan Satoyama adalah daerah hutan yang dikelola oleh komunitas pertanian setempat. Pengertian yang lebih baru tidak hanya mencakup hutan, melainkan seluruh wilayah yang berhubungan dengan pertanian, peternakan, dan kehutanan. Berdasarkan pengertian yang terbaru, maka wilayah Satoyama dapat meliputi daerah luas dengan mosaik yang terdiri dari hutan, sawah, ladang, padang rumput, aliran sungai, kolam, dan ceruk-ceruk penampungan air (Kobori & Primack, 2003; Takeuchi dkk, 2003).
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
25
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Gambar 1. Sistim Satoyama yang meliputi seluruh habitat yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan pertanian. (Diunduh dari http://www.sizentaiken.jp/reproduction/what/what)
3. Peran penting Satoyama bagi kehidupan liar dan manusia Berbagai macam habitat yang terdapat pada sistim Satoyama secara langsung ataupun tidak langsung juga berperan dalam mempertahankan keberadaan kehidupan liar antara lain melalui cara : a. Memfasilitasi pergerakan hewan liar di daerah kolam, sawah, padang rumput, hutan, bahkan dari satu desa ke desa yang lain. b. Menambah jumlah habitat yang diperlukan oleh hewan dan tumbuhan, terutama yang tergantung pada air seperti capung (Moriyama 1997), katak (Osawa & Katsuno, 2001), kumbang air (Mukai dkk, 2005), dan kunang-kunang (Takeda dkk, 2006) serta gulma-gulma yang berperan penting dalam menyediakan bunga sebagai sumber makanan bagi hewan-hewan penyerbuk tanaman (Putra & Nakamura, 2009) berikut material sarang dan makanan burung (Lane & Fujioka, 1988). c. Aktivitas pertanian dan manajemen hutan Satoyama berperan penting dalam mempertahankan keberagaman tingkat suksesi di hutan. Suksesi adalah proses alami perubahan pada struktur tumbuhan dan hewan yang menempati satu daerah. Tingkat suksesi tertinggi adalah komunitas klimaks dimana daerah sudah menjadi hutan kembali dengan perubahan pada komposisi tumbuhan dan hewan yang relatif kecil. Komunitas klimaks ini umumnya diharapkan oleh banyak praktisi yang bekerja dalam restorasi lingkungan tetapi tidak untuk para praktisi Satoyama. Jepang tidak dikaruniai oleh hutan-hutan klimaks seperti hutan hujan tropis yang terdapat di Indonesia dikarenakan sebagian besar hutan Jepang merupakan hutan yang direstorasi (Nakamura, personal communication) ditambah dengan populasi bambu yang tinggi. Aktivitas di Satoyama berusaha untuk mencegah agar hutan tidak pernah mencapai tingkat klimaks. Aktivitas seperti pembabatan tumbuhan liar, pemangkasan kayu, pembakaran bambu dimaksudkan agar tumbuhan-tumbuhan yang hidup di lantai hutan dapat bertahan hidup. Bila kita perhatikan hampir sebagian besar makanan tradisional Jepang dibuat menggunakan bahan dasar jamur, rebung, bunga â&#x20AC;&#x2DC;fukiâ&#x20AC;&#x2122;, akar tanaman yang tidak dapat hidup bila hutan mencapai tingkat klimaks dengan jumlah sinar matahari pada lantai hutan yang minim. Perbedaan dalam tingkat suksesi ini penting untuk mempertahankan dan meningkatkan keberagaman hayati. Lebih lanjut lagi, aktivitas ini berperan penting dalam menjaga keindahan alam pada saat pergantian musim di Jepang. Pada daerah-daerah Satoyama yang telah ditinggalkan terdapat peningkatan jumlah tumbuhan-tumbuhan evergreen (tumbuhan yang tidak Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
26
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
menggugurkan daunnya pada saat musim gugur dan dingin) yang mengurangi kouyou (warna merah pada hutan akibat perubahan warna daun pohon sebagai adaptasi musim dingin). d. Penggunaan pupuk tradisional dalam aktivitas pertanian berperan penting dalam mempertahankan bahkan menambah bunga-bunga liar pada musim semi dan panas. Proses pembuatan pupuk tradisional yang menggunakan daun gugur atau rumput yang dipangkas dari daerah padang rumput berpengaruh besar dalam mengurangi tingkat kompetisi dalam memperebutkan lokasi tumbuh, nutrisi, dan sinar matahari antar tumbuhan-tumbuhan lunak. 4. Satoyama saat ini Walaupun memberikan banyak keuntungan pada manusia dan lingkungan, Satoyama saat ini sedang menghadapi masalah. Luas wilayah Satoyama pada sebagian besar wilayah Jepang mengalami penurunan drastis. Sebagai contoh luas daerah Satoyama pada daerah Yokohama yang menurun dari 10.000 ha pada akhir tahun 1960-an menjadi hanya 3.000 ha pada 1990 (Kobori & Primack, 2003). Menurut keduanya, terdapat beberapa alasan yang dapat menjelaskan fenomena ini, antara lain: a. Berkurangnya jumlah angkatan kerja pada sektor pertanian akibat perubahan pada demografi dan pola hidup masyarakat Jepang. b. Jumlah tenaga kerja yang minim menyebabkan petani Jepang melakukan pendekatan teknologi dengan menggunakan pupuk buatan dan mesin. c. Kayu tidak lagi digunakan sebagai bahan bakar utama untuk memasak dan menghangatkan rumah pada musim dingin. d. Perluasan pemukiman dan industri menyebabkan sebagian besar sawah beralih fungsi menjadi daerah pemukiman dan industri. Penurunan luas Satoyama ini berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati yang pada akhirnya memberikan pengaruh negatif pula pada sistim kehidupan dan produk-produk yang dihasilkan oleh sistim tersebut antara lain penurunan kualitas dan kuatitas produk kehutanan dan pertanian, perubahan pada pola sebaran makhluk hidup yang dianggap sebagai hama (contoh: kasus babi hutan, kera, dan beruang yang sering dilaporkan masuk ke perumahan penduduk di Jepang), dsb. Menyadari hal tersebut pemerintah Jepang menetapkan Satoyama sebagai salah satu sistim pengelolaan lahan masa depan Jepang (Ministry of the Environment, Japan, 2006). Pengakuan dari pemerintah Jepang ini meningkatkan gerakan restorasi Satoyama dengan berbagai tujuan non-profit seperti pendidikan, penelitian, konservasi, sampai tujuan profit seperti aplikasikan pada komplek perumahan, pariwisata, produk ‘premium’, produk ‘eco’. Sebagai contoh adalah: a. Kerjasama antara pemerintah kota Tsuyama (Prefektur Okayama) dengan para sukarelawan dari kelompok Kikori-no-kai, yang terdiri dari para pensiunan dalam rangka menghidupkan sistim Satoyama sebagai sarana pendidikan bagi para siswa sekolah dasar dan orang tuanya. Kegiatan ini diikuti dengan kegiatan lapangan seperti berbagai workshop dan kegiatan-kegiatan lapangan ramah lingkungan. Efek positif dari kegiatan ini adalah kembalinya beberapa species anggrek dan capung (Ministry of the Environment, Japan, 2006). b. Kegiatan Satoyama dan Satoumi yang dikembangkan dengan kerjasama antara pemnerintah lokal Ishikawa, Universitas Kanazawa, penduduk setempat. Pada program ini dilakukan sinergi antara hasil penelitian dan pengetahuan dari penduduk lokal untuk pengelolaan Satoyama sebagai dearah penelitian keanekaragaman hayati, ilmu-ilmu sosial, aplikasi teknologi, tujuan pariwisata, dan promosi produk-produk lokal (http://www.Satoyama-satoumi.com/). c. Beberapa perusahaan Jepang juga berpartisipasi pada program restorasi sistim Satoyama, sebagai contoh Mitsubishi dengan program “Woodland Preservation Project”. (http://global.mitsubishielectric.com/company/csr/report/citizenship/index.html)
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
27
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
5. Satoyama untuk Indonesia Secara gamblang dapat dikatakan bahwa Indonesia sudah memiliki sistim Satoyama sendiri. Pertanian Tapak Siring yang dikembangkan di Sumatra dan Jawa, Sistim Subak di Bali, dan sistim pertanian rawa di Kalimantan merupakan Satoyama yang dimiliki oleh Indonesia. Sistim ini dapat dikategorikan sebagai Satoyama karena merupakan sistim manajemen lingkungan yang dikembangkan oleh masyarakat lokal. Akan tetapi sistim ini semakin sulit ditemukan di Indonesia disebabkan oleh faktor-faktor yang sama dengan yang dimiliki oleh Satoyama Jepang. Mungkin kita dapat belajar dari Jepang untuk menerapkan Satoyama yang ada di Indonesia dengan menitikberatkan pada modal dasar dan selera pasar yang ada. Modal dasar yang dimiliki oleh sistim Satoyama di Indonesia adalah produk-produk lokal yang biasanya memiliki kedekatan kultural dengan masyarakat contoh mudahnya adalah Apel Malang, Jeruk Garut, Duku Palembang, dsb ataupun produk-produk lokal yang hanya ada di daerah bersangkutan. Sebagaimana definisi Satoyama yang mengandalkan manajemen pertanian dengan pendekatan lokal dan sistim pertanian tradisional yang minim masukan energi dalam bentuk bahan kimia dapat memberikan efek menguntungkan. Sebagai contoh, setiap pemerintah lokal di Jepang umumnya hanya berkonsentrasi pada produk yang memang cocok untuk dikembangkan di daerah bersangkutan dan mempromosikan produk tersebut sambil meningkatkan kualitasnya, seperti apel di Aomori, kedelai di Tochigi. Para pengusaha produk tersebut juga berupaya meningkatkan nilai produk mereka dengan melakukan sejenis kompetisi tahunan yang difasilitasi oleh pihak pemerintah untuk bertukar ide dan menentukan produk nomor satu setiap tahun. Kegiatan ini menyebabkan konsumen Jepang lebih mengapresiasi produk lokal jauh lebih baik daripada produk impor dan lahirlah label 国産(kokusan, produk lokal) yang meningkatkan nilai jual produk dan pada saat bersamaan membantu pendapatan petani lokal, universitas lokal untuk mengembangkan teknologi, industri kecil yang berbasis produk lokal, konservasi lingkungan, bahkan nama baik Jepang sebagai penghasil produk-produk dengan kualitas tinggi. Bagaimana dengan pasar? Gerakan mengkonsumsi makanan organik, wisata alam, sekolah alam yang sedang marak di Indonesia saat ini dapat menjadi modal awal dari gerakan restorasi sistim Satoyama asli Indonesia dan meningkatkan perhatian dari masyarakat. Perubahan pada pola pikir masyarakat ini, memberikan prospek pasar yang besar bagi produk-produk lokal yang dihasilkan melalui proses panjang dan teliti dengan menitikberatkan pada kualitas dibandingkan kuantititas. Masalah produk Indonesia yang banyak ditolak di luar negeri berkaitan dengan ‘eco-labelling’ mungkin dapat diatasi dengan mengintegrasikan sistim Satoyama lokal pada sebagaian daerah perkebunan-perkebunan besar di Indonesia meniru yang dilakukan di Jepang. Tentu saja, kita tidak dapat meniru mentah-mentah apa yang dilakukan oleh Jepang sebab adanya perbedaan budaya dan pola pikir. Indonesia dapat mengembangkan ide dan kegiatan yang sesuai dengan budaya dan kebiasaan Indonesia dan siapa tahu nanti kita dapat menemukan mangga arum manis dengan ‘eco-label’ dan ‘product of Indonesia Satoyama’ di bagian premium products di pasar swalayan Jepang. 6. Untung rugi Satoyama bagi Indonesia 6.1. Keuntungan Walaupun konsep Satoyama merupakan konsep klasik yang dikembangkan oleh masyarakat Jepang, akan tetapi konsep ini sebenarnya merupakan konsep global yang dapat ditemukan di hampir seluruh dunia. Konsep klasik ini menitik beratkan pada pengetahuan dan kebijaksaan pengelolaan lahan oleh masyarakat lokal untuk mempertahankan keberadaan sumber daya alam hayati. Secara langsung maupun tidak langsung sistim ini dapat mempertahankan kondisi lingkungan yang menjadi habitat dari beragam makhluk hidup dan dapat menjadi jawaban bagi masalah lingkungan yang marak belakangan ini. Keuntungan dari penerapan sistim ini dalam konsep konservasi lingkungan adalah: a. Masyarakat lokal dapat memanfaatkan sumber daya yang ada disekitar mereka. Bagaimana dan apa yang dimanfaatkan tentu sangat tergantung pada kondisi masyarakat setempat. Sebagai contoh masyarakat pertanian di desa akan lebih memanfaatkan sumber daya setempat untuk peningkatan penghasilan sementara masyarakat perkotaan akan lebih Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
28
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
b.
c.
menggunakan sumber daya hayati sebagai sarana rekreasi atau pendidikan. Berdasarkan pengalaman penulis selama melakukan penelitian Satoyama, pemanfaatan sumber daya oleh masyarakat meningkatkan penyertaan sukarela dari masyarakat. Tingginya tingkat penyertaan ini juga meningkatkan rasa tanggung jawab atas kondisi lingkungan setempat dan melahirkan ide-ide serta kebijaksaan lokal berdasarkan pengalaman yang didapat selama pemeliharaan sistim Satoyama. Pada tahap akhir, sistim Satoyama diharapkan dapat menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat setempat.
6.2. Kelemahan Selain keuntungan, tentu saja sistim ini memilki kelemahan untuk dapat langsung diaplikasikan seacara meluas di Indonesia, antara lain: a. Perbedaan pada kultur dan kematangan masyarakat antara Jepang dan Indonesia dapat menimbulkan masalah pada penerapan sistim Satoyama di Indonesia. Masyarakat Jepang merupakan masyarakat matang dimana kebutuhan ekonomi dasar sudah terpenuhi ditambah dengan demografi yang dipeuhi dengan orang tua menyebabkan tujuan penerapan Satoyama di Jepang lebih kepada faktor pelestarian lingkungan, terapi, dan rekreasi bagi orang tua. Sementara untuk Indonesia yang masih mempertimbangkan faktor ekonomi, maka tujuan dari penerapan Satoyama di Jepang tidak tepat sasaran. Dengan demikian Satoyama asli Indonesia harus juga mempertimbangkan faktor ini. b. Penerapan sistim Satoyama di perkebunan-perkebunan besar di Indonesia kemungkinan mengalami hambatan dalam hal pemenuhan target produksi. Konsep Satoyama yang menekankan peran besar dari masyarakat lokal dalam pengelolaan lingkungan dapat menjadi sumber dari konflik. Oleh karena itu diperlukan pihak penengah antara pengusaha dan masyarakat untuk menghasilkan sistim Satoyama yang sesuai. Pihak penengah ini dapat berupa komponen pemerintah, walaupun penulis lebih mengharapkan para peneliti baik dari pihak perusahaan atau dari pihak universitas dan lembaga penelitian yang lebih berperan aktif. c. Hutan di Indonesia memiliki perbedaan dengan hutan-hutan di Jepang sehingga tidak tepat bila diterapkan konsep Satoyama yang sama pada setiap tempat. Hutan hujan tropis tentu memiliki mekanisme yang berbeda dengan hutan rawa, hutan monokultur, hutan sekunder, dsb. Kondisi ini menyebabkan diperlukan upaya lebih untuk dapat menghasilkan konsep Satoyama pada lokasi yang berbeda walaupun pondasi dasar memungkinkan untuk dihasilkan melalui penelitian dan pengetahuan klasik dari penduduk. 7. Penutup Pada judul di atas, penulis menyatakan bahwa sistim ini sistim klasik untuk masa depan. Hal ini mungkin saja dapat menjadi kenyataan bila sistim ini berkembang dan menjalankan fungsi langsung dan tidak langsungnya sebagai daerah konservasi keanekaragaman hayati. Dengan demikian kita dapat berharap keturunan kita dapat menikmati manfaat dari kekayaan alam yang kita nikmati sekarang. 8. Referensi 1. 2. 3. 4. 5.
Gambar 1 diunduh dari http://www.sizentaiken.jp/reproduction/what/what pada tanggal 20 April 2010 Hong, S. K. 1998. Changes in landscape patterns and vegetation process in the Far-Eastern cultural landscapes: human activity on pine-dominated secondary vegetation in Korea and Japan. Phytocoenologia 28: 45-66. Hong, S. K. 1999. Cause and consequence of landscape fragmentation and changing disturbance by socio-economic development in mountain landscape system of South Korea. Journal of Environmental Sciences 11: 181-187. Kobori, H. & Primack, R. 2003. Participatory conservation approaches for Satoyama, the traditional forest and agricultural landscape of Japan. Ambio 32: 307-311. Diunduh dari http://ambio.allenpress.com/perlserv/?request=index-html pada tanggal 10 Oktober 2007. Lane, S. & Fujioka, M. 1998. The impact of changes in irrigation practice on the distribution of foraging egrets and heron (Ardeidae) in the rice fields of central Japan. Biological Conservation. 83: 221-230.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
29
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Ministry of the Environment, Government of Japan. 2006. Annual Report on the Environment in Japan 2006. hal. 15-20. Moriyama H. 1997. Mura no sizen wo ikasu (Reviving Nature in Rural Areas). Iwanami Publishing Co. Ltd. P. 4. (dalam bahasa Jepang). Mukai, Y., Baba, N. & M. Ishii, M. 2005. The water system of traditional rice paddies as an important habitat of the giant water bug, Lethocerus deyrollei (Heteroptera : Belostomatidae). Journal of Insect Conservation 9:121-129. Nakagoshi, N. & Hong, S. K.. 2001. Vegetation and Landscape Ecology of East Asia â&#x20AC;&#x2DC;SATOYAMAâ&#x20AC;&#x2122;. Global Environment Research 5(2): 171-181. Osawa, S. & Katsuno, T. 2001. Dispersal of brown frogs Rana japonica and R. ornativentris in the forests of the Tama Hills. Current Herpetology 20: 1-10. Putra, R. E. & Nakamura, K. 2009. Foraging ecology of a local wild bee community in an abandoned Satoyama system in Kanazawa, Central Japan. Entomological Research 39(2): 99-106. Takeda, M., Amano, T., Katoh, K. & Higuchi, H. 2006. The habitat requirement of the Genji-firefly Luciola cruciata (Coleoptera : Lampyridae), a representative endemic species of Japanese rural landscapes. Biodiversity and Conservation 15:191-203. Takeuchi, K., Brown, R. D., Washitani, I., Tsunekawa, A. & Yokohari, M. (Eds.). 2003. Satoyama: The traditional rural landscape of Japan. Springer, Berlin, Heidelberg, New York. Website Noto-jima Satoyama-satoumi sizen gakko (Noto Jima Satoyama-Satoumi Nature School). http://www.Satoyama-satoumi.com/ diakses pada tanggal 27 Mei 2010. (dalam bahasa Jepang). Website Mitsubishi http://global.mitsubishielectric.com/company/csr/report/citizenship/index.html diakses pada tanggal 27 Mei 2010. Yamada, S., Okubo, S., Kitagawa, Y. & Takeuchi, K. 2007. Restoration of weed communities in abandoned rice paddy fields in the Tama Hills, central Japan. Agriculture, Ecosystems and Environment 119:88-102.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
30
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
IPTEK & INOVASI
Error Correction Coding: Teori, Aplikasi dan Pembangunan Masyarakat Khoirul Anwar Information Theory and Signal Processing Laboratory School of Information Science, Japan Advanced Institute of Science and Technology Asahidai 1-1, Nomi, Ishikawa, Japan 923-1292 E-mail: anwar-k@jaist.ac.jp Abstrak Teknologi telekomunikasi bukan hanya sebuah alat atau teknik, namun sebenarnya mengandung hikmah-hikmah yang dalam untuk membangun masyarakat. Tulisan ini menyampaikan dua buah sisi sekaligus, yaitu sains dan teknologi yang cukup teknikal dan beberapa hikmah yang bisa diambil untuk pembangunan pribadi, masyarakat dan negara. Dengan memakai teknik error correction coding, kita bisa mengambil beberapa hikmah inti, yaitu sebagai manusia kita akan mencapai keberhasilan yang lebih besar jika yakin kemampuan diri, saling percaya, dan sinergi. 1. Pendahuluan Istilah telekomunikasi telah dipakai sejak 1904[1] dan secara etimologi berasal dari bahasa Perancis yaitu â&#x20AC;&#x2DC;teleâ&#x20AC;&#x2122; yang berarti jauh dan â&#x20AC;&#x2DC;communicareâ&#x20AC;&#x2122; yang berarti komunikasi atau penyebaran informasi. Dalam prakteknya, telekomunikasi berupa telegraf, telepon, radio, televisi dan kemudian berkembang dalam bentuk yang lebih modern seperti internet dan telepon seluler. Inti dari telekomunikasi adalah membuat suatu mekanisme agar informasi bisa dikirimkan sebanyak-banyaknya, secepat-cepatnya dan dengan kesalahan (error) sekecil-kecilnya. Oleh karena itu, telekomunikasi memiliki tiga elemen utama, yaitu pengirim (transmitter), medium (channel), dan penerima (receiver). Telekomunikasi berkembang cepat dengan teknologi yang terus diperbarui pada setiap dasawarsa. Kita masih ingat bahwa ada teknologi telekomunikasi seluler 1G (analog) pada tahun 1981, 2G (digital) pada 1992 dan 3G (CDMA) pada tahun 2002 lalu. Pada tahun ini (2010), diskusi para ahli tengah mengarah pada sistem generasi keempat (4G) dengan kecepatan minimal 100 Mb/s di antara dua titik. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa perkembangan pesat ini karena hasil kerja para ahli, temasuk teori informasi (diperkenalkan oleh Claude E. Shannon pada tahun 1948 [1]). Teori informasi mengatakan bahwa informasi bisa dikirimkan dengan peluang kesalahan mendekati nol, P (bit salah) 0 , antara dua titik jika rasio daya terhadap derau (noise) S/N di penerima memenuhi persamaan
C
B log 2 (1
S ), N
(1)
dengan C adalah kapasitas medium dan B bandwitdh. Persamaan (1) kemudian dikenal dengan Shannon limit. Dalam praktek, bagaimana Shannon limit dipahami? Peluang P(bit salah) 0 diartikan dengan peluang kesalahan 0.00001, yaitu peluang terjadinya 1 bit salah dalam pengiriman 100.000 bit. Kemudian daya sinyal yang diterima terhadap derau (S/N) dikonversikan menjadi energi per bit terhadap derau dengan persamaan
S N
Eb 1 K R M , N0 J ( K L)
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
(2)
31
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Gambar 1. Shannon Limit dan Pencapaian Encoder (Sumber: K. Anwar [dokumen pribadi])
dengan Eb/N0 adalah energi tiap bit terhadap derau, R kecepatan coding (coding rate), M jumlah bit dalam setiap konstelasi, J kecepatan sampling berlebih (oversampling rate) jika ada, K panjang blok dan L panjang guard interval. Dari persamaan (2), kita bisa menyimpulkan bahwa koefisien J dan K+L merugikan sehingga Shannon limit makin sulit dicapai. Sebagai contoh, mari kita lihat pada modulasi binary phase shift keying (BPSK) yaitu modulasi yang memiliki M=1. Dengan R=1 (tanpa error correction coding (ECC)), J=1 dan L=0, kita dapatkan C=1 sehingga Eb/N0=9.5 dB seperti ditunjukkan oleh Gambar 1 (uncoded BPSK), yaitu sejauh 8 dB dari Shannon limit. Dengan ECC, misalnya convolutional coding (1976) R=1/2, C=1/2, Shannon limit bisa didekati sehingga hanya berjarak 4.5 dB. Dari sini bisa disimpulkan sementara bahwa peran ECC sangat besar. Untuk berikutnya tulisan ini akan membahas secara detail teknik mengoreksi kesalahan dengan ECC derdasarkan teori informasi. 2. Mekanisme koreksi berdasarkan teori informasi Teori informasi adalah cabang matematika terapan dan teknik elektro dalam menghitung informasi. Namun dalam perkembangannya dapat diterapkan untuk bidang selain telekomunikasi, misalnya informatika, fisika dan bahkan bidang ekonomi terutama teori investasi dan stok pasar. C pada (1) didapat dengan cara memaksimalkan mutual information antara informasi yang dikirim (X) dan informasi yang diterima (Y), C max I ( X ;Y ) , sedangkan
I ( X ;Y )
H (Y ) H (Y | X ) dengan H adalah entropi.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
32
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Kata kunci teori informasi sebenarnya hanya satu yaitu entropi. Dalam teori informasi entropi adalah ukuran ketidakpastian suatu variabel acak yang biasanya dinyatakan dengan rata-rata bit. Secara matematis entropi dinyatakan sebagai
H(X )
P ( x ) log P ( x) , z X
dengan x adalah variable acak dan P(x) adalah peluang terjadinya x. Seorang Fahri rajin belajar setiap hari sehingga peluang lulus ujian nasional (UNAS) dengan P(Fahri lulus)=0.9, dan P(Fahri gagal=0.1), maka Fahri memiliki entropi lulus ujian sebesar
H (Fahri )
(0.9 log 2 0.9 0.1log 2 0.1) 0.47
(3)
Bahadur, teman Fahri, malas belajar sehingga memiliki peluang lulus UNAS P(Bahadur lulus)=0.5, dan P(Bahadur gagal=0.5).
H ( Bahadur)
(0.5 log 2 0.5 0.5 log 2 0.5) 1
(4)
Karena tingginya entropi menggambarkan derajat ketidakpastian, ini menunjukkan bahwa ketidakpastian lulus UNAS bagi Bahadur lebih tinggi. Apa manfaat dari entropi di atas? Jika pembaca diminta untuk mengirimkan informasi peluang Fahri dan Bahadur lulus UNAS ke Depdiknas di Jakarta berapakah rata-rata bit yang diperlukan? Karena entropi pada (3) dan (4) telah dihitung dengan logaritma basis 2, nilai yang didapat bisa langsung dinyatakan dalam bit, sehingga dalam pengiriman informasi ke Jakrata pembaca harus menyediakan bit lebih banyak untuk Bahadur yaitu sebesar 1 bit, dan Fahri sebesar 0.47 bit, dengan total 1.47 bit. Jika tanpa teori informasi, berapakah bit yang diperlukan? Karena ada 22=4 kemungkinan yaitu Fahri gagal, Fahri lulus, Bahadur gagal, dan Bahadur lulus, maka informasi ke Jakarta memerlukan 2 bit. Dari sini, kita bisa menarik kesimpulan sementara bahwa sesuatu yang hampir pasti tidak akan memerlukan banyak informasi atau bit. Oleh karena itu, wajar seandainya media cetak/elektronik hanya mengangkat berita yang jarang terjadi, tidak biasa dan tidak pasti, karena berita-berita semacam itulah yang mengandung banyak informasi. 3. Deteksi Kesalahan Shannon mengenalkan limit komunikasi, namun sayang tidak diketahui cara praktis mencapainya. Sejak saat itu perhatian para ahli tertuju pada algoritma pengoreksi kesalahan dan hasilnya ditunjukkan pada Gambar 1. Sebuah sistem yang mampu mendekati Shannon limit diprediksikan memiliki peluang untuk menjadi green communications system karena untuk mencapai kesalahan 10-5 hanya memerlukan energi yang kecil (Eb/N0 antara 0 ~ 1dB). 3.1. Sebelum 1993 Sebelum tahun 1993, kesimpulan para ahli adalah bahwa Shannon limit bisa dicapai hanya dengan menambah panjang memori convolutional coding (CC). Sebenarnya, cukup ironis karena penambahan memori berakibat pada makin rumitnya perhitungan di penerima karena jumlah keadaan (state) yang harus diingat adalah 2memori. Sebuah ilustrasi CC dengan panjang = 4 (memori=3) ditunjukkan pada Gambar 1 dengan polinomial G=(17,15), yang kemudian dinotasikan menjadi CC-4(17,15). 3.2. Setelah 1993 Dalam IEEE International conference on communication (ICC) 1993, Berrou dkk., mempresentasikan sebuah encoder dan decoder baru, yang disebut turbo codes. Ini adalah Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
33
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
encoder praktis pertama kali yang mampu mendekati Shannon limit dengan beda hanya 0.5 dB, seperti ditunjukkan pada Gambar 1. Ide dari turbo codes berasal dari mesin turbo dengan umpan balik (feedback), seperti pada Gambar 2. Jadi proses decoding dilakukan secara berulang (iterative). Sejak penemuan turbo codes dunia teori informasi dan telekomunikasi berubah drastis. Penemuan ini mengilhami penemuan-penemuan berikutnya, misalnya turbo equalization, turbo demapper, turbo synchronization, turbo channel estimation, dan lain-lain, sampai pada aplikasi untuk wireless network, yang bisa dilihat, misalnya, pada [5]. Fakta bahwa Shannon limit bisa didekati secara praktis kemudian mendorong para peneliti untuk menguji kembali teknik di masa lalu. Hasilnya menakjubkan, misalnya, low density parity check (LDPC), yang diperkenalkan oleh Gallager tahun 1963 [6], ketika diuji kembali dengan komputer canggih zaman sekarang, mampu mendekati Shannon limit dengan jarak 0.0045dB [7].
Gambar 2. Turbo Engine dan Turbo Decoder [4]
Dengan penemuan-penemuan ini, para ahli berkesimpulan bahwa Shannon limit telah bisa dicapai secara praktis. Penulis berpandangan bahwa penelitian bidang teori informasi dan telekomunikasi sekarang tengah beralih ke teori informasi untuk jaringan (network information theory). Ini ditandai dengan kenyataan bahwa penelitian layer fisik telah mati [8] dan melonjaknya publikasi untuk wireless network di dalam jurnal maupun konferensi. Dalam network information theory, ada banyak sekali masalah yang belum terselesaikan. Penulis menyimpulkan bahwa masih ada 65% tema di dalamnya yang belum diketahui batas optimalnya. Ini kemudian menjadi tantangan menarik para peneliti kita di Indonesia, apakah kita ingin bermain di dunia teori yang potensial untuk inovasi baru atau tidak? 4. Mengambil Hikmah Belajar dari bagaimana decoder mendeteksi dan mengoreksi kesalahan, kita bisa mengambil hikmahnya dalam membangun masyarakat. 4.1. Keyakinan Sebelum 1993, banyak peneliti percaya bahwa CC dengan memori besar, misalnya 14 (214=16.384 state), mampu mendekati Shannon limit. Akan tetapi, turbo codes pada 1993, memiliki kinerja yang menakjubkan (0.5 dB dari limit) meski hanya dengan memori 3 (23=8 state). Hal ini mengajarkan kita, bahwa kita mesti yakin dengan kemampuan yang kita miliki sekarang untuk mencapai kemajuan berikutnya. Namun ada syarat agar memori kecil ini mampu mengalahkan memori besar, yaitu dengan sikap saling percaya, dan sinergi/kerja sama.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
34
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Gambar 3. Tingkat Error Turbo Codes (Sumber: Valentti)
Encoder dengan memori besar mampu mengoreksi kesalahan meski â&#x20AC;&#x2DC;sendirianâ&#x20AC;&#x2122;, karena memori besarnya membantu mengingat waktu terjadinya kesalahan. Jika jumlah state dianalogikan dengan jumlah hari yang diingat, decoder dengan memori 3 hanya mampu mengingat 8 hari, tetapi decoder dengan memori 14 mampu mengingat kesalahan yang terjadi dalam 16.384 hari atau 45 tahun. Namun sungguh di luar dugaan bahwa dalam telekomunikasi, dua buah decoder memori 3 (misalnya pada turbo codes) mampu mengalahkan decoder memori 14. Kembali kepada Indonesia. Jika dianggap bahwa Indonesia adalah decoder memori 3, kita akan maju jika masyarakat yakin akan kemampuan negaranya dan tidak rendah diri dengan negara lain dengan memori 14. Karakter berikutnya yang diperlukan adalah saling percaya dan sinergi. 4.2. Saling percaya dan sinergi Yang dilakukan oleh turbo decoder sebenarnya sangat sederhana. Decoder 1 dan 2 pada Gambar 2 hanya menukar extrinsic log-likelihood ratio (LLR) yang secara matematis dinyatakan sebagai berikut:
LLR
P( x P( x
1 | y) 1 | y)
(5)
LLR adalah tingkat kepercayaan bahwa bit x=+1 atau x=-1 berdasarkan y yang diterima [i]. Kemudian dalam proses koreksi, setiap decoder selalu mengasumsikan bahwa decoder lainnya akan selalu memperbaiki keputusan decoder sebelumnya jika ada bit yang masih salah. Proses ini dilakukan terus menerus sampai beberapa kali pengulangan sampai akhirnya mampu mengoreksi semua kesalahan bit. Namun seperti kata pepatah bahwa â&#x20AC;&#x153;tidak ada yang sempurna di duniaâ&#x20AC;?, sehingga error correction coding pun tidak mampu mengoreksi semua kesalahan jika derau terlalu besar. Kemampuannya ditunjukkan dengan bit error rate (BER), yaitu kemungkinan terjadinya satu bit salah dalam setiap pengiriman, seperti ditunjukkan pada Gambar 3 dengan 18 pengulangan.
i
y=x+n, dengan n adalah noise
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
35
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Aplikasinya untuk sosial masyarakat adalah bahwa LLR ini menunjukkan tingkat saling percaya antarsesama kelompok. Sinergi adalah kemauan untuk saling bekerja sama, saling memperbaiki ke arah positif, karena dalam decoder, nilai LLR akan selalu naik (monotonically increasing) meski akhirnya berhenti pada sebuah nilai konvergen. 5. Kesimpulan Tulisan ini telah mempresentasikan bahwa teknologi telekomunikasi selain memberi manfaat secara fisik, misalnya, komunikasi, bisnis, dan lain-lain, juga mampu memberikan manfaat secara psikologis yaitu bahwa kita sebagai manusia, untuk membangun bangsa dan negara, sebenarnya sudah memungkinkan dengan keadaan seperti sekarang. Manusia biasa yang hidup bersama secara sinergi dan saling percaya akan mampu berhasil lebih baik daripada manusia jenius/kaya tetapi bekerja sendiri. 6. Daftar pustaka 1.
J. Dilhac. From tele-communicare to Telecommunications. URL: http://www.ieeeghn.org/wikitest/images/8/8c/Dilhac-2004.pdf. Diakses pada 17 Juli 2010. 2. C. E. Shannon. A Mathematical Theory of Communication. Bell System Tech. Journal, 27, pp. 379â&#x20AC;&#x201C;423 & 623â&#x20AC;&#x201C;656, Oct., 1948. 3. Berrou, Glavieux, and Thitimajshima. Near Shannon Limit Error-correcting Coding and Decoding: Turbo-codes. IEEE International Communications Conference (ICC), 1993. 5. K. Anwar and T. Matsumoto. MIMO Spatial Turbo Codes. ITG Wireless Smart Antenna, Bremen, 2010. 6. R.G Gallager. Low Density Parity Check Codes. Monograph, M.I.T. Press, 1963. 7. S. Y. Chung, D. Forney, T. J. Richardson, and R. Urbanke. On the Design on Low Density Parity Check Codes within 0.0045dB of the Shannon Limit. IEEE Comms. Letter, Vol.2, No. 2, Feb. 2001. 8. Panel Discussion. PHY layer is dead. IEEE VTC-Spring, Spain, 2009.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
36
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
NASIONAL
Helm Standar Nasional Indonesia dan Standar Luar Negeri Jonas Aditya Pramudita Department of Mechanical and Environmental Informatics, Tokyo Institute of Technology Email: j_aditya_p@yahoo.com 1. Pendahuluan Menurut laporan yang diterbitkan oleh Departemen Perhubungan,1 jumlah kendaraan bermotor yang terlibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 1). Di tahun 2008 saja terdapat 56.584 kasus kecelakaan lalu lintas yang melibatkan 95.209 sepeda motor. Jumlah ini mencapai 73% dari total kendaraan yang terlibat kecelakaan. Selain itu, jumlah korban meninggal dan luka berat masing-masing adalah 19.216 dan 22.364 orang (Gambar 2), dimana menurut penelitian lain 25% dari korban kecelakaan lalu lintas adalah pengendara atau penumpang sepeda motor dan 88%-nya menderita cedera kepala.2 Kenyataan bahwa cedera kepala fatal sering ditemui pada kecelakaan sepeda motor juga dilaporkan di banyak negara.3-5 Oleh karena itu, penggunaan helm oleh pengendara dan penumpang sepeda motor adalah sangat penting untuk mengurangi resiko cedera kepala pada saat kecelakaan. Efektifitas helm dalam mengurangi resiko cedera kepala sudah terbukti melalui berbagai penelitian klinis.6 120,000
120,000
Sepeda motor Bis Truk
100,000
Mobil penumpang Jumlah kecelakaan
100,000
Jumlah korban
Jumlah kecelakaan
140,000
80,000 60,000
Luka ringan Luka berat Meninggal
80,000 60,000 40,000
40,000 20,000
20,000
0
0 2004
2005
2006 Tahun
2007
2008
Gambar 1. Jumlah kecelakaan lalu lintas dan jumlah kendaraan bermotor yang terlibat1
2004
2005
2006
2007
2008
Tahun
Gambar 2. Jumlah korban kecelakaan lalu lintas1
Peraturan Menteri Perindustrian RI Nomor 40/M-IND/PER/6/2008 dan UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 yang mewajibkan setiap pengendara dan penumpang sepedamotor untuk menggunakan helm Standar Nasional Indonesia (SNI) telah diberlakukan mulai 1 April 2010 setelah sempat tertunda selama 1 tahun.7 Hal ini membuka babak baru keselamatan lalu lintas Indonesia meskipun tidak sedikit suara-suara yang mempertanyakan kebijakan ini, diantaranya adalah keraguan atas kualitas helm SNI dan boleh tidaknya penggunaan helm standar luar negeri. Tulisan ini mencoba membandingkan standar helm SNI dan standar-standar helm lain yang ada di luar negeri, terutama berkaitan dengan fungsi utama helm untuk melindungi kepala terhadap benturan. Selain itu, hal-hal yang dianggap perlu dipertimbangkan kembali di masa depan juga dibahas diakhir tulisan. 2. Standar helm
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
37
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Tiap-tiap negara mempunyai standar helm yang berbeda-beda yang harus dipenuhi oleh produsen helm yang ingin menjual helmnya di negara tersebut. Misalnya, Amerika Serikat memberlakukan standar DOT/FMVSS 218,8 Uni Eropa memberlakukan standar ECE 22.05,9 dan Jepang memberlakukan standar JIS T8133.10 Begitu juga Australia, Brazil, Thailand, Korea Selatan, Malaysia, India dan beberapa negara lain juga mempunyai standar helm sendiri-sendiri. Selain standar yang disebutkan diatas, standar Snell11 juga sangat populer di banyak negara. Standar Snell dikeluarkan oleh yayasan non-profit Snell Memorial Foundation, dan karena tidak mempunyai dasar hukum, standar ini tidak harus dipenuhi oleh semua produsen yang ingin menjual helmnya di suatu negara. Akan tetapi nama Snell yang terkenal di bidang keamanan helm lebih dari 50 tahun membuat produsen helm ingin memasang label Snell pada produknya untuk menaikkan nilai jual. Standar ECE merupakan standar yang paling banyak dipakai di dunia saat ini karena diberlakukan di lebih 50 negara.12 Ini pula yang menjadi salah satu alasan JIS T8133 dan Snell M2005 direvisi untuk memudahkan produsen helm memenuhi beberapa standar yang berbeda sekaligus. Untuk memperoleh standar helm tertentu, sebuah helm harus melewati banyak tes yang disyaratkan. Kondisi tes dan syarat lulus berbeda-beda antara standar yang satu dengan standar yang lain, tetapi pada dasarnya seluruh standar terutama mensyaratkan tes untuk menguji kemampuan mengurangi energi benturan, kekuatan tempurung, dan kemampuan tali penahan. Seperti yang tertulis di atas, banyak negara, termasuk negara berkembang telah menerapkan aturan standardisasi helm. Indonesia termasuk lambat menerapkan aturan SNI secara ketat padahal jumlah pemakai sepeda motor sehari-hari lebih banyak dibanding di negara-negara maju. 3. Perbandingan helm SNI dan helm standar luar negeri Detil mengenai syarat-syarat helm SNI (SNI 1811:2007)13 dapat diunduh melalui situs Badan Standardisasi Nasional (BSN). Disini syarat teknis yang berkaitan dengan perlindungan terhadap benturan, kekuatan tempurung dan kemampuan tali penahan saja yang akan dibahas. Perbandingan antara tes helm SNI dengan tes helm BSI (Inggris)14, ECE (Uni Eropa)9, JIS (Jepang)10, DOT (Amerika Serikat)8 dan Snell11 terangkum pada Tabel 1. Menurut rilis yang diterbitkan oleh BSN7, syarat-syarat helm SNI sendiri ditetapkan dengan mengacu pada standar BSI, ECE dan JIS. Oleh karena itu, jenis dan kondisi tes helm SNI sebagian besar mirip dengan tiga standar yang disebutkan di atas. Perbedaan besar terlihat pada tes terpenting yaitu uji benturan, dimana helm SNI mensyaratkan kecepatan benturan yang lebih rendah daripada standar-standar lain (Tabel 1 dan Gambar 3). Kecepatan benturan ini sangat besar pengaruhnya terhadap energi yang harus diserap oleh helm. Kecepatan benturan pada standar helm SNI baik terhadap paron datar maupun paron setengah bola sepertinya mengadopsi standar BSI 6658 tipe B14 yang merupakan syarat minimal untuk dapat dipakai di jalan raya. Helm berstandar BSI 6658 tipe B ini umumnya tidak bisa digunakan pada kompetisi balap resmi. Dengan mengadopsi standar ini, standar helm SNI bisa dikatakan telah memenuhi standar minimal helm di Inggris. Akan tetapi, melihat standar-standar helm yang berlaku saat ini (Tabel 1) dapat dikatakan bahwa standar helm SNI relatif lebih mudah untuk dipenuhi. Saat ini banyak terjadi perdebatan mengenai mana yang lebih baik antara standar Snell dan ECE. Helm berstandar Snell umumnya mempunyai struktur yang keras dan kokoh untuk mengatasi benturan berenergi tinggi dan tahan terhadap penetrasi. Sedangkan helm berstandar Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
38
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
ECE didesain untuk menyerap energi benturan dengan deformasi tempurung dan liner helm.12,15,17 Hal ini pula yang mendasari tes standar ECE melakukan uji benturan hanya satu kali untuk tiap paron dan tidak melakukan uji penetrasi. Menurut hasil penelitian mengenai kecelakaan sepeda motor,18,19 pada banyak kasus jarang ditemui energi benturan yang setinggi tes Snell, juga jarang ditemukan kasus dengan dua kali benturan beruntun ataupun penetrasi benda tajam. Hal ini pula yang mendasari pendapat bahwa standar ECE lebih unggul karena mencerminkan kondisi pada kecelakaan sesungguhnya. Meskipun demikian, masih sulit untuk menyebutkan standar mana yang terbaik, terutama karena kondisi kecelakaan yang tidak selalu sama dan asumsi bahwa kepala adalah benda pejal pada semua tes benturan yang ada saat ini. Karena perbedaan prinsip perlindungan kepala antara standar Snell dan ECE seperti yang dijelaskan diatas, sampai beberapa tahun yang lalu produsen helm kesulitan membuat sebuah helm yang mampu memperoleh dua standar itu sekaligus.17 Ini pulalah yang mendasari Snell untuk mengeluarkan standar M2010 yang merupakan revisi dari standar sebelumnya dengan tujuan untuk memudahkan produsen helm membuat sebuah helm yang dapat memenuhi beberapa standar sekaligus. Begitu pula JIS T8133 juga telah mengalami revisi pada tahun 2007 dengan tujuan yang sama.10 Merujuk pada situasi di luar negeri dimana setiap negara mengharuskan produsen helm yang ingin menjual helmnya untuk memperoleh standar nasional, sudah benar apabila Indonesia juga menerapkan aturan yang sama. Hal ini berlaku pula untuk produsen helm luar negeri yang ingin menjual helmnya di Indonesia. Meskipun seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, helm-helm impor yang telah mengantongi standar ECE, JIS atau Snell telah melewati tes yang lebih ketat dibanding standar helm SNI saat ini (Gambar 3).
ketinggian jatuhan BSI 6658 Tipe B (1985) 2.16 m
3m
DOT/FMVSS218 (1988) 1.84 m
JIS T8133 (2007) 2.50 m
BSI 6658 Tipe B (1985) 2.87 m
ECE 22.05 rev. 4 (2002) 2.87 m
Snell M2010 (2010) 3.10 m
SNI 1 81 1 (2 00 7) 2 .16 m
2m
1m
0m ? 4 00 G
? 3 00 G
? 3 00 G
? 30 0G
? 27 5G
? 2 75 G
batas penurunan percepatan
Gambar 3. Perbandingan ketinggian jatuhan pertama pada uji benturan paron datar antara standar SNI dengan standar helm luar negeri (hambatan udara diabaikan)
4. Pertimbangan di masa depan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
39
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Kecenderungan standar-standar luar negeri untuk menaikkan kecepatan benturan dan menurunkan batas akselerasi maksimum melalui revisi berkala8-11 sudah sebaiknya diterapkan pula pada standar helm SNI, sehingga di masa depan standar helm SNI sejajar dengan standar-standar lain guna memberikan perlindungan maksimal pada pemakai sepeda motor. Revisi juga perlu didasari pada penelitian yang mendetil tentang kecelakaan sepeda motor di Indonesia terutama untuk mengevaluasi manfaat helm SNI. Akan lebih baik pula apabila standar helm nasional dibuat berdasarkan kondisi kecelakaan dan lalu lintas di negara masing-masing. Indonesia adalah negara yang padat kendaraan. Hal ini memunculkan banyak kasus pengendara sepeda motor yang tewas karena terlindas kendaraan lain setelah terjatuh dari sepeda motornya,20,21 padahal dia telah menggunakan helmnya dengan benar. Pada kasus seperti ini, tampaknya helm yang kuat terhadap beban statik yang sangat besar, helm yang mudah tergelincir ataupun inovasi-inovasi teknologi helm yang baru sangat diperlukan untuk mencegah cedera kepala. Harga helm tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas perlindungannya.12 Ini berarti helm berharga murah belum tentu kurang aman. Oleh karena itu, industri helm lokal pun sudah sewajarnya untuk mampu membuat helm yang memberikan perlindungan maksimal bagi pemakainya. Kuncinya adalah riset yang berkesinambungan untuk memunculkan inovasi teknologi baru dan keinginan untuk memberikan yang terbaik bagi konsumen. Hadirnya helm SNI juga sebaiknya tidak melupakan usaha-usaha mencegah kecelakaan. Kondisi benturan kepala pada kecelakaan yang dapat bermacam-macam dan sulit diprediksi menyebabkan perlindungan kepala secara sempurna adalah hal yang mustahil. Oleh karena itu, pencegahan kecelakaan adalah jalan terbaik untuk mengurangi korban cedera dan meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Penegakan aturan-aturan seperti sepeda motor harus berjalan di lajur paling kiri, jumlah pengendara dan penumpang sepeda motor tidak boleh lebih dari dua orang, batas kecepatan, dan lain-lain perlu digalakkan bersamaan dengan pendidikan dan pelatihan berlalu-lintas yang benar dan aman. Berkurangnya jumlah kecelakaan sangat efektif dalam mengurangi jumlah korban kecelakaan seperti yang telah dibuktikan di negara-negara maju seperti Jepang. 5. Penutup Sejak aturan helm SNI diterapkan, muncul pendapat yang meragukan tujuan helm SNI adalah bukan untuk keselamatan pemakai melainkan lebih kepada kepentingan bisnis semata. Pemerintah tampaknya perlu membentuk badan yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, produsen dan kalangan akademik atau lembaga penelitian guna melakukan tes secara independen, adil dan profesional terhadap helm-helm yang dijual di pasaran dan memberikan rating sesuai dengan hasil tes untuk kemudian melaporkan hasilnya kepada masyarakat. Dengan demikian, masyarakat dapat mengetahui kualitas helm-helm yang ada di pasaran termasuk helm-helm impor, sekaligus mendorong produsen untuk menghasilkan helm terbaiknya. Selain itu, penjelasan tentang situasi kecelakaan sepeda motor di Indonesia, resiko cedera saat kecelakaan serta fungsi dan mekanisme kerja helm masih sangat kurang. Padahal tersedianya informasi-informasi seperti ini akan sangat membantu menumbuhkan kesadaran masyarakat akan keselamatan berlalu-lintas. Informasi-informasi seperti ini dapat disampaikan melalui media massa, kuliah wajib pada saat memperpanjang SIM dan pendidikan di sekolah maupun universitas sehingga sampai kepada masyarakat secara merata. Akhir kata, semoga aturan helm SNI ini dilaksanakan tidak hanya beberapa bulan saja lalu hilang ditelan bumi, melainkan secara kontinyu dan konsisten demi mencapai lalu-lintas Indonesia yang bebas kematian dan cedera serius (Vision Zero)22 di masa depan. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
40
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010 Tabel 1. Perbandingan Tes Standar Helm SNI dan Tes Standar Helm Luar Negeri8-11,13-16
Negara
SNI 1811 (2007)
BSI 6658 Tipe A/B (1985)
ECE 22.05 rev. 4 (2002)
JIS T8133 (2007)
DOT /FMVSS 218 (1988)
Snell M2010 (2010)
Indonesia
Inggris
Uni Eropa
Jepang
Amerika Serikat
1 kali benturan: 7.5m/s. 275G HIC 2400
2 kali benturan: 7.0m/s dan 5.0m/s. 300G 6ms@150G
2 kali benturan: 6.0m/s. 400G 2ms@200G 4ms@150G
2 kali benturan: 7.8m/s dan 6.6m/s. 275G
-
2 kali benturan: 7.0m/s dan 5.0m/s. 300G 6ms@150G
2 kali benturan: 5.2m/s. 400G 2ms@200G 4ms@150G
2 kali benturan: 7.8m/s dan 6.6m/s. 275G
Uji benturan
Paron datar
2 kali benturan: 6.5m/s dan 4.6m/s. 300G
Paron setengah bola
2 kali benturan: 6.0m/s dan 4.3m/s. 300G
Paron kerb stone
-
2 kali benturan: Tipe A: 7.5m/s dan 5.3m/s. Tipe B: 6.5m/s dan 4.6m/s. 300G 2 kali benturan: Tipe A: 7.0m/s dan 5.0m/s. Tipe B: 6.0m/s dan 4.3m/s. 300G
-
1 kali benturan: 7.5m/s. 275G HIC 2400
-
-
-
Paron sudut
-
-
-
-
-
1 kali benturan: 7.8 m/s. 275G
Paron miring
10m/s. 2.5kN dan 15.5Ns
8.5m/s. 2.5kN dan 12.5Ns
8.5m/s. 2.5kN dan 12.5Ns
-
-
-
5kg, 2.5m. 300G
-
5.5m/s. 275G
-
-
5kg, 3.5m/s. 60mm
Ujung pemukul 60derajat, 3kg, jatuh 1.6m.
Ujung pemukul 60derajat, 3kg, jatuh 3m.
-
Ujung pemukul 60derajat, 3kg, jatuh 2m.
Ujung pemukul 60derajat, 3kg, jatuh 3m.
Ujung pemukul 60derajat, 3kg, jatuh 3m.
-
Beban 30N ke 630N. Deformasi 40 mm. Sisa deformasi 15mm
-
-
-
Pelindung dagu Uji tempurung Penetrasi
Kekuatan
Uji tali penahan Efektifitas
-
4kgx100cm.
4kgx100cm. 10kgx50cm. 10kgx50cm. Statik 15kg. Statik 15kg. Statik 15kg. Kejut Kejut Kejut Kekuatan 10kgx75cm. 10kgx75cm. 10kgx75cm. 35mm 35mm 35mm Beban 20N. Beban 20N. Beban 20N. Pergeseran tali 500 putaran 500 putaran 500 putaran Beban 20N. Beban 20N. Beban 20N. 5000 5000 5000 putaran. putaran. putaran. Keausan tali Regangan Regangan Regangan 100mm/mnt 100mm/mnt 100mm/mnt sampai 3kN sampai 3kN sampai 3kN *HIC (Head Injury Criterion): kriteria untuk memprediksi kemungkinan cedera kepala. *Cetak merah menunjukkan syarat lulus tes. Kejut 10kgx75cm. 32mm
Statik 22.7kg + 113.4kg. 25mm
4kgx60cm. Statik 23kg. Kejut 38kgx12cm. 30mm
-
-
-
-
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
41
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
6. Daftar Pustaka 1. 2.
3. 4. 5.
6.
7. 8.
9.
10. 11.
12. 13. 14. 15.
16. 17. 18.
19.
Statistik Perhubungan 2008, Departemen Perhubungan, 2009. URL: http://www.dephub.go.id/files/media/file/statistik-perhubungan-2008.pdf (diakses 21 Juni 2010). Suparnadi P. Kematian Akibat Kecelakaan Lalu Lintas (Abstrak), Badan Litbang Kesehatan, 1987. URL: http://digilib.litbang.depkes.go.id/go.php?id=jkpkbppk-gdl-res-1987-suparnadi-711-death&PHPSESSI D=xmgwjcghxhek (diakses 21 Juni 2010). Ankarath S, Giannoudis PV, Barlow I, Bellamy MC, Matthews SJ, Smith RM. Injury patterns associated with mortality following motorcycle crashes, Injury, Int. J. Care Injured, Vol. 33, p. 473-477, 2002. Sosin DM, Sacks JJ, Holmgreen P. Head injury-associated deaths from motorcycle crashes relationship to helmet-use laws, JAMA, Vol. 264, No. 18, p. 2395-2399, 1990. Solagberu BA, Ofoegbu CKP, Nasir AA, Ogundipe OK, Adekanye AO, Abdur-Rahman LO. Motorcycle injuries in a developing country and the vulnerability of riders, passengers, and pedestrians, Inj. Prev., Vol. 12, p. 266-268, 2006. Macleod JBA, DiGiacomo JC, Tinkhoff GH. An Evidence based review: helmet efficacy to reduce head injury & mortality in motorcycle crashes, Injury Control and Violence Prevention Committee Eastern Association for the Surgery of Trauma, 2010. URL: http://www.east.org/tpg/MotorcycleHelmet.pdf (diakses 21 Juni 2010). Informasi penerapan standar wajib helm ber-SNI, Badan Standardisasi Nasional (BSN), 1 Maret 2010. URL: http://www.bsn.go.id/news_detail.php?news_id=1581 (diakses 30 Mei 2010). Federal Motor Vehicle Safety Standard (FMVSS) No. 218: (49 CFR Sec. 571.218) Motorcycle Helmets, NHTSA, 1988. URL: http://edocket.access.gpo.gov/cfr_2007/octqtr/pdf/49cfr571.218.pdf (diakses 30 Mei 2010). ECE Regulation No. 22.05 rev. 4: Uniform provision concerning the approval of protective helmets and visors for drivers and passangers of motor cycles and mopeds, United Nations Economic Commission for Europe, 2002. URL: http://www.unece.org/trans/main/wp29/wp29regs/r022r4e.pdf (diakses 30 Mei 2010). JIS T8133: Protective helmets for motor vehicle users, Japanese Standards Association, p. 1-37, 2007. M2010 Standard for Protective Headgear for Use with Motorcycles and Other Motorized Vehicles, Snell Memorial Foundation, 2008, http://www.smf.org/standards/m/2010/m2010_final.htm (diakses 30 Mei 2010). Ford D. Blowing the lid off: Searching for the thruth behind helmet design, helmet standards and actual head protection, Motorcyclist, p.64-145, June 2005. SNI 1811:2007 Helm pengendara kendaraan bermotor roda dua, Badan Standardisasi Nasional, 2007. URL: http://www.bsn.go.id/files/321435/20100130/SNI%201811-2007.pdf (diakses 30 Mei 2010). BSI 6658:1985 Specification for protective helmets for vehicle users, British Standards Institution, p. 1-32, 1985. Thom DR. Comparison tests of motorcycle helmets qualified to international standards, Proceedings of the 2006 International Motorcycle Safety Conference, 2006. URL: http://www.msf-usa.org/imsc/proceedings/a-Thom-ComparisonTestsofMotorcycleHelmets.pdf (diakses 21 Juni 2010). Comparisons Snell M2000, DOT, BSI 6658-85 Type A and EN 22/05, Snell Memorial Foundation, 2002. URL: http://www.smf.org/standards/pdf/mstds_cmp.pdf (diakses 30 Mei 2010). Snell M2010 Motorcycle Helmet Standard, WebBikeWorld, 2009. URL: http://www.webbikeworld.com/motorcycle-helmets/snell-2010-standard.htm (diakses 30 Mei 2010). Hurt HH, Ouellet JV, Thom DR. Motorcycle accident cause factors and identification of countermeasures Volume I: Technical Report, Final Report to NHTSA, DOT-HS-5-01160, 1981. URL: http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/d/d5/MOTORCYCLE_ACCIDENT_CAUSE_FACTOR S_AND_IDENTIFICATION_OF_COUNTERMEASURES_VOLUME_I-_TECHNICAL_REPORT.pdf (diakses 21 Juni 2010). Chinn B, Canaple B, Derler S, Doyle D, Otte D, Schuller E, Willinger R. COST 327 Motorcycle safety helmets, Final Report of the Action, European Commission, 2001. URL: http://ec.europa.eu/transport/roadsafety_library/publications/cost327_final_report.pdf (diakses 21 Juni
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
42
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
2010). 20. Biker tewas terlindas bus AKAP di Ciledug, Detik News, 25 Mei 2009. URL: http://us.detiknews.com/read/2009/05/25/163747/1136849/10/biker-tewas-terlindas-bus-akap-di-ciledu g (diakses 30 Mei 2010). 21. Tukang kusen dilindas trailer, Post Metro Balikpapan, 14 Maret 2010. URL: http://www.metrobalikpapan.co.id/index.php?mib=berita.detail&id=32475 (diakses 21 Juni 2010). 22. Johansson R. Vision Zero â&#x20AC;&#x201C; Implementing a policy for traffic safety, Safety Science, Vol. 47, p. 826-831, 2009.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
43
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
NASIONAL
Zakat sebagai Kredit Pajak Hani Rahmat Budi Norkusuma Master Student Graduate School of International Development, Nagoya University, Japan Email: hani.norkusuma@yahoo.com
1.
Pendahuluan
Pengelolaan zakat di Indonesia diatur di dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (UU Pengelolaan Zakat). Beberapa pertimbangan dibentuknya Undang-undang Pengelolaan Zakat tersebut adalah: 1. penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indoneia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat. 2. zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu. 3. upaya penyempurnaan sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar pelaksanaan zakat lebih berhasil guna dan berdaya guna serta dapat dipertanggungjawabkan.
Ilustrasi 1: Zakat belum boleh diperhitungkan sebagai Biaya Penghasilan netto (setelah dikurangi biaya) Rp. 25.000.000,00 Zakat atas penghasilan (2,5%X25.000.000,00) Rp. 625.000,00 Penghasilan Kena Pajak Rp. 25.000.000,00 Pajak Penghasilan (5%X25.000.000,00) Rp. 1.250.000,00 Ilustrasi 2: Zakat diperhitungkan sebagai Biaya Penghasilan netto (setelah dikurangi biaya) Zakat atas penghasilan (2,5%X25.000.000,00) Penghasilan Kena Pajak Pajak Penghasilan (5%X24.375.000,00)
Rp. 25.000.000,00 Rp. 625.000,00 Rp. 24.375.000,00 Rp. 1.218.750,00
Salah satu insentif untuk menggiatkan sektor zakat, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 14 ayat 3 Undang-undang Pengelolaan Zakat adalah bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga ditegaskan di dalam Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) yang sejak perubahan ketiga yaitu sejak dirubah dengan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 telah menyebutkan bahwa zakat yang dibayarkan kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah boleh dikurangkan dari Penghasilan Kena Pajak.
2.
Zakat Sebagai Biaya yang Mengurangi Penghasilan Kena Pajak
Dengan berlakunya UU Pengelolaan Zakat dan berlakunya Undang-undang Perubahan Ketiga atas UU PPh, maka sejak tahun 2001, zakat yang telah dibayarkan bisa dicatat sebagai biaya usaha sehingga bisa mengurangi besarnya penghasilan yang akan dihitung pajaknya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat perbandingan antara ilustrasi 1 dan ilustrasi 2 berikut ini. Dari ilustrasi 1 dan 2 dapat dilihat bahwa Wajib Pajak (WP) diuntungkan karena bisa lebih menghemat jumlah pajak yang dia bayarkan, sedangkan pemerintah dirugikan karena ada Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
44
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
potensi penerimaan pajak yang hilang. Besarnya potensi pajak yang hilang berkisar antara 2,5% sampai dengan 5% karena adanya lapisan tarif progresif untuk tingkat penghasilan yang berbeda. Dilihat dari sisi Badan Amil Zakat (BAZ) milik pemerintah ataupun Lembaga Amil Zakat (LAZ) milik swasta, mereka tidak diuntungkan maupun dirugikan dengan diakuinya zakat sebagai biaya yang mengurangi Penghasilan Kena Pajak. BAZ dan LAZ akan diuntungkan ketika jumlah pembayar zakat meningkat karena adanya insentif tersebut. Ini adalah salah satu bentuk kebijakan fiskal dimana pemerintah merelakan berkurangnya sebagian kecil penerimaan negara untuk menggiatkan perekonomian di sektor zakat. Dalam prakteknya, untuk mengakui zakat sebagai biaya yang bisa dikurangkan dalam penghitungan pajak tidaklah mudah karena harus memenuhi syarat-syarat seperti yang diatur di dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-163/PJ/2003 tentang Perlakuan Zakat atas Penghasilan dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak. Syarat-syarat tersebut antara lain bahwa zakat yang dimaksud adalah zakat atas penghasilan yang dibayarkan kepada BAZ atau LAZ yang sesuai ketentuan UU Pengelolaan Zakat yang besarnya maksimal 2,5% dari penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang pengenaan PPh nya tidak bersifat final. Selain itu ada juga syarat-syarat teknis agar pengurangan zakat atas Penghasilan Kena Pajak dapat dilakukan, seperti hal-hal yang harus temuat dalam Surat Setoran Zakat sebagai bukti pembayaran zakat. BAZ dan LAZ yang sesuai ketentuan UU Pengelolaan Zakat diatur lebih lanjut dalam Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Beberapa syarat agar LAZ mendapat pengukuhan dari pemerintah misalnya bahwa LAZ tersebut telah berbadan hukum, telah memiliki data muzakki (pembayar zakat) dan mustahiq (penerima zakat), telah beroperasi minimal 2 tahun dan memiliki laporan keuangan yang telah diaudit oleh Kantor Akuntan Publik. Selain itu ada juga syarat batasan minimal wilayah operasi dan minimal dana zakat yang telah mampu dikumpulkan dalam satu tahun, serta rekomendasi dari Forum Zakat untuk tingkat nasional atau dari Kantor Wilayah Departemen Agama untuk tingkat propinsi. Dengan adanya syarat-syarat tersebut, perlu dipertayakan keefektifan insetif pajak yang membolehkan zakat sebagai biaya yang mengurangi Penghasilan Kena Pajak. Akan tetapi sampai dengan sekarang belum ada penelitian yang mendalam tentang hal tersebut. Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dalam usulannya atas konsep RUU Pengelolaan Zakat, menyatakan bahwa dalam praktiknya sampai sekarang, zakat sebagai pengurang Penghasilan Kena Pajak, belum memberikan dampak yang signifikan, dilihat dari beberapa indikator berikut: Masyarakat (muzzaki) tidak termotivasi untuk melaporkan zakat yang dibayarkan kepada KPP (Kantor Pelayanan Pajak), karena dampak zakat bagi pengurangan pajaknya relatif kecil. Penerimaan zakat tidak tumbuh proporsional dengan penerimaan pajak. Pemerintah belum mempunyai data yang komprehensif tentang potensi zakat dan pajak. Adanya inefisiensi dan inefektifitas dalam pemungutan zakat dan pajak. Karena insentif pajak berupa zakat sebagai biaya yang mengurangi Panghasilan Kena Pajak dinilai tidak efektif, maka ada usulan untuk menjadikan zakat sebagai Kredit Pajak. Ilustrasi 3: Zakat sebagai Kredit Pajak Penghasilan Kena Pajak Pajak Penghasilan (5%X25.000.000,00) Zakat atas penghasilan (2,5%X25.000.000,00) Pajak yang harus dibayar
Rp. 25.000.000,00 Rp. 1.250.000,00 Rp. 625.000,00 Rp. 625.000,00
BAZNAS adalah badan amil zakat tingkat nasional yang dibentuk oleh pemerintah dengan Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional, yang bertugas melaksanakan pengelolaan zakat dan melaporkan hasil pelaksanaannya kepada Presiden dan DPR, yang biaya pelaksanaannya dibebankan pada anggaran Departemen Agama. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
45
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Dalam artikel yang termuat di Forum Zakat, Komisi VIII DPR RI berencana merevisi UU Pengelolaan Zakat dan telah membentuk Panitia Kerja (Panja) yang telah meminta BAZNAS untuk memberi masukan terkait dengan usulan RUU Pengelolaan Zakat. Salah satu materi pokok perubahan yang diusulkan oleh BAZNAS adalah menjadikan zakat sebagi kredit pajak. Menurut BAZNAS, zakat sebagai kredit pajak tidak hanya menjadi usulan BAZNAS, tetapi juga diusulkan oleh Kementerian Agama, Badan Amil Zakat Daerah (BAZDA), Lembaga-lembaga Amil Zakat dan ormas-ormas islam. 3.
Zakat sebagai Kredit Pajak
Yang dimaksud dengan zakat sebagai Kredit Pajak adalah bahwa zakat yang telah dibayar dapat dijadikan pengurang terhadap jumlah Pajak Terutang (pajak yang seharusnya dibayar), sehingga jumlah pajak yang harus dibayar menjadi berkurang. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari ilustrasi 3 berikut ini. Dari ilustrasi 3 dapat dilihat bahwa WP sangat diuntungkan karena bisa lebih menghemat jumlah pajak yang dia bayarkan hingga 50%, tergantung jumlah penghasilannya (karena adanya lapisan tarif progresif untuk tingkat penghasilan yang berbeda). Sedangkan pemerintah akan kehilangan potensi penerimaan pajak, walaupun tidak akan sampai 50% karena adanya lapisan tarif progresif dan juga jika jumlah WP yang beragama Islam (yang berpotensi membayar zakat) diperhitungkan. BAZ dan LAZ hanya akan diuntungkan ketika jumlah pembayar zakat meningkat karena adanya insentif zakat sebagai Kredit Pajak. Akan tetapi jika tidak ada peningkatan jumlah pembayar zakat, maka kebijakan zakat sebagai Kredit Pajak ini hanya akan menguntungkan WP dan merugikan penerimaan negara. BAZNAS dalam usulannya memberikan argumen bahwa meskipun dalam jangka pendek mungkin ada kekhawatiran penurunan penerimaan pajak, namun dari sisi penerimaan negara tidak akan mengalami penurunan karena adanya kenaikan penerimaan zakat. Data penghasilan muzakki dapat digali untuk meningkatkan penghasilan kena pajak. BAZNAS juga menyebutkan bahwa berdasarkan pengalaman empiris di beberapa negara ternyata setiap kenaikan penerimaan zakat diiringi kenaikan penerimaan pajak. Jika sistem pembayaran zakat masih sama seperti sekarang, dimana zakat dibayarkan kepada BAZ milik pemerintah atau kepada LAZ milik swasta, maka usulan zakat sebagai Kredit Pajak akan mempunyai beberapa pengaruh sebagai berikut. 1. Jika zakat yang dibayarkan kepada BAZ milik pemerintah bisa dianggap sebagai penerimaan negara, tetapi karena penerimaan tersebut tidak masuk kedalam APBN maka keuangan negara akan terganggu karena berkurangnya penerimaan pajak. Walaupun dengan argumen bahwa penyaluran zakat dimaksudkan juga untuk kesejahteraan rakyat, sehingga membantu program pemerintah, tetapi dalam pelaksanaanya tidak terintegrasi dengan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah dan tidak ada pengawasan dan koordinasi dengan pemerintah. 2. Karena zakat sebagai kredit pajak, maka zakat yang dibayarkan kepada LAZ milik swasta bagaikan pelimpahan sebagian penerimaan negara kepada pihak swasta. Walaupun LAZ milik swasta dianggap dapat dipercaya, akan tetapi jika WP pembayar zakat ada hubungan kepemilikan atau hubungan khusus lain dengan LAZ (misalkan perusahaan A sebagai WP dan pembayar zakat mempunyai anak perusahaan LAZ B), maka WP tersebut bagaikan membayar pajak kepada anak perusahaan sendiri. 3. Karena zakat dibayarkan kepada BAZ atau LAZ, sehingga ketika dikreditkan terhadap pajak, pihak KPP perlu mengkonfirmasi dan meneliti kebenaran pembayaran zakat tersebut yang akhirnya akan menambah beban administrasi baik di pihak KPP maupun dipihak BAZ atau LAZ. Asumsi bahwa potensi pajak dapat digali dari penghasilan yang dilaporkan saat membayar zakat juga susah untuk dilaksanakan karena perlu koordinasi antara BAZ atau LAZ dengan KPP. 4. Pemeluk agama lain akan iri dan meminta agar sumbangan keagamaan mereka juga bisa diakui sebagai kredit pajak. 4.
Usulan Teknis Pelaksanaan Zakat sebagai Kredit Pajak
Kelemahan-kelemahan tersebut diatas dapat diatasi jika usulan zakat sebagai Kredit Pajak dapat dilaksanakan sebagai berikut: Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
46
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
1. Zakat yang dapat dikreditkan (dikurangkan) dalam pembayaran pajak adalah zakat atas penghasilan WP yang telah mempunyai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak), berupa uang yang dibayarkan ke Kas Negara (masuk ke rekening pemerintah sehingga masuk ke APBN) 2. Dibuat pos atau mata anggaran khusus di APBN untuk penerimaan negara dari zakat, sehingga dapat diketahui jumlah zakat yang terkumpul. 3. Sistem pembayaran zakat dibuat sama atau pun mirip dengan sistem pembayaran pajak, dimana pembayar zakat membayar secara langsung zakatnya ke rekening negara melalui bank atau kantor pos dengan menggunakan SSP (surat setoran pajak) atau dibuat formulir khusus pembayaran zakat yang sistemnya seperti SSP, misalnya dinamakan SSZ (Surat Setoran Zakat), dimana Kode Pembayarannya dibuat khusus Kode Pembayaran untuk zakat sehingga pembayaran tersebut masuk ke rekening Negara di pos/mata anggaran khusus zakat. 4. Ketika membayar zakat, WP juga harus mencantumkan NPWP dan tembusan (lembar ke-3) bukti pembayaran zakat (SSP atau SSZ) dilaporkan (diserahkan) ke Kantor Pelayanan Pajak. Hal ini terutama untuk memudahkan administrasi pajak dalam mengkreditkan zakat yang telah dibayarkan tersebut ke pajak yang terutang oleh Wajib Pajak (pembayar zakat yang bersangkutan) 5. Untuk penyaluran zakatnya, bisa dibuat pos atau mata anggaran khusus di APBN di bagian pengeluaran/belanja pemerintah yang bisa diintegrasikan dengan program pengentasan/penanggulangan kemiskinan yang besarnya anggaran sama atau lebih besar dari jumlah penerimaan negara dari zakat. Selain bisa mengatasi masalah-masalah yang telah disebutkan diatas, dengan tehnis pelaksanaan seperti ini maka penerimaan negara akan meningkat dari sebelumnya. Ini bisa dilihat dari ilustrasi 2 dimana penerimaan negara dari pajak sebesar Rp. 1.218.750,00 dibandingkan penerimaan negara pada ilustrasi 3 yang sebesar Rp.1.250.000,00 dikarenakan pajak yang masih harus dibayar dan zakat sama-sama masuk ke kas negara. Dengan tehnis pelaksanaan seperti ini, perlu juga dipertimbangkan beberapa hal berikut. 1. Karena zakat dibayarkan langsung ke rekening negara, maka BAZ dan LAZ akan kehilangan banyak potensi penerimaan zakat. Walaupun begitu, masih ada potensi zakat yang lain seperti zakat penghasilan dari pembayar zakat yang tidak ber NPWP atau dari WP yang tidak mau mengkreditkan zakatnya, serta zakat maal lainnya yang bukan merupakan zakat penghasilan atau tidak memenuhi syarat untuk dikreditkan ke PPh. Selain itu masih ada potensi penerimaan lain selain zakat seperti infaq dan shodaqoh. Khusus untuk BAZNAS dan BAZDA milik pemerintah yang dana operasionalnya berasal dari APBN melalui Kementrian Agama, bisa ditunjuk untuk melaksanakan penyaluran zakat dari APBN dengan berkoordinasi dengan program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan pemerintah baik pusat maupun daerah. 2. Karena adanya PPh ditanggung pemerintah, tunjangan PPh, serta adanya kemungkinan WP lebih suka menyetor ke kas negara dalam bentuk zakat dari pada bentuk pajak dan kemungkinan-kemungkinan lain yang menyebabkan zakat yang dibayarkan lebih besar dari pada PPh yang terutang, maka perlu diatur lebih detil tentang maksimal zakat yang boleh dikreditkan terhadap PPh adalah 2,5% dari penghasilan yang menjadi dasar pengenaan PPh, serta tidak adanya restitusi atau pengembalian zakat. 3. Anggaran belanja untuk menyalurkan penerimaan zakat perlu memperhatikan dana bagi hasil dengan daerah karena zakat sebagai kredit pajak akan mengurangi penerimaan PPh dimana PPh merupakan salah satu unsur dana bagi hasil dengan daerah. 4. Anggaran belanja untuk menyalurkan penerimaan zakat juga perlu memperhatikan aturan agama Islam dengan meminta pertimbangan Majelis Ulama Indonesia maupun pakar fiqh agama Islam lainnya, terutama yang berkaitan dengan penyaluran kepada mustahiq delapan ashnaf yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnussabil. 5. Data-data penyetor zakat dan besarnya zakat yang disetor nantinya bisa dilihat di Master File penerimaan nasional sebagaimana data-data setoran pajak per WP. Jika dalam penyaluran zakat yang pelaksanaanya bukan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
47
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
(DJP) memerlukan data-data detil penyetor zakat, maka perlu dipertimbangkan tehnis pemberian datanya oleh DJP ke instansi penyalur zakat agar kerahasiaan data perpajakan tetap terjaga. 5.
Kesimpulan
Zakat sebagai kredit pajak bisa menjadi insentif yang menarik bagi perekonomian Indonesia apalagi ketika perusahaan-perusahaan yang berbasis syariah semakin banyak. Akan tetapi dengan resiko terganggunya keuangan negara, pemerintah menjadi enggan untuk melaksanakannya. Dengan usulan tehnis pelaksanaan zakat sebagai kredit pajak seperti yang diutarakan diatas, tidak ada lagi alasan pemerintah untuk tidak mau melaksanakannya. Agar zakat sebagai kredit pajak ini bisa dilaksanakan sesuai yang diharapkan, perlu pembahasan mendalam terutama untuk merevisi UU Pengelolaan Zakat dan aturan pelaksanaannya, UU PPh dan aturan pelaksanaannya serta UU APBN. 6.
Daftar Pustaka
1.
Hafidhuddin, Didin (2010) Usulan BAZNAS Atas Konsep RUU Pengelolaan Zakat. artikel di situs Forum Zakat http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewartikel&id=66. Diakses tanggal 21 juni 2010.
2.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-163/PJ/2003 tentang Perlakuan Zakat atas Penghasilan dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak
3.
Keputusan Menteri Agama Nomor 373 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
4.
Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional
5.
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah dirubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008
6.
Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
48
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
KESEHATAN
Peranan p53 terhadap Tumorigenesis dan Progresivitas Glioblastoma Brian Wasita Division of Neurosurgery, Department of Brain and Neuroscience, Faculty of Medicine, Tottori University, Japan; Departemen Patologi Anatomi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Indonesia
Email: brianwasita@yahoo.com 1.
Pendahuluan
p53 merupakan istilah yang tidak asing lagi bagi para peneliti, terutama yang berkecimpung di bidang kedokteran. p53 merupakan protein yang sangat penting dalam pencegahan terjadinya kanker. p53 dikode oleh gen p53 yang ditemukan mengalami mutasi pada kira-kira setengah dari seluruh kanker yang terjadi pada manusia.15 Glioblastoma merupakan astrositoma dengan tingkat keganasan yang tertinggi. Astrositoma merupakan tumor yang berasal dari sel astrosit, sel ini berfungsi menyediakan nutrisi bagi sel saraf (neuron), melindungi neuron dari neurotransmiter-neurotransmiter yang bersifat excitotoxic, ikut menyokong blood brain barier dan menjaga homeostasis di lingkungan ektraseluler.8 Astrositoma merupakan tumor primer system saraf pusat yang paling sering terjadi baik pada anak maupun dewasa.8 Pada tulisan ini akan dibahas tentang p53 dan pengaruhnya terhadap proses inisiasi dan perkembangan tumor (tumorigenesis) dan progresivitas dari glioblastoma serta strategi terapi berdasarkan modulasi pada jalur p53 tersebut. 2.
Sekilas tentang p53
p53 adalah protein yang dikode oleh gen p53 (tumor protein 53, TP53) terletak pada kromosom 17p13.1. p53 merupakan faktor transkripsi yang melekat pada sekuen DNA yang spesifik dan menyebabkan trans-aktivasi sejumlah gen dengan fungsi yang bermacam-macam termasuk penghentian siklus sel, apoptosis, dan menyebabkan perubahan metabolisme.6,17,21 p53 juga dikenal sebagai cellular gatekeeper12 atau the guardian of the genome11 karena peran sentralnya dalam mengatur respon-respon di tingkat selular terhadap berbagai sinyal stres.11 Apabila terjadi kerusakan DNA, p53 akan mengatur proses-proses penting seperti penghentian siklus sel, perbaikan DNA, apoptosis, penuaan (senescense), sel metabolisme dan autofagi.10,11 Secara lebih lengkap, fungsi dari p53 diuraikan di bawah. 2.1. Penghentian siklus sel (cell cycle arrest) Apabila terjadi kerusakan DNA yang tidak parah, p53 akan merangsang penghentian siklus sel untuk sementara.15 p53 dapat menginduksi penghentian siklus sel pada fase G1, G2 dan S.2 p21waf1/Cip1, sebuah inhibitor kinase yang tergantung cyclin (a cyclin-dependent kinase (CDK) inhibitor) merupakan mediator primer bagi penghentian siklus sel fase G1 yang tergantung pada p53 (p53-dependent G1 cell cycle arrest) setelah terjadi kerusakan DNA.15 Over-ekspresi p21waf1/Cip1 akan menginduksi penghentian siklus sel pada fase G1 dengan cara memblokir fosforilasi gen Rb yang dimediasi oleh cyclin E/CDK2 dan pelepasan E2F. E2F ini mempunyai fungsi menginduksi ekspresi gen-gen yang diperlukan untuk memasuki fase S siklus sel.2 Sedangkan pada siklus sel fase G2, peningkatan ekspresi Gadd45 dan 14-3-3δ yang berperanan.2 2.2. Perbaikan DNA Perbaikan terhadap kerusakan DNA terjadi sebelum sel memasuki tahap penting dari sintesis DNA dan mitosis sel.27 Pada saat terjadi kerusakan DNA, p53 akan meningkat dan menghentikan replikasi sel dengan merangsang penghentian siklus sel pada fase G1 dan G2.11 Penghentian siklus sel ini akan memberikan tambahan waktu bagi sel untuk memperbaiki
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
49
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
kerusakan genetiknya. Sel yang dihentikan pertumbuhannya dapat dilepaskan kembali ke tahap proliferasi melalui fungsi-fungsi biokimia yang memfasilitasi perbaikan DNA.27 2.3. Apoptosis Apoptosis atau disebut juga kematian sel yang terprogram adalah jalur multi tahap yang diatur secara ketat yang bertanggung jawab pada proses kematian sel. Selain berperan pada tahap perkembangan embrional, apoptosis merupakan mekanisme penghambat tumor yang potensial pada saat bayi dan dewasa.3 Peran pokok apoptosis antara lain adalah mengatur jumlah sel dalam tahap perkembangan dengan mengurangi kelebihan jumlah sel pada saat pertumbuhan embrionik dan proses regenerasi homeostasis sel pada saat dewasa.14 Apabila terjadi stres yang menyebabkan kerusakan yang parah dan tidak bisa diperbaiki, p53 dapat memulai proses apoptosis untuk menghilangkan sel yang rusak. p53 meningkatkan transkripsi efektor-efektor dari apoptosis misalnya protein-protein dari group BH3-only yaitu (PUMA, NOXA, dan NAX) dan menurunkan transkripsi gen-gen penghambat dari apoptosis seperti BCL-2 dan SURVIVIN.22 2.4. Senescence Penuaan sel (cellular senescence) merupakan mekanisme penjagaan (safeguard-mechanism) yang mencegah ekspansi sel yang tua atau sel yang mengalami mutasi.20 Penuaan sel adalah penghentian siklus sel secara permanen terhadap sinyal-sinyal stres misalnya: disfungsi telomerase, aktivasi onkogen dan kerusakan DNA.20 Aktivasi p53 akan menyebabkan peningkatan pengaturan (upregulasi) transkripsi gen-gen yang penting bagi penuaan sel misalnya p21 dan PML.1 Pada kebanyakan sel, aktivasi p53 sangat krusial untuk mengawali proses penuaan setelah terjadinya kerusakan DNA, pada sebagian yang lain p53 juga diperlukan untuk menjaga kelangsungan penghentian pertumbuhan, sedangkan pada yang lain p53 hanya diperlukan untuk menjamin terjadinya proses penuaan, setelah itu proses penghentian pertumbuhan akibat penuaan menjadi permanen dan tidak tergantung lagi pada p53.22
2.5. Autofagi Autofagi (self-eating) merupakan respon yang penting pada sel-sel organism eukariotik dalam menghadapi stres.25 Autofagi sangat penting untuk kelangsungan hidup sel-sel mamalia dan pengurangan kapasitas autofagi dapat dianggap sebagai kejadian yang bersifat onkogenik.25 Autofagi bisa dianggap sebagai proses homeostasis untuk membersihkan sel-sel dari parasit intraseluler, organela-organela sel yang rusak dan kemungkinan beracun, dan gumpalan protein-protein yang rusak.25 Pada saat autofagi, bagian dari organela-organela di dalam sitosol dan sitoplasma diisolasi dalam autofagosom dan dibawa ke lisosom untuk didegradasi.25 p53 dapat menginduksi autofagi melalui aktivasi transkripsi protein yang menginduksi autofagi yaitu DRAM4 dan melalui inaktivasi jalur mTOR.5 Disamping itu itu, level fisiologis dari p53 dapat menekan autofagi melalui efek sitoplasmik, sehingga setiap perubahan dari sistem p53 baik aktivasi maupun inhibisi dapat menginduksi terjadinya autofagi.25 3.
Sekilas tentang Glioblastoma
Glioblastoma adalah glioma grade IV berdasarkan klasifikasi WHO tentang tumor sistem saraf pusat tahun 2007 yang berarti merupakan glioma dengan tingkat keganasan yang paling tinggi.8,13,16-18 Glioblastoma merupakan glioma dengan tingkat kejadian paling tinggi (50%-70% dari tumor yang berasal dari astrosit)8,9,16-18 dan merupakan 12-15% dari seluruh tumor intracranial.8 Tumor ini pada umumnya terjadi pada umur pertengahan sampai pertengahan akhir dengan puncak insiden terjadi pada umur 40 sampai 70 tahun.8 Mayoritas pasien meninggal dalam 1 tahun,13 dengan angka rata-rata harapan hidup secara keseluruhan hanya Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
50
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
40% dalam 1 tahun dan 46% apabila pasien juga menerima tambahan terapi selain pembedahan.9,22 Secara makroskopis, glioblastoma pada umumnya terletak di hemisphere cerebri dengan tempat predileksi di lobus frontalis dan temporalis. Glioblastoma, meskipun tampak bulat namun mempunyai batas yang tidak jelas. Tumor ini tumbuh dengan cepat dengan gambaran edema dan efek massa yang dominan.8,19 Permukaan potongan tumor menunjukkan multi-warna di mana terdapat bagian yang berwarna merah muda keabu-abuan yang merupakan daerah tumor yang viable, bagian yang berwarna kuning menunjukkan daerah nekrosis, daerah degenerasi kistik, serta bagian yang berwarana kemerahan yang menunjukkan daerah perdarahan.8 Secara mikroskopik (Gambar 1), glioblastoma menunjukkan gambaran sel dengan kerapatan yang tinggi dengan derajat anaplasia dan pleomorfism yang tinggi. Terdapat sel-sel yang kecil, bulat atau oval, sel-sel yang lain berbentuk memanjang, tipis atau seperti spindle, adapula yang berukuran besar dengan satu atau beberapa nukleus yang hiperkromatik. Tidak jarang pula terdapat sel-sel raksasa (Giant Cell). Sel-sel glioblastoma menunjukkan aktivitas mitosis yang tinggi yang sering menunjukkan gambaran mitosis yang menyimpang.8 Glioblastoma kaya akan suplai darah sehingga menunjukkan proliferasi lapisan endotel (multi-layering of endothelium).8,13,19 Terdapat pula gambaran yang khas yaitu gambaran glomeruloid (glomeruloid appearance) yang merupakan proliferasi dari kapiler-kapiler pembuluh darah.8,13,19 Ciri khas yang lainnya adalah terdapatnya gambaran pseudopalisading perinekrosis yaitu daerah nekrosis yang dikelilingi oleh sel-sel tumor yang berjajar membentuk gambaran seperti pagar. Gambaran ini umum ditemukan dan terjadi secara ekstensif.8,13,19 Glioblastoma dapat menyebar melalui CSF (cerebro spinal fluid) dengan membentuk nodul-nodul kecil maupun menginfiltrasi secara menyeluruh. Glioblastoma terkadang bermetastasis keluar dari sistem saraf seperti ke kelenjar getah bening, paru-paru, liver, dan sumsum tulang.8 Glioblastoma dapat dianggap mempunyai 2 subtipe yaitu glioblastoma primer dan sekunder, karena glioblastoma primer dan sekunder terjadi pada pasien dengan prevalensi umur yang berbeda, mempunyai gambaran klinis yang berbeda, berkembang melalui jalur genetik yang berbeda serta kemungkinan mempunyai respon yang berbeda terhadap radioterapi dan kemoterapi.8,16-18
Selanjutnya diuraikan secara ringkas tentang subtipe glioblastoma. 3.1. Glioblastoma primer
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
51
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Kebanyakan kasus glioblastoma adalah glioblastoma primer yang mencapai >90%. Glioblastoma primer berkembang dengan cepat secara de novo tanpa adanya bukti baik secara klinis, radiologis, maupun histologis bahwa tumor ini berasal dari tumor precursor dengan derajat keganasan yang lebih rendah.16-18 Mayoritas pasien (68%) mempunyai riwayat klinis hanya kurang dari 3 bulan dan menunjukkan gambaran khas pada pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) berupa tumor berukuran besar dengan nekrosis sentral, ring enhancement dan edema perifokal.(16) Rata-rata waktu dari gejala pertama sampai diagnosis secara histologis selama 6,3 bulan. Tumor ini terutama terjadi pada usia lanjut dengan umur rata-rata 62 tahun.16-18
3.2. Glioblastoma sekunder Berkembang melalui tahap-tahap perkembangan dari diffuse astrositoma derajat rendah (grade II) atau anaplastik astrositoma (grade III).16-18 Tumor ini terjadi pada pasien dengan usia yang lebih muda dengan umur rata-rata 45 tahun.16-18 Rata-rata waktu perkembangan dari anaplastik astrositoma ke glioblastoma adalah 2 tahun, sedangkan dari glioma derajat rendah ke glioblastoma adalah 5 tahun.17 Glioblastoma primer dan sekunder mempunyai jalur perkembangan genetik yang berbeda (Gambar 2).
Glioblastoma primer jarang mengalami mutasi pada gen p53 (28%), namun sering kali menunjukkan gangguan genetik lainnya, misalnya over-ekspresi dan amplifikasi gen epidermal growth factor receptor (EGFR) (36%),15,17,18 loss of heterozygocity (LOH) pada kromosom 10q (70%), delesi pada p16INK4a dan mutasi pada gen PTEN (24â&#x20AC;&#x201C;34%).8,16-18 Sebaliknya glioblastoma sekunder seringkali menunjukkan mutasi pada gen p53 (65%) dan jarang menunjukkan over-ekspresi gen EGFR (8%).17,18 Kehilangan fungsi p53 akibat mutasi terjadi pada tahap awal proses tumorigenesis astrositoma yaitu sebesar 59% pada astrositoma grade II dan sebesar 53% pada anaplastik astrositoma (astrositoma grade III).16,17 Perubahan genetik yang lainnya adalah LOH 10q (63%), delesi pada p16INK4a (19%), mutasi pada gen PTEN (4%), in-aktivasi system kontrol siklus sel, dan ekspresi gen vascular endothelial growth factor receptor (VEGFR).8,15-18 4.
Peranan p53 pada Glioblastoma
Meskipun perkembangan glioblastoma baik primer maupun sekunder melibatkan perubahan berbagai gen dan jalur-jalur genetik, jalur p53 mempunyai peranan kunci terhadap Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
52
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
perkembangan glioblastoma, terutama gliblastoma sekunder.16-18 Mutasi pada gen p53 terdeteksi pada dua pertiga tumor prekursor dari glioblastoma sekunder yaitu diffuse astrositoma derajat rendah dan anaplastik astrositoma.16-18 Mutasi gen p53 juga terjadi pada glioblastoma primer dengan frekuensi yang lebih rendah (30%).16-18Terdapat perbedaan mutasi p53 antara glioblastoma primer dan sekunder. Perbedaan mutasi yang terjadi adalah pada glioblastoma primer, mutasi terdistribusi secara lebih merata pada semua ekson, 17%-nya terjadi pada kodon hotspot yaitu 248 dan 273, sedangkan pada glioblastoma sekunder 57% mutasi terjadi pada kodon hotspot.16-18 Perbedaan lainnya adalah transisi dari G:C ke A:T yang terjadi pada CpG lebih sering terjadi pada glioblastoma sekunder daripada primer. Hal ini menunjukkan kejadian pada tahap awal yang berkaitan secara langsung dengan perubahan keganasan pada jalur genetik glioblastoma sekunder.16-18 p53 adalah suppressor (penekan) tumor utama bagi glioblastoma baik primer maupun sekunder26 sehingga adanya mutasi pada gen p53 tersebut menyebabkan hilangnya fungsi p53. Hilangnya fungsi dari p53 akan berakibat sebagai berikut:
4.1. Hilangnya check point fase G1 siklus sel dan perbaikan DNA yang akan menyebabkan pertumbuhan sel yang tidak terkendali dan ketidakstabilan genetik.15 p53 seperti yang telah diuraikan sebelumnya, mempunyai kemampuan menghentikan siklus sel terhadap sel-sel yang mengalami kerusakan DNA pada fase G1 dari siklus sel dan memulai perbaikan DNA. Kehilangan fungsi ini akibat mutasi dan kehilangan allelic berakibat tidak terkendalinya pertumbuhan sel, ketidakstabilan genetik dan perubahan sel kearah keganasan.15 4.2. Hilangnya kemampuan untuk apoptosis sehingga mengakibatkan imortalisasi sel.15 p53 mempunyai kemampuan untuk merangsang apoptosis, ketika teraktivasi p53 akan menyebabkan transaktivasi gen yang mengkode Bax (faktor pro-apoptosis) yang merangsang apoptosis serta menghambat transkripsi gen Bcl-2 dimana produk dari gen ini menghambat apoptosis.15 Kehilangan fungsi apoptosis yang tergantung p53 ini (p53-dependent apoptosis) akan menyebabkan imortalisasi sel.15 4.3. Hilangnya kemampuan fungsi pengaturan gen.15 p53 mempunyai fungsi sebagai pengatur ekspresi gen-gen lainnya sebagai aktivator sekaligus penekan bagi transkripsi gen-gen yang lain, sebagai contoh p53 menyebabkan transaktivasi gen murine double-minute 2 (MDM2), epidermal growth factor receptor (EGFR), transforming growth factor-Îą (TGF-Îą), dan A28-RGS14 (G-protein regulator).15 Sebaliknya, p53 menekan traskripsi gen-gen yang mempunyai kotak TATA dan CAAT pada sekuen promotornya.15 Gen-gen yang ditekan misalnya cyclin A, vascular endothelial growth factor (VEGF), dan interleukin 6.15 Kehilangan fungsi pengaturan ini dapat menyebabkan hilangnya fungsi penekanan dari gen-gen tersebut yang berakibat peningkatan ekspresi dari faktor-faktor pertumbuhan yang bekerja secara autokrin, sitokin-sitokin pro-angigenesis yang bekerja secara parakrin, gen-gen pengkode resistensi terhadap obat dan onkogen-onkogen yang meningkatkan pertumbuhan.15 5.
Strategi terapi berdasarkan modulasi jalur p53
Terapi yang menarget jalur p53 didasarkan pada pemikiran bahwa p53 mempunyai peran ganda pada kanker. p53 adalah faktor utama bagi pencegahan kanker yang dapat membunuh sel-sel kanker atau mensensitisasi tumor terhadap radioterapi dan kemoterapi. Disamping itu, p53 merupakan penentu efek samping yang akan terjadi pada terapi kanker dengan menginduksi apoptosis pada jaringan normal selama terapi kanker.7 Berdasarkan dualisme peran p53 tersebut, strategi terapi yang dilakukan adalah: Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
53
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
5.1. Aktivasi p53 untuk mengurangi viabilitas sel-sel tumor7 Obat-obat kanker yang menjanjikan sedang dikembangkan untuk mengembalikan fungsi p53 pada tumor sel misalnya dengan merusak interaksi antara p53 dengan MDM2 atau E6 (inhibitor alami p53) maupun mengembalikan p53 yang mengalami mutasi ke tipe asalnya (wild-type).7 Pengembalian fungsi p53 yang mengalami mutasi dapat menghambat pertumbuhan tumor dan menginduksi apoptosis pada glioma.23 Strategi pengembalian fungsi p53 tersebut didukung oleh hasil-hasil penelitian baik secara in vitro, in vivo, maupun uji klinik. Penelitian in vitro menunjukkan bahwa terapi gen melalui penghantaran p53 dengan mediator adenovirus (adenovirus-mediated delivery of p53) menghasilkan penghambatan proliferasi galur-galur sel glioma (glioma cell lines), terapi ini juga telah terbukti menginduksi apoptosis pada sel galur glioma manusia (human glioma cell line) U251 dan U87.23 Penelitian in vivo menunjukkan hasil yang serupa yang menunjukkan penghambatan pertumbuhan tumor dari hasil transplantasi sel galur glioma manusia secara subkutan pada tikus (subcutaneous glioma xenografts) serta meningkatkan survival pada tikus dengan tingkat imunitas rendah (nude mice) yang telah dilakukan injeksi sel glioma galur manusia (human glioma cell line) intrakranial (cerebral xenografts).23 Uji klinik fase I terapi gen dengan menggunakan p53 dengan mediator adenovirus (adenovirus-mediated p53 (ad-p53, INGN 201)) telah dilakukan untuk terapi glioma yang mengalami kekambuhan.23 Ad-p53 disuntikkan secara stereotactic ke dalam tumor melalui kateter yang ditanam di dalam tumor diikuti dengan pengangkatan tumor dan kateter secara en bloc serta injeksi ad-p53 pada jaringan bekas pengangkatan tumor. Meskipun ad-p53 mampu menginduksi apoptosis, namun hasil yang diperoleh masih terbatas pada lokasi penyuntikan ad-p53. Hasil yang menjanjikan dari penelitian ini adalah toksisitas kliniknya minimal serta tidak ditemukan penyebaran virus secara sistemik.23 5.2. Strategi lain yang sedang dikembangkan adalah inhibisi p53 untuk melindungi jaringan normal dari pengaruh kemoterapi dan radioterapi.7
6.
Penutup
p53 memiki peran penting dan sentral pada tumorigenesis dan progresivitas glioblastoma. Kehilangan fungsi p53 akibat mutasi menyebabkan pertumbuhan sel-sel astrosit yang tidak terkendali, ketidakstabilan genetik, imortalisasi sel, kehilangan fungsi pengaturan gen dan perubahan sel kearah keganasan. Strategi terapi untuk memodulasi fungsi p53 ini sedang dikembangkan, baik dengan mengaktivasi p53 untuk mengurangi viabilitas sel-sel kanker maupun dengan menghambat fungsi p53 untuk melindungi jaringan normal dari efek samping terapi. 7.
Daftar Pustaka
1.
Artandi SE, Attardi LD. Pathways Connecting Telomeres and p53 in Senescence, Apoptosis, and Cancer. Biochem Biophys Res Commun. 2005; 331(3):881-890. Bai L and Zhu WG. p53: structure, function, and therapeutic applications. J Cancer Mol. 2006; 2(4):141-153. Cotter TG. Apoptosis and cancer: the genesis of a research field. Nat Rev Cancer. 2009; 9(7):501-507. Crighton D, Wilkinson S, O'Prey J. DRAM, a p53-induced modulator of autofagi, is critical for apoptosis. Cell. 2006; 126(1):121-134. Feng Z, Zhang H, Levine AJ, Jin S. The coordinate regulation of the p53 and mTOR pathways in cells. Proc Natl Acad Sci U S A. 2005; 102(23):8204-8209.
2. 3. 4. 5.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
54
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
6. 7.
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
15.
16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27.
Green DR, Kroemer G. Cytoplasmic functions of the tumour suppressor p53. Nature. 2009; 458(7242):1127-1130. Gudkov AV. Therapeutic Strategies Based on Pharmacological Modulation of p53 Pathway. In: Zambetti GP, editor. The p53 Tumor Suppressor Pathway and Cancer. New York. Springer. 2005; p.225-227. Haberland C. Clinical Neuropathology Text and Color Atlas. New York: Demo Medical Publishing; 2007; p. 216-225. Kanu OO, Hughes B, Di C, Lin N, Fu J, Bigner DD, Yan H, Adamson C. Glioblastoma Oncogenomics and Signaling Pathways. Clin Med Oncol. 2009; 83:39-52. Kruse JP and Gu W. Modes of p53 regulation. Cell. 2009; 137(4):609-622. Lane DP. p53, guardian of the genome. Nature. 1992; 358(6381):15-16. Levine AJ. p53, the cellular gatekeeper for growth and division. Cell. 1997; 88(3):323-331. Louis DN, Ohgaki H, Wiestler OD, Cavenee WK, Burger PC, Jouvet A, et al. The 2007 WHO classification of tumours of the central nervous system. Acta Neuropathol. 2007; 114(2):97-109. Murphy BM and Martin SJ. Caspases Structure, Activation Pathways, and Substrates. In: Yin XM and Dong Z, editors. Essentials of apoptosis: a guide for basic and clinical research. New Jersey. Humana Press. 2003; p. 3. Nozaki M, Tada M, Kobayashi H, Zhang CL, Sawamura Y, Abe H, Ishii N, Van Meir EG. Roles of the functional loss of p53 and other genes in astrocytoma tumorigenesis and progression. Neuro Oncol. 1999; 1(2):124-37. Ohgaki H, Kleihues P. Genetic alterations and signaling pathways in the evolution of gliomas. Cancer Sci. 2009; 100(12):2235-2241. Ohgaki H, Kleihues P. Genetic pathways to primary and secondary glioblastoma. Am J Pathol. 2007; 170(5):1445-1453. Ohgaki H. Genetic pathways to glioblastomas. Neuropathology. 2005; 25(1):1-7. Okazaki H, Scheithauer BW. Atlas of Neuropathology. New York: Gower Medical Publishing. 1988; p.59-70. Qian Y, Chen X. Tumor suppression by p53: making cells senescent. Histol Histopathol. 2010; 25(4):515-526. Riley T, Sontag E, Chen P, Levine A . Transcriptional control of human p53-regulated genes. Nat Rev Mol Cell Biol. 2008; 9(5):402-412. Rodier F, Campisi J, Bhaumik D. Two faces of p53: aging and tumor suppression. Nucleic Acids Res. 2007; 35(22):7475-7484. Selznick LA, Shamji MF, Fecci P, Gromeier M, Friedman AH, Sampson J. Molecular strategies for the treatment of malignant glioma--genes, viruses, and vaccines. Neurosurg Rev. 2008; 31(2):141-155. Stewart LA. Chemotherapy in adult high-grade glioma: a systematic review and meta-analysis of individual patient data from 12 randomised trials. Lancet. 2002; 359(9311):1011â&#x20AC;&#x201C;1018. Tasdemir E, Maiuri MC, Galluzzi L. Regulation of autofagi by cytoplasmic p53. Nat Cell Biol. 2008; 10(6):676-687. Zheng H, Ying H, Yan H, Kimmelman AC, Hiller DJ, Chen AJ, et al. p53 and Pten control neural and glioma stem/progenitor cell renewal and differentiation. Nature. 2008; 455(7216):1129-1133. Zhou J, Ahn J, Wilson SH, Prives C. A role for p53 in base excision repair. EMBO J. 2001; 20:914-923.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
55
HUMANIORA
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Sougoutekina Gakushuu no Jikan dalam Pengajaran Pendidikan Sosial di Negara Jepang Parastuti Aichi University of Education, Japan Universitas Negeri Surabaya, Indonesia Email: parastuti@hotmail.co.jp 1. Pendahuluan Sougoutekina Gakushuu no Jikan menjadi salah satu pertanda bahwa dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini sistem pendidikan Jepang mengalami perubahan yang cukup berarti. Diawali dari sebuah pertanyaan â&#x20AC;&#x153;Apakah dengan memahami isi buku teks pegangan siswa, peserta didik dijamin mampu â&#x20AC;&#x153;bertahan hidupâ&#x20AC;? setelah terjun ke masyarakat?â&#x20AC;?. Pertanyaan ini yang mendasari lahirnya Sougoutekina Gakushuu no Jikan. Pemikiran bahwa banyak permasalahan sosial muncul yang belum tentu bisa terpecahkan dengan cara memahami dan menuntaskan buku teks pegangan siswa saja, memperkuat lahirnya Sougoutekina Gakushuu no Jikan. Karena masih banyak anggapan di kalangan pengajar bahwa memahami identik dengan menghafal, siswa bisa mengerjakan tes, kemudian nilai hasil tes menjadi tolok ukur keberhasilan peserta didik. Sougoutekina Gakushuu no Jikan, merupakan bagian dari pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar yang terwujud berdasarkan kebutuhan masing-masing sekolah disesuaikan dengan kondisi siswa, sekolah, dan lingkungan tempat tinggal siswa. Tema yang diangkat dalam tulisan ini adalah penerapan Sougoutekina Gakushuu no Jikan dalam proses belajar mengajar yang berkaitan dengan pengajaran Pendidikan Sosial. Topik ini berkaitan dengan pengajaran tentang permasalahan yang sedang dihadapi masyarakat, misalnya tema yang berkaitan dengan masalah kesehatan, kesejahteraan, informasi-komunikasi dan pemahaman lintas budaya antar bangsa. Akhir-akhir ini permasalahan sosial yang muncul adalah penerimaan tenaga kerja asing dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan. Permasalahan sosial ini merupakan masalah dalam bidang kesehatan dan kesejahteraan yang juga terkait dengan pemahaman lintas budaya. Oleh karena itu, pelaksanaan Sougoutekina Gakushuu no Jikan dalam pengajaran Pendidikan Sosial ini sangatlah diperlukan untuk mengarahkan cara berpikir peserta didik dalam menyikapi dan mengatasi permasalahan, agar tujuan dari pemerintah Jepang mendatangkan tenaga kerja asing bisa terlaksana dengan baik. 2. Latar Belakang Lahirnya Sougoutekina Gakushuu no Jikan Istilah Ikiru chikara menginspirasi lahirnya Sougoutekina Gakushuu no Jikan. Definisi ikiru chikara adalah pembinaan dan pengembangan kemampuan bertahan hidup peserta didik sesuai dengan kondisi lingkungan hidupnya. Sougoutekina Gakushu no Jikan sudah dilaksanakan sejak tahun 1998 pada level sekolah dasar, dan lebih disempurnakan lagi tiga tahun kemudian pada level sekolah menengah [5]. Sebetulnya Sougoutekina Gakushu no Jikan sudah menjadi sebuah pemikiran sejak tahun 1977. Pada saat itu, karena dirasa materi pelajaran yang dipahami peserta didik terlalu banyak, maka materi pelajaran dikurangi 10%. Istilah yang mencuat pada saat itu adalah Yutori Kyouiku [7]. Istilah yutori kyouiku tidak dapat diterjemahkan dengan padanan kata yang tepat. Beberapa pakar menyebutkan definisinya sebagai flexible education ataupun clam free education. Keurang lebih sepuluh tahun kemudian, ikiru chikara dan yutori kyouiku mendasari lahirnya Sougoutekina Gakushu no Jikan. Bersamaan dengan itu, lahir pula kebijakan Gakkou shuuitsukaseika (hari sekolah menjadi 5 hari dalam seminggu) dan kebijakan pengurangan materi ajar. Semua kebijakan tersebut bertujuan agar peserta didik lebih diarahkan untuk menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan keluarga, rumah, dan wilayah tinggalnya. Diusahakan sedapat mungkin peserta didik mengalaminya secara langsung, Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
56
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
misalnya dengan lebih banyak bergaul dan beriteraksi dengan orang lain terutama orang asing, yang dapat membentuk kepribadian yang terbuka dan diharapkan bisa menyelesaikan masalah yang timbul dalam kehidupan sosial dimasa mendatang [7]. Jadi prinsip pembelajaran dalam hal ini adalah perolehan pengetahuan bagi peserta didik yang pada dasarnya merupakan pribadi-pribadi yang berbeda satu sama lain, dan pelaksanaannya tidak harus di bangku sekolah, tetapi dapat dilangsungkan di alam, dan atau dalam kehidupan masyarakat sosial. Banyak orang yang keliru dalam memahami definisi yutori kyouiku. Mereka berpendapat bahwa dengan yutori kyouiku peserta didik menjadi santai dan menjadi tidak tekun pada akhirnya berakibat pada menurunnya kualitas mutu pendidikan. Perubahan ini pun tidak lepas dari pro dan kontra, terutama setelah Programme for International Student Assessment (PISA) tahun 2007 (berdasarkan data tahun 2006). Jepang mengalami penurunan peringkat pada bidang pemahaman bacaan dari peringkat ke14 menjadi ke 15, bidang matematika dari ke 6 menjadi ke 10, dan bidang sains dari peringkat ke 2 menjadi ke 6. Sougoutekina Gakushuu no Jikan dan yutori kyouiku dianggap menjadi penyebab menurunnya peringkat PISA. Sampai sekarang para pakar pendidikan Jepang masih terus mengkaji bagaimana pelaksanaan Sougoutekina Gakushuu no Jikan menjadi lebih baik [6]. Sougoutekina Gakushu no Jikan pada dasarnya tidak bisa disebut dengan istilah bidang studi. karena tidak ada buku pengangan siswa dan tidak ada jam pelajaran yang pasti. Pada prinsipnya, Sougoutekina Gakushu no Jikan memfasilitasi hal-hal yang seharusnya diketahui peserta didik dalam lingkup kesehariannya, yang tidak termuat dalam buku teks pegangan siswa. Dalam Gakushuu Shidou Youryou yang merupakan panduan kurikulum pendidikan yang dikeluarkan oleh kementerian pendidikan Jepang, tertulis bidang-bidang studi apa saja yang bisa dikaitkan untuk dikolaborasikan dalam proses kegiatan menerapkan Sougoutekina Gakushu no Jikan, yaitu kokusai rikai (pemahaman lintas budaya antar bangsa), jouho (informasi-komunkasi), kankyou (lingkungkan), rika (sains), fukushi (kesejahteraan), kenkou (pengetahuan kesehatan), chiiki bunka (kebudayaan daerah), dan geijutsu (seni) [4]. Tujuan dan sasaran pembelajaran yang utama adalah bagaimana peserta didik bisa mempertahankan hidup ditengah-tengah permasalahan yang muncul disekitarnya. Sasaran utamanya adalah, peserta didik diarahkan untuk menemukan topik belajar mereka sendiri, memutuskan permasalahan sendiri dengan cara berpikir subyektif. Tujuan utamanya adalah mengembangkan kualitas dan kemampuan diri untuk memecahkan masalah dengan lebih baik dibarengi dengan dukungan pihak-pihak yang terkait baik secara langsung maupun tidak langsung dengan sekolah [4]. Dalam pelaksanaan Sougoutekina Gakushu no Jikan, ada tiga aspek yang harus diperhatikan, yaitu manusia-budaya, alam, dan sosial-masyarakat. Prinsip yang ditekankan adalah learning to live together, dalam arti tidak hanya menjadi manusia unggul dalam bidang kognitif saja, tetapi juga mampu hidup dan berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat. Tiga kata kunci yang mendasari pelaksanaan Sougoutekina Gakushu no Jikan adalah setsujitsusei (bukan merupakan paksaan yang bisa menyebabkan keputusasaan), genjitsukan ga aru (ada sesuatu yang nyata), dan kyoudou teki de aru (adanya suatu kolaborasi). Jadi, pemilihan topik/tema pengajarannya berdasarkan masalah yang muncul secara nyata di dalam masyarakat, pemecahan masalahnya sebatas kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh peserta didik, dan kemudian harus ada kolaborasi dengan bidang studi lain dan kolaborasi dengan instansi-instansi masyarakat [3]. Pada tingkat sekolah dasar (SD), peserta didik diarahkan pada kegiatan pengembangan untuk membangkitkan ketertarikan diri terhadap sesuatu. Pada tingkat menengah (SMP dan SMA), diarahkan pada pembentukan moral dan pengetahuan praktis kehidupan yang dikaitkan dengan bidang studi tertentu (dapat merupakan gabungan dari lebih dari dua bidang studi). Pelaksanaan pada tingkat SD difokuskan pada pengembangan diri yang dimulai dari skala terkecil, yaitu keluarga. Kemudian meningkat ke masyarakat kecil (sosialisasi sesama teman sekelas). Pada tingkat SMP, kegiatan ditekankan dengan cara eksplorasi, yaitu belajar untuk mengaitkan suatu masalah dengan teori yang telah dipelajarinya di ruang kelas, kemudian lingkup interaksi lebih diperbesar, dengan teman satu sekolah. Di tingkat SMA, kegiatan pembelajaran ditekankan pada Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
57
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
pendalaman suatu permasalahan dan keterkaitannya dengan berbagai bidang ilmu dan lingkup interaksi diperluas dengan intansi diluar sekolahnya. Dalam Gakushuu Shidou Youryou yang merupakan panduan kurikulum pendidikan yang dikeluarkan oleh kementrian pendidikan Jepang, tertulis bahwa jumlah jam pelaksanaan Sougoutekina Gakushu no Jikan pada tingkat SD kelas 3-4 sebanyak 105 jam pelajaran per tahun, kelas 5-6 sebanyak 110 jam pelajaran per tahun. Tingkat SMP kelas 1 sebanyak 100 jam pelajaran per tahun, kelas 2 sebanyak 155 jam pelajaran per tahun dan kelas 3 adalah 235 jam per tahun. Tingkat SMA secara total mulai kelas kelas 1 sampai kelas 3 adalah 105-210 jam per tahun. Pelaksanaannya tergantung pada kebijakan dan kebutuhan masing-masing sekolah. Ada sekolah yang menyelenggarkan secara rutin per minggu, per bulan, per semester dengan waktu yang tertentu. Ada juga sekolah yang tidak menentukan secara periodik, misalnya jika tahun bersangkutan mempunyai rencana menyelenggarakan acara-acara tahunan sekolah, mulai persiapan sampai pelaksanaannya dapat memanfaatkan jam-jam pelaksanaan Sougoutekina Gakushu no Jikan ini [2]. Faktor pendukung seperti dana diperoleh dari Parent Teacher Association (PTA), dinas pendidikan daerah, dan lain sebagainya. Sarana dan prasarananya memanfaatkan apa yang dimiliki masing-masing sekolah, seperti perpustakaan, ruang komputer-internet, ruang audio visual, ruang serba guna, dan kebun sekolah. Penilaian dan evaluasi yang disarankan ada beberapa cara, seperti penilaian porto folio. Kelebihan dari Porto folio adalah sifat “keberlanjutan” dan penilaiannya secara indivual. Oleh karena itu porto folio dinilai sangat tepat untuk mengevaluasi hasil pelaksanaan Sougoutekina gakushu no jikan, karena sifat penilaiannya bukan “produk” tetapi “proses”. 3. Kolaborasi dengan Kokusai Rikai Kyouiku Seperti yang sudah diterangkan di atas, definisi Kokusai Rikai Kyouiku adalah pemahaman lintas budaya antarbangsa, keterkaitannya dengan pengajaran Pendidikan Sosial sangat erat, yakni sehubungan dengan masalah-masalah sosial dalam masyarakat Jepang yang muncul sebagai fenomena permasalahan masyarakat moderen. Dalam Gakushuu Shidou Youryou yang merupakan panduan kurikulum pendidikan yang dikeluarkan oleh kementrian pendidikan Jepang tertulis bahwa untuk bisa memahami budaya masyarakat lain diperlukan pengetahuan tentang pemahaman budaya milik sendiri. Dengan begitu akan timbul kesadaran pada perbedaan yang dimiliki orang atau masyarakat orang lain dan nilai-nilai budaya yang berbeda dari orang lain [5]. Banyak cara yang dipakai untuk mewujudkan pelaksanaan Sougoutekina Gakushu no Jikan terkait dengan pengenalan budaya asing, misalnya dengan mengundang orang asing datang ke sekolah atau mewancarai langsung ke tempat orang asing tinggal atau bekerja. Cara yang paling sederhana dan semua orang (pengajar) bisa melakukannya adalah dengan memanfaatkan media otentik dan aktual. Surat kabar mudah didapat dan selalu ada disekitar pengajar dan peserta didik. Kreatifitas pengajar untuk menyajikan hal ini betul-betul diuji, karena masing-masing budaya atau kelompok masyarakat yang diakui sebagai warga asing mempunyai beragam budaya, bahasa dan dengan segala permasalahan yang bagi orang Jepang terkadang tidak masuk di akal. Pemakaian surat kabar sebagai bahan ajar atau Newspaper In Education dalam dunia pendidikan dan pembelajaran di Jepang beberapa puluh tahun dewasa ini berkembang pesat. Pemanfatan surat kabar dinilai sangat tepat sebagai pengajaran problem solving, karena surat kabar bersifat aktual. Tetapi ada juga kekurangannya, yaitu karena informasinya bersifat “tidak terbatas”, sehingga permasalahan akan muncul apabila pengajar tidak memiliki cukup pengetahuan umum yang memadai. Bidang kajian pemahaman lintas budaya antar bangsa dalam pendidikan Jepang termasuk maju. Contoh masalah sosial yang berhubungan dengan bidang kajian ini adalah banyaknya jumlah pekerja asing disektor industri. Pekerja asing jumlahnya cukup banyak dan menjadi permasalahan dilematis tersendiri bagi negara Jepang. Jepang membutuhkan tenaga-tenaga Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
58
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
kerja asing tersebut tetapi sebaliknya juga sangat kewalahan dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul pada saat warga asing tersebut berinteraksi dengan warga asli. Dalam pandangan penulis, Jepang adalah negara yang tertata bagus dalam tata sosial masyarakatnya. Salah satu penyebabnya adalah kondisi yang miskin akan sumber daya alam. Oleh karena itu, segala sesuatunya ditentukan oleh peraturan yang harus ditaati oleh warganya, tidak terkecuali warga pendatang. Karena terikat peraturan yang kaku, terkadang terkesan bahwa perasaan sebagai manusia tidak dihargai. Hal ini yang menyebabkan warga asing sulit diterima karena ketertutupan diri mereka sendiri. Sebaliknya, permasalahan dari sisi warga asing adalah permasalahan komunikasi termasuk juga pengetahuan budaya dan kemampuan bahasa. Berkaitan dengan terwujudnya perjanjian kemitraan ekonomi (EPA) termasuk di dalamnya program penerimaan tenaga kerja perawat dan caregivers (perawat untuk para manula) dari Indonesia yang sudah terealisasi sejak bulan Agustus 2008, jumlah pekerja asing di Jepang semakin banyak. Perserikatan bangsa bangsa (PBB) memperkirakan bahwa di tahun 2040 mendatang jumlah orang tua yang berusia diatas 65 tahun berjumlah 1.240.000.000 orang, diantaranya 70.000. 000 orang adalah orang Asia termasuk Jepang. Saat ini 30% dari penduduk Jepang adalah orang tua yang berusia lebih dari 65 tahun. Jumlah orang Jepang yang berusia 100 tahun atau lebih tercatat sebanyak 25.554 orang. Berdasarkan perhitungan statistik dari total 100.000 penduduk Jepang terdapat sekitar 20 orang yang berusia di atas 100 tahun [8]. Angka ini adalah data tiga tahun sebelum terealisasinya program EPA yang pertama, jadi pada saat sedang dirumuskannya pembicaraan EPA tersebut. Pelaksanaan Sougoutekina Gakushu no Jikan jika dikaitkan dengan bidang kajian Kokusai Rikai kyouiku akan ada pembahasan bagaimana peserta didik nantinya bisa berinteraksi dengan para caregivers dengan meminimalisir permasalahan-permasalahan yang diprediksi akan timbul. Bagaimana peserta didik menyikapinya setelah nantinya terjun ke masyarakat. Sedangkan permasalahan bagi pihak pekerja asing adalah kurangnya pengetahuan mereka tentang bahasa, budaya dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku pada masyarakat Jepang. Kelemahan utama pelaksanaan Sougoutekina Gakushu no Jikan adalah kepekaan pihak sekolah untuk menentukan tema pembelajaran disesuaikan dengan situasi dan kondisi sekolah yang ada. Pengadaan sarana dan prasarana sangat erat kaitannya dengan dana, akan tetapi sepenuhnya ketidak-adaan dana bukan sepenuhnya merupakan penghalang yang utama. Ada Karena masalahnya muncul dan ada disekitar peserta didik, maka pemecahannya juga di sekitar tempat tinggal mereka. Jadi, buku teks pegangan siswa tidak selalu bisa menjamin terbentuknya kemampuan siswa untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang timbul. Kelemahan yang kedua yaitu berkaitan dengan faktor sumber daya manusia, terutama pengajar. Diperlukan kreativitas dan peningkatan pengetahuan dalam mengajar. 4. Kesimpulan Dalam hal kesehatan dan kesejahteraan, negara Jepang mempunyai angka harapan hidup lebih tinggi dan piramida penduduknya berbalik dengan Indonesia. Permasalahan ini sangat menghantui mereka. Misalnya jika ada suatu pertanyaan secara pribadi kepada mereka, â&#x20AC;&#x153;Siapa yang akan merawat anda jika anda tua?â&#x20AC;? Atau, â&#x20AC;&#x153;Mampukah anda menyerahkan orang tua anda atau diri anda sendiri kepada orang asing dengan segala keterbatasan yang dimilikinya?â&#x20AC;? Mereka mengakui banyak yang tidak bisa menjawab pertanyaan semacam itu. Oleh karena itu, pelaksanaan Sougoutekina Gakushu no Jikan dalam pengajaran Pendidikan Sosial bisa dianggap sebagai alternatif penyelesaian. 5. Daftar pustaka 1. Harada K. 2010. Shakaikakyouiku no Furontia Osaka: Hoiku shuppansha. Hal 51-52. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
59
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
2. Nishimura K dan Kuno H, (ed). 2004. Chiiki Karikyuramu de Sougouteki na Gakushuu wo Tsukuru. Tokyo: Meiji Tosho. Hal 27-28. 3. Kojima K. 2003. Sougou teki na Gakushuu: Handbook. Tokyo: Gyousei. Hal 68-69. 4. Kojima K. 2005. Sogou tekina Gakushuu-Shidouan Shuu. Tokyo: Tosho bunka. Hal 46-49. 5. Nihon shakaika kyouiku gakkai. 2000. Shakaika kyouiku Jiten. Tokyo: Gousei. Hal 324-325. 6. Kebijakan dari Kementrian Pendidikan Nasional Jepang. URL: http://www.mext.go.jp/a_menu/shotou/sougou/020501.htm. Diunduh tanggal 25 Mei 2010. 7. Perubahan mengenai panduan pelaksanaan Kurikulum Pendidikan di Negara Jepang. URL: http://www31.ocn.ne.jp/~matsuo2000/D/Data03.htm. Diunduh tanggal 26 Mei 2010. 8. Data Kementrian Kesehatan Tenaga Kerja dan kesejahteraan Jepang tanggal 16 September 2005. URL: http://www.rofuku.go.jp/oshirase/oshirase_h20.html. Diunduh tanggal 25 Mei 2009.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
60
KILAS RISET
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Suriadi Sanada Scale, Kajian Baru untuk Memprediksi Timbulnya Luka Dekubitus di Ruang Unit Perawatan Intensif Rumah Sakit di Indonesia Nurs Crit Care. 2008; 13(1):34-43. Menurut Suriadi dkk. (2006), angka kejadian Luka Dekubitus (Ulkus) di Indonesia mencapai 33,3%. Angka ini lebih tinggi dari negara Asia lainnya. Langkah pertama dalam mencegah terjadinya luka adalah mengidentifikasi faktor resiko Luka Dekubitus. Saat ini telah banyak alat pengkajian yang dapat digunakan dalam mencegah terjadinya luka salah satunya Braden Scale Assessment. Pengkajian ini dapat digunakan pada semua tempat perawatan baik di rumah sakit maupun komunitas. Skala Braden terdiri dari enam sub-skala meliputi persepsi sensoris, kelembaban, aktifitas, mobilitas, nutrisi, dan pergeseran/gesekan. Suriadi dkk. dalam artikelnya melakukan pengembangan alat pengkajian baru yang dapat digunakan di ruangan Intensif Care Unit (ICU) di Indonesia. Tujuan studi ini untuk mengevaluasi alat pengkajian resiko baru dengan nama Suriadi Sanada Scale (S.S Scale) yang dilakukan di Ruang ICU rumah sakit di Pontianak. Berbeda dengan Skala Braden, pengkajian yang dikembangkan Suriadi dkk. terdiri dari beberapa item meliputi interface pressure, suhu tubuh, dan jumlah merokok perhari. Untuk menjamin reliabilitas saat pegumpulan data, dua orang perawat ICU dengan level pendidikan yang sama diberi informasi cara menggunakan alat pengkajian. Melakukan pengkajian dengan waktu yang sama dan secara independen. Untuk mengevaluasi keakuratan S.S. Scale, dilakukan perhitungan probabilitas diagnostik meliputi sensitivity, specificity, positive predictive value (PPV), negative predictive value (NPV) dan likehood ratio (LR). S.S. Scale memberikan hasil yang lebih akurat dalam memprediksi dan mencegah terjadinya Ulkus di ruang ICU, dengan sensitivitas 81% dan spesifisitas 83% pada nilai cut-off 4. Selain itu dalam menggunakan alat pengkajian ini dibantu dua alat yang objektif yaitu multi-pad pressure evaluator yang digunakan untuk mengukur interface pressure dan termometer untuk mengukur suhu tubuh. Keterbatasan studi ini hanya dilakukan pada dua buah rumah sakit di Indonesia, di mana berbeda secara klinik, kondisi penyakit dan strategi intervensi. Selain itu demografi seperti ras, tipe kulit, tinggi badan dan berat badan orang Indonesia berbeda dengan negara lain sehingga perlu dilakukan studi pada negara yang berbeda. Implikasi untuk perawatan di Indonesia adalah bahwa dengan adanya kajian ini, maka dapat dijadikan bagian dari strategi intervensi untuk mencegah dan memprediksi kejadian Luka Dekubitus. Salah satu yang terpenting agar teman-teman sejawat keperawatan dapat menggunakan alat ini adalah dengan melakukan sosialisasi di setiap rumah sakit sehingga angka kejadian Ulkus dapat ditekan. (Haryanto, editor Inovasi).
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
61
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Panduan Penulisan Naskah untuk Majalah Inovasi (font: Arial 12 points, bold) Nama penulis-1, nama penulis-2, dst (font: Arial 10.5 points, bold) Afiliasi penulis (font: Arial 10 points) Korespondensi: email@address.com (font: Arial 10 points, italic) Abstrak (font: Arial 10 points, bold) Majalah Inovasi adalah ....... Ditulis poin penting dari tulisan. Tidak lebih dari 250 kata. 1. Inovasi (font: Arial 10 points, bold) Majalah INOVASI (ISSN: 0917-8376) diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (http://www.ppi-jepang.org/) sebagai majalah ilmiah semi-populer berkala dan bersifat on-line untuk menyajikan tulisan-tulisan berbagai topik, seperti IPTEK, sosial-politik, ekonomi, pendidikan, dan topik humaniora lainnya. Majalah INOVASI berfungsi sebagai media untuk mengartikulasikan ide, pikiran, maupun hasil penelitian dalam rangka memperkaya wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan. 2. Kategori Artikel Majalah INOVASI menerima naskah baik yang bersifat ilmiah populer maupun ilmiah non-populer dengan kategori sebagai berikut: 2.1. Artikel Populer Berisi tentang ide-ide atau gagasan baru yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Ditulis dalam bahasa Indonesia dan tidak lebih dari 6000 karakter atau maksimal 4 halaman. 2.2. Artikel Non-populer Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan dan tidak akan dipublikasikan di media lainnya. a. Maksimal 9000 karakter atau tidak lebih dari 6 halaman dan ditulis dalam bahasa Indonesia/Inggris. b. Judul harus menggambarkan isi pokok secara ringkas dan jelas serta tidak melebihi 10 kata. c. Struktur naskah terdiri atas Pendahuluan, Uraian Isi (metode dan pembahasan), kesimpulan dan daftar pustaka. Judul bab tidak harus seperti struktur naskah tersebut, missal: I. Pendahuluan, II. Uraianâ&#x20AC;Ś Akan tetapi dapat disesuaikan, misal: Perspektif Pertanian 5 tahun masa reformasi (mewakili pendahuluan)â&#x20AC;Ś dst. Huruf pertama setiap kata dalam judul bab harus ditulis dengan huruf kapital d. Pendahuluan berisi latar belakang/masalah, hipotesis, pendekatan dan tujuan yang hendak dicapai. e. Uraian isi terdiri dari judul bab yang disesuaikan dengan kebutuhan dan informasi yang tersedia. Apabila naskah ini menyampaikan hasil penelitian yang khas, judul bab dalam uraian isi dapat terdiri dari Bahan dan Metode serta Hasil dan Pembahasan. f. Sangat disarankan jika dalam uraian isi/pembahasan bersifat kuantitatif. Misal: A lebih besar 10% daripada B, bukan A lebih besar dari B. Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
62
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
g. Kesimpulan memuat secara singkat hasil yang telah diuraikan sebelumnya. Dapat dibuat dengan menggunakan penomoran atau dalam satu paragraph. 3. Format Penulisan Artikel Ukuran kertas: A4; Margin atas: 3 cm; margin kiri, kanan dan bawah: 2.5 cm; tulisan: 2 kolom; spasi: tunggal; jenis huruf: Arial; ukuran: 10 points. Judul, nama penulis, afilisasi penulis dan alamat email ditulis dalam 1 kolom (center). Judul ditulis dengan font Arial, 12 points, bold, huruf kapital. Nama penulis ditulis dengan font Arial, 10.5 points, bold. Afiliasi penulis ditulis dengan font Arial, 10 points. Alamat email ditulis dengan font Arial, 10 points, italic. 4. Penulisan Gambar/Ilustrasi Gambar/Ilustrasi diberi nomor dan judul singkat. Sumber kutipan dicantumkan dengan jelas (jika gambar/ilustrasi merupakan hasil kutipan). Judul diletakkan di bawah gambar/ilustrasi dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan setiap kata diawali dengan huruf besar, kecuali kata-kata seperti, dan, atau, dalam, kata depan, yang, untuk.
GAMBAR
Gb.1. Judul Gambar/Ilustrasi
5. Penulisan Tabel Judul tabel diletakkan di atas tabel dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan ditulis mengikuti aturan seperti penulisan Judul Gambar.. Tabel.1. Judul Tabel
Frekuensi (kHz) 76.8 104.6 205.1
Standard Deviasi (cm/s) N=10 N=12 6.723 4.751 3.375 2.112 2.418 1.869
6. Pengiriman Naskah Naskah dikirim melalui elektronik mail dalam bentuk attachment file MS Word ke alamat redaksi INOVASI online sebagai berikut: editor.inovasi@gmail.com 7. Daftar Pustaka Daftar pustaka setiap sumber harus dirujuk dan disusun berdasarkan urutan pemunculan dalam naskah dengan menuliskan angka arab subscript (misalnya: 1,2-4). Urutan penulisannya mulai Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
63
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
dari nama pengarang, tahun terbit, judul, nama majalah, volume, halaman. Daftar pustaka diketik dengan menggunakan font 9. 1. 2. 3.
Bucchi A, Plotnikov AN, Shlapakova I, Danilo P Jr, Kryukova Y, Qu J, et al. 2006. Wild-type and mutant HCN channels in a tandem biological-electronic cardiac pacemaker. Circulation. 114: 992-999. Cai J, Lin G, Jiang H, Yang B, Jiang X, Yu Q, Song J. 2006. Transplanted neonatal cardiomyocytes as a potential biological pacemaker in pigs with complete atrioventricular block. Transplantation. 81:1022-1026. Basuki A. Panduan penulisan untuk majalah ilmiah. Dalam: Strategi menulis. Suryanegara L, Junaidi B. (Editor). Jakarta: Gramedia, 2010: 16-20.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
64
INOVASI Vol.17/XXII/Juli 2010
Susunan Dewan Editor Inovasi Penanggung Jawab
Farid Triawan, Ketua PPI-Jepang
Editor Utama
Udin Bahrudin, Universitas Tottori
Editor
Murni Ramli, Universitas Nagoya Bambang Widyantoro, Universitas Kobe Oce Madril, Universitas Nagoya Muhareva Raekiansyah, Universitas Nagasaki Haryanto, Universitas Kanazawa
Editor Bahasa
Dina Faoziah, TUAT
Reviewer/Editor Tamu Agustan, BPPT Jakarta IGB Baskara Nugraha, Universitas Elektro-Komunikasi Tokyo Teguh Dartanto, Universitas Nagoya Nunung Nur Rahmah, Universitas Shinshuu Erkata Yandri, Institut Teknologi Kanagawa Sholihatun Kiptiyah, KPPU Surabaya Produksi
Aries Setiawan, Universitas Kyoto
Cover
Udin Bahrudin
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang; Membuka Dunia untuk Indonesia dan Membuka Indonesia untuk Dunia
65