Inovasi-Vol19-2-Sep2011

Page 1

Vol. 19 No. 2 (September 2011)

Majalah Ilmiah Persatuan Pelajar Indonesia Jepang

io.ppijepang.org

PPI JEPANG ISSN 2085-871X

KECERDASAN SOLUSI HIDUP

‘Green Economy’

Ladang kincir angin di Hokkaido, Jepang

Strategi SESAR

Proyek REDD+

Pembangkit Hijau

Solusi baru dalam meningkatkan ekonomi berbasis lingkungan di industri kelapa sawit

Bagaimana prospek proyek pengurangan emisi karbon yang berpihak kepada masyarakat kecil?

Bagaimana strategi RRC dalam membangun sistem ketenagalistrikan yang rendah emisi CO2?

4

9

44


Volume 19 Nomor 2 September 2011

DAFTAR ISI Cover i Daftar isi ii Dewan Editor Majalah Inovasi iii Editori@l Upaya Menuju Ekonomi Berbasis Lingkungan di Indonesia: Tantangan, Kendala dan Hambatan 1 Joni Jupesta (Editor)

In Search of a Unique Approach for Sustainable Development: A Notion from the LEAD Program 18 T. M. Luthfi Yazid Humaniora Analisis terhadap Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pelayanan Hukum di ASEAN 26 Azhar Peranan Konsep Diri terhadap Perilaku Asertif Korban Bullying 34 Retno Ninggalih Interaksi Aktif dengan Penutur Asli untuk Akselerasi Pemerolehan Bahasa Kedua 40 Emmy Indah Priyanti

Topik Utama Mengatasi Dilema Industri Kepala Sawit dengan Strategi SESAR 4 Fatwa Ramdani, Joni Jupesta Prospek Proyek REDD+ (Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) yang Berpihak kepada Masyarakat Miskin untuk Mengurangi Emisi Karbon dari Sektor Kelapa Sawit di Provinsi Jambi, Indonesia 9 Ambiyah Abdullah

Teknologi Pembangkit Hijau dan Sistem Ketenagalistrikan: Belajar dari Cina 44 Maxensius Tri Sambodo Biosains dan Ilmu Kelautan Bioprospecting the Marine Microbial Symbionts of Reef’s Invertebrates: Exploitation of the Under-utilized Marine Microorganisms 48 Ocky K. Radjasa

Konsep Enzim Selulase: Kunci Pemanfaatan Limbah Organik Menjadi Biofuel 58 Reki Wicaksono Ashadi, Prihardi Kahar

Panduan Penulisan Naskah untuk Majalah Inovasi Online iv

Daftar Isi

ii


Volume 19 Nomor 2 September 2011

DEWAN EDITOR MAJALAH INOVASI PPI JEPANG Pembina

Prof. Dr. Edison Munaf Atase Pendidikan Kedutaan Besar Republik Indonesia, Tokyo, Jepang

Penanggung Jawab

Fithra Faisal Hastiadi Ketua Persatuan Pelajar Indonesia Jepang Waseda University

Editor Utama

Arief Yudhanto (Tokyo Metropolitan University)

Staf Editor

Cahyo Budiman (Osaka University, Institut Pertanian Bogor) Teguh Dartanto (Nagoya University Universitas Indonesia) Nirmala Hailinawati (Tokyo Institute of Technology) Maharani Hapsari (Nagoya University, Universitas Gadjah Mada) Haryanto (Kanazawa University, STIK Muhammadiyah Pontianak) Joni Jupesta (United Nations University, Tokyo) Oce Madril (Nagoya University, Universitas Gadjah Mada) Retno Ninggalih (Sendai, Tohoku) Pandji Prawisudha (Tokyo Institute of Technology)

Editor Bahasa (Indonesia)

Dina Faoziah (Tokyo University of Agriculture and Technology)

Tata Letak dan Desain Sampul

Arief Yudhanto

Foto Sampul

Murni Ramli

Halaman Situs

io.ppijepang.org

Admin Situs

Bayu Indrawan (Tokyo Institute of Technology) Pandji Prawisudha (Tokyo Institute of Technology)

E-mail

editor.inovasi@yahoo.com

Alamat

Atase Pendidikan, Kedutaan Besar Republik Indonesia – Tokyo 5-2-9 Higashi Gotanda, Shinagawa-ku, Tokyo 141-0022, Jepang Tel: +81-3-3441-4201 Ext. 240, 241, 242, 243 Fax: +81-3-3280-5609 Situs: www.atdikbudtokyo.com

Dewan Editor

iii


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

EDITORIAL

Upaya Menuju Ekonomi Berbasis Lingkungan di Indonesia: Tantangan, Kendala dan Hambatan Joni Jupesta Editor Inovasi E-mail: Jupesta@ias.unu.edu Salah satu tantangan terbesar abad ini adalah perubahan iklim yang ditandai dengan meningkatnya emisi gas buang secara drastis akibat aktivitas manusia sejak revolusi industri. Negara-negara penghasil emisi gas buang terbesar di dunia saat ini adalah negara-negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat, seperti Cina, India and Indonesia. Pembangunan yang pesat, sebagai imbas dari pertumbuhan ekonomi, mengakibatkan dampak negatif seperti polusi udara, kualitas kesehatan menurun dan menurunnya aktivitas pertanian yang pada akhirnya menggerus pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Ekonomi berbasis lingkungan adalah salah satu upaya untuk mengatasi masalah itu. Berkaitan dengan itu, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menegaskan perlunya upaya menuju pembangunan berkesinambungan dengan dua strategi, yaitu ekonomi yang berbasis lingkungan dan kerangka institusi yang mendukung ke arah itu. Hal ini akan dirumuskan kembali sebagai dua tema pada konferensi internasional Pembangunan Berkesinambungan yang akan diadakan pada 2012 di Rio de Janeiro, Brazil, dengan nama Rio+20 karena tepat 20 tahun yang lalu, sebuah konferensi diadakan di tempat yang sama untuk merumuskan konsep pembangunan berkesinambungan tersebut. Untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul akibat pertumbuhan ekonomi tersebut, strategi ‘pertumbuhan hijau’ yang berbasis lingkungan akan dikembangkan. Strategi ini melibatkan empat hal: • Menghapus kendala-kendala (misalnya: subsidi bahan bakar) • Mengembangkan dan alih teknologi ramah lingkungan • Mendukung transisi melalui kerjasama internasional • Membangun sebuah kerangka penilaian yang transparan Transisi ini melibatkan interaksi di sektor energi, misalnya perpindahan dari bahan bakar fosil ke sumber energi yang lebih bersih seperti bahan bakar nabati, geotermal, sel surya dan sumber energi bersih lainnya. Untuk itu dibutuhkan suatu sistem terintegrasi yang melibatkan teknologi, kebijakan dan aspek sosial yang tanggap dalam upaya mencapai kesinambungan global. Indonesia sendiri sebagai salah satu negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam satu dasawarsa ini memiliki andil besar untuk mengatasi masalah global seperti perubahan iklim ini. Sehubungan dengan status sebagai pemilik hutan tropis terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Kongo, Indonesia memiliki luas lahan sekitar 200 juta hektar di mana dua per tiga bagiannya adalah hutan. Dengan pertumbuhan penduduk 1,3% per tahun antara 2001 dan 2005, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tumbuh sekitar 5,6% per tahun pada kurun waktu yang sama. Indonesia mengalami tingkat permintaan energi yang terus naik dengan laju 3,7% per tahun sejak 1990, yang lebih dari separuhnya berasal dari bahan bakar fosil. Berkurangnya cadangan minyak, turunnya investasi di bidang eksplorasi dan pengeboran minyak serta laju konsumsi minyak bumi yang jauh melebihi produksinya membuat Indonesia beralih menjadi negara pengimpor minyak bumi pada 2004. Didera oleh beban subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada 2005 yang menembus 3,4% dari PDB, pemerintah menerapkan kebijakan energi baru pada 2006 dengan target bahwa porsi energi bersih akan meningkat hingga mencapai 15% dari total kebutuhan energi pada 2025. Persentase energi bersih ini akan berasal dari bahan bakar nabati (BBN) sebesar 5%, geotermal sebesar 5% dan selebihnya dari sel surya, angin dan lainnya (5%). Lebih dari itu, pada 2010 pemerintah melalui Dewan Energi Nasional memperkenalkan konsep Visi 25/25 yang menargetkan porsi energi bersih meningkat hingga 25% pada tahun 2025. Pemerintah juga sedang mengkaji lebih lanjut untuk mengurangi laju produksi BBN terutama yang berasal dari tanaman pangan seperti kelapa sawit karena dampak lingkungan yang ditimbulkan sangat besar, dan juga meningkatkan porsi geotermal sebagai sumber energi secara signifikan sebagai sumber pembangkit tenaga listrik. Sebagai tambahan, saat ini sedang dilakukan kajian intensif antara kementerian teknis tentang upaya mengurangi subsidi BBM secara bertahap. Kajian ini sedang dalam pengkajian yang matang tentang waktu dan proses pelaksanaannya dan akan segera diterapkan pada tahun ini.

Jupesta – Editorial

1


EDITORIAL

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

Apabila 57% emisi gas buang dunia berasal dari bahan bakar fosil, 62% emisi gas buang di Indonesia berasal dari kebakaran hutan dan perubahan tata lahan hutan (deforestasi). Emisi gas buang diperkirakan tumbuh dari 2,1% menjadi 3,3% antara 2005 dan 2030. Ini berdasarkan skenario yang mengacu pada keadaan tanpa melakukan perubahan apapun (business as usual scenario) seperti tertera di Gambar 1. Pada periode tersebut pula, emisi gas buang diperkirakan akan meningkat dari 0,9 Gigaton CO2 ekuivalen hingga 1,64 Gigaton CO2 ekuivalen. Angka ini sekitar 5% dari total emisi gas buang pada tingkat global. Pada konferensi tentang perubahan iklim di Kopenhagen tahun 2007 lalu, pemerintah menegaskan komitmennya untuk mereduksi gas buang dari 26% hingga 42%. Tindak lanjut pemerintah dimulai dengan persiapan dokumen Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim (RAN-PI) yang berada di bawah koordinasi Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) pada Januari 2010. Kemudian, di bulan Mei 2010, Pakta Oslo ditandatangani antara pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah Norwegia, dimana pihak Norwegia akan mendukung pendanaan sebesar 1 miliar dolar dalam upaya mengurangi perubahan tata guna lahan buat hutan (deforestasi) yang dibuktikan dalam hal pengawasan, pelaporan dan pembuktian lapangan berdasar data-data yang akurat dan terpercaya. Program ini merujuk pada program REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation).

GHG emission (million ton CO2)

1,200 1,000

Buildings Agriculture LUCF

Cement Transport Peat

Oil and gas Electricity

800 600 400 200 0 2005

2020

4.97%

Year

2030 5.07%

Gambar 1. Emisi Gas Buang di Indonesia pada Business as Usual Scenario. Kebijakan energi baru ini dibangun di atas dua pilar utama: (1) mengamankan pasokan energi untuk menjaga dan meningkatkan laju pertumbuhan industri, dan (2) meningkatkan porsi energi bersih sebagai salah satu elemen pembangunan berbasis lingkungan. Dengan menciptakan program untuk memonitor dan pembuktian yang jelas akan mengurangi laju perusakan hutan, kesepakatan antara Indonesia dan Norwegia akan tercapai. BBN yang berasal dari kelapa sawit perlu dicermati sebagai pasokan energi bersih dengan memperhatikan kesinambungan produksi BBN tersebut dan menjamin bahwa BBN tersebut tidak bersumber pada lahan yang berasal dari konversi hutan tropis. Untuk itu, sumber energi bersih seperti geotermal akan diminati daripada BBN mengingat unsur kerusakan lingkungan yang relatif kecil yang mungkin timbul dari penggunaan geotermal. Sebagai tambahan, kebijakan yang ketat sehubungan dengan tata ruang dan lahan dibutuhkan untuk mengatur peruntukan lahan secara efektif dan efisien; menghentikan kebakaran lahan dan perubahan fungsi hutan dan mengalokasikan lahan dengan tanaman yang dapat berfungsi ganda, sebagai bahan pangan dan juga mampu berfungsi sebagai BBN. Pemerintah Indonesia telah menempuh upaya untuk menghilangkan kendala pertumbuhan berbasis lingkungan ini dengan meningkatkan bauran energi bersih seperti BBN, geotermal dan lainnya, akan menghapus subsidi BBM secara bertahap dan mengadopsi sistem untuk mengurangi laju perusakan hutan (REDD+program). Tetapi, ada kemungkinan akan terjadi tumpang tindih antarkebijakan seperti yang terjadi pada kebijakan energi baru tahun 2006 dan kebijakan iklim tahun 2009. Apabila kebijakan

Jupesta – Editorial

2


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

EDITORIAL

energi 2006 bermaksud meningkatkan porsi BBN yang mendukung pada perubahan fungsi hutan menjadi lahan pertanian untuk tanaman penghasil BBN, kebijakan iklim 2009 bertujuan menghapus segala izin perubahan fungsi hutan, dan bahkan bila perlu, melakukan peremajaan hutan. Kerja sama antar institusi pada tingkat lokal dan nasional adalah kunci agar pembangunan berkesinambungan yang berbasis lingkungan ini dapat tercapai. Hal ini sesuai dengan tema kedua dari Konferensi Pembangunan Berkesinambungan Rio+20 tahun 2012 mendatang; kerangka institusi untuk pembangunan berkesinambungan. Dibutuhkan suatu keterkaitan antara kebijakan yang melibatkan semua pemangku kepentingan di tingkat lokal, nasional dan internasional. Referensi 1.

Solheim E. Fridtjof Nansen Memorial Lecture 2010: Climate change and loss of nature’s diversity: New actions and alliances in response to global challenge. United Nations University, Tokyo. 2010. http://archive.unu.edu/nansen/#climateChange (diakses pada 5 Desember 2010). 2. Indonesia Ministry of Energy and Mineral Resources. Blueprint National Energy Management 2006-2025. Indonesia Ministry of Energy and Mineral Resources. Jakarta. 2006. 3. Indonesia National Climate Change Commission. Indonesia’s Greenhouse Gas Abatement Cost Curve. Indonesia National Climate Change Commision. Jakarta. 2010. 4. Indonesia National Energy Assembly. The Assembly of the National Energy Agency. Indonesia National Energy Assembly. Jakarta. 2011. 5. Fargione J, Hill J, Tilman D, Polasky S and Hawthorne P. Land clearing and the biofuel carbon debt. Science. 2008. 319:1235-1238. 6. Jupesta J, Boer R, Parayil G, Harayama Y, Yarime M, Puppim JO, Subramanian SM. Managing the transition to sustainability in an emerging economy: evaluating green growth policies in Indonesia. Environmental Innovation and Societal Transitions. 2011. doi:10.1016/j.eist.2011.08.001. 7. OECD. Towards Green Growth. Paris: OECD Publisher. 2011. http://www.oecd.org/document/10/0,3746,en_2649_201185_47983690_1_1_1_1,00.html (diakses pada 29 Juli 2011) 8. UNEP. Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication. In: A Synthesis for Policy Makers. UNEP, Geneve. 2010. http://www.unep.org/greeneconomy/GreenEconomyReport/tabid/29846/Default.aspx (diakses pada 9 April 2011) 9. United Nations. Objective and Themes of the United Nations Conference on Sustainable Development: Report of the Secretary-General. UNCSD, New York. 2011. http://www.uncsd2012.org/rio20/index.php?page=view&type=400&nr=10&menu=45 (diakses pada 5 April 2011) 10. World Bank. Indonesia: Economic and Social update October 2005, World Bank, Jakarta. 2005. http://siteresources.worldbank.org/INTEAPHALFYEARLYUPDATE/Resources/5501921143237132157/indonesia-March06.pdf (diakses pada 10 Desember 2010)

Jupesta – Editorial

3


TOPIK UTAMA

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

Mengatasi Dilema Industri Kelapa Sawit dengan Strategi SESAR (Stakeholder’s Earth and Social Assurance Responsibility) 1

2,*

Fatwa Ramdani , Joni Jupesta Institute of Geography, Graduate School of Science, Tohoku University, Japan 2 Institute of Advanced Studies, United Nations University, Japan *E-mail: Jupesta@ias.unu.edu

1

Abstrak Dua dekade setelah Konferensi Lingkungan dan Pembangunan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akan menyellengarakan terus menyerukan perlunya tindak lanjut dari kedua peristiwa bersejarah tersebut dengan direncanakannya Konferensi Internasional Pembangunan Berkesinambungan pada 4 – 6 Juni 2012, tepat 20 tahun setelah Konferensi Rio diadakan. Oleh karena itu, konferensi ini dinamakan Rio+20. Mengingat pentingnya kelapa sawit dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, makalah ini mendiskusikan bagaimana Indonesia menjalankan ekonomi berbasis lingkungan di sektor pertanian, khususnya industri kelapa sawit dari sudut pandang sosial, ekonomi and lingkungan. Sebagai solusi, perlu dibentuknya suatu badan nirlaba yang merepresentasikan kepentingan lokal dan nasional, namun tetap memenuhi kebutuhan permintaan global. Badan ini disebut sebagai Stakeholder’s Earth and Social Assurance Responsibility (SESAR). Solusi lain adalah kombinasi antara diversifikasi ekonomi seperti menggenjot industri perikanan, pertanian serta memperbaiki iklim bisnis yang kondusif buat investasi dari luar dengan pemerintahan yang stabil dan konsisten melalui transparansi dan kemudahan berusaha. Kata kunci: pembangunan berkesinambungan, ekonomi berbasis lingkungan, pembangunan sosio-ekonomi, industry kelapa sawit, stakeholders’ earth and social assurance responsibility (SESAR). Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved. 1.©2011. Pendahuluan

Pembangunan berkesinambungan bertumpu pada pendekatan yang holistik dan memandang jauh ke depan untuk pengambilan keputusan di seluruh tingkatan. Pembangunan ini menekankan pada integrasi dan pertimbangan yang seimbang baik dari aspek tujuan, yaitu sosio-ekonomi dan lingkungan, serta aspek instansi biak itu publik maupun swasta. Di dalam konsep pembangunan berkesinambungan ini, konsep ekonomi berbasis lingkungan difokuskan kepada hubungan antara sosio-ekonomi dan lingkungan. Hubungan kedua hal ini telah menjadi subjek dua pertemuan puncak yang bersejarah, yaitu •

Konferensi Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diadakan di Rio de Janeiro, Brazil, pada 3 - 14 Juni 1992 (dikenal dengan nama Konferensi Rio). Konferensi Rio berhasil merumuskan sinergi tentang pentingnya hubungan antara pembangunan ekonomi dan lingkungan. Pertemuan Puncak Dunia tentang Pembangunan Berkesinambungan (dikenal dengan nama Earth Summit 2002) di Johannesburg, Afrika Selatan, pada 26 Agustus – 4 September 2002. Konferensi ini menekankan perlunya pilar-pilar sosial dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dewasa ini dirasakan tidak selalu meningkatkan kehidupan sosial. Padahal, pembangunan ekonomi seharusnya juga ikut meningkatkan taraf hidup umat manusia. Pentingnya meningkatkan pembangunan ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup manusia juga perlu diimbangi dengan pembangunan yang berbasis lingkungan dan pengentasan kemiskinan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terus menyerukan perlunya tindak lanjut dari kedua peristiwa bersejarah tersebut dengan direncanakannya Konferensi Internasional Pembangunan

Ramdani & Jupesta – Mengatasi Dilema Industri Kelapa Sawit dengan Strategi SESAR

4


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

TOPIK UTAMA

Berkesinambungan pada 4 – 6 Juni 2012, tepat 20 tahun setelah Konferensi Rio diadakan. Oleh 7 karena itu, konferensi ini dinamakan Rio+20 . Dapat dilihat bahwa konsep ekonomi berbasis lingkungan telah menjadi agenda dunia dalam 4 peningkatan taraf hidup masyarakat . Makalah ini mendiskusikan bagaimana Indonesia menjalankan ekonomi berbasis lingkungan di sektor pertanian, khususnya industri kelapa sawit. 2. Pertumbuhan industri kelapa sawit di Indonesia Indonesia dengan luas tanah lebih dari 180 juta hektar merupakan wilayah kepulauan tropis terbesar di dunia. Indonesia mempunyai curah hujan yang tinggi sepanjang tahun, kesesuaian tanah yang baik untuk semua jenis tanaman tropis, serta 360 hari kondisi iklim yang lebih baik dibandingkan negara-negara empat musim pada umumnya. Keuntungan geo-lingkungan ini membuat Indonesia sangat tepat untuk pengembangan industri berbasis perkebunan, misalnya kelapa sawit. Pada saat yang bersamaan permintaan dunia akan minyak kelapa sawit semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2010, China memerlukan 9.95 juta ton minyak sawit; India memerlukan 8 8 7.2 juta ton ; dan Eropa memerlukan 5.25 juta ton . Penyebab dari meningkatnya permintaan minyak sawit adalah karena negara-negara Eropa dan lainnya tengah mendorong penggunaan biomassa sebagai bahan bakar (biofuel) dalam transportasi dan pembangkit listrik untuk memenuhi komitmen Protokol Kyoto. Biofuel yang lebih minim emisi karbon jika dibandingkan dengan bahan bakar fosil kini dipromosikan sebagai solusi untuk menghadapi fenomena pemanasan global. 3

Berdasarkan data dari Indonesia Palm Oil Board , Pemerintah Indonesia telah beberapa kali menerbitkan peraturan yang berkaitan dengan perkembangan industri perkebunan kelapa sawit, misalnya Peraturan Lingkungan dan Kehutanan (1997) dan Peraturan Perkebunan (2004). 9 Berdasarkan World Rainforest Movement , hingga sekarang Pemerintah Indonesia telah menerbitkan lima jenis peraturan secara berurutan: PIR-Trans (berakhir pada Oktober 1993), deregulasi (1993 – 1996), privatisasi (1996 – 1998), kooperatif (1998 – 2002) dan desentralisasi (2002 – 2006) (World Rainforest Movement, 2008). Gambar 1 menunjukkan fase-fase perubahan kebijakan dalam pengembangan industri kelapa sawit di Indonesia. Setiap perubahan peraturan menunjukkan bahwa penguasa daerah semakin hari semakin mampu memberikan izin pembukaan lahan baru maupun perluasan lahan perkebunan sawit yang semakin besar. Kombinasi keuntungan geo-lingkungan, permintaan dunia dan peraturan yang ‘memanjakan’ ini telah menciptakan pertumbuhan industri kelapa sawit yang luar biasa di Indonesia. Hingga tahun 2010, berdasarkan interpretasi citra satelit, luas lahan perkebunan sawit yang telah dewasa, baru tanam, maupun yang baru saja mengalami pembukaan lahan (land clearing) telah 6 mencapai lebih dari 10 juta hektar dengan total produksi lebih dari 20 juta ton, baik perkebunan 1 besar maupun perkebunan rakyat . Pembangunan industri kelapa sawit ini telah berkontribusi besar terhadap pendapatan nasional. Pada tahun 2007, tercatat 9.4 miliar dolar, atau sekitar 6% dari total ekspor Indonesia, berasal dari industri kelapa sawit2. Pembangunan industri kelapa sawit ini juga telah menciptakan lapangan pekerjaan bagi komunitas lokal. Perusahaan perkebunan skala besar biasanya menyediakan fasilitas lengkap bagi para pekerja dan keluarganya, mulai dari rumah yang dilengkapi fasilitas mendasar, misalnya air bersih dan listrik, asuransi kesehatan diri dan keluarga, fasilitas pendidikan, serta pembangunan infrastruktur jalan yang baik. Banyak wilayah di Indonesia, terutama pedesaan yang merupakan lokasi perkebunan sawit besar, mengandalkan perusahaan-perusahaan besar ini untuk mengembangkan daerah mereka khususnya dalam pembangunan infrastruktur jalan. Hal ini terjadi di wilayah-wilayah pedesaan yang terletak di Provinsi Riau (Indragiri Hulu, Pelalawan, Siak, Rokan Hulu, Rokan Hilir), dan Kalimantan Barat (Sanggau, Sintang, dan Ketapang).

Ramdani & Jupesta – Mengatasi Dilema Industri Kelapa Sawit dengan Strategi SESAR

5


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

TOPIK UTAMA

Gambar 1. Perubahan kebijakan dalam perkembangan industri kelapa sawit di Indonesia 3. Dilema industri kelapa sawit di Indonesia Di balik keuntungan ekonomi yang disebutkan di bagian dua, industri kepala sawit menciptakan ancaman yang tinggi, tidak hanya untuk keberadaan hutan hujan tropis yang merupakan paru-paru dunia, namun juga ancaman terhadap sumber penghidupan masyarakat lokal yang masih mengandalkan hasil hutan selain kelapa sawit. Hilangnya keanekaragaman flora dan fauna, meningkatnya konflik terkait dengan pembebasan lahan, serta polusi yang disebabkan penggunaan herbisida dan pembangunan pabrik pengolahan minyak sawit juga merupakan efek samping yang patut dipikirkan bersama. Pembangunan industri kelapa sawit Indonesia, singkatnya, telah lama menjadi dilema tiga aspek: (1) pembangunan sosio-ekonomi masyarakat, (2) peningkatan pendapatan nasional, dan (3) menurunnya kualitas lingkungan. Penyebab dilema tiga hal ini adalah kurangnya perhatian pemerintah Indonesia terhadap menurunnya kualitas lingkungan dan hilangnya keanekaragaman hayati. Pemerintah lokal juga kurang berpihak kepada masyarakatnya, terutama ketika konflik-konflik yang berhubungan dengan pembebasan lahan, biaya kompensasi, hak milik tanah, janji-janji yang tidak dipenuhi perusahaan besar, terjadi di wilayahnya. Organisasi-organisasi non-pemerintah juga kurang menyadari pentingnya keberadaan kelapa sawit bagi pembangunan sosio-ekonomi masyarakat lokal dan pertumbuhan ekonomi nasional. 4. Stakeholder’s Earth and Social Assurance Responsibility (SESAR) Untuk memecah kebuntuan dilema ini, serta dalam upaya mencapai pertumbuhan industri perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan dan berkelanjutan, kami mengusulkan strategi baru dalam pembangunan industri kelapa sawit. Strategi ini berbasis kepentingan lokal dan nasional, namun tetap memenuhi kebutuhan permintaan global. Kami menyebutnya Stakeholder’s Earth and Social Assurance Responsibility (SESAR). 4.1 Bentuk dan fungsi SESAR SESAR merupakan badan yang bersifat independen dan nirlaba. SESAR harus berisi ilmuwan yang bebas kepentingan dan berasal dari berbagai bidang, misalnya lingkungan, geografi, sosiologi, ekonomi, bio-teknologi, kimia, hidrologi dan geologi. Para ilmuwan yang duduk di

Ramdani & Jupesta – Mengatasi Dilema Industri Kelapa Sawit dengan Strategi SESAR

6


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

TOPIK UTAMA

dalam SESAR dipilih oleh pihak universitas sebagai perwakilannya, yang nantinya dapat diangkat resmi oleh pemerintah. SESAR bertujuan memberikan kesempatan yang besar kepada empat pihak dalam skema SESAR, yaitu komunitas lokal, ilmuwan, organisasi non-pemerintah dan pemerintah, untuk berkontribusi aktif dalam pembangunan daerahnya, pembangunan yang ramah lingkungan, berkelanjutan, dan tetap memperhatikan pembangunan perekonomian lokal dan nasional. Secara teknis, para ilmuwan yang duduk di dalam SESAR akan menajami dalam bentuk sertifikat yang akan disahkan oleh pemerintah jika sebuah perusahaan mampu memenuhi kriteria-kriteria dasar manajemen pengelolaan industri kelapa sawit. Kriteria-kriteria dasar ini adalah ramah lingkungan, berkelanjutan, membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal dan berkomitmen dalam membangun daerah dimana lokasi perkebunan kelapa sawit nantinya berada. Setiap perusahaan yang akan mengeksploitasi lahan untuk tujuan komersial harus memiliki sertifikat ini. 4.2 Kawasan SESAR Guna mencapai tujuan SESAR, kawasan yang merupakan fokus SESAR adalah areal hutan yang telah mencapai konsesi bersama antara masyarakat lokal, ilmuwan, organisasi non-pemerintah dan pemerintah. Hutan ini tidak berupa hutan primer tropis yang tersisa, lahan gambut, bakau, dan areal lain yang potensial untuk menjaga keseimbangan alam, keanekaragaman hayati, dan kehidupan masyarakat hutan. Areal yang memiliki kesesuaian lahan yang tinggi tidak harus selalu dikonversikan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit. Saat ini pembangunan perkebunan kelapa sawit selalu diwarnai dengan pembukaan hutan primer maupun sekunder, hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat hutan, penggantian lahan-lahan utama pertanian lokal dan konflik antara masyarakat dengan perusahan yang dapat memakan korban jiwa. 4.3 Peran ilmuwan, pemerintah, organisasi non-pemerintah dan masyarakat lokal Peran ilmuwan sangat vital dalam menentukan secara ilmiah dan tepat. Ilmuwan wajib memberikan informasi yang lengkap kepada masyarakat, misalnya: mana lahan yang patut dikonservasi, dan mana lahan yang bisa dibuka sebagai perkebunan kelapa sawit. Peran ilmuwan juga dibutuhkan dalam proses konversi kelapa sawit ini, dan ini memerlukan peneliti-peneliti lintas bidang keilmuan (ilmu dasar, limu terapan dan ilmu sosial). Kerjasama ilmuwan ini mendukung pembuatan informasi spasial berbasis keruangan sehingga masyarakat lokal dapat berkontribusi besar dalam menentukan arah pembangunan daerahnya. Di dalam skema SESAR, ilmuwan dan perwakilan masyarakat lokal akan memantau secara aktif perilaku perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit. Peran organisasi-organisasi non-pemerintah juga penting dalam mendampingi dan mencerdaskan masyarakat local melalui program pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan, pelatihan dan lain-lain. Pemerintah berperan menciptakan kebijakan-kebijakan yang bisa mendorong masyarakat berpikir kreatif dan inovatif dalam memperbaiki kondisi sosio-ekonomi dan keberlangsungan lingkungan dalam jangka panjang. Dalam hal ini, pemerintah berperan penting dalam menciptakan peraturan dan menjatuhkan hukuman yang tegas bila ditemukan perilaku yang tidak ramah lingkungan dan tidak berkelanjutan. Apabila ditemukan pelanggaran maka pemerintah dapat menjatuhkan hukuman, misalnya berupa kompensasi finansial yang besarnya dua kali lipat keuntungan bersih perusahaan pada tahun terakhir produksi. Kompensasi finansial ini akan diberikan kepada daerah lokal. Pemerintah juga harus mampu bekerja sama dengan ilmuwannya, dan melibatkan peran organisasi-organisasi non-pemerintah dalam mencerdaskan masyarakat lokal. Tantangan terbesar sebenarnya ada di pihak pemerintah. Pemerintah harus memiliki komitmen yang kuat untuk menciptakan peraturan yang dapat menjaga keseimbangan alam dan pertumbuhan ekonomi masyarakat lokal dan nasional pada saat yang bersamaan. Pemerintah

Ramdani & Jupesta – Mengatasi Dilema Industri Kelapa Sawit dengan Strategi SESAR

7


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

TOPIK UTAMA

tidak dapat berpihak pada kepentingan pemilik modal dan memenuhi permintaan pasar dunia saja. 4.4 Solusi Lain Mengandalkan perkebunan sawit untuk pertumbuhan sosio-ekonomi rasanya tidak memungkinkan. Usia optimal pohon sawit kira-kira di bawah 20 tahun. Setelah umur 20 tahun, pohon sawit akan berhenti menghasilkan minyak sawit. Ketika itu, petani biasanya memotong membabat pohon sawit, dan membiarkan semak belukar tumbuh. Pada gilirannya, ini dapat memicu sumbu api pada musim kemarau yang panjang. Sementara itu, perusahaan bermodal besar akan terus berupaya mencari lahan baru guna membuka perkebunan kelapa sawit. Sampai tahun 2011 lokasi perkebunan kelapa sawit telah mencapai Papua. Ini merupakan hasil interpretasi satelit menggunakan Landsat 7 ETM+ yang menunjukkan luas areal kelapa sawit di Papua Barat ialah 16.798 hektar dan di Papua Timur ialah 76.760 hektar. 5. Kesimpulan Oleh sebab di atas, solusi lain diperlukan untuk mengatasi dilemma ini. Kombinasi antara diversifikasi ekonomi seperti menggenjot industri perikanan nasional baik laut maupun air tawar, memperbaiki budidaya hortikultura dengan melakukan riset intensif tentang pembibitan dan penyilangan buat sayuran dan buah-buahan. Serta memperbaiki iklim bisnis yang kondusif buat investasi dari luar dengan pemerintahan yang stabil dan konsisten melalui perangkat peraturan pemerintah yang berbasis kepentingan lokal dan nasional, serta ramah lingkungan dan berkelanjutan secara perlahan akan menghapus dilema industri kelapa sawit Indonesia. Di masa mendatang, jumlah penduduk semakin meningkat, dan permintaan akan kebutuhan pangan lokal juga akan meningkat. Pertanyaannya: Apakah pemerintah akan terus menghidupi penduduk Indonesia dengan buah sawit? Apakah semua lahan pertanian pangan baik yang ada maupun yang potensial akan diubah menjadi perkebunan kelapa sawit? Atau pemerintah akan mengandalkan impor yang berarti menyejahterakan petani luar negeri dan mengabaikan kesejahteraan petani-petani Indonesia? Referensi 1. 2. 3. 4.

5. 6.

7.

8.

9.

BPS. 2010. Statistical Year Book of Indonesia 2010. Jakarta, Indonesia FAOSTAT Online Statistical Service (FAO, Rome, 2006) IPOB (Indonesian Palm Oil Board). 2007. Indonesian palm oil in numbers. DHB Printing Dinamika Hutabaru, PT. Indonesia Jupesta J., Boer R., Parayil, G., Harayama, Y., Yarime, M., Puppim, Jose O., Subramanian, Suneetha M., 2011. Managing the Transition to Sustainability in an Emerging Economy: Evaluating Green Growth Policies in Indonesia, jurnal Environmental Innovation and Societal Transitions. doi:10.1016/j.eist.2011.08.001. OIL World, 2010 (Oil world annual. Mielke, Hamburg) Ramdani, Fatwa. 2010. Monitoring of Changes in Land Use due to Development of Plantation in Indonesia under Economic Globalization. The 5th Japan -Korea-China Joint Conference on Geography (JKCJCG), Sendai, Japan United Nations, 2011. Objective and Themes of the United Nations Conference on Sustainable Development: Report of the Secretary-General., UNCSD, New York. http://www.uncsd2012.org/rio20/index.php?page=view&type=400&nr=10&menu=45 (diakses pada 5 September 2011). World Bank, 2011. Indonesia Oil Palm Synthesis - Discussion Paper, World Bank, Washington D.C. http://www.ifc.org/ifcext/agriconsultation.nsf/AttachmentsByTitle/WB+discussion+paper/$FILE/WB_Oi l+Palm+SynthesisDiscussionPaperMay2010.pdf (diakses pada 12 September 2011) WRM (World Rainforest Movement). 2008. Analysis on existing legislation related to oil palm plantation: Case studies from Latin America, Africa, and Asia. Montevideo, Uruguay.

Ramdani & Jupesta – Mengatasi Dilema Industri Kelapa Sawit dengan Strategi SESAR

8


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

TOPIK UTAMA

Prospek Proyek REDD+ (Pengurangan Emisi Karbon dari Deforestasi dan Degradasi Hutan) yang Berpihak pada Masyarakat Miskin untuk Mengurangi Emisi Karbon dari Sektor Kelapa Sawit di Provinsi Jambi, Indonesia Ambiyah Abdullah Graduate School of International Development, Nagoya University, Japan Email: Ambiyah2001@yahoo.com

Abstrak Perhatian utama negara-negara maju dan berkembang saat ini adalah pembangunan berkelanjutan. Tujuan utama dari pembangunan berkelanjutan adalah untuk memasukkan faktor lingkungan dalam fokus pertumbuhan ekonomi baik dalam skala nasional maupun skala sektor. Salah satu sektor yang mendapat perhatian utama dalam hal lingkungan oleh dunia internasional saat ini adalah sektor kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Indonesia adalah produsen dan pengekspor terbesar kelapa sawit di pasar dunia. Hampir 75 % produksi kelapa sawit Indonesia diekspor ke pasar dunia. Produksi kelapa sawit Indonesia terutama berada di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Produksi kelapa sawit di Pulau Sumatera hampir menguasai 80 % dari total produksi kelapa sawit Indonesia. Jambi adalah salah satu provinsi di Pulau Sumatera yang mempunyai kontribusi besar dalam sektor kelapa sawit Indonesia. Perluasan perkebunan kelapa sawit di Jambi dilakukan sejalan dengan program transmigrasi yang dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia sejak tahun 1990. Hal ini jugalah yang menyebabkan adanya perubahan lahan di Jambi yang salah satunya daerah hutan yang dijadikan sebagai lahan perkebunan karet dan kelapa sawit. Perluasan lahan inilah yang menyebabkan adanya perubahan cadangan karbon atau menyebabkan emisi karbon. Tulisan ini bermaksud + memaparkan secara singkat tentang prospek proyek REDD di Indonesia yang bukan hanya bertujuan untuk mengurangi emisi karbon tetapi juga berpihak kepada masyarakat kecil (pro-miskin) demi tercapainya mata pencaharian atau sumber penghasilan yang berkelanjutan. Kata kunci: Kelapa Sawit, Indonesia, Emisi Karbon, Perubahan Lahan, REDD Š2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Pendahuluan Sekarang ini konsep pembangunan yang berkelanjutan menjadi fokus utama bagi berbagai pelaku ekonomi baik di negara maju maupun negara berkembang. Sebenarnya, sejak kurang lebih tahun 70-an, perhatian terhadap masalah keterkaitan antara ekonomi dan lingkungan sudah mulai dipertimbangkan. Salah satu ekonom terkenal yang berusaha memodelkan hubungan ekonomi dan lingkungan adalah Leontief (1970) (diacu dalam Dufournaud et al. 1988). Pakar ekonomi ini memperkenalkan faktor lingkungan ke dalam salah satu model ekonomi yaitu tabel Input-Output yang disatukan dengan faktor lingkungan (environmentally-extended input-output). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya memasukkan faktor lingkungan ke dalam perhitungan ekonomi untuk memberikan masukan bagi para pengambil keputusan untuk memformulasikan kebijakan yang lebih menyeluruh untuk bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan pada skala nasional dan skala sektor. Salah satu sektor yang mendapat perhatian banyak pihak di dunia internasional saat berkaitan dengan dampak lingkungan yang ditimbulkannya adalah sektor kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan salah sektor penting bagi perekonomian Indonesia. Indonesia adalah produsen dan pengekspor terbesar kelapa sawit di pasar dunia. Hampir 75% produksi kelapa

Abdullah – Prospek Proyek REDD+

9


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

TOPIK UTAMA

sawit Indonesia diekspor ke pasar dunia. Tingginya permintaan dunia akan kelapa sawit adalah salah satu hal penting yang memicu pertambahan produksi kelapa sawit Indonesia. Hal ini ditunjang dengan ketersediaan lahan dan jumlah tenaga kerja yang tersedia untuk sektor ini. Produksi kelapa sawit Indonesia terutama berada di pulau Sumatera dan pulau Kalimantan. Produksi kelapa sawit di pulau Sumatera hampir menguasai 80% dari total produksi kelapa sawit Indonesia. Provinsi utama penghasil kelapa sawit di pulau Sumatera adalah Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Jambi dan Sumatera Barat. Pada 2008, hampir 49% dari wilayah penanaman kelapa sawit adalah dikuasai oleh swasta, 41% area penanaman kelapa sawit dikuasai oleh masyarakat kecil, dan sisanya dikuasai oleh pemerintah. Hal ini menunjukkan bahwa kelapa sawit berpotensi sebagai pencipta lapangan kerja bagi masyarakat kecil terutama masyarakat pedesaan. Provinsi Jambi adalah salah satu produsen kelapa sawit di pulau Sumatera yang mempunyai kontribusi sebesar hampir 10%, dan sekitar 7% terhadap total kelapa sawit di Indonesia. Pada 2009, produksi kelapa sawit Jambi merupakan produksi terbesar terhadap total produksi sektor pertanian dan perkebunan di Jambi, yaitu sebesar 1,3 juta ton. Pertumbuhan produksi kelapa sawit ini ditunjang oleh perubahan lahan yang tersedia di Jambi yang diubah ke kelapa sawit baik yang berasal dari lahan kehutanan maupun lahan lain yang digunakan oleh sektor lainnya sebelumnya yang diubah ke kelapa sawit. Salah satu cara yang umum digunakan untuk menghitung berapa besar emisi karbon yang dihasilkan adalah dengan menghitung berapa besar perubahan stok karbon yang tersedia di lahan yang ada. Cara ini yang digunakan oleh beberapa lembaga internasional atau lembaga swadaya masyarakat (non-governmental organization) dengan menggunakan data pemetaan (data spasial) untuk mengetahui besarnya stok karbon yang tersedia. Menindaklanjuti keseriusan pemerintah Indonesia untuk berpartisipasi dalam pengurangan karbon emisi guna mencapai perkembangan yang berkelanjutan, pada Mei 2010, pemerintah Indonesia dan Norwegia telah menandatangani kesepakatan penerimaan bantuan keuangan sebagai insentif dari pemerintah Norwegia jika Indonesia dapat mengurangi deforestasi dan degradasi. Selain itu Presiden Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono pada pertemuan COP 10 juga menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen akan mengurangi emisi karbonnya pada tahun 2020 sebesar 20% dan sebesar 40% dengan bantuan pihak internasional (dikutip dari Website kehutanan CIFOR (April 28,2011)). Berbagai proyek telah dilakukan di Indonesia sebagai upaya untuk mencapai komitmen ini. Salah + satu proyeknya adalah Proyek REDD , di mana Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya menolak adanya syarat tidak adanya penggunaan hutan untuk kepentingan lainnya + dalam pengajuan dana bantuan keuangan untuk REDD . Tulisan ini bermaksud untuk memberikan gambaran atau deskripsi tentang bagaimana emisi karbon yang dihasilkan oleh + perubahan lahan yang diubah menjadi kelapa sawit dan bagaimana prospek proyek REDD pro-miskin sebagai salah satu cara untuk mengurangi emisi karbon di Jambi. 2. Kajian Pustaka Kajian Pustaka yang dipaparkan dalam tulisan ini meliputi tentang gambaran umum provinsi Jambi sebagai studi kasus yang diangkat dalam tulisan ini, struktur ekonomi provinsi Jambi, + kontribusi sektor kelapa sawit terhadap perekonomian provinsi Jambi, dan proyek REDD di Indonesia. 2.1. Gambaran umum provinsi Jambi Jambi terletak di pulau Sumatera bagian barat Indonesia. Seperti yang terlihat dalam Gambar 1, letak Jambi berdampingan dengan provinsi Riau di sebelah utara, provinsi Sumatera Selatan di sebelah selatan, dan provinsi Sumatera Barat dan provinsi Bengkulu di sebelah barat. Pada tahun 2009, menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) populasi provinsi Jambi sebanyak hampir 2 2,9 juta penduduk .

Abdullah – Prospek Proyek REDD+

10


TOPIK UTAMA

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

1

Gambar 1. Peta provinsi Jambi

2.2. Struktur ekonomi provinsi Jambi 2

Pada tahun 2009, berdasarkan data dari BPS provinsi Jambi , Produk Domestik Bruto (PDB) Jambi adalah sebesar Rp. 16,3 miliar, atau hampir sebesar 4% dari total PDB nyata pulau Sumatera. Provinsi Jambi mempunyai pertumbuhan ekonomi sebesar 29% dari tahun 2005. Berdasarkan data tersebut, struktur ekonomi Jambi didominasi oleh sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan. Keempat sektor ini pada tahun 2009 berkontribusi sebesar 31% terhadap total PDB Jambi. Dalam klasifikasi yang lebih rinci dari sektor pertanian, perkebunan merupakan sub-sektor yang berkontribusi terbesar, yaitu sebesar 48%, disusul kemudian oleh sub-sektor tanaman pangan yang berkontribusi sebesar 37%. 2.3. Kontribusi kelapa sawit terhadap perekonomian di Provinsi Jambi Sebagaimana disebutkan di atas, sektor perkebunan merupakan sektor yang berkontribusi terbesar untuk perekonomian Jambi. Karet dan kelapa sawit merupakan dua sektor primadona dari sektor perkebunan yang mempunyai jumlah produksi terbesar di Jambi. Kelapa sawit mengalami kenaikan produksi yang pesat sejak tahun 2004. Hal ini juga ditunjang oleh program transmigrasi. Faktor lainnya adalah karena lahan di Jambi juga potensial untuk penanaman kelapa sawit. Area kelapa sawit mempunyai bagian sebesar 36% dari total area perkebunan; menyusul area karet yang mempunyai bagian sebesar 48%. Hal ini menunjukkan bahwa kelapa sawit merupakan salah satu sektor penting dalam perekonomian Jambi. 63.71%

26.13% 0.96%

2.54% 0.05% 0.03% 0.14% 5.39% 0.65% 0.18% 0.06% 0.01% 0.07%

Gambar 2. Persentase bagian dari keseluruhan area yang ditanami berbagai macam sektor di 2 provinsi Jambi (2009)

Abdullah – Prospek Proyek REDD+

11


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

TOPIK UTAMA

2.4. Proyek REDD di Indonesia REDD yang merupakan singkatan dari Reducing Emissions from Deforestation and Degradation telah menjadi fokus utama bagi negara-negara berkembang untuk mengurangi emisi karbon. Hal ini karena REDD dianggap merupakan salah satu cara yang signifikan, murah dan cepat. REDD dianggap signifikan karena seperlima dari emisi karbon global disebabkan oleh penurunan jumlah hutan atau deforestasi; REDD dianggap murah karena kebanyakan proyek REDD ini menguntungkan; dan, REDD ini cepat karena hasilnya dapat cepat diketahui karena tidak memerlukan teknologi tinggi. REDD merupakan salah satu alternatif yang bisa dipakai oleh Indonesia untuk mewujudkan komitmen dalam pengurangan emisi karbon. Namun fokus dari proyek REDD maupun proyek-proyek pengurangan emisi karbon di Indonesia saat ini lebih mengarah kepada bagaimana menciptakan proyek-proyek lingkungan yang bisa memberikan keuntungan untuk masyarakat kecil atau lebih menyentuh dan melibatkan masyarakat kecil dengan menimbulkan kesadaran bagi masyarakat sekitar akan pentingnya ikut andil dalam program pengurangan emisi, atau biasa disebut sustainable livelihood (kehidupan yang berkelanjutan). 3. Metode Pembahasan dalam studi ini menggunakan analisis deskriptif, yaitu berdasarkan data-data statistik dan kajian pustaka yang ada. Data-data statistik yang digunakan adalah data spasial dari World Agroforestry Research Centre (ICRAF), Kantor Regional Asia Tenggara, Bogor, Indonesia. Data spasial ini meliputi data tentang luasan lahan dan perubahan lahan. Selain itu dalam tulisan ini digunakan data tentang pengukuran stok karbon dari masing-masing penggunaan lahan dimana pengukurannya berdasarkan standard Intergovernmental Panel on Climate Change 2 (IPCC) dan data-data tambahan lainnya dari BPS provinsi Jambi . 4. Pembahasan Pembahasan dalam tulisan ini adalah terutama tentang perubahan penggunaan lahan, stok karbon, besarnya emisi karbon yang disebabkan oleh adanya perubahan penggunaan lahan, dan bagaimana prospek dan skema tentang proyek REDD yang dapat memihak masyarakat kecil sehingga tercipta pembangunan dan kehidupan yang berkelanjutan di Provinsi Jambi dalam jangka panjang. 4.1. Peta penggunaan lahan Data peta penggunaan lahan yang digunakan dalam tulisan ini adalah berdasarkan data sistem informasi geografi (GIS), yaitu data spasial dinamis (dynamically spatial data) yang bersumber dari gambar satelit (landsat image) dengan resolusi 30 m dan berupa data deret waktu dari tahun 1990 hingga tahun 2005. Untuk lebih detilnya, data yang digunakan untuk data perubahan lahan dalam studi ini adalah data dari Landsat Thematic Mapper (TM) dan Enhanced Thematic Mapper (ETM) 2005. Selanjutnya, prosedur yang dilakukan dalam pengambilan data luas dan perubahan lahan adalah mengikuti prosedur standar yang disebut juga dengan ALUCT (Analysis of Land Use and Cover Trajectories dari ICRAF). Prosedur standard ini terdiri dari empat tahap utama, yaitu (1) Image Pre-Processing, yaitu tahap pengambilan data menggunakan data satelit menggunakan GIS sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, (2) Image Correction, yaitu tahap untuk mengoreksi data satelit yang sudah didapat dan biasanya dilakukan dengan menggunakan kalibrasi radiometric dan koreksi geometri. Karena data satelit yang digunakan dalam studi ini menggunakan data citra satelit, dimana data ini berupa pencitraan yang sudah dikoreksi secara geometris, selanjutnya koreksi data dilanjutkan dengan kalibrasi radiometri dengan menggunakan algoritma Atchor2 yang terdapat pada perangkat lunak PCI Geomatica, (3) tahap klasifikasi dan interpretasi pencitraan berdasarkan pendekatan klasifikasi hierarki berbasis objek, (4) tahap pengukuran keakuratan gambar, di mana pada data yang digunakan dalam studi ini adalah menggunakan data statistic Khat.

Abdullah – Prospek Proyek REDD+

12


TOPIK UTAMA

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

Dari Tabel 1, luas lahan atau area di Jambi adalah sebesar hampir 11% dari total area di Sumatera. Ini merupakan peringkat ke lima. Namun luas peta yang ada di Jambi adalah merupakan luas lahan terbesar kedua setelah sumatera selatan, yaitu sekitar 15% dari total area di Sumatera. Tabel 1. Pembagian area provinsi Jambi terhadap total area di pulau Sumatera (%)

No

Provinsi

Area 2 (km )

1

Bangka Belitung

15,731.56

2

Bengkulu

20,847.21

3

D.I Aceh

55,576.72

4

Jambi

47,973.61

5

Lampung

6 7

Persentase Area Sumatera (%)

Persentase Area Provinsi (%)

Lahan Gambut Sumatera

589.53

3.70%

0.80%

4.55

457.58

2.20%

0.70%

12.12

2,676.17

4.80%

3.90%

10.47

7,033.01

14.70%

10.10%

32,654.89

7.12

759.38

2.30%

1.10%

Riau

93,273.68

20.35

39,175.96

42%

56.40%

Sumatra Barat

40,658.17

8.87

2,096.17

5.20%

3.00%

8

Sumatra Selatan

82,213.41

17.94

13,331.09

16.20%

19.20%

9

Sumatra Utara

69,439.25

15.15

3,390.54

4.90%

4.90%

TOTAL

3.43

Lahan Gambut 2 (km )

521,711.23

56,623.20

100%

Sumber: ICRAF, Southeast Regional Office, 2007 Selanjutnya data gambar satelit dari ICRAF sebagaimana tampak dalam Gambar 3 menunjukkan selama rentang periode tahun 1990 hingga tahun 2005, provinsi Jambi mengalami penurunan jumlah hutan atau deforestasi, yang ditunjukkan banyaknya area yang berwarna hijau di gambar yang menunjukkan hutan. Hal ini disebabkan oleh adanya program pemerintah, yaitu transmigrasi yang dimulai sejak tahun 1990. Program transmigrasi ini menyebabkan adanya pembukaan lahan hutan menjadi pemukiman dan penggunaan untuk sektor lainnya yang merupakan sumber mata pencaharian. Di tahun 2005, data menunjukkan bahwa hutan hanya mempunyai 34% dari total area di Jambi.

Gambar 3. Peta penggunaan lahan di provinsi Jambi dari tahun 1990-2005. (Sumber: ICRAF, Kantor Regional Asia Tenggara, Bogor, Indonesia)

Abdullah – Prospek Proyek REDD+

13


TOPIK UTAMA

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

4.2. Perubahan lahan Perubahan lahan di Jambi dapat dilihat dalam Tabel 2. Hutan perawan pada 1990 adalah sebesar 62% dari total area di Jambi mengalami penurunan menjadi hanya sebesar 45% di tahun 2005. Penurunan juga terjadi di penggunaan lahan untuk kategori hutan tebang kepadatan tinggi dan kategori hutan lainnya. Sedangkan terjadi kenaikan atau pertambahan lahan yang digunakan untuk karet, karet agroforest, kelapa sawit, pemukiman dan degradasi dan kawasan penebangan. Kenaikan terbesar adalah pada sektor kelapa sawit dimana pada tahun 1990, luas lahan di Jambi yang digunakan untuk kelapa sawit hanya sebesar 2,6% dan bertambah pada tahun 2005 menjadi 4,3%. Pertambahan penggunaan lahan di sektor-sektor ini menunjukkan adanya perluasan untuk sektor kelapa sawit dan lainnya. Tabel 2. Persen perubahan lahan provinsi Jambi tahun 1990 dan 2005 1990 No

Tipe Tutupan Lahan km

1

Hutan asli

2

Hutan tebang kepadatan tinggi

3

Wanatani

4

Hutan tebang kepadatan rendah

5

Kebun karet wanatani

6

Semak alami

7 8 9 10

2

2005 %

km

2

%

120,701.1

62.00%

87,710.2

45.00%

10,466.8

5.40%

16,629.5

8.50%

6,852.1

3.50%

7,592.6

3.90%

12,484.5

6.40%

27,757.9

14.30%

2,335.0

1.20%

3,710.4

1.90%

277.9

0.10%

1,091.4

0.60%

Perkebunan

1,165.1

0.60%

3,261.9

1.70%

Kebun karet

721.1

0.40%

2,328.5

1.20%

Kebun kelapa sawit

5,040.7

2.60%

8,307.7

4.30%

Pemukiman

2,839.7

1.50%

4,644.7

2.40%

11

Pertanian

1,032.4

0.50%

1,172.9

0.60%

12

Sawah

237.0

0.10%

1,084.8

0.60%

13

Rumput

117.9

0.10%

2,375.1

1.20%

14

Lahan kosong

2,464.8

1.30%

2,138.2

1.10%

15

Lahan gambut

520.4

0.30%

426.9

0.20%

16

Rawa

6.3

0.00%

808.5

0.42%

17

Hutan rawa asli

12,396.4

6.40%

5,597.0

2.90%

18

Hutan rawa tebang

2,944.0

1.50%

7,138.8

3.70%

19

Hutan bakau asli

3,236.9

1.70%

1,444.7

0.70%

20

Hutan bakau tebang

16.1

0.01%

957.5

0.49%

185,856.2

95.40%

186,179.4

95.60%

8,876.8

4.60%

8,553.6

4.40%

194,733.0

100%

194,733.0

100%

Sub total Tanpa data Total

Sumber: ICRAF, Kantor Regional Asia Tenggara, Bogor, Indonesia 4.3. Standard stok karbon Sebagaimana telah disebutkan di bagian pendahuluan dan kajian pustaka, dalam tulisan ini perhitungan emisi karbon yang disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan adalah berdasarkan perubahan cadangan karbon yang ada di penggunaan lahan sebelumnya. Untuk standar berapa besar cadangan karbon yang dimiliki oleh lahan yang digunakan untuk tiap sektor atau jenisnya, tulisan ini mengacu kepada standar karbon yang dipakai oleh ICRAF yang 3 dikemukakan oleh Hairiah dkk .

Abdullah – Prospek Proyek REDD+

14


TOPIK UTAMA

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

Berdasarkan Tabel 3, penggunaan lahan yang mempunyai cadangan karbon terbesar adalah oleh hutan dimana tersimpan karbon sebesar 300 mg/ha. Sedangkan lahan yang digunakan untuk kelapa sawit hanya mempunyai cadangan karbon sebesar 31 mg/ha. Dan penggunaan lahan untuk sawah hanya mempunyai cadangan karbon sebesar 0.12 mg/ha. Sehingga asumsi yang dipakai di sini adalah kelapa sawit akan menimbulkan emisi jika ditanam pada lahan yang sebelumnya digunakan oleh sektor atau jenis-jenis lahan yang mempunyai cadangan karbon yang lebih besar dari kelapa sawit. Tabel 3. Standard cadangan karbon pada setiap penggunaan lahan di Indonesia (mg/ha) Landcover

Stok Karbon Mg/ha

Hutan asli

300

Hutan tebang kepadatan tinggi

250

Hutan tebang kepadatan rendah

150

Hutan bakau asli

200

Hutan bakau tebang

100

Hutan rawa asli

200

Hutan rawa teang

200

Wanatani

116.11

Kebun karet wanatani

62.06

Kebun karet

46.76

Perkebunan

23.17

Kebun kelapa sawit

30.96

Semak alami

26.83

Pertanian

11.85

Sawah

0.97

Rumput

2

Pemukiman

4.14

Lahan gambut

4.14

Lahan kosong

3.9

Tambak

0

Perairan

0 3

Sumber: Hairiah dkk (2005) 4.4. Emisi Karbon Akibat Perubahan Lahan Setelah mengetahui luasnya lahan di Jambi dari tahun 1990 ke tahun 2005 dan besarnya standar cadangan karbon yang dimiliki oleh setiap penggunaan lahan, maka selanjutnya bisa dihitung berapa jumlah emisi karbon yang dimiliki oleh setiap perubahan lahan dan sektor manakah yang menyebabkan karbon emisi terbesar di perubahan penggunaan lahan di Jambi. Perhitungan berapa besar emisi karbon diubah dari karbon menjadi CO2 dengan dikalikan dengan 3.67 yang merupakan perbedaan dari molekul karbon ke CO2. Berdasarkan Tabel 4, total bersih emisi karbon yang disebabkan perubahan penggunaan lahan di Jambi selama periode tahun 1990 sampai tahun 2005 adalah 173.662.437 ton karbon dengan laju emisi karbon sebesar 2,9 ton per tahun per ha. Selain itu perubahan lahan di Jambi dalam kurun waktu tahun 1990 sampai tahun 2005 juga menimbulkan hal positif atau biasa disebut dengan penyerapan kabron dioxide yaitu sebesar 104.046.220 ton CO2. Sedangkan bisa dilihat

Abdullah – Prospek Proyek REDD+

15


TOPIK UTAMA

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

bahwa untuk sektor-sektor yang menyebabkan emisi karbon terbesar di provinsi jambi adalah sektor karet, kelapa sawit, pertanian, lahan kosong, dan pemukiman. Hal ini selaras dengan faktor-faktor yang kemungkinan menjadi penyebabnya yaitu program transmigrasi di tahun 1990 dan tingginya penebangan hutan secara liar. Tabel 4. Emisi karbondioksida dan penyerapannya di provinsi Jambi selama 2000-2005

Tipe penggunaan lahan

Perubahan area (ha)

Total karbondioksida (ton)

Karbondioksida tahunan (ton/tahun)

Rata-rata Faktor karbondioksida karbondioksida (ton/ha/tahun) (ton/ha)

Pertanian

(6,342)

12,127,599

2,425,520

2.49

0.50

Lahan kosong

49,587

28,498,396

5,699,679

5.85

1.17

Kebun kelapa

(38,158)

2,690,922

538,184

0.55

0.11

Tambak

(12)

37

7

0

0.00

Rumput

1,890

6,325,211

1,265,042

1.3

0.26

(3,335)

60,451

12,090

0.01

0.00

(31,082)

7,523,317

1,504,663

1.55

0.31

6,128

2,265,491

453,098

0.47

0.09

46,352

19,377,036

3,875,407

3.99

0.80

Kebun kelapa sawit

44,765

26,040,247

5,208,049

5.35

1.07

Lahan gambut

(9,954)

16,708

3,342

0

0.00

Sawah

66,297

13,954,911

2,790,982

2.87

0.57

Kebun karet

34,708

38,286,713

7,657,343

7.87

1.57

Pemukiman

99,230

24,833,132

4,966,626

5.10

1.02

173,662, 437

34,732,487.00

35.68

7.14

104,046,220

20,809,244

14.30

2.86

Kebun Hutan tebang kepadatan tinggi Hutan bakau tebang Semak alami

Total karbondioksida yang ditimbulkan (ton) Total penyerapan karbondioksida (ton)

3.5 Prospek dan skema dari proyek REDD pro-miskin Setelah mengetahui sektor-sektor pada perubahan lahan di Jambi yang menghasilkan emisi karbon terbesar, bisa dikatakan bahwa ini merupakan titik awal bagi proyek-proyek lingkungan untuk bisa memfokuskan targetnya. Jika dilihat kembali tentang karakteristik dari tiga sektor penyebab emisi karbon terbesar, yaitu sektor karet, kelapa sawit dan pertanian adalah sektorsektor yang bersifat padat tenaga kerja. Dan sektor-sektor ini kebanyakan berada di daerah pedesaan. Untuk itulah prospek proyek REDD yang bersifat mendukung masyarakat kecil akan signifikan keberadaannya dalam upaya menciptakan kehidupan yang berkelanjutan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan konsep mata pencaharian yang berkelanjutan menurut Murdiyarso (2005) adalah bagaimana masyarakat yang bergantung pada sektor-sektor tertentu atau hutan bisa mendapatkan manfaat dari sebuah proyek yang dilakukan untuk bertujuan mengurangi emisi karbon di sektor-sektor tersebut. Sebagai contoh adalah proyek pada industri bubur kertas di Riau yang ternyata memberikan dampak negatif bagi masyarakat setempat dan mengurangi keragaman hayati. Tak dapat dipungkuri, bahwa sebagus apapun sebuah sistem atau pendekatan menejemen yang dipunyai oleh suatu proyek, akan sia-sia jika

Abdullah – Prospek Proyek REDD+

16


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

TOPIK UTAMA

tidak melibatkan masyarakat lokal sebagai salah satu pelaku ekonomi yang paling tinggi tingkat ketergantungannya terhadap sektor yang bersangkutan. Tentunya hal ini juga berarti bahwa sebuah proyek REDD seharusnya bisa memberikan keuntungan yang tinggi untuk masyarakat sekitar. Beberapa hal yang bisa dilakukan agar proyek REDD bisa bersifat pro-miskin adalah seperti melibatkan masyarakat setempat pada tahap awal sebuah REDD proyek. Hal ini selain ditujukan untuk lebih memahami tentang kondisi dan situasi dari sebuah proyek REDD juga dengan melibatkan masyrakat setempat dari tahap awal akan memberikan sebuah kepercayaan bagi masyarakat lokal bahwa proyek REDD akan bermanfaat bagi mereka. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan kolaborasi dengan organisasi lokal yang juga akan meningkatkan hubungan kerjasama pada jangka panjang. Selanjutnya Murdiyarso (2005) juga menyebutkan bahwa pemanfaatan hukum tradisional atau kebijakan lokal dari masyarakat setempat terbukti telah mampu memperkuat keberhasilan proyek REDD di Timor leste. Masyarakat lokal di Timor Leste mempercayai sebuah hukum lokal yang disebut Tara bandu yaitu sebuah hukum untuk melindungi hutan, danau, sumber air dan hewan setempat. Selain keterlibatan masyarakat lokal terhadap sebuah proyek REDD, Schwarte and Essam (2011) menyatakan bahwa pihak negara maju hendaknya menambahkan syarat yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan, dan keuntungan bersama (co-benefit). Keuntungan bersama yang dimaksud adalah agar proyek REDD bukan hanya bisa mengurangi emisi karbon saja tetapi juga memberikan manfaat lain bagi masyarakat miskin, yaitu melalui penciptaan lapangan kerja, investasi, dan pelibatan masyarakat lokal dalam proyek REDD. Semuanya ini diharapkan mampu menciptakan proyek REDD yang bersifat yang berpihak pada masyrakat miskin dan mampu meningkatkan keberhasilan terciptanya pembanguan yang berkelanjutan pada jangka panjang. 5. Kesimpulan Melalui kajian analitis-deskriptif yang singkat, diharapkan tulisan ini mampu memberikan gambaran singkat tentang bagaimana perubahan lahan, perubahan cadangan karbon atau emisi karbon yang terjadi di Jambi terutama pada sektor kelapa sawit yang merupakan salah satu sektor unggulan bagi perekonomian Jambi. Makalah ini juga memberikan paparan sederhana tentang prospek, manfaat serta saluran yang bisa dilakukan untuk proyek REDD yang bersifat pro-miskin. Hal-hal yang bisa dilakukan untuk menciptakan proyek REDD yang berpihak pada masyarakat miskin dengan cara menambahkan kriteria pada kategori yang memenuhi syarat maupun dengan melibatkan masyarakat lokal pada tahap pelaksanaannya. Referensi 1. 2. 3.

4.

5. 6. 7.

8.

http://baliwww.com/jambi/map.htm. [Diakses 4 Juli 2011] Biro Pusat Statistik, 2010. Jambi Dalam Angka. Jambi, Indonesia Blog Kehutanan CIFOR, April 28, 2011. http://blog.cifor.org/2742/pidato-utama-oleh-yang-mulia-dr-susilo-bambang-yudhoyono-pada-konferen si-internasional-2011-business-for-the-environment-global-summit/ [Diakses 1 Juni 2011] Dufournaud CM, Harrington JJ, Rogers PP. 1988. Leontief’s “Environmental Repercussions and the Economic Structure...” Revisited: A General Equilibrium Formulation. Geographical Analysis 20 (4), 318-327. Ohio: Ohio State University Press Hairiah K, Sitompul SM, van Noordwijkm, 2005. Rapid Carbon Stock Appraisal. World Agroforestry Centre (ICRAF), Southeast Asia Regional Program. Bogor, Indonesia. ICRAF, Database dari kantor Pusat Asia Tenggara, Bogor, Indonesia. Murdiyarso, 2005. Carbon Forestry: Who Will Benefit? Proceeding of Workshop on Carbon Sequestration and Sustainable Livelihoods. Centre of International Forestry Research (CIFOR). Bogor, Indonesia + Schwarter and Essam, 2011. Carbon Righteousness: How to Lever Pro-poor Benefits from REDD . IIED Briefing Paper. http://pubs.iied.org/17097IIED.html.

Abdullah – Prospek Proyek REDD+

17


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

TOPIK UTAMA

In Search of a Unique Approach for Sustainable Development: A Notion from the LEAD Program T.M. Luthfi Yazid Faculty of Law, Gakushuin University, Tokyo, Japan Luthfi Yazid and Partners Law Firm (www.lyzlaw.com) E-mail: tmluthfiyazid@yahoo.com

Abstract This article explores the concept of development by evaluating the existing approach to the development and environment. It also addresses the questions on how humankind deals with the environment and the development problem; how can environmental science, environmental law, environmental economic, environmental politic etc. solve the environmental crisis; and, how do we evaluate a unique approach of sustainable development in relation to the LEAD Program (Leadership for Environment and Development). Keywords: Sustainable development; environment; LEAD Program ©2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Introduction “Sustainable development is development that meets the needs of the present without 1 compromising the ability of future generations to meet their own needs” . The term of sustainable development has become buzzword to everyone who committed to 2 development and environment . This term has been included in numerous international agreements after the Brundtland Commission presented its report to the General Assembly of 3 the United Nation in 1987. This report was known as “Our Common Future” . Since then, this term has been globally recognized. The questions are then: What is sustainable development? Why is it important? What is the relationship with the world, humanity and the future generation? Further, what went wrong with the development? This essay will explore the existing concept of development. It will evaluate the existing approach to development and the environment. How must humankind deal with the environment and the development problem? Further, how can environmental science, environmental law, environmental economic, environmental politic etc. solve the environmental crisis? Finally, it will evaluate a unique approach of sustainable development in relation to the LEAD Program. LEAD stands for the Leadership for Environment and Development. It was established by the Rockefeller Foundation in 1991 based in New York and since 2000 moved to London. It is a global network of emerging young leaders from more than 80 countries that committed to sustainable development issues. 2. The World, Humanity and The Environment The world needs a new approach for development. Since the Industrial Revolution, the exploitation of natural resources has grown very fast and cannot be stopped. At the end of World War II the developed countries promised to assist the pre-industrial countries in terms of 4 economics and technology . At the same time, “the population growth rate has not dropped as fast as the population base has grown. Therefore, the number of people added each year 5 continues to increase” . Since then, economic development of the nations always relied on

Yazid – LEAD Program

18


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

TOPIK UTAMA

substitution of new form of energy. Increasing number of population and a huge economic 6 expectation enable to accelerate demand for more energy . In one side, the Industrial Revolution had created welfare around the globe because the production had dramatically increased and more technology infrastructure had been invented. But on the other side, a huge exploitation of natural resources has created scarcity, as many natural resources are limited. Furthermore, high level of deforestation and pollution has created disaster to humankind. Deforestation has not just created floods but also destroyed species and bio diversity forever. Because of forest has been cleared, scientist has predicted that by the year 2025, one quarter 3 of the plant species are going to extinct . At the same time, pollution has not only attacked the human health but also created the ozone layer depletion at tremendous level of dangerous for humanity and the world. If this trends goes on, in 2030-2050 the atmosphere will contain greenhouse gases in the same level of capacity for absorbing radiant heat to about twice that of 7 the existing carbon dioxide in the middle of the last century . The negative impact of development has created an awareness of people in this planet. Therefore, there were many international meetings on environment and development. The first international gathering on humankind and the environment was held in Stockholm. A British environmental expert said that the Stockholm Conference (5-16 June 1972), attended by 113 countries, was the historical moment of human being in which the humankind has searched for 8 a new paradigm . At this conference the 5th of June was also declared as the World 9 Environmental Day . The following numerous environmental gatherings were held in Oslo, Norway (June 1985), Sao Paolo, Brazil (October 1985), Ottawa, Canada (May 1986), Harare Zimbabwe (September 1986), Nairobi, Kenya (September 1986), Berlin, Germany (January 1987), Moscow, USSR, CIS (December 1986), Tokyo Japan (February 1987), London United Kingdom (April 1987), and 10 New York, United State (October 1987) . There were also Kyoto meeting that produced Kyoto Protocols in (December, 1997) that produced Kyoto Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate Change, the Copenhagen Climate Change Summit (December 2009) was a gathering of world leaders and other related and further meetings. The peak of the conference was held in Rio de Janeiro Brazil 3-14 June 1992. This big conference had created Rio Declaration on Environment and Development (Rio Declaration), Agenda 21, The Forest Principles, The Framework Convention on Climate Change, and the 11 Convention on Biological Diversity . This first Earth Summit was attended by 143 states and 6000 organizations, including the LEAD. Julia Preston, a columnist of the Washington Post, wrote, “… it will be the largest United Nations conferences and largest high level political 12 gathering in history” . The other Earth Summit was held on 26 August to 04 September 2002. This event, the World Summit on Sustainable Development was held in Johannesburg South Africa. The LEAD participated as a special guest and to deliver its achievement and views on sustainable development. In this regard, the principles of sustainable development can be elaborated as follows: The first principle is intergenerational equity. It is a principle of justice between present generation and the future generation. Sustainable development means “development that meets the needs of 1 the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs” . So, not only present generation that has the right to natural resources and environment, but also the next generation. Rawls’s theory of justice offers moral standard, that the future generation 13 must have similar access to the same resource as the previous generation . To ensure that the future generation will not encounter worse situation caused by present generation, an idea to set up Intergenerational Fund was proposed. It is a kind of compensation in which the present 14 generation must put some fund in cash for the next generation . The second principle is equity within one generation. It is a principle of justice within one generation, the existing generation. Basically, every member in one generation supposed to

Yazid – LEAD Program

19


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

TOPIK UTAMA

have the same access to explore and use the natural resources. However, in reality, there is a big discrepancy to have such equal access. The third principle is conservation of biological diversity. The biological diversity is a necessary requirement for sustainable development. As biotechnology will become a key of development in the years to come as property rights, the biological diversity will become an investment and 15 expensive commodity that will gain economic returns . The lost of biodiversity means the lost of 16 benefit . The fourth principle is precautionary principle. Development must not endanger natural life, humanity or the environment itself. To prevent the environmental impact, it must start from the beginning of any activities such as implementing environmental impact assessment. There are many industrial or economic activities that create damage to the environment because they did not include environmental consideration. They have argued that a development cannot be 17 reached without environmental degradation . Hence, “polluter-pays” principle must be implemented. As such, every project must entail the environmental impact assessment. Legal instruments and mechanisms must be enforced. This precautionary principle has been implemented and become jurisprudence for example in the case of Wapda vs Zehla Zia in 18 Pakistan in 1994 . The fifth principle is internalization of environmental cost or merging environmental cost into the process of production. For a short term, merging environmental cost into the process of production is probably not profitable, but for a long term it will create more advantages. In this 19 regard, the economist must rediscover and overcome the environmental problem . This strategy will be useful especially for industrial product and activities. Moreover, the environmental requirements has been implemented for instance ecological labeling (eco-label) scheme, ISO related environmental scheme, green investment etc. These are the barriers to 20 enter the competitive market . At this point market becomes very powerful. However, to implement sustainable development principle is not an easy task. In June 1997, the United Nations Assembly arrived to a complete evaluation of the sustainable development goals by concluding that “overall trends with respect to sustainable development are worse today than 17 they were in 1992” . In general, there are three obstacles, which will be encountered to reach sustainable development. The first obstacle is the weak of awareness within business and economic players. Most of them just concern at the economic profit by exploiting natural resources, but do not care about the impact of destruction due to the exploitation. It is unsustainable pattern of production and consumption that threaten the future global prosperity. For example, PT Freeport Indonesia, a US company operating in Indonesia since 1961, has changed a mountain 18 to become a lake during its exploitation of gold recourses in West Papua . Therefore companies must change their pattern of production to meet sustainable development conditions. 21 The companies must go beyond the narrow sectoral point of view . Furthermore, the industrial 22 countries are the biggest contributors of pollution . They are also number one consumers of the world’s energy and many other natural resources. Such consumption has deliberately created a 23 big environmental problem of the world, hence must be changed . Further, a forest study conducted by the Food Agricultural Organization and the United Nations for Environmental Program mentioned that in the 1970 decade there was about 1.6 billion hectare tropical forest. In 1980’s there was only 900 million hectares. Every year about 10 10 million hectares come to extinction and another 10 million hectare destroyed . In the Rio Earth Summit the US deliberately refused to attend the Summit if the conference explored and discussed on the issue of carbon dioxide (CO2). It has shown a poor attitude of an industrialized country. The United States was the only nation that refused to sign the 24 Convention on Biological Diversity . Of course, this refusal can be understood since the US is the biggest contributor of CO2 that creates pollution all over the world. It was a real hypocrisy of

Yazid – LEAD Program

20


INOVASI

TOPIK UTAMA

Volume 19 Nomor 2 September 2011

25

the US, because for years this country claimed to concern on the environmental issues . At this stage, environmental issues can create the winners and the losers. Some individuals and groups can take part in the games while the other cannot. Many people eager to pay attention to environment while the other would accept compensation for the lost of environmental assets. 26 Middleton express it, as “It is a global casino, working of gambling joint”. In contrast, a long debate between the South and the North is inefficient and counterproductive since there is no real output. The second obstacle is poverty issue. Many people, especially in developing countries, are 27 facing poverty. Sen said, “Persistence of extensive hunger in a world of unprecedented prosperity is surely one of the worst”. The hunger, death, heat, cold, homeless, disease, illiteracy are the product of poverty. The people who live in such situation are difficult to act according to sustainable development expectation. The only main important concern for them is survival. They do not care about sustainable development issues. Because they live in poverty line, it is easy for them to cut the forest or exploit the natural resources. They probably did not realize that those actions can create deforestation, flood, pollution, extinction of species, ozone layer depletion, and as such. The third obstacle is the weakness of law enforcement in local, regional as well as international level. There are many legal instruments but they do not work. In line with the increasing level of environmental crisis, now there are more environmental organizations in regional, national and international level. Some examples of international organization which directly or indirectly related to sustainable development are: Organization for Economic Cooperation and Development (OECD), United Nations Environmental Program (UNEP), UN Habitat, the United Nations International Children’s Emergency Fund (UNICEF), the United Nations Development for Women (UNIFEM), World Bank and World Health Organization. In regional level there are: The UN Economic and Social Commission for Asia and Pacific, the UN Economic and Social Commission for Western Asia, The UN Economic Commission for Europe, the UN Economic Commission for Africa, the UN Economic 28 Commission for Latin America and Caribbean . Instead of environmental movements through NGOs, there are also environmental political parties such as the Ecology Party was established in the United Kingdom in 1973; the Values Party was established in New Zealand and the 29 Green Party in the US . Further, there are also research institutes for instance World Research Institute, International Institute for Environment and Development, International Institute for Sustainable Development and World Information Transfer. There are also numerous international conventions for example the Convention to Combat Desertification (CCD), the Convention on Biological Diversity (CBD), the Convention on Climate Change (CCC), the Convention on Wetland, the Convention on International Trade Endangered Species (CITES), the Convention on Migratory Species of Wild Animals and Related Meetings (CMS), Basel Convention on the Control of Trans-boundary 30 Movement of Hazardous Wastes and Their Disposal . In terms of environmental conventions, 31 the problem is not only interpretations of statutory provision but also the enforcement of the legal instruments, conventions, protocols, agreements, and as such. The environmental organizations and movements such as the Green Peace, the Friends of the Earth and the World Wide Fund (WWF) are important to be taken into account. The LEAD (Leadership for Environment and Development) is not just different with other environmental organizations or movements, but also entails a “unique approach” to sustainable development. Based on the above elaboration, it becomes clear that the key drive to meet sustainable development objective is the human resources. The human resources are not only a big 32 investment for the future , but also the key of the human progress. Again, the “human being are 28 at the center of concern for sustainable development”, (WHO ). In this regard, the LEAD was designed. The following part of this paper will explore the role of the LEAD in promoting its approach for sustainable development.

Yazid – LEAD Program

21


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

TOPIK UTAMA

3. LEAD: A Unique Approach As mentioned earlier, the relationship between humanity and the living world is very complex. It means those complexities cannot be solved by using a single perspective. If there was a partial and an arrogant approach in the previous way of thinking, for example environmentalists or environmental lawyers used to think that only them who can solve the environmental problem, this approach must be changed. All the disciplinary approach must co-operate to overcome those problems since they are interdependent. For examples, environmentalist, economist, engineers, scientists, doctors, politicians, lawyers, religious leaders, formal/informal leaders and all the people must work together to solve such problems. Such relationship cannot be established without mutual understanding, trust, appreciation and strong commitment. Based on those experiences, now is the time to establish new generation who has broadened and holistic perspective in dealing with the problems of development and environment. At this point the LEAD comes to offer its proposal. The aim of the LEAD is to create and sustain a global network of emerging young leaders in different countries to deal with the issues of development and environment. Human resource becomes the priority of the program, because if human resource do not come first then 33 development become incompatibilities . Achievement in human development must positively 4 correlate to economic variables . This human capital is actually “genuine saving” and 34 investment and therefore will be beneficial in the future. The LEAD is an international network of young professionals of currently about 1200 Fellows and Associates who committed to sustainable development from more than 80 countries through its 13 national and regional Member Programs in Brazil, Canada, China, Brazil, Indonesia, The Commonwealth of Independent State, Europe, Francophone Africa, India, 35 Japan, Mexico, Nigeria, Pakistan and six countries of Southern Africa . The vision of the LEAD is rooted in the ethical values that bring our planet and all life to arrive 2 into sustainability. However, this is not sustainable as rhetoric and without meaning . It is an achievable sustainable development. The LEAD committed to achieve a global society based on mutual obligation and shared responsibility. To achieve this goal, the LEAD provides a two years training based on contemporary notion of sustainable development and current information through lectures, role-playing, research, interaction with international resources person in various expertise, field studies and case studies. This method brings the Associates from a limited-discipline–awareness of problems encountered to an interdisciplinary and intersector approach of action. Above all, the Associates are required to understand the historical background of development and environment, the dilemma encountering the world, identifies current policies in deferent ways of analysis. Further, to analyze not only economy and social activities, but also to examine an appropriate relationship between human life and the rest of biosphere such as ecology, population, poverty, technology, industry, and the use of natural 36 resources . Take it further, the second year of embarking training the Associate are expected 37 to implement their interdisciplinary approach into their analysis and action . The LEAD also provides LEADnet that enable the Associates and Fellows to keep in touch to share their experiences, information and to set up long-term solidarity. They encourage Associates and alumni to share information without discrimination on the bases of race, religion, cultural background, language, gender and ideology. Indeed, the humanity itself is 38 interdependence . The LEAD fosters a learning environment based on mutual understanding, tolerant, broad perspective, equal access and open minded of thinking. The Fellows are hoped to make contribution individually and collectively in their fields of work, families, communities, 39 countries, and in the global scale . The LEAD Associates are drawn from press, governmental sectors, Non Governmental 40 Organizations (NGOs), universities, private sectors, public sectors and business community . Individuals recruited into the LEAD and participate in the program was called as Associates. After they graduated from this program for two years training they become Fellows for life. In all

Yazid – LEAD Program

22


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

TOPIK UTAMA

Associates until 2001 there has been approximately 60% male and 40% female. Concerning to the sectors of Associate the figures as follows: governmental or public sector (40%), private sector (30%) and NGOs (30%). From all Associates the majority gained Masters level or 39 equivalent, around 20% has bachelor degrees and 30% PhDs level . The program is conducted by the International Managing Committee and supported by the Board of Directors. The first International Managing Committee as well as one of the founders 41 was Sir Sridath Ramphal (Secretary General of the British Commonwealth State for 15 years) , a member of the Brundtland Commission and he used to be a chancellor at the University of Warwick. In the LEAD Board of Directors there are some noted names such as the former president of Costa Rica (1994 to 1998), Jose Maria Figueres, and Maurice F Strong, the first Executive Director of the UN Environment Program (UNEP) who gained honorary doctorates from 41 universities. Further, the LEAD alumni have made contribution in the field of sustainable development. Some of the alumni have been elected as member of parliaments, ministers and other public position. This scholarship is very selective and highly competitive process. Therefore to be an Associate there are several requirement, for instance the candidates must have good educational background, mid-career of professionals who are identified as potential leaders or expected to be a future leaders. They probably understand a little about environment and development 39 issues, but they have commitment to sustainable development . From 80 countries, about 13 Associates for each country are being selected. The training last for two years, which entails 12 weeks direct national training and 6 weeks through international training including graduation. The international training and field visits are held in various places such as Costa Rica, Thailand, Zimbabwe, China, Canada, America, Pakistan, Japan, and Brazil etc. The lectures cover politic, economic, environment, development, ideology, law, philosophy etc. The Associates learn from the theory of Gaia which stated that the earth to be alive, self regulating, 42 self-changing and enable to cure itself from the sickness to the theory of postmodernism from Foucault, theory of deconstruction from Derrida and so fort. 43

If Friends of the Earth is a national campaigning organization that established in Britain 1971 44 or if the Green Peace is a campaigner vehicle , the LEAD is definitely a unique program. It provides a holistic perspective and global network for young people of professionals with 45 specific skill to bring society toward sustainable development , and how to deal with conflict of development and environment. Taking further, the Associates learn skill bases of negotiation, mediation and conciliation. Finally, after graduation as the LEAD alumni, they keep in touch through LEADnet to share their knowledge, experience and notions in creating new sustainable development approach towards a prosperous future. Basically, to establish cooperation is a 17 taken for granted but not sufficient , hence it needs to mobilize action at any level. Through LEAD, those principles of sustainable development as explained above are being examined from multi disciplinary point of view. The question then, why is the LEAD Associates from mid-career professional or young generation? Because, in the near future they will be decision makers in any chosen sectors. By this approach, they are being expected to put sustainable development concern in making their policies. It is like putting “sugar” in the cup of tea. “Sugar” is the environmental concern. If, every decision makers consider the environmental issues, in the future there will be a positive result. However, the LEAD still encounters criticism since its role more to prepare human resources rather than action. The LEAD, of course, is not something perfect. 4. Conclusion Water pollution, air, soil, climate change, deforestation, ozone depletion are a part of environmental degradation. It has occurred for a long time and threatened the humanity and the future of the world. Hence, there was a notion of sustainable development. Sustainable development issue has become internationally recognized after the Brundtland Commission presented “Our Common Future” (1987) to the General Assembly of the United Nations. Since

Yazid – LEAD Program

23


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

TOPIK UTAMA

then, many environmental meetings, environmental agreement, protocols and organization have been made. The main objective is how to create development that meets the needs of present generation without negligence to the needs of the future generation. However, the problem of environment as well as development is very huge and complex. It cannot be solved only with a narrow perspective since environment and development encounter many problems, obstacles that entail polycentric matters. To approach environment and development, it needs a holistic approach by which economist, politicians, scientist, environmentalist, public servants, lawyers, all citizens work together to change unsustainable pattern of production and consumption. The LEAD offers this approach. The LEAD is a unique program, designed to prepare human resources through the new approach. By a very selective, transparence process and competitive program, it has the mission and vision to create young leaders of the future, who are sensible to sustainable development issues. It provides Associates with high quality standard of teaching and learning environment irrespective their background, race, nationality, religion, language and gender, to respect each other and to set up strong solidarity. Now LEAD has more than 1200 alumni and Associate from more than 80 countries of the world. The Associates come from diverse sectors such as NGOs, companies, academia, mass media and governments and from mid career professionals who are identified as potential young leaders. They will embark in national training for two years and international training in other countries, to learn how to deal with sustainable development issues by attending lectures, field visit, and research, interact with various experts, role-playing and case studies. In addition, the LEAD alumni are expected to make contribution individually and collectively to its society at any level. If the LEAD alumni become decision makers, they are expected to consider the environmental issues in all their activities. They must integrate the environmental consideration into their policy. In fact, the LEAD alumni have contributed in their profession all around the world. Some of the LEAD alumni have been elected as member of parliaments, ministers and other public position. Finally, the Associate and alumni are able to keep in touch through LEADnet. This technology is very powerful to disseminate the idea and to socialize the LEAD’s concern. Of course, there is criticism for the LEAD since it concerns mostly at preparing the human resource rather than action. However, through the LEAD there is still a hope for a better future. The LEAD, however, is only an example of sustainable development movement and far from perfect.

References 1. 2.

Brundtland Commission. Our Common Future. 1987. Munro, David A. Sustainability: Rhetoric and Reality. In: A Sustainable World, Defining and Measuring Sustainable Development, Trzyna TC Ed. International Center for the Environment and Public Policy, California Institute of Public Affairs. 1995. 3. Daly JE. Toward Sustainable Development: In Our Common Interest. Pace Law Review. 1995. 4. Piel G. Only One World. New York: W.H. Freeman and Company. 1992. 5. Meadows, Donella H, et al. Beyond the Limits. London: Earthscan Publications Limited. 1992. 6. LaPorta C. Renewable Energy: Recent Commercial Performance in the USA as an Index of Future Prospects. In: Global Warming The Green Peace Report, Leggett J Ed. Oxford University Press. 1990. 7. Woodwel GM. The Effects of Global Warming. In: Global Warming The Green Peace Report, Leggett J Ed. Oxford University Press. 1990. 8. Sale K. Revolusi Hijau (translated from The Green Revolution: The American Environmental Movement 1962-1992). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 1996. 9. Hardjasoemantri K. Hukum Tata Lingkungan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 1991. 10. Soemantri B. Hari Depan Kita Bersama. Jakarta: Gramedia. 1988. 11. Silveira MPW. International Legal Instruments and Sustainable Development: Principles, Requirements, and Restructuring. Willamate Law Review. 1995. 12. Preston J. International Herald Tribune. May 14, 1992.

Yazid – LEAD Program

24


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

TOPIK UTAMA

13. Pearce D et al. Sustainable Development, Economics and Environmental in the Third World. London: Earthscan Publication. 1997. 14. Pearce DW and Warford JJ. World Without End: Economics, Environment and Sustainable Development. Oxford University Press. 1993. 15. Swanson T, Ed. Preserving Biodiversity: The Role of Property Rights. Cambridge University Press. 1995. 16. Pearce D and Moran D. The Economic Value of Biodiversity. London: Earthscan Publications Limited. 1994. 17. Dernbach JC. Sustainable Development as a Framework For National Governance. Case Western Reserve Law Review. 1998. 18. Yazid TML. Mencari Paradigma Baru Bagi Soal-soal Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Kedaulatan Rakyat (http://www.kr.co.id). July 9, 1996. 19. Commoner B. The Closing Circle: Confronting the Environmental Crisis. London: Jonathan Cape. 1972. 20. Panayotou T. Green Markets, The Economic of Sustainable Development. San Francisco: Institute for Contemporary Studies. 1993. 21. United Nations. Sustainable Development: Changing Production Patterns, Social Equity and the Environment. UN Commission for Latin America and Carribean. 1991. 22. Ward B and Dubos R. Hanya Satu Bumi (translated from Only One Earth). Jakarta: Yayasan Obor. 1974. 23. United Nations. The Global Partnership for Environment and Development, A Guide to Agenda 21 Post Rio Edition. New York: United Nations. 1993. 24. Coughlin MD. Using The Merk-Inbio Agreement to Clarify the Convention on Biological Diversity. Columbia Journal of Law. 1993. 25. Yazid TML. Meneropong Perhelatan Akbar di Rio de Janeiro 1992. Jakarta: Merdeka. June 3, 1992. 26. Middleton N. The Global Casino, an Introduction to Environmental Issues. New York: John Wiley and Sons, Inc. 1995. 27. Sen A. Development as Freedom. New York: Alfred A Knopf, Inc. 1999. 28. http://www.earthsummit2002.org/es/issues/health/health.htm 29. Yazid TML. Politisasi Gerakan Lingkungan Hidup. Jakarta: Gatra Magazine (http://www.gatra.com). September 28, 1996. 30. http://www.iisd.ca/lingkages/enbvol/enb-activities.htm 31. Ball S and Bell S. Environmental Law. London: Blackstone Press Limited. 1994. 32. Cornia GA. Investing in Human Resource: Health, Nutrition and Development for the 1990s. In: Human Development and International Strategy for 1990s, Griffin K and Knight J, Ed. London: Macmillan Academic and Professional Ltd. 1990. 33. Kottak CP. Some Sociological Lessons From Completed Projects. In: Putting People First Sociological Variables in Rural Development, Cernea MM, Ed. Oxford University Press. 1985. 34. Atkinson G et al. Measuring Sustainable Development, Macroeconomics and the Environment, Cheltenham: Edward Elgar Publishing Limited. 1997. 35. http://ksgnotes1.harvard.edu/BCSIA/forum.nsf/proj/lead 36. Elliott JA. An Introduction to Sustainable Development The Developing World. London: Routledge. 1994. 37. http://www.lead.org/lead /training/curriculum/curr/ curriculum.htm 38. Adam WM. Green Development, Environment and Sustainability in the Third World. London: Routledge. 1990. 39. http://www.lead.org/lead/training/international/pakistan/2001/Papers/ LEAD_overvie.. 40. http://www.lead.org/lead/about_lead.html 41. http://info.cis.lead.org/lead/welcome.html 42. Lovelock J. The Ages of Gaia A Biography of Our Living Earth. Oxford University Press. 1988. 43. Porrit J, Ed. Friend of the Earth. London: Macdonald & Co. Publisher Ltd. 1987. 44. Legget J, Ed. Global Warming the Green Peace Report. Oxford University Press. 1990. 45. http://www.leadcanada.org/common/LEAD%20Uniquness.doc

Yazid – LEAD Program

25


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

HUMANIORA

Analisis terhadap Kesiapan Indonesia dalam Menghadapi Liberalisasi Pelayanan Hukum di ASEAN Azhar Fakultas Hukum, Universitas Sriwijaya E-mail: aazhar_2000@gmail.com

Abstrak Sebagai tindak lanjut dari ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) pada Pertemuan Puncak ASEAN di Bangkok pada 15 Desember 1995 yang dihadiri oleh para menteri bidang ekonomi ASEAN, paragraf 4 ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint mengingatkan kembali pemimpin ASEAN pada Pertemuan Puncak Pemimpin ASEAN yang ke-12 agar mereka memenuhi komitmennya untuk mempercepat pelaksanaan program negara-negara ASEAN yang telah ditetapkan pada 2015. Salah satu programnya adalah liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum. Tulisan ini membahas tentang kesiapan Indonesia dalam menghadapi liberalisasi pelayanan bidang hukum di ASEAN. Pertama, kita akan membahas dasar dari liberalisasi ini dalam Piagam ASEAN. Kemudian, pembahasan tentang apa yang dimaksud dengan liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum. Pembahasan dilanjutkan dengan liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum dan sejarah pelayanan dalam bidang hukum di Indonesia. Setelah itu kita akan membahas kualifikasi apa yang diperlukan untuk memberikan pelayanan dalam bidang hukum di Indonesia dan di mana hal tersebut diatur ; bagaimana kedudukan advokat lokal dan advokat asing di Indonesia. Terakhir, makalah ini menganalisis liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum di Indonesia dengan menggunakan analisis SWOT. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian diskriptif analitis. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa Indonesia harus mempersiapkan diri terlebih dahulu sebelum membuka keran liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum, baik dalam hal infrastruktur, teknik beracara, ilmu dan sumber daya manusia. Kata kunci: Liberalisasi, pelayanan, hukum, ASEAN, Indonesia

1. Pendahuluan Berdasarkan Pasal 1 Ayat 5 ASEAN Charter atau Piagam ASEAN yang berbunyi bahwa salah satu tujuan dibentuknya ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) atau Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara bertujuan “menciptakan pasar tunggal dan berbasis produksi yang stabil, makmur, sangat kompetitif, dan terintegrasi secara ekonomis melalui fasilitasi yang efektif untuk perdagangan dan investasi, yang di dalamnya terdapat arus lalu lintas barang, jasa-jasa dan investasi yang bebas; terfasilitasinya pergerakan pelaku usaha, pekerja 1 profesional, pekerja berbakat dan buruh; serta arus modal yang lebih bebas.� Untuk mencapai tujuan ini, kerjasama Perhimpunan Bangsa-Bangsa ASEAN dalam perdagangan dan pelayanan telah dituangkan secara institusional oleh pemimpin ASEAN di dalam ASEAN Framework Agreement on Services (AFAS) pada Pertemuan Puncak ASEAN di Bangkok, 15 Desember 1995, yang dihadiri oleh para menteri ekonomi ASEAN. Hal ini kemudian ditinjaklanjuti dan diperkuat dengan kesepakatan yang tertuang didalam paragraf empat ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint yang mengingatkan pemimpin ASEAN di pertemuan puncak pemimpin ASEAN yang ke-12 untuk memenuhi komitmen mereka dalam mempercepat pelaksanaan suatu komunitas negara-negara ASEAN yang telah ditetapkan pada 2015. Ini berarti bahwa untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut masih ada sisa waktu kurang lebih 2 empat tahun.

Azhar – Liberalisasi Pelayanan Hukum di ASEAN

26


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

HUMANIORA

Salah satu aspek di dalam tujuan dibentuknya ASEAN adalah liberalisasi perdagangan dalam bidang pelayanan hukum. Dalam makalah ini kita secara khusus akan membahas profesi pelayanan hukum di Indonesia, yaitu profesi advokat. Pembahasan dilanjutkan dengan masalah advokat asing yang ingin berpraktik di Indonesia. Setelah itu kita akan menganalisis liberalisasi pelayanan hukum di Indonesia dengan menggunakan analisis SWOT. Di bagian akhir, kita akan mendiskusikan langkah-langkah apa yang sebaiknya dilakukan Indonesia dalam rangka mengantisipasi liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum di lingkungan negara-negara ASEAN. 2. Liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum Sebelum kita membahas lebih lanjut tentang liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum di Indonesia, kita akan membahas apa yang dimaksud dengan liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum tersebut yang sudah ditetapkan akan diberlakukan pada 2015 nanti. Liberalisasi secara 3 umum adalah proses atau usaha untuk menerapkan paham liberal dalam kehidupan. Dalam hal ini yang dimaksud dengan liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum, yaitu memberikan kebebasan kepada para pelayan hukum atau advokat di negara-negara ASEAN untuk memberikan pelayanan dalam bidang hukum di seluruh negara-negara ASEAN. Liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum di negara-negara ASEAN dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: • • •

Kebebasan untuk beracara hukum negara ketiga. Kebebasan untuk beracara hukum internasional. Kebebasan untuk beracara terhadap hukum negara tuan rumah yang bersangkutan.

Dari ketiga hal tersebut, komitmen yang ada di antara negara-negara ASEAN hingga saat ini adalah liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum negara ketiga dan hukum internasional. Ini berarti belum ada satu pun negara-negara ASEAN yang memberikan liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum kepada advokat asing untuk dapat beracara hukum di negara pengadilan tersebut berada. Pada umumnya, advokat asing hanya boleh beracara mengenai hukum negara ketiga dan hukum internasional, seperti yang telah dilakukan oleh Singapura. Satu-satunya negara anggota ASEAN yang telah melakukan liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum adalah Brunei Darussalam yang meliberalisasikan advokat asing untuk beracara hukum Brunei di pengadilan Brunei. Namun liberalisasi hukum di Brunei hanya terbatas bagi advokat yang berasal 4 dari Singapura, Malaysia, Skotlandia, Inggris, Irlandia Utara dan Australia . 3. Pelayanan dalam bidang hukum di Indonesia Berdasarkan peraturan yang berlaku di Indonesia, yang dimaksud dengan pelayanan di bidang jasa hukum adalah jasa yang diberikan advokat, yaitu memberikan konsultasi hukum, bantuan hukum, menjalankan kuasa, mewakili, mendampingi, membela, dan melakukan tindakan hukum 5 lain untuk kepentingan hukum klien. Sebenarnya profesi advokat di Indonesia telah diakui secara formal pada pertengahan abad ke-19. Hal ini dapat dilihat dalam Staatsblaad 1847-23 Regelement op de Rechtterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie yang mengatur tentang profesi sebagai advokat di Indonesia. Sayangnya, undang-undang tersebut hanya mengatur advokat yang berkebangsaan 6 Belanda. Dengan kata lain, undang-undang tersebut tidak memberikan dasar hukum bagi advokat bumiputera atau lokal (Warga Negara Indonesia) untuk ikut beracara di pengadilan. Namun, undang-undang itu sebenarnya juga tidak melarang Warga Negara Indonesia atau bumiputera untuk beracara di pengadilan di Indonesia. Hal ini terus berlangsung hingga Indonesia telah menikmati kemerdekaannya sejak 17 Agustus 1945. Profesi advokat di Indonesia justru secara tidak langsung diakui di dalam peraturan lain, yaitu hukum acara perdata dan 7 hukum acara pidana. Tidak diaturnya profesi advokat di Indonesia ini menyebabkan tidak adanya kepastian hukum, tidak adanya aturan yang jelas dan perlindungan terhadap advokat dalam menjalankan profesinya sehari-hari. Hal ini berlangsung hingga akhir abad ke-20.

Azhar – Liberalisasi Pelayanan Hukum di ASEAN

27


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

HUMANIORA

Sejalan dengan kondisi tersebut, timbullah permasalahan yang lain, yaitu munculnya berbagai 8 asosiasi advokat Indonesia dengan berbagai nama. Ada 7 (tujuh) asosiasi advokat di Indonesia , antara lain: • • • • • • •

Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) dan Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI) Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI) Serikat Pengacara Indonesia (SPI) Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI) Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM) Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI)

Di samping itu, ada juga asosiasi advokat di Indonesia yang tidak diakui oleh pemerintah. Hal tersebut menambah lagi permasalahan yang sudah ada, yaitu manakah asosiasi advokat yang sebenarnya. Untuk menjawab persoalan tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat bersama Pemerintah Republik Indonesia pada 5 April tahun 2003 telah memutuskan, mengesahkan dan mengundangkan Undang-undang Tentang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 yang mulai diberlakukan pada bulan April 2004. Isinya meliputi: • • • • •

Persyaratan untuk dapat diakui sebagai advokat Persyaratan pelaporan Pendirian organisasi advokat Pembuatan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga 9 Pembuatan Kode Etik dan Dewan Kehormatan dan lainnya

Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat maka secara resmi atau hukum profesi advokat telah diakui di bumi Indonesia, khususnya advokat pribumi/lokal/Warga Negara Indonesia. Undang-undang tersebut telah mengamanatkan kepada 10 advokat di Indonesia untuk membuat satu wadah organisasi advokat. Organisasi advokat inilah yang berwenang menentukan siapa yang layak dan dapat menjadi advokat, untuk beracara di pengadilan serta melakukan advokasi hukum di Indonesia. Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang advokat bahwa yang dimaksud dengan “advokat” adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar 11 pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini. Hal ini berarti bahwa seseorang baru diakui sebagai advokat apabila dia telah memenuhi persyaratan untuk menjadi advokat dan telah dilantik menjadi advokat oleh organisasi advokat di Indonesia dalam hal ini PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia). Jadi, dengan kata lain bahwa hanya advokatlah yang boleh melakukan pelayanan dalam bidang hukum di Indonesia menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Sekarang kita akan membahas siapa yang dapat menjadi advokat di Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat. Di dalam undang-undang tersebut terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diangkat menjadi advokat di Indonesia. Pasal 2 UU No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat berbunyi: 1) Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar pendidikan tinggi hukum dan telah mengikuti PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat) yang dilaksanakan oleh organisasi advokat 2) Pengangkatan advokat dilakukan oleh organisasi advokat Selanjutnya di dalam Pasal 3 Ayat 1 dikatakan bahwa untuk dapat diangkat menjadi advokat di Indonesia seseorang harus memenuhi syarat-syarat berikut:

Azhar – Liberalisasi Pelayanan Hukum di ASEAN

28


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

HUMANIORA

a. b. c. d. e.

Warga negara republik Indonesia. Bertempat tinggal di Indonesia. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat negara. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun. Berijazah sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). f. Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi advokat. g. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus menerus pada kantor Advokat. h. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih; i. Berperilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil dan mempunyai integritas yang tinggi. Di samping itu, ada tiga persyaratan lain yang harus dipenuhi untuk menjadi seorang advokat yaitu: a. Mengikuti Pendidikan Khusus Profesia Advokat (PKPA). b. Ujian Profesi Advokat; dan 12 c. Magang. Yang dapat mengikuti PKPA adalah sarjana yang berlatarbelakang pendidikan tinggi hukum, yaitu lulusan fakultas hukum, fakultas syariah, perguruan tinggi hukum militer, dan perguruan tinggi ilmu kepolisian. Yang dapat mengikuti ujian profesi Advokat adalah pihak-pihak yang telah mengikuti PKPA yang diselenggarakan perguruan tinggi atau institusi lain yang mendapat persetujuan dari PERADI. Kemudian untuk dapat diangkat menjadi advokat, seorang calon advokat wajib memenuhi ketentuan magang sekurang-kurangnya dua (2) tahun secara terus-menerus di kantor advokat. PERADI telah mengeluarkan Peraturan PERADI No. 1 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Magang untuk Calon Advokat dan Peraturan PERADI No.2 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan PERADI No. 1 Tahun 2006. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa yang dapat diangkat sebagai Advokat adalah warga Negara Republik Indonesia, bukan pegawai negeri atau pejabat, berusia minimal 25 tahun, sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang dilaksanakan PERADI. Setelah itu, seorang calon advokat harus lulus ujian advokat dan mengikuti magang sekurang-kurangnya dua (2) tahun di kantor Advokat. Hingga saat ini Indonesia telah memiliki lebih kurang 22,000 advokat lokal yang terdaftar di Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI). Sebelum didengungkannya liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum, ternyata sudah banyak advokat asing bekerja di Indonesia. Kehadiran advokat asing di Indonesia sebenarnya bukan hal baru. Jauh sebelum diberlakukan UU No.18/2003 tentang Advokat pada bulan April 2004, sudah banyak law firm Indonesia memperkerjakan advokat asing. Mereka masuk sebagai technical assistance, padahal kerja mereka adalah memberikan layanan jasa dan menangani kontrak hukum yang berhubungan dengan luar negeri. Kehadiran advokat asing itu tidak terlepas tuntutan perkembangan hukum dalam kerangka transaksi antar negara yang tentunya melibatkan hukum asing ataupun hukum Internasioanal. Kehadiran mereka itu di dalam negeri hendaknya tidak dianggap sebagai ancaman bagi advokat Indonesia, tapi lebih merupakan 13 pemacu untuk meningkatkan kualitas pelayanan jasa hukum . Berdasarkan data dari PERADI pada tahun 2006 sebanyak 44 advokat asing diketahui telah mengajukan permohonan rekomendasi kepada Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) 14 untuk bekerja di Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena menurut Pasal 23 Ayat 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat bahwa Kantor Advokat di Indonesia dapat mempekerjakan advokat asing sebagai karyawan atau tenaga ahli dalam bidang hukum

Azhar – Liberalisasi Pelayanan Hukum di ASEAN

29


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

HUMANIORA

asing atas izin pemerintah dengan rekomendasi organisasi advokat. Jadi, dengan kata lain bahwa advokat asing dapat melakukan pelayanan dalam bidang hukum di Indonesia sebatas sebagai tenaga ahli dalam bidang hukum Internasional dan hukum negara ketiga. Sedangkan menurut Pasal 23 Ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang Advokat, bahwa “Advokat asing dilarang beracara di sidang pengadilan, berpraktik dan/atau membuka kantor jasa hukum atau perwakilannya di Indonesia.” Ini berarti bahwa advokat asing tidak boleh/dilarang melakukan fungsi nya sebagai advokat di Indonesia baik beracara hukum negara ketiga dan hukum Internasional di pengadilan Indonesia apalagi beracara hukum Indonesia di pengadilan Indonesia. Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa sampai sekarang berdasarkan peraturan yang berlaku bahwa advokat asing dilarang untuk beracara di sidang pengadilan dan membuka kantor jasa pelayanan dalam bidang hukum di Indonesia. Mereka boleh bekerja hanya sebatas sebagai tenaga ahli di kantor advokat milik orang Indonesia. 4. Analisis liberalisasi pelayanan bidang hukum di Indonesia Selanjutnya kita akan membahas liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum di Indonesia 15 dengan menggunakan analisis SWOT. Analisis SWOT terdiri dari: •

• • •

Strength adalah karakteristik yang menguntungkan yang dimiliki Indonesia untuk liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum dibanding negara-negara anggota ASEAN lainnya Weakness adalah karakteristik yang merugikan yang dimiliki Indonesia untuk liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum Opportunity adalah faktor eksternal yang sangat menguntungkan Indonesia untuk liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum Threat adalah faktor eksternal yang dapat menimbulkan masalah bagi Indonesia dalam liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum

4.1. Strength Dilihat dari ‘Strength’, ada beberapa hal yang dimiliki oleh Indonesia pelayanan dalam bidang hukum ini antara lain: •

Banyaknya jumlah advokat lokal di Indonesia yang berjumlah lebih kurang 22,000 orang; belum lagi yang sedang magang dan menunggu untuk dilantik menjadi advokat di berbagai kota dan provinsi di seluruh Indonesia. Ini merupakan sumber daya manusia yang berlimpah di Indonesia dalam rangka menyongsong liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum.

Di Indonesia hingga saat ini, setidaknya, terdapat 200 fakultas hukum dari berbagai Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta. Bila setiap tahunnya masing-masing fakultas hukum tersebut meluluskan 100 mahasiswa, maka dalam satu tahun ada sekitar 20.000 Sarjana Hukum baru se-Indonesia. Suatu jumlah yang luar biasa. Ini berarti Indonesia mempunyai sumber daya manusia pelayanan dalam bidang hukum yang berlimpah yang merupakan kekuatan yang bisa diandalkan dalam rangka menyongsong liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum.

Anggota ASEAN yang menganut sistem hukum sama dengan Indonesia yaitu civil law, antara lain Thailand, Vietnam, Laos, dan Kamboja. Ini akan mempermudah dan merupakan lahan bagi advokat Indonesia untuk beracara di negara-negara tersebut.

4.2. Weakness

Azhar – Liberalisasi Pelayanan Hukum di ASEAN

30


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

HUMANIORA

Dilihat dari ‘Weakness’, ada beberapa hal yang menjadi faktor kelemahan: •

Sistem hukum yang berbeda di negara-negara anggota ASEAN, seperti Malaysia, Singapura, Myanmar, dan Brunei, yang menganut Common Law System. Dimana terdapat perbedaan yang mendasar antara Common Law System dan Civil Law System. Pada Common Law System sumber hukumnya berdasarkan jurisprudensi atau case law dan peraturan, sedangkan pada Civil Law System semata-mata berdasarkan peraturan. Kemudian peranan advokat pada Common Law mengontrol persidangan dengan menerapkan adversarial system, sedangkan pada Civil Law System, hakim yang dominan dalam persidangan dengan menggunakan inquisitorial system. Kualifiakasi untuk menjadi hakim di negara-negara yang menganut Common Law System adalah advokat yang berpengalaman, sedangkan di negara-negara yang menganut Civil Law System kualifikasi hakimnya merupakan hakim karir. Untuk itu, di fakultas hukum di Indonesia harus diberi muatan materi keterampilan dalam beracara di pengadilan, tidak hanya pada Civil Law tetapi juga dilengkapi dengan materi beracara berdasarkan Common Law System, karena ada beberapa perbedaan yang mendasar dalam beracara di peradilan Common Law dan Civil Law Systems.

Bahasa yang berbeda digunakan di pengadilan negara-negara anggota ASEAN yang menganut sistem hukum Common Law pada umumnya bahasa Inggris, kecuali Myanmar, maka perlu dilengkapi pula sarjana hukum Indonesia dengan kemampuan berbahasa Inggris yang fasih dan mengerti bahasa teknis hukum yang digunakan dalam Common Law System. Disamping itu, harus dilengkapi dengan kemampuan bahasa asing lainnya seperti Thailand, Myanmar, Vietnam, Kamboja dan Laos.

Penguasaan praktik profesi hukum di Indonesia masih dipertanyakan. Seperti kemampuan teknis dalam beracara maupun negosiasi dan mediasi yang dimiliki rata-rata advokat kita harus ditingkatkan berdasarkan standard yang berlaku secara global. Untuk itu perlu ditingkatkan kemampuan teknis beracara di pengadilan, melakukan negosiasi dan mediasi diluar pengadilan.

4.3. Opportunity ‘Opportunity’ meliputi antara lain: •

Dengan sumber daya manusia yang banyak dan fakultas hukum yang berlimpah, Indonesia dapat menghasilkan sumber daya manusia sarjana hukum yang handal untuk menjadi advokat yang berkualitas dan berkemampuan yang tinggi.

Terbuka peluang bagi para advokat Indonesia untuk melebarkan sayapnya keberbagai negara-negara ASEAN khususnya Malaysia, Singapura, Brunei dan di negara-negara ASEAN lainnya. Sehingga dapat mengangkat nama, martabat dan harkat bangsa Indonesia di lingkungan negara-negara ASEAN. Kalau sekarang Indonesia terkenal dengan negara pengekspor tenaga kerja kasar dan pembantu, diharapkan setelah tahun 2015 nanti Indonesia bisa menguasai pelayanan dalam bidang hukum di negara-negara ASEAN, khususnya Singapura, Malaysia dan Brunei. Mengingat banyaknya warga negara Indonesia di tiga negara anggota ASEAN tersebut. Di Malaysia saja menurut Duta Besar Indonesia di Kuala Lumpur ada sekitar dua juta warga negara Indonesia di sana. Jumlah TKI yang legal sekitar 1.2 juta orang, mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia sekitar 14.000 orang, ekspatriat Indonesia di Malaysia ada sekitar 5.000 orang. Belum lagi warga Aceh yang memegang kartu tsunami ada sekitar 24,000 orang, kemudian yang pegang permanent resident (PR) juga ada ratusan ribu termasuk di Sabah dan Sarawak. Dari jumlah total dua juta tersebut, sekitar 500,000 yang merupakan TKI ilegal, 1,300 ratus orang sedang dipenjara di penjara Penang dan 233 16 orang warga Indonesia terancam hukuman mati . Menurut Duta Besar Indonesia di Bandar Seri Begawan terdapat 52,457 Warga Negara Indonesia yang terdiri dari TKI

Azhar – Liberalisasi Pelayanan Hukum di ASEAN

31


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

HUMANIORA

informal 28,302 orang. Sebagian besar TKI itu bekerja sebagai penata laksana rumah tangga (PLRT) dan sebagian menjadi sopir pribadi. Sementara itu, jumlah TKI formal di Brunei itu sebanyak 18,348 orang yang terdiri atas pekerja perminyakan 1,053 orang, konstruksi 10,806, industri perawat enam, perkebunan 343, sopir perusahaan 368, dan 17 pekerjaan lainnya sebanyak 5,735 orang . Sedangkan menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) bahwa jumlah WNI/TKI yang tinggal di Singapura sekitar 167 ribu orang, antara Lain; 92 ribu orang bekerja sebagai PLRT, 20 ribu orang tenaga profesional, dan 16 ribu sebagai pelaut di 18 Singapura. •

Para advokat Indonesia dapat menimba pengalaman dan meningkatkan kemampuan beracara di pengadilan negara-negara ASEAN maupun didalam negeri. Dapat membuka mata dan pola pikir (mindset) para advokat Indonesia bahwa profesi advokat profesi yang mulia, terhormat dan disegani oleh para penegak hukum lainnya dalam bidang penegakan hukum dan keadilan.

Dengan semakin banyaknya kasus hukum asing di Indonesia maupun hukum internasional dapat menambah pendapatan, ilmu dan kemampuan advokat Indonesia untuk menangani hukum negara ketiga dan hukum Internasional.

Para advokat Indonesia dapat meningkatkan kemampuan dan pelayanan hukum baik di dalam maupun di luar.

4.4. Threat Threats meliputi beberapa hal, antara lain: •

Ketidaksiapan lembaga perguruan tinggi di Indonesia untuk menghasilkan sumber daya advokat yang menguasai praktik profesi hukum dan sistem hukum Civil Law dan Common Law. Hal ini akan berdampak kepada kurang siapnya advokat Indonesia untuk berkompetisi dengan advokat-advokat dari luar negeri. Hal ini dapat kita lihat bahwa pada tahun 2006 saja lebih kurang 44 advokat asing yang mengajukan permohonan 19 rekomendasi kepada PERADI untuk bekerja di Indonesia . Sebaliknya belum ada advokat Indonesia mengajukan permohonan ke negara anggota ASEAN.

Kemampuan bahasa asing yang minim dapat menyebabkan advokat kita kalah dalam persaingan dengan advokat asing dalam memberikan pelayanan hukum baik di negara-negara anggota ASEAN maupun di dalam negeri sendiri.

Lemahnya perlindungan konsumen di Indonesia sehingga dikhawatirkan banyak advokat asing yang melakukan hal-hal yang merugikan konsumen dalam negeri.

Dari analisis SWOT di atas, dapat disimpulkan bahwa sebaiknya negara Indonesia mengantisipasi hal-hal tersebut diatas sebelum melakukan liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum. Jangan dipaksakan liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum di Indonesia, kalau Indonesia belum siap karena akan merugikan kepentingan nasional Indonesia. 5. Kesimpulan Liberalisasi pada era sekarang ini seperti tsunami yang tidak dapat ditunda dan dihalangi; setuju terhadap liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum atau tidak; suka terhadap liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum atau tidak; cepat atau lambat hal tersebut akan tiba masanya. Untuk itu Indonesia perlu mengantisipasi liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum ini. Indonesia harus mempersiapkan fakultas hukum yang dapat menghasilkan sarjana hukum yang menguasai Civil Law System maupun Common Law System. Hal ini secara otomatis akan mengubah kurikulum yang ada di berbagai fakultas hukum di Indonesia dan juga mendidik

Azhar – Liberalisasi Pelayanan Hukum di ASEAN

32


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

HUMANIORA

tenaga pengajar di bidang hukun tentang Common law. Selanjutnya, Indonesia harus membekali sarjana hukum yang menguasai bahasa Inggris dan bahasa yang dipakai di negara-negara ASEAN, seperti Vietnam,Thailand, Cambodia, Laos dan Myanmar. Mempersiapkan hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Hal tersebut memerlukan perencanaan, biaya, waktu dan kerja keras. Sementara melakukan perbaikan, revisi kurikulum dan meningkatkan tenaga pengajar di fakultas hukum di Indonesia yang menguasai Common Law Sistem, Indonesia sudah saatnya mengirimkan para pemuda-pemudanya untuk belajar hukum di negara-negara yang menganut Common Law System, sehingga bisa menguasai ketrampilan dan keahlian sistem hukum tersebut sebelum diberlakukannya liberalisasi pelayanan dalam bidang hukum di negara-negara ASEAN. Indonesia juga harus melakukan penegakan hukum secara serius dan sungguh-sungguh khususnya pelayanan dalam bidang hukum dan perlindungan konsumen. Kalau tidak diantisipasi dari sekarang, bukan tidak mungkin para advokat Indonesia hanya akan menjadi penonton di negara sendiri atau menjadi pesuruh para advokat asing. Indikasi mengenai hal itu telah ada dengan telah banyaknya advokat asing yang bekerja di Indonesia sebagai tenaga ahli. Referensi 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19.

Pasal 1 Paragraph 5 ASEAN Charter (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara). Paragraph 4 ASEAN Economic Community (AEC) Blueprint. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia, 2008. Laws of Brunei Darussalam. Under Section 3 Legal Profession Act Chapter 13, Revised Edition, 2006. Pasal 1 Ayat 2 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Republik Indonesia, 2003. Staatsblaad 1847-23 Regelement op de Rechtterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie, 1847. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209), 1981. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 014/PUU-IV/2006 tentang pengujian Undang-undang No. 18/2003 Tentang Advokat, 2006. Undang-undang Tentang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 Republik Indonesia, 2003. Pasal 32 ayat (3) Undang-undang Tentang Advokat Nomor 18 Tahun 2003 Republik Indonesia, 2003. Pasal 1 Ayat 1 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat Republik Indonesia, 2003. Pasal 1 Ayat 1 Peraturan Perhimpunan Advokat Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan Khusus Profesi Advokat, 2006. Suwantin Oemar, Wartawan Bisnis Indonesia, http://www.bisnis.com/servlet/page?_pag... _id=439506 diakses tanggal 10 April 2010. Suwantin Oemar, Wartawan Bisnis Indonesia, http://www.bisnis.com/servlet/page?_pag ... _id=439506 diakses tanggal 10 April 2010 Lawrence G. Fine. The SWOT Analysis: Using your Strength to overcome Weaknesses, Using Opportunities to overcome Threats. Kick It, LLC, 2010. http://www.fahmina.or.id/artikel-a-berita/berita/365-ribuan-wni-dibui-di-malaysia.html dilihat pada tanggal 30 Juli 2011. http://www.mediaindonesia.com/read/2011/07/07/243875/277/2/Perlu-MoU-TKI-Antara-RI-Bruneidilihat pada tanggal 30 Juli 2011. http://www.investor.co.id/national/bnp2tki-peluang-kerja-di-singapura-terbuka/16758#Scene_1 dilihat pada tanggal 30 Juli 2011. Suwantin Oemar, Wartawan Bisnis Indonesia, http://www.bisnis.com/servlet/page?_pag ... _id=439506 diakses tanggal 10 April 2010.

Azhar – Liberalisasi Pelayanan Hukum di ASEAN

33


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

HUMANIORA

Pengaruh Konsep Diri terhadap Perilaku Asertif Korban Bullying Retno Ninggalih Sendai, Jepang E-mail: r.ninggalih@gmail.com Abstrak Kekerasan di sekolah merupakan hal yang marak terjadi saat ini. Kekerasan dalam bentuk penekanan atau penindasan oleh satu atau sekelompok siswa kepada siswa lain disebut bullying. Korban bullying cenderung mengalami berbagai gangguan psikologis dan memiliki konsep diri negatif sehingga tidak dapat berperilaku asertif. Perilaku asertif adalah sikap tegas yang timbul karena adanya kebebasan emosi. Individu yang asertif mampu menyatakan perasaan dan pemikirannya dengan tepat dan jujur tanpa memaksakannya kepada orang lain. Konsep diri pada korban bullying ditemukan memegang peranan penting dalam rekonstruksi perilaku asertif. Konsep diri positif menghasilkan perilaku asertif, sedangkan konsep diri negatif menghasilkan perilaku pasif. Meski demikian, konsep diri dengan perilaku asertif pada korban bullying tidak selalu berhubungan kausal. Kata kunci: konsep diri, asertif, bullying, kepribadian Š2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Pendahuluan Beberapa tahun terakhir, telah terkuak berbagai kasus bullying yang terjadi di sekolah. Bullying merupakan tindakan agresif yang dilakukan oleh satu atau sekelompok siswa kepada siswa lainnya. 1 Bullying biasanya terjadi berulang-ulang dan di dalamnya terdapat ketidakseimbangan kekuatan . 2 Menurut Coloroso , unsur-unsur yang terdapat di dalam bullying di antaranya adalah ketidakseimbangan kekuatan, niat untuk mencederai, dan ancaman teror lebih lanjut. Bullying cenderung terorganisasi, sistematis, dan tertutup. Aktivitas ini kadang-kadang dilakukan bila ada kesempatan, tetapi sekali saja dimulai ini akan berkelanjutan. Korban bullying biasanya mengalami penderitaan fisik maupun psikologis. Kematian merupakan dampak terburuk dari bullying, baik itu kematian yang disebabkan kondisi fisik yang kepayahan setelah mengalami kekerasan atau kematian yang disebabkan bunuh diri yang dipicu perasaan depresi. Dalam pandangan penulis, setiap generasi selalu mendapatkan pengalaman bullying sehingga aktivitas bullying sangat sulit dan bahkan tidak bisa dihentikan. Untuk menekan dampak buruk bullying, perhatian khusus perlu diberikan dari sudut pandang korban, bagaimana korban bullying bisa tetap berpikir positif dalam hidup dan tidak menjadikan bullying sebagai aktivitas yang perlu diteruskan ke 3 generasi siswa berikutnya. Riauskina dkk pada tahun 2005 melakukan penelitian di dua SMA , dalam penelitian tersebut diketahui bahwa korban merasa hidupnya tertekan, takut bertemu pelaku bullying, perasaan harga diri yang rendah, kurangnya kemampuan untuk bersosialisasi, siswa stres, mogok sekolah, kehilangan kepercayaan diri, bahkan depresi dan berkeinginan untuk bunuh diri dengan menyilet-nyilet tangannya sendiri. Secara tidak langsung, jika kondisi psikis korban bullying dapat dikembalikan seperti sebelum mengalami bullying, diharapkan kekerasan ini akan terhenti karena korban berani menghadapi pelaku dan situasi bullying. Siswa yang berpotensi menjadi korban bullying adalah siswa-siswa yang cenderung tidak asertif. Siswa yang telah menjadi korban bullying biasanya menunjukkan perilaku mengelak dan tidak mau menjawab ketika ditanya, sulit berkomunikasi, dan tidak terdorong untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Korban yang merasa kesal, marah, dan tidak menunjukkan perilaku asertif akan semakin tertekan atas keadaan tersebut sehingga tidak dapat menjalin hubungan interpersonal dengan baik. Sikap tertutup, tidak asertif, cemas, dan rendah diri akan menurunkan prestasi belajar, menjadi hambatan dalam bergaul, dan menghambat perkembangan psikis para siswa yang menjadi korban 4 bullying. Menurut Partosuwido , individu yang memiliki perasaan rendah diri, cemas, dan mudah

Ninggalih – Perilaku Asertif Korban Bullying

34


INOVASI

HUMANIORA

Volume 19 Nomor 2 September 2011

terpengaruh dikatakan memiliki konsep diri yang negatif. Konsep diri dapat mempengaruhi perkembangan perilaku asertif individu. Individu dengan konsep diri negatif memiliki kecemasan ketika mengungkapkan apa yang dirasakan sehingga akan menghambat individu tersebut untuk berperilaku asertif kepada orang lain. Individu dengan konsep diri negatif akan merasa dirinya tidak berharga dan tidak diterima oleh lingkungan, sehingga cenderung tidak berani mengambil resiko. Sebaliknya, individu dengan konsep diri positif akan menyukai dan menerima keadaan dirinya sehingga akan mengembangkan rasa percaya diri, harga diri, serta dapat melakukan interaksi sosial secara tepat. 5

Berdasarkan studi kasus yang pernah dilakukan penulis di dua madrasah di Semarang , dikombinasikan dengan observasi terhadap perilaku siswa SD di Jepang, salah satu faktor yang berperan besar terhadap perilaku asertif individu adalah konsep diri individu yang bersangkutan. Korban bullying yang memiliki konsep diri positif akan menerima keadaan dirinya sehingga memiliki rasa percaya diri, harga diri, serta dapat melakukan interaksi sosial secara tepat. Korban bullying ini akan berusaha untuk berperilaku asertif karena perilaku asertif merupakan bentuk keterampilan sosial yang tepat untuk berbagai situasi sosial. Sementara itu, korban bullying dengan konsep diri negatif akan merasa dirinya tidak berharga dan tidak diterima oleh lingkungan sehingga cenderung tidak berani mengambil resiko untuk mengungkapkan secara jujur apa yang dirasakan pada situasi bullying. Dalam tulisan ini, hubungan antara konsep diri dengan perilaku asertif menjadi bahasan utama untuk menjawab apakah konsep diri memiliki peran signifikan terhadap perilaku asertif. 2. Teori dan Definisi Dasar Ada banyak teori dan definisi yang berbeda mengenai perilaku asertif dan konsep diri. Untuk menghindari kerancuan, definisi yang digunakan di sini berdasarkan pada teori dari Shavelson, Lange, 6,7 dan Jakubowski, yang cocok diterapkan dalam konteks korban bullying . 2.1. Perilaku Asertif Lange dan Jakubowski menyatakan bahwa perilaku asertif adalah tingkah laku dalam hubungan interpersonal yang ditandai dengan kemampuan seseorang mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinan yang diungkapkan secara langsung, jujur, tepat, dan tidak melanggar hak asasi orang lain. Perilaku asertif meliputi penghormatan terhadap diri sendiri (self-respect) dan penghormatan terhadap orang lain. Beberapa faktor sudah diteliti mempengaruhi perilaku asertif individu, misalnya keluarga, 8 budaya, kekuasaan, dan jenis kelamin . Akan tetapi, peranan konsep diri terhadap perilaku asertif masih belum banyak diteliti. 2.2. Konsep Diri Secara sederhana, konsep diri merupakan penilaian individu terhadap dirinya sendiri. Penilaian ini akan menentukan tingkat harga diri seseorang. Istilah harga diri mengacu pada seberapa jauh seseorang meyakini dirinya sendiri mampu, penting, atau berharga, yang diekspresikan melalui sikap-sikap individu tersebut di dalam suatu lingkungan sosial. 6

Shavelson menyusun struktur konsep diri dalam bentuk suatu hierarki . Konsep diri umum (general self-concept) berada pada puncak hierarki yang kemudian terbagi menjadi konsep diri akademis (academic self-concept) dan konsep diri nonakademis (non-academic self-concept). Struktur lebih rincinya dapat dilihat pada Gambar 1.

Ninggalih – Perilaku Asertif Korban Bullying

35


HUMANIORA

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

General Self-Concept

Academic Self-Concept

Non-Academic Self-Concept

Language

History

Math

Arts

Physical Self-Concept

Physical ability

Physical Appearance

Emotional Self-Concept

Particular emotion

Social Self-Concept

Peers

Significant others

Gambar 1. Model Konsep Diri oleh Shavelson

Terkait struktur ini, menurut Shavelson, pengalaman individu yang berbeda-beda digeneralisasikan menjadi kategori yang sederhana. Tingkat dasar hierarki konsep diri adalah pengalaman-pengalaman dan situasi-situasi khusus yang diintegrasikan sehingga membentuk konsep diri umum. Ciri-ciri konsep diri di antaranya adalah: 1. Konsep diri merupakan organisasi yang terstruktur. Setiap individu mempunyai informasi terstruktur tentang dirinya sendiri dan setiap informasi tersebut berhubungan satu sama lain. 2. Konsep diri umum merupakan bagian yang stabil, tetapi hierarki di bawahnya bersifat kurang stabil. Keadaan ini disebabkan adanya konsep diri pada situasi yang spesifik. 3. Konsep diri berkembang seiring bertambahnya usia. Konsep diri menjadi lebih kompleks ketika individu berkembang dewasa. 4. Konsep diri dapat membedakan suatu konsep teoretis yang saling terkait. Contohnya, nilai pelajaran matematika tentunya lebih baik jika dihubungkan dengan konsep diri akademis daripada konsep diri fisik atau emosi. 9

Merujuk pada Hurlock , dua aspek terpenting konsep diri adalah aspek fisik dan aspek psikologis. Jika dikaitkan dengan korban bullying, kedua aspek tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Aspek fisik berhubungan dengan keadaan tubuh dan penampilan korban bullying sebagaimana yang diyakini korban dan yang dinilai orang lain. 2. Aspek psikologis berhubungan dengan harga diri, rasa percaya diri, dan kemampuan atau ketidakmampuan korban bullying dalam berinteraksi dengan orang lain. Dari dua aspek konsep diri ini, sebuah skala konsep diri dapat disusun untuk menilai individu korban bullying. Skala konsep diri diberikan berdasarkan pengisian kuesioner dan wawancara yang dilakukan pada korban. Semakin tinggi skor skala konsep diri, semakin positif konsep diri individu yang bersangkutan. Sebaliknya, semakin rendah skala tersebut, semakin negatif konsep diri individu.

3. Observasi dan Analisis Perbandingan tiga kategori bullying dapat dilihat di Gambar 2. Data ini diperoleh dari penelitian 5 sebelumnya di Semarang melalui pemberian kuesioner kepada 89 siswa korban bullying .

8%

Fisik

28% Nonfisik

64%

Perusakan barang

Gambar 2. Persentase Kategori Bullying di MTs Al-Falah Wujil dan MTs NU Ungaran

Ninggalih – Perilaku Asertif Korban Bullying

3

36


HUMANIORA

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

Dapat dilihat bahwa bullying dalam bentuk tekanan nonfisik, misalnya diejek, dibentak, atau diabaikan oleh teman, merupakan bentuk bullying yang banyak terjadi. Meskipun data pada Gambar 2 hanya berasal dari sedikit sampel, tetapi secara umum data tersebut juga merepresentasikan apa yang terjadi di tempat lain mengingat keragaman latar belakang siswa di kedua sekolah tempat observasi. 10 Wawancara dengan anak-anak Indonesia di Jepang yang bersekolah di SD Kunimi, Sendai , menegaskan fakta bahwa bullying nonfisik lebih banyak terjadi dan menyakiti kondisi psikis anak-anak tersebut. Sullivan bahkan menemukan 14% anak laki-laki dan 12% anak perempuan enggan pergi ke 1 sekolah lagi setelah mengalami bullying nonfisik . Dengan demikian, bullying nonfisik secara tidak langsung lebih berbahaya dibandingkan bentuk bullying lainnya. Inilah yang menjadi landasan utama pemikiran pentingnya konsep diri dalam rekonstruksi perilaku asertif korban bullying. Perilaku asertif hanya bisa muncul jika ada pertahanan diri yang kuat secara psikologis. Pertahanan diri ini dapat dibentuk dengan konsep diri positif. Dari skala konsep diri dan perilaku asertif yang diberikan kepada siswa korban bullying, uji normalitas dilakukan untuk mengetahui normal tidaknya sebaran skor variabel masing-masing skala. Uji normalitas ini menggunakan metode pengujian Kolmogorov-Smirnov. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil Uji Normalitas Sebaran Konsep Diri dan Perilaku Asertif Kolmogorov-Smirnov Variabel Signifikansi Bentuk Test Konsep Diri 0,954 (p > 0,05) 0,514 Normal Perilaku Asertif 0,632 (p > 0,05) 0,747 Normal

Berdasarkan hasil pada Tabel 1, dapat diketahui bahwa sebaran kedua variabel memiliki bentuk normal karena signifikansi p > 0,05. Uji linearitas kemudian dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel konsep diri (x) dengan perilaku asertif (y). Dari hasil uji linearitas diperoleh nilai 2 koefisien korelasi rxy = 0,362 dan koefisien determinasi R = 0,131. Nilai koefisien korelasi menunjukkan hubungan positif antara konsep diri dengan perilaku asertif. Koefisien determinasi mengindikasikan kontribusi konsep diri sebesar 13,1% terhadap perilaku asertif. Sementara itu, tingkat signifikansi diperoleh sebesar 0,000 (p < 0,05). Hasil ini menunjukkan adanya hubungan signifikan antara konsep diri dengan perilaku asertif. Perhitungan sumbangan efektif variabel prediktor terhadap variabel kriterium juga dapat dilakukan untuk menguji lebih lanjut hipotesis kesebandingan perilaku asertif dengan konsep diri. Pada Tabel 2 diberikan gambaran umum skor variabel-variabel observasi. Tabel 2. Gambaran Umum Skor Variabel Observasi di MTs Al-Falah Wujil dan MTs NU Ungaran Statistik Skor minimal Skor maksimal Rata-rata Simpangan baku

Perilaku Asertif Hipotesis 21 84 52,5 10,5

Konsep Diri Empiris 47 79 64,57 5,72

Hipotesis 25 100 62,5 12,5

Empiris 50 95 70,84 8,49

Pengelompokan korban bullying dapat dibuat berdasarkan gambaran umum skor perilaku asertif dan konsep diri. Tujuan pengelompokan ini adalah untuk menempatkan individu ke dalam kelompok-kelompok terpisah secara berjenjang berdasarkan atribut yang diukur. Sesuai dengan tujuan tertentu, pengelompokan tersebut bersifat relatif. Penyusun skala psikologi dapat menetapkan untuk membuat lima atau enam pengelompokan sesuai dengan tingkat perbedaan yang dikehendaki. Penetapan pengelompokan tersebut berdasarkan pada satuan simpangan baku seperti yang ditunjukkan Tabel 2 dengan rentangan angka-angka minimal dan maksimal secara teoretis. Pengelompokan tingkat perilaku asertif dan konsep diri dari data tersebut masing-masing diberikan pada Gambar 3. Ternyata 65% korban bullying masih bisa berperilaku asertif dan 52% memiliki konsep diri positif. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa mayoritas siswa korban bullying yang memiliki konsep diri positif akan berperilaku asertif.

Ninggalih – Perilaku Asertif Korban Bullying

37


INOVASI

HUMANIORA

Volume 19 Nomor 2 September 2011

Sangat Rendah Sedang Rendah 1% 8% 0% Sangat Tinggi 26% Tinggi 65%

Tingkat Perilaku Asertif

Sangat Positif 13%

Negatif 2%

Sangat Negatif 0%

Sedang 33% Positif 52%

Tingkat Konsep Diri

Gambar 3. Pengelompokan Tingkat Perilaku Asertif dan Konsep Diri pada Korban Bullying

Alat ukur yang digunakan adalah skala perilaku asertif korban bullying dan skala konsep diri. Beberapa butir skala perilaku asertif antara lain: 1. Saya berusaha memberi alasan yang baik agar teman tidak memaksa saya untuk memenuhi keinginannya 2. Saya memberikan uang jika ada teman yang meminta karena takut dimarahi 3. Saya akan berterus terang ketika saya ingin didengarkan 4. Saya memilih diam ketika ada teman yang marah kepada saya tanpa alasan 5. Saya akan mengatakan �maaf� ketika saya tidak bisa membantu teman saya 6. Saya mengikuti semua perintah teman-teman agar diterima dalam pergaulan Siswa korban bullying yang mampu berperilaku asertif cenderung mampu mengekspresikan dirinya yang sebenarnya, keinginannya, perasaannya, dan pendapatnya mengenai situasi tertentu, tanpa mendominasi, mempermalukan, atau merendahkan orang lain. Para siswa korban bullying yang asertif akan berani menuntut hak-haknya tanpa mengalami ketakutan atau rasa bersalah serta tanpa melanggar hak-hak orang lain, sedangkan para siswa korban bullying yang tidak asertif (pasif) gagal mengekspresikan pikiran, perasaan, dan keyakinannya secara jujur karena menghindari konflik yang merugikan dengan orang lain sehingga orang lain akan mudah meremehkan mereka. Salah satu fenomena menarik berdasarkan wawancara dengan guru di MTs Al Falah Wujil dan seorang siswa SD di Jepang, bullying ternyata biasa dilakukan antarsiswa dan dianggap sebagai hal yang wajar dalam pergaulan sehari-hari. Beberapa guru yang terlibat langsung dengan murid dalam kegiatan belajar mengajar menganggap bahwa bullying tidak perlu ditanggapi secara serius. Perilaku asertif korban bullying dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satu yang dominan adalah 10 faktor budaya, seperti yang terjadi di Jepang . Selain itu, perilaku asertif berkembang sesuai dengan norma yang berlaku di lingkungan.

4. Kesimpulan dan Perspektif Masa Depan Terdapat kesebandingan yang signifikan antara konsep diri dengan perilaku asertif pada siswa korban bullying. Dalam kasus ini, konsep diri positif dan perilaku asertif tidak saling berhubungan kausal. Di masa mendatang, faktor budaya, pola asuh, dan keluarga harus lebih diperhatikan untuk menjadi solusi terapi korban bullying sehingga mencegah bullying tidak berlanjut ke generasi berikutnya. Penelitian-penelitian seperti ini sangat penting dilakukan sebagai masukan kepada pengambil kebijakan untuk menjamin pembangunan karakter-karakter manusia unggul yang berkelanjutan.

Referensi 1. 2. 3. 4.

Sullivan K, Cleary M, Sullivan G. Bullying in Secondary Schools. California: Corwin Press. 2005: 1-21. Coloroso B. The Bully, The Bullied, and The Bystander. New York: Collins Living. 2004. Riauskina II, Djuwita R, Soesetio SR. Gencet-gencetan di mata siswa kelas 1 SMA: Naskah kognitif tentang arti, skenario, dan dampak gencet-gencetan. Jurnal Psikologi Sosial 12(1). 2005: 1 – 13. Partosuwido SR. Penyesuaian diri mahasiswa dalam kaitannya dengan konsep diri. Jurnal Psikologi UGM.

Ninggalih – Perilaku Asertif Korban Bullying

38


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

HUMANIORA

Yogyakarta: UGM. 1993. Ninggalih R. Hubungan antara Konsep Diri dengan Perilaku Asertif pada Siswa Korban Bullying di MTs Al-Falah Wujil dan MTs NU Ungaran Kabupaten Semarang. Skripsi S1 Universitas Diponegoro, Semarang. 2008. 6. Shavelshon RJ, Hubner JJ, Stanton GC. Evaluation of Behavior in Specific Situation. Dalam: Adolescence, Adolescents. Fuhrmann BS (Editor). London: Scott Foresman and Co. 1990: 338. 7. Lange AJ, Jakubowski P. Responsible Assertive Behavior. Illinois: Research Press. 1976: 1-7. 8. Rakos RF. Assertive Behavior. New York: Routledge Chapman and Hall Inc. 1991: 170-180. 9. Hurlock EB. Psikologi Perkembangan. Alih bahasa: Istiwidayati, Soedjarwo. Jakarta: Penerbit Erlangga. 1997: 237. 10. Wawancara dengan tiga anak Indonesia, pada rentang Desember 2010 – Agustus 2011. 11. Taki M. Japanese School Bullying: Iijime. URL: http://www.nier.go.jp/a000110/Toronto.pdf, diakses tanggal 10 Agustus 2011.

5.

Ninggalih – Perilaku Asertif Korban Bullying

39


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

HUMANIORA

Interaksi Aktif Dengan Penutur Asli Untuk Akselerasi Pemerolehan Bahasa Kedua Emmy Indah Priyanti Applied Japanese Linguistics, Tohoku University, Japan E-mail: emmyindah@yahoo.com Abstrak Dalam proses pemerolehan bahasa kedua, interaksi dengan penutur asli diperlukan untuk memperbanyak input dan output bahasa target. Proses input ini akan menjadi mudah dengan memperbanyak input yang sesuai dengan minat dan bidang ilmu tiap individu karena pada dasarnya latar belakang ilmu yang diperlukan sudah ada. Proses pemahaman bahasa tidak hanya terjadi pada proses input tetapi juga pada proses output. Ketika berbicara dalam bahasa target, kita mengolah informasi yang ada di otak untuk disampaikan kepada lawan bicara dan dengan memonitor apa yang kita sampaikan, kita dapat semakin memahami bahasa target. Kata kunci: interaksi, penutur asli, input, output, monitoring Š2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Pendahuluan Bahasa ibu adalah bahasa yang pertama kali kita kuasai setelah kita dilahirkan sehingga sering juga disebut sebagai bahasa pertama. Proses pemerolehan bahasa ibu tentunya terjadi pada masa anak-anak. Bahasa lain setelah bahasa ibu yang kita kuasai disebut bahasa kedua, ketiga dan seterusnya. Proses pemerolehan bahasa kedua dan selebihnya terjadi pada berbagai macam rentang usia dan umumnya terjadi ketika kita telah menguasai bahasa pertama dengan baik. Oleh karena itu, para ahli berpendapat bahwa proses pemerolehan bahasa kedua berbeda dengan proses pemerolehan bahasa pertama sehingga muncul bidang ilmu pemerolehan bahasa kedua (Second Language Acquisition). Tetapi pada masyarakat bilingual atau multilingual bisa terjadi pemerolehan dua bahasa atau lebih dalam waktu yang bersamaan sehingga bahasa ibu bisa lebih dari satu bahasa. Bidang ilmu pemerolehan bahasa kedua (SLA) memandang proses pemerolehan bahasa kedua bukan hanya sebagai proses dalam bidang linguistik tetapi juga psikologi, sosiologi, antropologi dan budaya. Dengan demikian, ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar bahasa asing, seperti perbedaan bahasa pertama dan bahasa kedua (leksikal dan gramatikal), motivasi pembelajar, kondisi sosial ataupun hal-hal yang bervariasi dari masing-masing pembelajar seperti umur, pembawaan/ sifat dan lain-lain. Pada dasarnya bahasa adalah salah satu alat komunikasi dan komunikasi terjadi antarmanusia. Oleh karena itu, interaksi antarpengguna bahasa sangat penting dalam proses pemahaman suatu bahasa dan interaksi dengan penutur asli dapat mempercepat proses pemerolehan bahasa kedua. 2. Interaksi antarpengguna bahasa Proses pembelajaran bahasa kedua bisa dilakukan dengan berbagai cara baik melalui pendidikan formal maupun secara autodidaktif. Pada masa dimana internet telah menjadi bagian dari kehidupan seperti sekarang ini, banyak juga orang yang belajar bahasa kedua melalui internet. Dari internet mereka mendapatkan berbagai macam pengetahuan (input) tentang

Priyanti – Interaksi dengan Penutur Asli

40


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

HUMANIORA

bahasa kedua yang ingin mereka kuasai. Input ini sangat penting karena tanpa adanya input tidak akan terjadi output bahasa. Namun perlu diingat bahwa output memegang peranan yang tidak kalah pentingnya dengan input. Dalam hal ini yang dimaksud dengan input adalah masukan tentang bahasa target yang didengar atau dibaca oleh pembelajar bahasa sedangkan output adalah penggunaan bahasa target oleh pembelajar melalui proses berbicara atau 1 menulis . Sachs, Bard dan Johnson (1981) dalam penelitiannya terhadap dua bersaudara yang kedua 2 orang tuanya tuli membuktikan adanya perbedaan kecepatan pemahaman bahasa . Anak pertama hanya mendapatkan input bahasa dari televisi dengan kesempatan output yang terbatas sehingga dia mengalami keterlambatan pemahaman bahasa. Sedangkan anak kedua mendapatkan kesempatan untuk berbicara dengan si kakak sehingga dia dapat memahami bahasa seperti layaknya anak-anak yang lain. Dari hasil penelitian tersebut bisa disimpulkan bahwa output juga diperlukan dalam proses pemerolehan bahasa pertama. Output bahasa terjadi dalam sebuah interaksi dengan pengguna bahasa tersebut. Ketika para penutur asli bahasa Indonesia saling berbicara dan bertukar informasi, mereka mengadakan kegiatan output bahasa Indonesia. Dari interaksi tersebut mereka bisa mendapatkan input baru yang bisa berguna untuk output selanjutnya. Demikian juga dalam proses pemerolehan bahasa kedua, misalnya bahasa Jepang. Penguasaan bahasa Jepang akan lebih maksimal jika proses pemerolehannya dilakukan di Jepang karena kesempatan berinteraksi dengan penutur asli bahasa Jepang lebih banyak dibandingkan dengan proses pemerolehan bahasa Jepang di luar Jepang. Hal lain yang tidak kalah pentingnya dalam mempelajari bahasa adalah bahwa proses pemerolehan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan proses pemahaman budaya penutur asli 3 bahasa tersebut . Dengan berinteraksi dengan penutur asli bahasa Jepang kita bisa mengetahui budaya Jepang dan sebaliknya, dengan mengetahui budaya Jepang kita bisa mengetahui cara berinteraksi sesuai standar penutur asli bahasa Jepang. Dengan demikian proses input (bahasa Jepang secara langsung maupun tidak langsung) dan output terjadi pada saat kita berinteraksi dengan penutur asli bahasa Jepang. 3. Learning by Talking Ketika berinteraksi dengan penutur asli, kita mempunyai kesempatan untuk bertanya tentang kaidah dan penggunaan suatu kata dalam bahasa tersebut (proses input), selain itu kita juga berusaha berbicara dalam bahasa tersebut (proses output). Beberapa ahli berpendapat bahwa dalam proses output juga terjadi proses pemerolehan bahasa kedua karena ketika seseorang melakukan proses output suatu bahasa (berbicara dan menulis) dia akan melakukan proses 4 pemakaian dan pemahaman bahasa secara lebih mendalam . Inilah sebabnya pembelajar bahasa kedua semakin menguasai bahasa tersebut ketika dia semakin banyak melakukan proses output. Sebagai contoh, ketika seorang pembelajar bahasa Jepang membaca atau mendengarkan sesuatu dalam bahasa Jepang (proses input), dia mengolah informasi-informasi tentang bahasa Jepang kemudian memahaminya sebagai aturan-aturan bahasa Jepang. Selain itu, dia juga mendapatkan informasi tentang materi yang dibaca/ didengarnya. Misalnya jika dia membaca/ mendengar tentang perdagangan internasional maka pengetahuan tentang perdagangan internasional diolah di dalam otak dengan perantara bahasa Jepang. Selanjutnya ketika dia akan berbicara atau menulis tentang perdagangan internasional dalam bahasa Jepang (proses output), informasi yang telah dia miliki di kepalanya berusaha dia keluarkan kembali dengan perantara bahasa Jepang. Di sini terjadi dua proses output yaitu: proses output tentang perdagangan internasional dan proses output bahasa Jepang. Dua proses yang terjadi bersamaan ini mengharuskan si pembicara/ penulis untuk selalu melakukan monitoring yaitu kegiatan mengecek kembali hal-hal yang telah diucapkan/ ditulis. Monitoring

Priyanti – Interaksi dengan Penutur Asli

41


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

HUMANIORA

inilah yang membuat pelaku output menjadi lebih memahami tentang apa yang akan disampaikan. Dari contoh di atas bisa dibayangkan berbagai macam hal yang harus dilakukan penutur bahasa asing untuk dapat berbicara dalam bahasa tersebut. Karena proses ini dilakukan secara bersamaan maka beberapa hal sering diabaikan seperti kaidah-kaidah bahasa yang tidak begitu diperhatikan asal tujuan penyampaian pesan tersebut terpenuhi. Misalnya dari contoh di atas, asalkan informasi tentang perdagangan internasional bisa disampaikan kepada lawan bicara maka kebenaran kaidah bahasa Jepang yang dipakai dalam penyampaian tidak diperhatikan lagi. Hal ini biasa terjadi pada pembelajar bahasa Jepang maupun bahasa asing lainnya ketika kaidah bahasa mungkin tidak dipermasalahkan oleh penutur asli bahasa tersebut. Tetapi jika kita berkeinginan untuk benar-benar menguasai bahasa kedua dengan benar maka kebiasaan ini harus dihindari. Proses output bahasa yang tidak benar menurut kaidah bahasa target jika dilakukan secara terus-menerus tidak akan memperdalam pemahaman kita terhadap bahasa tersebut. Di sinilah monitoring berperan untuk membantu kita melihat kembali kebenaran penggunaan bahasa target sehingga pemahaman kita bertambah. 5

Untuk memudahkan proses monitoring dan memperlancar proses output diperlukan rutinitas . Seperti halnya input, output pun sedikit demi sedikit harus dilakukan supaya kita terbiasa dengan bahasa target. Dengan melakukan proses output secara rutin maka otak akan bekerja dalam bahasa target. Ketika akan melakukan proses output, secara otomatis di dalam kepala, kita akan menyusun kalimat-kalimat yang akan kita ucapkan/ tulis. Pada saat itu, kegiatan monitoring juga terjadi di dalam kepala karena adanya keinginan kita untuk melakukan proses output sesuai dengan kaidah bahasa target. Kegiatan berpikir ini merupakan salah satu latihan proses output bahasa dan disarankan untuk mempercepat pemahaman terhadap bahasa asing. 4. Akselerasi pemerolehan bahasa kedua 5

Shirai (2004) dalam bukunya memberikan beberapa saran bagi para pembelajar bahasa asing agar lebih cepat menguasai bahasa target. Shirai membagi proses tersebut menjadi proses input dan output. 4.1. Proses input Untuk memahami informasi dari bahasa asing diperlukan latar belakang ilmu yang memadai. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk memperbanyak membaca atau mendengar hal-hal yang menyangkut bidang ilmu kita dan menarik minat kita. Misalnya jika kita menyukai sepak bola maka ketika kita membaca artikel tentang sepak bola, kita akan mendapatkan kosakata baru tentang sepak bola dalam bahasa target yang artinya sudah kita mengerti. Demikian juga pada saat melatih pendengaran, pilihlah materi yang sudah kita kuasai sehingga memudahkan kita untuk menguasai isi materi tersebut. Ketika memilih bahan untuk belajar listening, usahakan untuk mempelajari materi yang ada naskah tertulisnya sehingga kita bisa membacanya ketika kita tidak dapat memahami apa yang kita dengar. Membiarkan televisi atau radio berbunyi ketika kita mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah, misalnya, juga membantu proses input. Otak kita akan bereaksi ketika kita mendengar kata yang kita ketahui dan ini juga berpengaruh untuk membiasakan diri terhadap bunyi-bunyi dalam bahasa target. 4.2. Proses output Proses output seperti berbicara atau menulis hendaknya dilakukan sedikit demi sedikit setiap hari. Usahakan untuk berinteraksi dengan bahasa target dengan menulis catatan harian, mengobrol dengan teman di kelas bahasa atau berinteraksi dengan teman yang merupakan penutur asli. Pada saat berbicara dengan penutur asli, perhatikan dengan seksama cara mereka berbicara. Penutur asli adalah model yang perlu kita contoh untuk dapat berbicara seperti mereka. Kesempurnaan tata bahasa mungkin tidak perlu dipikirkan pada awal interaksi tetapi

Priyanti – Interaksi dengan Penutur Asli

42


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

HUMANIORA

tanamkan hal itu sebagai suatu target sehingga pada akhirnya kita dapat berbicara dengan lancar dan benar sesuai kaidah bahasa target. Penggunaan strategi dalam berkomunikasi juga sangat membantu dalam proses output ketika kita berinteraksi dengan penutur asli. Penggunaan bahasa tubuh, intonasi suara, mimik muka bisa mewakili perasaan kita ketika berinteraksi. Hanya saja, masing-masing bahasa digunakan oleh penutur dengan latar belakang budaya yang berbeda sehingga kadang bahasa tubuh memiliki makna yang berbeda. Oleh sebab itu kita harus berhati-hati dalam penggunaannya. Memperhatikan dan menirukan penggunaannya oleh penutur asli merupakan cara yang aman untuk menguasainya secara benar. 5. Kesimpulan Pada saat kita berinteraksi dengan penutur asli suatu bahasa, mereka mungkin lebih berusaha untuk menangkap isi pesan yang ingin kita sampaikan sehingga jarang sekali kita mendapat peringatan tentang kesalahan tata bahasa ataupun pemakaian kata ketika berbicara. Oleh karena itu, kita harus lebih aktif bertanya untuk memperbaiki ucapan dan pemahaman kita terhadap bahasa target. Lebih baik merusak alur percakapan dengan sebuah pertanyaan daripada terjadi kesalahpahaman karena kita pura-pura mengerti. Tentu saja kita harus memperhatikan waktu yang tepat untuk bertanya sehingga lawan bicara tidak merasa disela saat berbicara.

Referensi 1. 2. 3. 4. 5.

Takamizawa H, Ito H, Hunt KY, Ikeda Y, Nishizawa S, Ommura Y. Shin-Hajimete no Nihongo Kyooiku: Kiso Yoogo Jiten. Tokyo: Ask. 2004. Sachs J, Bard B, Johnson ML. Language learning with restricted: Case studies of two hearing children of deaf parents. Applied Psycholinguistics. 1981. 2:33-54. Kubota M. Daini Gengo Shuutoku to Aidentiti: Shakaigengogakuteki Tekisetusei Shuutoku no Esunogurafiiteki Disukoosu Bunseki. Tokyo: Hitsujishobo. 2005. Lightbown PM, Spada N. How Languages are Learned Third edition. Oxford: Oxford University Press. 2006. Shirai Y. Iwanami Kagaku Library 100: Gaikokugo Gakushuu ni Seikoo Suru Hito, Shinai Hito. Tokyo: Iwanami Shoten. 2004.

Priyanti – Interaksi dengan Penutur Asli

43


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

TEKNOLOGI

Pembangkit Hijau dalam Sistem Ketenagalistrikan: Belajar dari Cina Maxensius Tri Sambodo National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS) Pusat Penelitian Ekonomi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) E-mail: smaxensius@yahoo.com

Abstrak Artikel ini berisikan analisis deskriptif tentang sistem pembangkitan di dua negara yaitu Indonesia dan Cina. Tulisan ini memiliki tiga tujuan. Pertama, menganalisis aspek pembangkit hijau di dalam Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) 2010-2019 PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero). Kedua, mengevaluasi kebijakan pembangkit hijau di Cina. Terakhir memberikan saran kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk membangun sistem ketenagalistrikan yang rendah emisi CO2. Artikel ini menyimpulkan tiga hal penting. Pertama, dengan bantuan pendanaan dari luar negeri, Cina memiliki kemampuan lebih besar dalam mengembangkan teknologi batubara bersih dan sumber energi terbarukan lainnya. Kedua, pemerintah daerah sangat aktif memacu investasi di sektor ketenagalistrikan. Ketiga, Undang-Undang Energi Terbarukan akan semakin memberikan kepastian dalam perencanaan kebijakan energi terbarukan. Kata kunci: ketenagalistrikan, pembangkit hijau Š2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Pendahuluan Saat ini upaya untuk membangun sistem pembangkit listrik dengan tingkat emisi gas karbon dioksida (CO2) yang rendah, atau bisa disebut juga pembangkit hijau (green generator), telah menjadi perhatian utama para perencana sektor ketenagalistrikan. Membangun pembangkit hijau juga sejalan dengan paradigma baru pembangunan ekonomi atau ekonomi hijau (green economy), yaitu pembangunan yang dicirikan oleh tiga kemajuan: terjadinya peningkatan kesejahteraan, perbaikan dalam hal keadilan sosial, dan secara signifikan mengurangi risiko 1 penurunan kualitas lingkungan hidup serta kelangkaan sumber daya ekologi . Tulisan ini berisikan komparasi antara Indonesia dan Cina dalam hal sistem pembangkitan listrik, dengan tiga tujuan utama. Pertama untuk melihat dengan lebih cermat sejauh mana dokumen Rencana Usaha Penyediaan Listrik (RUPTL) 2010-2019, memperhatikan aspek pembangkit hijau. Kedua, kebijakan apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Cina dalam membangun pembangkit hijau. Ketiga, kebijakan apa yang dapat dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk membangun pembangkit hijau. 2. RUPTL 2010-2019 dan kebijakan pengendalian emisi CO2 Secara konsep, pengurangan emisi CO2 di sektor kelistrikan didasarkan atas tiga pilar utama yaitu: meningkatkan efisiensi penggunaan listrik untuk mengurangi kebutuhan investasi di masa depan, memberikan insentif untuk mengurangi emisi CO2, serta mendorong kegiatan penelitian 2 dan pengembangan teknologi pembangkit yang rendah emisi . Gambar 1 menunjukkan pembangkit tenaga air dan pembangkit BBM hampir hingga mencapai sekitar

kondisi awal sistem pembangkit di Indonesia didominasi oleh bahan bakar minyak (BBM). Di pertengahan tahun 1980an peranan mencapai 70%, namun porsinya terus menunjukkan penurunan 28.7% di tahun 2008. Peranan pembangkit air dalam sistem

Sambodo – Pembangkit Hijauh dan Sistem Ketenagalistrikan: Belajar dari Cina

44


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

TEKNOLOGI

pembangkitan juga menunjukkan kecenderungan yang semakin menurun, dari sekitar 60% di tahun 1970 menjadi kurang dari 7.7% di tahun 2008. Bersamaan dengan turunnya peran pembangkit BBM dan air, pembangkit dengan bahan bakar batubara sejak pertengahan tahun 1980 terus menunjukkan kenaikan yang berarti dan di tahun 2008 porsinya sudah mencapai sekitar 48%. Pembangkit dengan bahan bakar gas mulai menunjukkan kenaikan berarti di awal tahun 1990an dan mencapai porsi tertinggi sekitar 45% di pertengahan tahun 1990an. Namun setelah itu peranannya menunjukkan penurunan menjadi sekitar 18% di tahun 2008.

Gambar 1 Produksi tenaga listrik menurut sumbernya di Indonesia (Sumber: World Development Indicators)

Dalam rencana pengembangan sistem pembangkitan 2010-2019, PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PT. PLN) mengembangkan dua pola yaitu skenario baseline dan skenario 3 dengan kebijakan . Skenario baseline yaitu skenario dimana hanya memperhatikan tujuan minimisasi biaya. Sedangkan dalam skenario kebijakan sudah memperhitungkan masuknya panas bumi dan energi terbarukan ke dalam sistem. Namun demikian, dalam skenario minimisasi biaya, opsi mengurangi emisi CO2 tetap dikembangkan dengan pemanfaatan gas, pembangkit uap supercritical dan subcritical. Hingga tahun 2019 rencana pembangunan pembangkit nuklir belum dapat direalisasikan. Sebagaimana disebutkan dalam RUPTL, paling tidak ada 4 alasan yang perlu dipertimbangkan 4 secara matang yaitu : (i) pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk kelas 1,000 MW supercritical cukup mampu bersaing dengan pembangkit nuklir; (ii) ketidakjelasan biaya modal, operasi dan perawatan terutama terkait dengan penangan limbah radioaktif dan biaya decommisioning; (iii) harga bahan baku uranium yang terus meningkat; (iv) dimensi sosial, keselamatan, politik, budaya dan lingkungan yang perlu dipertimbangkan secara matang. 3. Pelajaran dari Cina Gambar 2 menunjukkan tingkat ketergantungan pembangkit di Cina terhadap bahan bakar batubara kian menunjukkan peningkatan dari sekitar 60% di tahun 1970an menjadi 80% di tahun 2008. Pada sisi lain pembangkit dengan BBM, menunjukkan penurunan dari sekitar 25% di awal tahun 1980an menjadi sekitar 0.67% di tahun 2008. Hal ini mengindikasikan sebagian besar penurunan pemakaian BBM telah digantikan oleh batubara. Produksi listrik dari sumber pembangkit tenaga air mengalami sedikit penurunan dari sekitar 21.7% di tahun 1971 menjadi 17% di tahun 2008. Cina juga telah memanfaatkan pembangkit nuklir dan peranannya telah menunjukkan peningkatan, bahkan saat ini produksi listrik dari pembangkit nuklir sudah lebih besar dibandingkan dengan pembangkit BBM.

Sambodo – Pembangkit Hijauh dan Sistem Ketenagalistrikan: Belajar dari Cina

45


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

TEKNOLOGI

Gambar 2 Produksi tenaga listrik menurut sumbernya di Cina (Sumber: World Development Indicators)

Guna mengurangi emisi CO2 dan memenuhi kebutuhan sumber listrik di masa depan, Cina telah menjalankan beberapa kebijakan: 1) Meningkatkan efisiensi pembangkit tenaga batubara dengan melakukan penambahan kapasitas dan peningkatan efisiensi, misalkan di tahun 1993 kapasitas pembangkit kelas 300 MW keatas baru sekitar 23% dari total kapasitas pembangkit (thermal 4 generating capacity), namun di tahun 2009 sudah mencapai 69%. Hal ini membuat pembangkit batubara Cina memiliki tingkat efisiensi rata-rata yang jauh lebih besar dibandingkan dengan Amerika Serikat. Upaya meningkatkan efisiensi pembangkit batubara dilakukan dengan dukungan pendanaan dari Bank Dunia melalui Global 2 Environment Facilities (GEF) dengan bantuan dana sekitar 19,7 juta US Dolar . 2) Di samping pembangkit tenaga air, pembangkit tenaga angin juga menjadi salah satu andalan Cina dan telah mendapat skema pendanaan dari mekanisme pembangunan 4 bersih (clean development mechanism/CDM). Kapasitas tenaga angin telah menunjukkan peningkatan yang sangat berarti yaitu dari sekitar 0.3 GW di tahun 2000 menjadi 17.6 GW di tahun 2009, bahkan tambahan kapasitas baru sebesar 7.2 GW juga telah dalam tahap konstruksi. Hingga saat ini Cina merupakan negara terbesar 3 penerima dana CDM . 3) Terkait dengan pembangunan pembangkit tenaga nuklir, di tahun 2020, Cina akan 3 menambah kapasitas baru dari sebesar 8.6 GW di tahun 2008 menjadi 40 GW. 4) Meningkatkan efisiensi rasio batubara terhadap produksi listrik dari sebesar 366 Gt 3 batubara / kWh di tahun 2006 menjadi 345 Gt batubara/kWh di tahun 2020. 5) Target memproduksi CBM (coal bed methane) dengan target 10 miliar kubik CBM di tahun 2010 menjadi 40 miliar kubik di tahun 2020. Demikian pula pemerintah Cina menargetkan untuk membangun 10 jalur pipa CBM. 6) Cina telah memiliki Undang-Undang Energi Terbarukan, dan ditargetkan di tahun 2020 sekitar 16% dari seluruh energi yang dihasilkan berasal dari angin, biomas, tenaga 3 surva, dan air. 7) Sejak pertengahan tahun 1980an pemerintah pusat telah memberikan keleluasaan bagi 4 pemerintah provinsi untuk melakukan investasi di sektor ketenagalistrikan. Hal ini memberikan dampak yang besar, misalkan di tahun 2006, nilai investasi ketenagalistrikan sekitar 63% dilakukan dalam jurisdiksi pemerintah daerah. Persaingan antardaerah untuk menarik investasi ketenagalistrikan telah mendorong banyak daerah untuk memberikan insentif seperti konsensi harga lahan kepada para investor. Namun demikian kemampuan Cina untuk melewati proses transisi menuju sektor ketenagalistrikan yang rendah emisi CO2 akan sangat dipengaruhi oleh fleksibilitas kebijakan 4 tarif agar lebih mencerminkan sisi biaya (cost-of-service based) . Hal ini membuat pembangkit dari energi terbarukan tidak dapat diintegrasikan ke sistem yang telah ada. Dengan demikian masalah utama untuk memperbesar peranan energi terbarukan di dalam sistem

Sambodo – Pembangkit Hijauh dan Sistem Ketenagalistrikan: Belajar dari Cina

46


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

TEKNOLOGI

ketenagalistrikan yaitu bukan pada masalah ‘hard’ teknologi seperti pembangunan carbon capture and storage, teknologi energi terbarukan dan nuklir sebagaimana banyak disarankan oleh negara-negara maju, melainkan pada sisi ‘soft’ teknologi yaitu dalam hal metode analisis sektor ketenagalistrikan, perencanaan, pemberian informasi, regulasi dan keterlibatan 4 masyarakat . Terkait dengan ‘soft’ teknologi kendala kelembagaan dapat menghambat efektifitas kebijakan. Sistem pemerintahan yang tersegmentasi antara pusat dan daerah membuat harmonisasi kebijakan menjadi hal yang perlu dipecahkan. Saat ini implementasi regulasi lingkungan lebih banyak dilakukan di tingkat pemerintah daerah dan masing-masing dapat membuat regulasi 5 yang berbeda . 4. Kesimpulan Paling tidak ada tiga pelajaran berharga yang bisa diambil dari Cina. Pertama, dalam hal pendanaan pembangkit hijau Cina lebih diuntungkan karena memiliki lebih banyak sumber pendanaan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. Kondisi ini membuat Cina memiliki kemampuan lebih baik untuk tidak hanya dalam mengembangkan teknologi batubara bersih, tapi juga dalam mengembangkan sumber energi terbarukan lainnya. Kedua, pemerintah daerah sangat aktif dalam mengundang investor bidang kelistrikan. Pada sisi lain Indonesia baru menerapkan prinsip desentralisi dalam pengembangan sektor ketenagalistrikan di tahun 2009. Ketiga, dalam kerangka regulasi Cina telah memiliki UU Energi Terbarukan. Dengan demikian konsekuensi dan implikasi akan lebih besar dalam hal perencanaan kebijakan energi secara luas. Referensi 1. 2. 3. 4. 5.

UNEP. Towards a Green Economy: Pathways to Sustainable Development and Poverty Eradication, www.unep.org/greeneconomy, diakses tanggal 14 Agustus 2011. International Energy Agency / IEA. Sectoral Approaches in Electricity: Building Bridges to a Safe Climate, IEA: Paris. 2009. PT. PLN (Persero). Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik PT. PLN (Persero) 2010-2019. PT. PLN (Persero): Jakarta. 2010. Kahrl, F., Williams, J., Jianhua, D., and Junfeng, H. 2011. Challenges to China’s transition to a low carbon electricity system. Energy Policy, 39, 4032-4041 Economy, E.C. The River Runs Black, the environmental challenge to China’s future. Ithaca: Cornell University Press. 2010.

Sambodo – Pembangkit Hijauh dan Sistem Ketenagalistrikan: Belajar dari Cina

47


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

Bioprospecting the Marine Microbial Symbionts of Reef's Invertebrates: Exploitation of the Under-utilized Marine Microorganisms Ocky Karna Radjasa Department of Marine Science, Faculty of Fishery and Marine Science Diponegoro University, Semarang 50275, Central Java, Indonesia Email: ocky_radjasa@yahoo.com

Abstract This review is focused on bioprospecting the marine microbial symbionts of reef's invertebrates. Bioprospecting is considered as a highly sustainable approach. Coral reefs are the sources of reefs’ invertebrates such as sponges, softcorals, tunicates, bryozoans and molluscs, in which pronounced pharmacological activities are found. However, the problem in the development of marine natural products from reef’s invertebrates is the supply. Supplying sufficient amounts of these biologically-active substances may be a difficult task. The exploitation of marine natural products is further complicated by the fact that most of these metabolites possess highly complex structures, making them difficult to be produced economically via chemical synthesis. There is an increasing concern regarding the collection of reef's invertebrates for the discovery and the development of pharmaceuticals since it is threatening one of the most productive ecosystems on earth. There is an urgent need to consider the bioethical aspects to anticipate the consequences, and to find some alternatives for sustainable use of reef's invertebrates as the sources of marine natural products. Evidences demonstrate that many natural products extracted from marine invertebrates are in fact the products of associated microorganisms, mostly bacteria and fungi. The study of marine microbial symbionts of reef's invertebrates has been intensified in recent years. However, there is still a general neglect of this highly important field of research and development. In particular, two most potential and still under-exploited groups, namely marine actinomycetes and marine fungi (with limited exploration on secondary metabolites), are extremely potent producers of secondary metabolites and bioactive substances. Keywords: Bioprospecting, reef’s invertebrates, microbial symbionts, actinomycetes, fungi ©2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Introduction Bioprospecting is defined as the collection of small samples of biological material to be used for screening in the search for commercially-exploitable biologically-active compounds or attributes such as genetic information. While the end-focus is frequently on the design and development of pharmaceutical products, other fields also make use of biological resources, such as agrochemicals, industrial chemicals, construction materials, crops, cosmetics, food and 1 flavorings . Ocean is a rich source of biological and chemical diversity. It covers more than 70% of the earth’s surface, and hosts more than 300,000 species of plants and animals with much higher number of microorganisms is to be expected. Such diversity has been the source of unique chemical compounds, which are the potential to produce drugs, cosmetics, nutritional supplements, molecular probes, enzymes, and agrichemicals. A relatively small number of marine plants, animals, and microbes have already yielded more than 12,000 novel chemicals. The ocean, in this regard, still represents an underexploited resource of even more novel compounds with useful applications.

Radjasa – Bioprospecting the Marine Microbial Symbionts

48


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

Although the ocean represents the centre of biological, prospecting marine resources for biotechnological use, particularly in drug discovery, is a relatively recent activity. Unlike bioprospecting the land, marine bioprospectus that is described as a systematic search for valuable compounds in marine organisms is a relatively new activity. Coral reefs are unique, biologically diverse systems recognized as valuable economic and environmental resources. The occurrence of large scale of secondary metabolites is not common to all living organisms, but restricted to certain taxonomic groups. Among animals, coral reef coelenterates and other marine invertebrates are the most well-known and prolific producers of secondary metabolites. It is believed that many of these reef’s invertebrates have unique characteristics that can be exploited to create the basis for different products and processes in a number of commercial areas, including medicine, process industry, food, cosmetics, animal feed, biofuels, and agrichemicals. One of the most serious bottlenecks in developing natural products from marine sources during the past decades has been the availability of biomass and/or optimised cultivation conditions to gain sufficient amounts of substances for preclinical and clinical studies. It is also almost impossible to harvest such large amounts of organisms from nature without destroying the 2,3,4 habitats . Further problem occurred when it come to the situation in which aquaculture is seen as an alternative solution that can not provide sufficient amounts of substances due to the low yield as compared to the productivity of wild samples of invertebrates. Because most of the macroorganisms contain a great variety and considerable amounts of associated microorganisms, the importance of studying the ability of these microorganisms to produce secondary metabolites is now recognised. This phenomenon has raised the importance of microbial symbionts of reef’s invertebrates as the profilic sources of secondary metabolites with a diverse of biological activities applicable for health and industrial purposes. 2. Reef’s invertebrates as profilic sources of marine natural products To date, the primary target for marine bioprospecting activities has been the coral reefs of the tropical seas. Coral reefs have been targeted for bioprospecting because they host a high level of biodiversity. Coral reefs are some of the most productive ecosystems on earth, and are certainly the most productive and species-rich environments in the oceans. They are also frequently characterised by intense competition for space, leading to the chemical warfare among sessile organisms. In general, secondary metabolites are thought to enhance the fitness of the producing species. This is a concept that has been well-documented during the study of their roles in mediating intra and interspecific interactions. In marine environment, predator-prey interactions, spatial competition and larval settlement 5 cues and reproduction as well have been the central focus of marine chemical ecology . Studies in this field have led to a solid understanding of how secondary metabolites from marine invertebrates affect other species and support the now well-accepted theory that secondary metabolites provide important defensive functions against consumers and competitors. Given that reef’s invertebrates lack cell-based immune responses and are continuously exposed to a broad array of potentially deleterious microorganisms, it is reasonable to hypothesize that the production of bioactive secondary metabolites could act as the fundamental mechanism of 6 antimicrobial defense . Therefore, the exploration of chemical ecology of secondary metabolites synthesis and development of drugs from marine invertebrates becomes a promising venture. Many unique bioactive molecules are produced by marine invertebrates. The molecules also exhibit significant pharmacological activities making them as the potential drug candidates. Many reef’s invertebrates such as sponges, corals, ascidians, tunicate, bryozoan, and mollusks have intensively been investigated for their natural products content. A lot of structurally and

Radjasa – Bioprospecting the Marine Microbial Symbionts

49


BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

pharmacologically important substances have been isolated with novel antimicrobial, antitumor and anti-inflammatory properties. A selected examples is presented in the Table 1. Figure 1 shows two sources of natural products from reef’s invertebrates. It is important to note that even marine invertebrates from coral reefs have shown promising development of drugs from the sea, however, the availability of source organism in bulk is inevitable for systemic development. Successful development of drugs from the sea products, in particular those from reef’s invertebrates, is completely relying on the availability of source organisms in providing continuous supply of the targetted compounds when the chemical synthetis can not be developed, or the aquaculture of the producing organisms does not produce similar compounds.

3. Bioethical issue in utilizing marine invertebrates Coral reefs are the habitats of rare or, in some cases, endangered species. They also constitute the important sources of biological diversity. Coral reefs, of course, are extremely fragile habitat for unique species that are particularly sensitive to the ecological changes.

Table 1. Selected examples of natural products from reef’s invertebrates Compound Function Source Nemertea Amphiponus GTS-21 Anti Alzheimer lactifloreus Sponge Crambe crambe Crambescidin 800 Anti viral Urochordata Trididemnum Didemnin Anti cancer solidum Mollusca Conus magus Prialt Pain killer Sponge Petrosia contignata IPL-512,602 Anti asmatic Sponge Agelas dispar Aminozoo-anemonin Antibacterial Mollusca Dolabella auricularia Dolastatin 10 Anti cancer Sponge Petrosia contignata Contignasterol Anti inflamatory Tunicate Aplidium albicans Aplidine Anti tumor Sea hare Dolabela auricularia Dolastatins Anti neoplastic

(a)

(b)

Figure 1. (a) Tunicate Didemnum molle, (b) Softcoral Sinularia sp (courtesy of Miftahuddin Majid, Eijkman Institute; Agus Trianto, Diponegoro University)

Radjasa – Bioprospecting the Marine Microbial Symbionts

50


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

Bioethical wisdom that combines ecological knowledge with a sense of moral responsibility for a liveable world is what is needed at the moment. What we must do for the health and survival of the next several generations in a recovering biosphere is what we ought to do for the generations in the far future. The collection of marine organisms for the discovery and development of pharmaceuticals has been perceived variously as sustaining and threatening conservation as the issue about overcollection of target marine organisms for bioprospecting may occur and be conservation 7 concerns . Furthermore, it was mentioned about the protection and sustainability of coral reefs 8 in regard to the use of reef’s invertebrates as the sources of bioactive compounds . It was noted that ecological ethics need to be taken into account, especially in the light of the importance of coral reefs for human in tropical communities. There has been less attention given to the widening gap between the exploitation of marine organisms and its ethical implications. The most significant threat regarding the development of drugs from reef’s invertebrates and perhaps the most significant problem that has hampered the investigation of secondary 8 metabolites produced by reef’s invertebrates is their low concentration . In marine invertebrates -6 9 many highly active compounds contribute to less than 10 % of the body-wet weight . Providing 10 sufficient amounts of these biologically active substances, hence, may be a difficult task . Significant examples were in the cases of the bryostatins, the halichondrins and other antitumor or anti-inflammatory active substances from marine invertebrates. In these cases, the content in the animals was very low and it was not possible to harvest such large amounts of organisms from nature without destroying the habitats, nor was it possible to cultivate the organisms or cell 2,3,4 cultures thereof in sufficient scale and time . As for the sponge Lyssodendoryx sp., to obtain sufficient halichondrins to carry out trials up to the clinical level, at least 15 tonnes would be required. Permission would unlikely be secured to undertake such collection due to the limited 11 biomass established for this sponge . Furthermore, the structural complexity displayed by many natural product compounds often limits the ability of chemical synthesis to access the compounds of interest and analogues thereof. Thus, considering bioethical perspective and finding alternative soulutions to the problem of supply for marine natural products produced by reef’s invertebrates should be a high priority. It is important to highlight the possible role of marine microorganisms associated with reef’s invertebrates in providing solution to the problem of human health as well as industrial applications. Microbe-invertebrate association that occurs in the coral reefs could be of great interest to search for potential use of a new source of bioactive compounds, or in particular, a solution of the supply problem of most bioactive compounds produced by reef’s invertebrates. 4. Microbial symbionts of reef’s invertebrates as sustainable sources of marine natural products 4.1. Rationales There is no doubt about the importance of terrestrial bacteria and fungi as sources of valuable 12 bioactive metabolites as it has been very well established for more than half a century . It has been noted that the rate at which new compounds are being discovered from traditional microbial resources, however, has diminished significantly in recent decades as exhaustive studies of soil microorganisms repeatedly yield the same species which in turn produce an 13 unacceptably large number of previously described compounds . It is then reasonable to expect the untapped diversity in order to improve the rates at which new classes of secondary metabolites are discovered, that is by exploring the marine microbial resources. In particular, the studies regarding screening on secondary metabolites-producing bacterial symbionts are important for understanding biotechnological potentials. In this context, it has importance to assess the application of sustainable approach on the screening of invertebrateassociated microbial populations. In almost all cases, development and production of reef’s

Radjasa – Bioprospecting the Marine Microbial Symbionts

51


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

invertebrate-derived drugs are seriously hampered by the environmental and technical problems associated with collecting or cultivating large amounts of animals. The possible existence of producing microbial symbionts is therefore especially intriguing, because a sustainable source of invertebrate-derived drug candidates could be generated by establishing a symbiont culture or by transferring symbiont biosynthetic genes into culturable bacteria. The increasing need for new marine natural products for the treatment of clinical diseases on one hand and the recognition of marine microbial symbionts of reef’s invertebrates as a rich source of suitable substances for these purposes on the other hand are suitable to focus on the search for novel marine natural products from marine organisms. Efforts have been put forward to enforce research on marine natural products in particular in the use microorganisms that enable production of marine natural products in laboratory cultures and even in large scale thereby avoiding any harm for coral reefs. The supply of marine metabolites tested in the pre-clinic and clinic could be provided by several methods, namely open aquaculture of the invertebrates, total synthesis, semi synthesis and fermentation of the producing microbes. It is agreed that the fermentation is seen as the most 14 appropriate method for the production of natural products . In symbiotic systems there is a strong likelihood of microbial bioactive metabolite synthesis that offers some attractive alternatives to chemical synthesis or extraction from natural sources. Symbionts that can be cultivated in the laboratory and still produce the bioactive metabolite could be subjected to fermentation technology to produce large amounts of the targeted 15 compound . 4.2. Actynomycetes symbionts Microbial natural products remain an important resource for drug discovery. Among potential sources of natural products, bacteria have proven to be particularly prolific resources with a 16 surprisingly small group accounting for most of compounds discovered . Unfortunately, less attention has been paid in this area since the majority of previous studies focused on sea 17,18,19,20 sediment derived actinomycetes . Therefor, further systematic investigation of symbiotic marine actinomycetes is necessary, because it will not only provide us with much useful ecological information, but would also be a way of finding new natural products with a higher hit 21 rate . Only five bacterial phyla are reported to produce anti-infective agents, and the Class Actinobacteria, more specifically those belonging to the Order of Actinomycetales, commonly called actinomycetes which consist of a diverse range of Gram-positive bacteria with high G + C 22 DNA content , account for approximately 7000 of compounds reported in the Dictionary of Natural Products. The genus Streptomyces alone accounts for 80% of the actinomycete natural products, a biosynthetic capacity that remains without rival in the secondary metaboliteproducing microbial world. The fact that there has been a decline in the discovery of new compounds form common soilderived actinomycetes in the past two decades led to the attempted cultivation of rare or novel 17,23 actinomycete taxa . The exploitation of marine actinomycetes as a source for novel secondary metabolites is considered in its infancy, however, the discovery rate of novel active metabolites from marine actinomycetes has recently surpassed that of their terrestrial 16,19 counterparts . Blunt et al. (2004) mentioned that a logical extension of the search for new actinomycete natural 24 products is the study of marine derived strains . Very few studies have been performed to assess the taxonomic novelty of marine-derived actinomycetes. The studies that have yielded new structures suggested that targeting the marine actinomycetes represent productive and 18,25 rational approaches to the discovery of marine natural product . It is reasonable that new groups of actinomycetes from unexplored or underexploited habitats be targeted as sources of

Radjasa – Bioprospecting the Marine Microbial Symbionts

52


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

26

novel bioactive secondary metabolites , such as those associated with marine invertebrates. The uniqueness of particular habitat as in the marine invertebrates may be reflected in the presence of uncommon diversity of marine actinomycetes with specific genetic and metabolites diversity. The slow growing accumulation of the bioactive molecules from marine actimycetes has prompted the bioprospecting of actinomycete symbionts of reef’s invertebrates. A list of selected bioactive molecules produced by actinomycete symbionts is illustrated in the Table 2. The marine invertebrates represent the untapped actinomycetes that may indeed produce novel bioactive compounds with various biological activities. The success on exploiting a group of marine microorganisms relies on the availability of isolation techniques, media and our deep understanding on the chemical ecology of this particular symbiont. 4.3. Fungal symbionts The availability of novel fungi from marine habitats is still low as compared to its estimated 27 biodiversity . Little is known about the global diversity and distribution of marine fungi. The probability of isolating fungal strains belonging to the new taxonomic groups from the selected 28,29 marine habitats, such as from marine samples, in general, remains high . However, the number of strains available from marine sources is limited, and the knowledge of marine fungi is scarce. Research on marine fungi has suffered neglect, although the fungi are extremely potent 2,30,31 producers of secondary metabolites and bioactive substances . In addition, marine derive fungi have contributed a significant proportion of the important bioctive molecules discovered. Marine fungal strains were isolated, screened, and reported to produce novel antimicrobial compounds belonging to the alkaloids, macrolides, terpenoids, peptide derivatives and other 32 structure types . A review covering more than 23,000 bioactive microbial products, i.e. antifungal, antibacterial, antiviral, cytotoxic and immunosuppressive agents, shows that the profilic producing organisms are mainly from the fungal kingdom. Hence, fungi represent one of 33,34 the most promising sources of bioactive compounds . The majority of novel fungal secondary metabolites originates from inorganic matters such as sediments, soil, sandy habitats and artificial substrates, whereas marine invertebrate-derived fungi contributed less than the marine plants such as algae, sea grasses, mangrove plants and 35 woody habitats . Until now, most of the isolation and screening of marine fungi reported was from marine areas. Moreover, those from fungal symbionts of reef’s invertebrates were relatively ignored. However, a positive trend has been observed that bioactive metabolites have been documented so far as shown in the Table 3. It is clear that fungal symbionts of marine invertebrates will play a vital role in the future development as the sources of sustainable bioactive molecules from coral reefs especially among reef’s invertebrates. Table 2. Marine natural products from actinomycete symbionts of invertebrates Product Activity Actinomycetes Source Micromonospora sp. Thiocoraline Anti bacterial Mollusck Streptomyces sp. Octalasins Anticancer Softcoral Urauchimycins Anti bacterial Soft coral Salinamides Anti inflamatory Streptomyces sp. Jellyfish C. xamachana Micromonospora sp. Sponge Clathrina 5’-hydroxystaurosporine Anti tumor coriacea Table 3. Selected natural products from fungal symbionts of marine invertebrates

Radjasa – Bioprospecting the Marine Microbial Symbionts

53


BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

Product Asperazine Trichodenones

Activity Anti cancer Anti cancer

Fungi Aspergillus niger Trichoderma harzianum

Exophilin A

Antibacterial

Evariquinone

Antiproliferative

Exophiala Pisciphila Emericella variecolor

Flavicerebroside A

Cytotoxic

Aspergillus flavipes

Yanuthone A

Antimicrobial

Aspergillus niger

Gymnastatin F

Cytotoxic

Gymnascella Dankaliensis

Lunatin

Antibacterial

Curvularia lunata

Aspergillitine

Antibacterial

Aspergillus versicolor

Microsphaeropsin

Antifungal

Microsphaeropsis sp.

Source Sponge Hyrtios sp. Sponge Halichondria okadai Sponge Mycale adhaerens. sponge Haliclona valliculata Sea anemone Anthopleura xanthogrammica Tunicate Aplidium sp. Sponge Halichondria japonica Sponge Niphates olemda Sponge Xestospongia exigua Sponge Myxilla incrustans

5. Future prospect: Biosynthetic engineering based on molecular genetics The success of isolating invertebrate-microorganisms that produces bioactive compounds, however, is dependent upon a number of factors. The majority of microorganisms have proven 36 resistant to cultivation by standard techniques . In addition, in the past, most characterisations of the microbial communities marine invertebrates relied primarily on the culturability of the respective species and on the in situ observation using electron microscopy. It is well 9 understood that the approaches are limited . In particular, sponges that are believed to harbour more bacterial communities than the other marine invertebrates and their biomasses, could be up to 40% in certain sponges. On the other hand, only approximately 1% of their community are 36 amandable by the existing media and cultivation techniques . The difficulties in culturing marine microbial symbionts implicated in the production of specific compounds have resulted in the developmental efforts of sustainable sources of reef’s invertebrate metabolites. Fortunately, there is a growing number of biosynthetic clusters identified and cloned from culturable marine bacteria may offers for similar studies in symbionts in more complex associations. Though most obligate symbiotic bacteria and archaea have eluded cultivation attempts, combined methodologies from microbial ecology, molecular genetics, genomics, and natural products chemistry have laid a valuable foundation for work on biosynthetic origin studies, 15 allowing the symbiotic sources of a handful of marine natural products to be identified . As a result, molecular approaches to clone and express biosynthetic genes from symbionts have 15,37 become of great interest as a way to overcome the problem of natural levels of supply . A major breakthrough in the characterisation of the microbial community present in marine invertebrates have been achieved by applying molecular methods. These progresses have dramatically changed marine natural product studies. The biological and chemical approaches have now being developed to understand the biosynthesis of completely novel, complex metabolites from marine organisms and have been focused on some of the most pharmaceutically useful and structurally interesting marine secondary metabolites (Table 4) 14 belonging to the biosynthetic classes of polyketides and non-ribosomal peptides . These family

Radjasa – Bioprospecting the Marine Microbial Symbionts

54


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

of secondary metabolites, synthesized by many microorganisms, fungi, and plants, display a vast structural diversity and array of pharmacological and clinical activities such as antibiotics, 38 antiparasitic agents, antifungals, anticancer drugs, and immunosuppressants .

No 1 2 3 4

Table 4. Some examples of described NRPS and PKS products Product Type Example Antibacteria NRPS Bacitracin, tyrocidine PKS Erythromycin Antifungal drug NRPS Echinocandin PKS Nystatin Cytostatic agent NRPS Bouvardins PKS Tedanolide C , Hurghadolide A Immunosuppressant NRPS Cyclosporin PKS Rapamycin

It has predicted that the combined knowledge of microbial biodiversity and the ability to target specific biosynthetic genes will provide the necessary tools to identify and culture microbes that produce novel, potent pharmaceuticals on an economically viable scale. It is believed that metabolic engineering has the potential to be used for large scale production of these compounds using rationale biochemical design, especially applicable to the unculturable parts of microbial symbionts which have potential development in the drug discovery program. 6. Conclusion Bioprospecting on reef’s invertebrates should be continued as part of exploring the novel bioactive molecules with potential applications in health and industrial sectors. The bioethical aspect, however, needs to be considered as part of conservation efforts of one of the most productive ecosystem in coastal areas. The field study of marine microbial natural products from microbial symbionts of reef’s invertebrates is immature, but the growing and accumulating results have prompted into the development of the under-utilized groups, marine actinomycetes and marine fungi for sustainable sources of novel marine natural products with various applications. The advanced studies on biosynthetic engineering especially by exploring and exploiting PKS and NRPS gene clusters, it is now becoming promising to access the untapped diversity of the unculturable parts of the marine microbial symbionts of reef’s invertebrates. References 1. 2. 3. 4.

5. 6. 7.

Farrier, D., and L. Tucker. 2001. Access to Marine Bioresources: Hitching the Conservation Cart to the Bioprospecting Horse. Ocean Dev. Int. Law. 32:213-239. Raghukumar, C. 2008. Marine fungal biotechnology: an ecological perspective. Fungal. Divers. 31:19-35. Pan JH, Jones EBG, She ZG, Pang JY, Lin YC. 2008. Review of bioactive compounds from fungi in the South China Sea. Botanica. Marina. 51:179-190. Schulz, B., S. Draeger., T.E. delaCruz, J. Rheinheimer, K. Siems, S. Loesgen, J. Bitzer , O. Schloerke, A. Zeeck, I. Kock, H. Hussain, J.Q. Dai, K. Krohn.2008. Screening strategies for obtaining novel, biologically active, fungal secondary metabolites from marine habitats. Botanica. Marina. 51:219-234. Faulkner, D. J., 2001. Marine natural products. Nat. Prod. Rep., 18: 1-49. Engel, S., P.R. Jensen., and W. Fenical. Chemical ecology of marine microbial defense. J. Chem. Ecol. 28:1971-1985. Hunt, Bob and A. C. J. Vincent. 2006. Scale and sustainability of marine bioprospecting for pharmaceuticals. Ambio. 35: 57-64.

Radjasa – Bioprospecting the Marine Microbial Symbionts

55


INOVASI

8. 9. 10.

11.

12. 13. 14.

15.

16. 17.

18.

19.

20. 21.

22. 23. 24. 25.

26. 27. 28.

29. 30.

31.

32.

Volume 19 Nomor 2 September 2011

BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

Sukarmi and O.K. Radjasa. 2007. Bioethical consideration in the search for bioactive compounds from reef's invertebrates. J. Appl. Sci. 7(8): 1235-1238. Proksch, P., R.A. Edrada and R. Ebel, 2002. Drugs from the seas-current status and microbiological implications. Applied Microbiol. Biotechnol., 59: 125-134. Radjasa, O.K., T. Martens., H-P. Grossart., T. Brinkoff., A. Sabdono., and M. Simon. 2007. Antagonistic activity of a marine bacterium Pseudoalteromonas luteoviolacea TAB4.2 associated with coral Acropora sp. J. Biol. Sci. 7(2):239-246. Hart, J.B., R. E. Lill, S. J.H. Hickford, J.W. Blunt, and M. H.G. Munro. 2000. The Halichondrins: Chemistry, Biology, Supply and Delivery. In: Fusetani N (ed): Drugs from the Sea. Basel, Karger, pp 134–153. Kelecom, A. 2002. Secondary metabolites from marine microorganisms. Ann. Braz. Acad. Sci.74(1): 151–170. Jensen, P. R., and W. Fenical. 2000. Marine microorganisms and drug discovery: current status and future potential. In: Fusetani N (ed): Drugs from the Sea. Basel, Karger. pp 6–29. Solomon, C.E., N.A., Magarvey and D.H. Sherman, 2004. Merging the potential of microbial genetics with biological and chemical diversity: An even brighter future for marine natural product discovery. Nat. Prod. Rep., 21: 105-121. Hildebrand, M., L.E. Waggoner, H. Liu, S. Sudek., S. Allen., C. Anderson, D.H. Sherman and M. Haygood. 2004. bryA: An Unusual Modular Polyketide Synthase Gene from the Uncultivated Bacterial Symbiont of the Marine Bryozoan Bugula neritina. Chem. Biol. 11: 1543-1552. Jensen, P.R., T. J. Mincer., P. G.. Williams and W. Fenical. 2005. Marine actinomycete diversity and natural product discovery. Antonie van Leeuwenhoek. 87:43–48. Mincer, T.J., P. R. Jensen, C. A. Kauffman, and W. Fenical. 2002. Widespread and Persistent Populations of a Major New Marine Actinomycete Taxon in Ocean Sediments. Appl. Environ. Microbiol. 68: 5005–5011 Feling R.H., G.O. Buchanan., T.J. Mincer., C.A. Kauffman., P.R. Jensen. and W. Fenical. 2003. Salinosporamide A: a highly cytotoxic proteasome inhibitor from a novel microbial source, a marine bacterium of the new genus Salinospora. Angew. Chem. Int. Ed. 42: 355–357. Fiedler, H-P., C. Bruntner., A. T. Bull., A. C. Ward., M. Goodfellow., O. Potterat., C. Puder., and G. Mihm. 2005. Marine actinomycetes as a source of novel secondary metabolites. Antonie van Leeuwenhoek. 87:37–42. Fenical, W., and R. Jensen. 2006. Developing a new resource for drug discovery: marine actinomycete bacteria. Nature. Chem. Biol. 2: 666-673. Zheng, Z., W. Zeng., Y. Huang, Z. Yang., J. Li, H. Cai., and W. Su. 2000. Detection of antitumor and antimicrobial activities in marine organism associated actinomycetes isolated from the Taiwan Strait, China. FEMS Microbiol. Lett. 188: 87-91 Montalvo, N. F., N. M. Mohamed, J. J. Enticknap and R. T. Hill. 2005. Novel actinobacteria from marine sponges. Antonie van Leeuwenhoek. 87:29–36. Bull A.T., A.C.Ward, and M. Goodfellow. 2000. Search and discovery strategies for biotechnology: the paradigm shift. Microbio.l Mol. Biol. Rev. 64:573–606. Blunt J.W., Copp B.R., Munro MH, Northcote PT, Prinsep MR. 2004. Marine natural products, Natural Product Report, 21:1-49. He, H., W.D Ding., V.S Bernan., A.D. Richardson., C.M. Ireland., M. Greenstein., G.A. Ellestad. and G.T. Carter. 2001. Lomaiviticins A and B., potent antitumor antibiotics from Micromonospora lomaivitensis. J. Am. Chem. Soc. 123: 5362–5363. Lam KS. 2006. Discovery of novel metabolites from marine actinomycetes, Current Opinion in Microbiology, 9:245-251. Sponga F, Cavaletti L, Lazzarini A, Borghi A, Ciciliato I, Losi D, Marinelli F (1999) Biodiversity and potentials of marine-derived Microorganisms. J. Biotechnol. 70: 65–69. Mayer K.M, J. Ford, G.R. Macpherson, D. Padgett, B. Volkmann-Kohlmeyer, J. Kohlmeyer, C. Murphy, S.E. Douglas, J.M. Wright, J.L. Wright. 2007. Exploring the diversity of marine-derived fungal polyketide synthases. Can. J. Microbiol. 53: 291-302. Burgaud G, T. Le Calvez, D. Arzur , P. Vandenkoornhuyse, and G. Barbier. 2009. Diversity of culturable marine filamentous fungi from deep-sea hydrothermal vents. Env. Microbiol. 11: 1588-1600. Lang .G., J. Wiese, R. Schmaljohann, and J.F. Imhoff. 2007. New pentaenes from the spongederived marine fungus Penicillium rugulosum: structure determination and biosynthetic studies. Tetrahedron 63: 11844-11849. Zhiguo Y, Lang G, Kajahn I, Schmaljohann R, Imhoff JF (2008) Scopularides A and B, cyclodepsipeptides from a marine sponge-derived fungus Scopulariopsis brevicaulis. J. Nat. Prod. 71: 1052-1054 Zhang Y., J. Mu, Y. Feng, Y. Kang, J. Zhang, P-J Gu, Y. Wang, L-F. Ma and Y-H. Zhu. 2009. BroadSpectrum Antimicrobial Epiphytic and Endophytic Fungi from Marine Organisms: Isolation, Bioassay and Taxonomy. Mar. Drugs. 7: 97-112;

Radjasa – Bioprospecting the Marine Microbial Symbionts

56


INOVASI

Volume 19 Nomor 2 September 2011

BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

33. Brakhage, A.A., P. Spröte, W. Al-Abdallah, A. Gehrke, H. Plattner, and A. Tüncher. 2004. Regulation of penicillin biosynthesis in filamentous fungi. in molecular biotechnolgy of fungal beta-lactam antibiotics and related peptide synthetases. Springer Verlag. p45-90. 34. Saleem M, Ali MS, Hussain S, Jabbar A, Ashraf M, Lee YS (2007) Marine natural products of fungal origin. Nat. Prod. Rep. 24: 1142–1152. 35. Ebel, R. 2006. Secondary metabolites from marine-derived fungi. In: Frontiers in Marine Biotechnology (eds. P. Proksch and W.E.G. Müller). Horizon Bioscience, England: 73-143. 36. Friedrich AB, Fischer I, Proksch P, Hacker J, Hentschel U. 2001. Temporal variation of the microbial community associated with the Mediterranean sponge Aplysina aerophoba. FEMS Microbiol. Eco.l 1301: 1–9. 37. Piel, J. 2006. Bacterial symbionts: Prospects for the sustainable production of invertebrate-derived pharmaceuticals. Curr. Med. Chem. 13: 39-50. 38. Rath, C.M., J. B. Scaglione, J. D. Kittendorf, and D. H. Sherman. 2010. NRPS/PKS Hybrid Enzymes and Their Natural Products. In Comprehensive Natural Products II Chemistry and Biology; Mander, L., Lui, H.-W., Eds.; Elsevier: Oxford, volume 1, pp.453–492.

Radjasa – Bioprospecting the Marine Microbial Symbionts

57


BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

Kompleks Enzim Selulase: Kunci Pemanfaatan Limbah Organik Menjadi Biofuel 1,*

2

Reki Wicaksono Ashadi , Prihardi Kahar Kopertis Wilayah IV, Universitas Djuanda, Bogor, Indonesia 2 Meisei University, Hino City, Tokyo, Japan *E-mail: reki.ashadi@gmail.com

1

Abstrak Dengan semakin meningkatnya harga minyak mentah karena naiknya permintaan pasar akan bahan bakar, kebutuhan terhadap energi alternatif bioenergi diharapkan akan meningkat tajam pada masa depan. Dari sekian banyak sumber bioenergi altenatif yang potensial, lignoselulosa dikenali sebagai sumber utama biofuel dan produk nilai tambah lainnya. Lignoselulosa sebagai residu pertanian, industri dan kehutanan mewakili mayoritas dari total biomassa yang ada di dunia. Untuk mengawali produksi suatu bahan industri yang berasal dari biomassa selulosa, biokonversi yang mengubah komponen selulosa menjadi fermentasi gula sangatlah penting. Satu jenis mikroorganisme termasuk bakteri dan jamur mempunyai kemampuan mendegradasi biomassa selulosa menjadi monomer glukosa. Sistem enzim selulase dari jamur-jamur berfilamen, khususnya T. reesei, terdiri dari endoglukanase, eksoglukanase dan β-glukosida. Dalam penelitian ini, mutagenesis digunakan untuk membuat fungal strain yang dapat menghasilkan selulasi yang lebih tinggi. Penyinaran ultraviolet selama 30 detik sampai 5 menit, seperti yang ditunjukkan dalam pita SDS PAGE, dapat menjadikan konsentrasi eksoglukanase dan β-glukosidase meningkat dibandingkan enzim-enzim lain. Eksperimen ini juga menunjukkan bahwa produk eksoglukanase dapat diinduksi dengan medium yang mengandung Avicel. Kata kunci: Enzim selulase, T. reesei, mutagenesis, biofuel ©2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Pendahuluan Bioetanol merupakan etanol yang dibuat dari biomassa yang mengandung komponen gula, pati atau selulosa seperti singkong dan tetes tebu. Empat produsen utama bioetanol adalah Brazil, Amerika Serikat, Uni Eropa dan Cina. Sumber bahan baku utama untuk bioetanol di masing-masing negara berbeda, tergantung pada ketersediaan dan potensi bahan baku di negara masing-masing. Sekitar 95% dari bahan baku yang digunakan di Brazil adalah tebu. Di Amerika Serikat penggunaan jagung beberapa kali lebih banyak dibanding gandum. Kebalikan 1 dari Eropa, produksi gandum di AS tiga kali lebih tinggi dibanding jagung . Masa depan bioetanol sangat menjanjikan. Namun, jika bahan baku yang digunakan berasal dari pati maka akan terjadi kompetisi kebutuhan pangan. Oleh karena itu limbah lignoselulosik menjadi harapan 2 untuk menjadi bahan baku biofuel . Tabel 1 menyajikan tahapan produksi etanol berdasarkan bahan baku dan teknik konversinya. Saat ini, untuk memproduksi enzim selulase dibutuhkan biaya yang cukup mahal. Untuk menjadikannya bernilai komersial biaya produksi tersebut harus diturunkan, khususnya biaya proses dan pemurniannya. Strategi yang dibutuhkan untuk menurunkan biaya produksi ke tingkat ekonomis adalah • •

meningkatkan produktivitas enzim menggunakan substrat yang murah

Wicaksono & Kahar – Kompleks Enzim Selulase

58


• •

BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

meningkatkan stabilitas produksi yang baik menghasilkan enzim yang memiliki aktivitas yang tinggi pada substrat spesifik

Beberapa perusahaan memperbaiki produksi selulase dengan menggunakan medium yang lebih murah (termasuk proses delignifikasi yang biayanya murah) dan meningkatkan kemampuan enzim selulase, misalnya dengan mencari kombinasi terbaik dari campuran komponen enzim selulase (enzim koktail), atau meningkatkan aktivitas dari masing-masing komponennya seperti eksoglukanase, endoglukanase dan β-glukosidase. Usaha untuk meningkatkan aktivitas diantaranya adalah dengan melakukan mutasi baik dengan rekayasa genetik atau secara bertahap dengan pemaparan sinar ultraviolet atau bahan kimia seperti NTG atau EMS. Tahap yang sangat menentukan dalam mengubah limbah lignoselulosa menjadi etanol adalah perubahan dari bahan lignoselulosa menjadi gula. Tahap ini melibatkan proses penghilangan lignin (delignifikasi) dan degradasi selulosa menjadi gula yang melibatkan enzim selulase atau suatu bahan kimia. Biasanya enzim selulase secara komersial diproduksi dari fungi Aspergillus 3 4 niger atau Trichoderma reesei (selanjutnya disebut A. niger dan T. reesei) karena dikenal memiliki produktivitas yang tinggi karena aktivitas di setiap komponen selulasenya juga tinggi. Hidrolisis selulosa enzymatik melibatkan tiga tipe/komponen selulase, yaitu selobiohidrolase, endoglukanase dan β-glukosidase, yang bekerja secara sinergi. Dalam sinergi ini, endoglukanase (EC3.2.1.4) akan memotong β-1,4 ikatan glikosidik dari selulosa secara random; selobiohidrolase (EC3.2.1.91) akan menyerang rantai selulosa pada ujungnya dan menghasilkan selobiosa; β-glukosidase (EC3.2.1.21) akan menghidrolisis selobiosa menjadi dua 4 molekul glukosa . Tabel 1. Tahapan produksi etanol berdasarkan bahan baku dan teknik konversi

Konversi Konversi Bahan Bahan Baku

Proses

Teknik Panen

Hasil Gula Menjadi

Baku Menjadi Gula

Pemanasan

Samping Alkohol

Tanaman

Pemotongan

Bagasse-crushing,

Batang tebu yang

Fermentasi

Panas, listrik

mengandung

batang (tebu)

soaking, chemical

telah dihancurkan

dan distilasi

dan

treatment

(bagasse)

alkohol

molasses

Bahan bakar fosil

Fermentasi

Pakan

gula (tebu) Tanaman

Pemanenan

Separasi pati,

biji-bijian (pati)

bagian yang

penghancuran

dan distilasi

ternak,

mengandung

(milling), konversi pati

alkohol

pemanis

pati

menjadi gula (hidrolisis enzimatis)

Tanaman

Seluruh

Konversi selulosa

Lignin dan sisa

Fermentasi

Panas,

mengandung

bagian

menjadi gula dengan

selulosa

dan distilasi

listrik, pakan

selulosa

tanaman

cara sakarifikasi

alkohol

ternak,

(hidrolisis enzimatis)

bioplastik, dll

Sumber: IEA (2004)

Wicaksono & Kahar – Kompleks Enzim Selulase

59


BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

Penelitian ini secara singkat mengeksplorasi efek dari penggunaan substrat dan penggunaan sinar ultraviolet (UV) dalam pemutasian T. reesei untuk meningkatkan aktivitas dan produktivitas enzim guna memanfaatkan limbah lignoselulosik sebagai bahan baku bioetanol. 2. Metode Mikroorganisme. A. niger dan T. reesei masing-masing berasal dari laboratorium bioteknologi Universitas Miyazaki dan dan laboratorium Lingkungan Universitas Meisei, Jepang. Medium pertumbuhan. Medium pertumbuhan untuk menginduksi selulase adalah wheat bran, Avicelase dan mikrokristalselulosa. Beberapa medium tambahan lainnya adalah Xylan, laktosa dan beberapa bahan kimia seperti.KHďź’PO4, MgSO4.7H2O, CaCl2.2H2O, Tween 80, FeSO4.7H2O, MnSO4.H2O, ZnSO4.7H2O dan CaCl2.6H2O Identifikasi koloni. Kemampuan dalam mendegradasi CMC (karboksi metil selulosa) dapat diidentifikasi dengan menggunakan metode Congo Red (Gambar 1). Larutan congo red 0.1% dituang ke dalam cawan petri yang telah ditumbuhi bakteri, dan didiamkan selama 30 menit. Congo red kemudian dibuang dan cawan petri dicuci dengan NaCl beberapa kali sehingga terlihat jelas zona transparan di sekeliling mikroorganisma yang mendegradasi CMC. 5

Elektrophoresis. Elektrophoresis dilakukan dengan menggunakan metode Laemmli . Mutasi. Mutasi terhadap T. reesei dilakukan dengan menggunakan sinar UV. Waktu penyinaran bervariasi, yaitu dari 30 detik hingga 5 menit. Suspensi spora T. reesei dalam buffer salin dikenai cahaya UV selama jangka waktu tertentu. Selanjutnya, suspensi spora tersebut ditumbuhkan dalam media PDA.

Gambar 1. Seleksi dengan pewarnaan menggunakan Congo Red

3. Hasil dan Pembahasan Trichoderma reesei telah diakui sebagai mikroorganisme penghasil enzim selulase dengan produktivitas dan aktivitas tinggi. Berbagai cara juga dilakukan untuk dapat meningkatkan aktivitas dan produktivitasnya. Aktivitas selulase berhubungan dengan kemampuan masing-masing komponen enzim penyusun yang bekerja secara sinergis dalam mendegradasi selulosa. Adapun kerja enzim selulase dalam mendegradasi selulosa dapat dilihat pada Gambar 2. Degradasi selulosa merupakan kerja sinergis antara endo-β-glukanase, cellobiohydrolase dan β-glukosidase. Umumnya, beberapa mikroorganisme penghasil selulase menghasilkan sedikit

Wicaksono & Kahar – Kompleks Enzim Selulase

60


cellobiohydrolase produktivitasnya.

BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

dan

β-glukosidase

sehingga

pemutasian

perlu

dilakukan

untuk

Hasil yang diperoleh dengan melakukan mutasi dilakukan terhadap T. reesei dengan menggunakan UV menunjukkan bahwa mutasi dapat meningkatkan jumlah enzim β-glukosidase dan cellobiohydrolase. Konsentrasinya dapat dilihat dari pita protein hasil elektroforesis. Gambar 3 memperlihatkan bahwa secara kualitatif konsentrasi enzim yang terbentuk dipengaruhi oleh medium yang digunakan dalam pertumbuhan. Pada medium Avicel, T. reesei memproduksi enzim eksoglukanase (Avicelase) lebih banyak dibandingkan dengan jika menggunakan medium microcrystalline cellulose. Hal ini terlihat dari lebih tebalnya konsentrasi pita eksoglukanase hasil elekroforesis.

Gambar 2. Model degradasi selulosa oleh selulase

Xylan+microcrystalline

Xylan+Avicel

β−glukosidase

eksoglukanase -

Selulase A. niger

Selulase mutan T.reesei

Gambar 3. Pola SDS PAGE dari A.niger dan mutant T. reesei hasil penyinaran dengan UV

Wicaksono & Kahar – Kompleks Enzim Selulase

61


Volume 19 Nomor 2 September 2011

INOVASI

BIOSAINS dan ILMU KELAUTAN

4. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyinaran dengan sinar UV dengan lama penyinaran 4 menit pada spora T. reesei dapat memutasikannya sehingga konsentrasi β-glukosidase dan eksoglukanase secara kualitatif menjadi lebih tinggi dibanding dengan konsentrasi enzim lainnya. Jenis dan jumlah enzim selulase yang terbentuk dipengaruhi oleh medium yang digunakan dalam produksi enzim tersebut. Eksoglukanase akan lebih banyak dihasilkan oleh mutan T. reesei jika menggunakan medium Avicelase. Referensi 1. 2.

3.

4. 5.

Anonymous, 2004. International Energy Annual (IEA). http://www.eia.doe.gov/iea/ Xing-hua Li, Hua-jun Yang, Bhaskar Roy, Dan Wang, Wan-fu Yue, Li-jun Jiang, Enoch Y. Park and Yun-gen Miao. 2009. The most stirring technology in future: Cellulase enzyme and biomass utilization. African Journal of Biotechnology Vol 8 (11). Ashadi RW and Ogawa K. 1996. The mechanism of enzymatic cellulose degradation (I). Purification and some properties of cellulolytic enzymes from Aspergillus niger UC. Journal Gen. Applied Microbiology, 42:103-108. Ogawa K, Toyama D and Fuji N. 1991. Microcrystalline cellulose-hydrolyzing cellulase (endo-cellulase) from Trichoderma reesei CDU-11. Journal Gen. Applied Microbiology, 37: 249-259. Laemmli UK. 1970. Cleveage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature, 227:680-685.

Wicaksono & Kahar – Kompleks Enzim Selulase

62


Panduan Penulisan Naskah untuk Majalah Inovasi (font: Arial 12 points, bold) Nama penulis pertama1, nama penulis kedua2 (font: Arial 10.5 points, bold) 1

Afiliasi penulis 1 (font: Arial 10 points) Afiliasi penulis 2 (font: Arial 10 points) E-mail: email@address.com (font: Arial 10 points, italic) 2

Abstrak (font: Arial 10 points, bold) Abstrak harus ditulis dalam text box ini tidak lebih dari 200 kata. Isi abstrak antara lain ruang lingkup penelitian (apa yang akan anda sampaikan, ukuran, analisis dan lainnya), metode penelitian, hasil analisis dan kesimpulan secara singkat. Sertakan maksimal lima kata kunci untuk mempermudah pencarian. Kata kunci: artikel, abstrak, kata Š2011. Persatuan Pelajar Indonesia Jepang. All rights reserved.

1. Inovasi (font: Arial 10 points, bold) Majalah INOVASI (ISSN: 2085-871X) diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia di Jepang (http://www.ppijepang.org/) sebagai berkala ilmiah semi-populer untuk menyajikan tulisan-tulisan berbagai topik, seperti sains dan teknologi, sosial, politik, ekonomi, pendidikan, dan topik humaniora lainnya. Majalah INOVASI berfungsi sebagai media untuk mengartikulasikan ide, pikiran, maupun hasil penelitian dalam rangka memperkaya wawasan dan khazanah ilmu pengetahuan. Website Inovasi: http://io.ppijepang.org/ 2. Kategori artikel Majalah INOVASI menerima naskah baik yang bersifat ilmiah populer maupun ilmiah non-populer dengan kategori sebagai berikut: 2.1. Artikel populer Berisi tentang ide-ide atau gagasan baru yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Ditulis dalam bahasa Indonesia dengan ejaan yang disempurnakan (EYD) dan tidak lebih dari 6000 karakter atau maksimal 4 halaman. 2.2. Artikel non-populer Naskah asli yang belum pernah dipublikasikan dan tidak akan dipublikasikan di media lainnya. a. Maksimal 9000 karakter atau tidak lebih dari 6 halaman dan ditulis dalam bahasa Indonesia/Inggris. b. Judul harus menggambarkan isi pokok secara ringkas dan jelas serta tidak melebihi 14 kata.

Panduan Penulisan

iv


c. Struktur naskah terdiri atas Pendahuluan, Uraian Isi (metode, hasil dan diskusi), kesimpulan, ucapan terima kasih dan daftar pustaka. Judul bab boleh disesuaikan, misal: Bab 1 Perspektif Pertanian 5 tahun masa reformasi (mewakili pendahuluan)‌ dst. Huruf pertama setiap kata dalam judul bab harus ditulis dengan huruf kapital d. Pendahuluan berisi latar belakang/masalah, hipotesis, referensi yang relevan, pendekatan dan tujuan yang hendak dicapai. e. Uraian isi terdiri dari judul bab yang disesuaikan dengan kebutuhan dan informasi yang tersedia. Apabila naskah ini menyampaikan hasil penelitian yang khas, judul bab dalam uraian isi dapat terdiri dari Bahan dan Metode serta Hasil dan Pembahasan. f. Sangat disarankan jika dalam uraian isi/pembahasan bersifat kuantitatif. Misal: A lebih besar 10% daripada B, bukan A lebih besar dari B. g. Kesimpulan memuat secara singkat hasil yang telah diuraikan sebelumnya. Dapat dibuat dengan menggunakan penomoran atau pointer dalam satu paragraph. 3. Format penulisan artikel Ukuran kertas: A4; Margin atas: 3.5 cm; margin kiri, kanan dan bawah: 3 cm; tulisan: 1 kolom; spasi: tunggal; jenis huruf: Arial; ukuran: 10 points. Judul, nama penulis, afilisasi penulis dan alamat email ditulis dalam 1 kolom (center). Judul ditulis dengan font Arial, 12 points, bold, huruf kapital. Nama penulis ditulis dengan font Arial, 10.5 points, bold. Afiliasi penulis ditulis dengan font Arial, 10 points. Alamat email ditulis dengan font Arial, 10 points, italic. Satuan ditulis dalam unit satuan internasional (SI Unit) misalnya meter atau milimeter, kg atau gram, Newton dan lainnya. Pemisahan desimal untuk dimensi berat, tinggi dan waktu ditulis menggunakan titik (.) misalnya 3.4 m. Tanda koma (,) digunakan untuk memisahkan desimal pada besaran mata uang (misalnya : Rp 1,005,500,00) 4. Penulisan gambar/ilustrasi Gambar harus disertakan dengan resolusi tinggi supaya mempermudah pengamatan (format TIFF sangat disarankan). Gambar/Ilustrasi diberi nomor dan judul singkat. Sumber kutipan dicantumkan dengan jelas (jika gambar/ilustrasi merupakan hasil kutipan). Judul diletakkan di bawah gambar/ilustrasi dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan setiap kata diawali dengan huruf besar, kecuali kata-kata seperti, dan, atau, dalam, kata depan, yang, untuk. Gambar harus didiskusikan dalam teks utama (gambar berperan dalam mempermudah penyampaian gagasan dan paparan). Berikan warna biru untuk kata ‘Gambar’ di dalam teks untuk mempermudah pencarian.

Gambar 1. Kata “gambar� harus ditulis dengan huruf biru untuk memudahkan pencarian dari teks utama

5. Penulisan tabel

Panduan Penulisan

v


Judul tabel diletakkan di atas tabel dan ditulis dengan font Arial 9 points, center dan ditulis mengikuti aturan seperti penulisan Judul Gambar. Catatan mengenai isi tabel (misal “sumber” atau satuan) dapat diletakkan dibawah tabel. Kata ‘Tabel’ juga diberi warna biru untuk mempermudah pencarian teks. Tabel 1. Kata “tabel” harus ditulis dengan huruf biru Frekuensi Standard Deviasi (cm/s) (kHz) N=10 N=12 76.8 6.723 4.751 104.6 3.375 2.112 205.1 2.418 1.869 Sumber: Inovasi Online

6. Pengiriman naskah Naskah dikirim melalui elektronik mail dalam bentuk attachment file MS Word (*.doc atau *.docx) ke redaksi INOVASI yaitu editor.inovasi@gmail.com Referensi Referensi diketik dengan menggunakan font 9. Referensi setiap sumber harus dirujuk dan disusun berdasarkan urutan pemunculan dalam naskah dengan menuliskan angka arab dalam format subscript tanpa tanda kurung, ditulis setelah tanda titik. Misalnya: “Majalah Inovasi 1 merupakan majalah ilmiah yang diterbitkan PPI Jepang. ” - Cara penulisan referensi dari majalah ilmiah Urutan penulisannya mulai dari nama pengarang (diakhiri tanda ”titik”), judul (diakhiri tanda ”titik”), nama majalah (diakhiri tanda ”titik”), tahun terbit (diakhiri tanda ”titik koma”), volume dan bila ada diikuti nomor (nomor ditulis dalam tanda kurung, tanpa spasi setelah volume, kemudian diakhiri tanda ”titik dua”), halaman (diakhiri tanda ”titik”). Penulisan nama pengarang dimulai dari ”nama akhir (nama keluarga)” diikuti inisial ”nama awal” dan bila ada inisial ”nama tengah” tanpa tanda ”koma” ataupun ”titik” di antara ”nama keluarga” dan inisial ”nama awal” maupun ” nama tengah”. Bila jumlah nama pengarah tujuh atau kurang, ditulis semua; tetapi bila lebih dari tujuh, maka cukup ditulis enam nama pertama diikuti kata ”dkk.” (bila artikel ditulis dalam Bahasa Inggris maka ditulis ”et al.”). Contoh: 1. 2.

3.

Bucchi A, Plotnikov AN, Shlapakova I, Danilo P Jr, Kryukova Y, Qu J, et al. Wild-type and mutant HCN channels in a tandem biological-electronic cardiac pacemaker. Circulation. 2006. 114(16): 992-999. Cai J, Lin G, Jiang H, Yang B, Jiang X, Yu Q, Song J. 2006. Transplanted neonatal cardiomyocytes as a potential biological pacemaker in pigs with complete atrioventricular block. Transplantation. 81:1022-1026. Sudaryanto A, Kartono M. Petunjuk penulisan ilmiah. Inovasi Online. 2010; 9:6-9.

- Cara penulisan referensi dari buku Urutan penulisannya mulai dari nama pengarang (diakhiri tanda ”titik”), judul (diakhiri tanda ”titik”), nama buku (diakhiri tanda ”titik”), nama editor buku, dikuti kata ”(Ed.)” yang merupakan kependekan dari ”Editor” (diakhiri tanda ”titik”), nama kota penertbitan (diakhiri tanda ”titik dua”), nama penerbit (diakhiri tanda ”titik”), tahun terbit (diakhiri tanda ”titik dua”), halaman (diakhiri tanda ”titik”). Contoh: 4.

Basuki A. Panduan penulisan untuk majalah ilmiah. Dalam: Strategi menulis. Suryanegara L, Junaidi B (Ed.). Jakarta: Gramedia. 2010: 16-20.

- Cara penulisan referensi dari laman internet

Panduan Penulisan

vi


Referensi yang berasal dari laman internet (website) harus menyertakan uniform resource locator (URL) dan tanggal referensi tersebut diakses. Nama judul artikel dan (bila ada) nama penulis dicantumkan. Contoh: 5.

Maryadi J. Arsitektur Tradisional Ternate - Tidore dan Halmahera (Studi Analisa Konstruksi http://busranto.blogspot.com/2007/04/arsitektur-tradisional-ternate-dan.html Tradisional). URL: diakses tanggal 10 Juni 2010.

Contoh, bila artikel ditulis dalam Bahasa Inggris: 6.

Arsitektur tradisional, perkembangan dan analisis. URL: http://busranto.blogspot.com/2007/04/arsitektur-tradisional-ternate-dan.html accessed on June 10, 102010.

Panduan Penulisan

vii


Majalah INOVASI Diterbitkan oleh Persatuan Pelajar Indonesia Jepang Website: http://io.ppijepang.org


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.